Model Potensial Kaon-Nukleon Fenomenologis
Skripsi diajukan sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Sains
oleh:
Victor G. P. Matindas030302074Y
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Depok2007
Model Potensial Kaon-Nukleon Fenomenologis
oleh:
Victor G. P. Matindas030302074Y
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Depok2007
Halaman Persetujuan
Judul Skripsi : Model Potensial Kaon-Nukleon Fenomenologis
Nama : Victor G. P. Matindas
NPM : 030302074Y
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui
Depok, 11 Juni 2007
Mengesahkan
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Imam Fachruddin Dr. Agus Salam
Penguji I Penguji II
Dr. Terry Mart Dr. Anto Sulaksono
Tanggal Lulus Ujian Sarjana: 11 Juni 2007
i
Ucapan Terima Kasih
Puji-pujian dan syukur kepada Yesus Kristus, untuk berkat-Nya yang melimpah
serta nafas kehidupan yang diberikan-Nya secara cuma-cuma. Hanya oleh Dia,
penulis memperoleh ruang dan waktu untuk memulai penelitian ini, serta kesem-
patan untuk menyelesaikannya.
Ucapan terimakasih diberikan kepada:
Dr. Imam Fachruddin
Dr. Agus Salam
sebagai pembimbing dalam penelitian ini juga penanaman nilai kedisiplinan serta
kreativitas untuk mencintai apa yang kita kerjakan, menyelesaikan apa yang telah
kita mulai dengan usaha terbaik, meneliti setiap bagian terkecil, dan melakukan
dengan sepenuh hati sampai ke sentuhan terakhir.
Kepada kedua orangtua tercinta, penulis memberikan ucapan terimakasih. Kare-
na memberikan nilai-nilai terbaik untuk menjalani hidup dan menghidupkannya.
Juga kakak yang selama ini memberi dorongan untuk selalu maju.
Kepada Pembimbing Akademik Dr. Terry Mart juga selaku penguji, penulis men-
gucapkan terimakasih untuk setiap nasehat dan kritik yang sangat membangun.
Kepada Dr. Anto Sulaksono sebagai penguji, terimakasih untuk setiap pertanyaan
dan setiap jawaban karena untuk itu semua penulis memperoleh banyak pela-
jaran berharga. Kepada Dr. LT Handoko untuk cara pandang yang unik pada
sistem fisika, penulis mengucapkan terimakasih. Kepada dosen-dosen fisika UI,
atas didikannya selama empat tahun. Kepada rekan-rekan fisika murni Andhika
dan Ryky. Kepada rekan-rekan fisika angkatan 2003, Kiat dan Devilim. Teman
di tempat kos, Yanuar, Beriya, Mabrur, Hafeez, Risyaf, Aryo, Agung, penulis
mengucapkan terimakasih.
ii
Sekali lagi terimakasih untuk Sahabat terbaik, 22 tahun bersama-Nya dan tak
pernah sekalipun Dia mengecewakan. Semoga sekali lagi diberi kesempatan un-
tuk melangkah masuk ke dalam misteri alam yang masih tersembunyi.
iii
Abstrak
Suatu model fenomenologis untuk interaksi Kaon-Nukleon (KN) diajukan.
Potensial ini terdiri dari komponen sentral dan spin-orbit, dengan fungsi radial
dipilih dari bentuk Malfliet-Tjon. Parameter potensial ditetapkan melalui fitting
tehadap phase shifts δl untuk energi Kaon dalam kerangka laboratorium 9, 66 ×10−5 MeV sampai 231, 699 MeV. Perhitungan hamburan KN menggunakan teknik
3 Dimensi (3D), yang menggunakan basis yang dibentuk dari eigenstate vektor
momentum dan helicity.
Kata kunci: Hamburan KN, potensial KN, phase shifts
viii+43 hlm.; lamp.
Daftar Acuan: 21 (1935-2006)
Abstract
We make a phenomenological model for Kaon-Nucleon interaction (KN). The
potential consists of central and spin-orbit terms, with the radial function being
of Malfliet-Tjon form. Potential parameters are determined by fitting to phase
shifts δl for Kaon energy in laboratory frame from 9, 66 × 10−5 MeV to 231, 699
MeV. The calculation for KN scattering is performed using Three Dimensional
(3D) technique, the basis of which is constructed from momentum vector and
helicity eigenstate.
Keywords: KN scattering, KN potential, phase shifts
viii+43 pp.; appendices.
References: 21 (1935-2006)
iv
Daftar Isi
Halaman Persetujuan i
Ucapan Terima Kasih ii
Abstrak iv
Daftar Isi v
Daftar Gambar vii
Daftar Tabel viii
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.3 Metode Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
1.4 Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
2 Hamburan KN dalam Formulasi Tiga Dimensi 3
2.1 Kinematika Hamburan Kaon-Nukleon . . . . . . . . . . . . . . . . 4
2.2 Persamaan Lippmann-Schwinger untuk Matriks T . . . . . . . . . 5
2.3 Hubungan dengan Perhitungan Partial-
Wave . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
2.4 Phase Shifts . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
3 Model Potensial Kaon-Nukleon 16
3.1 Potensial Fenomenologis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
v
3.2 Model Potensial Spin-Orbit untuk Kaon-
Nukleon . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
3.3 Penetapan Parameter . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 19
3.4 Hasil dan Diskusi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
4 Kesimpulan dan Saran 28
A Pion-Threshold 30
B Perhitungan Numerik 33
C Transformasi Pembalikan Waktu 36
D Transformasi Potensial 39
Daftar Acuan 42
vi
Daftar Gambar
2.1 Kinematika hamburan Kaon-Nukleon . . . . . . . . . . . . . . . . 4
3.1 Grafik Perbandingan Nilai Phase Shifts 2S 1
2
. . . . . . . . . . . . 24
3.2 Grafik Perbandingan Nilai Phase Shifts 2P 1
2
. . . . . . . . . . . . 25
3.3 Grafik Perbandingan Nilai Phase Shifts 2P 3
2
. . . . . . . . . . . . 26
vii
Daftar Tabel
3.1 Partikel Hyperon dan Massanya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
3.2 Input untuk Program Fitting . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
3.3 Parameter Hasil Fitting . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 23
3.4 Perbandingan Nilai Phase Shifts 2S 1
2
. . . . . . . . . . . . . . . . 24
3.5 Perbandingan Nilai Phase Shifts 2P 1
2
. . . . . . . . . . . . . . . . 25
3.6 Perbandingan Nilai Phase Shifts 2P 3
2
. . . . . . . . . . . . . . . . 26
viii
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Fenomena hamburan Kaon-Nukleon (KN) menarik minat banyak penelitian dise-
babkan beberapa hal. Terdapat efek spin-orbit yang besar yang teramati khusus-
nya pada P-waves dan kemungkinan adanya kondensasi Kaon pada materi nuk-
lir yang padat membuat fenomena ini menarik untuk dipelajari [1, 2]. Sifat
strangeness yang ada dalam Kaon membuatnya dapat mentransfer derajat kebe-
basan tambahan pada Nukleus. Ditambah kenyataan bahwa Kaon tidak menaati
Azas Larangan Pauli menjadikannya proyektil yang berguna untuk mempelajari
struktur nuklir. Tetapi kesuksesan penggunaan partikel Kaon dalam mempela-
jari struktur nuklir membutuhkan pengetahuan tentang bagaimana sebenarnya
interaksi antara Kaon dengan Nukleus. Dan tiap model teoretis interaksi Kaon
dengan Nukleus dimulai dari interaksi KN. Tujuan penelitian ini adalah mem-
buat model fenomenologis bagi interaksi KN. Parameter yang ada difit terhadap
data phase shifts [3]. Pada penelitian ini, yang kita miliki adalah data pada en-
ergi tinggi [4]. Teknik perhitungan yang cocok bagi energi tinggi adalah teknik
3 dimensi (3D) seperti telah dilakukan pada [5, 6, 7]. Khusus bagi formulasi 3D
untuk spin 0 dan spin 12
telah dikerjakan oleh [8] dan dipakai dalam penelitian
ini.
1
1.2 Perumusan Masalah
Pada penelitian ini, kami membuat model potensial KN fenomenologis, yang
terdiri dari potensial sentral dan potensial spin-orbit, dengan fungsi radial dipilih
dari bentuk Malfliet-Tjon [9]. Untuk mencari nilai parameter yang terdapat pada
potensial, kami melakukan fitting terhadap data phase shifts [3]. Teknik yang
dipakai untuk menghitung proses hamburan KN adalah teknik 3D [8].
1.3 Metode Penelitian
Mula-mula kami menetapkan bentuk potensial KN yang memiliki fungsi radi-
al dan operator spin. Sebagai langkah awal dalam usaha menghasilkan poten-
sial KN, kami mulai dengan suatu model yang sederhana. Untuk fungsi radial,
kami memilih bentuk Malfliet-Tjon [9]. Sedangkan untuk operator spin, kami
memasukkan kopling spin-orbit. Model potensial inilah yang akan menjadi in-
put bagi perhitungan hamburan KN. Kemudian untuk perhitungan proses ham-
buran kami menggunakan teknik 3D [8], yang menggunakan basis momentum-
helicity. Setelah itu, dengan menghubungkan perhitungan 3D dan perhitungan
partial wave, kami menghitung phase shifts. Untuk mencari parameter potensial,
kami melakukan fitting dengan membandingkan phase shifts hasil perhitungan
dan data untuk suatu rentang nilai energi Kaon dalam kerangka laboratorium
9, 66 × 10−5 MeV sampai 231, 699 MeV [4]. Proses fitting dikerjakan dengan
menggunakan routine fitting minuit dari CERN.
1.4 Tujuan
Penelitian ini bertujuan mencari model potensial KN fenomenologis, yang meru-
pakan input bagi perhitungan hamburan KN.
2
Bab 2
Hamburan KN dalam Formulasi
Tiga Dimensi
Salah satu cara yang biasa dipakai untuk menghitung hamburan KN adalah den-
gan mengekspansi keadaan bebas |p〉 dalam eigenstate momentum angular (par-
tial wave). Cara seperti ini dikenal sebagai teknik partial wave (PW). Pada teknik
PW kita memecahkan persamaan Lippmann-Schwinger (PLS) dan memperoleh
elemen matriks-T untuk setiap nilai momentum angular total j. Perhitungan di-
lakukan untuk nilai j terendah sampai nilai jmax, ketika perhitungan telah mem-
berikan hasil yang konvergen, yaitu tidak ada perbedaan yang signifikan pada
observable untuk j = jmax dan j = jmax + 1.
Penggunaan teknik PW tidak menemui masalah pada energi rendah, karena
kita hanya perlu memecahkan PLS untuk beberapa nilai j terendah. Tapi pada
energi tinggi, dibutuhkan lebih banyak partial wave yang berarti lebih banyak
PLS. Dengan kata lain diperlukan lebih banyak kerja manusia maupun komputer
untuk menyelesaikan perhitungan dengan hasil yang konvergen. Pada suatu en-
ergi tinggi tertentu dapat saja kebutuhan akan kerja tersebut sudah melampaui
batas sehingga sulit dipenuhi.
Cara lain untuk menghitung proses hamburan yaitu dengan menggunakan
teknik tiga dimensi (3D). Dalam teknik 3D kita menyelesaikan PLS dengan meng-
gunakan keadaan bebas |p〉 secara langsung tanpa mengekspansinya dalam PW
[6, 5, 7]. Teknik 3D dalam [6] berlaku untuk partikel tanpa spin sedangkan dalam
[5, 7] untuk dua partikel berspin 12. Untuk hamburan partikel berspin 0 dan 1
2
juga telah dikembangkan teknik 3D [8], yang dipakai dalam penelitian ini.
3
Keunggulan menggunakan teknik 3D adalah kita hanya perlu memecahkan
satu set PLS untuk memperoleh matriks-T untuk energi hamburan berapapun.
Disamping itu teknik 3D yang dikembangkan dalam [8] (demikian pula [5, 7])
menggunakan representasi helicity untuk spin total kedua partikel. Hal ini memu-
dahkan pekerjaan karena dalam potensial operator spin muncul sebagai operator
helicity.
2.1 Kinematika Hamburan Kaon-Nukleon
Dalam kerangka laboratorium, kita melihat sistem dua partikel dengan momen-
tum awal partikel satu k1 dan partikel dua k2. Selanjutnya persoalan dalam
perhitungan bisa dipermudah apabila kita menggunakan kerangka pusat massa.
Dengan demikian kita bisa melihat sistem KN sebagai sistem satu partikel den-
gan momentum relatif awal p. Untuk keadaan akhir, kita gunakan k′1 dan k′
2
sebagai momentum akhir partikel 1 dan 2 dalam kerangka laboratorium serta p′
sebagai momentum akhir dalam kerangka pusat massa.
Gambar 2.1: Kinematika hamburan Kaon-Nukleon
Secara umum, hubungan antara momentum dalam kerangka laboratorium dan
momentum dalam kerangka pusat massa adalah sebagai berikut:
p =m2k1 −m1k2
m1 +m2
, (2.1)
Pada keadaan awal kita berurusan dengan sistem dimana Kaon bergerak menum-
buk Nukleon yang berada dalam keadaan diam relatif terhadap kerangka labora-
4
torium. Karenanya k2 = 0. Maka:
p =µ
m1
k1 (2.2)
dengan µ adalah massa tereduksi:
µ =m1m2
m1 +m2
(2.3)
Rumus untuk energi total dalam kerangka pusat massa EP.M. dan energi total
dalam kerangka laboratorium ELab adalah:
ELab. =k2
1
2m1
=k′212m1
+k′222m2
(2.4)
EP.M. =p2
2µ=p′2
2µ(2.5)
Hubungan antara ELab. dengan EP.M. adalah:
EP.M. =µ
m1
ELab. (2.6)
Selanjutnya yang dibutuhkan adalah rumus untuk sudut hambur vektor mo-
mentum akhir terhadap vektor momentum awal. Karena itu kita juga memiliki
dua sudut hambur masing-masing untuk kerangka laboratorium dan kerangka
pusat massa. Hubungan antara sudut hambur dalam kerangka pusat massa θP.M.
dan sudut hambur dalam kerangka laboratorium θLab. adalah:
θP.M. = θLab. + arcsin (m1
m2
sin θLab.) (2.7)
dan sebaliknya:
θLab. = arctan
(
sin θP.M.
cos θP.M. +m1
m2
)
(2.8)
2.2 Persamaan Lippmann-Schwinger untuk Ma-
triks T
Persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T dalam bentuk operator adalah:
T = V + V G+0 (E)T (2.9)
dengan free propagator :
G+0 (E) = lim
ǫ→0
1
E + iǫ−H0
(2.10)
5
Tujuan kita yaitu memecahkan persamaan Lippmann-Schwinger di atas untuk
mendapatkan elemen matriks-T. Dari elemen matriks-T kita dapat memperoleh
observable. Penjabaran detail tentang penyelesaian PLS dengan teknik 3D dapat
ditemukan pada [8]. Di sini kami akan sampaikan hanya hal-hal yang utama
secara ringkas.
Basis state yang digunakan yaitu basis state momentum-helicity :
∣
∣p; p12λ⟩
π=
1√2(1 + ηπP)
∣
∣p; p12λ⟩
(2.11)
dengan:∣
∣p; p12λ⟩
≡ |p〉∣
∣p12λ⟩
(2.12)
dan |pSλ〉 merupakan eigenstate dari operator helicity :
S · p |pSλ〉 = λ |pSλ〉 , (2.13)
dengan λ = ±12
merupakan eigenvalue. Pada persamaan (2.11) P adalah operator
paritas, ηπ adalah eigenvalue paritas yang nilainya ηπ = ±1.
Basis pada persamaan (2.11) memiliki sifat orthogonalitas:
π
⟨
p′; p′ 12λ′∣
∣p; p12λ〉π = δηπ′ηπ
[δ(p′ − p)δλ′λ − iηπδ(p′ + p)δλ′,−λ] (2.14)
dan completness relation:
∑
πλ
∫
dp∣
∣p; p12λ⟩
π
1
2 π
⟨
p; p12λ∣
∣ = 1 · (2.15)
Dalam basis momentum-helicity elemen matriks T didefinisikan sebagai:
T πλ′λ(p
′,p) ≡π
⟨
p′; p′ 12λ′∣
∣T∣
∣p; p12λ⟩
π(2.16)
dengan sifat simetri sebagai berikut:
T πλ′−λ(p
′,p) = −iηπTπλ′λ(p
′,−p) (2.17)
T π−λ′λ(p
′,p) = iηπTπλ′λ(−p′,p) (2.18)
T π−λ′−λ(p
′,p) = iηπTπλ′λ(−p′,−p) · (2.19)
Hal yang sama berlaku untuk elemen matriks potensial V πλ′λ(p
′,p). Dengan meng-
gunakan completness relation (2.15) dan sifat simetri (2.17) - (2.19) diperoleh PLS
sebagai berikut:
T πλ′,λ(p
′,p) = V πλ′,λ(p
′,p) +
∫
dp′′V πλ′, 1
2
(p′,p′′)G+0 (p′′)T π
1
2,λ(p′′,p) (2.20)
6
Evaluasi V πλ′λ(p
′,p) dengan memperhatikan sifat-sifat invarian terhadap ro-
tasi, operasi paritas dan time-reversal menghasilkan:
V πλ′,λ(p
′,p) = [F (p′, p, α′, λ′, λ) + ηπF (p′, p,−α′, λ′,−λ)] 〈p′λ′|pλ〉 (2.21)
dengan:
〈p′λ′|pλ〉 =∑
m
eim(φ′−φ)d1
2
mλ′(θ′)d
1
2
mλ(θ) (2.22)
dan d1
2
mλ′(θ′) adalah matriks rotasi [10]:
d1
2
mλ′(β) =
cosβ
2− sin
β
2
sinβ
2cos
β
2
(2.23)
Bentuk fungsi F pada persamaan (2.21) ditentukan oleh struktur potensial.
Pada perhitungan hamburan biasa dipilih proyektil bergerak menuju arah z
positif. Sesuai persamaan (2.21) dan (2.22) maka diperoleh:
V πλ′,λ(p
′, pz) = eiλφ′
V πλ′,λ(p
′, p, α′) (2.24)
dengan:
α′ = cos θ′ (2.25)
Telah ditunjukkan dalam [8] bahwa persamaan (2.24) berlaku pula untuk matriks-
T:
T πλ′,λ(p
′, pz) = eiλφ′
T πλ′,λ(p
′, p, α′) (2.26)
Elemen matriks T πλ′,λ(p
′, p, α′) memenuhi PLS:
T πλ′λ(p
′, p, α′) =1
2πV π
λ′λ(p′, p, α′, 1)
+
∫ ∞
0
dp′′p′′2∫ 1
−1
dα′′V πλ′ 1
2
(p′, p′′, α′, α′′)G+0 (p′′)T π
1
2,λ(p′′, p, α′′)
(2.27)
dengan:
V πλ′ 1
2
(p′, p′′, α′, α′′) ≡∫ 2π
0
dφ′′eiλ(φ′′−φ′)V πλ′ 1
2
(p′,p′′) (2.28)
α′′ = p′′ · p = cos θ′′ (2.29)
7
p′′ · p′ = cos θ′ cos θ′′ + sin θ′ sin θ′′ cos (φ′′ − φ′)
= α′α′′ +√
1 − α′2√
1 − α′′2 cos (φ′′ − φ′)(2.30)
Berdasarkan sifat simetri berikut untuk T πλ′λ(p
′, p, α′):
T π−λ′λ(p
′, p, α′) = (−)λiηπTπλ′λ(p
′, p,−α′) (2.31)
T πλ′−λ(p
′, p, α′) = (−)λ′
iηπTπλ′λ(p
′, p,−α′) (2.32)
T π−λ′−λ(p
′, p, α′) = (−)T πλ′λ(p
′, p, α′) (2.33)
kita hanya perlu memecahkan persamaan Lippmann-Schwinger untuk T π1
2
1
2
un-
tuk masing-masing paritas, sehingga total 2 pemecahan persamaan Lippmann-
Schwinger.
2.3 Hubungan dengan Perhitungan Partial-
Wave
Karena kita akan melakukan fitting dengan menggunakan data phase-shift maka
kita memerlukan matriks-T dalam basis partial wave yang didefinisikan sebagai:
Tjl′l(p
′, p) ≡⟨
p′(l′ 12); jm
∣
∣T∣
∣p(l 12); jm
⟩
(2.34)
Pada definisi di atas kita telah menggunakan konservasi momentum angular total
J. Karena elemen matriks haruslah bersifat invarian terhadap rotasi, maka tidak
bergantung pada m yang merupakan proyeksi momentum angular total j pada
sumbu kuantisasi z.
Mula-mula kita ketahui hubungan antara T πλ′λ dengan T
jl′l adalah sebagai
berikut [8]:
T πλ′λ(p
′,p) = 2∑
jmll′
Tjl′l (p
′, p)∑
µ′
C(l′ 12j;m− µ′, µ′)D
1
2∗
µ′,λ′(p′)Yl′m−µ′(p′)
×∑
µ
C(l 12j;m− µ, µ)D
1
2
µ,λ(p)Y ∗lm−µ(p) (2.35)
8
dan untuk p = z:
T πλ′λ (p′, pz) = 2
∑
jll′
Tjl′l (p
′, p)
√
2l + 1
4πC(l 1
2j; 0, λ)
×∑
µ′
C(l′ 12j;λ− µ′, µ′)D
12∗
µ′,λ′(p′) Yl′,λ−µ′(p′) (2.36)
dengan C(j1j2j;m1,m−m1) adalah koefisien Clebsch-Gordan. Dalam persamaan
(2.35) dan (2.36) terkandung syarat ηπ(−)l = 1 dan ηπ(−)l′ = 1. Selanjutnya,
untuk menghitung Tjl′l (p
′, p) diperlukan relasi kebalikan dari (2.36), yang tidak
diberikan dalam [8]. Jadi kami kerjakan relasi kebalikan dari (2.36) di bawah.
Dengan menggunakan relasi [10]:
Dj∗λλ′(φ
′θ′0) = djλλ′(θ
′)eiλφ′
(2.37)
persamaan (2.36) menjadi:
T πλ′λ (p′, pz) = 2
∑
jll′
Tjl′l (p
′, p)
√
2l + 1
4πC(l 1
2j; 0, λ)
×∑
µ′
C(l′ 12j;λ− µ′, µ′)d
1
2
µ′λ′(θ′)eiµ′φ′
Yl′,λ−µ′(p′) (2.38)
Kemudian digunakan relasi [11]:
Yl′µ′(q′)ei(λ−µ′)φ′
dSλ−µ′,λ′(θ′) =
√
2l′ + 1
4π
∑
j
C(l′Sj;µ′, λ−µ′)C(l′Sj; 0λ′)Dj∗λλ′(φ
′θ′0)
(2.39)
9
maka diperoleh:
T πλ′λ (p′, pz) = 2
∑
jll′
Tjl′l (p
′, p)
×√
2l′ + 1
4π
∑
µ′
C(l′ 12j;λ− µ′, µ′)
∑
j′
C(l′ 12j′;λ− µ′, µ′)C(l′ 1
2j′; 0λ′)
×√
2l + 1
4πD
j′∗λλ′(φ
′θ′0)C(l 12j; 0λ)
= 2∑
jll′
Tjl′l (p
′, p)
×√
2l′ + 1
4πC(l′ 1
2j; 0λ′)Dj∗
λλ′(φ′θ′0)
√
2l + 1
4πC(l 1
2j; 0, λ)
= 2∑
jll′
Tjl′l (p
′, p)
×√
2l′ + 1
4πC(l′ 1
2j; 0λ′)dj
λλ′(θ′)eiλφ′
√
2l + 1
4πC(l 1
2j; 0, λ)
(2.40)
Diketahui:
T πλ′λ(p
′, pz) = eiλφ′
T πλ′λ(p
′, p, θ′) (2.41)
sehingga dengan hanya melihat kasus on-shell, diperoleh:
T πλ′λ(p, p, θ
′) = 2∑
jll′
Tjl′l (p)
×√
2l′ + 1
4πC(l′ 1
2j; 0λ′)dj
λλ′(θ′)
√
2l + 1
4πC(l 1
2j; 0, λ)
(2.42)
Setelah ini, kami integralkan kedua ruas kiri dan kanan:
∫ 1
−1
d cos θ′dj′
λλ′(θ′)T π
λ′λ(p, p, θ′) = 2
∑
jll′
Tjl′l (p)
×√
2l′ + 1
4πC(l′ 1
2j; 0λ′)
√
2l + 1
4πC(l 1
2j; 0, λ)
×∫ 1
−1
d cos θ′dj′
λλ′(θ′)dj
λλ′(θ′)
(2.43)
kemudian kami gunakan relasi orthogonalitas untuk matriks-d [10]:
∫ 1
−1
d cos θ dj1µm(θ)dj2
µm(θ) =2
2j1 + 1δj1j2 (2.44)
10
sehingga diperoleh:
∫ 1
−1
d cos θ′djλλ′(θ
′)T πλ′λ(p, p, θ
′) =1
π
∑
ll′
Tjl′l (p)
×√
2l′ + 1√
2l + 1
2j + 1C(l′ 1
2j; 0λ′)C(l 1
2j; 0λ)
(2.45)
Selanjutnya dengan menggunakan dua relasi berikut ini [10]:
∑
m1
C(j1j2j;m1,m−m1)C(j1j2j′;m1,m−m1) = δjj′ (2.46)
dan:
C(j1j2j;m1m2m) = (−)j2+m2
(
2j + 1
2j1 + 1
) 1
2
C(j2jj1;−m2,mm1) (2.47)
kami dapatkan:
∑
λ′λ
C(l′ 12j; 0λ′)C(l 1
2j; 0λ)
∫ 1
−1
d cos θ′djλλ′(θ
′)T πλ′λ(p, p, θ
′)
=1
π
∑
l′l
Tjl′l (p)
√2l′ + 1
√2l + 1
2j + 1
×∑
λ′λ
C(l 12j; 0λ′)C(l′
1
2j; 0λ′)C(l 1
2j; 0λ)C(l
1
2j; 0λ)
=1
π
∑
l′l
Tjl′l (p)
√2l′ + 1
√2l + 1
2j + 1
×∑
λ′
(
2j + 1
2l′ + 1
) 1
2
C(12jl′;−λ′λ′)
(
2j + 1
2l′ + 1
) 1
2
C(12jl′;−λ′λ′)
×∑
λ
(
2j + 1
2l + 1
) 1
2
C(12jl;−λλ)
(
2j + 1
2l + 1
) 1
2
C(12jl;−λλ)
=1
πT
j
l′ l(p)
√2l′ + 1
√2l + 1
2j + 1
(2j + 1)2
(2l′ + 1)(2l + 1)
=1
π
2j + 1√2l′ + 1
√2l + 1
Tj
l′ l(p)
(2.48)
Dari persamaan di atas kami memperoleh hubungan antara T jl′l(p) dan T π
λ′λ(p, p, θ′)
11
adalah:
Tjl′l(p) = π
√2l′ + 1
√2l + 1
2j + 1
×∑
λ′λ
C(l′ 12j; 0λ′)C(l 1
2j; 0λ)
∫ 1
−1
d cos θ′djλλ′(θ
′)T πλ′λ(p, p, θ
′)
(2.49)
Kita dapat menggunakan nilai dari C(j1j2j;m1,m −m1) dengan j2 = 12
adalah
sebagai berikut [10]:
j = m2 = 12
m2 = −12
j1 + 12
[
j1+m+12
2j1+1
]1
2
[
j1−m+12
2j1+1
]1
2
j1 − 12
−[
j1−m+12
2j1+1
]1
2
[
j1+m+12
2j1+1
]1
2
(2.50)
2.4 Phase Shifts
Phase shifts dapat menunjukkan sifat atraktif atau repulsif dari gaya nuklir [12,
13]. Sesuai dengan relasi antara momentum relatif p, parameter tumbukan b, dan
momentum angular L [14]:
pb = (L+1
2) (2.51)
kita dapat menemukan nilai radius (≈ b) daerah gaya nuklir yang memiliki sifat
atraktif atau repulsif. Misalnya berdasarkan persamaan (2.51), kita tahu bahwa
pada nilai energi proyektil yang sama (p sama), untuk nilai L yang kecil kita
memiliki nilai b yang kecil. Sehingga, untuk melihat bagaimana sifat interaksi
nuklir pada radius yang pendek kita bisa melihat pada nilai phase shifts S (L = 0)
di energi yang tidak terlalu tinggi. Lebih lanjut dengan persamaan (2.51) kita
dapat mengetahui nilai maksimum dari L yang dapat kita ikutsertakan untuk
meneliti sifat gaya nuklir pada radius tertentu b dan pada besar energi tertentu.
Dari phase shifts kita dapat memperoleh pengertian yang lebih dalam untuk
membuat model. Namun sebelumnya, kita perlu untuk mencari hubungan antara
matriks-T dan phase shifts. Hubungan antara matriks-S dan matriks-T dapat
dituliskan sebagai [15]:
Sjl′l = δl′l − 2πiµpT j
l′l (2.52)
12
dengan:
j = momentum angular total
(J = L + S)
l′, l = bilangan kuantum orbital akhir dan awal
µ = massa tereduksi
p = nilai momentum on-shell(
p =√
2µE)
= nilai momentum relatif(
p =m2k1 −m1k2
m1 +m2
)
Sjl′l = matriks-S dalam basis PW
Tjl′l = matriks-T dalam basis PW
(2.53)
Karena spin total S = 12, maka:
j = l ± 12
(2.54)
atau
l = j ± 12
(2.55)
sehingga nilai minimum untuk j adalah jmin = 12
yaitu untuk l = 0. Maka untuk
nilai l = 0, 1, 2, 3, . . . kita akan memperoleh nilai j = 12, 3
2, 5
2, 7
2, . . . .
Nilai untuk l dan l′ adalah j ± 12. Karena dalam proses tumbukan KN mo-
mentum angular total J , nilai spin total S dan paritas Π = (−1)l adalah tetap,
maka untuk nilai j tertentu berlaku:
l = l′ (2.56)
sehingga yang ada hanya keadaan uncoupled. Dalam notasi:
2S+1Lj =2 Lj , L = S, P,D, F, . . . (2.57)
keadaan yang kita miliki adalah:
2S 1
2
,2 P 1
2
,2 P 3
2
,2D 3
2
, . . . (2.58)
13
dan hubungan antara matriks-T dan matriks-S untuk keadaan uncoupled adalah:
Sj
(j+12)(j+
12)= 1 − 2πiµpT j
(j+12)(j+
12)
(2.59)
Sj
(j−12)(j−
12)= 1 − 2πiµpT j
(j−12)(j−
12)
(2.60)
yang kami tuliskan dalam bentuk matriks:
(
Sj
(++) 0
0 Sj
(−−)
)
(2.61)
Elemen matriks-S yang berupa bilangan kompleks dapat diparameterisasi den-
gan suatu bilangan real δjl sebagai berikut [15]:
Sjll = e2iδ
j
l , l = j ± 12
(2.62)
δjl disebut sebagai phase shift yang menunjukkan bagaimana perubahan fase
fungsi gelombang sebelum dan setelah hamburan. Dari definisi phase shifts kita
dapat melihat, bahwa nilai dari phase shifts berkaitan dengan sifat dari interak-
si Kaon-Nukleon. Phase shifts dengan nilai negatif menunjukkan adanya gaya
repulsif (saling tolak) sedangkan phase shifts dengan nilai positif menunjukkan
gaya yang sifatnya atraktif (saling tarik) pada interaksi Kaon-Nukleon. Sebagai
sebuah bilangan kompleks, Sjll dapat dinyatakan:
Sjll = Re[Sj
ll] + iIm[Sjll]
= cos (2δjl ) + i sin (2δj
l )(2.63)
sehingga dapat dituliskan:
tan (2δjl ) =
Im[Sjll]
Re[Sjll]
=−2πµp Re[T j
ll]
1 + 2πµp Im[T jll]
(2.64)
Maka, kita peroleh hubungan antara phase shift dengan matriks-T sebagai berikut:
δjl =
1
2arctan (Xj
l ) (2.65)
dengan:
Xjl ≡ −2πµp Re[T j
ll]
1 + 2πµp Im[T jll]
(2.66)
14
Dari memperoleh nilai phase shifts kita dapat memperoleh observable. Tapi un-
tuk proses sebaliknya tidak semudah itu. Kita tidak dapat memperoleh phase
shifts dari data observable hasil eksperimen melalui proses analitik langsung.
Karenanya, prosedur yang biasa digunakan untuk memperoleh nilai phase shifts
dari nilai observable (hasil eksperimen) adalah dengan proses fitting. Kita mema-
sukkan nilai phase shifts awal kemudian dilakukan iterasi terhadap nilai tersebut
dengan membandingkan data observable yang diperoleh dari phase shifts den-
gan data eksperimen. Untuk membentuk model potensial bagi interaksi KN,
kami melakukan fitting dengan data phase shifts dari Hyslop [3] yang diperoleh
melalui SAID-analysis.
15
Bab 3
Model Potensial Kaon-Nukleon
3.1 Potensial Fenomenologis
Pada bab sebelumnya telah ditunjukkan bentuk akhir dari PLS untuk matriks-T
dalam tenik 3D yang masih harus dipecahkan secara numerik. Selanjutnya yang
dibutuhkan adalah potensial yang menjadi input bagi persamaan tersebut. Ada
beberapa jenis model potensial, salah satunya adalah model fenomenologis yang
kami ajukan di sini.
Potensial fenomenologis dibuat untuk mendeskripsikan secara sederhana gaya
nuklir. Alasan kesuksesan penggunaan potensial fenomenologis dalam hal ini
adalah karena kemajuan pesat pada eksperimen hamburan Nukleon-Nukleon.
Tujuannya adalah memberikan deskripsi singkat bagi data eksperimen untuk ke-
mudian dibandingkan dengan potensial yang dihasilkan dari teori (misalnya Teori
Meson), serta sebagai input untuk perhitungan nuklir nantinya [12]. Diketahui
melalui banyak penelitian, kita tak bisa memperoleh banyak hal dari data eksper-
imen dengan energi rendah. Karenanya kita memerlukan data pada energi ting-
gi untuk mengetahui lebih dalam mengenai gaya nuklir. Selain itu dibutuhkan
banyak jenis data observable untuk mengetahui spesifikasi dari kebergantungan
yang ada pada potensial. Dan kebergantungan yang diperhitungkan ada melalui
data eksperimen, diwakili dengan sejumlah operator tertentu pada bentuk poten-
sial yang dipilih.
Potensial fenomenologis dikonstruksi dengan cara mengkombinasikan operator-
operator seperti operator momentum angular dan spin, yang diperhitungkan ada
dalam interaksi nuklir. Tiap-tiap operator tersebut disertai suatu fungsi radial
16
yang bergantung pada posisi relatif antar kedua partikel yang berinteraksi. Se-
lanjutnya ditetapkan sejumlah parameter ke dalam potensial tersebut. Untuk
penetapan nilai parameter, kami menggunakan data Hyslop [3] dan melakukan
fitting terhadapnya. Pada penelitian ini, kami memilih bentuk potensial seder-
hana yang didasarkan pada potensial Yukawa [16].
3.2 Model Potensial Spin-Orbit untuk Kaon-
Nukleon
Pemilihan bentuk potensial fenomenologis didasarkan pada hukum kekekalan (in-
variance) [13, 17]. Ada beberapa sifat invarian yang harus dipenuhi.
Kita asumsikan interaksi yang terjadi antara Kaon-Nukleon tak bergantung
pada muatan listrik (charge independent) sehingga potensial tidak bergantung
kepada isospin τ . Untuk memenuhi sifat invarian terhadap rotasi dan refleksi
pada sumbu koordinat maka potensial harus skalar.
Kebergantungan potensial yang mungkin pada sistem Kaon-Nukleon adalah
pada spin total, momentum, momentum angular dan koordinat partikel. Atribut
untuk partikel Kaon dan Nukleon kita notasikan dengan 1 dan 2.
Syarat invarian terhadap transformasi translasi mengharuskan potensial bergan-
tung pada jarak relatif antar kedua partikel r = r1 − r2 dan bukannya hanya r1
atau r2 saja. Karena apabila koordinat kedua partikel mengalami transformasi
translasi, misalnya fungsi f(r), maka r′ = (r1 + f(r)) − (r2 + f(r)) = r.
Syarat invarian terhadap transformasi Galileo mengakibatkan kebergantungan
potensial pada momentum haruslah dalam bentuk p. Kita ketahui transformasi
Galileo adalah:
v′x = vx − C (3.1)
v′y = vy (3.2)
v′z = vz (3.3)
Sehingga, syarat invarian mengharuskan potensial bergantung kepada momentum
relatif p dengan:
p =m2k1 −m1k2
m1 +m2
(3.4)
dan bukan pada k1, k2, atau kepada momentum total k1 + k2.
17
Potensial yang kita pilih harus invarian terhadap operasi pembalikan waktu.
Pada potensial yang kompleks, syarat untuk invarian pada proses pembalikan
waktu adalah apabila terdapat suatu transformasi U yang [13]:
UV ∗U−1 = V (3.5)
dengan U adalah unitary transformation yang tidak bergantung waktu. Suku
spin pada model potensial kami hadir dalam bentuk (l · s) yang memenuhi syarat
(3.5). Pembuktian untuk hal ini dan lebih lanjut mengenai invarian pembalikan
waktu dapat dilihat pada Lampiran C dan pada referensi [13].
Karena merepresentasikan sesuatu yang dapat diamati, maka potensial harus
Hermitian:
V = V + (3.6)
untuk memberikan nilai expectation value yang real.
Dengan memperhitungkan semua sifat invarian di atas, sebagai langkah awal
kami memilih bentuk:
1 dan l · s (3.7)
dikali suatu fungsi f(r). Sehingga dapat kita tuliskan:
V (r) = Vc(r) + Vs(r)l · s (3.8)
Kita sebut suku Vc sebagai suku sentral dan suku Vs sebagai suku spin-orbit.
Persamaan [3.8] dapat dituliskan dalam ruang momentum sebagai berikut:
V (p′,p) = Vc(p′,p) + Vs(p
′,p)s · (p × p′) (3.9)
Sebagai fungsi radial kami memilih bentuk Malfliet-Tjon [9]:
f(r) = −Va
e−µar
r+ Vb
e−µbr
r(3.10)
Bentuk Malfliet-Tjon ini didasarkan pada teori pertukaran partikel, sehingga
fungsi radial yang terlihat adalah bentuk Yukawa [16]. Alasan kenapa terbagi
menjadi dua suku Va dan Vb didasarkan pada sifat gaya nuklir yang mungkin
terjadi. Gaya nuklir terbagi dalam range pendek, sedang dan jauh serta dapat
bersifat atraktif dan repulsif [18]. Bentuk Malflet-Tjon mendeskripsikan sifat re-
pulsif dan atraktif tersebut dengan hadirnya dua suku, negatif untuk potensial
yang bersifat atraktif dan positif untuk potensial yang bersifat repulsif. Pada
18
range energi berapa sifat atraktif dan repulsif ini muncul akan terlihat pada tan-
da (+ atau −) dari phase shifts. Kalau fungsi (3.10) kita masukkan ke dalam
persamaan (3.8), akan diperoleh:
V (r) =
[
−Vca
e−µcar
r+ Vcb
e−µcbr
r
]
+
[
−Vsa
e−µsar
r+ Vsb
e−µsbr
r
]
l · s (3.11)
yang jika ditransformasi ke ruang momentum menjadi:
Vc(p′,p) =
1
2π2
[ −Vca
(p′ − p)2 + µ2ca
+Vcb
(p′ − p)2 + µ2cb
]
(3.12)
untuk komponen sentral dan:
Vs(p′,p)s · (p × p′) =
1
2π2
[
−Vsa
[(p′ − p)2 + µ2sa]
2 +Vsb
[(p′ − p)2 + µ2sb]
2
]
× {p′ · p − (σ · p′)(σ · p)}(3.13)
untuk komponen spin-orbit. Pada persamaan (3.13) kami telah menggunakan
relasi:
s · (p × p′) =−i2
{p′ · p − (σ · p′)(σ · p)} (3.14)
Lebih lengkap mengenai transformasi potensial dapat dilihat pada Lampi-
ran D. Persamaan (3.9) bersama persamaan (3.12) dan persamaan (3.13) mem-
berikan model potensial yang akan difit terhadap data.
3.3 Penetapan Parameter
Dalam proses fitting, kita bertujuan untuk mencari kombinasi nilai parameter
pada potensial yang dapat menghasilkan nilai yang mendekati nilai pada [3].
Untuk itu kita harus menetapkan terlebih dulu nilai awal parameter serta batas
minimum dan maksimumnya. Pada bentuk potensial (3.11), kita melihat ada
delapan buah parameter yaitu Vsa, Vsb, Vca, Vcb, µsa, µsb, µca, dan µcb. Delapan
parameter ini yang akan kita cari nilainya dengan fitting.
Potensial fenomenologis menggunakan sejumlah parameter untuk difit den-
gan data, dan kita lihat perbandingannya dengan potensial melalui teori Meson.
Teori Meson menggambarkan interaksi KN dengan pertukaran partikel mediasi.
Parameter yang digunakan salahsatunya adalah konstanta kopling. Nilai dari
konstanta kopling pada interaksi KN adalah [19]:
g2KΛN
4π= 0.26 − 17.39
19
g2KΣN
4π= 0.02 − 7.40
Kami juga mengambil nilai pada [20], yaitu:
g2KΣN√4π
= 2, 720
g2KΛN√4π
= −1, 840
Lebih jelas mengenai variasi nilai konstanta kopling tersebut dapat dilihat pada
[19]. Nilai ini akan digunakan untuk menetapkan range bagi parameter Vsa, Vsb,
Vca, dan Vcb yang ada pada potensial fenomenologis. Ini merupakan asumsi meli-
hat bentuk potensial yang dihasilkan kedua teori serta kebergantungan potensial
pada parameter tersebut.
Potensial yang kami pilih mengambil bentuk Maflett-Tjon. Potensial Yukawa
memiliki bentuk [13]:
V (r) = −V0e−µr
r(3.15)
dengan µ adalah massa dari partikel yang dipertukarkan pada interaksi. Bentuk
Yukawa ada pada bentuk potensial yang kami pilih, dengan sejumlah parameter
yaitu µsa, µsb, µca, dan µcb.
Karena hukum kekekalan strangeness, pada interaksi KN partikel yang diper-
tukarkan yaitu Hyperon. Hyperon adalah baryon (yang berarti termasuk dalam
fermion dan juga hadron) dengan strangeness yang tidak nol. Seluruh hyperon
memiliki spin 12
-bilangan bulat dan berinteraksi dengan gaya nuklir kuat. Par-
tikel hyperon dan massanya dapat dilihat pada Tabel 3.1 [19]. Data partikel ini
yang akan digunakan untuk memilih range bagi nilai parameter µsa, µsb, µca, dan
µcb dalam satuan fm−1.
Data phase shifts yang akan kami fitting [3], kami batasi sampai pada nilai
ELab. sebesar 231,69 MeV. Pemilihan nilai energi ini kami ambil dari nilai dibawah
pion-threshold (sekitar 268,67 MeV). Lebih lanjut mengenai perhitungan pion-
threshold dapat dilihat pada Lampiran A. Alasan kenapa kami memilih pion
adalah karena dalam interaksi KN ada beberapa kemungkinan partikel baru yang
tercipta dan yang paling ringan adalah pion (±138 MeV).
Selanjutnya dalam proses fitting dengan menggunakan Minuit, perlu ditetap-
kan range bagi parameter serta memberi nilai awal dan step untuk membatasi
20
Tabel 3.1: Partikel Hyperon dan Massanya
Partikel Massa(MeV)
Σ+ 1189.370
Σ− 1197.436
Σ0 1192.550
Λ 1115.684
Y1 1407 ± 4
Y2 1560-1700
Y3 1660-1680
Y4 1720-1850
Y5 1750-1850
Y6 1630-1690
Y7 1730-1800
variasi nilai parameter. Membandingkan dengan teori Meson, kami memilih input
pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2: Input untuk Program Fitting
No. Parameter Nilai awal Step Minimum Maksimum
1 Vsa 10.0000 1.0 1.0 13.0
2 Vsb 4.9500 1.0 1.0 13.0
3 Vca 1.2400 1.0 1.0 13.0
4 Vcb 1.7900 1.0 1.0 13.0
5 µsa 0.6100fm−1 0.25fm−1 0.0fm−1 9.12fm−1
6 µca 0.0500fm−1 0.25fm−1 0.0fm−1 9.12fm−1
7 µsb 1.2200fm−1 0.25fm−1 0.0fm−1 9.12fm−1
8 µcb 0.1000fm−1 0.25fm−1 0.0fm−1 9.12fm−1
3.4 Hasil dan Diskusi
Untuk memecahkan PLS dan memperoleh matriks-T, diperlukan penyelesaian
persamaan linier dan pada penelitian ini kami menggunakan metode LU decom-
position (LUD). Penyelesaian integral yang ada pada PLS menggunakan Gauss-
21
Legendre. Kami memilih jumlah titik momentum p sebanyak 41 titik (terma-
suk p0), jumlah titik untuk θ sebanyak 24 dan jumlah titik untuk φ sebanyak
20. Sehingga untuk penyelesaian LUD diperoleh matriks bujursangkar beruku-
ran 984 × 984. Untuk keperluan ini kami menggunakan bahasa pemrograman
Fortran 90. Lebih lanjut mengenai numerik dapat dilihat pada [8] dan pada
Lampiran B.
Penelitian dilakukan dengan terlebih dulu mereproduksi [6], yang merupakan
fenomena hamburan Nukleon-Nukleon tanpa memperhitungkan spin dan non-
relativistik. Pada paper Thomas, bentuk fungsi radial yang digunakan adalah
bentuk Maflett-Tjon. Kami melihat kebergantungan nilai on-shell dari matriks-
T terhadap sudut. Setelah memperoleh hasil yang sama dengan [6], program
dikembangkan dengan menambahkan faktor spin untuk kemudian mereproduksi
[8], yang menggunakan model potensial dengan dua suku potensial yaitu suku sen-
tral dan suku (l · s). Fungsi radial yang digunakan adalah fungsi Maflett-Tjon.
Disini kami berusaha mereproduksi observable dengan menggunakan perhitun-
gan non-relativistik dan menggunakan nilai-nilai parameter yang ada pada [8].
Setelah memperoleh hasil yang sama dengan [8], program ditambahkan dengan
perhitungan untuk mencari nilai phase-shifts. Program ini yang akan digunakan
dalam proses fitting terhadap data phase shifts.
Proses fitting menggunakan metode Minuit. Sebelumnya dilakukan dulu pen-
gujian terhadap isi dari program untuk mencari phase shifts. Kami memilih nilai
parameter yang ada pada potensial secara acak, kemudian menghasilkan data
phase shifts dari parameter tersebut. Data phase shifts yang kami peroleh ke-
mudian kami jadikan data untuk difitting. Kami menemukan program Minuit
memperoleh nilai-nilai parameter hasil fitting yang mendekati nilai parameter
yang kami pilih secara acak di awal. Melalui pengujian ini kami berkesimpulan,
program untuk mencari phase shifts dapat kami gunakan untuk menjadi input
pada program untuk proses fitting.
Potensial yang kami pilih disini adalah bentuk yang sederhana yakni kompo-
nen sentral ditambah komponen (l · s). Maka kami mencoba melakukan proses
fitting terhadap data phase shifts (δ) dan membatasi sampai suatu nilai ELab.
yang merupakan pion-threshold. Kemudian kami membandingkan antara phase
shifts hasil fitting dengan pada [3]. Nilai phase shifts pada [3] diperoleh meng-
gunakan SAID-analysis. Pada penelitian ini kami mengambil nilai phase shifts
22
untuk total isospin I = 1, yaitu untuk proses K+p → K+p. Kami berasumsi,
bahwa proses ini yang lebih tepat dijadikan perbandingan dengan model poten-
sial. Karena untuk isospin I = 0 akan melibatkan neutron bebas yang tidak
digunakan dalam eksperimen.
Untuk phase shifts proses fitting memperoleh hasil nilai parameter potensial
sebagai berikut:
Tabel 3.3: Parameter Hasil Fitting
Partikel Massa(MeV)
Vsa 12.9305
Vsb 12.9998
Vca 1.1419
Vcb 1.6753
µsa 8.1910fm−1
µca 0.0352fm−1
µsb 0.3434fm−1
µcb 0.0664fm−1
Nilai ini merupakan hasil pembulatan karena program Minuit menghitung
kombinasi nilai tiap parameter dengan ketelitian sekitar 10−5 −10−8. Perbandin-
gan data hasil teori dengan data Hyslop [3] dapat dilihat pada Tabel 3.4-3.6 dan
pada Gambar 3.1-3.3
23
Tabel 3.4: Perbandingan Nilai Phase Shifts 2S 1
2
pK(MeV ) δ 2S 1
2
(deg)
Teori Hyslop ∆
0.31 1.8261 -0.0300 1.8561
80 1.1927 -4.9400 6.1327
160 -7.9590 -9.6500 1.6910
240 -13.3892 -13.9900 0.6008
320 -17.9996 -17.9400 0.0596
400 -20.4939 -21.5300 1.0361
480 -21.8613 -24.8200 2.9587
∆ = 2.0478
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
ph
ase
sh
ifts
(d
eg
)
PLab.(MeV)
TeoriData Hyslop
Gambar 3.1: Grafik Perbandingan Nilai Phase Shifts 2S 1
2
24
Tabel 3.5: Perbandingan Nilai Phase Shifts 2P 1
2
pK(MeV ) δ 2P 1
2
(deg)
Teori Hyslop ∆
0.31 -0.0093 0.0000 0.0093
80 1.1802 -0.1600 1.3402
160 -8.2461 -1.0800 7.1661
240 -8.7954 -2.8600 5.9354
320 -7.0108 -5.1600 1.8508
400 -4.7292 -7.6000 2.8708
480 -2.5333 -9.9100 7.3767
∆ = 3.7928
-10
-8
-6
-4
-2
0
2
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
ph
ase
sh
ifts
(d
eg
)
PLab.(MeV)
TeoriData Hyslop
Gambar 3.2: Grafik Perbandingan Nilai Phase Shifts 2P 1
2
25
Tabel 3.6: Perbandingan Nilai Phase Shifts 2P 3
2
pK(MeV ) δ 2P 3
2
(deg)
Teori Hyslop ∆
0.31 -0.0047 0.0000 0.0047
80 0.5879 0.0700 0.5179
160 -3.2167 0.4900 3.7067
240 -0.3936 1.3700 1.7636
320 -4.0044 2.6000 6.6044
400 -3.4406 4.0000 0.5594
480 -2.7965 5.4200 8.2165
∆ = 3.0533
-6
-4
-2
0
2
4
6
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
ph
ase
sh
ifts
(d
eg
)
PLab.(MeV)
TeoriData Hyslop
Gambar 3.3: Grafik Perbandingan Nilai Phase Shifts 2P 3
2
26
Dapat dilihat bahwa pada phase shifts 2S 1
2
, model potensial yang dimiliki
cukup mampu mereproduksi ulang data phase shifts (penyimpangan yang ter-
jadi cukup kecil dibandingkan dengan range data). Sedangkan pada 2P 1
2
dan2P 3
2
, terdapat penyimpangan yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bagaimana
potensial yang kami pilih belum cukup mampu memberi deskripsi sesuai untuk
phase shifts pada kulit P .
Tanda phase shifts yang muncul untuk 2S 1
2
dan 2P 1
2
menunjukkan tanda
negatif (−) dan ini sesuai dengan data. Maka model kami juga menunjukkan
sifat repulsif dari interaksi nuklir yang terjadi. Kami melihat ada perbedaan tan-
da antara positif (+) dan negatif (−) pada 2P 3
2
, yang diketahui bahwa tanda dari
phase shifts menunjukkan bagaimana sifat interaksi nuklir yang terjadi. Maka
untuk 2P 3
2
yang diperlukan adalah menambahkan faktor gaya yang atraktif. Na-
mun hal itu harus dilakukan sedemikian sehingga tidak merusak hasil yang sudah
cukup baik untuk kulit S. Ini suatu cara yang dapat digunakan untuk penelitian
berikutnya.
Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat ditambahkan operator pada
potensial (misalnya beberapa variasi operator spin yang belum diikutsertakan
pada penelitian ini) atau mencoba fungsi radial yang lain dengan harapan akan
membentuk model yang mendekati interaksi KN yang sebenarnya. Sebagai con-
toh dapat dilihat pada potensial Nukleon-Nukleon AV18 [21].
27
Bab 4
Kesimpulan dan Saran
Telah kami kerjakan model potensial fenomenologis untuk interaksi Kaon-Nukleon.
Kami memecahkan Persamaan Lippmann-Schwinger (PLS) untuk matriks-T den-
gan menggunakan formulasi 3D. Sebagai basis digunakan basis momentum-helicity.
Untuk menghitung nilai phase shifts, kami telah mencari formulasi matriks-T
dalam basis partial wave yang bergantung pada nilai matriks-T dalam basis
momentum-helicity.
Bentuk potensial fenomenologis yang telah kami pilih adalah bentuk yang
sederhana, dengan dua suku yaitu sentral dan kopling spin-momentum angular.
Pemilihan bentuk potensial telah kami dasarkan dengan syarat-syarat invarian.
Pada potensial ini terdapat delapan parameter yang telah kami cari nilainya.
Formulasi potensial ini telah kami fitting dengan data phase shifts, dan untuk
fitting kami menggunakan metode Minuit.
Kami telah menunjukkan dalam bentuk grafik, nilai phase shifts yang di-
hasilkan oleh potensial yang kami pilih pada penelitian ini dengan parameter-
parameter yang diperoleh dari proses fitting. Kemudian kami telah tunjukkan
perbandingannya dengan data phase shifts yang kami batasi hanya sampai nilai
energi di bawah pion-threshold.
Pada phase shifts 2S 1
2
teori memberi kecocokan dengan data. Nilai phase shifts
2S 1
2
yang negatif baik pada data maupun pada model kami menunjukkan poten-
sial pada penelitian ini memberikan deskripsi interaksi nuklir KN yang sifatnya
repulsif. Hasil fitting menunjukkan beberapa penyimpangan dengan data phase
shifts 2P 1
2
dan 2P 3
2
. Ini menunjukkan model yang kami miliki belum mampu
memberikan kecocokan dengan data phase shifts pada kulit P . Ada perbedaan
28
tanda yang signifikan pada phase shifts untuk 2P 3
2
. Data dari Hyslop menun-
jukkan bahwa interaksi KN juga memiliki komponen atraktif. Salah satu alasan
untuk penyimpangan ini ada pada bentuk potensial yang kami gunakan adalah
bentuk yang sederhana. Ketergantungan pada faktor spin masih memiliki beber-
apa variasi yang mungkin, yang tidak kami sertakan dalam penelitian ini. Kami
harapkan pada penelitian selanjutnya kami bisa menambahkan beberapa operator
serta mencoba variasi fungsi radial untuk membentuk potensial yang real mis-
alnya AV18 untuk interaksi Nukleon-Nukleon [21]. Penggunaan program untuk
perhitungan numerik serta perkakas komputasi perlu disesuaikan demi efisiensi
penelitian selanjutnya.
29
Lampiran A
Pion-Threshold
Tujuannya adalah mencari nilai energi untuk Pion-Threshold. Alasan kenapa
kami memilih pion adalah karena dalam interaksi KN ada beberapa kemungkinan
partikel baru yang tercipta dan yang paling ringan adalah pion.
Dalam teori relativitas, massa dihitung sebagai kombinasi dari energi dan
momentum partikel untuk memberi nilai massa partikel yang sama bagi semua
pengamat. Hal itu disebut sebagai massa invarian yang memiliki nilai sama di
semua kerangka pengamatan, yaitu:
m2 = E2 − k2 (A.1)
Sekarang kita lihat sistem banyak partikel yang saling berinteraksi. Pertama
kita tuliskan vektor momentum-4 masing-masing partikel sebagai (i menunjukkan
notasi untuk tiap partikel ke-i):
kµi = (Ei,ki) (A.2)
yang secara keseluruhan dapat kita tuliskan (total seluruh partikel):
kµ = (ΣEi,Σki) (A.3)
Kita gunakan sifat normalisasi vektor-4 kµkµ yang pasti invarian:
kµkµ = gµνkµkν = (ΣEi)
2 − (Σki)2 (A.4)
sehingga kita definisikan massa invarian M sistem banyak partikel:
M2 ≡ (ΣEi)2 − (Σki)
2 (A.5)
30
M2 memiliki nilai invarian pada semua kerangka pengamatan. Karena massa
invarian M adalah invarian terhadap transformasi Lorentz maka:
M2 = kµkµ = pµpµ (A.6)
Pada penelitian ini, kita memiliki sistem interaksi 2 partikel yaitu Kaon-
Nukleon. Pertama kita lihat definisi massa invarian M pada kerangka labora-
torium:
M2 ≡ (E1 Lab. + E2 Lab.)2 − (k1 + k2)
2 (A.7)
Dalam kerangka pusat massa, formulasi massa invarian adalah:
M2 = (E1 P.M. + E2 P.M.)2 − (p1 + p2)
2 (A.8)
Kita ketahui bahwa dalam kerangka pusat massa Σpi = 0. Dengan demikian
pada persamaan (A.8) p1 + p2 = 0. Maka pada kerangka pusat massa:
M2 = (E1 P.M. + E2 P.M.)2 (A.9)
Jika kita asumsikan pada keadaan akhir telah tercipta satu lagi partikel (kita
notasikan dengan angka 3), maka berdasarkan hukum kekekalan energi:
E1 + E2 = E ′1 + E ′
2 + E ′3 (A.10)
Kemudian kita gunakan Ei P.M. =√
m2i + p2
i , sehingga kita peroleh formula mas-
sa invarian pada pusat massa untuk keadaan akhir interaksi KN adalah:
[
√
m21 + p′
12 +
√
m22 + p′
22 +
√
m23 + p′
32
]2
= M2 (A.11)
Dengan menggunakan persamaan (A.7) dan (A.11), kita peroleh:
(E1 Lab. + E2 Lab.)2 − (k1 + k2)
2 =
[
√
m21 + p′
12 +
√
m22 + p′
22 +
√
m23 + p′
32
]2
(A.12)
Pada keadaan awal, partikel 2 diam relatif terhadap kerangka laboratorium:
k2 = 0 (A.13)
maka:
E2 Lab. = m2 (A.14)
31
syarat threshold, adalah energi minimum yang kita perlukan terciptanya partikel
3. Sehingga kita asumsikan ketiga partikel dalam keadaan akhir diam terhadap
kerangka pusat massa:
p′i = 0 (A.15)
Maka dengan menggunakan persamaan (A.12), (A.14), dan (A.15):
(E1 Lab. +m2)2 − k1
2 = (m1 +m2 +m3)2 (A.16)
gunakan k21 = E2
1 Lab. −m21, akan kita peroleh:
m21 +m2
2 + 2E1 Lab.m2 = (m1 +m2 +m3)2 (A.17)
Sehingga rumus akhir kita untuk mencari pion-threshold adalah:
E1 Lab. =(m1 +m2 +m3)
2 − (m21 +m2
2)
2m2
(A.18)
Untuk penelitian ini m1 adalah massa Kaon, m2 adalah massa Nukleon, dan
m3 adalah massa Pion. Dengan persamaan (A.18), kita dapat memperoleh ni-
lai E1 Lab.. Kemudian kita gunakan persamaan (A.1) untuk memperoleh nilai
momentum k1 yang akan menjadi threshold.
32
Lampiran B
Perhitungan Numerik
Integral pada bentuk akhir PLS diselesaikan dengan menggunakan kuadratur
Gauss-Legendre, yaitu untuk integral I dengan batas bawah dan atas [a : b]:
I =
∫ b
a
dxf(x) =
∫ 1
−1
dydx
dyf(y)
=∑
i
wif(xi) =∑
i
vi(dx
dy)if(yi)
(B.1)
Kuadratur Gauss-Legendre digunakan untuk menghitung integral dengan batas
bawah dan atas [−1 : 1]. Untuk memperoleh wi dan xi digunakan pemetaan.
Untuk integrasi φ′′ digunakan pemetaan linier:
xi =b− a
2yi +
b+ a
2wi =
1
2(b− a)vi (B.2)
Sedangkan untuk integrasi p′′, daerah integrasi dibagi dua. Batas-batas untuk
pembagian ini memperhitungkan data momentum laboratorium awal Kaon (k1).
Data yang akan difit memiliki nilai momentum yang paling kecil kmin dan ni-
lai momentum yang paling besar kmax. Dengan transformasi, diperoleh nilai
momentum di kerangka pusat massa yang dinotasikan sebagai pmin dan pmax.
Definisikan pD = pmin+pmax
2dan pU = 8pmax. Ditetapkan batas integrasi untuk
daerah momentum pertama yaitu [0 : pD] dan daerah momentum kedua [pD : pU ].
Pada daerah momentum kedua kita gunakan pemetaan linier, yaitu dimasukkan
a = pD dan b = pU pada persamaan (B.2). Pada daerah momentum pertama
kita gunakan pemetaan hiperbolik. Daerah integrasi [0 : pD] dibagi dua menjadi
33
[0 : pmin] dan [pmin : pD], sehingga untuk pemetaan hiperbolik kita peroleh:
xi =1 + yi
1pmin
− ( 1pmin
− 2pD
)yi
wi =( 2
pmin− 2
pD)vi
[
1pmin
− ( 1pmin
− 2pD
)yi
]2 (B.3)
Karena batas integrasi untuk θ′′ adalah [-1,1] (variabel integrasi adalah cos θ′′),
maka tak perlu lagi dilakukan pemetaan. Untuk integrasi p′′, kami mengambil
20 titik pada daerah pertama, 20 titik pada daerah kedua dan ditambah 1 titik
p0 yang merupakan momentum pada nilai energi yang sedang dihitung. Untuk
integrasi θ′′ digunakan 24 titik dan untuk integrasi φ′′ digunakan 20 titik. Terlihat
pada (2.27) bahwa integral φ′′ dapat langsung dikerjakan secara terpisah.
Untuk PLS yang akan menjadi input pada perhitungan numerik, telah diker-
jakan pada [8]. Kita gunakan:
p′ = pi p′′ = pj p = p0 α′ = αa α′′ = αb
PLS yang kita miliki sebagai input untuk perhitungan numerik adalah:
T πλ′,λ(pi, αa) =
1
2πV π
λ′λ(pi, p0, αa, 1)
+ 2µ∑
b,j
wb
[
δj0wj p
2j
p20 − p2
j
− δj0 p0 D
]
V πλ′ 1
2
(pi, pj, αa, αb) Tπλ, 1
2
(pj, αb)
(B.4)
dengan:
D ≡[
∑
k
wkp0
p20 − p2
j
+1
2ln(pU − p0
pU + p0
)
+1
2iπ
]
(B.5)
Persamaan (B.4) dapat kita ubah menjadi:
V πλ′,λ(pi, p0, αa, 1) = 2π
∑
b,j
{
δji δba − 2µ wb
[
δj0wj p
2j
p20 − p2
j
− δj0p0D
]
V πλ′ 1
2
(pi, pj, αa, αb)
}
× T πλ′,λ(pj, αb)
(B.6)
yang merupakan bentuk sistem persamaan linier:
∑
b,j
Aia,jb Tπλ′,λ(pj, αb) = V π
λ′,λ(pi, p0, αa, 1) (B.7)
34
dengan:
Aia,jb ≡ 2π
{
δji δba − 2µ wb
[
δj0wj p
2j
p20 − p2
j
− δj0p0D
]
V πλ′ 1
2
(pi, pj, αa, αb)
}
(B.8)
Dari memecahkan persamaan linier di atas kita memperoleh matriks-T. Pemeca-
han persamaan linier menggunakan metode LU-decomposition dengan matriks-A
pada penelitian ini berukuran 984 × 984.
Selanjutnya untuk mencari phase shifts δ, yang kita perlukan adalah matriks-
T yang diproyeksikan pada basis partial wave, T jl′l. Gunakan notasi:
λ = λm λ′ = λn
Kita dapatkan input perhitungan numerik untuk persamaan (2.49) adalah sebagai
berikut:
Tjl′l(p0) = π
√2l′ + 1
√2l + 1
2j + 1
×∑
m,n
C(l′ 12j; 0λn)C(l 1
2j; 0λm)
∑
a
wa djλmλn
(αa)Tπλnλm
(p0, p0, αa)
(B.9)
35
Lampiran C
Transformasi Pembalikan Waktu
Transformasi pembalikan waktu mengubah t menjadi −t sehingga p berubah
menjadi −p dan l menjadi −l. Kita tertarik untuk melihat apakah transfor-
masi pembalikan waktu mengubah hukum fisika atau tidak. Pertama kita lihat
mekanika kuantum non-relativistik, yang apabila invarian terhadap pembalikan
waktu terpenuhi artinya kuadrat mutlak dari fungsi gelombang, yang merupakan
solusi dari persamaan Schrodinger yang bergantung waktu, tidak berubah jika
dilakukan operasi pembalikan waktu. Kita notasikan ψ(t)T→ ψ′(−t) dengan T
adalah operator pembalikan waktu maka:
|ψ(t)|2 = |ψ′(−t)|2 (C.1)
Jika kita melihat persamaan Schrodinger:
Hψ = i∂
∂tψ (C.2)
dan kemudian kita ambil konjugate kompleks dari kedua ruas:
H∗ψ∗ = −i ∂∂tψ∗ (C.3)
Sekarang kita perhitungkan suatu Hamiltonian yang kompleks, dimana syarat
invarian pembalikan waktu adalah [13]:
UH∗U−1 = H (C.4)
dengan U adalah transformasi yang bersifat unitary dan tidak bergantung waktu.
Jika transformasi U kita kerjakan pada persamaan (C.3), maka akan kita peroleh:
UH∗ψ∗ = i∂
∂(−t)Uψ∗ (C.5)
36
atau dapat kita tuliskan:
UH∗U−1Uψ∗ = i∂
∂(−t)Uψ∗ (C.6)
dan dengan persamaan (C.4) kita peroleh:
HUψ∗ = i∂
∂(−t)Uψ∗ (C.7)
Persamaan (C.7) menunjukkan bahwa hukum fisika invarian terhadap operasi
pembalikan waktu karena mengubah t menjadi −t memiliki solusi fungsi gelom-
bang setelah operasi pembalikan waktu yaitu Uψ∗. Fungsi gelombang yang baru
ini, Uψ∗ memenuhi syarat (C.1).
Operator spin pada potensial muncul dalam bentuk kopling spin-orbit l · s,kita ketahui:
l · s =−i2
[r ×∇] · σ (C.8)
dalam kasus ini yang hadir sebagai operator U adalah matriks Pauli σy. Yang
kita butuhkan adalah apakah bentuk l · s memenuhi (C.4). Untuk ini, kita meng-
gunakan definisi matriks Pauli:
σx =
(
0 1
1 0
)
σy =
(
0 −ii 0
)
σz =
(
1 0
0 −1
)
(C.9)
sehingga dengan menuliskan bentuk (C.4), kita lihat perkomponen dari suku l · s:untuk komponen x,
(
0 −ii 0
)
(i
2[r ×∇]x)
(
0 1
1 0
)(
0 −ii 0
)
= −(i
2[r ×∇]x)
(
0 1
1 0
)
(
0 −ii 0
)(
i 0
0 −i
)
(i
2[r ×∇]x) = −(
i
2[r ×∇]x)
(
0 1
1 0
)
(
0 −1
−1 0
)
(i
2[r ×∇]x) = −(
i
2[r ×∇]x)
(
0 1
1 0
)
(C.10)
untuk komponen y,(
0 −ii 0
)
(i
2[r ×∇]y)
(
0 i
−i 0
)(
0 −ii 0
)
= −(i
2[r ×∇]y)
(
0 −ii 0
)
(
0 −ii 0
)(
−1 0
0 −1
)
(i
2[r ×∇]y) = −(
i
2[r ×∇]y)
(
0 −ii 0
)
(
0 i
−i 0
)
(i
2[r ×∇]y) = −(
i
2[r ×∇]y)
(
0 −ii 0
)
(C.11)
37
untuk komponen z,
(
0 −ii 0
)
(i
2[r ×∇]z)
(
1 0
0 −1
)(
0 −ii 0
)
= −(i
2[r ×∇]z)
(
1 0
0 −1
)
(
0 −ii 0
)(
0 −i−i 0
)
(i
2[r ×∇]z) = −(
i
2[r ×∇]z)
(
1 0
0 −1
)
(
−1 0
0 1
)
(i
2[r ×∇]z) = −(
i
2[r ×∇]z)
(
1 0
0 −1
)
(C.12)
sehingga bentuk (C.4) terpenuhi. Maka kita telah membuktikan per-komponen
bahwa:
σy(i
2[r ×∇]x)σ
∗xσ
−1y = −i1
2[r ×∇]x σx (C.13)
σy(i
2[r ×∇]y)σ
∗yσ
−1y = −i1
2[r ×∇]y σy (C.14)
σy(i
2[r ×∇]z)σ
∗zσ
−1y = −i1
2[r ×∇]z σz (C.15)
yang membuktikan bentuk (l · s) invarian operasi pembalikan waktu dengan fungsi
gelombang setelah operasi pembalikan waktu adalah σyψ∗. Kita lihat pada suatu
kasus dengan arah spin sepanjang sumbu z, fungsi gelombang spinor yang kita
miliki:
χ+ =
(
1
0
)
χ− =
(
0
1
)
(C.16)
Dengan mengoperasikan σy pada χ− dan χ+, diperoleh hasil:
σyχ+ = iχ− (C.17)
σyχ− = −iχ+ (C.18)
yang menunjukkan bahwa operasi pembalikan waktu merubah arah spin dari s
menjadi −s.
38
Lampiran D
Transformasi Potensial
Potensial yang pada penelitian ini memiliki bentuk Malfliet-Tjon:
V (r) = Vc(r) + Vs(r)l · s
=
[
−Vca
e−µcar
r+ Vcb
e−µcbr
r
]
+
[
−Vsa
e−µsar
r+ Vsb
e−µsbr
r
]
l · s(D.1)
Kita pilih arah vektor (p′−p) pada arah z. Apabila potensial yang kita miliki di-
transformasi ke ruang momentum melalui transformasi Fourier akan kita peroleh
untuk suku sentral:
Vc(p′,p) =
1
(2π)3
∫
dr Vc(r)e−i(p′−p)·r
=1
(2π)3
∫ ∞
0
dr r2Vc(r)
∫ 1
−1
d cos θ
∫ 2π
0
dφ e−i(p′−p)·r
=1
(2π)3
∫ ∞
0
dr r2Vc(r)
∫ 1
−1
d cos θ e−i|p′−p|r cos θ
∫ 2π
0
dφ
=1
(2π)2
∫ ∞
0
dr r2Vc(r)ei|p′−p|r − e−i|p′−p|r
i |p′ − p| r
=1
(2π)2
∫ ∞
0
dr(
−Vcae−µcar + Vcbe
−µcbr) ei|p′−p|r − e−i|p′−p|r
i |p′ − p|
=1
2π2
[ −Vca
(p′ − p)2 + µ2ca
+Vcb
(p′ − p)2 + µ2cb
]
(D.2)
Kemudian kita ketahui:
l · s = (r × p) · s = (p × s) · r (D.3)
39
maka untuk Vs(p′,p):
Vs(p′,p) =
1
(2π)3
∫
dr Vs(r)(l · s)e−i(p′−p)·r
=1
(2π)3
∫
dr Vs(r)(p × s) · re−i(p′−p)·r
(D.4)
Kita definisikan θps dan φps sebagai sudut polar dan sudut azimuth dari vektor
(p × s). Kita lakukan ransformasi Fourier terhadap suku spin pada potensial
sehingga:
Vs(p′,p) =
1
(2π)3|p × s|
∫ ∞
0
dr r3Vs(r)
∫ 1
−1
d cos θ e−i|p′−p|r cos θ
∫ 2π
0
dφ [cos θps cos θ + sin θps sin θ cos (φps − φ)]
=1
(2π)2|p × s| cos θps
∫ ∞
0
dr r3Vs(r)
∫ 1
−1
d cos θ cos θ e−i|p′−p|r cos θ
=(p × s)z
(2π)2
∫ ∞
0
dr r3Vs(r)
∫ 1
−1
d cos θ cos θ e−i|p′−p|r cos θ
=i (p × s)z
(2π)2
∫ ∞
0
dr r3Vs(r)
[
cos (|p′ − p| r)|p′ − p| r − sin (|p′ − p| r)
(|p′ − p| r)2
]
=−iπ2
(p × s)z |p′ − p|[
−Vsa
[(p′ − p)2 + µ2sa]
2 +Vsb
[(p′ − p)2 + µ2sb]
2
]
=i
π2s · (p × p′)
[
−Vsa
[(p′ − p)2 + µ2sa]
2 +Vsb
[(p′ − p)2 + µ2sb]
2
]
(D.5)
pada perhitungan di atas kita telah menggunakan relasi:
(p × s)z = |p × s| · (p′ − p)
|p′ − p|
=1
|p′ − p|s · [(p′ − p) × p]
=−1
|p′ − p|s · (p × p′)
(D.6)
Kita ketahui relasi komutatif untuk operator spin:
[σi, σj] = 2iǫijkσk (D.7)
dan hubungan anti-komutatif:
[σi, σj]+ = 2δij (D.8)
40
Relasi di atas kita gunakan untuk memperoleh relasi berikut:
(σ · p′)(σ · p) =∑
j
σjp′j
∑
k
σkpk
=∑
jk
(
12[σj, σk]+ + 1
2[σj, σk]
)
p′j pk
=∑
jk
(δjk + iǫijkσk) p′j pk
= p′ · p + iσ · (p′ × p)
= p′ · p − 2is · (p × p′)
(D.9)
Sehingga persamaan (D.5) menjadi:
Vs(p′,p) =
1
2π2
[
−Vsa
[(p′ − p)2 + µ2sa]
2 +Vsb
[(p′ − p)2 + µ2sb]
2
]
{p′ · p − (σ · p′)(σ · p)}
(D.10)
Kita gunakan bentuk akhir persamaan (D.2) dan persamaan (D.10) menjadi input
perhitungan numerik.
41
Daftar Acuan
[1] C. Lee, H. Jung, D. Min and M. Rho, SNUTP-93-81, (1994).
[2] M. Hoffmann, J. W. Durso, K. Holinde, B. C. Pearce, J. Speth, Nucl. Phys.
A593, 341-361 (1995).
[3] J. S. Hyslop, R. A. Arndt, L. D. Roper, dan R. L. Workman, Phys. Rev.
D46 (1992) 961.
[4] A. Salam, Dissertation, Universitat Mainz, (2003).
[5] I. Fachruddin, Ch. Elster, W. Glockle, Phys. Rev. C62, 044002 (2000).
[6] Ch. Elster, J. H. Thomas dan W. Glockle, Few-Body Systems, 24, 55 (1998).
[7] R. A. Rice dan Y. E. Kim, Few Body Systems 14, 127 (1993).
[8] I. Abdulrahman, Skripsi, Universitas Indonesia, (2006).
[9] R. A. Malfliet dan J. A. Tjon, Nucl. Phys. A127, 161 (1969).
[10] M. E. Rose, Elementary Theory of Angular Momentum (Wiley, New York,
1957).
[11] I. Fachruddin, PhD thesis, Ruhr University-Bochum, (2003).
[12] R. Machleidt, Adv. Nuc. Phys. 19, 189 (1989)
[13] P. E. Hodgson, E. Gadioli, dan E. Gadioli Erba, Introductory Nuclear Physics
(Oxford University Press, New York, 1997).
[14] N. Hoshizaki, Supplement of the Progress of Theoretical Physics, No. 42
(1968).
42
[15] W. Glockle, The Quantum Mechanical Few-Body Problem (Springer Ver-
lag,Berlin, 1983).
[16] H. Yukawa, Proc. Phys. Math. Soc. Japan 17, 48 (1935).
[17] S. Okubo dan R. E. Marshak, Ann. Phys. 4, 166 (1958).
[18] M. Taketani, S. Nakamura, M. Sasaki, Prog. Theor. Phys. 6, 581 (1951)
[19] T. Mart, Dissertation, Universitat Mainz, (1996)
[20] C. Bennhold, Phys. Rev C39, 1944 (1989).
[21] R. B. Wiringa, V. G. J. Stoks, R. Schiavilla, Phys. Rev. C51, 38 (1995).
43