Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 113
Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan
Roikan
[email protected] (Staf Pengajar Antropologi Budaya Universitas Brawijaya)
Abstract This paper seeks to uncover behavior patterns and cultural work traders Soto Ayam Lamongan. The main focus is the work of the informal sector in the community of Dusun Kebontengah village of Rejotengah town in Deket Lamongan-East Java, known as kampung soto (sotoan). Most of the residents of the village to work as a seller of chicken soup in different regions and major cities. The prevailing belief in the community that when selling something related to food — especially chicken soup (Soto Ayam)- then will be more in demand and successful compared with other work involved. This view is based on the myth that a presumption that selling food would be condoned by the ancestors of Buyut Bakal who would become particularly prominent and known as the hamlet of openers Cook of Sunan Giri. The study based on the author's observations as residents soto who are looking for the relationship between the existence of the mythical sacred mausoleum (Buyut Bakal) with a work ethic that flourished in the community. Keywords: Work Culture, Myth, Ethos, Rituals, Ancestors.
Abstrak Karya ini berusaha untuk menemukan pola-pola perilaku dan budaya kerja pedagang Ayam Soto Lamongan. Tulisan ini difokuskan pada kegiatan sektor informal dalam masyarakat Dusun Kebontengah desa Rejotengah kota di Deket Lamongan-Timur Jawa, dikenal sebagai “kampung soto” (“sotoan”). Sebagian besar penduduk desa untuk bekerja sebagai penjual sup ayam di berbagai daerah dan kota-kota besar. Kepercayaan yang berlaku di masyarakat ketika menjual sesuatu yang berhubungan dengan makanan — terutama ayam sup (Soto Ayam) - akan lebih sukses karena dibutuhkan dibandingkan pekerjaan lainnya. Pandangan ini didasarkan pada mitos bahwa menjual makanan akan lebih dapat dimaafkan oleh leluhur Buyut Bakal yang lebih dikenal sebagai dusun pembuat bagi Sunan Giri. Studi ini menggunakan hasil pengamatan penulis pada hubungan antara penduduk desa pembuat soto dan keberadaan mitos makam suci (Buyut Bakal) dengan etos kerja yang berkembang di masyarakat.
Kata kunci : Budaya kerja, mitos, etos, ritual, nenek moyang.
anusia berusaha memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan
bekerja. Pekerjaan yang dila-
kukan tidak hanya dipengaruhi oleh pilih-
an individu semata, namun terdapat fak-
tor lingkungan sosial. Misalnya di Kasong-
an Jogjakarta terdapat kampung yang se-
bagian besar bermata pencaharian seba-
gai pengrajin gerabah. Kota Gede Yogya-
karta sebagai sentra masyarakat yang be-
kerja sebagai pengrajin perak dan perhi-
asan. Kampung Dinoyo Malang Kota, tem-
pat saya kos terkenal dengan kampung
keramik karena sebagian besar anggota
M
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 114
masyarakatnya menggantungkan hidup
sebagai pengrajin keramik. Mata pen-
caharian mempengaruhi identitas suatu
daerah yang akan terus berkembang dan
lestari selama terjadi regenerasi masyara-
kat pendukungnya.
Tulisan ini membahas sebuah feno-
mena menarik dari kampung halaman sa-
ya yang dikenal dengan kampung soto
ayam. Kampung kelahiran penulis menjadi
salah satu daerah basis penjual makanan
khas daerah Lamongan Jawa Timur yang
terkenal dengan Soto Ayam Kampung La-
mongan yang tersebar ke berbagai penju-
ru kota. Adalah sebuah dusun kecil yang
bernama Dusun Kebontengah Desa Rejo-
tengah Kecamatan Deket Kabupaten La-
mongan Jawa Timur sebagian besar war-
ganya bermata pencaharian sebagai pen-
jual soto ayam yang tersebar dari Gresik,
Surabaya, Mojokerto, Pasuruan, Sema-
rang, Jakarta sampai Kalimantan. Dusun
yang terletak pada daerah perbatasan an-
tara Kabupaten Lamongan dengan Kabu-
paten Gresik ini dikenal sebagai daerah
kampung soto. Orang setempat menyebut
sebagai daerah sotoan. Saya melakukan
penelusuran terhadap masyarakat Kabu-
paten yang berjualan makanan di luar
daerah sebagai migrant sirkuler, terseg-
mentasi menjadi dua golongan: daerah ti-
mur-utara dan daerah barat-selatan. Dae-
rah timur-utara berjualan yang berkuah
seperti soto dan warung kopi, sedangkan
daerah barat-selatan berjualan makanan
yang tidak berkuah seperti pecel lele, tem-
pe penyet dan sea food. Pemilihan mata
pencaharian sebagai penjual soto ayam tu-
rut dipengaruhi oleh unsur mitis dengan
keberadaan makam keramat leluhur du-
sun yang dihormati sampai sekarang. Ma-
kam keramat tersebut adalah makam Bu-
yut Bakal, sebagai sebagai cikal bakal to-
koh pembuka dusun yang konon dikenal
sebagai juru masak dari Sunan Giri.
Keberadaan tokoh cikal bakal ini turut
mempengaruhi pemilihan mata
pencaharian masyarakat sebagai penjual
makanan dalam bentuk soto. Persepsi dari
adanya mitos tentang nenek moyang
seorang juru masak tersebut mempe-
ngaruhi pola pikir serta etos kerja
masyarakat. Tulisan ini membahas hu-
bungan antara mitos yang berlaku di
kampung soto dengan etos kerja para
penjual soto ayam kampung khas
Lamongan.
Dongeng dan Mitos
Dongeng dan mitos adalah dua hal
yang serupa tapi tidak sama. Keduanya
mempunyai pembahasan dalam kejadian
dan tokoh penting dalam masa lalu yang
belum tentu terbukti kebenarannya,
namun diyakini oleh pendukungnya.
Dongeng merupakan sebuah kisah atau
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 115
cerita yang lahir dari hasil imajinasi
manusia, dari khayalan manusia,
walaupun unsur-unsur khayalan tersebut
berasal dari apa yang ada dalam
kehidupan sehari-hari (Ahimsa-Putra,
2012:77). Mitos dan dongeng mempunyai
hubungan dalam hal penerimaan masya-
rakatnya dan upaya pelestariannya, yaitu
dari mulut ke mulut yang lintas generasi.
Mitos merupakan ekspresi atau perwujud-
an dari keinginan yang tidak disadari. Mi-
tos berkaitan dengan sistem kepercayaan
yang berujung pada aktivitas keagamaan
yang dipengaruhi oleh emosi keagamaan.
Sistem kepercayaan berhubungan dengan
aktivitas agama yang menciptakan ikatan
kesadaran emosi yang diperkuat dari ke-
tergantungan setiap individu atas kehi-
dupan dan tatanan masyarakat (Mair
1977:237 via Suhardi 2009:2). Berbagai
penelitian tentang mitos saya sajikan da-
lam bentuk review sebagai bahan referen-
si untuk penulisan makalah ini. Penelitian
Suhardi tentang mitos dan totem yang ter-
tuang dalam buku Alam-Religi Solidaritas
Sosial di Papua dan Jawa: Terawang Antro-
pologi, buku ini lebih menekankan pada
hubungan antara mitologi, totemisme, ke-
percayaan dengan lingkungan alam yang
terwujud dalam solidaritas yang didasari
kesadaran terhadap hubungan baik deng-
an leluhur. Hubungan baik dengan lelu-
hur ini berfungsi sebagai alat konservasi
alam. Mitos dalam fam-fam (satuan keke-
rabatan khas Papua) menurut Suhardi
(2009:34) berisi penggambaran siklus re-
generasi makhluk manusia. Mitos terkait
cikal bakal manusia anggota dari suatu
masyarakat yang ada pada masyarakat
Bintuni, mitos menjadi charter bagi pro-
sesi daur ulang hidup. Mitos-mitos yang
berlaku dalam penelitian ini menggambar-
kan adanya proses domestifikasi dari ke-
hidupan liar menuju kehidupan masyara-
kat yang lebih baik (Suhardi 2009:35).
Kehidupan kepercayaan terhadap
roh nenek moyang yang selalu bersinergi
dengan masyarakat dalam bentuk ‘komu-
nikasi’. Komunikasi antara dunia manusia
dengan alam roh dilakukan melalui upa-
cara totem, tabu, mawi, sedekah bumi
sampai menganggap nenek moyang dalam
kesatuan identitas. Karya alam religi tidak
menjelaskan hubungan alam-religi dengan
solidaritas yang mengarah pada kehidup-
an ekonomi baik secara komunal maupun
sektoral. Tulisan ini membuat analisa hu-
bungan mitos dengan solidaritas masyara-
kat terutama pada etos kerja masyarakat
kampung soto ayam.
Hubungan yang sinergis antara re-
ligi dan ekonomi yang terdapat pada kar-
ya Max Weber, Etika Protestan dan Spirit
Kapitalisme. Slogan yang biasa biasa kita
dengar adalah time is money, dalam buku
ini sering dibahas. Buku ini membahas
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 116
pencapaian suatu tujuan terutama kepen-
tingan ekonomi yang diilhami dari sema-
ngat keagamaan (Weber via Lambek
2002:52). Kerja dan agama, dalam kalang-
an muslim juga ada pada pandangan “be-
kerjalah untuk duniamu seakan kau hidup
selamanya, namun beribadalah untuk
akhiratmu seakan kau mati besok”, ung-
kapan ini mengajarkan pada kita tentang
nilai sebuah kerja keras. Adapula ungkap-
an “Ora et Labora”, berdoa dan berusaha,
merupakan ungkapan yang saya ketahui
dipakai umat Kristen dan Katolik tentang
sinergi antara kerja dan agama.
Berdasarkan uraian singkat feno-
mena kampung soto ayam yang dipenga-
ruhi oleh semangat kerja khususnya dari
mitos Buyut Bakal sebagai juru masak dari
Sunan Giri. Tulisan ini mengungkap hu-
bungan mitos dengan etos kerja masyara-
kat soto, bagaimana keterkaitan antara
mitos yang telah dipercaya suatu masya-
rakat dengan etos kerja yang mempenga-
ruhi aktifitas ekonominya?
Pendekatan Teoritis
Mitos adalah cerita tentang suatu
feno-mena yang berkaitan dengan
keberadaan suatu masyarakat terutama
pada cikal bakal atau genesis suatu
masyarakat. Mitos berpengaruh pada
persatuan dan solidaritas antar sesama
anggota masyarakat. Mitos digunakan
untuk mempengaruhi masyarakat secara
langsung dan telah mengubah kondisi
manusia hingga keberadaan-nya sekarang
(Dhavomony 1995: 149). Pengaruh suatu
mitos tidak hanya pada pembentukan
identitas dari suatu masya-rakat, namun
berpengaruh pada semangat yang
mendasari tingkah laku dan pola pikir
tertentu. Kebenaran suatu mitos masih
menjadi polemik oleh para ahli. Berbagai
pendekatan dipakai namun masih terda-
pat kesulitan untuk membuka tabir kebe-
naran dibalik mitos yang kerap bersifat
irrasional. Dengan menggunakan pende-
katan psikoanalisis, mitos dibedakan men-
jadi dua sifat utama yaitu realis dan relatif
(Lambek 2002:213). Mitos dikatakan rea-
listis jika mempunyai bukti material yang
riil, dapat terbukti secara ilmiah. Kendala-
nya adalah mitos –sebagaimana sebagai
dongeng- diturunkan secara lisan dari mu-
lut kemulut. Kebenaran yang ada bersifat
relatif. Mitos berkaitan dengan kisah masa
lampau yang mempengaruhi tujuan hidup,
sebagaimana penjelasan Malinowski: Myth
is a living reality, believed to have once
happened in primeval times, and continuin-
ing ever since to influence the world and
human destinies. [Mitos adalah sebuah
kehidupan yang nyata, dipercaya terjadi
pada masa lampau dan terus berlanjut de-
ngan mempengaruhi (kehidupan) dunia
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 117
dan tujuan manusia] (Malinowski 1948:
100).
Sebagaimana suku Togo yang meli-
hat asal mitos sebagai sesuatu yang
sungguh-sungguh pernah terjadi
(Dhavomony 1995:148). Masyarakat
kampung soto mempunyai anggapan
bahwa Buyut Bakal adalah suatu
kebenaran. Buyut Bakal sebagai pembuka
dan cikal bakal adalah tokoh yang
mengabdikan dirinya sebagai juru masak
salah satu penyebar agama Islam yaitu
Sunan Giri. Dari kebenaran yang diyakini
itulah muncul pandangan jika bekerja
pada sektor kuliner khususnya soto ayam
terdapat jaminan menuju keberhasilan.
Mitos dapat mengubah hidup manusia
sejauh kemampuannya dalam menyi-
kapkan kebenaran hidup, termasuk dalam
obyek-obyek material untuk kenyataan
tertinggi (Dhavomony 1995:164).
Ritual adalah manifestasi beragama
karena berupa tindakan keagamaan dan
ritus berupa pengulangan peristiwa yang
pernah terjadi (Tremmel 1976:114).
Ritual adalah suatu bentuk penghormatan
seseorang terhadap segala sesuatu yang
dianggap lebih, lebih tinggi, lebih agung
dan lebih kuasa. Sifat ritual menurut
Tremmel (1976: 119) dapat dibedakan
menjadi tiga jenis: 1) ritus sekuler, atau
seremoni, 2) ritus semi religius, yaitu
seremoni yang sifatnya sekuler, diberi si-
fat sakral dengan ritus agama, 3) ritus aga-
ma. Mitos dan ritus religius berfungsi se-
bagai sarana eksistensi diri dalam kehi-
dupan religius dan duniawi, sebagaimana
pendapat Dhavomony (1995:164) bahwa
cara terpenting yang ditempuh manusia
untuk menyatakan kereligiusannya adalah
dengan hidup seturut dengan mitos mau-
pun ritus religius.
Unsur ritual menurut Tremmel
(1976:129-131) terdiri dari tiga elemen
yaitu partisipan (participation of drama),
simbol religius (religious symbols) dan pe-
rilaku pengikut (attitude of worship).
Unsur-unsur dalam sebuah ritus menurut
Suhardi terdiri atas: tempat yang disuci-
kan, waktu yang disucikan, obyek suci,
partisipan dan pemandu upacara, prosesi
doa atau mantra yang dibacakan dalam ri-
tus, sesaji atau persembahan dan mitos.
Ritual adalah tindakan berulang-ulang
yang baku dan menyampaikan suatu pe-
san, seperti dalam sebuah pertunjukan
drama. Dalam ritual ada pemain dan pe-
nonton, pihak yang menjadi pemain ada-
lah pemimpin ritual sedangkan penonton
adalah umat atau khalayak yang hadir da-
lam suatu ritual. Ritual adalah media ko-
munikasi terhadap sesuatu yang transen-
den, komunikasi diwujudkan dengan ba-
hasa (doa, mantra), perilaku serta benda-
benda simbolis. Ritual berkaitan dengan
perilaku penghormatan terhadap sesuatu
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 118
yang dianggap lebih berkuasa, sehingga
salah satu elemen dalam ritual adalah pe-
rilaku. Perilaku dari pemimpin ritus dan
khalayak merupakan salah satu elemen
penting dalam sebuah ritual.
Budaya kerja adalah budaya peme-
nuhan kebutuhan hidup dalam mata
pencaharian yang tidak hanya mengejar
kepentingan ekonomi semata namun
terdapat perilaku simbolik. Budaya kerja
meliputi ketetapan dalam memilih dan
pengambilan keputusan yang mengarah
pada pemaknaan dan sistem budaya. Me-
nurut (Susana Narotzky via Carrier 2005:
106) sistem budaya dalam antropologi
ekonomi meliputi tanggung jawab dalam
hubungan yang saling menguntungkan
(mutual responsibility), aktualisasi diri
(presentation of self) dan pembangunan
identitas (identity construction). Terkait
wacana kampung soto dan budaya ker-
janya berada pada pemaknaan sebagai hu-
bungan yang saling menguntungkan se-
cara bertanggung jawab dan pembangun-
an identitas.
Metode
Tulisan ini menggunakan pende-
katan metodologi yang bersifat analisis
dari sebuah fenomena yang saling
berkaitan, hubungan mitos dan etos.
Adapun metode yang saya pakai dalam
pengumpulan data melalui observasi,
wawancara dan kajian pustaka. Lokasi
penelitian dalam penulis-an makalah ini
adalah Dusun Kebontengah Desa
Rejotengah Kecamatan Deket Kabupaten
Lamongan. Observasi yang saya lakukan
termasuk dalam pendokumentasian
dalam foto yang akan saya tampilkan
dalam makalah ini. Foto terkait makam
keramat Buyut Bakal saya ambil ketika
pulang kampung bertepatan dengan hari
raya kurban tepatnya tanggal 26 Oktober
2012 dan foto untuk salah satu depot di-
ambil tanggal 25 Desember 2012. Penjual
yang saya jadikan contoh penjual soto
sukses asal Dusun Kebontengah adalah
Soto Ayam Cak Kan yang terletak di Jalan
Prapen Surabaya. Depot ini tidak pernah
sepi dari pembeli dari buka pagi sampai
malam dan rata-rata pembelinya bermo-
bil. Saya mengadakan kunjungan ke Depot
Cak Kan dan memesan dua porsi soto
ayam, makan sekaligus mempererat sila-
turrahmi dengan sesama warga Dusun
dan yang mengejutkan setelah makan ti-
dak boleh membayar sepeserpun. Bahkan
saat saya mencoba memaksa untuk mem-
bayar tetap tidak diperbolehkan dengan
alasan bolo dhewe (saudara sendiri) dan
tidak tiap hari makan di sini. Kajian pus-
taka yang saya lakukan berusaha mem-
bandingkan karya tulis yang telah ada ter-
kait mitos dari berbagai penulis atau pe-
neliti. Dari berbagai artikel yang ada saya
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 119
mengkaji lebih mendalam sampai saya
menemukan ‘benang merah’ yang dapat
menjadi acuan analisa hubungan mitos
dan etos kampung soto ayam.
Kehidupan Kampung Soto
Dusun Kebontengah terletak pada daerah
perbatasan Kabupaten Lamongan dengan
Kabupaten Gresik tepatnya di Dusun Rejo-
tengah Kecamatan Deket Kabupaten
Lamongan Jawa Timur. Dusun ini berba-
tasan dengan Kecamatan Glagah pada se-
belah Utara, Dusun Gedong di sebelah
barat, Waduk Srirande di sebelah selatan
dan Dusun Calungan di sebelah timur. Du-
sun Kebontengah secara geografis dile-
wati anak sungai dari Sungai Bengawan
Solo yang melintasi sebagian kawasan
utara Kabupaten Lamongan. Keberadaan
sungai mempengaruhi mata pencaharian
masyarakatnya bermata pencaharian se-
bagai petani dan petambak. Menjadi peta-
ni pada bulan-bulan menjelang kemarau
sebagai petani padi dan menjadi petam-
bak perikanan air payau pada musim hu-
jan. Bulan Desember sampai Juni diguna-
kan untuk membudidayakan ikan khusus-
nya bandeng dan udang, sedangkan bulan
juli sampai September digunakan untuk
membudidayakan tanaman padi yang
menggunakan tumpangsari, padi diberi air
yang dibudidayakan udang dan bandeng
pula. Jenis ikan yang dibudidayakan oleh
masyarakat Dusun Kebotengah adalah
bandeng dan udang jenis vanamae, namun
sebagian besar lebih memilih udang vana-
mae karena masa panen yang lebih pen-
dek, sekitar 40 hari. Ikan bandeng yang di-
budidayakan digunakan sebagai sarana
pergerakan air dan dijual hidup ketika
usia beranjak dewasa sebagai bibit ban-
deng untuk petani bandeng di daerah lain.
Terdapat ungkapan untuk fenomena eko-
logis di daerah Kabupaten Lamongan ter-
utama kampung halaman saya terkait
kontradiktif musim hujan dan kemarau.
“Rendheng gak iso ndodhok, ketigo gak iso
cewok” artinya adalah jika musim hujan di
daerah ini sering kebanjiran sehingga
orang kesulitan untuk duduk jongkok,
baliknya pada musim kemarau kerap ke-
keringan sehingga orang kesulitan untuk
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 120
Gambar 1. Soto Ayam Kampung Khas Lamongan Cak Kan
(Dokumentasi Penulis)
cebok karena keterbatasan air. Wilayah
kontur bersifat cekungan atau conclav
menjadikan daerah ini menjadi langganan
banjir jika musim hujan dan kedekatan
dengan daerah pesisir menjadikan cuaca
relatif panas.
Meskipun terdapat sektor pertanian
dan budidaya ikan, namun mata pen-
caharian sebagai pedagang makanan ke-
luar wilayah desa menjadi pilihan sebagi-
an besar anggota masyarakat secara turun
temurun. Pola perilaku merantau untuk
menjual makanan ke kota telah terjadi
sejak era 60-an dan mengalami perkem-
bangan dari masa ke masa. Keberadaan
sawah dan tempat dagangan (padholan) di
kota merupakan ketahanan ekonomi yang
saling bersinergi dan saling berganti, jika
musim bertani lebih fokus pada mengu-
rusi sawah namun pada musim kemarau
tidak sedikit yang lebih memilih berjualan
makanan ke kota. Adapun makanan yang
yang diperdagangkan adalah Soto ayam
kampung, Tahu Campur, Tahu Tek (Tahu
Telur), Nasi Goreng dan Mie Jawa. Namun
dari sekian banyak makanan yang dijadi-
kan sandaran hidup untuk menambah
penghasilan adalah Soto Ayam Kampung
Khas Lamongan. Perbedaan yang men-
dasar dari soto ayam kampung khas La-
mongan jika dibanding dengan soto-soto
yang lain adalah pada kuah yang kental
dan bubuk kerupuk ikan (koyah) yang
membuat rasanya menjadi semakin gurih.
Tradisi dan Pola Perilaku Religi
Sebagian besar masyarakat Dusun
Kebontengah beragama Islam, Islam yang
ada pada masyarakat Dusun Kebontengah
adalah Islam tradisional karena tetap me-
lestarikan tradisi diwariskan oleh leluhur.
Berbagai ritual yang terinspirasi tradisi Ja-
wa lama antara lain slametan sampai pada
sedekah bumi. Slametan yang kerap dila-
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 121
kukan oleh masyarakat Dusun Kebon-
tengah adalah Slametan Lingkaran Hidup
(tingkep/mitoni/pelet kandung), kelahir-
an, tedak siten, potong rambut, sunat (te-
taken), kematian dan pasca kematian.
Adapun slametan pasca kematian yang
dilakukan oleh masyarakat Dusun Kebon-
tengah adalah slametan Nelung Dina, Mi-
tung Dina, Matang Puluh Dina, Nyatus,
Mendak Sepisan dan Mendak Pindo, Nyewu.
Slametan yang lain yang dilaksanakan
masyarakat Dusun Kebontegah adalah Se-
dekah Surtanah atau Geblak, bersih desa
(dekahan), penggarapan tanah pertanian
(pleretan) dan setelah panen (Sukuran pa-
ri anyar), Hari-hari besar misal megengan
jika menjelang Ramadhan, Idul Fitri dan
Idul Adha, Kejadian-kejadian tertentu
(pindah rumah, perjalanan jauh, mimpi/
firasat buruk, kaul, ngruwat). Adapula
slametan yang berhubungan dengan ter-
capainya sebuah tujuan (kaul). Slametan 7
hari dilengkapi dengan beras dan ketan
dalam besek (berkat) yang dibawa pulang
oleh orang yang tahlilan, ada kepercayaan
bahwa jika kita menggigit ketan maka pe-
rut di dalam kubur dari orang yang sela-
mati akan meledak. Sebelum 40 hari, ar-
wah orang yang meninggal berada diseki-
tar rumah. Slametan 40 hari untuk orang
yang meninggal, dipercaya sebagai media
berpamitan dari orang yang telah mening-
gal kepada keluarga atau orang terdekat.
Orang-orang tua mengatakan bahwa jika
ingin mengetahui kalau roh orang yang
diselamati pulang sejenak untuk berpa-
mitan bisa menggunakan abu dari pawon
yang disebar disekitar pintu. Akan terda-
pat jejak langkah yang menandakan roh
yang meninggal benar-benar pergi me-
ninggalkan rumah menuju alam kubur.
Budaya kerja masyarakat kampung
soto selain sebagai petani dan petambak
juga merantau untuk menambah penda-
patan dengan menjadi penjual soto ayam
atau bekerja pada sektor diluar agraris.
Kebiasaan merantau berjualan makanan
telah menjadi tradisi yang bukan hanya di-
pengaruhi oleh tuntutan ekonomi semata,
namun sebagai upaya untuk melestarikan
adat istiadat yang telah terjaga dari turun
temurun. Dahulu orang berjualan soto
ayam dengan dipikul dan berkeliling kam-
pung, sekarang bisa menggunakan gero-
bak khusus soto dengan berkeliling atau
menetap di satu tempat (sistem bongkar
pasang lapak). Harga pembuatan gerobak
kayu khusus untuk soto sekitar 1,5 juta
sampai 2 juta tergantung pada bahan kayu
yang dipakai. Salah satu warga yang men-
jadi pengrajin gerobak khusus soto ini
adalah Pak Niti Pentol, seorang tukang ka-
yu yang menyediakan jasa pembuatan ge-
robak sampai peti jenazah yang terkenal
di dusun Kebontangah. Jika pendapatan
lebih dan pelanggan banyak, maka mem-
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 122
buka depot adalah impian oleh sebagian
besar penjual soto, karena omzet depot
dengan yang keliling jauh berbeda. Pen-
jual soto ayam yang menjadi teladan bagi
perjuangan para penjual soto ayama ada-
lah Haji Atrup, seorang penjual soto dari
muda yang dimulai dari pikulan sampai
mempunyai depot di Surabaya yang dite-
ruskan oleh anak cucunya.
Adapun penjual soto ayam asal Du-
sun Kebontengah yang sukses adalah Haji
Suwarni, Haji Atrup, Cak Miskan dan Cak
Kariono. Haji Suwarni memiliki depot
Wachid Hasyim 1 dan Wachid Hasyim 2
yang terletak di daerah jalan Jemursari Su-
rabaya dan ramai dikunjungi konsumen
setiap harinya. Haji Atrup mempunyai de-
pot di Surabaya yang diteruskan oleh anak
cucunya. Cak Miskan mempunyai depot
Soto Ayam Lamongan Cak Kan terletak di
jalan Prapen Surabaya sedangkan Cak Ka-
riono memiliki memiliki lapak soto ayam
dekat kampus Universitas Surabaya yang
memilih pangsa pasar kalangan mahasis-
wa. Cak kariono masih memiliki hubungan
keluarga dengan penulis, setiap tahun pa-
da Idul Fitri bersilaturrahmi ke penulis
dan membawa oleh-oleh khas penjual soto
yaitu satu plastik besar Kaki ayam kering
(ceker ayam). Masih banyak penjual soto
ayam lain yang berada di Dusun Kebon-
tengah, namun penulis memilih keempat
orang di atas karena pertimbangan telah
mewakili penjual soto keseluruhan dari
tingkat usia sampai lama berjualan. Penju-
al paling lama adalah Haji Atrup dan yang
sukses dari kalangan muda adalah Cak
Kariono.
Indikator kesukesan penjual soto
ayam adalah dari banyaknya ayam yang
dipotong tiap hari dan keberhasilan me-
miliki rumah sendiri di Surabaya. Rata-
rata penjual soto memotong 3-5 ekor
ayam kampung, namun jika melebihi 10
ekor ayam kampung maka penjual terse-
but tergolong penjual yang sukses. Budaya
kerja merantau pada masyarakat kam-
pung soto ayam, tidak sekadar mencari
uang untuk bertahan hidup atau subsisten,
namun memikirkan untuk mengumpulkan
modal untuk pengembangan usaha wa-
rungnya. Budaya kerja masyarakat kam-
pung soto juga terdapat pada pembudaya-
an kaum muda untuk menjadi penjual so-
to sejati, dengan cara mengangkat mereka
sebagai pembantu di warung, sambil me-
ngajarkan seluk beluk berjualan soto
sampai mereka bisa membuat warung
sendiri di kemudian hari (nyantrik). Be-
berapa teman masa kecil penulis sekarang
telah memiliki warung soto ayam sendiri
setelah sebelumnya menjadi pembantu
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 123
Gambar 2. Depot Soto Ayam Kampung Lamongan Cak Kan
(Dokumentasi Penulis)
terlebih dahulu sampai dia bisa memasak
soto sendiri dan tahu seluk beluk pema-
sarannya. Menjadi migran sirkuler adalah
hal yang diterapkan untuk melaksanakan
dua kegiatan ekonomi, menjadi petani
tambak (pulang jika musim tanam dan
menjelang panen saja) sekaligus berjualan
soto ayam di kota (menghabiskan seba-
gian besar waktunya di kota bahkan ada
yang sampai membeli rumah sendiri se-
lain kos atau kontrak).
Mitos dan Makam Suci
Pemujaan pada leluhur adalah suatu
kumpulan sikap, kepercayaan, dan
praktek pendewaan orang-orang yang
sudah me-ninggal dalam suatu komunitas.
Leluhur yang dihormati oleh masyarakat
kampung soto adalah Buyut Bakal, sebagai
pembuka dusun yang pertama. Mitos yang
berkembang dalam masyarakat Dusun Ke-
bontengah tentang buyut bakal bahwa be-
liau adalah seorang pembantu dari Sunan
Giri. Sunan Giri adalah wali yang menye-
barkan ajaran Islam di Jawa Timur dan
membuat keraton Giri di daerah Gresik
sampai dimakamkan di sana. Sampai se-
karang makamnya banyak dikunjungi pe-
ziarah dari berbagai penjuru daerah. Ke-
beradaan keraton sebagai bangunan yang
komplek dan pusat pemerintahan menja-
dikan peran pembantu istana terutama
juru masak diperhitungkan keberadaan-
nya. Jika kedatangan tamu-tamu agung da-
ri daerah lain, maka tidak jarang menga-
dakan jamuan makan, peran tukang ma-
sak menjadi penting dalam momen ini. Ko-
non Buyut Bakal mempunyai kedekatan
yang erat dengan Sunan Giri, tidak hanya
sebagai hubungan antara raja-abdi namun
pada murid-guru.
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 124
Buyut Bakal memiliki dua orang is-
tri dan ada tabu yang berlaku di masya-
rakat Dusun Kebontengah untuk tidak me-
nikahi lebih dari satu perempuan atau la-
rangan poligami. Salah satu latar belakang
dalam tabu ini adalah tidak boleh menikah
dengan lebih dari satu perempuan karena
diyakini dapat membuat Buyut Bakal ma-
rah dan akan mendapat kemalangan di ke-
mudian hari. Jika ada orang Dusun yang
memutuskan untuk poligami maka kon-
sekuensinya adalah harus keluar dari wi-
layah Dusun Kebontengah. Salah satu ke-
rabat penulis menikahi lebih dari satu
perempuan dan karena sadar pada kese-
pakatan adat akhirnya keluar dari dusun.
Larangan lain yang berlaku di dusun dan
dianut oleh sebagian masyarakat adalah
larangan makan ikan lele. Penulis ter-
masuk golongan masyarakat Lamongan
yang tidak memakan ikan lele. Lele di-
anggap sebagai hewan penolong leluhur
karena menyelamatkannya dari sergapan
pasukan. Legenda yang berlaku bagi ma-
syarakat yang tidak makan lele adalah
berawal dari petualangan Sang Maling
Cluring yang mencuri harta bangsawan di
kadipaten Lamongan namun barang cu-
riannya dibagi-bagi pada rakyat. Suatu
hari Maling Cluring kepergok mencuri dan
dikejar oleh gerombolan orang bersenjata
hingga berlari ke sungai di daerah Glagah.
Sampai di bibir sungai beliau mencebur-
kan diri dan berdiam di dalam air. Gerom-
bolan bersenjata menanti kemunculannya
dari sungai dengan senjata (tombak) ter-
hunus. Tiba-tiba datang sekelompok ikan
lele dan memenuhi bagian atas sungai se-
hingga keberadaan Maling cluring sulit
untuk dideteksi. Sejak kejadian itu, Maling
Cluring berjanji bahwa anak cucunya tidak
akan memakan daging lele sebagai perwu-
judan rasa terima kasih karena telah me-
nyelamatkan nyawanya.
Makam Buyut Bakal terletak di se-
belah timur wilayah dusun Kebontengah -
beberapa meter dari rumah saya- dan di-
buatkan bangunan khusus (cungkup) yang
sampai sekarang terawat keberadaannya.
Posisi makam berada di tengah pemakam-
an umum dusun sebagai representasi dari
peran sentral dari seorang leluhur yang
membuka dusun dan menjadi pusat batin
kosmologi masyarakat. Nenek penulis
yang masih memegang teguh tradisi, ma-
sih mengagungkan nama dan keberadaan
kepercayaan leluhur. Jika berdoa atau me-
ngemukakan pengharapan selalu bilang
“Buyut Bakal, mugi-mugi slamet”. Jika pe-
nulis menanyakan perihal agama yang di-
anut, selalu dijawab Islam namun dalam
penerapannya selalu mengikutkan nama
Buyut. Pada waktu menjelang Puasa, me-
masuki Idul Fitri dan Idul Adha ada tradisi
ziarah kubur yang harus dilaksanakan ka-
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 125
um laki-laki. Ketika memasuki area pema- kaman maka yang pertama harus datangi
Gambar 3. Makam Keramat Buyut Bakal (Dokumentasi Penulis)
makamnya adalah makam Buyut Bakal,
setelah itu baru bisa melanjutkan untuk
ziarah pada makam keluarga sendiri.
Makam Buyut Bakal yang dihorma-
ti oleh seluruh warga Dusun Kebontengah,
selain dianggap sebagai makam keramat
juga menjadi sarana untuk mempererat
tali persaudaraan antar warga. Keberada-
an makam ini setiap pekan, khususnya h-
ari kamis sore didatangi oleh warga yang
mengadakan slametan dengan hajat-hajat
khusus misalnya karena ada keinginan
yang terkabul atau kaul, syukuran weton,
syukuran pasca panen, Laki-laki yang akan
dikhitan atau akan menikah, mimpi buruk
sampai pada kirim doa pada keluarga
yang telah meninggal. Jika yang menikah
perempuan warga Dusun Kebontengah,
maka yang berziarah adalah wali atau per-
wakilan keluarga asal berjenis kelamin
Laki-laki. Terdapat pandangan tabu terha-
dap perempuan untuk datang ke makam.
Penghargaan terhadap leluhur juga diwu-
judkan dengan pembuatan bangunan pe-
lindung dari panas dan hujan (cungkup)
yang keberadaannya telah ada semenjak
saya masih kecil. Cungkup ini terletak di
tengah area makam dan didekatnya terda-
pat dua pohon asam yang tidak ada yang
mengetahui berapa umurnya, sebab ber-
dasarkan penelusuran terhadap warga
yang tertua sekalipun mengatakan bahwa
pohon asam ini telah ada seperti sekarang
tanpa ada perubahan. Perawatan makam
dilakukan setiap tahun oleh warga dusun
secara swadaya dengan dana dan juga me-
ngandalkan pada kotak amal yang ditaruh
di dalam makam.
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 126
Pola berziarah mengalami peru-
bahan dari masa ke masa, jika pada jaman
dulu orang sekadar berziarah dan mena-
bur bunga. Pada masa kini berdasarkan
Gambar 4. Makam Buyut Bakal (sebelah tengah) beserta Istri
(Dokumentasi Penulis)
penelusuran saya di lapangan, makam ka-
dang kala diberi dupa dan terdapat buku
tahlil di dalam makam. Jika pada masa lalu
hanya tumpengan di makam, belakangan
terdapat acara istighosah di area sekitar
makam terutama pada malam jumat dan
pada saat sedekah bumi (dekahan).
Ritual Sedekah Bumi
Salah satu tradisi yang terjaga
kelesta-riannya adalah sedekah bumi
(dekahan). Tradisi ini telah turun temurun
dilaksana-kan setelah panen raya,
biasanya Bulan Agustus atau September
setelah musim panen padi berakhir.
Perbedaan yang mendasar dengan
sedekah bumi dari desa adalah
keberadaan badhek yang dimasukan ke
dalam wadah bambu. badhek adalah
minuman yang terbuat dari ketan hitam
yang difermentasi, sari pati tape ketan hi-
tam. Minuman ini mengandung alkohol.
Tradisi membawa badhek ke makam pada
saat dekahan inilah yang turut memben-
tuk pandangan bahwa Dusun Kebonteng-
ah juga dikenal dengan dusun pemabuk.
badhek dalam wadah bambu adalah sim-
bol dari kemakmuran yang akan didapat
jika dengan kerja keras karena berbahan
dasar beras ketan hitam yang difermen-
tasi sampai menimbulkan rasa manis. Se-
saji atau persembahan ini tiap tahun sela-
lu dibawa dan ditaruh dalam tempat yang
tersedia di depan makam. Persembahan
dalam sebuah ritus dalam masyarakat Ja-
wa kuno dibedakan menjadi Sesajen dan
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 127
Wilujengan. Sejaji (sajen) adalah persem-
bahan yang hanya bisa dinikmati yang
transenden misalnya kemenyan dan dupa,
sedangkan wilujengan adalah persembah-
an yang bisa dinikmati oleh manusia dan
yang transenden misalnya nasi tumpeng,
buah-buahan, ayam panggang.
Dusun Kebontengah mempunyai
tradisi jokoan yang mengharuskan pemu-
danya untuk mencicipi minuman keras
(tuak dan sebagainya) sebagai bentuk pe-
ngakuan sebagai sesama saudara sedusun.
Tradisi pesta bujang ini terjadi jika ada
salah satu pemuda yang menikah, malam
sebelum hari H, pemuda dusun yang la-
jang (joko) diharuskan datang kerumah
calon pengantin dan salah satu sajian yang
harus dinikmati oleh pemuda yang hadir
yaitu tuak, arak, bir dan kombinasinya.
Tujuan dari tradisi ini sebagai ungkapan
pelepasan masa bujang (farewell party)
sekaligus penghormatan tuan rumah pada
tetangga dan sebaliknya. Penganten wajib
mencicipi minuman barang segelas dua
gelas sebagai tanda penghormatan pada
teman-teman sekampungnya dan tuan ru-
mah wajib menyediakan minumannya ser-
ta memberikan makanan, camilan dan ro-
kok. Jika minuman yang telah disediakan
Gambar 5. Air badhek, sesaji wajib saat sedekah bumi
(Dokumentasi Penulis)
tuan rumah telah habis maka peserta joko-
an sendiri yang akan patungan untuk beli
minuman sendiri.
Prosesi sedekah bumi umumnya
dilaksanakan pada hari Jumat. Pembuatan
badhek dari ketan hitam dimulai tiga hari
sebelumnya, ketan hitam direbus tanpa
campuran gula dan pada hari kamis telah
keluar air fermentasinya lalu dimasukkan
ke dalam tabung dari ruas bambu. Media
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 128
persembahan untuk di bawah ke makam
adalah air badhek dalam ruas bambu,
tum-peng dan panggang ayam. tumpeng
yang di bawah menggunakan hiasan pada
sisi atasnya dari potongan daging, bawang
dan cabe yang disatukan dengan sebuah
lidi (sujen) dan jumlah lidinya rata-rata
empat buah, dipasang secara melingkar
pada bagian atas tumpeng. Hiasan ini juga
dipakai sebagai alat dalam ritus dimulai-
nya musim tanam ikan dan biasanya di-
taruh di ujung pematang tambak sebagai
bentuk permohonan agar mendapat ber-
kah yang melimpah
Dalam perkembangan selanjutnya,
beberapa warga enggan membuat wadah
badhek dari bambu, namun menggunakan
botol bekas minuman suplemen, kantung
plastik atau kemasan susu untuk anak-
anak. Jika pada wadah tradisional air
badhek dapat menguap, pada wadah yang
lain air fermentasi ketan hitam ini akan
tetap bertahan dan meningkatkan kan-
dungan alkohol di dalamnya. Penulis per-
nah melakukan percobaan mengambil sa-
tu botol badhek yang umurnya tahunan,
kemudian menguji kandungan alkoholnya
dengan korek api dan terbukti api berwar-
na biru dan reaksi pembakaran begitu ce-
pat dan ini menandakan kadar alkoholnya
sangat tinggi. Seorang teman ketika stress
pernah meminum air di depan petilasan
ini dan terbukti dia mabuk sampai nyaris
koma.
Pagi hari, sekitar pukul 09:30 WIB
biasanya ada panggilan dari speaker di
masjid kepada warga untuk segera memu-
lai proses sedekah bumi (dekahan) dan
berbondong-bondong menuju ke makam
Buyut Bakal yang terletak di timur dusun.
Setelah berkumpul semua, ada petugas
sendiri yang menghimpun uang shalawat
Rp 1000-2000 per orang disekitar makam.
Acara dilanjutkan dengan sambutan dari
kepala dusun dilanjutkan dengan pemba-
caan doa yang dipimpin oleh ustad dan
sebelum meninggalkan makam ujung tum-
peng, kepala atau kaki ayam panggang ha-
rus ditinggal di sekitar makam lengkap de-
ngan tusuk bambunya.
Jika mempunyai dana lebih dan pa-
nen dianggap berhasil, warga Dusun Ke-
bontengah melengkapi ritual sedekah bu-
minya dengan pertunjukan wayang kulit
yang diadakan siang setelah Sholat Jumat
dan dilanjutkan pada malam hari. Ada
pula pertemuan tahunan untuk membahas
perencanaan dusun selama setahun yang
diadakan setahun sekali, dinamakan adat
Walik Gawe. Khusus untuk yang malam
hari, sebelum pertunjukan wayang kulit
dimulai setelah Sholat Isya’ diadakan per-
temuan (kumpulan) antar aparat desa de-
ngan mengundang berbagai instansi dan
acara ini biasanya dilengkapi dengan pen-
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 129
tas seni oleh karang taruna. Kemudian ti-
ba pada acara inti tari remo, campur sari
atau dangdutan kemudian menuju pada
pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Rumah yang menjadi pusat kegiatan sede-
kah bumi (dekahan) adalah rumah kepala
dusun dan yang menjadi tenaga bantuan
untuk mempersiapkan semuanya adalah
gotong royong dari para warga dusun. Ada
perbedaan sedekah bumi Dusun Kebon-
tengah dengan Dusun sebelah baratnya
yaitu Dusun Gedong yang juga menam-
pilkan pagelaran wayang kulit semalam
suntuk. Perbedaan yang mendasar adalah
sesaji yang dibawah pada saat acara inti,
jika Dusun Kebontengah membawa tum-
peng, ayam panggang dan badhek, dusun
Gedong membawa tumpeng, ayam pang-
gang dan aneka buah-buahan. Buah yang
dibawa mencerminkan prestise ekonomi
warga, jika ada yang membawa buah im-
por yang mahal maka dianggap yang pa-
ling unggul.
Sedekah bumi ini bukan hanya se-
bagai acara syukuran atau ngalap berkah
semata, namun sebagai ajang silaturrahmi
antar warga dusun dalam menikmati hasil
panen (udang atau padi) yang melimpah
setahun sekali mengingat tidak semua
warga hidup sehari-hari di dusun karena
mereka menjadi migran sirkuler di Sura-
baya dan kota-kota lainnya sebagai pen-
jual soto ayam.
Interpretasi Mitos dengan Etos Kerja
Bermata pencaharian sebagai
penjual soto ayam adalah sebuah pilihan
hidup bagi masyarakat Kampung soto.
Tindakan ini merupakan tindakan
simbolis yang tidak hanya berorientasi
pada kepentingan eko-nomi semata yaitu
untuk menghasilkan uang. Pemilihan mata
pencaharian dan tindakan merantau
menjadi penjual makanan adalah
panggilan suci. Panggilan ini berorientasi
pada pelestarian tradisi (kebiasaan nenek
moyang) yang pada tujuan lebih besar
adalah untuk pencapaian keselamatan
religius dan sebagai pengungkapan ide
tentang kebesaran Tuhan. Kerja keras
para penjual soto dipengaruhi oleh upaya
mewujudkan identitas sebagai cucu Buyut
Bakal yang telah berjasa membentuk kul-
tur merantau bagi warga Dusun
Kebontengah. Mitos yang berkembang ter-
kait keturunan juru masak sunan menim-
bulkan semangat untuk tetap berupaya
menjaga cita rasa yang khas dalam pengo-
lahan dan penyajian soto. Hubungan anta-
ra mitos dengan kegiatan perekenomian
dijelaskan oleh Appadurai:
Mythologies produced by traders and speculators who are largely indifferent to both the production origins and the consumption destination of commo-dities … (2) Mythologies produced by consumers (or potential consumers) alienated from the production and distribution process of key commo-dities … and (3) mythologies produced by workers in the production process who
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 130
are completely divorced from the distribution and consumption logics of the commodities they produce. (Appadurai 1986: 48 via Carrier 2005:86)
Mitologi berpengaruh pada kebera-
daan komoditas di suatu tempat terkait
dengan kegiatan produksi, konsumsi sam-
pai pada distribusi. Soto ayam kampung
adalah komoditi utama yang berpengaruh
pada kegiatan ekonomi untuk perantau
(migran sirkuler) di Dusun Kebontengah.
Banyak makanan dan minuman yang da-
pat dijadikan bisnis untuk menggantung-
kan hidup, namun warga Dusun Kebon-
tengah mayoritas memilih soto ayam se-
bagai ko-moditas. Kebiasaan untuk mem-
buat dan berjualan soto telah mengakar
pada warga dari masa ke masa. Sehingga
dapat memperkuat identitas bahwa soto
ayam kampung berasal dari Lamongan.
Pandangan ini menjadikan pembentukan
mitos tentang soto ayam kampung. Mitos
kekhasan dan identitas bahwa soto yang
enak berasal dari orang Lamongan asli
yang tetap menjaga cita rasa secara turun
temurun.
Upacara sedekah bumi (dekahan)
sebagai kegiatan bersih desa pada dasar-
nya adalah ritual semi keagamaan. Ritual
semi keagamaan (quasi rites) adalah per-
alihan antara perilaku sakral dan profan
dan sebaliknya (Tremmel 1976:121). Ka-
dang sakral dan kadang religius. Hal ini
didasarkan pada konsep kosmologi dan
kosmogoni. Dekahan adalah ritual yang
bertujuan untuk pengharapan kepada le-
luhur untuk keselamatan, kesejahteraan
dan kelimpahan berkah pada masyarakat
Dusun Kebontengah pada hasil bumi yang
banyak dan laris dalam berjualan soto
ayam. Ritual semi keagamaan berhubung-
an dengan kehidupan keseharian dan ada
yang bersifat individual maupun komunal.
Ziarah ke makam Buyut Bakal adalah yang
individual, sementara sedekah bumi (de-
kahan) adalah yang komunal.
Persembahan atau sesaji (sajen)
dalam ritual dekahan yang berupa air fer-
mentasi ketan hitam (air badhek dalam
wadah bambu), panggang ayam dan tum-
peng mempunyai makna khusus. Air ba-
dhek melambangkan buah manis dari ker-
ja keras yang didasari ketekunan dan
kerja keras, memfermentasikan ketan hi-
tam tanpa pemanis berarti bahwa dalam
hidup harus apa adanya, berusaha kerja
keras dengan kejujuran tanpa menjadi
orang yang bermulut manis (ojo lamis).
Jika sabar berusaha maka hasil yang ma-
nis dapat dinikmati dikemudian hari, se-
bagaimana para penjual soto ayam yang
awalnya hanya bermodal seadanya namun
berkat ketekunan dapat mengembangkan
usahanya. Bambu baik untuk tusuk ayam
panggang maupun wadah badhek bermak-
na untuk selalu memperhitungkan masa
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 131
depan dan pentingnya regenerasi. Melalui
filosofi pohon bambu yang tumbuh ber-
kelompok dan pertumbuhan batang yang
muda secara berkesinambungan dari re-
bung sampai bumbung, mencerminkan
bahwa dalam kehidupan diperlukan sikap
sadar diri sepenuhnya sebagai anggota
suatu komunitas. Sikap menghargai pihak
yang lebih muda dan pentingnya rege-
nerasi diwujudkan dengan mengajarkan
pemuda dusun untuk ikut bekerja di wa-
rung sampai mereka dianggap bisa untuk
berdikari dan mendirikan warung sendiri.
Meninggalkan ujung tumpeng, kepala dan
kaki ayam beserta tusuk bambu di depan
area makam Buyut Bakal seusai sesaji di
doakan bermakna penghormatan yang
tinggi pada keberadaan tokoh yang telah
berjasa membuka dusun pertama kali. Hal
ini merefleksikan perlunya untuk selalu
ingat kepada orang yang lebih tua dalam
segala hal. Praktek yang kerap dilakukan
oleh para penjual soto adalah mengirim-
kan sejumlah uang atau barang untuk
orang tua dari kota tempat berdagang,
bahkan tidak sedikit yang mengirimkan
bahan material yang digunakan untuk
memperbaiki rumah.
Mitos yang diyakini oleh sebagian
besar masyarakat Dusun Kebontengah di-
anggap sebagai peristiwa yang terjadi pa-
da masa lampau dan melibatkan tokoh
penting yang berjasa dalam keberadaan
wilayah. Buyut Bakal mampu menghadir-
kan semangat persatuan dan solidaritas
antar warga dusun, makna makam ini sen-
diri sebagai pusat orientasi dalam menja-
lankan kehidupan terutama dalam bidang
ekonomi. Keberadaan makam berfungsi
sebagai pusat dalam dunia kosmos terkait
daur hidup. Orang yang akan menikah
maupun khitan harus berziarah di makam
Buyut Bakal, kemudian jika telah mening-
gal akan dimakamkan pula di sekitar Bu-
yut Bakal. Artinya berangkat dari leluhur
dan pulang berdampingan dengan leluhur.
Mitos dan etos berkaitan dengan
Buyut Bakal dan pekerjaan yang berhu-
bungan dengan kuliner (soto ayam). Ke-
duanya memiliki hubungan yang saling
mempengaruhi, keberadaan leluhur de-
ngan berbagai ceritanya menginspirasi
warga dusun untuk tekun berusaha. Hal
ini didasarkan pada pandangan bahwa
jika bekerja pada sektor yang sesuai
dengan ‘warna’ umum di dusun maka
akan men-dapat berkah dari leluhur
(danyang). Mitos menciptakan semangat
kerja keras dan identitas khas dari sebuah
kampung kecil yang disebut Dusun
Kebontengah dengan kampung soto (dae-
rah sotoan).
Kesimpulan
Mitos dan etos memiliki hubungan
yang saling mempengaruhi, keberadaan
Roikan,“Mitos dan Etos: Budaya Kerja Merantau Masyarakat Kampung Soto Ayam Lamongan” hal. 113-132.
BioKultur, Vol.II/No.2/Juli-Desember 2013, hal. 132
leluhur dengan berbagai ceritanya
menginspirasi warga dusun untuk tekun
berusaha. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa jika bekerja pada
sektor yang sesuai dengan ‘warna’ umum
di dusun maka akan mendapat berkah
dari leluhur (danyang). Mitos mencip-
takan semangat kerja keras dan identitas
khas dari sebuah kampung soto.
Diperlukan upaya pelestarian terhadap
kearifan lokal yang berbasis nilai-nilai
luhur yang berhubungan dengan aktifitas
pemenuhan kebutuhan hidup termasuk
dalam sektor mata pencaharian dan akti-
vitas ekonomi. Dengan tetap menjaga hu-
bungan baik dan harmoni dengan alam
transenden, akan mem-pererat solidaritas
antar anggota suatu komunitas dan ter-
jaga kelangsungannya turun temurun.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H.S. (2012), Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sas-tra. Jogjakarta: Kepel Press.
Carrier, James G. (ed.) (2005), A Hand-book of Economic Anthropology. UK: Edward Elgar Publishing.
Dhavamony, Maria Susai (1995), Fenome-nologi Agama. Jogjakarta: Kanisius
Lambek, Michael (ed.) (2002), A Reader in the Anthropology of Religion. UK: Blakwell Publishing
Malinowski, Bronislaw (1948), Magic, Sci-ence & Religion and Other Essays. Souvenir Press LTD.
Suhardi (2009), Alam-Religi Solidaritas Sosial di Papua dan Jawa: Tera-wang Antropologi. Jogjakarta: Pusat Studi Asia Pasifik. Universitas Ga-djah Mada.
Tremmel, William Calloley (1976), Reli-gion, What Is It?. United State of America: Holt, Rinehart & Winston.