Download - Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi
METODOLOGI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM IMAM SYAFI’I
Abstrak.
Hampir setiap kehidupan selalu ditandai dengan gerak dan dinamika. Berawal dari gerak dan
dinamika tersebut perubahan dan perkembangan pemikiran dengan beragam variannya, selalu
terjadi secara terus-menerus tanpa mengenal batas. Demikian halnya dalam agama, keberadaan
suatu agama akan dinilai memiliki fungsi bagi sebuah kehidupan, jika agama dalam praktiknya
terbuka ruang lebar bagi tuntutan gerak dan dinamika kehidupan sebagaimana yang dimaksud.
Hal yang sama terjadi juga dalam agama Islam, pada satu sisi ia dianggap sebagai sistem nilai
yang mampu memberikan pedoman dan arahan bagi kehidupan manusia, namun pada sisi lain ia
meniscayakan adanya ruang dinamis yang dikonstruk dari dasar-dasar norma yang memiliki
hakikat kebenaran universal, Sebab dalam kehidupan senantiasa memerlukan gerakan dan
perubahan terus-menerus dari situasi ke situasi lain dan dari kondisi ke kondisi lain.
Kata Kunci: Imam Syafi’i, Sejarah dan Metodologinya.
A. Muqadimah Agama pada hakikatnya memuat nilai-nilai normativitas dan historisitas
yang saling berinterelasi. Hubungan antara keduanya, adalah hubungan yang saling tarik
ulur, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam agama pasti terdapat
pesan-pesan teks maupun konteksnya. Pola relasi antara keduanya adalah pola
relasionalitas yang saling berdialektika. Kadang salah satu di antaranya melakukan peran-
peran untuk menguatkan, menjustifikasi dan tidak jarang pula melakukan kritik dan
koreksi.
Oleh karena itu, upaya kontekstualisasi pemikiran hukum Islam senantiasa mengidealkan
adanya pola relasi dialektis, antara tataran normativitas nilai-nilai teks yang dianggap
memiliki kebenaran universal-transendental (teologis) dengan tataran historisitas nilai-
nilai keberagamaan Islam yang bersifat partikular-kultural (sosiologis). Lebih riil,
pengandaian pola relasionalitas antar keduanya bisa dirasakan ketika praktik
keberagamaan yang bersifat historisitas itu menyimpang, maka nilai-nilai normativitas
teks bisa dijadikan alat koreksi sekaligus dijadikan sebagai media untuk ditafsirkan dan
dipahami kembali bagaimana idealitas pola keberagamaan Islam dalam konteks ke-
Indonesiaan itu. Logika dialektika ini bisa diilustrasikan dalam nalar yang lebih
sederhana, yaitu “ jika nilai-nilai normativitas teks yang bersifat universal-transendental
itu tidak secara efektif mampu membumi dalam tataran realitas, maka keberadaannya
bagaikan adagium-adagium tak bermakna, sebaliknya jika perilaku keberagamaan yang
bersifat partikular-kultural tidak mendapatkan sentuhan-sentuhan nilai fundamental teks,
maka bagaikan tindakan yang kehilangan arah. Kehilangan arah berarti telah kehilangan
relevansi yang selalu dituntut oleh perkembangan zaman untuk senantiasa melakukan
aktualisasi dan kontekstualisasi ajaran-ajarannya. Dengan demikian ia menjadi sebuah
ajaran yang mampu merespon sekaligus memfilter beragam nilai sekuler yang datang dari
luar.
Tulisan ini secara sosiologis akan melihat pola dialektika agama dan kearifan budaya
lokal pada sosok Imam Syafi’i. Selain juga menelaah kerangka metodologinya, hingga
mengantarkannya sebagai mujtahid mutlak, peletak dasar metodologi dalam Islam.
Sebelum mengupas secara mendalam dimensi metodologis Imam Syafi’i, sebagaimana
yang dimaksud di atas, tulisan ini akan diawali dengan kajian historis, yaitu kajian yang
ingin melihat bagaimana proses sosial dan karir sosial Imam Syafi’i, hingga melahirkan
sosok imam mujtahid tersebut.
B. B. Sejarah Kehidupan Imam Syafi’I telah dilahirkan. Menyangkut tentang tahun
kelahirannya, di mata para ahli sejarah tidak ditemui adanya perselisihan pendapat,
namun ketika mempersoalkan tempat di mana ia dilahirkan, di sana mulai tampak ada
perbedaan-perbedaan, meskipun tidak mendasar. Sebagian ada yang mengatakan bahwa
Imam Syafi’i lahir di Ghazah, yaitu bagian selatan Palestina. Sebagian yang lain
mengatakan ia lahir di Asqalan (Libanon).asal Quraysi ituAbu Abdillah Muhammad
bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i al-Syaib bin Ubaid bin al-Yazid bin
Hasyim bin al-Muthallib bin Abdu al-Manaf al-Muthallibi (anak paman Rasulullah) ,
adalah nama asli dari Imam Syafi’i. Dalam pandangan para ahli sejarah tepatnya pada
tahun 150 H (767 M), beliau Perbedaan ini dianggap tidak terlalu mendasar karena kedua
tempat tersebut sama-sama berada di wilayah Palestina. Hanya saja yang satu berada di
kota sedangkan satunya berada di desa. Ada dua peristiwa penting yang perlu dicatat
dalam sejarah seputar kelahiran Imam Syafi’i.
C. Pertama; tahun kelahiran Imam Syafi’i adalah tahun dimana dua ulama besar dunia telah
pulang ke rahmatullah. Seorang di Bagdad (Irak), yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man bin
Tsabit sebagai pembangun madzhab Imam Hanafi. Seorang lainnya di Makkah, yaitu
Imam Ibnu Jurej al-Makky, mufti Hijaz ketika itu. Perkataan serupa juga muncul dari
Imam al-Nawawi dalam kitabnya “Tahdzibu al-Asma’ wa al-Lughat”, diperkuat lagi
oleh Yaqut dalam kitabnya “Mu’jam al-Udaba”. Kedua; sewaktu masih berada dalam
kandungan, ibunya pernah bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya,
seraya naik membumbung tinggi, hingga bintang itu pecah bercerai dan berserak
menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Dua peristiwa penting di atas telah memunculkan
ragam prediksi dari sejumlah futurulog, yang mayoritas berkesimpulan bahwa al-Syafi’i
adalah sosok dimana kelak ia akan menjadi imam besar. Hanya saja berbagai prediksi
yang muncul di satu sisi secara rasional kurang memperoleh dukungan baik materiil
maupun moril. Hal demikian bisa kita lihat dalam suatu kondisi, dimana dalam rentang
waktu yang tidak terlalu lama, ayahnya telah meninggal. Selalnjutnya ia dibawa ibunya
untuk pergi ke Makkah dan ketika itu ia baru berusia 2 tahun, belum lagi ditambah
kondisi ekonomi ibunya yang sangat memprihatinkan. Kehidupan yang pahit ini ternyata
tidak membuat Imam Syafi’i patah semangat. Namun dibalik keprihatinannya ternyata
telah membuat dirinya gigih dalam berbagai hal. Bahkan kehidupannya mulai kecil,
dewasa hingga sepeninggalnya, telah difungsikan sebagai perjuangan dan pengorbanan
yang penuh terencana. Keseluruhan proses tersebut selalu diimbangi dengan sikap
kesabaran, keberanian, kesatriaan, keikhlasan dan ketaatan. Berjuang dalam ilmu dan
pengetahuan, berkorban untuk memperoleh kebenaran dan keadilan, sabar dalam
menghadapi musibah, berani menghadapi peristiwa dan krisis, ikhlas kepada Allah, rasul
dan kedua orang tuanya. Karakteristik Imam Syafi’i yang telah terbangun sedemikan
baiknya ini, tidak lepas dari niat dan tekat bulat seorang ibu, yang telah membawanya ke
tanah kampung halamannya. Pertimbangan sepertinya didasarkan pada suatu keyakinan
bahwa Makkah disamping sebagai tanah peninggalan nenek moyangnya, Makkah juga
sebagai tanah yang banyak di domisili oleh para ulama, fuqaha, udaba dan lain-lainnya.
Melalui pertimbangan ini dimungkinkan Imam Syafi’i kelak akan mengalami
perkembangan, seiring dengan perkembangan bahasa Arab murni dan keilmuan mereka.
Melalui kemampuan bahasa ini pula berbagai ilmu keagamaan dan seni sastra yang ia
cita-citakan akan segera tercapai. Inilah faktor yang cukup beralasan dari ibunda Imam
Syafi’i, mengapa beliau membawa kembali Imam Syafi’i ke kampung halamannya.
Telah kita maklumi bersama bahwa abad I dan II H adalah abad dimana umat Islam
berada dalam puncak keemasannya. Islam sudah tersiar luas ke Barat sampai ke Maroko
dan Spanyol. Sementara ke Timur sampai ke Iran, Afganistan, India Selatan, Indonesia,
Tiongkok dan Afrika. Keadaan ini membuat para Khalifah yang berkuasa pada saatnya,
yaitu khalifah al-Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbas tidak saja menonjolkan sisi-sisi
keberanianya saja, melainkan juga upaya pengembangan keilmuan dan pengetahuan
menjadi fokusnya, utamanya pada masa khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H) dan al-
Makmun (198-219 H).
D. C. Proses Pengembaraan Keilmuan Imam Syafi’i.
ia telah mampu menghafal al-Quran, sejumlah tiga puluh juz di luar kepala.berkat
ketekunannyaSuasana di atas secara tidak langsung mendorong idealitas Imam Syafi’i
menghabiskan usia mudanya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Adalah al-Quran ilmu
yang mula-mula dipelajari Imam Syafi’i. Untuk mendalami al-Quran ini, ia berguru
kepada Ismail Qustanthein, salah seorang syaikh Makkah pada masanya. Disamping
menurut beberapa riwayat, Syafi’i juga banyak berguru kepada beberapa syaikh di
Makkah ketika itu, antara lain Ma’ruf bin Misykan, Yahya Abdullah, dan masih ada lagi
guru-guru al-Quran lainnya. Dalam usia kurang lebih 9 tahun
Keberhasilannya menghafal al-Quran sejumlah 30 juz membuatnya tertarik terhadap
disiplin ilmu lain. Hal demikian bisa kita lihat bagaimana ketekunannya mempelajari
prosa dan puisi, syair-syair dan sajak bahasa Arab klasik. Hingga dalam kesehariannya ia
menyempatkan datang ke sebuah qabilah Badui di Padang Pasir, disamping juga qabilah
Hudzel. Lebih dari itu terkadang ia menyempatkan untuk tinggal beberapa minggu di
qabilah tersebut, guna mendalami sastra Arab. Inilah sebabnya mengapa ia mahir di
dalam kesusastraan Arab kuno, dengan menghafal di luar kepala syair-syair dari Imru’ul
Qais, Zuheir dan syair Jarir dll. Sejumlah ilmu kesusastraan Arab di atas secara tidak
langsung menjadi alat yang menopang/pisau analisis Imam Syafi’i untuk memahami al-
Quran yang diturunkan dengan bahasa Arab murni. Berbekalkan ilmu alat ini pula yang
membuatnya tertarik mempelajari ilmu-ilmu lain yang terkait dengan agama, seperti ilmu
hadits dan fiqh. Tersebut dalam sejarah yang diceritakan oleh Mush’ab bin Abdillah al-
Zabiri, bahwa suatu hari Imam Syafi’i mengendarai unta, tiba-tiba di belakangnya ada
orang lain yaitu juru tulis bapaknya Mush’ab. Kata Mush’ab, Imam Syafi’i ketika itu
sedang berdendang dan menyanyi menyuarakan sebuah syair, tiba-tiba jurutulis tersebut
menegurnya. Wahai pemuda, kamu hanya menghabiskan masa mudamu untuk menyanyi
dan berdendang, alangkah baiknya jika waktu mudamu untuk mempelajari hadits dan
fiqh.
Teguran inilah kata Mush’ab yang tidak kalah pentingnya menjadi faktor lain yang ikut
menggerakkan niat Imam Syafi’i mempelajari hadits dan fiqh, disamping faktor
kemahiran bahasa di atas. Berkat teguran itu pula yang mendorongnya pergi ke salah
seorang mufti Makkah, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanji dan ulama hadits Sofyan bin
Uwaniah (198 H). dalam waktu yang relatif singkat, kurang lebih satu tahun setelah ia
menghafal al-Quran, kitab hadits karangan Imam Malik yang berjudul al-Muwatha’ juga
telah ia hafal dan dikuasai di luar kepala. Dengan dasar-dasar keilmuan yang telah ia
miliki, telah membuka kemungkinan melebarnya cabang-cabang ilmu lain, termasuk
ilmu-ilmu tafsir, ushul fiqh, musthalah al-hadits, dll. Dengan demikian tepat berusia 18
tahun, ia telah dipercaya gurunya, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanji untuk menjadi
pengajar di masjid al-Haram (masjid Makkah). Karena kapasitas keilmuannya yang
mumpuni, membuat sejumlah besar al-Hujjaj ketika itu terkagum-kagum.
Kekaguman para hujjaj pada masanya tidak berpengaruh sedikitpun pada diri Imam
Syafi’i, hingga membuatnya takabur dan tidak lagi mau meningkatkan keilmuannya.
Keadaan sepertinya justru dianggap telah banyak mendorong Imam Syafi’i untuk
meningkatkan kualitas keilmuannya. Kota Madinah, dalam hal ini yang menjadi obsesi
pertamanya untuk mendalami ilmu hadits. Karena Madinah pada masanya dianggap
sebagai tempat para tabi’in dan tabi’ tabi’in. belum lagi diantara ulama tabi’in tersebut
ada seorang ulama yang menjadi idolanya, yang terkenal dengan gelar “Imam Dar al-
Hijrah” (imam negeri tempat Nabi hijrah), yaitu Imam Malik bin Anas, sebagai
pembangun madzhab Maliki, yang lahir tahun 93 H, 57 tahun lebih tua dari umurnya.
Daya tarik Imam Malik yang paling menonjol menurutnya, hingga ia berminat untuk
melakukan pengembaraan keilmuan, adalah karena Imam Malik sebagai huffad hadits
nomor satu pada masanya. Sehingga tak seorang pun yang mampu menandingi beliau
dalam soal hafalan hadits. Disamping itu, ia adalah seorang yang terkenal tekun dan
sungguh-sungguh dalam mengumpulkan hadits-hadits Nabi, bahkan ia telah
menghafalkannya sebanyak 100.000 hadits dalam usianya 40 tahun. Pengalaman beliau
yang tak kalah menariknya, adalah upaya-upaya untuk meneliti dan memilih sejumlah
hadits yang telah dihafal, hingga tinggal 5000 hadits yang beliau anggap sangat shahih.
Dari 5000 hadits inilah akhirnya ia kumpulkan ke dalam satu kitab fiqh yang bernama al-
Muwatha’, yang mengandung pengertian yang disepakati. Karena pada waktunya ia telah
memperlihatkan kitabnya kepada 70 orang ulama fiqh di Madinah, dimana kesemua
ulama tersebut ketika itu telah menyetujui. Atas dasar pengalaman Imam Malik inilah
yang membuatnya tertarik untuk mendatangi dan menjelajahi keilmuannya.
Perjalanan kemudian, sesampainya di Madinah, ia langsung menemui Imam Malik dan
wali kota Madinah dengan membawa surat dari wali Makkah. Dari pertemuan singkat
tersebut berkesimpulan bahwa Imam Syafi’i telah diterima sebagai muridnya, meski
tanpa membawa surat sekalipun. Pada mulanya ia di sana dianggap sebagai lazimnya
para murid yang menimba ilmu pengetahuan. Sehingga wajar ketika itu jika Imam Malik
hendak menyuruh guru lain untuk membacakan kitabnya kepada murid barunya itu.
Mengingat niat dan tekatnya ingin berguru langsung pada Imam Malik, akhirnya Imam
Syafi’i menolak jika kitab tersebut dibacakan oleh guru lain. Dengan kemauannya yang
gigih ini, akhirnya ia diterima untuk berguru langsung kepada Imam Malik.
Kesehariannya ia selalu datang ke tempat halaqah, dimana Imam Malik membacakan
kitabnya.
Karena keseriusannya, ia memperoleh kepercayaan besar dari Imam Malik, lantas
diundang untuk selalu menginap di rumahnya, dan setiap hari datang ke masjid bersama-
sama, sebagai pembantu dalam mengajar kitab al-Muwatha’. Kegiatan seperti ini berjalan
kurang lebih satu tahun. Akhirnya tugas yang mulia ini membuatnya banyak kenalan dari
berbagai penjuru. Melalui perantaraan dan media itulah, ia mendengar informasi dari
beberapa ulama yang ikut dalam halaqah, bahwa Bagdad dan Kufah adalah tempat
ulama-ulama murid Abu Hanifah. Berawal dari sini selanjutnya ia berkunjung ke Irak dan
Mesir, dengan bercita-cita selain memahirkan pengetahuan yang berkaitan dengan
bahasa, juga untuk menemui ulama-ulama ahli hadits dan fiqh ketika itu. Karena pada
masa al-Rasyid, Irak dianggap sebagai negeri tempat ilmu pengetahuan yang memancar
ke seluruh penjuru dunia.Tak lama kemudian sesampainya di Kufah ia menemui para
ulama, sahabat almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin
Hasan, sejak itulah ia sering bertukar pikiran dengan mereka. Dari hasil pergulatan
keilmuan yang ia alami secara intens, membuatnya mampu memahami karakteristik
aliran-aliran atau model fiqh ala Hanafi. Tentu model aliran ini agaknya berbeda jauh jika
di dekatkan dengan fiqh ala Maliki. Dari dua perbedaan aliran dan model di atas, bisa
dipetakan secara jelas bahwa Imam Malik adalah ahlu al-hadits, sedangkan Imam Abu
Hanifah adalah aliran yang mengikuti paham ahlu al-ro’y. Selanjutnya ia meneruskan
perjalanan menuju ke Persi sampai ke Anadhali (Turki) hingga ke Ramallah (Palestina).
Selama perjalanannya ia banyak mengetahui berbagai adat-istiadat yang beragam di luar
bangsa Arab. Inilah pada gilirannya yang banyak menolong Imam Syafi’i dalam
membangun fatwanya ke dalam madzhab Syafi’i. Genap 2 tahun perjalannya meninjau ke
Bagdad, Persia, Turki dan Palestina, ia kembali ke Madinah, yaitu ke guru besarnya
Imam Malik. Dari sana tampak perkembangan ilmu Imam syafi’i yang begitu pesat,
bahkan ada pertanda dari Imam Malik bahwa ilmu Imam Syafi’i telah melebihi ilmunya.
Atas dasar inilah Imam Malik mengijinkan Imam Syafi’i untuk berfatwa sendiri dalam
ilmu fiqh. Ia tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Malik, demikian juga Hanafi. Namun
ia diijinkan atas dasar fatwa madzhab yang telah ia bangun sendiri, yaitu madzhab
Syafi’i. Meski secara otoritas keilmuan ia telah diakui oleh Imam Malik, namun dalam
kesehariannya ia masih hidup bersama-sama dengan Imam Malik sampai tahun 179 H,
yaitu hingga Imam Malik meninggal. Dengan demikian Imam Syafi’i berguru kepada
Imam Malik, berkisar 7 tahun, yaitu tahun 170-172 H dan dari 174-179 H.
Setelah gurunya berpulang ke rahmatullah, tak lama kemudian karena kecakapannya,
maka oleh wali negeri Yaman, ia diangkat menjadi sekretaris negara sambil mengajar dan
menjadi mufti di Yaman. Sementara itu ia masih menyempatkan untuk berguru kepada
syaikh Yahna bin Husein seorang ulama besar di kota Shan’a ketika itu.
Di kota ini pula ia akhirnya menikah dengan seorang putri keturunan Saidina Utsman bin
Affan, ketika itu ia berusia 30 tahun. Dari pernikahan ini telah melahirkan 3 anak, 2 anak
perempuan dan satu laki-laki, yaitu Muhammad bin Syafi’i, yang pada akhirnya anak
beliau pun juga menjadi ulama besar dan qadli di Jazirah. D. Metodologi Pemikiran
Hukum Islam Imam Syafi’i Prestasi yang patut dicatat dalam diri Imam Syafi’i antara
lain karena a). sebagai perintis dasar-dasar konseptual tentang hadits, dan b). sebagai
peletak utama dasar metodologi (ushul fiqh) dalam hukum islam. Gejala-gejala itu mulai
tampak ketika Imam Syafi’i banyak belajar dan berguru tentang hadits/sunah kepada
Imam Malik. Sejak itulah Imam Syafi’i mulai berani memberi perumusan sistematik dan
tegas, bahwa sunah yang harus diikuti bukanlah setiap bentuk sunah, melainkan sunah
yang hanya berasal langsung dari Nabi. Konsekuensi pemahaman sepertinya ialah bahwa
kritik terhadap sunah dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi
terdahulu harus dilakukan. Dengan melakukan seleksi ketat, mana yang benar-benar
berasal dari Nabi dan mana yang diklaim sebagai dari Nabi. Sejak itu pula semua laporan
dan cerita tentang hadits harus diuji secara teliti menurut standart ilmiah tertentu yang
sangat kritis. Berawal dari sini ilmu Musthalah al-Hadits yang juga disebut ilmu Dirayah
al-Hadits (ilmu kritik terhadap hadits) telah muncul. Kenyataan inilah yang membuatnya
dijuluki sebagai perintis kajian ilmiah hadits. Penelitian ilmiah terhadap laporan dan
cerita Nabi, yang ia rintis telah memperoleh bentuknya yang paling kuat setelah
munculnya sarjana hadits kelahiran Bukhara di kawasan Transoksania, yang dianggap
paling tinggi otoritas ilmiahnya, yaitu al-Bukhari. Berkat kepeloporan Imam Syafi’i,
muncul pula secara berturut-turut beberapa tokoh hadits yang kritis, yang secara kolektif
karya-karya mereka dinamai dengan al-kutub al-sitah. Banyak hal yang melatarbelakangi
Imam Syafi’i bertindak kritis seperti ini, antara lain kegiatan pemikiran yang berkembang
dengan pesatnya ketika itu, hingga membuka kemungkinan untuk membawa ide-ide
dasar agama menjadi relevan dengan perkembangan tuntutan masyarakat, disatu sisi.
Meskipun di sisi lain kemampuan intelektual pada ujung-ujungnya juga bermasalah, yaitu
pemikiran yang keluar dari teks selalu dianggap sebagai pendapat pribadi/al-ro’y.
Sehingga selalu rawan terhadap ancaman subjektivisme. Keadaan inilah yang mendorong
Imam Syafi’i untuk membuat penajaman batasan dan pemastian keabsahan antara sunah
dan atsar.Disadari atau tidak metodologi pemikiran Imam Syafi’i ini, ternyata menjadi
model yang paling khas di antara beberapa model yang digunakan untuk mendekati dan
menggali suatu hukum. Sisi lain yang tak kalah menarik adalah, bahwa metodologi
pemikiran Imam Syafi’i sejak diterbitkannya hingga kini belum ada tandingannya.
Disinilah urgensitas sebuah metodologi yang memiliki daya aktualitas sepanjang sejarah,
suatu metodologi yang langsung mengadopsi logika al-Quran. Daya aktualitas dan
universalitas metodologi pemikiran hukum Imam Syafi’i tersebut, disatu sisi
memudahkan para ulama yang datang kemudian, namun di sisi lain membuat para ulama
modern enggan memaksimalkan pemikirannya, dan yang terjadi adalah pengulangan ide-
ide lama. Dengan demikian setiap ulama yang akan menetapkan suatu hukum atas suatu
kejadian/fenomena, tentu mereka akan lebih dahulu menetapkan metode berpikir mana
yang akan dipilih dan diikuti. Dan bukan metodolgi yang dikreasi sendiri, yang selalu
memiliki relevansi dan signifikansi terhadap tuntutan budayanya. Meskipun dari berbagai
sisi kita ketahui bahwa metode berpikir akan sangat menentukan hasil keputusan akhir
dari suatu hukum. Indikasi ini bisa kita lihat dari ragamnya para ulama fiqh dalam
memilih dan menerapkan metode berpikirnya, hingga berakhir pada formulasi fiqh yang
berbeda pula. Sayang tidak banyak ulama kontemporer yang mampu memfungsikan
orisinalitas pemikirannya untuk melakukan istinbath hukum. Karena mayoritas di antara
mereka masih banyak yang merujuk metodologi Imam madzhab yang dipandang
memiliki otoritas keagamaan yang memadai. Sementara metodologi Imam madzhab
dibuat sesuai dengan situasi dan kondisi sosio kultural ketika itu. Tentu metodologi
pemikiran sepertinya kurang relevan dengan perkembangan budaya kekinian. Padahal
upaya para ahli fiqh dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya tidak akan
membuahkan hasil yang memadai, bila menggunakan cara-cara yang kurang tepat.
Dalam pandangan Ali Hasbullah, ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para
ulama ushul fiqh dalam melakukan istinbath hukum, yaitu a). melalui pendekatan kaidah-
kaidah kebahasaan (teks) dan b). dengan pendekatan makna atau maksud syari’ah
(konteks).
Cara-cara pendekatan seperti ini, dari satu aspek memiliki kekurangan karena pendekatan
sepertinya masih bersifat umum. Dan metodologi model apapun, selama masih
bersinggungan dengan teks bahasa (al-Qur’an dan al-Hadits), tidak akan bisa lepas dari
trend seperti di atas. Dengan kata lain trend metodologi di atas bukanlah trend yang baru,
tetapi trend yang sudah wajar, di mana sejak orang islam berkeinginan menggali hukum
juga melewati model seperti ini. Berbeda dengan metodologi pemikiran hukum Imam
Syafi’i yang muncul beberapa abad yang lalu. Sebuah metodologi yang telah
mengenalkan kaidah-kaidah teoritik yang diilhami oleh logika al-Quran. Tentu
metodologi sepertinya adalah metodologi yang telah melalui proses panjang, antara lain
pertanyaan Syafi’i menyangkut esensi al-Quran. Apakah ia hanya makna semata atau
makna yang dibungkus dengan kata-kata. Bagi Syafi’i suatu pendekatan yang jarang
dilakukan adalah pendekatan yang terinci menyangkut penggunaan dalil dan pemaknaan
atas dalil. Jika para ulama berbeda dalam wilayah penggunaan dalil berikut berbeda atas
pemahaman dalil tersebut, maka formulasi fiqhnya pun juga akan jauh berbeda. Baginya
dua pokok pemikiran ini merupakan persoalan yang fundamental. Istilah dalil yang
digunakan Imam Syafi’i di atas agaknya identik dengan sumber hukum. Kata sumber
untuk hukum islam ini, merupakan terjemahan dari Arab, yaitu mashadir, dimana kata
tersebut hanya digunakan oleh sebagaian kecil para penulis kontemporer dalam hukum
islam, sebagai ganti dari sebutan al-‘Adillah al-Syari’iyah dan tidak ditemukan adanya
istilah mashadiru al-ahkam. Ini artinya kedua terma di atas secara umum, memiliki
makna konteks yang sama (dekat). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pengguanaan
dalil dan pemaknaan dalil sama artinya dengan penggunaan sumber hukum dan
pemaknaan atas sumber hukum. Disinilah para ulama banyak menemukan perbedaan-
perbedaan, mulai dari pembatasan sumber yang sah untuk digunakan dalil dan yang tidak
sah untuk digunakan dalil. Lebih-lebih menyangkut pemaknaan atas dalil atau sumber
hukum tersebut. Inilah sebabnya Imam Syafi’i segera menaruh perhatian yang besar
untuk menyusun metodologi pemikirn hukum (ushul fiqh), hingga muncullah karya
monumentalnya yang berjudul al-Risalah. Sejak itu pula murid-murid dan pengikut
madzhabnya di kemudian hari tetap merujuk kepada kita al-Risalah tersebut.
D.1. Dasar-dasar Pemikiran Imam Syafi’i tentang Penggunaan Dalil
Pembicaraan menyangkut dalil-dalil syara’, dalam beberapa kitab ushul fiqh selalu
berkisar di seputar dalil-dalil syara’ yang disepakati dan dalil-dalil syara’ yang
diperselisihkan. Beberapa istilah populer dari dalil syara’ atau sumber hukum itu antara
lain adalah ‘adillah al-ahkam al-mutafaq ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang disepakati),
mashadiru al-ahkam al-mutafaq ‘alaiha (sumber-sumber hukum yang disepakati), ‘adillah
al-ahkam al-mukhtalaf ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang diperselisihkan), mashadiru al-
ahkam al-mukhtalaf alaiha (sumber-sumber hukum yang diperselisihkan). Sedangkan
dalil/sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama ahl al-sunah ada
empat, yaitu al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Sementara selebihnya seperti istihsan,
istishab, istishlah dan sebagainya, merupakan dalil/sumber yang diperselisihkan oleh para
ulama.
Ibrahim Ibnu Sayyar al-Nazdam (185-221 H), salah seorang tokoh mu’tazilah, berikut
para ulama khawarij tidak mengakui otoritas ijma’ sebagai dalil/sumber hukum. Menurut
mereka ijma’ tidak mungkin terjadi karena tidak mungkin menghadirkan segenap
mujtahid pada suatu masa dari berbagai belahan dunia Islam di suatu tempat untuk
sepakat pada kasus tertentu. Lebih-lebih berkaitan dengan perbedaan struktur sosial dan
budaya masing-masing daerah di wilayah dunia Islam. Sementara itu Syi’ah Imamiyah
hanya mengakui kehujjahan ijma’ sejauh keterkaitan dengan sunah, bukan sebagai
dalil/sumber hukum yang berdiri sendiri. Bahkan versi Syi’ah aliran Akhbari, mereka
mengatakan Qiyas tidak dapat diterima sebagai dalil/sumber hukum, dengan alasan Qiyas
baginya adalah dugaan murni. Hal ini akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan
madzhab Syafi’i, dimana kalangan Syafi’i membagi istilah dalil menjadi dua, yaitu dalil
yang sah yang wajib diamalkan dan dalil yang sah, tetapi sebenarnya tidak sah. Yang
dimaksud dalil yang sah menurut Imam Syafi’i dan memiliki kekuatan hukum adalah al-
Quran, Sunah, Ijma’, Qiyas dan Istishhab. Sedangkan yang lainnya merupakan dalil yang
dikelompokkan pada dalil yang diperselisihkan, yaitu istihsan, maslahah mursalah, ‘urf,
madzhab shahabi, syar’u man qablana, adalah termasuk dalil-dalil yang tidak sah dan
tidak wajib diamalkan menurut al-Syafi’i. Selanjutnya dalam pembahasan ini akan
dikemukakan maksud dan kedudukan al-Quran, al-Sunah, al-Ijma’ dan al-Qiyas, yaitu
sebagai dalil yang sah dan memiliki kehujjahan. a. Al-Qur’an atau al-Kitab
Al-Kitab atau Kitabullah adalah terma yang terdapat dalam kitab al-Risalah, yang
memiliki makna serupa dengan al-Qur’an. Bagi Imam Syafi’i lafadz yang diturunkan
kepada Muhammad seluruhnya adalah berbahasa Arab meski diturunkan untuk seluruh
umat manusia di dunia ini. Menurutnya argumentasi di atas adalah sangat beralasan,
mengingat bahasa Arab adalah bahasa yang kaya dan sangat luas kosa katanya, jika
dibandingkan dengan bahasa lainnya. Aneka macam arti bisa hanya diwakili oleh satu
kata, sebagaimana beraneka kata bisa digunakan untuk satu maksud tertentu. Karena
panatis dan kuatnya keyakinan Imam Syafi’i tentang kearaban, sampai ia mewajibkan
orang-orang Islam untuk mengetahui bahasa Arab. Gagasan yang menyangkut keluasan
bahasa, yang tengah dilontarkan oleh Imam Syafi’i di atas, pada kenyataannya, ia ingin
mengatakan bahwa bahasa Arab tidak mungkin mampu dikuasai sepenuhnya, kecuali
oleh para Nabi. Dalam kitabnya, yaitu al-Risalah, ia mengatakan bahwa:
“Di dalam al-Quran terdapat kata-kata non Arab dan pendapat itu diterima, mungkin
karena ia melihat bahwa di dalam al-Quran terdapat kata-kata tertentu yang tidak dapat
diketahui oleh sebagian orang Arab. Lagi-lagi ia mengatakan bahwa bahasa Arab adalah
bahasa yang paling luas polanya, paling kaya perbendaharaan katanya. Sejauh yang
Syafi’i ketahui tidak ada manusia, selain Nabi, yang menguasai seluruh cabang-
cabangnya. Namun tak ada sesuatu yang asing dari kata-kata Arab tersebut yang tidak
dapat diketahui. Pengetahuan tentang bahasa bagi orang Arab laksana pengetahuan
tentang sunah bagi para ahli hukum. Artinya kita belum mengetahui orang yang mampu
menguasai sunah secara keseluruhan tanpa satu bagian pun yang terlewat”.
Telah kita ketahui bersama bahwa penukilan al-Quran telah dikenal adanya penukilan
mutawatir dan penukilan ahad, seperti halnya dalam mushhaf Ibnu Mas’ud. Dalam
penggunaannya, Imam Syafi’i hanya membenarkan penukilan yang mutawatir, kaitannya
untuk kehujjahan dan diamalkan, sehubungan dengan itu Imam Syafi’i tidak
menggunakan penukilan Ibnu Mas’ud yang dinilai tidak mutawatir, dan karenanya tidak
bisa dijadikan hujjah. jika apa yang perowi nukilkan tadi tidak disebut al-Quran,
mungkin yang demikian berasal dari Nabi atau bisa jadi pendapatnya sendiri. Oleh
karenanya tidak mempunyai daya hujjah. Sedemikian telitinya Imam Syafi’i untuk
mencermati apakah yang demikian itu benar-benar al-Qur’an atau bukan (sekedar
pendapatnya sendiri).Sementara yang terkait dengan “basmalah” yang berada di setiap
permulaan surat al-Quran, selain surat al-Taubah dalam hubungannya dengan
pengkategorian sebagai al-Quran atau bukan, Imam Syafi’i mengatakan dengan tegas
bahwa semua “basmalah”, yang terdapat pada setiap permulaan al-Quran, selain surat al-
Taubah, adalah al-Quran. Oleh karenanya ia selalu dibaca dalam setiap shalat bersamaan
dengan membaca awal suratnya, baik dalam kedaan jahr atau sir. Untuk memperkokoh
argumentasinya, ia mengemukakan alasan lain, bahwa basmalah dijumpai pada setiap
permulaan surat al-Quran, selain surat at-Taubah. Alasan lain yang ikut memperkokoh
argumentasinya adalah bahwa penulisan dan penyusunan al-Quran itu didasarkan atas
petunjuk Nabi. Sedangkan Nabi, kata Ibnu Abbas tidak mengetahui penutup dan
pembukaan surat lain hingga Jibril menurunkan kepadanya “basamalah”. Inilah kiranya
menurut Imam Syafi’i sebagai dalil yang kuat yang menunjukkan bahwa basmalah adalah
al-Quaran.
b. Al-SunahArti sunnah yang biasa disebut dalam risalah dengan “khabar”, secara
lughawi berarti “jalan”. Jalan setiap orang adalah sesuatu yang biasa dilakukan dan
terpelihara, baik yang demikian adalah sesuatu yang terpuji atau tidak. Dalam artian
istilah syara’ adalah jalan yang berasal dari Nabi dalam bentuk dalil syar’i. Termasuk di
dalamnya adalah ucapan, perbuatan dan pengakuannya.
Rasulullah telah menetapkan suatu sunah mengenai hal-hal yang ada nashnya di dalam
kitab, dan juga yang tidak ada nashnya. Apa saja yang telah ia tetapkan sebagai sunah,
Allah mewajibkan kita untuk mengikutinya. Seperti yang telah ditegaskan bahwa
mengikuti sunah Rasul berarti telah mengikuti perintah Allah. Kata Syafi’i ini merupakan
prinsip fundamental yang tidak bisa diabaikan. Tak ada alasan bagi siapapun untuk
menolak sunah Rasul, karena argumen-argumen yang telah Syafi’i kemukakan ini.
Namun begitu sebagian Shahabat menolak sunah karena ternyata bertentangan dengan
teks al-Quran, maka sejak itu pula Imam Syafi’i tampak sangat berantusias sekali untuk
mengatakan bahwa fungsi sunah tidak saja sebagai penjelas dan pengurai al-Quran,
melainkan juga memasukkannya ke dalam pola-pola semantik sebagai bagian substansial
dari struktur teks al-Quran. Pandangan di atas, sangat berpengaruh pada pola pemikiran
Imam Syafi’i, hingga ia membagi hubungan antara sunah dan al-Kitab menjadi tiga
aspek. Pertama, kemiripan semantik, yaitu kemiripan yang didasarkan kepada
pengulangan sunah terhadap wacana al-Quran. Kedua, hubungan tafsir dengan al-Bayan,
sebagaimana dalam kasus spesifikasi kalimat umum (takhshisu al-‘am) dan perincian
kalimat ambigu (tafsil al-mujmal). Ketiga, sunah berdiri sendiri sebagai teks tasyri’,
meskipun kehujjahan tekstualnya bersumber pada pemaknaan yang terdapat dalam al-
Kitab itu sendiri.Berangkat dari kerangka pemikirannya ini pula, selanjutnya ia membagi
fungsi sunah menjadi dua bagian. Pertama, sebagai konfirmasi teks al-Quran, yaitu
Rasulullah mengikuti terhadap apa saja yang telah diturunkan oleh Allah. Kedua,
berfungsi menjelaskan makna yang dikehendaki Allah dalam perintah global (mujmal),
dan menerangkan bentuk perintah itu, apakah bersifat umum atau khusus, dan bagaimana
harus melaksanakannya. Pada masing-masing segi tersebut Rasulullah tetap berpedoman
pada ketentuan kitab Allah. Dari pembagian sunah menjadi dua fungsi ini, tidak
ditemukan di antara para shahabat dan pakar ketika itu, yang berselisih pandang, namun
begitu mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan sunah Rasulullah yang berkaitan
dengan persoalan yang tidak ada nash dan al-Kitab, maka mulailah muncul beberapa
kontradiksi/berselisih pendapat. Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa Allah
membebaskan Nabi dengan tetap mewajibkan untuk mentaatinya. Sebagian lain
mengatakan Rasul tidaklah mensunahkan apapun kecuali pasti terdapat dasarnya dalam
al-Kitab. Sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa Rasulullah telah diberi risalah oleh
Allah, kemudian sunahnya ditetapkan dengan kewajiban dari Allah. Sementara yang
terakhir mengatakan bahwa semua yang Rasul sunahkan adalah ilham yang Allah berikan
melalui hatinya, dan sunahnya adalah hikmah yang diilhamkan oleh Allah ke dalam
jiwanya.
Menyikapi beberapa sikap para ulama yang kontradiksi ini, Imam Syafi’i akhirnya
menanggapi ulang bahwa sunah Rasul baik yang berfungsi menjelaskan makan perintah
Allah, sebagaimana yang dinyatakan di dalam nash al-Kitab, atau yang berfungsi sebagai
legislasi yang tanpa nash al-Kitab, menurutnya kedua-duanya sama-sama mengikat dalam
segala keadaan. Demikianlah makna penegasan Rasul di dalam hadits Abu Rafi’ yang
dikutip oleh Imam Syafi’i. Lebih jauh sunah yang memiliki kehujjahan/kekuatan untuk
dijadikan dalil menurut Syafi’i hanya ada dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
Mutawatir yang berarti khabar orang banyak yang jumlahnya mencapai pada satu batas
yang ucapan mereka menghasilkan suatu ilmu (yakin). Sementara hadits ahad adalah
hadits yang diriwayatkan oleh satu orang dari satu orang, dan demikian seterusnya,
sampai ke sumbernya, yaitu Nabi atau Shahabat. Hadits ini ungkap Syafi’i berikutnya,
tidak bisa menjadi hujjah atau pegangan, kecuali jika orang yang meriwayatkannya
terpercaya di dalam agamanya, jujur di dalam periwayatan, paham terhadap apa yang
telah diriwyaatkan, menyadari suatu lafad yang mungkin dapat merubah arti hadits, cakap
untuk meriwayatkan hadits dari kata demi kata dan hafal di luar kepala. Dalam
periwayatannya tidak terjadi tadlis (hanya mengandalkan kata orang). Dalam literature
lain dinyatakan bahwa Imam Syafi’i baru memakai hadits ahad bila perawinya
berkesinambungan dan tidak terputus.
E. c. al-Ijma’ Ijma’ dalam pandangan jumhur merupakan urutan ketiga setelah al-Quran dan
sunnah. Demikian juga menurut Imam Syafi’i, bahwa sumber syari’ah setelah al-Quran
dan al-sunnah adalah ijma’. Nampaknya Imam Syafi’i dalam hal ini yang telah banyak
berperan untuk menyamakan, lebih dari itu mendoktrinasikan konsep-konsep ijma’nya
terhadap ulama jumhur yang datang kemudian. Utamanya persamaan dalam memandang
urutan ijma’ sebagai sumber syari’ah. Perbedaan cara pandang dalam memaknai ijma’,
dalam konteks kesejarahan memang terus bermunculan, belum lagi perbedaan pandang
dalam menempatkan urutan-urutannya. Banyaknya perbedaan pandang terkait dengan
hukum, memang telah muncul sejak masa keempat khalifah yang pertama. Sehingga
pada gilirannya pemerintah menyerahkan tugas pembuatan dan pemikiran hukum ini
kepada para pakar hukum yang datang dari daerah-daerah yang berbeda-beda, utamanya
kepada ulama Madinah yang konon memiliki keshalehan paling banyak dalam Islam.
Beberapa pakar di atas pada gilirannya, dengan menggunakan metode pendapat pribadi,
juga melalui proses pencerahan dan pengasahan pikirannya, mencoba mengolah bahan-
bahan dari al-Quran dan al-sunnah (baik tradisi yang hidup maupun tradisi yang verbal).
Sayangnya bersamaan dengan tugas pemikiran yang bebas ini, belum dijumpai suatu
hasil yang memuaskan, dan yang terjadi adalah kumpulan pendapat yang tak terorganisir
dan kerkoordinir dengan baik. Berangkat dari sini muncullah gerakan koordinasi dan
unifikasi yang melengkapi dan mengembangkan kegiataan pertama. Perkembangan opini
individual (qiyas) telah berubah bentuknya menjadi penalaran analogis yang sistematis
dan terkoordinir (ijma’) dengan baik. Namun perlu dimaklumi bahwa pada generasi Islam
awal sebelum koktrin qiyas secara resmi digunakan, ternyata sejumlah praktek-praktek
yang disepakati bersama (ijma’) juga telah dicapai. Inilah sebabnya para ahli hokum dan
ahli hadits pada abad ke-2 H / 8 M memproyeksikan doktrin qiyas ke arah belakang, ke
generasi Islam awal, yaitu selalu menempatkan qiyas sebagai urutan keempat setelah
ijma’.
Namun jika dilihat perspektif sejarah, urutan sumber syari’ah setelah al-Quran dan al-
sunnah adalah qiyas, baru kemudian ijma’. Hal demikian bisa kita saksikan pada hasil
kegiatan qiyas, yaitu dengan jalan konflik, kompromi dan penyesuaian, sedikit demi
sedikit akan mengkristal dalam ijma’, yaitu yang memiliki otoritas keputusan akhir.
, baginya konsep ijma’ seperti yang telah mentradisi dan berkembang di atas secara tidak
langsung telah merusak legitimitas ijma’, bahkan ia memandangnya sudah berada pada
tingkat yang meragukan keberadaan ijma’ tersebut dalam dataran umat. Giliran
berikutnya setelah ia memperhatikan beberapa perbedaan di atas, kemudian ia
memberikan komentar, antara lain:yaitu masyarakat MesirTradisi inilah yang membuat
Imam Syafi’i menjadi sangat bertolak belakang dalam memandang ijma’, belum lagi
ketika Imam Syafi’i dihadapkan pada masyarakat yang berbeda karakter
“Hal tersebut menunjukkan bahwa ulama salaf telah berpendapat dengan pendapatnya
dan bertentangan dengan yang lainnya, dan yang lainnya juga berpendapat dengan
pendapatnya… Ini menunjukkan bahwa sebagian mereka berpendapat dengan
pendapatnya, bahwa pendapat sebagian bukan sebagai hujjah yang harus diikuti, apabila
ia melihat pendapat sebaliknya. Dan bahwa mereka tidak memandang wajib (diikuti),
kecuali al-Quran dan sunnah, dan bahwa mereka sama sekali tidak berpendapat kalau
seluruh hukum yang khas merupakan ijma’, sebagaimana kesepakatan mereka terhadap
al-Kitab dan al-Sunnah… Apabila mereka menta’wil, maka bisa jadi mereka berselisih.
Demikian pula apabila mereka mengatakan apa yang mereka ketahui tidak ada di dalam
sunah, mreka pasti berselisih pendapat… cukup sebagian ijma’ bila anggapan sebagai
ijma’ pada semua hukum tidaklah sama seperti orang yang mengaku aku… ringkasnya
bahwa selain jumlah kewajiban yang dibebankan oleh masyarakat secara keseluruhan, tak
seorangpun diantara sahabat Rasulullah, tabi’in, ulama yang datang setelah tabi’in dan
yang datang kemudian, dan tak seorangpun yang pandai di atas dunia ini, serta tak
seorang pun yang dianggap memiliki pengetahuan oleh masyarakat, tak seorangpun dari
mereka yang mengaku terjadi ijma’ kecuali hanya sesaat saja”.
Dalam pemikiran Imam Syafi’i di atas, telah menunjukkan bahwa ia melakukan serangan
besar-besaran, berikut mengkritisi metodologi yang berkembang saat itu. Dengan
semangat dan usahanya yang besar, ia menyerukan diterimanya materi hadits secara
besar-besaran di dalam hukum. Program semacam ini secara tidak langsung telang
menyerang keras doktrin ijma’ dari aliran-aliran hukum yang ada. Selanjutnya hanya
akan membolehkan wilayah ijma’ ketika itu pada praktek-praktek dan kewajiban agama
yang mendasar. Dengan tidakannya itu secara perlahan ia ingin menyingkirkan sunah
yang hidup (ijma’), dan kalau bisa menjadikannya benar-benar tak berdaya lagi, yaitu
dengan menekankan pada kewajiban-kewajiban agama yang umum dan esensial yang
terdapat pada sunah verbal hadits. Selanjutnya ia akan mengisi seluruh kekosongan ini
dengan hadits. Dengan kata lain hanya hadits sajalah yang akan mewakili sunah, dan
bukannya tradisi yang hidup (ijma’). Hasil yang penting dan diterapkan bagi usaha ini
berupa akan dilepaskannya qiyas atau unsur-unsur penalaran dari kedudukannya untuk
menjadi penengah antara al-Quran dan sunnah di satu pihak, dan ijma’ di pihak lain.
Hanya dengan melalui upaya menentang ijma’ ini saja, ia mampu menarik kembali hadits
verbal yang sempat terisolir oleh metodologi yang berkembang ketika itu. Giliran
berikutnya untuk menolak metodologi yang terlanjur menguat seperti ini, ia tidak segan-
segan untuk mengisukan pandangan-pandangannya dan tanpa mengenal lelah ia terus
menerus untuk mengulangnya. Akibat dari usaha serius Imam Syafi’i ini, tradisi verbal
atau hadits telah mampu untuk menggantikan tradisi yang hidup (ijma’), yaitu sebagai
media penyampaian sunnah Nabi. Sejak itulah menurutnya dasar hokum harus disusun
sebagai berikut:a). al-Quran, b). sunnah c). ijma’ masyarakat dan d). usaha pemikiran
yang orisinal yang dilaksanakan melalui metode qiyas. Dengan demikian jelas sekali,
bahwa qiyas ditempatkan diluar kerangka ijma’, dan bukan dijadikan sebagai persiapan
bagi dan dalam kerangka ijma’. Sebagaimana aliran-aliran hukum lama. Klaim yang
muncul dari lawan debat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa mereka bisa mencapai
ijma’ adalah omong kosong. Namun pada segi yang lain usaha Syafi’i dengan
perkembangan hadits yang sangat pesat itu, telah menyumbat atau memperkecil pintu
ijtihad (qiyas). Tanpa terasa pula mulai momen ini qiyas telah berangsur-angsur
kehilangan daya vitalitasnya, hingga pada akhir abad ke-3 H atau 9 M dan awal abad ke-4
H/10 M, dimana dogma atau hukum telah mengambil bentuknya yang mapan (pasti).
Ijma’ yang dicapai waktu itu telah dinyatakan final, sementara pintu ijtihad dinyatakan
tertutup. Dengan kata lain begitu hadits telah diteguhkan kedudukannya oleh ijma’,
secara logis ia (hadits verbal) akan mengisolirkan ijma’ tersebut. Sejak itulah dogma atau
hokum tidak mengalami perkembangannya, ditambah lagi kreatifitas dan kecemerlangan
sejarah intelektual tiba-tiba saja berakhir dengan suram.
Kumpulan hadits yang telah dikukuhkan oleh ijma’ telah menurunkan derajat qiyas
menjadi ban serep dan menjadi terpisah fungsinya dari ijma’. Ijma’ yang pada awalnya
merupakan fungsi dari tradisi yang hidup, yang muncul dari pemikiran baru yang segar,
kini tiba-tiba ia tak bias meneruskan fungsinya sebagai organisme yang diperlukan untuk
pertumbuhannya. Belum lagi persyaratan ijtihad pada saatnya, telah dibuat sedemikian
rumit, sulit dan ketatnya. Ditetapkan demikian tingginya hingga berada diluar jangkauan
pemikiran manusia. Konsep ijma’ yang dibangun oleh Syafi’i ini, pada akhirnya
mengharuskan untuk disandarkan kepada dalil yang ada, yaitu al-Kitab, al-sunnah dan
yang memiliki hubungan kepada qiyas. Alasan mengapa ijma’ harus memiliki sandaran
itu adalah, pertama, bila ijma’ tidak memiliki dalil sandarannya, maka ijma’ akan sampai
pada kebenaran. Kedua, bahwa para sahabat keadaannya tidak akan lebih baik dari Nabi,
sementara Nabi sendiri tidak pernah menetapkan hukum kecuali berdasarkan pada
wahyu. Ketiga, pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil, baik dalil itu kuat atau
lemah, adalah salah besar. Keempat, pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil, maka
ia tidak akan diketahui kaitannya dengan hukum syara’. Demikianlan penggunaan ijma’
yang begitu terbatas menurut Imam Syafi’i. d. al-Qiyas Istilah qiyas, menurut para ahli
hukum Islam, berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan suatu kesimpulan dari
prinsip tertentu yang terkandung dalam suatu preseden, hingga sebuah kasus yang baru
dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau disamakan dengan preseden tersebut dengan
kekuatan sifat esensial umum yang disebut dengan alas an (‘illah). Argumen ini
nampaknya hampir identik dengan maksud ungkapan Imam Syafi’i dalam kitab al-
Risalahnya, yaitu bahwa semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim
tentu telah ada hukumnya yang jelas dan mengikat, atau sekurang-kurangnya ada
ketentuan umum yang menunjuk kepadanya. Titik temu dari ungkapan yang pertama dan
kedua adalah sama-sama terikat oleh ketentuan umum/prinsip tertentu. Namun jika tidak
terdapat ketentuan umum yang menunjuk kepadanya, maka ketentuan hukum tersebut
harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tak lain adalah qiyas (analogi).
Dalam perkembangan selanjutnya istilah yang menyerupai qiyas, juga dijumpai dalam
filsafat islam, dalam rangka untuk memasukkan sillogisme atau penalaran sillogistik.
Hanya saja bagi pendahulu Islam yang paling awal penalaran analogis ini disejajarkan
dengan penalaran pribadi (ro’y) yang mempunyai nada subjektif yang kuat. Jenis
pemikiran seperti ini, saat itu relatif bebas dan menghasilkan segudang pendapat hukum
dan keagamaan yang saling bertentangan. Masalah-masalah baru dalam lapangan hokum
memang muncul sejak dahulu hingga sekarang. Untuk menghadapi masalah-masalah
tersebut para ulama fiqh terpaksa harus menggunakan hukum akal, logika dan pendapat
(ijtihad). Berangkat dari pemikiran ini, qiyas memang deanggap sebagai unsure penting
dalam kaitannya dengan upaya pemecahan hokum yang tidak terdapat nashnya. Hanya
saja perbedaan penggunaan qiyas yang terdapat dalam konteks sejarah, nampak sangat
tajam sekali. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan pada masa prakehidupan
Syafi’i dan pascakehidupannya. Posisi qiyas di era prakehidupannya, lebih diposisikan
sebagai persiapan dan dalam kerangka ijma’, dengan prinsip maslahat, sebagaimana
tujuan diadakannya suatu hukum. Sementara qiyas pada pascakehidupannya diletakkan
pada posisi akhir setelah ijma’. Posisi qiyas yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan
tidak berperannya qiyas, lantaran ia harus selalu disandarkan kepada teks yang ada.
Karena menurutnya qiyas akan digunakan, hanya apabila di dalam al-Quran dan sunnah,
tidak membicarakan sama sekali tentang persoalan yang dipertanyakan hukumnya.
Lebih dari itu menurut Imam Syafi’i, jika dalam al-Quran dan sunah sudah jelas maksud
kandungan pesan hukumnya, lebih-lebih sudah diamalkan oleh Nabi dan sahabatnya,
maka sudah tidak perlu lagi untuk mempersoalkan kemungkinannya mentakwilkan teks
tersebut. Indikator di atas menunjukkan bahwa Imam Syafi’i memang tidak berpikir
bebas sebagaimana yang ditemuh oleh ulama yang hidup sebelumnya, utamanya adalah
Imam Abu Hanifah yang sangat rasionalistik itu.Sejalan dengan itu, Syafi’i juga
berpendapat bahwa ilmu itu adalah al-Kitab, al-sunnah, al-ijma’, al-atsar baru kemudian
al-qiyas. Belum lagi ketentuan Syafi’i menyangkut tentang persyaratan qiyas yang sangat
rumit dan sulit itu, bahwa qiyas baru boleh dilakukan oleh seseorang yang memiliki
kemampuan untuk menguasai hukum-hukum yang terdapat dalam al-Kitab,al-sunnah,
pendapat kaum salaf, ijma’ dan akhtilaf serta bahasa Arab yang baik dan benar.
Dari pada pemikirannya ini, dapat diketahui bahwa penyikapan Imam Syafi’i terhadap
persoalan-persoalan keagamaan adalah ekstra hati-hati, di satu sisi. Di sisi lain ia ingin
mencoba mengambil jalan tengah, di antara pemikiran Imam Abu Hanifah yang bebas
rasionalistik dan pemikiran Maliki yang tekstual normatif. Ada masanya orang
menggunakan akal dengan jalan qiyas, demikian juga menggunakan akal yang tunduk
pada penggunaan teks wahyu. Bagi Imam Syafi’i, ijtihad itu hanya dengan metode qiyas,
dan tidak dengan cara yang lain. Terakhir, ia menegaskan bahwa ijtihad dan qiyas adalah
dua kata untuk makna yang sama. Imam Syafi’i nampaknya memang telah dikenal
sebagai ahli hokum pertama yang menuliskan dasar-dasar hukum secara umum, telah
dianggap berjasa untuk meneguhkan qiyas sebagai sebuah prinsip, namun pola
pemikirannya ternyata juga telah diilhami oleh aliran hukum kecil yang menamakan
dirinya sebagai aliran literalis (zhahiri) yang dikomandani oleh Daud.
Meski demikian hati-hatinya, Imam Syafi’i tidak berarti tidak beranjak sama sekali dari
nash dan qiyas. Indikasi ini bisa kita lihat, bahwa dalam beberapa aspek, ternyata ia juga
melakukan penelitian berbagai persoalan yang nyata-nyata tidak dijelaskan sama sekali
oleh al-Qur’an. Sebut saja misalnya, ketika ia ditanya tentang batasan darah haid.
Kesimpulan hasil penelitiannya mengatakan bahwa haid itu batas minimalnya adalah
sehari semalam. Sementara batas maksimalnya adalah lima belas hari. Ia melakukan
penelitian seperti ini karena persoalan-persoalannya tidak dimuat dalam nash. Dalam
konteks seperti ini tidak menutup kemungkinan akan diperoleh pandangan yang berbeda-
beda dari masing-masing ulama yang juga melakukan aktifitas yang sama.
Berangkat dari pola pemikirannya, ia membagi hukum syara’ menjadi dua. Pertama :
pengetahuan hukum syara’ yang didasarkan pada al-Quran dan hadits akan menghasilkan
kebenaran hukum secara lahir dan batin. Oleh karenanya harus dipatuhi oleh seluruh
umat muslim dan tidak seorangpun yang boleh meragukannya. Kedua : pengetahuan
hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad, yaitu dengan menggunakan indikasi yang
ada. Hal ini akan sampai pada kebenaran hukum yang lahir saja, dan belum tentu benar
menurut bathinnya, yaitu menurut ulama lainnya. Sebab tidak ada yang mengetahui yang
gaib selain Allah. Disanalah menurutnya akan terjadi keragaman pandangan di antara
ulama yang satu dengan yang lainnya.Namun demikian tidak semua qiyas akan
menghasilkan pendapat yang berbeda. Karena menurutnya qiyas masih dibagi lagi
menjadi dua bagian. Pertama, qiyas yang furu’nya sama arti dan merupakan bagian dari
pada asalnya. Qiyas seperti ini memiliki tingkat kebenaran yang tinggi, hingga para
ulama tidak diperkenankan untuk berselisih paham tentangnya. Kedua, qiyas yang
furu’nya mempunyai kesamaan dengan beberapa asal, karenanya dihubungkan dengan
asal yang paling tepat dan paling banyak segi kesamaannya. Qiyas model yang kedua ini
tidak kuat tingkat kebenarannya, hingga para ulama banyak berbeda pendapat padanya.
D.2. Dasar-dasar Pemikiran Imam Syafi’i tentang Pemahaman Dalil
Pada prinsipnya Imam Syafi’i selalu menggunakan dalil nash dalam memahami dan
menetapkan hukum, baik secara langsung, yaitu al-Quran dan sunnah atau tak langsung,
yaitu dengan ijma’ dan qiyas. Menurut Imam Syafi’i kemampuan seseorang tentang
hukum syara’ tergantung kepada pemahamannya terhadap nash. Sementara itu al-Quran
dan sunnah, adalah teks yang menggunakan bahasa Arab, maka pemahaman terhadap
dalil hukum syara’ berarti pemahaman terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab itu.
Pola pemikiran Imam Syafi’i di atas akhirnya berkesimpulan bahwa semakin seseorang
memahami bahasa Arab, maka semakin baik pula pemahamannya terhadap dalil dan
hukum yang terkandung dalam dalil itu. Dengan demikian mereka yang sebahasa dengan
Nabi adalah mereka yang mempunyai kemampuan terbaik dalam memahami dalil.
a. Pemahaman terhadap Nash al-QuranDalam memahami al-Quran ini, Imam Syafi’i
telah berusaha untuk memetakan secara rinci menjadi beberapa kaidah, yaitu; kaidah
umum, zhahir, mujmal, bayan dan takhsis. Memperhatikan perincian ini, sepertinya
wajar, jika Imam Syafi’i mempersyaratkan dengan mutlak kepada mujtahid atas
kemampuan berbahasa Arab. Karena tanpa memiliki kemampuan itu, mustahil mereka
akan mampu untuk memilih, memilah dan mengkategorikannya ke dalam kaidah-kaidah
umum, khusus, zhahir, mujmal, bayan dan takhsis. Belum lagi ketika mereka dihadapkan
pada masalah-masalah teks yang gharib (aneh), pada sebagaian kata atau kalimat dalam
nash tersebut. Seakan-akan hubungan pertalian antara “pemuatan seluruh fakta dalam a-
kitab” dengan “keluasan” bahasa Arab menjadikan upaya penafsiran dan pemahaman al-
Quran sebagi tugas berat yang tidak dapat dijalankan, kecuali oleh orang-orang Arab.
Sebab telah diduga bahwa orang-orang selain Arab, tidak akan dapat mencapai tingkat
seperti orang Arab dalam hal penguasaan bahasanya. Kekhawatiran Imam Syafi’i seperti
ini ada benarnya, mengingat ia sendiri pernah mengungkapkan persoalan tentang
pentingnya kemampuan berbahasa Arab dalam sebuah kitabnya (al-Risalah), yaitu:
“Saya memulai dengan diskripsi, bahwa al-Quran telah diturunkan dengan bahasa Arab
dan bukan dengan bahasa lain, hal ini disebabkan karena penjelasan mengenai
keseluruhan ilmu al-kitab tidak akan diketahui oleh seorangpun yang tidak mengenal
bahasa Arab, kemajemukan aspek-aspeknya, serta kepadatan dan penyebaran maknanya.
Hanya orang yang ahli dalam bahasa Arab saja yang akan terhindar dari kekaburan dan
keraguan dalam memahami al-Quran”. Karena kematangan Imam Syafi’i dalam
penguasaan bahasa Arabnya, ia akhirnya mampu menemukan lafadz-lafadz umum dalam
al-Quran dalam berbagai sighat dan bentuknya. Dan sebab bekal pisau analisa
kebahasaan yang ia miliki, ia mampu menemukan maksud yang berbeda dari lafadz-
lafadz umum itu. Pertama; Pernyataan umum dengan maksud umum. Dengan kata lain
kata-kata umum yang tetap dalam kerangka makna yang umum, baik dalam struktur
maupun konteks. Contoh-contoh ayat yang ditampilkan Imam Syafi’i dalam pola ini,
antara lain surat al-Zumar ayat 62, yang mengatakan “Allah pencipta segala sesuatu”,
surat Hud ayat 6, surat Ibrahim ayat 32. contoh-contoh ini semua dalam pandangan Imam
Syafi’i adalah pernyataan umum yang tidak mengandung kekhususan. Setiap sesuatu,
termasuk langit dan bumi, segala sesuatu yang punya ruh, pepohonan dan lain-lainnya,
Allahlah yang menciptakannya. Dan setiap makhluk yang bergerak pada Allah juga
rizkinya.
Kedua, pola di atas akan sangat berbeda jika didekatkan dengan pola berikut, yaitu ayat
yang memiliki pernyataan umum yang bagian-bagiannya di spesifikasikan (takhsis),
namun tidak berarti menggugurkan keumumannya. Contoh yang ditampilkan oleh Imam
Syafi’i dalam pola ini adalah surat al-Taubah ayat 120. Secara khusus ayat ini hanya akan
menunjuk kepada lelaki yang mampu berijtihad, namun secara umum menunjuk kepada
semua pihak yang sanggup berijtihad. Dengan demikian ayat tersebut mengandung
konotasi (dilalah) khusus dan konotasi umum. Dua ayat senada yang juga ditampilkan
Imam Syafi’i untuk memperjelas dan memperkuat argumentasinya adalah surat al-Nisa’
ayat 75 dan surat al-Kahfi ayat 77. Di dalam ayat ini terdapat pengertian bahwa tidak
semua penduduk kota diminta makanan. Maksudnya, ayat ini punya arti yang sama
dengan ayat sebelumnya. Namun dalam ayat pertama dan kedua yang menyangkut
tentang pernyataan kota yang penduduknya berbuat dzalim terdapat konotasi khusus,
karena memang tidak semua penduduk kota berbuat dzalim. Diantara mereka ada orang
muslim namun jumlahnya sangat kecil. Ketiga; Pernyataan umum tetapi mempunyai arti
khusus, yang tidak seperti bentuk eksplisitnya. Contoh yang paling jelas bagi pola arti ini
adalah surat Ali Imran ayat 173. Perlu dipahami bahwa ayat di atas hanya untuk maksud
tertentu, masa tertentu, keadaan tertentu dan untuk lingkungan tertentu.
Meskipun kata “manusia” yang disebut dua kali dalam ayat tersebut bersifat umum,
namun dapat dipahami secara pasti bahwa manusia yang menyampaikan berita kepada
orang tersebut bukanlah semua manusia. Karena hanya beberapa orang saja yang
menyampaikan berita. Manusia yang berhimpun menurut apa yang dikatakan itu sudah
pasti pula tidak semuanya. Karena yang pasti hanya sebagian orang saja yang
berkumpul.
Keempat; Pernyataan umum dan dapat dipahami dari padanya maksud umum dan
maksud khusus, sebut saja misalnya firman Allah surat al-Hujurat ayat 13. Ayat ini
menggunakan kata-kata yang semuanya dari lafadz umum. Namun jika diamati secara jeli
ternyata di samping yang berarti umum, ada pula yang berlaku secara khusus. Potongan
ayat pertama menjelaskan bahwa semua manusia tanpa kecuali diciptakan oleh Allah
dalam berkelompok. Sementara potongan yang kedua tidak mengandung makna umum,
melainkan khusus. Artinya, tidak semua orang yang bertaqwa yang dimaksud Allah
dalam ayat ini memperoleh kemuliaan, karena yang tidak berakal, tentu tidak masuk
dalam kategori ini. Kelima; menurut Imam Syafi’i, bahwa dalam al-Quran terdapat
pernyataan umum yang secara spesifik telah ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya
adalah khusus. Al-Quran yang dimaksud Imam Syafi’i adalah surat al-Nisa’ ayat 11 dan
12. Dalam ayat ini dijumpai kata-kata , bahwa ayah, ibu dan istri memperoleh bagian
tertentu, dimana kata tertentu ini sangat bersifat umum. Namun sunnah Rasul
menunjukkan bahwa ketentuan itu tidak berlaku untuk semua yang lazim disebut ayah,
ibu dan istri. Kesamaan agama antara pihak yang mewaris dan diwaris adalah faktor yang
menentukan.
b. Pemahaman terhadap SunnahSunnah yang telah disampaikan Nabi kepada umatnya,
pada prinsipnya dalah sebagai pelengkap nash al-Quran. Namun ketika dilihat dari
kedudukannya sebagai bayan, maka sunnah dapat dipahami sebagai penjelasan.
Sementara itu menurut Imam Syafi’i bahwa pemahaman sunnah sebagai penjelasan juga
masih memiliki makna yang ganda. Pertama; penjelasan yang diberikan oleh Nabi hanya
semata-mata sebagai al-tashdiq (pembenar) atau al-ta’kid (penguat) terhadap apa yang
terdapat dalam al-Quran. Dalam konteks seperti ini kehadiran sunnah bias dikatakan tidak
berarti sebagai penjelas al-Quran, karena pada hakekatnya penjelasan al-Quran sudah
cukup. Dengan kata lain karena sunnah datang sesudahnya, maka yang demikian itu
menurut Imam Syafi’i isi dan maksudnya pun adalah dalam bentuk yang sama dengan al-
Quran. Contoh yang tepat menurutnya adalah terdapat dalam surat al-Maidah ayat 8 dan
9, yaitu yang menyangkut penjelasan Allah tentang wudlu secara terperinci.
Sesudah turunnya ayat ini, Nabi sengaja menetapkan sunnah yang sama maksud dan
isinya dengan yang telah diwahyukan oleh Allah dalam kitabnya. Misalkan Nabi
membasuh muka, tangan, sampai siku dan kemudian menyapu kepala dan seterusnya
sampai mata kaki. Dari contoh tersebut bisa dipahami bahwa penjelasan yang diberikan
oleh Nabi, sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap al-Quran, kecuali hanya
berada pada wilayah pembenar dan penguat.Kedua; sunnah dipahami sebagai penjelasan
al-Quran, yaitu dengan cara membatasi maksud penggunaan kata atau ungkapan dalam
al-Quran. Keadaan seperti ini bisa kita lihat misalnya, ketika bentuk lahir/teks al-Quran in
dianggap memiliki maksud tertentu, sementara sunnah menetapkan lain. Diman aposisi
sunnah terhadap ayat di atas disebut “takhsis”. Contoh ini menurut Imam Syafi’i bias
dilihat dalam firman Allah surat al-Nisa’ ayat 7, yaitu yang menyatakan bahwa laki-laki
menerima bagian dari peninggalan orang tua dan karib kerabatnya. Dalam konteks yang
sama perempuan pun juga menerima bagian dari peninggalan orang tua dan karib
kerabatnya.
Giliran berikutnya, datanglah sunnah dengan kesan membawa pesan yang berseberangan
dengan ayat di atas. Contoh sunnah yang dimaksud Imam Syafi’i adalah “orang muslim
tidak akan menerima waris dari non muslim”. Contoh yang lain “pembunuh tidak akan
menerima waris dari yang dibunuh”. Penjelasan Allah yang menyatakan “mewaris”
sebenarnya tidak berseberangan dengan sunnah Nabi yang menyatakan tidak “mewaris”.
Hanya saja sunnah Nabi dimaksudkan untuk memberikan penjelasan pengertian bagi
orang-orang yang berhak menerima waris dan yang tidak berhak menerimanya dari orang
tuanya yang muslim.Oleh karenanya sunnah yang datang kemudian, yang berbeda
hukumnya dengan apa yang dimaksud dalam al-Quran, tidak berarti ia bertentangan
dengan al-Quran itu sendiri. Dengan kata lain pemahaman seperti ini tanpa disadari
mampu menepis suatu anggapan berlakunya hukum nasakh dan mansukh antara al-Quran
dan sunnah. Padahal sunnah dalam keadaannya seperti ini, tidak lebih hanya semata
berfungsi sebagai penjelasan terhadap al-Quran. Lebih jauh, Imam Syafi’i mengatakan
bahwa sunnah dalam hubungannya dengan sunnah yang lain juga telah terlihat bentuk
dan perannya. Pertama; sunnah menjelaskan suatu larangan terhadap suatu perbuatan
dalam suatu riwayat. Dalam riwayat yang lain ditemukan pula larangan tersebut dalam
bentuk yang berbeda tetapi dalam hukum yang sama. Dalam hal ini Imam Syafi’i telah
memahami secara logis bahwa sunnah yang datang kemudian hanya sekedar menegaskan
terhadap penjelasan sunnah yang datang sebelumnya. Sebut saja misalnya hadits dari
Malik, dari Yahya, dari A’raj dan dari Abu Hurairah berbunyi, bahwa Nabi telah
melarang kita shalat ashar hingga matahari terbenam dan shalat subuh hingga matahari
terbit.
Selanjutnya hadits ini diikuti oleh hadits dari Malik, dari Nafi’ dan Ibnu Umar yang
berbunyi, “Janganlah seseorang sengaja melaksanakan shalat pada waktu matahari terbit
dan terbenam”. Kedua; sunnah selalu datang secara bergantian, sedangkan sunnah yang
datang kemudian, maka keadaannya akan lebih terang dari sebelumnya. Hal ini bisa kita
lihat dalam sebuah hadits yang berkenaan dengan hukum jual beli. Ketiga; penjelasan
maksud suatu hadits telah ditemukan dalam hadits lain, dimana arti dan fungsi hadits
dalam konteks seperti ini adalah menjelaskan hadits lain. Hal ini bisa kita lihat dalam
sebuah hadits yang berkaitan langsung dengan hukum meminang seorang perempuan
yang sudah dipinang. Keempat; menurut Imam Syafi’i ada dua hadits yang secara lahir
nampak bertentangan namun sebenarnya adalah tidak. Hal ini bisa kita lihat hadits dari
Rafi’ Ibnu Hudeij tentang ucapan Nabi, lakukan shalat sebelum waktu fajar, karena yang
demikian ini lebih besar pahalanya. Sementara itu ada hadits lain, yaitu hadits Aisyah
yang menyatakan “kami wanita muslimah biasa shalat subuh bersama Nabi, selanjutnya
wanita-wanita itu pergi sambil berselimut mantel hingga tidak dikenal oleh siapapun”.
Hadits yang terakhir ini menunjukkan pelaksanaan shalat subuh menjelang fajar. Bagi
Imam Syafi’i menanggapi hadits yang seakan-akan berkesan berseberangan tersebut,
ternyata tetap bisa menyelesaikan pemecahannya. Menurutnya hadits Aisyah lebih kuat
karena lebih sesuai dengan al-kitab.Berangkat dari kenyataan atas mungkinnya diambil
penyelesaian sunnah yang sangat kompleks ini, maka Imam Syafi’i akhirnya sampai pada
suatu kesimpulan bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits.
Menurutnya hadits yang selalu dianggap bertentangan oleh sebagian orang, karena
mereka tidak memahami situasi dimana hadits itu digunakan. Di sisi yang lain karena
adanya ketidaktahuan orang-orang mengenai hadits-hadits tertentu yang hanya semata
menjelaskan hadits yang lain.
F. c. Pemahaman Imam Syafi’i terhadap Naskh Dari aspek bahasa, naskh memiliki beberapa
arti, antara lain meniadakan, menghapuskan, membatalkan dan menggantikan.
Sementara yang lain kadang diartikan mencabut, mengangkat dan masih banyak lagi arti
di luar itu, yaitu menunda. Dalam arti istilah juga banyak sekali yang telah ditemukan
oleh ulama ushul, yang masing-masing memiliki titik lemah yang dikritik oleh pihak lain.
Namun demikian definisi yang dianggap terpilih oleh ulama syafi’iyah ialah “kitab syari’
yang mencegah berlakunya hukum yang ditetapkan dengan kitab syar’i yang terdahulu”.
Imam Syafi’i sendiri telah mengakui berlakunya naskh dalam syari’at islam. Alasannya
karena adanya dalil yang jelas di dalam al-Quran, misalnya surat al-Baqarah ayat 106
yang maksudnya “Apa-apa yang kami naskhkan dari ayat-ayat, kami akan berikan yang
lebih baik dari padanya atau yang semisalnya”. Demikian juga surat al-Nahl ayat 101
yang mengatakan “Apabila kami gantikan satu ayat di tempat suatu ayat, sesungguhnya
Allah mengetahui apa yang diturunkan”. Pandangan Imam Syafi’i tentang naskh tersebut
tidak cukup hanya sekedar mengakui berlakunya pemikiran naskh, lebih jauh dari itu ia
juga telah memberikan penjelasan tentang apa yang melatarbelakangi timbulnya
pemikiran tentang naskh. Menurutnya persoalan utama yang terkait dengan sebab apa dan
mengapa pemikiran tentang naskh tersebut muncul? Jawabannya, karena Allah telah
menurunkan al-Quran kepada manusia untuk memberikan penjelasan kepada sesuatu,
menjadi petunjuk dan rahmat bagi umat. Pertimbangan yang lain karena Allah dalam al-
Quran telah menetapkan kewajiban-kewajiban, dimana sebagian telah dinyatakan
berlakunya, sementara sebagian yang lain dinaskhkannya atau memberi kelapangan
baginya sebagai tambahan nikmat dari apa yang telah diberikan pertama dulu. Allah pun
juga memberikan ganjaran atas kemauan mereka untuk menghentikan apa-apa yang
pernah ditetapkan. Masih menurutnya, bahwa berlakunya naskh dalam ajaran islam,
adalah karena semata-mata kehendak Allah dan sama sekali tidak terdorong oleh
kemauan manusia atau oleh keadaan lainnya. Pandangan ini diperoleh setelah ia
memahami isi dari surat al-Ra’du ayat 39 yang maksudnya, “Allah menghapuskan apa-
apa yang ia kehendaki dan ia pula yang menetapkannya”. Bila dikatakan bahwa ayat al-
Quran bisa menaskhkan ayat al-Quran yang lain, maka persoalan yang sama juga terjadi
dan berlaku antara sesama sunnah. Dengan demikian al-Quran tidak akan mungkin
dinaskh oleh sunnah Nabi. Contoh naskh yang berlaku antara sesama sunnah al-Quran,
antara lain terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 15 yang maksudnya kurang lebih
“Perempuan-perempuan yang melakukan perbuatan tercela (zina), kemukakanlah
terhadap mereka empat orang saksi. Bila mereka telah mengemukakan saksi maka
tahanlah perempuan-perempuan itu di rumah sampai mati, atau Allah menjanjikan
mereka itu jalan keluar”. Ayat tersebut telah dinasakh oleh surat al-Nur ayat 2, yaitu
“Bagi pezina perempuan dan laki-laki, deralah mereka sebanyak 100 kali dera”. Dengan
adanya ancaman dera 100 kali, maka ancaman kurungan terhadap pezina yang nyata-
nyata telah terbukti berlaku salah, otomatis tidak berlaku lagi.
Lebih jauh Imam Syafi’i juga memaparkan secara detil contoh-contoh hadits/ sunnah
Nabi yang saling menasakh, antara lain hadits dari Muslim yang menyatakan bahwa
kepada Nabi disampaikan berita tentang seseorang laki-laki yang menggauli istrinya
tetapi tidak sampai keluar mani, selanjutnya apa yang harus dilakukannya? Apakah ia
harus mandi? Nabi mengatakan “Sesungguhnya air (mandi) hanya diwajibkan karena
adanya air (mani)”. Hadits ini kemudian dinasakh oleh hadits shahihaini, yang
mengatakan “Bila seseorang telah berada di atas badan istrinya dan melakukan sesuatu
atau bergaul, maka wajib atasnya mandi”. Ditambahkan oleh Muslim (salah seorang
perawi) “meskipun belum keluar mani”. Dari selayang pandang pokok pemikiran Imam
Syafi’i tentang pemahaman atas dalil dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.Imam Syafi’i dalam memahami al-Quran dan al-Hadits yang biasa lahir dalam bentuk
umum, dengan cara kekhususannya, kecuali ada petunjuk berlakunya dalil umum itu
menurut apa adanya. 2.Fungsi sunnah Nabi pada dasarnya adalah untuk menjelaskan al-
Quran yang masih memerlukan penjelasan. Dengan demikian di antara keduanya tidak
mungkin dipahami bertentangan, oleh karenanya tidak mungkin saling menasakh.