Transcript

METODE HERMENEUTIKA SOEKARNO(SEBUAH USAHA PERUMUSAN AWAL)

A. PENDAHULUANa. Latar BelakangTulisan ini berangkat dari sebuah kegelisahan. Kegelisahan atas dominasi pemikiran Barat di Indonesia. Kegelisahan atas kebanggaan menggunakan pisau hermenutika Barat untuk melihat segala sesuatu. Memang dalam beberapa hal tidak dapat dipungkiri bahwa pemikir-pemikir barat mempunyai kemampuan analisa, refleksi, dan sistematisasi yang tinggi dalam hal membangun hermeneutikanya. Namun di sisi lain, hal itu membuat apa yang dimilki Indonesia hanya berperan sebagai objek tafsir. Padahal jika mengikuti apa yang dikatakan Heidegger bahwa Filsafat itu sendiri bersifat (harus bersifat) hermeneutis[footnoteRef:1], maka sekaya filsafat nusantara, tentunya akan banyak ditemukan berbagai pandangan filsafat nusantara dalam ber-hermeneutika. Dari persoalan itulah spirit tulisan ini mucul. Ingin merumuskan metode hermeneutika yang khas Indonesia sehingga dapat menjadi subjek dalam keilmuan. [1: Lih. R.E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 3.]

Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan spirit tersebut, penulis memilih Soekarno, Presiden RI pertama, sebagai model untuk dirumuskan hermeneutikanya. Pemilihan ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari peran Sokarno sebagai penggali konsep Pancasila, Presiden yang mempunyai pandangan ideologi tersendiri (Marhaenisme), dan sebagai sosok yang cukup berpengaruh dalam sejarah umat manusia pada zamannya. Jika Hermeneutika dapat dipahami secara longgar sebagai teori atau filsafat interpretasi makna,[footnoteRef:2] maka dengan tiga peran Soekarno tersebut, dalam pandangan penulis, dia mempunyai kemampuan hermeneutik yang cukup matang dan dimungkinkan digali metodenya karena pandangannya yang konsisten, jelas, dan cukup terpilah-pilah. [2: Lih. J. Bleitcher, Hermeneutika Kontemporer (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2013) vii.]

Saat interpretasi makna dipahami sebagai sebuah interpretasi terhadap teks, maka tidak jarang Soekarno melakukan interpretasi-interpretasi terhadap teks-teks fiosofis maupun kitab suci. Saat interpretasi dalam teks dianggap sebagai tekstur yang merajut realitas, maka Soekarno dengan lihai juga melakukan berbagai interpretasi.[footnoteRef:3] Bahkan dalam beberapa kesempatan, Soekarno sendiri mengatakan bahwa marhaenisme (sebagai ideologi yang dipegangnya) lebih merupakan suatu metode berpikir (dank methode).[footnoteRef:4] Sehingga dimungkinkan untuk dilakukan, dikaji, dan dikritisi. [3: Fuad Hasan cukup menguraikan hal ini Lih. F. Hassan, Bung Karno Putra Fajar Berlambang Gemini dalam Iman T.K. Rahadjo dan Herdianto WK (Eds) Bung Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku (Jakarta: Grasindo, 2001), 243-253.] [4: Lih. G.J. Aditjondro, Marhaenisme: Marxisme yang diterapkan di Indonesia, atau Sinkretisme Ala Soekarno?Dalam pengantar Ign. G. Saksono, Marhaenisme Bung Karno (Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas, 2008), 11.]

Alasan lain menjadikan Soekarno sebagai model adalah kebutuhan untuk kembali melihat semangat para pemimpin negara sebagai usaha untuk mencari jati diri kebangsaan. Dalam pengantar buku Dialog dengan Sejarah (2006) St. Sularto mengungkapkan betapa urgennya kembali melihat hal itu:Dalam keadaan demikian (krisis multidimensional yang seakan tanpa jalan keluar pen) ajakan untuk berkaca pada teladan yang diberikan para bapak bangsa (founding fathers) adalah upaya memperoleh kembali roh yang mereka tinggalkan untuk kita... Mengambil yang baik adalah sebuah kebijaksanaan luhur, khususnya di tengah kebingungan kita mencari bahan rujukan untuk suasana gonjang-ganjing sekarang.[footnoteRef:5] [5: Lih. St. Sularto (Ed), Dialog dengan Sejarah; Soekarno Seratus Tahun (Jakarta: Kompas, 2001), xvii.]

Sekarang yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara merumuskan hermenenutika Soekarno? Perumusan ini tentunya bukanlah penelitian hermeneutika yang berusaha mencari makna dalam teks-teks Soekarno dengan sudut pandang tertentu (misalnya menggunakan hermeneutika historik Dilthey, atau fenomenologi Ricoeur) namun menemukan bagaimana Soekarno menginterpretasi teks (dalam artian luas maupun sempit). Karena itu dalam hal ini penulis lebih memperhatikan bagaimana alur berpikir Soekarno dalam menafsirkan sesuatu (lebih lengkap akan dibahas dalam metode perumusan).Untuk mempermudah cara kerja ini, penulis memilih teks Soekarno dalam buku Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (2006) yang berisi kumpulan pidato bung Karno sekitar tahun 60an. Dari buku itu penulis akan berfokus pada lima pidato Bung Karno yang dilontarkan dalam kursus Pancasila. Hal ini menjadi pilihan karena dalam pidato-pidato tersebut Soekarno bukan berbicara pada khalayak umum melainkan dengan kader-kader Pancasila yang sudah terdidik. Dengan posisi tersebut dia dengan mudah dapat berbicara tentang teks-teks filsafati sebelumnya (melakukan interpretasi dengan lebih leluasa) sebagai usaha membandingkan berbagai ideologi dengan Pancasila. Selain itu, dalam kondisi pidato tersebut Soekarno berusaha menafsirkan satu tema yaitu Pancasila, sehingga mengikuti alur berpikir Soekarno dapat menjadi lebih mudah dan terarah.b. Rumusan Masalah dan TujuanRumusan masalah yang dapat ditarik dari latar berlakang tersebut adalah; bagaiamana metode Soekarno dalam ber-hemeneutika? Sehingga tujuan dari tulisan ini adalah; untuk menemukan metode Soekarno dalam ber-hermeneutika. c. Metode PerumusanCukup sulit untuk menentukan model perumusan dalam topik ini. Sebagai usaha awal, penelitian ini dapat dimasukkan sebagai model penelitian historis faktual mengenai teks naskah.[footnoteRef:6] Bakker dan Zubair menjelaskan meodel penelitian ini sebagai berikut: [6: Lih. A. Bakker dan A.C. Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 72-76.]

Objek penelitian ialah salah satu naskah atau buku filosofis yang klasik, dipandang menurut teks yang harafiah. Buku itu diselidiki sebagai teks filosofis. Jadi tidak dipandang menurut nilai sastra, atau menurut arti politis atau budaya, tetapi melulu sejauh membahasakan suatu visi mengenai hakikat manusia dunia, tuhan, atau semuanya sekaligus.

Dengan melihat uraian itu maka yang dijadikan sebagai naskah klasik (objek material) adalah lima pidato tentang Pancasila yang berada di buku Filsafat Pancasila menurut Soekarno (2006). Sedangkan objek formal dalam penelitian ini adalah filsafat. Dengan melihat hal itu maka langkah metodis yang digunakan peneliti tidak berbeda dengan penelitan filosofis pada umumnya: 1) mengumpulkan kepustakaan, 2) membaca teks yang sudah ditentukan, 3) menemukan pola-pola yang sama dalam alur berpikir Soekarno dalam mencapai kesimpulan-kesimpulan interpretasinya, dan terakhir 4) merumuskan langkah hermeneutis Soekarno.[footnoteRef:7] [7: Karena Filsafat harus bersifat hermenutis (Catatan no.1), hasil yang akan dicapai oleh tulisan ini tidak akan jauh berbeda dengan metode berfilsafat Soekarno secara umum. Akan dicari metode dalam artian luas sebagai cara bertindak menurut sistem aturan tertentu dan dalam arti khusus yaitu meliputi seluruh perjalanan dan perkembangan pengetahuan, seluruh urut-urutan dari permulaan sampai kesimpulan Lih. A. Bakker, Metode-metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),10.]

Untuk menemukan pola-pola dan merumuskan langkah hermeneutis Soekarno, penulis menggunakan beberapa unsur metodis yang umum dalam penelitian filsafat. Unsur itu antara lain:a) Interpretasi: untuk merekonstruksi naskah dan menangkap arti dan nuansa yang dimaksudkan secara khas. Dalam penelitian ini interpretasi dilakukan hanya sebatas untuk memahami maksud Soekarno yang berhubungan dengan cara kerjanya mencapai sebuah kesimpulan.b) Induksi dan Deduksi: usaha ini adalah untuk memahami teks secara keseluruhan dan utuh. Peneliti akan mencoba meneliti istilah-istilah dalam teks dan mencari kesinambungannya, kemudian juga memahami ulang dengan berusaha memahaminya dari unsur keseluruhan. Identifikasi juga dilakukan walau tidak ketak agat tidak terjebak pada pemahaman makna dan melupakan perumusan.c) Koherensi Intern: dengan unsur ini peneliti mencoba mencari keselarasan pola-pola logis sistematis dari teks yang sudah ditentukan.d) Holistika: agar tidak kehilangan acuan yang diinginkan oleh penulis (Soekarno) teks asli, maka teks akan dilihat dalam rangka visi teks secara keseluruahan. e) Kesinambungan Historis: unsur ini digunakan agar dapat melihat teks secara historis. Hal ini dilakukan mengingat bahawa interpretasi yang dilakukan Soekarno tidak pernah melepaskan aspek sosio-politik pada zaman dan daerahnyaf) Deskripsi: unsur metodis ini digunakan untuk memberikan berbagai argumentasi pada setiap jawaban yang diberikan oleh penulis dalam usaha merumuskan teks tersebut.Agar tetap pada koridor kerangka teoretis hermeneutika dan untuk mempermudah perumusan langkah hermeneutis Soekarno secara lebih sistematis, maka di awal penulis akan mencoba berangkat dan membandingkannya dengan kerangka metode Hermeneutika secara umum (Bab B sub bab a) yang sudah dikembangkan oleh filsuf-filsuf yang secara eksplisit mengemukakan teori tentang penafsiran teks.B. PEMBAHASANa. Rumusan Metode tentang kerangka Metode Hermeneutik secara UmumJ. Bleicher membagi hermeneutika atas tiga jenis yaitu. 1) teori hermenutika, 2) filsafat hermeneutika 3) hermeneutika kritik. Ketiga pembagian tersebut bergerak dalam skala pembabagan waktu hermenutika modern. Tokoh-tokoh yang bisa kita sebut di dalam pembabagan tersebut adalah F Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Georg Gadamer, C.O Appel, Ricoeur, dan Habermas. Sebagai sebuah teori interpretasi, hermeneutika dalam pekembangannya tidak hanya fokus pada pembacaan atas teks kitab suci. Akan tetapi berkembanagn sebagai metode penafsiran teks secara luas, seperti simbol, tanda keagamaan, sastra, seni dan lain-lain.[footnoteRef:8] [8: Lih. A.Y. Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Postmodernis (Bogor: Akademia, 2004), 104.]

Secara umum metode hermeneutika adalah proses yang bersifat triadik. Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks. Lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada mualnya yang lain kini menjadi aku penafsir sendiri. Oleh karena itulah, dapat difahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar. Suatu arti tidak akan dikenal jika tidak direkonstruksi.[footnoteRef:9] [9: Lih. E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 31.]

Hermeneutika dibagi dalam subtilitas intelligendi, cara memahami, dan subtilitas explicandi cara menerangkan. Dalam perkembangan selanjutnya J.J Rambach menambahkan subtilitas aplicandi cara menerapkan. Ketiganya membentuk semacam lingkaran pemahaman. Dengan istilah subtilitas berarti menekankan sebuah penghalusan rasa dalam lingkaran pemahaman.[footnoteRef:10] Hermenutika barat secara metodologis selalu dirumuskan dalam bentuk lingkaran pemahaman. [10: Lih. Martino G. Da Silva Gusmao, Hans Georg Gadamer (Yogyakarta: kanisius, 2013), 131.]

Tidak ada yang menyangkal bahwa istilah lingkaran hermenutik melekat secara erat dalam pemikiran Schleiermacher. Menurutnya sebuah teks diproduksi denagn memakai kata atau bahasa yang melukiskan kejadian di suatu waktu. Dengan begitu, sebuah teks tidak bisa dilepaskan dari lingkaran konteksnya. Ketika sudah diajdikan karya tertulis teks tetap saja meninggalkan jejak-jejak pemikiran dan perasaan penulisnya. Ada antisipasi pengertian atau semacam pre-teks di sini. Gagasan yang sama bisa dijumpai pada Heidegger tentang pra faham atau antisipasi bagi Dasein.[footnoteRef:11] Dengan cara pandang ini maka lingkaran hermeneutik selain dipandang sebagai kerangka metode perumusan yang diwariskan dari Schleiermacher, tetapi juga Heidegger yang kemudian dilanjutkan para pemikir lainya. [11: Lih. A. Y. Lubis, Op Cit, 42.]

Maksud pengunaan struktur lingkaran dalam metode hermeneutika, adalah karena hermeneutika menggunakan penalaran abduksi. Abduksi adalah metode yang menjelaskan fakta berdasarkan asumsi-asumsi dan hipotesa mengenai suatu kemungkinan, yang belum metupakan hukum tertentu. Lingkaran hermenutika menunjukan gerak dinamis, yang saling memengaruhi antara penafsir dan teks.[footnoteRef:12] [12: Lih. Martino G. Da Silva Gusmao, OP Cit, 131.]

Dalam lingkaran hermeneutika penafsiran dipengaruhi oleh prakonsepsi dan praduga, serta kecenderuangan penafsir. Pemahaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah, karena memalalui pemahaman subjek, pengalaman pribadi dan tradisi budaya yang melingkari si pembuat teks dan si penafsir akan memebentuk praduga dan prakonsepsi masing-masing. Perumusan dalam bentuk lingkaran juga menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah gerak dinamis. Dalam gerak tersebut selalu ada batas cakrawala, yang karena segala batas cakrawala tersebutlah pemutlakan akan kebenaran pengetahuan sebagai sesuatu yang final harus dihindari. Segalanya masih bergerak dalam lingkaran, jika kita mencontohkan model konstruksi pengetahuan seperti lingkaran hermeneutik.Pengetahuan merupakan cakrawala, yang mau ataupun tidak mau membuat kita bergerak terus mendekati cakrawala tersebut, itu jika benar rasa keingintahuan telah meresapi jiwa kita. Begitu juga dengan penafsiran dan pemahaman adalah suatu cakrawala yang berorientasi ke depan, namun dengan tidak mengabaikan cakrawala yang ada kini dan disini. Kemudian yang terjadi penafsiran adalah peleburan satu atau lebih cakrawala. Itu semua hanya, mungkin jika struktur metode hermeneutika menggunakan bentuk lingkaran. Jadi hermeneutika tidak hanya sebagai upaya reproduksi akan tetapi produksi. b. Metode Hermeneutika SoekarnoSetelah mencoba mempertimbangkan berbagai aspek yang ada pada teks, penulis menemukan beberapa hal pokok yang menjadi metode Soekarno dalam berhermeneutika. Ada sebuah catatan untuk pembaca bahwa metode Soekarno dilakukan dalam kebersamaan, jadi akan sulit jika melihatnya dari satu sisi yang bertahap dan berurutan. Karena itu sebelum melihatnya sebagai keseluruhan, penulis akan berusaha menampilkan aspek-aspek khas tersebut secara terpisah.Realitas HistorisSoekarno selalu memulai interpretasinya dengan melihat realitas historis terlebih dahulu. Apakah yang dimaksud dengan realitas historis? Realitas adalah apa pun yang ada[footnoteRef:13] dan historis adalah berpikir secara mensejarah. Akhiran s dalam bahasa Indoensia biasa digunakan untuk mengatakan bahwa subjek melakukan predikat yang ditunjuk. Itulah yang selalu dilakukan Soekarno saat menginterpretasikan teks. Dia melihat teks selalu dalam hubungannya dengan jalan teks tersebut hidup mensejarah. Soekarno mencoba menelusuri kembali perjalanan konsep-konsep yang dibicarakan. Melihat hal ini, sangat terlihat pengaruh Hegel dan Marx dalam pemikiran Soekarno. [13: Lih. S. Blackburn, Kamus Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 737]

Dalam teks tersebut Sokano menganalisis kapitalisme dengan melihat perkembangan realitas historisnya:Saudara-saudara yang mempelajari sejarah daripada revolusi Perancis orang Perancis sendiri menyebutkan revolusinya itu La grande revolution, revolusi agung, de grote revolutie akan mengerti bahwa revolusi Perancis ini adalah revolusi penyelenggaraan daripada parlementaire democratie. Dulu sebelum revolusi itu pecah, alam pikiran manusia di Perancis sudah puas dengan sistim politik feodal, puas dengan segala kekuasaan ditentukan oleh sang raja. Tetapi pada suatu ketika dan ambillah perkataan ketikaini tidak sebagai satu moment satu hari satu detik, tetapi satu ketika sejarah yang memakan waktu berpuluh-puluh tahun pada satu ketika cara hidup, mencari makan, cara produksi di Perancis itu berubah. Dan karena perubahan cara hidup dan cara produksi ini, maka rakyat tidak puas lagi dengan sistem yang tadinya memuaskan hati mereka. Kemudian jadilah revolusi. Dulu economische huishouding, perumah-tanggaan ekonomi sebelum pertengahan abad ke-18, adalah satu huishouding yang tertutup, gesloten. Tiap-tiap kota itu ada kaum tani yang memberi bahan makan kepada kota itu. Di dalam kota itu ada golongan kecil yang membuat alat-alat, golongan kecil yang memperdagangkan ini dan itu, semuanya gesloten. Di dalam alam yang demikian itu kekuasaan itu sama sekali di dalam tangan kaum feodal, dengan dibantu oleh kaum yang di dalam revolusi Perancis dinamakan kelas ke-2; kaum bangsawan dinamakan kelas ke-1, eerste stand. Kaum gereja bukan agama organisasi daripada gereja, di masa itu kuat betul. Organisasi daripada gereja itu menjadi kekuasaan di samping kekuasaan bangsawan, dan mereka ini dinamakan kelas ke-2, tweede stand. Stand ke-1 dan ke-2 inilah yang memegang tampuk pimpinan pemerintahan. Tetapi masyarakat yang tadinya tertutup di dalam gesloten huishoudingen makin lama makin memecah. Geslotenheid-nya itu pecah. Kebutuhan hidup makin lama makin bertambah ... Gampangnya bicara: apa yang dinamakan kapitalisme ingin tumbuh, ingin mendapatkan kesempatan untuk berkembang biak ... pokok daripada kapitalisme ialah cara produksi mempergunakan tenaga buruh, yang buruh ini membuat daripada sesuatu barang lain yang lebih berharga daripada tadinya ... Meerwarde ini pokok daripada kapitalisme, entahlah berupa apa (pp.249-251) ... keadaan Perancis pada satu ketika ketika dalam arti historis periode berubah demikian (p.252) ... Nah, agar supaya productie-wijze yang demikian ini bisa berjalan dengan selancar-lancarnya, timbullah bewust zijns, kesadaran-kesadaran, alam-alam pikiran baru. Cara produksi yang berubah membawa perubahan di dalam alam pikiran (p.253).Dalam teks tersebut dapat dilihat Soekarno mencoba membawa kembali kata Kapitalisme sebagai sebuah realitas historis. Kapitalisme lahir dari Feodalisme yang sudah tidak disukai lagi di eropa. Sebagai sebuah bentuk pemberontakan atas Feodalisme dan bukan sebagai sebuah sistem ekonomi yang sudah mapan seperti sekarang. Kapitalisme coba dipahami sebagai ide yang baru lahir dan dipahami dengan kaitannya dengan siapa yang menciptakan konsep tersebut dan untuk apa. Soekarno juga melihat hal-hal tersebut dari aspek sosio-politis. Kemensejarahan itu dilihat sebaik mungkin untuk mengetahui sebesar apa penyimpangan konsep yang terjadi di zaman sekarang.PerbandinganHal yang khas dari Soekarno adalah bahwa saat menginterpretasikan suatu teks untuk mencapai sebuah makna, Soekarno selalu berusaha membandingkannya dengan ajaran lain yang mempunyai konsep serupa. Hal yang paling sering dia lakukan adalah melakukan perbandingan kebudayaan timur dan kebudayaan barat. Dari perbandingan itu Soekarno berusaha mendapatkan kelemahan dan keunggulan masing-masing konsep sehingga makna yang diterima dapat menjadi jernih dan dimengerti secara keseluruhan dari realitas yang mensejarah (berhubungan dengan aspek pertama).Sebagai contoh dalam teks tersebut, sebelum Soekarno mencoba mencari makna dari persatuan bahasa, dia melakukan dulu perbandingan berbagai perkembangan persatuan bahasa di barat maupun di timur. Di India sulit sekali dalam hal memahami bahasa sampai sekarang ada pertikaian hebat dikalangan pemimpin-pemimpin India, mengenai apa yang harus dijadikan bahasa satu ini di India. Shri Jawaharlal Nehru berkata, Marilah kita angkat bahasa Hindustani menjadi bahasa yang satu itu. Tetapi banyak sekali daerah-daerah yang rakyatnya tidak paham bahasa Hindustani. Ada lagi golongan lain yang berkata, Marilah kita angkat bahasa Urdu sebagai bahasa satu daripada Negara india. Tetapi ditentang oleh banyak daerah-daerah yang tidak paham bahasa Urdu, melainkan bahasa Hindu. Urdu itu adalah satu modifikasi daripada bahasa Arab. Demikian sulitnya dalam memahami bahsa di India. Seorang pemimpin besar India, yaitu Raja Gopalachari, yang dahulu tatkala India menjadi dominion, tahun 1947, india, Benua India pecah menjadi dua yaitu India dan Pakistan. Dua-duanya dikepalai oleh Gubernur Jendral. Raja Gopalachari berkata, Satu-satunya bahasa yang bisa dipakai sebagai bahasa yang satu itu ialah bahsa Inggris. Perjuangan ini adalah perjuangan hebat yang mulai pecah sejak tahun 1956-1957. (154)

Atau ambil Swiss. Swiss adalah satu bangsa yang menggunakan 3-4 bahasa. Ada satu golongan swiss bicara Perancis, satu golongan lagi bicara Jerman, satu golongan lagi bicara Italia. (155)

PenjernihanHal ini merupakan hal yang menjadi ciri khas dalam metode Soekarno. Soekarno saat melakukan penglihatan secara realitas historis maupun dengan membandingkan beberapa konsep yang berbeda, yang diinginkan oleh Soekarno adalah penjernihan konsep. Konsep yang jernih itu menurut Soekarno dapat menuntun manusia ke arah yang lebih baik. Namun yang dimaksud di sini lebih kepada sebuah konsep terarah yang benar-benar berusaha menjernihkan suatu konsep-konsep penting. Melihat teks tersebut, Soekarno selalu melakukan penjernihan itu dengan dua cara. Menyusuri asal kata atau pandangan tokoh yang membuat konsep tersebut, atau lewat perkembangan dalam realitas historisnya. Seperti pada teks ini, Soekarno melakukan penjernihan terhadap kata Marxisme:Jangan mengira bahwa marxisme itu harus dus komunisme. Tidak! Jangan mengira bahwa marxisme itu dus Soska. Tidak! Marxisme itu adalah satu denkmethode, satu cara pemikiran. Cara pemikiran untuk mengerti perkembangan bagaimana perjuangan harus dijalankan, agar supaya bisa tercapai masyarakat yang adil. Ada orang yang dengan gampang berkata: O, marxisme itu adalah materialisme. Marxisme adalah historis materialisme. Selalu dilupakan perkataan historis. Marxisme adalah dus anti Tuhan. Mana kitab marxisme yang berkata bahwa marxisme itu anti Tuhan? Marxisme adalah historis materialisme. Materialisme itu adalah macam-macam, ada yang anti Tuhan, tetapi bukan historis materialisme. Yang anti Tuhan itu materialisme lain, yaitu misalnya, materialismenya Feuerbach, filosofis materialisme, wijsgering materialisme. Itu yang mengatakan bahwa segala pikiran, dus juga alam gaib yang bernama Tuhan itu, bahwa itu adalah increitie, adalah perasaan dari pada materie. Feuerbach pernah berkata: Tidak ada pikiran kalau tidak ada fosfor. Pikiran itu adalah hasil daripada otak bekerja. Otak itu terdiri sebagian daripada fosfor; kalau tidak ada dus fosfor di sini, tidak ada pikiran. Maka Feuerbach berkata: Tidak ada pikiran sonder fosfor. Maka benar perkataan ini dari sudut filosofi materialisme, wijsgerig materialisme. Tetapi marxisme bukan wijsgerig materialisme. Nah, historis materialisme itu apa? Itu adalah satu cara pengertian, bahwa sejarah itu telah membuktikan, bahwa alam-alam pikiran yang berjalan di dalam masyarakat itu adalah terbawa oleh bentuk daripada economische verhoudingen, producti-wijze di dalam masyarakat. Itu adalah historis materialisme, jadi bukan wijsgerig materialisme. Marx pernah berkata, Es ist das bewusztsein des benschen dasz sein gesellaschaft liebensien, aber sein gesellschaft liebenseien das sein bewusztsein bestimmt. Bukan brwustzijn, kesadaran manusia, alam pikir manusia itu yang menentukan corak segala materiil masyarakat itu, cara produksi, cara mencari makan, dan lain-lain. Akan tetapi sebaliknya cara produksi, cara ekonomi, cara mencari makan, dan lain-lain dari masyarakat itulah yang menentukan bagaimana corak alam pikiran, kesadaran manusia. Ini adalah marxisme (p.245-247).

Penjernihan khas Soekarno adalah menyapu bersih semua konsep yang ada di jalanan. Dapat juga dikatakan penjernihannya adalah sebuah usaha terhadap kritik pengetahuan common. Pengetahuan yang salah dalam menggeneralisasi. Dapat dilihat dalam teks tersebut Soekarno membedakan Marxisme dengan Materialisme khas Feurbach yang tidak historis dan Marxisme yang mengarah pada komunisme. Penjernihan ini lebih berupaya untuk kembali ke konsep awal dengan menjernihkan konsep-konsep yang tidak asli.DialektikaTiga aspek sebelumnya, yaitu melihat realitas historis, perbandingan, dan penjernihan adalah upaya Soekarno untuk menafsirkan suatu teks sehingga dapat didialektikakan. Dialektika yang ditemukan oleh penulis dalam teks tersebut adalah dialektika khas Hegelian yang direkonstruksi menjadi dialektika Soekarno sendiri. Di beberapa titik juga ada kemiripan dengan dialektika khas Marxisme namun juga ada perbedaannya.Persamaan dengan Hegel adalah Soekarno memahami sebuah sejarah sebagai sebuah aufgehoben. Sebagai sebuah jawaban yang lebih tinggi akibat bentrokan antara tesis dan antitesis. Namun jawaban Soekarno tidak berakhir pada roh absolut yang menggerakkan sejarah. Dari sini Soekarno berpisah dari Hegel dan berangkat pada dialektika meterialis yang dikembangkan Marx, sejarah sebagai perjuangan kelas. Bukan sebagai aufgehoben antara roh objektif dan roh subjektif sehingga lahir roh absolut mutlak melainkan sebagai kontradiksi perjuangan kelas yang akhirnya membuat terhapusnya alienasi dan lahir masyarakat tanpa kelas.[footnoteRef:14] Namun di saat yang sama dia juga berpisah dari Marx saat dia selalu memahami sejarah sebagai sebuah proses interpretasi ulang terhadap sejarah. Sejarah selalu diinterpretasi oleh sejarah. Soekarno tidak mengadopsi secara total konsep-konsep khas Marxian walaupun dalam beberapa hal terlihat cukup mirip. Terlebih dalam konsepnya tentang perjuangan kaum Marhaen. Namun kaum Marhen yang dilontarkan oleh Soekarno bukanlah kaum proletar yang dimaksud oleh Marx.[footnoteRef:15] [14: Uraian dialektika Hegel dan Marx penulis mengikuti F.B. Hardiman, Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Jakarta: Erlangga, 2011), Hegel 157, Marx 207-208.] [15: Dalam komentar yang dilontarkan F.Magnis Suseno, ditunjukkan secara lebih rinci berbagai perbedaaan antara Marxisme, Leninisme, dan Soekarno. Komentar itu semakin mendukung anggapan penulis bahwa saat perbedaan secara ontologis terjadi, sangat dimungkinkan adanya perbedaan secara metode hermeneutika khas Marxian dan Soekarno, Lih. F. M. Suseno, Di Seberang Jembatan Emas, dalam St. Sularto, Dialog dengan Sejarah (Jakarta: Kompas, 2001), 137-150]

Dalam teks tersebut dapat ditemukan juga Soekarno menggunakan dialektika sebagai sebuah pengejawantahan teori evolusi. Kehidupan yang berjalan secara evolusi berlangsung dengan dialektika. Rasa peri kemanusiaan adalah hasil daripada pertumbuhan rohani, hasil dari pada pertumbuhan kebudayaan, hasil daripada pertumbuhan dari alam tingkat rendah ke taraf yang lebih tinggi. Peri keemanusiaan adalah hasil daripada evolusi di dalam kalbunya manusia. Kemanusiaan ada sejak zaman dulu. Zaman dulu sekali peri kemanusiaan belum seperti yang kita kenal sekarang, bahkan tadi saya berkata : peri kemanusiaan sebagai hasil dari pada evolusi. Apa yang pada sesuatu saat dikatakan jahat mungkin di lain waktu dikatakan baik (p 195)

Bersama dengan aspek-aspek sebelumnya Soekarno mengartikan Peri Kemanusiaan sebagai hasil dialektika. Unsur anti tesis dalam dialektika Soekarno biasanya menggunakan penyesuaian terhadap kebudayaan khas Indonesia. Jadi semua konsep yang setelah dilihat sejarahnya, dilakukan perbandingan, dilakukan penjernihan, selalu dilawankan dan disesuaikan dengan keadaan kebudayaan, sosio dan politis Indonesia itu sendiri. Salah satu hasil dialektika tersebut adalah Marhaenisme. Dan tentunya hasil dialektika tersebut tidak mati sampai Soekarno. Soekarno membuka adanya kesempatan interpretasi ulang. Yang itu hanya bisa terwujud dengan sejarah juga. Karena itulah reinterpretasi lahir dari sejarah, dan akan terus berlangsung interpretasi terhadap sejarah secara evolusi dan dialektika dengan sejarah juga. apa yang pada sesuatu saat dikatakan jahat mungkin di lain waktu dikatakan baik.IdealisasiTahap terakhir dan pamungkas dari metode hermeneutika Soekarno adalah bahwa setiap teks dan tafsir itu harus dapat dijadikan sebuah sistem yang ideal. Tafsir terhadap realitas adalah ideologi baru, yang itu harus berlaku dan dapat diterapkan di seluruh dunia, dengan catatan walaupun dapat dilakukan dan diterapkan di seluruh dunia tapi tafsir tetap tidak kebal terhadap sejarah, yang artinya juga tafsir harus berlaku umum tapi hanya pada waktu itu. Tafsir atas realitas adalah hasil yang sempurna dengan melihat berbagai aspek yang sudah dibahas. Dalam teks tersebut terlihat bahwa tafsir Soekarno terhadap Pancasila adalah idealisasi dari metode Hermeneutikanya. Seperti saat Soekarno mengatakan keadilan sosial, dia melakukan idealisasi keadilan yang bukan lagi khas Marxian atau keadilan yang berakar dari ke-Indonesiaan, tetapi hasil dari dialektika yang sudah dia idealisasi:Sudah pernah saya katakan bahwa cita-cita dengan keadilan sosial ialah satu masyarakat yang adil dan makmur. Saya tekankan adil dan makmur, makmur, dan adil, dengan mempergunakan alat-alat industri, alat-alat teknologi yang modernKita senang kepada industrialisme modern, asal tidak dikuasai sistem kapitalisme. Tetapi industrialisme modern itu, kita pergunakan untuk kepentingan umum. Segala alat-alat modern kita pergunakan untuk kepentingan umum.(hlm. 295-296)

Begitu juga atas tafsirnya terhadap Pancasila Sila ke Empat. Demokrasi yang dia tafsirkan adalah demokrasi terpimpin. Akan terlihat bahwa demokrasi yang dimaksud setelah berangkat dari kenyataan historis, pembandingan, penjernihan dan dialektika, ada sebuah klaim idealisasi. Jadi walaupun di saat yang sama Soekarno percaya adanya reinterpretasi, namun tafisr atas teks atau realitas, harus menjadi sebuah idealisasi ide yang kuat dan berlaku umum. Nah, dus Saudara-saudara, kita yang melihat segala cacat-cacat daripada productiewijze daripada kapitalisme, melihat cacat-cacat parlementaire democratie, kitalah yang sebaliknya sebagai amanat penderitaan daripada bangsa Indonesia; memikul kewajiban untuk menyelenggarakan satu masyarakat yang bukan masyarakat kapitalisme, tetapi masyarakat yang adil dan makmur ... Saya mengundang agar supaya meninggalkan alam demokrasi liberal. Saya mengundang agar supaya meninggalkan cara berpikir ala parlementaire democratie yang politik demokrasi tok. Saya mengundang agar supaya rakyat Indonesia itu dalam menyusun ia punya demokrasi menaruhkan segala sesuatu di atas kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Maka oleh karena itu saya berkata: Demokrasi yang harus kita jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa kepribadian Indonesia sendiri ... Oleh karena itulah, di waktu yang akhir-akhir ini supaya menganjurkan dijalankannya demokrasi terpimpin. Sekian.(p.269-271)Metode Soekarno sebagai KeseluruhanHasil penelusuran penulis menemukan bahwa metode Hermeneutika Soekarno tidak bisa dipahami sebagai sebuah hal yang bertahap. Semuanya berlangsung dalam keseluruhan. Jadi meskipun dapat dikatakan bertahap, kebertahapan itu harus dipahamai sebagai sebuah unsur yang tidak terpisah dan harus menyatu dalam keseluruhan semua aspek hermeneutis. Justru itulah ciri khas Soekarno, saat melakukan penglihatan terhadap realitas sejarah harus ada pembandingan, harus ada penjernihan, harus ada dialektika. Saat melakukan perbandingan harus ada penjernihan, harus melihat keadaan historis dan lain-lainnya. Dengan cara tersebut barulah bisa metode hermeneutika Soekarno dapat dijalankan. Dapat digunakan sebagai sebuah upaya untuk menafsirkan sebuah teks. Teks dalam artian ketat maupun tidak. Teks dalam artian teks yang tertulis ataupun teks dalam artian realitas.Saat melihat Soekarno, tidak boleh dilepaskan juga visi dia dalam menafsirkan sesuatu. Tafsiran khas Soekarno selalu mengarah pada sebuah misi. Dan itu adalah aspek lain yang ditemukan oleh peneliti. Bahwa setiap penafsiran harus memiliki sebuah misi. Sebuah misi kemanusiaan untuk membangun dunia. Jika menggunakan metode khas Soekarno hal ini tidak boleh dilepas, bahwa Soekarno menganggap hasil tafsirnya atas realitas yang dapat dikatakan hal itu adalah Pancasila, berusaha dia wujudkan yang akhirnya dia usulkan sebagai ideologi dunia di Sidang PBB. Bahkan dengan khas idealisasinya juga terlihat saat dia menyinggung pernyataan Bertrand Russell bahwa selain Liberalisme dan Komunisme tidak ada ideologi yang lain lagi.Ahli filsafat Inggris Bertrand Russel pernah berkata bahwa umat manusia sekarang terbagi dalam dua golongan. Yang satu menganut ajaran Declaration of American Independence dari Thomas Jefferson. Golongan lainnya menganut ajaran Manifesto Komunis. Maafkan, Lord Russel, akan tetapi saya kira tuan melupakan sesuatu Sesuatu itu kami namakan Panca-Sila, ya Pancasila Pancasila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional[footnoteRef:16]. [16: Lih. Soekarno, Membangun Dunia Kembali, dalam Garuda Emas Pancasila sakti Eds. Bambang Rahrdjo dan Syamsuhadi (Jakarta: Yayasan Pembela Tanah Air Pusat, tanpa tahun),201 -207.]

C. PENUTUPKita sekarang dihadapkan pada tantangan antara terpesona dan rasa malu. Sampai kapan kita terus menggunakan metode ilmu-ilmu barat dalam perumusan ilmu pengetahuan kita. Disekolah-sekolah ataupun dari buku kita benar-benar dibuat terpesona akan kokohnya bagunan ilmu pengetahuan barat. Metode-metode pengetahuan barat seolah-olah telah menjelaskan segala bentuk cara kerja ilmu pengetahuan. Lantas dengan keterpesonaan itu kita digiring menemu titik getar yang menimbulkan rasa malu, atau semacam kekerdilan diri. Langkah kaki kita adalah catatan kecil saja atas cara kerja metode ilmu pengetahuan barat. Atas kondisi itu lantas kita harus keluar, merumuskan metode sendiri. Tapi kita harus tetap tenang dan rasional, gerak perumusan metode kita tidak bisa lari sepenuhnya dari cara kerja metode ilmu pengetahuan di barat. Kita tidak bisa bergerak seenaknya sendiri. Dalam upaya mengikat kaki kita agar tidak bergerak seenaknya sendiri dalam membanggun metode ilmu pengetahuan kita, tulisan ini dirumuskan. Memang hanya singkat, tapi ini dirasa perlu untuk menjaga posisi kita diantara rasa malu dan hasrat untuk mandiri dalam berilmu pengetahuan. Semoga tulisan ini dapat menjadi penyumbang dalam usaha awal perumusan metode hermeneutis nusantara, terutama Soekarno sendiri.

DAFTAR PUSTAKAPrimer:Soekarno. Pancasila Menurut Bung Karno. Ed. Floriberta Aning. Yogyakarta: Media Presindo, 2006Pendukung:Bakker, Anton. Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986Bakker, Anton dan A.C. Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2013Bleicher, J. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2013Gusmao, Martinho G. da Silva. Hans Georg Gadamer. Yogayakarta: Kanisius, 2013Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu dan Metode Postmodernis. Bogor: Akademia, 2004Palmer, Richard E. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005Rahardjo, I.T.K., dan Herdianto, WK. (Eds.). Bung Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku; Kenangan 100 tahun Bung Karno. Jakarta: Grasindo, 2001Rahardjo, Bambang, dan Syamsuhadi (Eds.). Garuda Emas Pancasila Sakti. Jakarta: Yayasan Pembela Tanah Air Saksono, Ign. Gatut. Marhaenisme Bung Karno; Marxisme Ala Indonesia. Yogyakarta: Rumah Belajar Yabinkas, 2008Sularto, St. (Ed.) Dialog dengan Sejarah; Soekarno Seratus Tahun. Jakarta: Kompas, 2001Sumaryono, E.. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogayakarta : Kanisius, 1993


Top Related