MENINGKATKAN PROUKSI PADIDENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR
Oleh :Ir. Indra Gunawan Sabaruddin
Tanaman Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman penting karena
merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk dunia. Dengan demikian,
ketersediaan akan padi harus terus dipertahankan dan terus ditingkatkan seiring
dengan bertambahnya penduduk. Di Indonesia, padi umumnya dibudidayakan
dengan dua sistem, yaitu sistem sawah (lahan basah) dan sistem gogo (lahan
kering). Menurut data Biro Pusat Statistik (2003), total luas pertanaman padi di
Indonesia mencapai 11.477.400 ha, yang terdiri dari 10.384.700 ha lahan sawah
(90,48%) dan 1.092.700 ha lahan kering (9,52%), dengan produksi total
52.078.800 ton dan produksi rata-rata 4,75 ton.ha-1 pada lahan sawah dan 2,52
ton.ha-1 pada lahan kering.
Tantangan pengadaan pangan nasional ke depan akan semakin berat. Hal
ini disebabkan oleh tingginya laju pertambahan penduduk serta tingginya laju
konversi (alih fungsi) lahan irigasi subur untuk kepentingan non pertanian.
Menurut data Biro Pusat Statistik (2003), sejak tahun 1999 sampai tahun 2003,
telah terjadi penurunan luas lahan pertanaman padi sekitar 410000 ha (3,79%). Di
sisi yang lain, laju pertambahan produktivitas lahan sawah juga semakin menurun
akibat diterapkannya teknologi yang semakin intensif, dan pemupukan yang tidak
seimbang.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut berbagai upaya terus dilakukan oleh
pemerintah untuk meningkatkan produksi padi. Melalui program revitalisasi
pertanian, diharapkan mampu memperbaiki stabilitas serta meningkatkan produksi
padi. Dua dari tiga kebijakan utama pemerintah dalam penerapan program
tersebut adalah intensifikasi pertanian dan penerapan teknologi usaha tani
(termasuk program pemuliaan tanaman), serta ekstensifikasi pertanian (termasuk
pembukaan lahan baru).
Upaya peningkatan produksi padi dapat dilakukan salah satunya melalui
upaya intensifikasi untuk menghasilkan produksi yang optimal. Intensifikasi
dilakukan dengan memperbaiki teknologi anjuran untuk meningkatkan
produktivitas lahan, sehingga akan mendukung dihasilkannya produksi yang
tinggi. Saat ini, upaya intensifikasi telah mengalami perkembangan yang sangat
berarti. Melalui teknik intensifikasi (The System of Rice Intensification / SRI)
dapat meningkatkan produktivitas lahan serta produksi padi.
Metode SRI merupakan tehnologi budidaya alternatif yang berpeluang besar
untuk dapat meningkatkan produktivitas padi sawah di Indonesia, dimana metode
ini terdapat perubahan dalam management tanaman, tanah, air dan hara.
Keuntungan praktis dari metode ini yaitu terpeliharanya bermacam mikro
organisme tanah dan pertumbuhan akar tanaman lebih besar (A collaborative
effort of Association Tefy Saina and CIIFAD, 2004a). Sistem ini pertama kali
dikembangkan di Madagaskar oleh Father Henri de Laudanie pada tahun 1980. Pada
metode SRI dilakukan perubahan dalam manajemen tanaman yaitu penggunaan
jarak tanam yang lebar dan umur bibit pindah lapang yang relatif muda yaitu 1 – 2
minggu.
Teknologi budidaya SRI di beberapa negara, seperti Bangladesh, Thailand,
dan Cina, sudah diujicoba dan dikembangkan dalam rangka mendapatkan hasil
terbaik dengan pemakaian input yang relatif lebih sedikit. Demikian pula di
Indonesia sistem ini juga pernah diuji cobakan. Teknologi tersebut pada dasarnya
berkaitan dengan peningkatan produksi padi melalui perbaikan jarak tanam,
jumlah bibit per titik tanam, umur pindah lapang, dan input air irigasi.
Budidaya padi sawah metoda SRI sangat berbeda dengan cara tradisional
yaitu dengan sistem: pemindahan bibit dari semaian pada umur 3-4 minggu atau
lebih, jarak tanam rapat (<25 x 25 cm), jumlah bibit : 5-10 bibit perumpun, sawah
digenangi terus menerus sepanjang musim, dan penggunaan pupuk kimia yang
tinggi.
Konsep dasar metoda SRI adalah : produksi tinggi, input rendah (tidak
butuh input tambahan), tidak membutuhkan air yang banyak (hemat air), bisa
diterima petani (teknologi sederhana) dan sustainable (berkelanjutan).
Metoda SRI dilakukan dengan sistem: bibit dipindahkan pada umur muda
(7-10 hari), jumlah bibit per titik tanam : 1 bibit, jarak tanam jarang (> 30 x 30
cm), pengaturan pengairan (hemat air), dan penambahan bahan organik, sehingga
dapat mengurangi ketergntungan pada pupuk kimia yang harganya semakin
meroket.
Pengaturan pengairan pada metode ini secara tidak langsung dapat
mengurangi Efek Rumah Kaca, karena sawah yang tergenang akan mengemisi gas
metana (CH4) yang tergolong dalam kelompok Gas Rumah Kaca ke atmosfer.
Dengan sendirinya penerapan metode ini sangat sejalan dengan program
pemerintah yaitu pembangunan pertanian berkelanjutan.
Penerapan metode SRI diharapkan mampu menciptakan kondisi sinergi
yang dinamis yakni penambahan suatu faktor berperan bagi perbaikan faktor lain,
dan faktor kedua juga berperan bagi faktor pertama. Dalam hal tanaman padi,
akar yang tumbuh dengan baik akan dapat menyokong pertumbuhan anakan dan
daun lebih banyak, sehingga akan memberikan produksi gabah yang lebih tinggi.
Untuk mencapai swasembada beras, erat kaitannya dengan kontinuitas
ketersediaan gabah. Salah satu upaya peningkatkan ketersediaan gabah secara
kontinuitas adalah dengan penerapan metode SRI pada padi sawah, sehingga perlu
dilakukan penelitian penerapan metode SRI di berbagai daerah di Indonesia
khususnya Sumatera Utara.
Di Indonesia sistem ini telah diuji coba di Balai Penelitian Sukamandi
Bogor. Sistem ini juga telah dievaluasi oleh oleh The Agency for Agricultural
Rice Research and Development (AARD) yang berpusat di Bogor. Dari beberapa
hasil penelitian dilaporkan bahwa dengan penerapan metode SRI terjadi
peningkatan hasil bila dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional,
seperti di Madagaskar hasil padinya meningkat dari 2 ton ha -1 menjadi 8, 15
sampai 20 ton ha-1, juga dibeberapa negara lain seperti China, Filipina, Kamboja
dan Bangladesh terjadi peningkatan hasil padinya.
Di Indonesia sendiri telah dilakukan pengujian terhadap metode SRI
diantaranya; Stasiun Penelitian Sukamandi Indonesia mendapatkan bahwa metode
SRI dengan yang memakai umur pindah bibit 21 hari pada musim kering 1999
menghasilkan 6,2 ton ha-1 (atau 51% lebih tinggi daripada standard petani), pada
musim hujan 1999/2000 dengan praktek metode SRI menghasilkan 7,2 sampai
9,3 t ha-1. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional 4,2 – 5 ton
ha-1.
Tabel . Perbandingan pertumbuhan padi antara metode konvensional dengan metodeSRI.
Komponen Metode Konvensional Metode SRI
Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran
Rumpun m-2 56 42 – 65 16 10 – 25
Tanaman per rumpun 3 2 – 5 1 1
Batang per rumpun 8,6 8 – 9 55 44 – 74
Malai per rumpun 7,8 7 – 8 32 23 – 49
Bulir per malai 114 101 – 130 181 166 – 212
Bulir per rumpun 824 707 – 992 5.858 3.956 – 10.388
Hasil panen t ha-1 2 1 – 3 7,6 6,5 – 8,8
Kekuatan akar kg-1 28 25 – 32 53 43 - 69
Sumber : Kasim, M (2004)
Di Sumatera Utara, teknologi budidaya padi metode SRI belum
dikenal luas, namun dalam sekala penelitian sudah dilakukan oleh Fakultas
Pertanian UISU pada tahun 2006. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
sosialisasi dan belum maksimalnya dukungan pemerintah daerah dalam
bentuk kebijakan terhadap penerapan teknologi ini. Oleh karena itu sangat
diharapkan peran institusi perguruan tinggi untuk mensosialisasikan metode
SRI yang didukung dengan penelitian serta memberikan bimbingan,
penyuluhan dan pendampingan dalam penerapannya di lapangan.
Metode Program Pendampingan Penerapan Metode SRI dilakukan
dengan melakukan beberapa rangkaian kegiatan sekolah lapang
penerapan metode SRI yaitu : penyuluhan kepada kelompok tani,
pembuatan DEMFARM (petak percobaan), pendampingan pelaksanaan
metode SRI kepada kelompok tani dari persiapan lahan sampai masa
pemanenan.
Penutup
Upaya peningkatan produktivitas pertanian khususnya tanaman pangan
sejak revolusi hijau, tanpa disadari telah menimbulkan kerusakan
lingkungan/SDA terutama tanah dan air. Pertanian organik adalah satu-satunya
solusi agar pertanian dan lingkungan/SDA dapat berkelanjutan.
Meningkatnya kebutuhan akan padi secara nasional, merupakan suatu
tantangan bagi kita untuk dapat meningkatkan produksi gabah dengan
berkesinambungan hingga dapat mencapai swasembada beras secara lokal
maupun nasional. Penerapan metoda SRI diharapkan dapat mendongkrak
produktivitas tanaman padi dan sekaligus penerapan pertanian berwawasan
lingkungan.
Setiap daerah mempunyai potensi untuk meningkatkan produksi gabah
secara lokal. Penerapan metode SRI pada padi sawah diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan petani serta sebagai rangsangan bagi petani untuk
kembali turun ke sawah.
Persiapan Areal Tanam :
Tanaman padi tidak membutuhkan genangan air mulai dari bibitan, pertumbuhanvegetatif dan pemasakan bulir.
Penggenangan hanya butuh ketika masa pengisian bulir
Pembuatan Jarak Tanam :
Jarak tanam dibuat dengan lebih jarana > 30 cm x 30)
Umur Bibit :
Umur bibit Sian tanam 7-10 hari
Penanaman Bibit :
Bibit ditanam satu perlubang tanam
Pertumbuhan Vegetatif :
Dengan jarak tanam yang lebih jarang, bibit ditanam 1/lubang dan tanpapenggenangan membuat pertumbuhan tanaman padi dan pertumbuhan anakan
menjadi optimal