Download - Memo IAI 2016

Transcript
Page 1: Memo IAI 2016

Hari Ini dan Perubahan yang Segera

2016

Page 2: Memo IAI 2016

halaman 1

Page 3: Memo IAI 2016

halaman 3halaman 2

DAFTAR ISI

SUARA MUDA

JakartaHari Ini

LINTAS ILMU

JEJAK HARI INI

Asmat, Je dan Arsitektur Indonesia - Paskalis Krisno A.

Efek Transportasi Umum Berbasis Digital

Terhadap Ruang Publik Jakarta - Vera Poernomo

Mencari Wajah Jakarta Melalui Kampung Kota - Resha Kambali

Jakarta, Sampah, dan Warganya - Laura Rosenthal

Revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Kota Tua -Einstein

Kode Etik Arsitek Sebuah Refleksi Tata Laku - Einstein

Tantangan Arsitektur Partisipatori

Toponimi Kawasan

Kota Tua Ruang Kita

24

28

31

34

37

41

81

88

92

Ary Sulistyo

Adalah pengajar lepas arsitektur di beberapa universitas di Jakarta dan aktif di konsultan lingkungan. Ary juga merupakan penulis dan peneliti yang aktif di IPLBI (Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia). Saat ini Ary merupakan bagian dari UPK (Unit Pengelola Kawasan) Kota Tua Jakarta.

Martin Suryajaya

Adalah lulusan Filsafat STF Driyarkara yang banyak menulis tentang filsafat, politik, ekonomi, dan Marxisme. Martin merupakan penulis di beberapa media beraliran kiri, seperti Indoprogress dan Problem Filsafat. Martin juga banyak menelurkan buku-buku filsafat seperti Sejarah Estetika dan novel Kiat Sukses Hancur Lebur. Saat ini Martin bekerja sebagai Staf Ahli bidang Kebudayaan di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ria Febrianti

Sangat dikenal dikalangan arsitek dan komunitas pecinta cagar budaya di Indonesia. Ria merupakan direktur program dari PDA (Pusat Dokumentasi Arsitektur) dan menjadi salah satu kontributor buku Tegang Bentang. Saat ini dia banyak terlibat pada proyek-proyek revitalisasi Kota Tua dan kampanye tentang cagar budaya ke masyarakat awam.

Bakti dan Cinta Tiga Nama15

New Urban Agenda: Narasi Lama, Perspektif Baru14

Reporting From The Front: Motif dan Politik Etis Arsitek18

KONTRIBUTOR

92

Page 4: Memo IAI 2016

halaman 5halaman 4

Errik IrwanAdalah arsitek muda yang juga menjadi ilustrator komik Gump n

Hell. Errik juga menjadi salah satu motor Komunitas Arsitektur

Semarang (KAS) yang banyak bergerak dalam pendokumentasian

juga produksi-produksi wacana arsitektur bagi komunitas

Semarang. Komik Gump n Hell sendiri pernah menjadi salah satu

pemberitaan dalam The Guardian Cities edisi Jakarta Week.

Astrid Sri HaryatiAdalah arsitek perempuan yang menjadi founder dan CEO dari Terra

Lumen. Karirnya telah malang melintang di manca negara dengan

menjadi direktur penghijauan bagi Kota San Fransisco. Saat ini

menjabat Kordinator Bidang Penghargaan IAI Jakarta dan fokus di

bidang Urban Strategies and Sustainable Property Development.

Hans HanAdalah mahasiswa di Wellesley College, Boston. Pertengahan 2016

lalu Hans bekerja sama dengan UPC menyelenggarakan pameran foto

‘Harta Kota’ yang dihelat di Kampung Tongkol Jakarta Utara. Hans

berlatar belakang studi tentang ekonomi dan antropologi. Karya foto

Hans bisa kita nikmati pada Memo edisi kali ini di bagian Gallery.

Cepi SabreAdalah arsitek yang juga dikenal sebagai penulis. Dia lebih senang

menganggap dirinya sebagai arsitek partikelir yang kadang-kadang

menulis untuk mempertahankan eksistensi. Cepi tinggal di Malang,

karya-karya tulisanya meliputi artikel di portal-portal populer hingga

Buku Kumpulan Cerpen, Kotak Hitam.

Gump N Hell46

Essay FotoHans Han Centrum

74

Topik Utama:

People: Publik dan Masa Depan ArsitekturMendistribusikan Kuasa: Kompleksitas Kebutuhan akan Urbanisme PartisipatorisMembaca Tanah JakartaTatap Muka: Astrid Sri HaryatiTatap Muka: Martinus IzaakHantu Pruitt - Igoe

52 55

60626670

KONTRIBUTOR

Page 5: Memo IAI 2016

halaman 7halaman 6

Jakarta adalah kata lain dari Indonesia. Definisi yang ambisius ini tak lepas dari sejarah panjang dan lapis-lapis dalam ruang Kota Jakarta yang memang merangkum Indonesia dalam skala yang

lebih kecil. Kesadaran akan kompleksitas dan signifikansi Jakarta telah mendorong banyak pihak, termasuk arsitek, untuk terus

membicarakan dan melakukan perubahan di dalam ruang kota.

Arsitek, dengan segala keunikan ilmunya, sebenarnya menawarkan sebuah posisi strategis yang memungkinkannya menjadi hub dan katalis dari sebuah perubahan. Arsitektur

adalah sebuah kerangka berfikir strategis, dimana kearsitekturan sebenarnya tidak didefinisikan melalui kehadiran bangunan

semata, namun pada kehadiran fungsi. Sebagai profesi, sayangnya, arsitek mempunyai batasan-batasan yang masih coba dicarikan solusinya. Kita tidak hanya berbicara tentang perangkat regulasi

yang belum lengkap yang membuat kolaborasi lintas ilmu menjadi tidak efektif, namun juga ego-ego sektoral yang harus ditaklukkan jika ingin masalah kota menjadi masalah bersama

dengan sense of urgency yang padu pula.

Memo IAI Jakarta dengan tema ‘Jakarta Hari Ini’ adalah salah satu respon IAI Jakarta dalam mewadahi, mengelaborasi, dan menjembatani, para profesional arsitek dengan awam, dalam

membaca dan memahami permasalahan bersama tentang Kota Jakarta saat ini. Sebagai arsitek, kita harus selalu memegang etik,

bahwa pengabdian kita adalah sebesar-besarnya untuk masyarakat, tanpa melupakan bahwa kita hanyalah sebagian kecil dari semesta

kehidupan yang kompleks. Perubahan ke arah yang baik hanya bisa terjadi ketika kita menyadari bagian kita, melakukan yang terbaik di sana, dan membuka diri untuk dialog dan kerja sama

lintas batas.

HARI INI DAN PERUBAHAN YANG SEGERA

Kepengurusan IAI Jakarta (2015-2018)

Ketua : Stevanus J Manahampi, IAIWakil Ketua : I. Ariko Andikabina II. ArdiansyahSekretaris : I. Astrid Susanti II.Dinar Ari WijayantiBendahara : I.  Theresia Asri W. Purnomo II. Erick Budhi Yulianto, IAI

Bidang Keprofesian dan Regulasi : Martinus R. Izaak, IAIPengabdian Profesi : Ario DanarPendidikan, Pengkajian dan Riset : Priscilla Epifania, IAI Penghargaan : Astrid Sri HaryatiSayembara : Rachmad Widodo, IAIPelestarian, Revitalisasi dan Perkotaan : Slamet Nugroho, IAIMedia dan Publikasi : Taufik HidayatEvent : Rendy Dharmawan

Tim Redaksi Memo 2016:Editor : Sylvania HutagalungTim : Taufik Hidayat Emanuela Esti Hapsari Errik Irwan Cuang Benny Bima Nurin

MEMO 2016©IAI JAKARTA

EDITORIAL

Page 6: Memo IAI 2016

halaman 9halaman 8

Gambar yang ‘ramai’ dan campur baur berbagai dinamika di dalamnya menunjukkan kepadatan dengan segala konsekuensinya.

Beberapa isu besar Jakarta tahun ini ikut disinggung lewat gambaran aktivitas anak-anak.

Kampung padat dan tata ruang yang tidak beraturan menyajikan visual Jakarta berupa mozaik jika dilihat dari atas. Kampung-kampung dan tata ruang ini membentuk struktur sosial yang

terlihat besar namun sesungguhnya rapuh. Ini digambarkan dalam bentuk segitiga yang adalah huruf ‘A’ dari Jakarta. Dan Jakarta

adalah medan pertarungan merebut puncak piramida kekuasaan nasional.

ILUSTRASI JAKARTA

Dunia anak-anak merefleksikan kondisi terkini Jakarta (anak-anak yg gemar berimajinasi

sekaligus meniru dunia orang dewasa). Anak-anak adalah simbol masa depan. Meskipun nakal sering

berbuat salah namun pada anak-anak masih terbentang harapan lebih besar untuk belajar dan

berubah, dibanding orang dewasa yang sudah terlanjur terbentuk. Segala ketegangan yang

tercipta dalam aktivitas bermain merupakan hal wajar bagian dari proses belajar sehingga anak-

anak akan punya cukup modal pengalaman guna membentuk Jakarta yang lebih baik.

3 kata untuk menggambarkan Jakarta Hari Ini: kepadatan, struktur (kelas) sosial, mozaik ruang-ruang.

Page 7: Memo IAI 2016

halaman 11halaman 10

jeja

k 20

16

Page 8: Memo IAI 2016

halaman 13halaman 12

Tahun 2016 mungkin akan menjadi tahun yang sulit dilupakan bagi dunia arsitektur Indonesia. Di tahun ini, arsitektur Indonesia kehilangan 3 arsitek terbaiknya, yaitu Achmad Noeman, Sandi Siregar, dan yang terakhir Han Awal. Ketiga tokoh ini sangat lekat dengan dunia keprofesian arsitek di Indonesia dan, dengan kapasitas dan karakternya masing-masing, telah menjagai Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) sejak awal didirikan. Bagi arsitek generasi muda, tiga nama ini adalah legenda yang menjadi referensi dan teladan dalam masa-masa awal berpraktek arsitektur. Kehilangan ketiganya sekaligus, tak pelak, menjadi duka mendalam bagi banyak arsitek dari segala lapis usia.

BAKTI DAN CINTA TIGA NAMA

With the loss of Han Awal, we lost a great man, a friend and a distinguished architect. Our thoughts are with his wife Ibu Daisy, children and grandchildren. For me the message that he suddenly passed away caused confusion and sadness. It is difficult to express myself. My friend and fellow architect Han Awal left this world. I am filled with gratitude that I knew him and worked with him, may Pak Han rest in God’s grace in peace.

For decades Pak Han and I were friends who understood each other with a few words, I have learned a lot from him and will remember him with warmth in my heart, the memory of a great and wise man. As an architect, he was among the greatest of his generation; his skill was undisputed. Like no other he saw the opportunity to use the knowledge of the past to build up the future.

Cor Passchier - ArchitectFormer vice-President of the Royal Society of Dutch architects ‘BNA’ and honoured member of the Ikatan Arsitek Indonesia ‘IAI’ for Han Awal

Redaksi

Ilustrasi : Bobby Irandita IAI Jakarta, dalam sebuah makan siang bersama, mendapat sebuah kesempatan luar biasa karena bisa duduk dan bertukar cerita dengan Ketua IAI Nasional, Ahmad Djuhara, dan mantan Presiden Royal Society of Dutch Architects (BNA), Cor Passchier. Keduanya adalah tokoh penting yang sekaligus menjadi sahabat dari ketiga nama tersebut. Sebagai hi-profile architects, mungkin kita tak asing dengan sosok Achmad Noe’man, Sandi Siregar, dan Han Awal yang dikemas oleh media. Namun jauh lebih dalam, ketiga tokoh ini juga ternyata adalah sosok arsitek yang sangat membumi, dan meninggalkan kesan mendalam bagi kolega dan para sahabat.

Secara khusus, Cor Passchier mempunyai kesan mendalam akan sosok Han Awal, yang telah dianggapnya sebagai sahabat dan keluarga. Beliau masih dengan jelas mengingat sebuah peristiwa dimana pada suatu masa di akhir tahun 1980an, beliau menyambangi Indonesia untuk sebuah seminar. Ketika itu beliau diinapkan di Hotel President (sekarang Pullman Hotel). Beliau mengingat jelas bagaimana beliau diantar langsung oleh Han Awal dari Bandara ke hotel. Saat itu Cor Passchier adalah wakil presiden Ikatan Arsitek Belanda (BNA). Lalu, setengah bergurau berliau berkata, “Mengapa Kamu menginapkan Saya di Hotel Presiden? Saya hanya Wakil Presiden.” Pak Han, dengan sikap kepala yang khas dan gaya bicaranya yang lugu, membalas, “Kami tidak punya Hotel Wakil Presiden.”

Lelucon ini diakui Cor Passchier menjadi jejak yang sulit untuk dilupakannya dari sosok seorang Han Awal. Terlebih karena kepergian sang legenda hanya berjarak dua minggu dari jadwal peluncuran buku ‘Building in Indonesia, 1600-1960’, sebuah buku yang ditulis beliau dan sedianya akan menjadi kenang-kenangan bagi persahabatan dua pribadi dan dua oraganisasi keprofesian arsitek di Indonesia dan Belanda. Sosok Han Awal, mau tidak mau, adalah

Page 9: Memo IAI 2016

halaman 15halaman 14

salah satu simpul penting dalam kerja sama erat oleh dua organisasi ini sejak lama.

Hal senada juga diakui oleh ketua IAI Nasional, Ahmad Djuhara. Baginya Han Awal adalah orang yang ramah dan selalu menganggap serius siapapun orang muda yang bertanya kepadanya. Jarak usia yang jauh tidak membuat jarak personal diantara keduanya. Djuhara mengungkapkan bahwa bagi Han Awal semua orang setara. Dia mengingat ada sebuah sayembara yang dia menangkan beberapa tahun lalu dimana dewan juri dipimpin oleh Han Awal, namun dalam lain kesempatan Han Awal memenangi sayembara yang dijuri olehnya. Tidak ada posisi senior atau junior di sana. Setiap profesional adalah arsitek yang menginginkan yang terbaik bagi dunia arsitektur Indonesia. Sebagai orang yang telah lama aktif di IAI, Ahmad Djuhara mengenal secara pribadi ketiga tokoh, dan ini sedikit banyak membuatnya berat untuk mengungkapkan betapa dalamnya kehilangannya dunia keprofesian arsitek. Di sisi lain kepergian mereka juga menjadi pengingat betapa pentingnya untuk bersegera melakukan regenerasi dan kaderisasi demi estafet yang baik kedepannya.

Ketiga tokoh, dalam karirnya, mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri. Jika Han Awal dikenal sebagai seorang konservatoris, kita tentu mengenal Achmad Noe’man sebagai orang yang halus walau tegas. Kiprahnya sangat banyak dibidang etik. Namun begitu, Sandi Siregar termasuk sosok yang sepi dari pemberitaan. Sandi Siregar, menurut seorang Ahmad Djuhara, bukanlah orang yang mudah didekati, atau mudah dekat dengan orang lain. Namun baginya Sandi Siregar adalah sosok guru, baik dari sejak bangku kuliah hingga ketika keduanya terjun sebagai arsitek praktisi dan anggota IAI.

Sandi Siregar penah menjabat Ketua Dewan Pendidikan Arsitektur. Dalam banyak kesempatan, baik itu raker, rapat, dan forum-forum, keduanya sering bertemu dan bertukar pandangan mengenai pendidikan arsitektur, tentang hukum, juga tentang peraturan dalam dunia keprofesian. Begitupun dalam perjalanan meloloskan Undang-undang Arsitek, Sandi Siregar menjadi sosok yang begitu dekat dan sering menjadi tempat bertukar fikiran.

Bagi Djuhara, sebagai seorang arsitek, Sandi Siregar adalah orang yang sangat berjasa dalam pendidikan profesi di Indonesia. Beliau adalah orang berfikir sangat panjang dan komprehensif terutama dalam rancangan PPArs (Pendidikan Profesi Arsitektur) jauh sebelum orang menyadari tentang pentingnya pendidikan profesi. Ketika di tahun 1994 pendidikan arsitektur di perguruan tinggi dijadikan 4 tahun, Sandi Siregar adalah orang pertama yang

menyadari adanya bahaya jika para sarjana arsitektur muda tidak dilengkapi dengan pendidikan tentang keprofesian. Dan begitulah di tahun 2006 beliau mulai merancang sistem pendidikan profesi, lalu kemudian diujicobakan di tahun 2009. PPArs menjadi sumbangan yang sangat besar bagi keprofesian arsitek di Indonesia karena untuk pertama kalinya organisasi keprofesian mengambil peran aktif menjembatani dunia pendidikan dengan dunia profesi. Diakui oleh Djuhara, prinsip dan filosofi arsitektur dari seorang Sandi Siregar menjadi acuan bagi keprofesian di Indonesia dalam banyak level dan dalam banyak konteks.

Langsung atau tidak langsung, di mata Ketua IAI Nasional, ketiga tokoh ini adalah penjaga marwah IAI dalam hal kode etik. Semuanya teguh dan tegas, terlepas dari karakternya masing-masing. Harus diakui, dengan rentang usia organisasi yang panjang, IAI masih mempunyai banyak sekali pekerjaan rumah yang belum tuntas, terkait UU Arsitek dan juga tata kelola keprofesian di Indonesia. Namun baginya IAI adalah alat, bukan tujuan. Organisasi, termasuk IAI, adalah sebuah cara yang bisa dipakai untuk mencapai sebuah tujuan yang tidak bisa dicapai jika kita sendirian. IAI adalah ikatan dari banyak arsitek yang bersepakat dengan sebuah perangkat nilai dan pandangan yang sama mengenai profesi ini. Maka seharusnya tidak boleh ada seorangpun yang dipaksa untuk menjadi anggota IAI. Menjadi anggota IAI seharusnya menjadi pilihan yang paling logis ketika itu menyangkut penyelenggaraan keprofesian arsitek yang baik. Ini adalah teladan yang terus menerus ditunjukkan oleh ketiga tokoh. Ini pula yang harus diteruskan kepada generasi arsitek berikutnya.

Arsitektur adalah tentang karya dan lingkungan yang terbangun. Bukan sekedar maket, bukan sekedar gambar. Jadi aparesiasi kepada arsitek seharusnya juga menyangkut sejauh mana kontribusinya terhadap produk arsitekturnya di dunia nyata. Kepergian ketiga tokoh ini menjadi penyemangat bagi arsitek-arsitek angkatan muda, bahwa integritas dan konsistensi dalam profesi memerlukan kerja keras dan pengorbanan. Kita tidak boleh bergantung hanya pada tiga nama. Harus ada yang menggantikan, yang melapisi, dan meneruskan apa yang sudah mereka mulai.

Kita semua akan sangat kehilangan, namun proses estafet harus segera dilakukan. Cinta dan bakti dari ketiga tokoh ini menjadi teladan bagi kita, bukan untuk dikultuskan, namun dihormati sesuai dengan harkatnya. Orang-orang ini tidak pernah dipilih IAI, tapi mereka memilih untuk berkiprah bagi IAI. Mereka punya pilihan untuk tidak berkontribusi, tapi mereka memilih sebaliknya. Bukankah kita juga seharusnya memilih hal yang sama?

Page 10: Memo IAI 2016

halaman 17halaman 16

NEW URBAN AGENDA:Narasi Lama, Perspektif Baru

Warga Ibu Kota telah lama memimpikan ruang hidup yang humanis, beridentitas lokal, dan mempunyai performa yang baik. Jakarta, sebagai pusat dari semua denyut kehidupan yang ada di Indonesia membutuhkan struktur berkota yang khusus. Proses berdemokrasi yang sehat dan bagaimana warga bisa berkontribusi, baik dalam konteks keseharian berkota maupun dalam pemilihan pemimpin selanjutnya, menjadi dinamika yang tidak bisa dihindari. Hal ini menuntut adanya korelasi antara Jakarta dan kota-kota lain dalam ekosistem global dunia, secara pemikiran demikian pun secara aksi. Aspirasi dan sumbangsih kita bersama sebagai warga ibukota menjadi tulang punggung dari pembentukan ruang-ruang kota yang layak huni, ramah, dan kompetitif.

Namun, beberapa pertanyaan yang masih menjadi ganjalan dari pertumbuhan Kota Jakarta, adalah, bagaimana kita bisa bergerak menuju masa depan yang lebih baik apabila kita belum sepakat dan memiliki benchmark terhadap kondisi dasar kita sekarang? Langkah-langkah seperti apa yang harus kita ambil dalam menjawab isu sosial, budaya, politik maupun ekonomi bersama? Bagaimana kita sebagai arsitek benar-benar paham terhadap kontribusi kita dalam kerangka pemikiran dan aksi tersebut?

Dalam event 20 tahun sekali, Prepatory Committee (Prepcom) III UN Habitat, yang dihelat di Surabaya bulan Juli 2016 lalu, kita bisa membaca narasi-narasi lama tentang isu pemukiman dan perumahan melalui tema yang diangkat, ‘United Cities and Local Government.’ Pada konferensi lanjutan yang diadakan di Quito, Ekuador, Oktober 2016 lalu, kita semakin merasakan desakan untuk terjadinya kolaborasi dan kerjasama menyeluruh seluruh warga dunia, melalui perwakilan mereka di Persatuan Bangsa-Bangsa. Ini telah menjadi tujuan jangka panjang, baik bagi Indonesia dan banyak Negara-negara lain di dunia. Kesepakatan untuk mendukung pencapaian target bersama ini tertuang di dalam 2030 Agenda for Sustainable Development. Dokumen ini mencakup berbagai kesepakatan antar Negara, seperti, Sustainable Development Goals, the Paris Agreement on Climate Change, the Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030, the Small Island Developming States Accelerated Modalities of Action (SAMOA) Pathway, dan the Instanbul Plan for Action on Least Developed Countries.

Astrid Sri Haryati

New Urban Agenda, yang juga dikenal sebagai Habitat III, menjadi langkah pertama dari realisasi, integrasi, dan koordinasi di level global hingga skala regional, nasional, sub-nasional, dan lokalitas dalam pelaksanaannya. New Urban Agenda, terutama pada butir Target no. 11, secara khusus menggarisbawahi komitmen PBB dalam membangun kota dan lingkungan pemukiman yang inklusif, aman, berketahanan, dan berkelanjutan.

Di dalam draft naskah New Urban Agenda yang disampaikan tahun ini, kita bisa membaca sebuah perspektif baru yang lebih ringkas, yang berorientasi pada aksi, memiliki pandangan jangka panjang, universal, secara ruang membentuk keterpaduan, juga selaras dengan tren global yang terus berkembang. Pendekatan yang dipakai bukanlah pendekatan yang generic, dimana one-size fits-all, namun yang mampu memfasilitasi detil-detil dan konteks dari kawasannya, dimungkinkan untuk bertransformasi, termasuk mempertimbangkan berbagai realita, konteks, budaya, dan unsur sejarah dari lanskap perkotaan dan pemukiman.

Apakah artinya ini untuk kita?

Bagaimanakah kita bisa terus mengusahakan adanya sinergi antara kota kita masing-masing dengan berbagai kota di berbagai negara lainnya?Ada baiknya kita mulai dari pemahaman kualitas unggulan dari New Urban Agenda ini dan apa yang masih perlu diperbaiki.Draft New Urban Agenda memiliki beberapa penekanan dalam aspek-aspek sebagai berikut:

1. Hak Asasi Manusia di Perkotaan, yaitu hal-hal yang memastikan adanya mekanisme perlindungan hak asasi yang riil.

2. Skala Kota Regional, yang artinya mendukung tata kelola, termasuk skala metropolitan, dengan memperhatikan aspek-aspek berdemokrasi di dalamnya.

3. Konteks Gender, yaitu sebuah pendekatan yang memungkinkan kemudahan akses ke program-program yang mendukung, diantaranya hak pemukiman, menghindari kekerasan, serta pentingnya kesetaraan dalam penataan ruang dan bentukan peluang kerja.

4. Agenda Sosial, yaitu menghindari segregasi kelas dengan menggarisbawahi pentingnya kota yang polycentric dan inklusif. Juga terdapat perhatian khusus terhadap dampak proses jentrifikasi serta akses ke ruang publik untuk semua warga tanpa terkecuali.

5. Kualitas Hidup, yaitu memastikan akses ke air bersih dan energi, adanya ketahanan pangan, jaminan kesehatan, kualitas udara yang baik, juga konteks perkotaan yang layak huni dan menarik.

6. Hak Pemukiman, yaitu komitmen untuk melaksanakan kebijakan publik yang terbaik untuk memenuhi hak bermukim di level nasional maupun lokal, jaminan untuk pengadaan permukiman yang mencukupi dengan akses ke pelayanan dasar dan infrastruktur yang diperlukan, juga adanya jaminan perlindungan dan keberlanjutan dari hak tersebut, misalnya untuk penyewa, sehingga pendekatan-pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sosial yang dibantu dengan proses administratif yang mudah, yang bisa mendukung keberlanjutan hak tersebut, serta

Page 11: Memo IAI 2016

halaman 19halaman 18

solusi berbasis komunitas.7. Perlindungan Warga oleh Otorita Lokal, yaitu

menyoroti peran pemerintah daerah dalam menjamin hak warga negara, pembentukan sistem perekonomian yang adil dan merata, dan peningkatan kinerga pemerintah daerah, terutama dalam aspek finansial termasuk yang mempengaruhi pendapatan nasional.

8. Ekonomi Informal, yaitu perhatian terhadap sektor informal di level pemukiman dan kesempatan kerja.

9. Dari enam target yang tertuang dalam Sustainable Development Goals, ada hal-hal yang berkaitan dengan isu lahan yang menuntut perhatian dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Karena itu sangat diperlukan penyamaan visi bersama, begitupun komitmen untuk pemenuhan “kebutuhan perumahan murah yang aman dan memadai yang menyediakan akses ke pelayanan dasar dan juga perbaikan pemukiman kumuh sebelum tahun 2030”.

Walau demikian, demokrasi dalam konteks perkotaan yang tertuang di dalam draft New Urban Agenda ini belum mengikutsertakan peran masyarakat di luar kegiatan monitoring dan evaluasi. Juga belum ada pemahaman yang menyeluruh tentang demokrasi sebagai sistem politik yang penting dalam proses pembangunan kota. Selain itu juga masih diperlukan penyamaan perspektif tentang kepentingan-kepentingan bersama terutama untuk aspek-aspek perkotaan yang mendasar dan yang sebaiknya diwajibkan seperti ruang publik, kualitas udara, air, energi, dan sumber alam lainnya. Pengertian tentang ruang publik dan kepentingan bersama di dalam ruang publik menjadi isu penting yang masih harus dielaborasi dalam kerangka kerja tata kelola pemerintahan, termasuk hal-hal non fisik seperti hak berkebudayaan.Kerangka komitmen New Urban Agenda ini membuka kesempatan yang lebih besar bagi pemerintahan daerah untuk berperan aktif terutama dalam kepastian adanya kebijakan yang adil, tidak distorsi, juga hadirnya sistem makro ekonomi yang bertanggung jawab dan transparan. Semangat desentralisasi juga menuntut pemerinah daerah untuk mengambil bagian dalam gerakan pemberantasan korupsi dan praktek-praktek kecurangan pajak, yang telah membebani kondisi finansial kita selama ini.

Harus disadari, kota-kota kita masih sarat dengan ketimpangan fasilitas yang membuat kota menjadi tidak kondusif untuk berbisnis, yang membuat tidak adanya jaminan akan pertumbuhan ekonomi yang inklusif yang kemudian membuat mandeknya berbagai strategi lain yang mendukung kepentingan publik. Kurangnya rekomendasi yang kreatif terhadap skema pendanaan untuk pemukiman juga menjadi sorotan sejalan dengan bergesernya preferensi orang-orang dalam kepemilikan rumah beberapa tahun terakhir, dari rumah sewa dan co-op.

Beberapa hal lain yang cukup sensitif akan kondisi dunia akhir-akhir ini adalah mengenai isu pemukiman yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, terutama untuk daerah-derah yang terdampak oleh konflik, peperangan, penjajahan, maupun penggusuran di kawasan yang berbatasan dengan teritori air, penambangan sumber daya alam, degradasi dari kawasan penting bersejarah, serta hal-hal lain yang sejenis. Isu diskriminasi pun secara menyeluruh membutuhkan perhatian lebih, terutama dalam dukungan bagi pekerja wanita dalam mengasuh anak yang dinilai masih belum memadai.

Hal terakhir yang perlu kita perhatikan, sebagai arsitek yang menjadi bagian dari warga kota, kita memerlukan perhatian yang lebih menyeluruh terhadap transformasi ruang perkotaan yang resilien tanpa harus menunggu terjadi bencana. Strategi perkotaan menuju kota yang berketahanan juga harus memperhatikan adanya masalah-masalah yang terjadi karena aspek perubahan iklim dan kondisi lingkungan, ekonomi, demografi, teknologi, politik, sosial dan lainnya. Aspek-aspek ini harus disadari menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi adaptasi perkotaan kita ke depannya. Lalu apa yang riil dan bisa kita lakukan hari ini?

Sebagai warga dunia, mulailah untuk mengerti skala dari dampak keputusan yang kita ambil sehari-hari. Kita adalah bagian dari sebuah ekosistem besar yang saling bergantung. Sebagai warga negara, tidak perlu menunggu dipanggil untuk memulai menggerakan sesuatu yang positif dan yang bisa menjadi magnet bagi solusi kota terbaik.

Sebagai warga kota, jangan takut untuk berkontribusi dalam bentuk dan skala apapun. Masing-masing memiliki peran yang luar biasa penting dalam kebersamaan kehidupan ‘berkota’. Bagaimanapun juga kita adalah bagian dari sebuah ‘persetujuan untuk berkota’, baik secara administratif, sosial maupun budaya.

Marilah kita mulai saat ini juga.

Page 12: Memo IAI 2016

halaman 21halaman 20

Reporting From The Front: Motif dan Politik Etis Arsitek

Penghujung tahun 2016, tepatnya tanggal 27 November 2016 lalu, menjadi sebuah titik penting dalam kalender arsitektur dunia dengan berakhirnya Venice Architecture Biennale 2016. Pameran arsitektur terbesar ini sering dijadikan acuan untuk menandai agenda dan arah pergerakan arsitektur global terkini. Walau begitu, ajang ini masih meninggalkan beberapa kritik dan pertanyaan dasar tentang keprofesian arsitek. Tak seperti biasanya, Biennale tahun ini berusaha mengelaborasi isu-isu sosial dan mencoba menampilkan arsitektur sebagai sesuatu yang masih berjalan, bukan sesuatu yang selesai. Tema biennale yang diangkat oleh sang kurator, Alejandro Aravena, yaitu ‘Reporting From The Front’ langsung mendapat tanggapan yang beragam dari banyak arsitek dunia. Aravena menjelaskan, seperti yang dikutip oleh The Guardian, bahwa arsitek punya kewajiban etik yang sama dengan para jurnalis dalam menjelaskan situasi yang nyata dari masyarakat saat ini. Masih menurut penerima Pritzker 2015 ini, pemakaian kata ‘The Front’ adalah untuk menjelaskan situasi dimana arsitek seharusnya menjadi yang pertama dalam melihat dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di dalam bangunan atau ruang sehingga mampu memberikan kebaikan sebesar-besarnya kepada publik.

Namun, tentu, usaha seperti ini bukan yang pertama dan terbukti sangat rawan terperosok dalam romantisme, eksploitasi hal-hal sentimentil, dan menjadi komoditas yang akhirnya tidak konstruktif secara arsitektural.

Politik Etis Arsitek

Secara keprofesian, pameran akbar di Venesia, Italia ini setidaknya berhasil mengangkat kembali beberapa pertanyaan mendasar, seperti, bagaimanakah arsitek memposisikan dirinya ditengah tuntutan akan kolaborasi (bersama komunitas) yang jauh dari karakter kerja otonom yang biasa dikenal arsitek. Lalu, ada juga sorotan mengenai kecenderungan arsitek yang selalu haus akan privilase. Dalam sejarah arsitektur kita tentu tak asing dengan arsitek-arsitek besar dengan karya arsitektur mereka yang monumental dan ikonik, yang seakan menjadi pembenaran-pembenaran dari banyak penyimpangan baik secara teknis maupun etik. Kecenderungan sifat narsistik dari arsitek pun tak pelak menimbulkan tanya, apakah agenda di balik kuratorial tahun ini murni sebuah usaha memahami krisis dan tantangan jaman, atau hanya sebuah hasrat narsisme berbalut niat baik untuk membantu golongan yang selama ini kurang beruntung?

Kritik akan motif memang tidak berlebihan mengingat isu-isu sosial memang bukan isu yang sederhana, dan arsitektur sendiri tampaknya belum dipandang sebagai instrumen yang efektif untuk bisa menjadi problem solver, bahkan oleh para profesionalnya sendiri. Kenyataan ini kemudian dibaca, oleh beberapa kritikus, sebagai sebuah bentuk ketidakpercayaan diri arsitek. Kemunculan praktik arsitektur komunitas (arsitektur yang dilakukan bersama-sama komunitas) pun terbukti membutuhkan metoda dan kerangka berfikir yang jauh berbeda dengan praktik arsitek formal pada umumnya. Salah satu alasan yang memperkuat hipotesa: motivasi menjadi juru selamat adalah sesuatu yang muluk ketika tidak disertai kesadaran bahwa arsitek dan masyarakat adalah rekan yang setara dengan ilmu yang saling melengkapi.

Aravena, dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh The Guardian, pernah menekankan bahwa biennale kali ini adalah sebuah usaha untuk meletakkan aspek-aspek sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan dalam sebuah spektrum yang sama. Namun, pertanyaan berikutnya, seefektif apa sebuah pameran bisa menjadi alat untuk memproduksi wacana dan bahkan solusi bagi konteks krisis di masa kini? Sebulan sudah, sejak penutupan Venice Architecture Biennale 2016, dan banyak ahli masih merasa bahwa biennale masih berupa gagasan-gagasan ide dan sekumpulan hipotesa, ketimbang sebuah pembacaan lugas akan hal-hal yang empirik dengan rumusan-rumusan masalah yang jernih. Arsitektur sebagai imagi yang diterjemahkan kedalam sebuah pameran, sedikit banyak membuatnya berjarak dengan konteks dan relevansinya akan kenyataan sehari-hari.

Indonesia dan Ajang Pameran Arsitektur Dunia Tidak seperti dua tahun lalu, Indonesia tidak mengambil bagian dalam Venice Architecture Biennale tahun ini. Walau begitu, 23 arsitek Indonesia secara mandiri ikut memeriahkan pameran akbar ini dengan membuat jangkar isu “Fortress Europe” sebagai respon terhadap gonjang-ganjing politik yang ada di Eropa saat ini. Arsitek Budi Pradono, sebagai inisiator pameran, mengungkapkan bahwa “Fortress Europe” merupakan metafora dari permasalahan utama

Page 13: Memo IAI 2016

halaman 23halaman 22

di Eropa, terutama yang menyangkut arus imigran dengan segala gesekan sosial, krisis ekonomi, juga intrik politik dalam badan Uni Eropa. Tema ini diangkat sebagai gambaran akan kerumitan yang juga dihadapi banyak negara-negara lain di dunia saat ini.

Tanpa mengurangi apresiasi dari sebuah niat baik untuk mengharumkan nama bangsa, pameran ini pun tak lepas dari sebuah pertanyaan akan motif. Jika agenda kuratorial yang di gagas Aravena begitu membumi dan mencoba mendudukkan negara-negara dunia ke-2 dan ke-3 di tempat utama sebagai sumber pembelajaran dan diskusi (karena dianggap mengandung contoh kasus nyata dan menawarkan metoda-metoda baru yang bisa dikembangkan sebagai terobosan), mengapa kita tidak menggali dan mengangkat apa yang memang menjadi isu hangat di dalam negeri sembari menawarkan sebuah topik perbincangan yang seru bagi komunitas global?

Sebagai negara berkembang dengan usia demokrasi yang masih cukup muda, Indonesia menjadi tempat eksperimen yang menarik. Krisis dan keterbatasan, baik secara infrastruktur fisik maupun regulasi, menjadikan Indonesia kaya akan terobosan. Biaya murah, teknologi yang rendah, dan tantangan-tantangan secara politik menjadikan arsitektur harus kembali ke akarnya.

Dalam sebuah kasus menarik di Kampung Tongkol, sekelompok arsitek mengadakan eksperimen sosial dengan mencoba menciptakan momentum titik balik bagi sebuah komunitas yang terancam digusur, melalui sebuah produk arsitektur berupa co-housing yang diberi nama Rumah Contoh. Arsitek-arsitek muda tersebut, yang tergabung dalam Architecture Sans Frontiere Indonesia (ASF-ID), mengaku apa yang sedang mereka lakukan di sana merupakan sebuah percobaan dan masih terus bergulir hingga saat ini. Dalam kondisi kritis seperti di Kampung Tongkol, arsitektur dipandang sebagai sebuah alat, bukan tujuan: sesuatu yang berproses bukan tentang keterbangunan semata. Dalam banyak liputan media, jelas terbaca bahwa apa yang mereka lakukan adalah upaya untuk membuka ruang dialog yang lebih besar dan efektif, baik secara politik yaitu antara warga dengan pemangku kekuasaan, juga secara keilmuan yaitu antara arsitektur dengan keilmuan lainnya.

November lalu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan Rembuk!, yang juga didukung oleh IAI Jakarta, eksperimen di Kampung Tongkol berhasil menjadi titik temu sebuah diskusi mengenai estetika yang menjadi eksplorasi menarik secara keilmuan filsafat dan keilmuan arsitektur. Perbincangan-perbincangan akademik yang mengupas lapis-lapis masalah dari beberapa sudut pandang merupakan hal yang menimbulkan kegairahan tersendiri bagi arsitek, mengingat selama ini arsitektur Indonesia jarang sekali ditajamkan oleh sesuatu di luar dirinya sendiri. Pameran-pameran dan diskusi-diskusi masih didominasi

topik-topik disekitar rancang bangun. Kolaborasi dan diskusi lintas ilmu diakui masih sulit dilakukan mengingat sering kali sense of urgency akan sebuah permasalahan tidak terjadi serentak sehingga sulit membangun perbincangan yang setara dengan perspektif yang sama.

Setiadi Sopandi, salah satu kurator paviliun Indonesia pada Venice Architecture Biennale 2014, mengakui bahwa keikutsertaan Indonesia dalam ajang pameran arsitektur dunia, seperti Venice Biennale, harus disikapi secara proporsional. Artinya pilihan untuk ikut atau tidak mesti ditakar dengan manfaat, tujuan, dan usaha-usaha yang realistis demi penyelenggaraan praktek profesi yang lebih konstruktif dan hadirnya iklim kritik yang sehat melalui produksi-produksi wacana yang relevan. Diakuinya, pameran masih belum menjadi wadah diskusi yang tepat, terutama bagi komunitas arsitektur di Indonesia. Ketika diminta pendapatnya mengenai pengalamannya berpameran di Venice Architecture Biennale 2014 (mewakili Indonesia, untuk pertama kalinya), arsitek yang juga peneliti ini menjelaskan bagaimana jarak yang jauh, dan perbedaan referensi antara apa yang menjadi isu dalam negeri dan isu global, menjadikan ajang seperti Venice Architecture Biennale sering kali punya jarak dengan audiens lokal. Belum lagi secara strategis, ajang Venice Biennale belum bisa dimanfaatkan sebagai jalur untuk mempromosikan arsitek Indonesia di panggung dunia karena terbentur regulasi industri konstruksi yang masih belum akan selesai sampai satu atau dua generasi kedepan. Biennale arsitektur tidak bisa disamakan dengan Biennale seni, karena secara lembaga pun keduanya punya kematangan yang jauh berbeda. Sejak awal, biennale arsitektur memang mempunyai tendensi ke arah kultural lebih besar, berbeda dengan biennale seni yang sudah lazim dipakai seniman untuk mendongkrak nilai dari karya-karya seninya.

Venice Architecture Biennale 2016 memang telah usai. Kita tentu menanti agenda berikutnya yang akan diangkat oleh event akbar dua tahunan ini. Reporting From The Front, diluar segala kekurangannya, menjadi agenda yang tidak boleh selesai. Dia harus terus menjadi kerangka berfikir semua arsitek yang merindukan hadirnya parktik profesi yang mampu menjawab tantangan masanya. Mencuplik sedikit catatan dari kurator paviliun Indonesia di tahun 2014, kita sebagai arsitek, seharusnya lebih terdorong untuk peka melihat kebutuhan arsitektur di dalam negeri kita sendiri, alih-alih tergiur berebut panggung tanpa berhitung tentang manfaat. Kita tidak perlu terburu-buru melompat menuju medan pertempuran baru sebelum menimbang semua untung ruginya. Kita tak perlu terburu-buru menuju solusi ketika sebenarnya yang perlu kita lakukan hanyalah merumuskan masalah secara jernih. Bagaimanapun, ditengah kompleksitas permasalahan kita saat ini, kita harus berhenti berandai-andai dan perlu benar-benar bersentuhan dengan kenyataan. Terkadang cara terbaik untuk menyelesaikan masalah adalah dengan menyampaikannya apa adanya.

Page 14: Memo IAI 2016

halaman 25halaman 24

suar

a m

uda

Page 15: Memo IAI 2016

halaman 27halaman 26

Hamparan karpet hijau bertabur kapas putih terpecah oleh liuk-liukan coklat cair, hutan yang masih sangat lebat dengan gumpalan awan-awan di atasnya, terbelah oleh sungai-sungai yang besar berwarna cokelat. Begitulah Agats, kota kecil di selatan papua. Kota Agats terletak diantara kota besar Merauke dan Timika. Dahulu, agats adalah sebuah kota dengan rumah-rumah kayu berpanggung yang dihubungkan oleh kanal-kanal kecil. Kano atau kapal kecil menjadi satu-satunya transportasi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sekarang kota Agats adalah kota dengan bangunan lengkap dengan jalan-jalan yang melayang. Agats adalah pintu atau gerbang menuju tempat tempat yang di diami oleh Suku Asmat di sekitarnya.

*** Dalam eksplorasi kami ke Agats, kami singgah di Kampung Er dan kampung Sawa di Barat Laut Kota Agats. Ada sekitar 12 rumpun kecil Suku Asmat yang mengelilingi kota Agats baik dari pinggir laut hingga daerah Korowai yang agak tinggi. Kami tertarik dengan bangunan panjang yang bernama Je. Di kampung Er dan Kampung Sawa terdapat masing masing sebuah Je yang mewadahi beberapa klan dalam rumah tersebut.

Menurut tradisi, rumah utama orang Suku Asmat ada dua macam. Yang pertama adalah rumah bujang atau Je, Jew, Jeu atau Yai yang di tempati oleh para pemuda yang belum menikah. Bangunan ini dibangun di atas tiang kayu yang tingginya sedikit di atas pasang tertinggi di kawasannya dengan panjang mengikut tungku-tungku berderet yang mewakili perwakilan klan. Dimensinya mencapai 50-80 meter dengan lebar 8-10 meter. Dahulu setiap klan keluarga memiliki satu rumah bujang yang menghadap langsung ke sungai atau kanal sebagai satu-satunya akses transportasi.

Asmat, Je, dan Arsitektur Indonesia

Paskalis Krisno Ayodyantoro

Bangunan lainnya adalah rumah keluarga yang didiami oleh keluarga inti, suami, istri dan anak-anaknya. Setiap istri memiliki dapur. Sama seperti Je, bangunan rumah keluarga dibangun dari kayu yang ada di sekitar lingkungan dengan susunan daun sagu sebagai atap, gaba-gaba sagu sebagai dinding rumah dan anyaman daun sagu sebagai tikar. Secara bahan, Bangunan tradisi asmat memiliki daur ekologis yang baik. Tidak menyisakan sampah yang tak terserap bumi. Ada satu lagi bangunan sementara dimana orang asmat mendirikan tempat tinggal sementara ketika mencari bahan makanan atau bahan bangunan di hutan yang dinamakan Bivak.

Je pada masa lalu berfungsi sebagai balai desa dimana seluruh warga kampung membicarakan masalah kampung. Je terbagi menjadi 2 bagian. Ada kepala Aipmu, yang biasanya juga adalah kepala perang atau pimpinan adat yang ahli dalam bidang tertentu seperti ahli pencerita dongeng (tareyatakam-ipit), ahli pelantun lagu (so-ipit), ahli penabuh tifa (em-ipit), atau ahli seniman pahat patung (Wow-ipit). Sedangkan satu Je sendiri memiliki kepala Je yang diakui kekuasaannya berdasarkan pengaruh dan kemampuannya dalam banyak hal.

Karena kondisi sebagian besar daerah Asmat adalah tanah rawa dan lumpur, ruang untuk kegiatan bersama ada di dalam. Je sebagai pusat komunitas digunakan untuk meneruskan pendidikan dasar termasuk adat istiadat asmat dan menentukan Upacara penting. Upacara penting itu seperti upacara kematian, upacara pembuatan tifa, pesta ulat sagu, upacara perahu lesung (tsyimbu), Upacara pembuatan patung leluhur (Mbismbu), dan upacara pembuatan Je (Yentpokmbu) itu sendiri.

Page 16: Memo IAI 2016

halaman 29halaman 28

Banyak ahli berpendapat bahwa bangunan Je adalah pusat kehidupan dan hidup berkomunitas Suku Asmat. Je adalah wadah tradisi untuk diteruskan ke generasi selanjutnya.

***

Masuknya modernisasi, agama, dan pengaruh budaya luar turut serta mengubah budaya Suku Asmat. Para tetua adat banyak mengeluhkan perubahan dinamika karena hilangnya Je sebagai tempat meneruskan tradisi Asmat. Je yang dahulu merupakan wadah komunitas berkumpul dan tempat untuk bermusyawarah kini hilang. Je banyak dibakar pada saat kolonialisasi berlangsung baik pada saat penjajahan Belanda maupun pada saat proses masuknya Papua ke Indonesia. Je di bakar karena dianggap sebagai pusat tempat penentuan perang dan dianggap primitif.

Je yang dahulu diletakkan di tengah-tengah klan kini diletakkan di tengah kampung. Orientasi yang dahulu menghadap ke sungai atau kanal kini berubah ke arah jalan-jalan linear setapak melayang yang dikenalkan oleh para pendatang. Sekolah modern menggantikan pendidikan dasar yang biasanya dilakukan lewat pendongengan atau penabuhan tifa dari tua-tua ke generasi muda. Sayangnya pendidikan yang diberikan oleh sekolah modern tidak diimbangi dengan pemberian pendidikan tradisi adat istiadat yang melekat selama ini oleh orang Asmat.

***

Kita, seperti juga dengan masyarakat Asmat, bergulat dengan masa depan. Beberapa Orang Asmat merasa kehilangan identitasnya ketika bangunan yang menjadi tempat membentuk karakter dan budayanya hilang. Keberadaan dan pembangunan rumah adat yang dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat terbukti menjadi salah satu cara bagaimana tradisi terus dilangsungkan dan diteruskan. Proses pembangunan mengingatkan fungsi penting tentang tatanan

sosial masyarakat dan bagaimana rumah adat menyatukan masyarakat lewat manajemen konstruksi bergotong royong dan melanggengkan praktek tradisi yang terbentuk dalam masyakarat.

Mendokumentasikan pembangunan kembali rumah adat yang semakin hilang adalah satu cara mempertahankan getok tular, yaitu menularkan pengetahuan lewat praktik. Bila Sang arsitek modern mengembangkan keprofesian lewat magang dan pengalaman membangun di tempat arsitek senior, maka pada arsitektur vernakular melalui pembangunan kembali fisik rumah adat secara bergotong royong. Keterlibatan profesi arsitek tidak hanya memperpanjang perkembangan pengetahuan sosial budaya lewat upacaranya, tetapi juga salah satu pendidikan bagaimana arsitek memahami fungsi dasar arsitektur yang melayani masyarakat dan peka terhadap lingkungan alamnya beserta seluruh solusi yang ada di sekitarnya. Arsitektur vernakular kemudian menjadi titik kritis karena menjadi inspirasi pemecahan masalah bagaimana arsitektur menggunakan potensi sosial dan lingkungan sekitar secara efisien dan tuntas, juga tanpa melupakan bubuhan subyektif yang indah. Terlebih arsitektur vernakular di Indonesia seringkali menjadi contoh arsitektur yang tanggap bencana.

Page 17: Memo IAI 2016

halaman 31halaman 30

Disadari atau tidak, globalisasi menjadi katalis perubahan di banyak tempat di dunia, termasuk juga di Indonesia. Kota Jakarta sebagai titik centrum dari Indonesia juga mengalami fenomena yang menjadi isu global, yaitu isu digitalisasi. Kita tentu ingat bahwa sekitar dua dekade lalu, era digital ditandai dengan menjamurnya warung internet (warnet) yang menjamur di pinggir jalan sampai ke gang-gang sempit. Pada masa itu, wajah kota, terutama yang menjadi sentra pendidikan, mempunyai ruang publik yang khas, yang mencoba mengakomodari kehadiran warnet-warnet ini.

Seiring waktu, dengan perkembangan telepon pintar (smartphone), lansekap permainan kemudian ikut berubah. Smartphone membuat orang semakin punya keleluasaan mengakses internet secara privat. Kehadiran warnet semakin tidak diperlukan, begitu produsen smartphone berhasil mengeluarkan produk telekomunikasi yang bisa menggabungkan fungsi komputer, game, dan telepon. Akses internetpun semakin dipermudah dengan tawaran paket-paket internet murah dari penyedia layanan telekomunikasi di Indonesia. Gabungan keduanya mendorong para pengembang aplikasipun untuk semakin menunjukkan giginya. Pasar mereka tentu saja setiap pengguna telepon pintar. Karena apalah artinya telepon pintar tanpa aplikasi. Semakin maraknya aplikasi mendorong pebisnis untuk masuk ke era digital terutama dalam hal bisnis jasa berbasis aplikasi.

Secara khusus kehadiran Go-jek beberapa tahun belakangan menjadi fenomena tersendiri. Ini karena Go-jek berhasil membalikkan banyak hitung-hitungan bisnis konvensional dan membuktikan diri sebagai yang terdepan dalam hal bisnis layanan jasa berbasis aplikasi. Tentu saja fenomena Go-jek mendorong banyak pebisnis mulai memasuki peruntungan yang sama. Terutama dalam hal jasa transportasi, ada beberapa transportasi online berbasis aplikasi yang sudah beroperasi. Di antaranya adalah :

1 Gojek2 Grab Bike3 Grab Car4 Uber5 Bajaj App6 Transjek7 Wheel Line8 Bangjek9 OjekSyar’i10 Bluejek

Efek Transportasi Umum Berbasis Digital Terhadap Ruang Publik Jakarta

Vera Poernomo

Banyak pendapat yang berkembang di masyarakat bahwa kehadiran transportasi berbasis digital mempermudah konsumen untuk mendapatkan servis transportasi yang bervariasi dan bersaing. Premis ini tentu berangkat dari perubahan perilaku masyarakat yang semakin praktis, yang juga diikuti oleh pilihan pebisnis untuk beralih ke format digital jika tak ingin kehilangan pelanggannya. Perubahan sosial yang kentara diantaranya, kita sudah jarang masyarakat yang menunggu taxi di pinggir jalan. Masyarakat sekarang lebih membuka telepon pintar mereka, masuk ke sebuah aplikasi, memesan, dan taxi akan menjemput ke rumah. Berbeda sekali dengan jaman sebelum adanya aplikasi transportasi. Bagi yang memiliki rumah di gang, harus keluar jalan besar lalu menyetop taxi. Perubahan-perubahan budaya seperti ini sedikit banyak ikut merubah ruang Kota Jakarta beberapa tahun terakhir.

Kita tahu bahwa sebelum Go-jek ada, pengendara ojeg memiliki pangkalan di beberapa titik pemukiman atau pun di tepi jalan. Sebelum ada Uber dan Grab Car, Taxi konvensional selalu diberikan keistimewaan tersendiri di lobby entrance mall ataupun hotel. Seiring dengan bertumbuhnya bisnis jasa transportasi berbasis aplikasi, ada sebuah pertanyaan yang menggelitik saya, dimanakah kendaraan-kendaraan tersebut parkir ketika tidak berpenumpang?

Dari beberapa penelusuran mandiri yang saya lakukan, saya menemukan beberapa fakta mengenai tempat parkir sementara bagi pengendara/rider dari jasa transportasi berbasis aplikasi ini. Bagi para pengendara Go-jek dan sejenisnya, acap kali mereka berseteru dengan rekan-rekan mereka para ojeg pangkalan. Namun, tidak jarang juga, mereka berbagi tempat seperti yang terdapat di pangkalan ojek 63 Gajah Mada, Jakarta Barat , yang bahkan beroperasi 24 jam penuh. Belum lama ini juga, Go-jek Indonesia telah hadir di fX Sudirman. Ini untuk pertama kalinya ojek berada di Mall eksklusif, yang selama ini selalu steril dengan layanan jasa seperti ini.

Lalu, apakah cukup upaya-upaya di atas?

Kita tahu bahwa jumlah transportasi berbasis digital tersebut semakin bertambah setiap harinya. Selain dikarenakan banyaknya permintaan pengguna, murahnya serta mudahnya mendapatkan kendaraan pribadi untuk dijadikan alat transportasi berbasis digital menjadikan tingginya peningkatan jumlah kendaraan berbasis digital tersebut.

Page 18: Memo IAI 2016

halaman 33halaman 32

Sebagai Arsitek, kita dituntut untuk mengikuti kebutuhan pengguna ruang, perubahan-perubahan yang terjadi ini menjadi tantangan tersendiri bagi arsitek dan perencana kota. Bagaimana kita harus bereaksi terhadap menjamurnya transportasi berbasis digital ini? Perencana kota dan arsitek tentunya harus sama-sama memikirkan bagaimana Kota Jakarta di masa depan dapat menjadi suatu kota yang pintar, dimana ruang, waktu dan penggunanya dapat berinteraksi dan bersinergi dengan baik dan berkelanjutan.

Apakah semua ruang publik harus menyediakan ruang istimewa untuk mereka? Apakah itu mungkin? Berapa banyak agar cukup? Ruang Publik apa saja yang harus menyediakan ruang istimewa bagi transportasi berbasis digital tersebut? Bagaimana sirkulasi yang nyaman untuk mereka yang tidak menganut azas antri?Apakah kita perlu mengadopsi desain gedung parker bertingkat yang popular di Jepang? Apakah kita sebagai Arsitek Indonesia dapat menciptakan gedung parkir/pangkalan kendaraan motor roda dua yang efektif dan efisien? Bagaimana cara menggabungkan semua kebutuhan ruang tersebut agar dapat terakomodir dengan baik di dalam satu tapak?

Sebagai warga kota, kita tentu berharap kemajuan itu sebangun dengan kebaikan, baik bagi warga dan bagi Kota Jakarta sendiri. Dahulu, sebelum munculnya transportasi umum berbasis digital, kita kerap menyaksikan pedestrian yang terpotong dan disalahgunakan sebagai pangkalan ojeg. Jalan dua jalur bisa menjadi satu jalur karena adanya kendaraan-kendaraan (mikrolet/taxi) yang mangkal di jalur samping. Bagaimana dengan sekarang? Setelah menjamurnya Grab Car, Uber, Go-jek dan layanan jasa transportasi berbasis aplikasi lainnya, apakah arsitek dan perencana kota di Indonesia dapat membantu menata ruang publik Jakarta hari ini dan masa depan?

Hampir sebagian besar perkembangan kota di utara Pulau Jawa mempunyai tipe penyebaran yang berawal dari aktifitas yang berada di pantai sebagai

pelabuhan. Sunda Kelapa contohnya, begitu tersohor selama beratus tahun sebagai pelabuhan tersibuk

pengumpul keuntungan pundi-pundi ekonomi masyarakat. Perdagangan di pelabuhan tidak bisa

disangkal, melalui banyak proses yang membuatnya secara alami akan semakin besar dan menciptakan titik-titik perekonomian baru sebagai penunjang.

Pada perkembangannya kota tradisional Jakarta mulai merambah ke arah selatan saat diciptakan tatanan

perkotaan melalui jalan-jalan strategis. Namun, seperti disinggung sebelumnya, kota Jakarta merupakan kota

tradisional yang tanpa melalui perencanaan yang matang. Saat itu tidak pernah terbayangkan, Jakarta akan dihuni

12 juta orang yang masih akan terus bertambah.

Dalam ruang Kota Jakarta, titik-titik area perekonomian, titik area pemukiman tersebar secara acak. Walau saat ini Jakarta telah tersadarkan tentang perencanaan kota pun,

fungsi pengawasan tidak berjalan dengan baik. Lagi-lagi motivasi ekonomi menjadi magnet berjuta orang

sangat pindah ke jakarta. Adanya kegiatan ekonomi berarti juga adanya komunitas penyokong perekonomian

tersebut, dalam hal ini para pekerja. Pekerja bisa dikatakan merupakan salah satu pelaku utama terciptanya

kampung-kampung kota di Jakarta. Mulanya mereka datang dengan acak, tujuan utamanya untuk mengadu

peruntungan, lalu beberapa lama kemudian mereka akan menemukan kesamaan sosial diantara sesamanya.

Kesamaan sosial inilah yang mendasari mereka membentuk komunitas, baik didasarkan pada etnis, pada bidang pekerjaan ataupun persamaan nasib. Mereka akan memulai untuk membangun tempat tinggal di balik titik-

titik kegiatan perekonomian tersebut tanpa terpola.

Mencari Wajah Jakarta Melalui Kampung Kota

Resha Kambali

Page 19: Memo IAI 2016

halaman 35halaman 34

Kampung Jawa, Kampung Bugis, Kampung Arab, Kampung Betawi sebagai empunya Jakarta, bahkan Kampung Portugis, semua tersebar tak berpola. Contohnya di Kampung Portugis, pada saat penjajah Portugis datang ke Jawa, pengaruh Portugis yang terjadi tentu tidak hanya di pelabuhan saja. Secara kehidupan sosial pun pengaruh Portugis sedikit banyak akan masuk. Di kampung Portugis sampai saat ini masih ditemukan orang-orang berbahasa campuran Portugis-Jawa, begitu pun makanan asli Portugis. Kampung Bugis, akan selalu berdiam diri di pesisir pantai karena sejatinya Bugis adalah suku pelaut yang sangat handal. Potong kayu, bangun perahu, terbangkan layar, menanti angin laut dan angin darat, menghitung rasi bintang untuk menentukan arah, tentu ini bukan barang mudah untuk dikuasai. Kampung Arab, tersohor sebagai pedagang-pedagang ulung yang melang-lang buana dari jazirah timur tengah sampai ke titik mana pun di dunia tidak terkecuali Jawa. Kampung jawa, tipe pekerja keras yang tidak kenal lelah pergi bekerja melabuhkan diri di mana pun di pelosok Indonesia. Tidak lupa Kampung Betawi sebagai empunya Jakarta yang mempunyai lahan-lahan strategis, yang mereka bentuk ataupun jual kepada siapapun yang perlu.

Beribu suku asli di Indonesia, yang tersebar tentunya tanpa terencana, memiliki aroma khas dari budaya nya, bermandikan keelokan dalam bersikap dengan sesamanya. Jakarta, sebagai melting pot, adalah wajah Indonesia itu sendiri. Berbicara mengenai kemajemukan Jakarta tak lain halnya dengan kemajemukan Indonesia dalam sebuah bangsa. Namun, yang membedakan adalah Jakarta sebagai sebuah kota terbentuk dari wajah-wajah kampung yang sudah sejak zaman dahulu mengakar budaya dan sosial kultur nya didalam Jakarta. Kampung kota seperti orang menyebut nya, adalah harta dari Jakarta hari ini. Tradisi mereka menghadirkan keindahan pembentukan identitas kota ditengah kemodernan gedung-gedung tinggi pencakar langit Jakarta.

Alih-alih memilih untuk terus mengeksplorasi hutan beton dan kaca

di Jakarta, kadang kala ada perlunya kita pikirkan sejenak keelokan

kampung kota di tengah Jakarta. Kota tanpa identitas tidak akan

meninggalkan memori yang membekas bagi orang-orang yang tinggal atau

menyinggahinya. Kampung kota ini hanya perlu tangan-tangan peduli

dari pemangku kekuasaan, untuk dapat tetap hidup berdampingan dengan

modernitas. Membuang jauh-jauh apa yang telah ada jauh sebelum hutan

beton hadir di Jakarta adalah sebuah tindakan terburu-buru. Kampung

kota hanya perlu ditata kembali, dikaji kembali, didampingi untuk dapat

hidup sesuai dengan gaya hidup modern masyarakat luar biasa Jakarta.

Namun, tanpa menghilangkan kultur budaya yang telah dimilikinya sejak

penghuni nya datang ke Jakarta berpuluh tahun lalu, bahkan beratus tahun

lalu. Apakah Jakarta hari ini akan terus mencintai identitasnya, ataukah

membuang jauh-jauh apa yang sejatinya telah menjadi kultur didalamnya,

mari kita bertanya.

“Kampung kota ini hanya perlu tangan-tangan peduli dari pemangku kekuasaan, untuk dapat tetap hidup

berdampingan dengan modernitas.”

Page 20: Memo IAI 2016

halaman 37halaman 36

Masalah sampah sedemikian beratnya sehingga tidak akan mampu jika ditangani oleh pemerintah seorang diri. Hal ini tidak sejalan dengan konsepsi awam yang menganggap bahwa masalah sampah adalah masalah peraturan dan jatah pemerintah, yang sebenarnya memperburuk penanganan sampah ibu kota. Padahal ada banyak cara yang bisa di lakukan warga DKI untuk bisa “meringan” kan beban sampah kota. Hal ini sudah diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) No.81 Tahun 2012 Tentang Pengeolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga (Pasal 35 ayat 1), yang berbunyi, “Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan pengawasan dalam kegiatan pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.”

Jakarta sudah tergolong Darurat Sampah karena tidak memiliki TPA dan tidak adanya sistem pengelolaan sampah kawasan sebagaimana amanat regulasi tentang

sampah. Kondisi pengelolaan sampah di Provinsi DKI Jakarta juga tidak menunjukkan arah yang jelas dalam menyelesaikan masalah sampah kota. Padahal, menyadari urgentnya masalah sampah, dan terbatasnya kemampuan

Jakarta, Sampah, dan Warganya

Laura Rosental

Sampah adalah masalah yang dimiliki setiap kota. Mulai dari masalah pembuangan akhir sampai pada masalah pengelolaan sampah tersebut. Hendak

dikemanakan? Diapakan? Dan bagaimana? Banyak yang gagal melihat sampah sebagai bagian dari isu desain yang sangat krusial. Hal ini mungkin disebabkan ideologi yang didapatkan disetiap perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan arsitektur, yang jarang memberi pengayaan tentang aspek ekonomi dan ekologi dalam proses perancangan di studio.

Dalam sebuah artikel di media arus utama nasional, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa Adji, mengatakan bahwa DKI Jakarta merupakan kota dengan volume sampah sebesar 6.500-7.000 ton per hari. Volume tersebut sangat tinggi jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Eropa yang hanya menghasilkan sampah 1.500-2.000 ton per hari (sumber: beritasatu.com). Masalah sampah Jakarta tidak akan selesai jika terus saja berharap dari ketersediaan lahan yang akan di gunakan sebagai TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

pemerintah, masyarakat DKI Jakarta seharusnya juga ada kemandirian dalam penanganan sampah. Sebagai catatan, tumpukan sampah yang dihasilkan dalam tiga hari membutuhkan waktu seminggu untuk mengolahnya. Pemerintah tentu telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi sampah, namun sejauh ini baru dalam tahap mengurangi volume, sedangkan untuk mengolah sampah yang sudah menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA) belum ditemukan cara yang efektif.

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ikut mengambil bagian dalam pengelolaan sampah dari hilir, sesuai dengan kebijakan peraturan menteri (Permen) nomor 19/2013 yang mewajibkan PT PLN (Persero) mengambil langkah-langkah serta membuat kebijakan guna merangsang sektor energy terbarukan dari sampah untuk pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga (PLT) sampah yang melibatkan investor.

Apa artinya ini?

Ini artinya, sampah yang tadinya hadir sebagai ekses, akan berubah menjadi komoditas, yang ditakutkan tidak hanya menjadikan sampah sebagai komoditas,

tapi bisa malah mendorong peningkatan produksi sampah karena permintaan untuk energi.

Sekali lagi, bagaimanakah kita bisa mengelaborasi hal-hal di atas di dalam bingkai arsitektur? Definisi arsitektur sebenarnya sangatlah luas. Tetapi dalam rangka pengembangan industry arsitektur ini sebagai bagian dari industry kreatif, maka arsitektur didefinisikan sebagai wujud hasil penerapan pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni secara utuh dalam menggubah ruang dan lingkungan binaan, sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia, sehingga dapat menyatu dengan keseluruhan lingkungan ruang dari tingkat makro sampai dengan tingkat mikro.

Pada skala makro, arsitektur berkaitan dengan perencanaan tata kota (town planning, hingga perencanaan transportasi, urban/rural planning), landscape planning, urban design. Sedangkan dalam skala mikro dimulai dari perencanaan interior ruangan hingga bangunan termasuk eksterior maupun taman.

Page 21: Memo IAI 2016

halaman 39halaman 38

Definisi lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energy surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Secara definisi, kita dengan mudah melihat relasi antara permasalahan sampah dengan arsitektur, namun secara praktek sehari-hari tidak sesederhana itu.

Sampah adalah salah satu permasalahan utama yang terjadi di lingkungan kita, karena memang secara langsung bahwa lingkungan juga menghasilkan sampah. Dalam konsep alam

murni, kita tidak mengenal istilah sampah. Alam mempunya daur alami yang akan memanfaatkan semua hal yang ada didalamnya secara total. Tidak ada sampah karena tidak ada yang tersisa yang tidak berguna di alam. Ketika manusia hadir, dengan segala peradaban modern nya, istilah sampah mulai dikenal. Manusia, melalui revolusi industry, mulai mempunyai kecepatan produksi dan konsumsi yang jauh lebih besar di banding alam. Inilah yang kemudian membuat segala aspek kehidupan manusia pasti akan menghasilkan sampah. Begitupun dalam praktik kerja arsitek dan industry arsitektur.

Kita tentu tak asing dengan berbagai slogan penanganan sampah yang dikenal dengan istilah 4R, yaitu reduce, reuse, recyle, dan replace. Reduce (Mengurangi) mempunyai prinsip bahwa sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan. Reuse (Memakai kembali) menganjurkan untuk sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable. Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah. Recycle (Mendaurulang); sebisa mungkin, barang-barang yang sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Dan terakhir, replace (Mengganti), adalah dengan teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang-barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidak bisa didaur secara alami.

Revitalisasi Kawasan Cagar

Budaya Kota Tua Sebagai Destinasi

Wisata Jakarta

Leo Einstein Franciscus

Tahun 1526, Fatahillah, dikirim oleh Kesultanan Demak, menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di Kerajaan Hindu Pajajaran, kemudian dinamai Jayakarta. Kota ini hanya seluas 15 hektar dan memiliki

tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619, VOC menghancurkan Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian, VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren, leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah. Kota ini diatur dalam beberapa blok yang dipisahkan oleh kanal . Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur.

Batavia berkembang pesat pada abad ke-17 dan mendapat julukan “Ratu dari Timur”, antara lain karena letaknya yang strategis baik dari segi geografis maupun lalu lintas perdagangan internasional. Meskipun pada perkembangan selanjutnya Batavia mengalami kemunduran dalam lingkungan fisik perkotaannya, sehingga mendapat julukan ‘Kuburan Orang Belanda’. Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke selatan setelah epidemi tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu menuju Weltevreden (sekarang daerah sekitar Lapangan Merdeka). Batavia kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Tahun 1942, selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta sebagai ibukota Indonesia sampai sekarang. Tahun 1972 Gubernur Jakarta Ali Sadikin mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan yang bertujuan melindungi sejarah arsitektur kota atau setidaknya bangunan yang masih tersisa.

Page 22: Memo IAI 2016

halaman 41halaman 40

Kawasan Kota Tua Batavia merupakan kawasan Cagar Budaya DKI Jakarta. Cagar budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan. Kawasan Cagar Budaya dapat berupa suatu situs lansekap dengan monumen benda bersejarah tapi juga dapat berupa sekumpulan bangunan. Sekumpulan bangunan ini dapat berupa kompleks dengan fungsi beragam atau sejenis.

Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah dan swasta untuk menanggulangi warisan era kolonial Belanda yang menjadi kawasan cagar budaya dan destinasi wisata?

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki beberapa program, diantaranya Pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah Kota Tua Batavia. Tujuan Pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah, Menurut UU RI No.11 tahun 2010 Cagar Budaya bertujuan untuk melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia, mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat Internasional. Sehingga secara tidak langsung Kawasan Kota Tua menjadi destinasi wisata dan bangunan Cagar Budaya sebagai kekayaan budaya untuk dikelola, dikembangkan, dimanfaatkan sebaik-baiknya, sebesar-besarnya untuk kepentingan pembangunan dan citra positif Jakarta sebagai Ibukota Negara dan daerah tujuan wisata. Bentuk kegiatan Pelestarian yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah Revitalisasi.

Revitalisasi merupakan upaya menghidupkan kembali sebuah distrik suatu kawasan kota yang telah mengalami degradasi, melalui intervensi ekonomi, sosial dan fisik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyusun pengembangan wisata sejarah Kota Tua. Tujuannya sebagai tujuan wisata yang tidak hanya melihat dari sisi pariwisatanya saja, namun dari sisi budaya dan sejarah yang terkandung di dalamnya. Pengembangan Kota Tua dengan merevitalisasi gedung-gedung tua di kawasan wisata Old Batavia. Rencana revitalisasi pemanfaatan gedung perlahan-lahan terwujud. Kawasan Cagar Budaya Kota Tua Batavia merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang tersimpan, dan harus ditunjukkan kepada seluruh dunia. Kota Tua berhasil masuk dalam tentative list World Heritage Site (daftar usulan situs warisan dunia) yang diajukan kepada UNESCO tahun 2016.

Revitalisasi akan segera terwujud

sebagai Destinasi wisata Jakarta

PT Pembangunan Kota Tua Jakarta (JOTRC), sebagai pihak yang terlibat langsung dalam revitalisasi, menyambut tantangan dari Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama untuk menyelesaikan proyek revitalisasi dalam waktu dua tahun. Proses revitalisasi tidak hanya dilakukan pada bangunan fisik, namun pembangunan atmosfer masa lampau. Dalam pembenahan di Kota Tua JOTRC melibatkan berbagai kelompok yang merupakan stakeholders dari Kota Tua, seperti urban planner, ahli retorasi, dan sejarah hingga komunitas lokal setempat. Kawasan revitalisasi Kota Tua mencakup 384 herktar dari Sunda Kelapa – Pinangsia dan 134 hektare di sekitar Museum Fatahilah. Kota Tua Batavia memiliki 248 gedung cagar budaya, sebagian besar gedung berada di Jakarta Barat. Sebanyak 86 bangunan di Kota Tua, Taman Sari, Jakarta Barat telah masuk daftar cagar budaya. Beberapa di antaranya ada yang sudah selesai dikonservasi, termasuk Gedung Pos Indonesia, Musem Sejarah Jakarta, Cafe Batavia, gedung kantor Jasindo Museum Seni Rupa, Wayang, Arsip Ekspor Impor, Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Jembatan Gantung, dan Museum Bahari.

Puluhan bangunan akan direvitalisasi.

Sepuluh Gedung Cagar Budaya telah direnovasi, diantaranya enam blok gedung milik Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), gedung Dasaat, gedung Olveh van 1879, gedung Kerta Niaga milik PPI di Jalan Pintu Besar Utara, dan Apotek Chung Hwa di Jalan Pintu Besar Selatan. Selain itu Gedung Kerta Niaga di Kalibesar Timur nomor 8 dan nomor 9 yang rencananya akan dijadikan sebagai pusat kuliner. Badan usaha milik negara PPI menjadi penentu perubahan besar lingkungan di Kota Tua. Sebab, sebagian besar gedung cagar budaya di sana milik PPI. Usaha menghidupkan kembali kawasan ini bergantung pada PPI meski peran PT JOTRC (Jakarta Old Town Revitalization Corp) ikut menentukan.Revitalisasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kembali nilai historis, nilai ekonomi gedung-gedung tersebut dan menjadi destinasi wisata Jakarta.

Page 23: Memo IAI 2016

halaman 43halaman 42

Kode Etik Arsitek : Sebuah Refleksi Tata Laku

Steve A. S Standar Etika 1.6 : Arsitektur, Seni, dan Industri KonstruksiArsitek bersikap terbuka dan sadar untuk memadukan arsitektur dengan seni-seni terkait dan selalu berusaha menumbuh-kembangkan ilmu dan pengetahuan dalam memajukan proses dan produk industri konstruksi.

Kaidah Tata Laku 4.301Sebagai seorang profesional, arsitek harus terus menerus mengembangkan kepakarannya, ketrampilan, dan wawasan keprofesiannya.

Prinsip-Prinsip Kaidah Spesifik Kaidah Profesi : (2) Kemampuan ProfesionalMenyajikan suatu hasil karya, memerlukan tingkatan kompetensi tertentu, seperti: pengetahuan, keahlian teknis, sikap, dan juga pengalaman. Karena itu seorang profesional sepatutnya hanya menangani pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan profesionalnya. Sejalan dengan hal ini, seorang profesional wajib mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknik-teknik baru di bidangnya, meningkatkan serta mengasah ketrampilan dan tingkat kompetensinya, dan berperan serta dalam suatu program pendidikan yang berkesinambungan sepanjang hayatnya.

Bertolak dari pasal-pasal ini, maka sudah sepatutnya arsitek terus mengikuti perkembangan teknologi konstruksi, contohnya wawasan dan pengetahuan akan material yang diterapkan ataupun digunakan pada rancangannya. Pemilihan material sudah seharusnya dilakukan dan dipikirkan secara objektif, tanpa pengaruh dari konflik kepentingan manapun.

Sekarang, ditinjau pada perspektif yang berbeda, supplier material akan menjadi pihak yang sudah selayaknya akan memperkenalkan dan memasarkan material miliknya pada para arsitek, dan juga pada pihak-pihak lain yang terkait. Supplier dalam berbagai cara, tentunya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memasarkan produk-produknya, dan tentunya agar diaplikasikan dalam karya arsitek; terlebih lagi bagi arsitek dengan nama besar, tentu akan meningkatkan nilai prestis dari produk ini sendiri. Cara-cara yang lazim diketahui antara lain adalah menyambangi kantor-kantor konsultan arsitek (dan desainer-desainer lainnya) dan mengadakan presentasi produk; mengundang tim konsultan arsitek untuk datang ke pabrik dimana material itu diproduksi; mengundang tim konsultan arsitek untuk datang ke proyek-proyek terbangun yang sudah menggunakan produk bersangkutan; dan

Arsitek telah dikenal sebagai sebuah profesi yang diakui di Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Setiap tahunnya profesi ini terus mengalami pertumbuhan, melahirkan banyak generasi-generasi penerus yang semakin kreatif dan kompetitif. Eksistensi keprofesian arsitek di Indonesia kemudian tergabung dalam sebuah ikatan yang dinamakan Ikatan Arsitek Indonesia, yang mana eksistensinya kemudian diakui dan setara dengan kedudukan organisasi arsitek mancanegara. Sebagai sebuah ikatan keprofesian, IAI kemudian menerapkan kaidah-kaidah maupun batasan yang selayaknya harus dipatuhi. Kaidah maupun batasan ini bukan menekankan tentang bagaimana kemampuan teknis arsitek dalam mengolah tata ruang, memahat bentukan bangunan, ataupun memoles dinding-dinding menjadi indah, melainkan sebagai sebuah kaidah yang mengatur kegiatan profesional, sehingga arsitek juga perlu menyadari peran, porsi, dan posisinya dalam menjalankan profesinya, terhadap sesama rekan kerja, pengguna jasa, maupun masyarakat umum.

Kode Etik ini kemudian berperan dalam membantu menyadarkan dan mengarahkan bahwa peran seorang arsitek dalam melahirkan karyanya tidak semata dilihat dari pendekatan konseptual maupun teknis semata. Namun begitu, etik, sebagai kaidah tata laku akan selalu bergerak mengikuti pengetahuan dan wawasan arsitek akan teknologi bangunan terkini. Kedua hal ini mempunyai hubungan sebab akibat yang menarik seperti yang tertuang dalam beberapa poin dari Kode Etik Arsitek dan Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek berikut:

Standar Etika 1.3 : Standar KeunggulanArsitek selalu berupaya secara terus menerus untuk meningkatkan mutu karyanya, antara lain melalui pendidikan, penelitian, pengembangan, dan penerapan arsitektur.

Page 24: Memo IAI 2016

halaman 45halaman 44

sebagai ‘sponsor’ mengadakan trip/perjalanan bersama tim arsitek sebagai calon pengguna, ataupun pada pihak lain untuk mempertahankan koneksi yang sudah terjalin. Tidak jarang pula supplier berani memberikan ‘amplop’ bagi konsultan yang telah banyak menggunakan produk-produknya, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk lainnya.

Apakah metode ini akan mempengaruhi objektifitas dalam pengambilan keputusan pemilihan material? Pemilihan material sebaiknya dilakukan arsitek secara netral dan objektif, tanpa ada perbedaan kepentingan seperti yang tertuang pada kaidah berikut:

Kaidah Tata Laku 3.401Arsitek wajib menghindari pertentangan atau perbedaan kepentingan dengan menolak suatu penugasan dan memberi penjelasan secara terbuka kepada pengguna jasa, semua pertentangan kepentingan yang diperkirakan atau yang tidak dapat dihindarkan akan merugikan pengguna jasa, masyarakat, dan lingkungan. Arsitek dapat mengadakan kerjasama (partnership) dengan bidang jasa industri konstruksi lain selama tidak terdapat pertentangan kepentingan.

Kaidah Tata Laku 3.106Arsitek akan menerima imbalan jasa maupun bentuk imbalan lainnya hanya yang sesuai dengan kesepakatan yang tertera dalam perjanjian hubungan kerja atau penugasan, dan tidak dibenarkan menerima ataupun meminta kepada pihak lain dalam bentuk apapun.

Dalam praktek keprofesian, tidak jarang, hal-hal berbau etika menjadi ritnangan tersendiri bagi arsiek untuk bersikap professional. Berbagai cara yang dilakukan supplier sudah sepatutnya kita pertanyakan, atau setidaknya direnungkan kembali, apakah dapat dianggap sebagai cara yang tepat? Pertanyaan ini yang sekiranya harus diendapkan, supaya sekiranya dapat menjadi bahan refleksi bagi para arsitek. Apakah cara-cara ini bisa dianggap menyalahi peraturan? Apakah pemenuhan sebuah tuntutan bagi para arsitek untuk mengikuti perkembangan industri konstruksi? Ataukah memang sebuah kelaziman dari sudut pandang dunia industri konstruksi? Jawabannya kembali kepada pribadi masing-masing sebagai arsitek.

Page 25: Memo IAI 2016

halaman 47halaman 46

JakartaHari Ini

Page 26: Memo IAI 2016

halaman 49halaman 48

Gump N Hell

Errik Irwan

Page 27: Memo IAI 2016

halaman 51halaman 50

Page 28: Memo IAI 2016

halaman 53halaman 52

Page 29: Memo IAI 2016

halaman 55halaman 54

Page 30: Memo IAI 2016

halaman 57halaman 56

People: Publik dan Masa Depan Arsitektur

Hal inilah yang coba diurai dalam sebuah bincang arsitektur berjudul “People” yang berlangsung pada tanggal 13 Agustus 2016 lalu. Bincang arsitektur yang diorganisir oleh Anabata ini mengundang dua arsitek perempuan kenamaan, Momoyo Kaijima dari Atelier Bow Wow, dan Marina Tabassum dari Marina Tabassum Architects. Keduanya merupakan sosok yang menarik karena selain sama-sama arsitek perempuan muda yang menjadi perbincangan saat ini, keduanya juga mengupas aspek publik (people) dari pendekatan yang berbeda.

Berbicara mengenai publik, mau tak mau kita harus siap membuka diri dengan segala kemungkinan. Publik tak punya satu wajah. Publik pun merupakan terminologi yang cair, karena definisi ini bisa berubah seiring dengan berubahnya komposisi dan kebutuhan sang publik. Dalam konteks praktik Marina Tabassum, yang berkebangsaan Bangladesh, publik diterjemahkan menjadi sebuah bangsa.

Bangladesh, sebuah negara dengan umur yang sangat muda, bisa dibilang hampir tanpa sumber daya yang berarti. Bangladesh berada dalam masa-masa yang penting karena sebagai bangsa, dia memerlukan sebuah identitas yang bisa mengikat seluruh masyarakatnya. Peran inilah yang kemudian diambil oleh Marina Tabassum melalui praktik arsitekturnya, yaitu memberi identitas kepada sebuah bangsa, sebuah masyarakat yang baru merdeka. Arsitektur menjadi sebuah pondasi yang mempersiapkan lapis-lapis sejarah untuk bisa dibangun dibangun di atasnya.

Mendisain sebuah bangsa, seperti yang diakui oleh Marina Tabassum, adalah tugas yang pelik karena arsitektur mengambil peran yang sangat besar. Arsitektur di konteks ini tidak lagi hadir sebagai bangunan, namun sebuah dialog yang terjadi antara arsitektur dengan masyarakat. Perbincangan seperti ini tak pelak membutuhkan sebuah bentuk bahasa dan teknik komunikasi arsitektural yang baru, melampaui bahasa gambar dan grafis. Dalam posisi ini arsitek dan arsitekturnya tidak bisa serta-merta memakaikan satu wajah tertentu. Arsitek tidak boleh menjadi diktator atau tirani yang menempelkan

Almarhum Han Awal, pernah mengingatkan dalam sebuah wawancara, bahwa arsitek mempunyai super klien, yaitu publik. Publik di sini bukan hanya menyangkut masyarakat awan saja, namun semua pemakai jasa arsitek, mulai dari pemerintah, organisasi, korporasi, hingga pribadi. Sebagai arsitek kita mungkin harus berhati-hati untuk tidak membatasi definisi dari publik, karena dengan kesadaran ini kita mengakui bahwa profesi ini memerlukan kelenturan dalam melihat kebutuhan yang beragam, begitupun komunikasi yang perlu dibangun agar arsitektur tidak lari dari alasan-alasan utama yang membuatnya ada. Peran publik dalam arsitektur sangat signifikan dan bahkan menjadi salah satu faktor penting yang memberi arti dalam arsitektur.

label begitu saja. Ini yang diakui oleh Marina Tabassum sebagai hal yang terberat mengingat arsitek selalu mempunyai godaan untuk menjadi ‘tuhan’.

Mungkin kesadaran ini yang menjadikan karya-karya Marina Tabassum menarik. Marina Tabassum terkenal dengan sensitivitasnya akan material dan pembacaan laku masyarakat dalam berbudaya. Salah satu karyanya, Masjid Bait Ur Rouf di Dhaka, menjadi contoh yang sangat menarik dimana dia berhasil mengelaborasi nilai-nilai budaya yang dipegang kuat oleh masyarakat sekitar, dengan estetika baru, tanpa melupakan aspek lokalitas melalui olah materialnya yang mengagumkan. Karya ini tak pelak berhasil meraih The Aga Khan Award for Architecture 2016 untuk kategori Religious Building. Hal lain yang menarik dari karya ini adalah, sistem crowd funding yang dipakai untuk mendanai proyeknya. Crowd funding dipilih karena dinilai bisa menjadi jalan dimana masyarakat berpartisipasi mendukung pembangunannya sehingga tercipta ikatan antara bangunan dan masyarakat. Metoda membangunnya yang tak biasa menjadikan karya ini tidak saja menjadi wadah secara fisik, namun juga menjadi pengikat dari masyarakat yang memakai dan yang berada disekitarnya.

Dalam konteks Bangladesh, bangsa yang masih mencari jati diri ini, kita tidak berbicara bangsa melalui sosok pemerintah dan semua aspek politiknya. Kita berbicara bangsa melalui apa yang melekat pada mereka, yaitu karakter budayanya yang dimanifesatasikan kedalam bahasa-bahasa material dan bentuk-bentuk arsitekturnya. Kita tahu, sebagai pecahan India, kemudian Pakistan, Bangladesh bergulat dengan pertanyaan, siapakah bangasa Bangladesh? Masa lalu yang pahit memaksa mereka untuk melepaskan diri dari bayang-bayang saudara-saudara serumpunnya. Karya arsitektur mengemban sebuah misi penting sebagai pembentuk identitas, sebuah misi yang diharapkan bisa bertahan lama hingga mencapai dua atau tiga generasi ke depan.

Hal ini kontras dengan praktik yang dilakukan oleh Momoyo Kaijima, dari Atelier Bow Wow. Publik dalam kontek praktik Momoyo lebih mengarah kepada integrasi antara pemerintah kota, masyarakat di sebuah kawasan tertentu, dan para profesional. Tidak seperti Bangladesh, dalam koteks Jepang, komunitas adalah istilah yang asing. Masyarakat Jepang sangat kental dengan urbanisasi dan industrialisasi sehingga hampir tidak pernah ditemui organisasi berbasis komunitas. Namun itu tidak berarti bahwa kerja-kerja bersama komunitas tidak pernah terjadi. Salah satu contoh kasus yang menarik bisa kita temukan dalam sebuah proyek di Kota Kitamoto dimana Atelier Bow Wow bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat, dan insinyur/arsitek dalam menciptakan ruang publik yang manusiawi. Titik berat karya Atelier Bow Wow, seperti yang diungkapkan oleh Momoyo, tidak terdapat pada karya terbangun semata, namun pada prosesnya.

Dalam proyek Kitamoto, Ateliar Bow Wow, berhasil melakukan provokasi dan aktivasi ke masyarakat sehingga aktif mengambil peran dalam tata kelola kota yang inklusif. Proyek Kitamoto menjadi contoh yang menarik ketika masyarakat, pemerintah dan profesional bersama-sama menyiapkan kota untuk sebuah perubahan yang drastis. Kitamoto terkenal dengan kantong penduduk berusia lanjut. Proyek yang memakan waktu pengerjaan selama 5 tahun ini kemudian melakukan banyak perubahan bertahap, dimulai dari pengurangan laju dan intensitas lalu lintas melalui konversi jalan raya ke ruang terbuka publik, pengadaan pasar-pasar rakyat, dan mengadakan sebuah sistem tata kelola kota yang baru, dimana masyarakat terlibat di dalamnya. Proyek ini berhasil membuktikan bahwa karakter ruang baru bisa terjadi ketika relasi antara aktor-aktor kota (pemerintah, insinyur, arsitek) dan masyarakat dikuatkan dan diberi ruang dialog yang baik.

Page 31: Memo IAI 2016

halaman 59halaman 58

Dalam kedua kasus ini, Bait Ur Rouf dan Kota Kitamoto, kita bisa melihat bagaimana arsitektur dan publik mempunyai pola interaksi yang berbeda, karena itu dimanifesatsikan dalam metoda yang berbeda pula. Dalam kasus Bait Ur Rouf, arsitektur menjadi benang yang menjahit banyak kebutuhan tanpa kehadiran negara. Sementara di kasus Kitamoto, arsitektur hadir sebagai ruang dialog yang memungkinkan negara dan masyarkat menjadi satu tim kerja yang efektif. Kehadiran publik mendorong arsitek dan arsitektur untuk bekerja dengan cara-cara yang berbeda dan dengan spektrum yang lebih luas. Kita bisa melihat sebuah kegairahan baru, dimana akhirnya masyarakat melihat bahwa arsitektur adalah bagian yang nyata dari hidup mereka sehari-hari. Kesadaran seperti ini mendorong sebuah keinginan untuk mengambil peran yang akhirnya memperkaya karakter praktek dari arsitek sendiri.

Kita harus mengakuti, tidak sedikit arsitek yang masih terjebak dengan fetisme akan bentuk, akan permainan warna, dan hal-hal yang kasat mata. Sementara dalam kontestasi global, kita berhadapan dengan hal-hal yang kompleks, yang tidak bisa selesai hanya dengan kalimat atau gambar, atau bangunan sekalipun. Sering kali yang diperlukan adalah dialog, antara arsitek dengan pemakai, arsitek dengan masalah, pemakai dengan kebutuhannya sendiri, dan banyak hal lagi. Ini seharusnya yang harus lebih disadari oleh arsitek, bahwa kebutuhan yang berbeda memerlukan metoda dan pendekatan yang berbeda pula. Kita, sebagai arsitek, dituntut untuk mengembangkan semua bahasa desain yang lebih lentur, dimana masalah tidak hanya didefinisikan sebagai sesuatu yang harus segera diselesaikan. Bisa jadi masalah adalah prekondisi yang memaksa kita untuk mengambil jalan memutar sehingga kita bertemu dengan kondisi-kondisi lain yang mempengaruhi pertimbangan kita akan desain.

Momoyo Kaijima, dalam kalimat penutupnya, berpendapat bahwa arsitek harus selalu berangkat dari sebuah programming yang bisa dipakai sebagai dasar untuk bertukar fikiran. Arsitek harus mulai berfikir bagaimana mengembangkan sebuah programming secara arsitektural yang bisa memancing perbincangan dan diskusi dari berbagai pihak dengan berbagai latar belakang. Inilah yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang intens, sesuatu yang bisa melahirkan kesepakatan dan perspektif yang sama dalam memandang kota. Arsitektur akhirnya tidak lagi identik dengan bangunan, namun sebuah set komunikasi baru, atau sebuah riset. Program arsitektural yang praktis dan memang aplikatif jika dipakai di tengah masyarakat akan menjadi katalis yang baik dalam menjamin terjadinya kerja sama lintas batas dalam konteks kota.

Di masa depan, kedua arsitek ini mengakui, publik akan menjadi nyawa bagi arsitektur. Krisis akan memaksa arsitek dan arsitektur membuka diri terhadap kolaborasi. Relevansi akan praktik profesipun akan banyak didefinisikan pada sejauh mana arsitek bisa membaca dan berdialog dengan publik. Menyadari hal ini, mungkin sudah saatnya kita semua bertanya sudahkah kita siap meninggalkan zona nyaman kita dan membuka diri dengan perubahan dan segala konsekwensinya?

Mendistribusikan Kuasa: Kompleksitas Kebutuhan akan Urbanisme Partisipatoris

Redaksi

Sebagai sebuah profesi dengan kekuatan untuk merubah wajah kota dan lingkungan – yang artinya juga ikut merubah kehidupan yang ada di dalamnya – industri arsitektur sering kali menjelma menjadi bisnis yang sangat kontroversial; tak jarang, rencana-rencana pengembangan sebuah kawasan malah menjadi pemicu prasangka dikalangan masyarakat lokal, hal yang kemudian menyiratkan bahwa arsitektur adalah sosok jahat yang harus dilawan.Salah satu cara yang dianggap bisa menyelesaikan permasalahan ini adalah dengan partisipasi, yaitu usaha untuk melibatkan publik untuk ikut ambil bagian dalam proses perancangan, walaupun dikalangan arsitek sendiri banyak yang skeptis bahwa cara ini akan efektif. Di sisi lain, kita harus mengakui saat ini tanggung jawab arsitek kian tergerus oleh kehadiran insinyur dan MP, kita dihadapkan dengan sebuah pertanyaan, apa yang akan tersisa pada profesi ini ketika publik pun diberi hak untuk ikut menetukan arah desain?Dalam upaya untuk memahami tantangan ini, dalam wawancara yang dikutip dari MONU Magazine yang berjudul “Participatory Urbanism,” Bernd Upmeyer mencoba menggali opini dari Jeremy Till, seorang arsitek Inggris, penulis, dan pengajar arsitektur yang telah banyak menelurkan tulisan tentang pentingnya melepaskan kontrol dalam praktek seorang arsitek dan mengundang komunitas setempat untuk ikut serta dalam proses desain.Wawancara ini dilakukan pada tanggal 3 September 2015.

Bernd Upmeyer: Di tahun 2005, Anda adalah salah satu editor dan kontributor dalam buku “Architecture and Participation” yang dalam pengantarnya dikatakan, berhasil menyatukan praktisi-praktisi kaliber internasional dengan para teoris, beberapa diantaranya merupakan pionir dari gerakan partisipatori di tahun 1960an yang menjadi panutan bagi para penggiat partisipatori masa kini. Bisakah Anda menceritakan kembali beberapa hal tentang masa-masa awal partisipatori? Kapan dan bagaimana masyarakat diperkenalkan tentang arsitektur dan proses perencanaan kota? Manakah dari proyek yang Anda sebutkan dalam tulisan Anda, yang menurut Anda sangat menarik dan cukup berhasil?

Jeremy Till: Salah satu hal yang menurut Saya menarik dari sejarah partisipatori, kalau boleh Saya mengambil contoh, adalah orang-orang seperti Giancarlo De Carlo. Kami menerjemahkan dan menerbitkan teks dari Giancarlo De Carlo yang berjudul “Architecure’s Public.” De Carlo dan tokoh-tokoh partisipatory lainnya memakai partisipasi sebagai cara untuk mendekonstruksi apa yang selama ini dipercaya menjadi tujuan profesi arsitek atau desainer. Saya merasa bahwa aspek partisipasi ini sangat menarik karena dia mempertanyakan banyak premis yang menjadi landasan dari profesi arsitek selama ini – premis

Teks wawancara dengan Jeremy Till yang terbit di Majalah MONU. Tulisan dialihbahasakan dari artikel di Archdaily, 18 Februari 2016, sebagai pengantar diskusi Refleksi Rumah Contoh yang didukung oleh IAI Jakarta.

Page 32: Memo IAI 2016

halaman 61halaman 60

individu unggul-pahlawan, premis tentang kontrol, premis tentang keahlian, dan lain sebagainya. Partisipatori, tak pelak, menantang dan mengusik beberapa standar yang sudah menjadi konvensi selama ini.

BU: Tahun 1960an mungkin adalah tahun dimana proses partisipatori diperkenalkan pertama kali, dengan skala yang lebih substantif, yaitu kedalam proses desain dan perencanaan.

JT: Ya, benar, itu adalah masa dimana banyak arsitek, termasuk diantaranya N. John Habraken dan Giancarlo De Carlo, melakukan banyak percobaan. Kurun tahun 1960an - 1980an adalah masa-masa emas dari partisipatori dan revolusi ide. Bahkan dalam beberapa contoh proyek partisipatif ada hal menarik dimana 20% anggaran biaya publik berhasil dihemat melalui proses anggaran partisipatif, itu adalah proses dimana masyarakat mempunyai kesempatan untuk menentukan bagaimana dan untuk apa dana publik dipakai. Di beberapa kota di Brazil, seperti Porto Alegre, anggaran partisipatif merupakan bagian dari proses berkota. Proporsi dari anggaran pembiayaan kota di tentukan melalui teknik-teknik partisipatif yang terbuka, yang salah satunya mensyaratkan adanya rapat warga. Hal ini sangat menarik.

BU: Menurut kontributor dari buku ini, kondisi-kondisi spasial dan tipe praktik rancang kota/arsitektur seperti apakah yang dimungkinkan hadir ketika masyarakat dilibatkan dalam proses desain?

JT: Menurut Saya, yang terlihat secara umum adalah lahirnya rasa kolektivitas yang kuat dan rasa berbagi yang lebih di dalam ruang-ruang publik, juga hadirnya ruang-ruang yang tidak melalui proses pemrograman. Sekali lagi, hal ini sangat berbeda dengan apa yang disyaratkan pada praktik-praktik profesi arsitek pada umumnya yang selalu mencoba mengendalikan semua hal. Saya memang membuat generalisasi pada konteks ini, tapi dalam praktik partisipatif setiap orang memang dimungkinkan untuk bersama-sama menciptakan ruang publik yang benar-benar publik. Ini karena dalam proses partisipasi keutamaan berada pada bagaimana ruang dihuni dan digunakan, bukan pada standar-standar yang berlaku secara arsitektural. Menegosiasikan Harapan

BU: Dalam artikel Anda “The Negotiation of Hope” yang merupakan bagian dari buku “Architecture and Participation” Anda menyatakan bahwa tantangan utama dari proses partisipasi adalah bagaimana menetapkan dasar nilai dan membuat orang-orang menyadari kebaikan dari sebuah ikatan (sosial), sebuah kesadaran yang bagi banyak arsitek masih merupakan hal yang asing, namun ini adalah kesadaran yang harus ada jika arsitektur ingin tetap relevan di masa depan. Menurut Anda mengapa partisipasi sebegitu relevannya?

JT: Benarkah Saya pernah berkata seperti itu? Itu cukup provokatif. Saya kira partisipasi sebenarnya bukan agen tunggal untuk menumbuhkan kesadaran itu. Saya menulis “The Negotiation of Hope” sebelum saya menulis “Architecture Depends,” di tulisan yang terakhir saya beragumen bahwa arsitektur harus menyadari tanggung jawab politis dan sosialnya, dan partisipasi seperti ini seharusnya menjadi bagian dalam menciptakan tanggung jawab sosial. Jika arsitektur ingin benar-benar menjadi disiplin yang memungkinkan kolaborasi dan punya kesadaran sosial, maka partisipasi, dalam pemaknaan secara harafiah, harus menjadi bagian dari sebuah disiplin ilmu yang benar-benar baru. Elemen-elemen lainnya juga penting dan harus tetap kita lakukan, tapi proses negosiasi, cara kita bercakap-cakap, dan proses komunikasi adalah aspek-aspek yang sangat penting dalam menemukan tujuan-tujuan sosial yang tepat dalam berarsitektur.

BU: Walau begitu, dalam artikel yang Anda tulis, Anda membandingkan ‘partisipasi’ dengan nilai-nilai dalam olimpiade yang menekankan ‘kemenangan,’ nilai-nilai yang biasanya dimengerti oleh atlet-atlet yang kecewa dan marah. Apa sebenarnya yang sangat mengecewakan dari partisipasi?

JT: Yang Saya maksud dalam artikel itu sebenarnya adalah, partisipasi bisa saja menjadi alat politik dalam proses berdemokrasi. Sering kali dia menjadi partisipasi yang palsu, dimana arsitek, perancang kota, atau desainer berpura-pura melibatkan masyarakat. Dalam konteks ini, partisipasi hanya menjadi syarat dari sebuah proses politik tetapi dia sebenarnya tidak benar-benar melibatkan orang-orang di dalamnya. Partisipan hanya digunakan oleh arsitek dan perancang kota untuk memenuhi sebuah kriteria namun secara teknis tidak menjadikannya elemen yang penting dalam proses pengerjaan proyek.

BU: Menurut Anda apakah ada cara untuk menghindari hal ini?

JT: Ada, namun Anda harus punya komitmen dan Anda harus menganggapnya serius. Dan untuk bisa begitu, Anda harus melepas kontrol. Menurut Saya inilah hal yang paling sulit untuk dilakukan dalam profesi ini. Saya tidak hanya berbicara tentang profesi arsitek sajas, namun semua profesi. Semua keprofesian dibangun atas dasar keahlian dan keahlian ini digunakan sebagai mekanisme kontrol. Dalam partisipasi, Anda harus melepaskan kontrol itu dan melebur menjadi professional dalam bentuk yang lain. Harus ada pengakuan bahwa keahlian Anda sama baik dan bergunanya dengan keahlian dari bidang lain, meskipun berbeda. Bagaimanapun, ‘melepas kontrol’ adalah ancaman serius bagi dasar-dasar keprofesian.

BU: Tapi, jika arsitek dan perancang kota harus melepas kuasa dan mulai berbagi pengetahuan dengan dan kepada warga, apa yang tersisa bagi mereka? Menurut Koolhaas, arsitektur telah menjadi sebuah profesi yang kalah, dimana arsitek telah kehilangan semua kontrol, posisi ini

meletakkan arsitek di bawah profesi-profesi lainnya. Saat ini, kontraktor-kontraktor besar berusaha sedapat mungkin untuk tidak bekerja sama dengan arsitek, yaitu dengan mempekerjakan ahli-ahli dalam tim internal mereka. Jadi jika arsitek harus kehilangan kontrol dalam satu-satunya hal yang tersisa bagi profesi ini, lalu apa lagi yang tertinggal bagi kita? Apa posisi arsitek sekarang ditengah-tengah keprofesian lainnya?

JT: Anda mengungkapkannya dengan baik, karena ruang lingkup kontrol yang dipunyai arsitek saat ini memang berkurang jauh dari masa-masa sebelumnya, sampai-sampai yang tersisa hanyalah visual tentang arsitektur itu sendiri, yang menjadi satu-satunya alat arsitek untuk mengklaim bahwa kejayan arsitektur dulu pernah ada. Namun Saya juga berargumen bahwa fokus kepada visual justru akan membawa arsitek semakin jauh dari proses berarsitektur dengan semua aspek-aspek sosialnya. Jika kita ingin memberi definisi baru kepada arsitektur sebagai alat yang mampu membantu kita untuk membayangkan masa depan – masa depan secara sosial dan spasial – maka menurut hemat saya, kita harus merubah cara-cara arsitektur berproduksi, melampaui nilai-nilai visualnya. Kita perlu melakukan kolaborasi dan berbagi. Jika hal ini mungkin, maka artinya masih ada harapan untuk arsitek, karena itu artinya mereka masih mampu menyumbangkan sebuah ilmu yang unik, yang tidak dipunyai profesi lain. Saya benar-benar percaya bahwa arsitek mempunyai bagasi tentang ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu tentang ruang, yang mereka dapatkan melalui pendidikan di perguruan tinggi dan mereka kembangkan melalui praktik professional mereka. Ini adalah keahlian yang luar biasa jika dipakai untuk memberdayakan dan membangun sebuah konstruksi sosial yang baru.

BU: Apakah ini yang Anda maksud ketika Anda menyebut tentang perlunya “partisipasi yang transformatif ”? Apakah hal ini dimungkinkan terjadi jika arsitek mau meletakkan dirinya sebagai warga, dan warga mau meletakkan dirinya sebagai ahli, sehingga kedua belah pihak bisa bekerja bersama dengan lebih baik?

JT: Dengan menyebutkan istilah ‘ahli-warga,’ atau ‘warga-ahli,’ saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seluruh warga harus menjadi ahli, tapi sang ahli mengakui ilmu yang dipunyai warga dan mengakui bahwa ilmu itu juga valid dan relevan sebagaimana ilmu yang dipunyai oleh arsitek sebagai ahli. Ilmu yang dipunyai warga ini hanya terkonstruksi melalui bahasa yang berbeda. Jadi, cara-cara kita berkomunikasi perlu beradaptasi satu sama lain sehingga semua ilmu bisa kita kumpulkan dan pelajari bersama.

BU: Dalam perencanaan kota dan arsitektur, bila dibandingkan dengan keprofesian lain seperti kedokteran, jurang antara ilmu yang dipunyai ahli dengan ilmu yang dipunyai oleh masyarakat sangat kecil karena semua orang dengan mudah bisa berpendapat tentang apa itu bangunan dan apa itu kota. Tidak seperti bedah jantung, dimana orang-orang sangat buta tentang prosesnya. Di sini, partisipasi jelas sekali tidak bisa disamaratakan ke semua hal dan kesemua profesi.

JT: Ya, Saya tentu tidak mengharapkan partisipasi dalam proses bedah jantung yang Saya jalani. Ada hirarki yang berbeda mengenai ilmu yang terkandung dalam profesi-profesi yang ada. Secara awam, dokter dan pengacara berada pada level ilmu yang kuat, dan arsitek berada pada level ilmu yang lemah. Hal ini menyiratkan kasta yang terjadi antara ilmu-ilmu yang kuat dengan ilmu-ilmu yang lemah, dan arsitek mencoba menyeberang ke kasta ilmu yang kuat dengan ‘memaksakan’ ilmu mereka sebagai simbol kontrol dan kuasa. Sebagai bagian dari usaha ini, arsitek sering meminggirkan orang lain dengan tidak memakai metoda partisipasi dalam praktik arsitekturnya, arsitek mencoba untuk tetap otonom. Untuk bisa tetap kuat, arsitek memilih untuk tidak melibatkan partisipasi. Walau begitu, seperti yang saya gambarkan dalam “Architecture Depends,” mungkin ada bentuk-bentuk khusus dari ilmu arsitektur yang bisa sangat efektif ketika berhubungan dengan kondisi-kondisi tak pasti dan khususnya yang terkait keberagaman. Ilmu-ilmu yang kuat cenderung mematikan hal-hal seperti ini, dia tidak cocok dengan kondisi tak pasti dan keberagaman. Dalam ilmu kedokteran, pasien dipandang sebagai badan yang pasif dan dokter terkadang dikritik karena memanipulasi dan menyalahgunakan kuasa dan ilmu yang mereka punya.

BU: Dalam artikel Anda “The Negotiation of Hope,” Anda juga mengatakan bahwa partisipasi diterima secara luas, dan terkadang secara buta, sebagai cara yang lebih baik dalam melakukan banyak hal, khususnya dalam perencanaan kota, namun tidak dalam arsitektur. Menurut Anda, dimanakah perbedaan antara perencanaan kota dengan arsitektur dalam hal partisipasi? Apakah skala menjadi isu?

JT: Menurut Saya, skala membuat banyak perbedaan. Dalam perencanaan kota, karena secara politis ada tuntutan untuk proses yang demokratis dan karena proses perencanaan kota selalu melibatkan proses sosial, maka keterlibatan warga akan selalu terjadi. Walau begitu, khusus untuk kondisi pemerintah di Inggris saat ini, proses perencanaan kota tidak lagi terlalu melibatkan partisipasi warga.

BU: Anda juga menyebutkan lebih lanjut, bahwa partisipasi, sebagai metoda yang dibakukan dan banyak disalahartikan, telah mengaburkan fakta bahwa dalam proses partisipatori, ada tingkatan-tingkatan keterlibatan, mulai dari ‘partisipasi sebagai pilihan’ hingga kontrol penuh oleh warga. Dan bagaimana kontrol penuh oleh warga sebenarnya merupakan bentuk ideal dari partisipatori walau dalam kenyataannya hampir tidak mungkin terjadi di dalam arsitektur. Bisakah Anda mengelaborasi hal ini?

JT: Maksud Saya, bahwa proses perencanaan kota dan proses arsitektur akan selalu melibatkan kuasa, dan kita tidak akan pernah bisa menghindarinya atau menghilangkan struktur dari kuasa ini. Arsitek selalu hadir dengan sebuah pengetahuan, dan pengetahuan adalah kuasa. Jadi walaupun kita selalu mulai dengan niat yang sangat baik, akan selalu ada isu tentang kuasa dalam proses partisipatif dan ini selalu berujung pada kesimpulan bahwa bentuk partisipasi penuh hampir tidak mungkin dilakukan. Tapi jika Anda mengakui adanya kuasa ini dan memperlakukannya secara bertanggung jawab, maka proses partisipasi yang terjadi

Page 33: Memo IAI 2016

halaman 63halaman 62

setidaknya akan terasa tulus, dibandingkan partisipasi yang hanya sebagai gimmick.

Limitasi dalam Partisipasi

BU: Menurut Anda, dimanakah partisipasi bisa efektif? Dalam skala apa atau dalam proyek apakah cara ini lebih cocok untuk diaplikasikan?

JT: Menurut Saya, partisipasi sangat cocok diaplikasikan pada kondisi dimana masyarakat dimungkinkan untuk menggunakan ilmu mereka sendiri. Karena itu mungkin cara ini sangat cocok untuk ruang-ruang publik, karena masyarakat tahu bagaimana ruang publik yang cocok untuk mereka dan semua orang berhak berpendapat. Walau begitu, skalanya sebaiknya tidak terlalu besar karena, jelas, ada kompleksitas dalam lapisan-lapisan kota yang membuat proses partisipasi yang ideal menjadi sulit terjadi.

BU: Menurut Anda, dimanakah limitasi dari proses urbanisme yang partisipatif yang mungkin dilakukan, dan seberapa transparan seharusnya sebuah proses regulasi dalam kota dilakukan sebelum hadir hal-hal yang kompleks yang kemudian membuatnya menjadi sulit untuk di tata dan berfungsi? Sebagai contoh, Anda tentu tidak membiarkan orang lain ikut berpartisipasi dalam proses desain rumah kediaman Anda di jalan Orchard.

JT: Yah, ketika mendesain rumah pribadi dan ketika Anda menjadi desainer sekaligus klien, Anda sebenarnya sedang dalam proses berkomunikasi secara terus menerus dan partisipatif kalau tidak bisa dikatakan terinternalisasi secara laku.

BU: Dan dimana sebenarnya Anda melihat batas dari proses partisipatori ini secara umum?

JT: Ketika berfikir tentang batas partisipatori, Saya sering teringat dengan kata-kata dari Gillian Rose tentang arsitektur komunitas: “Sang arsitek turun kelas, dan masyarakat tidak mengambil alih posisinya.” Menurut Saya, ini kutipan yang luar biasa. Apa yang coba disampaikannya, jika kita artikan secara luas, adalah bahwa arsitek dituntut untuk bisa melepaskan segalanya, termasuk pengetahuannya (karena pengetahuan adalah kuasa, dan kekuasaan adalah sesuatu yang buruk karena sifatnya menaklukkan). Dengan begitu, bahkan dalam kondisi terburuk di arsitektur komunitas, semua arsitek hanya diperbolehkan untuk menggoreskan pensilnya (kalau sekarang menggerakkan tetikusnya) jika dia dalam status mewakili masyarakat. Namun jika arsitek kehilangan kemampuannya untuk mengaplikasikan ilmunya, maka tidak akan ada yang diuntungkan dan

semuanya ikut dirugikan. Menurut saya, tidak masalah jika arsitek membawa ilmunya kepada khalayak awam, namun ini juga harus disertai kesediaan sang arsitek untuk menerima ilmu lain di luar ilmunya.

BU: Bagi saya, kutipan ini terdengar seakan arsitek diminta untuk melepaskan kuasanya, namun masyarakat tidak mengambil alih kuasa itu.

JT: Bukan, bukan artinya masyarakat tidak mengambil alih kuasa sang arsitek, tapi masyarakat tidak mendapat keuntungan apapun dari ilmu yang ditawarkan oleh sang arsitek. Ini yang menempatkan mereka semua pada posisi yang lemah dan semua orang akhirnya dirugikan.

BU: Pernahkah Anda berfikir bahwa mungkin sebenarnya masyarakat juga tidak tertarik untuk mengambil alih kuasa atau berpartisipasi? Kondisi ini juga bisa menjadi masalah.

JT: Masalah sebenarnya dari partisipasi adalah aspek sosial dan kenyataan bahwa hanya beberapa persen saja dari masyarakat yang tertarik untuk berpartisipasi. Anda tidak akan pernah bisa menjangkau keseluruhan anggota komunitas. Namun tetap, hal ini bukanlah alasan untuk tidak mencobanya.

BU: Orang-orang yang punya waktu lebih cenderung lebih tertarik untuk berpartisipasi.

JT: Ya, tepat. Hal terburuk adalah mencoba melihat partisipasi sebagai bentuk konsensus. Markus Miessen menyatakan dengan lantang dalam bukunya bahwa memandang partisipasi, sebagai bentuk konsensus, justru adalah hal yang keliru. Kita harus bisa menerima bahwa partisipasi juga adalah proses konfrontasi, dan hal terbaik yang bisa dihasilkan dari proses ini juga ditemukan dalam karakter antagonisnya.

BU: Pernahkan Anda terlibat dalam proses partisipatif, dimana Anda menjadi entah sang ahli atau warga kota? Jika iya, bagaimana pendapat Anda? Apa yang menurut Anda aneh dalam prosesnya yang membuat Anda ingin mentertawakannya atau bahkan sedih karenanya?

JT: Saat ini saya sedang terlibat dalam sebuah proyek seperti ini di University of the Arts di London, dimana kami sedang merencanakan pembangunan gedung bagi dua jurusan baru. Saya disini menjadi klien, bukan sang arsitek, dan sangat menarik untuk melihat bagaimana semua kontrol dan kuasa terdistribusi.

BU: Melibatkan lebih banyak orang dalam proses jelas

akan membuat semuanya semakin rumit. Bahkan sebelum adanya partisipasi sebenarnya telah banyak orang juga yang terlibat. Banyak hal yang bisa menjadi rumit bahkan sulit untuk ditangani.

JT: Ya! Dan karena banyak bangunan saat ini yang sebenarnya hanya manifestasi dari ekonomi, sangat sedikit niat dari pengembang atau bahkan klien untuk melibatkan lebih banyak orang untuk berproses bersama, karena hal ini akan mempengaruhi efisiensi secara ekonomi. Akhirnya proses produksi ruang-ruang di dalam kota akan dikendalikan oleh pengembang dan menejer proyek, bukan pengguna.

BU: Bagaimana kemudian Anda melihat kelanjutannya? Karena, jelas, tak semua proyek partisipatori, baik yang arsitektural maupun perencanaan kota, mampu menghasilkan demokrasi yang sebenar-benarnya, mendorong kesadaran awam, dan transparansi, akuntabilitas, juga efektifitas. Menurut Anda apakah situasi ini akan menjadi lebih buruk atau keadaan bisa berubah jika praktek partisipatori lebih banyak dilakukan?

JT: Yah, sebenarnya ada beberapa orang, contohnya Paul Mason, yang berpendapat bahwa struktur kapitalisme saat ini sedang digugat oleh bentuk-bentuk komunikasi baru. Kita harus mempersiapkan diri untuk struktur dan formasi baru ini. Contohnya, saat ini sudah banyak kantor-kantor baru, seperti Architecture 00, yang melakukan hal luar biasa melalui cara-cara kolaboratif dan partisipatif dalam menciptakan ruang.

BU: Dan apakah usaha ini berhasil? Apakah Anda bisa mengatakan bahwa ini sebuah kesuksesan?

JT: Oh iya, bahkan mengagumkan. Mereka baru saja menyelesaikan sebuah gedung di London yang dikerjakan melalui proses partisipatif. Mereka juga telah merancang ‘Wiki House’, sebuah sistem desain yang terbuka dengan menggunakan perangkat CNC untuk memungkinkan proyek-proyek kecil bisa dilakukan secara partisipatif karena memungkinkan open access dan kolaborasi dalam prosesnya.

BU: Seperti yang terjadi pada slogan ‘sustainable’, partisipasi dalam arsitektur dan perancangan kota berada pada tahap yang kritis karena banyak firma-firma baru yang terlibat yang menyalahartikannya sebagai strategi pencitraan dan akhirnya berkompromi, diatur dan didikte oleh kepentingan komunitas, pemerintah, organisasi, partai, dll. Menurut Anda apakah ini juga terjadi pada proyek-proyek Architecture 00 dan di Inggris secara umum?

JT: Itu hanya omong kosong. Para ekonom adalah corong suara neo-liberalisme, dan dengan begitu mereka tidak

mendukung apapun yang bisa menghambat pekerjaan kontraktor dan pengembang atas nama efisiensi ekonomi. Jika Anda melihat contoh-contoh partisipatori yang terjadi di Belanda atau di Jerman, maka Anda akan melihat proses partisipatori yang melibatkan warga secara terintegrasi. Secara khusus, Anda bisa menemukan gedung-gedung di Belanda hasil gerakan partisipatori, juga karya tokoh seperti N. John Habraken. ‘Open building’ di Belanda, yang dibangun berdasarkan tulisan Habraken, tidak serta merta melibatkan warga secara konvensional, namun melibatkan ruang-ruang produksi baru yang mensyaratkan teknik-teknik kolaborasi.

BU: Jika Anda bisa memberikan gambaran masa depan tentang urbanisme partisipatori, apa yang akan Anda katakan? Dimanakah partisipatori akan terjadi di masa depan, maksudnya di titik mana dia akan terjadi secara lebih intensif, tepat guna, dan benar-benar memberi pengaruh?

JT: Kalau suasana hati Saya sedang baik, optimis, dan tidak sedang intens berfikir tentang neo-liberalisme, maka Saya akan mengajukan kontrak sosial dan sistem ekonomi yang berbeda. Lalu Saya bisa membayangkan bentuk baru dari masyarakat juga bentuk baru dari kolaborasi dan partisipasi. Setelah itu Saya baru bisa membayangkan sebuah kolektifitas dan bentuk sosial yang baru di masa depan.

BU: Saya melihat, internet jelas akan memainkan peran penting dalam proses partisipatori di masa depan, terutama ketika berbicara tentang bangunan-bangunan publik di dalam kota

JT: Ya, maksudnya, semuanya sudah berada dalam sebuah kontrol. Internet sudah menjadi sebuah kekuatan yang besar dan bentuk-bentuk komunikasi baru akhirnya akan lahir untuk melawan sistem kontrol yang dibangun oleh kapitalisme ini. Entah itu artinya kapitalisme akan meredefinisi dirinya, seperti yang sering dikatakan oleh Marx, atau kita bisa merebut momen ini dan memberi arah baru bagi sistem yang ada sekarang agar lebih peka terhadap isu sosial dan lingkungan.

[...] proses perencanaan kota dan proses arsitektur akan selalu melibatkan kuasa, dan kita tidak akan pernah bisa menghindarinya atau menghilangkan struktur dari kuasa ini. Arsitek selalu hadir dengan sebuah pengetahuan, dan pengetahuan adalah kuasa. Jadi walaupun kita selalu mulai dengan

niat yang sangat baik, akan selalu ada isu tentang kuasa."

Page 34: Memo IAI 2016

halaman 65halaman 64

Membaca Tanah Jakarta

Redaksi

warga Jakarta, bahkan mungkin Indonesia, akhir-akhir ini sedang ramai memperdebatkan isu reklamasi di Teluk Jakarta. Reklamasi yang di gadang-gadang akan menjadi paket solusi untuk mengatasi banjir dan fenomena penurunan tanah di jakarta ternyata tidak serta merta mendapat penerimaan yang bulat. Pro kontra ini tidak saja didasarkan pada beberapa studi yang mengatakan bahwa reklamasi ternyata tidak menyelesaikan masalah banjir Jakarta, tapi juga kenyataan bahwa tanah Jakarta tidak akan berhenti turun walau reklamasi dilakukan.Seorang peneliti geodesi dari Institut Teknologi Bandung, Hasanuddin Z Abidin, berpendapat bahwa ada beberapa faktor penyebab penurunan tanah, yaitu adanya kompaksi alamiah (proses mencapai kestabilan tanah secara alami), penyedotan air tanah dalam jumlah besar, beban struktur bangunan, serta aktivitas tektonik. Jika faktor kompaksi alamiah memang tidak bisa dihindari, faktor-faktor yang berkaitan dengan pembangunan dan aktifitas manusia mungkin akan menarik untuk kita telaah agar kita lebih mengerti bagaimana karakter tanah Jakarta sebenarnya.

*** Wilayah Jakarta bisa dibedakan menjadi dua wilayah besar, yaitu daerah selatan Jakarta yang relatif tak terlalu besar peran faktor kompaksi alamiahnya dan daerah utara Jakarta yang masih mengalami kompaksi alamiah. Endapan wilayah selatan relatif lebih tua bila dibandingkan dengan wilayah utara Jakarta, karenanya rata-rata tanah di wilayah selatan Jakarta lebih stabil.

Dari sebuah hasil penelitian di tahun 2007 hingga 2011, tercatat daerah Pantai Mutiara mengalami penurunan hingga 40 cm. Di beberapa tempat lain, seperti Tanjung Priok dan daerah utara Jakarta lainnya tercatat penurunan tanah 1-15 cm per tahunnya. Penurunan tanah terbesar yang pernah tercatat adalah di kawasan Cengkareng dan Kalideres (Barat Laut Jakarta), dan kawasan Kemayoran-Sunter (Timur Laut Jakarta).

Banyak ahli yang setuju bahwa penurunan tanah di Jakarta tidak bisa dihentikan karena ada faktor alamiah di dalamnya. Namun penurunan tanah tidak terjadi terus menerus dan merata. Kecepatan penurunan tanah bervariasi secara spasial (ruang) dan temporal (waktu). Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pengambilan air tanah, karakter lapisan endapan, serta peningkatan beban struktur bangunan di suatu wilayah. Walau tidak bisa dihentikan, laju penurunan

Tanah, sebagai elemen

geologi mempunyai arti

yang sangat penting,

tidak saja dari sudut

pandang ilmiah, tapi

juga dari sudut pandang

keteknikan. Tanah

adalah lapisan bumi yang

berada di permukaan,

yang telah, sedang dan

terus menerus mengalami

perubahan dalam

fungsi waktu. Membaca

tanah akan banyak

membantu kita dalam

memahami sejarah dan

bagaimana merencanakan

pembangunan yang

berkelanjutan di masa

depan.

“Tanah Jakarta secara alami bukanlah tanah yang bisa mengakomodasi

pembangunan besar-besaran. Alasan ini seharusnya menyadarkan kita bahwa

syahwat pembangunan yang berlebihan hanya akan mempercepat kematian

Jakarta sendiri.”

tanah Jakarta bisa ditekan jika penurunan akibat aktifitas manusia bisa diminimalkan atau dihentikan. Persoalan yang tertinggal adalah: bagaimana merumuskan metode-metode membangun yang ramah dengan tanah Jakarta?Secara garis besar, penurunan tanah di Jakarta dapat disebabkan oleh 3 hal, yaitu: Penurunan tanah secara alami (natural subsidence), pengambilan air tanah secara besar-besaran (Groundwater extraction), dan beban bangunan (Settlement). Chaidir Anwar Makarim, guru besar geoteknik di Universitas Tarumanegara mengungkapkan bahwa faktor penyedotan air tanah, baik untuk keperluan konsumsi maupun pembangunan menjadi salah satu penyebab masalah penurunan tanah yang cukup mengkhawatirkan akhir-akhir ini.

Pakar yang juga mendalami bidang geoforensik ini mengungkapkan pengalamannya dalam mengatasi kasus-kasus pembangunan yang tidak sejalan prinsip-prinsip geoteknika. Wilayah Jakarta sebagian besar diduduki oleh tanah lunak hingga sangat lunak. Terbentang dari Hotel Indonesia sampai Monas. Tanah lunak juga terdapat di daerah Cempaka Putih, daerah sekitar UNTAR dan Universitas Trisakti, Pluit, dan Latumenten. Menurut beliau, satu hal yang harus diingat ketika membangun di kawasan tanah lunak adalah tidak boleh sembarangan menyedot air. Oleh Karena itu proses pengendalian kadar air dalam pekerjaan konstruksi (Dewatering) harus sangat terinci dan disertakan ke dalam Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Kasus-kasus perusakan bangunan akibat proses dewatering yang tidak cermat sudah banyak terjadi. Salah satu yang paling parah adalah kasus pembangunan Grand Indonesia yang merusak bangunan Kedutaan Besar Australia dan Rusia, juga Hotel Sanur (sekarang Hotel Pullman). Begitupun ketika gedung BPPT melakukan pekerjaan konstruksi di bawah tanah, proses dewatering yang buruk membuat stabilitas tanah sekitar rusak sehingga merusak pusat perbelanjaan Sarinah.

Masih menurut beliau, proses penghitungan dan perencanaan dewatering sendiri tidak bisa dilakukan di atas kertas saja. Karakter tanah lunak yang sangat mudah bergerak membuatnya membutuhkan pengamatan dan penelitian lapangan yang tidak sebentar. Apalagi jika ternyata di bawah tanah lunak ini terdapat tanah yang berpasir (dispersif ), maka laju pergerakan tanah akibat penyedotan air akan semakin besar. Fenomena ini dikenal juga dengan gejala piping. Alasan-alasan inilah yang menyebabkan proses dewatering di tanah lunak menjadi mahal sehingga sering diabaikan oleh pengembang-pengembang nakal.

Salah satu kasus yang pernah ditangani beliau adalah kasus gagal struktur oleh pengembang Apartemen di kawasan Menteng oleh pengembang besar. Gagal struktur ini dipicu oleh pembangunan basement 4 lantai tanpa disertai rencana dewatering yang matang. Pada salah satu dinding diafragmanya ternyata terdapat keropos seluas 1.2 m² yang kemudian mengakibatkan longsor. Insiden gagal struktur ini tak pelak ikut merusak bangunan-bangunan cagar budaya yang banyak terdapat di sekitar lokasi proyeks.

Chaidir adalah arbiter bersertifikat yang sering dipakai sebagai saksi ahli dalam kasus-kasus malpraktek konstruksi di Indonesia. Ia mengakui bahwa kasus malpraktek konstruksi di Indonesia semakin meningkat karena kurangnya pemahaman arsitek dan insinyur sipil tentang peraturan dan metode membangun yang benar. Alasan-alasan ekonomi juga diakui beliau sering menjadi latar belakang kelalaian-kelalaian praktik konstruksi. Biaya konstruksi yang murah, cepat, dan tidak sesuai standar sering menjadi penyebab buruknya konstruksi (bad workmanship) di Jakarta.

Dalam kasus gagal struktur Apartemen di kawasan Menteng tadi, Chaidir Makarim menjelaskan bahwa setidaknya ada dua pelanggaran yang terjadi. Yang pertama adalah perusakan bangunan cagar budaya dan gangguan lingkungan akibat praktik Bad Workmanship. Kerugian yang timbul ini dapat digugat secara keperdataan. Dalam Undang-undang diatur bahwa klaim akibat cacat desain bisa mencapai maksimal 10% dari harga bangunan. Klaim lain juga bisa didapat akibat cacat pelaksanaan yang menyebabkan gangguan lingkungan, apalagi terdapat situs cagar budaya yang dilindungi Undang-undang. Lalu pelanggaran kedua adalah jika terdapat kasus perizinan yang tidak lengkap. Dalam hal ini pihak pemerintah kota bisa ikut dipersalahkan karena menerbitkan izin pelaksanaan tanpa disertai kelengkapan AMDAL.***

Sesederhana menyedot air, kita harus menyadari bahwa konsekuensi yang terjadi terhadap tanah bisa sangat besar. Kita memang tidak bisa menghentikan penurunan tanah yang memang terjadi oleh alasan-alasan alami. Namun kita bisa menguranginya dengan melakukan metode-metode membangun yang benar, berwawasan lingkungan, dan punya perspektif berkelanjutan. Tanah Jakarta secara alami bukanlah tanah yang bisa mengakomodasi pembangunan besar-besaran. Alasan ini seharusnya menyadarkan kita bahwa syahwat pembangunan yang berlebihan hanya akan mempercepat kematian Jakarta sendiri,

Page 35: Memo IAI 2016

halaman 67halaman 66

Arsitektur: Sebuah Strategic Thinking

Redaksi

Redaksi (RED): Beberapa tahun terakhir ini Jakarta tengah gencar berbenah. Kita juga melihat sebuah fenomena dimana arsitek semakin aktif bersuara terkait ruang Kota Jakarta. Tak bisa dipungkiri, banyak yang tengah diusahakan oleh pemerintah untuk menciptakan Kota Jakarta yang lebih manusiawi. Ngomong-ngomong tentang pemerintah, petahana kerap lebih memilih untuk menggunakan dana CSR dibanding APBD Kota Jakarta, yang nota bene menjadi kritik keras karena dituding menjadi celah praktek Public-Private Partnership yang tidak sehat. Bagaimana pendapat Anda?

Astrid Sri Hayati (ASH): Komposisi APBD sekarang memang tidak memungkinkan untuk menopang pembangunan daerah seutuhnya. Sebagian besar APBD diserap untuk gaji pegawai, hanya kurang dari 20% yang bisa dipakai untuk mendanai pembangunan, gak nampol banget kan. Kalau memang demikian adanya, kita harus disiplin untuk juga berani melakukan kerja sama dengan PPP (Public-Private Partnership) seperti CSR. Seperti apa, ya contohnya jika pabrik semen, kenapa tidak dibuat program sosial per-semenan misalnya. Potensi utamanya bisa di tonjolkan untuk dijadikan apa dan apa, sesuatu yang lebih konstruktif. Jadi kitanya juga gak jauh-jauh amat untuk ngerti. Gak apa-apa juga untuk bantu-bantu sesuatu yang populer, misalnya program katarak, yang banyak kita lihat. Tapi sekali lagi, apakah itu yang dibutuhkan oleh populasi produktif kita? Sementara anak-anak umur 16 tahun, 18 tahun, kebingungan gak bisa masuk sekolah. Sekolah seperti SMK kurang. Kenapa gak bikin SMK per-semenan? Ini cuma contoh doang ya. Ada hal-hal yang sebenarnya jatuhnya lebih kontekstual, lebih konstruktif.

Di Amerika, contohnya, ada namanya TIF (Tax Incremental Financing) yang sifatnya regional. Let’s say, daerah Angke, coba bikin TIF aja disana, lalu di gedhein. Jadi semua hal, termasuk income daerah itu, investasinya tidak boleh keluar dari daerah itu. Semuanya dicekok-cekokin kesitu. Jadinya gak kejadian lagi tuh, ada daerah yang ada income namun tidak pernah mendapatkan benefit. Soalnya selalu income larinya ke tengah, ke pusat, baru disebar. Dilariin ke tengah lagi, baru disebar lagi. Dengan semangat disentralisasi ini bisa jadi alasan juga supaya yang namanya PAD, pendapatan daerah masing-masing, itu jangan dimasukkan ke akunnya tengah lalu disalurkan ke Jakarta yang lain. Disinilah titik dimana kita harus disiplin terhadap pelaksanaan. Karena kalau ngga begitu, yang namanya fairness, atau keadilannya ga akan kejadian tuh. Leadernya harus berani. Berani dilempar tomat, sedikit haha…

Pengalaman saya praktek di luar negeri, ada perbedaan San Fransisco dengan Chicago. Walikotanya Chicago itu cuek bebek. Dia kan sebelas tahun jadi walikota karena memang gak ada batasnya. Tapi memang bukan karena dia populer, tapi memang dia berani mengambil keputusan. ‘Pokoknya dikerjakan dulu, habis itu saya benerin,’ begitu

Arsitek dan arsitektur

terlalu lekat dengan

bangunan. Sekian lama,

asosiasi ini membuat kita

sulit untuk memisahkan

mana nilai-nilai yang

mendasar dan mana

nilai-nilai yang hanya

melekat pada keduanya.

Astrid Sri Haryati, seorang

arsitek perempuan yang

jejak karirnya telah

malang melintang hingga

ke manca negara, berbagi

pandangannya mengenai

masa depan praktek profesi

arsitek di Jakarta. Obrolan

disela makan pagi bersama

ini terjadi secara spontan

namun layak untuk

disimak.

prinsipnya. Daripada pow wow, Kumbaya, nunggu semuanya setuju. Emang ada yang semuanya setuju? Yang penting dikerjakan dulu, baru bisa tahu mana yang bisa diperbaiki. Dia berani dilempar tomat, dalam tanda kutip ya.

Yang walikota San Fransisco, duileh, karena dia pengen jadi senator, pengen jadi presiden, pengen jadi apa, yang ada tuh hati-hati banget. Khan susah! Kalau kita mau merubah sesuatu kayak gitu khan jadi reseh. Yang begini jadinya bukan leader lagi dia.

RED: Anda pernah mengatakan bahwa tiap kota seharusnya punya branding-nya sendiri-sendiri. Misalnya kota Bandung mau jadi apa, Semarang jadi apa, Surabaya jadi apa. Tapi Jakarta ini ingin jadi semuanya. Ingin jadi pusat ekonomi, juga pusat pemerintahan dan pusat penumpukan populasi. Semua orang ingin tinggal di sini. Dengan kondisi seperti ini, menurut Anda, kira-kira bagaimana Jakarta ke depan?

ASH: Yang memang kita suka lupa itu skala. Arsitek banyak yang suka bikin TOD dimana-mana, work, live, play di situ semua. Jadinya bikinnya rounding. Apalagi yang di Jakarta tuh, suka banget mewarnai. Di sini perumahan, di sini pusat bisnis, di sini untuk leisure. Padahal dari kantor ke rumah dua jam, sama aja jadinya kayak ke Bandung.

Padahal kan idealnya relasi-relasi antar zona ini seperti hub and hook, seperti layaknya sepeda. Sepeda kan ada ruas kecil, ada ruas besar. Kalau ruas yang kecil muternya kenceng, kalau ruas yang besar muternya lambat. Dimana-mana pasti ada wilayah yang muternya lambat dan ada yang muternya kenceng. Tapi semuanya harus dihubungkan dengan rel. Sepeda itu ada yang roda depannya yang lambat, roda belakangnya kenceng. Tapi kan semuanya ikut muter. Sama dengan kota. Kalau semua wilayah ikut muter bersama, pusat kota itu jadinya gak cuma satu, tapi ada banyak. Idealnya memang pusat kota itu ada beberapa, lalu terdapat cluster-cluster. Kalau Jakarta ada Kebayoran, Menteng, dan lain-lain. Udah bener tuh kita namain. Tapi kemudian cluster-cluster ini tidak perform. Kebayoran misalnya, menjadi bad hook community. Padahal harusnya di situ lengkap. Jakarta itu seharusnya up town dan down town nya tuh bersinergi. Masing-masing wilayah ini juga jangan satu dimensi.

Nah, sekarang bagaiman kita harus mendisiplinkan diri, sementara orang gak mau digusur? Jadinya compaction.

Gak apa-apa! Jadinya solusinya bukan digusur, tapi nilai wilayah itu yang ditingkatkan. Walau tetap akan terjadi relokasi, namun bukan gusur jauh jatuhnya. KTP warga yang direlokasi seharusnya tidak jadi berubah. Warga gusuran Kebayoran Baru harusnnya tetap ber-KTP Kebayoran Baru setelah digusur. Untuk hal-hal seperti ini, pemimpinnya harus berani. Tapi masyarakatnya juga harus diajak ngobrol bareng-bareng. Kasih pengertian bahwa digusur artinya tidak dibuang jauh-jauh dari habitat awal. Konsekwensi lainnya, pemerintah juga harus berani membeli lahan mahal.

RED: Kita juga tahu harga tanah di Indonesia sudah tidak masuk akal. Kalau di luar negeri, perbandingan harga tanah dengan pembangunan itu paling banyak 25%. Sementara di Indonesia, contohnya di PIK, bisa mencapai 60%, untuk harga tanahnya saja. Karena alasan ini, harga proyek menjadi sangat tinggi, dan seringnya arsitek yang akhirnya dipotong fee nya.

ASH: Di Indonesia memang tidak dikenal eminent domain, seperti di Amerika dan Eropa. Untuk fungsi publik, pemilik lahan itu harus willing untuk ngasih karena untuk kepentingan publik. Kalau di kita kan gak gitu. Walau ditungguin juga, ada saja yang gak mau jual. Kalau di luar, pemilik lahan seperti ini harus mau menjual, tinggal bagaimana kita set up regulasi mengenai harganya, jadi mereka tidak bisa semena-mena. Itulah pentingnya eminent domain,

domain publik yang ‘harus’. Tapi, ya, Pemdanya juga harus bisa kerja. Jangan ngambil keputusan karena proyek, tapi program. Program itu ga perlu banyak, tiga saja sudah cukup. Proyeknya yang mungkin jadi 100. Jadi melakukan sesuatu itu gak super over janji ya. Dan Pemda harus clear juga, apalagi proyeknya yang multi years. Kan kita harus merayakan sesuatu. Misalnya proyeknya 10 tahun, apa iya harus menunggu 10 tahun untuk melihat hasil. Tiap tahun itu harus ada achievement.

RED: Di Jakarta, kita sering melihat bahwa swasta itu lebih dominan dari pemerintah. Seakan pemerintah dikangkangi oleh swasta. Bagaimana menurut Anda?

ASH:Terkadang kita lupa berbicara dengan bahasa manfaat. Kita lebih sering berbicara dengan bahasa pukulan. Yang hadir jadinya bukan insentif, tapi punishment. Contohnya, pabrik yang harus digusur, karena memang harus kan. Mana ada lagi pabrik yang ada di tengah kota, harusnya gak boleh. Tapi seringnya surat ke pemimpin pabrik cuma pemberitahuan bahwa pabrik

Page 36: Memo IAI 2016

halaman 69halaman 68

harus pindah, titik! Padahal harusnya ada surat tambahan yang merinci, insentif yang akan didapatkan oleh pabrik dan karyawannya di tempat yang baru itu apa. Begitu juga insentif perpajakan karena pabrik itu pindah, seharusnya ada. Intinya, banyak pelaku usaha yang jadi tidak kondusif untuk menjadi partner itu karena mereka gak kebayang manfaatnya itu akan seperti apa. Tawaran-tawaran insentif ini bisa meliputi tax holiday atau fasilitas untuk kesejahteraan pegawai. Ini yang dinamakan proses partisipasi. Masak mereka diminta melakukan sesuatu dengan cara digonggong, ya gak ada yang maulah. Kalau kita mau tahan nafas sedikit saja, kita bisa bikin master plan kota, yang ga harus rigid tapi adaptif. Kadang-kadang kita ga harus fixing sesuatu yang gak broken, kira-kira begitu ya. Kita tidak harus memaksakan pembangunan. Di masyarakat ada namanya titik optimum, dimana itulah titik masyarakat paling sejahtera, bukan secara angka ya. Di kondisi ini, kita harus mampu memberi mereka gambaran ‘what’s possible’ dengan kapasitas mereka sebagai individu. Masalah kapan mereka bisa mencapai ‘what’s possible’ itu, ya itu masalah lain. Karena secara esensi mereka punya kemerdekaan untuk menentukan pace mereka masing-masing. Tapi paling tidak dalam sebuah kawasan atau deliniasi, diberikan pandangan, “Kalau Anda berperan seperti ini, melaksanakannya seperti ini, maka akan bisa menghasilkan seperti ini.”

Ada hal yang menarik, di Kalkuta dan di kota kecil Sao Paolo di Brazil, mereka membuat panduan visi kota. Misalnya, Anda guru, Anda diberi visualisasi sebagai guru Anda bisa berpartisipasi seperti apa dan menghasilkan apa. Bahkan Ibu-ibu rumah tangga juga punya tempat di visi kota. Ini yang kadang-kadang tidak disadari, bahwa kemampuan berimajinasi itu tidak dimiliki oleh semua orang. Esensi kota dalam bahasa latin adalah perjanjian untuk terus bersama-sama. Jadi kalau kita tidak berjalan bersama itu bukan kota namanya.

Dalam hal bersama-sama ini, satu sama lain harus membantu memberi visualisasi bagaimana masing-masing orang mendapat tempat dan menjalankan perannya di dalam kota. Mungkin secara fisik kotanya akan terlihat biasa-biasa saja, namun secara psikologis, setiap warga kota merasakan tempat dan fungsinya di dalam ruang kota.

RED: Anda juga sering mengatakan bahwa arsitektur adalah strategic thinking. Bagaimana Anda menguraikan istilah ini?

ASH: Dalam proses berkota, peran masing-masing aktor tidak bisa dibatasi, namun harus fokus. Pemerintah itu fokusnya infrastruktur publik. Infrastruktur publik maksudnya apa? Kalau jati diri Jakarta ini sudah sama-sama disetujui jadi pusat semua fungsi, maka karakter infrastruktur publiknya harus spesifik dengan kebutuhan karakter kota ini.

H-A-R-U-S!

”Terkadang kita lupa berbicara dengan bahasa manfaat. Kita lebih sering berbicara dengan bahasa pukulan. Yang hadir jadinya bukan insentif, tapi punishment.”

Habis itu baru, peran selebihnya bisa dikerjasamakan. Untuk private sector, lead yang ditunggu itu adalah nilai tata lahan. Secara kawasan, nilai tata lahan itu seharusnya berbentuk bola-bola, bukan seperti yang terjadi di SCBD dan Mega Kuningan saat ini, gradasinya sangat tajam antara koridor sepanjang jalan utama dengan yang di daerah belakangnya. Luar biasa itu, sangat tidak humanis! Saat ini kita bisa memanfaatkan LRT sebagai stimulan untuk menciptakan bola-bola ini di sepanjang koridornya. Tidak semua titik koridor potensial untuk dibuat TOD. Tiap dua TOD ada satu bola besar yang diataranya hanya ada fungsi pemerintahan saja. Diantaranya ada bola Senayan, bola Lebak Bulus, biar konsep ‘to live, work, and play’ itu bisa terjadi.

Untuk bisa sampai kesana, pemerintah harus punya leadership yang baik. Tidak juga artinya menjadi bulldog, karena kalau begini, pemerintah dan private sector akhirnya menjadi lawan yang berhadap-hadapan. Kalau kondisinya begini, keinginan private sector untuk menjadi partnernya sudah nol. Dan ini sayang sekali.

Di Indonesia juga ada fenomena menarik. Arsitektur dan politik itu bagai minyak dan air. Rata-rata yang memberikan pendapat, yang mempunyai opini, dengan yang benar-benar mencoblos itu berbeda. Populasi pemilih yang memakai hak suaranya itu beda banget! Karena itu apapun yang kita sampaikan, kita sering tersandera dengan kenyataan ini. Karena itu, sebagai profesional, kita seharusnya berfikiran terbuka. Siapapun pemimpinnya, kita seharusnya selalu membuka pintu dialog. Setidaknya mereka akan terbukakan fikirannya akan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh Jakarta dari sudut pandang profesional arsitek. Kita adalah komponen stake holder yang bisa bersuara dalam ruang kota kita. Sayang banget kalau netral itu selalu diartikan menjadi pasif.

Untuk awam yang mungkin tidak mengerti posisi penting arsitek di Indonesia, pertama-tama yang harus kita tegaskan adalah, kita arsitek adalah strategic thinker, bukan hanya ngurusin bangunan saja. Kita harus berani bilang gak mau bangun, bahkan jika telah ada bangunan, kita berani delete itu bangunan. Sering kali arsitek itu selalu adding. NO! Architect could do extracting too. Karena tanggung jawab kita adalah fungsi. Kita tidak bilang harus ada gedung, yang harus ada itu fungsi. Lucunya di sekolah kita hanya diajarkan menggambar bangunan. Bagaimana mendelete bangunan? Wah,gak ada kan itu di sekolah. That’s why, identitas kita itu selalu hanya bangunan. Kita hanya ditelpon karna ada bangunan. Nggak dong, harusnya kita ditelpon karena ada manusia di situ.

Arsitek selalu menganggap tools kita adalah bangunan. Padahal tools kita yang sebenarnya adalah otak kita. Ketika kita menggambar, atau menolak menggambar itu adalah juga ke-arsitekturan

Page 37: Memo IAI 2016

halaman 71halaman 70

Inisiatif Praktisi Demi Hadirnya Peraturan Tentang Teknis Bangunan Gedung yang Tepat Guna

Redaksi

REDAKSI (RED): Jakarta terkenal dengan pembangunan yang

membabi buta. Kita semua sadar bahwa banyak sekali bolong

dan kekurangan dalam peraturan dan perundang-undangan,

khususnya yang menyangkut bangunan dan gedung di Jakarta.

Lubang paling besar itu terdapat dimana?

Martinus Izaak (MI): Kalau kita berbicara tentang lubang dalam peraturan kita, itu sebenarnya hal yang relatif. Peraturan di Indonesia, di Jakarta khususnya, termasuk yang paling lengkap. Memang idealnya ada satu perturan bangunan teknis yang berlaku universal di seluruh Indonesia, yang harusnya kompatibel untuk semua. Masalah kita sebenarnya, peraturan yang satu ini belum jadi, namun dia terpencar-pencar di banyak titik. Ada peraturan tentang kebakaran sendiri, peraturan tentang sarana teknis penyelamatan jiwa sendiri, peraturan tentang tata bangunan sendiri, sehingga teman-teman praktisi itu kesulitan. Kalau dia mau melihat peraturan tentang satu hal, dia harus melihat semuanya dulu. Otomatis, kalau dia missed di salah satu peraturan, ada kemungkinan dia akan missed di banyak titik nantinya. Contoh kasus nih, bangunan diatas empat lantai sudah harus memakai lift. Untuk itu ada peraturan sendiri mengenai lift. Nanti ada lagi peraturan yang mengatur, banguan diatas empat lantai itu memakai lift yang salah satunya adalah lift kebakaran. Nanti standar lift kebakaran itu

Peraturan mengenai teknis bangunan gedung di Indonesia memang terkenal rumit karena

menyerap banyak sekali peraturan dari luar. Hal ini sedikit banyak menjadi halangan tersendiri

dalam terciptanya penyelenggaraan praktik profesi yang baik di Indonesia. IAI Jakarta sendiri,

tidak seperti kepengurusan yang lalu-lalu, mengadakan satu kelompok forum yang dinamakan

Bidang Regulasi, yang khusus mengadakan kajian dan diskusi terkait peraturan mengenai

teknis bangunan gedung di Jakarta. Wawancara ini dilakukan dengan Martinus Izaak, ketua

Bidang Regulasi IAI Jakarta mengenai kondisi praktek profesi arsitek dari perspektif regulasi.

bagaimana, aturannya ada di peraturan tentang kebakaran. Jadi terpecah-pecah. Idealnya memang dijadikan satu dulu, seperti tahun 2009 lalu, pernah coba dirumuskan melalui praturan teknis bangunan gedung (tinggi). Saya sempat ikut dulu dalam proses perumusannya, tapi entah mengapa, sampai sekarang peraturan itu belum disahkan juga. Memang harus diakui banyak sekali faktor, salah satunya peraturan ini begitu banyak dan detil-detilnya rumit. Sebenarnya pecahan-pecahan ini telah ada di SNI. Ada SNI akses, ada SNI exit, ada SNI tentang bangunan gedung, semua ini telah ada. Namun SNI tidak bisa kita pakai sebagai peraturan. SNI ini harus dituangkan lagi menjadi Perda, lalu peraturan pelaksanaannya harus dituangkan lagi menjadi Pergub, begitu idealnya. Di tahun 2009 itu, IAI sempat ikut membantu, terintegrasi malah, dalam hal penyusunan peraturan ini. Waktu itu kita membentuk pokja untuk membantu perumusan Rancangan Peraturan Gubernur untuk Peraturan Teknis. Jadi, begitulah, kekurangan kita saat ini adalah tidak adanya satu peraturan yang menyeluruh, dimana teman-teman arsitek praktisi bisa mencari referensi di satu tempat.

RED: Tapi harus kita sadari bahwa posisi IAI adalah

organisasi non-profit dan tidak terintegrasi dengan

struktur apapun dalam pemerintahan. Bagaimana

kita memposisikan diri ditengah kebutuhan akan

peraturan yang tepat, dengan kendala secara politis

seperti ini?

MI: Kita sadar bahwa sebenarnya IAI itu berada di hilir, bukan di hulu. Kita, sebagai praktisi, sebenarnya adalah pemakai. Itu juga alasan dari kepengurusan IAI Jakarta periode ini untuk mengadakan Bidang Regulasi. IAI sadar, kita memang sebagai pemakai, namun sebagai pemakai kita menyadari kekurangan-kekurangan yang menghambat praktik kita sehari-hari. Apa yang bisa kita lakukan untuk menyikapi kondisi ini? Ya, kita bisa bikin pokja regulasi, kita bisa bikin diskusi, bikin forum-forum regulasi dalam menyikapi kasus-kasus yang dihadapi Dengan begini ada materi-materi yang diusulkan ke Pemda.

Sebenarnya saya sendiri bingung dengan jenjang struktur peraturan di pemerintahan. Seharusnya untuk menjadi peraturan itu ada dulu usulan draf, atau kajian teknis, atau mungkin naskah akademis. Itu nantinya yang akan diangkat, lalu diuji, diminta masukan dari para ahli dan pakar, dari akademisi begitupun dari profesional. Setelah itu semua hasilnya nanti akan diuji kembali, diseminarkan Setelah diuji, nanti baru dibawa kebagian hukum,

dilihat bagaimana tata cara agar bisa menjadi peraturan perundangan, baru bisa diusulkan untuk disahkan. Itu yang menurut saya membuat waktu untuk melahirkan peraturan yang baik dan menyeluruh itu menjadi lama.

Kalau ditanyakan mengenai peran IAI disini, maka menurut saya pribadi, sebagai organisasi dari arsitek-arsitek yang berpraktik, yang memakai peraturan ini nantinya, kita bisa mengambil inisiatif dan berperan aktif untuk mengajukan usulan-usulan. Hanya sejauh itu yang bisa dan mungkin untuk kita lakukan. Untuk mengambil posisi strategis, sebagai organisasi yang terintegrasi dengan pemerintahan dan terlibat dalam pembuatan peraturan, saya rasa sulit. Saya lebih senang menyebut kita sebagai inisiator, tanpa bermaksud mendahului pemerintah. Ini karena sebagai pemakai, kita tahu apa saja yang kita butuhkan dan apa saja yang masih kurang dari peraturan teknis bangunan kita selama ini. Kalaupun tidak diakomodasi, kita bisa terus bersuara. Karena siapa lagi yang akan melakukannya kalau tidak kita? Saya khawatir jika kita tidak segera menyusun peraturan teknis bangunan yang padu dan menyeluruh, kita akan terbisa dengan budaya maklum. Atau yang lebih parah, jika ada pihak asing yang masuk dan menyadari belum ada peraturannya, maka mereka pasti akan memakai peraturan yang berlaku di tempat mereka atau peraturan umum internasional, yang nota bene, belum tentu cocok dengan konteks kita. Kita hanya akan menjadi subordinat mereka.

RED: Saat ini, IAI Jakarta di bidang regulasi sangat

gencar membahas regulasi tentang kebakaran di

banyak forum dan diskusi. Apa sebenarnya yang

sangat urgent dari peraturan tentang kebakaran ini?

MI: Jakarta sudah mulai banyak gedung tinggi. Tadinya rata-rata cuma 20 lantai, sekarang rata-rata 40 lantai. Bahkan saat ini yang sedang dalam pembangunan, ada yang akan mencapai 111 lantai. Hal ini akan semakin banyak ditemui kedepannya karena tanah semakin sulit namun kebutuhan itu terus ada. Apakah melalui teknis bangunannya atau karena adanya intervensi dari luar. Sebagai arsitek yang merancang gedung, kita tentu ingin sedapatnya teknis bangunan memungkinkan pengguna gedung bisa selamat tanpa ada intervensi dari luar.

RED: Tepatnya poin-poin apa saja yang perlu

dituangkan dalam peraturan segera?

Page 38: Memo IAI 2016

halaman 73halaman 72

IM: Untuk kasus bangunan tinggi, yang paling penting dan pertama harus diperhatikan adalah akses eksit dan exit pelepasan, itu adalah dua hal yang paling penting. Setelah itu standar-standar keselamatan lain, katakanlah standar teknis dari lantai pelepasan dan kelengkapan-kelengkapan lainnya. Terus yang paling penting lainnya adalah toleransi ruang untuk kita memungkinkan intervensi dari luar, dalam hal ini pemadam kebakaran, untuk masuk dan membantu. Jika terjadi keadaan yang mengancam keselamatan, kita, mau tidak mau, pasti membutuhkan bantuan dari luar. Karena sistem emergency yang ada di bangunan itu sangat terbatas, hanya sekitar 2 jam. Pada saat terjadi kebakaran, biasanya pasti berlangsung lebih dari 2 jam. Karena itu, dalam merancang, teman-teman perencana diharapkan memberikan toleransi ruang yang lebih agar akses masuk dari bantuan dari luar ini bisa terjadi dengan lebih leluasa.

Terus mengenai sirkulasi vertikal dari bangunan tinggi juga sangat penting. Kita harus punya tangga yang pressurized, yang artinya bertekanan positif, dan terproteksi terhadap api. Dia juga harus memenuhi standar-standar teknis mengenai dimensi, ukuran, jenis material, dan lain sebagainya. Begitupun dengan lift. Bangunan diatas empat lantai harus punya lift, diantaranya lift kebakaran. Dalam bangunan tinggi, sebenarnya cara paling efektif untuk mencapai titik kebakaran itu adalah melalui lift kebakaran. Pengalaman saya bertemu dengan beberapa perencana asing, fire engineer mereka selalu bilang bahwa lebih cepat melalui lift kebakaran. Jadi begitulah kira-kira peraturan dalam bangunan tinggi mengenai kebakaran yang perlu segera kita tuangkan dalam peraturan formal maupun peraturan pelaksanaan yang detil. Sebenarnya, sekali lagi, peraturan-peraturan seperti ini sudah ada di Indonesia, namun sifatnya masih adopsi dari peraturan luar semua. Ada peraturan dari Singapura, dari Hongkong, juga dari NFPA, yaitu sumber dari segala sumber peraturan tentang keselamatan gedung. Semua peraturan ini sekarang dimasukkan kedalam SNI. Namun sekali lagi, SNI bukan peraturan. Saya suka menyarankan kepada teman-teman perencana di lapangan, sementara peraturan resmi kita belum ada, coba dilihat saja apa yang ada di SNI. Bahkan beberapa konsultan asing suka bilang, bahwa untuk peraturan, Indonesia itu adalah yang terlengkap sedunia, karena semua peraturan diadopsi dan dimasukkan. Namun ini yang menjadi kesulitan bagi teman-teman praktisi karena terpecah-pecah dan mereka keteteran dalam mengikutinya.

RED: Apakah ada contoh kasus yang menarik, yang bisa menunjukkan tentang

pentingnya peraturan mengenai kebakaran ini sendiri?

MI: Ada dua contoh yang menarik. Salah satunya adalah rencana tower Pertamina di Kuningan yang terdiri dari 99 lantai. Karena ada 99 lantai, maka lantai evakuasinya harusnya banyak ya. Karena lantai evakuasi itu kan per 20 lantai. Nah, ada perbedaan yang mendasar di sini. Menurut peraturan kita, standar dari lantai evakuasi itu harus terbuka. Sementara konsultan yang menangani tower itu, maju ke kami dengan membawa fire engineernya, mengatakan bahwa ini harus tertutup. Sehingga ketika kami mengajukan prescription, yang menurut peraturan di sini harus terbuka, mereka mengatakan bahwa yang mereka ajukan itu tertutup berdasarkan performance based, dengan disertai semua naskah tinjauan dan tentunya mereka bertanggung jawab dengan keputusan itu. Di luar negeri memang ternyata lebih banyak yang memakai yang tertutup, tentu dengan berbagai alasan dan peraturan yang berlaku di sana.

Ini menarik, karena dalam berkali-kali rapat mengenai perizinan tower ini, kami harus menemukan cara untuk menelaah dan menerima apa yang di luar preskripsi. Bukan

karena mereka konsultan dari luar negeri, namun karena dari semua telaah-telaah mereka, kita juga melihat apa yang mereka ajukan, walau berbeda dengan peraturan yang ada di sini, memang berdasarkan pengalaman lapangan mereka. Karena itu namanya performance based. Jadi kami juga mau tidak mau, tidak menemukan alasan untuk menolak apa yang mereka ajukan. Juga harus diakui, peraturan mengenai lantai pelepasan kita tidak selengkap mereka, jadi ketika mereka mengajukan desain diluar preskripsi dengan performance based, kita harus menerima. Kalau kondisinya kita sudah punya peraturannya, preskripsinya, maka kita bisa menguji apa yang mereka ajukan. Tapi karena kita tidak lengkap peraturannya, maka kita harus menerima apa yang mereka ajukan. Hal ini juga yang terjadi pada Signature Tower yang punya 111 lantai. Dari kedua contoh ini kita melihat bahwa ketika bangunan telah lebih dari 40 lantai, mau tidak mau, kita harus punya perhatian khusus terhadap peraturan kebakaran untuk bangunan gedung dan peraturan kebakaran lainnya.

RED: Selain peraturan tentang kebakaran, ada agenda lainkah yang

sedang intens dilakukan oleh Bidang Regulasi IAI Jakarta?

MI: Kita juga sedang intens berdiskusi tentang peraturan tentang tata bangunan. Kita tahu jakarta menghadapi masalah tata ruang yang serius. Namun ini masih jauh perjalanannya karena menyangkut banyak sekali pihak. Namun itu tetap menjadi agenda utama kita, selain peraturan tentang kebakaran, dan satu lagi ternyata, peraturan tentang perumahan.

Ini juga agenda yang penting karena perumahan di Jakarta saat ini didominasi oleh perumahan vertikal, namun kebiasaan bermukim masyarakat kita belum siap. Ada banyak aspek yang terkait disini, misalnya aspek sosiocultural, bagaimana menyiapkan masyarakat yang biasanya tinggal di landed house untuk bisa tinggal di vertical housing. Peletakan kamar mandi di pinggir agar tidak dipakai cuci jemur, meter-meter listri yang harus di taruh di luar, tangga kebakaran yang terbuka agar tidak menjadi lokasi kejahatan, dan lain-lain. Ini juga menyangkut aspek ekonomi. Secara standar, hall sirkulasi itu lebarnya 1.8m, namun di konteks Indonesia ini terlalu lebar. Kalau terlalu lebar, jadinya rawan untuk dipergunakan untuk hal-hal yang tidak semestinya. Misalnya dijadikan teras, dijadikan penumpukan barang-barang, yang akhirnya mengganggu fungsi utamanya sebagai jalur sirkulasi. Belum lagi bicara pemborosan. Lebar ekstra itu bila dikalikan panjang, jadinya berbicara pemborosan ruang yang luar biasa. Bayangkan biaya yang ditanggung pemerintah untuk ruang ekstra yang akhirnya tidak efektif itu. Di bulan Januari 2017, kami akan mengadakan dialog terbuka menyangkut akses eksit dan pada bulan Maret 2017 akan mengadakan dialog terbuka tentang perumahan. Kami mengundang rekan-rekan praktisi untuk ikut ambil bagian dan membantu kita mengusulkan materi peraturan yang tepat guna ke pemerintah daerah kita kedepannya.

Bahkan beberapa konsultan asing suka bilang, bahwa

untuk peraturan, Indonesia itu adalah yang terlengkap

sedunia, karena semua peraturan diadopsi dan

dimasukkan. Namun ini yang menjadi kesulitan bagi

teman-teman praktisi karena terpecah-pecah dan

mereka keteteran dalam mengikutinya.

Page 39: Memo IAI 2016

halaman 75halaman 74

Hantu Pruitt-Igoe

Cepi Sabre

Ketika persoalan relokasi warga kembali marak dibicarakan, saya adalah salah satu orang yang mungkin terlalu cepat mengambil kesimpulan. Mengacu pada ingatan masa kuliah tentang Pruitt-Igoe di Amerika, saya merasa bahwa relokasi kaum miskin kota ke apartemen adalah solusi instan — bahkan bukan solusi sama sekali — untuk permasalahan perumahan di kota-kota besar. Buat arsitek seperti saya, apa yang terjadi di Pruitt-Igoe menyedihkan sekaligus membingungkan. Dia menyedihkan karena, menurut saya, itu adalah tragedi arsitektur terburuk kedua setelah runtuhnya Menara Babel. Keduanya sama-sama mewakili ambisi besar manusia, satu ingin jadi pencakar langit pertama, satu lagi ingin jadi kompleks apartemen terbesar — dan dua-duanya gagal. Dan dia membingungkan karena Pruitt-Igoe di masanya dipuji-puji setinggi langit. Film The Pruitt-Igoe Myth membuat saya menyadari bahwa kasus ini begitu kompleks.

Bagi saya, ada tiga pertanyaan yang mengemuka. Satu, apakah dia adalah contoh dari kegagalan arsitek dan arsitektur? Dua, apakah dia adalah kesalahan pemerintah kota dalam mengambil kebijakan publik? Dan tiga, apakah dia justru menunjukkan bahwa ada yang salah dalam masyarakat kita? Ketika orang dikumpulkan dalam jumlah yang begitu besar — 2870 unit apartemen — efeknya ternyata bisa begitu merusak!Namun karena saya arsitek, maka saya cuma akan membicarakan yang pertama saja.

Bagi banyak orang, sumber kegagalan Pruitt-Igoe dari sudut pandang arsitektur — yang sayangnya tidak diperlihatkan di film — adalah sistem sirkulasinya. Pruitt-Igoe menggunakan sistem transportasi vertikal yang disebut skip stop elevator, artinya lift di unit bangunan itu tidak berhenti di setiap lantai. Dari 11 lantai yang ada, lift-nya hanya akan berhenti di lantai 1, 4, 7, dan 10, yang difungsikan sebagai ruang komunal, laundry, dan shaft sampah. Ini sebenarnya mirip dengan sistem di halte-halte dalam sistem transportasi biasa, hanya saja dia vertikal. Tujuannya sederhana: supaya orang tetap punya waktu untuk bertemu dengan orang lain, untuk menjadi manusia yang tidak individualis, saling berbagi, minimal berbagi ruang di tangga dan di lantai-lantai jangkar itu.

Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, justru di lantai-lantai bersama inilah sering terjadi kejahatan; mulai dari perampokan, pemerkosaan, sampai peredaran narkoba. Pada kasus Pruitt-Igoe, lampu-lampu dirusak, sampah — karena tidak cepat ditangani pengelola gedung — dibakar di tempat, alih-alih dibuang lewat shaft¬-nya, lantai itu dipenuhi asap dan membuat pandangan semakin buruk. Lalu, “Bum!” Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan.

Artikel berikut merupakan

pengemasan ulang dari catatan

penulis pasca pemutaran dan

diskusi publik film dokumenter

“The Pruitt-Igoe Myth” (2012)

di Kafe Pustaka – Universitas

Negeri Malang (13/6) bersama

Prof. Djoko Saryono M.Pd, Dr.

Mundi Rahayu M.Hum, dengan

moderator Robbani Amal Romis.

Pemutaran diselenggarakan

atas kerjasama Rumah Inspirasi

Malang, Save Hutan Kota

Malabar, Kreativa, IUPS,

Kafe Pustaka – UM, Selamat

Pagi Creative, dan ASF-ID.

Lalu semua diperburuk oleh masalah-masalah pemeliharaan; pipa-pipa bocor, pemanas ruangan tidak berfungsi di musim dingin, termasuk tingginya angka kriminalitas. Polisi pun enggan masuk ke kawasan itu karena dilempari bahkan ditembaki dari atas. Bayangkan saja 33 bangunan 11 lantai dalam satu lokasi, cuma Maddog atau Robocop saja yang berani masuk ke sana. Dan akhirnya, seperti kutipan dari Charles Jencks, “Arsitektur modern sudah mati di St. Louis pada tanggal 15 Juli 1972 sekitar jam 3.30,” mengacu pada tanggal mulai diledakkannya kompleks superblok Pruitt-Igoe. Masalah-masalah Arsitektural dan Non Arsitektural dalam Kasus Pruitt-Igoe

Pruitt-Igoe bukan satu-satunya superblok yang pernah dibangun, walau — sepanjang yang saya tahu— dia adalah satu-satunya komplek apartemen yang gagal secara fungsional. Dan karena skala kegagalannya yang begitu mengerikan, bahkan arsiteknya, Minoru Yamasaki, pernah berkata, “Saya tidak pernah mengira kalau manusia bisa begitu merusak.” Superblok ini sempat menjadi tren solusi untuk masalah perumahan di kota-kota besar. Di Berlin dibangun Horseshoes Estate (1925), Unite d’Habitation di Marseille (1952), bahkan di Fujian, Cina, ada bangunan yang disebut Fujian Tulou yang sudah dibangun dan dihuni sejak tahun 1300-an. Di St. Louis sendiri, selain Pruitt-Igoe, Yamasaki juga membangun apartemen Cochran Garden yang bertahan sampai tahun 2006. Kompleks apartemen ini dirubuhkan pada tahun 2008, untuk alasan finansial (tax mismanagement).

Banyak yang ragu apakah sistem sirkulasi vertikal skip stop elevator tadi adalah satu-satunya penyebab terjadinya kegagalan fungsi apartemen ini. Jane Jacob, salah satu kritikus arsitektur modern menyebutkan bahwa warga di Pruitt-Igoe mengalami dehumanisasi karena mereka dipaksa untuk mengingkari individualismenya. Selama ini kita merasa bahwa menjadi individualis adalah buruk, tapi ketika orang dipaksa untuk menjadi komunal, hasilnya bisa jadi di luar dugaan. Namun sistem ini sebenarnya juga bukan hal yang baru. Le Corbusier menerapkannya di apartemen rancangannya, Unite d’Habitation. Lantai-lantai yang secara ekonomis bernilai tinggi justru dijadikan ruang publik, dan seperti sudah saya sebut tadi, tetap baik-baik saja.

Kritik lain ditujukan untuk Arsitektur Modern yang cenderung simplisistis. Di bawah jargon-jargon seperti form follows function, less is more, dan ornament is a crime, tampilan arsitektur modern memang terlihat sederhana dan membosankan. Bayangkan Anda berada di sebuah lokasi yang luasnya kurang lebih 23 hektar dengan 33 bangunan setinggi 11 lantai, dan semuanya nyaris serupa. Tidak bisa tidak Anda akan merasa seperti butiran debu; Anda akan terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, tenggelam, tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Dan ini dicurigai memicu timbulnya perasaan tidak nyaman yang berujung pada terjadinya kejahatan, walaupun tuduhan ini masih harus dibuktikan lebih lanjut.

Apa pentingnya arsitek berteori? Arsitek, mulai memikirkan banyak

hal, bahkan hal-hal yang berada di luar dirinya sendiri, salah satunya adalah

masalah-masalah sosial.

Page 40: Memo IAI 2016

halaman 77halaman 76

Kasus Pruitt-Igoe dan Keprofesian Arsitek

Pertama kita harus meluruskan duduk perkaranya. Alasan utama pembangunan Pruitt-Igoe bukanlah untuk menyelesaikan permasalahan pemukiman kumuh dan menolong kaum miskin kota agar bisa tinggal di tempat yang lebih layak. Saya tidak ingat pernah mendengar ada pemerintah yang begitu baik pada warganya, terutama warga miskin. Di tahun 1940-an St. Louis memang padat dan menumbuhsuburkan kawasan kumuh di sisi utara dan selatannya. Namun hal lainnya adalah, adanya jumlah signifikan, yaitu sekitar 30% dari kelompok kelas menengah atas, yang keluar dari kota ini. Jadi hal pertama yang pemerintah kota pikirkan untuk untuk menyelamatkan kotanya adalah menemukan cara supaya orang-orang tidak terus eksodus. Ada dua alternatif yang dipikirkan waktu itu. Satu, membangun pusat kota, membuatnya sedemikian menarik sehingga orang betah tinggal di dalamnya, atau, dua, menyerang langsung sumber penyakitnya, yaitu kawasan kumuh.

Kasus Pruitt-Igoe menjadi kasus menarik bagi keprofesian arsitek. Profesi arsitek sendiri mengalami evolusi. Sejak masa revolusi humanis di masa renaisans, arsitek yang dulunya adalah tukang-tukang anonim berubah menjadi profesi yang formal dan mandiri. Dan evolusi ini menemukan bentuknya dan mulai mantap pada masa Revolusi Prancis. Tumbangnya raja-raja dan bangkrutnya para tuan tanah juga mengubah klien yang dilayani oleh para arsitek. Sekarang mereka melayani orang-orang kaya baru. Repotnya, orang-orang kaya baru ini tidak punya kepedulian yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan dan seni. Berbeda dengan raja-raja atau tuan tanah yang dikelilingi ilmuwan, penyair, seniman, juga arsitek. Di titik ini, arsitek kemudian perlu pembenaran moral, butuh argumentasi atas desain-desainnya, maka di sinilah arsitek mulai berteori. Hal yang tidak pernah dilakukan ketika mereka masih menjadi tukang-tukang anonim. Dan di antara orang-orang kaya baru ini, pemerintah termasuk di dalamnya.

“Arsitek seperti anak

kecil yang diberi

mainan baru. Mereka

nyaris bisa mem-

buat apa saja, den-

gan besar dan tinggi

seberapa saja, dan

sebanyak apa saja.

Cepat, tepat, massal.

Atau dalam satu kata:

mesin. Disadari atau

tidak, arsitektur telah

berubah menjadi

mesin.”

Apa pentingnya arsitek berteori?

Arsitek, mulai memikirkan banyak hal, bahkan hal-hal yang berada di luar dirinya sendiri, salah satunya adalah masalah-masalah sosial. Perlu diketahui juga bahwa di masa itu, antara tahun 1920-1960-an, arsitektur diisi oleh arsitek-arsitek yang bisa dianggap sebagai nabinya dunia arsitektur. Le Corbusier contohnya, percaya bahwa arsitektur bisa mencegah terjadinya revolusi yang berbasis pertarungan kelas. Dia mengatakan, “Arsitektur atau revolusi!” Sebegitu pede-nya arsitek di jaman itu, CIAM, organisasi arsitek modern dunia, bahkan berani menyebut bahwa “arsitektur adalah seni sosial.” Saya kemudian diingatkan pada Romo Mangun yang di tahun 1980-an pernah berkata bahwa arsitektur seharusnya dimasukkan ke dalam ilmu sosial. Apa yang terjadi di Pruitt-Igoe, menurut saya, adalah eksperimen sosial yang sedang dilakukan oleh arsiteknya.

Saya akan berhati-hati untuk menyematkan kata ‘gagal’ dalam kasus ini. Pruitt Igoe mungkin gagal, tapi metodenya, nanti dulu. Saya percaya bahwa setiap karya arsitektur membawa semangat jamannya. Di jaman itu, seperti tadi sudah saya katakan, blok-blok masif apartemen sedang menjadi tren. Ini adalah buah dari revolusi industri, penemuan baja dan lembaran kaca yang lebih besar. Arsitek seperti anak kecil yang diberi mainan baru. Mereka nyaris bisa membuat apa saja, dengan besar dan tinggi seberapa saja, dan sebanyak apa saja. Cepat, tepat, massal. Atau dalam satu kata: mesin. Disadari atau tidak, arsitektur telah berubah menjadi mesin.

Saya kira yang terjadi di Indonesia adalah efek dari developmentalisme di masa lalu. Jangankan tata kota, bahkan makanan pun, orang se-Indonesia Raya dipaksa untuk makan nasi semua. Kita sering berlaku seperti dukun ketimbang dokter. Dokter, memerlukan sekolah yang lama, lalu harus melalui serangkaian prosedur dalam menemukan masalah dan menentukan solusinya. Dukun tidak. Mereka menyebarkan selebaran di lampu merah, menyebut sudah menemukan satu obat untuk semua penyakit, dari kadas sampai kencing manis, dari korengan sampai jantung koroner. Masalah yang kita lihat di kota-kota di seluruh Indonesia, walaupun sekilas sama, tapi sebenarnya cuma gejala saja. Penyebabnya bisa lain, cara mengobatinyapun pasti berbeda. Yang perlu kita lakukan sebagai arsitek, saya rasa, adalah menjadi dokter, bukan dukun.

“Pruitt-Igoe bukan

satu-satunya superblok

yang pernah dibangun,

walau — sepanjang yang

saya tahu— dia adalah

satu-satunya komplek

apartemen yang gagal

secara fungsional. Dan

karena skala kegagalannya

yang begitu mengerikan,

bahkan arsiteknya, Minoru

Yamasaki, pernah berkata,

‘Saya tidak pernah mengira

kalau manusia bisa begitu

merusak.’”

Page 41: Memo IAI 2016

halaman 79halaman 78

Page 42: Memo IAI 2016

halaman 81halaman 80

Page 43: Memo IAI 2016

halaman 83halaman 82

Page 44: Memo IAI 2016

halaman 85halaman 84

Tantangan Arsitektur Partisipatoris

Martin Suryajaya

Pada akhir tahun 2015 dan awal 2016, sekelompok arsitek muda yang tergabung dalam Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID) melakukan pendampingan arsitektur pada masyarakat Kampung Tongkol di tepi kali Ciliwung, Jakarta. Inisiatif datang dari warga. Posisi kampung yang terletak di tepi kali Ciliwung sekaligus membelakangi tembok benteng Belanda yang merupakan situs cagar budaya membuat Kampung Tongkol rentan menjadi target penggusuran. Mengantisipasi ancaman penggusuran inilah seorang tokoh penggerak masyarakat setempat yang akrab dipanggil Mas Gugun mengundang kawan-kawan ASF-ID untuk melakukan uji-coba penataan-ulang ruang hidup yang melibatkan warga. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa pemukiman urban di tepi kali (dan berdampingan dengan situs cagar budaya) dapat tumbuh dalam koeksistensi yang saling-menunjang dengan keadaan sekeliling dan, dengan demikian, menjadi lenyaplah rationale bagi penggusuran terhadapnya.

Demikianlah, akhirnya terjadi kerja bersama membangun rumah contoh di Kampung Tongkol yang konstruksinya selesai pada bulan Januari 2016. Dengan dana talangan yang berhasil dihimpun oleh Architect Coalition for Housing Right (ACHR) sebesar 160 juta rupiah, warga kampung berhasil membangun ulang sebuah rumah yang dihuni tujuh keluarga. Rumah contoh ini dirancang menjadi tiga lantai dengan dua lantai pertama dikonsepkan sebagai ruang hunian yang disekat-sekat, sedangkan lantai ketiga sedianya dimaksudkan sebagai ruang bersama.

***

Saya sendiri tidak mendalami kajian arsitektur. Namun berkat diskusi dengan kawan-kawan ASF-ID dan forum Rembuk!, saya beroleh gambaran tentang apa yang menjadi isu-isu penting dalam arsitektur kontemporer. Salah satunya ialah peran dan posisi arsitek dalam membidani lahirnya perubahan sosial melalui kerja arsitektural. Profesi arsitek dan seni arsitektur itu sendiri dengan mudah dikooptasi oleh kepentingan industri yang hanya memperalat keindahan sekaligus mengerdilkan gagasan keindahan itu sendiri demi mendulang laba sebesar-besarnya. Masalah perubahan sosial dianggap bukan urusan arsitek. Arsitektur partisipatoris merupakan salah satu jawaban terhadap permasalahan tersebut.

Gagasan kunci arsitektur partisipatoris adalah bahwa seluruh

Page 45: Memo IAI 2016

halaman 87halaman 86

kekuasaan penentu keputusan arsitektural berada di tangan warga. Persoalannya kemudian: siapakah yang dimaksud dengan “warga”? Baiklah kita coba artikan warga sebagai pihak yang berkepentingan terhadap konstruksi arsitektural yang akan dihasilkan lewat campur-tangan arsitek. Pengertian ini tentunya meliputi juga klien bermodal besar dalam praktik arsitektur konvensional. Dalam kerja-kerja arsitektur konvensional seperti membangun hunian mewah atau mall, bukankah arsitek kerapkali juga mesti menurut pada selera klien yang memegang kendali atas modal? Tidakkah visi pengembang macam Agung Podomoro Group atau Agung Sedayu Group ikut menentukan apa yang dirancang arsitek-upahan mereka? Dalam pembangunan piramida di Mesir Kuno, tidakkah keputusan Firaun ikut menentukan kerja para juru-bangun yang mengawasi para pekerja? Dengan kata lain, tidakkah sang klien bermodal besar atau sang penguasa itu ikut berpartisipasi dalam kerja arsitektural? Apakah itu yang dimaksud arsitektur partisipatoris? Kalau ya, maka bukankah setiap kerja arsitektural—dan seni arsitektur itu sendiri—secara inheren sudah berciri partisipatoris? Dan sudah jelas—dari visi Agung Podomoro Group ataupun Firaun—bahwa hal itu sama sekali tak berhubungan dengan cita-cita perubahan sosial. Apakah itu berarti tak ada hubungan yang niscaya antara partisipasi dan perubahan sosial dalam praktik arsitektur partisipatoris?

Dihadapkan pada persoalan ini, kita dipaksa untuk memeriksa kembali konsep “warga”. Mau tidak mau, konsep “warga” dalam arsitektur partisipatoris bukanlah konsep yang netral secara ekonomi-politik. Sebab kalau kita mengartikan “warga” sebagai siapa saja yang berkepentingan terhadap proyek arsitektural, yang kepadanya sang arsitek bekerja, maka gagasan tentang arsitektur partisipatoris itu sendiri akan menjadi sebanal arsitektur konvensional. Karena itu, kita mesti mengakui bahwa konsep “warga” dalam arsitektur partisipatoris itu dicirikan oleh struktur ekonomi-politik masyarakat. “Warga” mesti diposisikan sebagai kaum marginal, kaum yang tertindas oleh tata ekonomi-politik yang berlaku. “Warga”, dengan kata lain, mesti dipandang sebagai kategori politik. Tanpa pengertian itu, kita akan kembali pada business as usual. Dengan demikian, nampak bahwa arsitektur partisipatoris tak mungkin ingkar pada dimensi politisnya sendiri, bahwa kerja arsitektur partisipatoris adalah suatu kerja politik.

Persoalan kemudian muncul. Kalau ciri politis dalam arsitektur partisipatoris menuntut peran aktif sang arsitek dalam menyulut kesadaran politik dalam benak warga, tidakkah ini bertentangan dengan ciri partisipatoris dalam arsitektur partisipatoris yang meniscayakan sentralnya peran warga sebagai pengambil keputusan arsitektural utama, yang menempatkan warga sebagai pusat gravitasi seluruh kerja arsitektural?

***

Gagasan kunci arsitektur partisipatoris adalah bahwa seluruh kekuasaan penentu keputusan arsitektural berada di tangan warga.

Warga dalam konsepsi arsitektur partisipatoris adalah pusat kebenaran. Namun arsitek yang setia pada visi arsitektur partisipatoris, harusnya setia pada visi politik-nya, didorong oleh kewajiban untuk membantu membuka jalan menuju perubahan sosial yang sesungguhnya, yang barangkali belum disadari warga—jalan menuju perubahan sosial yang sebenarnya. Dengan demikian, kita berhadapan pada dua kebenaran: kebenaran warga dan kebenaran arsitek. Di atas kertas, dalam permenungan intelektual, keduanya dengan mudah dapat disatukan: idealnya, warga dan arsitek tinggal berdialog saja maka akan tercapai kesatuan kebenaran. Namun di lapangan persoalannya sama sekali tidak sederhana. Tidak ada kondisi ideal di sana.

Problem ini juga nampak dalam kerja arsitektural yang didukung ASF-ID di Kampung Tongkol. Kamil bercerita, beberapa bulan setelah rumah contoh selesai dibangun, ia kembali berkunjung ke sana dan mendapati fakta bahwa common room yang diciptakan di lantai 3 ternyata sudah ditempati oleh satu keluarga baru dan ruang yang tersisa digunakan sebagai gudang. Kenyataan ini bukannya tak berkaitan dengan keyakinan kukuh warga sejak awal bahwa rumah yang akan dibangun harus distruktur oleh sekat-sekat yang akan menandai teritori milik masing-masing keluarga. Artinya, terdapat tendensi untuk mengorbankan pengorganisasian kolektif atas ruang demi kepemilikan privat atas ruang. Warga memang bukan malaikat (dan memang tidak seharusnya dipandang sebagai malaikat). Cara mereka berpikir dan bertindak dikondisikan oleh lingkungan sekitarnya dan struktur ekonomi-politik yang melatarinya, dalam hal ini lingkungan kebudayaan urban dan tata ekonomi kaum miskin kota Jakarta. Dalam suasana ini, wajar bila warga cenderung bersikap individualistik—itu sudah bagian dari metode mereka untuk bertahan hidup selama ini di perkampungan kumuh perkotaan yang keras.

Apa yang bisa disimpulkan dari sini? Menurut saya, itu menunjukkan adanyakontradiksi yang belum terpecahkan di ranah hubungan sosial. Membangun hunian baru yang lebih baik tidak serta-merta mengubah hubungan sosial menjadi lebih baik. Itu adalah dua jenis kerja yang berbeda, sekalipun terkait. Kaum miskin di tiap-tiap perkampungan kumuh kota besar tidak akan bertahan tanpa bersatu sebagai entitas kolektif. Berjuang sendiri-sendiri, dengan mengandalkan tenaga seorang diri atau satu keluarga saja, akan membuat mereka digulung oleh kenyataan ekonomi-politik urban. Masalahnya, kenyataan kebudayaan urban pula yang mendorong mereka ke arah individualisme, mencerabut mereka dari satu-satunya sarana untuk bertahan hidup. Ke manapun mereka menoleh, mereka melihat individu dengan barang miliknya sendiri. Ideologi inilah yang mendorong mereka untuk mempertahankan tanah sejengkal milik mereka sendiri, kalau perlu dengan cara baku-tikam dengan tetangganya.

Pertanyaannya buat sang arsitek partisipatoris: mesti bagaimana menghadapi warga semacam ini? Sang arsitek tahu bahwa mereka tidak akan selamat kalau terus mengekalkan kepentingan diri sendiri masing-masing. Sang arsitek tahu bahwa mereka hanya bisa selamat kalau mereka memupuk kesadaran kolektif dan kultur gotong-royong. Namun apa yang mesti dilakukan bila ternyata warga sendiri memilih membuang

Page 46: Memo IAI 2016

halaman 89halaman 88

ruang-ruang kolektif demi mengamankan ruang privatnya sendiri dan dengan begitu, tanpa mereka sadari, pelan-pelan melenyapkan satu-satunya syarat keberadaan mereka sendiri? Haruskah sang arsitek, dengan tanggung-jawab politiknya pada visi arsitektur partisipatoris, mengintervensi warga dan menunjukkan jalan ke arah pengorganisasian ruang kolektif baru? Ataukah sang arsitek hanya bisa menyerahkan masalahnya pada mereka dengan anggapan bahwa toh bangunan sudah selesai, kerja arsitek sudah selesai? Haruskah sang arsitek partisipatoris menenangkan-diri dengan mengulang-ulang dalam hatinya “reorganisasi hubungan sosial bukan urusan arsitek”? Tapi bukankah masyarakat adalah seperti juga suatu bangunan—sesuatu yang hidup bersama—dan sang arsitek partisipatoris yang bertanggung-jawab mesti juga menjadi seorang “arsitek masyarakat”?

Sederhananya, pertanyaan pokok sang arsitek partisipatoris adalah ini: mestikah arsitek mengintervensi warga apabila dipandangnya ada gelagat ke arah yang kontra-produktif terhadap cita-cita jangka panjang partisipasi itu sendiri? Namun pertanyaan tersebut merupakan muara dari suatu pertanyaan purba.

Di sini kita sebetulnya berhadapan dengan sebuah teka-teki tua dalam sejarah pemikiran politik. Teka-teki itu dapat dirumuskan dalam sebaris pertanyaan: dapatkah rakyat keliru? Pertanyaan ini serupa sungai bawah tanah yang menghubungkan berbagai benua pemikiran politik sepanjang zaman, mulai dari fasisme, liberalisme, sosialisme hingga anarkisme. Dan tak hanya pemikiran politik, tetapi juga semua pemikiran yang beririsan dengan problem politik (termasuk pemikiran seni-budaya, yang di dalamnya terdapat pula arsitektur) dilatari oleh pertanyaan purba itu. Postulat demokratik mewajibkan kita mengukur benar-salahnya suatu tindakan politik dengan menjadikan kepentingan rakyat sebagai mistarnya kebenaran politik. Suatu tindakan politik adalah keliru apabila itu bertentangan dengan kepentingan rakyat dan benar apabila bersesuaian dengannya. Namun pertanyaan purba kita lebih tricky. Sungguhkah rakyat selalu benar sehingga bisa dijadikan acuan dalam mengukur segala fenomena politik? Jangan-jangan mistar kita salah dan butuh dikalibrasi ulang?

Di sini kita perlu teliti membedakan apa yang disebut “suara rakyat” dan “kepentingan rakyat”. Kebenaran politik diukur dari keseuaian dengan “kepentingan rakyat”, dan itu tidak sama dengan “suara rakyat”. Rakyat bisa saja bersuara lantang mendukung fasisme. Tapi apakah itu sesuai dengan kepentingannya sebagai rakyat? Tentu tidak, sebab fasisme justru menghancurkan kepentingan rakyat dan menggantikannya dengan kepentingan sang pemimpin. Namun, apabila memang ada gap antara “suara rakyat” dan “kepentingan rakyat” sehingga “kepentingan rakyat” bisa saja diamankan oleh seorang atau sekelompok orang yang menahkodai bahtera politik sekalipun itu bertentangan dengan “suara rakyat”, tidakkah ini membatalkan semangat dasar demokrasi itu sendiri, yakni bahwa rakyat lah yang seharusnya mengatur dirinya sendiri. Kalau begitu, apakah demokrasi adalah gagasan yang kontradiktif?

Apabila mau dirumuskan secara ringkas, persoalan kita adalah tegangan antara partisipasi dan kompetensi. Semua pemikir anti-demokrasi di sepanjang zaman selalu memobilisir

argumen soal kompetensi untuk mencampakkan klaim partisipasi. Pertanyaan pokok mereka: kompetenkah rakyat dalam mengetahui kepentingannya sendiri sehingga dapat mengatur dirinya sendiri? Sebaliknya, semua pemikir pro-demokrasi di seluruh sejarah selalu mengedepankan partisipasi di atas kompetensi. Pertanyaan pokok mereka: adilkah tatanan politik di mana partisipasi seluruh rakyat digantikan dengan klaim kompetensi segelintir elit dalam menerawang rahasia kepentingan rakyat dan memimpin tatanan politik berdasarkan terawangan itu?

Tapi apa hubungan ini semua dengan arsitektur partisipatoris? Gantilah istilah “rakyat” dalam beberapa paragraf di atas dengan istilah “warga” dan kita akan temui bahwa dilema kaum demokrat adalah juga dilema sang arsitek partisipatoris. Ini, bagi saya, adalah tantangan terbesar arsitektur partisipatoris pada tataran konseptual. Para arsitek partisipatoris mesti berpikir keras mengenai masalah-masalah partisipasi versus kompetensi, suara warga versus kepentingan warga dan semacamnya karena masalah-masalah itu pasti mereka hadapi di lapangan dalam berbagai manifestasinya.

Di Bawah Bayang-Bayang NegaraAda satu catatan lagi berkenaan dengan tantangan arsitek partisipatoris. Sering kita dengar keluhan atau rerasan di antara arsitek partisipatoris, demikian pula di kalangan perupa partisipatoris, bahwa praktik-praktik partisipatoris seperti timbul-tenggelam dan tak pernah berhasil mengkonsolidasikan kekuatan ke dalam skala yang lebih massif. Di seni rupa, misalnya, praktik seni partisipatoris sudah muncul pada tahun 1980-an oleh Moelyono tanpa perbesaran skala yang berarti sampai kemudian muncul bentuk baru seni partisipatoris sekitar 20 tahun kemudian oleh Jatiwangi art Factory. Ada kesan bahwa praktik-praktik partisipatoris dalam seni dan arsitektur hanya terjadi dalam skala kecil-kecilan dan sporadis. Padahal masing-masing praktisinya punya mimpi tentang perubahan sosial yang tentu saja melibatkan banyak variabel dan mau tak mau mesti berurusan setidaknya dengan pengaruh di tingkat nasional. Mengapa demikian?

Saya menduga akar persoalannya ada pada pendekatan yang dianut para praktisinya. Seni partisipatoris era 1980-an berkembang dalam lingkup pengaruh gerakan masyarakat sipil dan LSM yang ketika itu sedang gandrung pada visi “small is beautiful”. Ada semacam prasangka yang bersumber pada “hati nurani”. Misalnya kecemasan bahwa pembangunan skala makro akan melenyapkan ketahanan komunitas lokal yang otonom, ketakutan bahwa segala bentuk akumulasi akan membuat manusia jadi serakah, kekhawatiran bahwa pengorganisasian secara massif akan membawa birokratisasi dan alienasi.Sehingga muncul persepsi bahwa lebih baik membuat gerakan mikro di tingkat akar rumput, kecil-kecil, yang berorientasi pada subsistensi komunitas dan otonomi dari pengaruh kekuasaan. Biar kecil asal sesuai hati nurani—boleh jadi asumsi advokasi macam inilah yang membuat praktik seni partisipatoris tidak bisa berekskalasi hingga ke level nasional.

Page 47: Memo IAI 2016

halaman 91halaman 90

Namun sejarah menunjukkan: kapitalisme tidak bisa dilawan dengan berkebun di rumah sendiri, otoritarianisme tidak bisa ditumbangkan dengan olah raga dan imperialisme tidak bisa dihancurkan dengan ngopi-ngopi terpelajar. Kecil adalah kecil.

Praktik seni partisipatoris, termasuk juga arsitektur partisipatoris, rasanya perlu memeriksa kembali asumsi-asumsi dasarnya sendiri. Adakah kita terjebak dalam romantisasi gerakan kecil dan otonom? Adakah kita selama ini hanyut dalam nina-bobo hati nurani? Salah satu kisah pengantar tidur paling populer di kalangan aktivis sedap malam sampai sekarang adalah cerita hantu tentang negara. Konon, negara itu seperti makhluk raksasa angker dari dasar samudra dengan kepala menyerupai gurita dan punggung ditumbuhi sayap naga. Seperti Cthulhu dalam dongeng Lovecraft, negara merupakan personifikasi dari kedurjanaan paripurna. Cara kita memandang negara seperti ini, dalam banyak hal, memang dibenarkan oleh praktik negara Orde Baru yang sejak lahirnya ditandai dengan pembantaian dan penyiksaan jutaan orang. Dari pengalaman 32 tahun itulah kita mewarisi sikap berjarak tiap kali nama “negara” disebut. Untuk sebagian kasus, memang benar bahwa praktik negara yang represif itu masih berlanjut hingga kini. Inilah yang membuat para praktisi seni partisipatoris kukuh memposisikan di luar negara dan, sebagai akibatnya, cenderung kembali merayakan toko kelontong pencerahannya sendiri.

Kita mesti mengubah sikap mental semacam itu. Mesti disadari bahwa tumbangnya Orde Baru juga membuka lapangan intervensi politik yang baru. Negara pasca-Orde Baru semestinya tidak lagi dilihat sebagai bangunan monolitik tempat bersemayamnya roh-roh jahat, tetapi sebagai situs kontestasi antar berbagai kelompok yang selalu dapat berubah wataknya seturut pasang-surut kekuatan kelompok-kelompok yang bertarung di sana. Tentu ada risiko kita terombang-ambing oleh apa yang dewasa ini sering disebut-sebut sebagai “pertarungan antar faksi elit oligarkis”. Hal itu wajar saja dan pembelajaran politik muncul dari situ. Artinya, para praktisi arsitektur partisipatoris menjajaki kemungkinan melibatkan negara dan organisasi keprofesian kalau memang mencita-citakan perluasan gerak yang signifikan. Contoh yang bisa saya berikan adalah apa yang dikerjakan oleh kolektif seniman di Jatiwangi art Factory. Dalam menggelar kerja seni partisipatorisnya, mereka dapat melibatkan satu desa (rekor skala terbesar praktik seni partisipatoris di Indonesia setahu saya) karena membangun hubungan dekat dengan kepala desa dan aparatur desa. Mereka melibatkan tentara, polisi dan sekolah-sekolah

untuk menggelar Festival Musik Tanah Liat. Mereka tidak jijik pada aparatus ideologis dan aparatus represif negara yang diteorikan Louis Althusser. Mereka meninggalkan “prasangka kelas menengah” mereka tentang Negara dan berpikir konkrit untuk membesarkan keterlibatan warga. Ini contoh yang bagus.

Saya tidak punya ilusi bahwa negara dan para aktivis seni partisipatoris akan berjalan berdampingan secara harmonis menuju hari esok yang cerah. Dalam momen-momen tertentu, pada isu-isu tertentu, kita memang perlu menyatakan sikap melawan negara. Tapi sikap antagonistik ini tidak bisa digeneralisasi menjadi sikap umum terhadap negara, kecuali kita mau memencilkan diri sendiri. Para aktivis seni partisipatoris perlu melihat segala kemungkinan yang bisa digunakan untuk memperbesar skala operasinya: bangun jejaring dengan simpul seni partisipatoris lain, dari cabang seni lain, dengan gerakan sosial, bekerja dengan negara sejauh ada kepentingan gerakan yang bisa dimajukan, dan seterusnya. Dengan kata lain, bangun kekuatan terlebih dulu. Semua ini mensyaratkan pergeseran cara pandang terhadap negara dan politik secara keseluruhan. Dan ini memang tidak mudah. Itulah tantangan praktis yang dihadapi arsitektur partisipatoris.

*

Bisa disimpulkan bahwa terdapat dua tantangan besar yang menghadang gerakan arsitektur partisipatoris (dan juga seni partisipatoris) di Indonesia. Yang pertama ialah tantangan konseptual untuk menempatkan secara jernih hubungan antara “suara warga” dan “kepentingan warga”, antara klaim partisipasi dan klaim kompetensi. Yang kedua ialah tantangan praktis untuk menempatkan negara sebagai situs kontestasi antar kepentingan bersifat cair dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perluasan skala gerakan arsitektur (dan seni) partisipatoris. Apabila kedua tantangan ini berhasil dijawab, maka masa depan arsitektur dan seni partisipatoris di Indonesia sungguh cerah.

18 November 2016

Page 48: Memo IAI 2016

halaman 93halaman 92

Ary SulistyoToponimi berasal dari bahasa Yunani, topos yang berarti tempat dan onoma yang berarti nama. Kini toponimi diartikan sebagai bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal usul, arti, penggunaan, dan tipologinya. Suatu toponimi merupakan nama dari tempat, wilayah, atau suatu bagian lain dari permukaan bumi, termasuk yang bersifat alami (seperti sungai) dan yang buatan (seperti kota). Jawatan topografi Belanda, yang dibentuk akhir abad 19, diberi nama Topografisch Dienst dibawah Departemen Van Oorlog KNIL. Pada masa pendudukan Jepang bernama Sokuryo Kyoku hingga pada tahun 1945. Pada mulanya pemetaan pada masa Herman Willem Daendels (1808-1811) masih sangat terbatas, baru sebatas Jawa dan Madura dan untuk kepentingan militer.

Nama unsur rupabumi (topografis) yang baku akan dihimpun dalam suatu gazetir1 , baik ditingkat pusat maupun daerah. Harus diakui bahwa sebagian besar unsur fisik rupabumi, baik alami maupun buatan yang tersebar di wilayah Indonesia masih belum mempunyai nama, apalagi sampai ke tingkat pembakuan nama. Belum banyak masyarakat mengetahui tentang pembakuan nama tempat (toponim). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah beberapa kali mendesak setiap Negara untuk segera melaksanakan pembakuan nama.

Melalui Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2006, pemerintah Indonesia telah membentuk Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden tersebut, Menteri Dalam Negeri membentuk Tim Pelaksana yang dipimpin oleh Kepala BAKORURTANAL (sekarang Badan Informasi Geospasial/BIG). Tim inilah yang secara langsung melaksanakan tugas, mulai dari peningkatan sumberdaya manusia sampai terbentuknya suatu gazetir. Sejalan dengan itu, di daerah dibentuk Panitia Pembakuan Nama Rupabumi (PPNR) tingkat provinsi dan kabupaten/kota (Diklat Bakosurtanal, 2011).

1Gazetir adalah sebuah kamus atau direktori geografi sekaligus refensi penting untuk mencari informasi tempat dan nama tempat yang disertai peta atau atlas lengkap.

TOPONIMI:PENAMAAN DAN PEMAKNAAN KAWASAN UNTUK PEMBANGUNAN

Pengetahuan kita tentang nama suatu daerah atau kawasan (disini penulis mengambil contoh suatu kawasan destinasi wisata sudah terkenal) pasti menimbulkan tanya, darimana nama itu berasal? Seperti misalnya Tangkuban Perahu? Ancol? Dan seterusnya. Dalam pemberian nama sebuah tempat tentunya memiliki sejarah yang begitu panjang, sepanjang sejarah manusia sendiri berawal. Inilah yang dinamakan toponimi2 , yang mungkin tidak asing lagi bagi kalangan geograf dan linguis. Sebenarnya penamanan sebuah tempat juga sudah bermula pada legenda3 suatu daerah. Tangkuban perahu terkait dengan tokoh Sangkuriang yang ingin memperistri Dayang Sumbi (ibunya). Secara sosial pr ilaku ini dianggap menyimpang, tetapi kenyataannya ada yang dinamakan oedipus complex (Sigmund Freud) dan dalam cerita mitologi Yunani juga ada.

Gagasan mewujudkan nama-nama suatu tempat di Indonesia telah digagas dalam “United Nations Pilot Training Course on Taponomy” yang diselenggarakan di Indonesia dan di prakarsai oleh Bakosurtanal pada tahun 1982 di Cisarua, Bogor. Pengetahuan taponomi ini dipicu oleh Indonesia dengan melaporkan kepada Konferensi PBB tentang pembakuan nama-nama geografis mengenai jumlah pulaunya (Rais, 2008: xi). Pengetahuan tentang nama suatu tempat dapat didasarkan legenda (cerita rakyat), karakteristik suatu daerah, faktor alam dan sejarah. Nama Jakarta adalah nama yang ke-empat berganti yang semula Sunda Kalapa, Jayakarta, Batavia, kemudian jadi Jakarta. Nama Cunda Kalapa identik dengan kerajaan Sunda Pajajaran yang beribu-kota di Pakuan dimana Cunda Kalapa adalah pelabuhan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa pada abad ke 11 (?). Jayakarta sendiri adalah nama yang diberikan oleh Sultan Agung dari Kerajaan Demak pada tahun 1524 karena telah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kalapa dari tangan Portugis. Jaya berarti menang, Karta berarti daerah yang direbut kembali. Batavia diberikan oleh seorang Belanda JP Coen setelah merebut kembali dari Sultan Agung dan diperuntukkan sebagai kota benteng dan pelabuhan untuk menyaingi pelabuhan Banten (yang mendominasi perdagangan lada dan kapuk). Sedangkan nama Jakarta lebih sering diucapkan (kolokial) dari kata Jayakarta. Begitu pula Yogyakarta berasal dari Kuthagara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat4 yang dipimpin oleh Sultan HB I (Panembahan Senopati) setelah perjanjian Giyanti 1755 yang memisahkan Mataram Islam menjadi dua yaitu Solo dan Yogya. Contoh lainnya adalah Kota Depok sesuai dengan makna kata ‘depok’ yang disandangnya, depok berasal dari kata padepokan dan padepokan berasal dari patapan yang merujuk pada arti yang sama yaitu “tempat bertapa” atau ‘tempat pendidikan’; yang pada intinya mencari ilmu. Demikian pula kawasan pusat perbelanjaan

2Rais, Jacub, et al., 2008. Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya Yang Panjang Dari Pemukiman Manusia Dan Tertib Administrasi. Jakarta: Pradnya Paramita. 3Legenda diartikan sebagai cerita rakyat yang tentang asal mula suatu tempat. Biasanya tokoh-tokohnya adalah fiktif (tidak ada dalam sumber sejarah) ada pula yang ada. Secara filosofis merupakan pengejawantahan dari sifat-sifat manusia atau prilaku sosial lainnya.

Page 49: Memo IAI 2016

halaman 95halaman 94

di Kota Solo yaitu Pasar klewer (yang terkenal dengan batiknya), dahulu adalah pasar yang terkenal karena para pedagang baju batik menjajakan dagangannya dengan menggantung (dalam bahasa Jawa dinamakan pating klewer). Maka, tidak mengherankan dalam suatu kawasan yang notabene adalah kawasan unik secara langsung pastinya akan dinamakan sesuai dengan keunikannya. Penamaan dengan nama binatang juga berlaku. Kampung Rawa Bebek, di Bekasi dahulu dikenal warga sebagai tempat yang banyak bebeknya, tetapi kini tidak karena telah dirubah menjadi pemukiman dan pertokoan. Nama rawa dimungkinkan dulunya adalah daerah situ/rawa/berair.

Selain kawasan hunian, ada pula nama suatu tempat yang didasarkan pada karakteristik bentang alam alami (natural lanscapes features) 5 suatu daerah, semisal orang daerah Pantai Kidul Yogya meyebut bukit dengan nama gumuk (contoh gumuk pasir). Di Lampung, orang-orang menyebut sungai dengan nama Way seperti Way Sekampung. Di Sumbawa orang-orang menyebut gunung atau bukit dengan nama Olat, seperti Olat Dodo di daerah Selatan Kabupaten Ropang, Nusa Tenggara Barat yang kini mejadi hak konsesi tambang PT. Newmont Nusa Tenggara. Bahkan di Puncak Jayawijaya, terdapat nama-nama puncaknya seperti Puncak Sudirman (diambil dari nama Panglima Sudirman), Puncak Juliana (Ratu Belanda Juliana), dan lain-lain. Gunung Bromo yang dihuni oleh orang Tengger (baca: tenger) karena banyak orang Hindu pasca-Majapahit (abad ke 15) yang “bertengger” di gunung, maka dinamakan orang Tengger. Kebesaran Majapahit juga terdapat pada nama-nama suatu daerah di Indonesia, seperti nama daerah Mancapahi dekat daerah Luwuk, Sulawesi Selatan, yang diperkirakan orang-orang Majapahit telah ada pada abad ke 15 M. Daerah ini terkenal dengan logamnya.

Selain nama-nama tersebut, yang merupakan daerah dengan karakteristik tertentu, maka sementara dapat disimpulkan bahwa aspek toponimi menjadi nilai tambah (added value) dari suatu objek wisata. Siapa yang menyangka bahwa durian yang berasal dari daerah dukuh Rasuan, Kabupaten OKU (Ogan Komering Ulu), Sumatera Selatan adalah daerah penghasil buah duku yang ter-manis se-Indonesia mengalahkan duku-duku dari daerah lain. Demikian juga pulau-pulau yang ada di Indonesia, sebagai contoh di Kepulauan Seribu. Nama Pulau Cipir mungkin saja berasal dari banyak pohon kecipir yang di tanam. Pulau Untung Jawa mungkin saja berasal dari nama yang diberikan oleh orang-orang Jawa yang tinggal di pulau

5Rais et al., 2008. Ibid., hlm. 87. 6 Lihat Budi Sulistyo, 2008. “Survei Toponim Pulau-Pulau di Indonesia,” dalam Toponimi Indonesia... Rais, et al., 2008. Hlm. 129—149.

tersebut. Beda halnya dengan Pulau Onrust (Kepulauan Seribu) dulu terkenal dengan istilah “heir light on de rust” (di sini lampu padam!). Belanda menamakan Pulau Onrust terkait aktivitas pelabuhan dan perkapalan pada abad 17-18 dan mulai surut pada abad ke 19-20.

Tetapi yang menjadi masalah adalah banyak pulau-pulau terluar di Indonesia yang belum memiliki nama baik pulau-pulau atol maupun pulau-pulau kecil lainya6 . Perlunya pembedaan bahwa apakah itu pulau atau bukan karena sering ditemukan di lapangan, pengamatan dari kejauhan terdapat kenampakan yang menyerupai pulau, namun setelah pengamatan dari dekat ternyata ditemukan sebaran tumbuhan bakau dan pada saat pasang tinggi daratannya tenggelam (Sulistiyo, 2008: 130). Sebagai contoh, Pulau Sambiki (Provinsi Maluku Utara) secara definitif merupakan daratan yang terbentuk secara alami dan selalu berada di atas permukaan air pada saat pasang tertinggi. Hal ini sesuai dengan kesepakatan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of The Sea) tahun 1982.

Semoga pengetahuan toponimi dapat menjadi pertimbangan langkah ahli arsitektur dan arsitektur l ansekap serta urbanis dengan memahami makna sebuah nama/tempat/kawasan/daerah dalam konteks kekinian secara keilmuan teknis yang dimiliki. Serta lebih memahami permasalah secara bottom-up. Pembangunan kawasan lebih melihat pada ‘pola dan fungsi’ kawasan dibandingkan dengan hanya ‘struktur’-nya saja (pemukiman, infrastruktur, dan sarana).

Page 50: Memo IAI 2016

halaman 97halaman 96

KOTA TUARUANG KITA

Ria Febrian

Kotatua – Jakarta – Sunda Kelapa hingga kemudian berganti menjadi Batavia - kota pusat VOC untuk Asia dan Afrika di abad ke 17 hingga 18 - adalah kota pelabuhan ternama yang sangat ramai. Dikenal sebagai Queen of the East – Ratu dari Timur yang menarik dan banyak dikunjungi oleh manusia dari beragam etnis dan suku bangsa. Lapisan-lapisan sejarah dan budaya dari masa lalu sebagian masih dapat terlihat jejaknya kini. Tidak hanya kawasan, bangunan dan struktur (benda) namun juga kehidupan sosial budaya (tak benda).

Keragaman warisan akulturasi budaya yang ada di Kotatua sangat kaya, mulai dari bangunan dan struktur seperti Museum Sejarah Jakarta, Jembatan Kota Intan, Klenteng Dharma Bakti, dan rumah-rumah orang Moor di Pekojan, hingga tradisi budaya seperti kuliner pecinan di Glodok, ritual buka bersama tiap 27 Ramadhan bersama warga keturunan Arab di Pekojan, musik keroncong yang dipengaruhi Portugis hingga pelabuhan tradisional kapal Phinisi yang masih ada hingga sekarang.

Pemerintah provinsiDKI Jakarta sejak tahun 2014 mengambil pendekatan proaktif untuk isu-isu serius yang dihadapi Kotatua dan memimpin inisiatif untuk melestarikan dan merevitalisasi kawasan Kotatua, sementara juga mencari peluang pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat lokal dan bisnis. Dalam kerangka ini Pemerintah provinsi Jakarta bekerja sama dengan PT. Pembangunan Kotatua Jakarta telah mengambil sejumlah inisiatif penting seperti melestarikan beberapa bangunan terpilih di Kotatua serta penciptaan ‘zona kreatif ’ baru di kawasan tersebut. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga mendukung program revitalisasi kawasan dengan memberikan perhatian khusus untuk memastikan pelestarianbangunan bersejarah mengacu pada kaidah Undang-undang Cagar Budaya no.11 tahun 2010.

“Old City, New Vision: First phase project for the revitalisation of Kota Tua, Jakarta through sustainable tourism and heritage conservation”

Dalam upaya melestarikan warisan Kotatua yang sangat beragam ini, pada tahun 2014 hingga 2016 UNESCO Jakarta dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat pendanaan Indonesia Fund in Trust, menyelenggarakan program “Old City, New Vision: First phase project for the revitalisation of Kota Tua, Jakarta through sustainable tourism and heritage conservation”.

UNESCO Jakarta bekerja sama dengan berbagai komunitas dan institusi terkait memetakan kebutuhan untuk kemudian menyusun program-program yang strategis. Ikatan Arsitek Indonesia, Pusat Dokumentasi Arsitektur, dan AusHeritage kemudian ditunjuk menjadi rekanan UNESCO Jakarta untuk menyusun Information KIT – Caring for your heritage building, berupa petunjuk praktis untuk pemilik dan pengelola bangunan tua, arsitek, kontraktor dan staff pemerintah yang bekerja dalam bidang pelestarian. Peluncurannya diadakan di Stasiun Kota – Beos, bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta.

Modul dalam information KIT ini kemudian juga diaplikasikan dalam program pelatihan untuk arsitek, pemilik atau pengelola bangunan tua, kontraktor, staf dalam jajaram Pemprov. DKI, perwakilan staff Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan staff Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dari 10 kota terpilih. Secara total ada sekitar 120 peserta dari berbagai daerah di Indonesia yang mengikuti program ini.

Tak hanya pelatihan, diselenggarakan pula Heritage Clinic, sebuah upaya untuk memfasilitasi para pemilik, pengelola bangunan tua dan warga untuk memperoleh informasi mengenai tata cara pelestarian bangunan sesuai dengan kaidah benar dalam bentuk kegiatan konsultasi dengan para ahli pemugaran bangunan cagar budaya untuk mendapatkan bantuan penilaian dan rekomendasi. Heritage Clinic yang dilaksanakan bersama Ikatan Arsitek Indonesia dan Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia ini, adalah yang pertama di Indonesia dengan melibatkan berbagai pihak. UNESCO Jakarta juga memberikan dana stimulan masing-masing sebesar 250 juta untuk 2 pengelola bangunan cagar budaya yakni Historia Food & Bar dan Kedai Seni Djakarte di Kotatua yang dilaksanakan dalam bentuk Pilot Site dengan melibatkan arsitek ahli pelestarian dan kontraktor berpengalaman memugar. Program ini tidak hanya sebagai model pembelajaran bagi pengelola, namun melalui papan informasi proyek yang dibuat sedemikian rupa, warga yang datang ke Kotatua memperoleh penjelasan lengkap mengenai bagaimana proses memugar bangunan tua sesuai dengan kaidah yang benar. Di akhir pekerjaan, arsitek bersama ahli dari AusHeritage dan Pusat Dokumentasi menyusun sebuah Conservation Managament Plan bagi pemilik atau pengelola bangunan, agar mendapat panduan lengkap langkah selanjutnya dalam pengelolaan bangunan cagar budayanya.

Page 51: Memo IAI 2016

halaman 99halaman 98

Dalam rangka pengusulan dan masuknya Kotatua Jakarta sebagai nominasi UNESCO World Heritage Site, diselenggarakan pula workshop persiapan dokumen (nomination dossier) dan pameran Preparation for UNESCO World Heritage Site: Kotatua Jakarta bersama Jakarta Old Town Revitalization Cooperation.

Bersama dengan komunitas Local Working Group Destination Management Operation (LWG DMO) Kotatua Jakarta, dan Universitas Tarumanagara, UNESCO juga melaksanakan program Cultural Mapping untuk 4 sub-kawasan di Kotatua dan sekitarnya yakni Glodok, Pekojan, Kotatua di zona inti, dan Luar Batang. Kegiatan ini memetakan seluruh aktifitas budaya yang berlangsung di masa kini baik kuliner, ritual, aktifitas seni serta komunitas kreatif yang bekerja di Kotatua maupun sumber alam yang dimilikinya. Hal ini dilakukan bersama warga di wilayah masing-masing, agar muncul rasa memiliki dan penghargaan terhadap aset budaya yang dimilikinya serta dikemudian hari warga dan komunitas dapat mengelola dan dilibatkan dalam aktifitas wisata berbasis pelestarian yang memiliki nilai ekonomi berkelanjutan.

Kreatifitas UNESCO Jakarta tak hanya berhenti di situ, bersama dengan Asosiasi Disain Grafis Indonesia, Kementerian Pariwisata, dan 30 komunitas di Kotatua yang tergabung dalam LWG DMO Kotatua Jakarta mengadakan kegiatan Destination Branding Kotatua. Kegiatan Destination Branding ini adalah yang pertama kali diadakan dengan melibatkan komunitas, warga dan pemangku kepentingan yang ada di Kotatua. Bertujuan untuk mencari ikon-ikon terbaik dari setiap identitas dan karakter budaya yang khas di Kotatua untuk kemudian dikemas menjadi berbagai produk disain dan promosi wisata yang menarik.

Beberapa pameran juga diselenggarakan seperti Kisah Konservasi bersama Ruang Rupa, Historic Urban Landscape bersama Jakarta Old Town Revitalization Cooperation, Heritage Trade Fair berupa pameran bahan bangunan khusus untuk pemugaran, dan di akhir seluruh program UNESCO mengadakan pameran bertajuk Kotatua Ruang Kita bersama dengan Pusat Dokumentasi Arsitektur, Ikatan Arsitek Indonesia dan LWG DMO Kotatua Jakarta.

Kotatua Ruang Kita: Merayakan Keberagaman dan Kolaborasi

Beragam kegiatan telahdilaksanakan oleh UNESCO Jakarta sejak 2014 hingga 2016 bekerja sama dengan berbagai pihak seperti Kementerian Pekerjaan Umum, UPK Kota Tua Jakarta, Pusat Konservasi Cagar Budaya Kotatua Jakarta, Ikatan Arsitek Indonesia, Pusat Dokumentasi Arsitektur, Local Working Group Destination Management Organization (LWG DMO) Kotatua Jakarta, PT. Pembangunan Kota Tua Jakarta, Universitas Tarumanagara, Asosiasi Disain Grafis Indonesia, Universitas Indonesia, ASF Indonesia, Institut Kesenian Jakarta, Faber Castle, 3Buwana Komunika, bersama-sama dengan warga yang tinggal di sekitar Kotatua seperti Pekojan, Glodok, Luar Batang, Komunitas Anak Kali Ciliung (Kampung Tongkol, Lodan dan Kerapu) dan 30 komunitas yang aktif berkegiatan di Kotatua Jakarta.

Sebagai bentuk apresiasi kepada setiap institusi serta komunitas yang telah terlibat dan merayakan keberagaman berbagai bentuk kolaborasi, UNESCO menutup seluruh kegiatannya di tahun 2016 dalam bentuk pameran Kotatua Ruang Kita. Tidak ingin mengadakan pameran yang melulu menekankan pada teknik atau dogma-dogma pelestarian yang berat, pameran kali ini justru ingin mengangkat tema manusia, budaya, dan kreatifitas yang masih berlangsung di Kotatua. Hal ini penting, karena upaya pelestarian apapun yang akan dilakukan ke depan di Kotatua Jakarta tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang ada di dalamnya. Mereka menjadi bagian untuk menjamin pelestarian yang berkelanjutan. Pameran utama berlangsung di lantai 2 Historia Food and Bar, dan pameran pendukung tentang Komunitas Anak Kali Ciliwung diadakan di lantai 2 Kedai Seni Djakarte.

Seakan belum kehabisan energinya, pameran yang dibuka 23 Juni lalu juga dimeriahkan beragam acara lezat bergizi selama sebulan penuh hingga akhir Juli 2016. Setiap acara dilakukan melibatkan komunitas dalam konsep menyediakan beragam ruang aktifitas agar tiap lapisan warga dapat memilih sesuai minatnya.

Ruang Warga diterjemahkan sebagai kegiatan Placemaking di Glodok dan Pekojan untuk memetakan masalah, aset dan potensi bersama warga untuk menciptakan ruang public yang lebih nyaman, aman, bernilai ekonomis dan juga menyenangkan.

Ruang Inovasi adalah forum berbagi para pelaku bisnis kreatif di Kotatua untuk meninspirasi para investor menjalankan investasi dengan semangat dan kecintaan akan aset sejarah dan budaya.

Ruang Jelajah diadakan tidak hanya untuk mengenalkan tempat-tempat unik tematik baru yang belum dikenal seperti Banking Tour dan Hidden Treasure, namun juga menggali aspek kelezatan kuliner hingga mengunjungi warga di Glodok dan Pekojan yang bercerita mengenai sejarah budaya leluhur, berbuka

Page 52: Memo IAI 2016

halaman 101halaman 100

puasa bersama dengan warga Pekojan dan bertandang ke Kampung Tongkol-Lodan-Kerapu untuk tidak hanya melihat upaya warga menata bantaran sungai namun juga mendengar kisah tentang jejak-jejak kastil dan tembok timur Batavia. Sebuah interaksi yang tidak biasa, melibatkan komunitas dan warga.

Ruang Kreatifitas adalah ruang yang memfasilitasi pekerja seni di Kotatua agar dapat meningkatkan keahlian membuat skesta obyek Kotatua, workshop adaptasi interior Kedai Seni bersama arsitek dan disainer interior muda, serta melukis dengan kopi dengan obyek bangunan tua untuk meningkatkan kecintaan pada sejarah.

Ruang Sejarah berupaya menambah gizi pengetahuan akan sejarah di Kotatua tidak hanya bagi pencintanya namun juga para pelaku wisata.

Ruang Cagar Budaya dilakukan dengan beragam aktifitas seperti pelatihan pelestarian untuk para arsitek, Heritage Clinic, peningkatan pemahaman tentang Historic Urban Landscape, sosialisasi registrasi cagar budaya, Coffee Morning berupa pertemuan 4 institusi pemerintah untuk koordinasi upaya pelestarian di Kotatuahingga kegiatanMuseum Clinic oleh 3Buwana Komunika, yang merupakan museum clinic pertama di Indonesia.

Ruang Budaya menjadi atraksi menarik tak hanya dalam hal mengasah kemampuan membatik bersama Sahabat Budaya, namun juga pertunjukan musik hadrah bersama Tim Hadrah Taman Fatahillah Kotatua Jakarta dan pemutaran film-film dokumenter Kotatua yang diproduksi oleh Reza Tuasikal.

Walaupun program UNESCO di Kotatua Jakarta telah berakhir pada bulan Juli 2016, namun dengan strategi menggerakan dan melibatkan berbagai institusi dan komunitas dalam seluruh aktifitasnya, adalah untuk memastikan bahwa tongkat estafet kegiatan dapat terus berlanjut di masa mendatang.

Informasi lebih lanjut dapat dilihat di: http://www.lestarikanbangunantua.info/

Page 53: Memo IAI 2016

halaman 102

2016


Top Related