Download - Memahami Pluralisme Agama
Memahami Pluralisme Agama
(Sebuah Telaah Wacana)
Gatot Suhirman
Mahasiswa Magister Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Email:[email protected].
Abstrak
Wacana pluralisme agama dalam diskursus keberagamaan kontemporer seolah menghipnotis
banyak kalangan. Di satu sisi, konsep wacana ini dianggap begitu menjanjikan sebagai pola ideal
dalam memaknai keberagamaan dalam hubungan lintas agama di era pluralisme dan
multikulturalisme sekarang ini. Konsep ini muncul berawal dari kegagalan konsep-konsep
sebelumnya (inklusivisme dan eksklusivisme) yang dianggap tak lagi mampu untuk
menyelesaikan permasalahan sosial-keagamaan yang terjadi. Jika agama dimaksudkan sebagai
petunjuk dan penuntun manusia dalam merealisasikan ajaran-ajaran yang pada akhirnya demi
kemanusiaan itu sendiri, maka konsep pluralisme agama dilahirkan untuk mengatur pola
hubungan antar agama-agama yang ada. Karena pada kenyataannya di dunia ini, agama yang ada
tidak hanya satu. Hal itu membuktikan bahwa diperlukan suatu konsep yang dapat menjamin
semua agama untuk saling bersinergi, bukan untuk saling menjatuhkan.
Namun demikian, di sisi yang lain, tawaran konsep pluralisme agama dianggap akan mencederai
bangunan keyakinan keagamaan, ”akidah”, tertentu. Akidah Islam misalnya. Karena itu, konsep
tersebut harus ditolak dan dianggap sebagai ”racun” keyakinan.
Oleh karena itu, untuk dapat memposisikan diri dalam arus perdebatan yang terjadi, diperlukan
sebuah telaah atas wacana yang berkembang seputar isu pluralisme agama.
Keywords: Pro-kontra Pluralisme, Pluralisme Agama, Pluralis tanpa Pluralisme dan hubungan
antar-agama.
Pendahuluan
Wacana pengembangan pemikiran Islam yang terus bergulir, khususnya di Indonesia, sejatinya
telah melahirkan berbagai pandangan yang dikatakan "maju" dengan mengatasnamakan
pembaharuan itu sendiri dan tuntutan modernitas. (Sidik Tono, 2003: 198). Berbagai pandangan
sebelumnya yang dianggap bertentangan atau bahkan tak sesuai lagi dengan realitas kontemporer
dewasa ini dibongkar dan dirombak kembali untuk kemudian disesuaikan dengan tuntutan masa
kini.
Munculnya para tokoh pemikir Islam dengan segala tawaran pembaharuannya mengindikasikan
bahwa reinterpretasi, rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi terhadap pemahaman al-Qur'an dan
as-Sunnah sebagai akar spiritualitas Islam dalam menetapkan hukum mutlak harus dilakukan.
( Ilyas Supena 2002: 117). Demikian pula halnya, reaktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam
menjadi sebuah keniscayaan. Berbagai fenomena sosial yang secara eksplisit belum, bahkan tak
tersurat sama sekali, amat menuntut untuk segera dicari solusi dan penyelesaiannya demi
mewujudkan cita-cita Islam yang universal, progresif dan elastis (Ibnu Hajar, 2003: 149), sa>lih
li kulli zama>n wa maka>nin, rahmatan li al-'a>lami>n, serta Islam yang dinamis dan tanggap
atas setiap perubahan yang terjadi, karena memang karakter awal ajaran Islam selalu sejalan
dengan pergantian ruang dan perjalanan waktu, ia senantiasa survive memenuhi kebutuhan umat
Islam dan menjawab tantangan sepanjang masa. (Ibnu Hajar, 2003: 170)
Dalam upaya pengkontekstualisasian seperti inilah kontroversi dan perdebatan seringkali tak bisa
dihindarkan, truth claim pun menjadi sesuatu yang "wajib" muncul dalam setiap bentuk
pemikiran dan ide yang dimunculkan demi mendukung gagasan masing-masing, bahkan
terkadang berujung konflik. (Hasan Bisyri, 2000) Gambaran ini akan menunjukkan wujudnya
dengan lebih jelas apabila kita mengamati dinamika pemikir-pemikir Islam dan muatan
intelektual yang mereka lontarkan, baik yang disampaikan secara individu-personal maupun
kolektif-institusional. Berbagai perbincangan seputar masalah keagamaan pun kembali menjadi
perdebatan hangat di tengah masyarakat, khususnya yang berpijak pada paradigma syari'ah
(Islam). Saefurrahmat, 2002). Salah satu isu aktual saat ini yang muncul ke permukaan adalah
pergeseran paradigma pemahaman yang berkaitan dengan hubungan lintas agama yang sering
disebut sebagai Paham Pluralisme Agama. Berbagai asumsi terhadap agama yang ditengarai
sebagai akar perubahan pandangan tersebut turut pula ditampilkan. (Mudji Sutrisno, 1993: 40-
41).
Terdapat kelompok Islam yang menerima dan meyakini bahwa paham pluralisme merupakan
suatu keniscayaan bagi terwujudnya kehidupan yang toleran dan harmonis di antara umat yang
berbeda keyakinan, agama, sosial, budaya, ras dan keturunan, kelompok ini disebut kelompok
Pro-Pluralisme. Dalam pandangan mereka, paham pluralisme agama merupakan solusi terbaik
untuk meredam ketegangan dan konflik intra dan antar umat beragama yang terjadi, terutama
setelah era reformasi dikumandangkan, dan di masa mendatang. (Masdar F. Mas’udi: 1993: 29).
Lebih jauh, kelompok pro pluralisme mengembangkan tafsir Islam-Pluralis. (Djohan Effendi,
2001). Mereka menunjuk beberapa ayat dalam al-Qur'an yang mengindikasikan adanya
kebenaran dan jalan keselamatan dalam agama-agama yang dijadikan dasar pijakan teologis
praktek toleransi dan kerjasama antar umat beragama. (Muh. Tasrif, 2006).
Namun, disamping kelompok pro pluralisme terdapat pula kelompok Islam lain yang menolak
dan membantah keyakinan kelompok pertama, yaitu kelompok Kontra-Pluralisme. (Masdar F.
Mas’udi: 1993) Tanggapan dan bantahan pun mereka lontarkan untuk meng-counter keyakinan
kelompok pertama. Pada perkembangannya kelompok inipun mengembangkan tafsir Islam
Kontra-Pluralis, (Muh. Tasrif, 2006). sebagai pijakan dasar teologis dalam mendukung praktek
keagamaan mereka, bahwa tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan kecuali dalam Islam.
Lebih lanjut, kelompok kedua melihat paham (plralisme agama) ini sebagai bentuk
penyeragaman segala perbedaan dan mengusung keyakinan inklusif-pluralis yang
mensamaratakan semua agama. (Hartono Ahmad Jaiz, 2006) Karenanya, ia secara ontologis
bertentangan dengan sunnatullah, (Anis Malik Thoha: 2005), yang pada gilirannya mengancam
eksistensi manusia dan hanya akan merusak kemurnian paham dan aqidah yang telah disepakati
oleh para ulama sejak masa permulaan Islam.
Pro-Kontra Wacana Pluralisme
Persoalan pluralisme agama dalam Islam sejatinya telah menjadi perdebatan serius di kalangan
para pemikir Islam, karenanya, berbagai respons dan tanggapan pun dilontarkan. Diantara sekian
respons itu, terdapat beberapa pandangan yang mendukung pluralisme agama dan tidak sedikit
pula yang meng-counter serta menolak gagasan pluralisme agama. Di antara pendapat yang
mendukung pluralisme, Nurcholish Madjid misalnya, dalam ceramah budayanya di Taman
Ismail Marzuki (TIM), sebagaimana dimuat dalam Jurnal Ulumul Qur'an misalnya, ia
menjelaskan bahwa antara Islam dan agama-agama samawi lainnya (Ahl al-Kita>b), yaitu
Yahudi dan Nasrani terdapat beberapa persamaan yang menjadi titik-temu yang amat menonjol,
antara lain; sama-sama berasal dari Tuhan yang sama. Kemudian ia menjelaskan tentang konsep
kesatuan pesan dan kontinuitas ajaran para nabi sebagai common flatform-nya. Pada sisi yang
sama ia juga menjelaskan bahwa perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk-bentuk respon
khusus tugas seorang rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Maka perbedaan itu tidaklah
prinsipil, sedangkan ajaran pokok dan inti syari’at para nabi dan rasul adalah sama, (Nurcholish
Madjid, 1993). Lebih jauh, ia mengatakan bahwa titik temu semua agama yang memiliki kitab
suci adalah pada ajaran “kebaikan” bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Kebaikan atau
hikmah inilah yang patut dipelajari dari sekian agama-agama yang ada.
Para pendukung pluralisme yang lain, bahkan memandang bahwa demokrasi, masyarakat madani
dan pluralisme (termasuk pluralisme agama) adalah tiga serangkai yang harus menjadi agenda
utama umat Islam dalam menyongsong masa depan. (Djohan Effendi, 2001). Menurut mereka,
pada masa sekarang ini agama-agama (khususnya di Indonesia) harus bekerja lebih keras lagi,
karena “agama” ikut bertanggung jawab atas menggejalanya kekerasan, langsung maupun tidak
langsung, menolak pluralisme hanya akan menambah daftar panjang kebencian dan kekerasan
atas nama agama, dan itu sama artinya dengan menolak masyarakat madani itu sendiri.
Tegasnya, masing-masing agama lebih mengedepankan truth claim dan bersikap eksklusif.
Masdar Farid Mas’udi pun, salah satu pendukung pluralisme agama, memilah pengertian Islam
pada tiga tatarannya: Islam sebagai Aqi>dah, syari>’ah dan akhla>q. (Masdar F. Mas’udi: 1993).
Islam sebagai aqi>dah yaitu komitmen nurani dan batin untuk selalu pasrah/berserah kepada
Tuhan, dan inilah hakikat, karena inti dan esensi dari seluruh keislaman memang terletak di situ
adanya. Ia adalah agama yang azali, yang ada dalam nurani sejak manusia sendiri belum lahir di
bumi. Pada tataran inilah semua agama samawi sama. Keislaman pada tataran syari>’ah, yaitu
ajaran tentang bagaimana kepasrahan itu dipahami. Pada tataran kedua ini agama-agama
berbeda. Islam pada tataran ini hanyalah piwulang formal yang sudah mulai menampakkan
batas-batas partikularnya. Jika Islam syari>’ah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
dikemukakan dalam bahasa Arab, dihimpun dalam sebuah kitab suci yang bernama al-Qur’an,
maka Isla>m Syari>’ah yang dibawa Nabi Isa dikemukakan dalam bahasa Ibrani dan terhimpun
dalam sebuah kitab dengan nama Injil. Demikian pula Isla>m syari>’ah Nabi Musa, Nabi
Ibrahim dan lain-lainnya. Disebabkan ciri-ciri partikularnya itu, maka “Islam” (Islam Aqidah)
yang pada hakikatnya merupakan satu-satunya agama Tuhan pun lalu mengenal pengkotak-
kotakan. Tegasnya, ketika manusia beragama menyebut agama, maka pada umumnya yang
dimaksud adalah agama pada tataran Islam Syari’ah, atau tataran normatifnya.
Ketiga, Islam sebagai akhla>q, yaitu sebagai laku-laku manusia yang pasrah, baik dalam dimensi
diri-personalnya, maupun dalam dimensi sosial-kolektifnya.
Akan tetapi, pendapat para pemikir yang pro terhadap pluralisme tidak serta merta ”diamini”
oleh semua kalangan. Bahkan, penerimaan atas konsep pluralisme mendapat penentangan luar
biasa dari kalangan yang tak sepaham dengan mereka. Dalam konteks ini, wacana tandingan pun
turut pula dilontarkan dalam rangka menolak dan mengkritik paham yang dianggap ”sesat” itu.
Adian Husaini misalnya, mengkritik teologi inklusif/pluralis yang dilontarkan oleh para
pendukung pluralisme sebagai tidak memiliki dasar dalam al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, atau
pendapat para ulama salaf (terdahulu). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa teologi inklusif/pluralis
tersebut bersifat dekonstruktif terhadap konsep-konsep dasar Islam dan menghancurkan fondasi
keimanan Islam. (Adian Husaini, 2005). Para pengkritik yang lain pun menyebut teologi Islam
kaum pluralis masih bersifat inklusifisme monistik yang beranggapan bahwa Islam merupakan
agama yang paling superior di antara agama yang lain (Munawwiruzzaman, 2006).
Penolakan yang sedikit ekstrim muncul dengan menyatakan bahwa pluralisme agama sebenarnya
merupakan agama baru, di mana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan
ritual keagamaan sendiri, sehingga jelas bahwa ia bukanlah bagian dari Islam, apalagi Islam itu
sendiri. Penolakan lain muncul dengan pernyataan bahwa paham inklusif-pluralis meskipun
mengaku Islam namun juga secara terang-terangan mengakui akidah mereka berbeda.
Selanjutnya "Akidah yang berbeda" itu memerlukan "Fiqih yang berbeda", "Akidah eksklusif"
maka memerlukan "Fiqih eksklusif", demikian pula halnya "Akidah Inklusif" dengan sendirinya
memerlukan "Fiqih Inklusif" pula. (Hartono Ahmad Jaiz, 2006)
Lebih jauh, pluralisme agama dianggap tak lain dan tak bukan adalah kerangka berpikir
"talbi>sul Ibli>s", yaitu memoles dan membungkus kebatilan dengan berbajukan agama, dan
berhujjah dengan dalil-dalil al-haqq untuk tujuan kesesatan, seperti perilaku para pendeta Yahudi
dan Nasrani. Sayangnya, respon yang ada selama ini, dengan menyimak alur perdebatan pro-
kontra sebagaimana yang ditampilkan di atas, terkesan masih bersifat sangat polemis sehingga
dukungan dan kritikan yang diarahkan kepadanya belum bahkan tidak langsung tertuju kepada
titik utama permasalahan yang menjadi polemik. Tulisan-tulisan dan karya ilmiah dalam
merespon pro-kontra tersebut masih dirasa sangat subyektif, dengan kata lain tanggapan yang
diberikan terkesan cenderung “ikut-ikutan” meligitimasi (setuju) atau rejektif menolak. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu upaya untuk mempertemukan dua kutub yang berseberangan
tersebut dalam satu bingkai wacana dengan berhadapan secara langsung dan memaparkan
pandangan masing-masing secara dialogis untuk kemudian bersama-sama mempertimbangkan
kembali atau berusaha membandingkan pendapat masing-masing. Dengan demikian, dalam
hemat penulis, diperlukan adanya suatu pemikiran alternatif berupa pemikiran ”poros tengah”
dalam rangka meredam ketegangan antara pandangan yang satu sama lain saling membelakangi
itu.
Tinjauan Umum Tentang Pluralisme Agama
Pluralisme agama lahir sebagai tuntutan modernitas dan globalisasi dunia terhadap agama. Era
keterbukaan budaya dan pemikiran secara bersama-sama akan berpengaruh pada perubahan cara
seseorang atau kelompok memandang "obyek" di luar dirinya. (Mohammad Hasan Bisyri, 2006).
Dalam situasi demikian, peran agama yang konstruktif untuk membimbing manusia sangat
dinantikan, bahkan di abad 21 ini diprediksikan sebagai abad (kebangkitan) agama. Namun
demikian, harapan yang begitu besar terhadap agama ini dihadapkan pada problem truth claim
(klaim kebenaran). Apalagi jika klaim kebenaran itu memasuki wilayah sosial politik dalam
ranah praktis-empiris. Jika demikian halnya, maka harapan-harapan besar terhadap peran agama
untuk mengatasi problem dunia mungkin akan semakin pupus. Orang lebih mementingkan
agama sebagai kelembagaan eksoteris dan identitas lahiriah, bukan melihat dan mementingkan
nilai-nilai spiritual yang sebenarnya terkandung dalam agama itu sendiri. Oleh karena itu, dalam
era pluralisme agama ini, meletakkan klaim kebenaran terhadap keyakinan diri dan orang lain
secara tepat dan proporsional merupakan suatu tuntutan yang tak dapat ditunda-tunda lagi.
Pengertian Pluralisme Agama
Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu pluralisme dan agama.
Pluralisme berasal dari istilah Inggris. Dalam kamus Bahasa Inggris pluralism berarti jamak atau
lebih dari satu. Kata tersebut mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i)
sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii)
memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-
kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mendasar yang lebih dari
satu. Ketiga, pengertian sosio-politis, adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi
keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap
menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-
kelompok tersebut. The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles (1952).
Ketiga pengertian tersebut menurut Anis Malik Thoha dapat disederhanakan dalam satu makna,
yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap
terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing. (Anis Malik Thoha,
2005).
Pluralisme adalah suatu sistem berpikir yang beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah plural
(banyak), dengan demikian pluralisme tidak hanya mengenal satu macam kebenaran final.
Sebagai sebuah pemikiran, pluralisme biasanya dilawankan dengan monisme. Monisme adalah
sebuah cara pandang yang menganggap bahwa hakikat sesuatu itu adalah tunggal. Aliran
pemikiran yang menengahi kedua pemikiran itu dikenal dengan dualisme, yang menganggap
bahwa hakikat sesuatu adalah terdiri dari dua hal. (Ali Mudhofir, 1996), (Muhyar Fanani, 2003)
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pluralisme adalah suatu pandangan yang
meyakini akan banyak dan beragamnya hakikat realitas. Sebagai akibat dari pola pikir ini adalah
seseorang tidak boleh mengklaim bahwa realitas yang ia pahami saja yang paling benar dan yang
lain salah. Pandangan semacam ini menurut Muhammad Hasan Bisyri dapat dipakai untuk
melihat segala realitas kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan keberagamaan (fiqih lintas
agama). (Mohammad Hasan Bisyri, 2006).Lebih lanjut, menurut Haryatmoko, dalam perspektif
pluralisme, keberagamaan hendaknya tidak dilihat pada sisi benar atau salah, akan tetapi dilihat
pada nilai-nilai dan kekhasannya masing-masing. (Haryatmoko, 2000)
Menurut hemat penulis, tentu pendapat tersebut tidaklah berlebihan, karena disadari atau tidak
pluralisme agama sebenarnya mengandaikan terciptanya suatu kondisi dimana masing-masing
agama dapat saling terbuka dan melihat bahwa yang ada di bumi ini tidak hanya agama mereka
saja, melainkan ada agama lain, sehingga masing-masing mengakui eksistensi pihak dan
komunitas lain (qabu>l al-akhar). Akan tetapi, harus disadari pula bahwa sikap terbuka dan
saling menerima tersebut tentu saja tidak akan pernah terwujud dan hanya akan menjadi harapan
semata, apabila masing-masing masih tetap mengedepankan truth claim dan bersikap eksklusif,
memandang bahwa agamanya saja yang paling benar dan yang lain kafir. Implikasi dari sikap
seperti itu jelas akan semakin memperlebar jurang permusuhan dan kecurigaan antaragama,
sehingga kehidupan yang damai pun seakan menjadi khayalan tak berujung.
Menyadari akan hal itu, di mana pada masa-masa sebelumnya pemikiran dan komunitas
keagamaan senantiasa menempatkan "orang lain" (al-akha>r) sebagai kelompok manusia yang
salah jalan, durhaka atau ingkar yang dalam term agama diistilahkan dengan “kafir”. Maka, sejak
awal abad ke-20, atau setidaknya pertengahan abad itu, sikap-sikap tersebut mulai berubah.
Masyarakat dan terlebih lagi pemikiran keagamaan menjadi lebih terbuka dalam melihat realitas
bahwa di bumi ini masyarakat memang telah terkonstruk demikian plural. Oleh karena itu, dalam
suasana yang plural dibutuhkan kesepahaman yang menyeluruh sehingga keragaman (agama)
tersebut tidak menjadi sumber konflik, bahkan dapat dijadikan ajang bahu-membahu dalam
membangun masyarakat demi kepentingan bersama. Dari sini mulai muncul terminologi
pluralisme (fiqih pluralis, teologi pluralis) dalam diskursus religious studies di dunia, termasuk di
Indonesia. Paham pluralisme dimaksudkan untuk menghilangkan paham kemutlakan, superior,
eksklusif, truth claim dan lain-lain yang sejenis untuk kemudian memunculkan sikap-sikap
rasionalisme, inklusif, saling menghormati keyakinan keagamaan dan saling belajar serta berbagi
pengalaman untuk kebaikan. (Masnun Tahir, 2007)
Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun lebih
dari itu, ia menuntut adanya keterlibatan secara aktif terhadap kenyataan kemajemukan dan sikap
apresiatif yang mendalam terhadap sistem yang berbeda. Seseorang baru dapat dikatakan
menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan
tersebut. Tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak kelompok
(agama) lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. (Alwi Shihab, 2004). Akan tetapi, perlu dipahami
pula bahwa tercapainya kerukunan tersebut bukanlah merupakan hasil maksimal dan tujuan final
dalam menciptakan tatanan yang lebih kondusif di tengah masyarakat. Diperlukan usaha lebih
lanjut untuk meretas suasana rukun tersebut selangkah lebih maju lagi menjadi "kerjasama" antar
umat beragama. Karena, suatu usaha yang hanya sampai pada level "damai" dan "dialog" semata
tentu hasil yang dirasakan cuma sebatas itu pula. Lebih dari itu, suasana damai dan dapat
menerima keberadaan satu sama lain harus serta merta pula dibarengi dengan tindakan produktif
untuk membangun suatu kerjasama yang positif, sehingga dalam menghadapi problematika
kehidupan modern tingkat lanjut seperti saat sekarang ini dan masa depan, agama diharapkan
dapat menyumbangkan sesuatu yang menenteramkan dan mampu memberikan solusi bagi
nestapa yang senantiasa meliputi perjalanan hidup manusia.
Menurut Alwi Shihab pluralisme berbeda dengan kosmopolitanisme, relativisme dan
sinkretisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras,
suku, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Alwi memberikan contoh, di New York,
sebagai kota kosmopolitan dihuni oleh orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan
orang yang tanpa agama. Dalam kota kosmopolitan ini interaksi antar penduduk, khususnya di
bidang agama, meskipun ada tetapi terjadi sangat minim.
Relativisme mempunyai asumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau "nilai"
ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir subyektif seseorang atau
masyarakatnya. Menurut konsep ini baik atau buruk, benar atau salah adalah relatif, tergantung
pada pendapat individu, keadaan setempat atau institusi sosial dan agama. Oleh karena itu,
konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi (Alwi Shihab, 2004).
Relativisme tidak memiliki patokan obyektif dalam kehidupan. Norma-norma moral tidak pernah
berlaku secara mutlak dan tidak dapat mengikat secara mutlak. Sebagai konsekwensi dari paham
ini doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Dengan kata lain semua agama adalah sama.
Paham relativisme ini menolak anggapan kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan
sepanjang masa. Konsep ini bertahan sampai masa kini khususnya dalam pendekatan ilmiah
yang dipakai oleh para ahli antropologi dan sosiologi.
Tak dapat dipungkiri, bahwa dalam paham pluralisme memang terdapat unsur relativisme, yakni
unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan
kebenaran tersebut kepada pihak lain. (Mohammad Hasan Bisyri, 2006). Seorang pluralis akan
menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Memang
tak dapat dielakkan bahwa jika pluralisme dipahami secara salah dapat melahirkan suatu sikap
acuh tak acuh terhadap agama, dan bisa menyebabkan seseorang melalaikan berbagai kewajiban
agama. Padahal penunaian kewajiban-kewajiban itu justru merupakan syarat utama untuk
mencapai keselamatan. (Frithjof Schuan, 1987).
Oleh karena itu, untuk membedakannya dengan relativisme, dalam menerapkan konsep
pluralisme ini membutuhkan komitmen dan loyalitas yang kokoh terhadap agama masing-
masing. Dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, seorang pluralis bukan saja dituntut
untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi yang terpenting ia harus
commited terhadap agama yang dianutnya, hanya dengan sikap demikian dapat terhindar dari
jebakan relativisme agama. (Alwi Shihab, 1999) . Sementara itu, sinkretisme adalah menciptakan
suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari
beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Contoh dari agama
sinkretisme ini adalah Bahaisme yang didirikan oleh Mirza Husai Ali Nuri yang dikenal sebagai
agama Baha Ullah. Elemen agama baru yang didirikan di Iran ini diambil dari agama Yahudi,
Kristen dan Islam. Dengan demikian, pluralisme agama bukan sinkretisme agama, karena
pluralisme agama tetap mengakui perbedaan-perbedaan agama-agama. (Masykuri Hamdie,
2006).
Penegasan lebih lanjut, Schuon menegaskan bahwa aspek eksoteris agama amat penting untuk
diperhatikan, karena ia merupakan hal yang sudah menjadi kehendak ilahi. Oleh karena itu ia
menganggap palsu ajaran-ajaran yang hanya mengedepankan aspek esoterisme semata dan
menolak ajaran-ajaran eksoterisme, dan hal itu bisa dianggap sebagai kafir. Sikap menerima
kritik dan akomodatif terhadap eksistensi dan kebenaran agama yang lain muncul sebagai reaksi
atas kenyataan empiris bahwa agama yang ada di bumi ini bukan hanya Islam, yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW. melainkan juga agama samawi lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani,
serta agama non-samawi, seperti Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya. Islam pluralis ini
meyakini dengan sungguh-sungguh terhadap ajaran agamanya, namun di sisi lain ia juga
menyadari bahwa kebenaran yang terdapat dalam agamanya mungkin saja dijumpai dalam
agama lainnya. Oleh karena keyakinan semacam inilah yang mendorong mereka untuk bersikap
menghargai dan hormat terhadap keyakinan yang dimiliki agama lain.
Pluralitas agama (religious plurality) tidak harus diartikan secara langsung sebagai pengakuan
akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang paling kongkret sehari-hari. Akan tetapi ia
berarti bahwa semua agama diberikan kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan
ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing. Pandangan pluralis ini tidak
menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama dan tidak pula
bermaksud menyatukan agama. Karena gagasan pluralisme agama, sebagaimana dicatat oleh
Budhy Munawar Rahman, merupakan bentuk pemahaman moderasi yang bertujuan menciptakan
komunikasi untuk menjembatani ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal balik antara budaya
dunia yang berbeda-beda dan membiarkan mereka berbicara dalam bahasa mereka sendiri.
Karenanya, pluralisme berbeda dengan pluralitas. Pluralitas adalah keragaman yang tidak saling
menyapa yang merupakan lawan dari kesatuan monolitik. Sementara pluralisme berdiri di antara
pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik itu. (Budhy Munawar Rahman, 2000)
Adapun kondisi yang dikehendaki oleh konsep pluralisme agama, sebagaimana dicatat
Muhammad Hasan Bisyri, adalah: (1) apabila setiap agama, termasuk juga komunitas umatnya,
dapat memberi tempat kepada penganut agama lain, tidak hanya dalam perasaan toleransi
sebagai warga negara kelas dua; (2) apabila setiap agama dapat membedakan antara keyakinan
dan konsekwensi moral mereka; (3) apabila ada konsensus yang pasti dapat dicapai oleh
masyarakat yang berbeda-beda keyakinan untuk saling menghormati tatanan moral yang penting
bagi pribadi dan sikap sosial mereka.
Membongkar Identitas Semu Kaum Pluralis; Sebuah Mazhab Pluralis tanpa Pluralisme
Ada sebuah kejanggalan yang mungkin dapat terbaca ketika kita merenungi kembali konsep Hak
Asasi Manusia (HAM), dalam konteks ini adalah konsep Hak Asasi Kebebasan Beragama, yang
masih perlu dipertanyakan kembali. Konsep Hak Asasi Kebebasan Beragama, dalam tataran
praktisnya ternyata berbeda dari apa yang diharapkan secara normatif. Hal yang sama juga
berlaku pada pembacaan lebih mendalam ketika agama menjadi tumpuan harapan bagi
kedamaian hidup manusia, justru fakta di lapangan berbicara lain ketika agama terkesan hanya
dijadikan "alat" legitimasi oleh penganutnya untuk memerangi kelompok agama yang dianggap
berbeda di luar dirinya. Ini berarti bahwa keselarasan antara normativitas dan historisitas HAM
dan agama itu sendiri menjadi "barang langka" yang demikian sulit diwujudkan.
Berdasarkan penilaian semacam itu, seringkali yang muncul kemudian adalah adanya anggapan
bahwa konsep agama merupakan akar permasalahan bagi tragedi kemanusiaan dan konflik antar
golongan yang selama ini terjadi. Anggapan ini mungkin tidak dapat disalahkan, tapi tentu saja
tak dapat sepenuhnya dibenarkan. Karena pada dasarnya tidak ada yang salah dengan HAM
ataupun agama. Sebagai ajaran yang diyakini datang dari Tuhan yang Maha Sempurna, maka
agama tidak pernah salah, yang salah adalah pemahaman seseorang terhadap agama dan
kecenderungannya untuk menganggap pemahaman dan istitusi sosial agama itu sebagai "agama,
(Andi Dermawan, 2009). Begitu juga HAM dalam tataran konsep adalah sesuatu yang patut
mendapat apresiasi, meskipun seringkali pada prakteknya tak terlihat seperti yang dikonsepkan.
Pemahaman yang tepat atas situasi yang demikian dalam menyikapi normativitas dan historisitas
yang tidak selalu sejalan-seirama akan menghantarkan pada hakikat beragamnya penafsiran atas
konsep normativitas yang diakui. Tentu saja pada tataran inilah seseorang tidak mesti "seiya-
sekata" dalam memandang dan menafsirkan realitas. Yang terpenting adalah sikap menerima
perbedaan yang ada secara lapang dada, dan dengan catatan, nilai yang ditampilkan tidak boleh
mendiskreditkan pihak lain yang berbeda. Inilah cita-cita mulia yang mendasari semangat
pluralisme.
Pada hakikatnya, visi dan misi pluralisme (maupun multikulturalisme) bukanlah untuk
mempertegas batas identitas, baik individu, kelompok, maupun keyakinan. (Andi Dermawan,
2009). Pemahaman dan penerapan multikultural sesungguhnya adalah untuk memenuhi hak-hak
minoritas untuk dapat sejajar dengan hak-hak mayoritas. Setiap anggota masyarakat mempunyai
hak untuk mengelola identitasnya. Penghargaan terhadap pengelolaan identitas diri ini akan
membawa dampak peneguhan jati diri yang memiliki prinsip hidup sehingga tiap-tiap individu
yang berbeda etnik, ras, suku, dan agama mampu berdiri tegak dan sejajar dengan identitas diri
lainnya dalam suatu masyarakat.
Jika demikian halnya, di sinilah urgensi pemahaman pluralitas dalam keberagamaan. Untuk
dapat saling menghargai, menghormati dan membangun saling pengertian yang kreatif
antarsesama pemeluk, pluralitas harus dikembalikan ke makna asalnya sebagai realitas kodrati
hidup manusia, kehendak Tuhan, yang memang sangat diperlukan untuk memahami agama dari
berbagai sudut pandangnya.
Pluralitas dan kemajemukan tidak lantas dipahami dan disikapi sebagai "semua agama adalah
benar", atau juga menganggap bahwa "semua agama pasti sama dan sebangun”. Penjelasan ini
justru menunjukkan penolakannya sekaligus mengkhianati pluralitas itu sendiri. Sebab, ketika
semua kebenaran keyakinan dianggap satu dan sama benar, maka sebenarnya penyeragamanlah
yang terjadi. Itu tidak berbeda artinya dengan menafikan dinamika persepsi dan perspektif
individu dalam masyarakat yang diakui hak-hak perbedaan pemahamannya. Oleh karena itu,
seorang pluralis, atau paling tidak seorang yang memahami dan menyikapi pluralitas seperti itu,
dapat dikatakan sebagai seorang yang bukan pluralis tulen. Paham pluralis semacam itu dengan
istilah yang lebih ekstrim mungkin dapat disebut ”Mazhab Pluralis tanpa Pluralisme”. Karena,
bukan jalan keluar yang baik jika ingin menghargai keyakinan orang lain dengan menyamakan
kebenaran keyakinan diri sendiri yang memang berbeda dengan kebenaran keyakinan yang
dianut orang lain itu. Yang demikian adalah tindakan penyeragaman yang cenderung gegabah
dan bahkan anti-pluralitas.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pluralisme (ataupun multikulturalisme) tidak
bermaksud mempertegas identitas individu, kelompok atau keyakinan tertentu. Begitu juga
halnya, bukan penyeragaman semua identitas yang berbeda yang menjadi tujuan. Karena yang
sebenarnya dikehendaki adalah berseminya bibit-bibit penghargaan atas perbedaan yang terjadi
serta menghilangkan ”ketidaktulusan” dan ”kepura-puraan” dalam menghargai keyakinan orang
lain dengan mengatakan bahwa ”semua agama adalah benar”. Inilah yang disebut sebagai
kesadaran semu Mazhab Pluralis Tanpa Pluralisme, sehingga cenderung menghasilkan pluralitas
dan multikuturalisme yang semu pula.
Pluralisme sebagai Pola Hubungan Antaragama Masa Kini
Sebenarnya tidak ada persoalan jika permasalahannya hanya pada ada atau tidaknya pluralitas
agama, karena pluralitas adalah kenyataan atau realitas alam. (Abdussami dan Masnun Tahir,
(tth). Akan tetapi permasalahan yang lebih penting adalah bagaimana mensikapi pluralitas itu
sendiri. Apakah kita menghargai, menghormati, memelihara dan mengembangkan pluralitas itu
atau tidak? Apakah masing-masing kita mampu hidup berdampingan secara damai dan
bersahabat dengan orang atau kelompok lain yang berbeda agama? Apakah masing-masing kita
harus membenci dan memusuhi orang lain atau kelompok lain hanya karena berbeda agama?
Harus diakui memang, hubungan antaragama atau antar kelompok-kelompok yang berbeda
agama selama ini tidak selalu berjalan harmonis dan bersahabat. Hubungan antaragama masih
sering diwarnai oleh konflik, kebencian dan permusuhan. Meskipun keruhnya hubungan
antaragama tersebut sering ditimbulkan oleh faktor sosial-politik, akan tetapi tidak pernah
terlepas dari faktor keagamaan. Oleh karena itu, dalam membina dan memelihara hubungan
harmonis antara komunitas-komunitas yang berbeda agama, faktor keagamaan tidak bisa
diabaikan.
Berbagai macam konflik dan ketegangan bernuansa agama, kekerasan dan radikalitas atas nama
agama, merupakan dampak langsung dari konteks sosial yang secara riil memiskinkan komunitas
agama lain. Tentu saja, sikap-sikap seperti itu merupakan dampak dari adanya klaim-klaim
eksklusif pemilik tunggal kebenaran, bahwa kebenaran hanya dimiliki oleh suatu agama tertentu.
Akibatnya agama sendiri dipersepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan
merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain.
Oleh karena didorong keprihatinan atas nasib hubungan antaragama yang semakin hebat dan
ruwet itu, terlebih lagi di era multikulturalisme sekarang ini, di mana setiap penganut agama
diharapkan untuk bertindak proaktif serta mampu memberikan kontribusi positif demi kemajuan
bersama, maka para pemikir keagamaan berusaha untuk membangun teologi agama-agama yang
mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu. Dalam konteks teologi agama-agama, yang
ditekankan adalah bagaimana sebuah agama seharusnya memandang dirinya dalam hubungannya
dengan agama-agama lain. Sudah saatnya agama-agama tidak hanya mengurusi masalah yang
bersifat ”kelangitan”, tetapi juga berbicara dan memberikan sumbangsih konkret bagi
kemanusiaan.
Dari kacamata para pendukung teologi agama-agama itu, teologi eksklusivis dianggap tidak
mampu menjawab tantangan-tantangan plural keagamaan karena teologi eksklusivis mempunyai
potensi untuk melahirkan konflik antaragama. Menurut mereka, sebagai pengganti teologi
eksklusif, perlu dicari format teologi yang bisa menjawab tantangan-tantangan keagamaan itu.
Teologi baru yang dibangun oleh para penganjur dialog antaragama itu adalah teologi iklusivis
dan pluralis. (Tim Penulis Paramadina, 2004). Teologi inklusivis tentang agama-agama, sering
disebut inklusivisme, memandang bahwa dalam agama-agama lain terdapat juga suatu tingkat
kebenaran, tetapi puncak kebenaran ada dalam agama pendukung teologi ini. Sementara, teologi
pluralis tentang agama-agama, disebut pluralisme, mengakui bahwa semua agama meskipun
dengan jalan masing-masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan, Yang
Absolut, Yang Terakhir dan Yang Riil. Karenanya, kalangan pluralis meyakini bahwa setiap
agama merupakan jalan keselamatan itu sendiri.
Jika sikap eksklusivisme memandang bahwa agamanya saja yang paling benar dan sempurna,
sedang agama lain dianggap salah, menyeleweng atau apapun istilahnya yang mengundang
permusuhan; maka sikap inklusivisme adalah sebaliknya, lebih fleksibel, akomodatif dan
kondusif dengan tanpa mengorbankan nilai-nilai ajaran agamanya. Sikap ini lebih manusiawi
karena siapapun mengakui bahwa agama diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar lebih
mengakui derajat mereka, bukan untuk permusuhan dan hal-hal yang bersifat destruktif.
Kedua sikap teologi pertama di atas (eksklusivisme dan inklusivisme) sebenarnya memiliki
semangat yang sama, yaitu intervensi ”satu pihak” untuk mengemukakan penilaian terhadap
”pihak lain” melalui kriteria-kriteria tertentu, baik yang mengeluarkan pihaknya (to exclude,
menjadi eksklusif) maupun mengikutkan ke dalam pihaknya (to include, menjadi inklusif). Akan
tetapi, dibandingkan dengan eksklusivisme, inklusivisme bisa lebih dekat dengan pluralisme,
karena sikap inklusif lebih memungkinkan dan dapat menjadi jalan untuk mengembangkan sikap
pluralisme. (Djohan Efendi, 1994) Dengan demikian, inklusivisme dan pluralisme dapat
disandingkan dan keduanya memiliki jiwa atau semangat yang berbeda jauh dengan semangat
eksklusivisme.
Teologi pluralis inilah yang sangat menjanjikan dan diperlukan untuk dijadikan pijakan dalam
membangun dan menjaga hubungan harmonis antar agama. Karenanya, dapat dikatakan bahwa
teologi pluralis atau pluralisme agama adalah pola hubungan paling ideal untuk kondisi plural
dan multikultural sekarang ini.
Penutup
Terakhir dari penulis, era pluralisme (agama) mengandaikan terciptanya suatu kondisi dimana
masing-masing agama dapat saling terbuka dan melihat bahwa yang ada di bumi ini tidak hanya
agama mereka saja, melainkan ada agama lain, sehingga masing-masing mengakui eksistensi
pihak dan komunitas lain (qabu>l al-akhar). Akan tetapi, harus disadari pula bahwa sikap terbuka
dan saling menerima tersebut tentu saja tidak akan pernah terwujud dan hanya akan menjadi
harapan semata, apabila masing-masing (penganut) agama masih tetap mengedepankan truth
claim dan bersikap eksklusif, memandang bahwa agamanya saja yang paling benar dan yang lain
kafir. Implikasi dari sikap seperti itu jelas akan semakin memperlebar jurang permusuhan dan
kecurigaan antaragama, sehingga kehidupan yang damai pun seakan menjadi khayalan tak
berujung.
Jika kedua sikap teologi yang ada (eksklusivisme dan inklusivisme) masih memiliki semangat
yang sama, yaitu intervensi ”satu pihak” untuk mengemukakan penilaian terhadap ”pihak lain”
melalui kriteria-kriteria tertentu, baik yang mengeluarkan pihaknya (to exclude, menjadi
eksklusif) maupun mengikutkan ke dalam pihaknya (to include, menjadi inklusif), maka
pluralisme dianggap sebagai hubungan ”dua arah”, saling memberi manfaat berupa kebaikan
dalam pola hubungan yang seimbang. Karenanya, tak kalah pentingnya suatu dialog harus pula
ditekankan, sehingga masing-masing dapat saling memahami dan saling menerima satu sama
lain. Akhirnya, dialog dan kerukunan yang terbangun harus serta merta berlanjut kepada suatu
kerjasama yang positif dalam rangka membangun negara tercinta Indonesia dari sekian
permasalahan yang tiada henti terus menggerogotinya. Dialog dan kerjasama adalah dua hal
yang yang sambung menyambung. Yang satu mengandaikan yang lain. Tidak ada kerjasama
tanpa didahului oleh suatu dialog. Dan dialog yang tidak berlanjut pada kerjasama sama saja
dengan dialog setengah hati, bahkan sekedar verbalisme semata (dalam arti, mengatakan sesuatu
tetapi merasa telah melakukannya).
Pada tataran lebih jauh, jika kesepakatan telah dicapai untuk mampu meyakini bahwa perbedaan
merupakan suatu hal yang niscaya, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana menjalani
kehidupan di tengah-tengah perbedaan itu. Keindahan tidaklah terletak pada keseragaman,
melainkan pada keanekaragaman. Hal yang sudah semestinya ditanamkan kuat dalam sikap
seorang yang bertuhan (beragama) adalah bahwa berbeda dengan orang lain bukanlah sebuah
kejahatan, apalagi dosa, namun sebaliknya sangat dibutuhkan. Akan tetapi berbeda dalam hal ini
bukan berarti hanya sekedar beda atau asal tidak sama. Karena itu, bersaudara dalam perbedaan
adalah menghargai dan mengembangkan energi perbedaan yang ada untuk sama-sama menggali
nilai-nilai positif untuk kemudian diolah dan didayagunakan sebagai kekuatan untuk memajukan
kehidupan manusia, bukan untuk menjadi pembenar bagi tindakan "meminggirkan" kelompok
lain.
Daftar Pustaka
Adian Husaini, Nurcholish Madjid: Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, Jakarta: Khairul
Bayan Press, 2005.
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta: UGM Press,
1996.
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999.
Andi Dermawan, Dialektika Agama, Identitas Etnik dan Pluralitas dalam Masyarakat
Multikultural, Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga
Tahun Ke-30 Tahun 2009 tanggal 13 Maret 2009.
Anis Malik Thoha, “Pluralisme Agama: Sebuah Agama Baru”, dalam Adian Husaini, Pluralisme
Agama: Haram, Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005.
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005.
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta:
Paramadina, 2001.
Djohan Efendi, Pluralitas Keagamaan di Indonesia: Realitas dan Problematikanya, Yogyakarta:
Gema Duta Wacana, 1994.
Djohan Effendi, "Kata Pengantar”, dalam Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana
Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001.
Frithjof Schuan, Mencari Titik Temu Agama-agama, alih bahasa Safroedin Bahar dari judul asli,
The Transcendental Unity of Religion, Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.
Haryatmoko, "Paradigma Hubungan Antar Agama: Pluralisme De Jure dan Kritik Ideologi",
dalam M. Amin Abdullah dkk (ed.), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2000.
Humaidy Abdussami dan Masnun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wawasan Untuk
Para Da'i), Yogyakarta: LKiS, ttt.
Ibnu Hajar, “Membongkar dan Menata Ulang Kejumudan Hukum Islam”, UNISIA: Jurnal Ilmu-
Ilmu Sosial, No. 48/XXVI/II, 2003.
Ilyas Supena dan M.Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gema
Media, 2002.
M. Ilham Masykuri Hamdie, Pluralisme Agama; Menuju Dialog Antar Agama (Telaah Dimensi
Sufistik Pemikiran Nurcholish Madjid), Cet. I, Banjarmasin: Antasari Press, 2006.
Masdar F. Mas’udi, “Ide Pembaharuan Cak Nur di Mata Orang Pesantren,” UlumulQur’an,
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan , No. 1, Vol. IV, 1993.
Masnun Tahir, Perspektif Baru Fiqih Pluralis: Telaah Dekonstruktif terhadap Doktrin Hukum
Islam Klasik, dalam, Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 6, No. 2, Juli-
Desember 2007.
Mohammad Hasan Bisyri, “Pluralisme Agama dan Klaim Kebenaran,” makalah disampaikan
dalam seminar kelas mata kuliah Agama, Budaya dan Sains, Program Doktor UIN Sunan
Kalijaga, 2006.
Mohammad Hasan Bisyri, “Pluralisme Agama dan Klaim Kebenaran,” makalah disampaikan
dalam seminar kelas mata kuliah Agama, Budaya dan Sains, Program Doktor UIN Sunan
Kalijaga, 2006.
Mudji Sutrisno, “Dialog Antar Agama dalam Pigura Humanisasi”, dalam Ulumul Qur’an, Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan, No. 4, Vol. IV, 1993.
Muh. Tasrif, “Tafsir Islam-Pluralis: Telaah terhadap Tafsir Nurcholish Madjid tentang
Pluralisme,” disertasi Doktor pada Program S3 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Muhammad Thalib, Kekafiran Berpikir Sekte Paramadina, Yogyakarta: Wihdah Press, 2004.
Muhyar Fanani, "Mewujudkan Dunia Damai: Studi atas Sejarah Ide Pluralisme dan
Nasionalisme di Barat", dalam Ijtihad, No. 1 Tahun III/ Januari-Juni 2003.
Munawwiruzzaman, “Inklusifisme Monistik, Sebuah Sikap Keberagamaan,” tesis Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Tentang kehidupan keagamaan untuk generasi
mendatang”, Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 1, Vol. IV, 1993.
Saefurrahmat, “Studi Islam di Indonesia Era Millenium Ketiga”, Millah, Jurnal Studi
Agama, ,Vol. II. No. 1, Agustus 2002.
Sidik Tono, “Penerapan Hukum Islam di Indonesia: Peluang Konstitusional dan
Implementasinya dalam Sistem Hukum Positif di Indonesia”, UNISIA, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial,
No. 48/XXVI/II 2003.
The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, revised and Edited by C.T.
Onions, Cet. III, Oxford: The Clarendon Press, 1952.
Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Cet.
VII, Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foudation, 2004.