MAKNA KATA ṢIRĀṬ, SABĪL, DAN, ṬARĪQ DALAM AL-
QUR’AN
(Studi Komparasi Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh :
Oleh:
Achmad Yasir Arrojab
NIM: 1111034000017
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./ 2017 M.
v
مه قران و علم ال خيركم من تعل
“ Sebaik-baik Kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan yang mengajarkannya”
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
No Arab Latin No Arab Latin
ṭ ط Tidak dilambangkan 16 ا 1
ẓ ظ B 17 ة 2
‗ ع T 18 ت 3
G غ ṡ 19 ث 4
F ف J 20 ج 5
Q ق ḥ 21 ح 6
K ك Kh 22 خ 7
L ل D 23 د 8
M م Ż 24 ذ 9
N ن R 25 ز 10
W و Z 26 ش 11
H ه S 27 س 12
‗ ء Sy 28 ش 13
Y ي ṣ 29 ص 14
ḍ ض 15
2. Vokal Pendek
- --- = a تـت kataba ك
- --- = i سئ ل su‘ila
- yażhabu ي ر ى ت = --
vii
3. Vokal Panjang
a. Fatḥah + alif, ditulis ā (a dengan garis di atas)
ditulis jāhiliyyah جبىليو
b. Fatḥah + alif layyinah, ditulis ā (a dengan garis di atas)
ditulis yas‟ā يسعى
c. Kasrah + yā‘ sukun, ditulis ī (i dengan garis di atas)
ditulis majīd مجيد
d. Ḍammah + wāu sukun, ditulid ū (u dengan garis di atas)
ditulis Furūḍ فسوض
4. Diftong
أ ي = ai يف ك = kaifa
أ و = au ول ح = ḥaula
5. Kata Sandang (ال)
Kata sandang dilambangkan dengan ‗al-‘, baik dikuti huruf syamsiyyah maupun
qamariyyah.
6. Tasydid (- —(
Syiddah atau tasydid dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi
syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syiddah
tersebut terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf al-
syamsiyyah. Misalnya, kata ة سوز -tidak ditulis aḍ-ḍarūratu melainkan ditulis al الض
ḍarūratu.
7. Tā‘ Marbūṭah
viii
a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kalimat lain yang menjadi na„at
atau sifat, maka ditulis h. Contoh: الجبمعة األسالمية ditulis al-Jāmi„ah al-
Islāmiyyah.
Catatan: ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata serapan bahasa
Indonesia dari bahasa Arab seperti zakat, salat, dan sebagainya, kecuali
dikehendaki lafal aslinya.
b. Bila diharakati karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t. Contoh: نعمةهللا
ditulis ni„mat Allāh.
8. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut penulisannya.
Contoh: ذوي الفسوض żawī al-furūḍ, أىل سنة ahl al-sunnah.
9. Singkatan
swt., = subḥanahu wa ta„ālā
saw., = ṣallā Allāh „alaih wa salam
as., = „alaih al-salām
ra., = raḍiya Allāh „anh
QS. = al-Qur‘an Surat
M = Masehi
H = Hijriyah
w. = Wafat
h. = Halaman
v = Volume
ix
ABSTRAK
MAKNA KATA ṢIRĀṬ, SABĪL, DAN, ṬARĪQ DALAM AL-
QUR’AN (Studi Komparasi Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah) Dalam al-Qur‘an, term ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq memiliki beragam makna kata,
meskipun secara umum ketiganya sama-sama diartikan sebagai ―jalan‖. Para ulama‘
berbeda pendapat dalam memaknai kata ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq. Ada yang mengartikan
dengan jalan lurus, agama Islam, al-Qur‘an, dan Hukum Tuhan, tergantung kata yang
mengikutinya. Dalam al-Qur'an kata ṣirâṭ ditemukan sebanyak 45 kali, kesemuanya
dalam bentuk tunggal, 32 kali diantaranya dirangkaikan dengan kata mustaqim,
sedangkan selebihnya bersambung dengan berbagai kata seperti as-ŝāwiy, as-ŝāwa,
atau al-jāhim, dan ada pula kata ṣirâṭ yang dinisbahkan kepada Tuhan seperti
ṣirâṭaka, ṣirâṭi, ṣirâṭ al-azīz al-hamīd dan sebagainya. Sedangkan kata sabîl dalam al-
Qur'an terulang sebanyak 166 kali dalam bentuk mufrad, sedangkan bentuk
jamaknya, subul terulang sebanyak 10 kali sehingga jumlah keseluruhannya 176 kali.
Dan kata ṭarīq dalam al-Qur‘an disebut sebanyak 6 kali. Penelitian ini bersifat
kepustakaan murni dengan menggunakan metode mauḍū‟i, yakni dengan cara
menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki maksud yang sama dan membahas
satu topik masalah kemudian menganalisanya dari berbagai aspek. Sehingga, sumber
utama (primer) yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah al-Qur‘an, tafsir Al-
Misbah, tafsir Al-Azhar dan sumber data sekundernya adalah kitab-kitab tafsir, buku-
buku yang berkaitan, skripsi, artikel, dan lain-lain. Sedangkan studi yang penulis
gunakan adalah studi komparatif. Penelitian ini membandingkan antara dua mufasir
yaitu M. Quraish Shihab dengan tafsir Al-Misbah dan Buya Hamka dengan tafsir Al-
Azhar. Dari perbandingan kedua tafsir tersebut, kemudian penulis menyimpulkan
bahwa ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq tidak hanya berarti jalan, namun bisa dipahami dengan
maksud lain tergantung kata yang mengiringinya. ṣirâṭ, dengan kata yang mengirinya,
selalu dalam konteks kebaikan dan kebenaran. Berbeda dengan sabîl dan ṭarīq yang
bisa dalam konteks kebenaran maupun kebathilan. Sehingga, dapat dipahami bahwa
sabîl dan ṭarīq adalah jalan-jalan kecil yang belum pasti kebenarannya. sabîl dan
ṭarīq yang benar pasti bermuara kepada ṣirâṭ. Kata ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq dapat
dikategorikan dalam beberapa konteks, seperti ketauhidan, keimanan, ketaqwaan,
ibadah, ketetapan dan hukum Tuhan, bahkan konteks sosial. Sehingga, ada banyak
jalan bagi manusia untuk mencapai kebenaran.
Sepanjang penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan, penulis
menemukan dua skripsi yang berkaitan dengan penelitian ini:
Pertama, skripsi oleh Usnul Ngakibah yang berjudul ―Studi Analis Penafsiran
Ṣiraṭ dan Sābīl dalam Tafsir Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wīl al Qur‟an, Karya Ibn Jarīr al-
Ṭabari‖.1 Dalam skripsinya Usnul mencoba menganalisis penafsiran kata ṣirāṭ dan
sabīl dengan menggunakan metode Tahlili. Ia menjelaskan bahwa menurut Ibn Jarir
al-Ṭabari, kata ṣiraṭ berarti jalan yang lurus, agama yang lurus, dan jalan surga.
Sedangkan kata ṣabīl diartikan sebagai jihad dan agama islam.
1 Usnul Ngakibah, ―Studi Analis Penafsiran Ṣiraṭ dan Sābīl dalam Tafsir Jami‘ al-Bayan fi
Ta‘wīl al-Qur‘an, Karya Ibn Jarīr al-Ṭabari‖, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universtas Islam Negri
Sunan Kalijaga)
x
Kedua, skripsi oleh Mukhlisin yang berjudul ―Analisis Makna Ṣiraṭ dan Sābīl
Dalam al-Qur‟an (Studi Tematik Ayat-ayat Mutaraddifat)‖.2 Dalam skripsinya
Mukhlisin mencoba menganalisis penafsiran makna kata ṣirāṭ dan sabīl, menurutnya
para ulama berbeda pendapat mengenai makna ṣirāṭ dan sabīl terlebih tentang ṣirāṭ
al-mustaqīm. Namum, dari pembahasan saudara Mukhlisin terdapat salah satu kata
yang tidak di cantumkan akan tetapi memiliki makna yang sama yaitu kata ṭarīq.
Untuk itu, penulis mencoba menganalisis kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan di tambah dengan kata
ṭarīq agar bisa melengkapi pembahasan ini. Selain itu penulis pun membedakan dari
pembahasan saudara Mukhlisin dengan membandingkan dua ulama tafsir yang
berbeda yaitu mufassir kontemporer (Muhammad Quraish sihab, Tafsir al-Misbah)
dengan mufassir (Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar) dan menggunakan buku karya
Ulama seperti M. Quraish Shihab “Lentera Al-Qur‟an”. Kemudian penulis
menggunakan metode tafsir mauḍū‟i. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak
menjadikan umat Islam terpecah, melainkan semakin tergugah untuk memahami
maksud dan kandungan, serta pesan maupun hikmah dari perbedaan tersebut. Untuk
itu, setidaknya kita sebagai umat Islam, paham dan mengerti pesan dari kata ṣirāṭ,
sabīl dan ṭarīq yang tertulis dalam al-Qur‘an, bahwa ada banyak jalan bagi manusia
untuk menuju kebenaran.
2 Mukhlisin, ―Analisis Makna Ṣiraṭ dan Sābīl Dalam al-Qur‟an (Studi Tematik Ayat-ayat
Mutaraddifat)‖, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Walisongo, 2015)
xi
KATA PENGANTAR
حم ب الر للا يم سم ح الر ن
Segala puja, puji, dan rasa syukur, penulis haturkan kepada Allah swt., atas
segala nikmat dan pertolongan yang telah, sedang, dan yang akan selalu Ia berikan
kepada penulis. Dialah Tuhan dimana tempat penulis mengadu dan berkeluh kesah
ketika penulis sudah merasa lelah dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada-Nya
penulis meminta kekuatan agar selalu dikuatkan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Atas petunjuk dan rahmat dari-Nya penulis dapat mengolah data menjadi kata,
mengolah kata menjadi kalimat, mengolah kalimat menjadi paragraf-paragraf yang
berisi ide, kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya menjadi
skripsi ini.
Shalawat dan salam seiring kecintaan, akan selalu tercurah limpahkan kepada
baginda Nabi Muḥammad saw., beserta keluarga dan para sahabatnya.
Seseungguhnya Ia dan merekalah yang sangat berjasa dalam menyampaikan pesan-
pesan Allah swt.
Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi yang berjudul
“MAKNA KATA ṢIRĀṬ, SABĪL, DAN, ṬARĪQ DALAM AL-
QUR’AN (Studi Komparasi Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Misbah)”
ini tidak akan selesai dengan daya dan upaya penulis sendiri. Melainkan, ada banyak
sosok, kerabat, dan orang-orang spesial dari berbagai pihak yang secara langsung
maupun tidak langung telah banyak membantu penulis, sehingga akhirnya tulisan ini
selesai. Maka, pada kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terimakasih
yang sebesar-besarnya, yaitu kepada:
xii
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Kepada Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer MA., selaku Dekan
Fakultas Ushuluddin. Kepada Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum MA., selaku
Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir . Kepada Ibu Banun Binaningrum
M.Pd., selaku Sekertaris Jurusan Ilmu Al-Qur‘an dan Tafsir serta Civitas
Akademik Fakultas Ushuluddin.
2. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA. Selaku pembimbing, yang dengan
ikhlas dan sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Rasa terima kasih penulis ucapkan juga kepada
bapak Eva Nugraha M.A., yang telah memberikan arahan serta memberikan
nasihat-nasihat yang bermanfaat bagi penulis.
3. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya Jurusan Ilmu Al-Qur‘an dan
Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan dan membagikan
berbagai wawasan, ilmu, serta pengalaman kepada penulis selama penulis
kuliah di kampus tercinta ini.
4. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‘an
(PSQ) Ciputat, dan Perpustakaan Iman Jama‘ Lebak Bulus yang telah
memberikan fasilitas serta rujukan-rujukan sebagai sumber referensi.
5. Kedua orang tua tercinta penulis. Yaitu, Bapak H. Bahori S.Pd.I. dan Ibu Hj.
Nur Asi‘ah S.Pd.I. Karena dorongan moril maupun materi merekalah penulis
bisa tercatat sebagai mahasiswa UIN Jakarta, dan karena perhatian serta doa
merekalah penulis dapat bertahan serta dapat meyelesaikan skripsi ini,
xiii
sebagai tugas akhir studi S1, dan penulis berdoa mudah-mudah mereka
diberi umur panjang serta manfaat, sampai akhirnya mereka bisa melihat
penulis menjadi sosok yang sukses.
6. Ucap terima kasih selanjutnya penulis haturkan kepada adik-adik penulis
yaitu, Shifa Fikriah dan A. Nasrullah Abd Fatah. Terimakasih juga kepada
Nia Tazmia, Siti Mazkah, Nurul Ikhsan, Muhaimin Lutfi, Anwar Saputra,
Ibnu Arfandi, Fadhlan Ahada, Putri Rahmawati, Mia Musfiroh dan segenap
Ikatan Alumni Pondok Pesantren Ibadurrahman Angkatan 5 (Gravity),
Sebenarnya merekalah yang selalu menyemangati dan memotivasi serta
penulis jadikan motivasi agar tetap sabar dan selalu berjuang untuk segera
menyelesaikan tulisan ini, serta segera pula menjadi orang yang sukses
(berguna bagi keluarga, bangsa dan agama).
7. Ucap terima kasih selanjutnya kepada guru-guru TK Ibadurrahman Kota
Tangerang, SDN 02 Poris Gaga Kota Tangerang, Pondok Pesantren Mumtaz
Ibadurrahman Kota Tangerang. Dengan ilmu-ilmu yang mereka (guru-guru)
berikan dan ajarkanlah hingga akhirnya penulis bisa sampai di UIN jakarta
ini dan penulis berdoa semoga mereka selalu sehat sehingga bisa mencetak
generasi baru yang lebih baik lagi.
8. Kepada teman-teman seperjuangan ushuludin 2011 khususnya TH A, B, C,
D, dan E merekalah yang membuat kuliah hari per harinya menjadi semakin
indah untuk dijalani, mereka jugalah yang banyak mewarnai hidup penulis
selama di kampus ini, mulai dari proak bareng, belajar dikelas bareng,
diskusi bareng, seminar cari ilmu dan konsumsi bareng, nongkrong iseng
xiv
bahkan terkadang sambil berdiskusi, futsal bareng, berbagai kisah canda
tawa maupun duka mengenai tugas-tugas kuliah akhirnya akan menjadi
cerita bersama mereka. Terkhusus kisah bersama TH A karena merekalah
teman yang pertama kali penulis kenal di UIN jakarta, khususnya lagi untuk
Ahmad Toib, M. Ainul Yakin, Arif Rahman (Alm), dan Ubay memorian
proak 2011 bersama mereka tak akan penulis lupakan.
9. Teman-teman yaitu Abd Musiandi, Saiful, M. Arif Aprian, dan Rajab
Husain. yang selalu memberikan inspirasi dan tidak pernah bosan untuk
dikunjungi, dan selalu memberikan semangat baik yang langsung maupun
yang melewati ceng-cengannya you are is the best.
Akhirnya, penulis berharap kepada Allah swt., Semoga karya ini dapat
menambah wawasan mengenai Qur‘an, Ulum al-Qur‘ān, dan bermanfaat bagi semua
yang mau membacanya, terkhusus bagi penulis. Semoga tulisan ini menjadi tulisan
pertama penulis dan dicatat sebagai amal baik bagi penulis.
Tangerang, 19 Desember 2016
Hormat saya
Achmad Yasir Arrojab
Penulis
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBARAN PERNYATAAN ..................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI…………………………………………. . iv
MOTO………………………………………………………………………. v
PEDOMAN TRANSLITASI ........................................................................ vi
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................. xv
BAB 1 : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 5
D. Tujuan Penelitian .......................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian ........................................................................ 7
F. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 7
G. Metodologi Penelitian ................................................................... 8
H. Sistematika Penulisan ................................................................... 10
BAB II : Sekilas Tentang Buya Hamka Dan M. Quraish Shihab
1. Buya Hamka
A. Riwayat Hidup ...................................................................... 12
B. Karya-karya Hamka ............................................................ 16
C. Metode Tafsir Al-Azhar ....................................................... 17
2. M. Quraish Shihab
A. Riwayat Hidup ...................................................................... 18
B. Karya-karya M. Quraish Shihab ........................................ 21
C. Metode Tafsir Al-Miṣbah .................................................... 23
BAB III: Sinonimitas (Mutarādif) Dan Pengertian Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan
Ṭarīq
1. Definisi Sinonim (Mutarādif) ................................................ 29
2. Sinonim (Mutarādif) Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq………. 32
3. Pengertian Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq.............................. 32
xvi
BAB IV : ANALISA PERBANDINGAN PENAFSIRAN KATA ṢIRĀṬ,
SABĪL, DAN, ṬARĪQ MENURUT HAMKA DAN M. QURAISH
SHIHAB
A. Perbedaan dan Persamaan Penafsiran Hamka dan M. Quraish
Shihab tentang kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq……………… 44
B. Relevansi Penafsiran Buya Hamka dan M. Quraish Shihab
Tentang Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq Dalam Konteks Jaman
Sekarang…………………………………………………..... 63
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 71
B. Saran ....................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 75
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw.
dinyatakan sebagai wahyu dari Allah. Wahyu ini membantu manusia untuk
memperdalam pemahaman dan penghayatan tentang Islam dan meruapakan
pelita bagi umat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Kitab suci
ini memperkenalkan dirinya sebagai hudan li an-nās (petunjuk bagi seluruh
umat manusia).1
Dari sini kitab suci al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat,
yakni bukti kebenaran yang allah turunkan untuk manusia.2
Al-Qur’an juga adalah kalam Allah yang merupakan mukjizat, yang
diturunkan kepada nabi Muhammad saw dalam bahasa Arab, yang
disampaikan kepada umat manusia. Bahasa yang demikian indah, redaksinya
yang demikian teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang demikian agung, telah
menyentuh kalbu masyarakat yang berdecak kagum, walaupun nalar atau
paham sebagian dari mereka menolaknya. Dan fungsinya sebagai hudan li an-
nās ditujukan kepada seluruh umat manusia.3
Dari segi balaghah, al-Qur’an juga memiliki makna yang sangat mendalam.
Setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna tersendiri, yang itu berbeda
dengan kata lain meskipun secara tekstual memiliki arti yang sama. Sehingga,
1
QS. al-Baqarah: 2: 23 2 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah pesan, kesan, dan keserasian al-Qur‟an (Ciputat:
Lentera Hati, 2000) jilid. 1, h. v 3 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an (Ciputat:
Lentera Hati, 2000) jilid. 1, h.
2
bisa dikatakan bahwa ada sinonimitas dalam setiap kata yang ada dalam al-
Qur’an. Banyak contoh dalam al-Qur’an yang redaksinya berbeda berbeda,
tetapi secara terminologi memiliki arti yang sama. Namun, jika dipandang dari
segi balaghahnya memiliki makna yang berbeda. Seperti kata qara‟a dan talā
yang dua-duanya berarti membaca. Tapi jika dipahami dari segi balaghah, dua
kata ini memiliki makna dan maksud yang berbeda. Kemudian kata hudan dan
rasydan yang dua kata itu, secara bahasa memiliki arti petunjuk, namun dilihat
dari balaghahnya, dua kata tersebut juga memiliki kandungan yang berbeda.4
Setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna tersendiri dan tidak
tergantikan oleh kata lain.5 Senada dengan yang dikatakan oleh Muhammad
Syahrur bahwa setiap kata dalam al-Qur’an memiliki makna sendiri dan tidak
ada kata sinonim. Seperti kata qasam dan hilf yang dalam Bahasa Indonesia
diartikan sama, yaitu sumpah. Begitu juga dengan kata ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq
Kata ash-ṣirâṭ terambil dari akar kata ṣarāṭha, karena huruf sin bergandengan
dengan huruf ra, maka huruf sin terucapkan shad menjadi ṣirâṭ atau zai
menjadi zirath, yang asal mulanya bermakna menelan.6 Kata ṣirâṭ dalam al-
Qur’an ditemukan sebanyak 45 kali. Kesemuanya dalam bentuk tunggal, 32 di
antaranya dirangkaikan dengan kata mustaqīm, selebihnya dirangkaikan
dengan kata as-sawy, sawa‟, dan al-jahim.7 Ini berbeda dengan kata sabîl yang
4 W.Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur‟an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995) jilid. 1 h. 131 5 Mahmud Saltut, Tafsir Al-Qur‟an Al-Karim, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2000), h. 786 h. 1993, dan jilid 4, h. 2432. Baca juga Al- Imam Ibnu Katsir Al-
Dimasyqi, Tafsir Al-Qur‟an Al-„Adhim, Juz. I, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, L.C, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2000, cet: 1), h. 131 6 Ibn Al-Mandhur, Lisan Al-Arab, Jilid 3, (Kairo: Daar al-Ma’arif,)
7 Muhammad Zaki Muhammad Khadzr,” Mu’jam Kalimaat Al-Qur’an Al-Karim”. juz 16
(Al-Maktabah Asy-Syamilah, 2005), h. 4, Baca juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan,
Pesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol.1, (Jakarta:Lentera Hati, 2000), h. 67
3
juga seringkali diartikan dengan jalan. Kata sabîl terbentuk dari huruf sinba‟-
lam dengan kata kerja sabala - yasbulu, yang artinya melepas atau mengurai.8
Kata sabîl diulang sebanyak 176 kali,9 166 di antaranya dalam bentuk tunggal
seperti kata sabîli Allah (jalan Allah)10
, sabîl al-Mukminin (jalan orang-orang
mukmin), sabîl al-Mujrimin (jalan orang-orang yang berbuat dosa), dan lain
sebagainya, dan 10 yang lainnya dalam bentuk jamak, seperti kata subul as-
salam (jalan-jalan kedamaian).11
Dan Kata ṭarīq Secara bahasa ṭarīq dapat
berarti jalan, sistem, cara, perjalanan, aturan hidup, lintasan, garis dan bisa
disebut Madzhab. Mengetahui adanya jalan, perlu mengetahui “cara” melintasi
jalan itu agar tidak tersesat. ṭarīq itu adalah metode bimbingan spiritual kepada
individu (perorangan) dalam mengarahkan kehidupannya menuju
kedekatannya dengan Tuhan. jika dilihat secara seksama ṭarīq tidak jauh
berbeda dengan ṣabīl yaitu suatu jalan-jalan kecil yang pada akhir nya
bermuara kepada ṣirāṭ. Kata ṭarīq didalam al-Qur’an disebut sebanyak 6 kali.
8 Ibn Al-Mandhur, op. cit, jilid 3, hlm. 1930. Baca juga Munzir Hitami, “Revolusi Sejarah
Manusia”, (Yogyakarta:PT LkiS Pelangi Aksara, tth), h. 68
9 Muhammad Zakii Muhammad Khadzr, op. cit, juz. 14, h. 3.
10 Kata sabîlillah dalam al-Qur’an terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat: 154,
190, 195, 217, 218, 244, 246, 261, 261, dan 273, Q.S. Ali Imran [3] ayat: 13, 99, 146,
157, 167, dan 169, Q.S. An-Nisa’ [4] ayat: 74, 75, 76, 84, 89, 94, 95, 100, 160, dan 167,
Q.S. Al-Maida [5] ayat: 54 , Q.S. Al-An’am [6] ayat: 116, Q.S. Al- A’raf [7] ayat: 45 dan
86, Q.S. Al-Anfal [8] ayat: 36, 47, 60, 72, dan 74, Q.S. At- Taubah [9] ayat: 19, 20, 34,
38, 41, 60, 81, 111, dan 120, Q.S. Huud [11] ayat: 19, Q.S. Ibrahim [14] ayat: 3, Q.S. An-
Nahl [16] ayat: 88 dan 94, Q.S. Al-Hajj [22] ayat: 9, 25, dan 58, Q.S. An-Nuur [24] ayat:
22, Q.S. Luqman [31] ayat: 6, Q.S. Shadd [38] ayat: 26, Q.S. Muhammad [47] ayat: 1, 4,
32, 34, dan 38, Q.S. Al- Hujurat [49] ayat: 15, Q.S.a Al-Hadiid [57] ayat: 10, Q.S. Al-
Mujadalah [58] ayat: 16, Q.S. Ash-Shaaff [61] ayat: 11, Q.S. Al-Munafiquun [63] ayat: 2,
Q.S. Al- Muzammil [73] ayat: 20.
11
Sabîl al-Mukminin (jalan orang-orang mukmin) Q.S. Al-Mu’min [40] :29. Sabîl al-
Mujrimin (jalan orang-orang yang berbuat dosa) Q.S. Al-An’am [6] :55..Subul as Salam (jalan-
jalan kedamaian) Q.S. Al-Maidah [5] : 16
4
didalam al-Qur’an ṭarīq disandingkan dengan kata (Ṭarīqa Jahannam)12
dan
juga disandingkan dengan kata (Ṭarīqin Mustaqim).13
Begitu juga dengan kata
ṣirāṭ, sabīl, dan ṭarīq yang seringkali tiga kata ini diartikan sama, yaitu sebagai
jalan. Meskipun demikian, jika dipahami dari segi balaghahnya, tiga kata
tersebut memiliki maksud dan tujuan yang berbeda. Maka dari itu, dalam
penelitian ini, penulis akan memfokuskan kajian secara mendalam tentang
makna dan maksud dalam kata ṣirāṭ, sabīl, dan ṭarīq.
Ada alasan yang sangat mempenaruhi penulis untuk mengkaji tentang
perbedaan makna kata ṣirāṭ, sabīl, dan ṭarīq. Ketika melakuakan kajian pustaka
di beberapa terjemahan al-Qur’an, penulis menemukan bahwa kata ṣirāṭ, sabīl,
dan ṭarīq ini dimaknai sebagai jalan. Seperti yang kita ketahui bahwa al-Qur’an
adalah sebuah mukjizat. Jika sebuah mukjizat, maka al-Qur’an tidak mungkin
menggunakan beberapa kata yang memiliki makna yang sama, untuk maksud
dan tujuan yang sama pula, karena nanti nya hal itu akan mengurangi sisi
kemukjizatan al-Qur’an.
Berangkat dari masalah tersebut penulis merasa penting untuk membahas
hal ini. Bagaimana memahami makna, maksud dan tujuan penggunaan kata
ṣirāṭ, sabīl, dan Ṭarīq dalam al-Qur’an ?
Untuk lebih mempertajam penelitian ini, penulis melakukan kajian pustaka
dengan menggunakan kitab tafsir al-Azhar dan tafsir al-Misbah, karena kedua
kitab tafsir ini merupakan tafsir nusantara, dan itu akan mempermudah penulis
12
QS. An-Nisa : 169
13 QS. Al-Ahqaf : 30
5
untuk menemukan dan membandingkan penafsiran dari kata ṣirāṭ, sabīl, dan
ṭarīq.
Oleh karena hal itu, penulis terdorong melakukan penelitian skripsi dengan
judul “Makna kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq dalam Al-Qur’an (Studi
Komparasi dalam Tafsir Al-Miṣbah dan Tafsir Al-Azhar)” untuk
membahas secara khusus dan lebih mendalam tentang makna, maksud dan
tujuan kata ṣirāṭ, sabīl, dan ṭarīq.
B. Identifikasi Masalah
Bila diidentifikasi, maka masalah yang akan muncul dari topik di
atas adalah:
1. Apa maksud dan tujuan kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ,ṭarīq dalam al-Qur’an ?
2. Bagaimana kedua mufasir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang di
dalamnya terdapat kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ,ṭarīq ?
3. Bagaimana pemaknaan kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an yang
menunjukkan arti kata jalan ?
4. Apa pesan yang ingin di sampaikan dalam penafsiran kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan
,ṭarīq dalam al-Qur’an ?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis membatasi
masalah yang akan dibahas yaitu hanya kepada penafsiran kata-kata ṣirāṭ,
6
ṣabīl, dan ṭarīq dalam Al- Qur’an. dengan menggunakan penafsiran Ulama
kontemporer yaitu Buya Hamka dengan Tafsir Al-Azhar nya dan
penafsiran Muhammad Quraish Shihab dengan Tafsir al-Miṣbah nya yang
bercorak kebahasaan. Penulis juga membatasi ayat-ayat yang akan
ditafsirkan, yaitu Qs. al-Fatihah ayat 6-7, al-Baqarah ayat 108, al-Maidah
16, an-Nisa 168-169 dan Thoha 104.
2. Perumusan Masalah
Penelitian ini hanya memfokuskan kepada penafsiran kata-kata
ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an. Maka rumusan masalahnya adalah
: bagaimana para mufasir kontemporer (yang dimaksud disini adalah Buya
Hamka dan Muhammad Quraish shihab) dalam menafsirkan kata ṣirāṭ,
ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an ? dan bagaimana relevansi kata ṣirāṭ,
ṣabīl, dan ṭarīq pada zaman sekarang ?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konteks penggunaan kata-kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq
dalam al-Qur’an;
2. Untuk mengetahui hikmah penggunaan kata-kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq
dalam al-Qur’an;
3. Untuk memberikan sumbangsih terhadap penelitian bidang tafsir dan
hadis;
7
4. Sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program strata satu
(S-1) pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Manfaat Penelitian
1. Untuk menambah pengetahuan dan khazanah keilmuan islam terutama
tentang masalah kebahasaan yang terdapat dalam al-Qur’an.
2. Sebagai sumbangsih pemikiran terhadap penelitian tentang makna kata-
kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an.
F. Tinjauan Pustaka
Sepanjang penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan, penulis
menemukan dua skripsi yang berkaitan dengan penelitian ini:
Pertama, skripsi oleh Usnul Ngakibah yang berjudul “Studi Analis
Penafsiran ṣiraṭ dan ṣābīl dalam Tafsir Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wīl al Qur‟an,
Karya Ibn Jarīr al-Ṭabari”.14
Dalam skripsinya Usnul mencoba
menganalisis penafsiran kata ṣirāṭ dan sabīl dengan menggunakan metode
Tahlili. Ia menjelaskan bahwa menurut Ibn Jarir al-Ṭabari, kata ṣiraṭ berarti
jalan yang lurus, agama yang lurus, dan jalan surga. Sedangkan kata sabīl
diartikan sebagai jihad dan agama islam.
14
Usnul Ngakibah, “Studi Analis Penafsiran Ṣiraṭ dan Sābīl dalam Tafsir Jami’ al-Bayan fi
Ta’wīl al-Qur’an, Karya Ibn Jarīr al-Ṭabari”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universtas Islam
Negri Sunan Kalijaga)
8
Kedua, skripsi oleh Mukhlisin yang berjudul “Analisis Makna Ṣiraṭ
dan Sābīl Dalam al-Qur‟an (Studi Tematik Ayat-ayat Mutaraddifat)”.15
Dalam skripsinya Mukhlisin mencoba menganalisis penafsiran makna kata
ṣirāṭ dan sabīl, menurutnya para ulama berbeda pendapat mengenai makna
ṣirāṭ dan sabīl terlebih tentang ṣirāṭ al-mustaqīm. Namum, dari
pembahasan saudara Mukhlisin terdapat salah satu kata yang tidak di
cantumkan akan tetapi memilikin makna yang sama yaitu kata ṭarīq. Untuk
itu, penulis mencoba menganalisis kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan di tambah dengan
kata ṭarīq agar bisa melengkapi pembahasan ini. Selain itu penulis pun
membedakan dari pembahasan saudara Mukhlisin dengan membandingkan
dua ulama tafsir yang berbeda yaitu mufassir kontemporer (Muhammad
Quraish sihab, Tafsir al-Misbah) dengan mufassir (Buya Hamka, Tafsir Al-
Azhar) dan menggunakan buku karya Ulama seperti M. Quraish Shihab
“Lentera Al-Qur‟an”. Kemudian penulis menggunakan metode tafsir
mauḍū‟i. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan umat Islam
terpecah, melainkan semakin tergugah untuk memahami maksud dan
kandungan, serta pesan maupun hikmah dari perbedaan tersebut. Untuk itu,
setidaknya kita sebagai umat Islam, paham dan mengerti pesan dari kata
ṣirāṭ, sabīl dan ṭarīq yang tertulis dalam al-Qur’an, bahwa ada banyak jalan
bagi manusia untuk menuju kebenaran.
G. Metodologi Penelitian
15
Mukhlisin, “Analisis Makna Ṣiraṭ dan Sābīl Dalam al-Qur‟an (Studi Tematik Ayat-ayat
Mutaraddifat)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Walisongo, 2015)
9
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini berjenis Penelitian pustaka (library research)16
.
Penulis menggunakan jenis penelitian ini untuk mengeksplorasi dan
mengidentifikasi informasi.17
Dalam hal ini adalah ayat-ayat al-Qu’an yang
didalamnya terdapat kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq.
2. Sumber Data
a) Sumber data penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an yang
didalamnya terdapat kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq. Kemudian ayat-ayat yang
telah terkumpul akan ditafsirkan dan penulis membatasi hanya
menggunakan kitab-kitab tafsir yang bercorak kebahasaan baik modern
maupun kontemporer. Kitab itu adalah Tafsir Al-Azhar dan Tafsir al-
Miṣbah Pembatasan ini dikarenakan penulis ingin mengkaji makna ayat
dilihat dari sudut pandang ke dua mufassir.
b) Sedangkan sumber lainnya di dapatkan dari beberapa dokumen,
tulisan-tulisan yang dipublikasikan dalam bentuk buku, jurnal ataupun
artikel yang menguraikan pembahasan berkaitan dengan yang diteliti.
16
Library research adalah penelitian yang menitikberatkan pada literatur dengan cara
menganalisis muatan isi dari literatur-literatur terkait dengan penelitian. Baca, Sutrisno Hadi,
Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offest, 1994), h. 3 17
Bagong Suyanto (ed.), Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 174
10
3. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah metode tematik,18
yaitu dengan cara mengumpulkan
ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata-kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq.
4. Metode Penulisan
Dalam teknik penulisan, penulis mengacu kepada Pedoman
Akademik Program Strata 1 2013/2014 UIN Syarif Hidayatullah. Dan
menggunakan pedoman translitrasi Romanisasi Standar Bahasa Arab
(Romanization of Arabic) yang pertama kali diterbitkan tahun 1991 dari
American Library Association (ALA) dan Library Congress (LC).
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, ada lima bab pokok kajian yang penulis
sajikan, serta beberapa sub bab pembahasan. Demi terciptanya karya yang
indah dan pemahaman secara komprehensif, maka penulis menyusun
sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab pertama, merupakan pendahuluan dari kajian ini yang berisi
dasar pemikiran yang melatar belakangi terpilihnya kajian ini, selanjutnya
ada identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua, bab ini membahas tentang biografi singkat dari Buya
Hamka dan M. Quraish Sihab. Dan juga di bab ini akan dibahas tentang
18
Abdul Muin Salim, Metodologi Ilmu Tfsir, (Yogyakarta: PT. Teras, 2005), h. 47
11
meodologi tafsir, corak tafsir, dan sistematika penafsiran dari tafsir al-
Azhar dan tafsir al-Misbah
Bab ketiga, bab ini akan membahas tentang sinonimitas Kata ṣirāṭ,
ṣabīl, dan ṭarīq dalam al-Qur’an dan pengertian tentang Kata ṣirāṭ, ṣabīl,
dan ṭarīq.
Bab keempat, bab ini merupakan bab inti pembahasan penulis yang
akan membahas perbandingan penafsiran kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq
menurut Analisa penafsiran Hamka dan Quraish sihab dalam menafsirkan
ayat-ayat yang telah penulis tentukan dan juga Relevansi Penafsiran Buya
Hamka dan M. Quraish Shihab Tentang Kata ṣirāṭ, ṣabīl, dan ṭarīq dalam
konteks jaman sekarang.
Bab kelima, merupakan penutup yang berisi simpulan yang
dilakukan oleh penulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan
saran untuk melakukan riset lanjutan dari penulis.
12
BAB II
SEKILAS TENTANG BUYA HAMKA DAN M. QURAISH SHIHAB
Pada bab ini penulis akan mencantumkan riwayat hidup seorang mufasir
nusantara yang memiliki nama lengkap H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya
Hamka) dan M. Quraish Shihab.
A. Riwayat Hidup Buya Hamka
Hamka merupakan singkatan dari H.Abdul Malik Karim Amrullah. Nama
ini adalah nama sesudah beliau menunaikan ibadah haji pada 1927 dan
mendapat tambahan haji. Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Tanah
Sirah, dalam Nagarai Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau,1 Sumatera Barat,
pada 17 februari 1908 (14 Muharram 1326 H). Ayahnya seorang ulama
terkenal Dr. H.Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul pembawa faham-faham
islam di Minangkabau.2 Ibu Hamka bernama Shofiyah. Ayah dari Shofiyah
punya gelar adat Bagindo Nan Batuah. Di kala mudanya, Bagindo terkenal
sebagai guru tari, nyanyian dan pancak silat. Di waktu Hamka masih kecil,
selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam dari kakeknya.
Buya Hamka dalam memorinya mengatakan “Ayahku menaruh harapan atas
kelahiranku agar aku kelak menjadi orang alim pula seperti ayahnya, neneknya
dan kakek-kakeknya yang terdahulu.” Ketika Hamka lahir, ayahnya
1 Danau maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam,
Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. 2 Hamka, Tasauf modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007), h. 11.
13
mengatakan kepada neneknya bahwa kelak, setelah sepuluh tahun, si malik
akan dikirim ke Mesir agar menjadi Ulama.3
Hamka mengawali pendidikan membaca al-Qur‟an di rumah orang tuanya
ketika mereka sekeluarga memutuskan pindah dari Maninjau ke Padang
Panjang pada tahun 1941 M. Dan setahun kemudian, setelah Hamka mencapai
tujuh tahun, dia dimasukan ke sekolah desa. Pada tahun 1916 sekolah Diniyah
Putra4 dan pada tahun 1918 belajar juga di Thawalib School
5. Pagi hari ke
Sekolah Desa, sore hari belajar di Sekolah Diniyah, dan pada malam harinya
berada di Surau bersama teman-teman sebayanya. Ini merupakan aktifitas
harian seorang Hamka di masa kecilnya dan ini juga merupakan keinginan
ayahnya agar kelak anaknya menjadi ulama seperti dirinya.
Semenjak usia muda Hamka sudah dikenal sebagai seorang yang suka
berkelana. Pemuda Hamka merantau ke jawa pada usia 16 tahun, untuk berguru
pada HOS. Cokroaminoto, RM.Suryopranoto, Ki Bagus Hadikusumo dan H.
Fakhrudin di Yogyakarta. Sekitar tahun 1924 M.6 ia juga banyak belajar pada
Abang iparnya, yaitu Buya AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjabat
sebagai voorzitter (ketua) Muhammadiyah Cabang Pekalongan. Di tahun 1935
M dia pulang ke Padang Panjang. Waktu itu mulailah muncul dan tumbuh
bakatnya sebagai pengarang. Diawal tahun 1927, Hamka menginjak pada usia
19 tahun telah berlayar ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika di
3 Dr. Mafri Amir, MA, Literatur Tafsir Indonesia (Tangerang Selatan Banten: CV.
Sejahtera Kita, 2013), h. 171. 4 Sekolah diniyah putra ini didirikan oleh Zainuddin Labia El-Yanusi, kakak Rahman El-
Yanusiyah pendiri Diniyah Putri yang berlokasi di pasar Usang Padang Panjang 5 Thawalib School adalah pengembangan pendidikan yang ada di Surau Jembatan Besi.
6 Moh. Damami, Tasawuf Positif (dalam Pemikiran Hamka) (Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru,2000), h. 41
14
Makkah, Hmaka mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur dengan
maksud memberikan pelajaran agama, terutama pengetahuan manasik haji bagi
calon jamaah haji Indonesia.7
Sekembalinya dari makkah, ia di nikahkan oleh ayahnya dengan Siti
Rahma, yang pada saat itu Hamka berusia 21 tahun dan usia istrinya 15 tahun.
Pernikahannya dengan Siti Rahma yang bahagia dikaruniai 10 anak 7
diantaranya laki-laki dan 3 perempuan. Namun usia perkawinannya hanya
sampai 43 tahun, karena istrinya meninggal dunia mendahuluinya, tepatnya di
Jakarta pada tanggal 1 januari 1972. Setelah satu tahun kepergian Siti Rahma,
Hamka menikah lagi dengan Hj.Siti Khadijah dari Cirebon (Jawa Barat), pada
tanggal 19 Agustus 1973, dan mendampinginya sampai akhir hayat.8
Pada tahun 1950 Hamka pindah ke Jakarta. Kemudian pada tahun 1952
diangkat menjadi anggota “Badan Pertimbangan Kebudayaan” dari kementrian
PP dan K (sekarang Departemen Pendidikan Nasional / Depdiknas). Dan
menjadi guru besar di Universitas Islam di Makasar dan Perguruan Tinggi
Islam, serta menjadi penasehat pada Kementrian Agama.9
Modal Hamka yang utama sebagai seorang intelektual-otodidak adalah
keberanian dan ketekunan. Karena dedikasinya di bidang dakwah, pada tahun
1960 universitas Al-Azhar Cairo menganugrahkan Doktor Honoris Causa
kepada Hamka yang membawakan pidato ilmiah berjudul “Pengaruh Ajaran
dan Pikiran Syekh Mohammad Abduh di Indonesia”. Kemudian di tahun 1976
7 Moh. Damami, Tasawuf Positif….., h, 48.
8 Nasir Tamara, dkk, Hamka Dimata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).
9 Hamka, Kenang-Kenagan Hidup……, h. 102.
15
untuk ke dua kalinya ia mendapat gelar yang sama dari universitas Kebangsaan
Malaysia.10
Di masa karirnya Hamka juga pernah menjabat sebagai ketua umum MUI
(Majelis Ulama Indonesia), dan mengundurkan diri pada tahun 1981 tepatnya
pada bulan Mei. Fatwa Hamka yang terkenal saat menjabat sebagai ketum MUI
adalah bahwa umat muslim diharamkan mengucapkan dan mengahadiri
perayaan natal, namun pemerintah kurang bisa menerima fatwa tersebut. Bagi
Hamka walau langit runtuh, kebeneran harus tetap disampaikan, karena
baginya haram seorang muslim berbuat munafik hanya semata-mata sebuah
jabatan. Oleh karenanya Hamka lebih memilih untuk mengundurkan diri dari
jabatannya. Meminjam perkataan Hamka bahwa “Fatwa boleh dicabut, tetapi
kebenaran tak bisa diingkari”.11
Dan masih banyak lagi krir Hamka selama
hidupnya yang sangat berpengaruh bagi kemajuan politik maupun dalam
keilmuan.
Hal ini terbukti dengan adanya karya-karya yang di hasilkannya. Dimulai
dari usianya ketika 17 tahun (1925) sehingga menjelang wafatnya, dalam usia
73 tahun (1981). Hamka telah menulis 84 judul artikel, salah satunya adalah
“Dari Hati ke Hati”, dan juga telah menulis buku sebanyak kurang lebih 113,
mencakup dalam bidang filsafat, agama, dan sastra.12
10
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Penerbit
Djembatan, 1992), h. 29. 11
Hamka Tasawuf Moderen ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001 ), h. 159 12
Yunan Yunus, Corak Pemikiran Kalam ……., h. 8
16
B. Karya-karya Hamka
Selain sebagai ulama Hamka juga menguasai berbagai ilmu pengetahua
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik, baik Islam maupun barat.
Ia juga dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menulis, dalam hidupnya
Hamka telah banyak mengarang buku-buku yang cukup mewarnai
pembaharuan islam di Indonesia.
Jumlah karangannya kurang lebih mencapai 133 judul buku karya yang
paling utama atau karya monumentalnya adalah tafsir Al-Azhar. Secara umum
karya-karyanya dapat dilihat antara lain: Khatibul umam (ditulis dalam bahasa
Arab), Pembela Islam (Tarikh Abu Bakar as-Shidiq) 1929, Adat Minangkabau
dan Agama Islam (1929), Hikmat Isra‟ Mi‟raj, Arkanul Islam (1932), Laila
Majnun (1932), Majalah „Tentara‟ (4 nomor) 1932, Majalah al-Mahdi (9
nomor) 1932, Mati Mengandung Malu (salinan al-Manfalithi) 1934, Dibawah
lindungan Ka‟bah (1936), Tenggelamnya Kapal Van Dar Wicjk (1937),
Didalam Lembah Kehidupan (1939), Tuan Direktur (1939), Dijemput
Mamaknya (1939), Keadilan Ilahy (1939), Tasawuf Moderen (1939), Filsafat
Hidup (1939), Pada tahun 1940 diantaranya: Merantau ke Deli, Margaretta
Gautier (terjemah), Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Majalah „Semangat Islam‟
1943, di tahun 1946: Majalah „Menara‟, Negara Islam, Islam dan Demokrasi,
Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi,
Di bantingkan Ombak Masyarakat, Di dalam Lembah Cita-Cita, Sesudah
Naskah Reville (1947).
17
C. Metode Tafsir Al-Azhar
Metode pada setiap tafsir merupakan ciri khas yang terdapat didalam tafsir
tersebut adapun metode tafsir al-Azhar adalah termasuk dalam kelompok tafsir
bi ra’yi. Karena dalam menafsirkan al-Qur‟an Hamka mengemukakan
pendapat-pendapat beliau tentang tafsir ayat-ayat tersebut, terutama mengenai
maksud kata (etimologis) atau mengenai permasalahn yang akan dibahas.13
Contohnya: Tafsir al-Qur‟an surat al-Fatihah ayat 6 bahwa hamka menjelaskan
ayat “ ” (Tunjukilah kami jalan yang lurus) maksudnya
minta ditunjuki dan dipimpin supaya tercapai jalan yang lurus. Adapun menuju
jalan yang lurus seseorang harus memiliki al-Irsyad, at-Taufiq, al-Ilham dan
ad-Dilalah. demikian contoh yang mnggambarkan bahwa Hamka dalam
menafsirkan ayat mengutip ayat per-ayat dan menjabarkannya dengan jelas.
Jika dilihat dari urutan suratnya, Tafsir Al-Azhar menggunakan tartib mushafi.
Karena itu, metode nya disebut dengan metode Tahlili. Dalam hal memilih
sumber referensi untuk Tafsir al-Azhar, Hamka tidak fanatik terhadap satu
karya tafsir dan tidak terpaku pada satu mazhab pemikiran. Hamka mengutip
berbagai kitab, bukan hanya kitab tafsir melainkan kitab hadis dan sebagainya
yang menurutnya penting untuk dikutup. Akan tetapi, ada beberapa kitab tafsir
yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsirnya.
Bukan saja dari segi pemikiran, melainkan haluan serta coraknya.14
Contohnya:
masih dengan surat al-Fatihah beliau menafsirkan surat al-Fatihah ayat 6
13
Hamka, Kenang-Kenangan Hidup ……, h. 40. 14
Dr. Mafri Amir, MA, Literatur Tafsir Indonesia (Tangerang Selatan Banten: CV.
Sejahtera Kita, 2013), h. 171.
18
dengan mengutip pendapat-pendapat para ulama, pendapat para mufasir,
pendapat para muhadis dan Hadis-hadis Nabi.
A. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab
M Quraish Shihab adalah Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish
Shihab. Ia lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944/21 Safar
1363 H. Ayahnya adalah Prof. KH. Abdurrahman Shihab keluarga keturunan
Arab yang terpelajar. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru
besar dalam bidang tafsir dan dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik
yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.15
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil
"nyantri" di Pondok Pesantren Darul-Hadis al-Faqihiyyah. Pada awal 1958
setelah selesai menempuh pendidikan menengah, dia berangkat ke Kairo,
Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah al-Azhar. Kemudian pada 1967, ia
meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis
Universitas al-Azhar Kairo Mesir. Selanjutnya dia meneruskan studinya di
fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar Master of Arts (MA) untuk
spesialisasi bidang Tafsir al-Quran dengan tesisnya yang berjudul al-I'jaz al-
Tasyri'i li al-Qur’an al-Karim (kemukjizatan al-Quran al-Karim dari Segi
Hukum).16
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercaya untuk
15
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1998), h. 6
16 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1998),h. 6
19
menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga
diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) Wilayah VII Indonesia
Bagian Timur, maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian
Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang
ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian
dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur"
(1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).17
Demi cita-citanya,
pada tahun 1980 M. Quraish Shihab menuntut ilmu kembali ke almamaternya
dulu, al-Azhar, dengan spesialisasi studi tafsir al- Qur‟an. Untuk meraih gelar
doktor dalam bidang ini, hanya ditempuh dalam waktu dua tahun yang berarti
selesai pada tahun 1982. Disertasinya yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-
Biqa’iy: Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm al-Durār
karya al-Biqa‟i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat Summa Cum
Laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah al-Syaraf al-‘Ula (sarjana
teladan dengan prestasi istimewa). Pendidikan Tingginya yang kebanyakan
ditempuh di Timur Tengah, al- Azhar, Kairo sampai mendapatkan gelar M.A
dan Ph.D-nya. Atas prestasinya, ia tercatat sebagai orang yang pertama dari
Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.18
Dalam perjalanan karir dan aktifitasnya, Quraish Shihab memiliki jasa yang
cukup besar di berbagai hal. Sekembalinya dari Mesir, sejak tahun 1984, ia
17
Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Jembatan Merah, 1988), h. 111 18
Quraish Shihab, Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 2000)
20
pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN
Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum al-Qur‟an di Program
S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. selain itu, ia juga menduduki berbagai
jabatan, anatara lain: Ketua Majlis Ulama Indonesia Pusat (MUI) sejak 1984,
Anggota Lajnah Pentashhih al-Qur‟an Departeman Agama sejak 1989,
Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989, dan Ketua
Lembaga Pengembangan. Ia juga berkecimpung di beberapa organisasi
profesional, antara lain: Pengurus perhimpunan Ilmu-Ilmu Syariah, Pengurus
Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan
Asisiten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Rektor
IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia
dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua
bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar
Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik
Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.19
Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana
baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya
berbagai aktifitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Quraish
Shihab aktif dalam kegiatan tulis-menulis seperti menulis untuk surat kabar
Pelita dalam rubrik "Pelita Hati." Kemudian rubric "Tafsir al-Amanah" dalam
majalah Amanah di Jakarta yang terbit dua minggu sekali. Ia juga tercatat
sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama,
keduanya terbit di Jakarta, ia juga menulis berbagai buku suntingan dan jurnal-
19
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1998)
21
jurnal ilmiah, diantaranya Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya
(Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta:
Departemen Agama, 1987); dan Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-
Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988). Di samping kegiatan tersebut di atas,
Quraish Shihab juga dikenal penceramah yang handal. Kegiatan ceramah ini ia
lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid at-Tin dan
Fathullah, ia juga mengisi pengajian di lingkungan pejabat pemerintah seperti
pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV
atau media elektronik, khususnya di bulan Ramadhan.
B. Karya-karya M. Quraish Shihab
Diantara karya-karya Quraish Shihab adalah sebagai berikut:
1. Mukjizat al-Quran di Tinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, 1996).
2. Tafsir al-Amanah (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992).
3. Membumikan al-Quran (Bandung: Mizan, 1992).
4. Studi Kritis al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994).
5. Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhi Atas berbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 1996).
6. Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1998).
7. Fatwa-fatwa Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999).
8. Tafsir al-Quran al-Karim; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah,1999).
9. Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1998).
22
10. Logika Agama; Batas-batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam al-
Quran.
11. Yang Tersembunyi Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-Quran
(Jakarta: Lentera Hati, 1997).
12. Menjemput Maut Bekal Perjalanan Menuju Allah.
13. Islam Madzhab Indonesia.
14. Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1997).
15. Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1997).
16. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang:
IAIN Alauddin, 1984).
17. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987).
18. Mahkota Tuntuna Ilahi; Tafsir Surat al Fatihah (Jakarta: Untagma,
1988).
19. Hidangan Ilahi; Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997).
20. Menyingkap Tabir Ilahi; Tafsir asma al-Husna (Bandung: Lentera Hati,
1998).
21. Tafsir Ayat-ayat Pendek (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).
22. Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2003).
23. Secercah Cahaya Ilahi (Bandung: Mizan, 2002).
24. Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil
(Jakarta: Lentera Hati, 2001).
23
C. Metode Tafsir al-Misbah
Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab ditulis dalam bahasa Indonesia yang
berisi 30 juz ayat-ayat al-Quran yang terbagi menjadi 15 jilid berukuran besar.
Pada setiap jilidnya berisi satu, dua atau tiga juz. Kitab ini dicetak pertama kali
pada tahun 2001 untuk jilid satu sampai tiga belas. Sedangkan jilid empat belas
sampai lima belas dicetak pada tahun 2003.
Dalam menulis tafsir, metode tulisan Quraish Shihab lebih bernuansa
kepada tafsir tahlili. Ia menjelaskan ayat-ayat al-Quran dari segi ketelitian
redaksi kemudian menyusun kandungannya dengan redaksi indah yang lebih
menonjolkan petunjuk al-Quran bagi kehidupan manusia serta menghubungkan
pengertian ayat-ayat al-Quran dengan hukum-hukum alam yang terjadi dalam
masyarakat. Uraian yang ia paparkan sangat memperhatikan kosa kata atau
ungkapan al-Quran dengan menyajikan pandangan-pandangan para pakar
bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana ungkapan tersebut digunakan al-
Quran, lalu memahami ayat dan dasar penggunaan kata tersebut oleh al-
Quran.20
Contoh: Kata Shirat yang dimohonkan dalam surah al-fatihah ini adalah
yang mustaqim yakni “ yang lurus “. Kata ini terambil dari kata qama-yaqumu
yang arti aslinya adalah mengandalkan kekuatan betis atau memegangnya
secara teguh sampai yang bersangkutan dapat berdiri tegak lurus. Karena itu,
kata qama bisa diterjemahkan “berdiri” atau “tegak lurus”. Dalam surat al-
Fatihah ini kata mustaqim diartikan “lurus”. Dengan demikian yang diharapkan
20
Tafsir al-Quran al-Karim (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), vi.26
24
bukan hanya shirat yakni jalan yang lebar dan luas tetapi juga yang lurus.
Karena jalan yang hanya lebar dan luas tetapi berliku-liku, maka sungguh
panjang jalan yang ditempuh guna mencapai tujuan. Shirat al-mustaqim adalah
jalan luas, lebar, dan terdekat menuju tujuan. jalan luas lagi lurus itu adalah
segala jalan yang dapat menganar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.21
Penulisan kitab Tafsir al-Misbah adalah sebagai berikut:
a) Menjelaskan Nama Surat.
Sebelum memulai pembahasan yang lebih mendalam, Quraish
mengawali penulisannya dengan menjelaskan nama surat dan
menggolongkan ayat-ayat pada Makkiyah dan Madaniyah.
Contoh: Pada surat al-An’ām adalah surat Makiyah. Secara redaksional
penamaan itu nampaknya disebabkan kata al-An’ām ditemukan
dalam surah ini sebanyak enam kali. Nama ini merupakan satu-
satunya yang dikenal pada masa Rasul saw.22
b) Menjelaskan Isi Kandungan Ayat.
Setelah menjelaskan nama surat, kemudian ia mengulas secara global
isi kandungan surat diiringi dengan riwayat-riwayat dan pendapat-pendapat
para mufassir terkait ayat tersebut.
Contoh: Masih dalam surat al-An’ām kelompok 1 (ayat 1-3) M. Qurasih
Shihab menjelaskan tentang surat al-An’ām ayat 1-3. Ayat ini satu
21
Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol.I, II, dan III, (Jakarta: Lentera Hati, 2000) 22
Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. IV (Jakarta: Lentera Hati, 2001) hal. 3
25
dari empat surat al-Qur‟an selain al-Fatihah yang dimulai dengan
al-hamdulillah. 23
c) Mengemukakan Ayat-Ayat di Awal Pembahasan.
Setiap memulai pembahasan, Quraish Shihab mengemukakan satu, dua
atau lebih ayat-ayat al-Quran yang mengacu pada satu tujuan yang
menyatu.
Contoh: Pada surat al-Mȃ‟idah ayat 1 M. Quraish Shihab mengemukakan
bahwa ayat-ayat yang dimulai dengan panggilan yȃ ayyuha
alladɀÎna ȃmanȗ adalah ayat-ayat yang turun di Mekah. Panggilan
semacam ini, bukan saja merupakan panggilan mesra, tetapi juga
dimaksudkan agar yang diajak mempersiapkan diri melaksanakan
kandungan ajakan.24
d) Menjelaskan Pengertian Ayat secara Global.
Kemudian ia menyebutkan ayat-ayat secara global, sehingga sebelum
memasuki penafsiran yang menjadi topik utama, pembaca terlebih dahulu
mengetahui makna ayat-ayat secara umum.
Contoh: Pada awal surat al-An’ām M. Quraish Shihab menulis bahwa
sebagian ulama mengecualikan beberapa ayat dalam surat al-
An’ām sekitar enam ayat yang menurut mereka turun setelah nabi
23
Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. IV (Jakarta: Lentera Hati, 2001) hal. 7 24
Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001) hal. 6
26
berhijrah ke Madinah, yaitu ayat 90-93 dan 150-153 kendati ada
riwayat yang hanya menyebut dua ayat, yaitu 90 dan 91.25
e) Menjelaskan Kosa Kata.
Selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan pengertian kata-kata secara
bahasa pada kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca.
Contoh: M. Quraish Shihab menjelaskan pengertian kata ṣirāṭ dalam surat
al-Fatihah ayat 6-7 beliau berpendapat kata ṣirāṭ yang
dimohonkan dalam surat ini adalah yang mustaqim yakni “yang
lurus”.26
f) Menjelaskan Sebab-sebab Turunnya Ayat.
Terhadap ayat yang mempunyai asbāb al-nuzul dari riwayat sahih yang
menjadi pegangan para ahli tafsir, Maka Quraish Shihab Menjelaskan lebih
dahulu.
Contoh: M. Quraish Shihab menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat seperti
dalam surat at-Taubah ayat 9 Quraish Shihab menulis dalam
tafsirnya bahwa suatu riwayat menyatakan surat at-Taubah ayat 9
menjelaskan larangan orang-orang yang musyrik mendekati
masjid turun berkenaan dengan rencana beberapa kaum muslimin
untuk merampas unta-unta yang dibawa oleh serombongan kaum
musyrikin dari suku penduduk Yamamah, dibawah pimpinan
Syuraih Ibn Dhubai‟ah yang digelar al-Hutham, dengan alas an
25
Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. IV (Jakarta: Lentera Hati, 2001) hal. 3 26
Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2001)
27
bahwa unta-unta itu adalah milik kaum muslimin yang pernah
mereka rampas.27
g) Memandang Satu Surat Sebagai Satu Kesatuan Ayat-ayat yang Serasi.
Al-Quran merupakan kumpulan ayat-ayat yang pada hakikatnya adalah
simbol atau tanda yang tampak. Tapi simbol tersebut tidak dapat dipisahkan
dari sesuatu yang lain yang tidak tersurat, tapi tersirat. Hubungan keduanya
terjalin begitu rupa, sehingga bila tanda dan simbol itu dipahami oleh
pikiran maka makna tersirat akan dapat dipahami pula oleh seseorang.28
Dalam penanfsirannya, ia sedikit banyak terpengaruh terhadap pola
penafsiran Ibrahim al Biqa‟i, yaitu seorang ahli tafsir, pengarang buku
Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-suwar yang berisi tentang
keserasian susunan ayat-ayat al-Quran.
Contoh: Dalam tafsirnya M. Quraish Shihab selalu menyangkut pautkan
surat-surat atau ayat-ayat yang saling berkaitan seperti surat an-
Nisȃ‟ yang mencangkup sekian banyak ayat yang mengandung
uraian tentang akad, baik secara tegas maupun tersirat yang tegas
antara lain akad nikah dan shidȃq (mahar), serta akad perjanjian
keamanan dan kerja sama. Al- Biqȃ‟i mengemukakan hubungan
yang lebih rinci. Menurutnya, pada akhir surat yang lalu ( QS.
an-Nisȃ‟(4): 160 ), telah diuraikan bahwa orang-orang Yahudi
yang melakukan kezaliman dengan mengabaikan perjanjian
mereka dengan Allah swt., telah dijatuhi sanksi, yakni berupa
27
Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001) 28
Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol V. 3
28
diharamkannya atas mereka aneka makanan yang baik-baik yang
telah dihalalkan bagi mereka, yakni yang dijelaskan dalam QS.
al-An‟ȃm (6): 145. Dalam surat an-Nisȃ‟ itu, Allah melanjutkan
kecaman-Nya kepada Ahl al-Kitȃb dan mengakhirinya dengan
uraian tentang warisan serta keharusan memenuhi perjanjian dan
ketetapan-ketetapan Allah Yang Maha Mengetahui.29
h) Gaya Bahasa.
Quraish Shihab menyadari bahwa penulisan tafsir al-Quran selalu
dipengaruhi oleh tempat dan waktu dimana para mufassir berada.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan metode tahlili atau analisis
adalah penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur‟an dari sekian
banyak seginya yang ditempuh oleh mufassir dengan menjelaskan ayat
demi ayat sesuai urutannya di dalam mushhaf melalui penafsiran kosakata,
penjelasan asbab al-nuzul, munasabah, serta kandungan ayat tersebut
sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufassir itu.
29
Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an,
Vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001) hal. 5
29
BAB III
Sinonimitas (Mutarādif) dan Pengertian Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq
Pada bab ini penulis mencantumkan tentang sinonimitas dalam al-Qur‟an,
dengan mencantumkan sinonimitas diharapkan dapat mempermudah penulis dalam
memahami kata Ṣirāṭ, Sabīl dan Ṭarīq dan pengertian tentang kata Ṣirāṭ, Sabīl dan
Ṭarīq dalam al-Qur‟an.
1. Definisi Sinonim (Mutarādif)
Dalam bahasa Arab Al-Tarāduf ( ترااف ال ) berasal dari akar kata ( ر ف)
ra‟- dal - fa‟ ( يراف - رف ) yang bentuk mashdarnya ialah ( اف لرا) . Al-Ridf ialah
segala sesuatu yang mengikuti sesuatu lainnya. Sedangkan Al-Tarāduf
bermakna apabila sesuatu mengikuti sesuatu lainnya di belakangnya. Bentuk
jamaknya adalah al-Rudāfā ( افافر ال ), dikatakan telah datang rombongan kaum
berturut-turut ( رفافر لقرى جرء ) maksudnya yakni bagian satu mengikuti bagian
yang lainnya. Perkataan Mutarādif ( ترااف م ) adalah isim Fa‟il (lil musyārakah).
Mutarādif adalah beberapa kata dengan satu arti, berbeda dengan kata
musytarak, karena kata ini menunjukkan kesatuan lafadz dengan berbagai
pengertian.1
Al-Murtadif ( المترااف ) ialah mengendarai sesuatu di belakang pengendara
atau membonceng. Perkataan bagi malam dan siang berturutan, karena setiap
1 Ibnu Manẓur, Lisān al-„Arab, (Kairo: Dār al-Ma‟ārif, t.th.), h. 1625.
30
salah satu dari keduanya mengikuti yang lain.2 Maksud dari tarāduf al-syakhsān
( نشخصرءال تااف ) ialah saling membantu atau gotong royong, dapat dipahami juga
dengan saling mengikuti atau membonceng.3 Al-Tarāduf dilihat dari sisi istilah
tidak ditemukan kesepakatan umum diantara para ulama, akademisi klasik dan
kontemporer.Imam Sibawaih (w. 180 H.) diduga sebagai orang pertama yang
menampakkan penjelasan mengenai tarāduf dalam ilmu bahasa. Ia membagi
konteks hubungan antara lafadz dengan makna, menjadi tiga macam yakni:
lafadz-lafadz yang beraneka ragam dan mempunyai makna yang beraneka
ragam pula, satu lafadz mempunyai aneka makna yang berbeda-beda dan
beragam lafadz namun hanya mempunyai satu makna. Pembagian tersebut
disinyalir sebagai awal munculnya konsep musytarak lafz}i dan al-Mutarādif.4
Menurut al-Murtada al-Zabadi (w. 1205 H.) ia mendefinisikan Mutarādif
dengan menjadikan banyak nama pada satu hal. Pengertian ini tidak keluar dari
pernyataan yang disampaikan oleh imam Sibawaih dalam klasifikasi hubungan
antara lafadz dengan makna.5 Hal yang berbeda disampaikan oleh al-Suyuti
bahwa Mutarādif ialah beberapa dengan satu arti, namun beliau membatasi pada
beberapa kata yang memang mempunyai batasan tertentu, seperti kata al-Insān
dengan al-Basyar dan al-Saif dengan al-Sārim. Kedua kata ini mempunyai
2 Muhammad Nūruddīn al-Munajjad, al-Tarāduf fî al-Qur‟ān al-Karīm, (Baina
al-Mazāriyah wa al-Tatbīq), h. 29. 3 Emīl Badi‟ Ya‟qūb, Mausū‟ah Ulūm al-Lughāh al-„Arābiyah, (Beirut: Dār al-
Kutūb al-„Ilmiyah, 2006), h. 294. 4 Muhammad Nūruddīn al-Munajjad, al-Tarāduf fî al-Qur‟ān al-Karīm, (Baina
al-Mazāriyah wa al-Tatbīq), h. 30. 5 Muhammad Nūruddīn al-Munajjad, al-Tarāduf fî al-Qur‟ān al-Karīm, (Baina
al-Mazāriyah wa al-Tatbīq), h. 32.
31
batasan dari segi zat dan sifatnya.6 Mutarādif menurut istilah bahasa adalah
beraneka ragamnya lafadz berjumlah dua atau lebih dengan disepakati satu
makna. Seperti al-asad, al- Sab‟, al-lais, dan asāmah ( ةأسرءم, ير ال, عالسر , األسر )
yang menunjukkan mempunyai satu makna yakni singa. Begitu juga dengan al-
husām, al-saif, al-muhannad dan al-yamānī ( اليمررءو ,المحىرر , يفالسرر , ءالحسرر )
memiliki satu makna yaitu pedang. Mutarādif (sinonim) yakni lafadz
bermacam-macam dengan kesesuaian makna. Bangsa Arab adalah bangsa
paling kaya bahasa dengan sinonimnya al-Mutarādifat. Misalnya kata al-Saif
(يفالسر ) memiliki lebih dari seribu nama, kata al-Asad ( سر األ ) mempunyai lima
ratus nama. Kata al-„Asl ( العسر ) namanya lebih dari delapan puluh nama.7 Ada
yang berpendapat bahwa Mutarādif serupa dengan al-Nazāir dan Musytarak
serupa dengan al-Wujūh. Sebenarnya ada sedikit perbedaan antara al-Musytarak
dan al-Wujūh, antara lain al-Wujūh dapat terjadi pada lafadz tunggal dan dapat
juga akibat rangkaian kata-kata, berbeda dengan Musytarak yang tertuju kepada
satu lafadz saja. Ada juga perbedaan antara Mutarādif dengan al-Nazāir.
Kendati keduanya serupa, tetapi letak perbedaannya pada kedalaman analisa.
Ketika seseorang berkata insân )اوسرءن) nazir serupa dengan kata basyar ( بشرا ),
sekedar berhenti di sana, tidak menganalisa lebih jauh apa kesamaan dan
perbedaannya. Seharusnya ada penjelasan lebih jauh.8
6 Jalāluddin al-Suyūti, al-Muzīr fî „ulūm al-Lugah wa „Anwaā‟uhā, (Kairo: Maktabah Dāral-
Turās,) h. 403. 7 Emīl Badi‟ Ya‟qūb, Mausū‟ah Ulūm al-Lughāh al-„Arābiyah, h. 294.
8 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir , ed: Abd. Syakur. DJ, (Tangerang: Lentera Hati, 2015), h.
120.
32
2. Sinonim (Mutarādif) Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq
Kata Ṣirāṭ
Kata ṣirāṭ ( ر اط ا الص ) berasal dari akar kata ط ( -ر -ص ( shod- ra‟- tho, yang
bentuk jamaknya adalah ( ط را yang berarti jalan atau lorong. Kata ṣirāṭ (ص
juga di artikan sebagai ( ه ىم ته ج ل م ع .jembatan di atas neraka (جسا 9
Kata Sabīl
Kata sabīl ( ر ي الس ) berasal dari akar kata ( ل -ب -س ) sin- ba‟- lam, yang
bentuk jamaknya adalah ( س ىل -س ا س -و و ) yang berarti jalan.10
Kata Ṭarīq
Kata ṭarīq ( الط اير) berasal dari akar kata ( ق -ر -ط ) tho- ra‟- kof. yang
bentuk jamaknya adalah ( ق ا طررا و - ق ا ط رر ) jalan,lorong, dan gang atau
.jalan atau cara (الط ايق ة )11
3. Pengertian Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq Secara Istilah
Para ulama‟ berbeda pendapat dalam menafsirkan kata ṣirâṭ, sabîl dan tarīq
Perbedaan itu terjadi bukan karena sebab, melainkan ada beberapa masalah
yang menjadikan adanya perbedaan tersebut. Di antaranya adalah perselisihan
mengenai makna ṣirâṭ, sabîl, dan tarīq sendiri, serta bagaimana
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Muhammad Ibnu Jarir
Aththabari dalam kitab tafsirnya, Jami‟ul Bayān at Ta‟wi al-Qur‟an, memaknai
ṣirâṭ, sabîl dan ṭarīq adalah jalan yang benar yang di dalamnya terdapat
9 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.
773. 10
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.
608.
11
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.
849.
33
ganjaran bagi yang berbuat baik dan adzab bagi yang berbuat kebathilan, yang
semua itu terdapat dalam Islam.12
Sebagai ummat Islam, kita tahu bahwa segala urusan manusia telah diatur
oleh agama, termasuk bagaimana jalan untuk mengantarkan kepada
keridhoa‟an allah. Rasyid Ridla, dalam tafsirnya Al-Manar, menjelaskan bahwa
segala sesuatu yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan
akhirat, baik berupa ilmu pengetahuan, kesopanan, dan hukum adalah ṣirâṭ al-
mustaqim.13
Semua itu bisa tercapai jika manusia memperoleh pedoman yaitu
agama yang di dalamnya tercakup segala kebenaran dan keadilan.
Berbeda lagi dengan Muhammad Husain at-Taba‟tabai, yang mengatakan
bahwa ṣirâṭ bermakna sabîl dan ṭarīq akan tetapi maknanya lebih dekat dengan
sabîl. Menurutnya, allah mensifati ṣirâṭ dengan lurus dan menjadikannya
sebagai jalan yang dilalui oleh orang-orang yang diberi nikmat oleh allah.14
Ṣirâṭ al-mustaqim adalah puncak ibadah manusia kepada allah, karena
mencakup segala kegiatan manusia dan jalan untuk mendekatkan diri kepada
allah swt. Sedangkan manusia hanya berdoa untuk mendapatkan petunjuk
Allah supaya bisa menuju jalan yang lurus. Sebab, hanya jalan inilah yang bisa
mengantarkan manusiamenuju kebenaran, yaitu allah swt.
12
Muhammad Abu Ja‟far bin Jarir Aththabari, Jami‟ul Bayan fi Tafsir al-Qur‟an, Juz I,
(Beirut: Dar Al-Ma‟arif, 1972), hlm. 58 13
Rasyid Ridla, Tafsir Al-Manar, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1343 H), hm. 65
14 Muhammad Husain al-Thaba‟tabai, Tafsir Al-Mizan, Juz I, (Beirut: Dar al-Muassasah,
1991), hlm. 28
34
Pengertian Kata Ṣirāṭ
Berikut ini adalah uraian tentang kata ṣirâṭ dalam al-Qur‟an,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Mu‟jam al-Mufahras.15
Ṣirāṭ ( الصراا)
secara bahasa ( etimologi ) berarti jalan . Sedangkan menurut istilah syar'i
(terminologi) adalah jembatan yang dibentangkan di atas neraka jahannam
yang akan dilewati ummat manusia menuju surga sesuai dengan amal
perbuatan mereka.16
Ash-Shirāth adalah jembatan (titian) yang terbentang
di atas permukaan neraka Jahannam yang sangat licin, memiliki kait, cakar
dan duri. Setelah melewati masa di Mahsyar, kaum Muslim akan
dibentangkan shirath bagi mereka di atas Jahannam sehingga mereka
melintasi di atasnya dengan kecepatan sesuai dengan kadar keimanan
mereka. Orang yang pertama kali melewatinya adalah Muhammad,
kemudian Muhammad berdiri di tepi shirath seraya berdoa, “Rabbi,
selamatkan, selamatkan!” Jika ada umat-Nya yang pernah menyekutukan
Allah dengan kesyirikan besar dan belum bertaubat sebelum kematiannya,
akan mengakibatkan kekekalan di dalam neraka.
Pengertian Kata Sabīl
Ṣabīl ( سريل) secara bahasa ( etimologi ) berarti jalan.17
Kata sabîl juga
terbentuk dari huruf sin-ba‟-lam dengan kata kerja sabala-yasbulu yang
berarti irsalu syay‟in min „uluwwin ila suflin„ala imtidadi syai‟in (melepas
15
Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Mu‟jam al-Mufahras, (Bandung: C.V. Diponegoro, t.th)
h. 516-517 16
Prof. Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah., Penerbit: Lentera Hati h. 8/228 17
Dalam kamus al-Munjid karya Louis Makhluf
35
atau mengurai sesuatu dari atas ke bawah dan merentangkan sesuatu).18
Kata sabîl diartikan dengan jalan karena jalan adalah sesuatu yang terurai
yang mencerminkan suatu jalan kecil. Penggunaan kata sabîl seperti
ungkapan subulas salam mengisyaratkan makna yang bermuara pada jalan
besar yang diungkapkan dengan term ṣirâṭ.
Kata sabîl (jalan) digunakan dalam al-Qur‟an dengan berbagai
konteks. Kata sabîl digunakan untuk hal yang positif dan sekaligus negatif,
dan diantaranya ada tunggal dan ada yang berbentuk jamak. Dalam al-
Qur‟an, kata sabîl yang bermakna positif, seperti ungkapan sabîlillah (jalan
Allah) terdapat pada 70 tempat dan dengan redaksi lain seperti sabîl
terdapat pada 3 tempat, subulana pada 2 tempat, sabîlihi (dengan dhamir
mengacu kepada Allah) pada 11 tempat, sawaa‟us sabîl pada 5 tempat,
sabîlur rasyad pada dua tempat, dan sabîlar rusyd, sabîli rabbik, dan sabîlil
mukminin masing-masing pada satu tempat. Keragaman redaksi dalam
penggunaan positif dari kata sabîl seperti redaksi-redaksi sabîlar rusyd,
sabîlur rasyad, sawa‟is sabîl, sabîlil mukminin, dan subulus salam tidak
menghilangkan kesatuan makna dan ide, yaitu “jalan Allah” yang
menunjuk pada makna petunjuk, bersifat lurus, komitmen orang-orang
beriman, dan keselamatan, yang kesemuanya merupakan apa yang disebut
“ajaran kebenaran”. Ayat-ayat tersebut menyatakan bahwa ajaran Tuhan
merupakan sesuatu yang ditegakkan dan dikembangkan melalui perjuangan
(jihad), pertahanan diri (qital), dan dana (infaq). Adapaun penggunaan kata
18
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu‟jam Maqayis al-Lugah, III,
(Beirut: Daar al-Fikr, 1979 ), hlm: 129-130
36
sabîl untuk makna negatif adalah; sabîlith thagut, sabîlil mujrimin, sabîlil
mufsidin, dan sabîlil ghayy. Menurut Quraish Shihab, kata sabîl adalah
jalan yang dilalui, ada bermacam-macam sabîl yang dapat dikategorikan
dalam dua kategori sebagai berikut:
a. Sabîl yang bermakna abstrak atau menunjuk pada makna
keyakinan, dan pola hidup yang sesuai dengan tuntunan Allah
SWT, yaitu sabîlullah,sabîlirabbika, sabîli, sabîlih, sabîl al-
rasyad,dan sabîl al-mu‟minin.
b. Sabîl yang berkaitan dengan pola hidup yang tidak sesuai
dengan tuntunan Allah, seperti sabîl al-thaghut, sabîl alghay,
sabîl al-mufsidin, dan sabîl al-mujrimin.19
Sebut saja kata
sabîlillah. Dalam hal ini, sabîl dinisbatkan kepada Allah.20
Lafadz sabîlillah seringkali dipahami sebagai jihad untuk
memperjuangkan agama Allah. Ayat ini mendorong ummat
Islam untuk bangkit dan penuh semangat menghadapi musuh.
Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini mengisyaratkan
bahwa perjuangan yang sebenarnya adalah yang tidak
mengambil tetapi memberi. Maka dari itum hendaklah orang-
orang yang beriman bersedia menukarkan dan mengorbankan
kehidupan mereka dengan segala kegemerlapannya dengan
kehidupan akhirat yang dijanjikan Allah, dengan niat yang tulus.
19
Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur‟an: Kajian Kosakata, Cet, 1, (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h. 855
20 Lihat Q.S. al-Nisa‟ ayat 74
37
Allah pasti akan membalasnya dengan pahala yang besar.
Pahala yang besar itu memberikan isyarat bahwa yang berjuang
di jalan Allah akan dianugerahi usia yang panjang.21
Sabîl juga
ada yang berbentuk jamak, seperti kata subul alsalam (jalan
kedamaian). Itu menunjukkan bahwa ada banyak jalan untuk
menuju perdamaian. Ada banyak cara untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Misalnya, mengorbankan harta dengan
bersedekah, infak, dan lain-lain. Kemudian beribadah dengan
cara shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lain. Akan tetapi,
meskipun demikian, sabîl juga bisa merujuk pada pola hidup
yang salah bahkan berbahaya, sehingga bisa menjerumus ke
dalam kesesatan. Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa
ṣirâṭ berbeda dengan sabîl. ṣirâṭ selalu digunakan dalam
konteks kebaikan dan kebenaran, sedangkan sabîl bisa dalam
konteks kebaikan maupun kebathilan. Akan tetapi, semua sabîl
dalam konteks kebaikan, pasti akan bermuara pada ṣirâṭ. Itulah
sebab, sabîl diartikan sebagai jalan-jalan kecil, yang itu bisa
benar bisa juga salah. Para ulama‟ berbeda pendapat dalam
menafsirkan kata ṣirâṭ dan sabîl.
21
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur‟an,
vol.2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 483-484
38
Pengertian Ṭarīq
Secara bahasa ṭarīq dapat berarti jalan, sistem, cara, perjalanan,
aturan hidup, lintasan, garis dan bisa disebut Madzhab. Mengetahui adanya
jalan, perlu mengetahui “cara” melintasi jalan itu agar tidak tersesat. ṭarīq
itu adalah metode bimbingan spiritual kepada individu (perorangan) dalam
mengarahkan kehidupannya menuju kedekatannya dengan Tuhan. jika
dilihat secara seksama ṭarīq tidak jauh berbeda dengan sabîl yaitu suatu
jalan-jalan kecil yang pada akhir nya bermuara kepada ṣirâṭ. Kata ṭarīq
didalam al-Qur‟an disebut sebanyak 7 kali, kata tarīq terkadang di
sandarkan dengan hal-hal yang baik seperti, “ṭarīqi mustaqim” (jalan yang
lurus), yaitu jalan Allah yang menunjukan pada makna jalan yang di ridhoi
Allah, jalan yang lurus, jalan nya orang-orang yang beriman dan bertaqwa,
dan jalan keselamatan. dan terkadang juga kata tarīq disandarkan kepada
sesuatu hal yang buruk seperti, “ṭarīqa jahannam” (jalan ke neraka), yaitu
jalan yang sesat dengan pola hidup yang tidak sesuai dengan tuntunan
Allah.
44
BAB IV
ANALISA
PERBANDINGAN PENAFSIRAN KATA ṢIRĀṬ, SABĪL, DAN, ṬARĪQ
MENURUT HAMKA DAN M. QURAISH SHIHAB
A. Perbedaan dan Persamaan Penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab
tentang kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq
Pada bab ini, penulis akan memaparkan analisa perbandingan ṣirâṭ, sabîl,
dan ṭarīq menurut Hamka dan Quraish Shihab. dilihat dari perbedaan dan
persamaan yang terjadi pada penafsiran kedua tokoh di atas tentang ṣirâṭ, sabîl,
dan ṭarīq.
Hamka, menggunakan suatu metode penafsiran dengan metode tafsir
tahlili1, lalu beliau juga menggunakan pendekatan bi al-ma‟tsur
2 dan bi al-ra‟yi
3.
Bi al-ma‟tsur karena Hamka dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur‟an banyak
menggunakan ayat-ayat lain, hadis nabi, qoul sahabat sampai pendapat tabi‟in.
tahlili dan bi al-ra‟yi karena upaya yang ditempuh Hamka dalam menafsirkan al-
1 Tahlili: Penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur‟an dari sekian banyak
seginya yang ditempuh oleh mufassir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutan didalam
mushaf melalui penafsiran kosa kata, penjelasan sebab nuzul, munasabah serta kandungan ayat-ayat
itu sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufasir tersebut. Lihat M. Quraish Shihab,
Membumikan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1992)h.117 2 Bi al-ma‟tsur: Tafsir yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang sahih secara tertib
yang sebagaimana telah diceritakan dalam syarat-syarat mufassir, antara lain: menafsirkan al-
Qur‟an dengan al-Qur‟an, atau dengan as- Sunah karena Sunah merupakan penjelasan kitabullah,
atau dengan riwayat-riwayat dari Tabi‟in besar sebab mereka telah menerimanya dari para sahabat.
Lihat Manna‟ Khalil al-Qatthan, Studi ilmu-ilmu al-Qur‟an (Jakarta: Lintera Antar Nusa,
2007)h.483 3 Bi al-ra‟y: Penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak, atau
dinamakan juga tafsir bi al- Ijtihadi, yaitu penafsiran dengan ijtihad, karena didasarkan atas hasil
pemikiran seorang mufassir. Lihat Subhi al-Shalih, Mabahis fi „Ulum al-Qur‟an (Baerut: Dar al-
„Ilm Li al-Malayin, 1977)h. 292
45
Qur‟an dimulai dari surat al-Fatihah sampai an-Nas. Tentunya metode tersebut
didasarkan pada besik keilmuannya yang beliau kuasai. Hamka pada masa itu
adalah sosok ilmuan yang menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan, maka
dari hal itu akan sangat mendominasi dan membawa pengaruh besar dalam
model dan corak penafsirannya. Oleh karena itu tidak diragukan jika dalam karya
monumentalnya yaitu tafsir al-Azhar adalah salah satu tafsir yang bercorak adȃbi
ijtimȃ‟i 4
.
Adapun M. Quraish Shihab adalah sosok mufasir yang sama menggunakan
metode tahlili, yaitu menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya
dalam setiap surat. kemudian beliau juga mengemukakan tentang pengertian
kosa-kata dan ungkapan-ungkapan al-Qur‟an dengan merujuk kepada pandangan
pakar bahasa dan ulama tafsir, kemudian memperhatikan bagaimana kosa-kata
atau ungkapan itu digunakan oleh al-Qur‟an.5
1. Ṣirāṭ
QS al-Fatihah ayat 6 dan 7:
4 Adȃbi ijtimȃ‟i: adalah suatu corak tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang
mengungkapkan segi balaghah dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan susunan yang
dituju oleh al-Qur‟an, mengungkapkan hukum-hukum alam dan tatanan-tatanan masyarakat yang
dikandung didalamny, Said Aqil Husain al-Munawwar, I‟jaz al-Qur‟an dan Metodologi Tafsir,
(Semarang: Dina Utama, 1994), cetakan ke-1,h.37 5 Dr. Mafri Amir, MA, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat Tangerang selatan Banten :
Mazhab Ciputat, 2013) cet. 2, hlm. 284.
46
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Tafsir al-Azhar:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus” meminta ditunjuki dan dipimpin
supaya tercapai jalan yang lurus. Menurut keterangan setengah ahli tafsir,
perlengkapan menuju jalan yang lurus, yang dimohonkan kepada Allah ialah,
pertama al-Irsyād, artinya agar di anugerahi kecerdikan dan kecerdasan,
sehingga dapat membedakan yang salah dan yang benar. Kedua at-Taufiq,
yaitu bersesuian hendaknya dengan apa yang direncanakan Tuhan. Ketiga al-
Ilhām, di beri petunjuk supaya dapat mengatasi sesuatu yang sulit. Keempat
ad-Dilālah, artinya di tunjuk dalil-dalil dan tanda-tanda di mana tempat
berbahaya, di mana yang tidak boleh di lalui dan sebagainya. Seumpama tanda-
tanda yang dipancangkan (dipasang) di tepi jalan, berbagai macamnya, untuk
memberi alamat petunjuk bagi pengendara kendaraan bermotor. Menurut
riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, menurut beliau yang di maksud
dengan meminta ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah memohon ditunjuki
agamamu yang benar.6
Menurut beberapa riwayat dari ahli-ahli Hadits, daripada Jabir bin
Abdullah yang dimaksud dengan Shirathal Mustaqim ialah Agama Islam. Dan
6 Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988) h. 87
47
menurut beberapa riwayat lagi, Ibnu Mas‟ud menafsirkan bahwa yang
dimaksud dngan ṣirâṭal mustaqim ialah Kitab Allah (Al-Qur‟an).
Menurut yang dirawikan Imam Ahmad, Tirmidzi, AN-Nasa‟i, Ibnu Jarir,
Ibnu Mundzir, Abu Syaikh, al-Hakim, Ibnu Mardawaihi dan al-Baihaqi sebuah
Hadits Rasulullah s.a.w. diriwayatkan daripada an-Nawwas Ibnu Sam‟an,
pernah Rasulullah s.a.w. berkata, bahwasanya Allah Ta‟ala telah membuat satu
perumpamaan tentang ṣirâṭal mustaqim itu: bahwa di kedua belah jalan itu ada
dua buah dinding tinggi. Pada kedua dinding tinggi itu ada beberapa pintu
terbuka, dan di atas tiap-tiap pintu itu ada lelansir penutup (gordiyn). Sedang
diujung jalan yang lurus (ṣirâṭal mustaqim) itu ada seorang berrdiri
memanggil-manggil: “Wahai sekalian manusia, masuklah ke dalam ṣirâṭ ini
semuanya, jangan kamu berpecah belah”, dan ada pula seorang penyeru dari
atas Shirat. Maka apabila manusia hendak membuka salah satu dari pintu-pintu
itu berkatalah dia : “Celaka ! Jangan engkau buka itu ! Kalau dia engkau buka,
niscaya engkau akan terperosok ke dalam.” Maka kata Rasulullah selanjutnya :
Jalan Shirat itu ialah Islam, dan kedua dinding sebelah menyebelah itu ialah
segala batas-batas yang ditentukan Allah. Dan banyak pintu-pintu terbuka itu
ialah segala yang diharamkan Allah. Dan banyak pintu-pintu terbuka itu ialah
Kitab Allah, dan penyeru yang menyeru di ujung jalan itu ialah Kitab Allah,
dan penyeru yang menyeru dari ataas ialah Wa‟izḥ (Pemberi Nasihat) dari
Allah yang ada dalam tiap-tiap dari Muslim”. Berkata Ibnu Katsir dalam
tafsirannya bahwa Hadits ini hasan lagi shahih.7
7 Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988) h. 88
48
Maka semua penafsiran tadi dapatlah digabungkan menjaadi satu ṣirâṭal
mustaqim memang agama yang benar, dan itulah Agama dan semuanya dapat
diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad s.a.w. dan sahabat-sahabat
beliau yang utama.
Hanya seorang Ulama saja mengeluarkan tafsir agak sempit, yaitu Fudhail
bin Iyaadh. Menurut beliau ialah jalan pergi naik haji. Memang dapat
menunaikan Haji sebagai rukun Islam yang kelima, dengan penuh keinsafan
dan kesadaran, sehingga mencapai Haji yang mabrur, sudah sebagian dari pada
ṣirâṭal mustaqim juga. Apakah bagi orang semacam Fudhail bin Iyadh sendiri,
adapun bagi orang lain belum tentu naik Haji itu menjadi ṣirâṭal mustaqim,
terutama kalu dikerjakan karena riya, mempertontonkan kekayaan, mencari
nama, atau sebagai politik untuk mencari simpati rakyat yang bodoh. Dengan
ayat ini ditunjukkan apa yang amat penting kita mohonkan pertolongan
kepadanya. Mohon ditunjuki jalan yang lurus. Kita telah ditakdirkannya hidup
di dunia ini. Melalui hidup di dunia ini, samalah artinya melalui suatu jalan.
Kita takut akan bahaya dan ingin selamat dalam perjalanan itu. Kita mau yang
baik dan tidak mau yang buruk. Kita mau yang manfaat dan tidak mau yang
mudharat. Dengan ayat-ayat yang di atas kita telah memulai membaca dengan
namanya. Kita telah mngakui bahwa Dia Maha Pemurah dan Maha Penyayang.
Kita telah memuji dia, sebagai Tuhan Pemelihara, Pendidik sekalian alam. Dan
kita telah mengakui bahwa kekuasaannya meliputi dunia dan akhirat. Dia
Rahman dan Rahim, tetapi Dia juga menguasai dan mempunyai Hari
Pembalasan. Lantaran itu semuanya kita telah menyerah kepadanya ;
49
kepadanya saja, tidak kepada yang lain. Sehingga kita telah menyatakan tekad
bahwa yang kita sembah hanya dia dan tempat kita memohon pertolongan
hanya dia. Sekarang setelah penyerahan demikian mulailah kita memasukkan
permohonan puncak dari segala permohonan, yaitu agar supaya ditunjuki jalan
yang lurus. itulah yang kita mohonkan kepada Allah, agar ditunjiki jalan yang
lurus itu. Menurut pelajaran ilmu ukur ruang, garis lurus ialah jarak yang
paling dekat di antara dua titik. Maka di dalam ṣirâṭal mustaqim yang kita
mohonkan ini, dua titik ialah : yang pertama titik kita sebagai hamba, yang
kedua titil Allah saebagai Tuhan kita. Kita berjalan menuju dia dan kita dating
dari dia. Maun atau tidak mau, namun kita adalah dari dia, menuju dia, dan
bersama dia. Oleh karena banyaknya rintangan, kerapkali kita lupa akan hal itu.
Atau ada mengetahui, tetapi tidak tahu jalan mana yang akan ditempuh.
Kadang-kadang sudah disangka jalan lurus itu yang ditempuh, padahal sudah
terbelok kepada jalan yang lain. Kita memohon agar dia sendiri menunjuki kita
jalan lurus itu, sehingga sampai dengan cepat kepada yang dituju, jangan
membuang waktu pada usia yang hanya sedikit, merencah-rencah dan
terperosok ke jalan yang lain. Maka yang diminta ialah agar seluruh keribadian
kita, yang mengandung akal, nafsu syahwat, perasaan, kemauan, terkumpul
menjadi satu dalam petunjuk hidayah Tuhan. Inilah puncaknya jalan lurus itu
tidak diberi, walaupun yang lain hal yang remeh diberikannya, maka yang lain
itu besar kemungkinan akan mencelakakan kita. Kemudian permohonan jalan
yang lurus itu kita jelaskan lagi “Jalam orang-orang yang telah Engkau
karuniai nikmat atas mereka” (pangkal ayat 7).8
8 Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988) h. 90
50
Kita telah mendengarkan berita, terdahulu dari kita, Allah telah
mengaruniakan nikmatnya kepada orang-orang yang telah menempuh jalan
yang lurus itu, sebab itu maka kita mohon kepada Tuhan agar kita ditunjukkan
pula jalan itu. Telah ada Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang diutus Tuhan, dan
telah ada pula orang-orang yang menjadi syahid dan telah ada pula orang-orang
yang shalih, semuanya dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan karena menempuh
jalan itu. Bekasnya kita rasakan dari jaman ke jaman. Oleh sebab itu maka kita
memohonkan pulalah agar kepada kita diberikan pula petunjuk supaya kita
menempuh jalan itu dengan selamat.
“Bukan jalan mereka yang dimurkai atasnya”
Siapakah yang dimurkai Tuhan? Ialah orang yang telah diberi kepadanya
petunjuk, telah diutus kepadanya Rasul-rasul telah diturunkan kepadanya kitab-
kitab wahyu, namun dia masih saja memperturutkan hawa nafsunya. Telah
ditegur berkali-kali, namun teguran itu, tidak juga diperdulikannya. Dia merasa
lebih pintar daripada Allah, Rasul-rasul dicemoohkannya, petunjuk Tuhan
diletakkannya ke samping, perdayaan syaitan diperturutkannya.9
Orang yang dimurkai ialah yang sengaja keluar dari jalan yang benar
karena memperturutkan hawa nafsu, padahal dia sudah tahu. Orang yang telah
sampai kepadanya kebenaran agama, lalu ditolak dan ditentangnya. Dia lebih
berpegang kepada pusaka nenek moyang, walaupun dia telah tahu bahwa itu
berat. Maka siksaan azablah yang akan dideritanya.
9 Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988) h. 92
51
“Dan bukan jalan mereka yang sesat”.
Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani-berani saja membuat
jalan sendiri diluar yang digariskan Tuhan. Tidak mengenal kebenaran, atau
tidak dikenalnya menurut maksud yang sebenarnya.10
Tafsir al-Misbah:
Kata ṣirâṭ yang dimohonkan dalam surah al-fatihah ini adalah yang
mustaqim yakni “ yang lurus “. Kata ini terambil dari kata يقام - قام yang arti
aslinya adalah mengandalkan kekuatan betis atau memegangnya secara teguh
sampai yang bersangkutan dapat berdiri tegak lurus. Karena itu, kata qama bisa
diterjemahkan “berdiri” atau “tegak lurus”. Dalam surat al-Fatihah ini kata
mustaqim diartikan “lurus”. Dengan demikian yang diharapkan bukan hanya
shirat yakni jalan yang lebar dan luas tetapi juga yang lurus. Karena jalan yang
hanya lebar dan luas tetapi berliku-liku, maka sungguh panjang jalan yang
ditempuh guna mencapai tujuan. ṣirâṭal mustaqim adalah jalan luas, lebar, dan
terdekat menuju tujuan. jalan luas lagi lurus itu adalah segala jalan yang dapat
menganar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.11
Dari ayat di atas dan penafsiran kedua mufasir tidak terdapat perbedaan
yang begitu mencolok ketika menafsirkan kata ṣirâṭ. Hamka menafsirkan secara
kongkrit kata ṣirâṭ yang didefinisikan sebagai agama, atau dalam bahasanya
10
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988) h. 92 11
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol.1,
(Jakarta:Lentera Hati, 2000) h. 80
52
beliau mengatakan bahwa ṣirâṭal mustaqim adalah agama yang benar atau
menurut beliau dua titik yang di mohonkan yaitu, pertama titik kita sebagai
hamba dan yang kedua titik Allah sebagai Tuhan kita, kita berjalan menuju Allah
dan kita datang ke Allah, mau tidak mau kita akan kembali kepada Allah.
Adapun M.Quraish Shihab menafsirkan kata ṣirâṭ agak sedikit berbeda
beliau menafsirkan kata ṣirâṭ sebagai “jalan yang lurus” atau dalam
pembahasannya beliau ngetakan bahwa kata ṣirâṭ terambil dari kata Qāma-
Yaqūmu yang berarti “berdiri” atau “tegak lurus”. Beliau mengatakan bahwa
dengan demikian yang diharapkan bukan hanya jalan yang lebar dan luas akan
tetapi jalan yang lurus lagi tegak. Karena jalan yang lebar dan luas tetapi berliku-
liku, maka sungguh panjang jalan yang ditempuh hingga mencapai tujuan.
Maka bila di lihat persamaan penafsiran kedua mufasir di atas keduanya
sama-sama menafsirkan sebagai “jalan yang lurus” hanya saja berbeda dari segi
pemaparan atau penjelasanya. Hamka lebih banyak menggunakan hadis-hadis
Nabi serta pendapat-pendapat para Ulama. Adapun M.Quraish Shihab lebih
kepada kosa kata yang ada pada ayat di atas.
2. Sabīl.
Sebagaimana telah penulis bahasa dalam bab yang lalu, bahwa kata sabīl di
gunakan dalam al-Qur‟an dengan berbagai konteks. Terkadang sabīl di gunakan
dalam hal kebaikan dan terkadang pula sabīl di gunakan dalam hal keburukan.
Contoh :
Sabīl dalam konteks negatif ( keburukan )
53
Al- Baqarah 108
108. Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti
Bani Israil meminta kepada Musa pada jaman dahulu? dan Barangsiapa yang
menukar iman dengan kekafiran, Maka sungguh orang itu telah sesat dari
jalan yang lurus.
Tafsir al-Azhar:
Ayat ini menjelaskan sesat dari jalan yang lurus, lalu memilih jalan yang
berbelit-belit dengan banyak mengemukakan pertanyaan, guna melepaskan
diri, akhirnya tersesat pada kekufuran, terlepas dari kebenaran hingga akhinya
tenggelam dalam keingkaran. Di dalam masyarakat, kerap kali orang yang
banyak petanyaan itu adalah dengan maksud mencari jalan untuk melepaskan
diri.12
Tafsir al-Misbah:
Ayat ini adalah nasihat lebih lanjut yang ditunjukan kepada kaum
muslimin agar jangan mengikuti kelakuan buruk Banî Isrâ‟îl yang meminta
12
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988) h. 272
54
menanyakan hal-hal yang tidak wajar kepada nabi mereka. Bahwasanya
sebagaimana mestinya Allah adalah obyek keimanan. Sedang yang diimani
adalah sesuatu yang abstrak dan tidak terlihat oleh mata kepala, tidak juga
terjangkau hakikatnya oleh indera dan nalar. Obyek iman dijangkau oleh mata
hati, bukan mata kepala. Siapa yang berhak melihat obyek-obyek keimanan
dengan mata kepalanya berarti ia tidak menggunakan mata hatinya. Siapa
yang tidak menggunakan mata hatinya berarti ia tidak beriman. Siapa yang
tidak percaya wujud Allah kecuali setelah melihat-Nya dengan mata kepala, ia
telah menukar keimanan dengan kekufuran. Dan barang siapa yang menukar
keimanan dengan kekufuran, antara lain dengan berpaling dan menolak ayat-
ayat Allah, dan meminta petunjuk selainNya, maka sesubgguhnya orang itu
telah tersesat dari jalan tengah.
Sesat adalah hilangnya arah yang dituju. Dengan demikian, orang yang
bertanya atau meminta bukan pada tempatnya, maka ia telah menempuh jalan
yang keliru. ia ketika itu tidak berada dijalan tengah. Yang tidak berada
ditengah berarti ia berada dipinggir. Biasanya yang berada dipinggir dapat
terjerumus ke jurang, atau paling tidak, itu bukan jalan yang mudah untuk
dilalui.13
Sabīl dalam konteks positif ( Kebaikan)
Al- Maidah : 16
13
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol.1,
(Jakarta:Lentera Hati, 2000) h. 349
55
16. Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan
yang lurus.
Tafsir al-Azhar:
Didalam ayat ini diberi ketegasan, bahwasanya barangsiapa yang taat-setia
mengikuti jalan yang diridhai oleh Allah itu, pastilah dia mendapat petunjuk dari
kitab ini. Jalan yang diridhai Allah adalah tidak lain dari jalan yang telah
digariskan oleh Rasul Allah. Petunjuk itu akan diberikan Tuhan dengan perantara
kitab ini, sehingga dapat sampai kepada berbagai jalan kedamaian.14
Tafsir al-Misbah:
Ayat diatas menggunakan bentuk jamak untuk kata )اا -subul as )ساال سلا
salâm/jalan-jalan kedamaian. ini berarti ada banyak jalan kedamaian. Ketika
menafsirkan kata shirâth dalam surat al-Fâtihah, penulis kemukakan bahwa kata
tersebut sering digunakan oleh al-Qur‟an dalam bentuk tunggal dan selalu
menunjuk kepada yang bersifat benar lagi haq. berbeda dengan sabil yang dapat
14
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988) h. 182
56
benar, dapat juga salah, dapat merupakan jalan orang-orang bertakwa, dapat juga
berarti jalan orang-orang durhaka. karena itu al-Qur‟an menggunakan untuk kata
sabîl dalam bentuk jamak, yakni subul. Harus diingat bahwa hanya Subul as-Salâm
yang dapat mengantarkan seseorang ke ash-Shirâth al-Mustaqîm, sebagaimana
bunyi ayat ini. Kendati demikian harus diakui bahwa jalan-jalan itu banyak, seperti
diisyaratkan oleh bentuk jamak dari kata ini.
Dari kedua ayat di atas yang penulis cantumkan dan penafsiran kedua
mufasir tidak terdapat perbedaan yang sangat mencolok ketika menafsirkan kata
sabīl . Hamka menafsirkan ayat sabīl dalam konteks keburukan adalah jalan
orang yang tersesat. Atau dalam penjelasan beliau dalam tafsir nya bahwa sabīl
adalah jalan yang berlika-liku. Dan menafsirkan ayat sabīl dalam konteks
kebaikan adalah jalan yang di ridhai Allah tidak lain yaitu jalan yang telah di
gariskan oleh Rasul Allah.
Adapun sabīl dalam konteks kebaikan menurut M. Quraish Shihab suatu
jalan kedamaian, atau dalam penjelasan beliau mengatakan bahwa al-Qur‟an
menggunakan bentuk jama‟ pada kata sabīl, yakni subūl bahwa untuk
mengingatkan hanya Subul as-Salâm yang dapat mengantarkan seseorang ke
ṣirâṭal mustaqim, sebagaimana bunyi ayat ini. Kendati harus di akui bahwa jalan-
jalan itu banyak, seperti yang di isyaratkan dalam bentuk jama‟ dari kata sabīl.
Kepada ash-Shirâth-lah bermuara semua sabîl yang baik.15
15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol.3,
(Jakarta:Lentera Hati, 2000) h. 67
57
Maka bila di lihat persamaan penafsiran kedua mufasir di atas tentang kata
sabīl dalam kedua konteks, konteks dalam hal kebaikan (positif) dan keburukan
(negatif). Jika dalam konteks keburukan pada ayat yang penulis kutip yaitu QS
Al-Baqarah ayat 108, kedua mufasir sama-sama menafsirkan kata sabīl dalam
ayat tersebut suatu jalan yang berlika-liku hingga tersesat atau terjerumus ke
jalan yang sesat. Adapun dalam konteks kebaikan (positif) kedua mufasir sama-
sama menafsirkan kata sabīl dengan jalan yang benar atau jalan yang di ridhoi
oleh Allah SWT.
3. Ṭarīq
Dalam hal keburukan
Qs. An-Nisa : 168-169
168. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah
sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan
menunjukkan jalan kepada mereka,
169. Kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya. dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
58
Tafsir al-Azhar:
Mereka telah kufur, jiwa mereka telah terpesong dari jalan Allah ke jalan
syaitan, setelah itu mereka pun aniaya pula kepada orang lain, entah memakan
riba ataupun mengambil harta orang dangan jalan yang tidak halal, maka
tidaklah Allah akan memberi ampun mereka. Kalau dalam ayat 167 mereka
telah sesat jauh sekali, mungkin ada juga harapan buat surut kepada
kebenaran, namun kalau kufur telah diikuti lagi dengan aniaya, payahlah
mereka akan mendapat ampunan dari Tuhan, terutama karena rintihan orang
yang telah dianiaya itu.16
sebagaimana pernah diingatkan Rasulullah s.a.w.
dalam Hadis yang Shahih:
فاءنه ليس بينه وبين هللا حجاب تقوادعوةالمظلوم ا
“Takutlah kamu akan doa orang yang dianiaya, karena sesungguhnya
tidaklah ada di antaranya dengan Tuhan suatu penghalang.”
Jalan tidak akan ditunjukkan lagi kepada mereka: “Kecuali jalan ke
jahanam.” (pangkal ayat 169). Jalan meluncur turun ke dalam jahannam
adalah akibat yang wajar saja daripada orang yang sejak semula memang
menuju itu. Bagaimana orang yang menurun akan sampai ke atas? Dirinya
telah dikelilingi oleh semak belukar dosa, dan dia memilih jalan yang curam
dan gelap, tentu dalam lumrahlah tiba akhirnya. Karena demikianlah
sunnatullah dalam alam ini. “Kekallah mereka di dalamnya.” Artinya
masuklah mereka ke dalam untuk merasai azab siksaannya; “Selama-
16
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988) h. 75
59
lamanya.” Yang menurut setengah ahli tafsir ialah amat lama mereka didalam
buat menderita ajab itu. Maka tidaklah penulis hendak masuk berboncengan
pula tentang makna Abadan itu, karena ar-Raghib al-Ishfahani ahli bahasa
arab itu menulis tentang arti abadan ialah kekal sesuatu didalam sesuatu
keadaan, tidak berubah dan tidak rusak. Yang menurut keterangan setengah
ahli tafsir pula, bukanlah kekal tidak ada kesudahan, melainkan kekal lama
sekali.17
Demikianlah ancaman Allah atas manusia, bahwa kalau memilih jalan yang
salah, kufur, aniaya, dan berpaling langkah, payahlah akan mendapat ampunan
dari Tuhan dan sukarlah akan ditunjuki jalan yang benar, kecuali jalan neraka.
Tafsir al-Misbah:
Kata Thariq dalam ayat ini menjelaskan jalan menuju neraka, dalam arti
tidak akan mengantar kejalan kebahagiaan didunia ini atau ke jalan menuju
pengamalan tuntunan-tuntunannya sebagaimana di mohonkan dalam surat al-
Fâtihah Ihdina ash-shirâth al-mustaqîm. sehingga dinafikannya hidayah buat
mereka merupakan peringtan bahwa kekufuran dan kedzaliman dapat
mengakibatkan jiwa di penuhi oleh kekaburan yang menghalangi masuknya
hidayah ke dalamnya. Peringatan ini dimaksaudkan agar mereka menghindar
dari kekufuran dan kezaliman itu karena, jika tidak, boleh jadi mereka
terjerumus dalam kesulitan yang tidak dapat diatasi oleh siapa pun. Yang di
maksud dengan tidak ada jalan adalah tidak ada kemudahan yang mereka
17
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988) h. 76
60
peroleh untuk meraih sebab-sebab yang mengantarkan mereka ke jalan yang
mereka harapkan, selain jalan menuju ke neraka Jahanam.18
Qs. Thaha : 104
104. Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang
yang paling Lurus jalannya diantara mereka: "Kamu tidak berdiam (di dunia),
melainkan hanyalah sehari saja".
Tafsir al-Azhar:
“Seketika orang-orang yang lebih jujur perjalanannya di antara mereka
berkata: “ kami tidak tinggal, melainkan hanya sehari” (ujung ayat 104).
Kalau orang-orang yang telah mendurhaka kepada Allah itu berbisik-bisik
sesama mereka yang durhaka menaksir berapa tempoh yang telah mereka pakai
selama diatas dunia, yang rasanya pendek. Seakan-akan hanya 10 hari, namun
orang yang perjalanan hidupnya berlaku dalam kejujuran merasakan bahwa waktu
di dunia itu lebih pendek dari 10 hari, bahkan hanya 1 hari, artinya lebih pendek 10
kali dari yang di rasakan oleh orang yang durhaka dalam penyesalannya. Sebab
orang yang menjalani hidup dalam kejujuran dan ketulusan itu merasakan bahwa
hidup didalam berbakti kepada Allah adalah hidup yang amat bahagia. Ma‟rifat
18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol.2,
(Jakarta:Lentera Hati, 2000) h. 823
61
kepada Allah adalah puncak ketentraman. Lidah tidak pernah kering didalam
menyebut nama Allah. Rasanya hidup itu amat pendek. Sebab kesempatan buat
mengenal Allah sangat sedikit.19
Tafsir al-Misbah:
Ketika berkata orang yang paling lurus jalannya diantara mereka di
tafsirkan yakni yang paling mendekati kebenaran ucapannya bahwa: “Kamu tidak
tinggal hidup didunia melainkan hanya sehari saja”. Menurut al-Biqâ‟i yang
dimaksud dengan “yang paling lurus jalannya” adalah orang yang ketika di dunia
menduga bahwa jalan yang di tempuhnya adalah jalan yang sesuai dengan apa
yang di harapkan. Kemudian Ibn „Âsyûr memahami kalimat yang paling lurus
jalannya, bukan dalam arti yang paling dekat kepada kebenaran, tetapi yang paling
pandai membuat dalih adalah yang berkata: “ Kamu tidak tinggal di kubur
melainkan hanyalah sehari saja”. Ini karena yang berada 10 hari dalam kubur bisa
saja anggota tubuhnya telah rusak dan membusuk. Bisa juga kalimat yang paling
lurus jalanya, dipahami sebagai ejekan dan cemoohan terhadap orang-orang kafir.20
Melihat Dari kedua ayat di atas yang penulis cantumkan dan penafsiran
kedua mufasir tentang kata tarīq tidak terdapat perbedaan yang sangat mencolok.
Hamka menafsirkan ayat tarīq dalam konteks keburukan adalah jalan orang yang
tersesat. Atau dalam penjelasan beliau dalam tafsir nya bahwa tarīq adalah jalan
yang meluncur turun ke dalam neraka jahannam. Dan menafsirkan ayat tarīq
dalam konteks kebaikan adalah jalan yang berbeda artinya ketika orang-orang
19
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988) h. 216 20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol.7,
(Jakarta:Lentera Hati, 2000) h. 669
62
yang mendurhakai Allah merasa bahwa hidup di dunia itu terasa lama dan jika
orang-orang yang taat dan patuh atas ketentuan Allah merasa bahwa hidup di
dunia itu sangat singkat dan cepat karena seumur hidupnya di pakai untuk
beribadah hanya kepada Allah.
Adapun M. Quraish Shihab menafsirkan kata tarīq agak sedikit berbeda
beliau menafsirkan kata tarīq dalam konteks keburukan sebagai “jalan menuju
neraka” atau dalam pembahasannya beliau mengatakan bahwa jalan yang tidak
akan mengantarkan kepada suatu kebahagiaan di dunia atau seseorang yang tidak
akan mendapatkan hidayah. Adapun sabīl dalam konteks kebaikan menurut M.
Quraish Shihab suatu jalan yang paling lurus, atau dalam penjelasan beliau
mengatakan bahwa jalan orang-orang yang lurus jalannya ialah jalan orang yang
ketika di dunia menduga bahwa jalan yang di tempuhnya adalah jalan yang
sesuai dengan apa yang di harapkan.
Maka bila di lihat persamaan penafsiran kedua mufasir di atas tentang
kata tarīq dalam kedua konteks yaitu konteks kebaikan (positif) dan keburukan
(negatif). Jika dalam konteks keburukan pada ayat yang penulis kutip yaitu QS
An-nisa ayat 168 dan 169, kedua mufasir sama-sama menafsirkan kata tarīq
dalam ayat tersebut suatu jalan orang-orang yang tersesat yang tidak
mendapatkan hidayah dari Aallh SWT. Jika dalam hal kebaikan kedua mufasir
sama-sama menafsirkan kata tarīq ialah suatu jalan orang-orang yang taat dan
jalan orang-orang yang durhaka.
63
B. Relevansi Penafsiran Buya Hamka dan M. Quraish Shihab Tentang Kata
Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq Dalam Konteks Jaman Sekarang
Kata Ṣirāṭ, Sabīl, dan Ṭarīq sebebarnya memiliki arti yang sama akan tetapi
dengan makna yang berbeda-beda. kata Ṣirāṭ dalam Al-Qu‟an dengan diiringin
kata setelahnya, selalu berarti kebaikan, kebenaran dan sesuatu yang menuju
kepada jalan yang benar atau jalan yang lurus.
Setiap hari kaum muslim bermohon paling sedikit 17 kali agar diantar atau
di tunjukan menuju jalan yang lurus. Al-Qur‟an memberikan petunjuk bahwa
jalan yang baik dihimpun oleh suatu ciri, yaitu “kedamaian, ketentraman, dan
ketenangan”. Banyak jalan bagi manusia menuju jalan kedamaian oleh karena
itu berhati-hatilah jangan sampai terjerumus ke jalan yang sesat.21
menurut hemat penulis dari pernyataan diatas bahwa jangan lah berlaku
curang atau picik, karena banyak jalan menuju kebenaran. jika melihat dari
realita kehidupan jaman sekarang yang mana seseorang banyak yang merasa
bahwa dirinya, alirannya, mazhabnya dan pandangannya lah yang paling benar
dan menganggap bahwa yang lain atau yang berbeda alirannya ialah sesat atau
tidak benar. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan bahwa ada banyak
jalan bagi seseorang dalam menempuh bahtera kehidupan beragama, dan
ingatlah bahwa hanya Allah lah yang dapat menilai apakah seorang hamba itu
benar atau salah dan semua peraturan Allah itu tertera dalam kitab Al-Qur‟an
dan di jelaskan dengan hadis-hadis nabi serta pendapat para alim ulama
pewaris nabi.
21
M.Quraish Shihab, Lentera Al-Qur‟an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2008) Cet:ll h. 53
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian penjelasan di atas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut di bawah ini:
1. Dengan membandingkan kedua mufasir penulis menyimpulkan
kata ṣirâṭ, ṣabîl, dan ṭarīq secara umum diartikan dengan jalan.
Meskipun demikian, ketika dipahami secara balaghah, ketiganya
memiliki perbedaan yang sangat mendalam. Namun, perbedaan itu
tidak menjadikan ketiganya tidak ada keterkaitan, melainkan satu
dengan yang lainnya saling berhubungan, bahkan saling
menguatkan. Dalam al-Qur’an, kata ṣirâṭ disebut sebanyak 45 kali,
yang semuanya dalam bentuk tunggal. Kata sabîl disebut sebanyak
176 kali, 166 kali dalam bentuk tunggal, dan 10 di antaranya dalam
bentuk jamak. Dan kata ṭarīq disebut sebanyak 7 kali semua dalam
bentuk tunggal. ṣirâṭ, dengan kata yang mengiringinya, selalu
dalam konteks kebaikan dan kebenaran. Berbeda dengan ṣabîl dan
ṭarīq yang bisa dalam konteks kebenaran maupun kebathilan.
Kemudian, ṣirâṭ, sabîl dan ṭarīq dapat dikategorikan dalam
beberapa konteks, seperti ketauhidan, keimanan, ketaqwaan,
ibadah, ketetapan dan hukum Tuhan, bahkan konteks sosial.
Sehingga, ada banyak jalan bagi manusia untuk mencapai
kebenaran. Akan tetapi, meskipun demikian, jalan yang pasti benar
72
adalah ṣirâṭ al-mustaqim. Jadi, agar manusia tidak salah pilih atau
bahkan tersesat, maka harus bisa mencari ṣirâṭ al-mustaqim, yaitu
jalan yang bisa mengantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia
dan akhirat.
2. Membandingkan dari kedua mufasir terkenal di Indonesia yaitu M.
Quraish Shihab dan Buya Hamka, dengan melihat dan menganalisa
Tafsir beliau (M. Quraish Shihab dan Buya Hamka) yaitu Tafsir
Al-Misbah dan Tafsir Al-Azhar, penulis menyimpulkan bahwa jika
dilihat dari cara mereka menafsirkan ayat-ayat yang terdapat kata
ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq. Penulis dapat membandingkan bahwa Tafsir
Al- Misbah yang di karang oleh M. Quraish Shihab itu lebih
banyak menjelaskan arti kosa kata ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq sedangkan
Tafsir Al-Azhar yang dikarang oleh Buya Hamka itu lebih sedikit
penjelasan mengenai kata ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq. Akan tetapi dari
penjelasan kedua mufasir yang dituangkan ke dalam tafsirnya yaitu
tafsir Al-Misbah dan tafsir Al-Azhar dapat membantu penulis
untuk menganalisa kata ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq.
3. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai makna ṣirâṭ, sabîl, dan
ṭarīq terlebih tentang ṣirâṭ al-mustaqim. Namun, perbedaan
tersebut tidak menjadikan ummat Islam terpecah, melainkan
semakin tergugah untuk memahami maksud dan kandungan, serta
pesan maupun hikmah dari perbedaan tersebut. Untuk itu,
setidaknya sebagai ummat Islam, paham dan mengerti pesan yang
dimaksud dari ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq yang tertulis dalam al-Qur’an.
73
Ada banyak jalan bagi manusia untuk menuju kebenaran. Misalnya
dengan beribadah, baik ibadah mahdlah maupun ghairu mahdlah,
memanfaatkan harta kekayaan dan kekuasaan, menggunakan ilmu
pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang semuanya sesuai
dengan tuntunan agama Islam. Adanya perbedaan itu, menjadikan
ummat Islam untuk lebih semangat dalam mencari kebenaran
dengan maksud untuk menegakkan dan mengembangkan agama
Allah. Dan yang harus diperhatikan, kebebasan manusia dalam
memilih jalan apapun itu, kesemuanya pada akhirnya harus menuju
kepada ṣirâṭ al-mustaqim. Sebab, ṣirâṭ al-mustaqim ini lah jalan
yang memang diridhoi oleh Allah SWT. Dengan adanya penjelasan
ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq yang begitu beragam, maka ummat Islam
bisa lebih berhati-hati dalam menentukan arah hidupnya. Mereka
sendirilah yang bisa menentukan, entah mau dibawa ke mana jalan
hidupnya. Sehingga, ketika mereka sudah paham betul tentang
maksud dan pesan dari ṣirâṭ, sabîl, dan ṭarīq setidaknya mereka
mau dan mampu secara konsisten untuk melaksanakan pesan-pesan
kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Saran-Saran
Melalui penelitian ini, penulis akan memberikan saran-saran sebagai
berikut:
1. Untuk Pembaca
a. Untuk setiap pembaca, baik dari kalangan akademik
maupun non akademik, harus lebih terbuka dan bisa
74
menerima berbagai perbedaan pendapat yang ada. Setelah
membaca skripsi ini, setidaknya bisa membuka pikiran
pembaca, dan memperluas pengetahuan pembaca dalam
segi ilmu tafsir.
b. Untuk pembaca, khususnya ummat Islam, harus belajar
memahami tafsir dari berbagai sudut pandang, tidak
hanya satu arah saja. Kemudian, berusaha untuk
mengkontekstualisasikan penafsiran itu, serta
mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata.
2. Untuk Mahasiswa Tafsir dan Hadits
a. Sangat perlu bagi mahasiswa tafsir dan hadits, untuk
sering-sering mengadakan kajian tentang tafsir-tafsir
nusantara baik klassik maupun kontemporer, kemudian
selanjutnya melakukan penelitian dengan
membandingkan tafsir-tafsir tersebut. Sehingga bisa
menemukan titik temu dari adanya perbedaan yang ada.
b. Setidaknya, skripsi ini bisa dijadikan tambahan bahan
analisis bagi mahasiswa tafsir dan hadits, ketika hendak
melakukan penelitian tentang tema yang sama, namun
dengan menggunakan judul, pendekatan, serta analisis
yang berbeda.
75
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-
Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1987).
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Aththabari, Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz
I,(Beirut: Dar Al-Ma‟arif, 1972)
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, III,
(Beirut: Daar al-Fikr, 1979 ), hlm: 129-130
Ahmad, Ibn Faris Ibn Zakariya Abu al-Husain, Mu’jam Maqayis al-Lugoh,
III, (Beirut: Dār al-Fikr, 1979)
Al-Andalusi, Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhiṭ, I, (Beirut: dār al-Fikr, 1420
H)
Amir Mafri, MA, Literatur Tafsir Indonesia (Tangerang Selatan
Banten:CV.Sejahtera Kita, 2013),
Arifin E.Zaenal dkk. Asas-asas Linguistik Umum (Tangerang: PT. Pustaka
Mandiri, 2015)
Abdul Muin Salim, Metodologi Ilmu Tfsir, (Yogyakarta: PT. Teras, 2005)
Badudu J.S., Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar III (Jakarta: PT.
Gramedia, 1993)
Damami Moh., Tasawuf Positif (dalam Pemikiran Hamka) (Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru,2000).
Hamka, Tasauf modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007).
Hamka, Buya, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988).
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offest, 1994).
Husain Muhammad al-Thaba‟tabai, Tafsir Al-Mizan, Juz I, (Beirut: Dar al
Muassasah,1991),
Al-Mandhur Ibn, Lisan Al-Arab, Jilid 3, (Kairo: Daar al-Ma‟arif,)
Mukhlisin, “Analisis Makna Ṣiraṭ dan Sābīl Dalam al-Qur’an (Studi
Tematik Ayat-ayat Mutaraddifat)”, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negri Walisongo, 2015)
76
Muhammad al-Zarkasyī, Badr al-Dīn, al-Burhān Fī ‘Ulūm al-Qur’an,
(Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmīyah, 1408/1988)
Ngakibah Usnul, “Studi Analis Penafsiran Ṣiraṭ dan Sābīl dalam Tafsir
Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wīl al-Qur‟an, Karya Ibn Jarīr al-Ṭabari”,
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universtas Islam Negri Sunan
Kalijaga).
Penulis Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia
(Jakarta: Penerbit Djembatan, 1992).
Qalyubi Syihabbuddin, Stilistika al-Qur’an Makna di Balik Kisah Ibrahim
(Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara ).
Al- Razi, Abu Abdillah Muhammad ibn Umar. Mafatih al-Ghaib. Beirut:
Dar Ihya‟ al-Turats al-Arabi. 1990.
Ridla Rasyid, Tafsir Al-Manar, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1343 H).
Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn, al-Itqān Fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Kairo: Dār al-Turāṭ,
1405/1985).
Al–Suyuthi Jalaluddin, Almuzhir fi ‘Ulumi al-lugah wa anwa’uha,
(maktabah Darul turats,kairo)
Saltut Mahmud, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2000)
Shahrizal Moh. Nasir, “Faktor Kewujudan Sinonim Dalam Bahasa Melayu
dan Arab: Satu Analisis Perbandingan”, Jurnal Melayu XII,
no.1(juni 2014)
Shihab, M. Quraish, Eksiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Cet, 1,
(Jakarta, Lentera Hati, 2007).
Sirojuddin Iqbal Mashuri dan A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung:
Angkaragroup, 2005)
Susanti Rita, dkk., “Sinonim, Repetisi, dan Antonim Dalam Bahasa Jepang:
Telaah Majalah Nihongo Journal dan Hiragarna Times”, Lingua
Cultura III, no. 34-44 (Mei 2009)
Suyanto, Bagong (ed.), Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana, 2007)
Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: PT. TERAS,
2005)
77
Al-Tsa‟alibi, Fiqh al-Lughah wa Sirr al-‘Arobiyah, (Dar al-Kutub al-
„Ilmiyah, Bairut).
Tamara Nasir, dkk, Hamka Dimata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan,
1983).
_______________, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan,
(Bandung: Mizan, 1994)
_______________, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999)
_______________, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan, Keserasian al-Qur’an,
Vol. I, II, III (Jakarta: Lentera Hati, 2000)
Watt , W.Montgomery, Pengantar Studi Al-Qur’anI, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995)
Zaki Muhammad Khadzr Muhammad,” Mu‟jam Kalimaat Al-Qur‟an Al-
Karim”. juz 16 (Al-Maktabah Asy-Syamilah, 2005), h. 4, Baca juga
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian
al-Qur’an, vol.1, (Jakarta:Lentera Hati, 2000),