Download - Makalah tradisi lisan kantola
MENGHIDUNPKAN ATAU MEMBERDAYAKAN KEMBALI TRADISI
LISAN KANTOLA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini pola kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat Muna telah
menunjukkan berbagai pengaruh yang sangat kuat, yang disebut sebagai pola kehidupan
global. Warga masyarakat mengalami berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan
pandangan hidup mereka. Maka, perubahan tersebut telah mengancam keberadaan tradisi
lokal, antara lain warisan budaya, kebiasaan, nilai, identitas, dan simbol-simbol kehidupan
masyarakatnya (Giddens 2003:9-15).
Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global
yang semakin tinggi intesitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan
sebagai acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya tidak jarang mengalami
perubahan karena nilai-nilai budaya global dengan kemajuan teknologi informasi yang
semakin mempercepat proses perubahan tersebut (Nashir 1999:176).
Menurut Giddens (2003:67); Arivia, 2004:25), globalisasi membawa prinsip budaya
modernitas sehingga memunculkan segudang permasalahan sosial dan mengancam peradaban
manusia. Melalui ideologi kultural konsumerisme, globalisasi telah banyak menimbulkan
konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan
hampir semua tatanan sosial tradisional dan mengiring umat manusia pada pola homogenitas
kultural yang menentang nilai-nilai dan identitas parochial. Hal ini mengancam keberadaan
budaya lokal yang mengantarkannnya menuju kepunahan.
Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi, tetapi juga
mempengaruhi berbagai segi kehidupan. Pengaruh globalisasi ini, disatu sisi membawa
kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, namun disisi lain memberikan pengaruh negatif
yang sangat signifikan pada aspek-aspek kebudayaan. Bukan hanya berdampak pada
kemunduran nilai-nilai budaya lokal tetapi juga akan mengancam terjadinya kepunahan
berbagai aspek kebudayaan, seperti tradisi lisan yang berkembang secara turun-temurun
sebagai bentuk warisan budaya dari generasi sebelumnya.
Tradisi lisan sebagai bagian dari kearifan lokal yang dapat diperhitungkan sebagai
realitas nilai budaya alternatif dalam kehidupan global berada dalam dua sistem budaya yang
harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya lokal.
Nilai budaya nasional berlaku secara umum untuk seluruh bangsa, sekaligus berada diluar
ikatan budaya lokal manapun. Nilainilai kearifan lokal tertentu akan bercitra Indonesia karena
dipadu dengan nilainilai lain yang sesungguhnya diwariskan dari nilai-nilai budaya lokal.
Warisan budaya mempunyai cakupan pengertian yang luas, meliputi budaya yang
bersifat kebendaan yang dapat diraba (tangible) dan yang tidak dapat diraba (intangible).
Warisan budaya yang tak teraba (intangible) tercakup didalamnya hal-hal yang tertangkap
panca indera lain diluar perabaan, seperti musik, pembacaan sastra maupun bahasa lisan
(Sedyawati, 2008:207). Sastra lisan, melalui kaidah-kaidah irama bunyinya, dapat berperan
serta dalam mendokumentasikan unsur-unsur kebudayaan tertentu sehingga dapat diwariskan
pada generasi berikutnya.
Tradisi lisan merupakan cikal bakal munculnya seni dan sastra dalam komunitas
kehidupan Masyarakat Muna. Cerita-cerita yang acapkali dituturkan oleh orang tua kepada
anak cucunya pada masa lalu merupakan bentuk tradisi lisan yang dikemudian hari
berkembang menjadi sastra lisan. Namun, dalam proses selanjutnya perkembangan tradisi
lisan cukup memprihatinkan. Hanya sebagian kecil saja yang dapat didokumentasikan dalam
lembaran-lembaran kertas. Karya sastra yang berbau tradisi lisan tidak lagi sesuai dengan
minat generasi muda yang cenderung menaruh minat pada hal-hal yang mengandung unsur
budaya pop media elektronik.
Perkembangan tradisi lisan hanya menjadi bagian terkecil dari perkembangan budaya
pada satu komunitas. Hal itu tentu tidak lepas dari minat para pelaku budaya itu sendiri yang
sudah semakin jauh meninggalkan tradisi tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan tidak
didukungnya tradisi lisan menjadi bagian integral dari proses perkembangan budaya dalam
satu komunitas yang cenderung bergerak dinamis saat ini. Pemerintah sendiri seolah-olah
mengabaikan pengenalan ataupun pembelajaran sastra lisan.
Contoh yang paling kongkret dari ketiadaan dukungan tersebut adalah pengenalan
tentang sastra lisan di sekolah-sekolah. Kurikulum yang dikembangkan hanyalah untuk
mempelajari dan memberikan pemahaman umum terhadap karya sastra tulis. Pembelajaran
dan pemahaman terhadap sastra lisan tidak memperoleh porsi yang seimbang. Inilah oposisi
biner yang pertama diterapkan terhadap sastra yang sekaligus mensubordinasi sastra lisan
sebagai sastra kelas dua (Ratna, 2006:328).
Pemerintah selama ini tampaknya hanya berusaha untuk memajukan kebudayaan
nasional. Padahal pemerintah diharapkan juga menggali dan memperkenalkan kekayaan
khasanah kebudayaan lokal. Kenyataan di masyarakat terjadi frakmentasi antara satu produk
budaya dengan produk budaya lainnya. Produk budaya yang dianggap sebagai antibudaya
itulah yang dianggap sebagai kebudayaan nasional, walaupun kebudayaan nasional
bersumber dari kolektivitas budaya-budaya lokal. Akibatnya timbul diskriminasi terhadap
produk budaya lokal yang tersebar di seluruh wilayah pelosok nusantara. Terjadinya
pemutusan tradisi selama rezim Orde Baru yang sangat hegemonik sentralistik
danmenekankan keseragaman sehingga me ngakibatkan keragaman budaya lokal sering
terabaikan. Tidak mengherankan, banyak budaya lokal yang kemudian sedikit demi sedikit
hilang, bahkan ada yang punah.
Tradisi lisan memiliki peranan penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat
Indonesia karena tradisi lisan sebagai salah satu bentuk budaya lokal memiliki hubungan
batin dengan para pewarisnya dan diyakini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat pendukungnya.Tradisi lisan memiliki peranan dan fungsi untuk
menguatkan ketahanan budaya bangsa. Hanya saja, seiring perkembangan zaman, kian
banyak tradisi lisan yangmulai raib dan untuk melestarikannya harus berkejaran dengan
proses perkembangan sastra tulisan.
Tradisi Lisan kantola merupakan salah satu sastra lisan yang berasal dari daerah
Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai produk kultural yang dihasilkan bertatanan
tradisional, yang pada prinsipnya kantola memiliki karakteristik umum yang sama dengan
sastra lisan daerah lain di tanah air. Sebagai sastra lisan, keberadaan kantola pada masyarakat
Muna merupakan kristalisasi kultural dalam kehidupan sosial yang tumbuh dan berkembang
seiring dengan kemapanan tradisi masyarakatnya. Pada saat tradisi berproses secara alami
mengalami stagnasi akibat perubahan sosial, maka keberadaan kantola sebagai tradisi lisan
turut melemah. Hal semacam ini berakibat fatal terhadap perkembangan tradisi lisan kantola
yang semakin teralienasi dari masyarakat Muna, akibat dampak dari modrnisasi.
Tradisi lisan kantola merupakan tradisi lisan yang diapresiasi oleh masyarakat Muna
sebagai media ekpresi yang lirik-liriknya bermuatan perasaan, pengalaman pribadi, dan
dimensi kemasyarakatan. Lirik kantola terdiri atas beberapa baris yang jumlahnya tidak
menentu; ada lirik yang panjang (sepuluh sampai lima belas baris) dan ada lirik yang pendek
(empat sampai lima baris). Penyampaian lirik kantola tidak secara lugas, tetapi dikiaskan
melalui simbolsimbol yang ada. Oleh Karena itu, untuk mengetahui kandungan makna yang
terdapat dalam lirik kantola, seseorang harus memiliki kemampuan interpretative terhadap
simbol-simbol tersebut (Aderlaepe, 2006:51).
Pada mulanya, tradisi lisan kantola ini sangat diminati oleh masyarakat Muna,
terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Meskipun tidak didokumentasikan dalam
bentuk tulisan, tradisi lisan ini tetap dilestarikan secara turun temurun, dari mulut kemulut.
Akan tetapi, dengan semakin gencarnya arus globalisasi di bidang teknologi dan informasi
yang merasuki wilayah budaya lokal, maka keberadaan tradisi kantola ini, sudah mulai
terpinggirkan bahkan sudah mulai menunjukan gejala-gejala terlupakan. Hal ini tercermin
pada pertunjukan tradisi kantola yang semakin jarang dijumpai pada masyarakat Muna,
karena semakin berkurangnya pelaku tradisi ini, dan juga tidak adanya regenerasi dari gerasi
tua kegenerasi muda untuk mempelajari dan memahami makna yang terkandung dalam
tradisi lisan kantola. Generasi muda sudah tidak menginginkan lagi tradisi lisan kantola yang
dianggap sebagai tradisi kuno. Maka bukan hal mustahil tradisi lisan kantola berada di
ambang kepunahan apabila tidak dilakukan revitalisasi nilai-nilai budaya lokal.
Dampak yang lebih jauh akan terasa dengan semakin dilupakannya nilai-nilai budaya
lokal, maka perlu menghidupkan atau memberdayakan kembali kearifan lokal. Pudarnya
sebuah tradisi atau kebudayaan lisan ini disebabkan masyarakat menganggap tradisi lisan
adalah sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu. Stigma semacam itu menyebabkan
generasi sekarang enggan memelihara dan mempertahankan tradisi lisan tersebut.
Harkat suatu masyarakat sangat ditentukan oleh budayanya sendiri. Budaya akan
tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya yang mejadi ahli waris
sekaligus pelaku menuju tercipta dan terwujudnya situasi yang disebut sadar budaya. Sadar
budaya adalah kesadaran atau pemahaman dikalangan masyarakat bahwa sebagai individu
yang berada ditengah tatanan pergaulan, posisinya tidak pernah bersifat singular, melainkan
plural. Disamping itu, suatu masyarakat tidak akan mampu menjaga eksistensi dan
menghayati budayanya sendiri apabila tidak bergaul dengan masyarakat lain. Persoalan
hakiki inipun menjadi sesuatu yang penting dan tak terhindarkan bagi budaya-budaya lokal.
Oleh karena itu, masalah pemahaman tradisi lisan tidak cukup hanya diwacanakan, tetapi
harus diaktualisasikan dengan cara apapun yang dipandang baik (Sayuti, 2008: 25-26).
Dengan demikian, menghidupkan atu memberdayakan kembali nilai-nilai yang terkandung
dalam tradisi lisan sangatlah mendesak untuk dilakukan, sebagai bagian dari sadar budaya
agar tetap dapat menjaga dan mempertahankan keberadaan tradisi lisan dalam budaya lokal.
Kebudayaan nasional ataupun budaya-budaya lokal selalu berada didalam suatu
proses, di dalam kancah hubungan antarabudaya yang selalu terjadi tanpa dapat dihindari.
Masyarakat pemilik budaya tersebut maupun pemerintah harus selalu menjaga dan
mempertahankan keseimbangan antara keberlanjutan dan perubahan yang terjadi sehingga
jatidiri dan identitas bangsa atau suku bangsa senantiasa terus muncul di permukaan dan tidak
ditenggelamkan oleh pengaruh - pengaruh globalisasi yang terus merambah dan
berkecambah. Menghidupkan kembali budaya lokal sama artinya dengan menghidupkan
kembali identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan
dari kebudayaan (Piliang, 2004: 279). Identitas itu sendiri menjadi sebuah persoalan saat
warisan masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh globalisasi yang menciptakan
hegemoni budaya. Krisis identitas muncul ketika warisan budaya yang telah melekat dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat lokal tidak dapat dipertahankan lagi karena ia telah
direnggut oleh nilai-nilai lain yang berasal dariluar.
Menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola merupakan suatu
proses menjadikan kebudayaan sebagai suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam
kehidupan manusia sebelum kehilangan maknanya. Proses mengidupkan atau
memberdayakan kembali tentunya dilakukan secara terorganisir oleh individu pelaku budaya,
kelompok komunitas bersama-sama pemerintah yang dimemiliki kesadaran dan merasa
begitu pentingnya warisan budaya. Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan
lokal yang terkandungdidalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar
belakang dari warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah lain.
Menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola dilakukan untuk
mempertahankan eksistensi budaya lokal sebelum rantai pewarisnya terputus dan sebelum
terjadinya profanisasi budaya lokal yang dianggap bermakna oleh suatu komunitas budaya
tertentu. Menghidupkan atau memberdayakan budaya lokal, terutama kantola harus terus
digali, diperkuat, dan dikembangkan dalam rangka menangkal arus globalisasi yang begitu
gencar mempengaruhi eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal tersebut.
Sosialisasi konsep - konsep, kaidah-kaidah, pola-pola, dan nilai-nilai harus dilakukan terus
menerus, dari generasi ke generasi, agar keberadaan tradisi lisan dalam budaya lokal dapat
terus dipertahankan keberlanjutannya.
Menghidupkan kembali budaya lokal tidak dengan sendirinya disebut revitalisasi.
Revitalisasi sejatinya berfungsi untuk menjadikan budaya lokal sebagai sesuatu yang sangat
berguna, bermanfaat, dan berfungsi dalam kehidupan masyarakat (Sibarani, 2004: 31).
Menurut Sibarani, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan revitalisasi,
antara lain: 1) mendorong setiap kebudayan etnik hidup berkembang tanpa diskriminasi
dengan menghindari dominasi kebudayaan mayoritas, hegemoni kebudayaan mayoritas, dan
penyeragaman kebudayaan; 2) membangun perkampungan budaya (cultural village) sebagai
wadah transfer budaya, sosialisasi kebudayaan, dan sebagai tujuan wisata budaya; 3) segala
bentuk pembangunan harus dilandasi oleh kebudayaan masyarakat setempat; 4) melibatkan
masyarakat setempat sebagai pemain, penentu prioritas, perencana, pelaksana, dan penerima
untung dari kegiatan kebudayaan termasuk kegiatan pembangunan; 5) melibatkan
“orangorang budaya” dalam penelitian, perencanaan, dan pelaksanaan setiap pembangunan.
Penelitian ini berusaha mengkaji keberadaan tradisi lisan kantola dalam kaitannya
dengan menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan. Kantola sangat berkaitan
erat dengan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi dasar pijakan kehidupan
bermasyarakat dalam ruang lingkup masyarakat Muna. Penelitian ini merupakan penelitian
budaya dengan permasalahan menyangkut bentuk, fungsi dan makna menghidupkan atau
memberdayakan kembali tradisi lisan kantola, di mana kantola yang dalam syair - syairnya,
bermuatan multidimensional yang sarat makna.
1.1.2 RUMUSAN MASLAH
Masalah dalam penelitian ini adalah “ Bagaimanakah menghidupkan atau
memberdayakan kembali tradisi lisan kantola Msyarakat Muna pada era globalisasi ?”
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami serta
mendeskripsikan tradisi lisan kantola dan menggali informasi tentang menghidupkan atau
memberdayakan kembali terhadap tradisi lisan tersebut pada masyarakat Muna Sulawesi
Tenggara.
1.2.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bentuk menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola
masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi;
2. Untuk mengetahui fungsi menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola
masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi;
3. Untuk memahami dan menginterpretasikan makna menghidupkan atau meberdayakan
kembali tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi.
1.3 MANFAAT
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfat sebagi berikut:
1. Dapat dijadikan sebagai bahan ajar tambahan ( muatan lokal ) di sekolah – sekolah SMP
maupun SMA pada pembelajaran bahasa dan sastra daerah Muna.
2. Salah satu upaya pelestarian dan pencegahan dari ancaman kepunahan sastra daerah lisan
dalam rangka memperkaya kebudayaan nasional di tengah – tengah perkembangan zaman.
3. Sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya terutama yang menyangkut sastra daerah
muna.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Sastra
Perkamin dalam (Badudu, 1985 : 5) mengemukakan bahwa yang disebut kesustraan
adalah semua tulisan atau karangan indah yang bernilai atau yang arti didalamnya tercapai
keseimbangan antara isinya yang indah yang dapat dilahirkan dalam bentuk bahasa yang
indah pula.
Secara kata kesustraan berasal dari kata dasar susastra, terjadi su dan kata dasar
sastra.Su berarti, bagus dan indah; sastra dalam bahasa sangsengkerta sastra berasal dari kata
cas sama dengan belajar, akhiran ra berarti yang harus … ( Erna, 1986 : 4 ).
Berdasarkan arti katanya, maka yang disebut kesustraan itu adalah semua tulisan atau
karangan yang indah, yang bernilai, artinya yang didalam terdapat keseimbangan antara
keindahan isi yang dapat dilahirkan dengan bentuk bahasa yang indah. Lebih lanjut bahwa
arti kesustraan yang diambil dari kata itu pada hakekatnya tidak mencakup apa yang disebut
seni sastra ini, sebab seni sastra termasuk pula segala ucapan dan cerita atau deongeng yang
tidak ditulis ( lisan). Jadi, kesustraan dalam pengertian yang luas adalah segalah hal kegiatan
manusia yang bersifat seni yang memakai bahasa semsta – mata hanya sebagai alat.
Berdasrkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahawa kesustraan
adalah sebuah ciptaan yang serius dalam bentuk lisan maupun tulisan yang memiliki
keindahan bahasa yang merupakan luapan perasaan jiwa manusia yang didapat dari
pengalaman hidupnya.
2.2 Sastra Lama
Pengerian kesustraan lama sebenarnya masi mempunyai acuan yang sangat luas,
termaksut sastra fiktif ( prosa dan puisi ), dan karya sastra yang berifat nonfiktif yaitu kritik
esai prosa mencakup legenda, hikayat, sissilan atau sejarah dan pelipur lara, ( Erna, 1986 : 15
). Lebih lanjut lagi bahwa wujud kesustraan lama adalah kesustraan yang tidak tertulis,
kesustraan yang awal perwujudanya berbentuk lisan, serta ini dibawa secara turun temurun
dari mulut kemulut, orang tua kepada anaknya atau pelipur lara dan sebagainya ( Ema 1986
:16 ).
Perbandingan dengan kesustraan tertulis antara lain seperti nyang dikemukakan oleh
Teuuw ( 1982 : 78 ), bahwa sastra terulis tidak memerlukan komunikasi secara langsung
antra penikmat dan pencipta, sedangkan sastra lisan biasanya berfungsi sebagai sastra yang
dibacakan dan dibawakan secara bersama – sama.
2.3 Sstra Lisan
Sastra lisan adalah karya sastra yang diciptakan dan disampikan secara lisan dengan
mulut, baik dalam pertunjukan maupun luarnya, ( Hutomo 1983 : 87 ).
Menurut balawa (1991 : 23 ) bahawa sastra lisan adalah sastra yang hidup dan
berkembangan pada zaman klasik, dan diakui sebagai milik bersama di tengah – tengah
masyrakat. Jenis – jenis sastra lisan itu yakni dongeng, cerita rakyat, legenda, mite, sage,
gurindam dan hikayat.
Hutomo ( 1983: 87 -88 ), sastra lisan atau kesustraan adalah kesustraan yang
menyangkut ekspresi warga suatu kehidupan yang disebar luaskan dan turun - temurun secara
lisan dari mulut kemulut. Ciri – cirri sastra lisan menurut Hutomo adalah sebagai berikut :
1. Anonim, yaitu karya – karya sastra lisan itu sudah tidak diketahui lagi siapa pengarangnya.
2. Statif, yaitu baik isi cerita maupun bentuknya sangat lamban perkembanganya.
3. Religiusitas, yaitu karya - karya itu berhubungan dengan agama kepercayaan yang dianut.
4. Klise imitatif, yakni baik isi maupun bentuknya selalu meniru yang ada sebelumnya.
2.4 Menghidupkan Atau Memberdayakan Kembali Tradisi Lisan Kantola
Setiap masyarakat mempunyai seperangkat tradisi lisan yang harus digali dari
pengalaman hidup mereka pada masa lalu. Tradisi lisan merupakan produk budaya masa lalu
yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan
khusus, yang kesemuanya itu dianggap baik sehingga patut secara terus-menerus dijadikan
pegangan hidup. Tradisi lisanmerupakan semua kecerdasan tradisional yang ditranformasikan
ke dalam cipta, karya dan karsa, sehingga masyarakat dapat mengatasi berbagai persoalan
hidu dalam berbagai iklim sosial yang terus berubah-ubah.
Maka untuk itu diperlukan kesungguhan dan kerja secara sistematis dan periodik yang
sangat kuat, serta diakrabkan kembali pada masyarakat pendukungnya dalam
mempertahankan eksistensi warisan budaya lokal yang merupakan penunjang kebudayaan
nasional. Untuk itu, langkah penting harus segera dilakukan pemerintah dan lembaga non-
pemerintah serta masyarakat pendukung untuk terus proaktif dalam upaya penyelamatan dan
peningkatan apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya. Sebagai warisan budaya, tradisi
lisan kantola, terus diupayakan pelestariannya, seperti tampak pada pertunjukan tradisional
secara periodik, pengintegrasian kantola dalam berbagai bentuk pantun, aktualisasi kantola
dalam masyarakat, dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pelestarian tradisi lisan
kantola.
Demikian pula halnya dengan masyarakat Muna, sebagai masyarakat yang bisa
dikategorikan sebagai masyarakat berbudaya. Masyarakat Muna memiliki tradisi lisan yang
telah menjadi sebuah sistem dalam tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi,
hukum serta lingkungan di tengah-tengah kehidupan mereka. Tradisi lisan pada masyarakat
Muna bersifat dinamis berkelanjutan dan dapat diterima oleh komunitasnya, serta memiliki
ranah dan dimensi yang sangat luas mulai dari sifatnya yang sangat teologis sampai yang
sangat pragmatis dan teknis. Masyarakat Muna, menciptakan dan mengembangkan tradisi
lisan yang di dalamnya tercakup berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, berperilaku
dan bertindak, baik dalam hubungan mereka dengan sesama manusia, dengan alammupun
dengan kuasa.
Tradisi lisan dalam masyarakat Muna dikemas berdasarkan pengalaman dalam
berinteraksi dengan alam di sekitar mereka, dengan sesama orang Muna, dan dengan
Kakawasa Ompu (Tuhan Yang Maha Esa). Pengalaman dan pengetahuan empirik yang
diperoleh terus diwariskan dan dikembangkan serta dipertahankan melalui proses
pembelajaran dari generasi ke generasi, di mana bahan ajar dalam proses pembelajaran
tersebut tidak tertulis, tetapi tersimpan disetiap kepala masyarakat Muna, terutama para tetua
adat dan tokoh-tokoh masyarakat Muna. Koentjaraningrat (1992: 79) menyebut proses
pembelajaran seperti ini sebagai pembudayaan atau biasa pula dikenal dengan istilah
institusionalisasi yaitu proses belajar yang dilalui oleh setiap orang selama hidupnya untuk
menyesuaikan diri di alam pikirannya serta sikapnya terhadap adat, sistem norma dan semua
peraturan yang terdapat dalam kebudayaan dan masyarakatnya.
Sebagai produk budaya masa lampau tradisi lisan yang memiliki dimensi yang sangat
luas (Ife, 2002: 301), maka kajian tradisi lisan masyarakat Muna sebagai grand issu kajian
ini, lebih difokuskan pada upaya pengidentifikasian perangkat-perangkat tradisi lisan
masyarakat Muna yang kiranya dapat direvitalisasi sebagai model tradisi lisan, khususnya
tradisi lisan masyarakat Muna berbasis budaya tradisonal. Hasil eksplorasi dan upaya
revitalisasi tersebut akan diberikan pada bagian-bagian berikut ini.
2.5 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola secara Periodik
Akhir-akhir ini krisis kebudayaan yang melanda dunia, bukan hanya mengakibatkan
keterpinggiran ilmu-ilmu budaya oleh perkembangan teknologi dan media yang sangat pesat,
tetapi juga berdampak pada terpuruknya apresiasi masyarakat, terutama generasi muda,
terhadap produk-produk tradisi lisan yang tak ternilai harganya, selain unsur filosofis dan
nilai etis yang terkandung di dalamnya. Mayoritas generasi muda lebih suka menikmati dan
menggeluti produk-produk budaya modern dan pop, dan beranggapan bahwa produk-produk
tradisi lisan yang bernuansa tradisional merupakan bagian dari masa lalu yang tidak lagi
sesuai dengan kondisi masyarakat yang dianggap modern, hingga kini.
Tradisi lisan selalu berkembang di dalam suatu proses seiring dengan perkembangan
masyarakat pendukungnya. Masyarakat pemilik budaya tersebut, termasuk pemerintah, harus
selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan antara keberlanjutan dan perubahan yang
terjadi sehingga tradisi lisan senantiasa terus muncul di permukaan dan tidak ditenggelamkan
oleh pengaruh-pengaruh globalisasi yang terus mengancam eksistensinya. Untuk itu
diperlukan berbagai upaya mendorong pelestarian tradisi lisan.
Upaya untuk mempertahankan dan meningkatan apresiasi masyarakat terhadap tradisi
lisan kantola adalah pertunjukan tradisi lisan kantola harus dilakukan secara periodik.
Peningkatan apresiasi masyarakat tentu saja akan membuka peluang besar bagi pertumbuhan
dan perkembangan tradisi lisan semakin terhimpit dengan produk-produk budaya global.
Tradisi lisan memiliki kekuatan yang bisa mempengaruhi rancang bangun kebudayaan
nasional karena tradisi lisan merupakan produk estetis simbolis masyarakat yang berakar
pada pengalaman sosiokultural sehingga di dalamnya terkandung kearifan dan nilainilai
mulia (Sutarto, 2004: 1). Pengalaman sosiokultural ini menjadi sesuatu yang berharga dalam
mempertahankan eksistensi kehidupan masyarakat dalam menghadapi derasnya arus
globalisasi yang setiap saat dapat mengancam segala aktivitas kultural, termasuk keberadaan
tradisi lisan.
Sutarto lebih jauh mengungkapkan bahwa tradisi lisan telah menjadi korban
perubahan dari budaya global yang berdampak pada keterpurukan dan bahkan lambat laun
akan hilang di muka bumi. Gejala keterpurukan dan kepunahan sudah tampak di pelupuk
mata dan ini tidak semestinya terjadi. Jika hal ini dibiarkan maka bangsa Indonesia sebagai
bangsa besar, dengan berbagai jenis tradisinya yang tak terhingga jumlahnya, akan
kehilangan produkkebudayaan. Apabila tidak terjadi peningkatan apresiasi, tradisi lisan akan
gagaln memenangi dukungan masyarakat (communal support) dan dukungan pasar (financial
support). Dukungan masyarakat akan melemah dan dengan sendirinya pewaris tradisi lisan
akan makin berkurang pula. Banyak di antara kita yang tidak sadar dengan fakta bahwa
aktivitas kedaerahan kita telah dipengaruhi, bahkan terkadang ditentukan, oleh peristiwa atau
agen yang jauh (Giddens, 2003: 9).
Budaya global mampu menebus batas-batas dan sekat-sekat lokalitas masyarakat
mana pun di belahan bumi ini. Dia menjadi agen perubahan yang seolah-olah memiliki
remote control dalam mengendalikan segala aktivitas masyarakat sesuai yang dia inginkan.
Anggapan ini melekat dalam masyarakat bahwa globalisasi memberi ruang terhadap
penciptaan produk-produk budaya yang universal, sehingga produk-produk budaya lokal
akan terserap ke dalamnya atau malah sebaliknya, sehingga terjadi tarik menarik di antara
keduanya. Dalam hal ini, terjadi pertemuan antara globalitas dan lokalitas.
Swellengrebel (Astra, 2009: 125) menyebutkan pertemuan antara tradisi besar (great
tradition) dengan tradisi kecil (little tradition) vis a vis. Menurut Astra, tradisi besar tidak
pernah mampu mencerabut tradisi kecil yang memang sudah mengakar di bumi Nusantara.
Kekuatan budaya lokal terwujud dalam bentuk kearifan lokal (lokal genius) yang mampu
menyaring hal-hal positif dari tradisi besar sehingga memperluas cakrawala budaya dan
meningkatkan adab bangsa. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya global memiliki
daya tersendiri, magnet yang memiliki daya tarik yang kuat. Dia mampu memutar balikkan
fakta sehingga lambat laun tradisi kecil akan tercerabut dari akarnya. Akhirnya, pemikiran
konvensional akan terus bermunculan yang beranggapan bahwa produk budaya lokal itu kuno
ketinggalan zaman sehingga tidak menarik, sementara budaya global itu selalu bagus dan
menarik dimata masyarakat yang telah dipengaruhi oleh budaya global.
Pertunjukan tradisi lisan kantola merupakan satu dari beberapa pertujukan berbalas
pantun yang menampilkan berbagai unsur pertunjukan tradisional yang ada pada masyarakat
Muna, yang diselenggarakan pada acara pasca perkawinan, syukuran, sunatan, pingitan, dan
pasca panen. Keberadaan kantola yang sekarang ini sudah mulai hilang atau memudar
dikalangan masyarakat Muna.
Mulanya penyelenggaraan pertunjukan tradisi lisan kantola sebagai sarana hiburan
bagi masyarakat daerah Muna sejak dahulu. Manakala ada acara kantola, orang beramai-
ramai mengunjungi keramaian itu untuk mendengarkan kantola yang ditampilkan pada waktu
itu. Orang-orang tua, anak-anak, lebih-lebih para pemuda dan pemudi tidak ingin melewatkan
kesempatan itu. Dalam kondisi seperti itu kantola berperan sebagai sarana jumpa sehingga
momentum itu dapat digunakan untuk menggalang massa. Lewat kantola kita dapat
memberikan informasi pembangunan, agama, dan nasihat-nasihat. Bagi pemuda dan pemudi
mempunyai kesempatan seperti itu dapat digunakannya untuk memperluas pergaulan. Lebih
dari itu dapat pula digunakannya sebagai langkah awal untuk memilih pasangan hidup.
2.6 Foklor Lisan Daerah Muna Sulawesi Tenggara
Foklor lisan dalam masyarakat Muna terdiri atas: (a) ungkapan tradisional (palenda
“sindiran”, falia “pemali”); (b) nyanyian rakyat ( modero ‘nyanyian rakyat dilakukan pada
saat merayakan musim panen pertanian’ , kantola ‘'berbalas pantun’, kabhanti gambusu
‘nyanyian rakyat dilakukan pada saat merayakan musim panen pertanian,pesta-pesta rakyat
); (b) bahasa rakyat (patamondono ‘tokoh masyarakat’, modhi anahi ‘tokoh agamalebih
muda’, modhi kamokula ‘tokoh agama yang lebih tua, koghoerano/kosangiano ‘yang
berkuasa dala satu kampung’ , aro desa ‘julukan mantan kepala desa’; (d) teka-teki (wata-
watangke’ bentuk tanya jawab yang yang biasanya dilakukan anak-anak’ ) (e) cerita rakyat
(kapu-kapuuna ‘dongeng’. Misalnya: kapoluka bhe ndoke ‘cerita rakya kura-kura denga
monyet’ , kau-kaudara ‘bentuk nyanyian rakyat biasanya dinyanyikan seorang ibu saat
menidurkan anaknya’ Foklor setengah lisan dalam masyarakat Muna terdiri atas: (a) drama
rakyat (…….); (b) tari ( Linda ‘ tarian biasanya diperankan dipanggung saat proses
pernikahan’, owele ‘sejenis tarian biasanya diperankan anak muda dan orang tua sebelum
proses pernikahan ); (c) upacara ( kampua ‘upacara pencukuran rambut bayi yang berumur
sekitar 44 hari, kasambu ‘upacara ini dilaksanakan apabila bayi dalam kandungan telah
berumur tujuh bulan’, katoba ‘uapaca pengislaman seorang anak yang berusia 7- 10 tahun’,
karia ’upacara pembinaan menta anak wanita apabila telah mencapai usia 13 tahun atau pada
haid pertama’, kagaa ‘upacara perkawinan , omate ‘upacara kematian’. Upacara kematian
terbagi atas: a) kakadiu ‘upacara pembersihan mayat sebelum di kubur’ , oalo ‘ upacara
malam keempatnya’, oefitu, ‘upacara malam ketujuh’ omoghono ‘upacara malam ke seratus’
, patai ‘upacara hari ketiga, , oseriwu ‘upacara hari ke seribu’. Upacara di bidang pertanian
yakni: 1) Kafematai adalah upacara penaburan bibit pertama yang bertujuan agar tanaman
tumbuh subur dan berhasil, tidak diganggu oleh hama dan pemilik kebun selalu sehat dan
selamat; 2) Kafindahino wite atau katambori atau kasolono wite adalah upacara pertama
waktu membuka ladang, yang bertujuan untuk mengetahui apakah tanahnya cocok untuk
diolah atau tidak; 3) Kaago-ago adalah upacara menyambut kedatangan musim barat yakni
memohon keselamatan dan meminta bantuan pada makhluk ghaib supaya dalam musim ini
terhindar dari marabahaya dan produksi jagung berhasil dengan baik; 4) Kaghotino Katumpu
adalah memberi hadiah sebagai ungkapan terima kasih kepada pohon-pohon yang telah
mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan umat manusia; 5) Kafotobo adalah upacara yang
dilaksanakan ketika tanaman jagung mulai berbunga; 6) Kabelai adalah upacara yang
dilaksanakan ketika bakal buah jagung mulai ada, dengan tujuan agar bakal buah cepat berisi
dan berbuah bagus; 7) Katumbu adalah upacara berupa pesta yang biasanya dihadiri oleh
sejumlah undangan sebagai tanda syukur kepada makhluk ghaib yang telah memelihara
tanaman jagung hingga berhasil; 8) Katongka adalah upacara panen kedua, yang
dilaksanakan ketika jagung berumur 90 hari yaitu ditandai pada kulitnya yang telah mulai
kering. (d) permainan dan hiburan (tunuha ‘perayaan kesyukuran atas hasil pertanian mereka
yang dihadiri masyarakat umum, pokadudi ’jenis mainan anak-anak atau dewasa yang terbuat
dari kayu dengan menggunakan biji-bijian’ , polangkakope ‘sembunyi-sembunyi’, pohule
‘jenis mainan anak-anak yang terbuat dari kayu berbentuk runcing ujungnya yang biasanya
dipertandingkan dalam masyarakat’, pokaghati ‘layang-layang’; (e) adat kebiasaan ( pokaowa
‘kegiatan tolong menolong/saling membantu secara bergiliran, pokadulu’ kegiatan sosial
dalam masyarakat secara bergotong royong’), (f) pesta rakyat (…………..).
Foklor nonlisan terdiri atas: (a) material (mainan: poelo ‘ main kelereng’, pobente
‘berkejar-kejaran sampai dapat’, pakaian: bheta kamooru ‘sarung tenunan’, makanan:
kambose ‘ jagung tua yang di rebus’ makanan khas Muna’, obat-obatan: rokapaea ‘daun
pepaya’ obat sakit malaria’, (b) bukan material (osuli ‘seruling’, kapu-puu ‘terompet yang
bahannya dari batang padi dan janur’.
Tradisi lisan dalam masyarakat Muna meliputi antara lain: (a) sastra lisan (..........); (b)
teknologi tradisional (kagili ‘alat penggiling jagung muda yang terbuat dari kayu’, pando
newulu ‘tombak yang terbuat dari bamboo yang digunakan untuk menombak babi atau
anjing’, katumbu ‘alat penumbuk jagung atau padi yang terbuat dari kayu’); (c) unsur religi
dan kepercayaan masyarakat di luar batas formal agama-agama besar, misalnya (kantisele/
karoro ‘proses pengobatan tradisional melalui mantra-mantra’ , ghoti isa ‘ritual yang
bertujuan untuk memudahkan mendapat rezeki atau kemudahan dalam segala urusan’.
2.7 Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara
Kata Masyarakat dan Muna terdiri tiga unsur: pertama, konsep masyarakat mengacu
pada suku bangsa atau kelompok etnik yang dicirikan berdasarkan wujud kebudayaan dan
corak tradisi yang digunakan dalam kapasitasnya sebagai unsur budaya, indeks budaya, dan
simbol budaya. Sejalan dengan itu, Koentjaraningrat (Hadirman, 2009: 9) mengartikan suku
bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan
kebudayaan, yang seringkali dikuatkan oleh kesatuan tradisi. Kesatuan kebudayaan dan
tradisi dalam satu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh orang luar, tetapi berdasarkan
konvensi para anggotanya. Sosok kebudayaan suatu kelompok masyarakat tercermin, antara
lain dengan bentuk tradisi yang mereka gunakan dalam konteks sosial dan konteks budaya.
Adapun masyarakat Muna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna yang
bermukin dikecamatan Lawa dan Kontunaga. Kedua, Muna merupakan nama salah satu
wilayah yang mana wilayahnya tersebut menjadi ibukota atau pusat pemerintahan Daerah
Tingkat II Muna. Ketiga, Sulawesi Tenggara adalah merupakan salah satu wilayah di Pulau
Sulawesi yang memiliki hak otonom dalam hal pemerintahan sehingga memiliki status
sebagai Provinsi Sulawesi Tenggara. Jadi masyarakat Muna yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah masyarakat Muna yang mengacu pada suatu suku bangsa atau kelompok etnik
yang berada di kabupaten muna, akan tetapi lokasi penelitian ini di pusatkan pada dua
kecamatan Bata Laiworu, Desa Wakorambu, bukan pada wilayah kabupaten Muna secara
keseluruhan.
2.8 Era Globalisasi
Kata era berarti ‘jaman, masa, tarikh’. Adapun kata globalisasi merupakan kata yang
diserap dari kata bahasa Inggris dari kata globe yang artinya ‘bola dunia’ (Poerwarminta,
1988: 61). Dari kata globe muncul kata global yang diartikan “sedunia, sejagat’ dan kata
globalisasi yaitu gejala terbentuknya system organisasi dan sistem komunikasi antara
masyarakat-masyarakat di seluruh dunia yang mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama.
Sistem-sistem yang bersifat global terbentuk sebagai akibat dari sistem transport udara yang
makin lamamakin cepat, dan karena sistem komunikasi person-to-person serta komunikasi
massa yang mampu menyelenggarakan hubungan atas dasar hitungan waktu yang diukur
dengan jam, menit, detik ataupun dalam seketika (Sumardjan, 2007: 23).
Berdasarkan uraian tentang masing-masing bagian konsep tersebut di atasmaka dapat
dirumuskan bahwa globalisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu jaman
atau massa di mana sistem organisasi dan sistem komunikasi antara masyarakat-masyarakat
di seluruh dunia mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama atau hampir sama.
Jadi defenisi oprasional Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat Muna
Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi adalah merupakan pengokohan jati diri yang
menyiratkan adanya pandangan positif tentang betapa strateginya tradisi lisan kantola,
sebagai media ekspresi, dalam menghadapi derasnya arus globalisasi. Selain itu, mampu
mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya lokal tersebut, yang
dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu ke masa kini, sehingga dapat bertahan
dalam menumbuhkan kemampuannya.
Revitalisasi merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan budaya lokal sehingga
dapat mengaktualisasi diri dalam konteks global. Pengembangan budaya lokal dapat
dilakukan melalui pengenalan dan pengajaran budaya lokal, dengan menciptakan ruang bagi
pengembangan kreativitas lokal sehingga mampu menumbuhkan kesadaran kultural tanpa
mengorbankan nilai-nilai dasar budaya lokal tersebut. Selain itu, revitalisasi harus
menjadikan budaya lokal sebagai kebutuhan dalam menyejahterakan masyarakat. Adapun
indikator yang menyangkut revitalisasi tradisi lisan antara lain:
1. Kesadaran untuk menanamkan cara hidup berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai budaya
lokal dalam memperkokoh jadi diri masyarakat lokal.
2. Menumbuhkan kesadaran akan strategisnya kekuatan kearifan lokal dalam menghadapi
derasnya arus globalisasi.
3. Membangkitkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan
peran dari lembaga adat.
4. Memulihkan dan membangkitkan kembali ingatan dan kesadaran kolektif masyarakat lokal
sehingga tidak tercabut dari akarnya.
5. Dorongan untuk menata ulang pengalaman kultural dan memberikan arah pada
perkembangan budaya lokal.
2.9 Teori Hegemoni
Masyarakat Muna adalah salah satu etnis besar yang termaginalisasi dari segi tradisi,
yang diakibatkan oleh modernisasi. Proses pengikisan tradisi lisan secara perlahan yang
melupakan identitas individu dan budaya-budaya lokal, sehingga berdampak pada
kecenderungan sikap masyarakat yang konsumerisme.Hal ini bisa berdampak dengan
semakin dilupakannya nilai-nilai budaya lokal. Pudarnya sebuah tradisi atau kebudayaan
lisan disebabkan masyarakat menganggap tradisi lisan adalah sesuatu yang kuno atau bagian
dari masa lalu. Oleh karena itu, problematika kehidupan masyarakat Muna dapat dikaji
dengan menerapkan teori hegemoni Wacana hegemoni yang dapat diterapkan untuk
menelaah masalah mengapa mulai ditinggalkannya tradisi lisan kantola dalam masyarakat
Muna adalah analisis wacana hegemoni dari Foucault dan Gramsci. Analisis geneologi
Foucault tentang formasi diskursif mengetengahkan antara hubungan pengetahuan dan
kekuasaan. Tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan, sebaliknya tidak ada pengetahuan tanpa
ada kekuasaan yang mendukungnya (Foucault, 1977).Selanjutnya Foucault menawarkan tiga
konsep pendisiplinan, yaitu (1) ilmu-ilmu pengetahuan yang menempatkan subjek sebagai
objek penyelidikan; (2) praktik - praktik pemisahan yang memilah antara yang waras dengan
yang gila, antara yang kriminal dengan warga yang taat hukum, dan antara kawan dengan
lawan; (3) teknologi-teknologi tentang diri yang digunakan individu untuk mengubah diri
mereka menjadi subjek (Barker, 2004: 107). Sesuai dengan formasi diskursif dan praktik-
praktik pemisahan yang dikemukan Foucault tersebut, masyarakat Muna diwacanakan
sebagai lawan yang harus ditaklukkan oleh pihak lain.
Menurut Simon (1999: 19) secara esensial hegemoni bukan merupakan hubungan
dominasi inherent dengan menggunakan kekuasaan, melainkan terjadi kesepahaman dengan
penggunaan kepemimpinan politik dan ideologi, sehingga hegemoni merupakan organisasi
konsensus. Dalam hegemoni kontrol sosial dilakukan dengan cara membentuk keyakinan ke
dalam. Namun demikian, yang berlaku adalah supremasi kelompok dalam hegemoni yang
diperoleh bukan atas penindasan tetapi melalui konsensus menggiring cara pandang orang
dalam menyikapi problematik sesuai dengan cara pandang kelas sosial yang
menaklukkannya.
Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang dapat muncul melalui mekanisme
konsensus daripada melalui penindasan terhadap kelompok sosial lainnya, yakni melalui
institusi yang ada dalam masyarakat yang menentukan secara langsung atau tidak langsung
struktur-struktur kognitif dari masyarakat (Hendarto, 1993: 35). Itulah sebabnya hegemoni
menurut Gramsci pada hakikatnya adalah upaya untuk menggiring orang menilai dan
memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Melalui hegemoni, cara
pandang dan keyakinan masyarakat akan dipengaruhi sehingga kehilangan kesadaran kritis
mereka terhadap sistem yang ada. Hal ini berimplikasi bahwa seolah-olah kelompok
penguasa memberikan kebebasan bagi kelompok yang tertindas dalam berekspresi. Namun,
sesungguhnya hal itu adalah strategi yang diterapkan kelompok penguasa sehingga tidak
terlihat adanya tekanan bagi kaum tertindas. Hegemoni merupakan suatu tatanan atau cara
hidup dan pemikiran kelompok tertentu menjadi dominan, yakni suatu konsep realitas yang
disebarkan ke seluruh masyarakat dalam seluruh kelembagaan dan kehidupan pribadinya
yang mempengaruhi seluruh cita rasa, moralitas, kebiasaan, prinsip, agama dan politik, serta
seluruh hubungan sosial terutama dalam pengertian intelektual dan moral (Fakih, 2000).
Dalam konteks konsensus, Gramsci mengajukan tiga kategori konformitas/
penyesuaian bagi masyarakat yang tidak mampu beroposisi, yaitu (1) orang akan
menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila tidak
menyesuaikannya; (2) orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa mengikuti tujuan-
tujuan tertentu; (3) konformitas yang muncul dari tingkahlaku yang mempunyai tingkatan-
tingkatan kesadaran dan persetujuan dengan unsurunsur tertentu dalam masyarakat
(Hendarto, 1993: 36). Dalam konteks ini hegemoni terus-menerus diperbaharui. diciptakan
dipertahankan dan dimodifikasi.
Hegemoni juga ditantang, dibatasi, diubah, dan dihadang oleh tekanan dari luar,
sehingga hegemoni selalu peka terhadap alternatif. Upaya revitalisasi tradisi lisan dalam
masyarakat Muna adalah bagian dari perlawanan terhadap hegemonik yang sedang dialami
oleh masyarakat Muna.
Teori di atas, digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua dalam penelitian ini
yakni tentang menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola masyarakat
Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, juga model rekonstruksi tradisi lisan kantola
sebagai kekayaan budaya masyarakat tersebut. Faktor penunjang dan penghambat tersebut
dicurigai berasal dari dalam masyarakat Muna itu sendiri dan ada yang berasal dari luar
masyarakat, seperti pemerintah daerah dan pihak-pihak lain. Begitu pula dengan
kemungkinan merekonstruksi tradisi lisan kantola sebagai strategi dalam mengembangkan
identitas tidak terlepas dari peranan masyarakat, khususnya masyarakat Muna dan juga
adanya campur tangan pemerintah daerah. Sebab menurut Wibowo (2000: 45), pemerintah
daerah dan masyarakat saling berinteraksi.
Mengacu pada teori hegemoni di atas, dengan mulai ditinggalkanya nilainilai tradisi
lisan kantola yang diakibatkan oleh pengaruh budaya global terhadap perkembangan budaya
masyarakat Muna. Budaya global memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan
budaya lokal, dalam hal ini tradisi lisan kantola yang merupakan identitas masyarakat lokal
Muna. Namun seiring dengan gencarnya budaya global mempengaruhi keberadaan tradisi
lisan dan identitas masyarakat Muna. Budaya global dengan kekuasaan kapitalisme dan
hegemoni kultural melalui media terus mengancam keberadaan budaya lokal ini.
BAB III
METODE PENELITIAN DAN TEKNIK PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, makapenelitian ini
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penggunan ini bertujuan untuk
mendeskripsikan secara sistematis, factual, dan akurat dengan menggunakan kata – kata atau
kalimat. Semuanya diuraikan sesuai dengan kenyataan yang ditemukan dilapangan penelitian.
3.2 Jenis Penelitian
Ditinjau dari data dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka
penelitian ini tergolong penelitian lapangan karena peneliti terlibat langsung kelapangan
untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.
3.3 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah tradisi lisan kantola yang digunakan Masyarakat
Muna bertdasrakan bentuk, funsi, dan maknanya.Tradisi lisan kantola tersebut langsung
dicatat dari informan yang menuturkanya.Informan yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah para orang tua yang berdomisili di Desa Wakorambu, Kecamatan Bata Laiworu,
Kabupaten Muna.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data, peneliti mendatangi dimana tempat dimana informan
sedang menggunakan tradisi lisan kantola secara langsung. Untuk memperoleh data yang
diperlukan pada objek penelitian maka dalam tahap tersebut peneliti menngunakan beberapa
teknik diantaranya: teknik wawancara teknik catat.
1. Pada teknik wawancara penulis mewawancarai informan atau yang menuturkanya untuk
menjelaskan atau menyebutkan tradisi lisan kantola.
2. Teknik catat, digunakan untuk mencatat hal - hal penting dari kegiatan wawancara untuk
mendpatkan informasi tambahan yang berkaitan denganobjek penelitian yang dimaksud.
3.5 Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini di analisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif. Data dideskripsikan dalam bentuk kata – kata atau kalimat yakni menguraikan
menghidupkan atau memberdayakan kembali tradisi lisan kantola pada Masyarakat Muna
yang terdapat di Desa Wakorambu, Kecamatan Bata Laiworu.
Analisis data menggunakan dan pendekatan structural yaitu pendekatan yang
memandang karya sastra terdiri atas seperangkat struktur yang berhubung satu sama lainya
dan bersifat otonom, kemudian dengan menggunakan prosedur sebagai berikut:
1. Mengklasifikasikan data.
2. Penyajian data yaitu menyajikan data penelitian berdasarkan klasifikasi yang sudah diambil
dari informan yang telah menuturkan tradisi lisan kantola.
3. Mengidentifikasi makna yang terdapat disetiap kalimat tradisi lisan kantola.
4. Menganalisis bentuk fungsi dan maknasetiap kalimat penggunaan tradisi lisan kantola
berdasarkan yang telah di identifikasi.