Download - Makalah Manajemen Keuangan Internasional
BAB I
LATAR BELAKANG
A. Kondisi Ekonomi Indonesia di Tahun 2013
Keadaan ekonomi Indonesia ditahun 2013 kondisinya terpuruk bahkan
menjelang akhir tahun semakin krisis, tergambar pada tingkat nilai tukar rupiah yang
melemah hingga di level Rp 12.100/ Dollar, beban perekonomian di pengaruhi juga
oleh Pemilu tahun 2014, banyak pihak penggerak ekonomi dan pemerintahan negara
Indonesia yang tidak fokus dalam menjalankan tugasnya dalam menstabilkan
perekonomian Indonesia, dan lebih mengutamakan kepentingan politik untuk meraih
jabatan di tahun 2014. Indonesia sudah beberapa kali mengalami guncangan dalam
perekonomian nasional, yakni tahun 1998 dan 2008. Guncangan terhadap stabilitas
ekonomi dalam negeri saat ini di kawatirkan akan seperti saat guncangan melanda
perekonomian Indonesia pada krisis 1998 yang merupakan guncangan ekonomi
terparah dalam sejarah perekonomian nasional.
Faktor ekonomi global yang dilanda Krisis adalah faktor terbesar yang sedang
dihadapi Indonesia meliputi sistem ekonomi dunia merosot drastis. Selain itu faktor
ketidak mapanan industri – industri dalam negri yang tidak mampu untuk hanya
sekedar memenuhi kebutuhan dalam negri, apalagi melakukan eksport. Ditambah
birokrasi pemerintahan yang lemah terhadap korupsi sehingga banyak regulasi yang
ditetapkan merugikan masa depan banyak orang demi menguntungkan segelintir diri
sendiri dan pengusaha importir yang sangat egois mengisi kekayaan diri sendiri tanpa
memikirkan efek masa depan yang buruk, akhibat terlalu banyak mengandalkan
barang import dan melemahkan industri lokal.
Efek merosotnya perekonomian adalah meledaknya harga kebutuhan pokok
di Indonesia dan semakin menekan sektor-sektor usaha yang menyediakan kebutuhan
tersebut. Misalnya, petani yang menyediakan sayur mayur kini kesulitan dalam
mencari pupuk yang murah, padi menjadi kurang subur dan pasokan yang terbatas
membuat harga beras melonjak. Ini adalah satu dari ribuan keluhan masyarakat dalam
merasakan dampak buruk dari krisis global ini.
1
Sejak Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Nilai tukar rupiah
terus mengalami pelemahan terhadap dollar AS. Beberapa faktor dari global dan
domestik turut memberikan kontribusi penurunan mata uang Indonesia tersebut.
Pelemahan rupiah yang tak kunjung teratasi dinilai merupakan dampak dari
lemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Periode pelemahan rupiah ini pun dinilai
sebagai ujian bagi fundamental ekonomi. Pelemahan rupiah ini semula diduga karena
dampak perekonomian global dan tak terlepas dari kemungkinan dihentikannya
stimulus Bank Sentral Amerika (The Fed). Namun, ketika Gubernur The Fed
menyatakan bahwa stimulus masih diperlukan untuk ekonomi Amerika dan mata uang
utama dan Asia cenderung menguat terhadap dollar AS, rupiah justru masih terus
terpuruk. Tak peduli intervensi Bank Indonesia sudah menggerus cadangan devisa
lebih dari 7 miliar dollar AS sepanjang 2013.
Tak hanya di Indonesia, begitu pula nasib mata uang di beberapa negara-
negara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi lainnya. Selama
Juni-Agustus 2013, nilai tukar Lira Turki jatuh sebesar 10 persen; nilai tukar Rupee
India jatuh sebesar 20 persen; dan nilai tukar Rupiah serta Real Brazil jatuh sekitar 15
persen. Seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini :
Nilai Tukar Mata Uang Emerging Markets vs. Dollar AS
Periode Januari-Agustus 2013
Sumber: Wells Fargo Securities Economics Group, LLC, Weekly Economic &
Financial Commentary, 30 Agustus 2013, hlm.4
2
B. Perkembangan Ekonomi Global, Khususnya Asia
Memasukin millenium terdapat fenomena global penting yaitu kebangkitan
Macan Asia, atau China. Sejak awal tahun 2000-an, China mencatat pertumbuhan
ekonomi yang luar biasa tinggi, yang terutama didorong oleh kemajuan berbagai
macam industri manufakturnya. Negara ini mampu membuat apa saja, semuanya,
mulai dari jepitan rambut, baut sepeda motor, hingga smartphone yang tidak kalah
canggihnya dengan iPhone maupun Android. Produk-produk buatan RRC ini
kemudian dijual tersebar ke seluruh dunia, dan bisa dengan mudah ditemukan di
negara manapun. Pertumbuhan industri di RRC hanya bisa ditopang oleh dua hal:
pasokan besi dan baja, dan pasokan bahan bakar, dalam hal ini batubara. Besi dan
baja dan produk turunannya diperlukan untuk membuat mesin-mesin industri,
konstruksi bangunan, hingga untuk bahan baku pembuatan barang-barang elektronik
dan otomotif. Sementara batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik, di mana
listrik itu sendiri tentunya sangat dibutuhkan bagi segala jenis industri. RRC
sebenarnya memiliki batubaranya sendiri, namun karena berbagai macam industrinya
berkembang lebih cepat dari kemampuan perusahaan-perusahaan tambang setempat
dalam menggali batubara, maka jadilah RRC perlu juga mengimpor batubara dari
luar, salah satunya tentu saja dari Indonesia.
Indonesia dan India juga sama-sama mencatat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi pada dekade terakhir ini, tetapi kalah dengan RRC, dan tidak pernah sampai
menyentuh rekor 13% per tahun seperti yang pernah dicapai RRC. Wajar, karena
sesungguhnya industri di dua negara ini belum benar-benar berkembang. Di Indonesia
yang para pelaku ekonominya justru terlena dengan mudahnya mengambil
keuntungan dari mengeruk batubara, sehingga lupa untuk mengembangkan industri.
C. Persiapan Indonesia yang Kurang dalam Fundamental Ekonomi
Sesungguhnya ketika Indonesia sempat dihantam efek krisis global pada tahun
2008, mulai timbul kesadaran bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa
selamanya bergantung pada ekspor sumber daya alam, dalam hal ini batubara,
melainkan para pelaku ekonominya harus pula mendorong pengembangan industri
3
untuk menciptakan hilirisasi, untuk menciptakan produk yang memiliki nilai tambah.
Kesadaran ini pula yang kemudian melahirkan Masterplan Percepatan & Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan tujuan utamanya yaitu untuk
mengembangkan infrastruktur, dimana infrastruktur tersebut, baik dalam bentuk fisik
maupun kebijakan pemerintah, memang sangat diperlukan untuk mengembangkan
industri dan pada akhirnya menumbuhkan ekonomi. Ide mengenai MP3EI ini pertama
kali dicetuskan oleh Presiden SBY pada tahun 2008, ketika krisis global mencapai
puncaknya.
Sayangnya, sebelum MP3EI tersebut benar-benar diselesaikan perencanaanya,
pada awal tahun 2010, harga crude palm oil (CPO) alias minyak sawit mentah mulai
melejit, dan hal ini segera memberikan peningkatan keuntungan yang besar bagi
perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. Karena bisnis batubara sendiri pada
saat itu juga belum meredup, maka jadilah pertumbuhan ekonomi Indonesia melaju
kencang lagi, menyebabkan Pemerintah maupun para pelaku ekonomi kembali
terlena, dan tidak mengimplementasi kebijakan tersebut.
Namun pasca tahun 2011, keadaan seketika berbalik arah ketika harga-harga
komoditas dunia, termasuk CPO dan batubara sebagai andalan utama ekspor
Indonesia, menurun. Nilai ekspor Indonesia kemudian tertekan, dan karena ditambah
oleh meningkatnya arus impor, neraca pedagangan nasional akhirnya menjadi defisit,
dan hal ini perlahan tapi pasti menggerus pertumbuhan ekonomi hingga terakhir
menjadi hanya 5.8% pada Kuartal I 2013. Sebenarnya sejak tahun 2011, draft MP3EI
resmi disahkan sekaligus menjadi penanda bahwa Pemerintah bersama-sama BUMN
dan pihak swasta mulai membangun infrastruktur dan lain-lain. Namun sebelum
beberapa infrastruktur tersebut selesai dibangun dan mulai memberikan kontribusi
positif terhadap perkembangan industri dan perekonomian itu sendiri, ekonomi
Indonesia telanjur tertekan.
D. Perbandingan antara Krisis Ekonomi Tahun 1998 & 2008 dengan Tahun ini
Sebelum masa krisis moneter 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat
pesat, kurs rupiah cenderung relatif stabil. Demikian pula iklim investasi baik
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun penanaman Modal asing (PMA)
4
meningkat terus menerus. Stabilnya nilai rupiah ini membuat para investor dan
pemerintah selaku pihak yang berperan besar dalam pembangunan ekonomi
cenderung mengabaikan pinjaman terhadap mata uang asing, khususnya Dollar
Amerika Serikat. Dengan tidak adanya perlindungan terhadap rupiah itu, belakangan
membawa dampak yang kurang baik pada saat terjadinya resesi ekonomi secara
global pada tahun 1998. Krisis ekonomi global adalah peristiwa di mana seluruh
sektor ekonomi pasar dunia mengalami keruntuhan atau degresi dan mempengaruhi
sektor lainnya di seluruh dunia. Sebagai contoh bahwa negara adidaya yang
memegang kendali ekonomi pasar dunia yang mengalami keruntuhan besar dari
sektor ekonominya. Peristiwa ini mengakibatkan rontoknya perusahaan keuangan dan
bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu. Bangkrutnya Lehman Brothers
langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia
seperti di Jepang, Hongkong, China, Australia, Singapura, India, Taiwan dan Korea
Selatan, mengalami penurunan drastis 7-10%. Termasuk bursa saham di kawasan
Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di
AS sendiri, para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar.
Permasalahan krisis moneter ini bermula dari gonjang-ganjing krisis di
sejumlah negara-negara Asia, seperti Jepang, Thailand, Malaysia dan sebagainya,
termasuk Indonesia.Krisis di negara-negara maju dan berkembang pada masa itu
diawali merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat.
Gejolak ini membuat banyak bank-bank di Indonesia mengalami kerugian, terutama
yang mempunyai pinjaman uang dalam bentuk mata uang asing. Kerugian ini di
dukung pula oleh kurang tanggapnya pemerintah dalam mengantisipasi resesi
ekonomi yang ditambah dengan memburuknya arus kas (cash flow) bank-bank selaku
penyimpan dana masyarakat. Kenyataan ini berakibat pada sulitnya bank-bank untuk
melakukan likuidasi, sehingga mendorong sejumlah nasabah menarik dananya dari
bank secara bersama-sama. Kepercayaan masyarakat terhadap bank pun menjadi
suatu pertanyaan besar, khususnya Bank Indonesia selaku Bank Sentral yang bertugas
melakukan pengawasan terhadap bank-bank konvensional maupun bank perkreditan,
sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 Jo. UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan .
Ada perbedaan gejolak ekonomi di tahun 1998, 2008 dan saat ini menurut
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Difi Ahmad Johansyah.
5
Menurutnya, pada waktu pengembalian dana investasi asing di tahun 1998, baik BI
dan pemerintah tidak punya statistik yang lengkap atas utang luar negeri, dan ternyata
jumlah utang luar negeri sangat besar sehingga saat itu Bank Indonesia harus
melakukan intervensi besar-besaran, sebab nilai tukar Rupiah anjlok dari yang dipatok
pemerintah di angka tertentu. Permasalahan krisis moneter pada tahun 1998 itu
memang tidak mudah untuk diatasi oleh pemerintah, mengingat bahwa pemerintah
pada saat yang bersamaan harus pula memikirkan permasalahan lain yang menjadi
tuntutan perubahan masyarakat, seperti : reformasi hukum, sosial, kesejahteraan, dan
sebagainya.
Sedangkan saat krisis ekonomi kembali menghantam di 2008, ini dikenal
sebagai krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Di mana kredit perumahan di
AS diberikan kepada debitur-debitur yang memiliki portofolio kredit yang buruk.
Menurut Difi Ahmad, sumber masalahnya ada di negara lain tapi Indonesia terkena
imbasnya, jadi disebut sebagai krisis sektor keuangan. Akan tetapi, kondisi perbankan
Indonesia sudah kuat pada saat itu, sehingga secara umum di tahun 2008
perekonomian Indonesia selamat.
Sedangkan saat ini, yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia
sedang sangat cepat, namun di saat yang sama impor meningkat. Akibatnya, defisit
neraca perdagangan dan neraca berjalan makin lebar dan tak terkendali.
6
BAB II
I S I
A. Pengertian Nilai Tukar Mata Uang, Pelaku, dan Pengelolaan Risikonya
Menurut Fabozzi dan Franco (1996:724) an exchange rate is defined as the
amount of one currency that can be exchange per unit of another currency, or the
price of one currency in items of another currency.
Sedangkan menurut Adiningsih, dkk (1998:155), nilai tukar rupiah adalah
harga rupiah terhadap mata uang negara lain. Jadi, nilai tukar rupiah merupakan nilai
dari satu mata rupiah yang ditranslasikan ke dalam mata uang negara lain. Misalnya
nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS, nilai tukar rupiah terhadap Yen, dan lain
sebagainya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu
(Madura, 1993):
1. Faktor Fundamental
Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi seperti
inflasi, suku bunga, perbedaan relatif pendapatan antar-negara, ekspektasi
pasar dan intervensi Bank Sentral.
2. Faktor Teknis
Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan devisa
pada saat-saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara
penawaran tetap, maka harga valas akan naik dan sebaliknya.
3. Sentimen Pasar
Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita
politik yang bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik
atau turun secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-
berita sudah berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal.
7
Mata uang sebuah negara diperdagangkan atau lebih tepat dipertukarkan pada
apa yang umum disebut Pasar Valuta Asing atau Foreign Exchange Market
(selanjutnya disebut FX Market).
FX Market tidak memiliki lokasi fisik seperti pasar tradisional, tetapi sebuah
sistem perdagangan melalui jaringan komputer antarbank dan broker dealer. Selain itu
FX Market beroperasi secara bebas hampir 24 jam setiap hari, dan tidak ada satupun
otoritas di dunia yang melakukan kontrol dan regulasi. Khusus untuk Rupiah, sejak
1997 otoritas Indonesia melarang Rupiah diperdagangkan secara bebas di luar negeri
sehingga FX Market untuk USD-IDR hanya ada antarbank di Indonesia sepanjang
siang hari waktu kerja perbankan Indonesia.
Nilai mata uang USD menggambarkan keadaan ekonomi negara, pemerintah
dan rakyat Amerika Serikat (AS) dan kebijakan moneter Bank Sentral, the Fed.
Dengan demikian BI dan pemerintah RI tidak bisa mempengaruhi nilai USD dan
sebaliknya pemerintah AS dan the Fed tidak dapat menentukan nilai Rupiah. Nilai
tukar Rupiah dikatakan melemah atau USD-IDR naik hanya terjadi bilamana nilai
Rupiah tetap dan USD menguat, atau Rupiah melemah dan USD tetap atau Rupiah
melemah melebihi USD yang juga melemah atau Rupiah melemah dan USD menguat.
Pada umumnya ada empat Pelaku dalam transaksi valas dengan tujuan
berbeda, sbb :
1. Kelompok pertama terdiri dari korporasi, perusahan asing dan pemerintah
untuk keperluan bisnis ril. Perusahaan eksportir menukar hasil ekspor
dalam USD menjadi Rupiah untuk dibelanjakan di dalam negeri
sedangkan perusahan importir menukar Rupiah menjadi USD untuk
dibelanjakan di luar negeri. Perusahan asing menukar USD menjadi
Rupiah untuk melakukan bisnis ril di Indonesia. Pemerintah menukar USD
menjadi Rupiah bilamana hasil penjualan Surat Utang dalam USD atau
pinjaman luar negeri akan dibelanjakan di dalam negeri. Bilamana utang
USD itu jatuh tempo, pada umumnya pemerintah membuat utang baru
dalam USD sehingga tidak perlu menukar Rupiah menjadi USD untuk
membayar utang dalam bentuk USD yang jatuh tempo itu.
8
2. Kelompok kedua adalah para investor asing menukar USD menjadi
Rupiah untuk membeli instrumen investasi portofolio di Indonesia dalam
bentuk saham dan obligasi. Sebaliknya mereka akan menukar kembali
Rupiah menjadi USD bilamana mereka menjual kembali saham dan
obligasi dan berhenti melakukan investasi portofolio di Indonesia.
3. Kelompok ketiga adalah individu atau korporasi yang memiliki kelebihan
dana Rupiah dan menyimpannya dalam bentuk USD atau mata uang asing
lainnya dengan tujuan untuk menjaga purchasing power uang mereka.
Kegiatan ini umum disebut ‘lindung nilai’ atau hedging.
4. Kelompok keempat adalah para trader sebut saja para ‘spekulan’ yang
membeli atau menjual USD-IDR dengan tujuan memperoleh keuntungan
dari pergerakannya. Bilamana seorang trader berpendapat bahwa USD-
IDR akan naik, mereka akan membeli dan bilamana sebaliknya mereka
akan menjual.
Keempat kelompok ini yang berpartisipasi secara teratur di FX Market dan
karena memiliki tujuan berbeda maka mereka menciptakan situasi supply dan demand
atas USD. Ketika demand USD melampaui supply, maka Rupiah melemah atau nilai
USD-IDR akan naik. Pada situasi ini BI ikut melibatkan diri menjadi pelaku pasar
dengan menjadi pemasok kekurangan USD ke FX Market melalui kegiatan yang
umum disebut ‘intervensi’ yaitu menjual USD yang diambil dari cadangan devisa.
Tetapi karena BI melakukannya terlalu sering, maka BI dapat dikatakan sebagai
Kelompok kelima pelaku FX Market di Indonesia. Dengan demikian nilai USD-IDR
ditentukan oleh situasi supply dan demand oleh kelima kelompok itu. Demand USD
akan meningkat tajam bilamana Kelompok kedua yaitu investor asing melikuidasi
portofolio mereka dan menukar Rupiah kembali menjadi USD.
Investor asing sangat menyadari bahwa investasi di emerging market seperti
Indonesia risikonya sangat tinggi dan mereka menerapkan manajemen risiko yang
sangat ketat. Ada tiga pedoman atau kriteria yang umum diterapkan dalam
manajemen risiko investor asing:
1. Bilamana terjadi peristiwa-peristiwa global maupun domestik yang
memiliki potensi mempengaruhi nilai investasi, ‘INVESTOR GET OUT’.
9
2. Bilamana nilai USD-IDR mencapai harga tertentu, ‘INVESTOR GET
OUT’.
3. Jangan membiarkan ‘profit’ berubah menjadi ‘loss’. Maksudnya bilamana
investor pernah mengalami potensi profit dari harga saham dan obligasi,
maka mereka harus menjaga agar profit itu tidak hilang bilamana harga
saham atau obligasi turun. Umumnya investor asing menetapkan angka
antara 30-50% sebagai batas. Maksudnya mereka hanya bisa membiarkan
profit turun 30-50% dari potensi profit yang pernah terlihat dan bilamana
melampaui batas itu ‘INVESTOR GET OUT’.
Ketiga kriteria ini dapat memicu sebuah tindakan Investor asing mulai menjual
saham dan obligasi kemudian menukar Rupiah menjadi USD dan mereka akan
menjual secara total bilamana ketiga-tiganya telah terjadi.
Sehubungan keadaan ekonomi global mengalami guncangan ada beberapa
peristiwa yang memiliki potensi mempengaruhi nilai investasi mereka di Indonesia :
1. Ketika ekonomi China mulai melemah di awal 2013, mereka berpikir
bahwa akan mempengaruhi ekonomi Asia termasuk Indonesia.
2. Sejak 2012 Indonesia mulai mengalami defisit perdagangan dengan
partner luar negeri yaitu impor melampaui ekspor.
3. Meningkatnya harga minyak mentah, maka akan menjadi ancaman bagi
ekonomi Indonesia.
4. Perang sipil di Syria yang berkelanjutan bisa menyeret Amerika Serikat
dan sekutunya melakukan intervensi militer yang akan mempengaruhi
ekonomi Indonesia melalui harga minyak yang tinggi dan sentimen anti-
Amerika dalam negeri.
5. Mereka sangat khawatir kalau-kalau Bank Sentral Amerika Serikat (the
Fed) dalam FOMC meeting yang akan berlangsung pada 18 September
2013 membuat keputusan menghentikan kebijakan stimulus yang sudah
berlangsung sejak 2008 yang lalu. Bilamana itu terjadi, suku bunga USD
akan naik dan USD akan menguat terhadap semua mata uang dunia
10
termasuk Rupiah. Peristiwa-peristiwa ini menjadi pemicu untuk
mengambil tindakan sesuai dengan manajemen risiko pertama. Mereka
memilih mulai melikuidasi portofolio di Indonesia dan menukar Rupiah
kembali menjadi USD. Tindakan mereka menimbulkan demand USD
meningkat dan BI harus menguras lebih banyak cadangan devisa untuk
memasok kekurangan supply USD. Dapat ditaksir investor asing menukar
USD pada harga USD-IDR antara 8.700 sampai 9.300 untuk membeli
instrumen saham dan obligasi di Indonesia sejak beberapa tahun lalu.
Sebab itu kemungkinan besar mereka menetapkan angka 10.000 sampai
10.500 sebagai kriteria kedua. Setelah angka itu terjadi, mereka melikudasi
portfolio mereka lebih lanjut dan menimbulkan demand USD lebih
meningkat lagi dan BI mulai kewalahan melakukan intervensi.
Diperkirakan investor asing telah pernah mencapai potensi profit antara
50-60% karena kenaikan harga saham di pasar saham Jakarta. Mereka
akan menjaga agar potensi profit itu tidak berubah menjadi loss. Di lain
pihak, dengan melemahnya Rupiah, mereka mengalami kerugian dari sisi
nilai tukar USD-IDR. Kemungkinan besar mereka menetapkan angka
11.500 sampai 12.000 sebagai kriteria ketiga, karena kalau Rupiah
melemah lebih jauh, mereka akan kehilangan profit yang pernah
dilihatnya. Kriteria ketiga akan makin cepat terpicu, bilamana harga saham
turun sementara Rupiah terus melemah. Bilamana ini terjadi, maka mereka
akan likuidasi secara total portofolio mereka dan menukar Rupiah kembali
menjadi USD. Tindakan ini menimbulkan demand USD melonjak tajam
dan BI tidak akan sanggup lagi menjadi pemasok dan akibatnya USD-IDR
naik tajam.
B. Penyebab Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah di Tahun 2013
Beberapa faktor dari global dan domestik turut memberikan kontribusi
penurunan mata uang Indonesia tersebut. Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti
menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah dipicu oleh pembalikan dana asing (capital
reversal). Ekonomi global yang belum pulih membuat investor menukarkan produk
investasinya ke jenis investasi dengan risiko paling aman, yaitu dollar AS.
11
Sejak Agustus 2011 sampai awal Juli 2013, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar
Amerika (selanjutnya disingkat USD-IDR) melemah konsisten tetapi secara perlahan
dan teratur dari 8.500 menjadi 10.000 atau 17,6% dalam waktu dua tahun. Sebaliknya
pada hari Jumat 30 Agustus 2013 USD-IDR mencapai sekira 11.500, yang berarti
terjadi penurunan nilai Rupiah sebesar 15% dalam waktu kurang dari dua bulan.
Dapat dikatakan bahwa selama periode Juli sampai Agustus 2013 USD-IDR tidak
bergerak secara normal, perlahan dan teratur (moving gradually) tetapi meledak
(exploding). Nilai USD-IDR yang meledak dalam waktu relatif singkat itu
menunjukkan telah terjadi sejenis ‘pengekangan pergerakan USD-IDR’ selama
periode sebelumnya yang kemudian tidak sanggup lagi dikekang lebih jauh dan
akhirnya terlepas dan meledak. Terdapat dua faktor penting yang menyebabkan Nilai
Rupiah terus menurun :
1. Faktor Pertama, keluarnya sejumlah besar investasi portofolio asing dari
Indonesia. Keluarnya investasi portofolio asing ini menurunkan nilai tukar
Rupiah, karena dalam proses ini, investor menukar Rupiah dengan mata
uang negara lain untuk diinvestasikan di negara lain. Artinya, terjadi
peningkatan penawaran atas Rupiah. Adapun indikasi dari keluarnya
investasi portofolio asing ini bisa dilihat dari Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) yang cenderung menurun seiring dengan
kecenderungan menurun dari Rupiah. [1] Dalam grafik di bawah, bisa
dilihat bahwa IHSG mengalami kecenderungan menurun sejak Juni 2013:
IHSG April-Agustus 2013
Sumber: Bloomberg, http://www.bloomberg.com/quote/JCI:IND/chart.
12
Alasan yang memicu investasi portofolio asing ini keluar dari Indonesia
adalah karena rencana the Fed (bank sentral AS) untuk
mengurangi Quantitative Easing (QE). Rencana ini dinyatakan oleh Ketua
the Fed, Ben Bernanke, di depan Kongres AS pada 22 Mei 2013. Tidak
lama setelah itu, mata uang di beberapa negara emerging markets pun
anjlok (lihat Grafik 1). Yang dimaksud dengan QE di sini adalah program
the Fed untuk mencetak uang dan membeli obligasi atau aset-aset finansial
lainnya dari bank-bank di AS. Program ini dilakukan untuk menyuntik
uang ke bank-bank di AS demi pemulihan diri pasca-krisis finansial 2008.
Rencana pengurangan QE memberikan pesan bahwa ekonomi AS
menyehat. Karenanya, nilai tukar obligasi dan aset-aset finansial lain di AS
akan naik. Inilah ekspektasi para investor portofolio yang mengeluarkan
modalnya dari negara-negara emerging markets. Pemerintah AS melihat
bahwa di depan, investasi portofolio di AS akan lebih menguntungkan
daripada di negara-negara emerging markets. Dalam tiga bulan terakhir,
yield obligasi jangka panjang pemerintah AS sendiri telah naik. Sebagai
contoh, yield obligasi 10-tahun pemerintah AS yang menjadi benchmark,
naik sekitar 125 bps dalam tiga bulan terakhir.
2. Faktor kedua, yang menyebabkan penawaran tinggi dan permintaan rendah
atas Rupiah adalah neraca nilai perdagangan Indonesia yang defisit.
Artinya, ekspor lebih kecil daripada impor. Dinamika ekspor-impor
memang bisa berdampak pada nilai tukar mata uang. Ekspor meningkatkan
permintaan atas mata uang negara eksportir, karena dalam ekspor,
biasanya terjadi pertukaran mata uang negara tujuan dengan mata uang
negara eksportir. Pertukaran ini terjadi karena si eksportir membutuhkan
hasil akhir ekspor dalam bentuk mata uang negerinya agar bisa ia pakai
dalam usahanya. Sebaliknya, impor meningkatkan penawaran atas mata
uang negara importir, karena dalam impor, biasanya terjadi pertukaran
mata uang negara importir dengan mata uang negara asal. Karena selama
Januari-Juli 2013, impor Indonesia lebih kecil daripada ekspornya, maka
situasi ini telah melemahkan nilai tukar Rupiah.
13
C. Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah
Jika mata uang suatu negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor
ekspor yang bahan bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Namun, ini
tidak berarti seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena banyak komoditi ekspor
kita yang ditopang oleh bahan baku impor, sehingga keuntungan yang didapat dari
kenaikan harga barang ekspor itu “dibatalkan” oleh harga bahan baku impornya yang
mahal. Jika nilai mata uang negara tujuan jatuh, harga komoditi impor akan naik.
Misalnya, jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah jatuh sebesar 10% dari 1 Dollar AS =
9.000 Rupiah menjadi 1 Dollar AS = 9.900 Rupiah, maka harga komoditi impor pun
akan naik sebesar 10%. Komoditi yang harganya Rp1,5 juta akan naik Rp150 ribu
menjadi Rp1,65 juta.
Beberapa dampak yang mencolok akibat melemahnya Rupiah adalah :
1. Industri Penerbangan terpukul
2. Tiket kereta api dan transportasi lainnya naik
3. Jika ongkos transportasi naik, seluruh barang komoditi akan ikut naik
harganya
4. Harga barang elektronik melonjak
5. Bahan bangunan dan material melonjak
Dari data BPS, kita bisa lihat inflasi di bulan Juni adalah 1,03 persen, lalu
meningkat menjadi 3,29 persen pada Juli. Sementara, pada bulan Agustus, inflasi
menurun menjadi 1,12 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2013 adalah
7,94 persen dan ini merupakan inflasi tahunan tertinggi sejak 2009. Untuk barang
konsumsi, yang harganya akan naik bukan hanya barang-barang konsumsi impor,
namun juga barang-barang konsumsi yang diproduksi di dalam negeri, tetapi sebagian
besar alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor. Harga tahu tempe,
misalnya, naik 20-25 persen, karena bahan bakunya berupa kedelai diimpor.
Kenaikan harga komoditi impor ini tentu akan berdampak bagi bangsa
Indonesia, yaitu :
1. Konsumen, terutama konsumen kelas bawah, dikarenakan pendapatan
mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang.
14
2. Pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir
sampai pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam negeri yang
menyusut. Misalnya, belakangan ini, para importir bahan kebutuhan
pokok di Batam sudah menghentikan aktivitas usahanya.
3. Para usahawan yang berorientasi pasar dalam negeri, namun alat-alat
produksinya, terutama bahan bakunya, impor, seperti pengusaha tekstil,
alas kaki, kemasan, dan sebagainya.
4. Rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi konsumsi akibat kenaikan
harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh pengusaha yang terjepit
oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan nilai utang luar
negeri, dan penyusutan pasar dalam negeri.
Namun, anjloknya Rupiah bukan hanya berdampak pada kenaikan harga
komoditi impor saja. Dampak lainnya yang juga penting adalah kenaikan nominal
Rupiah dari utang luar negeri, karena utang luar negeri dipatok dengan mata uang
asing. Logikanya sama dengan dampak pelemahan Rupiah pada komoditi impor. Jika
di Indonesia, nilai tukar Rupiah berbanding Dollar AS jatuh sebesar 30%, maka
nominal Rupiah dari utang yang dipatok dalam Dollar AS akan naik sebesar 30%.
Sampai dengan Maret 2013, total utang luar negeri Indonesia adalah 254,295 miliar
Dollar AS, dengan utang pemerintah dan bank sentral sebesar 124,151 miliar Dollar
AS serta utang swasta sebesar 130,144 miliar Dollar AS.
Pihak mana saja yang akan terpukul oleh kenaikan nominal Rupiah dari utang
luar negeri Indonesia ini :
1. Utang swasta, baik pengusaha yang berutang dan para pekerjanya yang
akan ditekan oleh pengusaha yang berutang tersebut.
2. Utang pemerintah, anggaran negara atau APBN, dimana ketika anggaran
terjepit, rezim neoliberal biasanya akan mengurangi atau mencabut subsidi
untuk rakyat,
3. Rakyat secara umum juga akan terkena dampaknya.
4. Pembayaran utang luar negeri cenderung akan meningkatkan penawaran
atas Rupiah, karena uang Rupiah yang dimiliki pengutang harus ditukar
dengan mata uang pembayaran utang. Akibatnya, nilai tukar Rupiah bisa
semakin lemah.
15
D. Alternatif Kebijakan Ekonomi untuk Mengatasi Jatuhnya Nilai Rupiah
Dalam situasi seperti sekarang, tidak banyak cara yang dapat dilakukan BI dan
pemerintah, mungkin hanya tersedia 3 pilihan :
Pertama, menaikkan suku bunga Rupiah secara agresif. Maksudnya suku bunga harus
dinaikkan dengan besaran yang cukup sehingga dapat mempengaruhi keadaan supply
dan demand USD jangka pendek. Dengan suku bunga Rupiah yang tinggi akan
memaksa para eksportir yang menyimpan hasil ekspor di luar negeri membawanya ke
dalam negeri. Di lain pihak suku bunga tinggi akan mengurangi impor terutama impor
barang-barang konsumsi yang merupakan kebutuhan sekunder. Suku bunga Rupiah
yang tinggi juga akan mendorong para pemilik kelebihan dana (kelompok ke-3) untuk
menyimpan uangnya dalam Rupiah. Begitu juga Kelompok ke-4 para spekulan akan
berhenti membeli USD karena biayanya menjadi sangat tinggi. Menaikkan secara
agresif mungkin berarti sebesar 5-10%. Menaikkan suku bunga secara normal, 0,5-
1,0% tidak akan banyak menolong.
Kedua, BI tetap melakukan intervensi terbatas, yaitu menggunakan cadangan devisa.
Ketika cadangan devisa pada kondisi kritis maka BI akan membiarkan Rupiah
melemah terus dengan cepat hingga mencapai level di mana harga saham di pasar
saham Jakarta menjadi sangat murah dihitung dalam USD dan diharapkan investor
asing portofolio (Kelompok ke-2) tertarik kembali menukarkan USD dan membeli
saham.
Ketiga, melakukan reformasi ekonomi dan politik untuk dapat mempengaruhi
keadaan supply dan demand USD dalam jangka panjang. Dalam prakteknya,
kebijakan ekonomi dengan berbagai dampak positif dan negatif, telah diupayakan
pemerintah Indonesia, sekalipun implementasinya masih bisa dinilai kurang. Cara
mengatasi tekanan ekonomi nasional yaitu dengan melaksanakan kebijakan ekonomi,
baik makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijakan ekonomi pemerintah
sejak masa krisis global dimaksudkan memiliki dua sasaran strategis, yakni pertama,
mengurangi dampak negatif krisis terhadap masyarakat berpendapatan rendah dan
rentan, dan kedua, pemulihan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi ke jalur
semula. Hingga kini, banyak yang menilai paket-paket kebijakan ekonomi pemerintah
hanya berjalan di atas kertas, namun di lapangan tidak efektif.
16
E. Merananya Suku Bunga Bank Indonesia (BI) sebagai Upaya Penyelamatan
Ekonomi
Terakhir di awal bulan Desember 2013, Bank Indonesia menaikkan suku
bunga acuan BI Rate jadi 7,5 persen. Kenaikan suku bunga kali ini tampaknya tidak
dimaksudkan untuk meredam inflasi, seperti yang lazim dilakukan. Inflasi year on
year Oktober 2013 cukup terkendali 8,32 persen. Sedikit turun dari 8,4 persen pada
bulan sebelumnya. Pesan yang ingin disampaikan BI adalah, dengan kebijakan ini,
mereka berupaya mengurangi defisit transaksi berjalan yang masih 8,4 miliar dollar
AS pada triwulan III-2013, atau turun dari 9,9 miliar dollar AS pada triwulan II.
Di tahun 2013 ini, BI sudah menaikkan BI rate hingga 5 kali, sebesar 150 bps,
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tingkat Suku Bunga Bank Indonesia April - Desember 2013
PERIODE BI RATE
11 April 2013 5.75 %
14 Mei 2013 5.75 %
13 Juni 2013 6.00 %
11 Juli 2013 6.50 %
15 Agustus 2013 6.50 %
29 Agustus 2013 7.00 %
12 September 2013 7.25%
08 Oktober 2013 7.25%
12 November 2013 7.50 %
12 Desember 2013 7.50 %
Sumber : http://www.bi.go.id/web/en/Moneter/BI+Rate/Data+BI+Rate/
Terdapat transmisi yang erat di antara kedua variabel tersebut, yaitu jika suku
bunga naik, hasrat untuk berkonsumsi (propensity to consume) akan berkurang,
demikian pula hasrat investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi (C) dan investasi
(I) akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Karena struktur industri
Indonesia sensitif terhadap barang dan jasa impor, selanjutnya impor barang dan jasa
akan berkurang. Pengurangan ini akan menurunkan defisit perdagangan dan defisit
transaksi berjalan.
17
F. Dampak Kenaikan Suku Bunga Bank Indonesia (BI)
Kebijakan BI menaikkan BI Rate bisa dinilai efektif, karena dalam situasi
krisis ekonomi global yang mulai dirasakan transmisinya ke Indonesia, tingkat
kepercayaan para pelaku ekonomi juga mulai goyah. Ekspresinya, para pelaku
ekonomi mulai mengerem konsumsi. Dua industri yang biasanya bisa menjadi
indikator bergairah atau tidaknya perekonomian adalah industri otomotif dan properti.
Sejauh ini, pada industri otomotif belum ada tanda-tanda melemah.
Kemampuan para produsen melakukan inovasi, misalnya dengan produksi mobil yang
irit dan murah, serta sepeda motor yang hemat, berhasil menumbuhkan penjualan.
Penjualan mobil tahun ini diperkirakan 1,2 juta unit, sedangkan sepeda motor kembali
ke level 8 juta unit.
Namun, untuk sektor properti, mulai ada tanda-tanda melemah. Di beberapa
kota besar (terutama Jakarta dan Surabaya) mulai dikeluhkan gejala ”gelembung
properti”, harga properti melambung tinggi, tetapi kemudian pemilik kesulitan
menjualnya kembali jika diperlukan. Aset ini menjadi berkurang derajat likuiditasnya.
Meski demikian, asalkan para pengembang jeli mencari segmen pasar dan lokasi yang
tepat, sebenarnya industri properti masih terbuka ekspansi, mengingat masih banyak
keluarga yang belum memiliki rumah pertama.
Upaya mengerem pertumbuhan ekonomi tak hanya oleh Indonesia. China
mulai menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi hingga dua digit (periode 2001-
2008) membawa beberapa dampak negatif. Sektor properti terlalu menggelembung
sehingga rawan meletus. Upah buruh naik, harga tanah di kota-kota industri sepanjang
pantai timur naik drastis. Jika tidak dikendalikan, itu akan merusak daya saing China
di kemudian hari. Solusinya, pertumbuhan ekonomi diperlambat. Itulah sebabnya,
perekonomian China tahun ini diperkirakan tumbuh 7,6 persen-7,8 persen. Kendati
demikian, level pertumbuhan ini tetap yang tertinggi di dunia.
Yang menarik, dua lembaga multilateral, Dana Moneter Internasional (IMF)
dan Bank Dunia, sejak Oktober 2013 meramal Indonesia akan mengalami koreksi
pertumbuhan ekonomi ke bawah. Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi 2013
hanya 5,6 persen dan tahun depan (2014) 5,4 persen. Sementara IMF meramal
pertumbuhan 5,3 persen (2013) dan 5,5 persen (2014).
18
Proyeksi itu rasanya terlalu rendah. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi masih
5,8 persen. Pada triwulan IV-2013, biasanya kementerian dan lembaga ngebut
mengejar target absorpsi anggaran. Hal yang sama juga pada perusahaan-perusahaan
swasta. Datangnya musim liburan akhir tahun dan Natal juga memberi energi belanja
yang lebih sehingga mendorong permintaan agregat.
Tahun 2014, tahun pemilu, akan menumbuhkan asa memiliki presiden dan
pemerintahan baru yang lebih kuat. Ujungnya, tumbuh sentimen positif yang bisa
memacu investasi. Ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Proyeksi Bank
Pembangunan Asia (ADB) lebih realistis. Mereka meramal pertumbuhan ekonomi 5,7
persen (2013) dan 6,0 persen (2014).
Proyeksi lembaga-lembaga finansial dunia cukup beragam, misalnya Goldman
Sachs 5,4 persen (2013) dan 5,5 persen (2014), HSBC (5,6 dan 5,5 persen), ING (5,9
dan 7 persen), DBS (5,8 dan 6 persen), Economist Intelligence Unit (5,1 dan 5,4
persen), Citigroup (5,7 dan 5,3 persen), Nomura (5,5 dan 5,7 persen), ANZ (5,5 dan 6
persen), Barclays Capital (5,4 dan 5,5 persen), Credit Suisse (5,7 dan 5,5 persen), dan
yang paling parah JP Morgan (5,5 dan 4,9 persen). Saya cenderung sependapat
dengan ADB dan DBS.
Apakah suku bunga masih akan naik lagi pada Desember 2013? Jawabannya
bisa “Ya” dan “Tidak”. Jika”Ya” artinya BI tidak melihat jalan lain untuk
menstabilkan rupiah yang saat ini di level Rp 11.600 per dollar AS. Stabilisasi rupiah
merupakan tujuan terpenting, melebihi prioritas lainnya. Di sisi lain, BI tetap harus
berhitung, kenaikan suku bunga lebih lanjut hanya akan memicu kenaikan suku bunga
kredit sehingga menyengsarakan dunia usaha.
Ada tanda kebijakan kenaikan suku bunga ini masih dilanjutkan. Alasannya,
mengantisipasi kenaikan suku bunga di AS. Jika suku bunga AS naik (kini suku
bunga acuan The Fed hanya 0,25 persen), akan rawan terjadinya aliran modal keluar
dari Indonesia.
Namun, tahun depan kita punya modal inflasi yang lebih rendah. Harga
minyak mentah dunia hingga tahun depan rasanya masih akan bergerak di antara 100
dollar AS per barrel (minyak West Texas Intermediate) hingga 110 dollar AS (Brent),
ditambah lagi pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM (mesti subsidi sudah di
19
atas Rp 300 triliun), maka inflasi pun akan turun ke level 5,5 hingga 6,5 persen.
Dalam kondisi ini, mestinya BI menurunkan BI Rate.
Keinginan BI agar penyaluran kredit pada industri perbankan hanya tumbuh
15-17 persen tahun depan, dirasa terlalu konservatif. Pertumbuhan kredit selevel itu
hanya akan memacu pertumbuhan ekonomi 5,5 persen. Jika ingin pertumbuhan
ekonomi sekitar 6 persen, pertumbuhan kredit seharusnya antara 18 hingga 20 persen.
Indonesia tidak harus mengikuti jejak China untuk mengerem pertumbuhan
ekonomi karena situasinya berbeda. Data pengangguran terakhir China adalah 4
persen, atau jauh lebih rendah daripada Indonesia yang sekitar 6 persen. Artinya, bagi
Indonesia masih lebih urgen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tercipta
kesempatan kerja baru daripada menaikkan BI Rate terus-menerus.
G. Intervensi Bank Indonesia untuk Menahan Jatuhnya Rupiah Mengakibatkan
Devisa Negara Terkuras
Cadangan devisa selalu terkait dengan inflow dan outflow. Pada akhir Juni
2013, ada outflow sekitar 4,1 miliar dollar AS sehingga cadangan devisa Indonesia
menurun menjadi 98,1 miliar dollar AS. Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan
devisa hingga akhir Juni 2013 sebesar 98,1 miliar dollar AS. Nilai tersebut merosot
dari cadangan devisa di akhir bulan sebelumnya yang masih 105,1 miliar dollar AS.
Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan bahwa penurunan cadangan
devisa ini disebabkan oleh kenaikan dana asing yang keluar dari Tanah Air. BI
mencatat, ada dana asing yang keluar hingga akhir Juni 2013 sebesar Rp 40,1 triliun.
Namun, BI mencatat posisi cadangan devisa saat ini masih bisa mencukupi untuk 5,4
bulan impor dan pembayaran utang luar negeri.
BI sebelumnya juga mencatat bahwa kondisi cadangan devisa RI yang berada
di bawah 100 miliar dollar AS tidak perlu dikhawatirkan. Sebab pada masa krisis
akhir 2008 lalu, cadangan devisa RI sempat berada di level 51 miliar dollar AS.
Namun pada Agustus 2011 melonjak menjadi 124 miliar dollar AS. Tapi di akhir
2011 lalu, cadangan devisa RI merosot kembali menjadi 110 miliar dollar AS. Hingga
akhir Juni 2013, cadangan devisa RI merosot menjadi 98,1 miliar dollar AS, merosot
dibanding akhir Mei 2013 yang masih 105,1 miliar dollar AS.
20
Tentu saja, BI tidak akan melakukan intervensi terus menerus selama-lamanya
karena akan menguras cadangan devisa. BI pasti memiliki ‘garis di atas pasir’ yang
tidak bisa dilampaui yaitu bilamana cadangan devisa turun dibawah angka tertentu, BI
pasti berhenti melakukan intervensi.
H. Pengaruh Kebijakan Stimulus The Fed dan Tapering Off baru-baru ini
Setelah mengumumkan untuk memperpanjang stimulus pada September 2013,
akhirnya pada tanggal 18 Desember kemarin Permerintah AS mengumumkan
keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The FED), dalam menarik dana stimulus
(tapering off). Bank sentral AS akan menarik dana stimulusnya US$ 10 miliar
menjadi US$ 75 miliar pada Januari 2014.
Kepastian tapering yang diumumkan The FED pada tanggal 18 Desember
2013 dinilai positif oleh Bank Sentral Indonesia. Bank Indonesia (BI) menilai
pengumuman Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang memastikan
pengurangan stimulus atau lebih dikenal dengan ‘tapering’ tsb akan dimulai pada
Januari 2014 memberikan kepastian kepada pasar keuangan global. Tapering memang
sudah diperkirakan sejak tahun lalu dan tinggal menunggu waktu solidnya pemulihan
ekonomi AS.
Tapering menunjukkan solidnya pemulihan ekonomi Amerika yang
merupakan ekonomi terbesar di dunia dan pasar bagi ekspor negara berkembang.
Pemulihan ekonomi Amerika tersebut juga akan mendorong ekspor negara
berkembang dan mendorong pemulihan ekonomi dunia bersama dengan pulihnya
ekonomi Eurozone, Cina dan Jepang. Sisi positif pengumuman tapering tersebut
adalah dari trade channel, di mana sebenarnya bagi Indonesia, hal ini memberikan
dampak positif untuk meningkatkan ekspor Indonesia dan Indonesia harus
memanfaatkannya dengan strategi meningkatkan dan diversifikasi ekspor, khususnya
produk manufaktur.
\
21
I. Perencanaan Kebijakan Fundamental untuk Mengatasi Tekanan Ekonomi di
Indonesia
Sejumlah Paket Kebijakan Pemerintah yang dicanangkan untuk
menyelamatkan perekonomian Indonesia, sebagai berikut:
1. Relaksasi pembatasan fasilitas kawasan berikat untuk penduduk.
2. Penghapusan pajak penghasilan (PPn) untuk buku.
3. Penghapusan pajak penghasilan barang mewah (PPn BM) untuk produk dasar
yang sudah tidak tergolong barang mewah.
4. Pentingnya menjaga upah minimum provinsi (UMP) agar mencegah
pemutusan hubungan kerja.
5. Pemberian skema kenaikan UMP mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL)
6. Pemberian insentif untuk pengembangan dan riset (research and
development).
7. Mengoptimalkan penggunaan tax allowance untuk insentif investasi.
8. Menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga tingkat inflasi.
9. Mengubah tata niaga daging sapi dan hortikultura dari berbasis kuantitas
(kuota) menjadi berbasis harga.
10. Mempercepat investasi dengan menyederhanakan perizinan dan
mengefektifkan layanan satu pintu.
11. Mempercepat dan merampungkan Peraturan Presiden tentang Daftar Negatif
Investasi (DNI) yang lebih ramah terhadap investor.
12. Mempercepat program investasi berbasis agro, CPO, kakao, rotan, mineral
logam, bauksit dan tembaga dengan memberi insentif berupa tax holiday dan
tax allowance.
13. Mempercepat proses penyelesaian investasi yang sudah ada misalnya
pembangkit tenaga listrik, migas, pertambangan, mineral dan infrastruktur.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejak Juni 2013, nilai tukar Rupiah cenderung melemah. Hal yang sama juga
dialami oleh mata uang beberapa negara emerging markets (negara berkembang yang
sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dengan cepat) lainnya.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan penyebab-penyebab melemah nilai
tukar rupiah terhadap Amerika Serikat (USD), yaitu :
1. Neraca perdagangan 2013 defisit, lebih besar impor daripada ekspor
2. Neraca transaksi berjalan juga mengalami defisit karena pembayaran-
pembayaran utang luar negeri yang banyak jatuh tempo.
3. Keluarnya sejumlah besar investasi portofolio asing dari Indonesia.
4. Pasar yang membaca bahwa dengan akan di terapkannya tight money
policy atau penghentian stimulus (tapering) oleh Bank Sentral Amerika
Serikat The FED, kurs rupiah akan tidak dapat langsung menguat dan
cenderung melemah selama Indonesia belum mampu memperkuat
keseimbangan perdagangan ekspor impornya. Yang akan berakibat laju
inflasi akan berlanjut.
5. Pasar juga membaca secara jelas dan khawatir bahwa para petinggi negeri
yang bertanggung jawab atas ekonomi sibuk dengan urusannya masing-
masing.
6. Ekspektasi pasar bahwa cadangan devisa yang menurun karena faktor-
faktor tersebut cenderung akan terus menurun sampai tahun depan.
7. Paket-paket kebijakan ekonomi pemerintah tidak efektif.
8. Program MP3EI yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
9. Defisit APBN untuk membayar utang luar negeri dan bunga yang
bertambah hingga 25%, karena nilai tukar rupiah yang turun.
10. Prospek ekonomi pada tahun 2014 sebagai tahun politik dinilai suram dan
berisiko.
23
Jika mata uang suatu negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor
ekspor yang bahan bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Namun, ini
tidak berarti seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena banyak komoditi ekspor
kita yang ditopang oleh bahan baku impor, sehingga keuntungan yang didapat dari
kenaikan harga barang ekspor itu “dibatalkan” oleh harga bahan baku impornya yang
mahal.
Beberapa dampak yang mencolok akibat melemahnya Rupiah adalah :
1. Industri Penerbangan terpukul
2. Tiket kereta api dan transportasi lainnya naik
3. Jika ongkos transportasi naik, seluruh barang komoditi akan ikut naik
harganya
4. Harga barang elektronik melonjak
5. Bahan bangunan dan material melonjak
Kenaikan harga komoditi impor ini tentu akan berdampak bagi bangsa
Indonesia, di antaranya bagi :
1. Konsumen, terutama konsumen kelas bawah, dikarenakan pendapatan
mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang.
2. Pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir
sampai pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam negeri yang
menyusut.
3. Para usahawan yang berorientasi pasar dalam negeri, namun alat-alat
produksinya, terutama bahan bakunya, impor.
4. Keempat, rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi konsumsi akibat
kenaikan harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh pengusaha
yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan nilai
utang luar negeri, dan penyusutan pasar dalam negeri.
Dampak lainnya yang juga penting adalah kenaikan nominal Rupiah dari
utang luar negeri, karena utang luar negeri dipatok dengan mata uang asing. Pihak
mana saja yang akan terpukul oleh kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri
Indonesia ini :
1. Utang swasta, baik pengusaha yang berutang dan para pekerjanya yang
akan ditekan oleh pengusaha yang berutang tersebut.
24
2. Utang pemerintah, anggaran negara atau APBN, dimana ketika anggaran
terjepit, rezim neoliberal biasanya akan mengurangi atau mencabut subsidi
untuk rakyat,
3. Rakyat secara umum juga akan terkena dampaknya.
4. Pembayaran utang luar negeri cenderung akan meningkatkan penawaran
atas Rupiah, karena uang Rupiah yang dimiliki pengutang harus ditukar
dengan mata uang pembayaran utang. Akibatnya, nilai tukar Rupiah bisa
semakin lemah.
B. Saran
Solusinya, pemerintah harus bantu membantu mengatasi masalah fundamental
dalam negeri. Misalnya inflasi yang dikhawatirkan melonjak, khususnya selepas
kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. untuk menuntaskan masalah inflasi ini.
Bagaimanapun, risiko inflasi ini membuyarkan imbal hasil beragam produk
investasi yang ada di tanah air. Inflasi yang melonjak ini juga turut menurunkan
pertumbuhan ekonomi karena sebagian besar kontribusinya masih ditopang dari
konsumsi domestik dan investasi. Jika risiko inflasi tinggi, maka daya konsumsi
masyarakat juga menurun. Ini juga yang menyebabkan penurunan pertumbuhan
ekonomi. Investor asing juga masih pikir-pikir untuk investasi di Indonesia jika
inflasinya tinggi.
Strategi lain adalah dengan mewajibkan investor asing menyimpan
keuntungan usaha di Indonesia atau menginvestasikan lagi untuk ekspansi di dalam
negeri. Dengan demikian, pemerintah bisa mengoptimalkan neraca pendapatan
melalui pengaturan repatriasi dana asing menggunakan kewenangan yang dimiliki
secara transparan.
Bauran kebijakan moneter dan fiskal yang tidak dijalankan secara serius
membuat kondisi perekonomian nasional tidak bisa berkembang optimal. Kondisi ini
membuat upaya mengurangi defisit neraca pembayaran yang sudah berjalan selama
delapan triwulan ini belum juga membuahkan hasil. Pemerintah seharusnya
mendorong pengembangan industri penghasil bahan baku untuk memasok kebutuhan
industri pengolahan yang selama ini mengimpor. Penyerapan bahan baku produksi
25
domestik akan meningkatkan kinerja industri, menekan impor, dan bisa mengurangi
defisit neraca transaksi berjalan. Contoh beberapa kebijakan bagus yang mandul
karena tidak diawasi pelaksanaannya antara lain hilirisasi industri komoditas primer,
seperti perkebunan dan pertambangan. Selain itu, juga kewajiban penggunaan
biodiesel untuk mengurangi impor dan subsidi bahan bakar minyak. Kebijakan
hilirisasi industri komoditas primer untuk menghentikan ekspor bahan mentah tahun
2014 tinggal isapan jempol karena sejauh ini masih banyak investor yang belum
membangun industri pengolahan.
Implementasi kebijakan agar efektif berjalan dan berhasil sesuai sasaran
membutuhkan kepemimpinan dan kapasitas birokrasi yang serius mengeksekusi
kebijakan.
26