TUGAS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERIKANAN
WILAYAH PESISIR
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kebijakan Pembangunan Perikanan
Oleh:
Mugni Triyazi 230110070069
Nicky Sopyan 230110070070
M. Kamarul Tursina J 230110076003
Ronaldo Manalu 230110076003
Rizky Fajary L 230111008002
PROGRAM STUDI PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga penyusun mampu menyelesaikan makalah Kebijakan Pembangunan Perikanan Wilayah
Pesisir.
Makalah ini penting bagi kelancaran kegiatan belajar kami. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat yang baik pada penulis maupun pembaca. Penyusunan makalah ini
berpedoman pada berbagai literatur mengenai masyarakat pesisir baik media cetak maupun
elektronik.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada para dosen yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan pada waktu kuliah, kepada rekan-rekan mahasiswa, serta kepada
berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa proses pembuatan makalah ini tidak ringan sehingga
memungkinkan adanya kekurangan maupun kesalahan baik dalam hal teknik penulisan, tata
bahasa maupun isinya. Oleh karena itu, guna penyempurnaan makalah ini, penulis
mengharapkan kritik, saran, maupun masukan dari pembaca. Sekian dan terima kasih semoga
bermanfaat.
Jatinangor, Mei 2010
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Wilayah Pesisir
Definisi Wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah kawasan peralihan
(interface area) antara ekosistem laut dan darat, Batas ke arah darat ; dari segi Ekologis; adalah
merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti ;
pasang surut, interusi air laut dan lain-lain, dari segi Administratif; adalah merupakan batas
terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbiter (2Km, 20 Km, dari garis
pantai). Dan dari segi Perencanaan ; adalah bergantung pada permasalahan atau substansi yang
menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan Batas ke arah laut ;dilihat dari
segi Ekologis; adalah kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah
didarat seperti ;(aliran air sungai, run off , aliran air tanah, dll), atau dampak kegiatan manusia di
darat (bahan pencemar, sedimen dll); atau kawasan laut yang merupakan paparan benua
(Continental shef), dari segi Administratif; adalah sejauh 4 mill, atau 12 mill, dari garis pantai
ke arah laut.,dan dari segi Perencanaan ;adalah bergantung pada permasalahan atau substansi
yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir. ( Dr. Ir.H. Rokhmin Dahuri, MSc. 2001,5)
Struktur Kawasan Pesisir terdiri dari :
(a) Kawasan Estuaria,
(b) Kawasan Padang Lamun,
(c) Kawasan Mangrove,
(d) Kawasan Terumbu karang dan
(e) Kawasan Laut. (Dr. Ir. Dietriech G.Bengen, DEA)
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan beragam sumber daya alamnya telah
dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber bahan makanan utama,
khususnya protein hewani, sejak berabad-abad lamanya. Sementara itu kekayaan hidrokarbon
dan mineral lainnya yang terdapat di wilayah ini juga telah dimanfaatkan untuk menunjang
pembangunan ekonomi nasional. Selain menyediakan berbagai sumber daya tersebut, wilayah
pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai fungsi lain, seperti transportasi dan pelabuhan,
kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan
permukiman dan tempat pembuangan limbah.
Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi memadai untuk
dikembangkan menjadi lebih baik. Dalam kaitan dengan ketersediannya, potensi sumber daya
wilayah pesisir dan laut ini secara garis besar dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu sumber
daya dapat pulih (renewable resources), sumber daya tak dapat pulih (non-renewable resources),
dan jasa-jasa lingkungan (environmental services). Ketiga potensi inilah walaupun telah
dimanfaatkan, tetapi masih belum optimal dan terkesan tidak terencana dan terprogram dengan
baik (Dahuri dkk, 1996). Wilayah pesisir dan lautan beserta sumber daya yang terkandung di
dalamnya merupakan tumpuan harapan bagi bangsa Indonesia di masa depan. Di dalamnya
terkandung kekayaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya dan beragam,
seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, minyak dan gas, bahan tambang dan
mineral, dan kawasan pariwisata. Akan tetapi pembangunan wilayah pesisir dan lautan selama
ini menunjukkan hasil yang kurang optimal.
Di beberapa kawasan pesisir dan lautan yang padat penduduk dan tinggi intensitas
pembangunannya terdapat berbagai gejala kerusakan lingkungan termasuk pencemaran,
degradasi fisik habitat utama pesisir (mangrove, terumbu karang, estuaria, dll) dan abrasi pantai
telah mencapai suatu tingkat yang mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem pesisir dan
lautan. Pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan pesisir dan laut untuk kegiatan
perikanan, pertambangan, perhubungan, industri, konservasi habitat, pariwisata, dan
permukiman, telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berpotensi besar memicu konflik
kepentingan antar pihak, sehingga berdampak pada kelestarian fungsi dan kerusakan sumberdaya
alam.
1.2 Potensi Wilayah Pesisir
Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi fisik, terdiri dari;
Perairan Nusantara seluas 2.8 juta km2, Laut Teritorial seluas 0,3 juta km2, Perairan Nasional
seluas 3,1 juta km2, Luas Daratan sekitar 1,9 juta km2, Luas Wilayah Nasional 5,0 juta km2,
luas ZEE(Exclusive Economic Zone) sekitar 3,0 juta km2, Panjang garis pantai 81.000 km dan
jumlah pulau sekitar 17.000 pulau (Jacub Rais,6). Potensi Wilayah pesisir dan lautan Indonesia
dipandang dari segi pembangunan adalah :
• Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti; Perikanan (Tangkap, Budidaya,
dan Pascapanen), Hutan mangrove, Terumbu karang, Industri Bioteknologi Kelautan dan
Pulau-pulau kecil.
• Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti ; Minyak bumi dan Gas, Bahan
tambang dan mineral lainnya serta Harta Karun.
• Energi Kelautan seperti; Pasang-surut, Gelombang, Angin, OTEC (Ocean Thermal
Energy Conversion) Jasa-jasa Lingkungan seperti; Pariwisata, Perhubungan dan
Kepelabuhanan serta Penampung (Penetralisir) limbah.( DKP, dalam Rohmin Dahuri,
2001)
Potensi wilayah pesisisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi Perikanan meliputi
; Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil dan lainnya) sekitar 4,948,824
Ton/tahun, dengan taksiran nilai US$ 15.105.011.400, Mariculture (Rumput Laut, ikan dan
kerang-kerangan serta Mutiara sebanyak 528,403 Ton/tahun, dengan taksiran nilai US$
567.080.000, Perairan Umum 356.020 Ton/tahun, dengan taksiran nilai US$
1.068.060.000, Budidaya Tambak 1.000.000 Ton/tahun, dengan taksiran nilai US$
10.000.000.000, Budidaya Air Tawar 1.039.100 Ton/tahun, dengan taksiran nilai US$
5.195.500.000, dan Potensi Bioteknologi Kelautan tiap tahun sebesar US$ 40.000.000.000,
Secara total potensi Sumberdaya Perikanan Indonesia senilai US$ 71.935.651.400 dan yang
baru sempat digali sekitar US$ 17.620.302.800 atau 24,5 %. ( DKP, dalam Rohmin Dahuri,
2001)
Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesiadari dipandang dari segi penduduk
adalah sekitar 60 % penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga pusat kegiatan
perekonomian seperti : Perdagangan, Perikanan laut, Budidaya perikanan, Transportasi laut,
dan Pariwisata berkonsentrasi di wilayah pesisir. Potensi wilayah pesisir dari segi ekonomi
adalah pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir sangat lamban dan sebagian besar
penduduknya masih termasuk kategori miskin. Potensi wilayah pesisisr dipandang dari segi
kelembagaan adalah masih sangat terbatas.
1.3 Visi pembangunan wilayah pesisir dan Lautan Indonesia
Wilayah pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya dan jasa-jasa yang terkandung di
dalamnya merupakan sumber kehidupan dan sumber pembangunan yang harus dimanfaakan
secara optimal dan berkelanjutan, guna meningkatkan kemakmuran rakyat menuju terwujudnya
bangsa Indonesia yang sejahtera, maju dan mandiri.
1.4 Misi pembangunan wilayah pesisir dan lautan Indonesia
(1) Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal, dan merata ke segenap
lembaga pelaku pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
(2) Meningkatkan kemampuan bangsa dalam pemanfaatan sumberdaya.
(3) Menciptakan iklim yang kondusif bagi partisipasi segenap lapisan masyarakat.
(4) Menjamin daya dukung dan kualitas lingkungan.
1.5 Tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan Indonesia
1. Pembangunan kawasan pesisisr (coastal zone) beserta Sumberdaya alam dan Jasa-jasa
linkungan, environmental services secara efisien dan berkelanjutan untuk kesejahteraan
seluruh stakeholders (rakyat) secara adil.
2. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan manusia saat ini, tanpa mengurangi/ menghancurkan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. “development which meets the needs
of the present without compromising the ability of generations to meet their own needs”
( Rohmin Dahuri,2001)
BAB II
PERMASALAHAN WILAYAH PESISIR
2.1 Kemiskinan dan Keterbelakangan Masyarakat
Sekitar 16,42 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang hidup di
kawasan pesisir. Mereka bertempat tinggal di sedikitnya 8.090 desa pesisir yang tersebar di
seluruh wilayah negeri ini. Pilihan untuk hidup di kawasan pesisir tentu sangat relevan
mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas sekitar 17.504 pulau dengan
panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Sepanjang wilayah pesisir memiliki potensi sumber
daya alam hayati maupun non-hayati, sumber daya buatan serta jasa lingkungan yang sangat
penting bagi penghidupan masyarakat. Kondisi geografis yang memiliki garis pantai begitu
panjang ditambah besarnya potensi perikanan yang ada, seharusnya mampu memberikan
kontribusi nyata bagi masyarakat yang mendiaminya. Berharap kemakmuran hidup dari potensi
dan kekayaan alam yang ada tentu bukan keinginan yang muluk-muluk. Namun, kondisi yang
dialami sebagian besar masyarakat pesisir ternyata tak sepenuhnya sejahtera. Hal ini jika kita
melihat hasil analisis beberapa lembaga, yang mengungkapkan tingkat kemiskinan atau Poverty
Headcount Index (PHI) rata-rata 0,3241. Dengan begitu, artinya diindikasikan masih ada sekita
32% dari total masyarakat pesisir yang masuk kategori miskin. Kemiskinan dan keterbelakangan
masyarakat pesisir sejatinya bukan cerita baru di negeri ini. Kemiskinan yang mereka alami
seakan menjelma menjadi kemiskinan yang bersifat struktural.
Masyarakat pesisir ditengarai masih berlum terpenuhi hak-hak dasarnya seperti pangan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. Akibatnya masih cukup banyak anak
nelayan miskin yang ikut terjebak dalam rantai kemiskinan sebagaimana yang dialami orang
tuanya. Kondisi tersebut tentu sebuah ironi, di tengah gemerlapnya kekayaan alam yang
melimpah ternyata belum mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat. Besarnya
potensi sektor kelautan seharusnya mampu memberi kontribusi terhadap peningkatan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Sektor kelautan juga semestinya memberikan kontribusi yang
maksimal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun hingga sekarang, kontribusi yang
disumbangkan masih relatif relatif kecil bila dibandingkan dengan negara lain yang secara
geografis memiliki garis pantai lebih pendek. Semestinya, Bangsa Indonesia patut berbangga
masih ada masyarakat yang rela mencurahkan hidup untuk mengelolah sumberdaya laut yang
ada. Mengingat, pembangunan sektor kelautan merupakan salah satu modal dasar pembangunan
nasional, sehingga perlu dikelola secara terpadu dan berkelanjutan dengan ditunjang sistem
kebijakan yang memadai. Sektor kelautan juga membuka peluang bagi bangsa ini untuk menuju
persaingan ekonomi global. Oleh karena itu, upaya memberdayakan masyarakat pesisir dan
membebaskan mereka dari kemiskinan dan keterbelakangan menjadi keharusan sebagai langkah
awal dalam membangunan sektor kelautan. Untuk itu, kebijakan yang diterapkan pemerintah
seharusnya lebih berpihak lagi pada pemangku kepentingan di wilayah pesisir.
Inilah kenyataan dan persoalan yang dihadapi bangsa kita. Kenyataan ini pula yang
mendorong pemerintah terus mengupayakan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat
pesisir maupun nelayan. Beragam program pun telah dijalankan pemerintah agar mereka bisa
lebih berdaya. Salah satunya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di
sektor kelautan dan perikanan yang mulai dijalankan pada tahun ini. Program ini meliputi empat
komponen kegiatan di antaranya perencanaan pembangunan wilayah dan sumberdaya kelautan
dan perikanan berbasis desa serta pembangunan infrastruktur desa dan lingkungan. Selain itu ada
juga program penguatan kapasitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan aparat serta
pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 2009 ini alokasi dana untuk program PNPM Mandiri
Kelautan dan Perikanan berjumlah Rp116 miliar. Dana tersebut akan dialokasikan ke 120
kabupaten/kota dengan mendapat sekitar dana sebesar Rp926 juta yang akan dialokasikan dalam
bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) serta dana sosialisasi dan peningkatan kapasitas,
termasuk pelatihan-pelatihan bagi masyarakat.
Program ini diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan nelayan dan masyarakat
pesisir karena melalui program ini masyarakat boleh mengembangkan usaha sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya. Masyarakat pun bisa mengembangkan kegiatan perekonomian
masyarakat berbasis sumberdaya lokal, baik masyarakatnya maupun sumberdaya alamnya. Kita
semua tentu menyadari, mengatasi masalah kemiskinan di masyarakat pesisir bukanlah pekerjaan
yang mudah. Dibutuhkan komitmen bersama baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat itu sendiri. Jika semua stakeholder yang ada memiliki visi yang sama dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama yang tinggal di kawasan pesisir maka setiap
program yang ada akan dapat berjalan dengan baik. Begitu pula dengan PNPM Mandiri Kelautan
dan Perikanan ini, pemerintah daerah memiliki peranan yang sangat penting dalam mendukung
program tersebut karena mereka lebih memahami karakteristik masyarakat di daerahnya. Kita
patut berbangga, adanya program PNPM Mandiri disambut antusias oleh masyarakat. Seperti
yang dilakukan masyarakat Sulawesi Tengah. Di provinsi tersebut pemerintah daeranya memiliki
komitmen untuk menjadikan sumber daya kelautan sebagai salah satu sektor unggulan.
Keberadaan PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan tentu sangat membantu terutama dalam
mewujudkan komitmen menuju Propinsi Rumput Laut tahun 2011. Beragam program pun
dijalankan dalam rangka mendokrak potensi kelautan dan perikanan yang ada diwilayah Sulteng.
Seperti pembangunan Solar Packed Dealer untuk Nelayan (SPDN) dan Pabrik Es PPI di
Kabupaten Donggala. Ada juga pembangunan Cluster Rumput Laut yang berbasis perpolisian
Mayarakat (POLMAS) yang dilaksanakan di daerah Kabupaten Parigi Moutong tepatnya di
Teluk Tomini. Pembangunan sarana tersebut diharapkan mampu meningkatkan pemberdayaan
masyarakat pesisir terutama kesejahteraan dan kesempatan kerja.
Permasalahan kemiskinan, BBM, sampah dan tingkat pendidikan yang dialami para
nelayan dan masyarakat pesisir tersebut merupakan pekerjaan rumah bangsa ini yang patut
segera diatasi. Tak heran jika upaya pemerintah dalam mengatasi hal itu telah dilakukan dengan
menggulirkan banyak sekali program dan kegiatan dengan jumlah uang yang tidak sedikit,
seperti Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Solar Packed Dealer Nelayan
(SPDN), PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR), bantuan langsung alat-alat perikanan, dan
masih banyak lagi. Seluruh program tersebut, terutama Program PNPM Kelautan dan Perikanan,
merupakan wujud komitmen pemerintah dalam rangka menanggulangi kemiskinan dan
pemberdayaan masyarakat. Program Program PNPM Kelautan dan Perikanan menjadi harapan
besar bagi masyarakat di daerah pesisir dan nelayan karena sasaran penerima manfaatnya adalah
masyarakat kelautan dan perikanan dengan skala usaha mikro bidang usaha kelautan dan
perikanan seperti kegiatan penangkapan, budidaya, pengolahan dan pemasaran ikan, usaha jasa
perikanan, pengelolaan wisata bahari, usaha garam rakyat serta usaha lainnya. Dengan demikian
program yang dijalankan tentu akan memberikan manfaat bagi masyarakat terutama peningkatan
kesejahteraan sehingga mampu mengangkat mereka dari belenggu kemiskinan yang ada.
2.2 Eksploitasi Ekosistem Secara Berlebihan
Hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang merupakan tiga eksosistim penting di
daerah pesisir. Hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam
melindungi pantai dari ancaman abrasi dan erosi serta tempat pemijahan bagi hewan-hewan
penghuni laut lainnya. Sebagai salah satu contoh ekosistem yang dieksploitasi secara berlebihan
yang akan dibahas disini adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan rumah
bagi banyak mahkluk hidup laut. Diperkirakan lebih dari 3.000 spesies dapt dijumpai pada
terumbu karang yang hidup di Asia Tenggara. Terumbu karang lebih banyak mengandung hewan
vertebrata. Beberapa jenis ikan seperti ikan kepe-kepe dan betol menghabiskan seluruh waktunya
di terumbu karang, sedangkan ikan lain seperti ikan hiu atau ikan kuwe lebih banyak
menggunakan waktunya di terumbu karang untuk mencari makan. Udang lobster, ikan scorpion
dan beberapa jenis ikan karang lainnya diterumbu karang bagi mereka adalah sebagai tempat
bersarang dan memijah. Terumbu karang yang beraneka ragam bentuknya tersebut memberikan
tempat persembunyian yang baik bagi iakn. Di situ hidup banyak jenis ikan yang warnanya
indah. Indonesia memiliki lebih dari 253 jenis ikan hias laut. Bagi masyarakat pesisir terumbu
karang memberikan manfaat yang besar , selain mencegah bahaya abrasi mereka juga
memerlukan ikan, kima kepiting dan udang barong yang hidup di dalam terumbu karang sebagai
sumber makan dan mata pencaharian mereka.
Kenyataannya pada saat ini, sekitar 69 persen dari 2,5 juta hektare terumbu karang di
Indonesia, kini dalam kondisi rusak dan untuk menyelamatkannya perlu dukungan berbagai
pihak dan masyarakat di pinggir pantai. Indonesia, termasuk kawasan kaya terumbu karang atau
sekitar 10 persen terumbu karang di dunia berada di Indonesia. Salah satu contohnya adalah
keberadan terumbu karang di Sumatera Barat, salah satu kawasan pantai barat di Sumatera,
tingkat kerusakan cukup tinggi yakni sekitar 70 persen dari total luas 25.984 hektare. Kerusakan
terumbu karang tersebut sebagian besar merupakan dampak dari aktifitas kegiatan manusia.
Kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan bom ataupun racun menjadi contoh yang
paling banyak terjadi saat ini. Efek dari kerusakan yang diakibatkan kegiatan tersebut bukan
hanya berpengaruh terhadap kehidupan biota terumbu karang tapi terhadap ekosistem terumbu
karang secara keseluruhan. Hal tersebut berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan yang
menurun dan juga sumber nutrisi yang dibutuhkan masyarakat ikut berkurang. Kegiatan
penambangan kapur juga banyak ditemui di daerah pesisir, bahan baku pembuatan kapur tersebut
membuat para penambang tidak saja mengambil karang laut di tepi pantai, namun sudah masuk
hingga ke dalam laut. Akibat dari kegiatan tersebut, negara mengalami kerugian yang sangat
besar.
Hal-hal lainnya yang berhubungan dengan eksploitasi terumbu karang adalah
pengambilan karang dan batu karang secara berlebihan. Karang dan batu karang memiliki bentuk
yang indah dan unik, oleh karena itu karang banyak dikoleksi sebagai hiasan. Hal ini akan
menjadi masalah yang serius yang akan mengancam keberadaan karang apabila tidak dilakukan
pembatasan. Pengambilan karang dalam jumlah besar seperti dilakukan para ekportir bunga
karang sangat membahayakan ekosistem terumbu karang dan sangat berpotensi menghilangkan
atau menurunkan keanekaragaman spesies karang. Sebagian masyarakat pesisir juga melakukan
pengambilan batu karang sebagai bahan bangunan yang akan mengganggu fungsi ekologis dari
ekosistem terumbu karang, selain dapat mengancam diversitas karang.
Pengrusakan terumbu karang tersebut khususnya yang disebabkan oleh aktivitas manusia,
merupakan tindakan inkonstitusional alias melanggar hukum. Dalam UU 1945 pasal 33 ayat 3
dinayatakan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat 3 ini
merupakan landasarn yuridis dan sekaligus merupakan arah bagi pengaturan terhadap hal yang
berkaitan dengan sumberdaya terumbu karang. Selain itu salah satu tujuan dari Strategi
Konservasi Dunia 1980 adalah menetapkan terumbu karang sebagai sistem ekologi dan
penyangga kehidupan yang penting untuk kelangsungan hidup manusia dan pembangunan
berkelanjutan. Karena itu, terumbu karang di sebagai salah satu sumberdaya alam yang ada di
Indonesia, pengelolaannya harus di dasarkan pada peraturan - peraturan,di antaranya:
1. UU RI No. 4/1982, tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup.
2. UU RI No. 9/1985. Tentang perikanan.
3. UU RI No. 5/1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem.
4. UU RI No. 9/1990 Tentang Kepariwisataan.
5. Peraturan pemerintah No. 29/1986 tentang analisa dampak lingkungan.
6. Keputusan menteri kehutanan No. 687/Kpts.II/1989 tanggal 15 Nopember 1989 tentang
pengusaha hutan wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Hutan Laut.
7. Surat edaran Menteri PPLH No. 408/MNPPLH/4/1979, tentang larangan pengambilan
batu karang yang dapat merusak lingkungan ekosistem laut, situjukan kepada Gubenur
Kapala Daerah, Tingkat I di seluruh Indonesia.
8. Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan No. IK.220/D4.T44/91, tentang penangkapan
ikan dengan bahan/alat terlarang - ditujukan kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi
Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia
9. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman
Umum Pengelolaan Terumbu Karang.
2.3 Pencemaran
Secara keseluruhan, permasalahan yang timbul di wilayah pesisir sangat berhubungan
satu sama lain dikarenakan sebagian besar permasalahan yang ada disebabkan oleh tingkah laku
dan kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh, eksploitasi ekosistem
secara belebihan di daerah pesisir mengakibatkan rusaknya fungsi lamun ataupun terumbu
karang sebagai tempat penguraian limbah sehingga terjadinya pencemaran di daerah-daerah yang
menjadi tempat masyarakat wilayah pesisir mencari nafkah (pantai, mangrove, estuaria dan
lainnya). Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat di wilayah
tersebut.
Selain itu, pencemaran yang terjadi juga banyak diakibatkan oleh pembuangan sampah ke
saluran air, minyak dari kapal-kapal, dan penggunaan zat kimia berbahaya pada kegiatan
perikanan. Pencemaran yang terjadi secara tidak langsung juga disebabkan kurang tegasnya
tindakan yang diambil oleh pemerintah terhadap para pelaku pencemaran tersebut.
Upaya yang diperlukan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran di wilayah
pesisir diantaranya adalah
1. Reklamasi pantai perlu direncanakan sedemikian rupa
2. Industri-industri yang mutlak di dirikan diwilayah pesisir wajib memproses limbah
buangannya
3. Undang-undang dan sanksi terhadap perusak wilayah pesisir dan pantai
4. Membentuk kelompok nelayan yang kritis dan berani mengamati pencemaran pesisir dan
pantai serta kerusakan hutanmangrove
5. Mengolah kawasan pesisir dan pantai secara terpadu yaitu: memanfaatkan, menjaga,
melestarikan dan memelihara
2.4 Perubahan Garis Pantai
Di Indonesia, peningkatan jumlah penduduk yang hidup di wilayah pesisir memberikan
dampak tekanan terhadap sumberdaya alam pesisir seperti degradasi pesisir, pembuangan limbah
ke laut, erosi pantai (abrasi), akresi pantai (penambahan pantai) dan sebagainya. Dalam
melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan taraf hidupnya, manusia melakukan
perubahan-perubahan terhadap ekosistem dan sumberdaya alam sehingga berpengaruh terhadap
lingkungan di wilayah pesisir khususnya garis pantai. Garis pantai adalah batas air laut pada
waktu pasang tertinggi telah sampai kedarat. Perubahan garis pantai ini banyak dilakukan oleh
aktivitas manusia seperti pembukaan lahan, eksploitasi bahan galian di daratan pesisir yang dapat
merubah keseimbangan garis pantai melalui suplai muatan sedimen yang berlebihan. Dengan
curah hujan yang dengan intensitas tinggi juga dapat mempengaruhi peruhan garis pantai.
Di sepanjang kawasan pantai terdapat segmen-segmen pantai yang mengalami erosi,
disamping ada bagian-bagian yang mengalami akresi/sedimentasi dan segmen yang stabil.
Pemerintah mengemukakan bahwa sekitar 70 % pantai terutama berpasir di dunia mengalami
erosi pantai dan penyebab utama adalah aneka ragam pengaruh manusia secara langsung maupun
tak langsung yang menyebabkab berkurangnya jumlah ketersedian cadangan sedimen yang ada
di pantai dibandingkan dengan sedimen keluar dari pantai akibat pengaruh alam. Di beberapa
bagian pantai di dunia, erosi pantai yang terjadi telah menimbulkan kerugian yang besar berupa
rusaknya daerah pemukiman, pertambakan, dan jalan raya. Erosi pantai merupakan salah satu
masalah serius degradasi garis pantai yang disebabkan oleh angin, hujan, arus, dan gelombang
serta akibat aktivitas manusia. Aktivitas manusia seperti pembukaan hutan mangrove,
penambangan pasir laut dan penambangan terumbu karang di beberapa lokasi telah memberikan
kontribusi penting terhadap erosi pantai, karena hilangnya perlindungan pantai dari hantaman
gelombang dan badai. Pantai juga merupakan tempat rekreasi yang potensial bagi daerah
setempat sehingga keberadaannya perlu dijaga, dikelola dan dilestarikan.
BAB III
CONTOH KASUS DI WILAYAH PESISIR INDONESIA
3.1 Kerusakan Wilayah Pesisir Pantai Timur Lampung
Pantai timur Provinsi Lampung yang mempunyai garis pantai sepanjang 270 km
merupakan wilayah pesisir dengan beragam potensi yang dapat menunjang pembangunan. Saat
ini pantai timur Lampung mengalami degradasi lingkungan yang cukup parah, terutama akibat
adanya kerusakan habitat mangrove yang diperparah dengan terjadinya abrasi
pantai. Kerusakan hutan mangrove sebagai green belt di wilayah tersebut sudah menghilangkan
fungsinya sebagai sarana mitigasi bencana di wilayah pesisir dan peranannya dalam menunjang
produksi perikanan tangkap. Lebih dari 80% hutan mangrove telah hilang akibat berbagai
aktivitas manusia, antara lain pertambakan, pemukiman, urbanisasi, pencemaran pesisir,
pengambilan kayu mangrove untuk berbagai kepentingan, dan lain-lain. Hal ini juga diperparah
dengan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan mangrove sebagai penyangga
kehidupan daratan dan lautan, sehingga kerusakan terus berlangsung hingga saat ini.
Selain itu, akibat tumpang tindihnya wewenang pengelolaan, kerusakan hutan bakau di
pesisir pantai timur Lampung makin meluas. Sudah sejak lama pengelolaan wilayah pesisir
menjadi tumpang tindih karena tidak jelasnya wewenang pengelolaan dan munculnya berbagai
kepentingan. Menurut Keppres No. 32 Tahun 1990 Dinas Kehutanan memiliki wewenang untuk
menjaga konservasi hutan bakau. Namun di sisi lain, Dinas Kelautan dan Perikanan juga
memiliki kepentingan untuk mengelola wilayah pesisir menjadi tambak dalam rangka
peningkatan ekonomi di sektor perikanan. Kerusakan wilayah pantai timur Lampung yang
membentang sepanjang pesisir Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Timur dan Lampung
Selatan telah dimulai sejak berkembangnya pertambakan udang secara besar-besaran di wilayah
tersebut pada tahun 1990-an yang mengkonversi areal mangrove. Sejarah pertambakan udang
yang berkembang di pantai timur Lampung telah dimulai sejak sebelum tahun 1960-an. Pada saat
itu telah berkembang budidaya tambak ekstensif skala sangat kecil untuk ikan bandeng, udang,
dan kepiting liar di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Tengah dan Lampung Timur. Pada era
tahun 1976 pembukaan lahan tambak yang pertama terjadi di Muara Gading Mas (Kecamatan
Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur) seluas 14 ha dan hingga tahun 1980 terjadi
perluasan tambak udang yang sangat cepat di sepanjang pantai timur. Selanjutnya mulai tahun
1990-an perkembangan usaha tambak udang semakin pesat yang ditandai dengan konversi secara
besar-besaran kawasan mangrove untuk lahan tambak hingga luasnya diperkirakan mencapai
lebih dari 60.000 ha.
Selain tambak udang yang dimiliki oleh masyarakat, kawasan tambak udang intensif
telah dikembangkan di pesisir timur dengan pola tambak inti rakyat oleh PT CPB dan PT DCD
yang terletak di pesisir Kabupaten Tulang Bawang. Areal pertambakan PT DCD menempati
lahan seluas 16.250 ha yang terletak di antara Muara Way Mesuji dan Muara Way Tulang
Bawang di Kecamatan Rawajitu Timur; sedangkan areal pertambakan milik PT CPB terletak di
lahan pesisir antara Muara Way Tulang Bawang dan Way Seputih dengan alokasi lahan sekitar
23.900 ha yang terletak di Kecamatan Dente Teladas. Namun dalam perkembangannya, tidak
semua lahan yang dialokasikan digunakan oleh PT CPB; lahan-lahan tersebut banyak yang
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk lahan pertanian, pemukiman, maupun tambak rakyat.
Dalam pembangunan areal pertambakannya, PT DCD dan PT CPB telah mengalokasikan
lahan yang berbatasan langsung dengan laut selebar 200 m sebagai kawasan green belt yang
ditumbuhi oleh vegetasi mangrove. Selain kedua perusahaan tersebut, di pesisir Tulang Bawang
juga berkembang tambak rakyat dengan sistem tradisional yang menempati lahan lebih dari
2.000 ha. Tambak-tambak rakyat ini umumnya dibangun di lahan yang terdapat di sekitar muara-
muara sungai hingga pesisir pantai dengan tidak menyisakan areal mangrove sebagai green belt.
Bahkan di beberapa tempat yang dialokasikan sebagai green belt milik PT DCD dan PT CPB
telah dijadikan tambak oleh masyarakat sejak tahun 1997 hingga sekarang. Kedua perusahaan
tidak dapat bertindak mencegah perambahan tersebut karena khawatir terjadi bentrokan,
sehingga perambahan semakin meluas. Di Kabupaten Lampung Timur, tepatnya di sebelah
selatan TN Way Kambas, kawasan pesisir di sepanjang garis pantai mulai dari Tanjung Penet
hingga Ketapang telah diubah seluruhnya dari rawa-rawa dan hutan mangrove menjadi lahan
pertanian padi dan sekarang menjadi tambak udang windu. Konversi lahan diawali dari pingir
pantai, kemudian dilanjutkan semakin lebar ke arah daratan. Di sekitar Sungai Pisang lebar
kawasan pertambakan ini mencapai 5 km ke arah daratan. Saat ini luas areal pertambakan dari
Tanjung Penet hingga ke Ketapang diperkirakan lebih dari 12.000 ha.
Rusaknya hutan bakau akibat pembukaan tambak di sepanjang pesisir timur Lampung
membuat abrasi pantai semakin parah. Sejumlah kecamatan di pesisir pantai timur ini garis
pantainya mundur antara 300-700 meter ke daratan. Abrasi yang parah terjadi antara Kecamatan
Labuhan Maringgai, Lampung Timur, hingga Kecamatan Ketapang dan Bakauheni di Lampung
Selatan. Garis pantai di wilayah desa tersebut mundur sejauh 300 meter ke daratan. Kondisi ini
terjadi di Desa Margasari, Sriminosari, Muara Gading Mas, Bandar Negeri, Bandar Agung,
Karya Makmur, Karya Tani, Mulyo Sari, hingga Desa Kuala Sekampung. Lokasi terparah berada
di Kecamatan Labuhan Maringgai antara muara Sungai Way Sekampung sampai muara Sungai
Way Seputih sepanjang 80 kilometer. Garis pantai di kawasan ini mundur sejauh 500 meter ke
daratan.
Kondisi pantai di Muara Way Penet, Kecamatan Labuhan Maringgai, adalah sebagai
berikut (a) sisi selatan muara Way Penet mengalami sedimentasi yang berasal dari hulu sungai
dan hasil abrasi pantai yang diangkut arus menyusur pantai dari arah seIatan, (b) sepanjang
sekitar 500 m dari sisi selatan muara ke selatan, garis pantai mengalami erosi/abrasi yang intensif
(c) rumah-rumah penduduk sudah roboh dan menurut penduduk setempat, garis pantai telah
mundur ke arah darat sejauh 500-800m sejak tahun 1988 (d) di lokasi dekat dengan TN Way
Kambas kondisi mangrove masih bagus karena ada konservasi dari Dinas Kehutanan; (e)
berbatasan dengan perkampungan yang rnengalami abrasi tersebut terdapat bakau pada garis
pantai dengan ketebalan ke arah darat kurang dari 100 m; (f) bakau pada garis pantai juga
mengalami abrasi.
Kondisi pantai di Desa Sri Minosari, Kecamatan Labuhan Maringgai, adalah sebagai
berikut: (a) kondisi pantai ditandai dengan terjadinya abrasi/erosi dimana garis pantai mundur ke
arah pantai dan telah mencapai tambak; (b) garis pantai yang baru berada persis di pinggir
tambak terluar; (c) muka pantai (berm) berupa sedimen pasir terletak di pinggir tambak. Kondisi
pantai di Desa Karya Makmur, Kecamatan Labuhan Maringgai, adalah sebagai berikut: (a)
proses abrasi/erosi garis pantai dengan jelas dapat terlihat; (b) gundukan sedimen berupa pasir
yang berwarna putih terlihat di sepanjang garis pantai; (c) garis pantai yang sudah mundur
terlihat dengan jelas karena garis pantai yang baru berada di tengah kolam tambak yang
sebelumnya berada jauh di belakang garis pantai.
Kondisi pantai di Desa Karya Tani, Kecamatan Labuhan Maringgai, adalah sebagai
berikut: (a) garis pantai dengan tumpukan sedimen pasir yang terletak di tengah kolam tambak
mengindikasikan garis pantai telah mundur jauh ke arah darat, (b) menurut penduduk setempat,
garis pantai yang sebelumnya berada sekitar 100 m dari tambak terluar, sekarang telah berada di
petak tambak baris ke tiga dari pantai yang berarti dua petak tambak terluar telah hilang karena
proses abrasi erosi, (c) gundukan sedimen juga telah menutup muara saluran pembuang (outlet)
tambak. Kondisi hutan mangrove di Kabupaten Lampung Selatan, mulai dari Kuala Sekampung,
Desa Bandar Agung dan Desa Berundung, secara umum telah mengalami kerusakan yang cukup
parah. Di sepanjang wilayah pesisir tersebut terdapat areal pertambakan rakyat yang luas.
Kondisi penggunaan lahan di Desa Kuala Sekampung dan sekitarnya yang merupakan
daerah muara Sungai Sekampung memang didominasi oleh areal pertambakan rakyat yang masih
dikelola secara tradisional. Areal pertambakan tersebut merupakan areal terbuka yang tidak
menyisakan vegetasi mangrove sebagai green belt. Kondisi tanah yang berlumpur di daerah
Muara Way Sekampung dan sekitarnya memang merupakan penggunaan yang potensial untuk
daerah pertambakan, akan tetapi kondisi hutan mangrove sebagai benteng pertahanan dari
ancaman abrasi pantai harus dipertahankan. Pertambakan rakyat berbatasan langsung dengan laut
dan hanya dibatasi oleh beberapa baris saja tanaman mangrove. Keadaan ini sangat berbahaya,
karena apabila terjadi abrasi pantai yang terus menerus maka tambak akan berubah menjadi laut.
Demikian pula halnya bila terjadi bencana alam yang melanda wilayah pesisir, seperti
gelombang pasang ataupun tsunami, maka tingkat kerusakan dan kerugian akan semakin besar.
Pertumbuhan hutan bakau yang tersisa sudah sangat memprihatinkan, bahkan di lokasi-lokasi
tertentu sudah habis sama sekali. Di daerah Kuala Sekampung ketebalan mangrove dari tepi
pantai rata-rata paling jauh 10 meter. Kondisi ini sangat membahayakan, karena ancaman abrasi
pantai akibat ombak laut sangat serius. Di beberapa tempat terjadi abrasi pantai yang cukup
parah yang dapat diamati pada wilayah pesisir yang membentuk cekungan ke arah daratan;
sedangkan di tempat lainnya terjadi sedimentasi yang menyebabkan lahan daratan bertambah
luas.
Dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan di Kuala Sekampung dapat digambarkan
bahwa kondisi vegetasi hutan mangrove untuk tingkat pohon didominasi oleh jenis Avicennia
officinalis dengan kerapatan 366 pohon/ha. Berdasarkan pengambilan contoh di dua lokasi
tersebut diperoleh data berupa Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, Dominansi Relatif, dan
Indeks Nilai Penting (INP) pohon.
Jenis pohon yang menyusun hutan mangrove di daerah tersebut adalah: Avicennia
officinalis, Rhizopora apiculata, Bruguierra gymnorrhiza dan Sonneratia alba.
Kondisi wilayah pesisir di Kecamatan Ketapang sangat berbeda keadaannya dengan
wilayah pesisir di Kecamatan Sragi. Wilayah pesisir di Kecamatan Ketapang lebih banyak
ditumbuhi oleh vegetasi kelapa (Cocos nucifera). Keadaan tanah di daerah Ketapang dan
sekitarnya tergolong berpasir. Kondisi tanah yang berpasir di daerah ini merupakan potensi yang
baik untuk perkebunan kelapa, sehingga kelapa rakyat sangat banyak dijumpai di daerah ini.
Selain banyak perkebunan kelapa, daerah Ketapang dan sekitarnya juga telah dikembangkan
untuk daerah rekreasi. Usaha pertambakan juga telah berkembang di beberapa tempat, terutama
di wilayah pesisir Desa Berundung, Legundi, Tridharmayoga, dan Ruguk. Tidak berbeda dengan
areal pertambakan yang terdapat di Kecamatan Sragi, di lokasi ini pun tambak dibangun di
pinggir pantai dengan tidak menyisakan vegetasi pantai sebagai kawasan green belt. Di beberapa
tempat juga dijumpai mangrove dalam kawasan yang tidak terlalu luas dan terancam
keberadaannya, seperti yang terjadi di Desa Sumur.
Keadaan hutan mangrove di Desa Sumur dan sekitarnya relatif masih baik. Daerah ini
mempunyai pantai yang landai dengan ombak yang kecil karena dilindungi oleh daerah Pulau
Rimau Balak dan Rimau Lunik. Di Desa Sumur dapat ditemukan mangrove jenis Avicennia
officinalis, Rhizopora apiculata, dan Burguierra gymnorrhiza. Kondisi vegetasi hutan mangrove
untuk tingkat pohon didominasi oleh jenis Rhizopora apiculata dengan kerapatan 285 pohon/ha.
Kondisi hutan mangrove relatif cukup baik tetapi sudah berkurang karena sebagian telah
ditebang dan pantainya mengalami abrasi. Saat ini di lokasi tersebut sedang dibangun pelabuhan
untuk kapal-kapal niaga beserta sarana dan prasarananya. Aktivitas ini merupakan ancaman
terhadap ekosistem mangrove yang ada di sekitar kawasan tersebut. Usaha pertambakan juga
telah berkembang di beberapa tempat di Kecamatan Bakauheni. Tidak berbeda dengan areal
pertambakan yang terdapat di Kecamatan Sragi, di lokasi ini pun tambak dibangun di pinggir
pantai dengan tidak menyisakan vegetasi pantai sebagai kawasan green belt. Pertambakan yang
terdapat di wilayah Bakauheni merupakan pertambakan intensif untuk membudidayakan udang
putih. Berbeda dengan wilayah pesisir di Kecamatan Labuhan Maringai ataupun Kecamatan
Sragi yang didominasi lahan datar, wilayah pesisir Bakauheni memiliki lahan datar yang terbatas
sehingga pengembangan tambak udang tidak meluas. Di wilayah ini pengembangan tambak
dibatasi oleh topografi daratan yang berbukit-bukit. Keberadaan dan manfaat hutan sebenarnya
sudah banyak diketahui oleh masyarakat sekitar. Hal ini karena masyarakat menyadari
pentingnya hutan mangrove sebagai pelindung dari bahaya tsunami, abrasi, dan sebagai tempat
flora serta fauna berkembang biak. Tetapi dengan berbagai kepentingan dan kebijakan yang ada
maka masyarakat sekarang ini lebih banyak mengarah kepada tindakan pengrusakan hutan
mangrove.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Aspek Sosial dan Ekonomi
Dilihat dari aspek ekonomi, pengelolaan lahan hutan menjadi lahan tambak memang
memberikan keuntungan bagi masyarakat yang memiliki kapital, sehingga mampu meningkatkan
produksi perikanan dalam negeri.Bagi masyarakat lokal, hal tersebut juga memicu inisiatif untuk
membuka lahan tambak walaupun hanya berskala kecil, sehingga memberikan peluang untuk
memperbaiki perekonomiannya. Masyarakat yang tidak memiliki modal dan tidak berpendidikan
juga terbuka peluang kerjanya sebagai pekerja kasar di pertambakan yang berskala besar
sehingga hal tersebut dapat mengurangi tingkat pengangguran. Namun efek negatifnya,
masyarakat yang tidak mendapatkan kesempatan bekerja di pertambakan besar ataupun
membuka lahan sendiri menjadi resah sehingga dapat menimbulkan konflik ataupun sabotase
terhadap pemilik lahan tambak dengan alasan masyarakat melihat perizinan pembukaan lahan
untuk tambak tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang, tetapi tetap diberikan. Sementara
wewenang dan bentuk pengelolaan wilayah pesisir juga tidak jelas. Perambahan terhadap hutan
mangrove semakin meluas karena masyarakat yang hidup di sekitar industri tambak udang besar
tetap miskin karena tidak banyak dilibatkan. Di sekitar pesisir sepanjang 270 kilometer itu
terdapat 175 desa. Sekitar 95 desa di antaranya tergolong desa tertinggal. Yang dapat mereka
lakukan untuk bertahan hidup hanyalah menjual batang-batang pohon mangrove untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, kemiskinan menjadi faktor utama rusaknya
hutan bakau di daerah tersebut.
4.2 Aspek Ekologi
Harus diakui aktifitas alih fungsi hutan mangrove baik untuk diambil kayunya, maupun
untuk pembukaan lahan bagi pertambakan ikan akan sangat mempengaruhi struktur pantai. Hal
tersebut menjadi ancaman, khususnya pada saat air laut pasang dan gelombang besar akan
membuat bentuk pantai berubah, bahkan dapat terjadi abrasi pantai yang nantinya dapat
membahayakan masyarakat pesisir itu sendiri. Mangrove yang menjadi tujuan ikan migrasi untuk
memijah, mencari makan dan berlindung juga tidak dapat lagi berfungsi secara efektif akibat dari
kerusakan di wilayah tersebut.
4.3 Upaya Penanggulangan
Dalam rangka penanggulangan kerusakaan pantai timur Lampung beberapa upaya dan
program kegiatan telah dilakukan, baik yang bersifat lokal maupun nasional. Upaya-upaya ini
dilakukan oleh berbagai pihak, seperti pemerintah provinsi/kabupaten, PT DCD dan PT CPB,
masyarakat setempat, LSM, Perguruan Tingi, dan lain-lain. Pemerintah daerah melalui Dinas
Kehutanan Provinsi Lampung bekerjasama dengan LPM Univesitas Lampung pada tahun 2006
telah menyusun dokumen Masterplan Rehabilitasi Hutan Mangrove Pesisir Timur Lampung.
Dalam masterplan tersebut dipaparkan beberapa permasalahan, baik fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan lain-lain, yang dihadapi dalam rangka merehabilitasi pesisir timur Lampung.
Perbaikan ekosistem mangrove tidak hanya mencakup kegiatan merehabilitasi lahan-lahan yang
kritis saja, tetapi permasalahan lebih kompleks karena menyangkut faktor ekonomi, sosial, dan
budaya.
Dalam masterplan tersebut dijelaskan langkah-langkah rencana aksi (action plan), antara
lain:
a) Penataan Ruang Wilayah Pesisir Timur Lampung, yang meliputi kegiatan:
• Konsultasi Publik tentang Tata Ruang Wilayah Pesisir Timur Lampung
• Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Wilayah Pesisir Timur Lampung
• Penyusunan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Wilayah Pesisir Timur Lampung
b) Rehabilitasi Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat, yang mencakup kegiatan:
• Pengukuran dan Penetapan Kawasan Jalur Hijau (Green Belt) Hutan Mangrove
• Penetapan dan Redesign Tambak-tambak Masyarakat Berbasis Konservasi
• Rehabilitasi Hutan Mangrove pada Kawasan Green Belt
• Pengawasan dan Pemeliharaan Kawasan Green Belt Hutan Mangrove
c) Memasukkan topik ekosistem hutan mangrove sebagai muatan lokal dalam kurikulum
pendidikan formal dan non formal.
d) Pembangunan dan pengembangan mangrove center
e) Pengembangan pusat pertumbuhan ekonomi baru (regional)
f) Penyusunan payung hukum berbasis masyarakat untuk pengelolaan ekosistem hutan
mangrove
g) Pembentukan, penguatan, dan pemberdayaan kelembagaan pengelolaan ekosistem
hutan mangrove.
Pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung bekerjasama dengan
Universitas Lampung melakukan kajian dan demonstrasi plot tentang tambak udang ramah
lingkungan dengan model wanamina (silvofisheries) di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan
Maringgai, Lampung Timur, yang bertujuan untuk mengaplikasikan konsep budidaya perikanan
sistem wanamina (silvofishery) di kawasan mangrove dalam bentuk demonstrasi pond
(dempond), yang mana hasilnya diupayakan dapat diterapkan kepada masyarakat. Apabila
tambak udang model wanamina ini dapat diterapkan, maka kegiatan rehabilitasi mangrove dapat
berjalan seiring dengan perubahan pola budidaya yang ramah lingkungan. Kegiatan ini juga
disertai dengan penyuluhan dan pelatihan tentang pentingnya peranan ekosistem mangrove di
wilayah pesisir serta aplikasi tambak wanamina sebagai salah satu cara budidaya ikan/udang di
lahan mangrove tanpa merusak ekosistem tersebut.
Pada Oktober 2007 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung melaksanakan
kegiatan rehabilitasi mangrove di Desa Pematang Pasir, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan
seluas 10 ha, yaitu sepanjang 1.000 m dengan ketebalan mangrove sekitar 100 m. Kegiatan ini
dilakukan alam rangka upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir yang melibatkan masyarakat
setempat. Jenis mangrove yang ditanam adalah Rhizopora mucronata. Langkah konkrit yang
ditempuh oleh pemerintah daerah dalam upaya memperbaiki kawasan pesisir timur Lampung
antara lain seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Timur. Pemkab
Lampung Timur telah mengeluarkan Perda No.3 tahun 2002 yang mengatur hutan bakau di
pesisir pantai setidaknya harus memiliki ketebalan 100 meter dari garis pantai pasang tertinggi.
Upaya ini ditempuh untuk memberi payung hukum pengelolaan dan perlindungan kawasan
mangrove yang akan dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Timur. Setidaknya
dengan adanya perda ini maka Pemda Kabupaten Lampung Timur memiliki kekuatan hukum
untuk mencegah perusakan kawasan mangrove lebih lanjut. Melalui kegiatan rehabilitasi lahan
pemerintah Kabupaten Lampung Timur telah melakukan penanaman mangrove di sekitar pantai
timur. Pada tahun 2005 program rehabilitasi hutan mangrove dilakukan pada areal seluas 53
hektare di Labuhanmaringgai. Selanjutnya pada tahun 2006, rehabilitasi dilakukan pada areal
seluas 150 hektare, masing-masing 75 hektare di Pasirsakti dan Labuhanmaringgai. Tahun 2007
program lanjutan direncanakan akan dilaksanakan di dua kecamatan tersebut (Pasirsakti dan
Labuhanmaringgai) dengan areal seluas 200 hektare. Selain kegiatan rehabilitasi lahan,
penegakan hukum juga dilakukan oleh Pemkab Lampung Timur terhadap masyarakat yang
merambah Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Lampung Timur bersama aparat
kepolisian setempat akan menutup ratusan hektare tambak liar di kawasan pantai timur Kuala
Penet, Margasari, Labuhanmaringgai dan Pasir Sakti. Pasalnya, ratusan hektare tambak itu
berada di kawasan Register 15 Muara Sekampung. Berdasar Surat Keputusan (SK) Menteri
Kehutanan Nomor 256/Kpts-2/II/2000 tanggal 23 Agustus 2000 tentang Kehutanan, kawasan
pantai timur Lampung Timur masuk kawasan Register 15 Muara Sekampung Penutupan itu
merupakan kelanjutan dari operasi pengamanan hutan Register 15 Muara Sekampung yang
merupakan perairan pantai timur. Operasi pengamanan yang dilakukan selain melibatkan jajaran
Disbunhut juga melibatkan sejumlah anggota Sat Intelkam dan Satreskrim Kepolisian Resor
(Polres) Lampung Timur.
Sasaran utama operasi itu adalah pengamanan Register 15 Muara Sekampung yang
merupakan kawasan pesisir pantai timur Lampung Timur sepanjang 30 kilometer yang
memanjang dari Kuala Penet Margasari Labuhanmaringgai hingga Pasir Sakti saat ini sangat
memprihatinkan. Pada jalur itu, sedikitnya 500 hektare hutan bakau (mangrove) telah dikonversi
warga menjadi areal tambak. Lembaga Swadaya Masyarakat di Lampung juga turut berperan
dalam mengkampanyekan urgensi kerusakan lahan mangrove dalam rangka menggugah
kesadaran semua pihak akan pentingnya habitat mangrove di pesisir timur Lampung. WALHI
Lampung menginisiasi kegiatan tanam bakau di Dusun Bunut Selatan, Desa Bandar Agung,
Kecamatan Sragi, Lampung Selatan, di sela-sela agenda South – North Consultation, 4
September 2007. Dalam kegiatan tanam bakau ini, WALHI Lampung mengikutsertakan seluruh
peserta South -North Consultation yang berasal dari berbagai negara, seperti Indonesia,
Bangladesh, India, Malaysia, Swedia, Venezuela, Honduras, Spanyol, Senegal, Nigeria,
Thailand, Srilanka, dan Afrika Selatan. Pihak swasta, dalam hal ini PT CPB dan PT DCD, juga
berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga kawasan green belt terkait dengan isu lingkungan
(eco labelling) dalam pemasaran (ekspor) udang produksi kedua perusahaan tersebut. Melalui
program community development, PT DCD dan PT CPB telah berupaya untuk merehabilitasi
lahan green belt dengan cara memberdayakan masyarakat yang tinggal di sekitarnya dengan
membentuk kelompok pengelola mangrove. Kelompok pengelola mangrove ini mengelola
pembibitan dan penanaman mangrove yang ditanam di areal green belt. Melihat betapa penting
dan bermanfaatnya penanaman mangrove bagi industri budidaya udang, manajemen PT CPB
Bahari berkomitmen untuk selalu melestarikan mangrove yang diwujudkan dengan adanya
program konservasi mangrove atau mangrove conservation program (MCP). Program ini
merupakan program rehabilitasi mangrove yang habis dirambah pada 1999-2000. Sebelumnya,
yakni pada kurun waktu 1995-1998, PT CPB telah melakukan rehabilitasi (penghijauan)
mangrove di pesisir timur Lampung dengan luas area mencapai 2.819 ha, sepanjang 50 km
dengan ketebalan 500-1.500 meter.
Program konservasi mangrove (MCP) ini telah dimulai sejak tahun 2004. Hingga 2006
telah dilakukan penanaman kembali sebanyak 140.000 bibit bakau, dan jumlah tersebut akan
terus bertambah. Bibit bakau disemai di bedeng persemaian yang berada di dalam kawasan pond
site PT CPB, sehingga setiap saat dapat dipantau pertumbuhannya. Bakau yang ditanam oleh PT
CPB adalah Rhizopora apiculata yang memiliki beberapa keunggulan, antara lain bibitnya
mudah disemaikan, mudah tumbuh pada substrat berlumpur dan memiliki daya ikat sedimen
yang tinggi sehingga mampu mencegah terjadinya abrasi lahan.
Prioritas utama penghijauan kembali tanaman bakau adalah di bantaran kanal utama
pengeluaran air (main outlet) dengan tujuan untuk memacu pertumbuhan mangrove tersebut
karena limbah budidaya udang mengandung bahan organik yang tinggi sehingga dapat menjadi
nutrisi bagi mangrove. Tujuan lainnya adalah meminimalisir pencemaran limbah budidaya di
ekosistem pesisir sehingga suplai air laut untuk keperluan budidaya udang juga terjamin
kualitasnya. Kegiatan MCP merupakan suatu bentuk pelaksanaan program pengembangan
komunitas sekitar perusahaan atau community development program (CDP). Perusahaan
menyediakan lahan untuk dijadikan bedeng persemaian tanaman mangrove dan pengelolaannya
dilakukan oleh warga masyarakat Dusun Sungai Burung. Demikian pula dengan proses
penanaman bibit yang telah siap tanam, juga dilakukan bersama-sama, yakni antara pihak
perusahaan dan masyarakat lokal. Sebagai imbal balik, perusahaan menyediakan sejumlah dana
untuk menghargai jerih payah masyarakat lokal sekaligus membantu menyediakan
sarana/fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat, seperti gedung sekolah, balai pengobatan
serta pelayanan kesehatan bagi warga.
DAFTAR PUSTAKA
Rais, 2000. Kajian Kerawanan dan Dinamika Wilayah Pesisir. Materi Kuliah pada Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program Pascasarjana IPB, 92
hal.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita Jakarta.
M. Salam Tarigan. Perubahan Garis Pantai Di Wilayah Pesisir Perairan Cisadane, Provinsi
Banten. Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta 14430, Indonesia
Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Pesisir Terpadu. Proyek Pesisir, Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (IPB). Hotel Permata,
Bogor, 29 Oktober 2001
Bengen, D.G. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu,
Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah pada Sosialisasi Pengelolaan
Sumberdaya Berbasis Masyarakat. Bogor, 21-22 September 2001.
http://www.telapak.org/tnews/news/156.html
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=96724
http://ryanalfiannoor.wordpress.com/2009/11/16/pengembangan-komunal-masyarakat-pesisir-
pantai/
Retraubun, A.S.W. 2002. Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Data dan Masalah
Pengelolaannya. Makalah Lokakarya dalam rangka Penetapan Luas Terumbu
Karang, Panjang Pantai, dan Jumlah Pulau di Indonesia Berdasarkan Data
Penginderaan Jauh. oleh COREMAP. LIPI.