Transcript

Mata Kuliah ImunologiFakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Tugas MakalahReaksi Hipersensitivitas Tipe IV dan Tipe VOLEH :Kelompok IVArfianaN11108295Rosdiana Nasir N11108297Rizky Fajar WulanN11108309Neny TrianahN11108312Rahmatun SahraN11108318HikmayantiN11108 323

MAKASSAR 2011BAB IPENDAHULUANReaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi IgE akibat terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen yang sama. Alergen memicu terjadinya aktivasi sel mast yang mengikat IgE pada jaringan. IgE merupakan antibodi yang sering terlihat pada reaksi melawan parasit, terutama untuk melawan cacing parasit yang umumnya mewabah pada negara yang masih terbelakang. Namun demikian, pada negara maju, respon IgE terhadap antigen sangat menonjol dan alergi menjadi sebab timbulnya penyakit. Hampir separuh masyarakat Amerika bagian utara dan juga masyarakat Eropa mempunyai alergi terhadap satu atau lebih antigen yang berasal dari lingkungan, misalnya serbuk bunga. Meskipun bahan alergen itu tidak sampai mengakibatkan kematian namun sangat mengganggu produktivitas karena menyebabkan penderitanya tidak dapat bekerja maupun sekolah. Oleh karena alergi menjadi masalah kesehatan yang cukup penting sehingga patofisiologi yang ditimbulkan oleh IgE lebih diketahui daripada peran IgE pada fisiologi yang normal. Istilah alergi awalnya berasal dari Clemen Von Pirquet yang artinya adalah perubahan kemampuan tubuh dalam merespon substansi asing. Definisi ini memang cukup luas karena mencakup seluruh reaksi imunologi. Alergi saat ini mempunyai definisi yang lebih sempit yaitu penyakit yang terjadi akibat respon sistem imun terhadap antigen yang tidak berbahaya. Alergi merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut reaksi hipersensitif. Reaksi hipersensitif merupakan salah satu respon sistem imun yang berbahaya karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius. Oleh Coobs dan Gell reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat kelas.

Gambar 1. Reaksi hipersensitif dimediasi oleh kerja sistem imun dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Sejauh ini dikenal ada empat macam tipe hipersensitif. Tipe I-III dimediasi oleh antibodi dan dibedakan satu sama lain dengan perbedaan antigen yang dikenali dan juga kelas dari antibodi yang terlibat pada peristiwa tersebut. Hipersensitif tipe I dimediasi oleh IgE yang menginduksi aktivasi sel mast. Hipersensitif tipe II dan III dimediasi oleh IgG yang melibatkan reaksi komplemen dan juga sel-sel fagosit. Tingkat keterlibatan komplemen dan fagosit tergantung pada subklas IgG dan sifat antigen yang terlibat. Hipersensitif tipe II tertuju pada antigen yang terdapat pada permukan atau matrik sel, sedangkan hipersensitif tipe III tertuju pada antigen terlarut, dan kerusakan jaringan disebabkan oleh adanya komplek imun. Pada hipersensitif tipe II yang dimediasi antibodi IgG dimana antibodi berikatan dengan reseptor pada permukaan sel akan mengganggu fungsi reseptor tersebut. Gangguan pada reseptor dapat berupa aktivasi sel yang tak terkontrol maupun fungsi reseptor hilang karena adanya bloking oleh antibodi itu.Hipersensitif tipe IV dimediasi oleh sel T dan dapat dibagi menjadi tiga grup. Pada grup pertama, kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivasi makrofag akibat rangsangan sel Th1. Pada mekanisme ini akan terjadi reaksi inflamasi. Pada grup kedua, kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivasi sel TH2 akibat adanya reaksi inflamasi. Pada mekanisme ini eosinofil mempunyai peranan besar dalam menyumbangkan kerusakan jaringan itu. Pada grup ketiga, kerusakan jaringan disebabkan oleh aktivitas sel T sitotoksik, CD8.

BAB IIPEMBAHASAN

1.Reaksi Hipersensitivitas Tipe IVPada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagairespons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+, dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.

Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (seperti manset) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel T CD4+(misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.

Patofisiologi :Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T naif tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut: IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN- oleh sel T dan sel NK yang poten. IFN- mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling penting. IFN- merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasimenyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-, yang merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara ringkas, aktivitas IFN- meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis. IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T penonton yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal. TNF dan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel:(1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local; (2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan sel mononuklear; dan (3) induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.

Inflamasi GranulomatosaGranulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-) untuk membentuk suatu sel raksasa (giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara khusus dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebut granuloma, dan polanya disebut sebagaiinflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama dengan proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya. DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai patogen intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula terlibat dalampenolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap patogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akandimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma, terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi mikroba yang menginvasi.Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan suatu penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang diakibatkan oleh hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak dengan pentadesilkatekol (juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison ivy atao poisin oak) pada penjamu yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada sensitivitas tuberculin. Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di dalam epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel intradermal.

Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel TPada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi membunuh sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, molekul MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel dan menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit T sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa banyak peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor.Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1) pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung pada ligan Fas- Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi membran plasma pada seltarget; hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya menyebabkan lisi osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut dengan granzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam penolakan graft.

2. Reaksi Hipersentivitas Tipe V Hipersensitivitas tipe V adalah jenis terakhir dari hipersensitivitas di mana antibodi yang diproduksi dengan merangsang target sel tertentu. Tipe V ini adalah jenis tambahan yang digunakan sebagai perbedaan dari reaksi 2 Jenis. Reaksi-reaksi ini terjadi ketika antibodi IgG diarahkan antigen permukaan sel memiliki efek merangsang pada target mereka. Contoh paling jelas adalah Graves penyakit yang disebabkan oleh antibodi yang merangsang thyroid-stimulating hormon reseptor, menyebabkan overactivity dari kelenjar tiroid. Selain itu terdapat juga contoh penyakit lain seperti Myasthenia Gravis, Tiroiditis Hashimoto, lupus eritematosus sistemik. Penggunaan Tipe 5 ini jarang terjadi. Kondisi ini lebih sering diklasifikasikan sebagai Tipe 2, meskipun kadang-kadang mereka secara khusus dipisahkan menjadi subkategori sendiri tipe 2.

BAB IIIKESIMPULAN

1. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, berbeda dengan tiga reaksi sebelumnya, tidak ada imunoglobulin yang terlibat dalam reaksi tipe IV, dan hipersensitivitas diperantarai sel T secara langsung melalui. Reaksi ini dipicu ketika antigen ini disajikan untuk limfosit T oleh sel-sel antigen presentasi (APC), yang menghasilkan sitokin (limfokin) atau stimulasi limfosit rilis. Contoh reaksi tipe IV meliputi dermatitis kontak (eksim) dan penolakan cangkok kornea. Reaksi tipe IV mungkin memainkan peran dalam toksoplasmosis okular, uveitides herpetic, Oftalmia simpatik, planitis Pars, dan retinochoroidopathy birdshot2. Pada hipersensitivitas tipe V, antibodi IgG yang diarahkan ke permukaan sel antigen dan memiliki efek stimulasi pada target mereka. Contohnya adalah long-acting tiroid stimulator (Lats) antibodi. Lats diarahkan sebagian dari reseptor hormon dan meniru fungsi thyroid-stimulating hormone. Ibu merangsang antibodi antitiroid IgG dapat melewati plasenta dan dapat menyebabkan hipertiroidisme neonatal

DAFTAR PUSTAKA

1. Rajan TV (July 2003). "The Gell-Coombs classification of hypersensitivity reactions: a re-interpretation" . Trends Immunol. 24 (7)2. Hitam, CA. Hipersensitivitas Tipe Tertunda: Teori ini dengan Dermatol Perspektif bersejarah. J. online (Mei 1999) 5 (1): 7 di http://dermatology.cdlib.org/DOJvol5num1/reviews/black.html3. Tabel 5-1 di: Mitchell, Richard Sheppard, Kumar, Vinay; Abbas, Abul K.; Fausto, Nelson (2007) Robbins Dasar Patologi.. Philadelphia:. Saunders ISBN 1-4160-2973-7 . 8 edisi.4. Gell PGH, Coombs RRA, eds. Aspek Klinis Imunologi. 1st ed. Oxford, Inggris: Blackwell; 1963.5. Whitcup SM, Nussenblatt RB: Immunologic mechanisms of uveitis: New targets for immunomodulation. Arch Ophthalmol 115:520, 19976. Nussenblatt RB, Whitcup SM, Palestine GP: Fundamentals and Clinical Practice, 2nd ed., 1996


Top Related