Download - Makalah Diagnosis Tuberkulosis.doc
MAKALAH SEMINAR
Diagnosis Tuberkulosis
Disusun oleh:
Evan Regar 0906508024
Faradila Keiko 0906508062
Farah Asyuri Yasmin 0906552611
Hanifah Rahmani Nursanti 0906487814
Rombongan E
Modul Praktik Klinik Pulmonologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Diagnosis merupakan ujung tombak penatalaksanaan tuberkulosis (TB). Diagnosis
yang akurat akan diikuti oleh penatalaksanaan yang tepat. Penatalaksanaan yang tepat ini
secara bermakna menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat TB serta mencegah
penularan angka TB. Kegagalan diagnosis menyebabkan hilangnya kesempatan deteksi dini
tuberkulosis yang kemudian meningkatkan derajat keparahan penyakit pasien dan lebih
besarnya kemungkinan penularan terhadap keluarga dan komunitas.1
Di Indonesia, strategi penemuan TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penyuluhan dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Pemeriksaan dilakukan
pada orang-orang yang pernah berkontak dengan pasien, terutama saat hasil pemeriksaan
dahak BTA positif. Tidak dilakukan penemuan secara aktif seperti mengunjungi rumah-
rumah karena tidak efektif dan pembiayaannya besar.2
International Standards of Tuberculosis Care (ISTC) menjadi acuan penatalaksanaan
TB. Standar ini dibuat untuk memfasilitasi klinisi dengan bagaimana menatalaksana pasien
yang menderita ataupun diduga menderita tuberkulosis. Diagnosis yang akurat dan
penatalaksanaan menggunakan regimen yang tepat bukan hanya demi kepentingan pasien
secara individu tetapi juga demi kepentingan masyarakat.1
Pada ISTC dijabarkan 6 standards for diagnosis. Standar-standar ini di antaranya
menjabarkan penegakkan diagnosis pada suspek TB, yaitu terutama pasien dengan keluhan
batuk berdahak terus menerus hingga 2-3 minggu. Kemudian dijabarkan pula mengenai
kepentingan pemeriksaan dahak mikroskopik, diagnosis pada suspek TB ekstraparu,
penegakkan diagnosis pada pasien dengan foto toraks mengarah TB, kemudian penegakkan
diagnosis pada pasien dengan diagnosis klinis TB namun hasil pemeriksaan dahak
mikroskpik BTA negatif. Serta yang aterakhir diagnosis TB paru dan ekstraparu pada anak.1
Pada makalah ini, akan dibahas keenam standar tersebut dengan tujuan agar penulis
dan pembaca mengetahui bagaimana langkah penegakkan diagnosis yang tepat pada berbagai
macam kasus. Sehingga, klinisi dapat mengobati pasien dengan regimen yang sesuai.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Suspek TB
Standar 1. Setiap orang dengan batuk produktif tanpa sebab yang jelas selama 2-3 minggu
atau lebih harus dievaluasi untuk tuberkulosis (TB).
Gejala tuberkulosis paru yang paling umum adalah batuk produktif yang persisten,
sering disertai gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk darah, sesak napas, nyeri dada, malaise, serta
anoreksia. Limfadenopati yang konsisten dengan TB paru juga dapat ditemukan, terutama
pada pasien dengan infeksi HIV.1
Walaupun kebanyakan pasien dengan TB paru memiliki gejala batuk, gejala tersebut
tidak spesifik untuk tuberkulosis. Batuk dapat terjadi pada infeksi saluran napas akut, asma,
serta PPOK. Walaupun begitu, batuk selama 2-3 minggu merupakan kriteria suspek TB dan
digunakan pada guideline nasional dan internasional, terutama pada daerah dengan prevalensi
TB yang sedang sampai tinggi. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah, batuk kronik
lebih mungkin disebabkan kondisi selain TB.1
Dengan memfokuskan terhadap dewasa dan anak dengan batuk kronik, kesempatan
mengidentifikasi pasien dengan TB paru dapat dimaksimalkan. Selain gejala batuk, pada
pasien anak penting mengevaluasi berat badan yang sulit naik dalam kurun waktu 2 bulan
terakhir atau gizi buruk. Beberapa studi menunjukkan bahwa tidak semua pasien dengan
gejala respiratori menerima evaluasi yang adekuat untuk TB. Kegagalan ini terjadi karena
kurangnya deteksi dini TB sehingga menyebabkan meningkatnya keparahan penyakit pada
pasien dan meningkatnya kemungkinan transmisi Mycobacterium tuberculosis ke orang-
orang di sekitarnya.1
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan. Pada awal perkembangan penyakit sulit ditemukan kelainan. Pada umumnya
kelainan paru terletak di lobus superior terutama apeks dan segmen posterior (S1 dan S2),
serta daerah apeks lobus inferior (S6). Temuan yang bisa didapatkan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma,
dan mediastimun.1
3
Pada pleuritis TB, apabila cairan di rongga pleura cukup banyak, dapat ditemukan
redup atau pekak pada perkusi. Pada auskultasi suara napas melemah sampai tidak terdengar
pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB terdapat pembesaran kelenjar getah
bening, tersering di daerah leher.1
2.2. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Standar 2. Semua pasien baik dewasa, remaja, maupun anak yang dapat diambil spesimen
dahaknya dan diduga menderita tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak
mikroskopik pada laboratorium yang teruji kualitasnya minimal 2 kali, dan sebaiknya 3 kali.
Jika memungkinkan, paling tidak terdapat satu spesimen yang berasal dari dahak pagi hari.
Pemeriksaan dahak mikroskopik merupakan metode yang paling mudah dan cepat
dilakukan untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis. Pada prinsipnya, diagnosis tuberkulosis
ditegakkan dengan menemukan agen penyebab penyakit yaitu Mycobacterium tuberculosis.1,2
Metode yang dapat dilakukan di antaranya:2
a. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis terdiri dari pemeriksaan mikroskopis konvensional (cahaya)
dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen, dan mikroskopis fluoresens dengan pewarnaan
auramin-rhodamin.
b. Kultur spesimen
Pemeriksaan dengan media biakan lebih sensitif dibanding pemeriksaan mikroskopis
karena dapat mendeteksi 10-1000 mikobakteria/ml dibandingkan pemeriksaan
mikroskopis yang baru dapat memperlihatkan hasil positif bila jumlahnya telah
mencapai 5000 mikobakteria/ml.3
c. Uji molekular
Identifikasi sekuens DNA pada spesimen dapat menggunakan PCR-Based Methods of
IS6110 Genotyping, Spoligotyping, Restriction Fragment Length Polymorphism
(RFLP), MIRU/VNTR analysis, PGRS RFLP, Genomic deletion analysis.
Kultur spesimen merupakan standar emas dalam konfirmasi diagnosis tuberkulosis.
Namun, kultur membutuhkan waktu yang lama (3-6 minggu), prosedur yang lebih rumit, dan
alat yang lebih lengkap sehingga pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan dalam beberapa
kondisi. Di daerah dengan prevalensi tinggi tuberkulosis, penemuan basil tahan asam pada
4
pemeriksaan mikroskopis sangat spesifik dan dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis.1 Pemeriksaan mikroskopis penting untuk segera dilakukan karena.1
1. Pemeriksaan mikroskopis BTA merupakan metode tercepat untuk menentukan apakah
seseorang menderita tuberkulosis,
2. Dapat mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi meninggal karena tuberkulosis.
Terutama pada pasien TB dengan infeksi HIV, angka mortalitas akibat TB lebih
tinggi pada pasien yang terdiagnosis secara klinis namun hasil pemeriksaan BTA
negatif dibanding pasien dengan hasil pemeriksaan BTA positif,
3. Dan mengidentifikasi pasien yang mungkin menyebarkan infeksi.
Di antara dua pemeriksaan mikroskopis, sebenarnya pemeriksaan mikroskopis
fluoresens lebih sensitif 10% dibanding pemeriksaan mikroskopis konvensional. Namun,
pemeriksaan mikroskopis fluoresens lebih mahal dan sulit diterapkan di banyak tempat
karena keterbatasan alat.1
Sensitivitas pemeriksaan mikroskopis konvensional dapat ditingkatkan dengan
mengoptimalkan konsentrasi spesimen melalui metode fisika maupun kimia. Metode fisika di
antaranya dengan sentrifugasi dan/atau sedimentasi. Sedangkan metode kimia di antaranya
penggunaan bleaching agent, NaOH, atau NaLC. Kedua metode ini dapat meningkatkan
sensitivitas pemeriksaan hingga 15-20%. Namun, metode ini juga sulit diterapkan karena
prosedurnya lebih kompleks, biayanya lebih tinggi karena membutuhkan tenaga listrik, dan
risiko infeksi terhadap pegawai laboratorium meningkat.1
Kegagalan diagnosis tuberkulosis dihindari dengan memerhatikan berbagai tahapan
yaitu mulai dari pengkoleksian, pemrosesan dan pemeriksaan dahak. Pemerintah
berkewajiban memastikan bahwa tenaga kesehatan mudah mengakses laboratorium yang
dapat melakukan pemeriksaan mikroskopis BTA dan memantau kualitas pemeriksaan
laboratorium tersebut.1
Pada tahap pengkoleksian, masalah yang kerap ditemukan adalah dahak tidak dapat
diproduksi oleh pasien. Tenaga kesehatan perlu memberikan instruksi dan supervisi yang
jelas terhadap pasien mengenai pengkoleksian ini. Mampu atau tidaknya pasien mengkoleksi
dahak tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan umur. Bisa saja pasien anak usia 5 tahun
menghasilkan spesimen yang layak diperiksa, begitu pula pada remaja (usia >15 tahun) yang
sering digolongkan sebagai pasien anak.1
Pada tuberkulosis paru, bahan pemeriksaan bakteriologi berasal dari dahak.
Pengambilan dahak dilakukan minimal 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari.
5
Pengambilan sebanyak 3 kali lebih dianjurkan. Pemeriksaan yang ketiga akan berguna
sebagai bukti konfirmasi jika hanya satu dari dua pemeriksaan awal yang memberi hasil
positif. Pada pelaksanaannya, tiga spesimen dahak dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan yaitu dahak Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS).2
S (Sewaktu) : diambil saat pasien yang diduga tuberkulosis berkunjung pertama kali.
Kemudian pasien dibekali pot dahak (tutup kuning) untuk pengambilan
dahak kedua.
P (Pagi) : Pasien diminta mengambil dahaknya di rumah pada pagi hari kedua setelah
bangun tidur. Pot kemudian diserahkan ke petugas unit pelayanan kesehatan
pada hari itu juga.
S (Sewaktu) : Pasien diambil lagi dahaknya saat pasien mengumpulkan dahak paginya di
hari kedua yaitu satu hari setelah kunjungan pertama (hari kedua)
Pasien perlu diedukasi cara pengambilan spesimen dahak yang benar. Hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah bahwa sputum yang diperlukan berasal dari dalam paru sehingga
konsistensinya kental dan lengket, bukan air ludah dari mulut yang konsistensinya cair.
Apabila pasien tidak berhasil memproduksi spitim setelah dua kali mengambil napas dalam.
Maka dianjurkan untuk menghirup uap air terlebih dahulu.4
Hasil pemeriksaan dahak idealnya diterima oleh dokter yang memeriksa pada hari yang
sama dengan hari spesimen dimasukkan. Kesalahan diagnosis dapat menyebabkan kesalahan
pengobatan sehingga diagnosis tuberkulosis harus ditegakkan dengan tepat. 1,2
Tabel 1. Skala IUATLD dalam interpretasi hasil pemeriksaan dahak mikroskopis3
Hasil Keterangan
Negatif Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang
+1, +2, ..., +9 (sesuai jumlah basil) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang
1+ Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang
2+ Ditemukan 1-10 BTA per lapang pandang dalam
setidaknya 50 lapang pandang
3+ Ditemukan >10 BTA per lapang pandang dalam
setidaknya 20 lapang pandang
Skala di atas bermanfaat dalam mengevaluasi respons terapi. Berdasarkan hasil
pemeriksaan pada tiga spesimen dahak kemudian ditegakkan diagnosis tuberkulosis. Pasien
6
suspek TB dengan hasil positif pada dua/tiga spesimen dahak dapat langsung didiagnosa TB.
Sedangkan pasien dengan hasil negatif atau positif hanya pada satu spesimen dahak harus
melalui beberapa kriteria hingga diputuskan TB atau tidak oleh klinisi. Berikut alur diagnosis
TB.2
Gambar 1. Alur Diagnosis TB2
2.3. TB Ekstraparu
7
Standar 3. Bagi seluruh pasien (dewasa, remaja, anak) yang dicurigai memiliki tuberkulosis
ekstrapulmoner, spesimen yang tepat dari tempat yang dicurigai harus diambil untuk
pemeriksaan mikroskopis, kultur, maupun histopatologi.
Dari urutan terjadinya, tuberkulosis ekstrapulmoner paling banyak terjadi di nodus
limfa, pleura, sistem genitourinaria, tulang dan sendi, meninges, peritoneum, dan
perikardium. Secara singkat tuberkulosis ekstrapulmoner diterangkan sebagai berikut:1
Limfadenitis tuberkulosis dicirikan dengan pembesaran kelenjar getah bening yang
tidak nyeri (pada umumnya servikalis posterior dan supraklavikular).
Tuberkulosis pleura dapat bermanifestasi mulai dari efusi yang kecil, hingga efusi
besar sehingga menimbulkan nyeri pleura dan dispnu. Pemeriksaan fisik
menunjukkan efusi pleura (redup pada perkusi, suara napas menghilang). Jenis efusi
perlu ditentukan dengan melakukan pungsi pleura. Dapat pula terjadi empiema
tuberkulosis yang lebih jarang, pada umumnya disebabkan oleh ruptur kavitas.
Tuberkulosis saluran napas atas merupakan komplikasi dari tuberkulosis paru dengan
kavitasi. Tuberkulosis jenis ini melibatkan laring, faring, dan/atau epiglotis sehingga
memunculkan gejala serak, disfonia, dan disfagia disertai dengan batuk produktif.
Tuberkulosis genitourinaria dapat menimbulkan gejala frekuensi, disuria, nokturia,
hematuria, serta nyeri abdomen.
Tuberkulosis sistem muskuloskeletal mengenai tulang dan sendi, dan patogenesisnya
terkait dengan reaktivasi dari fokus hematogen dan penyebaran melalui nodus limfa
paravertebra. Dapat pula mengenai vertebra sehingga terkena tuberkulosis spinal
(Pott’s disease atau spondilitis tuberkulosis).
Tuberkulosis meningitis dan tuberkuloma
Tuberkulosis perikardial akibat ekstensi langsung nodus limfa mediastinal atau hilus.
Kejadian tuberkulosis ekstrapulmoner dapat terjadi sekitar 15-20% pada populasi
yang prevalensi HIV-nya rendah. Kejadian ini akan semakin meningkat dengan tingginya
prevalensi infeksi HIV. Sebagaimana yang diketahui bahwa tuberkulosis merupakan infeksi
poportunistik tersering pada ODHA di Indonesia. Tuberkulosis paru adalah jenis tuberkulosis
yang paling banyak ditemukan pada ODHA, sedangkan tuberkulosis ekstrapulmoner sering
ditemukan pada ODHA dengan hitung CD4 yang lebih rendah.5,6
Untuk mendiagnosis tuberkulosis ekstrapulmoner, sampel perlu didapakan dari
tempat-tempat yang cenderung sulit, sehingga konfirmasi bakteriologis tuberkulosis
8
ektrapulmoner menjadi lebih sulit dibandingkan tuberkulosis paru. Selain itu terdapat
kecenderungan jumlah mikroorganisme M. tuberculosis pada situs ekstrapulmoner lebih
sedikit sehingga pemeriksaan mikroskopis basil tahan asam (BTA) menjadi lebih sulit.
Sebagai contoh, pemeriksaan cairan pleura pada pleuritis tuberkulosis hanya berhasil
menemukan BTA pada sekitar 5-10% kasus, dan temuan sama rendahnya pada meningitis
tuberkulosis. Mengingat fakta ini, kultur dan pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan
(misal: biopsi jarum halus nodus limfa) menjadi penting sebagai alat diagnostik.1
Pemeriksaan foto toraks juga sebaiknya silakukan untuk mengetahui adanya TB paru
atau TB milier bersamaan dengan TB ekstraparu. Pada pasien anak, bila memungkinkan
dilakukan pemeriksaan dahak.
2.4. Penemuan Foto Toraks pada Diagnosis TB
Standar 4. Semua pasien dengan temuan radiografi thoraks mengarah kepada TB harus
dilakukan uji sputum mikrobiologi.
Radiografi thoraks merupakan uji yang sensitif namun tidak spesifik untuk
mendeteksi TB sehingga diagnosis TB tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan radiografi,
namun dapat dipakai untuk mengidentifikasi seseorang untuk evaluasi TB lebih lanjut.
Apabila radiografi dipakai sebagai satu-satunya alat diagnostik untuk TB, dapat terjadi over-
diagnosis maupun missed diagnosis.1
Radiografi thoraks berguna untuk mengevaluasi pasien dengan suspek TB namun
BTA negatif untuk mencari bukti untuk TB paru dan untuk mengidentifikasi kelainan lain
yang dapat menyebabkan gejala.1
Pemeriksaan standar menggunakan foto toraks PA. Gambaran radiologi yang
dicurigai lesi TB aktif adalah:1,2
Bayangan berawan atau noduler pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
Kavitas (terutama lebih dari satu) yang dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
Bayangan bercak milier
Efusi pleura, umumnya unilateral
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif yaitu:1,2
9
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Gambaran radiologi pada luluh paru yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat yaitu atelektasis, ektasis atau multikavitas, serta fibrosis parenkim paru.1
2.5. BTA Negatif
Standar 5. Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria
berikut : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal 1 kali
dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis dan tidak ada respons terhadap
antibiotika spektrum luas (Catatan : fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap
M.tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita
tuberkulosis). Untuk pasien ini, jika tersedia fasiliti, biakan dahak harus dilakukan. Pada
pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.
Diagnosis tuberkulosis paru dengan hasil apusan dahak negatif dapat ditegakkan
berdasarkan kriteria berikut :
Minimal 2 kali hasil pemeriksaan mikroskopis sputum negatif (termasuk minimal 1
kali spesimen sputum pagi hari)
Hasil temuan radiologis sesuai dengan gambaran tuberkulosis
Tidak ada respon terhadap antibiotika spektrum luas (tidak termasuk pengobatan anti
TB dan fluroquinolon)1,2
Pada pasien seperti kriteria diatas harus dilakukan kultur sputum untuk memperjelas
diagnosis tuberkulosis. Kultur lebih dipilih karena sifatnya lebih sensitif, 100 organisme / ml
sputum sudah cukup untuk menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Namun kekurangannya
adalah biaya yang cukup mahal, teknik yang lebih kompleks, dan memerlukan waktu yang
lama untuk mendapatkan hasil. Meskipun hasil kultur belum tersedia, keputusan untuk
memulai terapi anti TB dapat diambil, terlebih untuk pasien dengan tuberkulosis berat (misal
disertai infeksi HIV). Terapi dapat dihentikan jika terbukti hasil kultur dahak negatif, pasien
tidak memberikan respon secara klinis, dan terdapat bukti yang mendukung diagnosis
banding.1
10
Pada pasien yang hasil pemeriksaan apusan dahaknya negatif minimal 2 kali dengan
perjalanan penyakit serta gejala yang kurang khas untuk TB, wajar jika dipertimbangkan
kemungkinan adanya penyakit lain yang mendasari. Namun hal tersebut juga tidak menutup
kemungkinan adanya tuberkulosis. Misalnya saja pada pasien dengan infeksi HIV. Karena
sistem imun yang memburuk, biasanya pasien TB dengan HIV menunjukkan hasil BTA
negatif. Namun hal-hal seperti ini kadang meragukan sehingga muncullah berbagai diagnosis
banding yang justru mengarah pada kesalahan diagnosis. Salah diagnosis, baik over maupun
under-diagnosis seringkali menyebabkan perburukan penyakit karena tatalaksana yang tidak
tepat atau kurang cepat. Oleh karena itu, WHO mengambangkan suatu algoritma yang
tujuannya memudahkan penegakan diagnosis untuk pasien dengan hasil apusan dahak
negatif. Perlu diingat bahwa alur di dalam algoritma tidak selalu berjalan satu demi satu
sesuai tahapan. Beberapa pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologi, uji
antibiotic, ataupun kultur dapat dilakukan secara paralel dalam satu waktu yang sama.1
Terdapat beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam mengaplikasikan
algoritma di bawah ini, antara lain :
1. Proses untuk menyelesaikan seluruh tahapan tersebut memakan waktu yang lama,
sehingga tidak dianjurkan bagi pasien yang mengalami perburukan penyakit dengan
cepat. Misalnya saja pada pasien dengan infeksi HIV atau infeksi lainnya yang
menyebabkan tuberkulosis berkembang secara progresif.
2. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian pasien tuberkulosis mungkin
memberi respon terhadap antibiotik spektrum luas. Hal ini seringkali menyamarkan
gejala sehingga penegakkan diagnosis tuberkulosis ditunda. Selain itu, pemberian
flurokuinolon juga sering menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis dan terapi TB.
Flurokuinolon bekerja aktif pada kompleks M. tuberculosis sehingga dapat
menyebabkan perbaikan.
3. Penegakkan diagnosis berdasarkan algoritma diatas memakan biaya yang cukup
mahal, sehingga penerapannya harus sangat efisien. Pemeriksaan harus disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi sosial ekonomi pasien.1
11
Gambar 2. Algoritma Diagnosis Tuberkulosis Paru dengan Hasil Apusan Dahak Negatif1
12
Pemeriksaan kultur sangat dibutuhkan untuk memastikan diagnosis pada kasus hasil
apusan dahak negatif. Metode tradisional yang biasa digunakan yaitu menggunakan medium
padat seperti Lowenstein-Jensen dan Ogawa. Namun terdapat bukti yang menunjukkan
bahwa pertumbuhan bakteri di medium padat pada umumnya lebih lambat dan kurang sensitif
dibandingkan medium cair sehingga dikembangkanlah sistem medium cair seperti BACTEC®
dan MGITT®. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk
mendeteksi pertumbuhan mikobakterium dengan metode konvensional Lowenstein-Jensen
sekitar 40 hari (rentang : 30-56 hari). Sedangkan dengan metode MGITT®, rata-rata hanya
dibutuhkan waktu 21 hari (rentang : 4-53 hari). Prinsip kerja BACTEC® adalah
memanfaatkan karbondiaoksida radioaktif untuk mendeteksi pertumbuhan bakteri.
Sedangkan MGITT® menggunakan sensor fluorescent yang ditanam pada bahan dasar
silikom sebagai indikator pertumbuhan mikobakterium tersebut.1,2
Pada bulan Juni 2008, WHO juga merekomendasikan molecular line-probe assays
sebagai uji screening cepat pada pasien MDR-TB. Namun pemeriksaan ini bukanlah
pemeriksaan utama, sistem kultur sputum tetap menjadi pilihan pertama bagi pasien dengan
apusan dahak negatif. Sedangkan pada pasien yang dicurigai MDR-TB, uji sensitifitas
antibiotik tetap menjadi pilihan.1
Pemeriksaan lainnya, misalnya dengan metode nucleic acid amplification tests
(NAATs) juga sudah dikembangkan. Metode ini mempurifikasi, membuat konsentrat dan
amplifikasi (dengan real time PCR) dan mengidentifikasi sekuens asam nukleat pada genom
TB. Walaupun hasil didapatkan dalam waktu singkat (sekitar 1-2 jam), hasil negatif tidak
dapat mengeksklusi keberadaan tuberkulosis sehingga NAATs tidak dapat dijadikan
pemeriksaan rutin pada kasus apusan dahak negatif.1,2
Radiologi juga memiliki peranan penting dalam diagnosis kasus TB. Pada beberapa
area yang menyediakan fasilitas radiologi, chest X-ray dilakukan sebelum uji sputum. Namun
hal yang perlu diingat adalah penegakkan diagnosis TB tidak dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan 1 modalitas.1
2.6. Diagnosis TB pada Anak
Standar 6. Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura dan kelenjar getah bening
hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif harus
didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis dan pajanan kepada kasus
tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau
13
interferron gamma release assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasiliti, bahan dahak
seharusnya diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak).
Pada semua anak yang dicurigai memiliki tuberkuloss intratorakal (pulmonerk,
pleural, mediastinal, atau nodus limfa hilus), pemeriksaan bakteriologik perlu dilakukan
melalui pemeriksaan sputum (ekspektorasi, gastric washing, atau sputum diinduksi) untuk
pemeriksaan pewarnaan mikroskopik dan kultur. Jika hasil bakteriologis negatif, diagnosis
tuberkulosis sebaiknya dilakukan berdasarkan abnormalitas yang konsisten dengan
tuberkulosis (seperti radiografi toraks, riwayat pajanan kasus terinfeksi, bukti infeksi
tuberkulosis seperti tes tuberkulin positif atau positif interferon-gamma release assay), dan
temuan klinis yang mendukung. Demikian pula pada anak yang dicurigai memiliki
tuberkulosis ekstrapulmoner, spesiemn yang tepat dari tempat kecurigaan perlu diambil untuk
pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan histopatologi.1
Penegakkan diagnosis tuberkulosis pada anak-anak memerlukan ketelitian dan
pemeriksaan yang lengkap. Pada umumnya keterlibatan paru pada tuberkulosis anak
memiliki karakteristik paucibacillar, tanpa kavitasi yang jelas, namun dengan keterlibatan
nodus lima intratorakal. Dibandingkan dewasa, BTA sputum anak cenderung lebih negatif.
Pada anak di bawah lima tahun yang secara praktis akan sulit untuk mendapatkan sampel
sputum, kultur dari bilasan lambung (gastric washing) yang didapatkan dari pipa naso-gastrik
serta sputum diinduksi dapat memiliki nilai diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan
sputum spontan. Secara ringkas, pendekatan yang direkomendasikan dalam penegakkan
diagnosis tuberkulosis pada anak adalah:1
1. Anamnesis dan riwayat secara lengkap dan teliti (termasuk riwayat kontak dengan
tuberkulosis atau simptom yang konsisten dengan tuberkulosis)
2. Pemeriksaan klinis, termasuk perkembangan dan pertumbuhan
3. Test tuberkulin (atau interferon-gamma release assay)
4. Evalusi bakteriologik
5. Investigasi yang terkait dengan suspek tuberkulosis paru dan ekstrapulmoner
Lebih lanjut lagi dijabarkan pula bahwa gejala klinis yang mengarah ke diagnosis
tuberkulosis pada anak adalah:1
1. Keberadaan orang yang tinggal satu rumah dengan anak dan menunuukkan kasus
aktif (infeksius, BTA positif)
2. Anak malnutrisi
14
3. Terinfeksi HIV
4. Memiliki campak
5. Riwayat kehilangan berat badan atau gagal tumbuh secara normal, demam tidak dapat
dijelaskan lebih dari 2 minggu, batuk kronik
6. Pemeriksaan fisik menunjukkan cairan pada salah satu sisi dada (redup pada perkusi)
7. Pembesaran nodusl limfa tidak nyeri, terutama di daerah leher
8. Tanda meningitis, terutama yang berkembang beberapa hari serta cairan sipinal
mengandung dominan limofsit dan protein meningkat
9. Pembengkakan abdomen, dengan atau tanpa massa teraba
10. Bengkak atau deformitas tulang atau sendi secara progresif, termasuk tulang belakang
15
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Pasien dengan gejala batuk hingga 2-3 minggu dan gejala-gejala lain yang khas pada
tuberkulosis dapat dicurigai sebagai tuberkulosis dan segera dievaluasi melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis. Pemeriksaan dahak mikroskopis dipilih dalam identifikasi agen penyebab
penyakit TB yaitu Mycobacterium tuberculosis karena merupakan metode tercepat dan
praktis yang mudah diterapkan di berbagai daerah. Spesimen dahak yang diambil sebaiknya 3
kali yaitu Sewaktu-Pagi Sewaktu, namun bila tidak memungkinkan cukup dua kali dan salah
satunya merupakan dahak pagi hari. Pada TB ekstraparu, spesimen di ambil dari bagian tubuh
yang sakit. Diagnosis TB dikonfirmasi dengan pemeriksaan dahak mikroskopis, bukan
penemuan foto toraks. Pasien dengan foto toraks mengarah ke lesi TB harus menjalani
pemeriksaan dahak mikrobiologi. Diagnosis TB pada anak dengan hasil pemeriksaan BTA
negatif didasarkan kelainan foto toraks, bukti infeksi tuberkulosis, dan kultur.
Diagnosis harus ditegakkan dengan baik sebelum regimen pengobatan dimulai agar
pasien tidak minum obat dengan sia-sia dan dapat dipilih regimen pengobatan yang tepat.
Pengobatan yang tepat dapat mencegah penularan TB, serta menurunkan angka mortalitas
dan morbiditas akibat TB.
3.2. SARAN
Keenam standar diagnosis yang dijabarkan dalam International Standards of
Tuberculosis Care (ISTC) harus dikuasai oleh klinisi agar penatalaksanaan TB berjalan
dengan baik. Sebagai komitmen politis, pemerintah harus menyediakan sarana untuk
diagnosis TB melalui pengadaan laboratorium-laboratorium yang memadai. Pemeliharaan
kualitas pemeriksaan dahak mikroskopis di laboratorium-laboratorium menjadi tanggung
jawab pemerintah. Klinisi harus diingatkan bahwa penegakkan diagnosis yang akurat tidak
hanya berdampak baik bagi kesehatan pasien tetapi juga kesehatan publik.
16
DAFTAR PUSTAKA
1 Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical
Assistance, 2009.
2 Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta:
Depkes RI; 2007
3 Frieden TR, ed. Toman’s tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd
Edition. Geneva: World Health Organization, 2004: 46–50.
4 Petunjuk Pengambilan Sputum TB. Diunduh dari
http://public.health.oregon.gov/DiseasesConditions/CommunicableDisease/
Tuberculosis/Documents/patiented/sput/sputIND.pdf (8 November 2012, 19.00 WIB)
5 Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,
Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal medicine. 18th
edition. New York: McGraw Hill; 2012
6 Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada aids. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005
17