Download - Luka Akibat Jatuh Dari Motor
1
Skenario 2
Luka Akibat Jatuh dari Motor
Seorang laki-laki 30 tahun dibawa ke klinik akibat terjatuh dari motor karena GOJEK yang
ditumpanginya mengerem mendadak. Pasien terjatuh dari sepeda motornya dengan posisi
menyamping sehingga tangan dan kaki sebelah kanan membentur jalan. Dari pemeriksaan fisik
dapat didapatkan adanya jejas ekskoriasi pada siku sebelah kanan dan bengkak serta kemerahan
pada lutut. Selain itu pada ujung jari kelingking kaki kanan terdapat laserasi yang cukup dalam
dan kulit sekitarnya berwarna kehitaman. Dokter mengatakan bahwa jaringan kelingkingnya
tersebut dapat mengalami nekrosis apabila tidak segera diambil tindakan.
STEP I
Jejas : Cidera yang dialami sel apabila sel tersebut mengalami perubahan morfologi
dan fungsional
Ekskoriasi : Luka lecet/gores pada epidermis bersentuhan dengan benda yang permukaan
tajam dan tumpul sampai ujung stratum basal
Laserasi : luka pada kulit yang dipotong/dirobek, robekannya tidak teratur
Nekrosis : Kematian sel yang diakibatkan adanya kerusakan sel akut/trauma terjadinya
tidak terkontrol karena adanya peradangan termasuk bagian dari jejas
irreversible
STEP II
1. Apa saja macam-macam jejas ?
2. Bagaimaa penyebab jejas ekskoriasi ?
3. Bagaimana pertahanan tubuh terhadap jejas ekskoriasi ?
4. Mengapa lutut kakinya bengkak dan kemerahan ?
5. Bagaimana mekanisme nekrosis ?
2
STEP III
1. Macam-macam jejas
a. Jejas reversible
b. Jejas irreversible
c. Jejas endogen
d. Jejas eksogen
e. Jejas mekanik
f. Jejas panas
g. jejas hipoksik
2. Penyebab jejas ekskoriasi
a. trauma fisik
b. kekurangan oksigen
c. agen infeksi
d. obat-obatan
e. bahan kimia
3. Pertahanan tubuh terhadap jejas ekskoriasi
a. reaksi inflamasi
b. sistem imun dalam jaringan
4. Penyebab bengkak dan kemerahan
merupakan tanda inflamasi
5. Sel mengalami pembengkakan digerti kromatin kerusakan membran plasma dan
organel hidrolisis DNA vakuolasi oleh RE menghancurkan organel lisis sel
3
STEP IV
1. sel normal jejas reversible
ringan
adaptasi jejas sel
berat
jejas irreversible
nekrosis apoptosis
a. Jejas reversible
bisa kembali normal, terjadi perubahan membran plasma pembengkakan, dilatasi
RE, perubahan mitokondria, perubahan nuklear
b. Jejas irrreversible
tidak bisa kembali normal, kehilangan progresif fosfolipid membran, disfungsi
mitokondria, gangguan fungsi membran abnormalitas sitoskeletal, kekurangan
continuitas protein membran plasma permeabel tidak dapat membentuk regulasi sel
c. Jejas endogen (faktor imun )
jejas bahan kimia, glukosa terlalu banyak mencederai/kelemahan
agen fisik trauma, radiasi temperatur ekstrim
agen infeksius jamur, bakteri, protozoa, virus
d. Jejas mekanik
trauma menyebabkan kerusakan
e. Jejas panas
kulit memerah, nekrosis berupa kulit melepuh
4
f. Jejas radiasi
pembelahan sel cepat terjadi secara mekanik
g. Jejas iskemik
pembuluh darah terhenti, tidak sampai ke sel pembentukan energi di jaringan
berkurang
h. Jejas hipoksik
glikolisis dan berlanjutnya namun tidak efektif
i. Jejas inflamasi akut : dari menit, polimernuklear
a) eksudasi
b) migrasi polinuklear
c) pertama kali terjadi
j. Jejas inflamasi kronik : bulan-bulan
a) limfosit dan makrofag
b) proliferasi pembuluh
c) pembentukan jaringan parut ( degenerasi sel )
2. Ketidakseimbangan nutrisi
3. Luka perubahan pembuluh darah mengeluarkan mediator inflamasi
4. Reaksi inflamasi
patogen reaksi fase akut trombosit adhesi vasokontriksi pembuluh darah
sitokin dilatasi vaskuler peningkatan vaskuler kemerahan aktivasi sistem
komplemen sistem fibrinolitik sistem kinin fagosit dan bahan-bahan asing
pembekuan darah
5. Mekanisme nekrosis
RE dan mitokondria dirusak oleh enzim tidak dada respirasi anaerob penurunan
ATP aliran darah membawa oksigen oksigen direduksi pembengkakan
kebocoran pengeluaran mitokondria radang
5
STEP V
1. Bagaimana mekanisme inflamasi akut dan kronis beserta tanda-tanda cardinalnya ?
2. Bagaimana pertahanan tubuh tingkat sellular dan jaringan ?
3. Bagaimana proses penyembuhan luka ?
STEP VI
BELAJAR MANDIRI
JEJAS
Mekanisme Macam / tipe
Penyembuhan luka
Pertahanan tubuh
Irreversible Reversible
Neksrosis ekskoriasi
Apoptosis
Inflamasi Sistem imuun
6
STEP VII
1. Inflamasi merupakan reaksi pertahanan organisme dan jaringannya terhadap rangsangan
yang merusak. Tujuannya adalah memperbaiki kerusakan atau paling tidak membatasinya
serta menghilangkan penyebab kerusakan seperti, bakteri atau benda asing. Penyebab
inflamasi dapat berupa :
a. Mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit
b. Benda asing (protein asing, misalnya sebuk sari, Kristal abses atau silikat
c. Kerusakan jaringan dengan pembentukan debris jaringan, misalnya akibat
kerusakan mekanik seperti terpotong, gigitan, gesekan, atau benda asing, senyawa
kimia asam atau basa, pengaruh fisisk seperti dingin, panas , radiasi (UV, sinar-X,
radioaktif), serta penyebab endogen seperti sel tumor yang pecah, darah di
ekstravaskular, reaksi autoimun, atau Kristal dari zat yang mengendap di dalam
tubuh (asam urat, kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan kolesterol).
Sel-sel inflamasi
Sel-sel sistem imun nonspesifik seperti neutrofil, sel mast, basofil, eosinofil dan
jaringan makrofag yang berperan dalam inflamasi. Sel-sel tersebut di produksi dan di
simpan sebagai persediaan untuk sementara dalam sumsusm tulang,hisup tidak lama
dan jumlahnya yang diperlukan di tempat inflamasi dipertahankan oleh influx sel-sel
baru dari persediaan tersebut. Neutrofil merupakan sel utama pada inflamasi dini,
bermigrasi ke jaringan dan puncaknya terjadi pada 6 jam pertama. Untuk memenuhi
hal tersebut diperlukan peningkatan produksi neutrofil dalam sumsum tulang.
1) Sel endotel
Dalam fungsinya, baik leukosit maupun sel-sel lainnya memerlukan kontak
dengan sel lain atau matriks ekstraselular melalui molekul yng disebut molekul
adhesi. Beberapa molekul adhesi juga diperlukan dalam aktivitas sel T, CD2,
CD44, LFA-1. Protein V LA pada permukaan sel T membantu meyalurkan sinyak
aktivasi melalui reseftor pada sel T. Sel endotel merupakan pembatas antara darah
dan rongga ekstravaskular. Pda keadaan normal, SE merupakan permukaan ynag
tidal lengket sehingga dapat mencegah koagulasi, adhesi sel dan kebocoran cairan
rongga intravascular. SE juga berperan dalam pengaturan tonus vascular dan
7
perfusi jaringan melalui penglepasan komponen vasodilator (prostasiklin atau
PGI2, adenosine, dan EDRF) dan komponen vasokontriksi (endotelin). Bila sel
endotel rusak, sifat antikoagulasi akan hilang dan membran basal terpajan,
sehingga menimbulkan agregrasi trombosit dan leukosit.
2) Molekul adhesi-migrasi leukosit
Pada keadaan normal, leikosit hanya sedikit melekat pada SE, tetapi oleh
rangsangan inflamasi, adhesi antara leukosit dan SE sangat di tingkatkan.
Intereaksi adhesi di atur oleh ekspresi permukaan sel yaitu molekul adhesi serta
ligan atau resptor-reseptornya. Penglepasan mediator inflamasi meningkatan
molekul adhesi baik pada sel inflamasi (neutrofil, monosit) maupun pada SE. Hal
tersubut meningkatkan adhesi, perubahan arus darah, marginasi dan migrasi sel-
sel seperti neutrofil, monosit, dan eosinofil kepusat inflamasi. Migrasi sel-sel
inflamasi tersebut juga diarahkan oleh factor-faktor kemotaktik yang diproduksi
berbagai sel, mikroba, komplemen dan sel mast.
Sel-sel yang masuk ketempat lesi akan melepas produknya yang
meneruskan perjalanan proses inflamasi dan kanadang menimbulkan kerusakan
jaringan akibat penglepasan oksigen reaktif. IL-1, juga endoksin meningkatkan
ekspresi molekul adhesi ICAM-1 dan VCAM-1 pada permukaan SE yang
berinteraksi dengan ligannya pada permukaan leukosit (ICM-1 mengikat FLA-1,
VCAM-1 mengikat VLA-1). (Robbins, 2013)
3) Ekstravasasi leukosit
Segera setelah timbul respons inflamasi, berbagai sitokin dan mediator inflamasi
lainnya bekerja terhadap endotel pembuluh darah lokal berupa peningkatan
ekspresi CAM. Neutrofil merupakan sel pertama yang berkaitan endotel pada
inflamasi dan bergerak keluar vascular. Ditempat infeksi, makrofag yang
menemukan mikroba melepas sitokin (TNF dan IL-1) yang mengaktifkan sel
endotel sekitar venul untuk memproduksi selektin (ligan integrin dan kemokin).
Selektin berperan dalam pengguliran neutrofil di endotel. Integrin berperan dalam
adhesi neutrofil, kemokin mengaktifkan neutrofil dan merangsang migrasi melalui
endotel ketempat infeksi. Monosit darah dan sel T yang diaktifkan menggunakan
mekanisme yang sama untuk bermigrasi ketempat infeksi. (Robbins, 2013)
8
Gambar 1. Komponen respon tubuh terhadap jejas. (Robbin, Cotran & Mitchell, 2013)
Mediator inflamasi
Inflamasi akut disebabkan oleh penglepasan berbagai mediator yang berasal dari
jaringan rusak, sel mast, leukosit dan komplemen. Peran yang belum banyak
diketahui pada inflamasi akut ialah peran saraf yang berhubungan dengan SP yang
berperan pada migrasi sel T. NGF merupakan degranulator poten sel mast dan
nitrogen sel T dan NP-Y juga merupakan degranulator poten sel mast
A. Produksi sel mast
Produksi sel mast merupakan mediator penting dalam proses inflamasi.
Beberapa diantaranya menimbulkan vasodilatasi dan edema serta meningkatkan
adhesi neutrofil dan monosit ke endotel. Vasodilatasi meningkatkan persediaan
darah untuk mengalirkan lebih banyak molekul dan sel yang diperlukan untuk
memerangi antigen yang mencetuskan inflamasi. (Robbins, 2013)
Sel mast juga melepas mediator atas pengaruh penglepasan NP-Y atau
NGF. Jadi meskipun mediator inflamasi yang mengawali inflamasi akut berbeda,
jalur proses inflamasi akan melibatkan aktivitas sel mast. Kerusakan jaringan
yang yang langsung disebabkan cedera atau endotoksin asal mikroba melepas
9
mediator seperti prostaglandin dan leukotrin yang meningkatkan permebilitas
vascular. Sel mast dapat pula diaktifkan jaringan rusak dan mikroba melalui
komplemen (jalur alternative atau klasik) dan kompleks IgE-alergen atau
neuropeptida. Mediator inflamasi yang dilepas menimbulkan vasodilatasi.
(Robbins, 2013)
1. Mediator preformed
Pelepasan mediator preformed merupakan salah satu respons pertama
jaringan terhadap cedera. Agregrasi trombosit yang segera terjadi yang
menyertai kerusakan pembuluh darah berhubungan dengan penglepasan
serotin, yang memacu vasokontriksi, selanjutnya agregrasi trombosit dan
pembentukan sumbatan trombosit.
Mediator preformed lainnya yang dilepas adalah histamine, heparin, enzim
lisososm dan prostease, factor kemotaktik neutrofil dan eosinofil. Factor-
faktotr tersebut menginduksi vasodilatasi arus darah ketempat cedera dan
mengerahkan sel inflamasi spesifik ketempat lain.
2. Mediator asal lipid
Oleh membran sel yang rusak, posfolipid yang ditemukan pada berbagai
jenis sel (makrofag, monosit, neutrofil dan sel mast) dipecah menjadi asam
arakidonat dan LysoPAF. Yang akhirnya dipecah menjadi PAF yang
menimbulkan agregrasi trombosit dan berbagai inflamasi seperti kemotaksik,
aktivitas dan degranulasi eosinofil serta aktivitas neutrofil. PAF adalah
fosfilipid yang dibentuk oleh leukosit, makrofag, sel mast, dan sel endotel.
Efeknya serupa dengan perubahan yang terjadi melalui IgE pada anafilaksi
dan urtikaria dingin dan juga berperan dalam shock oleh endotoksin.
(Robbins, 2013)
1. Anafilatoksin produk komplemen
Aktivasi sistem komplemen baik lewat jalur klasik dan alternatif
menghasilkan sejumlah produk komplemen yang merupakan mediator
inflamasi penting. Ikatan anafilaktosin dan reseptornya pada membran sel
mast menginduksi degranulasi dengan pelepasan histamin dan mediator aktif
lainnya.
10
2. Mediator –aktivasi kaskade reaksi larut
Kerusakan sel endotel vascular meningkatkan factor pembekuan plasma
(faktor pembekuan XII, Hageman) yang mengaktifkan kaskade fibrin,
fibrinolitik, dan kinin. Sistem kinin yang diaktifkan oleh cedera jaringan.
Sistem kinin merupakan kaskade enzimatik yang dimulai bila plasma clotting
factor (faktor Hageman-XII) disktifkan oleh cedera jaringan. Faktor Hageman
tersebut mengaktifkan prekalikrein yang membentuk kalikrein yang mengikat
kininogen membentuk bradikinin. Peptide yang poten ini meningkatkan
permeabilitas vascular, menimbulkan vasodilatasi sakit dan memacu kontraksi
otot polos. Kalikrein juga bekerja dengan mengikat komplemen C5 secara
direk yang dijadikan C5a dan C5b. (Robbins, 2013)
3. Sistem pembekuan
Sistem pembekuan yang menghasilkan fibrin memacu penglepasan mediator
inflamasi. Kaskade enzimatik yang lain yang dipicu oleh kerusakan pembuluh
darah menimbulkan sejumlah besar thrombin. Inisisasi respons inflamasi juga
memacu didtem pembekuan melalui interaksi antara P-selektin dan PSGL-1
yang disertai dengan penglepasan faktor jaringan dari monosit yang
diaktifkan.
a) Sistem fibrinolitik
Pemindahan bekuan fibrin dari jaringan cedera dapat dilakukan melalui
sitem fibrinolitik. Produk akhir dari jalur ini dalah enzim plasmin bentuk
aktif dari plasminogen. Plasmin merupakan enzim proteolitik poten, dapat
memecah bekuan fibrin menjadi produk yang terdegredasi, yang
merupakan faktor kemotaktik untuk neutrofil. Plasmin juga berperan
dalam respons inflamasin dalam mengaktifkan jalur klasik komplemen.
(Robbins, 2013)
b) Sitokin
Sitokin diperlukan pada awal reaksi inflamasi dan untuk mempertahankan
respons inflamasi kronis. Makrofag memproduksi berbagai sitokin.
Endotoksin mikroba mengaktifkan makrofag untuk melepas IL-1 yang
memecu vasodilatasi, melonggarkan hubungan sel-sel endotel,
11
meningkatkan adhesi neutrofil dan migrasi sel-sel kejaringan sekitar untuk
memakan mikroba. (Robbins, 2013)
Inflamasi akut dan kronik
A. Inflamasi lokal (akut)
Inflamasi lokal memberikan proteksi diri terhadap infeksi atau cedera
jaringan. Inflamasi akut melibatkan baik respons lokal dan sistemik. Reaksi lokal
terdiri atas tumor (pembengkakan), rubor (merah), kalor (panas), dolor (nyeri),
dan functio laesa (gangguan fungsi). Bila darah keluar dari sirkulasi darah, kinin,
sistem pembekuan, dan fibrinolitik diaktifkan. Banyak perubahan vaskular yang
terjadi dini disebabkan oleh efek direk mediator enzim plasma seperti bradikinin
dan fibrinopepetidayang menginduksi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
vaskular. Beberapa efek vaskular disebabkan oleh efek anafilatoksin(C3a dan
C5a) yang menginduksi degranulasi sel mast yang melepas histamin. Histamin
menimbulkan vasodilatasi dan kontraksi otot polos. PG juga berperan dalam
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vascular. (Baratawidjaja, 2014).
Inflamasi akut merupakan respons segera dan dini terhadap jejas yang
dirancang untuk mengirimkan leukosit ke tempat jejas. Sesampainya ditempat
jejas, leukosit membersihkan setiap mikroba yang menginvasi dan memulai
proses penguraian jaringan nekrotik. Proses ini memiliki dua komponen utama;
perubahan vaskular dan berbagai kejadian yang terjadi pada sel, emigrasi leukosit
dari mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas. (Robbins, 2013)
Perubahan vaskular ditandai dengan perubahan kaliber dan aliran
pembuluh darah. Perubahan ini dimulai relatif lebih cepat setelah jejas terjadi,
tetapi dapat berkembang dengan kecepatan yang beragam, bergantung pada sifat
dan keparahan jejas asalnya. (Robbins, 2013)
Setelah vasokontriksi sementara (beberapa detik), terjadi vasodilatasi
arteriol, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah dan penyumbatan lokal
(hiperemia) pada aliran darah kapiler selanjutnya. Pelebaran pembuluh darah ini
merupakan penyebab timbulnya warna merah (eritema) dan hangat yang secara
khas terlihat pada inflamasi akut. (Robbins, 2013)
12
Selanjutnya, mikrovaskulatur menjadi lebih permeabel, mengakibatkan
masuknya cairan kaya protein ke dalam jaringan ekstravaskular. Hal ini
menyebabkan sel darah merah menjadi lebih terkonsentrasi dengan baik sehingga
meningkatkan viskositas darah dan memperlambat sirkulasi. Secara mikroskopik
perubahan ini digambarkan oleh dilatasi pada sejumlah pembuluh darah kecil
yang dipadati oleh eritrosit. Proses tersebut dinamakan stasis. (Robbins, 2013)
Saat terjadi stasis, leukosit (terutama neutrofil) mulai keluar dari aliran
darah dan berakumulasi di sepanjang permukaan endotel pembuluh darah. Proses
ini disebut dengan marginasi. Setelah melekat pada sel endotel, leukosit menyelip
diantara sel endotel tersebut dan bermigrasi melewati dinding pembuluh darah
menuju jaringan interstisial. (Robbins, 2013)
Perubahan permeabilitas vaskular, pada tahap paling awal inflamasi,
vasodilatasi arteriol dan aliran darah yang bertambah meningkatkan tekanan
hidrostatik intravaskular dan pergerakan cairan dari kapiler. Cairan ini, yang
dinamakan transudat, pada dasarnya merupakan ultrafiltrat plasma darah dan
mengandung sedikit protein. Namun demikian, transudasi segera menghilang
dengan meningkatnya permeabilitas vaskular yang memungkinkan pergerakan
cairan kaya protein, bahkan sel ke dalam interstisium (disebut eksudat).
Hilangnya cairan kaya protein ke dalam ruang perivaskular menurunkan tekanan
osmotik intravaskular dan meningkatkan tekanan osmotik cairan interstisial.
Hasilnya adalah mengalirnya air dan ion ke dalam jaringan ekstravaskular,
akumulasi cairan ini dinamakan edema. (Robbins, 2013)
Dalam beberapa jam setelahawitan perubahan vaskular, neutrofil
menempel pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga
jaringan, memakan patogen dan melepas mediator yang berperan dalam respons
inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan melepas sitokin ( IL-1, IL-6, dan
TNF-∝ ) yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut
menginduksi koagulasi dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel
endotel seperti TNF-∝ yang meningkatkan ekspresi selektin-E, IL-1 menginduksi
peningkatan ekskresi ICAM-1 dan VICAM-1. Neutrofil, monosit, dan limfosit
13
mengenal molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah dan
selanjutnya ke jaringan. (Robbins, 2013)
IL-1 dan INF-∝ juga memacu makrofag dan sel endotel untuk
memproduksi kemokin yang berperan pada influks neutrofil melalui peningkatan
ekspresi molekul adhesi. IFN-γ dan TNF-∝ juga mengaktifkan makrofag dan
neutrofil, meningkatkan fagositosis dan pelepasan enzim ke rongga jaringan.
Lama dan intensitas inflamasi lokal akut perlu dikontrol agar tidak terjadi
kerusakan jaringan. TGF-β membatasi respons inflamasi dan memacu akumulasi
dan proliferasi fibroblas dan endapan matriks ekstraselular yang diperlukan untuk
perbaikan jaringan. Kegagalan dalam adhesi leukosit dapat menimbulkan
penyakit seperti terlihat pada defisiensi molekul adhesi.
Respons inflamasi lokaldisertai dengan respons fase akut sistemik.
Respons tersebut ditandai oleh induksi demam, peningkatan sintesis hormon
seperti ACTH dan hidrokortison, peningkatan produksi leukosit dan APP di hati.
Peningkatan suhu (demam) mencegah pertumbuhan kuman patogen dan
nampaknya meningkatkan respons imun terhadap patogen. CRP merupakan APP
yang kadarnya dalam serum meningkat 1000 kali selama respons fase akut
(Baratawidjaja, 2014).
B. Inflamasi kronik
Inflamasi kronik dapat dianggap sebagai inflamasi memanjang
(berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun), dan terjadi
inflamasi aktif, jejas jaringan, dan penyembuhan secara serentak. Berlawanan
dengan inflamasi akut, yang dibedakan dengan perubahan vaskular, edema, dan
infiltrat neutrofilik yang sangat banyak, inflamasi kronik ditandai dengan hal-hal
berikut :
a. Infiltrasi sel mononuklear (radang kronik), yang mencakup makrofag,
limfosit, dan sel plasma.
b. Destruksi jaringan, sebagian besar diatur oleh sel radang.
c. Repair (perbaikan), melibatkan proliferasi pembuluh darah (angiogenesis) dan
fibrosis.
14
Inflamasi kronik dapat berkembang jadi inflamasi akut. Perubahan ini
terjadi ketika respons akut tidak teratasi karena agen cedera yang menetap atau
karena gangguan proses penyembuhan normal. (Baratawidjaja, 2014)
Inflamsi kronik terjadi pada keadaan sebagai berikut:
a. Infeksi virus
Infeksi intrasel apa pun secara khusus memerlukan limfosit (dan makrofag)
untuk mengidentifikasi dan mengeradikasi sel yang terinfeksi.
b. Infeksi mikroba persisten
Sebagian besar ditandai dengan adanya serangkaian mikroorganisme terpilih,
termasuk mikrobakterium (basilus tuberkel), dan fungus tertentu. Organisme
ini memiliki patogenesis langsung yang lemah, tetapi secar khusus dapat
menimbulkan respons imun yang disebut hipersensitivitas lambat, yang bisa
berpuncak pada suatu reaksi granulomaltosa.
c. Pajanan yang lama terhadap gen yang berpotensi toksik.
d. Penyakit autoimun
Seseorang mengalami respons imun terhadap anti gen dan jaringan tubuh
sendiri. Karena anti gen yang bertanggung jawab sebagian besar diperbaharui
secara konstan, dan terjadi reaksi imun terhadap dirinya sendiri yang
berlangsung secara terus-menerus. (Robbins, 2013)
2. Jenis-jenis jejas menurut kemampuan pemulihan sel yang terkena jejas
A. Jejas reversible
Jejas reversible adalah perubahan patologis pada sel yang dapat kembali
normal.Perubahan ultrastruktur jejas reversible:
a. Perubahan membrane plasma (pembengkakan, penumpukan mikrovili,
longgarnya intra sel);
b. Perubahan mitokondria (pembengkakan dan munculnya densitas amorf kaya
fosfolipid);
c. Dilatasi RE (kerusakan ribosom);
d. Perubahan nuclear, dengan disagregasi unsur granular dan fibrilar.
15
Dua pola perubahan morfologik yang bekaitan dengan jejas reversible dapat
dikenali dengan mikroskop cahaya: pembengkakan sel dan degenerasi lemak
(perlemakan). (Robbins, 2013)
Contoh jejas reversible adalah degenerasi hidropik. Degenerasi ini
menunjukkan adanya edema intraselular, yaitu adanya peningkatan kandungan air
pada rongga-rongga sel selain peningkatan kandungan air pada mitokondria dan
retikulum endoplasma. Pada mola hidatidosa telihat banyak sekali gross
(gerombolan) mole yang berisi
cairan. Mekanisme yang mendasari
terjadinya generasi ini yaitu
kekurangan oksigen, karena adanya
toksik, dan karena pengaruh osmotik.
(Robbins, 2013)
Gambar 2. Contoh jejas reversibel: mola hidatidosa. (Sander, 2007)
B. Jejas irreversible
Perubahan patologis pada sel yang terjadi secara permanen (tidak dapat kembali
normal).Sistem sel yang paling mudah terkena jejas:
a. Integritas membran sel, yang penting bagi homeostatis ionik dan osmotik
seluler;
b. Pembentukan ATP, sebagian besar melalui respirasi aerobic mitokondria;
16
c. Sintesis protein;
d. Integritas apparatus genetic. (Robbins, 2013)
Penanda jejas irreversible paling diniadalah kehilangan kontinu protein,
koenzim esensial, asam ribonukleat dari membrane plasma hiperpermeabel,
dengan sel yang kekurangan metabolik vital untuk membentuk kembali ATP
dan mengosongkan fosfat berenergi tinggi intra sel. (Robbins, 2013)
Terdapat dua jenis jejas irreversible (kematian sel) yaitu apotosis dan
nekrosis.Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram.Sedangkan nekrosis
merupakan kematian sel/jaringan pada tubuh yang hidup di luar dari kendali. Sel
yang mati pada nekrosis akan membesar dan kemudian hancur dan lisis pada
suatu daerah yang merupakan respons terhadap inflamasi. Jadi, perbedaan
apoptosis dan nekrosis terletak pada terkendali atau tidaknya kematian sel
tersebut. (Robbins, 2013)
1. Jejas ringan-sedang, subletal
Reversible
Perubahan paling awal yang berkaitan dengan berbagai bentuk cedera
adalah berkurang pembentukan ATP, hilangnya integritas membran sel, gangguan
sintesa protein, kerusakan sitoskeleton dan DNA. Pada batas tertentu, sel dapat
mengkompensasi berbagai kerusakan akan kembali normal.
2. Jejas hebat, letal
Irreversible
Cedera yang menetap atau berlebihan melampaui ombang akan
menyebabkan irreversible dan nekrosis. Dua fenomena yang menandai suatu sel
irreversible:
a. Ketidakmampuan untuk memulihkan, disfungsi mitokondria, tidak adanya
fosforilasi oksidatif dan pembentukan ATP bahkan terjadinya penyebab
cedera mereda.
b. Terjadinya gangguan fungsi membrane yang signifikan, lisosom bocor ke
stiplasma hidrolase asam mengalami aktivasi oleh penurunan PH intrasel
17
dari sel yang mengalami iskemia dan hal ini menyebabkan penguraian
komponen sitoplasma dan nukleus.
18
Gambar 3.Perbedaan jejas reversibel dan jejas ireversibel. (Robbin, Cotran & Mitchell, 2013)
1. Respons Subselular terhadap Cedera
Sel sebagai suatu kesatuan.Namun, keadaan-keadaan tertentu dilaporkan
berkaitan dengan perubahan tersendiri di organel sel atau sitoskeleton. Sebagian
perubahan ini terjadi bersamaan dengan perubahan yang terjadi pada cedera letal
akut; sebagian lainnya mencerminkan bentuk-bentuk cedera sel yang kronik;
sementara yang lain lagi merupakan respons adaptif yang berfungsi untuk
mempertahankan homeostasis. Berikut reaksi yang umum dijumpai:
A. Katabolisme lisosom
Lisosom primer adalah organel intrasel terbungkus membran yang
mengandung beragam enzim hidrolitik, termasuk fosfatase asam, glukuronidase,
sulfatase, ribonnklease, dan kolagenase.Enzim-enzim ini disintesis di retikulum
endoplasma kasar dan kemudian dikemas menjadi vesikel-vesikel di aparatus
Golgi. Lisosom primer berfusi dengan vakuol terbungkus-membran yang
mengandung bahan yang akan dicerna, membentuk lisosom sekunder atau
fagolisosom. Lisosom berperan pada pemecahan bahan yang difagosit melalui
satu dari dua cara, yaitu heterofagi dan autofagi. (Robbins, 2013)
Heterofagi adalah proses pencernaan bahan yang ditelan dan Iingkungan
ekstrasel di lisosom. Bahan ekstrasel diserap oleh sel melalui proses umum
endositosis. Penyerapan bahan berbentuk partikel dikenal sebagai fagositosis;
penyerapan makromolekul yang lebih kecil dan.larut disebut pinositosis. Bahan
ekstrasel akan diendositosis ke dalam vakuol (endosom atau fagosom), yang
akhirnya berfusi dengan lisosom untuk membentuk fagolisosom. Di tempat inilah
bahan yang ditelan tersehut kemudian dicerna. Heterofagi sering dijumpai pada
fagosit “profesional”, seperti neutrofil dan makrofag, meskipun proses ini juga
dapat terjadi di sel lain. Contoh heterofagositosis antara lain adalah penyerapan
19
dan pencemaan bakteri oleh neutrofil serta pembersihan sel apoptotik oleh
makrofag. (Robbins, 2013)
Autofagi merujuk pada pencernaan komponen sel itu sendiri di lisosom. Pada
proses ini, organel intrasel dan sebagian dan sitosol mula-mula dipisahkan dan
sitoplasma di sebuah vakuol autofagik yang terbentuk dan regio-regio bebas-
ribosom di retikulum endoplasma kasar. Vakuola menyatu dengan lisosom atau
elemen Golgi untuk membentuk auto fagolisosom.Autofagi adalah fenomena
umum yang berperan pada pembersihan organel yang rusak selama cedera sel dan
remodeling sel saat diferensiasi, dan terutama mencolok pada sel-sel yang
mengalaini atrofi akibat kekurangan nutrien atau involusi hormonal. (Robbins,
2013)
Gambar 4.Skematis heterofagi dan autofagi (Robbins, 2013).
Enzim-enzim lisosom mampu menguraikan sebagian besar protein dan
karbohidrat, tetapi sebagian lemak tidak tercerna.Lisosom yang mengandung
debris tidak tercerna dapat menetap dalam sel sebagai badan residu atau mungkin
dikeluarkan.Granula pigmen 1ipofuksin mencerininkan bahan tidak-tercerna yang
berasal dan peroksidasi lemak intrasel. Pigmen tidak tercerna tertentu, seperti
20
partikel karbon yang terhirup dan udara atau pigmen yang ditanam pada
pembuatan tato, dapat menetap dalam fagolisosom makrofag selama berpuluh-
puluh tahun. (Robbins, 2013)
Lisosom merupakan gudang tempat sel memisahkan zat-zat abnormal yang
tidak dapat dimetabolisme dengan sempurna. Gangguan penimbunan lisosom
(lysosomal storage disorders) herediter, yang disebabkan oleh defisiensi enzim-
enzim yang memecah berbagai makromolekul, menyebabkan penimbunan
berlebihan senyawa-senyawa ini di lisosom sel di seluruh tubuh, terutama neuron,
dan menyebabkan kelainan yang berat.Beberapa obat dapat mengganggu fungsi
lisosom dan menyebabkan penyakit lisosom didapat atau diinduksi-obat
(iatrogenik).Obat-obat dalarn kelompok ini antara lain adalah klorokuin, yakni
obat antimalaria yang meningkatkan pH internal lisosom sehingga enzim-enzim
lisosom menjadi inaktif. Dengan menghambat enzim lisosom, klorokuin
mengurangi kerusakan jaringan pada reaksi peradangan, yang sebagian
diperantarai enzim-enzim yang dikeluarkan dan leukosit; efek ini merupakan
dasar pemakaian obat ini pada penyakit autoimun seperti artritis
reumatoid.Namun, inhibisi enzini tersebut dapat menyebabkan akumulasi
abnormal glikogen dan fosfolipid dalam lisosom, yang menyebabkan iniopati
toksik. (Robbins, 2013)
B. Induksi (hipertrofi) retikulum endoplasma halus
RE halus berperan pada metabolisme beragam zat kimia.Sel yang terpajan
oleh bahan-bahan kiinia tersebut memperlihatkan hipertrofi RE sebagai respons
adaptif yang dapat meiniliki konsekuensi fungsional penting.pemakaian barbiturat
yang berkepanjangan menyebabkan toleransi, disertai penurunan efek obat dan
perlunya peningkatan dosis. Pasien dikatakan telah “beradaptasi” terhadap
obatnya.Adaptasi ini disebabkan oleh peningkatan volume (hipertrofi) RE halus di
hepatosit, yang memetabolisme obat. (Robbins, 2013)
Barbiturat dimodifikasi di hati melalui demetilasi oksidatif, yang melibatkan
sistem oksidase P450 yang terdapat di RE halus.Peran modifikasi enzim ini untuk
meningkatkan kelarutan berbagai senyawa (inisal alkohol, steroid, eikosanoid,
dan karsinogen serta insektisida dan berbagai polutan lingkungan lainnya)
21
sehingga mempermudah sekresi zat-zat tersebut37.Banyak senyawa malah
menjadi lebih toksik akibat modifikasi P450 ini meskipun hal ini sering dianggap
sebagai “detoksifikasi”. Di samping itu, produk-produk yang terbentuk melalui
metabolisme oksidatif ini mencakup spesies oksigen reaktif, yang dapat
mencederai sel. Pada pemakaian jangka panjang, barbiturat (dan banyak bahan
lain) merangsang sintesis lebih banyak enzim, dan lebih banyak RE halus.
Dengan cara ini, sel lebih mampu memodifikasi obat dan beradaptasi terhadap
lingkungannya yang telah berubah. Sel-sel yang beradaptasi terhadap satu obat
meiniliki kapasitas lebih besar untuk memetabolisme senyawa lain yang ditangani
oleh sistem oksidase tersebut. Oleh karena itu, jika pasien yang mendapat
fenobarbital untuk epilepsi meningkatkan asupan alkoholnya, kadar obat anti
kejang dapat berkurang (subterapetik) akibat induksi RE halus sebagai respons
terhadap alkohol. (Robbins, 2013)
C. Perubahan Mitokondria
Disfungsi mitokondria berperan penting pada cedera sel dan apoptosis.Selain
itu, perubahan jumlah ukuran, dan bentuk initokondria terjadi pada sebagian
keadaan patologis.Contohnya, pada hipertrofi dan atrofi sel, masing-masing
terjadi peningkatan dan penurunan jumlah initokondria di sel. Initokondria
mungkin menjadi sangat besar dan berbentuk abnormal (megainitokondria),
seperti yang terlihat di hati pada penyakit hati alkoholik dan pada defisiensi zat
nutrisi tertentu.Kelainan initokondna sekarang diketahui menjadi dasar pada
banyak penyakit genetik. Pada penyakit-penyakit metabolik otot rangka herediter
tertentu, yaitu iniopati initokondria, terjadi defek metabolisme initokondria
disertai peningkatan jumlah initokondria yang sering berukuran sangat besar,
meiniliki krista abnormal, dan mengandung kristaloid. Diamping itu, tumor jinak
tertentu yang terdapat di kelenjar liur, tiroid, paratiroid, dan ginjal terdiri atas sel-
sel yang mengandung banyak initokondria besar sehingga sel tampak sangat
eosinofilik. (Robbins, 2013)
D. Kelainan Sitoskleleton
Kelainan sitoskeleton mendasari beragam keadaan patologis.Sitoskeleton
terdiri atas mikrotubulus (garis tengal 20-25 nm), filamen aktin halus (6-8 nm),
22
filamen iniosin tebal (15 nm), dan berbagai kelas filamen intermediat (10 nm)
Juga terdapat beberapa bentuk protein kontraktil yang tidak mengalaini
polimerisasi dan tidak berbentuk filamen. Kelainan sitoskeleton dapat
menyebabkan: (1) kelainan fungsi sel, inisalnya pergerakan sel dan pergerakaran
organel intrasel, dan pada beberapa kasus, (2) akumulasi bahan fibrilar intrasel.
Filamen tipis.Filamen tipis terdiri atas aktin, iniosin, dan protein-protein
regulatorik terkait.Filamen tipis penting pada berbagai tahap pergerakan Ieukosit
atau kemampuan sel ini dalam melakukan fagositosis secara adekuat.Beberapa
obat dan toksin menyerang filamen aktin sehingga memengaruhi proses-proses
tersebut.Contohnya, sitokalasin B rnenghanibat polimerisasi filamen aktin, dan
phalloidin, suatu toksin jamur Amanita phalloides, juga mengikat filamen aktin.
Mikrotubulus defek pada susunan mikrotubulus dapat menghambat motilitas
sperma, menyebabkan sterilitas pada pria, dan dapat menyebabkan imobilisasi
silia epitel pernapasan.yang mengganggu kemampuan epitel ini untuk
membersihkan bakteri sehingga terjadi bronkiektasis (sindrom Kartagener, atau
sindroni silia imotil). Mikrotubulus, Seperti inikrofilamen, diperlukan untuk
inigrasi dan fagositosis leukosit.Obat-obatan, seperti kolkisin mengikat tubulin
dan menghambat pembentukan mikrotubulus. Obat ini digunakan pada serangan
akut gout untuk mencegah inigrasi dan fagositosis leukosit sebagai respons
terhadap pengendapan kristal urat. Mikrotubulus merupakan komponen esensial
gelendong initosis, yang diperlukan untuk pembetahan sel. Obat-obatan yang
menghambat mikrotubulus (inisalnya alkaloid vinka) dapat bersifat antiproliteratif
sehingga digunakan sebagai obat anti-tumor.
Filatnen intermediat.Komponen ini membentuk kerangka intrasel fleksibel
yang menyusun sitoplasma dan menahan gaya-gaya yang menimpa sel. Filamen
intermediat dibagi menjadi lima kelas, termasuk di dalanmnya adalah filamen
keratin (khas untuk sel epitel), neurofilamen (neuron), filamen desmin (sel otot),
fliamen vimentin (sel jaringan ikat), dan filamen glia (astrosit). Penimbunan
filamen keratin dan neurofllamen dilaporkan berkaitan dengan jenis tertentu
cedera sel. Contohnya, badan Mallory, atau “alkoholic hyalin”, merupakan suatu
badan inklusi eosinofilik intrasitoplasma di sel hati dan khas pada penyakit hati
23
akibat alkohol meskipun badan mi juga dapat ditemukan pada penvakit lain.
Badan inklusi sernacam mi terutama terdiri atas filamen intermediat keratin.Di
susunan saraf, neurofilamen terdapat di akson dan menjadi struktur
penunjang.Neuroflbrillari, tangle yang terdapat di otak penderita penyakit
Alzheimer mengandung protein-protein terkait mikrotubulus dan neurofilamen,
yang mencerminkan gangguan sitoskeleton neuron.Mutasi pada gen-gen filamen
intermediat menimbulkan beragam penyakit, termasuk miopati, penyakit
neurologis, dan penyakit kulit. (Robbins, 2013)
Selama ini, fungsi sitoskeleton banyak dikaitkan dengan peran mekanisnya,
dalam mempertahankan arsitektur sel serta dalam perlekatan dan pergerakan sel.
Akan tetapi, akhir-akkiir ini disadari bahwa protein sitoskeieton berhubungan
dengan banyak reseptor sel, misalnya reseptor limfosit untuk antigen, yang
merupakan peserta aktif pada transduksi sinyal oleh reseptor-reseptor ini. Oleh
karena itu, defek pada hubungan antara reseptor dan protein sitoskeleton dapat
memengaruhi banyak respons sel. Sindrorn Wiskott-Aldrich adalah suatu
penvakit herediter ditandai oleh eksim, kelainan trombosit, dan defisiensi imun.
Protein yang mengalami mutasi pada penyakit ini terlibat dalam penyambungan
reseptor antigen limfosit (dan mungkin juga reseptor lain) ke sitoskeleton, dan
gangguan pada protein ini mengganggu berbagai respons sel. (Robbins, 2013)
2. Pertahanan tubuh terhadap jejas
Inflamasi merupakan reaksi pertahanan organisme dan jaringannya terhadap
rangsangan yang merusak.Tujuannya adalah memperbaiki kerusakan atau paling
tidak membatasinya serta menghilangkan penyebab kerusakan seperti, bakteri atau
benda asing.Penyebab inflamasi dapat berupa :
d. Mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit
e. Benda asing (protein asing, misalnya sebuk sari, Kristal abses atau silikat
f. Kerusakan jaringan dengan pembentukan debris jaringan, misalnya akibat
kerusakan mekanik seperti terpotong, gigitan, gesekan, atau benda asing, senyawa
kimia asam atau basa, pengaruh fisisk seperti dingin, panas , radiasi (UV, sinar-X,
radioaktif), serta penyebab endogen seperti sel tumor yang pecah, darah di
24
ekstravaskular, reaksi autoimun, atau Kristal dari zat yang mengendap di dalam
tubuh (asam urat, kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan kolesterol).
3. Tinjauan Pemulihan Jaringan
Hal kritis pada ketahanan hidup suatu organisme ialah kemampuannya untuk dapat
memperbaiki kerusakan akibat pengaruh toksik dan radang. Respons radang terhadap
mikroba dan jaringan yang rusak tidak hanya untuk mengeliminasi bahaya ini, tetapi juga
memulai proses pemulihan. Pemulihan, disebut juga penyembuhan, merupakan upaya
restorasi arsitektur jaringan dan fungsi setelah suatu jejas. Terjadi melalui dua jenis reaksi:
regenerasi jaringan yang cedera dan pembentukan jaringan parut melalui pengendapan
jaringan ikat.
a. Regenerasi
Beberapa jaringan mampu mengganti sel yang rusak dan kembali menjadi normal,
proses ini disebut regenerasi. Regenerasi terjadi melalui proliferasi sel residu (tidak
kena jejas) yang tetap mempunyai kapasitas untuk membelah, dan pergantian
melalui sel punca. Hal ini merupakan respons khas terhadap jejas pada epitel yang
membelah dengan cepat di kulit dan usus, dan beberapa organ parenkim, yaitu hati.
b. Pembentukan jaringan parut
Apabila jaringan cedera tidak mampu melakukan regenerasi, atau jaringan
penunjang mengalami kerusakan berat, pemulihan jaringan terjadi dengan
pengendapan jaringan ikat (fibrotik), suatu proses yang menghasilkan jaringan
parut. Walaupun jaringan parut tidak dapat melakukan fungsi sel parenkim yang
telah hilang, tetapi dapat memberikan stabilitas struktur semula. (Robbins, 2007)
Penyembuhan luka merupakan suatu proses penggantian jaringan yang mati/rusak
dengan jaringan baru dan sehat oleh tubuh dengan jalan regenerasi. Luka dikatakan
sembuh apabila permukaannya dapat bersatu kembali dan didapatkan kekuatan jaringan
yang mencapai normal.
Penyembuhan luka dapat terjadi secara:
1. Per Primam yaitu penyembuhan yang terjadi setelah segera diusahakan bertautnya
tepi luka biasanya dengan jahitan.
25
2. Per Sekundem yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan per primam.
Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya
tetap terbuka. Biasanya dijumpai pada luka-luka dengan kehilangan jaringan,
terkontaminasi/terinfeksi. Penyembuhan dimulai dari lapisan dalam dengan
pembentukan jaringan granulasi.
3. Per Tertiam atau Per Primam tertunda yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama
beberapa hari setelah tindakan debridemen setelah diyakini bersih, tetapi luka
dipertautkan (4-7 hari). (Robbins, 2013)
Setiap kejadian luka, mekanisme tubuh akan mengupayakan mengembalikan
komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan
fungsional sama dengan keadaan sebelumnya. Proses penyembuhan tidak hanya terbatas
pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor
endogen (seperti: umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik).
Pada dasarnya proses penyembuhan ditandai dengan terjadinya proses pemecahan
atau katabolik dan proses pembentukan atau anabolik.Setiap proses penyembuhan luka akan
terjadi melalui 3 tahapan yang dinamis, saling terkait dan berkesinambungan serta
tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan
morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri dari:
A. Fase Inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan
yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan
perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk
mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh
darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan
menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi “vasokonstriksi”
yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan
endotel yang akan menutup pembuluh darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan
mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth
Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor
beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel
26
endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi
lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator
inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF 1) yang juga dikeluarkan oleh
makrofag. Adanya TGF 1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen. (Guyton,
2014)
Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler
stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya
substansi vasodilator: histamin, serotonin dan sitokins. Histamin kecuali menyebabkan
vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma
darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi edema
jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. (Guyton, 2014)
Eksudasi ini jugamengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler.
Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka selama 3
hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag yang berperan lebih besar jika
dibanding dengan netrofil pada proses penyembuhan luka.
Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah:
a. Sintesa kolagen
b. Pembentukan jaringan granulasi bersama-sama dengan fibroblas
c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi
d. Pembentukan pembuluh kapiler baru atau angiogenesis
Dengan berhasilnya dicapai luka yang bersih, tidak terdapat infeksi atau kuman serta
terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai pedoman/parameter
bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya: eritema, hangat pada kulit, edema dan rasa
sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4. (Guyton, 2014)
B. Fase Proliferasi
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada
proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur
protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. (Guyton, 2014)
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat
jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjaid luka,
27
fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan
berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic
acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi)
jaringan baru. (Guyton, 2014)
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membnetuk cikal bakal jaringan baru
(connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblast, memberikan
tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan unit
dapat memasuki kawasan luka. (Guyton, 2014)
Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut
disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas
sintetiknya disebut fibroblasia. (Guyton, 2014)
Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:
a. Proliferasi
b. Migrasi
c. Deposit jaringan matriks
d. Kontraksi luka
Angiogenesis suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka,
mempunyai arti penting pada tahap proleferaswi proses penyembuhan luka. Kegagalan
vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid)
mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan
vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan
oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat
keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis
merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet
dan makrofag (grwth factors). (Guyton, 2014)
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan “keratinocyte
growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan
dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka.
Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan
kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu
jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi
28
myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi
kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka
minimal. (Guyton, 2014)
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk,
terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth factor yang dibentuk oleh
makrofag dan platelet. (Guyton, 2014)
C. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih
12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru
menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan
jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai
regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.
Kekuatan dari ajringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah
perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada
fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh
enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi
akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih
baik (proses re-modelling). (Guyton, 2014)
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen
yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan
jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. (Guyton, 2014)
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan ajringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses
penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai
sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka.
Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang
gizi, disertai dengan penyakit sistemik (diabetes melitus). (Guyton, 2014)
29
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G. 2014. Imunologi Dasar Edisi ke-11. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Guyton, Arthur C dan Hall John. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2013. Buku Ajar Patologi Edisi ke-7 Volume 1. Jakarta. EGC.
Scanlon Valerie C, Sanders Tina, 2007. Buku Ajar Anatomi Dan Fisiologi (Essentials of
Anatomy and Physiology) Edisi III cetakan pertama. Jakarta. EGC.