Download - LP Head Trauma
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TRAUMA KEPALA
DI IGD RSUD ULIN BANJARMASIN
Tanggal 21 Desember 2015
Oleh:
Rizki Wahyu Wanabakti, S.Kep
NIM I1B110213
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2015
LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN DENGAN TRAUMA KEPALA
A. Definisi
- Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi, 2001).
- Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang
disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner &
Soddarth, 2002 )
- Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit
neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari kecelakaan jalan raya
( Brunner & Suddarth, 2002 ).
- Cedera kepala merupakan adaya pukulan/benturan mendadak pada kepala dengan atau
tanpa kehilangan kesadaran. Traumatik yang terjadi pada otak yang mampu
menghasilkan perubahan pada phisik, intelektual, emosional, sosial, dan
vocational(Susan Martin, 1999)
- Trauma atau cedera kepala (brain injury) adalah salah satu bentuk trauma yang dapat
mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual,
emosional, sosial dan pekerjaan atau dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan
traumatik yang dapat menimbulkan perubahan – perubahan fungsi otak (black, 2005)
- Menurut konsensus perdosi (2006), cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma
kapitis = head injury = trauma kranioserebral = traumatic brain injury merupakan
trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik bersifat temporer maupun permanen
B. Etiologi
a. Trauma oleh benda tajam
Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal
meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)
Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson,
kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada
otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau
kedua-duanya.
Etiologi lainnya:
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
c. Cedera akibat kekerasan.
C. Klasifikasi
a. Menurut Jenis Cedera
- Cedera Kepala terbuka
Dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak
- Cedera kepala tertutup
Dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral yang luas
b. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)
Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
- Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
- Tak ada fraktur tengkorak
- Tak ada contusio serebral (hematom)
- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
Cedera kepala sedang
- GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi)
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Kejang
Cedera kepala berat
- GCS 3-8 (koma)
- Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif)
- Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
- Tanda neurologist fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
c. Menurut patofisiologi
· Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
- Gegar kepala ringan
- Memar otak
- Laserasi
· Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
- Hipotensi sistemik
- Hipoksia
- Hiperkapnea
- Udema otak
- Komplikasi pernapasan
- Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain
Kerusakan Pada Bagian Otak Tertentu
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu
pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang
pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
a. Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis
juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis
bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan
lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi
otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang
menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang
mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian
penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan
kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
b. Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur
dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan
dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan
posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan
kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang
berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan
untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebutapraksia) dan untuk
menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali
bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan
bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam
dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian
maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
c. Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami
suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta
menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan
menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari
luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan
bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan
agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
Cedera Spesifik Otak Kepala
a. Fraktur Tengkorak
Fraktur Linear : Kekuatan benturan lebih luas area tengkorak
Fraktur Basiler: Pada dasar tengkorak atau pada tulang sepanjang bagian Frontal
atau temporal. Fraktur ini cukup serius karena menimbulkan kontak antara CSS dan
dunia luar melalui ruang subarachnoid dan sinus yang mengandung udara dari wajah
atau tengkorak, memungkinkan bakteri masuk & mengisi drainase sinus. Fraktur ini
bisa melukai arteri dan vena yang kemudian mengalirkan drahnya ke dalam rongga di
sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa
merobek meningens(selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara
otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan
menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang
tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak
atau posisinya bergeser.
b. Geger Serebral (Contusio)
Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya
disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan
pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah
tulang tengkorak. Hal ini menandakan terjadinya perdarahan pada otak yang dapat
menimbulkan pembengkakan Bakteri ringan dari cedera otak menyebar, disfungsi
neurologis bersifat sementara dapat pulih. Disorientasi dan bingung sesaat dengan
gejala sakit kepala, tak mampu konsentrasi gangguan memori sementara pusing, peka
omnesia retrograde. Jika terjadi pembengkakan pada otak, maka bisa terjadi kerusakan
lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan
herniasi otak.
c. Memar / Laserasi cerebral (Komosio)
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik
sementara tanpa kerusakan struktur. Umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan
diri dalam beberapa detik sampai beberapa menit. Jika jaringan otak di lobus frontal
terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku irasional yang aneh, dimana keterlibatan
lobus temporal dapat menimbulkan amnesia atau disorientasi. Komosio cerebral ini
merupakan memar pada permukaan otak yang terdiri dari area hemoragi kecil-kecil
yang tersebar, gejala bersifat neorologis fokal, dapat berlangsung 2-3 hari setelah
cedera dan menimbulkan disfungsi luas akibat dari peningkatan edema serebral. Pada
scan tomografi terlihat masa dan menimbulkan perubahan TIK dengan jelas.
Tindakan terhadap komosio meliputi mengobservasi pasien terhadap adanya sakit
kepala, pusing, peka rangsang, dan ansietas (sindrom pasca-komosio), yang dapat
mengikuti tipe cedera. Dengan memberi pasien informasi, penjelasan, dan dukungan
pada pasien dapat mengurangi beberapa masalah sindrom pasca - komosio.
d. Hematom Epidural
Adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian
dalam dan lapangan meningens paling luar (dura), terjadi karena robekan cabang kecil
arteri meningeal tengah atau frontal. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah
merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih
cepat memancar.
Tanda dan gejala berupa sakit kepala hebat yang bias segera timbul tetapi bias
juga muncul beberapa jam setelah cedera dengan intensitas nyeri tidak tetap,
penurunan kesadaran ringan, diikuti periode lucid, kemudian penurunan neurologi dari
kacau mental sampai coma, bentuk dekortikasi & deserebrasi, pupil isokor sampai
anisokor. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT scan
darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di
dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian
dan penyumbatan sumber perdarahan.
e. Hematoma Subdural
Adalah akumulasi darah dibawah lapangan meningeal duramater diatas lapangan
arakhnoid yang menutupi otak. Penyebabnya robekan permukaan dan lebih sering pada
lansia dan alkoholik gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang
disfasia. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat
kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural pada
bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih
lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap
secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik, bergantung pada
ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
1. Hematoma subdural akut
Dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi.
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius
dalam 24 – 48 jam setelah cedera. Cedera ini sering berkaitan dengan cedera deselerasi
akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan
tanda klinis sama dengan hematoma epidural. Tekanan darah meningkat, frekuensi
nadi lambat dan pernapasan cepat.
2. Hematoma subdural sub akut
Menyebabkan deficit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam setelah
cedera. Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang subdural.
Riwayat klinis khas dari penderita hematoma subdural subakut adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, yang diikuti penurunan kesadaran, dan
perbaikan status neurologik secara bertahap. Namun setelah jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan penurunan status neurologik. Tingkat kesadaran menurun
bertahap, pasien tidak berespon, peningkatan TIK, lalu terjadiherniasi unkus atau
sentral. Angka kematian tinggi pada pasien hematoma subdural akut dan sub akut,
karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
3. Hematoma subdural kronik
Terjadi karena cedera kepala minor, terjadi paling sering pada lansia akibat atrofi
otak karena proses penuaan. Tampaknya cedera kepala minor dapat mengakibatkan
dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela
negative. Waktu di antara cedera dan awitan gejala mungkin lama, sehingga akibat
actual mungkin terlupakan. Gejala dapat tampak beberapa minggu setelah cedera
minor. Hematoma subdural kronik menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap
sebagai stroke.
Tindakan terhadap hematoma subdural kronik ini daapt dilakukan melalui
lubang burr ganda, atau kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa subdural yang
cukup besar yagn tidak dapat dilakukan melalui lubang burr.
a. Hematoma Intrakranial
Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak, penyebabnya
adalah fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi peluru dan gerakan
aselerasi-deserasi tiba-tiba tindakan bersifat kontroversial bedah atau medis, serta bias
juga terjadi karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah
luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang
tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat
pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan
menimbulkan gejala dalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis)
lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan
gejala setelah beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada
akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan
otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial
bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau
kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian.
Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
b. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah
terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.
Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan
struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan,
tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.
Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang
abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa
jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi,
menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-
gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih
dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan
bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui
mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para
ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis.
Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma
ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-
gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa
hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk
bertambah parah, sebainya segera mencari pertolongan medis.
Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak
diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu
mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah,
biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah,
aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.
D. Patofisiologi
Dalam keadaan normal otak mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi
aliran darah serebral dan menjamin aliran daerah konstan melalui pembuluh darah
serebral. Faktor-faktor ini dapat mengubah kemampuan pembuluh serebral untuk
berkontraksi dan berdilatasi serta mengganggu autoregulasi diantaranya trauma otak,
iskemia dan hipoxia, pada klien dengan kerusakan autoregulasi. Aktivitas yang dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah serebral juga dapat meningkatkan TIK.
Tekanan Intra Kranial (TIK) merupakan tekanan yang dikeluarkan oleh kombinas dari
3 komplemen intrakranial yaitu jaringan otak, CSS dan darah.
Hipotesa monro kellie mengatakan volume intrakranial sama dengan volume otak
ditambah volume darah serebral dan CSS, dimana tiap perubahan volume dari tiap-tiap
komponan karena gangguan kranial dapat menyebabkan peningkatan TIK.
Peningkatan TIK mengarah pada timbulnya iskemia, kekakuan otak dan
kemungkinan herniasi. Peningkatan TIK berkembang pada hampir semua klien dengan
lesi intra kranial setelah mengalmi cedera kepala. Pada semua klien dengan cedera
kepala bera, peningkatan TIK yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kematian.
Defisit Nerurologik pada cedera kepala dimulai dengan adanya trauma pada otak
yang dapat menyebkan fragmentasi jaringan dna contusio, merusakn sawar otak,
diserbtai vasodilatasi dan eksudasi jaringan sehingga timbul edema yang dapat
menyebabkan peningkatan TIK. Keadaan ini dapat menurunkan aliran daerah serebral,
iskemia, hipoksia, asidosis dan kerusakan sawar darah otak lebih lanjut dan terjadi
kematian sel-sel otak dan edema bertambah positif.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat
akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam
keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. Jaringan
otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada
fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium
dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi .
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan
arteriol otak tidak begitu besar.
Cidera Kepala TIK - Oedem
- Hematom
Respon Biologi Hypoxemia
Kelainan Metabolisme
Cidera Otak Primer Cidera Otak Sekunder
Komotio
Kontutio
Lateratio Kerusakan Sel Otak
Gangguan Autoregulasi Rangsangan Simpatis Stress
Aliran Darah Keotak Tahanan Vaskuler Katekolamin
Sistemik & TD Sekresi Asam Lambung
O2 Ggan Metabolisme Tek. Pemb.Darah Mual, Muntah
Pulmonal
Asam Laktat Tek. Hidrostatik Asupan Nutrisi Kurang
Oedem Otak Kebocoran Cairan Kapiler
Ggan Perfusi Jaringan Oedema Paru Cardiac Out Put
Cerebral
Difusi O2 Terhambat Ggan Perfusi Jaringan
Gangguan Pola Napas Hipoksemia, Hiperkapnea
E. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :
1. Gangguan kesadaran
2. Konfusi
3. Abnormalitas pupil
4. Piwitan tiba-tiba defisit neurologis
5. Perubahan TTV
6. Gangguan pergerakan
7. Gangguan penglihatan dan pendengaran
8. Disfungsi sensori
9. Kejang otot
10. Sakit kepala
11. Vertigo
12. Kejang
13. Pucat
14. Mual dan muntah
15. Pusing kepala
16. Terdapat hematoma
17. Kecemasan
18. Sukar untuk dibangunkan
19. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
Akibat Dari Trauma Otak Ini Tergantung Pada:
1. Kekuatan benturan
Makin besar benturan makin parah kerusakan
2. Akselerasi / Deselerasi
Akselerasi = Benda yang bergerak mengenai kepala yang diam
Desekrasi = Kepala membentur benda diam
Keduanya bisa bersamaan terjadi bila gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung.
3. KUP dan Kontra KUP
Cedera KUP Kerusakan pada daerah dekat yang terbentur
Kontra KUP Kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan benturan
4. Lokasi Benturan
Bagi otak yang tersebar kemungkinan cedera kepala terberat adalah bagian lotus anterior
(Frontalis & temporalis) Lobus posterior (oksipitalis dan atas mesenfalon).
5. Rotasi
Pengubahan posisi rotasi kepala menyebabkan trauma regangan & robekan pada
substansia alba dan batang otak.
6. Fraktur Impresi
Disebabkan oleh suatu kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun menekan otak
yang lebih dalam. Akibat fraktur ini kemungkinan CSS akan mengalir ke hidung,
telinga kemudian masuknya kuman dan terkontaminasi dengan CSS dapat
menimbulkan infeksi dan kejang.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI :Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography :Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG :Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray :Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER : Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET : Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
9. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial.
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
G. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai
berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Pedoman Resusitasi Dan Penilaian Awal
1. Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi
palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar s
2. Servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan
napas, maka pasien harus diintubasi.
3. Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak,
beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi
cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks.
Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum
95 %. Jika jalan napas pasien tidak terlindung bahkan terancam, maka pasien harus
segera diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestersi.
4. Menilai sirkulasi: otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intraabdomen atau
dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat
pemantau dan EKG bila tersedia.pasang jalur intravena yang bessar, ambil darah vena
untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan AGD
arteri. Berikan larutan koloid.
5. Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
6. Menilai tingkat/ klasifikasi keparahan cedera
Pedoman Penatalaksanaan
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/ atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal (proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid).
2. pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:
a) pasang jalur IV dengan larutan salin normal (NaCl 0.9 %) atau larutan Ringer
Laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada
cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
b) Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia
darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin
parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu
c) Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto roentgen kepal tidak perlu jika CT
Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitive untuk mendeteksi fraktur.
Pasien denga cedera kepala ringan, sedang, atau berat harus dievaluasi adanya:
- Hematoma epidural
- Darah dalam subarakhnoid dan interventrikel
- Kontusio dan perdarahan jaringan otak
- Edema serebri
- Obliterasi sisterna perimesenfalik
- Pergeseran garis tengah
- Fraktur kranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus
4. Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi,
lakukan tindakan berikut ini:
- Elevasi kepala 30°
- Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten
- Pasang kateter Foley
- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang
besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi >1
diploe)
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan
Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa
perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi criteria berikut:
- Hasil pemeriksaan neurologist dalam batas normal
- Foto servikal jelas normal
- Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika
timbul gejala perburukan
2. Cedera kepala sedang
Pasien yang sedang menderita konkusi otak, dengan GCS 15 dan CT Scan
normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah,
meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko
timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala
sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat
Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada
pasien ini apakah terdapat indikasi interval bedah saraf segera. Jika ada indikasi, harus
segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera
kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang
dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya
dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau
peningkatan TIK. Kejang umum yang terjadi setelah cedera kepala dapat menyebabkan
kerusakan otak sekunder karena hipoksia, sehingga terapi anti konvulsan dapat
dimulai.
Tindakan terhadap penalaksanaan peningkatan TIK
1. Mempertahankan oksigenasi adekuat.
2. Pemberian manitol untuk menurunkan edema serebral.
3. Hiperventilasi
4. Penggunaan steroid
5. Meninggikan kepala tempat tidur
6. Kemungkinan intervensi bedah neuro untuk evakuasi bekuan darah.
Tindakan pendukung lain
1. Ventilasi
2. Pencegahan kejang dengan antikonvulson
3. Pemeliharaan cairan dan elektrolit
4. Keseimbangan nutrisi
5. Mempertahankan jalan nafas.
Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran,
perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari
pemberian obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,
mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di
rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan
ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
H. Komplikasi
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi
beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10%
penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan
pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya
dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada
seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya
kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu
yang tak terhingga.
2. Afasia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena
terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau
mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah
lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada
bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi,
akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan
ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan
oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada
penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosis
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan
merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau
fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang
dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil),
meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda
tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis,
dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali
terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan
khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat
peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya
masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan
hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan
(amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan
(amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai
beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan
sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari
memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus
temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat
dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu
kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholik dan penderita kekurangan gizi
lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff.
Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang
berlangsung lama.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia
Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac
arrest atau ensefalitis akut.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi
diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya
penglihatan yang permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar
volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.
8. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut
(setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang
lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien
ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien
dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala
setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses
ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian
antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal
yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk reparative.
10. Edema serebral dan herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72 Jam
setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan
gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh
tertekannya venosus & cairan otak bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus
menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi
dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial dan menimbulkan
herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral dan menekan di
enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf
oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES.Mekanisme kesadaran, TD, nadi,
respirasi dan pengatur akan gagal.
11. Defisit Neurologis dan Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri kepala
hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Primer
Airway
Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.
Breathing
Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan
dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung.
Circulation
Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.
Disability
Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.
Tingkat Kesadaran
Kualitatif dengan :
- CMC
Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan sekeliling , orientasi baik terhadap
orang tempat dan waktu.
- Apatis
Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak acuh terhadap lingkungannya.
- Confuse
Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat.
- Samnolen
Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila rangsangan hilang, klien tidur
lagi.
- Soporous Coma
Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya
inkontinensia urine, belum ada gerakan motorik sempurna.
- Koma
Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan.
Kuantitas dengan GCS
1. Mata (eye)
- Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri 1
- Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2
- Membuka mata dengan perintah 3
- Membuka mata spontan 4
2. Motorik (M)
- Tidak berespon dengan rangsangan nyeri 1
- Eksistensi dengan rangsangan nyeri 2
- Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri 3
- Fleksi siku dengan rangsangan nyeri 4
- Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri 5
- Bergerak sesuai perintah 6
3. Verbal (V)
- Tidak ada suara 1
- Merintih 2
- Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti 3
- Dapat diajak bicara tapi kacau 4
- Dapat berbicara, orientasi baik 5
Exposure
Suhu, lokasi luka.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab
nyeri/cedera: Peluru kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh ?
Darimana arah dan kekuatan pukulan?
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak.
Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah
klien dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik
atau gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana
penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi.
c. Riwayat Keluarga
Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis
seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.
d. Pengkajian Head To Toe
1. Pemeriksaan kulit dan rambut
Kaji nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien
2. Pemeriksaan kepala dan leher
Pemeriksaan mulai dari kepala, mata, hidung, telinga, mulut dan leher. Kaji
kesimetrisan, edema, lesi, maupun gangguan pada indera. Pada penderita stroke
biasanya terjadi gangguan pada penglihatan maupun pembicaraan
3. Pemeriksaan dada
Paru-paru
Inspeksi : kesimetrisan, gerak napas
Palpasi : kesimetrisan taktil fremitus
Perkusi : suara paru (pekak, redup, sono, hipersonor, timpani)
Jantung
Inspeksi : amati iktus cordis
Palpalsi : raba letak iktus cordis
Perkusi : batas-batas jantung
4. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : keadaan kulit, besar dan bentuk abdomen, gerakan
Palpasi : hati, limpha teraba/tidak, adanya nyeri tekan
Perkusi : suara peristaltic usus
Auskultasi : frekuensi bising usus
5. Pemeriksaan ekstremitas
Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat bantu.
Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat
pernapasan di otak).
2. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeabronkial
3. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral
4. Perubahan persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis
5. Resti infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.
6. Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan tubuh, cedera ortopedi.
7. Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran,
mual, muntah.
NANDA NOC NIC
Bersihan jalan nafas tidak
efektif b.d kerusakan
neurovaskular (cedera
pusat pernapasan di otak).
Batasan karakteristik:
Tidak adanya batuk
Bunyi nafas yang
menguntungkan
Perubahan nilai nafas
Perubahan irama pernafasan
Cyanosis
Kesulitan bersuara
Pengurangan bunyi nafas
Dyspnea
Kelebihan dahak
Batuk yang tidak efektif
Orthopnea
Kurang istirahat
Mata yang melebar
Status pernapasan: jalan
napas paten
Indikator:
Tidak ada demam
Tidak ada cemas
Tidak ada hambatan jalan
napas
Pengeluaran dahak
Bebas dari bunyi napas
Manajemen jalan napas
Aktivitas
Membuka jalan nafas dengan cara
dagu diangkat atau rahang
ditinggikan.
Memposisikan pasien agar
mendapatkan ventilasi yang
maksimal.
Mengidentifikasi pasien
berdasarkan penghirupan nafas
yang potensial pada jalan nafas.
Penghirupan nafas melalui mulut
atau nasopharing.
Memberikan terapi fisik pada
dada.
Mengeluarkan sekret dengan cara
batuk atau penyedotan.
Mendorong pernapasan yang
dalam, lambat, bolak-balik, dan
batuk.
Menginstruksikan bagaimana
batuk yang efektif.
Mendengarkan bunyi nafas,
mancatat daerah yang mangalami
penurunan atau ada tidaknya
ventilasi dan adanya bunyi
tambahan.
Melakukan penyedotan pada
endotrakea atau nasotrakea.
Memeriksa bronchodilators
dengan tepat.
Mengajarkan pasien bagaimana
penghirupan nafas yang tepat.
Memberikan perawatan
ultrasonic.
Memberikan oksigen yang tepat.
Memeriksa keadaan pernafasan
dan oksigen.
Pola napas tidak efektif b.d
kerusakan neurovaskuler,
obstruksi trakeobronkial
Batasan karakteristik:
Napas dalam
Perubahan gerakan dada
Mengambil posisi tiga titik
Bradipneu
Penurunan tekanan ekspirasi
Penurunan tekanan inspirasi
Penurunan ventilasi semenit
Penurunan kapasitas vital
Dispneu
Peningkatan diameter
anterior-posterior
Napas cuping hidung
Ortopneu
Fase ekspirasi yang lama
Pernapasan pursed-lip
Takipneu
Penggunaan otot-otot bantu
untuk bernapas
Status pernapasan:ventilasi
Indikator:
Frekuensi napas IER*
Irama napas IER
Kedalaman inspirasi
Pengembangan dada simetris
Kenyamanan bernapas
Penggunaan otot
aksesoris/tambahan tidak ada
Suara napas tambahan tidak
ada
Penarikan dada tidak ada
Pengerutan bibir pada saat
bernapas tidak ada
Dispnea saat istirahat tidak
ada
Dispnea dengan pengerahan
tenaga tidak ada/hilang
Orthopnea tdak ada/hilang
Napas pendek tidak
ada/hilang
Fremitus tidak ada/hilang
Suara perkusi tidak
ada/hilang
Auskultasi suara napas, IER
Volume tidal IER
Kapasitas vital IER
Terapi oksigen
Aktivitas:
Menyediakan peralatan
pemberian oksigen, sistem
kekebalan.
Memberikan oksigen tambahan,
sesuai petunjuk dokter.
Mengontrol aliran oksigen.
Memeriksa alat pentransferan
oksigen.
Memeriksa secara berkala alat
pemberian oksigen untuk
memastikan bahwa telah sesuai
dengan resep untuk konsentrasi
yang diberikan.
Mengubah tempat masker oksigen
kapan saja alat tersebut
dipindahkan.
Mengamati tanda-tanda oksigen
yang menyebabkan hypoventilasi
Memeriksa tanda-tanda keracunan
oksigen dan penyerapan
atelektasis.
Memeriksa alat pernafasan untuk
memastikan ketidakcampuran
dengan usaha pasien untuk
bernafas.
Memeriksa/mengontrol
kecemasan pasien yang
mempengaruhi terapi oksigen.
Memeriksa kerusakan kulit karena
pergeseran alat bantu pernafasan.
Memasukkan/memberikan alat
bantu nafas yang lain untuk
kenyamanan.
Perfusi jaringan
serebraltidak efektif b.d
edema serebral
Faktor resiko:
Trauma kepala
Tumor otak
Gangguan jaringan otak
Status neurologi:kesadaran
Indikator:
Fungsi saraf
Kontrol pusat motorik
Fungsi motorik/sensori saraf
otak (krnil)
Fungsi motorik/sensori saraf
otak spinal
Fungsi saraf otonom
Tekanan dalam cranial
Komunikasi
Ukuran pupil
Rangsangn pupil
Gerakan pupil
Pola nafas
Tanda-tanda vital (WNL)
Aktifitas otak(yang tak
terlihat)
Sakit kepala (yang tak
terlihat)
Kenaikan perfusi serebral
Aktivitas:
dalam rentang tersebut.
konsultasikan dengan dokter
untuk menentukan posisi kepala
dan monitor respon pasien
terhadap posisi kepalanya
hindari fleksi leher atau fleksi
panggul/ lutut yang berlebihan
beri dan monitor efek diuretic dan
kortikosteroid
berikan anti nyeri tersedia
monitor tanda-tanda pendarahan
monitor status neurologi
hitung dan monitor tekanan
perfusi serebral
monitor TIK dan neurologi untuk
aktivitas perawatan
monitor tekanan arteri rata-rata
monitor tekanan kardiovaskuler
monitor status respirasi
monitor factor penentu dari
transport oksigen ke jaringan
seperti PaCO2,SaO2 dan Hb serta
CO2
montor hasil laboratorium untuk
erubahan oksigenasi dan
perubahan asam basa
monitor intake dan output
DAFTAR PUSTAKA
1. Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: IAPK Pajajaran
2. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume
3.Jakarta:EGC
3. Closkey ,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(1996). Nursing Interventions
Classification (NIC). St. Louis :Mosby Year-Book.
4. Doengoes, ME. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
5. Elizabeth J. Corwin. 1996. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
6. Hudak & Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC
7. Johnson,Marion, dkk. (2000). Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis
:Mosby Year-Book
8. Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi
10.Jakarta:EGC
9. Swear Ingen. 1996. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
10. Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II.
Jakarta : EGC
11. Cecily LB & Linda AS. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatrik , Edisi 3.
Jakarta : EGC
12. Suzanne CS & Brenda GB. 2000. Buku Ajar Medikal Bedah, Edisi 8. Volume 3.
Jakarta : EGC.
13. Wiley dan Blacwell. (2009). Nursing Diagnoses: Definition & Classification
2009-2011, NANDA.Singapura:Markono print Media Pte Ltd