Download - Liza Punya

Transcript
Page 1: Liza Punya
Page 2: Liza Punya

AIBI Sebuah Novel : Liza Martha Lova

1

Duka Yang Meluruh

Taman bunga itu begitu luas dan asri. Mawarnya sedang bermekaran. Bau semerbak merangsang

indra penciuman, memberikan kedamaian di dalam hati. Sepasang kupu-kupu yang sedang pacaran

berkejar-kejaran dan berayun dari tangkai bunga satu ke tangkai bunga yang lainnya. Setiap kali dia

hinggap dibawanya serbuk sari yang menempel di kakinya lalu di tempelkannya ke kepala putik

bunga betina untuk membantu proses penyerbukan agar bisa menghasilkan buah yang ranum dan

segar.

Hidup seperti simbiosis mutualisme, saling menguntungkan satu sama lain. Walau berbeda jenis

tetapi mempunyai satu misi yakni melestarikan alam semesta untuk di wariskan kepada para

generasi penerus. Terik mentari pagi yang bersinar hangatkan bumi. Ia peluk erat penduduk bumi

dan disebarkannya sejuta kebahagiaan dan kasih.

Di tengah-tengah taman yang asri dan di temani dua kupu-kupu yang sedang berkejar-kejaran

bermandikan sinar mentari pagi, seorang gadis muda tengah duduk di atas kursi roda. Sendiri.

Sepintas dia terlihat tengah menikmati kebun mawar yang sedang bermekaran dan menghadirkan

bau khas yang semerbak. Tetapi sejatinya mata itu tengah memandang jauh kedepan, menembus

tembok kehidupan, menjelajahi hutan belantara pemikiran, mampir di sudut reot hati yang mulai

jarang dikunjungi.

Nun jauh di sana terlihat potret dirinya yang mulai mengabur berbentuk foto hitam putih. Padahal

kehidupan itu dilaluinya dengan warna warni. Lalu, kemana perginya warna biru itu? warna yang

selama bertahun-tahun menjadi warna kesukaannya. Kemana perginya warna merah jingga itu?

yang menjadi pemandangan yang menyejukkan matanya ketika sore hari. Kemana semua warna

yang cemerlang itu? warna mejikuhibiniu yang selalu membuat matanya takjub ketika

memandangnya. Karena disana ada bukti kemaha indahan Tuhan sang pencipta alam semesta.

Kemana warna itu? kenapa yang tersisa saat ini hanya warna hitam dan putih saja?

Kata orang setiap selesai gerimis dan hujan akan muncul pelangi akibat pantulan dari spektrum

sinar matahari, sehingga terbentuklah warna pelangi yang menyejukkan mata. Tapi kenapa hari ini

pelangi itu tidak lagi muncul? Bukankah sudah bertahun-tahun ia melalui hari penuh gerimis dan

hujan air mata

Sudah terlalu banyak air mata yang keluar, dan pagi ini air mata itu keluar lagi. Satu persatu

butiran-butiran kristal itu berjatuhan membasahi pipinya, terus mengalir ke dagunya sehingga

menyentuh syal yang terlilit di lehernya yang jenjang dan mengendap disana membentuk pulau-

Page 3: Liza Punya

pulau kecil. Sudah terlalu banyak butiran-butiran yang mengandung muatan garam itu mengalir dan

bercucuran dari matanya. Lima tahun berlalu, kapankah butiran hangat itu akan berhenti mengalir

dari matanya yang sudah nanar dan mengabur itu? Atau kehidupan yang dijalaninya ini akan selalu

di temani oleh butiran-butiran itu? Ah... Semuanya terasa semakin menyesakkan dada.

Perlahan ia coba menyeka air mata yang jatuh dengan kedua telapak tangannya. Namun semakin

dia menghapusnya air mata itu semakin deras mengalir. Akhirnya tubuh lemah tak berdaya itu

terguncang menahan isak.

Sudahlah, betapa dia ingin berdamai saja dengan masa lalunya. Dia lelah bertengkar dengan hati

dan pikirannya yang masing-masingnya tidak mau saling mengalah. Betapa sudah tidak ada lagi

yang bisa dilakukannya. Walau terasa pahit, tapi inilah kenyataan. Dia memang tidak akan pernah

beranjak lagi dari kursi roda ini. Sampai kapanpun dia hanya akan terduduk pasrah di atas kursi

pesakitan. Di telannya air liurnya yang terasa kering di kerongkongan.

Semuanya terasa begitu menyesakkan dada. Dia belum siap lahir bathin menghadapinya. Tapi

sampai kapan harus bersikukuh dengan kediamannya? Sampai kapan dia menolak semua ini? Apa

yang dilakukannya saat ini, toh tidak akan mengembalikannya kepada keadaan semula. Dia harus

ikhlas. Tapi, bisakah dia ikhlas? Bukankah ikhlas itu adalah sesuatu yang sangat sulit?

2

Rapat Terakhir

Alam selalu punya bahasanya sendiri dalam mengagungkan asma-Nya. Semuanya khusyuk

berzikir tak henti-hentinya. Semuanya sibuk beribadah kepada Allah. Matahari berzikir dengan

caranya yang tidak dimengerti oleh para hamba. Begitu juga bintang dan rembulan yang selalu

tunduk dan memujaNya penuh cinta. Pagi selalu menawarkan kesejukan yang menenangkan jiwa.

Embun menetes lembut membasahi dedaunan. Suasana subuh semakin terasa indah dan

menyejukkan kala bau udara pagi menyentuh hidung. Pertanda manusia-manusia di bumi akan

memulai aktivitasnya setelah terlelap dalam mimpi yang indah. Remang-ramang warna subuh mulai

memudar. Tampak di sana maha sempurna penciptaanNya. Fajar merekah di langit

Para pedagang mulai menyiapkan dagangannya yang akan di jajakan dari rumah-ke rumah di

pagi hari yang masih temaram. Dari kejauhan terdengar suara lengkingan tukang gorengan. Sekali-

kali suaranya yang cempreng di tingkahi oleh penjual ketan panas.

Pagi ini, semua kebahagian telah memenuhi rongga dada. Setelah berjuang mati-matian,

akhirnya semuanya akan segera berakhir dan perjuangan baru akan kembali dimulai. Jepang telah

menunggu kehadirannya. Dengan wajah penuh sumringah Aibi berdiri di depan kaca, diamatinya

setiap lekuk wajahnya. Tiba-tiba bayangan orang tuanya hadir di sana. Kerinduannya tak

tertahankan lagi.Sore ini Papa dan Mamanya tercinta akan tiba di Padang. Mereka berangkat dari

Page 4: Liza Punya

Jakarta pukul 16.00 sore. Tentu ia sendiri yang langsung menjemput orang tuanya.

Kebahagian itu tidak terhenti sampai di sana. Ada empat prestasi yang di raihnya tahun ini di akhir

keberadaannya di kampus. Aibi digelari mahasiswa terpintar dan tercerdas yang dimiliki kampus

semenjak tempat perkuliahan itu berdiri. Ia juga mendapatkan gelar best student award. Ia berhasil

mengalahkan para kontestan lain. Disamping itu ia mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa

organisatoris yang berprestasi dari University of Australia. Puncaknya ia meraih beasiswa penuh ke

Jepang untuk melanjutkan S2. Semua biayanya ditanggung oleh pemerintah. Lengkap sudah

kebahagiannya. Dari 3525 orang yang akan di wisuda, hanya dia yang mampu meraih sederet

prestasi membanggakan tersebut.

Alasan apalagi yang membuat Aibi tidak bersyukur? Semua anugerah telah didapatkannya. Semua

yang diimpikan banyak orang telah diraihnya. Ia terlahir dari anak orang kaya yang begitu

menyayanginya. Semua kebutuhannya dicukupi baik diminta atau pun tidak. Terlahir sebagai orang

pintar yang dibanggakan oleh setiap orang yang mengenalnya. Terlahir sebagai seorang wanita

yang anggun dan kecantikan yang menawan hati siapa saja yang melihatnya. Kehadirannya selalu

dirindukan. NikmatNya sungguh begitu berlimpah.

Hidup rasanya kurang bermakna ketika tidak melihat senyum Aibi merekah juga semangatnya yang

menyala-nyala. Hampa rasanya ketika sosok itu tidak turut serta dalam rapat-rapat FSI karena

biasanya Aibi lah yang selalu mempunyai banyak ide-ide kreatif dalam setiap kegiatan yang akan

dilaksanakan.

Aibi berbeda dengan kebanyakan kader dakwah lainnya. Ia tak segan-segan bergaul dengan

siapapun. Bisa dikatakan ia tidak menjaga jarak dengan mahasiswa diluar forum. Meskipun begitu

ia tetap menjaga adab-adab ketika berinteraksi dengan lawan jenis. Ia begitu santun dan sangat

dekat dengan siapa saja mulai dari mahasiswa, dosen dan pegawai yang ada di kampusnya. Bahkan

namanya tak asing lagi bagi petugas kebersihan atau penjaja makanan di kampus. Contohnya uni

Vina, petugas cleaning service gedung D itu. Sebagai aktivis dakwah, Aibi dan teman-temannya

selalu memakai gedung ini tiap minggunya untuk rapat. Ketika rapat sudah selesai ruangan tersebut

bisa dipastikan kembali seperti sedia kala. Tidak ada sampah yang berserakan. Sebab, Aibi lah yang

paling rewel mengingatkan teman-temannya untuk menjaga kebersihan. Saking baiknya terkadang

ia membawakan makanan dan menyerahkannya kepada petugas kebersihan tersebut. Tak hanya uni

Vina. One Eli yang biasanya menjual makanan di gedung D juga sering menyebut-nyebut namanya

dikarenakan sering sekali Aibi memberikan uang berlebih setelah berbelanja disana. Ia selalu

menolak kembalian uang dari wanita paruh baya itu. One Eli sebetulnya tidak enak. Tapi Aibi tetap

bersikukuh dengan keputusannya tersebut. Ia sepertinya juga prihatin dengan nasib para penjaja

makanan. Mengingat sudah sering sekali mereka diperlakukan dengan semena-mena oleh birokrat

kampus. Kampus melarang mereka berjualan di gedung perkuliahan dengan alasan akan

Page 5: Liza Punya

mengganggu proses belajar mengajar. Padahal, tak ada lagi tempat lain bagi mahasiswa untuk

mengisi perut atau sekedar menikmati bakwan dan goreng pisang. Aibi lah orang yang paling

lantang menyuarakan hak-hak mereka kepada petinggi kampus. Ia menyadari betul apa yang

dirasakan amak-amak tersebut. Uda Ujang, petugas security kampus juga mengenali Aibi. Hal ini

tak mengherankan mengingat Aibi suka berkenalan dengan siapa saja. Ia akrab dan juga suka

menyapa. Prof. Khairul, salah seorang dosen pernah berkata: keteladanan telah berkumpul dalam

diri Aibi

Semua orang merindukan Aibi. Setiap mulut tidak pernah berhenti menyebut tentang pribadi yang

menawan hati. Luar biasa pribadi dan kekuatan ruhiyah yang dimilikinya. Cahaya kesholehahan itu

terpancar indah di wajahnya, sehingga menambah cantik wajahnya yang memang sudah cantik.

***

Jum’at pagi ini masih ada rapat yang akan dipimpinnya. Rapat terakhir sebelum dia pergi

meninggalkan kota Padang. Kemaren Mala menghubunginya. Kata sahabatnya itu “kalau ada waktu

tolong hadir rapat hari ini jam 09.00 di mushola Fakultas Sastra”!!

Sedikit ada keganjilan ketika mendengar apa yang disampaikan Mala, karena tidak biasanya mereka

rapat di mushola Fakultas Sastra. Mereka selalu rapat di mushola FE atau di mushola Teknik.

Terkadang masjid kampus menjadi alternatif terakhir. Tapi kali ini, kok di Sastra? Oh, mungkin

akhwat[1] ingin suasana baru,ujarnya dalam hati. Besok dia akan di wisuda dan seninnya akan

langsung ke Jakarta bersama Mama dan Papanya. Hitung-hitung juga kangen-kangenan dengan

seluruh akhwat nantinya sebelum dia pergi

3

Undangan Dari SMA 5

Jam 07.00 pagi adalah jamnya sibuk. Para pelajar mulai dari yang berserangam PAUD sampai yang

berseragam putih abu-abu mulai memenuhi jalanan. Mereka ikut berebutan menaiki angkotnya yang

akan mengantarkan mereka sampai gerbang sekolah. Beruntung budaya macet belum begitu terasa

di kota Padang sehingga perjalanan bisa di nikmati dengan tenang dan nyaman. Satu-satunya

halangan yang mengancam di jalan adalah rasa mual yang menyerang perut, karena sopir angkot

yang ugal-ugalan di jalanan.

Aibi telah bersiap-siap menuju kampus. Tapi entah kenapa tidak seperti biasanya lama sekali Aibi

berdiri di depan kaca memperhatikan wajahnya yang sedikit kelelahan dengan seabrek tugas yang

telah menyita tenaga dan pikirannya. Sepertinya dia membutuhkan suplement tambahan biar terlihat

fit di hari wisuda yang tinggal hitungan jam. Tidak sampai 24 jam lagi. Dia berjanji di dalam hati

setelah ini dia akan memanjakan diri. Ini adalah terakhir kalinya dia beraktivitas di kampus dan

setelah ini akan istirahat untuk beberapa waktu sebelum S.2 nya di Jepang di mulai. Dia berjanji

akan memanfaatkan waktunya dengan orang tunya sebelum berangkat ke negeri Sakura.

Page 6: Liza Punya

Aibi beranjak dari depan kaca beberapa langkah. Diedarkannya pandangannya ke setiap sudut ruangan kamar. Matanya terbentur pada sepasang baju yang tergantung dengan anggun di belakang pintu. Di dekatinya baju itu dan diciumnya dalam-dalam. Sebentar lagi baju ini akan menjadi saksi dari sejarah perjalanan perjuangannya. Tak terasa tiba-tiba ada yang jatuh dari kelopak matanya. Baru dia sadari kalau sebentar lagi dia akan pergi. Segenap hatinya diliputi rasa sedih. Dia merasakan hidupnya begitu hampa. Akankah dia kembali menemukan saudara-saudara yang baik seperti di wisma[2] ini? Seperti di kampusnya ini? ****

Baru saja Aibi melangkahkan kakinya keluar kamar, tiba-tiba Hp nya bernyanyi ria mendendangkan

lagu merah saga dari shoutul harokah. Dengan gerakan cepat Aibi mengeluarkan Hpnya. Nomor tak

dikenal. Siapakah gerangan? Akhwat yang sudah menunggunya kah? Di lihatnya jam kecil yang

melingkari pergelangan tangannya, baru jam 08.05 tidak mungkin akhwat yang telfon. Lalu

siapakah gerangan?

“Assalamu’alaikum...” Sapa Aibi lembut

“Wa’alaimussalam, Kak”. Jawab suara di seberang sana.”Kak Aibi kan Kak?” tanya suara itu lagi

“Iya betul, ini Kak Aibi. Ini siapa?” tanya Aibi penasaran.

“Ini Riri Kak. Anak SMA lima. Dapat nomor Kakak dari Kak Widya”.

“Oh iya, Riri. Ada apa dik? Ada yang bisa Kakak bantu?”

“Ada Kak. Begini Kak, kami mau mengadakan forum annisa’[3] di sekolah siang ini. Tapi kami belum punya pemateri. Apa Kakak bisa, Kak?“Jam berapa ya dik?”

“Jam 11.30 Kak”.

“Aduh... ‘Afwan[4] dinda. Sepertinya Kakak tidak bisa karena hari ini Kakak juga ada kegiatan di

kampus”.

“Aduh Kak... Mohon Kak, kali ini saja Kak, tolong bantu kami Kak. Tadinya kami sebenarnya

sudah hubungi Kak Widya empat hari yang lalu. Tapi pagi tadi mendadak beliau pulang kampung

karena orang tuanya sakit, Kak. Dan kami di kirimin beberapa nomor sama beliau untuk alternatif

pengganti. Tapi sayang diantara mereka tidak ada yang bisa karena ada acara juga. Kakak satu-

satunya yang belum kami hubungi. Kami sangat berharap Kakak bisa menjadi pemateri, Kak.

Soalnya kami sudah tidak tahu akan menghubungi siapa lagi. Sedangkan pengumuman telah kami

sebarkan di sekolah. Pesertanya insya Allah banyak, Kak. Kami tidak ingin peserta kecewa, Kak.

Kak, tolong Kak. Tolong kami Kak. Karena kalau hari ini gagal lagi diangkatkan, berarti ini sudah

yang kedua kalinya Kak. Kemaren juga karena pemateri gak bisa. Dan kami takut untuk

kedepannya kawan-kawan tidak percaya lagi sama kami, Kak. Kak please Kak. Untuk kali ini,

tolong kami, Kak”.

Mendengar apa yang disampaikan Riri, hati Aibi pun terenyuh. Tak tega rasanya dia menolak

keinginan Riri. Tidak ada alasan untuk menolak menyampaikan kebaikan. Jika ustadzah Yoyoh

Page 7: Liza Punya

Yusrah yang mempunyai 13 orang anak tidak pernah mengatakan tidak ketika di undang mengisi

pengajian, lalu apa alasan Aibi untuk menolak permintaan tulus dari adik yang menelfonnya itu?

tegakah dia menghancurkan kepercayaan teman-teman di sekolahnya terhadap mereka? Hatinya

menjerit.

Diingatnya lagi jadwalnya hari ini. Menjelang jam 12 ini ada tiga agenda yang akan

dilaksanakannya. Rapat bersama akhwat di kampus. Kemudian mengambil kenang-kengang wisuda

di jurusan karena kemaren belum siap dan juga ada sedikit permasalahan yang harus di diskusikan

bersama ketua jurusan. Karena kemaren Pak Kamal memintanya untuk menemuinya nanti jam

10.00 setelah itu mengembalikan buku Bu Dharna yang di pinjamnya beberapa bulan yang lalu

untuk membuat laporan penelitiannya. Mungkin untuk buku Bu Dharna bisa nanti jam 14.00

diserahkannya. Setelah itu langsung ke bandara menjemput Mama dan Papanya.

“hm... gimana ya? Mulainya jam 11.30 ya dik?” Aibi terdiam beberapa saat. Memperkirakan berapa

waktu yang akan digunakannya untuk menyelesaikan dua agendanya pagi ini. Karena satu telah di

undur ke jam 14.00.

“Begini saja. Kakak akan usahakan datang kesana. Di SMA Lima kan? Tapi settingannya begini,

nanti silahkan dimulai dulu acara pembukaannya. Kalau acara pembukaan sudah selesai Kakak

belum juga datang, nanti di isi saja pake nasyid terlebih dahulu oleh panitia. Kakak mungkin

terlambat. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan di kampus hari ini. Kalau sudah selesai,

Kakak hubungi, adik. Kalau ada apa-apa nanti kakak hubungi lagi. Kalau seperti itu bagaimana,

dik?” kata Aibi mengakhiri

“Iya Kak. Terima kasih banyak Kak. Jawab Riri dengan suara bersemangat. Padahal tadi ia hampir

menyerah mendengar jawaban Aibi

“OK, tetap semangat ya dik. Allah pasti akan memudahkan jalan seorang hambah yang mempunyai

niat yang baik. Apalagi untuk kejayaan islam. Pasti Allah akan mudahkan Insya Allah”. Aibi

berusaha memotivasi Riri.

“Iya Kak. Terima kasih sekali lagi Kak. Saya tunggu kehadiran Kakak di sekolah ya Kak”. Timpal

Riri bersemangat. Penasaran sekali dia dengan Aibi. Siapakah wanita lembut itu? Seperti apakah

wajahnya? Adakah secantik kata-katanya tadi? Atau jauh lebih cantik? Semua orang akan

berpemikiran seperti itu jika berbicara lewat telfon dengan Aibi.

“Sama-sama dik. Semoga Allah mempertemukan kita nanti, ya”. Setelah menjawab salam, Aibi pun

langsung buru-buru menuju halte untuk naik angkot.

***

4

Acara Perpisahan

Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup ini karena apa yang kita jalani hari ini

Page 8: Liza Punya

merupakan kehendak Allah. Takdir Allah terhadap manusia telah tertulis indah di lauh mahfuzs. Apa

yang kita jalani hari ini adalah karena skenario Allah, sang sutradara handal kehidupan. Aibi pun

tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Baginya yang penting adalah

menjalankan kehidupan ini sesuai dengan aturan yang berlaku.

Dia sangat menikmati perjalanannya menuju kampus pagi ini. Di sepanjang perjalanan matanya

terus ke luar angkot. Dia asyik melihat pohon lindung yang seperti berkejar-kejaran di tepi jalan.

Satu dua di perhatikannya ada petani yang sedang menanam benih padi di sawah yang terhampar

luas di sepanjang jalan menuju kampus. Semakin mendekati gerbang kampus, semakin ramai pohon

pelindung yang di tanam di tepi jalan. Hatinya semakin bahagia menyaksikan pemandangan

tersebut

Gedung student center itu berdiri dengan megahnya. Disanalah puluhan mahasiswa telah

membenamkan dan menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan organisasi. Ada yang hanya

berfikir untuk menguasai kampus saja, tanpa harus berfikir sumbangsih apa yang akan mereka

berikan untuk kampus ini. yang ada dalam fikiran mereka bagaimana mereka bisa menguasai BEM

Universitas, lambang kekuasaan tertinggi kampus karena dengan demikian mereka dapat merubah

kebijakan yang ada

Ada yang sibuk memperbanyak anggota saja, tanpa harus berfikir apa manfaatnya. Ada yang sibuk

mencari-cari kesalahan dari organisasi lain dan banyak lagi. Hanya sedikit saja dari mereka yang

berfikir mengenai kondisi kampus sekarang. Yakni untuk melakukan perubahan dan membuat

kampus ini menjadi kampus yang beradab dan berkepribadian tinggi. Itulah cita-cita dari anak-anak

forum yang dijuluki sebagai orang-orang aneh oleh masyarakat kampus. Hanya gara-gara

pergerakan dan rute perjalanan mereka seputar Masjid dan mushola kampus, kemudian berbicara di

balik tirai tinggi dengan suara pelan-pelan, yang terkadang oleh orang-orang tidak mengerti tirai

atau hijab itu mereka katakan kelambu. Setelah selesai berbicara di balik tirai, maka mereka akan

keluar dari ruangan itu dengan kepala tertunduk dari pintu yang berbeda dan arah yang berlawanan.

Mereka tidak tahu, bahwa orang-orang aneh yang mereka juluki itu tengah menyusun sebuah

rencana besar untuk kampus ini. Demi mewujudkan satu cita-cita menjadikan kampus ini menjadi

kampus madani. Yang menjadi rahmatalil ‘alamin dan talbiyatun warabbul ghofur. Aibi semakin

tidak sabaran ingin berjumpa akhwat. Dan dia juga rindu sekali dengan sekre FSI yang terletak di

lantai dua itu.

Tak lama kemudian, akhirnya angkot yang ditumpanginya telah berhenti tepat di depan mushola

Fakultas Sastra. Sejenak diperhatikannya banyak sekali sepatu dan sandal yang berjejeran di luar.

Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Baru jam 09.00. Kok banyak sekali

mahasiswa di mushola? Bukankah seharusnya jam segini kuliah sedang padat-padatnya? Lalu

kenapa pada nongkrong di sini? Kalo kayak gini, gimana mau rapat? Aibi berusaha membuang

Page 9: Liza Punya

segala tanya yang ada di benaknya karena sudah jam 09.00. Dia takut terlambat.

Aibi mempercepat langkahnya. Selangkah, dua langkah dan selanjutnya. Akhirnya dia sampai juga

di pintu mushola. Baru saja dia menjulurkan kepalanya ke dalam mushola, tiba-tiba semua orang

yang ada di mushola itu berteriak serentak “Selamat di wisuda Ibu Raisyah Aibi Rizaldi, S.Si”. Aibi

yang mendapatkan serangan tiba-tiba seperti itu kaget setengah mati. Belum hilang rasa kagetnya,

akhwat-akhwat datang menghampirinya satu persatu, memeluk dan mencium pipi kiri dan

kanannya. Aibi pasrah dan menerima semua salaman dari saudara-saudaranya itu dengan hati

bertanya-tanya. Aibi menangis. Menangis bahagia bercampur menyaksikan apa yang dilakukan oleh

para akhwat untuknya. Merekalah yang telah membersamai langkah kakinya selama ini dalam

menjalankan amanah dakwah yang begitu banyak. Merekalah yang merawatnya ketika dia terbaring

tak berdaya di rumah sakit karena terserang penyakit typus. Mereka jugalah yang membantunya

ketika dia sakarat di pondok waktu hujan-hujan itu.

Kemana akan dicarinya orang-orang pilihan ini? Yang mempunyai cinta sebening embun pagi dan kasih sesejuk salju. Cinta yang tak pernah lekang oleh panas dan tak pernah lapuk oleh hujan. Cinta yang telah mendarah daging dan menjalar disetiap nadi-nadi mereka. Betapa semua cinta itu bermuara kepada cinta Iilahi Rabbi. Itulah yang telah menguatkan ikatan ukhuwah[5] mereka.“Kenapa akhwat mengucapkan selamatnya sekarang? Wisudanya besok, bukan?” tanya Aibi setelah

bisa menguasai diri.

“Besok Ukhti[6] pasti sangat sibuk, banyak orang yang ingin berfoto bersama ukhti nantinya. Dan

kami tidak mau menunggu lebih lama lagi. Kalau kami mengundur mengucapkan selamat sampai

besok, itu sama saja dengan kami mengundur dua hari lagi. Kami yakin hari minggunya baru bisa

mendapatkan giliran. Itu pun belum pasti karena ukhti juga akan di sibukkan dengan orang tua ukhti

yang datang khusus dari Jakarta untuk ukhti.

“Maka kami mengambil jalan pintas. Kami ingin menjadi orang yang pertama untuk mengucapkan

selamat wisuda untuk ukhti. Sekali lagi, ane[7] mewakili seluruh akhwat di FSI mengucapkan

selamat di wisuda untuk Ukhti. Semoga Allah mudahkan jalan ukhti dalam meraih cita-cita dan

impian. Kami tidak tahu bagaimana kami akan melanjutkan amanah ini tanpa ukhti. Kami

merasakan amanah ini begitu berat. Tidak bisa dipungkiri, karena ukhti-lah akhirnya kita bisa

seperti ini”. Kata Mala dengan mata berkaca-kaca.

Betapa selama ini dia telah menyaksikan ketangguhan dari wanita yang ada dihadapannya ini.

Akhwat yang lain pun ikut sedih. Mereka pun telah menjadi saksi dengan apa yang telah dilakukan

oleh wanita luar biasa ini. Betapa dia sedikit pun tidak pernah merasa kehabisan semangat. Dia

selalu mempunyai cara untuk menghadapi segala tantangan yang ada

“Berpisah bukan berarti kita bercerai, bukan? Ukhuwah telah menyatukan kita. Cinta karena Allah

telah menyatukan dan menghimpun kita di jalan tercinta ini. Cinta itu berasal dari sang Pemilik

cinta itu sendiri, maka yakinlah sampai kapan pun cinta itu akan tetap ada di hati-hati kita, Insya

Page 10: Liza Punya

Allah. Apa pun yang terjadi. Jelas Aibi

“Walaupun kita terpisah jauh, tapi hati kita bersatu. Cinta itu pasti akan kembali memanggil kita dan

menghimpun kita lagi di jalan ini. Jika tidak di dunia kita bersua, maka Insya Allah kita akan

reunian di syurganya Allah. Asalkan dengan satu syarat, kita mengembalikan cinta itu kepadaNya.

“Akhwatifillah[8], justru seharusnya ane lah yang berterima kasih kepada akhwat sekalian. Ane

tidak bisa bayangkan bagaimana ane akan bisa menjalani semua amanah ini dengan baik jika tidak

ada akhwat. Syukron[9] akhwat. Syukron untuk ketulusan cinta akhwat, syukron untuk kebaikan

akhwat selama ini. Kalau lah sandainya tidak ada akhwat, mungkin ane sudah meninggal di pondok

ketika hujan-hujan itu. Ane tidak bisa membalas semua kebaikan akhwat. Biarlah Allah saja yang

mencatat segalanya sebagai amal ibadah bagi akhwat.

“Bagaimana akhwat harus bergantian ronda untuk merawat ane ketika ane sakit. Jasa akhwat tidak akan terbalaskan oleh ane. Jazakillah khairan jazaa’ ukhti[10]”. Kata Aibi dengan berurai air mata.“Ah... Kenapa kita malah bertangis-tangisan? Seperti kita akan berpisah untuk selamanya saja”.

Kata Aibi lagi berusaha untuk tersenyum

“Ah... Kak Aibi seperti tidak tahu saja. Tiga minggu lagi Kakak kan mau berangkat ke Jepang.

Bahkan senin ini saja Kakak udah pergi ke Jakarta. Itu tandanya Kakak akan pergi jauh kan, Kak?”.

Dhea yang sudah dari kemaren tidak lagi mau berbicara dengannya buka suara. Ternyata inilah

penyebabnya, karena perpisahan itu sehingga dia mogok untuk berbicara.

Mendengar apa yang di sampaikan Dhea kembali para akhwat terdiam, ternyata tinggal sebentar

lagi kebersamaan mereka. Tiga minggu lagi. Mereka pun menarik nafas dalam dan

menghembuskannya kuat-kuat, terlihat sekali betapa mereka tidak mau berpisah dengan Aibi

Lain pemikiran manusia lain pula yang tercatat di lauh mahfus. Ternyata kebersamaan mereka tidak

lama lagi tinggal hitungan jam mereka akan bersama.

Mendengar apa yang disampaikan teman-temannya, Aibi terharu. Ia susah payah menyembunyikan

air matanya. Jepang yang selama ini menjadi impiannya, tiba-tiba menjadi sesuatu yang

mengkhawatirkan hatinya. Semuanya berubah menjadi teka teki yang sulit untuk dijawab. Akankah

disana dia berjumpa lagi dengan orang-orang luar biasa seperti disini? Entahlah. Dia tidak ingin

membayangkan hal itu lebih jauh lagi. Biarlah semua itu menjadi teka teki yang akan terjawab nanti

setelah dia ada disana.

Dipejamkannya matanya untuk menghapus semua bayangan yang itu. Entah kenapa tiba-tiba dia

berubah menjadi pesimis.

“Dhea.... Kakak kan hanya sementara saja kesana. Setelah kuliah Kakak selesai, Insya Allah Kakak

akan kembali lagi kesini. Lagi pula kita masih bisa berhubungan kok. Bukankah kecanggihan dari

teknologi bisa mendekatkan yang jauh? Sehingga kita masih tetap bisa saling berbagi? Lalu apa lagi

yang harus kita takutkan?”. Aibi berusaha menghibur Dhea

Page 11: Liza Punya

Ah... dia benar-benar tidak tahu, justru semua itulah yang akan membuat saya frustasi dan hampir

gila. Semua itulah yang akan menyiksa batin ini selama bertahun-tahun, ujar Aibi dalam hati

****

5

Perjalanan Ke SMA Lima

Pagi yang indah. Matahari sudah merangkak naik. Kesibukan mulai memuncak dan manusia mulai

mengais-ngais rezki yang telah di peruntukkan untuk mereka. Maka beruntunglah orang-orang yang

bertebaran di muka bumi ini setelah subuh beranjak mendekati pagi. Kemudahan itu memang di

peruntukkan bagi orang-orang berusaha dan bekerja keras penuh keikhlasan.

Aibi telah berada di atas angkot yang akan mengantarnya sampai SMA Lima. Dia telah mengabari

akan keberangkatannya ke SMA tersebut. Wajah cantiknya begitu cerah dan sejuk di pandang mata.

Senyum manis selalu terlukis di bibirnya yang merah. Jika kawan-kawan yang akan di wisuda sibuk

memanjakan kulit wajahnya di salon, dia malah sibuk menikmati perjalanannya menuju SMA Lima.

Dia bahagia sekali. Senyum manis tidak pernah hilang di bibirnya karena sebentar lagi dia akan

berbagi ilmu dengan mujahidah-mujahidah sholehah yang sangat dicintainya

Aibi sibuk bercengkrama dengan balita yang ada di atas angkot yang memakai baju olahraga Paud.

Dia memang paling senang dengan anak kecil, apalagi anak cadel. Dia paling senang karena lucu

kalau sudah mendengar anak cadel itu berbicara. Mengajarkan balita itu bernyanyi balonku ada

lima, tentu saja dengan suara yang pelan. Dia bahagia sekali ketika balita itu memanggilnya dengan

panggilan Kak Bibi. Lucu terdengar di telinganya.

****

6

Sepasang Elang Terbang Melingkar

Waktu menyimpan misteri. Kita hanya bisa menjalaninya. Detik, menit, jam. Itulah kodrat

kehidupan. Dalam sekejap apapun bisa berubah. Sebuah tawa kadang diakhiri dengan air mata.

Sebaliknya, sebuah tangis kadang diakhiri oleh rasa bahagia. Namun tidak semua orang bisa

menerima kenyataan yang pahit dengan lapang dada. Adapun kebahagiaan terkadang ada yang

meluapkannya hingga lupa diri. Lupa untuk bersyukur.

Kata orang yang paling akrab dengannya waktu adalah buku usang. Masa itu datang

mendekatinya secara perlahan tapi pasti. Selangkah, dua langkah, dan semakin mendekati urat

lehernya sendiri. Tempat itu pun semakin dekat. Tinggal hitungan detik, angkot yang di

tumpanginya benar-benar akan berhenti tepat di depan tempat tujuannya yang akan

menghantarkannya menuju tempat paling sepi dalam hidupnya.

Dengan wajah penuh keceriaan di langkahkannya kakinya menuruni angkot. Seperti tidak

Page 12: Liza Punya

mempunyai beban lagi, dengan langkah kaki ringan di seretnya tubuhnya bersiap melintasi jalan

besar yang terhampar. Sebelum dia memulai melintasinya, dilihatnya jam yang melilit pergelangan

tangannya. Tepat jam 11.30. Dia pun tersenyum karena tidak terlambat.

Di seberang sana dilihatnya dua orang remaja putri yang memakai baju seragam batik sudah

menunggunya sambil tersenyum lebar. Dia pun menebak, yang kiri yang pakai kaca mata sama

seperti dirinya itu pasti Riri yang menelfonnya tadi pagi. Senyum Riri lah yang paling ranum dan

bahagia sekali menyambut kedatangannya.

Aibi pun celingukan kiri dan kanan memperhatikan apakah masih ada yang kendaraan yang mau

lewat. Biasanya hari jumat sangat jarang sekali kendaraan yang lalu lalang. Dengan berucap

bismillah Aibi mulai menyeberangi jalan raya dengan santai.

Tapi, belum sampai ia tiba di seberang jalan tiba-tiba sebuah mobil inova melaju dengan kecepatan

tinggi. Awalnya Aibi menganggap tidak akan apa-apa karena jaraknya masih jauh. Tapi sepertinya

mobil tersebut tidak bisa dikendalikan oleh pengendaranya sehingga dalam hitungan sepersekian

detik kejadian naas itu pun terjadi. Aibi panik seketika karena sudah tidak bisa lagi mengelak. Dia

hanya bisa pasrah menerima takdir Tuhan. Mobil itu pun langsung menabraknya. Tidak alang lagi

tubuh itu terpental jauh. Tiba-tiba Aibi merasakan kesunyian panjang mencekam hidupnya. Segala

suara yang ada di bumi ini se akan hilang di telan bumi. Wajah Mama dan Papanya berkelabat di

benaknya. Aibi terhempas. Tubuhnya membentur trotoar jalan. Sepertinya nyawanya tak bisa lagi

ditolong. Ia bagaikan se onggok bangkai yang tak berguna.

****

Bercak darah ada di mana-mana. Rok putih yang dipakainya itu pun telah berubah warnanya

menjadi merah. Darah segar mengalir bak menganak sungai. Tiba-tiba langit berubah mendung.

Langit yang tadinya cerah kini telah berubah menjadi gelap. Awan putih yang tadi berarak-arak, kini

telah berubah menjadi awan hitam yang siap memuntahkan kandungan air yang ada di dalamnya.

Jauh di atas sana, dua ekor elang terbang melingkar seolah-olah ingin mengabarkan berita duka itu

kepada semua orang yang ada di permukaan bumi ini. Wajah itu telah mengeras, pucat pasi.

Malang tidak dapat ditolak dan mujur pun tidak dapat diraih. Malang dapat terjadi sekejap mata,

mujur pun demikian adanya. Manusia hanya menjalankan kehidupan ini sesuai dengan titah

Tuhannya. Takdir Tuhan jualah yang menentukan segala-galanya. Kita bisa bermimpi dan bercita-

cita setinggi apapun yang kita inginkan, tapi Tuhan yang akan menentukan. Apakah kita bisa meraih

dan mendapatkannya? Tuhanlah yang menentukan segala-galanya. Cita-cita kehidupan itu perlahan

mulai tertutup. Matahari kehidupan pun langsung berubah mendekati warna ketuaan zaman. Semua

cita dan impian itu terbang entah kemana.

Mulut yang biasanya selalu tersenyum ramah kepada siapa pun dan selalu memberikan kata-kata

yang menyejukkan hati setiap orang yang mendengarnya, hari ini telah disulap menjadi bungkam.

Page 13: Liza Punya

Dan mata itu, mata yang selalu memandang penuh keteduhan yang mampu mendatangkan

ketenangan hati kini telah terpejam. Wajah penuh ketawadhukan itu, kini telah berubah pucat pasi.

Manusia kebanggaan itu sudah tidak berdaya lagi. Bahkan beberapa saat dibiarkan bergelimpang di

trotoar jalan begitu saja dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Siapakah yang akan mengurus

tubuh tak berdaya tersebut?

****

Sementara nun jauh di kabin pesawat di atas udara sana, seorang wanita separoh baya seperti cemas

menunggu landingnya pesawat yang ditumpanginya. Dia baru saja tersentak bangun dari tidurnya

tiga menit yang lalu. Di liriknya jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sebentar lagi ia

akan tiba di Bandara Internasional Minangkabau. Perjalanan yang hanya 45 menit tersebut terasa

sangat lama sekali. Ia terlihat begitu gelisah di kursinya. Berkali-kali dia menggengam erat tangan

suami yang ada di sampingnya tapi tidak juga mampu menenangkan hatinya. Dia tidak tahu apa

penyebabnya. Pesawat yang di tumpanginya seperti stagnan di atas udara, tidak bergerak. Bagaikan

layang-layang yang dikendalikan dengan seutas tali dari bumi, kemudian pada ketinggian tertentu

layang-layang tersebut di tahan.

Hembusan nafas berat sering terdengar dari mulutnya. Mimpi yang menghampirinya dalam tidurnya

yang singkat tadi begitu nyata di rasakannya. Mimpi itu sangat mengusik hatinya. Anak gadis

semata wayangnya tiba-tiba datang menghampirinya dari belakang. Memeluknya dengan erat, tapi

hanya sesaat saja, kemudian dia melepaskan pelukannya dan berlalu begitu saja darinya tanpa pamit

terlebih dahulu. Tidak seperti biasanya. Kemudian senyumnya pun begitu tipis di bibirnya. Dia telah

memanggilnya dengan keras, tapi putrinya berlalu dan kemudian menghilang. Dia pun langsung

terbangun dari tidurnya. Ada apa dengan anaknya itu? Dia cemas akan terjadi sesuatu dengannya.

Hampir saja dia nekat mengaktifkan handphone selularnya, tapi untung saja dia ingat kalau dia

bukan sedang berada di ruang keluarga rumahnya yang mewah, tapi sedang di kabin pesawat. Maka

dimasukkannya kembali Hp nya ke dalam tas. Di liriknya ke samping kanan, suami tercintanya

masih sedang tertidur pulas. Tidak sampai hati dia membangunkannya.

Sementara di kamar wisma yang ditinggalkan, baju wisuda yang sempat ditangisi Aibi sebelum dia

berangkat ke kampus tadi pagi jatuh bersamaan dengan tubuhnya tepat membentur trotoar jalan.

Baju itu seperti tahu dan mengerti kalau tuannya sedang berjuang menghadapi maut

****

7

Gelombang Ujian

Dunia semakin kelam, kehampaan semakin mencekam. Semua kenangan itu meloncat dan meronta

ingin keluar. Bagi Aibi hari ini yang tersisa hanyalah serpihan-serpihan dari kehidupannya. Aibi

yang dulu begitu hebat, tak ditemukan lagi hari ini. Bagaimanakah tanggapan orang-orang yang

Page 14: Liza Punya

dulu pernah mengenalnya? Bahkan pernah sangat menyukainya? Masihkah mereka akan

menganggapnya seperti lima tahun yang lalu? Betapa dia tidak berani untuk berjumpa dengan

mereka. Biarlah segala duka ini menjadi miliknya. Biarlah segala penderitaan ini menjadi teman

hidupnya. Masa lalu itu harus di kubur dan di buang jauh-jauh. Biarlah semua menjadi kenangan

dan sejarah dalam hidupnya sebagai bukti kalau dia memang pernah ada dahulunya.

Pandangannya semakin jauh ke depan. Menerawang. Mencoba meraba-raba tentang kehidupan

yang tengah di jalaninya saat ini. Semuanya harus di sudahi. Semuanya harus di akhiri. Menangis

dan larut dalam kesedihan tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak akan mengembalikan

keadaannya kepada bentuk semula. Saatnya dia harus menata kembali kehidupannya. Walau apapun

yang terjadi kehidupan harus tetap dilanjutkan. Tidak boleh terhenti hanya sampai disini. Sudah

cukup tangisan. Telah lelah jiwanya mengutuki segala sesuatunya.

Di dapatinya bayang dirinya semakin nyata adanya. Dia memang sudah ditakdirkan untuk tetap ada

di kursi roda ini sampai ajal menjemputnya. Sampai maut merenggutnya kembali kepada pangkuan

sang Illahi. Jika dia senantiasa berada di atas kursi roda ini, itu tandanya dia akan banyak

merepotkan orang-orang yang ada di sekelilingnya

Satu persatu wajah orang-orang yang merawatnya selama ini hadir di pelupuk matanya yang

basah oleh air mata. Wajah Mama dan Papanya seketika terlukis di sana. Wajah yang semakin

terlihat layu yang kocar kacir mencari informasi ke segala penjuru di dunia ini mengenai tempat

pengobatan yang terbaik untuk kesembuhannya. Rela melakukan apapun demi melihatnya tertawa

dan tersenyum lagi. Tapi apa yang sudah dilakukannya?

Dia telah membalas segalanya dengan kekecewaan yang mendalam dengan sikapnya yang

bersikukuh untuk bertahan dalam kebisuan yang panjang. Kebisuan yang seperti tidak akan

berpenghujung. Suaranya bagaikan hilang di telan bumi. Bahkan beberapa kali sempat dia

melakukan percobaan bunuh diri karena merasa tidak bermakna dan tidak berarti lagi. Pernahkah

dia mengucapkan terima kasih? Sungguh selama ini kata-kata itu telah tercerabut habis karena

kebencian di dalam hatinya. Dia benci dengan kehidupan yang dilakoninya hari ini. Dia hanya

selalu membuat dua manusia mulia itu menangis sedih

“Oh Aibi... sudahilah dukamu. Berdamailah dengan keadaan. Akhirilah semuanya. Sampai kapan

kamu akan membuat orang tua mu susah? Bukankah menyaksikan kamu duduk di kursi roda

dengan tidak berdaya sudah cukup membuat mereka tersiksa? Kenapa kamu tambah lagi dengan

kebisuan panjang yang tak berpenghujung? Kenapa kamu hanya memikirkan perasaanmu saja Aibi?

Tidak kah kamu tahu, orang-orang yang ada di sekelilingmu juga menderita melihat sikapmu yang

tak kunjung normal? Mereka tahu kamu menderita menjalani semua ini. Mereka mengerti. Tapi

kenapa kamu tidak mengerti akan mereka? Lihat orang tuamu Aibi, akankah kamu membuat orang

tuamu menanggung semua beban ini begitu saja? Tidakkah kamu tahu bahwa kamu adalah satu-

Page 15: Liza Punya

satunya harapan orang tua mu? Bukankah mereka tidak menuntut banyak? Hanya satu yang mereka

inginkan darimu. Kembali seperti dulu. hanya itu. Tapi bukankah itu sangat sulit sekali?

Entahlah..... semua perasaan itu bergemuruh hebat di dada Aibi.

Oh Mama... Papa... Maafkan Aku Ma, Pa. Aku telah berdosa kepada Mama dan Papa. Aku telah

menyusahkan kalian. Apa salahnya Aku membantu meringankan beban Mama dan Papa. Apa

salahnya Aku berusaha menyenangkan hati Papa dan Mama dengan bersikap manis dan menerima

segalanya walau tidak dapat dipungkiri terasa sangat menyesakkan dada dan pahit di kerongkongan

ini. Mungkin Papa dan Mama lebih tersiksa dari pada saya selama ini. Maafkan Aibi Pa.. Ma...”

tubuh itu semakin terguncang hebat di atas kursi rodanya.

Matanya terus menerawang menyelami lautan hati yang paling dalam. Lautan yang selama ini telah

ditinggalkan dan tidak pernah lagi dibersihkannya. Segala kotoran telah menempel di bibir pantai

itu sehingga telah menggelapkan pemandangan mata. Dia hanya sibuk memikirkan peruntungan

nasib dirinya yang malang tanpa peduli dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Betapa dia

selama ini merasa orang yang paling sengsara dan menderita di atas dunia ini karena di dapatinya

dirinya yang sudah tidak bisa apa-apa. Betapa egoisnya dia selama ini.

Wajah suster Rahmi yang merawatnya hadir disana. Tersenyum tulus kepadanya. Suster Rahmi

yang begitu tulus dan ikhlas merawatnya selama ini. Bagaimana dia memandikannya, menyabuni

seluruh tubuhnya, menggantikan pakaiannya, menyisirkan rambutnya dan melakukan segalanya.

Tidak jarang Suster Rahmi harus membersihkan kotorannya yang tidak disadarinya ternyata telah

keluar begitu saja tanpa dia bisa membersihkannya. Bahkan terkadang suster Rahmi juga harus

membersihkan air seni yang sudah berserakan di lantai kamar karena dia bersikukuh mencoba ke

kamar mandi sendiri dan mengatakan dirinya tidak cacat. Akhirnya kursi rodanya oleng dan dia pun

terjatuh ke lantai. Sekuat tenaga dia berusaha untuk berdiri, tapi tidak bisa. Bahkan sedikitpun dia

tidak bisa beranjak dari tempat semula. Akhirnya dia terpaksa buang air kecil di ruangan kamar.

Untung ada Rahmi yang mengangkat dan memandikannya serta mengepel lantai. Dengan penuh

kesabaran dan kasih sayang Rahmi merawatnya. Andaikan tidak ada Rahmi hari itu mungkin

seharian dia akan bergelimangan air seni. Mungkin dia akan berkubang dengan kotorannya sendiri.

Tak sekalipun di dengarnya keluhan keluar dari mulut Rahmi.

Pernahkah dia mengucapkan terima kasih atas apa yang dilakukan Rahmi? Malah ia merutuk di

dalam hati. Bahkan terkadang dengan kasar dia mendorong tubuh Rahmi sampai terhuyung. Mana

Aibi yang dulu? Yang mudah mengucapkan terima kasih kepada siapapun? Mana Aibi yang dulu

yang selalu tersenyum kepada setiap orang yang ditemuinya? Telah hilangkah Aibi akibat duka

yang di alaminya ini?

Oh tidak... Sudah begitu banyak dosa yang telah dilakukannya selama ini ternyata. Tubuh itu

semakin terguncang hebat di atas kursi roda. “ Ya Tuhan, ampuni aku Tuhan. Kenapa begitu

Page 16: Liza Punya

rapuhnya aku? Jangan biarkan aku terbenam terlalu lama dalam duka nestapa ini. Kehidupan ini

harus dilanjutkan. Aku tidak boleh berhenti hanya gara-gara musibah ini”. Dia semakin terisak. Air

matanya pun semakin deras mengalir. Air mata penyesalan dan air mata keikhlasan menerima

takdir. Dia harus bangkit dari ketidak berdayaan ini karena dia tidak ingin mati dalam kehidupan

dan hidup dalam kematian.

Penyesalan selalu saja datang di akhir. Sejatinya kehidupan yang kita jalani hari ini merupakan titah

Tuhan. Dialah sang sutradara handal. Inilah takdir kehidupannya. Tidak menerima takdir sama saja

dengan mengingkari nikmat Tuhan. Lalu nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kamu dustakan?

Lihatlah dirimu Aibi. Kamu masih dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangimu. Kamu

masih punya Papa dan Mama yang teramat mencintaimu. Kamu punya teman, adik, bahkan seorang

perawat yang sangat menyayangimu. Lalu apa lagi yang membuatmu tidak menerima segala ini?

Terimalah segala ini dengan lapang dada. Berhentilah untuk menyesali segalanya. Konflik batin

semakin memuncak dalam dirinya

***

8

Menjemput Kebahagiaan Yang Hilang

Minggu pagi yang sibuk. Pak Rizaldi sibuk menghubungi para koleganya di berbagai manca negara

mencari info tempat pengobatan terbaik. Bu Aisyah pun tidak ketinggalan karena dia seorang

dokter. Dia tidak terlalu susah mencari informasi. Cukup dengan menghubungi para dokter yang

bekerja di rumah sakit. Dia pun disarankan untuk membawa putrinya berobat ke Rusia yang

mempunyai sistem pengobatan yang canggih untuk mengembalikan sistem kerja syaraf tulang

belakang yang telah rusak, yaitu dengan melakukan terapi sel induk.

Sel induk berasal dari janin manusia. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan terungkap sebuah

fakta bahwa tali pusar pada bayi yang baru lahir mengandung berjuta sel induk (stem cells). Sel

induk juga bernilai amat penting untuk pembentukan sel darah merah, sel darah putih maupun

platelet.

Di Rusia, para ilmuwan mampu mengambil pendekatan yang bijak terhadap fakta ilmiah ini dan

mendorong riset di bidang ini dengan giat. Salah satu cara yang mereka lakukan untuk

menyembuhkan penderita cidera syaraf tulang belakang adalah menempatkan seberkas jaringan urat

syaraf tulang belakang dari janin pada urat pasien yang putus. Secara teori sel-sel itu akan tumbuh

dan membentuk jembatan sehingga mengirimkan rangsangan-rangsangan ke bagian bawah pasien

sehingga kembali “on” seperti sedia kala. Melihat kondisi Aibi, sepertinya melakukan terapi sel

induk adalah pilihan terbaik.

Wajah wanita setengah baya itu berbinar-binar mendengar semua penuturan seorang dokter yang di

hubunginya tersebut. Tanpa buang-buang waktu langsung dihampirinya suaminya untuk

Page 17: Liza Punya

memberitahukan tentang semua itu dan merencanakan keberangkatan mereka ke Rusia untuk

pengobatan Aibi. Lebih cepat lebih baik., pikirnya. Masa depan lebih cerah tengah menunggu

putrinya. Dengan wajah penuh sumringah dihampirinya suaminya yang sedang sibuk menghubungi

koleganya di berbagai manca negara.

Melihat istrinya datang menghampirinya dengan wajah penuh sumringah, dihentikannya

pembicaraannya dengan koleganya dan mengamati istrinya dengan tatapan penuh tanya. Tapi yang

di tatap terus tersenyum manja kepadanya. Dia semakin penasaran berita apa yang dibawa istrinya

gerangan? Sehingga membuatnya tersenyum selebar itu? Seingatnya, selama lima tahun belakangan

semenjak kejadian kecelakaan yang di alami Aibi baru kali ini istrinya itu tersenyum lagi seperti ini.

Ada apakah gerangan?Lelaki itu berusaha menebak-nebak apa yang ada dalam benak istrinya

“Ada apa Ma? Kok Mama bahagia sekali?” Selidik Pak Rizaldi ke istrinya.

“Coba tebak berita apa kira-kira yang Mama bawa untuk Papa? Kerling istrinya manja. Sudah lama

sekali rasanya dia tidak berkomunikasi seperti ini bersama suaminya. Hampir lima tahun keluarga

mereka tenggelam dalam kesedihan dan kecemasan yang mencekam. Dan hari ini, akan kah semua

itu berakhir?

Mereka langsung mencari Aibi untuk mengabarkan berita gembira ini. Kali ini mereka yakin Aibi

sangat bahagia mendengar semua ini. Mereka bergegas menuju kamar Aibi. Begitu pintu dibuka,

sosok yang di cari tidak di temukan. Ayah dan Ibunya kemudian menuju teras samping, namun

sosok yang dicari juga tidak ada. Didekatinya Rahmi yang sedang sibuk membantu Bi Mariam

memotong sayur. Dulu pada saat membawa Rahmi ke rumah, mereka sudah sepakat mengangkat

Rahmi menjadi anak mereka. Ternyata Rahmi adalah anak yatim piatu yang tinggal di panti asuhan.

“Rahmi” panggil Pak Rizaldi begitu sampai di dapur

“Iya Pa.” jawab Rahmi cepat

“Apa kamu melihat Mbak mu? Dimana dia, Mi?” tanya Pak Rizaldi

Dengan lincah di arahkannya telunjuknya ke arah taman belakang rumah, sambil berkata “Itu Mbak

Aibi Pa. Sepertinya sedang menikmati udara pagi di taman sembari menghirup bau harum bunga

mawar”. Ungkap Rahmi

Dia dan istrinya langsung berlalu sambil mempercepat langkah mereka menuju Aibi. Tinggallah

Rahmi yang kebingungan di belakang. Ada apa gerangan dengan orang tua angkatnya? Kenapa

begitu terburu-buru mendekati Aibi? Dia pun terus memperhatikan dari dapur.

Langkah kaki Isyah tertegun ketika diperhatikannya sosok yang duduk di kursi roda itu tidak sedang

menikmati udara pagi seperti yang dikatakan Rahmi barusan. Tapi tubuh itu sedang bergetar hebat

karena menangis. Jiwa keibuan Bu Aisyah seketika langsung meronta-ronta ingin tahu. Dia ingin

tau apa yang ditangisi oleh putrinya? Kenapa dia menangis dengan begitu hebatnya?

Dengan langkah perlahan tapi pasti di hampirinya anak gadisnya dan di sentuhnya bahu Aibi

Page 18: Liza Punya

dengan lembut. Aibi terkejut, dan buru-buru menghapus air matanya. Di tangkapnya bayangan

Mamanya yang sedang berdiri di samping kirinya. Di tegakkanya kepalanya seraya tersenyum

“Mama...” katanya kemudian. Itu adalah kata-kata pertama yang dikeluarkannya semenjak dia tahu

dengan kondisi dirinya yang mengalami kelumpuhan begitu dia bangkit dari koma.

Alangkah bahagianya hati Bu Aisyah mendengar suara yang selama lima tahun ini telah hilang di

telan masa. Hari ini suara yang teramat di rindukannya itu telah kembali lagi. Dan yang lebih

penting dari semua itu senyum manis yang terlukis dibibir Aibi. Senyum yang selama lima tahun

sudah tidak pernah ada lagi. Tapi hari ini lihatlah, senyum itu begitu indah.

Bu Aisyah tidak tahan untuk tidak menangis. Dia pun larut dalam perasaan haru yang memuncak.

Di peluknya lembut Aibi sambil melolong “Oh anakku. Di peluknya tubuh itu kuat-kuat dan Aibi

pun memeluk tubuh Mamanya, pelukan yang takkan di lepaskannya.

Melihat apa yang terjadi di depan sana, Pak Rizaldi pun menghampiri dengan air mata yang

meleleh. Di sentuhnya bahu Aibi lembut. Aibi kembali menangis terisak. Kali ini dengan isakan

yang lebih keras lagi. Di ambilnya tangan Mama dan Papanya dan di ciumnya dengan penuh

perasaan. Lama sekali sampai dua tangan itu basah oleh air matanya.

“Maafkan Aibi Ma, Pa. Aibi telah menyusahkan hati Mama dan Papa. Aibi telah membuat Mama

dan Papa merasa bersalah dengan apa yang menimpa Aibi. Maafkan Aibi Ma, Pa. Aibi telah

membuat Mama dan Papa sedih selama ini”. Ia sesenggukan

Bu Aisyah dan Pak Rizaldi sudah tidak tahan lagi. Mereka berjongkok di depan Aibi dan

memeluknya dengan erat. Saking terharu dan bahagia, mereka kehilangan kata-kata. Maka

cukuplah air mata sebagai alat komunikasi yang bisa dimengerti

Burung camar pun terbang berbondong-bondong ke tepi pantai sebagai tanda bahwa pergantian

musim akan datang. Semburat merah saga di ufuk timur indah menghiasi langit bumi nan cerah,

secerah hati Pak Rizaldi dan Bu Aisyah memeluk putri semata wayangnya. Akhirnya rumah besar

itu pun setelah selama bertahun-tahun kehilangan aura kehidupan, hari ini akan kembali menjemput

kebahagian yang telah hilang.

***

9

Aku Ingin Sendiri

Kesendirian memang menyakitkan. Apalagi bila dalam ketidakberdayaan menghadapi

kenyataan yang pahit. Tapi terkadang kita membutuhkan kesendirian. Tidak berinteraksi dengan

manusia. Bercengkrama dengan hembusan angin atau sekedar mendengar rintik hujan. Kita

memerlukan waktu untuk merenung. Itulah yang dilakukan Aibi. Berusaha untuk menata kembali

hati dan dirinya. Berusaha untuk tersenyum walau sejatinya hancur di dalam sana. Percakapan-

percakapan kehidupan semakin banyak terjadi di dalam hatinya. Mencari tentang benar salahnya

Page 19: Liza Punya

kehidupan yang sedang di jalaninya.

“Sayang, boleh Mama mengatakan sesuatu?” tanya Bu Aisyah dengan hati-hati pada suatu malam

di ruang keluarga. Tradisi yang hampir hilang di dalam keluarganya.

“Tentang apa Ma?” tanya Aibi singkat.

“Sebenarnya beberapa minggu yang lalu Mama dan Papa menghubungi rumah sakit dunia untuk

mencari informasi tentang pengobatanmu. Alhamdulillah mereka menyarankan untuk membawamu

ke rumah sakit di Rusia yang mempunyai peralatan medis canggih dan modern. Mereka mempunyai

solusi untuk kasus yang kamu hadapi yaitu dengan terapi sel induk, sehingga syaraf-syaraf yang

rusak akibat kecelakaan dan cidera tulang punggung bisa di obati

“Mama dan Papa sangat setuju dengan pengobatan tersebut nak. Mana tau, memang di Rusialah

kamu akan mendapatkan kembali kesembuhanmu seperti dulu. Bisa berjalan lagi dan melanjutkan

kuliahmu ke Jepang. Bagaimana menurutmu, sayang?”. Sudah lama sekali mereka tidak berbicara

seperti ini. Dan sudah lama sekali mereka meninggalkan ritual berkumpul bersama di ruangan

keluarga. Selama ini kehidupan yang di jalani hanya disibukkan dengan kesedihan yang

berkepanjangan. Betapa keluarga kecil itu telah kehilangan arti kebersamaan selama ini.

Mendengar apa yang disampaikan Mamanya Aibi hanya diam saja. Jauh di lubuk hatinya yang

paling dalam, betapa dia sangat ingin bisa berjalan lagi seperti semula, dan merajut kembali

mimpinya untuk kuliah ke Jepang. Tapi setelah hampir selama lima tahun pergi berobat kemana-

mana telah membuatnya pesimis. Tidak ada hasil. Jangankan bisa membuatnya berjalan,

membuatnya bangkit dan berpindah dari kursi roda ke tempat tidur saja dia tidak mampu. Apakah

selama ini dia berobat dengan peralatan yang sederhana? Tidak. Bahkan setiap rumah sakit yang

mereka datangi mempunyai peralatan medis yang canggih dan modern.

Sudah terlalu sering tubuhnya di radio terapi untuk mendeteksi kerusakan syaraf tulang belakang

yang di alaminya. Hasilnya tetap sama. Nihil. Kesimpulan para dokter sama tidak ada yang berbeda,

hanya cara menyampaikannya saja yang berbeda. Bahwa kerusakan syaraf tulang belakang yang di

alami Aibi sangat akut. Tidak bisa lagi di sembuhkan lagi. Hanya mukjizat dari Tuhan sajalah yang

bisa menyembuhkan semua itu. Aibi tidak menjawab apa yang di utarakan Mamanya. Dia hanya

diam seribu bahasa.

Melihat Aibi yang terdiam sambil menundukkan kepalanya, Papanya pun angkat bicara “ Papa tahu,

kamu kurang yakin dengan semua ini. Tapi apa salahnya kita mencoba, sayang. Mana tau memang

di Rusia itulah tempat yang akan membuatmu sembuh, sayang. Seperti yang di katakan Mama

tadi”.

Aibi masih belum menjawab apa-apa. Dia mendesah panjang dan memejamkan matanya. Terlihat

sekali kalau dia begitu pesimis dan sudah bosan dengan segala macam terapi yang di laluinya

selama ini.

Page 20: Liza Punya

“Aibi rasa tidak usah Ma, Pa. Semuanya akan percuma saja. Toh, hasilnya akan tetap sama kan?

Aibi tidak akan bisa kembali seperti dulu lagi. Belasan rumah sakit telah kita datangi demi berharap

kesembuhan untuk Aibi dan puluhan juta bahkan mungkin sudah ratusan juta telah Mama dan Papa

habiskan untuk biaya pengobatan Aibi, tapi hasilnya Aibi tidak bisa di sembuhkan Pa. Itu hanya

akan menyedihkan hati Mama dan Papa dan juga Aibi. Semua itu hanya akan buang-buang waktu

dan juga uang”. Ungkap Aibi lunak. Kali ini tidak ada air mata lagi yang tumpah karena air mata itu

telah kering di kerongkongannya.

“Tapi sayang, apa tidak sebaiknya kita coba dulu? Mana tahu memang disana kamu akan

mendapatkan kesembuhan? Masalah uang berapa pun tidak usah kamu fikirkan, nak”. Kali ini yang

bicara adalah Bu Aisyah, Mamanya.

“Mama pasti lebih paham dengan kondisi yang Aibi alami hari ini Ma. Karena Mama juga seorang

Dokter. Mama yang lebih tahu, bukan? Lagi pula, apa Mama dan Papa sudah lupa kalau Aibi

Sarjana Biologi walau Aibi tidak pernah di wisuda. Yang banyak sedikitnya juga mengerti mengenai

tulang dan juga syaraf.

“Kerusakan yang terjadi bukan kerusakan sel atau jaringan yang bisa di sembuhkan dalam waktu

tertentu Pa. Ma. Bukan sekedar kerusakan tulang karena mengalami keretakan. Bukan hanya itu.

Bukan hanya sekedar penjepitan pada syaraf yang bisa disembuhkan dengan terapi. Tapi kerusakan

syaraf tulang belakang Pa, Ma. Sejauh ini belum ada cara untuk mengatasinya. Mama pasti tau itu.

Bahkan dua kaki yang Aibi miliki sudah tidak sempurna lagi. Keduanya telah mengecil karena

kelumpuhan ini. Syarafnya sudah tidak berfungsi. Akankah bisa di sembuhkan? Otot-otot kaki Aibi

pun hampir tidak berfungsi. Sekalipun dengan melakukan terapi sel induk, Aibi rasa sudah tidak

bisa lagi. Kita sudah terlambat untuk melakukan terapi, Ma.

“Pa... Ma... Aibi telah mengalami kelumpuhan selama lima tahun. Mama tahu bukan?Pasien yang

mengalami cidera pada syaraf tulang belakang hanya bisa di selamatkan dalam waktu tidak lebih

dari enam bulan saja. Ini sudah mustahil Ma. Apalagi Aibi mengalami koma yang cukup lama

setelah kecelakaan. Aibi tidak mau mengambil resiko lebih parah lagi. Aibi takut jangan-jangan

setelah menjalani terapi sel induk, malah Aibi tidak bisa lagi duduk. Kondisi sekarang saja sudah

membuat Aibi gila, Ma. Apalagi kalau Aibi tidak bisa duduk lagi, itu akan membuat Aibi lebih gila

lagi, atau mungkin bahkan mati.

“Sudahlah Ma, Pa. Terimalah kondisi Aibi yang seperti ini. Berhentilah untuk mencari pengobatan

apapun untuk Aibi, karena Aibi tidak akan bisa lagi sembuh. Aibi tidak akan bisa berjalan seperti

dulu lagi. Coba Mama dan Papa lihat kondisi kaki Aibi. Tidak ubah seperti kaki tengkorak yang di

balut kulit manusia. Ototnya sudah tidak ada lagi, Ma, Pa. Aibi mohon tolong jangan ada lagi

pembahasan mengenai semua ini di rumah. Aibi capek harus bertengkar setiap saat dengan bathin

Aibi Pa. Aibi lelah Ma. Hanya ketenangan yang Aibi inginkan saat ini. Kecelakaan itu, tolong bantu

Page 21: Liza Punya

Aibi untuk melupakannya. Biarlah Aibi menjalani kehidupan ini seperti apa adanya. Jika memang

Aibi akan selalu berada di atas kursi roda ini, biarlah. Aibi akan berusaha menerimanya dengan

ikhlas, walau semua itu terasa sangat sulit Ma.

“Maafkan Aibi, Aibi tidak bermaksud membantah kata-kata Mama dan Papa. Tapi saat ini, Aibi

hanya ingin ketenangan. Aibi ingin melupakan semuanya. Mungkin Aibi terlalu pesimis. Aibi tahu

Papa dan Mama sangat menginginkan Aibi untuk bisa berjalan lagi. Itu tidak hanya keinginan

Mama dan Papa, tapi juga keinginan Aibi. Hal itu tidak akan terjadi Ma, kecuali jika ada keajaiban

Allah”. Ungkap Aibi panjang lebar

Setelah terpuruk dalam kesedihan panjang, akhirnya Aibi mampu menerima apa yang terjadi dalam

hidupnya. Jiwa yang murni itu kembali bercahaya di wajah yang mulai meredup.

“Baiklah sayang. Jika itu yang kamu inginkan. Kami tidak akan membicarakan masalah itu lagi”.

Ucap Bu Aisyah pelan. Betapa hatinya hancur mendengarkan semua itu tapi dia harus menghargai

keputusan Aibi. Lagipula benar apa yang di katakan Aibi. Mustahil Aibi akan bisa berjalan lagi

dengan kondisi kedua kakinya yang sudah mengecil. Ah, kenapa dia bisa lupa dengan kenyataan

itu? Betapa hatinya basah mendengar apa yang di utarakan Aibi. Sementara Pak Rizaldi tampak

sedang berusaha keras untuk menyembunyikan air matanya dengan menengadahkan kepalanya ke

atas.

***

Melupakan bukanlah suatu perkara yang sangat mudah dalam hidup ini, apa lagi melupakan suatu

peristiwa yang telah membuat hidup menjadi sengsara dan menderita. Mulut boleh jadi telah

berkata melupakan segalanya, tapi hati sulit menerimanya. Pergolakan bathin itu masih saja terjadi.

Menghadapi kehidupan dengan suram, siapa yang mau? Cita-cita telah ditanam selama bertahun-

tahun. Impian telah di semai tapi tiba-tiba hanyut karena banjir bandang kesedihan

Kala sendiri, masih kerap dia menangis membayangkan masa depannya. Dia hanya bahagia ketika

di depan orang-orang yang dicintainya. Dibelakang mereka, sering air mata itu jatuh tak

terbendung. Bayangan kehidupan yang suram telah menghantuinya. Betapa dia cemas memikirkan

kehidupan kedepan. Berapa tahunkah lamanya dia akan menyusahkan orang-orang yang di

cintainya? Dia yang dulu adalah seorang yang mandiri dan aktif, kini hanya duduk di kursi roda.

Ah, semua terasa berat kawan.

Hanya kepada Allahlah segala duka yang di rasanya dilabuhkan. Dengan demikian maka

ketenangan akan menghampiri hatinya sesaat. Dia telah membenamkan dirinya dengan ritual ibadah

panjangnya kepada Allah. Beruntung dia pernah mengetahui banyak hal tentang agama. Itulah yang

menjadi tameng dan benteng dalam hidupnya. Di balik tubuhnya yang lemah dia persiapkan jiwa

yang tegar walaupun terkadang masih ada saja air mata duka menghantuinya.

Mama dan Papanya kerap melihat Aibi menangis sendiri. Begitu mereka menghampiri, maka dia

Page 22: Liza Punya

akan buru-buru menghapus air matanya dan menyembunyikan kesedihan di balik senyum yang di

paksakan. Ya Allah, begitu sulitkah melupakan semuanya? Lihatlah, tubuh itu semakin tidak

berdaya, padahal dia telah mengatakan dia telah menerima segalanya dengan lapang dada, begitu

sulitkah untuk ikhlas?

****

“Ma, jika Mama mengizinkan Aibi ingin menenangkan diri di perkampungan nelayan, pesisir. Aibi

ingin menghindar dari hiruk pikuk kehidupan ini. Disini, Aibi merasa hidup Aibi hampa. Mungkin

disana ada sesuatu yang bisa Aibi lakukan. Mungkin disana Aibi bisa memulai kehidupan dengan

hal yang baru. ” Kata Aibi suatu ketika pada Mamanya yang sedang menemaninya di kamar.

“Kenapa harus kesana nak? Apa disana tidak akan membuatmu lebih sedih lagi?Mama khawatir

nanti kamu ingat lagi kejadian yang menimpamu dulu. Bukankah peristiwa itu terjadi disana? Apa

tidak sebaiknya kamu di sini saja?

“Entahlah Ma. Aibi rindu sekali ingin ke sana. Aibi ingin menikmati hari-hari di sana. Aibi merasa

disana akan Aibi temukan ketenangan Ma. Disini Aibi merasakan kehampaan yang panjang.

Disanalah kehidupan yang lebih baik tengah menunggu Aibi. Setelah berbulan-bulan Aibi

merenung, hati Aibi rindu ingin ke sana. Talang perindu itu rasanya memanggil-manggil Aibi Ma.

Aibi janji, setelah Aibi bisa menata hati Aibi, Aibi akan kembali lagi kesini untuk Mama dan Papa”.

Bu Aisyah mendekati putrinya dan membelai lembut kepalanya. Dia mengerti, bahkan sangat

memahami sekali perasaan putrinya saat ini. Memang butuh waktu yang sangat lama untuk

mengembalikan segalanya. Saat ini mengabulkan apapun permintaan Aibi sangat baik untuk

perkembangan jiwanya. Sebagai dokter dia tahu, kalau Aibi memang sangat membutuhkan suasana

seperti ini. Dia tidak akan menghalangi keinginan anaknya itu. Jika memang disana Aibi

menemukan ketenangan, kenapa dia harus melarangnya?

“Baiklah sayang. Mama akan membicarakan masalah ini dengan Papamu. Kapan rencananya kamu

kesana nak?” tanya Bu Asiyah dengan air mata yang ditelan ke dalam.

“Jika Mama dan Papa mengizinkan, bulan depan Aibi sudah mau berangkat kesana Ma”. Jawab

Aibi sembari memeluk tubuh Mamanya.

“Baiklah. Mama akan minta Papa untuk mempersiapkan segala sesuatunya, ya. Mudah-mudahan

kamu menemukan ketenangan itu, sayang. Jika kamu tidak menemukan apa yang kamu cari di sana,

kembalilah kesini secepatnya. Mama tidak ingin jauh dari mu sayang”. Begitu berat rasanya.

Katanya sembari memeluk putrinya dengan penuh cinta dan kasih

”Rahmi, kamu tolong temani Mbakmu disana ya”. Kata Bu Aisyah kepada Rahmi yang duduk tidak

jauh dari sana.

“Baik Ma...” Jawab Rahmi singkat.

***

Page 23: Liza Punya

10

Balas Budi

Layar sudah di kembangkan dan sauh pun sudah di angkat. Kapal itu siap menyebrangi lautan dan

siap menghadapi amukan gelombang yang mengganas. Bukan gelombang besar yang di takuti.

Begitu gelombang itu membesar, semua orang akan meningkatkan kesiagaan penuh untuk

keselamatan dirinya. Tapi gelombang kecillah yang di takuti, karena kita sering lalai dengan hal-hal

yang kecil yang biasanya mula dari petaka besar yang akan menimpa kehidupan manusia.

Pak Rizaldi yang sudah menjalani kehidupan ini lebih dari setengah abad telah membaca segalanya.

Amukan gelombang besar itu telah di hadapi putrinya. Dia sudah hampir berhasil, tapi kali ini

gelombang-gelombang kecil masih mengganggu kehidupannya. Dia tidak ingin gelombang-

gelombang kecil itu memporak porandakan kehidupan putri semata wayangnya. Apapun akan di

lakukannya untuk mengeluarkan putrinya dari sana. Sekalipun harus mengirimnya ke negeri yang

jauh. Apa pun akan dilakukan.

“Deni, kamu adalah orang kepercayaan saya yang selama ini telah menemani saya kemana pun

saya pergi. Sekarang saya akan mempercayakan anak saya Aibi kepadamu. Selama dia di Padang

tolong kamu jaga dia dengan baik. masalah anak dan istrimu, kamu bawa serta mereka ke Padang

biar ada yang menghibur Aibi di sana karena dia sangat suka dengan anak-anak”. Kata Pak Rizaldi

pada Deni suatu sore. Deni adalah sopir pribadinya kepercayaannya selama bertahun-tahun.

“Saya akan bicarakan dulu dengan istri saya Pak. Mudah-mudahan dia bersedia ikut serta ke

Padang”. Timpal Deni.

“Baiklah, dua hari lagi saya tunggu kepastian darimu. Saya sangat berharap kamu bersedia untuk

menjaganya di sana. Saya hanya percaya padamu. Bicarakanlah dengan istrimu baik-baik. Jika dia

tidak mau, jangan kamu paksakan. Berarti saya harus mencari orang lain untuk menjaga Aibi

disana”.

“Baiklah Pak, saya akan datang lagi menemui Bapak secepatnya.”

***

Deni yang semula hanya merupakan seorang pedagang asongan suatu ketika di keroyok oleh

preman jalanan. Mereka mengambil semua uang yang menjadi modal usahanya, sehingga dia sudah

tidak punya modal lagi. Sementara itu istrinya baru saja selesai melahirkan waktu itu. Dia pusing

kemana harus mencari pinjaman, dan iseng-iseng dia yang hanya berbekal ijazah SMA

memasukkan lamaran ke kantor Pak Rizaldi yang kebetulan membutuhkan sopir kantor. Akhirnya

dia diterima. Tak terkira bahagia hatinya.

Suatu ketika iaia mendapat tugas mengantar Pak Rizaldi ke Bandara karena akan berangkat ke

Surabaya untuk memenangkan tender pembuatan jembatan layang yang menghubungkan Surabaya

dan Madura yang di kenal dengan jembatan Suramadu itu. Malang, karena buru-buru dia lupa

Page 24: Liza Punya

membawa kopernya yang berisi uang.

Untung koper itu di simpan Deni baik-baik dan tidak diserahkannya kepada sekretaris pribadi Pak

Rizaldi, karena dia takut nanti tidak di serahkan kepadanya. Biarlah dia sendiri yang

menyerahkannya kepada Pak Rizaldi. Semenjak itu Deni menjadi sopir pribadi Pak Rizaldi dan

merupakan orang kepercayaaannya.

Hari ini, Pak Rizaldi yang baik itu juga meminta tolong kepadanya untuk menjadi sopir

anaknya dan menjaganya di Padang. Pantaskah dia menolak? Sedangkan segalanya telah diberikan

Pak Rizaldi kepadanya. Rumah, fasilitas yang cukup dan bahkan membiayai biaya rumah sakit anak

sulungnya yang diserang penyakit radang paru-paru yang akhirnya tidak dapat tertolong lagi. Pak

Rizaldilah yang membayar semuanya tanpa memperhitungkannya sedikitpun. Bahkan sampai hari

ini Pak Rizaldi tidak pernah mempertanyakan uang yang habis untuk biaya pengobatan anak

sulungnya tersebut. Pantaskah dia menolak? Maka malam itu diyakininya istrinya, agar mau ikut

bersamanya ke Padang untuk menjaga Aibi.

“Ibu, anak-anak bisa kita bawa kesana. Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa dengan mereka

selama disana. Bu.... Ayah butuh persetujuan Ibu. Pak Rizal sudah mempercayakan Mbak Aibi

kepada kita. Yakinlah Bu, ini tidak akan sia-sia.” Deni memulai pembicaraannya dengan istrinya

Sri.

Sri hanya terdiam mendengar penuturan suaminya. Dia tahu suaminya adalah orang kepercayaan

Pak Rizaldi yang baik itu. Dan dia juga tahu Aibi anaknya Pak Rizaldi, dia juga sangat baik sekali.

Tapi pergi ke Padang dan menetap di sana dalam waktu yang belum di ketahui entah sampai kapan,

membuatnya sedikit agak keberatan. Padang, terlalu jauh dari kampung halamannya. Tapi menolak

keinginan suaminya, jelas tidak mungkin karena dia tahu siapa suaminya. Dia juga tahu kesetiaan

suaminya pada Pak Rizaldi.

“Sampai kapan kita akan di Padang Yah? Ibu tidak ingin anak-anak kita nanti sekolah disana dan

jauh dari kampung halaman mereka”. Jawab Sri setelah terdiam cukup lama. Merasa tidak punya

alasan yang kuat lagi untuk mendebat suaminya, Sri akhirnya menyetujuinya

“Kita do’akan saja supaya tidak lama. Mudah-mudahan Mbak Aibi cepat bisa menata hatinya

sehingga kita bisa kembali ke sini secepatnya”. Kata Deni sembari menggenggam erat tangan

istrinya.

“Tapi Yah, Ibu sanksi Mbak Aibi bisa melupakan semua yang terjadi dalam hidupnya dengan cepat.

Ibu khawatir Mbak Aibi tidak bisa melupakan semuanya. Apa yang menimpa dirinya sangat

memilukan. Selama itu pula kita akan berada di Padang? Padang itu terlalu jauh Yah, dan terlalu

asing untuk kita. Ibu takut semua itu justru merusak perkembangan anak kita. Kita akan serumah

dengan Mbak Aibi yang notabenenya seorang cacat yang tidak bisa apa-apa. Apakah hal itu tidak

akan mempengaruhi perkembangan anak kita? Karena saban hari mereka akan melihat Aibi di bantu

Page 25: Liza Punya

dan melamun di atas kursi rodanya. Ibu takut dengan semua itu. Mereka terlalu kecil untuk

menyaksikan semuanya, Yah”. timpal Sri dengan menundukkan kepalanya. Tidak terbayang

olehnya bagaimana kehidupan di Padang yang akan di jalaninya bersama orang cacat seperti Aibi

yang sudah tidak bisa apa-apa, kecuali hanya duduk di kursi rodanya.

“Sayang... Justru dengan mereka melihat keadaan Mbak Aibi akan mengajarkan arti empati kepada

mereka. InsyaAllah mereka akan tumbuh menjadi anak yang penuh perhatian dan memahami

lingkungannya dengan baik. Percayalah Bu, Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa. Ayah yakin,

serumah dengan Mbak Aibi akan memberikan pengaruh yang positif kepada anak-anak kita. Kita

tahu Mbak Aibi adalah anak yang baik. Kebaikan itu masih ada di dalam hatinya, walau kebaikan

itu hari ini masih terbenam dalam kesedihan panjang. Tapi percayalah Bu, kebaikan itu akan

kembali muncul dan orang yang akan membantu untuk memunculkan kembali kebaikan itu adalah

kita Bu.

“Tidakkah Ibu ingin membalas semua kebaikan yang telah di berikan Pak Rizaldi kepada kita

selama ini dengan menjaga anak semata wayang yang sangat dicintainya? Bu, Ayah rasa inilah

kesempatan kita untuk membalas semua kebaikan Pak Rizaldi kepada kita selama ini karena kalau

kita bayar dengan uang, kita tidak akan pernah bisa membalasnya” ujar Deni sembari membelai

lembut istrinya dan menggenggam erat tangannya.

“Hmm...” Kali ini Sri tidak bisa menjawab lagi. Apa yang di katakan suaminya ada benarnya juga.

Inilah kesempatan baginya dan suaminya untuk membalas semua kebaikan Pak Rizaldi kepada

keluarganya selama ini. Dia ingat apa yang dilakukan Pak Rizaldi ketika anak sulung mereka

menderita penyakit kelainan paru-paru yang membutuhkan puluhan juta biaya untuk

pengobatannya. Semua itu di bantu oleh Pak Rizaldi tanpa mereka harus membayar dan

mengembalikan uang tersebut. Pak Rizaldi mengatakan kalau mereka sudah seperti keluarga

baginya. Lalu hari ini apa haknya untuk menolak permintaan orang yang telah berjasa banyak

dalam kehidupan keluarganya selama ini? sehingga dia dan keluarganya mampu hidup mapan dan

serba berkecukupan.

Ah dia tidak punya alasan untuk menolak. Di angkatnya kepalanya, dan di tatapnya wajah suami

yang sangat di cintainya itu. Dilihatnya wajah itu, begitu teduh dan tenang. Bersih dan segar. Tidak

se tirus dan sekumuh dulu lagi, enam tahun yang lalu. Di lihatnya anak-anaknya tertidur pulas di

samping kirinya. Anak-anak yang sehat dan bersih. Matanya beralih ke bayangan wajahnya yang

ada di cermin rias kamarnya. Dilihatnya wajah yang bersih dan bercahaya tidak sekusut dulu lagi.

“Hmmm....” dihelanya kembali nafas beratnya dan kemudian di hempaskannya kuat-kuat.

Dipejamkannya matanya dan ditariknya tangan suaminya yang masih menggenggam tangan

kanannya ke dadanya sembari berucap.”Ibu ikut Ayah saja. Kalau menurut Ayah ini yang terbaik,

Ibu ikut. Insya Allah Ibu ridho Yah. Ibu akan ikut kemana Ayah pergi”. Jawabnya kemudian dengan

Page 26: Liza Punya

setetes air bening bergulir di sudut matanya sembari tersenyum.

“Alhamdulillah.... terima kasih ya Bu. Insya Allah ini adalah yang terbaik Bu. Ini adalah jalan yang

di berikan Allah kepada kita untuk membalas semua kebaikan Pak Rizaldi, Bu”.

Setelah susah payah meyakinkan, akhirnya istrinya itu luluh juga dan bersedia ikut. Tidak dapat

dipungkiri kebaikan Pak Rizaldi selama ini tidak akan terbalaskan oleh mereka.

***

11

Nostalgia Masa Lalu

Di batu itu, telah diukir barisan cerita bathin yang bertema keajaiban tarian cinta. Tema yang

tak terbatas oleh benteng keabadian, menghidupkan kembali tulisan senja yang hampir hilang di

telan malam.

Keberangkatan menuju janji kehidupan yang lebih baik pun telah di atur. Tangisan perpisahan

terdengar pilu menyayat hati, tapi ada pesan tersirat dalam ratapan itu. Pesan penuh kesiapan

menghadapi amukan gelombang yang sedang bermain. Pesan tentang kesiapan menghadapi

kenyataan yang sungguh sangat menghancurkan hati. Pak Rizaldi akan ikut serta dalam perjalanan

penting itu, menghantarkan putri semata wayangnya menuju negeri sejuta pasir yang akan menjadi

titik balik dari kehidupan yang akan di jalaninya. Dia telah mempersipkan segala sesuatu yang

dibutuhkan Aibi selama di kampung.

Aibi tidak tahu berapa lama berada disana, yang jelas dia akan menikmati kehidupannya barunya

itu. Dia akan menyelami kembali kedalaman hatinya dan kejernihan fikirannya. Mencari kembali

dasar hati yang pernah hilang dan terkubur kesedihan. Dia telah berniat akan menata hatinya dengan

baik. Setelah itu dia akan kembali lagi kesini, menjalani kehidupan bersama Mama dan Papanya.

Setelah melakukan penerbangan selama 45 menit akhirnya pesawat yang membawa mereka landing

di Bandara Internasional Minangkabau. Sebuah mobil Avanza silver telah menunggu mereka. Mobil

itu telah dibeli Pak Rizaldi, karena dia tahu Aibi pasti sangat membutuhkannya untuk pergi kemana-

mana.

Perjalanan dari Katapiang Padang Pariaman sedikit mengobati hati Aibi. Dia sedikit bernostalgia

dengan masa lalunya sebelum dia jatuh tidak sadarkan diri di tempat duduknya karena kelelahan

melakukan perjalanan panjang. Rasa sakit mulai menyerang punggungnya dan area sekitar

pinggulnya. Melihat Aibi menjerit menahan rasa sakit membuat Papanya yang duduk di depan di

samping Deni cemas. Tapi untunglah Rahmi cepat bertindak dengan menstel tempat duduk Aibi

dengan posisi di rebahkan sehingga Aibi menjadi lebih nyaman. Tapi tetap saja rasa sakit di

punggungnya tidak bisa hilangkan.

Semenjak kecelakaan yang di alami Aibi, dia tidak pernah mampu melakukan perjalan panjang

yang memakan waktu berjam-jam. Punggungnya hanya bisa tahan duduk selama dua jam saja.

Page 27: Liza Punya

Lebih dari dua jam, maka rasa sakit mulai menyerang area sekitar punggung dan pinggulnya.

Seperti ada seribu jarum yang menusuk-nusuk di sana. Maka selama dalam perjalanan posisi Aibi

harus dibuat senyaman mungkin. Jika masih sakit, jalan satu-satunya adalah dengan memberikan

injeksi ke tubuh Aibi dengan menyuntikkan cairan penghilang rasa sakit.

Mereka sampai di rumah Nenek Aibi ketika malam telah merangkak naik. Pintu pagar terdengar

berderit ketika di buka. Lampu temaram yang hidup siang dan malam yang tergantung di teras

rumah memberikan kesan angker. Lantai marmer yang putih telah berubah warna menjadi

kekuning-kuningan karena sudah terlalu lama tidak dibersihkan. Pintu pun dibuka dan lampu

dinyalakan. Tampak perabotan yang ada di dalam terbungkus kain. Mereka sedikit lega. Berarti

tidak terlalu banyak debu yang menempel di perabotan rumah. Beruntung sekali ketika Aibi selesai

melakukan penelitiannya ia punyai ide kreatif untuk membalut semua perabotan yang ada dengan

kain. Semua orang bekerja membersihkan rumah malam hari itu, kecuali Aibi dan dua anak Deni

yang telah tertidur pulas.

Aibi tidak sepenuhnya diam, walau rasa sakit di area pinggangnya semakin sering muncul. Sekuat

tenaga dia berusaha untuk menahannya, bahkan setengah jam yang lalu Rahmi baru saja selesai

menyuntikkan cairan penghilang rasa sakit ke punggung Aibi yang sudah terasa kebas. Aibi sibuk

menggerakkan kemoceng kesana sini membersihkan debu yang menempel di kursi.

Akhirnya tiga kamar tidur telah berhasil di bersihkan. Mereka memutuskan untuk melanjutkannya

besok saja. Kapan perlu mereka nanti akan member upah kepada penduduk untuk membersihkan

rumah dan pekarangan yang telah dipenuhi semak belukar. Pak Rizaldi sudah merencanakan akan

mengganti cat rumah dengan warna yang lebih asri biar menyejukkan mata Aibi

Halaman yang luas, kini telah bersih karena rumput yang tumbuh telah dipotong dan di rapikan. Cat

rumah pun telah diperbarui dengan warna biru lembut, warna kesukaan Aibi. Semua perabotan

rumah telah di bersihkan. Karpet yang terbentang di tengah-tengah rumah telah di cuci dan di

bersihkan. Jendela-jendela telah bersih dari debu. Gorden baru telah di pasang di pintu dan jendela.

Rumah itu tampak terlihat mewah. Semua lampu telah diganti dengan yang lebih mentereng.

Sebuah bangku taman di buatkan oleh Pak Rizaldi untuk bersantai di sore hari untuk putrinya

tercinta. Semua bunga-bunga yang mati dan layu telah di bereskan oleh Rahmi dan Sri istrinya

Deni. Semua loteng yang sudah buram telah di ganti dengan yang baru. Selama seminggu lebih

kurang mereka membersihkan rumah dan perabotannya.

Semua pekerjaan telah selesai. Pak Rizaldi harus kembali lagi ke Jakarta secepatnya. Banyak

pekerjaan menunggunya di sana. Banyak dokumen penting yang harus ditandatanganinya.

“Sayang, besok Papa akan kembali ke Jakarta. Kamu harus menjaga dirimu baik-baik disini ya.

Ingat, setelah kamu merasa nyaman, kembalilah ke Jakarta. Nikmatilah kehidupanmu disini. Jika

kamu membutuhkan sesuatu, minta sama Rahmi, Mas Deni dan Mbak Sri. Anggap mereka sebagai

Page 28: Liza Punya

saudaramu sendiri. Jika ada sesuatu yang harus di bicarakan, bicarakan baik-baik. Mama dan Papa,

Insya Allah akan sering menghubungimu, sayang. Baik-baik disini ya”. Kata Pak Rizaldi suatu

malam setelah selesai makan malam. Dia sebenarnya ingin lebih lama lagi di sini, tapi karena telfon

sudah datang bertubi-tubi menanyakan kapan dia akan ke kantor. Ditambah lagi dia kasihan istrinya

yang kesepian di Jakarta. Hanya di temani pembantu di rumah.

“Iya Pa. Terima kasih ya Pa. Aibi sayang Papa. Katakan ke Mama, Aibi baik-baik saja. Aibi janji

setelah semuanya terasa lapang dan tidak lagi menganggu pemikiran, Aibi akan kembali lagi ke

Jakarta Pa”.

“Baiklah sayang. Kalau gitu Papa dan Mama akan menunggumu di Jakarta”.

***

12

Panggilan Rindu

Tancapkan tongkat juang sebagai pancang tali-tali itu. Ada sedetik masa, taklukkan serpihan

bambu. Adalah keping jutaan dari penyusun tugu yang kokoh. Kelak menjadi simbol kenangan

yang kekal.. Ialah terlahir dari sejuta kenikmatan dan kepercayaan. Dengan tangan halus ia tumbuh,

karena ia kan menjadi seniman jiwa di Negeri ini. Teramat hebat pemutar waktu. Puzle-puzle

kemaren belum tersusun rapi. Mata yang baru saja tertidur, gamang memandang keluar jendela.

Mentari itu telah tinggi. Kupu-kupu pun mulai terbang tinggalkan taman. Teringat kembali sang

desainer yang telah merancang. tugu itu.

Kehidupan kembali di mulai. Semua di tata lagi dari awal, di rencanakan dengan lebih matang lagi.

Hari-hari yang di lalui Aibi di habiskanya dengan banyak membaca dan menghafal Al-Qur’an. Dia

telah memutuskan akan membenamkan dirinya dengan beribadah kepada Allah. Menyempurnakan

ibadah yang selama ini terkadang dirasakannya tidak bermakna. Mendalami setiap kandungan

makna yang terdapat di dalam al-qur’an. Semakin di pahaminya, semakin dia mengerti mengenai

hakikat kehidupan ini.

Terkadang kala sore datang menghampiri, dia sibuk bercengkrama dengan dua jundi kecil yang ada

di rumahnya, Fathi dan Rahmad, anak-anak Deni yang kreatif dan cerdas. Ada-ada saja yang

ditanyakannya ke Aibi. Apapun yang mereka lakukan membuat Aibi tidak pernah berhenti tertawa

dan tersenyum geli. Sepertinya dia benar-benar telah lupa dengan kesedihannya.

Pak Rizaldi dan Bu Aisyah pun sangat bahagia mendengar semua itu. Apalagi ketika mereka

berbicara dengan Aibi. Suaranya sudah kembali ceria seperti semula. Sibuk menceritakan tentang

kelucuan anak Deni dan Sri.

Dia asyik dengan hobi barunya menghafal al-qur’an. Ayat-ayat suci penuh makna itu seperti

berbicara dengannya. Berdialog dan berinteraksi. Saking asyiknya terkadang dia merasa hidup di

zaman Rasulullah karena semua kisah yang di bacanya semakin memperjelas tentang perjuangan

Page 29: Liza Punya

maha dahsyat Rasulullah untuk menyebarkan ajaran tauhid ini. Al-Qur’an itu semakin melekat di

dadanya. Dia berjanji tidak akan melepaskannya sampai kapanpun. Bahkan dia tidak pernah bosan

membacanya. Semakin dia membacanya, semakin dia rindu untuk terus mendalaminya. Seolah dia

tidak mau berhenti membaca surat cinta dari Allah itu padanya.

Ternyata hanya ada satu hal yang membuat diri ini tenang dan bahagia. Mengingat Allah. Itulah

yang bisa membuat diri kita tentram dan damai. Karena unsur ketuhanan itu akan menuntun kita

menuju kejernihan hati dan fikiran. Semakin banyak mengingat Allah, maka semakin damai hidup

ini. Seperti apapun kondisinya. Itulah yang dirasakan Aibi.

Nilai-nilai keagamaan yang bersifat universal, yang di akui oleh semua orang dimana pun dia

berada dan apapun agamanya, telah memberikan pencerahan yang sangat dalam ke dalam hati Aibi.

Cintanya semakin besar kepada Allah. Dia merasa malu karena telah mengutuki dirinya selama

bertahun-tahun. Padahal nikmat Allah tidak pernah putus kepadanya selama ini. Maka nikmat

Tuhanmu yang mana lagi kah yang kamu dustakan?

Kesadaran telah memenuhi hatinya. Proses pencarian jati diri telah dilakukannya. Senyum itu

kembali menghiasi wajahnya. Tatapan mata itu kembali bercahaya dan harapan itu kembali

membara. Harapan menjalani kehidupan lebih baik dan bermakna lagi. Ketawadu’an itu kembali

menyelimuti wajahnya yang cantik.

***

Bu Aisyah bahagia sekali mendengar perkembangan kejiwaan Aibi. Akhirnya setelah bertahun-

tahun tenggelam di kubangan air mata, hari ini putrinya kembali memulai menorehkan segala

prestasi yang dulu sempat tertunda. Kali ini memang bukan prestasi yang mendunia, tapi

kepeduliannya kepada pendidikan telah di wujudkannya dengan mendirikan yayasan peduli anak

bangsa.

Orang kampung memang tidak mengerti dengan yayasan yang didirikannya, tapi kepeduliannya

melihat nasib masyarakat setempatlah yang telah membuatnya berfikir untuk mendirikan yayasan

ini. Paling tidak sebagai salah satu sarana untuk mendidik moral generasi masa depan. Karena anak-

anak hari ini sejatinya adalah pemimpin Indonesia 25 tahun yang akan datang. Salah memberikan

pendidikan akan berakibat fatal untuk kelangsungan bangsa ini. Seperti kondisi negara hari ini yang

carut marut. Setiap kesalahan dan kegagalan yang terjadi ditimpahkan kepada Presiden yang tidak

becuslah kata mereka dalam memimpin rakyat,yang tidak benar dalam mengambil kebijakan.

Padahal ketika bangsa ini berada dalam genggaman tangan mereka, bangsa ini juga sangat terpuruk.

Karena semua aset berharga di jual. Sebenarnya mereka tidak sportif saja dalam menerima

kekalahan, sehingga mencari-cari kesalahan orang lain. Jika selalu seperti itu, kapan bangsa ini akan

berubah?

Entahlah kita tidak mengerti dengan para pemegang kekuasaan pemerintahan ini. Media pun

Page 30: Liza Punya

menampilkan kebodohan para pemimpin di layar kaca televisi dengan gamblang. Jjustru malah

mereka bangga ketika berhasil menangkap gambar yang aneh dan tidak mendidik, karena akan

mempunyai daya jual yang tinggi. Masa iya masalah presiden yang tidak mau berjabat tangan

dengan mantan presiden itu harus di tampilkan di layar kaca? Ironinya lagi semua itu di saksikan

oleh puluhan juta, bahkan ratusan juta warga negara Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai

Merauke. Terkadang kebebasan pers ini telah mengoyak-ngoyak harga diri bangsa. Sudah tidak ada

filter lagi dalam penayangan acara di televisi.

Hukum dijadikan bahan candaan, dan para elit politik yang ada di jadikan tokoh pelawak yang di

sajikan dalam kemasan acara yang mencabik-cabik harga diri bangsa. Jika sudah seperti itu, dimana

letak power seorang pemimpin yang semestinya dilindungi oleh bawahannya dan rakyatnya? Jika

bukan kita bangsa Indonesia ini yang menjaga harga diri dan power seorang pemimpin, lalu siapa

lagi yang akan menjaganya? Orang Malaysia sana yang secara terang-terangan juga sudah

menginjak-injak harga diri bangsa ini. Masa ada polisinya tertangkap di negaranya sendiri ketika

sedang melakukan patroli? Itukan aneh bin ajaib namanya. Semua itu akibat apa? Akibat bangsa ini

sudah terlalu sering di ejek di depan televisi oleh orang-orang yang mencari keuntungan.

Melihat semua kebodohan di layar kaca itu membuatnya geram. Dan itulah yang dinikmati oleh

penduduk awam yang tidak mengerti yang akhirnya ikut menyalahkan pemimpin yang ada.

Sungguh tidak mendidik, bukan? Bangku kekuasaan di jadikan panggung drama kehidupan. Seperti

simulasi pembebasan para tawanan yang ditawan di dalam pesawat terbang oleh para teroris, yang

ternyata terorisnya adalah para pemegang kekuasaan. Masya Allah..

Jika hal ini di biarkan, maka 22 tahun kedepan Indonesia yang dulu dikenal dengan bangsa yang

berkepribadian tinggi itu hanya akan tinggal nama. Almarhum istilah agamanya. Aibi tidak ingin hal

itu terjadi. Walau bagaimanapun dia mencintai Indonesia. Dia tidak rela jika Indonesia yang permai

dan kaya di obok-obok oleh para penjual komersial segala sistem pemerintahan yang ada.

Sebagai warga negara yang baik, maka dia ikut membantu kerja pemerintah dengan memberikan

pendidikan ke arah yang lebih baik kepada calon-calon pemimpin besar bangsa ini dengan

mendirikan yayasan peduli anak bangsa. Dia sudah merencanakan, begitu akta pengizinannya

keluar maka dia akan langsung eksis dengan mendirikan taman kanak-kanak peduli anak bangsa.

Kemudian akan dilanjutkan lagi dengan lembaga-lembaga yang lainnya. Pelatihan keterampilan

untuk anak-anak putus sekolah, dan lainnya.

***

Panggilan rindu sang Mama memanggil Aibi untuk berkunjung ke Jakarta. Perencanaan awal yang

hanya seminggu, akhirnya di undur menjadi dua minggu, karena pengurusan akta pengesahan

yayasan yang didirikannya ternyata memakan banyak waktu. Dan keberadaannya di Jakarta juga di

manfaatkan untuk melakukan survei kebeberapa yayasan yang bergerak di bidang pendidikan,

Page 31: Liza Punya

sebagai bahan acuannya untuk mendirikan dan mengelola yayasannya nanti.

****

Sementara di sudut sebuah perkampungan kecil, pembangunan itu terus di lanjutkan. Pondasinya

telah selesai dan batu bata merah pun satu persatu mulai tersusun di atas pondasi yang di rekatkan

dengan semen yang bercampur pasir. Beruntung, Papanya mau menjadi donatur utama pendirian

yayasan yang di buatnya. Jadi dia tidak harus mencari kesana kemari. Tentu saja Pak Rizaldi mau,

apa yang tidak akan dilakukannya untuk putri semata wayangnya itu. Apapun akan di perbuatnya

demi melihat dia tersenyum dan bahagia lagi. Berapapun dana yang di butuhkan untuk mendirikan

yayasan tersebut, akan di tanggulanginya semua. Sebut saja jumlahnya, dia akan penuhi.

Ada telfon dari Padang. Deni yang sibuk mengurus masalah pembangunan yayasan tiba-tiba

menelfonnya. Awalnya Aibi mengira akan melaporkan masalah pembangunan, tapi ternyata tidak.

Jam 19.00 Deni menghubungi Aibi. Ada sesuatu yang harus di bicarakan dan itu harus meminta izin

dari Aibi dulu. Dia tidak bisa memutuskan, karena dia bukan siapa-siapa, dia dan istrinya hanya

orang yang di amanahi, sementara yang menjadi pemilik dan berhak berkata iya atau tidak adalah

Aibi.

“Assalamu’alaikum Mas”. Sapa Aibi di seberang sana.

“Wa’alaikumussalam, maaf Mbak Aibi saya terpaksa menghubungi Mbak. Ada sesuatu yang ingin

saya bicarakan”. Kata Deni memulai

“Iya tidak apa-apa Mas? Apa ada kendala dalam pembangunan yayasan kita, Mas?”

“Tidak Mbak. Masalah pembangunan alhamdulillah lancar”

“Lalu, permasalahan apa yang akan di bahas Mas?”

“Ini Mbak, di rumah sekarang ada Bapak Wali Jorong[11]. Beliau datang kesini untuk meminta persetujuan dan izin dari Mbak”.“Mengenai apa?”

“Tiga hari lagi ada mahasiswa KKN[12] yang mau datang ke kampung ini. Dan Bapak Wali Jorong

sedang mencarikan rumah untuk tempat tinggal mereka. Tapi tidak dapat. Kalau Mbak tidak

keberatan, beliau ingin menumpangkan mahasiswa KKN tersebut di rumah ini selama dua bulan

Mbak. Beliau sangat berharap Mbak mengizinkan, karena tempat sudah tidak ada lagi. Bagaimana

menurut Mbak?

Sesaat Aibi terdiam. Di pikirkannya apa yang disampaikan Deni di seberang sana. Di rumahnya ada

lima kamar. Dua kamar telah berisi. Masih tersisa tiga kamar lagi. Berarti bisa di tempati oleh

mahasiswa KKN tersebut. Lagi pula mungkin nanti bisa memanfaatkan mereka di yayasan untuk

merancang segala program dan perencanaan ke depan.

“Berapa orang yang akan datang Mas?” tanya Aibi kemudian

“Mereka ada 12 Orang Mbak. lima laki-laki dan tujuh perempuan, dan rencananya mereka akan di

Page 32: Liza Punya

tempatkan dalam satu rumah saja. Apa tidak apa-apa Mbak?

“Oh begitu? Kamar di rumah kita ada lima kan Mas? Dua sudah terisi, masih ada tiga lagi. Yang

laki-laki berlima itu di tempatkan satu kamar saja, di kamar bagian paling depan biar tidak

bercampur dengan yang perempuan. Yang perempuan di bagi dua kamar saja. Kamar disamping

kamar saya itu satu, dan yang lainnya di kamar yang satunya lagi, Mas. Berarti bisa semuanya kan.

Tidak apa-apa, tempatkan saja mereka di rumah kita. Mana tau kita nanti bisa minta tolong kepada

mereka untuk membantu yayasan kita. Mas bilang sama Bapak Wali Jorong, saya mengizinkan

mereka untuk tinggal di rumah selama dua bulan itu.

“Dan satu hal lagi Mas saya minta tolong sama Mas, tolong bersihkan tiga kamar yang akan mereka

tempati. Jika nanti mereka sudah sampai maka Mas dan Mbak Sri tuan rumahnya. Mas atur saja

dulu bagaimana bagusnya menurut Mas, yang penting pembagiannya seperti itu. Saya mungkin

akan pulang ke rumah seminggu lagi, karena masalah pengurusan akta belum selesai”.

“Baiklah Mbak, kalau memang seperti itu”. Telpon pun kembali di letakkan dan semua perizinan

dan segala macamnya telah selesai, Pak wali Jorong pun pamit undur diri pulang ke rumah.

****

13

Pesona Negeri Sejuta Pasir

Kebijakan kampus memberlakukan KKN kepada seluruh mahasiswa sulit dimengerti. Bukankah

sebelumnya hanya anak pertanian, peternakan, dan kedokteran saja yang di wajibkan KKN? Lalu

kenapa sekarang harus semuanya? Belum lagi pembagian daerah yang sangat jauh sekali. Ada yang

di Pesisir Selatan, daerah yang paling menakutkan. Menurut cerita yang mereka dapatkan, Pesisir

Selatan sangat berbahaya. Masyarakatnya banyak yang mempunyai ilmu hitam. Orang-orang disana

tidak segan meracuni tamu yang datang ke rumahnya. Belum lagi daerahnya sangat panas dan

gersang. Di tambah lagi kepercayaan penduduk yang masih mistis karena lebih percaya ke dukun.

Main santet dan racun saja. Penduduknya kasar dan menakutkan.

Padahal itu dulu sekali. Dulu memang ada sebuah daerah yang memang terkenal dengan apa yang

disebutkan diatas. Tapi seiring perkembangan zaman sudah tidak ada lagi. Walaupun ada mungkin

itu daerah-daerah yang tidak bisa dijangkau oleh kemajuan zaman. Daerah yang sangat terisolir

sekali, sehingga penduduknya masih berpikir awam. Orang Pesisir itu memang pada umumnya

bersuara keras. Maklum, karena mereka tinggal di tepi pantai, ombak selalu berdebur. Yang

namanya di tepi pantai, tentu tidak bisa berbicara lemah lembut, karena tidak akan terdengar oleh

lawan bicara. Akhirnya terbiasa berbicara maariak-ariak[13], kata orang sini. Berbeda sekali

dengan orang yang tinggal di daerah pegunungan yang cenderung bersuara lembut. Kalau orang

Pesisir Selatan yang seperti itu, pasti orang akan heran dan bertanya, “di Pesisir, dimananya ya?

Kok bisa lembut? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya yang akan muncul.

Page 33: Liza Punya

Dan cerita masa lalu itulah yang mereka takuti. Padahal Pesisir sekarang tidak sama dengan Pesisir

yang dulu. Walau mungkin cara bicaranya masih sama seperti orang yang sedang marah. Faktor

geografis sangat mempengaruhi logat orang Pesisir. Tapi jangan salah, penduduknya sebenarnya

baik-baik. Kalau tidak percaya datang saja ke Pesisir dan buktikan sendiri.

Apalagi kalau sudah melihat keindahan alamnya akan membuat mata terpana. Pantai Carocok

begitu indah. Lautannya merupakan lautan dangkal sehingga bisa melihat ke dasar lautnya tanpa

harus menyelam. Air terjun Bayang Sani yang menawan yang percikan airnya memberikan

kedamaian, karena airnya sangat dingin. Jembatan akar yang membuat semua orang penasaran,

kenapa jembatannya bisa dililit akar. Air terjun timbulun yang bertingkat-tingkat, puncak langkisau

yang menjadi tempat bermain paralayangan, pantai yang di sepanjang perjalanan, hamparan pasir

putih di kambang, tempat pemandian di lubuak aguang kambang, dan air terjun lagi di pelangai

gadang. Bahkan di sungai liku juga ada timbulun tujuh tingkat yang sangat indah dan masih banyak

lagi yang lainnya. Kalau mereka melihat semua itu, mereka akan terpana dan enggan meninggalkan

negeri sejuta pasir yang indah ini. Eh, kok jadi promosi ya?

Tapi para mahasiswa KKN itu telah ciut terlebih dahulu. Apalagi mereka-mereka yang aktivis

kampus. Berbagai pembekalan diberikan kepada mereka sebelum menuju ke tempat KKN masing-

masing. Terutama untuk mereka yang di tempatkan di daerah Pesisir Selatan harus berhati-hati.

Lengah sedikit saja maka iman di dada akan hilang, dan ketika pulang ke kampus hanya akan

tinggal kesingnya doang tapi isinya telah tercerabut karena disana mencari tempat liqo’ susahnya

minta ampun. Kader tidak ada

Kejam betul mentor yang memberikan keterangan. Sekeras itukah Pesisir Selatan? Bisa merubah

kulit telur yang lembut menjadi batu? Bukankah daerah-daerah seperti itu yang sangat potensial

untuk menumbuh suburkan dakwah? Ini justru malah memojokkan. Bagaimana dakwah akan

diterima orang kalau ternyata dari awal telah bersuudzon dengan melist segala kejelekan daerah

yang akan di tempati. Coba kalau di lihat terlebih dahulu potensinya, segala kejelekan pasti akan

hilang.

Tapi manusia itu hobinya melihat kejelekan. Menilai sesuatu dari kejelekan, makanya semuanya

akan terlihat jelek, mulai dari awal sampai akhir. Karena dari awal telah melihat kejelekan,

walaupun di akhirnya menemukan kebaikan, tapi kebaikan yang ditemukan akan hilang karena

banyaknya kejelekan yang telah di list dan ditanamkan di dalam pikiran. Coba kalau mulainya

kebaikan, maka kejelekan di perjalanan akan bisa di maafkan dengan sendirinya, seperti Aibi yang

bisa menaklukkan alam pesisir yang tandus dengan kekuatan jiwa yang dimiliki.

Ah, manusia-manusia cerdas itu telah terjebak dengan pemikiran mereka karena mempercayai

sejarah masa lalu. Apalagi bagi yang mempercayai sejarah bangsa Indonesia? Hampir semuanya

penuh dengan kebohongan dan kebusukan.

Page 34: Liza Punya

****

14

Wadah Menguji Ketangguhan

Hari keberangkatan mereka telah ditentukan. Rombongan ke Pesisir Selatan telah beragkat duluan.

Mereka telah terangguk-angguk melewati jalan berliku menuju daerah pengujian ketangguhan. Bagi

siapa yang menganggap dirinya adalah akhwat tangguh, maka datanglah ke pesisir. Kita uji

ketangguhan, berapa lama sanggup bertahan di sini? Dan ternyata banyak yang menangis-nangis

bombai ingin pulang secepatnya ke kota Padang. Banyak yang mundur. Sebenarnya di akibatkan

doktrin para senior atau mentor yang menekut-nakuti.

Dan anak-anak yang tinggal di rumah Aibi itu pun telah menurunkan segala barang-barang mereka

berupa tas ransel dan peralatan lainnya untuk memasak.

Kedatangannya di sambut dengan senyuman oleh Pak Wali Jorong, Mas Deni dan Mbak Sri beserta

dua jundinya Fathi dan Rahmat. Senyum mereka sangat ramah sekali. Tu, ramahkan? Mana wajah

menakutkan? Orang kedatangannya aja di tunggu dengan ramai-ramai kayak gini. Bukti ini

membantahkan sikap masyarakat yang kata mereka sangat keras dan kasar. Tapi ada yang, eit...

jangan percaya dulu, mana tau semua itu hanya basa basi doang? Kan baru datang boo’. Masya

Allah, ini pemikiran yang musti di berantas.

***

Pagi ini Deni bersiap ke Bandara menjemput Aibi yang akan pulang hari ini. Tiga hari yang lalu

Aibi sudah menghubunginya dan memintanya untuk menjemputnya ke bandara. Dia sampai di

padang jam 10.45. Itu tandanya Deni sudah harus sampai di bandara minimal jam 10.30 biar Aibi

tidak lama menunggu.

Begitu sholat shubuh selesai, Deni langsung pamit pada istrinya dan semua penduduk rumah untuk

berangkat ke Padang. Mahasiswa KKN itu belum tahu dengan pemilik asli rumah ini karena ketika

ditanyakan mana fotonya, Deni dan Sri mengatakan kalau pemilik rumah ini orangnya tidak suka

memampang foto. Akhirnya mereka hanya diam saja menunggu. Dia hanya tahu pemilik rumah

yang tersebut adalah seorang wanita yang masih muda. Hanya itu. Mereka juga lupa menanyakan

siapa namanya.

Tapi salah satu diantara mereka yang ternyata adalah akhwat FSI[14] mempunyai filing, kalau

pemilik rumah ini pasti akhwat. Karena dia melihat banyak buku tentang keakhwatan yang terletak

di rak Buku di ruangan samping. Bahkan Mbak Sri saja sudah tiga kali di dengarnya membaca

almatsurat sehabis sholat shubuh. Hanya orang-orang tertentu yang membaca dzikir Rasulullah itu.

dan itu pastinya orang-orang sepertinya. Kalau benar, berarti dia sangat beruntung ada saudara yang

akan mengingatkannya.

Dia tidak tahu, kalau pemilik rumah ini ternyata mahasiswa kebanggaan kampusnya, bahkan sampai

Page 35: Liza Punya

detik ini masih banyak dosen yang bercerita tentang kehebatannya. Cerita turun temurun dari kader

FSI terus mengalir menceritakan kehebatan garuda betina itu. Bagaimana dia mampengaruhi

masyarakat kampus, sehingga FSI mendapatkan tempat di hati semua masyarakat kampus. Dia tidak

tahu, kalau ternyata pemilik rumah ini adalah sosok yang sangat di rindukannya selama bertahun-

tahun semenjak dia bergabung di FSI Universitas. Hari ini ia lah yang menggantikan peran sang

maestro tersebut menjadi pucuk pimpinan para akhwat se Universitas. Ketua keputrian. Tidak

sembarang orang menjadi ketua keputrian.

Sebentar lagi dia akan bertemu dengan wanita yang fotonya sengaja di pampang di sekre akhwat

FSI Universitas, sebagai lambang kegagahannya waktu itu. Fotonya yang sedang berorasi di depan

ribuan muslimah di lapangan Imam Bonjol Padang. Sebentar lagi dia akan berjumpa dengan sosok

yang mengagumkan, yang ceritanya terus di dengarnya dari para seniornya selama ini dan juga

diceritakannya kembali kepada adik-adik binaannya di kampus.

****

Perjalanan yang sangat melelahkan bagi Aibi. Setelah tiba di rumah dia ingin beristirahat dan

merebahkan tubuhnya karena pinggangnya terasa sangat sakit sekali. Sudah hampir enam jam Aibi

duduk . Dia memang tidak tahan duduk lama. Kalau di rumah dia biasa duduk berselonjor di sofa

setiap tiga jam sekali. Sepertinya pinggangnya harus dikompres dengan air hangat. Rahmi sangat

cemas melihat Aibi yang kesakitan. Sementara perjalanan mereka sekitar tiga jam lagi. Mereka baru

saja memasuki daerah teluk Kabung, jalan menuju Pesisir Selatan.

“Bagaimana Mbak? Apa tidak sebaiknya kita berhenti dulu di hotel dekat sini, biar Mbak bisa

istirahat sejenak. Aku khawatir pinggang Mbak nanti keram seperti ketika baru sampai di Jakarta

kemaren, Mbak”. Kata Rahmi cemas. Dia teringat kejadian lima belas hari yang lalu. Ketika Aibi

baru sampai di Jakarta, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia harus berbaring karena tiba-tiba

pinggangnya keram dan tidak bisa di bawa duduk. Istirahat total selama lima hari.

“Terserah saja Mi. Tapi kalau kita mampir, akan memakan waktu lebih lama lagi. Kasihan Mas

Deni nanti. Mbak rasa tidak apa-apa. Biar Mbak tidur di perjalanan saja. Tolong kamu stel

bangkunya ya Dik, biar Mbak bisa rebahan”. Kata Aibi lemah.

“Iya Mbak”.

“Makasi ya dik”.

Akhirnya Aibi bisa juga tertidur di sepanjang perjalanan, dan Rahmi menjaga tubuh yang terkulai

itu dengan seksama. Ia mengingatkan Deni untuk memperhatikan jalanan dengan seksama, agar

mobil tidak masuk lubang dan terhempas keras. Tentu demi menjaga Aibi

***

Mobil melaju dengan pelan menuju negeri Pesisir nan permai. Negeri sejuta pasir yang menyimpan

segudang potensi yang harus di kembangkan dan harus di kelolah dengan baik. Negeri yang

Page 36: Liza Punya

sejatinya kaya akan sumber daya alam ini telah menjelma menjadi negeri melarat yang rakyatnya

hidup miskin. Mobil Avanza silver yang di kendarai oleh Deni itu pun terus melaju meliuk-liuk di

jalan berliku.

Jalan sudah mulai tenang, tidak bergelombang lagi. Jalan yang dilalui mobil itu pun kembali mulus.

Mesin menderu dengan lembut. Aibi tertidur pulas di bangku belakang. Tampak sekali aura

kelelahan di wajahnya yang cantik. Dan Rahmi pun ikut-ikutan tertidur. Tinggallah Deni yang

masih terjaga mengendarai mobil menelusuri perjalanan yang di kelilingi lautan dan bukit barisan.

Mobil telah memasuki persimpangan menurun sebelum jembatan dan terus melalui sebuah

perkampungan. Jalanan sepi. Lahan kosong masih bertebaran di mana-mana. Bangunan tinggi yang

di semen seperti cerobong asap rumah-rumah gaya spanyol berdiri di tengah-tengah lahan. Itulah

sarang burung walet. Ya, masyarakat Pesisir Selatan sedang melakukan usaha sarang burung walet

yang konon kabarnya sekilo harganya mencapai puluhan juta rupiah.

Rahmi terbangun dari tidurnya dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Di lihatnya jam kecil yang

melingkari pergelangan tangannya, sudah jam 16.00. Aibi masih tertidur pulas di sampingnya

dengan posisi bangku di rebahkan. Kurang dari lima menit lagi mereka akan sampai di rumah, tapi

dia masih membiarkan Aibi tertidur. Ia tidak tega membangunkannya. Nanti saja kalau mobil sudah

berhenti. Dia pun bersiap untuk turun. Sendal yang tadi sempat di tanggalkan kini di pasang lagi. Di

rapikannya jilbabnya yang sedikit agak mencong karena ketiduran. Dia tersenyum memandang

jilbabnya. Entah apa alasannya dia juga memanjangkan jilbabnya. Dia terkesan sekali ketika

melihat Aibi yang memakai jilbab panjang. Aibi telah banyak merubah dirinya selama beberapa

tahun belakangan ini.

Mobil tepat berhenti di depan pintu rumah. Sebelum turun disentuhnya lembut lengan Aibi dan

berucap “Kita sudah sampai Mbak”. Ucapnya lembut. Kemudian dia turun dan menutup kembali

pintu mobil. Dia akan ke sebelah membantu Aibi turun dari mobil, tapi begitu dia turun semua

Mahasiswa KKN langsung menyalaminya dan kemudian pamit untuk masuk lagi ke dalam, karena

mereka sedang ada kegiatan.

Mungkin mereka mengira gadis yang menjadi pemilik rumah ini adalah Rahmi. Makanya setelah

mereka bersalaman, mereka langsung masuk lagi karena kebetulan mereka memang sedang

mengerjakan sesuatu di dalam. Sementara yang laki-laki membantu Deni mengeluarkan dan

mengangkat barang Aibi yang tidak seberapa.

Rahmi pun heran melihatnya kenapa setelah mereka bersalaman dengannya lalu kemudian langsung

pamit dan masuk ke dalam? Mungkin mereka tahu kalau Mbak Aibi sedang capek dan butuh

istirahat secepatnya. Rahmi pun mengambil kursi roda Aibi yang dimasukkan ke bagasi yang telah

di keluarkan Deni dari sana. Ia kemudian membantu Aibi turun dari mobil dengan memapahnya dan

mendahulukan mengangkat kakinya keluar. Baru setelah itu mencengkeram tubuh itu dan

Page 37: Liza Punya

memindahkannya ke atas kursi roda yang kemudian mengangkutnya ke dalam.

“Terima kasih ya dik”. Kata Aibi begitu dia sudah duduk di kursi roda. “Dik, tolong antar Mbak ke

kamar ya dik. Mbak sangat capek sekali”. Sambung Aibi lagi ke Rahmi. Rahmi pun langsung

mendorong kursi roda itu ke kamar. Sepintas dilihatnya kamar yang ada di samping kamarnya

ditempati oleh Mahasiswa KKN. Ternyata kamar itu tertutup rapat. Mungkin mereka sedang sholat

atau mungkin punya kegiatan di dalam sana, pikir Aibi. Dia juga belum sholat. Tadi di jalan dia

sudah berniat untuk menjamak sholatnya.

Setelah sholat, Aibi meminta Rahmi untuk mengompres pinggangnya yang terasa keram dengan air

hangat, biar darahnya kembali berjalan lancar dan normal. Setelah merasa agak nyaman, dia pun

tertidur lagi. Dia merasa sangat lelah sekali. Punggungnya memang tidak bisa di ganggu kalau

sudah melakukan perjalan jauh seperti ini. Padahal dia sudah direncanakan akan menyapa

Mahasiswa KKN yang tinggal di rumahnya sore ini. Tapi biarlah di tidurkannya dulu badannya

yang terasa sakit-sakit.

***

15

Mahalnya Nilai Ukhuwwah

Pertemuan selalu menjadi sesuatu yang di nanti-nanti oleh manusia. Karena pertemuan merupakan

awal dari akan terbentuknya sebuah hubungan dalam hidup kita. Tapi banyak dari kita yang hanya

siap untuk bertemu saja, dan tidak siap untuk berpisah. Karena perpisahan akan mendatangkan lara

dan nestapa. Ada kesedihan yang tersisa dari perpisahan tersebut. Tapi orang yang bijak dengan

muda akan mengatakan, perpisahan bukan akhir dari segalanya bukan? Ya mungkin itu benar,

perpisahan bukan akhir dari segalalanya, tapi perpisahan yang terjadi tanpa sebab dan tanpa pesan,

akan menyisakan kekecewaan bukan? Entahlah, yang jelas perpisahan menyakitkan.

Dan hari ini sebuah pertemuan penting akan di mulai, pertemuan yang akan mengantarkan semua

orang pada nostalgia masa lalu yang begitu indah dan sekaligus menyakitkan. Indah bagi orang

yang menikmatinya dan menyakitkan bagi orang–orang yang menjadi pelaku utama dalam cerita

ini.

Dengan susah payah, Aibi berusaha untuk bangkit dari tidurnya. Dia ingin menyapa orang-orang

baru yang ada di rumahnya saat ini. Dia tidak ingin melewatkan moment penting ini, berjumpa dan

menyambut kedatangan mereka secara resmi di rumahnya. Tanda mereka di terima dengan senang

hati dan dengan tangan terbuka di tengah-tengah keluarganya.

“Selamat datang kepada adik-adik di rumah ini. Kami berharap, semoga kalian bisa betah selama

tinggal di sini. Anggaplah rumah ini seperti rumah sendiri. Tidak perlu sungkan-sungkan. Lakukan

saja seperti di rumah sendiri. Jika kotor maka kita yang membersihkannya dan ketika ada sesuatu

yang rusak, maka kita yang memperbaikinya.

Page 38: Liza Punya

“Anggap kita adalah satu keluarga, karena untuk dua bulan kedepan kita akan bersama. Adik-adik

tidak perlu memasak. Kakak dengar dari Mbak Sri kalian masak sendiri. Jika tidak keberatan,

menurut Kakak kita masak bersama saja. Tidak mungkinkan, kita se rumah tapi masaknya beda-

beda? Apa yang ada di rumah ini akan kita nikmati bersama-sama. Bagi yang perempuan bisa

membantu Mbak Sri memasak di dapur.

“Fasilitas yang ada di rumah ini silahkan di manfaatkan dengan baik. Ada yang butuh komputer di

ruangan samping dekat perpustakaan itu ada komputer, insya Allah masih bisa dimanfaatkan. Bagi

yang butuh motor untuk pergi membeli sesuatu misalnya, silahkan pakai motor yang ada. Minta

kuncinya sama Mas Deni. Pokoknya manfaatkan saja apa yang ada. Tidak usah sungkan-sungkan.

Bahkan mungkin bagi yang bisa bawa mobil, juga silahkan pinjam sama Mas Deni.

“Kalau ada sesuatu yang mengganjal dan rasanya tidak cocok sama adik-adik, silahkan sampaikan

biar kami tahu apa yang harus diperbaiki. Satu hal lagi mungkin yang sangat penting, selama kalian

di rumah ini mungkin akan banyak pemandangan aneh di mata kalian barang kali yang akan kalian

temui. Perihal diri Kakak misalnya. Mungkin adik-adik bertanya-tanya di dalam hati. Nanti kalian

mungkin akan melihat tubuh Kakak akan di angkat dari kursi roda ke kursi makan, atau ketika akan

sholat berjama’ah mungkin barang kali Kakak harus di bantu sama Rahmi atau juga oleh Mbak Sri.

Barang kali suatu saat nanti Kakak akan di bantu oleh adik-adik sendiri, tapi yang pasti yang

perempuannya, bukan yang laki-laki. Maka Kakak harap adik-adik bisa memaklumi semua itu.

Itulah resiko se rumah dengan orang cacat seperti Kakak.

“Anggaplah kami yang ada di sini sebagai Kakak bagi kalian, bukan orang lain”. Kata Aibi

berbicara penjang lebar

Bagi Aibi menjelaskan tentang segala sesuatunya sangat penting, agar tidak terjadi

kesalahpahaman nantinya mengenai kondisi dirinya yang memang seperti ini adanya. Dia tidak

ingin orang-orang baru yang tinggal di rumahnya menjadi terganggu kegiatannya karena kondisinya

yang cacat.

Mendengar apa yang disampaikan Aibi, betapa mereka segan menerima semua kebaikan yang di

sampaikan Aibi. Tapi sepertinya Aibi sangat tulus mengatakan semua. Mereka menangkap apa yang

disampaikan Aibi bukan hanya sekedar basa basi seperti kebanyakan orang. Betapa mereka

mengagumi Aibi yang ternyata sangat baik sekali. Tidak mereka sangka, di balik tubuh yang lemah

itu ternyata tersimpan kekuatan jiwa yang luar biasa.

Mereka malu sekali karena sore tadi tidak menyalami dan menyapanya ketika dia datang. Tapi

malah menyapa Rahmi yang ternyata adalah suster yang merawatnya dan itu tidak di bahasakan

Aibi dengan mengatakan Rahmi sebagai susternya kepada mereka, tapi mengatakan kalau Rahmi

adalah adiknya.

Mereka tidak menyangka sama sekali pemilik rumah ini ternyata adalah seorang wanita cacat yang

Page 39: Liza Punya

memiliki hati seluas samudera. Bahkan dia tidak malu memberitahukan kondisi sesungguhnya

tentang dirinya.

“Terima kasih Uni[15]., eh Kakak. Sebetulnya kami sangat segan sekali sama Uni. Karena kami telah merepotkan Uni. Bagi kami Uni telah bersedia menampung kami di sini selama menjalani masa-masa KKN, sudah cukup bagi kami. Tapi Uni malah menawarkan segala kebaikan dan kemudahan kepada kami. Kami sangat berterima kasih sekali sama Uni. “Sepertinya kami tidak bisa menolak kebaikan yang Uni tawarkan. Begini saja Uni, kebetulan

sebelum kami datang kesini kami telah merancang dan mengumpulan iuran untuk biaya hidup kami

selama disini. Saya mewakili kawan-kawan karena saya yang di amanahkan menjadi ketua

kelompok akan menyerahkan iuran itu ke Uni. Biar Uni saja yang mengatur segalanya. Dan juga

kami membawa beras dari rumah masing-masing. Kami juga akan serahkan saja ke Uni. Kata Dodi

selaku ketua kelompok.

“Kalau masalah beras tidak apa di serahkan. Tapi masalah iuran itu Uni rasa tidak usah saja.

Silahkan di simpan saja uang itu mungkin bisa dimanfaatkan untuk yang lain. Masalah sambal,

tidak usah dikhawatirkan, yang penting Mbak Srinya di bantu memasak, itu saja”. Kata Aibi

“Aduh.. nggak enak juga seperti itu Kak. Masa iya kami harus memberatkan Kakak selama disini.

Itu nggak adil namanya. Kakak udah menyediakan tempat tinggal untuk kami, masa iya juga harus

menyediakan makanan untuk kami”. Kali ini yang bicara bukan Dodi lagi. Tapi seorang wanita

yang berjilbab lebar sepertinya. Dia baru menyadari kalau ternyata diantara Mahasiswa KKN itu

ada yang anak forum. Dan ternyata dia satu-satunya anak forum di sana.

“Kok nggak adil? Bukankah Kakak sudah katakan dari awal tadi? Kita adalah satu keluarga. Lalu

salahkah, ketika seorang Kakak ingin menjamu adik-adiknya? Sudahlah. Tidak usah kita

perdebatkan lagi. Kalau memang iuran itu mau diserahkan juga, serahkan perminggunya ke Mbak

Sri. Atau ketika Mbak Sri pergi belanja, silahkan yang cewek-cewek ikut membantu sehingga uang

yang adik-adik punya bisa ikut dibelanjakan”. Akhirnya semua sepakat dengan apa yang dikatakan

Aibi.

Setelah itu Aibi masuk ke kamarnya untuk beristirahat. Pinggangnya terasa sakit lagi, mungkin

karena duduk barusan. Tapi untunglah tidak sesakit sore tadi. Ada yang terlupakan olehnya. Dia

lupa menanyakan Universitas para Mahasiswa KKN itu. Dari Universitas mana mereka? Ah kenapa

Aibi bisa melupakan hal sepenting itu ya? Dia akan bertanya sama adik yang akhwat tadi. Tapi

bagaimana kalau seandainya mereka dari kampus tempat dia kuliah? Betapa tidak siapnya dia

berjumpa dengan mereka dengan kondisi yang seperti ini. Karena dia tidak lebih dari seorang

wanita cacat yang untuk duduk selama dua jam saja telah membuatnya kewalahan. Ah, tapi mereka

tidak akan mengenalinya. Toh mereka terpisah cukup jauh bukan? Aibi berusaha untuk menghibur

dirinya

Dia tidak ingin orang-orang yang pernah dikenalnya dulu menjadi sedih karena melihat kondisinya

Page 40: Liza Punya

saat ini. Dia belum siap berjumpa dengan mereka, sama sekali belum siap. Semua itu menyusahkan

hatinya. Baru saja dia bisa menata kembali hatinya. Hari ini dia di hadapkan dengan kenyataan yang

lain. Kenapa dia bisa lupa dengan semua itu? Tidak mungkin mereka berasal dari kampusnya dulu,

bukankah kampusnya tidak menerapkan sistem KKN.

Sementara di kamar, di samping kamar Aibi, Naura sedang mematut-matut wajah yang dilihatnya

tadi. Wajah itu begitu familiar rasanya bagi dirinya. Dia seperti pernah berjumpa dan bersua dengan

wajah itu. Tapi dimana? Dia merasa dekat dengan wanita yang duduk di kursi roda itu. siapakah

wanita itu? Rasanya nama wanita itu sering di dengarnya. Nama itu begitu familiar. Siapakah dia?

Dimanakah dia berjumpa dengannya?

Naura berusaha memutar memorinya. Mengeluarkan kembali segala file-file yang tersimpan dalam

memorinya yang entah sudah beberapa giga bite. Dikumpulkanya semua ingatannya dan di ingatnya

semua orang yang pernah di temuinya selama beberapa tahun kebelakang. Tidak ditemukannya

wajah itu diantara banyak rekaman wajah yang hadir di memorinya. Tapi nama itu begitu melekat di

hatinya. Seperti ada kerinduan ketika dia mendengar nama Aibi. Ada yang meronta-ronta di hatinya

ketika mendengar nama itu dan ketika melihat wajah yang tawaduk tersebut. Siapa dia? Semua

telah menari-nari di benak Naura.

Hampir saja dia tertidur, tapi tiba-tiba bayangan wajah Aibi melintas di benaknya. Dia ingat, wajah

itu sangat mirip dengan foto yang terpampang di sekre akhwat FSI. Mengingat semua itu, Naura

terperanjat. Tapi dia belum yakin. Bukankah para seniornya mengatakan kalau setelah kecelakaan

yang menimpanya kabarnya sudah tidak terdengar lagi? No Hp yang biasa di pakainya tidak pernah

aktif lagi dan nomor orang tuanya yang ada sama akhwat pun tidak bisa dihubungi lagi. Ada dari

sebagian senior mengatakan mungkin dia telah di bawa keluar negeri oleh orang tuanya untuk

berobat, dan tidak kembali lagi ke Indonesia. Dan tidak ada yang mengatakan kalau dia telah

meninggal. Mereka para seniornya yakin kalau dia berada di suatu tempat.

Naura semakin bingung. Dia harus mencari tahu semua itu. Siapa wanita yang ditemuinya itu, yang

saat ini berada serumah dengannya? Dia kembali mencocokkan wajah yang ditemuinya dengan foto

yang terpampang di sekre FSI. Sembilan puluh persen wajah itu mirip. Yang berbeda hanya tatapan

matanya. Wajah yang di dalam foto itu mempunyai tatapan mata tajam penuh semangat yang

membara. Tapi mata yang ditemuinya hari ini begitu sendu dan terlihat bekas kesedihan yang

menggantung. Dia akan bertanya besok ke Aibi secara langsung biar dia tidak penasaran lagi.

***

Sore yang sangat indah di hari kamis yang cerah. Aibi sedang duduk di bangku taman rumahnya

sambil bercanda dengan dua jundi kecil Deni dan Sri. Dia tampak asyik mendengarkan apa yang

diceritakan Fathi dan Rahmad selama di tinggalkan. Sekali-kali tampak mata Aibi membesar seperti

tertarik dengan apa yang di ceritakan dua jundi kecil itu. Tapi sebenarnya itu hanya untuk membuat

Page 41: Liza Punya

si jundi senang dan bahagia.

Dari teras depan Naura sedang berdiri menyaksikan Aibi yang sedang asyik bercanda bersama Fathi

dan Rahmat. Dia ingin mendekati Aibi dan menanyakan semua yang mengganjal hati dan

fikirannya. Ingin bertanya tentang siapa Aibi sebenarnya? Dan kenapa dia merasa sangat dekat

sakali dengan Aibi? Apakah benar Aibi adalah Raisyah Aibi Rizaldi mahasiswa terpintar dan

tercerdas di kampusnya? Apakah benar Aibi adalah kader terbaik yang pernah dimiliki FSI?

Dia teringat cerita seorang senior tentang sepak terjang Aibi ketika masih kuliah, berhasil

menyelesaikan permasalahan yang di hadapi oleh Fakultas Teknik dengan mengungkap sejarah

kelam kampus.

****

16

Ajaran Sesat

Ketika itu Aibi masih menjabat sebagai ketua Keputrian FSI Universitas, mereka mendapatkan

SMS dari ketua FSI Universitas memberitahukan tentang fitnah yang sedang berkembang tentang

FSI Fakultas Teknik.

Dengan beredarnya kabar tersebut, maka mereka yang di amanahi menjadi tim mediasi dengan

Pembantu Rektor tiga melakukan pertemuan dengan Pembantu Rektor tiga yang ketika itu di

pegang oleh Prof. Dr. Irwan Chaniago, M. Sc. Mereka datang berlima

“Maaf Pak, kami datang kesini untuk bertanya lebih lanjut mengenai permasalahan yang di hadapi

oleh FSI Fakultas Teknik”. Ujar Aryo ketua FSI Universitas ketika itu mengawali pembicaraannya

bersama Pembantu Rektor tiga.

“Maksud anda, anda ingin mempertanyakan masalah apa?” tanya Pembantu Rektor tiga kurang

ramah. Di masa itu anak-anak forum masih di anggap sangat aneh oleh masyarakat kampus.

Termasuk oleh para dosen.

“Maksud kami begini Pak. Tiga hari yang lalu Bapak baru saja memutuskan dan mengeluarkan

ultimatum, bahwa FSI Fakultas Teknik di bubarkan dengan alasan di sinyalir, ajaran yang di

terapkan adalah ajaran sesat. Dari sisi mana Bapak melihat ajaran yang di terapkan adalah ajaran

sesat? Kami hanya ingin kejelasan dari Bapak. Kalau memang itu sesat menurut Bapak dan

mempunyai kriteria yang sama dengan ajaran sesat yang berkembang saat ini, maka kami akan

merubahnya”. Jelas Aryo lagi dengan tenang.

“Kalau itu bukan ajaran sesat, lalu apa namanya? Yang tahu agama itu bukan saudara saja, saya

juga tahu. Saya dulu belajar di pesatren, tidak ada ajaran seperti yang anda terapkan”. Ujar

Pembantu Rektor tiga dengan dagu di angkat dan melihatkan kepongahannya.

Mendengar apa yang disampaikan oleh Pembantu Rektor tiga sedikitpun tidak membuat Aryo

terkejut, dia sudah tau hal ihwal sang Pembantu Rektor tiga, jauh sebelum Pembantu Rektor tiga ini

Page 42: Liza Punya

di lantik menjadi pejabat elite kampus. Dan dia juga tahu, kalau dosennya yang satu ini memang

anti dengan kegiatan-kegiatan yang mereka angkatkan selama ini, karena dia menganggap anak-

anak forum ini terlalu exlusive dan terlalu berlebihan. Tapi Aryo tetap tenang menanggapinya.

Sementara 4 orang dibelakangnya berulang kali menarik nafas dalam menahan sesak di dada

mendengar komentar yang tidak berilmu dari dosen yang belakangan menjadi momok yang paling

menakutkan bagi anak-anak forum.

“Pak, tolong Bapak jelaskan lebih rinci lagi, sesat? Sesat seperti apa yang Bapak maksud? Jujur,

kami tidak melihat kesesatan itu. Kami tahu, Bapak punya maksud baik di balik semua ini. Tapi

alangkah lebih baiknya lagi kalau Bapak menjelaskan kepada kami tentang kesesatan yang telah

dilakukan oleh kawan-kawan di Teknik. Biar itu menjadi pelajaran bagi kami yang ada di fakultas

lain dan juga yang di Universitas. Karena sejatinya kami semua serumpun, pak. Dan saya rasa tidak

ada yang berbeda yang kami terapkan. A dari universitas, maka akan A sampai ke Fakultas-Fakultas

yang ada”. Terang Aryo mulai memainkan kelihaiannya dalam mengolah kata.

“Sekarang saya tanya sama anda. Apa dasar anda menjalankan pembinaan dengan berkelompok-

kelompok kecil itu? Apa yang anda bicarakan dalam kelompok-kelompok kecil itu? Lalu kenapa

ketika berada dalam mesjid anda memasang tirai yang sangat tinggi, bahkan tingginya melebihi

tinggi tubuh saudara sendiri? Lalu apa dasarnya yang perempuan harus berjilbab selebar taplak

meja ini? Dan tidak mau berjabat tangan dengan laki-laki? Atau anda misalnya yang seperti enggan

melihat kepada perempuan yang ada disekeliling anda? Ajaran dari mana itu, ujar Pembantu Rektor

tiga berapi-api

“Jika itu ajaran dari Rasulullah, seperti yang saudara katakan, dalam kitab apa saudara temui? 3

tahun saya di pesantren, tidak pernah saya menemukan model pembinaan dan ajaran yang saudara

terapkan. Jangan saudara kelabuhi kami dengan kebusukan yang saudara bungkus dengan apik.

Saudara fikir saya tidak tahu dengan kegiatan yang saudara lakukan di luar sana? Yang

menghimpun Masa, kemudian berbondong-bondong melakukan demonstrasi di jalanan. Islam

macam apa itu? Islam itu lembut. Rahmatalil ‘alamin. Bukan pembawa onar seperti yang saudara

terapkan. Sedikit-sedikit demo. Apa-apa di bawa demo”. Kata Pembantu Rektor tiga dengan

menunjuk-nunjuk tepat ke arah mereka berlima.

Aryo masih tetap berusaha setenang mungkin, walaupun sebenarnya hatinya panas mendengar

semua tudingan itu. Apa yang dikatakan Pembantu Rektor tiga ini belum seberapa, jika

dibandingkan tuduhan yang disampaikan oleh orang-orang Yahudi kepada Rasulullah ketika awal

kenabian. Menyampaikan kebaikan memang banyak tantangannya. Mesjid yang mau dibangun,

gereja juga kata orang-orang yang tidak paham. Orang yang sekedar tahu, berbeda dengan orang-

orang yang paham. Maka dia tidak mau terpancing emosi menghadapi Pak Irwan, dia harus bisa

memainkan peran dengan sebaik mungkin. Agar permasalahan ini bisa di selesaikan dengan baik

Page 43: Liza Punya

dan bijaksana.

Sementara 4 orang yang duduk di samping kiri dan kanan Aryo sudah tidak tahan mendengar apa

yang disampaikan oleh Pak Irwan, Pembantu Rektor tiga mereka itu. Belajar di pesantren mana

Bapak ini, sehingga mempertanyakan segalanya tentang pergerakan mereka. Mempertanyakan yang

haq. Atau jangan-janga malah Bapak ini yang dulunya mondok di pesantren yang menerapkan

ajaran sesat. Mereka semakin panas dingin menghadapinya.

“Terima kasih Pak, karena Bapak telah mau mengatakan hal-hal apa saja yang perlu kami perbaiki

dalam organisasi kami. Tadi Bapak bertanya, saya akan jelaskan semua apa yang Bapak tanyakan

tadi. Semoga saja penjelasan saya nanti dapat menjadi pertimbangan bagi Bapak mengenai

keputusan yang Bapak ambil”. Ungkap Aryo memulai. Terlihat sekali kalau Aryo sangat berhati-

hati dalam menghadapi Pak Irwan.

“Begini pak,.....’ kata Aryo memulai “Sebenarnya dasar yang kami pakai dalam melakukan

pembinaan seperti yang Bapak pertanyakan tadi adalah mengacu kepada cara yang di lakukan

Rasulullah ketika awal kenabian. Di mana Rasulullah melakukan pembinaan mental dan keimanan

para sahabat di masa awal kenabian itu dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil yang

sekarang kami namakan dengan nama halaqoh[16]. Pertama kali dilakukan Rasulullah di rumah

Arqam bin Nafal, disanalah pertemuannya. Lalu, kenapa hari ini kami juga melakukan hal itu?

Karena belajar dari siroh Nabi, ternyata pembinaan yang dilakukan Nabi dengan cara seperti itu

membuahkan hasil yang sangat besar

“Menghasilkan orang-orang yang memiliki komitmen sangat tinggi terhadap islam dan

menghasilkan orang-orang yang mempunyai kualitas keimanan yang kokoh terhadap Allah. Kami

tidak melakukan hal-hal yang melenceng di dalam kelompok-kelompok kecil yang kami buat. Kami

hanya melakukan pembinaan antar personal, pembinaan pribadi secara intens dengan memberikan

materi-materi tentang akhlak, tauhid dan cara-cara bermuamalah.

“Di samping itu kami juga melakukan pengontrolan terhadap amalan kami yang disebut dengan

amalan yaumiah, amalan harian kami. Kami menerapkan sistem berlomba-lomba dalam kebaikan

dalam kelompok kecil itu Pak. Kami juga diajarkan untuk rajin berinfaq dan bersodaqah, juga

menghafal al-qur’an. Dan sekali-kali justru kami berfikir bagaimana cara mengembalikan keaslian

islam ini kepada fitrahnya. Walaupun kami tahu mungkin hal itu sangat sulit, tapi kami yakin

banyak manfaat dari pembinaan yang kami lakukan.

“Itulah yang menguatkan kami untuk melakukan pembinaan dengan cara tersebut pak. Kami minta

maaf kepada Bapak jika apa yang kami lakukan selama ini membuat penduduk kampus resah.

InsyaAllah kelak mereka akan merasakan manfaatnya secara langsung. Kami tidak melakukannya

untuk kesenangan kami sendiri, tapi demi untuk kepentingan bersama.

“Lalu mengenai kenapa kami memasang tirai lebih tinggi dari badan kami di Masjid ataupun

Page 44: Liza Punya

mushola, itu semua kami lakukan dalam rangka menjaga diri kami dari hal-hal yang di larang oleh

Allah Pak. Karena dampak dari pandangan mata jauh lebih berbahaya dari apapun, bukankah

semuanya di awali dari mata? Sehingga mulut memuji dan berkata lalu hati akan berkeinginan dan

otak akan berfikir bagaimana cara untuk mewujudkan semua itu, sehingga semua itu akan di

benarkan atau di dustakan oleh kemaluan, sehingga terjadilah perzinahan.

“Dalam rangka menghindari hal itulah, makanya kami memasang tirai di mushola atau masjid. Hal

ini juga dicontohkan oleh Rasulullah dan istri beliau Aisyah RA, dimana ketika Ibunda Aisyah akan

mengajarkan ilmu hadist kepada para sahabat, maka beliau akan memasang tirai atau hijab diantara

sahabat dengan dirinya. Kami sadar Pak, kami belum memiliki keimanan yang kuat seperti kuatnya

keimanan para sahabat. Kami khawatir kalau hati kami yang masih berpenyakit ternodai karena

pandangan kami yang tak terjaga.

“Kami tidak ingin niat baik yang kami munculkan dari awal berubah menjadi buruk karena

pandangan mata yang tidak terjaga. Karena pandangan mata itu sangat berbahaya. Imam Syafi’i

saja karena tidak menjaga pandangannya mengakibatkan hadits yang sudah di hafalnya selama

berbulan-bulan itu sirna tanpa bekas sedikitpun, padahal beliau tidak sengaja memandangnya.

“Lalu bagaimana dengan kami yang baru memiliki keimanan seujung kuku ini? Kami tidak bisa

menjamin bisa menjaga hati ini dengan baik. Itulah sebabnya kami memakai hijab di mushola

maupun Masjid.

“Lalu kenapa perempuan harus memakai jilbab selebar taplak meja seperti yang Bapak katakan,

landasannya sudah jelas Al-Qur’anul karim. S. An-Nur: 31 dan Al-Ahzab:59. Jadi tidak perlu

dipertanyakan lagi. Dan masalah berjabatan tangan, itu pun sudah di atur di dalam islam dengan

sedemikian rupa. Saya rasa Bapak pernah menemukan haditsnya, karena ini hadits sahih.

Lalu mengenai demo, kami demo dengan cara yang benar. Belum pernah kami melakukan tindakan

anarkis dalam demo-demo tersebut. Coba Bapak katakan, kapan kami demo dan merusak bangunan

kampus dan infrastruktural yang ada? Kami tidak pernah melakukan itu Pak. Seingat saya, kami

demo dengan cara menyuarakan suara masyarakat yang selama ini tenggelam ditelan kebijakan-

kebijakan. Kami tidak asal demo, dan kami tidak melakukan demo dengan kehendak kami sendiri.

Jadi dari segi mananya Bapak mengatakan apa yang kami terapkan adalah ajaran yang sesat?

“Semua Fakultas yang mempunyai FSI mempunyai akar yang sama dengan FSI Universitas. Kami

tidak akan menyembunyikan apapun, dan kami akan terima tuduhan dari pihak kampus kalau

memang kami terbukti melakukan penyesatan. Tapi dengan cara seperti ini....... maaf Pak, kami

tidak bisa terima. Karena setahu kami, kami tidak pernah berbuat onar di kampus ini. Dan

keberadaan kami, saya rasa justru memberikan pencitraan yang baik terhadap kampus”. Terang

Aryo dengan panjang lebar.

Mendengar apa yang disampaikan Aryo, membuat Pak Irwan terdiam. Apa yang disampaikan Aryo,

Page 45: Liza Punya

memang ada benarnya. Tapi tetap saja kurang relevans dengan kondisi masyarakat kampus.

“Saya tetap dengan apa yang sudah saya putuskan. Walau seperti apapun keterangan yang saudara

sampaikan, semua itu tidak akan merubah keputusan saya. Eksistensi kalian di kampus ini sudah

tidak sehat lagi. Apa kalian akan menjadikan kampus ini sebagai markas untuk melancarkan misi

kalian yang busuk itu? Ini kampus umum, bukan kampus islam. Saya rasa kalian salah memasuki

universitas. Jika tahu kalian akan seperti ini, kenapa kalian tidak masuk kampus islam saja?

“Sudahlah saya sudah tidak punya waktu untuk membahas masalah ini. Hanya buang-buang waktu

saja. Masih banyak urusan saya di luar sana. Tidak hanya membahas masalah FSI kalian yang tidak

berguna itu”. Elak Pak Irwan bersiap keluar meninggalkan ruangan. Tapi tiba-tiba secepat kilat Aibi

melolong dengan suara melengking. Suara itu bergetar menahan emosi dan tangis. Betapa telah

muak hatinya mendengarkan semua yang di katakan oleh Pembantu Rektor tiga nya ini. Sungguh

betapa kerasnya hatinya, sehingga mengatakan masalah yang mereka hadapi sangat tidak relevan.

Kurang apalagi coba keterangan dari Aryo tadi?

“Tunggu Pak.....” Sambar Aibi cepat. “Saya rasa ada yang ganjil disini. Tadi Bapak

mempertanyakan segalanya, dan kami sudah menerangkan semuanya dengan terang kepada Bapak.

Lalu kenapa tiba-tiba Bapak mengatakan semua itu kurang relevan? Jika memang kurang relevan,

dari segi mananya yang masih kurang relevan? Tolong Bapak jelaskan dengan terang. Biar kami

tahu apa kesalahan kami. Jangan-jangan Bapak memang sengaja melakukan ini semua untuk

membubarkan FSI ini?”. Selidik Aibi. Semua mata saat ini memandang ke arah Aibi. Dia tidak

memperdulikan tatapan penuh tanda tanya itu.

****

Mata Aryo pun tidak lepas dari Aibi. Dia tidak menginginkan masalah ini lebih besar lagi. Tapi

menyela dan menghentikan Aibi lebih tidak bijaksana lagi. Karena akan terlihat ketidak kompakan

mereka di depan Pak Irwan, dan itu akan membuat Pak Irwan di atas angin, karena berhasil

membuat mereka pecah. Mau tidak mau, maka dia pun akhirnya berdiri dibelakang Aibi dan

menyahut. “Iya Pak. Coba Bapak jelaskan dengan lebih jelas lagi. Kenapa Bapak mengatakan

semua itu kurang relevan? Apa hanya gara-gara ke kurang relevanannya, maka Bapak

membubarkannya begitu saja? Kami tidak bisa terima Pak”. Sambar Aryo menambahkan dan yang

lain pun ikut berdiri di belakang Aibi.

Saat ini Aryo menganggukkan kepalanya kepada Aibi sebagai tanda agar Aibi melanjutkan apa yang

ingin di katakannya kepada Pembantu Rektor tiga mereka. Saat ini semua harapan diserahkan

kepada Aibi. Aryo percaya saja, pasti Aibi mempunyai cara yang jitu untuk mendebat Pembantu

Rektor tiga yang semena-mena itu. Karena yang dia tau Aibi adalah orang yang tidak mau berbicara

jika tidak mempunyai alibi yang kuat dan data-data yang kongkrit. Terbukti selama ini ide-ide Aibi

untuk FSI sangat dirasakan mampu memberikan dampak yang baik untuk perkembangan FSI

Page 46: Liza Punya

selama beberapa tahun belakangan.

“Maksud saudara apa? Apa urusan saudara dengan semua ini? Dan siapa saudara?”. Tanya Pak

Irwan terpancing dengan apa yang di lontarkan Aibi dan Aryo. Kali ini pandangan Pak Irwan lekat

ke tubuh Aibi yang kemudian merasa risih karena di pandang begitu tajam oleh Pak Irwan.

“Saya Aibi, Raisyah Aibi Rizaldi, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Jurusan Biologi semester tujuh. Saya sangat berkepentingan dengan masalah ini. Kalau tidak

ngapain saya ikut menemui Bapak ke ruangan ini. Saya ketua keputriannya Pak. Sedangkan Aryo

adalah ketua umum”. Kata Aibi mengawali. Demi mendengar apa yang di sampaikan Aibi,

membuat Pak Irwan terkejut.

Dalam hati dia berkata “Inikah mahasiswa terpintar yang dimiliki oleh universitas ini, yang

namanya sering di sebut-sebut oleh dewan dosen, terutama dosen FMIPA itu sendiri? Baru kali ini

dia berhadapan langsung dengannya. Sayang sekali pintar-pintar bergabung dengan orang-orang

bodoh yang menghabiskan waktunya hanya di mesjid dan mushola kampus yang kerjanya hanya

rapat-rapat yang tidak jelas. Seperti dunia ini akan selesai dengan rapat-rapat yang mereka lakukan.

Sungguh sangat menyedihkan”. Kata Pak Irwan dalam hati sambil memandang Aibi dengan penuh

ejekan.

Aibi tidak peduli dengan pandangan pak Irwan. Dia dengan santai mengambil tasnya dan

mengeluarkan tumpukan kertas-kertas yang sudah terlihat buram dan kusam dari tasnya. Semua

mata memandang heran kepadanya.

“Kemaren tidak sengaja saya lewat di samping gedung pengarsipan kampus ini dan saya

menemukan segepok kertas-kertas tidak bermakna ini tergeletak begitu saja di samping tong

sampah. Mungkin akan di bakar, atau barang kali ingin di jual ke tukang loakan, saya tidak tahu.

Saya penasaran dan saya mendekatinya dan tanpa berfikir panjang saya membaca lembar demi

lembarnya. Ternyata isinya adalah data-data yang sangat penting. Data-data tentang pelanggaran

yang dilakukan oleh mahasiswa dan dikeluarkan dari kampus dengan tidak terhormat.

“Ada satu hal yang menggelitik hati saya ketika membaca data-data ini, Kenapa data sepenting ini

dibiarkan terletak begitu saja? Tadinya saya mengambil data ini ingin saya berikan pada kepala unit

kearsipan kampus ini, tapi ternyata Allah punya rencana lain. Malah data ini sangat berguna untuk

menghadapi Bapak”. Kata Aibi lagi dengan kata penuh arti dan mimik wajah penuh keseriusan.

Cahaya matanya tampak berkilat-kilat di balik kacamata minusnya.

Aibi memang menemukan tumpukan kertas-kertas itu disamping gedung arsip kampus ketika dia

sedang menuju ke mushola Fakultas Teknik yang terletak tepat di belakang gedung tersebut. Tanpa

berfikir panjang dia mengambil kertas-kertas itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Sepintas

lalu di bacanya isinya tentang kasus-kasus pelanggaran yang di lakukan oleh mahasiswa. Bukankah

data-data itu sangat penting? Lalu kenapa kok dibuang? Apakah salah buang atau bagaimana?

Page 47: Liza Punya

Karena Aibi buru-buru mau rapat, maka dia langsung saja memasukkan kertas tersebut ke dalam

tasnya.

Dan sampai di rumah iseng-iseng Aibi membuka data-data tersebut, dia ternganga ketika melihat

dalam data yang di tulisnya lebih dari tujuh puluh lima persen dari mahasiswa yang dikeluarkan

dari kampus dengan cara yang tidak hormat berasal dari Fakultas teknik. Ketika di telusuri lebih

jauh oleh Aibi ternyata penyebabnya sama yaitu karena melakukan pelanggaran asusila. Tertangkap

karena menjadi gigolo, menjadi penghibur om-om berhidung belang dan kumpul kebo di kos-kosan.

Ini terjadi tahun 1995 yang marak dengan istilah ayam kampus.

Aibi terus menelusuri lembaran demi lembaran data yang ada di tangannya. Pada tahun 1996, Aibi

menemukan penurunan terhadap angka pelanggaran kasus mahasiswa dari tujuh puluh lima persen

turun menjadi enam puluh persen dan di lihatnya keterangan di bawah tabel tersebut, pihak kampus

bekerja sama dengan mahasiswa Rohis kampus yang kemudian di resmikan menjadi FSI

Universitas pada tahun 1997. Aibi semakin tertarik membaca dan mempelajari data-data tersebut

ketika di lihatnya pada tahun 2001 terjadi penurunan yang sangat pesat sekali. Dari enam puluh

persen turun menjadi lima persen, di akibatkan karena telah terbentuknya FSI di masing-masing

fakultas yang ada.

****

17

Sejarah Kelam

“Begini Bapak..... “ kata Aibi mengangsurkan data-data tersebut ke arah pak Irwan. “Dari data-data

tersebut saya baca, ternyata pada tahun 1995-1997 kampus kita ini pernah memiliki sejarah suram.

Ratusan mahasiswa kita dikeluarkan dari kampus dengan cara yang tidak terhormat karena terjaring

dengan berbagai pelanggaran kasus yang mereka lakukan. Dan dari sekian banyak kasus yang

mereka lakukan ternyata tujuh puluh lima persen kasus yang mereka lakukan adalah perbuatan

asusila. Bahkan perbuatan asusila itu sampai kepada dosen. Jika ingin nilai A, datang ke rumah

dosen dan temani dosen kencan, maka nilai A akan di dapatkan. Ini suatu fenomena yang sangat

memprihatinkan. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah tujuh puluh lima persen dari

mahasiswa yang berkasus adalah mahasiswa teknik. Karena kita tahu kuliah di teknik sangat susah

sekali dan butuh banyak biaya, maka mereka melakukan apapun untuk bisa lulus dalam setiap mata

kuliah yang mereka ambil. Sehingga banyak dari mahasiswa yang tertangkap karena menjadi gigolo

dan PSK. Dan tidak jarang ada mahasiswa yang tertangkap ketika sedang kencan dengan dosennya

sendiri.

“Ini sangat menohok hati dan merawankan fikiran. Sehingga pihak kampus pun kewalahan

menghadapi situasi yang serba tidak menentu. Dan pada tahun 1995 ada sekolompok mahasiswa

yang prihatin dengan kondisi kampus yang sangat rawan, mereka mengadakan rapat di Masjid

Page 48: Liza Punya

kampus yang ketika itu hanya menjadi simbol dari kejayaan islam di kampus ini, dan mereka

menamakan diri mereka dengan mahasiswa Rohis kampus. Di tengah-tengah keterpurukan mental

dan moral kampus, ternyata kehadiran mereka menjadi solusi bagi masalah yang di hadapi kampus.

Walaupun banyak mahasiswa yang berkomentar mereka orang-orang aneh, tapi mereka tidak

peduli.

“Awal pergerakan mereka mengadakan pengajian-pengajian di Masjid kampus.Walaupun yang

mengisinya dan mengikuti pengajian itu awalnya hanya mereka-mereka saja, tapi lama kelamaan

ada yang tertarik sehingga kekuatan mereka bertambah dan mereka pun menyusun strategi. Mereka

berhasil melobi Pembantu Rektor tiga yang ketika itu masih di pegang oleh Ir. Suharmon, MBA.

Karena beliau telah melihat dan menyaksikan apa yang telah mereka lakukan, maka Pak Suharmon

memberikan dukungan sepenuhnya kepada mereka.

“Dan mereka pun mulai beraksi dengan menempel seribu fhamplet di setiap gedung di kampus ini

dengan beragam kata-kata. Seperti budayakan malu, orang lain memang tidak melihat apa yang di

lakukan, tapi ingat Allah maha melihat. Aku malu jika ke kampus memakai kendaraan mewah, tapi

dengan hasil melacurkan diri, aku malu dapat nilai A, karena aku dapatkan karena merayu dosen.

Awalnya menuai protes di segala lini, tapi lama kelamaan protes itu hilang, dan pada tahun itu

terjadi pengurangan angka mahasiswa yang melakukan pelanggaran terhadap asusilah tersebut.

“Dari tujuh puluh lima persen turun menjadi enam puluh persen. Melihat perkembangan yang baik,

maka Pak Suharmon memutuskan untuk melegalkan rohis mahasiswa ini menjadi organisasi

mahasiswa, yang memberikan hak sepenuhnya untuk mengangkatkan acara-acara yang bertujuan

untuk memperbaiki moral mahasiswa yang telah rusak. Maka berdirilah FSI Universitas pada tahun

1996.

“Dan perkembangan itu semakin pesat terjadi ketika tahun 2001 terbentuk FSI di setiap Fakultas

yang ada. Pelanggaran turun menjadi lima persen. Walaupun tidak bisa di nol persen kan, tapi itu

sudah merupakan hasil yang sangat luar biasa. Ketika diteliti lebih lanjut Bapak, ternyata hal itu

terjadi karena pembinaan dalam bentuk mentoring yang dilakukan oleh anak-anak FSI di seluruh

fakultas. Bapak tahu, itu adalah kelompok-kelompok kecil yang Bapak katakan aneh tadi. Dan itu

yang kami lanjutkan hari ini. Kami tidak pernah berusaha menambah dan mengurangi cara yang

telah dilakukan oleh para pendahulu kami yang ketika itu digawangi oleh bang Andre Naufal.

“Jika hari ini Bapak membubarkan FSI Teknik maka saya khawatir sejarah suram itu akan kembali

terulang. Apalagi dengan kondisi bangsa seperti ini yang serba sulit. Mencari yang haram saja

susahnya minta ampun, apalagi mencari sesuatu yang halal. Belum lagi biaya kuliah dan biaya

hidup sehari-hari yang begitu tinggi. Jangan-jangan ayam-ayam kampus itu akan kembali lagi.

Siang menjadi mahasiswa, dan malam menjadi penghibur di jalanan. Syukur-syukur kalau hanya

menjadi penghibur, bagaimana kalau sampai menjadi penghuni kamar kosong di sudut hotel yang

Page 49: Liza Punya

ada di kota Padang ini?

“Tolong pak, tolong Bapak fikirkan lagi. Ini sangat berdampak buruk terhadap masa depan kampus

kedepannya Pak. Karena ketika Bapak mengatakan FSI Teknik mengajarkan ajaran sesat, otomatis

semua masyarakat kampus akan percaya dengan hal itu, dan lama kelamaan racun itu akan

menyebar ke FSI Universitas. Sedangkan yang kami lakukan selama ini tidak lain hanya ingin

membantu pihak kampus. Silahkan kampus memberikan bekal ilmu sesuai dengan jurusan mereka

masing-masing, kami akan membantu di ranah pembentukan moral. Tolong kasih kami kesempatan

lagi, pak”. Aibi telah kehabisan kata-kata untuk memberikan keterangan. Semua sejarah yang dia

ketahui tentang kampus dan FSI telah habis rasanya diceritakannya. Semua yang ada di ruangan itu

terdiam.

Dan Pak Irwan masih terlihat membalik halaman demi halaman kertas-kertas yang menumpuk di

mejanya. Di pelajarinya satu persatu dan di hubungkannya data-data tersebut dengan cerita yang

disampaikan Aibi, memang ada kecocokan. Tapi dia harus mempelajarinya lebih jauh lagi data-data

yang ada dan mengcroscek data-data tersebut ke unit pengarsipan kampus. Apakah data itu benar

berasal dari ruangan arsip atau bagaimana? Kalau iya betapa gegabahnya unit ke arsipan tersebut

membuang data-data penting begitu saja. Padahal data-data ini berisi tentang aib kampus mereka.

Untung saja di temui oleh anak-anak forum yang terkenal sangat baik dan jujur ini, kalau tidak?

Sebenarnya hati Pak Irwan sangat tergugah dengan anak-anak forum ini. Tapi tidak dapat dipungkiri

kalau belakangan dilihatnya mereka hanya sibuk dengan kader-kader mereka saja. Apalagi fakultas

teknik, hanya mereka saja yang sibuk dan kebaikan itu tidak ditularkan kepada yang lain. Tidak

pernah melibatkan orang lain. Terlalu menutup diri kepada orang-orang yang ada di sekeliling

mereka. Kalau yang perempuan-perempuan berjilbab panjang itu ketemu sesama dia, dia bercipika

cipiki, tapi ketika ketemu dengan orang-orang yang tidak berjilbab, mereka seperti enggan untuk

menyapa mereka. Kalau mereka mengatakan diri mereka adalah aktivis dakwah, bukankah

seharusnya orang-orang seperti itu yang menjadi objek dakwahnya?

Hal ini membuat Pak Irwan sangat geram sekali. Seolah-olah ada sekat yang memisahkan mereka. Seolah-olah mereka yang berjilbab lebar dan jenggotan itu mengatakan, merekalah yang paling sholeh dan memandang jijik pada orang-orang yang tidak sefikrah[17] dengan mereka, terlalu fanatik.“Saya tidak bisa percaya begitu saja dengan cerita yang saudara sampaikan. Bisa jadi saudara hanya

mengarang cerita tersebut untuk kepentingan kelompok saudara. Saya kurang yakin kalau data-data

yang saudara bawa ini akurat. Saya perlu mencek dan riceknya dulu kepada berbagai pihak yang

terkait dan kepada nama-nama yang saudara sebutkan tadi. Kalau data sesuai dengan cerita saudara,

maka saya akan pertimbangkan lagi keputusan saya membubarkan FSI Teknik. Tapi bukan berarti

saya membatalkan, saya tidak katakan begitu”. Tandas Pak Irwan dengan kejeniusannya bersilat

lidah. Padahal sudah jelas-jelas semua data-data dan cerita yang disampaikan Aibi tadi akurat dan

Page 50: Liza Punya

valid. Dia sendiri pun tahu dengan semua data dan keterangan yang disampaikan Aibi. Tapi untuk

menutupi kekalahannya, maka dia pun bersilat lidah.

Anak-anak Forum itu pun menahan nafas geram dengan Pembantu Rektor tiga nya ini. Sungguh

licik. Padahal mereka tadi sudah menyangka Pembantu Rektor tiga ini akan kalah telak dengan

semua fakta dan data yang di ungkapkan Aibi. Dasar licik. Batin mereka.

“Sekarang, saya rasa sudah tidak ada lagi yang perlu saudara jelaskan kepada saya”. Kata Pak Irwan

kemudian. Jelas sekali kalau dia ingin mengusir mereka dari ruangannya itu. Dan mereka pun tahu

diri. Tapi sebelum keluar Aryo sempat berkata “Kami menunggu hasil keputusan selanjutnya dari

Bapak. Kami harap Bapak bisa memberikan pertimbangan dengan seadil-adilnya untuk FSI Teknik.

Terima kasih atas waktu yang Bapak berikan”. Tandas Aryo sebelum keluar. Dan tanpa di duga Pak

Irwan pun mengulurkan tangannya kepada mereka. Tapi karena hati mereka panas dingin melihat

sikap Pembantu Rektor tiga nya yang sok itu, sehingga mereka menganggap uluran tangan itu

sebagai ejekan bagi kekalahan mereka dalam beradu argumen dengan Pembantu Rektor tiga.

****

18

Kejadian Di Taman Rumah

Cerita-cerita tentang sepak terjang Aibi di masa lalu itulah yang selalu menjadi penyemangat Naura

selama ini untuk berbuat lebih banyak lagi untuk FSI, untuk dakwah. Bagi Naura Aibi adalah

inspirasinya dalam kehidupan. Seorang yang berhasil menjalani kehidupannya dengan sebaik

mungkin, sukses akademik dan sukses organisasi. Sosok yang luar biasa, sosok yang tidak pernah di

kenalnya tapi mampu membangkitkan semangatnya untuk berprestasi.

Hari ini, dia yakin wanita yang ada di depannya saat ini adalah sosok yang menginspirasinya selama

ini. Lalu akankah dia melewatkan kesempatan emas ini begitu saja?

Setelah cukup lama menimbang, akhirnya Naura memutuskan untuk mendekati Aibi yang sedang

asik bercengkrama dengan dua jundi kecil Deni. Dengan langkah gontai di dekatinya Aibi. Dia

sudah putuskan, dia akan menuntaskan kepenasarannya selama tiga hari ini tentang siapa Aibi

sebenarnya. Karena ketika kenalan Aibi tidak bercerita tentang banyak hal, hanya menyebutkan

namanya saja itupun hanya nama kecil. Naura yakin Aibi yang ada di hadapannya hari ini, yang

untuk dua bulan kedepan akan tinggal serumah dengannya adalah Aibi yang selama ini gencar di

ceritakan oleh segala pihak di kampus. Bukankah ini adalah sebuah anugerah yang sangat indah

bisa berjumpa dengan orang hebat seperti Aibi, yang ketangguhannya telah di akui kawan maupun

lawan.

Naura terus mendekat dan semakin dekat. Sesaat Naura bingung bagaimana cara memulai bertanya

kepada Aibi. Tapi dia tetap melanjutkan untuk mendekati Aibi, karena jaraknya sudah kadung dekat

dengan Aibi.

Page 51: Liza Punya

“Boleh duduk di sini Kak?” Tanya Naura setelah berada persis di depan Aibi. Aibi yang sedang

asyik bermain ketawa ketiwi dengan Fathi dan Rahmat pun menoleh dan menengadahkan kepalanya

sembari tersenyum lebar. Kaca mata minus yang di pakainya berkilat-kilat karena di terpa cahaya

matahari sore. Dan senyum yang terlukis di bibirnya begitu indah dan menyejukkan hati Naura.

“Silahkan Dik, tafadholi ya ukhti shoghira[18]?” kata Aibi kemudian sambil mengulurkan tangannya tanda mempersilahkan dengan senyum masih mengambang di bibirnya.“Syukron Kak”.

“ Afwan[19], dinda”.“Hmm...Boleh bertanya sesuatu Kak?” tanya Naura kemudian setelah beberapa saat terdiam karena

bingung bagaimana cara mulai bertanya tentang semua kepenasaranannya semenjak pertama kali

bertemu dengan Aibi.

Aibi kembali menoleh dan menatap lekat kepada Naura yang duduk di bangku taman yang ada di

samping kirinya. Sedangkan dia sendiri tentu saja duduk di atas kursi rodanya.

“Mau bertaya apa, dik? Silahkan…Kalau Kakak bisa jawab Insya Allah akan Kakak jawab, tapi

kalau tidak nanti kita cari bersama jawabannya”. Kata Aibi ramah sambil tetap tersenyum indah.

Aduh, senyum itu... Benar itu adalah senyum milik mujahidah[20] tangguh yang enam tahun lalu

ada di kampusnya. Dia sering melihat senyum khas itu di dokumen keputrian sekre FSI. Karena di

sana ada beberapa lembar foto Aibi yang sedang memberikan kenang-kenangan kepada para

pemateri yang di undang dan sedang memberikan kata sambutan. Tidak salah lagi pemilik senyum

itu adalah Raisyah Aibi Rizaldi yang selama ini telah di kaguminya. Setiap kali dia membuka

dokumen keputrian angkatan Aibi, selalu dia rindu dengan senyuman itu dan selalu berdo’a di

dalam hati agar suatu saat nanti di pertemukan dengan pemilik senyum itu.

Ketika semua senior telah kehabisan harapan untuk bisa berjumpa lagi dengan Aibi, tapi dia dengan

keyakinan membara di dalam hati berkata, suatu saat nanti Allah pasti akan mengirim Aibi lagi

kesini.Selagi dia masih hidup Insya Allah dia akan dipertemukan dengannya yang merupakan

mahasiswa kebanggaan para dosen dan kader andalan FSI di masanya. Tidak ada yang tahu persis

apa yang terjadi dengan Aibi setelah kecelakaan di hari jum’at itu. Karena tiga hari setelah dia

mengalami kecelakaan, orang tuanya memindahkannya ke rumah sakit di Jakarta agar bisa di

tangani oleh dokter yang lebih ahli dan mempunyai peralatan medis yang lengkap dan canggih.

Setelah itu tidak bisa di hubungi lagi karena kesibukan orang tuanya memikirkan nasibnya dan

mengurus segala keperluannya untuk mendapatkan pengobatan dan kembali sembuh seperti sedia

kala akhirnya mereka lupa mengirimkan kabar ke Padang.

Sudah begitu lama dia memendam rasa rindu ingin berjumpa dengan Aibi. Akankah wanita yang selalu menjadi buah bibir para dosen dan mahasiswa apalagi para kader terdahulu itu di lepaskannya begitu saja? Tidak.... dia tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia harus membawa Aibi kembali ke kampus untuk berbagi pengalaman dan ilmu kepada para kader. Mengingat, kondisi kader hari ini sangat memprihatinkan. Kader semakin banyak namun yang terbina belum seberapa. Banyak dari

Page 52: Liza Punya

kader yang hari ini lalai dengan amanah yang diberikan. Banyak dari kader yang ada hari ini menjadi duri dalam daging bagi jama’ah. Karena menjelekkan nama jama’ah dengan VMJ[21] yang semakin meraja lela. Ada akhwat yang dekat dengan ikhwah[22] yang untuk memperindah hubungan mereka mengatakan kepada semua kader kalau mereka saudara angkat sehingga bisa berboncengan dan berbicara berduaan di sembarang tempat. Andaikan mereka tahu, Rasulullah saja untuk menghilangkan istilah angkat mengangkat di dalam

islam menikahi istri anak angkat beliau sendiri. Istri Zaid Bib Haritsah, Zainab. Rasulullah ingin

mencontohkan kepada para sahabat dan kepada kita semua betapa sesungguhnya tidak ada

hubungan apa-apa dengan saudara angkat. Dia tidak akan berubah menjadi muhrim bagi kita, tapi

tetap non muhrim. Jadi tidak ada satupun yang menghalalkan mereka untuk berboncengan dan

berkhalwat di sembarang tempat. Mereka tetap harus menjaga hijab dan pergaulan.

Dan masih banyak lagi permasalahan lainnya yang terjadi di kampus tercintanya hari ini. Hari ini

saja, betapa dia ingin kembali ke kampus secepatnya karena banyak amanah yang di tinggalkannya

di Padang. Banyak perencanaan besar yang harus di laksanakan di Padang. Hampir setiap menit dia

di hubungi akhwat yang menangis memberitahukan perkembangan kampus, padahal baru lima belas

hari di tingggalkannya. Betapa hatinya terusik dengan itu semua. Apa lagi kawan-kawan KKN yang

setempat tinggal dengannya tidak ada yang bisa di ajak berkompromi. Mereka semua anti dengan

anak forum. Setiap breafing, mereka selalu menyalahkannya dan selalu memojokkannya. Betapa dia

benci dengan semua itu. Padahal di Kampus dia orang hebat yang aktif di lembaga dakwah, tapi

kenapa disini dia merasa tidak berdaya sedikitpun? Ternyata kehebatan di kampus tidak

berpengaruh terhadap dirinya.

Jika selama ini yang dihadapinya hanya orang-orang yang sepaham dengannya yang selalu berucap

“Afwan” ketika berbuat salah dan “syukron” ketika di bantu, hari ini dia berhadapan dengan orang-

orang yang notabenenya orang-orang ammah[23] yang seperti mereka katakan selama ini. Dalam

dua minggu ini saja sudah enam kali dia menelfon Uni Murabbinya[24] di Padang sambil

menangis-nangis dan mengeluhkan tidak sanggup di sini, karena tempat liqoo’ juga sangat susah

sekali. Berkali-kali dia minta pulang saja ke Padang. Ah ternyata betapa rapuh dirinya, sedikit pun

dia tidak pantas untuk menjadi pengganti Aibi.

Perasaannya membuncah ketika melihat senyum Aibi yang selama beberapa tahun hanya di lihatnya

dari lembaran-lembatan foto itu pun telah membuatnya tercekat. Dengan gerakan cepat dia

langsung berhamburan kepelukan Aibi yang duduk di kursi roda. Sehingga Aibi yang di serobot

seperti itu menjadi terkejut.

“Kakak, aku tidak menyangka akan menemukan Kakak disini. Setelah bertahun-tahun aku menanti

pertemuan ini. Hari ini Allah mengabulkannya Kak”. Ungkap Naura di pelukan Aibi. Mendapatkan

perlakuan seperti itu, tentu saja Aibi terkejut dan tidak mengerti. Apa maksud Naura? Bukankah dia

tidak pernah bertemu dengan Naura sebelumnya? Lalu kenapa Naura mengatakan telah lama

Page 53: Liza Punya

menunggunya? Ditengah kebingungannya dia berusaha membelai lembut Naura “Apa maksudmu

dik? Kakak tidak mengerti” Ungkap Aibi akhirnya.

“Kapan Kakak akan kembali lagi ke kampus Kak? Kami semua menunggu Kakak. Bertahun-tahun

kami berharap Kakak akan datang ke kampus, tapi Kakak tidak pernah muncul-muncul lagi.

Kenapa Kakak biarkan kami berjalan sambil meraba-raba Kak? Padahal selama ini Kakak ada di

sini. Kak, datanglah ke kampus Kak. Kami butuh Kakak di kampus. Banyak orang yang menunggu

kehadiran Kakak di sana. Kenapa Kakak tidak pernah memberikan kabar kepada kami? Kenapa

Kak? Kenapa setelah kecelakaan itu Kakak menghilang begitu saja? Kenapa Kak?” Naura menangis

sudah di pelukan Aibi. Dia sudah tidak tahan lagi, hati kecilnya yakin kalau Aibi adalah orang yang

selama ini di rindukannya, walaupun dia tidak pernah berjumpa.

Sementara Aibi yang mendapatkan perlakuan seperti itu secara tiba-tiba dari Naura, membuatnya

tidak siap. Pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan Naura sangat menusuk-nusuk hatinya. Siapa

wanita ini? Begitu teganya dia mengungkit segalanya. Selama bertahun-tahun dia berusaha menata

kembali hidupnya setelah kecelakaan itu. Lalu sekarang kenapa dia datang dengan seribu tanya

yang sangat menghujam hati Aibi? Dia datang bagai malaikat penghancur yang siap

menghancurkan tembok pertahanan hati Aibi. Tidakkah dia tahu kalau Aibi sendiri hampir gila

memikirkan semua itu?

Dengan kasar di dorongnya tubuh yang memeluk erat dirinya. Dengan mata merah menyala Aibi

melepaskan cengraman di tubuhnya yang kecil dan lemah.

“Stop Naura...” Suara Aibi terdengar melengking. Kerongkongannya kering oleh air mata .

“Hentikan semua itu... Lepaskan aku. Lepaskan... “ kata Aibi kemudian sambil terus mendorong

tubuh Naura agar menjauh darinya. Tapi Naura semakin memperkuat pelukannya.

“Tidak Kak. Aku tidak akan melepaskan, Kakak. Kenapa Kak? Ini adik Kakak di kampus, bukan

orang lain. Kenapa Kak? Seperti inikah penyambutan Kakak untukku? Beginikah kader terbaik

yang dibanggakan oleh semua orang? Inikah mahasiswa tercerdas yang pernah dimiliki kampus?

Begitu kasar melepaskan pelukanku darinya. Kenapa aku harus melepaskan pelukan ini? Salahkah

aku, kalau aku merindukan Kakak? Walaupun aku belum pernah berjumpa sama Kakak? Kak,

kenapa setelah kecelakaan itu Kakak tidak pernah memberikan kabar kepada kami?”

“Karena kecekaan itu hampir membuatku gila. Puas kamu? Saya mohon padamu, jangan pernah

ungkit masalah itu lagi. Izinkan saya hidup dengan tenang, dik. Saya mohon!”. Sambar Aibi cepat

dengan berurai air mata. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit sekali. Dadanya sesak dan air mata

itu semakin deras membanjiri pipinya. Hatinya sakit mendengarkan semua pertanyaan Naura.

Kata-kata Naura terasa mencabik-cabik hatinya. Entah dapat kekuatan dari mana, di dorongnya

tubuh yang memeluknya itu dengan keras. Dia pun langsung memutar kursi rodanya dengan sekuat

tenaga. Tapi, karena emosinya sedang tidak stabil dan tidak berhati-hati ternyata ada batu yang

Page 54: Liza Punya

mengganjal roda kursinya.Aibi jatuh terjerambab dan kepalanya tertimpa kursi besi itu.

Menyadari hal itu, secepat kilat Naura menyambar Aibi, tapi hati Aibi telah di penuhi kebencian

kepada Naura dengan kasar di tepisnya tangan Naura, sedang matanya merah menahan amarah.

Tiba-tiba gadis yang beberapa hari ini diam-diam sering di perhatikannya itu, hari ini telah menjadi

orang yang paling di bencinya karena telah tega menghancurkan ketenangan yang selama bertahun-

tahun berusaha untuk diciptakannya

“Jangan sentuh aku. Biarkan aku sendiri. Aku tidak ingin tanganmu menyentuh kulitku. Biarkan

aku. Pergi kamu... Pergi kamu dari hadapanku. Aku benci padamu. Jangan pernah lagi kamu

memperlihatkan wajahmu di depanku”. Kata Aibi sambil berteriak-teriak mengusir Naura.

Sementara Naura tidak juga pergi dari sana. Dia terus menangis dan tidak menyangka semuanya

akan seburuk ini. Dan dia tidak mengerti, kenapa semuanya tiba-tiba berubah seperti ini? apa yang

telah di lakukannya?

“Kak, maafkan aku Kak. Aku tidak bermaksud membuat Kakak sedih. Sungguh Kak, aku…”. Ucap

Naura lagi sambil tetap berusaha membantu Aibi. Tapi sungguh sedikitpun Aibi sudah tidak mau di

sentuh lagi. Dalam waktu seketika kelembutan yang ada di hatinya seperti telah tercerabut dari sana.

Dia terus berusaha menggapai-menggapai untuk naik kembali ke kursi rodanya, tapi sedikitpun dia

tidak bisa. Sesentipun dia tidak bisa naik lagi ke atasnya. Sementara Naura terus menangis di

samping Aibi dengan tegak mematung. Dia merasa bersalah dengan semua ini. Dialah penyebabnya

sehingga membuat Aibi terjatuh dari sana.

“Puas kamu melihat saya seperti ini? Hah...? Ini yang kamu inginkan bukan? Kamu bahagia bukan

melihat aku tidak berdaya seperti ini? Kamu bahagia bukan melihat kelumpuhanku? Kenapa kamu

datang mencerabuti segala ketenangan yang ada di hatiku? Kamu tahu, bertahun-tahun saya

berusaha untuk melawan semua ini. Bertahun-tahun aku berjuang untuk melupakan semuanya yang

pernah terjadi dalam diriku. Ketika baru saja saya bisa berdamai dengan hati ini, lalu kenapa kamu

datang untuk mengganggu segalanya? Mengungkit-ungkit masa laluku.Kenapa? Kenapa kamu

datang dengan segala tuntutanmu?”. Lolong Aibi lagi sambil terus berusaha menggapai-gapai naik

ke kursi rodanya.

Sementara Naura semakin menangis di samping Aibi. Ia semakin paham, kenapa Aibi sangat marah

sekali. Kenapa selama bertahun-tahun Aibi tidak memberikan kabar kepada teman-temannya di

Padang? Dan pahamlah dia dengan semua cerita yang di sampaikan oleh seniornya selama ini.

“Maafkan aku Kak”. Lirih Naura pelan.

“Pergilah... Pergilah kamu dari sini sebelum aku benar-benar membencimu. Tinggalkan aku sendiri

disini. Biarkan aku dengan kelumpuhanku yang tak kan pernah bisa sembuh. Tinggalkan aku

dengan kelemahanku. Pergi... Pergi dari hadapanku. Aku mohon padamu, pergilah... pergi kataku”.

kata Aibi sambil mendekapkan dua tangannya kepada Naura yang masih berdiri di sampingnya.

Page 55: Liza Punya

Sedang air matanya terus mengalir deras. Naura berlalu dari sana dengan air mata berlinang. Dia

menyesal telah melakukan semua kebodohan ini. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan

selanjutnya

Oh Tuhan.. Padahal tadi Naura benar-benar tulus mengatakan semua itu kepada Aibi. Apakah Aibi

belum bisa menerima semua kenyataan yang terjadi? Sehingga dia sangat terpukul dengan apa yang

di sampaikan Naura?

***

19

Rahasia Aibi

Rahmi dikagetkan dengan suara lantang Fathih yang masuk ke dalam kamarnya dengan berteriak-

teriak memanggilnya. “Tante Lahmi... Tante Lahmi... tolong tante... Tolong... Tante Bibi teljatu di

taman. Tolong tante... Tante Bibi menangis tante...”

Rahmi yang sedang di kamar mandi segera keluar. Ia berlarian menuju taman depan. Tak sengaja ia

menabrak Naura. Tangis Naura masih menderu. Dia ingin bertanya apa yang terjadi? Begitu sampai

di taman depan, di dapatinya Aibi sedang menangis sambil tetap terus berusaha menggapai-gapai

naik ke kursi rodanya.

Rahmi yang melihat kondisi itu, langsung mencengkeram tubuh Aibi dan menaikkannya ke kursi

roda. Kemudian mendorongnya masuk ke dalam. Sedang Aibi masih saja terus menangis terisak-

isak seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Rahmi semakin bingung apa yang terjadi

sebenarnya dengan Aibi dan Naura. Kenapa tadi dia juga melihat Naura masuk ke dalam juga

sambil menangis? Kenapa Naura tidak membantu Aibi untuk naik ke atas kursi rodanya?

Sesampai di kamar Aibi masih menangis sejadi-jadinya. Ingatannya melayang ke masa enam tahun

yang lalu ketika dia akan melintasi jalan raya dan tiba-tiba mobil kijang Innova hitam itu melindas

tubuhnya yang ringkih sehingga membuatnya cacat seumur hidup. Masa depannya menjadi sirna.

“Ya Tuhan, kanapa dia harus di ingatkan lagi dengan kejadian yang hampir saja membuatnya gila

selama ini? Kenapa harus ada Naura? Kenapa dia harus berjumpa dengan Naura? Lalu apa

alasannya dia harus marah-marah kepada gadis itu? Bukankah dia begitu tulus ketika mengatakan

semua yang menyakitkan itu kepadanya? Betapa kejamnya dia. Tega menyakiti hati yang lembut,

seperti hati Naura. Tapi dia belum siap untuk menghadapi semua ini.

Dia masih sering termenung ketika bangun dari tidurnya dan didapatinya dirinya tidak bisa apa-apa.

Ya Allah, apakah ini saatnya dia harus menerima kenyataan sepahit ini? Oh.. sungguh ya Allah,

semua ini sangat menyakitkan. Bahkan terlalu menyakitkan ulu hati rasanya. ”

Aibi menangis berjam-jam lamanya. Dia tidak menyangka semua ini akan seperti ini akhirnya. Ia

sebetulnya masih belum siap menerima keadaannya yang lumpuh dan tak berdaya. Mungkin orang

yang melihatnya percaya bahwa Aibi ikhlas dengan semua ini. Namun sesungguhnya jauh dari

Page 56: Liza Punya

lubuk hatinya paling dalam belum bisa menghadapinya. Buktinya dia masih sering marah dengan

apa yang di katakan Naura di taman. ***

Warna semburat di ufuk barat terkesan sangat elegan sekali. Satu dua burung camar terbang rendah

menuju tepi laut. Para kalong pekerja malam pun mulai keluar dari tempat peraduanya. Malam ini

entah buah-buahan di kebun siapa lagi yang akan mereka satroni. Tidak ubah seperti penyamun

yang merampas semua barang bawaan para musafir atau pedagang di perjalanan, tanpa belas

kasihan semua harta mereka di jarahnya.

Desauan angin sore pun menerpa muka, terasa sejuk di hati. Dia seolah berbisik kabar orang-orang

nun jauh di sana. Berbagi pengalaman dan berbagi rasa. Jendela kamar itu belum tertutup padahal

sebentar lagi maghrib akan menjelang. Penghuninya masih saja memandang lurus ke depan.

Berkali-kali dia menghembuskan nafas berat. Matanya nanar seperti habis menangis. Berdiri tegak

mematung sambil mendekapkan dua tangan ke dadanya. Dia bimbang apa yang harus di

lakukannya. Dia ragu apa yang harus di perbuatnya. Apa yang terjadi di taman tadi sangat

mengganggu pikirannya. Bertahan di sini, hanya akan memperburuk keadaan. Tapi bukankah orang

yang punya rumah telah mengusirnya?

Kembali ke Padang pun itu tidak mungkin. Jika dia ditanya oleh Ayah dan Bundanya kenapa

akhirnya pulang dan tidak melanjutkan KKN, apa yang akan di akan dijawabnya? Akankah dia

menceritakan kejadian di taman tadi? Meminta digantikan oleh kawan yang ada di Jorong[25] lain,

apa itu memungkinkan? Bukankah pembagian lokasi langsung di atur dari kampus? Kalaupun

temannya mau, pertanggung jawaban ke kampus bagaimana?

Kebimbangan itu akhirnya pecah menjadi tangis. Akhirnya suara isakan tertahan memecah ruangan.

Dia benar-benar menyesal dengan semua yang telah di lakukannya. Dia terlalu gegabah dalam

berbuat. Kenapa dia tidak membaca situasi dengan lebih jeli lagi? Kenapa dia begitu berambisi

untuk mengungkap segalanya? Bukankah waktunya masih lama disini? Lalu, apa yang harus

dilakukannya sekarang? Meminta maaf ke Aibi sudah tidak mungkin lagi, karena Aibi terlanjur

telah mengusirnya

Ah... pulang ke Padang dan membatalkan KKN tahun ini menjadi pilihan yang harus di tempuh.

Biarlah di ulangnya lagi KKN tahun depan. Ini semua adalah resiko yang harus di tanggungnya,

karena telah berbuat tanpa berfikir pajang. Untuk apa lagi dia bertahan di sini toh orang yang

menampungnya telah mengusirnya. Naura sudah memutuskan akan kembali saja ke Padang

Sementara Aibi telah larut dalam perasaaan. Ia merasa semuanya serba sulit. Menerima kenyataan

bahwa dirinya saat ini lumpuh dan selalu di suntik setiap kali rasa sakit menyerangnya saja sudah

membuatnya cukup stres. Betapa hatinya tidak tega ketika memarahi dan meneriaki Naura. Oh

Tuhan, sungguh betapa sulit untuk bisa menerima semua ini.

Adzan maghrib telah berkumandang 10 menit yang lalu, tapi Naura masih berdiri di jendela

Page 57: Liza Punya

kamarnya. Ia masih bimbang dengan keputusan yang di ambilnya. Benarkah dia harus

meninggalkan semuanya? Setelah lelah berfikir apa yang harus di perbuat, akhirnya dia larut dalam

sujud-sujud panjangnya. Tidak ada hal yang lebih ampuh yang bisa membuat hati ini tenang,

kecuali setelah mengingat Allah. Dia terus bercengkrama dengan Allah daan terus berdoa .

Menyelami dasar hatinya dan meyakinkan dirinya untuk mengambil keputusan untuk kembali ke

Padang.

Makan malam telah di gelar. Seisi rumah kecuali Naura dan Aibi telah duduk bersila di lantai rumah

yang di alasi tikar permadani. Mereka mengambil nasi dan memasukkannya ke dalam piring

masing-masing. Si Jundi kecil pun tidak ketinggalan. Mereka tak kalah cekatan dalam mengambil

dan memindahkan sambal yang di buat Bundanya ke piringnya. Seperti akan di habiskannya semua

yang ada.

Aibi dan Naura masih bertafakur di sajadah masing-masing. Naura berdo’a agar di mantapkan

hatinya untuk mengambil keputusan pulang ke Padang, sedangkan Aibi sedang memohon agar di

lapangkan hatinya untuk menerima kenyataan yang ada.

****

“Dik, tolong antar Mbak ke kamar Naura Dik”. Kata Aibi kepada Rahmi begitu Rahmi masuk

kamar setelah selesai makan malam.

Tanpa berfikir panjang dan bertanya Rahmi langsung mengangkat tubuh Aibi yang sedang terduduk

di atas sajadah yang terhampar ke atas kursi roda dan memandu tubuh itu menuju kamar sebelah,

kamar Naura.

Pintu kamar sedikit terbuka, diintipnya dari celah pintu, sepertinya Naura yang juga masih pakai

mukena. Ia sedang membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam travel bag

hitamnya. Hatinya telah mantap akan kembali ke Padang besok pagi. Teringat dengan kata-kata

yang di ucapkannya tadi sore di taman, “pergilah kamu dari sini sebelum aku benar-benar

membencimu”. Setelah menimbang sesaat, disuruhnya Rahmi meninggalkannya sendirian di depan

pintu.

Setelah menghirup nafas dalam-dalam Aibi akhirnya mengetuk pintu kamar yang sudah agak

terkuak dan mengucapkan salam. Mendengar suara siapa yang ada di luar, Naura buru-buru

menghapus air matanya dan membuka pintu sambil menjawab salam.

“Kak Aibi....” Kata Naura begitu pintu terbuka. Dengan bibir tersenyum Aibi menjawab. “Boleh

Kakak masuk dik?” tanya Aibi kemudian dengan suara lembut, tidak seperti tadi di taman marah-

marah dan berteriak.

“Oh.... bo..bo..bo.. boleh Kak..”. jawab Naura gugup.

“Kalau gitu, tolong dorong kakak ke dalam, ya”. Kata Aibi lagi. Tanpa di minta dua kali Naura pun

mendorong kursi roda Aibi ke dalam kamar.

Page 58: Liza Punya

“Tolong di kunci dulu pintunya ya dik, Kakak ingin bicara denganmu”. Kata Aibi lagi setelah

berada di dalam. Naura pun menurut

Ruangan dalam waktu sesaat berubah sangat mencekam. Naura hanya menundukkan kepalanya

duduk di tepi ranjang berada di depan Aibi sambil menatap ujung kakinya yang tertutup mukena.

Setelah menghirup nafas berat, Aibi pun buka suara.

“Kakak minta maaf, karena telah marah-marah padamu Naura. Tidak sepantasnya Kakak

memperlakukanmu seperti tadi, padahal maksudmu baik. Tapi dik, semenjak kecelakaan enam

tahun yang lalu Kakak sangat sensitif sekali ketika ada orang yang mempertanyakan tentang

kecelakaan itu sama Kakak. Kecelakaan yang Kakak alami enam tahun yang lalu itulah yang telah

membuat Kakak lumpuh seperti ini. Kakak masih tidak percaya dengan semua itu. Semuanya

terjadi begitu tiba-tiba.

“Bahkan terkadang Kakak masih gamang ketika Kakak terbangun dari tidur mendapati diri ini tidak

bisa lagi bergerak. Kakak merasa kecelakaan itu telah merusak segalanya. Telah membuyarkan

berjuta impian dan cita-cita masa depan yang telah Kakak bangun selama bertahun-tahun. Lima

tahun Kakak terpuruk dalam kesengsaraan dan menghujat Allah atas apa yang menimpa diri Kakak.

Kakak merasa Allah tidak adil. Kenapa harus Kakak yang menerima semua ini dan ini semua terasa

sangat berat, dik. Bukankah selama ini Kakak telah mengabdikan segenap jiwa dan raga untuk

mengabdi kepadaNya? Lalu kenapa masih di timpakan cobaan yang begitu berat kepada Kakak?

Kakak frustasi dan putus asa. Kakak tidak sanggup hidup seperti ini dik.

“ Bertahun-tahun kak merenung dan berusaha mengembalikan kepercayaan di dalam diri kakak.

Dan ketika Kakak sadari, sikap yang over protektif seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Kakak berusaha untuk menerima kenyataan yang sangat menyakitkan ini. Kakak berusaha untuk

menerima kalau Kakak hari ini bukanlah Aibi yang dulu karena kakak akan melalui hari-hari di atas

kursi roda ini. Semua harapan telah pudar Dinda. Ini semua membuat Kakak tidak berani untuk

berjumpa dengan orang-orang yang pernah Kakak kenali di masa lalu. Kakak malu, karena kakak

tidak sehebat yang mereka kenal enam tahun yang lalu. Kakak juga malu, bila kelak mereka melihat

kakak yang sudah tidak bisa apa-apa, kecuali hanya duduk manis di atas kursi roda. Kakak malu

dik, karena kakak akan menjadi bahan pembicaraan dan bahan perhatian orang-orang. Kakak belum

sanggup menerima semua itu.

“Dik, maukah kamu memaafkan Kakak, yang telah mengata-ngataimu dengan kata yang sangat

perih? Bahkan Kakak juga sempat mengusirmu dari sini? Maukah kamu memaafkan Kakak dik?

Kakak mohon maafkan Kakak, .” kata Aibi sambil menangis di depan Naura. Tubuhnya bergetar

hebat di atas kursi rodanya. Hatinya lega, ada yang terlepas rasanya dari hatinya yang selama ini

terasa sangat mengganggunya ketika mengingat bagaimana dirinya dulu sangat aktif dan sekarang

hanya terduduk tak berdaya dari kursi rodanya.

Page 59: Liza Punya

Naura sudah tidak tahan lagi dan langsung berhamburan ke pelukan Aibi dan menangis disana

sejadi-jadinya. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, kecuali hanya isakan tangis yang

menyayat hati.

“Ya Allah sungguh mulia hati wanita ini. Intan tetaplah intan walaupun dia terbenam di lumpur

hitam. Emas pun tidak akan bertukar dengan loyang”. Bisik Naura di dalam hati.

“Maafkan Naura juga, Kak. Karena Naura telah membuat Kakak sedih”. Ungkap Naura dengan

berurai air mata dan dengan suara yang terbata-bata.

“Kamu tidak salah Naura. Justru Kakaklah yang terlalu sensitif. Mungkin inilah cara Allah untuk

menyadarkan Kakak agar bisa menerima semua ini dengan sebenar-benarnya. Inilah cara Allah

untuk memanggil Kakak kembali kepada kehidupan yang pernah Kakak jalani sebelumnya. Kamu

dikirim Allah khusus untuk menjemput Kakak kembali dinda. Kamu dikirim untuk membukakan

mata hati Kakak untuk menerima segalanya

“Tapi berjanjilah satu hal kepada Kakak dik! kakak mohon jangan beritahukan dulu keberadaan

Kakak di sini kepada yang lain. Kakak belum siap untuk berjumpa dengan mereka, dik. Lahir dan

bathin. Apalagi dengan kondisi seperti ini dik. Biarkan Kakak menata hati dulu. Kakak janji, suatu

saat nanti ketika sudah siap, Kakak akan datang dengan sendirinya ke kampus dan berjumpa dengan

mereka. Kakak juga masih ada urusan ke kampus, menemui Rektor dan meminta ijazah S1. Mau

kah kamu berjanji dengan Kakak akan satu hal itu?” Kata Aibi lagi sambil menggenggam tangan

Naura dengan erat.

Naura tidak menjawab dengan kata-kata tapi hanya dengan anggukan kepala dan dengan air mata

yang masih saja berjatuhan di pipinya. Aibi pun kembali memeluk hangat tubuh Naura.

Naura semakin larut dengan perasaannya dan tangisnya pun semakin pecah. Dia tidak pernah

menyangka akan bisa sedekat ini dengan Aibi yang selalu di ceritakan Murabbinya tentang

kehebatan dan ketangguhan Aibi selama dia kuliah. Mereka pun saling bertangisan.

Keberadaan Naura di rumah Aibi menjadi sangat menyenangkan bagi Aibi, karena dia selalu

bernostalgia dengan masa lalunya tentang kondisi kampus yang di hadapinya dulu. Di ceritakannya

semua yang terjadi di kampus dan apa yang telah di lakukan anak FSI untuk meyakinkan para

dosen, sehingga keberadaan mereka di rasakan oleh segenap civitas akademika kampus.

***

20

Ujian Telah Berlalu

Hari-hari terasa semakin bermakna bagi Aibi. Dia semakin membenamkan dirinya dalam kesibukan

mengurus yayasan peduli anak bangsa yang di dirikannya. 12 Mahasiswa KKN yang tinggal di

rumahnya sangat membantu banyak hal untuk yayasan tersebut. Mulai dari pembangunan dan

sosialisasi ke masyarakat di serahkannya kepada anak-anak muda yang mempunyai pemikiran

Page 60: Liza Punya

kreatif untuk merubah wajah bangsa ini.

Kekompakan pun semakin terlihat dari kelompok KKN yang tinggal di rumah mewah Aibi. Tidak

ada lagi saling tuding dan saling menyalahkan. Mereka tidak lagi suka menyalahkan Naura yang

mereka anggap terlalu ekstrim. Aibi pun selalu mengingatkan Naura untuk menerima semua

kritikan dari mereka untuk FSI karena itu sangat berguna sekali untuk ke depannya. Agar para kader

tahu apa yang harus di perbaiki dan di tingkatkan.

Beruntunglah mereka menyampaikan semua kritikan itu ke Naura yang merupakan pucuk pimpinan

para akhwat di kampus. Tentu kritikan yang mereka sampaikan akan mendapatkan tanggapan yang

positif karena gayung akan bersambut.

Hari-hari yang di lalui semakin menyenangkan bagi mereka. Pemikiran negatif tentang masyarakat

Pesisir yang mereka dapatkan di awal ternyata tidak mereka temui. Mereka melihat kalau orang

Pesisir sangat keras dan kasar, tapi itu semua ternyata karena kebiasaan dan pengaruh geografis

daerah. Penduduknya baik dan perhatian. Kalau ada acara pasti mereka akan di undang dan di ajak.

Setiap kali mereka berjalan ke kampung-kampung yang ada di jorong untuk melaksanakan program

KKN berupa penyuluhan mereka disambut hangat. Oleh penduduk. Semuanya memanggil mereka

untuk mampir di rumahnya masing-masing. Bahkan sampai ada yang memberikan hasil kebunnya

kepada mereka. Jadilah mereka pulang dengan membawa banyak buah tangan, mulai dari pisang,

singkong sampai pada berbagai jenis sayuran hijau. Selalu ada yang mereka bawa pulang ke rumah

setiap kali melakukan penyuluhan.

****

Waktu KKN telah habis. Hari ini mereka akan kembali ke Padang dan kembali di sibukkan dengan

berbagai aktifitas perkuliahan. Banyak pengalaman yang mereka dapatkan di lokasi KKN terutama

bagi Naura. Banyak hal yang di dapatkannya di lokasi KKN dan yang lebih penting dari semua

peristiwa yang di alaminya di lokasi KKN tak lain adalah kejadian di taman sore hari itu. Dia tidak

akan melupakan kejadian di sore hari yang menjadi awal kedekatannya dengan Aibi yang selama ini

di rinduinya.

Betapa semenjak itu dia tidak ingin jauh dari wanita mulia itu. Pasti dia akan merindukan Aibi

nantinya. Ah, rasanya dia tidak ingin kembali lagi ke Padang. Dia ingin di sini selamanya bersama

Aibi. Berada disamping Aibi mampu memberikan ketenangan di hatinya. Masalah sebesar apapun

yang di hadapinya menjadi tidak berarti lagi jika sudah melihat wajah Aibi. Benar yang dikatakan

Rahmi tempo hari. Mbak Aibi adalah inspirasi kehidupan banyak orang terutama bagi dirinya

sendiri. Naura juga merasakan hal itu. Aibi telah menjadi inspirasi kehidupannya. Telah

memberikan sebuah pelajaran yang berharga dalam dirinya tentang makna kehidupan. Seperti

apapun hidup itu harus di syukuri, karena sejatinya kehidupan merupakan rahmat yang diberikan

Tuhan untuk kita. Kata Aibi suatu ketika padanya. Kapankah dia akan mengulang masa-masa

Page 61: Liza Punya

kebersamaan lagi bersama Aibi?

Sebenarnya dia sudah tidak sabar ingin menceritakan segalanya ke akhwat begitu dia sampai di

Padang nantinya. Tapi dia sudah janji tidak akan bercerita apa-apa. Karena Aibi berjanji akan

datang ke kampus dengan sendirinya ketika dia sudah siap untuk berjumpa dengan mereka semua.

Aibi masih punya urusan di kampus. Dia sudah rencanakan minimal agak sekali sebelum dia

kembali lagi ke Jakarta, dia akan ke kampus dulu mengambil ijazah S1nya yang masih ada di sana.

“Pergilah dik. Suatu saat nanti Kakak akan datang ke kampus. Karena masih ada yang harus Kakak

selesaikan disana. Ketika semuanya sudah terasa lapang dan nyaman, Kakak akan datang dengan

sendirinya. Kakak akan menghubungimu. Insya Allah, Kakak janji padamu. Minimal sekali

sebelum Kakak kembali ke Jakara Kakak akan sempatkan ke kampus”. Ungkap Aibi ketika Naura

sedang membereskan barang-barangnya.

“Baiklah, kalau memang itu yang Kakak inginkan, Naura akan tunggu Kakak sampai Kakak benar-

benar siap untuk kembali ke kampus lagi, tapi jangan terlalu lama ya, Kak”. Balas naura lembut

“Insya Allah dik. Satu hal lagi jangan ceritakan dulu kepada akhwat perihal pertemuanmu dengan

Kakak. Biarlah mereka mengetahui keberadaan Kakak ketika Kakak sudah sampai di kampus

nantinya. Biar menjadi kejutan untuk akhwat. Kalau bisa Kakak meminta padamu, tolong hubungi

kawan-kawan yang seangkatan dengan Kakak, ya dik”.

“Insya Allah Kak. Mudah-mudahan Naura bisa menahan diri untuk tidak bercerita kepada siapapun,

dan nanti akan Naura coba menghubungi senior yang sudah tamat. Mungkin kita adakan temu

alumni saja sekalian nanti, Kak. Biar semuanya bisa lagi ketemu sama Kakak. Naura yakin, mereka

semua pasti merindukan pertemuan dengan Kakak”.

Mendengar apa yang di sampaikan Naura, hatinya menjadi rindu ingin berjumpa dengan mereka

semuanya. Bagaimanakah kabar Santi saat ini? Mungkin dia sudah mempunya jundi kecil. Mala,

Mia, Dhea, Dilla, dan semuanya. Tiba-tiba dia merasa rindu sekali dengan mereka semua. “Syukron

untuk pengertiamu dinda”. Kata Aibi kemudian dan memeluk Naura.

***

21

Panggilan Dari Hati

Jika memang mempunyai niat yang benar dan tulus untuk berbuat, semua yang dilakukan akan di

rasakan oleh orang-orang sekitar. Perubahan akan terjadi, karena niat yang benar dan tulus akan

membuahkan hasil yang baik. Begitulah yayasan tunas bagsa yang didirikan Aibi. Yayasan yang

semulanya hanya bergerak di bidang pendidikan, ternyata berkembang menjadi lembaga swadaya

masyarakat yang bergerak di bidang yang lebih besar lagi seperti meningkatkan kesejahteraan

perekonomian masyarakat dengan mendirikan lembaga keuangan syari’ah di sana. Tentu dengan

menerapkan sistem bagi hasil dari setiap pinjaman yang diberikan kepada mereka.

Page 62: Liza Punya

Di samping itu Aibi juga menyediakan kelompok tani di yayasannya. Tugasnya adalah memberikan

penyuluhan kepada petani tentang bagaimana cara yang tepat untuk bercocok tanam dan

memanfaatkan areal pertanian yang ada dengan sebaik dan seefektif mungkin. Untuk ini di

datangkannya para penyuluh dari dinas pertanian dan biayanya di ambilkan dari pembagian hasil

pinjaman penduduk setempat. Namanya sudah semakin di kenal oleh penduduk dan sampai pada

orang-orang kecamatan bahkan sampai pada tingkat kabupaten dan provinsi. Yayasan yang

didirikan Aibi di jadikan sebagai yayasan percontohan karena telah berhasil memberikan

sumbangan yang sangat besar untuk kesejahteraan masyarakat dan juga memajukan pendidikan di

sana.

Kehidupan yang di jalaninya sudah kembali normal dan dia sudah bisa menerima segalanya dengan

baik. Mama dan Papanya sudah memintanya untuk pulang lagi ke Jakarta. Lagi pula jundi kecil

Deni juga mau masuk sekolah tahun ini. Umurnya sudah lima tahun. Sri tidak mau anaknya sekolah

di kampung nenek moyang Aibi karena kalau mereka pindah ke Jakarta nantinya pasti akan susah

memindahkannya ke sekolah yang ada di sana dan akan memakan dana yang tidak sedikit.

Aibi sudah tidak seperti dulu lagi, sudah kembali ceria seperti sebelum kecelakaan. Ia sudah

menerima kenyataan dan sudah tidak lagi mengutuki dirinya. Jadi, bukankah sudah sepantasnya

mereka harus kembali lagi ke Jakarta? Deni kembali menjalankan tugasnya sebagai sopir pribadi

pak Rizaldi. Rahmi pun juga sudah rindu dengan tanah kelahirannya. Tidak ada alasan lagi bagi

Aibi untuk tetap bertahan di Pesisir. Saatnya dia harus kembali lagi ke Jakarta.

Mereka sudah merencanakan akan berangkat ke Jakarta bulan depan setelah melakukan serah

terima yayasan yang mereka dirikan kepada Ningsih, ketua yang telah di tunjuk. Dia yakin Ningsih

akan menjalankan yayasan ini dengan baik. Dia tau siapa Ningsih, dua tahun telah bersama dan dia

orang yang amanah. Orang yang terbina akan lebih mudah untuk mempercayainya. Semua masalah

akan aman di tangannya karena mereka di bina untuk menjadi orang-orang yang lurus dan

multitalenta. Dia akan mengontrol yayasan dari jauh saja. Dia telah mengajarkan kepada Ningsih

bagaimana cara memanajemennya. Jika ada masalah maka cepat laporkan kepadanya.

Setelah itu dia akan datang ke kampus memenuhi janjinya ke Naura untuk bersilaturrahim dan

menyelesaikan beberapa urusan ke sana sebelum dia pulang ke Jakarta. Dia sudah menghubungi

Naura minggu lalu dan mengatakan bahwa dia akan datang ke kampus sekitar minggu terakhir

bulan ini. Dan juga meminta ke Naura untuk menghubungi kawan-kawan seangkatan dengannya.

Dia ingin mengadakan temu alumni dengan mereka. Tapi dia masih meminta Naura untuk

merahasiakannya, karena dia ingin memberikan kejutan kepada semua teman-temannya dulu. Dan

Naura pun sepakat.

****

22

Page 63: Liza Punya

Tamu Misterius

Acara temu kader dan temu alumni besar-besaran di gelar di kampus adidaya itu. Semua kader di

undang dan dosen juga di undang. Di dalam undangan di cantumkan akan membahas masalah yang

di hadapi FSI saat ini dan meminta masukkan kepada seluruh lapisan masyarakat kampus untuk

memperbaiki FSI kedepannya. Pembicara dituliskan kader terhebat dari Jakarta. Semua yang

membaca undangan heran karena namanya tidak di cantumkan. Siapa kader terhebat dari Jakarta?

Ketua SALAM UI kah? Atau ketua Puskomnas? Atau malah ketua Gamais ITB? Ada–ada saja.

Tidak hanya para undangan yang heran membaca undangannya, tapi para panitia yang membuat

undangan pun merasa penasaran dengan apa yang disampaikan Naura. Aneh sekali menurut mereka,

kenapa coba nama pemateri harus di sembunyikan segala?

Banyak protes dari seluruh kalangan bahkan ketua umum FSI-pun protes, dan mengatakan tidak

akan mengizinkan mengadakan acara temu kader jika pemateri yang di undang tidak jelas. Jangan-

jangan nanti yang di undang justru adalah orang yang tidak paham sama sekali dengan dakwah.

Susah payah Naura menjelaskan dan meyakinkan kalau pemateri yang di undang Insya Allah adalah

orang yang sangat paham dan mengerti tentang pergerakan dakwah di kampus. Tapi tetap saja

mereka tidak sepakat. Padahal acara tinggal dua hari lagi.

“Afwan ukhti, ana tidak bermaksud menghalangi acara yang ukhti angkatkan. Tapi selaku yang di

amanahi sebagai ketua, ana merasa di langkahi. masa kader mengangkatkan acara ana tidak boleh

tau siapa pematerinya? Sejak kapan hal itu terjadi di lembaga dakwah kita ini? Ana berhak tahu,

karena jika terjadi apa-apa nanti, ana yang akan mempertanggung jawabkannya karena ana ketua.

Jadi jika memang ukhti masih bersikeras untuk menyembunyikanya dari ana sebaiknya acara ini

kita batalkan. Karena banyak dari senior yang menghubungi ana dan bertanya banyak hal mengenai

acara temu alumni dan temu kader yang diadakan”. Terdengar gelegar suara Aldi ketua FSI pas

rapat koordinator.

“Sebelumnya ana minta maaf karena mungkin telah melangkahi antum sebagai ketua. Tapi ini ana

lakukan karena permintaan dari pembicara. Ana harus mengabulkan hal itu karena kalau tidak

mungkin beliau tidak jadi kesini. Padahal saat ini kita butuh beliau. Ana janji sama antum. Ana

tidak akan membuat antum kecewa Insya Allah”.

“Ana tetap tidak izinkan. Kalau ukhti masih bersikeras untuk tidak memberitahukan siapa

pemateri, ‘Afwan silahkan ukhti angkatkan acara itu tapi jangan ukhti bawa kader karena itu acara

ukhti sendiri”. Tegas Aldi.

Mendengar apa yang disampaikan Aldi, membuat Naura menjadi cemas, karena dia hafal sekali

dengan ketuanya ini. Jika sudah berkata tidak, maka itu artinya bahwa keputusannya tidak bisa

diganggu gugat

“Haaaa… Kalau begitu baiklah, ana akan katakan siapa pemateri yang akan datang”. Kemudian

Page 64: Liza Punya

Naura pun bercerita tentang pertemuannya dengan Aibi ketika dia KKN dan bagaimana dia

mengajak Aibi untuk datang ke kampus. Kemudian Aibi berjanji akan datang ke kampus ketika dia

sudah siap nanti dan memintanya untuk merahasiakan keberadaan Aibi dari kader.

Mendengar cerita yang di sampaikan Naura, Aldi menyarankan untuk memberitahukan hal itu

kepada senior yang sudah tamat agar mereka menghadiri acara tersebut. Jika mereka bersikukuh

untuk menyembunyikan hal itu, berkemungkinan banyak yang tidak datang karena tidak tahu siapa

yang akan diundang. Aldi juga menyarankan untuk mengundang Bapak Rektor di acara temu

alumni dan temu kader tersebut. Semuanya sepakat untuk melakukan hal itu.

***

Hari yang di tunggu-tunggu oleh seluruh kader FSI berjumpa dengan kader terbaik yang mereka

miliki. Raisyah Aibi Rizaldi yang namanya sering di sebut-sebut oleh banyak orang dan para dosen

akhirnya datang juga. Persiapan dilakukan semaksimal mungkin. Mereka memprediksikan, acara

akan ramai, apalagi Bapak Rektor bersedia menghadirinya. Bahkan Rektor menyarankan agar acara

diadakan secara besar-besaran di ruangan Auditorium yang bisa menampung lebih dari 5000 orang.

Panitia tampak sedang mondar mandir memastikan segala peralatan yang akan digunakan sudah

siap dan tidak ada yang rusak. Sebuah infokus terpasang disana dan dua layar yang berukuran 3x3

meter pun terpasang di sisi kiri kanan auditorim. Sebuah spanduk yang bertuliskan tentang kegiatan

dan tema acara pun sudah terpasang dengan anggun di depan ruangan. Beribu pasang mata sudah

mulai memadati ruangan ini. Mereka semua penasaran, seperti apakah sosok Raisyah Aibi Rizaldi

yang dibanggakan oleh para dosen tersebut?

Sementara Aibi masih teragguk-angguk di atas mobil menuju kota Padang. Hari ini dia akan

kembali lagi ke masa lalunya. Kenangan masa lalunya hangat menyapa ruang hatinya. Teringat

masa ketika dia kuliah. Terbayang wajah teman-teman seangkatan dan yang sewisma. Mungkin

beberapa diantara mereka sekarang sudah menjadi umi dan abi. Seperti apakah mereka sekarang?

Betapa dia rindu dengan mereka semua. “Tunggu aku kawan, sebentar lagi aku akan berjumpa

dengan kalian semua”. Bisik Aibi dalam hati. Hatinya basah mengingat semua masa lalunya yang

ternyata begitu sangat indah.

Jika dulu dia berjalan cepat menyusuri setiap koridor di sepanjang kampus, maka hari ini dia akan

duduk tenang di kursi rodanya sambil menikmati suasana kampus yang mungkin sudah banyak

berubah. Seperti apakah kampusnya saat ini? Hatinya meronta-ronta ingin cepat sampai. Terbayang

ruangan sekre yang dulu menjadi tempat untuk menyamakan suhu mereka kalau akan

mengangkatkan acara di kampus.

Terbayang serakan potongan-kertas berbagai ukuran di lantai sekre untuk di jadikan stiker cindera

mata yang mereka persiapkan untuk para peserta dan undangan dalam setiap acara yang mereka

angkatkan. Terbayang wajah kelelahan akhwat yang harus lembur di wisma mempersiapkan segala

Page 65: Liza Punya

sesuatunya. Ah dia benar-benar sudah tidak sabar ingin menyaksikan semuanya. Mungkin saat ini

adik-adiknya sedang mempersiapkan acara yang lebih meriah lagi. Teringat kata-kata yang di

sampaikan Naura tempo hari “Kak kami sudah mempersiapkan acara yang wah untuk menyambut

kedatangan Kakak. Rasanya Naura sudah tidak sabar ingin melihat ekspresi Kakak-Kakak yang

sudah tamat ketika nanti ketemu sama Kakak. Seperti apakah tanggapan mereka ya?” Ha... kita lihat

saja nanti apa yang terjadi. Rasa rindu itu telah menjulang tinggi dan berakar tunggal ke dalam hati.

Kerinduan yang tidak akan tercerabut, sekalipun badai menghadang.

Dia telah memasuki kawasan kampus. Mungkin sepuluh menit lagi dia akan sampai di gerbang

kampus. Di tahannya nafasnya yang sesak. Dia rindu, rindu dengan suasana ini. Di lihatnya halte,

Bus sudah semakin banyak di sepanjang jalan menuju kampusnya. Bahkan kampusnya pun

sekarang sudah mempunyai berpuluh bus kampus. Dari tadi dia selalu berselisih dengan bus

kampus yang bertuliskan nama kampusnya. Dia jadi ingat, ketika dia masih menjadi mahasiswa

dulu, untuk pergi ke kampus dia harus menunggu angkot. Ketika itu belum ada bus kampus

walaupun ada hanya 3 buah saja. Itupun digunakan untuk pergi takziah ke rumah dosen atau

mahasiswa yang mendapatkan kemalangan.

Begitu mobilnya memasuki kawasan kampus, ia melihat persimpangan menuju ke wismanya dulu

ternyata juga sudah banyak berubah. Semakin ramai dan ternyata sudah menjadi pasar. Dia juga

ingat, kalau berangkat ke kampus dia sering duduk di halte bus dekat pasar itu sambil menyandang

tas ransel hitamnya menunggu angkot yang akan mengantarnya ke kampus. Air matanya sudah

meleleh di pipi. Mobil terus bergerak, dan memasuki gerbang kampus. Ternyata gerbang itu sudah

semakin indah. Banyak pohon pelindung di sana. Hatinya semakin meronta-ronta, apalagi ketika

melihat gedung student centere yang berdiri dengan megahnya. Dia ingin sekali melihat sekre FSI.

Seperti apakah markas dakwahnya itu hari ini? Mungkin sudah banyak yang berubah. Bayangan

dirinya enam tahun yang lalu kembali hadir di memorinya.

Terbayang ia yang sibuk mondar mandir kesana sini mengurus dan mengadakan rapat. Semua

pelosok kampus telah di jelajahinya dengan berjalan kaki. Betapa dia rindu. Air matanya semakin

deras mengalir di pipinya. Di lihatnya gerombolan mahasiswa yang sedang asyik berdiskusi di tepi

jalan, entah apa yang di diskusikan

Betapa dia ingin menikmati lagi suasana penuh keceriaan itu. Terkadang mereka harus menangis

bersama dan terkadang harus berdebat dalam rapat karena mempertahankan ide masing-masing.

Tapi semua itu kemudian mereka cairkan lagi dengan istihgfar. Dia rindu dengan semuanya. Dia

rindu dengan teman-teman seperjuangannya.

Dari kejauhan tampak kubah Masjid berwarna hijau itu mencakar langit yang menjadi saksi atas

pergerakan mereka selama ini. Yang menjadi tempat paling nyaman untuk mengadu kepada sang

pemilik jiwanya. Yang menjadi madrasah paling spektakuler dalam mendidiknya tentang arti sebuah

Page 66: Liza Punya

keislaman, mengajarkan tentang maknah tarbiyah. Seketika hatinya meronta-ronta ingin merasakan

dan menikmati kembali energy maha dahsyat itu. Dia rindu salah satu sudut di Masjid yang mereka

jadikan tempat untuk mengkaji islam lebih dalam.

Dia kembali larut dalam perasaannya karena dia ingat bagaimana setiap hari kamis mereka

berkumpul di Masjid kampus itu mengadakan tasqif dan mengundang para ustadz untuk

menjelaskan segala hukum fiqih kepada mereka. Sehingga mereka faham dan mengerti tentang

bagaimana cara berkhalwat dengan Allah.

“Mbak kita kemana Mbak?” tiba-tiba lamunannya di buyarkan oleh suara Deni yang kebingungan

harus nyetir mobil kemana di kampus yang luas ini.

Dengan gelagapan Aibi menjawab sambil menghapus air matanya. “sa..sa..saya juga tidak tahu

Mas. Kita berhenti saja dulu disini. Saya coba dulu menghubungi Naura . Acaranya di adakan

dimana? Kemaren Naura bilang acara dimulai jam 10.00. Sekarang baru jam 09.30.” Aibi kemudian

mengeluarkan Hpnya dan sejenak berbicara dengan Naura.

“Assalammu’alikum Dik”. Sapa Aibi lembut.

“Wa’alaikumussalam Kak. Sudah sampai dimana Kak?” jawab Naura cepat dan melontarkan

pertanyaan

“Alhamdulillah Kakak sudah ada di kawasan kampus. Acaranya dimana dik?”

“Alhamdulillah...!!!! Acaranya di auditorium Kak. Kakak ada dimana sekarang? Biar kami jemput

kesana”.

“Tidak usah biar Kakak saja yang kesana. Oh iya dik, kalau Kakak tidak salah untuk mencapai

auditorim harus naik tanggakan? Lalu bagaimana dengan Kakak? Apa Kakak bisa naik kesana

menggunakan kursi roda ini? Adik lupa ya kalau Kakak pakai kursi roda? Apa tidak ada ruangan

yang datar yang bisa untuk Kakak lewati dinda”?

“Tenang saja Kak. Naura sudah siapkan cara untuk membawa Kakak ke ruangan auditorim. Percaya

sama Naura Kak !”

“Baiklah kalau begitu. Kakak percaya padamu. Kakak mau mampir dulu di Masjid kampus ya. Kak

mau sholat dhuha dulu. Acaranya jam 10.00 kan”?

“Iya Kak ! Apa perlu Naura datang ke Masjid Kak?”

“Tidak usah dinda. Tunggu saja Kak di depan auditorium !!!”.

“OK Kak !!”.

Telfonpun ditutup dan Aibi kembali memasukkan Hpnya ke dalam tasnya. Dan kemudian berkata

“Acaranya di Auditorium Mas. Di bagian selatan kampus ini. Dekat dari sini. Tapi kita tidak

langsung ke sana, kita ke Masjid dulu. Saya mau sholat dhuha dulu disana. Saya rindu sholat di

Masjid kampus. Lurus saja, trus nanti belok kiri. Itu kubahnya sudah kelihatan”. Kata Aibi sambil

menunjuk kubah hijau yang menjulang tinggi.

Page 67: Liza Punya

Deni yang duduk di belakang kemudi mengikuti perintah majikannya dengan patuh. Pedal gas

kembali di injak, dan mesin mobil pun kini menderu menuju Masjid kampus yang berdiri dengan

megahnya di tengah-tengah kampus yang luas itu. Satu dua kelihatan para mahasiswa yang sedang

asik berdiskusi di sepanjang perjalanan.

Sementara di bangku belakang Aibi duduk sembari menopangkan tangan ke dagu. Matanya telah

nanar menahan tangis. Setelah tujuh tahun, akhirnya hari ini dia kembali lagi ke kampus adidaya

ini. Hatinya buncah dengan perasaan yang dipendam selama bertahun-tahun.

****

23

Pertemuan Mengharu Biru

Mobil Avanza silver yang membawa Aibi dan Rahmi telah memasuki pekarangan Masjid. Deni

mencari tempat parkir yang memiliki jarak tempuh yang dekat dengan pintu utama Masjid, agar

Aibi mudah untuk masuk kedalamnya. Aibi telah dari tadi bersiap-siap keluar. Dia telah merapikan

pakaiannya dan mengusap wajahnya yang lelah diperjalanan dengan tisyu basah. Deni menurunkan

kursi roda Aibi dan kemudian disusul oleh Rahmi yang kemudian membantu menurunkan Aibi dari

mobil dan duduk di kursi rodanya. Sementara Aibi sudah tidak tahan untuk segera ingin turun.

Perasaan rindu di dadanya membuncah. Cepat di bukanya pintu mobilnya dan menunggu Rahmi

yang bersiap membantunya keluar dari sana.

Beberapa pasang mata tidak berkedip memandang ke arah mobil mereka. Mata mereka tidak

berkedip ketika melihat Deni mengeluarkan kursi roda dan memasangnya di samping pintu mobil

yang sudah terbuka dan Rahmi juga sudah bersiap akan membantu Aibi untuk keluar. Mungkin

mereka bingung atau mungkin juga kasihan atau malah heran melihat mereka. Dua wanita cantik

berjilbab lebar yang satu sedang membantu yang lainnya untuk turun dari mobil dan

mendudukkannya di kursi rodanya. Sebegitu parahkan kelumpuhan wanita itu sehingga dia tidak

bisa turun dari mobil tanpa dibantu oleh wanita cantik yang satunya lagi? Mungkin ini merupakan

suatu pemandangan yang sangat menggetarkan hati mereka yang memperhatikan tingkah dua gadis

ini.

Aibi menyadari hal ini sebelumnya, tapi dia sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi

situasi seperti ini. Bukankah selama tujuh tahun dia telah menjalaninya? Lalu untuk apa dia merasa

tersinggung dan malu? Justru dia berharap dengan melihat kelemahan dirinya ini. Semoga orang-

orang yang masih bisa melakukan segala sesuatunya dengan sempurna semakin mensyukuri atas

nikmat yang diberikan Allah kepada mereka. Bahkan dengan enteng setelah Aibi duduk dengan baik

di kursi rodanya dia memberikan senyuman yang sangat indah kepada orang-orang yang

menatapnya dengan heran dan kasihan tadi. Sehingga orang-orang yang memandangnya dengan

pandangan heran dan kasihan tadi merasa malu pada dirinya sendiri. Mereka yang sehat dan normal

Page 68: Liza Punya

saja, begitu susah untuk tersenyum kepada sesama dan merasa enggan untuk menganggukkan

kepala kepada orang lain. Tapi lihatlah Aibi, dengan mudahnya dia melakukan itu semua.

Setelah Aibi keluar Deni pun mengunci mobil dan kemudian berlalu menuju tempat berwudhu laki-

laki yang terletak disisi kiri Masjid. Sementara Aibi dan Rahmi menuju sisi kanan Masjid menuju

tempat berwudhu wanita. Setelah sedikit agak kesusahan untuk membawa Aibi masuk ke tempat

berwudhu karena lokasinya agak di ketinggian, akhirnya Rahmi berhasil membantu Aibi untuk

berwudhu dengan sempurna. Sejurus kemudian mereka telah larut dalam sujud-sujud panjang

mereka keharibaan Allah.

Aibi tidak berhenti menangis. Hatinya basah dengan semua kenangan masa lalunya. Dia merasakan

kembali nuansa ketika dia masih menjadi mahasiswa. Dia larut dalam munajat panjangnya.

Ingatannya kembali melayang masa sembilan tahun silam, mesjid ini telah menjadi saksi dari air

mata mereka ketika rapat ketika mengagkatkan acara besar di kampus ini, dan mereka kekurangan

dana. Andai dinding-dinding Masjid ini juga bisa berbicara, mungkin dia juga akan menyapa dan

mengucapkan selamat datang kembali kepada Aibi. Mungkin mereka juga akan menyampaikan

salam rindu mereka kepada Aibi seperti Aibi meluahkan semua rasa rindunya ke Masjid ini.

Gambaran sembilan tahun yang silam semakin nyata di dalam ingatannya.

Dia ingat setiap kamis sore mereka berkumpul di Masjid ini dan mendengarkan setiap keterangan

yang di sampaikan ustadznya tentang fiqih ibadah dan hukum berjihad serta segala macam bentuk

bermu’amalah di atas dunia ini. Dia ingat, dia dulu duduk di depan tirai tinggi itu mengikuti rapat

bersama beberapa rekannya. Dia ingat, di sudut Masjid ini dia sering mengisi acara liqo adik-

adiknya jam enam pagi. Sekarang, dimanakah mereka? Bahkan dia masih ingat ketika harus datang

rapat ke Masjid kampus ini jam 05.30 sehingga dia dan Santi harus baca almatsurat di sepanjang

perjalanan.

Semuanya menari-nari di pelupuk mata Aibi. Hatinya semakin rindu. Santi, seperti apakah dia saat

ini? Mungkin dia sudah punya jundi. Mala, dimanakah dia? Mudah-mudahan dia ada di kampus

saat ini. Mia, adik kamarnya yang mempunyai cinta yang begitu besar kepadanya, yang rela

melakukan apapun untuknya, masihkah ada cintanya untuk dirinya saat ini? Dan bagaimana pula

dengan Dilla si naqib wismanya yang pendiam itu? Yang sedikit berbicara, namun sekali dia

berbicara akan membuat yang lainnya terdiam. Bagaimanakah kabarnya hari ini? Lalu Dhea yang

sering mengkritik segala kesibukannya? Hari ini masihkah dia akan mengkritiknya dengan kondisi

dirinya yang hanya bisa duduk di kursi roda? Oh.... betapa hati ini sangat merindukan mereka

semua. Sudah tidak sabar rasanya melihat mereka semua...

****

Tatapan itu mengandung sejuta kerinduan yang menggebu di dadanya. Sepasang mata itu terus

memandanginya, tak disadari akhirnya menggumamkan nama Aibi. Tapi sayang Aibi terlalu khusuk

Page 69: Liza Punya

menikmati munajatnya sehingga tidak mengindahkan lirihan itu. Aibi terlalu larut dalam kenangan

masa lalunya, sehingga tidak menyadari panggilan lirih itu. Tapi Rahmi menyadari hal itu. Kala

mendengar nama Mbaknya di sebutkan seseorang, dengan spontan dia melihat ke arah suara dan

memperhatikan dengan perasaan penuh tanda tanya, Siapa? Mata itu kembali memperhatikan Aibi

dan mulutnya kembali berucap dengan lirih, “Aibi…? Katanya seperti bertanya kepada dirinya

sendiri dan seperti tidak yakin.

Melihat itu semua Rahmi pun memecahkan kosentrasi Aibi yang sedang larut dalam do’anya

dengan memegang pundak Aibi. Aibi yang merasa ada yang memegang pundaknya dengan cepat

menoleh. Rahmi mengarahkan telunjuknya ke arah orang yang menyebut nama Aibi tadi. Dengan

patuh mata Aibi mengikuti gerakan telunjuk Rahmi dan begitu matanya berbenturan dengan

sepasang mata yang dari tadi memperhatikannya, maka otak telah berhasil menterjemahkan dan

membahasakan melalui mulut. Dengan spontan Aibi pun berucap. “Bunda….“

Dalam hitungan detik kemudian Aibi yang duduk tepat disisi dinding Masjid berusaha menggapai-

gapai dinding Masjid dan memaksa dirinya untuk berdiri. Dia tidak sadar dengan kondisi dirinya

yang lumpuh. Seberapapun kerasnya usaha Aibi untuk berdiri, tapi ternyata dia tetap tidak bisa. Dan

orang yang dipanggil dengan panggilan Bunda itupun saat melihat kenyataan yang sangat

menyedihkan itu tidak tahan lagi untuk tidak menangis. Dia tidak pernah menyangka separah ini

kondisi Aibi setelah kecelakaan yang dialaminya tujuh tahun yang lalu.

Melihat Aibi yang ingin berdiri, tanggap Rahmi langsung membantu dan mendudukkan Aibi di atas

kursi roda yang diletakkan tepat di belakangnya. Tidak membuang-buang waktu lagi Aibi langsung

mendorong kursinya ke arah wanita paruh baya yang tadi di panggilnya dengan panggilan Bunda.

Matanya telah penuh dengan butiran Air mata. Dia tidak sabar ingin mencium tangan Bundanya

yang ternyata adalah Bu Dharna dosen penasehat akademiknya ketika dia kuliah.

Bu Dharna-pun berjalan mendekati Aibi dengan mata yang basah. Begitu jarak sudah dekat, ia

langsung memeluk Aibi dengan segenap jiwanya. Pertemuan ini sudah sangat lama di inginkannya.

Sudah sangat lama dia menunggu saat seperti ini. Entah kenapa dia sangat menyayangi

mahasiswanya yang satu ini.

“Kemana saja kamu anakku? Bunda sangat merindukanmu, hampir tiap hari Bunda selalu berdo’a

disini agar Bunda bisa berjumpa denganmu. Kenapa kamu tidak pernah mengirimkan kabar kepada

Bunda, nak? Bunda sangat mengkhawatirkanmu. Bunda sangat menyayangimu nak”. Lirih Bu

Dharna di telinga Aibi.

“Maafkan Aibi, Bunda. Kecelakaan itu sangat menyiksaku, Bunda. Sehingga aku terbenam dalam

kesedihan yang berkepanjangan. Tapi Bunda, sekarang Bunda tidak usah khawatir lagi. Aku sudah

ada di sini, di depan Bunda”. Balas Aibi dengan berurai air mata.

“Oh anakku, aku tidak menyangka kondisimu akan seperti ini, nak”. Balas Bu Dharna lagi dengan

Page 70: Liza Punya

mengamati setiap jengkal dari tubuh Aibi yang sudah mengkerut duduk di atas kursi rodanya. Dia

sudah tidak tahu lagi apa yang akan di katakannya. Betapa hatinya hancur melihat kondisi Aibi.

Apalagi ketika melihat Aibi yang sedang menggapai-gapai berusaha untuk berdiri. Membuat

hatinya sangat sedih sekali. Dia benar-benar tidak menyangka kondisi Aibi akan separah ini. Lagi-

lagi di peluknya tubuh Aibi dengan berurai air mata. Sembari berbisik lirih ditelinga Aibi “Bunda

yakin kamu anak yang tegar”. Katanya pelan

Aibi tidak mampu lagi untuk berbicara. Dia hanya mengganggukkan kepalanya. Badannya telah

bergetar hebat karena menangis.

Orang-orang yang melihat mereka pun ikut menghapus sisa-sisa air mata di sudut mata mereka.

Mereka sangat terharu melihat pemandangan itu. Rahmi yang berdiri di belakang Aibi pun ikut

menghapus air mata. Dia semakin menggagumi Aibi yang dikenalnya selama tujuh tahun ini.

****

Di depan Auditorim telah berbaris para akhwat yang menyambut kedatangan Aibi. Mereka sudah

tidak sabar lagi ingin melihat sosok Aibi yang selama bertahun-tahun sangat mereka rindukan.

Benak mereka dipenuhi dengan gambaran sosok Aibi yang seperti apa saat ini. Mereka sudah

mempersiapkan segala sesuatunya, bahkan Rektor dari kemaren memerintahkan panitia membuat

kalung bunga untuk Aibi.

Jam sudah menunjukkan jam 09.55, tapi Aibi belum juga sampai. Padahal tadi Naura mengatakan

kalau Aibi sudah memasuki kawasan kampus. Tapi kok belum sampai juga di auditorium? Apa Aibi

lupa jalan ke Auditorium? Naura yang dari tadi mencoba menghubungi Aibi, tidak bisa tersambung.

Padahal setengah jam yang lalu Aibi menghubunginya. Tapi kenapa sekarang tidak bisa di hubungi?

Ada apa?

Ketika pertanyaan demi pertanyaan yang hadir di benak para penunggu itu semakin banyak

bermunculan, tiba-tiba dari arah utara mobil Avanza silver melaju mendekat ke Auditorium. Naura

yang melihat dan mengenali mobil itu langsung memberikan insrtuksi kepada para akhwat untuk

bersiap menyambut kedatangan Aibi. Para akhwat pun bersiap siaga. Tatapan penuh tanda tanya

tergambar dari kilatan mata mereka. Perasaan penasaran tingkat tinggi berhasil menguasai imajinasi

mereka tentang sosok Aibi yang sebentar lagi akan mereka lihat dengan mata kepala mereka, tidak

lagi melalui cerita-cerita para dosen dan senior mereka.

Laju mobil pun semakin pelan dan dalam hitungan detik kemudian mobil berhenti tepat di depan

tangga menuju auditorium. Orang-orang yang menunggu pun menahan nafas menyaksikannya.

Mereka benar-benar sangat penasaran dengan sosok Aibi dan penasaran seperti apa dia sekarang.

Dalam hitungan detik selanjutnya Deni turun dari mobil menuju arah belakang dan kemudian

menurunkan kursi roda Aibi dari bagasi. Tak lama setelah itu keluar Rahmi bersama Bu Dharna.

Semua kaget melihat Bu Dharna keluar dari dalam mobil. Setelah kursi roda di letakkan di dekat

Page 71: Liza Punya

pintu bagian kanan, barulah pintu itu terkuak dan sosok yang ditunggu-tunggu itu pun menjulurkan

kepalanya keluar menatap sekeliling dengan senyum mengambang. Tapi tahukah, sebenarnya dia

baru saja menghapus air matanya. Itulah sebabnya kaca mobil itu tidak di turunkan karena dia tidak

ingin orang-orang melihatnya menangis.

Setelah beberapa detik kemudian, Rahmi pun membantu menurunkan Aibi dari dalam mobil dan

mendudukkannya di atas kursi roda. Pertama-tama yang dilakukan Rahmi adalah menurunkan kaki

Aibi dan setelah itu baru menuntunnya untuk duduk di atas kursi roda. Orang-orang yang

menyaksikan itu semua menahan nafas dibuatnya. Bahkan ada diantara mereka yang terisak

menyaksikan keadaan Aibi yang tidak bisa apa-apa, seperti anak kecil yang belum bisa berjalan.

Tapi Aibi berusaha tidak menghiraukanya. Dia tidak ingin terbawa arus dan juga larut dalam

perasaannya. Bukankah dia sudah memperkirakan ini semua, bahwa semua pandangan-pandangan

yang penuh tanda tanya dan simpatik itu akan terjadi. Jadi anggap saja itu biasa, walaupun ia sendiri

sulit untuk menguasai hatinya.

Aibi duduk dengan baik di kursi rodanya dan mengucapkan terima kasih kepada Rahmi yang telah

membantunya. Naura yang telah berdiri di depannya bersiap menyalami dan memeluknya melepas

segala kerinduannya pada Aibi. Dia kembali mengedarkan pandangannya kepada orang-orang yang

berdiri disekelilingnya dan kemudian tersenyum tulus sembari menganggukkan kepalanya dan

setelah itu berucap salam “Assalamu’alaikum, semuanya”, kata Aibi sambil tersenyum manis.

Wajah itu tetap cantik. Masih se cantik masa tujuh tahun yang silam. Tidak ada yang berubah,

kecuali hanya tatapan mata dan kondisi tubuh yang terlihat lebih kurus. Wanita cantik yang

mempunyai tinggi 158 cm itu, kini hanya bisa duduk di atas kursi rodanya. Semua orang terhenyak

melihatnya.

“Apakah hanya di pandangi di luar saja, dik? Tidak jadi acaranya di dalam aula?” tanya Aibi

memecah suasana, dengan senyum yang masih tetap mengambang dibibirnya. Para panitia yang

mendapatkan pertanyaan yang seperti itu tersadar dari lamunannya dan salah tingkah sesaat.

“Eh, maaf Kak”. Jawab Naura gugup dan salah tingkah. Ia kemudian memberikan kode ke panitia

untuk segera menyambut Aibi. Tapi mereka semua menjadi malu karena ketahuan sedang

menjelajahi setiap jengkal dari tubuh Aibi yang duduk tak berdaya di kursi roda.” Iya, acaranya jadi

di dalam Kak. Tapi sebelumnya, kami punya Sesuatu untuk Kakak”. Sambung panitia lagi.

“Special something for me? Apa itu dik?”. Tanya Aibi dengan mengerlingkan matanya yang

berkilat-kilat di balik kacamata minusnya.

Tidak lama setelah itu, dari jauh tiba-tiba seorang akhwat membawa sebuah kalung bunga. Ia

berjalan ke arah Aibi. Wajah itu begitu familiar sekali dalam benaknya. Tiba-tiba pertahanan hatinya

mulai goyah. Aibi sudah tidak bisa lagi untuk berpura-pura bahagia dengan senyum yang

mengambang indah. Air matanya sudah tidak tahan lagi untuk tidak keluar dan mulutnya dengan

Page 72: Liza Punya

lirih berucap, “Santi”. Panggilnya parau. Ya, akhwat itu adalah Santi teman se wisma, selokal,

sejurusan, seliqoo, dan seperjuangan.

Santi-pun cepat mendekat ke arah Aibi dan berhamburan memeluk Aibi dan sejurus kemudian

teman-teman seangkatan Aibi yang lainnya yang juga ikut memeluk Aibi dari belakang.

“Kamu jahat Aibi karena telah membiarkan kami kehilangan jejakmu. Kamu pergi tidak

meninggalkan kabar dan berita, Bertahun-tahun kami mencari keberadaanmu, tapi, kamu hilang

seperti ditelan bumi. Begitu teganya kamu meninggalkan kami”. Ucap Santi lirih

“Maafkan aku kawan. Aku tidak bermaksud seperti itu. Andai aku bisa menolak semua yang terjadi

terhadap diriku, mungkin aku tidak akan pernah meninggalkan kalian semua. Lihatlah seperti apa

aku hari ini. Masihkah membuatmu rindu ingin berjumpa denganku? Inilah kondisi ku setelah pergi

dari kehidupan antum sekalian”. Jawab Aibi dengan suara yang tak kalah lirihnya.

Tiba-tiba suasana penuh haru biru itu di buyarkan oleh suara bergetar Bapak Rektor. “Sudah-sudah,

nanti ada sesi untuk berkangen-kangenannya. Waktu terus berjalan dan ribuan mahasiswa telah

menunggu di dalam Aula”.

Ketika mendengar siapa yang berbicara, mereka yang merangkul Aibi segera melepaskan

pelukannya. Aibi pun mengarahkan pandangannya ke arah sumber suara, disana didapatinya Bapak

Khairul sedang berdiri diantara panitia. Aibi menganggukkan kepalanya pada rektor sembari

tersenyum kelihatan agak canggung karena habis menangis.

Aibi-pun di papah untuk menaiki tangga oleh tiga orang akhwat. Dua disisi kiri dan kanan Aibi dan

satu orang lagi di depan untuk membantu mengangkat kaki Aibi menaiki anak-anak tangga. Dengan

hati-hati mereka mulai mengangkat tubuh Aibi di tangga menuju Auditorium. ****

24

Wisuda Tanpa Toga

“Setelah tujuh tahun mencari jejak yang hilang, hari ini jejak itu kembali lagi dengan pesona yang

tetap sama dan dengan keagungan berlipat ganda. Pelangi akan tetap menjadi pelangi sampai

kapanpun. Walau terkadang menghilang karena guyuran hujan, tapi ketahuilah pelangi hanya

menghilang dari pandangan, tapi hakikatnya tidak karena di hati telah tertoreh warna indahnya.

Bahkan ketika mata terpejam pun, warna pelangi tetap indah, tidak pernah berubah. Hadirin

sekalian, setelah tujuh tahun kita menunggu dan ketika kita hampir kehilangan asa, tapi hari ini

tanpa kita sengaja kita dipertemukan lagi dengan manusia pelaku sejarah yang telah menorehkan

prestasi yang gemilang di kampus kita ini. Inilah dia, kita sambut mahasiswa terbaik yang pernah

ada disepanjang sejarah kampus ini, Raisyah Aibi Rizaldi, S.Si”.

Tepuk tangan gegap gempita memenuhi ruangan. Dibelakang orang-orang memanjangkan leher

untuk melihat mahasiswa terbaik yang pernah ada di kampus. Moderator berhasil menghidupkan

suasana dengan kata pengantarnya yang memukau. Begitu Aibi telah tiba di atas panggung, tiba-tiba

Page 73: Liza Punya

sebua film dokumenter ditayangkan. Film itu menggambarkan perjalanan hidup Aibi ketika kuliah

serta rekaman jejak kegiatan-kegiatan Aibi di kampus. Sebuah karya yang menurut Aibi sangat

berlebihan sekali. Film itu berjudul:”Catatan Perjalanan Kehidupan Sang Maestro. Nasyid Shoutul

Harokah berjudul Ini Langkahku semakin menyemarakkan suasana

Semua mata tertuju ke layar 3x3 yang terpasang di depan ruangan dan Aibi yang telah berada di

atas panggung juga menghadapkan wajahnya ke layar dengan membelakangi para penonton. Apa

yang terjadi seperti kilas balik sejarah hidupnya.Tak ayal lagi tubuh Aibi sudah bergetar menangis

di depan sana. Dia tidak sanggup rasanya melihat dokumen kehidupan masa lalu yang di lalui dan

telah di lakoninya tersebut karena kondisi dulu tidak sama dengan kondisi dirinya hari ini yang

tidak bisa apa-apa.

“Itu dulu, dulu sekali. Ketika aku masih menjalani kehidupan ku sebagai seorang mahasiswa. Dulu,

ketika aku bisa melakukan apapun sendiri, ketika kaki ini masih ringan untuk di ayunkan

kemanapun. Ketika fikiran dan hati mampu mensinergikannya menjadi satu, sehingga menghasilkan

ide cemerlang penuh gagasan indah. Ketika jiwaku dapat terbang bebas memikirkan semua yang

terjadi. Ketika tidak ada beban dalam jiwa dan hati ini.

“Hari ini orang hebat itu telah tiada. Kebesarannya telah pupus di makan rayap kesedihan.

Kejernihan itu telah pupus di kikis banjir bandang kebencian dan pembangkangan kepada Tuhan.

Yang tersisa dari kehidupan yang dulu hanya serpihan-serpihan yang berbentuk onggokan tubuh

yang tidak bermanfaat lagi. Manusia lemah yang sepanjang hidupnya tidak akan pernah bisa lagi

untuk melakukan apapun sendiri. Dia hanyalah manusia yang selalu merepotkan siapapun yang ada

bersamanya.

“Anda semua telah melihat bukan? Betapa aku untuk sampai duduk di di atas panggung kebanggaan

ini telah melibatkan banyak orang. Telah merepotkan banyak panitia. Sebenarnyalah, sungguh

betapa aku tidak ingin menikmati dan menjalani kehidupan seperti ini. Aku ingin menjadi manusia

yang mandiri. Sama seperti anda semua. Tapi kelumpuhan yang aku alami telah membunuh separoh

dari potensi yang aku miliki.

“Bahkan aku tidak bisa berpindah dari kursi roda ini jika tidak ada yang membantu. Untuk

berwudhu saya harus diantar. Apalagi untuk sholat lima waktu. Bahkan saya tidak bisa duduk lebih

dari 2 jam, akibat kerusakan tulang punggung yang saya alami. Dan masih banyak lagi yang tidak

bisa lainnya yang bisa saya lakukan saat ini. Bahkan hal-hal kecil sekalipun. Setelah ini entah apa

yang akan terjadi. Mungkin saya harus disuntik dulu oleh Rahmi untuk menghilangkan rasa sakit

yang terasa di punggung saya. Atau mungkin saya akan terkapar di tempat tidur selama beberapa

hari setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan dari Pesisir Selatan menuju Padang.

“Betapa aku lelah wahai adik-adikku. Betapa aku malu kepada orang yang telah merawatku, karena

sampai ke kamar mandi pun aku harus diantar. Bahkan aku tidak bisa lagi melakukan kegiatan

Page 74: Liza Punya

pribadiku sendiri karena kelumpuhan yang aku alami .Aku sudah tidak berrmakna.

“Kecelakaan itu hampir saja membuatku gila. Lima tahun lamanya aku menghujat Tuhan. Lima

tahun aku menuntut keadilan kepada Tuhan, Kenapa harus aku yang menerima semua itu?

Bukankah selama ini aku telah mengabdikan diriku untukNya? Bukankah selama ini aku telah

melakukan yang terbaik dalam hidupku? Kenapa semua mimpi dan cita-cita yang telah aku

persiapkan, dirampasNya?

“Aibi yang kata orang-orang adalah manusia yang paling baik dan yang paling hebat yang pernah

mereka temui seperti tulisan-tulisan yang ada di movie maker itu, ternyata tidak semulia yang

kalian kira. Ternyata aku tidak lebih dari seorang manusia durhaka terhadap penciptanya, manusia

pembangkang yang mendustai nikmat Tuhan untuknya. Padahal kurang apa lagi nikmat itu?

Bukankah aku sudah menikmati semuanya selama ini? Aku tersadar justru ketika melihat tayangan

movie maker ini. Betapa tidak bersyukurnya aku selama ini.

“Hari ini, apa yang anda lihat adalah hasil frakmentasi dari diriku yang dulu. Andaikan tidak ada

cahaya keimanan di dada ini, mungkin saat ini aku masih terus menghujat Tuhan dan bersembunyi

dari anda sekalian. Beruntung Allah masih menyayangiku, masih memanggilku untuk

menghadapNya. Aku berusaha untuk ikhlas, tapi sungguh betapa sulit untuk ikhlas. Sampai hari ini

pun aku belum bisa untuk menerima sepenuhnya”.

Semua cerita duka itu mengalir dari mulut Aibi. Semua perasaan yang di pendamnya akhirnya

tumpah ruah memenuhi segenap penjuru ruangan. Semua yang ada di dalam ruangan pun ikut

hanyut menyimak setiap langkah dari perjalanan hidup Aibi yang sangat menggetarkan. Mata

mereka basah. Suara isakan memenuhi ruangan yang menampung 5000 orang tersebut.

Satu beban lagi rasanya terlepas dari pundak Aibi. Perasaan tidak menerima takdir itu terkikis dari

hatinya. Yang tersisa saat ini hanya keikhlasan dan keridhoan terhadap apa yang menimpanya. Jika

ribuan mahasiswa yang ada di kampus ini masih menerimanya apa adanya. Apa haknya untuk

menolak segala yang terjadi terhadap dirinya. Dia telah siap mengarungi kehidupannya ke depan.

Dia telah siap menghadapi segalanya.

Di akhir acara Bapak Rektor memberikan kata sambutan sekaligus menyerahkan semua

penghargaan yang seharusnya diterima Aibi ketika wisuda dan juga menyerahkan ijazah S1nya.

Walau tidak ada baju kebesaran dan toga yang dikenakan dan tidak disaksikan oleh para wisudawan

dan wisudawati, tapi acara itu lebih istimewa dari acara wisuda yang pernah ada di kampus adidaya

ini karena di saksikan oleh hampir seluruh mahasiswa dan seluruh dosen dengan berurai air mata.

“Saya tidak tau, apakah semua ini masih bisa saya manfaatkan dalam kehidupan kedepannya atau

tidak. Tapi yang jelas semua ini adalah sebuah bukti otentik, bahwa saya memang pernah mengecap

bangku pendidikan di kampus adidaya ini.

****

Page 75: Liza Punya

25

Lelaki Berkacamata Minus

Gedung mencakar langit berdiri dengan megahnya menggambarkan keangkuhan para penghuninya.

Dari kejauhan di lorong-lorong sempit yang menjadi jalur sibuk orang-orang berseliweran di

tengah-tengahnya. Membawa segala peralatan dan tumpukan-tumpukan. Ada yang setengah berlari,

tergesa-gesa dan ada juga yang berjalan dengan santainya. Terowongan di tengah ruangan itu telah

berubah menjadi jalan tol para pejalan kaki menuju tempat tujuannya masing-masing.

Mobil Yaris berhenti di tempat parkir. Laki-laki berkacamata minus dengan hidung sedang dan

rambut lurus keluar dari mobil tersebut. Kemeja lengan panjang berwarna biru lembut dan celana

dasar hitam yang di kenakanya menambah kesan elite pemuda tersebut. Sebuah dasi warna biru

muda senada dengan kemeja yang di kenakannya tampak tergantung indah di lehernya. Menambah

kesan parlente laki-laki itu yang ternyata adalah dokter ahli Jantung yang di tunggu oleh pihak

rumah sakit. Dia baru saja menamatkan pendidikan spesialisnya di Jerman dengan nilai cumlaude.

Hari ini dia kembali ke tanah air guna mengamalkan ilmu yang di dapatnya.

Dengan langkah pasti di masukinya ruangannya yang terletak di lantai 5. Bibirnya tidak berhenti

tersenyum kepada setiap orang-orang yang berpapasan dengannya. Apakah orang itu pasien rumah

sakit, perawat atau suster yang bertugas di rumah sakit, atau sesama rekan dokter maupun keluarga

pasien yang sedang menunggu di bangku-bangku tunggu rumah sakit di sepanjang lorong.

Pagi ini dia akan berjumpa dengan pasien pertamanya di hari pertamanya menjadi dokter spesialis

jantung. Seorang ibu-ibu tua yang sudah berumur 67 tahun. Itulah info yang di dapatnya dari

perawat yang menghubungi kemaren sore.

Dalam hitungan detik, dokter muda tamatan dari Jerman itu telah berhasil menjadi buah bibir para

penghuni rumah sakit, terutama para perawat yang masih gadis yang berharap akan di lamar oleh

sang dokter. Tiba-tiba langkahnya menuju ruangannya terhenti, ketika di jalan dia berjumpa dengan

dr. Aisyah yang juga sedang berjalan dengan arah yang berlawanan dengannya. Dan dia pun

tertegun dan mengganggukan kepalanya kepada dr. Aisyah.

“Assalamu’alaikum Tante....” sapanya ramah kepada dr. Aisyah sembari tersenyum. dr. Aisyah yang

mendapatkan sapaan yang begitu sopan dari seorang laki-laki perlente yang memakai kacamata

minus itu pun terhenti sejenak dan menengadahkan kepalanya ke laki-laki yang mempunyai tinggi

kira-kira 170 cm dan dengan bahu yang bidang.

“Wa’alaikumussalam...” jawab dr. Aisyah sembari tersenyum namun dengan tatapan penuh tanda

tanya. “siapa?”. Dan sepertinya dokter muda itu menyadari tatapan penuh tanda tanya dari dr.

Aisyah.

“Pasti tante tidak mengenali saya lagi”. Katanya kemudian.

Mendapatkan pertanyaan seperti itu tentu saja dr. Aisyah semakin penasaran. Siapa anak muda ini?

Page 76: Liza Punya

Dan dimana dia pernah kenal anak muda ini? Dia benar-benar tidak ingat sama sekali.

“Maaf, saya memang tidak kenal. Perasaan saya tidak pernah berjumpa dengan kamu. Kamu

siapa?”. Tanya dr. Aisyah dan mengakui ketidak tahuannya. Tapi yang ditanya malah tersenyum

semakin lebar dan kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal

“Ini Fahmi tante. Seniornya Aibi waktu SMA yang waktu itu pernah datang ke rumah tante

mengantar buku Aibi yang pernah saya pinjam, apa tante ingat? Ah sudah lama sekali tante, 16

tahun yang lalu. Pasti tante sudah lupa, tapi saya Insya Allah tidak akan lupa tante”. Jawab dokter

muda yang ternyata bernama Fahmi itu menjelaskan.

“16 tahun yang lalu?..! Wah saya benar-benar sudah lupa”. Jawab dr. Aisyah tersenyum sembari

menggelengkan kepalanya. Dia salut dengan ingatan anak muda ini ”Tapi tidak apa-apa. Siapa yang

sakit? Orang tua kamukah? Kok pagi-pagi sudah ke rumah sakit?”. Tanya dr. Aisyah selanjutnya.

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Fahmi lagi-lagi tersenyum kepada dr. Aisyah. Tapi dia bingung

bagaimana harus menjawab, dia merasa tidak enak mengatakan kalau dia seorang dokter kepada

wanita paruh baya yang di hormatinya ini. Dia berharap ada seseorang yang akan menjawab dan

memberitahukan keberadaannya di rumah sakit hari ini kepada dr. Aisyah. Tapi siapa yang akan

membantunya ya?

Tiba-tiba seorang suster muda dengan tinggi sedang berkulit kuning langsat mendekatinya dengan

sedikit tergesa-gesa.

“dr. Muhammad Fahmi?” tanya suster itu begitu sampai di dekatnya. Tanpa membuang waktu lagi

Fahmi cepat menjawab. “Ya benar Sus, saya dr. Muhammad Fahmi”. Mendengar suster tersebut

memanggil anak muda di depannya dengan sebutan dokter, dr. Aisyahpun membulatkan mulutnya

dan kemudian ber oh panjang. Tapi beberapa kali dia datang ke rumah sakit ini, baru kali ini dia

berjumpa dengan laki-laki ini. Mungkin dia masih baru.

“Oh.... jadi kamu seorang dokter toh. Maaf kalau pertanyaan saya salah. Saya fikir kamu ingin

menjenguk keluargamu yang di rawat disini”. Kata dr. Aisyah kemudian sambil tersenyum.

“Tidak apa-apa tante, tante tidak salah. Ah, saya ingin bertanya banyak hal sama tante, tapi ini

adalah hari pertama saya tugas di sini tante. Dan kebetulan juga ada pasien pertama yang saya

tangani hari ini. Lain kali saya akan cari tante lagi. Permisi tante. Assalamu’alaikum”. Katanya

kemudian dan membungkuknya badannya dan berlalu dari sana. Dan dr. Aisyah pun kembali

melanjutkan langkahnya menuju lobi rumah sakit. Dia ingin kembali ke rumah sakit tempat dia

bertugas.

***

26

Gadis Di Tempat Parkir

Aibi baru sampai di Jakarta dari perjalannya dari Semarang. Setelah kembali dari Padang, Aibi

Page 77: Liza Punya

menghabiskan waktunya dengan mengisi seminar dimana-mana dan memberikan motivasi kepada

berpuluh ribu generasi muda di Indonesia ini. Dia juga mengabdikan dirinya untuk membangkitkan

semangat para penyandang cacat yang ada di Indonesia ini. Berbagi pengalaman hidup dengan

siapapun. Berbagi pengalaman organisasi dengan berbagai mahasiswa yang ada di Universitas-

universitas baik negeri maupun suasta yang ada di Indonesia.

Sore ini Aibi ingin sampai di rumah lebih cepat karena dia ingin istirahat secepatnya karena

punggungnya terasa sangat sakit sekali. Dia sudah tidak tahan lagi untuk duduk lebih lama lagi.

Rahmi yang masih setia menemaninya sudah sedari tadi menyuntikkan cairan penghilang rasa sakit

ke tubuh Aibi, tapi sepertinya tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Saat ini Aibi sangat ingin

berbaring dengan nyaman di atas kasurnya. Sementara Deni sudah memacu mobilnya dengan

kecepatan maksimum. Tapi baru saja mereka keluar dari gerbang tol Jati Negara, tiba-tiba mobilnya

di hentikan oleh seorang ibu-ibu berbaju lusuh yang berkemungkinan besar mungkin seorang

pemulung. Dan Denipun menghentikan mobil dengan rem mendadak. Aibi yang duduk di bangku

belakang yang mulai tertidur tadi terkejut begitu juga dengan Rahmi.

“Ada apa Mas?” tanya Aibi penasaran.

“Anu Mbak... Ada yang menstop mobil kita Mbak. Hampir saja saya menabraknya Mbak.” Kata

Deni dengan nafas memburu dan keringat dingin yang mengucur.

Mendengar apa yang di sampaikan Deni, Aibipun menengadah melalui kaca mobil. Penasaran juga

dia dibuatnya. Kok nekat begitu? Ada apa kira-kira?

Ibu-ibu yang berbaju lusuh itu terlihat pias dengan sisa-sisa air mata yang masih menggelantung di

sudut matanya. Melihat pemandangan itu, membuat hati menjadi merintih dan sepertinya ibu-ibu

yang berdiri tidak jauh di depan mobil seperti sedang memangku sesuatu. Dan ketika di perhatikan

lagi secara seksama, ternyata itu adalah bayi yang mungkin baru berusia beberapa hari. Di bungkus

dengan kain seadanya. Ada apa gerangan?

Dengan wajah memelas dan langkah kaki terkatung-katung ibu-ibu itu mendekati mobil Aibi dan

dengan berurai air mata dia berkata “tolong Mbak. Tolong selamatkan bayi ini. Saya menemukan

bayi ini di tumpukan sampah-sampah di belakang tempat pembuangan sampah sana”. Katanya

kemudian dengan berurai air mata sembari tangan yang satunya lagi menunjuk ke arah selatan.

Rahmi yang seorang perawat mengerti kalau bayi tersebut butuh pertolongan secepatnya karena

tubuh bayi tersebut mulai menguning. Mungkin karena kekurangan susu. Dan juga kelihatan

membiru di ujung-ujung kukunya. Dia pun melihat ke Aibi dan Aibipun dengan cepat

memerintahkan Rahmi untuk segera mengambil bayi tersebut dari tangan ibu-ibu tadi.

Begitu Rahmi masuk lagi ke mobil, Aibi meminta Deni untuk mencari rumah sakit terdekat, agar

bayi yang mereka bawa segera mendapatkan perawatan. Deni segera membanting stir mobilnya

dengan kecepatan tinggi. Dan Aibi pun lupa dengan rasa sakit yang menyerang punggungnya. Yang

Page 78: Liza Punya

ada dalam fikirannya saat ini adalah menyelamatkan bayi yang mereka bawa. Sementara Rahmi

sibuk mengeluarkan kain yang ada di tas dan membalutkannya ke tubuh bayi yang masih merah

yang mungkin baru beberapa jam yang lalu keluar dari rahim bundanya yang tidak bertanggung

jawab.

BMW metalik itu parkir di depan rumah sakit yang megah. Dan Rahmi tanpa di komando langsung

saja keluar dari mobil tersebut begitu mobil berhenti dan berlari menuju ruangan rumah sakit

sembari menggendong bayi yang mereka bawa. Sesaat dari kejauhan Aibi melihat Rahmi berbicara

dengan salah satu suster yang ada di sana dan sesaat kemudian Rahmi telah menghilang dari sana.

M ungkin pergi ke ruang instalasi bagian perawatan bayi. Deni dan Aibi menunggu beberapa saat,

tapi Rahmi tak juga kunjung muncul kembali. Aibi pun cemas memikirkan kondisi bayi yang

mereka bawa barusan. Dia pun memerintahkan Deni untuk mengeluarkan kursi rodanya. Dia ingin

menyusul Rahmi ke dalam.

“Mas, tolong ambilkan kursi roda saya Mas. Saya akan menyusul Rahmi ke dalam”. Kata Aibi

kemudian. Sesaat tampak Deni agak ragu mengikuti perintah Aibi.

“Tapi Mbak....?...!” kata Deni menyangsikan.

“Sudahlah Mas, ambil saja dulu. Saya bisa berpindah sendiri, Insya Allah”. Kata Aibi lagi

kemudian. Deni mengambil kursi roda Aibi dan meletakkanya di samping pintu mobil dimana Aibi

berada.

“Mas berdiri di samping saya. Jika nanti saya terjatuh dan sudah menyentuh tanah, baru Mas boleh

membantu saya untuk naik ke atas kursi roda ini. Tapi jika saya tidak jatuh, seperti apapun

kondisinya, Mas tidak boleh menyentuh saya. Mas tidak boleh membantu saya. Mas mengertikan?”

kata Aibi bersiap untuk berpindah. Sebenarnya dia sendiri tidak yakin akan bisa, karena selama ini

dia tidak pernah mencoba. Mengangkat sebelah kakinya saja, terasa sangat berat sekali, apalagi

sekarang punggungnya lagi sakit. Tapi dia harus mencobanya. Bukankah kalau dia jatuh nanti ada

Deni yang akan membantunya. Walau sebenarnya dia tidak mau di sentuh oleh Deni yang bukan

muhrimnya. Dengan Bismillah Aibi mulai menurunkan kakinya yang terasa berat.

****

Dari kejauhan di lobi rumah sakit seorang dokter muda sedang mengantarkan pasiennya menuju

tempat perkir dan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Matanya membentur Aibi yang

sedang berjuang untuk berpindah dari mobil ke kursi rodanya. Sejenak di perhatikannya laki-laki

yang berdiri di samping gadis tersebut. Nafasnya tertahan melihat gadis tersebut berjuang untuk

berpindah dari mobil ke kursi rodanya. Ada sesuatu yang menggelitik hati Fahmi menyaksikan

pemandangan yang memiriskan hati itu. Siapa gadis cacat yang masih saja menjaga dirinya agar

tidak di sentuh oleh laki-laki yang bukan muhrimnya? Fahmi yang ingin mendekat kesana untuk

membantu, mengurungkan niatnnya karena dia yakin gadis itu juga akan menolaknya. Beberapa

Page 79: Liza Punya

kali tadi di perhatikannya laki-laki yang berdiri di samping gadis itu. Ternyata adalah sopirnya yang

menawarkan diri untuk membantu tapi dengan kibasan tangan Aibi menolak bantuan yang di

tawarkan tersebut

Aibi terus berjuang untuk berpindah. Tapi sungguh betapa susahnya menyeret tubuhnya yang terasa

sangat berat naik ke kursi roda itu. bahkan beberapa kali dia hampir jatuh berdebam ke bawah. Tapi

untung cengkramannya kuat ke pintu mobil. Kalau tidak, mungkin dia sudah berguling di tanah dan

di angkat oleh Deni ke atas kursi rodanya. Hampir saja Aibi menangis menahan rasa sakit dan

berusaha untuk berpindah dari mobil ke kursi rodanya. Tiba-tiba seorang suster yang di panggil oleh

Fahmi tadi sebelum dia kembali keruangannya datang membantunya dan mendudukkannya di atas

kursi rodanya. Bahkan di bantu mendorong kursi rodanya memasuki rumah sakit dan menuju

ruangan perawatan bayi tempat Rahmi berada.

Sementara di ruangan tunggu tampak Rahmi dengan wajah cemas duduk menunggu dokter keluar

dari ICU. Melihat Aibi yang diantar oleh seorang suster Rahmi pun bangkit dari duduknya dan

menyongsong Aibi.

“Mbak.?..! Kok Mbak datang kesini? Mbak kan lagi sakit Mbak?” kata Rahmi khawatir. Karena dia

tahu punggung Aibi lagi sedang tidak aman. Seharusnya dia tadi menyuruh Aibi pulang duluan saja.

Dan tidak usah menunggunya apalagi sampai menyusulnya keruangan ini.

“Tidak apa-apa. Mbak sudah agak baikan kok. Gimana bayinya dik? Tidak apa-apakan?” Tanya

Aibi kemudian. Rahmi tau Aibi tidak jujur. Tapi sepertinya situasi kurang tepat untuk menyuruh

Aibi ke mobil lagi.

“Mudah-mudahan tidak apa-apa Mbak. Tim dokter sedang berusaha menyelamatkannya Mbak. Tadi

kata dokter bayi tersebut telah mengalami kedinginan selama 8 jam Mbak. Jadi paru-parunya mulai

rusak. Di samping itu dia juga kekurangan asi sehingga tubuhnya menguning. Bayi itu baru lahir

menjelang subuh tadi kata dokter Mbak”. Terang Rahmi ke Aibi dengan mata berkaca-kaca.

“Kasihan. Siapa ibu yang tega membuang anaknya yang tidak berdosa dik?” keluh Aibi dengan air

mata mengambang. Dunia semakin tidak beradab rasanya. Manusia sama rendahnya dengan

binatang, binatang saja tidak mau membunuh dan membuang anaknya sendiri, ini manusia tanpa

perasaan di buangnya bayi yang masih merah ke tong sampah tanpa merasa berdosa.

“Rahmi juga nggak tahu Mbak. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa Mbak”. Tidak lama setelah

Rahmi berucap seperti itu, dokter pun keluar dari ruangannya di ikuti oleh tiga orang suster. Rahmi

memburu dokter dengan segera. Sementara Aibi menunggu di tempat semula dia datang dengan

wajah mengernyit menahan rasa sakit di punggungnya yang semakin menjadi-jadi.

“Bagaimana dok?” tanya Rahmi cepat.

“Kami masih berusaha Mbak. Dia sudah melewati masa kritisnya. Tapi kita tunggu sampai besok,

apakah dia bisa bertahan atau tidak sampai besok pagi, maka dia kan selamat karena 85 persen

Page 80: Liza Punya

paru-parunya telah rusak. Kita do’akan saja ya Mbak”. Terang dokter kemudian berlalu ke

ruangannya.

Sesampai di rumah Aibi langsung menuju kamar dan setelah sholat dia pun tertidur dengan

lelapnya. Dia berharap rasa sakit di punggungnya akan hilang begitu dia terbangun dari tidurnya

nanti. Belakangan sakit di punggungnya tidak lagi sering terasa. Sepertinya ia telah bisa menerima

kondisi tubuhnya yang lumpuh. Setelah sembilan tahun pasca kecelakaan barulah Aibi sedikit agak

nyaman karena tidak harus sering di suntik lagi untuk menghilangkan rasa sakit. Tapi tetap saja Aibi

belum bisa melakukan apa-apa. Cidera di syaraf tulang punggungnya benar-benar akut ternyata. Dia

masih saja tetap harus di bantu Rahmi ketika mau ke kamar mandi. Dia tetap saja di bantu Rahmi

ketika mau berpindah dari kursinya ke tempat tidur, atau dari kursi rodanya ke sofa yang terletak di

kamarnya atau di tengah ruangan rumahnya. Dia tetap saja di bantu oleh Rahmi ketika dia mau

membuang hajat dan sebagainya.

***

27

Sebuah Pertemuan

Pagi ini mereka akan ke Bandung memberikan motivasi kepada penyandang cacat yang tinggal di

panti rehabilitasi Kasih Bunda. Tapi sebelum kesana mereka akan ke rumah sakit dulu memastikan

keadaan bayi malang yang mereka bawa ke rumah sakit kemaren.

Perjalanan pagi ini di nikmati Aibi dan Rahmi dengan sendu. Melewati jembatan di sepanjang jalan

kota Jakarta, ternyata tidak ada satu pun sungai yang selamat dari limbah. Warnanya selalu hitam

kecoklatan dan banyak sampah yang bergentayangan di dalamnya. Dan parahnya lagi masih ada

beberapa masyarakat yang masih melakukan berbagai aktifitas di sana. Dan mereka tentu saja para

kaum papa yang luput dari perhatian pemerintah. Ah ternyata kehidupan di kota Jakarta semakin

melarat. Kasihan masyarakat kecil yang menjadi korban kebijakan pemerintah yang tidak berpihak

kepada mereka. Sehingga angka kriminal semakin tinggi dan perampokan semakin meningkat.

Apalagi para pengangguran dan anak-anak putus sekolah semakin menjamur.

Lihatlah di setiap perempatan jalan dan lampu merah, masih saja di penuhi dengan pemandangan

yang menyayat hati. Begitu banyak para pengamen cilik dan pengemis cilik bergentayangan di

sana. Entah dengan apa mereka akan di sejahterakan. Semua harta negara telah habis dikuras oleh

para elit politik yang jalan-jalan keluar negeri dan melarikan uang negara puluhan miliyar

jumlahnya.

Dan yang lebih menganehkan lagi adalah mereka sudah terbukti mencuri dan merampas uang

negara dalam jumlah yang tidak terkirakan bahkan sampai 600 miliyar. Tapi tidak ada rasa

penyesalan sedikitpun. Kira-kira kalau uang sebanyak itu di tumpuk dan di suruh truk

mengangkutnya, mungkin akan mememenuhi satu truk fuso. Coba uang sebanyak itu di gunakan

Page 81: Liza Punya

untuk mensejahterahkan rakyat. Wah pasti tidak ada pengemis di Indonesia kali ya. Tapi, kapan ya

pemandangan di kota Jakarta ini akan sepi pengemis dan anak jalanan? Mungkin tunggu di ganti

lagi presidennya kali, yang ternyata punya mimpi dan misi yang berbeda lagi dan tingkat korupsi

yang lebih besar. Serba tidak menentu.

Belum lagi kemacetan yang selalu siap mengancam di mana-mana. Bahkan di tol saja masih tetap

macet. Sudah ada bus way pun, tapi tetap saja macet, karena ada juga dari beberapa sopir bus dan

angkot yang iseng mengambil jalur khusus Bus way . Semakin senewen dan sembraut saja. Aibi

sudah terlalu pusing untuk memikirkan semua itu. Hatinya terlalu miris memikirkan semua ini.

Rakyat kecil tidak akan di dengarkan suaranya oleh bangsa yang sudah kehilangan kepribadian ini.

Apalagi dia yang hanya warga negara yang cacat yang tidak bisa apa-apa. Semakin hilanglah hak

bicaranya mengenai bangsa ini.

Sesampai di rumah sakit, Aibi tidak ikut melihat si bayi bersama Rahmi ke ruangannya, tapi

menunggu di luar karena dia tidak sanggup melihat tubuh mungil itu di penuhi dengan berbagai

peralatan medis. Hatinya terlalu miris untuk menyaksikan semua itu. Ia menunggu di depan sambil

membaca koran di lobi rumah sakit. Sedang Rahmi beranjak menuju lift naik ke lantai atas tempat

si bayi sedang dirawat

Ternyata bayi malang itu sedang kritis karena peradangan paru-paru yang di alaminya telah

membuat si bayi kesulitan untuk bernafas.Tim dokter sedang berada di ruangan memberikan

pertolongan kepada bayi malang yang sedang berjuang mempertahankan selembar nyawa yang di

berikan Allah kepadanya. Betapa hati ini miris memikirkan. Ternyata puluhan bayi di luar sana juga

sedang berjuang menyelamatkan hidup yang baru saja di rasakannya.

Bukankah makhluk kecil nan mungil itu seharusnya sekarang sedang tertidur hangat di pelukan

sang bunda yang sedang meneteknya? Tapi lihatlah bayi malang itu justru malah sedang meregang

nyawa di ruangan yang penuh peralatan medis. Begitu kejam dunia kepadanya. Masih banyakkah

bayi-bayi yang menderita akibat perbuatan orang-orang tidak bertanggung jawab di luar sana?

Kenapa harus bayi mungil kecil yang tidak berdosa ini yang harus menanggung semua derita dan

beban dosa yang di lakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab itu yang hanya memikirkan

kenikmatan sesaat saja? Sungguh betapa kejam dunia ini kepadanya.

Lagi-lagi ini potret bangsa yang sakit karena lapangan pekerjaan yang semakin sulit, boro-boro

dapat pekerjaan halal, yang haram saja susahnya minta ampun. Ini Jakarta kawan, kota sibuk yang

memiliki tingkat individual paling tinggi karena semuanya hanya sibuk memikirkan nasib sendiri-

sendiri.

Aibi sedang sibuk membalik-balik halaman koran yang ada di tangannya. Dia masih sibuk

membaca berita yang ada di dalamnya. Mulai dari berita kriminal, politik, ekonomi, olahraga,

sampai pada berita selebritis yang kawin cerai dan putus nyambung. Aibi semakin muak

Page 82: Liza Punya

menyaksikannya. Semuanya hanya untuk tujuan komersial belaka. Hanya demi fulus berita yang

tersaji pun hambar dan terkesan basi. Masalah ekonomi, semakin mengkerut, sampai sekarang tidak

ada solusi yang tepat. Masalah politik, hanya basa basi belaka, padahal para koruptor bersemayam

disana. Masalah pendidikan, semakin buram saja, karena masih saja tetap sama seperti tahun-tahun

sebelumnya. Yang berubah hanya namanya saja. Tapi isinya tetap sama.

Sedang asyiknya membalik-balik koran, tiba-tiba Hpnya berdering Aibi terlonjak. Dengan tergesa

Aibi mengelurkan Hp yang ada di dalam tas yang terletak di pangkuannya. Di perhatikannya layar

yang berkedip-kedip, ternyata panggilan dari Rahmi. Karena terburu-buru mengeluarkan Hpnya,

dompet Aibi ikut tertarik dan jatuh ke lantai.

Begitu selesai menjawab telfon Rahmi, Aibi berusaha mengambil dompetnya yang jatuh, tapi

sungguh dia tidak bisa. Dia tidak bisa menjangkaunya, karena pinggangnya masih terasa ngilu kalau

terlalu menunduk. Dengan susah payah Aibi berusaha meraihnya sampai keluar keringat dinginnya.

Namun dompetnya tidak juga bisa di raihnya. Dia ingin meminta tolong kepada seseorang di sana,

tapi sepertinya sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, Aibi urung meminta bantuan.

Sekali lagi Aibi mencoba memungut dompetnya yang terletak di lantai. Di kerahkannya semua

tenaganya, tapi dia tetap saja gagal. Pinggangnya terlalu sakit untuk di tekuk. Di cobanya sekali

lagi, tapi dia gagal lagi. Dan ketika dia sedang menunduk dan berusaha mengambil dompetnya,

tiba-tiba seorang laki-laki dengan sepatu oxford hitam dan celana panjang hitam berdiri tidak jauh

di depannya dan memungut dompet hitam yang tergeletak di lantai dan menyerahkannya ke Aibi.

Dengan gerakan cepat Aibi mengangkat kepalanya dan memandang ke laki-laki yang membantunya

mengambilkan dompetnya sembari mengucapkan terima kasih. Ketika dia mengangkat kepalanya,

seorang laki-laki dengan tinggi sekitar 170 cm dan berbahu bidang berdiri di depannya. Lelaki itu

mengenakan kemeja lengan panjang berwarna krem. Dasi dengan warna serupa tergantung di

lehernya. Stetoskop tergantung indah di lehernya. Kaca mata minus membingkai matanya Ia

menatap ke arah Aibi dengan tatapan penuh tanda tanya.

Aibi tahu laki-laki tinggi yang berdiri di depannya adalah seorang dokter, karena stetoskop yang

tergantung di lehernya dan juga jas putih yang di kenakannya. Tapi wajah itu, rasanya pernah ia

lihat. Laki-laki tinggi yang berdiri di depan Aibi tak lain adalah dr. Fahmi. Ia juga merasakan hal

yang sama dengan Aibi. Wanita yang duduk di kursi roda ini, yang memakai gamis hitam kotak-

kotak putih yang di padukan dengan jilbab putih yang membingkai mukanya sangat familiar

rasanya di ingatannya. Kacamata minus yang bertenggar di hidung itu? Rasanya dia mengenali

wanita yang duduk di kursi roda ini. Tapi, siapa?

“Terima kasih, dokter...” Kata Aibi kemudian setelah terdiam cukup lama memperhatikan laki-laki

yang ada tepat di depannya dan buru-buru menundukkan kepalanya, karena matanya sempat beradu

dengan Fahmi.

Page 83: Liza Punya

“Ya, sama-sama”. Jawab dr. Fahmi menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.

Senyum itu, Aibi yakin dia mengenali orang yang membantunya mengambilkan dompetnya itu.

Tapi siapa dia? Apa tidak sebaiknya ditanyakan saja? Ah biarlah.

Dr. Fahmi yang sudah memutar badannya menuju ruangannya, tiba-tiba menghentikan kembali

langkah kakinya dan membalikkan badannya. Ia menghadap ke arah Aibi. Ditatapnya wajah Aibi

dalam-dalam

“Maaf. Wajah anda tidak asing bagi saya. Saya rasanya mengenali anda. Tapi dimana ya? Atau

mungkin saya salah orang?” Kata dr. Fahmi kemudian begitu mendekati Aibi lagi. Baru saja Aibi

akan menjawab, tiba-tiba Rahmi datang memburunya dengan berurai air mata. “Mbak Aibi....”

panggil Rahmi tergugu di pangkuan Aibi.

Mendengar nama itu, membuat dr. Fahmi terbelalak. Nama yang di rindukannya selama ini. Tapi

tunggu, bukankah Aibi yang di rindukannya itu seorang wanita cantik, anggun hebat dan penuh

prestasi? Bukan wanita yang duduk di kursi roda dengan kondisi lemah dan sangat menyedihkan

seperti ini. Bahkan untuk mengambil dompetnya yang terjatuh saja dia tidak bisa. Benarkah yang di

dengarnya? Dia harus pastikan semua ini. Tapi karena dia melihat ada wanita lain yang sedang

menangis di pangkuan wanita di atas kursi roda itu, ia urungkan niatnya. Dia berjanji akan datang

langsung berkunjung ke rumah Aibi nantinya untuk memastikan semuanya. Dia masih belum yakin

Aibi yang di kursi roda itu adalah Aibi yang pernah di kenalnya. Dengan langkah penuh tanda tanya

di tinggalkannya Aibi dan Rahmi yang sedang menangis.

Rahmi menangis karena bayi yang mereka bawa ke rumah sakit kemaren tidak dapat di selamatkan.

Karena peradangan paru-parunya akut sehingga kesulitan bernafas. Bayi malang itu itu telah pergi

dengan tenang mengakhiri semua penderitaannya.

Akhirnya Aibi dan Rahmi tidak jadi ke Bandung, karena kondisi punggung Aibi yang semakin sakit

dan dia juga butuh istirahat. Setelah mereka menguburkan Bayi malang tersebut, mobil BMW

metalik itu kembali meluncur menuju rumah megah di kawasan elit Jakarta Selatan, rumah keluarga

Rizaldi

****

Rasa sakit di punggung Aibi tidak kunjung hilang. Setelah begitu lama sakit yang menyiksa itu, hari

ini kembali dirasakan Aibi. Padahal Rahmi telah menyuntikkan cairan penghilang rasa sakit ke

tubuhnya, tapi rasa sakit itu belum juga hilang. Mungkin karena dia telah memaksakan merunduk

mengambil dompetnya yang jatuh di rumah sakit tadi sehingga rasa sakit di punggungnya semakin

akut.

Semenjak pulang dari rumah sakit tadi sepanjang hari setelah itu dia hanya tiduran saja. Hanya

bangun ketika sholat saja. Bahkan makan malam pun harus di bawakan Rahmi ke kamar. Mama dan

Papanya telah cemas memikirkannya. Mereka menyarankan untuk membawa Aibi ke rumah sakit,

Page 84: Liza Punya

tapi Aibi tidak mau. Mungkin sebentar lagi akan hilang, tapi rasa sakit itu tidak kunjung hilang.

Bahkan sampai tengah malam. Rasa sakit di punggungnya sudah tidak dapat lagi ditahan oleh Aibi.

Terakhir dia merasakan rasa sakit yang hebat seperti ini di punggungnya adalah ketika pertama kali

dia sampai di Jakarta lagi. Sudah hampir tiga tahun, dan hari ini kenapa kembali dirasakannya? Apa

kerusakan syaraf tulang belakangnya semakin parah?

“Rahmi... Rahmi... Rahmi... “ Panggil Aibi ke Rahmi yang tidur di sampingnya.

Rahmi yang sedang tertidur lelap cepat terbangun dan duduk di samping Aibi yang masih tiduran.

“Ya Mbak. Apa Mbak mau ke kamar mandi?” tanya Rahmi bersiap mendudukkan Aibi.

“Tidak dik. Mbak tidak mau ke kamar mandi”. Jawab Aibi dengan menggigit bibir menahan rasa

sakit yang menyerang punggungnya.

“Lalu kenapa Mbak?” Tanya Rahmi mulai cemas.

“Punggung Mbak sakit, mi. Nggak tahan rasanya, seperti ada yang menusuk-nusukkan seribu jarum

di sana rasanya. Sakit sekali mi. Tidak pernah Mbak merasakan sakit sehebat ini dik. Sakit sekali

dik. Mi, tolong bantu Mbak menghilangkan rasa sakit ini dik”. Ungkap Aibi yang mulai

berkeringat dingin.

Melihat Aibi kesakitan seperti itu, membuat Rahmi cemas. Dia tidak pernah melihat wajah Aibi

sepucat ini dan menahan rasa sakit sampai keringatan seperti ini. Dengan cepat di ambilnya peratan

medisnya dan mengambil jarum suntik dan menyedot cairan berwarna agak kecoklatan di dalam

botol kecil dan kemudian menyuntikkannya ke Aibi. Setelah itu dia keluar dan kemudian masuk

lagi membawa napan berisi air dan handuk kecil. Ternyata air hangat yang akan di gunakannya

untuk mengompres punggung Aibi.

Di letakkannya nampan yang berisi air tersebut dan di bantunya Aibi telungkup dan kemudian mulai

mengompres pinggang Aibi dengan air hangat yang di bawanya. Walau tidak banyak membantu,

akhirnya Aibi sudah tidak mengerang lagi. Jam 04.00 dini hari Aibi tertidur.

Paginya Aibi terbangun dan masih belum bisa apa-apa. Terpaksa dia sholat shubuh sambil berbaring

dan berwudhu dengan bertayamum. Rasa sakit di punggungnya sudah berkurang. Pagi itu juga

dokter Inggrit datang memeriksanya dan memintanya untuk beristirahat total di tempat tidur selama

beberapa hari. Karena sepertinya punggung Aibi sudah tidak kuat lagi untuk di paksa duduk terlalu

lama.

****

28

Menanti Bidadari

Sementara di lantai lima rumah sakit, seorang dokter muda masih tercenung memikirkan perihal

pertemuannya dengan gadis yang duduk di kursi roda yang bernama Aibi itu. Kenapa namanya bisa

sama dengan nama yang selama bertahun-tahun berusaha dia jaga di dalam hatinya dan akan di

Page 85: Liza Punya

jemputnya kembali begitu dia sudah di Jakarta

Dia teringat kejadian 16 tahun yang lalu ketika dia masih memakai seragam putih abu-abu. Dia

pernah menyukai seorang gadis cantik juniornya di sekolah, dan gadis itu adalah Aibi. Mereka

sempat jalan tiga bulan sebagai sepasang kekasih, cinta monyet ketika SMA. Dia yang memutuskan

Aibi, karena akhirnya dia masuk rohis sekolah dan ikut pengajian setiap minggunya walaupun

sebenarnya ketika itu dia masih sangat menyukai Aibi yang cantik dan baik.

Ketika dia akan menyelesaikan kuliah S.1nya di Jakarta dan ketika itu Aibi juga sudah kuliah. Dia

berniat ingin mengkhitbah Aibi, tapi karena Aibi jauh kuliah di Padang, maka di urungkannya

niatnya tersebut. Dan dia mendengar kabar dari beberapa teman yang seangkatan Aibi, kalau Aibi

sudah memakai jilbab lebar, membuatnya sedikit nyaman dengan keputusannnya menunda

khitbahnya karena dia yakin Aibi akan menjaga diri dan hatinya baik-baik.

Begitu dia selesai mengambil gelar dokternya di Jakarta, dia di terima menjadi dokter umum di

pedalaman Kalimantan. Selama tiga tahun dia disana dan tidak pernah lagi mendengar kabar

tentang Aibi, namun dia masih berharap agar Aibi belum menikah. Dia masih berharap Aibi masih

sendiri, sehingga kalau masa tugasnya yang di kontrak selama tiga tahun di pedalaman Kalimantan

berakhir, dia akan datang ke rumah Aibi. Tapi begitu dia sampai di Jakarta dia mendengar kabar

Aibi mendapatkaan besiswa ke Jepang dan melanjutkan S.2nya di negeri sakura. Lagi-lagi dia

mengurungkan kembali niatnya untuk mengkhitbah Aibi. Dengan harapan Aibi masih tetap belum

menikah ketika S.2nya di Jepang selesai. Sehingga dia masih punya kesempatan untuk menjadi

pendamping hidup Aibi.

Sampai akhirnya dia memutuskan ikut program beasiswa S.2 ke Jerman mengambil spesialis

jantung selama lima tahun. Dan ketika dia di Jerman seorang wanita keturunan Turki tergila-gila

kepadanya, dan mengajaknya untuk menikah. Tapi dia menolak ajakan itu, karena dia masih

berharap Aibi masih belum menikah. Dia hanya ingin menikah dengan gadis yang pernah di

cintainya di masa lalu, yaitu Aibi. Jika dia pulang ke Indonesia dan mendapati Aibi belum menikah,

maka dia akan mengkhitbah dan menikahi Aibi. Tapi begitu dia sampai di Indonesia ternyata Aibi

telah menikah, barulah dia akan mencari gadis lain untuk di nikahinya, dan tentu saja gadis

sholehah yang terpelajar seperti Aibi.

Semenjak tamat SMA dia tidak pernah lagi berjumpa Aibi, tapi dia banyak mendapatkan informasi

tentang Aibi dan dia tahu dari teman-teman Aibi, kalau Aibi telah menjadi seorang akhwat tangguh

yang sangat terjaga. Itulah informasi yang di dapatnya dari teman-teman Aibi. Kenapa mereka tidak

pernah memberitahukan tentang kondisi Aibi yang di lihatnya tiga hari yang lalu di lobi rumah sakit

ini? Apa mereka tidak ada yang tahu kondisi Aibi sekarang? Atau memang mereka

menyembunyikan semua ini darinya? Ah tidak mungkin. Dia yakin wanita yang duduk di kursi roda

yang di tolongnya tiga hari yang lalu bukan Aibi yang di kenalnya. Mungkin hanya namanya saja

Page 86: Liza Punya

yang sama. Bukankah begitu banyak yang bernama Aibi di Indonesia ini?

Di tepisnya semua pemikiran-pemikirannya tentang sosok Aibi yang di temuinya di rumah sakit tiga

hari yang lalu. Dia yakin Aibi yang di temuinya di lobi rumah sakit bukan Aibi yang di kenalnya.

Sejurus kemudian dia beranjak meninggalkan ruangannya yang nyaman dan melangkah mendekati

meja resepsionis yang ada di lantai dasar. Dia ingin mendapatkan alamat Aibi dari sana, karena

beberapa hari yang lalu dia juga berjumpa dengan dr. Aisyah Mama Aibi di rumah sakit ini. Pasti

mereka punya alamat dr. Aisyah. Karena kemaren dia datang ke kediaman Aibi yang di Jakarta

Pusat, ternyata rumahnya yang di sana sudah di jual delapan tahun yang lalu. Dan keluarga Rizaldi

yang baik itu pindah entah kemana. Tidak ada satupun tetangganya yang tahu.

Setelah mendatangi meja resepsionis dan mendapatkan alamat rumah dr. Aisyah. Ternyata dr Aisyah

adalah ahli bedah yang membantunya di rumah sakit telah pindah ke kawasan perumahan elit di

Jakarta Selatan.

****

Fahmi telah putuskan, hari ini dia akan datang berkunjung ke rumah Aibi. Setelah 16 tahun berlalu

dia akan datang kesana dan menjemput cintanya yang telah tertunda selama 16 tahun. Di dalam

hatinya yang terdalam, benih-benih cinta itu masih ada. Tapi jika cinta itu sudah tidak ada lagi,

maka dia akan melabuhkan kapalnya ke dermaga yang lain. Hari ini dia hanya ingin memastikan,

bahwa cintanya masih sendiri dan belum dipetik oleh orang lain. Hampir siang malam dia

memikirkan bagaimana cara mengungkapkannya kepada Aibi. Seperti yang terdapat di puisi yang di

tulisnya tiga tahun yang lalu, ketika dia masih di Jerman.

Pujaan Hatiku...

Seperti apakah rupamu hari ini?

Siang malam aku menanti hadirmu...

Tak jarang,

Wajahmu yang mulai kabur,

Kerap ku bawa dalam sujud-sujud panjangku...

Dalam kebeningan ruhani aku berharap,

Engkau senantiasa menjaga kesucian hatimu...

Seperti aku yang berusaha mempersembahkan yang terbaik untukmu, cinta..

Pujaan hatiku,

Gelegar tangis menghanyutkan berjuta melodi...

Lautan nafsu terkadang memalingkan hati...

Tapi duhai pujaan hatiku...

Aku masih ingin mempersembahkan yang terbaik untukmu

Mohon do’akan aku duhai pujaan hati,

Page 87: Liza Punya

Agar hati dan diri ini tetap suci ketika aku menjamahmu kelak

Pada sang kekasih sejati aku mengadu

Akan kelemahan hatimu dan hatiku

Agar di kokohkan ikatan hati kita

Sampai ketika bersua di depan penghulu

Menghalalkan hubungan kita...

Ah, tapi kapankah?

Karena engkau pujaan hatiku..

Terasa asing bagiku...

Bayangmu tidak mampu untuk ku tangkap

Biarlah...

Karena engkau akan menjadi anugrah terindah untukku...

Fahmi menghela nafas panjang setelah membaca puisi yang di tulisnya di atas kertas yang sudah

mulai lusuh karena terlalu lama terlipat di sela-sela buku agendanya. “Akankah, engkau masih

sendiri pujaan hatiku?”. Bisik Fahmi lirih di atas mobilnya yang sedang melaju di tol menuju

Jakarta Selatan. “Astaghfirullah hal’adzim... ampuni hamba ya Allah, begitu lancang hamba berfikir

tentang sesuatu yang belum menjadi milik hamba. Jaga hati ini ya Allah, sampai hamba benar-benar

menemukan tambatan jiwa hamba.

****

29

Penasaran Tingkat Tinggi

Mobil Yaris hitam itu terus melaju dengan kecepatan sedang, sayup-sayup terdengar lantunan

murothal dari tipe mobilnya. Tatapan mata Fahmi lurus ke depan. Dia mengendarai mobilnya

dengan tenang. Tapi begitu dia menyadari mobilnya semakin mendekati tempat tujuannya,

membuatnya semakin gugup dan bingung. Dia bingung bagaimana akan memulai dan akan

mengatakan apa kepada orang tua Aibi? Hari minggu ini, dia yakin orang tua Aibi akan ada di

rumah. Lalu, apa pula yang akan di katakannya kepada Aibi? Dia semakin gugup tatkala mobilnya

semakin mendekati rumah mewah itu. Tinggal hitunggan detik, maka mobilnya akan sampai di

sana. Apa tidak sebaiknya dia membatalkan saja? Tapi bukankah dia butuh kepastian agar bisa

mengambil keputusan? Tentang tambatan hati dan jiwanya. “Ya Allah, jika ini benar anugrah

dariMu ya Allah, maka hilangkan rasa gugup ini ya Allah. Hamba ingin memulai segalanya dengan

baik. Dengan mengharap ridhoMu ya Allah. Bismillahirrahmanirrahim. Mantapkan hati hamba ya

Allah”. Setelah berdo’a Fahmi menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah yang tertutup

rapat.

Sekali lagi dengan Bismillah... Fahmi turun dari mobilnya dan memperlihatkan kartu identitasnya

Page 88: Liza Punya

ke satpam yang menjaga di gerbang rumah Aibi. Setelah meneliti sesaat dan membaca pekerjaan

tamu yang datang seorang dokter, maka satpam pun tanpa ragu membukakan pintu gerbang.

Dengan hati mantap Fahmi kembali memarkirkan mobilnya ke pekarangan rumah. Fahmi telah

berdiri di depan rumah megah itu. Dengan sedikit canggung di tekannya bell yang ada di dinding.

Tidak berapa lama kemudian, dengan tergopoh-gopoh datang seorang ibu-ibu separuh baya

membukakan pintu. Ternyata itu adalah pembantu di rumah Aibi.

“Assalamu’alaikum, Buk, saya dr. Fahmi. Apa dr. Aisyah ada?” tanya Fahmi pelan. Dia sengaja

memperkenalkan dirinya dengan sebutan dr. Agar dia tidak canggung. Dengan demikian orang-

orang di rumah akan menyangka dia adalah tamu dr. Aisyah, mamanya Aibi.

“Wa’alaikum salam. Ada Mas, silahkan masuk. Ibu lagi di belakang”. Jawab pembantu ramah.

“Terima kasih Bu”. Jawab Fahmi sambil mengekor di belakang Bik Na

“Silahkan duduk Pak. Saya panggil Ibu dulu”. Sahut Bik Na kemudian begitu sampai di ruang

tamu.

Dengan tersenyum Fahmi menganggukkan kepalanya dan kemudian melangkah menuju sofa gading

yang ada di ruangan tamu. Tak lama setelah dia duduk datang seorang wanita separuh baya. Ia

memakai baju gamis hijau tua dengan jilbab hitam yang membingkai wajah tuanya. Ia menghampiri

Fahmi dengan senyum yang mengambang. Wajah penuh keramahan dan keibuan itu sangat

menyejukkan matanya. Dan tak lama setelah itu, menyusul laki-laki paruh baya yang gagah dengan

tubuh bugar yang masih mengenakan pakaian olahraga juga menghampirinya dan kemudian

mengulurkan tangan kepadanya. Ia jabat tangan Fahmi dengan erat seraya berucap “silahkan duduk

anak muda”. Gelegar suaranya bass, tapi sedap di dengar telinga.

“Ya, silahkan duduk nak Fahmi”. Timpal dr. Aisyah sembari mempersilahkan dengan gerakan

tangannya.” Pa, ini dr. Fahmi yang katanya dulu teman Aibi 16 tahun yang lalu. Kemaren Mama

ketemu dengannya di Rumah Sakit Suci Hati yang baru itu”. Sambung dr. Aisyah memperkenalkan

Fahmi kepada suaminya tercinta.

“Oh temannya Aibi. Papa kira temannya Mama, baru saja Papa mau tanya, sejak kapan mama suka

brondong?”. Kelakar Pak Rizaldi dengan tawa berderai di ruang tamu. Bu Aisyah yang di ledek

seperti itu mencubit pinggang suaminya yang duduk di sampingnya.

“Cinta Mama cukup satu saja, yaitu Papa. Wong satu aja nggak habis, toh”. Balas dr. Aisyah

“hahahahaha” semua yang ada di ruang tamu tertawa termasuk Fahmi. Pasangan yang luar biasa.

Setelah sedikit berbasa basi dan mencicipi hidangan yang di hidangkan, kemudian setelah bercerita

seputar kuliahnya di Jerman, sampailah Fahmi pada inti dari maksud kedatangannya.

“Om... Tante... Sebelumnya saya minta maaf karena telah mengganggu hari liburnya Om dan Tante.

Sebenarnya saya datang kesini ingin ketemu dengan Aibi Om, tante. Apakah Om dan tante

mengizinkan?” dengan sangat hati-hati Fahmi menyampaikan. Sebagai seorang laki-laki sejati Pak

Page 89: Liza Punya

Rizaldi mengerti dengan kegugupan Fahmi, walau tidak jelas. Dengan bijak dia menjawab

perkataan Fahmi.

“Why not anak muda? Asalkan bertemunya di sini, di rumah ini dan tidak melakukan apa-apa

kenapa tidak boleh? Toh kamukan temannya Aibi”. Jawab Pak Rizaldi dengan bijak sembari

tersenyum, dan kemudian menatap ke istrinya dengan tatapan penuh cinta. “Yang, panggil Aibi

kesini ya”. Katanya kemudian kepada istrinya

“Baik cintaku”. Jawab dr. Aisyah yang kemudian beranjak dari sana.

****

Sementara di taman belakang Aibi dan Rahmi sedang menyirami kebun mawarnya yang sedang

bermekaran. Sinar matahari pagi sangat bagus untuk perkembangan tulang. Semenjak pasca

kecelakaan, Aibi tidak bisa lagi berolahraga dengan baik, maka dengan berjemur di pagi hari inilah

yang dia lakukan untuk mendapatkan kesegaran tubuh. Melihat anak gadisnya yang sedang tertawa

bersama Rahmi, menyejukkan hatinya. Dia tidak menyangka akhirnya putri tunggalnya itu kembali

ceria seperti dulu dan tetap penuh semangat menatap masa depannya. Bahkan saat ini anak gadisnya

itu telah menjelma menjadi seorang penulis dan motivator ulung

Hm, dia tetap bangga dengan anak gadisnya itu walau dia sudah tidak bisa apa-apa lagi kecuali

duduk manis di atas kursi rodanya sembari menggerakkan dua tangannya dan berbicara di depan.

Selebihnya, dari pinggang sampai ke kaki sudah tidak berfungsi lagi. Seratus persen tidak berfungsi

sama sekali. Bahkan hasil diagnosis terakhir Inggrit temannya menyatakan bahwa syaraf tulang

belakang antara thoracic (tengah) section dan lumbar (bawah) section benar-benar telah rusak.

Bahkan untuk beberapa tahun kedepan Aibi tidak akan bisa lagi duduk dengan baik di kursi

rodanya. Karena setiap dia duduk, akan menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat di

pinggangnya. Jika selama ini Aibi merasakan sakit seperti di tusuk seribu jarum, mungkin untuk

selanjutnya Aibi akan merasakan sakit di punggungnya seperti di dipukul palu besi yang besar.

“Kasihan kamu sayang”. Bisik Bu Aisyah kemudian

Dengan langkah cepat di hampirinya Aibi yang sedang asyik berjemur sambil menyiram bunga

mawar dengan merebut slang air yang ada di tangan Rahmi.

“Pagi sayang. Mama perhatikan sepertinya asyik sekali. Padahal sudah pada dewasa, masa masih

main rebut-rebutan?”. Ujar Bu Aisyah sesampai di dekat Aibi.

“Pagi Mama”. Jawab Aibi sembari mengembangkan tangannya ingin memeluk mamanya. Bu

Aisyah pun langsung merangkul tubuh ringkih anaknya yang mengkerut di kursi rodanya.

“Apa sudah pada mandi anak-anak gadis Mama?” tanya bu Aisya lagi sembari memeluk Rahmi

juga.

“Mbak Aibi udah Ma. Tapi Ami belum”. Kali ini yang menjawab Rahmi.

“Wah kebetulan sekali. Untung Aibi sudah mandi, ada tamu sayang. Katanya ingin ketemu dengan

Page 90: Liza Punya

Raisyah Aibi Rizaldi. Bagaimana menurutmu, cantik?”

“Kalau menurut Mama bagaimana? Apa Aibi harus menemuinya?”

“Kok nanya balik mama, sayang?”

“Aibi mau minta pendapat aja kok Ma”.

“Hmmm, karena dia temanmu, maka sebaiknya di temui. Kasihan dia udah datang berkunjung dan

kamu ada di rumah. Masa nggak ketemu sama dia. Mari Mama antar ke ruang tamu. Tapi sebelum

itu ke kamar dulu ganti baju karena kamu bau matahari. Biar Mama bantu, ya sayang”.

“Aduh, kalau gitu biar Rahmi aja Ma. Masa Mama yang gantiin baju Aibi. Aibi segan. Ma.

Seharusnya Aibi yang bantu Mama, bukan Mama yang bantu Aibi”.

“Sudah, sekarang mumpung Mama lagi ada waktu, jadi biar Mama yang bantu, ya? Sekali-kali

Mama menggantikan peran Rahmi, nggak apa-apakan nak? Rahmi nanti akan menemanimu di

ruang tamu karena sebentar lagi Mama dan Papa juga mau pergi. Ada kolega Papa yang merayakan

ulang tahun pernikahannya hari ini. Jadi biar cepat, biar Mama yang bantu Aibi sekarang. Oke

honey?” Kata Bu Aisyah sambil langsung mendorong kursi roda Aibi menuju rumah.

“Ok Mam. Thank you mama. I love you”.

“I Love you too honey”.

****

Setelah selesai mengganti baju dan memakai kaus kaki, Aibi diantar ke ruang tamu. Begitu sampai

di sana, Fahmi sangat terkejut sekali melihat gadis yang ada di atas kursi roda yang di dorong dr.

Aisyah. Itu adalah gadis yang sama yang di temuinya di rumah sakit beberapa hari yang lalu.

Hatinya bergetar, jiwanya miris, dan tulangnya lunglai. Sanggupkan dia menjadi pendamping hidup

wanita itu? Tiba-tiba matanya terasa panas. Dia tidak ingin menangis, dia tidak ingin Aibi merasa

tersinggung. Dia takut nanti Aibi salah mengartikan air matanya. Dalam hati dia merintih.”Oh Aibi,

apa yang menimpamu, sehingga engkau hari ini berada di atas kursi roda?” Terbayang olehnya Aibi

yang berusaha menjangkau dompetnya yang jatuh di lantai rumah sakit, padahal jarak antara lantai

dan duduknya tidak terlalu jauh, tapi dia tidak bisa meraihnya. Oh, betapa hatinya luruh ke bumi

melihat wanita yang selama ini di kaguminya kini telah tidak berdaya lagi?

Jiwa pengecutnya timbul, tiba-tiba saja dia ingin lari dari hadapan Aibi. Dia tidak sanggup lagi

melihat Aibi. Dia ingin menangis sejadi-jadinya, menangisi nasibnya. Penantiannya selama

bertahun-tahun akan sia-sia ternyata. ”Begitu kejam hidup untukmu Dik. Kenapa harus Aibi yang

menaggung segala derita itu? bukankah Aibi begitu baik selama ini? Dia tahu Aibi sangat

penyayang dan baik kepada siapapun”.

Bayangan Aibi 16 tahun yang lalu yang lincah dan aktif di klub biologi hari ini tidak di temukannya

lagi. Bayangan itu kini begitu suram di mata Fahmi. Tapi demi melihat senyum yang mengambang

di bibir Aibi di telannya semua kekecewaan dan kesedihannya. Jika Aibi saja yang menanggung

Page 91: Liza Punya

semuanya masih sanggup untuk tersenyum kepadanya, lalu apa haknya untuk tidak menerima

semua yang terjadi pada diri Aibi? Bukankah dia tidak punya hak apa-apa terhadap Aibi?

Begitu kursi roda itu benar-benar berhenti, Pak Rizaldi berdiri dari duduknya dan mendekati Aibi

dengan mengembangkankan tangannya. Pak Rizaldi kemudian memeluk lembut Aibi dan mengecup

pipi dan kening anak gadisnya itu dengan penuh sayang.

“Kok lama sekali, udah kelamaan tu, tamunya menunggu”. Ujar pak Rizaldi membelai lembut

kepala Aibi.

“Aibi tadi di belakang Pa”. Jawab Aibi singkat.

“Kamu mau duduk dimana sayang? Di kursi roda saja? atau di sofa?”

“Tolong di letakkan di sofa saja, Pa. Biar Aibi bisa berselonjor dengan nyaman”. Yang menjawab

bukan Aibi tapi Bu Aisyah Mamanya.

“Dimana baiknya saja, Pa”. Jawab Aibi dengan tersenyum.

“Tunggu sebentar, Mama mengambil selimut dulu untuk menutupi kaki Aibi”. Kemudian Bu Aisyah

berlalu dari sana. Sedangkan Pak Rizaldi telah menggendong Aibi di pelukannya dan kemudian

meletakkan dengan hati-hati di sofa panjang agar Aibi nyaman.

“Ma kasih ya Pa”. Ujar Aibi begitu duduk di sofa sembari berusaha menarik roknya yang sedikit

agak terangkat ke atas. Tak lama setelah itu Ibu Aisya datang dengan selimut biru di tangannya dan

kemudian menutupkannya ke kaki Aibi. “Makasih ya Ma”. Lagi Aibi mengucapkan terima kasih ke

orang tuanya.

Melihat semua adegan itu, telah membuat hatinya miris. Betapa dia tidak kuat melihat semua

adegan ini. Dia terlalu rapuh untuk melihatnya. Tapi dia tidak ingin menangis. Dia tidak ingin

menangis, karena dia melihat Aibi sendiri sangat tegar menghadapi semua ini.

****

30 Inilah Aku

Setelah Aibi merasa duduknya nyaman dan enakan, baru dia memalingkan wajahnya ke laki-laki

yang dari tadi telah menyaksikan drama pengangkatan tubuhnya dari kursi roda ke sofa yang ada di

ruang tamu. Dia baru sadar, ternyata laki-laki itu adalah dokter yang tempo hari membantunya

mengambilkan dompetnya yang jatuh di rumah sakit.

“Terima kasih dokter telah membantu saya kemaren mengambilkan dompet saya yang terjatuh”.

Kata Aibi kemudian.

“Aibi, apa kamu benar-benar tidak mengenaliku?” tanya Fahmi kemudian dengan suara sedikit

bergetar.

“Sebenarnya saya merasa pernah berjumpa dengan anda, tapi maaf, saya lupa dimana. Apakah anda

mau membantu saya mengingatnya?” Jawab Aibi jujur. Wajah itu begitu familiar, tapi dimana ia

Page 92: Liza Punya

bertemu dengan laki-laki ini sebelum di rumah sakit tempo hari?

“Saya Fahmi Aibi, 2 IPA 1 SMA Tunas Bangsa. Apa kamu ingat?” Kata Fahmi sedikit canggung.

“Masya Allah. Kak Fahmi?..! Saya tadi sudah menduga kesana, hanya saja saya tidak yakin”. Jawab

Aibi dengan sedikit memalingkan mukanya ke samping. Dia tidak ingin menatap laki-laki itu. Dia

malu, karena laki-laki itu telah melihat segala ketidak berdayaannya. Dia malu, karena laki-laki itu

telah menyaksikan kelemahannya.

Seiring dengan semua itu, Rahmi keluar dari kamar dan menghampiri Aibi dan kemudian duduk di

samping kaki Aibi. Beberapa detik kemudian orang tuanya keluar bersiap untuk pergi dan pamit

kepada mereka semua. Dan si Bibi yang tadi di suruh menemani Aibi bersama Fahmi di ruang tamu

kembali lagi ke dapur menyelesaikan pekerjaannya.

“Apa yang terjadi dengan dirimu dik? Kabar terakhir yang saya dapatkan tentang dirimu, kuliah S.2

ke Jepang. Lalu kenapa bisa seperti ini? Maaf aku benar-benar tidak tahu apa yang menimpamu,

Aibi”. Fahmi memulai lagi pembicaraannya.

Sebelum Aibi menjawab dia menegadahkan kepalanya ke atas, seraya berusaha untuk tersenyum.

Dia tidak ingin terbawa suasana. Dia sudah terbiasa mendapatkan pertanyaan seperti itu dari teman-

temannya setahun belakang ini.

“Saya mengalami kecelakan sehari menjelang wisuda S.1 di Padang. Dan akhirnya seperti ini.

Beasiswa ke Jepang itu, gagal karena saya mengalami koma dua tahun pasca kecelakaan. Dan

sekarang saya seperti yang Kakak lihat”. Jelas Aibi singkat.

Fahmi sudah kehilangan kata-kata. Mulutnya kelu, hatinya hampa. Dia ingin berlalu dari sana

secepatnya. Dari awal melihat Aibi tadi dia sudah tidak sanggup sebenarnya untuk berbicara lagi

dengan Aibi. Lama suasana sunyi mencekam, yang terdengar hanya tarikan nafas berat. Aibi larut

dengan perasaannya, dan Fahmi juga hanyut dengan pemikirannya. Lama seperti itu, akhirnya

Fahmi angkat bicara lagi.

“Maaf Aibi, sebentar lagi dzuhur, aku pamit pulang dulu. InsyaAllah kapan-kapan saya akan datang

lagi. Maaf jika kedatangan saya mengganggumu. Assalamu’alaikum”.

“Terima kasih telah mau berkunjung. Mohon di maklumi jika melihat sesuatu yang sangat tidak

pantas untuk di lihat, Kak. Maaf saya tidak bisa mengantar keluar, biar Rahmi saja yang mengantar

Kakak ke depan. Wa’alakumussalam”. Jawab Aibi sembari menyuruh Rahmi untuk mengantar

Fahmi ke depan.

Fahmi sudah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Begitu dia keluar dari rumah itu air matanya

telah luruh ke bumi. Hatinya terlanjur hancur dan sedih menyaksikan semua itu. Bertahun-tahun dia

merindukan pertemuannya dengan Aibi, tapi ketika bertemu kenapa kondisi Aibi begitu amat

menyedihkan sekali? Dia ingat lagi puisi yang di tulisnya tiga tahun yang lalu, sepertinya dia tidak

sanggup menjadi pendamping hidup Aibi yang begitu tegar dan sabar menerima semua cobaan yang

Page 93: Liza Punya

di hadapinya.

Jika hal itu terjadi pada dirinya, mungkin dia tidak akan sanggup menjalani kehidupan ini. Mati

jauh lebih baik baginya. Apalah arti hidup ini, jika untuk mengatur diri sendiri saja kita sudah tidak

bisa? Tapi Aibi, sungguh luar biasa. Senyum itu tidak pernah hilang di bibirnya. Dia tetap saja

seperti Aibi yang dulu, yang lembut, bersahaja, dan sederhana dan sangat terjaga. Dia malu pada

dirinya yang dengan lancang telah menjelajahi setiap jengkal dari tubuh Aibi yang mengkerut di

atas sofa tadi.

Sepanjang perjalanan Fahmi tidak berhenti menangis. Tidak menyangka Aibi yang dulu yang sangat

di kaguminya kini sudah tidak berdaya lagi. Telah habis kata-katanya di hadapan Aibi. Dan dia tidak

sanggup lagi rasanya bertemu dengan Aibi

****

Sementara di ruang tamu Aibi menangis dengan sesenggukan. Kenapa harus ada laki-laki melihat

semua ketidak berdayaannya? Dia malu, malu sekali. Kenapa harus ada Fahmi yang datang ke

rumahnya hari ini? Sehingga menyaksikan semuanya tanpa berkedip. Bahkan dia juga melihat dua

tungkai kakinya yang sudah mengecil karena mengalami kelumpuhan ini, walau ia hanya

menyaksikan di balik kain penutupnya. Aibi merasa malu sekali seakan tatapan Fahmi kepadanya

tadi seperti menelanjangi

“Mi, tolong antar Mbak ke kamar Mi”. Pinta Aibi dengan suara lembut kepada Rahmi yang sedari

tadi duduk tidak jauh darinya.

Tanpa banyak bicara, dengan hati-hati Rahmi memindahkan Aibi ke kursi rodanya dan

membawanya ke kamar.

****

31. Tentang Aibi

Berhari-hari kemudia Fahmi masih memikirkan Aibi. Rasa kagumnya ke Aibi tidak pernah berubah,

hanya saja sekarang rasa kagum itu telah bercampur dengan rasa kasihan menyaksikan bagaimana

kondisi Aibi sekarang. Dia tidak bisa tidur memikirkannya. Janjinya ketika masih di Jerman

kembali terngiang di telinganya. Akan mengkhitbah Aibi jika Aibi belum menikah. Dan hari ini

Aibi belum menikah. Berarti dia harus menunaikan semua itu. Tapi dia bimbang, bagaimana

caranya ini? Ya Allah beri hamba petunjuk Ya Allah...

Setiap kali Fahmi melihat pasien yang di dorong di atas kursi roda di rumah sakit, yang terbayang

olehnya adalah Aibi. Betapa dia merasakan penderitaan Aibi yang telah mengalami kelumpuhan

selama belasan tahun. Selama belasan tahun lamanya dia tidak bisa melakukan apapun sendiri,

selalu di bantu oleh orang-orang sekitarnya.

Bagaimanalah rasanya hidup seperti itu? Mungkin tidak enak? Atau mungkin juga sangat menyiksa

barang kali? Tapi dia tidak melihat penderitaan itu di mata Aibi. Dia menyaksikan mata yang tegar

Page 94: Liza Punya

di sana, bahkan dia mampu memainkan perannya dengan baik selama beberapa tahun belakangan

ini. Menjadi seorang motivator bagi penyandang cacat yang lain dan menjadi penulis buku motivasi

bagi jutaan masyarakat Indonesia yang telah kehilangan mimpi dan tempat bermanja puluhan anak-

anak jalanan di rumah-rumah singgah yang di dirikannya. Dia tetap gadis yang aktif, walau

mungkin tidak seaktif dulu. Tapi semua itu adalah hal luar biasa yang di lakukan oleh seorang

penyandang cacat seperti Aibi. Semua informasi itu di dapatkan langsung oleh Fahmi dari Rahmi

“Bahkan Mbak Aibi tetap saja bagaikan malaikat bagi siapapun Mas. Dia selalu ada bagi siapapun

yang membutuhkannya. Hanya dengan melihat wajahnya rasanya mampu mengusir segala

kegundahan di hati mereka. Dia contoh sekaligus inspirasi bagi kami, Mas. Dulu saya ingat sebelum

saya berjumpa dengan Mbak Aibi, saya adalah seorang yang pesimis dan mudah berputus asa. Tapi

begitu saya melihat Mbak Aibi pertama kali di ruangan ICU yang masih di lilit berbagai kabel-kabel

peralatan medis yang menjadi penyambung hidupnya ketika masih koma di rumah sakit, melihat

wajahnya ada sesuatu yang berbeda dengan Mbak Aibi. Wajah itu tenang seperti orang yang sedang

tertidur lelap. Semenjak itu saya bertekad akan menjaga Mbak Aibi baik-baik.

“Bahkan terkadang bukan giliran saya yang menjaga Mbak Aibi, tapi saya selalu datang setiap hari

menjenguknya dan berdiri di samping tempat tidurnya selama beberapa menit, karena wajahnya

yang teduh mendatangkan kerinduan.

“Beberapa bulan setelah saya ada di rumah sakit tersebut Mbak Aibi sadar dari koma yang telah di

hadapinya selama dua tahun. Ketika itu saya bahagia sekali Mas, karena saya adalah orang pertama

yang menyaksikannya. Dan ketika Mbak Aibi mengalami tekanan yang begitu hebat dalam

hidupnya, ketika dia mengetahui dirinya yang lumpuh permanen dan tidak bisa apa-apa, dengan

setia saya mendampingi Mbak Aibi. Bahkan terkadang dia pernah mencaci saya ketika itu, tapi saya

mengerti itu semua karena Mbak Aibi sedang emosi dan belum bisa menerima dirinya yang baru,

yang sangat berbeda dengan dirinya yang dulu. Bahkan hari ini saya tidak mau meninggalkan Mbak

Aibi, saya rela menghabiskan waktu saya bersama Mbak Aibi. Mas tahu kenapa?

“Karena bagiku bercanda dengan Mbak Aibi membuatku mampu untuk tertawa lepas dan

membawaku ke alam yang berbeda. Menangis dengan sentuhan rasanya, menjadi titik tenang dalam

setiap kesulitanku. Dan memperlihatkan kedamaian suci dalam hidupku. Berfikir dengan

paradigmanya, membuatku faham dengan kehidupan ini se utuhnya, bahkan secara detail. Dia

seperti lirik lagu G. Scorpion dalam hidupku, “and I without you, seem like a lost dream... Love, I

can’t to tell you how I feel”. Begitulah Mbak Aibi Mas. Tidak hanya bagiku mungkin, tapi juga bagi

ribuan orang yang pernah mengenalnya. Dia mutiara yang selalu bersinar, sekalipun di dalam

lumpur penderitaan. Dia tetap mutiara yang sangat berarti. Dia tidak pernah mengeluh dengan

kondisinya Mas. Dan satu hal, dia selalu mengatakan terima kasih kepada setiap orang yang telah

membantunya dalam banyak hal. Hm... beliau pribadi yang luar biasa Mas. Setidaknya itulah yang

Page 95: Liza Punya

saya tahu tentang Mbak Aibi”. Ungkap Rahmi kepada Fahmi yang secara tidak sengaja bertemu

dengannya di toko buku.

Hatinya maju mundur untuk datang mengkhitbah Aibi. Dia ingin menjadi pendamping Aibi, tapi di

lain sisi dia merasa tidak layak. Dia takut nanti dia akan menyakiti Aibi karena tidak mampu

membahagiakannya. Sedang saat ini Aibi mungkin telah bahagia dengan kondisinya. Oh Tuhan,

tolong beri dia kekuatan untuk menghadapi semua ini.

****

Siang yang panas di kota Jakarta penduduknya padat dan penuh dengan limbah industri. Pohon

pelindung semakin sulit di temui di sepanjang perjalanan, semuanya telah habis di aspal untuk

melebarkan jalan-jalan tapi tetap saja macet menghantui di mana-mana.

Mobil Yaris hitam mengkilat itu melaju di jalan Tol menuju Bogor. Dia ada pertemuan hari ini,

sekaligus ingin mengutarakan kegundahan hatinya kepada sang guru yang telah menjadi pembina

spiritualnya selama ini. Dia butuh teman untuk berbagi dalam menyelesaikan apa yang dirasanya

saat ini. Dia sudah tidak kuat lagi, karena semuanya menuntutnya untuk lebih sportif.

Pemandangan tetap saja sama dengan sebelumnya, jalanan di penuhi oleh para pengamen cilik dan

para pengemis cilik. Dia teringat cerita Rahmi beberapa hari yang lalu tentang kegiatan Aibi. Aibi

merupakan tempat bermanja puluhan anak-anak jalanan yang mereka tampung di rumah-rumah

singgah yang mereka dirikan.

Fahmi tersenyum, terbayang olehnya apa yang di lakukan Aibi kepada anak-anak itu. Mungkin Aibi

mengajarkan mereka belajar? Mungkin Aibi mengajarkan mereka mengaji, sholat? Bahkan

mungkin Aibi juga membacakan dongeng untuk mereka? Dia ingat masa 16 tahun yang lalu saat dia

masih berseragam pitih abu-abu, pulang bareng pertama dan terakhir mereka ketika itu. Dia

mengajak Aibi pulang naik bus kota. Di dalam bus ternyata banyak anak-anak yang mengamen dan

meminta-minta. Jadilah semua uang Aibi habis di berikannya kepada mereka. Setiap yang datang

meminta ke Aibi, akan di kasihnya lembaran lima ribuan, dan terus seperti itu dan tanpa di

sadarinya ternyata uangnya telah habis disakunya

Lagi-lagi Fahmi tersenyum mengingat kebersamaannya yang singkat dengan Aibi ketika SMA.

Semenjak itulah dia melihat Aibi berbeda dengan yang lainnya. Benar apa yang di katakan Rahmi.

Aibi adalah Inspirasi banyak orang. Pribadi yang unggul, dan keunggulan-keunggulan itu telah

dimiliki Aibi jauh sebelum dia seperti ini.

****

32. Istikharah Cinta

Akhirnya mobil Yaris Hitam yang di kemudikan Fahmi menepi dan kemudian memasuki sebuah

pekarangan rumah sederhana, namun terkesan asri. Cat rumah itu berwarna putih. Di teras terlihat

dua bocah sedang bermain. Itu pasti jundi-jundi kecil Mas Yono seniornya di kampus. Dengan

Page 96: Liza Punya

langkah pasti dia mendekati dua bocah yang sedang asyik bermain itu. Sedang disebelah tangannya

yang lain menenteng beberapa kue untuk mereka.

“Assalamu’alaikum”. Sapanya ramah kepada mereka berdua.

“Walaikum salam Om, Om mau mencari siapa, Om?”. Tanya salah satu diantara mereka. Sepertinya

dia yang tertua diantara keduanya. Mendengar pertanyaan itu, membuat Fahmi tersenyum lebar.

“Om mau ketemu Abynya. Ada?”

Mendengar ada yang berbicara di luar, buru-buru Yono keluar dari dalam rumahnya. Karena

memang Fahmi telah menghubunginya kemaren, bahwa dia akan datang berkunjung hari ini. Ada

beberapa hal yang mau dibicarakannya.

“Assalamu’alaikum Akh. Fahmi. Kaifa haluk ente? Wah semakin perlente ternyata ente semenjak

pulang dari Jerman”. Ucap Yono dari ambang pintu.

Mendengar sapaan penuh energi seperti itu, membuat Fahmi tertawa lebar.

“hahahaha... Mas bisa aja. Wa’alaikumussalam Mas. Alhamdulillah ane baik Mas. Sudah berapa

orang jundinya Mas?” timpal Fahmi sembari memeluk seniornya itu.

“Alhamdulillah baru empat, Akh. Ente sendiri kapan nyusul ini? Sudah berkepala tiga. Ingat Akh,

menikah itu sebagian dari ibadah. Menyempurnakan agama. Wajib bagi umat muhammad”.

“Mohon do’anya supaya cepat Mas”.

Sejurus kemudian mereka telah hanyut dalam perbincangan hangat dan panjang. Sekali-kali

berderai tawa diantara keduanya. Terkadang ada tepukan-tepukan ringan di pundak salah satunya.

Sampai kemudian telah terhidang minuman dan makanan ringan untuk menemani perbincangan

hangat mereka.

Dari perbincangan ringan yang penuh tawa, mereka bernostalgia dengan masa lalu mereka. Sampai

kepada pengalaman mereka selama beberapa tahun lalu. Kemudian beranjak kepada kehidupan

sosial politik yang semakin carut marut dan bermuara kepada proses pembinaan yang mereka jalani

yang menurut mereka adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi kondisi Indonesia yang kisruh,

akibat banyak dari masyarakat Indonesia yang menderita penyakit ruhani, mulai dari masyarakat

lapisan bawah sampai pada lapisan elit. Dan pembicaraan mereka sampai kepada permasalahan

yang mulai berat dan meruncing.

“Kemaren ente menghubungi ane, katanya ada yang mau ente bicarakan dengan ane. Apa yang bisa

ane bantu untuk ente, Fahmi?” tanya Yono kemudian setelah puas berbicara banyak hal.

Mendengar pertanyaan pembuka dari Yono, membuat Fahmi terdiam sesaat. Dia bingung harus

memulai dari mana. Di bukanya kaca mata minus yang tertengger di hidungnya yang mancung, dan

di usapnya mukanya. Kemudian di perbaikinya duduknya. Melihat apa yang dilakukan Fahmi,

membuat Yono faham, apa yang ingin di sampaikan Fahmi pasti sangat penting sekali. Tapi masalah

apa kira-kira? Dia hafal betul dengan gaya Fahmi yang seperti ini. Di letakkannya tangannya di

Page 97: Liza Punya

pundak Fahmi dan kemudian di tepuknya pelan.

“Apa yang mengganjal hatimu, Akh? Ceritakanlah, mana tahu Allah akan mencarikan jalan keluar

yang baik untuk permasalahan yang ente hadapi”. Katanya kemudian memberikan penguatan

kepada Fahmi.

“Hmm.... Ini masalah hati Mas. Masih sama dengan masalah lima tahun yang lalu sebelum ane

berangkat ke Jerman. Ane tidak tahu kenapa setelah bertahun-tahun, ane masih saja suka kepadanya

Mas. Ane tidak bisa berpindah ke lain arah. Ya, bahkan kemaren ane sudah berkunjung ke

rumahnya. Hanya sekedar bersilaturrahim untuk memastikan bahwa dia belum menikah. Dan

ternyata dia belum menikah Mas”. Jawab Fahmi dengan kepala tengadah.

Mendengar semua itu, membuat Yono sedikit terkejut. Dia tidak menyangka begitu kuat rasa yang

dimiliki Fahmi untuk Aibi. Bahkan sampai tidak mau berpindah arah.

“Akh, ente tahu cara ente salah? Jika memang ente menginginkan dia menjadi istri ente, kenapa

ente tidak datang secara baik-baik dan memintanya untuk menjadi istri ente? Supaya jelas

semuanya. Jangan terlalu lama mengotori hati akhi. Ane takut, nanti hati ente jadi berpenyakit”.

“Ane tahu Mas. Ane tahu ane salah. Tidak pantas bagi seorang yang tarbiyah melakukan semua ini.

Seharusnya ane lebih berhusnuzdon kepada Allah mengenai jodoh ini. Seharusnya ane

menyerahkan semuanya seutuhnya kepada Allah. Tapi...”

“Tapi apa? Ente tidak bisa? Akh, tadi ente mengatakan ente telah datang ke rumahnya dan ente tahu

dia belum menikah. Lalu apa lagi yang ente tunggu? Jika ente tidak berani mengkhitbahnya. Biar

nanti ane sama istri ane yang akan menyampaikannya kepada Aibi. Ane akan datang ke rumahnya

bersama istri ane”.

“Bukan itu masalahnya Mas. Tapi.....”

“Tapi Apa? Coba antum perjelas biar ane faham”.

“Dia mengalami kecelakan 11 tahun yang lalu Mas. Dan dia mengalami cidera syaraf tulang

belakang... “ suara Fahmi tercekat. Dia tidak sanggup meneruskan kata-katanya.

“Innalilllah... Sabar akhi”. Ungkap Yono terkejut. Kemudian menepuk pundak Fahmi. Dia melihat

ada gurat kesedihan di matanya. “Lalu bagaimana kondisinya sekarang?” lanjut Yono Hati-hati

Fahmi tidak menjawab. Tapi kali ini ia menekurkan kepalanya ke lantai. Sedang matanya telah

penuh dengan air bening. Dia tidak sanggup memberitahukan hal ini kepada Yono. Dia ingin

melupakan kondisi Aibi, tapi sungguh dia tidak bisa.

“Dia lumpuh Mas. Dia sudah tidak bisa apa-apa. Saat ini dia hanya bisa duduk di atas kursi

rodanya. Dia akan menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda Mas. Itu yang membuat saya

sedih Mas. Kalau dia menikah dengan orang lain, hal itu tidak akan membuat ane sedih Mas.

Karena memang itu jodohnya. Tapi melihatnya duduk di kursi roda dengan tubuh yang mengkerut,

membuat hati saya hancur Mas. Bahkan membuat saya tidak sanggup lagi muncul di hadapannya.

Page 98: Liza Punya

Saya telah melihat segalanya, bagaimana dia tidak bisa melakukan apapun tanpa di bantu. Hati saya

meleleh Mas”. Ungkap Fahmi dengan berurai air mata. Saat ini dia hanya ingin menangis dan

menangis mengenang Aibi.

Mendengar semua penuturan Fahmi, membuat Yono kehilangan kata-kata. Dia terus menepuk-

nepuk pundak Fahmi.

“Hmmm ... Fahmi, dengarkan ane ngomong. Apa ente masih mau menikahinya?”. Pertanyaan Yono

membuat air mata Fahmi semakin deras mengalir. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

“Entahlah Mas. Tiba-tiba saya menjadi pengecut seperti ini. Untuk berjumpa dengannya saja saya

sudah tidak sanggup....”.

“Ane bertanya, apa ente masih mau menikahinya? Jawab pertanyaan ane, Akh”.

“Saya ragu Mas”.

“Apa yang membuat ente ragu? Kondisinya yang cacat? Atau karena ente telah melihat semua

kelemahannya?”.

“Saya tidak tau apa yang membuat saya ragu, Mas. Satu hal, saya takut menambah penderitaannya.

Saya tidak sanggup melihatnya Mas”.

“Fahmi, ente tahu, kenapa ente bisa melihat semua kelemahannya ketika ente berkunjung ke

rumahnya? Padahal ente sebenarnya tidak berhak untuk melihat dan menikmati segalanya. Barang

kali, mungkin Allah ingin ente menjadi penguat dalam hidup Aibi. Ane sarankan, ente istikhoroh

dan seminggu lagi ente datang kesini untuk memberikan jawaban yang pasti. Menikah itu

perpaduan dua hal yang serba kekurangan dan serba kelebihan. Dan semua itu akan saling

melengkapi dalam ikatan rumah tangga. Sekarang ente pulanglah. Dan bawalah permasalahan ini

ketika ente istikhoroh. Jangan ente semakin mengotori hati ente dengan terus memikirkan Aibi”.

“Baik Mas. Ane akan coba membawanya dalam istikhoroh ane. Mohon do’anya Mas, agar Allah

memberikan solusi terbaik untuk permasalahan ane ini”.

“Insya Allah... Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk hambanya. Hilangkan rasa kasihan

ente padanya, dan berfikir rasional, biar ente bisa mengambil keputusan yang bijak”.

****

33. Inspirasi Dari Film India

Hidup ini terlalu bermakna untuk di lewati begitu saja. Seperti apapun kondisinya, hidup adalah

sesuatu yang mesti di syukuri, karena hidup merupakan kesempatan untuk mempersembahkan yang

terbaik kepada siapapun yang pernah di temui. Terutama mempersembahkan yang terbaik kepada

sang pemilik kehidupan ini.

Dia teringat dialog film India dengan judul ‘Guzaarish’ yang di perankan oleh Hritik Roshan

seorang penyandang cacat akibat mengalami cidera akut di sum-sum tulang belakangnya, sehingga

dia tidak bisa berbuat apa-apa. Semua anggota tubuhnya tidak bisa di gerakkan. Dia mengalami

Page 99: Liza Punya

kelumpuhan total sekujur tubuhnya. Yang masih berfungsi hanya mulutnya dan otaknya saja.

selebihnya telah lumpuh. Bahkan ketika dia tidur dan ternyata hari hujan dan loteng kamarnya

ternyata bocor, dia tidak dapat menghindarinya. Sehingga dia kehujanan sampai pagi menjelang.

Di dalam film tersebut akhirnya Hritik mengalami keputusasaan karena selama 14 tahun menderita

cacat seperti itu dan tidak bisa melakukan apa-apa bahkan ketika hidungnya sendiri gatal, dia tidak

bisa menggaruknya sendiri, tapi di bantu oleh Sofia perawat yang telah merawatnya selama 12

tahun. Dan memutuskan untuk melakukan euthanasia, dan dia pun mengurus perizinannya kepada

pengadilan tinggi India. Tapi ketika dia akan berangkat ke pengadilan, dia kedatangan tamu seorang

pastor dan si pastor mengatakan hidup adalah karunia Tuhan dan kita tidak bisa bermain-main

dengannya. Karena Tuhan menyuruh kita untuk berjuang dalam hidup ini. Bukan malah menyerah

kemudian melakukan bunuh diri seperti euthanasia yang sedang diperjuangkannya ke pengadilan

tinggi.

Menonton film tersebut, membuat Aibi semakin bersemangat. Dia telah terinspirasi dari sosok

Ethan Mancharenhas yang diperankan oleh Hritik Roshan, yang akhirnya mampu mendapatkan

tempat di hati masyarakat Goa, India. Aksi euthanasia yang sedang diusahakannya di tentang oleh

seluruh masyarakat Goa, hanya dua orang saja yang menyetujuinya. Mantan kekasih dan juga

teman dekatnya yang berperan sebagai pengacaranya untuk memperjuangkan euthanasia tersebut.

Dia tidak ingin menyia-nyiakan kehidupan yang di berikan Allah padanya. Pasti ada hikmah di

balik semua yang di hadapinya selama ini, minimal untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang

berada di sekelilingnya. Dia semakin bersemangat melakukan pembinaan ke berbagai panti

rehabilitasi penyandang cacat yang ada di Jakarta. Dia semakin bersemangat menyediakan waktu

untuk memberikan perlindungan kepada para anak-anak jalanan dengan mendirikan rumah-rumah

singgah untuk mereka di bawah yayasannya Tunas Bangsa yang berpusat di Padang. Karena

disanalah awal yayasan tersebut di dirikan.

Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya di atas kursi roda dengan bermanfaat untuk orang lain.

Walau tidak bisa menyumbangkan tenaga, paling tidak bisa mengorbankan pemikiran-

pemikirannya. Apa lagi yang akan di nantinya?

Sementara di sebuah kamar dengan langit-langit biru dan dinding-dinding berwarna hujau laut

seorang hamba sedang tersungkur ke haribaan Tuhannya, memohon petunjuk dan bimbingan, apa

yang harus di lakukannya dengan keadaan yang sedang di hadapinya. Dia ingin Allah memberikan

kemantapan hatinya, sehingga dia bisa berbuat yang terbaik untuk hidupnya. Dia berharap jawaban

itu datang secepatnya agar dia bisa memutuskan semuanya dengan bijaksana.

“Ya Allah, engkaulah pemilik hati ini Allah. Engkaulah yang telah menitipkan rasa ini ke hati

Hamba, ya Allah. Ya Allah, hamba lemah tanpa bimbinganmu, hamba kerdil tanpa petunjuk dariMu

Allah. Allah, tolong anugrahkan kemantapan hati hamba Ya Allah. Jika memang wanita tegar itu

Page 100: Liza Punya

Engkau takdirkan untuk menjadi pendamping hidup hamba, untuk menjadi Ibu dari anak-anak

hamba, hamba mohon, berikan kemantapan hati hamba untuk menyuntingnya ya Allah. Untuk

hamba jadikan bidadari yang cantik di hati hamba. Tapi jika bukan dia jodoh hamba, hilangkan

bayangnya dari hati hamba ya Allah. Jangan biarkan syaitan mempermainkan hati hamba yang

lemah Ya Allah.

“Ya Allah, dalam kebeningan jiwa di keheningan malam yang pekat ini, mantapkan hati hamba Ya

Allah. Jangan biarkan hamba menjadi orang-orang yang pengecut ya Allah. Ya Allah, bimbing

hamba menuju cahaya cinta yang penuh kasih ya Allah. Astagfirullah hal ‘adzii la illaa haillahuwal

haiiyu qaiyum wa uthubu ilaik”. Fahmi tergugu dalam sujud-sujud panjangnya kepada sang pemilik

hatinya. Kepada sang penguasa jagat. Dia sudah mantap, dia akan menemui Yono besok pagi. Dia

yakin Aibi adalah pendamping hidupnya.

Dia siap mendampingi Aibi seperti apapun kondisi Aibi. Dia siap menjadi pelengkap hidup Aibi. Ya

dia sudah mantap dengan semuanya. Dia yakin Aibi adalah yang terbaik untuknya.

****

“Mbak ada tamu yang ingin ketemu sama Mbak”. Kata Rahmi suatu malam kepada Aibi yang

sedang duduk di hamparan sajadahnya. Sedang tangannya memegang mushaf al-qur’an. Sesaat di

hentikannya membaca Al-qur’an dan menatap Rahmi yang duduk bersimpuh di samping kanannya.

“Siapa dik?”. Tanya Aibi penasaran. Siapa kira-kira orang yang mencarinya ba’da maghrib ini? Dia

merasa tidak ada janji dengan siapapun untuk ketemu di rumahnya hari ini.

“Aku juga nggak tau Mbak. Mereka pasangan suami istri”. Imbuh Rahmi sembari mengangkat

bahunya.

“Suami istri? Siapa mereka?” Aibi semakin penasaran. “Ya sudah, kalau gitu tolong bantu Mbak

untuk berbenah ya dik”. Katanya kemudian membuka mukena yang membingkai wajahnya yang

lonjong dan kemudian memperbaiki jilbab kaos biru yang tadi di kenakannya pas mau sholat. Aibi

telah memperbaiki jilbabnya. Rahmi segera mengangkat Aibi ke kursi rodanya dan menanggalkan

sarung mukena yang masih terpasang di tubuh Aibi kemudian mengambilkan kaus kaki Aibi dan

memasangkannya. Barulah setelah itu dia mendorong kursi roda menuju ruang tamu.

Dari jauh diperhatikannya sepasang suami istri yang sedang duduk di ruang tamu. Asli, dia benar-

benar tidak kenal mereka. Wajah mereka begitu asing di memorinya. Siapa mereka? Ada perlu apa?

Begitu dia mendekat, serentak kedua suami istri itu berdiri manyambut kedatangannya. Si istri yang

berdiri di samping suaminya maju kedepan dan menyalami Aibi yang duduk di kursi roda seraya

memperkenalkan nama. “Aibi... Kenalkan saya Yasmin. Ini suami saya Yono”. Katanya seraya

bercipika cipiki dengan Aibi kemudian menunjuk laki-laki jangkung yang berdiri di belakangnya.

Sementara laki-laki yang di sebutnya suaminya hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum ke

arahnya.

Page 101: Liza Punya

“Salam kenal Mbak. Saya Aibi. Silahkan duduk Mbak”. Aibi kemudian mempersilahkan mereka

untuk duduk kembali. Sementara Rahmi telah bersiap akan memindahkan Aibi ke sofa. Dia sudah

menyentuh lengan Aibi.

“Tidak usah dik. Mbak duduk di sini saja. Lebih nyaman rasanya duduk di kursi ini dari pada di

sofa”. Timpal Aibi sembari menyentuh lembut tangan Rahmi yang sudah ada di lengannya.

“Mbak yakin?”. Tanya Rahmi sedikit cemas. Akhir-akhir ini Aibi mudah kelelahan kalau duduk

terlalu lama dengan kaki terjuntai ke bawah.

Aibi hanya menjawab dengan senyuman dan kemudian menganggukkan kepalanya dan

mengarahkan pandangannya ke arah dua suami istri yang tepat duduk di depannya.

“Silahkan dicicipi dulu minumannya, Mbak. Mas...” kata Aibi selanjutnya dengan ramah dan

senyum yang tidak putus-putusnya di bibirnya yang merah.

Betapa sebenarnya Yasmin dan suaminya cukup tercekat melihat Aibi yang begitu sangat bersahaja.

Wajahnya begitu teduh dan menyejukkan mata setiap orang yang melihatnya. Pantaslah Fahmi

susah untuk melupakannya. Sekalipun dia duduk dikursi roda tanpa daya, tapi dia begitu ikhlas

menerima kondisi itu. Ah, Aibi sungguh wanita luar biasa. Hati Yono miris melihatnya. Tak terasa

matanya panas menahan tangis. Jika dia ada di posisi Fahmi, mungkin dia juga akan mengalami hal

yang sama.

“Terima kasih Aibi....” balas Yasmin sembari mengambilkan cangkir teh dan menyerahkan ke

suaminya Yono dan kemudian juga mencicipinya. “Aibi...”panggil Yasmin setelah mencicipi teh

dan meletakkan kembali cangkirnya di meja.

“Iya Mbak...” balas Aibi cepat.

“Sebelumnya kami minta maaf karena datang kesini tanpa mengabarimu terlebih dahulu. Mungkin

kami telah mengganggu waktu istirahatmu. Tapi kami datang kesini membawa sebuah amanah yang

sangat penting yang ingin kami sampaikan kepadamu Aibi. Kami berharap sudilah kiranya kamu

menyediakan waktumu untuk mendengarkan amanah yang akan kami sampaikan”. Sambung

Yasmin setelah melirik suaminya dan suaminya menganggukkan kepala tanda setuju.

“Tapi sebelumnya kami mau tanya dulu? Apa orang tuamu ada di rumah?. Tanya Yasmin kemudian.

“Kebetulan Papa dan Mama saya belum pulang Mbak. Tadi beliau menelfon mungkin pulang agak

terlambat. Papa saya lagi ada pertemuan dengan klien. Mama sedang di ruangan operasi saat ini,

Mbak”. Jelas Aibi “Apa amanah yang akan Mbak sampaikan pada mereka?” tanya Aibi lagi.

“Alangkah baiknya kalau beliau ada disini sekarang. Tapi kalau beliau tidak ada, tidak apa-apa.

Cukup kami sampaikan kepadamu saja, Aibi”. Kali ini yang menjawab bukan Yasmin lagi, tapi

Yono suaminya. Dan Yasmin mengangguk mendengarkannya.

“Begini Aibi, kami datang atas permintaan seseorang untuk menyampaikan niat tulusnya padamu.

Dia berniat ingin menjalin kekeluargaan denganmu Aibi. Dia ingin menjadi bagian dalam hidupmu,

Page 102: Liza Punya

yang akan menemanimu dalam suka maupun duka. Untuk itu dia mengamanahkan kepada kami

untuk menyampaikannya kepadamu. Dia tidak berani menyampaikan semua ini kepadamu secara

langsung. Dia takut, nanti hatinya terkotori ketika bertemu denganmu, Aibi”, terang Yasmin dengan

hati-hati. Dia sengaja tidak menyebutkan siapa orangnya. Biarlah Aibi nanti yang akan bertanya

kepadanya.

Aibi tercenung mendengar apa yang di sampaikan Yasmin, dia seperti tidak percaya mendengarkan

semua itu. Setelah 11 tahun dia mengalami kecelakaan, bahkan dia tidak pernah terfikir akan di

lamar seperti ini. Dia yakin, mungkin Yasmin salah orang atau mungkin salah alamat. Setelah

terdiam cukup lama, sebelum menjawab, Aibi memaksakan diri untuk tersenyum. Dia tidak yakin

dengan semua yang di sampaikan Yasmin.

“Maaf Mbak, apa Mbak tidak salah orang? Mungkin bukan saya Aibi yang dimaksud oleh

seseorang yang Mbak katakan itu. Karena tidak mungkin Mbak seorang Aibi yang duduk di kursi

roda yang tidak bisa berbuat apa-apa akan dipilih menjadi seorang pendamping. Apalagi

menjadikannya bagian dari kehidupan laki-laki itu kelak. Coba Mbak lihat lagi alamat yang di

berikan ke Mbak. Apa benar itu alamat rumah saya? Dan apa benar Aibi yang Mbak maksud itu

adalah saya?” jawab Aibi dengan tenang dan menatap Yasmin dengan tatapan penuh tanda tanya.

Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, sebenarnya menyentakkan hati Yasmin. Tapi cepat

dikuasainya hatinya dan dengan tersenyum dia menjawab.

“Kami rasa kami tidak salah alamat Aibi. Alamat yang tertara di kertas yang diberikan orang

tersebut benar adanya. Dan kami di suruh menyampaikan maksud hatinya itu kepada Raisyah Aibi

Rizaldi. Itu namamu, bukan?”

Lagi-lagi Aibi terdiam. Siapa laki-laki bodoh yang mau menjadi pendamping hidupnya? Apa yang

di harapkan laki-laki tersebut darinya yang tidak bisa berbuat apa-apa?

“Kami tau mungkin kamu kaget mendengarkan semua ini. Tapi ini benar. Kami tidak mengada-

ngada. Seseorang yang menginginkan kamu tersebut Insya Allah adalah laki-aki yang baik. Laki-

laki sholeh Insya Allah. Laki-laki yang selalu menjaga hati dan dirinya. Dan dia memutuskan semua

ini berdasarkan hasil istikhorohnya kepada Allah, Aibi. Bukan atas keinginannya sendiri”. Kali ini

yang berkata Yono

Aibi masih tetap terdiam mendengar semua penuturan Yasmin dan Yono. Tapi siapa laki-laki itu?

Kemudian Yasmin datang menghampiri Aibi dan berlutut di depan Aibi sembari menyentuh lembut

lengan Aibi dan tersenyum lebar.

“Kami tau kamu pasti bingung dengan semua ini, kan? Kami tidak akan menuntutmu untuk

menjawabnya sekarang. Silahkan kamu fikirkan dulu dan istikhoroh kepada Allah. Jika hatimu

mantap, silahkan hubungi kami lagi. Agar kamu tidak bertanya-tanya siapa orangnya, di dalam

amplop ini ada biodata dan fotonya. Kamu buka ketika kamu selesai sholat isyha nanti. Dan kami

Page 103: Liza Punya

berharap kamu tidak memutuskannya dengan cepat, tapi memutuskannya setelah kamu istikhoroh.

Di dalam amplop itu juga ada nomor kontak saya atau suami saya. Apapun jawabanmu nanti, kami

menunggunya Aibi”. Kata Yasmin dan kemudian menyodorkan sebuah amplop putih lalu memeluk

erat Aibi.

Aibi menerima amplop tersebut dengan tangan bergetar. Di tatapnya wajah wanita yang sedang

berlutut di depannya dengan seksama. Dicarinya kebenaran di mata itu. Dia melihat ada kejujuran

dimata itu. Bibir itu terus saja tersungging senyum yang indah untuknya seraya menganggukan

kepalanya memberi isyarat kepada Aibi sekaligus meyakinkan Aibi.

Setelah beberapa saat kemudian pasangan suami istri tersebut akhirnya undur diri karena anak-anak

mereka sedang menunggu di rumah. Sebelum beranjak meninggalkan rumah keluarga Rizaldi,

kembali di hampirinya Aibi oleh Yasmin dan di peluknya Aibi dengan erat dan kemudian mencium

ubun-ubun Aibi sembari berkata. “Saya sangat senang sekali berjumpa denganmu Aibi. Jika tidak

ingat anak-anak yang menanti umminya di rumah, saya ingin berlama-lama di sampingmu. Saya

akan selalu mengingatmu Aibi. Semoga kami masih punya waktu untuk berkunjung lagi kesini. Dan

jika kamu ada waktu, datanglah berkunjung ke rumah kami di Bogor, biar kamu juga bisa ketemu

sama anak-anak kami. Pasti mereka akan senang mendapatkan teteh seperti mu Aibi”. Ungkapnya

lembut di telinga Aibi.

“Terima kasih Mbak. Terima kasih atas kunjungan Mbak kesini. Maaf jika ada yang kurang dalam

penjamuan kami. Semoga ini menjadi awal dari persaudaraan kita, Mbak. Dan ini tidak menjadi

akhir dari pertemuan kita. Saya juga sangat senang berjumpa dengan Mbak. Setelah sekian tahun

saya merindukan belaian seorang Kakak, Alhamdulillah, hari ini Allah menitipkan rindu itu melalui

tangan Mbak. Pelukan Mbak begitu erat untukku. Jazakillah Mbak”. Balas Aibi

“Insya Allah Dik, suatu saat nanti kami akan berkunjung lagi kesini”. Kemudian dia beranjak

mendekati suaminya yang sudah menunggu di depan mobil. Aibi melambaikan tangannya ke mobil

yang beranjak meninggalkan pekarangan rumahnya yang luas itu. Tak lama setelah mobil tersebut

pergi, sebuah mobil BMW hitam masuk ke pekarangan rumah. Itu mobil Papanya. Dan ternyata di

dalamnya tidak hanya ada Papanya, tapi juga Mamanya.

****

34

Menunggu Jawaban

Amplop yang di berikan Yasmin tadi tergeletak begitu saja di atas meja rias kamar Aibi. Dia masih

berpikir tentang apa yang di sampaikan oleh Yasmin. Dia belum berani membuka amplop yang di

berikan Yasmin kepadanya. Dia takut untuk melihat foto wajah yang ada dalam amplop tersebut.

Setelah sholat Isya’ Aibi langsung berbaring di tempat tidurnya. Dia ingin sejenak istirahat. Dia

akan membukanya apabila dia sudah siap untuk mengetahui biodata siapa yang ada di dalamnya.

Page 104: Liza Punya

Tapi begitu sulit untuk memejamkan mata. Apalagi dengan kondisi diri yang banyak pikiran. Aibi

tidak pernah berfikir akan mendapatkan semua ini. Dia tidak pernah memikirkannya setelah

kecelakaan itu kalau dia akan di khitbah oleh laki-laki, karena selama ini dia terlalu disibukkan

dengan kondisi dirinya. Dia benar-benar lupa memikirkan perihal yang satu ini. Setelah 11 tahun

pasca kecelakaan, dia benar-benar lupa bahwa dia juga akan menjadi seorang istri. Tapi bisakah dia

menjadi seorang istri yang sempurna untuk suaminya? Bukankah menjadi seorang istri berarti dia

menjadi pelayan untuk suaminya? Bagaimana mungkin dia akan memberikan pelayanan kepada

suaminya, jika dia sendiri sebenarnya harus di layani. Dia tidak bisa melakukan apapun. Bahkan

untuk ke kamar mandi buang hajad saja dia selalu melibatkan Rahmi.

Tapi walau bagaimanapun semuanya pasti juga akan di lewatinya. Dia bingung. Di lain sisi menikah

adalah untuk menyempurnakan agama. Tapi menikah butuh kesiapan fisik dan mental. Dan secara

fisik dan mental Aibi tidak mempunyai persiapan tersebut. Fisiknya yang tidak mengizinkan. Dan

mentalnya yang tidak siap untuk menghadapi semuanya.

Lama Aibi tidak menyentuh amplop yang di berikan Yasmin kepadanya. Rahmi yang melihat

amplop tersebut masih utuh dan tidak di sentuh Aibi seperti faham dengan apa yang di fikikan Aibi.

“Mbak, apa yang Mbak fikirkan? Kenapa belakangan saya sering melihat Mbak melamun. Ada apa

Mbak? Tanya Rahmi suatu ketika ke Aibi.

“Mbak bingung dik. Mbak bingung apa yang harus Mbak lakukan, Mbak tidak tahu harus

mengatakan apa sama Mbak Yasmin”. Ungkap Aibi kacau.

“Bagaimana Mbak akan bisa menjawabnya dengan tepat, kalau amplop yang diberikan Mbak

Yasmin saja sampai hari ini tidak Mbak lihat isinya. Bukankah kemaren Mbak Yasmin

menyarankan Mbak untuk istikhoroh? Kalau menurut saya, sebaiknya Mbak buka dulu Amplopnya,

baru setelah itu Mbak istikhoroh”.

“Mbak takut dik, kalau Mbak membuka dan kemudian setelah itu Mbak istikhoroh dan jawabannya

iya. Mbak takut mengecewakan orang yang akan hidup serumah sama Mbak. Karena Mbak tidak

bisa menjadi seorang istri yang baik. Istri yang ideal adalah yang mampu mencukupi apa yang di

perlukan suaminya. Bagaimana mungkin Mbak akan bisa melakukan semua itu Dik, kalau Mbak

sendiri ternyata butuh bantuan orang lain untuk melakukan segalanya dalam hidup Mbak. Mbak

tidak siap dik”.

Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, membuat Rahmi terdiam. Apa yang dikatakan Aibi ada

benarnya. Tapi sampai kapan Aibi akan hidup sendiri? Aibi terlalu baik untuk menanggung

penderitaannya sendiri. Tidakkah dia berhak untuk merasakan menjadi seorang istri dan seorang

Ibu? Aibi berhak mendapatkan semua itu. Tapi apa yang akan di katakannya kepada Aibi?

“Maafkan Rahmi Mbak. Tapi Mbak tidak bisa begini. Walau bagaimanapun orang itu sedang

menunggu jawaban dari Mbak. Tidak bijak rasanya Mbak hanya diam saja seperti ini. Mbak buka

Page 105: Liza Punya

dulu amplop yang di berikan Mbak Yasmin tempo hari. Apapun keputusan dan jawaban Mbak nanti,

berarti itulah yang terbaik Mbak”.

Aibi menatap lekat ke mata Rahmi mencari sesuatu keyakinan dari apa yang di katakan Rahmi.

Benar apa yang dikatakan Rahmi, mereka sedang menunggu jawaban darinya.

****

35. Dilema

Dengan bismillah dan tangan bergetar diambilnya amplop yang tergeletak di atas meja riasnya. Dia

baru saja selesai sholat dan membaca Al-qur’an, tapi tetap saja dia merasa gemetar memegang

amplop yang ada ditangannya. Setelah membaca bismillah dan kemudian di robeknya bagian ujung

amplop tersebut dan dengan nafas tertahan di tariknya kertas yang ada di dalamnya. Tapi belum

sempurna kertas itu keluar dari sana, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh dari amplop tersebut dan

melayang ke lantai dengan posisi tertelentang. Sebuah foto ukuran 4x6 dengan latar merah.

Di perhatikannya secara seksama foto yang ada di lantai itu, hatinya semakin bergetar dan

jantungnya bergemuruh hebat. Dia kenal laki-laki yang ada di foto tersebut. Dia adalah laki-laki

yang datang ke rumahnya sebulan yang lalu. Dia adalah laki-laki yang telah membantunya

mengambilkan dompetnya yang terjatuh di rumah sakit kala itu. Dan dia adalah laki-laki yang

pernah hadir dalam hidupnya memberikan warna ketika dia SMA yang kemudian memutuskannya

karena laki-laki itu bergabung dengan rohis sekolah. Dia adalah laki-laki yang pernah di kenalnya.

Dan Aibi tidak tahu, laki-laki itu jugalah yang telah menyuruh suster datang menolongnya untuk

duduk di kursi rodanya ketika dia sedang berusaha untuk berpindah dari mobil ke kursi Rodanya.

Dan laki-laki itu juga tidak tahu bahwa wanita cacat yang di lihatnya di halaman parkir itu adalah

Aibi.

Aibi nanar menatap foto yang ada di lantai. Satu persatu air matanya jatuh bergulir, mengalir dan

menetes dari ujung hidungnya yang mancung. Dia tergugu dalam isakan tangis yang lebih nyata.

Kenapa harus Fahmi? Kenapa harus foto Fahmi yang keluar? Dia tidak berharap laki-laki itu akan

muncul lagi di dihadapannya, karena dia malu. Fahmi telah melihat segala ketidak berdayaannya.

Tapi kenapa dia masih ingin menghitbahnya? Oh Tuhan, begitu sulit rasanya. Aibi terus menangis

di atas kursi rodanya.

Setelah puas menangis, Aibi kemudian membuka kertas yang ada di tangannya, di lihatnya dan di

bacanya. Hanya biodata singkat tentang Fahmi dan kemudian ada kriteria calon istrinya yang hanya

terdiri dari satu kata saja ‘sholehah’. Mata Aibi semakin penuh oleh butiran-butiran air mata. Dia

semakin melolong panjang di atas kursi rodanya.

Saat itulah Mamanya masuk ke kamarnya. Dan dilihatnya putri semata wayangnya sedang

menangis sesenggukan. Ada apakah gerangan? Dengan langkah-langkah panjang di dekatinya Aibi.

“Hey... kenapa sayang? Kenapa kamu menangis, nak?” tanya Bu Aisyah lembut sembari membelai

Page 106: Liza Punya

lembut kepala anaknya yang masih memakai mukena. Aibi tidak menjawab pertanyaan mamanya,

tapi malah menyodorkan kertas yang ada di tangannya kepada Mamanya. Tentu saja Bu Aisyah

bingung, karena di dalam kertas itu hanya ada beberapa tulisan yang sepertinya biodata singkat

seorang laki-laki. Lalu, apa yang membuat Aibi menangis sehebat ini? Tidak ada yang aneh di

dalam kertas itu yang ditemukan Bu Aisyah.

“Mama tidak mengerti sayang. Kertas apa ini? Lalu kenapa kamu menangis membaca kertas ini?

Mama perhatikan tidak ada apa-apa di dalamnya nak, kecuali hanya biodata singkat tentang

seseorang. Coba ceritakan ke Mama apa yang terjadi, Aibi? Mama cemas kalau melihatmu

menangis, nak?”

Setelah beberapa saat dan tangisnya mulai mereda, mulailah Aibi bercerita kepada mamanya perihal

kedatangan Yasmin dan suaminya beberapa hari yang lalu dan menyampaikan maksud

kedatangannya yaitu ingin mengkhitbah Aibi. Dan setelah itu meninggalkan amplop yang berisi

biodata yang sekarang sedang di pegang Mamanya

“Lalu apa yang membuatmu menangis Nak? Bukankah itu sebuah berita yang gembira? Apa yang

membuatmu sedih nak?” tanya bu Aisyah heran

“Bagi wanita lain itu mungkin berita yang sangat menyenangkan Ma. Bahkan berita yang perlu di

siarkan kepada khalayak. Karena itu merupakan bukti dari puncak kematangan seorang wanita. Tapi

bagi Aibi, semua itu sangat menyakitkan Ma. Menikah adalah impian semua orang. Menjadi

seorang istri adalah keinginan banyak wanita. Apalagi menjadi seorang ibu, merupakan anugerah

luar biasa Ma. Begitu juga dengan Aibi. Tapi itu dulu Ma, ketika Aibi masih bisa melakukan segala

sesuatunya. Itu dulu ketika Aibi masih bisa berjalan dan berlari-lari riang di tengah lapangan. Hari

ini, membayangkannya saja Aibi takut Ma. Karena Aibi tidak seperti wanita lainnya. Aibi tidak bisa

apa-apa. Aibi tidak akan bisa menjadi istri yang baik yang akan memberikan pelayanan kepada

suaminya. Aibi tidak sanggup Ma”. Ungkap Aibi dengan berurai air mata.

“Mama mengerti, tapi Fahmi memilihmu untuk menjadi pendamping hidupnya, tentu dengan alasan

yang kuat, nak. Mama perhatikan dia anak yang baik”.

“Aibi juga tahu Kak Fahmi adalah anak yang baik. Laki-laki yang bertanggung jawab Insya Allah.

Laki-laki sholeh Insya Allah. Laki-laki idaman banyak wanita. Tapi dia terlalu baik untuk Aibi, Ma.

Dzolim namanya kalau Aibi menerima lamaran dari Kak Fahmi karena dia berhak mendapatkan

wanita yang jauh lebih sempurna dari Aibi. Aibi tidak pantas menjadi pendamping Kak Fahmi, Ma.

Aibi tidak ingin membuat Kak Fahmi menderita karena Aibi”.

“Tidak ada yang dzolim nak jika semua itu di lakukan atas dasar keikhlasan dan penerimaan. Mama

yakin Fahmi telah berfikir panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk melamarmu. Sepertinya

dia sungguh-sungguh ingin menjadi bagian dari kehidupanmu. Itu mama tangkap ketika dia datang

ke rumah kita. Mama melihat ada harapan dimatanya sayang”.

Page 107: Liza Punya

“Ya, tapi ketika itu dia belum tau bagaimana kondisi Aibi Ma. Dia menyangka Aibi masih seperti

dulu. Dan ketika dia melihat Aibi di gelandang di atas kursi roda menuju ruang tamu, matanya tidak

berhenti memelototi Aibi. Dia terus menjelajahi setiap jengkal dari tubuh Aibi dengan tangis yang

tergantung di matanya. Sampai kemudian Papa mengangkat Aibi ke sofa. Aibi perhatikan dia

menelan ludah melihat kondisi Aibi. Dia tidak percaya melihat Aibi seperti itu. Lalu hari ini dia

datang dengan lamarannya. Apa yang membuatnya mau menikahi wanita cacat seperti Aibi? Aibi

takut dia menikahi Aibi karena dasar kasihan. Aibi tidak ingin hidup di kasihani Ma”.

“Baiklah, kalau begitu kamu harus bertemu dengannya menpertanyakan segala sesuatunya

kepadanya, agar jelas semuanya sayang”.

“Tapi Aibi malu berjumpa dengannya Ma. Dia telah melihat ketidak berdayaan Aibi. Aibi malu

Ma”.

“Cinta, kamu tidak usah malu nak. Karena memang seperti itulah kondisimu. Mama saja tetap

bangga padamu. Bagi Mama, kau adalah cahaya mata Mama yang tidak bisa di gantikan dengan

apapun karena Mama mencintaimu nak. Kamu tidak boleh malu karena kamu adalah pribadi yang

unggul yang kehadirannya di tunggu banyak orang. Mama akan sangat sedih jika kamu selalu

menjadikan kecacatanmu sebagai alasan untuk mengutuki dirimu sendiri. Dan kemudian menarik

dirimu dari sana. Mama tidak ingin mendengarkan itu lagi sayang. Biar Mama yang akan

menghubungi Fahmi. Dan Mama yang akan berbicara padanya”.

Aibi memeluk mamanya erat. Dia merasa nyaman dengan kata-kata yang dikatakan mamanya.

Hatinya sedikit terobati. Dia percaya dengan apa yang dikatakan Mamanya. Pasti Fahmi

memutuskan semua ini dengan pertimbangan yang matang, setelah melewati istikharoroh yang

panjang baru mengajukan pinangannya atas diri Aibi.

****

Nun di bagian bumi sana seorang laki-laki tinggi dengan bahu bidang terlihat sedang menikmati

suasana pantai. Tapi sebenarnya hatinya rusuh, kenapa setelah seminggu tidak ada kabar dari Yono

dan Yasmin? Apa Aibi menolak lamarannya? Jika Aibi menolak, kenapa tidak ada alasan? “Ya

Allah, jika hamba Engkau takdirkan menjadi pendamping wanita mulia itu, permudah jalannya ya

Allah. Hilangkan segala resah dan gelisah di hati ini. Sabarkan hati hamba dalam menunggu segala

keputusan yang akan di sampaikan oleh Aibi. Ya Allah, hamba serahkan semua urusan ini padamu

Ya Allah.

Baru saja dia merintih di hatinya, tiba-tiba Hpnya bergetar di kantong celananya. Dengan gelagapan

di ambilnya dan di perhatikannya layar yang berkedip-kedip di Hpnya. Panggilan dari Yono.

Hatinya bergetar, badannya panas dingin, dengan bismillah di angkatnya telfon tersebut.

“Assalamu’alaikum Mas”. Sapa Fahmi cepat.

“Wa’alaikumussalam. Ente ada dimana?

Page 108: Liza Punya

“Saya lagi di pantai Mas. Bagaimana Mas?”

“Besok ente kesini jam 14.00. Aibi ingin berbicara sama ente. Dan ente harus siapkan diri ente

untuk menerima jawaban yang akan di berikan Aibi”.

Aibi akan memberikan jawaban besok? Dia akan berjumpa lagi dengan Aibi? Berhadapan lagi

dengan Aibi? Dia yakin kali ini pertemuan mereka akan berbeda dengan pertemuannya sebulan

yang lalu. Mungkin pertemuan besok itu sekalian ta’aruf barang kali. Ya, Fahmi memilih untuk

berhusnuzdon saja.

****

36. Cinta Suci

Langit Jakarta sedikit mendung sore ini, mungkin sebentar lagi hujan akan mengguyur. Kalau sudah

musim hujan, maka yang ditakutkan warga Jakarta adalah banjir, karena air mudah sekali

meluapnya di kota metropolitan ini. Hampir setiap tahun Jakarta selalu di rendam banjir, karena

saluran air seperti sungai telah penuh oleh sampah masyarakat. Mulai dari potongan sayur sampai

pada kasur yang sudah tidak di pakai lagi terkadang mengapung-apung di permukaan sungai yang

berwarna coklat kehitam-hitaman dan mengeluarkan bau yang kurang sedap.

Mobil menderu dengan lembut, di bangku belakang Aibi duduk dengan tenangnya. Di dalam hati

betapa dia sangat gugup sekali, dia bingung apa yang akan di sampaikannya kepada Fahmi

nantinya. Berulang kali Aibi menarik nafas berat dan kemudian menyandarkan kepalanya ke

pundak Rahmi yang duduk di sampingnya.

“Mbak capek dik. Izinkan Mbak merebahkan kepala Mbak ke pundakmu agak beberapa menit ya,

dik”. Katanya kemudian ke Rahmi. Dan Rahmi menggeser duduknya agak merapat ke Aibi agar

Aibi tidak terlalu susah.

Mobil sudah memasuki daerah Bogor, sebentar lagi mereka akan sampai di rumah Yono. Aibi masih

tertidur di pudak Rahmi. Dia lelah, Rahmi tau semalam dia tidak tidur. Dia memikirkan banyak hal

sepanjang malam. Matanya terus terbuka ke langit-langit kamar dan berulang kali memperbaiki

posisi tidurnya.

Di halaman rumah Yono, sebuah mobil Yaris hitam mengkilat telah parkir di sana, tapi rumah

tampak sepi. Mungkin mereka sedang berbicara di dalam. Tinggal hitungan detik lagi mobil mereka

juga akan parkir di belakang mobil yaris itu. Baru saja Deni mematikan mesin mobilnya, tiba-tiba

pintu rumah Yono terbuka dan tampak Yasmin sedang berdiri dengan senyum lebar. Deni

mengeluarkan kursi roda Aibi dari bagasi dan meletakkannya di samping pintu tempat Aibi. Di

dahului oleh Rahmi yang keluar. Setelah merapikan jilbab dan pakaiannya Aibi menjulurkan

kepalanya menunggu Rahmi membantunya keluar dan meletakkannya di kursi roda dan kemudian

membawanya ke dalam rumah Yono. Dengan sigap Yasmin menyambut Aibi dan memeluk hangat

Page 109: Liza Punya

Aibi.

“Selamat datang di rumah kami dik. Silahkan masuk. Fahmi sudah ada di dalam”. Sambut Yasmin

ke Aibi dan kemudian beralih menyalami dan memeluk Rahmi. Mendengar nama Fahmi di

sebutkan, jantung Aibi berdebar kencang. Benarkah dia sudah siap berjumpa dengan laki-laki itu?

“Terimah kasih Mbak”. Komentar Aibi singkat.

Aibi duduk berdampingan dengan Rahmi dan Yasmin dengan kepala tertunduk. Dia memilih duduk

di atas kursi rodanya ketimbang di atas sofa yang ada di ruang tamu rumah Yasmin yang sederhana

itu.

Sepertinya ruang tamu ini sudah di sett sedemikian rupa, sehingga sofanya di setting dengan leter L.

Tidak ada yang duduk berhadapan. Yang ada duduk berdampingan agar pandangan matanya tidak

mudah terbentur dengan sosok yang ketika di lihatnya membuat jiwa dan raganya bergetar menahan

panas dingin ombak perasaan.

Melihat situasi sepi dan sunyi yang mencekam, Yono pun mulai beraksi.

“Ham..ham..Ham..”. terdengar suara deheman Yono. “Apa kita akan diam-diam saja?” tanya Yono

selanjutnya. Aibi sedikit mengangkat kepalanya dan melirik dengan ekor mata yang ada di balik

kaca mata minus yang dipakainya. Dia berharap Fahmi mau membuka terlebih dahulu, dan setelah

itu dia baru akan bicara.

Fahmi juga mengangkat kepalanya dan mencuri pandang dengan ekor matanya yang juga ada di

balik kacamata minus yang dipakainya. Dan ternyata tatapan mata mereka beradu. Aibi buru-buru

menundukkan kembali kepalanya dan Fahmi menjadi salah tingkah. Dengan gerakan kaku di

angkatnya kepalanya dan di tatapnya Yono yang duduk di sampingnya. Yang dipandangnya

membesarkan matanya sembari tersenyum kecil, tanda memberi sinyal agar Fahmi mulai berbicara.

Mau tidak mau dia harus memulainya.

“Hmmm... Kemaren saya dihubungi Mas Yono, katanya ada yang akan kamu sampaikan kepadaku.

Jika aku boleh tau, apa yang akan kamu sampaikan Aibi?” pertanyaan pembuka yang bagus yang di

keluarkan Fahmi, walau kalimat pembukanya sedikit agak belepotan.

Aibi yang ditanya seperti itu sedikit agak berkurang nervousnya. Dia mengangkat kepalanya agak

tinggi. Dan berkata “Ya, saya sudah dengar pesan yang Kakak sampaikan ke Mbak Yasmin dan Mas

Yono. Dan saya juga sudah istikhoroh, hasilnya saya masih ragu. Untuk meyakinkan, maka saya

ingin dengar keterangan langsung dari mulut Kakak kenapa Kakak ingin menikahi saya? Jujur, saya

ragu dengan pilihan Kakak. Padahal Kakak punya kesempatan untuk memilih wanita lain yang

lebih sempurna dari saya. Kenapa saya yang Kakak pilih? Kenapa tidak gadis yang lain?” jawab

Aibi balik bertanya ke Fahmi.

Fahmi menarik nafas panjang. Ditengadahkannya kepalanya ke atas dan di hembuskannya nafas

beratnya. Sesaat dia terdiam. Berfikir kata-kata apa yang tepat di keluarkannya untuk menjawab

Page 110: Liza Punya

pertanyaan Aibi tersebut.

“Sebenarnya telah lama saya ingin melaksanakan hal ini. Tapi sepertinya saya selalu terlambat dan

terhalang. Dulu pertama kali saya punya niat ketika saya masih kuliah S.1 dan saat itu Dik Aibi juga

baru mulai kuliah di Padang, baru semester 3 ketika itu. Karena tempat kuliah kita yang terpisah

dua pulau, maka saya urungkan niat itu. Saya ingin menunggu Dik Aibi sampai tamat. Ketika dik

Aibi tamat, saya justru sedang dinas di pedalaman Kalimantan. Saya kembali mengurungkan,

karena ketika itu saya juga dengar kabar dik Aibi dapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke

Jepang.

Ketika masa dinas saya habis, saya bertanya kepada banyak orang yang mengenali Dik Aibi. Saya

datang ke rumahmu, tapi rumah itu telah kosong. Saya dapat kabar dik Aibi dan keluarga pindah.

Tidak satu orang teman-teman dik Aibi pun yang tahu dimana alamat tempat tinggal Adik yang

baru. Seraya saya mencari kabar tentang keberadaanmu. Saya fikir ketika itu mungkin sedang

menyelesaikan studi di Jepang, saya pun mencoba ikut program beasiswa S.2 ke Jerman,

Alhamdulillah saya lulus. Saya putuskan untuk menyelesaikan pendidikan saya dulu setelah itu baru

saya fokus memikirkan masalah ini. Saya titipkan hati saya selama ini kepada Allah, jika saya

berjodoh denganmu maka saya akan menemukanmu dalam keadaan masih sendiri.

Dua bulan yang lalu sebelum saya berjumpa denganmu di rumah sakit, saya ketemu dengan

mamamu di sana. Ketika itu saya merasakan inilah saatnya saya untuk datang kepadamu dan

memintamu untuk menjadi istriku. Maka aku cari alamat rumahmu dengan bertanya ke bagian

resepsionis rumah sakit. Ternyata mamamu adalah dokter senior yang memimpin tim dokter yang

sedang melakukan operasi untuk pasien yang menderita kangker jaringan lunak.

Akhirnya saya dapatkan alamat rumahmu, dik. Dengan niat ingin memastikan apakah kamu sudah

berkeluarga atau belum, maka saya datang ke rumahmu sekaligus ingin bersilaturrahim denganmu.

Mungkin caraku salah, seharusnya aku tidak datang secara langsung, tapi menyuruh seseorang

untuk datang kesana. Tapi saya terlalu takut untuk kehilangan jejakmu lagi. Maka aku putuskan aku

yang datang sendiri ke rumahmu. Maafkan jika ketika itu aku lancang ingin menemuimu. Begitulah

Dik. Jadi ini sudah lama sebenarnya”. Terang Fahmi panjang lebar

“Apa Kakak sadar dengan pilihan Kakak? Saya bukan Aibi yang dulu lagi. Saya tidak lebih dari

seorang wanita cacat. Dan mungkin saya tidak akan bisa menjadi istri yang baik untuk Kakak.

Sebelum hal ini terlambat, saya sarankan sebaiknya Kakak mencari wanita yang jauh lebih

sempurna dari saya. Yang akan bisa menjadi istri yang baik untuk Kakak. Yang bisa mendampingi

Kakak kemanapun. Karena saya tidak bisa melakukan semua itu. Prestise Kakak sebagai seorang

dokter, tentu membutuhkan pendamping yang lebih layak dan sekelas dengan Kakak, bukan malah

saya seorang wanita cacat yang untuk mengurusi dirinya sendiri saja dia butuh orang lain. Lalu

bagaimana mungkin dia akan bisa melayani suaminya dengan baik. Saya harap coba Kakak fikirkan

Page 111: Liza Punya

lagi”.

Mendengar komentar Aibi. Membuat mata Fahmi berkaca-kaca. Semua orang yang ada di ruangan

itu juga mengalami hal yang sama. Fahmi membenamkan kepalanya lebih dalam. Dia tidak ingin

terlihat menangis di depan Aibi. Dia tidak mampu menjawab dan mengomentari apa yang di

sampaikan Aibi.

Karena Fahmi tidak mengomentari apa-apa Aibi melanjutkan lagi kata-katanya.

“Sudahlah Kak, apa yang Kak rasakan selama ini hanya pengaruh dari cinta monyet yang kita

rasakan dulu. Atau mungkin karena Kakak yang kasihan melihat saya yang duduk di atas kursi roda

ketika Kakak datang ke rumah. Bagiku, menikah bukan suatu perkara yang mudah Kak. Ada

kewajiban suami dan istri yang harus kita penuhi. Tugas istri bukan hanya melayani suami di atas

tempat tidur, tapi juga dalam hal yang lainnya. Menyediakan makanan, menyuguhkan minuman,

memijit suami ketika dia letih dan lain sebagainya. Sementara saya tidak bisa melakukan semua itu.

Untuk diri saya saja saya tidak sanggup. Bahkan berpindah dari kursi roda ini ke sofa itu saya tidak

mampu. Apalagi untuk ke kamar mandi membuang hajat pun saya juga tidak bisa jika tidak di bantu

Rahmi. Untuk sholat saja saya melibatkan orang lain.

Tidak terbayangkan olehku betapa sibuknya Kakak nanti begitu menikah denganku. Mengurusku,

mencari nafkah, melayani pasien dan lain sebagainya. Saya tidak ingin membutmu susah gara-gara

aku. Sekali lagi saya sarankan, silahkan cari wanita lain yang jauh lebih sempurna dari aku yang

akan bisa memberikan segalanya untukmu”. Ucap Aibi lagi panjang lebar

Fahmi semakin di dera rasa sakit di hulu hatinya. Ada sesuatu yang menusuk-nusuk hatinya ketika

mendengarkan apa yang di katakan Aibi. Dia sudah tidak tahan lagi membendung air matanya. Di

tatapnya Aibi yang berwajah sendu yang berusaha menahan air matanya di samping kirinya. Yang

terpisah antara Yono dan Yasmin.

“Cukup Aibi... Berhentilah untuk mengatakan semuanya padaku, karena saya sudah tahu

semuanya”. Sahut Fahmi dengan mata yang penuh dengan air bening. “Saya sudah menduga kamu

akan mengatakan semua ini Aibi. Awalnya saya juga berfikir begitu Aibi. Mungkin saya pengecut.

Semenjak saya melihat dan menyaksikan adegan di rumahmu kemaren, telah membuat hatiku ciut

untuk menjadi pendamping hidupmu. Aku... ketika itu ingin lari Aibi. Ingin lari dari hadapanmu.

“Tapi begitu aku berjumpa dengan Mas Yono dan menceritakan segalanya kepada beliau, pemikiran

saya terbuka dan hati saya menerimamu Aibi. Tidakkah kamu ingin membagi semua deritamu

denganku dik? Mungkin aku bisa meringankan sedikit bebanmu. Aku ingin menjadi bagian dalam

hidupmu. Bukan karena aku kasihan padamu, tidak Aibi. Tapi karena aku ingin menyatu denganmu

Aibi. Sungguh dik, aku ingin kamu yang akan menjadi ibu dari anak-anakku. Aku ingin mengarungi

kehidupan ini denganmu. Seperti apapun kondisimu, aku siap mendampingimu Aibi. Aku tidak

peduli dengan kondisimu yang duduk di kursi roda. Aku tidak peduli dengan ketidak mampuanmu

Page 112: Liza Punya

melayaniku seperti istri yang lainnya. Karena makna pernikahan bukan hanya di sana.

“Aku tidak peduli betapa sibuknya aku ketika aku telah menikah denganmu nanti seperti yang kamu

katakan tadi. Jika Rahmi saja bersedia menghabiskan hidupnya untuk menjadi pelayanmu, kenapa

aku tidak sanggup Aibi? Aku tidak hanya menjadi pelayanmu, tapi juga suamimu yang akan

mengisi kekosongan jiwamu. Aku siap mengarungi kehidupan denganmu Aibi dalam suka maupun

duka. Semua kesiapan itu aku dapatkan setelah aku istikhoroh Aibi. Bukan atas keinginanku sendiri.

Izinkan aku menjadi bagian dalam hidupmu Dik? Saya mohon. Tolong beri aku kesempatan

walaupun mungkin aku bukan laki-laki tipemu”. Kata Fahmi dengan menghiba. Dia sudah tidak tau

lagi apa yang akan di katakannya. Salahkah jika dia sangat menginginkan wanita mulia ini menjadi

belahan jiwanya?

“Tapi Kak, saya tidak ingin mendzolimimu jika aku menerimamu sebagai suamiku. Karena aku

tidak ingin menyusahkanmu. Kakak berhak mendapatkan yang terbaik dalam hidup Kak. Bukan

wanita seperti saya?Apa yang Kakak harapkan dari seorang wanita cacat seperti saya ini? Saya

tidak berguna Kak”. Sahut Aibi terisak. Dia merasa tidak pantas untuk mendapatkan laki-laki baik

seperti Fahmi.

“Kamulah yang terbaik Aibi. Kamulah yang terbaik dalam hidupku. Kita di jodohkan Allah Aibi.

Setelah sekian lama aku menunggu, dan hari ini... Ini atas kehendak Allah Aibi. Allah yang

menginginkan aku sebagai pendamping hidupmu. Allah yang membimbingku untuk menujumu

Aibi. Percayalah dik, Insya Allah ini adalah yang terbaik menurut Allah. Jika engkau ridho menjadi

istriku dan aku menjadi suami yang akan mendampingimu, maka tidak akan ada lagi yang

terdzolimi”.

Semuanya menangis menyaksikan dua insan manusia yang sedang berbicara dari hati ke hati itu.

Tak ketinggalan Yono. Dia tidak tau apa yang harus di katakannya. Dia hanya bisa berdo’a agar

mereka benar-benar berjodoh seperti yang di katakan Fahmi. Bahwa mereka di jodohkan oleh

Allah.

“Kalau begitu berikan aku waktu untuk berfikir lagi Kak. Beri aku waktu untuk berfikir sejenak.

Aku tidak bisa memutuskannya sekarang. Jika aku sudah punya jawaban yang tepat, aku akan

sampaikan jawaban itu ke Mbak Yasmin. Saat ini aku terlalu lelah. Jiwa dan ragaku lelah, Kak. Aku

ingin istirahat”. Kata Aibi kemudian dengan suara lemah. Dia benar-benar merasakan kelelahan itu,

bukan hanya sekedar alasan untuk menghindar dan mengelak dalam perdebatan yang sedang terjadi

antaranya dan Fahmi. Semua masalah yang di hadapinya sungguh telah membuatnya lelah.

Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, Rahmi segera berdiri dan menghampirinya. Ia menyentuh

lengan Aibi dengan lembut sembari berbisik

“Mbak tidak apa-apa?”. Tanya Rahmi cemas. Ditatapnya Rahmi lekat-lekat dan kemudian di

paksakannya untuk tersenyum dan kemudian bekata “Tidak dik. Mbak tidak apa-apa”. Sahut Aibi

Page 113: Liza Punya

masih dengan suara yang lemah. “Hanya saja punggung Mbak sedikit terasa sakit Dik. Mbak ingin

berbaring sejenak Dik”. Sambung Aibi kemudian.

Mendengar apa yang disampaikan Aibi, Rahmi cepat menghampiri Yasmin meminta untuk

menyediakan tempat untuk Aibi berbaring.

“Maaf Kak, mungkin saya menggantung masalah ini lagi tapi saat ini saya merasa sudah tidak kuat

lagi untuk meneruskannya. Jika Kakak tidak keberatan seperti yang saya katakan tadi, izinkan saya

untuk istirahat sejenak sembari memikirkan semua ini. Jika Kakak tidak keberatan untuk

menunggu. Saya lelah Kak. Lelah sekali”. Imbuh Aibi lagi ke Fahmi yang duduk bersisihan

dengannya. Wajah Fahmi masih kusut karena menangis, tapi dia juga cemas melihat kondisi Aibi

yang melemah.

“Baiklah dik. Saya akan menunggu jawaban darimu. Sampai kapanpun saya akan tetap

menunggunya dik. Istirahatlah dan fikirkanlah semuanya dengan kepala dingin dan hati yang

lapang. Insya Allah saya akan sabar menunggu”. Sambut Fahmi dengan suara bergetar. Dia tidak

punya pilihan lain. Memaksa Aibi untuk menjawabnya sekarang tentu tidak mungkin dan tidak

mudah juga bagi Aibi untuk memutuskannya begitu saja. Dia sudah serahkan semuanya kepada

Allah. Jika Allah berkata iya, maka Aibi akan menjadi istrinya. Tapi jika tidak, mungkin Allah telah

mempersiapkan yang lain untuknya. Dia sudah ikhlas. Apapun jawaban yang akan di berikan Aibi

jika selama bertahun-tahun saja dia bisa menantinya dengan sabar, lalu kenapa untuk menanti

beberapa saat saja dia tidak sanggup? Walaupun sebenarnya ujian kesabaran yang sesungguhnya itu

adalah menunggu yang sebentar itu. Dia hanya bisa berdo’a agar Allah memudahkan semuanya.

Setelah itu dia pamit pulang duluan ke Yono dan Yasmin. Sementara Aibi di bawa ke kamar oleh

Rahmi untuk istirahat sejenak.

****

37

Keputusan Besar

Dua hari cukup bagi Aibi untuk memutuskan semuanya. Dia telah mantap dan akan memberikan

jawaban hari ini melalu Yasmin. Dia sudah putuskan, malam ini dia akan menjawab segalanya

dengan baik dan bijak. Dia harus memutuskannya. Setelah berbicara dengan papa dan mamanya dia

semakin mantap dengan jawaban yang akan di berikannya pada Fahmi melalui Yasmin. Karena

orang tuanya menyerahkan segala keputusan kepadanya.

Apapun keputusan yang di ambilnya orang tuanya akan menerima dan akan mendukung. Karena dia

sudah terlalu dewasa untuk di kekang dan di ingatkan lagi. Orang tuanya yakin Aibi akan bisa

menyelesaikan segalanya dengan baik.

Dengan membaca bismillah dan meluruskan niatnya, di tekannya nomor Hp Yasmin di hpnya dan

setelah menghirup nafas dalam-dalam baru di tempelkannya hp itu ketelinganya. Ini adalah

Page 114: Liza Punya

keputusan terbesar yang akan di ambilnya dalam hidupnya. Keputusan yang akan mempengaruhi

masa depannya dimasa yang akan datang.

Tak lama setelah itu terdengar nada tut...tut...tut.... tanda kalau tefonnya nyambung. Tidak

menunggu lama terdengar suara wanita lembut di seberang sana.

“Assalamu’alaikum”. Sapanya lembut

“Wa’alaikumussalam Mbak. Ini saya Aibi Mbak”. Sambut Aibi hati-hati. Dan kemudian terjadilah

percakapan antara Aibi dan Yasmin fia telephon.

“Mbak, saya sudah fikirkan dengan matang. Dan saya sudah menimbang dengan baik. Ini adalah

hasil dari istikhoroh saya dalam dua hari ini. Semoga ini adalah yang terbaik menurut Allah”.

Kemudian Aibi terdiam dan terdengar tarikan nafasnya teratur di sebarang sana. Yasmin menunggu

dengan sabar apa yang akan disampaikan Aibi. semoga memang keputusan yang terbaik yang

diberikan Aibi.

“Insya Allah, saya bersedia Mbak. Saya bersedia menikah dengan Kak Fahmi. Saya menerima

lamarannya Mbak. Untuk membicarakan hari pernikahan dan lain sebagainya, orang tua saya

meminta beliau untuk datang ke rumah dan dibicarakan di rumah saya saja. Begitu, syukron Mbak

telah memfasilitasi semuanya dengan baik. Assalamu’alaikum”. Kemudian telfon terputus.

Tinggallah Yasmin dengan air mata yang bercucuran entah apa alasannya dia menangis. Dia bahagia

bercampur haru mendengar jawaban Aibi.

Aibi duduk tercenung setelah menghubungi Yasmin. Benarkah? Benarkah sebentar lagi dia akan

menjadi seorang istri? Dan kemudian menjadi seorang Ibu? Oh betapa dia rindu dengan semua itu.

betapa dia rindu ada mulut-mulut imut yang akan memanggilnya Umy. Aibi terisak di kursi

rodanya. Dia bahagia sekaligus terharu dengan apa yang baru saja di lakukannya.

****

38

Akad Nikah yang Sakral

Waktu berlalu dengan cepat. Seminggu yang lalu Aibi mati-matian menolak pinangan Fahmi, tahu-

tahu semuanya telah berubah seratus delapan puluh derajat. Tahu-tahu hari pernikahan mereka

sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Tahu-tahu halaman rumah besar itu sudah dipadati oleh

pengunjung. Tahu-tahu Masjid besar di kemayoran Baru sibuk mempersiapkan tempat untuk

melangsungkan akad pernikahan antara dr. Muhammad Fahmi dan Raisya Aibi Rizaldi. Dan tau-tau

bingkisan berupa ucapan selamat telah berjejer-jejer di sepanjang jalan menuju rumah kediaman

keluarga Rizaldi. Baik dari instansi maupun pribadi. Semuanya sibuk menyambut hari pernikahan

Aibi dan Fahmi.

Dengan jantung deg-degan Fahmi duduk di syaf laki-laki di dampingi oleh Pak Handoko Papanya

dan Yono. Sementara Aibi belum sampai di lokasi akad nikah di Masjid raya kebayoran baru. Tadi

Page 115: Liza Punya

Aibi telah di hubungi Yasmin, katanya sedang di jalan menuju Kebayoran. Fahmi terlihat salah

tingkah. Setiap lima menit sekali melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. Peci putih

yang dihiasi payet-payet berkilat yang tadi tertengger indah di kepalanya yang bulat, lima menit

yang lalu di letakkannya begitu saja. Padahal Papanya telah membesarkan mata ke arahnya untuk

kembali memakainya. Tapi dia hanya tersenyum menanggapinya dan tidak menjamah topi yang

tergeletak itu sedikitpun.

Dia rusuh memikirkn calon bidadarinya yang belum juga datang. Padahal lima menit lagi resepsi

akad nikah mereka akan di mulai. Dan kenapa juga tidak ada satupun dari pihak Aibi yang

memberitahukan keterlambatan mereka. Ada apa ini? Fahmi benar-benar rusuh memikirkan semua

ini. Tiap lima menit sekali matanya juga menatap layar Hpnya yang tidak juga nyala-nyala dan

memberi tahukan bahwa ada telfon masuk dari calon Wifenya.

Semenit sebelum penghulu maju ke depan, Fahmi benar-benar telah kehabisan kesabarannya. Cepat

di nyalakannya Hpnya dan mencari no Aibi. tapi belum sempat dia menemukan nomor HP Aibi

terdengar keributan di luar sana. Dan terdengar suara Pak Rizaldi yang sedang berbicara dengan

istrinya. Hatinya lega. Cepat di sambarnya pecinya yang tergeletak di lantai dan kembali di

tenggerkannya di kepalanya. Dia sudah siap menghadap penghulu. Karena calon bidadarinya sudah

ada di luar.

Tak lama setelah itu penghulu maju kedepan dan menempati kursi yang telah disediakan. Sengaja

acara resepsi akad nikah di setting dengan penghulu dan dua calon pengentin duduk di kursi yang

juga di dampingi oleh kedua orang tua mereka dan juga dua orang saksi. Sementara para undangan

duduk lesehan di lantai.

Acara resepsi akad nikah Aibi dan Fahmi berjalan dengan penuh hikmah. Dengan Yono sebagai

Mcnya, Rian teman Fahmi membacakan kitab suci al-Qur’an setelah itu kedua mempelai di

persilahkan untuk duduk di tempat yang telah di sediakan. Aibi masuk ke ruangan dengan di dorong

oleh Papanya. Dia kelihatan begitu cantik dengan baju pengantin dari dasar satin yang berwarna

putih gading. Setelah itu di ukuti oleh Fahmi dari belakang yang kemudian duduk bersebelahan

dengan Aibi. Setelah itu barulah di serahkan kepada penghulu untuk membimbing mempelai untuk

mengucapkan sumpah setia suami istri dalam islam. Sebelumnya diwarnai dengan cucuran air mata

ketika meminta keridhoan orang tua masing-masing. Setelah itu barulah sampai pada puncak acara

yang paling sakral.

“Saudara Muhammad Fahmi...” terdengar suara bass Pak Rizaldi memanggil nama Fahmi sembari

menjabat erat tangan calon menantunya itu. “Saya nikahkan putri kandung saya Raisyah Aibi

Rizaldi Binti Rizaldi dengan engkau dengan mahar seperangkat alat sholat di tambah membacakan

surat Ar-Rahman tunai, karena Allah”. Ucap pak Rizaldi dengan lugas dan tepat.

“Saya terima nikah putri kandung Bapak Raisyah Aibi Rizaldi binti Rizaldi dengan mahar

Page 116: Liza Punya

seperangkat alat sholat di tambah membacakan surat Ar-Rahman, tunai karena Allah”. Sambar

Fahmi dengan cepat. Semua undangan berseru mengumandangkan kata “sah... sah.... saah...” wajah

Fahmi memerah setelah mengucapkan ijab qabul tersebut. Dia telah menjadi seorang suami bagi

wanita yang di mimpikannya selama ini. Dia telah menjadi bagian dari kehidupan Aibi yang sudah

di nantinya selama bertahun-tahun. Setelah sekian lama menanti, akhirnya semua penantian itu usai

sudah. Dia telah menjadi suami Raisyah Aibi Rizaldi. Tidak butuh waktu lama untuk menghalalkan

hubungan yang semula haram dalam agama dan sangat di benci oleh adat pergaulan. Aibi melenguh

kecil di tempat duduknya. Dia bahagia bercampur haru. Dia telah menjadi seorang istri. Dia sudah

berganti status.

Semuanya berkaca-kaca menyaksikan momen yang sakral itu. Bu Aisyah dari tadi sudah tidak

sanggup berkata-kata lagi. Pak Rizaldi pun terlihat mengusap ujung matanya. Sementara Rahmi

telah terisak di tempat duduknya. Begitu juga Yasmin dan Yono, mereka tidak bisa menahan

tangisnya. Karena merekalah yang telah menjadi saksi bagaimana akhirnya pernikahan ini bisa di

lanjutkan. Mereka telah melihat perjalanan sehingga mencapai jenjang pernikahan ini.

Mendengar isak tangis Aibi di samping kirinya, Fahmi menghadapkan wajahnya ke istrinya dan

kemudian memandangnya dengan lembut. Dan kemudia di ciumnya kening Aibi dengan sepenuh

cinta. Kecupan pertamanya untuk istrinya tercinta. Hal itu semakin membuat air mata Aibi semakin

deras keluar. Setelah agak terkendali, kemudian Aibi meraih tangan kanan Fahmi dan menciumnya

dengan penuh takzim. Dan kemudian di teruskan dengan membacakan surat Ar-rahman di depan

para tamu dan undangan.

****

39

Komitment Pernikahan

Hari ini adalah hari pertama mereka berada di dalam satu kamar. Terlihat masih canggung dan

malu-malu. Aibi lebih banyak diam dan mengulum senyum. Sedangkan Fahmi masih kaku ketika

berhadapan dengan Aibi. Dia tidak tahu bagaimana cara memulainya.

“Kita sholat sunat dulu, dik”. Ajak Fahmi kemudian setelah terdiam cukup lama.

“Baik Kak, silahkan Kakak berwudhu dulu, saya sudah berwudhu sebelum Kakak masuk tadi”.

Jawab Aibi juga kaku.

Fahmi berdiri dari tepi ranjang dan kemudian beranjak ke kamar mandi. Dan beberapa menit

kemudian muncul lagi dengan wajah basah oleh air wudhu. Dia mengembangkan sajadah yang

terlipat rapi di tepi ranjang. Dan kemudian membantu Aibi turun dari kursi rodanya dan

mendudukkannya di hamparan sajadah di belakangnya. Kemudian pasangan pengantin baru itu larut

dalam sujud-sujud panjangnya kepada sang pemilik cinta. Fahmi kembali mengulang membaca

surat ar-Rahman ketika sholat sunah itu. Sampai pada ayat 70 dan seterusnya Fahmi tidak bisa lagi

Page 117: Liza Punya

membendung air matanya. Dan Aibi pun terisak di belangang menikmati bacaan yang di baca

Fahmi. Aibi berharap kelak bidadari yang cantik dan jelita, putih bersih, dipingit di dalam rumah itu

salah satunya adalah dia. Dia semakin terisak dalam sholatnya.

70. Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang baik- baik lagi cantik-cantik.

71. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

72. (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah.

73. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

74. Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga

yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin.

75. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

76. Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah.

77. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

78. Maha Agung nama Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan karunia.

(QS. Ar-Rahman 70-78)

Setelah itu Fahmi berdo’a dan Aibi mengamininya di belakang dengan berurai air mata. Setelah

merasa puas berdo’a, kemudian Fahmi memutar badannya dan menatap Aibi dengan tatapan penuh

cinta. Dengan beringsut di dekatinya Aibi dan mengangkat kedua tangannya. Dia berdo’a tepat di

ubun-ubun Aibi dengan do’a yang biasa di baca nabi dan para sahabat ketika setelah menikah. Dan

Aibi juga mengangkat tangannya dan mengamininya masih dengan berurai air mata. Setelah itu

kembali di tatapnya Aibi dengan sepenuh jiwanya dan di kecupnya ubun-ubun Aibi lama sekali oleh

Fahmi dengan bercucuran Air mata. Setelah itu diraihnya tangan Aibi dan di bawanya ke mulutnya,

diciumnya dengan segenap hatinya. Di angkatnya tubuh Aibi yang ringkih dan di baringkannya di

ranjang yang bertaburkan bunga dan dia duduk di tepi ranjang sembari tangannya melepaskan

mukena Aibi dengan penuh kelembutan dan kehati-hatian. Dikecupnya bibir Aibi dan di tatapnya

lekat wajah Aibi dengan penuh cinta dan sepenuh hati.

“Sekarang kamu tidak sendiri dik. Karena Mas akan mendampingimu sampai kapanpun dik. Dua

tangan ini, saat ini adalah milikmu dik, yang akan menjangkau segala yang adik inginkan. Dua kaki

ini juga adalah milikmu dik, yang akan melangkah kemanapun adik inginkan. Jiwa dan raga ini juga

adalah milikmu, yang akan menjagamu di setiap waktu. ‘Tubuh mempunyai keinginan yang tidak

kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa

tetap ada di tangan cinta terus hidup sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan’

”. Fahmi mengutip kata-kata Kahlil Gibran untuk di persembahkannya kepada istrinya tercinta.

“Cintaku, terima kasih untuk penerimaanmu, sayang. Aku mencintaimu melebihi segalanya.

Ridhokah engkau menjadi belahan jiwaku, dik?”. Tanya Fahmi kemudian dengan lembut seraya

mempermainkan anak-anak rambut Aibi dan tangan yang satunya lagi menggenggam erat tangan

Page 118: Liza Punya

Aibi.

Aibi tidak menjawab dengan kata-kata tapi hanya dengan anggukan kepala yang diiringi dengan

hujan air mata. Dan kemudin di peluknya suaminya dengan sepunuh jiwanya. Pelukan pertamanya

kepada suaminya di hari pertama mereka berada pada satu kamar. Kulitnya telah menyentuh kulit

Fahmi yang terasa panas. Ya, dia telah ridho menjadi istrinya Fahmi. Dia siap mengarungi

kehidupan bersama Fahmi. Dia siap lahir dan bathin untuk memberikan segalanya untuk suaminya

tercinta. Semakin diperkuatnya pelukannya ke Fahmi yang berbahu bidang itu.

“Suamiku, Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat

yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada." Aibi pun juga

mengutip kata-kata Sapardi Djoko Damono, salah seorang penyair tersohor itu untuk

dipersembahkannya kepada suaminya tercinta.

“Kamu tau Mas, ini adalah hari yang paling indah dalam hidupku setelah kecelakaan yang aku

hadapi. Ini adalah hari yang paling bahagia dalam hidupku. Terima kasih suamiku, engkau telah

membuatku bangga menjadi wanita. Engkau telah menyempurnakan gelar wanita sejati dalam

hidupku. Suamiku, jiwa raga aku persembahkan untukmu. Ku raih cinta di langit dan dengan

sepenuh hati aku persembahkan untukmu. Jamahlah hatiku dengan jamahan yang paling indah yang

kau miliki suamiku. Kecuplah bibirku dengan kecupan yang paling lembut yang engkau punya.

Suamiku, aku mencintaimu sepenuh jiwa dan ragaku. Bawalah aku berlayar bersamamu. Aku siap

melawan gelombang yang menerjang dan menghadang, asal semua itu aku lalui bersamamu

suamiku”. Ungkap Aibi meluapkan semua luapan perasaannya.

Mendengar ungkapan hati Aibi yang begitu dalam maknanya, Fahmi memulainya dengan sepenuh

hati dan.....

****

40

Masa-Masa Indah

Ketika subuh menjelang Aibi terbangun dalam kondisi penuh tanda tanya. Di tatapnya suaminya

yang tertidur di samping kanannya. Tidurnya begitu lelap. Aibi tidak berani mengganggu tidurnya.

Dibiarkannya Fahmi tertidur beberapa saat, dan kemudian di belainya lembut kepala suaminya dan

ternyata dia terbangun.

“Kamu sudah bangun sayang?” Tanya Fahmi kemudian sembari melirik jam digital yang terletak di

sisi tempat tidur.

Aibi menjawabnya dengan senyuman yang sangat indah dan kemudian mengambil tangan Fahmi

dan menciumnya. Fahmi melakukan hal yang sama.

Page 119: Liza Punya

“Mas, sebentar lagi adzan subuh. Kita belum mandi. Maukah kamu membantuku untuk ke kamar

mandi Mas”? ucap Aibi dengan suara manja.

“Dengan senang hati tuan putri”. Sambut Fahmi bersiap bangkit dari tidurnya. Tapi cepat Aibi

menarik lengannya dan membisikkan sesuatu di telinga Fahmi. “Jangan lupa memakai sarung ya

cintaku”. Ungkap Aibi lembut. Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, mata Fahmi membeliak

besar dan kemudian dia menghujani Aibi dengan ciuman dan merangkulnya dengan erat. “OK my

love”. Katanya kemudian dengan senyuman yang sangat indah. Setelah memastikan segala

sesuatunya, barulah dia bangkit dari tidurnya. Dan menggendong Aibi ke kamar mandi.

Pagi ini tidak ada Rahmi lagi yang mengantarnya ke kamar mandi dan membantunya berwudhu

seperti biasa. Semua tugas itu telah di ambil alih oleh suaminya tercinta dengan sepenuh hati. Setiap

pagi dia mendapatkan kecupan hangat di keningnya dan kemudian rangkulan hangat dari suaminya

tercinta.

Tapi semenjak pagi itu setiap dia terbangun, dia bangun dengan berjuta tanya di hatinya. Tapi tanya

itu tidak mampu di ungkapkannya dengan nyata. Dia bingung kenapa setiap terbangun selalu

merasa tidak stabil dan ada sesuatu yang hilang di dalam hidupnya. Apakah gerangan yang terjadi?

Aibi tidak mengerti kenapa hal ini bisa terjadi dalam hidupnya. Dia ingin membicarakannya sama

Fahmi, tapi tidak tau bagaimana cara memulainya. Dia takut Fahmi tidak merasakan apa yang di

rasakannya. Di pendamnya sendiri masalah itu sendiri. Dia akan mengatakan ketika waktunya pas

dan tepat.

****

Waktu berlalu dengan cepat, sudah memasuki tiga bulan usia pernikahan mereka. Dan terlihat aman

dan bahagia. Pasangan yang sangat ideal menurut pengamatan Rahmi dan juga dua pembantu yang

ada di dalam rumah mereka. Setiap hari mereka terlihat memadu kasih dan seling mencintai. Tapi

sejatinya di hati mereka masing-masing ada tanda tanya besar yang ingin mereka pecahkan. Ada

konflik bathin diantara mereka. Tapi konflik itu tidak kentara sepertinya.

Di rumah sakit tempat Fahmi dinas, setiap kali dia lewat di depan para perawat yang centil-centil

selalu heboh membicarakan pernikahannya dengan Aibi. Mereka semua menyayangkan pilihan

Fahmi yang menurut mereka tidak capable. Sebenarnya lebih kepada iri dan cemburu. Kenapa

Fahmi yang gagah dan perkasa menjatuhkan pilihan kepada wanita yang duduk di kursi roda yang

tidak bisa apa-apa. Apa menariknya coba? Fahmi tidak menghiraukan desas desus itu. Sampai

kapan sih mereka akan mampu bertahan membicarakan semua itu? Seminggu, Sebulan? Dua bulan?

Atau setahun? Semua itu tidak akan merubah cintanya pada Aibi.

Penyambutan Aibi saat Fahmi pulang selalu saja dengan penuh cinta dan kehangatan. Kehangatan

yang berjalan selama bulan pertama dan kedua, memasuki bulan ke tiga tetap bertahan. Walau

konflik yang terjadi dalam dirinya semakin akut, tapi dia berusaha untuk memperlihatkan kewajaran

Page 120: Liza Punya

di mata Fahmi. Aibi tidak tahu kenapa. Yang jelas setiap kali Fahmi sampai di rumah ada sesuatu

yang mengusik hatinya. Belakangan dia mulai menolak hadirnya Fahmi di dalam hidupnya. Konflik

bathin yang di deritanya semakin jadi-menjadi. Setiap berhubungan dengan Fahmi dia semakin

tidak merasakan kehangatan sebagaimana mestinya. Sudah di carinya segala penyebabnya di

berbagai buku dan media, tapi dia juga tidak menemukan. Tapi sikap Fahmi kepadanya tidak pernah

berubah. Dia tetap lembut dan menatapnya penuh cinta.

Pernah suatu pagi Fahmi terbangun dalam keadaan tercenung sambil menatap lekat padanya. Dia

fikir ketika itu Fahmi mulai menyadari kelemahannya. Tapi ternyata ketika dia menyentuh lembut

lengan Fahmi, dengan cekatan Fahmi menyambar tubuhnya dan membopongnya ke kamar mandi.

Ternyata Fahmi hanya ingin mengerjainya pagi itu.

Dia semakin tidak mengerti. Penolakan itu lagi-lagi dirasakannya di dalam hatinya. Dia rindu pada

Fahmi tapi dia tidak mau melihat wajah Fahmi. Oh Tuhan, ada apa ini? Kenapa dia tidak merasakan

segalanya? Lalu kenapa suaminya seperti tidak menyadari hal ini?

Fahmi yang berangkat ke kantor dengan berjuta tanya. Setiap kali dia akan meninggalkan rumah,

dia selalu berfikir bagaimana cara mengajak istrinya untuk membicarakan segala yang di

rasakannya? Kenapa dia menangkap perubahan yang besar dalam diri istri yang sangat di cintainya?

Dia ingin membicarakan semua ini dengan baik dan mendiskusikannya, tapi dia tidak tahu dia harus

memulai dari mana. Dia takut Aibi nanti tersinggung.

Berjuta tanya hadir dalam hati Fahmi. Dia tidak merasakan apa-apa ketika berhubungan dengan

Aibi. Aibi tidak merespon apapun ketika dia memberikan signal-signal ke Aibi. Justru beberapa kali

dia merasakan Aibi menolaknya dengan mendorong tubuhnya. Ada apa gerangan? Dia belum

pernah menemukan kasus seperti ini. Apakah kelumpuhan yang di alami Aibi juga mengakibatkan

kelumpuhan pada? Ah tidak mungkin. Yang lumpuh itu hanya anggota tubuh seperti kaki dan... Tapi

tunggu-tunggu.. Bukankah Aibi mengalami kelumpuhan separoh dari tubuhnya? Oh tidak. Jika iya

bagaimana dia akan membicarakan hal ini dengan bidadarinya itu?

Fahmi merasa terpukul dengan pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkannya sendiri. Kenapa semua

ini harus terjadi pada Aibinya? Kenapa harus Aibi yang menanggung semua derita ini?

****

“Hai sayang !!!”. Sapa Fahmi suatu petang ke Aibi. Ia sedang duduk membaca buku di sofa

kamarnya seraya mengecup keningnya.

“Sudah pulang Mas? Bagaimana pekerjaanmu hari ini Mas? Menyenangkan?” imbuh Aibi sembari

memeluk lembut suaminya dan mengecup pipinya.

“Hmmm... Cukup melelahkan tapi sangat menyenangkan. Hari ini ada lima pasien yang mendatangi

Mas, Dik. Dan masalah yang mereka hadapi sangat memprihatinkan. Jantung kroner. Semakin hari

di Indonesia ini semakin banyak saja yang menderita jantung”. Ungkap Fahmi menceritakan hari

Page 121: Liza Punya

yang di laluinya di rumah sakit.

“Dik, apa adik punya waktu malam ini?” tanya Fahmi pelan sembari duduk di samping Aibi dan

memeluknya dengan hangat.

“Hm. Ada apa sayang? Untuk suamiku tercinta, aku selalu punya waktu”. Jawab Aibi singkat

sembari tersenyum dan merebahkan kepalanya di dada Fahmi yang bidang.

“Malam ini ada temanku yang melangsungkan pesta pernikahan. Dia mengundang kita berdua

kesana. Bagaimana menurutmu sayang?”.

“Good idea my husband. Kebetulan sebenarnya aku juga ingin mengajak Mas untuk menikmati

suasana di luar malam ini. Hitung-hitung cari angin segar, lagi pula ada sesuatu yang ingin aku

sampaikan pada Mas. Dan sepertinya akan lebih enak kalau kita berbicaranya sambil menikmati

hembusan angin”.

Jantung Fahmi berdebar kencang mendengar apa yang di sampaikan Aibi. Inikah saatnya Aibi akan

mengatakan segalanya? Akan mengatakan penyebab perubahan sikapnya yang belakangan agak

dingin dan terkadang menolak dirinya?

Fahmi menatap lembut Aibi sambil tersenyum penuh arti dan kemudian di ciumnya bibir Aibi

lembut. Kemudian berkata, “Kalau begitu kita tidak usah ke pesta pernikahan, karena kita tidak

akan bisa berbicara dengan bebas di sana. Bagaimana kalau kita mencari tempat yang indah malam

ini, dan menjelang tengah malam baru kita akan kembali ke rumah? Bagaimana menurutmu

sayang?”.

“Sepertinya cukup menarik, Mas. Dan kita bisa membicarakan segala sesuatunya dengan nyaman”.

Ungkap Aibi dengan mata membelalak lebar tanda takjub.

Fahmi bahagia sekali melihat ekspresi wajah Aibi. Sudah lama dia tidak lagi menikmati wajah yang

begitu ceria dari Aibi. Apalagi sebulan belakangan. Bahkan berbicara sehangat sekarang sulit untuk

mereka ciptakan. Fahmi semakin mempererat pelukannya ke tubuh Aibi yang semakin hari semakin

mengkerut dan mengecil. Ah, betapa dia rindu dengan suasana seperti ini. Di acaknya rambut Aibi

yang tergerai dan kemudian beranjak sambil berkomentar.

“Kalau begitu, Mas mandi dulu ya cinta. Lanjutkan membaca bukunya. Nanti menjelang tidur

ceritakan isi buku itu padaku, sudah lama tidak mendongeng untukku bukan? Aku rindu, dik”.

Ungkap Fahmi berlalu ke kamar mandi.

Tinggal Aibi yang tercengang. Dia sudah rencanakan malam ini akan di ungkapkannya semua yang

dirasakannya selama ini. Dia tidak ingin terlalu lama menyiksa dirinya dengan konflik bathin yang

di hadapinya. Semuanya sangat menyakitkan baginya. Dia harus mengatakan segalanya pada Fahmi

belahan jiwanya.

****

41. Belahan Jiwa

Page 122: Liza Punya

Mobil Yaris hitam yang menjadi tunggangan Fahmi kemanapun pergi saat ini telah bertolak

meninggalkan pekarangan rumah yang asri. Dia mengemudikannya dengan tenang. Sekali-kali di

tatapnya lembut Aibi yang duduk di sampingnya. Dan terkadang di sempatkannya meremas jemari

Aibi yang terletak di pahanya.

Aibi duduk dengan anggun di sampingnya. Baju gamis biru muda dan di padukan dengan jilbab

putih menambah cantik penampilan Aibi. Sekilas dia tidak seperti wanita cacat lazimnya. Tapi lebih

kepada seorang wanita yang berselara tinggi. Terkadang di rebahkannya kepalanya ke lengan Fahmi

yang sedang menyetir. Terkadang tangannya sibuk mengupas buah dan menyuapkannya ke mulut

Fahmi.

Malam ini bahagia sekali. Ini adalah malam pertama mereka kencan di luar. Mereka mungkin akan

menyaksikan cahaya rembulan di bawah sebatang pohon sambil menikmati jagung bakar dengan

berbincang-bincang ringan tentang rencana masa depan dan memperkuat komitmen pernikahan

layaknya sepasang pengantin baru yang tidak mau melewati malam begitu saja. Ya, dia kembali

merasakan malam pengantin barunya bersama suaminya tercinta. Terbayang tingkah Fahmi yang

kaku ketika pertama kali sekamar dengannnya. Begitu juga dengannya, dengan kaku di sambutnya

kedatangan Fahmi di kamarnya yang wangi semerbak. Ha... Berapa lamakah dia akan menikmati

semua ini? Akankah dirasakannya sampai ajal menjelang? Tiga bulan saja sudah sulit membuatnya

bertahan dengan kondisi dirinya yang serba kekurangan.

Di liriknya Fahmi yang sedang mengemudi. Wajah itu, begitu menghangatkan hatinya. Dia laki-laki

yang sangat baik sekali. Dia beruntung sekali mendapatkan suami seperti Fahmi. Tapi apakah

Fahmi beruntung mendapatkan istri seperti dia? Oh Tuhan betapa semua sangat menyiksa bathin

dan hatinya. Matanya tidak beralih dari wajah laki-laki yang sangat dicintainya itu.

“Hey... Kenapa menatapku seperti itu dik? Seperti mau menelanku saja. Ada yang salah dengan

wajah ini? Atau wajah ini terlalu ganteng menurutmu? Nikmatilah, karena wajah ini hanya milikmu,

sayang”. Kata Fahmi yang merasa di perhatikan Aibi cukup lama sembari meremas jemari Aibi.

“Iya, Mas. Adik baru sadar, ternyata wajah suami adik begitu tampan dan mempesona. Wajar para

suster di rumah sakit iri besar sama adik”. Seloroh Aibi sambil menggerakkan bahunya.

Mendengarkan seloroh Aibi membuat Fahmi tergelak-gelak sembari mengacak-acak kepala Aibi.

“Eh, ngomong-ngomong kita mau kemana ini tuan putri? Kuta? Parangkritis? Sanur? Atau kepantai

Carocok yang ada di Pesisir Selatan seperti yang adik ceritakan tempo hari? Atau ke Pantai Air

Manis melihat patung si Malin Kundang? Mau kemana? Ayo dipilih buk, tak antarin sampai

tujuan”. Balas Fahmi dengan berseloroh juga. Karena tadi mereka memang belum menentukan

lokasi mana yang akan mereka tuju malam ini.

“Aduh pak, sebenarnya saya mau ke jembatan Siti Nurbaya. Pasti lagi rame sekarang. Banyak yang

pacaran tu di sana. Suasanya juga romantis sekali. Tapi karena kejauhan, kasihan nanti Bapak

Page 123: Liza Punya

kecapean menyetir dan sampai disana minta di pijit lagi. Mbuh ah”.

“Hahahaha...So, kemana kita Buk? Putar-putar kota Jakarta bagaimana”?

“Wah nggak cukup waktu semalam Pak. Kita pergi pacaran ke Ancol aja bagaimana Pak? Soalnya

adik mau dengar desauan angin laut dan gemuruh ombak yang sedang berkejar-kejaran”.

“Siap cintaku. Mobil ini akan mengantarkan kemana pun tempat yang kau inginkan”. Fahmi pun

menambah kecepatan mobil.

Mobil telah di parkir. Fahmi keluar terlebih dahulu dan kemudian ke arah Aibi yang sudah

membuka pintu mobil. Fahmi akan menggendong Aibi di punggungnya malam ini. Mereka sengaja

tidak membawa kursi roda Aibi. Karena Fahmi ingin sepanjang malam ini menggendong Aibi

kemanapun mereka pergi. Mereka mencari tempat yang sepi dan romantis. Disepanjang bibir pantai

ada tembok setinggi pinggang orang dewasa. Disanalah mereka duduk sambil menikmati kerlap

kerlip cahaya bintang di langit.

Tubuh Aibi terasa dingin di hembus angin pantai. Dia semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh

Fahmi untuk mengurangi rasa dingin dengan tangan didekapkan ke dada. Melihat Aibi yang

kedinginan, Fahmi izin berjalan ke mobil mengambil sesuatu. Tak lama setelah itu Fahmi datang

lagi dengan switer biru laut ditangannya. Sedang dia sendiri telah memakai jacket hitam mengkilat.

“Untung tadi sebelum berangkat Mas sempat memasukkan ini ke mobil. Ternyata benar ada

manfaatnya”. Katanya kemudian dan membantu Aibi memakainya.

Mereka berbicara banyak hal sambil menikmati kwaci dan teh botol. Mereka terus berbicara

layaknya sepasang kekasih yang sedang memadu kasih.

“Cinta...” panggil Fahmi lembut, “katanya tadi ada yang mau dibicarakan? Kalau Mas boleh tahu,

apa yang ingin adik bicarakan? Hm?” Lanjut Fahmi kemudian sambil merangkul tubuh Aibi di

pelukannya.

“Hmmmm.... Jadi Mas penasaran dengan apa yang ingin Aibi katakan?”. Tanya Aibi balik ke

Fahmi.

Menyadari pertanyaan jebakan yang disampaikan Aibi, Fahmi tersenyum dan berkata. “Ya sudah

kalau nggak mau mengatakannya”. Jawab Fahmi pura-pura ngambek.

“Mas....” panggil Aibi kemudian.

“hm...” sambut Fahmi dengan jantung berdebar.

“Aku bahagia bisa menikah denganmu, Mas. Aku bahagia sekali bisa menjadi istrimu, Mas. Seperti

kata-kata yang pernah dikatakan oleh Khalil Gibran‘. Kemarin aku sendirian di dunia ini, kekasih;

dan kesendirianku... sebengis kematian... Kemarin diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara..., di

dalam pikiran malam. Hari ini... aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas

lidah hari. Dan, ini berlangsung dalam semenit dari sang waktu yang melahirkan sekilasan pandang,

sepatah kata, sebuah desakan dan... sekecup ciuman’”. Kata Aibi dan kemudian terhenti

Page 124: Liza Punya

“Pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... Dan, pabila sayapnya

merangkummu... pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu,

kamu tau dik, Aku juga cinta. Aku juga sangat bahagia bisa menikahimu,dik”. Jawab Fahmi sambil

memangku lututnya dan menaruh kepalanya di sana dengan posisi duduk lurus menghadap ke Aibi.

“Apa yang Mas harapkan dalam pernikahan kita, Mas”? Tanya Aibi kemudian.

Mendengar pertanyaan yang di lontarkan Aibi, Fahmi melepaskan pelukan di lututnya, di ambilnya

tangan Aibi dan di genggamnya erat tangan itu.

“Yang Mas harapkan dalam pernikahan ini ridho Allah dik. Karena pernikahan adalah ibadah.

Pernikahan adalah suatu ikatan suci. Satu-satunya perbuatan yang semulanya haram, menjadi halal

gara-gara ikatan pernikahan ini”. Jawab Fahmi lugas.

“Tidak ada yang lain yang Mas harapkan?”.

“Hm... Tidak dik. Karena ridho Allah akan memberikan kita segalanya. Kenyamanan, kebahagian,

ketentraman, kecintaan, kesetiaan, pemahaman dan banyak lagi yang akan kita temukan. Itulah

yang membuat rumah tangga kita menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah warohmah”.

“Bagaimana jika Mas menemukan sesuatu dalam diri pasangan Mas? Apa Mas akan kecewa?”

“Bukankah Mas sudah meminta ke Allah dalam sujud-sujud panjang Mas ketika istikhoroh?

Bukankah setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangan? Mas Yono pernah bilang sama

Mas. Pernikahan itu merupakan tempat berkumpulnya segala yang serba berkekurangan. Semua itu

akan dilengkapi oleh masing-masing pasangan yang menjadi belahan jiwanya. Sehingga yang serba

kekuranan tadi akan menjadi sempurna. Dik... kamu tau, aku sangat beruntung bisa menjadi suami

dari wanita sholehah sepertimu dinda. Dan kamu adalah belahan jiwaku. Maka, tidak ada kata

kecewa pada belahan jiwa, yang ada adalah perasaan saling membutuhkan dan saling mengerti.”

“Tapi, ada satu hal yang terjadi dalam diriku Mas. Aku tidak tahu apakah Mas merasakan, atau

hanya aku saja yang merasakannya, yang jelas semua itu sangat fatal dalam ikatan sebuah

perkawinan. Aku khawatir permasalahan itu akan menjadi penghalang diantara kita untuk

kedepannya”.

“Apakah yang terjadi dalam dirimu dik? Katakanlah, biar kita carikan solusinya. Bukankah Mas

sudah katakan, Mas siap mendampingimu dalam kondisi apapun. Apa yang mengganjal

pemikiranmu, Dik”?

Aibi mulai tercenung. Pandangan matanya dialihkan dari wajah Fahmi yang ada di depannya.

Genggaman tangan Fahmi di tangannya perlahan di lepaskannya. Ada kesedihan tergantung di

wajahnya. Wajah yang tadi cerah, kini berubah mendung dengan tangis siap jatuh dari sana.

Tatapannya jauh kedepan. Mencari kata-kata yang tepat untuk di ungkapkannya. Menyadari

perubahan wajah Aibi, Fahmi cepat tanggap dan di rangkulnya lembut tubuh itu. Tapi dengan halus

Aibi mendorong Fahmi kesamping. Fahmi mengerti Aibi sedang di amuk ombak persaannya.

Page 125: Liza Punya

Dibiarkannya sesaat, namun tatapan matanya tidak lepas dari wajah Aibi.

“Kenapa cinta?”. Tanya Fahmi kemudian, karena Aibi tidak juga kunjung mengungkapkan

segalanya. “Apa kamu lelah duduk disini? Kalau begitu kita pindah ke mobil ya. Biar kamu bisa

menyandarkan punggungmu dan bisa lebih nyaman untuk mengungkapkan segalanya. Disini terlalu

ramai, bukan?”. Ungkap Fahmi hati-hati kemudian meloncat turun dari tembok dan langsung

menggendong Aibi di punggungnya.

“Mas...” Panggil Aibi kemudian setelah berada di dalam mobil. Dengan tatapan mata masih lurus

kedepan. Fahmi yang duduk di sampingnya memalingkan wajahnya “ham”. Sahut Fahmi singkat.

“Maafkan aku Mas. Jika aku tidak bisa membahagiakanmu. Maafkan aku, jika aku telah mengekang

kebebasanmu”. Ungkap Aibi lemah

Lagi Fahmi tersentak mendengar komentar Aibi. dan kemudian kembali di genggamnya tangan

Aibi. “Aku sangat bahagia menikah denganmu Dik. Aku tidak pernah merasa terikat menikah

denganmu, sayang. Karena kamu adalah belahan jiwaku dik. Ayolah Dik. hentikan semua perasaan

bersalahmu. Karena kamu tidak pernah berbuat salah padaku, Dik. Tidak pernah. Kondisimu yang

seperti ini, sebelum menikah aku telah ridho. Masih ingat pembicaraan kita ketika pertama kali kita

sekamar? Itu adalah komitment pernikahan kita. Insya Allah itu akan kita pegang sampai kapanpun

dik.

“Tapi Mas, justru semenjak pertama itu aku mulai sanksi dengan kemampuanku untuk menjadi istri

yang baik untukmu Mas. Mas tau, semenjak pertama kali kita menikah dan melakukannya, aku

tidak bisa merasakan apa-apa Mas . Aku tidak bisa merasakan kehangatan yang Mas berikan.

Semula aku fikir mungkin karena aku kecapen atau bagaimana. Tapi setelah begitu sering kita

lakukan sampai detik ini ternyata sama Mas, tetap aku tidak bisa merasakan apa-apa. Semenjak itu

aku berfikir kalau aku tidak mampu menjadi istri yang baik untuk Mas. Semenjak itu aku merasa

ada penolakan setiap kali dekat denganmu Mas. Maafkan aku Mas, yang belakangan dingin

padamu. Aku bingung dan frustasi dengan semua yang terjadi. Kenapa aku tidak bisa merasakan

apapun ketika berhubungan dengan Mas. Apa yang salah dalam tubuhku Mas. Apa Mas tidak

merasakan hal itu?”. Ungkap Aibi dengan air mata berjatuhan. Tapi hatinya legah. Hal yang selama

ini sangat mengganggu hatinya telah di ungkapkannya kepada laki-laki yang paling di cintainya.

Fahmi sendiri terkejut mendengarkan semua kejujuran Aibi. Dia telah larut dalam persaannya.

Bagaimanalah perasaan Aibi selama ini? Bahkan semenjak pertama mereka melakukannya dia tidak

mampu merasakan kenikmatan ketika berhubungan dengan suaminya. Lalu kenapa Aibi tidak

pernah menolak ketika dia memintanya? Lalu inikah alasannya semenjak mereka menikah Aibi

tidak pernah memintanya kepadanya? Oh Aibiku, apa yang aku cemaskan dan selalu menjadi

deretan pertanyaaan panjang dalam benakku setiap kali menempuh perjalanan ke kantor ternyata

benar. Tapi kenapa bisa terjadi seperti ini? Kenapa Aibi? Fahmi kehilangan kata-kata. Dia tidak tau

Page 126: Liza Punya

apa yang akan dikatakannya. Di rangkulnya Aibi dan dia pun menangis bersama Aibi.

“Sudahlah... Seperti apapun kondisimu, aku akan tetap menerimamu Aibi. karena aku telah banyak

mencintaimu Aibi. Sepenuh jiwaku hanya ingin aku persembahkan untukmu Aibi. karena kamu

telah memberikan warna dalam hidupku. Aku tidak peduli dengan kondisimu. Percayalah, kita akan

mengobati semua yang terjadi pada dirimu dik. Dan kamu pasti akan bisa merasakannya suatu

ketika”. Hibur Fahmi ke Aibi. tapi sejatinya semua itu hanya untuk dirinya sendiri.

****

42

Ujian Pertama Dalam Pernikahan

Semenjak mereka selesai membicarakan semua yang terjadi pada Aibi. semenjak itu mereka

berusaha untuk bersikap secara wajar dan normal. Tapi sepertinya begitu sulit untuk memecahkan

kebekuan diantara mereka. Aibi sering terlihat melamun di kursi rodanya. Lama-lama hatinya

semakin hambar menerima kehadiran Fahmi. Bahkan saat ini Fahmi tidak lebih dari hanya sekedar

teman untuk tidur baginya seperti yang dilakukan Rahmi selama bertahun-tahun untuknya.

Berbicara menjelang tidur semakin jarang mereka lakukan. Kecupan di keningnya yang dulu terasa

sangat menyejukkan, belakang terasa sangat menyakitkan baginya.

Fahmi sepertinya tidak kehabisan cara untuk menormalkan kembali kondisi Aibi, di ajaknya Aibi

berobat menemui dokter Obstetri ginekologi. Dan hasilnya dokter tidak menemukan penyebab yang

membuat Aibi kehilangan rasa ketika berhubungan dengan suaminya, yang terdeteksi itu hanya

female orgastic dysfuntion (organ kewanitaan yang tidak berfungsi). Dan penyebabnya tidak di

ketahui.

Berdasarkan kejiwaan hal itu bisa terjadi karena wanita melakukan hubungan dengan suaminya

dalam keadaan tertekan. Sementara Aibi tidak pernah merasa tertekan ketika akan melakukan

hubungan dengan suaminya. Bahkan dari awal ketika ijab kabul selesai di ucapkan dia sudah siap

lahir dan bathin menyerahkan semua yang dimilikya kepada suaminya tercinta.

Secara medis tidak ditemukan penyebab terjadinya kerusakan pada organ kewanitaan Aibi. Fahmi

tidak habis fikir kenapa hal itu bisa terjadi pada Aibi? Mungkinkah semua itu akibat dari kecelakaan

yang di derita Aibi sebelas tahun yang lalu? Juga mengalami kelumpuhan pada organ kewanitaan.

Tapi adakah kasus seperti itu di dunia kedokteran? Jika ada kenapa para dokter ahli yang mereka

temui tidak mampu mengungkapnya?

Apa lagi yang akan di harapkan pada sebuah ikatan perkawinan jika yang tersisa dari semua yang

seharusnya indah tidak lebih dari hanya keheningan dan kesepian yang mencekam. Semuanya

terasa sangat menyakitkan. Jika dulu pertemuan adalah sesuatu yang sangat di rindukan, hari ini

terasa sangat menyakitkan. Jika dulu bisikan penuh cinta dan kelembutan adalah sesuatu yang

sangat dinanti-nanti, hari ini telah berubah menjadi sesuatu yang sangat di benci dan tidak di

Page 127: Liza Punya

harapkan lagi.

Tidak ada lagi yang menarik, semuanya telah berubah menjadi hari-hari yang membosankan yang

lama kelamaan semakin membungkam mulut pasangan pengantin baru itu. ya, mereka masih

pengantin baru yang seharusnya masih di mabuk kasih dan asmara. Tapi yang terjadi malah

sebaliknya. Usia pernikahan yang belum se usia jagung, tapi begitu berat ujian yang harus mereka

tanggung. Bayangan pernikahan yang dulu mereka bangun semakin lama semakin pudar dalam

ingatan dan asa mereka. Komitmen pernikahan ketika pertama kali menaiki ranjang pengantin telah

lapuk di makan rayap kebisuan yang mencekam. Kemana lagi akan di cari makna dari pernikahan

yang mereka jalani. Masalah bukan karena ketidak cocokan, tapi karena ketidak mampuan salah

satu pasangan untuk melayani pasangannya. Ah, semua ini sangat menyakitkan bagi keduanya.

Fahmi tergugu dalam sujud-sujud panjangnya. Betapa dalam hatinya dia sangat ingin

membahagiakan istrinya. Tapi jika kondisinya sudah seperti ini, kebahagian seperti apa lagi yang

akan di berikannya? Dia mengerti Aibi lebih tersiksa lagi dari padanya. Aibi lebih menderita

menghadapi semua ini.

Tuhan, semua ini begitu berat untuk Aibi. Lagi-lagi kenapa harus Aibi istrinya yang mengalami

semua ini? Apa setelah kecelakaan itu Aibi tidak berhak lagi menikmati segala bentuk kebahagian,

termasuk kebahagian dan kenikmatan dalam berumah tangga? Aibi, kasihan kamu cintaku, harus

menanggung semua beban bathin ini. Betapa dia ingin meringankan beban bathin yang di derita

istrinya, tapi bagaimana? Apa yang harus dilakukannya? Hatinya hancur ketika melihat Aibi yang

semakin pendiam dan tidak banyak lagi berkomentar tentang segalanya. Rumah saat ini menjadi

tempat yang paling di hindarinya. Dan hari ini saja dia benar-benar menghindar dan menjauh dari

rumahnya. Dia tidak sanggup melihat kesedihan yang menggelantung di pelupuk mata Aibi.

Semakin lama cahaya di mata itu semakin meredup dan semakin hilang.

Fahmi terus meratapi nasib Aibi. Malam ini dia sengaja tidak pulang ke rumah. Tadi sore di

katakannya kalau dia ada dinas malam, dia yakin Aibi pasti bertanya-tanya kenapa begitu

mendadak dinas malam? Bukankah sebelumnya dia tidak pernah dinas malam? Maafkan Mas, dik.

Mas hanya ingin menenangkan diri. Mas butuh untuk beberapa saat menghindar darimu. Mungkin

Mas terlalu egois padamu dik, seharusnya Mas selalu mendampingimu seperti janji Mas di awal

pernikahan kita. Tapi ketahuilah karena Mas terlalu mencintaimu sehingga Mas harus menghindar

sejenak darimu. Saat ini Mas benar-benar tidak sanggup lagi menahan semua beban ini.

Sepanjang malam ini Fahmi tidak berhenti menangis di ruang kerjanya di rumah sakit. Dia ingin

meluapkan segala perasaannya. Dia ingin meluapkan segala kesedihannya. Sungguh betapa dia

tidak sanggup lagi menahan segalanya. Semuanya terasa sangat menyakitkan. Di genggaman

tangannya ada foto dirinya dan Aibi setelah akad nikah. Di tatapnya foto itu, begitu anggun dan

cantiknya Aibi yang ada di dalam gendongannya. Pernikahan mereka baru memasuki bulan ke

Page 128: Liza Punya

enam, tapi sudah begitu banyak cobaan yang mereka hadapi. Air matanya kembali mengalir.

Terbayang Aibi yang sedang terjaga sepanjang malam di ranjang kamarnya. Tatapan matanya yang

semakin meredup, dan wajah yang semakin tirus. Ekspresi wajah yang sangat dingin dan tidak

bereaksi apa-apa lagi ketika dia akan berangkat ke kantor. Jika sebelumnya Aibi masih

menyempatkan untuk memperbaiki dasinya ketika dia akan berangkat dan mengantarnya sampai

pintu, sebulan belakangan hal itu tidak pernah di lakukan lagi oleh Aibi. Sambutan Aibi yang tidak

lagi hangat ketika dia pulang dari kantor. Suasana di meja makan yang semakin sepi, dan

keheningan panjang di kamar tidur. Dan semuanya telah berubah hanya dalam hitungan bulan saja.

Dadanya bergemuruh dengan gelombang perasaan yang begitu besar. Dia benar-benar sudah tidak

tahan lagi. oh Aibi, apa yang harus aku lakukan untuk mengembalikan senyummu dik? Katakan

padaku dik, apa yang harus aku lakukan? Jangan siksa aku dengan diammu dik. Ratapan Fahmi

semakin menjadi-jadi di ruang kerjanya.

Di tengadahkannya kepalanya, ditariknya nafas dalam-dalam dan kemudian dihembuskannya

dengan kuat. Bayangan Aibi sedang bermain indah di pelupuk matanya. Tiba-tiba dia sangat rindu

sekali dengan Aibi. dia ingin memeluk tubuh Aibi dan menangis di pangkuan Aibi. dia ingin

mengungkapkan semuanya kepada Aibi. dia ingin Aibi tau, bahwa dia juga sangat tersikas dengan

semua ini. Oh Tuhan, dia benar-benar sangat merindukan kehadiran Aibi di sampingnya saat ini.

Dia ingin pulang, dia ingin meluahkan segala perasaan ini pada belahan jiwa yang sangat di

cintainya. “Dik, Mas merindukanmu dik”. Bisiknya lembut. Kembali di ambilnya foto dirinya dan

Aibi yang ada di meja kerjanya, dibawahnya foto itu ke mulutnya dan diciumnya foto itu dengan

penuh perasaan, seolah dia sedang mencium Aibi istrinya. Sedang permukaan foto itu telah penuh

oleh deraian air matanya.

“Sayang, apa yang sedang kamu lakukan cinta”? Apa yang sedang dilakukan Aibi saat ini? Dia tahu

persis setelah berbulan-bulan semenjak mereka pulang dari Ancol membicarakan segalanya Aibi

tidak pernah lagi tidur dengan nyenyak. Kerap dia mendengar isak tangis Aibi. oh Aibi begitu kejam

hidup ini untukmu Aibi. Apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan bebanmu Aibi? Apakah

Aibi juga sedang menangis seperti dirinya saat ini? Dia tahu Aibi pasti lebih sedih lagi darinya. Aibi

lebih menderita darinya. Oh... Tubuh kokoh itu semakin terguncang dalam isakan tangis yang

mendalam.

***

Kesunyian telah mencekam. Langit hitam kelam, tak ada satu cahaya bintangpun yang menghiasi

langit malam ini. Dunia telah mencapai puncak kesepiannya. Semua telah hanyut dalam dengkuran

lunak bergelung di atas tempat tidur empuk di kamar-kamar indah rumahnya. Sebagian makhluk

ada yang tidur dengan bertemankan dengungan nyamuk di mana-mana. Tidur dengan alas ala

kadarnya di emper-emper tokoh dan bahkan di kolong jembatan. Bangun lebih awal dari yang

Page 129: Liza Punya

lainnya, jika tidak mau di usir seperti binatang oleh pemilik tokoh. Dan bahkan tidak jarang

terkadang tengah akan tidur kena razia satpol PP, sehingga semalam suntuk terpaksa lari

menyelamatkan diri. Lari entah kemana di tengah gelapnya gulita malam.

Sementara nun jauh di sudut-sudut sunyi hotel berbintang para pejabat kelas kakap yang

mempunyai uang melimpah dan berlipat-lipat tapi hasil jarahan dari kekayaan negara, menipu para

rakyat kecil dengan embel-embel “pilih saya, maka akan saya berikan kehidupan layak pada kalian”

sibuk memenuhi keinginan nafsu bejatnya. Sibuk bergemul dengan para pelacur-pelacur yang

kemudian tiba-tiba akan berubah menjadi selebritis negeri ini karena melaporkan skandal mereka

dengan si pejabat bejat. Sehingga berminggu-minggu lamanya semua media yang ada di negeri ini

akan sibuk memberitakan tentang skandal mereka. Begitulah kehidupan di kota mertopolitan ini.

Yang kaya menikmati kekayannya tidur dengan nyaman di kasur-kasur empuk dan berselimutkan

selimut hangat yang nyaman. Tapi hasil jarahan uang rakyat. Sementara yang miskin akan semakin

terpuruk. Moral semakin jauh dan empati semakin berkurang. Tapi mereka dengan bangga masih

mengatakan bangsa ini adalah bangsa beradab dan bermoral. Benarkah?

Dan selarut malam ini, Aibi masih duduk mematung di kursi rodanya. Matanya nanar. Sudah lama

dia ingin menangisi semua ini. Tapi air matanya seperti kering di kerongkongan. Dia sudah tidak

sanggup menahan semua beban bathinnya. Semuanya terasa sulit baginya. Dibiarkannya jendela

kamarnya terbuka lebar, agar panas di hatinya meredah dan mumet di kepalanya berkurang.

Setelah sekian lama akhirnya malam ini semua derita itu telah di luapkannya. Dia telah puas

menangisi nasibnya. Dia telah puas mengutuki dirinya yang tidak berguna. Semua yang menyumbat

uluh harinya telah di lepaskannya. Jika selama ini dia masih berusaha untuk menahan dan

menghibur diri dengan kata-kata sabar dan ikhlas, hari ini kata-kata itu tidak mempan lagi. semua

derita yang ditanggungnya telah sampai kepuncaknya. Dia telah kehilangan kendali. Kata-kata

sabar menjadi kata yang sangat menyakitkan baginya. Dia telah puas mengungkapkan segala

protesnya kepada Tuhan. Dia telah puas mengungkapkan segala deritanya kepada Tuhan.

Setelah melewati rentetan kehidupan yang begitu menggentarkan selama ini, masihkah ada tersisa

kebahagian untuknya? Ataukah dia memang telah di takdirkan untuk menikmati segala kemelut ini

dalam hidupnya. Dia telah kehilangan segalanya dalam hidupnya. Impian, cita-cita, harapan dan

segalanya. Dan ketika harapan itu datang lagi melalui sosok Fahmi yang di cintainya, kenapa tidak

bertahan lama? Kenapa hanya sehari saja kebahagian itu di rasakannya? Ya, hanya sehari saja ketika

ijab dan kabul. Setelah itu permasalahan lain datang lagi menghampirinya.

Kenapa hidupnya tidak pernah berhenti dari permasalahan? Belum cukupkah semua penderitaan

yang dihadapinya selama ini? Kapan semua derita ini akan berhenti? Tidakkah Engkau tahu Tuhan,

kehilangan fungsi dua kaki ini saja sudah sangat menekan bathinku. Lalu kenapa Engkau

menambahnya lagi dalam bentuk lain? Seperti inikah ungkapan cintaMu kepada ku Tuhan? Ya

Page 130: Liza Punya

Tuhan, aku begitu lemah untuk menghadapi semua ini. Aku begitu rapuh untuk menjalani semua

ini. Aku tidak siap menerima ungkapan cintaMu jika seperti ini bentuknya.

Sungguh Tuhan, aku sudah tidak sanggup menghadapinya. Kenapa tidak Engkau berikan

kebijaksanaan hati untukku dalam menghadapi semua ini? Pundakku telah terlalu berat rasanya

Tuhan. Dan aku sudah tidak sanggup memikul semua beban bathin ini. Semuanya sangat

menyiksaku. Aibi trus menangis di kepekatan malam. Hatinya meronta-ronta ingin di lepaskan dari

segala yang mengikatnya selama ini. Isakan itu terdengar pilu menyayat hati. Jeritan hati seorang

istri di malam hari, jeritan hati seorang hamba di puncak malam dimana ketika Tuhan sedang turun

ke langit bumi mendengarkan rintihan hamba-hamba yang sedang meminta kepadaNya.

****

Bila ada surga di dunia, itu adalah rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang penuh dengan

rasa sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan bila ada neraka di dunia itu adalah rumah tangga yang

hancur, suami istri saling menyalahkan, curiga, tidak saling mencintai dan jauh dari rasa sakinah

mawaddah dan rahmah.

Dari awal ketika dia mengiyakan dan menerima Fahmi untuk menjadi bagian dalam hidupnya, dia

telah bermimpi akan mereguk syurganya dunia dengan rumah tangga yang bahagia yang penuh

dengan sakinah, mawaddah dan rahmah bersama suaminya tercinta. Dia telah bermimpi dari

rahimnya akan lahir para mujahid dan mujahidah tangguh yang akan melanjutkan perjuangan

dakwahnya.

Dia telah mengimpikan semua itu. Tapi setelah enam bulan di jalaninya sepertinya hal itu sangat

jauh dari rumah tangga mereka. Sepertinya semua itu hanya akan menjadi mimpi belaka yang tidak

akan pernah terwujud. Bukan karena mereka saling menyalahkan dan tidak saling mencintai. Justru

mereka sangat saling mencintai satu sama lain.

Menjadi seorang Ibu... Akankah dia akan menjadi seorang Ibu? Akankah ada yang akan

memanggilnya Umi seperti yang di rindukannya selama ini? Tuhan, semuanya sangat menyakitkan

Tuhan. Semua itu tidak akan pernah di perolehnya. Semua itu hanya akan menjadi cita-cita di masa

lalu, sama seperti kisah tentang S.2nya ke negeri Sakura. Semuanya nyaris di raihnya, tapi

semuanya kandas karena kecelakaan. Begitu juga dengan pernikahannya, semua kenikmatan dan ke

bahagian itu hampir di raihnya, tapi dia harus menggigit jarinya lagi karena menerima kenyataan

kalau dirinya tidak bisa menjadi istri yang di harapkan. Dia tidak mampu melayani suaminya lahir

dan bathin. Sungguh semuanya sangat menyakitkan.

****

43

Air Mata Yang Mengalir Deras

Di dunia kita, kita hidup di kehidupan yang sibuk dan melelahkan di kelilingi oleh berbagai macam

Page 131: Liza Punya

schedule dan deadline. Bagi pasangan, ini artinya kemungkinan Kita tidak bisa meluangkan waktu

bersama-sama dan berada sendiri di tengah-tengah kesibukan kerja dan komitmen tugas. Kita

jangan membiarkan hal ini terjadi terus menerus. Cobalah sesekali Kita luangkan waktu untuk

melakukan kegiatan secara periodik dengan pasangan kita. Ingat rasul juga pernah meluangkan

waktunya untuk berlomba lari dengan Aisyah r.a.

Keluar dengan pasangan yang merupakan belahan jiwa sesering mungkin. Lakukan aktivitas

bersama, mengunjungi teman bersama, piknik bersama atau sekedar berbelanja di mall bersama.

Selalu jaga romantika dalam hubungan Kita. Kehidupan modern hampir mengubah kita menjadi

robot atau mesin teknologi tinggi tanpa emosi. Menunjukkan emosi dan perasaan yang Kita rasakan

perlu untuk menjaga ikatan pernikahan agar terhindarkan dari berkarat, peluruhan. Sebagaimana

yang di ajarkan Rasul kepada kita "Katakanlah kepadanya kalau engkau mencintai saudaramu,"

sebuah pengajaran untuk menunjukkan cinta kepada teman karena ikatan ukhuwah. Terlebih lagi

bila pasangan kita yang terikat dengan ikatan suci pernikahan, nyatakanlah.

Jangan meremehkan hal-hal penting yang terlihat kecil, seperti membawakan belanjaan Istri bagi

seorang suami atau memijit suami bagi istri barangkali atau suami membuKakan pintu mobil dan

sebagainya untuk istrinya seperti yang di ajarkan rasulullah menyediakan kakinya untuk membantu

istrinya naik ke atas unta.

Begitu indah kehidupan rumah tangga. Segala sesuatunya selalu di lakukan berdua. Tapi itu

mungkin bagi pasangan-pasangan yang tidak punya permasalahan yang tengah di hadapi Aibi dan

Fahmi. Rumah tangga yang mereka jalani telah kehilangan arti.

Fahmi sudah semakin sering melarikan dirinya dengan cara bermalam di rumah sakit tempatnya

dinas. Begitu juga Aibi sudah semakin kerap menghabiskan sisa malam yang di lewatinya dengan

menangis dan menangis. Tidak ada lagi yang bisa membuat hatinya tenang saat ini kecuali

menangis. Walau terkadang Fahmi pulang, maka tidak lebih ketika malam sudah beranjak

mendekati larut. Ketika semua orang telah tertidur dan barulah dia akan kembali ke rumah. Tidak

jarang ketika dia sampai di rumah ketika Aibi telah tertidur, itu anggapannya. Padahal tak

sedikitpun mata Aibi bisa di pejamkan sepanjang malam. Dia hanya pura-pura memejamkan

matanya ketika Fahmi masuk ke kamar.

Kondisi benar-benar tidak menguntungkan bagi siapapun. Fahmi hanya sanggup memandang Aibi

di kegelapan kamar tidur mereka. Dia hanya sanggup menyentuh Aibi di dalam hatinya. Setiap kali

melihat wajah Aibi, banyak air mata rasanya yang ingin di tumpahkannya. Dia ingin semuanya

cepat berlalu dan rumah tangganya kembali normal sebagaimana layaknya rumah tangga orang-

orang yang bahagia, yang selalu memadu kasih.

Malam semakin larut, Fahmi masih duduk di tepi ranjang dengan mata menatap Aibi lekat. Di

tatapnya Aibi semakin dalam, perlahan tangannya mulai membelai lembut rambut Aibi dan

Page 132: Liza Punya

kemudian di sentuhnya tangan Aibi yang tergeletak di sampingnya. Dan tak lama setelah itu

matanya terasa sangat panas. Dia ingin sekali menangis dan memeluk Aibi. Dia ingin

menumpahkan segela beban di hatinya. Dia tidak tahan hidup seperti ini. Dia tidak sanggup

bertahan dalam kebisuan yang panjang. Dia dia juga tidak sanggup menghadapi kebisuan Aibi yang

semakin akut. Di urungkannya niatnya untuk memeluk Aibi. Dia takut mengganggu tidur Aibi.

Setelah sesaat di tatapnya lekat Aibi, dia berdiri dan ke kamar mandi. Di kamar mandi dia menangis

sejadi-jadinya.

Setelah puas menangis, dia ingin sekali mengadukan semua ini kepada Allah. Bukankah Dia yang

memberikan semua cobaan ini? Semuanya telah sampai kepuncaknya. Hatinya sudah penuh

menahan segala beban bathin ini. Dengan berurai air mata dia menghadap Allah dan mengadukan

semuanya kepada sang pemilik kehidupan ini.

“Oh dik.. kemana akan aku adukan segala beban ini dik. Hatiku telah penuh, dan aku sudah tidak

sanggup lagi untuk menahan semua ini. Sampai kapan aku akan menghadapi kebisuanmu yang

tidak berpenghujung itu, dinda”? Fahmi mulai menceracau di kegelapan malam. Cahaya temaram

rembulan masuk menembus jendela kamar mereka. Dia telah tersungkur menangis di hamparan

sajadahnya. Dia benar benar sudah tidak bisa menahan semua amukan perasaan ini. “Katakanlah

sesuatu biar aku bisa berbuat dinda. Begitu beratkah mulutmu untuk mengungkapkan segalanya

kepadaku? Aku suamimu dik? Apa gunanya kita berada pada satu rumah, satu kamar, satu ranjang,

tapi tidak satu kata pun yang kita ucapkan selama hampir sebulan ini? Begitu susahkah bagimu

untuk mengungkapkan segalanya?” Fahmi terus meratap di hamparan sajadahnya. Sementara Aibi

yang dari tadi terlihat seperti tertidur lelap, sejatinya tak sekejap pun dia mampu memejamkan

matanya. Betapa dia lebih menderita lagi menahan semua ini. Badannya bergetar menahan tangis.

Tapi sedapat mungkin di tahannya tangis itu, karena dia tidak ingin Fahmi mengetahui semua itu.

“Oh Tuhan...... andai tidak ada cahaya keimanan di dalam hati ini, mungkin telah lama aku

tinggalkan kehidupan yang seperti ini. Mungkin telah lama aku hengkang dari kehidupan yang

serba menyakitkan ini. Tapi Tuhan, kenapa Engkau memberikan perasaan cinta yang sangat

mendalam ke dalam hati hamba kepadanya? Dan aku tidak sanggup melihatnnya terluka seperti ini.

Hamba tahu dia lebih terluka lagi dari pada hamba ya Allah. Apa yang harus hamba lakukan untuk

mengobati luka di jiwanya ya Allah? Allah, di kegelapan malam ini, aku nmengadukan semua duka

nestapa ini padaMu. Berikan hamba jalan keluar yang tidak menyakiti istri hamba. Hamba sudah

tidak sanggup bertahan dengan kebekuan ini. Hamba sudah tidak sanggup bertahan dalam kebisuan

yang panjang ini. Hamba terlalu rapuh ya Allah. Hamba butuh ketenangan jiwa dan bathin hamba

Ya Allah”. Fahmi terus menangis di haribaan Tuhannya. Dia terus mengadukan semua

kegundahannya kepada sang pemilik kehidupan ini.

“Ya Allah kenapa cinta ini begitu menyakitkan hati hamba ya Allah? Kenapa hamba menjadi

Page 133: Liza Punya

pengecut seperti ini? Kenapa hamba tidak mampu bertahan menghadapi semua ini? Kenapa ya

Allah? Bukankah hamba sangat mencintai istri hamba? Lalu kenapa hamba tidak mampu bertahan

dengan kondisi ini? Oh Tuhan, betapa semua ini sangat menyakitkan ya Allah. Maafkan hamba jika

hamba tidak sabar menghadapi semua ini”. Fahmi terus meratapi semuanya. Dia terus menceracau

tidak jelas.

Aibi semakin terguncang di tempat tidur mendengar semua keluhan Fahmi pada Rabbnya. Betapa

dia merasa berdosa telah menyia-nyiakan suami sebaik Fahmi. Betapa dia ingin menghambur ke

pelukan Fahmi dan meminta maaf akan segala perbuatannya selama ini. Tapi dia tidak sanggup

untuk melakukan semua itu. Energinya sudah terlalu terkuras dengan semua beban bathin yang di

hadapinya.Aibi hanya bisa menahan isakan di ranjang, sedang bantalnya telah penuh oleh cucuan

Air matanya. Aibi semakin terisak mendengar semua kejujuran yang di sampaikan Fahmi. Pantaslah

beberapa hari ini Fahmi lebih sering tidak di rumah dan pulang ke rumah setelah larut malam.

Kenapa dia tidak memikirkan semua dampak yang tidak baik untuk Fahmi suaminya? Kenapa dia

hanya memikirkan nasibnya selama ini? Kenapa dia tidak memikirkan tentang perasaan Fahmi yang

terabaikan? Kenapa Aibi?

Malam itu dua insan yang sejatinya saling mencintai telah menangis memikirkan nasib mereka

masing-masing. Mereka sudah kehilangan cara untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Dan rumah yang mereka huni yang seharusnya menjadi tempat untuk mencurahkan cinta dan kasih,

untuk menghilangkan kepenatan di luar, nyatanya hanya menjadi tempat menambah beban setiap

kali mereka berada dalam satu atap.

***

44

Mencari Jalan Setapak Ke Hatimu

Malam yang kesekiannya Aibi tidak bisa memejamkan matanya walau hanya agak sejenak saja.

Setelah mendengarkan ratapan Fahmi semalam di hamparan sajadahnya, semenjak itu jiwanya tidak

pernah tenang. Dia sangat terganggu dengan semuanya. Ratapan lirih Fahmi masih terngiang-

ngiang jelas di telinganya. “Oh Tuhan...... andai tidak ada cahaya keimanan di dalam hati ini,

mungkin telah lama aku tinggalkan kehidupan yang seperti ini. Mungkin telah lama aku hengkang

dari kehidupan yang serba menyakitkan ini”. Aibi mulai mengerti dan faham dengan makna ratapan

itu. Dia mulai bisa menangkap sinyal yang ada di balik ratapan Fahmi itu. Dia mengerti sekali, dia

harus mengambil tindakan yang tepat secepatnya sebelum semuanya terlambat. Dan hal itu akan di

sampaikannya ke Fahmi.

Setelah sekian lama dia mencari celah untuk memulai pembicaraan yang sangat serius dengan

suaminya, maka malam ini berangsur celah itu mulai tampak. Celah itu mulai nyata di matanya. Dia

akan memulainya segera. Dia tidak ingin segalanya terlambat dan menjadi penyesalan dimasa yang

Page 134: Liza Punya

akan datang padanya dan juga Fahmi. Dia sudah putuskan, malam inilah saat yang paling tepat

baginya untuk memulainya lagi. Membangun kembali jalan setapak menuju hati suaminya untuk

mencari jalan keluar yang jernih untuk permasalahan yang mereka hadapi.

Malam semakin larut, detak jarum jam semakin jelas terdengar. Ruangan tamu telah lengang. Sepi

dan mencekam, lampu ruangan telah di ganti dengan yang agak redup. Dibawah remang-remang

cahaya lampu lima watt Aibi masih setia menanti pangeran hatinya untuk pulang. Dia yakin Fahmi

akan pulang. Karena walau mereka sudah tidak saling berkomunikasi lagi, Fahmi belum pernah

tidak pulang ke rumah tanpa mengabari terlebih dahulu. Walau itu hanya lewat SMS. Begitu juga

hari ini, dia tidak mendapatkan kabar apa-apa dari Fahmi, maka dia yakin Fahmi pasti pulang. Dia

akan menanti Fahmi sampai dia pulang. Walau Rahmi sudah bersikeras menemaninya, tapi dia tidak

mau, dia akan menanti kedatangan Fahmi sendirian.

Jam terus berjalan, dan malam semakin merangKak mendekati larut. Aibi masih duduk dengan

tenang di sofa tamu menanti kedatangan Fahmi. Sekali-kali Aibi terangguk karena kantuk, tapi

cepat dia terbagun setiap kali mendengar suara mobil mendekat. Untuk mengusir rasa kantuk di

hidupkannya TV, tapi ternyata tidak sanggup menahan kantuknya. Hampir saja Aibi benar-benar

jatuh tak sadarkan diri karena kantuk, tiba-tiba terdengar suara pagar di dorong, dia kembali

membuka matanya berusaha menegakkan tubuhnya dan sedikit meregangkan tubuhnya.

Tak lama setelah itu cahaya lampu mobil menembus masuk ke kaca jendela dan menyilaukan

pandangan matanya dan berhasil mengusir rasa kantuknya. Terdengar bunyi mesin mobil di matikan

dan membanting pelan pintu mobil. Suara ketukan sepatu terdengar mendekati pintu rumah dan

sejenak terdengar suara-suara membuka kunci pintu, tapi ternyata pintu tidak di kunci dan dengan

mudah Fahmi mendorongnya. Pintu terbuka, dia berhasil menangkap bayangan orang yang sedang

duduk di kursi tamu. Dia yakin itu Aibi, karena orang itu tidak berusaha untuk berdiri dan hanya

duduk menantinya di sana. Dengan hati penuh tanya di hampirinya sosok yang sedang duduk

tersebut dan benar ternyata itu Aibi. Aibi memutar kepalanya menghadap Fahmi.

Dengan kikuk di dekatinya Aibi dan di ciumnya dengan penuh cinta dan perasaan rindu yang

meluap-luap. Setelah sekian bulan, ternyata malam ini Aibi kembali menunggu kedatangannya

seperti malam-malam ketika mereka pertama kali menikah. Jika dia tahu Aibi akan menunggunya

pulang malam ini, mungkin dia akan pulang lebih cepat. Tidak akan menghabiskan dulu harinya

dengan bermenung di tepi pantai. Dengan duduk jongkok di depan Aibi di belainya lembut kepala

Aibi sembari berkata. “Kamu belum tidur sayang?”. Katanya lembut sembari menatap lembut Aibi.

Aibi tersenyum dengan sangat indah sekali dan dengan lembut di ambilnya tangan Fahmi dan

menciumnya dengan lembut. “Belum Mas. Saya ingin menunggumu pulang, karena saya sangat

merindukanmu Mas”. Jawab Aibi dengan suara lirih. “apa Mas sudah makan?”. Tanya Aibi

kemudian.

Page 135: Liza Punya

Sebelum dia menjawab pertanyaan Aibi, dengan lembut di ciumnya Aibi dengan penuh cinta. “Mas

sudah makan Dik. Mas makan di luar tadi”. Jawab Fahmi singkat. “Kamu sudah makan dik? Tapi

malam ini Mas mau makan lagi. Tiba-tiba Mas sangat lapar Dik. Maukah Adik mengambilkan

untuk Mas?” Lanjut Fahmi lagi.

Mendengar permintaan Fahmi, Aibi tersenyum, “Dengan senang hati cintaku. Tapi maukah Mas

membantu mengantarkan Adik ke dapur?”.

“Tentu tuan putri. Tapi melihat senyummu yang begitu indah, ternyata menghilangkan lapar Mas,

dik. Sekarang keinginannya berubah menjadi ingin bercerita banyak denganmu. Tapi di kamar saja

ya, sayang. Biar bisa sambil beristirahat”. Kata Fahmi kemudian.

“Baiklah. Kalau begitu Mas mandilah. Biar ku buatkan minum untukmu untuk menemani

pembicaraan kita malam ini”.

“Apakah kita akan berbicara sampai pagi, dik?”

“Jika perlu, kenapa tidak? Banyak hal yang ingin aku katakan pada Mas malam ini”.

“Baiklah dik. Kalau gitu biar Mas bantu ke kursi roda ya”. kata Fahmi sembari menggendong Aibi

dan meletakkannya di atas kursi roda. Sebelum dia beranjak ke kamar, di ciumnya lagi Aibi dengan

penuh cinta dan kerinduan yang teramat sangat. “Aku mecintaimu, dik”. Bisiknya lirih sembari

beranjak ke kamar. Aibi mulai mendorong kursinya menuju dapur memanaskan air dan menyeduk

teh untuk Fahmi. Sedang Fahmi beranjak ke kamar ingin membersihkan tubuhnya biar segar.

Berjalan menuju kamar, air matanya tidak berhenti berjatuhan. Dalam hati dia bersyukur kepada

Tuhan telah mengembalikan Aibi seperti dulu. Walau dia masih menangkap kesedihan, tapi paling

tidak dia sudah tersenyum lagi. senyum yang sangat di rindukannya selama ini.

Begitu pun dengan Aibi. Air matanya tidak berhenti mengalir menjelang sampai di dapur. Begitu

sampai di dapur dia tidak langsung memanaskan air, tapi menangis sejadi-jadinya. Tuhan, betapa

dia rindu dengan tatapan penuh cinta itu. dan malam ini dia kembali mendapatkanya dari orang

yang di cintainya. Betapa selama ini dia telah kehilangan segalanya. Dia tidak menyangka malam

ini begitu mudah mencairkan kebekuan diantara mereka. Jika dia tau akan semudah ini, dia tidak

akan menunggu hingga selama ini. Oh, betapa hatinya bahagia mendapatkan kecupan penuh cinta

dan kerinduan dari Fahmi tadi.

****

45. Kebutuhan Yang Tak Tersalurkan

Setelah puas menangis dan dia yakin Fahmi juga sudah selesai mandi, cepat-cepat di panaskannya

air. Tapi belum selesai dia menyiapkan segalanya, dia mendengar ada langkah kaki mendekatinya.

Dia yakin itu langkah Fahmi. Ternyata benar itu Fahmi dengan celana training hitam dan baju kaos

oblong warna putih mendekatinya dengan wajah penuh keceriaan. Wajah itu semakin tampan di

bawah sinar lampu yang agak temaram. Di lanjutkannya menyeduh tehnya sembari berujar, “Sudah

Page 136: Liza Punya

selesai mandinya sayang?” katanya masih sibuk mengaduk gula dengan teh.

Fahmi tidak menjawab, tanpa aba-aba di sambarnya tubuh Aibi yang mengkerut di atas kursi

rodanya. Di gendongnya dan di bawanya ke beranda samping rumah mereka yang menghubungkan

mereka dengan taman asri di samping rumahnya. Tercium bau semerbak mawar yang sedang

bermekaran, disana ada sofa panjang di letakkan. Di letakkanya Aibi di sana dengan hati-hati dan

kemudian dia juga duduk di sana dengan posisi memeluk tubuh Aibi dengan lembut. “Aku sangat

merindukanmu cinta. Rasanya telah bertahun-tahun aku tidak menemukanmu. Aku hampir saja gila

menghadapi semua ini. Aku fikir aku tidak akan mendapatkan sambutan yang hangat lagi darimu,

dik. Sungguh dik, Mas sangat merindukanmu dik”. Ungkap Fahmi meluapkan semua perasaannya

kepada Aibi. berkali-kali di hujaninya tubuh Aibi dengan ciuman.

Mendapatkan perlakukan yang tiba-tiba seperti itu dari Fahmi tentu membuat Aibi tidak sempat

untuk menghindar. Diterimanya segalanya dengan air mata berjatuhan. Dengan hangat dibalasnya

ciuman Fahmi sembari berbisik lirih. “Maafkan aku Mas. Maafkan aku telah membiarkanmu begitu

lama untuk menunggu. Aku juga sangat merindukanmu Mas. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-

apa. Maafkan aku telah membiarkanmu menderita selama ini. Sungguh aku bingung dengan kondisi

diriku yang seperti ini. Sehingga membuatku lupa untuk memikirkanmu Mas. Tapi percayalah Mas,

aku sangat mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Maafkan aku Mas”. Isak Aibi sedang

tangannya tidak berhenti membelai wajah Fahmi.

“Tidak ada yang perlu di maafkan sayang. Kamu tidak salah. Mas mengerti dengan kondisi dirimu.

Seharusnya Mas mendampingimu dan memberikan penguatan kepadamu, tapi malah

membiarkanmu menghadapi semua ini sendirian. Betapa menderitanya kamu selama ini, dik.

Maafkan Mas yang telah membiarkanmu untuk sendiri menghadapi semua ini. Aku terlalu rapuh

untuk menghadapi segala dukamu dik. Tapi mulai malam ini, Mas tidak akan membiarkanmu

menghadapi semua ini sendirian. Aku akan selalu ada untukmu dik. Kita akan menghadapi

segalanya bersama. Seperti janji yang pernah kita ucapkan di awal pernikahan kita”.

“Tapi Mas, dengan kondisiku yang seperti ini, sepertinya tidak mungkin Mas. Walau bagaimanapun,

Mas butuh seseorang yang bisa memberikan segalanya untuk Mas. Sementara aku, aku tidak bisa

memberikan segala apa yang Mas butuhkan. Aku tidak sanggup Mas. Aku tidak ingin membuat Mas

lebih menderita lagi”. Ungkap Aibi menceracau sembari menatap wajah Fahmi.

“Apa maksudmu dik, Aku tidak mengerti. Aku tidak menuntut apa-apa padamu, kecuali hanya satu,

jangan berhenti untuk tersenyum padaku dik. Aku tidak bisa hidup tanpa senyumanmu dinda.

Hidupku hampa tanpa senyuman darimu. Karena senyummu adalah matahari hidupku dik”.

“Tidak Mas, jangan kamu bohongi hatimu, kamu membutuhkannya bukan? Aku telah mendengar

segalanya Mas. Aku telah mendengar tangisan Mas di penghujung malam. Mas tidak sanggup hidup

dengan kondisi seperti ini. Bukankah Mas mengatakan jika bukan karena kekuatan iman di dalam

Page 137: Liza Punya

hati Mas akan meninggalkan segalanya? Jangan bohongi hatimu hanya gara-gara tidak ingin

membuatku tersakiti Mas. Sudah cukup pengorbanan Mas selama ini untukku Mas”.

“Apa maksudmu sayang? Aku benar-benar tidak mengerti”.

“Mas, aku telah fikirkan semuanya. Aku telah memutuskan semuanya, dan semoga ini adalah yang

terbaik untuk Mas dan juga untukku. Aku tau ini berat, tapi kita harus menempuhnya Mas. Karena

sudah tidak ada jalan lain lagi selain jalan ini. Dan aku harap kamu tidak akan menolaknya Mas.

Berjanjilah Mas, bahwa Mas tidak akan menolak semua ini. Karena hanya inilah jalan satu-satunya

untuk menyelesaikan segala permasalahan ini Mas”.

“Apa maksudmu Dik? Aku semakin tidak mengerti? Jalan satu-satunya untuk apa? Dan kenapa aku

harus berjanji dik? Ada apa sebenarnya dik”?

Fahmi benar-benar bingung menghadapi semuanya. Dia tidak mengharapkan situasi yang seperti

ini. Ini jauh dari gambarannya tadi. Dia tidak berfikir semuanya akan seperti ini. Dia benar-benar

tidak mengeti.

“Mas, aku tau kamu sangat tersiksa dengan kondisi diriku yang tidak bisa melayanimu. Untuk itu

aku tidak akan mempersulitmu Mas, jika kamu ingin menikah lagi, maka menikahlah. Mas tidak

usa merasa terhalang denganku, karena sampai kapanpun aku tidak akan bisa menjadi istri untuk

Mas. Aku hanya bisa menjadi teman bicara untuk Mas. Tapi tidak untuk urusan yang satu itu.

karena aku tidak akan pernah mampu, sampai kapanpun aku tidak akan mampu Mas”. Benar-benar

tidak ada air mata yang mengalir. Benar, Aibi telah memikirkan segalanya sejak lama.

Mendengar apa yang di sampaikan Aibi membuat Fahmi seperti di sambar halilintar. Dia tidak

menyangka inilah maksud Aibi. Dia tidak pernah berfikir akan melakukan hal itu. Karena dia ingin

pernikahan hanya terjadi satu kali dalam hidupnya dan itu dengan Aibi. Fahmi tidak sanggup

menanggapi apa yang di sampaikan Aibi. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali.

Betapa dia tidak pernah menginginkan hal itu. Jangankan menginginkannya, memikirkannya saja

tidak.

“Hmmm... itu gila dik. Aku tidak bisa melakukan hal itu. Karena aku tidak pernah memikirkan hal

itu. Dan aku juga tidak akan pernah melakukannya. Ini benar-benar ide konyol. Bagiku pernikahan

itu hanya satu kali. Tidak ada istilah dua kali. Aku tidak bisa dik”. Jawab Fahmi setelah sekian

lama terdiam.

Malam semakin larut, udara dingin semakin menusuk-nusuk tulang mereka. Tapi panas di hatinya

melebihi dinginnya udara jam 3 dini hari. Cahaya bintang mengintip mereka dari atas langit. Dan

desau angin ingin mencuri perdebatan mereka dan ingin menyebarkan cerita itu ke segala penjuru.

“Saya tau ini memang gila Mas. Bahkan terlalu dini untuk pernikahan kita yang baru enam bulan

saja. Tapi sudah tidak ada lagi yang bisa kita harapkan dari pernikahan kita karena sepanjang malam

kita hanya bisa menjadi teman tidur tanpa melakukan apa-apa. Sepanjang malam kita hanya di

Page 138: Liza Punya

temani kebisuan yang panjang dan tak berpenghujung. Aku tersiksa dengan semua itu Mas. Aku

merasa berdosa karena aku tidak sanggup menjalankan tugasku menjadi seorang isrti untukmu.

Menikahlah Mas. Jangan bohongi hatimu. Aku tau kamu sangat membutuhkannya Mas”.

Untuk kedua kalinya Fahmi terdiam. Apa yang dikatakan Aibi memang ada benarnya. Sampai

kapankah mereka akan bertahan? Enam bulan? Sudah rasakan bertahun-tahun baginya. Tapi

akankah dia melakukan hal itu hanya untuk kepentingannya sendiri? Lalu membiarkan Aibi

menghadapi segalanya sendiri? Betapa kejamnya jika seperti itu. Betapa tidak adilnya untuk Aibi.

Perasaan kelelakiannya memang merindukan kehadiran seorang wanita yang bisa memberikan

segalanya untuknya. Tapi perasaan kemanusiannya, seorang yang mempunyai hati dan cinta, dia

tidak bisa melakukan semua itu. Karena dia tahu hal itu hanya akan menyakiti orang yang di

cintainya.

“Tidak dik, aku tidak akan melakukan hal itu. Aku sudah cukup bahagia bisa menikah denganmu

dik. Kamu tau, aku hanya mengenal dua wanita dalam hidupku, yang pertama adalah ibuku dan

yang kedua adalah kamu dik. Dan aku tidak bisa hidup tanpamu dinda”.

“Itu dulu Mas, ketika Mas belum tau tentang apa yang terjadi dalam diriku. Setelah apa yang kita

lalui, masihkah perasaanmu sama? Tidakkah berubah? Sekali lagi jangan bohongi perasaanmu Mas.

Jika memang Mas telah bahagia memilikiku, kenapa belakangan Mas sering tidak pulang ke rumah?

Kenapa mendadak Mas menjadi menutupi segalanya? Kenapa Mas sering pulang larut malam

bahkan beberapa kali pernah menjelang subuh baru Mas pulang? Kenapa Mas? Apa semua itu yang

Mas katakan dengan sudah bahagia? Aku tahu kamu menderita, sama seperti diriku yang juga

menderita.

“Mas, berhentilah memirkanku. Aku sudah di takdirkan untuk seperti ini. Aku tau ini sakit, untukku

dan juga untuk Mas. Aku tidak meragukan cintamu Mas. Tapi aku tidak ingin cintamu kepadaku

menyakitiku dan menyakitimu Mas. Sampai kapan Mas akan hidup seperti itu? hanya bisa mencium

bau harum dari bunga yang ada di kamar Mas saja, tapi Mas tidak bisa menjamahnya dan

menikmatinya, karena ternyata bunga yang ada di dalam kamar Mas itu tidak ranum. Hanya baunya

saja yang menggoda Mas.

“Andai saja aku bisa memberikan semuanya untukmu Mas, tidak akan aku suruh Mas untuk

menikah lagi. Tapi aku tidak bisa memberikan semuanya untuk Mas. Bahkan hal yang paling pokok

dalam hubungan suami istri, aku tidak bisa memberikannya Mas”.

“Tapi kita masih bisa mengobatinya dik. Masih ada harapan. Dan kamu akan sembuh seperti wanita

lainnya. Aku akan membawa berobat kemanapun. Aku yakin kamu bisa sembuh. Sudahlah, lupakan

masalah itu”.

“Mas, bukankah kita telah mendatangi banyak dokter ahli selama beberapa bulan ini? Baik saya

yang datang dengan Mas, maupun saya sendiri yang mendatanginya. Dan tidak ada hasil Mas. Ok,

Page 139: Liza Punya

aku bisa sembuh, tapi kapan? Ketika Mas telah mencari wanita yang tidak halal untuk Mas gauli,

karena Mas sudah tidak bisa menahan segalanya? Jika hal itu terjadi betapa berdosanya aku Mas.

Aku tidak ingin Mas mengalami hal yang seperti itu. lagi pula poligami tidak di haramkan oleh

agama. Poligami adalah solusi untuk permasalahan yang kita hadapi. Dan Mas melakukannya atas

permiantaanku sebagai istri yang sah Mas. Lalu siapa yang akan mengahalangi?”

Fahmi terdiam. Apa yang dikatakan Aibi ada benarnya. Dia teringat dengan apa yang di katakan

oleh dokter ahli syaraf yang mereka temui sebulan yang lalu. Karena dokter Obgin tidak

menemukan kerusakan pada alat reproduksi Aibi, maka mereka di sarankan untuk menemui dan

berkonsultasi dengan dokter ahli Neorologi yang akhirnya memberikan keterangan yang sangat

menyakitkan untuk Fahmi. Tapi ketika itu Aibi tidak mendengarkannya, bahkan sampai hari ini dia

tidak pernah memberitahukan Aibi apa yang di katakan dokter ahli syaraf yang mereka temui

sebulan yang lalu.

“Sudah berapa tahun istri anda mengalami kelumpuhan, dr. Fahmi?” tanya dr. Neorologi padanya

saat itu.

“Ini sudah memasuki tahun yang ke dua belas dok. Emang kenapa dok? Apa ada hubungannya

penyakit yang di derita istri saya dengan kelumpuhan yang di deritanya? Tanya Fahmi cemas.

“Dan sudah berapa lama anda menikah dengannya? Tanya dokter itu lagi pada Fahmi tanpa

menghiraukan apa yang di pertanyakan Fahmi.

“Baru tiga bulan dok”.

“Dan selama tiga bulan itu istri anda tidak bisa merespon anda ketika berhubungan dengannya?”

“Iya dok”.

Anda juga seorang dokter. Saya rasa banyak sedikitnya anda faham. Setelah saya lakukan

serentetan pemeriksaan tadi, sepertinya ketidak mampuan istri anda merespon anda ketika

berhubungan itu di akibat oleh kerusakan syaraf kemaluannya. Itu terjadi karena kecelakaan yang di

alaminya 12 tahun yang lalu. Di tambah lagi dengan kerusakan syaraf tulang belakang di bagian

panggulnya, disana merupakan pusat dari syaraf kemaluan dr. Fahmi. jadi dengan berat hati saya

harus ketakan kepada anda, istri anda sudah tidak bisa lagi di sembuhkan, kecuali hanya hanya

karena mukjizat dari Tuhan. Kerusakannya sangat fatal dr”. Terangnya pada Fahmi dengan wajah

penuh keprihatinan.

“Apa benar-benar tidak bisa di sembuhkan lagi dok?” tanya Fahmi dengan wajah sangat terpukul.

Bagaimanakah dia akan menjelaskan semuanya ke Aibi?

Dokter Rahmat tidak menjawab, tapi hanya menggelengkan kepalanya seraya meletakkan

tangannya di pundak Fahmi dan menepuk-nepuk pundak itu dengan lembut. Sebagai tanda kalau

Fahmi harus bersabar menghadapi segalanya.

Mengenang itu semua Fahmi tidak bisa menjawab lagi. Dia telah kehabisan kata-kata. Dia berada

Page 140: Liza Punya

pada pilihan yang sangat sulit saat ini.

“Sudahlah dik, aku rasa ini hanya luapan perasaanmu saja yang merasa bersalah padaku karena

kamu tidak bisa memberikan apa yang semestinya kamu berikan untukku. Sebaiknya sekarang kita

masuk ke dalam dan beristirahat, sebentar lagi shubuh akan menghampiri sepertinya. Kita

tenangkan hati kita. Aku yakin itu hanya luapan perasaan sementaramu saja. Ayo kita masuk, dan

kita cukupkan pembicaraan kita sampai disini. Ok, sayang?”. Fahmi akhirnya menyudahi

pembicaraan dengan menggendong tubuh Aibi ke dalam dan kemudian meletakkanya di atas kursi

roda Aibi yang dibiarkan begitu saja tinggal di ruang dapur tadi. Dan setelah itu mendorongnya ke

kamar bersiap karena sebentar lagi adzn subuh berkumandang. Sementara Aibi hanya mengikut

saja. Dia tau Fahmi tidak bisa menerima apa yang di sampaikannya. Tapi dia berjanji akan

membicarakan lagi hal ini. Karena ini bukan luapan perasaan sementara seperti yang di sampaikan

Fahmi. Tapi ini adalah satu-satunya solusi untuk segalanya.

***

46. Niat Poligami

Pembicaraan tentang ide poligami itu tidak berhenti hanya sampai di sana seperti yang di katakan

Fahmi. tapi berlanjut sampai malam-malam berikutnya. Aibi selalu mendesaknya untuk menyetujui

idenya untuk berpoligami. Tapi seperti biasa Fahmi hanya menanggapi dengan dingin dan tanpa

berkomentar apa-apa. Tapi Aibi tidak kehilangan akal. Dia harus berhasil membuat Fahmi

berpoligami. Karena setiap kali dia melihat Fahmi hatinya miris dan di penuhi perasaan berdosa

karena tidak bisa memberika apa yang di inginkan Fahmi.

Malam ini kembali ide itu di muculkannya setelah mereka sholat isya berjama’ah dan ketika itu

Fahmi sedang khusuk dengan bacaan al-qur’annya. Sedang Aibi sedang duduk di atas sofa panjang

di kamarnya dengan berselonjor dan tangannya sedang memegang buku. Dengan hati-hati

dimulainya pembicaraannya.

“Mas...” panggilnya dengan hati-hati.

Fahmi tidak menyahuti, dia terus asyik dengan bacaan al-qur’annya. Dia sudah bosan untuk

membahas masalah itu dengan Aibi dan malam ini dia tidak ingin mendengarkannya lagi. dia terus

saja membaca al-qur’annya. Bahkan bacannya semakin di perkerasnya. Menyaksikan hal itu,

dibiarkannya Fahmi menyelesaikan membaca al-qur’annya. Dia yakin Fahmi tidak akan

menghabiskan malamnya membaca al-qur’an sampai pagi. Dan ketika Fahmi sudah selesai nanti,

barulah dia akan membicarakannya dengan Fahmi lagi.

Benar saja, lima belas menit kemudian Fahmi menyudahi bacaan al-qur’annya. Dan Aibi pun

memulainya lagi.

“Mas, kali ini tolong Mas dengarkan aku. Tolong beri aku waktu lima menit saja Mas. Terserah

Page 141: Liza Punya

setelah itu apa yang Mas pilih”. Ungkap Aibi memulainya dengan hati-hati. Dia sudah siap dengan

semua resiko yang akan di tanggungnya.

Dengan malas Fahmi bangun dari sajadahnya dan berjalan ke arah kiri tempat tidur membuka

pecinya dan meletakkanya di atas meja dan juga al-qur’annya.

“Apa lagi yang akan kita bicarakan? Masalah poligami itu lagi? Bukankah aku sudah jawab, aku

tidak akan melakukannya. Apapun yang terjadi aku tidak akan melakukannya. Aku tidak

menginginkannya. Karena aku tidak ingin ada yang tersakiti. Hal ini saja sudah membuatku sangat

sakit dik. Jadi berhentilah untuk membicarakan masalah poligami itu. sungguh aku tidak akan

melakukannya”. Ungkap Fahmi tegas dan kemudian bersiap untuk tidur.

“Baiklah, kalau Mas tidak mau untuk poligami, itu berarti Mas harus menceraikan aku”. Jawab Aibi

tanpa berfikir panjang. Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, Fahmi yang tadi sudah bersiap

untuk tidur kembali berdiri dengan mata nyalang dan membesar menatap Aibi tidak percaya.

Dengan perlahan di dekatinya Aibi dan dengan posisi berjongkok di dekatkannya wajahnya ke

Aibi.

“Apa? Apa yang kamu katakan tadi dik? Kamu tidak seriuskan?” tanya Fahmi sambil mengguncang

bahu Aibi. “Coba katakan lagi padaku, apa aku tidak salah dengar?” tanya Fahmi pada Aibi

“Mas kamu menyakitiku Mas”. Kata Aibi cepat. Dirasakannya cengkraman tangan Fahmi di

bahunya sangat kuat sekali.

Menyadari apa yang dilakukannya, Fahmi melepaskan cengkraman tangannya di bahu Aibi dan

membulatkan tinjunya dan kemudian menatap Aibi lagi “Aku tidak salah dengarkan, dik? Tanya

lagi pada Aibi.

“Kamu tidak salah dengar Mas dan aku serius. Kalau memang Mas tidak mau poligami, maka

ceraikan aku. Aku tau Mas tidak mau poligami karena Mas tidak mau menyakitiku. Maka ceraikan

aku Mas, agar aku tidak tersakiti lagi. Biar kamu bisa melakukannya”.

“Kegilaan apa lagi ini dik? Bercerai? Nonsense. Aku tidak akan menceraikanmu dan tidak akan

berpoligami”. Sambar Fahmi berdiri membalikkan badannya.

“Apa lagi yang kita harapkan dari pernikahan kita ini Mas? Sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya

air mata dan kebisuan yang panjang. Mas, aku mohon jangan biarkan aku selalu merasa berdosa

karena tidak bisa melayanimu sebagaimana mestinya. Percayalah, tidak akan ada yang tersakiti.

Karena aku ikhlas Mas. Menikahlah dengan wanita yang bisa memberikan segalanya kepadamu.

Jika Mas tidak berani melamar wanita itu untuk Mas, biar aku yang akan melamarkannya untuk

Mas. Biar aku yang memintanya kepada wanita itu untuk menjadi istri Mas. Jika aku harus

mengemis kepada wanita itu agar dia mau menjadi istri Mas, maka aku akan lakukan Mas. Karena

sungguh aku tidak bisa melihatmu menderita seperti ini.

“Jika Mas tidak sanggup mencari wanita lain, maka biar aku yang akan mencarikannya untuk Mas.

Page 142: Liza Punya

Menikahlah Mas, jangan siksa dirimu terlalu lama dengan menahan segala gejolak hati dan

perasaanmu. Sampai kapan kamu akan sanggup menahannya? Ini saja sudah memasuki bulan

kelima kamu menahannya Mas, aku tahu bagaimana susahnya kamu menahan semua itu.

“Oh... Andai saja aku mampu, tidak akan aku izinkan kamu untuk melakukan hal itu. Aku mengerti

ini sangat menyakitkan, tapi percayalah Mas itu hanya sesaat saja. Setelah kamu merasakan

semuanya kamu tidak akan merasa sakit lagi Mas. Percayalah Mas”. Aibi sudah tidak tahan.

Akhirnya air mata itu mengalir deras membanjiri pipinya bersih.

“Lalu bagaimana denganmu dik? Apa kamu akan bahagia menerima semua itu? Aku mungkin akan

bahagia dengan menikah lagi. Tapi bagaimana dengan dirimu? Aku mencintaimu dinda. Aku tidak

bisa hidup tanpamu sayang”.

“Mas masih bisa menyangiku, karena aku masih tetap istri Mas. Jika Mas merindukanku, aku selalu

ada untuk Mas. Jika Mas butuh teman berbicara, aku siap mendengarkan ceritamu Mas. Karena aku

tetap akan menjadi istrimu yang halal untuk kau sentuh. Tidak akan ada yang berubah yakinlah”.

“Tapi aku tidak bisa dik. Aku tidak akan sanggup berlaku adil. Aku tidak akan sanggup mencintai

wanita lain, karena aku telah sekian lama mencintaimu dik”.

“Cinta akan bisa muncul dengan sendirinya Mas ketika telah terjadi persatuan jiwa antara Mas

dengan wanita itu. Mas akan bisa mencintainya, karena setiap kita akan mendapatkan cinta yang

berbeda-beda dari orang-orang yang ada di sekelilingnya”.

“Tidak dik. Aku tidak bisa dik. Itu berat untukku. Aku khawatir tidak mampu berlaku adil dik.

Tolong jangan paksa Mas untuk melakukan hal itu dik”.

“Demi aku Mas, demi cintamu padaku, menikahlah Mas. Aku ridho insya Allah. Aku ikhlas seperti

apapun nanti ending dari semua ini, yang penting kamu bisa bahagia Mas. Aku ingin kamu bahagia

Mas. Aku tidak akan menuntut apa-apa padamu, Mas. Aku mohon Mas, menikahlah Mas dengan

gadis manapun yang kamu pilih. Asalkan gadis itu bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ikhlas

insya Allah”.

Fahmi sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa menangis di pangkuan Aibi seperti

anak kecil yang kehilangan mainan. Sementara Aibi membelai lembut kepala Fahmi yang ada di

pelukannya seperti seorang ibu yang sedang menenangkan anaknya yang menangis karena

kehilangan mainan. Dua insan yang saling mencintai menangis bersama mengharap jalan keluar

yang bijaksana terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Akankah keputusan mereka benar?

****

Kesepakatan itu telah terjadi, walau Fahmi tidak menjawab dengan kata-kata tapi Aibi sudah bisa

mengambil kesimpulan kalau Fahmi sudah setuju. Dia sudah menyiapkan dirinya untuk menerima

semuanya dengan lapang dada. Jika memang dia yang harus melamar wanita itu untuk Fahmi, maka

dia akan lakukan.

Page 143: Liza Punya

Berhari-hari lamanya kebisuan kembali mencekam mereka. Setelah terjadi pembicaraan tentang

permohonan tentang poligami itu, yang di akhiri dengan bertangis-tangisan, kembali mereka

terjebak kebisuan yang tak berpenghujung. Tapi biarlah, Fahmi sedikit agak tenang dengan semua

itu, walaupun itu bukan situasi yang diinginkannya. Paling tidak perdebatan tentang poligami

sudah tidak ada lagi. Itu sudah cukup baginya.

Tapi ternyata Fahmi salah. Aibi justru menunggu kabar dari Fahmi tentang gadis yang akan di

nikahinya. Aibi mengira semenjak malam itu Fahmi akan mencari gadis lain atau mungkin datang

ke rumah Mas Yono dan meminta tolong ke Mas Yono untuk mencarikan istri untuknya. Tapi

ternyata Fahmi tidak pernah melakukan hal itu. Selama ini ia hanya diam dan tidak melakukan apa-

apa. Setiap pagi dia pergi ke kantor dan pulang menjelang malam. Begitu selama beberapa hari

lamanya.

Malam ini Aibi ingin menanyakan tentang semuanya kepada Fahmi, apakah dia sudah mencari

gadis yang akan di nikahinnya? Maka malam ini setelah mereka sholat berjama’ah kembali di

pertanyakannya hal itu. Setelah lima hari, apakah perdebatan seperti malam-malam sebelumnya

akan terjadi lagi?

“Bagaimana Mas?” tanya Aibi memulai pembicaraan. Mendengar pertanyaan Aibi seperti itu hati

Fahmi tersentak, dia fikir Aibi tidak akan mempertanyakan lagi hal itu.

“Bagaimana apanya dik? Mas tidak mengerti”. Ungkap Fahmi berusaha tenang. Aibi faham Fahmi

hanya pura-pura tidak faham. Dengan tatapan mata sayu di pandangnya Fahmi yang ada di

depannya.

“Mas, kenapa kamu tidak mau melembutkan sedikit hatimu untuk mendengarkanku Mas”? tanya

Aibi kemudian kepada Fahmi.

“Bukan begitu dik, hanya saja mencari gadis yang cocok untuk ku jadikan istri sangat sulit aku

temukan dik karena semua kriteria istri yang aku inginkan sudah ada pada dirimu dik”.

Aibi mengerti apa yang di sampaikan Fahmi. Dia tidak akan berkata apa-apa lagi. Karena Fahmi

akan mengatakan alasan-alasan yang menurut Aibi tidak masuk akal. Dia akan menjalankan

rencananya. Dia yang akan mencarikan wanita untuk suaminya. Dia yang akan mencarikan istri

untuk suaminya. Tapi siapa? Dan jika ada bagaimana dia akan mengatakan kepada wanita itu dan

memintanya untuk menjadi istri suaminya? Ah, masalah itu nanti saja, yang jelas dia harus

menemui dulu wanita yang cocok untuk suaminya.

Pagi yang indah, Fahmi telah berangkat ke kantor dengan perasaaan penuh tanda tanya. Kenapa

Aibi semalam tidak melanjutkan pembicaraannya? Apa dia sudah bosan membicarakan semua itu?

Dan pagi ini Aibi juga tidak seperti biasanya. Walau mereka selama ini dicekam kebisuan yang

panjang, tapi Aibi selalu menyediakan baju untuk di pakainya ke kantor setiap paginya dan

menyiapkan sarapan untuknya. Tapi pagi ini Aibi tidak melakukan apa-apa. Dia hanya tiduran di

Page 144: Liza Punya

tempat tidur semenjak selesai sholat subuh tadi. Semenjak menikah dia tidak pernah melihat Aibi

tidur lagi setelah shubuh, tapi pagi ini? Ketika ditanyanya apakah dia sakit, dia tidak menjawab apa-

apa. Dan ketika disentuhnya Aibi malah mengibaskan tangannya. Ada apa? Apa Aibi marah karena

dia tidak mengindahkan apa yang di inginkannya?

Pagi ini sebenarnya Aibi merasa punggungnya sangat sakit sekali. Dia merasa ada palu besar yang

menghantam punggungnya. Hampir pingsan dia menahan rasa sakit di punggungnya. Selepas

shubuh dia meminta Fahmi untuk kembali menidurkannya di atas ranjang dengan alasan masih

mengantuk karena semalam dia tidak dapat tidur sekejap pun. Dengan mati-matian dia

menyembunyikan rasa sakitnya agar tidak di ketahui Fahmi. Karena hebatnya rasa sakit yang

dirasanya, dia terus memejamkan matanya sampai dia benar-benar tertidur tak sadarkan diri. Sekitar

jam enam dia terbangun dari tidurnya karena mendengar bunyi sower di kamar mandi.

Dia yakin Fahmi sedang mandi. Dia harus menyiapkan baju kantor Fahmi, tapi betapa terkejutnya

dia ternyata dia tidak bisa bangkit dari tidurnya. Bahkan untuk sekedar menggerakkan badannya

saja dia tidak bisa. Dia tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Kenapa? Dan ketika Fahmi

selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan pakai handuk dia kembali pura-pura

memejamkan matanya. Dia tidak ingin Fahmi melihat dan menangkap rasa sakit dari matanya. Dan

ketika Fahmi berusaha menyentuh keningnya mencek panas tubuhnya, dia malah mengibaskan

tangan Fahmi sembari berkata “Jangan ganggu aku Mas, aku masih sangat mengantuk sekali.

Semalam aku tidak bisa tidur sedikitpun”. Jawabnya ringan.

Begitu Fahmi keluar dan di dengarnya deru mobil Fahmi sudah menjauh meninggalkan rumah,

dengan bersusah payah di raihnya Hpnya yang tergeletak di meja di samping tempat tidurnya dan

cepat menghubungi Rahmi yang sedang sibuk membantu Bi Ina memasak di dapur.

“Assalamu’alaikum Mbak”. Jawab Rahmi di seberang sana.

“Wa’alaikumussalam dik. Dik, tolong bantu Mbak dik. Punggung Mbak sakit sekali dan tubuh

Mbak nggak bisa di gerakkan dik”. Suara Aibi terdengar panik.

“I....ya Mbak. Tunggu sebentar Mbak. Rahmi kesana secepatnya”.

Dengan jarum suntik dan obat penghilang rasa sakit ditangannya, Rahmi bergegas menuju kamar

Aibi. Sejenak dia ragu untuk masuk, dia takut masih ada Fahmi di dalam. Tapi kalau ada Fahmi

ngapain Aibi meminta tolong padanya? Tanpa buang-buang waktu lagi Rahmi langsung saja masuk.

Aibi sedang terkapar tidak berdaya di tempat tidurnya. Keringat dingin mengaliri tubuhnya karena

menahan rasa sakit. Rasa sakit yang di rasai Aibi sudah sampai di puncaknya. Dengan sigap Rahmi

menyuntikkan cairan rasa sakit ke tubuh Aibi dan tak lama setelah itu Aibi mulai merasakan

nyaman dan berangsur rasa sakitnya mulai menghilang. Setelah agak nyaman dimintanya Rahmi

untuk membantunya turun dari ranjangnya dan memintanya untuk mengantarkannya ke kamar

mandi. Dia ingin buang air kecil.

Page 145: Liza Punya

****

47

Wanita Yang Beruntung

Angin bertiup sepoi-sepoi, mengincar ubun-ubun. Satu dua burung-burung sedang terbang rendah.

Ada yang yang sedang bertengger di dahan-dahan kayu, memperhatikan dengan seksama kalau-

kalau ada ulat atau serangga yang lewat di sana untuk jadikannya santapan. Bisa jadi juga untuk

anak-anaknya yang sedang menunggu di sarangnya.

Aibi sedang duduk di beranda samping rumah yang menghubungkannya langsung dengan taman

mawar yang sedang mulai bermekaran. Tarikan nafasnya terdengar ringan, namun tatapan matanya

mengandung sejuta makna. Dia tidak tau harus mengatakan apa. Saat ini hatinya sangat gundah.

Teringat lagi percakapannya tadi malam bersama Fahmi tentang rencana poligami. Fahmi telah

menyepakatinya tapi dia hanya akan menikah dengan gadis yang di pilih Aibi sendiri. Kemana akan

di carinya gadis itu?

Sekali lagi terdengar tarikan nafas Aibi. Kali ini terdengar agak panjang dan berat. Ada rasa yang di

pendamnya di sana. Rahmi yang duduk menemani Aibi di beranda, merasakan Aibi saat ini sedang

menyimpan sesuatu. Lembut, disentunya bahu Aibi pelan.

“Mbak, apa Mbak masih sakit Mbak? Apa tidak sebaiknya Mbak beristirahat di kamar saja? Saya

khawatir nanti punggung Mbak semakin menjadi sakitnya”. Ungkap Rahmi pelan

“Hm... Tidak dik. Mbak tidak apa-apa. Mbak hanya sedang berusaha menikmati wangi yang

keluarkan mawar itu”. Jawab Aibi tanpa memalingkan mukanya ke arah Rahmi. Tapi tetap menatap

lurus kedepan.

Rasa sakitnya sudah tidak ada lagi, tapi Aibi merasakan tubuhnya gak lemas. Dia merasa sangat

lelah sekali padahal dia tidak melakukan apa-apa. Tapi dia tidak mau hanya di atas ranjang saja. Dia

membutuhkan udara yang segar, maka setengah jam yang lalu, dia meminta Rahmi menemaninya

untuk duduk di beranda samping rumahnya sambil menikmati indahnya kebun mawar mereka.

“Dik,...!!!” Panggil Aibi “sudah berapa usiamu sekarang?” tanya Aibi pada Rahmi sedang matanya

masih tetap menatap lurus kedepan.

“Sudah 31 tahun Mbak”. Jawab Rahmi pelan.

“Apa masih belum ada perencanaanmu untuk menikah?” tanya Aibi prihatin pada Rahmi. Dia tahu

Rahmi telah menghabiskan usianya untuk merawat Aibi selama ini. Sehingga dia tidak sempat lagi

memikirkan tentang dirinya.”Maafkan Mbak ya dik, jika Mbak telah membuatmu terlalu sibuk

dengan diri Mbak selama ini, sehingga kamu melupakan tentang dirimu sendiri”. ungkap Aibi lagi

dengan mata berkaca-kaca.

“Mbak ngomong apa Mbak? Selama ini Mbak telah memberikan segalanya untukku Mbak.

Page 146: Liza Punya

Keluaga, cinta dan kebahagian. Aku tidak pernah menyangka aku akan mendapatkan segalanya dari

Mbak. Aku fikir aku akan selamanya menjadi anak panti asuhan yang tidak akan pernah

mempunyai keluarga yang sesungguhnya. Tapi begitu aku ketemu sama Mbak, Mbak telah

merubah semuanya menjadi nyata dalam hidupku Mbak. Aku punya Mama dan Papa. Aku punya

Mbak, aku punya keluarga Mbak, hal yang selama ini mustahil akan aku dapatkan. Aku sangat

bahagia Mbak.

“Perihal tentang diriku yang terlalu sibuk mengurus Mbak sampai melupakan diriku sendiri, itu

tidak ada Mbak. Aku tidak pernah merasa Mbak merepotkanku. Justru malah aku senang kalau

Mbak minta tolong padaku, Mbak. aku, tidak usa mbak fiirkan, ya. Sebagai seorang adik, maka

merawat Mbak adalah tugasku Mbak.

“Tentang perencanaan menikah itu? Hmmm, aku rasa semua orang pasti punya perencanaan, begitu

juga dengan aku. Tapi mau bagaimana lagi, seperti yang pernah Mbak katakan padaku dulu, bahwa

laki-laki sholeh belum ada yang datang mengkhitbahku dan ingin menjadikan aku sebagai istrinya

Mbak. Jadi aku harus sabar menanti. Karena suatu saat nanti dia pasti akan datang menjemputku

Mbak”. Rahmi menjawab dengan panjang lebar.

Mendengar apa yang di sampaikan Rahmi membuat Aibi menangis. Kenapa semua orang ingin

menghabiskan hidup mereka untuk dirinya? Fahmi yang menerima segala ketakberdayaan dirinya.

Mama dan Papanya yang bersedia melakukan apapun untuk membahagiakannya. Rahmi yang selalu

ada kapanpun dia membutuhkannya. Oh, dia sendiri apa yang bisa di lakukannya untuk orang-orang

yang di sayanginya ini? Akankah dia mampu membalas semua kebaikan mereka yang begitu tulus

menerima dan mencintainya?

Dengan penuh cinta dipeluknya Rahmi. Dia beruntung mendapatkan adik seperti Rahmi, yang telah

berkorban banyak untuk hidup yang sedang di jalaninya. Dia ingat bagaimana dengan sabarnya

Rahmi merawatnya ketika dia mengalami krisis kepercayaan diri. Bagaimana Rahmi dengan telaten

merawatnya, apa yang di lakukan Rahmi padanya tidak akan sanggup di bayarnya dengan uang

sebanyak apapun. 12 tahun hampir berlalu, bahkan sampai detik ini, dia masih bergantung pada

Rahmi.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan di lepaskannya pelukannya ke Rahmi. Setelah menghapus air

matanya di tatapnya Rahmi dengan penuh kehangatan. Di perbaikinya kacamata minusnya. Dan di

sentuhnya lembut bahu Rahmi.

“Dik”. Panggilnya kemudian. “Ini seandainya dik. Seandainya ada laki-laki sholeh datang padamu

dan memintamu untuk menjadi istrinya, apa kamu mau dik?” tanya Aibi hati-hati.

Mendengar pertanyaan Aibi, walaupun heran tapi dia tersenyum mendengarnya. Setelah lama

bersama Aibi hampir dua belas tahun, ini adalah pertanyaan aneh pertama yang pernah di

pertanyakan Aibi padanya. Pertanyaan pertama tentang laki-laki yang pernah di pertanyakan Aibi

Page 147: Liza Punya

padanya.

“Tidak ada alasan untuk menolaknya Mbak. Jika yang datang itu adalah laki-laki sholeh seperti

yang Mbak katakan. Tentu saja aku mau dan saya rasa siapapun pasti mau”. Jawab Rahmi singkat.

“Bagaimana kalau laki-laki itu telah pernah menikah dik”? tanya Aibi lagi. Rahmi sebenarnya

semakin heran mendengar perntanyaan Aibi tapi tetap saja di jawabnya.

“Kalau dia duda, kenapa tidak? Karena konteksnya tadi laki-laki sholeh Mbak. Tapi kalau istriya

masih ada, mungkin aku akan tanya dulu kepada isrtinya kenapa membiarkan suaminya menikah

lagi? Dan aku akan sarankan pada wanita itu untuk tidak memperbolehkan suaminya menikah lagi”.

Jawab Rahmi lagi

“Bagaimana kalau istri laki-laki itu masih bersikeras, bahkan dia rela suamianya menikah

denganmu dik. Apa yang akan kamu lakukan?” Lagi Aibi bertanya.

“Mbak, kok tiba-tiba Mbak bertanya aneh seperti itu? Yang jelas tidak akan ada satu orang istripun

yang akan membiarkan suaminya untuk menikah lagi Mbak”.

Mendengar pertanyaan Rahmi, membuat Aibi sejenak terhenti dan kemudian menghela nafas

panjang. Setelah agak lama terdiam, Aibi pun kembali angkat bicara dengan suara pelan dan

berkata. “Ini ada kisah nyata dik. Seorang wanita yang sangat beruntung menikah dengan seorang

laki-laki yang luar biasa sholehnya. Yang menerima si wanita seperti apapun kondisinya. Dia tidak

pernah menuntut wanita itu macam-macam. Dia merasa cukup dan merasa bahagia bisa menikahi

wanita itu. Kamu tau dik, laki-laki itu tidak pernah menuntut isrtinya, seperti apapun kondisinya.

“Tapi sayang pernikahan mereka baru berumur setampuk jagung di uji oleh Allah. Istrinya ternyata

sakit dan karena sakitnya itu dia tidak bisa melayani suaminya sebagaimana mestinya”. Sejenak

Aibi berhenti. Di lihantnya Rahmi menyimak ceritanya dengan seksama.

“Hal itu membuat wanita yang sangat beruntung itu merasa sangat bersalah pada suaminya tersebut.

Tapi subhanallah Dik, suaminya tidak pernah protes. Dia tetap mencintai istrinya seperti apapun

kondisinya. Bahkan cintanya semakin besar. Sampai akhirnya wanita itu tidak sanggup lagi dan

kebisuan panjang terjadi dalam rumah tangga mereka. Tapi laki-laki sholeh itu tetap sabar

menunggu istrinya, sampai istrinya siap membicarakan segalanya dengannya.

“Berbulan-bulan dia menanti, tapi istrinya tidak juga kunjung pulih seperti sedia kala, malah

semakin dingin padanya. Tapi dia tetap menanti dik. Sampai pada suatu malam laki-laki itu tidak

sanggup lagi menahan segala beban bathinya, dia menangis kepada Allah dan terdengar oleh

istrinya dan menyadarkan si istri bahwa apa yang dilakukannya adalah salah. Maka istrinya pun

mencari jalan keluar untuk permasalahan yang mereka hadapi dan jalan satu-satunya adalah

poligami. Dia tau itu sangat menyakitkan. Tapi dia harus tempuh jalan itu atau bercerai dengan

suaminya.Sedangkan dia tidak menginginkan hal itu.

“Dan ketika dia menyampaikannya kepada suaminya, ternyata dia menolak habis-habisan dengan

Page 148: Liza Punya

alasan dia sudah bahagia bisa menikahi istrinya dan dia tidak butuh lagi orang lain. Tapi dik,

istrinya masih ingin dia menikahi gadis lain, karena dia tidak bisa melayani suaminya kerana

penyakit yang di deritanya. Sampai akhirnya si suami luluh dan meluluskan permintaan istrinya

untuk menikah lagi. pertanyaannya, maukah kamu menjadi istri kedua dari laki-laki itu dik? Jika

mau, maka dalam waktu dekat pernikahanmu akan di langsungkan dengan laki-laki sholeh itu dik”.

Terang Aibi panjang lebar. Yang diceritakannya adalah pernikahannya dengan Fahmi. Dia yakin

Rahmi adalah orang yang tepat untuk Fahmi.

“Tapi bagaimana dengan istri laki-laki itu Mbak? Bukankah sangat menyedihkan dengan

kondisinya yang sedang sakit yang seharusnya di dampingi oleh suaminya, malah suaminya

menikah lagi dengan wanita lain? Saya tidak ingin merusak rumah tangga orang lain Mbak”.

“Tidak dik, kamu tidak merusak rumah tangga mereka, justru malah menyelamatkan. Karena kamu

telah meringankan beban wanita itu untuk melayani suaminya. Kamu akan menjadi penyelamat dik.

Tidakkah kamu ingin menikah sekaligus menyelamatkan rumah tangga orang lain? berapa pahala

yang akan kamu dapatkan dik? Inilah yang dikatakan dengan menikah karena dakwah dik.”

“Tapi Mbak aku masih ragu Mbak. Aku tau perasaan wanita itu sama. Jika di bawakan ke aku, maka

aku tidak bisa menerima suamiku berduaan dengan wanita lain sekalipun wanita itu adalah istri

syahnya. Diduakan itu pasti sakit Mbak. Tidak ada istri di dunia ini yang mau di duakan. Jika

Aisyah istri nabi saja yang di berikan keimanan yang begitu hebat masih goyah ketika Nabi

menikah lagi. Lalu bagaimanalah dengan wanita itu Mbak? Aku tidak bisa bayangkan”.

“Kamu tidak usah bayangkan dik. Karena jika semuanya di bayangkan, semuanya tidak akan

terjadi. Ini kondisinya darurat. Dan poligami tidak di haramkan. Dari pada menempuh jalan cerai?

Mana lebih baik dengan poligami?”

“Sebegitu parahnyakah Mbak kondisi wanita itu? Aku kasihan sekali pada wanita itu, karena harus

berbagi suami dengan wanita lain”.

“Wanita itu Insya Allah sudah siap untuk berbagi dik. Sekarang apakah kamu siap untuk menjadi

istri kedua laki-laki itu dik? Jika siap maka dalam minggu ini pernikahanmu dengannya bisa di

langsungkan. Bahkan istri laki-laki itu yang akan datang secara langsung memintamu untuk

menjadi isrti bagi suaminya”.

“Mbak sebelum aku menjawab, bolehkah aku tau siapa wanita itu? dan siapa laki-laki itu? Lalu

kenapa aku yang di pilihnya?”

“Mereka adalah orang yang sangat kamu kenal dik. Bahkan sangat dekat sekali denganmu dik.

Dia.........” Aibi mulai tidak sanggup melanjutkannya, air matanya sudah tidak tahan lagi ingin

keluar. Melihat Aibi yang terhenti tiba-tiba seperti itu membuat Rahmi bingung dan heran.

“Dia siapa Mbak? Orang yang sangat dekat denganku, siapa Mbak?” kejar Rahmi cepat. Dia tidak

ingin Aibi menghentikan dan mengalihkan pembicaraan. Dia sangat penasaran dengan apa yang

Page 149: Liza Punya

ceritakan Aibi. Kenapa Aibi begitu mengenali mereka?

Aibi sudah tidak bisa mengelak lagi. Dia harus melanjutkan rencananya. Dia yakin Rahmi adalah

wanita yang cocok untuk Fahmi. Dia akan melanjutkannya. Sudah terlambat untukya menarik

semua kata-katanya. Maka dengan di awali dengan tarikan nafas panjang dan dengan bismillah Aibi

mulai menjelaskan lagi.

“Tapi kamu janji jangan terkejut dik. Yakinlah ini tujuannya adalah untuk kebaikan. Maukah kamu

berjanji dengan Mbak tidak akan terkejut mendengarkan semuanya Rahmi?”. Rahmi semakin

bingung dan penasaran mendengar apa yang di sampaikan Aibi. Dengan ragu di anggukkannya

kepalanya, sembari berucap “Insya Allah Mbak”. Ujar Rahmi lirih.

“Wanita beruntung itu adalah aku dik, dan laki-laki sholeh itu adalah Mas Fahmi. Dan yang aku

ceritakan padamu tadi adalah kisah rumah tangga kami, dik. Tidakkah kamu ingin

menyelamatkannya dik”? Ungkap Aibi mulai menangis terisak. Dia telah menyimpan semua beban

ini selama berbulan-bulan. Dan untuk pertama kalinya masalah yang di hadapinya selama menikah

di ceritakannya kepada orang lain. Hatinya walau hancur, tapi ada harapan akan menemukan jalan

keluar yang bijaksana untuk segala permasalahannya itu.

Rahmi yang mendengar pengakuan dari Aibi ternganga tidak dapat menjawab. Tidak dapat

dipungkiri betapa dia sangat terkejut mendengarkan semua itu. Selama ini dia melihat rumah tangga

Aibi baik-baik saja. Seperti tidak ada masalah. Tujuh bulan Aibi menikah dan selama itu juga dia

ikut pindah ke rumah Aibi atas permintaan dari Aibi sendiri dan juga permintaan dari Mama dan

Papa angkatnya untuk berjaga-jaga menjaga Aibi ketika Fahmi sedang tidak ada di rumah. Selama

itu dia tidak pernah mendengarkan pertengkaran di antara mereka. Bahkan mereka kelihatan akur-

akur saja. Aibi masih tetap mengantar Fahmi ke pintu ketika akan berangkat ke kantor dan

menunggu kedatangan Fahmi dari kantor. Walau terkadang tidak tahan akhirnya menunggu di

kamar. Tapi dia tetap melihat tidak ada masalah di antara meraka. Begitu hebat mereka

menyembunyikannya selama ini. Sampai-sampai dia tidak tahu kalau ternyata selama ini mereka

sedang mengalami konflik.

Rahmi tidak habis fikir. Di tatapnya Aibi dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia tidak percaya

dengan apa yang di sampaikan Aibi. Dia merasa Aibi sedang mempermainkannya. Tapi jika Aibi

mempermainkannya, lalu kenapa Aibi menangis dengan air mata yang mengalir dengan begitu

hebatnya? Di carinya kebenaran dimata Aibi yang basah. Dan disentuhnya lembut bahu Aibi. dan

berucap. “Semua yang Mbak ceritakan itu tidak benarkan Mbak? Mbak hanya bercanda kan

Mbak?” tanya Rahmi pelan

“Itu benar dik. Mbak serius, Mbak ingin melamarmu untuk menjadi istri kedua Mas Fahmi. Maukah

kamu menjadi istri kedua Mas Fahmi dik? Insya Allah Mas Fahmi adalah laki-laki yang sholeh

yang selalu menjaga hati dan dirinya. Dia Imam yang baik untukmu dik, kamu tidak akan menyesal

Page 150: Liza Punya

menikah dengannya”. Aibi meyakinkan Rahmi sembari menggenggam erat tangan Rahmi.

Rahmi yang mendengarkan semua itu menjadi semakin bingung, dengan halus di tariknya

tangannya dan berdiri dari duduknya. Kali ini dia membelakangi Aibi dengan menaruh dua

tangannya di dada. Dia terdiam panjang dan matanya panas karena menahan tangis. Sementara Aibi

sudah terisak di belakangnya. Aibi benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Jika Rahmi menolak, dia

tidak tahu akan mencari wanita mana lagi yang akan di jadikannya istri untuk suaminya? Oh Tuhan

jika Engkau tidak melarang poligami, maka mudahkanlah jalan kami menuju ke sana Ya Allah.

Lunakkan hati Rahmi dan juga Mas Fahmi untuk menerima semua ini.

“Dik, Mbak tau ini berat untukmu, untukku, dan juga untuk Mas Fahmi sendiri. Tapi percayalah jika

kita sudah menjalaninya, maka kita akan bisa menghadapinya dengan baik, dik. Fikirkanlah dahulu

dengan baik, kapan perlu kamu istikhoroh dan minta petunjuk dari Tuhan. Setelah itu baru kamu

jawab, ya dik”. Akhirnya Aibi memberikan kesempatan kepada Rahmi untuk memikirkannya

sebelum menjawabnya.

“Tidak usah Mbak. Aku sudah bisa jawab sekarang dan jawabannya adalah aku tidak mau. Karena

tidak mungkin aku akan berebut cinta dengan kakakku sendiri. Mbak sadar nggak si Mbak, aku ini

adik Mbak dan Mbak bagiku lebih dari sekedar seorang kakak. Walau kita tidak terlahir dari rahim

yang sama dan benih yang sama, tapi hati kita telah di satukan. Jika Mbak ingin mencarikan istri

lagi untuk Mas Fahmi, maka aku pastikan itu bukan aku. Silahkan Mbak cari gadis lain. Lagi pula,

saya rasa Mbak terlalu gegabah untuk mengambil jalan menyuruh Mas Fahmi untuk berpoligami,

padahal pernikahan kalian baru tujuh bulan, belum lagi memasuki usia satu tahun.

“Ibarat bayi baru bisa tengkurap dan baru belajar merangkak, belum berjalan dan berlari, kenapa

sudah di ambil keputusan ide gila itu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan Mbak. Hari ini bisa

jadi Mbak bisa menerimanya. Tapi bagaimana dengan besok ketika Mbak melihat Mas Fahmi

sedang denganku atau ketika Mas Fahmi sudah tidak ada lagi di samping Mbak karena dia harus

tidur denganku, masihkah Mbak ikhlas? Masihkah Mbak bisa menerimanyan?

“Ini bukan masalah sekarang Mbak, tapi akan berdampak pada kehidupan selanjutnya, karena hidup

tidak berhenti sampai disini, tapi masih panjang. Apa Mbak akan tahan melihat Mas Fahmi saban

hari akan bermesraan denganku? Mungkin Mbak sabar, karena aku tau Mbak adalah orang yang

tegar, tapi bagaimana dengan aku? Tegakah aku mengambil dan menikmati semuanya yang

seharusnya menjadi milik Mbak? Menikmati yang seharusnya menjadi hak Mbak? Tidak Mbak, aku

benar-benar tidak mau. Aku sarankan sebaiknya Mbak lupakan saja tentang ide konyol Mbak itu,

mencarikan istri untuk suaminya. Itu gila Mbak”. Rahmi benar-benar gusar mendengarkan semua

itu. Kenapa Aibi menganggap semua ini begitu mudah? Benar Aibi bisa menerima, tapi bagaimana

dengan dirinya? Akankah dia ikut menambah penderitaan Aibi lagi?

“Mungkin itu memang gila dik, tapi jika hal itu terjadi pada dirimu, apa yang akan kamu lakukan?

Page 151: Liza Punya

Membiarkan suamimu menahan dan menderita? Padahal dalam hubungan suami istri banyak yang

harus kita bina, tidak hanya perhatian dan saling mencintai, tapi lebih dari itu juga keintiman di atas

ranjang. Sementara aku tidak mampu untuk melakukannya dik. Bahkan semenjak pertama kali kami

menikah. Semenjak malam pertama pernikahan kami, aku tidak pernah mampu sampai detik ini.

Kamu tau dik, untuk sekarang saja sudah lima bulan Mas Fahmi harus berpuasa dan menahan

keinginannya. Mampukah kamu melihat suamimu seperti itu? Mungkin ini adalah aib kami. Masih

kah kamu mengatakan semua ini gila dan konyol?

“Aku tahu ini gila dan poligami bukan satu-satunya solusi. Solusi lain dari permasalahan yang aku

hadapi ini adalah bercerai. Tapi itu juga di benci oleh Allah. Lalu apa yang harus aku lakukan

menghadapi semua itu? Membiarkan Mas Fahmi dan menjalani kehidupan seperti biasa, atau

menjadi boneka pajangan di dalam kamar, yang bisa di bawa bercanda tapi tidak bisa menikmatinya

untuk lebih jauh. Oh dik, semua itu menyakitkan bagiku dan juga bagi Mas Fahmi sendiri. Begitu

egoisnya aku jika aku membiarkan hal itu terjadi.

“Kamu mungkin benar, apakah aku masih akan ikhlas ketika melihat suaminya berduaan dengan

orang lain? yang dulu perhatiannya hanya teruntuk untukku, dan setelah menikah lagi aku akan

berbagi dengan orang lain dan orang lain itu adalah orang yang sudah aku anggap seperti adikku

sendiri? Siapa yang tidak akan tersakiti? Aku rasa tidak ada istri manapun di dunia yang

menginginkan suaminya membagi segala sesuatunya dengan orang lain, karena semua orang

menginginkan menjadi yang pertama dan terakhir bagi suaminya.

“Tapi dengan kasusku yang seperti ini, pantaskah aku menjunjung tinggi konsep pertama dan

terakhir itu? Tidak dik. Aku tidak punya hak untuk menahan dan melarang Mas Fahmi untuk

menikah lagi. Bahkan aku berjanji pada diriku sendiri, aku yang akan melamarkan istri untuk Mas

Fahmi. Mungkin ini kegilaan yang berikutnya. Tapi aku harus melakukannya. Karena mas Fahmi

sendiri tidak menginginkannya.

“Dan kenapa akhirnya aku memilihmu dik? Tadi aku tidak pernah berfikir akan menawarkannya

padamu dik. Tapi tiba-tiba saja aku ingat, dan aku yakin kamu adalah gadis yang paling cocok

untuk Mas Fahmi, karena aku sudah mengenalimu seperti aku mengenali diriku sendiri. Aku mohon

dik, tolong bantu aku. Aku tidak akan menuntutmu apa-apa setelah pernikahan nanti. Aku hanya

butuh ada yang memberikan perhatian pada Mas Fahmi dan memberikan kepuasan lahir dan bathin

untuknya. Aku ingin ada wanita yang halal yang akan disentu Mas Fahmi untuk meluahkan semua

perasaannya yang selama ini terpendam jauh di dalam sanubarinya. Dan aku berharap orang itu

adalah kamu dik.

“Oh dik, andai aku mampu untuk memberikan semuanya, tidak akan aku berikan tugas itu padamu

dik. Sekalipun aku hanya duduk di kursi roda ini. Tapi aku tidak mampu dik. Berpuluh dokter ahli

ginekologi yang telah kami datangi dalam beberapa bulan terakhir dan hasilnya sama dik, aku tidak

Page 152: Liza Punya

mampu untuk melakukannya dik. Andai kamu tahu betapa tersiksanya kami, tidur dalam satu

ranjang tapi kami tidak melakukan apapun, kecuali hanya bertahan dalam kebisuan panjang yang

kami hadapi. Berusaha untuk tetap normal di depan anggota keluarga yang lainnya, lebih membuat

aku tersakiti dik. Aku seolah menjadi orang yang paling munafik di dunia ini. Berlagak sok mesra di

depan umum, tapi menjadi dingin ketika sudah berduan di dalam kamar. Kehidupan macam apa itu

dik?

“Jika kamu berada di posisiku, masihkah kamu mampu bertahan? Masihkah kamu menahan

suamimu untuk tidak menikah lagi? Masihkah kamu akan berdiam diri membiarkan suamimu

menderita? Masihkah dik? Jawab dik... Jawab pertanyaanku...” Aibi sudah tidak mampu lagi

menahannya. Dia benar-benar sangat tersiksa dengan semua ini. Dia terus menangis, mengibah di

depan Rahmi yang tegak mematung di depannya.

“Haruskah aku mengemis padamu dik, supaya kamu mau menikah dengan Mas Fahmi? Jika aku

harus melakukan hal itu, maka akan aku lakukan untuk Mas Fahmi”. Setelah Aibi berkata seperti itu

di jatuhkannya tubuhnya ke lantai dan di sentuhnya kaki Rahmi. Melihat apa yang dilakukan Aibi

serentak Rahmi juga menjatuhkan dirinya dan berjongkok di depan Aibi dan meraih tubuh Aibi

untuk di dudukkan kembali ke atas sofa. Tapi ternyata Aibi malah meraih tangannya dan memohon

dengan air mata berurai padanya.

“Mbak mohon dik, tolong bantu Mbak untuk mewujudkan segalanya. Kamu tidak akan merusak

rumah tangga Mbak. Kamu tidak akan menghancurkan rumah tangga Mbak dik. Aku mohon tolong

dik. Tolong bantu aku dik”. Rahmi tidak bisa menjawabnya tapi dia tidak bisa mengabulkan

permintaan Aibi. Dia hanya ikut menangis dan memeluk Aibi. Setelah mereka puas bertangis-

tangisan, Rahmi bangkit dan membantu Aibi untuk duduk di kursi rodanya.

“Sudahlah Mbak. Kita tenangkan dulu hati kita. Beri aku kesempatan untuk memikirkan segalanya.

Ketika hatiku telah tenang, maka aku akan jawab apa yang Mbak utarakan tadi. Aku tidak bisa

putuskan sekarang”. Mendengar apa yang disampaikan Rahmi, Aibi tidak menanggapi apa-apa.

Tapi dia berusaha untuk tersenyum pada Rahmi. Dan senyum itu sungguh sangat memiriskan hati

Rahmi. Akankah dia kehilangan senyum itu jika dia menerima tawaran Aibi? dia ingin sekali

membantu Aibi. Tapi menerima permintaan Aibi untuk menikah dengan Fahmi tentu itu sangat

berat baginya.

Dia mengerti dengan penderitaan yang dihadapi Aibi selama ini. Dia juga sudah memahami Aibi

seperti dia memahami dirinya sendiri. setelah sekian tahun mereka bersama, kenapa masalah seperti

tidak mau berhenti menghampiri Aibi? Pernikahan yang dilalui Aibi yang diharapkannya akan

membahagiakan Mbaknya itu, tapi ternyata malah menyakitinya dan menyiksanya. Tidakkah

kehidupan ini mau berpihak lagi pada Aibi setelah kecelakaan itu? Kenapa segala asa tentang

kehidupan yang baik seperti telah tercerabut dalam hidup Aibi. Sungguh tidak adil kehidupan untuk

Page 153: Liza Punya

Aibi. Kenapa lagi-lagi Aibi yang harus menanggung semua penderitaan ini? Semua beban bathin

ini? Rahmi sudah tidak tahan lagi. Air matanya semakin deras mengalir. Dia tidak ingin menambah

kesedihan Aibi.

“Mari aku bantu Mbak untuk masuk ke dalam. Mbak masih sakit, sebaiknya Mbak istirahat di

dalam”. Akhirnya Rahmi mengalihkan pembicaraan. Setelah sekian lama mereka terjebak dengan

pembicaraan yang mengharu biru.

“Tidak dik. Mbak masih ingin disini. Mbak merasa lebih nyaman disini. Kalau kamu mau masuk,

masuklah. Maafkan aku telah mengacaukan pemikiranmu dik”. Jawab Aibi sembari mengibaskan

lembut tangan Rahmi yang sudah bersiap akan mengangkatnya ke kursi roda. Sesaat dia bimbang

meninggalkan Aibi sendiri, tapi dia sudah tidak tahan berada di sana. Dia tidak sanggup melihat

Aibi yang di amuk kesedihan yang mendalam. Setelah sesaat bimbang, akhirnya di putuskannya

masuk ke dalam dengan berurai air mata. Tampa pamit lagi di tinggalkannya Aibi sendiri di beranda

samping rumah.

48

Puncak Emosi

Rumput yang hijau di halaman tidak lagi menarik perhatian Aibi. Mawar yang bermekaran tidak

lagi menjadi pemandangan yang menyejukkan matanya. Dan bau mawar yang semerbak tidak lagi

memenuhi rongga dadanya dengan kenyamanan. Tapi lebih telah membuatnya tercekat dan dadanya

sesak. Bumi semakin sesak terasa olehnya. Pandangan matanya semakin mengabur, karena dipenuhi

air mata yang siap berhamburan dari sana. Seluruh tubuhnya terasa lunglai. Dia sudah tidak

sanggup lagi menahan segala derita ini.

Oh tuhan kenapa harus Aibi yang menanggung segalanya? Tidak adakah sedikit kebahagiaan yang

tersisa untuknya? Sampai kapan dia akan menjalani kehiduapan ini dengan berjuta air mata yang

siap berjatuhan kapanpun? Sudah terlalu banyak air mata Tuhan. Dia telah lelah menghadapi semua

ini.

Takdir, atau memang seperti inilah takdir yang Kau berikan untuk Aibi? Jika iya, semoga saja Aibi

tegar dan sabar menghadapi segala takdir hidupnya. Semoga saja Aibi bisa menjalani segalanya

dengan tenang.

Semua kenangan masa lalu bermunculan di pelupuk matanya. Gambaran gadis berusia 20 tahunan

sedang berjalan dengan lincah menyelesaikan semua permasalahan dengan cerdas dan mencapai

puncak prestasi dalam hidupnya. Tidak ada orang yang tidak kenal denganya ketika itu. Tapi semua

itu berakhir dengan kecelakaan tragis yang dihadapinya. Dia kehilangan segalanya dalam hidupnya.

Kepercayaan diri, cita-cita dan impian. Sampai segala asa telah tercabut dalam hidupnya. Bertahun-

tahun dia berusaha membangun kembali semua itu, ketika dia sudah yakin dia mampu berdiri lagi

dan melaju lagi dalam hidupnya dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, dia menemukan

Page 154: Liza Punya

seorang pendamping hidup yang laur biasa yang menerima segala keterbatasan dirinya. Tak terkira

bahagia hatinya ketika itu.

Dia berfikir inilah akhir dari segala derita yang di hadapinya. Inilah buah dari kesabarannya selama

ini, dia berharap dengan di dampingi oleh suami yang luar biasa dia akan bisa mengukir kembali

segalanya, dia akan meraih kembali semua mimpi yang sempat tertunda bahkan hampir habis

terkikis oleh erosi kesedihan, tapi ternyata kesedihan itu tidak berpenghujung. Kesedihan itu datang

lagi menghampirinya dengan wajah dan duka yang berbeda. Karena ternyata dia hanya bisa

menikmati indahnya menjadi seorang istri sehari saja. Hanya ketika di hari akad nikah saja

kebahagian menghampirinya, setelah itu masalah lain bermunculan lagi. Semuanya sangat

melelahkan dirinya.

Aibi semakin menangisi nasibnya. Dia tidak pernah menyangka semuanya akan berlanjut selama

ini. Dia tidak pernah mengira semuanya akan sesulit ini jadinya. Bagaimanalah dia akan menata

kembali hatinya yang sudah terlalu sering tercerabut? Bagaimanalah dia akan mempersiapkan

kembali hatinya setelah melewati sedimikian banyak derita? Akankah dia sanggup menghadapi

duka yang selanjutnya? Tuhan, berikan kesabaran kepadaku Tuhan. Berikan hati yang bijaksana

kepadaku dalam menghadapi setiap dari episode kehidupanku ini. Aku yakin Engkau adalah

sutradara atas semua ini. Engkaulah yang telah menuliskan skenario kehidupan yang begitu hebat

untukku. Aku ridho Allah atas suratan yang telah Engkau tetapkan untukku.

Hanya satu yang aku inginkan saat ini, ketenangan. Curahkan ketenagan itu, aku sudah terlalu lelah

untuk menangisi segalanya. Berikan kesempatan kepadaku untuk membahagiakan orang-orang

yang aku cintai. Suamiku, orang tua dan semuanya. Izinkan Tuhan, walau itu melalui orang lain.

Kirimkan seseorang yang akan menyelesaikan semua permasalahan ini dengan baik. Biar aku bisa

tenang setelah itu. Aku mohon padaMu Tuhan.

Aibi merintih dalam do’a panjangnya. Selama ini hanya do’a lah yang selalu memperkuat hatinya

untuk menghadapi segalanya. Andai tidak ada kesabaran di dalam hati ini, mungkin telah lama dia

mengakhiri hidupnya. Andai tidak ada janji Tuhan tentang kehidupan yang lebih baik di kemudian

hari, sudah lama Aibi mungkin mecari jalan pintas untuk menyelesaikan semua permasalahannya.

Andai tidak ada balasan dari setiap kebaikan dan keburukan yang di lakukan manusia di dunia ini,

mungkin telah lama Aibi menggalkan dunia yang penuh dengan kesengsaraan ini. Andai saja semua

berandai-andai itu diperbolehkan akan semakin banyak yang ingin di katakan Aibi.

Hanya ada dua muara untuk kehidupan yang di jalani manusia saat ini. Kenikmatan yang

berkepanjangan atau kesengsaraan yang tak berpenghujung. Kita telah diberika kebebasan untuk

memilih. Jika kita menginginkan kenikmatan yang berkepanjangan, maka ikutilah segala kode etik

kehidupan, jangan pernah berusaha untuk melanggarnya. Jika kita telah terlanjur melanggarnya,

maka cepatlah akui kesalahan itu kepada pengausa alam semesta dan berjanjilah untuk tidak

Page 155: Liza Punya

mengulanginya lagi. Dan jika kita menginginkan kesengsaraan yang tidak berpenghujung, maka

lakukanlah semuanya. Tidak usa hiraukan tentang kode etik kehidupan yang telah tertulis dalam

kitab undang-undang kehidupan yang telah dititipka oleh Sang Penguasa Jagat kepada laki-laki

kharismatik yang cintainya. Lakukanlah sekehendak hati.

Aibi telah memilih untuk bersabar, maka dia harus menjalani kehidupan ini sampai akhir dengan

kekuatan kata sabar yang di ambilnya. Walau sejatinya sabar itu sangat sulit kawan. Sabar, kata

ajaib yang begitu mudah bisa di ucapkan oleh manusia dibelahan dunia manapun, tapi sungguh

betapa sulit untuk menjalankannya. Sering kita terjebak dengan kata-kata sabar. Tapi benarkah sabar

menerima segala sesuatunya dengan pasrah? Tanpa perlawanan? Seperti yang sering kita lihat

dalam perfilman Indonesia yang menampilkan pemain yang kesabarannya melebihi kesabaran

siapapun? Benarkah seperti itu? Entahlah.

***

49

Pilihan Sulit

Rahmi sama-sama di amuk perasaan seperti Aibi. Hatinya hancur mendengar semua cerita

Aibi. Kata-kata masih saja terus memenuhi gendrang telinganya. “Jika kamu berada di posisiku,

masihkah kamu mampu bertahan? Masihkah kamu menahan suamimu untuk tidak menikah lagi?

Masihkah kamu akan berdiam diri membiarkan suamimu menderita? Masihkah dik? Jawab dik...

Jawab pertanyaanku...” Jika dia ada di posisi Aibi mungkin dia akan melakukan hal yang sama. Tapi

kenapa harus dia yang dipilih oleh Aibi untuk menjadi istri keduanya Fahmi? Kenapa harus dia

yang di pilih? Dia jelas tidak bisa. Aibi sudah di anggapnya seperti Kakak kandungnya sendiri. Dan

dia tidak ingin membuat Aibi terluka.

Rahmi terus menangis sejadi-jadinya. Dia bingung harus melakukan apa. Dia ingin membantu

Aibi. Tapi tidak menikah dengan Fahmi, tidak itu yang dilakukannya untuk membantu Aibi. Tapi

dengan apa? Jalan lain apa yang harus di tempuhnya untuk membantu Aibi? Oh Tuhan, semua ini

sangat berat ya Allah. Menikah dengan suami orang yang paling aku sayangi dan aku segani?

Memikirkannya saja aku begitu ngeri. Apalagi akan melakukannya. Tidak ya Allah. Tidak adakah

jalan lain ya Allah?

Terbayang wajah Aibi yang memelas padanya, betapa dia tidak kuasa untuk menolak semua

itu. “Haruskah aku mengemis padamu dik, supaya kamu mau menikah dengan Mas Fahmi? Jika aku

harus melakukan hal itu, maka akan aku lakukan untuk Mas Fahmi”. Tidak.. Tidak Mbak, jangan

paksa aku untuk melakukan hal itu. aku tidak sanggup. Aku tidak ingin membuat Mbak lebih

menderita lagi. aku mohon, jangan paksa aku Mbak. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

Berikan aku jalan keluar yang baik untuk semua permasalahan ini ya Allah. Haruskah ya Allah aku

Page 156: Liza Punya

menerima tawaran Mbak Aibi seperti Mas Fahmi yang menerima tawaran Mbak Aibi untuk

berpoligami? Bagaimana jika hal itu membuat Mbak Aibi tersakiti nantinya? Aku tidak ingin dia

tersakiti.

Rahmi bingung akan mengambil jalan yang mana. Berulang kali dia mondar mandir, duduk

lagi di ranjangnya, kemudian berdiri lagi. Dia sedang mencari jalan keluar yang baik untuk

permasalahan ini. Dia jelas tidak bisa menerima permintaan Aibi. Dia terus berfikir. Di edarkannya

pandangannya ke sekeliling kamar, tiba-tiba matanya terbentur dengan travel back hitam yang

terletak di atas lemari. Ya, dia telah mendapatkan ide. Pergi dari rumah ini mungkin jauh lebih baik

untuknya dan juga Aibi. Dia tidak ingin menambah permasalahan Aibi. sebab apabila dia masih di

sana, maka Aibi akan datang lagi padanya dan akan memintanya lagi untuk enikah dengan Fahmi.

Dia tidak ingin hal itu terjadi.

Tanpa berfikir panjang, Rahmi mulai memasukkan bajunya kedalam tas dan bersiap untuk

pergi. Mumpung Aibi masih di beranda samping, maka dia akan pergi tanpa pamit pada Aibi. Dia

akan mengabari Aibi ketika dia sudah di luar nanti. Dia berencana akan pulang ke rumah Aibi di

Jakarta Selatan. Ya, dia yakin inilah jalan terbaik yang harus di tempuhnya.

Baru saja dia selesai mengepak pakainnya, tiba-tiba pintu kamarnya ada yang mengetok dan

ternyata itu adalah Aibi yang diantar oleh Bi Ina. Dia tidak tahu harus berbuat apa, belum sempat

dia menjawab, pintu kamarnya telah terbuka. Dia menyesal kenapa tidak di kuncinya pintu

kamarnya. Melihat apa yang ada di depan Rahmi, Aibi terkejut melihatnya. Dan menyuruh Bi Ina

pergi. Di dorongnya kursi rodanya ke dalam dan di tutupnya pintu kamar.

“Seperti inikah caramu dik? Inikah yang kamu katakan bahwa kamu menganggapku sebagai

Kakakmu? Apakah kamu akan meninggalkanku dengan diam-diam seperti ini? Hanya gara-gara

kamu tidak mau menolongku? Hentikan kebodohanmu dik. Aku tidak akan memaksamu untuk

menikah dengan Mas Fahmi. Aku sudah putuskan dan aku sudah mencari jalan keluar, dan mudah-

mudahan ini adalah yang terbaik untukku dan juga untuk Mas Fahmi, bahkan untuk kita semua

mungkin barang kali. Aku akan memberikan surat gugatan cerai pada Mas Fahmi. Karena kalau

aku menunggu Mas Fahmi menceraikanku, maka hal itu tidak akan pernah terjadi. Jadi kamu tidak

perlu pergi, karena aku masih membutuhkanmu dik. Kamu hanya boleh pergi dariku, kalau kamu

sudah menikah seperti yang dulu pernah Mbak katakan padamu. Kamu masih ingat dik?”.Ya, Aibi

telah berfikir tadi. Dia telah menimbang baik buruknya. Dia akan menempuh jalan itu. karena

mencarikan istri untuk suaminya, jelas tidak mudah. Dia hanya ingin Fahmi bahagia dan tidak harus

ikut menderita bersamanya.

Mendengar apa yang di sampaikan Aibi, membuat Rahmi terkejut. Jalan ini jelas juga tidak di

inginkannya untuk Aibi, karena dia tahu Aibi sangat mencintai Fahmi. Ini juga bukan jalan terbaik.

Page 157: Liza Punya

Oh tuhan, kenapa posisinya semakin sulit?

“Mbak, apa Mbak yakin itu adalah jalan terbaik? Apa yakin Mbak ingin bercerai dengan Mas

Fahmi? Bukankah Mbak sangat mencintai Mas Fahmi? Ini apalagi Mbak? Kenapa aku menjadi

serba sulit Mbak? Apa hubungan permasalahan ini denganku Mbak?” Rahmi sudah kehabisan

kesabaran. Dia menjadi tertekan dengan semua permasalahan yang di hadapi Aibi dan juga

membawa-bawa dirinya.

“Maafkan aku dik, jika aku telah membawa-bawamu dalam permasalahanku. Tapi jika bukan

denganmu, lalu dengan siapa lagi aku akan berbagi dik? Hatiku sudah terlalu penuh untuk

menanggung semua ini sendiri. Dengan Mas Fahmi, aku rasa tidak akan mendapatkan jalan

keluarnya, karena aku tau Mas Fahmi akan menentang hal itu mati-matian. Aku lelah untuk

berdebat dengan Mas Fahmi. Jadi aku berbagi denganmu dik. Salahkan aku jika aku ingin

menceritakan segalanya padamu, dik? Jika aku salah aku minta maaf padamu dik, maafkan aku

telah melibatkanmu dalam permasalahanku. Maafkan aku telah banyak melibatkanmu dalam

hidupku dik”.

“Maksudku bukan itu Mbak... Aku..Aku..”

“Sudahlah aku mengerti. Permasalahan ini biar aku selesaikan sendiri. karena ini menyangkut

kehidupanku, bukan kehidupanmu dik. Maafkan aku telah mengganggumu” Aibi sudah memutar

kursi rodanya dan sudah bersiap meninggalkan kamar Rahmi. Tapi Rahmi cepat menyambar kursi

roda Aibi dan menahannya.

“Lepaskan dik. Lepaskan kursi rodaku, biarkan aku keluar, aku janji aku tidak akan

mengatakan apa-apa lagi padamu. Aku akan menghadapi semuanya sendiri. Sudahlah, jika kamu

ingin pergi dan meninggalkanku pergilah. Setelah itu Mas Fahmi juga akan meninggalkanku. Dan

semuanya akan pergi meninggalkanku. Maka biarkan aku dengan ketidakberdayaanku. Terima kasih

untuk kebaikanmu selama ini dik”.

“Tidak Mbak. Aku tidak akan meninggalkan Mbak. Maafkan aku jika aku telah menyakiti

Mbak. Aku bingung Mbak, aku harus berbuat apa. Aku ingin membantu Mbak. Tapi dengan cara

apa? Jika memang menikah dengan Mas Fahmi aku bisa meringankan beban Mbak, aku siap

melakukannya Mbak. Asal Mbak tidak bercerai dengan Mas Fahmi. Untuk Mbak aku akan

melakukan apapun. Aku akan menikah dengan Mas Fahmi Mbak. Tapi jangan pernah keluarkan aku

dari kehidupan Mbak. Karena aku menyayangi Mbak”.

“Tidak dik, aku tidak ingin kamu menikah dengan Mas Fahmi karena terpaksa. Jika memang

kamu tidak mau, maka tidak usah, karena aku sadar tidak ada orang yang mau menjadi yang kedua

dalam hidup seseorang. Mungkin ini sudah takdirku dik, maka akan aku jalani takdirku dengan

Page 158: Liza Punya

segala penerimaanku. Mungkin memang bercerai dengan Mas Fahmi adalah satu-satunya jalan yang

terbaik biar tidak ada yang tersakiti”.

“Apa Mbak yakin tidak ada yang tersakiti? Bagaimana dengan Mbak sendiri? apa Mbak

benar-benar ingin berpisah dengan Mas Fahmi? Karena aku tau Mbak sangat mencintai Mas

Fahmi? Lalu bagaimana dengan Mas Fahmi? Apakah Mbak yakin Mas Fahmi tidak tersakiti?

Sudahlah Mbak, jika memang poligami adalah jalan satu-satunya, maka aku akan membantu Mbak

untuk mewujudkan hal itu. Yang penting kita tetap berkumpul. Mbak masih bisa tetap bersama

dengan Mas Fahmi dan aku juga masih tetap akan menjadi adik Mbak dan Mbak menjadi Mbakku,

sampai kapanpun. Aku siap Insya Allah Mbak. Aku ridho Insya Allah Mbak, jika Mbak memang

sudah ridho Mas Fahmi menikah denganku”.

“Tapi dik, apa benar kamu ingin menjadi istri kedua dari Mas Fahmi? apakah hal itu tidak

membuatmu tertekan?” tanya Aibi ke Rahmi untuk meyakinkannya.

Rahmi tidak menjawab, tapi hanya menganggukan kepalanya dengan mantap. Di tatapnya

Rahmi dalam oleh Aibi dicarinya kebenaran dari anggukan kepala Rahmi dari sorot mata Rahmi. Di

tangkapnya ada ketulusan di sana. Ada peneriaan di sana seperti yang dikatakan oleh Rahmi bahwa

dia Insya Allah ridho. Dengan hati bergemuruh di peluknya Rahmi dengan erat. “terima kasih Dik,

terima kasih untuk semuanya. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Tapi aku berusaha

meyakinkan Mas Fahmi agar dia mau menikahimu secepatnya. Agar semua penderitaan ini berakhir

dan berganti dengan keceriaan.

***

Pernikahan Rahmi dan Fahmi akhirnya di langsungkan dengan sederhana. Dengan hanya di

hadiri oleh keluarga terdekat saja. orang tua Aibi dan juga orang tua Fahmi dan tentu saja ada Aibi

dan wali hakim untuk menikahkan Rahmi dengan Fahmi.

Awal ketika Aibi menyampaikan ke Fahmi, Fahmi sempat menolak habis-habisan. Dia

bersedia menikahi wanita lain seperti yang di inginkan Aibi yaitu wanita pilihan Aibi. Tapi dia sama

sekali tidak menyangka Aibi akan memilih Rahmi untuk di nikahinya. Dia telah menganggap

Rahmi sebagai adiknya sama seperti Aibi yang menganggap Rahmi sebagai adiknya. Dan itu tidak

memungkinkannya untuk menikahi Rahmi. Jika pernikahan itu terjadi, lalu bagaimana tanggapan

orang-orang nantinya? Tidakkah hal itu akan menimbulkan fitnah? Kenapa tidak gadis lain saja?

Sempat Fahmi mengajukan keberatan. Dan ketika Aibi meminta kepadanya gadis lain yang di

inginkannya, ternyata Fahmi tidak memiliki pilihan, maka dengan bersusah payah di bujuknya

Fahmi untuk bersedia menikahi Rahmi. Karena kegigihan Aibi membujuknya, maka akhirnya

Fahmi luluh juga. Dia tidak tega mempersulit Aibi lagi. Dia bersedia menikahi Rahmi dengan

Page 159: Liza Punya

beberapa syarat: satu, dia tidak akan menjelaskan apa-apa kepada keluarga besar mereka tentang

rencana pernikahan mereka. Dia hanya akan diam dan membiarkan Aibi yang akan menjelaskannya.

Dua, jika terjadi bisik-bisik tetangga, maka dia tidak akan mau tahu, hanya akan menyerahkan

permasalahan itu kepada Aibi. tiga, jika nanti terjadi permasalahan seperti dia tidak bisa

memposisikan dirinya sebagai suami kepada Rahmi karena dia telah menganggap Rahmi sebagai

adiknya sendiri, maka dia akan meminta waktu utuk bisa . Jika tidak bisa, maka dia akan

menceraikan Rahmi.

Dua syarat pertama yang di ajukan Fahmi bisa disepakati oleh Aibi. Tapi untuk syarat yang

ketiga Aibi protes habis-habisan. Jika akan ada perceraian, lalu untuk apa di adakan pernikahan ini.

Tidak ada gunanya. Tapi sepertinya Fahmi tidak bisa di tawar lagi. Dia akan menikahi Rahmi

dengan tiga syarat di atas. Aibi sempat tegang dan tidak bisa terima. Tapi setelah menimbang dan

berfikir apa salahnya mencoba, maka di terimanya ketiga syarat yang di tawarkan Fahmi, walaupun

terasa sangat berat untuknya dan juga untuk Rahmi nantinya jika perceraian itu benar-benar terjadi.

Begitu juga ketika mereka memberitahukan rencana pernikahan itu kepada keluarga besar

mereka. Hampir semalam suntuk terjadi perdebatan antara Aibi dan Papa Mamanya. Begitu juga

dengan Papa dan Mamanya Fahmi. dan yang lebih menyakitkannya lagi ternyata Fahmi benar-benar

menutup mulutnya dan tidak mau berkomentar apa-apa pada orang tua mereka.

Itu baru Aibi memberi tahukan tentang rencana poligami yang akan di lakukan Fahmi. Belum

lagi masalah siapa calon yang akan menjadi istri kedua Fahmi membuat perdebatan semakin hangat.

Kenapa harus Rahmi? Apa wanita lain?

Mereka semua protes dan tidak bisa terima. Kenapa harus berpoligami? Kenapa tidak

menempuh jalan lain? berusaha untuk pergi mengobati penyakit yang di derita Aibi? bahkan Papa

dan Mama Aibi menyarankan untuk membawa Aibi pergi berobat ke luar negeri. Mereka yakin

pasti bisa. Tapi ketika Aibi menjelaskan bahwa mereka sudah pergi berobat kemana-mana dan

mereka sudah menemui berpuluh dokter obstetri ginekologi tapi hasinya nihil. Lalu sampai kapan

Fahmi akan menunggu? Ada solisi yang lain dari selain berpoligami yaitu bercerai. Dan ternyata

keluarga semakin tidak bisa terima. Karena cerai bukan tradisi keluarga mereka.

Dengan kepala tertunduk, dan dengan berat hati akhirnya mereka terpaksa meluluskan

permintaan Aibi. Sementara Fahmi telah kehilangan harapan. Dia berharap keluarga besar mereka

akan menentang keinginan Aibi apapun alasan yang di kemukakan Aibi. Tapi karena alasan yang di

berikan Aibi sangat masuk akal, akhirnya mereka setuju, tapi dengan catatan jika terjadi

permasalahan di kemudian hari, maka mereka tidak mau tau. Mereka tidak akan ikut campur.

Sepanjang perdebatan terjadi Bu Aisyah tidak berhenti menangis. Hatinya hancur, kenapa

Page 160: Liza Punya

nasib putrinya harus setragis ini? Kenapa begitu sangat menyedihkan sekali? Oh Aibi sanggupkah

kamu menghadapi semua ini sayang?

****

50

Cemburu Karena Cinta

Ternyata permasalahan poligami ini sangat ribet sekali. Aibi tidak menyangka akan

menghabiskan banyak waktu dan menguras banyak tenaga. Dia tidak menyangka tanggapan

keluarga mereka akan seperti itu. Apalagi tanggapan dari Papanya yang jelas sangat menentang

sekali.

Tapi hari ini dengan susah payah disembunyikannya air mata ketika disaksikannya pernikahan

Fahmi dan Rahmi. Ada yang hilang rasanya dalam dirinya ketika Fahmi menjawab akad nikah dan

ketika para saksi mengucapkan kata syah dengan lantang. Rahmi langsung berhamburan

kepelukannya dengan berurai air mata. Tapi Aibi dengan tegar tersenyum kepada Rahmi dan

mengucapkan kata selamat.

Tapi tahukah, sebenarnya hatinya hancur menyaksikan semua itu. jika dia tidak ingat kalau

pernikahan itu atas keinginnya mungkin dari tadi dia telah menangis meraung-raung, karena suami

yang di cintainya untuk malam-malam selanjutnya tidak akan selalu ada di sampingnya lagi.

Semua yang ada di ruangan itu menangis menyaksikan pernikahan itu. Pak Rizaldi tidak tahan

lagi menyaksikan semua itu. berulang kali dia keluar menghilangkan rasa sedihnya. Melihat Aibi

yang tersenyum indah membuat hatinya semakin miris. Dia tahu senyum itu hanya di luar saja. Di

dalamnya, betapa anak gadisnya itu telah tercabik-cabik. Bu Aisyah tidak sanggup menyaksikannya.

Selama proses pernikahan dia hanya mampu memejamkan matanya dan menahan nafas sesak.

Akad nikah itu telah terjadi. Fahmi telah syah menjadi suami Rahmi dan sebaliknya Rahmi

telah menjadi istri syah Fahmi. Kedua pengantin baru itu mulai menyalami orang-orang yang hadir

secara bergantian. Rahmi masih menangis pilu di pangkuan Aibi. Dia tidak percaya dia benar-benar

telah melakukannya. Dan dia tidak percaya mendengarkan ucapan selamat dari mulut Aibi. Semakin

di pereratnya pelukannya ke Aibi. “Sudahlah dik, semoga kamu berbahagia dinda. Tolong jaga

Mas Fahmi yang sekarang sudah menjadi suami kita berdua”. Ungkap Aibi lembut di telinga

Rahmi. Ada yang ganjil rasanya yang di ucapkanya ke Rahmi, “Suami kita berdua”. Benarkah? Dia

baru sadar kalau mulai hari ini Fahmi tidak lagi miliknya seutuhnya. Jika malam-malam

sebelumnya Fahmi tidak pulang, itu karena dia lebih memilih tidur di kantornya. Tapi malam

berikutnya kalau Fahmi tidak pulang ke kamarnya, itu berarti Fahmi ada di kamar Rahmi yang

hanya berjarak beberapa meter saja dengan kamarnya. Benarkan hal ini? Oh Tuhan untuk pertama

Page 161: Liza Punya

kalinya dia merasakan sangat kehilangan dalam dirinya. Sementara Rahmi semakin menangis di

dalam pelukannya.

Sekarang Fahmi sudah ada di depannya. Dengan baju pengantin dan peci pengantin yang

menawan. “Kamu begitu gagah Mas.” Ungkap Aibi lembut dan di sentuhnya pipi Fahmi.

“Pasti kamu sudah bahagiakan dik melihat aku menikahi Rahmi. Kamu sudah puas? Jangan

salahkan aku jika nanti aku tidak bisa mencintainya. Karena cintaku telah habis untukmu Aibi.

Dalam hatiku hanya ada kamu Aibi. Aku khawatir nanti Rahmi akan tersakiti dengan tindakanku”.

Bisik Fahmi lirih kepada Aibi. mendengar apa yang disampaikan Fahmi betapa sebenarnya Aibi

ingin menangis. Dia ingin meratap di pengkuan Fahmi. Tapi sedapat mungkin di tahannya. Istri

mana yang akan bahagia melihat suaminya menikah dengan wanita lain? Tidak ada. Tidak ada satu

istripun yang merasa bahagia ketika suamianya menikah dengan gadis lain. Begitu juga dengan

Aibi. Walau ini adalah permintaannnya, tapi dia lebih terluka lagi.

Benar apa yang dirasakan oleh Pak Rizaldi. Senyum itu hanya diluar saja, tetapi di dalamnya

hatinya telah berkeping-keping. Hatinya telah hancur. Dia telah kehilangan tempat berpegang. Tidak

akan ada lagi yang akan mengangkatnya ke kamar mandi di pagi hari, tidak akan ada lagi yang akan

menemaninya, semuanya telah pergi. Tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk menangisi. Dia

tidak ingin memperlihatkan kerapuhannya di depan orang-orang yang sangat di cintainya.

Bukankah ini keinginannya? Dia tidak ingin merusak segalanya dengan tangisannya. Dengan

tersenyum indah di sentuhnya lembut pipi Fahmi dan di ambilnya tangan Fahmi dan ciumnya

dengan penuh takzim seperti biasanya ketika dia akan mengantarkan Fahmi berangkat ke Kantor.

“Tentu saja aku bahagia Mas. Karena akhirnya kamu menikah dengan gadis pilihanku. Aku

yakin dalam waktu dekat kamu akan bisa mencintai Rahmi. Menjelang terbiasa, kamu akan bisa

mencintainya. Dan aku yakin kamu tidak akan menyakiti Rahmi Mas, karena aku tahu siapa kamu.

Kamu orang yang berhati lembut, tidak akan tega kamu menyakiti seorang wanita, apalagi wanita

itu adalah wanita yang sudah kamu kenali. Berbahagialah Mas”. Ungkap Aibi lembut. Mendengar

apa yang di sampaikan Aibi, Fahmi sudah tidak tahan lagi. dari awal memasuki mesjid tadi dia

sudah ingin menangis. Betapa dia tidak berdaya menghadapi Aibi. Dia yakin Aibi merasakan rasa

sakit yang sama seperti dirinya. Tapi kenapa Aibi masih bisa untuk tersenyum? Kenapa Aibi

menyembunyikan semua ketidakberdayaannya di balik senyumnya yang sejatinya adalah semu?

Direbahkannya kepalanya di paha Aibi. Dia menangis sejadinya. Sampai badanya bergetar.

Melihat apa yang terjadi semua orang yang ada di dalam ruangan itu semakin larut dengan tangisan.

Rahmi menangis pilu di pangkuan Bu Aisyah dan Fahmi menangis pilu di pangkuan Aibi.

Sementara Aibi setelah berusaha menahan agar tidak menangis, akhirnya air mata itu jatuh juga. Dia

tidak mampu lagi untuk berkata-kata. Dia hanya bisa memeluk Fahmi yang sedang menangis di

Page 162: Liza Punya

pangkuannya sembari membelai-belai kepala Fahmi.

Ternyata sangat sulit urusannya apabila sudah berbicara masalah bagi membagi. Apalagi

membagi suami dan menbagi cinta? Benarkah? Tuhan semuanya telah terjadi. Lalu apa yang kami

lakukan selanjutnya wahai sang skenario kehidupan? Ini jelas sangat sulit. Ini jelas masalah yang

sangat rumit, serumit rumus relatifitas yang di temui Enstein.

***

Mobil rombongan pengantin baru itu mulai meninggalkan lokasi Masjid tempat mereka

melangsungkan akad nikah. Aibi dan Fahmi untuk pertama kalinya terpisah dalam mobil yang

berbeda. Jika tadi berangkat ke Masjid mereka masih sempat satu mobil, kali ini Aibi sengaja

memilih semobil dengan Mama dan Papanya. Sementara Fahmi dan Rahmi berada di atas mobil

yang dikemudikan oleh Papanya sendiri. Dia sengaja ingin memberikan kesempatan kepada mereka

untuk saling mengenal lagi.

Sepenjang perjalanan mereka hanya diam saja. tak satupun yang berbicara. Aibi

membungkam mulutnya dengan diam seribu bahasa. Matanya nanar, dia masih merasakan seperti

baru saja terjaga dari mimpi buruknya. Pak Rizaldi yang ada di belakang kemudi sering mencuri

pandang kebelakang dari kaca spionnya. Mengamati mimik wajah anak gadisnya. Dia tau mimik

wajah itu adalah mimik wajah yang terluka. Tapi apa yang harus di lakukannya untuk

menyembuhkan luka tersebut? Di liriknya istrinya yang duduk di belakang bersama Aibi. Sama,

wajah itu sama-sama terluka.

Begitu juga antara Fahmi dan Rahmi. Mereka juga di cekam kesunyian panjang. Tidak ada

yang berusaha untuk memulai pembicaraan.

Syukuran pernikahan selanjutnya di adakan di panti asuhan tempat Rahmi di besarkan.

Dengan membagikan paket peralatan sekolah untuk anak-anak penghuni panti dan kemudian di

lanjutkan dengan acara makan-makan. Setelah itu mereka kembali ke istana kecil mereka yang

sekarang mempunyai dua ratu dan satu raja.

****

51. Rasa Yang Berkecamuk

Mereka pulang ketika malam mulai beranjak. Setelah mengantar Aibi, Rahmi dan juga Fahmi

pulang ke rumah mereka, orang tua mereka pulang ke rumah masing-masing. Sebelum mereka

pergi di peluknya erat anak-anak mereka dan setelah itu dengan air mata tergantung mereka

meninggalkan halaman rumah yang asri itu menuju kediaman mereka masing-masing. Tinggallah

Aibi, Rahmi dan Fahmi dengan suasana yang diam seribu bahasa.

Ketika mereka akan beranjak memasuki kamar masing-masing, Fahmi barsiap akan

Page 163: Liza Punya

membawa Aibi ke kamar. Tapi cepat di cegah oleh Aibi. “Ops.. Mulai malam ini yang mengurusi

segala keperluanku adalah Bi Ina. Dan Mas silahkan masuk ke kamar pengantin yang telah di

persiapkan bersama Rahmi”. Kata Aibi sembari memanggil Bi Ina.

“Tidakkah kamu mengizinkan aku mengantarkanmu ke kamar malam ini dik? Aku masih

suamimu. Tidakkah boleh aku mengantarkan istriku? Aku akan masuk ke kamar Rahmi setelah

memastikan kalau kamu sudah aman dan baik-baik saja”. Sambar Fahmi sambil menatap Rahmi

dan kemudian beralih lagi ke Aibi.

“Aku akan baik-baik saja Mas. Percayalah. Mas sama Rahmi istirahatlah, kalian berdua pasti

lelah sekali. Malam ini biar Bi Ina yang membantuku”. Fahmi tidak bisa apa-apa. Ketika Bi Ina

telah mendorong kursi roda Aibi menuju kamar yang ternyata di kamar Rahmi yang lama.

Sedangkan dia dan Rahmi akan menempati kamar utama. Dia tidak tahu entah kapan Aibi

mempersiapkan segalanya.

Di tatapnya Rahmi yang masih duduk di sofa. Diperhatikannya, Rahmi sebenarnya begitu

manis dan anggun. Aibi benar, dia tidak akan sanggup menyakiti Rahmi, karena dia begitu penurut

dan tidak banyak tingkah. Sesaat dia bimbang, dan setelah berfikir beberapa saat akhirnya di

sentuhnya lembut tangan Rahmi. Untuk pertama kalinya dia menyentuh Rahmi setelah pernikahan

tadi. “Masuklah terlebih dahulu dik. Kamu pasti capek. Mas ingin istirahat disini agak sejenak.

Nanti Mas akan menyusul ke dalam”. Katanya lembut.

“Baik Mas”. Jawab Rahmi singkat dan kemudian berdiri dan beranjak menuju kamar utama.

Sedang air mata menggantung di pelupuk matanya. Air mata itu siap jatuh kapanpun.

Tinggal Fahmi sendiri. dimatikannya lampu tengah dan kemudian dia duduk kembali di sofa

tamu. Dia ingin menangis di kegelapan malam. Aibi adalah wanita yang sangat dicintainya, dia

berharap anak-anaknya akan lahir dari rahim Aibi. Baru kemaren rasanya dia berhasil menyunting

Aibi dengan perjuangan yang sangat panjang. Dan hari ini ternyata dia telah menduakan Aibi

dengan gadis yang tidak asing bagi Aibi, yaitu Rahmi yang telah di anggap adik oleh Aibi. Rahmi

gadis yang manis dan anggun. Kepribadiannya hampir sama dengan Aibi, karena Aibi yang telah

mendidik dan menempanya. Bagaimanakah dia akan memperlakukan dua wanita itu? Dia terlalu

lemah untuk berbuat adil. Cintanya sudah habis diberiannya kepada Aibi. Sementara pada Rahmi

tidak ada rasa cinta sedikitpun di hatinya. Yang ada hanya anggapan kalau Rahmi adalah adik

baginya. Rasa sayangnya untuk Rahmi hanya sekedar rasa sayang seorang abang kepada adiknya.

Bagaimanakah dia akan bersikap dan memperlakukan Rahmi?

Fahmi terus menangis di kegelapan malam. Setelah puas dia menangis dilangkahkannya

kakinya menuju kamar Aibi. Dia merindukan Aibi. Hatinya tidak nyaman, dia merasa ada sesuatu

Page 164: Liza Punya

yang terjadi dengan Aibi. Maka dengan cepat di seretnya langkah kakinya menuju kamar Aibi yang

sekarang sudah berpindah ke kamar yang biasa di tempati Rahmi. Begitu sudah berdiri di depan

kamar Aibi, dia akan mengetok pintu, tiba-tiba telinganya menangkap suara isakan tangis yang

tertahan. Dia semakin faham Aibi sedang menangis di dalam sana. Dia mengerti Aibi merasa sangat

terluka sebenarnya dengan apa yang telah di lakukannya. Dengan keras di bukunya pintu kamar

Aibi. Ternyata tidak dikuncinya. Mendengar ada yang membuka pintu cepat di hapusnya air

matanya oleh Aibi dan di hidupknaya lampu kamarnya.

Di ambang pintu Fahmi berdiri masih memakai baju pengantinnya. Dia tahu, berarti Fahmi

belum masuk ke kamar menemui Rahmi. Di hapusnya air matanya dan disapanya Fahmi. “Kenapa

Mas masih di sini? Masuklah ke kamar, Rahmi pasti telah menunggumu Mas. Jangan biarkan dia

terlalu lama menunggu”. Kata Aibi dan kemudian bersiap untuk tidur dan mematikan kembali

lampu tidurnya.

Tapi karena melihat Fahmi yang masih berdiri mematung di ambang pintu dan

memandangnya lekat seperti ingin menerkamnya, diapun mengurungkan niatnya. Dan kembali

memperbaiki posisi duduknya. “Ada apa Mas? Kenapa Mas menatapku seperti itu? Apakah aku

salah berucap barusan? Jika aku salah, aku minta maaf Mas”. Ucapa Aibi lagi

Fahmi masih belum menjawab. Dengan langkah gontai di dekatinya Aibi. Melihat apa yang

dilakukan Fahmi, Aibi faham pasti ada sesuatu yang ingin di katakan Fahmi padanya. Tapi apakah

itu? Dipersiapkannya dirinya untuk menerima apa yang akan di sampaikan Fahmi.

“Kenapa Mas? Apa ada masalah?”. Tanya Aibi setelah Fahmi begitu dekat dengannya. Mata

Fahmi masih menatapnya dengan tajam, sepertinya ada kemarahan di sana.

“Kenapa kamu berbohong dik? Kenapa kamu berbohong padaku? Dan kenapa kamu

melakukan semua ini? Jika kamu tersakiti, kanapa kamu masih memaksaku untuk melakukan

semua ini dik? Kenapa dik? Aku telah mendengar tangismu. Aku telah mendengar ratapanmu.

Kamu merasa kehilanganku bukan? Oh dik, kenapa semua ini harus kita lakukan? Semua ini hanya

akan menyusahkan kita. Bagai manalah aku akan memperbaiki segalanya? Sekarang sudah

terlambat dik. Aku telah menikahinya. Andai kamu jujur dari awal padaku, mengatakan segalanya

padaku, hal ini tidak akan terjadi. Sekarang bagaimanalah aku akan melakukan semuanya dik? Aku

akan bersenang-senang dengan wanita lain yang telah menjadi istriku. Tapi bagaimana dengamu

dik? Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan sekarang”? Fahmi menangis di pelukan Aibi.

Dan Aibi juga menangis sambil membelai lembut kepala Fahmi.

“Maafkan aku Mas. Aku tidak pernah tersakiti. Hanya saja ini malam pertama kamu tidak ada

di sampingku karena kamu ada di sisi Rahmi. Hanya saja aku cemburu pada Rahmi Mas. Andai saja

Page 165: Liza Punya

aku Rahmi, alangkah bahagianya hidupku, karena aku bisa memberikan apa yang kamu inginkan

Mas. Aku tidak pernah berbohong padamu Mas. Percayalah. Ini sudah menjadi keputusan kita,

maka Mas harus memainkan peran Mas dengan baik. Bukankah sangat indah kehidupan yang akan

kita lewati? Karena kamu akan di jaga oleh dua isrti yang Insya Allah mencintaimu Mas.

Bahagialah Mas. Dan kembalilah ke kamarmu, karena Rahmi telah menungguhmu di sana”.

“Benarkah kita akan mendapatkan kebahagian dari pernikahan ini dik? Apakah kamu benar-

benar tidak akan tersakiti?”

“Insya Allah Mas. Tidak akan ada yang tersakiti. Kita semua akan bahagia. Berjanjilah

padaku Mas, kamu akan mencintai Rahmi seperti kamu mencintaiku. Bahagiakan dia seperti kamu

ingin membahagiakanku, Mas. Jika kamu melakukan semua itu, maka aku akan bahagia dan tidak

akan tersakiti lagi”.

“Tapi aku tidak yakin aku akan bisa melakukannya dik. Untuk masuk ke kamarnya saja aku

tidak berani. Kamu tau, aku hanya berani duduk di luar sambil menangis memikirkan kalian

berdua. Mampukah aku berlaku adil nantinya”?

“Aku yakin Mas akan bisa melakuannya. Sekarang masuklah. Temuilah Rahmi. Tidak baik

membuatnya terlalu lama menunggu. Lakukan seperti apa yang kamu lakukan ketika pertama kali

kita sekamar. Ajak dia sholat sunat berjamaah, setelah itu bacakan do’a di ubun-ubunnya seperti

kamu membacakan do’a untukku ketika itu. Setelah itu ajaklah dia berbicara dari hati ke hati

denganmu Mas. Lakukan tugasmu sebagai suami. Aku ikhlas Mas. Aku ridho Mas. Lakukanlah”.

“Tapi aku takut dik”.

“apa yang Mas takutkan? Itu hanya perasaan seorang pengantin baru yang akan menemui

isrtinya. Bukankah kamu telah pernah merasakan dan melewati masa-masa seperti itu ketika kita

baru menikah? Datanglah Mas. Temui dia. Demi aku, lakukanlah dan bersenang-senanglah Mas

dengan Rahmi malam ini. Kamu sudah terlalu lama untuk menahannya bukan? Nikmatilah malam

pertama Mas dengan Rahmi”. Aibi memberikan kepercayaan kepada Fahmi di genggamnya erat

tangan Fahmi. Tapi tahukah, betapa hatinya terluka ketika mengatakan semua itu.

Sedangkan Fahmi sudah tidak mampu lagi untuk menjawabnya. Kenapa Aibi justru malah

menyuruhya untuk melakukan semua ini? Bukankah tadi dia mendengar ratapan Aibi? Bukankah

tadi dia mendengarkan kalau Aibi merasa kehilangannya? Tapi kenapa dia jutru menyuruhnya untuk

menemui Rahmi malam ini? Begitu hebatkah Aibi menyembunyikan segala perasaannya? Setelah di

ciumnya Aibi dan dipeluknya Aibi dengan hangat. Fahmi beranjak meninggalkan Aibi. Walau

dengan hati bimbang dia akan menemui Rahmi. Dia akan melakukan seperti apa yang dikatakan

Aibi padanya.

Page 166: Liza Punya

Sementara Aibi begitu pintu tertutup lagi dan bayang Fahmi telah hilang di telan kegelapan,

dimasukkannya kepalanya ke bawah bantal dia menangis sejadi-jadinya. Dia memangil-mangil

Fahmi dalam tangisnya. Oh Tuhan, betapa hati ini begitu sakit sebenarnya ya Allah. Betapa aku

tidak sanggup menahan semua ini, aku cemburu Allah. Aku cemburu dengan semua yang akan di

dapatkan Rahmi. Mereka sebentar lagi akan melakukannya, lalu begaimana denganku? Ikhlaskan

hati hamba ya Allah. Ikhlaskan hati hamba ya Allah. Hamba mohon padamu ya Allah. Hilangkan

rasa sakit ini ya Allah. Oh Tuhan kenapa aku dihantui oleh bayangan mereka yang sedang bermadu

kasih? Kenapa bayangan itu yang sering berkelebat ya Allah?

Seperti inikah rasanya mempunyai suami yang memiliki dua istri? Belum lagi lama kami

menjalaninya, baru sehari tapi kenapa begitu berat rasanya? Dunia terasa hampa dan sepi. Tidak

dapat dipungkiri ternyata tidak mudah untuk ikhlas ya Allah. Andai aku tahu akan seperti ini tak

akan pernah aku menyuruh Mas Fahmi untuk menikah lagi. Andai aku mau mengkuti saran Rahmi

tak akan hal ini terjadi. Tapi hari ini semua itu telah terlambat ya Allah. Tidak bisa lagi aku

melakukan apa-apa. Hanya bersabar dan berusaha untuk ikhlas menerima semua ini. Tapi sungguh

Ya Allah ternyata begitu sulit untuk mengikhlaskannya.

52. Memetik Hikmah

Mulut ini boleh berdusta, tapi hati ini telah hancur tak berbentuk lagi. Oh Mas Fahmi,

kemanakah akan aku sandarkan lagi kepala ini kala aku tak sanggup lagi menahan beban ini?

Kepada siapa lagikah akan aku labuhkan segala rindu ini? Aku mencintaimu Mas, sangat

mencintaimu. Tapi cinta kita telah terhalang satu benua. Hatimu tidak lagi untuk ku se utuhnya.

Kehadiranmu tidak lagi di tunggu oleh satu orang wanita, tetapi telah di nanti dua hati wanita yang

ingin engkau jamah. Apalah dayaku hari ini, hidupku sudah semakin hampa dan sengsara. Tuhan,

sampai kapan aku akan menahankan segala rasa ini Tuhan? Hatiku tidak cukup luas untuk

menampung semua ini Tuhan. Berikan hati yang bijaksana kepada hamba untuk menghadapi semua

ini Tuhan.

Sepanjang malam itu tak sepejampun matanya mau di ajak berkompromi. Setiap di

pejamkannya matanya yang hadir justru bayangan Fahmi yang sedang bercinta dengan Rahmi.

Berusaha di tutupnya mata dan telinganya tapi bisikan-bisikan cinta mereka semakin nyata hadirnya

dalam angannya. Hatinya telah di bakar kecemburuan. Dunia benar-benar hampa dan sunyi.

Berulang kali di palingkannya kepalanya ke arah kiri berharap tiba-tiba Fahmi tidur di sisinya, tapi

kembali dia menangis ketika di sadarinya kalau Fahmi tidak akan hadir lagi di sisinya sepanjang

malam ini, dan mungkin akan berlanjut sampai malam-malam berikutnya.

Sepanjang malam hanya di habiskanya dengan mendesah panjang dan menangis panjang. Hati

wanita mana yang akan tahan menghadapi situasi seperti ini? Wanita mana yang akan menerima

Page 167: Liza Punya

suaminya tidur dengan wanita lain, walaupun itu adalah istri syahnya? keikhlasan di awal akan

mulai goyah ketika suami mulai memasuki kamar pengantinnya bersama istri mudanya. Seperti

inikah perasaan yang dirasakan oleh Ibunda Aisyah ketika Rasul menikah lagi? atau bunda Aisyah

lebih tegar lagi dan menerimanya dengan senyuman? Tuhan aku ingin mendapatkan ketegaran

sepeti ketegaran yang dimiliki Ibunda Aisyah. Jika tidak seutuhnya berikanlah setengahnya untukku

Tuhan. Ya Tuhan berikan aku segelas air dari syurgaMu biar aku siram api kecemburuan yang

sedang bergejolak di hati ini. Biar hilang segala rasa yang penuh penderitaan ini.

****

Sementara di kamar utama Fahmi dan Rahmi memulainya seperti yang dikatakankan Aibi

pada Fahmi. Diajaknya Rahmi sholat sunnat dua rakaat dan setelah itu dibacakannya do’a tepat di

ubun-ubun Rahmi yang kemudian diikuti dengan ciuman yang lama sekali. Setelah itu di ajaknya

Rahmi berbicara dari hati-kehati. Di dudukkanya Rahmi di tepi ranjang yang penuh ditaburi bunga

dengan wangi yang semerbak.

Di pandangnya wajah Rahmi yang begitu lembut. Di jelajahinya setiap jengkal dari tubuh

Rahmi dengan tatapan penuh cinta. Gaun malam yang di pakai Rahmi terlihat begitu anggun di

tubuhnya. Tapi saat ini dia tidak berminat memikirkan hal yang itu. di sentuhnya lembut dagu

Rahmi dan angkatnya kepala yang tertunduk itu. Ditatapnya lembut mata Rahmi dan mendalami isi

hatinya.

“Dik, kamu begitu cantik malam ini. Kamu begitu anggun sekali. Tapi tahukah kamu dik,

mungkin aku butuh waktu untuk mencintaimu. Karena sampai detik ini di hatiku kamu masih

seperti adikku. Seperti apa Aibi menganggapmu, seperti itulah kamu di hatiku. Tapi aku janji aku

akan berusaha mencintaimu walaupun nanti tidak seperti cintaku pada Aibi. Hari ini kamu adalah

istri syahku yang harus mengikutiku, tapi aku akan berikan kebebasan padamu. Jika kamu mau

menunggu sampai aku benar-benar bisa mencintaimu aku akan berterima kasih padamu. Tapi jika

kamu tidak bisa menunggu, aku akan beri kebebasan padamu, silahkan lakukan apa yang ingin

kamu lakukan. Aku tidak akan mengikatmu”. Fahmi mulai berbicara mengutarakan apa yang

dirasakannya saat ini. Entah kenapa dia tidak menginginkan berada di kamar ini. Dia tidak bisa

melakukan seperti yang disuruh Aibi padanya. Hatinya menjerit. Dia tahu Aibi terluka. Bagaimana

dia akan bersenang-senang dengan Rahmi sementara Aibi menangis pilu di kamarnya dalam

kesendiriannya? Tegakah dia?

“Saya mengerti Mas. Saya tidak akan paksa Mas untuk mencintaiku. Karena saya tahu tidak

akan ada yang bisa menggantikan posisi Mbak Aibi di hati Mas. Aku tidak akan mendesakmu untuk

mencintaiku, tapi satu hal aku minta padamu Mas, jangan sampai kamu meninggalkanku dan

mencampakkanku. Karena hal itu sama saja kamu membuatku hancur. Aku akan sabar menanti

Page 168: Liza Punya

sampai kamu benar-benar bisa mencintaiku. Seperti Mbak Aibi yang sabar melepas Mas ke

padaku”. Walau hancur hati Rahmi mendengar keterusterangan Fahmi tapi dia berusaha untuk

menerima apa yang di sampaikan Fahmi.

“Insya Allah aku akan coba. Sekarang tidurlah, kamu pasti capek dik. Aku masih ingin

menikmati kesendirianku. Aku butuh ketenangan saat ini”. Kemudian Fahmi melangkah keluar

kamar dan terus menuju beranda samping rumahnya. Dia ingin menikmati malam di bawah sinar

cahaya bintang.

Tinggallah Rahmi seorang diri di tepi ranjang. Melenguh lembut menerima perlakuan Fahmi

yang ternyata begitu sangat jujur mengatakan kepadanya. Jika bukan karena rasa sayang dan

segannya pada Aibi mungkin dia akan berhamburan keluar kamar dan menangis sejadi-jadinya.

Seperti inikah rasanya menjadi orang kedua dalam kehidupan seseorang? Malam pertama yang

seharusnya mereka nikmati berdua ternyata terasa hambar karena Fahmi lebih memilih untuk

menyendiri dan merenungi segalanya. Sampai kapankah dia akan sabar menanti? Oh betapa tidak

enaknya ternyata menjalani kehidupan seperti ini. Mungkin inilah yang di rasakan Aibi selama ini.

Lalu bagaimana dengan Aibi saat ini? Apakah Aibi bahagia seperti yang dikatakannya tadi siang

setelah akad nikah?

“Oh Mbak... Apa yang harus aku lakukan? Aku telah mendengar pengakuan Mas Fahmi. Dia

tidak bisa mencintaiku Mbak. Bisakah Mbak bayangkan bagaimana tercabiknya perasaanku saat

ini? Di malam pertama pernikahan kami, aku yang seharusnya mendapatkan bisikan cinta dari

suamiku yang kata Mbak adalah laki-laki baik dan sholeh tapi ternyata aku justru mendengarkan

pengakuan jujurnya kalau ternyata dia tidak mencintaiku. Dia tidak bisa mencintaiku Mbak. Dia

hanya mencintaimu seorang. Dan dia hanya menganggapku seperti adiknya. Seperti Mbak yang

menyayangiku seperti adik kecil Mbak. Dia memang laki-laki yang baik seperti yang Mbak

katakan. Dia laki-laki yang lembut seperti yang Mbak katakan. Tapi kebaikan dan kelembutannya

telah menghancurkan hatiku. Lalu sampai kapan aku akan menunggu Mbak?

Rahmi terus meratap di sepinya malam. Cahaya temaram lampu tidur semakin menambah

sendu suasana malamnya. Di reMasnya seprai putih yang terpasang di kibaskannya semua bunga

yang berserakan di ranjang pengantinnya. Semuanya terasa sangat menyiksa hatinya.

Fahmi sama menderitanya dengan mereka berdua. Dia tahu apa yang dikatakannya ke Rahmi

pasti menyakiti hati Rahmi. Tidak seharusnya di malam pertamanya dia mengatakannya dengan

begitu jujur pada Rahmi. Tapi pura-pura mencintainya sama saja dengan menyakiti Rahmi. Dan itu

akan lebih sakit lagi. jika dia jujur mugkin Rahmi benar akan tersakiti, tapi tidak akan lama. Malam

ini tiga air mata mengalir dari orang-orang yang saling merasa tersiksa dengan perasaannya sendiri.

Page 169: Liza Punya

Tidak semudah itu ternyata menjalani kehidupan. Karena ilmu tentang kehidupan adalah ilmu

para praktisi, bukan ilmu para teoritis. Kehidupan ternyata harus di jalani dulu baru bisa di katakan.

Jangan dikatakan baru bisa dijalankan. Mungkin inilah sebabnya kenapa akhirnya keluar kata-kata

bijak pengalaman adalah pelajaran yang paling berharga. Tidak ada satupun teori yang yang

berhasil mengungkap tentang rahasia kehidupan. Karena kehidupan harus di jalani, bukan di

bayangkan.

[1] Panggilan untuk muslimah dalam jumlah lebih dari satu. Biasanya panggilan ini hanya di gunakan untuk orang-orang yang aktif di dakwah. (Aktifis Dakwah)

[2] Wisma sejenis asrama yang di dirikan oleh mahasiwa yang menjadi aktivis dakwah. Di dalamnya di berikan pembinaan keagamaan dan kepribadian.

[3] Pengajian khusus untuk yang cewek-cewek. Untuk laki-laki biasanya Forum Ar-Rijal

[4] Maaf

[5]Persaudaraan

[6] Saudara perempuan. Panggilan untuk satu orang. Sedangkan Akhwat untuk banyak orang.

[7] Sebenarnya Ana : Saya

[8] Saudaraku sekalian yang berada dalam genggaman Allah. Biasanya di gunakan ketika menyapa dalam acara-acara tertentu.

[9] Terima Kasih

[10] Semoga Allah membalas dengan balasan yang lebih baik.

[11] Sejenis ketua RT.

[12] Kuliah Kerja Nyata

[13] Berteriak-teriak

[14] Forum Studi Islam sama dengan LDK

[15] Kakak Perempuan

[16] Pertemuan yang dilakukan sekali sepekan dalam rangka pembentukan kepribadian yang islami.

[17] Se ide

[18] Silahkan wahai adikku

[19] Kembali

[20] Pejuang wanita

[21] Virus Merah Jambu (Pacaran)

[22] Sebutan untuk aktivis laki-laki

Page 170: Liza Punya

[23] Umum

[24] Guru

[25] Desa

Page 171: Liza Punya

Top Related