Transcript
Page 1: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

UNIVERSITAS INDONESIA

KEGAGALAN FORMULASI KEBIJAKAN POLITIK LUAR

NEGERI INDONESIA DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN -

LIGITAN DARI INDONESIA TAHUN 2002 DALAM PERSPEKTIF

GEOPOLITIK NEGARA KEPULAUAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Ilmu Politik

KURNIAWAN SETYANTO

1006745423

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA

NOVEMBER 2012

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 2: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 3: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 4: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

KATA PENGANTAR

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya peristiwa permasalahan sengketa

wilayah Pulau Sipadan- Ligitan antara Indonesia dan Malaysia yang berlangsung

selama 33 tahun dari tahun 1969 sampai dengan tahun 2002. Oleh karena itu, penulis

memutuskan untuk mengangkatnya sebagai topik dalam tesis ini. Selain minat khusus

terhadap topik dalam tesis ini, penulis ingin menjunjung kembali akan rasa

nasionalisme kebangsaan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia wilayah

teritorialnya harus tetap dipertahankan dari klaim negara lain.

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

atas segala limpahan nikmat dan rahmat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan

tesis dengan judul “ Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan

Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif

Geopolitik Negara Kepulauan”. Tesis ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk

menyelesaikan pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia pada Program

Studi Ilmu Politik.

Penulis berharap saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dan

kesempurnaan tesis ini, sehingga lebih bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Penulis

menyadari dengan keterbatasan waktu, karena penulis disibukkan dengan aktivitas

pekerjaan, maka penelitian ini mungkin jauh dari rasa memuaskan. Penulis menyadari

sepenuhnya bahwa tesis ini dapat diselesaikan bukan semata-mata karena faktor pribadi, tetapi

juga karena adanya banyak pihak yang telah membantu.

Pada kesempatan ini penulis pertama-tama mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta ( Bapak Djunawan (Almarhum) dan

Ibu Sartini) yang telah memberikan doa, masukan dan dukungan semangat moril dan

materiil, sehingga cita-cita melanjutkan S2 di Universitas Indonesia dapat diraih dan

Alhamdulillah selesai dengan lancar selama mengikuti perkuliahan sampai dengan

iv Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 5: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

proses penulisan tesis ini. Semoga doa orang tua kepada penulis agar menjadi orang

yang jujur, disiplin, bertanggungjawab dan menjadi Perwira Angkatan Darat yang

tangguh dan trengginas serta mengembalikan kejayaan negara dan bangsa Indonesia

demi menuju tercapainya masyarakat yang aman, adil, makmur dan sejahtera dapat

terwujud sesuai dengan cita-cita penulis dan para pendiri bangsa Indonesia.

Kepada istri ( Niko Fitria, S.H.) yang selama ini selalu memberikan doa,

semangat dan masukan saran. Selama proses penyelesaian penulisan tesis ini mungkin

sering menerima limpahan emosi, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis

juga tidak lupa mengucapkan kepada keluarga besar yang telah memberikan doa dan

dorongan semangat.

Kepada Mas Bakuh Prakoso (adik kandung kesembilan dari Jenderal TNI

(Purn) Djoko Santoso) dan keluarga besar di Solo yang selama ini dari awal telah

memberikan semangat dan doa selama pertama kali menjadi seorang Perwira AD dan

memberikan saran yang baik dalam proses pemilihan jurusan saat mendaftarkan tes

masuk S2 di Universitas Indonesia.

Kepada Brigjen TNI Tisyanto, S.H., M.H. (Dirkumad) yang telah memberikan

motivasi belajar, memberikan tambahan referensi dan memberikan ijin mengikuti

perkuliahan.

Kepada Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H (Kababinkum TNI) yang telah

memberikan motivasi belajar, doa dan semangat serta memberikan ijin mengikuti

perkuliahan.

Kepada Kolonel Chk Mulyono, S.H., S.IP., M.H. (Wadirkumad) yang selama ini

memberikan motivasi belajar dan semangat untuk tetap berbuat yang terbaik serta

menjadi orang yang amanah dan disiplin. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada Kolonel Chk Agus Dhani MD, S.H., M.Hum (Sesditkumad) yang selama ini

memberikan arahan dan motivasi.

v Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 6: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

Kepada seluruh Perwira atasan dan anggota Ditkumad yang tidak dapat

disebutkan satu-persatu yang selama ini memberikan semangat dan membantu dalam

proses penyelesaian penulisan tesis ini.

Kepada Rektor dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Indonesia beserta staff yang telah memberikan pelayanan serta fasilitas terbaik selama penulis

menempuh kegiatan perkuliahan.

Kepada Bapak Meidi Kosandi, S.IP., M.A sebagai pembimbing Reading

Course dan tesis (pertengahan karena sebelum penulisan tesis sempurna Bapak Meidi

melanjutkan pendidikan di Jepang) yang selama ini memberikan masukan dan saran serta

diskusi selama melaksanakan bimbingan Reading Course dan tesis (sebagian dari bab dalam

tesis telah mendapat persetujuan).

Kepada Bapak Cecep Hidayat, S.IP., IMRI sebagai pembimbing tesis yang selama

ini mengorbankan waktu dan tenaga untuk melanjutkan bimbingan dan memberikan

koreksi, saran dan masukan serta diskusi, sehingga tesis dapat diselesaikan tepat waktu. Dari

diskusi dan berbagai masukan dari beliau sangat membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

Kepada Ketua dan Sekretaris Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI,

masing-masing Ibu Dr. Valina Singka Subekti, M.Si dan Bapak Syaiful Bahri, S.Sos.,

M.Si, saya mengucapkan terima kasih atas segala masukan yang diberikan selama

proses pengerjaan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf

Sekretariat yang telah memberikan informasi dan kepada staf pengajar di Program

Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI yang telah memberikan transfer ilmu pengetahuan selama

mengikuti proses belajar selama perkuliahan berlangsung.

Kepada Bapak Prof. Dr. Burhan D. Magenda, MA sebagai Penguji Ahli yang telah

memberikan masukan positif bagi penulisan tesis ini. Sehingga tesis ini dapat disusun secara

sistematis.

vi Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 7: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

Kepada seluruh teman-teman di Pascasarjana Ilmu Politik UI Angkatan 2010,

penulis mengucapkan terima kasih atas segala bentuk bantuan baik secara langsung

maupun tidak langsung selama dalam proses pengerjaan dan penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih khususnya kepada Mas Eko, Mas Ridho, Mas Lukman, Mas

Agung, Mbak Sarifah, Mas Moudy yang telah memberikan dukungan dan masukan

kepada penulis.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ibu Megawati

Soekarnoputri (melalui Sekjen PDI Perjuangan Bapak Tjahjo Kumolo), Bapak Susilo

Bambang Yudhoyono, Bapak Hassan Wirajuda (mantan Menlu RI), Bapak Effendi

Choirie (anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKB), Letjen TNI (Purn) Syaiful Rizal

(mantan Pangdam IX/Udayana dan Dankodiklat TNI AD) dan Letjen TNI (Purn) Hadi

Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman dan Pangkostrad) serta narasumber dari

Departemen Luar Negeri yaitu Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal Kerjasama

ASEAN) yang ikut terlibat selama proses penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan narasumber dari Departemen Pertahanan yaitu

Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah (Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan yang

mengikuti proses lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan).

Jakarta, November 2012

Penulis vii Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 8: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 9: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

ABSTRAK

Nama : Kurniawan Setyanto Program Studi : Ilmu Politik

Judul : Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002

dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan,

xvi+182halaman, 45 buku, 2 jurnal,9 artikel koran, 3 majalah, 11 sumber online, 8 wawancara narasumber.

Tesis ini dilatarbelakangi oleh sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan persoalan konflik yang bermuara dari persengketaan dua negara yaitu antara Indonesia dan Malaysia terhadap suatu wilayah yang mana klaim terhadap wilayah tersebut dilandasi oleh tujuan memperoleh keuntungan dan penguatan negara melalui penambahan wilayah. Indonesia dan Malaysia menghadapi sengketa wilayah selama 33 tahun, yakni sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2002. Pada bulan Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan untuk memberikan hak kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan kepada Malaysia.

Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori kebijakan publik, teori kebijakan politik luar negeri dan teori geopolitik. Tesis ini lebih menekankan pada teori kebijakan politik luar negeri Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang menerapkan pula metode historis dan analisis

interpretatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini digunakan alat pengumpulan data dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang terkait dengan pokok permasalahan baik berupa buku, surat kabar, majalah, website dan sebagainya yang dikumpulkan dan diolah berdasarkan klasifikasi masalahnya. Data-data yang mendukung penelitian ini akan dikonseptualisasikan, digenerelasikan, dan dianalisis dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ada.

Perundingan bilateral ditempuh sebagai upaya penyelesaian melalui jalur politik diplomasi, menjadi tidak efektif ketika Indonesia dan Malaysia memiliki tujuan yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ketidakefektifan dan kebuntuan perundingan bilateral ini membuka jalan bagi penyelesaian melalui jalur hukum melalui Mahkamah Internasional (International Court Justice).Penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional (International Court Justice) adalah jalan damai yang ditempuh oleh kedua negara untuk menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang sudah cukup lama. Kegagalan formulasi kebijakan Pemerintah Indonesia mengakibatkan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan dan banyaknya wilayah perbatasan yang dimiliki Indonesia, ke depan harus mampu dikelola tidak hanya melalui pendekatan pertahanan dan keamanan namun juga menggunakan pendekatan pembangunan ekonomi wilayah perbatasan.

Kata kunci: Kebijakan Pemerintah, Sengketa, Pulau Sipadan-Ligitan

ix Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 10: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

ABSTRACT

Name : Kurniawan Setyanto

Study Programme : Political Science Title : The Failed of Formulating Indonesia Foreign Policy and

The Lose of The Sipadan-Ligitan Islands from Indonesian at

Year 2002 in Perspective of Geopolitics Archipilagic Country, xvi+182 pages,45 books, 2 journals, 9 articles, 3 magazine, 11online sources, 8 respondents interview.

This thesis are directed by dispute on the Sipadan-Ligitan islands was a conflict derived from dispute between two countries, there are Indonesia and Malaysia over the territory, in which the claim on the territory was based on the intention of gaining benefits and nation reinforcement through territorial extension. Indonesia and Malaysia faced this territorial dispute for 33 years, since year 1969 up to year 2002. In December 2002, the International Court Justice decided to give the ownership right of the Sipadan -Ligitan islands to Malaysia.

As the theoritical basis, this research used public policy theory, foreign policy theory and geopolitical theory. This thesis more press up that Indonesian foreign policy theory. The method of data collection used in this research was the library research method. This research, the researcher also used equipment for collecting the documentation data by searching for data about items or variables related to the main problems from books, newspaper, magazine, websites and the others. The data that supported the research was conceptualized, generalized and analyzed using the available frameworks.

The bilateral negotiation taken as an effort to settle problem through diplomatic course became uneffective when both Indonesia and Malaysia had an opposing intention that could not be compromised. The uneffectiveness and dead lock of the bilateral negotiation had given way to the settlement of the dispute through the law course by the International Court Justice. The settlement to International Court Justice was a peace way taken by both countries to solve their long term problem Sipadan-Ligitan islands. The failed of formulating policy Indonesian Government resulting the release Sipadan- Ligitan islands. Indonesia is archipilagic countries and has many territorial border that, in the future, should be good managed, not only through defense and security approaches but also through those of economics development of the territories.

Keywords:

Government Policy, Conflict, Sipadan-Ligitan Islands

x Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 11: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... .......................................................................................................... . ..i PERNYATAAN ORIGINALITAS... ................................................................................... . . ii

LEMBAR PENGESAHAN... ................................................................................................ . ..iii KATA PENGANTAR... .......................................................................................................... . .iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ...................................... ...viii

ABSTRAK... ............................................................................................................................. . .ix ABSTRACT... .............................................................................................................................. ..x DAFTAR ISI... .......................................................................................................................... .. .xi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... .................................................................................................... .1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................... . .4 1.3 Tujuan Penelitian... ....................................................................................................... .12

1.4 Signifikansi Penelitian... ............................................................................................. ..12 1.5 Kerangka Teori... .......................................................................................................... .13

1.5.1 Kebijakan Publik dilihat dari Formulasi Kebijakan... .................................... . .13 1.5.2 Kebijakan Politik Luar Negeri........................................................................... .17

1.5.2.1 Realisme Politik oleh Hans J. Morgenthau... .................................... ...19 1.5.3 TeoriGeopolitik... ............................................................................................. . ..21

1.5.3.1 Teori Geopolitik Hans J. Morgenthau... ................................................... . ..25 1.5.4 Teori Hukum Internasional... .............................................................................. .26

1.5.5 Teori Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia... .......................................... ..27 1.5.6 Teori Regional Coorperation (Kerjasama Regional)... ................................. .. .28

1.6 Metode Penelitian... ................................................................................................... .. .28 1.7 Sistematika Penulisan... ............................................................................................. .. .30

2. LATAR BELAKANG HISTORIS SENGKETA PULAU SIPADAN -LIGITAN

SERTA PENYELESAIANNYA MELALUI INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE (ICJ) 2.1 Kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dalam Perspektif Historis... ................................. . ..31

2.2 Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia Terhadap Pulau Sipadan-Ligitan ... .......................................................................................................... .. .39 2.3 Arti Penting Pulau Sipadan - Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia... ........................... .42 3. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEGAGALAN

PEMBUATAN KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI DAN LEPASNYA

PULAU SIPADAN-LIGITAN TAHUN 2002

3.1 Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Perundingan

Bilateral... ...................................................................................................................... .. .54 3.1.1 Perundingan Bilateral Indonesia dengan Malaysia Tahun 1989... ................ . ..56

3.1.2 Perundingan Melalui Mekanisme Joint Working Group (JWG)... .................. ..57 3.1.3 Perundingan Indonesia dan Malaysia Tahun 1995... ...................................... . ..60

xi Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 12: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

3.1.4 Perundingan Tingkat Tinggi antara Kepala Negara... ................................... ...62 3.2 Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Pemerintah Indonesia Membuat

Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri... ................................................................ . ..64 3.2.1 Faktor Masyarakat yang Tinggal di Daerah Perbatasan... ............................ ..65 3.2.2 Faktor Internal dan Politik Luar Negeri Indonesia... ...................................... .68

3.2.3 Faktor Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan Politik... ......................... ..70 3.3 Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Terkait Lepasnya

Pulau Sipadan - Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden Megawati Soekarnoputri... .......................................................................................... .75

3.4 Politik Luar Negeri Indonesia dalam Usaha Intergritas Teritorial... ....................... ..79 a.) Masa Pemerintahan Presiden prof. Dr.Ing. Dr.Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf

Habibie... ................................................................................................................. . ..79 b.) Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid... ..................................... ..80

c.) Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri... ................................ ..81 3.5 Aktor Negara yang Menyebabkan Kegagalan Pemerintah Indonesia

Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri... ...................................... . .83 3.5.1 Faktor dan Tanggungjawab Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan

Politik... ................................................................................................................ . ..86 a.) Peran dari Menteri Luar Negeri dan Menteri Politik dan Keamanan dan

Keamanan Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri... ..90 b.) Peran dari Lembaga Legislatif (Parlemen) dalam hal ini Komisi I DPR

RI... .............................................................................................................................................. .. .92

3.6 Sikap Saling Mempengaruhi antara Menteri Luar Negeri, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dengan Komisi I DPR RI dalam Penyelesaian Sengketa

Pulau Sipadan-Ligitan... ................................................................................................. .96 3.7 Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan Formulasi

Kebijakan Politik Luar Negeri................................................................................. ...98

4. PROSES GAGALNYA PEMBUATAN KEBIJAKAN POLITIK LUARNEGERI

DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN - LIGITAN DARI INDONESIA 4.1 Gagalnya Proses Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia.................... .102

4.2 Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan-Ligitan melalui International Court of Justice (ICJ)... ...................................... ...113 4.3 Mahkamah Internasional... ....................................................................................... ...118

a. Permanent Court of Arbitration... ....................................................................... ...119 b. Permanent Court of International Justice... ........................................................ ..119 c. International Court of Justice... ............................................................................ . .120

4.4 Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah Atas Pulau Sipadan-Ligitan Melalui International Court of Justice (ICJ)... ..................................................................................122 4.5Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan... ...................... ...126

4.5.1 Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia... ...................... .126 4.5.2 Written dan Oral Hearings... ............................................................................. .128

4.53Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai Klaim

Kedaulatan Atas Pulau Sipadan-Ligitan... ........................................................130

xii Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 13: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

4.5.4 Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai

Dalil-dalil “Effectivites”... .............................................................................................135

4.6 Hasil Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Atas Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan... ...................................................................................... .139 4.7 Konsekuensi yang Harus Dilakukan Indonesia Pasca Keputusan Mahkamah

Internasional... .................................................................................................................... ..141 4.7.1 Keputusan Mahkamah Internasional Pengaruhnya Terhadap Penetapan Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia... ............................................................................... . ..144 4.8 Dinamika Perubahan Politik Indonesia dalam Menyikapi Sengketa Pulau Sipadan-

Ligitan................................................................................................................................. . .149 4.9 Usaha Perubahan Kebijakan Politik Luar Negeri Presiden Soeharto... ............... ..160

5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan... ........................................................................................................... . .167

5.2 Saran... ........................................................................................................................ .170 DAFTAR PUSTAKA... ................................................................................................... ..172

xiii Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 14: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 4.7 Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan

Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri... ...................................... .98

xiv Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 15: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Letak Pulau Sipadan-Ligitan pada Laut Sulawesi... ............................ . .40

xv Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 16: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Gambar 1 Peta Wilayah Pulau Sipadan-Ligitan... ...................................................... . ..178 Gambar 2 Peta Pulau Sipadan dan Resort Yang Telah Dibangun... ........................... .179

Gambar 3 Papan Tanda Pengumuman Yang Dipasang Malaysia di Pulau Sipadan... ........................................................................................... .180

Gambar 4 Foto Daerah Lokasi Sumber Daya Laut Berupa Ikan, Jenis Hewan Laut dan Daerah Penyelaman di Pulau Sipadan... .............................................. . ..181

Gambar 5 Peta Pulau Ligitan Dan Resort Yang Telah Dibangun Malaysia... ........... . .182

xvi Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 17: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Wilayah merupakan salah satu unsur terpenting bagi suatu negara, karena

wilayah merupakan tempat negara melaksanakan kedaulatannya. Wilayah merupakan

ruang di mana orang menjadi warganegara yang bersangkutan hidup dan menjalankan

segala aktivitasnya. Wilayah negara sebagai suatu ruang tidak saja terdiri atas daratan

atau tanah tetapi juga perairan dan ruang udara. Wilayah daratan dan wilayah ruang

udara dimiliki oleh negara pantai.Mengingat pentingnya wilayah bagi suatu negara,

maka batas-batasnya harus jelas untuk menghindari kemungkinan sengketa dengan

negara-negara yang lain.1Dalam sejarah manusia maupun negara-negara, kerap terjadi

konflik antarnegara yang bersumberkan pada masalah batas wilayah. Konflik ini bisa

disebabkan oleh karena keinginan untuk melakukan ekspansi wilayah maupun

ketidakjelasan batas-batas wilayah antarnegara.

Salah satu fungsi dari batas wilayah itu telah berkembang menjadi sebuah

kontribusi untuk identitas nasional dan sebagai pelindung dari hasil kekayaan sumber

daya alam yang langka atau sulit untuk diperbaharui. Sengketa wilayah biasanya

dimulai oleh salah satu atau beberapa pihak yang merasa memiliki wilayah tersebut atau

berkepentingan besar terhadap wilayah tersebut. Negara yang memulai sengketa itu

mempunyai bermacam tujuan yang dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan:2Pertama,

klaim terjadi ketika sebuah negara benar-benar menginginkan wilayah tersebut dan

percaya bahwa ia akan memperoleh beberapa keuntungan. Tujuan ini berkaitan dengan

penguatan negara melalui penambahan wilayah. Peningkatan kekuatan mungkin berasal

dari sumber-sumber yang ditemukan di wilayah tersebut atau dari penduduk yang

tinggal di sana, atau dari peningkatan akses wilayah tersebut melalui laut maupun

1LB. Moerdani, Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan Jenderal TNI

(Purn) LB. Moerdani 1988-1991, Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1992,

hlm. 39. 2Ibid.

1 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 18: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

2

saluran-saluran utama komunikasi. Kedua, klaim dibuat tanpa banyak harapan

memperoleh hasil atau keuntungan. Sengketa dilakukan dalam rangka menjalankan

politik dalam negeri atau politik luar negeri. Kadang perbatasan tidak dapat menjamin

sengketa atau konflik dapat berakhir secara total. Setelah berjalan beberapa tahun,

konflik seringkali masih muncul bahkan menjadi perang (krisis) apabila konflik-konflik

kepentingan berubah menjadi situasi yang mengandung ancaman.3

Wilayah perbatasan suatu negara memiliki nilai strategis dalam mendukung

keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini dapat terjadi antara lain karena wilayah

perbatasan mempunyai dampak penting bagi kedaulatan sebuah negara, mempunyai

faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di

sekitarnya, mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang

dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan antarwilayah maupun antarnegara, dan

mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan baik dalam skala

regional maupun nasional.Masalah ketidakjelasan batas-batas negara dan status wilayah

sering menjadi sumber persengketaan di antara negara-negara yang berbatasan atau

berdekatan. Persengketaan muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap

penetapan batas-batas landas kontinen di antara negara-negara bertetangga sehingga

menimbulkan wilayah “tumpang tindih” yang dapat menimbulkan persengketaan.4

Contoh nyata yang melibatkan Indonesia yaitu permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada

tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-

masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam batas-batas

wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitandinyatakan dalam

keadaan status quo, akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional

sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari

kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah

3 J.R.VPrescot, Boudaries and Frontiers, London: Croom Helm, 1973, hlm. 90-125. 4 LB. Moerdani, Op. Cit., hlm. 45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 19: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

3

Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang

tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Itulah yang kemudian

membuat sengketa itu berkembang, menurun kepada negara yang mewarisi tanah bekas

jajahan tersebut. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa

dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang

dikandungnya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua

pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakanpelajaran

bagi Indonesia agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebenarnya Indonesia masih bisa membicarakan masalah tersebut dengan Malaysia

dengan menganggap masalah teritorial adalah persoalan politik bukan hanya persoalan

hukum. Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan politik pada

masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden Megawati

Soekarnoputri.5 Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan adalah

kesalahan kebijakan politik pada era Pemerintahan Presiden Soeharto yang hanya

mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke

Mahkamah Internasional.6 Wilayah kedaulatan negara merupakan suatu permasalahan

politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan kebijakan politik yang nantinya

akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan

politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik dan mempunyai

kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Suatu kebijakan yang menyangkut

teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah agar wilayah

negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat maupun laut

dengan negara lain.

Ancaman terhadap negara yang berubah bukan hanya berasal dari aktor negara,

tetapi juga aktor-aktor bukan negara. Bentuk-bentuk ancaman tersebut juga semakin

banyak, bukan hanya dari ancaman terhadap kesatuan teritori saja atau yang terkait 5 “Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari

Selasa tanggal 26 April 2011 pukul 21.45]. 6 LB. Moerdani, Op. Cit., hlm. 51.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 20: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

4

dengan batas wilayah negara, tetapi juga ancaman-ancaman yang bersifat non-politik

dan non-ekonomi. Perkembangan teknologi dan industri, termasuk revolution in

military affairs telah semakin menunjukkan betapa dunia kini semakin tanpa

batas.7Revolution in military affairs mempunyai maksud yaitu untuk mewujudkan

kekuatan minimal (MEF atau Minimal Essential Force) sebagai instrumen negara untuk

melaksanakan fungsi negara berdasarkan keputusan politik.Negara adalah aktor penting

atau aktor utama dalam dunia internasional, jadi segala urusan dalam dan luar negeri

diserahkan pada negara. Maka negara bertanggungjawab atas keamanan nasional dan

batas-batas negara. Jadi, aktor-aktor negara mempunyai peranan yang sangat penting

terhadap suatu kebijakan politik luar negeri.

Dalam permasalahan penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan

sebuah kegagalan formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia dan lepasnya Pulau

Sipadan-Ligitan dari Indonesia pada tahun 2002 dalam perspektif Geopolitik negara

kepulauan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau -pulau

terbanyak di dunia, sehingga wilayah teritorialnya harus dijaga dengan baik agar

keutuhan dan kedaulatan wilayahnya tidak terusik oleh negara lain.8

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan awal dari persengketaan Pulau Sipadan-Ligitanantara Indonesia

dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut

antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan-

Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.9 Kedua negara lalu sepakat agar Pulau

Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo akan tetapi ternyata pengertian

ini berbeda.10 Pihak Malaysia membangun resort pariwisata baru yang dikelola pihak

swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah

Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa

dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki

7 Ibid, hlm. 76. 8 Norman J.G. Pounds, Political Geography, New York: Mogrow-Hill Book co. Inc, 1963, hlm.89. 9 Aspiannor Masrie,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum‟ at tanggal 29 April 2011]. 10Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 21: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

5

sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak

Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Dengan kondisi demikian maka Pulau Sipadan-Ligitan terbuka untuk klaim

kepemilikan.Klaim kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan mengandung dua motif, yaitu

motif politik dan motif ekonomi. Alasan politis tersebut adalah untuk mewujudkan

kedaulatan negara, sehingga dapat menjalankan fungsi eksekutif dan legislatif di kedua

pulau yang disengketakan oleh kedua negara. Sedangkan untuk motif ekonomi yang

melatarbelakangi klaim tersebut adalah karena Pulau Sipadan-Ligitan mempunyai daya tarik

tersendiri untuk pariwisata.11

Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan jelas bahwa peran kebijakan

politik Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan

kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu.12

Pada saat kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari kesalahan

Pemerintah pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil

Presiden Hamzah Haz dalam melaksanakan perumusan kebijakan politik pada saat itu.

Dalam perannya sebagai perumus kebijakan politik, Presiden Megawati Soekarnoputri

juga dibantu oleh kedua Menteri yang duduk pada masa Pemerintahannya. Kedua

Menteri tersebut adalah Menteri Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar

Negeri Hasan Wirajuda. Kedua Menteri tersebut memiliki peranan penting bagi

Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum mengeluarkan kebijakan politik. Peran

penting juga tidak terlepas dari lembaga legislatif, karena lembaga legislatif dalam hal

ini DPR yang berperan dalam perumusan kebijakan politik sebelum dikeluarkan oleh

Pemerintah yang menyangkut kepentingan negara.13Pemerintah merupakan pengambil

keputusan kebijakan politik untuk kepentingan negara, sehingga kesalahan sekecil

apapun akan membuat pengaruh besar kepada sistem politik dalam negeri dan luar

negeri Indonesia. Suatu sistem politik domestik yang sedang berjalan akan secara

otomatis mempengaruhi sistem politik luar negeri. 11Ibid 12Ibid. 13Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P

LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hlm. 195.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 22: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

6

Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakanpelajaran

bagi Pemerintah agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan politik pada masa

Pemerintahan Presiden Soeharto dan Pemerintahan Presiden Megawati

Soekarnoputri.14Pada era Pemerintahan Presiden Soeharto penyelesaian permasalahan

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum

saja sehingga mencari solusi ke Mahkamah Internasional.15 Wilayah kedaulatan negara

merupakan suatu permasalahan politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan

kebijakan politik yang nantinya akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam

menentukan arah kebijakan politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih

baik dan mempunyai kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Persoalan kebijakan

yang menyangkut teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah

agar wilayah negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat

maupun laut dengan negara lain.

Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor politik baik

sebagai eksekutif maupun legislatif.16 Peran aktor-aktor politik dalam lepasnya Pulau

Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena saling menyalahkan

setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang

menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah

Malaysia. Sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan hanya dipandang sebagai

permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup bukti

yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah

Internasional.17Sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan apabila dibawa dalam

14“Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa

tanggal 26 April 2011]. 15Ibid, hlm. 199. 16Ibid. hlm. 45. 17“Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari

Selasa tanggal 26 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 23: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

7

permasalahan hukum ke Mahkamah Internasional, maka seharusnya Indonesia harus

banyak meratifikasi dasar-dasar hukum yang akan dijadikan sebagai alat bukti kepada

Hakim agar dapat dipercaya dan dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Hakim dalam

masa persidangan masalah sengketa yang melibatkan kedua negara dalam

memperebutkan Pulau Sipadan-Ligitan.18

Yang harus dilakukan oleh para aktor-aktor politik adalah melihat

permasalahan sengketa perbatasan wilayah dari segi politik bukan dari segi hukum.

Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan menyangkut teritorial suatu negara, di

mana peran Pemerintah sangat penting dalam mengeluarkan suatu kebijakan politiknya

yang tegas tetapi tetap menjaga kaidah politik sesuai dengan Piagam ASEAN yang telah

disepakati oleh anggota-anggota negara ASEAN. Sebelum kebijakan politik dikeluarkan

oleh Pemerintah, antara Pemerintah dan DPR RI, dalam hal ini khususnya Komisi I

DPR RI, telah mengadakan rapat dengar pendapat sebagai tempat untuk berkonsultasi

sebelum perumusan kebijakan politik yang disodorkan oleh Pemerintah pada waktu itu

mendapat persetujuan dari DPR RI.19 Dari masa Pemerintahan Presiden Soeharto

hingga pada saat lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri, antara Pemerintah dan DPR RI sendiri tetap hanya

memandang permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan tersebut dari segi hukum saja. Dari

permasalahan tersebut jelas bahwa antara Pemerintah dan DPR RI tidak mempunyai

konsep dalam perumusan kebijakan politik yang jelas dan terarah, karena kedua

lembaga yang berisi aktor-aktor politik tersebut tidak mampu membuat suatu keputusan

kebijakan politik luar negeri sebagai arah bagi negara yang mempunyai luas wilayah

kepulauan sangat besar.20

Negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan yang sangat besar dan

memiliki beribu-ribu pulau merupakan suatu ancaman besar dalam permasalahan

perbatasan baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu

18 “Keputusan Mahkamah Internasional tentang kasus perebutan Pulau Sipadan-Ligitanantara Indonesia dan

Malaysia” diperoleh dari http://diplomacy945.blogspot.com. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26

April 2011]. 19Ganewati Wuryandari , Op. Cit, hlm. 197. 20 Kasus Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.metronews.com oleh Aspiannor Masrie. [Diakses tanggal 29 April

2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 24: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

8

lebih fokus terhadap ancaman-ancaman tersebut oleh negara lain terutama aktor-aktor

politik yang menduduki lembaga eksekutif maupun legislatif.21Kenyataannya antara

Pemerintah dan DPR RI saling bermanuver menyalahkan dan menyerang atas

keputusan politik yang telah dikeluarkan dan hasilnya membuat kerugian yang besar

bagi kepentingan negara dan rakyatlah yang sangat kecewa dengan apa yang telah

dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI.22Rakyat telah memberikan mandat dan

kepercayaan penuh kepada kedua lembaga tersebut dalam pengambilan kebijakan

politik yang akan membawa negara Indonesia menjadi negara yang mempunyai

integritas politik yang tegas dan terarah, sehingga menjadikan negara lain menghormati

kebijakan politik Indonesia. Hal tersebut sangat berbeda dengan yang ditunjukkan oleh

Presiden Soekarno dalam kebijakan politik pada saat pengambilan kebijakan politik

mengenai wilayah Irian Barat dan menjadikan Irian Barat sebagai wilayah Negara

Kesatuan Rebublik Indonesia. Kebijakan politik yang diambil Presiden Soekarno pada

waktu itu juga tidak terlepas dari peran legislatif yang sangat mendukung langkah -

langkah yang diambil Pemerintah terutama kebijakan politik.23 Suatu ketegasan

kebijakan politik Pemerintah mencerminkan keberhasilan politik dalam negeri sehingga

sistem politik luar negeri juga berpengaruh.

Permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari peran dan

hubungan yang sinergis antara lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya satu

sama lain mendukung dan bukan saling menyalahkan setelah keputusan kebijakan

politik tersebut diambil.24Aktor politik yang berada di dalam kedua lembaga tersebut

seharusnya menyikapi permasalahan yang berhubungan dengan teritorial negara bukan

pada cermin hukum, tetapi harus bercermin pada politik. Permasalahan perbatasan

sendiri menyangkut pada suatu kedaulatan negara yang seharusnya tidak dapat diganggu

gugat dan diusik oleh negara manapun, karena permasalahan perbatasan sangat rentan 21Ibid. 22Ganewati Wuryandari , Op. Cit, hlm. 45. 23Mohammad Hatta, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1953, hlm. 78. 24 Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James

H. Wolve, “Introduction to International Relations, Power and Justice”, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis

di dalam tulisan Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS “Aspek-Aspek Internasional dalam Intergrasi Nasional”,

Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 25: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

9

dengan konflik dan berujung pada suatu peperangan antarkedua negara yang sedang

bersengketa.25Suatu kebijakan politik diambil merupakan sebuah keputusan yang

memberikan arah kepada negara tersebut akan suatu integritas dan kedaulatan suatu

wilayah. Apabila kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah dinilai oleh Malaysia

sangat tegas, maka tidak akan mungkin Malaysia berani membawa permasalahan

sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional.26 Kebijakan

politik yang dikeluarkan Pemerintah seharusnya merupakan harga mati sebagai bangsa

yang besar dengan wilayah kepulauan yang sangat luas, karena apabila kebijakan politik

yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak diindahkan oleh negara lawan dalam

permasalahan perbatasan maka jalan terakhir adalah peperangan.27

Tetapi dalam melihat permasalahan kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan,

peran dari aktor-aktor politik Indonesia yang berada pada lembaga eksekutifmaupun

legislatif tidak tampak.28Hal tersebut terbukti bahwa tidak sinergisnya kedua lembaga

tersebut dalam mengambil alih permasalahan dan penyelesaian dengan jalan politik. Hal

tersebut dapat dibuktikan setelah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, DPR RI langsung

melalui Komisi I DPR RI mengajukan hak interpelasi atau hak bertanya kepada

Presiden Megawati Soekarnoputri. Melalui Wakil Ketua Komisi I Effendy Choirie,

Ketua Sub Bidang Luar Negeri Amris Hasan,anggota Djoko Susilo, Arief Mudatsir dan

Franky Kaihatu, hak menggalang pengajuan hak interpelasi kepada Presiden Megawati

berkaitan dengan kekalahan Indonesia di Mahkamah Internasional, Den Haag, atas

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.29 Terlihat jelas bahwa para aktor politik Indonesia

tidak pernah saling sinergis dalam berhubungan dan bekerjasama untuk kepentingan 25Aspiannor Masrie,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum

‟ at tanggal 29 April 2011]. 26Ibid. 27“Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011]. 28“Nasib Pulau Sipadan dan Ligitan Semakin Jelas”, diperoleh dari http://wap.gatra.com. [Diakses pada hari

Senin tanggal 25 April 2011]. 29Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 26: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

10

bangsa dan negara, sehingga kebijakan politik Indonesia yang dikeluarkan Pemerintah

masih sangat tumpul.30

Komisi I DPR RI melalui Wakil Ketua Komisi I Effendy Choirie mengatakan

bahwa interpelasi itu semata mempertanyakan usaha Pemerintah memperoleh kedua

pulau yang selama ini sudah diduduki Malaysia itu.31 Hak interpelasi Komisi I DPR RI

itu juga untuk mempertanyakan kebijakan politik Pemerintah dalam mengawasi dan

mempertahankan pulau-pulau di perbatasan khususnya pada kasus lepasnya Pulau

Sipadan-Ligitan.32 Setelah peristiwa lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah

Indonesia banyak pulau di perbatasan yang sudah dihuni oleh penduduk dari negara

tetangga. Dari pihak Pemerintah mempunyai argumen lain dalam menjawab pertanyaan

dari Komisi I DPR RI tersebut bahwa pada saat itu Pemerintah memang gencar

melakukan pendekatan secara politik dengan Malaysia, tapi mengalami

kegagalan.33Pemerintah Indonesia memutuskan untuk meneruskan permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional atas

pertimbangan dari DPR RI karena pada waktu itu Pemerintah berpendapat bahwa

permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan permasalahan hukum.34

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan khususnya dalam

kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial

ekonomi di negara tetangga (Malaysia).35 Kondisi tersebut berpotensi untuk

mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih

terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, namun dimungkinkan adanya kecenderungan

untuk bergeser ke soal politik, terutama apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah

perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal 30 Robert Eyestone, The Threads of Public Policy, Indianapolis: Bobbs Merrill, Ratzel, ditulis di dalam buku RM.

Sunardi, 1971, hlm. 57. 31„Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa

tanggal 26 April 2011]. 32Ibid. 33“Statistik Vital Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.unisosdem.org. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011]. 34Aspiannor Masrie ,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum

‟ at tanggal 29 April 2011]. 35Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 27: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

11

inipun selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan

harkat dan martabat bangsa. Untuk itu, diperlukan upaya Pemerintah Indonesia dalam

memperhatikan permasalahan penegakan kedaulatan negara dengan lebih

mengefektifkan kebijakan politik secara tegas. Dalam perumusan atau formulasi

kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, agar memiliki ketegasan

sikap dalam berpolitik, maka diperlukan harmonisasi yang dibarengi dengan

maksimalisasi kinerja seluruh elemen dan kesungguhan semua pihak seluruh pihak

untuk mewujudkan suatu perumusan atau formulasi kebijakan politik yang akan diambil yang

berguna untuk menjadikan sebagai bentuk kedaulatan negara yang nyata.36

Dengan memperhatikan permasalahan gagalnya formulasi kebijakan yang

dikeluarkan oleh Pemerintah diharapkan dapat muncul beberapa pertanyaan yang dapat

dibahas dan dievaluasi pada bab berikutnya sesuai dengan latar belakang permasalahan yang

sudah diuraikan. Jadi, pertanyaanutama yang akan berusaha dijawab dalam tesis yang

berjudul “Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya

Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif

Geopolitik Negara Kepulauan”adalah:

Bagaimana terjadinya proses gagalnya pembuatan kebijakan politik luar

negeri sehingga Indonesia tidak dapat mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai

bagian dari kedaulatan wilayah Indonesia? Selain itu tesis ini juga berusaha menjawab

pertanyaan tambahan, antara lain:

1.) Mengapa Pulau Sipadan-Ligitan menjadi obyek sengketa dan

mempunyai arti penting bagi Indonesia dan Malaysia sejak tahun

1969?

2.) Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan PemerintahIndonesia

gagal menghasilkan formulasi kebijakan politik luar negeri sehingga

Pulau Sipadan-Ligitan terlepas pada tahun 2002?

36George Modelsky, Theory of Foreign Policy. New York: Praeger, 1962, hlm. 36.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 28: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

12

1.3 Tujuan Penelitian

Sebagaimana tergambar di dalam perumusan masalah, penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui :

1. Untuk mengetahui Pulau Sipadan-Ligitan menjadi obyek sengketa dan

mempunyai arti penting bagi Indonesia dan Malaysia dan untuk

mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan

PemerintahIndonesia gagal menghasilkan formulasi kebijakan politik luar

negeri sehingga terlepas.

2. Untuk mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam gagalnya perumusan

atau formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia sehingga Pulau

Sipadan-Ligitan lepas.

3. Untuk mengetahui proses gagalnya pembuatan kebijakan politik luar

negeri sehingga Indonesia tidak dapat mempertahankan Pulau Sipadan-

Ligitan sebagai bagian dari kedaulatan wilayah Indonesia.

1.4 Signifikansi Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu untuk :

1. Menjadi referensi bagi wacana geopolitik khususnya bagi peneliti

yang berminat pada studi ilmu sosial dan politik dimanaPulau

Sipadan-Ligitan dapat menjadi obyek sengketa antara Indonesia dan

Malaysia.

2. Bermanfaat bagi para ilmuwan sosial untuk mengkaji permasalahan

aktor-aktor yang terlibat dalam gagalnya perumusan atau formulasi

kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam hal ini kasus lepasnya

Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002.

3. Memberikan sebuah gambaran pentingnya aktor-aktor negara dalam

menghasilkan sebuah kebijakan bagi negara kepulauan, khususnya

Indonesia, sehingga tidak akan terulang kembali kasus lepasnya

Pulau Sipadan-Ligitan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 29: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

13

1.5 Kerangka Teori

Untuk memperoleh interprestasi dan kesimpulan yang lebih terarah di dalam

menganalisis topik tesis ini digunakan teori kebijakan publik, teori politik luar negeri

dan teori geopolitik. Teori kebijakan publik sesuai dengan tujuan penulisan tesis ini

karena dapat mendeskripsikan formulasi kebijakan Indonesia yang melibatkan elit

politik dalam menciptakan suatu kebijakan sedangkan teori politik luar negeri sesuai

dengan tujuan penulisan tesis karena dapat mendeskripsikan kebijakan politik luar

negeri Indonesia. Teori geopolitik digunakan karena Indonesia sebagai negara

kepulauan dan harus diberikan perhatian khusus karena wilayah merupakan wujud

kedaulatan negara. Teori Hukum Internasional digunakan karena kasus lepasnya Pulau

Sipadan-Ligitan merupakan permasalahan sengketa wilayah antarnegara. Teori

kebijakan politik luar negeri Indonesia digunakan sebagai tolok ukur pemerintah dalam

pengambilan kebijakan politik luar negeri. Pada penelitian yang dilakukan, teori

tersebut sangat bermanfaat sebagai alat analisis dalam mengkaji Kegagalan Formulasi

Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari

Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan.

Berikut ini adalah kerangka umum teori-teori yang dikemukakan di atas, yang

tentunya akan dibahas lebih mendalam pada uraian di bawah ini.

1.5.1. Kebijakan Publik dilihat dari Formulasi Kebijakan

Pengertian kebijakan publik menurut Thomas R. Dye adalah apa yang dipilih

oleh Pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan. Kebijakan publik ini dapat

diklasifikasikan sebagai keputusan (decision making), di manaPemerintah mempunyai

wewenang untuk menggunakan keputusan otoritatif, termasuk keputusan untuk

membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik.37 Definisi lain dari

kebijakan publik menurut Robert Eyestone adalah konsepsi bahwa kebijakan

merupakan serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang,

kelompok, atau Pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat

hambatan-hambatan dan kemungkinan-kemungkinan di mana kebijakan tersebut 37 Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, New York: Prentice Hall, 1972, hlm. 12-13.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 30: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

14

diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.38

Kebijakan yang dirumuskan bermaksud untuk penyelesaian suatu masalah atau tujuan.

Kebijakan publik merupakan suatu keputusan politik yang dikembangkan oleh

badan dan pejabat Pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan publik termasuk dalam

otoritas yang dimaksud dalam sistem politik, yaitu para senior, kepala tertinggi,

eksekutif, legislatif, para Hakim, administrator, penasehat, para raja, dan lain

sebagainya. Dalam hal ini ditegaskan bahwa mereka yang terlibat dalam otoritas

formulasi kebijakan adalah orang yang terlibat dalam urusan sehari-hari dan mempunyai

tanggungjawab dalam suatu masalah tertentu di mana dia bertanggungjawab untuk

mengambil keputusan yang berdampak pada kondisi di kemudian hari dan mengikat

sebagian besar anggota masyarakat.

Kebijakan publik sebagai suatu sistem kebijakan (policy system) mencakup

hubungan timbal balik yang terjadi pada tiga unsur yaitu: (1) kebijakan publik, (2 )

pelaku kebijakan, dan (3) lingkungan kebijakan. Kebijakan publik merupakan hasil dari

sebuah proses atau respons atas berbagai gejala yang terjadi dalam suatu lingkungan.

Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah tentunya melalui berbagai tuntutan atau tekanan

maupun dukungan dari masyarakat. Tuntutan dan dukungan dari masyarakat

mengindikasikan perbedaan suatu kepentingan tertentu. Artikulasi kepentingan yang

berasal dari kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, organisasi-organisasi

kemasyarakatan atau juga internal instansi Pemerintah harus mewujudkan sebagai

sebuah proses dalam penetapan kebijakan publik. Dengan demikian, kebijakan

merupakan resultante atau hasil dari suatu konflik yang berasal dari sektor atau pelaku

kebijakan yang terlibat. Konflik antar pelaku kebijakan disebabkan oleh adanya

perbedaan suatu kepentingan. Oleh karena itu, kebijakan publik adalah sebuah proses akhir

dari pergesekan kepentingan baik antara masyarakat dan pelaku kebijakan maupun antar

sesama pelaku kebijakan.

Kebijakan publik yang telah disahkan oleh pejabat berwenang, secara otomatis

telah siap untuk diimplementasikan. Implementasi kebijakan publik akan mendapat 38 Robert Eyestone, The Threads of Public Policy, Indianapolis: Bobbs Merrill, 1971, hlm 79.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 31: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

15

kesulitan jika diterapkan pada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki

perbedaan kepentingan yang tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh adanya perbedaan

dalam melakukan interpretasi terhadap implementasi kebijakan tersebut. Tugas

Pemerintah adalah menjaga performance (kinerja) dan kualitas kebijakan serta

implementasinya. Dalam kenyataannya banyak manajer publik kurang mendiseminasi

(mensosialisasikan) kebijakan yang telah ditetapkan kepada masyarakat. Hal ini

tentunya dapat menghambat proses pelaksanaan implementasi kebijakan publik

tersebut. Untuk itu, proses diseminasi harus dikelola dengan baik sehingga dapat

memperlancar proses implementasi kebijakan publik.

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:39

1. Penyusunan Agenda

Agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas

kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang

disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika

sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik dan mendapatkan

prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya

publik yang lebih daripada isu yang lain.

Dalam agenda setting, sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang

akan diangkat dalam suatu agenda Pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering

disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul

karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang

telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter

permasalahan tersebut. Menurut William Dunn isu kebijakan merupakan produk atau

fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun

penilaian atas suatu masalah tertentu.

Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan

Malaysia, Pemerintah Indonesia pada saat proses pengambilan kebijakan politik luar

39 William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998, hlm.

24.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 32: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

16

negeri telah menyusun agenda sebagai langkah awal. Penyusunan agenda sebagai

langkah awal tersebut dilakukan antara lain dengan mengumpulkan beberapa bukti

sejarah atas status Pulau Sipadan-Ligitan dan kemudian memberikan kajian agar

memperoleh bukti yang mendukung dalam proses pengambilan kebijakan politik luar

negeri.

2. Formulasi Kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh

para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari

pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai

alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu

masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan

masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk

memecahkan masalah.

Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan

Malaysia dalam hal ini Pemerintah sebelum membuat formulasi kebijakan harus melihat

dari hasil penyusunan agenda yaitu dengan memberikan bukti-bukti yang sudah ada dan

telah mendapatkan kajian tentang kebenaran atas bukti-bukti tersebut. Sehingga dari

bukti-bukti tersebut maka akan dapat dijadikan dasar yang kuat dalam merumuskan

suatu formulasi kebijakan.

3. Adopsi atau Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar

Pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan

rakyat, warga negara akan mengikuti arahan dari Pemerintah. Namun warga negara

harus percaya bahwa tindakan Pemerintah yang sah. Dukungan untuk suatu rezim

cenderung berdifusi, cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan

Pemerintah yang membantu anggota mentolerir Pemerintahan disonansi. Legitimasi

dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, di mana melalui proses ini

orang akan belajar untuk mendukung Pemerintah.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 33: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

17

Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan

Malaysia dalam hal ini Pemerintah dalam mengambil kebijakan harus mendapatkan

legitimasi. Dalam permasalahan sengketa kedua pulau tersebut Pemerintah

mengupayakan langkah-langkah dengan mengumpulkan bukti-bukti sejarah yang dapat

mendukung kebenaran dalam merumuskan suatu kebijakan. Apabila bukti-bukti sejarah

tersebut telah cukup untuk memberikan keterangan maka dalam merumuskan suatu

kebijakan dalam langkah selanjutnya harus mendapatkan legitimasi dari legislatif.

4. Penilaian atau Evaluasi

Secara umum dikatakan evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan

yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,

implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan

yang fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir

saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi

kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program

yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap

dampak kebijakan.

Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan

Malaysia dalam hal ini Pemerintah apabila telah menempuh langkah-langkah dalam

membuat sautu kebijakan mulai dari menyusun suatu agenda, merumuskan formulasi

kebijakan dan memperoleh legitimasi agar mendapatkan dukungan dari semua pihak.

Maka langkah terakhir dalam membuat suatu kebijakan adalah dengan memberikan

penilaian atau evaluasi dari langkah-langkah yang telah ditempuh mencapai tujuan atau

tidak.

1.5.2. Kebijakan Politik Luar Negeri

Dalam mempelajari politik luar negeri, pengertian dasar yang harus diketahui

yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “action theory”, atau kebijakan

suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu.

Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula

nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 34: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

18

kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional.40 Suatu komitmen yang

pada dasarnya merupakan strategi dasar untuk mencapai suatu tujuan baik dalam

konteks dalam negeri dan luar negeri serta sekaligus menentukan keterlibatan suatu

negara di dalam isu-isu internasional atau lingkungan sekitarnya.

Salah satu cara untuk memahami konsep politik luar negeri adalah dengan

jalan memisahkannya ke dalam dua komponen: politik dan luar negeri. Politik (policy)

adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat

aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

Policy itu sendiri berakar pada konsep “pilihan (choices)”: memilih tindakan atau

membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan

mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan membantu upaya memahami konsep luar

negeri (foreign). Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah (dalam) yang dimiliki oleh suatu

negara. Jadi, politik luar negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk

memilih tindakan yang ditujukan ke luar wilayah suatu negara.

Pemahaman konsep ini diperlukan agar dapat membedakan antara politik luar negeri

dan politik domestik (dalam negeri). Namun, tidak dapat dipungkiri pula

bahwasanya pembuatan politik luar negeri selalu terkait dengan konsekuensi -

konsekuensi yang ada di dalam negeri. Meminjam istilah dari Henry Kissinger, seorang

akademisi sekaligus praktisi politik luar negeri Amerika Serikat, menyatakan bahwa

“foreign policy begins when domestic policy ends”.41 Dengan kata lain studi politik luar

negeri berada pada intersection antara aspek dalam negeri suatu negara (domestik) dan

aspek internasional (eksternal) dari kehidupan suatu negara. Oleh karena itu, studi

politik luar negeri tidak dapat menisbikan struktur dan proses baik dari sistem

internasional (lingkungan eksternal) maupun dari sistem politik domestik. Sementara

menurut Holsti, lingkup kebijakan luar negeri meliputi semua tindakan serta aktivitas

negara terhadap lingkungan eksternalnya dalam upaya memperoleh keuntungan dari

40Wolfram F. Hanrieder, Comparative Foreign Policy: Theoretical Essays, New York: DavidMcKay Co, 1971,

hlm. 15. 41

Ibid. hlm.22.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 35: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

19

lingkungan tersebut, serta hirau akan berbagai kondisi internal yang menopang

formulasi tindakan tersebut.42

Dalam permasalahan segketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan

Malaysia, kebijakan politik luar negeri Indonesia tidak dapat dihasilkan dengan baik.

Disebabkan antara Pemerintah dengan DPR RI tidak berjalan secara sinergis dalam

merumuskan kebijakan politik luar negeri yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang

nantinya akan dijadikan landasan dalam melaksanakan perundingan bilateral sebagai

upaya politik untuk memperoleh kedaulatan wilayah atas Pulau Sipadan-Ligitan.

1.5.2.1. Realisme Politik oleh Hans J. Morgenthau

Menurut Morgenthau, pria dan wanita secara alami adalah binatang politik,

mereka dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan untuk memperoleh hasil dari

kekuasaan. Pengharapan kekuasaan bukan hanya menghasilkan pencarian keuntungan

relatif tetapi juga pencarian wilayah politik yang terjamin keamanannya yang dapat

digunakan untuk memperoleh kebebasan diri dari pihak lain.

Gagasan utama Hans J. Morgenthau yang telah menempatkan dirinya sebagai

seorang penganut aliran pemikiran realis berkenaan dengan konsepnya tentang “power”

sebagai yang dominan dalam politik internasional. Konsep dasar yang dimaksudkan

oleh Hans J. Morgenthau adalah Konsep kepentingan (interest) yang

dikonseptualisasikan ke dalam istilah “power” antara nalar (reason) yang berusaha

memahami politik internasional dengan fakta-fakta yang merupakan arah memilah-

milah antara fakta-fakta politik dan bukan fakta politik, arah mana akan memberikan

suatu tertib sistematis terhadap lingkup politik, yang sekaligus pula akan menempatkan

politik sebagai lingkup kegiatan dan pemahaman yang otonom. Artinya, lingkup ini

akan membedakan lingkup kegiatan lainnya. Konseptualisasi kepentingan (interest)

dalam formulasi “power” dimanifestasikan ke dalam tataran politik 42 K.J. Holsti,Politik International: Suatu Kerangka Analisis, Bandung: Bina Cipta, 1992. hlm. 21.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 36: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

20

internasional,mendasari pemikiran teori realisme politik akan memberikan kerangka

bangunan teoritis terhadap politik luar negeri.43

Teori realisme politik internasional dicirikan oleh tiga hal yakni (1) negara dan

politik luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis, (2) konsep power, dan (3) konsep

balance of power:

1. Unit analisis dan tingkat analisis dikenakan pada negara -negara sebagai

aktor utama dalam panggung politik internasional. Pengamatan terhadap tingkah laku

negara, akan terlihat dalam politik luar negeri yang dijalankan oleh Pemerintah negara

yang bersangkutan. Negara dan politik luar negerinya merupakan unit dalam tingkat

analisanya.

2. Dalam konteks konsep tentang “power” bahwa tingkah laku negara-negara

dipanggung politik internasional selalu dilihat sebagai perwujudan atas perjuangannya untuk

memelihara, meningkatkan, serta menunjukkan powernya.

3. Pola interaksi hubungan antarnegara yang sama-sama berjuang untuk

memelihara, meningkatkan, dan menunjukkan powernya digunakan konsep

perimbangan kekuatan (balance of power).

Interest atau kepentingan sendiri adalah setiap politik luar negeri suatu negara

yang didasarkan pada suatu kepentingan yang sifatnya relatif permanen yang meliputi

tiga faktor yaitu sifat dasar dari kepentingan nasional yang dilindungi, lingkungan

politik dalam kaitannya dengan pelaksanaan kepentingan tersebut, dan kepentingan

yang rasional. Kepentingan nasional merupakan pilar utama tentang politik luar negeri

dan politik internasional yang realistis karena kepentingan nasional menentukan

tindakan politik suatu negara. Apabila menggunakan pendekatan realis atau neorealis

maka kepentingan nasional diartikan sebagai kepentingan negara sebagai unitary actor

yang penekanannya pada peningkatan national power (kekuasaan nasional) untuk

mempertahankan keamanan nasional dan survival dari negara tersebut. Yang dianggap

sebagai kepentingan nasional menurut kaum realis mungkin merepresentasikan 43 Antonius Sitepu, Teori Realisme Politik Hans. J. Morgenthau Dalam studi Politik dan Hubungan

Internasional, hlm. 52.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 37: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

21

kepentingan yang kebetulan pada momen tertentu mempengaruhi para pembuat

kebijakan luar negeri.

Dalam permasalahan segketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan

Malaysia, realisme politik yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia tidak berjalan

dengan baik sehingga perumusan suatu kebijakan politik tidak dapat terlaksana dengan

baik.

1.5.3 Teori Geopolitik

Geopolitik menurut Rudolf Kjellen adalah ilmu yang mengkaji

masalahmasalah geografi, sejarah dan ilmu sosial dengan merujuk kepada politik

internasional. Salah satu pokok teorinya adalah negara merupakan suatu sistem politik yang

meliputi ekonomi politik.44 Untuk itu, negara harus mempertahankan integritas

wilayahnya ekonomi politik yang dijalankan dapat terlaksana sesuai dengan tujuan

geopolitik negara tersebut. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah

geografi yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut.45

Tetapi apabila konsep tersebut dikaji secara lebih dalam lagi, terutama yang

menyangkut aspek mempertahankan identitas fisik, maka sebuah negara yang berdaulat

seharusnya juga mempunyai tugas untuk mempertahankan integritas wilayahnya

terhadap tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan (TAHG) baik yang datang dari

dalam maupun dari luar.46 Upaya negara mempertahankan integritas wilayah, antara lain

dilakukan melalui pengembangan doktrin atau konsep-konsep pertahanan tertentu.

Selanjutnya Hausshofer mengatakan juga bahwa Geopolitik mengandung

pengertian yaitu:

a) Suatu doktrin kekuasaan negara di atas permukaan bumi, suatu doktrin

perkembangan politik yang didasarkan atas hubungannya dengan bumi.

b) Ilmu pengetahuan yang mempelajari organisme politik dalam hubungannya

dengan ruang bumi.

44

A. Harsawaskita, Great Power Politics, Bandung: Graha Ilmu, 2007, hlm. 45. 45

Ibid 46LB. Moerdani, “Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan Jenderal TNI

(Purn) LB. Moerdani 1988-1991”, Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1992,

hlm. 51.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 38: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

22

c) Landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam perjuangan mati hidupnya suatu

negara untuk mendapatkan ruang hidup (lebensraum, living space).47

Haushofer mengatakan bahwa Geopolitik pada hakikatnya merupakan suatu

prasyarat dan harus dipenuhi secara nasional, maka dapat juga disebut sebagai doktrin dasar

suatu negara. Sebagai satu doktrin dasar Geopolitik sendiri mengandung empat unsur

utama, antara lain yaitu:

a) Konsepsi ruang, yang merupakan pengejawantahan dari pemikiran negara

sebagai organisasi hidup.

b) Konsepsi frontier, yang merupakan konsekuensi dari kebutuhan dan

lingkungan hidup.

c) Konsepsi politik kekuatan, yang menerangkan tentang kehidupan negara.

d) Konsepsi keamanan negara dan bangsa, yang kemudian melahirkan

geostrategi.48

Konsep Haushofer yaitu ruang merupakan inti dari Geopolitik, sebab ruang

merupakan suatu wadah atau tempat dinamika politik dan militer. Dengan demikian,

sesungguhnya Geopolitik merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang mengaitkan

ruang dengan kekuatan fisik, di mana pada kenyataannya kekuatan politik selalu

menginginkan penguasaan ruang dalam arti ruang pengaruh, atau sebaliknya,

penguasaan ruang secara de facto dan de jure merupakan sebuah legitimasi dari sebuah

kekuasaan politik. Intinya, apabila ruang pengaruh diperluas maka akan ada yang

diuntungkan dan ada yang dirugikan, dan kerugian tersebut akan mengakibatkan

menjadi lebih besar lagi apabila hal itu dicapai melalui perang.

Geopolitik Indonesia merupakan suatu kajian yang melihat masalah atau

hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau geosentrik. Konteks teritorial di

mana hubungan itu terjadi bervariasi dalam fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup

wilayah, dan hirarki aktor: dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan, juga

provinsi atau lokal. Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah

47Widoyo Alfandi, Reformasi Indonesia Bahasan dari Sudut Pandang Geografi Politik dan Geopolitik ,

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002, hlm. 8-9. 48Ratzel, ditulis di dalam buku RM. Sunardi, Op.Cit., hal. 168.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 39: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

23

geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada percaturan politik

internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi,

yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik

mempunyai empat unsur pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi,

hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijaksanaan. Keempat

unsur tersebut dapat menjadikan sarana bagi pengembangan geopolitik bagi Indonesia

yang terdiri dari beribu-ribu pulau, sehingga potensi pulau-pulau tersebut dapat

dimanfaatkan dan dijaga dari gangguan negara lain yang ingin mengklaimnya agar

dapat masuk ke dalam wilayahnya dan supaya kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak

terulang kembali.

Negara tidak akan pernah mencapai persamaan yang sempurna dalam segala hal.

Keadaan suatu negara akan selalu sejalan dengan kondisi dari kawasan geografis yang

mereka tempati. Hal yang paling utama dalam mempengaruhi keadaan suatu negara adalah

kawasan yang berada di sekitar negara itu sendiri, atau dengan kata lain, negara-negara

yang berada di sekitar (negara tetangga) memiliki pengaruh yang besar terhadap

penyelenggaraan suatu negara. Geopolitik dibutuhkan oleh setiap negara di dunia, untuk

memperkuat posisinya terhadap negara lain, untuk memperoleh kedudukan yang penting di

antara masyarakat bangsa-bangsa, atau secara lebih tegas lagi, untuk menempatkan diri pada

posisi yang sejajar di antara negara-negara raksasa dengan cara mengembangkan strategi

geopolitik bagi kepentingan nasional untuk menjaga stabilitas nasional dan internasional.

Hal ini berkaitan langsung dengan peranan -peranan geopolitik. Adapun peranan-peranan

tersebut adalah;

1. Berusaha menghubungkan kekuasaan negara dengan potensi alam yang tersedia.

2. Menghubungkan kebijaksanaan suatu Pemerintahan dengan situasi dan kondisi

alam.

3. Menentukan bentuk dan corak politik luar dan dalam negeri.

4. Menggariskan pokok-pokok haluan negara, misalnya pembangunan.

5. Berusaha untuk meningkatkan posisi dan kedudukan suatu negara berdasarkan

teori negara sebagai organisme, dan teori-teori geopolitik lainnya.

6. Membenarkan tindakan-tindakan ekspansi yang dijalankan oleh suatu negara.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 40: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

24

Indonesia merupakan suatu negeri yang amat unik. Hanya sedikit negara di

dunia, yang bila dilihat dari segi geografis, memiliki kesamaan dengan Indonesia.

Indonesia adalah suatu negara, yang terletak di sebelah tenggara benua Asia,

membentang sepanjang 3,5 juta mil, atau sebanding dengan seperdelapan panjang

keliling bumi, serta memiliki tak kurang dari 17.000 pulau. Hal tersebut merupakan

suatu kebanggaan dan kekayaan, yang tidak ada tandingannya lagi di dunia ini. Tapi

bila dipikirkan lebih jauh, hal ini merupakan suatu kerugian tersendiri bagi bangsa dan

negara Indonesia. Indonesia terlihat seperti pecahan -pecahan yang berserakan.

Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah negara yang amat sulit untuk dapat

dipersatukan. Maka, untuk mempersatukan Bangsa Indonesia, diperlukan sebuah

konsep Geopolitik yang benar-benar cocok digunakan oleh negara.Ada beberapa jenis

kondisi geografis bangsa Indonesia. Yaitu kondisi fisik serta kondisi Indonesia ditinjau

dari lokasinya. Kondisi fisik Indonesia berupa:Letak geografis; Posisi Silang; Iklim;

Sumber-Sumber Daya Alam; dan Faktor-Faktor Sosial Politik. Lokasi fisik Indonesia

merupakan kondisi geopolitik yang kedua. Keberadaan lokasi adalah faktor geopolitik

utama yang mempengaruhi perpolitikan di Indonesia. Berdasarkan kondisi fisiknya,

negara Indonesia berada pada dua benua yang dihuni oleh berbagai bangsa yang

memiliki karakteristik masing-masing, yaitu benua Asia dan Australia. Selain itu,

Indonesia pun berada di antara dua samudera yang menjadi jalur perhubungan berbagai

bangsa, yaitu Samudera Pasifik dan Hindia.

Selain menjadi daerah Bufferzone, Indonesia pun memperoleh beberapa

keuntungan disebabkan kondisinya yang silang tersebut. Tiga keuntungan tersebut antara

lain:

1. Berpotensi menjadi jalur perdagangan internasional;

2. Dapat lebih memainkan peranan politisnya dalam percaturan politik

internasional;

3. Lebih aman dan terlindung dari serangan-serangan negara kontinental.

Dalam permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sebenarnya

tidak terlepas dari isu ekonomi banyaknya potensi kandungan minyak dan gas bumi di

Laut Sulawesi. Potensi hidrokarbon itulah yang menjadi salah satu faktor pendorong

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 41: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

25

Malaysia mengklaim perairan teritorial dan ZEE Indonesia di Laut Sulawesi pasca

lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan. Konsep dasar peperangan generasi keempat adalah

sikap politik yang lebih kuat dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang

lebih besar. Dengan kata lain, peperangan generasi keempat karakteristiknya bersifat

politik, berkepanjangan (protracted) dan terhubung dalam jaringan (networked).

Sebagian pihak berpendapat bahwa dalam peperangan generasi keempat, musuh yang

dihadapi bukan saja aktor bukan negara, tetapi dapat pula aktor negara yang

menggunakan cara-cara non tradisional untuk mengalahkan musuh yang lebih kuat.

Cara-cara non tradisional yang dimaksud antara lain adalah ekonomi, diplomatik, cyber, media

dan lain sebagainya.

1.5.3.1 Teori Geopolitik Hans J. Morgenthau

Geopolitik dapat diartikan sebagai politik atau kebijakan dan strategi nasional

yang didorong oleh aspirasi nasional suatu negara, yang apabila dilaksanakan dan

berhasil akan berdampak langsung atau tidak langsung kepada sistem politik suatu

Negara. Geopolitik setiap negara membutuhkan suatu perlindungan dari sistem

pertahanan negara, oleh karena itu sistem pertahanan negara, demokrasi, politik,

ekonomi dan hukum hanya dapat benar-benar terlindungi apabila didasarkan pada

kekuatan negara itu sendiri.Kondisi geografis suatu negara atau wilayah menjadi sangat

penting dan menjadi pertimbangan pokok berbagai kebijakan, termasuk juga dalam

merumuskan kebijakan keamanan nasional (national security) atau keamanan manusia

(human security).Teori Geopolitik dari Morgenthau yang dapat diambil berkaitan

dengan kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, antara lain:49

1. Stabilitas geografi

Bahwa kondisi geografi, letak strategis geopolitik, dan batas wilayah

teritorial yang unik sebagai modal kekuatan pertama.

2. Kualitas diplomasi 49

Hans J. Morgenthau, “Politik Antar Bangsa”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010, hlm. 195.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 42: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

26

Bahwa diplomasi yang berkualitas, diisi insan-insan genius yang dimiliki

bangsa, selalu menjadi pengawal bagi sebuah negara berdaulat.

3. Kualitas Pemerintahan

Bahwa sebuah negara yang kuat memiliki sususan dan kualitas

Pemerintahan yang kuat, yang mampu mensinergikan sumber daya

nasional yang kuat dengan kebijakan politik yang ditetapkan.

4. Kesiapan militer

Bahwa demi kekuatan defensibilitas, setiap negara berhak membangun

angkatan bersenjata yang kuat dan siap siaga setap saat untuk

mempertahankan negara.

1.5.4 Teori Hukum Internasional

Pengertian Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-

asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara

antarnegara dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya.50 Dalam

permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan maka dihubungkan dengan Hukum

Publik Internasional, yaitu hukum internasional yang mengatur negara yang satu dengan

lainnya dalam hubungan internasional (hukum antarnegara). Hukum Internasional

mempunyai fungsi untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi karena masalah politik dan

masalah batas wilayah.

Penyelesaian permasalahan sengketa internasional dapat dilakukan dengan 2

(dua) cara antara lain dengan cara damai dan dengan cara paksaan atau kekerasan.

Dihubungkan dengan permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, maka dapat

dilakukan dengan cara damai yaitu dengan cara arbritasi dan negoisasi (perundingan).

Cara arbritasi dalam penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan membawa

penyelesaian pemasalahan sengketa ke Mahkamah Internasional (International Court of

Justice).

50Prof. DR. Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. Bina Cipta, 1978, hlm. 34.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 43: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

27

Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan harus

dilakukan dengan cara arbitrasi dan negoisasi (perundingan), maka yang dilakukan oleh

Pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan prosedur.

1.5.5 Teori Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia

Studi politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan

internasional.Banyak anggapan bahwa faktor-faktor domestik sama kuatnya

mempengaruhi out put politik luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua

pertimbangan yakni unsur domestik dan elemen eksternal.Jika faktor-faktor domestik

itu menentukan kebijakan luar negeri maka kondisinegara-negara itupun ditinjau dari

segi perkembangan ekonomi memberikan nuansaterhadap perilakunya di dunia

internasional. Klasifikasi sederhana terhadap sebuah negaradalam konteks ekonomi

adalah negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Ada lima model dalam

pembuatan kebijakan politik luar negeri:51Pertama adalah model strategis ataurasional,

Kedua adalah pengambilan keputusan, Ketigaadalah model lain politik birokratik,

Keempatadalah model adaptif dan Kelimaadalah pengambilan keputusan tambahan.

Sementara, untuk politik luar negeri Indonesia mempunyai tiga

model:52Pertama, mempertahankan kemerdekaan bangsa melawan ancaman yang

dipersepsikan. Kedua, mobilisasi sumber-sumber eksternaluntuk pembangunan dalam

negeri dan Ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitandengan politik dalam negeri

seperti mengisolasi salah satu oposisi politik dari dukunganluar negeri, memanfaatkan

legitimasi untuk tuntutan-tuntutan politik domestik danmenciptakan simbol-simbol

nasionalisme dan persatuan nasional.

Dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ketiga model politik luar negeri

tersebut digunakan dalam melakukan perundingan diplomasi dengan Malaysia, karena

sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Ketiga model politik luar negeri

tersebut dinilai mendukung dalam pelaksanaan proses penyelesaian kasus sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan.

51Lyod Jensen, Explaining Foreign Policy., New Jersey: Prentice Hall. Inc., 1982, hlm. 5-11.

52Franklin B Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno

toSoeharto, Ithaca: Cornel University Press, 1976, hlm. 58.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 44: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

28

1.5.6 Teori Regional Coorperation (Kerjasama Regional)

Suatu rezim internasional memungkinkan sebuah negara untuk membentuk pola

suatu kerjasama, dan pada akhirnya rezim ini sendiri dapat mampu memfasilitasi dan

mengkoordinasikan kebijakan negara-negara sehingga menghasilkan pencapaian dalam

bidang isu tertentu.53Dijelaskan bahwa melalui pendekatan rasionalis bahwa

terbentuknya suatu institusi dapat mengurangi jumlah costs berupa informasi,

pengawasan, dan penegakan aturan hukum melalui kerjasama yang efektif berdasarkan

kesepakatan norma yang telah dibangun.

Kerjasama regional suatu kawasan didefinisikan sebagai sekumpulan negara yang

memiliki kedekatan geografis dan struktur masyarakat karena berada pada satu wilayah

tertentu.54Dengan adanya kebutuhan dalam memenuhi kepentingan nasional dalam hal

sumber daya maka interdependensi menjadi sebuah kecenderungan yang tidak dapat

dipisahkan antar negara satu kawasan.55Dari sinilah muncul sebuah keinginan bersama

yang terdapat dalam satu region untuk dapat menyelesaikan isu-isu yang bisa mengganggu

stabilitas di kawasan.

Dalamkasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan teori ini digunakan karena

Indonesia dan Malaysia masih dalam satu kawasan ASEAN. Sehingga sangat dapat

dimungkinkan penyelesaian permasalahan sengketa tersebut dapat dijalankan melalui

perundingan diplomasi cukup diserahkan melalui organisasi ASEAN.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif. Pengertian penelitian kualitatif adalah penelitian yang mempelajari suatu

gejala atau realita sosial dan mencoba menemukan suatu pemahaman akan interpretasi

atau makna terhadap gejala tersebut.56 Data-data yang mendukung penelitian ini akan

dikonseptualisasikan dan dianalisis dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ada. 53

Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy , New

Jersey:Princeton University Press,1984, hlm. 56-57. 54

Craig A. Snyder, Contemporary security and Strategy, Palgrave: Macmillan, 2008, hlm. 228. 55

Joseph S. Nye, Jr, International Regionalism, Boston: Little Brown & Co, 1968 , hlm. 12. 56Jane Ritchie and Jane Lewis (ed), Qualitative Research Pratice : A Guide for Social Science Students and

Researchers, London : SAGE Publications Ltd., 2003, hlm. 109.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 45: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

29

Orientasi yang ditekankan pada penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi

proses dan jalinan peristiwa sehingga penelitian bersifat siklus yang dapat dilakukan

berulang-ulang.57

Pendekatan atau penelitian kualitatif ini untuk mengkaji secara mendalam

terhadap setiap masalah yang dilakukan dengan mengetahui dan memverifikasi berbagai

konsep. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

kepustakaan (library research). Metode yang seperti ini secara singkat dapat dikatakan

sebagai pengamatan terhadap gejala-gejala obyek yang diteliti dengan jalan meneliti

dokumen yang digunakan dalam penelitian sebagai sumber data. Pendekatan kualitatif

yang digunakan dalam penelitian ini selain dengan studi kepustakaan (library research),

tetapi juga dengan metode wawancara langsung dengan narasumber oleh Ibu Megawati

Soekarnoputri (melalui Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo), mantan Menlu RI Hasan

Wirajuda, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (mantan Menkopolkam era Presiden

Megawati Soekarnoputri), Bapak Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI Fraksi

PKB) dari Departemen Luar Negeri yaitu Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal

Kerjasama ASEAN) yang terlibat selama proses penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan narasumber dari Departemen Pertahanan yaitu

Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah (Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan

yang mengikuti proses lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan), wawancara dengan Letjen TNI

(Purn) Syaiful Rizal (mantan Pangdam IX/Udayana dan Dankodiklat TNI AD) dan

wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Hadi Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman dan

Pangkostrad).

Dalam penelitian tesis terkait dengan gagalnya formulasi kebijakan politik luar

negeri Indonesia yang mengakibatkan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia

pada tahun 2002 dalam perspektif geopolitik negara kepulauan digunakan alat

pengumpulan data dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-

variabel yang terkait dengan pokok permasalahan baik berupa traktat, konvensi, jurnal,

catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan sebagainya 57Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, Bandung : CV. Alfabeta, 2004, hlm. 15.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 46: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

30

yang dikumpulkan dan diolah berdasarkan klasifikasi masalahnya. Dokumen kerapkali

digunakan sebagai sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan

untuk meramalkan.58 Perolehan data dokumentasi dalam mendukung penulisan tesis

dengan judul Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Dan

Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan Dari Indonesia Tahun 2002 Dalam Perspektif

Geopolitik Negara Kepulauan dapat diperoleh dari berbagai lembaga terkait,

perpustakaan dan internet.

1.7 Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri atas beberapa bagian sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan. Yang membahas mengenai latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, kerangka teori, metode

penelitian serta sistematika penelitian. Bab I secara garis besar merupakan bab

pendahuluan atau pengantar kepada isi penelitian ini.

Bab 2 Latar Belakang Historis Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.Yang

membahas sejarah Pulau Sipadan-Ligitan sebelum dan sesudah menjadi obyek sengketa dan

arti penting bagi Indonesia dan Malaysia.

Bab 3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Pembuatan

Kebijakan Politik Luar Negeri dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan Tahun 2002.

Yang membahas faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Pemerintah Indonesia gagal

menghasilkan formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia sehingga Pulau

Sipadan-Ligitan terlepas pada tahun 2002.

Bab 4 Proses Gagalnya Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri

Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia. Yang membahas

bagaimana proses terjadinya pembuatan kebijakan politik luar negeri Indonesia

sehingga Indonesia tidak dapat mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai bagian dari

kedaulatan wilayah Indonesia.

Bab 5 Penutup. Yang merupakan bab penutup yang terdiri atas kesimpulan dan

saran. 58Ibid, hlm. 3.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 47: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

BAB 2

LATAR BELAKANG HISTORIS SENGKETA PULAU SIPADAN-LIGITAN

SERTA PENYELESAIANNYA MELALUI ICJ

(INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE)

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang latar belakang historis sengketa

Pulau Sipadan-Ligitan. Bahwa hal yang akan dibahas antara lain kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan dalam Perspektif Historis,Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah

antara Indonesia dan Malaysia Terhadap Pulau Sipadan-Ligitandan Arti penting Pulau

Sipadan-Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia.

2.1 Kepemilikan Pulau Sipadan - Ligitan dalam Perspektif Historis

Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan ini secara sederhana mengandung makna

tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat

dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang

menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan

yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Itulah yang kemudian

membuat sengketa itu berkembang, menurun kepada negara yang mewarisi tanah bekas

jajahan tersebut. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa

dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang

dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan nasional

melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan

Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di

dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya. Didorong

oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan.

Menurut survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga dunia, pemandangan bawah laut yang

ada di Pulau Sipadan, konon memiliki nilai terbaik di dunia.

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967

ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara

ternyata memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua

31 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 48: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

32

negara lalu sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo

akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resort

pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status

quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan

pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi

tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini

selesai.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau

tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau

TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN

di Pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi

ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota

ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa

dengan Singapura untuk klaim Pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan

Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei

Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu

menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua

warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas

kedua pulau.

Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia

atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu Pulau Sipadan

(luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°LU

118.6287556°BT / 4.1146833; 118.6287556 dan Pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²)

dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.15°LU 118.883°BT / 4.15; 118.883. Sikap

Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN tetapi

Malaysia menolaknya.

Pada masa sebelum kolonialisme terjadi di kawasan Asia Tenggara, di wilayah

Kalimantan bagian timur laut terdapat dua daerah kekuasaan yang diperintah oleh dua

Kesultanan. Wilayah utara yaitu Sabah merupakan daerah kekuasaan KesultananBrunei.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 49: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

33

Sementara wilayah selatan merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Bulungan. Kedua

penguasa pada waktu itu tidak pernah terlibat dalam sengketa mengenai batas wilayah

masing-masing Kesultanan. Batas wilayah kedua tersebut cukup di dasarkan pada

tanda-tanda alam. Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tidak mungkin dipisahkan dari

sengketa perbatasan yang terjadi pada abad ke-19 antara dua kolonialis di Kalimantan

yaitu Belanda yang menjajah Indonesia dan Inggris yang menjajah Kalimantan Utara

(Malaysia).

Sultan Abdul Munim dari Kesultanan Brunei pada tanggal 29 Desember 1877

memberikan konsesi kepada Gustavus Baron de Von Overbeck dan Alfred Dent, kedua

tokoh konglomerat berasal dari Austria dan Inggris. Kedua orang tersebut berhasil

mendapatkan hak mengelola wilayah Sabah. Karena kedekatannya dengan Sultan

Brunei maka Gustavus Baron de Von Overbeck diangkat sebagai Raja Sabah di

Kalimantan Utara dengan kekuasaan penuh yang tidak lagi dapat diganggu gugat.

Gustavus Baron de Von Overbeck berhak mengelola kekayaan alam di wilayah

kekuasaannya di Sabah meliputi pengelolaan atas seluruh hasil pertanian, peternakan dan

tambang di kawasan tersebut. Dan lebih dari itu Gustavus Baron de Von Overbeck juga

memperoleh ijin untuk menerbitkan uang, menarik hasil cukai hingga membentuk pasukan

darat dan laut sendiri.59

Sebagai ungkapan terima kasihnya atas pengangkatan tersebut Gustavus Baron

de Von Overbeck memberikan upeti sebesar $ 12.000 dollar per tahun. Selain

memberikan upeti kepada pihak Kesultanan Brunei, Gustavus Baron de Von Overbeck

mengirimkan upeti $ 5.000 dollar kepada Sultan Sulu yang pernah mengklaim wilayah

Sabah sebagai wilayah kekuasaannya. Upeti diberikan kepada Sultan Sulu atas dasar

kesepakatan yang dibuat pada tanggal 22 Januari 1878. Dengan kesepakatan ini,

Gustavus de Von Overbeck memperoleh konsesi untuk seluruh wilayah antara aliran

Sungai Sebuku sampai aliran Sungai Pandasan di daerah timur laut Kalimantan.

Gustavus Baron de Von Overbeck telah menguasai wilayah yang luas di

sepanjang pantai Barat Laut dan Timur Laut Kalimantan. Luas wilayahnya diperkirakan 59

Afrizal, “Kasus lepasnya Pulau Sipadan Pulau Ligitan”, dalam Kompas, 20 Februari 1995, hlm.1.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 50: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

34

sekitar 30.000 mil dan 850 mil. Akan tetapi Pemerintah Austria tidak mendukung

Gustavus Baron de Von Overbeck untuk berkuasa di kawasan tersebut. Untuk menjaga

loyalitasnya kepada Pemerintah negaranya, Gustavus de Von Overbeck menjual

kepemilikan wilayahnya kepada Alfred Dent yang memperoleh dukungan dari

Pemerintah Inggris.

Pemerintah Belanda yang sebelumnya telah menguasai wilayah Kesultanan

Bulungan dan sebagian wilayah Sabah, termasuk Pulau Sipadan-Ligitan merasa resah

dengan penjualan kepemilikan wilayah Gustavus Baron de Von Overbeck. Pada tahun 1891,

Belanda kemudian menyewa wilayah Sabah untuk dikembangkan menjadi daerah

perkebunan dan pertambangan minyak bumi. Politik Belanda pada saat itu dimaksudkan

untuk membendung kemungkinan pedagang Inggris dan Austria mendapatkan konsesi yang

besar dari Kesultanan setempat.

Spanyol yang menjalankan kolonialisme di Filipina mengeluarkan reaksi

dengan penjualan kepemilikan Gustavus Baron de Von Overbeck wilayah. Spanyol

yang pernah mendapatkan cessi60 atas sebagian wilayah timur Kalimantan Utara dari

Sultan Sulu sejak lama merasa tidak rela wilayahnya dikuasai oleh BNBC (British

North Borneo Company)yang didirikan oleh Gustavus Baron de Von Overbeck. Oleh

karena itu, Spanyol mengirimkan kapal perang ke Sandakan pada bulan September

1878. Dengan pengiriman kapal perang ke Sandakan, Spanyol mengingatkan

Pemerintah Inggris bahwa Spanyol pernah mengadakan perjanjian dengan Sultan Sulu pada

tahun 1877. Berdasarkan perjanjian tahun 1877, seluruh wilayah timur laut Borneo

(Kalimantan) mulai dari Teluk Maruda sampai wilayah perbatasan yang dikuasai

Belanda di bagian selatannya adalah milik Kerajaan Spanyol.

Sebagai respon atas tindakan Spanyol, pada bulan Januari 1878 Gustavus

Baron de Von Overbeck dan Alfred Dent serta H.W. Treacher yang menjabat sebagai

Gubernur Inggris di Borneo Utara meminta penjelasan Sultan Sulu mengenai cessi yang

diberikan kepadanya oleh Sultan Abdul Munim dari Kesultanan Brunei. Hal tersebut 60

Cessi atau penyerahan adalah salah satu cara memperoleh kedaulatan teritorial yang bersandar pada

prinsip pemindahan suatu wilayah dari satu negara ke negara lain yang bersifat sukarela. Lihat K.J. Holsti,

Politik Internasional:Kerangka untuk Analisis, Jilid 1, Erlangga: Jakarta, 1988, hlm. 22.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 51: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

35

dilakukan karena Kesultanan Sulu di Filipina Selatan juga menuntut kepemilikan

kedaulatan atas sebagian wilayah Sabah. Pada waktu itu, Gustavus Baron de Von

Overbeck ternyata mendapatkan cessi baru dari Sultan Jamalul Alam dari Sulu di

wilayah antara Sungai Pandasan dan Sungai Sebuku. Sebagai imbalannya Gustavus

Baron de Von Overbeck harus membayar upeti sebesar $5000 dollar per tahun.

Akan tetapi enam bulan kemudian, Sultan Jamalul Alam dari Sulu

memindahkan cessi kepada Spanyol. BNBC milik Inggris yang dikelola oleh Gustavus

Baron de Von Overbeck dan Alfred Dent menolak pengalihan cessi yang pernah

diberikan kepada Gustavus Baron de Von Overbeck. Ketegangan antara Inggris dan

Spanyol terjadi dan akhirnya diadakan penyelesaian sengketa dengan cara pembuatan

perjanjian dalam Protokol pada tanggal 7 Maret 1885 yang ditandatangani oleh

Spanyol, Inggris dan Jerman. Dalam perjanjian tersebut, Spanyol bersedia membatalkan

semua tuntutan kedaulatan atas pulau-pulau yang terletak di 9 mil dari pantai

Kalimantan Utara. Sebagai penghargaan atas pembatalan tuntutan Spanyol ini, Inggris

dan Jerman mengakui Spanyol menjadi penguasa atas wilayah Kepulauan Sulu.61

Sementara itu, persengketaan antara Belanda dan Inggris masih terjadi. Pada

bulan September 1879, kapal perang Belanda mendarat di Batu Tinagat yang berjarak

sekitar 40 mil di sebelah utara muara Sungai Sebuku. Di wilayah itu terjadi pengibaran

bendera Belanda. Setelah Belanda meninggalkan Batu Tinagat, bendera Belanda

dibuang oleh penduduk setempat. Kejadian ini merupakan reaksi penduduk setempat

atas kedatangan Belanda di wilayah tersebut. Tindakan Belanda pada tahun 1879 itu

semakin memancing eskalasi konflik dengan Inggris.

Persengketaan Belanda dan Inggris semakin memanas setelah Inggris

mengesahkan pembentukan BNBCpada akhir tahun 1881. Dengan berdirinya

perusahaan tersebut, Inggris memulai masa penjajahannya atas wilayah Kalimantan

Utara. Tindakan Inggris diprotes Belanda karena dipandang sebagai bentuk pelanggaran 61

Diambil dari artikel J. Soedjati Djiwandono, Intra-ASEAN Territorial Disputes: The Sabah Claim dalam Teh

Indonesian Quarterly, Vol. XXII, No. 1, First Quarter, 1994, hal. 36-37 dan Ahmad Syafii Maarif, Sekitar

Tuntutan Filipina Atas Sabah: Masihkah Akan Diteruskan? dalam Jurnal Informasi, No. 3, Tahun III, 1973,

hlm. 4-6.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 52: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

36

terhadap Perjanjian 1824. Karena berdasarkan Perjanjian 1824, Inggris dilarang

menjajah daerah-daerah di Kalimantan.

Perebutan hak kedaulatan teritorial antara Belanda dan Inggris akhirnya dapat

diselesaikan dengan pembentukan komisi bersama pada tahun 1884. Komisi bersama

Inggris dan Belanda mulai menentukan perbatasan kedua negara di timur luat

Kalimantan pada bulan Juli 1889. Sengketa perbatasan kemudian diakhiri dengan

penandatanganan perjanjian tentang perbatasan di timur laut Kalimantan pada tanggal 20

Juni 1891. Konvensi 1891 memutuskan batas wilayah daratan Inggris dengan Belanda di

Kalimantan dengan garis yang ditarik dari Pulau Sebatik. Hal ini tercantum dalam Pasal I

dan Pasal IV Konvensi 1891. Adapun Pasal I Konvensi I 1891

menetapkan sebagai berikut:

“The boundary between the Netherland possessions in Borneo and those of the

British Protected states in the same Island, shall start from 4010’ north latitude on

the east coast of Borneo.”62

Di dalam Pasal IV Konvensi 1891 ditetapkan wilayah kekuasaan Inggris dan

Belanda di Kalimantan Utara yang ditegaskan sebagai berikut:

“From 4010’ north latitude on the east coast the boundary-line shall be

continued east ward along the parallel, across the island of Sebatik, that

partion of the island situated to the north of that parallel shall belong

unreservedly to the British North Borneo Company and the portion south of that

parallel to the Netherlands.”63

Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda inilah yang kemudian menjadi dasar

klaim antara Indonesia dan Malaysia dalam masalah sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.

Indonesia yang merupakan bekas jajahan Belanda dan Malaysia yang pernah dijajah

Inggris memiliki perbedaan persepsi mengenai isi Konvensi 1891. Pada tahun 1969

ketika diadakan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia 62

Lihat “Summary of the Judgment of 17 December 2002” dalam http://www.icj-

cij.org/icjwww/ipresscom/ipress2002/ipresscom2002-39bis_inma_20021217.htm. [ Diakses pada tanggal 12

Februari 2012]. 63

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 53: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

37

ditemukan ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan. Kedua negara

yang sama-sama menginginkan kedaulatan teritorial atas Pulau Sipadan-Ligitan

kemudian mencari bukti-bukti sejarah pada masa lalu. Konvensi 1891 merupakan salah satu

perjanjian yang sama-sama dijadikan sebagai alat pembuktian, akan tetapi kedua negara

memiliki persepsi yang berbeda tentang Konvensi 1891 ini.

Perbedaan persepsi ini ditunjukkan dengan pendapat masing-masing pihak

yang saling bertolak belakang. Malaysia menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki

hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan kerena letaknya jauh di luar garis pangkal

wilayah laut Indonesia yang ditetapkan Undang-Undang No. 4 Prp. 1960 tentang

Perairan Indonesia, yang mana tidak sesuai juga dengan klaim Indonesia berdasarkan

Konvensi 1891 karena letaknya yang jauh tersebut. Adapun Malaysia berhak atas Pulau

Sipadan-Ligitan berdasarkan prinsip chain of title. Pendapat Malaysia ini didasarkan

pada serangkaian transaksi pengelolaan yang dilakukan oleh BNBC yaitu perusahaan

yang menjadi cikal-bakal kehadiran Inggris di wilayah koloni dan diperoleh melalui

transfer kedaulatan dari Spanyol dan Amerika Serikat. Sesuai dengan bukti sejarah yang

tercantum dalam Konvensi 1891 pada Pasal I dan IV, maka kedua pulau tersebut semula

merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Sulu dan beralih menjadi milik Malaysia

berdasarkan chain of title.

Sedangkan Indonesia menyatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti sejarah,

wilayah Indonesia meliputi seluruh kekuasaan Hindia Belanda. Oleh karena itu, sejak

kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Pulau Sipadan-Ligitan yang pernah

dikuasai Belanda berdasarkan Konvensi 1891 secara otomatis masuk dalam kedaulatan

teritorial Indonesia menafsirkan Pasal IV Konvensi 1891 sebagai berikut bahwa garis 40

10‟ Lintang Utara memberikan petunjuk tentang batas kepemilikan Belanda dan Inggris

sebelah selatan dan utara 40 10‟ Lintang Utara tersebut adalah garis yang memotong

Pulau Sebatik dan terus menjulur ke laut di arah sebelah timur pulau tersebut. Indonesia

mengklaim kedua pulau tersebut menjadi miliknya karena terletak di sebelah selatan

garis batas ini. Perbedaan pendapat ini kemudian berkembang menjadi persengketaan

sejak tahun 1969. Sengketa atas Pulau Sipadan-Ligitan dapat dikatakan sebagai warisan

sejarah kolonialisme yang pernah terjadi di kawasan Asia Tenggara, di mana pada

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 54: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

38

waktu itu Belanda menguasai wilayah Indonesia dan Inggris menjadikan wilayah

Malaysia sebagai daerah jajahannya.

Pulau Sipadan-Ligitan muncul menjadi sumber persengketaan antara Indonesia

dan Malaysia sejak tanggal 19 September 1969 ketika delegasi Pemerintah Indonesia

dan Malaysia merundingkan batas landas kontinen kedua negara. Pada waktu itu, Pulau

Sipadan-Ligitan merupakan dua pulau yang belum diketahui hak kepemilikannya. Pihak

Pemerintah Indonesia dan Malaysia sama-sama belum dapat menentukan negara mana

yang berhak memiliki kedua pulau tersebut. Akhirnya status Pulau Sipadan -Ligitan

dinyatakan dalam posisi status quo. Artinya, kedua tidak akan menempati, menduduki dan

mengelola Pulau Sipadan-Ligitan.

Bermula dari ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan dalam

perundingan kedua negara pada tahun 1969, Indonesia dan Malaysia akhirnya terlibat

dalam kasus sengketa yang berkepanjangan. Jika ditinjau dari aspek sejarahnya,

sengketa antara Indonesia dan Malaysia tidak terlepas dari peranan sejarah di masa lalu.

Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang dihadapi Indonesia dan Malaysia adalah bagian

dari warisan sejarah kolonialisme Belanda dan Inggris yang terjadi pada abad ke-19.

Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV

Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan

kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-

Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia

juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta

bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus

mengadministrasi kedua pulau itu. Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan

antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989.

Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan

sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 55: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

39

2.2 Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah antara Indonesia dan

MalaysiaTerhadap Pulau Sipadan-Ligitan

Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan

kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysiadi

Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas

kontinen di laut Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan-Ligitan

sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai

daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau

Sebatik di mana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan

merupakan wilayah Indonesia. Posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34

kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari

pantai timur Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan

adalah 7,9 hektar.

Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan ini secara sederhana mengandung makna

tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat

dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang

menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan

yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Itulah yang kemudian

membuat sengketa itu berkembang, menurun kepada negara yang mewarisi tanah bekas

jajahan tersebut. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa

dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang

dikandungnya. Titik awal klaim Pemerintah Indonesia tampaknya lemah dan tidak

mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah Pengganti

UndangUndang yakni, Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.64 Di pihak

lain, kelemahan Malaysia tampakpada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970 -an

tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.

64Boer Mauna, Hukum Internasional : Perngertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika Global. PT

Almuni : Bandung, 2005, hlm. 280.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 56: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

40

P. Ligitan

P. Sipadan

Gambar 2.1 Peta Letak Pulau Sipadan-Ligitan pada Laut Sulawesi Sumber : David A. Colson, The American Journal of International Law, 2003

Selanjutnya dalam meja perundingan kedua belah pihak baik Pemerintah

Indonesia maupun Pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo

atas kedua pulau tersebut. Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal

22 September 1969 menyetujui Memorandum of Understanding (MoU) yang

menetapkan Pulau Sipadan-Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati,

diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Namun, mulai

tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral

dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau sebagai bagian dari

Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk

menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan instalasiinstalasi

listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut

melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.

Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia

dan Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat

sepertiSenior Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision

Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima keduapihak.

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 57: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

41

Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir

Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari masing-masingnegara untuk

mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat kali pertemuanJakarta -Kuala

Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia danPemerintah

Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agarperlu adanya

penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ).

Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special

Agreement for the submission to the International Court of Justice the dispute between

Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan andPulau

Ligitan. Naskah tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia padatanggal 29

Desember 1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 49 tahun 1997 dan oleh Pemerintah

Malaysia pada tanggal 19 November 1997. Special Agreement ini merupakan syarat

prosedural yang memungkinkan ICJ memiliki kewenanganjuridiksi atas perkara ini.

Special Agreement tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah Hukum

Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter atau Notifikasi

Bersama. Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement

adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapakah yang berdaulat atas

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada, bukti-

bukti dan dokumen-dokumen yangtersedia dari Pemerintah Indonesia maupun dari

Pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan Mahkamah

Hukum Internasional sebagaibersifat akhir dan mengikat (final and binding).65

Dalam penyampaian Notifikasi Bersama tersebut kepada Panitera Mahkamah

Hukum Internasional, maka proses litigasi masalah Pulau Sipadan-Ligitan diforum

internasional secara resmi mulai berlangsung dan untuk selanjutnya penyelesaian

masalah ini sepenuhnya terletak pada penelitian Mahkamah HukumInternasional.

Tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telahmendengarkan

argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengansengketa wilayah

(territorial dispute) Pulau Sipadan-Ligitan. Dan padatanggal 17 Desember 2002 65

Steven Y. Pailah, Archipelagic State : Tantangan dan Perubahan Maritim, Klub Studi Perbatasan :

Jakarta, 2009, hlm. 45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 58: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

42

Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan -

Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal iniMahkamah Hukum Internasional tidak terlalu

tertarik dengan argumentasi Indonesiatentang akar kepemilikannya yang didasarkan

pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa

garis batas kedua negara adalah garislintang 4º 10‟ di pantai timur Pulau Kalimantan

terus ke Timur memotong PulauSebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah

garis lintang tersebut yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah Internasional,

perjanjian itu adalah perjanjian daratdan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian

wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka

tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia. Berbeda dengan Indonesia, bukti

efektif Malaysia ataskedua pulau tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara

lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua

pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta

mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telahmembangun

mercusuar di Pulau Sipadan-Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara

sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan

Mahkamah Internasional tidak pernah diprotes oleh Indonesia.Semua fakta sejarah ini

cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas

kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikanadanya keefektifan untuk syarat

kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalamhal ini, apa pun yang dilakukan

oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap

tidak akan dapat menghapus keefektifan Inggris atau Malaysia.

2.3 Arti Penting Pulau Sipadan-Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia

Indonesia dan Malaysia memperebutkan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-

Ligitan, karena kedua pulau tersebut memiliki letak geografis yang strategis dan sumber

daya alamnya berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek pariwisata. Berdasarkan

kedua alasan tersebut, Indonesia dan Malaysia menambahkan dengan alasan lain yang

berupa komitmen untuk mempertahankan kedaulatan teritorial. Alasan-alasan seperti ini

dapat dibuktikan dengan melihat letak geografis dan potensi alam yang terdapat di Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 59: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

43

Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini

tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam

yang dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan

nasional melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan

Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di

dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya. Didorong

oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan.

Menurut survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga dunia, pemandangan bawah laut yang

ada di Pulau Sipadan, konon memiliki nilai terbaik di dunia.

Pulau Sipadan-Ligitan yang menjadi sumber sengketa antara Indonesia dan

Malaysia adalah dua pulau kecil yang merupakan rangkaian kepulauan yang terletak di

sebelah timur Kalimantan dan Negara bagian Sabah (Malaysia timur) di Laut Sulawesi.

Pulau Sipadan-Ligitan secara geografis adalah bagian dari rangkaian kepulauan yang

terletak di Laut Sulawesi atau di sebelah tmur Pulau Kalimantan (Indonesia) dan Sabah

(Malaysia). Pulau Sipadan berada di posisi 1180 38‟ 02” Bujur Timur dan 40 06‟ 12”

Lintang Utara. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektare dan terletak 15 mil (24 km) dari pantai

daratan Sabah, Malaysia dan 40 mil (64 km) dari pantai timur Pulau Sebatik, Indonesia.

Sedangkan Pulau Ligitan lebih kecil daripada Pulau Sipadan. Luas Pulau Ligitan hanyalah

7,9 hektare dan berada pada posisi 1180 53‟ 01” Bujur Timur dan 40 08‟ 03” Lintang Utara.

Pulau Ligitan terletak 21 mil (34 km) dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil (93 km) dari pantai

Pulau Sebatik.

Pulau Sipadan-Ligitan dikenal memiliki pantai yang sangat indah. Kedalaman

perairan di sekeliling Pulau Sipadan-Ligitan berkisar antara 10-15 meter dengan

temperatur rata-rata 25-300C. Temperatur air laut yang terendah terjadi pada bulan

November dan Februari. Akan tetapi kedalaman laut di sekitar Pulau Sipadan memiliki

keunikan tersendiri, karena hanya berjarak 15 kaki dari pantai, air laut akan berubah

menjadi biru tua karena kedalaman lautnya berubah menjadi 2.850 kaki. Pulau Sipadan

memiliki potensi wisata bahari yang indah dan spektakuler, pantai Pulau Sipadan sangat Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 60: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

44

bervariasi sebagian landai dan sebagian berupa patahan palung yang kedalamannya

mencapai 100 meter, dengan batu-batu karang yang sangat indah.

Konon laut Pulau Sipadan yang indah merupakan salah satu tempat wisata

terindah di dunia mengalahkan taman laut Bunaken di Sulawesi Utara. Brosur promosi

pariwisata Malaysia menyebut Pulau Sipadan sebagai satu-satunya pulau di Malaysia

yang berada di lautan “Samudera” yang digambarkan sebagai “pulau surga”. Pulau yang

bentuknya seperti tapak sepatu ini memang cukup mempesona karena kelandaian

pantainya. Dengan keindahan dalam lautnya ini Pulau Sipadan pernah memenangkan

penghargaan “Best Beach Dive in the World” pada tahun 1993.66 Pantainya yang indah

dengan pasir putih yang lembut juga menjadi tempat yang nyaman bagi penyu-penyu

hijau. Penyu-penyu hijau ini bertelur setiap minggunya bisa mencapai 7.000 butir. Pada

tahun 1977, tercatat sebanyak 220.000 butir telur penyu yang dapat dipanen. Pada tahun

1998 jumlah telur penyu yang dapat dipanen mengalami banyak peningkatan menjadi

330.000 butir.

Pulau Ligitan adalah sebuah pulau yang berbentuk gundukan terumbu karang

yang berada di sebelah timur Pulau Sipadan 916 mil. Ketika air pasang pulau kecil ini

seakan-akan tenggelam, bagian daratnya tampak lebih luas pada saat air surut. Pulau

Ligitan tidak banyak menyimpan potensi dan tidak berpenghuni. Pulau Ligitan memiliki

sumber daya perikanan tangkap yang melimpah dan dikelilingi pepohonan mangrove.

Perairan di Pulau Sipadan-Ligitan merupakan tempat pertemuan kehidupan laut yang

berasal dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Oleh karena itu, kehidupan dasar laut

di kedua pulau tersebut dipenuhi oleh ikan-ikan dan spesies laut lainnya yang

beranekaragam. Keindahan dasar laut ini didukung pula dengan hamparan pasir putih yang

sering digunakan tempat bertelurnya penyu hijau.

Pulau Sipadan menjadi pulau yang unik, karena jika dilihat dari dalam laut

bentuk pulau ini lebar di permukaan laut dan semakin mengerucut di dasar laut,

sehingga dikatakan seperti jamur. Sementara itu, jika dilihat dari atas, Pulau Sipadan 66

Lihat“PulauSipadan”dalamhttp://www.marimari.com/content/malaysia/popular_places/islands/sipadan/s

ipadan.html. [ Diakses pada tanggal 12 Februari 2012]. Pada sumber data tidak disebutkan keterangan lebih lanjut

mengenai lembaga yang memberi penghargaan tersebut.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 61: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

45

berbentuk seperti tapak sepatu. Menurut keterangan dari Menlu Hassan Wirajuda, Pulau

Ligitan sebagian besar berbentuk karang atol yang jika air pasang seakan-akan pulau

tersebut terlihat tenggelam. Kedua pulau tersebut merupakan pulau kecil di wilayah laut

Sulawesi, namun meskipun kedua pulau tersebut kecil tetapi kedua pulau tersebut

memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi terutama sebagai obyek eksploitasi

pariwisata terutama wisata penyelaman di dasar laut.

Potensi alam yang dapat diambil dari Pulau Sipadan-Ligitan selain obyek

pariwisata yaitu juga dapat dimanfaatkan sebagai usaha perikanan laut. Pertimbangan

tersebut didasarkan pada melimpahnya sumber daya perikanan di perairan di Pulau

Sipadan-Ligitan. Selain itu, Pulau Sipadan-Ligitan juga dikenal memiliki kandungan

bahan-bahan mineral seperti cadangan minyak dan gas yang melimpah.67

Berdasarkan fakta-fakta dalam letak geografis dan potensi alam dari Pulau

Sipadan-Ligitan, maka Indonesia dan Malaysia sama-sama menuntut hak kepemilikan

atas kedua pulau tersebut. Apalagi Pulau Sipadan dan Pualu Ligitan juga memiliki

potensi strategis di bidang pertahanan dan keamanan untuk menangkal infiltrasi dan

agitasi dari kekuatan asing. Apabila Indonesia dapat memiliki Pulau Sipadan-Ligitan

maka perairan di sebelah selatan Pulau Sipadan dan di sebelah timur laut Pulau Ligitan

akan menjadi bagian dari kedaulatan teritorial Indonesia. Dengan demikian, potensi

alam di wilayah tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak Indonesia. Hal tersebut berlaku

sama dengan Malaysia, apabila Pulau Sipadan-Ligitan menjadi milik Malaysia, maka

Malaysia dapat melanjutkan pengelolaan obyek wisata di Pulau Sipadan-Ligitan yang

sudah dilakukan sejak tahun 1980. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah

penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang

belum bisa disebut memadai. Tapi Pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki

pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di

sana diberhentikan dahulu. Alasannya, Pulau Sipadan-Ligitan itu masih dalam sengketa,

belum diputus siapa pemiliknya.Alasan-alasan tersebut berkaitan juga dengan adanya 67

Diolah dari berbagai sumber yaitu “Seperti Apa Pulau Sipadan-Ligitan”

http://www.freelists.org/archives/geologiugm/12-2002/msg00034.html. [Diakses pada tanggal

12 Februari 2012], Penanganan Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan” dalam http://www.w3.org/TR/REC-

html40. [Diakses pada tanggal 12 Februari 2012 dan Suara Pembaruan, 5 Juni 1991].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 62: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

46

dugaan bahwa perairan di sekeliling Pulau Sipadan-Ligitan mengandung bahan-bahan

mineral. Jika Pulau Sipadan-Ligitan berhasil dimiliki oleh salah satu pihak antara

Indonesia dan Malaysia, maka pengembangan sumber daya alam tidak hanya terbatas pada

bidang pariwisata dan perikanan laut tetapi pihak yang menang juga dapat

mengeksploitasi kandungan mineral di kawasan tersebut.

Sementara itu bagi negara yang tidak berhasil mendapatkan hak kepemilikan

atas Pulau Sipadan-Ligitan akan menghadapi kesulitan dalam penentuan batas-batas

wilayah laut. Sebab negara tersebut akan kehilangan batas landas kontinennya. Landas

kontinen suatu negara pantai adalah dasar laut dan tanah di bawahnya dari wilayah

dasar laut yang meluas sampai di luar laut teritorialnya melalui perpanjangan alamiah

wilayah daratannya. Lebar landas kontinen adalah sampai ujung batas kontinen atau

sampai jarak sejauh 200 mil laut dari garis pangkal yang darinya diukur lebar laut

teritorial apabila ujung terluar batas kontinen tidak meluas sampai jarak tersebut.

Artinya, apabila batas kontinen dari kontinen meluas sampai melebihi 200 mil laut,

lebar landas kontinen diperkenankan sampai sejauh 350 mil laut.

Negara-negara pantai memiliki hak-hak berdaulat atas landas kontinen untuk

tujuan eksplorasi sumber-sumber alamnya. Hak tersebut bersifat eksklusif dalam arti

apabila negara pantai tidak mengeksploitasi landas kontinen atau tidak mengeksploitasi

sumber daya alamnya, maka tidak ada satupun negara diperkenankan melakukan

aktifitas di kawasan ini tanpa persetujuan negara pantai yang memiliki landas kontinen di

tempat tersebut.68

Oleh karena itu, baik Indonesia maupun Malaysia ingin mempertahankan batas

landas kontinen yang telah diklaimnya. Jika salah satu dari kedua negara ini tidak

berhasil mempertahankan kedaulatan teritorial atas Pulau Sipadan-Ligitan, berarti

negara tersebut akan kehilangan hak-hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber-sumber

alam di wilayah tersebut.69 Hal ini akan berpengaruh terhadap perubahan batas teritorial

yang telah dibuat oleh kedua negara. Pihak yang memenangkan sengketa tentu memiliki 68 K.J. Holsti, Politik Internasional:Kerangka untuk Analisis, Jilid 1, Erlangga: Jakarta, 1988, hlm. 68. 69

Prof.DR. Hasjim Djalal, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi?, dalam Kompas, Jakarta, 13

Januari 2003.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 63: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

47

peluang untuk mendapatkan batas-batas yang lebih luas daripada batas yang dibuat

sebelumnya dalam perundingan pasca sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.

Akhirnya sengketa Indonesia dan Malaysia tentang hak kepemilikan atas Pulau

Sipadan-Ligitan memiliki dimensi kepentingan yang luas bagi kedua negara. Adapun

kepentingan utama Indonesia dan Malaysia adalah kepentingan atas kedaulatan teritorial

yang akhirnya didukung dengan kepentingan ekonomi. Hal ini akan terbukti apabila

satu negara dapat memperoleh kedaulatan teritorialnya atas Pulau Sipadan-Ligitan, maka

negara tersebut akan memanfaatkan hak-hak eksklusif untuk mengelola sumbersumber

alam di Pulau Sipadan-Ligitan. Di antara kedua negara yang bersengketa, Malaysia

memang telah terlebih dahulu membuktikan keinginannya untuk mengelola potensi alam

Pulau Sipadan-Ligitan dengan cara membangun fasilitas pariwisata dan telah melakukan

promosi wisata negara-negara lain sejak tahun 1980.

Soal ini bukan hanya memancing ketidaksenangan beberapa wakil rakyat, tapi

juga Menhankam L.B. Moerdani. Dalam kesempatan rapat kerja dengan Komisi I,

Moerdani mengkritik Malaysia yang cenderung tidak mengindahkan kesepakatan status

quo atas kedua pulau itu, bahkan ceroboh membiarkan daerah tersebut dijadikan obyek

pariwisata. Namun, kasus dua pulau itu bukan satu-satunya soal yang akhir-akhir ini

mengganggu hubungan dua negeri sesama rumpun Melayu itu. Perundingan penetapan

landas kontinen tahun 1969 gagal menetapkan status pemilik kedua pulau tersebut.

Indonesia berpendirian, bila garis batas lurus dibuat dari Pulau Sebatik, yang sudah

dibagi dua dengan Malaysia, dua pulau itu mestinya masuk wilayah Indonesia. Malaysia

berpendapat, garis batas itu hanya sampai Pulau Sebatik, sehingga kedua pulau itu bisa

diklaim sebagai wilayah Sabah. Karena gagal dicapai kesepakatan, akhirnya, disepakati

pulau itu bersifat status quo. Artinya, tidak ada kegiatan apa pun di sana sebelum ada

penyelesaian. Namun, Desember 1979, Malaysia mengklaim dua pulau itu sebagai

miliknya berdasar peta baru. Walau Indonesia sudah mengirim nota protes, negara

tetangga itu menegaskan de facto dan de jure, kedua pulau itu miliknya, meski ada juga

kesediaan mereka untuk berunding. Belum lagi perundingan dibuka, Indonesia sudah

membuat nota peringatan kembali tahun 1988 karena adanya kegiatan di Pulau Sipadan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 64: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

48

Pulau Sipadan-Ligitan adalah merupakan pulau yang tak berpenghuni,

keduanya menjadi penting bagi Indonesia karena bisa dijadikan titik untuk menentukan

lebar laut wilayah, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif. Oleh karena itu, pulau

tersebut menjadi penting bukan hanya karena pertimbangan ekonomi tetapi juga untuk

keutuhan wilayah negara.70 Pengakuan Malaysia atas Pulau Sipadan-Ligitan merupakan

upaya Malaysia dalam power seeking. Dengan mengambil alih Pulau Sipadan-Ligitan

berarti wilayahnya bertambah luas dan tentunya Malaysia berhak mengelola segala

sesuatu (Sumber Daya Alam) yang ada di kedua pulau maupun yang terkandung di

dalam lautnya. Bahkan ada kemungkinan untuk mengakui wilayah lain di Indonesia

sebagai miliknya. Padahal Malaysia tahu bahwa kedua pulau tersebut merupakan

wilayah Indonesia, hal ini terbukti melalui peta zaman Belanda yang dikukuhkan

Malaysia pada tahun 1979 di mana tertera Pulau Sipadan-Ligitan merupakan bagian dari

wilayah Indonesia.

Upaya Malaysia untuk merebut Pulau Sipadan-Ligitan membuat Indonesia

semakin berusaha untuk mempertahankan kedua pulau tersebut. Indonesia berusaha

mempertahankan kawasan tersebut sebab secara historis dalam Peta zaman Penjajahan

Belanda kedua pulau tersebut masuk dalam wilayah Indonesia walaupun tidak tertera

pada peta yang menjadi lampiran Perpu No 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim

Teknis Indonesia. Indonesia beranggapan bahwa penduduk yang ada di kedua pulau

tersebut adalah penduduk Indonesia. Alasan ini tidak kuat sebab seperti yang diketahui

bahwa Indonesia dan Malaysia merupakan satu rumpun yaitu Rumpun Melayu sehingga

sangatlah susah untuk membedakan hanya dari ciri fisik dan bahasa yang dipergunakan.

Apalagi penduduk yang berada di daerah perbatasan merupakan campuran dari kedua

negara bersangkutan.

Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa

dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang

dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan nasional

melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan 70Lihat http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=3&k=df&case=102&code=inma&p3=0

Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 65: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

49

Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di

dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya. Didorong

oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan.

Menurut survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga dunia, pemandangan bawah laut yang

ada di Pulau Sipadan, konon memiliki nilai terbaik di dunia. Karena itu, Malaysia telah

berhasil meraih jutaan dolar dari sektor pariwisata di pulau itu sebelum kemudian dihentikan

sementara menyusul proses ini dibawa ke Mahkamah Internasional. Di tengah makin

berkurangnya energi minyak di seluruh dunia, potensi pariwisata menjadi rebutan sebagai

lahan penyumbang devisa nasional.

Pulau Sipadan-Ligitan menjadi arti penting sebagai obyek sengketa, karena

kedua pulau tersebut dapat dijangkau dengan menggunakan kapal hanya dengan waktu

30 menit. Kekayaan alam laut berupa biota laut dan taman laut yang sangat indah yang

ada di perairan Pulau Sipadan-Ligitan mempunyai beranekaragam spesies yang jarang

ditemukan di perairan laut di belahan bumi. Karena perairan yang terdapat di Pulau

Sipadan-Ligitan merupakan pertemuan arus dari Laut Sulawesi, sehingga banyak ikan-

ikan yang bermigrasi dan melewati di sekitar perairan di Laut Sulawesi. Pulau Sipadan-

Ligitan semenjak di klaim oleh Malaysia banyak didirikan resort-resort sebagai tujuan

wisata.

Pulau Sipadan terletak di jantung Indo-Pasifik cekungan, pusat salah satu

habitat laut terkaya di dunia. Lebih dari 3.000 spesies ikan dan ratusan spesies karang

telah diklasifikasikan dalam ekosistem ini.71 Pulau Sipadan telah dinilai oleh para

penyelam banyak dunia sebagai salah satu tujuan utama untuk menyelam di dunia.

Sering terlihat di perairan laut di sekitar Pulau Sipadan oleh para penyelam bahwa di

sekitar Pulau Sipadan terdapat penyu hijau dan penyu sisik (yang menetap dan

bersarang di Pulau Sipadan). Di Pulau Sipadan juga terdapat pula berbagai spesies

pelagis seperti pari manta, pari elang , hiu martil dan hiu paus juga mengunjungi Pulau

Sipadan.72 Pulau Sipadan sendiri menurut para peneliti kelautan (oceanografi) diduga

memiliki kekayaan alam bawah laut yang sangat indah dengan ribuan habitat penyu 71

Lihat http://www.sabah.gov.my/pd.sprn/sipadan.html. 72

Lihathttp://www.scubatravel.co.uk/topdives.html.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 66: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

50

dengan tebaran karang menjalar dari utara ke selatan dan diduga memiliki kandungan

bahan-bahan mineral, minyak dan gas bumi yang dapat dimanfaatkan dan dikelola

secara maksimal sebagai bahan bakar yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan

dapat digunakan sebagai penambah devisa negara dalam menumbuhkan perekonomian

negara.

Untuk itu, Pulau Sipadan-Ligitan menjadi arti penting bagi Indonesia maupun

Malaysia untuk diperebutkan, karena kedua pulau tersebut memiliki keistimewaan

dalam berbagai hal selain kekayaan laut yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek

pariwisata yang dapat menumbuhkan perekonomian negara tetapi juga dapat

dimanfaatkan sebagai garis pertahanan pulau terluar bagi kedua negara dalam menjaga

kedaulatan negara dari serangan negara lain. Sehingga, antara Indonesia dan Malaysia

dalam memperjuangkan argumentasi dengan membawa bukti-bukti yang dimiliki ke

tingkat internasional harus memakan banyak biaya yang tidak sedikit. Indonesia bahkan

dalam memperjuangkan Pulau Sipadan-Ligitan untuk tetap menjadi bagian dari wilayah

kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus mengeluarkan uang negara

sebesar 16 miliar rupiah pada waktu itu untuk membayar pengacara.73

Dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sehubungan dengan terus

bertambahnya jumlah penduduk dunia serta semakin meningkatnya intensitas

pembangunan (industrialisasi), maka perebutan wilayah perbatasan dengan motif utama

penguasaan sumber daya alam baik yang terbarukan (renewable resources) maupun tak

terbarukan (non-renewable resources),74 akan semakin menggejala di masa-masa

mendatang. Terlebih-lebih perairan laut dan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan

Indonesia pada umumnya kaya akan sumber daya alam. Pulau Sipadan-Ligitan memiliki

potensi kekayaan laut yang mempunyai potensi yang banyak dimanfaatkan. Karena di

dalam laut terutama di perairan laut Pulau Sipadan-Ligitan terdapat aneka ragam

potensi, seperti ikan yang tak pernah habis, bahan tambang dan mineral, minyak dan

73 Hasil wawancara dengan Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN) Kemenlu RI pada

tanggal 10 November 2011. 74Lihathttp://www.sabah.gov.my/pd.sprn/sipadan.html.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 67: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

51

gas, energi yang ditimbulkan dari air pasang surut, tenaga ombak, tenaga angin laut,

serta tenaga panas air laut.

Jika dikaji dari aspek ekonomi, bangsa Indonesia telah mengalami kerugian

yang tidak dapat di hitung baik dari segi kerugian akan sumberdaya hayati perairan

pesisir dan laut, maupun dari segi luasan wilayah. Perubahan garis pantai yang secara

jelas mengandung makna bahwa dengan hilangnya Pulau Sipadan-Ligitan memberikan

arti penting dalam perubahan luasan wilayah teritorial kawasan laut Indonesia. Dengan

adanya kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan telah memberikan jawaban bagi negara

lain yakni betapa lemahnya Kedaulatan Negara Indonesia. Indonesia sebagai bangsa

yang besar dan yang memiliki sumber kekayaan alam laut yang begitu melimpah perlu

melakukan berbagai tindakan preventif dalam mengatasi tindakan-tindakan negara lain

yang sengaja ingin merampas akan kedaulatan negara ini selangkah demi selangkah.

Pulau Sipadan-Ligitan menyediakan sumber daya alam yang produktif untuk

dapat dikembangkan misalnya terumbu karang, padang lamun (sea grass), hutan

mangrove, perikanan dan kawasan konservasi serta menjadi faktor penting dalam

menggerakkan pariwisata bahari. Kekayaan alam tersebut dapat memungkinkan adanya

pertumbuhan ekonomi yang pesat khususnya yang bersumber dari kekayaan alam

tersebut. Kekayaan laut di Pulau Sipadan-Ligitan itulah yang menjadi sumber sengketa

antara Indonesia dan Malaysia, karena pemanfaatan kekayaan alam itu nantinya akan

dapat menumbuhkan geliat sektor pariwisata sebagai sumber perekonomian. Menurut

peneliti dari lembaga kelautan bahwa di sekitar perairan Pulau Sipadan-Ligitan

memiliki kandungan mineral, gas dan minyak bumi. Bahkan para peneliti tersebut

mengatakan bahwa kandungan minyak bumi yang berada di sekitar perairan Pulau

Sipadan-Ligitan intensitas cadangan minyak bumi hampir sama dengan cadangan

minyak bumi yang berada di Pulau Ambalat.

\Oleh karena itu, Indonesia dan Malaysia memperebutkan Pulau Sipadan-

Ligitan yang sempat mengakibatkan ketegangan hubungan bilateral di kedua negara.

Pulau Sipadan-Ligitan memang pulau yang tidak berpenduduk, tetapi memang

sebelumnya Malaysia telah membangun sebuah mercusuar di Pulau Sipadan. Malaysia

juga telah membangun berbagai resort bahkan menambah resort-resort tersebut karena

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 68: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

52

pariwisata di Pulau Sipadan semakin ramai dan Malaysia juga mendirikan cagar alam

bagi penangkaran penyu-penyu hijau yang menetaskan telurnya di Pulau Sipadan.

Keindahan pasir putih yang disuguhkan di Pulau Sipadan-Ligitan sangat menarik

wisatawan yang mengunjungi Pulau Sipadan-Ligitan. Pulau Ligitan sendiri memang

lebih sedikit kekayaan lautnya yang dapat dimanfaatkan daripada Pulau Sipadan, tetapi

Pulau Ligitan sangat cocok untuk berbagai olah raga air karena keindahan lautnya yang

jernih dan bersih serta gelombang laut yang sedikit besar dibandingkan dengan Pulau

Sipadan yang gelombang lautnya lebih kecil, sehingga banyak biota laut dan ikan-ikan laut

yang berkumpul di perairan laut di sekitar Pulau Sipadan.

Akhirnya sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang hak kepemilikan atas

Pulau Sipadan-Ligitan memiliki dimensi kepentingan yang luas bagi kedua negara.

Adapun kepentingan utama kedua negara adalah kepentingan atas kedaulatan teritorial

yang akhirnya didukung dengan kepentingan ekonomi. Hal ini akan terbukti jika satu

negara dapat memperoleh kedaulatan teritorialnya atas Pulau Sipadan-Ligitan, maka

negara tersebut akan memanfaatkan hak eksklusif untuk mengelola sumber-smber alam

Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan terbukti bahwa

kepentingan ekonomi begitu kuat mempengaruhi proses penyelesaian sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia. Kepentingan ekonomi mempengaruhi

proses penyelesaian sengketa, karena diyakini Pulau Sipadan-Ligitan memiliki

kekayaan sumber daya laut yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan

dipergunakan sebagai devisa negara dari sektor pariwisata. Kedua negara yang sedang

bersengketa sangat menginginkan Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke kedaulatan wilayah

salah satu negara yang bersengketa karena nilai ekonomi yang menjadi alasannya.

Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah kedaulatan negara Indonesia

merupakan bukti nyata bahwa upaya politis yang dilaksanakan oleh Pemerintah hanya

setengah-setengah. Justru upaya hukum yang diambil dengan membawa penyelesaian

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional (ICJ atau International

Court of Justice) dan selanjutnya hasil dari keputusan para Hakimakan ditulis ICJ.

Dengan keyakinan memiliki bukti-bukti sejarah dan argumentasi yang mendukung

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 69: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

53

permasalahan tersebut Pemerintah menempuh penyelesaian permasalahan sengketa

tersebut melalui upaya hukum, karena upaya politis gagal ditempuh Pemerintah.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 70: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

BAB 3

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEGAGALAN PEMBUATAN

KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN-

LIGITAN TAHUN 2002

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang faktor-faktor yang

menyebabkan kegagalan pembuatan kebijakan politik luar negeri dan lepasnya Pulau

Sipadan-Ligitan tahun 2002. Bahwa hal yang akan dibahas antara lain Kegagalan

Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri dalam

Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Perundingan Bilateral, Faktor yang

Menyebabkan Kegagalan PemerintahIndonesia Membuat Formulasi Kebijakan Politik

Luar Negeri, Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Terkait Lepasnya

Pulau Sipadan-Ligitan Pada Masa Presiden Megawati Soekarnoputri, Politik Luar

Negeri Indonesia dalam Usaha Integritas Teritorial,Aktor Negara yang Menyebabkan

Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar

Negeri,Sikap Saling Mempengaruhi antara Menteri Luar Negeri, Menteri Koordinator

Politik dan Keamanan dengan Komisi I DPR RI dalam Penyelesaian Sengketa Pulau

Sipadan-Ligitandan Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan

Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri.

3.1 Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan

Politik Luar Negeri dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Perundingan

Bilateral

Pada tanggal 9-22 September 1969 adalah awal dari sengketa terhadap

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan di mana saat itu diadakan perundingan bilateral

mengenai batas landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam perundingan

bilateral yang akan merumuskan batas-batas wilayah Indonesia dan Malaysia itu

ternyata Pulau Sipadan-Ligitan belum diketahui secara jelas kepemilikannya. Pada

waktu proses pelaksanaan perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia belum

ditentukan negara mana yang mempunyai hak atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

54 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 71: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

55

Akhirnya pada tahap akhir perundingan bilateral yaitu pada tanggal 22 September 1969

kedua negara membuat kesepakatan bahwa Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam

posisi status quo. Artinya bahwa Pulau Sipadan-Ligitan tidak boleh ditempati dan diduki

oleh pihak manapun baik Indonesia maupun Malaysia.

Kesepakatan pada tahun 1969 ini ternyata dilanggar oleh Malaysia. Pada tahun

1976, Direktorat Pemetaan Negara Malaysia dan Department of Lands and Surveys

Sabah memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam Peta Bumi Sabah di wilayah

hukum Samporna. Peta yang dikeluarkan pada tahun 1976 merupakan pengganti dari

Peta Bumi Sabah Sarawak yang dikeluarkan Directorat of National Mapping Malaysia

pada tahun 1972. Di dalam peta tahun 1972 tidak dicantumkan Pulau Sipadan dalam

Peta Bumi Wilayah Malaysia, tetapi peta yang dibuat pada tahun 1976 telah

memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan secara resmi ke dalam kedaulatan wilayah teritorial

Malaysia. Pihak Malaysia juga sekaligus menarik garis pangkal (base line) laut teritorial

yang ditetapkan secara sepihak di Laut Sulawesi dan Malaysia yang menghubungkan

bagian dari Pulau Sebatik dengan Pulau Sipadan-Ligitan. Kebijakan Pemerintah

Malaysia yang memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam peta nasionalnya ini masih

dilanjutkan dengan melakukan pengelolaan keindahan Pulau Sipadan-Ligitan menjadi

sebuah objek pariwisata. Sehingga dari kegiatan tersebut Pemerintah Indonesia

melakukan protes terhadap Pemerintah Malaysia, namun tidak mendapatkan tanggapan dari

Pemerintah Malaysia.

Serangkaian aksi unilateral yang dilakukan Malaysia yang melanggar

kesepakatan status quo dengan Indonesia mengenai wilayah teritorial Pulau Sipadan-

Ligitan pada tahun 1969 menjadi sebuah awal persengketaan antara Indonesia dan

Malaysia. Upaya untuk menyelesaikan persoalan mengenai status Pulau Sipadan-

Ligitan serta sekaligus untuk mengantisipasi berkembangnya konflik, maka antara

Indonesia sepakat mengambil jalan politis dengan mengadakan berbagai rangkaian

perundingan bilateral dengan Malaysia sebagai bentuk penyelesaian sengketa secara

diplomatik. Penyelesaian secara politis yaitu dengan mengadakan perundingan bilateral yang

diupayakan Indonesia merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 72: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

56

Karena paling sedikit ada empat cara penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan pada waktu itu, yaitu Pertama mengadakan

perundingan bilateral. Kedua, yaitu dengan status quo selama lima tahun dan baru

diadakan kembali perundingan. Ketiga, yaitu melalui Dewan Agung (High Council)

seperti yang termaktub dalam Treaty of Amity and Coorporation in Southeast Asia atau

dikenal sebagai Deklarasi Bali tahun 1976. Keempat, yaitu melalui Jasa Baik (Good

Office) Negara yang menjadi Ketua ASEAN Regional Forum (ARF Chair). Pemerintah

Indonesia mengambil langkah pertama yaitu melalui jalan politis dengan mengajak

Malaysia mengadakan perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan secara politis yang dilakukan oleh Indonesia melalui

perundingan bilateral telah sesuai dengan Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang

berbunyi “Sengketa Internasional harus diselesaikan melalui penyelesaian

diplomatik, penyelesaian regional atau cara-cara dari penyelesaian pilihan para pihak yang

bersengketa”.

Perundingan bilateral yang dilaksanakan oleh Indonesia dengan Malaysia

dalam penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan antara lain terdiri dari:

3.1.1.Perundingan Bilateral Indonesia dengan Malaysia Tahun 1989

Perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia dimulai pertama kali pada

tahun 1989. Presiden Soeharto (Indonesia) dan PM Mahathir Mohammad (Malaysia)

mengadakan sebuah pertemuan di Yogyakarta. Kedua pemimpin negara tetangga di

kawasan Asia Tenggara tersebut membahas penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia. Kesepakatan di antara

kedua belah pihak ternyata tidak tercapai, bahkan Presiden Soeharto dan PM Mahathir

Mohammad mengaku kesulitan menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan dalam kerangka perundingan bilateral. Dalam perundingan

bilateral tersebut bahkan belum dapat mencapai kesepakatan mengenai cara

penyelesaian yang harus dilakukan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 73: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

57

Setelah pertemuan di Yogyakarta pada tahun 1989 tidak menghasilkan

kesepakatan antara kedua belah pihak, pada bulan Juni tahun 1991 TNI Angkatan

Lautan Republik Indonesia menangkap sebuah kapal nelayan berbendera Malaysia

yang menagkap ikan di perairan dekat Pulau Sipadan-Ligitan yang sedang menjadi

obyek sengketa. Aksi penangkapan tersebut dilakukan oleh pihak Indonesia dengan

maksud untuk memperingatkan Malaysia bahwa Pulau Sipadan-Ligitan masih dalam

status quo. Di samping itu Malaysia juga mengembangkan Pulau Sipadan-Ligitan

sebagai lokasi pariwisata.75

Pada tanggal 5 Juni 1991, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas meminta

Malaysia untuk menghentikan pembangunan tempat wisata (resort) di Pulau Sipadan-

Ligitan, karena status Pulau Sipadan-Ligitan masih bergantung pada kesepakatan

pembicaraan dalam perundingan bilateral yang masih berlangsung. Kesepakatan dalam

pembicaraan dalam perundingan bilateral tersebut bahwa Pulau Sipadan-Ligitan dalam

keadaan status quo. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1991 diadakan pertemuan ke-16

Komite Perbatasan Bersama (GBC atau General Border Committee)Indonesia dan

Malaysia di Yogyakarta yang membahas tentang Survey dan Pemetaan Daerah

Perbatasan. Kemudian, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk tidak melakukan aktivitas

apapun di Pulau Sipadan-Ligitan sampai ada kejelasan status kepemilikan.

3.1.2.Perundingan Melalui Mekanisme JWG(Joint Working Group)

Perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia pada tanggal 22 Juli 1991

di Kuala Lumpur kemudian berhasil membentukJCM (Joint Commission

Meeting)Indonesia-Malaysia atau Komisi Bersama Indonesia-Malaysia. Komisi

Bersama Indonesia-Malaysia ini kemudian membentuk sub komisi untuk mengatasi

sengketa wilayah di Pulau Sipadan-Ligitan yang disebut dengan Joint Working Group

in Sipadan and Ligitan (JWG). Dengan pembentukan komisi ini, persoalan Pulau

Sipadan-Ligitan diharapkan dapat diselesaikan dengan kerangka perundingan bilateral antara

Indonesia dan Malaysia. Pada pertemuan Komisi Perbatasan Bersama (GBC) 75“Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Takkan Ganggu Hubungan Indonesia-Malaysia” dalam Kompas, 30 Juni 1993

hlm .9.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 74: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

58

Indonesia-Malaysia ke-20 di Kuala Lumpur tanggal 28 Januari 1992, Indonesia dan

Malaysia menyetujui suatu kebijakan non agresi untuk menyelesaikan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

Perundingan diadakan lagi pada tanggal 6 Juli 1992 bertempat di Jakarta yaitu

Pertemuan Kelompok Kerja Gabungan (JWG atau Joint Working Group) tentang Pulau

Sipadan-Ligitan. Antara Indonesia dan Malaysia pada pertemuan tersebut saling

menyerahkan dokumen dan peta yang dimiliki mengenai posisi Pulau Sipadan-Ligitan.

Dokumen yang diserahkan oleh Indonesia dan Malaysia antara lain adalah Konvensi

1891, Traktat Paris 1898, Konvensi Amerika Serikat-Spanyol 1930, Konvensi Inggris-

Amerika Serikat 1930 dan Traktat antara Sultan Sulu dan Spanyol. Pada pertemuan

tersebut yang menjadi Ketua Delegasi Indonesia adalah Direktur Jenderal Politik

Departemen Luar Negeri Wiryono Sastrohandoyo dan adapun dari pihak Malaysia

dipimpin oleh Ketua Setia Usaha Malaysia (Sekjen Kemenlu Malaysia) Tan Sri Ahmad

Kamil Jaafar.76

Setelah pertemuan yang diadakan pada tanggal 6 Juli 1992 yang bertempat di

Jakarta, kemudian Deputi Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba mengeluarkan

pernyataan yang bernada konfrontatif pada tanggal 20 Desember 1992. Pernyataan dari

Deputi Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba berisi bahwa mengharapkan Indonesia

mencabut klaimnya atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Tetapi pernyataan Deputi

Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba tersebut tidak mendapatkan tanggapan apapun

dari pihak Indonesia.

Perundingan antara Indonesia dan Malaysia dilanjutkan kembali pada tanggal

5 Februari 1993. Pertemuan Komisi Bersama Indonesia-Malaysia (JCM atau Joint

Commission Meeting) bertempat di Jakarta. Di dalam kesempatan tersebut, Indonesia

dan Malaysia sepakat untuk menangguhkan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan untuk kemudian dibicarakan dalam pertemuan lanjutan kelompok kerja

bersama Indonesia-Malaysia tentang Pulau Sipadan-Ligitan. Selanjutnya pada tanggal

17 Juli 1993 Presiden Soeharto bertemu dengan Perdana Menteri Mahathir Mohammad 76

Lihat“Indonesia-Malaysia Tukar Menukar Dokumen Tentang Pulau Sipadan-Ligitan” dalamKompas, 8 Juli 1992

hlm. 6.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 75: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

59

dalam rangkaian kunjungan atas undangan Perdana Menteri Malaysia. Dalam

pertemuan tersebut bahwa kedua pemimpin negara sepakat akan segera menyelesaikan

permasalahan sengketa kepaemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang telah terjadi sejak

tahun 1969 dan hingga sampai saat ini belum ada titik temu penyelesaian permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

Pada tanggal 26-28 Januari 1994 berlangsung pertemuan Kelompok Kerja

Gabungan (JWG atau Joint Working Group) Pulau Sipadan-Ligitan di Kuala Lumpur,

Malaysia. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Izhar Ibrahim sementara delegasi Malaysia

dipimpin oleh Budiarto Shambazy. Ketua delegasi Indonesia pada waktu itu

mengharapkan agar pertemuan Kelompok Kerja Gabungan Pulau Sipadan-Ligitan dapat

menghasilkan sebuah langkah maju dam penyelesaian sengketa secepatnya. Izhar

Ibrahim juga menegaskan perlu adanya peningkatan usaha untuk menuntaskan sengketa

antara Indonesia dan Malaysia. Untuk itu, argumen-argumen yang dikemukakan oleh

masing-masing pihak harus dibahas secara rinci. Pihak Indonesia dan Malaysia sepakat untuk

mencari bukti-bukti tambahan untuk memperkuat argumen dan posisi mereka di

perundingan selanjutnya.77

Pada tanggal 7-9 September 1994 diadakan pertemuan ke-3 JWG (Joint

Working Group) di Jakarta. Indonesia menyatakan posisinya yang kuat sebagai pemilik

sah atas Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam perundingan bilateral tersebut Indonesia

mengajak Malaysia untuk menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilkikan Pulau

Sipadan-Ligitan ke Dewan Tinggi ASEAN sebagai mekanisme yang memadai untuk

menuntaskan sengketa tersebut. Karena Indonesia menganggap bahwa perundingan

bilateral masih diperlukan dan mekanisme penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan harus melibatkan pihak ketiga. Dan pelibatan pihak

ketiga yang dimaksud menurut Indonesia sebaiknya melalui Dewan Agung ASEAN

atau ASEAN High Council. Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council

merupakan sebuah lembaga yang didirikan untuk menyelesaikan konflik antar angota 77

Lihat “Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Agar Lebih Cepat Selesai” dalam Kompas, 27 Januari 1994,

hlml. 4 dan “Pulau Sipadan-Ligitan Dibahas Bulan Mei di Indonesia” dalam Kompas, 29 Januari 1994

hlm. 9.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 76: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

60

negara-negara ASEAN. Dan pada pertemuan ke-3 Kelompok Kerja Bersama (JWG atau

Joint Working Group) di Jakarta ini tidak membuahkan kesepakatan bersama. Akhirnya

kedua delegasi akan melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Menteri Luar Negeri

masing-masing negara melalui JCM atau Joint Commission Meeting.

3.1.3.Perundingan Indonesia dan Malaysia Tahun 1995

Pada tanggal 13 Februari 1995, Malaysia menyelidiki laporan bahwa Indonesia

telah memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia di

peta nasionalnya. Untuk meredam situasi yang mengarah kepada ketegangan antara

Indonesia dengan Malaysia, maka pada tanggal 22 Februari 1995 Menteri Luar Negeri

Malaysia Abdullah Badawi mendesak diselenggarakannya perundingan bilateral

lanjutan antara Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, Pemerintah Malaysia

mengusulkan untuk melaksanakan perundingan bilateral tingkat tinggi dengan

Pemerintah Indonesia. Permintaan Pemerintah Malaysia untuk dilaksanakan

perundingan bilateral tingkat tinggi tersebut dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia.

Pada tanggal 6-9 Juni 1995 diadakan Pertemuan Komisi Bersama

IndonesiaMalaysia bertempat di Jakarta. Indonesia dan Malaysia sepakat segera

menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan secara bilateral

dengan jalur konsultasi informal yang bersifat politis di tingkat Menteri. Indonesia dan

Malaysia juga sepakat menunjuk wakil khusus, untuk Indonesia diwakili oleh Menteri

Sekretaris Negara Moerdiono dan Malaysia diwakili oleh Wakil Perdana Menteri Anwar

Ibrahim. Wakil khusus yang ditunjuk oleh kedua negara tersebut akhirnya mengadakan 4

(empat) pertemuan perundingan bilateral yaitu pada tanggal 17 Juli 1995 bertempat di

Jakarta, 22 September 1995 bertempat di Kuala Lumpur, 26 September 1995

bertempat di Jakarta, dan 21 Juni 1996 bertempat di Kuala Lumpur.

Pertemuan wakil khusus yang diadakan pada tanggal 17 Juli 1995 bertempat di

Jakarta membahas dan mempelajari serta mengevaluasi hasil perundingan bilateral yang

telah dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam rangka Komisi Kerja Bersama

(JWG atau Joint Working Group). Berdasarkan pertemuan tersebut, kedua wakil khusus

menyatakan bahwa dokumen-dokumen dan argumentasi-argumentasi baik dari pihak

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 77: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

61

Indonesia maupun dari pihak Malaysia yang disampaikan dalam perundingan-

perundingan bilateral terdahulu ternyata tidak dapat menyelesaikan permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Akhirnya kedua wakil khusus tersebut

menegaskan perlu diadakannya perundingan bilateral lanjutan untuk mencari solusi atas

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan mempertimbangkan

suasana bersahabat antara Indonesia dan Malaysia sebagai negara yang bertetangga.

Pertemuan kedua wakil khusus diadakan kembali pada tanggal 22 September

1995 bertempat di Kuala Lumpur. Pertemuan tersebut diadakan dalam 3 tahap

perundingan bilateral, yaitu 2 tahap perundingan pribadi dan 1 tahap perundingan yang

melibatkan senior officials dari Indonesia dan Malaysia yang menyampaikan verbal

presentation dan counter-arguments.78 Setelah penyampaian verbal presentation dan

counter-arguments, kemudian kedua wakil khusus menyatakan bahwa

argumentasiargumentasi yang disampaikan tidak jauh berbeda dengan

argumentasi-argumentasi pada perundingan-perundingan bilateral yang terdahulu,

sehingga tidak ada arguments dan counter-arguments yang baru. Kedua wakil khusus

tersebut menyadari bahwa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sulit

untuk diselesaikan karena pihak-pihak yang bersengketa merasa mempunyai atau memiliki

bukti-bukti yang kuat yang terus dipertahankan.

Pertemuan wakil khusus yang diselenggarakan kembali pada tanggal

26 September 1995 bertempat di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, kedua wakil

khusus kedua negara mencari penyelesaian yang tepat. Akhirnya kedua wakil khusus

kedua negara menyepakati bahwa penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan adalah melalui hukum internasional. Langkah tersebut diambil

karena menurut kedua wakil khusus bahwa melalui jalur hukum internasional akan

mendorong negara-negara lain yang terlibat permasalahan sengketa akan menyelesaikan

sengketa secara bilateral. Dari langkah yang telah disepakati tersebut, maka Indonesia

78Lihat “Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari

Selasa tanggal 26 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 78: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

62

mau tidak mau harus mengikuti kesepakatan penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui jalur hukum internasional dengan

melibatkan pihak ketiga yaitu Mahkamah Internasional. Untuk itu Indonesia harus

menerima konsekuensi tersebut, karena dari hasil keputusan Mahkamah Internasional

nantinya hasilnya tidak akan dapat mendukung dalam proses perumusan kebijakan

politik internasional.

3.1.4. Perundingan Tingkat Tinggi antara Kepala Negara

Sebagai tindak lanjut dari pertemuan antara wakil khusus kedua negara

tersebut, maka pada tanggal 7 Oktober 1996 Presiden Soeharto (Indonesia) dan Perdana

Menteri Mahathir Mohammad (Malaysia) setuju menyelesaikan permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui Mahkamah Internasional. Sementara itu

Pemerintah Malaysia sejak tanggal 19 Oktober 1996 memutuskan untuk menghentikan

proyek-proyek di Pulau Sipadan-Ligitan. Selanjutnya pada tanggal 13 Desember 1996

antara Indonesia dan Malaysia sepakat untuk membentuk sebuah tim tingkat pejabat

tinggi guna memformulasikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau SipadanLigitan

yang sebenarnya untuk dibawa ke Mahkamah Internasional.

Pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat di Kuala Lumpur, Indonesia dan Malaysia

resmi memulai proses penentuan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan dengan

menyerahkan permasalahan sengketa kepada Mahkamah Internasional. Kemudian,

Indonesia dan Malaysia menandatangani “Special Agreement for the Submission the

International Court of Justice on the Dispute between Indonesian and Malaysia

concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan.79 Indonesia dan

Malaysia saling tukar menukar naskah Piagam Ratifikasi Persetujuan Khusus bagi

penyempurnaan ke Mahkamah Internasional pada tanggal 14 Mei 1998. Proses

pertukaran instrumen ratifikasi ditandatangani oleh Direktur Jenderal Politik

Departemen Luar Negeri Indonesia Nugroho Wisnumurti dan Duta Besar Malaysia

untuk Indonesia Dato‟ Zainal Abidin bin Alias. Akhirnya pada tanggal 2 November 79

Lihat “Kesepakatan Soeharto-Mahathir bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional”, diperoleh dari

http://www.hamline.edu.[Diakses pada hari Senin, 25 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 79: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

63

1998 Indonesia dan Malaysia menyampaikan Notifikasi Bersama mengenai Pengajuan

Sengketa Kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional. Dengan

langkah yang telah disepakati yaitu menyerahkan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan, maka Indonesia tidak dapat melanjutkan langkah politisnya yaitu melalui

perundingan bilateral agar dapat mendapatkan hasil yang akan digunakan dalam proses

perumusan kebijakan politik luar negeri.

Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan berlanjut pada masa

pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan mengutus Menlu Hasan

Wirajuda dan Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono pada saat itu. Sebagai kepala

negara, Presiden Megawati Soekarnoputri bertanggungjawab atas segala kebijakan

politiknya yang berdampak pada politik dalam negeri dan luar negeri. Peran Presiden

Megawati Soekarnoputri dalam penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sebagai

pengambil kebijakan politik untuk menentukan arah Pada masa pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri bukannya tidak melakukan langkah-langkah nyata dalam

proses penyelesaian sengketa Pula Sipadan-Ligitan. Perundingan diplomasi dengan

Malaysia yang dilakukan oleh Menlu Hasan Wirajuda dan Menkopolkam Susilo

Bambang Yudhoyono telah dilaksanakan dengan optimal tetapi tidak mendapatkan hasil

yang diharapkan oleh Pemerintah. Pemerintah berharap dari setiap perundingan yang

dilaksanakan dengan Malaysia dapat menghasilkan keputusan yang dapat digunakan

sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan politik luar negeri.

Peran Menlu Hasan Wirajuda adalah sebagai ketua delegasi dalam perundingan

diplomasi dengan Malaysia telah melaksanakan tugas sesuai arah diplomasi dan misi

yang dibawa oleh pemerintah Indonesia. Menlu Hasan Wirajuda dalam setiap

perundingan diplomasi mengajak Malaysia untuk menyelesaikan sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan ke tingkat regional dengan cukup membawa permasalahan sengketa

tersebut ke Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council. Dikatakan demikian,

karena Indonesia dan Malaysia merupakan bagian dari negara ASEAN dan merupakan

negara penggagas berdirinya ASEAN, sehingga tidak perlu permasalahan sengketa Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 80: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

64

tersebut dibawa ke Mahkamah Internasional.80Menlu Hasan Wirajuda hanya bertugas

melanjutkan perundingan secara diplomasi agar dapat membujuk Malaysia untuk tidak

meneruskan permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional.

Sedangkan peran Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono dalam proses

diplomasi adalah sebagai mediator politik dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.

Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai tugas menjembatani proses

diplomasi dengan Malaysia untuk langkah-langkah secara politik yang harus diambil

supaya penyelesaian sengketa diselesaikan pada tingkat ASEAN. Bukan hal yang

mudah untuk membujuk Malaysia agar tetap melaksanakan perundingan secara

diplomasi meskipun hasil yang dicapai mengalami kebuntuan, karena setiap hasil

perundingan tersebut sangat berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan politik luar

negeri oleh Pemerintah. Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono terus mencari

solusi untuk membujuk wakil delegasi Malaysia untuk menyelesaikan permasalahan

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan cukup di tingkat ASEAN melalui Dewan Agung

ASEAN atau ASEAN High Council.

3.2 Faktor Yang Menyebabkan Kegagalan PemerintahIndonesia Membuat

Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri

Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang

diambil oleh Pemerintah Indonesia dengan jalan membawa persoalan sengketa ke

Mahkamah Internasional dipandang merupakan langkah yang salah. Indonesia melalui

wakil khususnya memberanikan diri untuk memutuskan bahwa dalam menyelesaikan

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melului pihak ketiga tetapi

ditempuh lewat jalur hukum internasional dan membawa persoalan sengketa tersebut ke

Mahkamah Internasional. Wakil khusus dari Indonesia dengan berbagai pertimbangan

bahwa telah cukup dengan adanya bukti-bukti yang dimiliki Indonesia maka apabila

diselesaikan melalui jalur hukum internasional akan diperoleh hasil yang diharapkan,

karena menurut wakil khusus Indonesia penyelesaian permasalahan sengketa

80

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat

seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di Gedung Kemlu RI).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 81: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

65

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui upaya politis yaitu dengan cara perundingan

bilateral telah mengalami kebuntuan. Sehingga hasil yang diharapkan Indonesia dari

perundingan bilateral yang akan dijadikan dasar dalam proses perumusan kebijakan

politik luar negeri selalu mengalami kegagalan.

Upaya politis Indonesia melalui perundingan bilateral gagal diupayakan,

karena dengan sikap yang optimis wakil khusus lebih mempercayakan penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum

internasional. Apabila diperjuangkan dengan sungguh-sungguh tanpa harus membawa

bukti-bukti sejarah, Indonesia bisa terus melanjutkan upaya politisnya melalui Dewan

Agung ASEAN atau ASEAN High Council.81 Indonesia melalui wakil khusus

seharusnya mampu mengajak Malaysia untuk lebih mengutamakan membawa

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan apabila dalam

berdiplomasi lebih profesional. Karena Indonesia merupakan penggagas berdirinya

ASEAN, sehingga dengan kekuatan politiknya dapat mempengaruhi anggota

negaranegara ASEAN lainnya untuk membantu dalam penyelesaian permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan pada saat itu pula Malaysia juga

sedang berkonflik dengan Filipina yaitu mengenai perbatasan.

Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan PemerintahIndonesia membuat

formulasi kebijakan politik luar negeri antara lain terdiri dari:

3.2.1 Faktor Masyarakat yang Tinggal di Daerah Perbatasan

Masalah batas negara merupakan masalah politis dan kompleks, di mana

perubahan batas negara terkadang terjadi setiap saat yang diakibatkan karena masalah

fenomena alam. Masalah yang berkaitan dengan fenomena alam misalnya tsunami,

kenaikan permukaan laut, abrasi dan reklamasi pantai, serta masalah aktivitas manusia

yang dapat menyebabkan terjadinya Perubahan Garis Pangkal. Permasalahan lain adalah

pergeseran dalam struktur dan tata kehidupan politik, bisa terjadi akibat perang,

81Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada

hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 82: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

66

persetujuan-persetujuan baru ataupun penggabungan wilayah. Faktor penduduk di

daerah perbatasan juga sangat penting untuk dibina. Karena ditemukan bahwa dalam

kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sebelum diperebutkan antara Indonesia dan

Malaysia, bahwa penduduk Pulau Sipadan-Ligitan telah banyak yang memiliki Kartu

Tanda Penduduk Malaysia, sehingga kedudukannya menguatkan bagi Malaysia padahal

Pulau Sipadan-Ligitan masih dalam sengketa.82

Untuk memperkuat penduduk di perbatasan dalam hal ini penduduk di Pulau

Sipadan-Ligitan, seharusnya Pemerintah Indonesia memberikan fasilitas-fasilitas untuk

meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat atau penduduk di Pulau Sipadan-

Ligitan. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus mengusahakan agar perekonomian

masyarakat atau penduduk di Pulau Sipadan-Ligitan lebih sejahtera dibandingkan

dengan perekonomian Malaysia. Biasanya patok atau pagar perbatasan dapat saja

berpindah tempat karena dipindahkan oleh penduduknya sendiri yang merasa

kehidupannya tidak diperhatikan oleh negaranya atau dalam hal ini Pemerintah pusat.

Artinya, karena di wilayah negara tetangganya lebih makmur dan diperhatikan

kesejahteraannya, sehingga kemakmuran tersebut ternyata hanya dibatasi oleh garis

pembatas negara.

Faktor masyarakat juga menjadi salah satu penyebab Indonesia kehilangan

wilayah kedaulatan, yaitu lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan. Pemerintah Indonesia

mengakui sangat kesulitan dalam mendata penduduk yang tinggal di pulau-pulau yang

tersebar dari Sabang sampai Merauke karena penduduknya yang tinggal menyebar.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia mengalami hambatan dalam upaya perundingan

bilateral salah satunya dengan adanya penduduk yang telah mempunyai kartu tanda

penduduk Malaysia secara otomatis penduduk tersebut telah menjadi warga negara

Malaysia.83 Hambatan tersebut diakui oleh Pemerintah Indonesia karena tidak adanya

perhatian dari Pemerintah pusat akan tingkat kesejahteraan ekonomi, sehingga

penduduk sekitar Pulau Sipadan-Ligitan lebih baik meninggalkan kewarganegaraan 82

Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari ,

Senin, 10 Desember 2012. 83

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat

seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di Gedung Kemlu RI).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 83: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

67

demi memperbaiki kualitas hidupnya. Upaya tersebut merupakan usaha politik ekonomi

yang sengaja dilakukan Malaysia untuk memberikan kesempatan kepada penduduk yang

berada di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan.84

Pemerintah Indonesia sebenarnya berupaya untuk memberikan kesejahteraan

ekonomi dan kehidupan yang layak bagi penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan

dengan cara memberi alokasi dana melalui Pemerintah daerah setempat tetapi kurang

optimal. Upaya politik lain Pemerintah Indonesia selain melalui perundingan bilateral

dengan upaya mengajak penduduk di sekitar wilayah Pulau Sipadan-Ligitan untuk

kembali ke wilayah Indonesia melalui pemahaman wawasan nusantara. Faktor

masyarakat merupakan salah satu penyebab kegagalan Pemerintah Indonesia dalam

proses perumusan pembuatan kebijakan politik luar negeri, karena PemerintahIndonesia

tidak mendapatkan dukungan politik dari penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan

mengenai persoalan penyelesaian permasalahan sengketa yang melibatkan Malaysia.85

Hal lain penyebab masyarakat tidak memberikan atas proses politik Pemerintah

Indonesia, karena penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan kecewa atas ketidakadilan

pemerataan pembangunan dan kesejahteraan perekonomian yang diberikan Pemerintah

pusat.Kurangnya rasa kesadaran bangsa Indonesia terhadap negaranya sebagai negara

kepulauan yang berciri nusantara. Belum tumbuh dan berkembangnya pemahaman dan

rasa bangga terhadap realita “Indonesia sebagai Negara Kepulauan” juga menjadi faktor

utama penyebab masyarakat kurang mendukung Pemerintah dalam pembuatan

perumusan kebijakan politik luar negeri.

Penduduk yang tinggal di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan merasa telah diberikan

kesejahteraan ekonomi oleh Pemerintah Malaysia, sehingga enggan untuk kembali

menjadi warga negara Indonesia. Upaya Malaysia menurut Pemerintah Indonesia

merupakan upaya politik ekonomi guna memberikan pengaruhnya kepada penduduk di

sekitar Pulau Sipadan-Ligitan yang masih menjadi obyek sengketa antara Indonesia dan

84Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada hari

Kamis, 13 Desember 2012. 85

Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember

2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 84: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

68

Malaysia. Fungsi kesejahteraan dan kemakmuran terletak pada negara, untuk mencapai

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat diperlukan campur tangan dan peran aktif dari

negara. Jadi, faktor masyarakat juga mempengaruhi dalam proses perumusan

pembuatan kebijakan politik luar negeri, karena masyarakat dibutuhkan guna

mendapatkan masukan dan saran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi

Pemerintahdalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri.

Pertimbanganpertimbangan dari masyarakat juga sebagai bentuk kepedulian terhadap

keutuhan wilayah negara Indonesia. Di samping itu, peran aktif masyarakat

khususnya masyarakat atau penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan sangat

dibutuhkan karena masyarakat atau penduduk tersebut yang mempunyai informasi

tentang aktivitasaktivitas yang dilakukan Pemerintah Malaysia dalam berbagai hal

menyangkut proses penyelesaian permasalahan sengketa.

Faktor masyarakat merupakan dukungan bagi suatu proses perumusan

kebijakan politik luar negeri, karena kurangnya dukungan suara dan peran aktif dari

masyarakat akan mendapatkan hasil yang kurang maksimal dalam proses perumusan

kebijakan politik luar negeri. Dibutuhkan suatu desakan dari Pemerintah Indonesia

untuk memobilisir seluruh sumber daya yang ada dalam masyarakat untuk membantu

mendukung proses perundingan bilateral atau diplomasi internasional Indonesia dalam

mengatasi persoalan permaslahan sengketa wilayah kedaulatan. Hal tersebut diperlukan,

karena tantangan politik luar negeri Indonesia sebagai negara kepulauan semakin keras,

belum lagi perubahan-perubahan permasalahan di dunia internasional yang begitu

mendadak dan sulit untuk segera dilakukan antisipasi.

3.2.2 Faktor Internal dan Politik Luar Negeri Indonesia

Kembalinya minat atau keinginan untuk memainkan peranan internasional

yang lebih efektif dalam menyikapi penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya harus diimbangi dengan upaya secara politis dengan

sungguh-sungguh. Politik luar negeri tidak hanya dapat dijalankan berdasarkan

keinginan para elit negara sebagai pembuat keputusan (Pemerintah) dan pelaksana

kebijakan (diplomat). Di samping pentingnya memperhitungkan konteks strategis di

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 85: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

69

lingkungan internasional yang telah banyak berubah sejak dirumuskannya politik luar

negeri bebas aktif pada tahun 1948, Indonesia juga harus memperhitungkan keadaan

dan perubahan-perubahan dalam konteks domestik. Keinginan-keinginan di bidang

politik luar negeri harus selalu disesuaikan dengan kapasitas, kepentingan dan keadaan

di dalam negeri. Dengan kata lain, dibutuhkan suatu desain politik luar negeri yang

baru, yang tidak lagi terpenjara dalam romantisme masa lalu atau bukti-bukti sejarah,

namun lebih mencerminkan kebutuhan masa sekarang dan masa depan.

Faktor-faktor internal mempengaruhi proses perumusan kebijakan politik luar

negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga

menyebabkan suatu kegagalan:86Pertama, politik luar negeri yang dijalankan oleh

Pemerintah selama perundingan belum sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan

nasional. Hal demikian terjadi, karena Pemerintah belum menjamin hak dan kebutuhan

masyarakat atau penduduk di sekitar wilayah Pulau Sipadan-Ligitan untuk memperoleh

kehidupan yang layak sebagai tujuan inti nasional yang harus dipenuhi. Kedua, opini

dari masyarakat atau publik dalam proses perumusan kebijakan kurang mendapatkan

respon atau tanggapan dari Pemerintah, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru.

Politik luar negeri tidak dapat lagi dianggap sebagai ranah (domain) eksklusif para elit

negara sebagai pembuat kebijakan. Sebagai negara demokrasi, politik luar negeri

Indonesia harus mencerminkan aspirasi publik atau masyarakat secara luas. Namun

terkadang opini publik atau masyarakat tidak selalu rasional dan ada kalanya dapat

menjadi kontraproduktif bagi kepentingan nasional sehingga perlu untuk dikaji ulang.

Ketiga, berubahnya struktur pengambilan keputusan di mana Pemerintah bukan

lagi merupakan satu-satunya aktor dalam sebuah perundingan bilateral untuk

memperoleh hasil sebagai dasar proses perumusan kebijakan politik. Seiring dengan

terkonsolidasinya demokrasi, maka peran masyarakat warga (civil society) akan

semakin penting. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan peran masyarakat untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan

politik sama sekali tidak ada. Dunia semakin ditandai oleh kecenderungan koalisi dan 86

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 86: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

70

interaksi yang semakin intensif yang bersifat lintas batas negara (transnational) di

antara organisasi-organisasi masyarakat warga. Oleh karena itu, keikutsertaan

masyarakat warga dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri merupakan suatu

keniscayaan apabila Pemerintah menginginkan adanya politik luar negeri yang legitimate

serta didukung secara luas oleh konstituen di dalam negeri.

Faktor lain yang menyebabkan Pemerintah Indonesia dinilai gagal

merumuskan kebijakan politik luar negeri antara lain:87

1. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu tapal batas (border).

2. Kurang fokusnya Pemerintah dalam mengakomodasikan aspek geopolitik dalam

menentukan kepentingan pertahanan.

3. Kurang akuratnya analisis Pemerintah terhadap perkembangan negara-negara

major power di kawasan regional.

4. Belum optimal dan seriusnya pemerintah dalam memperhatikan karakteristik

geografi/wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia guna mengakomodasikan

geopolitik berkaitan dengan pembangunan.

3.2.3 Faktor Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan Politik

Aktor negara sebagai pembuat kebijakan politik merupakan elemen paling

utama bagi kepentingan nasional. Sebagai aktor negara (Pemerintah) seharusnya

mengikutsertakan peran masyarakat warga untuk ikut aktif dalam mengikuti

perkembangan dan situasi politik di dalam negeri maupun luar negeri melalui opini

publik. Kepemimpinan sebagai aktor negara diperlukan dalam mengeluarkan sebuah

kebijakan politik. Di mana kebijakan politik luar negeri dapat digunakan sebagai alat

untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikannya.

Di Indonesia telah mengalami pergantian rezim atau masa Pemerintahan, dari Orde

Lama menjadi Orde Baru dan sampai saat ini masa Reformasi. Masa transisi masing -

masing Pemerintahan memiliki catatan-catatan politik luar negeri yang berbeda-beda.

87Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada

hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 87: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

71

Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan telah muncul sejak tahun

1967 pada masa Pemerintahan Orde Baru (Presiden Soeharto) sampai dengan masa

Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan jelas bahwa peran kebijakan

politik Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan

kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu.

Pada saat kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari kesalahan

Pemerintah pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil

Presiden Hamzah Haz dalam melaksanakan perumusan kebijakan politik pada saat itu.

Dalam perannya sebagai perumus kebijakan politik, Presiden Megawati Soekarnoputri

juga dibantu oleh kedua Menteri yang duduk pada masa Pemerintahannya. Kedua

Menteri tersebut adalah Menteri Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar

Negeri Hasan Wirajuda. Kedua Menteri tersebut memiliki peranan penting bagi

Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum mengeluarkan kebijakan politik. Peran

penting juga tidak terlepas dari lembaga legislatif, karena lembaga legislatif dalam hal

ini DPR yang berperan dalam perumusan kebijakan politik sebelum dikeluarkan oleh

Pemerintah yang menyangkut kepentingan negara. Pemerintah merupakan pengambil

keputusan kebijakan politik untuk kepentingan negara, sehingga kesalahan sekecil

apapun akan membuat pengaruh besar kepada sistem politik dalam negeri dan luar

negeri Indonesia. Karena sistem politik domestik yang sedang berjalan akan secara

otomatis mempengaruhi sistem politik luar negeri.

Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakan pelajaran

bagi Pemerintah agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Sebenarnya Indonesia masih bisa membicarakan masalah tersebut dengan

Malaysia dengan menganggap masalah teritorial adalah persoalan politik bukan hanya

persoalan hukum.88 Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan

politik pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri. Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan 88

Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember

2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 88: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

72

adalah kesalahan kebijakan politik pada era Pemerintahan Presiden Soeharto yang

hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke

Mahkamah Internasional. Wilayah kedaulatan negara merupakan suatu permasalahan

politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan kebijakan politik yang nantinya

akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan

politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik dan mempunyai

kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Karena kebijakan yang menyangkut

teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah agar wilayah

negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat maupun laut

dengan negara lain.Lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke tangan Malaysia

adalah kegagalan Pemerintah dalam mempertahankan wilayah Republik Indonesia,

bahwa ini adalah persoalan lama sejak tahun 1997 dan proses hukumnya pun

merupakan kemauan bersama antara Indonesia dan Malaysia.89

Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor politik baik

sebagai eksekutif maupun legislatif.90 Peran aktor-aktor politik dalam lepasnya Pulau

Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena saling menyalahkan

setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang

menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah

Malaysia. Karena sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan

Presiden Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan hanya dipandang

sebagai permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup

bukti yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah

Internasional.91 Karena dalam membawa permasalahan hukum ke Mahkamah

Internasional, maka seharusnya Indonesia harus banyak meratifikasi dasar-dasar hukum

yang akan dijadikan sebagai alat bukti kepada Hakim agar dapat dipercaya dan dapat

89Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat

seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di Gedung Kemlu RI). 90Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI

dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hlm. 45. 91Lihat “Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari

Selasa tanggal 26 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 89: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

73

dijadikan bahan pertimbangan oleh Hakim dalam masa persidangan masalah sengketa yang

melibatkan kedua negara dalam memperebutkan Pulau Sipadan-Ligitan.

Yang harus dilakukan oleh para aktor-aktor politik adalah melihat

permasalahan sengketa perbatasan wilayah dari segi politik bukan dari segi hukum.

Karena permasalahannya menyangkut teritorial suatu negara, di mana peran Pemerintah

sangat penting dalam mengeluarkan suatu kebijakan politiknya yang tegas tetapi tetap

menjaga kaidah politik sesuai dengan Piagam ASEAN yang telah disepakati oleh

anggota-anggota negara ASEAN. Sebelum kebijakan politik dikeluarkan oleh

Pemerintah, antara Pemerintah dan DPR RI, dalam hal ini khususnya Komisi I DPR RI,

telah mengadakan rapat dengar pendapat sebagai tempat untuk berkonsultasi sebelum

perumusan kebijakan politik yang disodorkan oleh Pemerintah pada waktu itu mendapat

persetujuan dari DPR RI.92 Dari masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga pada saat

lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati

Soekarnoputri, antara Pemerintah dan DPR RI sendiri tetap hanya memandang

permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan tersebut dari segi hukum saja.Dari permasalahan

tersebut jelas bahwa antara Pemerintah dan DPR RI tidak mempunyai konsep dalam

perumusan kebijakan politik, karena kedua lembaga yang berisi aktor-aktor politik

tersebut tidak mampu membuat suatu keputusan kebijakan politik sebagai arah bagi negara

yang mempunyai luas wilayah kepulauan sangat besar.93

Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan setelah pemerintahan Orde Baru

telah diupayakan untuk dibicarakan atau diselesaikan kembali melalui jalan diplomasi

tetapi seringkali mengalami kebuntuan. Malaysia tetap ingin kasus sengketa tersebut

diselesaikan di Mahkamah Internasional. Permasalahan yang ada karena pada bahwa

masa pemerintahan Orde Baru menginginkan sengketa tersebut dibawa ke Mahkamah

Internasional dengan membawa bukti-bukti dan dokumentasi yang dirasa cukup dan

beberapa prinsip yang berlaku di Mahkamah Internasional salah satunya adalah 92Ganewati Wuryandari , Op. Cit., hlm. 197. 93Lihat “Kasus Sipadan-Ligitan”. Dalam http://www.metronews.com oleh Aspiannor Masrie. Diakses

tanggal 29 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 90: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

74

sengketa yang masuk harus dengan persetujuan pihak-pihak yang bersengketa.94

Presiden Megawati Soekarnoputri juga telah meminta Malaysia untuk bersama -sama

mencabut gugatan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tetapi Malaysia menolak.

Suatu negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan yang sangat besar dan

memiliki beribu-ribu pulau merupakan suatu ancaman besar dalam permasalahan

perbatasan baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu

lebih fokus terhadap ancaman-ancaman tersebut oleh negara lain terutama aktor-aktor

politik yang menduduki lembaga eksekutif maupun legislatif.95 Jangan sampai antara

Pemerintah dan DPR RI saling bermanuver saling menyalahkan dan saling menyerang

atas keputusan politik yang telah dikeluarkan dan hasilnya membuat kerugian yang

besar bagi kepentingan negara dan rakyatlah yang sangat kecewa dengan apa yang telah

dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI.96 Karena rakyat telah memberikan mandat dan

kepercayaan penuh kepada kedua lembaga tersebut dalam pengambilan kebijakan

politik yang akan membawa negara Indonesia menjadi negara yang mempunyai

integritas politik yang tegas dan terarah, sehingga menjadikan negara lain menghormati

kebijakan politik Indonesia. Hal tersebut sangat berbeda dengan yang ditunjukkan oleh

Presiden Soekarno dalam kebijakan politik pada saat pengambilan kebijakan politik

mengenai wilayah Irian Barat dan menjadikan Irian Barat sebagai wilayah Negara

Kesatuan Rebublik Indonesia. Kebijakan politik yang diambil Presiden Soekarno pada

waktu itu juga tidak terlepas dari peran legislatif yang sangat mendukung langkahlangkah

yang diambil Pemerintah terutama kebijakan politik.97 Karena ketegasan kebijakan

politik Pemerintah mencerminkan keberhasilan politik dalam negeri sehingga sistem politik

luar negeri juga berpengaruh.

Permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari peran dan

hubungan yang sinergis antara lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya satu

sama lain harus mendukung dan bukan saling menyalahkan setelah keputusan kebijakan 94

Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari ,

Senin, 10 Desember 2012. 95Ibid, Op.cit. 96Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI

dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hal. 45. 97Mohammad Hatta, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta:Tintamas, 1953, hlm. 78.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 91: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

75

politik tersebut diambil.98 Para aktor-aktor politik yang berada di dalam kedua lembaga

tersebut seharusnya menyikapi permasalahan yang berhubungan dengan teritorial

negara bukan pada cermin hukum, tetapi harus bercermin pada politik. Permasalahan

perbatasan sendiri menyangkut pada suatu kedaulatan negara yang seharusnya tidak

dapat diganggu gugat dan diusik oleh negara manapun, karena permasalahan perbatasan

sangat rentan dengan konflik dan berujung pada suatu peperangan antar kedua negara

yang sedang bersengketa.99 Karena suatu kebijakan politik diambil merupakan sebuah

keputusan yang memberikan arah kepada negara tersebut akan suatu integritas dan

kedaulatan suatu wilayah. Apabila kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah

dinilai oleh Malaysia sangat tegas, maka tidak akan mugkin Malaysia berani membawa

permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional.100

Kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah seharusnya merupakan harga mati

sebagai bangsa yang besar dengan wilayah kepulauan yang sangat luas, karena apabila

kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak diindahkan oleh negara lawan

dalam permasalahan perbatasan maka jalan terakhir adalah peperangan.

3.3 Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Terkait Lepasnya

Pulau Sipadan-Ligitan Pada Masa Pemerintahan Presiden Megawati

Soekarnoputri

Situasi ketidakpastian yang melingkupi proses transisi politik sebetulnya

membuat sebuah negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah

dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pengaruh internasional dari sebuah proses

demokratisasi dapat terjadi dalam beberapa bentuk, misalnya: contagion, control,

consent dan conditionality. Contagion terjadi ketika demokratisasi di sebuah negara

mendorong gelombang demokratisasi di negara lain. Mekanisme control terjadi ketika

sebuah pihak di luar negara berusaha menerapkan demokrasi di negara tersebut. 98 Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James

H. Wolve, Introduction to International Relations, Power and Justice, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis di dalam tulisan Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS Aspek-Aspek Internasional dalam Intergrasi Nasional, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994. 99Aspiannor Masrie, “Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum

‟ at tanggal 29 April 2011]. 100Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 92: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

76

Consent terjadi ketika harapan terhadap demokrasi muncul dari dalam negara sendiri

karena warga negaranya melihat bahwa sistem politik yang lebih baik seperti yang

berjalan di negara demokrasi lain yang telah mapan, akan dapat juga dicapai oleh negara

tersebut.

Untuk itu, muncul beberapa alasan bahwa faktor-faktor domestik yang diduga

akan menjadi faktor pendukung atau penghambat proses demokratisasi. Pertama,

karena aktor-aktor politik dalam proses demokratisasi senantiasa berkonsentrasi untuk

usaha-usaha mengkonsolidasi kekuasaannya masing-masing. Oleh karena itu, proses-

proses politik di masa transisi cenderung bersifat inward-looking. Kedua, karena adanya

anggapan bahwa pada akhirnya aktor-aktor politik domestik yang akan menentukan

tindakan politik apa yang akan diambil.101 Politik luar negeri dapat digunakan sebagai

alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim Pemerintahan yang

digantikannya. Karena negara yang mengalami proses transisi demokratisasi akan

menggunakan cara diplomasi dan politik luar negeri untuk mengkonsolidasikan

demokrasinya. Untuk itu, akan di dapat prospek yang lebih baik bagi kerjasama

internasional, terutama dengan negara-negara yang telah mapan proses demokrasinya

akan semakin baik dan pada akhirnya memberi konstribusi positif bagi proses

konsolidasi internal di negara tersebut.

Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan berlangsung sejak

Pemerintahan masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

Penyelesaian permasalahan sengketa antara Indonesia dan Malaysia berlangsung cukup

alot karena masing-masing negara mengklaim kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan

dengan bukti-bukti atau dokumentasi-dokumentasi sejarah yang dimilki. Hal tersebut

yang menjadikan proses penyelesaian permasalahan sengketa tidak kunjung

mendapatkan hasil dan kepastian politik dan hukum. Penyelesaian permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan kembali dilanjutkan pada masa

Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Akhirnya pada

tahun 1969 penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -

101 Guillermo O‟ Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead, Transition from authoritarian

rule:prospect for democracy, Baltimore: Johns Hopkins University, Buku I, 1986, hlm. 5.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 93: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

77

Ligitandiselesaikan secara politis melalui perundingan bilateral, karena antara Indonesia

dan Malaysia menemukan ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan.

Kasus Pulau Sipadan-Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis

Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia membicarakan batas dasar laut antar

kedua negara. Pulau Sipadan-Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari

wilayah negara Republik Indonesia, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta

yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis

Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk

mengukuhkan Pulau Sipadan-Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis

serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan kedua pulau tersebut. Di saat yang

sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan

mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk

sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”. Dua puluh tahun

kemudian tepatnya pada tahun 1989 masalah Pulau Sipadan-Ligitan baru dibicarakan

kembali oleh Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad.

Peristiwa tersebut menjadi titik tolak persengketaan mengenai batas teritorial kedaulatan

negara antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara saling mengeklaim kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan dengan argumentasi-argumentasi serta bukti-bukti sejarah yang

dimiliki baik oleh Indonesia maupun Malaysia.

Tiga tahun kemudian tepatnya tahun 1992, Indonesia dan Malaysia sepakat

menyelesaikan masalah ini melalui jalur politik yaitu melalui perundingan secara

bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan

pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja

Bersama (Joint Commission atau JC dan Joint Working Groups atau JWG).102 Namun

dari serangkaian pertemuan Joint Commission dan Joint Working Groups yang

dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya

masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah Indonesia 102

Jack Plano & Ray Olton,International Relation Dictionary,New York : Holt, Rinehart &Winston,1969.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 94: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

78

kemudian menunjuk Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk

Wakil Perdana Menteri Malaysia Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus

Pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum Joint Commission dan Joint Working

Groups. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah

mencapai hasil kesepakatan.

Hal demikian menunjukkan betapa lemahnya sebuah proses dan upaya

Pemerintah dalam menjalankan politik luar negeri. Bahwa dapat dilihat proses

penyelesaian kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -Ligitan dari masa

Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan terakhir masa Reformasi yang berhenti pada

masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri sama sekali tidak mengalami

perubahan yang memiliki dasar yang kuat dalam pencapaian proses politik. Pencapaian

proses politik yang dimaksud yaitu dengan mengadakan perundingan bilateral yang

nantinya dari pencapaian hasil perundingan bilateral tersebut dapat dijadikan dasar

Pemerintah dalam membuat kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

Permasalahan mendasar yang dilakukan oleh Pemerintah dalam pembuatan

kebijakan politik luar negeri dan selama pelaksanaan proses penyelesaian permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah tidak diikutsertakan atau

dilibatkannya peran dari warga negara.103 Peran dari warga negara atau masyarakat

merupakan suatu kewajiban karena warga negara merasa memiliki pulau-pulau yang

tersebar di seluruh wilayah teritorial Indonesia dan wajib menjaganya dari penyerobotan

pihak asing. Dalam proses pembuatan suatu kebijakan politik, Pemerintah tidak dapat

bekerja sendiri tanpa adanya dukungan dan masukan dari warga negara. Pemerintah

memang bekerjasama dengan parlemen dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi

fungsinya hanya sebatas sebagai tempat untuk berkonsultasi dan meminta persetujuan

untuk mengeluarkan suatu kebijakan politik saja.104 Warga negara justru secara

langsung memiliki peran penting dalam pelibatan proses pembuatan kebijakan politik,

103Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember

2012. 104

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 95: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

79

karena warga negara berhak atas penyampaian pendapat dan harus mendapatkan

apresiasi atau perhatian dari Pemerintah.

Dalam proses pembuatan kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, Pemerintah berjalan sendiri

tanpa menyertakan perwakilan dari warga negara atau masyarakat melalui lembaga-

lembaga masyarakat yang ada di Indonesia. Pemerintah terlalu yakin dengan tindakan

atau langkah-langkah yang diambil dan keputusan yang dikeluarkan tanpa adanya

pelibatan dari warga negara. Pelibatan dari warga negara atau masyarakat dibutuhkan

untuk meminta dukungan dan saran bagi Pemerintah yang sedang melaksanakan proses

perundingan bilateral dalam proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan serta dukungan dalam proses pembuatan kebijakan politik luar

negeri. Tidak adanya pelibatan warga negara oleh Pemerintah pada tahapan proses

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan proses

dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri. Justru kehadiran pelibatan warga negara

dalam suatu permasalahan negara dalam hal ini permasalahan perbatasan seharusnya

Pemerintah juga membuka komunikasi terhadap publik untuk diberikan kesempatan

dalam penyampaian pendapat untuk kepentingan bangsa dan negara.

3.4 Politik Luar Negeri Indonesia dalam Usaha Integritas Teritorial

a. Masa Pemerintahan Presiden Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin

Jusuf Habibie

Dapat dilihat dari masa ke masa kepemimpinan kepala negara pasca Orde Baru

selama menjabat Pemerintahan dalam proses politik luar negeri dan pembuatan

kebijakan politik luar negeri. Dimulai dengan Pemerintahan Presiden Prof. Dr.Ing. Dr.

Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden ketiga Indonesia (1998-1999)

setelah lengsernya Presiden Soeharto dari jabatannya. Politik luar negeri yang

dijalankan pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie juga mencatatkan hasil yang

buruk bagi sejarah bangsa yaitu dengan lepasnya Timor-Timur dari wilayah Indonesia.

Pemerintahan Presiden B.J. Habibie yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 96: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

80

luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan

Pemerintahan transisi. Kebijakan Presiden B.J. Habibie dalam persoalan Timor-Timur

menunjukan hal ini dengan jelas. Presiden B.J. Habibie mengeluarkan pernyataan

pertama mengenai isu Timor-Timur pada bulan Juni 1998 di mana ia mengajukan

tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk Provinsi Timor-Timur.

Hingga pada akhirnya Indonesia harus kehilangan Timor-Timur melalui

jajakpendapat. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian

memojokkanPemerintahan Presiden Habibie. Presiden Habibie kehilangan legitimasi

baik dimata masyarakat internasionalmaupun domestik. Di mata internasional,

Presiden Habibie dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalampernyataan -

pernyataannya mendukung langkah Presiden Habibie menawarkan

referendum,namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada

tindakan kekerasan diTimor-Timur setelah referendum.

b. Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid

Masa Pemerintahan selanjutnya yaitu masa Pemerintahan Presiden

Abdurrahman Wahid, di mana Presiden Aburrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia

keempat. Pada masa Pemerintahan Presiden Abdurrahaman Wahid justru politik luar

negeri Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang dijalankan

oleh Presiden Soekarno pada masa Orde Lama, di mana lebih menekankan pada

peningkatan citra Indonesia pada dunia internasional. Pada masa Pemerintahannya,

politik internasional Republik Indonesia menjadi semakin tidak jelas arahnya. Termasuk

dalam hal ini selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti

dalamkasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi. Presiden Abdurrahman Wahid memiliki

cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu Presiden

Abdurrahman Wahid melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun

awal Pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap

kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa Pemerintahannya yang singkat,

Presiden Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam

pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Namun, sebagian besar

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 97: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

81

kunjungan-kunjungannya itu tidak memiliki agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan

yang absurd, Presiden Abdurrahman Wahid berencana membuka hubungan diplomatik

dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan

tipe politik luar negeri Indonesia yang seperti ini membuat politik luar negeri Indonesia

menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat berbagai usaha yang telah

dijalankan oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sia-sia karena kurang adanya

implementasi yang konkrit.

c. Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Pada proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-

Ligitan dilanjutkan kembali pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

yang mencoba meneruskan kebijakan Pemerintahan yang terdahulu yaitu masa

Pemerintahan Presiden Soeharto dalam meneruskan perundingan bilateral maupun

dengan upaya-upaya lainnya. Untuk lebih meminimalkan kesalahan yang telah ada dan

belajar pada masa Pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, maka Presiden Megawati

Soekarnoputri lebih memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam

penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti

diketahui, selama ini Komisi I DPR RI telah menjalankan peran cukup signifikan dan

tegas dalam mempengaruhi dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi

Indonesia. Karena itu, Presiden Megawati Soekarnoputri lebih mengupayakan sebuah

“mekanisme kerja” yang lebih solid dengan Komisi I DPR RI sehingga diharapkan

dapat memunculkan concerted and united foreign policy sebagai hasil kerja bersama

lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggungjawab atas dasar

prinsip check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat diterapkan bipartisanship

foreign policy yang berlandaskan kolaborasi partai-partai yang ada.

Pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri telah

mengoptimalkan peran dari Departemen Luar Negeri (pada waktu itu) melalui Menteri

Luar Negeri sebagai koordinator pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai

salah satu aspek penting penyelenggaraan Pemerintahan. Dan yang lebih penting, untuk

membuktikan kepada rakyat bahwa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 98: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

82

memiliki sense of urgency dan sense of crisis yang belum berhasil dibangun

Pemerintahan sebelumnya. Melihat kinerja dari masa Pemerintahan pasca Orde Baru,

untuk itu diperlukan penataandan peningkatan kinerja suatu Pemerintahan sehingga

memerlukan suatu Effort dan National Commitment dari seluruh komponen bangsa,

penyelenggara Pemerintahan dan lapisan masyarakat, sehingga Accountable. Perlunya

kita menyadari suatu National Commitment, di mana National Commitment terbentuk

dari masing-masing individu, kelompok masyarakat suatu bangsa yang tertata di dalam

hati nurani yang dikenal sebagai qalbu. Di dalam qalbu itulah tertanam rasa kasih

sayang, mencintai kebenaran dan keadilan, kejujuran, rasa cinta tanah air serta membela

kepentingan nasional, bangsa dan negara Indonesia. Di dalam suatu Pemerintahan

yang cridible, accountable antara lain mencerminkan adanya Public

Accountability melalui visi dan misinya yang dilaksanakan secara transparansi dan

konsistensi. Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan tidak lepas dari

kenyataan betapa lemahnya Indonesia dari sisi administratif, di mana Pemerintah tidak

berusaha mencari bukti-bukti sejarah, misalnya dari keluarga Sultan Bulungan yang ada

di Tanjung Selor, yang pernah menguasai kedua pulau tersebut. Di samping itu,

Indonesia lemah dari sisi eksistensi. Faktanya secara de factoPemerintah diam dan tidak

bertindak ketika Pemerintah Malaysia mempromosikan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai

tujuan wisata sejak tahun 1988. Bahkan, Pemerintah Indonesia hanya berani

menetapkan status quo kedua pulau tersebut.

Proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan

Ligitan antara Indonesia dan Malaysia tidak terlepas dari uncertainty condition selama

57 tahun merdeka, Indonesia belum mempunyai Undang-Undang tentang batas-batas

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak semata-mata Indonesia

kehilangan pulau dari Peta dan Teritori Republik Indoesia tetapi mempunyai arti dan

makna kita kehilangan dan terganggu rasa kedaulatan dan harga diri sebagai bangsa dan

negara yang berdaulat.105 Malaysia telah terbiasa dengan legislasi nasional UK

105Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari ,

Senin, 10 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 99: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

83

Systems dan para juri di International Tribunal adalah juri masyarakat Uni Eropa,

pemilihan tema untuk mengadakan kegiatan di Pulau Sipadan-Ligitan selama status quo

tentang perlindungan dan pelestarian alam merupakan cara yang sangat jeli tapi agak

tricky, dan secara hukum seolah-olah merupakan pengakuan diam-diam, dengan demikian

lex specialis lebih kuat dibandingkan lex generalis, dan pembiaran ini berlangsung lebih

dari 20 tahun.

3.5 Aktor Negara Yang Menyebabkan Kegagalan PemerintahIndonesia

Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri

Pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto seharusnya lebih

mempertimbangkan usulan Perdana Menteri Mahathir Mohammad, yang menginginkan

pembangian "fifty-fifty" terhadap kedua pulau tersebut. Tetapi, pada kenyataannya

Presiden Soeharto yang tanpa didukung bukti-bukti sangat percaya diri untuk

memperkarakan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui

jalur hukum dengan membawa permasalahan ke Mahkamah Internasional (International

Court of Justice atau ICJ). Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto dinilai terlalu arogan dan

percaya diri, karena Presiden Soeharto mempunyai keyakinan bahwa dengan bukti-bukti

sejarah yang dimiliki Pemerintah yakin dengan membawa permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum akan dimenangkan oleh Indonesia.

Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang

diambil oleh Pemerintah Indonesia dengan jalan membawa persoalan sengketa ke

Mahkamah Internasional dipandang merupakan langkah yang salah. Indonesia melalui

wakil khususnya memberanikan diri untuk memutuskan bahwa dalam menyelesaikan

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melului pihak ketiga tetapi

ditempuh lewat jalur hukum internasional dan membawa persoalan sengketa tersebut ke

Mahkamah Internasional. Wakil khusus dari Indonesia dengan berbagai pertimbangan

bahwa telah cukup dengan adanya bukti-bukti yang dimiliki Indonesia maka apabila

diselesaikan melalui jalur hukum internasional akan diperoleh hasil yang diharapkan,

karena menurut wakil khusus Indonesia penyelesaian permasalahan sengketa

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 100: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

84

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui upaya politis yaitu dengan cara perundingan

bilateral telah mengalami kebuntuan. Sehingga hasil yang diharapkan Indonesia dari

perundingan bilateral yang akan dijadikan dasar dalam proses perumusan kebijakan

politik luar negeri selalu mengalami kegagalan.

Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional

ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional sangat minimal perannya

dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu

negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN

sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Agung (High Council)

untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan Agung ini bertugas untuk

memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun

keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan

hambatan utama dari terbentuknya Dewan Agung (High Council) ini.

Upaya politis Indonesia melalui perundingan bilateral gagal diupayakan,

karena dengan sikap yang optimis wakil khusus lebih mempercayakan penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum

internasional. Apabila diperjuangkan dengan sungguh-sungguh tanpa harus membawa

bukti-bukti sejarah, Indonesia bisa terus melanjutkan upaya politisnya melalui Dewan

Agung ASEAN atau ASEAN High Council. Indonesia melalui wakil khusus seharusnya

mampu mengajak Malaysia untuk lebih mengutamakan membawa penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan apabila dalam berdiplomasi lebih

profesional. Karena Indonesia merupakan penggagas berdirinya ASEAN, sehingga dengan

kekuatan politiknya dapat mempengaruhi anggota negara-negara ASEAN lainnya untuk

membantu dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan

dan pada saat itu pula Malaysia juga sedang berkonflik dengan Filipina yaitu mengenai

perbatasan.106

106Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember

2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 101: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

85

Kembalinya minat atau keinginan untuk memainkan peranan internasional

yang lebih efektif dalam menyikapi penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya harus diimbangi dengan upaya secara politis dengan

sungguh-sungguh. Politik luar negeri tidak hanya dapat dijalankan berdasarkan

keinginan para elit negara sebagai pembuat keputusan (Pemerintah) dan pelaksana

kebijakan (diplomat). Di samping pentingnya memperhitungkan konteks strategis di

lingkungan internasional yang telah banyak berubah sejak dirumuskannya politik luar

negeri bebas aktif pada tahun 1948, Indonesia juga harus memperhitungkan keadaan

dan perubahan-perubahan dalam konteks domestik. Keinginan-keinginan di bidang

politik luar negeri harus selalu disesuaikan dengan kapasitas, kepentingan dan keadaan

di dalam negeri. Dengan kata lain, dibutuhkan suatu desain politik luar negeri yang

baru, yang tidak lagi terpenjara dalam romantisme masa lalu atau bukti-bukti sejarah,

namun lebih mencerminkan kebutuhan masa sekarang dan masa depan.

Faktor-faktor internal mempengaruhi proses perumusan kebijakan politik luar

negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga

menyebabkan suatu kegagalan. Pertama, politik luar negeri yang dijalankan oleh

Pemerintah selama perundingan belum sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan

nasional. Hal demikian terjadi, karena Pemerintah belum menjamin hak dan kebutuhan

masyarakat atau penduduk di sekitar wilayah Pulau Sipadan-Ligitan untuk memperoleh

kehidupan yang layak sebagai tujuan inti nasional yang harus dipenuhi. Kedua, opini

dari masyarakat atau publik dalam proses perumusan kebijakan kurang mendapatkan

respon atau tanggapan dari Pemerintah, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru.

Politik luar negeri tidak dapat lagi dianggap sebagai ranah (domain) eksklusif para elit

negara sebagai pembuat kebijakan. Sebagai negara demokrasi, politik luar negeri

Indonesia harus mencerminkan aspirasi publik atau masyarakat secara luas. Namun

terkadang opini publik atau masyarakat tidak selalu rasional dan ada kalanya dapat

menjadi kontraproduktif bagi kepentingan nasional sehingga perlu untuk dikaji ulang.

Ketiga, berubahnya struktur pengambilan keputusan di mana Pemerintah bukan

lagi merupakan satu-satunya aktor dalam sebuah perundingan bilateral untuk

memperoleh hasil sebagai dasar proses perumusan kebijakan politik. Seiring dengan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 102: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

86

terkonsolidasinya demokrasi, maka peran masyarakat warga akan semakin penting.

Dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan peran

masyarakat untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan politik sama sekali

tidak ada. Dunia semakin ditandai oleh kecenderungan koalisi dan interaksi yang

semakin intensif yang bersifat lintas batas negara (transnational) di antara

organisasiorganisasi masyarakat warga. Oleh karena itu, keikutsertaan masyarakat

warga dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri merupakan suatu

keniscayaan apabila Pemerintah menginginkan adanya politik luar negeri yang

legitimate serta didukung secara luas oleh konstituen di dalam negeri.

3.5.1 Faktor dan Tanggungjawab Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan

Politik

Aktor negara sebagai pembuat kebijakan politik merupakan elemen paling

utama bagi kepentingan nasional. Sebagai aktor negara (Pemerintah) seharusnya

mengikutsertakan peran masyarakat warga untuk ikut aktif dalam mengikuti

perkembangan dan situasi politik di dalam negeri maupun luar negeri melalui opini

publik. Kepemimpinan sebagai aktor negara diperlukan dalam mengeluarkan sebuah

kebijakan politik. Di mana kebijakan politik luar negeri dapat digunakan sebagai alat

untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikannya.

Di Indonesia telah mengalami pergantian rezim atau masa Pemerintahan, dari Orde

Lama menjadi Orde Baru dan sampai saat ini masa Reformasi. Masa transisi

masingmasing Pemerintahan memiliki catatan-catatan politik luar negeri yang

berbeda-beda. Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan telah muncul

sejak tahun 1967 pada masa Pemerintahan Orde Baru (Presiden Soeharto) dan masa

Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2002.

Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan jelas bahwa peran kebijakan

politik Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan

kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu.

Pada saat kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari kesalahan

Pemerintah pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 103: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

87

Presiden Hamzah Haz dalam melaksanakan perumusan kebijakan politik pada saat itu.

Dalam perannya sebagai perumus kebijakan politik, Presiden Megawati Soekarnoputri

juga dibantu oleh kedua Menteri yang duduk pada masa Pemerintahannya. Kedua

Menteri tersebut adalah Menteri Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar

Negeri Hasan Wirajuda. Kedua Menteri tersebut memiliki peranan penting bagi

Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum mengeluarkan kebijakan politik. Peran

penting juga tidak terlepas dari lembaga legislatif, karena lembaga legislatif dalam hal ini

DPR yang berperan dalam perumusan kebijakan politik sebelum dikeluarkan oleh

Pemerintah yang menyangkut kepentingan negara. Pemerintah merupakan pengambil

keputusan kebijakan politik untuk kepentingan negara, sehingga kesalahan sekecil

apapun akan membuat pengaruh besar kepada sistem politik dalam negeri dan luar

negeri Indonesia. Karena sistem politik domestik yang sedang berjalan akan secara

otomatis mempengaruhi sistem politik luar negeri.

Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakan pelajaran

bagi Pemerintah agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Sebenarnya Indonesia masih bisa membicarakan masalah tersebut dengan

Malaysia dengan menganggap masalah teritorial adalah persoalan politik bukan hanya

persoalan hukum. Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan

politik pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri. Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan

adalah kesalahan kebijakan politik pada era Pemerintahan Presiden Soeharto yang

hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke

Mahkamah Internasional. Wilayah kedaulatan negara merupakan suatu permasalahan

politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan kebijakan politik yang nantinya

akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan

politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik dan mempunyai

kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Karena kebijakan yang menyangkut

teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah agar wilayah Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 104: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

88

negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat maupun laut

dengan negara lain.107

Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor politik baik

sebagai eksekutif maupun legislatif.108 Peran aktor-aktor politik dalam lepasnya Pulau

Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena saling menyalahkan

setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang

menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah

Malaysia. Karena sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan

Presiden Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan hanya dipandang

sebagai permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup

bukti yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah

Internasional.109 Karena dalam membawa permasalahan hukum ke Mahkamah

Internasional, maka seharusnya Indonesia harus banyak meratifikasi dasar-dasar hukum

yang akan dijadikan sebagai alat bukti kepada Hakim agar dapat dipercaya dan dapat

dijadikan bahan pertimbangan oleh Hakim dalam masa persidangan masalah sengketa

yang melibatkan kedua negara dalam memperebutkan Pulau Sipadan-Ligitan.

Yang harus dilakukan oleh para aktor-aktor politik adalah melihat

permasalahan sengketa perbatasan wilayah dari segi politik bukan dari segi hukum.

Karena permasalahannya menyangkut teritorial suatu negara, di mana peran Pemerintah

sangat penting dalam mengeluarkan suatu kebijakan politiknya yang tegas tetapi tetap

menjaga kaidah politik sesuai dengan Piagam ASEAN yang telah disepakati oleh

anggota-anggota negara ASEAN. Sebelum kebijakan politik dikeluarkan oleh

Pemerintah, antara Pemerintah dan DPR RI, dalam hal ini khususnya Komisi I DPR RI,

telah mengadakan rapat dengar pendapat sebagai tempat untuk berkonsultasi sebelum

perumusan kebijakan politik yang disodorkan oleh Pemerintah pada waktu itu mendapat

107Ibid.

108Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI

dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hlm. 45.

109 “Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan”, diperoleh dari http://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 105: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

89

persetujuan dari DPR RI.110 Dari masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga pada

saat lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati

Soekarnoputri, antara Pemerintah dan DPR RI sendiri tetap hanya memandang

permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan tersebut dari segi hukum saja. Dari permasalahan

tersebut jelas bahwa antara Pemerintah dan DPR RI tidak mempunyai konsep dalam

perumusan kebijakan politik, karena kedua lembaga yang berisi aktor-aktor politik

tersebut tidak mampu membuat suatu keputusan kebijakan politik sebagai arah bagi negara

yang mempunyai luas wilayah kepulauan sangat besar.111

Karena negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan yang sangat besar dan

memiliki beribu-ribu pulau merupakan suatu ancaman besar dalam permasalahan

perbatasan baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu

lebih fokus terhadap ancaman-ancaman tersebut oleh negara lain terutama aktor-aktor

politik yang menduduki lembaga eksekutif maupun legislatif.112 Jangan sampai antara

Pemerintah dan DPR RI saling bermanuver saling menyalahkan dan saling menyerang

atas keputusan politik yang telah dikeluarkan dan hasilnya membuat kerugian yang

besar bagi kepentingan negara dan rakyatlah yang sangat kecewa dengan apa yang telah

dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI.113 Karena rakyat telah memberikan mandat dan

kepercayaan penuh kepada kedua lembaga tersebut dalam pengambilan kebijakan

politik yang akan membawa negara Indonesia menjadi negara yang mempunyai

integritas politik yang tegas dan terarah, sehingga menjadikan negara lain menghormati

kebijakan politik Indonesia. Karena ketegasan kebijakan politik Pemerintah

mencerminkan keberhasilan politik dalam negeri sehingga sistem politik luar negeri

juga berpengaruh.

Permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari peran dan

hubungan yang sinergis antara lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya satu

sama lain harus mendukung dan bukan saling menyalahkan setelah keputusan kebijakan

110Ganewati Wuryandari ,Op. Cit., hlm. 197. 111Aspiannor Masrie, “Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum

‟ at tanggal 29 April 2011]. 112Ibid. 113Ganewati Wuryandari , Op. Cit., hlm. 45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 106: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

90

politik tersebut diambil.114 Para aktor-aktor politik yang berada di dalam kedua lembaga

tersebut seharusnya menyikapi permasalahan yang berhubungan dengan teritorial

negara bukan pada cermin hukum, tetapi harus bercermin pada politik. Permasalahan

perbatasan sendiri menyangkut pada suatu kedaulatan negara yang seharusnya tidak

dapat diganggu gugat dan diusik oleh negara manapun, karena permasalahan perbatasan

sangat rentan dengan konflik dan berujung pada suatu peperangan antar kedua negara

yang sedang bersengketa.115 Karena suatu kebijakan politik diambil merupakan sebuah

keputusan yang memberikan arah kepada negara tersebut akan suatu integritas dan

kedaulatan suatu wilayah. Apabila kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah

dinilai oleh Malaysia sangat tegas, maka tidak akan mugkin Malaysia berani membawa

permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional

(International Court of Justice atau ICJ).116 Kebijakan politik yang dikeluarkan

Pemerintah seharusnya merupakan harga mati sebagai bangsa yang besar dengan

wilayah kepulauan yang sangat luas, karena apabila kebijakan politik yang dikeluarkan oleh

Pemerintah tidak diindahkan oleh negara lawan dalam permasalahan perbatasan maka jalan

terakhir adalah peperangan.

a.) Peran dari Menteri Luar Negeri dan Menteri Politik dan Keamanan Masa

Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -

Ligitan merupakan tanggungjawab Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri

dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Setiap pelaksanaan perundingan

bilateral antara Indonesia dan Malaysia, Menteri Luar Negeri sebagai ketua delegasi

yang mewakili Pemerintah dengan didampingi Menteri KoordinatorPolitik dan

Keamanan. Menteri Luar Negeri mempunyai peran dalam pembuatan kebijakan politik

luar negeri melalui jalur diplomatik yang nantinya menjadi bahan pertimbangan bagi 114

Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James

H. Wolve, Introduction to International Relations, Power and Justice, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis di dalam tulisan Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS Aspek-Aspek Internasional dalam Intergrasi Nasional, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994. 115Aspiannor Masrie, “Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum

‟ at tanggal 29 April 2011]. 116Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 107: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

91

Presiden dalam mengeluarkan kebijakan politik luar negeri. Sedangkan peran nyata

Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan pada proses penyelesaian permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan hingga proses pembuatan kebijakan politik

luar negeri oleh Pemerintah adalah dalam mengkaji tentang kedaulatan wilayah

teritorial Indonesia. Antara Menteri Luar Negeri dan Menteri KoordinatorPolitik dan

Keamanan mempunyai peran masing-masing sesuai dengan fungsi masing-masing.

Tetapi dengan melihat langkah yang diambil dalam penyelesaian permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden

Soeharto yang arogan dan percaya diri tanpa mempertimbangkan upaya politik luar

negeri yang lebih efektif, maka Pemerintahan selanjutnya hanya dapat menerima hasil

yang tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam proses perumusan kebijakan politik luar

negeri. Kinerja daripada Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri

KoordinatorPolitik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya sudah tepat

dan sesuai prosedur dalam mengambil langkah-langkah diplomasi yang diperlukan

selama proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

Kedua menteri tersebut telah mengupayakan langkah-langkah secara politik dengan

tepat dan profesional sehingga dapat mencegah ketegangan-ketegangan selama proses

perundingan bilateral berlangsung.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri KoordinatorPolitik dan

Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono bertindak hanya sebagai wakil dari Pemerintah

yang mempunyai tugas untuk melakukan perundingan bilateral dalam penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Dari hasil yang dicapai

selama proses perundingan bilateral akan dilaporkan kepada Presiden Megawati

Soekarnoputri sebagai bahan pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan politik

luar negeri. Tetapi hasil yang dicapai selama proses perundingan bilateral tidak seperti

yang diharapkan oleh Pemerintah, karena hasil yang dicapai tetap saja Malaysia ingin

membawa penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke

jalur hukum melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ).

Hal tersebut disepakati oleh Indonesia melalui keputusan berani dari Presiden Soeharto

yang percaya diri bahwa dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki dari

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 108: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

92

KesultananBulungan dan argumentasi-argumentasi memberikan keyakinan bahwa

Indonesia akan menang.

Kedua menteri tersebut hanya melanjutkan proses perundingan bilateral yang

sudah berjalan, tetapi selalu mengalami kebuntuan dan tidak ada hasil yang dicapai

karena baik Indonesia dan Malaysia tetap mengklaim kepemilikan Pulau Sipadan-

Ligitan. Dalam hal ini peran Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri

KoordinatorPolitik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono hanya sebatas sebagai

wakil dari Pemerintah dalam proses perundingan bilateral dalam penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga tidak tepat apabila

menjadi penanggung kesalahan akibat lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan. Kesalahan dapat

ditujukan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto yang mewariskan proses

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang tidak ada

kebijakan politik luar negeri yang dikeluarkan. Justru penyelesaian permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum, yang seharusnya dapat

diselesaikan dengan langkah politik yaitu dengan mengoptimalkan diplomasi.

b.) Peran dari Lembaga Legislatif (Parlemen) dalam hal ini Komisi I DPR RI

Dalam proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan dan proses pembuatan kebijakan politik luar negeri lembaga legislatif

dalam hal ini DPR RI melalui Komisi I karena merupakan mitra kerja Departemen Luar

Negeri, Departemen Pertahanan dan Departemen Politik dan Keamanan. Dalam setiap

tahap penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan,

Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri dan Menteri Koordinator Politik dan

Keamanan selalu mengadakan konsultasi dengan lembaga legislatif untuk membahas

setiap perkembangan dari hasil perundingan bilateral dengan Malaysia. Pemerintah

melalui perwakilan yang ditunjuk untuk melakukan perundingan bilateral dengan

Malaysia menemui kebuntuan. Tetapi upaya politik tetap dijalankan oleh Pemerintah,

yaitu dengan meminta Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council untuk menjadi

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 109: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

93

penengah dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

SipadanLigitan.117

Peran lembaga legislatif dalam hal ini Komisi I DPR RI dalam proses

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan proses

pembuatan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah yaitu dengan memberikan

masukan terhadap Pemerintah untuk tetap melaksanakan upaya politik luar negeri

dengan jalan melalui perundingan bilateral.118 Karena proses perundingan bilateral tidak

menghasilkan suatu keputusan politik bagi kedua negara, maka melalui Komisi I DPR

RI Pemerintah tidak dapat merumuskan kebijakan politik luar negeri yang akan diambil.

Selama proses konsultasi antara Pemerintah dengan lembaga legislatif, telah

diagendakan untuk Pemerintah tetap mengambil upaya-upaya politik untuk menekan

Malaysia. Karena menurut pertimbangan Komisi I DPR RI waktu itu, Pemerintah tidak

banyak mempunyai cukup bukti, baik yang berupa dokumentasi-dokumentasi atau

bukti-bukti sejarah yang menyatakan bahwa Pulau Sipadan-Ligitan masuk dalam peta

wilayah Indonesia. Komisi I DPR RI tetap mendukung upaya Pemerintah untuk

mempertahankan wilayah Pulau Sipadan-Ligitan, karena setiap perundingan bilateral

telah dilaksanakan Pemerintah langsung mengkonsultasikan hasil dari perundingan

tersebut. Pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tercatat yang

paling sering mengkonsultasikan setiap hasil yang dicapai dalam perundingan bilateral

dengan Malaysia. Karena pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

lebih mengoptimalkan dan mensinergikan peran antara eksekutif (Pemerintah) dengan

legislatif (DPR).

Lembaga eksekutif melalui Komisi I DPR RI dan Pemerintah terus berupaya

untuk menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan

mengambil upaya politik. Melalui Komisi I DPR RI terus berupaya untuk 117

Kenneth Waltz ,Theory of International Politics, Cambridge: Cambridge Unversity Press, 1979,

hlm.90

118Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember

2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 110: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

94

membuka konsultasi dengan Pemerintah dalam membahas penyelesaian sengketa

tersebut agar Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan politik luar negeri. Diakui

memang setiap jalannya konsultasi antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI terdapat

deadline karena hasil-hasil dari perundingan yang dilakukan oleh Pemerintah

mengalami kebuntuan, sehingga sulit untuk Komisi I DPR RI menyetujui langkah yang

akan diambil oleh Pemerintah yaitu akan membawa permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan ke permasalahan hukum. Komisi I DPR RI sangat

memperdebatkan dan tidak menyetujui apabila Pemerintah berencana membawa

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -Ligitan ke

permasalahan hukum. Karena menurut Komisi I DPR RI permasalahan sengketa

wilayah merupakan permasalahan yang menyangkut mengenai suatu kedaulatan sebuah

negara yang harus dipertahankan. Komisi I DPR RI tetap mendesak kepada Pemerintah

untuk tetap melakukan upaya politik untuk memberikan tekanan kepada Pemerintah

Malaysia.

Bahkan Komisi I DPR RI melalui Effendi Choirie dari Fraksi PKB,

menyatakan mengajukan hak interpelasi kepada Pemerintah yang diwakili oleh Menteri

Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan Susilo

Bambang Yudhoyono. Komisi I DPR RI mempertanyakan kepada Pemerintah tentang

langkah hukum yang diambil bukan langkah politik dalam penyelesaian permasalahan

wilayah kedaulatan negara. Komisi I DPR RI menyesalkan langkah yang diambil oleh

Pemerintah yaitu menjadikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-

Ligitan ke permasalahan hukum, padahal jelas-jelas terbukti bahwa yang akan dijadikan

bukti-bukti oleh Pemerintah dirasa sangat tidak dapat mendukung dalam

mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan.119 Menurut Komisi I DPR RI, Pemerintah

berupaya memberikan bukti-bukti sejarah dari Kesultanan Bulungan yang dirasa telah

cukup kuat untuk membawa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan

ke jalur hukum dengan membawa ke Mahkamah Internasional (International Court of

Justice atau ICJ). 119

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 111: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

95

Upaya Komisi I DPR RI dalam memberikan saran agar Pemerintah segera

membuat kebijakan politik luar negeri tidak mendapat respon positif dari Pemerintah.

Karena Pemerintah tetap optimis pada pendirian bahwa dengan bukti-bukti sejarah yang

dimiliki dan disertai dengan argumentasi-argumentasi yang ada, Pemerintah bersikukuh

untuk tetap melanjutkan sesuai dengan kesepakatan dengan Pemerintah Malaysia untuk

membawa penyelesaian permaasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke

jalur hukum melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ).

Langkah yang diambil oleh Pemerintah disikapi oleh Komisi I DPR RI dengan keras,

Komisi I DPR RI merasa diremehkan dengan keputusan secara sepihak yang diambil

oleh Pemerintah tanpa adanya persetujuan dari lembaga legislatif. Hal ini memicu sikap

para anggota legislatif, terutama anggota Komisi I DPR RI sebagai mitra kerja

Pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri dan Departemen Politik dan

Keamanan. Komisi I DPR RI mempertanyakan sikap Pemerintah yang tidak

menanggapi usulan untuk tetap menjalankan upaya politik dengan segera membuat

kebijakan politik yang setidaknya dapat menekan usaha Pemerintah Malaysia untuk

tetap membawa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur

hukum melalui Mahkamah Internasional Internasional (International Court of Justice

atau ICJ).120

Tetapi pada kenyataannya, hak interpelasi yang disuarakan oleh anggota DPR

melalui Komisi I DPR RI pada sidang paripurna ternyata hanya gertakan pada

Pemerintah. Karena setelah hak interpelasi itu disuarakan, yang terjadi adalah para

anggota dewan bersikap acuh terhadap Pemerintah. Anggota dewan tidak

mendengarkan penjelasan yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Menteri

KoordinatorPolitik dan Keamanan. Segala penjelasan yang disampaikan kedua Menteri

sebagai perwakilan Pemerintah tidak ada satupun yang mendapat tanggapan dan

perhatian dari anggota dewan. Anggota dewan meminta penjelasan secara langsung oleh

Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai pengambil kebijakan politik luar negeri.

Tetapi Presiden Megawati Soekarnoputri hanya mengutus Menteri Luar Negeri dan 120

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 112: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

96

Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan sebagai wakil Pemerintah dalam

menyampaikan segala hasil yang telah dicapai dalam perundingan bilateral dan

langkahlangkah yang akan diambil Pemerintah selanjutnya. Hal ini menjadi bukti bahwa

pada saat proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan harmonis, sehingga proses perumusan

kebijakan politik luar negeri tidak membuahkan hasil yang diharapkan untuk

kepentingan negara. Karena Pemerintah dan DPR RI yang diwakili oleh Komisi I DPR

RI justru memperlihatkan sikap dan hubungan yang kurang harmonis satu sama lain.

Terbukti bahwa DPR RI melalui Komisi I DPR RI yang akan mengajukan hak

interpelasi kepada Pemerintah tidak jadi dilaksanakan, hal yang demikian

membuktikan bahwa tidak ada tanggungjawab sebagai salah satu aktor politik negara.

3.6 Sikap Saling Mempengaruhi antara Menteri Luar Negeri, Menteri

Koordinator Politik dan Keamanan dengan Komisi I DPR RI dalam Penyelesaian

Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.

Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Menteri Luar

Negeri dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan selaku perwakilan atau utusan

dari Pemerintah sering melakukan rapat konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat

melalui Komisi I DPR RI untuk mendapatkan saran masukan dari hasil perundingan

yang dilakukan dengan Malaysia. Ketiga aktor negara tersebut berusaha mencari solusi

terbaik guna mempertahankan kedaulatan wilayah Pulau Sipadan-Ligitan agar tetap

masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua Menteri yang

mewakili Pemerintah dalam perundingan bilateral dengan Malaysia juga terus mencari

solusi politik agar permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dapat diputuskan tanpa

campur tangan pihak ketiga, karena Indonesia dan Malaysia merupakan sesama anggota

ASEAN.

Dalam setiap konsultasi mengenai perkembangan perundingan bilateral tersebut,

antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI berbeda argumentasi mengenai bukti-bukti

mengenai dokumen sejarah yang dimiliki Indonesia. Pemerintahmenjelaskan bahwa

bukti-bukti sejarah yang dimiliki kurang begitu kuat untuk mendukung upaya untuk

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 113: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

97

dapat mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan yang sedang disengketakan dengan

Malaysia. Pada setiap konsultasi antara Pemerintah dengan DPR RI bahwa sesuai

dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesiapada saat

dirumuskan batasan-batasan wilayah Indonesia yang merupakan penjabaran dari konsep

Wawasan Nusantara yang dideklarasikan Perdana Menteri Djuanda 10 Desember 1957

dijelaskan ditarik garis melingkar seluruh Wawasan Nusantara yang didasarkan pada

posisi Indonesia dengan menarik garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari

pulau terluar sehingga Pulau Sipadan-Ligitan di luar klaim kewilayahan.121Menurut

Pemerintah bukti-bukti sejarah yang dimiliki oleh Malaysia lebih cukup kuat

dibandingkan dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki oleh Indonesia. Pemerintah

didesak untuk tetap melakukan perundingan bilateral sebagai upaya politik luar negeri

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah kedaulatan atas Pulau

Sipadan-Ligitan.122 Sikap saling mempengaruhi dalam setiap rapat konsultasi antara

Pemerintah dengan Komisi I DPR RI untuk membahas langkah yang harus diambil

untuk mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan agar tetap berada dalam wilayah

kedaulatan Indonesia terlihat pada saat Komisi I DPR RI mendesak Pemerintah untuk

tegas dalam mengambil sikap politik luar negerinya dengan segera mengambil

kebijakan sebagai langkah nyata yang berguna untuk mempertahankan Pulau

SipadanLigitan.

Dalam setiap kesempatan konsultasi antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI

merupakan pernyataan sikap politik masing-masing sebagai bahan masukan dan

pertimbangan kepada Pemerintah untuk segera mengambil kebijakan politik luar

negerinya. Kebijakan politik luar negeri yang nantinya dikeluarkan oleh Pemerintah

tersebut nantinya akan berdampak pada upaya diplomatik dalam melaksanakan

perundingan bilateral dengan Malaysia. Komisi I DPR RI sangat mendukung upaya dan

langkah politik yang telah diambil oleh Pemerintah, karena sikap positif Pemerintah 121

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada

saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI). 122

Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember

2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 114: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

98

dalam melakukan konsultasi mengenai hasil perundingan bilateral dengan Malaysia

walaupun hasil yang diperoleh dari setiap perundingan bilateral tersebut mengalami

kebuntuan. Dalam setiap upaya politis melalui perundingan bilateral yang dilaksanakan

selalu mengalami kebuntuan dikarenakan kedua negara tetap pada argumentasi dan

bukti-bukti sejarah yang dimiliki masing-masing, sehingga kedua negara sulit

menemukan kesepakatan yang juga berdampak pada pengambilan kebijakan politik luar

negeri masing-masing negara.123 Dengan demikian kemungkinan kecil untuk

Pemerintah dapat merumuskan kebijakan politik luar negeri yang akan dikeluarkan,

apabila kebijakan tersebut dikeluarkan akan dapat mempengaruhi keadaan politik di

dalam negeri.

Tabel 3.7

Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan

Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri

No. Aktor negara

1. Komisi I DPR RI yang diwakili

Effendy Choirie dari Fraksi PKB.

Pendapat

Apabila sistem diplomatik yang

dijalankan oleh Pemerintah dilaksanakan

dengan baik, sistematik dan profesional,

maka kasus lepasnya Pulau Sipadan-

Ligitan dapat dihindari. Upaya politis

seharusnya dapat diupayakan

semaksimal mungkin apabila Pemerintah

mendengarkan saran masukan dari publik

yang mempunyai suara mayoritas

menyangkut kedaulatan negara.

Pemerintah terlalu optimis dengan

keputusan membawa permasalahan

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan 123

Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada

hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 115: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

99

upaya hukum ke persidangan Mahkamah

Internasional Internasional (International

Court of Justice atau ICJ) dengan

minimnya bukti sejarah yang dimiliki

oleh Pemerintah, sehingga upaya politis

secara diplomatik dikesampingkan.

Untuk itu, setelah lepasnya Pulau

Sipadan-Ligitan melalui rapat dengar

pendapat antara Komisi I DPR RI dengan

Pemerintah dengan tegas Effendy

Choirie mengajukan hak interpelasi

kepada Pemerintah. Maksud dari hak

interpelasi yang diajukan untuk

mendapat penjelasan dari Pemerintah

mengenai kegagalan perumusan

kebijakan politik luar negeri yang

menyebabkan lepasnya Pulau Sipadan-

Ligitan.

2. Menteri Luar Negeri Hassan

Wirajuda.

Bahwa memang melihat dari sejarah

Pulau Sipadan-Ligitan bukan merupakan

bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia

karena telah masuk ke dalam peta

wilayah Malaysia, sehingga bukan

diakibatkan dari lemahnya proses

diplomatik Indonesia. Upaya yang telah

dilakukan oleh Pemerintah sudah

maksimal, karena pada dasarnya terletak

pada bukti-bukti sejarah yang tidak

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 116: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

100

dimiliki oleh Pemerintah Indonesia yang

dapat menguatkan argumentasi untuk

dijelaskan pada proses persidangan di

Mahkamah Internasional Internasional

(International Court of Justice atau ICJ).

3. Menteri Politik dan Keamanan

Susilo Bambang Yudhoyono.

Bahwa upaya politis melalui jalan

diplomatik telah diupayakan semaksimal

mungkin oleh Pemerintah Indonesia

untuk menjamin Pulau Sipadan-Ligitan

masuk ke dalam kedaulatan wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Malaysia tetap saja ingin menyelesaikan

permasalahan sengketa Pulau Sipadan-

Ligitan menempuh upaya hukum melalui

Mahkamah Internasional (International

Court of Justice atau ICJ). Sebagai

Menteri yang membidangi masalah

Politik dan Keamanan, Bapak Susilo

Bambang Yudhoyono juga telah

mengupayakan jalur politis dengan jalan

diplomatik dengan mengajak Malaysia

melaksanakan berbagai perundingan

bilateral tetapi berjalan alot dan tidak

menghasilkan keputusan politik luar

negeri yang diharapkan Pemerintah.

Dijelaskan bahwa dokumentasi dan alat-

alat bukti yang dimiliki dan dibawa oleh

delegasi dan pengacara dari pihak

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 117: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

101

Indonesia sebagai bahan penjelasan

kepada Hakim Mahkamah Internasional

(International Court of Justice atau ICJ)

dinilai kurang untuk meyakinkan bahwa

Pulau Sipadan-Ligitan merupakan bagian

wilayah kedaulatan Indonesia. Kesalahan

Indonesia tidak segera merevisi Undang-

Undang yang dinilai sudah relevan dan

tidak mengikuti perkembangan

permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 118: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

BAB 4

PROSES GAGALNYA PEMBUATAN KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI

DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN- LIGITAN DARI INDONESIA

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang proses gagalnya pembuatan

kebijakan politik luar negeri dan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia. Bahwa

hal yang akan dibahas antara lainGagalnya Proses Pembuatan Kebijakan Politik Luar

Negeri Indonesia, Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia

terhadap Pulau Sipadan-LigitanmelaluiICJ (International Court of Justice), tentang

Mahkamah Internasional, Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah atas Pulau Sipadan-

Ligitan melalui ICJ, Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan

yang terdiri dari Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia, Written

dan Oral Hearings,Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah

InternasionalMengenai Klaim Kedaulatan Atas Pulau Sipadan-Ligitan, Pokok-pokok

Pendapat dan Keputusan Mahkamah InternasionalMengenai Dalil-dalil

“Effectivites”,Hasil Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Atas

Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, Konsekuensi yang Harus Dilakukan Indonesia Pasca

Keputusan Mahkamah Internasional, Keputusan Mahkamah Internasional Pengaruhnya

Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia,Dinamika Perubahan Politik

Indonesia dalam Menyikapi Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dan Usaha Perubahan

Kebijakan Politik Luar Negeri Presiden Soeharto.

4.1 Gagalnya Proses Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia

Kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang muncul sejak tahun 1969 pada

awalnya diselesaikan melalui perundingan bilateral oleh kedua negara. Proses negoisasi

dilangsungkan oleh kedua negara sebagai pilihan prioritas untuk menyelesaikan

sengketa secara damai. Akan tetapi, rangkaian negoisasi yang diadakan bertahun-tahun tidak

dapat memberikan keputusan yang berkaitan dengan pokok persengketaan yaitu masalah

kejelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan.

102 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 119: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

103

Mengacu pada rangkaian proses negoisasi yang dijalankan kedua negara sejak

tahun 1969 dapat dinyatakan bahwa perundingan bilateral antara kedua negara ternyata

tidak efektif untuk menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Kerangka

penyelesaian secara politis akhirnya mengalami kebuntuan dan pada tanggal

2 November 1998, proses perundingan bilateral dihentikan. Sengketa Pulau Sipadan -

Ligitan kemudian diselesaikan oleh kedua negara melalui jalur internasional. Dengan

perubahan model penyelesaian sengketa tersebut maka perundingan bilateral antara

Indonesia dan Malaysia menjadi tidak efektif atau gagal untuk mencari solusi terbaik.

Di dalam kasus sengketa antara Indonesia dan Malaysia ini, perundingan

bilateral diadakan untuk mencari solusi atas sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-

Ligitan. Namun, tujuan yang paling penting dalam perundingan tersebut adalah

memenangkan klaim kedaulatan teritorial atas Pulau Sipadan-Ligitan. Perundingan

dilakukan sebelum kedua negara membuat suatu kebijakan politik untuk menentukan

sikap atas sengketa Pulau Sipadan-Ligitan agar dapat masuk ke dalam wilayah teritorial

masing-masing antara Indonesia dengan Malaysia. Perundingan antara Indonesia dan

Malaysia menjadi tidak efektif ketika kedua negara yang bersengketa memiliki tujuan

yang bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Klaim kedaulatan teritorial dari

Indonesia atas Pulau Sipadan-Ligitan ditentang oleh Malaysia dan sebaliknya klaim

Malaysia atas Pulau Sipadan-Ligitan ditolak Indonesia.124 Karena kedua negara

tersebut saling klaim kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan, maka pelaksanaan

pembuatan kebijkan politik oleh kedua negara yang dijadikan alat atau dasar dalam

pengambilan keputusan untuk negara masing-masing tidak terlaksana.

Sementara itu, perundingan antara Indonesia dan Malaysia untuk mencari

solusi dalam sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak efektif karena kedua negara

mempertahankan argumentasinya masing-masing.125 Indonesia dan Malaysia sejak awal

mengadakan pembahasan atas sengketa ini tidak pernah menyepakati kompromi yang

akan merugikan kepentingan negaranya. Akibatnya, perundingan yang dilaksanakan 124

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada

saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI). 125

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 120: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

104

antara Indonesia dan Malaysia mengalami kebuntuan sebab tidak adanya argumen baru

diajukan oleh kedua negara dan tidak adanya keinginan untuk berkompromi. 126 Oleh

karena itu, klaim kedaulatan teritorial dari masing-masing negara dianggap mutlak dan tidak

dapat diganggu gugat oleh pihak lawan.

Penjelasan mengenai ketidakefektifan suatu perundingan dapat dibuktikan

dalam kasus sengketa antara Indonesia dan Malaysia yang memperebutkan wilayah

teritorial Pulau Sipadan-Ligitan. Adapun inefektivitas perundingan antara Indonesia dan

Malaysia ditunjukkan dengan fakta-fakta sebagai berikut:127

Pertama, sejak pertama kali melakukan pembahasan mengenai status

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, baik Indonesia maupun Malaysia mempunyai

maksud untuk memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan menjadi wilayah kedaulatan

teritorial masing-masing negara. Akhirnya, tujuan yang dibawa dalam perundingan oleh

masing-masing pihak saling bertentangan dengan kepentingan pihak lawan. Munculnya

pertentangan terbukti ketika Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan pada

tahun 1989 di Yogyakarta sebelum kedua negara mengambil langkah dalam membuat

kebijakan untuk mempertahankan wilayah kedaulatan teritorial Pulau Sipadan-Ligitan.

Pada saat pelaksanaan perundingan tersebut, telah disadari bahwa tujuan atau

kepentingan kedua negara saling bertentangan. Hal ini tercermin dalam pernyataan

kedua pemimpin negara Indonesia dan Malaysia. Pada akhir pertemuan yang

dilaksanakan pada saat itu, Presiden Soeharto (Indonesia) dan Perdana Menteri

Mahathir Mohammad (Malaysia) mengaku kesulitan menyelesaikan permasalahan

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Akhirnya, posisi status quo yang dibuat pada tahun 1969

kembali dipertahankan oleh Indonesia dan Malaysia.

Kedua, beberapa aksi unilateral Malaysia pada saat itu merupakan sebuah bukti

bahwa Malaysia berniat menguasai Pulau Sipadan-Ligitan, di mana aksi unilateral

Malaysia diprotes oleh Indonesia. Aksi unilateral Malaysia antara lain penerbitan peta

nasional pada tahun 1976 yang memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan, pembangunan

126Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember

2012. 127

K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jilid I, Jakarta: PT.Erlangga, 1988, hlm.

45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 121: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

105

obyek-obyek pariwisata di pulau yang sedang menjadi permasalahan sengketa,

pernyataan konfrontatif Deputy PM Malaysia Ghafar Bab pada tanggal 20 Desember

1992 agar Indonesia mencabut klaimnya atas Pulau Sipadan-Ligitan, dan penerbitan

peraturan perundang-undangan Malaysia pada tanggal 25 September 1997 bahwa Pulau

Sipadan-Ligitan menjadi daerah yang dilindungi di bawah Malaysia’s Protected Areas.

Dengan adanya aksi unilateral Malaysia, pihak Indonesia melancarkan protes

keras dan terlibat dalam ketegangan hubungan dengan Malaysia. Beberapa kejadian

telah menggambarkan bentuk protes Indonesia kepada Malaysia. Pada tanggal 5 Juni

1991, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas meminta Malaysia menghentikan

pembangunan tempat wisata di Pulau Sipadan-Ligitan. Pada waktu yang sama, tentara

Angkatan Laut Republik Indonesia menangkap sebuah kapal nelayan Malaysia yang

menangkap ikan di perairan Pulau Sipadan-Ligitan, aksi ini dimaksudkan untuk

memperingatkan Malaysia yang masih mengelola tempat wisata di Pulau Sipadan-

Ligitan. Selain kejadian tersebut, akibat terbunuhnya 2 (dua) orang anggota Tentara

Nasional Indonesia dalam kontak senjata pada bulan Desember 1996 kemudian Tentara

Nasional Indonesia melancarkan protes terhadap Malaysia. Tentara Nasional Indonesia

menyebut insiden tersebut sebagai pelanggaran atas kesepakatan status quo dan

menuduh Malaysia secara agresif mengembangkan potensi kepariwisataan di Pulau

Sipadan-Ligitan yang masih dipersengketakan oleh Indonesia dan Malaysia.128

Ketiga, antara Indonesia dan Malaysia sama-sama mempertahankan komitmen

yang kuat terhadap pandangannya masing-masing atas kepemilikan Pulau Sipadan-

Ligitan. Hal tersebut dibuktikan dengan penegasan wakil khusus kedua negara pada saat

dilaksanakan perundingan pada tanggal 22 September 1995 di Kuala Lumpur, bahwa

sengketa antara Indonesia dan Malaysia sulit untuk diselesaikan karena pihak-pihak

yang bersengketa merasa memiliki bukti-bukti kuat yang terus dipertahankan. Proses

tersebut mengganggu dalam pelaksanaan perumusan dalam pengambilan sebuah

kebijakan politik bagi Indonesia maupun Malaysia karena pelaksanaan perundingan

tidak mendapat kejelasan. Argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh Indonesia 128

Lihat “Penanganan Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan” dalam http://www.w3.org/TR/REC -html40.

[Diakses pada tanggal 12 Maret 2012].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 122: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

106

maupun Malaysia tidak jauh berbeda dengan argumentasi pada

perundinganperundingan terdahulu yang telah dilaksanakan, sehingga tidak ada

arguments dan counter-arguments yang baru.

Suasana perundingan yang statis dan tidak adanya peluang kompromi terhadap

pokok persengketaan mengakibatkan perundingan bilateral menjadi tidak efektif lagi

untuk dijalankan oleh Indonesia maupun Malaysia yang sedang bersengketa.

Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam proses perundingan bilateral Indonesia

dan Malaysia tersebut, maka penyelesaian secara politis juga sudah tidak efektif

dijalankan lagi. Penyelesaian secara politis sudah tidak efektif dilaksanakan pada saat

itu, sehingga menghambat proses perumusan pembuatan sebuah kebijakan politik bagi

kedua negara yang sedang bersengketa mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan.

Akhirnya, upaya secara politis sulit untuk dilaksanakan mengingat perundingan bilateral

yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1997 mengalami

kebuntuan.

Kegagalan proses perundingan bilateral sangat berdampak secara politis bagi

Indonesia maupun Malaysia dalam proses perumusan kebijakan politik dalam

mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam proses

perundingan yang dilaksanakan Indonesia dan Malaysia tidak efektif dikarenakan kedua

belah pihak yang bersengketa masing-masing tetap mempertahankan klaim kepemilikan

yang tidak dapat dikompromikan satu sama lain. Selain itu pula, jalannya proses

perundingan antara Indonesia dan Malaysia bersifat monoton karena kedua belah pihak

yang bersengketa tidak memiliki kebijakan politik yang tegas dalam upaya perundingan

bilateral tersebut. Artinya, baik Indonesia maupun Malaysia sebagai pihak yang

bersengketa tidak mengeluarkan argumentasi-argumentasi baru untuk mendukung klaim

atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Sehingga, upaya proses perumusan dalam

pembuatan kebijakan politik oleh kedua negara juga mengalami hambatan, karena

kedua negara masih mempertahankan argumentasi-argumentasi atas bukti-bukti

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

Dengan kondisi yang demikian, maka perundingan bilateral yang dilaksanakan

antara Indonesia dan Malaysia tidak pernah menghasilkan keputusan yang berkaitan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 123: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

107

dengan pokok persoalan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Kesepakatan yang akhirnya

dicapai oleh Indonesia dan Malaysia pada saat itu membawa kasus sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan melalui Mahkamah Internasional, sehingga proses perumusan

kebijakan politik yang sedang disusun oleh Indonesia pada saat berjalannya

perundingan masih berhenti di tingkat legislatif. Karena pada saat perundingan

dianggap mengalami kegagalan, maka Indonesia dan Malaysia memutuskan untuk

membawa ke Mahkamah Internasional yang didasarkan pada kesepakatan kedua

pemimpin negara masing-masing. Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir

Mohamad pada saat bertemu di Kuala Lumpur pada tanggal 6-7 Oktober 1996

menyepakati bahwa permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dibawa ke

Mahkamah Internasional.

Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengambil

keputusan bahwa permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan diselesaikan melalui

Mahkamah Internasional berdasarkan masukan dari wakil-wakil khusus yang ditugasi

oleh kedua pemimpin negara untuk melaksanakan perundingan bilateral. Kedua wakil

yang ditunjuk oleh pemimpin masing-masing kedua negara adalah Mensesneg

Moerdiono (Indonesia) dan Deputi Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Keduanya memang

mendapat tugas dari masing-masing pemimpin kedua negara untuk menjajaki

kemungkinan penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Penyelesaian

permasalahan sengketa tersebut setelah sejak tahun 1992-1996 memang tidak

mengalami kemajuan yang dicapai di meja perundingan karena Indonesia maupun

Malaysia masih mempertahankan argumentasi masing-masing. Selama proses

perundingan yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia tidak memperoleh hasil yang

dapat dijadikan dasar dalam proses perumusan suatu kebijakan politik terutama oleh

Indonesia. Indonesia mempunyai tujuan politik yang kuat dengan diadakannya

perundingan penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dalam rangka

mempertahankan wilayah teritorialnya dari Malaysia. Apabila dengan upaya

perundingan bilateral itu berhasil, maka Indonesia segera menentukan dan mengambil

langkah politik yaitu dengan membuat kebijakan politik yang nantinya akan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 124: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

108

memberikan suatu pengakuan wilayah dari masyarakat dunia pada umumnya dan pada

masyarakat ASEAN pada khususnya.

Namun demikian, penyelesaian politis yang dilakukan Indonesia melalui

perundingan bilateral akhirnya gagal karena antara Indonesia dan Malaysia saling

mempertahankan klaim kepemilikan tanpa mengenal kompromi. Hal ini dibuktikan

dengan serangkaian proses perundingan bilateral di mana antara Indonesia dan Malaysia

hanya menyertakan bukti-bukti sejarah saja. Keputusan politik yang seharusnya diambil

pada saat perundingan bilateral dilaksanakan misalnya dengan cara membagi kedua

pulau yang menjadi objek permasalahan sengketa atau dengan cara mengelola Pulau

Sipadan-Ligitan secara bersama-sama. Pada kenyataannya untuk Indonesia sendiri

proses pembuatan kebijakan politik juga mengalami hambatan. Karena Pemerintah juga

tidak mempunyai dasar yang kuat dalam merumuskan kebijakan politik yang nantinya

akan dikonsultasikan bersama dengan lembaga legislatif dalam hal ini DPR sebelum

dikeluarkan sebagai pernyataan sikap Pemerintah Indonesia atas permasalahan sengketa

Pulau Sipadan-Ligitan.

Kebijakan politik luar negeri yang nantinya dikeluarkan oleh Pemerintah

dengan persetujuan dari lembaga legislatif merupakan pernyataan sikap Pemerintah

Indonesia dalam politik. Indonesia dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan dengan Malaysia telah mengupayakan dengan jalan politik yaitu

dengan membawa kasus sengketa dengan melibatkan organisasi ASEAN. Langkah

tersebut diambil oleh Indonesia karena kedua negara tersebut termasuk dalam anggota

ASEAN, di mana anggota negara-negara ASEAN memiliki wilayah-wilayah yang

berbatasan langsung dengan negara-negara ASEAN baik darat maupun laut. Alasan

Indonesia mengambil langkah tersebut bertujuan juga mengumpulkan dan meminta

saran mengenai permasalahan sengketa wilayah khususnya bagi anggota negara

ASEAN agar tidak timbul lagi permasalahan sengketa di kemudian hari yang

melibatkan anggota negara ASEAN. Tetapi yang terjadi pada saat Indonesia

menginginkan permasalahan sengketa dapat diselesaikan melalui forum perundingan

ASEAN, Malaysia menolak permintaan Indonesia tersebut.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 125: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

109

Dengan pernyataan penolakan Malaysia tersebut Indonesia tidak lantas

berdiam diri, karena Indonesia tetap berusaha melalui jalur politik yang lain agar

memperoleh dasar perumusan kebijakan politik yang akan dipakai dalam menyatakan

suatu sikap politik luar negeri. Karena proses politik dalam negeri juga dapat

mempengaruhi proses politik luar negeri suatu negara. Proses perumusan kebijakan

politik Indonesia tidak berhasil atau hanya sampai dengan rapat konsultasi dengan

lembaga legislatif dalam hal ini DPR saja, karena dalam perundingan bilateral

penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tidak berhasil atau

mengalami kebuntuan. Dalam pernyataan sikap politik suatu negara akan menentukan

suatu kebijakan politik yang akan berpengaruh pada intregitas suatu negara di mata

internasional terhadap wilayah teritorial suatu negara, karena wilayah merupakan suatu

kedaulatan sebuah bangsa dan negara yang harus dijaga dan dipertahankan.

Penyelesaian secara politik melalui perundingan bilateral dimulai ketika

Indonesia dan Malaysia menemukan ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau

Sipadan-Ligitan pada tahun 1969. Peristiwa tersebut menjadi titik tolak permasalahan

sengketa antara Indonesia dan Malaysia mengenai batas teritorial wilayah kedaulatan.

Upaya untuk mencari pemecahan konflik yang dimulai sejak tahun 1969 tersebut selalu

berakhir atau menemui jalan buntu. Tanda-tanda kebuntuan dalam penyelesaian

kebuntuan dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara

Indonesia dan Malaysia melalui jalur perundingan bilateral tersebut muncul pada saat

diadakan perundingan pada tahun 1989 antara Presiden Soeharto (Indonesia) dan

Perdana Menteri Mahathir Mohammad (Malaysia) di Yogyakarta. Inefektifitas dari

mekanisme perundingan bilateral diungkapkan dengan pernyataan pemimpin kedua

negara yang mengaku kesulitan menyelesaikan permasalahan sengketa Pulau Sipadan-

Ligitan melalui perundingan bilateral. Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir

Mohammad menyadari bahwa klaim kepemilikan Indonesia dan Malaysia atas

permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sama-sama kuat dan cenderung sulit

untuk dipertemukan kepada satu keputusan yang dapat diterima baik oleh Indonesia

maupun Malaysia.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 126: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

110

Dengan upaya Indonesia mengefektifkan perundingan bilateral, maka politik

luar negeri Indonesia juga bertujuan untuk mengantisipasi perkembangan politik dan

keamanan menunjukkan peningkatan untuk mendudukkan Indonesia sebagai anggota

masyarakat internasional yang aktif, serta memperkuat kemampuan suatu negara untuk

melakukan tawar menawar. Untuk merespons perkembangan-perkembangan dalam

permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, maka

kebijakan politik luar negeri Indonesia harus dapat memperkenalkan pendekatan

intermestik (faktor internasional dan faktor domestik). Dalam konteks ini, kebijakan

politik luar negeri Indonesia memiliki kewajiban untuk memperjuangkan kepentingan

nasional di luar negeri namun juga mendorong agar badan-badan multilateral

memperhatikan kepentingan-kepentingan negara berkembang.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia apabila dapat dikeluarkan oleh

Pemerintah pada permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, maka dalam

konteksnya akan terjadi perubahan politik dan keamanan intermestik (faktor

internasional dan faktor domestik). Sehingga, dapat dicatat terjadinya peristiwa atau

konteks yang kondusif bagi pencitraan Indonesia di dunia internasional. Perubahan

tersebut akan berdampak langsung terhadap: Pertama, reformasi dan demokratisasi

merupakan fondasi untuk lebih percaya diri pada tingkatinternasional. Kedua,

reorganisasi internal departemen khususnya Departemen Luar Negeri yang

dilaksanakan tahun 2001 memberikan kekuatan kelembagaan untuk operasionalisasi

diplomasi. Ketiga, perkembangan politik domestik berkaitan dengan perkembangan

pelembagaan dan praktik demokrasi dan resolusi damai atas berbagai perkembangan

persoalan internal bangsa. Perlu juga digarisbawahi bahwa antisipasi Indonesia untuk

merespons perkembangan internasional dan dinamika domestik khususnya pada

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia, tetapi juga

melakukan penyesuaian organisasi. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden

Nomor 109 Tahun 2001 merestrukturisasi dan mereorganisasi Departemen Luar Negeri

pada saat itu, termasuk di dalamnya dengan pembentukan Direktur Jenderal (Dirjen)

Informasi dan Diplomasi Publik.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 127: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

111

Perkembangan lingkungan internasional yang dinamis seperti permasalahan

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, menuntut Indonesia mampu menjalankan kebijakan

politik luar negeri secara cepat merespons dan memanfaatkannya untuk kepentingan

nasional. Kompleksitas persoalan politik-keamanan dan perubahan pada saat

permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan kaitannya dengan politik luar negeri tidak

lagi dapat dilihat dari perspektif negara semata (state-centric) dengan pendekatan

diplomasi klasik, namun harus memperhatikan aspek-aspek yang berdimensi lebih

membumi yaitu manusia. Dalam konteks tersebut, maka diperlukan pemahaman tentang

kedaulatan negara perlu diperkuat dengan mengutamakan kepada perlindungan

masyarakat.

Untuk dapat mencapai tujuan politik luar negeri secara maksimal, maka

penyusuanan strategi dan kebijakan politik luar negeri Indonesia serta praktik

diplomasinya perlu mempertimbangkan pendekatan sistemik yang multidimensi yang

meletakkan agenda politik-keamanan secara komprehensif dalam penyelesaian

permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Berbagai faktor mempengaruhi politik-

keamanan pada saat perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa

Pulau Sipadan-Ligitan. Faktor-faktor tersebut antara lain persinggungan antarberbagai

variable politik, ekonomi, sosial, teknologi, bahkan gaya kepemimpinan serta sejarah

dan budaya (strategic culture) akan turut mempengaruhi dinamika perundingan bilateral

suatu bangsa.

Seiring dengan semakin kuatnya keterkaitan antara aspek eksternal-internal

ataupun internasional-domestik pada penyelesaian permasalahan sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan, maka persoalan keamanan intermestik (faktor internasional dan faktor

domestik) akan semakin menguat dalam agenda politik luar negeri Indonesia.

Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan persoalan-persoalan

globalisasi bagi Indonesia yang juga memiliki pengaruh langsung terhadap keamanan

domestik, kerena berlangsungnya perundingan bilateral Tentara Nasional Indonesia

melalui TNI Angkatan Laut terlibat kontak senjata dengan Tentara Angkatan Laut serta

Patroli Laut Diraja Malaysia. Sehingga mempengaruhi proses perumusan kebijakan

politik luar negeri Indonesia yang sedang dikonsultasikan dengan DPR RI pada saat itu

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 128: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

112

sebagai dasar pertimbangan dari Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan politik luar

negeri untuk mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial Indonesia.

Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, Indonesia

telah menentukan diri sebagai negara demokratis dan oleh karena itu demokrasi

merupakan modalitas bagi fondasi politik luar negeri dan perumusan kebijakan politik

luar negeri Indonesia. Kepentingan nasional, kebijakan politik luar negeri serta

perundingan bilateral sebagai proses diplomasi sebagai operasionalitasnya sudah

semestinya bermuarakan kepada nilai-nilai demokrasi tersebut. Di dalam negara

demokrasi seperti Indonesia, negara bertindak sebagai fasilitator dan pelindung bagi

keamanan negara dan warganya. Meski demikian, walaupun ada kenyataan semakin

terkikisnya kedaulatan negara dalam arti klasik, keberadaan institusi negara sebagai

regulator, protektor dan fasilitator bagi keamanan masyarakat tetap tidak bisa

dikesampingkan.

Dalam menyikapi permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, maka dalam

proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia harus secara cepat

berkemampuan untuk beradaptasi dan/atau dapat memimpin di dalam percaturan

internasional. Indonesia telah berupaya melakukan proses perumusan kebijakan politik

luar negeri, namun hasil perundingan bilateral yang dilakukan dengan Malaysia

mengalami kebuntuan. Proses politik tetap diusahakan oleh Indonesia dalam

mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial Pulau Sipadan-Ligitan supaya tidak jatuh ke

tangan Malaysia. Pemerintah terus mengadakan konsultasi dengan DPR RI untuk

membahas proses perumusan kebijakan politik luar negeri yang akan dikeluarkan

menyangkut permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga setiap hasil

perundingan bilateral yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda

menjadi bahan pertimbangan konsultasi dengan Komisi I DPR RI dalam proses

perumusan kebijakan politik luar negeri.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 129: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

113

4.2 Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap

Pulau Sipadan-Ligitan melalui ICJ (International Court of Justice)

Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikaian, negara

tersebut akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada saat ini negara-negara anggota

ASEAN tidak memilih untuk menggunakan kekuatan senjata atau militertetapi

menggunakan bahasa sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan pertikaian

diantaranya melalui perundingan diplomatik. Pada umumnya penyelesaiansengketa

digolongkan dalam dua kategori129:

1. Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah dapat

menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode,

menurut sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan secara hukum.

Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation),

jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), penengahan (mediation) dan

konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian secara damai yang bersifat

hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan

penyelesaian hukum (judical settlement);

2. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan cara kekerasan, yaitu

apabila solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaianmelalui

kekerasan meliputi perang dan bersenjata non-perang sepertiretorasi

(retorsion), dikenakan tindakan-tindakan pembalasan (reprisals), blokade

secara damai (pasific blockade) dan intervensi (interventation).

Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah,

maka sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja

yangmengklaim kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih tinggi

(baikitu melalui penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas negara-negara

lainnyayang juga mengajukan klaim yang sama.

Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa

pihaklainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk 129 Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah Internasional. November 26, 2009.

http://www.scribd.com.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 130: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

114

membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas

wilayahtersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk

perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wilayah dalam hukum

internasionaljuga berdasarkan atas tindakan okupasi efektif, dengan mengasumsikan

bahwanegara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif

wilayahyang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama, penambahan wilayah secara

alamidapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas bagian wilayah yang telah

adakedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, merupakan hal yang wajar

apabilauntuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu tindakan yang terus menerus

danjuga dilakukan secara damai.

Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai pada mulanya

dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi mengenai penyelesaian sengketa-sengketa secara

damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yangkemudian

dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-

prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat danKerjasama

antarnegara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24Oktober 1970.

Deklarasi tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara

damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamananinternasional dan keadilan tidak sampai

terganggu.

Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan pada

prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal, dan dimuat

dalamDeklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antarnegara tanggal 24

Oktober 1970 serta Deklarasi Manila tanggal 15 November 1982 mengenai

Penyelesaian Sengketa Internasional secara Damai, yaitu130:

1. Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang

bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik suatu

negara, ataumenggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan

tujuan-tujuan PBB; 130

Boer Mauna, Op. Cit., hlm.194.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 131: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

115

2. Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri

suatunegara;

3. Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap

bangsa;

4. Prinsip persamaan kedaulatan negara;

5. Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan dan

integritas teritorial suatu negara;

6. Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional;

7. Prinsip keadilan dan hukum internasional.

Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung

dariketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam yang melarang negara anggota

menggunakankekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Dengan demikian,

pelaranganpenggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai merupakan

norma-normaimperatif dalam pergaulan antarbangsa. Oleh karena itu, hukum

internasionaltelah menyusun berbagai cara penyelesaian sengketa secara damai dan

menyumbangkannya kepada masyarakat dunia demi terpeliharanya perdamaian

dankeamanan serta terciptanya pergaulan antar bangsa yang serasi.

Konvensi Hukum Laut 1982 menyediakan berbagai metode dalam

rangkapenyelesaian sengketa hukum laut. Dilihat dari perkembangan sistem

peradilaninternasional, mekanisme konvensi ini merupakan yang pertama kali

dapatmengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur memaksa

(compulsory procedures), dengan sistem konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi

negara-negarapihak konvensi untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan

bersembunyidibelakang konsep kedaulatan negara, karena konvensi secara prinsip

mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui

mekanisme konvensi.

Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV tentang Settlement of Disputes,

Pasal 279 pada intinya menyebutkan bahwa negara-negara pihak diberi kebebasanyang

luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama.Pada

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 132: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

116

sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan, Indonesia menginginkanadanya penyelesaian

secara damai dengan Malaysia. Hal ini berdasarkan pada prosedural penyelesaian

melalui Mahkamah Internasional sesuai dengan Bab VIPasal 33 Penyelesaian Pertikaian

Secara Damai dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah

Internasional serta Pasal 36 ayat 1 Statuta MahkamahInternasional.131Bab VI Pasal 33

Penyelesaian Pertikaian Secara Damai dalam Piagam PBB dan Statuta Mahkamah

Internasional adalah :

1. Pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu pertikaian yang jika

berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaanperdamaian

dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan

jalan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi, konsiliasi, arbitrasi,

penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan

regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri;

2. Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak -pihak

bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara serupaitu.

Metode-metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai

atau bersahabat dapat dibagi dalam klasifikasi berikut ini : Pertama, Arbitrasi

(arbitration); Kedua, penyelesaian yudisial (judicial settlement); Ketiga, negosiasi,jasa-

jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi; Keempat, penyelidikan (inquiry); dan

Kelima, penyelesaian di bawah naungan Organisasi Perserikatan Bangsa -

Bangsa.Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi antara Indonesia dan

Malaysia,kedua negara memilih untuk menggunakan metode negosiasi atau

perundingandiplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan Pulau

Sipadan-Ligitan. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan

olehperwakilan kedua negara. Melihat sejarah hubungan Indonesia dan Malaysia,

caranegosiasi ini merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan

sengketa.Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia Tenggara

131Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional secara lengkap berbunyi sebagai berikut,

“TheJurisdiction of the Court comparises all cases which the parties refer to it and all matters specially provided

for the in the Charter of the United Nation or in treaties and conventions in force.”

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 133: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

117

yangbersahabat, dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk

mengadakansebuah perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat.

Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme perundingan

ini adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam rangka upayapenyelesaian

sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara ini terkadangmemerlukan waktu

yang sangat lama, hal ini bisa terjadi karena dalam perundingandimungkinkan para

pihak tetap bersikeras dengan pendapatnya dan berusaha untukmematahkan

argumentasi-argumentasi yang diberikan pihak lawan kadang hal inidilakukan sebagai

implementasi dari kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masingpihak, sehingga sulit

untuk mencari titik temu penyelesaian.

Biasanya, arbitrasi menunjukkan prosedur yang persis sama sebagaimana

dalam hukum nasional, yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentuyang

dinamakan para arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak, merekaitulah yang

memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Namun,

pengalaman yang diperlihatkan oleh praktek internasional menunjukkan bahwa

beberapa sengketa yang hanya menyangkut masalah hukumyang diserahkan kepada para

arbitrator untuk diselesaikan berdasarkan hukum.132Lebih lanjut, dalam berbagai macam

traktat yang menyepakati bahwa sengketa-sengketaharus diajukan kepada arbitrasi,

seringkali sebagai tambahan pada arahan untuk memutuskan menurut dasar keadilan atau

ex aequo et bono, pengadilan-pengadilanarbitrasi secara khusus diinstruksikan untuk

menerapkan hukum internasional.

Klausula-klausula yang mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada

arbitrasi juga sering dimasukan ke dalam traktat-traktat, khususnya konvensi

“yangmembuat hukum” (law-making). Arbitrasi pada hakikatnya adalah suatu

prosedurkonsensus. Negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka

arbitrasikecuali jika mereka bersetuju untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum

dan sebelumnya maupun ad hoc berkenaan dengan suatu sengketa tertentu.

Kesepakatannegara-negara itu pun mencakup penentuan karakter dari pengadilan yang 132

J.G Starke,Pengantar Hukum Internasional : Edisi Kesepuluh. Penerjemah:BambangIriana

Djajaatmadja, S.H. Jakarta : Sinar Grafika, 2001.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 134: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

118

akan dibentuk.Proses arbitrasi lebih memuaskan dibandingkan dengan

penyelesaianyudisial atas sengketa-sengketa teknis, juga lebih murah, sedangkan,

apabila dianggap perlu, arbitrasi dapat dilakukan tanpa ada publisitas, bahkan sampai

tingkattertentu para pihak boleh menyepakati bahwa putusan-putusan tidak akan

dipublikasikan. Lebih lanjut, prinsip-prinsip umum yang mengatur praktek dan

wewenang pengadilan-pengadilan arbitrasi cukup dikenal. Yang terakhir,

prosedurarbitrasi cukup luwes untuk dikombinasikan dengan proses-proses pencarian

faktayang disediakan dalam kasus negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi dan

penyelidikan.

Untuk itu, Indonesia dan Malaysia telah membuat sebuah perjanjian yang diberi

nama Special Agreement for Submission to the International Court of Justiceof the Dispute

between Indonesia and Malaysia concerning Soverignty over Pulau Ligitan and Pulau

Sipadan(Special Agreement). Dalam Pasal 2 Special Agreementdisebutkan bahwa

Mahkamah Internasional diminta untuk menentukan siapakahyang mempunyai kedaulatan

atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.133

4.3 Mahkamah Internasional

Pembentukan pengadilan menggambarkan puncak perkembangan yang cukup

lama dari metode atau cara-cara penyelesaian secara damai terhadap sengketa-

sengketainternasional. Pasal 33 dari Piagam PBB dibahas mengenai cara-cara

penyelesaian sengketa internasional secara damai di mana meliputi negotiation, enquiry,

mediation, arbitration, judical settlement, serta juga good-offices. Padaproses arbitrase

dan penyelesaian hukum (judical settlement) mempunyai perbedaanyang terletak adalah

penyelesaian sengketa atas hak-hak hukum para pihak, atasdasar hukum yang berlaku

(kecuali para pihak berpendapat lain) dan menghasilkan keputusan yang mengikat para

pihak.

Sejarah dari terbentuknya suatu Mahkamah Internasional dimulai dengan suatu

pembentukan lembaga Arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa

133Bunyi lengkap dari Pasal 2 adalah sebagai berikut, “ The Court is requested to determine on the basisof the

treaties, agreements and any other evidence furnished by the Parties, whether sovereignty over Pulau Ligitan dan

Pulau Sipadan belongs to the Republic of Indonesia or to Malaysia.”

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 135: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

119

internasional secara damai. Arbitrase adalah suatu institusi yang sudahcukup tua, tetapi

sejarah arbitrase modern yang diakui sejak Jay Treaty 1794 antaraAmerika dan Inggris, yang

mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada arbitrasejuga sering dimasukan ke dalam

traktat-traktat, khususnya konvensi yang membuathukum (law making).

a. Permanent Court of Arbitration

Suatu langkah maju bagi perkembangan arbitrase, yaitu Konvensi The Haque

1899 dan 1907 mendirikan Permanent Court of Arbitration yangdalam

kenyataannya tidak permanen dan tidak membentuk pengadilan. Di mana

setiap negara peserta atau anggota dapat mengangkat empat orang yang

memenuhi syarat di bidang hukum internasional dan semua orang yang

ditunjuk tersebut merupakan sebuah panel para ahli hukum yang kompeten

yang dari mereka itulah diangkat para arbitrator apabila diperlukan. Arbitrase

pada hakikatnya adalah suatu prosedur konsensus. Negara-negara tidak dapat

dipaksa untuk dibawa ke muka arbitrase kecuali jika mereka setuju untuk

melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya maupun advoc

berkenaan dengan suatu sengketa tertentu. Proses arbitrase, di samping

berkeinginan untuk adanya sebuah pengadilan yang permanen, tetap menjadi

suatu proses yang bermanfaat guna mewujudkan kemajuan-kemajuan akan

adanya suatu kategori sengketa di mana menyerahkan ke Mahkamah

Internasional.

b. Permanent Court of International Justice

Dalam Pasal 14 Convenant Liga Bangsa-Bangsa diberikan tugas kepada dewan

liga untuk menyusun dan mengajukan rencana-rencana bagi pembentukan

sebuah Mahkamah Internasional Permanen kepada anggota-anggota liga untuk

disahkan. Dewan Liga kemudian mengangkat sebuahkomite penasihat yang

terdiri dari ahli-ahli hukum dan di dalam komite itulah digunakan untuk

memecahkan persoalan penting mengenaipemilihan para Hakim.Permanent

Court of International Justice bukan merupakan suatu organ dari Liga Bangsa-

Bangsa meskipun dalam beberapa tindakannya berhubungan dengan liga.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 136: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

120

c. International Court of Justice

International Court of Justice berkedudukan di Peace Palace, The Hague

(Netherland) yang bertindak sebagai pengadilan dunia di manamemutuskan

perkara-perkara dalam sengketa-sengketa hukum internasional dari suatu

negara dan juga memberikan pendapat dalam bentuk nasehat hukum (Advisory

Opinion). International Court of Justicedibentuk berdasarkan Pasal 92-96

Piagam PBB yang dirumuskan di San Fransisco pada tahun 1945. Pasal 92

menyatakan bahwa Mahkamah Internasional adalah organ utama PBB karena

itu maka negara-negara anggota PBB otomatis terikat kepada Mahkamah

Internasional (International Court of Justice) sebagaimana halnya kepada

organ-organ PBB lainnya. Mahkamah Internasional juga terikat pada tujuan

dan prinsip PBB yang dinyatakan pada Pasal 1 dan 2 Piagam PBB dan karena

statuta Mahkamah Internasional dilampirkan pada Piagam PBB serta

merupakan bagian integral dari Piagam PBB, maka konteks Piagam PBB

tersebut merupakan suatu faktor pengendali dalam penafsiran ketentuan -

ketentuan dari statuta.134

Sejak dibentuk tahun 1945, Mahkamah Internasional atau ICJ telah menangani

kasus-kasus internasional, baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (countentious)

maupun advisory. Sebagai penerus dariPermanent Court International of Justice (PCIJ)

yang didirikan pada tahun 1921,Mahkamah Internasional telah diaggap sebagai salah

satu cara utama untuk penyelesaian konflik antarnegara di dunia.Sebagai salah satu

institusi hukum internasional, Mahkamah Internasional hanya menerima negara sebagai

pihak yang dapat beracara di dalamnya.135Perjanjiankhusus (special agreement) tentang

penundukan (consent to be bound) kepada juridiksi Mahkamah Internasional, harus

terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara.136 Penundukan ini didasarkan

134Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah Internasional. 26 November 2009.

http://www.scribd.com 135

Statuta MI, 1945, Pasal 34 (1), “Only States may be parties in cases before the Court.” 136

Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1), “Cases are brought before the Court, as the case may be, either by the

notification of the special agreement or by a written application…..”

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 137: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

121

pada prinsip kedaulatan negara(state soverignty). Dari syarat ini dapat dilihat bahwa

Mahkamah Internasional menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara untuk tunduk

atas dasar free will. Lebihjauh lagi, pengakuan internasional akan kedaulatan negara ini

juga dapat dilihat darikekuatan mengikat dari keputusan Mahkamah Internasional.

Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional hanya mempunyai kekuatan

mengikatbagi para pihak yang bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.137

Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan

perjanjian khusus yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa.138Salah

satu kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihakuntuk

menerima juridiksi dari Mahkamah Internasional yaitu Soverignty over Pulau Sipadan-

Ligitan (Indonesia-Malaysia). Dalam bentuk ini, juridiksi Mahkamah Internasional

ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk

tunduk kepada juridiksi Mahkamah Internasionaljika terjadi sengketa. Pada umumnya

juridiksi Mahkamah Internasional dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus

tentang aplikasi atau interpretasi dariperjanjian internasional yang akan dimintakan

kepada Mahkamah Internasional. Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau

aplikasi untuk beracara di Mahkamah Internasional, maka tahap yang selanjutnya

adalah tahap pembelaan,yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi

pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, Mahkamah Internasional memberikan

kebebasan kepadapara pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu

pembelaantertulis maupun presentasi pembelaan.Pada tahap pembelaan tertulis (written

pleadings), urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam

hal perjanjian khusus maupunaplikasi, adalah Memorial dan tanggapan Memorial

(counter memorial). Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan

137Statuta MI, Pasal 59 “The decision of the Court has no binding force except between the parties and in

respect of that particular case”. 138

Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1) “…the subject of the dispute and the parties shall be indicated”, dan (Rules

of the Court) sel anjutnya Aturan Mahkamah, Pasal 39 “…indicate the precise subj ect of the dispute and

identify the parties to it”.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 138: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

122

Mahkamah Internasionalmenyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk

memberikan jawaban (reply).139

Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak,

maka mulailah proses presentasi pembelaan (oral pleadings). Mahkamah Internasional

menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari

Mahkamah Internasional dan para pihak. Para pihak mendapatdua kali kesempatan

untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MahkamahInternasional. Waktu

untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika Mahkamah

Internasional beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untukhearing tersebut

dapat diperpanjang. Akan tetapi, menurut aturan Mahkamah Internasional

proseshearing tersebut berada di bawah pengawasan Mahkamah Internasional dan

waktunya disesuaikan dengan pertimbangan Mahkamah Internasional.Ada tiga cara

untuk sebuah kasus dianggap telah selesai oleh Mahkamah Internasional, yaitu:

1. Para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir;

2. Pihak applicant atau kedua pihak telah sepakat untuk menarik diri dari

proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai;

3. Mahkamah Internasional memutus kasus tersebut dengan keputusan yang

dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan.

4.4 Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah Atas Pulau Sipadan-Ligitan

Melalui ICJ (International Court of Justice)

Konflik sengketaPulau Sipadan-Ligitan mencuat sejak tahun 1969, ketika

Malaysia dan Indonesia membahas mengenai Landas Kontinen. Perselisihan berawal

dari perbedaan penafsiran atas Perjanjian 1891 yang dibuat dua kolonialis, yakni

Inggris-Belanda, untuk membagi Kalimantan. Pada awalnya kedua pihak sepakat untuk

tidak melakukan aktivitas apapun diatas kedua pulau yang sedang dalam sengketa.

Namun Malaysia bukan hanya mengamankan kedua pulau ini, melainkan juga

membangun resort pariwisata danpenangkaran penyu. 139

Abdul Irsan, Pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan. JurnalIntelijen & Kontra

Intelijen.Volume V No. 27 : Jakarta, 2009, hlm. 253.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 139: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

123

Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah Internasional tidak mendasarkan diri

pada Perjanjian kedua belah pihak antara Inggris dan Belanda, namun lebih kepada

aktivitas okupasi secara efektif dari Malaysia. Menyangkut efektifitas yangditunjukkan

oleh Indonesia, Mahkamah Internasional memulai dengan menunjukkanbahwa tidak ada

peraturan perundang-undangan satupun yang mengatur tentangPulau Sipadan-Ligitan.

Terlebih lagi, Mahkamah Internasional tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.

4/1960 yang menarik garis pangkal bagi wilayah Indonesia, tidakmemasukkan Pulau

Sipadan-Ligitan sebagai titik-titik garis pangkal.Menurut opini Mahkamah

Internasional, tidak dapat ditarik kesimpulan dari laporan komandan kapal patroli

Belanda Lynx atau dari dokumen lain yang disajikanoleh Indonesia dalam kaitannya

dengan kegiatan patroli laut Indonesia atau Belanda,bahwa otoritas kelautan terkait

meliputi Pulau Sipadan-Ligitan dan perairan disekitarnya di bawah kedaulatan Belanda atau

Indonesia.

Malaysia memenangkan kasus ini karena Mahkamah Internasional

menganggap bahwa Malaysia telah dapat menunjukkan pelaksanaan okupasi

secaraefektif terhadap kedua Pulau Sipadan-Ligitan yaitu berkaitan dengan efektivitas

terhadap kedua Pulau Sipadan-Ligitan, dalam Butir 132 Putusan ICJ dikemukakan

Malaysia menyatakan bahwa negaranya telah mengaturpengurusan penyu dan

pengumpulan telur penyu. Malaysia menyatakan bahwa pengumpulan telur penyu di

kedua pulau ini merupakan kegiatan ekonomi yangpaling penting selama bertahun -

tahun.

Tahun 1914 Inggris Raya mengambil langkah-langkah untuk mengatur dan

mengendalikan pengambilan telur penyu di kedua pulau tersebut. Malaysia

jugamengandalkan pembentukan usaha penangkaran burung pada tahun 1933.

Malaysiajuga menyebutkan BNBCAuthorities telah membangun mercusuar di atas

kedua pulau tersebut pada tahun 1960-andan mercusuar tersebut masih tetap ada sampai

sekarang dan dipelihara oleh OtoritasMalaysia. Terakhir, Malaysia menyatakan adanya

Peraturan perundang-undanganPemerintah Malaysia mengenai Pariwisata di Pulau

Sipadan dan kenyataan menyebutkanbahwa sejak 25 September 1977, Pulau Sipadan-

Ligitan menjadi daerah yang dilindungi dibawah Malaysia’s Protected Areas.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 140: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

124

Berkenaan dengan efektivitas yang disandarkan oleh Malaysia, maka

Mahkamah Internasional pertama mengamati bahwa sesuai dengan Konvensi tahun1930

Amerika Serikat melepaskan klaim bahwa Amerika Serikat memiliki kedaulatan di atas

Pulau Sipadan-Ligitan, dan tidak ada negara lain yang mengemukakan kedaulatannya

diatas kedua pulau tersebut pada saat itu, atau merasa keberatan dengan

Pemerintahanyang berkelanjutan oleh State of North Borneo. Lebih lanjut Mahkamah

Internasional mengamatibahwa aktivitas-aktivitas yang terjadi sebelum dibuatnya

Konvensi tidak dapat dianggap sebagai tindakan “a little de souverain”, karena Inggris

Raya pada saat itutidak mengajukan klaim kedaulatan atas nama State of North Borneo

atas pulau-pulauterluar batas 3 marine-league. Karena Mahkamah Internasional

beranggapan bahwa BNBC mempunyai hak untuk memerintah kedua pulautersebut,

posisi yang setelah tahun 1907 secara formal diakui oleh Amerika Serikat, maka

kegiatan-kegiatan administratif ini tidak dapat diabaikan begitu saja.

Sebagai bukti administratif efektif terhadap kedua pulau, Malaysia menyatakan

bahwa ukuran yang diambil oleh Otoritas North Borneo untuk mengaturdan

mengendalikan tindakan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan-Ligitanmerupakan

sebuah aktivitas ekonomi yang nyata di daerah tersebut pada saat itu.Hal ini merujuk kepada

Turtle Preservation Ordinance 1917, yang bertujuan untukmembatasi

penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu dalam wilayah State of North

Borneoatau perairan wilayahnya. Mahkamah Internasional juga mencatat bahwa

Ordonansidibuat dalam kaitan sistem pemberian lisensi dan untuk penciptaan native

reservesuntuk pengumpulan telur penyu, dan Pulau Sipadan terdaftar di antara pulaupulau yang

termasuk dalam native reserves.

Malaysia mengemukakan bukti dokumen yang menunjukkan bahwa Ordonansi

Pelestarian Penyu 1917 berlaku setidaknya sampai tahun 1950. Dalamkaitan ini,

Malaysia menyatakan bahwa izin yang dikeluarkan pada tanggal 28 April1954 oleh

Pejabat Distrik Tawau memperkenankan penangkapan penyu yang sesuaidengan Bagian

2 dari Ordonansi tersebut. Mahkamah Internasional mengamati bahwa izin inimeliputi

area yang termasuk di dalamnya “Pulau Sipadan, Ligitan, Kapalat,Mabul, Dinawan dan

Siamil”.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 141: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

125

Lebih lanjut Malaysia menyebutkan beberapa kasus tertentu sebelum dan

setelah tahun 1930 di mana ditunjukkan, bahwa otoritas administratif telah

berhasilmenyelesaikan sengketa mengenai pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan.

Malaysiamerujuk kepada fakta bahwa tahun 1933 Pulau Sipadan berdasarkan Bagian 28

dariOrdonansi Tanah 1930 dinyatakan sebagai reserve bagi tujuan penangkaran

burung.Mahkamah Internasional berpendapat bahwa baik ukuran yang diambil untuk

mengatur dan mengendalikan pengumpulan telur penyu dan usaha penangkaran burung

harus dilihat sebagai pernyataan tegas tentang pengaturan dan pernyataan administratif

dariotoritas terhadap wilayah tersebut.

Malaysia kemudian mengemukakan fakta bahwa otoritas koloni North Borneo

membangun mercusuar di Pulau Sipadan pada tahun1962 dan yang lainnyadi Pulau

Ligitan tahun 1963 di mana mercusuar tersebut tetap ada sampai kini danbahwa

mercusuar tersebut dipelihara oleh Otoritas Malaysia sejak kemerdekaannya.Malaysia

beragumen bahwa pembangunan dan pemeliharaan dari mercusuar sepertiitu merupakan

“bagian dari pola pelaksanaan otoritas Pemerintah yang tepat”. Mahkamah Internasional

mengamati bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan bantuan navigasi

pada umumnya tidak berdasarkan perwujudan otoritas Negara.Mahkamah Internasional

memberikan catatan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Malaysia baik itu atas

namanya sendiri atau sebagai suksesor Inggris Raya memangsedikit jumlahnya, tetapi

hal ini sangat beragam dalam karakternya termasuk dalamtindakan-tindakan legislatif,

administratif dan quasi-peradilan. Hal-hal tersebut meliputi periode waktu yang panjang

dan menunjukkan pola penampakan kehendakuntuk melaksanakan fungsi kenegaraan

yang berkaitan dengan kedua pulau tersebut dalam konteks administrasi dalam lingkup

yang lebih luas dari pulau-pulau tersebut.

Mahkamah Internasional terlebih tidak dapat mengabaikan fakta bahwa pada

saat itu ketikakegiatan-kegiatan ini dilaksanakan, baik Indonesia maupun pendahulunya

Belanda,tidak pernah menyatakan pertentangan atau protes. Dalam hal ini, Mahkamah

Internasional memberikan catatan bahwa pada tahun 1962 dan 1963 Pemerintah

Belanda tidakpernah mengingatkan otoritas Koloni North Borneo atau Malaysia setelah

kemerdekaannya, bahwa pembangunan mercusuar pada masa-masa itu berlangsungdi

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 142: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

126

wilayah yang mereka anggap sebagai milik Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta yang

diberikan dalam kasus ini, dan khususnya dalam hal bukti-bukti yang diajukan oleh para

pihak, maka Mahkamah Internasionalmenyimpulkan bahwa Malaysia memiliki hak

terhadap Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan effectivites.

4.5 Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan

Dalam persidangan Pemerintah kedua negara telah menyiapkan sejumlah

pengacara setingkat internasional, di samping para pejabat kedua Pemerintahan. Proses

persidangan yang dilakukan dihadapan Mahkamah Internasional oleh Indonesia dan

Malaysia terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu sesi ArgumentasiTertulis (Written

Pleadings) dan Argumentasi Lisan (Oral Pleadings).

Dalam Argumentasi Tertulis dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu penyampaian

dasar dari klaim yang disebut sebagai Memorial. Atas Memorial yang

disampaikan,masing-masing negara diberi kesempatan untuk menjawab dalam bentuk

Counter Memorial. Counter Memorial yang disampaikan oleh masing-masing negara

kemudian dijawab kembali dalam bentuk Reply. Indonesia dan Malaysia menyampaikan

Memorial mereka pada bulan November 1999. Selanjutnya kedua negara

menyampaikan Counter Memorial padabulan Agustus 2000. Atas Counter Memorial

yang disampaikan oleh masing-masingnegara, masing-masing telah menanggapinya

dalam Reply yang disampaikan keMahkamah Internasional pada bulan Maret 2001.

Pada bulan Juni 2002, para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan Argumentasi

Lisan mereka.

4.5.1 Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia

Indonesia dalam argumentasi hukumnya berdasarkan kepemilikannya

ataskedua pulau berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris

(atauyang disebut sebagai “Conventional Title”).140 Indonesia berpendapat bahwa

Konvensi 1891 merupakan perjanjian yang menyelesaikan ketidakjelasan batas- 140

Pasal 4 Konvensi 1891 berbunyi : “ From 4 10’ latitude in the east coast the boundary line shall be

continued eastward along the parallel, across the Island of Sebatik; that portion of the island situated to the north

of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south of that parallel

to the Netherlands”.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 143: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

127

bataswilayah antara Inggris dan Belanda di Kalimantan. Dalam hubungan ini

Indonesiamenafsirkan bahwa garis 4 10‟ tersebut tidak hanya berhenti pada bagian

timur PulauSebatik, tetapi terus berlanjut ke arah laut sebelah timur pulau tersebut.

Dengan demikian, pulau-pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di bagian selatan garis

tersebut merupakan wilayah Hindia Belanda. Pandangan Indonesia ini didukungoleh

kenyataan bahwa konsesi minyak yang diberikan oleh kedua pihak secara

jelasmenghormati garis 4 10‟ . Selain itu kunjungan Kapal Perusak Lynx (milik Belanda) ke

Pulau Sipadan pada tahun 1921 menunjukkan adanya kontrol yang efektif

pihakPemerintah Hindia Belanda atas kedua pulau tersebut.

Malaysia dalam argumentasinya menyatakan bahwa garis 4 10‟ tersebut

berhenti pada bagian timur Pulau Sebatik, karena perjanjian 1891 hanya bertujuanuntuk

mengatur batas wilayah daratan. Berkaitan dengan kepemilikannya atas keduapulau,

Malaysia menitikberatkan pada dua alur pemikiran (atau yang disebut sebagai“Chain of Title”),

sebagai berikut:141

1. Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari serangkaian transaksi yang

dimulai dari grant Sultan Sulu kepada BNBC tahun 1878, pengakuan Spanyol

atas kedaulatan Inggris di Borneo melalui Perjanjian 1885, dan pertukaran

Nota antara Amerika Serikat dengan Inggris tahun 1907 mengenai pengakuan

Amerika Serikat atas pengelolaan pulau-pulau yang sedang dipermasalahkan

(termasuk Pulau Sipadan-Ligitan) yang berada dalam administrasi BNBC

meskipun kedaulatannya masih tetap berada di bawah Amerika Serikat.

Malaysia juga merujuk pada Perjanjian Amerika Serikat-Inggris tahun 1930

tentang penyerahan kedaulatan Amerika Serikat kepada Inggris atas pulau-

pulau di selatan dan barat garis batas antara Filipina dengan Borneo, dan

penyerahan kedaulatan Inggris kepada Malaysia tahun 1963 melalui prinsip

suksesi negara;

2. Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari fakta bahwa Inggris kemudian

Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan terus-menerus telah 141

Abdul Irsan, Op. Cit., hlm. 252.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 144: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

128

mengadministrasikan kedua pulau itu. Di pihak lain, Belanda dan kemudian

Indonesia tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau sampai tahun 1969,

argumentasi Malaysia tersebut dikenal dengan istilah effectivities.

4.5.2 Written dan Oral Hearings

Sesuai dengan prosedur yang berlaku di Mahkamah Internasional,

masing-masing pihak yang bersengketa harus menyampaikan Argumentasi

Tertulis (Written Pleadings) ke Mahkamah Internasional dan pihak lawan

sengketa, yang terdiri dari penyampaianMemorial, Counter Memorial, dan

Relpy. Memorial Indonesia berisi argumentasi klaim Indonesia atas Pulau

Sipadan dan Ligitan dan disampaikan pada tanggal2 September 1999, Counter

Memorial yang berisi tanggapan RI atas Memorial-nyaMalaysia disampaikan

tanggal 2 Agustus 2000. Sedangkan Reply Indonesia yangberisi tanggapan atas

Counter Memorial Malaysia disampaikan tanggal 2 Maret2001.

Setelah proses Argumentasi Tertulis (Written Pleading) selesai,

penyelesaiankasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan memasuki tahap akhir, yaitu

penyampaianLisan dan Oral Hearing. Kedua Agen dari masing-masing pihak yang

bersengketamenyampaikan presentasi berupa sikap dan posisinya, terutama yang

mengandungsikap politis dan penekanan yuridis. Walaupun sebenarnya

argumentasi yangbersifat yuridis juga disampaikan oleh kedua pihak yang

bersengketa di tahapanWritten Pleading. Malaysia menyampaikan argumen

lisannya tanggal 6 Juni 2002dan Indonesia tanggal 12 Juni 2002. Masing-masing pihak

diberi hak menjawab argumentasi lawannya.

Pada pelaksanaan Oral Hearing tanggal 12 Juni 2002, delegasi

Indonesia yang diketuai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, dalam

kedudukannya sebagai Agen,didampingi oleh dua orang anggota Komisi I DPR

RI, sejumlah pejabat dariDepartemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan,

MABES TNI, DepartemenEnergi dan Sumber Daya Mineral, Wakil dari

Kabupaten Nunukan, Prof. Lapiansebagai pakar sejarah, juga unsur-unsur dari

KBRI Den Haag dan KBRI Paris. Oral Hearing pihak Indonesia merupakan

pernyataan terakhir posisi Indonesia diMahkamah Internasional mengenai

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 145: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

129

masalah sengketa Pulau Sipadan-Ligitan olehMenteri Luar Negeri Republik

Indonesia yang berfungsi sebagai Agen yang dilanjutkan denganpresentasi oleh para

pakar hukum internasional yang membantu tim Indonesia.

Terdapat tenggang waktu yang cukup lama antara proses Written

Pleadings dengan Oral Pleadings, disebabkan adanya permohonan mendadak untuk

intervensidari Pemerintah Filipina tanggal 13 Maret 2001 yang

disampaikan oleh Duta BesarFilipina untuk Kerajaan Belanda kepada Registrar

Mahkamah Internasional PhilippeCouvreur.

Mahkamah Internasional menyampaikan keinginan pihak Filipina ini

kepada pihak Indonesia dan Malaysia untuk ditanggapi. Apabila satu pihak atau

kedua pihakyang bersengketa (Indonesia dan Malaysia) merasa keberatan atas

intervensi Filipina,maka Mahkamah Internasional akan mengadakan hearing

dengan mempertimbangkan tanggapanpara pihak dan kepentingan Filipina.

Sesuai dengan surat aplikasi pihak Filipinakepada Mahkamah Internasional,

alasan utama intervensi Filipina tersebut adalahuntuk melindungi

kepentingannya (legal status) atas Sabah (North Borneo).Mahkamah

Internasional membagi hak intervensi dalam dua kategori yaitu hakintervensi

sebuah negara atas keputusan sebuah kasus Mahkamah Internasional danatas

konstruksi sebuah perjanjian internasional. Pengajuan hak intervensi

harusmengandung tiga hal yaitu kepentingan yang mempunyai karakter hukum

(interest of legal nature), objek yang jelas dan pasti (precise object) dan

hubungan yuridiksi(jurisdictional link). Kepentingan yang mempunyai karakter

hukum (interest of legal nature) memiliki kelemahan bahwa tidak ada definisi

yang jelas dalam hukuminternasional yang berkenaan dengan kata “interest of

legal nature”. Setiap negarabebas menginterpretasikan kepentingannya dalam

mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang berlangsung di

Mahkamah Internasional.142Dalam hubungan ini Konstitusi Filipina 142Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Soverignty Over Pulau Sipadan-Ligitanmemberikan

pernyataan yang sama yang berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 146: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

130

menganggap wilayah Sabah masih diklaimsebagai wilayah yang pernah dimiliki

oleh Kesultanan Sulu dan pihak Filipina masihterus berusaha melalui negosiasi

diplomatik untuk memperjuangkan haknya.Mengenai klaim Filipina atas

wilayah Sabah, Malaysia dan Filipina pernahmelakukan perundingan untuk

membahas klaim tersebut tetapi tidak pernah tercapai kesepakatan. Filipina dan

Malaysia kemudian dengan dasar demi memeliharahubungan baik sebagai

negara sahabat, bersepakat menunda negosiasi ini sampaiwaktu yang belum

dapat ditentukan. Sementara Konstitusi Filipina tetapmenganggap Sabah sebagai

wilayah warisan dari Kesultanan Sulu. Intervensi pihak Filipina dan setelah

berkonsultasi dengan tim danpakar hukum Indonesia serta Malaysia, tanggal 23

Oktober 2001 MahkamahInternasional menyampaikan keputusannya (Reading for

the judgement) bahwapermohonan Filipina tidak dapat dikabulkan.

Setelah para Hakim anggota mempelajari dan mendiskusikan semua

argumentasi hukum yang disampaikan oleh pihak-pihak yang bersengketa

(Indonesiadan Malaysia), maka sesuai prosedur Mahkamah Internasional, tanggal

17 Desember2002 Ketua Mahkamah Internasional membacakan keputusannya

dan menetapkanbahwa Indonesia dan Malaysia kurang memiliki dasar hukum yang

kuat untukmembuktikan bahwa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan bagian

dariwilayah Indonesia maupun Malaysia. Karena Mahkamah Internasional telah

diminta kedua pihakyang bersengketa dan harus memutuskan bahwa Malaysia

berdasarkan pertimbangan“effectivities” memiliki kedaulatan penuh atas Pulau

Sipadan-Ligitanmelalui perbandingan voting suara 16 Hakim mendukung dan seorang

Hakimmenolak.

4.5.3 Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah InternasionalMengenai

Klaim Kedaulatan Atas Pulau Sipadan-Ligitan

Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:143

1. Garis 4 10‟ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 dapat berarti

“berhenti”atau “terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik). 143

Abdul Irsan, Op. Cit., hlm. 256-257.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 147: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

131

Mahkamah Internasional menolakargumentasi Indonesia bahwa garis

perpanjangan terebut merupakan“allocation line” di luar Pulau

Sebatik sehingga timbul keraguanpengertian garis perpanjangan.

Pasal 4 Konvensi 1891 tidak menyebutsecara tegas bahwa garis 4 10‟

terus berlanjut melampaui Pulau Sebatikdan memisahkan pulau-pulau

yang berada dibawah kedaulatan Inggrisdan Belanda. Oleh karena

itu, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa sangat sulituntuk

menyatakan bahwa Inggris Belanda memang bersepakat

untukmenganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation line”;

2. Mahkamah Internasional mencatat bahwa tidak ada satu pun

bukti yang meyakinkan apabila Pulau Sipadan-Ligitan dan pulau-

pulau lain sepertiMabul, merupakan wilayah yang

dipersengketakan oleh Inggris danBelanda pada saat Konvensi

1891 dibuat. Atas dasar tersebut Mahkamah Internasional tidak

dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut

terusdilanjutkan dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di

laut sebelahtimur Pulau Sebatik di mana konsekuensinya Pulau

Sipadan-Ligitan berada dibawah kedaulatan Belanda;

3. Mahkamah Internasional tidak menemukan di dalam Konvensi

1891 hal yangmeyakinkan bahwa Belanda dan Inggris memang

mengatur perbatasanwilayah kepemilikan mereka di sebelah

timur Pulau Kalimantan (Borneo)dan Pulau Sebatik, ataupun

mengatur masalah kedaulatan atas pulau-pulau lain.Dalam kaitan

dengan Pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah Internasional

jugaberpendapat bahwa batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891

sulituntuk diterapkan mengingat saat itu letak kedua pulau tidak

begitubanyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi oleh Indonesia

danMalaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan

Inggris;

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 148: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

132

4. Mahkamah Internasional juga menyimpulkan bahwa teks Pasal 4

Konvensi 1891,apabila dibaca sesuai dengan konteks, objek dan

maksudnya bahwaKonvensi tidak dapat ditafsirkan sebagai

menetapkan “allocation line”yang menentukan kedaulatan atas

pulau-pulau yang terdapat di wilayahlaut sebelah timur Pulau

Sebatik. Pasal 4 Konvensi hanya menentukanbatas-batas wilayah

Belanda dan Inggris sampai dengan pantai timurPulau Sebatik;

5. Mahkamah Internasional berpendapat bahwa “travaux

preparatoires” sebelumKonvensi 1891 serta hal-hal yang

berkaitan dengan Konvensi tidak dapatmendukung interpretasi

Indonesia bahwa Konvensi 1891 bukan hanyamengatur

perbatasan darat tetapi juga mengatur “allocation line” di

luarpantai timur Pulau Sebatik;

6. Mahkamah Internasional menolak klaim Indonesia atas Pulau

Sipadan-Ligitan yangdidasarkan pada “treaty based title”

Konvensi 1891. Mahkamah Internasional jugaberpendapat bahwa

hubungan antara Belanda dengan KesultananBulungan diatur

berdasarkan serangkaian perjanjian. Perjanjian tanggal12

November 1850 dan 2 Juni 1878 mengatur masalah batas

wilayahKesultanan Bulungan. Batas ini mencapai bagian utara

melewati garisyang sudah disetujui Belanda dan Inggris

berdasarkan Konvensi 1891,termasuk Pulau Tarakan, Nunukan,

sebagaian Pulau Sebatik dan beberapapulau kecil di sekitarnya yang

terletak di selatan garis 4 10‟ LU. Hal initidak berlaku bagi Pulau

Sipadan-Ligitan. Mahkamah Internasional jugamenolak argumentasi

Indonesia bahwa Indonesia mewarisi kedaulatanatas Pulau

Sipadan-Ligitan dari Belanda. Perjanjian antara Belanda

denganKesultanan Bulungan hanya meliputi Pulau Tarakan,

Nunukan dansebagian Pulau Sebatik;

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 149: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

133

7. Dalam kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah Internasional

mencatat bahwa bataskonsesi minyak yang diberikan oleh

Indonesia dan Malaysia tidak sampaike Pulau Sipadan-Ligitan

dan tidak tepat di garis 4 10‟ LU, tetapiberhenti di 30‟ di sebelah

utara atau selatan garis 4 10‟ . Mahkamah Internasional tidakdapat

mengambil kesimpulan bahwa pemberian konsesi minyak

tersebutmerupakan hasil penafsiran dari Pasal 4 Konvensi 1891.

Terhadap klaim Malaysia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:144

1. Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang diajukan Malaysia

menyebutkan Pulau Sipadan-Ligitan dapat mendukung klaimnya

atas kedua pulau tersebut berdasarkan “transfer of title”;

2. Mahkamah Internasional menjelaskan bahwa kedua pulau tidak

termasuk dalam grantSultan Sulu yang menyerahkan seluruh hak

dan kekuasaan ataskepemilikannya di Borneo, termasuk pulau-

pulau dalam batas 3 marine leagues, kepada Afred Dent dan

Baron van Overbeck tanggal 22 Januari1878;

3. Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-

bukti bahwa Spanyol menganggap Pulau Sipadan-Ligitan

termasuk dalam Protokol 1878antara Spanyol dengan Kesultanan

Sulu atau menyimpulkan bahwaJerman dan Inggris mengakui

kedaulatan Spanyol atas Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan

Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidakdalam posisi

menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalamgrant

1878 kepada Alfred Dent dan Baron van Overbeck. Oleh karena

itu, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa Spanyol adalah

satu-satunya negara yangdapat mengklaim Pulau Sipadan-Ligitan

berdasarkan instrumenhukum yang relevan. Tetapi tidak ada

bukti bahwa Spanyol melakukannya. Mahkamah Internasional 144

Abdul Irsan, Ibid., hlm. 258-259.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 150: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

134

juga berpendapat bahwa pada saat itu baikInggris atas nama State of Nort

Borneo maupun Belanda tidak pernahmengklaim

kedaulatannya, baik secara eksplisit maupun implisit;

4. Mahkamah Internasional mencatat bahwa meskipun tidak dapat

disangkal bahwa Pulau Sipadan-Ligitan tidak termasuk dalam

lingkup Treaty of Peace tahun1898, “Perjanjian 1900” juga tidak

secara khusus menjelaskan pulau-pulauselain Cagayan Sulu dan

Sibutu beserta pulau-pulau yang menjadibagiannya yang

diserahkan Spanyol kepada Amerika Serikat, yang mungkin

jugatermasuk Pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain pihak, Amerika

Serikat tidakmengetahui dengan pasti pulau-pulau mana saja

yang diperolehnyaberdasarkan Perjanjian 1900 tersebut;

5. Mahkamah Internasional tidak dapat menyimpulkan, baik

berdasarkan Exchange of Notes tahun 1907, Konvensi 1903 atau

dokumen-dokumen lain yangberasal dari Amerika Serikat, bahwa

Amerika Serikat mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan-

Ligitan. Oleh karena itu, tidaklah dapat dikatakan bahwa

berdasarkanKonvensi 1930 Amerika Serikat menyerahkan hak atas

Pulau Sipadan-Ligitankepada Inggris sebagaimana diyakini oleh

Malaysia;

6. Mahkamah Internasional menolak dalil Malaysia tentang tidak

terputusnya mata rantai kepemilikan yang diperolehnya dari

Kesultanan Sulu. Tidak ada suatukepastian bahwa Pulau Sipadan-

Ligitan berada di bawah kepemilikanSultan Sulu atau para ahli

waris lainnya yang disebutkan dalam matarantai “treaty based

line” atas kedua pulau tersebut.

Keputusan akhir Mahkamah Internasional mengenai klaim kedaulatan yaitu

menolak klaim kedaulatan baik yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia

atasPulau Sipadan-Ligitan berdasarkan dalil “treaty based title” dan “chain of

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 151: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

135

title”,karena keduanya tidak mampu mengajukan bukti-bukti kuat yang

mendukungargumentasi masing-masing.

4.5.4 Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah InternasionalMengenai

Dalil-dalil “Effectivites”

Mahkamah Internasional selanjutnya mempertimbangkan bahwa:145

1. Dalil “effectivites” yang telah diajukan oleh Indonesia dan Malaysia

sebagai pertimbangan untuk memutuskan siapa yang paling

berhakmemiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan-Ligitan. Indonesia

dan Malaysia mengklaim bahwa bukti-bukti effectivites yang

diajukan semata-matauntuk mengkonfirmasikan “treaty based title”

masing-masing.Dengan menggunakan dalil alternative, Malaysia

berhak mengklaimkedaulatan atas Pulau Sipadan-Ligitan

berdasarkan rangkaiankepemilikan dan administrasi yang

berkelanjutan secara damai tanpapenolakan dari pihak Indonesia atau

pendahulunya. Mahkamah Internasional berpendirian karena

Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki “treaty based title” atas

Pulau Sipadan-Ligitan, maka Mahkamah Internasional

mempertimbangkan effectivites sebagai masalah yang berdiri sendiri;

2. Mahkamah Internasional berpendapat tidak akan mempertimbangkan

tindakan-tindakan yang dilakukan setelah terjadi “critical date”

sebagai bukti adanya“effectivites”, kecuali apabila tindakan

dimaksud merupakan kelanjutannormal dari tindakan-tindakan

sebelumnya dan tidak dimaksudkanmemperkuat posisi hukum pihak

yang bersengketa. Mahkamah Internasional hanyaakan

mempertimbangkan praktek-praktek effectivites sebelum tahun1969,

yaitu saat Indonesia dan Malaysia pertama kali menyatakan

klaimmasing-masing atas Pulau Sipadan-Ligitan; 145

Abdul Irsan, Ibid., hlm. 259-260.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 152: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

136

3. Mahkamah Internasional juga berpendapat bahwa peraturan dan

tindakan administrasi umum dapat dipertimbangkan sebagai bukti

effectivites atas Pulau Sipadan-Ligitan, hanya jika peraturan dan

tindakan tersebut jelas dandikhususkan dikedua pulau tersebut.

Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:

1. Dalam kaitannya dengan bukti effectivites yang diajukan oleh

Indonesia,Mahkamah Internasional mencatat fakta bahwa Undang-

Undang No.4/Prp/1960 tentangPerairan Indonesia tidak

mencantumkan atau mengindikasikan bahwaPulau Sipadan-Ligitan

sebagai “base points” atau “turning points” yang relevan;

2. Bahwa laporan Komandan Kapal Destroyer Belanda “Lynx” dan

dokumen yang diajukan oleh Indonesia berkaitan dengan kegiatan

pengawasan danpatroli di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan, yang

dilakukan baik oleh Kapal “Lynx” pada November 1921 maupun

Angkatan LautIndonesia pada Desember 1967, tidak dapat

menunjukkan bahwa baikBelanda maupun Indonesia menganggap

bahwa Pulau Sipadan-Ligitan serta perairan di sekitarnya merupakan

wilayah yang berada dibawah kedaulatan Belanda atau Indonesia;

3. Mahkamah Internasional menilai bahwa kegiatan penangkapan ikan

secara tradisional yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di perairan

sekitar Pulau Sipadan-Ligitan tidak dapat dipertimbangkan sebagai

tindakan “a titre de souverain” yang mencerminkan maksud dan

keinginan untuk bertindakdalam kapasitas dimaksud.

Terhadap klaim Malaysia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:146

1. Bukti-bukti “effectivites” yang diajukan Malaysia, Mahkamah

Internasional berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan oleh

Otorita Koloni North Borneo dalam mengatur dan mengontrol

kegiatan pengumpulan telurpenyu dan penetapan konservasi burung

146Abdul Irsan, Ibid,. hlm 261-262.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 153: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

137

harus dipertimbangkan sebagaisuatu pernyataan pengaturan dan

administrasi yang tegas dari penguasa atas suatu wilayah. Mahkamah

Internasional mencatat fakta bahwa tahun 1914 Inggrismenerbitkan

peraturan serta melakukan tindakan pengawasan ataskegiatan

pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan-Ligitan,ditetapkannya

Pulau Sipadan sebagai “bird sanctuary” tahun 1933,

sertadibangunnya mercusuar oleh Inggris di kedua pulau dimaksud tahun

1962dan 1963;

2. Mahkamah Internasional berpendapat bahwa pembangunan dan

pengoperasian mercusuar dan alat bantu pelayaran tidak dapat

dianggap sebagaimanifestasi kekuasaan negara;

3. Mahkamah Internasional berpendapat bahwa tindakan yang

dijadikan bukti “effectivites” Malaysia sangat sedikit dalam jumlah,

tetapi bervariasidalam karakternya termasuk di dalamnya tindakan

legislative,administrative dan quasi-judisial;

4. Mahkamah Internasional mencatat bahwa pada tahun 1962 dan 1963

PemerintahIndonesia tidak melakukan tindakan apapun, termasuk

mengingatkanpihak Otorita Koloni North Borneo, atau kemudian

Malaysia setelah merdeka, jika seandainya mercusuar itu dibangun

di wilayah Indonesia.Seandainya pembangunan mercusuar tersebut

dianggap sebagai tindakanuntuk keselamatan navigasi di wilayah

perairan North Borneo, makasikap mendiamkan tindakan yang

dilakukan di wilayah Indonesiatentunya bukan merupakan hal yang

wajar.

Persoalan mengenai Pulau Sipadan-Ligitan muncul baru pertama kali pada

bulan September 1969 dalam perundingan batas landas kontinen di KualaLumpur antara

Indonesia dan Malaysia. Pada kesempatan perundingan tersebutMalaysia menyatakan

kepemilikannya atas kedua pulau tersebut yang terletak dipantai Timur Laut Kalimantan

dan di bagian Barat Laut Pulau Sulawesi. SebaliknyaIndonesia juga menuntut bahwa

kedua pulau tersebut berada di bawahkedaulatannya. Kedua negara baik Indonesia

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 154: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

138

maupun Malaysia tidak memiliki argumentasi hukum yang kuat untuk mendukung

tuntutan mereka masing-masing.Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa, antara

kedua negara Indonesia danMalaysia mengadakan perundingan-perundingan pada

berbagai tingkat namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua

pihak.

Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana MenteriMahathir

Mohammad sepakat untuk mengangkat Special Envoy-nya (utusan khusus)masing-

masing untuk mencari solusi alternatif. Setelah mengadakan pertemuanbeberapa kali di

Jakarta dan Kuala Lumpur utusan khusus tersebut setujumengusulkan kepada

Pemerintahannya masing-masing untuk mencari penyelesaiandamai atas sengketa

mereka melalui Mahkamah Internasional dan menerimakeputusan Mahkamah

Internasional sebagai final dan mengikat. Pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat di Kuala

Lumpur, Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk

Abdullah AhmadBadawi, atas nama Pemerintahnya masing-masing menandatangani

PersetujuanKhusus (Special Agreement) untuk mengajukan sengketa tersebut ke

Mahkamah Internasional.

Pokok-pokok kesepakatan yang dimuat dalam Persetujuan Khusus tersebut

adalah :

a. Meminta dan memberikan kewenangan kepada Mahkamah

Internasionaluntuk menentukan status kepemilikan atas Pulau

SipadanLigitan berdasarkan semua bukti yang ada.

b. Memberikan kewenangan kepada Mahkamah Internasional untuk

mengujikeabsahan tuntutan masing-masing negara berdasarkan

sumbersumberhukum internasional yang berlaku sesuai Pasal 38 Statuta

Mahkamah Internasional.

c. Penyampaian naskah Special Agreement ke Mahkamah Internasional akan

dilakukan kedua pihak bersamaan melalui Joint Notification,

setelahmasing-masing pihak meratifikasi dan menukarkan naskah

ratifikasinya.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 155: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

139

Special Agreement tersebut diratifikasi oleh Malaysia pada tanggal

19November 1997 dan oleh Indonesia dengan Keppres tanggal 29 Desember 1997

danmulai berlaku tanggal 14 Mei 1998. Selanjutnya kasus Pulau Sipadan-Ligitan

diajukan ke Mahkamah Internasional sesuai Pasal 40 ayat 1 StatutaMahkamah

Internasional melalui notifikasi bersama dan yang diterima oleh Panitera tanggal

2November 1998.

Ditengah-tengah proses acara, muncul pula upaya hukum lain yangditentukan

oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina terhadapperkara ini,

dengan alasan bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian yangoleh Filipina

merupakan dasar klaimnya terhadap Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah

Internasional, Filipina dimungkinkan untuk memohon intervensi jika

keputusanMahkamah Internasional nantinya akan dapat mempengaruhi kepentingan

hukumnya sebagaipihak ketiga. Pada keputusannya pada tanggal 23 Oktober 2001,

MahkamahInternasional menolak permohonan intervensi Filipina ini dengan

pertimbanganbahwa Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa yang menjadi

kepentingan hukumFilipina dalam perkara ini akan memberikan dampak pada

keputusan MahkamahInternasional.

Akhirnya pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional

dalamsidangnya telah mengeluarkan keputusannya yaitu bahwa Pulau

SipadanLigitanadalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah

lamadiadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang

dikenaldengan prinsip effectivies.

4.6 Hasil Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

Atas Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan

Pada hari Selasa 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional (International

Court of Justice)mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau

Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga

itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 Hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak

kepada Indonesia. Dari 17 Hakim itu, 15 merupakan Hakim tetap dari Mahkamah

Internasional, sementara satu Hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 156: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

140

oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan

effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas

maritim), yaitu Pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan

administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung,

pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar

sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi

pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian

kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut

antara Malaysia dan Indonesia di Selat Makassar.Pokok-pokok Putusan Mahkamah

Internasional tersebut antara lain:

1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah

menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak

pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia.

Mahkamah Internasional juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua

pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian

diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title

Theory). Menurut Mahkamah Internasional tidak satupun dokumen hukum atau

pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan

kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk

kedua pulau sengketa.

2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan

wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas Pasal

IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang

memotong Pulau Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah

timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima

Mahkamah Internasional. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau

tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van

Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas

Pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi

bagian dari Konvensi 1891. Mahkamah Internasional juga menolak dalil

alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 157: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

141

perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan

Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.

3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri

sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum

Republik Indonesia maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat

membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang

bersengketa.

Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah Internasional

menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan

oleh Belanda atas Pulau Sipadan-Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan

dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan

kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah

Internasional tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.4/Prp/1960 tentang Perairan

yang ditetapkan pada 18 Februari 1960 yang merupakan produk hukum awal bagi

penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara juga tidak memasukkan Pulau

Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah Internasional

menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam

tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan Pemerintah

kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk

tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :

a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu

sejak 1917.

b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan

pada tahun 1930-an;

c. Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung, dan

d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan pada

tahun 1963 di Pulau Ligitan.

4.7 Konsekuensi Yang Harus Dilakukan Indonesia Pasca Keputusan

Mahkamah Internasional

Dengan keluarnya keputusan dari Mahkamah Internasional dan Indonesia juga

terikat dengan UNCLOS 1982, maka Indonesia harus menerima konsekuensi dengan

melakukan beberapa perubahan. Beberapa perubahan tersebut antara lain:

1. Revisi PP No.38 Tahun 2002 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 158: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

142

Dalam Undang-Undang Perairan Indonesia yang terbaru yakni Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1996. Pengaturan penjelasan dari undang-undang ini

adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat

Geografis. Titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam Peraturan

Pemerintah tersebut Pulau Sipadan-Ligitan dijadikan sebagai salah satu titik

garis pangkal kepulauan Indonesia. Disitu disebutkanpada perairan Sulawesi,

Pulau Ligitan berada pada posisi 04˚ 10′ 00″ LU 118˚ 53′ 50″ BT dan 04˚ 08′

03″ LU 118˚ 53′ 01″ BT. Sedangkan Pulau Sipadan pada posisi 04˚ 06′12″

LU 118˚ 38′ 02″ BT.

Dengan demikian, maka daftar koordinat yang mencantumkan posisi Pulau

Sipadan-Ligitan tidak boleh lagi digunakan sebagai titik pengukuran garis pangkal

Indonesia. Keduanya tidak boleh lagi dicantumkan dalam daftar resmi titik pangkal

kepulauan Indonesia.

2. Menentukan rencana posisi titik-titik garis pangkal yang baru disekitar

perairan Sulawesi (disekitar Pulau Sipadan-Ligitan).

Rencana perubahan yang harus dilakukan tetap mengacu pada Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis Titiktitik

garis pangkal kepulauan Indonesia. Berdasarkan lampiran Peraturan

Pemerintah ini, posisi titik pangkal di perairan Sulawesi di sekitar Pulau

Sipadan-Ligitan adalah :

1. Tanjung Arang pada posisi 03 ̊27' 12″ LU dan 117 ̊52‟ 41″ BT

2. Pulau Maratua pada posisi 02 ̊15‟ 12″ LU dan 118 ̊32‟ 41″ BT

3. Pulau Sambit pada posisi 01˚ 46‟ 53″ LU dan 119˚ 02‟ 26″ BT

Jika kita hubungkan dengan Pulau Sipadan-Ligitan, maka seharusnya

titik-titik dasar perairan Sulawesi (di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan) adalah

titik Pulau Sipadan, Ligitan, Tanjung Arang, Pulau Maratua dan Pulau

Sambit. Karena Pulau Sipadan-Ligitan tidak lagi termasuk wilayah Indonesia,

maka titik-titik yang dipakai adalah Tanjung Arang, Pulau Maratua dan Pulau

Sambit. Dengan diperoleh titik-titik dasar pengukuran maka dapat ditentukan

posisi garis pangkal. Garis pangkal Indonesia sebagai negara kepulauan

ditarik dari Pulau Sebatik menuju Tanjung Arang lalu ke Pulau Maratua.

Posisi ini jelas berbeda dengan posisi jika garis pangkal yang ditarik

menghubungkan Pulau Sebatik-Pulau Sipadan-Pulau Ligitan-Tanjung ArangPulau

Maratua-Pulau Sambit.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 159: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

143

Garis pangkal yang diterapkan pada titik-titik tadi adalah garis pangkal

lurus kepulauan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS 1982.

Garis pangkal ditarik dari titik-titik terluar pulau terluar Indonesia. Panjang

maksimal garis pangkal tadi tidak boleh melebihi 100 mil laut. Selain itu,

penarikan garis pangkal juga tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari

konfigurasi kepulauan.

3. Membuat rencana lebar laut territorial.

Pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang

Perairan Indonesia menetapkan lebar laut territorial Indonesia adalah jalur

selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini

sesuai Pasal 4 UNCLOS 1982 lebar maksimum laut territorial yang

diperkenankan bagi suatu negara adalah 12 mil laut. Dengan ditemukannya

posisi garis pangkal yang baru maka pengukuran garis pangkal di perairan

Sulawesi lebih mudah untuk ditentukan.

Yang perlu diperhatikan, posisi negara Indonesia dan Malaysia yang

pantainya berhadapan di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan, mengharuskan

penentuan lebar laut territorial ini melibatkan dua negara. Sesuai Pasal 15

UNCLOS 1982 Indonesia dan Malaysia harus membuat suatu persetujuan

penentuan batas laut territorial kedua negara.

4. Membuat rencana posisi batas kontinen.

Sejak tanggal 17 Februari 1969, Indonesia telah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia. Pengumuman ini pada

pokoknya menyatakan bahwa :

“..... segala kekayaan alam yang terdapat pada dasar laut dan tanah di bawahnya hingga kedalaman 200 meter atau lebih hingga kedalaman

yang masih memungkinkan eksploitasi merupakan hak mutlak Republik Indonesia”.

Sayangnya, isi dari Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen

tanggal 17 Februari 1969 yang kemudian dikukuhkan dengan Undang-

Undang No. 1 Tahun 1973 isinya tidak sesuai lagi dengan UNCLOS

1982.Menurut Hakim Oda dalam descenting opinion, berdasarkan critical

date kasus ini yakni tahun 1969 maka kasus perselisihan penetapan batas

landas kontinen dapat diselesaikan dengan Konvensi tahun 1958 Pasal 6 ayat

(1), khususnya mengenai penggunaan baseline, apakah normal baseline (garis

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 160: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

144

pangkal biasa, berdasarkan air surut laut) ataukah straight baseline (garis

pangkal lurus, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik terluar pantai pada

waktu air surut).Sedangkan ketentuan Pasal 84 juncto Pasal 74 UNCLOS

1982 yang menetapkan bahwa penentuan batas landas kontinen ditetapkan

berdasarkan kesepakatan kedua negara berdasarkan prinsip hukum

internasional di mana yang dipakai adalah prinsip penerapan jarak (distance

criteria). Rumusan yang sederhana ini berbeda dengan konvensi tentang Batas

Landas Kontinen 1958 yang secara tegas menambahkan adanya keadaan

khusus yang dapat mempengaruhi prinsip sama jarak (equidistance principle)

dalam penentuan batas maritim.

4.7.1 Keputusan Mahkamah Internasional Pengaruhnya Terhadap Penetapan

Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

Dalam sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, pada awalnya kedua belah pihak baik

Indonesia maupun Malaysia tidak mencantumkan kedua pulau tersebut sebagai bagian

dari peta mereka. Dalam Undang-Undang No.4 Prp tahun 1960 tentang Perairan

Indonesia Pulau Sipadan-Ligitan tidak dicantumkan. Oleh karenanya, kedua pulau

tersebut tidak dijadikan titik dasar pengukuran. Direktorat Pemetaan Negara Malaysia

dan Department of Lands and Surveys Sabah memasukkan kedua pulau dalam peta

bumi sabah di wilayah hukum Samporna baru pada tahun 1976.Hal yang penting

berkenaan dengan keberadaan Undang-Undang Perairan Indonesia tersebut diatur pada

Pasal 1 ayat (2) yang memuat, ketentuan penarikan garis pangkal merubah cara

penetapan laut territorial Indonesia dari suatu cara penetapan laut bagi penetapan laut

territorial Indonesia. Undang-undang tersebut padahakekatnya telah territorial selebar 3

mil yang diukur dari garis air rendah (low water line) menjadi laut territorial selebar 12

mil diukur dari garis pangkal lurus (straight base lines) yang ditarik dari ujung ke ujung

pulau terluar Indonesia.Akibat dari ditetapkannya cara penarikan garis tersebut adalah :

1. Laut territorial Indonesia yang baru melingkari Indonesia.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 161: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

145

2. Perubahan status perairan yang terletak pada sebelah dalam garis

pangkal dari laut lepas menjadi perairan pedalaman. Perubahan ini

diimbangi dengan pemberian hak- hak lintas damai bagi kapal asing.

Dalam perkembangannya setelah wilayah perairan Indonesia diundangkan

dalam Undang-Undang No.4 Prp. Tahun 1960 tersebut, ternyata beberapa pulau atau

bagian pulau terluar yang seharusnya menjadi wilayah perairan Indonesia tidak terdaftar

dan tidak termasuk dalam wilayah perairan Indonesia atau berada di luar garis -garis

perairan Indonesia. Hal ini berdasarkan penelitian Dinas Hidrografi Angkatan Laut

terhadap ketentuan undang-undang Perairan Indonesia tersebut, telah tercatat beberapa

pulau yang berada di luar garis-garis dasar perairan Indonesia termasuk Pulau Sipadan-

Ligitan.Oleh karena itu, sesuai hasil penelitian dan laporan Dinas Hidrografi Angkatan

Laut di atas, maka pulau-pulau yang seharusnya menjadi wilayah perairan Indonesia

(termasuk Pulau Sipadan-Ligitan yang menjadi sumber sengketa Indonesia-Malaysia)

memang telah berada di luar laut territorial Indonesia yang berjarak 12 mil laut dari

garis pangkal.

Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tidak mengadopsi sistem penerapan

garis pangkal lainnya yang juga diatur dalam Konvensi Jenewa 1958, yaitu normal base

lines (garis pasang-surut). Dengan hanya dikenalnya satu cara penetapan garis pangkal

pada Undang-Undang No.4 Prp Tahun 1960, serta kekurang telitian mengukur titik

koordinat pulau-pulau terluardalam wilayah Indonesiamaka Pulau Sipadan-Ligitan

memang tidak termasuk dalam wilayah Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.4

Prp Tahun 1960.Garis-garis pangkal yang digunakan Indonesia secara resmi tertuang

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar

Koordinat Titik-titik Geografis Garis Pangkal Kepulauan Indonesia sebagai peraturan

penjelas dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Untuk

itu, diperlukan adanya peta yang dengan jelas menentukan titik-titik serta garis-garis

yang dijadikan dasar untuk mengukur laut. Dengan demikian, kejelasan posisi garis

pangkal dalam mengatur batas laut antarnegara menjadi sangat penting karena dalam

Pasal 48 UNCLOS 1982 menetapkan bahwa pengukuran lebar laut wilayah, zona

tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen diukur dari garis pangkal.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 162: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

146

Masing-masing negara hampir dapat dipastikan berusaha membuat titik-titik

dasar pulaunya sebagai dasar penetapan garis pangkal semaksimal mungkin. Dalam

artian bahwa dicari posisi garis pangkal yang akan memperlebar posisi laut territorial,

jalur tambahan, landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif. Apalagi bagi negara

Indonesia sebagai negara kepulauan akan memiliki arti yang signifikan dengan posisi garis

pangkal yang signifikan tadi. Dalam kaitannya dengan sengketa Pulau SipadanLigitan kita

dapat melihat bahwa dalam Daftar Koordinat Geografis titik-titik Garis Pangkal Negara

Kepulauan Indonesia di Laut Sulawesi di sekitar garis 4˚ Lintang Utara dan 118˚ Bujur Timur,

kita temukan ada 3 titik yang menggunakan pulau sebagai titiktitik pengukuran garis pangkal.

Tepatnya adalah sebagai berikut :

1) Pulau Ligitan pada 04˚ 10‟ 00” Lintang Utara 118˚ 53‟ 50” Bujur

Timur;

2) Pulau Ligitan pada 04˚ 08‟ 03” Lintang Utara 118˚ 53‟ 01” Bujur

Timur;

3) Pulau Sipadan pada posisi 04˚ 06‟ 12” Lintang Utara 118˚ 38‟ 02” Bujur

Timur.

Posisi Pulau Sipadan-Ligitan memang cukup jauh dari pulau induk yakni Pulau

Sebatik. Sehingga, posisi garis pangkal yang ditarik melalui titik-titik kedua pulau

tersebut jelas menguntungkan bagi Indonesia. Pulau Sipadan yang berjarak 42 mil laut

daripantai timur Pulau Sebatik, yang masih jauh dari batas panjang maksimal garis

pangkal 100 mil laut ataupun garispanjang maksimal garis pangkal 125 mil laut

sebanyak 3% dapat menjadi titik terluar dari kepulauan Indonesia. Sehingga posisi

Pulau Sipadan tentu akan sangat signifikan dalam menambah zona-zona laut Indonesia

yang notabenediukur dari garis pangkal kepulauan ini. Indonesia harus menggunakan

titik garis pangkal yang selama ini ada dalam peraturan perundang-undangannya dengan

menghapus posisi Pulau Sipadan-Ligitan. Sehingga garis pangkal ditarik dari ujung-

ujung pulau terluar di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan yang masih termasuk wilayah

Indonesia.Pengaruh perubahan posisi garis pangkal ini juga akan berpengaruh pada

pengaturan batas laut yang lain yang masing-masing diuraikan sebagai berikut :

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 163: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

147

1) Wilayah Laut Territorial

Setiap negara mempunyai hak untuk menentukan lebar laut

territorialnya sampai batas tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis

pangkal. Batas terluar laut territorial adalah garis yang setiap titik-

titiknya ada pada suatu jarak yang terdekat dengan titik-titik garis

pangkal sejauh lebar laut territorial yang telah ditentukan.Lebar laut

territorial yang seharusnya diukur maksimal 12 mil laut dari Pulau

Sipadan-Ligitan tersebut menjadi bukan hak Indonesia lagi. Luas

wilayah laut yang didasari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 dan

peraturan penjelasnya menjadi berkurang. Kondisi ini membuat

Indonesia menjadi dirugikan karena berkurangnya kepemilikan terhadap

luas wilayah laut.Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa kedaulatan

negara pantai meliputi laut territorialnya, termasuk ruang udara diatasnya

dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Dalam hukum laut baru inipun

kedaulatan negara tetap dibatasi dengan hak lintas damai bagi kapal

asing (Pasal 7 Konvensi).Pada wilayah laut territorialnya, negara pantai

mempunyai kedaulatan penuh. Selain membuat peraturan-peraturan,

kedaulatan negara mempunyai akibat lain dalam hukum, yakni

wewenang untuk melakukan penuntutan atas pelanggaran-pelanggaran

ketentuan perundang-undangan umum negara pantai baik dibidang

pidana maupun perdata. Wewenang untuk memaksakan pentaatan

terhadap hukum demikian dinamakan yurisdiksi yang bisa berupa

yurisdiksi kriminal dan perdata.

2) Perairan Kepulauan Indonesia dan Perairan Pedalaman Indonesia

Kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan yang dikelilingi

oleh garis-garis pangkal tersebut, termasuk udara di atasnya serta dasar

laut di bawahnya (Pasal 49). Namun tidak dapat disimpulkan bahwa

perairan kepulauan ini sama dengan perairan pedalaman. Konsep

perairan kepulauan adalah sesuatu yang baru dalam hukum laut

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 164: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

148

internasional. Perairan seperti ini bersifat sui generis, di mana tidak

termasuk perairan pedalaman maupun laut territorial. Perbedaannya

adalah bahwa perairan kepulauan tundukkepada suatu rezim khusus

tentang pelayaran dan lintas penerbangan.

Pada kasus sengketa ini, jika Pulau Sipadan-Ligitan menjadi

pengukuran titik garis pangkal, maka perairan yang ada pada sisi dalam

dari garis-garis pangkal yang terhubung akan termasuk dalam perairan

Indonesia. Dengan tidak dapat dijadikannya sebagai titik penetapan garis

pangkal, maka perairan yang tadinya menjadi perairan Indonesia

menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 menjadi laut territorial

Malaysia. Hal ini jelas suatu kerugian bagi posisi Indonesia.

3) Batas Landas Kontinen

Landas kontinen suatu negara pantai adalah dasar laut dan tanah

di bawahnya yang merupakan kelanjutan daratan wilayahnya sampai

jarak 200 mil dari garis dasar dan dalam hal tertentu dapat sampai 350

mil laut, tergantung jarak tepian kontinennya (continental margin).

Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 76 Konvensi. Negara pantai

mempunyai hak untuk melaksanakan kedaulatannya atas landas kontinen

untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber alamnya. Hak tersebut

eksklusif dalam arti apabila negara pantai tidak mengambilnya, tidak

satupun negara diperkenankan melakukannya.

Dengan adanya perubahan posisi garis pangkal Indonesia setelah

keluarnya putusan Mahkamah Internasional, maka lebar landas kontinen

Indonesia juga mengikuti perubahan garis pangkal tersebut. Indonesia

mengalami pengurangan lebar landas kontinen sebagaimana jika diukur

dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang mencantumkan

kedua pulau tersebut sebagai titik pengukuran. Hal inilah yang

sebenarnya tidak diinginkan Indonesia, karena kekayaan dilandas

kontinen sangat besar artinya.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 165: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

149

4) Zona Ekonomi Eksklusif

Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) diartikan sebagai suatu daerah

diluar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur

dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial

(Pasal 55 dan 57). Menurut Pasal 56, di ZEE negara pantai dapat

menikmati :

a. Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut

dan tanah di bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula

terhadap semua kegiatan yang ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara

ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energi, air, arus dan

angin).

b. Yurisdiksi sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi ini, atas

pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta

perlindungan lingkungan laut.

c. Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan

dalam Konvensi.

Dengan adanya perubahan posisi garis pangkalIndonesia setelah keluarnya

putusan Mahkamah Internasional, maka lebar ZEE Indonesia juga mengikuti perubahan garis

pangkal tersebut. Indonesia mengalami pengurangan lebar sebagaimana jika diukur

dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang mencantumkan kedua pulau sebagai

titik-titik pengukuran. Artinya, hak-hak yang diterima Indonesia di wilayah ini juga

mengalami perubahan.

4.8 Dinamika Perubahan Politik Indonesia dalam Menyikapi Sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan

Tidak bisa ditolak bahwa demokratisasi dan perubahan politik terus

berlangsung di semua aspek kehidupan sosial politik di Indonesia. Perubahan tersebut

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 166: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

150

bahkan menyentuh bidang diplomasi dan politik luar negeri yang selama ini dianggap

murni merupakan kewenangan penuh pihak eksekutif atau Pemerintah. Permasalahan

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan terjadi pada masa Pemerintahan Orde Baru yang

otoritarian, sehingga konsultasi antara Pemerintah dengan DPR RI (khususnya Komisi I

DPR RI) dan kalangan publik mengenai politik luar negeri dan diplomasi pada saat itu

hanya terjadi dalam level atau tingkat yang sangat minimal.147 Oleh karena itu, proses

perumusan kebijakan politik luar negeri yang melibatkan semakin banyak aktor politik

akan membuka kemungkinan bahwa setiap kebijakan politik luar negeri akan

mempresentasikan kepentingan nasional Indonesia secara lebih luas.

Kritik politik luar negeri pada masa Pemerintahan Orde Baru yang merupakan

Pemerintahan transisi terus berlanjut, karena partai oposisi selalu menjadikan politik

luar negeri sebagai target karena merupakan arena terbuka yang proses perumusannya

dilihat sebagai monopoli Pemerintah yang berkuasa. Akibatnya, akan sangat mudah

diidentifikasi kekuatan atau kelemahan politisnya oleh pihak lawan seperti dengan

Malaysia dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.148 Sementara itu,

kenyataan yang terjadi di Indonesia yang merupakan buah dari proses demokratisasi

memperlihatkan bahwa sentra kekuasaan telah mengalami diversifikasi. Konsekuensi yang

diterima adalah akan terjadi perubahan dalam berbagai proses pengambilan keputusan,

termasuk dalam bidang politik luar negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan. Oleh karena itu, input-input atau masukan-masukan untuk sebuah proses

perumusan kebijakan politik luar negeri menjadi sangat beragam, baik dari isi ataupun

sumbernya.

Dalam suatu proses perundingan bilateral suatu negara harus disadari bahwa

memiliki dua dimensi baik dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, langkah

perundingan bilateral dan proses perumusan kebijakan politik luar negeri secara

imperatif harus mendapatkan persetujuan sebanyak mungkin aktor politik dan salah

satunya adalah lembaga legislatif atau DPR RI (khususnya Komisi I DPR RI). Akan

147Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember

2012. 148

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 167: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

151

tetapi, pada saat yang sama aktor-aktor politik di dalam negeri juga harus menyadari

bahwa perundingan bilateral dan politik luar negeri dalam perumusan kebijakan politik

juga penting untuk selalu memperhatikan harapan atas peran yang dinantikan dari

negara tersebut oleh negara-negara lain, baik dalam konteks regional ataupun global.

Sehingga pencitraan diri Indonesia sebagai negara demokratis di luar negeri dalam

menyikapi permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan diharapkan dapat memberikan

sumbangan positif bagi proses konsolidasi demokrasi di dalam negeri.

Arah dan substansi kebijakan politik luar negeri negara manapun pada akhirnya

akan sangat dipengaruhi jika tidak ditentukan oleh perubahan-perubahan yang terjadi di

dalam maupun di luar negeri. Namun demikian, permasalahan sengketa Pulau Sipadan-

Ligitan mau tidak mau membuat Pemerintah Indonesia sulit untuk melakukan proses

perumusan kebijakan politik karena hasil perundingan bilateral terus mengalami

kebuntuan. Dari hal tersebut tercermin bahwa Indonesia tidak dapat menghindar dari

keharusan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi selama perundingan bilateral

dengan Malaysia dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.149

Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, komitmen

Indonesia ternyata belum memberikan efek serius terhadap policy network dalam proses

perumusan kebijakan politiknya. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan, meskipun proses perumusan kebijakan politik belum bisa dilaksanakan

karena dasar-dasar dari hasil perundingan bilateral tidak pernah diperoleh, karena baik

Indonesia maupun Malaysia masih kuat dalam mempertahankan argumentasi-

argumentasi dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki oleh kedua negara.

Sebenarnya Indonesia sudah mempunyai sebuah konsep pluralisme politik, di

mana terdapat keterlibatan warga negara secara langsung dalam policy network. Policy

network harus tetap dianggap sebagai sesuatu yang sentral bagi Pemerintah dalam

pembuatan kebijakan politik luar negeri. Hal tersebut diterapkan pada proses perumusan

kebijakan politik apabila dari perundingan bilateral dengan Malaysia memberikan titik

terang dan hasil yang dapat dijadikan sebagai dasar perumusan kebijakan politik oleh 149

Rahardjo Jamtomo, Politik Luar Negeri Indonesia Kini dan Kedepan dalam Semangat Kebangsaan dan

Politik Luar Negeri Indonesia, Bandung: Percetakan Angkasa, 2002, hlm. 68.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 168: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

152

Pemerintah Indonesia. Sistem demokrasi dan politik luar negeri Indonesia mungkin

akan menjadi lebih kuat karena partisipasi publik yang luas dalam policy

network.150Policynetwork muncul disebabkan karena isu-isu internasional termasuk

pada penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia.

Bukan hanya itu saja policy network menuntut pluralisasi dalam pembuatan kebijakan

politik luar negeri, tetapi juga tentang pengakuan akan pentingnya kesetaraan yang

dianggap sebagai kebijakan politik luar negeri dan kebijakan politik dalam negeri.

Efek pembangunan demokrasi di Indonesia dikaitkan dengan penyelesaian

permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sangat luas. Sistem demokrasi menjadi

faktor positif bagi proses kebijakan (policy process)dan utamanya adalah kebijakan

politik luar negeri. Indonesia berusaha melakukan kerjasama dengan Malaysia dalam

penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan melalui perundingan

bilateral. Hal tersebut dilakukan sebagai proses tawar-menawar Indonesia dalam politik

dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, agar Pemerintah

memiliki dasar-dasar yang kuat dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri.

Upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia sulit terwujud apabila Malaysia tidak

mempunyai kemauan dan komitmen politik yang teguh. Keadaan domestik baik

Indonesia maupun Malaysia tentunya juga merupakan faktor kunci dari kemauan dan

komitmen politik dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.

Arah kebijakan politik luar negeri Indonesia terhadap Malaysia dalam

penyelesian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan tetap harus

memfokuskan pada bagaimana membawa kerjasama atau perundingan bilateral ke arah

yang lebih baik dan memberikan hasil.151 Bukan hanya itu, kemitraan antara Indonesia

dan Malaysia dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-

Ligitan harus ditingkatkan apabila Pemerintah Indonesia menginginkan proses

perumusan kebijakan politik dapat dilaksanakan. Kemitraan yang dilakukan Indonesia

melalui kerjasama atau perundingan bilateral juga akan memunculkan banyak tantangan 150

Philips J. Vermonte dalam tulisan Mengenai upaya Indonesia membangun citra diri. 151

Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember

2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 169: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

153

baru dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai yaitu tujuan politik. Dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan setidaknya

Indonesia telah menawarkan keuntungan dalam perundingan bilateral dengan Malaysia

dalam upaya politis. Sehingga, dalam proses perumusan kebijakan politik mampu

memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan dampak negatif yang mungkin akan

timbul.

Bagi Indonesia yang terpenting dalam perundingan bilateral dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah mencari

bentuk hubungan atau kemitraan strategis dengan Malaysia.152 Pemberian fokus hanya

pada salah satu dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri hanya akan

menghasilkan suatu kebijakan politik yang tidak akan memberi keuntungan bagi suatu

negara. Perundingan bilateral yang dilakukan Indonesia dalam penyelesaian sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai upaya politis menjadi pilihan yang strategis

dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam mempertahankan kedaulatan

negara. Kemauan Pemerintah Indonesia yang dijalankan secara politis dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan tentunya tidak

terlepas dari keadaan politik domestik. Karena sangat jelas bahwa kebijakan politik luar

negeri selalu menjadi refleksi dari suatu kebijakan politik domestik. Keadaan politik

domestik Indonesia yang stabil dan kondusif tentunya akan memberikan sebuah

jaminan keberhasilan dalam berbagai strategi yang dirancang dalam proses perumusan

kebijakan politik luar negeri Indonesia.153

Proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -Ligitan bertujuan untuk

memperjuangkan suatu kepentingan melalui perundingan bilateral atau kerjasama.

Kepentingan politis yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia bersifat global, regional,

nasional maupun parokial. Sebenarnya Indonesia sejak akhir tahun 1960-an secara tegas

152Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat

menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI). 153

Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada

hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 170: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

154

menyatakan bahwa kebijakan politik luar negeri ditujukan untuk memperjuangkan

kepentingan nasional. Untuk itu, kebijakan politik luar negeri Indonesia dihadapkan

dengan penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan

menyangkut beberapa faktor. Faktor pertama adalah politik luarnegeri harus selalu

diabdikan untuk kepentingan nasional, dalam hal ini kepentingan nasional yang paling

utama adalah bagaimana mempercepat proses politis dihadapkan pada penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Faktor kedua adalah

semakin pentingnya opini publik dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri.

Politik luar negeri tidak dapat lagi dianggap sebagai ranah (domain) eksklusif

para elit politik pembuat suatu kebijakan politik. Indonesia sebagai sebuah negara

demokrasi, perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia juga harus mencerminkan

aspirasi publik atau masyarakat secara luas. Namun, dihadapkan pada penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, opini publik atau

masyarakat tidak selalu rasional dan adakalanya malah dapat kontraproduktif bagi

kepentingan nasional menyangkut kedaulatan negara. Oleh karena itu, dalam proses

perumusan kebijakan politik oleh Pemerintah dihadapkan pada penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan memiliki sebuah tantangan

bagaimana Pemerintah memilah opini publik atau masyarakat yang sejalan dengan

kepentingan bersama di satu pihak dengan opini yang hanya mencerminkan kepentingan

kelompok saja.

Faktor ketiga dihapkan pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan adalah berubahnya struktur pengambilan keputusan politik oleh

Pemerintah. Di mana Pemerintah bukan lagi merupakan satu-satunya aktor dalam

pembuatan kebijakan politik, tetapi juga diperlukan sebuah opini publik atau

masyarakat yang sejalan yang kemudian didukung oleh lembaga legislatif dalam hal ini

yaitu DPR RI (khususnya Komisi I DPR RI). Faktor keempat dihadapkan dengan

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah

mengenai kapasitas nasional (national capacity) dalam menjalankan politik luar negeri.

Para pelaku perumus kebijakan politik harus rasional dalam menyusun agenda prioritas

yang tidak hanya mencerminkan kebutuhan-kebutuhan nyata bagi pemenuhan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 171: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

155

kepentingan nasional, tetapi juga harus realistis dalam penetapan prioritas. Kebijakan

politik Indonesia pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

SipadanLigitan menentukan arah dalam mempertahankan kedaulatan wilayah negara.

Proses perumusan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah tidak

maksimal karena adanya hambatan-hambatan yang berkaitan dengan hasil perundingan

bilateral yang dilaksanakan dengan Malaysia. Kerena kedua negara tetap

mempertahankan argumentasi-argumentasi berupa bukti-bukti sejarah yang dimiliki

kedua negara dengan menghiraukan lebih jauh kepentingan nasional masing-masing

negara. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia juga mengalami hambatan dalam

proses perumusan kebijakan politik yang akan dikonsultasikan dengan lembaga

legislatif untuk memperoleh saran dan masukan. Tetapi hal tersebut gagal dilaksanakan

secara maksimal karena dasar-dasar yang akan dijadikan bahan pertimbangan dalam

perumusan kebijakan politik belum mendukung dan sangat minim sekali apabila bahanbahan

pertimbangan tersebut dikonsultasikan dengan lembaga legislatif.

Pemerintah tidak mau setengah-setengah mengumpulkan dasar-dasar sebagai

bahan pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan politik yang akan

dikonsultasikan dengan lembaga legislatif. Untuk itu, Pemerintah Indonesia berusaha

semaksimal mungkin melaksanakan perundingan bilateral dengan Malaysia dalam

penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dalam upaya politis untuk

memperoleh dasar dalam perumusan kebijakan politik.154 Hal tersebut penting

dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia mengingat bukti-bukti sejarah yang minim

untuk dapat memperoleh pengakuan atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Upaya

politis yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia bertujuan sangat penting dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, karena dengan

pendekatan secara politis Indonesia dapat lebih agresif dalam perumusan kebijakan

politik yang nantinya akan dapat mempengaruhi keadaan politik domestik Malaysia.

Secara politis, Pemerintah Indonesia merasakan kegagalan yang sangat luar

biasa karena hasil yang diharapkan selama perundingan bilateral tidak pernah berjalan 154

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat

menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 172: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

156

mulus sesuai harapan Pemerintah. Sehingga berdampak pula dalam proses perumusan

kebijakan politik oleh Pemerintah Indonesia dengan lembaga legislatif. Di sisi lain,

opini publik atau masyarakat yang sejalan tidak mendapatkan tempat di mata para aktor

politik negara. Dalam proses perumusan kebijakan politik, opini publik seharusnya

dapat diikutsertakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah pada saat perumusan

kebijakan politik dikonsultasikan dengan lembaga legislatif. Dilihat dari proses

perumusan kebijakan politik dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan, kepentingan politik luar negeri Indonesia belum berada pada

upaya menjalankan agenda-agenda untuk melakukan perubahan-perubahan yang

dramatis dalam percaturan dan struktur politik global.

Dengan kata lain, seharusnya Pemerintah Indonesia dalam penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang menyangkut pada

proses perumusan kebijakan politik dengan cara memperbaiki dan meningkatkan

vitalitas politik domestik.155 Hal tersebut dilakukan dengan cara mempercepat

konsolidasi demokrasi dan penguatan integrasi nasional (teritorial dan sosial) melalui

dukungan internasional yaitu dengan menggandeng anggota negara-negara ASEAN

sebagai penengah. Upaya tersebut juga telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,

tetapi dengan tegas Pemerintah Malaysia menolaknya dengan alasan politis bahwa

nantinya akan mendapatkan perlawanan dari anggota negara -negara ASEAN

dihadapkan dengan pencaplokan wilayah kedaulatan negara. Proses perumusan

kebijakan politik oleh Pemerintah Indonesia dapat dilakukan apabila dalam setiap

perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan dapat memberikan hasil pencapaian yang dapat dijadikan dasar

perumusan kebijakan politik sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam

melaksanakan konsultasi dengan DPR.

Dihadapkan pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan, maka tantangan politik luar negeri Indonesia semakin keras. Belum

lagi terdapat perubahan-perubahan politik internasional dan politik domestik yang

155Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada

hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 173: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

157

kemunculannya begitu mendadak dan sulit diantisipasi, itulah yang menjadi tantangan

Pemerintah Indonesia dalam melakukan proses perumusan kebijakan politik dihadapkan

dengan penyelesaian permasalahan yang tidak kunjung selesai dan memberikan hasil.

Dengan demikian, mendesak bagi Indonesia untuk memobilisir seluruh sumber daya

yang ada dalam masyarakat dan peran aktif masyarakat untuk memberikan masukan

atas permasalahan persengketaan kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Peran aktif

masyarakat untuk membantu mendukung upaya perundingan bilateral sebagai upaya

politis yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mengatasi permasalahan

persengketaan kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

Untuk itu, konsekuensi dari keharusan Pemerintah Indonesia dalam proses

perumusan kebijakan politik luar negeri adalah dengan menghadapi dan mengatasi

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Dari

pelaksanaan proses perumusan kebijakan politik yang dilakukan oleh Pemerintah

Indonesia dimugkinkan untuk diadakan perubahan atau dibutuhkan perubahan desain

politik luar negeri. Perubahan desain politik luar negeri dihadapakan pada penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan untuk menampung beragam

kebutuhan kepentingan nasional dan kepentingan internasional Indonesia untuk jangka

panjang, sehingga kejadian tersebut agar tidak terulang kembali karena wilayah

teritorial Indonesia terdiri dari beribu-ribu kepulauan yang sebagian belum diberikan

nama dan rawan untuk lepas dari kedaulatan Indonesia.

Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, visioner, berkesinambungan dan

memiliki koherensi dalam upaya-upaya perundingan bilateral dengan Malaysia dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Upaya politis

yang dilakukan Indonesia yaitu dengan melaksanakan perundingan bilateral dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan merupakan

faktor yang sangat penting untuk meningkatkan bukan hanya independensi dan

kedaulatan Indonesia atas wilayah teritorialnya, tetapi juga upaya dalam posisi tawar -

menawar internasionalnya dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri. 156

156Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 174: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

158

Apabila politik luar negeri yang demikian ini dapat diwujudkan oleh

PemerintahIndonesia dihadapakan dalam upaya penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, maka proses perumusan kebijakan politik yang

dilakukan akan berjalan dengan baik.157 Sayangnya, dalam perundingan bilateral

tersebut tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh Pemerintah Indonesia,

sehingga Pemerintah dianggap tidak mampu dan gagal dalam menjalankan upaya

politis.

Dengan demikian, upaya Pemerintah untuk merumuskan kebijakan politiknya

tidak berjalan dengan apa yang telah direncanakan dengan mengikutsertakan lembaga

legislatif sebagai partner dalam melakukan konsultasi politik. Kenyataan yang

diaharapkan Pemerintah melalui perundingan bilateral dengan Malaysia dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sungguh

berbeda. Karena Pemerintah menginginkan hasil dari perundingan bilateral tersebut agar

dalam proses perumusan kebijakan politik mempunyai dasar yang kuat untuk

memberikan suatu ketegasan politis dalam mempertahankan kedaulatan negara yang

berhubungan dengan wilayah teritorial Indonesia. Perumusan kebijakan politik yang

dilakukan oleh Pemerintah untuk memberikan ketegasan mengenai permasalahan

kedaulatan negara terhalang oleh hasil dari perundingan bilateral dengan Malaysia yang tidak

memberikan hasil yang nyata.

Dalam proses perumusan kebijakan politik luar Indonesia dihadapkan dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan -Ligitan harus

memperhatikan implikasi perkembangan dalam perundingan bilateral dengan Malaysia

terhadap integritas wilayah dan keadaan politik domestik.158 Untuk itu, diperlukan

kepekaaan antara aktor-aktor politik negara dan publik dalam memberikan opini yang

sejalan dengan Pemerintah sehigga dapat mendukung langkah Pemerintah dalam

merumuskan kebijakan politik. Kegagalan proses perumusan kebijakan politik oleh

Pemerintah merupakan suatu awal kehancuran dalam upaya politis dalam rangka

157Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari ,

Senin, 10 Desember 2012. 158

Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada

hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 175: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

159

mempertahankan kedaulatan negara menyangkut wilayah teritorial Indonesia. Proses

perumusan kebijakan politik dapat berjalan dengan baik apabila dalam perundingan

bilateral dengan Malaysia mendapatkan hasil yang dapat dijadikan dasar bagi

Pemerintah yang nantinya akan dijadikan dasar yang kuat dalam proses perumusan

kebijakan politik oleh Pemerintah.

Pada saat ini, di masyarakat ataupun di jajaran eksekutif dan legislatif sedang

gencar membicarakan isu tentang perlunya sebuah undang-undang khusus tentang

perbatasan sebagai dasar hukum dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Dukungan undang-undang khusus perbatasan wilayahNegara Kesatuan

Republik Indonesia kini terasa kian mendesak akibat dari peristiwa lepasnya Pulau

Sipadan-Ligitan, undang-undang itu ibaratsertifikat tanah untuk keabsahan kepemilikan

lahan guna menekan kemungkinan terjadinya penyerobotan.159Di satu sisi pentingnya

dasar hukum sebuah wilayah negara sangat penting. Namun,apabila melihat perundang-

undangan kita, sesungguhnya apa yang dimaksud denganundang-undang perbatasan

sudah dimiliki oleh Indonesia, baik yang menunjukkan klaim integritas wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia maupun perundangan yang merupakan hasil kesepakatan

dengan negara tetangga.

Sebagai contoh perundangan nasional terkait dengan batas wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesiaadalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002

tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

(kini telah diperbaharui denganPeraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008). Di dalam

Peraturan Pemerintahtersebut dicantumkan daftar koordinat geografis dari titik-titik

garis pangkal Kepulauan Indonesia. Garis pangkal dimaksud adalah garis yang

menghubungkantitik-titik terluar dari pulau terluar dari wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Selanjutnya, titik-titik tersebutdihubungkan satu dengan yang lain

sehingga membentuk garis pangkal KepulauanIndonesia sebagai “fondasi pagar” batas

wilayah negara di laut. Dari garis pangkaltersebut diukur lebar laut teritorial sejauh 12

mil laut (nm) atau sesuai dengan kesepakatan apabila terjadi overlapping dengan laut 159

Hasil wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Syaiful Rizal (mantan Pangdam IX/Udayana dan

Dankodiklat TNI AD) pada hari Jum‟ at, 10 Agustus 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 176: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

160

teritorial negara tetangga. Daribatasan itu jelas bahwa segala sesuatu yang berada di

dalam zona laut teritorial Indonesia mutlak merupakan wilayah kedaulatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang maka diperlukan

penataan kembali arsip-arsip maupun dokumen sejarah, khususnya menyangkut

dokumen wilayah kekuasaan Hindia Belanda dan perjanjian perbatasan yang pernah

dibuat dengan negaratetangga.160 Hal ini penting untuk ditindaklanjuti mengingat betapa

lemahnya sistem pengarsipan dinegara kita, disisi lain dokumen itu sangat diperlukan

dalam penyelesaian sengketa perbatasandengan negara lain. Untuk itu, seharusnya yang

diperlukan adalah sebuah komitmen dan kebijakan politik dari Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (eksekutif dan legislatif) untuk dapat menyempurnakan

kembali produk undang-undang yang mengatur tentang batas wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia (UU No.6 Tahun 1996, PP.No.38 Tahun 2002 dan undang-undang

lain yang harus dibuat sesuai dengan UNCLOS 1982), selanjutnya produk undang -

undang tersebut disampaikan ke Sekretariat PBB untuk mendapatpengakuan

internasional.161

4.9 Usaha Perubahan Kebijakan Politik Luar Negeri Presiden Soeharto

Gambaran umum mengenai politik dan Pemerintahan pada masa Pemerintahan

Presiden Soeharto adalah politik luar negeri termasuk bidang dalam Pemerintahan Orde

Baru yang dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Hal

yang terpenting dan menjadi prioritas dalam politik Orde Baru adalah pembangunan

dan stabilitas. Hal ini menjadi panduan dalam politik luar negeri Orde Baru yang

menjadi antitesis dari politik luar negeri Orde Lama. Orde Lama atau masa Demokrasi

Terpimpin menjadikan politik luar negerinya sebagai alat untuk condong ke Blok

Timur. Hal ini kemudian diubah oleh Orde Baru, salah satunya dengan

memutushubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Walaupun 160

Hasil wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Hadi Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman dan

Pangkostrad) pada hari Jum‟ at, 3 Agustus 2012. 161

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 177: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

161

pada tahun 1990, Indonesia membuka kembali hubungan tersebut dengan alasan

ekonomi.162

Bahwa sistem politik luar negeri yang dianut Indonesia dari masa kemerdekaan

hingga saat ini tidak mengalami perubahan meskipun telah terjadi beberapa kali

pergantian masa Pemerintahan.Doktrin Bebas-Aktif pertama kali diungkapkan oleh

Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta. Mohammad Hatta dalam pidatonya

“Mendayung Antara Dua Karang”, “aktif” yang dimaksud menunjukkan suatu intensitas

Indonesia untuk ikut serta dalam usaha menjaga dan menciptakan perdamaian dunia. Ini

berarti Indonesia tidak menunjukkan suatu netralitas, yang diartikan sebagai keadaan tak

berpartisipasi. Yang dimaksudkan Bung Hatta adalah Indonesia tidak memihak

adidaya dunia namun bukan berarti Indonesia mundur dari arena pertentangan

internasional, melainkan Indonesia akan terus berusaha secara aktif untuk melakukan

upaya-upaya demi menciptakan perdamaian dunia.163

Landasan konstitusi politik bebas aktif baru dibuat tahun 1999, yaitu Undang-

Undang 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Pasal 3 menyatakan bahwa

Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan

nasional. Namun undang-undang ini belum ada di masa Orde Baru. Sehingga prinsip

bebas aktif yang dianut dan dijadikan landasan hanya sebagai landasan moral, bukan

konstitusional. Teori persepsi dalam politik luar negeri bahwa persepsi para pembuat

kebijakan luar negeri berpengaruh pada dan memainkan peran dalam menentukan

kebijakan negara yang dilaksanakan pada politik luar negeri terhadap negara lain.

Bahwa dalam merumuskan formulasi politik luar negeri Indonesia cenderung dibentuk

oleh elit daripada oleh “massa” melalui proses demokrasi.164 Elit yang dimaksud banyak

dipengaruhi oleh budaya dan efek historis. Walaupun pembentukan politik luar negeri

dibentuk oleh beberapa lembaga, namun Pemerintahan Orde Baru yang didominasi 162 Lihat Sukamdani Sahid Gitosardjono, Dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok di era kebangkitan AS, Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial, Budaya Indonesia China, 2006, hlm. 56. 163Politik-Luar-Negeri-Indonesia-Kebebasaktifan-Yang-Oportunis, diperoleh dari

http://www.scribd.com/doc/24673774 . [Diakses pada tanggal 12 Februari 2012 pukul 4:39]. 164 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri di bawah Soeharto, LP3ES: Jakarta, 1993. hlm. 54.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 178: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

162

militer dan sentralistik menjadikan Presiden Soeharto sebagai pembentuk dominan

politik luar negeri dibanding prinsip bebas aktif.

Untuk mencapai kepentingan nasionalnya, maka Pemerintah Orde Baru

membentuk beberapa kebijakan luar negeri. Merujuk dari penjelasan di atas, bahwa

politik luar negeri yang telah dibangun oleh Orde Baru bisa disimpulkan menjadi tiga

variabel: Perbaikan Ekonomi, Normalisasi hubungan dengan dunia Barat, dan

revitalisasi organisasi regional. Pertama, Perbaikan ekonomi yang menjadi prioritas

Pemerintah Orde Baru dituangkan dalam pembangunan lima tahun (Pelita). Pelita

direncanakan setiap lima tahun dan ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara

(GBHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Untuk mendukung

terlaksananya Pelita, Indonesia membentuk negara-negara pendonor dalam forum

Intergovermental Group On Indonesia (IGGI). Selain itu, Pemerintah pun membuat

undang-undang investasi yang mempermudah investasi asing masuk ke dalam negeri.

Beberapa faktor yang menjadikan ini berhasil yaitu

• Kelompok Bappenas yang terkenal disebut “mafia Berkeley” yaitu tim

yang sebagian besar lulus dari University of California di Berkeley yang

diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro. Ideologi ekonomi yang terlampau tidak

terlalu berbeda, yaitu ekonomi liberal, menjadikan kerjasama antara negara-

negara Barat menjadi lancar. Hal-hal krusial yang menjadi masalah di zaman

Orde Lama seperti investasi asing, dan lain-lain, tidak terlalu menjadi masalah.

• Komitmen Presiden Soeharto untuk memperbaiki perekonomiannya dan

meninggalkan isu politik tinggi (High Politics) sebagai landasan

Pemerintahannya.

Kedua, memperbaiki hubungan dengan negara-negara Barat adalah salah satu

politik luar negeri penting yang dilaksanakan Pemerintah Orde Baru. Salah satu yang

diperbaiki adalah kerjasama ekonomi. Di luar hal itu, masuknya kembali Indonesia ke dalam

keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi awal normalisasi hubungan Indonesia

dengan negara-negara Barat.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 179: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

163

Hal yang menjadi isyarat Presiden Soeharto berniat memperbaiki hubungan

dengan negara-negara Barat adalah pidato pada KTT Non Blok di Lusaka tahun 1970,

yang mengatakan bahwa hendaknya Indonesia harus bisa menjalin kerjasama dengan

negara manapun di dunia dalam berbagai bidang, kecuali bila tidak mempunyai

hubungan diplomatik dengan negara tesebut. Walaupun dalam pernyataannya tersebut,

Presiden Soeharto menyatakan belum perlu untuk masuk dalam aliansi atau kelompok

militer seperti NATO ataupun Pakta Warsawa.165 Dengan masuknya kembali Indonesia ke

dalam PBB, Indonesia semakin aktif dalam percaturan internasional. Faktor yang

menyebabkan keberhasilannya adalah,

• Kecenderungan Presiden Soeharto untuk menjalin hubungan baik

kembali dengan negara-negara barat.

• Sambutan negara Barat, terutama Amerika Serikat yang menganggap

peran Indonesia sangat vital di Asia Tenggara terutama dalam menjaga

stabilitas kawasan dan menjaga tersebarnya ideologi komunisme ketika perang

dingin.

• Pengaruh dari kebutuhan bantuan ekonomi seperti yang sudah dijelaskan

diatas dan juga fokus Pemerintah Orde Baru yang juga untuk pembangunan.

Ketiga, revitalisasi organisasi regional menjadi salah satu agenda penting

politik luar negeri Orde Baru. Hal ini menjadi respon dari politik luar negeri Orde Lama

yaitu konfrontasi dengan Malaysia. Kecurigaan dan prasangka pada tetangga terdekat

menjadikan Indonesia tidak pernah bisa maju untuk bekerjasama kemudian bersaing

secara sehat. Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan Asia Tenggara memiliki nilai

yang sangat strategis. Hal tersebut tercermin dari adanya berbagai konflik di kawasan

yang melibatkan kepentingan negara-negara besar pasca Perang Dunia II, sehingga Asia

Tenggara pernah dijuluki sebagai “Balkan-nya Asia”. Persaingan antarnegara adidaya

dan kekuatan besar lainnya di kawasan antara lain terlihat dari terjadinya Perang

Vietnam. Di samping itu, konflik kepentingan juga pernah terjadi di antara sesama

165Lihat http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/222971735.pdf . [ Diakses pada tanggal12 Februari 2012 pukul

6:12].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 180: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

164

negara-negara Asia Tenggara seperti “konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia,

klaim teritorial antara Malaysia dan Filipina mengenai Sabah, serta berpisahnya

Singapura dari Federasi Malaysia.166 Faktor-faktor keberhasilannya adalah:

• Adanya keinginan kelima negara pembentuk ASEAN yaitu me-

revitalisasi kerja sama terutama di bidang ekonomi di negara-negara ASEAN

• Ada keinginan bersama untuk menjaga stabilitas kawasan dari Perang

Dingin.

• Kelima negara tersebut ingin melaksanakan pembangunan sekaligus

menjaga penyebaran ideologi komunisme.

• Dukungan dari Blok Barat terutama Amerika Serikat untuk menjaga

“efek domino komunisme” terutama dari negara-negara komunis di Asia

Tenggara seperti Vietnam.

Selain faktor-faktor di atas, terdapat sebab lainnya, terutama faktor eksternal

yang mendukung terbentuknya organisasi regional. Filipina misalnya, adalah negara

yang populasinya sebagian besar beragama Katholik, sehingga merasa terasing di

kawasan Asia Tenggara yang sebagian besar Islam dan Budha. Selain itu, integrasi

wilayah dalam suatu organisasi regional memberikan kedaulatan yang lebih kuat untuk

negara-negara kecil seperti Singapura dan Brunei Darussalam. Dalam hal ini,

sebenarnya alasan pragmatisme ekonomilah yang kuat, namun bukannya integrasi

ekonomi, melainkan stabilitas yang mendukung perekonomian tumbuh. Namun dalam

efektivitas kinerja organisasi regional untuk memenuhi ekspektasi ideal tersebut, masih

kurang berhasil.

Kebijakan politik luar negeri Indonesia diuraikan pertama kalinya oleh Drs.

Muhammad Hatta dalam rapat KNIP (Komite Nasional IndonesiaPusat) pada tanggal 2

September 1948 di Yogyakarta. Prinsip ideal politik luar negeri Indonesia yang

ditegaskan oleh Bung Hatta dan para founding fathers bangsa ini waktu itu tercantum

secara jelas dalam konstistusi negara yaitu menganut haluan politik “bebas

166Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Deplu RI, Selayang pandang ASEAN, Deplu RI, hlm.1

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 181: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

165

aktif”.167Pada periode Demokrasi Parlementer, Pemerintah berusaha mencerminkan

citra politik luar negeri “bebas aktif” namun condong ke negara-negara Barat. Pada

periode Demokrasi Terpimpin masa Pemerintahan Presiden Soekarno, dalam

menangggapi perselisihan internasional menggunakan cara desakan yang kuat, tetapi

tidak menggunakan diplomasi dan mediasi dengan pihak ketiga. Sangatlah berbeda

dengan sikap politik luar negeri Indonesia pada periode Presiden Soeharto yang ditandai

dengan adanya sikap pragmatisme yang disertai dengan sikap penuh dengan kehati -

hatian, tetapi juga menunjukkan sikap ambisi regional. Politik luar negeri pada periode

Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno sebagai kekuatan politik yang sangat

dominan begitu pula dengan kebijakan luar negeri juga menjadi kewenangan Presiden

Soekarno pribadi. Pelaksanaan kebijakan politik luar negeri oleh Presiden Soekarno

merupakan suatu upaya untuk merubah peranan internasional yang terbatas dan juga

untuk mendapatkan kedudukan terkemuka di antara negara-negara pasca kolonial

lainnya.

Perubahan politik dalam negeri Indonesia juga turut mengubah arah politik luar

negeri Indonesia. Perubahan yang dimaksud terjadi setelah peristiwa kegagalan kudeta

pada tahun 1965. Kegagalan usaha kudeta mempengaruhi perimbangan politik domestik

yang rapuh yang sebagian dipertahankan selama ini melalui kebijaksanaan politik luar

negeri yang radikal. Dengan perubahan yang nyata dalam struktur sistem politik,

kebijakan politik luar negeri mengalami perubahan yang mencerminkan prioritas

pengganti Presiden Soekarno pada saat itu. Setelah usaha kudeta mengalami kegagalan

pada tahun 1965, citra Presiden Soekarno sebagai seorang Presiden semakin turun.

Sehingga pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno menyerahkan semua

kekuasaan eksekutifnya kepada Letnan Jenderal Soeharto. Setelah peralihan kekuasaan

internal tersebut dilaksanakan, maka kebijakan politik luar negeri Indonesia hanya

menyatakan kembali pada politik luar negeri “bebas aktif”.

Penerapan kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian permasalahan

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sudah berjalan dengan baik dan sesuai prosedur yang 167

Michael Leifer, Politik Luar Negeri Indonesia , Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 26.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 182: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

166

berlaku. Tetapi hal lain yang menjadi permasalahan dalam penerapan perumusan

kebijakan politik luar negeri dalam permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-

Ligitan. Penerapan kebijakan politik luar negeri dalam kasus sengketa kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan dalam penerapannya tidak optimal. Diakibatkan karena faktor dari

aktor negara dalam hal ini Pemerintah tidak menindaklanjuti dengan baik, karena pada

kenyataannya penerapan kebijakan politik luar negeri hanya sebatas pada tingkat

perundingan saja dan hasil dari perundingan bilateral tersebut tidak dilanjutkan dengan

adanya proses perumusan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 183: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Indonesia telahberupaya mempertahankan kepemilikan atas Pulau

SipadanLigitan melalui jalur politik yaitu dengan cara diplomasi atau perundingan

bilteral dengan Malaysia. Serangkaian perundingan bilateral dengan Malaysia telah

dilalui oleh Indonesia dan Malaysia sebagai upaya penyelesaian permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Namun cara diplomasi atau perundingan

bilateral yang telah dilaksanakan menjadi tidak efektif ketika Indonesia dan Malaysia

memiliki tujuan yang saling bertentangan dan tidak dapat lagi dikompromikan.

Sehingga berdampak juga dalam proses perumusan kebijakan politik yang akan

dilakukan oleh Indonesia dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan

Pulau SipadanLigitan. Kerugian tersebut juga berdampak bagi Indonesia dalam

menyikapi secara politis yang juga mempengaruhi politik domestik.

Ketidakefektifan dan kebuntuan pelaksanaan proses diplomasi atau

perundingan bilateral berdampak dalam proses perumusan kebijakan politik Pemerintah

Indonesia. Sebelumnya Pemerintah Indonesia memberikan usulan bahwa dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui

mekanisme di forum ASEAN, tetapi Malaysia menolak dengan alasan politis.

Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui

mekanisme forum ASEAN yang diusulkan Indonesia ditolak Malaysia karena

pertimbangan politis, tetapi Malaysia juga terlibat sengketa perbatasan dengan negara-

negara anggota ASEAN lainnya. Langkah Pemerintah Indonesia untuk membawa

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke forum ASEAN dinilai

tepat, karena menurut Pemerintah jalan politis yang hendak diambil setidaknya akan

memberikan keuntungan bagi Indonesia. Tujuan Indonesia memberikan usulan kepada

167 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 184: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

168

Malaysia untuk menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

SipadanLigitan ke forum ASEAN agar negara-negara anggota ASEAN ikut

membantu menyelesaikan permasalahan sengketa tersebut.

Dalam permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya

menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan

wilayah teritorial terutama pulau-pulau terluar Indonesia yang tidak berpenghuni dan

belum diberikan nama. Melihat dari kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah

kedaulatan Indonesia, maka langkah yang paling penting dalam menyikapi

permasalahan serupa kedepannya diharapkan Pemerintah Indonesia lebih

mengefektifkan upaya politis. Upaya politis yang ditempuh Pemerintah Indonesia

tersebut nantinya akan memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan proses

perumusan kebijakan politik luar negeri yang juga akan mempengaruhi keadaan politik

dalam negeri. Untuk itu, kedepan Pemerintah Indonesia diharapkan pelaksanaan upaya

politis yaitu dengan cara perundingan bilateral apabila dihadapkan dengan

permasalahan sengketa wilayah atau perbatasan agar lebih diefektifkan kekuatan dan lebih

profesional dalam berdiplomasi.

Pada kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia, seharusnya Pemerintah Indonesia paling tidak harus

memperhatikan keberadaan pulau-pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang tersebar

di perbatasan dengan negara-negara tetangga. Pada kasus lepasnya Pulau Sipadan-

Ligitan dari kekuasaan kedaulatan wilayah teritorial Indonesia, memunculkan akan

kewaspadaan terhadap paham realisme politik internasional. Orientasi penyelenggaraan

kerjasama antarnegara senantiasa mengarah kepada upaya memperoleh dan

memperbesar kekuasaan tersebut, karena hal tersebut merupakan upaya politis suatu

negara. Untuk itu, dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri sangat

diperlukan usaha-usaha untuk memperoleh dasar-dasar yang kuat sebagai bahan

pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan politik. Apabila dasar -dasar yang

diperoleh selama proses perundingan bilateral tidak diperoleh, maka akan berdampak

pada proses perumusan kebijakan politik. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 185: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

169

langkah politik yang tepat yaitu dengan mengajak Malaysia untuk menyelesaikan

dengan perundingan bilateral.

Paham realisme politik internasional mengandaikan konstelasi masyarakat

internasional sebagai suatu struktur hubungan yang bersifat anarkis. Dalam kasus

lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, maka kata kunci adalah kekuatan agar negara dapat

terus mempertahankan jati dirinya mengingat politik internasional sebagai suatu

perjuangan untuk memperoleh suatu kekuasaan. Persoalan batas wilayah yang kerap

membuat Indonesia menelan kekecewaan, sebenarnya juga menegaskan bahwa bangsa

ini mengabaikan takdirnya sebagai pemilik negara kepulauan. Padahal sebagai negara

kepulauan di dalamnya memiliki implikasi strategis dalam penentuan batas wilayah

negara dan teritorinya. Meledaknya kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan

antara Indonesia dan Malaysia, selain dipicu ketidaktegasan Pemerintah juga

mencerminkan beberapa hal. Pertama, minimnya pemahaman dan political

willPemerintah serta para pemangku kepentingan tentang kesadaran ruang dan

kesadaran garis batas wilayah negara. Hal itu tercermin dari berbagai implementasi

kebijakan yang ada. Menjadikan laut sebagai pusat kehidupan, belum menjadi agenda

penting untuk dilaksanakan.

Kedua, adanya kebijakan yang saling tumpang tindih, dan tidak menjadikan

laut dan perairan sebagai pemersatu bangsa dan wilayah. Salah satu indikasi yang jelas

adalah, mindset tentang pembangunan wilayah daratan yang begitu kuatnya. Sehingga

memperlakukan laut sebagai wilayah darat yang mudah dibagi-bagi. Ada 13 institusi

yang terlibat dalam persoalan keamanan laut ini. Padahal dengan menyandang status

negara kepulauan yang demikian luas ini, Indonesia tidak lagi sekumpulan pulau tetapi

lebih disebut a body of water dotted by islands, bahkan ada yang mengatakan“a

maritime continent”. Dan yang terpenting adalah ketegasan Pemerintah dalam

menyikapi persoalan ini sesuai dengan spektrum tanggungjawab yang melekat di

dalamnya. Untuk menjalankan strategi perjuangan kedaulatan dan nasionalisme,

tanggungjawab pokok berada di tangan negara. Negara adalah negara yang responsif

(responsive state). Negara yang sepenuhnya bertanggungjawab dalam penegakan

kedaulatan dan nasionalisme. Negara yang sepenuhnya bertanggungjawab dalam

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 186: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

170

menjaga integritas teritorial dan berdaulat dalam mengambil keputusan kebijakan

politik. Termasuk negara yang tidak dapat membebaskan diri dari kewajiban untuk

menjaga kedaulatan dan nasionalisme Indonesia. Fenomena sengketa perebutan Pulau

Sipadan-Ligitan tidak berdampak begitu luas karena factor civil society pada tahun 1979

atau pada era Presiden Soeharto sangat rendah pergerakannya. Karena faktor inilah

Pemerintah seakan lemah dalam berdiplomasi karena tidak ada tuntutan dari masyarakat

luas yang menyebabkan Pemerintah hanya bisa mengambil keputusan status quo dalam

perebutan wilayah itu, namun tidak dapat dipungkiri angkatan bersenjata dikerahkan

pada saat itu, hanya namun karena faktor kebijakan masing-masing negara yang

menekankan tidak menyerang dan hanya menggunakan konsep membela diri maka

konflik dapat meredam.

5.2 Saran

Dalam proses perumusan kebijakan politik ke depan yang lebih baik adalah

dengan mengedepankan upaya-upaya politis yaitu dengan meningkatkan perundingan

bilateral yang lebih berkualitas dan profesional. Pemerintah sebaiknya memperbaiki

kualitas cara melaksanakan proses perundingan bilateral atau diplomasi yang dijalankan

oleh Kementerian Luar Negeri agar kedepannya menjadi lebih baik. Untuk itu,

Pemerintah harus secepatnya mengambil langkah dalam dengan membuat keputusan dalam

hal kebijakan politik luar negeri apabila dihadapkan dengan suatu kasus yang menyangkut

kedaulatan negara dengan cara antar lain: Pertama, mensosialisasikan kepada masyarakat

tentang pentingnya arti pulau-pulau terluar bagi bangsa dan negara Indonesia.Kedua,

melakukan kerjasama dengan negara-negara yang berbatasan dengan wilayah-wilayah

Indonesia dalam pengelolaan wilayah perbatasan dalam rangka menghindari konflik

serta menjaga stabilitas kawasan.Ketiga, menegakkan kedaulatan baik melalui penguasaan

birokrasi, pendudukan terus menerus dan pemberdayaan kawasan di sekitar wilayah

perbatasan.Keempat, mempertegas penetapan batas wilayah dengan negara yang berbatasan

langsung dengan Indonesia.

Sesuatu kebijakan yang diambil Pemerintah yang berdampak pada resiko

kehilangan sebagian wilayah tanah air harus dipertimbangkan dengan seksama Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 187: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

171

melibatkan semua komponen bangsa, bahkan apabila bisa dihindari.Pemerintah dan

semua pihak saat ini adalah bagaimana mengamankan gugusan pulau-pulau yang rawan

sengketa dengan negara lain, terutama yang berada di wilayah perbatasan dan mulai saat

ini harus dilakukan pemetaan ulang atas seluruh wilayah dan pulau-pulau yang menjadi

milik Indonesia. Untuk itu, Pemerintah C.q. TNI harus lebih tegas lagi dalam

menangani dan mengawasi pulau-pulau terutama di perbatasan yang kini mulai dihuni

penduduk dari negara lain. Diperlukan upaya Pemerintah agar melaksanakan kebijakan

pengawasan dan penguasaan terorial yang selama ini terabaikan dan mulai dihuni

penduduk dari negara asing.Sejalan dengan perkembangan tata kehidupan berbangsa

dan bernegara dilingkungan dunia internasional, maka suatu negara dalam

mempertahankan eksistensi atau kelangsungan hidupnya memerlukan perjuangan

seluruh bangsa untuk mencapai atau mempertahankan kelestarian teritorialitas atau

kedaulatan teritorialnya. Menyadari adanya kompleksistas permasalahan, baik isu

mengenai tapal batas (border), keamanan nasional (national security) atau keamanan

manusia (human security) perlu adanya satu pemahaman wawasan nusantara di dalam

menentukan suatu kebijakan.

Indonesia kini menunggu undang-undang perbatasan hingga pulau-pulau kecil

dekat perbatasan dengan negara lain tidak mengalami nasib seperti Pulau

SipadanLigitan. Untuk merefleksikan masalah kedaulatan terhadap kasus Pulau

Sipadan-Ligitan perlu dilihat dari konteks permasalahannya. Kasus Pulau Sipadan-Ligitan

adalah kasus yang bersifat unik dan khusus. Kedua pulau tersebut menjadi objek

sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia yangberawal pada tahun 1969 ketika

kedua negara merundingkan perbatasan landas kontinen di antara kedua negara. Dalam

perundingan tersebut ditemukan bahwaPulau Sipadan-Ligitan merupakan pulau yang ”tidak

bertuan” (terranulius).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 188: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

172

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Alfandi, Widoyo. Reformasi Indonesia Bahasan dari Sudut Pandang Geografi Politik dan Geopolitik.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2002.

A.Columbis, Theodore dan James H. Wolve. Introduction to International Relations. Power and Justice. New Jarsey: Prentice Hall. 1982.

Abdulgani, Ruslan.Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan di Asia Tenggara. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. 1995.

Abdurrachmat. Pengantar Geografi Politik. Bandung: IKIP. 1982.

A. Snyder, Craig. Contemporary Security and Strategy, Palgrave: Macmillan. 2008.

Bahar, Saafroeddin.Sumbangan Daerah Dalam Proses Nation Building, dalam Ichlasul Amal dan Armaedy Armawi. Regionalisme, Nasionalisme dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1998. Banerjee, Dipankar. Security and Diplomacy In The 21st Century. New Delhi: Institute of Peace and Conflict Studies. 2003.

Baylis, John, Smith, Steve. The Globalization of World Politics.Oxford: Oxford University Press. 1999.

C. Plano, Jack & Ray Olton. International Relation, Dictionary. New York : Holt, Rinehart & Winston. 1969.

Carlson, Lucile and Philbrick, Allenk. Geography and World Polotics. New Jersey: Prentice-Hall Inc. 1960.

Eyestone, Robert. The Threads of Public Policy. Indianapolis: Bobbs Merrill. 1971. Dye,

Thomas R. Understanding Public Policy. New York: Prentice Hall. 1972.

Dunn, William. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1998.

Departemen Luar Negeri. Buku Putih Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Deplu RI dan Indonesia Council on World Affairs. 2003.

F. Hanrieder,Wolfram. Comparative Foreign Policy: Theoretical Essays. New York:

David McKay Co. 1971.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 189: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

173

Franklin, B Weinstein. Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno toSoeharto, Ithaca: Cornel University Press. 1976.

Hayati,Dr. Hj. Sri, M.Pd dan Drs. Ahmad Yani, M.Si.. Geografi Politik. Bandung: PT. Refika Aditama. 2007.

Hatta, Mohammad. Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta: Tintamas. 1953.

Hardjijo, Bantu. Pembinaan Daerah Perbatasan Dilihat dari Aspek Hankam. Jakarta: Mabes ABRI dan Lembaga Pertahanan Nasional. 1991.

Holsti, K.J. Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jilid I. Jakarta: PT. Erlangga. 1988.

Ikle, Fred C. How Nations Negotiate. New York: Harper and Row. 1964.

Jamtomo,Rahardjo. Politik Luar Negeri Indonesia Kini dan Kedepan. Bandung: Percetakan Angkasa. 2002.

J. Morgenthau,Hans.Politik Antar Bangsa.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2010.

Jensen,Lyod.Explaining Foreign Policy, New Jersey: Prentice Hall. Inc.. 1982.

Kusumaatmadja, Mochtar, Prof. DR. Politik luar negeri Indonesia dan pelaksanaannya dewasa ini: Kumpulan karangan dan pidato. The University of California: Alumni. 1983.

Kusumaatmadja, Mochtar, Prof. DR. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: PT. Bina Cipta. 1978.

Keohane, Robert dan Joseph Nye. Power and Interdependence: World Politics in Transition. Boston: Little Brown. 1977.

Leifer, Michael. Indonesia’s Foreign Policy. London: George, Allen & Unwin. 1983. Leifer,

Michael. Politik Luar Negeri Indonesia. Gramedia: Jakarta. 1986.

Moerdani,LB.. Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan Jenderal TNI (Purn) LB. Moerdani 1988-1991. Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman. 1992.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 190: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

174

McCloud, Donald G.System and Process in Southeast Asia: The Evolution of a Region. Boulder, Colorado: West-view Press. 1986.

Modelsky, George. Theory of Foreign Polic., New York: Praeger. 1962.

Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations. New York: Alfred A. Knept.1975. Manggala, Pandu Utama. Mencari Yang Hilang dari Politik Luar Negeri. Jakarta: Gramedia. 2007.

Nur Alami, Atiqah. Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia, dalam Ganewati Wuryandari (ed.), Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta. 2008.

Prescot, J.R.V. Boudaries and Frontiers. London:Croom Helm. 1973.

Panikkar, KM. The Principle and Practice of Diplomacy.

Pounds, Norman J.G. Political Geography. New York: Mogrow-Hill Book co. Inc. 1963.

Ritchie,Jane and Jane Lewis (ed). Qualitative Research Pratice : A Guide for Social Science Students and Researchers.London : SAGE Publications Ltd.. 2003.

Sahid Gitosardjono, Sukamdani. “Dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok di era kebangkitan AS. Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial, Budaya Indonesia China. 2006.

Suryadinata, Leo. Politik Luar Negeri di bawah Soeharto. LP3ES: Jakarta. 1993.

Sugiono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : CV. Alfabeta. 2004.

Sihombing, Frans Bona. Ilmu Politik Internasional: Teori Konsep dan Sistem. Jakarta:

Ghalia Indonesia. 1986.

S. Nye, Jr, Joseph. International Regionalism, Boston: Little Brown & Co. 1968.

Wuryandari, Ganewati. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta. 2008.

Waltz, Kenneth. Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge Unversity Press. 1979. Jurnal:

Bandoro, Bantarto, dalam Analisis CSISAspek-Aspek Intenasional dalam Intergrasi Nasional, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994.

Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James H. Wolve, “Introduction to International Relations, Power and Justice”, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis di dalam tulisan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 191: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

175

Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS “Aspek-Aspek Internasional dalam

Intergrasi Nasional”, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994.

Majalah:

Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Deplu RI, Selayang pandang ASEAN, 2007.

Energy Security and Southeast Asia: The Impact on Maritime Boundary and Territorial

Disputes. Harvard Asia Quarterly. Fall 2005.

Forum Keadilan, Sipadan dan Ligitan Dengan Damai, Tahun V No. 15, 4 November

1996.

Surat Kabar:

Kompas. RI-Malaysia Tukar Menukar Dokumen Tentang Sipadan dan Ligitan, 8 Juli

1992.

. RI Mempertahankan Pulau Sipadan dan Ligitan, 6 Februari 1993.

. Sengketa 2 Pulau Takkan Ganggu Hubungan RI-Malaysia, 30 Juni 1993.

. Sengketa Sipadan dan Ligitan Agar Cepat Selesai, 29 Januari 1994.

. Sipadan - Ligitan dan Konflik Warisan, 20 Februari 1995.

. Malaysia Minta Indonesia Tenang dalam Soal Sipadan, 23 Februari 1995.

. Sipadan dan Ligitan Masalah Integritas Wilayah, 13 Juni 2002.

Media Indonesia. Indonesia dan Malaysia Sepakati Batas Wilayah, 1 Mei 1999. Suara

Pembaruan. Penanganan Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, 3 Juni 1991. Situs

Internet:

Kesepakatan Soeharto-Mahathir bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional.

Dalam http://www.hamline.edu. Diakses Senin tanggal 25 April 2011. Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 192: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

176

Nasib Pulau Sipadan dan Ligitan Semakin Jelas. Dalamhttp://wap.gatra.com. Diakses

Senin tanggal 25 April 2011.

Statistik Vital Kasus Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.unisosdem.org. Diakses

Selasa tanggal 26 April 2011.

Keputusan Mahkamah Internasional tentang kasus perebutan Pulau Sipadan-Ligitan

antara Indonesia dan Malaysia. Dalam http://diplomacy945.blogspot.com.

Diakses Selasa tanggal 26 April 2011.

Malaysia Telah Okupasi Sipadan. Dalam http://www.tempointeractive.com. Diakses

Selasa tanggal 26 April 2011.

Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.dephan.go.id. Diakses

Selasa tanggal 26 April 2011.

Memanasnya Hubungan RI-Malaysia. Dalam http://www.politik.lipi.go.id. Diakses

Selasa tanggal 26 April 2011

Belajar dari Kasus Sipadan Ligitan. Dalam http://www.kompas.com. Diakses Jumat

tanggal 29 April 2011.

Kasus Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.metronews.com oleh Aspiannor Masrie.

Diakses tanggal 29 April 2011. Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 193: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

177

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/222971735.pdf Diakses pada 12 Februari 2012

pukul 6:12.

http://www.scribd.com/doc/24673774/Politik-Luar-Negeri-Indonesia-Kebebasaktifan-

Yang-Oportunis diakses pada 12/02/12 pukul 4:39.

Wawancara:

Wawancara dengan Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN)

Departemen Luar Negeri RI, Kamis, 10 November 2011 dan 17 Oktober 2011 di

Kantor Ditjen Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri.

Wawancara dengan Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah (Peneliti Puslitbang SDM

Balitbang Dephan), Jum‟ at, 11 November 2011 dan Jum‟ at, 25 November 2011

di Kantor Puslitbang SDM Balitbang Departemen Pertahanan.

Wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Syaiful Rizal (mantan Pangdam IX/Udayana dan

Dankodiklat TNI AD) pada hari Jum‟ at, 10 Agustus 2012.

Wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Hadi Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman

dan Pangkostrad) pada hari Jum‟ at, 3 Agustus 2012.

Wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember

2012 (pada saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di

kantor Kemlu RI).

Wawancara dengan Effendy Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4

Desember 2012.

Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (mantan Menkopolkam era

Presiden Megawati Soekarnoputri) pada pembukaan Rakernister TNI dan

TMMD Ke-33 pada hari Kamis, 13 Desember 2012.

Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo

pada hari , Senin, 10 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 194: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

178

DAFTAR LAMPIRAN

1.) PETA WILAYAH PULAU SIPADAN - LIGITAN Sumber : David A. Colson, The American Journal of International Law, 2003

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 195: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

179

2.) PETA PULAU SIPADAN DAN RESORT YANG TELAH DIBANGUN

Sumber : http://www.dephan.go.id. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 196: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

180

3.) PAPAN TANDA PENGUMUMAN YANG DIPASANG MALAYSIA DI

PULAU SIPADAN

Sumber : Kantor Puslitbang SDM Balitbang Departemen Pertahanan 2011 Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 197: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

181

4.) FOTO DAERAH LOKASI SUMBER DAYA LAUT BERUPA IKAN, JENIS

HEWAN LAUT DAN DAERAH PENYELAMAN DI PULAU SIPADAN

Sumber :Kantor Puslitbang SDM Balitbang Departemen Pertahanan 2011

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Page 198: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/20334283-T32589- Kurniawan Setyanto.pdflib.ui.ac.id

182

5.) PETA PULAU LIGITAN DAN RESORT YANG TELAH DIBANGUN

MALAYSIA

Sumber : http://www.dephan.go.id. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012


Top Related