Download - Laporan Tugas 2
DISUSUN OLEH :
1. Akbar Hasani (1106053016)
2. Alexander Stefan (1106068466)
3. Devi Nathania (1106052985)
4. Willi Yaohandy (1106052991)
Mata Kuliah : Teknologi Gas Bumi
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Slamet, M.T.
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2014
TUGAS 2
TUGAS 2
TEKNOLOGI GAS BUMI
1. Komposisi gas alam Natuna seperti terlihat pada Tabel berikut :
a. Tentukan densitas dan viskositas gas alam tersebut pada tekanan 1000 psia dan
suhu 120oF!
b. Buatlah simulasi P vs Z!
c. Buatlah simulasi XCO2 vs Z!
2. Jelaskan tentang perhitungan nilai kalor dan has hidrat.
3. Suatu gas alam dg spesifikasi berikut akan dipindahan dari lokasi A ke lokasi B,
diperkirakan terjadi pressure drop sebesar 200 psi. Oleh karena itu,sebelum ditransfer
gas alam tsb dikompresi hingga mencapai tekanan 1200 psi. Jika gas tersebut
mengalir dg laju 200 MMSCFD, hitunglah densitas gas alam setelah sampai di lokasi
B.
Diketahui bahwa gas alam yang akan diolah memiliki kondisi sebagai berikut :
Temperatur : 80oF
Pressure : 615 psia
Water saturation : 100%
Composition (water free basis) :
JAWABAN
1.a Tentukan densitas dan viskositas gas alam tersebut pada tekanan 1000 psia dan
suhu 120oF!
Dalam data komposisi gas alam Natuna yang diberikan pada soal, tampak bahwa gas
alam memiliki komposisi pengotor berupa CO2 yang sangat tinggi hingga mencapai 71,33%
mol. Sebaliknya, komposisi pengotor berupa H2S sangat rendah, yaitu hanya 0,53%. Hal ini
menunjukkan bahwa perhitungan untuk mencari nilai Z (faktor kompresibilitas) untuk gas
alam Natuna harus dilakukan dengan menggunakan metode Buxton & Campbell.
Step 1. Meninjau Kondisi Operasi
Gas alam Natuna berada pada kondisi :
- P = 1200 psia
- T = 120oF = 580
oR
Step 2. Meninjau Komposisi Gas Alam
Komposisi Gas Alam
Komponen Persen Persen Mol
Mol (%) Normalisasi (%)
H2S 0.53 0.532342306
CO2 71.33 71.64523905
N2 0.41 0.411811973
H2 0 0
C1 26.38 26.49658497
C2 0.51 0.512253917
C3 0.16 0.160707111
n-C4 0.04 0.040176778
i-C4 0.04 0.040176778
n-C5 0.02 0.020088389
i-C5 0.02 0.020088389
n-C6 0.05 0.050220972
n-C7 0.04 0.040176778
n-C8 0.02 0.020088389
n-C9 0.01 0.010044194
n-C10 0 0
n-C11 0 0
n-C12 0 0
Σ 99.56 100
Ketika data komposisi gas alam Natuna yang diketahui pada soal dijumlahkan, ternyata
jumlahnya tidak 100%, sehingga komposisi gas alam Natuna tersebut harus dinormalisasi
terlebih dahulu untuk dapat dianalisis lebih lanjut.
Step 3. Menghitung ω’
Komponen Persen Mol yi Tc (R)
Pc (psia)
Tc/Pc yi(Tc/√Pc) yi(Tc/Pc) yi[(Tc/Pc)^0.5] ωi yiωi
C1 26.49658497 0.26497 343 668 0.513473 3.516379926 0.136052824 0.189866669 0.014 0.003709522
C2 0.512253917 0.00512 550 708 0.776836 0.105884246 0.003979374 0.004514919 0.099 0.000507131
C3 0.160707111 0.00161 665 616 1.079545 0.043059242 0.001734906 0.001669766 0.152 0.000244275
n-C4 0.040176778 0.0004 766 551 1.3902 0.013110766 0.000558537 0.000473711 0.201 8.07553E-05
i-C4 0.040176778 0.0004 735 529 1.389414 0.012839101 0.000558222 0.000473577 0.185 7.4327E-05
n-C5 0.020088389 0.0002 846 489 1.730061 0.007685304 0.000347541 0.000264226 0.254 5.10245E-05
i-C5 0.020088389 0.0002 829 490 1.691837 0.007523183 0.000339863 0.000261291 0.222 4.45962E-05
n-C6 0.050220972 0.0005 914 437 2.091533 0.021957889 0.001050388 0.000726302 0.301 0.000151165
n-C7 0.040176778 0.0004 973 397 2.450882 0.019619715 0.000984685 0.000628979 0.35 0.000140619
n-C8 0.020088389 0.0002 1024 361 2.836565 0.010826584 0.00056982 0.000338331 0.402 8.07553E-05
n-C9 0.010044194 0.0001 1071 332 3.225904 0.005903853 0.000324016 0.000180402 0.446 4.47971E-05
n-C10 0 0 1112 304 3.657895 0 0 0 0.489 0
n-C11 0 0 1153 282 4.088652 0 0 0 0.501 0
n-C12 0 0 1187 263 4.513308 0 0 0 0.539 0
N2 0.411811973 0.00412 227 493 0.460446 0.042101868 0.001896173 0.002794399 0.04 0.000164725
CO2 71.64523905 0.71645 548 1071 0.511671 11.99701382 0.366588151 0.512487031 0.225 0.161201788
H2S 0.532342306 0.00532 673 1306 0.515314 0.0991367 0.002743234 0.003821439 0.1 0.000532342
O2 0 0 279 737 0.378562 0 0 0 0.0213 0
H2 0 0 60 188 0.319149 0 0 0 4.23 0
Σ 100 1 15.9030422 0.517727735 0.718501044 0.167027822
Dimana :
ω’ = Σ yi.ωi = 0,167
K = Σyi T𝐶
𝑃𝐶0.5
𝑖
= 15,903
Selanjutnya, dihitung nilai J yaitu :
J =1
3 Σyi
𝑇𝑐
𝑃𝑐 𝑖 +
2
3 Σyi
Tc
𝑃𝑐 𝑖
0,5
2
J =1
3 0.517727735 +
2
3 0.718501044 2
J = 0,517
Step 4. Menghitung nilai Tc’ dan Pc’
Tc′ =𝐾2
𝐽=
15,9032
0,517= 489,429𝑂𝑅
Pc′ =𝑇𝑐′
𝐽=
489,429
0,517= 947,15 𝑝𝑠𝑖
Step 5. Mencari Tr’ dan Pr’
Tr′ =𝑇
𝑇𝑐′=
580oR
489,429𝑂𝑅 = 1,185
Pr′ =𝑃
𝑃𝑐′=
1200 psia
947,15 𝑝𝑠𝑖 = 1,056
Step 6. Mencari nilai Zo, Z’, dan Z
Tr’ = 1,185, Pr’ = 1,056 Zo = 0,76 (Figure 3.10), Z’ = 0,08 (Figure 3.11)
Z = Zo + ω’Z’
Z = 0,76 + (0,167 x 0,08)
Z = 0,774
Step 7. Faktor koreksi untuk CO2
ω =ω − y𝐶𝑂2ω𝐶𝑂2
Ʃ𝑦𝑖 − 𝑦𝐶𝑂2
ω =0,167 − 0,161
1 − 71.645
ω = 0,0205
Saat ω = 0,0205 dan % CO2 = 71,645% τ = 3 (Figure 3.12)
Mencari nilai Tc”
𝑇𝑐" = 𝑇𝑐′ − τ/A
𝑇𝑐" = 489,429𝑜𝑅 − 3
1
𝑇𝑐" = 487,429𝑜𝑅
Mencari nilai Pc”
𝑃𝑐" = 𝑃𝑐′ (𝑇𝑐"/𝑇𝑐′)
𝑃𝑐" = 947,15 𝑥 487,429𝑂𝑅
(489,429𝑂𝑅)
𝑃𝑐" = 943,28 𝑝𝑠𝑖𝑎
Mencari Pr”
𝑃𝑟" = 𝑃
Pc"
𝑃𝑟" = 1000 𝑝𝑠𝑖
943,28 𝑝𝑠𝑖𝑎
𝑃𝑟" = 1,06
Mencari Tr”
𝑇𝑟" = 𝑇
Tc"
𝑇𝑟" = 580oR
487,429𝑜𝑅
𝑇𝑟" = 1,19
Mencari nilai Zo, Z’, dan Z
Tr” = 1,19, Pr” = 1,06 Zo = 0,78 (Figure 3.10), Z’ = 0,09 (Figure 3.11)
Z = Zo + ω’Z’
Z = 0,78 + (0,167 x 0,09)
Z = 0,795
DENSITAS GAS ALAM NATUNA
Menghitung Mr gas alam Natuna
Komponen yi Berat Molekul
MW MW'
N2 0.00411812 28 0.115307352
CO2 0.716452391 44 31.52390518
H2S 0.005323423 34 0.180996384
O2 0 32 0
H2 0 2 0
C1 0.26496585 16 4.239453596
C2 0.005122539 30 0.153676175
C3 0.001607071 44 0.070711129
i-C4 0.000401768 58 0.023302531
n-C4 0.000401768 58 0.023302531
i-C5 0.000200884 72 0.01446364
n-C5 0.000200884 72 0.01446364
n-C6 0.00050221 86 0.043190036
n-C7 0.000401768 100 0.040176778
n-C8 0.000200884 114 0.022900763
n-C9 0.000100442 128 0.012856569
n-C10 0 142 0
n-C11 0 0
n-C12 0 0
Σ 36.47870631
𝑃𝑉 = 𝑍𝑛𝑅𝑇
𝑃𝑉 = 𝑍𝑚
𝑀𝑟𝑅𝑇
𝑃𝑀𝑟 =𝑚
𝑉𝑍𝑅𝑇
𝑃𝑀𝑟 = 𝜌𝑍𝑅𝑇
𝜌 =𝑃. 𝑀𝑟
𝑍. 𝑅. 𝑇
𝜌 =1000 𝑝𝑠𝑖𝑎 .
36,479 𝑙𝑏𝑚
𝑙𝑏𝑚𝑜𝑙
0,795 𝑥 10,73𝑝𝑠𝑖𝑎 .𝑓𝑡3
𝑙𝑏𝑚𝑜𝑙 𝑂𝑅 𝑥 580oR
= 7,373lbm/ft3
VISKOSITAS GAS ALAM NATUNA
Untuk mencari viskositas gas alam Natuna, dapat dilakukan dengan menggunkan
Figure 3.25. Diketahui dari hasil perhitunagn sebelumnya, bahwa densitas gas alam Natuna
adalah 36,479 lbm/lbmol. Temperatur gas alam adalah 120oF. Maka dari Figure 3.25, dapat
diperoleh nilai viskositas gas alam Natuna yaitu 0,0094 centipoise
1.b Buatlah simulasi P vs Z!
Grafik diatas didapat dengan membandingkan nilai tekanan dalam psia dengan nilai
faktor kompresibilitas. Nilai faktor ini didapat dengan melakukan perhitungan:
𝑃𝑉 = 𝑧𝑛𝑅𝑇
𝑧 =𝑃𝑉
𝑛𝑅𝑇
Dari hasil simulasi pada HYSYS, didapatkan nilai laju alir volume pada masing-
masing nilai tekanan. Nilai volume ini digunakan untuk menghitung nilai faktor
kompresibilitas dengan rumus diatas. Kemudian nilai faktor kompresibilitas tersebut
dibandingkan dengan nilai tekanan, dan didapatkan grafik seperti diatas.
Dapat dilihat dari trend grafik diatas, bahwa tekanan berbanding terbalik terhadap
nilai faktor kompresibilitas sampai titik tertentu, kemudian menjadi sebanding setelah
melewati titik tersebut. Titik itu ada disekitar tekanan 3000 psia.
500,00
600,00
700,00
800,00
900,00
1000,00
1100,00
1200,00
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000
Z C
om
pre
ssib
ility
Fac
tor
Pressure (psia)
Z VS Pressure
1.c Buatlah simulasi XCO2 vs Z!
Pada grafik diatas dapat dilihat hubungan antara komposisi pengotor dalam suatu gas
alam yaitu CO2 dengan faktor kompresibilitas yaitu Z. Hubungan ini dapat dinyatakan dengan
persamaan gas ideal:
𝑃𝑉 = 𝑧𝑛𝑅𝑇
𝑧 =𝑃𝑉
𝑛𝑅𝑇
Dalam hal ini dilakukan perubahan kondisi suatu gas alam dengan melakukan variasi
pada komposisi pengotor (CO2) dari 0.71 hingga 0,0001 pada kandungan suatu gas alam.
Pada persamaan diatas dapat dilihat bahwa semakin besarnya nilai mol maka akan semakin
kecil faktor kompresibilitasnya dan begitu juga sebaliknya apabila semakin kecil nilai mol
suatu gas maka faktor kompresibilitasnya akan meningkat. Apabila nilai Z<1 dapat dikatakan
bahwa gas bersifat mudah dimampatkan, untuk nilai Z>1 dapat dikatakan bahwa gas bersifat
mudah mengembang, dan gas ideal memiliki nilai Z = 1.
Pada grafik yang telah ditampilkan diatas dapat dilihat bahwa semakin rendahnya
konsentrasi pengotor (CO2) pada gas menyebabkan faktor kompresibilitas (Z) semakin
meningkat dan mendekati 1. Oleh Karena itu dapat dikatakan bahwa semakin sedikit
pengotor yang terdapat didalam gas alam akan menyebabkan gas akan semakin mendekati
sifat gas ideal karena dengan berkurangnya keberadaan pengotor pada suatu gas
menyebabkan interaksi antar molekul semakin sedikit. Selain itu, dengan adanya pengotor
0.74
0.76
0.78
0.8
0.82
0.84
0.86
0.88
0.9
-0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8
CO2 Composition vs Z Factor
CO2 Reduce
dalam suatu gas alam akan menyebabkan gas tersebut semakin mudah dimampatkan karena
semakin banyak interaksi molekul yang terjadi.
2. Jelaskan tentang perhitungan nilai kalor dan has hidrat.
HEATING VALUE
Heating value atau nilai kalorifik dapat didefinisikan sebagai jumlah panas yang
dilepaskan dari reaksi spesifik bahan bakar dengan jumlah yang spesifik pula. Biasanya, basis
untuk satuan heating value adalah basis massa atau molar yang dapat dilihat pada unit seperti
kJ/mol atau kcal/kg. Sebelum mengetahui mengenai cara menghitung heating value
berdasarkan acuan ASTM D-3588-98, perlu ditinjau lebih dahulu definisi heating value yang
dimaksud. Terdapat setidaknya dua jenis heating value, yaitu HHV atau GHV dan LHV atau
NHV.
1.1 HHV (Higher Heating Value) atau GHV (Gross Heating Value)
HHV/GHV dapat dikatakan sebagai ukuran energi yang dihasilkan saat terjadi reaksi
pembakaran ideal dan sempurna dari bahan bakar dengan udara dimana air yang dihasilkan
dari reaksi tersebut terkondensasi menjadi cair seluruhnya. Definisi ini dipakai untuk
HHV/GHV karena untuk menentukan nilainya, diasumsikan bahwa suhu sebelum dan
sesudah reaksi adalah sama. Hal ini berarti air tidak berada dalam fasa uap berarti nilai kalor
laten penguapan air diperhitungkan juga sebagai penambahan dari nilai kalorifik gas secara
keseluruhan. Hal inilah yang menyebabkan nilai HHV/GHV lebih besar daripada nilai jenis
heating value yang lainnya, yaitu LHV/NHV. Nilai-nilai GHV ideal untuk berbagai jenis gas
dapat dilihat pada GPA Standard 2145. GHV didefinisikan sama dengan HHV (High Heating
Value) oleh GPSA (Gas Processors Suppliers Association) secara konsisten untuk
membedakannya dengan LHV/NHV.
Pada umumnya, perhitungan heating value dari suatu aliran gas alam menggunakan
GHV sebagai acuannya dan bukan LHV/NHV. Hal ini disebabkan bahwa pada umumnya
memang komponen air dalam aliran gas mayoritas berada pada wujud cair dan bukan uap,
walaupun ada sebagian yang memang menjadi fasa uap. Hal ini dapat dibuktikan dari aliran
gas bertekanan yang tidak dibakar dan diarahkan ke tanah, maka tanah ini menjadi basah,
berair dan lama-kelamaan digenangi air. Terminologi HHV/GHV dipakai secara luas,
terutama untuk bahan bakar yang biasanya memiliki komponen air sebelum pembakaran
seperti batubara, kayu bakar, dan gas alam. Umumnya pula, perhitungan nilai kalorifik suatu
bahan bakar yang menggunakan acuan GHV memiliki suhu referensi dibawah 150oC.
1.2 LHV (Lower Heating Value) atau NHV (Net Heating Value)
Memiliki asumsi yang bertolak belakang dengan GHV/HHV, LHV (Lower Heating
Value atau disebut juga Net Heating Value/NHV) adalah nilai kalorifik atau entalpi
pembakaran (energi) yang dihasilkan oleh suatu reaksi pembakaran ideal dimana air yang
dihasilkan dari reaksi tersebut tervaporisasi menjadi uap seluruhnya. Oleh karena itu, asumsi
menentukan nilai LHV/NHV adalah dengan menganggap suhu setelah pembakaran dan suhu
sebelumnya tidak sama (karena pada tekanan yang sama, fasa uap air akan terbentuk dalam
suhu yang lebih tinggi). Definisi ini dinyatakan dan dijadikan pegangan oleh API (American
Petroleum Institute). Penggunaan terminologi LHV/NHV adalah untuk pembakaran bahan
bakar dimana kondensasi air tak mungkin terjadi (entalpi pembakaran relatif tinggi) atau
perhitungan nilai kalorifik pada suhu referensi diatas 150oC. Oleh karenanya, sesungguhnya
dalam perhitungan keteknikan di dunia nyata saat membangun pabrik atau menganalisa
sampel bahan bakar, nilai LHV lebih nyata untuk dijadikan acuan. Hal ini karena secara
sederhana tak mungkin suhu sesudah dan sebelum reaksi pembakaran bernilai sama, akibat
entalpi pembakaran yang tergenerasi. Pastinya, saat itu juga molekul air yang terproduksi dari
reaksi pembakaran ideal akan menyerap panas reaksi, menggunakannya sebagai kalor laten
penguapan, dan berubah fasa menjadi fasa uap. Akan tetapi untuk perhitungan perancangan,
nilai GHV yang digunakan dan terutama digunakan untuk sistem yang dirancang untuk tidak
melepaskan sedikitpun panas reaksi menjadi kalor laten penguapan air (panas reaksi
seluruhnya menjadi nilai kalorifik). Contohnya, pembakaran gas alam dalam boiler dengan
kondensasi teratur atau power plant dengan kondensasi flue gas yang mengkondensasi uap air
yang dihasilkan dari reaksi pembakaran agar panas yang ada tidak terbuang sia-sia namun
dapat dipakai sepenuhnya untuk pembangkitan energi listrik.
1.3 Relasi antara GHV dan LHV
Secara umum, persamaan yang menghubungkan nilai GHV dan LHV sebagaimana
telah diilustrasikan sebelumnya adalah sebagai berikut;
𝑯𝑯𝑽 = 𝑳𝑯𝑽 + 𝒉𝒗 × 𝒏𝑯𝟐𝑶,𝒐𝒖𝒕/𝒏𝒇𝒖𝒆𝒍,𝒊𝒏 (1.1)
dimana HHV adalah Higher Heating Value; LHV adalah Lower Heating Value; hv adalah
kalor laten penguapan air; 𝑛𝐻2𝑂,𝑜𝑢𝑡 adalah jumlah mol air yang teruapkan dan 𝑛𝑓𝑢𝑒𝑙 ,𝑖𝑛 adalah
jumlah mol bahan bakar yang dibakar atau dioksidasi sempurna menjadi karbondioksida dan
air.
Hubungan seperti diatas mengindikasikan adanya perbedaan antara LHV dan HHV.
Sesungguhnya, kuncinya adalah jumlah mol atom hidrogen atau seberapa kaya hidrogen
suatu bahan bakar; dan hal ini menyebabkan perbedaan nilai HHV dan LHV menjadi
bervariasi. Bahan bakar gas hidrogen memiliki HHV dengan nilai yang mencapai 18,2%
lebih besar daripada LHV-nya (142 MJ/kg dibandingkan dengan 120 MJ/kg). Sebaliknya,
bahan bakar seperti karbon murni atau CO memiliki perbedaan LHV dan HHV yang sangat
kecil karena reaksi pembakarannya tidak menghasilkan molekul air sama sekali.
Kesimpulannya, perbedaan nilai keduanya ditentukan oleh seberapa banyak molekul air yang
eksis sebelum pembakaran, yang akan menyerap panas dari pembakaran bahan bakar tersebut
dan juga ditentukan oleh seberapa banyak molekul air yang terproduksi dari reaksi
pembakaran yang akan menyerap panas dari pembakaran. Semakin banyak molekul air yang
ada dalam sistem reaksi pembakaran yang kita tinjau maka makin besar perbedaan HHV dan
LHVnya.
Secara umum, perhitungan nilai kalor dilakukan dengan cara mengalikan komposisi
komponen gas alam dengan nilai kalor masing-masingnya yang diambil dari dokumen
ASTM.
𝐻𝑚𝑖𝑑 = 𝑥𝑗𝑀𝑗𝐻𝑚𝑗
𝑖𝑑 / 𝑥𝑗𝑀𝑗
𝑛
𝑗=1
𝑛
𝑗=1
𝐻𝑚𝑖𝑑 = heating value ideal dengan basis massa
𝑥𝑗 = fraksi komponen
𝑀𝑗 = massa molekul komponen
Contoh Perhitungan GHV Gas Alam
Untuk gas alam wet basis, dengan komposisi seperti berikut:
Tabel 1. Komposisi Gas
Komposisi Mol %
Methana 0,7063
Ethana 0,0972
Propana 0,0509
i-Butana 0,0145
n-Butana 0,0191
i-Pentana 0,0106
n-Pentana 0,0087
n-Hexana 0,0079
n-Heptana 0,0047
CO2 0,0658
H2S 0
H2O 0,0007
Nitrogen 0,0136
Ketika perhitungan menggunakan wet basis maka data nilai yang digunakan dari table 1
ASTM adalah Ideal Gross Heating Value. Jika menggunakan dry basis, maka digunakan
Ideal Net Heating Value.
Berdasarkan ASTM Code D3588 tahun 1998, perhitungan GHV untuk gas alam tersebut
pada keadaan standar, mengacu pada tabel 1 adalah:
Tabel 2. Tabel 1 dari ASTM Code D3588 tahun 1998
Tabel 2. Perhitungan GHV
Komposisi Mol % GHV Comp GHV
Methana 0,706 1010,00 713,36
Ethana 0,097 1769,70 172,01
Propana 0,051 2516,10 128,07
i-Butana 0,015 3251,90 47,15
n-Butana 0,019 3262,30 62,31
i-Pentana 0,011 4000,90 42,41
n-Pentana 0,009 4008,90 34,88
n-Hexana 0,008 4755,90 37,57
n-Heptana 0,005 5502,50 25,86
CO2 0,066 0,00 0,00
H2S 0,000 637,10 0,00
H2O 0,001 50,31 0,04
Nitrogen 0,014 0,00 0,00
GHV Gas Alam 1263,67
Perhitungan dilakukan dengan mengalikan setiap besaran fraksi komponen gas
dengan nilai GHV masing masing komponen, kemudian menjumlahkannya. Angka GHV
diatas, sebesar 1263,6654 ini memiliki satuan BTU/SCF. Artinya, pembakaran satu kaki
kubik gas tersebut dalam keadaan standar akan menghasilkan energi sebesar 1263,66 BTU.
Pada tabel diatas kita dapat melihat bahwa nilai GHV dari CO2 dan Nitrogen adalah 0.
Artinya, adanya komponen ini dalam gas alam tidak akan menambah nilai kalor dari gas
tersebut, maka pada umumnya, kedua komponen ini harus dihilangkan daripada gas. Dari
tabel diatas kita dapat melihat bahwa komponen yang memiliki pengaruh paling besar
terhadap nilai kalor gas alam adalah metana, dimana walaupun nilai kalornya kecil (1010
BTU/SCF), namun komposisinya dalam gas alam paling besar. Semakin berat panjang rantai
alkana, maka nilai GHV komponennya semakin besar, namun pada umumnya,
signifikansinya semakin kecil dikarenakan komposisinya dalam gas sangat kecil.
Air dan juga H2S juga tetap memiliki nilai kalor, walaupun pada kenyataannya,
keberadaan kedua komponen ini dalam gas akan mengurangi nilai jual gas itu sendiri.
GAS HIDRAT
Gas hidrat merupakan bentuk dari clathrate yang pertama kali ditemukan oleh Davy
pada tahun 1810. Pada tahun 1888, Villard mempresentasikan data performa pada hidrat
hidrokarbon. Sejak saat itu, studi ilmiah dari senyawa fisik ini telah berlangsung secara
ekstensif.
Clathrate merupakan senyawa dimana guest molecules terjebak dalam struktur
berbentuk sangkar yang tersusun dari host molecules. Dengan gas alam hidrat lattice
terbentuk oleh molekul air seperti ditunjukkan oleh Gambar 1. Lingkaran menggambarkan
molekul air dan garis menggambarkan ikatan hidrogen. Di dalam tiap lattice terkandung
sejumlah cavities atau sangkar yang harus ditempati oleh sejumlah guest molecules untuk
menstabilkan kristal lattice ini.
Gambar 1 Skematisasi Hidrat Lattice Gas Alam
Analisis difraksi sinar X menunjukkan struktur kristal gas hidrat merupakan derivatif
dari pentagonal dodecahedron, struktur bersisi dua belas yang memiliki lima titik sudut.
Karena sudut ikatannya adalah sebesar 180o dan sudut ikatan dari es adalah 109,5
o,
strukturnya terlalu panjang untuk dianggap sebagai struktur dasar hidrat, namun tidak ada
susunan packing yang sesuai untuk pentagonal dodecahedron reguler. Claussen mengajukan
dua kristal lattice yang terpisah dari konfigurasi dodecahedron yang dimodifikasi yang
didesain sebagai Struktur I dan II.
Lattice dasar dari struktur I memiliki konstanta sel sebesar 12 Ao dan terdiri dari 46
molekul air yang tersusun membentuk delapan ruang kosong, dua diantaranya merupakan
pentagonal dodecahedra. Enam ruang kosong yang tersisa memiliki cavities yang lebih besar
serta memiliki 14 sisi. Molekul metana mampu memasuki ruang kosong dengan beragam
ukuran, sementara hidrokarbon yang lebih besar seperti etana dapat terjebak hanya pada
ruang kosong yang lebih besar. Selama pembentukan, juga memungkinkan untuk cavities
dalam keadaan kosong tidak ditempati karena adanya pembentukan lattice serta penutupan
ketika tidak ada molekul hidrokarbon. Molekul hidrokarbon lainnya seperti propana dan
lainnya tidak dapat terjebak dalam struktur ini karena ukuran mereka yang tidak mencukupi.
Bentuk kristal yang kedua, Struktur II, didesain sebagai lattice pentagonal
dodecahedral-diamond, yang terbentuk karena adanya hidrokarbon yang lebih besar dari
etana. Untuk struktur ini, satu unit sel memiliki 136 molekul air dan konstanta sel sebesar
17Ao. Terdapat 16 ruang kosong pentagonal dodecahedral kecil dan 8 ruang kosong lain
yang lebih besar. Ruang kosong yang besar, disebut hexakaidecahedron, mempunyai empat
hexagonal dan 12 sisi pentagonal. Terjebaknya propana, n-butana, dan isobutana terjadi pada
struktur ini seperti kemungkinan terjebaknya etana dan metana. Dapat diduga bahwa ketidak
hadiran propana dan molekul yang lebih berat akan menyebabkan hanya hidrat tipe 1 yang
terbentuk, sementara kehadiran baik etana dan propana akan menghasilkan terbentuknya
hidrat tipe 1 dan 2. Hal ini mungkin terjadi karena ketersediaan dari air yang berlebih dan
hidrokarbon selama pembentukan hidrat terbatas.
Dapat dilihat bahwa ukuran dari molekul merupakan faktor yang penting. Faktor
penting yang kedua adalah kelarutan gas. Kelarutan umumnya mempengaruhi laju dari
clathration karena hal tersebut menentukan kemungkinan bahwa molekul tertentu akan hadir
ketika lattice menutup. Maka dari itu, semakin besar kelarutan dari komponen, semakin cepat
hidrat terbentuk.
Diyakini bahwa guest molecule mendikte tipe struktur yang akan terbentuk, dan
kelarutannya menentukan laju pembentukan. Ukuran juga mempengaruhi laju pembentukan.
Hal ini dapat dilihat dari sifat metana, hidrogen sulfida, dan propana. Pada temperatur
tertentu metana hidrat murni memerlukan tekanan yang lebih tinggi untuk pembentukan
daripada propana hidrat, meskipun kelarutannya dalam air cenderung lebih besar daripada
propana. Lebih mudah bagi molekul berukuran kecil untuk menghindari terjebak ketika
sangkar menutup dibandingkan yang lebih besar. Terdapat molekul metana, tetapi
pergerakannya yang lebih aktif dan acak serta ukuran yang lebih kecil membuat clathration
lebih sulit. Molekul hidrogen sulfida yang berukuran sama jauh lebih mudah larut
dibandingkan metana, membentuk struktur yang sama, namun membutuhkan seperduapuluh
waktu yang lebih lama untuk membentuk hidrat.
Kondisi aktual penangkapan dikatakan terpenuhi ketika molekul gas terorientasi
dalam struktur air seperti agregasi air dan molekul gas telah menggunakan ruang yang
tersedia dengan baik. Hal ini berkaitan dengan keadaan potensial energi terendah untuk
agregasi sehingga gaya ikatan yang menarik dan memutar sedapat mungkin dalam keadaan
kesetimbangan. Ketika terbentuk, struktur ikatan hidrogen tidak akan putus sampai gaya-gaya
ini menjadi sangat tidak seimbang sehingga kekuatan dari ikatan hidrogen tersebut terlampaui
dan patahan terjadi.
Guest molecule menyediakan stabilitas pada struktur lattice dengan perilaku yang
sama dimana cairan pada pori dari sub-permukaaan pasir mencegah subsidence. Tidak semua
sangkar harus penuh. Oleh sebab itu, tidak ada rumus spesifik untuk hidrat.
Berikut ini merepresentasikan tipikal kristal hidrat yaang dibentuk dari komponen
tertentu
CH4 5.9 H2O . C2H6 8.2 H2O . H2S 6.1 H2O . CO2 6.0 H2O
N2 6.0 H2O . C3H8 17.0 H2O . i-C4H10 17.0 H2O
Normal butana dapat membentuk hidrat namun sangat tidak stabil. Semula
hidrokarbon parafin yang lebih besar dari butana tidak dapat membentuk hidrat.
Campuran gas alam membentuk hidrat lebih mudah daripada komponen murni.
Diperlukan untuk semua ukuran dari sangkar untuk penuh untuk menstabilkan lattice.
Konstanta sel yang disebutkan di atas merupakan panjang dari satu sisi kubus yang akan muat
ke dalam cavities. Jadi campuran dari ukuran molekul sangat kondusif untuk pembentukan
hidrat.
Kristal hidrat individual terbentuk dalam fasa air liquid. Hanya dalam fasa cair, hidrat
memiliki konsentrasi yang diperlukan serta level energi untuk pembentukan ikatan atom
hidrogen. Kristal-kristal ini berukuran sangat kecil. Tetapi, mereka dapat menjadi besat
dengan membagi sisi dari 5-6 molekul air. Ketika pembesaran ini berlanjut membentuk
bongkahan maka pembentuka hidrat dapat menjadi masalah.
2.1 Kesetimbangan Hidrat
Gambar 2 menunjukkan karakteristik pembentukan hidrat dari komponen gas alam.
Garis pada gambar menunjukkan kondisi pembentukan hidrat. Di bawah dan ke kanan dari
garis tidak ada hidrat yang terbentuk. Pada temperatur tertentu garis pembentukan hidrat
berbentuk vertikal. Hal ini terjadi pada keadaan dimana kurva pembentukan hidrat
berpotongan dengan kurva tekanan uap dari komponen tersebut.
Gambar 2.Kondisi Pembentukan Hidrat untuk Komponen Gas Alam
Gambar 3 mengilustrasikan sifat umum dari propana. Di bawah 0oC (32
oF) baik es
dan hidrat terbentuk di atas kurva; hanya uap dan es yang berada di bawah kurva. Di atas titik
beku, hidrat adalah satu-satunya fasa padat di bagian kiri dari kurva pembentuka hidrat. Pada
perpotongan dari tekanan uap dan kurva hidrat menjadi vertikal. Perpotongan ini merupakan
suhu maksimum pembentukan hidrat untuk komponen murni.
Gambar 2 Sifat Umum untuk Propana
Sifat umum yang sama terjadi untuk campuran gas, seperti ditunjukkan pada Gambar
4. Garis FEGC merupan garis titik embun untuk campuran. Kemiringan dari kurva hidrat
(FGH) menjadi vertikal seiring dengan garis quadruple (FG). Kemiringan dari garis
quadruple tergantung pada jumlah hidrokarbon cair dalam sistem. Peningkatan jumlah cairan
mencuramkan kemiringan. Jika garis quadruple berpotongan dengan fasa envelope hingga
sebelah kiri dari titik kritis (garis titik didih) kurva hidrat akan menjadi vertikal dalam daerah
satu fasa.
Gambar 3 Karakteristik Pembentukan Hidrat untuk Gas Campuran
Prosedur umum untuk memprediksi hidrat meliputi dua langkah dasar, yaitu:
1. Menggunakan korelasi yang sesuai untuk membentuk posisi garis titik embun FEGC
2. Menggunakan korelasi yang sesuai untuk menentukian garis hidrat FGH
Langkah pertama akan dibahas pada Chapter 5. Korelasi di bawah ini digunakan untuk
langkah kedua.
2.2 Korelasi Prediksi Hidrat
Semua korelasi prediksi hidrat untuk sistem yang mengandung hanya gas dan air pada
tes statik sel untuk menyediakan kesetimbangan yang bagus. Pada kebanyakkan kasus data
yang ditunjukkan merupakan kondisi pelelehan hidrat, data poin yang lebih dapat
direproduksi daripada data pembentukan, serta perhitungan yang dapat digunakan.
Korelasi awal menunjukkan kurva pembentukan hidrat sebagai fungsi dari densitas
relatif. Meskipun mudah digunakan dan dapat diaplikasikan untuk lean gas, namun tidak
direkomendasikan untuk perhitungan engineering.
2.2.1 Konstanta Kesetimbangan Vapor-Solid
Katz dan rekannya mengembangkan sejumlah nilai Kv-5 untuk prediksi hidrat.
Gambar 5-9 merupakan grafik yang digunakan untuk metode ini seperti telah dirangkum
oleh GPSA dan dimodifikasi.
Meskipun terdapat beberapa ketidaksempurnaan teoritis dalam metode ini namun
telah dibuktikan bahwa metode ini dapat diandalkan hingga tekanan 7 MPa (1000 psia).
Beberapa kurva tidak melebihi tekanan ini. Akurasi mulai berkurang seiring dengan nilai Kv-5
=1.0
Pada studi awal diasumsikan bahwa nitrogen merupakan pembentuk non-hidrat dan n-
butana memiliki nilai Kv-5 yang sama dengan etana. Studi selanjutnya menunjukkan bahwa
hal ini salah. Kurva Kv-5 sekarang disediakan untuk n-butana, akan tetapi, penggunaan praktis
Kv-5 = tak terhingga untuk nitrogen memberikan hasil yang sangat memuaskan.
Gambar 4 Nilai K Uap-Padat untuk Metana dan Etana
Gambar 8 Konstanta Equilibrium Vapor-Solid untuk n-butana
Contoh Soal:
Tentukan temperatur pembentukkan hidrat dari gas yang berada pada kondisi 2,0 MPa (290
psia).
Penyelesaian:
Prediksi temperatur dengan menggunakan metode ini dilakukan dengan menggunakan trial-
and-error dari temperatur pembentukan hidrat. Hidrat terbentuk apabila memenuhi
persamaan berikut.
𝑦𝑖
𝐾𝑣−𝑠 = 1
Asumsi 1: Temperatur pembentukkan hidrat = 10oC.
Nilai 𝐾 𝑣−𝑠 dari tiap-tiap komponen diperoleh menggunakan bantuan grafik. Namun, untuk
komponen nitrogen nilai 𝐾𝑣−𝑠 ialah tak hingga karena nitrogen diasumsikan sebagai bukan
pembentuk hidrat.
Gambar 9 Perhitungan Nilai K Vapor-Solid untuk Metana
Gambar 10 Perhitungan Nilai K Vapor-Solid untuk Etana
2,04
0,82
Gambar 13 Perhitungan Nilai K Vapor-Solid untuk N-butana
Gambar 14 Perhitungan Nilai K Vapor-Solid untuk Karbondioksida
Tabel 3.Perhitungan Nilai K
0,21
2,9
Komponen 𝒚𝒊
Pada 10oC (50
oF)
𝑲𝒗−𝒔 𝒚𝒊/𝑲𝒗−𝒔
Nitrogen 0,094 Tak hingga 0,0
Metana 0,784 2,04 0,384
Etana 0,060 0,82 0,073
Propana 0,036 0,113 0,319
Iso-butana 0,005 0,047 0,106
n-butana 0,019 0,21 0,090
CO2 0,002 2,9 0,001
1,000 0,974
Dari perhitungan di atas, diperoleh bahwa (𝑦𝑖/𝐾𝑣−𝑠) ≠ 1. Maka, hidrat tidak terbentuk
pada temperatur tersebut, sehingga perlu dilakukan pengulangan asumsi untuk temperatur.
Pada kondisi ini, temperatur pembentukan hidrat terjadi pada suhu 9,5oC.
2.2.2 Metode Trekell-Campbell
Metode Katz mempunyai pembatasan tekanan dan metode ini kurang berhasil dalam
menemukan pengaruh dari hydrate depression untuk molekul yang sangat besar untuk masuk
ke dalam cavities atau rongga.
Molekul yang lebih besar dari metana akan meningkatkan kestabilan hydrate
formation. Pada metode ini digunakan metana sebagai kondisi pembanding. Pengaruh
penambahan pada molekul ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini untuk tekanan yang
berkisar antara 6.9 MPa sampai dengan 41.4 MPa (1000-6000 psia).
Pada masing-masing gambar dibawah ini terdapat tekanan spesifik dengan variasi
temperatur pada methane hydrate forming. Garis absis merupakan perpindahan dari suhu
pada metana hydrate forming untuk persentase masing-masing komponen pada garis ordinat.
Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa n-butana memiliki pengaruh positif pada
hydrate formation. Sedangkan pada Gambar 17 dan Gambar 18 perpindahan temperaturnya
negatif disebabkan karena n-butana menjadi non-hydrate former. Perubahan ini terjadi karena
adanya distorsi kisi dengan tekanan yang tidak memiliki rongga yang cukup besar untuk
menahan molekul yang sama besarnya dengan n-butana.
Pada gambar 13 terdapat negatif correction atau depresiasi untuk non-hydrate
formers. Parameternya adalah sebagai berikut :
𝑦𝐶5+
1 − 𝑦𝐶1− 𝑦𝐶5+
(100)
Rasio dari fraksi mol pentana ditambah dengan jumlah fraksi mol dari etana, propana, dan
butana. Peningkatan dari rasio ini sebenarnya tidak baik untuk pembentukan hidrat karena
terdapat beberapa molekul besar.
Dibawah ini terdapat prosedur umum yang direkomendasikan untuk metode ini.
1. Perhitungan titik embun dari kurva hidrokarbon menuju garis FEGC terdapat pada
Gambar 4
2. Menggunakan tekanan 6,9 MPa pada prediction chart, menentukan temperatur
pembentukan hidrat secara aljabar dengan melihat perpindahan temperaturnya.
Selanjutnya menggunakan analisis dry gas untuk garis ordinat dan menambahkan
nilai dari Δ𝑇 pada garis absis menuju temperatur untuk metana hidrat yang diperoleh
dari gambar. Mencocokan hasil dari temperatur untuk pengaruh pentana dan senyawa
yang lebih ringan lainnya.
3. Mengulangi langkah sebelumnya untuk tekanan 13,8 MPa dan mencocokan untuk
pentana dan senyawa yang lebih ringan lainnya.
4. Menghitung temperatur dari hidrat pada masing-masing tekanan dan menarik garis
sampai ditemukan titik embun dari hidrokarbon.
5. Plot hasil perhitungan temperatur dan cocokan dengan kurva yang sama.
Prosedur diatas menunjukkan bahwa pentana dan senyawa lain yang lebih ringan
memiliki pengaruh perhitungan pada titik hidrat, dan nilai K merupakan nilai yang infinit
atau tidak memiliki batasan nilai.
Gambar 15 Hydrate Prediction Correlation pada tekanan 6,9 MPa
Gambar 16 Hydrate Prediction Correlation pada tekanan 13,58 MPa
Gambar 17 Hydrate Prediction Correlation pada tekanan 20,7 MPa
Gambar 18 Hydrate Prediction Correlation pada tekanan 27,6 MPa
Gambar 19 Hydrate Prediction Correlation pada tekanan 34,5 MPa
Gambar 20 Hydrate Prediction Correlation pada tekanan 41,4 MPa
Gambar 21 Hydrate Prediction Correlation untuk Pembentukan Non-hydrate
2.2.3 Metode McLeod-Campbell
Metode McLeod-Campbell adalah suatu korelasi yang digunakan untuk menghitung
pembentukan hidrat pada gas bertekanan tinggi, dimana tekanan gas tersebut di atas 35 – 40
MPa atau 5000 – 6000 psia. Metode perhitungan sebelumnya yang menunjukkan bahwa
kurva pembentukan hidrat pada tekanan tinggi mendekati kurva metana murni adalah salah.
Metode perhitungan ini bisa membuktikan bahwa kurva pembentukan hidrat pada tekanan
tinggi sejajar dengan kurva metana murni. Selain itu, metode perhitungan ini juga
membuktikan bahwa kurva hidrat pada berbagai macam campuran gas mempunyai
kemiringan yang sama.
Secara spesifik, korelasi untuk metode McLeod-Campbell merupakan modifikasi dari
persamaan Clapeyron. Korelasi yang menjelaskan energi pada perubahan fasa fluida ini dapat
diterapkan pada gas bertekanan 41,4 – 69 MPa atau 6000 – 10000 psia. Persamaan Clapeyron
yang digunakan adalah:
𝑇 = 𝐴 𝐶′ 0.5
Dimana: T = suhu pembentukan hidrat
A = faktor korelasi, yaitu 2,16 untuk satuan metric atau 3,89 untuk satuan
English
C’ = faktor komponen dari tabel berikut
Tabel 4 .Faktor Komponen dari Beberapa Zat pada Tekanan Tertentu
Tekanan Nilai C
MPa psia C1 C2 C3 iC4 nC4
41,4 6000 18933 20806 28382 30696 17340
48,3 7000 19096 20848 28709 20913 17358
55,2 8000 19246 20932 28764 39935 17491
62,1 9000 19367 21094 29182 31109 17868
69,0 10000 19489 21105 29200 30935 17868
Nilai C’ pada persamaan 2.1 diperoleh dengan cara mengalikan fraksi mol pseudo dengan
nilai C dari setiap komponen. Dalam menggunakan persamaan tersebut, komposisi gas
dinyatakan sebagai jumlah relatif dari metana sampai n-butana. Semua komponen gas yang
lebih berat dari n-butana dapat diabaikan.
Contoh Soal:
Hitung temperatur pembentukan hidrat dari gas pada 41,4 MPa (6000 psia) dengan komposisi
sebagai berikut.
Tabel 5. Komposisi Gas
Komponen Fraksi Mol
C1 0,906
C2 0,066
C3 0,018
iC4 0,005
nC4 0,005
Total 1,000
Penyelesaian:
Nilai C dari masing-masing komponen diperoleh dari tabel pada buku Campbell edisi 7
volume 1 pada halaman 178.
Tabel 6. Perhitungan Nilai C
Komponen Fraksi Mol C C’
C1 0,906 18933 17153
C2 0,066 19096 1373
C3 0,018 19246 511
iC4 0,005 19367 153
nC4 0,005 19489 87
Total 1,000 19277
𝑇 = 𝐴 𝐶′ 0,5
Untuk satuan metric, nilai A = 2,16.
𝑇 = 2,16 𝑥 19277 0,5 = 300𝐾 = 27𝑜𝐶
Maka, hidrat akan terbentuk pada sumbu 27oC.
2.3 Perhitungan Equation of State
Selain dengan menggunakan metode-metode yang telah dijabarkan di atas,
perhitungan untuk kondisi pembentukan hidrat dapat juga dilakukan dengan menggunakan
software komputer. Lain halnya dengan metode-metode sebelumnya, software tersebut
dikembangkan dengan berdasarkan pada persamaan keadaan. Oleh karena itu, perhitungan
hidrat dengan menggunakan software akan memberikan hasil yang lebih baik daripada
metode-metode sebelumnya.
2.4 Aplikasi Perhitungan Hidrat
Dalam berbagai metode-metode untuk menghitung pembentukan hidrat di atas,
asumsi yang digunakan adalah:
Hidrat terbentuk ketika gas berada dalam kondisi jenuh dengan air.
Tidak ada hidrokarbon cair atau es di dalam sistem.
Pembentukan hidrat di dalam sistem menjadi suatu masalah ketika hidrat
beraglomerasi, sehingga hidrat tersebut berhenti mengalir. Aliran fluida yang turbulen,
adanya cairan pada aliran, dan desain alat tertentu dapat mengurangi suhu pembentukan
hidrat sampai di bawah hasil perhitungan. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut sebaiknya
diperhitungkan sekitar 1 – 2oC dari suhu pembentukan hidrat berdasarkan hasil perhitungan.
Salah satu aplikasi pada sistem dehidrasi yang baik untuk mencegah pembentukan
hidrat adalah dengan mengurangi kandungan air (cairan) pada gas. Dalam sebuah pipeline
multifasa dan aliran pada well-bore, adanya cairan dapat mencegah pembentukan hidrat
dalam jumlah banyak. Hidrat hanya akan menjadi masalah pada sistem ketika aliran fluida
berhenti.
2.4.1 Pencegahan Pembentukan Hidrat
Salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah pembentukan hidrat adalah
dengan menjaga aliran gas tetap kering (tidak ada kandungan cairan pada gas). Ketika suatu
sistem harus menggunakan aliran gas yang basah dan suhu minimum aliran berada di bawah
suhu pembentukan hidrat, makan diperlukan inhibitor untuk mencegah pembentukan hidrat.
Pada umumnya, inhibitor yang digunakan untuk mencegah pembentukan hidrat
adalah senyawa alkohol dan glikol, seperti metanol, DEG, dan EG. Senyawa inhibitor
tersebut sebenarnya dapat di-recovery dan digunakan kembali. Namun, jika dilihat dari
keekonomisannya, recovery metanol menjadi pilihan yang kurang tepat.
Metanol, sebagai inhibitor, dapat digunakan dalam berbagai jangkauan suhu sistem.
Sementara itu, DEG sebaiknya tidak digunakan pada sistem yang bersuhu di bawah -10oC,
karena DEG akan bersifat viskos dan sulit untuk diseparasi ketika bercampur dengan minyak.
DEG dapat digunakan pada sistem yang bersuhu di atas -10oC, karena pada suhu tersebut
DEG tidak mudah menguap.
Jumlah inhibitor yang harus diinjeksikan ke dalam sistem merupakan penjumlahan
dari konsentrasi inhibitor yang dibutuhkan dalam air berfasa cair dan fasa gas. Hal ini
dikarenakan inhibitor yang berada dalam fasa gas tidak memberikan efek yang signifikan
dalam pembentukan hidrat.
Persamaan yang berfungsi untuk menentukan konsentrasi inhibitor pada air berfasa
cair adalah sebagai berikut:
𝑋 = 𝑑 𝑀
𝐾𝑖 + 𝑑 𝑀 100 (2.2)
Dimana: d = depresiasi pada suhu pembentukan hidrat
X = persen massa inhibitor pada air berfasa cair
M = masa inhibitor dalam mol
Ki = konstanta, yaitu 1297 untuk satuan metric atau 2335 untuk satuan english
Persamaan 2.2 merupakan simplifikasi dari sifat termodinamikan yang
menghubungkan antara depresiasi hidrat (d) dengan konsentrasi inhibitor (X). Pada skala
laboratorium, persamaan tersebut cukup akurat dalam menentukan konsentrasi inhibitor yang
dibutuhkan pada air berfasa cair. Namun, pengaplikasian nilai X dalam sistem yang
sesungguhnya terkadang tidak sesuai dengan persamaan 2.2. Pada beberapa pengujian yang
menggunakan variasi konsentrasi glikol sebagai inhibitor, konstanta Ki yang diperoleh
hampir dua kali dari konstanta Ki yang telah ditetapkan pada persamaan.
Hal ini dikarenakan sistem aliran gas yang sesungguhnya bersifat tidak stabil, dimana
sangat dipengaruhi oleh sistem dinamik, konfigurasi, lokasi, metode penginjeksian inhibitor,
dan lain-lain. Dalam pengaplikasiannya di lapangan, konsentrasi inhibitor yang diinjeksikan
merupakan hasil trial and error selama sistem aliran gas beroperasi.
Selain persamaan 2.2 di atas, terdapat persamaan lain untuk menentukan konsentrasi
inhibitor metanol yang bersifat lebih akurat, yaitu:
𝑑 = 𝐴 ln 1 − 𝑥𝑚 (2.3)
Dimana: d = depresiasi pada suhu pembentukan hidrat
xm = fraksi mol metanol dalam air berfasa cair
A = konstanta, yaitu -72 untuk satuan metric dan -129,6 untuk satuan english
Selain itu, terdapat pula korelasi yang dapat mengestimasi depresiasi hidrat terhadap
konsentrasi inhibitor. Korelasi yang disusun oleh Maddox ini bersifat akurat untuk
konsentrasi inhibitor yang tinggi, yaitu di atas 50 wt%.
Jumlah laju penginjeksian inhibitor yang sesuai dengan konsentrasi inhibitor yang
dibutuhkan dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:
𝑚𝐼 = 𝑚𝑊 𝑋𝑅
𝑋𝐿 − 𝑋𝑅 (2.4)
Dimana: mI = massa inhibitor
mW = massa air berfasa cair
XR = konsentrasi rich inhibitor
XL = konsentrasi lean inhibitor
Konsentrasi lean inhibitor (XL) pada metanol hampir selalu bernilai 100%, sedangkan
pada glikol adalah 60 – 80%. Konsentrasi reach inhibitor (XR) pada sistem aliran gas di field
dan pipeline diperoleh dari persamaan 2.2. Untuk nilai XR pada sistem gas processing, sifat
pencampuran inhibitor dengan gas di pipa atau exchanger menjadi poin yang penting untuk
diperhatikan. Pada sistem gas processing, nilai XR ditentukan oleh depresiasi hidrat dan
pencampuran. Konsentrasi rich dan lean glycol ditunjukkan oleh Gambar 24.
Faktor-faktor berikut dapat digunakan sebagai acuan untuk perhitungan konsentrasi
inhibitor, yaitu:
MeOH EG DEG
Massa Molekul 32 62 106
Densitas: g/cm3
0.80 1.11 1.12
kg/m3 800 1110 1120
lb/ft3 49.7 69.4 69.6
Inhibitor Loss pada Fasa Hidrokarbon
Sifat inhibitor dapat berkurang (loss) karena kelarutannya di dalam hidrokarbon cair
dan fas gas. Pada inhibitor glikol, loss tersebut bernilai kecil, yaitu sebagai berikut:
Tabel 7. Nilai Loss pada Fasa Hidrokarbon
Nilai Loss
Gas 3.5 L/106 std m
3 0.23 lbm/MMscf
Cair – –
Pada inhibitor metanol, loss yang terjadi bernilai besar, terutama pada fasa gas.
Gambar 23 di bawah ini menunjukkan estimasi yang cukup akurat untuk inhibitor
loss karena adanya penguapan. Namun, grafik berikut hanya berlaku pada sistem yang
bertekanan kurang dari 6900 kPa (1000 psia) dan konsentrasi metanol pada air berfasa cair
yang kurang dari 40 wt%. Jika sistem memiliki tekanan yang lebih besar dari 6900 kPa (1000
psia) dan memiliki konsentrasi metanol yang tinggi, inhibitor loss karena penguapan menjadi
beberapa kali lipat dari grafik pada Gambar 23.
Gambar 22 Kesetimbangan Uap-Cair pada Metanol di Air
Tahap Perhitungan Jumlah Inhibitor untuk Mencegah Pembentukan Hidrat
Berdasarkan penjelasan di atas, tahap perhitungan jumlah inhibitor yang dibutuhkan
untuk mencegah pembentukan hidrat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tentukan suhu pembentukan hidrat pada sistem aliran gas.
2. Tentukan suhu minimal yang dapat diterima oleh sistem.
3. Tentukan jumlah air berfasa cair yang terdapat pada sistem dengan suhu tertentu
dengan menggunakan tahap 2 (tahap untuk menentukan kandungan air dengan
menggunakan grafik titik embun air pada suhu tertentu).
4. Gunakan persamaan 2.2 untuk menentukan nilai X. Dalam persamaan tersebut, nilai d
adalah selisih suhu antara tahap 1 dan tahap 2. Hitung massa inhibitor dengan
menggunakan persamaan 2.4, dimana nilai X berasal dari persamaan 2.2 yang telah
dihitung sebelumnya. Laju volumetrik dari penginjeksian inhibitor merupakan hasil
pembagian antara massa inhibitor per satuan waktu dengan densitasnya.
5. Jika inhibitor yang digunakan adalah metanol, Gambar 23 dapat digunakan untuk
mengkoreksi inhibitor loss pada fasa cair dan fasa gas.
6. Jumlah laju penginjeksian inhibitor merupakan hasil penjumlahan dari tahap 4 dan
tahap 5.
Kristalisasi Glikol
Walaupun kristalisai glikol tidak membentuk fasa padatan, tapi kristalisasi glikol
tersebut tetap dapat mengganggu aliran gas. Oleh karena itu, konsentrasi glikol yang
mengkristal harus dijaga supaya tidak mengganggu sistem.
Gambar 24 menunjukkan titik kristalisasi untuk tiga jenis glikol yang paling umum
digunakan sebagai inhibitor. Dalam setiap sistem dengan suhu tertentu, konsentrasi glikol
sebaiknya dijaga pada nilai 90 wt%.
Gambar 23 Suhu Kristalisasi Campuran Glikol-Air
Jika suhu minimal sistem aliran gas berada di bawah -10oC, laju penginjeksian
inhibitor harus memenuhi Gambar 24 serta persamaan 2.2 dan persamaan 2.4. Pada
umumnya, lean glikol mempunyai kandungan air sebanyak 15 – 25 wt%. Oleh karena itu,
jumlah air yang harus dijaga dalam sistem aliran gas merupakan total dari air yang sudah
terdapat pada sistem gas dan air yang teradapat pada glikol. Jika EG dan DEG digunakan
sebagai inhibitor, suhu operasi reboiler sebaiknya berada di atas 150 – 160oC untuk
mencegah dekomposisi termal.
2.4.2 Loss pada Glikol
Loss yang terjadi pada glikol tidak terjadi karena adanya penguapan. Loss tersebut
terjadi pada regenerasi sistem, kebocoran (spillage), kontaminasi garam, dan loss pada
separasi minyak dari glikol yang berada di fasa cair. Dalam mendesain suatu sistem aliran
gas, loss karena regenerasi harus diupayakan sekecil mungkin. Keberadaan garam di dalam
sistem terjadi ketika air didistilasi dan garam tertinggal di dalam kolom. Walaupun begitu,
garam dapat dihilangkan dari glikol dengan menggunakan distilasi vakum.
Contoh Soal:
3,5 x 106 std m
3/d (124 MMscf) dari gas alam meninggalkan platform offshore pada 40
oC dan
8000 kPa. Hidrat temperatur dari gas ialah 17oC (63
oF). Gas yang datang di onshore pada
kondisi 5oC dan 6500 kPa. Produksi kondensat yang terbawa ialah 60 m
3/10
6 std m
3 (10,7
Bbl/MMscf). Hitung jumlah metanol dan 80% berat EG yang diperlukan untuk mencegah
terjadinya pembentukkan hidrat pada jalur pipa.
Penyelesaian:
Langkah 1 – Menentukan temperatur hidrat dari gas
Temperatur hidrat dari gas = 17oC
Langkah 2 – Menentukan temperatur minimum dari sistem
Tmin = 5 oC
𝑑 = 17 − 5 = 12𝑜𝐶
Langkah 3 – Menghitung jumlah air yang terkondensasi
Gambar 24 Perhitungan Kandungan Air dari Lean Gas Alam
Gas dari offshore memiliki kondisi pada 40oC dan 8000 kPa. Dengan kondisi tersebut,
diperoleh kandungan air dari gas sebesar 1000 kg/106 std m
3.
160
Gas di onshore memiliki kondisi pada 5oC dan 6500 kPa. Dengan kondisi tersebut, diperoleh
kandungan air dari gas sebesar 160 kg/ 106 std m
3.
𝐴𝑖𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛𝑠𝑎𝑠𝑖 = 3,5 𝑥106 𝑠𝑡𝑑 𝑚3
𝑑 1000 − 160
𝑘𝑔
106𝑠𝑡𝑑 𝑚3
𝐴𝑖𝑟 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛𝑠𝑎𝑠𝑖 = 2940 𝑘𝑔 𝐻2𝑂/𝑑
Metanol
Langkah 4 – Menentukan massa dari inhibitor
Diketahui 𝑀𝑚𝑒𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 = 32 dan nilai𝐾𝑖 dalam satuan metric ialah 1297.
𝑋 = 𝑑 𝑀
𝐾𝑖 + 𝑑 𝑀 (100)
𝑋 = 12 32 100
1297 + 12 32 = 22,8 %𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡
𝑚𝐼 = 𝑚𝑊 𝑋𝑅
𝑋𝐿 − 𝑋𝑅
𝑚𝐼 = 2940 22,8
100 − 22,8= 868 𝑘𝑔/𝑑
Massa dari inhibitor yang diperlukan dalam fasa air ialah 868 kg/d.
Langkah 5 – Menghitung losses dari fase hidrokarbon
Gambar 25 Kesetimbangan Vapor-Liquid dari Metanol terhadap Air
Vapor
Dari grafik di atas, pada kondisi 4oC dan 6500 kPa diperoleh losses sebesar 16,7 kg
MeOH per 106 normal m
3/ %berat MeOH pada fase air.
𝐿𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠 = 16,7 𝑥 0,95 𝑘𝑔 106𝑠𝑡𝑑 𝑚3
%𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑀𝑒𝑂𝐻= 15,7
𝑘𝑔 106𝑠𝑡𝑑 𝑚3
%𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑀𝑒𝑂𝐻
𝑉𝑎𝑝𝑜𝑟 𝑙𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠 = 15,7𝑘𝑔 106𝑠𝑡𝑑 𝑚3
%𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑀𝑒𝑂𝐻
3,5 𝑥 106𝑠𝑡𝑑 𝑚3
𝑑 22,8 %𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑀𝑒𝑂𝐻
𝑉𝑎𝑝𝑜𝑟 𝑙𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠 = 1253 𝑘𝑔/𝑑
Liquid
Menggunakan 0,4 kg MeOH/ m3 kondensat
𝐿𝑖𝑞𝑢𝑖𝑑 𝑙𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠 = 0,4𝑘𝑔 𝑀𝑒𝑂𝐻
𝑚3𝑘𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛𝑠𝑎𝑡
60 𝑚3𝑘𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛𝑠𝑎𝑡
106𝑠𝑡𝑑 𝑚3
3,5 𝑥 106𝑠𝑡𝑑 𝑚3
𝑑
𝐿𝑖𝑞𝑢𝑖𝑑 𝑙𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠 = 84 𝑘𝑔/𝑑
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐼𝑛𝑗𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑅𝑎𝑡𝑒 = 868 + 1253 + 84 = 2205𝑘𝑔/𝑑 = 0,11 𝑚3/
80% EG
Langkah 4 – Menentukan massa dari inhibitor
Diketahui 𝑀𝐸𝐺 = 62 dan nilai𝐾𝑖 dalam satuan metric ialah 1297.
16,7
𝑋 = 𝑑 𝑀
𝐾𝑖 + 𝑑 𝑀 (100)
𝑋 = 12 62 100
1297 + 12 62 = 36,5%
𝑚𝐼 = 𝑚𝑊 𝑋𝑅
𝑋𝐿 − 𝑋𝑅
𝑚𝐼 = 2940 36,5
80 − 36,5= 2467𝑘𝑔/𝑑 = 0,095𝑚3/
Losses yang terjadi pada EG sangat kecil sehingga dapat diabaikan.
Dari perhitungan di atas diperoleh bahwa total injeksi yang diperlukan untuk metanol sebesar
0,11 m3/h dan 80% EG sebesar 0,095 m
3/h
3. Hitunglah densitas gas alam setelah sampai di lokasi B.
Komponen yi Tekanan Kritis Suhu Kritis Berat Molekul
Pc Pc' Tc Tc' MW MW'
N2 0 493 0 227 0 28 0
CO2 0.0221 1071 23.6691 548 12.1108 44 0.9724
H2S 0.0001 1306 0.1306 673 0.0673 34 0.0034
O2 0 737 0 279 0 32 0
H2 0 188 0 60 0 2 0
C1 0.8834 668 590.1112 343 303.0062 16 14.1344
C2 0.0772 708 54.6576 550 42.46 30 2.316
C3 0.0114 616 7.0224 665 7.581 44 0.5016
i-C4 0.0012 529 0.6348 735 0.882 58 0.0696
n-C4 0.0021 551 1.1571 766 1.6086 58 0.1218
i-C5 0.0006 490 0.294 829 0.4974 72 0.0432
n-C5 0.0006 489 0.2934 846 0.5076 72 0.0432
n-C6 0.0005 437 0.2185 914 0.457 86 0.043
n-C7 0.0005 397 0.1985 973 0.4865 100 0.05
n-C8 0.0003 361 0.1083 1024 0.3072 114 0.0342
n-C9 0 332 0 1071 0 128 0
n-C10 0 304 0 1112 0 142 0
n-C11 0 282 0 1153 0 0
n-C12 0 263 0 1187 0 0
Σ 678.4955 369.9716 18.377
Maka :
- Pc’ = 678,49 psia
- Tc’ = 369,97oR
- Mw’ = 18,377
Step 1. Mencari nilai Ԑ
Ԑ = 120 (Ao,9
– A1,6
) + 15(B0,5
– B4)
dimana A = fraksi mol CO2 = 0,0221 dan B = fraksi mol H2S = 0,0001
Ԑ = 120 (0,0221 o,9
– 0,0221 1,6
) + 15(0,00010,5
– 0,00014) = 3,777
oR
Step 2. Mencari Pc” dan Tc”
𝑇𝑐" = 𝑇𝑐′ − Ԑ = 369,97 − 3,777 = 366,193oR
𝑃𝑐" = 𝑃𝑐′𝑇𝑐"
𝑇𝑐′ + 𝐵(1 − 𝐵)Ԑ
𝑃𝑐" = 678,49 𝑥 366,193
369,97 + (0,0001)(1 − 0,0001)(3,777)
𝑃𝑐" = 671,56 𝑝𝑠𝑖𝑎
Step 3. Mencari Pr” dan Tr”
Tr′′ =𝑇
𝑇𝑐′′=
540oR
366,193𝑂𝑅 = 1,47
Pr′ =𝑃
𝑃𝑐′=
1000 psia
671,56 𝑝𝑠𝑖1= 1,49
Z = 0,85 (Figure 3.1)
Step 4. Memcari Densitas Gas
𝑃𝑉 = 𝑍𝑛𝑅𝑇
𝑃𝑉 = 𝑍𝑚
𝑀𝑟𝑅𝑇
𝑃𝑀𝑟 =𝑚
𝑉𝑍𝑅𝑇
𝑃𝑀𝑟 = 𝜌𝑍𝑅𝑇
𝜌 =𝑃. 𝑀𝑟
𝑍. 𝑅. 𝑇
𝜌 =1000 𝑝𝑠𝑖𝑎 .(18,377
𝑙𝑏𝑚
𝑙𝑏𝑚𝑜𝑙)
0,85 𝑥 10,73𝑝𝑠𝑖𝑎 .𝑓𝑡3
𝑙𝑏𝑚𝑜𝑙 𝑂𝑅 𝑥 540oR
= 3,731lbm/ft3