Download - Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi
Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi
(Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
I Putu Agus Widi Pranata
Dwi Putra Yuwandana
Siska Agustina
Heidi Retnoningtyas
Benaya Meitasari Simeon
Irfan Yulianto
Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di
Perairan Teluk Banten
I Putu Agus Widi Pranata
Dwi Putra Yuwandana
Siska Agustina
Heidi Retnoningtyas
Benaya Meitasari Simeon
Irfan Yulianto
Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk
Banten ©Yayasan Rekam Nusantara dan ©Fisheries Resource Center of Indonesia, 2020.
Sitasi:
Pranata IAW, Yuwandana DP, Agustina S, Retnoningtyas H, Simeon BM, Yulianto I. 2020.
Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk
Banten. Bogor(ID): Yayasan Rekam Nusantara dan Fisheries Resource Center of
Indonesia
Layout: Ayi Warmia
i Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .......................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. ii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... ii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................. 1
Tujuan .............................................................................................................. 2
METODE ............................................................................................................. 2
Pengumpulan dan Pembangkitan Data ............................................................ 2
Analisis Data .................................................................................................... 2
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 4
Life History ....................................................................................................... 4
Parameter pertumbuhan ............................................................................... 4
Mortalitas alami............................................................................................. 8
Perbandingan Data Hasil Lapangan dan Data yang Dibangkitkan .................... 8
Mortalitas atau Tingkat Kematian Antar Waktu ................................................. 9
Spawning Potential Rasio atau Rasio Potensi Pemijahan antar Waktu .......... 14
KESIMPULAN.................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 19
LAMPIRAN ........................................................................................................ 22
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia ii
DAFTAR GAMBAR
1 Kurva von bertalanffy ikan kurisi gabungan (a), betina (b), dan jantan (c) ....... 7
2 Histogram data hasil pengukuran lapangan dan data yang dibangkitkan
dengan berbagai metode. .............................................................................. 9
3 Persentase hasil tangkapan ikan kurisi berdasarkan jenis alat tangkap
tahun 2012 ................................................................................................... 11
4 Persentase hasil tangkapan ikan kurisi berdasarkan jenis alat tangkap
tahun 2013 ................................................................................................... 12
5 Persentase hasil tangkapan ikan kurisi berdasarkan jenis alat tangkap
tahun 2014 ................................................................................................... 12
6 Persentase hasil tangkapan ikan kurisi berdasarkan jenis alat tangkap
tahun 2015 ................................................................................................... 13
7 Persentase hasil tangkapan ikan kurisi berdasarkan jenis alat tangkap
tahun 2016 ................................................................................................... 13
8 Simulasi biomassa relative untuk ikan kurisi di Perairan Teluk Banten.
Simulasi sesuai dengan nilai Lc, Lc-opt, F saat ini, dan F. .............................. 17
DAFTAR TABEL
1 Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus japonicus) ............................ 4
2 Perbandingan parameter pertumbuhan ikan kurisi
berdasarkan lokasi penelitian ......................................................................... 5
3 Nilai panjang rata-rata ikan saat pertama kali matang gonad (Lm),
panjang rata-rata ikan saat pertama kali tertangkap (Lc), dan rasio Lc/L∞. .... 8
4 Mortalitas, rasio F/M, dan SPR ikan kurisi di Teluk Banten ........................... 10
5 SPR ikan kurisi di Teluk Banten pada tahun 2012-2016
berdasarkan pengukuran di lapangan .......................................................... 15
6 Perbedaan SPR menggunakan data hasil pengukuran lapangan dan data
yang dibangkitkan dengan berbagai metode dengan menggunakan
data tahun 2016 ........................................................................................... 15
7 Nilai Lc dan Lc-opt ikan kurisi di Perairan Teluk Banten tahun 2012-2016 ....... 17
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data sebaran frekuensi panjang ikan kurisi ................................................... 22
1 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
PENDAHULUAN Latar Belakang
Ikan kurisi (Nemipterus japonicus) merupakan jenis ikan demersal yang
berasal dari famili Nemipteridae (Wahyuni, et al. 2009). Badan berwarna merah
muda dengan garis berwarna kuning-keemasan di sepanjang tubuhnya
merupakan ciri morfologi dari ikan kurisi, ukuran panjang tubuh total ikan kurisi
berkisar antara 14,4 cm-26,0 cm untuk pejantan, sedangkan betina 14,2 cm-21,6
cm (Nettely et al. 2016). Daerah pesisir dengan substrat dasar berupa pasir
berlumpur dengan kedalaman 5-80 meter adalah habitat dari ikan kurisi, namun
populasi ikan kurisi hanya ditemukan pada kedalaman 27-48 meter saja (Wahyuni
et al. 2009). Persebaran ikan kurisi hampir berada di seluruh Perairan Laut Jawa,
terutama Perairan Selat Sunda dan Laut Banten.
Ikan kurisi menjadi salah satu ikan bernilai ekonomis penting dalam usaha
perikanan tangkap (Yunus 2015). Ikan ini umumnya menjadi bahan untuk olahan
lumatan daging dan terkadang ada yang dijual dalam bentuk ikan utuh. Lumatan
daging tersebut selanjutnya dijadikan olahan berupa bakso, sosis, dan nugget
karena daging ikan kurisi memiliki tekstur yang lembut, elastis, kadar air yang
rendah, dan aroma yang tidak menyengat (Lestari et al. 2016).
Produksi ikan kurisi yang tercatat di Indonesia mencapai 68208 Ton pada
tahun 2010 dengan peningkatan 5,09% dari tahun 2001 hingga tahun 2011
(Oktaviyani 2014 ; Oktaviyani, et al. 2016). Hal tersebut merupakan produksi
dalam skala nasional, sedangkan produksi kurisi di Teluk Banten mencapai
114,401 Ton pada tahun 2007 (Nugraha et al. 2012). Menurut Nugraha et al.
(2012) data tangkapan ikan kurisi berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat.
Peningkatan ini menjadi suatu momentum dasar dalam mengelola sumberdaya
ikan kurisi agar tetap lestari.
Perairan Teluk Banten merupakan perairan dengan beragam aktivitas
perikanan. Keberadaan sumberdaya ikan pada perairan ini menjadi suatu dasar
terbangunnya berbagai macam unit usaha perikanan, salah satunya unit usaha
perikanan tangkap perairan laut (KKP 2013). Perikanan tangkap di Teluk Banten
merupakan kegiatan perikanan skala kecil dengan berbagai alat tangkap untuk
upaya penangkapan dalam pengelolaan perikanan multispesies (Ernanigsih et al.
2012).
Perikanan kurisi menjadi salah satu kegiatan perikanan tangkap yang ada di
perairan teluk banten. Beberapa alat tangkap yang umumnya digunakan dalam
perikanan kurisi antara lain payang, jaring insang, pukat cincin, dan bagan
tancap (Oktaviyani 2013 ; Yunus 2015). Tingginya permintaan pasar
menjadi suatu dasar dalam peningkatan laju eksploitasi sumberdaya ikan
kurisi, selain itu penggunaan alat tangkap yang tidak selektif dapat menjadi suatu
penyebab terjadinya tangkap lebih (Soetjipto et al. 2013 ; Oktaviyani 2016).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait sumberdaya ikan
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 2
kurisi di Teluk Banten, diantaranya kajian stok, biologi reproduksi, dinamika
populasi, hingga tingkat eksploitasi ikan kurisi. Pengkajian terkait kondisi
sumberdaya ikan kurisi secara berkala (time-series) perlu dilakukan untuk
menduga dan menganalisis perubahan tingkat eksploitasi yang diduga dapat
mempengaruhi keberlanjutan stok. Hasil dari pengkajian tersebut dapat digunakan
sebagai sumber informasi berkala mengingat kurangnya informasi berkala
mengenai dinamika stok perikanan kurisi.
Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis serta mendeskripsikan kondisi
perikanan kurisi (Nemipterus japonicus) secara berkala (time-series) di Perairan
Teluk Banten.
METODE
Pengumpulan dan Pembangkitan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur penelitian mengenai
biologi populasi ikan kurisi di Perairan Teluk Banten dan Selat Sunda mulai dari
tahun 2013-2016 (Oktaviyani 2013 ; Oktoriani 2014 ; Hidayat 2015 ; Yunus 2015 ;
Achmad 2016 ; Muhali 2016). Data yang digunakan terdiri dari data sebaran
frekuensi panjang ikan kurisi (Lampiran 1) yang kemudian digunakan untuk
membangkitkan data baru sehingga bisa dilakukan analisis lebih lanjut. Teknik
teknik yang digunakan untuk membangkitkan data baru antara lain teknik
pembangkitan data dengan random distribution (rnorm dan urnorm), random Beta
(rbeta), dan resample. Untuk tahap awal, data yang digunakan untuk
membangkitkan data adalah data tahun 2016. Data-data tersebut dikemudian
dianalisis secara visual, dan menggunakan nilai kematian total (Z), rasio kematian
akibat penangkapan dan kematian alami (F/M), dan nilai spawning potential ratio
(jika memungkinkan) untuk kemudian dipilih teknik pembangkitan data terbaik
untuk analisis lebih lanjut.
Analisis Data
Analisis data untuk menduga parameter life history ikan kurisi terdidri dari
pendugaan parameter pertumbuhan (panjang asimptotik/L∞ dan koefisien
pertumbuhan/k), laju kematian atau mortalitas (mortalitas alami/M dan
penangkapan/F), ukuran ikan pertama kali matang gonad/Lm, dan ukuran pertama
kali tertangkap/Lc. Parameter pertumbuhan diestimasi menggunakan model
pertumbuhanvon Vertalanffy (Sparre dan Venema, 1998):
𝐿𝑡 = 𝐿∞ [1 − 𝑒(−𝐾(𝑡−𝑡0))]
3 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
Lt adalah panjang ikan pada saat umur -t (cm); L∞ adalah panjang asimptotik (cm);
k adalah koefisien pertumbuhan (tahun-1), dan t0 adalah umur hipotetis pada saat
panjang = 0 (tahun).
Tingkat mortalitas alami diduga dengan model dari Then et al. (2015),
Alverson et al. (1975), Pauly (1980), dan Hoenig (1983). Mortalitas total (Z) diduga
menggunakan model kurva tangkapan berbasis data panjang (Sparre dan
Venema, 1998). Model-model ini dijalankan menggunakan perangkat lunak
Rstudio dalam Package “TropFishR” (Mildenberger et al. 2017). Ukuran ikan
pertama kali dewasa (Lm) merupakan ukuran rata-rata ikan yang berada pada
kondisi dewasa atau matang gonad. Pendugaan nilai Lm diperoleh menggunakan
sebaran frekuensi panjang ikan, kemudian dianalisis menggunakan persamaan
Froese and Binohlan (2000):
𝑙𝑜𝑔 𝐿𝑚 = 0,8979 ∗𝑙𝑜𝑔 𝐿∞ − 0,0782
Lm = panjang pertama kali dewasa Kondisi stok ikan kurisi dinilai menggunakan rasio mortalitas penangkapan
dan mortalitas alami (F/M) yang menggambarkan kondisi tekanan penangkapan
ikan dan rasio potensi pemijahan (spawning potential ratio/ SPR). Spawning
Potential Ratio (SPR) adalah proporsi dari rata-rata potensi reproduksi sumber
daya yang disebabkan oleh tekanan penangkapan. SPR menggambarkan ratio
dari spawning stock biomass per recruit (SSBR) dibawah berbagai tingkat laju
kematian (mortalitas) penangkapan terhadap SSBR teoritis sebelum ada
penangkapan. Sebelum ada kegiatan penangkapan, nilai SPR sumber daya ikan
dapat mencapai 100% dari potensi reproduksi alamiahnya. Dengan demikian,
perhitungan SPR dapat menggambarkan kapasitas reproduksi dari suatu stok
sumber daya ikan (Prince et al. 2015; Badrudin 2015). Parameter life history (L∞,
k, dan Lm) digunakan sebagai input untuk melakukan analisis nilai SPR. Analisis
dilakukan menggunakan model LB-SPR (length-based spawning potential ratio)
dengan formula menurut Hordyk et al (2014):
𝑆𝑃𝑅 =∑(1−�̃�𝑥)(𝑀/𝑘[(𝐹/𝑀)+1])�̃�𝑥
𝑏
∑(1−�̃�𝑥)𝑀/𝑘�̃�𝑥𝑏 for xm ≤ x ≤ 1
Selain itu, analisis data dilakukan dengan metode Length-based Bayesian
Biomass (LBB) untuk menganalisis komposisi ukuran, seperti data frekuensi
panjang dari tangkapan komersial, di mana semua parameter dosimulasikan
dengan pendekatan Bayesian Monte Carlo Markov Chain (MCMC). Metode ini
digunakan untuk menduga panjang asimptotik, panjang pertama ikan tertangkap
(Lc), mortalitas alami relatif, dan mortalitas penangkapan relative. Metode ini
dijalankan dengan perangkat lunak “R” (R Core Team, 2020) dengan model
penduga distribusi panjang (PLi) (Froese et al. 2018):
𝑃𝐿𝑖 = 𝑁𝐿𝑖
∑𝑁𝐿𝑖
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 4
NLi adalah fungsi dari dinamika populasi yang dapat diperkirakan mencegah L∞;
M/K, dan F/K dan selektivitas (Lc).
Berdasakan model dan asumsi menurut Froese et al. (2018), persamaan
untuk menduga panjang optimal ikan pertama kali tertangkap dan panjang (Lc-opt)
adalah sebagai berikut:
𝐿𝑐−𝑜𝑝𝑡 = 𝐿∞
2 + 3 ∗𝐹𝑀
(1 +𝐹𝑀) (3 +
𝑀𝐾 )
HASIL DAN PEMBAHASAN Life History
Parameter pertumbuhan Hasil analisis parameter pertumbuhan yang dilakukan menunjukkan seluruh
ikan kurisi di perairan Teluk Banten dapat mencapai panjang asimtotik (L∞) dalam
kurun waktu yang relatif singkat. Dugaan tersebut didasarkan pada nilai koefisien
pertumbuhan k. Ikan betina memiliki nilai k yang lebih besar dari pada ikan jantan.
Hal ini menunjukkan bahwa ikan betina memiliki peluang untuk mencapai panjang
asimtotik yang lebih cepat jika dibandingkan ikan jantan, namun memiliki umur
yang pendek (Tabel 1).
Tabel 1. Parameter pertumbuhan ikan kurisi (Nemipterus japonicus)
Jenis kelamin k (per tahun) L∞ (mm) t0 (tahun)
Semua 0,54 373,7 -0,28
Betina 0,46 261,9 -0,36
Jantan 0,42 321,1 -0,37
Ikan kurisi merupakan jenis ikan demersal dengan ukuran tubuh hingga
mencapai kisaran 150 mm TL sampai dengan 250 mm TL (Oktaviyani 2014).
Ukuran tersebut umum dijumpai pada ikan kurisi yang didaratkan di setiap
pelabuhan perikanan di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Teluk
Banten, ukuran rata-rata panjang total ikan kurisi berkisar antara 110 mm TL - 250
mm TL. Hasil analisis parameter pertumbuhan menunjukkan ikan kurisi di Teluk
Banten memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat. hal ini didasarkan pada nilai
koefisien pertumbuhan k yang tinggi. Menurut Sparre dan Venema (1999),
koefisien pertumbuhan k merupakan suatu parameter kurvatur yang digunakan
untuk menilai kecepatan suatu populasi ikan mencapai ukuran asimptotiknya (L∞),
sedangkan ukuran atau panjang asimptotik L∞ merupakan nilai rata-rata panjang
ikan pada umur yang tidak terbatas. Ikan kurisi memiliki kisaran panjang asimptotik
antara 262,55 mm sampai dengan 376,66 mm dan untuk mencapai ukuran
tersebut dapat dipengaruhi beberapa faktor terutama faktor lingkungan.
Pertumbuhan ikan kurisi betina lebih cepat dibandingkan ikan kurisi jantan.
Hal ini menjadi suatu indikator perbedaan jumlah antara ikan kurisi betina dan
5 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
jantan. Tingginya laju pertumbuhan ikan kurisi betina membuatnya memiliki umur
yang relatif pendek sehingga jumlah ikan kurisi betina (n = 221) lebih sedikit
dibandingkan jumlah ikan kurisi jantan (n = 325) (Permatachani et al. 2016), selain
itu ikan betina memiliki panjang asimtotik yang lebih rendah karena sebagian
energi yang digunakan untuk tumbuh terbagi untuk kematangan gonad dan
bereproduksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Joshi (2010), kemampuan ikan
betina untuk tumbuh dipengaruhi oleh energi yang terbagi untuk proses
reproduksi. Faktor ini tidak hanya berpengaruh terhadap ukuran tumbuhnya, umur
ikan turut dipengaruhi sehingga ikan betina diduga memiliki umur yang pendek.
Nilai parameter pertumbuhan tidak selalu sama di setiap perairan, hal ini
disebabkan adanya perbedaan kondisi lingkungan sebagai suatu faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ikan (Effendie 1979). Menurut Tiews et al. (1970) ;
Morgan (1980), faktor tersebut meliputi suhu perairan, keberadaan makanan, dan
densitas. Hal tersebut secara langsung berpengaruh terhadap kecepatan
pertumbuhan ikan. Suhu menjadi suatu faktor kunci yang berpengaruh terhadap
potensi pertumbuhan ikan kurisi. Tingkat pertumbuhan ikan akan menurun seiring
dengan meningkatnya suhu perairan. Hal ini disebabkan karena energi ikan
sebagian digunakan untuk beradaptasi di lingkungan yang lebih panas, sehingga
umumnya ikan yang hidup di kondisi perairan hangat cenderung berukuran lebih
kecil (Tabel 2). Aktivitas penangkapan dapat menjadi suatu faktor yang
berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ikan, semakin tinggi intensitas
penangkapan maka semakin sedikit kesempatan ikan untuk dapat tumbuh hingga
ukuran optimal (Bakhtiar et al. 2013).
Tabel 2. Perbandingan parameter pertumbuhan ikan kurisi berdasarkan lokasi penelitian
Lokasi L∞ (mm) Suhu perairan (°C) Referensi
Selat Sunda 376,66 30 Muhali 2016
Laut Jawa 262,55 32 Hastuti 2017
Teluk Banten 373,37 31 Penelitian ini
Ikan kurisi (betina dan jantan) memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi.
tinggi dan rendahnya laju pertumbuhan didasarkan pada nilai koefisien
pertumbuhan k. Populasi ikan kurisi tampak cepat mencapai panjang asimtotik L∞
(Gambar 1A). Ikan betina (Gambar 1B) lebih cepat mencapai panjang asimtotik L∞
dari pada ikan jantan (Gambar 1C). Hal ini menjadi suatu indikator perbedaan
jumlah antara ikan kurisi betina dan jantan. Tingginya laju pertumbuhan ikan kurisi
betina membuatnya memiliki umur yang relatif pendek sehingga jumlah ikan kurisi
betina (n = 221) lebih sedikit dibandingkan jumlah ikan kurisi jantan (n = 325)
(Permatachani et al. 2016), selain itu ikan betina memiliki panjang asimtotik yang
lebih rendah karena sebagian energi yang digunakan untuk tumbuh terbagi untuk
kematangan gonad dan bereproduksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Joshi
(2010), kemampuan ikan betina untuk tumbuh dipengaruhi oleh energi yang
terbagi untuk proses reproduksi. Faktor ini tidak hanya berpengaruh terhadap
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 6
ukuran tumbuhnya, umur ikan turut dipengaruhi sehingga ikan betina diduga
memiliki umur yang pendek.
Ikan dengan nilai k yang tinggi umumnya memiliki umur yang relatif pendek
(Sparre dan Venema 1999 ; Ardianti 2017), selain itu koefisien pertumbuhan k juga
menentukan ikan kurisi secara keseluruhan akan mencapai panjang asimptotiknya
pada umur enam sampai tujuh tahun. umur ikan kurisi yang diperoleh melebihi usia
maksimum pada umumnya. Ikan kurisi umumnya tumbuh hingga umur maksimum
lima sampai enam tahun (Afshari, et al. 2012). Ikan kurisi dapat mencapai umur
maksimal karena perairan Teluk Banten merupakan perairan dengan tingkat
kesuburan yang sangat tinggi dan tergolong perairan dengan tingkat pencemaran
rendah. Dugaan tersebut sesuai dengan Sugiarti, et al. (2016) bahwa perairan
teluk banten tergolong subur dengan tingkat pencemaran ringan, sehingga kondisi
ini mendukung ikan kurisi untuk melangsungkan hidupnya lebih lama.
(a)
(b)
7 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
(c)
Gambar 1. Kurva von bertalanffy ikan kurisi gabungan (a), betina (b), dan jantan (c)
Nilai panjang rata-rata ikan kurisi saat pertama matang gonad lebih tinggi
dibandingkan panjang rata-rata saat pertama kali tertangkap. Hal ini merupakan
pertanda bahwa ikan tertangkap ketika mereka belum mencapai kematangan
gonad dan merupakan suatu indikator terjadinya growth overfishing. Fenomena ini
terjadi selama lima tahun yaitu dari tahun 2012 hingga tahun 2016 (Tabel 3). Rasio
Lc/L∞ merupakan suatu parameter yang digunakan untuk mengkonfirmasi apakah
suatu stok benar berada dalam keadaan growth overfishing atau tidak. Menurut
Wehye, et al. (2017) jika rasio Lc/L∞ bernilai < 0,5 maka suatu stok diduga tengah
mengalami growth overfishing.
Growth overfishing merupakan suatu fenomena tertangkapnya ikan pada
ukuran kecil atau belum layak tangkap. Hal ini terjadi pada sumberdaya ikan kurisi
di Teluk Banten selama lima tahun, yaitu dari tahun 2012 hingga tahun 2016 (Tabel
3). Kejadian ini dapat menyebabkan ketidakberlanjutan suatu stok karena aktivitas
penangkapan tidak memberi kesempatan bagi ikan untuk tumbuh secara optimal,
karena ikan yang tertangkap merupakan ikan yang berukuran kecil atau berada
pada fase juvenil. Selain itu hal ini dapat menjadi suatu indikator bahwa adanya
kejanggalan dalam aktivitas penangkapan, seperti kurangnya pengaturan ukuran
mata jaring tangkap dan alat tangkap yang digunakan tidak selektif.
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 8
Tabel 3. Nilai panjang rata-rata ikan saat pertama kali matang gonad (Lm), panjang rata-rata ikan saat pertama kali tertangkap (Lc), dan rasio Lc/L∞.
Panjang 2012 2013 2014 2015a 2016
Lm (mm) 140 140 140 140 140
Lc (mm) 135.7 181.66 123.08 180.06 156.39
Lc/L∞ 0.97 1.30 0.88 1.29 1.12
Mortalitas alami Salah satu parameter life history yang penting untuk diketahui adalah nilai
mortalitas alami (M). Mortalitas alami diduga dengan model dari Then et al. (2015),
Alverson et al. (1975), Pauly (1980), dan Hoenig (1983), nilai yang digunakan
adalah modus nilai M dari semua metode yang digunakan. Gagasan tentang
tingkat kematian alami atau M diduga dari pola pertumbuhan ikan (Beverton dan
Holt 1959). Mortalitas alami adalah parameter dinamis yang akan berubah akbiat
predators (pemangsaan) yang secara tidak langsung akan merubah size cohort
(kelompok ukuran) dan usia ikan (Powers 2014). Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat kematian diantaranya fase telur dan larva, faktor lingkungan
misalnya suhu dan salinitas, predasi, kelaparan, dan penyakit (Houde 2002 in
Houde 2008), perubahan fisiologi (Geffen et al. 2007), serta kepadatan suatu
populasi ikan (Jorgensen dan Holt 2013; Nash dan Geffen 2012).
Berdasarkan analisis data pertumbuhan (Linf dan k), mortalitas alami ikan
kurisi adalah 1.10/tahun dengan menggundakan model Hoenig (1983). Menurut
Beverton dan Holt (1959) ikan yang memiliki koefisien pertumbuhan (k) tinggi,
cenderung memiliki kematian alami yang tinggi. Nilai M menjadi salah satu
parameter yang digunakan untuk menduga mortalitas akibat penangkapan (F) dan
menduga tekanan penangkapan suatu sumberdaya ikan (F/M).
Perbandingan Data Hasil Lapangan dan Data yang Dibangkitkan
Jumlah data yang dibangkitkan adalah sebanyak 50.000 data untuk masing
metode pembangkitan data. Berdasarkan histogram data lapangan dan data yang
dibangkitkan, secara visual terlihat bahwa teknik pembangkitan data dengan
metode random urnorm, random beta dan resample menghasilkan pola yang
paling mirip dengan data hasil pengukuran lapangan. Data yang dibangkitkan
dengan metode distribusi normal rnorm, menghasilkan histogram yang terpusat
pada dua selang kelas saja; menunjukkan data yang dibangkitkan dengan metode
ini tersebar di sekitar nilai rata-rata, sehingga pada saat dibuat tabel frekuensinya,
hanya muncul pada dua selang kelas frequensi (Gambar 2).
9 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
Gambar 2. Histogram data hasil pengukuran lapangan dan data yang
dibangkitkan dengan berbagai metode.
Mortalitas atau Tingkat Kematian Antar Waktu
Berdasarkan data yang telah dibangkitkan dengan berbagai metode
pembangkitan data, dilakukan analisis pendugaan nilai mortalitas antar waktu (Z),
rasio F/M, dan laju eksploitasi (E) antar waktu. Rasio F/M dapat digunakan untuk
menggambarkan tekanan penangkapan suatu stok atau populasi ikan, menurut
Hordyk et al. (2015) tekanan penangkapan dapat diketahui dengan
membandingkan nilai kematian ikan akibat penangkapan (F) dengan kematian
ikan secara alami (M). Laju pemanfaatan optimal atau titik acuan batas sebesar
1,0 (F/M) dan 0.5 (E) untuk penangkapan pada kondisi MSY (F=M) (Pauly 1984;
Rochet dan Trenkel 2003). Pendugaan mortalitas dan SPR dilakukan mulai dari
tahun 2012 hingga 2016 (Tabel 4). Berdasarkan data hasil studi literature dari
berbagai kajian ikan kurisi, diduga beberapa parameter seperti mortalitas total (Z)
dengan menggunakan metode length-catch curved, mortalitas penangkapan (F),
rasio F/M, presentase penangkapan ikan kecil, dan Spawning Potential Ratio dari
masing-masing tahun penelitian.
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 10
Tabel 4. Mortalitas, rasio F/M, dan SPR ikan kurisi di Teluk Banten
Parameter Tahun
2012 2013 2014 2015a 2015b 2016
M 1.10 1.10 1.10 1.10 1.10 1.10
Z 6.39 2.87 1.69 3.36 4.46 1.90
F 5.29 1.77 0.59 2.26 3.36 0.80
E 0.83 0.62 0.35 0.67 0.75 0.42
F/M 4.81 1.61 0.54 2.05 3.05 0.73
%immature 49% 11% 33% 10% 66% 11%
Keterangan: M : mortalitas alami (/tahun) E : laju ekaploitasi (E) Z : mortalitas total (/tahun) F/M : rasio mortalitas alami dan penangkapan F : mortalitas penangkapan (/tahun) %immature : presentase ikan < Lm
Tingkat kematian antar waktu berdasarkan analisis mortalitas
menunjukkan kematian alami yang dialami ikan kurisi dalam kurun waktu lima
tahun yaitu 1,10/tahun, sedangkan mortalitas tangkapan berkisar antara 0,59-
5,29/tahun. Tingkat kematian penangkapan (F) ikan kurisi lebih tinggi
dibandingkan kematian alaminya (M) pada tahun 2012, 2013, dan 2015 artinya
ikan tersebut lebih banyak mati akibat aktivitas penangkapan dibandingkan mati
secara alami sehingga laju eskploitasinya tinggi. Aktivitas penangkapan yang kian
meningkat dapat menjadi faktor keterancaman bagi sumberdaya ikan (Oktaviyani
2013). Menurut Beddington dan Kirkwood (2005) dengan mengidentifikasi tingkat
kematian alami dan penangkapan dapat menggambaran dampak kegiatan
penangkapan terhadap stok sumberdaya ikan. Hal yang berbeda dilihat pada
tahun 2014 dan 2016 mortalitas penangkapan ikan lebih kecil (0,59 dan 0.8/tahun)
dibandingkan mortalitas alaminya, sehingga rasio F/M < 1. Rasio F/M
menggambarkan tekanan penangkapan suatu stok sumberdaya ikan dengan
membandingkan nilai kematian ikan akibat penangkapan (F) dengan kematian
alami (M) (Hordyk et al., 2015). Menurut Pauly (1984) dan Rochet & Trenkel (2003)
rasio F/M dan laju eksploitasi (E) banyak digunakan untuk menduga tekanan
penangkapan ada suatau populasi sumberdaya ikan, dengan laju pemanfaatan
optimal atau titik acuan batas sebesar 1.0 (F/M) dan 0,5 (E) untuk penangkapan
pada kondidi MSY (F=M).
Berdasarkan Tabel 4, laju eksploitasi (E) ikan kurisi mulai tahun 2012,
2013, dan 2015 telah melebihi titik optimalnya (>0.5) dan tertinggi terjadi pada
tahun 2012 dan 2015 yaitu 0.83 dan 0.75. Hal ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan ikan kurisi dari aspek komposisi ukuran telah melebihi kapasitas
optimalnya. Hal ini dapat dilihat dari presentase penangkapan ikan kecil atau ikan
yang belum mengalami matang gonad (immature) tinggi yaitu 49% pada tahun
2012 dan 66% pada tahun 2015. Kondisi penangkapan immature > 50%
menunjukkan kemungkinan besar perikanan sudah mengalami overfished,
sedangkan kondisi pennagkapan immature 30%-50% memiliki resiko yang tinggi
terhadap terjadinya penangkapan berlebih (Froese 2004). Tingginya tingkat
eksploitasi diduga karena nelayan di Teluk Banten umumnya menggunakan alat
11 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
tangkap berupa dogol atau cantrang, sehingga adanya kemungkinan terjadinya
penangkapan yang berlebih.
Produksi ikan kurisi di perairan Teluk Banten didominasi oleh hasil
tangkapan dogol dari tahun 2012 hingga tahun 2014, namun hasil tangkapan dari
alat tangkap dogol mengalami penurunan dalam kurun waktu dua tahun tersebut
(Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5). Pukat pantai menjadi alat tangkap dengan
produktivitas terbesar dari tahun 2015 hingga 2016. Alat tangkap dengan
produktivitas terendah di perairan Teluk Banten dalam kurun waktu lima tahun
(2012 sampai 2016) diantaranya pancing dan bagan tancap.
Gambar 3. Persentase hasil tangkapan ikan kurisi berdasarkan jenis alat tangkap
tahun 2012
89.56%
4.89%
0.54%0.51% 4.47%
Dogol Jaring insang Bagan Pancing Sero
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 12
Gambar 4. Persentase hasil tangkapan ikan kurisi berdasarkan jenis alat tangkap
tahun 2013
Gambar 5. Persentase hasil tangkapan ikan kurisi berdasarkan jenis alat tangkap
tahun 2014
0.24%
29.98%
27.89%3.81%
0.26%
14.31%
15.19%
8.23% 0.09%
Payang Dogol Bagan rakit
Pukat cincin Pukat pantai Jaring insang hanyut
Jaring insang tetap Pancing Bagan tancap
0.24%
29.98%
27.89%3.81%
0.26%
14.31%
15.19%
8.23% 0.09%
Payang Dogol Bagan rakit
Pukat cincin Pukat pantai Jaring insang hanyut
Jaring insang tetap Pancing Bagan tancap
13 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
Gambar 6. Persentase hasil tangkapan ikan kurisi berdasarkan jenis alat tangkap
tahun 2015
Gambar 7. Persentase hasil tangkapan ikan kurisi berdasarkan jenis alat tangkap
tahun 2016
Cantrang merupakan alat tangkap yang kurang selektif dan bersifat
destruktif, selain itu alat tangkap cantrang dinilai kurang efisien dalam aktivitas
penangkapan. Penggunaan alat tangkap cantrang tanpa adanya pengontrolan
akan menyebabkan terjadinya tangkap lebih. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hamdan (2007), alat tangkap dogol atau cantrang diyakini sebagai alat tangkap
0.36%
27.87%
30.18%0.43%
4.05%
5.32%
20.94%
10.66%
0.16%
Payang Dogol Pukat pantai
Jaring insang Pukat cincin Jaring rampus
Bagan rakit Bagan tancap Pancing
0.44%
28.02%
28.73%4.97%
0.53%
7.98%
8.87%
20.20%
0.20%
Payang Dogol Pukat pantai
Pukat cincin Jaring insang Jaring rampus
Bagan tancap Bagan rakit Pancing
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 14
yang dominan merusak dan kurang efisien. Tingkat eksploitasi yang tinggi pada
suatu perairan dapat menyebabkan turunnya keuntungan yang diperoleh seiring
meningkatnya upaya penangkapan (Boer dan Aziz 2007), selain itu tingkat
eksploitasi dan mortalitas tangkapan yang tinggi turut berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan ikan, karena aktivitas penangkapan akan membatasi populasi ikan
untuk mencapai ukuran maksimalnya. Pada perikanan komersial seperti perikanan
cantrang, penangkapan pada spesies kurisi dalam jumlah yang besar dapat
mengurangi populasi stok ikan dan dapat berpengaruh pada tingkat pertumbuhan
dan barubahnya ukuran dewasa atau matang gonad (Casey dan Myers 1998;
Pauly et al. 1998).
Kondisi lebih baik ditunjukan pada pola penangkapan ikan kurisi pada tahun
2016 dengan laju eksploitasi < 0.5 dan rasio F/M < 1.0 yang artinya kondisi
penangkapan ikan kurisi pada tahun tersebut dominan ditangkap pada ukuran
lebih besar dengan presentase immature sebesar 11%. Menurut Froese (2004)
kondisi penangkapan ikan yang ideal (berkelanjutan) terjadi ketika presentase
penangkapan immature paling banyak sebesar 10%, dan pada tahun 2016 sudah
mendekati kondisi penangkapan yang ideal. Seiring dengan berjalannya penelitian
ikan kurisi mulai dari tahun 2012 dengan kondisi penangkapan dengan indikasi
overfished dan overfishing mengalami perbaikan kondisi penangkapan pada tahun
2016. Berdasarkan komposisi alat tangkap yang digunakan pada tahun 2012
didominasi oleh alat tangkap dogol sebesas 89.56% dan menurun signifikan pada
tahun 2016 yaitu sebsar 28.02%, hal ini dapat menjadi indikasi bahwa penurunan
ukuran ikan kecil tertangkap dipengaruhi oleh menurunnya produksi dari alat
tangkap dogol. Alat tangkap dogol diduga memberikan kontribusi yang besar
terhadap penangkapan ikan kurisi pada ukuran kecil.
Spawning Potential Rasio atau Rasio Potensi Pemijahan antar Waktu
Spawning potential ratio atau rasio potensi pemijahan menggambarkan rasio
dari spawning stock biomass per recruit (SSBR) dibawah berbagai tingkat laju
kematian (mortalitas) penangkapan terhadap SSBR teoritis sebelum ada
penangkapan (Badrudin 2015). SPR juga didefinisikan sebagai perbanidngan
antara potensi ikan yang dapat memijah dalam populasi setelah ada kegiatan
penangkapan (fished) dengan potensi ikan yang dapat memijah dalam populasi
disaat belum ada kegiatan penangkapan (unfished). Menurut Hordyk et al. (2014),
SPR dijadikan sebagai salah satu biological reference point dalam pengelolaan
perikanan terutama pada perikanan data terbatas atau poor-data fisheries.
Rasio Potensi Pemijahan atau SPR (Spawning Potential Ratio) merupakan
suatu parameter yang digunakan untuk menilai keberlanjutan stok dengan
perbandingan kemampuan stok dalam kondisi sudah tereksploitasi dan yang
belum tereksploitasi (Hastuti 2017). Menurut Bunnel dan Miller (2005); Badrudin
(2013), kategori yang berfungsi sebagai tolak ukur keberlanjutan stok diantaranya
<20% (over exploited), 20%-25% (fully exploited), dan >30%-50% (under
exploited). Penurunan nilai SPR juga dapat menjadi suatu indikator terjadinya
aktivitas penangkapan yang kurang terkendali (Prince et al. 2014). Semakin kecil
nilai SPR maka laju rekrutmen ikan kurisi akan terganggu (Jaya, et al. 2017).
15 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
Tabel 5. SPR ikan kurisi di Teluk Banten pada tahun 2012-2016 berdasarkan pengukuran di lapangan
Parameter Tahun
2012 2013 2014 2015a 2015b 2016
F/M 4.81 1.61 0.54 2.05 3.05 0.73
%immature 49% 11% 33% 10% 66% 11%
SPR 0.07
(0.07 - 0.07) 0.34
(0.34 - 0.34) 0.19
(0.19 - 0.19) 0.35
(0.35 - 0.35) 0.07
(0.07 - 0.07) 0.49
(0.49 - 0.49)
Hasil analisis SPR ikan kurisi pada Tabel 5 menunjukkan bahwa populasi
ikan kurisi di Teluk Banten berada pada level merah atau over exploited pada
tahun 2012, 2014, dan 2015. Hal tersebut menjadi dasar pendugaan bahwa
aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan kurisi pada tahun-tahun tersebut kurang
terkendali dan dapat berdampak pada ketidakberlanjutannya stok ikan kurisi pada
wilayah tersebut. Hal ini dapat dilihat pada kondisi nilai SPR spesies ikan kurisi
kecil (<0.2) dan berada dibawah kapasitas biologis ikan untuk memproduksi
kelompok ikan dewasa pada struktur populasinya. Namun kondisi lebih baik
ditunjukkan pada tahun 2013 dan 2016 dengan nilai SPR 0.49 yang artinya kondisi
pemanfaatan ikan kurisi di Teluk Banten mengalami perbaikan dengan adanya
peningkatan nilai SRP > 30% atau 0.3 pada tahun 2016. Hal ini juga sejalan
dengan menurunnya tekanan penangkapan (F/M) ikan kurisi pada tahun 2016
sebasar 0.37. Pendugaan nilai SPR dilakukan untuk data pada tahun 2016 dengan
membandingkan SPR dari data asli (sampling) dengan data hasil pembangkitan
dengan menggunakan metide Unorm, Rbeta, dan Resample.
Tabel 6. Perbedaan SPR menggunakan data hasil pengukuran lapangan dan data yang dibangkitkan dengan berbagai metode dengan menggunakan data tahun 2016
Parameter Data asli Urnorm Rbeta Resample
M 1.10 1.10 1.10 1.10
Z 1.90 2.04 1.88 1.81
F 0.80 0.94 0.78 0.71
E 0.42 0.46 0.41 0.39
F/M 0.73 0.85 0.71 0.65
SPR 0.49
(0.49-0.49) 0.4
(0.4 - 0.41) 0.48
(0.47 - 0.49) 0.54
(0.54 - 0.55)
Secara keseluruan nilai SPR berada pada kisaran >30% atau 0.3, hal ini
menunjukkan bahwa pemanfaatan ikan kurisi di Teluk Banten pada tahun 2016
lebih baik dan dikategorikan under exploited dibandingkan pada tahun
sebelumnya. Berdasarkan analisis data mortalitas dan spawning potential ratio
(SPR) (Tabel 4 dan Tabel 6), terlihat bahwa data yang dibangkitkan dengan
metode urnorm menghasilkan nilai mortalitas yang lebih tinggi, namun nilai SPR
yang jauh lebih rendah. Data yang dibangkitkan dengan metode rbeta
menghasilkan nilai mortalitas yang sedikit lebih rendah dan SPR yang juga sedikit
lebih rendah (tidak berbeda nyata) dibandingkan data hasil pengukuran lapangan.
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 16
Data yang dibangkitkan dengan metode resample menghasikan nilai mortalitas
yang lebih rendah dengan nilai SPR yang lebih besar dibandingkan hasil
pengukuran lapangan. Hal ini menunjukkan data yang dibangkitkan dengan
metode rbeta menghasilkan prediksi yang lebih baik untuk mortalitas dan SPR,
data yang dibangkitkan dengan metode rbeta menghasilkan nilai yang mendekati
hasil pengukuran lapangan. Pada analisis lebih lanjut, digunakan data yang
dibangkitkan dengan metode rbeta.
Selain pendugaan tekanan penangkapan dengan pendekatan laju
eksploitasi, rasio F/M, dan SPR, estimasi nilai Lc-opt dilakukan sebagai salah satu
metode untuk menduga panjang ikan yang disarankan untuk memperbaiki kondisi
perikanan, mengurangi tekanan penangkapan, dan meningkatkan nilai SPR.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan nilai SPR adalah
meingkatkan rata-rata ukuran penangkapan dan komposisi ukuran penangkapan
menjadi lebih besar. Nilai Lc-opt menjadi salah satu indicator yang dapat digunakan
sebagai titik acuan biologi untuk meningkatkan ukuran penangkapan. Estimasi Lc-
opt dapat memberikan informasi bagi pengelola perikanan mengenai kondisi
penangkapan saat ini sudah berada pada kondisi yang baik atau tidak atau perlu
atau tidaknya meningkatkan Lc atau ukuran pertama kali ikan tertangkap dalam
rangka pengelolaan perikanan berkelnajutan. Smulasi dilakukan dengan
kombinasi tingkat kematian penangkapan ikan tertentu (misal F = M atau F =
0,5M), maka kita dapat menyesuaikan Lc-opt yang dapat membuat titik acuan target
(F = 0,5M dan Lc-opt) dan titik acuan batas (F = M dan Lc-opt). Kita dapat
membandingkan F dan Lc yang ada dengan titik-titik acuan tersebut, sehingga
pengelola perikanan dapat menentukan kebutuhan pengelolaan atau bahkan
mempertahankan tingkat Lc dan F.
Simulasi biomassa kohort dapat menggambarkan bagaimana meminimalkan
dampak penangkapan ikan terhadap ukuran dan struktur umur ikan yang
dieksploitasi sebagai salah satu tujuan pengelolaan perikanan (MFSD 2008).
Berdasarkan Barret et al. 1999; Harland and Parks 2008, meminimalkan dampak
penangkapan ikan pada ukuran dan usia menghasilkan perikanan yang bertahan
selama ratusan tahun, tanpa adanya penurunan rata-rata penangkapan yang
signifikan.
17 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
Gambar 8. Simulasi biomassa relative untuk ikan kurisi di Perairan Teluk Banten.
Simulasi sesuai dengan nilai Lc, Lc-opt, F saat ini, dan F.
Berdasarkan hasil simulasi biomassa relative, kondisi pada saat F=M dan
F=0,5M disajukan pada grafik putus-putus berwarna hijau dan oranye, sedangkan
kondisi penangkapan ikan kurisi pada tahun 2012-2016 berada dibawah pada
kondisi F=M dan F=0,5M. Nilai Lc dan Lc-opt disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Lc dan Lc-opt ikan kurisi di Perairan Teluk Banten tahun 2012-2016
Panjang 2012 2013 2014 2015 2016
Lc (mm) 135,70 181,66 123,08 180,06 156,39
Lc-opt (mm)
210,00 200,20 184,00 201,00 187,00
Berdasarkan nilai laju eksploitasi dan rasio F/M ikan kurisi pada tahun 2012-
2015 memiliki nilai mortalitas penangkapan lebih tinggi dibandingkan mortalitas
alaminya dengan nilai Lc lebih kecil dibandingkan ukuran ikan pada Lc-opt. Hal ini
menunjukan bahwa kondisi penangkapan pada tahun 2012-2015 berada pada
kondisi eksploitasi berlebih, sehingga untuk meningkatkan nilai SPR dan
menurunkan tekanan penangkapan pengelolaan pada ikan kurisi perlu dilakukan,
salah satunya dengan meningkatkan nilai Lc hingga mendekati nilai Lc-opt dengan
memperbesar ukuran mata jarring atau mata pancing dari alat tangkap yang
digunakan. Meningkatkan ukuran penangkapan menjadi Lc-opt memungkinkan
ikan dapat bereproduksi sebelum penangkapan dan memiliki dampak yang lebih
kecil dibandingkan memulai penangkapan pada ukuran Lc saat ini atau dengan
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Co
ho
rt b
iom
as
s
Length (cm)
2016
2015
2014
2013
2012
B/R
Lopt
B_Lcopt
Lm
NoLimit
F=0.5
F = M
LoptLm
no size limit
F = M at Lc_opt
F=0.5M at Lc_opt
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 18
tanpa batas ukuran (Froese et al. 2016). Dalam pertimbangan ekonomi,
penangkapan ikan pada Lc-opt memungkinkan keuntungan dimaksimalkan pada
tingkat kematian penangkapan ikan di bawah kematian alami dengan ukuran stok
setengah dari ukuran stok yang tidak dieksploitasi (Froese et al. 2016).
Berdasarkan Gambar 8, kondisi pemanfaatan ikan lebih baik ditunjukkan
pada tahun 2016 (garis biru) dengan biomassa relative mendekati kondisi pada
F=M dan F=0,5M. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kondisi penangkapan
tahun 2016 dengan nilai Lc = 156,39 mm lebih kecil dibandingkan nilai Lc-opt nya
biomassa relative meningkat apabila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,
artinya kondisi ini menunjukkan bahwa di Teluk Banten terjadi perbaikan kondisi
penangkapan ikan kurisi apabila dilihat dari laju eksploitasi, tekanan penangkapan,
dan SPR mulai dari tahun 2012 hingga 2016.
KESIMPULAN
Metode pembangkitan data menggunakan metode rbeta menghasilkan nilai
parameter populasi yang mendekati hasil pengukuran lapangan. Sehingga metode
ini dapat dijadikan salah satu cara apabila contoh atau sample dilapangan tersedia
dalam jumlah yang kecil. Berdasarkan pendugaan parameter populasi laju
eksploitasi, rasio F/M, dan SPR kondisi perikanan kurisi di Perairan Teluk Banten
mulai tahun 2012-2016 mengalami perubahan dari over exploited pada tahun 2012
menjadi under exploited pada tahun 2016, selain itu presentase penangkpan ikan
immature atau ikan kecil juga mengalami penurunan.
Berdasarkan simulasi nilai Lc-opt, kondisi pemanfaatan ikan kurisi pada
tahun 2012-2016 berada dibawah biomassa pada kondisi F=M dan F=0,5M
dengan ukuran penangkapan Lc lebih kecil dibandingkan Lm dan Lc-opt, sehingga
pengelolaan perikanan terhadap spesies ikan ini perlu dilakukan untuk mencegah
collapse perikanan kurisi di Perairan Teluk Banten. Namun kondisi lebih baik
ditunjukkan pada pola pemanfaatan atau penangkapan pada tahun 2016 dengan
nilai SPR > 30% dan biomassa relative yang mendekati kondisi F=M dan F=0,5M
apabila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu pengelolaan perikanan
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai SPR dan menurunkan tekanan
penangkapan adalan meningkatkan nilai Lc hingga mendekati nilai Lc-opt dengan
memperbesar ukuran mata jaring atau mata pancing dari alat tangkap yang
digunakan. Pada perikanan kurisi di Teluk Banten pengelolaan ini diduga karena
ada penurunan komposisi penggunaan alat tangkap dogol daru tahun 2012 hingga
2016, alat tangkap dogol diduga menjadi alat tangkap dengan ukuran mesh size
kecil sehingga penangkapan didominasi oleh ikan dengan ukuran kecil.
19 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
DAFTAR PUSTAKA
Achmad N. 2016. Indikator Pengelolaan Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) dengan Prinsip Kehati-Hatian [tesis]. Bogor(ID): Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Afshari M, Valinassab T, Seyfabadi J, Kamaly E. 2013. Age determination and feeding h abits of Namipterus japonicus (Boch, 1791) in the North Oman Sea: Iran Journ of Fish Sci. 12(2): 248-264
Ardianti Y. 2017. Kajian Stok Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus Bloch, 1791) di Perairan Selat Sunda [Skripsi]. Bogor(ID): Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Badrudin M. 2013. Pedoman Teknis Pengkajian Stok Perikanan ‘Data Poor’ Estimasi Rasio Potensi Pemijahan. Jakarta(ID): USAID Indonesia
Bakhtiar MN, Solichin A, Saputra SW. 2013. Pertumbuhan dan laju mortalitas lobster batu hijau (Panulirus homarus) di Perairan Cilacap Jawa Tengah: Dipon Journ of Maqua. 2(4): 1-10
Bunnel DB, Miller TJ. 2005. An individual-based modelling approach to spawning-potential per recruit models: an application to blue crab (Callinectes sapidus) in Chesapeake Bay. Journ Fish Aqual Sci. 62(1): 2560-2572
Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor(ID): Yayasan Dewi Sri Ernaningsih D, Simbolon D, Wiyono ES, Purbayanto A. 2012. Komoditi Unggulan
Perikanan Tangkap di Teluk Banten: BULETIN PSP. 20(2): 181-192 Froese R, Binohlan C. 2000. Empirical relationships to estimate asymptotic length,
length at first maturity and length at maximum yield per recruit in fishes, with a simple method to evaluate length frequency data: J Fish Bio. 2000(56): 758-773
Froese R, Winker H, Gascuel D, Sumalia UR, Pauly D. 2016. Minimizing the impact of fishing. Fish and Fisheries, DOI: 10.1111/faf.12146
Hamdan. 2007. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu [disertasi]. Bogor(ID): Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Hastuti SK. 2017. Strategi Manajemen Perikanan Demersal (Nemipterus japonicus) di Perairan Inshore Laut Jawa [tesis]. Bogor(ID): Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Hidayat TM. 2015. Kajian Stok Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus, Bloch 1791) di Perairan Teluk Banten[skripsi]. Bogor(ID): Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Hordyk AR., Ono K, Sainsbury K, Loneragan NR, and Prince JD. 2015. Some explorations of the life history ratios to describe length composition, spawning-per-recruit, and the spawning potential ratio. ICES Journal of Marine Science, 72: 204–216.
Jaya MM, Wiryawan B, Simbolon D. 2017. Analisis tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tuna dengan metode potensial rasio spawning di Perairan Sendangbiru: Junr Ilm dan Tek Kel Trop. 9(2): 597-604
Joshi KK. 2010. Population dynamic of Nemipterus japonicus (Bloch) in the trawling grounds off Cochin: Indi J Fish. 57(1): 7-12
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 20
Lestari N, Yuniarti, Purwanti T. 2016. Aplikasi penggunaan surimi berbahan ikan kurisi (Nemipterus sp) untuk pembuatan aneka produk olahan ikan: Warta IHP/Journ of Agro-based Indust. 33(1): 9-16
MFSD [Marine Strategy Framework Directive]. (2008). Directive 2008/56/EC of the European Parliament and of the Council of 17 June 2008 establishing a framework for community action in the field of marine environmental policy. Official Journal of the European Union 164, 19–39.
Morgan GR. 1980. Population Dynamics of Spiny Lobster in Cobb JS, Bruce FP (eds). The Biology and Management of Lobster II. New York(US): Academic press
Muhali FA. 2016. Dinamika Populasi Ikan (Nemipterus japonicus, Bloch 1791) di Perairan Selat Sunda[skripsi]. Bogor(ID): Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Nettely T, Rajaee AH, Denil NA, Idris MH, Nesarul MH, Amin SMN, Hena MKA. 2016. Reproductive biology of Nemipterus japonicus (Bloch, 1791) from the coastal waters of Bintulu (South China Sea), Serawak, Malaysia: Journ of Environ Biol. 37(): 715-724
Nugraha E, Koswara B, Yuniarti. 2012. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten: Jurn Prkn dan Klt. 3(1): 91-98
Oktaviyani S. 2013. Kajian Stok Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus, Bloch 1791) di Perairan Teluk Banten yang Didaratkan di PPN Karangantu, Banten[skripsi]. Bogor(ID): Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Oktaviyani S. 2014. Karakteristik morfologi dan aspek biologi ikan kurisi, Nemipterus japonicus (Bloch, 1791): Oseana. 39(4): 29-34
Oktaviyani S, Boer M, Yonvitner. 2016. Aspek biologi ikan kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten: BAWAL. 8(1): 21-28
Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculator. Manila (PHL): ICLARM
Permatachani A, Boer M, Kamal MM. 2016 Kajian stok ikan peperek (Leignathus equulus) berdasarkan alat tangkap jaring rampus di perairan Selat Sunda: Jurn Tek Perik dan Kelaut. 7(2): 107-16
Prince J, Hordyk A, Valencia SR, Loneragan N, Sainsbury K. 2014. Revisiting the concept of Beverton-Holt life history invariants with the aim of informing data poor fisheries assessment. Journ Mar Sci. doi:10.1093/icesjms/fsu011.
Rochet MJ, Trenkel VM. 2003. Which community indicators can measure the impact of fishing? A review and proposals. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 60: 86-99.
Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis : Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta(ID): Puslitbangkan
Sugiarti, Hariyadi S, Nasution SH. 2016. Keterkaitan antara kualitas air dengan hasil tangkapan ikan di muara sungai Teluk Banten, Provinsi Banten: Limnot Perair Dar Trop di Indo. 23(1): 1-16
Sutjipto DO, Soemarno MS, Marsoedi. 2013. Dinamika populasi ikan kurisi (Nemipterus hexodon) dari Selat Madura: Ilm Kelautan. 18(3): 165-171
Tiews K, Ronquillo IA, Borja PC. 1970. On the biology of the round seads (Decapterus) in Philippine waters: Proc Indo-Pac Fish Counc. 13(1): 82-106
Wahyuni IS, Hartati ST, Indarsyah IJ. 2009. Informasi biologi perikann kurisi, Nemipterus japonicus, di Blanakan dan Tegal: BAWAL. 2(4): 171-176
21 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten
Wehye AS, Ofori DPK, Lamptey AM. 2017. Population dynamic of Pseudotolithus senegalensis and Pseudotolithus typus and their implication for management and conservation within the Coastal Waters of Liberia: Fish Aqua J. 8(2): 1-9
Yunus M. 2015. Status Stok Sumberdaya Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus, Bloch 1791) di Perairan Selat Sunda[skripsi]. Bogor(ID): Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Rekam Nusantara Foundation & Fisheries Resource Center of Indonesia 22
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data sebaran frekuensi panjang ikan kurisi
23 Laporan Teknis: Kondisi Perikanan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk Banten