1
LAPORAN PENELITIAN
DINAMIKA DAN PERGERAKAN DI SURAKARTA ERA KOLONIAL
(PENDEKATAN SEJARAH)
Laporan Penelitian Individual Dosen
Anggaran DIPA IAIN Surakarta Tahun 2016
Oleh:
Peneliti:
Nama : Dr. Syamsul Bakri, M.Ag.
NIP : 19710105 199803 1 001
Prodi/Jurusan : Ilmu Aqidah
Fakultas : Ushuluddin dan Dakwah
Mahasiswa Pembantu Peneliti:
Nama : Ahmad Habib
NIM : 121121004
Prodi/Jurusan : Ilmu Aqidah
Fakultas : Ushuluddin dan Dakwah
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2016
2
ABSTRAK
Penelitian sejarah ini dimaksudkan untuk merekonstruksikan peristiwa
dinamika dan pergerakan di Surakarta Era Kolonial.Penelitian ini menjawab
pertanyaan tentang: (1) faktor yang melatarbelakangi munculnya dinamika dan
pergerakan di Surakarta era kolonial, dan (2) bentuk dinamika dan
pergerakannya..
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah,
yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan
historiografi. Paradigma sejarah yang digunakan adalah paradigma John Tosh,
yakni melakukan rekonstruksi sejarah dengan memahami latar belakang,
situasi dan kondisi sosial penyebab muncul dan berkembangnya sebuah
peristiwa, serta arah perubahannya. Adapun upaya rekonstruksi masa lalu
dalam penelitian ini menggunakan model lingkaran sentral. Dalam model ini
diasumsikan bahwa kejadian pada pusat lingkaran akan mempunyai akibat-
akibat di sekitarnya. Pada gilirannya, pusat lingkaran dan sekitarnya tersebut
akan menyebabkan terjadinya pusat baru yang di sekitarnya juga akan muncul
gejala-gejala baru. Adapun teori yang dipergunakan adalah teori konflik,
gerakan sosial, dan ideologi perlawanan. Penggunaan teori-teori sosial ini
penting agar penelitian sejarah dapat mengembang dalam ruang (sinkronis), di
samping tetap berpijak pada corak dasar sejarah yang sifatnya memanjang
dalam waktu (diakronis).
Penelitian ini menemukan fakta historis bahwa, dalam penggalan
sejarah pergerakan di Indonesia, terdapat berbagai faktor dan bentuk dinamika
pergerakan. Dinamika dan pergerakan di Surakarta dilatarbelakangi oleh faktor
eksternal (tekanan dari imperialisme Barat) dan internal (meningkatnya
perjuangan kaum pribumi dalam menggunakan organisasi dan media modern).
Dinamika dan pergerakan di Surakarta berbentuk lingkaran sentral, bersifat
kompleks dan saling terkait di berbagai bidang, yakni bidang sosial budaya,
agraria, ekonomi, politik dan keagamaan.
Hasil penelitian ini telah memberikan kontribusi keilmuan dalam
disiplin Sejarah, terutama dalam paparan dan rekonstruksi penggalan sejarah
tentang dinamika dan pergerakan kaum pribumi dalam menghadapi
imperislisme. Di samping itu, adanya peran keagamaan dalam membentuk
situasi yang bergerak yang diketemukan dalam penelitian ini menunjukkan
3
bahwa penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi dalam disiplin Sejarah
kebudayaan Islam.
Kata Kunci: pergerakan, kaum pribumi, kolonialisme
ABSTRACT
This research is the result of a historical research, which aims to
reconstruct the emergence and growth of movement in Surakarta in colonial
period. This study answers the questions of dynamics and movement in
Surakarta, which include: (1) background factors of the dynamics and
movement in Surakarta in colonial period, and (2) the form of dynamics and
movement.
The method used in this study is historical method, which consists of
four stages, namely heuristic, source criticism, interpretation, and
historiography. The historical paradigm used is that of John Tosh, i.e. to
reconstruct history by understanding the social background and circumstances
that cause the development of an event, and the direction of its changes. As for
the reconstruction of the past, this study uses the model of the central circle. In
this model, it is assumed that the incident at the center of the circle will have
consequences in the vicinity. In turn, the center of the circle and the
surrounding areas will lead to a new center around which will also result in
new symptoms. The theory used is the theory of conflict, social movements,
and resistance ideology. The use of the social theories is important for the
study of history to expand in space (synchronous), in addition to remaining in
the basic ground pattern of history that extends in time (diachronic).
This study found historical facts that, in a piece of history of the
movement in Indonesia, there are various factors and form of the dynamics of
movement in Surakarta at colonial period. Dynamics and movement in
Surakarta motivated by external factors (pressure from Western imperialism)
and internal one (increasing struggle of indigenous organizations and modern
media). The form of dynamics and movement in Surakarta are central circular,
4
complex and interrelated in various fields, namely social and cultural sectors,
agrarian, economic, political and religion.
The results of this research have contributed knowledge to the
discipline of history, especially in the exposure and reconstruction of a history
fragment of the dynamics and movement of natives (indigenous people) in the
revolt imperialism. In addition, the role of religion movement in forming a
moving situation is found in this study. It indicates that this research can also
contribute to the discipline of History of Islamic Culture.
Keywords: movement, natives people, colonialism.
5
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penelitian dengan judul “Dinamika
dan Pergerakan di Surakarta Era Kolonial” ini dapat terselesaikan sesuai
rencana.
Oleh karena itu, dengan selesainya penelitian ini, penulis perlu
menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan dalam proses penelitian ini, terutama kepada:
1. Dr. Mudofir, M.Pd, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta.
2. Dr. Purwanto, M.Pd selaku Kepala LP2M IAIN Surakarta
3. Kepala dan pegawai Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional Republik
Indonesia, Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran Surakarta,
Perpustakaan Museum Radya Pustaka Surakarta, Perpustakaan Masjid
Agung Surakarta, Perpustakaan Sasono Pustoko Kasunanan Surakarta,
Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, dan Perpustakaan Islam
Kartopuran Surakarta, yang telah membantu penulis dalam pengumpulan
data.
4. Bapak, Ibu, Istri dan anak-anakku tercinta yang memberikan support moral
sehingga memperlancar proses penelitian ini.
6
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan..
Surakarta, 18 Juli 2016
Peneliti
Dr. Syamsul Bakri, M.Ag.
NIP. 19710105 199803 1 001
7
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………….…………................ i
PERNYATAAN OTENTITAS PENELITIAN……………………..
ABSTRAK ………………………….…………................................
ii
iii
ABSTACT…………………………………………………………..
LEMBAR VALIDASI ……………………………………………..
iv
v
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………… vi
KATA PENGANTAR …………… …………….…………............. vii
DAFTAR ISI ………………………………….…………................ viii
BAB I PENDAHULUAN ………………..………................. 1
A Latar Belakang Masalah…….....……………… 1
B Rumusan Masalah... …………...………………. 4
C Tujuan Penelitian. . . ……….……………........... 5
D Manfaat Penelitian. …… ………….................... 5
E Kerangka Teori…….....………………………… 6
1. Paradigma Sejarah………………............
2. Teori
Konflik...............................................
6
7
F. Sistematika pembahasan........................................ 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA.. ……………….……………..... 10
BAB III METODE PENELITIAN............................................... 13
A Jenis Penelitian…….. ……………………………. 13
B Metode dan Sumber Data…..…….………….......... 13
C Teknik Analisa data……….....................................
16
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISA ...................... 17
A Kondisi Dunia Awal Era Kolonial…........................ `17
B Hindia Belanda Awal Abad XX………………….... 20
8
C
Dinamika dan Pergerakan di Surakarta…………
1. Kondisi Sosial Budaya…………………………..
2. Kondisi Agraria………………………………….
3. Kondisi Ekonomi…………………………….
4. Kondisi Politik……………………………….
5. Kondisi Keagamaan………………………….
29
29
44
49
53
78
BAB V PENUTUP………………………………........................ 109
A Kesimpulan ………………………………………. 109
B Rekomendasi …………………………................... 110
DAFTAR PUSTAKA
9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Surakarta memiliki dinamika yang luas, baik di dalam
konteks budaya, sosial, ekonomi, politik, dan agama. Surakarta telah menjadi
miniatur penting bagi eksistensi sosial masyarakat Jawa yang hirarkis dan
sekaligus menjadi ruang bagi pergerakan politik dan keagamaan, baik yang
ortodok, modernis, maupun revolusioner. Surakarta merupakan kota tradisonal
Jawa yang memiliki makna penting dalam sejarah perkembangan dan gerakan
Islam di Indonesia. Surakarta juga merupakan kota tradisional yang di
dalamnya menyimpan jejak-jejak sejarah1 perkembangan Islam di Jawa.
Islamisasi di Surakarta berjalan seiring dengan perjalanan politik kekuasaan
raja-raja Islam Jawa. Secara politik, Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan
Kadipaten Mangkunegaran merupakan pusat kekuasaan politik Islam di Jawa,
yaitu sebagai penerus estafet kekuasaan politik Islam Mataram.
1 Di setiap tempat dimana terdapat kerajaan di Indonesia, tradisi sejarah tetap
terpelihara, setidak-tidaknya sejarah lokal yang sifatnya kraton-sentris. Hoesein Djajadiningrat,
“Tradisi Lokal dan Studi Sejarah di Indonesia” dalam Soedjatmoko, et. al. (ed.), Historiografi
Indonesia, Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 58.
10
Proses islamisasi yang terjadi di Surakarta bercorak adaptif dan
kompromis sehingga membuahkan corak keberagamaan Islam masyarakat
Jawa yang khas, sinkretik dan unik, yang oleh Wertheim disebut sebagai
Javanisme atau Agama Jawa.2 Koentjaraningrat menyebut agama Islam
sinkretis di Jawa ini dengan istilah Agami Jawi atau Kejawen.3
Proses islamisasi yang tidak konfrontatif justru berimplikasi pada
diterimanya Islam oleh masyarakat Jawa. Jejak Islam di Surakarta pun
menampilkan Islam yang berpadu dengan pandangan kosmologi Jawa.
Berbeda dengan corak keberagamaan Islam abad XVIII dan XIX yang
santun dan bercorak tradisionalistik, pada awal abad XXI gerakan Islam di
Surakarta menjadi sorotan nasional, bahkan dunia. Fenomena ini tidak lain
karena di Surakarta tumbuh berbagai aliran dan gerakan Islam radikal,4
2 W. F. Wertheim, Indonesian Society in Ttransition, a Study of Social Change
(Bandung: W. Van Hoeve, 1956), hlm. 8-9. 3 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 30. 4 Gerakan Islam radikal itu antara lain Laskar Hizbullah Sunan Bonang, Laskar
Jundullah, Laskar Zilfikar, Laskar Salamah, Laskar Teratai Emas, Laskar Honggo Dermo,
Laskar Hamas, Laskar Hawariyyun, Barisan Bismillah, Brigade Hizbullah, Majelis Ta’lim al-
Islah, Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front
Pemuda Islam Surakarta (FPIS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Surakarta, Forum Umat Islam
(FUI) Surakarta, Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) dan lain-lain. Zakiyuddin Baidhawy,
“Dinamika Radikalisme dan Konflik Bersentimen Keagamaan di Surakarta, “Makalah”
disampaikan dalam Annual Conferencce on Islamic Studies (ACIS) ke 10 di Banjarmasin 1-4
Nopember 2010. Taufiqurrahman membagi kelompok-kelompok Islam radikal menjadi dua
yaitu menjurus radikal (Front Pembela Islam (FPI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
11
disamping isu-isu kekerasan dan terorisme sering dikaitkan dengan beberapa
organisasi keagamaan dan pesantren yang ada di Surakarta. Hal ini menarik
untuk dikaji bagaimana sesungguhnya perkembangan Islam di Surakarta yang
dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa yang toleran tetapi pada abad ke dua
puluh satu dewasa ini justru sering menjadi pusat gerakan Islam puritan-
radikal.
Oleh karena itu maka penggalan sejarah pemikiran dan gerakan Islam
awal abad ke dua puluh menjadi penting untuk dikaji guna memahami mata
rantai gerakan Islam di Surakarta, sehingga dapat memberikan pemaparan fakta
historis yang lebih lengkap.
Selain itu, hal yang melatar belakangi penelitian ini adalah bahwa
Surakarta dikenal sebagai salah satu pusat budaya Jawa yang tentu
menekankan prinsip rukun, gotong royong, dan ramah tamah. Sebagai kota
budaya, Surakarta telah menghadirkan diri sebagai kota yang penuh
kedamaian, rukun dan jauh dari kerusuhan dan aksi kekerasan. Namun secara
(DDII), HTI dan lain sebaginya) dan kelompok radikal (Jama’ah Islamiyah, JAT, MMI dan
lain-lain). Muh. Taufiqurrahman, “Ideologi Radikal dan Penyebarannya di Masyarakat”,
Makalah disampaikan dalam Training of Trainers (TOT) Anti Radikalisme dan Terorisme,
23-31 Maret 2012 di Kusuma Sahid Prince Hotel Surakarta kerjasama Badan Nasional
Penanggulangan Teroris (BNPT) dengan Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Sumber
Daya Manusia (LPPSDM), hlm. 11.
12
faktual justru kota budaya yang santun ini justru sering dilanda aksi-aksi
kekerasan yang melibatkan massa, seperti kerusuhan etnis Jawa versus Arab di
Pasar Kliwon pada April tahun 1971,5 kerusuhan etnis Jawa versus Tionghoa
19 Nopember 1980,6 kerusuhan politik tahun 1966, kerusuhan 1998 dan
sebagainya. Sebagian kerusuhan terkait dengan faktor keagamaan atau
dilakukan karena semangat keagamaan.
Dari deskripsi di atas, situasi dan kondisi masyarakat Surakarta pada
masa lalu menjadi menarik untuk diteliti, baik menyangkut gerakan social
politik, keagamaan, ekonomi, maupun agraria. Mengetahui kondisi dan situasi
Surakarta masa lalu akan membantu memahami masyarakat Surakarta masa
kini dan masa depan.
Penelitian ini mengangkat tema “Dinamika dan Pergerakan di
Surakarta Era Kolonial”.
5 Insiden kecil antara tukang becak Jawa dengan pemuda keturunan Arab telah
menyulut aksi-aksi perusakan rumah, toko, dan perkantoran milik orang-orang keturunan Arab
di Surakarta. Ade Irman Susanto, “Multikultural Berpotensi Konflik di Solo”, Makalah
disampaikan dalam Seminar Kerentanan dan Potensi Konflik di Solo, tanggal 12 November
2008 oleh Forum Perdamaian Lintas Agama dan Golongan (FPLAG) Solo. 6 Percekcokan antara Pipit Supriyadi dengan pemuda Tionghoa (Kicak) di Sekolah
Guru Olah Raga (SGON) Surakarta pada akhirnya berkembang dan menjadi aksi-aksi
kekerasan dan radikalisme yang berakibat pada bumi hangus pertokoan milik warga Tionghoa
di Surakarta. Kerusuhan meluas hingga Purwadadi, Semarang, Pati dan Kudus. Ape Korver,
Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, terj. Tim Grafiti (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hlm. 11-25.
13
Untuk mengkaji sebuah fenomena sejarah diperlukan ketajaman fokus
bahasan serta batasan waktu dan tempat secara jelas.7 Penelitian ini secara
spasial dibatasi pada dinamika dan pergerakan di Surakarta. Surakarta yang
dimaksud adalah Surakarta awal abad ke dua puluh yang meliputi wilayah
Kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Adapun
wilayah Kasunanan Surakarta meliputi Kota Surakarta selatan jalur kereta api
dan beberapa Kabupaten yaitu Sragen, Boyolali, Ampel, Klaten, Kartasura dan
Larangan (Sukoharjo), sedangkan Wonogiri menjadi wilayah Kadipaten
Mangkunegaran.8
Adapun secara temporal, penelitian ini dibatasi pada masa pergerakan,
yaitu menjelang sampai awal abad XX.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, maka persoalan yang muncul dapat
dirumuskan sebagai berikut:
7 Richard Marius & Melvin E. Pege, A Short Guide To Writing About History (New
York: Perason Longman, 2005), hlm. 11. 8 Dwi Ratna Nurhayati et. al., Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta (Jakarta:
Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia, 1999), hlm. 161 &162.
14
1. Apa faktor yang melatarbelakangi munculnya dinamika dan
pergerakan di Surakarta di era kolonial?
2. Bagaimana bentuk dinamika dan pergerakan di Surakarta era
kolonial?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi munculnya
dinamika dan pergerakan di Surakarta di era kolonial.
2. Untuk menjelaskan dinamika dan pergerakan di Surakarta era
kolonial.
D. Manfaat Penelitian
Adapaun manfaat penelitian ini adalah
1. secara akademik, penelitian ini akan memberikan gambaran
tentang kondisi sosio-historis masyaralat Surakarta pada masa
pergerakan. Penelitian yang bercorak historis ini selain
bermanfaat bagi rekonstruksi sejarah dan memberikan
kontribusi saintifik dalam historiografi Indonesia, juga
15
bermanfaat bagi pengembangan mata kuliah Sejarah Kebudyaan
Islam.
2. secara praktis, penelitian ini dapat digunakan untuk dijadikan
salah satu acuan tentang kajian munculnya akar-akar pergerakan
di Surakarta yang sangat dinamis, apakah memiliki akar pada
era pergerakan atau lebih terpengaruh oleh dinamika globalisasi.
E. Kerangka Teori
1. Paradigma Sejarah
Pergulatan dengan sejarah dimaksudkan untuk melakukan
rekonstruksi masa lalu. Usaha rekonstruksi sejarah yang dilakukan dalam
penelitian ini dimaksudkan untuk menuliskan penggalan-penggalan peristiwa
guna mencapai kebenaran sejarah dan memahami maknanya, bukan untuk
pembenaran dan memberikan legitimasi subyektif pada sistem sosial yang
berlangsung. Sejarah akan menjadi problematik ketika penulisan sejarah
merupakan hasil dari penafsiran pemenang dalam konflik dan ketegangan
sosial politik
16
Paradigma sejarah dalam penelitian ini menggunakan theoretical
frame work dari John Tosh bahwa kajian sejarah tidak semata-mata mengkaji
kronologi dan perubahan sosial tetapi juga arah perubahan-perubahan itu
berjalan.9 Perspektif sejarah Tosh diaplikasikan dalam penelitian ini untuk
mengetahui latar belakang, situasi dan kondisi sosial penyebab muncul dan
berkembangnya radikalisme di Surakarta awal abad ke-20 serta proses dan arah
perubahannya.
Upaya rekonstruksi masa lalu dalam penelitian ini menggunakan
model Lingkaran Sentral. Di dalam model ini diasumsikan bahwa kejadian
pada pusat lingkaran akan mempunyai akibat-akibat di sekitarnya. Pada
gilirannya pusat lingkaran dan sekitarnya tersebut akan menyebabkan
terjadinya pusat baru yang di sekitarnya juga akan timbul gejala-gejala lagi,
dan seterusnya.10 Adapun teori-teori yang secara spesifik digunakan sebagai
alat analisis adalah teori konflik dan teori gerakan sosial.
9 John Tosh, The Persuit of History: Aims, Methode and Directions in the Study of
Modern History (London: Longman, 1984), hlm. 129. 10 Model Lingkaran Sentral ini diambil dari telaah atas tulisan LeRoy Ladurie, The
Peasant of Languedoc yang melukiskan masyarakat petani di Languedoc Perancis. Tulisan
diawali dengan adanya gejala baru kepemilikan tanah dan konsekuensi sosial ekonominya.
Kemudian dilanjutkan dengan eksploitasi penduduk dan akibat-akibatnya seperti munculnya
tatanan ekonomi baru. Sistem ekonomi baru memunculkan persoalan upah, sewa dan
sebagainya yang bisa menyebabkan terpinggirnya petani. Hal ini berdampak pada adanya
17
2. Teori Konflik
Dinamika dan pergerakan di Surakarta pada era pergerakan sering
ditandai dengan adanya konflik. Oleh karena itu maka teori yang dipakai dalam
penelitian ini adalah teori konflik. Karya paling terkenal dalam teori ini adalah
karya Ralf Dahrendorf yang menitik bertakan analisa sosio historis pada aspek
konflik dan penggunaan kekerasan ketimbang paksaan normatif.11 Konflik
terjadi karena di dalam masyarakat terdapat kualitas otoritas yang berbeda.
Posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas
pada posisi yang lain. Perbedaan distribusi sosial inilah yang memunculkan
konflik. Kelompok yang memegang otoritas kekuasaan dan kelompok
subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu yang arah dan substansinya
saling berlawanan jika bertemu maka terjadilah konflik.12 Gerakan
revolusioner yang dilakukan kelompok komunis-keagamaan (komunisme
Islam) di Surakarta dalam menentang kolonialisme dan kapitalisme dilihat
dengan teori konflik ini.
ketidakpuasan hingga protes, konflik dan pemberontakan. Lihat Kuntowijoyo, Metodologi
Sejarah, Edisi Kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 49-50. 11 George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan,
Edisi Keenam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 167. 12 Ibid., hlm. 154-155.
18
Dalam teori konflik diasumsikan bahwa kemiskinan dan penderitaan
masyarakat muncul adalah akibat proses kapitalisme di dunia Barat. Maka jika
masyarakat ingin maju harus menempatkan posisi sebagai penentang
kapitalisme. Teori ini berakar pada pemikiran Marx dan Weber. Menurut Karl
Marx konflik antara kelompok atas (pusat) dan bawah (pinggiran) terjadi jika
distribusi pendapatan tidak merata, meningkatnya kesadaran kelompok
pinggiran, semakin menguatnya kesatuan ideologi pinggiran dan semakin
meluasnya polarisasi. Adapun Weber berpendapat bahwa konflik muncul
karena merosotnya legitimasi politik penguasa, semakin kharismatik pimpinan
kelompok bawah dan perundang-undangan yang tidak berkeadilan.13
Dalam konteks pergerakan bumiputra juga diakui bahwa konflik
terjadi karena adanya dua kelompok yang menginginkan sesuatu yang berbeda
yaitu kelompok borjuis (kelas bourgeoisie) dan kelompok miskin dan kaum
pinggiran (kelas proletar).14 Kelompok pergerakan yang merupakan
penyambung aspiirasi kaum proletar menginginkan datangnya dunia baru
13 Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1992), hlm. 30-31. Teori konflik pusat versus pinggiran (the conflict of center and periphery)
juga digunakan oleh Yudian Wahyudi dalam menganalisa gerakan puritan-revivalis Wahabi.
Yudian Wahyudi, Dinamika Politik, Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah di Mesir, Maroko
dan Indonesia (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2010). 14 Boeroeh Hindia, “Mata Terboeka” dalam Ra’jat Bergerak, Edisi 11 Oktober 1923, hlm. 1.
19
(kemerdekaan) yang berkeadilan, sedangkan kelompok borjuis yang diwakili
kaum modal dan di back up pemerintah menginginkan perlunya
mempertahankan tatanan dunia lama (sistem kapital) dan takut terhadap
datangnya dunia baru yang dianggab merugikan. Kebangkitan komunisme
untuk melakukan upaya perbaikan kehidupan dengan melawan kapitalisme
telah memunculkan konflik.15 Konflik antara kaum pergerakan yang berpihak
kepada kaum kromo yang tertindas (kaum proletar, kaum pinggitan) versus
kaum modal yang ingin melanggengkan penindasan dengan sistem kapital
(kelompok pusat) ini, dipahami dalam teori konflik pusat-pinggiran ini.
Konflik memiliki fungsi. Fungsi konflik pada awalnya digagas oleh
George Simmel dan dikembangkan oleh Coser. Fungsi konflik tersebut adalah
mengeratkan ikatan kelompok yang terbangun secara longgar, menciptakan
kohesi (kepaduan) melalui aliansi dengan kelompok lain, mengaktifkan peran
individu yang semula pasif dan apatis, serta membantu fungsi komunikasi.16
15Soemadi Hardjodiwongso, “Gelombang Zaman” dalam Islam Bergerak, Edisi 1
Septemebr 1923, hlm. 1. 16 Goodman, Teori Sosiologi Modern, hlm. 159.
20
F. Sistematika Pembahasan
Sistematika laporan penelitian ini disusun dalam lima bab, yaitu:
Bab pertama adalah bab pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup
penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi kajian pustaka, yakni berbagai penelitian yang terkait
dengan dinamika dan pergerakan di Surakarta.
Bab ketiga berisi metode penelitian yang terdiri jenis penelitian dan
metode, sumber data serta mopdel analisis.
Bab keempat memaparkan faktor sosi-historis internasional dan
nasional yang melatarbelakangi lahirnya dinamika dan pergerakan di Surakarta
era colonial serta bentuk-bentuk pergerakannya.
Bab kelima adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Pada bagian akhir disertasi ini, disertakan lembar daftar pustaka dan
curriculum vitae.
21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini diilhami oleh beberapa penelitian sebelumnya, di
antaranya adalah buku hasil penelitian yang ditulis Takashi Shiraishi yang
berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926. Shiraishi
membahas corak pergerakan di Surakarta dan Yogyakarta, yakni kemunculan
dan kehancuran sejumlah partai berikut perhimpunan politik, seperti SI,
Insulinde, National-Indische Partij, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan
Sarekat Ra'jat (SR).
Buku yang menentang historiografi untuk kekuasaan ini juga
membahas tiga tokoh yang menurutnya patut diteladani sepak terjangnya, yaitu
Tjokroaminoto, Marco Kartodikromo, dan Moehammad Misbach. Buku ini
menekankan pada gerakan politik awal abad XX yang menjadi sumber
inspirasi bagi dinamika politik Indonesia modern, yaitu cikal bakal
22
nasionalisme Indonesia, islamisme, dan komunisme sebagai gerakan politik.17
Pembahasan buku ini bersifat umum dan bercorak kronologis tematis.
Buku lain yang membahas pemikiran dan gerakan Misbach adalah
tulisan Nor Hiqmah yang berjudul H.M. Misbach: Sosok dan Kontroversi
Pemikirannya. Tulisan tersebut berasal dari penelitian skripsinya di Fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian ini menjadikan
pemikiran sebagai objek formal.18 Kajian dalam penelitian tersebut merupakan
kajian filsafat, bukan sejarah. Penelitian tersebut juga tidak menjadikan naskah
dan dokumen sezaman sebagai sumber penelitian, sedangkan dalam penelitian
sejarah diperlukan dokumen sezaman sebagai sumber sejarah.
Penelitian tentang gerakan radikalisme massa di Surakarta juga
pernah dilakukan oleh Tim Peneliti dari Universitas Kristen Duta Wacana
(UKDW) Yogyakarta bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Surakarta tahun 2004. Penelitian ini memaparkan temuan
historis bahwa antara tahun 1910 sampai dengan tahun 1998, tercatat terjadi 39
aksi kerusuhan massa di pusat pertokoan, pasar, perkantoran, dan sekolah. Dari
17Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926, terj.
Hilmar Farid (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997). 18Nor Hiqmah, H.M. Misbach. Kisah Hadji Merah (Yogyakarta: Litera, 2000).
23
39 kali peristiwa, 27 peristiwa terkait dengan masalah politik, 9 kali terkait
masalah etnisitas, 6 kali terkait isu ekonomi, dan 3 kali dimotivasi oleh
persoalan agama.19 Penelitian ini lebih fokus pada upaya untuk membumikan
peace and reconciliation, dan bukan penelitian sejarah.
Buku lainnya adalah ahsil penelitian S. Margana yang berjudul Kraton
Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874. Penelitian ini membahas tentang situasi
dan kondisi di Vorstenlanden. Penelitian ini murnin kajian naskah, yakni
memaparkan berbagai persoalan yang muncul di masyarakat berdasarkan arsip-
arsip Kraton, yaitu sumber-sumber Jawa non babad. Studi arsip ini kemudian
dipaparkan secara tematis.20
Kuntowijoyo juga pernah melakukan penelitian dengan judul Raja,
Priyayi dan Kawulo, Surakarta 1900-1915. Penelitian ini mengangkat sistem
sosial dan politik yang ada di Surakarta awal abad XX.21
Penelitian lainnya adalah Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-
1942 yang ditulis Syamsul Bakri. Penelitian ini focus pada gerakan kaum
19 Djaka Soetapa et al., “Rangkuman Hasil Penelitian Perdamaian dan Rekonsiliasi
di Surakarta”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Perdamaian dan Rekonsiliasi di
Pendopo Kadipaten Mangkunegaran Surakarta 18 Februari 2004. 20 S Margana, Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004) 21 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawulo, Surakarta 1900-1915 (Yogyakarta:
Ombak, 2004).
24
komunis putihan di Surakarta dalam rangka melawan kolonialisme, kapitalisme
dan kaum status quo pada era pergerakan.22
Penelitian tentang Surakarta juga sudah dilakukan pada tahun 1970-an
di Universiotas Gadjah Mada. Soejatno meneliti tentang Kolonialisme Barat
dan kemunduran Rakjat Surakarta Abad XIX. Penelitian ini mengulas kondisi
social masyarakat Surakarta, kondisi Kraton dan tata aturan yang ada pada
abad ke-19.23
Dari beberapa kajian pustaka tersebut, belum ada penelitian yang
secara khusus membahas tentang dinamika dan pergerakan di Surakarta era
kolonial. Corak khas penelitian ini juga terdapat pada digunakannya sumber-
sumber media massa sezaman sebagai sumber data primer.
22 Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942 (Yogyakarta:
LKiS, 2015). 23 Soejatno, Kolonialisme Barat dan kemunduran Rakjat Surakarta Abad XIX
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1970)
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian naskah, yakni penelitian yang
menggunakan naskah kuno sebagai sumber data primer. Adapun naskah kuno
yang dimaksud adalah surat kabar awal abad XX.
B. Metode dan Sumber Data
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode sejarah.
Metode sejarah terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik sumber,
interpretasi dan historiografi.
Tahap pertama dalam penelitian sejarah adalah heuristik yaitu
mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yang terkait dengan topik
penelitian.24 Adapun sumber-sumber tersebut diketemukan dan dikumpulkan
dari Perpustakaan Nasional di Jakarta, Perpustakaan Reksa Pustaka
24 Metode heuristik untuk sumber-sumber data yang berbentuk tulisan, sudah banyak
dijelaskan dalam buku-buku ilmu dan metodologi sejarah. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu
Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), hlm. 95. Sartono Kartodirjo “Metode Pengumpulan
Bahan Dokumenter” dalam Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta:
Gramedia, 1989), hlm. 45.
26
Mangkunegaran Surakarta, Perpustakaan Museum Radya Pustaka Surakarta,
Perpustakaan Masjid Agung Surakarta, Perpustakaan Sasono Pustaka
Kasunanan Surakarta dan Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.
Adapun sumber primer25 yang digunakan dalam penelitian ini adalah
naskah dan dokumen sezaman.26 Naskah dan dokumen tersebut adalah surat
kabar (majalah) Medan Moeslimin, Islam Bergerak, Ra’jat Bergerak, Doenia
Bergerak, Sinar Djawa, Sinar Hindia, Oetoesan Hindia, Api, Neratja, Fikiiran
Ra’jat, Soeloh Ra’jat Indonesia, Bromartani, Pawarti Soerakata, Penjebar
Semangat, Koemandang Djawi, Pelita Ra’jat, Tjaja Hindia, Oetoesan Hindia,
Darmo Kondo, Djawi Hiswara, Indonesia Merdeka, memori Van Overgave
(catatan laporan penyerahan jabatan dari Residen Surakarta kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda), dan sumber-sumber sezaman lainnya. Sumber
sekunder sebagai data pendukung juga digunakan dalam penelitian ini. Sumber
sekunder biasanya berbentuk buku dan artikel yang sudah ditulis peneliti
25 Primary sources originate in the time period that historians are studying. William
Kelleher Storey, Writing History: A Guide For Students, Second Edition (Oxford: Oxford
University Press, 2004), hlm. 18 26 Naskah berbeda dengan dokumen. Naskah merupakan peninggalan masa lalu
dalam bentuk tulis tangan (manuskrip) yang kemudian dikembangkan dalam bentuk cetak.
S.O. Robson, Principles of Indonesian Philology (Leiden: Rijksuniversiteit te Leiden &
Compliment of the Departement of Languages and Cultures of South East Asia and Oceania,
1988), hlm. 1. Adapun dokumen lebih berupa surat-surat, notulen rapat dan sebagainya.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995), hlm. 95.
27
sebelumnyam khususnya tentang persoalan atau kejadian yang dikaji dalam
sebuah penelitian. William Kalleher Storey mengatakan: “they are books and
articles by writers who are interpreting the events and primary sources that
you are studying”.27 Materi–materi yang ada di sumber sekunder bukan
dimaksudkan untuk dipercaya dan dianggap valid, tetapi hanya merupakan
petunjuk awal sebuah penelitian sejarah. Sumber sekunder juga digunakan
untuk menambah pengetahuan untuk membuat pertanyaan sejarah yang akan
diteliti.28 Sumber sekunder penelitian ini adalah naskah-naskah berupa surat
kabar, buku maupun karya akademik lainnya yang memberikan informasi
pendukung. Setelah sumber-sumber terkumpul, selanjutnya dilakukan kritik
sumber atau verifikasi sumber. Kritik sumber dianggap penting karena untuk
menguji validitas dan reliabilitas (kredibilitas) data-data sejarah yang ada di
berbagai sumber.
Ada dua macam kritik sumber yang digunakan dalam penelitian ini.
Pertama, kritik eksternal, yaitu kritik untuk menguji otentisitas (keaslian) suatu
27 Storey, Writing History, hlm. 18-19. 28 Pege, A Short Guide, hlm. 32.
28
sumber.29 Adapun kritik kedua adalah kritik internal, yaitu menguji kredibilitas
makna yang ada pada sumber.30
Kritik eksternal dilakukan dengan melihat kondisi kertas dan naskah
untuk menghindari pemalsuan dokumen serta melakukan upaya determinisme
pengarang atau penulis untuk meyakinkan bahwa nama yang tercantum dalam
dokumen adalah nama pengarang yang sebenarnya. Adapun kritik internal
dilakukan dengan menguji apakah suatu dokumen memiliki informasi yang
dapat dipertanggung jawabkan atau tidak. Surat kabar Medan Moeslimin, Islam
Bergerak, Ra’jat Bergerak, Sinar Djawa dan sumber-sumber sezaman yang
lain sudah mencukupi untuk dijadikan bukti kredibilitas dokumen tentang
pemikiran dan gerakan komunisme Islam. Dengan kritik internal maka akan
didapat data-data historis-faktual dengan memisahkan data-data yang sarat
dengan kandungan mitos dan subyektifisme yang tinggi.
29 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, hlm. 99. Lihat juga G.J. Reiner, Metode
dan Manfaat Ilmu Sejarah, terj. Muin Umar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1987), hlm. 176.
Salah satu kriteria sumber yang bisa dipakai, dalam konteks kritik eksternal, adalah tertulisnya
waktu. Soal waktu tidak harus ditulis dengan angka. Di dalam sejarah lokal, waktu ditandai
dengan sangkalan atau candrasangkala yaitu peringatan hitungan tahun dengan kalimat agar
mudah diingat. “Sengkalan puniko kawastanan tjandrasangkala, puniko pengetan etangin taun
mawi ukoro utawi ungel-ungelan, mboten mawi ongko. Perlunipun dipun pengerti mawi ongko
puniko supados gambil anggenipun ngenget-enget sarta mboten saged ewah. Raden
Bratakesawa, Katrangan Tjandrasangkala, hlm. 11. 30 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, hlm. 99-100
29
C. Teknik Analisa Data
Langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi yaitu memberikan
makna terhadap fakta sejarah yang telah ditemukan.31 Interpretasi
dikembangkan berbarengan dengan analisis. Di dalam analisa ini, diperlukan
teori-teori dari berbagai keilmuan yang terkait dengan temuan, seperti teori
konflik dan teori gerakan sosial. Interpretasi dilakukan untuk mengkaitkan
beberapa fakta menjadi penggalan peristiwa yang lebih utuh. Langkah terakhir
adalah historiografi atau penulisan sejarah. Adapun corak historiografi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah tematis-diakronis yaitu dengan
memaparkan fakta sesuai tema. Masing-masing tema dipaparkan secara
diakronis yaitu memanjang dalam waktu. Model ini merupakan model
historiografi dengan memperluas ruang, sehingga mudah dalam memahami
paparan sejarah sesuai tema bahasan.
31 Interpretasi sejarah merupakan rangkaian penting dalam riset sejarah yang harus
dilakukan dengan hati-hati. Interpretasi merupakan biang subyektifitas. Oleh karena itu,
interpretasi harus dilakukan dengan menganalisa suatu persoalan dengan tujuan mendekatai
kebenaran (obyektivitas) sedekat mungkin, dan menjauhkan dari prasangka-prasangka
(subyektivitas). Ibid., hlm. 16.
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
Dalam teori lingkaran sentral dikatakan bahwa dinamika sejarah
merupakan perkembangan logis dari berbagai peristiwa yang saling
berpautan.32 Sebuah kejadian akan memiliki akibat di sekitarnya. Dinamika
yang terjadi di Surakarta tentu tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh
dinamika yang terjadi di Hindia Belanda, dan terkait dengan berbagai peristiwa
dunia. Untuk itu, sebelum memaparkan kondisi Surakarta, perlu pemaparan
kondisi dunia dan Hindia Belanda awal abad XX sebagai faktor sosio-historis
yang melatarbelakangi munculnya dinamika dan pergerakan di Surakarta era
kolonial.
A. Kondisi Dunia Awal Era Kolonial
Pada era kolonial, tepatnya dua dasawarsa terakhir abad IX dan dua
dasa warsa pertama abad XX, dunia internasional ditandai dengan masa
keemasan imperialisme. Imperium Inggris dan Perancis yang berada di Asia
dan Afrika menjadi ancaman bagi negera-negara jajahan. Adapun Indonesia
32Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2003), hlm. 51.
31
berada di bawah jajahan Kerajaan Belanda.33 Kesadaran tentang keterjajahan
telah memunculkan kebangkitan masyarakat jajahan, yang dalam dunia Islam
disebut sebagai era reformisme.34
Di negara-negara muslim, para aktivis pergerakan telah
menghadirkan aktivitas pergerakan yang cukup sintetik sebagai respons
terhadap imperialisme Barat, sehingga memunculkan berbagai bentuk
pergerakan.35 Lemahnya dunia Islam dari berbagai segi pascakejayaan Dinasti
Mesin Serbuk,36 telah dimanfaatkan oleh bangsa Eropa Barat sebagai senjata
untuk menancapkan kaki imperialismenya atas dunia Islam. Munculnya
tatanan dunia baru dari Eropa Barat di era teknis modern telah memaksa umat
Islam untuk mengubah strategi pergerakan.
33Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm.
9. 34Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hm. 3. 35Gerakan Islam untuk menyesuaikan paham keagamaan dengan perkembangan
historisitas manusia yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
melepaskan umat Islam dari keterbelakngan sering disebut gerakan modernisme. Akan tetapi,
karena ada makna negatif di balik istilah modernisme, sebagian pemikir menggunakan istilah
pembaruan (reformisme). Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm.11-12. 36Dinasti Mesin Serbuk adalah Kerajaan Utsmani di Turki, Shafawi di Persia, dan
Mughal di India. Ketiganya merupakan simbol puncak kejayaan dunia material Islam, tetapi
lemah dalam sentuhan intelektual dan estetika. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,
Bagian I & II, terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 478.
32
Adanya pergumulan antara Islam dengan dinamika modernitas telah
mendorong munculnya para intelektual aktivis berorientasi Islam.37 Mereka
adalah para aktivis pergerakan, yang memahami aspek pelajaran tradisional
Islam, memiliki integritas intelektual yang mumpuni, serta terlibat langsung
dalam persoalan sosial budaya dan sosial politik. Pada awal abad XX, di dunia
Islam muncul gerakan Pan-Islam. Pan-Islam merupakan gerakan untuk
menyatukan seluruh dunia Islam dalam satu kekuasaan politik. Upaya yang
dilakukan oleh Sultan Salim I pada tahun 1917 ini menarik negara-negara
muslim yang sedang dalam kondisi tejajah. Pada perkembangan selanjutnya,
gerakan ini dipersempit menjadi sebuah kerja sama antarumat Islam di
berbagai negara.38
Pada sisi lain, Marxisme telah menemukan bentuk gerakan yang lebih
riil, dengan keberhasilan Partai Komunis Rusia dalam melakukan Revolusi
Bolshevik pada Oktober 1917. Kemenangan Revolusi Bolshevik telah
memberikan inspirasi kepada rakyat pekerja di beberapa negeri untuk
37John L. Esposito dan John O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer,
terj. Sugeng Haryanto et al. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. xxxv. 38Suminto, Politik Islam, hlm. 79-80.
33
melakukan perjuangan proletariat guna memperoleh kemenangan rakyat.39
Pada Februari 1918, Partai Komunis Rusia membentuk departemen khusus
organisasi Islam sebagai corong propaganda ke penduduk yang mayoritas
beragama Islam.40
Perkembangan Pan-Islam dan komunisme menjadi tantangan bagi
kaum imperialis Barat, karena keduanya memiliki bahaya yang sama.41 Selain
itu, kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905, Gerakan Turki Muda 1908, dan
Revolusi Tiongkok 1911 juga memengaruhi kebangkitan dunia timur dan
Islam.42 Perkembangan Pan-Islam, komunisme, dan kebangkitan di negara-
negara terjajah tersebut memiliki pengaruh kuat dalam pergerakan di Hindia
pada umumnya dan Surakarta pada khususnya.43
B. Hindia Belanda Awal Abad XX
39Njoto, Revolusi Oktober Rusia dan Revolusi Agustus Indonesia (Jakarta: Bintang
Merah, 1957), hlm. 393. 40Aliansi ini tidak berjalan lancar karena Lenin kemudian menjaga jarak dengan
kekuatan Pan-Islam yang dianggap hanya akan memperkuat poisisi para ulama (mullah). Arif
Zulkifli, Tan Malaka Bapak Republik yang Dilupakan (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2010), hlm. 58-59. 41W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial,
terj. Misbach Zulfa Ellizabet (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 268. 42Lapidus, Sejarah, hlm. 758-759. 43“Persatoeannja Djoemhoeriyah Toerky dengan Repoebliek Sovjet Roesland”
dalam Medan Moeslimin, Nomor 10, 1 April 1926, dan “Moskow-Communist”, dalam Medan
Moeslimin, Nomor 11, 5 Juni 1925, hlm. 175.
34
Kondisi Hindia Belanda awal abad XX sangat dipengaruhi oleh
transformasi negara-negara Barat menjadi negara industri. Kerajaan Belanda
kemudian menerapkan kebijakan ekonomi liberal pada tahun 1870. Kebijakan
ini tidak dapat meningkatkan kesejahteraan pertanian di Hindia, bahkan
sebaliknya, kondisi pertanian di Hindia semakin memburuk. Atas
pertimbangan kemanusiaan, maka atas Parlemen Belanda mengusulkan
perlunya kebijakan politik yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan
rakyat Hindia. Kebijakan itu kemudian dikenal dengan nama Politik Etis
(Etische Politiek).44
Politik Etis berawal dari pidato Ratu Wilhelmina tahun 1901 di Staten
Generaal yang menegaskan bahwa Kerajaan Belanda merasa mempunyai
kewajiban moral terhadap rakyat pribumi. Politik Etis bermula dari kritikan
kaum liberal terhadap Kerajaan Belanda, di antaranya datang dari C. Th. van
Devender, seorang ahli hukum Belanda yang pernah tinggal di Indonesia 1880-
1897. Ia menuliskan sebuah tulisan di surat kabar Belanda, bahwa Kerajaan
44Politik Etis (Ethische Politiek) dicetuskan oleh van Deventer, van Kol, dan
Brooshoft. Fikiran Ra’jat, Nomor 52, 30 Juni 1933, hlm. 3. Politik Etis dicetuskan ketika
orang Indo-Eropa awal abad XX sibuk dengan urusan politik dan ekonomi. Dalam perspektif
kaum pergerakan, tujuan dicetuskan Politik Etis sebenarnya hanya untuk memproduk tenaga
kerja terdidik, dan menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produk Barat. Aqib Suminto,
Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 100, dan Wertheim, Masyarakat
Indonesia, hlm. 48-49.
35
Belanda berutang kepada rakyat Indonesia, sehingga kebijakan Pemerintah
Hindia Belanda harus untuk kepentingan rakyat di tanah jajahan tersebut.45
Dari sinilah kemudian Politik Etis itu lahir. Walaupun Pemerintah Belanda
mencetuskan kebijakan Politik Etis, namun sebagimana disebutkan dalam surat
kabar Tjaja Hindia, Politik Etis adalah kebijakan yang tidak serius dari
Pemerintah Belanda. Hal ini terbukti dengan tidak adanya pemberitaan dari
berbagai surat kabar di negeri Belanda soal Politik Etis tersebut.
Jika sesoenggoehnja bangsa Belanda toeroet bertjangkarama dari
hal ethische politiek dan toeroet serta memikirkan keadaan assosiatie
ja’ni haloean jang dipakai oleh pemerintah oentoek membawa Hindia
ke tempat jang terang, wadjib dan haroes mereka itoe menjediakan
soeatoe tempat jang senonoh di dalam soerat-soerat chabarnja boeat
chabar atau rentjana perihal tanah Hindia.46
Politik Etis itu memberikan penekanan pada trilogi, yaitu pendidikan,
irigasi, dan emigrasi.47 Salah satu dampaknya adalah semakin semarak
pendirian lembaga pendidikan.48 Sebelumnya, masyarakat pribumi sudah
45Nurhayati et al., Sejarah Kerajaan, hlm. 170. Istilah Indonesia secara politik
merupakan padanan dari kata Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda). Fikiran Ra’jat, 24
Februari 1933, hlm. 17. 46“Oetjapan Selamat Tahoen Baroe Boeat Hindia”, dalam Tjaja Hindia, Nomor 11
Tahun V, 1 Maret 1916, hlm. 166. 47Enrest Henri Philippe Baudet & Izaak Johannes Brugmans, Politik Etis dan
Revolusi Kemerdekaan, terj. Amin S. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 101. 48Walaupun dunia pendidikan pribumi semakin semarak, namun posisi guru kurang
dihargai masyarakat. Bromartani, Nomor 3, 11 Januari 1931.
36
memiliki lembaga pendidikan yang disebut pondok pesantren yang
mengajarkan ilmu keagamaan,49 dan Pemerintah Hindia Belanda juga sudah
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, namun tidak berkembang. Adanya
perkembangan pendidikan juga memicu lembaga pendidikan tradisional untuk
melakukan penyesuaian diri dengan sistem pendidikan kolonial Barat, yaitu
dengan terbuka menerima perubahan.50
Politik Etis dimaksudkan untuk mempertahankan dan melanggengkan
daerah jajahan.51 Kemajuan yang terjadi masih dianggap sebagai kemajuan
semu, dan bukan kemajuan umum bagi bumiputra.52 Politik Etis dicetuskan
karena banyaknya modal asing yang masuk ke Hindia, sedangkan buruh
profesional masih sangat kurang. Alasan tersebut menunjukkan bahwa Politik
Etis dimaksudkan untuk memekarkan imperialisme, sebagaimana diterangkan
dalam surat kabar Fikiran Ra’jat, ”Di dalam hakekatnja, Etische Politiek ini
49Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam khas pribumi. Corak
pesantren adalah monastik yang mana murid-muridnya (santri) diajar oleh seorang Kyai. Karel
Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-
1942), terj. Suryan A. Jamrah (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 116. 50Ibid., hlm. 120. 51Indikasi kemajuan Hindia dengan menunjuk pada banyaknya bangsa asing yang
datang, barang produksi yang semakin canggih, banyaknya pabrik, banyaknya pertokoan, dan
banyaknya bumiputra yang menguasai bahasa asing, ditolak oleh segenap aktivis bumiputra
karena hal tersebut hanyalah kemajuan bagi kaum kapital dan pemerintah kolonial. Soerat
Hardjomartojo, “Hindia Kita dan Ra’jatnja”, dalam Islam Bergerak, 10 Oktober 1921, hlm. 1. 52 “Angan-angan Dibawa Beradoe”, dalam Tjaja Hindia, 1 Maret 1916, hlm. 175.
37
hanja membikin Indonesia masak oentoek mekarnja imperialisme”.53 Sinar
Hindia juga memberikan kritik terkait pendirian sekolah oleh Pemerintah
Hindia Belanda.
Ija mendirikan beberapa sekolahan jang berdasar perboedakan,
jang mana dengan politieknja itoe ija berpengharapan agar soepaja
dapatlah menegoehkan berdirinja kemodalan. Poen ija tidak loepa
menjebarkan boekoe-boekoe pengadjaran atau batjaan jang mana isinja
boekoe itoe tidak lain melainkan berisi didikan atas pertoeanan dan
hamba, ja lebih tegas berisi didikan atau berdasarkan petjah-petjahan.54
Tan Malaka juga mengkritik pendirian sekolah-sekolah pemerintah,
yang hanya sebagai topeng untuk menutupi kejahatan sosialnya. Prinsip
pemerintah Hindia Belanda dalam bidang pengajaraan hanya sebatas media
untuk menciptakan kaki-kaki dari kaum bumiputra. Dengan model pendidikan
tersebut, pemerintah berkeinginan supaya masyarakat tetap terkontrol sehingga
keamanan dan ketertiban umum dapat terpelihara.55
Awal abad XX juga ditandai dengan perubahan secara revolusioner,
yang ditandai dengan semakin semaraknya kegiatan jurnalisme dalam bentuk
penerbitan surat kabar, majalah, dan buku.56 Dalam sejarah perjuangan,
53Fikiran Ra’jat, Nomor 52, 30 Juni 1933, hlm. 3. 54“Hidoeplah SI Scholen”, dalam Sinar Hindia, 24 Januari 1924, hlm. 1. 55Tan Malaka, Aksi Massa (t.tp.: Teplok Press, 2000), hlm. 53. 56Dalam catatan Shiraishi, jumlah terbitan berkala dalam bahasa Melayu dan Jawa
pada Tahun 1890 terdapat 8 judul, dan pada Tahun 1905 menjadi 36 judul. Hal ini
38
jurnalisme bukan hanya sebagai industri bisnis percetakan dan penerbitan,
tetapi merupakan sarana pendidikan, penyebaran gagasan, alat perjuangan,
serta propraganda politik. Budaya baru yang tumbuh di kalangan “melek
huruf” ini berawal dari adanya para jurnalis bumiputra yang bekerja di
penerbitan Indo dan Tionghoa.57 Pada tahun 1903, Tirto Adhisoerjo
mendirikan dan memimpin Soenda Berita di Cianjur, sebuah surat kabar
pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan oleh kaum
bumiputra. Empat tahun berikutnya, ia mendirikan mingguan Medan Prijaji,
berbahasa Melayu dengan nuansa kritik sosial yang tajam.58 Medan Prijaji
adalah surat kabar milik Sarekat Prijaji yang diketuai oleh R.M.
Prawirodiningrat dengan Tirto Adhisoerjo sebagai sekretarisnya.59 Adhisoerjo,
bersama Samanhoedi, juga mendirikan harian Sarotomo di Semarang. Pada
tahun 1912, Tjokroaminoto mendirikan dan memimpin redaksi Oetoesan
Hindia sebagai corong utama perjuangan Sarekat Islam (SI). Di Bandung,
mengindikasikan perkembangan jurnalisme yang cukup signifikan. Shiraishi, Zaman Bergerak,
hlm. 42. 57 Istilah “Indo” menunjuk pada orang berdarah campuran. Golongan Indo pada
masa Pemerintah Hindia Belanda dimasukkan dalam rumpun bangsa Belanda.
“Pengoemoeman Pemerintah: Peringatan kepada Bangsa Belanda Indo”, dalam Soeara M.I.A.I,
1 Februari 1943, hlm. 7. 58Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm. 43-44. 59Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka Semesta,
2010), hlm. 355.
39
Abdoel Moeis menerbitkan surat kabar Kaoem Moeda. Pada tahun 1920,
Centraal Sarekat Islam (CSI) menerbitkan surat kabar bernama Pemberita
C.S.I. Surat kabar mingguan yang terbit di Yogyakarta ini memuat persoalan
sosial, politik, ekonomi, dakwah Islam, dan informasi bagi anggota SI.60
Pada tahun 1900 sudah ada dua surat kabar milik orang Indo di
Vorstenlanden, yaitu Djawi Kondo61 dan Retnadhoemilah. Pada tahun 1909, di
Surakarta terbit surat kabar Djawi Hiswara. Pada tahun 1914, Marco
Kartodikromo menerbitkan majalah Doenia Bergerak, disusul kemudian
Misbach dan Hisamzaijnie menerbitkan majalah Medan Moeslimin tahun 1915
dengan edisi pertama terbit tanggal 15 Januari 1915.62 Majalah Medan
Moeslimin terbit dengan mengemban misi untuk mengembangkan Islam dan
60Islam Bergerak, 20 Desember 1920, hlm. 2, dan 1 Februari 1921, hlm. 2. 61Redaktur surat kabar Djawi Kondo ini sering menyerang pegawai Medan
Moeslimin dan menfitnah Misbach dengan tujuan melemahkan Medan Moeslimin. Hal ini
ditanggapi dingin (didiamkan) oleh Misbach. Misbach, “Tanpa Judul”, dalam Islam Bergerak,
20 Januari 1917, hlm. 1. Tetapi Soewarno, bekas Hoofdredacteur Medan Moeslimin,
menanggapinya dengan menantang provokator Djawi Kondo tersebut. Soewarno, ”Pemberian
Taoe”, dalam Islam Bergerak, sepanjang tahun 1917, hlm. 2. 62Medan Moeslimin pada awalnya dicetak di Drukkerij B.O. Surakarta, tetapi karena
banyaknya pegawai Drukkerij B.O. yang keluar dari perusahaan, maka tidak sanggup lagi
mencetak Medan Moeslimin. Pada Tahun 1921, Medan Moeslimin dicetakkan di Drukkerij
PPPB di Yogyakarta. Somodiredjo, “Tjita-tjita”, dalam Islam Bergerak, 10 Januari 1921, hlm.
2.
40
menebar sifat humanisme;63 memberikan pemahaman yang mendalam tentang
Islam kepada kaum muslimin; mengoinformasikan tentang Islam kepada umat
non-muslim agar mereka tidak mencercanya.64 Selain menjadi media tukar
pikiran antarulama di Indonesia, surat kabar ini juga memuat artikel-artikel
keislaman yang ditulis oleh para ulama dari luar Indonesia.65 Pada tahun 1917,
di Surakarta juga muncul surat kabar Islam Bergerak,66 sebagai pendukung
Medan Moeslimin,67 terutama dalam menangkis serangan-serangan wacana
dari kelompok-kelompok anti Islam.68
Islam Bergerak juga menepis anggapan bahwa agama Islam tidak
mengajarkan etika sopan santun dan merintangi kemajuan. Tuduhan-tuduhan
63Medan Moeslimin, 22 Februari 1916, hlm. 153. Islam Bergerak dicetak di N. V.
Sie Dhian Ho milik pengusaha Tionghoa, tetapi mulai Tahun 1921 Islam Bergerak dicetak oleh
N.V. Setja Oesaha di Surabaya. Koesen, “Nasibnja I.B“, dalam Islam Bergerak, 10 Februari
1921, hlm. 1. 64Medan Moeslimin, 15 Agustus 1916, hlm. 212. 65Medan Moeslimin, Nomor 5, Tahun 1925, hlm. 69. 66Surat Kabar Islam Bergerak terbit setiap tanggal 1, 10, dan 20 bulan Masehi.
Setiap terbitan terdapat empat 4 halaman, dua halaman ditulis dengan huruf Latin berbahasa
Melayu, dan dua halaman lainnya ditulis dengan huruf Jawa. Islam Bergerak memiliki
keberpihakan yang tinggi terhadap bumiputra. Propaganda keberpihakan terhadap bumiputra
bukan hanya dalam headline dan pemberitaan lainnya, tetapi bahkan dalam kolom-kolom
iklan. Islam Bergerak, 10 April 1917, hlm. 2, dan 1 Mei 1917, hlm. 2. 67Medan Moeslimin, 15 September 1916, hlm. 24. 68Islam Bergerak, 20 Januari 1917, hlm. 1. Kedua media massa ini menantang para
pencela Islam dan menyindirnya sebagai “Radja Idjajil”. Islam Bergerak, 10 Februari 1917,
hlm. 2.
41
negatif atas Islam muncul karena tidak memahami agama Islam dengan baik.69
Penerbitan Islam Bergerak dimaksudkan untuk melawan siapapun yang
menghina Islam dan bumiputra,70 menerangkan soal-soal keislaman, dan
memberikan informasi tentang kebutuhan umat Islam dalam kehidupan.71
Kehadiran surat kabar ini menjadi media pertahanan diri dan perlawanan
terhadap surat kabar Kristen Mardi Rahardjo yang sering memojokkan umat
Islam.72 Dalam menentang dan melawan kelompok anti Islam, cara yang
digunakannya adalah argumentatif.73 Surat kabar ini juga memberikan
pemahaman bahwa Islam tidak melarang umatnya mengikuti tradisi modern
seperti memakai dasi, bermain sepak bola, dan berpakaian modern.74
Surat kabar revolusioner lainnya adalah Sinat Djawa yang diterbitkan
untuk pertama kali oleh SI Semarang pada tahun 1914. Mohammad Joesoef
menjadi redaktur bersama Saleh Handojomo, sedangkan pimpinan redaksi
69Islam Bergerak, 10 Maret 1917, hlm. 1. 70Islam Bergerak 10 Februari 1917, hlm. 1. 71Islam Bergerak, 10 Maret 1917, hlm. 1. 72S. “Mardi-Rahardjo Contra Islam-Bergerak”, dalam Islam Bergerak, 1 Oktober
1918, hlm. 1. 73Islam Bergerak, 10 Februari 1917, hlm. 1. 74Islam Bergerak, 10 Mei 1917, hlm. 1. Surat kabar ini ini juga menjadi media untuk
menyuarakan ketertindasannya, dan menjadi ajang komunikasi, konsultasi, dan advokasi bagi
pembacanya. Islam Bergerak, 20 Januari 1917, hlm. 1. Islam Bergerak juga memberikan
kolom hiburan mendidik bagi pembacanya, seperti kuis dengan nuansa kritik sosial. Islam
Bergerak, 1 Juni 1918, hlm. 2.
42
dipegang oleh P.H. Koesoemo.75 Ketika pimpinan redaktur dipegang oleh
Semaoen, Marco, dan Darsono, pada tahun 1918, namanya diubah menjadi
Sinar Hindia. Surat kabar ini sekaligus menjadi organ SI Semarang. Nama
Sinar Hindia kemudian berubah menjadi Api pada 1 Agustus 1924. Perubahan
ini didasarkan pada tiga alasan, yaitu: nama Hindia sering tertukar dengan
nama India (British-Indie), sudah tidak sesuai dengan kehendak rakyat yang
menuntut kemerdekaan melalui perjuangan kasta, dan singkatan S.H. mudah
keliru dengan nama-nama lainnya.76 Nama Api memiliki filosofi yang
mendasar, yaitu unsur semesta yang digunakan untuk memasak makanan,
menerangi tempat gelap, membinasakan kotoran, dan menyembuhkan
penyakit. Dengan kata lain, Api dimaksudkan untuk melenyapkan
kapitalisme.77
Media-media tertulis tersebut mempunyai peran yang cukup strategis
dalam melakukan propaganda perjuangan organisasi. Topik-topik terkait
dengan kesetaraan sosial, egalitarianisme kemanusiaan, dan perlawanan
terhadap penindasan menjadi tema penting yang banyak dibicarakan oleh
75“Surat Kabar Sinar Hindia, Melawan Pemerintah Kolonial Belanda dengan
Tulisan”, dalam Suara Merdeka, 20 Desember 2005. 76“Sinar Hindia Pindah Nama Api”, dalam Api, 1 Agustus 1924, hlm. 1. 77Rangsang, “Samboetan Pada Perobahan Nama Orgaan Kita”, dalam Api, 1 Agustus
1924, hlm. 1.
43
sejumlah media massa waktu itu.78 Masalah moral juga menjadi sorotan dalam
berbagai media, seperti kasus pergundikan wanita Indonesia yang dilakukan
oleh laki-laki Eropa dan Tionghoa. Orang-orang pribumi menganggap
pergundikan ini sebagai penghinaan terhadap perempuan Indonesia, terlebih-
lebih ketika mekanisme pergundikan ini dilembagakan. Pada akhir 1913,
Pantjaran Warta melancarkan kecaman terhadap lembaga pergundikan yang
dilakukan oleh orang Eropa. Harian ini menuntut dilakukannya pernikahan
yang sah terhadap perempuan-perempuan Jawa.79 Topik-topik yang
menyangkut masalah gender juga menjadi bahan diskusi di media massa. Soal
fikih perempuan menjadi tema penting dalam Medan Moeslimin.80
78Misbach, “Orang Bodo Djoega Machloek Toehan, Maka Fikiran Jang Tinggi
Djoega Bisa Didalam Otaknja”, dalam Islam Bergerak, 10 Maret 1919, dan Marco
Kartodikrama, “Marco: Pro of Contra Dr. Rinkes”, dalam Doenia Bergerak, Nomor 1 Tahun
1914, hlm. 3-8. 79Korver, Sarekat Islam, hlm. 45. 80Tema-tema gender itu antara lain: kebebasan memilih jodoh bagi gadis-gadis, hak-
hak seorang istri, dan wacana tentang poligami. Siti Soendari Darmobroto, “Nasibnja
Perempoean”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 10-11, Tahun 1916, hlm. 270-273 dan 302,
serta Medan Moeslimin, Nomor 1, 15 Januari 1917, hlm. 17-19. Islam Bergerak juga
melanjutkan tradisi pengembangan wacana gender dan emansipasi wanita dalam bingkai fikih
perempuan. K.A. Minoek, “Keadaan Lelaki dan Prampoean Djawa” dalam Islam Bergerak, 1
Januari 1921, hlm. 1, Red I.B., “Noot”, dalam Islam Bergerak, 1 Januari 1921, hlm. 1-2,
“Boeah Fikiran”, dalam Islam Bergerak, 20 Juli 1922, hln. 1, Raden Roro Hartijah, “Soeara
dari Pihak Perempoean, Penglihatan Sadja”, dalam Islam Bergerak, 20 Juni 1922, hlm. 1, dan
Siti Asijah, “Awas Perempoean”, dalam Islam Bergerak, 20 Juni 1922, hlm. 2.
44
Harian Kaoem Moeda pada awal tahun 1915 memberikan kecaman
terhadap suatu pernikahan antara putri seorang Bupati dengan perwira Eropa
yang tidak menganut agama Islam. Pada tahun yang sama, harian ini juga
menolak pernikahan campuran dengan orang Eropa, meskipun kedua pasangan
tersebut menganut agama Islam, karena dianggap membahayakan kemurnian
bangsa pribumi.81
Perkembangan pesat di dunia jurnalisme tersebut menunjukkan
adanya perubahan besar dalam bidang kebudayaan, yang juga berdampak pada
aspek politik. Pemerintah sering tidak adil dalam memberlakukan kebijakan
terhadap dunia pers. Sebagai contoh, ada surat kabar Belanda yang isinya
sering mendidihkan hati orang Jawa, tetapi dibiarkan oleh pemerintah. Ketika
ada pers Jawa mengkritik pemerintah, maka dianggap melanggar peraturan
pers. Banyak surat kabar bumiputra yang terbit pada era 1900-an yang
dianggap merugikan pemerintah.82
Media massa dalam bentuk surat kabar tersebut di atas diperlukan
sebagai alat perjuangan untuk mengubah nasib rakyat. Surat kabar dipilih
sebagai alat perjuangan karena dianggap efektif dalam menciptakan opini
81Korver, Sarekat Islam, hlm. 45. 82Islam Bergerak, 20 Juni 1917, hlm. 1.
45
publik, sehingga pengaruh gagasan-gagasan yang ditulis akan sampai pada
pembaca dengan cepat dan meluas.83 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
setiap perhimpunan memiliki organ dalam bentuk surat kabar. Sejumlah surat
kabar bumiputra semakin semarak sebagai sebuah media menyalurkan aspirasi
pada saat surat kabar di negeri Belanda tidak pernah menyinggung kondisi
tanah Hindia.84
Awal abad XX juga ditandai dengan berdirinya berbagai
perhimpunan, seperti Insulinde (1907), Boedi Oetomo (1908), Sarekat Dagang
Islamijah (1909), Indische Partij (1911), Sarekat Islam (1912), dan Indische
Social-Democratische Vereeniging (1914).85 Hal ini menandakan munculnya
dinamika sosial politik baru di Hindia Belanda.
C. Dinamika dan Pergerakan di Surakarta
83Marhaen Indonesia, “Pers dan Pergerakan”, dalam Fikiran Ra’jat, 3 Februari 1933,
hlm. 6-8. 84Kritik terhadap surat kabar-surat kabar di Negeri Belanda kemudian muncul di
surat kabar mingguan De Amsterdammer yang ditulis oleh Raden Bonang. Ia mengusulkan
agar dalam surat kabar di negeri Belanda memberi ruang bagi perbincangan soal kondisi di
Hindia. “Oetjapan Selamat Tahoen Baroe Boeat Hindia”, dalam Tjaja Hindia, 1 Maret 1916,
hlm. 166. 85George D. Larson, Prelude to Revolution: Palaces and Politics in Surakarta 1912-
1942 (Holland & USA: Foris Publication, 1987), hlm. 27 & 50, Ricklefs, Sejarah Indonesia,
hlm. 261, Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih (Genewa: t.p., 1951), hlm. 181,
dan Wertheim, Masyarakat, hlm. 50.
46
Penelitian ini ini bermaksud memaparkan gejala-gejala sejarah yang
terjadi di Surakarta pada awal abad XX. Kajian sejarah dan etnografi di
Surakarta ini penting karena Surakarta merupakan kota yang dinamis, dan
memiliki jejak-jejak sejarah sosial politik dan keagamaan. Pemaparan tentang
kondisi sosio-historis Surakarta awal abad XX ini didasarkan pada naskah dan
dokumen klasik sebagai saksi sejarah tentang wajah dan dinamika kota
tradisional tersebut.
Dengan memahami kondisi sosio-historis Surakarta pada awal abad
XX, maka dapat menjadi rujukan untuk melihat dinamika Surakarta modern.
Dalam teori lingkaran sentral dinyatakan bahwa dinamika sejarah merupakan
perkembangan logis dari serentetan gejala sejarah yang saling berpautan.86
Gejala-gejala tersebut meliputi gejala yang terkait dengan aspek sosial budaya,
ekonomi, politik, dan keagamaan.
Potret-potret masa lalu Surakarta dipaparkan menjadi sebuah
historiografi dengan model tematis-kronologis, yakni sebuah paparan yang
berangkat dari tema, dan di dalam tema terdapat aspek kronologi peristiwa.
1. Kondisi Sosial Budaya
Di dalam sejarah pergerakan nasional dan pembaruan Islam, Surakarta
merupakan salah satu kota penting di Jawa. Kota Surakarta berada di posisi
Jawa bagian tengah yang sering juga disebut Vorstenlanden, sebagaimana kota
Yogyakarta. Vorstenlanden berarti Land of the Kings ( Tanah Raja-Raja ).
86 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2003), hlm. 51.
47
Vorstenlanden menjadi wilayah teritorial Pemerintah Hindia Belanda yang
diorganisir oleh pejabat kolonial yang disebut sebagai Residen, sehingga
Surakarta menjadi sebuah kota Karesidenan. Surakarta, sebagaimana juga
Yogyakarta, memiliki kekhususan yaitu adanya sifat semi otonom. Hal ini
sekaligus menunjukkan adanya ambiguitas karena di satu sisi Surakarta berada
di dalam kekuasaan Kasunanan dan Kadipaten Mangkunegaran, dan pada sisi
yang lain menjadi wilayah teritorial Pemerintah Kolonial Belanda.87
Vorstenlanden juga sering disebut zelsbestuur (pemerintahan yang mandiri),
tetapi kemandiriannya hanya semu.88
Surakarta, sebagai negara tradisional, menempatkan raja pada titik
sentrum lingkaran sosial politik masyarakat. Perubahan dinamis yang terjadi
pada abad ke-20 di Surakarta telah menyebabkan perubahan budaya dan
hubungan sosial. Sebelumnya, kondisi masyarakat sangat terkait dengan
struktur relasi antara Susuhunan dengan Gouvernemen, tetapi setelah zaman
pergerakan hubungan orang-orang pergerakan dengan Gouvernemen lebih
mendominasi dan memiliki dampak sosial politik.89 Hal ini menandakan era
baru dalam struktur sosial dan budaya di Surakarta. Posisi sosial politik kraton
yang melemah telah digantikan oleh kaum pergerakan.
87 George D. Larson, Prelude To Revolution, Palaces and Politics in Surakarta
1912-1942 (Holland & USA: Foris Publication, 1987), hlm. 1. 88 Posisinya sebagai zelsbestuur palsu manjadi salah satu sebab semakin
terbebaninya rakyat. Islam Bergerak, Edisi 1 Oktober 1918, hlm. 2. 89 Dwi Ratna Nurhayati et. al., Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta (Jakarta:
Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia, 1999), hlm. 157&170. Kerajaan
Kasunanan Surakarta wilayahnya meliputi Kota Surakarta selatan jalur kereta api dan beberapa
kabupaten yaitu Sragen, Boyolali, Ampel, Klaten, Kartasura dan Larangan (Sukoharjo),
sedangkan Wonogiri menjadi wilayah Kadipaten Mangkunegaran. Ibid., hlm. 161-162.
Koesen, “Tanah Djawa Bergontjang” dalam Islam Bergerak, Edisi 1 Oktober 1919, hlm. 1.
48
Kota Surakarta merupakan kota tradisional yang ditandai dengan
pembagian spasial yang jelas berdasarkan status sosial dan dekatnya
kedudukan pemukim dengan kraton. Kota ini merupakan pusat kerajaan Jawa
dimana kraton berada dan memantapkan struktur masyarakat yang hierarkis.
Struktur masyarakat yang hierarkis ini sebenarnya sudah diawali pada masa
pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M) yang mulai
membentuk dan mengatur birokrasi kerajaan.
Di dalam arsip-arsip sebelum Perjanjian Giyanti 1755 M,
diketemukan naskah nomor 1 yang berisi catatan pembagian wilayah kerajaan,
struktur birokrasi dan nama-nama prajurit Mataram. Sultan Agung juga
membentuk dan mengatur birokrasi kerajaan serta nama-nama abdi dalem.
Pembentukan struktur masyarakat yang hierarkis ini dilanjutkan oleh
Susuhunan Amangkurat I (1645-1677 M). Hal ini diketemukan di naskah
nomor 2 yang menjelaskan bahwa Susuhunan Amangkurat I membuat aturan
(undang-undang) yang mengatur tentang gelar dan pangkat untuk keluarga
Kerajaan Mataram.90
Secara sosiologis, konteks struktur sosial masyarakat Surakarta sangat
kuat dengan susunan hierarkisnya. Di dalam struktur masyarakat Surakarta
berlaku hubungan patron-klien, yang menurut istilah Jawa disebut sebagai
hubungan gusti-kawulo. Istilah hubungan gusti-kawulo ini diterapkan dalam
pemerintahan di Surakarta sebagai salah satu pusat kerajaaan Jawa, dengan
90 S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hlm. 1-3.
49
menganalogikan raja sebagai patron dan rakyat sebagai klien.91 Struktur
hierarkis ini begitu mengakar yang ditandai dengan fakta linguistik, yaitu
adanya bahasa yang bertingkat: ngoko, kromo, dan kromo inggil.92
Struktur hierarkis tersebut mengindikasikan bahwa posisi raja berada
di atas rakyat. Dalam struktur patron-klien, seorang raja diposisikan sebagai
poros dunia. Raja adalah patron, penguasa wilayah dan penguasa politik. Posisi
raja sebagai penguasa wilayah diwujudkan dalam bentuk kepemilikan tanah.
Sedangkan secara politis, raja adalah pucuk pimpinan monarkhi tertinggi yang
memiliki wewenang penuh untuk mengatur kehidupan rakyatnya. Terkait
dengan soal ekonomi masyarakat, struktur patron-klien menekankan bahwa
raja adalah pemilik tanah sedangkan rakyat sebagai pemilik tenaga kerja.93
Struktur hierarkis yang demikian sebenarnya mewarisi tradisi raja-raja
Jawa sebelumnya. Dampaknya, Surakarta sebagai pusat kekuasaan raja Jawa
juga sangat kental dengan struktur masyarakat yang hierarkis. Sebagai pusat
kerajaan, di kota ini banyak para bangsawan istana bermukim, disamping juga
menjadi pusat kajian kebudayaan, bahasa dan ilmu pengetahuan. Hal ini
ditandai berdiri Instituut Voor de Javaansche Taal (Lembaga Pendidikan
Kerajaan Untuk Bahasa Jawa) tahun 1832 M yang menekankan pembelajaran
91 Suhartono W. Pranoto, Jawa: Bandit-Bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 82-83. 92 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, terj. Tim Gramedia, Jilid 3 (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 59. 93 Suhartono W. Pranoto, Jawa : Bandit-Bandit Pedesaanm Studi Historis 1850-
1942, hlm. 83.
50
bahasa dan etika Jawa. Lembaga ini didirikan oleh Gericke di Surakarta yang
akhirnya bubar pada tahun 1843.94
Kota Surakarta juga melahirkan para pujangga kraton yang telah
banyak memproduk karya-karya sastra baik dalam bentuk serat, babad maupun
suluk.95 Diantara para pujangga dan karya sastra yang terkenal adalah Kyai
Yasadipura I (Serat Bratayudha, Serat Rama, Babad Gianti, Suluk Dewaruci),
KGPAA Amangku Nagara II yang setelah menjadi raja bergelar Susuhunan
Pakubuwana V (penggagas penggubahan Serat Centini), Kyai Ranggasutrasna,
R. Ng. Sastradipura (bersama R.Ng. Yasadipura I menggubah Serat Centini),
Sri Susuhunan Pakubuwana IV (Serat Wulangreh), Sri Mangunagara IV (Serat
Wedhatama), Yasadipura II (Babad Pakepung), R. Ng. Ranggasasmita (Suluk
Martabat Sanga), R. Ng. Ranggawarsita (Serat Wirid Hidayat Jati, Serat
Kalatidha, Babad Itih)96 dan masih banyak pujangga dan naskah lain. Beberapa
naskah ditulis tanpa nama pengarang.
94 C.F. Winter, Javaavsche Zamen Spraken II (Jakarta: Balai Pustaka, 1928), hlm.v. 95 Serat menjadi genre sastra Jawa yang sifatnya umum sedangkan suluk adalah
karya sastra Jawa yang bersifat Islam yang berisi ajaran tasawuf. Marsono,”Genre Sastra
Nuansa/Kitab Islam” dalam Modul Kuliah Filologi Program Doktor Sejarah Kebudayaan Islam
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2009. Adapun babad berisi
teks yang menceritakan tentang kejadian sesuatu wilayah atau daerah dengan tokohnya. Babad
juga sering berisi kronik kraton yang melukiskan kehidupan raja-raja, para penasehat dan
pemberontakan-pemberontakan yang terjadi. Mark R. Wordward, Islam Jawa, Kesalehan
Normatif Versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm.12. 96 H. J. de Graaf, “Sumber-Sumber Sejarah Pulau Jawa dari Zaman Mataram dan
Historiografi” dalam Soedjatmoko et. al. (ed.), Historiografi Indonesia (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1995), hlm. 112-113. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 84. Marsono,
Pernaskahan Islam Jawa (Yogyakarta: t. p., t. th.), hlm. 16. Nancy K. Florida, Writing the
Past, Inscribing the Future, History as Prophesy in Colonial Java (North Carolina: Duke
University Press, 1995), hlm. 1.
51
Pada awal abad ke-20 juga ditandai dengan adanya Politik Etis
(Etische Politiek).97 Titik awal Politik Etis ini adalah pidato Ratu Wilhelmina
tahun 1901 di Staten Generaal yang menegaskan bahwa Kerajaan Belanda
merasa mempunyai kewajiban moral terhadap rakyat pribumi. Politik Etis
bermula dari kritikan kaum liberal kepada Pemerintah Hindia Belanda, di
antaranya datang dari C. Th. van Devender, seorang ahli hukum Belanda yang
pernah tinggal di Indonesia 1880-1897 yang menuliskan sebuah tulisan di surat
kabar Belanda, bahwa Belanda berhutang pada rakyat Indonesia, sehingga
kebijakan pemerintah Hindia Belanda harus untuk kepentingan rakyat.98 Dari
sinilah kemudian Politik Etis itu lahir.
Akan tetapi kendati sudah terlahir Politik Etis, pada kenyataanya
surat-surat kabar di negeri Belanda hampir tidak pernah menyinggungnya. Jika
itu kebijakan tulus untuk memajukan Hindia mestinya ada perhatian serius dari
pemerintah di Negeri Belanda untuk banyak membicarakan soal aplikasi
Politik Etis tersebut. Surat Kabar Tjaja Hindia menyebut bahwa Politik Etis
adalah kebijakan yang tidak serius dari pemerintah Belanda. Hal ini terbukti
dengan tidak adanya pemberitaan dari berbagai surat-surat kabar di negeri
Belanda soal Politik Etis tersebut.
Jika sesoenggoehnja bangsa Belanda toeroet bertjangkarama dari
hal ethische politiek dan toeroet serta memikirkan keadaan assosiatie
,ja’ni haloean jang dipakai oleh pemerintah oentoek membawa
Hindia ke tempat jang terang, wadjib dan haroes mereka itoe
97 Politik Etis (Ethische Politiek) dicetuskan oleh van Deventer, van Kol dan
Brooshoft. Fikiran Ra’;jat, Nomor 52, Edisi 30 Juni 1933, hlm. 3. 98 Nurhayati et. al., Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, hlm. 170. Istilah
Indonesia secara politik merupakan padanan dari kata Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda).
Fikiran Ra’jat, Edisi 24 Pebruari 1933, hlm. 17.
52
menjediakan soeatoe tempat jang senonoh di dalam soerat-soerat
chabarnja boeat chabar atau rentjana peri hal tanah Hindia.99
Politik Etis itu memberi penekanan pada trilogi yaitu pendidikan,
irigasi dan emigrasi.100 Salah satu dampaknya adalah semakin semarak
pendirian lembaga pendidikan.101 Sebelumnya, bahkan sebelum hadirnya
kolonial di nusantara, masyarakat pribumi sudah memiliki lembaga pendidikan
yang disebut Pesantren yang mengajarkan ilmu keagamaan.102 Sebelum Politik
Etis, pemerintah Hindia Belanda juga sudah mendirikan sekolah-sekolah
dengan berbagai varian. Kebijakan dalam Politik Etis memiliki dampak yang
signifikan dalam dunia pendidikan di Indonesia, baik secara kuantitas maupun
kualitas. Adanya perkembangan pendidian juga memicu lembaga pendidikan
tradisional untuk melakukan penyesuaian diri dengan sistem pendidikan
kolonial Barat, yaitu dengan terbuka menerima perubahan tanpa meninggalkan
akar tradisinya.103
99 “Oetjapan Selamat Tahoen Baroe Boeat Hindia” dalam Tjaja Hindia, Nomor 11
Tahun V, Edisi 1 Maret 1916, hlm. 166 100 Enrest Henri Philippe Baudet & Izaak Johannes Brugmans, Politik Etis Dan
Revolusi Kemerdekaan, terj. Amin S. (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 101. 101 Walaupun dunia pendidikan pribumi semakin semarak namun posisi guru kurang
dihargai orang banyak. Dalam surat kabar Bromartani dikatakan: “Kaoem goeroe dalam
pergaoelan hidoep tiada dapat harga jang sepadan dengan kepentingan pekerdjaannja, sehingga
boeah pekerdjaannja ta’ begitoe dihargai orang banjak”. Bromartani, Edisi 11 Januari 1931,
Nomor 3. 102 Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam khas pribumi. Corak pesantren
adalah monastic dimana murid-muridnya (santri) diajar oleh seorang Kyai. Kajian di pesantren
menitikbertakan pada pendidikan membaca Al-Qur’an, pelaksanaan sembahyang, dan pelajatan
tentang kewajiban-kewajiban pokok dalam agama. Karel Steenbrink, Kawan Dalam
Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), terj. Suryan A.
Jamrah (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 116. 103 Ibid., hlm. 120.
53
Politik Etis ini dicetuskan ketika orang Indo-Eropa awal abad ke-20
sibuk dengan urusan politik dan ekonomi. Dalam perspektif Pemerintah
Kolonial Belanda, tujuan dicetuskan Politik Etis sebenarnya hanya untuk
memproduk tenaga kerja terdidik dan menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi
produk Barat.104 Dengan kata lain, Politik Etis diperuntukkan untuk
mempertahankan dan melanggengkan daerah jajahan.
Aktivis pergerakan bumiputra melihat bahwa kemajuan yang
dikampanyekan kaum etis sebenarnya hanyalah kemajuan bagi kaum kapital.
…kita dapat dan bisa membilangkan bahwa kita tidak bisa
bergerak apa-apa, tetapi KAPITALIST JANG MADJOE….Madjoe
banjaknja, madjoe kapitaalnja, madjoe kerasnja, madjoe dajanja,
madjoe menindasnja kepada kita, dan madjoe poela menelannja tanah
dan hasil kita.105
Hasil tanah Hindia senantiasa bertambah-tambah jang membawa
kemoeljaan orang-orang jang sengadja mentjari keoentoengan kemari,
tetapi kemadjoean ra’;jat boeat mempertahankan haknja beloem ada
njatanja. Begitoelah boesoeknja kemadjoean tanah Hindia timoer
ini.106
104 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 100. 105 Koesen, “Rasa Maksoed dan Rasa Keadaan” dalam Islam Bergerak, Edisi 1
Nopember 1921, hlm. 1. 106 Indikasi kemajuan Hindia dengan menunjuk pada banyaknya bangsa asing yang
datang, barang produksi yang semakin canggih, banyaknya pabrik, banyaknya pertokoan dan
banyaknya bumiputra yang menguasai bahasa asing ditolak oleh segenap aktivis bumiputra
kaarena hal tersebut hanyalah kemajuan bagi kaum kapital dan Pemerintah Kolonial. Soerat
Hardjomartojo, “Hindia Kita dan Ra’jatnja” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Oktober 1921,
hlm. 1.
54
Kemajuan yang terjadi massih dianggab sebagai kemajuan nafsi-nafsi
bukan kemajuan umum bumiputra.107 Politik etis dicetuskan karena banyaknya
modal asing yang masuk ke Hindia, sementara buruh profesional masih sangat
kurang, dan pelabuhan terlalu kecil, serta jumlahnya sedikit. Alasan tersebut
menunjukkan bahwa Politik Etis sesungguhnya dimaksudkan untuk
memekarkan imperialisme. Hal ini diterangkan dalam surat kabar Fikiran
Ra’jat: ”Di dalam hakekatnja, Etische Politiek ini hanja membikin Indonesia
masak oentoek mekarnja imperialisme”.108 Sinar Hindia memberikan kritik
terkait pendirian sekolah-sekolah oleh pemerintah Hindia belanda.
Ija mendirikan beberapa sekolahan jang berdasar perboedakan,
jang mana dengan politieknja itoe ija berpengharapan agar soepaja
dapatlah menegoehkan berdirinja kemodalan. Poen ija tidak loepa
menjebarkan boekoe-boekoe pengadjaran atau batjaan jang mana isinja
boekoe itoe tidak lain melainkan berisi didikan atas pertoeanan dan
hamba, ja lebih tegas berisi didikan atau berdasarkan petjah-
petjahan.109
Pendirian sekolah oleh pemerintah Hindia Belanda, oleh Tan Malaka,
dianggap sebagai topeng untuk menutupi kejahatan sosialnya, karena prinsip
pemerintah Hindia Belanda dalam bidang pengajaraan adalah bahwa bangsa
Indonesia harus tetap bodoh supaya ketenteraman dan keamanan umum tetap
terpelihara.110
107 “Angan-Angan Dibawa Beradoe” dalam Tjaja Hindia, Edisi 1 Maret 1916, hlm.
175. 108 Fikiran Ra’jat, Nomor 52, Edisi 30 Juni 1933, hlm.3. 109 Hidoeplah SI Scholen” dalam Sinar Hindia, Edisi 24 Januari 1924, hlm. 1. 110 Tan Malaka, Aksi Massa (t. k. : Teplok Press, 2000), hlm. 53.
55
Akan tetapi, Politik Etis sebagai politik balas budi dari “penjahat”
yang menjajah tersebut, justru melahirkan kalangan terdidik pribumi yang
sadar akan keterjajahannya sehingga mampu melakukan pergerakan anti
kapitalisme dan kolonialisme yang justru membahayakan Pemerintah Kolonial.
Dengan kata lain, Politik Etis menjadi bumerang bagi Pemerintah Kolonial.
Kebijakan yang orientasinya untuk perubahan tata nilai pribumi justru menjadi
titik awal munculnya pergerakan. Misbach yang pernah bersekolah di sekolah
Bumiputra Ongko Loro111 adalah contoh kecil dari produk sekolah model Barat
yang menjadi bumerang bagi Pemerintah Belanda sendiri.
Seiring dengan diberlakukannya Politrik Etis, kondisi sosial budaya di
Vorstenlanden juga ditandai dengan kebijakan Pemerintah Kolonial yang
bertindak untuk menghapuskan lambang-lambang feodalisme bangsawan
Jawa.112 Pada awal tahun 1900-an, posisi kaum bangsawan di kota Surakarta
111 Sekolah Ongko Loro (2e) adalah sekolah untuk kaum kromo. Adapun bagi anak-
anak priyayi disediakan sekolah H. I .S. dan untuk anak-anak Tionghoa disediakan sekolah H.
C. S. Adapun Lagere School (H. B. S.) dan MULO (setingkat SMP) adalah sekolah yang
diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan yang dianggap sederajat. Mhd. Kasan,
“Berhoeboeng Congres P.G.H.B. “ dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Agustus 1919, hlm. 1.
Sekolah Ongko Loro sering disebut ”sekolah desa” yang alumninya kurang mendapat
pelajaran yang mencukupi, sehingga kebanyakan alumninya harus hidup bertani mengikuti
orang tuanya. Islam Bergerak, Edisi 10 Desember 1919, hlm. 2. Soal diskriminasi pendidikan
zaman kolonial baca Soebandrijo, “Onderwijsstelsel di Hindia” dalam Islam Bergerak, Edisi
10 Nopember 1919, hlm. 2. Kaoemaner, “Onderwijs Boeat Hindia” dalam Islam Bergerak,
Edisi 10 Oktober 1919, hlm. 2. 112 Raja-raja Jawa dan para Residen Surakarta pada akhir abad ke-19 sampai awal
abad ke-20 adalah sebagai berikut. Pemerintahan Pakubuwana X (30 Maret 1893-1939),
Mangkunegara VI (21 Nopember 1896-1916), Residen A. J. Spaan (2 Nopember 1884 - 5
April 1890), O. A. Burnabju Lautier (5 April 1890 - 9 Juni 1894), L. T. H. L. M. Hara Siccama
(15 Agustus 1894 - 9 April 1897), W. de Vogee (8 April 1897 - 4 Pebruari 1905), dan van
Wijk (30 Januari 1909 - 3 April 1914). G. F. Van Wijk, Solo Tahun 1909-1914, terj. R. T. M.
Husodo Pringgo Kusumo (Surakarta, 1914), hlm. 1. Memori Van Overgave ini diperoleh di
Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran nomor katalog 1415.
56
mulai merosot dan kehilangan elan vital, baik secara politik, sosial maupun
ekonomi. Hal ini disebabkan oleh jumlah mereka yang terus bertambah,
sedangkan jumlah fungsi dan peran yang tersedia dan menjadi sumber
penghasilan terbatas. Kemerosotan juga terjadi akibat semakin majunya
pemikiran masyarakat Surakarta yang berani mengkritik kekuasaan otokrasi.
Dalam situasi sosial budaya yang demikian, sistem lapisan sosial
mulai terlihat pecah. Kalangan ningrat masih dengan keras mempertahankan
berlakunya aneka ragam perbedaan status antara bangsawan dan warga biasa,
termasuk terkait dengan masalah pakaian. Motif batik tertentu dan terindah
hanya boleh dipakai oleh kalangan bangsawan. Pesta-pesta yang digelar oleh
orang biasa, seperti pesta pernikahan, tidak boleh diselenggarakan dengan
mewah, dan juga mereka tidak boleh naik kendaraan melalui alun-alun Kraton
Surakarta.113 Sebagian kalangan bangsawan Jawa justru berfikir tidak positif
yaitu menganggap bahwa pudarnya pamor bangsawan Jawa karena pengaruh
penyebaran Islam.114 Hal ini mungkin disebabkan karena pada awal abad XX
terjadi intensitas penyebaran Islam yang cukup intensif.
Selain itu, awal abad ke-20 juga ditandai dengan semakin semaraknya
kegiatan jurnalisme sebagai akibat dari Politik Etis. Semaraknya jurnalisme ini
ditandai dengan munculnya banyak penerbitan, surat kabar, majalah dan buku.
Dalam sejarah perjuangan, jurnalisme bukan hanya sebagai industri bisnis
percetakan dan penerbitan, tetapi slebih merupakan sarana pendidikan,
113 Korver, Sarekat Islam, hlm. 12. 114 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 196.
57
penyebaran gagasan, dan bahkan sebagai alat perjuangan serta propraganda
politik.
Pada awalnya para jurnalis bumiputra hanya bekerja di penerbitan
Indo dan Tionghoa.115 Pada tahun 1903, Tirto Adhisoerjo mendirikan dan
memimpin Soenda Berita di Cianjur, sebuah surat kabar pertama yang dibiayai,
dikelola, disunting dan diterbitkan oleh bumiputra. Empat tahun berikutnya, ia
mendirikan mingguan Medan Prijaji. Harian ini berbahasa Melayu dengan
nuansa kritik sosial yang sangat tajam.116 Medan Prijaji adalah surat kabar
milik Sarekat Prijaji yang diketuai oleh R. M. Prawirodiningrat dengan Tirto
Adhisoerjo sebagai sekretarisnya.117
Tirto Adhisoerjo juga mendirikan harian Sarotomo di Semarang.
Harian ini terbit atas kerjasama Tirto Adhisoerjo dengan Samanhoedi. Pada
1912 Oemar Said Tjokroaminoto mendirikan dan sekaligus menjadi pemimpin
redaksi Oetoesan Hinda. Koran ini merupakan corong utama perjuangan
Sarekat Islam. Di Bandung juga terbit Kaoem Moeda di bawah pimpinan
Abdoel Moeis. 118
115 Istilah “Indo” di sini adalah oranh berdarah campuran belanda-Indonesia.
Golongan Indo pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimasukkan dalam rumpun bangsa
Belanda. “Pengoemoeman Pemerintah; Peringatan kepada bangsa Belanda Indo” dalam Soeara
M.I.A.I, Edisi 1 Pebruari 1943, hlm. 7. 116 Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm. 43-44. 117 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka
Semesta, 2010), hlm. 355. 118 Dalam catatan Takashi Shiraishi, jumlah terbitan berkala dalam bahasa Melayu
dan Jawa pada tahun 1890 terdapat 8 judul dan pada tahun 1905 menjadi 36 judul. Takashi
Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa Tahun 1912-1926, hlm. 42. Pada
tahun 1920 Central Sarekat Islam (CSI) memiliki organ lagi yang bernama Pemberita C. S. I.
yang diterbitkan di Yogyakarta. Surat kabar mingguan ini memuat persoalan sosial, politik,
58
Di Vorstenlanden, pada tahun 1900 sudah ada dua surat kabar milik
orang Indo yaitu Djawi Kondo119 dan Retnadhoemilah. Pada tahun 1909 empat
surat kabar lainnya juga muncul di Surakarta, salah satunya adalah Djawi
Hiswara. Tahun 1914 Marco Kartodikromo120 mendirikan majalah Doenia
Bergerak disusul kemudian Misbach dan Hisamzaijnie mendirikan majalah
Medan Moeslimin tahun 1915 dengan edisi pertama terbit tanggal 15 Januari
1915.121 Majalah Medan Moeslimin terbit dengan mengemban misi untuk
ekonomi, dakwah Islam dan informasi-informasi penting anggota Sarekat Islam. Islam
Bergerak, Edisi 20 Desember 1920, hlm. 2, Edisi 1 Pebruari 1921, hlm. 2. 119 Redaktur surat kabar Djawi Kondo ini sering menyerang pegawai Medan
Moeslimin dan menfitnah Misbach dengan tujuan melemahkan Medan Moeslimin. Hal ini
ditanggapi dingin (didiamkan) oleh Misbach. Misbach, “tanpa judul” dalam Islam Bergerak
Edisi 20 Januari 1917, hlm. 1. Tetapi Soewarno, bekas Hoofdredacteur Medan Moeslimin
menanggapinya dengan menantang provokator Djawi Kondo. “Oleh karena sobat-sobat dan
saoedara-saoedara soedah memberi taaoe kepada kami, jang ini waktoe kami dibitjarakan
dalam soerat kabar Djawi Kondo sebagaimana boenji soerat tadi, kami sedikitpen tida maoe
taoe sebab kami memang tida pandang pada soerat kabar terseboet. Maka djika si pengarang
itoe boekannja goedel atau silit kepiting, dan mengandoeng maksoed jang baik goena
keperloean oemoem, pertjajalah bahwa dia tiada ada kebertana boeat berhadepan kepada kami,
baik datang ataoe memanggil kepada kami, ajo boor ! djangan semboenji di dalam
TJLOEPAK. Toendjoekkanlah kebranian dan kepentinganmoe”. Tulisan ini dimuat di kolom
Pemberian Taoe dalam halaman 2 dalam hampir setiap Edisi Islam Bergerak sepanjang tahun
1917 secara diulang-ulang. . 120 Marco Kartodikromo (1890-1935) yang dikenal dengan nama Mas Marco adalah
seorang jurnalis dan aktivis revolusioner anti pemerintah Hindia Belanda. Kemahiran
menulisnya ia peroleh ketika dirinya magang di surat kabar Medan Prijaji milikTirto Adhi
Soerjo. Ia terkena pers delicten dan dipenjara tujuh bulan. Ia anggota SI dan aktif di SI
Afdeling Surakarta di akhir-akhir kejayaannya, sekitar tahun 1914. Pasca pemberontakan PKI
tahun 1926, Marco ditangkap dan dibuang ke Biven Digul dan meninggal pada tahun 1935 di
Digoel. Daniel Dakhidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 78. 121 Medan Moeslimin pada awalnya dicetak di Drukkerij B. O. Surakarta, tetapi
karena banyaknya pegawai Drukkerij B. O. yang keluar dari perusahaan, maka tidak sanggup
lagi mencetak Medan Moeslimin Medan Moeslimin. Pada tahun 1921 Medan Moeslimin
dicetakkan di Drukkerij PPPB di Yogyakarta. Somodiredjo, “Tjita-Tjita” dalam Islam
Bergerak, Edisi 10 Januari 1921, hlm. 2.
59
mengembangkan Islam dan menebar sifat humanisme. Majalah ini diterbitkan
dengan misi keagamaan dan sosial kemanusiaan.122 Selain untuk menyebarkan
Islam dan memberikan pemahaman yang mendalam tentang Islam kepada
kaum muslimin, Medan Moeslimin diterbitkan juga dengan maksud agar umat
non muslim di pulau Jawa mengetahui Islam dengan baik, sehingga tidak
mencercanya.123 Selain menjadi media tukar pikiran antar ulama di Indonesia,
surat kabar ini juga memuat artikel-artikel keislaman yang ditulis oleh para
ulama dari luar Indonesia.124
Tahun 1917 di Surakarta juga muncul surat kabar Islam Bergerak.125
Sebagai pendukung Medan Moeslimin,126 terutama dalam menangkis serangan-
serangan wacana dari kelompok-kelompok anti Islam.127 Islam Bergerak
adalah anak dari Medan Moeslimin. Kedua media massa ini menantang para
pencela Islam dan menyindirnya sebagai “Radja Idjajil” yang tidak akan bisa
menaklukkan kedua media massa Islam tersebut.128 Islam Bergerak juga
122 Medan Moeslimin, Edisi 22 Pebruari 1916, hlm. 153. Surat kabar Islam Bergerak
dicetak oleh N. V. Sie Dhian Ho milik pengusaha Tionghoa, tetapi mulai tahun 1921 Islam
Bergerak dicetak oleh N. V. Setja Oesaha di Soerabaja. Koesen, “Nasibnja I. B.“ dalam Islam
Bergerak, Edisi 10 Pebruari 1921, hlm. 1. 123 Medan Moeslimin , Edisi 15 Agustus 1916, hlm. 212. 124 Medan Moeslimin, Nomor 5 Tahun 1925, hlm. 69 125 Surat Kabar Islam Bergerak terbit setiap tanggal 1, 10 dan 20 bulan Masehi.
Setiap terbitan ada 4 halaman, dua halaman ditulis dengan huruf latin, berbahasa Melayu dan
dua halaman lainnya ditulis dengan huruf Jawa. Islam Bergerak memiliki keberpihakan yang
tinggi terhadap bumiputra. Propaganda keberpihakan terhadap bumiputra bukan hanya dalam
head line dan pemberitaan lainnya, tetapi bahkan dalam kolom-kolom iklan pun sering
memprogandakan kemajuan Bumiputra seperti ungkapan Madjoelah Boemipoetera, Bantoelah
Kemadjoean Boemipoetera. Islam Bergerak Edisi 10 April 1917, hlm.2, Edisi 1 Mei 1917,
hlm.2 dan edisi-edisi lainnya. 126 Medan Moeslimin, Edisi 15 September 1916, hlm. 24. 127 Islam Bergerak, Edisi 20 Januari 1917, hlm.1. 128 Islam Bergerak, Edisi 10 Pebruari 1917, hlm.2.
60
menepis anggapan bahwa agama Islam tidak mengajarkan etika sopan santun
dan merintangi kemajuan. Tuduhan-tuduhan negatif atas Islam muncul karena
tidak memahami agama Islam dengan baik.129
Islam Bergerak diterbitkan oentoek melawan dengan sekoeat-
koeatnja segala tjatjian dan hina’an kepada igama kita Islam dan
Boemipoetra: kerana sesoenggoehnja telah bertahoen-tahoen kita
kaoem moeslimin dan boemipoetra tinggal sabar sebagei tiada
ferdoelikan tentang tjatjian dan hinaan jang timboel dari anti
Islam.130
Haloewan I. B. selain terang menerangkan igama Islam, djoega
disadjikan tempat boeat membitjarakan segala keperloean kita
kaoem moeslimin hidoep di doenia, jang bersangkoetan dengan
igama kita Islam, ketahoeilah saudara bahwa maksoednja Islam itoe
slamat dan menoedjoe kepada keadilan”.131
Kehadiran Islam Bergerak juga menjadi media pertahanan diri dan
perlawanan terhadap surat kabar Kristen Mardi Rahardjo yang sering
memojokkan dan menyinggung perasaan umat Islam.132
Dalam menentang dan melawan orang-orang yang memusuhi dan
mencaci Islam dan pergerakan bumiputra, Islam Bergerak menggunakan cara-
cara yang elegan, dan tidak dengan benturan fisik. Hal ini tercermin dalam
salah satu tulisan redaktur Islam Bergerak sebagai berikut “Kita melawan dia
tiada perloe menoempahkan darah kita sebagai zaman poerbakala, kita
129 Islam Bergerak, Edisi 10 Maret 1917, hlm.1. 130 Islam Bergerak Edisi 10 Pebruari 1917, hlm.1. 131 Islam Bergerak , Edisi 10 Maret 1917, hlm.1. 132 S. “Mardi-Rahardjo Contra Islam-Bergerak” dalam Islam Bergerak, Edisi 1
Oktober 1918, hlm. 1.
61
melawan dengan menggoenakan pers kita sadja”.133 Islam Bergerak selalu
mengambil dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah dalam menjelaskan bahwa
Islam itu agama yang mendukung kemajuan, bahkan dalam salah satu edisinya,
redaktur Islam Bergerak menerangkan bahwa Islam tidak melarang umat Islam
memakai dasi, bermain sepakbola, berpakaian modern dan sebagainya.134
Selain menyuguhkan persoalan agama Islam dan hal-hal yang dibutuhan kaum
muslimin, Islam Bergerak juga selalu memberi tempat kepada orang yang
tertindas untuk menyuarakan ketertindasannya.135
Surat kabar revolusioner yang lain adalah Sinat Djawa yang
diterbitkan untuk pertama kali oleh Sarekat Islam Semarang pimpinan
Mohammad Joesoef pada tahun 1914. Mohammad Joesoef menjadi redaktur
bersama Saleh Handojomo, sedangkan pimpinan redaksi dipegang oleh PH
Koesoemo.136 Ketika pimpinan redaktur dipegang oleh Semaoen, Marco dan
Darsono, pada tahun 1918 namanya diubah menjadi Sinar Hindia. Surat kabar
ini sekaligus menjadi organ Sarekat Islam Semarang. Nama Sinar Hinda
kemudian berubah menjadi Api pada 1 Agustus 1924. Perubahan ini didasarkan
133 Islam Bergerak, Edisi 10 Pebruari 1917, hlm. 1. 134 Islam Bergerak, Edisi 10 Mei 1917, hlm.1. 135 Islam Bergerak juga menjadi ajang komunikasi, konsultasi dan advokasi bagi
pembacanya. mislanya Islam Bergerak, Edisi 20 Januari 1917, hlm. 1. Surat kabar Islam
Bergerak juga memberikan kolom hiburan mendidik bagi pembacanya. Dalam kuisnya,
redaktur Islam Bergerak memberikan pertanyaan (kuis) yang konstruktif kepada pembaca,
misalnya pertanyaan apakah yang merusak dunia, keadilan, agama, kemerdekaan,
kemanusiaan, kebaikan, ketenteraman, kekayaan, ketinggian derajat dan kekuatan. Pertanyan-
pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan kritis yang memancing berfikir bagi pembacanya.
Kuis tersebut juga dapat dimaknai sebagai media penyaluran aspirasi bagi bumiputra dalam
soal-soal sosial politik yang berbasis agama. Islam Bergerak , Edisi 1 Juni 1918, hlm.2. 136 “Surat Kabar Sinar Hindia, Melawan Pemerintah Kolonial Belanda dengan
Tulisan” dalam Suara Merdeka, Edisi 20 Desember 2005.
62
pada alasan bahwa nama Hindia sering tertukar dengan nama India (British-
Indie), nama Sinar Hindia sudah tidak sesuai dengan kehendak rakyat yang
menuntut kemerdekaan melalui perjuangan kasta, dan singkatan S. H. mudah
keliru dengan nama-nama lainnya.137
Nama Api, menurut Rangsang, memiliki filosofi yang yang sangat
mendasar yaitu unsur semesta yang digunakan untuk memasak makanan,
menerangi tempat gelap, membinasakan kotoran dan penyakit. Dengan kata
lain Api dimaksudkan untuk melenyapkan kapitalisme.138
Pemerintah Kolonial sering tidak adil dalam memberlakukan
kebijakan terhadap dunia pers. Sebagai contoh, ada surat kabar Belanda yang
isinya sering mendidihkan hati orang Jawa. Surat kabar ini selalu dibiarkan
oleh pemerintah, tetapi ketika ada pers Jawa mengkritik pemerintah maka
dianggap melanggar peraturan pers.139 Media tertulis tersebut mempunyai
peran yang cukup strategis dalam melakukan propaganda perjuangan organisai.
Topik-topik terkait dengan kesetaraan sosial dan egalitarianisme kemanusiaan
serta perlawanan terhadap penindasan merupakan tema penting yang banyak
dibicarakan oleh sejumlah media massa waktu itu.140
Masalah moral juga tidak luput dari diskusi dan kritik di media massa.
Sebagai salah satu contoh adalah kasus pergundikan wanita Indonesia yang
137 “Sinar Hindia Pindah Nama “Api” dalam Api, Edisi 1 Agustus 1924, hlm. 1. 138 Rangsang, “Samboetan Pada perobahan Nama Orgaan Kita” dalam Api, Edisi 1
Agustus 1924, hlm. 1. 139 Islam Bergerak, Edisi 20 Juni 1917, hlm.1 140 M. Misbach, “Orang Bodo Djoega Machloek Toehan, Maka Fikiran jang Tinggi
Djoega Bisa Didalam Otaknja” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Maret 1919. Marco
Kartodikromo “Marco: Pro of Contra Dr. Rinkes” dalam Doenia Bergerak, No.1 Tahun 1914,
hlm. 3-8
63
dilakukan oleh laki-laki Eropa dan Tionghoa yang sering terjadi pada masa-
masa itu. Orang-orang pribumi menganggap pergundikan ini sebagai
penghinaan terhadap perempuan Indonesia, terlebih-lebih ketika mekanisme
pergundikan ini dilembagakan. Pada akhir 1913 Pantjaran Warta melancarkan
kecaman terhadap lembaga pergundikan ini yang dilakukan oleh orang-orang
Eropa. Harian ini menuntut dilakukannya pernikahan yang sah terhadap
perempuan-perempuan Jawa tersebut.141
Topik-topik yang menyangkut masalah keagamaan dan kesejajaran
juga menjadi bahan diskusi di media massa. Soal fikih perempuan juga menjadi
tema penting dalam Medan Moeslimin, seperti soal kebebasan memilih jodoh
bagi gadis-gadis, hak-hak seorang istri, wacana tentang poligami, dan
sebagainya.142 Bila lembaga pergundikan dikritik dan mengharuskan
pernikahan yang sah, harian Kaoem Moeda pada awal tahun 1915 memberikan
kecaman terhadap suatu pernikahan antara putri seorang Bupati dan perwira
Eropa yang tidak menganut agama Islam. Pada tahun yang sama harian ini juga
menolak pernikahan campuran dengan orang Eropa, meskipun kedua pasangan
141 Korver, Sarekat Islam, hlm. 45. 142 Siti Soendari Darmobroto, “ Nasibnja Perempoean” dalam Medan Moeslimin,
Edisi 10 dan 11 Tahun 1916, hlm. 270-273 dan 302. Medan Moeslimin, No.1 Tahun III, Edisi
15 Januari 1917, hlm. 17-19. Islam Bergerak juga melanjutkan tradisi pengembangan wacana
gender dan emansipasi wanita dalam bingkai fikih perempuan. Tulisan-tulisan soal perempuan
bumiputra banyak diulas dalam perspektif Islam. K. A. Minoek, “Keadaan Lelaki dan
Prampoean Djawa” dalam Islam Bergerak, Edisi 1 Januari 1921, hlm. 1. Red I. B., “Noot”
dalam Islam Bergerak, Edisi 1 Januari 1921, hlm. 1-2. “Boeah Fikiran” dalam Islam Bergerak,
Edisi 20 Juli 1922, hln. 1. Raden Roro Hartijah, “Soeara dari Pihak perempoean, Penglihatan
Sadja” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Juni 1922, hlm. 1. Siti Asijah, “Awas Perempoean”
dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Juni 1922, hlm. 2.
64
tersebut menganut agama Islam, karena dianggap membahayakan kemurnian
bangsa Jawa.143
Masih banyak media massa yang terbit pada era 1900-an yang
diterbitkan oleh para aktivis bumiputra sebagai arena perjuangan, propaganda,
dan media untuk memobilisasi massa guna melawan kapitalisme dan kebijakan
Pemerintah Hindia belanda yang dianggap merugikan bumiputra. Akan tetapi
tidak ada data statistik pasti berapa jumlah media massa pada dasawarsa kedua
dan ketiga abad ke-20. Media massa tersebut secara umum berorientasi idealis
dan ideologis, baik komunis, nasionalis maupun Islam. Sebagian besar media
massa berjuang dengan perspektifnya masing-masing untuk meraih nilai dan
kehidupan yang lebih baik bagi kaum bumiputra.
Media massa dalam bentuk surat kabar tersebut di atas diperlukan
sebagai alat perjuangan untuk mengubah nasib rakyat. Surat kabar dipilih
sebagai alat perjuangan karena dianggap efektif dalam menciptakan opini
publik sehingga pengaruh gagasan-gagasan yang ditulis akan sampai pada
pembaca dengan cepat dan meluas144. Oleh karena itulah, tidak mengherankan
jika setiap perhimpunan memiliki organ dalam bentuk surat kabar.
Sebagaimana halnya media massa yang lain pada era itu, Medan
Moeslimin dan Islam Bergerak menjadi alat ideologi Misbach untuk
mensosialisasikan gagasan-gagasannya yang revolusioner. Pemikiran Misbach
tentang Komunisme Islam juga dituangkan dalam kedua media massa tersebut,
disamping dalam orasi-orasi di acara-acara vergadering.
143Korver, Sarekat Islam, hlm. 45. 144 Marhaen Indonesia, “Pers dan Pergerakan” dalam Fikiran Ra’jat, Edisi 3
pebruari 1933, hlm. 6-8.
65
Sejumlah surat kabar bumiputra semakin semarak sebagai sebuah
media menyalurkan aspirasi di saat surat kabar-surat kabar negeri Belanda
tidak pernah menyinggung kondisi tanah Hindia. Kritik terhadap surat kabar-
surat kabar di negeri Belanda kemudian muncul di surat kabar mingguan De
Amsterdammer yang ditulis oleh Raden Bonang yang mengusulkan agar dalam
surat kabar Hindia memeberi ruang bagi perbincangan soal kondisi di
Hindia.145
Situasi budaya tahun 1918 semakin semarak dengan lahirnya gerakan
Jawa Dipa (Comite Djowo Dipo) yang didirikan oleh Tjokrosoedarmo di
Surakarta. Gerakan ini terinspirasi dari semangat Islam dan identitas ke-Jawa-
an. Kehadiran kerajaan Demak dengan Sultan Fatah, oleh gerakan Djowo Dipo
dianggab sebagai tonggak mencerdaskan masyarakat Jawa yang selama ini
kehilangan kemerdekaan akibat beban kehidupan yang semakin berat akibat
penindasan.146 Revitalisasi kejawaan di Surakarta ini berseberangan dengan
upaya pemerintah Belanda yang bermaksud melakukan universalisasi budaya
Belanda di seluruh nusantara yang dikuasainya. Gerakan ini mendapat
dukungan dari kalangan pergerakan revolusioner di Jawa, khususnya di
Vorstenlanden.
2. Kondisi Agraria
145 “Oetjapan Selamat Tahoen Baroe Boeat Hindia” dalam Tjaja Hindia, Edisi 1
Maret 1916, hlm. 166. 146 Setna Mariana,“Indische Cultuue Ontwekkeling (Kemadjoean Kepandaian
Hindia)”, dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Nopember 1919, hlm. 2. Dalam beberapa acara
vergadering SI, Misbach menggunakan bahasa Djowo-Dipo. Wongsodimedjo dan Slamet,
“Openbaar Vergadering Kring S.I. Alijan (Keboemen) pada 14 Mei 1920” dalam Islam
Bergerak, Edisi 20 Juni 1920, hlm. 2.
66
Sistem Tanam Paksa berakhir beransur-ansur antara tahun 1865
sampai dengan tahun 1870. Sejak tahun 1870, nusantara memasuki zaman baru
yang disebut sebagai zaman modal. Zaman modal adalah zaman politik
kolonial yang liberal dan kapitalisme swasta yang menjadikan modal sebagai
mesin penggerak di Vorstenlanden.147 Pada zaman modal, penguasaan
ekonomi dialihkan ke pemilik modal swasta. Namun menurut Ricklefs,148
Tanam Paksa baru dihapuskan secara de facto pada tahun 1919. Hal ini
ditandai dengan berakhirnya Tanam Paksa kopi di Parahiangan Jawa Barat
tahun 1917 dan beberapa daerah pesisir utara Jawa pada Juni 1919.
Penghapusan Tanam Paksa tersebut diawali dengan tuntutan Partai Liberal di
Belanda. Sebagaimana daerah-daerah lain di nusnatara, sebelum masuk zaman
modal, di Vorstenlanden juga mengikuti kebijakan Tanam Paksa
(culturediensten) yang diberlakukan dari tahun 1830 sampai dengan tahun
1870.149
Tanam Paksa ini merupakan kebijakan Gubernur Jenderal J. van Den
Bosch, akibat dari Perang Jawa yang telah menyebabkan pukulan ekonomi
bagi Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah memikul biaya besar akibat
perang melawan kaum santri yang dipelopori oleh Diponegoro, Kyai Mojo dan
147 Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm. 9-10. 148 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 190. 149 Cultuuediensten atau cultursteelsel adalah sistem yang mengharuskan petani
pribumi menanam tanaman di lahan pertanian sendiri. Hasil tanam seperti kopi, tebu , kapas
dan sebagainya. kemudian dijual ke Eropa. L. van Rijkevorsel dan R. D. S. Hadiwidjana,
Babad Tanah Djawi Lan Tanah Tanah Ing Sakiwa Tengenipoen (Den Haag: B. Wolters
Uitgevers Maatschappi, 1929), hlm. 106.
67
Sentot Ali Basyah ini,150 sehingga diberlakukannya Tanam Paksa sebagai cara
memulihkan keadaan ekonomi pemerintah. Kebijakan ini bermaksud
memberikan jaminan kepada perkebunan akan adanya persediaan tenaga kerja
yang cukup untuk tanaman mereka. Kerja petani sendiri dalam konteks ini
adalah kewajiban, tetapi jika pihak perkebunan menginginkan waktu tambahan
maka petani berhak atas upah yang disebut glidik. Kebijakan Tanam Paksa
jelas merupakan praktek ekonomi negara yang eksploitatif
Zaman modal diawali dengan diterbitkannya Undang-Undang Bumi
oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda tahun 1870, yang berisi mengubah fungsi
Hindia menjadi tanah jajahan yang harus menyediakan sumber bahan mentah
(raw material resources) dan sebagai pasar bagi industrinya. Untuk
mendukung program ini maka Pemerintah Kolonial Belanda mengundang
investor dan pemilik modal asing untuk menanamkan modal di Hindia
Belanda.151 Indonesia pun menjadi pasar bagi asing.152 Peraturan Agraria ini
telah membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Akibatnya, perkebunan-
perkebunan swasta berkembang pesat di Jawa.
Peraturan baru tersebut dimaksudkan untuk mengubah Indonesia dari
sistem jajahan model VOC menjadi jajahan sistem liberal. Perkebunan yang
sebelum tahun 1870 dimonopoli oleh pemerintah, pada zaman modal sistem
monopoli berpindah ke tangan para pemilik modal swasta. Sebagai dampak
dari kebijakan tersebut maka investor asing mulai berdatangan hingga masuk
150 Richard Robinson, Indonesia: The Rise of Capital (North Sydnesy: Unken &
Unwin Publisher Ltd., 1987), hlm.5-6. 151 Suryanegara, Api Sejarah, hlm. 278. 152 H. M. Misbach, “Islamisme dan Kommunisme” dalam Medan Moeslimin,
Nomor 2 Tahun 1925, hlm. 6.
68
ke pedesaan.153 Sebagai konsekuensinya, maka terjadi pencaplokan tanah dan
tenaga kerja petani. Bagi para pemilik modal dan penyewa tanah, pencaplokan
tanah dan tenaga kerja petani merupakan keharusan untuk keberlangsungan
hidupnya.154 Zaman modal merupakan malapetaka besar bagi bumiputra,
karena sistem liberalisme yang diterapkan oleh pemerintah, merupakan
kompetisi bebas bagi pemilik modal untuk mengeksploitasi Indonesia.155
Dengan kekuasaan uang, kaum modal dapat memaksa petani di pedesaan untuk
menyewakan tanah-tanah mereka untuk dijadikan perkebunan dengan
penduduk desa sebagai kuli. Kendati sawah kaum tani disewa oleh kaum
modal, namun uang sewa begitu kecil sehingga tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun, pada tahun 1918 pemerintah Belanda menitahkankepada para
tuan tanah dan kaum modal agar pemaksaan dalam sistem kontrak perkulian
dihapuskan. Gubernur Jenderal van Limburg Stirum juga menegaskan perlunya
penghapusan sistem kontrak terkait dengan hukuman dan pemaksaan yang
dikenal dengan sebutan Poenale Sanctie yang riskan memunculkan gesekan
antara kaum tuan tanah dengan para kuli. Namun gagasan ini mendapat
rintangan dari para tuan tanah. Hal ini menambah semakin jauhnya jurang
pemisah antara kaum modal dan tuan tanah di satu sisi, dengan kaum buruh
153 Pada zaman modal, sistem kerja paksa dihapus dan diganti dengan kerja upah
secara bebas. Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999),
hlm. 7. 154 Pranoto, Jawa: Bandit-Bandit Pedesaanm Studi Historis 1850-1942, hlm. 87. 155 Gie, Di Bawah Lentera Merah, hlm. 7.
69
pada sisi lain.156 Zaman modal telah melahirkan dua kelompok kelas yaitu
kelompok borjuis (kaum kaapital) dan kelompok proletar (kaum buruh, kaum
miskin) dengan berbagai pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh kaum
modal atas kaum proletar.157 Pihak kaum kapital yang hanya berorientasi pada
keuntungan sendiri dan tidak mempedulikan rakyat miskin, telah menyebabkan
memburuknya kehidupan ekonomi kaum buruh.158 Marco menggambarkan
kondisi kaum tani tersebut dengan mengatakan bahwa kaum pihak perkebunan
menyewa lahan sawah dengan uang sewa f 66 untuk delapan belas bulan.
Dalam kurun waktu delapan belas bulan, pihak perkebunan dapat
menghasilkan panen tiga kali dengan kalkulasi setiap panen menghasilkan f
100. Kadang-kadang petani menjadi pekerja di sawah sendiri dengan gaji 20-
40 sen sebagai penggali lubang, dan jika ada kesalahan maka hanya diberikan
gaji separo dengan dicaci maki.159
Adapun petani yang sawahnya dikelola sendiri, diterapkan aturan
kewajiban menjual hasil penen kepada pemerintah. Hal ini menambah daftar
penderitaan kaum tani bumiputra.
156 Penghapusan Poenale Sanctie sudah dilakukan di wilayah jajahan Inggris seperti
di Malaysia dan Srilangka “Soeatoe Penjoeloehan Memperdajaken” dalam Soeloh Ra’jat
Indonesia, Edisi 27 Pebruari 1929, hlm. 134-136. “Selamet Tahoen Baroe !, Aneka Warna
Kedjadian jang Patoet Diperingati” dalam Soeloeh Ra’jat Indonesia, Edisi 2 Januari 1928, hlm.
7.
157 Boeroeh Hindia, “Mata Terboeka” dalam Ra’jat Bergerak, Edisi 11 Oktober
1923, hlm. 1-2. 158 H. M. Misbach, “Islamisme dan Kommunisme” dalam Medan Moeslimin,
Nomor 2 Tahun 1925, hlm. 5-6. 159 Marco Kartodikromo, “Apakah Pabriek Goela itoe Ratjoen Boeat bangsa Kita ?”
dalam Sinar Djawa, Edisi khusus tanpa bulan dan tahun, hlm. 26. Lihat juga Gie,” Di Bawah
Lentera Merah”, hlm. 9.
70
Pada waktoe panen jang baharoe didjalankan ini, berobahlah
soewara dari orang-orang tani jang kami dengar, berobahnja soewara
itoe tidak lain dari atoeran baharoe jang menyoesahkan bagai
pendoedoek kaoem tani, karena sebeloem panen ada perentah, semoea
orang jang mempoenjai tanah dari panen dari sawahnja itoe moesti
mendjoewal padinja 1/10 dari panenanja kepada Gouvernement.160
Proses penjualan padi pun cukup menyusahkan petani. Hal ini
digambarkan dalam Islam Bergerak sebagai sebuah kondisi penderitaan kaum
tani.
Oemoem atoeran politie desa melakoekan pembelian padi jalah
semoea orang jang mempoenjai padi disoeroeh membanda padinja ke
tempat pembelian padi jalah goedang goepermen, maski djaoeh
bagaimana djoega moesti mereka orang moesti membawa padinja ke
goedang pembelian. Oleh karena dari djarang-djarangnja gedong
pembelian itoe, maka moesti mengandoeng soesah pajahlah orang jang
akan djoewal padinja pada negeri jang moestinja tidak tentoe
mempoenjai fikiran akan mendjoewal padinja. Soesah jang dikandoeng
jaitoe djaoeh dari roemahnja ke gedong pembelian…Maskipoen soedah
kesoesahan sebesar itoe, beloem tentoe bisa menerima oewang dari
lakoenja padi kepoenjaanja, soesah betoel boekan?. Adalah kedjadian
mendjadi soesah kaoem tani, jang disebabkan si toekang beli jang
mendjadi kepertjajaannja negeri beloem terima oewang dari jang
wadjib (Ass wedono atau Wedono).161
Lumbung-lumbung padi desa yang berasal dari hasil panen petani
dieksploitasi oleh pemerintah, sedangkan kaum kromo yang menyetorkan padi
tidak mendapatkan hasil. Pajak persawahan yang tinggi semakin menambah
160 Kandrik Kijai Ageng Selo,”Sepandjang Djalan” dalam Islam Bergerak, Edisi 10
Juli 1920, hlm. 2. 161 Ibid.,
71
penderitaan kaum kromo.162 Kaum tani berada dalam kondisi yang tidak
menguntungkan, para petani yang diposisikan seperti budak belian oleh kaum
modal semakin menderita karenaa tidak mendapat perlindungan dari pihak
lurah desa. Para lurah justru menjadi alat pemerintah dan pihak perkebunan.
Sebagai contoh diungkapkan oleh Darsono bahwa pada tahun 1919, para
pengusaha perkebunan (kaum modal) memberikan premi f 2,50 untuk setiap
bahu kepada lurah-lurah yang dapat mengubah sawah desa menjadi
perkebunan tebu.163 Fenomena kapitalisme modern di dunia pertanian ini,
memunculkan reaksi dari para petani pribumi dalam bentuk pemogokan.
Reaksi ini merupakan gejala baru. Ada perubahan perilaku sosial petani
pribumi dalam mensikapi zaman modal yang dianggap menyengsarakan petani
ini.
Para petani pribumi melakukan gerakan yang oleh Pemerintah
Kolonial disebut sebagai gerakan perbanditan seperti kecu dan pembakaran
perkebunan. Gerakan ini dilakukan oleh petani sebagai bentuk ketidakpuasan
dan sikap antipati terhadap sistem kapitalisme. Zaman modal adalah zaman
yang menguntungkan para investor dan tuan tanah dari orang-orang kulit putih.
Eksploitasi semakin menekan ekonomi para petani pribumi, kapitalisme
semakin menguat yang didukung dengan alat transportasi kereta api. Surakarta
yang dikenal sebagai kota gula justru berimplikasi pada penderitaan rakyat
162 Ks. D., “Film Bezaar!!! Terbagi Djadi Beberapa Serie Jaitoe Diseboet Film
Djaman Edan, Awas” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Juni 1920, hlm. 1. 163 Darsono, “Giftage Waarheispeikken (Panah Pengadilan Beratjoen)” dalam Sinar
Hindia, Edisi 5 Mei 1918, hlm. 1-2.
72
dengan beban-beban pajak.164 Hal ini berdampak pada kesengsaraan petani dan
mulai memunculkan aksi-aksi protes yang lebih tajam. Bagi masyarakat
pribumi, peraturan tentang agraria itu dianggap semakin menambah
penderitaan. Jumlah penduduk bertambah, sehingga tekanan-tekanan terhadap
sumber-sumber bahan pangan semakin besar. Kondisi ketertindasan petani
pribumi ini nantinya akan menjadi benih-benih gerakan radikalisme petani
sekaligus menjadi penyebab munculnya perjuangan kelas.
3. Kondisi Ekonomi
Pada awalnya kehadiran Oost Indische Compagnie (OIC) di
Indonesia, telah membangkitkan perniagaan bumiputra setelah jalur
perdagangan dirampas oleh Portugis. Namun kemudian OIC menggunakan
cara-cara kekerasan yang mematikan perniagaan bumiputra. Kebangkitan
perniagaan bangkit lagi setelah pembubaran VOC dan digantikan dengan
pemerintahan Gouvernement. Kebangkitan ini, salah satunya ditandai dengan
berdirinya Sarekat Dagang Islam.165
Bersamaan dengan zaman modal, muncul elit-elit baru di
Vorstenlanden. Akibat munculnya elit-elit ekonomi pribumi dan kaum
terpelajar, apalagi mereka mempunyai kekayaan dan penghasilan melebihi dari
kekayaan ningrat-kraton, maka wibawa sosial politik para elit bangsawan Jawa
memudar, bahkan tidak sedikit kalangan ningrat yang berpiutang kepada
164 Tan Malaka, Aksi Massa (t. k. : Teplok Press, 2000), hlm. 49. Kesengsaraan
rakyat terjadi di seluruh negeri dimana kaum kapitalis berkuasa. Soekarno, “Demokrasi Politik
dan Demokrasi Ekonomi” dalam Fikiran Ra’jat, Edisi 3 Pebruari 1933, hlm. 3. 165 “Saudagar Boemi Poetera” dalam Tjaja Hindia, Edisi 1 Maret 1916, hlm. 167-
168.
73
kalangan kelas menengah baru yang kaya. Misalnya, Samanhoedi, pendiri
Sarekat Dagang Islam (SDI) dan pengusaha batik kaya ketika itu, sering
menjadi tempat peminjaman para ningrat yang membutuhkan uang.166 Ketika
pemerintah Kolonial menanamkan semangat baru kepada generasi muda, maka
berdampak pada semakin merosotnya wibawa bangsawan Jawa.
Di dalam konteks ekonomi, satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari
kota Surakarta ini adalah semakin banyak muncul pertokoan bumiputra,
industri batik dan perhotelan.167 Industri batik di Surakarta, bukan semata-mata
sebuah aktifitas ekonomi saja, tetapi memiliki keterkaitan yang erat dengan
dunia pergerakan. Industri batik ikut menopang pergerakan Sarekat Islam,
perhimpunan Tentara Kandjeng Nabi Mohamad (TKNM), perhimpunan Sidik
Amanat Tableg Vatonah (SATV) dan penerbitan Medan Moeslimin.
Masuknya industri batik di Kauman Surakarta pada awalnya
disebabkan oleh tuntutan ekonomi masyarakat Kauman. Sebelumnya,
masyarakat Kauman adalah termasuk dalam bingkai sosial Kraton Surakarta.
Kauman menjadi salah satu sub sistem dari sistem sosial di Kerajaan
(Kasunanan) Surakarta. Kauman adalah kampung bagi abdi dalem pemetakhan
atau ulama yang kehidupan ekonominya dijamin oleh pihak Kraton. Seiring
perkembangan zaman, para abdi dalem pemetakhan juga melakukan aktifitas
ekonomi dengan menjadikan industri batik sebagai mata pencaharian.168
166 Laporan Asisten Residen Surakarta, tanggal 22 Agustus 1912, mr.2301/12, hlm.
1. 167 Pada 16 Agustus 1920 di Solo berdiri Hotel Islam di Nonongan Surakarta. Islam
Bergerak, Edisi 1 November 1920, hlm. 2. Edisi 1 Desember 1920, hlm. 2. 168 Ma’mun Pusponegoro, et. al., Kauman: Religi, Tradisi & Seni (Surakarta:
Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, 2007), hlm. 69-70.
74
Teknologi lebih mutakhir diperkenalkan oleh seorang pedagang tahun 1850-an.
Teknologi ini berasal dari Semarang yang sudah menggunakan metode cap.169
Dari sinilah kemudian batik di Kauman berkembang dengan pesat. Pabrik-
pabrik batik mulai didirikan, baik di pusat kota maupun di bagian pinggiran
kota. Industri batik pun berkembang ke Laweyan karena daerah Laweyan
secara geografis dekat dengan sungai.. Hal ini sangat kondusif untuk produksi
batik,170 bahkan pada tahun 1920-an, kota Laweyan menjadi kota industri batik
terbesar di Surakarta. Kota Laweyan menjadi tempatnya saudagar-saudagar
besar bermukim.171 Kauman dan Laweyan sebagai pusat batik melahirkan
tokoh-tokoh pergerakan di Surakarta seperti Samanhoedi (Laweyan) dan
Misbach (Kauman). Kedua kota kecil ini juga menjadi basis pergerakan rakyat
Surakarta. Hal ini sekaligus menjadi indikasi bahwa pergerakan di Surakarta
sangat dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi.
Pada akhir abad ke-19, kerajinan batik di Kauman dan Laweyan ini
sudah mampu menyaingi kerajinan tekstil di Eropa. Salah satu penyebab
keberhasilan itu adalah ditemukannya teknik cap yang dapat meningkatkan
jumlah produksi dalam skala yang besar. Pada sisi yang lain, berkaitan dengan
selera pasar, penduduk pribumi ketika itu tetap lebih menyukai batik pribumi
daripada tiruan-tiruannya yang dihasilkan dari industri Eropa.172 Pada tahun
1870 bersamaan dengan pasar batik semakin meluas, industri batik semakin
menguat. Hal ini bersamaan dengan dibukaanya jalur-jalur kereta api yang
169 Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm. 30. 170 Pusponegoro, et. al., Kauman: Religi, Tradisi & Seni, hlm. 72. 171 Ra’jat Bergerak, Edisi 11 Oktober 1023, hlm. 2. 172 Korver, Sarekat Islam, hlm. 11.
75
menghubungkan Vorstenlanden dengan daerah-daerah lain seperti Semarang,
Batavia, Bandung, dan Surabaya.173 Pada awal abad ke-20, kota Surakarta telah
dikenal sebagai kota industri batik. Kauman dan Lawean merupakan kampung
yang patut disebut sebagai kampung batik yaitu pusat kerajinan batik di
Indonesia yang sangat penting dan berpengaruh.
Teknologi industri batik dengan metode cap telah menyebabkan
terjadinya perubahan pada sifat industri batik. Pada awalnya, usaha ini
dilakukan di rumah-rumah penduduk. Para usahawan memberikan bahan baku
kepada produsen yang bekerja di rumah dan menerima hasil akhir dengan
membayar upah untuk setiap potong batik. Setelah perubahan teknik tersebut,
orang kemudian beralih kepada penyatuan proses produksi di tempat-tempat
kerja dekat rumah seorang pengusaha, dan tenaga-tenaga perempuan, yang
ketika itu banyak berperan dalam proses batik tulis, digantikan dengan tenaga
laki-laki. Pekerja perempuan yang dipakai untuk menangani jenis batik yang
mahal yang masih tetap dikerjakan dengan teknik tulis tangan.174
Zaman kemajuaan batik seiring dengan zaman modal asing di
Vorstenlanden. Hal ini berdampak pada daya tawar pengusaha pribumi
terhadap kongsi-kongsi dagang dan para pemilik perkebunan asing di
Surakarta, sekaligus menjadi kekuatan pribumi yang diperhitungkan
pemerintah Kolonial. Industri kerajinan batik di Surakarta ini secara umum
berada di tangan para pengusaha Jawa, Arab dan Tionghoa. Pengusaha batik
173 Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926, hlm. 32. 174 Pusponegoro, et. al., Kauman: Religi, Tradisi & Seni, hlm. 70-71.
76
Jawa jumlahnya lebih banyak dibandingkan pengusaha Arab dan Tionghoa,
dan semua pekerja di perusahaan batik ini adalah orang Jawa.
Meskipun demikian, orang-orang Tionghoa telah menguasai
perdagangan bahan baku batik sejak jauh sebelum tahun 1890. Oleh karena itu,
peralihan dari bahan-bahan cat alamiah ke bahan kimiawi pada awal abad ke-
19 M semakin menguntungkan orang-orang Tionghoa. Mereka sejak semula
telah menguasai perdagangan perantara. Namun pada di sisi lain, para
pengusaha batik besar yang dikelola oleh orang Jawa, ada yang melangkahi
Tionghoa dengan secara langsung memesan bahan baku yang diperlukan pada
perusahaan impor Eropa di Surabaya dan Semarang, tetapi cara yang demikian
tidak selalu memberikan keuntungan.175 Di tengah sistem industri batik yang
dikuasai oleh tiga kekuatan besar yaitu orang Jawa, Arab, dan Tionghoa,
persaingan antar para pengusaha terjadi. Di samping itu, industri batik
Surakarta sebenarnya juga pernah mendapat saingan dari industri batik
Pekalongan pada tahun 1910-an. Akan tetapi persaingan itu tidak pernah
menjadikan kehancuran industri batik Surakarta. Saingan terberat industri batik
Surakarta terjadi pada awal tahun 1960-an akibat semakin menjamurnya
insustri tekstil modern yang mampu menghasilkan kualitas dan kuantitas dari
berbagai jenis kain dengan warna dan motif yang beraneka ragam. Pada tahun
tersebut, harga kain mori juga memacu kemunduran produksi batik karena
tidak terjangkaunya ongkos produksi.176
175 Korver, Sarekat Islam, , hlm. 11-15. 176 Pusponegoro, et.al., Kauman : Religi, Tradisi & Seni, hlm. 81.
77
Persaingan dagang antar pengusaha pribumi, Tionghoa dan Arab,
yang awalnya hanyalah persaingan ekonomi. Namun pada tahap lanjut,
persaingan tersebutberimplikasi pada aspek politik yang cukup kuat. Ketika
terjadi kerusuhan di Jakarta dan Surabaya pada Pebruari 1912 di kalangan
penduduk golongan Tionghoa, Rinkers mengaitkan peristiwa ini dengan
perkembangan di Surakarta. Menurut Rinkers, pada era itu telah terjadi
persaingan dagang antara pedangan Jawa di Lawean Surakarta dan Firma
Tionghoa Sie Dhian Ho yang juga bermarkas di Surakarta. Firma ini bergerak
di bidang perdagangan buku, alat-alat kantor, penerbitan surat kabar, dan juga
industri batik. Sejak peristiwa di Surabaya tersebut, persaingan ini menjadi
akut, karena firma ini, secara diam-diam, ditopang oleh perkongsian orang-
orang Tionghoa di daerah lain, termasuk dari Surabaya dan Jakarta.177
Akhirnya pada tahun-tahun itu pula pecah berbagai konflik politik dan
ekonomi yang melibatkan pengusaha Tionghoa versus pengusaha batik Jawa.
Para pengusaha batik Jawa tergabung dalam Rekso Roemekso (perkumpulan
tolong menolong pengusaha batik Jawa) sedangkan pengusaha batik Tionghoa
bergabing dalam Kong Sing (perkumpulan usaha dan tolong menolong para
pedagang Tionghoa). Dinamika ekonomi memiliki pengaruh yang luas dan
kuat dalam arena politik di Surakarta.
Menguatnya produksi batik sejak tahun 1850 hingga awal abad ke-20
di Surakarta telah menyebabkan munculnya borjuasi bumiputra yang kuat.
Peningkatan ekonomi lokal ini telah melahirkan sikap kemandirian dan
kesadaran dalam pergerakan. Beberapa tokoh pimpinan pergerakan di
177 Korver, Sarekat Islam, hlm. 16.
78
Surakarta adalah dari keluarga pedagang batik yang secara ekonomi memiliki
kekuatan modal dalam menopang pergerakannya. Gerakan Misbach, Sarekat
Islam, SATV, Medan Moeslimin, Islam Bergerak, Madrasah Soennijah Mardi
Boesana banyak ditopang oleh dunia batik ini. Secara psikis, para pedagang
lebih memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk merealisasikan pikiran-
pikirannya.
4. Kondisi Politik
Selain sebagai pusat kebudayaan Jawa dan ekonomi dengan industri
batiknya, Surakarta juga menjadi medan penting bagi pergulatan politik dan
perjuangan kalangan bumiputra untuk memperoleh kebebasan, kemerdekaan,
dan kesataraan hidup yang sejati. Awal abad ke-20 adalah zaman baru yang
disebut sebagai zaman pergerakan. Istilah pergerakan ini meliputi segala
macam aksi-aksi yang dilakukan oleh bumiputra menuju perbaikan hidup
untuk bangsa Indonesia. Pergerakan terjadi karena masyarakar bumiputra
merasakan ketidakpuasan atas kondisi keterjajahan, baik oleh imperialisme tua
(zaman Oost Indische Compagnie) maupun imperialisme baru yaitu
sesudahnya timbulnya kapitalisme moderen pada perempat pertama abad ke-19
M.178
Snouck Hurgronje melukiskan bahwa sudah berabad-abad lamanya
orang pribumi merasa dirinya kurang dibandingkan dengan seluruh manusia
178 Imperialisme Belanda di Indonesia terjadi dalam tiga fase yaitu fase VOC (murni
fase dagang), fase eksploitasi dengan tanam paksa (Hindia menjadi gudang bagi bangsa
Belanda), dan fase kapital (pemerintah tidak melakukan eksploitasi secara terang-terangan,
tetapi mendatangkan kaum modal asing). Fikiran Ra’jat, Nomor 10, Edisi 6 Maret 1929, hlm.
154-155.
79
ras lain. Hal ini diperparah dengan kelaliman para penguasa di negeri sendiri
yang kemudian dimanfaatkan oleh orang Eropa yang datang untuk
kepentingannya sendiri. Masyarakat Jawa merasa dirinya ditindas oleh
berbagai alat kekuasaan bangsa Eropa dan kesewenang-wenangannya.
Selanjutnya, sikap kekurang mandirian orang Jawa semakin lama semakin
menunjukkan titik paling melemah. Orang Jawa menjadi masyarakat yang
lemah, tertindas dan dalam kondisi yang tidak diuntungkan. Sebaliknya, orang-
orang Eropa yang hidup di Jawa berlebih-lebihan dalam nafsu menancapkaan
kekuasaan, bahkan secara kasar sering tidak mengindahkan hak-haak azasi
manusia yang sebenarnya patut diterima oleh warga pribumi.179
Walaupun penjajahan di Jawa oleh orang-otang Barat sudah
berlangsung lama, tetapi masa penjajahan yang sebenarnya, yang menciptakan
kepahitan hidup warga pribumi, baru terjadi tahun 1830 yang ditandai dengan
Tanam Paksa. Ricklefs menuliskan bahwa sejak berakhirnya perang Jawa
tahun 1830, pihak Belanda untuk pertama kalinya mampu menguasai dan
mengeksploitasi seluruh pulau Jawa.180 Sejak tahun 1830, Vorstenlanden
memasuki era baru yang diebut era rust en orde (era keamanan dan ketertiban),
yang mana pihak Pemerintah Belanda mengontrol penuh kondisi tanah jajahan
atas nama keamanan dan ketertiban. Penguasa Jawa tidak dapat bertindak
sebagaimana penguasa Jawa bertindak.181 Pemberontakan yang dilancarkan
Pangeran Diponegoro merupakan pemberontakan terakhir yang dilakukan oleh
179 Snaouck Hurgronjr, “Sarekat Islam” dalam E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-
Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda
1889-1936, terj. Sukarsi (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 2163 180 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 182. 181 Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912-1926, hlm. 7.
80
elit penguasa Jawa. Setelah ada kebijakan rust en orde, elit kerajaan Jawa
benar-benar meninggalkan gerakan pemberontakan. Pemberontakan-
pemberontakan kecil di daerah kerajaan, sudah tidak melibatkan elit dan tokoh
kunci kerajaan. Seluruh pemberontakan dengan mudah ditumpas oleh tentara
Belanda. Tidak ada satu rintangan pun yang serius terhadap kekuasaan Belanda
di Jawa sampai memasuki abad ke-20.
Akan tetapi pada awal abad ke-20, muncul dinamika politik baru di
Surakarta. Ricklefs mencatat bahwa pada 1909 telah berdiri gerakan Sarekat
Dagang Islamijah di Batavia yang didirikan oleh Tirtoadisurjo (1880-1918).182
Organisasi serupa didirikan di Bogor tahun 1911. Pada tahun 1911 juga,
Tirtoadisurjo mendorong seorang pedagang batik Surakarta, Samanhoedi
(1868-1956)183, untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) sebagai sebuah
koperasi atau perkumpulan pedagang batik pribumi yang bersaing dengan
pedagang keturunan Tionghoa. Pada tahun 1912 SDI berubah namanya
182 Tirtoadhisoerjo adalah putera Muhammad Chan Tirtodhipuro yang masih keturunan
Raden Mas Said (Mangkunegara I), yang juga dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.
Tirtoadhisoerjo pernah studi di OSVIA (Sekolah Dokter Jawa) sebelum akhirnya bergabung dengan
komunitas pedagang Jawa Muslim yang terhimpun dalam Kaoem Mardika. Mereka adalah warga
negara yang merdeka yang mata pencahariannya tidak bergantung pada Pemerintah Kolonial Belanda.
Tirtoadhisoerjo adalah bekas pegawai pemerintah yang menjadi wartawan dan menerbitkan majalah
Medan Prijaji. Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia
Abad ke-20 (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 103. 183 Nama kecil Samanhoedi adalah Wirjowikoro. Ayahnya bernama Mohammad Djen,
seorang pedagang batik yang berhasil. Keluarga Mohammad Djen ini pindah ke Laweyan, Surakarta
ketika Samanhoedi berusia dua tahun. Samanhoedi kecil pernah sekolah di Sekolah Pribumi Kelas
Dua (Tweede Klasse School). Samanhoedi memiliki komitmen pada Islam secra mendalam. Pada
tahun 1904 ia menunaikan haji ke Makah. pada masa itu adalah identitas paling jelas dari kemusliman
seseorang. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1991),
h.lm. 119-120.
81
menjadi Sarekat Islam (SI).184 Deliar Noer juga mengungkapkan bahwa
Sarekat Islam berdiri pada 11 November 1912 di Surakarta. SI tumbuh dari
organisasi yang mendahuluinya yaitu SDI. Hal ini juga didukung oleh pendapat
Harold W. Sundstrom bahwa Sarekat Islam yang berdiri tahun 1911 kemudian
pada tahun 1912 berubah namnya menjadi Sarekat Islam (Islamic
Association).185 Mohammad Hatta juga mengungkapkan bahwa SDI di
Surakarta didirikan pada tahun 1912,186 sedangkan menurut Tamar Djaja SDI
didirikan di Solo oleh Samanhoedi pada 16 Oktober 1905 dan setahun
kemudian pada tahun 1906 berubah namanya menjadi SI.187
Tulisan lebih rinci dan argumentatif dikemukakan oleh Shiraishi,
bahwa SI tumbuh dan berkembang dari Rekso Roemekso yang didirikan oleh
Samanhoedi di Surakarta pada tahun 1912. Rekso Roemekso adalah organisasi
ronda untuk menjaga keamanan industri batik karena sering ada kecu yang
mencuri kain batik yang dijemur di halam-halaman rumah industri batik.
Organisasi ini juga sering berbenturan dengan organisasi serupa milik
pedagang Tionghoa, Kong Sing. Sering terjadi perkelahian kecil antara warga
Rekso Roemekso dengan Kong Sing. Rekso Roemekso, organisasi ronda dan
tolong menolong pengusaha batik di Surakarta ini, atas bantuan Tirto
Adhisoerjo dibuatkan Anggaran Dasar dan kemudian dibungkus dengan nama
SDI.
184 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 252. 185 Deliar Noer, Gerakan Modern, hlm. 115. Harold W. Sundstrom, Indonesia : Its
People and Politics (Tokyo: The Hokuseido, 1957), hlm. 76. 186 Mohammad Hatta, Permulaan Pergerakan Nasional (Jakarta: Idayu Press,
1977), hlm. 9-11. 187 Tamar Djaja, Assiyasah, Nomor 5. Vol. II (Solo, April 1974), hlm. 17. Hal ini
juga dibenarkan oleh Suryanegara. Suryanegara, Api Sejarah, hlm. 318.
82
Anggaran Dasar organisasi yang ditanda tangani Tirtoadhisoerjo
tanggal 9 November 1911, dalam bagian pengantarnya menyatakan
pembentukan SI. Perkumpulan ini sejak awalnya bernama Sarekat Islam
walaupun masyarakat Surakarta waktu itu menamakannya Sarekat Dagang
Islam. Tetapi Shiraishi meragukan tanggal tersebut karena dianggap terlalu
awal berdasarkan pendapat Van Wijk dan Tjokroaminoto yang menyatakan
bahwa Tirtoadhisoerjo datang ke Surakarta pada tahun 1912.188
Menurut catatan Kahin, Sarekat Dagang Islamijah terbentuk pada
1909 yang didirikan oleh Tirtoadhisoerjo, seorang bangsawan, pedagang, dan
pemimpin perusahaan dagang yang ketika itu dalam proses likuidasi.
Gagasannya ini dalam rangka melindungi pedagang Jawa dari praktik
perdagangan orang Tionghoa yang licik. Pada 1911 ia memperoleh dukungan
dari Samanhoedi, seorang pedagang batik dari Laweyan Surakarta. Pada 1912
SDI muncul kembali dengan nama Sarekat Islam di bawah ketua baru,
Tjokroaminoto (1882-1934).189 Gerakan emansipasi ini meletakkan spiritnya
pada Islam sebagai agama yang mendorong setiap orang untuk bergerak
membangun kesetaraan, kemerdekaan, dan kemanusiaan.
188 Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm. 55-57. 189 George Mc Turman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terj.Nin
Bakdi Sumanto (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Sebelas Maret University Pers, 1995), hlm.
86. Raden Oemar Said Tjokroaminoto adalah anak seorang priyayi muslim yang taat. Silsilah
Tjokroaminoto sampai pada Kiai Bagus Kasan Besari, pendiri Pesantren Tegalsari (di Ponorogo) yang
didirikan pada masa Pakubuwana II (1726-1749). Ayah Tjokroaminoto bernama Raden Mas
Tjokroamiseno (Wedana Kleco, Madiun) adalah seorang priyayi muslim yang taat seperti tercermin
dalam cara dia memberi nama-nama Arab untuk anak-anaknya, seperti Oemar Jaman, Oemar Said,
Oemar Sabib, Moehammad Soebari, Istirah dan lain-lain. Latif, Inteligensia Muslim, hlm.103.
83
Polemik sejarah SI dan SDI ini terjadi disebabkan karena pada tahun
1912 terjadi percekcokan antara Samanhoedi dengan Tirtoadhisoerjo, sehingga
mengaburkan sejarah SI dan SDI. Karena sebagian besar waktu Samanhoedi
untuk mengurusi dagang batik, maka Samanhoedi meminta Tjokroaminoto,
alumni STOVIA, untuk memimpin Sarekat Islam. Dalam perkembangannya,
SI mampu menjembatani hubungan santri-priyayi dan memperertanya.
Beberapa kalangaan priyayi duduk di kepengurusan Central Sarekat Islam
(CSI).190 Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili Gubernur Jenderal
Idenburg (memerintah 1909-1916), dan penasehat urusan pribumi, Hazeu dan
Rinkers, menaggapi sangat positif lahirnya SI. Mereka mendorong kemajuan
organisasi tersebut serta pada saat yang sama juga mengawasinya. Idenburg,
Hazeu dan asistennya, Rinkers juga membantu Sarekat Islam dalam
menghadapi kritik dari pemerintah dalam negeri Belanda dan dari golongan
konservatif pribumi.191 Dorongan pemerintah Hindia Belanda ini merupakan
angin segar bagi perkembangan Sarekat Islam, terutama pada kepemimpinan
190 Central Sarekat Islam (CSI) Surakarta yang diketuai Samanhoedi dan wakil
Tjokroaminoto ini telah melibatkanm Pangeran Ngabehi (Putra tertua Sunan) sebagai
penasihat. Para priyayi Jawa lain juga duduk di Komite Departemen. Shiraishi, Zaman
Bergerak, hlm. 36. 191 Karel Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dam Islam
di Indonesia (1596-1942), terj. Suryan A. Jamrah (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 194. Atas
nasihat Hazeu dan asistennya Rinkers, Idenburg menggunakan cara pandang yang apresiatif
terhadap gerakan SI, sebuah cara pandang yang berbeda dengan cara pandang kebanyakan
orang Belanda. Hubungan dan kedekatan Idenburg dengan SI telah mengundang musuh-
musuh politiknya untuk mengolok-olok SI sebagai “Salah Idenburg”. Ibid., hlm.131. Hazeu
sendiri sering dianggap sebagai tokoh politik etis sejati yang tidak terlibat dalam urusan
pengusaha perkebunan (seperti Hole), tidak juga terlibat dalam duniua militer dan
kelangsungan kolonialisme di Indonesia (seperti Snouck Hurgronje). Hazeu datang ke Jawa
sebagai guru Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi asisten Hurgronje, dan akhirnya
menggantikannya sebagai penasihat untuk urusan pribumi. Hazeu juga tidak memiliki
hubungan apapun dengan berbagai kekuasaan ekonomi. Ibid., hlm127-128.
84
Tjokroaminoto dimana Sarekat Islam mulai menunjukkan perkembangan
secara signifikan.192
Terlepas dari perdebatan sejarah awal berdirinya SI, apa yang penting
untuk diakui adalah bahwa organisasi ini memiliki peran yang sangat vital
dalam kebangkitan kaum pribumi. Tujuan didirikannya SI bukan hanya supaya
kaum pribumi menjadi miskin yang taat, tetapi juga mencakup aspek sosial,
yaitu agar kaum bumiputra derajatnya terangkat.193 Karena memiliki basis
keagamaan dan kerakyatan maka tidak mengehrankan jika kemudian SI diiukti
oleh rakyat dari berbagai elemen, kaum saudagar, buruh, kaum ulama, jurnalis
dan aktivis pergerakan. Ribuan orang, baik orang kaya maupun miskin di Jawa
begitu mengidolakan SI.194
Konstelasi politik di tanah air pada awal abad ke-20 dan seterusnya
tidak dapat melepaskan diri dari adanya pengaruh dari gerakan Sarekat Islam
(SI) ini. Asal-usul dan pertumbuhan gerakan politik di tanah air selalu
dihubungkan dengan Sarekat Islam (SI).
Deliar Noer mengatakan bahwa asal-usul dan gerakan politik umat
Islam Indonesia dapat dikatakan identik dengan asal usul dan pertumbuhan
SI.195 Berbeda dengan Noer, Hurgronje mengatakan bahwa nama SI
192 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern , hlm.252.. 193Raden Noto Negoro, “Saarekat Islam” dalam Tjaja Hindia, Nomor 5 Tahun
1913, hlm. 69. 194 M. R., “Hollandsch-Inlandsche School” dalam Tjaja Hindia, Nomor 5
Tahun 1913, hlm. 71.
195 Noer membagi sejarah perkembangan SI menjadi empat tahap yaitu, tahap I dari
tahun 1911-1916 (tahap fondasi gerakan), tahap II dari tahun 1916-1921 (tahap puncak
perkembangan), tahap III dari tahun 1921-1927 (tahap konsolidasi akibat bersaing dengan
kelompok komunis dan tekanan dari Pemerintah Hindia Belanda), dan tahap IV yaitu dari
85
sebenarnya tidak menunjukkan asal-usul keagamaan gerakan tersebut. Kata
Islam dalam organisasi yang bernama Sarekat Islam itu hanya memperkuat
pengalaman bahwa penduduk pribumi di Jawa, jika mereka ingin mengatur diri
mereka sendiri ataupun berhadapan dengan golongan manusia lain, maka akan
menyebut agama yang dipeluk mereka bersama sebagai simbol kesatuan.196
Hal ini berarti bahwa, dalam perspektif Hurgronje, SDI pada masa didirikan
sebenarnya bukan dimaksudkan sebagai gerakan keagamaan atau keislaman,
tetapi lebih merupakan gerakan sosial, politik, dan ekonomi orang-orang Islam.
Islam dilibatkan dalam nama dan gerakan organisasi tersebut sebagai lambang
utama kesatuan masyarakat pribumi.
Akan tetapi statemen Hurgronje tersebut lemah jika dilihat dari
lambang SI serta komitmen aktivis SI dalam memajukan agama dan
masyarakat berdasarkan ajaran Islam. SI bukan hanya perkumpulan orang
Islam saja, tetapi memiliki jiwa Islam dan menjadikan Islam sebagai landasan
ideologis.
tahun 1927-1942 (tahap mempertahankan eksistensi di kancah perpolitikan di tanah air). Noer,
Gerakan Modern, hlm. 114. 196 Adriaanse, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje, hlm. 2168-2169.
86
Dengan menganalisa lambang SI ini197, maka akan memperoleh
kejelasan bahwa pergerakan SI berazas pada Islam. Hal ini berarti SI bukan
sekedar perkumpulan komunitas muslim saja, tetapi dapat dikategikan sebagai
perhimpunan Islam. Kalimat Billahi Fi Sabiilil Haqq (Dengan Allah, Di Jalan
Yang Benar) yang menjadi motto organisasi SI, menunjukkan bahwa
197 Gambar lambang SI ini berasal dari koleksi pribadi Suryanegara. Suryanegara,
Api Sejarah, hlm. 370.
87
organisasi ini memiliki landasan teologis yang sekaligus menjadikan Islam
sebaga azas perhimpunan. Nukilan ayat suci al-Qur’an Innamal Mukminuuna
Ikhwah (sesungguhnya orang-orang mukmin itu saudara) sebagai cita-cita
persatuan SI, semakin memberikan pemahaman bahwa SI bukan hanya
perkumpulan orang Islam tetapi juga berjiwa Islam.
Perhimpunan SI juga banyak disebut-sebut oleh masyarakat bahwa
dasar SI adalah Islam. Seorang aktivis SI asal Semarang mengatakan: “Sarekat
Islam itoe Perhimpoenan Boemipoetera jang terbesar dengan berdasar agama
Islam”.198 Hal yang sama diungkapkan oleh Misbach, propagandis SI, dengan
ungkapan: “Saudara!! S. I. itoe berdasar Igama Islam”.199 Dalam vergadering-
vergadering SI, disebut-sebut bahwa Islam adalah menjadi azas SI.200 SI juga
menjadi tumpuan harapan kaum muslimin untuk menjadi pelurus dalam
berbagai aturan dalam kehidupan yang melibatkan umat Islam, termasuk dalam
persoalan gender.201
Memang secara spesifik SI bukan gerakan keagamaan dalam arti
sempit yang bergerak di bidang pendalaman ajaran Islam. Islam dalam konteks
perjuangan SI lebih merupakan landasan ideologis dalam memperjuangkan
kemerdekaan dan kekuasaan atas tanah sendiri (ada kata tertulis dalam bahasa
Jawa Mahardika dan Kawasa ). Dengan demikian SI telah melakukan
deprivatisasi agama dengan memerankan agama sebagai agen perubahan.
198 Islam Bergerak, Edisi 1 Nopember 1921, hlm.1. 199 Statemen Misbach di “Notulen Algemeenevergadering local S. I. Keboemen
pada 13 Hari Boelan Mei 1920” dalam Islam Bergerak, Edisi 1 Juni 1920, hlm. 2. 200 Islam Bergerak, Edisi 20 September 1919,. hlm. 1. 201 Sri Soendari Darmobroto,” Nasibnja Perempoean” dalam Medan Moeslimin
Nomor 8 Tahun III, hlm. 273.
88
Marco Kartodikromo mengungkapkan:
Tempo S. I. baroe lahir di doenia, beriboe orang Islam jang akan
masoek djadi anggota S. I., sebab marika itoe mengerti bahwa S. I.
akan mendjoendjoeng deradjatnja bangsa dan melindoengi nasibnja
si Djawa jang hidoepnja seperti binatang ini. Adapoen ichtiyarnja
soepaja S. I. kesampean maksudnja: a.roekoen (sepakat) dengan
bangsa sendiri: b. memperbaiki Igama Islam: c. enz”.202
Kelahiran SI sebenarnya merupakan titik balik yang menentukan
(watershed) dalam perkembangan ide kebangsaan Islam sebagai bentuk proto-
nasionalisme. Islam digunakan sebagai tali pengikat dan untuk pertama kalinya,
dalam sejarah pergerakan di Indonesia, kata “Islam” secara eksplisit digunakan
sebagai nama sebuah perhimpunan. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam telah
diaktifkan sebagai basis identitas kolektif dan sebagai ideologi bagi gerakan (proto)
nasionalis.203 Identitas Islam bagi orang Jawa sangat melekat. Fachrodin
menuliskan: “Djadi teranglah pada kami bahwa bangsa kita orang Djawa itoe sangat
mementingkan akan agama Islam. Hal itoe tentoe saudara-saudara tiada akan
memoengkiri lagi akan kebaikan dan kebenaran akan agama Islam”.204
Di tubuh SI, perasaan anti-Tionghoa itu semakin mengeras. Golongan
Tionghoa adalah saingan utama pengusaha pribumi dan merupakan sasaran
prasangka rasial sepanjang 1912 hingga 1920.205 Perkembangan dan keanggotaan SI
202 Marco Kartodikromo,”Engatlah Engat” dalam Doenia Bergerak, Edisi Nomor 11
tahun 1914, hlm.2. 203 Latif, Inteligensia Muslim, hlm. 200. 204 Fachrodin, “Awas” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Desember 1920, hlm. 1. 205Kuntowijoyo mencatat persaingan dagang pengusaha muslim dengan
pengusahaTionghoa menjadi sasaran prasangka rasial massa rakyat. Perasaan anti-Tionghoa sering
meletus menjadi kekerasan dan pergolakan yang menyebar ke kota-kota sepanjang pantai utara di
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, mulai dari Tangerang, terus ke Lasem, Solo, Kudus,
89
yang menyebar menjadikan organisasi ini menjelma menjadi kekuatan sosio-
ekonomi dan sosio-politik golongan pribumi yang sangat diperhitungkan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda. Gerak yang cepat tersebut menyebabkan SI
menjadi gerakan massa pertama di Indonesia. Keanggotaan SI terdiri dari
berbagai kelas sosial dan berbagai jenis pekerjaan. Semua disatukan dengan
agama anggota yang sama yaitu Islam. Diiringi suasana anti Tionghoa dan
gerakan Ratu Adil maka organisasi ini semakin melaju dengan cepat.206 Istilah
Ratu Adil merupakan istilah yang memiliki makna sosial tinggi sebagai sebuah
pengharapan datangnya dunia baru bagi rakyat yang tertindas.
Perkembangan ini tidak lepas dari visi organisasi SI. Visi kerakyatan
yang diusung oleh SI mampu menarik simpati rakyat. Belum genap satu tahun,
jumlah anggotanya telah mencapai 2000 orang pada Juni 1912. Jumlah tersebut
terus bertambah seiring pengembangan organisasinya. Bulan Agustus tahun
yang sama, jumlah anggota SI menurut Asisten Residen Surakarta, telah
mencapai 35.000 orang,207 bahkan banyak anggota Boedi Oetomo hijrah ke
Sarekat Islam karena dianggap lebih religius, menyentuh jiwa muslim dan
progresif.
Lihatlah Boedi Oetomo ! maksoed perjimpoenan jang moelia ini
semata-mata hendak mengangkat deradjat boemipoetra djoega, akan
tetapi oleh karena tidak bersinggoeng dengan agama, adakah ia
Rembang, Tuban, Surabaya, dan Pasuruan. Kuntowijoyo, “Muslim Kelas Menengah Indonesia 1910-
1950” dalam Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 88, 89 dan 223. 206 Attashendarsini Habsyah, Mooriati Sudhiarto & Putut Trihusoso (ed.),
Perjalanan Panjang Anak Bumi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 130. 207 Safrizal Rambe, Sarekat Islam: Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia
1905-1942 (Jakarta: Kebangkitan Insan Cendekia, 2008), hlm. 59.
90
mendapat ikoetan jang banjak?. Dan adakah ia menggembirakan
hati orang-orang kampong seperti Serikat Islam?208
Di bawah ketua Omar Said Tjokroaminoto, SI mengalami
perkembangan yang sangat pesat, bukan hanya di pulau Jawa tetapi juga di
Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra. Perkembangan dan terbentuknya
perhimpunan-perhimpunan SI cabang (afdeling) juga dimotivasi oleh faktor
semaraknya kristenisasi sebagai sebuah tantangan.
Pemerentah! Tanah Hindia sampai timboel beberapa boeah
perhimpoenan S.I. dan lain-lainnja itoe lantaran moela-moelanja
soemoek melihat igama Chresten mengapa disiarkan di tanah Djawa
kepoenjaannya orang Islam dan sampai sekarang mengapa igama
Chresten dimadjoekan dan dikedjar ada di tanah Djawa jang
pemerentah soedah anggap sendiri bahwa orang Djawa ini orang
Islam. 209
Walaupun ada yang beranggapan bahwa didirkannya SI dan
perkembangannya disebabkan oleh faktor merebaknya kristenisasi,
sebagaimana diungkapkan dalam Islam Bergerak maupun Sin Po, namun
pendapat ini banyak dibantah karena SI tidak mengadakan konfrontatif dengan
umat Kristen. 210 Soal apakah kristenisasi menjadi factor penting penyebab
muncul dan berkembangnya SI adalah soal perspektif. Apa yang penting untuk
dicatat adalah bahwa identitas Jawa adalah Islam. Hal inilah yang kemudian
208 Raden Noto Negoro, “Saarekat Islam” dalam Tjaja Hindia, Nomor 5 Tahun
1913, hlm. 69. 209 “Mardi-Rahardjo contra Islam Bergerak” dalam Islam Bergerak, Edisi 1 Oktober
1918, hlm.1. 210 Raden Noto, “Saarekat Islam” dalam Tjaja Hindia, Nomor 5 Tahun 1913, hlm.
69.
91
menjadi penyebab mengapa SI mudah diterima oleh orang Jawa, baik yang
putihan maupun abangan.211 Adapun Kristen dianggap sebagai agama asing
yang dianut kaum kapitalis dan kaum kolonialis.
Pada tahun 1919, anggota SI diklaim sejumlah 2 juta,212 bahkan
banyak perempuan terjun dalam gelanggang pergerakan SI sehingga muncul
gerakan SI Perempuan.213 Hanya saja pergerakan perempuan berbasis Islam
baru muncul di Yoyakarta. Beberapa aktivis perempuan di Surakarta sudah
menyuarakan pentingnya perkumpulan muslimah (SI Perempuan), emansipasi
wanita dan kesetaraan gender.214 Harapan-harapan besar tentang cita-cita
kemerdekaan tertumpu pada Sarekat Islam.215 Dalam menjalankan organisasi,
SI membuat komite khusus yang mengurusi soal kas dan wakaf.216 Pada
Kongres SI ke tuju di Madiun 17-20 Pebruari 1923, diputuskan bahwa SI
bermetamorfosa menjadi Partai Sarekat Islam (PSI) dengan tetap
memberlakukan disiplin partai. Nama PSI kemudian diubah menjadi Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada Januari 1929.217
Beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan SI, Boedi Oetomo
(BO) yang lahir pada tahun 1908 mulai berkembang sebagai wadah
211 Tjaja Hindia, Nomor 5 Tahun 1913, hlm. 69-70. 212 Trihusoso (ed.), Perjalanan Panjang Anak Bumi, hlm. 130. 213 Pada tahun 1921 CSI sudah membentuk Bestuur SI Perempuan. Islam Bergerak,
Edisi 1 Nopember 1921, hlm.1. 214 H. S. Sjamsjijah,”Permoehoenan” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 April 1918,
hlm. 1. St. Roestinah, ”Seorang Prempoean Pertama Kali Mendjadi Kabinet Minister se-Antero
Doenia” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Desember 1921, hlm. 1. 215 Ngiso, “Apakah Anak Hindia Tiada Bisa Merdeka Selama-lamanja?” dalam
Islam Bergerak, Edisi 20 September 1918, hlm.1. 216 “K. K. No. 7 Kas Wakaf Kemerdikaan-Pergerakan Sarekat Islam (Ma’loemat
kepada Seganap Ra’jat Hindia)” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Januari 1919, hlm. 2. 217 Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen, hlm. 266 dan 278.
92
perhimpunan bagi para priyayi Jawa terpelajar untuk memajukan dunia
pendidikan bumuputra.218 Boedi Oetomo sendiri merupakan organisasi priyayi
Jawa yang secara de jure didirikan oleh Wahidin Soedirohoesada pada bulan
Mei 1908 di Yogyakarta dan diklaim sebagai organisasi nasional pertama di
Hindia. Anggota BO pada umumnya adalah orang-orang yang Jawa terpelajar
(dokter, patih, kandjeng, insinyur dan sebaginya) alumni sekolah menengah
maupun perguruan tinggi seperti STOVIA, HBS, Osviba, Universiteit dan
sebagainya. Kehidupan ekonomi mereka didapat dari pemerintah Hindia
belanda (Goepermen) maupun dari kaum modal.219 Menurut Shiraishi, secara
de facto pendiri yang sesungguhnya adalah para pelajar STOVIA di Batavia.
Organisasi yang didirikan oleh para pelajar tersebut, dalam waktu yang tidak
lama beralih ke tangan para priyayi terpelajar model pendidikan Barat.220
Walaupun posisinya sebagai organisasi perintis, namun pamornya tidak
melebihi SI. Progresifitas SI lebih memiliki magnet yang kuat bagi rakyat dari
pada Boedi Oetomo, apalagi Boedi Oetomo bersifat eksklusif bagi priyayi
Jawa.
Kelompok Islam Bergerak juga memandang bahwa Boedi Oetomo
lebih berpihak kepada kaum kapitalis dan kolonialis daripada bangsa pribumi.
Boedi Oetomo, dalam perspektif kelompkok Islam di Surakarta adalah
perhimpunan yang menghambat upaya menuju demokrasi dan perhimpunan
218 Tjaja Hindia, Nomor 5 Tahun 1913, hlm. 5-6. 219 George D. Larson, Prelude To Revolution, Palaces and Politics in Surakarta,
1912-1942 (Holland & USA: Foris Publication, 1987), hlm. 49. Mereka disebut-sebut sebagai
kaum terpelajar yang menjauhi kaum kromo dan ikut andil dalam penindasan. Hidoeplah SI
Scholen” dalam Sinar Hindia, Edisi 24 Januari 1924, hlm. 1. 220 Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm. 46.
93
yang dipenuhi perasaan dengki terhadap pergerakan anti penindasan. Hal ini
tampak dalam tulisan tim redaksi Islam Bergerak:
Nah itoe dia, ssekarang kami taoe kebenarannja orang-orang jang
telah mengatakan bahwa haloean B. O. itoe tiada sepadan dengan
namanja perhimpoenan, jaitoe “Boedi Oetomo” tetapi haloeannja
memakai “Boedi Dengki”. Adakah tabiat maoe mengerangkan
kemerdekaan orang itoe dapat diseboet Boedi Oetomo?221
Pada era pemogokan, Boedi Oetomo justru tidak berpihak kepada
kaum pribumi yang mogok, tetapi justru menjadi penjilat pemerintah. Boedi
Oetomo pun mendapat banyak kecaman dari kaum pergerakan bumiputra.
Menoeroet kejakinan B.O. kalaoe B.O. membantoe pada kaoem
pemogok, itoe ertinja B.O. menjokong kaoem pemogok, pada hal
B.O. tidak moefakat dan mentjela pada pemogokan itoe, tetapi
andjing-andjing soerat-soerat chabar Belanda menggonggong
memboesoek-boesoekkan B.O. B.O. laloe tjoetji tangan
mendjaoehkan dari pemogokan. Malah B.O. mendidik kaoem
pemogok boeat djadi pendjilat, ja’ni B.O soeka melontarkan pada
jang wajib boeat terima kembali kaoem pemogok. Barang siapa jang
soeka masoek lagi B.O. nanti jang oeroes dan namanja akan
dirahasiakan…. Bah, katanjua B.O. mau mendjoendjoeng deradjat
bangsanja, tapi B.O. malah mendidik bangsanja djadi pendjilat,
penakoet, boedak d.l.l. poela. Tidak hairan sebab B.O. menjoekai
pada kapitalisme. Apa soedah sepatoetnja B.O. itoe berarti Boedi
Oetomo? Apa soedah sepatoetnjua B,O,. memandang bahwa dia
soeka djadi GOEROE PENDJILAT itoe perboeatan oetama
(oetomo).222
221 Islam Bergerak, Edisi 20 Desember 1919, hlm. 2. 222 Pamoerah Dityo, “Pemogokan Pegadaian”, dalam Islam Bergerak, Edisi 1 April
1922, hlm. 1.
94
Boedi Oetomo sendiri, menurut Suryanegara, sebenarnya hanya ingin
menegakkan nasionalisme Jawa dengan laku utama sesuai ajaran agama
Jawa.223 Hal ini menjadi penyebab konflik dan kerenggangan antara pengikut
SI dengan Boedi Oetomo. Apalagi surat kabar Djawi Hisworo sebagai organ
Boedi Oetomo pernah mengangkat tulisan yang menghina Rasulullah
Muhammad. Reaksi dari SI pun muncul. Konflik ini kemudian memunculkan
propagandis SI yang revolusioner, Misbach, yang dengan Tentara Kandjeng
Nabi Mohammad (TNKM) siap membela Islam. Eksistensi SI pada masa-masa
ini begitu penting dan menjadi popular, bukan saja di kalangan muslim santri,
tetapi juga di kalangan rakyat banyak.
Kelahiran SI dari rahim pertiwi, menandakan adanya gerakan politik dari
kelompok muslim pribumi. Organisasi SI ini didukung oleh para elit pribumi dari
kaum bangsawan, intelektual berpendidikan Barat, pemimpin agama, dan anggota
dari kelompok pedagang muslim lokal.224 Lahirnya SI, dalam konteks ini,
menandakan bangkitnya kelas pedagang pribumi perkotaan dan munculnya
golongan menengah muslim. Dengan begitu, kehadiran SI dalam kancah pergerakan
nasional, sebenarnya lebih mewakili embrio borjuis pribumi setelah lama dalam
posisi marjinal akibat monopoli dari korporasi-korporasi Eropa dan pedagang
Tionghoa.
223 Suryanegara, Api Sejarah, hlm. 344-345. 224Farchan Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan
Penelitian”, dalam Prisma no. 2, Pebruari 1984, hlm. 15
95
Pada tahun 1913, Si sudah berkembang menyeluruh di pulau Jawa,225 dan
Tjokroaminoto diklaim sebagai Ratu Adil dalam keyakinan messianistik Jawa.226
Perkembangan SI menurut Tan Malaka hanyalah karena SI melibatkan agama
dalam mengumpulkan kaum kromo. Tindakan ini dinilai tindakan picik yang
dilakukan oleh kaum setengah feodal. Si tidak dapat melakukan upaya transformatif
menuju peningkatan taraf hidup kaum kromo, hingga akhirnya gemuruh
transformasi masyarakat dikendalikan oleh SI Semarang. Kemajuan SI adalah
kemajuan semu karena tidak memiliki taktik revolusioner.227
Pemerintrah Kolonial akhirnya memberikan pengakuan status hukum SI,
tetapi hanya untuk SI lokal dengan tidak mengakui kepemimpinan pusat dan
cabang-cabang (afdeling). Hal ini dimaksudkan agar pemerintah kolonial dapat
dengan mudah memantau gerakan SI. Keputusan Pemerintah Kolonial tanggal 30
Juni 1913 tersebut juga menyangkut perubahan afdeling (cabang) SI menjadi SI
lokal, yang berada di bawah Central Sarekat Islam (CSI) sebagai media bagi
kerjasama antar SI lokal. CSI bukan pimpinan pusat atau pengurus pusat SI yang
memiliki cabang-cabang, tetapi hanya sebagai media antar SI lokal. Keputusan ini
sebenarnya merupakan pengkerdilan SI yang dilakukan oleh Idenburg, namun gagal
dalam realitasnya. SI semakin berkembang dengan pesat. Hal ini tidak lain karena
adanya ikatan keagamaan (Islam) sebagai simbol persantuan.228
225 M. R., “Hollandsch-Inlandsche School” dalam Tjaja Hindia, Nomor 5 Tahun
1913, hlm. 71. 226 Robert Van Neil, The Emergence of Modern Indoenesian (The Hague and
Bandung: Van Hoeve, 1956), hlm.163. Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism
(Jakarta & Singapura: Equinox Publishing, 2006), hlm.10 227 Tan Malaka, Aksi Massa (t. k. : Teplok Press, 2000), hlm. 101-102. 228 Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan I (Djakarta-Amsterdam-Surabaja :
Balai Buku Indonesia, 1953), hlm. 30.
96
Tjokroaminoto dipercaya untuk menjadi perantara dan mendapat tugas
dari pemerintah di Batavia untuk menyusun Anggaran Dasar yang baru.
Tjokroaminoto akhirnya merintis jalan menjadi orang nomor satu di Sarekat Islam.
Hal ini berdampak pada terpinggirkannya Samanhoedi serta SI di Jawa Barat dan
Sumatra yang anti Tjokroaminoto. Akhirnya Hoofdbestuur SI “tandingan” dibentuk
oleh Goenawan atas restu Samanhoedi, dengan Samanhoedi sebagai ketua dan
Goenawan sebagai sekretaris dan sekaligus bendahara.229
Perpecahan ini digambarkan oleh Mas Marco Kartodikromo dalam
Majalah Doenia Bergerak:
Sekarang kami bertanja kepada sekalian saoedara-saoedara, siapakah
papahnja S. I. (oprichternja S. I.) jang membikin S. I.?. Ketika saoedara-
saoedara masoek djadi anggota S. I., apakah dari sebab saoedara-saoedara
tahuoe, bahwa M.H. Samanhoedi itoe seorang keloearan dari Universeit
(sekolahan tinggi) jang amat tjakap mendjalankan perkoempoelan setjara
orang Europa?. Apakah saoedara-saoedara masouk anggota S. I. itoe, dari
sebab saoedara-saoedara mengerti bahwa Tjokroaminoto, jaitu jang
dipertjaja oleh M.H. Samanhoedi seorang jang pandai dan boleh
dipertjaja?. Pendeknya sekarang S. I. di Solo tidak soeka berhoekoem
dengan lain-lainnja kalau tidak menoeroet seperti atoeran S. I. di Solo.
Maksoednja S. I. di Solo akan mendjoendjoeng deradajnja bangsa, meski
bagaimana djoega akalnja. Afdeling-afdeling S.I di tanah Djawa boleh
memilih sesoekanja. Apakah menoeroet S. I. di Solo jang dipimpin M.H.
Samanhoedi, atau S. I. di Soerabaja jang dipimpin oleh Tjokroaminoto,
jaitu jang soedah dapat rupa-rupa peladjaran dari..........?. Saudara-saudara
toch bisa mengerti siapakah M.H. Samanhoedi !? dan siapakah
Tjokroaminoto !?.230
229 Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm. 103-105. 230 Kartodikromo, “Engatlah Engat “ dalam Doenia Bergerak, Nomor 11 Tahun
1914, hlm. 1-2.
97
Apa yang disampaikan Marco tersebut adalah fakta adanya perselisihan
antara dua kubu SI yaitu kubu Goenawan yang membentuk hoofdbestuur SI dengan
mendapat restu dari pendiri SI, Samanhoedi, dan kubu CSI pimpinan
Tjokroaminoto. Dengan demikian perkembangan SI yang begitu pesat sebenarnya
juga memproduk benih-penih persengketaan di antara tokoh-tokoh SI.
Persengketaan tersebut berawal dari adanya transformasi kepemimpinan dari
seorang tokoh kharismatik (Samanhoedi) ke kaum intelek (H. O. S. Tjokroaminoto).
Ungkapan Marco Kartodikromo tersebut, tersirat adanya keberpihakan
Marco kepada Samanhoedi. Di mata Marco, Tjokroaminoto adalah tokoh yang
bergerak di bawah lindungan Pemerintah Hindia Belanda. Soal campur tangan
Pemerintah Hindia Belanda ini tampak dalam ungkapan Marco:
Tetapi apa kabar saudara-saudara? Dari sebab roepa-roepanja orang
Djawa akan bisa roekoen, maka timboellah matjam-matjam daja oepaja
dari fihak jaang menghisap darahnja Boemi-poetera, soepaja lidnja S.I.
tida bisa roekoen alias S.I. djadi mati.231
Begitu juga Sr. Koornia, yang saat itu menjabat sebagai sekretaris IJB,
menyindir bahwa SI Tjokroaminoto bermental penjilat.232 Pandangan Marco
maupun Koornia tersebut menunjukkan bahwa sejak awal perkembangannya,
Pemerintah Kolonial sudah mencampuri urusan perhimpunan pribumi dengan
tujuan memecah belas secara halus (devide et impera), agar gerakan kaum pribumi
terkontrol dan tidak membahayakan kepentingan kolonial.
231 Ibid., hlm. 2. 232 Sr. Koornia,”Matenging Waton” dalam Doenia Bergerak, Nomor 11 tahun 1914,
hlm. 15.
98
Dalam kondisi perpecahan pimpinan SI ini, Misbach memasuki dunia
pergerakan dengan masuk sebagai lid serta propagandis SI guna ikut berperan dalam
menegakkan Islam.233 Perseteruan antar kelompok SI pimpinan Samanhoedi
dengan SI pimpinan Tjokroaminoto berakhir setelah CSI yang dipimpin
Tjokroaminoto mendapat pengakuan dari pemerintah pada Maret 1916. CSI yang
dipimpin Tjokroaminoto menjadi koordinator di antara SI-SI dan menjadikan
afdeling-afdeling SI tersebut sebagai SI lokal, yang dimulai pada tahun 1915.
Pada tahun 1916 status hukun didapat penuh.234 Hal ini sekaligus menunjukkan
akhir bagi kepemimpinan Samanhoedi yang didukung Goenawan.235 Hoofdbestuur
SI yang dipegang oleh para pedagang dan kemudian inteligensia mecerminkan
adanya transformasi kepemimpinan politik Islam dari ulama kharismatik kepada
bukan ulama.236 Transformasi kepemimpinan itu ditandai dengan semakin
populernya Raden Tjokroaminoto (1882-1934) menggantikan peran Samanhoedi.
CSI di bawah pimpiunan Tjokroaminoto mencapai kemajuan pesat, dan
sekretariat Hoofdbestuur CSI berpindah ke Surabaya. Di Surakarta, tempat
berdirinya SI, kekuatan SI menurun. Toko-toko SI yang didirikan pada tahun 1912-
1913 bangkrut. Harga bahan mentah untuk produksi melonjak naik, sehingga para
pedagang batik yang ketika SI dipimpin oleh Samanhoedi menjadi penyokong
utama dana pergerakan, lebih memikirkan usahanya daripada perhimpunan SI.
Ketika gerakan beranjak mundur pada tahun 1916, Tjokroaminoto dan Agoes
233 Rangsang, “Tjatetan Singkat Tentang Kawan Misbach” dalam Sinar Hindia,
Edisi 4 Julim 1924, hlm. 1. 234 Robert Van Neil, The Emergence of Modern Indoenesian (The Hague and
Bandung: Van Hoeve, 1956), hlm. 117. 235 Shiraishi, Zaman Bergerak, hlm. 106. 236Kuntowijoyo, Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia:
Mitos, Ideologi, dan Ilmu, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2001), hlm. 9.
99
Salim mulai tertarik dengan ideologi Pan Islamisme. Tjokroaminoto dan
beberapa wakil Muhammadiyah serta SI pun ikut menghadiri kongrres al-Islam
sedunia di Makkah. Kongres al-Islam ini memiliki dampak politik di tanah air.
Ide-ode moral hasil Kongres al-Islam dibawa pulang oleh perwakilan SI dan
cukup mewarnai dinamika politik tanah air. Dalam Kongres SI di Madiun
tahun 1922, Agoes Salim mengusulkan agar SI menempuh garis perjuangan
non kooperatif terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Mulai tahun 1923 SI
menempuh sikap tidak mau bekerjasama dengan pemerintah 237
Dalam kondisi kemunduran SI, pada tahun 1915 muncul aktifitas sosial,
politik, ekonomi dan pendidikan yang dimotori oleh para pedagang batik dan guru
ngaji di Surakarta, khususnya di Keprabon dan Laweyan. Dalam konteks inilah
Misbach dan Hisamzaijnie menerbitkan majalah Medan Moeslimin sebagai
tanggapan atas terbitnya Mardi Rahardjo oleh umat Kristen.
Mardi Rahardjo merupakan media massa umat Kristen di Jawa yang
didistribusikan secara cuma-cuma. Isinya sering menyudutkan umat Islam. “Toean-
toean pembatja mesti taoe, bahwa Mardi Rahardjo seringkali menyangkoet
sangkoet oleh Igama kita Islam jang kita rasa koerang enak bagi kita kaoem
moeslimin”.238 Karena itulah Misbach dan Hisamzaijnie kemudian menerbitkan
Medan Moeslimin sebagai majalah untuk menerangkan Islam dan perekat
persaudaraan sesama umat muslim.
237 Jan Schmidt, ”Pan-Islamisme di Antara Porte, Den Haag dan Buitenzorg”, dalam
Nico J. G. Captein, Kekacauan dan Kerusuhan, Tiga Tulisan Tentang Pan-Islamisme di
Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan Belas dan Awal Abad Kedua Puluh, terj.
Lillian D. Tedjasudjana (Jakarta: INIS, 2003), hlm. 75. 238 Islam Bergerak, Edisi 20 Pebruari 1917, hlm. 1.
100
Medan Moeslimin adalah majalah pertama di Jawa yang diterbitkan oleh
intelektual berpendidikan pesantren.239 Pada tahun 1914 terjadi proses kristenisasi
yang cukup besar. Masuknya agama Kristen di swapraja telah memacu umat
Islam menyegarkan kehidupan keagamaan.240 Penerbitan Medan Moeslimin
adalah bagian dari cara menyegarkan kehidupan keagamaan di Surakarta yang
pada waktu itu pamor Sarekat Islam melemah. Hal ini sekaligus menunjukkan
bahwa Misbach hadir sebagai intelektual aktivis di Surakarta ketika Sarekat
Islam di Surakarta hampir kehilangan seluruh massa pendukungnya.
Awal abad ke-20 juga ditandai dengan berdirinya Insulinde, sebuah
partai yang didirikan tahun 1907, disusul kemudian Indische Partij (Partai
Hindia) yang didirikan tahun 1911 oleh E. F. E. Douwes Dekker (Multatuli),
seorang Indo-Eropa yang radikal yang mengumumkan pentingnya
nasionalisme dan kemerdekaan Hindia.241 Dua aktivis pribumi, Tjipto
Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Derwantara) bergabung
dengan Indische Partij. Pada tahun 1913 anggota Insulinde dari kalangan
pribumi bergabung dengan Indische Partij. Partai ini tidak diakui oleh
pemerintah Hindia dan para pemimpinnya diasingkan ke Belanda.242 E. F. E.
239 Takashi Siraishi, Zaman Bergerak, hlm. 108. 240 Wijk “Solo Tahun 1909-1914”, hlm. 55. 241 Indische Partij lebih banyak diikuti oleh orang-orang Indo, yaitu bangsa Hindia
keturunan bangsa Eropa dengan perempuan bumiputra. Posisi orang-orang Indo dalam
peraturan pemerintah colonial sama haknya dengan orang Eropa tetapi mereka sering
dihinakan oleh pemerintah sehingga sering melakukan perlawanan. Tjaja Hindia, Nomor 5
Tahun 1913, hlm. 74. 242 Raden Noto Negoro, “Kabar Jang Menjenangkan Hati” dalam Tjaja Hindia,
Nomor 5 Tahun 1913, hlm. 74-76. Orang-orang Insulinde kemudian masuk anggota NIP atau
Nationale Partij sehingga publik menganggab bahwa Insulinde sudah berubah menjadi NIP.
101
Douwes Dekker mengajak anggota Insulinde di National Indische Partij (NIP)
keluar dan mendirikan Sarekat Hindia (Union of the Indies) tahun 1919.243
Berdirinya Sarekat Hindia (SH) mendapat sambutan positif dari kelompok
Medan Moeslimin. Walaupun kebanyakan anggotanya orang Indo, namun
semangat pembelaan kepada kaum lemah menjadi titik tolak dan tujuan
bersama.
Oleh karena telah njata benar kehendak serta haloean S. H. itoe
baik, tandanja perkara di Solo, patoetlah anak Hindia tida’
membentji kepadanja, tetapi haroeslah menambah kekoeatannja.
Berbagai2 oesaha serta tenaganja, dan beberapa pengandjoer serta
pembela S. H., diboeang dan dipendjara oentoek menolong bangsa
kita anak Hindia, itoelah semua tanda keloeroesan dari hati S. H.
akan membela anak Hindia…..Sesoenggoehnja kami sendiri beloem
berhati serasa dengan bangsa Indo Europeaan atau Indo Chinees dll.
Tetapi hal itoe tiadalah kami fikir, karena orang itoe boekannja
Sarikat Hindia atau djelasnja boekanja Soewardi atau Tjipto, lagi
poela bangsa Indo jang mendjadi lidnja S. H. itoe semoea memehak
kita echte Indiers.244
Ungkapan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa was-was kaum
pergerakan bumiputra terhadap sepak terjang komunitas Indo yang kritis
terhadap pemerintah dan memiliki kepedulian terhadap nasib kaum kromo.
Banyak orang Indo yang memiliki kepedulian terhadap kaum tertindas. Dengan
semangat sosialisme, kaum Indo melakukan pergerakan yang sifatnya populis.
Nama Insulinde dikenal kembali setelah didirikan Sarekat Hindia. Publik menyebut bahwa
Sarekat Hindia adalah Insulinde. “D D” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 September , hlm. 1-2. 243 McVey, The Rise of Indonesian Communism , hlm. 64. 244 Islam Bergerak, Edisi 10 Nopember 1919, hlm. 1.
102
Peran aktif Douwes Dekker di Sarekat Hindia (SH) dalam membela
kaum pribumi dan menentang kapitalisme telah menyeretnya ke dalam penjara
berdasarkan putusan Justitie Betawi.245 Walaupun menyuarakan kemerdekaan
namun NIP yang bermetamorfosa menjadi Sarekat Hindia ini kurang mendapat
dukungan rakyat. Hal ini menurut Hatta karena ada gangguan identifikasi
keislaman dan kepribumian maupun kebangsaan.246 Artinya, karena Douwes
Dekker merupakan orang Indo, maka gagasan-gagasannya yang revolusioner
tidak membawa pengaruh bagi rakyat disebabkan karena persoalan identitas.
Dukungan baru muncul pada tahun 1919 ketika Misbach menggunakan media
perhimpunan tersebut untuk menentang kebijakan pemerintah dan perilaku
kaum modal yang menindas. Dukungan rakyat terhadap Insulinde ini lebih
terkait sosok revolusioner Misbach, seorang muslim Jawa yang taat, yang
mengumandangkan advokasi kaum buruh, tani dan orang pinggiran.
Berbeda dengan NIP, ISDV yang juga didirikan oleh orang Indo dapat
berkembang dengan pesat. Pada tahun 1913 Sneevliet (1883-1942) datang di
Indonesia sambil mengkampanyekan ide-ide sosial demokratis yang
revolusioner. Sneevliet dan Baars mulai dikenal publik sebagai aktivis sosialis
lintas kebangsaan. Keduanya memberikan perhatian serius pada persoalan
kemanusiaan dan pentingnya gerakan anti penindasan. “Di Hindia sini ada
245 Douwes Dekker diputus hukuman satu tahun penjara dipotong masa penahanan
antara Januari sampai dengan Mei 1920. “D D” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Septemebr
1920, hlm. 2. Dalam persidangan Douwes Dekker, seorang aktivis SH yang sekaligus redaktur
Panggoegah, Moedio Wignbjosoetomo, dianggap memberikan kesaksian palsu sehingga
ditangkap polisi pada 22 Juni 1920 dan ditahan di penjara Solo. Islam Bergerak, Edisi 1 Juli
1920, hlm. 1. 246 Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan I (Djakarta-Amsterdam-Surabaja : Balai
Buku Indonesia, 1953, hlm. 34-35.
103
beberapa orang jang tidak tjinta bangsa tetapi tjinta manoesia jang tertindas ,
jaitoe saudara-saudara Sneevliet dan Baars. Doea orang ini tiada memandang
kebangsaan tetapi kemanoesiaan”.247 Begitulah salah seoarng aktivis
pergerakan menuliskan gagasannya di Islam Bergerak.
Pada tahun 1914 Sneevliet mendirikan Indische Social-
Democratitische Vereniging (selanjutnya disingkat ISDV) atau Perserikatan
Sosial Demokrati Hindia yang bermarkas di Surabaya. ISDV adalah partai
berhaluan komunis pertama di Asia. Karena ingin mendapatkan basis di
kalangan rakyat maka ISDV menjalin persekutuan dengan Indische Partij dan
SI.248 Ketiga perserikatan ini dianggap sebagai perserikatan yang konsisten
membela kaum kromo dan memiliki sikap tegas dalam menentang penindasan.
Hal ini terbukti dari banyaknya anggota perserikatan yang saling rangkap
anggota karena tujuannya sama, yaitu menentang penindasan dan
ketidakadilan. Di dalam Islam Bergerak, muncul sebuah tulisan perlunya
kerjasama antar perhimpunan. “Marilah saudara-saudara berkoempoel,
bekerdjasama setija segala politiek vereenigingeng, misalnya: S.I., Insulinde
(thans Indische Partij) S. D. A. P., I. S. D. V. itoe semoeanja baik tak ada jang
djahat”.249
Seruan ini menunjukkan betapa SI, ISDV dan Insulinde dianggap
sebagai perserikatan yang patut menjadi wadah menyalurkan aspirasi dan
247 D. Koesoema,”Seberapa Djaoehkan?” dalam Islam Bergerak , Edisi 1 Mei 1918,
hlm.2. 248 Ricklefs, Sejarah Indonesai Modern, hlm. 261 249 Soerjosasmojo, “Volk Beweging (Solo)” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Juni
1919, hlm.2.
104
wadah perjuangan menentang kapitalisme. Anjuran ini sekaligus sindiran
kepada Boedi Oetomo yang dianggap tidak memikirkan nasib kaum kromo.
Semangat bertemu antar persarikatan sebenarnya sudah diawali pada
tahun 1914 yang ditandai dengan pertemuan aktivis SI Semarang, Semaoen
dengan Sneevliet yang pada waktu itu aktif di Serikat Buruh Kereta Api dan
Trem (Veregining Spoor en Tramweg-Personeel) di Semarang. Anggota SI
Surabaya, Semaoen, bertemu dengan Sneevliet dan menjadi anggota ISDV. SI
Semarang akhirnya di bawah pengaruh Semaoen yang mengambil garis anti
kapitalis secara revolusioner. Sejak kepemimpinan Semaoen ini, pendukung SI
Semarang banyak berasal dari kaum buruh dan rakyat kecil.250 Garis radikal
anti kapitalis telah menyeret Semaoen dalam sidang di Landraad Semarang
dan diberi hukuman 4 bulan oleh Justitie Semarang pada Juli 1919.251
Perubahan garis ideologis dan masa pendukung Sarekat Islam
Semarang ini menjadi tonggak sejarah baru dalam dunia pergerakan di
Indonesia. Untuk pertama kalinya pemikiran dan gerakan marxisme bumiputra
hadir mewarnai varian pergerakan di Indonesia. Fakta ini memiliki pengaruh
yang sangat kuat, bahkan pemikiran dan gerakan komunisme Misbach sulit
dimengerti tanpa mengkaitkan dengan haluan kiri yang menjadi filosofi
sekaligus coral pergerakan SI Semarang. Dengan kata lain, haluan komunis
yang dianut SI Semarang telah memunculkan peristiwa-peristiwa dan
fenomena-fenomena yang unik dalam sejarah pergerakan di Indonesia, salah
250 Robert Van Neil, The Emergence of Modern Indonesian Elite (The Hague and
Bandung: Van Hoeve, 1956), hlm. 109. 251 Semaoen ditangkap dan diadili karena tuduhan melanggar aturan persdelict.
Islam Bergerak, Edisi 1 Agustus 1919, hlm. 1.
105
satunya adalah gerakan Komunisme Islam yang dipelopori Misbach di
Surakarta.
Pada saat yang bersamaan, banyak aktivis ISDV menjadi anggota
penuh Sarekat Islam, kecuali para aktivis revolusioner Belanda dan Indo tidak
ada yang menjadi anggota SI.252. Akibatnya, haluan kiri SI Semarang mulai
mempengaruhi arus besar pemikiran dan gerakan beberapa afdeling SI yang
kemudian menjadi SI lokal.
Perubahan besar SI terjadi diawali dari Semarang sejak Semaoen
memimpin SI Semarang mulai 6 Mei 1917. Sejak kepemimpinan Semaoen, SI
Semarang menjadi gerakan kaum buruh dan tani, padahal sebelumnya, pada
masa kepemimpinan Moehammad Joesoef, Sarekat Islam dikemudikan oleh
kaum elitis (kaum menengah dan pegawai negeri).253 Corak revolusioner dan
non kooperatif ditunjukkan dengan kebijakan oraganisasi yang dengan tegas
menentang duduk di Volksraad, serta menyerang kepemimpinan CSI pimpinan
Tjokroaminoto.254 Dalam konggres SI tahun 1917, kelompok SI radikal-
revolusioner memperoleh banyak dukungan dari SI-SI lokal. Hal ini menjadi
pukulan bagi CSI pimpinan Tjokroaminoto, namun CSI masuk kompak dalam
memperjuangkan nasib rakyat.
Hal ini dibuktikan dengan adanya sidang CSI pada September 1918
yang dihadiri oleh pengusrus CSI dan para komisaris daerah di Surabaya, yaitu
Tjokroaminoto, Semaoen, Soekirno, Sosrokardono, dan beberapa tokoh lain.
252 McVey, The Rise of Indonesian Communism , hlm.22 253 Moehammad Joesoef dan segenap pengurus SI Semarang menyerahkan
kedudukan Presiden SI Semarang kepada Semaoen yang waktu itu berumur 19 tahun. Sinar
Djawa, Edisi 7 Mei 1917 hlm. 1. 254 Ricklefs, Sejarah Indonesai Modern, hlm. 262
106
Sidang berhasil membentuk badan yang menyokong tokoh-tokoh pergerakan
rakyat yang menjadi korban tindakan pemerintah, termasuk para tokoh di luar
Sarekat Islam. Badan ini dinamakan Badan Kas Wakaf Pergerakan
Kemerdekaan Sarekat Islam.255 Masuknya ide-ide marxisme di tubuh SI juga
mengubah orientasi awal didirikannya SI (ketika masih bernama SDI) sebagai
kongsi anti Tionghoa, menjadi perserikatan anti kapitalisme dengan melakukan
advokasi terhadap perkumpulan buruh.256 Dalam wawancara dengan Semaoen
5 September 1954 Soe Hok Gie mendapat keterangan bahwa Semaoen pernah
diberi 5000 gulden oleh direktur Bank Tionghoa yang sering dihina de
Locomotif. Sumbangan itu dimaksudkan untuk menyokong pemogokan buruh.
Begitu juga kaum buruh Tionghoa juga memberikan sumbangan 100 gulden
untuk pemogokan.257 Hubungan kaum pergerakan dengan kelompok Tionghoa
semakin baik sehingga pada tahun 1919, orientasi anti Tionghoa sudah
dihilangkan dari perjuangan SI.258 Goenawan., voorzitter SI juga meminta
derma kepada bangsa Tionghoa dalam rangka mensukseskan Pasar Derma SI
di Bandung 4-7 Maret 1922, yang mana hasil dari Pasar Derma SI tersebut
akan disumbangkan untuk pengembangan sekolah SI di Bandung.259 Hubungan
255 Oetoesan Hindia, Edisi 23 Desember 1918, hlm. 1 dan 24 Desember 1918, hlm.
1. 256 H. S. Fantast, “Pergerakan Boeroeh” dalam Islam Bergerak, Edisi 1 Desember,
1921, hlm. 2. 257 Gie, Di Bawah Lentera Merah, hlm. 52. 258 Sinar Hindia, Edisi 3 Maret 1920. 259 E. Ardiwidjaja, “Perboeatannja Pemerentah Halnja Pasar Derma S.I. Bandung”
dalam Islam Bergerak, Edisi 1 April 1922, hlm. 1.
107
kaum pergerakan bumiputra dengan kaum Tionghoa semakin harmonis dengan
banyak seruan “Hidoeplah persaudaraan Bp. – T.H.”260
Marxisme muncul ketika SI mulai tumbuh besar.261 Hadirnya ideologi
marxisme di tubuh SI adalah awal bahwa SI menerima pengaruh
radikalisme.262 SI radikal-revolusioner di bawah pengaruh SI Semarang
melakukan aksi pengembangan ideologi dengan mendirikan cabang-cabang. SI
Afdeling B (Seksi B) atau SI B didirikan oleh Sosrokardono (pengurus di CSI)
di Jawa Barat. Hal ini menandakan era baru pergerakan SI yang terpecah
menjadi SI Kanan (CSI pimpinan Tjokroaminoto) dan SI Kiri (pimpinan
Semaoen).263. Dalam Kongres SI bulan Oktober 1921 di Surabaya, Agoes
Salim mengusulkan disiplin partai sebagai salah satu cara membersihkan SI
dari pengaruh komunisme. Tjokroaminoto yang waktu itu masih dalam tahanan
menerima usulan Agoes Salim sehingga terjadilah perpecahan yang nyata.264
Pemikiran dan gerakan Komunisme Islam di Surakarta yang dipimpin
oleh Misbach hanya bisa dipahami dengan pemahaman yang utuh tentang
260 Kata “Bp” yang dimaksud adalah singkatan dari bumiputra, sedangkan T.H.
adalah Tionghoa.Pamoerah Dityo, “Pemogokan Pegadaian”, dalam Islam bergerak, Edisi 1
April 1922, hlm. 2. 261 Van Neil, The Emergence of Modern Indoenesian, hlm. 121. 262 George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (New York:
Cornell University, 1952), hlm. 71-72. 263 Ricklefs, Sejarah Indonesai Modern, hlm. 263. Sosrokardono akhirnya keluar
dari Sarekat Islam dan benar-benar menjadi komunis pada Agustus 1924. Parakitri Tahi
Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm. 619. 264 Amelz, H.O.S. Tjokroamonito, Hidup dan Perjuangannya Jilid II (Jakarta: Bulan
Bintang, 1952), hlm. 121. Kaum pergerakan dari kalangan muslim Surakarta berpihak kepada
SI Merah pimpinan Semaoen. H. M. Misbach, “Pemandangan” dalam Islam Bergerak, Edisi 1
Febryari 1923, hlm. 1. Agoes Salim dinilai kalngan Islam Bergerak sebagai tokoh cerdas yang
memiliki semangat rendah dalam dunia pergerakan bumiputra.”T. H. A. Salim Dibitjarakan”
dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Pebruari 1923, hlm. 2.
108
historisitas gerakan marxisme di Jawa. Tanpa mengkaitkan dengan sejarah asal
mula gerakan marxis di Jawa maka akan seperti membaca sebuah alur sejarah
dalam surat kabat dari tengah-tengah, sehingga penggalan-penggalan sejarah
menjadi sulit dimaknai.
Sejak Revolusi Rusia tahun 1917 di bawah pimpinan Lenin, ajaran
marxisme mulai mendunia. Awal abad ke-20 adalah awal perkembangan
marxisme ke berbagai wilayah dunia dan menjadi ideologi besar. Kemenangan
Marxis Bolsheviks dalam revolusi bulan Oktober di Rusia telah menjadikan
Lenin sebagai tokoh dunia yang dikagumi banyak masyarakat.265. Pengaruhnya
bahkan sampai ke Hindia. Hampir kejadian besar di seluruh dunia terkait
dengan kejadian di Rusia, terutama pemikiran dan gerakan Lenin. Kejadian di
Rusia berpengaruh pada kepentingan banyak negeri karena popularitas Lenin
di dunia pergerakan.266 Dengan landasan ideologi komunisme yang begitu
kuat., pemerintah Rusia melakukan sterilisasi faham kapitalisme di seluruh
daratan Rusia.267
Hampir kejadian di seluruh dunia tertarik dengann kejadian di
terutama pemikiran dan gerakan Lenin. Sebab kejadian di Rusland berpengaruh
pada kepentingan banyak negeri.268 Lenin begitu dikenal di dunia pergerakan
265 Jonathan H. Turner, The Emergence of Sociological Theory (Illinois: The Dorsey
Press, 1981), hlm. 190 266 Bromartani, Edisi 17 Mei 1931 nomor 36. 267 Menjelang perayaan 15 tahun berdirinya Soviet Rusia, banyak tokoh Komunis di
Rusia dikeluarkan dari Partai Komunis karena disinyalir menyebarluaskan faham kapitalisme.
Hal ini menandai adanya diktatoriat peoletar. Fikiran Ra’jat, Nomor 52, Edisi 30 Juni 1933,
hlm.17. 268 Ks. D, “Kepaksa Toeroet Tjampoer” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Oktober
1921, hlm. 1. Dipo Winengkoe, “Nasib Kita (Ra’djat Djadjahan) ” dalam Islam Bergerak,
Edisi 1 Januari 1922, hlm. 1.
109
di tanah air. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi pergerakan di tanah air
yang sudah dalam proses menentang kolonialisme dan kapitalisme. Perjuangan
revolusioner Lenin menjadi contoh sekaligus inspirasi bagi gerakan anti
kapitalisme di berbagai belahan dunia, termasuk di Hindia.
Komunis internasional (Komintern) yang dibentuk Lenin, menjadi
payung ideologi dan pergerakan bagi ISDV. Dampaknya, ISDV menjadi badan
komunis Hindia yang lebih nyata, karena telah menghimpun 3000 serdadu ke
dalam soviet-soviet (dewan-dewan) di Surabaya. Gubernur Jenderal Van
Limburg Stirum akhirnya menyadari bahaya ISDV sehingga tahun 1918-1919
dewan-dewan tersebut dibubarkan dan mengasingkan Sneevliet dan orang-
orang Belanda yang aktif di ISDV.269 Ketika kaum radikalis kiri berkebangsaan
Belanda ditangkap, ISDV dipimpin oleh orang-orang pribumi hingga
mendapatkan basis massanya. Menguatnya ISDV menginspirasikan Semaoen
dan Darsono untuk menjadikan ISDV menjadi lebih membumi. Pribumisasi
ISDV menjadi agenda penting Semaoen dan Darsono mengingat bahwa
sebagian besar anggotanya adalah orang-orang pribumi. Pada bulan Mei tahun
1920, ISDV berubah namanya menjadi Partai Komunis Hindia,270 dan pada
tahun 1924 berubah lagi menjadi Partai Komunis Indonesia.271 Perubahan
269 Selama menduduki jabatan Gubernur Jendral Hindia dari tahun 1916-1921, Van
Limburg Stirum dikenal akomodatif terhadap aspirasi rakyat, tetapi kemurahan hati dianggap
tidak dapat mengubah mainstream pemerintah kolonial Belanda. “Soeatoe Penjoeloehan
Memperdajaken” dalam Soeloh Ra’jat Indonesia, Edisi 27 Pebruari 1929, hlm. 134, 270 Perubahan ini didasarkan pada asumsi bahwa sebuah gerakan akan berhasil jika
memiliki akar-akarnya di suatu tempat dimana gerakan itu tumbuh. ISDV secara simbolik
masih kental dengan nama Belanda sehingga sulit dibumikan dalam jiwa-jiwa bumiputra, maka
perubahan ISDV menjadi PKI adalah sebuah strategi membumikan komunisme dalam alam
pikiran bumiputra. 271 Ricklefs, Sejarah Indonesai Modern, hlm. 265.
110
nama ini dilakukan untuk memperoleh basis massa dari kalangan pribumi.
Setelah memperoleh dukungan pribumi, sikap revolusioner dan radikal kaum
komunis mulai nampak dengan jelas terutama ketika melakukan
pemberontakan pada tahun 1926-1927. Harold W. Sundstrom mengatakan
“The Communist’s organization was crushed with failure of the 1926-1927
rebellions”.272 Kejadian tersebut merupakan klimak pertentangan antara
kelompok proletar dengan kaum modal.
Walaupun pertentangan antara popolo grosso (masyarakat
kebanyakan) dengan popolo minuto (golongan terpilih)273, atau antara
kelompok elit dengan kelompok pinggiran sudah ada di Jawa, hadirnya
komunisme telah membawa pertentangan semakin meluas dan intensif.
Perjuangan kelas yang dijadikan semangat perjuangan kawulo alit yang
tertindas telah mempengaruhi banyak aktivis pergerakan pribumi. Pemahaman
tentang hadirnya pemikiran dan pergerakan Komunisme Islam dalam
pergerakan pembelaan atas kaum proletar (dluafa) dan anti kapitalisme, tidak
dapat lepas dari mata rantai sejarah hadirnya ISDV dan masuknya faham
komunisme yang bersifat revolusioner di tubuh SI.
Dinamika pergerakan di tanah air muncul dan berkembang karena
adanya semangat untuk mencapai kemajuan dan perubahan. “Kelaparan
hendak berolih menadjoean itoelah jang menanam bidji pergerakan dan
272 Harold W. Sundstrom , Indonesia, hlm. 88. 273 Pertentangan popolo grosso versus popolo minuto sudah ada sejak era Hindu dan
berlanjut hingga zaman pergerakan. W. F. Wertheim, “Pendekatan Sosiologi dalam
Historiografi Indonesia” dalam Soedjatmoko et. Al. (ed.), Historiografi Indonesia, Sebuah
Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 314.
111
perobahan”.274 Walaupun memiliki ideologi, basis massa dan plat form
perhimpunan yang berbeda-beda, namun seluruh perhimpunan menghadirkan
semangat untuk memajukan rakyat Indonesia.
5. Kondisi Keagamaan
Sebagai salah satu kota penting di Indonesia, Surakarta memiliki kaitan
erat dengan sejarah Islam dan sejarah pergerakan nasional. Sejarah perkembangan
Islam di Surakarta penggalan sejarah dari keseluruhan sejarah Islam di nusantara.
Karena merupakan mata rantai panjang sejarah Islam di nusantara, maka keberadaan
dan realitas masyarakat Islam Surakarta tentu dipengaruhi oleh sejarah Islamisasi
nusantara dan sejarah sosial umat Islam di Jawa yang mendahuluinya.275
274 Tjaja Hindia, Nomor 5 Tahun 1913. 275 Islam masuk ke nusantara melalui Malaka. Sebelum masuk ke Jawa, Islam sudah
berkembang di Malaka dan wilayah-wilayah pelabuhan di Sumatera yang dibawa oleh para
pedagang muslim. Marcopolo menuliskan “Its inhabitants are for the most part idolaters, but
many of those who dwell in the seaport towns have been converted to the religion of Mahomet,
by the Saracen merchants who constantly frequent them.” Dalam catatan Marco Polo
disebutkan bahwa penduduk Malaka sebagian besar adalah penyembah atau pemuja berhala,
tetapi mereka yang tinggal di kota pelabuhan telah memeluk Islam yang disebarkan oleh
pedagang Arab. Marco Polo, The Travel of Marco Polo, revised from Marsden’s translation
and edited with introduction by Manuel Komproff (New York: W. W. Norton & Company
Inc., 1930), hlm. 155. L. van Rijkevorsel dan R. D.S Hadiwidjaja menjelaskan bahwa,”Para
soedagar bangsa Islam kang bandjoer maggon ing tanah-tanah Indija ija wis pada omah-
omah karo bangsa Priboemi, malah lumrahe kang bangsa prijaji, nanging tjatjahing wong
Islam meksa lagi setitik banget”. Para pedagang muslim yang menetap di wilayah nusantara
banyak yang menikah dengan kaum pribumi, bahkan kebanyakan kaum pribumi tersebut
adalah kalangan elit, tetapi jumlah umat Islam baru sedikit sekali. Berdasarkan catatan Ma
Huan yang mengikuti ekspedisi Panglima Cheng Ho, diceritakan bahwa Raja Malaka dan
pengikutnya telah menjalankan syariat Islam, bahkan sultan selalu membawa surban putih
yang secara kultur menunjukkan kuatnya budaya Islam di Malaka. L.Van Rijkevorsel dan R.
D. S. Hadiwidjaja, Babad Tanah Djawi, hlm. 33. Proses islamisasi awal tersebut masih sangat
terbatas dan baru terjadi secara signifikan pada abad ke-13 yang kemudian dikenal sebagai
zaman terjadinya islamisasi.275 Hal ini didasarkan pada catatan Marcopolo dan Ibn Bathuthah
112
Proses Islamisasi di nusantara merupakan proses yang sangat penting
walaupun merupakan masa yang tidak jelas. Hal ini disebabkan karena
sedikitnya sumber-sumber dan minimnya ulasan tentang peran-pran peting
kelompok masyarakat yang menjadi agen Islamisasi. Sedikitnya sumber
menyebabkan munculnya beberapa teori.276
Terlepas dari teori-teori tersebut, Taufiq Abdullah mencatat bahwa
berdasarkan sumber-sumber sejarah pribumi dan non pribumi, kehadiran Islam
di Indonesia terbagi menjadi tiga fase yaitu singgahnya pedagang-pedagang
Islam di pelabuhan-pelabuhan nusantara, adanya komunitas-komunitas Islam di
sebagaimnana diungkapkan oleh Michael Laffan , “Some of the earliest outside visions of
Southeast Asia’s, Islamization are found in the observations of Marco Polo (1254–1324), who
visited the region in 1292, and Ibn Battuta (1304–77), who followed him in 1345–46”. Michael
Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, The Umma below the Winds
(London & New York: Routledge Curzon, 2003), hlm.12 276Ada banyak teori tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Dari teroi-teori
yang ada, dapat dikelompokkan pada dua teori dominan yaitu teori yang mengatakan bahwa
Islam masuk ke Indonesia melalui India dan teori yang kedua menjelaskan bahwa Islam masuk
ke Indonesia langsung dari tanah Arab. Teori pertama, untuk pertama kali dikemukakan oleh
Pijnappel dari Universitas Leiden. Teori ini kemudian diikuti oleh Snouck, Fatimi, Vlekke,
Gonda, dan Schrieke. Adapun teori keduan dikembangkan oleh Arnold, Crawfurd, Niemann,
de Holander . Drewes, GWJ. “New Light on the Coming of Islam to Indonesia”, BKI, 124,
1968, hlm. 439-440. Adapun J. C. Van Leur nampaknya mengakui 2 mainstream teori itu
sekaligus dalam menjelaskan masuknya Islam ke Asia Tenggara, dengan tetap menyatakan
bahwa saudagar Arab lah yang pertama membawa Islam ke nusantara. Arab and Persian
traders, however, followed the trade route all the way to the Chinese ports. There seem to have
been an arab trading colony established in canton as early as the fourth century, Settlement of
Arab traders were mentioned again 618 and 628 AD. In lter years the colonies carried on
muslim religious practices and were under muslim control. The Arabs were one group among
several: Persian, Jews, Armenian, Nestorian Christians. It goes without saying that there were
also Moslem colonies to be found at the on termediary station on the long trade route in South
East Asia. There allusion to Arab settlement or colonies on the west coast of Sumatra as 674
M.”. C. J. Van Leur, Indonesian Trade and Society (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hlm.
91.
113
beberapa daerah dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.277 Islam di Surakarta
muncul dan berkembang pada fase ketiga yaitu fase berdirinya kerajaan Islam.
Muncul dan berkembangnya Islam di Surakarta beriringan dengan
perkembangan politik kekuasaan raja-raja Jawa Islam. Kerajaan Islam di Jawa
dimuai pada era Demak yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Demak.
Berdasarkan candrasangkala, kerajaan Demak berdiri pada tahun 1403 yang
sekaligus menjadi awal dimulainya proses islamisasi. Angka 1403 diperoleh
berdasarkan bunyi candrasangkala yang berbunyi geni mati siniram ing
djanmi yang menunjukan pada angka tersebut.278 Perhitungan dengan model
candrasangkala memberikan petunjuk bahwa Islam sudah berkembang pada
abad ke-15.
Setelah Kerajaan Demak, estafet politik kekuasaan raja beralih ke
Pajang dan kemudian Mataram. Dari sejarah dinasti Islam raja-raja Jawa inilah
islamisasi di Surakarta terjadi.279. Berdirinya kerajaan Demak telah melahirkan
277 Taufiq Abdullah (ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majlis Ulama
Indoneisa, 1991), hlm. 39. 278 Raden Bratakesawa, Katrangan Tjandrasangkala, Tjap-Tjapan Kaping Kalih
(Jakarta: Balai Pustaka, 1952), hlm. 11. GPH Poeger, Sekaten (Surakarta: Keraton Surakarta,
2002), hlm. 3. 279 Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Danang Sutowijoyo yang bergelar
Panembahan Senopati Ing Ngalogo. Sampai tahun 1601 Panembahan Senopati tidak sempat
mengatur pemerintahan sehingga belum memiliki gelar Sultan. Panembahan Senopati
memberikan wewenang pemerintahan di seluruh negeri kepada cucunya yaitu Raden Rangsang
yang kemudian bergelar Sultan Agung, sehingga secara de jure Sultan Agung adalah sultan I
di Mataram. Endro Hardjosoewito, Pantjang Sedjarah Indonesia (Djakarta: Pustaka Energi,
1953), hlm.88. Katalog Radya Pustaka nomor 09.01.118 Sej. B2.
114
peradaban baru yang disebut peradaban Jawa Islam.280 Masjid Demak pun
menjadi simbol peradaban Jawa Islam.
Selain ulama yang dikenal dengan Walisongo,281 Islamisasi awal di
Jawa juga dilakukan oleh para tokoh sufi pinggiran, seperti Syaikh Siti jenar,
Kiai Ageng Pengging dan Syaikh Malang Sumirang.282 Di daerah pedalaman,
Islamisasi dilakukan oleh Sunan Tembayat (Sunan Pandanaran) pada abad 17
di Tembayat Klaten. Pada era Mataram, Islam pernah diperankan sebagai agen
perubahan dan pemberontakan kepada penjajah. Hal ini ditandai dengan
terjadinya perang Jawa dengan tokoh Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo.
Gerakan perlawanan kepada Belanda, sebelum perang Diponegoro, juga sudah
dilakukan oleh para ulama dari dinasti ulama Tembayat (penerus Sunan
Tembayat). Peran ulama Tembayat nampak dalam memberikan bantuan
kepada Trunojoyo yang melakukan perlawanan keras terhadap Belanda.283
280 de Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke
Mataram (Jakarta: Grafiti Pers, 1989), hlm. 3. 281 Di dalam tradisi Jawa, banyak yang menyebutkan bahwa, walisongo pertama
yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa adalah Malik Ibrahim. Sedangkan menurut Hoesein
Djajadiningrat, penyebar Islam awal di Jawa adalah Sunan Bonang. Sunan Bonang mulai
berdakwah pada kwartal ke-4 abad ke-16. Hoesein Djajadiningrat, “Tradisi Lokal Dan Studi
Sejarah di Indonesia” dalam Soedjatmoko, et.al. (ed.), Historiografi Indonesia, Sebuah
Pengantar (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 63. 282 Nancy K. Florida Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang, Sejarah
Sebagai Nubuwat di Masa Kolonial, terj. Revianto B. Santoso & Nancy K. Florida, Cetakan I
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 397. Buku ini merupakan hasil pembacaan kritis
atas naskah Babad Jaka Tingkir. 283 H. L M. J de Graaf, Risalah Sejarah dan Budaya, Het Kadjoran Vraagstuk
(Masalah Kajoran), terj. Suwandi (Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan Budaya Pusat
Penelitian dan Budaya Depdikbud, 1980), hlm. 74. Katalog Perpustakaan Museum Radya
Pustaka nomor 09.01.121. Sej. B2. Di Tembayat ada maqam yang dianggap makam “suci”
Sunan Pandanaran (Sunan Tembayat) yang menjadi tempat ziarah raja-raja Pajang dan
Mataram. Tembayat merupakan pusat wangsa suci di Jawa. Masjid Tembayat yang didirikan
oleh keluarga wangsa suci keturunan Sunan Tembayat menjadi base camp pemberontakan
115
Sebagai kelanjutan dari dinasti Mataram Islam, Kasunanan Surakarta
dan Kadipaten Mangkunegaran menjadi pusat pemerintahan Jawa Islam.
Proses islamisasi yang terjadi di Surakarta bercorak adaptif dan kompromis
dengan budaya Jawa. Dengan pola keberagamaan yang demikian, justru
berimplikasi pada diterimanya Islam oleh masyarakat Jawa secara lebih luas,
karena Islam yang hadir adalah Islam yang tidak bertentangan dengan
kosmologi Jawa. Corak keberagamaannya pun menjadi Islam sinkretis.
Secara politik, Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Mangkunegaran merupakan simbol kekuasaan Islam di Jawa pasca Mataram
Kartasura, disamping tentunya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman. Keempat kerajaan ini mengaku sebagai penerus estafet kekuasaan
politik Islam Mataram.
Surakarta merupakan kota tradisional yang di dalamnya menyimpan
jejak-jejak sejarah perkembangan Islam di Jawa. Namun tidak jelas kapan
sesungguhnya Islam hadir di Surakarta yang merupakan daerah pedalaman
tersebut. Hal ini disebabkan oleh minimnya bukti-bukti historis. Berdirinya
Kerajaan Islam Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa tidak serta
merta membuktikan bahwa Islam sudah berkembang di Surakarta.
Pada awal era Demak (zaman Kewalen), masyarakat Surakarta dan
masyarakat pedalaman lainnya banyak yang masih menganut agama Hindu dan
melawan kompeni sampai pada bulan oktober 1680 ketika kekuasan ulama Tembayat
dihancurkan oleh pasukan VOC. Ibid., hlm. 77. VOC (Vereenigde oost-Indische Compagnie)
atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur dibentuk tahun 1603 dan dibubarkan oleh
pemerintah Belanda pada 1 Januari 1808. Wilayah kekuasaan VOC diambil alih oleh
pemerintah Belanda. M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hlm. 39 &168.
116
kepercayaan mistik lokal.284 Namun berdirinya Dinasti Pengging yang
dipimpin oleh Sunan Pengging yang menobatkan diri sebagai penerus Syaikh
Siti Jenar dan sebagai opposisi Demak285 memungkinkan pada era Demak
sudah ada pemeluk Islam di Surakarta. Hal ini didasarkan pada kedekatan
geografis antara Pengging (Boyolali) dengan Surakarta. Islam secara
meyakinkan, berdasarkan fakta historis, baru dianut masyarakat Surakarta sejak
berdirinya Kerajaan Pajang yang dipimpin oleh Jaka Tingkir.
Sejak berdirinya Kerajaan Pajang maka Surakarta masa lalu sudah
menjadi pusat kekuasaan politik dinasti Jawa Islam di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Namun hal ini bukan berarti proses islamisasi berjalan dengan baik.
Daerah pedalaman merupakan daerah yang sulit ditembus oleh unsur budaya
dan agama dari luar.286 Walaupun pada akhirnya agama Islam menjadi agama
mayoritas orang Jawa sebelum tahun permulaan abad XVII, namun keberadaan
raja-raja Pajang hingga Mataram awal sebagai seorang muslim tidak serta
merta memainkan peranan sebagai pemimpin keagamaan.287 Ambisi politik
dan penyerbuan yang dilakukan oleh Toh Jaya (pengganti Jaka Tingkir)
terhadap pusat kekuatan ulama yang berada di Tembayat Klaten adalah bukti
bagaimana politik kekuasaan lebih menjadi inspirasi dominan ketimbang
284 Babad Sekaten, transliterasi oleh Kambali (Surakarta: t.p., 1939), hlm. 12. 285 Sunan Pengging adalah seorang berdarah biru yang konfrontatif terhadap
kekuasaan Demak. Nancy K. Florida Menyurat Yang Silam, hlm. 384. 286 Terkait sejarah Pengging dan Pajang, menurut Ricklefs, tidak ada bukti-bukti
dokumen sezaman. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern , hlm.60. 287 Ricklefs, “ Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa Terutama pada Abad Ke
XIX” dalam Kumpulan Makalah Seminar Sehari Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa”
(Perpustakaan nasional RI kerjasaman dengan University of Melbourne, 31 Nopember 2000),
hlm. 1.
117
semangat penyebaran Islam. Pembantaian terhadap wangsa suci Dinasti
Tembayat,288 menjadi indikasi kuat bahwa bahwa seorang penguasa pada
kerajaan Islam tidak serta merta memiliki sikap apresiatif terhadap komunitas
ulama. Dari data ini, maka kecil kemungkinan jika para ulama Tembayat dapat
menyebarkan Islam secara optimal di Surakarta, karena hubungan dengan
Pajang tidak harmonis. Hal ini sekaligus menunjukkan sisi gelap proses
islamisasi di Surakarta era Kerajaan Pajang.
Namun jatuhnya Kerajaan Pajang dan digantikan dengan Mataram
yang berpusat di Yogyakarta, menyebabkan proses Islamisasi ke pedalaman
Surakarta terhambat.289 Islamisasi berkembang lagi sejak era Mataram
Kartasura mulai 28 Nopember 1681. Pada era Mataram Kartasura ini, istana
sering mendatangkan ulama untuk memberikan pengajaran agama di kraton
dan masyarakat sekitar. Tercatat peranan Mahbub dan Hadji Mataram yang
menjadi ulama penting di Mataram Kartasura.290 Pada tahap selanjutnya Islam
berkembang secara berkesinambungan seperti sebuah biji hingga menjadi
sebatang pohon yang dewasa dan berbuah.
Fenomena Islam di Surakarta juga nampak jelas pada abad ke XVIII
sebagaimana tertulis dalam Serat Cabolek karya Yasadipura I, yang
melukiskan perdebatan antara para ulama penjaga ortodoksi (ulama pejabat di
kerajaan Mataram Kartasura) dengan Moetamakkin yang dianggap berfaham
288 de Graaf, Rislaah Sejarah dan Budaya, hlm. 77. Katalog Radya Pustaka nomor
09.01.121. Sej. B2. . 289 Darsiti Soeratman, “Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939”, Disertasi
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1989), hlm. 461. 290 Babad Tionghoa, Katalog Sonobudaya Nomor A/2, 75a.
118
mistik Pamoring Kawulo Gusti.291 Apapun bentuk perdebatannya, fenomena
perdebatan tersebut menunjukkan adanya orang-orang alim di Surakarta pada
masa Kerajaan Mataram Kartasura. Begitu juga jaringan tarekat yang sudah
berkembang pada era Mataram Kartasura pada abad XVIII dapat menjadi
bukti bahwa proses islamisasi sudah berkembang dengan baik. 292 Islam
berkembang dengan pesat sejak perpecahan Mataram yang berdampak pada
berdirinya Kasunanan Surakarta. Pemilihan lokasi dan pendirian bangunan
Kraton Kasunanan ini melibatkan para ulama293 dan dengan alasan
keagamaan.294 Dalam menjalankan proses pemerintahan, raja (Pakubuwana IV)
mengangkat ulama (Kyai Makali) sebagai penasehat.295 Desentralisasi
kekuasaan politik kerajaan Jawa Islam telah menyebabkan penyebaran Islam
yang lebih merata. Islam berkembang di banyak istana.
291Isi dari Serat Cabolek adalah perdebatan antara Haji Mutamakkin yang
mengajarkan ilmu hakikat versus Ketib Anom (penjaga ortodoksi). Keduanya berdebat soal isi
Kitab Bimasuci dan Mintaraga. Serat Cabolek, katalog Perpustakaan Pura Pakualaman Nomor
St.20/ 0143/PP/73. 292 Jaringan tarekat berkembang lewat Permaisuri Amangkurat IV (ibu suri
Pakubuwana II). Sartono Kartodirjo, Beberapa Pengaruh Islam dalam Kebudayaan Jawa,
makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa dan
Sebaliknya, tanggal 31 oktober 2000, hlm.15. 293 Pemilihan lokasi tempat berdirinya Kraton Kasunanan Surakarta melibatkan para
agamawan, di antaranya adalah Pangeran Wijil (ulama, keturunan Sunan Kalijaga), Kjai
Kalipah Buyut (abdi dalem suranata, bagian keagamaan), dan Pengulu Pekik Ibrahim. R.M.
Sajid, Babad Solo (Solo: Rekso Pustoko, tt), hlm. 3 294 Sebelum mendirikan bangunan Keraton, terjadi perdebatab. Ada dua pendapat,
Mayor Hoigendorp berpendapat sebaiknya kerajaan didirikan di Sono Sewu (sebelah timur
Sangkrah), tetapi Tumenggung Honggowongso mengatakan bahwa kalau kerjaan didirikan di
Sonosewu maka akan banyak orang murtad dari Islam ke Budha (tanpa menyebut alasan),
maka sebaiknya mengambil tempat di Desa Sala. Asnawi Hadisiswaja, Soerakarta Adiningrat
(Soerakarta: Uitg Poesaka Soerakarta & Islam Raja Solo, 1936), hlm. 20. 295 Santri-santri di ndalem Kraton juga meduduki posisi penting sebagai pemberi
masukan Raja. Tercatat nama-nama santri tersebut adalah Brahman, Nur Saleh, Wirodigdo dan
Panengah. Soeratman, “Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939”, hlm. 464.
119
Pada abad XVIII ini juga di Surakarta berdiri Pesantren Jamsaren atas
inisiatif Sunan Pakubuwana III tahun 1750.296 Proses islamisasi terus
berkembang dengan munculnya karya-karya kreatif berupa karya sastra
keagamaan, pendirian Masjid Agung Surakarta tahun 1757 M,297 dan lembaga
pendidikan Madrasah Mambaoel Oeloem tahun 1905 yang secara operasional
bekerjasama dengan para kiai di pesantren. Mambaoel Oeloem didirikan atas
inisiatif Sunan Pakubuwana X yang menaruh perhatian besar pada pendidikan
agama.298 Tahun 1905 Sunan Pakubuwana X memerintahkan membuka
296 Sunan Pakubuwana III memerintah antara tahun 1749-1787 M dengan gelar
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kandjeng Susuhunan Pakubuwana III Senopati Ing Alaga
Ngabdur Rachman Sayidin Panatagama. Arsip Pakualaman Nomor 31/2121 hal Sejarah
Singkat Urutan Pemerintah Raja Raja Djawa dari Zaman Mataram Sampai Sekarang
(Diambil dari Catatan-Catatan Keraton Sejarah Kerajaan Surakarta). 297 Perpindahan pusat kerajaan dari Kartasura ke Surakarta terjadi pada 17 Pebruari
1745 M. Sebelum meninggal Sunan Pakubuwana II sudah mengawali pembangunan Masjid
Agung. Pekerjaan pembangunan diselesaikan oleh Sunan Pakubuwana III pada tahun 1757 M.
Nama Masjid Agung baru diberikan setelah Sunan Pakubuwana IV memerintahkan
membangun mustaka atau kubah. Basit Adnan, Sejarah Masjid Agung Dan Gamelan Sekaten
di Surakarta (Sala: Mardikintoro, 1996), hlm. 9-12. Soeratman, “Kehidupan Dunia Kraton
Surakarta 1830-1939”, hlm. 469. 298 Mambaoel Oeloem merupakan lembaga pendidikan Islam di bawah payung
Kraton Surakarta yang aktivitas pendidikannya terkait dengan Pesantren Jamsaren Surakarta.
Kedua lembaga pendidikan Islam tersebut berjalan secara sinergis dan memiliki keterkaitan
dengan Kasunanan Surakarta. Madrasah pagi ditangani Mambaoel Oeloem sementara tempat
pemondokan dan madrasah malam dikelola oleh Pesantren Jamsaren. Mata Pelajaran yang
dikaji di Mambaoel Oeloem adalah Tafsir, Hadis, Fiqh, Tasawuf, Ilmu Tauhid, Akhlaq dan
Bahasa Arab dengan menggunakan kajian kitab. Sebagan kitab-kitab yang dikaji di Mambaoel
Oeloem sekarang masih tersimpan di Perpustakaan Masjid Agung Surakarta, antara lain Kitab
‘Ilm at-Tauhid, Ihya’ ‘Ulumuddin, Syamsul Ma’arif, Bahjat al-‘Ulum, Fath al-Qarib, Tafsir
Jalalain, Sunan Ibn Majah, Sunan Tirmidzi, Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Sunan an-Nasa’i,
Tafsir Al-Quwayih, Tafsir asy-Syaukhani, Tafsir an-Nawawi, Syubh al-‘Asyiya, Tadzkirah al-
Awliya , Lubabuhu Fi at-Thibb, Zad al-Ma’ad, Nail al-Authar, Fath al- Mannan, Fath al-
Mu’in, Fath al-Wahhab, Lubab an-Nuquul fi Asbab al-Nuzul dan lain sebagainya. Beberapa
kitab terbitan Kraton Surakarta juga menjadi sumber (maraji’) di Mambaoel Oeloem. (Sumber:
Inventaris Perpustakaan Masjid Agung Surakarta). Tercatat pada tahun 1938 alumni Mambaoel
Oeloem sudah mengajar di pesantren dan madrasah di luar Surakarta bahkan sampai di
120
sekolah Mambaoel Oeloem sebagai basis dakwah dan pendidikan Islam..
Sunan Pakubuwana X juga membangun pesantren Jamsaren dan meminta Kyai
Jamsari (dari Banyumas) untuk mengelolanya setelah vakum selama 70 tahun
sejak perang Diponegoro. 299 Berdirinya Mambaoel Oeloem telah menjadi
inspirasi pendirian madrasah di berbagai tempat sehingga berimplikasi pada
kemajuan pendidikan Islam dan melekatnya identitas keislaman dalam
masyarakat jawa.300 Dalam catatan Snouck Hurgronje, identitas Islam pada
abad ke-19 sudah sangat melekat dalam diri orang-orang Jawa, baik di
Vorstenlanden maupun di daerah-daerah sekitarnya.301
Berdirinya sekolah Mambaoel Oeloem dilatar belakangi oleh sulitnya
mencari pengganti ulama yang sudah meninggal dan untuk mempersiapkan
generasi ulama penghulu.302 Di sekolah Mambaoel Oeloem diajarkan ilmu
Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. “Pamoelangan Mambaoel ‘Oeloem, Oelang Tahoen
Mambaoel ‘Oelum ke-35” dalam Pawarti Soerakarta, Nomor 208 Edisi 1 Desember 1938,
hlm. 44-46. 299 Soedibyo Mooryadi dan Sumoningrat Gunawan, Sri Susuhunan Paku Buwono X:
Perjuangan , Jasa dan Pengabdian Untuk Nusa dan Bangsa (Jakarta: Bangun Bangsa, 2009),
hlm. 139-143 300 Pawarti Soerakarta, Edsisi 1 Desember 1938, hlm. 134.. Katalog Arsip Sasono
Poetoko Kasunana Surakarta P. 38. 301 Snouck Hurgronje”Seorang Arab Sekutu Pemerintrah Hindia Belanda 1886”
dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VII, terj. Soedarso Soekarno (Jakarta: INIS,
1999), hlm.63. 302 Ibnu Qoyim Isma’il, Kiai Penghulu Jawa, Peranannya di Masa Kolonial
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 80. Penghulu (Kepenghulon) merupakan lembaga
keagamaan yang sudah ada pada sostem kekuasaan tradisional Kerajaan Islam di Jawa.
Institusi kepenghulon mendapat pengesahan resmi dari Raja Willem II tahun 1882 sebagai
lembaga yang syah dan legal bagi ulama di Jawa dan Madura untuk melaksanakan tugas
keagamaan dan kemasyarakatan khususnya di bidang hukum (hukum keluarga atau munakahat
dan hukum waris). Pada tahap lanjut, fungsi kepenghulon dikebiri oleh Pemerintah Kolonial
sehingga hanya mengurusi hukum keluarga (munakahat). Tugas dan wewenang kepnghulon
diambil alih oleh landraad di bawah pimpinan hakim Belanda. Ibid., hlm. 116-117.
121
agama, ilmu umum dan bahasa Arab.303 Proses pendidikan Mambaoel Oeloem
pada awal berdirinya, dilaksanakan di salah satu ruang di Masjid Agung
Surakarta.304 Sunan Pakubuwana X juga memerintahkan masyarakat untuk
menjalankan syari’at Islam dengan baik seperti sholat, puasa dan zakat serta
memerintahkan masyarakat untuk mendirikan masjid-masjid di daerah
kabupaten, distrik dan under distrik.305
Pada awal abad 20, Adipati Sastraningrat dan Patih Dalem Kraton
Surakarta serta adiknya Raden Tumenggung Wreksadiningrat memerintahkan
lagu-lagu keagamaan untuk selanjutnya djadikan nyanyian yang disebut
santiswaran yang dinyanyikan dengan didahului seorang bawa atau pengawal
nyanyian dan diikuti oleh yang lain. Santiswaran Diiringi terbang, kendhang,
dan kemanak. Nyanyian ini dimainkan tiap hari ahad jam 20.00-24.00 WIB di
kedhaton. 306 Hal ini menunjukkan bahwa Islam sudah menjadi spirit dan
budaya di komunitas Kraton.
Islam di sebuah daerah dapat disebut berkembang ketika ada indikasi-
indikasi yang dapat dilihat pelaksanaannya dalam perbuatan yang empiris
misalnya sembahyang jum’at, pembacaan do’a dalam upacara-upacara, suluk,
dan menghindari perbuatan yang dilarang oleh Alqur’an seperti memakan
daging babi dan sebaginya. Indikasi-indikasi tersebut secara umum dapat
303 Soedibyo Mooryadi dan Sumoningrat Gunawan, Sri Susuhunan Paku Buwono X:
Perjuangan, Jasa dan Pengabdian Untuk Nusa dan Bangsa, hlm. 48. G. F. Pijper, Beberapa
Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, terj. Tudjimah & Yessy Augusdin
(Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 62. 304 Wijk, Solo Tahun 1909-1914, hlm. 55. 305 Hadisiswaja, Soerakarta Adiningrat, hlm. 15. 306 Gunawan, Sri Susuhunan Paku Buwono X, hlm. 139.
122
dilihat di dalam komunitas masyarakat Jawa, sebgaimana diungkapkan oleh
Snouck Hurgronje :
Dengan kata lain, orang yang berdiam diantara orang-orang Jawa
sesudah menerangkan perihal pelbagai madzhab di Jawa, lalu
mengantarkan bahwa seorang Jawa biasa, seorang “rakyat” jelata,
adalah seorang yang mengkhitankan anaknya, mengadakan kenduri,
menjalankan semua upacara dan perbuatan-perbuatan agama,
membenci semua yang makan daging babi dan yang tidak disunat.307
Ungkapan Hurgronje tersebut menunjukkan bahwa pada era kolonial
Islam sudah melekat dalam diri orang-orang Jawa. Peran kekuasaan tradisional
Jawa (kraton) dalam islamisasi diakui cukup besar. Peran tersebut salah
satunya diperankan oleh Penghulu sebagai ulama pejabat di lingkungan kraton
yang lebih menitik beratkan pada pengembangan ilmu fikih yaitu al-Tasyri’ wa
al-Qadla (perundang-undangan dan peradilan). Adapaun ulama perdikan yaitu
ulama pesantren yang berada di luar sistem kekuasaan tradisional, lebih fokus
pada pengajaran dan pengembangan ilmu akidah, akhlaq dan tasawuf.308
Islamisasi di luar Kraton juga berkembang pesat setelah berdirinya
Sarekat Islam di Laweyan Surakarta tahun 1912, Sarekat Ngrukti Sawa di
Kauman tahun 1914, Muhammadiyah Surakarta tahun 1923 dan Nahdlatul
Muslimat tahun 1931.309 Bahkan pada tahun 1931, Muhamamdiyah Cabang
307 Snouck Hurgronje ”Arti Agama Bagi Para Penganut di Hindia Belanda 1883”
dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VII, terj. Soedarso Soekarno (Jakarta: INIS,
1999), hlm. 20. 308 Ibnu Qoyim Isma’il, Kiai Penghulu Jawa, Peranannya di Masa Kolonial, hlm.
50. 309 Pusponegoro et . al., Kauman, Religi, Tradisi & Seni , hlm. 10. Informasi lain
mengatakan bahwa Muhammdiyah Surakarta berdiri pada 25 Januari 1925 yang ditandai
dengan pidato peresmian di kantor SATV Surakarta. Misbach disebut-sebut termasuk salah
123
Surakarta sudah mendirikan sekolah MULO-HIK (setingkat SMP).310 Kegiatan
keislaman di Surakarta semakin semarak dengan berdirinya pusat-pusat
pengkajian Islam dan hadirnya beberapa ulama besar seperti Arafah,
Muhammad Adnan, Kiai Jauhar Laweyan, Kyai Masyhud Keprabon, Kyai
Imam Ghazali Nirbitan dan sebagainya.311 Mereka adalah ulama tradisional
yang memiliki pemikiran progresif.
Di samping lembaga-lembaga formal tersebut, islamisasi di Surakarta
juga dilakukan oleh para ulama (da’i) yang tergabung dalam perkumpulan
Sidik Amanah Tableg Vatonah (SATV) yang diketuai oleh Misbach.
Perkumpulan ini didukung oleh kaum santri muda seperti Koesen,
Harsoloemekso, Darsosasmito dari pedagang batik di Surakarta. Kaum santri
satu perintis Muhamamdiyah Surakarta. Laporan Tahunan Muhammadiyah Daerah Kota
Surakarta 2000, Cet. I, (Surakarta : Sekratariat PDM Kota Surakarta, 2000), hlm. 178. Soal
posisi Misbach sebagai perintis Muhammadiyah Surakarta dalam laporan tersebut yang
dimaksud sebenarnya adalah SATV sebagai cikal bakal Muhammadiyah Surakarta, bukan
Muhammadiyah sebagai sebuah perhimpunan resmi di Surakarta. 310 Proses pendidikan diawali pada 1 Juli 1931 dengan diikuti 80 orang murid.
Bromartani,Edisi 31 mei 1931, nomor. 39. Sejak hoofdbestuur Muhammadiyah mendirikan
Sekolah Bakal Goeroe Islam pada tanggal 8 Desember 1921, sekolah-sekolah Muhammadiyah
berkembang ke beberapa daerah, termasuk di Surakarta. Islam Bergerak, 10 Januari 1922,
hlm. 1. 311 Dalam dokumen pribadi yang diperoleh dari keluarga Kyai Imam Ghazali,
didapat keterangan tentang beberapa ulama yang mengajarkan agama di Surakarta. Kiai Imam
Ghazali Bin Hasan adalah salah satu pengarang kitab-kitab keislaman yang meninggal tahun
1969. Di antara kitab-kitab karya Imam Ghazali Bin Hasan adalah al-Fiqh an-nNabawiyah, al-
Qur’an dan Muhdas, al-Khatan wa al-Uswah al-Hasanah, al-masajid, Tafsir al-fatihah, al-
Risalah fi al-qunut, al-Adab wa al-Akhlaq an-Nabawiyah, al-islam wa al-Muslim, al-Imamah,
at-Tibyan fi Syu’ubil Iman dan sebagainya. Kitab-kitab tersebut diterbitkan oleh penerbit Al-
Ma’muriyah Surakarta tahun 1936 dan tahun-tahun sesudahnya. Sebagaian tulisan merupakan
dokumen pribadi keluarga Imam Ghazali Bin Hasan dan belum diterbitkan. Kitab-kitab
tersebut sudah dikaji sebelum diterbitkan resmi oleh penerbit Al-Ma’muriyah, dan menjadi
acuan di lembaga pendidikan al-Islam, Pondok Pesantren Jamsaren, Pondok Pesantren Nirbitan
Surakarta dan beberapa pusat pengkajian Islam di daerah sekitar Surakarta.
124
Surakarta kemudian menyusul bergabung dengan SATV yaitu Haroen Rasjid,
Achmad Dasoeki, K. Moechtar Boechari dan Sjarief.312 Keberadaan SATV
disambut positif oleh polisi dan pemerintah karena SATV bermaksud amar
ma’ruf nahi munkar termasuk mengingatkan agar tidak terjerumus dalam dunia
hitam seperti berjudi, mabuk, mencuri dan lain sebaginya.313 Amar Makruf
salah sataunya dilakukan dengan mengirim propagandist di desa-desa dan
sekolah-sekolah.314 Hal ini bersesuaian dengan tugas pemerintah dan polisi
untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Islam Bergerak mempublikasikan kegiatan-kegiatan SATV dalam
memajukan Islam, melalui dakwah dan pendidikan.
Adapoen pekerdjaan SATV jang telah di djalankan:
1. Mintak raad oelama
2. Mengadjar (amar makroef) di kampoeng-kempoeng
3. Membikin sekolahan klas II, sampai klas V seperti sekolahan
Gouvernement disertai adjaran igama Islam, jang telah berdiri
doea tahoen, sekolahan itoe dinamakan 2e ini school met den
Koer’an mempoenjai moerid 120.
4. oleh karena roemah sekolah terseboet baroe pendjem roemahnja
secretaries kita (M. Harsoloemakso) maka sekarang berosaha bikin
roemah sekolah itoe jang patoet dan dipohonkan sibsidie pada
pemerintah.
312 Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2006), hlm. 592-593. Soal pendirian SATV dijelaskan dalam Medan Moeslimin, Nomor 5
Tahun 1919, hlm. 99. SATV merupakan perkumpulan da’i reformis yang didirikaan pada akhir
Mei 1918 pasca perpecahan Tentara Kandjeng Nabi Mohammad yang dibentuk
Tjokroaminoto. Islam Bergerak, Edisi 10 Juli 1918, hlm.2. 313 I. Sastrosoetomo, “Verslag Verdareing Sidik-Amanat-Tableg-Vatonah
(S.A.T.V.)” dalam Islam Bergerak, Edisi 1 Desember 1920, hlm. 1. 314 Islam Bergerak, Edisi 10 Oktober 1921, hlm. 2.
125
5. Koer’an divertaal (dimaknai) dengan bahasa Djawa sekarang telah
selesih 30 djoez tinggal tjitak sahadja, tetapi beloem dapat
drukkerij jang poenja leter arab dan sanggoep tjitak
6. Memertaal kitab-kitab Arab ke bahasa Djawa dan telah ditjitak
sebagai Prail, pesalatan, hal kel, talkin, enz. Hal ini sedpat-dapat
akan teroes didjalankan.315
Selain itu, SATV juga fokus pada pendidikan Islam yang ditandai
dengan pendirian Sekolah 2e. Kl. INL. School Met Den Koeran di Solo.316
Kehadiran SATV semakin memperkuat penyebarabn Islam yang sudah
dilakukan oleh beberapa surat kabar seperti Medan Moeslimin, Tjermin Islam,
dan Islam Bergerak.317 Ketiga media massa tersebut setiap edisinya selalu
menerangkan persoalan-persoalan diniyyah terkait fikih, akidah, tahudid,
akhlaq, dan juga wacana-wacana Islam modern. Ruang tanya jawab soal
diniyyah juga dibuka luas. Implikasinya, Islam substantif menjadi lebih populer
315 Kegiatan SATV hingga tahun 1920 ini dikirim secara resmi oleh Sekretariat
SATV untuk dipublikasikan di Islam Bergerak. Isi publikasi tersebut sekaligus menunjukkan
bahwa SATV memiliki pengaruh sampai di Cianjur Jawa Barat. Harsoloemakso, “ Di Bawah
ini Soerat Balesan S. A. T. V. Kepada bestuur S. I. Tjiandjoer Berhoeboeng Dengan Karangan
Toean Tjokroredjo Terseboed I. B. No. 14” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Mei 1920, hlm. 1.
SATV dan Medan Moeslimin juga sangat dikenal dan menjadi media dalam menyalurkan
aspirasi masyarakat di Pacitan dan Blitar. Siti Aminah, Pemandangan” dalam Islam Bergerak,
Edisi 1 Desember 1921, hlm. 1. 316 Pada tahun 1921, di Solo juga sudah berdiri Madrasah Mardi Boesono yang
didirikan oleh SARV. Islam Bergerak, Edisi 10 Oktober 1921, hlm. 2. Madrasah ini
mengajarkan ilmu tauhid, tarikh, ‘aqaid, fikih dan ilmu baca tuylis Al-qur’an. Pengoeroes
Madrasah Mardi Boesono, “Cursus Islam di Solo” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Oktober
1922, hlm. 1. 317 Islam Bergerak, Edisi 10 Juni 1917, hlm.1. Surat Kabar Tjermin Islam hanya
terbit antara tahun 1915-1916. Berita ini tertulis dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Maret 1917.
Selanjutnya pada tahun 1921, ada tiga sekawan surat kabar Islam di Surakarta yaitu Medan
Moeslimin (dengan pimpinan redaksi Haroen Rasjid, Islam Bergerak dengan pimpinan redaksi
Koesen dan Tjahaja Islam yang redakturnya dipimpin oleh Moechtar Boechari. Islam
Bergerak, Edisi 1 Nopember 1921, hlm. 1.
126
dan memiliki jangkauan semakin luas dengan banyaknya masyarakat pribumi
muslim yang mengerti ilmu keagamaan.
Islam Bergerak melukiskan peran media massa dan perhimpunan
Islam dalam mengembangkan kualitas keislaman masyarakat Surakarta sebagi
berikut:
Semendjak lahirnja perhimpoenan S.I. di boemi ini hingga
sekarang agaknja boleh dikatakan jang Igama kita Islam, ada djoega
kemadjoeannja; tambahan poela demi sekarang soedah diterbitkan
oleh toean-toean arifin igama itoe soerat chabar jang hanja berisi
karangan jang berhoeboengan dengan Islam, misalnja Medan
Moeslimin, Islam Bergerak dan sebagainja, jang seolah-olah sebagai
sendjata kita kaoem moeslimin, teroetama Islam poelasan akan
mendjalankan igamanja itoe ; dan karena soerat-soerat chabar jang
terseboet itoe sekarang soedah ada djoega boeahnja, jaitoe : orang
jang dahoeloenja mengakoe sadja berigama Islam (islam poelasan)
sekarang soedah ada jang soeka mendjalani igamanja itoe.318
Peran SI, Comite Tentara Kandjeng Nabi Mochamad (CTKNM), dan
SATV sangat besar.319 Perhimpunan-perhimpunan tersebut adalah agen
islamisasi di Surakarta pada awal abad ke-20. Kegiatan-kegiatan pendalaman
agama (kajian ulumuddin) juga sudah begitu menyebar di Surakarta, baik di
lingkungan Kraton, pesantren maupun di komunitas-komunitas keagamaan.
318 T. Wadi, “Memboeat Noda Kepada Igama Islam” dalam Islam Bergerak, Edisi
10 Juni 1917, hlm. 1. 319 Red. I. B. Paron, “Staat en Kerk” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Nopember
1919, hlm. 1. Hadirnya SI menjadi angin segar bagi perkembangan Islam. Sebelumnya, banyak
umat Islam tetapi tidak taat menjalankan agamanya, banyak masjid kosong, jum’atan diiukti
sedikit umat. Hadirnya SI telah menjadikan Islam sebagai ajaran yang banyak dibicarakan dan
dikembangkan oleh kalangan masyarakat Jawa Islam. “Agama Islam di Tanah Djawa
Semangkin Madjoe” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 September 1919, hlm. 1.e. Di Yogyakarta
peran islamisasi banyak dilakukan oleh SI dan Muhammadiyah. Islam Bergerak, Edisi 1
Nopember 1921, hlm. 1.
127
SATV sendiri mengadakan kajian Islam setiap Senin dan Jum’at jam 20.30 -
23.00 WIB. Begitu juga kajian-kajian di rumah-rumah para ustaz dan kyai juga
sudah banyak diikuti oleh masyarakat Islam.320 Di antara pembelajaran agama
Islam di Surakarta itu antara lain di rumah Harsoloemakso321 (Kampung
Keprabon) setiap sabtu malam ahad pukul 21.00-24.00 WIB, di rumah M.
Mawardi (Kampung Kauman) setiap tanggal 10 bulan hijriyah mulai pukul
20.00-23.00 WIB, di rumah M. Ngoemar (Kampung Tegalsari) setiap selaaa
malam rabo pukul 20,00-22.00 WIB, serta di rumah Lurah Karijowirono
(Kampung Kepatihan Kulom) setiap malam senin pukul 20.00-22.00 WIB.322
Dari data lokasi tempat pembelajaran agama Islam di Surakarta tersebut
nampak bahwa pengkajian Islam masih sentralistik di wilayah sekitar Masjid
Agung Surakarta (sekarang masuk kecamatan Pasar kliwon) dan wilayah
Laweyan.
Kegiatan-kegiatan kajian Islam ini bersamaan dengan semakin
mengembangnya Madrasah Mambaoel Oeloem Surakarta yang juga membuka
cabang di beberapa daerah kapubaten seperti Pengging323 (Boyolali) dan
320 Islam Bergerak, Edisi 20 Oktober 1918, hlm.2. 321 Harsoloemakso adalah sekretaris SATV yang berprofesi sebagai pemiliki
restaurant. 2/3 hasil keuntungan bersih dari usaha restaurant milik Harsoloemakso saat grebeg
sekaten disumbangkan untuk pengembangan kajian Alqur’an di Sekolah Ongko Loro.
Harsoloemakso, “Keramen Sekaten” dalam Islam Bergerak, Edisi 1 Nopember 1921, hlm. 2. 322 Moehtar Boecarie, “Pemberihan Tahoe” dalam Islam Bergerak, Edisi 1 Agustus
1920, hlm. 1, Edisi 20 Juli 1920, hlm. 1. 323 Keberadaan Madrasah Mambaoel Oeloem di Pengging ini didapat dari alumninya
yaitu K.H. Muslim Rifa’I Imampuro. Wawancara dengan Mbah Lim pada Maret 1998 di
Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila sakti Klaten.
128
Klaten324. Pada tahun 1919 sebagai rekomendasi dari Kongres al-Islam yang
difasilitasi perhimpunan SATV, berdirilah Raad Oelama (Dewan Olema).325
Dalam mendirikan Raad Oelama ini, SI dan Muhammadiyah memberikan
dukungan yang besar guna memajukan Islam.326 Dari unsur agamawan priyayi,
para pengulu mendirikan perhimpunan pengulu yang dinamakan Pengoeloe
Bond pada 2 Juli 1919 di Sragen. Tujuannya adalah untuk memajukan Islam
dan penyadaran kewajiban terhadap pemerintah.327 Pada 30 Oktober 1919,
namanya diubah menjadi Oelomo Bond dengan alasan bahwa lid-lidnya bukan
hanya pengoeloe saja tetapi juga naib-naib, modin, kyai dan lain-lain.328
Kelompok Medan Moeslimin menyambut baik perubahan ini sebagai benteng
yang bersama benteng lain akan menjadi pagar kuat dari serangan kelompok
324 Mambaoel Oeloem Surakarta di Klaten mulai menjalankan kegiatan pendidikan
pada tahun 1918 dengan dibimbing Pengulu Kabupaten dan Pengulu Landraad. Santri banyak
berasal dari Mbareng, Mlinjon dan Ngepos. Jumlah santri pada Oktober 1918 sudah 104 santri.
“Idoeplah Igama Kita Islam di Klaten” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Oktober 1918, hlm. 1. 325 H. M. Misbach dan Harsoloekmakso, “Perhimpunan Sidik-Amanat-Tableg-
Vatonah di Soerakarta Telah mengatoerkan Motto kepada Toean Besar G. G. H. N. dan
Adviseur INL Zaken atau pada Volksraad Seperti di Bawah Ini” dalam Islam Bergerak, Edisi
10 Mei 1919, hlm. 2. Berdirinya Raad Oelama di Solo kemudian diikuti dengan pendirian
Raad Oelama di Cianjur Jawa Barat. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan Misbach dan SATV
menjadi perhatian dan tumpuhan pergerakan Islam di berbagai daerah, termasuk Cianjur.
Tjokroredjo, “S.I. Tjiandjoer” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Mei 1920, hlm. 2. 326 Islam Bergerak, Edisi 10 November 1920, hlm. 1. 327 Sjarief, “Perasa’an” dalam Islam bergerak, Edisi 10 Mei 1919, hlm. 1. Pengoeloe
Bond ini diketuai oleh Ihsan Noedhin (Pengulu Hakim Sragen) dan sudah mendapat
persetujuan dari para priyayi di Gouvernemenan, Kasunanan dan Mangkunegaran. Ihsan
Noedhin, “Pengoeloe Bond di Sragen” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Agustus 1919, hlm. 2.
Kaero, “Mengenget Pepatah Adanja Tindesan di Soeatoe negrie Itoe Satoe Tanda bahwa Rajat
di Itoe Negrie Ada Lembek” dalam Medan Moeslimin, Nomor 1, 15 Hanuari 1919, hlm. 15. 328 Bestuur O. B. Srg, “Penghoeloe Bond di Sragen Diganti Oelama Bond” dalam
Islam Bergerak, Edisi 10 Desember 1919, hlm. 2.
129
anti Islam.329 Namun perserikatan ini tidak memiliki aktifitas nyata yang
akhirnya sekedar nama yang tidak populis di masyarakat. Hal ini terjadi karena
posisi pengulu di mata kaum pergerakan tidak mendapat tempat.
Walaupun sudah banyak kegiatan kajian Islam (ulumuddin),
berdirinya perhimpunan-perhimpunan dan lembaga-lembaga pendidikan Islam
di Surakarta serta Islam sudah menjadi identitas bumiputra, namun kebanyakan
masyarakat muslim di Surakarta adalah kaum muslim nominal (muslim
abangan) yang secara keilmuan tidak banyak mengerti tentang ilmu agama, dan
secara praktis belum menjalankan syariat Islam secara baik. Hal ini terungkap
dari statemen Sastrosoehardjo dalam sebuah tuylisan di Islam Bergerak.
Regent, Patih, Wedono d.l.l.s. kebanjakan misih tida soeka sekali
mengindahkan igamanja Islam, walaoepoen dia orang mengaku
beragama Islam, maar sebetoelnja tjoema mengakoe sahadja.330
Kurang membuminya kualitas keislaman masyarakat juga
diindikasikan dengan belum adanya pelajaran agama Islam pada sekolah-
sekolah yang lebih tinggi (misalnya H.I.S.).331 Sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah disebut-sebut hanya sebagai cara pemerintah kolonial untuk
mencetak calon-calon abdi pemerintah dan tenaga kerja yang berkualitas. Hal
ini terindikasi dari keharusan bagi guru-guru yang diangkat sebagai guru resmi
329 Islam Bergerak, Edisi 10 Desember 1919, hlm. 2. 330 Sastrosoehardjo, “Boeah Fikiran Jang Senantiasa Terkandoeng Dalam Hati”
dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Pebruari 1917, hlm.1. Hal senada juga diunbgkapkan dalam
“Pengakoean” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Juni 1918, hlm. 1-2 dan Edisi 20 Agustus 1918,
hlm. 2. 331 Verslag Gever, “Vergadering Perkoempoelan Perempoean di Djokdjakarta”
dalam Islam Bergerak. Edisi 20 Juli 1918, hlm. 2.
130
untuk selalu loyal kepada pemerintah dan kaum kapitalis.332 Keharusan untuk
loyal ini menunjukkan bahwa motivasi pendirian sekolah adalah kapitalisme
sentris sehingga pelajaran agama menjadi tidak memperoleh perhatian.
Walaupun mayoritas kaum pribumi yang duduk di bangku sekolah
adalah muslim namun pemerintah tidak memberikan pelajaran agama (Islam).
Selain di sekolah, ketidak pedulian pemerintah Hindia Belanda terhadap agama
kaum pribumi juga nampak di penjara-penjara, di mana kaum pribumi yang
sedang menjalani hukuman di penjara tidak diberi bimbingan keagamaan.333
Banyak di antara ulama yang kurang peduli pada syi’ar Islam untuk
memajukan bangsa yang masih hidup dalam kebodohan. Kekurang pedulian
para ulama ini adalah salah satu penyebab kurang membuminya ajaran Islam di
kehidupan masyarakat Jawa, sebagaimana diungkapkan Fachrodin:
Bahoewa oelama-oelama itoe tiada soeka memberikan peladjaran
kepada bangsanja jang masih gelap dalam hal mendjalankan
igamanja dan menfaham akan maksoed Alqoran, sehingga banjak
sekali bangsa kita jang mengakoe bahoea dirinja itoe Islam tetapi
sesoenggoehnja masih terlampau amat djaoeh dari pengertian Islam,
karena itoelah menjebabkan melekatnja keislaman kita itoe
mendjadi makin lama makin mendjadi tipis.334
Di tengah-tengah ketidak pedulian ulama, Islam Bergerak menyajikan
bacaan-bacaan keagamaan yang progresif, seperti nilai demokrasi dalam Islam,
sistem politik Islam tidak identik dengan kerajaan, dan bahwa Islam tidak
332 Mhd. Kasan, “Berhoeboeng Congres P.G.H.B” dalam Islam Bergerak, Edisi 1
Agustus 1919, hlm. 2. 333 Islam Bergerak, Edisi 20 Juli 1922, hlm. 2. 334 Fachrodin, ”Haroes Tjinta Sajang Kepada Bangsa” dalam Islam Berhgerak, Edisi
10 April 1918, hlm. 1.
131
mengajarkan perilaku yang barbar dan bengis dengan melakukan pembunuhan
dan pembantaian dalam menjalankan misi dakwahnya.335 Sajian pemikiran
keagamaan yang progresif tersebut merupakan terobosan yang sangat luar
biasa di saat pemikiran keagamaan masyarakat jawa tidak maju.
G. F. van Wijk, Residen Surakarta tahun 1909-1914 yang
mengundurkan diri, dalam Memori Van Overgave (memori pada penyerahan
jabatan untuk melaksanakan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 2 April No.
24) melukiskan kondisi keberagamaan (religiusitas) masyarakat di Surakarta
sebagai berikut:
Hidoep menoeroet agama Islam tidak ditaati. Pada oemoemnja
orang Djawa di Solo makan babi dan minum jenewer. Ada
pertanjaan saja kepada Patih, mengapa doeloe orang dihalangi naik
hadji dan para goeroe agama diawasi dengan keras? Jawabnja
pemerintah tidak memperoleh manfaat”.336
Secara kultural, laporan van Wijk ini menunjukkan bahwa
kebanyakan masyarakat Islam di Solo tidak mentaati syariat atau yang sering
disebut kaum abangan yang hanya menjadi meslim nominal. Bagitu juga
pemerintah (kraton) juga tidak memiliki kepedulianm terhadap syiar Islam,
bahkan bersikap oportunis.
Apa yang lebih naif adalah banyaknya orang yang memahami agama
tetapi tidak diaktualisasikan dalam perubahan sosial. Keunggulan Islam
335 Fachrodin, “Gerakkanlah Agama Islam” dalam Islam Bergerak, Edisi 10
Desember 1920, hlm. 1. 336 Wijk, Solo Tahun 1909-1914, hlm. 55.
132
menjadi keyakinan yang tidak pernah dibuktikan oleh umatnya yang
memahami agama, sampai-sampai ada ungkapan:
Peraturan Islam itu BAGUS SEKALI dan tidak bisa disanggah
poela,dan bajak djoega petoea dan peladjaran jang membawa
kepada kesedjahteraan dan keroekoenan manoesia, demikian poela
tidak sedikit jang masoek pada telinga sekalian saudarakoe.
TETAPI…..doenia Islam BOESOEK SEKALI dan ditjela dari sana
sini, dan hampir tidak ada peladjaran jang membawa keroekoenan
dan kesedjahteraan dan keamanan manoesia, dan hanja sedikit jang
masoek pada telinga sekalian saudarakoe. SEBAB…..orang Islam
terlalu MALAS dan tidak soeka berdaja oepaja dengan moeslihat
menoeroet perintah agama kita Islam, beberapa peladjaran jang
baik MESTI kita masoekan dalam otak kita, apabila kita mendengar
polea PELADJARAN JANG BAIK, sesoedah masoek dalam
telinga, harus kita perhatikan.337
Statemen tersebut menunjukkan bahwa fenomena umum keislaman di
Surakarta, masih jauh dari substansi, dan lebih sebagai formalisme beragama
yang belum diaktualkan dalam transformasi masyarakat. Upaya-upaya
membumikan Islam transformatif pun banyak dilakukan oleh aktivis
pergerakan Islam, ulama dan surat kabar Islam.
Pada sisi lain, antara tahun 1909-1914 kristenisasi di Surakarta
dilakukan dengan begitu gencar. Zending-zending yang semakin semarak telah
membangkitkan semangat muslim pribumi untuk membela agamanya. Islam
Bergerak melukiskan, “Masih banjak Zending-zending jang diperkenankan ke
tanah air kita goena menangkap bangsa kita jang telah memeloek Igama
337 Islam Bergerak, Edisi 1 Agustus 1922, hlm. 1.
133
Islam”.338 Semaraknya kristenisasi juga ditandai dengan berkembangnya
pengikut Sadrach (Kristen Jawa) di Vorstenlanden yang juga membuat
propaganda di Wonogiri untuk adu kesaktian yang mana pihak yang kalah
harus mengikuti agama yang menang.339 Provokasi juga sering muncul dari
media massa Kristen, Mardi Rahardjo, yang sering menyudutkan umat Islam.
Provokasi Mardi Rahardjo telah dianggap memecah belah bumiputra.
Semoea itoe tiada lain, hanja mengandoeng maksoed agar
soepaja boemi poetera djangan sampai bersatoe Igama Islam,
kemaoeannja soepaja bermasing-masing igama, kalaoe terdjadi
begitoe tentoe sadja kita boemi poetera tiada akan bisa accord ataoe
bersatoe boedi.340
Hal demikian tidak serta merta memunculkan konflik fisik, tetapi
justru mendorong pentingnya media sebagai salah satu syiar Islam. Pada era ini
pers sudah menjadi alat perjuangan dan percaturan wacana keagamaan.
Perkembangan kristenisasi juga ditandai dengan adanya pembukaan
rumah zending di Jebres Surakarta. Pendeta van Andel di Surakarta, sudah
bekerja untuk Gereja Gereformeerd di Amsterdam, sedangkan di Afdeling
Boyolali ada pekerja guru pendeta (Niephaos, Pischer, Scheinider) untuk
komite zending yang khusus melayani orang-orang Tionghoa.341 Bahkan pada
tahun 1918, rumah sakit Kristen di Jebres melakukan Kristenisasi pasien. Hal
338 Islam Bergerak, Edisi 10 Pebruari 1917, hlm.1. 339 Wijk, Solo Tahun 1909-1914, hlm.55 340 S. W. J. “Islam Igama Boeat Tali Keroekoenan” dalam Islam Bergerak, Edisi 20
Pebruari 1917, hlm. 1. 341 Wijk, Solo Tahun 1909-1914, hlm. 55.
134
ini sangat melukai hati warga bumiputra yang mayoritas beragama Islam.342
Salah satu kasus yang melukai hati kaum muslim bumipitra diungkapkan
dalam Islam Bergerak sebagai berikut:
Pada tanggal 12 September 1918, Soepardi dapat gandjaran sakit
dan perloe akan pakai pertolongan dokter. Pada itoe hari djoega
pergilah ia ke Zending-Hospitaal “Dokter Toeloeng” di Djebres
perloe minta pertoeloengan obat enz enz. Maka sebelum diberi obat,
Soepardi disoeroeh berkoempoel beberapa orang sakit dan waras,
perloe soeroeh toeroet pepoedjian enz peladjaran igama Christen.
Soepardi bilang bahwa ia beloem mengerti apa-apa hal itoe, toean
dokter bilang: ja tiada djadi apa, toeroet manoet sadja apa jang
dikatakan, nanti tentoe bisa menoeroet utjapan leidernja, memakai
bahasa Djawa kromo…..Saudara Soepardi berasa dalam hati bahwa
badannja akan kemasoekan igama Christen, laloe pamitan kentjing,
teroes amblaaaas, tiada djadi minta obat.343
Peristiwa yang dikisahkan tersebut menunjukkan bahwa kristenisasi di
Surakarta dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan orang Islam. Pada saat
yang sama, belum ada rumah sakit yang murni didirikan kaum pribumi.344
Rumah sakit yang didirikan kaum bumiputra untuk kaum kromo bumiputra
baru didirikan pada tahun 1921 oleh lembaga bumiputra yang bernama
342 Dalam catatan kasar, jumlah kaum muslimin di Hindia tahun 1911 berjumlah 35
juta, 30 juta diantaranya berada di Jawa. Snouck Hurgronje,” Agama yang Diajarkan
Muhammad” dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, terj. Sultan Maimun dan
Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1999), hlm. 187. 343 Dandoen-Watjono,”Politiknja Kaoem Christen” dalam Islam Bergerak, Edisi 1
Oktober 1918, hlm. 2. 344 Verslaag Gever, “Vergadering Perkoempoelan Perempoean di Djokdjakarta”
dalam Islam Bergeraqk. Edisi 20 Juli 1918, hlm. 2.
135
Nirmolo di Karanganyar Surakarta.345 Sampai tahun 1922, sekolah-sekolah
bumiputra masih kalah jauh dengan sekolah zending.346
Kristenisasi yang terjadi di Surakartra, bukan terjadi secara tiba-tiba,
tetapi memiliki akar sejarah yang panjang. Pada era Pemerintahan Inggris di
Hindia (1811-1816), Gubernur Jenderal Raffles sudah mendirikan Lembaga
Alkitab di Jawa yang kemudian menjadi (Nederlands) Oost-Indisch
Bijbelgenootschap atau Batavias Bijbelgenootschap. Lembaga ini merupakan
Lembaga Alkitab Belanda yang bermaksud menerjemahkan Alkitab dalam
bahasa penduduk pribumi dan mengembangkan ajaran Kristen Protestan.347
Raffles telah memulai tradisi baru yaitu bahwa pemerintah turut campur dalam
soal penyebaran agama. Lembaga yang didirikan di Batavia tersebut sering
mengirimkan utusan di beberapa kota di Jawa, termasuk di Surakarta. Lembaga
Alkitab Belanda ini pada awal abad ke-20 semakin berkembang yang
kemudian menjadi salah satu agen kristenisasi di Jawa.348
Kuatnya proses kristenisasi telah menyadarkan ulama, pedagang batik,
dan kaum putihan di Surakarta untuk lebih fokus dalam syiar agama. Aktifitas
para pedagang batik dan kaum putihan tahun 1914 ini bukan lagi aktifitas
dalam bingkai gerakan Sarekat Islam, tetapi fokus diarahkan untuk memajukan
Islam yang kemudian melahirkan Medan Moeslimin.
345 Lembaga ini sudah diakui dalam Surat Ketetapan Srie Padoeka Jang Dipertoean
Besar Gouverneur Generaal nomor 20 tanggal 29 Januari 1920. Islam Bergerak, Edisi 20
Maret 1921, hlm. 2. 346 Islam Bergerak, Edisi 20 September 1922, hlm. 1. 347 J. L. Swellengrebel, In Leijdecker Voetspoor, Anderhalve Beuw Bijbelvertaling
En Taalkunde In De Indonesische Talen I 1820-1900 (S-Gravenhage: Martinus nijhoff, 1974),
hlm.21. 348 Ibid., hlm. 38.
136
Walaupun majalah Medan Moeslimin terlahir salah satunya
disebabkan oleh semaraknya kristenisasi di Surakarta dan sebagai reaksi atas
statemen-statemen di Mardi Rahardjo namun Medan Moeslimin menunjukkan
sikap yang arif. Medan Moeslimin selalu menyebarkan pengetahuan dan
menjunjung tinggi Islam tanpa mengolok-olok keyakinan umat agama lain.
Igama Islam ini ijalah igama jang menjoeroeh dengan keadilan
dan insaf dan bersamaan sekalian manoesia, dan memeliharakan hak
masing-masing, dan menjoeroeh meelokkan peratoeran dengan
orang jang sekampoeng dan meelokkan persahabatan diantara
sekalian orang Jahoedi, Nasara, Tjina, Hindoes d.l.l.s.b”.349
Apa yang terjadi hanyalah perang wacana, dan bukan konflik fifik.
Islam Bergerak pada tahun 1918 melukiskan bahwa sebenarnya tidak ada
konflik antara Islam dengan Kristen tetapi lebih sebagai pergesekan antara
muslim pribumi dengan kapitalis yang menjadikan Kristen sebagai
tunggangan.
Christen gridjanja terdiri dari zendingnja kapitalisten dan
sepsidinja K. Gouvernement jang amat besar sehingga beberapa
gridja berdiri di dalam masing2 tempat dengan disertai bebrapa
matjam akalan goena mendjaring bangsa kita orang Djawa soepaja
kita dengan sigra masoek igama Christen semoea, itoe soeatoe boekti
lagi bahwa Christen mengandoeng maksoed jang lain keperloean
igama, tetapi keperloean kapitalist.350
Selain itu, disebut-sebut bahwa kelompok anti Islam juga melakukan
propaganda yang memojokkan Islam. Islam Bergerak menuliskan bahwa selain
349 Medan Moeslimin, Edisi 15 Juni 1916, hlm. 134. 350 H. S. D. K., “Tabiatnja Kapitalisten” Islam Bergerak, Edisi 20 Juli 1918, hlm. 1
dan Edisi 1 Agustus 1918, hlm. 2.
137
Mardi Rahardjo, ada setidak-tidaknya dua surat kabar di Surakarta yang
memuat tulisan-tulisan anti Islam yaitu Darmo Kondo (D. K.) dan
Koemandang Djawi (K. Dj.)
Maka lantaran dari hal jang demikian itoe, anti igama kita Islam
jang dibantoe oleh kaoem penindes di Solo, soedah berkaok-kaok di
dalam D.K. dan K.Dj. menjerang kepada I.B. mengasoet-asoet goena
menjesatkan pemandangan saudara kaum Muslimin kepada igamanja.
351
Surat kabat lain yang berseteru dengan Islam Bergerak adalah surat
kabar Arab Al-Ikbal yang merendahkan derajat bangsa pribumi (Jawa). Islam
Bergerak membantah tuduhan-tuduhan di surat kabar Al-Ikbal dengan argumen
egalitarianisme Islam. Islam bergerak balik menuduh bahwa kelompok Arab di
Al-Ikbal sengaja menjunjung tinggi darah biru para sayid dan syekh serta
menggap kaum muslimin pribumi sudah tidak taat lagi kepada kaum darah biru
Rasul. Al-Ikbal juga dituduh menyebarkan feodalisme dan mengadu domba
umat Islam pribumi untuk mendapatkan keuntungan sosial, politik dan
ekonomi di tanah Jawa.352 Reaksi Islam Bergerak dengan tegas menilai bahwa
351 “Saudara-Saudara Kaum Moeslimin! Awas Awas Saudara AWAAS !!!“ dalam
Islam Bergerak, Edisi 10 Agustus 1919, hlm. 1. 352 Kijai Nolo Wongso, “Djawaban Pada Orang Arab Jang Menghina Boemipoetra”
dalam Islam Bergerak, Edisi 1 Juli 1920, hlm. 1-2. Tulisan di Islam Bergerak kemudian balik
menyerang kelompok Arab yang berperilaku di luar Islam seperti adanya pemuda Arab yang
minum minuman keras dan melakukan pelecehan sexual terhadap gadis Jawa. Islam bergerak
bermaksud menjelaskan kepada muslim pribumi bahwa kesalehan tidak ditentukan oleh etnis
mana seseorang berasal. Mas Adjeg Solosyah, “Pemandangan Banie Al-Arobbijoe” dalam
Islam Bergerak, Edisi 10 Agustus 1920, hlm. 2. Tradisi feodalisme Arab juga mendapat
kritikan keras. Moestaslichoel Ichwaan, “Berdjanggoet Kambing Berkoemis Koetjing” dalam
Islam Bergerak, Edisi 10 Agustus 1920, hlm. 2.
138
Al-Ikbal sudah menghasut pemerintah untuk memunculkan benih permusuhan
dengan kaum pribumi.
Kami ada heran sekali bahwa “Al-Ikbal” sebagai organnja kaum
Moeslimin soedah berani tjobak menghasoed-asoed pada pemerintah
dengan memake perkataan jang djahat dan memboeta toeli. Kami
toenggoe bagaimana djawab Al-Ikbal kepada Kijai Nolo Wongso
terseboet. Islam Bergerak tidak akan tinggal diam.353
Begitulah komitmen Islam Bergerak dalam penyebaran, pendalaman
dan pembelaan terhadap Islam dari berbagai ancaman, baik yang datang dari
luar Islam maupun dari internal umat Islam yang sengaja melemahkan
semangat keislaman.
Pada awal abad ke-20 di Surakarta sudah terdapat beberapa agama dan
keyakinan keagamaan yang beragam yaitu Christen Roomsch Katolik,
Christen Protestan, Christen Bala Keslametan, Christen Kerasoelan, Budha dan
Islam. Aliran theosofi juga sudah berkembang di Surakarta.354 Dalam hal
kebebasan beragama, secara teoritik, Pemerintah Kolonial dalam posisi netral.
Netralitas pemerintah sudah diawali oleh Gubernur Jenderal Daendels (1808-
1811). L. van Rijkevorsel menuturkan:
Nalika djamane VOC, ora ana kamardikaning agama, kang
diwenangake mardika moeng agama Protestant. Sanadjan wong
Katholiek kena dadi poenggawane VOC, nanging agama Kristen
Katholiek ing Indija ora oleh kamardikan: bareng sadjumenenge
G.G. Daendels, sakehing agama dimardikakake kabeh”.355
353 Islam Bergerak, Edisi 1 Juli 1920, hlm. 2. 354 Fachrodin “Memboeat Kebetjikan Itoe Banjak Rintangannja” dalam Islam
Bergerak, Edisi 1 April 1919, hlm. 1. 355 Hadiwidjaja, Babad Tanah Djawi, hlm.92
139
Kebijakan Daendels tersebut bukan hanya berdampak pada hubungan
Kristen Protestan dengan Katholik, tetapi juga seluruh agama yang dianut oleh
warga pribumi, termasuk Islam. Pemerintah Kolonial selanjutnya
memposisikan diri netral dalam soal keberagamaan.
Akan tetapi kebijakan yang sudah dirintis oleh Gubernur Jenderal
Dandels untuk netral dan tidak mencampuri urusan agama, oleh para
penerusnya, dijalankan secara tidak konsisten. Para jama’ah haji kemudian
oleh pemerintah dicurigai sebagai muslim militan yang fanatik dan potensial
untuk memberontak. Hak-hak muslim untuk menjalankan syari’ah Islam
dibatasai secara ketat. Pemerintah Hindia Belanda juga membatasi pendalaman
akidah dengan secara rigid dengan mempertahankan sistem politik dan
ekonomi yang membatasi peran para ulama.356
Seiring dengan semakin tertancapnya akar kekuasaan di tanah Jawa,
Pemerintah Hindia Belanda menemukan kenyataan bahwa Islam merupakan
simbol perlawanan di dalam menentang pemerintah kolonial Belanda. Oleh
karena itu maka pemerintah mengeluarkan seluruh daya upaya untuk
mengendalikan dan mengawasi komunitas muslim secara ketat. Pada tahun
1859 Gubernur Jenderal Hindia Belanda diperbolehkan untuk mencampuri
urusan agama pribumi dan mengawasi gerak gerik ulama dengan alasan
ketertiban dan keamanan. Cara pandang ini berubah setelah kedatangan Snouck
Hurgronje ke Indonesia tahun 1889 yang memberikan nasihat kepada Gubernur
Jenderal di Batavoa. Nasihat-nasihat itu antara lain bahwa kyai tidak identik
356 Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun (The Hague & Bandung: Van
Hoeve, 1958), hlm. 82.
140
dengan muslim fanatik, di dalam Islam tidak lapisan kependetaan, ulama bukan
komplotan bandit, dan pergi haji ke Makkah adalah soal ibadah dan tidak ada
kaitan dengan pemberontakan.357 Nasihat-nasihat Snouck Hurgronje memiliki
dampak perubahan sikap pemerintah terhadap pribumi muslim yang melakukan
ritual keagamannya, termasuk dalam soal ibadah haji ke Makkah.358
Ardiwinata menuliskan sikap positif pemerintah terhadap umat Islam yang
melaksanakan ibadah haji ke Makkah, di antaranya dengan memberikan
bantuan transportasi.
Gouvernement sekarang melimpahkan poela karoenianja jang
amat besar kepada hamba ra’jatnja ja’itoe mengambil poela djamaah
hadji dari Djidah akan dibawanja poelang ke tanah Hindia. Sekarang
kapal jang soedah dikirimkan kapal Biliton. Pada tanggal 22
357 Aqib Suminto, Politik Islam, hlm.10-11. Dalam manajemen haji era kolonial,
sudah terdapat mafia-mafia haji yang dilakukan oleh pemandu haji Arab yang disebut Syech al-
Jawa (pemandu haji untuk orang Jawa) dan sebagian alumni haji pribumi, yang mana Syech al-
Jawa sering melakukan penipuan terselubung (mafia haji) demi mendapat uang. Proses
percaloan juga terjadi. Mereka juga memberikan uang kepada jama’ah haji asal Jawa dan
Melayu yang dapat mengajak orang untuk naik haji. Hadji Pr., “Candidaat Hadji dengan
Hantoe dan Momoknja” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 November, 1920, hlm. 1. 358 Dalam catatan kasar Snouck Hurgronje, didapat keterangan bahwa setiap tahun
jama’ah haji asal Indonesia berjumlah dalam kisaran 8000-14.000 orang. Snouck Hurgronje,”
Agama yang Diajarkan Muhammad” dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, terj.
Sultan Maimun dan Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1999), hlm. 195. Tingginya minat haji
kaum muslimin bumiputra telah menginspirasi Bagian Menoelong Kesengsaraan Oemoem
Moehammadijah Yogyakarta untuk mengadakan vergadering membahasa khusus soal penataan
dan batuan kelancaran haji. Hal ini menjadi pembahasan dalam rapat para bestuur di kantor
Muhammadiyah Kauman Yogyakarta tanggal 21-22 Pebruari 1921. H. M. Soedjak,
“Menoeloeng Kesengsaraan Oemoem dan Hadji” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Maret 1921,
hlm. 2. SI Semarang juga memiliki komite khusus terkait dengan soal pendampingan dan
advokasi haji bagi bumiputra yang dipersulit oleh aturan pemerintah. Sjarief, “Perdjalanan
Hadji ke Mekah” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 Nopember 1921, hlm. 1.
141
desember boelan ini kapal itpe soedah bertolak dari Djidah dengan
membawa djamaah 624 orang…359
Sejak hadirnya Snouck Hurgronje, pemerintah di Batavia sudah lebih
mengerti soal Islam, sehingga tidak lagi melihat Islam sebagai agama yang
menakutkan. Jika sebelumnya, Pemerintah Hindia Belanda proaktif
menghalangi proses reformasi sosial dan politik berbasis agama, yang dari
sudut pandang kaum muslim, akan mengintensifkan islamisasi di kalangan
masyarakat umum, maka sejak hadirnya Snouck Hurgronje sikap yang yang
demikian sudah beransur melunak. Begitu juga ketika penasehat urusan
pribumi dijabat oleh Hazeu maupun Rinkers, Islam sudah dimengerti secata
lebih obyektif.
Dalam vergadering SI di Surakarta 23 Maret 1913, Sayid Usman
menyampaikan pidato pujian terhadap Pemerintah Hindia Belanda yang secara
adil sudah memperbolehkan umat Islam melaksanakan ajaran agamanya secara
bebas tanpa gangguan, menyediakan gaji untuk para hakim agama, menghapus
persidangan reguler di bulan puasa dan membantu pendirian masjid-masjid.360
Sebelumnya, Islam dianggap agama yang menakutkan, mirip agama
Katholik waktu itu. Hal ini disebabkan karena masyarakat Barat tidak
mengetahui kehidupan keagamaan masyarakat pribumi dan tidak mengetahui
359 Ardiwinata, D. K., “Kabar Djamaaah Hadji” dalam Islam Bergerak, Edisi 10
Januari 1917, hlm. 1.
360 Karel Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dam Islam
di Indonesia (1596-1942), terj. Suryan A. Jamrah (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 195.
142
cita-cita orang muslim.361 Hurgronje memberikan nasihat kepada Gubernur
Jenderal di Batavia bahwa Islam itu penuh dengan kedamaian, walaupun tidak
dipungkiri munculnya politik fanatisme dari kalangan muslim. Hurgronje,
sebagaimana dikutib Harry J. Benda, juga menambahkan bahwa musuh
kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai doktrin
politik,362 atau yang lazim disebut Pan Islamisme.363 Pemikiran dan gerakan
Pan Islam, oleh Pemerintah Hindia Belanda, dianggap sebagai bahaya yang
dapat merugikan posisi kolonial Belanda. Pan Islam diidentifikasi sebagai
antitesis terhadap pemikiran dan budaya Barat.364
R. A. Kartini juga selalu mengingatkan pada teman-temannya dari
bangsa Belanda dan Eropa pada umumnya, untuk bertoleransi kepada Islam.
R.A. Kartini mempersilakan zending berkembang, tetapi tidak untuk
menasranikan umat Islam.365 Konflik serius antar umat beragama praktis tidak
terjadi dalam masa kolonial ini. Begitu juga di Vorstenlanden, hubungan antar
pemeluk Islam dan Kristen cukup kondusif, dan tidak terjadi benturan yang
cukup berarti, untuk tidak mengatakan harmonis.
361 G. F. Pijper, “Pendahuluan” dalam G.F. Pijper, Fragmenta Islamica, Beberapa
Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, terj. Tudjimah (Jakarta: UI Press,
1987), hlm. x. 362 Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun (Tha Hague & Bandung: Van
Hoeve, 1958) hlm.22-23. 363 Pan Islam sendiri pada zaman pergerakan dipahami sebagai The Pan Islamie
Society yaitu sosialime dan persatuan umat Islam sedunia. Kijahi Rekso Oetojo, “Pan-
Islamisme” dalam Islam Bergerak, Edisi 10 April 1921, hlm. 1. 364 Kees van Dijk, “Ketakutan Penjajah 1890-1918, Pan-Islamisme dan
Persekongkolan Jerman-India” dalam Nico J. Captein, Kekacauan dan Kerusuhan, Tiga
Tulisan Tentang Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan Belas
dan Awal Abad Kedua Puluh, terj. Lillian D. Tedjasudjana (Jakarta: INIS, 2003), hlm. 44. 365 Suryanegara, Api Sejarah, hlm. 283-284.
143
Namun pemerintah Kolonial masih menyadari bahwa Islam yang
diperankan sebagai agen perubahan masih dianggap membahayakan, terutama
jika dikaitkan dengan Pan-Islam. Oleh karena itu, maka kristenisasi masih
menjadi proyek terselubung, bukan untuk meningkatkan kualitas
keberagamaan umat Kristen, tetapi lebih bertujuan agar dapat menundukkan
warga pribumi.
Di dalam Islam Bergerak digambarkan bahwa pemerintah tidak
konsisten dalam bersikap netral terhadap kegiatan keagamaan.
Pengadilan jang memberi tali kerapatan Islam Christen masih
djaoeh sekali ketjewanja, sehingga Islam merasa dalam tindasan
jang amat sangat, boekti: sebagaimana lakoenja Islam selaloe dapat
rintangan sadja dan senantiasa diawaskan betoel-betoel oleh pihak
pemerintah, salah tindak sedikit lalu sadja dapat poekoelan sekeras
keranja, dikatakan nasar, akan berontak, membikin koerang aman
negeri dan sebageinja jang kurang baik. 366
Netralitas pemerintah Belanda dalam hal kehidupan beragama adalah
netralitas teoritik yang semu. Dalam prakteknya, Pemerintah Belanda tidak
menunjukkan sikap netral. Redaktur Islam Bergerak mengatakan:
Sebagai kita telah mengetahoei pemeirntah kita di Hindia sini
tida’lah mementingkan salah satoe Igama, tetapi bersikap neutraal
(mardiko) dalam theorinja. Kami poen telah mengetahoei bahwa
adalah beberapa pastoor jang menerima belandja dari pemerintah,
dan tahoe dhoega adanja staatskrek (geredja negeri). Sebaliknja
kami poen beloemk mengetahoei pengoeloe ataau poen naib of l. l.
nja goeroe santeri jang menerima belandja dari negeri…kaoem
zendelingen dapatlah subsidie dari negeri lantaran ia mendirikan
366 N. Aminog, “Boenga Rampai Oentoek I.B. Serba Sedikit” dalam Islam Bergerak,
Edisi 10 Pebruari 1917, hlm.1.
144
beberapa roemah sekolah, hospitaal dll. Jang diadjarkan igama
Christen. Alangkah oetamanja kalau kita dapat mendirikan sebagai
kaum zendelingen tetapi mengadjarkan Igama Islam.367
Islam Bergerak menyebutkan bahwa kristenisasi berjalan paralel
dengan kepentingan pemerintah dan kaum kapitalis. Pemerintah Hindia
Belanda, walaupun mengakui bahwa bumiputra itu identik dengan muslim,
namun membuka Hindia sebagai pasar bagi kapital dan agama.368 Oleh karena
itu maka perkembangan Kristen di Jawa, khususnya di Vorstenlanden berada
pada garis yang berbanding lurus.
Pemerintah Hindia Belanda dianggap sudah menggunakan Kristen
sebagai alat untuk menancapkan kaki kapitalismenya di bumiputra secara lebih
mendalam. Para pemikir dan aktivis muslim Jawa mensinyalir bahwa
perkembangan Kristen di Jawa sebenarnya hanya untuk membesarkan
kapitalisme.369 Misbach mengungkapkan:
Betoel pemerintah ta’ tjampoer hal agama, tetapi kita taoe jang
agama chresten di Hindia itoe terbantoe oleh beberapa kapitalisme,
boekan pemerintah, tetapi kapitalist. Kapitalist dapat perlindoengan
dari pemerintah, apakah ini boekan soeatu soelapan jang aloes.370
367 Red Paron, “Staat en Kerk” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 Nopember 1919,
hlm. 1. 368 H. M. Misbach, “Sroean Kita” dalam Medan Moeslimin, Nomor IV, 15 April
Tahun 1918, hlm. 281. 369 Wujud riil kapitalisme adalah masuknya kapital asing di Hindia seperti pabrik-
pabrik, onderneming-onderneming (berbagai perusahaan), pertambangan, eksploitasi pertanian
dan sebaginya. Soejosasmojo, “Indie Voor Indiers” dalam Islam Bergerak, Edisi 20 September
1919, hlm. 1. 370 Misbach,””Sroean Kita” dalam. Medan Moeslimin, Edisi 15 April 1918, hlm.
282.
145
Apa yang diungkapkan Misbach adalah bahwa agama Kristen sengaja
dipakai sebagai kedok oleh kapitalis untuk menancapkan kaki kapitalisme di
bumiputra. Gereja-gereja yang didirikan di pedesaan, oleh para pemikiran dan
aktivis muslim Jawa dianggap sebagai cara orang-orang kapitalis
menancapkan kaki kapitalisme untuk menghisap darah para petani dan buruh
yang kebanyakan tinggal di desa- desa.
Gridjanja Christen kebanjakan berdiri di desa-desa, sebab di sitoe
tempatnja kaoem boeroeh dan tani jang akan dikloearkan kringetnja,
sedang kapitalismenja tida mempedulikan hal igamanja tetapi
mengoesahakan politik jang aloes.371
Statemen dalam Islam Bergerak ini menunjukkan bahwa sebenarnya
tidak ada konflik antar umat beragama, tidak ada persoalan rumit dalam
hubungan Islam dan Kristen. Apa yang terjadi adalah bahwa Kristen sering
digunakan oleh orang-orang kapitalis untuk menjadi topeng kapitalisme.
Kristenisasi identik dengan menaklukkan kaum muslim pribumi untuk tidak
melakukan perlawanan, karena Islam dianggap sebagai simbol perlawanan
kapitalisme.
Hendrik Kraemer, seorang teolog Kristen, yang pada tahun 1921
diutus ke Hindia Belanda oleh Perkumpulan Bibel Belanda, menganggap
bahwa Islam sebagai problem bagi misi Kristen. Islam telah banyak
menggagalkan upaya-upaya misionaris Kristen walaupun sudah ditempuh
dengan cara membanting tulang.372 Hal demikian terjadi karena Kristen
371 H. S. D. K., “Tabiatnja Kapitalisten” Islam Bergerak, Edisi 1 Agustus 1918, hlm.
2. 372 Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian, hlm.164
146
dianggap sebagai identitas kolonialisme pada satu sisi, dan Islam sebagai
identitas pribumi terjajah pada sisi yang lain.
Medan Moeslimin juga menyuguhkan tulisan-tulisan ulama di luar
Indonesia dengan maksud memberikan himbauan kepada kaum muslim
bumiputra untuk berhati-hati terhadap banyaknya kitab Perjanjian Baru yang
beredar di masyarakat.373
Walaupun demikian, pergesekan kecil dan perang wacana antara umat
Islam dengan Kristen di Vorstenlanden sebenarnya bukan pertikaian teologis.
Harus diakui bahwa, kepentingan politik adalah menjadi penyebab berbagai
pertikaian. Perbedaan keyakinan teologis dan identitas keagamaan lebih sering
menjadi faktor pendukung. Perselisihan antara pribumi muslim di satu sisi
dengan Pemerintah Kolonial dan kaum kapitalis (yang Kristen) pada sisi lain,
berakar dari ketidakpuasan kaum pribumi terhadap kebijakan Pemerintah
Kolonial yang lebih berpihak kepada kapitalisme. Benih-benih ketidak puasan
ini akan terakumulasi dan menjadi bom waktu, bukan terhadap umat Kristen di
Vorstenlanden tetapi terhadap Pemerintah Kolonial, khususnya di Karesidenan
Surakarta.
Pergesekan sosial antara umat Islam dengan kristen di Jawa awal abad
ke-20 ini berbarengan dengan semakin menguatnya kelompok-kelompok
dalam masyarakat Islam. Adapun kelompok masyarakat Islam di
Vorstenlanden, sebagaimana diungkapkan oleh Fachrodin adalah kaum
abangan dan kaum putihan. Fachrodin mengatakan:”….igama kita Islam di ini
373 Thaufiq Shidqy, “Mentjahari Kebenaran” dalam Medan Moeslimin, Nomor 4
Tahun 1925, hlm. 53.
147
Hindia terpecah menjadi 1. Islam moetian, 2. Islam habangan…”.374 Secara
lebih rinci, Fachrodin juga membagi masing-masing kelompok tersebut
menjadi dua kelompok. Kelompok santri terkategori menjadi kaum santri
kolot, kaum santri muda, sedangkan kelompok abangan terbagi dalam dua
kelompok yaitu abangan kolot dan abangan muda. Empat kelompok umat
Islam tersebut, walaupun memiliki kharakter yang berbeda-beda tetapi mereka
disatukan oleh identitas keislaman dasar yang sama yaitu ketika bersunat,
menikah dan mengubur mayit.375 Adapun penjelasan dari kelompok santri
kolot dan santri muda adalah sebagi berikut:
Adapoen adat kelakoean santri kolot (bagaian pertama), itoe
sebangsa kaum jang madjoe akan djalan Ibadah, sembahjang, Poeasa
dan lain-lain, jang lahir ada sangat mendjoendjoeng atas nama
Toehan, dan nama pembesar-pembesar Islam, dimana ia selaloe
soeka membatja kitab-kitab arabi, sebagian besar tinggal di pondok-
pondok, di masjid-masjid, di langgar-langgar dan diamalkan oleh
mereka beberapa batja-batja’an seperti ajat Kur’an, dan Selawat Nabi,
asma-asma, dan doea-doea dan sebagainja, tetapi kebanjakan
sematjam ini tiada mengarti apa maksoednja jang dibatja itoe, dan apa
artinja jang sedemikian itoe……Adapoen adat kelakoean santri
moeda (bagaian kedoea), ijalah soeatoe kaum jang mendjoendjoeng
atas nama Allah dan beribadah kepada Allah,dan adalah kaum ini
senantiasa memperhatikan parentah Toehan dan perkata’an Kur’an,
dan sabda Nabi dan senantiasa memperhatikan apa maksoednja Islam
dan apa kehendaknja Kur’an dan apa poengaroehnja sabda Nabi
(hadis), maka loeaslah pemandangannja kaum itoe, ia orang soeka
374 Fachrodin,,”Haroes Tjinta Sajang Kepada Bangsa” dalam Islam Berhgerak, Edisi
10 April 1918, hlm. 2. 375 Fachrodin, “Hikajat Islam” dalam Islam Bergerak, Edisi 1 September 1918,
hlm.1.
148
terima segala pengetahoean jang datang dari bangsa apa djoega, jang
ditimbang tjotjok dengan kehendak Islam.376
Pembagian tersebut tentu didasarkan pada perilaku keagamaan
yaumiyah dan tidak bersifat rigid. Dari sisi progresifitas, Misbach dan SATV
tentu dapat dikategorikan pada kelompok yang kedua (santri muda), sementara
Misbach dan SATV adalah berasal dari dunia pesantren. Pemikiran dan
gerakan sosial keagamaan yang revolusioner yang dimotori oleh Misbach
menjadi indikasi bahwa kaum Islam revolusioner tersebut adalah kelompok
santri tradisional yang progresif yang berfikiran maju tanpa meninggallkan
akar-akar tradisinya. Dengan cara berfikir dan perilaku keagamaan yang unik,
menerobos batas-batas aliran pemikiran yang ada, Misbach mendapat
dukungan dari kaum santri tradisional-progresif, di samping kaum abangan.
Kondisi sosial keagamaan di Surakarta sampai tahun 1918 juga
diwarnai dengan adanya pertikaian pendapat antara ulama. Mereka lebih
mengedepankan perbedaan pemikiran daripada pergerakan menuju kemajuan
bumiputra. Perseteruan antara para ulama di Solo terdokumentasi dalam
sebuah tulisan tim redaksi Islam Bergerak.
Kami harap pada oelama-oelama ternama di Solo, 1. toean M. H.
A. Hisam Zaini, 2. Kijahi Mohamad Edris di Djamsaren dan 3. R.H.
Adnan di Pangoelon Kaoeman-Solo, soeka bertemoean dengan
Toean M. Ketibamin boeat membitjarakjan tentang kebenarannja
igama Islam kita, dengan Toean Ketibamin jang dikatakan
pengroesak igama Islam, sedang itoelah mendjadi kewadjiban boeat
membitjarakan kebenaran igama kita.377
376 Ibid. 377 Islam Bergerak, Edisi 10 Juli 1918, hlm. 2.
149
Himbauan rukun kemudian menjadi tema Islam Bergerak pada masa-
masa tersebut. Pertentangan antara ulama Islam tradisional dengan modern
cukup menjadi penghalang dunia pergerakan. Misbach hadir dalam suasana
kehidupan sosial keagamaan para ulama dan pemimpin umat Islam yang tidak
bersatu dan kurang peduli kepada gerakan memajukan kaum pribumi.
Gambarabn-gambaran tentang struktur sosial masyarakat Surakarta di
atas menjadi latar belakang sosio-historis yang melingkupi munculnya
pemikiran dan gerakan Komunisme Islam di Surakarta, sekaligus menjadi
bagian dari proses sejarah yang memproduk pemikiran dan gerakan
Komunisme Islam. Pemikiran dan gerakan Komunisme Islam sangat terkait
dengan berbagai peristiwa yang kompleks. Peristiwa-peristiwa yang
tergambarkan dalam struktur sosial tersebut, dalam konteks historipgrafi dalam
penelitian ini, bukan sekedar background tetapi juga foreground.378 Struktur
sosial, budaya, politik, ekonomi dan keagamaan di Surakarta menjelang dan
awal abad ke-20 bukan sebagai latar belakang (background) saja tetapi juga
menjadi foreground yakni menjadi bagian dari penggalan sejarah pemikiran
dan gerakan Komunisme Islam di Surakarta.
Kondisi sosio-historis di Surakarta dan Jawa pada awal abad ke-20
sangat penting untuk dipaparkan karena pada awal abad ke-20 terjadi
perubahan-perubahan sosial yang begitu besar dalam sejarah pergerakan di
378 Asumsi bahwa struktur itu foreground akan menjadikan sudut dimensi waktu
menjadi sangat longgar. Taufik Abdullah, ”Lombard, Mazhab Annales dan Sejarah Mentalitas
Nusa Jawa” dalam Henry Chambert-Loir dan Hasan Mu’arif Ambary, Panggung Sejarah,
Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard (Jakarta: yayasan Pustaka Obor Indonesia,
1999), hlm. 58.
150
tanah air. Pesatnya pendidikan khas Barat, semakin menancapnya kaki
kapitalisme, kondisi ketertindasan yang semakin besar, munculnya kelas-kelas
borjuis bumiputra, militansi keagamaan dan kesadaran berpolitik yang tinggi
telah memicu terjadinya perubahan besar.
Secara spesifik, pemikiran dan gerakan Komunisme Islam terlahir
dari dinamika pergerakan di Surakarta sebelumnya, khususnya antara tahun
1917 sampai dengan 1919. Shiraishi mencatat bahwa dibukanya Voklsraad,
kebangkitan SI Semarang di bawah pimpinan Semaoen, Comite Tentara
Kandjeng Nabi Muhammad, gerakan Djawa Dipa, gerakan Serikat Buruh,
kebangkitan Personeel Fabrik Bond (PFB) dan perkembangan lainnya sangat
mempengaruhi munculnya gerakan revolusioner379 yang nantinya menjadi
gerakan Komunisme Islam.
Gerakan revolusioner di Surakarta, diawali dengan hadirnya kembali
Tjipto Mangoenkoesoemo (Insulinde) dalam dunia pergerakan di Surakarta
yang ditunjuk untuk duduk di Volksraad, dan hadirnya Misbach sebagai
propagandis Islam yang reformis dan revolusioner. Kombinasi keduanya telah
mendorong kekuatan pergerakan baru di Surakarta di bawah panji Insulinde,
bukan Sarekat Islam. Insulinde menjadi kekuatan penggerak yang revolusioner
di Surakarta. Gerakan revolusioner di bawah panji Insulinde menguat karena
semakin terpinggirkannya masyarakat kecil dalam kehidupan sosial, politik
dan ekonomi.
379 PFB adalah perhimpunan buruh pabrik bumiputra yang bermarkas di Yogyakarta.
PFB memiliki ikatan atas nama bumiputra yang kuat sehingga merdeka dalam menentukan
sikap dan tidak taqlid kepada perhimpunan buruh orang Indo. Islam Bergerak, Edisi 20 Juli
1920, hlm. 2.
DAFTAR PUSTAKA
A. Artikel Surat Kabar dan Buku
Amelz, H.O.S. Tjokroamonito: Hidup dan Perjuangannya, Jilid II, Jakarta: Bulan
Bintang, 1952.
Aminah, Siti, “Pemandangan”, dalam Islam Bergerak, 1 Desember 1921.
Aminog, N., “Boenga Rampai Oentoek I.B. Serba Sedikit”, dalam Islam
Bergerak, 10 Februari 1917.
Amir, Muhammad, Riwayat Berdirinya Muhammadiyah di Surakarta, Surakarta:
Sekretariat PDM, t.t.
Ardiwidjaja, E., “Perboeatannja Pemerentah Halnja Pasar Derma S.I. Bandung”,
dalam Islam Bergerak, 1 April 1922.
Ardiwinata, D.K., “Kabar Djama’ah Hadji”, dalam Islam Bergerak, 10 Januari
1917.
Abdullah, Taufiq (ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, 1991.
Adnan, Basit, Sejarah Masjid Agung dan Gamelan Sekaten di Surakarta, Sala:
Mardikintoro, 1996.
Asijah, Siti, “Awas Perempoean”, dalam Islam Bergerak, 20 Juni 1922.
Asijoso, “Leloetjon!!”, dalam Sinar Djawa, 16 April 1918.
Atmodjo, S., “Toean Oemar Said Tjokroaminoto, Apakah Soedah Hilang Rasa
Kehormatannja, Karena dari Besarnja Hati Angkara Moerka”, dalam
Islam Bergerak, 20 Maret 1923.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994.
Bachin, “Wattaqulloha La’allakoem Toeflihoen”, dalam Islam Bergerak, 1 Juli
dan 1 September 1919.
Baswedan, A.R., “Pemerintah terhadap Para Kijahi”, dalam Soeara M.I.A.I., 1
Februari 1943.
Begok, Si, “Pikiran Melajang”, dalam Ra’jat Bergerak, 1 November 1923.
Bestuur O.B. Srg., “Penghoeloe Bond di Sragen Diganti Oelama Bond”, dalam
Islam Bergerak, 10 Desember 1919.
Boecharie, Moehtar, “Pemberian Tahoe”, dalam Islam Bergerak, 20 Juli dan 1
Agustus 1920.
Bochari, I., “Boekti Keadilan Pemarintah Akan Ra’jatnja???”, dalam Islam
Bergerak, 10 April 1919.
Bale Tanjo, “Pendjagaan, Penggeledehan dan Penangkapan”, dalam Ra’jat
Bergerak, 20 September 1923.
Baudet, Enrest Henri Philippe dan Izaak Johannes Brugmans, Politik Etis dan
Revolusi Kemerdekaan, terj. Amin S., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1987.
Benda, Harry J., The Crescent and the Rising Sun, The Hague & Bandung: Van
Hoeve, 1958.
Bakri, Syamsul, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942 (Yogyakarta:
LKiS, 2015)
Bakri, Syamsul dan D. Afkar, Menelusuri Jejak Enam Kiai di Soloraya
(Surakarta: Bukuku Media, 2016)
Bratakesawa, Raden, Katrangan Tjandrasangkala, Djakarta: Balai Pustaka, 1952.
__________, Falsafah Siti Djenar, Surabaya: Djojobojo, 1954.
Casan, C.A., “Jang Meniroe Tiada Sama Jang Ditiroe”, dalam Medan Moeslimin,
Nomor 3, 15 Maret 1919.
Cassanova, Jose, Public Religion in the Moderen World, Chicago: The University
of Chicago Press, 1994.
Choesen, “Menoendjoekkan Kesalahan”, dalam Islam Bergerak, 1 April 1923.
Coser, Lewis, The Function of Social Conflict, New York: The Free Press, 1956.
Couperus, Louis, Unter Javas Tropensonne, Berlin: Deutsche Buch-
Gemeinschaft, 1926.
Dachlan, Achmad, “Bertemoean”, dalam Islam Bergerak, 20 Agustus 1919.
__________, “Lagi Telegram Moechamadijah di Djokdjakarta pada Tg. 15 Ini
Boelan Seperti di Bawah Ini”, dalam Islam Bergerak, 20 Mei 1919.
Dachlan, Achmad dan Kartopringgo, “Soerat Terboeka, Dipersembahkan
Kehadapan di bawah Doeli Shri Paduka Jang Dipertoean Besar
Gouverneur Generaal di HINDIA NEDERLAND”, dalam Islam Bergerak,
1 April 1918.
Dahrendorf, Ralf, Class and Conflict in Industrial Society, Stanford: Stanford
University Press, 1959.
Dandoen-Watjono, “Politiknja Kaoem Christen”, dalam Islam Bergerak, 1
Oktober 1918.
Dal, “Nasibnja Ra’jat di Vorstrenlanden”, dalam Islam Bergerak, 1 Oktober 1918.
Darmobroto, Sri Soendari, ”Nasibnja Perempoean”, dalam Medan Moeslimin,
Nomor 10-11, Tahun 1916 dan Nomor 8, Tahun 1917.
Darsono, “Giftage Waarheispeikken (Panah Pengadilan Beratjoen)”, dalam Sinar
Hindia, 5 Mei 1918.
Dasoeki, Achmad, “Demit di Tanah Hindia”, dalam Islam Bergerak, 1 November
1921.
__________, “Perbarisan Islam Bergerak Kepada Moehammadijah”, dalam Islam
Bergerak, 10 Januari 1923.
Dewantara, Ki Hadjar, “Wawasan Perang Kang Saiki Iki Rajat Woes Netepake
Sikepe”, dalam Panjebar Semangat, 3 Januari 1942.
Diptetif I.B., “Doenia Vorstenlanden Soerakarta”, dalam Islam Bergerak, 20
Oktober 1919.
Ditijo, Pamoerah, “Resident Harloff di Soerakarta”, dalam Islam Bergerak, 10
April 1922.
Djaja, Tamar, Assiyasah, Nomor 5, Vol. II, April 1974.
Dwipayana, A.A.G.N. Ari, Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di
Dua Kota, Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment, 2004.
D., Ks., “Vorstenlanden Haroes Mendjadi Republiek”, dalam Islam Bergerak, 20
November 1919.
Djojodihardjo, S., “Ra’jat Hindia Ditarik Boeloe Tjoemboenja Karena Itoe Tentoe
Laloe Lekas Bangoen”, dalam Ra’jat Bergerak, 4 Oktober 1923.
Eyerman, Ron & Andrew Jamison, Social Movements: a Cognitive Approach,
Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 1991.
Fachrodin, “Mengadep Comite Tentara Kandjeng Nabi Moehamad”, dalam Islam
Bergerak, 20 November 1918.
__________, “Memboeat Kebetjikan Itoe Banjak Rintangannja”, dalam Islam
Bergerak, 1 April 1919.
Fantast, H.S., “Pergerakan Boeroeh”, dalam Islam Bergerak, 1 Desember 1921.
Federspiel, Howard M., Indonesian Muslim Intellectuals of the 20th Century,
Singapore: ISEAS Publications, 2006.
Florida, Nancy K., Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophesy
in Colonial Java, North Carolina: Duke University Press, 1995.
Foreta, “Merdeka Poela”, dalam Islam Bergerak, 10 November 1919.
Gever, Verslag, “Vergadering Perkoempoelan Perempoean di Djokdjakarta”,
dalam Islam Bergerak, 20 Juli 1918.
Geertz, Clifford, The Religion of Java, Chicago: Unversity of Chicago Press,
1976.
Gie, Soe Hok, Di Bawah Lentera Merah,Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999.
__________, Zaman Peralihan, Jakarta: Gagas media, 2005.
Graaf, H.J. de, Risalah Sejarah dan Budaya: Het Kadjoran Vraagstuk (Masalah
Kajoran), terj. Suwandi, Yogyakarta: Balai Penelitian Sejarah dan
Budaya Pusat Penelitian dan Budaya Depdikbud, 1980.
Grahito, “Perobahan Jaman”, dalam Islam Bergerak, 20 September 1918.
Habromarkoto, “Kemoendoeran Ra’jat Boemiputera Disebabkan Roepa-Roepa
Hal”, dalam Islam Bergerak, 1 Agustus 1918.
Habsjah, Attashendartini, et al. (eds.), Perjalanan Panjang Anak Bumi, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Hadi, “Sewenang-Wenang”, dalam Ra’jat Bergerak, 4 Oktober 1923.
Hadisiswaja, Asnawi, Soerakarta Adiningrat, Soerakarta: Uitg Poesaka
Soerakarta & Islam Raja Solo, 1936.
Hardjosoewito, Endro, Pantjang Sedjarah Indonesia, Djakarta: Pustaka Energi,
1953.
Hardjomartojo, Soerat, “Hindia Kita dan Ra’jatnja”, dalam Islam Bergerak, 10
Oktober 1921.
Harloff, “Pembritaan”, dalam Islam Bergerak, 1 Juni 1920.
Hadikoesoemo, “Doenia Telah Berganti Roepa, Napsoe Soedah Tersebar”, dalam
Ra’jat Bergerak, 11 Oktober 1923.
Haroenrasjid, “Apakah Igama Islam Bisa Bernaoeng di H.N. dengan Soeboer dan
Slamet?, Apakah Igama Islam Teroes Kekal Mendjadi Kesenangan
Orang H.N.?”, dalam Islam Bergerak, 10 Maret, 1 dan 10 Juli 1919.
Harsoeloemakso, “Di Bawah ini Soerat Balesan S.A.T.V. Kepada Bestuur S.I.
Tjiandjoer Berhoeboeng Dengan Karangan Toean Tjokroredjo Terseboed
I.B. No. 14”, dalam Islam Bergerak, 20 Mei 1920.
__________, “Keramen Sekaten”, dalam Islam Bergerak, 1 November 1921.
Hartijah, Raden Roro, “Soeara dari Pihak Perempoean, Penglihatan Sadja”, dalam
Islam Bergerak, 20 Juni 1922.
Hatta, Mohammad, Permulaan Pergerakan Nasional, Jakarta: Idayu Press, 1977.
__________, Kumpulan Karangan I, Djakarta-Amsterdam-Surabaja: Balai Buku
Indonesia, 1953.
__________, “Demokrasi Kita”, dalam Panji Masyarakat, Vol. 2, No. 22, 1 Mei
1960.
Hering, B.B., Soekarno: Founding Father on Indonesia, 1901-1945, Michigan:
KITLV, 2002.
Hidajat, “Hak Kemanoesia’an”, dalam Islam Bergerak, 10 Mei 1920.
Hoedijono, “Awas! Kaoem Boeroeh Hindia!”, dalam Ra’jat Bergerak, 18 Oktober
1923.
Horman, Mohd., “Openbare Vergadering Loear Biasa dari SI Bandjermasin
Borneo”, dalam Islam Bergerak, 1 April 1923.
Hurgronje, Snouck, “Sarekat Islam”, dalam E Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-
nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada
Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, terj. Sukarsi, Jakarta: INIS,
1995.
__________, Mekka in the Latter Part of the 19th
Century: Daily Life, Customs,
and Learning the Moslims of the East-Indian Archipelago, Leiden-
Boston: Brill, 2007.
__________, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VII, terj. Soedarso
Soekarno, Jakarta: INIS, 1999.
__________, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, terj. Sultan Maimun dan
Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS, 1999.
H.R., “Gouvernement Menolong Ra’jat”, dalam Islam Bergerak, 20 September
1919.
Hoofdbestuur Revolutionaire Vakcentrale, “Manifest Hoofdbestuur
Revolutionaire Vakcentrale Semarang”, dalam Islam Bergerak, 10
Februari 1922.
Ibrahim, Julianto, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan
Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Wonogiri: Bina Citra Pustaka,
2004.
Ichwaan, Moestaslichoel, “Berdjanggoet Kambing Berkoemis Koetjing”, dalam
Islam Bergerak, 10 Agustus 1920.
Isma’il, Ibnu Qoyim, Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial,
Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Jufrij, A.A., “Perbarisan Islam Bergerak, Toeroet Berkata”, dalam Islam
Bergerak, 1 Maret 1923.
Kaero, “Mengenget Pepatah Adanja Tindesan di Soeatoe Negrie Itoe Satoe Tanda
Bahwa Rajat di Itoe Negrie Ada Lembek”, dalam Medan Moeslimin,
Nomor 1, 15 Januari 1919.
Kaf, S., “Soenggoeh Tida’ Karoean”, dalam Islam Bergerak, 1 November 1922.
Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution in Indonesia, New York:
Cornell University, 1952.
Kaoemaner, “Onderwijs Boeat Hindia”, dalam Islam Bergerak, 10 Oktober 1919.
Kartodirdjo, Sartono, et al., Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.
Kartodikromo, Marco, “Korban Pergerakan Ra’jat, H.M. Misbach”, dalam
Hidoep, 1 September 1924.
__________, “Marco Pro of Contra Dr. Rinkes”, dalam Doenia Bergerak, Nomor
1, Tahun 1914.
__________, “Engatlah Engat” dalam Doenia Bergerak, Nomor 11, Tahun 1914.
__________, “Sama Rasa Sama Rata”, dalam Sinar Djawa, 10 dan 16 April 1918.
Kasan, Mhd., “Berhoeboeng Congres PGHB”, dalam Islam Bergerak, 1 dan 10
Agustus 1919.
Ketjil, Si, “Persatoean, Sendjata Ra’jat jang Didjadjah”, dalam Fikiran Ra’jat, 24
Februari 1933.
Korver, Ape, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil?, terj. Tim Grafiti, Jakarta:
Grafiti Press, 1985.
Kuntowijoyo, “Muslim Kelas Menengah Indonesia 1910-1950”, dalam Paradigma
Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1993.
Koentjaraningrat, Javanese Culture, New York: Oxford University Press, 1990.
Koesen, “Sebabnja Ditahan Pendjara”, dalam Islam Bergerak, 20 Juni 1919.
__________, “Ditahan Pendjara”, dalam Islam Bergerak, 20 Mei 1919.
__________, “Pemandangan”, dalam Islam Bergerak, 1 Desember 1919.
__________, “Kaoem Berkoeasa Dengan Pergerakan Ra’jat”, dalam Islam
Bergerak, 1 November 1919.
__________, “Tanah Djawa Bergontjang”, dalam Islam Bergerak, 1 Oktober
1919.
__________, “Perkara Padi 42 Picols Sadja Bisa Membawa Jiwanja Ra’jat Ke
Liang Koeboer”, dalam Islam Bergerak, 10 September 1919.
__________, “Kemalangan Nasibnja Ra’jat di Residentie Soerakarta”, dalam
Islam Bergerak, 10 Agustus 1920.
__________, “Rasa Maksoed dan Rasa Keadaan”, dalam Islam Bergerak, 1
November 1921.
__________, “Nasibnja I.B.”, dalam Islam Bergerak, 10 Februari 1921.
__________, “Kabar Pendek Tentang Hal SATV dan Iddharoelchak dengan
Pemerentah di Solo”, dalam Islam Bergerak, 20 November 1921.
__________, “Toean-toean Pembatja jang Terhormat”, dalam Islam Bergerak, 20
Mei 1922.
Koornia, Sr., “Matenging Waton”, dalam Doenia Bergerak, Nomor 11, Tahun
1914.
Kwantes, R.C., De Ontwikkeling van de Nationalistische Beweging in
Nederlandsch-Indie, Groningen: H.D. Tjeenk Willink, 1975.
Laffan, Michael Francis, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: the Umma
below the Winds, London & New York: Routledge Curzon, 2003.
Larson, George D., Prelude to Revolution: Palaces and Politics in Surakarta
1912-1942, Holland & USA: Foris Publication, 1987.
Latif, Yudi, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia Muslim Indonesia
Abad Ke-20, Bandung: Mizan, 2005.
Leur, C.J. Van, Indonesian Trade and Society, Bandung: Sumur Bandung, 1960.
Lombard, Denys, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, terj. Tim Gramedia, Jilid 3, Jakarta: Gramedia, 1996.
Malaka, Tan, Dari Penjara ke Penjara, Jakarta: Wijaya, 1950.
Mangoenkoesoemo, Tjipto dan Moehammad Misbach, “Solo Datum Postmer”,
dalam Islam Bergerak, 20 April 1919.
Marhaen Indonesia, “Pers dan Pergerakan”, dalam Fikiran Ra’jat, 3 Februari
1933.
Margana, S., Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
Mariana, Setna, “Indische Cultuure Ontwekkeling (Kemadjoean Kepandaian
Hindia)”, dalam Islam Bergerak, 20 November 1919.
Marsono, “Genre Sastra Nuansa/Kitab Islam”, dalam Modul Kuliah Filologi
Program Doktor Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta: t.p., 2009.
Martono, Hardjo, “Nasibnja Ra’jat Jang Miskin”, dalam Islam Bergerak, 20
Oktober 1921.
Marx, Karl & Frederick Engels, Manifesto of the Communist Party, New York:
International Publisher, 2007.
Marx, Karl, On Religion, California: Foreign Languages Publishing House, 2009.
Materu, Mohamad Sidky Daeng, Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia,
Djakarta: t.p., 1970.
Meidema, J. dan Stokhof, Memories van Overgave van de Afdeling Noord Nieuw-
Guinea, Leiden: DSALCUL, 1991.
Mirjam Maters, Van Zachte Wenk Tot Harde Hand: Persvrijheid en Persbreidel
in Nederlands-Indië, 1906-1942, Dutch: Hilversum Verloren, 1998.
Minoek, K.A., “Keadaan Lelaki dan Prampoean Djawa”, dalam Islam Bergerak, 1
Januari 1921.
Misbach, Moehammad, ”Sroean Kita”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 12, 15
Desember 1918.
__________, “Tanpa Judul”, dalam Islam Bergerak, 20 Januari 1917.
__________, “Orang Bodo Djoega Machloek Toehan, Maka Fikiran Jang Tinggi
Djoega Bisa di dalam Otaknja”, dalam Islam Bergerak, 10 Maret 1919.
__________, “Dengan Berdoeka Tjita Jang Tiada Terhingga”, dalam Medan
Moeslimin, 22 Februari 1916.
__________, “Berkata Sebenarnja (Hikam)”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 2,
Tahun 1916.
__________, “Perbarisan Islam Bergerak”, dalam Islam Bergerak, 10 November
1922.
__________, “Assalamou’alaikoem Waroehmatoe’Lohi wa Barokatoeh”, dalam
Medan Moeslimin, Nomor 20, Tahun 1922.
__________, “tanpa judul” dalam Islam Bergerak, 20 Desember 1922.
__________, “Verslag”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 24, Tahun 1922.
__________, “Semprong Wasiat, Partij Discipline S.I. Tjokroaminoto Menjadi
Ratjoen Pergerakan Ra’jat Hindia”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 9,
Tahun 1923.
__________, “Islam dan Gerakan”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 9, Tahun
1923.
__________, “Neratja”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 4, Tahun 1923.
__________, “Pembatja Kita”, dalam Islam Bergerak, 10 November 1922.
__________, “Correspondentie Sudara Hadji Boerhan”, dalam Islam Bergerak, 20
Desember 1922.
__________, “Raad Oelama”, dalam Islam Bergerak, 10 Desember 1919.
Misbach, Moehammad dan Harsoloekmakso, “Perhimpunan Sidik Amanat Tableg
Vatonah di Soerakarta Telah Mengatoerkan Motto kepada Toean Besar
G.G.H.N. dan Adviseur INL Zaken atau pada Volksraad Seperti di
Bawah Ini”, dalam Islam Bergerak, 10 Mei 1919.
Misbach, Moehammad dan S. Partoatmodjo, “Soeka Beli”, dalam Islam Bergerak,
10 Agustus 1923.
Moetakalimoen, “Kekoesaan Alam”, dalam Islam Bergerak, 1 September 1923.
__________, “Pendirian dan Pemboekaan Kantoor Sarekat-Ra’jat Solo”, dalam
Ra’jat Bergerak, 4 Oktober 1923.
Mohamad, Z., “Kepala Posing”, dalam Islam Bergerak, 1 April 1918.
__________, “Alim, Rusaknja Igama Islam di Hindia”, dalam Islam Bergerak, 1
Oktober 1918.
Muljana, Slamet, Kesadaran Nasional: dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan,
Jilid I, Yogyakarta: LKiS, 2008.
Mooryati, Soedibyo dan Sumoningrat Gunawan, Sri Susuhunan Paku Buwono X:
Perjuangan, Jasa, dan Pengabdian untuk Nusa dan Bangsa, Jakarta:
Bangun Bangsa, 2009.
Moelai, “Sebab...!”, dalam Islam Bergerak, 10 Juli 1920.
M.R., “Hollandsch-Inlandsche School”, dalam Tjaja Hindia, Nomor 5, Tahun
1913.
Negoro, Raden Noto, “Sarekat Islam”, dalam Tjaja Hindia, Nomor 5, Tahun
1913.
Ngiso, “Apakah Anak Hindia Tiada Bisa Merdeka Selama-lamanja?”, dalam
Islam Bergerak, 20 September 1918.
Neil, Robert van, The Emergence of Modern Indoenesian, The Hague and
Bandung: Van Hoeve, 1956.
Negoro, Raden Noto, “Kabar Jang Menjenangkan Hati”, dalam Tjaja Hindia,
Nomor 5, Tahun 1913.
Noedhin, Ichsan, “Pengoeloe Bond di Sragen”, dalam Islam Bergerak, 20 Agustus
1919.
Nouvellist, “Dari Saya Poenja Notitie”, dalam Doenia Bergerak, Nomor 11,
Tahun 1914.
Nurhayati, Dwi Ratna et al., Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Jakarta:
Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia, 1999.
Oetomo, Sastro, “Verslag Vergadering Sidik Amanat Tableg Vatonah (S. A. T.
V.) Oeteran Madioen”, dalam Islam Bergerak, 10 September 1920.
Omar, “Oesikan, Awas Sekalijan Kaoem Pergerakan”, dalam Islam Bergerak, 10
April 1923.
Ibrahim Omar, Air Mata dan Darah, Singapore: System Publishing House, 1990.
Oetojo, Kijahi Rekso, “Pan-Islamisme”, dalam Islam Bergerak, 10 April 1921.
Oteoh, O.M., ”Berhoeboeng Dengan Samboetannja t. P.H. pada t. Z. Mohamad
I.B. No. I dan I. B. No. 4”, dalam Islam Bergerak, 10 April 1918.
Outhwaite, William (ed.), Ensiklopedi Pemikiran Sosial Modern, terj. Tri Widodo
BS, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Pakoealaman, Botjah, “Serikat Islam dan Moehamadijah”, dalam Islam Bergerak,
10 Juni 1922.
__________, “Nasibnja Ra’jat Vorstenlanden”, dalam Islam Bergerak, 20 Januari
1923.
Partoatmodjo, S., “Informatie-Kantoor “Bale Tanjo” Kaoeman-Solo”, dalam
Islam Bergerak, 1 Agustus 1923.
Penerbit R.B., “Persatoean I.B. dan D.B.”, dalam Ra’jat Bergerak, 20 September
1923.
Pengoeroes Madrasah Mardi Boesono, “Cursus Islam di Solo”, dalam Islam
Bergerak, 20 Oktober 1922.
Penjaoeh, “Pro Betoel-Betoel Pro”, dalam Medan Moeslimin, 15 Januari 1919.
Pijper, G.F., “Pendahuluan”, dalam G.F. Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa
Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, terj.
Tudjimah, Jakarta: UI Press, 1987.
Pimpinan Pusat Muhamamdijah, Suara Muhammadijah (Mendjelang Peringatan
40 Tahun Muhammdijah), Edisi 27, November 1953.
Poeger, GPH, Sekaten, Surakarta: Keraton Surakarta, 2002.
Polo, Marco, The Travel of Marco Polo, revised from Marsden’s, Translation and
edited with introduction by Manuel Komproff, New York: W. W. Norton
& Company Inc., 1930.
P.R., ”Boemipoetra Hindia Terboeka Fikirannja”, dalam Islam Bergerak, 1
September 1918.
__________, “Candidaat Hadji dengan Hantoe dan Momoknja”, dalam Islam
Bergerak, 20 November, 1920.
Pranoto, Suhartono W., Jawa: Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Prastawa, J. “Perobahan”, dalam Ra’jat Bergerak, 11 Oktober 1923.
Prayogo, “Saudarakoe Kaum Moeslimin”, dalam Islam Bergerak, 1 September
1918.
Prawirowinoto, Soemantri, “Kang Kromo Sekarang Soedah Brani Melawan
Londho”, dalam Islam Bergerak, 20 Juni 1919.
Prekoel, Jong Berg Si, “Hindia Gelap”, dalam Islam Bergerak, 20 Juli 1923.
Pringgodigdo, Abdul Karim, Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Djakarta:
Pustaka Rakyat, 1960.
Pusponegoro, Ma’mun et al., Kauman: Religi, Tradisi, dan Seni (Surakarta:
Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, 2007.
Putuhena, M. Shaleh, Historiografi Hadji Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2007.
Rachmad, “Haloean Kita”, dalam Islam Bergerak, 20 Desember 1919.
Ramdhatani, Hussain, a Study Society and Anti Colonial Struggles, Calcuta:
Other Book, 2007.
Rangsang, “Samboetan Pada Perobahan Nama Organ Kita”, dalam Api, 1 Agustus
1924.
Redactie & Administratie R.B., “Ma’loemat”, dalam Ra’jat Bergerak, 20
September 1923.
__________, “Gontjangnja Media Redactie!!”, dalam Ra’jat Bergerak, 25
Oktober 1925.
Rasjid, “Batjalah Teroes”, dalam Pemandangan Islam, Padang Pandjang, t. th.
Red. I.B., “Keterangan Medan Moeslimin”, dalam Islam Bergerak, 20 September
1922.
Soerjosasmojo, “De Indische neweging En Haar Toestan (Pergerakan Hindia
dengan Pergerakannja)”, dalam Islam Bergerak, 10 November 1919.
__________, “Pergerakan Ra’jat dan Politiek”, dalam Islam Bergerak, 20
Oktober 1919.
Red. R.B., “Timbangan Red”, dalam Ra’jat Bergerak, 4 Oktober 1923.
__________, “Oedara Hindia Gelap”, dalam Ra’jat Bergerak, 11 Oktober 1923.
__________, “Tjampoer Bawoer, Tooneel Vorstenlanden, Assisten-Resodent
Solo dan S. Partoatmodjo”, dalam Ra’jat Bergerak, 11 Oktober, 1923.
__________, “Rapat Besar B.O. di Solo”, dalam Ra’jat Bergerak, 25 Oktober
1923.
Red. Medan Moeslimin, “Saudara H.M. Misbach: Hadji Moehammad Misbach,
Pemimpin Ra’jat jang Gagah Berani di Soerakarta”, dalam Medan
Moeslimin, Nomor 20, Tahun 1922.
__________, “H.M. Misbach Diboeang, Ra’jat Solo Teroes Bergerak,
Wasjawirhoem fil Amri”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 10, Tahun
1924.
Red. Panjebar Semangat, “Prajoganing Lokal ing Mangsa Gawat Iki”, dalam
Panjebar Semangat, 27 Desember 1942.
Reid, Anthony, “Pan-Islamisme Abad Kesembilan Belas di Indonesia dan
Malaysia”, dalam Nico J.G. Kapitein, Kekacauan dan Kerusuhan, Tiga
Tulisan Tentang Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir
Abad Kesembilan Belas dan Awal Abad Kedua Puluh, terj. Lillian D.
Tedjasudjana, Jakarta: INIS, 2003.
Respati, “Islam dan Gerakannja”, dalam Islam Bergerak, 20 Mei 1922.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesai Moderen, terj. Dharmono Hardjowidjono,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007.
Rijkevorsel, L. van dan R.D.S. Hadiwidjana, Babad Tanah Djawi Lan Tanah-
Tanah Ing Sakiwa Tengenipoen, Den Haag: B. Wolters Uitgevers
Maatschappi, 1929.
Robinson, Richard, Indonesia: The Rise of Capital, North Sydnesy: Unken &
Unwin Publisher Ltd., 1987.
Roechanie, S., “Boeah Fikiran”, dalam Islam Bergerak, 20 Maret 1921.
Roestinah, St., “Seorang Prempoean Pertama Kali Mendjadi Kabinet Minister se-
Antero Doenia”, dalam Islam Bergerak, 10 Desember 1921.
S., “Mardi-Rahardjo Contra Islam-Bergerak”, dalam Islam Bergerak, 1 Oktober
1918.
Sajid, Babad Solo, Solo: Rekso Pustoko, t.t.
Sam, “Apakah Journalisten Sama Dengan Pentjoeri dan Pemboenoeh”, dalam
Islam Bergerak, 20 Agustus 1923.
Sanjoto, “Rahasia Jang Terdapat oleh Tanah Vorstenlanden”, dalam Islam
Bergerak, 10 Agustus 1918.
Santoso, “Pendahoeloean”, dalam Islam Bergerak, 20 Oktober 1918.
Santri Djamsaren, “Toeroet Toekar Fikiran”, dalam Islam Bergerak, 1 Juni 1920.
Sardjono, “Pertumbuhan dan Perkembangan Sekolah Muhamamdiyah”, dalam
Suara Muhamamdiyah, Nomor 26, Tahun 1963
Sastrosiswojo, Sismadi, “Pemogokan”, dalam Islam Bergerak, 1 Juli 1919.
Sastrosoedirdjo, Ds., “Moehoen Diperhatikan Segenap Kaum Boemipoetra”,
dalam Islam Bergerak, 1 Mei 1919.
Sastrosoetomo, I., “Tableg-Vatanah (S.A.T.V.)”, dalam Islam Bergerak, 1
Desember 1920.
Sastrosoehardjo, “Boeah Fikiran Jang Senantiasa Terkandoeng Dalam Hati”,
dalam Islam Bergerak, 20 Februari 1917.
Soerjopranoto, “Tentoekan dan Tetapkanlah Haloean”, dalam Islam Bergerak, 20
Januari 1921.
Schmidt, Jan, “Pan-Islamisme di antara Porte, Den Haag, dan Buitenzorg”, dalam
Nico J.G. Captein, Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan Tentang
Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur pada Akhir Abad Kesembilan
Belas dan Awal Abad Kedua Puluh, terj. Lillian D. Tedjasudjana,
Jakarta: INIS, 2003.
Selo, Kandrik Kijai Ageng, “Sepandjang Djalan”, dalam Islam Bergerak, 10 Juli
1920.
Semaoen, Hikayat Kadiroen: Sebuah Novel, Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 2000.
__________, “Kaoem Boeroeh Haroes Berkoempoel”, dalam Islam Bergerak, 19
September 1917.
Setosoeroso, “Tjintailah Ichwanmoe Din!”, dalam Islam Bergerak, 1 Januari
1922.
Shidqy, Thaufiq, “Mentjahari Kebenaran”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 4,
Tahun 1925.
Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926,
terj. Hilmar Farid, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Sirodj, Moh., “Peredaran Zaman”, dalam Islam Bergerak, 10 Februari 1923.
S.H., “Soedara Dr. Tjipto”, dalam Islam Bergerak, 20 Desember 1919.
Siswo, “Doenia Mendjadi Aman, Setelah Kapitalisme Masoek Koeboer”, dalam
Islam Bergerak, 20 Februari, 1 Maret dan 20 April 1923.
Simbolon, Parakitri Tahi, Menjadi Indonesia: Akar-akar Kebangsaan Indonesia,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
Sjarief, “Lain Haloean”, dalam Islam Bergerak, 20 Maret 1918.
__________, “Ajoeh Saudara-Saudara Boemipoetera di Hindia Beramai-Ramailah
Mereboet Hak Kita atas Agama Kita Islam”, dalam Islam Bergerak, 20
April 1919.
Sjamsjijah, H.S., “Permoehoenan”, dalam Islam Bergerak, 20 April 1918.
Soebandrijo, “Onderwijsstelsel di Hindia”, dalam Islam Bergerak, 10 November
1919.
Soedjak, M., “Menoeloeng Kesengsaraan Oemoem dan Hadji”, dalam Islam
Bergerak, 10 Maret 1921.
Soerjosoebandrijo, “M. Ng. Dwidjosewojo”, dalam Islam Bergerak, 20 September
1919.
Soekarno, “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”, dalam Fikiran Ra’jat, 3
Februari 1933.
__________, Imperialisme dan Kapitalisme serta Kedjahatan Imperialisme di
Indonesia: Kupasan Bung Karno di Muka Hakim Landraad Bandung
untuk Diadili Sebagai Pemimpin PNI di Bandung dalam Tahun 1930,
editor Tim GRID, Surabaja: GRIP, 1958.
__________, Di Bawah Bendera Revolusi, Djilid I, Djakarta: Panitya Penerbit Di
Bawah Bendera Revolusi, 1963.
__________, Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, editor Cindy
Adams, terj. Abd Bar Salim, Djakarta: Gunung Agung, 1966.
Soekirno, “Staat dan Agama”, dalam Islam Bergerak, 1 Mei 1923.
Soemarjo, “(P)ersoneel F(abrik) (B)ond”, dalam Islam Bergerak, 1 Juli 1923.
Soenarjo, “Didikan Hatta dalam 1930 dan 1931 dan Sikap Hatta Sekarang
terhadap Soal Cooperatie dan Non-Kooperatie”, dalam Fikiran Ra’jat, 30
Juni 1933.
Soeratman, Darsiti, “Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939”, Disertasi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989.
Soeriokoesoemo, R.N.S., et al., “Comite Tentara Kandjeng Nabi Mohamad
Dengan Comite Javaansch Nationalisme”, dalam Islam Bergerak, 19
Juni 1918.
Soerapanggah, “Memoetar Lidah Mendjadi Pokok Kapitalnja”, dalam Ra’jat
Bergerak, 20 September 1923.
Soerjosasmojo, “Volk Beweging (Solo)”, dalam Islam Bergerak, 10 Juni 1919.
__________, “Ra’jat Soerakarta Tidak Bebas Poela”, dalam Islam Bergerak, 10
Juni 1920.
Soerapanggah, Wasi, “Agama Toehan Allah (Islam)”, dalam Islam Bergerak, 1
Oktober 1922,
Soeripto, “Pemerintah Solo Contra Sismadi Sastrosiswojo”, dalam Islam
Bergerak, 20 Maret 1922.
Ks., D., “Kepaksa Toeroet Tjampoer”, dalam Islam Bergerak, 10 Oktober 1921.
Soewarno, “Licht en Donker”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 2, Tahun 1916.
Soewarno dan Tri Hardono, “Medan Moeslimin”, dalam Medan Moeslimin,
Nomor 4, Tahun 1918.
Solosyah, Mas Adjeng, “Pemandangan Banie Al-Arobbijoe”, dalam Islam
Bergerak, 10 Agustus 1920.
Somodiredjo, “Tjita-Tjita”, dalam Islam Bergerak, 10 Januari 1921.
Sosrokardono, “Boekan Tempatmoe”, dalam Sinar Hindia, 6 Maret 1919.
Sparta, “Soerat Selebaran Rahasia Berhamboeran dalam Kota Solo, Perboeatan Si
Chianat, Politie Riboet! Main Geledah dan Beslag!”, dalam Ra’jat
Bergerak, 18 Oktober 1923.
S., Sri, “Pemandangan Tentang Sikap Wakil Pamarentah Jang Telah Dipakainja
Kepada Pemogokan V.S.T.P.”, dalam Islam Bergerak, 1 Juli 1923.
Suminto, Husnul Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1996.
Sundstrom, Harold W., Indonesia: Its People and Politics, Tokyo: The
Hokuseido, 1957.
Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka
Semesta, 2010.
Swellengrebel, J.L., In Leijdecker Voetspoor: Anderhalve Beuw Bijbelvertaling
En Taalkunde In De Indonesische Talen I 1820-1900, S-Gravenhage:
Martinus Nijhoff, 1974.
Syah, Achmad, “Diboeang Haloes”, dalam Islam Bergerak, 20 Juli 1923.
Thomas, Scott M., The Global Resurgence of Religion and the Transformation of
International Relation: the Struggle for the Soul of the Twenty-First
Century, Palgrave: Macmillan, 2005.
Tim Syarikat, “Bertukar Ingatan, Membongkar Stigma”, dalam Eksperimentasi
Syarikat, Yogyakarta: Syarikat, 2003.
Tim Redaksi Medan Moeslimin, Hidajatoel Awam, Surakarta: Medan Moeslimin,
1916.
Tim Redaksi Islam Bergerak, “Islam Bergerak Selaloe dalam Padang Kesoetjian”,
dalam Islam Bergerak, 10 Mei, 1922.
Tjokroaminoto, “Assalamoe’alaikoem!”, dalam Islam Bergerak, 20 Maret 1923.
__________, Islam dan Sosialisme, Yogyakarta: Tride, 2003.
Tjokrosoedjoso, Abikoesno, “Si Djahat Menghina Nabi Kita (SAW)”, dalam
Oetoesan Hindia, 31 Januari 1918.
Tjokroredjo, “S.I. Tjiandjoer”, dalam Islam Bergerak, 10 Mei 1920.
Toenggal, Tjemara, “Kapitaal”, dalam Islam Bergerak, 1 Juni 1922.
Tohir, Imam, “Mandjoeroeng”, dalam Islam Bergerak, 1 November 1918.
Trihardono, “Georges Zaidan”, dalam Medan Moeslimin, Nomor 2, Tahun 1916.
Troenodjojo, Ardjo, “Pendidikan Mohammadijah”, dalam Islam Bergerak, 10
Maret 1921.
Wadi, T., “Memboeat Noda Kepada Igama Islam”, dalam Islam Bergerak, 10 Juni
1917.
Watson, C.W., Of Self and Injustic: Autobiography and Repression in Modern
Indonesia, Leiden: KITLV, 2006.
Wertheim, W.F., Indonesian Society in Transition: a Study of Social Change,
Bandung: W. Van Hoeve, 1956.
Winengkoe, Dipo, “Nasib Kita (Ra’djat Djadjahan)”, dalam Islam Bergerak, 1
Januari 1922.
Winter, C.F., Javaavsche Zamen Spraken II, Jakarta: Balai Pustaka, 1928.
Wirosoebroto, Djadi, “Menghina Agama Islam”, dalam Islam Bergerak, 20
Januari 1923.
Wojo, S., “Bakal Diadakan Fonds Sama Rasa”, dalam Islam Bergerak, 20
Agustus 1918.
Wondoamiseno, W., “Kembali kepada Toehan”, dalam Soeara M.I.A.I, 1 Februari
1943.
Wongso, Kijahi Nolo, “Djawaban Pada Orang Arab Jang Menghina
Boemipoetra”, dalam Islam Bergerak, 1 Juli 1920.
Wongsodimedjo dan Slamet, “Notulen Algemeenevergadering Locaal S.I.
Keboemen pada 13 Hari Boelan Mei 1920”, dalam Islam Bergerak, 10
Juni 1920.
Wikana, “Persatoean”, dalam Revolusioner, 16 Februari 1946.
Yamin, Muhammad, 6000 Tahun Sang Merah Putih, Genewa: t.p., 1951.
Zahid, Mr., “Peraaan Tentang Adanja Comite Tentara K.N. Mohamad”, dalam
Islam Bergerak, 10 Juni 1918.
Zweeb, de, “Tjamboek, Hai Kaoem Miskin di Vorstenlanden! Awaslah
Kantongmoe!”, dalam Ra’jat Bergerak, 18 Oktober 1923.
B. Arsip
Arsip Pakualaman Nomor 31/2121, hal Sejarah Singkat Urutan Pemerintah Raja
Raja Djawa dari Zaman Mataram Sampai Sekarang (Diambil dari
Catatan-catatan Kraton, Sejarah Kerajaan Surakarta).
Babad Sekaten, transliterasi oleh Kambali, Surakarta: t.p., 1939.
Babad Pacinan, Katalog Sonobudaya Nomor A/2, 75a.
Kern, Rudolf Aernoud, “To Papers of Colonial Advisers on Politics, Culture, and
Religion in the Netherlands Indies, c. 1895-1949 Part 3, Period 1896-
1955”, dalam Microfiche Moran Micropublications Amsterdam, Leiden:
KITLV, 2011.
Laporan Asisten Residen Surakarta, tanggal 22 Agustus 1912, mr. 2301/12.
Meidema, J. dan Stokhof (eds.), Memories van Overgave van de Afdeling Noord
Nieuw-Guinea, Leiden: DSALCUL, 1991.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Nomor 17, Tahun 1919.
Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Nomor 563, Tahun 1919.
Serat Cabolek, Katalog Perpustakaan Pura Pakualaman, Nomor St.20/0143/PP/73.
Wijk, G.F. Van, “Solo Tahun 1909-1914”, dalam Memori van Overgave, terj. M.
Husodo Pringgo Kusumo, Surakarta: t.p., 1914.