Download - LAPORAN P1

Transcript
Page 1: LAPORAN P1

LAPORAN HASIL DISKUSI

MODUL INFEKSI IMUNOLOGI

PEMICU 1

KELOMPOK DISKUSI 2

1. Jamalludin I11108071

2. Tata Rimba Parmanto I11110035

3. Nur'Azmi Ayuningtyas I11111009

4. Dina Fitri Wijayanti I11112007

5. Guntur Suseno I11112012

6. Dodi Novriadi I11112014

7. Adela Brilian I11112020

8. Irvinia Rahmadyah I11112023

9. Ridha Rahmatania I11112027

10. Alvina Elsa Bidari I11112038

11. Anis Komala I11112041

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2015

Page 2: LAPORAN P1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu

Iwan, 8 tahun, datang ke klinik dengan keluhan sering bersin-bersin dan

pilek sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan ini sering disertai mata berair dan

gatal. Ia juga sering menggosok hidungnya yang gatal. Keluhan ini timbul

terutama pada pagi hari atau bila Iwan bermain di tempat yang berdebu. Ibu

Iwan, Ny. Tuti sering mengalami serangan sesak nafas, terutama pada malam

hari . adik Iwan, Asih, berusia 3 tahun, sering mengalami gatal-gatal di kulit,

bila makan udang. Ayah dan kakaknya tidak mempunyai keluhan yang sama.

1.2 Klarifikasi dan Definisi

-

1.3 Kata kunci

1. Anak laki-laki 6 tahun

2. Sering bersin

3. Ingus encer, bening

4. Mata gatal dan berair

5. Ibu dan adik punya riwayat alergi

1.4 Rumusan Masalah

Anak laki-laki 6 tahun sering bersin denga ingus encer sejak 1 tahun

laludisertai mata berair dan gatal, terutama pada pagi hari dan ditempat berdebu.

Ibu dan adiknya memiliki riwayat alergi dengan gejala dan pemicu yang berbeda.

\

Page 3: LAPORAN P1

1.5 Analisis Masalah

Anak laki-laki 6 tahun

Ibu Adik

Hipersesitivitas Tipe I

Setelah makan udang

Bersin-bersin, ingus encer, mata berair,

hidung gatal

Sesak nafas

Tatalaksana

Asma Bronkial

Gatal-gatal dikulit

Pagi hari atau di tempat berdebu

Rhinitis Alergi

Riwayat keluarga

Malam hari atau saat kelelahan

Dermatitis Atopi

Page 4: LAPORAN P1

1.6 Hipotesis

Iwan 6 tahun mengalami rhinitis alergi yang disebabkan hipersensitivitas

tipe I.

1.7 Pertanyaan Diskusi

1. Jelaskan pembagian sistem imun!

2. Apa saja komponen dan organ yang berperan dalam sistem imun serta

fungsinya?

3. Apa beda alergi dan atopi?

4. Apa fungsi dari sistem imun?

5. Bagaimana patogenesis reaksi hipersensitivitas (I-IV)?

6. Bagaimana cara membedakan hipersensitivitas (I-IV)?

7. Apa penyebab timbulnya reaksi hipersensitivitas (I-IV)?

8. Bagaimana pewarisan genetik pada hipersensitivitas?

9. Apa manifestasi klinis hipersensitivitas I-IV?

10. Apa saja contoh reaksi hipersensitivitas?

11. Bagaimana cara mengetahui seseorang memiliki hipersensitivitas?

12. Apa pengaruh lingkungan terhadap hipersensitivitas?

13. Jelaskan tentang rhinitis alergi!

- Definisi

- Etiologi

- Epidemiologi

- Faktor resiko

- Patofisiologi

- Manifestasi klinis

- Diagnosis

- Tatalaksana

- Komplikasi

14. Bagaimana hipersensitivitas dapat menyebabkan penyempitan pada

bronkus dan gatal pada kulit?

15. Jelaskan mengenai obat hirup?

Page 5: LAPORAN P1

16. Bagaimana tatalaksana pada kasus?

17. Bagaimana edukasi pada kasus?

18. Bagaimana pencegahan pada kasus?

Page 6: LAPORAN P1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Retinopati diabetikum

2.1.1. Definisi

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi.

Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi

terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel,

molekul-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut respon

imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya

terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan

hidup. 1

2.1.2. Pembagian Sistem Imun

Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau

nonspesifik / natural / innate / native / nonadaptif dan didapat atau spesifik

/ adaptif / acquired. Adapun gambar perbedaan fungsi sistem imun

nonspesifik dan spesifik, sebagai berikut:1

Gambar 1 Sistem Imun

Page 7: LAPORAN P1

Respon sistem imun tubuh kita pasca rangsangan substansi asing

(antigen) adalah munculnya sel fungsional yang akan menyajikan antigen

tersebut kepada limfosit untuk dieliminasi. Setelah itu muncul respon imun

nonspesifik dan atau respon imun spesifik, tergantung kondisi survival

antigen tersebut. Apabila respon imun non spesifik sudah bisa dieliminasi

dari dalam tubuh, maka respon imun spesifik tidak akan tereduksi. Apabila

antigen masih bisa bertahan hidup, maka respon imun spesifik akan

terinduksi dan akan melakukan proses pemusnahan antigen tersebut.1

Sistem imun bawaan mencakup respon imun nonspesifik tubuh

yang beraksi segera setelah adanya suatu agen yang mengancam. Respons

nonspesifik ini adalah mekanisme pertahanan inheren (bawaan atau sudah

ada) yang secara nonselektif mempertahankan tubuh dari benda asing atau

materi abnormal apapun jenisnya, bahkan meskipun baru pertama kali

terpapar. Respons ini merupakan lini pertama pertahanan terhadap

berbagai ancaman, termasuk agen infeksi, iritan kimiawi, dan cedera

jaringan akibat trauma mekanis atau luka bakar. Semua orang lahir dengan

mekanisme respons imun bawaan yang pada hakikatnya sama, meskipun

mungkin terdapat sedikit perbedaan genetik. Sistem imun adaptif atau

didapat, sebaliknya, mengandalkan respons imun spesifik yang secara

selektif menyerang benda asing tertentu yang tubuh pernah terpajan dan

memiliki kesempatan untuk mempersiapkan serangan yang secara khusus

ditujukan kepada musuh tersebut. Karena itu, sistem imun adaptif

memerlukan waktu cukup lama untuk menyerang dan mengalahkan musuh

spesifik. Sistem imun bawaan dan didapat bekerja secara harmonis untuk

menahan, kemudian mengeliminasi bahan-bahan yang membahayakan2.

Innate immune atau kekebalan bawaan merupakan salah satu

macam dari kekebalan bawaan. Kekebalan bawaan merupakan mekanisme

pertama pertahanan bagi tubuh. Dan kekebalan bawaan ini di bagi lagi

menjadi dua macam pertahanan, pertahanan tingkat pertama dan

pertahanan tingkat kedua.1

a. Pertahanan pertama1

Page 8: LAPORAN P1

Sistem pertahanan pertama pada kekebalan bawaan meliputi faktor

fisik, kimia dan flora normal tubuh (mikriba normal tubuh). Yang

merupakan faktor fisik adalah kulit, kelenjar air mata, kelenjar air

lidah (saliva), kelenjar mukus, silia, dan urine. Kulit yang tertutup

merupakan pertahanan paling kuat. kulit yang tertutup melindungi dari

masuknya mikroba patogen. Air mata berperan dalam melindungi

mata dari mikroba patogen karena terdapat lisozim pada air mata yang

merupakan enzim yang mampu menghancurkan dinding bakteri.

Saliva juga mempunyai enzim lisozim ini untuk menghancurkan

bakteri. Mukosa berperan dalam hal mencegah invasi mikroba ke

epitel dan jaringan sekitar bahkan sistemik. Bakteri mikroba yang

terperangkap dalam mukosa akan dikeluarkan melalui silia dari epitel

dalam bentuk batuk (pada saluran pernapasan) atau dengan aliran

urine (pada saluran genitourinaria).1

Faktor pertahanan pertama selanjutnya adalah faktor kimia. Yang

termasuk di dalamnya adalah Sebum, lisozim dan pH. Lisozim telah

dijelaskan di atas. Cairan sebum mengandung asam lemak tak jenuh

yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. pH juga

berperan dalam imunitas karena kebanyakan mikroba tidak tahan

terhadap asam contohnya asam lambung (pH 1.2 - 3.0). Faktor yang

terakhir adalah flora normal, sebenarnya pada tubuh manusia terdapat

banyak mikroba normal yang membantu fungsi fisiologis manusia.

Contoh mikroba normal adalah E. coli pada colon yang berperan

dalam pembusukan sisa makanan. Peran mikroba normal (flora

normal) dalam imunitas adalah, dalam hal kompetisi nutrisi dengan

mikroba patogen. Flora normal akan beerkompetisi dalam perolehan

nutrisi dengan bakteri patogen. Flora normal juga mengeluarkan zat

metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen.1

b. Pertahanan kedua1

Pertahanan kedua ini meliputi fagosit, inflamasi demam dan

substansi antimikroba.

Page 9: LAPORAN P1

a) Fagosit

Fagosit adalah sel yang mengeliminasi mikroba dengan cara

'memakan' mikroba tersebut secara endositosis, mikroba tersebut

terperangkap dalam fagosom, setelah itu fagosom berfusi dengan

lisosom membentuk fagolisosom kemudian enzim-enzim dari lisosom

akan menghancurkan mikroba tersebut.1

Fagosit berarti sel yang dapat memakan atau menelan material

padat. Sel imun ini menelan pathogen atau partikel secara fagositosis.

Untuk menelan partikel atau patogen, fagosit memperluas bagian

membran plasma, membungkus membran di sekeliling partikel hingga

terbungkus. Sekali berada di dalam sel, patogen yang menginvasi

disimpan di dalam endosom yang lalu bersatu dengan lisosom.

Lisosom mengandung enzim dan asam yang membunuh dan mencerna

partikel atau organisme. Fagosit umumnya berkeliling dalam tubuh

untuk mencari patogen, namun mereka juga bereaksi terhadap sinyal

molekuler terspesialisasi yang diproduksi oleh sel lain, disebut

sitokin. Sitokin adalah polipeptida yang memiliki fungsi penting

dalam regulasi semua fungsi sistem imun. Sitokin berperan dalam

menentukan respon imun alamiah dengan cara mengatur atau

mengontrol perkembangan, differensiasi, aktifasi, lalulintas sel imun,

dan lokasi sel imun dalam organ limfoid. Sitokin merupakan suatu

kelompok“messenger intrasel” yang berperan dalam proses inflamasi

melalui aktifasi sel imun inang. Sitokin Juga memainkan peran

penting dalam atraksi leukosit dengan menginduksi produksi kemokin,

yang kita kenal sebagai mediator poten untuk inflamasi sel. Sitokin

dan kemokin menghasilkan hubungan kompleks yang dapat

mengaktifkan atau menekan respon inflamasi. Beberapa sel fagosit

bisa menjadi sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell /

APC).Yang termasuk sel fagosit adalah makrofag, sel dendrit,

neutrofil.1

a) Makrofag

Page 10: LAPORAN P1

Makrofag adalah leukosit fagositik yang besar, yang

mampu bergerak hingga keluar system vaskuler dengan

menyebrang membran sel dari pembuluh kapiler dan memasuki

area antara sel yang sedang diincar oleh patogen. Di jaringan,

makrofaga organ-spesifik terdiferensiasi dari sel fagositik yang ada

di darah yang disebut monosit. Makrofaga adalah fagosit yang

paling efisien, dan bisa mencerna sejumlah besar bakteri atau sel

lainnya. Pengikatan molekul bakteri ke reseptor permukaan

makrofaga memicu proses penelanan dan penghancuran bakteri

melalui "serangan respiratori", menyebabkan pele-pasan bahan

oksigen reaktif. Patogen juga menstimulasi makrofaga untuk

menghasilkan kemokin, yang memanggil sel fagosit lain di sekitar

wilayah ter-infeksi.1

b) Neutrofil.

Neutrofil bersama dengan dua tipe sel lainnya: eosinofil

dan basofil dikenal dengan nama granulosit karena keberadaan

granula di sitoplasma mereka, atau disebut juga dengan

polymorphonuclear karena bentuk inti sel mereka yang aneh.

Granula neutrofil mengandung berbagai macam substansi beracun

yang mampu membunuh atau menghalangi pertumbuhan bakteri

dan jamur. Mirip dengan makrofag, neutrofil menyerang patogen

dengan serangan respiratori. Zat utama yang dihasilkan neutrofil

untuk melakukan serangan respiratori adalah bahan pengoksidasi

kuat, termasuk hidrogen peroksida, oksigen radikal bebas,

dan hipoklorit. Neutrofil adalah tipe fagosit yang berjumlah cukup

banyak, umumnya mencapai 50-60% total leukosit yang

bersirkulasi, dan biasanya menjadi sel yang pertama hadir ketika

terjadi infeksi di suatu tempat. Sumsum tulang normal dewasa

memproduksi setidaknya 100 miliar neutrofil sehari, dan

meningkat menjadi sepuluh kali lipatnya juga terjadi inflamasi

akut.1

Page 11: LAPORAN P1

c) Sel dendritik

Sel dendritik adalah sel fagositik yang terdapat pada

jaringan yang terhubung dengan lingkungan eksternal, utamanya

adalah kulit (umum disebut sel Langerhans) dan lapisan mukosa

dalam dari hidung, paru-paru, dan usus. Mereka dinamai sel

dendritik karena dendrit neuronal mereka, namun mereka tidak

berhubungan dengan sistem syaraf. Sel dendritik sangat penting

dalam proses kehadiran antigen dan bekerja sebagai perantara

antara sistem imun turunan dan sistem imun adaptif.1

2.1.3. Komponen dan Organ yang Terlibat

a. Leukosit

- Neutrofil adalah spesialis fagositik yang memiliki mobilitas tinggi serta

mampu menelan dan menghancurkan bahan yang tidak diinginkan.

- Eosinofil mengeluarkan bahan-bahan kimia yang menghancurkan

cacing parasitik dan berperan dalam reaksi alergik.

- Basofil mengeluarkan histamin dan heparin serta juga berperan dalam

reaksi alergik.

- Monosit berubah menjadi makrofag, yaitu spesialis fagositik besar yang

berada di jaringan.

- Limfosit terdiri dari dua tipe: Limfosit B (sel B) berubah menjadi sel

plasma, yang mengeluarkan antibodi yang secara tidak langsung

menyebabkan destruksi benda asing (imunitas yang diperantarai oleh

antibodi, imunitas humoral); Limfosit T (sel T) secara langsung

menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan sel mutan dengan

mengeluarkan bahan-bahan kimia yang melubangi sel korban (imunitas

yang diperantarai oleh sel, imunitas selular).2

b. Jaringan Limfoid

Jaringan limfoid secara kolektif adalah jaringan yang

memproduksi, menyimpan, atau memproses limfosit. Jaringan-jaringan

ini mencakup sumsum tulang, kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil,

Page 12: LAPORAN P1

adenoid, apendiks, dan agregat jaringan limfoid di lapisan dalam

saluran cerna yang dinamai bercak Peyer atau gut-associated lymphoid

tissue (GALT, jaringan limfoit terkait usus). Jaringan limfoid berada di

tempat-tempat strategis untuk menghambat masuknya mikroorganisme

sebelum mikroorganisme tersebut memiliki kesempatan untuk

menyebar jauh. Sebagai contoh, limfosit yang menempati tonsil dan

adenoid berada di tempat yang menguntungkan untuk berespons

terhadap mikroba yang terhirup, semenrara mikroorganisme yang

masuk melalui saluran cerna segera dihadapi oleh limfosit di apendiks

dan GALT. Patogen potensial yang memperoleh akses ke limfe disaring

melalui kelenjar limfe (limfonodus), tempat patogen-patogen tersebut

terpajan ke limfosit serta makrofag yang berada di lapisan dalam

saluran limfe. Limpa, jaringan limfoid terbesar, melakukan fungsi imun

pada darah serupa dengan yang dilakukan oleh kelenjar limfe pada

limfe. Melalui kerja populasi limfosit dan makrofagnya, limpa

membersihkan darah yang melaiuinya dari mikroorganisme dan benda

asing lain serta menyingkirkan sei-sel darah merah yang telah aus.

Timus dan sumsum tulang masing-masing berperan penting dalam

memproses limfosit T dan B, untuk mempersiapkan keduanya

melaksanakan strategi imun spesifik.2

2.1.4. Fungsi Sistem Imun

a. Mempertahankan tubuh dari patogen invasif (mikroorganisme

penyebab penyakit misalnya bakteri dan virus).

b. Menyingkirkan sel yang "aus" dan jaringan yang rusak oleh trauma atau

penyakit, memudahkan jalan untuk penyembuhan luka dan perbaikan

jaringan.

c. Mengenali dan menghancurkan sel abnormal atau mutan yang berasal

dari tubuh. Fungsi ini, yang dinamai immune surveillance, merupakan

mekanisme pertahanan internal utama terhadap kanker.

Page 13: LAPORAN P1

d. Melakukan respons imun yang tidak pada tempatnya yang

menyebabkan alergi, yang terjadi ketika tubuh melawan entitas kimiawi

lingkungan yang normalnya tidak berbahaya, atau menyebabkan

penyakit otoimun, yang terjadi ketika sistem pertahanan secara salah

menghasilkan antibodi terhadap tipe tertentu sel tubuh sendiri.2

2.2 Hipersensitivitas

Gambar 2. Macam-macam Hipersensitivitas

2.2.1. Hipersensitivitas Tipe I

Hipersensitivitas tipe 1 merupakan suatu respons jaringan yang terjadi

secara cepat (secarakhusus hanya dalam bilangan menit) stelah terjadi interaksi

antaraalergen dengan antibodyIgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan

sel mast dan basofil pada pejamu yangtersensitisasi. Bergantung pada jalan

masuknya, hipersensitivitas tipe 1 dapat terjadi sebagaireaksi local yang benar-

benar mengganggu (misalnya rhinitis alergi) atau sangat melemahkan(asma) atau

Page 14: LAPORAN P1

dapat berpuncak pada suatu gangguan sistemik yang fatal (anafilaksis).Urutan

kejadian reaksi hipersensitivitas tipe 1 adalah sebagai berikut:3

a. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi

diikatnya oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada permukaan sel mast dan

basofil

b. Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan

antigen yang spesifik dan sel mastmelepas isinya yang berisikan

granul yang menimbulkan reaksi.

c. Fase efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)

sebagai efek mediator-mediatoryang dilepas sel mast dengan aktivitas

farmakologik Banyak reaksi tipe 1 yang terlokalisasi mempunyai dua

tahap yang dapat ditentukan secara jelas:

Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang dapat

ditentukan secara jelas; 1) Respon awal, diatandai dengan vasodilatasi, kebocoran

vascular, dan spesme ototpolos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5

hingga 30 menit stelah terpajanoleh allergen dan menghilang setelah 60 menit. 2)

Reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung

selamabeberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil

serta selradang akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga

ditandaidengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel

mukosa.3

1. Mediator Primer

Setelah pemicuan IgE, mediator primer (praformasi) di dalam granula sel

mast dilepaskanuntuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1.

Histamin, yang merupakanmediator praformasi terpenting, menyebabkan

meningkatnya permeabilitas vascular,vasodilatasi, bronkokonstriksi,

dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segeradilepaskan meliputi

adenosine (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasitrombosit)

serta factor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain

ditemukandalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral

(misalnya triptase). Proteasemenghasilkan kinin dan memecah komponen

Page 15: LAPORAN P1

komplemen untuk menghasilkan factorkemotaksis dan inflamasi tambahan

(misalnya), C3a).3

2. Mediator Sekunder

Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa : mediator lipid dan sitokin.

Mediator lipiddihasilkan melalui aktivasi fosfolipase A2, yang memecah fosolipid

membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya,

asam arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan

prostaglandin.3

a. Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipooksigenase pada precursor asam

arakhidonatdan sangat penting dalam pathogenesis hipersensitivitas tipe 1.

Leukotrien tipe C4 dan D4 merupakan vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal

paling poten; pada dasarmolar, agen ini ada beberapa ribu kali lebih aktif

daripada histamin dalammeningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam

menyebabkan kontraksi otot polosbronkus. Leukotrien B4sangat

kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil dan monosit. 

b. Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh

jalursiklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan

bronkospasme hebat sertameningkatkan sekresi mucus.

c. Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain,

mengakibatkanagregasi trombosit, pelepasan histamin, dan

bronkospasme. Mediator ini juga bersifatkemotaktik untuk neutrofil dan

eosinofil. Meskipun produksinya diawali oleh aktivasifosfolipase A2,

mediator ini bukan produk metabolism asam arakhidonat.

d. Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5, dan IL-6)

dan kemokinberperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe 1

melalui kemampuannya merekrutdan mengaktivasi berbagai macam sel

radang. TNF merupakan mediator yang sangatpoten dalam adhesi,

emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktorpertumbuhan

sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.3

Page 16: LAPORAN P1

2.2.2. Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk

melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya.

Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan antibodi yangdiikuti salah

satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:3

1. Respon yang bergantung komplemen

Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua

mekanisme: lisis langsung dan opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai

komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan

fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui

kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan

fragmen komplemen C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel

darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini,

meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat

menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang

diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan sebagai berikut:3

a. Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak

suai dirusak setelah diikat oleh antibodi resipien yang diarahkan

untuk melawan antigen darah donor.

b. Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus;

antigen materal yang melawan Rh pada seorang ibu Rh-negatif.

Page 17: LAPORAN P1

yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan

kerusakan sel darah merahnya sendiri.

c. Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia

yang disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan oleh seorang

individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya

sendiri.

d. Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau

metabolitnya)byang secara nonspesifik diadsorpsi pada permukaan

sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah

pemberian penisilin).

e. Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein

desmosom yang menyebabkan terlepasnya taut antarsel epidermis.3

2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi

Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui

jenis sel yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang

diselubungi oleh antibodi dilisis tanpa difagositosis ataupun fiksasi

komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam leukosit, termasuk

neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipn secara khusus ADCC

diperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya, pembunuhan

parasit yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.3

Page 18: LAPORAN P1

3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor

permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel

atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap

reseptor asetilkolin dalm motor end-plate otot-otot rangka mengganggu

transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat

merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor 3

1. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibodi

Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor

permukaan sel merusak atau mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas

sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis, antibodi terhadap

reseptor asetilkolin dalm motor end-plate otot-otot rangka mengganggu

transmisi neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat

merangsang fungsi otot. Pada penyakit Graves, antibodi terhadap reseptor

hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan menyebabkan

hipertiroidisme.3

Page 19: LAPORAN P1

2.2.3. Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-

nntibodi (imun), diikuti dengan aktivasi komplemen dan akumulasi leukosit

polimorfonuklear. Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti

bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Penting untuk diperhatikan

bahwa pembentukan kompleks imun semata tidak sama dengan hipersensitivitas

tipe III; kompleks antigen- antibodi terbentuk selama berlangsungnya berbagai

respons imun dan menunjnkkan mekanisme pembersihan antigen yang normal.

Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap

dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen

tersebnt tertanam (kompleks imun in situ).3

Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut

terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ, atau terlokalisasi

pada organ tertentu (rnisalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut

terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola

distribusi, mekanisme terjadinya jejas jaringan adalah sama; namrln, urutan

kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda

dan akan dibahas secara terpisah.3

Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut

eritrosit ke hati, limpa dan disana dimusnahkan oleh sel faosit mononuklear,

terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya

kompleks yang besar dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam

hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkanm karena itu dapat lebih

lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan

salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun

kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu lama, biasanya tidak

berbahaya. Permasalahan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di

jaringan.1

Contoh reaksi hipersensitivitas tipe III

1. Reaksi Arthus

Page 20: LAPORAN P1

Merupakan reaksi kompleks imun yang dikemukakan oleh arthus dimana

pajanan antigen berulang menyebabkan manifestasi klinis yang lebih parah dari

sebelumnya. Pada uji ini diberikan suntikan serum kuda transdermal kepada

kelinci di tempat yang sama, mula-mula hanya terjadi eritem ringan dan edema

dalam 2-4 kjam setelah suntikan dan menghilang keesokan harinya. Kemudian

setelah suntikan ke 5-6 timbul edema lebih besar dan nekrosis yang sulit sembuh.

Pada pemeriksaan mikroskopis ditemukan netrofil menempel pada endotel

vaskular dam bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. reaksi

arthus di klinik dapat berupa vaskulitis.1

2. Reaksi serum sickness

Antigen dalam jumlah besar yang masuk ke dalam sirkulasi darah dapat

membentuk kompleks imun. Bila antigen lebih dominan dibandng antibodi,

kompleks yang dibentuk adalah lebih kecil yang tidak mudah dibersihkan fagosit

sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Antibodi yang berperan IgM

atau IgG, akan memacu komplemen (C3a, C5a) yang memicu sel mast

mengeluarkan histamin. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di

tempat-tempat dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai perputaran arus

seperti dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan

korpus silier mata.1

2.2.4. Hipersensitivitas Tipe IV

Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas

sitokkin bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan

respon inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas tipe lambat.

Hipersensitivitas tipe IV dibagi menjadi 2 tipe yaitu Delayed Type

Hipersensitivity Tipe IV. Delayed Type Hipersensitivity Tipe IV merupakan

hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi akibat adanya bahan yang tidak

dapat disingkirkan dari rongga tubuh. Ada beberapa fase sensitisasi yang

membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Dalam

fase itu, Th diaktifkan oleh APC oleh MHC-II. Kemudian dibawa ke kelenjar

limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T. Sel T yang diaktifkan pada

Page 21: LAPORAN P1

umumnya adalah sel CD4+ terutama Th1, sedangkan pada beberapa hal CD8+

dapat juga diaktifkan.1

Contoh Delayed Type Hipersensitivity Tipe IV

1. Dermatitis kontak

Dermatitis kontak adalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak

dengan bahan tidak berbahaya yang timbul akibat pengaktifan sel Th1.

2. Hipersensitivitas tuberkulin

Hipersensitivitas tuberkulin adalah bentuk alergi bakterial spesifik

terhadap produk filtrat biakan M. Tuberkulosis yang bila disuntikkan ke kulit akan

menimbulkan reaksi lambat tipe IV. Dalam reaksi ini yang berperan adalah sel T

CD4+.

3. Reaksi Jones Mote

Disebut juga hipersensitivitas basofil kutan. Dibanding yang lain, reaksi

ini lemah dan tampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah

kecil. Tidak terjadi nekrosis dan reaksi dapat diinduksi dengan suntikan antigen

larut seperti ovalbumin dengan ajuvan Freund.

4. T cell mediated cytolysis

Kerusakan terjadi melalui CD8+/CTL/Tc yang langsung membunuh sel

sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas

kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus

hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respon

CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi.1

2.3 Alergi dan Atopi

Alergen adalah bahan yang dapat menginduksi respons antibodi igE.

Alergi adalah respon antibodi terhadap alergen. Atopi adalah kecenderungan

genetik dalam keluarga untuk terjadinya hipersensitivitas kulit dan membran

mukosa terhadap bahan dalam lingkungan yang disertai dengan peningkatan

produksi IgE dan atau perubahan reaktivitas nonspesifik, yang menimbulkan

penyakit alergi seperti rinokonjungtivitis, AB, dan DA.4

Page 22: LAPORAN P1

2.4 Rhinitis Alergi

2.4.1. Definisi

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh

reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan

alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi

paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). 5

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)

tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,

rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang

diperantarai oleh IgE. 5

Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan

kualitas hidup. Hal ini diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan,

gangguan dalam belajar maupun bekerja. Rhinitis alergi juga sering

berhubungan dengan komorbiditas lain, seperti asthma, konjungtivitis dan

rhinosinusitis.6

2.4.2. Etiologi

Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi

dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan.

Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30% semua populasi

dan pada 10 – 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi,

maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran

lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh

lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah

memiliki kecenderungan alergi.5

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang

masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran

serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain.5

2.4.3. Epidemiologi

Page 23: LAPORAN P1

Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua

penyakit atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rhinitis alergi

telah menjadi problem kesehatan global, mempengaruhi 10% sampai lebih

dari 40% seluruh penduduk dunia. Rhinitis alergi juga telah menjadi 1 dari

10 alasan utama pasien datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa

menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati

diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak

terhitung pada survey resmi.7

2.4.4. Patofisiologi

Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan

dari "non-self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem

kekebalan tubuh melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang

disebut sitokin yang bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh

untuk mempengaruhi sistem tersebut dan juga beraneka ragam

mediator. Gell dan Coombs menggambarkan empat jenis reaksi

hipersensitivitas: langsung, sitotoksik, komplek imun, dan tertunda. Lainnya

menyarankan penambahan dua jenis lagi (rangsangan antibodi dan antibodi-

dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis alergi melibatkan

terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena berbagai

terapi modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi

dokter untuk memiliki pemahaman umum tentang hal tersebut.8

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali

dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi

terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi

fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1

jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat

(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase

hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. 5

Page 24: LAPORAN P1

Gambar 3. Reaksi Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag

atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting

Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa

hidung. 5

Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida

dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida

MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian

dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan

melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0

untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan

berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 5

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel

limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi

imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan

diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel

mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi

yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang

sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan

mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

Page 25: LAPORAN P1

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah

terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),

Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet

Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF

(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah

yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 5

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin

juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami

hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain

histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan

pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion

Molecule 1(ICAM 1). 5

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul

kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di

jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala

akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada

RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi

seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung

serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag

Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung.

Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat

peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti

Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ),

Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase

ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat

memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan

cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 5

Page 26: LAPORAN P1

2.4.5. Manifestasi klinis

Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin

berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada

pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Keluar

ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata

gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar

(lakrimasi)5

2.4.6. Diagnosis

a. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi

dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari

anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan

bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama

pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini

merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self

cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima

kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-

kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. 5

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,

hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai

dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai

oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak

lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat

merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh

pasien.5 Gejala klinis lainnya dapat berupa ‘popping of the ears’, berdeham,

dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.7

b. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna

pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala

persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi

Page 27: LAPORAN P1

dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak

adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi

karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut

allergic shiner.5

Gambar 6. Allergic Shiner pada pasien Rhinitis Alergi

Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,

karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai

allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga

bawah, yang disebut sebagai allergic crease.5

Gambar 7. (Kiri ke Kanan) Allergic Crease dan Allergic Sallute

Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,

sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies

adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema

(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah

tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 5

Page 28: LAPORAN P1

Gambar 8. Facies Adenoid

Gambar 9. Geographic Tongue

c. Pemeriksaan Penunjang9,10,11

1) Pemeriksaan Jumlah leukosit dan hitung jenis sel

Jumlah leukosit normal pada penyakit alergi. Sel eosinofil normal

pada orang dewasa 0-450 sel/mm3. Pada penyakit alergi, eosinofilia

sering dijumpai tapi tidak spesifik dan berkisar 5-15% beberapa hari

stelah pajanan. Hal ini dapat menjadi penanda dan beratnya

hipersensitivita tersebut.

2) Sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, dan sputum

Page 29: LAPORAN P1

Eosinofil banyak dijumpai pada sekret pasien rhinitis alergi.

Namun apabila terdapat infeksi maka neutrofil lebih dominan.

3) Serum IgE total

Pemerikaan ini mulai ditinggalkan karena peningkatan serum IgE

total dapat dijumpai pula pada infeksi parasit, sirosi hati,

mononukleosis, penyakit autoimun dan lain-lain. Pemeriksaan masih

dilakukan apabila a) alergi pada anak dengan riwayat orang tua yang

juga menderita alergi, b) alergi pada anak dengan bronkiolitis c)

membedakan asma dan rhinitis alergi dengan non alergi d)

membedakan dermatitis atopi dengan lainnya dan e) diagnosis

aspergilosis bronkopulmoner alergik. Pada rhinitis alergi, terjadi

peningkatan serum IgE.

4) IgE spesifik

Pengukuran ini dilakukan pada pasien dengan penyakit kulit yang

luas, tidak dapat, menghentikan pengobatan dan kasus alergi berat

sehingga menghalangi tes kulit. IgE diukus secara in voitro dengan

teknik RAST (Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA ( Enzym

Linked Immuno Sorbent Spesifik). Rasio ikatan dan tidak terikat IgE ≥

2 menggambarkan respon spesifik terhadapa alergen. Namun, tes ini

kurang sensitif (tapi lebih spesifik) dibanding tes kulit dan hasilnya

tidak langsung diketahui.

5) Pemeriksaan Komplemen

Pada kasus angioderma berulang tanpa urtikaria dilakukan

pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen.

6) Tes Tusuk Kulit (Prick Test)

Sebelum melakuana tesi ini, pasien harus menghentikan konsumsi

obata seperti antihistamin (generasi I minimal 72 jam dan generasi II

minimal 1 minggu sebelum tes) dan koertikosteroid (dosis kecil seperti

prednisone < 20 mg dihentikan 3 hari sedangkan dosis tinggi 1

minggu). Sedangkan teofilin, obat dimpatomimetik dan nedocromil

tidak perlu dilarang karena tidak memengaruhi hasil tes. Tes boleh

Page 30: LAPORAN P1

dilakukan berusia > 2 tahun. Kontraindikasi absolut dari tes ini adlaah

lesi luas pada kulit, kooporasi pasien buruk, pasien tidak bisa

menghentikan pengobatan yang dapat menganggu hasil. Sedangkan

kontraindikasi relatif berupa asma perisisten dan instabil, anafilaksis,

kehamilan dan penggunaan obat-obatan seperti antihistamin,

antidepresan trisiklis dan beta blocker.

Bagian volar lengan bawah, lengan atas, atau punggung

dibersihkan dengan alkohol. Ketika kering, dibuat garis denga jarak 2-3

cm. Lalu, degna jarum disposibel ukuran 26, dilakukan tususkan

dengan ujung jarum pada daerah yang sudah diteteskan kontrol negatif

(larutan posphate buffered saline dengan fenol o,4 % atau komtrol

positif (laritan histmain fofat 0,1 %), setiap penusukan, dilakukan

dengan jarum yang baru. Seperti bisa lebah atau penisilin. Akan tetapi,

tes intradermal tidak digunkan untuk alergi makanan karena hasil

positif palsu yang tinggi dan risiko tinggi terjadinya reaksi alergi yang

parah. Sedangkan scratch test sudah jarang dilakukan karea hasilnya

yang inkonsisten.

Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diamter

bentol dan eritema. Positif apabila diamete satu bentol 3 mm lebih

besar daripada kontrol negatif. 3 Adapun intrepretasi hasil tes :

Hasil negatif : sama dengan kontrol negatif

Hasil + 1: 25 % dari kontrol positif

Hasil + 2: 50 % dari kontrol positif

Hasil + 3: 100 % dari kontrol positif

Hasil + 4: 200% dari kontrol positif

Page 31: LAPORAN P1

7) Tes tempel ( Patch test)

Biasa digunakan pada dermatitis kontak degan menempelkan bahan

pada kertas saring yang diletakkan di atas kertas impermeabel.

Selanjutnya ditempel pada kulit punggung dengan plester. Bahan

yang digunakan adalah benzokain, merkotop benzotiazol, kolofoni,

lanolin, alkohol, dan lain-lain. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam

dan diulangi 96 jam sesudah pemasangan agar hasil lebih jelas

terlihat. Adapun interpretasi hasil tes :

0 = tidak ada reaksi

+/- = eritema ringan,meragukan

+1 = reaksi ringan (eritema dengan eritema ringan)

+2 = reaksi kuat (papular eritema dengan edema)

+3 = reaksi sangat kuat (vesikel atau bula)

2.4.7. Komplikasi

a. Polip hidung.

Page 32: LAPORAN P1

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah

satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip

hidung.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal.

2.4.8. Tatalaksana

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak

denganv allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 5

Medikamentosa

a. Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang

bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan

merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini

pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi

atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. 5,7

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1

bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak

(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek

kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah

difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang

dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2

bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat

selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek

antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-

sedatif). 5,7

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta

efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.

Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut

keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang

Page 33: LAPORAN P1

mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut

disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan

aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah

ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin,

fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin. 5

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai

sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh

untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis

medikamentosa. 5

Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin

Page 34: LAPORAN P1

b. Dekongestan

Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik.

Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun

dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka

waktu lama.7

Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah

pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat

menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg

untuk anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk

dewasa, diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang

paling sering adalah insomnia dan iritabilitas. 7

c. Antikolinergik

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,

bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor

kolinergik pada permukaan sel efektor. 5

d. Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan

hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.

Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason,

budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon).

Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit

pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protei n sitotoksik dari

eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal

ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan

allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium

kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin

menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada

respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan

menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik

dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 5

e. Lainnya

Page 35: LAPORAN P1

Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien

(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 5

Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka

inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty

perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil

dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor

asetat5

Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala

yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain

tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah

pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode

imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual. 5

2.5 Bagaimana hipersensitivitas dapat menyebabkan penyempitan pada

bronkus dan gatal pada kulit?

Pada reaksi tipe ini, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan

respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi,

asma dan dermatitis atopi. Pada reaksi tipe ini terjadi ikatan silang oleh

reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast/basofil. Sel mast

mengandung banyak mediator primer primer atau performed antara lain

histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat

memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT

dan PG.1

Histamin merupakan 10% dari berat granul, juga merupakan mediator

primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya. Sedangkan mediator lain,

LT dan PG dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat serta berbagai sitokin

yang berperan dalam fase lambat hipersensitivitas tipe I. Fase lambat sering

Page 36: LAPORAN P1

timbul setelah fase cepat hilang yaitu sekitar 6-8 jam. PG dan LT merupakan

mediator sekunder yang kemudian dibentuk dari metabolime asam arakidonat

atas pengaruh fosfolipase A2. Efek biologisnya timbul lebih lambat, namun

lebih menonjol dan berlangsung lebih lama dibanding dengan histamin. LT

berperan dalam bronkokonsstriksi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan

produksi mukus. PGE2 menimbulkan bronkokonstriksi.1

Dalam reaksi ini juga terjadi pelepasan sitokin oleh sel mast dan basofil

seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IL-13, GM-CSF dan TNF-α. IL-4 dan IL-

13 meningkatkan produksi IgE oleh sel B. IL-5 berperan dalam pengerahan

dan aktivasi eosinofil. Kadar TNF-α yang tinggi berperan dalam renjatan

anafilaksis.1

2.6 Obat Hirup

Terapi inhalasi dapat diartikan sebagai suatu pengobatan yang ditujukan

untuk mengembalikan perubahan-perubahan patofisiologi pertukaran gas

sistem kardiopulmoner ke arah yang normal, seperti dengan menggunakan

respirator atau alat penghasil aerosol.14

Karena terapi inhalasi obat dapat langsung pada sasaran dan absorpsinya

terjadi secara cepat dibanding cara sistemik, maka penggunaan terapi inhalasi

sangat bermanfaat pada keadaan serangan yang membutuhkan pengobatan

segera dan untuk menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkannya.

Biasanya terapi inhalasi ditujukan untuk mengatasi bronkospasme, meng-

encerkan sputum, menurunkan hipereaktiviti bronkus, serta mengatasi infeksi.

Terapi inhalasi ini baik digunakan pada terapi jangka panjang untuk

menghindari efek samping sistemik yang ditimbulkan obat, terutama

penggunaan kortikosteroid.13

Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma,

penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), sindrom obstruktif post tuberkulosis,

fibrosis kistik, bronkiektasis, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang

kental dan lengket.13

Page 37: LAPORAN P1

Penggunaannya terbatas hanya untuk obat-obat yang berbentuk gas atau

cairan yang mudah menguap dan obat lain yang berbentuk aerosol.11

2.7 Tatalaksana Pada Kasus

Terapi utama pada kasus sebenarnya berupa edukasi. Edukasi pada pasien

bahwa penyakitnya tidak bisa di sembuhkan, namun hanyal lebih pada

pencegahan. Untuk pada kasus ini dapat kita berikan antihistamin antagonis

H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 dan dapat pula

dikombinasikan dengan dekongestan.

2.8 Pencegahan

Pada dasarnya penyakit alergi dapat dieegah dan dibagi menjadi 3 tahap,

yaitu:

1) Pencegahan primer untuk meneegah sensitisasi atau proses pengenalan dini

terhadap allergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang

mempunyai risiko atopi' Pada ibu hamil diberikan diet retriksi ( tanpa susu,

telur, ikan laut dan kacang ) mulai trimester III dan selama menyusui. dan bayi

mendapat ASI eksklusif

selama 5 - 6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilalarkan untuk mencegah

pajanan

terhadap allergen dan polutan.

2) Pencegahan sekunder untuk meneegah manifestasi klinis alergi pada anak

berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi

tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan

penghindaran terhadap pajanan allergen inhalan dan makanan yang dapat

diketahui dengan uji kulit.

3) Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat

beratnyapenyakit alergi dengan penghindaran allergen dan pengobatan.15,18

1. Penghindaran alergen. Cara ini berfujuan mencegah terjadinya kontak

antara alergen dengan IgE spesifik yang terdapat dipermukaan sel mast atau

basofil sehingga degranulasi tidak terjadi dan gejala dapat dihindarkan.

Perjalanan dan beratnya penyakit berhubungan dengan konsentrasi alergen di

Page 38: LAPORAN P1

lingkungan.19 Walaupun konsep pengobatan ini sangat rasional, namun dalam

praktek adalah sangat sulit dilakukan. Di negara tropis, alergen utamanya

adalah debu rumah dan serpihan kulit serangga/ tungau antara lain

Dermatophagoides pteronysinus dan farinae yang hidup pada debu rumah,

karpet, kasur, kapuk, selimut, tumpukan pakaian dan buku lama. Disamping

itu terdapat partikel alergen lain yang menempel pada debu rumah misalnya

kotoran kecoa, selpihan bulu kucing dan anjing yang juga berperan

aktif.15,16,17,19,20 Jamur yang terdapat dalam rumah sepelti jenis Aspergillus den

Penicillium seing ditemukan pada daerah yang lembab seperti kamar mandi,

dapur, gudang, serta atap yang bocor.16

2. Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan menjaga

kebersihan rumah. Menghindari penggunaan karpet, memperbaiki ventilasi

dan kelembaban udara. Edukasi terhadap penderita perlu diberikan secara

teratur mengenai penyakit, penatalaksanaan, kepatuhan dalam berobat baik

secara lisan maupun pertanyaan.19

Untuk mengurangi populasi tungau dan paparan terhadap alergen, terdapat

beberapa cara yang harus dilakukan yaitu

1. Tidak menggunakan karpet. kapuk dan menyingkirkan mainan berbuludari

kamar tidur.

2. mencuci selimut, bed cover, sprei, sanmg bantal dan guling serta kain

kordin pada suhu 600 C.

3 Melapisi kasur, bantal dan guling dari bahan yang impermeabel/anti tembus

tungau

4. Menggunakan perabot yang mudah dibersihkan seperti dari kayu, plastik

atau logam dan hindari sofa dari kain.

5. Pembersihan yang sering dan teratur dengan penghisap debu atau dengan

lap basah.

6. Hindari binatang peliharaan15,16,19,20

Page 39: LAPORAN P1

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Iwan 6 tahun mengalami rhinitis alergi yang merupakan hipersensitivitas

tipe I karena faktor genetik dan lingkungan.

Page 40: LAPORAN P1

Daftar Pustaka

1. Baratawidjaja, Karnen Garna. Imunologi Dasar edisi 10. Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 2012.

2. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia, dari Sel ke Sistem. Edisi 6.

Jakarta: EGC, 2011. Hal 447-50.

3. Mitchell, Richard N. dan Vinay Kumar. Penyakit Imunitas. Dalam:

Kumar, V; Cotran, R.Z; Robbins, S.L. (editor). Robbins Buku Ajar

Patologi. Volume 21. Edisi 7. Jakarta: EGC, 2007. h 123-31.

4. Baratawidjaja, Karnen Garna. Rengganis, Iris. Alergi Dasar. Edisi 1.

Jakarta: Interna Publishing, 2009. h 8-11.

5. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi

ke Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

6. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the

Treatnement of Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di:

http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 16 Maret 2015.

7. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug

therapy. 1991. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8

Januari 2011.

8. Bergström SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010. Tersedia di:

http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?

topicKey=~CDUFGoQw81hSwmU. Diunduh pada 16 Maret 2015.

9. Douglass JA, O’Hehir RE. Treatment And Prevention Of Allergic

Disease . USA: Med J Aust, 2006

Page 41: LAPORAN P1

10. Fauci, A.S., et al. Allergies, Anaphylaxis, And Systemic Mastocytosis;

introduction. In harrison’s Principle Internal Medicine, 17 th ed. USA :

The McGraw-Hill Conpanies, 2008

11. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I Edisi 5. Jakarta :

Interna Publishing, 2010.

12. Setiawati A, Zunilda SB, Suyatna FD. Pengantar Farmakologi. Dalam: Ganiswara SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi, Ed. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta. 1995; 6.

13. Rasmin M, Rogayah R, Wihastuti R, Fordiastiko, Zubaedah, Elsina S. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan–Diagnostik dan Terapi. Bagian Pulmonologi FKUI. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001; 59-64.

14. Bia FJ, Brady JP, Brady LW, et al. Kamus Kedokteran Dorlan. Alih Bahasa: Harjono RM, Hartono A, Japaries W, et al. Harjono RM, Oswari J, Ronardy DH, et al, Ed. EGC. Jakarta. 1994; 1910.

15. Bousquet J. cauwenberge P. Khaltaev N, Bachert c, Durham sR, Lund v, Mygind N dkk. wHo Initiative Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma ( ARLA) 2000: t-132

16. Carren J. Allergic Rhinitis : Treating The Adult J. Allergy clin. Immunol. 2000:105;S 610-5.

17. Cauwenberge PV, Bachert C, Passlacqua GJ, Durham SR, Mygind N, Scadding GK, wang DY. The Impact of Allergic Rhinitis. Executive Summary. Allergy 1998:53;7 -31.

18. Akib MP. Perjalanan alamiah Penyakit Alergi dan Up2ya pencegahannya. Dalam : Akib MP, Tumbelaka AR, Matondang cs. ( Editor ). pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi - Infeksi. Naskah Lengkap pKB IKA\ XLIV Jakarta. Balai Penerbit FKUI 2001 :t t7 - 29.

19. Cauwenberge PV, Bachert C, Passalaqua GJ, Durham SR, Mygind N, scadding GK. consensus statement en The Treatment of Allergic Rhinitis. Allergy 2000:55;1t6-34.

20. sumarman I. strategi Rasional pengelolaan Rinitis Alergi perenial. Ditinjau dari Aspek Mediator Sitokin dan Molekul Adhesi. symposium Allergi and Quality of Life, Their clinical Implication in The 2l st 28 Century. Jakarta 2000: l-21.


Top Related