Download - LAPORAN KASUS KEMATIAN
LAPORAN KASUS KEMATIAN
Seorang Laki-Laki usia 49 th dengan SNH, CKD &
SEPSIS
Untuk memenuhi salah satu tugas Komprehensif
di Rumah Sakit Muhammadiyah Roemani Semarang
Pembimbing :
dr. Menik Hendrawati
Disusun oleh :
Kurniawati Khusnul Khotimah
H2A009027
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2014
1
LEMBAR PENGESAHAN
2
STATUS PASIEN
I. Identitas Penderita
Nama : Tn. MM
Umur : 49 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Swasta
Alamat : purwokerto Rt 01 Rw 01, Brongsong, Kendal
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 31/01/2015
Tanggal Keluar Rumah Sakit : 31/01/2015
No CM : 372746
II. SUBYEKTIF
Anamnesis (alloanamnesa dengan istri pasien)
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
RPS :
Pada tangal 31/1/2015 pukul 10.00 WIB pasien dating ke IGD dengan
keluhan penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu, pasien juga mengorok,
tidak dapat diajak komunikasi sejak bangun tidur tadi malam, pasien hanya
terdiam, bila ditanya tidak menjawab, batuk sejak 2 hari yang lalu, pasien
menggigil yang dikeluhkan semenjak habis cuci darah dari kamis, mual (+),
muntah (+), namun tidak nyemprot, demam (-), Pasien disarankan oleh dokter
untuk dirawat diruang ICU dan keluarga menyetujui.
2. Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat diabetes mellitus (+)
- Riwayat stroke sebelumnya (-)
- Riwayat hipertensi (+)
3
- Riwayat penyakit jantung (-)
- Riwayat CKD (+) Hemodialisa setiap hari senin, kamis (sudah 3
bulan)
3. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok (+)
- Riwayat minum alkohol (-)
- Riwayat minum jamu/ obat herbal (-)
4. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.
5. Riwayat sosial ekonomi dan pribadi
Penderita bekerja sebagai wirausaha, tinggal dirumah sendiri bersama istri
dan 3 orang anaknya.
Kesan : sosial ekonomi cukup.
III. OBYEKTIF
Kondisi saat datang ke IGD RS Roemani tanggal 31 /01/ 2015
Keadaan Umum : Lemas, Somnolen
Kesadaran : E3M4V afasia sensorik , motorik
Tanda Vital :
Tekanan darah : 80/60mmHg
Nadi : 92x/ menit (aritmia),isi tengangan cukup
Pernafasan : 26x/ menit
Suhu : 39,50 C
SpO2 : 99% NRM
1. Status Internus
Kepala : mesosefal
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-), JVP tidak
meningkat
Thorax
4
Jantung : BJ I-II dbN, ireguler, bising (-), gallop (-)
Paru : sonor, suara dasar : vesikuler, suara tambahan :
ronkhi +/+, wheezing -/-
Abdomen : supel, bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas superior : edema (-), turgor cukup, akral hangat
Ekstremitas Inferior : edema (-), turgor cukup, akral hangat
2. Status Psikikus
Cara berpikir : tidak bisa dinilai
Perasaan hati : tidak bisa dinilai
Tingkah laku : tidak bisa dinilai
Ingatan : tidak bisa dinilai
Kecerdasan : tidak bisa dinilai
3. Status Neurologis
Kesadaran : GCS : E3 M4 V afasia sensorik dn motorik
Kepala : mesosefal, simetris (+)
Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Visus ODS tidak bisa dinilai
Nervi kraniales : kesan paresis N VII sinistra
Leher : sikap lurus, pergerakan bebas, kaku kuduk (-)
Motorik Superior Inferior
Gerak : +/ +/
Kekuatan : sulit dinilai sulit dinilai
Tonus : N/N N/N
Trofi : E/E E/E
R.Fisiologis : +/+ +/+R.Patologis : -/- -/-
Klonus : - /- -/-
Sensibilitas : Sulit dinilai
Koordinasi, Gait dan Keseimbangan :
5
Cara berjalan : tidak dilakukan
Tes Romberg : tidak dilakukan
Disdiadokokinesis : tidak dilakukan
Ataksia : tidak dilakukan
Rebound phenomen : tidak dilakukan
Dismetri : tidak dilakukan
Gerakan-gerakan abnormal :
Tremor : (-)
Athetose : (-)
Mioklonik : (-)
Khorea : (-)
Pemeriksaan Penunjang
Hasil EKG tanggal 31/01/ 2015
Irama : regular
Irama jantung : sinus takikardi
6
Frekuensi : 155
Gelombang P : mengarah ke atas, terletak didepan QRS, tingginya <2,5 kotak
kecil
Interval PR : interval sama (3-5 kotak kecil)
Komplek QRS (lead I) : panjang 2x 0,4 s = 0,04 s
lebar : tinggi ; 8x 0,1 = 0,8 mV
Segmen ST : ST elevasi pada V1-V2
Gelombang T : gelombang ke atas mengikuti QRS
Axis : normal
Zona Transisi : V5
Kesan : Sinus takikardi, ………….
Hasil lab tanggal 31/01/2015
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMALHEMATOLOGI PAKETHemoglobinHematokritLeukositTrombositEritrosit
HITUNG JENISEosinofilBasofilN. SegmenLimfositMonositLaju Endap Darah
10,329,511.600462.0003,50
1277146,1-
gr%%Juta / mmkribu/mmkjuta/uL
ribu/mmk%%%%mm/jam
11,7 – 15,535 – 473600 – 11000150.000 – 440.0004,4 – 5,9
2-40-150-7025-402-80-20
KIMIA KLINIKGlukosa SewaktuUreum Kreatinin Albumin AST (SGOT)ALT (SGPT)TrigliseridKolestrolElektrolit :
KaliumNatrium
8624710,32,41159209347112
5,1129
mg/dl 80 - 110
7
Chloride Calcium Phosphor
949,65,1
IV. RESUME
Subyektif
Seorang wanita 85 tahun, dibawa ke RS Muhammadiyah Roemani dengan
keluhan utama dispneu, ± 1 jam SMRS. Pasien memiliki riwayat stroke dan
hipertensi.
Obyektif
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum : kesan sakit berat
Kesadaran : GCS : E2M4V2
Tanda Vital : Tekanan darah : 160/100mmHg
Nadi : 86x/ menit (aritmia)
Pernafasan : 26x/ menit
Suhu : 36,9º C
SpO2 : 99% NRM
Status Interna : aritmia cordis (+)
Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Nn.Kraniales : kesan paresis N VII sinistra
Motorik : Kesan lateralisasi sinistra
Sensorik : sulit dinilai
Vegetatif : terpasang DC
Hasil EKG : atrial fibrilasi
Hasil Rontgen thorax : cardiomegali, elongatio aorta, gambaran edema paru,
efusi pleura duplex (min)
V. Diagnosis
I. Hipertensi Stage II
II. Sups.CHF
III. Atrial Fibrilasi
8
IV. Hipokalemia
9
VI. RENCANA AWAL
I. Hipertensi Stage II
Dx :
- Lab : Darah Rutin, elektrolit lengkap, ureum, kreatinin, asam urat
Tx :
- Infus RL 20 tetes/menit (iv)
- O2 3 l/menit (nasal kanul)
- Amlodipin 1x10mg
Mx : TTV
Ex :
- Menjelaskan kepada keluarga penderita tentang penyakit yang diderita,
pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan dan penatalaksanaan
selanjutnya.
II. Sups. CHF
Dx : Rongen thorax
Tx : fargoxin ½ ampul dalam NaCl sampai 10cc selama 10 menit
Alprazolam 1x0mg mg (malam)
Mx : TTV
Ex : -
III. Atrial Fibrilasi
Dx : EKG
Tx :bisoprolol
Mx : TTV
Ex : -
IV . Hipokalemia
Dx : lab
Tx : KSRr 3x1 tab
Kcl extra 1 tab
Mx : lab elektrolit
Ex : -
10
CATATAN PERKEMBANGAN
27 Desember 2013
S : tiba-tiba sesak nafas, penurunan kesadaran
O : Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E3M6V5
Tanda Vital : Tekanan darah : 180/110mmHg
Nadi : 105x/ menit (aritmia),isi tengangan cukup
Pernafasan : 32x/ menit
Suhu : 36,5o C
SpO2 : 99% NRM
Thorax : Jantung : BJ I-II dbN, ireguler, bising (-), gallop (-)
Paru : sonor, suara dasar : vesikuler, suara tambahan :
ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : supel, bising usus (+) normal, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : edema (-), turgor cukup
A:
I. Hipertensi Stage II
II. Sups.CHF
III. Atrial Fibrilasi
IV. Hipokalemia
P:
Mx : TTV cek tekanan darah tiap 30 menit dengan target tekanan
darah 140/90 mmHg, EKG, lab ureum, creatinin, asam urat,
elektrolit lengkap.
Ex : -
Tx
- Infus RL 10 tpm
- Isosorbid srynge pump 5 mg tappering tiap 30 menit,
- Heparin bolus 60 IU x BB dilanjutkan 12 IU x BB
- Fargoxin ½ amp dalam NaCl sampai 10 cc selama 10 menit
11
28 Desember 2013 (hari perawatan ke-1)
S : pasien sesak nafas. Hasil ro thorax : Kalsifikasi aorta, Left Ventricular
Hypertrophi (LVH)
O : Keadaan Umum : tampak sakit berat.
TD 170/100 mmHg, N : 87 x/menit isi tegangan cukup, RR : 24x/menit,
t : 37°C, SpO2 98% dengan NRM
Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMOSTASTISPTTKPTTK Control
ELEKTROLITNatriumKaliumChloridaCalcium
KIMIA KLINIKUreumKreatininAsam Urat
77,328,1
1392,310310,4
541,110,3
detikdetik
mmol/lmEq/lmEql/lmg/dl
mg/dlmg/dlmg/dl
24-3523,5-31,7
135 – 1473.5 – 5.195 – 1058.8-10.3
10-500,45-0,752,6-6
A :
V. Hipertensi Stage II
VI. Sups.CHF
VII. Atrial Fibrilasi
VIII. Hipokalemia
P :
Tx :
- Infus RL 10 tetes/menit (iv)
- O2 8 l/menit NRM
- Bisoprolol 1x 5mg
- Amlodipin 1x10mg
12
- Heparin 500IU/jam
- KSRr 3x1 tab
- Kcl extra 1 tab
- Alprazolam 1x0mg mg (malam)
Mx : TTV. Lab. PTT, PTTK
Ex :
- Menjelaskan kepada keluarga penderita tentang penyakit yang diderita,
pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan dan penatalaksanaan
selanjutnya.
29 Desember 2013 ( hari perawatan ke-2)
S : Tampak susah tidur, sesak nafas, nyeri dada.
O : Keadaan Umum : kesan sakit berat
TD 170/100 mmHg, N : 84 x/menit, RR : 22x/menit, t : 37,5°C
Mata : pupil bulat isokor,Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMOSTASTISPTTKPTTK Control
36,927,6
detikdetik
24-3523,5-31,7
A :
I. Hipertensi Stage II
II. Sups.CHF
III. Atrial Fibrilasi
IV. Hipokalemia
P :
Mx : EKG, Lab. PPT, PTTK, INR
Tx : terapi tetap
13
30 Desember 2013 ( hari perawatan ke-3)
S : Nyeri dada, penurunan kesadaran.
O : Keadaan Umum : kesan sakit berat
TD 170/100 mmHg, N : 966 x/menit, RR : 26x/menit, t : 37°C
Mata : pupil bulat isokor,Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
ELEKTROLITNatriumKaliumChloridaCalcium
1422,81089,3
mmol/lmEq/lmEql/lmg/dl
135 – 1473.5 – 5.195 – 1058.8-10.3
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMOSTASTISPTTKPTTK ControlPPTPPT ControlINR
77,328,115,511,71,37
detikdetik
detikdetik
24-3523,5-31,711-159-14
A :
I. Hipertensi Stage II
II. Sups.CHF
III. Atrial Fibrilasi
IV. Hipokalemia
P :
Mx : monitoring keadaan umum, TTV, SpO2.
Tx :
⁻ heparin habis -> stop
⁻ isorbid habis -> stop
⁻ per oral : noperten 1X1tab (malam)
14
⁻ extra 25meg KCL dalam infus 10 tetes per menit.
31 Desember 2013 (hari perawatan ke-4)
S : sesak nafas, penurunan kesadaran.
O : Keaadaan Umum : kesan sakit berat GCS E3M2V4
TD 150/100 mmHg, N : 84 x/menit lemah, RR : 24x/menit, t : 37,5°C
SpO2 98% NRM
Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
A :
I. Hipertensi Stage II
II. Sups.CHF
III. VES
IV. Hipokalemia
P :
Mx : monitoring keadaan umum, TTV, EKG ulang, SpO2.
Tx :
- Noperten -> captopril 2x 12,5 mg
- Aspilet 1x1tab
15
- Simvastatin 1x10mg
1 Januari 2014 (hari perawatan ke-5)
S : pasien tidak mau makan dan minum, tidak dapat berinteraksi, penurunan
kesadaran, tampak sesak nafas berat (ngos-ngosan), terdapat kelemahan
anggota gerak kiri.
O : Keadaan Umum : kesan sakit berat, somnolen GCS E2M5V1
TD 160/100 mmHg, N : 100x/menit lemah, RR: 24x/menit, t: 38,7ºC,
SpO2 : 90% NRM, GDS 99mg/dl
Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
16
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMALHEMATOLOGI PAKETHemoglobinHematokritEritrositMCHMCVMCHCLeukositTrombosit
HITUNG JENISEosinofilBasofilN. SegmenLimfositMonositLaju Endap Darah
12.742.85.4923783022.900300.000
1,31,676.613.27,3-
gr%%Juta / mmkPgfL% / mm3/mm3
%%%%mm/jamjuta/UL
11,7 – 15,535 – 473,9 – 5,226– 3480 – 10032 – 363600 – 11000150.000 – 440.000
2-40-150-7025-402-80-20
A :
I. Hipertensi Stage II
II. Sups.CHF
III. VES
IV. Hipokalemia
V. Susp. Stroke Non Hemmoragic
P :
Mx : monitoring keadaan umum, TTV, EKG ulang, SpO2.
Tx :
- Pasang NGT
- Infus RL+ tamoliv 1 flash
- Advice CT-scan
2-1-2014 (hari perawatan ke-6)
S : keluar darah dari mulut terus menerus, darah berwarna merah segar, NGT
berwarna mereah kecoklatan, penurunan kesadaran, kelemahan di
anggota gerak kiri, kejang (+).
O : Keadaan Umum : kesan sakit berat GCS E2M5V2
17
TD 150/100 mmHg, N : 85x/menit lemah, RR : 24x/menit, SpO2 : 98%
NRM, GDS 92 mg/dl
Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm/ 2,5 mm, refleks cahaya +/+
Mulut : darah (+), gargling(+)
Thorax : Cor: BJ I-II irregular, gallop (-), murmur (-)
Pulmo : SDV (+/+). Ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
Nervi kraniales : sulit dinilai
Leher : sikap lurus, pergerakan bebas, kaku kuduk (-)
Motorik Superior Inferior
Gerak : +/ +/
Kekuatan : 4/4 1/1
kesan lateralisasi ke kiri
Tonus : N/N N/N
Trofi : E/E E/E
R.Fisiologis : +↑/+ +/+R.Patologis : -/- -/-
Klonus : -/-
Sensibilitas : Sulit dinilai
Vegetatif : dbn
18
A:
I. Diagnosis Klinis:
- Penurunan Kesadaran
- Hemiparese sinistra spastik
Diagnosis Topis : Lobus temporal kiri
Diagnosis Etiologis : Stroke Non Hemoragik
II. Hipertensi grade II
III. Atrial Fibrilasi
IV. Obsv. Hematemesis -> Stress Ulcer
P:
Mx : monitoring keadaan umum, TTV, SpO2, awasi perdarahan .
Tx :
- Infus RL 10 tpm
- Bersihkan darah
- Pasang gudhel
- Suction -> darah ± 15-20cc
19
Hasil CT kepala tanpa kontras tanggal 1
Januari 2013 :
- Ruang liquor melebar
- Tak tampak midline shift
- Lesi hipodens batas tegas bentuk
segiempat pada temporal kanan
- Batang otak dan cerebelum tenang
Kesan:
atrofi cerebri
Infark lama temporal
- Bisoprolol 1x500 mg
- Amlodipine 1x5 mg
- Allopurinol 1x
- Aspilet 1x80 mg stop
- Alprazolam 1x0,5 mg malam hari
- Inj omeprazole 3 amp/24 jam
- Inj, ceftiaxon 2gr/24jam
- Rawat bersama dokter spesialis saraf
- Citicolin 3x500mg
- Phenitoin 1x200mg diencerkan
- Puasakan, 6 jam
3 Januari 2014 ( hari perawatan ke-7)
S : keluar darah dari mulut terus menerus, darah berwarna merah segar, NGT
berwarna merah kecoklatan, penurunan kesadaran, kelemahan anggota
gerak kiri, kejang (+) lama >5 menit
O : Keadaan Umum : kesan sakit berat GCS E1M3Vx
TD 150/100 mmHg, N : 120x/menit lemah, RR : 32x/menit, t: 40ºC,
SpO2 : 90% NRM, GDS 49mg/dl
Mata : pupil bulat isokor, Ø 2,5 mm / 2,5 mm, refleks cahaya +/+
deviation conjugate dextra (+)
Mulut : darah (+), gargling(+)
Leher : sikap lurus, kaku kuduk (-)
Thorax : Cor : BJ I-II irregular, murmur (-)
Pulmo : SDV(+/+), ronkhi(+/+), wheezing (-/-)
Nervi kraniales : sulit dinilai
20
Motorik Superior Inferior
Gerak : +/- +/-
Kekuatan : 4/4 1/1
kesan lateralisasi ke kiri
Tonus : N/N N/N
Trofi : E/E E/E
R.Fisiologis : +/+ +/+
R.Patologis : -/- -/-
Klonus : -/-
Sensibilitas : Sulit dinilai
Vegetatif : dbn
A:
I. Stroke Non Hemoragik
II. Hipertensi Stage II
III. CHF
IV. Atrial Fibrilasi
V. Stress Ulcer
21
I. Stroke
A. Pengertian1,2,3
Stroke adalah suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam atau dapat menyebabkan kematian, disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak.(WHO, 1989). Stroke merupakan suatu
istilah klinis untuk hilangnya perfusi di otak secara akut yang sesuai dengan
teritorial vaskular.
Pengertian dari stroke secara klasik mempunyai karakteristik defisit
neurologis yang disebabkan oleh cedera fokal akut pada susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh gangguan pada aliran pembuluh darah otak meliputi
infark serebral, perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid1.
Sedangkan menurut warlow et al, disebutkan bahwa stroke adalah suat
sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis yang berkembang
dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global
yang berlangsung lebih dari 24 jam, yang tidak disebabkan oleh sebab lain
selain penyebab vaskuler. Pengertian ini mencakup stroke iskemik,
perdarahan intraserebral non traumatik, perdarahan intraventrikuler dan kasus
perdarahan subarachhnoid.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa stroke
menimbulkan kelainan saraf yang mempunyai sifat mendadak dan sesuai
dengan bagian otak yang terganggu. Manifestasi klinis dapat berupa defisit
motorik, defisit sensorik,kesukaran dalam berbahasa atau gangguan fokal lain
sesuai dengan letak daerah otak yang terganggu vaskularisasinya.
22
CNS infarction CNS infarction is brain, spinal cord, or retinal cell death attributable to ischemia, based on1. pathological, imaging, or other objective evidence of cerebral, spinal cord,or retinal focal ischemic injury in a defined vascular distribution; or2. clinical evidence of cerebral, spinal cord, or retinal focal ischemicinjury based on symptoms persisting ≥24 hours or until death, andother etiologies excluded.
Ischemic Sstroke An episode of neurological dysfunction caused by focal cerebral, spinal, or retinal infarction.
Silent CNS infarction Imaging or neuropathological evidence of CNS infarction, without a history of acute neurological dysfunction attributable to the lesion
Intracerebral hemorrhage A focal collection of blood within the brain parenchyma or ventricular system that is not caused by trauma
Stroke caused by intracerebral hemorrhage
Rapidly developing clinical signs of neurological dysfunction attributable to a focal collection of blood within the brain parenchyma or ventricular system that is not caused by trauma.
silent cerebral hemorrhage A focal collection of chronic blood products within the brain parenchyma, subarachnoid space, or ventricular system on neuroimaging or neuropathological examination that is not caused by trauma and without a history of acute neurological dysfunction attributable to the lesion.
Subarachnoid hemorrhage Bleeding into the subarachnoid spaceStroke caused by subarachnoid
hemorrhageRapidly developing signs of neurological dysfunction and/or headache because of bleeding into the subarachnoid space , which is not caused by trauma.
Stroke caused by cerebral venous thrombosis
Infarction or hemorrhage in the brain, spinal cord, or retina because of thrombosis of a cerebral venous structure.
B. Vaskularisasi Otak2
Otak mendapat perdarahan dari dua pasang arteri besar yaitu sepasang
arteri karotis interna dan sepasang arteri vertebralis dan cabang-cabangnya
23
Definisi stroke menurut AHA tahun 20131
yang akan membentuk anastomosis pada bawah otak yang memiliki nama
sirkulus willisi.
Anatomi vaskularisasi otak dibagi menjadi dua bagian yaitu
anterior/sistem karotis dan posterior/sistem vertebrobasiler. Darah arteri
menuju ke otak berasal dari arkus aorta. Pada sisi kirim arteri karotis komunis
dan arteri subklavia berasal langsung dari arkus aorta sedangkan pada sisi
kanan arti trunkus brakiosefalika (inominata) berasal dari arkus aorta dan
bercabang menjadi arteri subklavia dextra dan arteri karotis komunis dextra.
Di kedua sisi, sirkulasi darah arteri ke otak di sebelah anterior disuplai oleh
dua arteri karotis interna dan di posterior oleh dua arteri vertebralis.
Arteri karotis interna kemudian akan membentuk cabang arteri serebri
anterior dan arteri serebri media setelah melewati kanalis karotikusm berjalan
dalam sinus kavernosus. Kedua arteri tersebut akan memperdarahi lobus
frontalm parietal dan sebagian lobus temporal.
Arteri vertebralis berukuran lebih kecil dan berjalan melalui foramen
transversus vertebra servikalis kemudian masuk kedalam rongga kranial
melalui foramen magnum kemudian akan membentuk arteri basilaris (sistem
vertebrobasiler). Arteri basilaris akan bercabang menjadi arteri serebellum
superior kemudian arteri basilaris berjalan ke otak tengan dan bercabang
menjadi sepasang arteri serebri posterior.
24
Sirkulus willisi dibebntuk oleh pertemuan antara sirkulasi anterior dan
sirkulasi posterior. Sirkulus willisi dibentuk oleh arteri serebri anterior, arteri
komunikanter anterior, arteri karotis interna, arteri komunikantes posterior
dan arteri serebri posterior.
Sirkulus willisi
25
Terdapat 3 sistem kolateral antara sistem karotis dan sistem vertebrobasiler
yang bertujuan untun menjamin vaskularisasi otak yang terdiri dari ;
1. sirkulus wilisi yang merupakan anyaman arteri didasar otak.
2. Anastomosis arteri karotis interna dan karotis eksterna di daerah orbita
melalui arteri oftalmika
3. Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri karotis interna.
1. Arteri cerebri anterior
Arteri serebri anterior dipercabangkan dari bagian medial arteri karotis
interna di daerah proseseus klinoideus anterior yang kemudian terbagi
menjad 3 bagian. Bagian proksimal arteri serebri anterio kanan dan kiri
dihubungkan oleh arteri komunikan anterior, bagian medial dan dista;
arteri ini akan memberikan cabangnya menjadi arteri perikallosum anterior
dan arteri callosimarginal. Arteri serebri anterior mempunyai cabang-
26
cabang kecil yang disebut arteri perforantes profunda yang memperdarahi
korpus striatum anterior, kapsula interna anteriorm komisura anterior,
traktus optikus dan chiasma.
2. Arteri serebri media
Arteri ini setelah dipercabangan oleh arteri karotis interna akan terbagi
menjadi beberapa bagian, bagian pertama akan berjalan ke lateral diantara
atap lobs medial dan lobus frontal hingga mencapai fissura lateralis sylvii.
Arteri lentikulostriata dipercabangkan dari bagian proksimal ini. Arteri
lentikulostriata berjumlah 6-12 yang berfungsi memperdarahi nukleus
lentiformis, nukleus kaudatus caput lateral, globus pallidus dan kapsula
interna bagian posterior.
Pada daerah fissura lateralis, bagian kedua arteri serebri media akan
bercabang menjadi divisi superior dan anterior. Divisi superior akan
memberikan suplai ke lobus frontal dan lobus parietal . sedangkan divisi
inferior akan memperdarahi lobus temporal. Bagian terakhir akan
dipercabangkan di permukaan hemisfer serebri yang memperdarahi
substansia alba subkortek.
3. Sistim posterior (sistim vertebrobasiler)
Sistim ini berasal dari arteri basilaris yang dibentuk oleh arteri vertebralis
kanan dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia. Arteri ini berjalan
menuju dasar kranium melalui kanalis transversalis di kolumna vertebralis
servikalis, kemudian masuk ke rongga kranium akan melalui foramen
magnum, lalu masing-masing akan mempercabangkan sepasang arteri
serebelli inferior.
4. Arteri serebri posterior
Arteri serebri posterior merupakan cabang akhir dari arteri basilaris .
Bagian proksimal arteri serebri posterior atau bagian prekomunikan akan
bercabang menjadi arteri mesensafli paramedian dan arteri thalamik-
subthalamik yang akan memvaskularisasi thalamus. Arteri serebri
posterior ini setelah berjalan kebelakang, didaerah tentrorium serebelli
akan memperdarahi bagian medial lobus temporalis sedangkan divisi
27
posterior akan memperdarahi fissura calcarina dan daerah parieto-
oksipital.
C. Klasifikasi Stroke
Klasifikasi stroke berdasar proses patologis dan gejala klinis dapat dibagi
menjadi:
1. Stroke hemoragik
Pada stroke hemorogik, perdarahan terjadi disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah intra serebral. Apabila darah masuk kedalam ruang
subarachnoid, maka akan terjadi perdarahan subarachoid dengan gejala
khas berupa nyeri kepala hebat dan kaku kuduk.Pada sebagian besar
penderita stroke hemoragik, serangan terjadi pada saat melakukan
aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Pada umumnya
disertai penurunan kesadaran.Penyebab tersering adalah akibat hipertensi
yang tidak terkontrol.
2. Stroke non hemoragik
Stroke non hemoragik disebabkan oleh terjadinya ; iskemia, emboli,
spasme ataupun thrombus pada pembuluh darah otak. Serangan stroke
terjadi pada saat pasien beristirahat atau saat bangun tidur. Tidak terjadi
perdarahan, kesadaran umumnya baik dan dapat terjadi proses edema otak
oleh karena hipoksia jaringan otak apabila terjadi infark yang cukup luas.
Berdasar perjalanan penyakitnya, stroke non hemoragik dapat dibagi
menjadi :
- TIA (Trans Ischemic Attack)
Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa
jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari
24 jam.
- RIND (Reversible Ischemic Neurological Deficit)
Gangguan neurologis setempat yang akan hilang secara sempurna
dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.
- Stroke in Evolution
28
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan
yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini
biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.
- Stroke Komplit
Gangguan neurologis yang timbul bersifat menetap atau
permanent.
Klasifikasi stroke.
http://www.checksutterfirst.org/neuro/stroke/patients_about.cfm
D. Etiologi
Stroke non hemoragik terjadi karena adanya ganggan sirkulasi darah otak
yang disebabkan antara lain oleh tromboembolim trombosis ataupun
hipoperfusi. Saat sirkulasi otak menurun terjadi hambatan pada aktivitas
neuron dan terjadi iskemia neuronal irreversible dan kerusakan akan terjadi
saat cerebral blood flow turun dibawah 18 mL/100g jaringan/menit7.
Faktor risiko dari streoke ada dua yaitu yang dapat dimodifikasi dan tidak
dapat dimodifikasi.
Faktor yang dapat dimodifikasi Tidak dapat dimodifikasi
29
Usia Hipertensi
Ras Diabetes Melitus
Etnis Peny Jantung (atrial fibrilasi, mitral
stenosis, valvular disease, patent
foramen ovale)
Dislipidemia
Transient ischemic attack
Hiperhomosisteinemia
Kontrasepsi oral
Etiologi dari stroke antara lain :
1. Hipertensi, pada hipertensi terjadi proses aterosklerosis yang akan
menimbulkan thrombus yang menggangu perfusi serebral dan pecahnya
pembuluh darah otak.
2. Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu
tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan
dengan manuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
3. Kelainan jantung / penyakit jantung
Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan
endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output
dan menurunkan aliran darah ke otak. Disamping itu dapat terjadi proses
embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.
Conghestive heart failure juga merupakan salah satu kelainan jantung yang
menyebabkan terjadinya stroke iskemik. CHF akan meningkat
pembentukan trombus dan akan diiringi oleh peningkatan risiko terjadinya
stroke iskemik sebesar 2-3 kali lipat8.
30
4. Diabetes mellitus (DM)
Pada penderita terjadi dua proses yang akan menyebabkan meningkat
risiko serang stroke yang berupa ;
- peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah
khususnya serebral.
31
Mekanisme peningkatan risiko stroke pada pasien dengan Chronic Heart Failure
Karl Georg Haeusler, MD; Ulrich Laufs, MD; Matthias Endres, MD.
- kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap
kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.
5. Usia lanjut
Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk
pembuluh darah otak.
6. Polisitemia
Pada polisitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi
lambat sehingga perfusi otak menurun.
7. Peningkatan kolesterol (lipid total)
Peningkatan kadar kolesterol akan meningkatkan terjadinya aterosklerosis
dan terbentuknya embolus dari lemak.
8. Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol
sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah
satunya pembuluh drah otak.
9. Perokok
Konsumsi rokok akan meningkatkan viskositas darah dan menimbulkan
plaque pada pembuluh darah. Rokok juga meningkatkan risiko terjadinya
aterosklerosis.
10. Sindrome Metabolik11
Sindrom metabolik adalah sekumpulan faktor risiko yang berhubugan
dengan penyakit kardiovaskular, yang terdiri dari adanya 3 atau lebih :
tingginya gula darah puasa, hipertensi, HDL rendah, peningkatan
trigliserida dan obesitas abdominal. Pasien yang memiliki sindrom
metabolik tanpa adanya DM mengalami peningkatan risiko stroke iskemik
sebesar 1,49 kali lipat. Sedangkan bila disertai DM risiko terkena stroke
iskemik akan meningkat sebesar 2.29 kali lipat.
11. Kurang aktivitas fisik
Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk
kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya
pembuluh darah otak.
32
E. Patofisiologi
1. Stroke non hemoragik
Trombus dan embolus pada pembuluh darah akan menyebabkan
penyumbatan pada pembuluh darah intraserebral yang selanjutnya akan
menimbulkan iskemia jaringan. Trombus umumnya terjadi karena
berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga
arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi
berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia
akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh
embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis.
Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba
berkembang cepat akan segera menimbulkan gangguan neurologis fokal.
Diagram Kaskade eksitatorik iskemik5
33
Iskemia
Pompa NaK-ATPase
Depolarisa
Pelepasan GlutamatKanal Ca
Reseptor AMPA Reseptor Metaboprotik Reseptor
Pelepasan Ca Influks Ca
Peningkatan Ca intrasel
Kematian Sel
2. Stroke hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke jaringan
di sekitar pembuluh darah intraserebral atau masuk ke dalam ruangan
subarachnoid yang menimbulkan perubahan pada komponen intrakranial.
Sesuai dengan hukum Monroe Kellie, isi didalam intrakranial seharusnya
konstan. Adanya perubahan komponen intrakranial yang tidak dapat
dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila tidak
dihentikan akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di
samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang
subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak
dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang
atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
F. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala klinis yang muncul akibat terjadinya serangan stroke
tergantung pada daerah dan luasnya daerah otak yang terkena.
1. Pengaruh terhadap status mental
- Tidak sadar : 30% – 40%
- Konfuse : 45% dari pasien biasanya sadar
2. Daerah arteri serebri media, arteri karotis interna akan menimbulkan:
- Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia (30%-80%)
- Afasia bila mengenai hemisfer dominan (35%-50%)
- Apraksia bila mengenai hemisfer non dominan(30%)
3. Daerah arteri serebri anterior akan menimbulkan gejala:
- hemiplegia dan hemianesthesia kontralateral terutama tungkai
(30%-80%)
- inkontinensia urin, afasia, atau apraksia.
4. Daerah arteri serebri posterior
- Nyeri spontan pada kepala
- Afasia bila mengenai hemisfer dominan (35-50%)
5. Daerah vertebra basiler akan menimbulkan :
- Fatal karena mengenai pusat-pusat vital di batang otak
34
- Hemiplegia alternans atau tetraplegia
- Kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata, kesulitan
menelan, emosi labil)
Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa :
1. Stroke hemisfer kanan
- Hemiparese sebelah kiri tubuh
- Penilaian buruk
- Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai
kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan
2. Stroke hemisfer kiri
- Hemiparese kanan
- Perilaku lambat dan sangat berhati-hati
- Kelainan lapangan pandang sebelah kanan
- disfagia
- afasia
G. Pemeriksaan diagnostik5
Pemeriksaan penunjang disgnostik yang dapat dilakukan adalah :
1. Laboratorium: ditujukan untuk mencari faktor risiko stroke mengarah pada
pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, analisa gas darah, gula
darah dsb.
2. CT scan kepala merupakan gold standard untuk mengetahui lokasi dan
luasnya perdarahan atau infark
3. MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya
struktur otak
4. Angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas
mengenai pembuluh darah yang terganggu.
H. Diagnosis banding8
Diagnosis banding dari stroke antara lain :
35
- Bells palsy
- Benign Positional Vertigo
- Abses otak
- Neoplasma
- Sinkop
- Transient Ischemic Attack
I. Penatalaksanaan medis
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah :
1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan
boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil.
2. Pertahankan airway dan ventilasi yang adekuat, diberikan oksigen sesuai
kebutuhan.
3. Stabilisasi tanda-tanda vital
4. Koreksi hiperglikemia atau hipoglikemia
5. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan
7. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari
penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik.
8. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran
menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT.
9. Penatalaksanaan spesifik berupa:
- Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis,
antikoagulan
- Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor,
tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi.
36
II. Sepsis
A. DefinisiDemam atau hipotermi, leukositosis atau leukopeni, takipneu, dan takikardi
adalah tanda utama atau respon sistemik, yang kemudian dinamakan sebagai
systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Penyebab SIRS mungkin
infeksi ataupun tidak terdapat infeksi. Jika penyebabnya adalah infeksi atau
ditemukan adanya suatu infeksi bakteri, maka pasien menderita penyakit yang
dinamakan sepsis. Ketika sepsis berhubungan dengan kerusakan organ yang
jauh dari tempat infeksi, maka dinamakan severe sepsis.8 Sepsis adalah,
respon sistemik tubuh terhadap infeksi yang menyebabkan sepsis berat
(disfungsi organ akut sekunder untuk dicurigai adanya infeksi) dan syok septik
(sepsis berat ditambah hipotensi tidak terbalik dengan resusitasi cairan).
Sepsis berat dan syok septik masalah kesehatan utama, yang mempengaruhi
jutaan orang di seluruh dunia setiap tahun, membunuh satu dari empat (dan
sering kali lebih), dan kejadiannya masih meningkat. Mirip dengan
politrauma, infark miokard akut, atau stroke, kecepatan dan ketepatan terapi
diberikan dalam jam awal setelah sepsis berat berkembang cenderung
mempengaruhi hasil.8 Kriteria diagnosis dari Sepsis itu sendiri masih terus di
perbaharui, berikut kriteria terbaru tentang diagnosis sepsis:
Gejala Umum:
1. Demam (>38,3°C)
2. Hipotermia (suhu pusat tubuh < 36°C)
3. Heart rate > 90/menit atau lebih dari dua standar deviasi diatas nilai
normal usia
4. Takipneu
5. Perubahan status mental
6. Edema signifikan ataukeseimbangan cairan positif (> 20 mL/Kg lebih dari
24 jam)
7. Hiperglikemia (glukosa plasma > 140mg/dL atau 7,7 mmol/L) dan tidak
diabetes
37
Inflamasi:
1. Leukositosis (Hitung sel darah putih > 12.000 μL–1)
2. Leukopeni (Hitung sel darah putih < 4000 μL–1)
3. Hitung sel darah putih normal dengan lebih dari 10% ditemukan bentuk
imatur
4. C-reactive protein plasma lebih dari dua standar deviasi diatas nilai normal
5. Prokalsitonin plasma lebih dari dua standar deviasi diatas nilai normal
Hemodinamik:
Hipotensi arteri (tekanan darah sistolik < 90mmHg, MAP < 70 mmHg, atau
tekanan darah sistolik turun > 40mmHg pada dewasa atau lebih rendah dua
standar deviasi dibawah nilai normal umur)
Disfungsi Organ:
1. Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 < 300)
2. Oliguria akut (jumlah urin < 0,5 mL/Kg/jam selama minimal 2 jam
meskipun resusitasi cairan adekuat
3. Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dL atau 44,2 μmol/L
4. Koagulasi abnormal (INR > 1,5 atau aPTT > 60 s)
5. Ileus (tidak terdengar suara usus)
6. Trombositopeni (hitung trombosit < 100.000 μL–1)
7. Hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total > 4mg/dL atau 70 μmol/L)
Perfusi Jaringan:
1. Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)
2. Penurunan kapiler refil
Kemudian mengenai kriteria Sepsis berat adalah sebagai berikut:
1. Sepsis-induced hipotensi
2. Laktat diatas batas atas nilai normal laboratorium
38
3. Jumlah urin < 0,5 mL/kg/jam selama lebih dari 2 jam walaupun resusitasi
cairan adekuat
4. Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2 < 250 dengan tidak adanya
pneumonia sebagai sumber infeksi
5. Acute Lung Injury dengan PaO2/FiO2 < 200 dengan adanya pneumonia
sebagai sumber infeksi
6. Kreatinin > 2,0 mg/dL (176,8 μmol/L)
7. Bilirubin > 2 mg/dL (34,2 μmol/L)
8. Hitung platelet < 100.000 μL
9. Koagulopati (international normalized ratio > 1,5)
B. Etiologi
Sepsis bisa disebabkan oleh banyak kelas mikroorganisme. Mikroba yang
masuk ke peredaran darah tidak esensial, sampai terjadi inflamasi lokal dan
juga adanya kerusakan organ yang jauh serta hipotensi. Pada kenyataannya
kultur darah terdapat bakteri atau jamur hanya sekitar 20-40% dari kasus
severe sepsis dan 40-70% pada kasus syok sepsis.8
39
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase
60-70% dari kasus, yang menghasilkan berbagai macam produk yang dapat
menstimulasi sel imun. Sel tersebut kemudian dipacu untuk melepaskan
mediator inflamasi. Produk yang berperan penting dalam sepsis adalah
lipopolisakarida (LPS). LPS berfungsi merangsang peradangan pada jaringan,
demam dan syok pada pasien yang terinfeksi. Bakteri gram positif lebih jarang
menyebabkan sepsin jika dibandingkan bakteri gram negatif. Angka
kejadiannya hanya berkisar 20-40% dari keseluruhan kasus. Peptidoglikan
diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin berbagai kuman
juga dapan menjadi faktor penyebab karena dapat merusak integritas membran
sel imun secara langsung. Dari semua faktor tersebut yang terpenting adalah
LPS endotoksin gram negatif yang dinyatakan sebagai penyebab sepsis
terbanyak. LPS tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran
mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag
mengeluarkan polipeptida yang disebut tumor necrosis factor (TNF) dan
interleukin (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering
meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise yang mengalami
sepsis.
40
C. Patogenesis
41
Penderita sepsis sebagian besar menunjukkan adanya suatu infeksi fokal
jaringan sebagai sumber bakteriemia, hal inilah yang kemudian disebut
sebagai bakteriaemia sekunder. Bakteri gram negatif merupakan bakteri
komensal normal dalam tubuh yang kemudian dapat menyebar ke organ yang
dekat seperti pada kejadian peritonitis setelah perforasi apendik, atau bisa
berpindah dari perineum ke urethra atau kandung kemih. Fokus primer dari
sepsis gram negatif bisa terdapat pada saluran genitourinarium, saluran
empedu dan saluran gastrointestinum. Pada kejadian sepsis gram positif,
biasanya ditimbulkan dari infeksi kulit, saluran respirasi, dan juga bisa berasal
dari luka terbuka, misalnya luka bakar. Inflamasi merupakan respon tubuh
untuk berbagai macam stimulasi imunogen dari luar. Sitokin sebagai mediator
inflamasi tidak berdiri sendiri, tetapi masih banyak sistem imun tubuh yang
berperan dalam proses inflamasi. TNF, IL-1, Interferon (IFN-ɣ) merupakan
sitokin pro inflamasi yang bekerja menghancurkan mikroorganisme yang
menginfeksi tubuh. Sedangkan, Interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4,
IL-10 merupakan sitokin yang bersifat antiinfamasi yang bertugas untuk
memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan.
Penyebab sepsis dan syok sepsis yang paling banyak adalah stimulasi toksin
baik endotoksin maupun eksotoksin. LPS dapat langsung membentuk LPSab
(Lipo Poli Sakarida Antibodi) bersama dengan antibodi serum darah. LPSab
dalam serum kemudian bereaksi dengan makrofag. Receptors 4) TLRs4
sebagai reseptor transmembran dengan reseptor CD 14+ yang kemudian
makrofag mengaktifkan imuno modulator. Pada bakteri gram positif
eksotoksin dapat merangsang langsung terhadap makrofag dengan melalui
TLRs2 tetapi ada juga eksotoksin sebagai super antigen. Pada kondisi sepsis
tubuh akan berusaha bereaksi dengan cara merangsang limfosit T
mengeluarkan imuno modulator. Sehingga pada keadaan sepsis akan terjadi
peningkatan IL-1β dan TNF-α pada serum penderita. IL-1β nantinya akan
merangsang ICAM-1 (inter cellular adhesion molecule-1) yang kemudian
menyebabkan neutrofil yang tersensitasi oleh GM-CSF (granulocyte-
macrophage colony stimulating factor) akan mudah mengadakan adhesi.
42
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang
akan menyebabkan dinding endotel lisis, sehingga endotel menjadi terbuka.
Kerusakan endotel tersebut akan menyebabkan gangguan vaskuler sehingga
menyebabkan kerusakan multi organ. Trombosis dan koagulasi dari pembuluh
darah kecil bisa mengakibatkan syok septik yang bisa berakhir pada kematian.
D. Gejala Klinis
Sepsis mempunyai gejala klinis yang tidak spesifik, seperti demam,
menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau
kebigungan. Tempat terjadinya infeksi paling sering adalah: paru, traktus
digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Gejala sepsis
akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, diabetes, kanker, gagal
organ utama, dan pasien . dengan granulosiopenia. Tanda-tanda MODS yang
sering diikuti terjadinya syok septik adalah MODS dengan komplikasi:
ARDS, koagulasi intravaskuler, gagal ginjal akut, perdarahan usus, gagal hati,
disfungsi sistem saraf pusat, dan gagal jantung yang semuanya akan
menimbulkan kematian.
E. Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis harus dilakukan secara menyeluruh karena memerlukan
indeks dugaan yang tinggi, pengambilan riwayat medis harus cermat,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan tindak lanjut status hemodinamik harus
segera di tegakkan.1 Beberapa tanda terjadinya sepsis antara lain:
1. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumentasi
2. Hipotensi, oliguria atau anuria
3. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab jelas
4. Perdarahan 1,15
43
44
III. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
A. Definisi
ARDS merupakan sindrom yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein
plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang
mengandung protein dalam parenkim paru. Dasar definisi dipakai konsensus
Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa tahun 1994 tdd:
1. Gagal napas (respiratory failure/distress) dengan onset akut
2. Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding dengan fraksi oksigen
yang diinspirasi (PaO2/FIO2) <200 mmHg-hipoksemia berat.
3. Radiografi torak: infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan edema paru
4. Tekanan baji kapiler pulmoner <18 mmHg, tanpa tanda klinis adanya
hipertensi atrial kiri atau tanpa adanya gagal jantung kiri.2,18
ARDS adalah sindrom dengan beberapa faktor risiko yang memicu
timbulnya akut insufisiensi pernapasan. Mekanisme patogenik bervariasi
tergantung pada faktor pemicu, tapi seperti yang ditunjukkan pada temuan
otopsi, ada sejumlah fitur umum paru patologis, seperti peningkatan
permeabilitas yang tercermin edema alveolar karena kerusakan sel epitel dan
endotel, dan infiltrasi neutrofil pada fase awal ARDS.18
Kriteria ARDS terbaru adalah konferensi Berlin tahun 2011, ada beberapa
modifikasi (oksigenasi, waktu onset akut, X-ray thoraks, dan kriteria tekanan
baji) 16
Di Berlin yang di lebur dengan definisi AECC.18 Pada definisi di Berlin,
ARDS di klasifikasikan menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan rasio
PaO2/FiO2. Yang penting nilai rasio PaO2/FiO2 dianggap hanya dengan
CPAP atau nilai PEEP minimal 5 cm H2O.
45
Definisi ARDS menurut konferensi Berlin 2011:
1. Waktu
Dalam waktu 1 minggu terdiagnosis klinis atau gejala pernafasan baru atau
memburuk
2. Gambaran thoraks
Radio opak bilateral, tak sepenuhnya seperti efusi, lobus/paru kolaps, atau
nodul
3. Asal edema
Gagal nafas yang tidak berhubungan dengan gagal jantung atau cairan
yang berlebihan. Dibutuhkan penilaian yang obyektif (misalnya
echocardiography) untuk menyingkirkan edema hidrostatik jika tidak ada
faktor resiko
4. Oksigenasi
Ringan : 200 mmHg < PaO2/FIO2 ≤300 mmHg with PEEP or CPAP ≥5
cmH2O
Sedang : 100 mmHg < PaO2/FIO2 ≤200 mmHg with PEEP ≥5 cmH2O
Berat : PaO2/FIO2 ≤100 mmHg with PEEP ≥5 cmH2O 17
B. Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang
dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai
penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling
tinggi, mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat
toksik terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian
ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%.3
Faktor resiko lain yang dapat mengakibatkan ARDS adalah cedera paru
langsung (paling sering aspirasi lambung) merupakan penyebab non sistemik
dari ARDS. Selain itu beberapa faktor resiko lain seperti bakteriemia, trauma,
fraktur, terbakar, pneumonia, overdosis obat, TBC milier, luka berat,
transfusi berulang, dan juga Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC).2,10
46
C. Patogenesis
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan
pada ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier
alveolar dan kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar.
Terdapat tiga fase kerusakan alveolus:
1. Fase eksudatif: ditandai dengan edema intertisial dan alveolar, nekrosis
sel pneumosit tipe I dan denudasi/terlepasnya membran basalis,
pembengkakan sel endotel dengan pelebaran intercellular junction,
terbentuknya membran hialin pada duktus alveolar dan ruang udara,
dan inflamasi neutrofil. Juga ditemukan hipertensi pulmoner dan
berkurangnya compliance paru.
2. Fase proliferatif: paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset,
ditandai proliferatif sel epitel pneumosit tipe II,
3. Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena
fibrosis.2
47
Derajat kerusakan epithelium alveolar ini menentukan prognosis.
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan
sel pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I
berupa sel pipih yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel
pneumosit tipe I adalah pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif.
Sel pneumosit tipe II meliputi 10% permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid
yang mempunyai aktivitas metabolik intraselular, transport ion, memproduksi
surfaktan dan lebih resisten terhadap kerusakan. Kerusakan epitelium alveolar
yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme perbaikan paru dan
menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase akut terjadi pengelupasan sel
epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran hialin
yang kaya protein pada membran basal epitel yang gundul. Neutrofil
memasuki endotel kapiler yang rusak dan jaringan interstitial dipenuhi cairan
yang kaya akan protein. Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-
receptor antagonists, soluble tumor necrosis factor receptor, auto antibodi
yang melawan Interleukin/IL-8 dan IL-10 menjaga keseimbangan alveolar.
48
D. Patofisiologi
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru interstistial
dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis kongestif
difus. Keadaan normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling yang
menyatakan filtrasi melewati endotel dan ruang intertisial adalah selisih
tekanan osmotik protein dan hidrostatik :
Q = K (Pc-Pt) – D (c-t)
Q : kecepatan filtrasi melewati membran kapiler
Pt : tekanan hidrostatik interstitial
K : koefisien filtrasi
c : tekanan onkotik kapiler
D : koefisien refleksi
t : tekanan onkotik interstitial
Pc : tekanan hidrostatik kapiler
Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya
edema paru. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan
fungsi ventrikel kiri akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler
ke interstitial. Cairan kapiler tersebut akan mengencerkan protein intertsitial
sehingga tekanan osmotik interstitial menurun dan mengurangi pengaliran
cairan ke dalam vena.
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama
sel pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul
didalam jaringan interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke
dalam rongga alveoli (alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps
(mikroatelektasis) dan compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya
cairan yang banyak mengandung protein dan sel darah merah akan
mengakibatkan perubahan tekanan osmotik. Cairan bercampur dengan cairan
alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru menjadi kaku, keadaan ini akan
memperberat atelektasis yang telah terjadi.
49
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner,
ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya
KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan
progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting
intrapulmoner menyebabkan curah jantung akan menurun 40%. Hipoksemia
diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat selanjutnya
merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun respiratorik
akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat menunjukan
kelainan faal paru berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara dan
khususnya menurunkan kapasitas difusi.3
50
E. Diagnosis Klinis
Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak adanya diagnosa kondisi
yang menjadi faktor risiko ARDS. Tanda pertama adalah takipnea, retraksi
intercostal, adanya ronkhi basah kasar yang jelas. Dapat ditemui hipotensi,
febris. Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah kasar. Gambaran
hipoksia/sianosis yang tak respon dengan pemberian oksigen. Sebagian kasus
disertai disfungsi/gagal organ ganda yang umumnya juga mengenai ginjal,
hati, saluran cerna, otak dan sistem kardiovaskular.2
4.3 Mortalitas
Mortalitas pasien sepsis bervariasi sesuai tingkat keparahan kekurangan
oksigen. Walaupun tingkat keparahan oksigenasi merupakan faktor penyebab
kematian, tetapi pada umumnya pasien meninggal dikarenakan gagal multi
organ atau penyakit yang mendasari progresivitasnya. Beberapa faktor
penentu dalam prognosis ARDS adalah umur, keparahan penyakit, dan
kondisi predisposisi dari ARDS. Contohnya, trauma yang menginduksi ARDS
memiliki prognosis lebih baik dari kondisi yang lain. Faktor resiko klinis
penyebab mortalitas ARDS termasuk oksigenasi yang buruk dan
pengembangan paru yang buruk walaupun tidak terbukti bahwa hanya
pengembangan paru yang mempunyai pengaruh yang signifikan pada
oksigenasi. Prediksi lain pada kasus mortalitas ARDS termasuk disfungsi
pendarahan pulmonal, pengembangan paru, oksigenasi, ataupun syok.6
Hipoksemia arteri berat (PaO2/FiO2 <100) dan peningkatan dalam fraksi dead
space paru (> 0,60) berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi, seperti
shock, disfungsi hati, gagal ginjal akut, usia lebih dari 60 tahun, dan tingkat
keparahan penyakit.
51
CHRONIC KIDNEY DISEASE
Pendahuluan
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu keadaan terjadinya kerusakan
ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan
atau lebih.1-7 Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan
irreversible yang akan berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal. Adanya
kerusakan ginjal tersebut dapat dilihat dari kelainan yang terdapat dalam darah,
urin, pencitraan, atau biopsy ginjal. CKD merupakan masalah kesehatan yang
mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis
buruk, dan memerlukan biayaperawatan yang mahal. Di negara-negara
berkembang CKD lebih kompleks lagi masalahnya karena berkaitan dengan sosio-
ekonomi dan penyakit-penyakit yang mendasarinya. Perejalanan penyakit CKD
52
tidak hanya terjadi gagal ginjal tetapi juga dapat terjadi komplikasi lainnya karena
menurunnya fungsi ginjal dan penyakit kardiovaskular.8-9
Peningkatan prevalens penderita CKD dari 13,8% menjadi 15,8% pada
populasi dewasa dilaporkan oleh US Renal Data System tahun 2007, sedangkan
pada populasi anak kejadian CKD < 2% dari populasi dewasa.10 Prevalens CKD
pada anak adalah 18 per 1 juta populasi anak.11 Jumlah penderita CKD yang
dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal diproyeksikan meningkat dari 340.000
pada tahun 1999 menjadi 651.000 pada tahun 2010.9 Mortalitas penderita dengan
GGT meningkat 10-20 kali dibandingkan populasi umum.7
Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa perjalanan penyakit CKD tersebut dapat
diperbaiki dengan melakukan deteksi dini dan memberikan penanganan yang
lebih awal.1,2
The National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality
Initiative (K/DOQI) tahun 2002 mengembangkan clinical practice guidelines on
CKD yang memuat mengenai batasan, stadium, penilaian klinis berdasarkan hasil
laboratorium, dan membagi tingkatan risiko akibat penurunan fungsi ginjal.
Tujuan guidelines ini agar dapat diterima secara universal dan dapat memberikan
penanganan yang optimal bagi penderita CKD.1,2,8,9
Batasan
Batasan yang tercantum dalam clinical practice guidelines on CKD menyebutkan
bahwa seorang anak dikatakan menderita CKD bila terdapat salah satu dari
criteria dibawah ini:1-6,9
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktur
atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan glomerular filtration rate
(GFR), yang bermanifestasi sebagai satu atau lebih gejala:
i) Abnormalitas komposisi urin
ii) Abnormalitas pemeriksaan pencitraan
iii) Abnormalitas biopsi ginjal
2. GFR < 60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa gejala
kerusakan ginjal lain yang telah disebutkan.
53
Klasifikasi
Klasifikasi CKD menjadi beberapa stadium untuk tujuan pencegahan, identifikasi
awal kerusakan ginjal dan penatalaksanaan, serta untuk pencegahan komplikasi
CKD.1-6,9
Tabel 1 Klasifikasi stadium CKD
Sumber: Hogg, 2003
Angka Kejadian, Morbiditas dan Mortalitas
Berdasarkan data dari the North American Pediatric Renal Transplant
Cooperative Study (NAPRTCS) Chronic Renal Insufficiency (CRI) database,
sebanyak 551 pasien berusia 2-17 tahun diperkirakan memiliki GFR < 75 mL/min
per 1.73 m2. Persentase dari penelitian Cohort NAPRTCS menunjukkan angka
19%, 17%, 33%, dan 31% pada masing-masing anak berusia 0-1 tahun, 2-5 tahun
6-12 tahun, dan lebih dari 12 tahun.4 Prevalens CKD pada anak dilaporkan kira-
kira 18.5-58.3 per satu juta anak.3 Penelitian di India melaporkan terdapat 5.3%
anak dengan CKD yang terdapat di rumah sakit rujukan. 4,6 Data dari Itali
menyebutkan insidens rata-rata 12.1 kasus pertahun pada populasi yang
tergantung umur (rentang usia 8.8-13.9 tahun).7 Sebesar 70% anak dengan CKD
berkembang menjadi end stage renal disease (ESRD) sebelum usia 20 tahun.
Anak dengan ESRD memiliki 10-year survival rate 80% dan angka mortalitas 30
kali dibandingkan anak tanpa ESRD. Penyebab kematian pada anak-anak tersebut
paling sering akibat penyakit kardiovaskular, yang diikuti oleh penyakit infeksi.
Penyebab kematian kardiovaskular dapat dibedakan menjadi henti jantung (25%),
stroke (16%), iskemi miokardium (14%), edema paru (12%), hiperkalemi (11%),
dan sebesar 22% sisanya akibat aritmia.4,12
54
Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab CKD pada anak usia < 5 tahun paling sering adalah kelainan kongenital
misalnya displasia atau hipoplasia ginjal dan uropati obstruktif. Sedangkan pada
usia> 5 tahun sering disebabkan oleh penyakit yang diturunkan (penyakit ginjal
polikistik) dan penyakit didapat (glomerulonefritis kronis).
Tabel 2 Kondisi yang meningkatkan risiko terjadinya CKD
Sumber: Hogg, 2003
Patogenesis
Mekanisme patogenesis yang pasti dari penurunan progresif fungsi ginjal
masih belum jelas, akan tetapi diduga banyak faktor yang berpengaruh, yaitu
diantaranya jejas karena hiperfiltrasi, proteinuria yang menetap, hipertensi sitemik
atau hipertensi intrarenal, deposisi kalsium-fosfor, dan hiperlipidemia. Jejas
karena hiperfiltrasi ditenggarai sebagai cara yang umum dari kerusakan
glomerular, tidak tergantung dari penyebab awal kerusakkan ginjal. Nefron yang
rusak akan mengakibatkan nefron normal lainnya menjadi hipertrofi secara
struktural dan secara fungsional mempunyai keaktifan yang berlebihan, ditandai
dengan peningkatan aliran darah glomerular.10 Secara umum terdapat tiga
mekanisme patogenesis terjadinya CKD yaitu glomerulosklerosis, parut
tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular.3,11-13
1. Glomerulosklerosis
55
Proses sklerosis glomeruli yang progresif dipengaruhi oleh sel intra-glomerular
dan sel ekstra-glomerular. Kerusakan sel intra-glomerular dapat terjadi pada sel
glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel epitel), maupun sel ekstrinsik
(trombosit, limfosit, monosit/makrofag).
Gambar 1 Progresifitas glomerulosklerosis
Sumber: Nahas, 2003
Peran sel endotel
Sel endotel glomerular berperan penting dalam menjaga integritas jaringan
vascular atau vascular bed termasuk glomeruli. Di dalam kapiler glomerular, sel
endotel dapat mengalami kerusakan akibat gangguan hemodinamik (shear stress),
atau gangguan metabolik dan imunologis. Kerusakan tersebut berhubungan
dengan reduksi atau kehilangan fungsi antiinflamasi dan antikoagulasi sehingga
mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit serta pembentukan mikro trombus
pada kapiler glomerulus. Hal ini juga menyebabkan mikro inflamasi yang menarik
sel-sel inflamasi (terutama monosit) sehingga berinteraksi denga sel mesangium
dan akhirnya terjadi aktivasi, proliferasi, serta produksi matriks ekstraselular atau
extracellular matrix (ECM).
Peran sel mesangium
56
Kerusakan sel mesangium primer aupun sekunder dapat menyebabkan
glomerulosklerosis. Misalnya setelah terjadi mikroinflamasi, monosit
menstimulasi proliferasi sel mesangium melalui pelepasan mitogen (seperti
platelet derived growth factor atau PDGF). Hiperselularitas sel mesangium
tersebut mendahului terjadinya sklerosis mesangium. Akibat pengaruh dari
growth factor seperti TGF-β1, sel mesangium yang mengalami proliferasi dapat
mejadi sel miofibroblas, yang mensintesis komponen ECM termasuk kolagen
interstisial tipe III, yang bukan merupakan komponen normal ECM glomerulus.
Resolusi sklerosis mesangial dan glomerular tergantung pada keseimbangan
antara sintesis ECM yang meningkat dengan pemecahan oleh glomerular
kolagenase atau metaloproteinase.
Peran sel epitel
Ketidakmampuan podosit untuk bereplikasi terhadap jejas dapat
menyebabkan stretching di sepanjang membran basalis glomerulus atau
glomerular basement membrane (GBM) sehingga area tersebut menarik sel-sel
inflamasi dan sel-sel tersebut berinteraksi dengan sel parietal epitel menyebabkan
formasi adesi kapsular dan glomeruloslerosis. Hal ini menyebabkan akumulasi
material amorf di celah paraglomerular, kerusakan glomerular-tubular junction,
dan pada akhirnya terjadi atrofi tubular serta fibrosis interstisial.
Peran trombosit dan koagulasi
Trombosit dan produk yang dihasilkannya terdeteksi dalam glomerulus yang
mengalami nefropati. Stimulasi kaskade koagulasi mengaktifkan sel mesangium
dan menginduksi sklerosis. Trombin mestimulasi prosukdi TGF-β1 yang
menyebabkan produksi ECM mesangial dan inhibisi metaloproteinase.
Glomerulosklerosis tergantung pada keseimbangan aktivitas
trombus/antiproteolitik dengan antikoagulan/proteolitik yang diatur oleh sistem
regulasi plasminogen.
Peran limfosit dan monosit/makrofag
Sel limfosit T-helper dan T-cytotoxic, monosit, dan makrofag terdapat dalam
glomerulus yang rusak. Keseimbangan antara sel limfosit Th-1 yang bersifat
inflamasi dan sel Th-2 yang bersifat antiinflamasi diduga berperan penting dalam
57
resolusi atau bahkan progresifitas glomerulosklerosis. Deplesi sel monosit atau
makrofag memiliki efek proteksi karena sel-se tersebut dapat memproduksi
sitokin dan growth factor yang mengakibatkan glomerulosklerosis.
Gambar 2 Peran berbagai sel dalam terjadinya glomerulosklerosis
Sumber: Nahas, 2003
2. Parut tubulointerstisial
Derajat keparahan tubulointerstitial fibrosis (TIF) lebih berkorelasi dengan
fungsi ginjal dibangdingkan dengan glomerulosklerosis. Proses ini termasuk
inflamasi, proliferasi fibroblas interstisial dan deposisi ECM yang berlebih. Sel
tubular yang mengalami kerusakan berperan sebagai antigen presenting cell yang
mengekspresikan cell adhesion molecules dan melepaskan sel mediator inflamasi
seperti sitokin, kemokin, dan growth factor, serta meningkatkan produksi ECM
dan menginvasi ruang periglomerular dan peritubular. Resolusi deposisi ECM
tergantung pada dua jalur yaitu aktivasi matriks metaloproteinase dan aktivasi
enzim proteolitik plasmin oleh aktivator plasminogen. Parut ginjal terjadi akibat
gangguan kedua jalur kolagenolitik tersebut, sehingga teradi gangguan
58
keseimbangan produksi ECM dan pemecahan ECM yang mengakibatkan fibrosis
yang irreversibel.
Gambar 3 Patomekanisme terjadinya parut tubulointerstisial
Sumber: Nahas, 2003
3. Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular oleh berbagai sebab
(misalnya diabetes, hipertensi, glomerulonefritis kronis) akan menimbulkan
terjadinya eksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis. Iskemi serta hipoksia akan
menyebabkan sel tubulus dan fibroblas untuk memproduksi ECM dan mengurangi
aktivitas kolagenolitik. Kapiler peritubular yang rusak akan menurunkan produksi
proangiogenic vascular endothelial growth factor (VEGF) dan ginjal yang
mengalami parut akan mengekspresikan thrombospondin yang bersifat
antiangiogenic sehingga terjadi delesi mikrovaskular dan iskemi.
Manifestasi klinis
59
Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan
didapatkan edema, hipertensi, hematuria, dan proteinuria. Anak dengan kelainan
kongenital sistem traktus urinarius, seperti renal dysplasia atau uropati obstruksi
akan ditemukan gagal tumbuh, gejala infeksi saluran kemih berulang, dan gejala
nonspesifik lainnya.
Penderita CKD stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya asimtomatik dan gejala
klinis biasanya baru muncul pada CKD stadium 4 dan 5. Kerusakan ginjal yang
progresif dapat menyebabkan:3,11,13,14
Peningkatan tekanan darah aibat overload cairan dan produksi hormon
vasoaktif (hipertensi, edem paru dan gagal jantung kongestif)
Gejala uremia (letargis, perikarditis hingga ensefalopati)
Akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga keadaan fatal yaitu aritmia
Gejala anemia akibat sintesis eritropoietin yang menurun
Hiperfosfatemia dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3)
Asidosis metabolik akibat penumpuan sulfat, fosfat, dan asam urat
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan analisis urin awal dengan menggunakan tes dipstick dapat
mendeteksi
dengan cepat adanya proteinuri, hematuri, dan piuri.3,13 Pemeriksaan
mikroskopis urin dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi untuk mencari
adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kast. Sebagian besar anak dengan
CKD memiliki banyak hyalin cast. Granular cast yang berwarna keruh
kecoklatan menunjukkan nekrosis tubular akut, sedangkan red cell cast
menunjukkn adanya suatu glomerulonefritis.4
Untuk diagnostik dan pengamatan anak dengan CKD diperlukan pemeriksaan
kimiawi serum, seperti pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan
tes yang paling penting, sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium,
fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi
60
lipid penting untuk terapi dan pencegahan komplikasi CKD. Anemia merupakan
temuan klinis penting pada CKD dan dapat menunjukkan perjalanan kronis gagal
ginjal sehingga pemeriksaan darah lengkap atau complete blood count harus
dilakukan.4
Laju filtrasi glmerulus setara dengan penjumlahan laju filtrasi di semua nefron
yang masih berfungsi sehingga perkiraan GFR dapat memberikan pengukuran
kasar jumlah nefron yang masih berfungsi. Pemeriksaan GFR biasanya dengan
menggunakan creatinine clearance, akan tetapi untuk pemeriksaan ini kurang
praktis karena membutuhkan pengumpulan urin 24 jam. Untuk kepentingan
praktis perhitungan GFR digunakan rumus berdasarkan formula Schwartz atau
Counahan-Barrat, yaitu seperti yang terdapat pada Tabel 3 dibawah ini:
Tabel 3 Perkiraan GFR pada anak menggunakan kreatinin serum dan tinggi badan
Sumber: Hogg, 2003
Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis CKD dan
memberikan petujuk kearah penyebab CKD.4-5
Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan
karena aman, mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan
modalitas terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun
USG kurang sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi massa, tetapi USG
61
dapat digunakan untuk membedakan kista jinak dengan tumor solid, juga
sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi
pada pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk
mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada
pasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari terjadinya gagal ginjal
akut.
MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT
tetapi tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi
adanya trombosis vena renalis. Magnetic resonance ngiography juga bermanfaat
untuk mendiagnosis stenosis arteri renalis, meskipun arteriografi renal tetap
merupakan diagnosis standar.
Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan
menggunakan radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic
acid (DMSA). Pemeriksaan ini lebih sensitif dibandingkan intravenous
pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan merupakan diagnosis
standar untuk mendeteksi nefropati refluks.
Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk
mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan
ini diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal
meskipun USG dan CT scan tidak menunjukkan adanya hidronefrosis.
Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid
sekunder yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia
tulang untuk memberikan terapi hormon pertumbuhan.
Penatalaksanaan
Evaluasi dan penanganan pasien dengan CKD memerlukan pengertian konsep
terpisah namun saling berhubungan mengenai diagnosis, kondisi komorbid,
derajat keparahan penyakit, komplikasi penyakit dan risiko hilangnya fungsi
62
ginjal serta peyakit kardiovaskular.2,4 anak dengan CKD harus dievaluasi untuk
menentukan:2
Diagnosis (jenis penyakit ginjal)
Kondisi komorbid (hiperlipidemi)
Derajat keparahan, yang dinilai menggunakan fungsi ginjal
Komplikasi, berhubungan dengan derajat kerusakan ginjal
Faktor risiko kehilangan fungsi ginjal
Risiko penyakit kardiovaskular
Sedangkan terapi untuk CKD meliputi:2
Terapi spesifik, berdasarkan diagnosis
Evaluasi dan penanganan kondisi komorbid
Memperlambat kerusakan fungsi ginal
Pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi penyakit komplikasi (hipertensi, anemia,gagal
tumbuh)
Penggantian fungsi ginjal dengan dialisis atau bahkan transplantasi ginjal
Terapi dislipidemi
Dislipidemi merupakan faktor risiko primer penyakit kardiovaskular dan
komplikasi penyakit ginjal progresif karena dapat menyebabkan aterosklerosis
difus dan iskemi renal.6 Abnormalitas lipid pada CKD paling sering adalah
peningkatan trigliserida, low density lipoprotein (LDL) yang diakibatkan
gangguan klirens.15 Rekomendasi dari KDOQI bertujuan mengurangi kadar
kolsterol < 100 mg/dL dan trigliserid < 200 mg/dL. Atorvastatin dan kolestiramin
efektif dan aman digunakan pada anak.1,3-5,11,15
Terapi Hipertensi
Hipertensi menyebabkan kerusakan langsung pembuluh darah nefron sehingga
ginjal kehilangan kemampuan otoregulasi tekanan dan laju filtrasi glomerulus
dengan hasil akhir hiperfiltrasi yang bermanifestasi sebagai albuminuri.15 Target
tekanan darah pada anak dengan CKD adalah dibawah persentil 90 sesuai usia dan
jenis kelamin.4 Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin
receptor blocker (ARB) lebih efektif dibandingkan antihipertensi lain dalam
63
mencegah progresifitas kerusakan ginjal karena obat-obatan tersebut menurunkan
tekanan intraglomerular dan proteinuri melalui efek langsung terhadap tekanan
darah sistemik dan sirkulasi glomerulus.4,5,11,13,
Terapi anemia
Anemia pada penyakit ginjal kronis teradi akibat produksi eritropoietin yang
menurun dan massa sel tubular renal yang berkurang. Kompensasi jantung
terhadap anemia menyebabkan hipertrofi ventrikel dan kardiomiopati sehinga
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung atau penyakit jantung iskemik.15
Rekomendasi KDOQI menyebutkan target hemoglobin 11 hingga 12 g/dL pada
penderita CKD, dan penderita dengan kadar feritin serum < 100 ng/mL harus
mendapat suplementasi besi.1,15 Recombinant human erythropoietin (rHuEPO)
dengan dosis 50-150 mg/kgBB/hari subkutan digunakan untuk anemia akibat
CKD.1,4,5,11
Terapi osteodistrofi
Anak dengan CKD mengalami penurunan kadar kalsitriol serum (1,25 dihidroksi
vitamin D) dan peningkatan kadar hormon paratiroid (PTH) serum sehingga
KDOQI menganjurkan pemeriksaan kadar kalsium dan fosfat setiap bulan dan
kadar PTH minimal setiap 3 bulan.4 Pasien dengan kadar PTH tinggi (> 300
pg/mL) dapat diberikan vitamin D aktif (Rocatrol) 0.01-0.05 μg/kgBB/hari untuk
mensupresi sekresi PTH serta harus membatasi asupan fosfat dari diet.4,11,15
Hormon pertumbuhan
Gangguan hypothalamic-pituitary-growth hormone axis berkontribusi terhadap
resistensi hormon pertumbuhan pada kadaan uremia. Menurut KDOQI,
recombinant human growth factor (rHuGH) 0.05 μg/kgBB/hari subkutan dapat
dipertimbangkan apabila tinggi anak untuk usia kronologis < 2 standar deviasi dan
anak dengan growth velocity < 2 SD.1,11
Diet
Diet memegang peranan penting pada anak CKD karena penderita rentan terhadap
malnutrisi dan hipoalbuminemi.15 Tantangan bagi dokter anak dan ahli gizi
adalah untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal.4 Kebutuhan energi harus
memenuhi recommended dietary allowance (RDA) untuk anak normal dengan
64
tinggi sesuai. Jika terapat malnutrisi, asupan kalori dapat ditingkatkan untuk
memperbaiki penambahan berat badan dan pertumbuhan linier. Asupan kalori
harus cukup untuk meningkatkan efisiensi protein (protein-sparing effecct) dan
mencegah pasien dari proses katabolik.
Diet restriksi protein hingga kini masih menjadi perdebatan.4,5 Analisis Cochrane
menyimpulkan bahwa restriksi protein dapat mengurangi proteinuri pada nefropati
diabetes. Sedangkan rekomendasi KDOQI menganjurkan asupan protein 0.8
hingga 1 g/kgBB/hari dan asupan kalori sebesar 30-35 kcal/kgBB/hari pada anak
CKD. Pada CKD stadium 1-4, asupan natrium dibatasi 2000 mg/hari, kalsium
1200 mg/hari, dan kalium serta fosfat dinilai berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium. Pada CKD stadium 5 asupan kalium, fosfat, kalsium, natrium dan
cairan perlu dibatasi. 1-3,15
Pencegahan
Dokter anak berperan dalam skrining pasien anak dengan risiko tinggi, mencegah
kerusakan ginjal, dan merubah perjalanan penyakit CKD dengan melakukan terapi
awal dan pengawasan progresifitas penyakit. Pencegahan ini memiliki 3 aspek
penting yaitu pencegahan:6
1. Primer, bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi pemaparan
terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit ginjal. Misalnya
strategi untuk mengurangi pemaparan antenatal terhadap infeksi, pencegahan
penyakit ginjal yang diturunkan dengan cara konseling genetik, pencegahan
obesitas, deteksi awal dan penanganan hipertensi dan kencing manis.
2. Sekunder, dimana pencegahan terjadinya progresifitas kerusakan ginjal dari
CKD stadium 1-5 dengan melakukan penanganan yang tepat pada setiap
stadium CKD.
3. Tersier, berfokus pada penundaan komplikasi jangka panjang, disabilitas atau
kecacatan akibat CKD dengan cara renal replacemet therapy misalnya dialisis
atau transplantasi ginjal.
Prognosis
Prognosis pasien CKD berdasarkan data epidemiologi dan angka kematian
65
meningkat sejalan dengan fungsi ginjal yang memburuk. Penyebab kematian
utama pada CKD adalah penyakit kardiovaskular. Dengan adanya renal
replacement therapy dapat meningkatkan angka harapan hidup pada CKD stadium
5. Transplantasi ginjal dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan. CAPD
meningkatkan angka harapan hidup dan quality of life dibandingkan hemodialisis
dan dialisis peritoneal.3,11,13
Ringkasan
Sejumlah besar kondisi klinikopatologis dapat menyebabkan kerusakan ginjal
pada anak. Antisipasi, deteksi dini, dan penanganan yang tepat dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas akibat CKD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative of The National Kidney
Foundation. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. 2002.
2. American Academy of Pediatrics. National Kidney Foundation’s Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative Clinical Practice Guidelines for Chronic
Kidney Disease in Children and Adolescents: Evaluation, Classification, and
Stratification. Pediatrics 2003; 111: 1416-20.
3. Nahas ME. The patient with failing renal failure. Dalam: Cameron JS, Davison
AM. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-3. Oxford University
Press.2003; hal 1648-98.
4. Gulati S. Chronic kidney disease. (Diunduh tanggal 28 Juli 2008). Tersedia dari
URL: www.emedicine.com.
5. Verrelli M. Chronic renal failure. (Diunduh tanggal 28 Juli 2008). Tersedia dari
URL: www.emedicine.com.
6. Vijayakumar M, Namalwar R, Prahlad N. Prevention of chronic kidney disease
in children. Ind J of Nephrol. 2007;17:47-52.
7. Parmar MS. Chronic renal disease. BMJ. 2002;325:85-90.
8. Sharon K. Chronic kidney disease. Critical Care Nurse. 2006;14:17-22.
66
9. Levey AS, Coresh J, Balk E, Kautz T, Levin A, Steves M et al. National
Kidney Foundation Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. Ann Intern Med. 2003;139:137-47.
10. Menon S, Valentini RP, Kapur G, Layfield S, Mattoo TK. Effectiveness of a
multidisciplinary clinic in managing children with chronic kidney disease. Clin J
Am Soc Nephrol. 2009;4:1170-1175.
11. Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
WB Saunders, 2004; hal 1770-75.
12. Henry TY. Progression of chronic renal failure. Arch Int Med 2003;163:1417-
29.
13. Fogo AB, Kon V. Chronic renal failure. Dalam: Avner WD, Harmon FE.
Pediatric Nephrology. Edisi ke-5. Lippincott Williams and Wilkins. 2004; hal
1645-70.
14. Rigden, SP. The management of chronic and end stage renal failure in
children. Dalam: Webb N, Postlethwaite R. Clinical Pediatric Nephrology. Edisi
ke-3. Oxford University Press. 2003; hal 427-45.
15. Catherine S, Snively M. Chronic kidney disease: Prevention and treatment of
common complications. American Academy of Family Physicians. 2005;1-5.
67