Download - Laporan Baca Sastra Bandingan
LAPORAN BACAAN
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan Karangan Sapardi Djoko Damono
Oleh Gina Agianti
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..................................................................................................KATA PENGANTARPENDAHULUAN...........................................................................................
LAPORAN BAGIAN BUKU.........................................................................Bagian Satu: Pendahuluan.......................................................................Bagian Dua: Beberapa Pengertian Dasar................................................Bagian Tiga: Perkembangan Sastra Bandingan......................................Bagian Empat: Asli, Pinjaman, Tradisi...................................................Bagian Lima: Terjemahan.......................................................................Bagian Enam: Sastra Bandingan Nusantara ...........................................Bagian Tujuh: Membandingkan Dongeng .............................................Bagian Delapan: Dalam Bayangan Tagore.............................................Bagian Sembilan: Jejak Romantisisme dalam Indonesia .......................Bagian Sepuluh: Gatotkoco: Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan ......Bagian Sebelas: Alih Wahana ................................................................Bagian Dua Belas: Penutup.....................................................................
KOMENTAR..................................................................................................PENUTUP ......................................................................................................DAFTAR RUJUKAN ....................................................................................
PENDAHULUAN
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, merupakan seorang pujangga Indonesia
terkemuka, sastrawan, penulis, sekaligus penyair ternama. Ia lahir di Solo, Jawa
Tengah pada tanggal 20 Maret 1940. Berkat kegemarannya pada dunia sastra,
ketika SMA ia memilih jurusan sastra, kemudian melanjutkan pendidikan di
jurusan Sastra Inggris Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 1964. Damono
berhasil menulis berbagai karya sastra, baik puisi, balada, kumpulan sajak,
kumpulan cerpen, esai, kritik sastra, artikel atau kolom di berbagai surat kabar,
dan buku-buku tentang sastra lainnya.
Damono merupakan lulusan Universitas Hawaii, Honolulu, AS (1970-
1971), pernah menjadi dosen sastra di berbagai universitas, seperti di IKIP
Malang, Universitas Diponegoro, dan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, serta pernah menjadi Dekan. Selain aktif sebagai pengajar, Damono
juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, dan Kalam. Damono banyak
meraih berbagai prestasi dan penghargaan, antara lain penghargaan dari Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) atas kumpulan sajaknya yang berjudul Perahu Kertas,
Cultural Award dari Australia (1978), anugerah Puisi Putra Malaysia dengan
kumpulan sajaknya yang berjudul Sihir Hujan (1983), Mataram Award (1985),
anugerah SEA Write Award (1986) di Bangkok-Thailand, Anugerah Seni dari
Pemerintah Indonesia (1990), Kalyana Kretya (1996), dan anugerah Ahcmad
Bakrie (2003). Damono juga aktif dalam menerjemahkan karya sastra asing,
seperti Puisi Brasilia Modern, Puisi Cina Klasik dan Puisi Parsi Klasik yang
ditulis dalam bahasa Inggris, serta beberapa karya sastra asing lainnya. Damono
mempunyai kontribusi yang besar terhadap budaya dan pengembangan sastra di
Indonesia, baik dengan melakukan penelitian maupun menjadi nara sumber
diberbagai seminar. Selain menjembatani karya asing kepada pembaca sastra, ia
juga sebagai orang yang melahirkan bentuk sastra baru. (dari berbagai sumber)
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan merupakan hasil karya dari
telaah berbagai buku tentang teori-teori ilmu sastra atau kesusastraan, baik dari
dalam negeri maupun luar negeri. Sumber-sumber yang tersaji dalam buku ini
sebagian besar dari buku-buku penulis asing. Hal ini menjelaskan bahwa Damono
memiliki sumber yang luas, memiliki wawasan atau pengetahuan yang luas,
terutama di bidang sastra, dan membuktikan buku ini sangat berkualitas.
Penulis melaporkan buku yang berjudul Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan. Buku ini diterbitkan
pada tahun 2005 oleh Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional. Beralamat di Jalan
Daksinapati Barat IV Rawamangun-Jakarta 13220,
dengan ISBN 979-685-513-5. Ketebalan buku ini
secara keseluruhan terdiri atas 127 halaman.
Secara rinci, Cover bagian dalam, identitas buku,
pendahuluan, tidak diberi nomor halaman, antara
bagian satu dan bagian dua, terdapat satu halaman
kosong tanpa nomor halaman, sedangkan kata pengantar dan daftar isi diberi
nomor halaman menggunakan huruf romawi III sampai V. Selanjutnya, bagian-
bagian pembahasan terdapat 119 halaman, bagian daftar bahan bacaan atau
kepustakaan terdiri dari 2 halaman. Sebagai gambaran, karena keterbatasan
penulis dalam menemukan buku yang asli, penulis terpaksa memakai buku
fotokopi. Penulis juga meminta maaf karena pada sampul buku (cover) terdapat
kesalahan penulisan nama yaitu DARMONO seharusnya DAMONO. Sampul
(cover) luar buku ini berwarna orange. Di tengah atas buku tertulis judul buku;
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan, serta di tengah sampul tertulis nama
penulis; Sapardi Djoko Darmono dan tengah bawah nama penerbit, yaitu Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jenis huruf (font) yang digunakan
penulis adalah Times New Roman (TNR) dengan ukuran 10.
Pembahasan buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini terbagi atas
dua belas bagian. Bagian pertama; Pendahuluan, kedua; Beberapa Pengertian
Dasar, ketiga; Perkembangan Sastra Bandingan, keempat; Asli, Pinjaman, Tradisi,
kelima;Terjemahan, keenam; Sastra Bandingan Nusantara, ketujuh;
Membandingkan Dongeng, kedelapan; Dalam Bayangan Tagore, kesepuluh; Jejak
Romantisisme Dalam Sastra Indonesia, kesebelas; Gatotkoco; Kasus Peminjaman
Dan Pemanfaatan, kesebelas; Alih Wahana, dan terakhir kedua belas; Penutup.
LAPORAN BAGIAN BUKU
Pada bagian ini penulis akan melaporkan bagian isi buku yang berjudul
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan hasil karya Sapardi Djoko Damono, yang
meliputi dua belas bagian. Setiap bagian berisi pembahasan yang dijelaskan secara
khusus sesuai bagiannya masing-masing. Penjelasan-penjelasan Damono dalam
buku ini, semakin memberi pemahaman bagi pembaca untuk mengetahui hal-hal
apa saja yang bisa dijadikan objek penelitian sastra bandingan. Dengan demikian,
buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini dapat dijadikan sebagai salah
satu acuan untuk melakukan penelitian sastra bandingan nantinya.
Bagian-bagian isi buku ini tidak menggunakan penomoran bab, dan hanya
mencantumkan judul. Setiap bagian tidak ada penanda topik, seperti nomor atau
sub-sub bab yang akan dibahas. Oleh karena itu, dalam laporan bacaan ini, penulis
memberi penomoran dengan angka dan mencantumkan judul sesuai pembagian
pembahasan dalam buku ini. Selanjutnya, mengenai laporan bagian isi buku
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono ini, akan
penulis jabarkan sebagai berikut.
Bagian Satu: Pendahuluan
Pada bagian ini, Damono menjelaskan tentang penggunaan pendekatan
sastra bandingan bagi penelitian sastra. Dalam penelitian sastra diharuskan
menggunakan pendekatan tersebut agar sampai pada pemahaman suatu masalah,
karena tidak akan bisa melakukan penelitian menggunakan pendekatan sastra
bandingan tanpa adanya pembanding. Selain berisikan tentang penggunaan
pendekatan sastra bandingan, buku ini juga berisi tentang penjelasan bahwa sastra
bandingan bukanlah yang tertulis saja, tetapi termasuk juga yang lisan dengan
pengertian tersendiri pula. Buku ini diharapkan dapat bermanfaat, terutama untuk
memahami sastra, serta dapat diapresiasikan pada kebudayaan yang telah ada.
Dengan menggunakan pendekatan ini dalam penelitian karya sastra, maka akan
sangat bermanfaat bagi kita dalam memahami sastra dan mengapresiasi
kebudayaan yang telah menghasilkannya.
Bagian Dua: Beberapa Pengertian Dasar
Bagian ini menjelaskan tentang sastra bandingan yang merupakan
pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori sendiri, artinya teori
apa saja bisa dimanfaatkan sesuai dengan objek dan tujuan penelitian. Selain tidak
menghasilkan teori sendiri sastra bandingan merupakan suatu pendekatan yang
membandingkan suatu karya sastra dengan bidang lainnya. Baik itu perbandingan
antar geografis, kepercayaan, sosial, sains, dan lain sebagainya.
Damono memberi penjelasan pengertian dasar sastra bandingan, yang
dikutip dari pendapat para ahli, yaitu Remak dan Nada. Menurut Remak, sastra
bandingan adalah membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara
lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan
ungkapan kehidupan. Pendapat Remak tersebut mengartikan bahwa yang
termasuk dalam kajian sastra bandingan ada dua bagian, yaitu sastra harus
dibandingkan dengan sastra, dan sastra juga bisa dibandingkan dengan bidang
ilmu lain, seperti seni dan disiplin ilmu lain. Sementara Nada, seorang pengamat
Sastra Arab, menyatakan bahwa sastra bandingan adalah suatu studi kajian
sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa
lain, bagaimana terjalin proses saling mempengaruhi antara satu dengan
lainnya, apa yang telah diambil suatu sastra, dan apa pula yang telah
disumbangkannya. Jadi maksudnya bahwa sastra bisa dibandingkan apabila sastra
suatu bangsa ada kaitannya dengan sejarah sastra bangsa lainnya.
Di bagian ini juga dijelaskan mengenai bahasa sebagai syarat utama dalam
studi sastra bandingan. Damono mengatakan bahwa perbedaan bahasa merupakan
salah satu syarat utama dalam sastra bandingan. Pernyataan Damono ini didukung
oleh pendapat Nada, bahwa kegiatan membandingkan karya sastra Arab meskipun
ditulis oleh dua sastrawan Arab dari negeri yang berbeda, tidak bisa dilakukan,
karena ia menganggap bahasa Arab yang tersebar dimana pun telah menghasilkan
kebudayaan yang sama. Artinya, seseorang tidak bisa dianggap telah melakukan
studi sastra bandingan jika ia mengadakan perbandingan antara sastrawan Arab.
Sastra bandingan dapat dilakukan jika karya sastra Arab itu telah disusun dalam
bahasa lain, misalnya ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
Selanjutnya, Nada beranggapan bahwa karya sastra yang ditulis dalam
bahasa yang sama memberikan ciri pemikiran yang sama dan umum pada bangsa-
bangsa yang telah menghasilkannya karena adanya kesamaan pola pikir dan cara
hidup mereka dalam memandang masalah kehidupan, karena pada hakikatnya
tidak ada perbedaan asasi antara karya-karya tersebut. Namun, sangat berbeda
ketika karya sastra suatu negara dibandingkan dengan negara lain. Misalnya sastra
Inggris dan Amerika yang memiliki hubungan kesejarahan, meskipun sama-sama
menggunakan bahasa Inggris, tetapi dalam sastra pasti terdapat perbedaan yang
mencolok, baik dalam cara pandang/pola pikir, gaya bahasa, dan kekayaan kosa
kata. Berdasarkan hal itu, Damono berkesimpulan bahwa pada dasarnya pendapat
Nada sama dengan Remak, yakni membandingkan dua sastra dari dua negeri yang
berbeda itu sah-sah saja, meskipun keduanya menggunakan bahasa yang sama,
karena pengunaan bahasa yang sama itu justru menunjukkan adanya hubungan
kesejarahan.
Kemudian, dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini juga
membahas tentang sastrawan yang menulis karya sastra dalam berbagai bahasa
yang berbeda, atau lebih dari satu bahasa. Salah satunya sastrawan di Indonesia,
yaitu Ajib Rosidi yang menulis balada ”Jante Arkidam” dalam bahasa Sunda dan
Indonesia, Suparto Brata menulis dalam bahasa Jawa dan Indonesia. Rabindranath
Tagore menulis dalam bahasa Inggris dan Bengali, sedangkan Samuel Beckett
yang menulis karyanya dalam bahasa Prancis kemudian menerjemahkan karya-
karyanya sendiri dalam bahasa Inggris. Menurut Damono, contoh-contoh tersebut
dapat dikatakan sebagai sastra bandingan, karena mengacu pada konsep bahasa
sebagai hasil kristalisasi kebudayaan. Tentu, hal ini didasarkan bahwa sastrawan
mampu melakukan perjalanan ulang-alik antara dua kebudayaan dan di dalam
masing-masing bahasa ia menyatakan dirinya di dalam lingkungan kebudayaan
yang berbeda.
Damono menjelaskan mengenai batasan-batasan yang bisa dibandingkan
dalam kajian sastra bandingan. Menurut Guyard, penelitian sastra bandingan
merupakan pendekatan sejarah hubungan-hubungan sastra antarbangsa. Guyard
selanjutnya menjelaskan bahwa sastra bandingan mensurvei pertukaran gagasan,
tema, buku, atau perasaan di antara bangsa-bangsa, di antara dua atau beberapa
sastra. Jadi, selain membandingkan sastra dari dua negara atau bangsa, sastra
bandingan merupakan suatu metode untuk memperluas pendekatan atas sastra
suatu bangsa saja. Sastra bandingan melampaui batas-batas bangsa dan negara
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kecenderungan dan
gerakan yang terjadi di berbagai bangsa dan negara. Khusus sastra Barat, Cortius
menyatakan bahwa dengan memandang objek kajian sastra-teks, genre, gerakan,
kritik, dalam perspektif antar bangsa, sastra bandingan memberikan sumbangan
terhadap pengetahuan mengenai kesusastraan.
Ada lima pendekatan yang digunakan dalam melakukan penelitian sastra
bandingan menurut Clements, yaitu:
1) tema/mitos,
2) genre/bentuk,
3) gerakan/zaman,
4) hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni dan disiplin ilmu
lain, dan
5) pelibatan sastra sebagai bahan bagi perkembangan teori yang terus-
menerus bergulir.
Damono juga mengatakan bahwa, dalam kegiatan akademik syarat utama
bagi peneliti sastra bandingan adalah penguasaan bahasa, karena karya sastra yang
diteliti harus dibaca dalam bahasa aslinya. Metode dalam sastra bandingan harus
dikaitkan dengan sejarah teori sastra, karena teori tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan sastra, sehingga sastra bandingan merupakan humanisme baru
yang berkeyakinan adanya gejala sastra.
Selanjutnya dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan, Damono
juga menjelaskan tentang awal mulanya perkembangan studi sastra bandingan.
Awalnya, pengkajian kesusastraa di Eropa hanya sebatas pendekatan nasional,
sehingga menimbulkan pandangan yang sempit terhadap sejarah dan kritik sastra.
Cakupan sastra bandingan tidak hanya satu bidang kajian, tetapi pandangan yang
menyeluruh tentang sastra, kebudayaan secara keseluruhan, ekologi kemanusiaan,
Weltanschauung kesusastraan, suatu visi tentang semesta budaya, yang mencakup
semua secara komprehensif.
Menurut Jost (1974), menyatakan sastra bandingan harus dikembangkan
hingga mencakup sastra-sastra di luar Eropa, karena para pakar sastra bandingan
Eropa tidak mengetahui banyak tentang sastra di luar Eropa. Ia pun membagi
pendekatan sastra bandingan dengan empat bidang, yaitu:
1) pengaruh dan analogi,
2) gerakan dan kecendrungan,
3) genre dan bentuk,
4) motif, tipe, dan tema.
Secara umum, Damono menyatakan bahwa dari keempat pendekatan
tersebut, pendekatan pertama yang paling banyak menghasilkan hasil penelitian,
karena dianggap sebagai sastra bandingan. Ia juga menyatakan bahwa keempat
kategori pendekatan di atas tidak memiliki garis pemisah yang tegas. Hal itu
karena, setiap studi apapun dalam bidang ilmu kemanusiaan dapat menjadi studi
hubungan-hubungan dalam pengertian pengaruh dan analogi. Sarjana sastra bisa
menguraikan suatu gerakan, genre, atau motif dalam memahami hubungan-
hubungan antara berbagai sastra nasional. Peneliti dihadapkan pada karya-karya
tertentu yang semua berisi tema dan motif, yang menjadi bagian dari genre dan
gerakan.
Menurut Damono, studi pengaruh dan analogi dalam sastra bandingan
memusatkan perhatian pada interkasi dan kemiripan antara beberapa sastra, karya,
dan pengarang sastra nasional, atau fungsi tokoh penting yang menjadi perantara
dalam menyebarkan doktrin atau teknik sastra. Ia mengatakan bahwa kemiripan
antara sastra dan bidang seni lain juga bisa disebut sastra bandingan, misalnya
perbandingan antara puisi dan seni lukis, musik dan puisi, bahkan perbandingan
karya sastra dan ilmu lain, seperti sosiologi, agama, filsafat, boleh dianggap sastra
bandingan selama kegiatannya bertujuan memahami karya sastra secara lebih baik
dengan membandingkannya.
Studi pengaruh dalam sastra bandingan menurut Damono ada dua metode
yang bisa digunakan, yaitu peneliti menekankan masalahnya dari segi pandangan
sastrawan yang dipengaruhi, dan sudut pandang sastrawan yang mempengaruhi.
Jost menyatakan bahwa penelitian bisa dilaksanakan dengan metode genetik atau
poligenetik, dari yang menekankan pentingnya hubungan sebab akibat maupun
yang tidak. Kemudian, studi analogi ini dikembangkan untuk melengkapi studi
pengaruh dalam sastra bandingan. Studi analogi mempertimbangkan kemiripan
yang ada pada berbagai unsur dua atau lebih sastra. Analogi bisa menjelaskan hal
yang lebih luas dan hakiki, yakni sikap estetik dan filosofis secara umum.
Pendekatan lain atau terakhir untuk sastra bandingan yang diungkapkan
Damono dalam buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan adalah pendekatan
yang menuntut atau tuntutan mempergunakan bahasa asli karya sastra yang
dibandingkan. Pendekatan ini biasanya digunakan dalam kegiatan penerjemahan,
yang membandingkan-bandingkan kecenderungan tematik yang ada dalam karya
sastra yang dibandingkan. Jadi, dengan pendekatan ini, hasil penelitian sastra
bandingan yang membanding-bandingkan berbagai karya sastra dari berbagai
bahasa, dengan penerjemahan dalam upaya untuk meningkatkan pemahaman,
pengetahuan, baik karya sastra maupun terhadap kebudayaan lain melalui karya
sastra.
Bagian Tiga: Perkembangan Sastra Bandingan
Bagian ini menjelaskan tentang sastra bandingan mula-mula dilahirkan
dan dikembangkan di Eropa, benua yang menjadi sejumlah bahasa dan
kebudayaan, namun yang pada dasarnya bersumber pada mitologi Yunani dan
kitab suci orang Kristen. Dari segi kebahasaan, Eropa dibagi menjadi beberapa
kelompok bahasa, antara lain Roman dan Anglo Sakson. Rumpun bahasa Roman,
misalnya mencangkup tiga bahasa besar yakni Prancis, Itali dan Spanyol. Bahasa
yang mirip satu sama lain itu menghasilkan kesusastraan yang berbeda-beda,
meskipun ada hubungan sejarah diantara mereka. Sejak ekspansi ke benua-benua
lain, bahsa Eropa juga berkembang di luar benua. Pada abad 19-20 untuk pertama
kalinya Reve des deux mondes menerbitkan sebuah artikel terbitan tahun 1868.
Dalam karangannya menjelaskan cabang studi sastra bandingan baru berkembang
di Prancis awal abad ke 19. Pada abad ke 20 pengukuhan studi sastra bandingan
terjadi ketika jurnal Reve literature compare diterbitkan pertama kali pada tahun
1921. Jurnal tersebut memuat karangan-karangan mengenai sejarah intelektual,
terutama sekali dalam melacak pengaruh hubungan yang melewati batas-batas
kebahasaan.
Pada bangsa Eropa studi sastra bandingan menjadi kegiatan yang wajar,
tidak dicari-cari, berbeda dengan di benua Asia, sastra bandingan yang ditinjau
dari segi linguistik dan budaya, bangsa Asia memiliki ciri-ciri tersendiri, aksara
yang berbeda, tidak memiliki acuan yang tunggal dalam kebudayaan seperti Eropa
serta tidak suka dibanding-bandingkan.
Kunst dalam Damono (2005: 17) membagi kebudayaan Asia menjadi tiga
tradisi sastra besar yakni, pertama Timur Tengah yang berkaitan erat dengan
tradisi Eropa dalam hal sejarah, ilmu alam, dan agama. Kedua Asia Selatan, yang
berpusat di India dan menjangkau Teluk Benggala sampai Burma, Thailand, Laos,
Kamboja, Indonesia, dan Malaysia, ke Selatan menjangkau Sri Lanka, dan ke
Utara mencapai Nepal, Tibet, dan Asia Tengah. Tradisi sastra ketiga yaitu Asia
Timur bersumber di Cina menyebar ke Jepang, Korea, Mongolia, dan Vietnam.
Kurt juga menjelaskan bahwa hubungan antara ketiga tradisi sastra Timur Tengah
dan kedua tradisi sastra lainnya. Jadi, sastra klasik juga mendapatkan pengaruh
atau sentuhan dari ketiga tradisi besar Asia. Naskah-naskah klasik yang ditulis
dalam beberapa bahasa daerah menunjukkan pengaruh Parsi, Asia Selatan, dan
yang berasal dari Cina yang biasa dikenal sebagai Timur jauh.
Bagian Empat: Asli, Pinjaman, Tradisi
Bagian ini menjelaskan bahwa pada zaman sekarang hampir tidak
mungkin lagi menemukan benda budaya yang sepenuhnya asli, termasuk pada
karya sastra, ini dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Dapat dicontohkan dengan kisah Mahabharata yang lahir di India dan baru bisa
dinikamati di tanah Jawa setelah ratusan tahun lamanya. Namun pada zaman
sekarang ini dengan kecanggihan teknologi, memungkinkan sebuah benda,
budaya atau kaarya sastra dengan mudah bisa mencapai tempat lain dalam waktu
yang singkat.
Teknologi yang semakin canggih seperti sekarang ini, tentunya tidaklah
sulit untuk menikmati berbagai karya sastra diseluruh dunia. Penyebaran karya
sastra dengan mudah inilah memberikan inspirasi bagi sastrawan untuk
melakukan inovasi tematik maupun stalistik. Berbagai bentuk puisi seperti Sonete
dan romance yang berkembang pesat di Eropa dan Prancis dengan cepatnya
menyebar keseluruh dunia termasuk Indonesia. Romance itu sendiri merupakan
pinjaman dari dari bentuk naratif yang lain.
Dengan maraknya penularan-penularan yang berkembang, menjadikan
salah satu alasan utama untuk mengembangkan sastra bandingan. Penularan dapat
berupa “pengaruh” yang harus diartikan secara luas yaitu bukan hanya sekedar
proses peniruan yang menimbulkan karya sastra baru berdasarkan hasil tiruan dari
karya sastra yang sudah ada. Dalam hal ini konsep pengaruh diartikan mulai dari
pinjaman sampai ke tradisi. Tak bisa dipungkiri betapa banyaknya karya sastra
yang menjadi tonggak sastra dunia merupakan pinjaman, artinya karya tersebut
tidaklah asli lagi atau pinjaman.
Kegiatan meminjam baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
berpengaruh terhadap perkembangan kesusastraan. Misalnya kisah cinta terlarang
seorang anak laki-laki yang mencintai ibunya, dalam kebudayaan Barat dikenal
dengan kisah Oedipus, sedangkan kebudayaan Sunda dikenal dengan
Sangkuriang. Dongeng seperti ini ternyata bisa kita temukan diberbagai
kebudayaan di seluruh dunia. Kisah-kisah dalam tradisi lisan pada zaman dahulu
kemudian diangkat dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Bagian Lima: Terjemahan
Bagian ini menjelaskan tentang karya sastra setiap bangsa tidaklah sama,
untuk memahaminya maka hal petama yang harus dilakukan adalah
menerjemahkannya. Menerjemahkan dimulai dengan menerjemahkan aksaranya,
gunanya untuk mempermudah pemahaman terhadap karya sastra yang ditulis.
Sastra tulis yang berkembang di Indonesia tidak terlepas dari bayang-bayang
aksara India, dikarenakan zaman dahulu nenek moyang bangsa Indonesia
mengembangkan aksara yang dipinjam dari India sehingga meghasilkan aksara
Jawa, Sunda, dan Bali. Kitab klasik yang berkaitan dengan dengan Epos
Mahabharata dan Ramayana bermunculan diawal tradisi tulisan sastra Jawa.
Perkembangan berikutnya adalah aksara Arab dengan menciptakan huruf
Jawi kedalam bahasa Melayu dan Pegon dalam bahasa Jawa serta tidak terlepas
dari kebudayaan Timur Tengah yang berkaitan erat dengan agama dan
kebudayaan Islam. Terakhir pada perkembangannya kita memilih aksara Latin
yang dipakai untuk menerjemahkan Sastra Barat kedalam beberapa bahasa
diantaranya Melayu dan beberapa bahasa lainnya yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka dan beberapa penerbit swasta.
Masyarakat keturunan Cina memberikan sumbangan yang sangat berharga
terhadap perkembangan sastra di Indonesia, terbukti dari pengarang keturunan
Cina yang banyak mendapat perhatian. Cerita silat di Indonesia yang diilhami dari
cerita silat dari Cina banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Pada tahun 1920 sampai 1930-an pengaruh romantisme masih sangat
kental di Indonesia, kemudian tahun 1950 sampai 1960-an terjadi “kesemerautan”
pengaruh asing. Salah satu tokoh yang menerima pengaruh asing adalah Chairil
Anwar. Chairil Anwar merupakan sastrawan yang mampu menciptakan
kesusastraan baru. Karya sastra yang diterjemahkan Chairil yang terkenal adalah
Huesca. Pada hasil terjemahan tersebut Chairil dianggap “setia” pada
pengulangan bunyi tapi tidak “setia” pada makna. Pada bab ini juga terdapat
pernyataan seorang tokoh yang menganggap sastra terjemahan tidak lebih dari
reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak, artinya karya sastra terjemahan
tersebut sudah tidak asli lagi dan berbeda dari karya aslinya. Namun, sebenarnya
karya terjemahan tidaklah seburuk yang dibayangkan oleh tokoh tersebut, sangat
mungkin ada terjemahan yang lebih bagus dari aslinya.
Dalam penerjemahan karya sastra dipengaruhi oleh kebudayaan sasaran,
artinya penerjemah bisa menjadi “pengkhianat kreatif”’ dalam menulis karya
sastranya ini disebabkan penerjemah diikat oleh kebudayaan sendiri. Chairil
Anwar dianggap sebagai “pengkhianat kreatif” yang menerjemahkan sajak The
Young Dead Soldies menjadi sajak yang berjudul Karawang Bekasi. Chairil
Anwar diikat oleh kebudayaan sendiri, walaupun banyak yang menganggapnya
plagiat terhadap karya MacLeish tersebut.
Bagian Enam: Sastra Bandingan Nusantara
Bagian ini menjelaskan tentang kekayaan kebudayaan Indonesia yang
menjadi sumber penelitian sastra bandingan. Misalnya tentang tradisi lisan dan
tulis, bahkan beberapa daerah mengembangkan aksara tersendiri, seperti pulau
Jawa, Sunda, Bali, Bugis dan Batak yang berkaitan satu sama lain. Berbeda
dengan negari-negeri di Eropa yang mengacu pada Mitologi Yunani dan
perjanjian lama Injil.
Sastra dari kebudayaan yang satu dan lainnya sangat berbeda, ini
ditentukan oleh geografi dan dan SDA. Misalnya legenda yang diciptakan oleh
masyarakat Sangihe yang berbasis kehidupan laut, berbeda dengan dongeng yang
muncul dalam kebudayaan Bali yang tumbuh dalam kebudayaan agraris. Karya
sastra Indonesia yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan daerah akan
mudah dipahami masyarakat seluruh Indonesia, namun jika menggunakan bahasa
daerah misalnya bahasa Jawa maka hanya sekelompok orang saja yang akan
mengerti.
Genre yang berkembang di Indonesia juga dipengaruhi oleh luar. Misalnya
genre wiracarita, dalam bentuk syair, kidung, kakawin, hikayat, berbagai jenis
teater rakyat, dan pelipur lara. Dalam sastra bandingan yang terpenting adalah
penggunaan dan penguasaan bahasa asli dari karya tersebut, karena sejatinya
dalam sastra bandingan kendala utama adalah bahasa. Pemaparan yang terdapat
dalam sastra bandingan nusantara, yaitu tentang berbagai macam sastra Indonesia
yang hampir sama dengan sastra diberbagai belahan dunia kemudian dibanding-
bandingkan sehingga dapat dilihat persamaan dan perbedaannya.
Bagian Tujuh: Membandingkan Dongeng
Pada bagian ini pembahasannya lebih fokus ke dongeng, karena dalam
penelitian sastra bandingan, sebuah dongeng dapat dibandingkan dengan dongeng
lain, yang berasal dari berbagai negara, tentunya dongeng yang mirip. Penelitian
ini tidak hanya mengungkapkan keaslian dan pengaruhnya terhadap yang lain,
tetapi lebih kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada dan watak
suatu masyarakat. Dongeng mencakup segala jenis kisah yang dalam pengertian
Barat dipilah-pilah menjadi mitos, legenda, dan fabel. Contoh untuk menunjukkan
pendekatan perbandingan mitos dalam dongeng adalah kisah Oedipus di Yunani
Kuno yang telah berkembang selama ribuan tahun di masa lampau. Tetapi, di
dalam akhir cerita kisah Oedipus ini terdapat berbagai versi yang berbeda, baik
versi Homerus maupun versi Sophocles. Perbedaan versi inilah yang nantinya
digunakan dalam membandingan dongeng.
Kisah tentang Oedipus sangat terkenal di berbagai negeri Eropa. Para
sastrawan Eropa, seperti Pierre Corneille, John Dryden, dan Voltaire, berhasil
menggunakan tokoh dalam dongeng itu menjadi sebuah rentetan drama yang
panjang. Pada zaman selanjutnya, kisah ini diungkapkan lagi atas ketertarikan
dikalangan dramawan Perancis menjadi bentuk pertunjukan drama. Pendekatan
yang berbeda dilakukan oleh seorang dramawan Yunani klasik, Sophocles dalam
Oedipus Rex ’Oedipus Sang Raja’ ending ceritanya berakhir teragis. Kemudian
drama tersebut dilanjutkkan oleh Sophocles dalam drama Oedipus di Kolonus,
sang raja meninggal dalam pengembaraan.
Uraian ringkas di atas nampak jelas bahwa dalam suatu tradisi kebudayaan
yang sama, kisah mengenai Oedipus ini memiliki versi yang berbeda. Artinya hal
ini menjelaskan bahwa setiap zaman memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan
dan menafsirkan masalah yang sangat hakiki dalam hidup manusia. Tradisi lisan
yang beredar di Yunani Kuno itu ditafsirkan oleh orang Yunani sendiri dan juga
kemudian oleh bangsa-bangsa lain di Eropa yang tentunya mendapat pengaruh
dari kebudayaannya. Salah satu kisah di Indonesia yang bisa dikatakan kisah yang
mendapat pengaruh dari kisah Oedipus adalah kisah Sangkuriang yang berasal
dari Priangan-kebudayaan Sunda, atau kisah Prabu Watu Gunung, dalam kitab
Babad Tanah Jawi, yang dikenal sebagai kebudayaan Jawa Klasik. Tradisi lisan
tentang kisah Sangkuriang ini disesuaikan dengan kondisi geografis asal-muasal
cerita itu, dan dikaitkan dengan Gunung Tangkubanperahu.
Dalam perkembangan sastra Indonesia modern, kisah Sangkuriang pernah
dibuat dalam berbagai genre dan versi, yang dilakukan oleh seorang dramawan,
Utuy Tatang Sotani, yang menulis kembali cerita tersebut menjadi sebuah drama
dengan dua versi yang berbeda. Drama-drama yang ditulis itu lebih merupakan
resepsi pengarang atas dongeng itu dan oleh karenanya mengambil serangkaian
peristiwa yang berbeda. Kisah Sangkuriang banyak mengalami perkembangan di
Pariangan dalam berbagai versi. Ditilik dari berbagai segi, perbedaan yang ada
antara versi-versi itu, lisan manupun tertulis, tentu disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu sosial dan budaya. Jadi untuk menemukan dan mengapresiasi makna
yang lebih dalam dapat dilakukan dengan cara penelitian sastra bandingan, baik
penokohan, latar, perlambangan, dan alur, bisa ditelusuri, kemudian menentukan
perbedaan dan persamaannya dalam upaya pemahaman mengenai kebudayaan
penciptaannya.
Kisah yang mirip dalam khasanah sastra Jawa klasik itu juga ditemukan
dalam Babad Tanah Jawi, yaitu sebuah kitab Jawa klasik yang dianggap sebagai
sejarah, mengutip berbagai kisah dari tradisi lisan untuk menentukan asal-usul
suku bangsanya. Di awal buku itu dapat kita temukan alur dan tokoh yang bisa
dibandingkan dengan kisah Oedipus dan Sangkuriang. Kisah Jawa tentang
percintaan dan perkawinan antara anak laki-laki dan ibunya itu sama sekali
berbeda dalam latar, penokohan, dan alur. Sementara dalam kebudayaan Yunani
klasik kisah itu tidak mengaitkan kisahnya dengan penciptaan dunia.
Oedipus, Sangkuriang, dan Prabu Watugunung merupakan tokoh utama
dalam kisah yang mirip, yaitu seorang laki-laki yang membunuh ayahnya dan
mengawini ibunya, hanya saja ketiganya hadir dalam versi yang berbeda. Dalam
hal ini, untuk membandingkannya harus menggunakan pendekatan status sosial
tokoh-tokoh yang berbeda satu sama lain. Sehingga, dengan pendekatan ini dapat
dimuat daftar perbedaan dan persamaan unsur-unsur formal kisah-kisah tersebut.
Selanjutnya, bisa dilakukan penafsiran secara objektif, bahkan bisa juga dikaitkan
dengan faktor sosial, politik, dan budaya yang mendasari penciptaannya.
Bagian Delapan: Dalam Bayangan Tagore
Bagian ini menjelaskan tentang Rabindranath Tagore sastrawan Asia
pertama yang menerima hadiah Nobel untuk bidang kesusasteraan pada tahun
1913. Puisinya yang berjudul Gitanjali diterjemahkan kedalam berbagai bahasa
termasuk bahasa Indonesia. Tagaroe mempunyai pengaruh yang kuat, terbukti
dari merebaknya minat penyair muda di Indonesia terhadap karya sastra. Puisinya
yang berjudul Gitanjali yang diterjemahkan oleh Amal Hamzah merebut
perhatian banyak remaja pada waktu itu. Karya Tagore ini memang karya sastra
yang “tua”, namun salah satu keunggulan karya sastra adalah dapat menerobos
pembatas zaman, karya yang bagus akan tetap dihargai sepanjang zaman.
Penyair-penyair muda Indonesia banyak dipengaruhi oleh Tagore, seperti
Noto Soeroto, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Aoh K. Hadimadja. Studi
mengenai seorang tokoh dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan bisa
menghasilkan berbagai jenis tinjauan mengenai jejak, kritik, penerimaan, dan
masalah penerjemahan karya-karyanya dan sastra Indonesia tidak terlepas dari
perkembangan sastra dunia.
Bagian Sembilan: Jejak Romantisisme dalam Sastra Indonesia
Bagian ini menjelaskan tentang perkembangan dan perluasan masuknya
Romantisme di Indonesia. Gerakan Romantik di Barat merambat dari satu negeri
ke negeri lain dengan mendukung kebebasan individu untuk berekspresi dan
berimajinasi sesukanya. Individualisme merupakan bagian penting dalam gerakan
Romantik di Eropa. Tokoh yang erat hubungannya dengan gagasan
individualisme adalah Napoleon Bonaparte. Kesusastraan Romantik mulai
berkembang pada abad ke 18, berkiblat pada kebudayaan abad pertengahan yang
lebih percaya pada iman dibandingkan zaman pencerahan yang bersandar pada
logika. Jadi, Romantisme lebih berurusan dengan emosi ketimbang rasionalitas.
Tokoh utama gerakan romantik yaitu William Wordsworth, menurutnya karya
sastra merupakan luapan spontan dari perasaan yang menggebu-gebu.
Penyair Indonesia yang mengantut aliran Romantisme ini antara lain adalah
Sanusi Pane, dalam sajaknya disebutkan bahwa dalam hidup ini segala yang
bernama kebudayaan, hasil budidaya manusia, tidaklah ada artinya sama sekali
dibandingkan perasaan yang ada didalam hati sendiri.
Pada tahun 1930, Alisjahbana beserta rekan-rekannya yaitu Ali Hasjmy,
Sanusi Pane, dan Rustam Effendi aktif menulis berbagai puisi dan naskah drama
yang tidak terlepas dari aliran Romantisme namun disesuaikan dengan
perkembangan sosial politik pada zaman itu, antara lain Nasionalisme.
Perkembangan Nasionalisme mencapai puncaknya pada tahun 1928 ketika
Sumpah Pemuda dicetuskan.
Romantisme tampak pada cerita rekaan dan drama yang diterbitakan pada
masa itu, jika diperhatikan akan dapat diuraikan persamaan dan perbedaan antara
kesusasteraan kita dengan perkembangan kesusastreaan Eropa pada abad ke 17
dan ke 18 tersebut.
Bagian Sepuluh: Gatoloco: Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan
Bagian ini menjelaskan tentang sebuah sajak modern Indonesia karya
Goenawan Mohamad, yaitu Gatoloco yang dibandingkan dan sangat erat
kaitannya dengan kitab klasik Jawa dengan judul yang sama. Sajak ini
mengisahkan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurutnya ada lima
jenis hubungan yang menjadi masalah utama bagi manusia, yaitu hubungan
dengan Tuhan, alam, masyarakat, manusia, dan dirinya sendiri. Kitab Gatoloco ini
dipinjam Goenawan Muhammad kemudian dimanfaatkan untuk mengungkapkan
posisi manusia modern dihadapan Penciptanya.
Penggambaran latar, metafor, dan segala bentuk sesuatu yang berkaitan
dengan kehidupan kita sehari-hari yang digunakan Goenawan Mohamad mampu
menjelaskan makna yang tersirat dalam kitab Gatoloco tersebut sehingga
menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang sajak moderen ini dan posisi
manusia serta hubungan dengan Sang Pencipta.
Bagian Sebelas: Alih Wahana
Bagian ini menjelaskan tentang dalam karya sastra sering dijumpai
perubahan kesatu jenis kesenian ke kesenian lain, misalnya cerita rekaan yang
diubah menjadi tari, drama, atau film. Perubahan inilah yang disebut alih wahana.
Pada tahun 1950, sebuah grup ketoprak keliling yang berbahasa Jawa
mengadakan pertunjukan tradisional dengan memerankan lakon Romeo dan Juliet
karya Shakespare. Grup ketoprak tidak menggunakan naskah tertulis, semua yang
terjadi merupakan improvisasi dari panggung. Karya Shakespare ini sangat
diterima diberbagai penjuru dunia termasuk Indonesia.
Alih wahana dari novel ke film memiliki perbedaan yang mendasar. Jika
dalam novel kita hanya bisa berimajinasi terhadap tokoh-tokoh yang digambarkan
oleh pengarang, namun pada film kita bisa melihat tokoh-tokoh yang
digambarkan oleh pengarang. Tokoh yang digambarkan dalam novel terkadang
sangat jauh berbeda dari film. Selain penggambaran tokoh, dialog merupakan
unsur yang tidak dapat dipisahkan. Dilaog dalam sebuah novel biasanya sangat
panjang dan bertele-tele, namun tidak berlaku pada film.
Di Indonesia alih wahana juga terjadi pada film, yaitu film diubah
bentuknya ke novel. Artinya proses perubahan dari bahasa verbal ke bahasa tulis.
Kasus alih wahana yang terjadi pada sastra Jawa merupakan prinsip penting,
karena menyatakan bahwa karya sastra yang telah disadur, statusnya bukan lagi
milik sastra sumber melainkan milik sastra bahasa sasaran.
Bagian Dua Belas: Penutup
Pada bagian penutup ini Damono menguraikan secara ringkas langkah-
langkah dalam melaknasanakan penelitian sastra bandingan. Sesuai prinsip-
prinsip Clements, yang mengatakan bahwa setidaknya ada lima pendekatan yang
dilakukan untuk melakukan penelitian sastra bandingan, yakni tema/mitos,
genre/bentuk, gerakan/zaman, hubungan-hubungan antara sastra dan bidang seni
atau disiplin ilmu lainnya.
Tema/Mitos: langkah-langkah dalam penelitian ini yiatu, usahakan menggunakan
bahan perbandingan naskah asli, yakni baik ditulis bahasa Inggris atau bahasa
Indonesia, jika membicarakan mengenai stilistika hindari karya terjemahan.
Genre/Bentuk: dalam hal ini bisa pembicaraan yang dikaji bisa apa saja, misalnya
cerita detektif sebagai genre-nya. Hal yang diungkapkan bisa perbedaan dan
persamaan dua karya sastra, atau satu karya dari daerah/bangsa yang berbeda.
Gerakan/Zaman: ini pembicaraannya mengenai Romantisisme “modern”, yang
berawal dari Eropa. Gerakan mashab lain seperti realisme, eksistensialisme, dan
absurdisme bisa menjadi pokok bandingan yang berharga untuk menyusun sejarah
dan pemahaman sastra.
Sastra dan Bidang Seni serta Disiplin lain: jenis pendekatan ini tentu saja
menuntut adanya penguasaan atas kedua seni yang dibandingkan. Misalnya puisi
dan musik, langkahnya dengan jenis pertanyaan yang sama tetapi berdasarkan
jargon yang berbeda-beda, yang ada kaitannya dengan musik.
Sastra sebagai Bahan Pengembangan Teori: mengkaji teori resepsi dan
tanggapan pembaca, misalnya mengungkapkan bagaimana suatu karya sastra
berubah bentuk, ketika diterima oleh kebudayaan lain, dan perubahan bentuk
karya sastra itu sendiri.
Demikian hasil laporan bacaan buku Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan karya Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono yang dilaporkan. Pada bagian
komentar akan diulas dua buah buku lainnya yang masing-masing berjudul
Metodologi Penelitian Sastra karya Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum., dan buku
Sastra Bandingan karya Yosi Wulandari, M.Pd. Tujuannya tidak lain adalah
untuk membandingkan dengan buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan
karya Prof. Dr. Saparji Djoko Damono.
KOMENTAR
Hakikatnya sastra bandingan merupakan salah satu studi yang mengkaji
dunia sastra dengan membanding-bandingkan antara karya sastra satu dengan
karya sastra lainnya, yang berada dalam lingkup atau kerangka supranasional.
Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono
sebenarnya sudah memberi gambaran cukup jelas tentang kajian sastra bandingan.
Di dalam buku tersebut dijelaskan hampir semua pengetahuan tentang sastra
bandingan. Namun perlu diingat, jika ingin memahami secara mendalam tentang
isi buku tersebut, hendaknya harus dibaca berulang-ulang. Pada tulisan ini penulis
akan menggunakan dua buah buku sebagai pembanding dari Buku Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono.
Buku pertama yang penulis gunakan sebagai
pembanding adalah buku Metodologi
Penelitian Sastra karangan Dr. Suwardi
Endraswara, M.Hum. Buku ini diterbitkan
oleh penerbit CAPS di Yogyakarta tahun
2013, dengan ISBN (10) 602-9324-26-8,
serta ketebalannya 204 halaman. Buku ini
ada karena adanya rasa keprihatinan
pengarang terhadap perkembangan
penelitian sastra yang masih kekurangan
metodologi untuk berpijak dalam melakukan
penelitian. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya buku ini dipakai sebagai referensi
dalam metodologi kajian sastra nantinya. Buku ini sengaja dihadirkan untuk para
peneliti, agar bisa menentukan dan memilih metode yang sejalan, cocok, atau
sesuai dengan hal yang akan diteliti, termasuk dalam penelitian sastra bandingan.
Buku Metodologi Penelitian Sastra karangan Dr. Suwardi Endraswara,
M.Hum. ini membahas berbagai macam metodologi penelitian sastra. Ada empat
belas jenis penelitian sastra yang disajikan dan disertai metodologinya di dalam
buku ini. Salah satu di antaranya adalah bagian 13 yang membahas Penelitian
Sastra Bandingan. Pembahasan pada bagian ini disajikan dalam enam sub bagian.
Bagian buku yang membahas penelitian sastra bandingan ini merupakan lanjutan
dari buku Damono yang membahas sastra bandingan secara luas.
Sub bagian pertama membahas Konsep Sastra Bandingan, yang berisi
penjelasan tentang hakikat kajian sastra bandingan dan ilmu sastra bandingan.
Pada sub bagian ini Endraswara juga menjelaskan bahwa istilah sastra bandingan
dan sastra perbandingan merupakan dua hal yang mempunyai implikasi yang
sama. Menurut Endraswara (2013:128), sastra bandingan adalah sebuah studi
across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak
memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Penjelasan
tentang konsep sastra bandingan yang dikemukakan Endraswara dan Damono
lebih kurang sama, sastra bandingan merupakan studi perbandingan antar suatu
karya sastra dan karya sastra dengan bidang lain yang terikat pada periode dan
wilayah geografis yang berbeda. Selain itu, pembahasan ilmu sastra bandingan
terkait dengan perkembangan sastra bandingan yang juga bermula di Eropa.
Sub bagian kedua membahas Intertekstual dan Sastra Bandingan, yang
berisi pembahasan tentang orisinal teks dan pokok kajian interteks. Orisinal teks
dan pokok kajian interteks yang dibahas dalam sub bagian ini sama halnya dengan
pembahasan mengenai Asli, Pinjaman, Tradisi yang dijelaskan oleh Damono
dalam bukunya. Hanya saja interteks lebih sempit dibanding sastra bandingan.
Munculnya studi interteks ini lebih banyak pengaruh pembuatan sejarah sastra.
Kegiatan pinjam-meminjam (gaduh) antara sastra yang satu dengan yang lain,
yang dilakukan sastrawan hingga melahirkan sebuah karya transformasi.
Sub bagian ketiga membahas Sastra Bandingan, Sastra Nasional, dan
Sastra Dunia. Sub bagian ini penjelasan tentang peranan sastra nasional terhadap
sastra bandingan dan perbedaan sastra dunia dengan sastra bandingan. Menurut
Endraswara, sastra bandingan adalah sastra dunia (world literature), atau ada juga
yang menyebutnya sastra universal. Sedangkan sastra dunia adalah sastra yang
memuat pandangan-pandangan universal atau mendunia.Sementara Damono
dalam bukunya tidak terdapat yang menjelaskan pengertian sastra dunia secara
langsung, namun pembahasan tentang sastra bandingan yang dikemukakan juga
tentang pandangan secara universal atau mendunia.
Sub bagian keempat membahas tentang Ruang Lingkup Sastra Bandingan.
Sub bagian ini berisi penjelasan tentang pengaruh dan kesamaan, ruang lingkup
sastra bandingan dan penggolangan sastra bandingan ke dalam empat bidang
utama. Pada sastra bandingan ada dua hal yang dicari; pertalian/persamaan, dan
pengaruh. Ruang lingkup sastra terdiri atas tiga hal, yaitu perbandingan antara
karya pengarang satu dengan lain, pengarang sezaman, antargenerasi, pengarang
yang senada, dan sebagainya; membandingkan karya sastra dengan bidang lain;
dan kajian bandingan yang bersifat teoretik, untuk melihat sejarah, teori dan kritik
sastra. Sedangkan penggolongan sastra bandiangan menurut Endraswara ada
empat, yaitu kajian bersifat komparatif, bandingan historis, bandingan teoritik,
dan antardisiplin ilmu. Pembahasan sub bagian ini sama seperti yang disampaikan
Damono dalam bukunya mengenai meninjau Romantisisme, Rabindranath Tagore
dan alih wahana.
Sub bagian kelima membahas Konsep Pengaruh dalam Sastra Bandingan.
Sub bagian ini berisi penjelasan mengenai kaitan antara karya yang terpengaruh
dengan karya sebelumnya. Pembahasan sub bagian ini sama dengan penjelasan
Damono dalam bukunya mengenai Asli, Pinjaman, Tradisi, alih wahana, atau
istilahnya penyaduran dari karya lain.
Sub bagian keenam membahas Metode Sastra Bandingan. Sub bagian ini
berisi penjelasan tentang metode penelitian yang digunakan dalam studi sastra
bandingan. Pada sub bagian ini, Endraswara sengaja mengkhususkan pembahasan
mengenai metode sastra bandingan, agar bisa dipahami dengan cermat.
Sementara penjelasan tentang metode dan pendekatan dalam penelitian
sastra yang dikemukakan Damono dalam bukunya, terdapat dalam bagian kedua
yaitu Beberapa Pengertian Dasar. Damono mengatakan bahwa metode
perbandingan adalah yang utama. Artinya, bahwa perbandingan sebenarnya
merupakan salah satu metode yang juga dilaksanakan dalam penelitian, karena
sastra bandingan berlandaskan azas banding-membandingkan. Hal yang serupa
juga diungkapkan Endraswara, bahwa metode sastra bandingan tidak jauh berbeda
dengan kritik sastra, yang objeknya lebih dari satu. Artinya juga banding-
membandingkan sesuai pernyataan Damono. Hanya saja Endraswara
mengelompokkan metode sastra bandingan menjadi dua, yaitu metode
perbandingan diakronik, dan metode perbandingan sinkronik.
Berdasarkan uraian tersebut perbedaan antara buku Metodologi Penelitian
Sastra karangan Dr. Suwardi Endaswara, M.Hum. dengan buku Sastra Bandingan
karangan Sapardi Djoko Damono, terletak pada struktur dan gaya penulisannya
saja. Sebab kita tahu, bahwa setiap orang mempunyai ciri khas yang berbeda-beda
dalam menulis. Perbedaan lainnya yaitu bahasa yang digunakan Endraswara lebih
mudah dipahami, dibanding Damono. Hal itu karena buku Endraswara lebih
bersifat teoritis, sederhana dan kurang mendalam kajiannya. Sedangkan bahasa
yang digunakan Damono masih banyak ejaan dan susunan kalimatnya masih
banyak dipengaruhi ejaan lama. Ia sering menggunakan kata-kata yang perlu
dianalisis lebih dalam. Selain itu, pembahasannya cenderung lebih luas dan tajam,
sehingga tidak bisa dipahami jika hanya dibaca secara sepintas.
Dengan demikian, bagian buku Metodologi Penelitian Sastra yang
membahas penelitian sastra bandingan tersebut dapat dikatakan sebagai materi
pendukung atau tambahan terhadap buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan.
Hal itu bertujuan untuk menambah pemahaman mengenai sastra bandingan. Akan
tetapi, buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karangan Sapardi Dojoko
Damono memiliki penjelasan yang lebih lengkap dan lebih luas mengenai sastra
bandingan jika dibandingkan dengan buku Metodologi Penelitian Sastra pada
bagian penelitian sastra bandingan. Tentu saja karena buku Damono benar-benar
khusus diciptakan untuk mengkaji tentang sastra perbandingan.
Buku kedua sebagai pembanding buku
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan
karya Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono,
adalah buku Sastra Bandingan yang
dikarang oleh Yosi Wulandari, M.Pd.,
buku ini terbit pada tanggal 1 September
2014 yang lalu, oleh Jagat Abjad di
Kadipiro-Solo, ketebalannya 212 halaman:
14x20,5 cm, yang bernomor ISBN 978-
979-1032-971. Saya yakin, bahwa
kehadiran buku ini tidak lain dan tidak
bukan hanyalah untuk menambah rentetan
pedoman kita dalam penelitian sastra, khusus sastra bandingan. Di dalam buku
Sastra Bandingan ini terdapat tujuh bab yang pembahasannya tentang sastra
bandingan.
Bab pertama tentang Dasar Pemikiran Pengkajian Sastra Bandingan,
pada Bab ini terdiri atas tiga sub bab yaitu Konsep Dasar Pengkajian Sastra
Bandingan, Pertimbangan Teoretik dalam Pengkajian Sastra Bandingan, dan
Dasar Pemikiran Pengkajian Sastra Bandingan. Bab kedua tentang Sejarah
Sastra Bandingan yang terdiri atas empat sub bab yaitu Sejarah Murni dan
Sejarah Sastra Bandingan, Keterkaitan Sejarah Sastra dan Sastra Bandingan,
Sejarah Pemunculan Sastra Bandingan, Konvensi dan Sejarah Sastra dalam
Sastra Bandingan. Bab ketiga tentang Konsep Sastra Nasional, Sastra Bandingan
dan Sastra Dunia yang terdiri atas empat sub bab yaitu Pengertian Sastra
Nasional, Sastra Bandingan, dan Sastra Dunia, Keterkaitan antara Sastra
Bandingan dan Sastra Nasional, Keterkaitan antara Sastra Bandingan dan Sastra
Dunia, Tumpang Tindih Konsep Sastra Nasional, Sastra Bandingan, dan Sastra
Dunia. Bab keempat tentang Ruang Lingkup Penelitian Sastra yang terdiri atas
tiga sub bab yaitu Bidang Penelitian Sastra Bandingan, Kompleksitas dalam
Penelitian Sastra Bandingan, Materi Unsur dalam Penelitian Sastra Bandingan.
Bab kelima tentang Keterjalinan Teks Dan Konteks dalam Sastra Bandingan yang
terdiri atas tiga sub bab yaitu Teks Dan Konteks dalam Persepektif Sastra,
Intelektualitas sebagai Konsep Relasional Sastra, Keterjalinan Teks dalam
Kredibilitas Pengarang. Bab keenam tentang Cakupan Kajian Sastra Bandingan
yang terdiri atas empat sub bab yaitu Konsep Hipogram dalam Penelitian Sastra
Bandingan, Afinitas, Tradisi, dan Pengaruh dalam Penelitian Sastra Bandingan,
Kajian Konsep Pengaruh, Konsep Terjemahan dalam Sastra Bandingan. Bab
terakhir yaitu bab ketujuh tentang Studi Perbandingan Sastra yang terdiri atas
empat sub bab yaitu Mengidentifikasi Hasil Studi Perbandingan Sastra,
Mendiskusikan Hasil Studi Perbandingan Sastra, Menyimpulkan Berbagai Hasil
Studi Perbandingan Sastra, Menerapkan Studi Perbandingan Sastra dalam
Analisis Sastra.
Sebenarnya, jika kita membandingkan buku Sastra Bandingan karya Yosi
Wulandari ini dengan buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi
Djoko Damono, dilihat dari segi isi dan pembahasannya mayoritas tidak jauh
berbeda, karena di dalam buku Yosi sendiri mayoritas merujuk atau mengutip dari
buku Damono, bahkan kutipan dari pendapat Damono langsung. Salah satu bukti,
pendapat Remak tentang definisi sastra bandingan, yaitu; Defini sastra bandingan
selanjutnya dinyatakan oleh Remak (dalam Damono, 2005:2), yaitu kajian sastra
di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan
bidang ilmu serta kepercayaan yang lain seperti seni. Selain itu, pendapat
Endraswara juga menjadi ladang kutipan oleh Yosi. Artinya, buku karya Yosi
kurang lebih, bahkan bisa dikatakan isinya sama dengan buku karya Sapardi
Djoko Damono dan buku karya Suwardi Endraswara.
Hanya saja, mungkin yang membedakan buku Yosi pembahasannya lebih
mudah dipahami dan lebih bagus keteraturannya, karena buku terbitan baru yang
banyak mempelajari dari buku-buku sastra bandingan lainnya sebagai referensi.
Sehingga hasil karyanya lebih apik, tapi tetap saja sebagai referensi tambahan,
karena pijakan para peneliti masih pada buku Damono. Kemudian, dilihat dari
segi kepenulisannya, ada beberapa penyusunan kalimat menurut saya yang kurang
tepat, atau editor dan layoutnya kurang teliti, sehingga susunannya banyak terlihat
acak dan terlalu berjarak. Namun dari segi bahasa, bahasa yang disampaikan
ringan sehingga mudah dipahami.
Sejauh hasil perbandingan, perbedaan yang tampak hanyalah fisiknya.
Misalnya bentuk sampul, ketebalan, jenis dan ukuran font yang dipakai, dan hal-
hal lain yang serupa. Hanya saja, yang lebih membedakan ialah di dalam buku
Sastra Bandingan karya Yosi Wulandari, ada beberapa contoh-contoh hasil studi
perbandingan sastranya, sedangkan di buku Suwardi Endraswara dan Sapardi
Djoko Damono, contoh seperti itu tidak ditemukan. Sehingga buku ini bisa juga
dijadikan rujukan tambahan bagi peneliti dalam melakukan penelitian nantinya.
Buku Damono tetap menjadi rujukan yang utama, karena pembahasan lebih
kompleks meskipun susah dipahami sebelum dibaca lebih cermat dan berulang-
ulang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bagian buku
Metodologi Penelitian Sastra karya Suwardi Endraswara dan buku Sastra
Bandingan karya Yosi Wulandari yang sama-sama membahas penelitian sastra
bandingan tersebut dapat dikatakan sebagai materi pendukung terhadap buku
Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Saparji Djoko Damono. Hal itu
bertujuan untuk menambah pemahaman mengenai sastra bandingan. Akan tetapi,
buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karangan Sapardi Dojoko Damono
memiliki penjelasan yang lebih lengkap dan lebih luas mengenai sastra bandingan
jika dibandingkan dengan dua buku pembanding pada bagian penelitian sastra
bandingan.
PENUTUP
Pada dasarnya antara buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan yang
membahas sastra bandingan, Metodologi Penelitian Sastra yang juga membahas
penelitian sastra bandingan, begitu pula dengan buku Sastra Bandingan dari segi
isi tidak terlihat adanya perbedaan. Hanya dari segi susunan penulisan dan bentuk
fisik buku yang membedakannya. Bahkan buku Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan dianggap sudah mencakup kedua buku pembanding tersebut. Buku ini
banyak memberikan manfaat bagi penelitian sastra bandingan terutama bagi yang
bergelut pada bidang sastra seperti mahasiswa, tenaga pengajar, bahkan tidak
tertutup kemungkinan bagi kalangan umum sekalipun, karena mengandung isi
yang berkualitas, guna membantu mengembangkan wawasan kesastraanya.
Penulis berusaha memaparkan secara rinci permasalahan-permasalahan yang
terdapat dalam bidang kesusastraan, berdasarkan pandangan dari berbagai ahli.
Buku yang dilaporkan dalam tulisan ini yaitu Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan hasil karya Sapardi Djoko Damono menggunakann bahasa yang
terlalu tinggi, perlu beberapa kali membaca untuk dapat memahami apa yang
ingin disampaikan penulis. Penggunaan bahasa yang ringan dan sederhana
dirasakan akan lebih mudah dipahami oleh pembaca, karena tidak semua orang
memiliki kemampuan yang sama dalam memahami isi bacaan. Namun, secara
keseluruhan buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko
Damono ini bisa dianggap sebagai pengantar untuk memahami sastra bandingan
secara luas dan mendalam. Jadi, buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan
karya Sapardi Djoko Damono ini bisa dijadikan sebagai pegangan untuk mengkaji
sastra bandingan di Indonesia, sehingga khasanah studi sastra bandingan di
Indonesia nanti semakin mendalam kajiannya.
DAFTAR RUJUKAN
Damono, Djoko Sapardi. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Wulandari, Yosi. 2014. Sastra Bandingan. Solo: Jagat Abjad.