Download - KVA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan masyarakat dunia dewasa ini bukan dihadapkan pada masalah
defisiensi gizi makro, tetapi pada masalah defisiensi gizi mikro. Masalah
defisiensi gizi mikro yang yang utama dihadapi adalah anemia gizi besi, gangguan
akibat kekurangan iodium (GAKI) dan kekurangan vitamin A (KVA) (Martianto,
2011). Kekurangan zat gizi mikro berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat,
sehingga dapat merusak kualitas sumber daya manusia Indonesia. Subdit Bina
Gizi Mikro Direktorat Bina Gizi Masyarakat juga mengemukakan bahwa masalah
kekurangan gizi di kalangan masyarakat Indonesia terjadi pada setiap siklus
kehidupan (World Bank 2006).
Sampai saat ini, penduduk Indonesia, terutama yang berpenghasilan rendah
baik di perkotaan dan pedesaan, masih banyak yang mengalami masalah
kekurangan zat gizi mikro. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2009
menunjukkan lebih dari sembilan juta anak-anak Indonesia dan satu juta
perempuan menderita kekurangan vitamin A. Tercatat pula 25 - 30 % kematian
bayi dan balita di dunia disebabkan oleh kekurangan vitamin A, sedangkan di
Indonesia sekitar 14,6 % anak di atas usia satu tahun mengalami kekurangan
vitamin A. (Krisnamurthi, 2010)
Penyakit akibat kurang vitamin A (KVA) disebabkan oleh kurangnya vitamin
A di dalam jaringan yang dapat menimbulkan gangguan secara subklinis maupun
klinis. Menurut WHO, kurang vitamin A subklinis ditandai dengan nilai retinol
serum 0,35 – 0,70 μmol/L (10 -20 μg/dL), meskipun pada kadar retinol serum
sampai 1,05 μmol/L masih dijumpai gejala subklinis. Gejala KVA subklinis
ditandai dengan gangguan diferensiasi sel dan gangguan pada sistem imunitas.
KVA klinis terjadi bila retinol serum kurang dari 0,35 μmol/L (kurang dari 10
μg/dL) dengan gejala antara lain buta senja, gangguan pertumbuhan dan
xeroptalmia (Smith, 2000).
Program penanggulangan kekurangan vitamin A di Indonesia dilakukan
dengan 3 cara yaitu: diversifikasi konsumsi pangan, suplementasi vitamin A dosis
1
tinggi dan fortifikasi pangan (Martianto, 2011). Strategi yang digunakan untuk
menanggulangi masalah kekurangan vitamin A harus tepat untuk menjawab
kebutuhan dan harus menggunakan sistem dan teknologi yang tersedia.
Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi pemberian air susu ibu (ASI),
modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan pangan dan
meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan suplementasi. Fortifikasi
vitamin A ke dalam minyak goreng sawit perlu dilakukan dengan alasan (1)
produk pangan di Indonesia sebagian besar menggunakan minyak goreng, (2)
untuk mengurangi penyakit akibat KVA, maka perlu adanya kebijakan yang tepat
untuk menanggulangi masalah KVA, (3) salah Satu kebijakan yang ditempuh
adalah fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng, dan (4) pemerintah akan
menetapkan standar yang mewajibkan kepada seluruh produsen minyak goreng
sawit untuk melakukan fortifikasi vitamin A ke dalam produknya.
Target pencapaian persiapan program fortifikasi minyak goreng sawit dengan
vitamin A adalah sebagai berikut:
Tahun 2004-2011 : dilaksanakan studi konsumsi (intake minyak goreng),
stabilitas, efficacy, effectiveness.
Tahun 2011-2012 SNI wajib untuk minyak goreng sudah selesai
disiapkan.
Tahun 2011-2013 dilaksanakan pilot project di beberapa wilayah (dimulai
di Jawa Timur dan Jawa Barat).
Tahun 2011-2012 selesai dilaksanakan capacity building.
Tahun 2013 diimplementasikan SNI Wajib minyak goreng yang
difortifikasi.
Tahun 2013-2014 dilaksanakan monitoring dan evaluasi dampak
fortifikasi wajib.
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui penyebab dan penanggulangan KVA di Indonesia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vitamin A
2.1.1 Pengertian
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak, terdapat dalam minyak
ikan, keju, kuning telur, sayuran berwarna hijau dan kemerah-merahan, seperti
tomat dan wortel (Depdiknas, 2005).
Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan. Secara luas,
vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan
prekursor/ provitamin A/ karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai
retinol (Almatsier, 2003).
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak
dan disimpan dalam hati, tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi
dari luar (esensial). Vitamin A berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan
meningkatkan daya tahan terhadap penyakit (Depkes RI, 2005)
2.1.2 Manfaat Vitamin A
Fungsi vitamin A di dalam tubuh mencakup tiga golongan besar:
A. Fungsi vitamin A dalam proses melihat
Pada proses melihat vitamin A berperan sebagai retinal (retinete) yang
merupakan komponen dari zat penglihat. Rhodopsin ini mempunyai bagian
protein yang disebut opsin yang menjadi rhodopsin setelah bergabung
dengan retinete. Rhodopsin merupakan zat yang dapat menerima rangsang
cahaya dan mengubah energi cahaya menjadi energi biolistrik yang
merangsang indera penglihatan. Selain itu vitamin A juga berperan menjaga
agar kornea mata selalu sehat.
B. Fungsi dalam metabolisme umum
Fungsi ini tampaknya berkaitan erat dengan metabolisme protein
Integritas epitel
3
Pertumbuhan
Permeabilitas membran
Pertumbuhan gigi
Fungsi dalam proses reproduksi
2.1.3 Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
Angka kecukupan vitamin A yang di anjurkan untuk berbagai golongan
umur dan jenis kelamin untuk Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel Angka Kecukupan Vitamin A
Keterangan :
RE : Retional Equivalent
SI : Satuan Internasional = 3,3 x RE
4
2.1.4 Sumber Vitamin A
Vitamin A terdapat di dalam pangan hewani, sedangkan karoten terutama di
dalam pangan nabati. Sumber vitamin A adalah hati, kuning telur, susu (di dalam
lemaknya) dan mentega. Margarin biasanya diperkaya vitamin A. Karena vitamin
A tidak berwarna, warna kuning dalam telur adalah karoten yang tidak di ubah
yang tidak di ubah menjadi vitamin A. Minyak hati ikan digunakan sebagai
sumber vitamin A yang diberikan untuk proses penyembuhan.
Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah-
buahan yang berwarna jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung,
bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, papaya mangga,
nangka masak dan jeruk (Almatsier, 2001, p. 162).
2.2 Kekurangan Vitamin A
Kekurangan vitamin A ialah penyakit sistemik yang merusak sel dan organ
tubuh dan menyebabkan metaplasia keratinisasi pada epitel saluran pernapasan,
saluran kemih, dan saluran pencernaan. Perubahan pada ketiga saluran ini relatif awal
terjadi karena kerusakan yang terdeteksi pada mata. Namun, karena hanya mata yang
mudah diamati dan diperiksa, diagnosis klinis yang spesifik didasarkan pada
pemeriksaan mata (Arisman, 2009).
Kekurangan vitamin A dapat terjadi pada semua umur akan tetapi kekurangan
yang disertai kelain pada mata umumnya terdapat pada anak berusia 6 bulan sampai 4
tahun (Sidarta, 2008).
Kekurangan vitamin A adalah suatu keadaan di mana simpanan vitamin A
dalam tubuh berkurang. Pada tahap awal ditandai dengan gejala rabun senja, atau
kurang dapat melihat pada malam hari. Nama penyakit tersebut adalah hemeralopia
(rabun senja/ rabun ayam). Gejala tersebut juga ditandai dengan menurunnya kadar
serum retinol dalam darah (kurang dari 20 μg/dl). Pada tahap selanjutnya terjadi
kelainan jaringan epitel dari organ tubuh seperti paru-paru, usus, kulit dan mata.
Gambaran yang khas dari kekurangan vitamin A dapat langsung terlihat pada mata
(Depkes RI, 2005).
Penyakit mata lain yang dapat terjadi bila kekurangan vitamin A adalah
seroftalmia (xeropthalmia). Seroftalmia adalah adalah keadaan bila orang mengalami
5
kekurangan vitamin A, mula-mula konjungtiva mata mengalami keratinisasi
kemudian korneanya juga terpengaruh. Bila tidak diobati, mata akan menjadi buta.
(Kusharto, 1992)
2.2.1 Epidemiologi Kekurangan Vitamin A
KVA pada anak balita dapat mengakibatkan risiko kematian sampai 20-30%.
Mortalitas anak balita yang buta karena keratomalasia dapat mencapai 50-90%.
Survei Nasional Xeropthalmia 1978 menemukan prevalensi X1b (bitot spot) pada anak
balita 1,34%, dan pada tahun 1992 turun menjadi 0,35%. Angka tersebut masih di
bawah kriteria yang ditetapkan WHO sebagai masalah kesehatan masyarakat (0,5%).
Survei tersebut juga menemukan 50,2% anak balita mempunyai kadar serum vitamin
A < 20 μg/dl, lebih tinggi dari batas ambang menurut IVACG sebesar 15%. Helen
Keller International (HKI) (1999) melaporkan kejadian buta senja pada wanita usia
subur di Propinsi Jawa Tengah sebesar 1-3,5%.
Sejak Survei Nasional Xeropthalmia tahun 1992 belum ada lagi data status
vitamin A berbasis masyarakat (population based) yang dapat digunakan sebagai
dasar acuan untuk perencanaan program gizi mikro, meskipun distribusi kapsul
vitamin A kepada anak balita sudah dimulai sejak tahun 1976 (Depkes RI, 2006).
6
Menurut data WHO Setiap tahun sekitar 3-10 juta anak menderita
xeroftalmia dan 250.000 – 500.000 anak menjadi buta yang menyebabkan
terjadinya dediferensiasi, keratinisasi sel epitel, perubahan nafsu makan,
xerofthalmia.
Kekurangan VitaminA yang Terjadi pada Anak dibawah Usia 5 Tahun
7
Kekurangan VitaminA yang Terjadi pada Ibu Hamil
8
2.2.2 Penyebab Kekurangan Vitamin A
Penyebab kekurangan antara lain :
Konsumsi vitamin A dalam makanan sehari-hari tidak mencukupi
kebutuhan tubuh dalam jangka waktu lama.
Proses penyerapan makanan dalam tubuh terganggu karena infestasi
cacing, diare, rendahnya konsumsi lemak, protein dan seng.
Adanya penyakit ISPA, campak , dan diare
(Depkes RI, 2005 dan Sidarta, 2008).
9
2.2.3 Klasifikasi Kekurangan/ Defisiensi Vitamin A
Klasifikasi yang ditetapkan pada pertemuan bersama WHO, UNICEF, Helen
Kaller Internasional, dan IVACG di Jakarta pada tahun 1981 merupakan modifikasi
klasifikasi, yaitu :
a) XN : Buta Senja
b) X1A : Konjungtiva mengering
Yaitu terdapatnya satu atau lebih bintik-bintik konjungtiva yang kering dan
tidak dapat dibasahi. Keadaan ini bisa dijelaskan sebagai munculnya
segundukan pasir pada air pasang yang kembali surut.
c) X1B : Bercak bitot dan kongjungtiva mengering
Adalah suatu bentukan yang berwana abu-abu kekunigan yang bentuknya
seperti busa sabun, yaitu keadaan bergelembung atau seperti keju yang
tediri dari sel-sel epitel konjungtiva yang mengeras dan bersisik melapisi
sebagian atau seluruh permukaan yang kering, membentuk noda-noda
bitot.
d) X2 : Kornea mongering (cornea xerosis)
Keadaan kekurang vitamin A yang makin parah, bintik-bintik luka menjadi
bertambah padat dan tersebar ke atas dan mungkin meliputi seluruh
kornea. Kornea pada kondisi ini memiliki upa yang kering berkabut jika
diuji dengan lampu tangan.
e) X3A : Ulserasi kornea + kornea mengering
Keadaan kekurangna vitamin A yang lebih parah lagi dari kornea
mengering yang mengakibatkan kehilangan frank epithelial dan ulserasi
stroma baik dengan ketebalan sebagian maupun seluruhnya. Tukak yang
berlubang mungkin menjadi tersumbat dengan iris dan semmbuh sebagai
leukoma.
f) X3B : Keratomalasia
Semua kornea dan konjungtiva menjadi satu menebal sehingga kadang-
kadang bola mata menjadi rusak bentuknya. Keadaan perlunakan linbus to
10
limbus cornea. Biasanya terjadi dengan adanya gabungan kekurangan
protein dan vitamin A.
g) XS : Perut Kornea (cornea scars) akibat sembuh dari luka.
h) XF : Xerophtalmia fundus
Terjadinya oda-noda putih yang menyebar di seluruh fundus.
Tingkatan X1A sampai X2 sifatnya reversible, yang memiliki
kemungkinan diobati hingga sembuh, sedangkan X3A ssampai dengan
tahap selanjutnya bersifat irreversible yang tidak dapat diobati hingga
sembuh.
Klasifikasi Kekurangan/ Defisiensi Vitamin A menurut Ten Doeschate, yaitu:
a) X0 : Hemeralopia
b) X1 : Hemeralopia dengan xerosis konjungtiva dan bitot
c) X2 : Xerosis kornea
d) X3 : Keratomalasia
e) X4 : Stafiloma, ftisis bulbi
Di mana kelainan pada: X0 sampai X2 masih reversibel, dan X3 sampai X4
ireversibel (Sidarta, 2008).
2.2.4 Tanda dan Gejala KVA (Kekurangan Vitamin A)
Buta senja ditandai dengan kesulitan melihat dalam cahaya remang atau
senja hari.
Kulit tampak kering dan bersisik seperti ikan terutama pada tungkai bawah
bagian depan dan lengan atas bagian belakang.
(Depkes RI, 2005).
Pada keratinisasi didapatkan xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis
kornea, tukak kornea (Sidarta, 2008).
Kornea tampak lunak dan nekrotik pada keratomalasia dan kadang juga
terjadi perforasi (Vaughan dkk, 2008).
11
Pada KVA yang lama dan berat dapat terjadi kekeringan pada konjungtiva
dan kornea, ulcer juga skar (American Academy of Ophtalmology, 2007).
2
2.2.1
2.2.2
2.2.3
2.2.4
2.2.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Tambahan
Karena hanya mata yang mudah diamati dan diperiksa, diagnosis klinis yang
spesifik didasarkan pada pemeriksaan mata (Arisman, 2005).
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada penderita dengan defisiensi
vitamin A ialah :
Tes adaptasi gelap
Kadar vitamin A dalam darah ( kadar < 20 mcg/ 100 mL menunjukkan
kekurangan asupan) (Sidarta, 2008).
1.
2.
2.1.
2.2.
2.2.1.
2.2.2.
2.2.3.
2.2.4.
2.2.5.
2.2.6 Pengobatan
Secara umum, pengobatan KVA diarahkan pada upaya memperbaiki
status vitamin A. Vitamin A dosis tinggi harus diberikan segera setelah
diagnosis ditegakkan. Pilihan pertama adalah preparat oral.
Menurut Sidarta (2000), pemberian vitamin A akan memberikan
perbaikan nyata dalam 1-2 minggu, berupa:
12
o Mikrovili kornea akan timbul kembali sesudah 1-7 hari.
o Keratinisasi yang terjadi menghilang.
o Sel Goblet konjungtiva kembali normal dalam 2-4 minggu.
o Tukak kornea memperlihatkan perbaikan, sehingga dapat direncanakan
keratoplasti.
Dianjurkan bila diagnosis defisiensi vitamin A dibuat maka diberikan
vitamin A 200.000 IU per oral dan pada hari kesatu dan kedua (Sidarta,
2008).
2.2.7
2.2.8 Jadwal Pemberian Vitamin A
Menurut Prof. Dr. Azrul Azwar, untuk menanggulangi KVA di Indonesia
khususnya pada Balita (6-59 bulan) Departemen Kesehatan RI telah bekerja sama
dengan Helen Keller Indonesia (HKI) dengan pemberian kapsul vitamin A dosis
tinggi pada bayi, balita dan ibu nifas. Kapsul Vitamin A ini diberikan secara gratis
di posyandu dan puskesmas seluruh Indonesia (Depkes RI, 2004).
Tabel Jadwal Pemberian Vitamin A
Bulan Dosis Pemberian
Fabruari 100.000 IU
(Kapsul Biru)
Untuk bayi (6-11
bulan)
Agustus 200.000 IU
(Kapsul Merah)
Untuk anak (12-59
bulan)
Pemberian vitamin A dosis tinggi telah terbukti mampu mengawasi
xerofthalmia, mencegah kebutaan dan mengurangi angka kematian anak akibat
infeksi tertentu (terutama campak dan diare) pada masyarakat yang mengalami
defisiensi. Suplementasi cara ini juga terbukti efektif dalam memperbaiki secara cepat
keadaan ibu dan bayi yang baru dilahirkan (Depkes RI, 2000).
Program pemberian suplementasi vitamin A diyakini efektif dan aman. Vitamin
A diberikan dengan dosis anjuran, tidak akan terjadi efek samping yang serius dan
menetap. Efek samping yang sampai sekarang terpantau cukup ringan hanya keluhan
13
sakit kepala dan muntah. (pada bayi fontanela mengeras atau menggelembung) dan
tidak memerlukan pengobatan yang khas. Jika status vitamin A sudah baik,
pemberian suplemen menjadi tidak penting. Namun, jika diteruskan juga tidak
membahayakan (Depkes RI, 2000).
Pada tahun 1990, pabrik-pabrik farmasi di seluruh dunia mulai membuat kode
warna pada kapsul vitamin A untuk dosis yang berbeda. Pada banyak negara, isi dosis
dari kapsul vitamin A sekarang dapat diidentifikasi dari warna kapsul, yaitu: 200,000
IU (merah) dan 100,000 IU (biru) (Dini Latief, 2000).
Pemberian kapsul vitamin A 200.000 SI diberikan kepada anak balita secara
periodik, yaitu enam bulan sekali, dan secara serempak dalam bulan Februari dan
Agustus. Pemberian secara serempak dalam bulan Februari dan Agustus mempunyai
beberapa keuntungan :
Memudahkan dalam memantau kegiatan pemberian kapsul, termasuk
pencatatan dan pelaporannya, karena semua anak mempunyai jadwal
pemberian yang sama.
Memudahkan dalam upaya penggerakan masyarakat, karena kampanye
dapat dilakukan secara nasional di samping secara spesifik daerah.
Memudahkan dalam pembuatan materi-materi penyuluhan (spot TV, spot
radio, barang-barang cetak, dan lain-lain) terutama yang dikembangkan,
diproduksi dan disebarluaskan oleh tingkat pusat.
Dalam rangka Hari Proklamasi RI (Agustus) biasanya banyak kegiatan-
kegiatan yang dapat digunakan untuk mempromosikan vitamin A,
termasuk pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.
Bulan Maret merupakan bulan bakti LKMD. Bulan ini sangat baik
digunakan untuk memonitor hasil pemberian kapsul bulan Februari, dan
dapat digunakan untuk mencapai balita yang belum menerima kapsul
dalam bulan Februari. (Depkes RI, 1996)
Kapsul vitamin A dapat diperoleh di posyandu, polindes, puskesmas pembantu,
puskesmas induk, praktik swasta (bidan, rumah bersalin, klinik bersalin, dan lain-
lain), dan kelompok KIA. Pemberian kapsul vitamin A dilakukan oleh petugas
14
kesehatan, bidan desa, tokoh masyarakat, kepala desa, ketua RT/ RW, kader, orang
tua/ keluarga (Depkes RI, 2005).
2.2.9 Pencegahan
Telah terbukti bahwa bayi baru lahir, terutama di negara sedang
berkembang yang kasus defisiensi vitamin A-nya bersifat endemis, memiliki
cadangan vitamin A yang sangat rendah. Pasokan vitamin A di awal kehidupan
akan tercukup melalui air susu ibu (ASI), asalkan ibu memiliki status vitamin A
yang baik (John Palmer, 2004).
Ada dua pendekatan untuk memperbaiki status vitamin A bayi yang berusia
kurang dari 6 bulan, yaitu dengan memberikan vitamin A dosis tinggi kepada
wanita menyusui, atau memberi satu dari beberapa dosis kepada bayi. (Arisman,
2009).
Menurut Depkes RI (2005), pencegahan KVA dapat dilakukan dengan cara :
Memberikan ASI Eksklusif kepada bayi sampai berumur 6 bulan dan ASI
hingga berumur 2 tahun disertai dengan pemberian makanan pendamping
ASI yang cukup dan berkualitas.
Konsumsi makanan dengan gizi seimbang dan kaya vitamin A dalam menu
makanan sehari-hari.
Mencegah kecacingan dengan Berprilaku Hidup Bersih dan Sehat (BHBS)
Konsumsi kapsul vitamin A sesuai kebutuhan sasaran.
Melakukan promosi-promosi tentang vitamin A juga merupakan upaya
yang dilakukan organisasi HKI dalam rangka pencegahan KVA. Pada tahun 2001,
HKI bekerjasama dengan MOH, Koalisi Untuk Indonesia Sehat, dan iklan-iklan
lokal juga media-media massa mendisain dan menggalakkan promosi-promosi
tentang vitamin A melalui kampanye nasional. Bahkan membuat “vitamin A radio
jingle lyrics”, yaitu “Dua mata saya, yang sehat selalu, karena vitamin A, sehat
kuat tubuhku…” (Dini Latief, 2001).
15
BAB III
PENUTUP
3.
3.1. Kesimpulan
Kekurangan vitamin A adalah suatu keadaan di mana simpanan vitamin A
dalam tubuh berkurang. Pada tahap awal ditandai dengan gejala rabun senja, atau
kurang dapat melihat pada malam hari. Nama penyakit tersebut adalah hemeralopia
(rabun senja/ rabun ayam). Gejala tersebut juga ditandai dengan menurunnya kadar
serum retinol dalam darah (kurang dari 20 μg/dl). Pada tahap selanjutnya terjadi
kelainan jaringan epitel dari organ tubuh seperti paru-paru, usus, kulit dan mata.
Gambaran yang khas dari kekurangan vitamin A dapat langsung terlihat pada mata
(Depkes RI, 2005).
Kekurangan vitamin A disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
Konsumsi vitamin A dalam makanan sehari-hari tidak mencukupi
kebutuhan tubuh dalam jangka waktu lama.
Proses penyerapan makanan dalam tubuh terganggu karena infestasi
cacing, diare, rendahnya konsumsi lemak, protein dan seng.
16
Adanya penyakit ISPA, campak , dan diare
(Depkes RI, 2005 dan Sidarta, 2008).
17