Transcript
Page 1: KUMPULAN CERITA Wali Songo

DARI BERBAGAI SUMBER DI INTERNET

Page 2: KUMPULAN CERITA Wali Songo

SUNAN GRESIK (MAULANA MALIK IBRAHIM)

Biografi

Agama Islam menyebar di bumi nusantara dikabarkan dilakukan oleh para ulama yang kemudian dianugrahi

gelar Wali Songo. Dan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah sosok ulama pertama yang diberi gelar

sebagai Wali Songo. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang

Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa

Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.

Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun

pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan

masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika

Utara.

Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang

mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana

Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.

Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik,

Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal

berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah

menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.

Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas

baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia

berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.

Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan

keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far

ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,

Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-

Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain

(Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim.

Penyebaran Agama

Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di

tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.

Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya

pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah

utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid

pertama di desa Pasucinan, Manyar.

Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-

tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama

dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang

dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam

agama Islam.

Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim

ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.

Page 3: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan

dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau

pemodal.

Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota

Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan

memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama

desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut

Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk

dari Asia Barat.

Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran

Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka

agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai

usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat

setempat ramai berkunjung untuk berziarah.

Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada

prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi

Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.

Legenda Rakyat

Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim

Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro.

Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau

Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka

berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan

adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.

Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain

atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat

atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di

negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti

jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan

cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat

di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.

Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah

diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih

kerabat istrinya.

Page 4: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Wafat

Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik

Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur. Saat ini, jalan yang menuju

ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.

Legenda Lain tentang Sunan Gresik

Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur. Rembulan dan bintang giliran

menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian

mereka berbincang santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar suara gemuruh. Makin

lama makin riuh. Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat gerombolan pasukan

berkuda --berjumlah sekitar 20 orang. Warga Tanggulangin berebut menyelamatkan diri --bergegas masuk ke

rumahnya masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin.

Ia berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk. ''Serahkan harta kalian,'' sergah Penjalin,

jawara yang tak asing di kawasan itu. ''Kalau menolak, akan kubakar desa ini.'' Tak satu pun penduduk yang

sanggup menghadapi. Mereka memilih menyelamatkan diri, daripada ''ditekuk-tekuk'' oleh Penjalin. Merasa

tak digubris, kawanan itu siap menghanguskan Tanggulangin. Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-

rumah penduduk. Tetapi, mendadak niat itu terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian putih-putih, tiba-

tiba muncul entah dari mana.

Rombongan ini dipimpin Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan pengaruhnya di

wilayah Gresik dan sekitarnya. Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan

kelakuan tak terpuji Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi, orang yang mengingatkannya sama sekali tak

dikenal di rimba persilatan Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk Tanggulangin,

yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu membantu Ghafur. Akhirnya, Penjalin dan pasukannya

kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau menuruti perintah Ghafur agar membubarkan anak buahnya.

Ghafur tak punya pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin. Baru saja tiba pada keputusan itu, tiba-tiba

wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh, di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut.

Penjalin terperangah. ''Mengapa tak jadi membunuh aku?'' ia bertanya. Ghafur menjawab, ''Karena kamu telah

membuatku marah, dan aku tak boleh menghukum orang dalam keadaan marah.'' Mendengar ''dakwah'' ini,

disusul oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan tertarik memeluk agama Islam.

Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah populer tentang perjalanan dakwah Syekh Maulana Malik

Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang buku-buku

Maulana Malik Ibrahim adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah padang pasir. Ketika itu,

mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal meminta hujan kepada dewa. Pedang sudah

dihunus.

Sunan Gresik mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut, kemudian memimpin salat Istisqa' --

untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk

agama Islam. Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling senior, alias

wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang

mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa

(Kamboja).

Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat Zainul Alam, agar merantau,

berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama 40 anggota rombongan yang menyertainya, Malik mengarungi

samudra berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik, pada 1380 M. Mengenai tahun

''pendaratan'' ini pun terdapat beberapa versi. Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim,

misalnya, mencantumkan tahun 1392. Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun 1404. Rombongan Malik

kemudian menetap di Desa Leran, sekitar sembilan kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di

bawah Kerajaan Majapahit.

Page 5: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi konfrontasi. Sebagian besar

masyarakat setempat ketika itu menganut Hindu, ''agama resmi'' Kerajaan Majapahit. Sunan melalukan

sesuatu yang sangat sederhana: membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan dengan harga murah.

Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah ke tahap berikutnya: membuka

praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan

penyakit. Sunan Gresik pun seakan menjelma menjadi ''dewa penolong''. Apalagi, ia tak pernah mau dibayar.

Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal, karena ia sanggup menerobos sekat-

sekat kasta. Ia memperlakukan semua orang sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah pengikutnya terus

bertambah.

Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan masjid. Ia juga merasa perlu membangun bilik-

bilik tempat menimba ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama

pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya kebiasaan khas: meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di

atas bantal. Karena itu ia kemudian dijuluki ''Kakek Bantal''. Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik

merasa belum puas sebelum berhasil mengislamkan Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat dengan

kultur ''patron-client''. Rakyat akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja. Karena itu,

mengislamkan raja merupakan pekerjaan yang sangat strategis. Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung

berdakwah ke raja, pasti tak akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta bantuan

sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon, Kerajaan Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam

bukunya Geschiedenis van Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah, di Malasyia.

Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka disertai puluhan pengawal. Dewi yang

berwajah elok itu akan dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-cabanglah cerita

mengenai ''Raja Majapahit'' itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu Brawijaya V. Tetapi menurut Wolbers, raja

tersebut adalah Angkawijaya. Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik

Ibrahim, nama Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi maupun Pararaton. Nama Angkawijaya

tercantum dalam Serat Kanda.

Di situ disebutkan, dia adalah pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan --suami Kencana Wungu. Angkawijaya

mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan dengan Babad Tanah Jawi, raja Majapahit yang

mempunyai selir Ni Raseksi adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan sejarah, Prabu Brawijaya VII

memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi ''bentrokan'' dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim.

Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang Wisesa, alias Wikramawardhana,

yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas dari siapa sang raja sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit

itu akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang, usaha mereka gagal total. Sang raja cuma

mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam. ''Bargaining'' seperti ini tentu diotolak rombongan

Cermain. Sebelum pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran.

Sambil menunggu perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik. Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba

merajalelalah wabah penyakit. Banyak anggota rombongan Cermain yang tertular, bahkan meninggal.

Termasuk Dewi Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil pengawalnya akhirnya bisa pulang ke negeri mereka.

Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan ''misi'' itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga

wafat, pada 1419.

Page 6: KUMPULAN CERITA Wali Songo

SUNAN AMPEL (RADEN RAHMAT)

Sunan Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar jasanya dalam perkembangan

Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari tangannya lahir para pendakwah Islam kelas

satu di bumi tanah jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan merupakan

gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah

tempat dekat Surabaya1.

Ia dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan Champa disini, sebab belum

ada pernyataan tertulis maupun prasasti yang menunjukkan Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin

Zuhri (1979) berkeyakinan bahwa Champa adalah sebutan lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh, oleh karena

itu Champa berada dalam wilayah kerejaan Aceh. Hamka (1981) berpendapat sama, kalau benar bahwa

Champa itu bukan yang di Annam Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di Aceh.

Ayah Sunan Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, yang

kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi Chandrawulan, saudara kandung Putri

Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah, istri raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua

yaitu: Dewi Karimah dan Dewi Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai dua orang

anak yaitu: Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan Islam Demak Bintoro) dan

Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri. Dengan Istri keduanya, Dewi

Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang anak, yaitu: Siti Syare’at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah,

Raden Maulana Makdum, Ibrahim atau Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian

dikenal dengan sebutan Sunan Drajat atau kadang-kadang disebut Sunan Sedayu.

Sunan Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan mendapat pendidikan

yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal mempunyai akhlak yang mulia, suka

menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial.

Sekilas Sejarah Sunan Ampel

Di Rusia selatan ada sebuah daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu

daerah yang disebut Bukhara. Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand dikenal

sebagai daerah Islam yang menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadist terkenal yaitu Imam Bukhari

yang mashur sebagai perawi hadits sahih.

Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh jamalluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah

bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka

Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Orang jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi

maka mereka hanya menyebutkan sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.

Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk

berda’wah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja

Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan. Negeri Cempa ini menurut

sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim

Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah dan raden Santri

atau Sayyid Alim Murtolo.

Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit.

Dengan demikian Raden Rahmat itu keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran

Page 7: KUMPULAN CERITA Wali Songo

kerajaan. Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya tidak kalah menarik

dengan Dewi Sari.

Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh

Nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada

Adipati Ario Damar di Palembang.

Ketika Dewi Kian di ceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar

tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia.

Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih terkenal dengan nama Raden

Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.

Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami

kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang

tak loyal lagi kepada Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabhumi. Pajak dan upeti kerajaan tak

banyak yang sampai ke istana Majapahit.

Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi

dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi

serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan

menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk

menghancurkan Majapahit Raya.

Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri

ia mengajukan pendapat kepada suaminya.

“Kanda Prabu, agaknya para ponggawa dan rakyat Majapahit sudah tidak takut lagi kepada Sang Hyang Widhi.

Mereka tidak segan dan tidak merasa malu melakukan tindakan yang tidak terpuji, pesta pora, foya-foya,

mabuk dan judi sudah menjadi kebiasaan mereka bahkan para pangeran dan kaum bangsawan sudah mulai

ikut-ikutan. Sungguh berbahaya bila hal ini dibiarkan berlarut-larut. Negara bisa rusak karenanya.”

“Ya, hal itulah yang membuatku risau selama ini,” sahut Prabu Brawijaya.

“Lalu apa tindakan Kanda Prabu ?”

“Aku masih bingung,” kata sang Prabu. “Sudah kuusahakan menambah bikhu dan brahmana untuk mendidik

dan memperingatkan mereka tapi kelakuan mereka masih tetap seperti semula, bahkan guru-guru agama

Hindu dan Budha itu dianggap sepele.”

“Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,”

kata ratu Dwarawati.

“Betulkah ?” tanya sang Prabu.

“Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra dari kanda Dewi Candrawulan di Negeri Cempa. Bila kanda

berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit

ini.”

“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah

ke Majapahit ini.” Kata Raja Brawijaya.

Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta Sayyid Ali

Rahmatullah datang ke Majapahit.

Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas

cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman. Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tanah Jawa tidak

sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan di atas, ayah Sayyid Ali Rahmat adalah

Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho.

Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa

Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan didesa

tersebut yang masih termasuk ke camatan Palang kabupaten Tuban.

Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berda’wah keliling ke daerah Nusa Tenggara,

Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sambutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berda’wah di

Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah

meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.

Page 8: KUMPULAN CERITA Wali Songo

“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat

Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia ?” tanya sang Prabu. Dengan sikapnya yang sopan tutur kata

halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab. “Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya

untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.”

“Bagus !” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di

Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”

“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.

Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana

Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu putri Majapahit yang bernama Dewi Candrawati. Dengan

demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja

Majapahit. Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Sayyid Ali Rahmatullah ke

sebuah daerah di Surabaya yang disebut sebagai Ampeldenta.

Selama dalam perjalanan banyak hal-hal aneh di jumpai rombongan itu. Diantaranya adalah pertemuan Sayyid

Ali Rahmatullah dengan seorang gadis bernama Siti Karimah yang kemudian menjadi isterinya. Dan sepanjang

perjalanan itu beliau juga melakukan da’wah sehingga bertambahlah anggota rombongan yang mengikuti

perjalanannya ke Ampeldenta. Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau

adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dulu di

tandai dengan nama depan Raden. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat. Dan

karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal

sebagai Sunan Ampel.

Sunan artinya yang di junjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Langkah pertama yang dilakukan

Raden Rachmat di Ampeldenta adalah membangun masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi sewaktu

hijrah ke Madinah. Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran

Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kapada beliau.

Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Mo Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu:

main judi, minum arak atau bermabuk-mabukkan, mencuri, madat atau menghisap madu dan madon atau

main perempuan yang bukan isterinya.

Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah

ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama

Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia

tidak mau.

Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh Majapahit,

dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmatpun memberi penjelasan bahwa tidak ada

paksaan dalam beragama.

Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo, sebagai

Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga

menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga. Sunan

Bonang dan Sunan Drajad adalah putra Sunan Ampel sendiri.

Jasa beliau yang besar adalah pencetus dan perencana lahirnya kerajaan Islam dengan rajanya yang pertama

yaitu Raden Patah, murid dan menantunya sendiri. Beliau juga turut membantu mendirikan Masjid Agung

Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama masjid Demak hingga

sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

Sikap Sunan Ampel terhadap adapt istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan

Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para Wali di masjid Agung Demak.

Page 9: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian

wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah

Sunan Ampel :

“Apakah tidak mengkwatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap

sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam ? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah ?”

Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan pendapat

Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan

memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan

kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai

dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekuatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan

bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.”

Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat Sunan

Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang Jawa, dan ini

terbukti, dikarenakan dua Wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolelir Islam

maka penduduk Jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka mau

menerima Islam lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan diberi pengertian akan

kebersihan tauhid dalam iman mereka.

Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan

konsekwen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati

menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah.

Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati atau Nyai Ageng Manila Sunan Ampel mendapat beberapa putra

di antaranya :

1. Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.

2. Raden Qosim atau Sunan Drajad.

3. Maulana Akhmad atau Sunan Lamongan.

4. Siti Mutmainah

5. Siti Alwiyah

6. Siti Asikah yang diperistri Raden Patah.

Adapun dari perkawinannya dengan Nyai Karimah putri Ki Wiryosaroyo beliau dikaruniai dua orang putri yaitu :

1. Dewi Murtasia yang diperistri Sunan Giri.

2. Dewi Mursimah yang diperistri Sunan Kalijaga.

Kehebatan para Wali tersebut memang mengagumkan, sebagai bukti adalah kesiapan mereka dalam

menerima adanya perbedaan pendapat. Dalam hal adat istiadat rakyat Jawa sudah jelas Sunan Ampel berbeda

pendapat dengan Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunung Jati. Tetapi mereka tetap bisa hidup rukun

damai tanpa terjadi percekcokan yang menjurus pada pertikaian. Bahkan Sunan Kalijaga yang terkenal sebagai

pelopor penjaga aliran lama itu menjadi menantu Sunan Ampel.

Putra Sunan Ampel sendiri yaitu Sunan Bonang adalah pendukung pendapat Sunan Kalijaga. Sunan Drajad atau

Raden Qosim yang juga putra Sunan Ampel pada akhirnya juga memanfaatkan gamelan sebagai media dakwah

yang ampuh untuk mendekati rakyat Jawa agar mau menerima Islam. Itulah jiwa besar yang dimiliki para Wali.

Saling menghargai medan perjuangan masing-masing anggotanya.

Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel. Setiap hari banyak

orang yang berziarah ke makam beliau bahkan pada malam harinya juga.

Semoga Allah manaikkan beliau ke derajat yang tinggi, drajad para auliya muqorrobin

dan meridhai segala amal beliau.

Page 10: KUMPULAN CERITA Wali Songo

SUNAN GIRI

Biografi

Sunan Giri atau yang mempunyai nama lain Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul

Yaqin dan Joko Samudra adalah nama salah seorang Wali Songo yang berkedudukan di desa Giri, Kebomas,

Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra Sengkala “Jalmo orek

werdaning ratu” (1365 Saka). dan wafat pada tahun Saka Candra Sengkala “Sayu Sirno Sucining Sukmo” (1428

Saka) di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal

Abidin, Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad Al-

Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad

Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah

Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan

Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan

nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.

Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan

Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir

Majapahit. Namun kelahiran Sunan Giri ini dianggap rakyat Blambangan sebagai pembawa kutukan berupa

wabah penyakit di kerajaan Blambangan. Kelahiran Sunan Giri disambut Prabu Menak Sembuyu dengan

membuatkan peti terbuat dari besi untuk tempat bayi dan memerintahkan kepada para pengawal kerajaan

untuk menghanyutkannya ke laut.

Berita itupun tak lama terdengar oleh Dewi Sekardaru. Dewi Sekardadu berlari mengejar bayi yang barusaja

dilahirkannya. Siang dan malam menyusuri pantai dengan tidak memikirkan lagi akan nasib dirinya. Dewi

Sekardadupun meninggal dalam pencariannya.

Peti besi berisi bayi itu terombang-ambing ombak laut terbawa hinga ke tengah laut. Peti itu bercahaya

berkilauan laksana kapal kecil di tengah laut. Tak ayal cahaya itu terlihat oleh sekelompok awak kapal (pelaut)

yang hendak berdagang ke pulau Bali. Awak kapal itu kemudian menghampiri, mengambil dan membukanya

peti yang bersinar itu. Awak kapal terkejut setelah tahu bahwa isi dari peti itu adalah bayi laki-laki yang molek

dan bercahaya. Awak kapalpun memutar haluan kembali pulang ke Gresik untuk memberikan temuannya itu

kepada Nyai Gede Pinatih seorang saudagar perempuan di Gresik sebagai pemilik kapal. Nyai Gede Pinatih

keheranan dan sangat menyukai bayi itu dan mengangkanya sebagai anak dengan memberikan nama Joko

Samudra.

Saat mulai remaja diusianya yang 12 tahun, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk berguru ilmu

agama kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel) atas permintaannya sendiri. Tak berapa lama setelah

mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Sunan Ampel

mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai sebelum

menunaikan keinginannya untuk melaksanakan ibadah Haji. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain

adalah ayahnya sendiri. Di sinilah, Joko Samudra mengetahui cerita mengenai jalan hidup masa kecilnya.

Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin

diperintahkan gurunya yang tak lain adalah ayahnya sendiri itu untuk kembali ke Jawa untuk mengembangkan

ajaran islam di tanah Jawa. Dengan berbekal segumpal tanah yang diberikan oleh ayahandanya sebagai contoh

tempat yang diinginkannya, Raden ‘Ainul Yaqin berkelana untuk mencari dimana letak tanah yang sama

dengan tanah yang diberikan oleh ayahanya. Dengan bertafakkur dan meminta pertolongan serta petunjuk

dari Allah SWT. maka petunjuk itupun datang dengan adanya bukit yang bercahaya. Maka didatangilah bukit

itu dan di lihat kesamaanya dan ternyata memang benar-benar sama dengan tanah yang diberikan oleh

ayahnya. Perbukitan itulah yang kemudian ditempati untuk mendirikan sebuah pesantren Giri di sebuah

perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas, Gresik pada tahun Saka nuju tahun Jawi Sinong milir (1403 Saka).

Pesantren ini merupakan pondok pesantren pertama yang ada di kota Gresik. Dalam bahasa Jawa, giri berarti

gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.

Page 11: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan

pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sumbawa, Sumba, Flores, Ternate, Sulawesi dan

Maluku. Karena pengaruhnya yang luas saat itu Raden Paku mendapat julukan sebagai Raja dari Bukit Giri.

Pengaruh pesantren Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan yang disebut Giri. Kerajaan Giri Kedaton

menguasai daerah Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan

Agung.

Terdapat beberapa karya seni tradisonal. Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, di

antaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Jor, Gula-gantiLir-ilir dan Cublak Suweng; serta

beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Perjalanan Sunan Giri

SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin

mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang:

''Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya. Tapi, ia

diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden

Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan

Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti

gunung. Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang menjadi

Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs

Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri.

Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter. Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid,

tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1

meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,'' kata

Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA. Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke

seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa.

Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-

Quran dan sunah Rasul. Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak

kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ''putihan'', aliran yang didukung

Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku.

Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan. Misalnya dengan

wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung

Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan

Kalijaga cs-- ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang

tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia. Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia

mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber

berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat

menjadi penggantinya.

Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata. Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9

Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan,

Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan

dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.

Page 12: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas

dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti

Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.

Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis

dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi

umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat. Ketika

Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri

dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut.

Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi. Sejak

itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal,

sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal

sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.

Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat

yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu

Menak Sembuyu.

Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan

agama Islam. Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di

daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja

Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya. Akhirnya

raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan

dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup

memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari

pertapa sakti.

Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi

inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi

Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu

sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi. Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa

Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi

seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia

berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.

Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum

berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh bulan-- agar anaknya

diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya

kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti. Alkisah, peti tersebut

ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali.

Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang

kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro

dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam. Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar

''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana

Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah.

Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Sunan Ampel ingin

mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka

kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu

memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang

diberikannya. Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih

membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya.

Peranan Sunan Giri Dalam Perjuangan Wali Sanga

Dimuka telah disebutkan bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola

Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. H.J. De Graaf, sesudah pulang dari

Page 13: KUMPULAN CERITA Wali Songo

pengembaraannya atau berguru ke Negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian

berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri

yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri

Kedaton ( Kerajaan Giri ) . Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura,

Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.

Menurut Babat Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua

besar, seperti Eropa ( Rum ), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.

Semua itu adalah pengembara kebesaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang

pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan

pembentukan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang

luas.

Disekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan

air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau

sumber air itu sangat aneh dan gaib, hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.

Sebagai Pemimpin Kaum Putihan

Dalam menentukan hokum agama yang pada saat itu memang sedang menghadapi ujian adanya masalah-

masalah ummat yang pelik, Sunan Giri sangat berhati-hati, beliau kuatir terjerumus pada jurang kemusyrikan.

Itu sebabnya beliau sangat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang sahih.

Ibadah menurut beliau haruslah sesuai dengan ajaran Nabi, tidak boleh dicampuri dengan berbagai

kepercayaan lama yang justru bertentangan dengan agama Islam. Karena mahirnya beliau di bidang ilmu fiqih

maka beliau mendapat sebutan Sultan Abdul Fakih. Di bidang tauhid beliau juga tak kenal kompromi dengan

adat istiadat lama dan kepercayaan lama. Kepercayaan Hindu-Budha atau animesme dan dinamisme harus

dikikis habis. Adat istiadat lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam harus dilenyapkan supaya tidak

menyesatkan ummat dibelakang hari.

Pelaksanaan syariat Islam di bidang agama ibadah haruslah sesuai dengan ajaran aslinya yang termasuk di

dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karena sikapnya ini maka Sunan Giri dan pengikutnya disebut kaum

Putihan atau Islam Putih. Islam Putihan ini artinya adalah dalam beragama mengikuti jalan lurus, putih bersih

seperti ajaran aslinya. Pemimpin kaum putihan adalah Sunan Giri yang didukung oleh Sunan Ampel dan Sunan

Drajad.

Kalau ada Islam Putihan tentunya ada Islam Abangan, anak Islam Abangan ini adalah para pengikut Sunan

Kalijaga yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati dan Sunan Muria.

Tujuan Aliran Islam Abangan ini adalah agar Islam cepat tersiar keseluruh penduduk Tanah Jawa. Agar semua

rakyat dapat menerima agama Islam, karena itu mereka berpendapat :

1. Membiarkan dahulu adat istiadat yang sukar diubah, atau tidak merubah adat yang berat ditiadakan,

sehingga tidak terjadi usaha kekerasan dalam menyebarkan Islam.

2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dihilangkan maka ditiadakan.

3. Mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk mempengaruhi sedikit

demi sedikit agar mereka menerima Islam yang benar.

4. Menghindarkan terjadinya konfrontasi secara langsung atau terjadinya kekerasan dalam menyiarkan agama

Islam. Maksudnya ialah mengambil ikannya tanpa mengeruhkan airnya

5. Tujuan utama kaum Abangan adalah merebut simpati rakyat sehingga rakyat mau diajak berkumpul,

mendekat dan bersedia mendengarkan keterangan apa sih ajaran agama Islam itu ? Jadi tidak dibenarkan

menghalau rakyat dari kalangan ummat Islam, melainkan berusaha menyenangkan hati mereka supaya

mau mendekat kepada para ulama atau para Wali. Untuk itu tidak ada salahnya penggunaan kesenian

rakyat seperti gending dan wayang kulit sebagai media dakwah untuk mengumpulkan mereka.

Itulah pendapat kaum Abangan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga. Perlu diketahui walaupun ada perbedaan

dalam cara menyiarkan Islam, tapi pada waktu itu tidak sampai terjadi ketegangan kedua pihak masih sama-

sama berfaham Ahlussunah waljamaah dan bermahZab Syafi’i. Kedua pihak sama-sama menyadari pentingnya

pos mereka. Pihak Putihan menjaga kemurnian agama Islam agar tidak bercampur dengan faham yang berbau

Page 14: KUMPULAN CERITA Wali Songo

syirik. Sedangkan pihak Abangan adalah mengajak masyarakat atau rakyat secepatnya menjadi pemeluk

agama Islam. Bila sudah menjadi pemeluk Islam tinggal menyempurnakan iman mereka saja.

Peresmian Masjid Demak

Dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukan wayang kulit

yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit

binatang. Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia itu haram

hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.

Jika Sunan Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan membuka pegelaran wayang kulit,

kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan

Giri mengusulkan agar Masjid Demak diresmikan pada saat hari jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah

Jum’at. Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya

Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar

manusia lagi. Lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.

Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan sidang para Wali.

Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu

digunakan sebagai media dakwah. Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan

Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa

dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan

Giri yang menata. Maka perdebatan tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali

dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukan wayang kulit yang dinamakan oleh Ki Dalang

Sunan Kalijaga.

Prabu Satmata Dan Giri Kedaton

Semakin hari pengaruh Sunan Giri semakin besar. Kekuatan spiritualnya juga semakin luas. Tidak bisa

dipungkiri lagi bahwa pesantren Giri kemudian berubah menjadi kerajaan Giri yang sering disebut Giri

Kedaton. Dan Sunan Giri sebagai raja pertama bergelar Prabu Satmata.

Sunan Ampel wafat pada tahun 1478, maka Sunan Girilah yang diangkat sebagai sesepuh Wali Songo atau

Mufti ( pemimpin agama se Tanah Jawa ). Sunan Ampel adalah Penasehat bagian politik Demak. Jasa beliau

sungguh besar bagi perjuangan Wali Songo, yaitu menyebarkan agama Islam tanpa kekerasan. Beliaulah yang

paling tidak setuju atas beberapa usul agar Raden Patah segera menyerang Majapahit agar Demak dapat

berdiri sebagai kerajaan Islam merdeka tanpa harus tunduk kepada Majapahit. Sunan Ampel dan Sunan Giri

yang masih terhitung keluarga kerajaan Majapahit memang dianggap Prabu Brawijaya sebagai pembesar atau

para Pangeran Majapahit yang berkuasa didaerah masing-masing. Sunan Ampel berkuasa di Surabaya dan

Sunan Giri berkuasa di Giri Gresik. Dengan demikian Sunan Ampel adalah orang yang paling tahu situasi

kerajaan Majapahit. Ketika beberapa wali mengusulkan untuk menyerbu Majapait, Sunan Ampel menyatakan

ketidak setujuannya.

“Tanpa diserbupun Kerajaan Majapahit sudah keropos dari dalam. Lagi pula Prabu Brawijaya Kertabumi itu

masih ayah kandung Raden Patah selaku Pangeran Demak Bintoro,” Kata Sunan Ampel. “Apa kata orang nanti

bila seorang anak durhaka menyerang dan merebut tahta ayahnya sendiri ? Saya kira Kerajaan Majapahit akan

sirna dengan sendirinya, beberapa adipati yang masih beragama Hindu sudah banyak yang ingin merebut

kekuasaan. Kita tak usah ikut-ikutan merebut tahta Majapahit yang hanya mencemarkan keagungan agama

yang kita anut.”

Ramalan Sunan Ampel memang benar. Tidak lama setelah beliau meninggal dunia. Adipati Keling atau Kediri

bernama Girindrawardhana menyerbu kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa Prabu Kertabumi

atau Ayah Raden Patah itu tewas dalam serangan mendadak yang dilakukan Prabu Girindrawardhana dari

Kediri. Setelah Sunan Ampel wafat, penasehat bagian politik Demak digantikan oleh Sunan Kalijaga. Sedang

Sunan Giri dianggap sesepuh yang sering dimintai pertimbangan di bidang politik kenegaraan.

Para Wali mengadakan sidang sesudah jatuhnya Majapahit oleh serangan menyerang Prabu Girindrawardhana

yang berkuasa di Majapahit. Sebab Raden Patah adalah pewaris utama kerajaan Majapahit. Dengan demikian

Page 15: KUMPULAN CERITA Wali Songo

ketika Demak menyerbu Majapahit bukanlah menyerang Prabu Kertabumi yang menjadi ayah Raden Patah,

melainkan justru merebut tahta Majapahit dari tangan musuh Prabu Kertabumi. Pada waktu Prabu

Girindrawardhana ini berkuasa di Majapahit pernah berusaha menggempur Giri Kedaton, karena Sunan Giri

dianggap salah satu kerabat Prabu Kertabumi. Tetapi serangan itu dapat dipatahkan oleh Sunan Giri.

Kebesaran nama Sunan Giri yang bergelar Prabu Satmata itu juga terdengar oleh seorang Begawan dari Lereng

Lawu. Namanya Begawan Mintasemeru. Brahmana ini sengaja datang ke Giri Kedaton untuk menentang Sunan

Giri adu kesaktian. Diantara adu kesaktian beragam jenisnya itu, yang paling terkenal adalah adu tebakan.

Begawan Mintasemeru menciptakan sepasang angsa jantan dan betina, kemudian dikubur hidup-hidup diatas

gunung Patukangan. Sesudah itu dia kembali menemui Sunan Giri.

“Apakah yang baru saya tanam di puncak gunung Patukangan itu, demikian tanya Begawan Mintasemeru

menguji Sunan Giri.

“Yang Tuan tanam adalah sepasang naga jantan dan betina!” jawab Sunan Giri dengan tenangnya.

Begawan itu tertawa terbahak-bahak sembari memperolok-olok kebodohan Sunan Giri.

“Jika Tuan Begawan tidak percaya boleh anda lihat lagi, hewan apakah yang Tuan tanam di puncak gunung

itu,” kata Sunan Giri.

Sang Begawan menurut. Dia bongkar kuburan sepasang angsa ciptaannya. Ternyata angsa itu lenyap sebagai

gantinya adalah sepasang naga yang meliuk-liuk hendak menerkamnya. Tentu saja sang Begawan merasa

teramat malu. Selanjutnya dikatakan bahwa Begawan Mintasemeru masih mendemonstrasikan beberapa

kesaktiannya yang menakjubkan, tapi semuanya dapat dikalahkan oleh Sunan Giri. Pada akhirnya Begawan

Mintasemeru menyerah kalah, tunduk dan masuk Islam, kemudian menyebarkan agama Islam di Gunung

Lawu. Legenda tentang adu tebak kewaskitaan itu diabadikan dalam monumen patung sepasang naga di

tangga masuk ke makam Sunan Giri yaitu tangga yang sebelah selatan. Disana ada sepasang naga dari ukiran

batu yang mirip dengan angsa.

Jasa-Jasa Sunan Giri

Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke

Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun dilakukannya sendiri

sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan keluar pulau.

Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang Wali yang dianggap murtad

karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para Wali lainnya.

Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham

Ahlussunnah wal jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekwen

berdampak positif bagi generasi Islam berikutnya.

Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi, tanpa di campuri kepercayaan atau adapt istiadat

lama. Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang

dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain : Jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan

dan Delikan. Diantara permainan anak-anak yang dicintanya ialah sebagai berikut :

Diantara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan.

Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggak atau batang pohon yang telah

ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang

sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang

dilambangkan sebagai pemburu.

Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang

Bulan :

“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,

dolanane na ing latar,

ngalap padhang gilar-gilar,

nundhung begog hangetikar.”

Page 16: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Artinya adalah sebagai berikut :

“Malam terang bulan, marilah lekas bermain,

bermain di halaman, mengambil di halaman,

mengambil manfaat benderangnya rembulan,

mengusir gelap yang lari terbirit-birit.”

Maksud lagu dolanan tersebut ialah : Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut

penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan

dan kesesatan.

Sunan Giri jauh-jauh sudah memperingatkan umat agar berhati-hati terhadap perubahan jaman. Beliau pernah

meramalkan bahwa pada masa yang akan datang akan banyak orang yang mengaku mendapat wahyu Tuhan

tetapi sebetulnya mereka sangat jauh dari agama. Bahkan sama sekali tak mengerti ilmu agama. Mereka

dipuja-puja ummat padahal menjadi benalu atau pemeras ummat. Mereka tidak lagi menghiraukan syariat

agama, bahkan menginjak-nginjak syariat tersebut dengan mendakwakan dirinya sudah tidak perlu melakukan

shalat, tidak perlu berpuasa dan berzakat karena dirinya sudah baik, sudah sempurna. Itulah orang yang

tergelincir ilmunya. Mereka sesat dan menyesatkan ummat pengikutnya.

Dimasa yang akan datang juga akan muncul guru-guru ilmu yang merasa ilmunya sudah tinggi, sudah

sempurna, mereka mengaku mendapat wangsit dari Tuhan dan karenanya bebas berbuat apa saja. Guru

semacam ini justru dipuja-puja para pengikutnya sampai-sampai masyarakat rela mengorbankan harta, harga

diri dan jiwanya demi kesenangan sang guru. Dalam kenyataannya ramalan Sunan Giri itu memang sudah

sering terbukti. Sudah berapa kalikah masyarakat dibodohi guru-guru semacam itu, mulai dari dukun cabul

hingga orang-orang yang mengaku dirinya Wali ternyata adalah bajingan.

Para Pengganti Sunan Giri

Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua

puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu

Satmata. Pengaruh Sunan Giri sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa.

Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah

memerlukan pengesahan dari Sunan Giri.

Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama

meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu :

1. Sunan Dalem

2. Sunan Sedomargi

3. Sunan Giri Prapen

4. Sunan Kawis Guwa

5. Panembahan Ageng Giri

6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

7. Pangeran Singonegoro ( bukan keturunan Sunan Giri )

8. Pangeran Singosari

Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari sebuah Sunan Amangkurat II yang dibantu

oleh VOC dan Kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu adalah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang

dilakukan oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah menyungkir balikkan Surakarta dan

bahkan pernah menjadi Raja di Kediri.

Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I yang

pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama’ Ahlusunnah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan

rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki tangan Sunan Amangkurat I,

mereka adalah para pengikut faham Manunggaling Kawula Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar

yang ditentang Wali Sanga. Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri

Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri. Yang dirawat oleh juru kunci

makam Sunan Giri

Page 17: KUMPULAN CERITA Wali Songo

SUNAN BONANG

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo. Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se Tanah Jawa ,tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin . Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar , maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin . Disebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang ,yaitu Negeri Pasai . Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai .Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir , Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang keJawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri . Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah diTuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang.

Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya . Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu ditelinga penduduk setempat . Lebih –lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya . Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya . Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang – tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka. Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam.Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan. Diantara tembang yang terkenal ialah : “Tamba ati iku sak warnane, Maca Qur’an angen-angen sak maknane, Kaping pindho shalat sunah lakonona, Kaping telu wong kang saleh kancanana, Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe, Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe, Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani. Artinya : Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya. Pertama membaca Al-Qur’an dengan artinya, Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ), Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh ( berilmu ), Keempat harus sering berprihatin ( berpuasa ), Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam, Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan.

Page 18: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Hingga sekarang lagi ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jama’ah, baik di pedesaan maupun dipesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk .Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda . (Nederland )

Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak. Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ''pengadilan'' yang dipimpinnya. Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ''pengadilan'' itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah. Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih. Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan. Untuk menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap. Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria. Dikisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tambang dan gending. Dharma dan irama Mocopa,t Begitu gending ditabuh Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti dilolosi dari tempatnya. Sehingga gagallah mereka melaksanakan niat jahatnya. “Ampun ………. hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat !” Demikian rintih Kebondanu dan anak buahnya. “Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.” “Ya, kami menyerah, kami tobat !Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi ………. “ Kebondanu ragu meneruskan ucapannya. “Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu !” ujar Sunan Bonang. “Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya,” kata Kebondanu dengan ragu. “Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.” “Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja,” kata Sunan Bonang. “Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.”

Page 19: KUMPULAN CERITA Wali Songo

“Walau dosa kami setinggi gunung ?” Tanya Kebondanu. “Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir dilaut.” Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia. Demikian pula anak buahnya. Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar ke Tuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah keagamaan dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir. “Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang.”kata sang Brahmana. “Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang?” tanya lelaki itu . “Akan saya ajak berdebat tentang masalah keagamaan ,kata sang Brahmana .”Tapi sayang kitab –kitab yang saya bawa telah tenggelam kedasar laut .” Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap dipasir ,mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana. “Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam kedasar laut?”Tanya lelaki itu. Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu. “Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini?”tanya sang Brahmana “Tuan berada dipantai Tuban !”jawab lelaki itu .Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut dihadapan lelaki itu .Mereka sudah dapat mendiga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri. Siapalagi orang sakti berilmu tinggi yang berada dikota Tuban selain Sunan Bonang .Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah keagamaan, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia. Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan. Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang. Adalagi legenda aneh tentang Sunan Bonang . Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak dibawa ke Surabaya untuk dimakamkan disamping Sunan Ampel yaitu ayahandanya .Tetapi kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu disebelah barat Masjid Jami ’Tuban.

Page 20: KUMPULAN CERITA Wali Songo

SUNAN DRAJAT

Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan dikecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan Dandeles ( Anyer - Panarukan ), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya. Wewarah pengentasan kemiskinan Sunan Drajat kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut : 1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain) 2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada) 3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita -

cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan) 4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu - nafsu) 5.Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan

hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur). 6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu) 7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono

marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita).

Empat pokok ajaran dari Sunan Drajad Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah materi dakwah yang disampaikan oleh Sunan Drajad. Dalam setiap dakwahnya beliau menyampaikan empat pokok ajarannya yang sangat terkenal di masyarakat. Empat pokok ajaran inilah yang menjadi substansi dakwah dari Sunan Drajad. Empat pokok ajaran dari Sunan Drajad adalah : 1. Menehono teken marang wong wuto 2. Menehono mangan marang wong kan luwe 3. Menehono busono marang kang mudo

Page 21: KUMPULAN CERITA Wali Songo

4. Menehono ngiyup marang wong kang kudanan Kurang lebih demikian artinya : Berilah tongkat kepada orang yang buta Berilah makan kepada orang yang kelaparan Berilah pakaian kepada orang yang telanjang Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan Sekilas kalau kita perhatikan dari 4 pokok ajaran yang disampaikan Sunan Drajad tersebut nampaknya tidak ada yang istimewa. Namun kalau kita kaji lebih dalam lagi ternyata ada makna tersirat yang terkandung dalam 4 pokok ajaran tersebut. Dan ternyata 4 pokok ajaran ini sangat supel dan luwes, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bahkan 4 pokok ajaran tersebut tampaknya masih sangat relevan untuk diamalkan dalam kondisi kekinian. Makna tersirat dari 4 pokok ajaran tersebut adalah : Berilah petunjuk kepada orang yang bodoh. Dalam konteks kekinian tentu saja dapat pula dimaknai bahwa kualitas pendidikan harus terus ditingkatkan, karena pendidikan memegang peranan yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Dengan pendidikan yang berkualitas akan semakin banyak mencetak generasi penerus yang siap hidup dan bersaing di era globalisasi ini Sejahterakanlah kehidupan orang yang miskin (kurang makan) Program pengentasan kemiskinan harus dijadikan prioritas utama oleh pemegang kekuasaan bangsa ini. Berbagai upaya harus senantiasakan dilakukan demi terciptanya pemerataan hidup. Sehingga tidak akan terdengar lagi slogan “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” Ajarkanlah budi pekerti (akhlak) kepada orang yang tidak punya malu atau belum beradab. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan dari budi pekerti bangsa itu, jika dekadensi moral menjadi wabah yang menjalar pada bangsa tersebut, maka tunggu saja saat kehancurannya. Untuk itu perlu adanya penanganan yang sangat serius dalam pembelajaran budi pekerti di dalam masyarakat. Tentu peran pemerintah sangat dominan untuk merealiasasikan hal ini. Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana Dalam konteks kekinian perwujudan ajaran ini sangat dibutuhkan, apalagi saat ini bangsa kita sedang di landa berbagai macam musibah, baik gempa bumi, banjir, longsor, lumpur lapindo, kecelakaan pesawat, kebakaran dan lain-lain. Penanggulangan bencana tentunya bukan hanya pada aspek fisik saja, tapi yang lebih penting tentu pada aspek psikis dan rohani. Jika 4 pokok ajaran tersebut benar-benar dilaksanakan oleh segenap lapisan masyarakat pada bangsa ini, insya Allah tujuan negeri ini menciptakan masyakat yang adil makmur akan benar-benar terwujud, bukan hanya menjadi slogan yang tak kunjung ada eksistensinya

Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di

Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir

barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda

Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan,

perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden

Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –

ada juga yang menyebut ikan cakalang.

Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal

sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana,

Page 22: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana

beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri

Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren

tempat mengaji ratusan penduduk.

Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang

ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu

kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu

dinamai Desa Drajat.

Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat

itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa

Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara

itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.

Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror

penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu

mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun

permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi

kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat

tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.

Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun

sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang

dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan

dikeramatkan.

Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah

tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,”

demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain,

apalagi melakukan perbuatan itu.

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa.

Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di

masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa

atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.

Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan

iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak

bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang

kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat

kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan

berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam

hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama

dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan

penduduk untuk melaksanakan salat magrib.

Page 23: KUMPULAN CERITA Wali Songo

”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang

sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain,

Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan

Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.

Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia

berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur

abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah

dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri,

Raden Suryadilaga.

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat

adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat

dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid

Sunan Ampel.

Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ”saling memuridkan”. Dalam Babad

Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil

dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam

petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi

nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya

dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.

Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga

Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di

Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga

babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah

Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika

perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya

Page 24: KUMPULAN CERITA Wali Songo

SUNAN KUDUS

Ia putra Dewi Saroh --adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga.

Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung

Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan

Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan

jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.

Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan

melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di

Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah

betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang

berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil

dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

Meski namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan

disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan,

dan diberi nama Ja'far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung

(Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai

panglima perang yang tangguh. Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak

dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan

wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat

di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya. Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah

Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon.

Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far

Shodiq diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.

Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu

bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang.

Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas

disengat tawon. Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far

Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak.

Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan

satu anak. Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas

lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati

Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging --wilayah

Boyolali-- dan sekitarnya.

Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut

Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan

sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung. Tanda-tanda

pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau

yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan

hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan

Kebo Kenanga itu. Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah

pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan

surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang,

melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.

Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq

berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan

Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan,

Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru. Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata

durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far Shodiq

berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata.

Page 25: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.

Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke

badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum

mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud. Versi lain

menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan

membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far Shodiq

tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba

mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.

Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug.

Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada

yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.

Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita

tutur mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug,

Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah

Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak. Mereka sekaligus para tentara yang ikut

bersama-sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan

warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa

Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian. Setelah jamaahnya makin banyak,

Ja'far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat

ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama

Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut. Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956

Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah

mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan

sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds,

yang kemudian berubah menjadi Kudus.

Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan

agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''.

Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi

sedikit. Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha

memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru

menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan

Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu. Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia

mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya

sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak

meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.

Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan

Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah.

Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat

ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau

juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang

membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana

berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-

kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau

Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian

diberikan nama Kudus.

Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus.

Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : "Al kuds the

usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to

some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but

it because applied to the whole town."

Page 26: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu

datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk

bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama

puasa. Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan,

banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa,

hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman. Beliau wafat dan dimakamkan

di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan

artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.

Legenda Kota Kudus

Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan

seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu

di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.

Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu

pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa :

gudigen ), sehingga oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang

menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk

mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau

untuk memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa

beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan

tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu

sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.

Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus

itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan

Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing.

karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri

sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba Sunan

Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat,

malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban),

berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan

Masjid Nganguk Wali.

Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing -

masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar,

katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.

Legenda daerah Jember

Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu

tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap

Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar - putar

diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki

Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus,

tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs.

Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember

Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian

setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang

tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.

Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah

Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan

bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan

ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk agama Islam.

Page 27: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Cerita dari sumber lain

Asal – Usul

Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang

Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini di sebelah utara kota Blora. Didalam Babad Tanah

Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan

pasukan Majapahit.

Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Timbal atau Adipati Terung dari Majapahit.

Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai

pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu

putranya sendiri bernama asli Ja’far Sodiq.

Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka

dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang.

Selanjutnya melalui jalan diplomasi Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan.

Adipati Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang

ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan

tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belah timur.

Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.

2. Kebijakan Sunan Kudus Dalam Menyebarkan Agama Islam

Di samping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Jakfar Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama

terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing. Nama asli Kiai Telingsing ini adalah The Ling Sing, beliau adalah

seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke Pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo.

Sebagaimana disebutkan dalam sejarah Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa

mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.

Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang

terletak diantara sungai Tangulangin dan Sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya

mengajarkan agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.

Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Jakfar Sodiq itu sendiri. Dengan

belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Jakfar Sodio mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina

yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi

kehidupan dakwah Raden Jakfar Sodiq di masa yang akan datang yaitu takkala menghadapi masyarakat yang

kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.

Selanjutnya, Raden Jakfar Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.

Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan

maupun ke Tanah Suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kenetulan di

sana ada wabah penyakit yang sukar di atasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang

berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.

Sudah banyak orang mencoba tapi tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Jakfar Sodiq

menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan sinis.

“Dengan apa Tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu ?” tanya sang Amir.

“Dengan do’a,” jawab Jakfar Sodiq singkat.

“Kalau hanya do’a kami sudah puluhan kali melakukannya. Di Tanah Arab ini banyak para ulama dan Syekh-

Syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.”

“Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya

sehingga do’a mereka tidak terkabulkan,” kata Jakfar Sodiq.

Page 28: KUMPULAN CERITA Wali Songo

“Hem, sungguh berani Tuan berkata demilian,” kata Amir itu dengan nada berang.

“Apa kekurangan mereka ?”

“Anda sendiri yang menyebabkannya,” kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah

yang menggelapkan mata hati mereka sehingga do’a mereka tidak ikhlas. Mereka berdo’a hanya karena

mengharap hadiah.”

Sang Amirpun terbungkam atas jawaban itu. Jakfar Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya.

Kesempatan itu tak disiasiakan. Secara khusu Jakfar Sodiq berdo’a dan membaca beberapa amalan. Dalam

tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang

menderita sakit keras mendadak saja sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir.

Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada Jakfar Sodiq.

Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir

mengijinkannya. Batu itupun dibawa ke Tanah Jawa, di pasang di pengimaman masjid yang didirikannya

sekembali dari Tanah Suci.

Jakfar Sodiq adalah pengikut jejak Sunan Kalijaga, dalam berdakwah menggunakan cara halus atau Tutwuri

Handayani. Adat istiadat rakyat tidak ditentang secara frontal, melainkan diarahkan sedikit demi sedikit

menuju ajaran Islami.

Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan

sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang

bertugas di daerah itu. Karena masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada

akhirnya disebut Sunan Kudus.

3. Cara Berdakwah Yang Luwes

Di Kudus pada waktu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka

masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Juga mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan

memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Jakfar Sodiq

harus berjuang menegakkan agama.

Pada suatu hari Sunan Kusus atau Jakfar Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo

Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.

Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu

tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan

agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan

dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus ?

Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan

menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo

singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu.

Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.

“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” Sunan Kudus membuka suara.

“Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil dulu

hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”

Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar

Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya.

“Salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau dalam

bahasa Arabnya Al-Baqarah,” kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an,

mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan

keterangan Sunan Kudus.

Page 29: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat

berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kuduspun juga tak jauh bedanya

dengan candi-candi milik agama Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi

orang di seluruh dunia karena keanehannya. Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama Islam

hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi, binatang yang dikeramatkan ummat

Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menyaring ummat Budha.

Caranya? memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah masjid berdiri, Sunan

Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing

pancuran diberi arca diatasnya.

Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha. “Jalan berlipat delapan” atau Asta Sanghika Marga” yaitu

1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.

2. Mengambil keputusan yang benar.

3. Berkata yang benar.

4. Hidup dengan cara yang benar.

5. Bekerja dengan benar.

6. Beribadah dengan benar.

7. Dan Menghayati agama dengan benar.

Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak ummat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus

memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu. Didalam cerita tutur disebutkan

bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat

istiadat lama.

Seperti diketahui bersama Rakyat Jawabanyak yang melakukan adat-adat yang aneh, yang kadangkala

bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan, selamatan mitoni, neloni dan lain-lain.

Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah

atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang

disebut yang mitoni sembari minta kepada Dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika

anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.

Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan di arahkan dalam bentuk Islami.

Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para Dewa, melainkan

bersedekah kepada penduduk setempat dan boleh di bawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada

Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan

seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan

Surat Mariam dalam Al-Qur’an.

Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian di ikrar

hajatkan di ikrarkan oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya

tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau ditempat-tempat sunyi di lingkungan

rumah tuan rumah.

Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh

masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan

hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.

Setelah masuk masjid, rakyat harus membasuh kakinya dan tangannya di kolam yang sudah disediakan.

Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan

Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau hanya bermaksud mengenalnya syariat berwudhu

kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya ? Karena iman mereka atau

tauhid mereka belum terbina. Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini

masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa.

Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab

Page 30: KUMPULAN CERITA Wali Songo

keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup

cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu

sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.

Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan

ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan undangan maupun tidak,

karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak perduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu

membasuh kaki dan tangannya

lebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus berhasil

menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya.

Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui

ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliau yang pertama kali menciptakan tembang

Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

4. Tantangan Ki Ageng Kedu

Bahwa Sunan Kudus itu seorang Wali berilmu tinggi dan sakti sudah dimaklumi masyarakat, tapi ada seorang

yang merasa lebih sakti daripada Sunan Kudus. Orang itu bernama Ki Ageng Kedu. Seorang sakti hanya

memiliki ilmu peringan tubuh sedemikian rupa sehingga hanya dengan melemparkan tampah ke udara

kemudian dia meloncat hinggap di atas tampah itu diapun dapat terbang menurut keinginannya.

Pada suatu hari Ki Ageng Kedu yang penasaran atas kesaktian Sunan Kudus ingin mencoba adu kesaktian.

Seperti biasa, dia mengambil tampah kemudian terbang ke daerah Kudus. Orang-orang yang melihatnya

merasa kagum dan heran, Ki Ageng Kedu lewat begitu saja dengan cepatnya di atas rumah-rumah penduduk.

Sewaktu berada di daerah Kudus ia tidak langsung turun dari tampahnya, mala tertawa ngakak berkeliling kota

Kudus. Muridmurid Sunan Kudus sudah penasaran melihat kepongahannya, tapi saat itu Sunan Kudus belum

keluar dari Masjid, beliau masih membaca dzikir seusai shalat. Dia juga tak merasa heran saat keluar dari

masjid melihat Ki Ageng Kedu berteriak-teriak memanggil namanya.

“Hai Sunan Kudus ayo keluarlah! Hadapilah aku Ki Ageng Kedu yang hendak menantangmu adu kesaktian !”

Tiba-tiba Sunan Kudus menundingkan tangannya ke arah Ki Ageng Kedu sembari berkata, “Aku di sini Ki Ageng

Kedu !”

Seketika tersirap darah Ki Ageng Kedu. Tampah yang dikendarainya mendadak oleng kesana-kemari. Tak

terkendalikan lagi, tubuhnya yang ringan mendadak berubah menjadi berat dan segera tersedot oleh gaya

tarik bumi, bahkan seperti dihempaskan oleh tenaga gaib yang tak tampak oleh mata. Tubuh Ki Ageng Kedu

terlempar ke tanah yang becek, yang dalam bahasa Jawanya disebut Jember, hingga sekarang tempat Ki Ageng

Kedu itu jatuh disebut Jember. Setelah roboh ke tanah yang becek dan kotor, segala kesaktian Ki Ageng Kedu

lenyap seketika. Dia telah berubah menjadi manusia biasa, tak bisa terbang lagi seperti dulu.

5. Sunan Kudus Sebagai Seorang Senopati

Sunan Kudus di dalam Babad Tanah Jawa disebut sebagai Senopati atau Panglima Perang Kerajaan Demak

Bintoro. Juga Senopati Waliullah artinya beliau itu menjadi Senopatinya para Wali. Sebagai Senopati Kerajaan

Demak beliau pernah memimpin peperangan melawan Majapahit yang pada waktu itu dipimpin oleh Adipati

Terung.

Sedangkan sebagai Senopati para Wali beliau pernah ditugaskan untuk mengeksekusi Syekh Siti Jenar, seorang

Wali yang meremehkan syariat sehingga dianggap sesat. Pada bagian ini akan diceritakan secara singkat tugas

Sunan Kudus di saat haus berhadapan dengan seorang murid Syekh Siti Jenar yang masih punya darah

keturunan dari Raja Majapahit. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur,

sebabnya malam itu terdengar auman harimau secara terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau

malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke dalam desa. Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau

tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk

memeriksa, apakah benar di dalam hutan itu ada harimaunya.

Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah

putih yang tampak agung berwibawa. Orang itu tak lain adalah Sunan Kudus dan tujuh prajurit Demakyang

menyamar sebagai santri biasa.

Page 31: KUMPULAN CERITA Wali Songo

“Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini ?” Tanya tetua desa.

“Tidak,” jawab Sunan Kudus, “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau.”

“Aneh, semalam kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus,” Guman tetua desa.

“Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada

Sima.” Kata Sunan Kudus.

Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat Sunan Kudus bermalam itu dinamakan desa Sima. Sunan

Kudus kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih

dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.

Tiga tahun yang lalu, diawal tampak pemerintahan Raden Patah. Patih Wanasalam telah diutus untuk

menemui Ki Ageng Pengging. Tujuannya adalah untuk meminta ketegasan Ki Ageng Pengging, apakah Ki Ageng

Pengging bersedia mengakui Raden Patah selaku Raja Demak Bintoro dan penerus dinasti Majapahit atau

sebaliknya Ki Ageng Pengging ingin menjadi Raja Demak ?

Pertanyaan itu tidak pernah dijawab dengan tegas oleh Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam orang

kepercayaan Raden Patah, memberi batas waktu tiga tahun untuk berfikir dan menentukan pilihan.

Kini tiga tahun telah berlalu, Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten

Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus

lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh

Syekh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan

Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajurit masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan di balik baju

petani. Tapi sewaktu-waktu mereka bisa di gerakkan di saat diperlukan oleh Ki Ageng Pengging.

Hal ini di sadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Raden Patah kemudian memerintahkan Sunan Kudus

untuk mengadili pembangkangan Ki Ageng Pengging ini. Suasana Kadipaten Pengging benar-benar lenggang.

Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten

tidak kelihatan, di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang

tak seberapa besar, bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.

Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju

rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah

dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang disembunyikan di dalam hutan

saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak

mengeluarkan auman harimau berarti dia akan menemui kegagalan. Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging

ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud

kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging.

“Maaf Tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui

tamu.” Kata pelayan itu.

“Aku bukan tamu biasa,” Kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin

bertemu dengan Ki Ageng Pengging.”

Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki

Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng

Pengging membuatkan minuman untuk menghormat tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng

Pengging dan Sunan Kudus.

“Wahai Ki Ageng, saya diperintahnya oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di

dalam? Di atas atau di bawah ?” Tanya Sunan Kudus.

Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam.

Patih Demak Bintoro.

“Jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu,” kata Ki Ageng Pengging.

“Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya.

Jawaban itu bagi Sunan Kudus sudah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin

menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia

tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya memberontak !

Page 32: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya.

Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syekh Siti Jenar itu atau

sudah meninggalkan sama sekali.

“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup,” Kata Sunan

Kudus. “Benarkah apa yang saya dengar itu ? Saya ingin melihat buktinya.”

“Memang begitu !” Jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saya aku ini maka aku akan menurut apa yang

kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja,

kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah !”

Klop sudah! Ki Ageng Pengging adalah pengikut Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau

berfilsafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para Wali, sehingga Syekh

Siti Jenar dihukum mati. Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-

ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud

menggorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.

“Seperti pengakuan Ki Ageng bahwa Ki Ageng dapat mati didalam hidup. Saya ingin melihat buktinya ?”

“Jadi itukah yang dikehendaki Sultan Demak” Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus

membuat sebab kematianku. Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati.” Sunan Kudus

menyanggupi permintaan Ki Ageng.

“Tusuklah siku lenganku ini ……! Ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya.

Sunan Kuduspun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging.

Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh

pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging

yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu.

Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil

penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus. 200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin

oleh bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-berteriak memanggil Sunan Kudus

dari kejauhan.

Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian

ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar kearah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di

sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu

harus berbuat apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya

mereka dibuat sadar kembali.

“Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia

tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! nah, kalian rakyat kecil, tak

ada hubungannya dengan urusan ini.

Pulanglah !” Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu

seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang

kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak akan mampu menghadapinya.

“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini,” Kata Sunan Kudus.

“Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian.”

Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk

menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus sangat dihormat para penguasa pada jamannya. Baik

oleh Raja Pajang yaitu Sultan Handiwijaya maupun Raja Jipang yaitu Ario Penangsang.

Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid

Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan

Kudus.

Page 33: KUMPULAN CERITA Wali Songo

SUNAN MURIA

Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti. Raden Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang. Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer. Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati. Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. ”Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak,” kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun melanjutkan perjalanan. Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan penduduk setempat. Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria. Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah. Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa. Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ”tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa”. Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.

Page 34: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa. Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga. Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ”moderat”, mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya. Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari. Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara. Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ”menghanyutkan diri” dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ”Kurang lebih ada sekitar 15.000 penziarah tiap hari,” tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria.

Page 35: KUMPULAN CERITA Wali Songo

SUNAN GUNUNG JATI

Syech Syarief Hidayatulloh dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syech Syarief Hidayatulloh adalah Syarief

Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke 17 Rosulullah SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda

Syech Syarief Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah

Muda’im adalah Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran. Syech Syarief Hidayatullah berkelana untuk

belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi. Syech Syarief Hidayatullah dengan

didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan

didukung Kerajaan Demak, dinobatkan menjadi Raja Cerbon dengan gelar Maulana Jati pada tahun 1479

1. ASAL USUL

Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah datang

di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah

yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.

Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang

pada suatu malam mendapat mimpi yangsama .Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi

Muhammad yang mengajarkan agama Islam.

Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam demikian mempersona membuat kedua

anak muda itu merasa rindu.Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga kali.

Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan

jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda

disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya

kepada Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam

seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.

Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada

Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang

diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran

Walangsungsang adalah seorang pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah

itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut

Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala

Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.

Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula pedagang

asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu

dalam bahasa Sunda disebut Caruban.Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.

Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis

yang terkenal.

Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai

Cirebon hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang di

perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik

itu tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.

Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir

bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik pada wajah

Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.

Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah.

Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan dengan cara

Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah

Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.

Page 36: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan mendirikan

Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan dari daerah Caruban atau Cirebon, pola

pemerintahannya menggunakan azas Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran

Cakrabuana yaitu Pakungwati.

Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu

Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut dipimpin putranya

sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui

tampuk pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.

Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk

menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak

mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu

kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar didaratan Timur

Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu

Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah

2. PERJUANGAN SUNAN GUNUNG JATI

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung

Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang.

Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian

disebut Sunan Gunungjati.

Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati

berperang melawan penjajah Portugis.

Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan

Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan

ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir

dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran

Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah

Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah

Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.

Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka

Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan

Gunungjati.

Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif

Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana

menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang

yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke

Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak

mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di

wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah

ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat

itu.

Page 37: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan

dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten.

Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai dua orang putra yaitu Nyi Ratu Winaon dan

Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan

Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid

Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan

Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia

memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.

Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya

disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja

Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit

pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap

lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak

buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh

Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain

menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon.

Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan

Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan.

Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri

Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.

Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama

Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu

sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan

bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.

Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding.

Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar

barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan

tersimpan di tempat yang aman.

Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri

Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri

Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan

sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat

penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat.

Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon

dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan.

Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan

wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke

Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak

Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim

Page 38: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan

hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.

Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke

Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan

agama Islam di Tanah Jawa.

Raden Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang

Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakan pemberontakan dari daerah pedalaman, didalam

usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid.

Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam

pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan

mengusir Portugis di Sunda Kelapa. Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka

sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon.

Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas

bantuan Pajajaran.

Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan

wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah

Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.

Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan

Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin

serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah

Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat

dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah,

Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah

ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha

ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran

Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran

Hasanuddin.

Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi

Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah

Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA

sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang

hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama.Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya

yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan

senopatinya tewas dalam peperangan itu.

Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari

Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara

kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan

Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan

Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus

atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.

Sunan Gunung Jati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren

Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal

dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang

bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap

digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati.Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini

adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati. Adapun nama aslinya

Adipati Carbon adalah Aria Kamuning. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun.

Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian

wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu

berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga. Demikianlah riwayat perjuangan Sunan Gunungjati.

Page 39: KUMPULAN CERITA Wali Songo

SUNAN KALIJAGA

CARA RADEN SYAHID MENCARI GURU SEJATI

Di antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang menggunakan

pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar, tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk

menyampaikan ajaran sangkan paraning dumadi secara tepat. Budaya arab tidak cocok diterapkan di Jawa

karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang sudah mendarah daging.

Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau

udeng.

Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum.

Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Arti Tejo I adalah putra

Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini,

Raden Syahid sebenarnya adalah anak turun pendiri kerajaan Majapahit. Raden Syahid lahir di Tuban saat

Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing

kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat jelata.

Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid

bertanya ke ayahnya: “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh

Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis ini.

Raden Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan caranya sendiri. Cara

yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui eksistensinya; menjadi “Maling

Cluring”, yaitu pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin yang

menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang

hidupnya berkecukupan.

Suatu ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan sang ayah tanpa ampun

mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng kehormatan keluarga adipati. Pengusiran tidak

hanya dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid kembali melakukan perampokan namun

sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang ayah kehabisan akal sehat. “Syahid anakku, kini sudah

waktunya kamu memilih, kau yang suka merampok itu pergi dari wilayah Tuban atau kau harus tewas di

tangan anak buahku”. Syahid tahu dia saat itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia

pun dengan hati gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati

Wangi, dia bertemu lelaki tua yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang

adalah putra dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat Tuban. Syahid yang ingin

merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid akhirnya berguru pada Sunan Bonang.

Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid diminta duduk diam bersila di pinggir sungai.

Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para yogi dikenal dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah

bertekad untuk mengubah orientasi hidupnya secara total seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya dia

berjuang dalam bentuk fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk batin (metafisik). Dia telah meninggalkan

syariat masuk ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat yang diajarkan Sunan

Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan diri/ego dan patuh pada sang guru sejati (kesadaran

ruh). Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama terkubur dan tertimbun nafsu dan ego

ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya untuk diam di pinggir kali.

Ya, perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau ritual apapun. Cukup diam atau

meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat Yang Adikodrati yang menguasai

alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG,

HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian waktu

diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi

untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan lenyap. Raden Syahir mengalami suwung total,

fana total karena telah hilang sang diri/ego.

“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL

TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG

SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU,

PINANGERAN YITNA KABEH….”

Page 40: KUMPULAN CERITA Wali Songo

Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di pinggir sungai?

Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat dipaparkan bahwa sang sunan bertapa

hingga rerumputan menutupi tubuhnya selama lima tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri

dengan bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan kawruh ilmu-ilmu agama.

Dianjurkan juga oleh Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di

Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan

Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga diberi gelar

Syekh Malaya.

Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah mengalami “mati

sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan diri/ego hingga mampu menghidupkan diri-sejati

yang merupakan guru sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan diri, manusia hanya hidup di dunia

fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak mampu untuk masuk ke dunia isi, dan menyelam di lautan

hakikat dan sampai di palung makrifatullah. Salah satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru

spiritualnya, Sunan Bonang, adalah ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL:

UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU,

DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN

MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA KRAMA. (Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT

SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu

namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama).

Di sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat

mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita

untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA

ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil:

PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG

MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS

DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang utama tidak mengenal

waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan

kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang

tidak pernah berakhir)

Jadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan gusti, yang

manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang diniatkan untuk menyembah-Nya. Selalu

awas, eling dan waspada bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita

lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN

KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK

ADA, HANYA DIA YANG ADA.

Sholat daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM TAN KALAWAN, MET

TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING. (Jadi sholat daim itu tanpa

menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak

hanya kotoran badan melainkan kotoran batin. Salat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur,

bersenggama maupun saat membuang kotoran.)

Ajaran makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung suatu ketika Sunan

Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh

Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak

mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI

ADA DI DALAM DIRI. Dalam suluk wujil disebutkan sebagai berikut: NORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT

MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI,

SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA

LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING DUNYA. MESJID ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG

TENGAH, GUMANTUNG TAN PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI,

DINULU SAKING NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON

KULON IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.

Page 41: KUMPULAN CERITA Wali Songo

(Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai tujuannya. Saat

ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit

dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI.

SESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di

tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas tampak langit di bawah, dilihat dari bawah

tampak bumi di atas. Melihat yang barat terlihat timur dan sebalinya. Itu pengelihatan yang terbalik).

Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih mendalam dari

penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke KIBLAT YANG ADA DI DALAM DIRI SEJATI.

Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga. Namun sebaliknya, harus

meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke

kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD

WALIKAN. Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH

PEMAHAMAN YANG DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING

BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH NILAINYA.

Apa bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya adalah kesabaran

dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap

orang lain sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum

atau pusat spiritual manusia adalah BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke

AKU SEJATI dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir

adalah untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala

kesempurnaan-Nya.

Sunan Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi yang juga telah didaki

oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata, Sunan Kalijaga

karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat wilayah kekuasaan. Di bidang politik,

jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan

menasehati Raden Patah (penguasa Demak) agar tidak menyerang Brawijaya V (ayahnya) karena beliau tidak

pernah berlawanan dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang

dan menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang (karena Demak dianggap telah kehilangan

kultur Jawa. Pajang yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam dengan

jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain Sunan Kalijaga adalah mendorong Jaka

Tingkir (Pajang) agar memenuhi janjinya memberikan tanah Mataram kepada Pemanahan serta menasehati

anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan kekuatan batin melalui tapa

brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari

wilayah sekeliling. Bahkan Sunan Kalijaga juga mewariskan pada Panembahan Senopati baju rompi

Antakusuma atau Kyai Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata apapun


Top Related