Download - Kritik Orientalis Terhadap Hadits
KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS
(Telaah Atas Kritik Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan Jyunboll)
Oleh: IMROATUL MUNFARIDAH (Farida Ari)
A. Pendahuluan
Hadits Nabi Saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk
ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an.1
Dalam hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas
al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk
nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala
sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam al-
Qur’an.2
Oleh karena sedemikian sentralnya keberadaan hadits nabi itu, banyak
musuh-musuh Islam berupaya meruntuhkan ajaran Islam dengan cara
mengkaji dan meneliti hadits dengan satu tujuan untuk meragukan dasar-dasar
validitas hadits sebagai dalil / dasar argumentasi. Penelitian dan kajian-kajian
yang dilakukan oleh musuh-musuh islam itu (diantaranya sebagaian dilakukan
oleh orientalis) itu sebenarnya mengajak umat islam untuk meragukan
kebenaran dari hadits. Dengan diragukannya hadits-hadits yang ada dalam
kitab-kitab hadits karya ulama masa lalu, maka robohlah sudah satu pilar
agama Islam . Sehingga umat Islam tidak memiliki kesatuan atau keseragaman
dalam memahami al-qur’an dan lebih jauh dalam mengaplikasikan ajaran-
ajaran syari’at Islam tentunya. Inilah tujuan utama kegiatan orientalis dalam
mengkaji hadits.
Yusuf Qardlawiy telah menengarai kelompok (musuh-musuh Islam)
itu terdiri dari para missionaris dan orientalis dan sebagian lagi murid-murid
termasuk orang-orang yang terpesona dengan “metode ilmiah” yang mereka
1 Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 27.
2 Ibid.,
peragakan itu. Di antara sekian banyak orientalis yang mengkaji, ada 3 nama
besar yang berpengaruh dalam kegiatan penelitian hadis. Mereka itu adalah
Goldziher , Schahct dan jyunboll. Berikut ini akan dibahas pola pemikiran
mereka terhadap kesahihan hadis-hadis nabi saw.
B. Pengertian Kritik dan Orientalis
Dua kata “kritik” dan “orientalis” dalam khazanah bahasa Indonesia
sudah tidak asing lagi. Keduanya merupakan bahasa serapan dari bahasa
asing. Karena itu, dalam tataran praktis, kedua kata itu kadang-kadang
menyimpang dari pengertian terminologi yang seharusnya. Akibatnya terjadi
misundestanding antara nara sumber dan penerimanya. Dari sinilah, penulis
merasa perlu memposisikan pengertian dua kata tersebut sebelum pembahasan
yang lain.
“Kritik” berasal dari bahasa Inggris “critic” yang artinya pengecam,
pengkritik, pengupas, pembahas.3 Secara terminologi, kritik berarti upaya-
upaya untuk menemukan kesalahan, atau menurut versi W.J.S. Purwodarminto
mengkritik diartikan dengan “memberi pertimbangan dengan menunjukkan
yang salah”. Sedang Kritik dalam Bahasa Arab adalah “naqd” yang
diterjemahkan dengan kritik dan kecaman.4
Yang dapat kita pahami dari pengertian diatas adalah bahwa kritik/
mengkritik adalah upaya untuk menunjukkan / mendahulukan kesalahan
daripada mencari kebenarannya. Dengan demikian, maka dalam benak kita
ketika memahami “kritik” akan dipenuhi dengan su’udzan, dan bisa jadi
karena sibuk dengan mencari kesalahan, maka kebenaran yang adapun tidak
tampak.
Karena itu, menurut hemat penulis, kritik berarti meneliti dengan
cermat tentang benar tidaknya sesuatu dengan menggunakan standart yang
sesuai. Dengan pengertian ini, maka yang dilakukan orang ketika mengkritik
hadits dan ilmu hadits adalah menilai dan mengomentarinya dengan
3 Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1992), hal. 155.
4 Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia (Jombang: Lintas Media, tt..), 443.
mendahulukan kebenaran yang ada daripada kesalahannya, dengan
menggunakan parameter hadits atau ilmu hadits.
Sedangkan kata “orientalis” berasal dari kata orient yang berarti Asia
Timur; atau berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia.5
Secara geografis kata orient bermakna dunia belahan timur dan secara
etnologis berarti bangsa-bangsa timur.6 Sedangkan dalam kamus ilmiah
populer ”orientalis” adalah ahli Barat yang mempelajari Timur.7
Dilihat dari segi terminologinya, Ismail Ya’kub menyatakan bahwa
orientalis adalah orang yang ahli tentang soal-soal ketimuran, yakni segala
sesuatu mengenai negeri-negeri Timur, terutama Negeri-negeri Arab pada
umumnya dan Islam pada khususnya, tentang kebudayaannya, agamanya,
peradabannya, kehidupannya dan lain-lain.8
Dan dalam kata ”orientalis” terkandung sifat umum nama pelaku atau
ahli-ahli ketimuran, artinya dalam beberapa hal siapapun orangnya apakah ia
muslim atau non muslim, apabila ia telah luas pengetahuannya tentang
ketimuran maka ia seringkali terkategorikan secara langsung sebagai
orientalis, seperti dinyatakan oleh kelompok Oxford bahwa orientalis adalah
semua orang yang telah luas pengetahuannya tentang bahasa-bahasa Timur
serta kesustraannya.9 Definisi ini dibantah oleh sebagian pakar dengan hanya
membatasi pengertian orientalis hanya pada orang Barat (Eropa dan Amerika)
yang nonmuslim.10
Jadi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanafi bahwa orientalis
adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang mendalami bahasa-bahasa dunia
Timur dan kesustraannya, dan mereka menaruh perhatian besar terhadap
agama-agama dunia Timur; sejarahnya, adat istiadatnya dan ilmu-ilmunya.11
5 Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia…, hal. 408.6 Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Josep Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 51.7 M. dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), hal. 548.8 Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website:
http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009.9 Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz
Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 54.10 Ibid., 11 Ibid.,
C. Kritik Orientalis terhadap Hadits
1. Biografi ketiga orientalis
a. Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang
mendalami ilmu-ilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria.
Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya
dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun
1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig.
Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka
saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata).
Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870
dengan karyanya : “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi
Abad Tengah.”
Ia kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten
Guru Besar di Univeritas Budhapest pada tahun 1872. Ia tidak lama
mengajar, dan lalu meneruskan studinya di Wina dan Leiden. Setelah
itu ia mengadakan perjalanan ke Timur Tengah, Suriah dan Palestina
dan kemudian menetap di Kairo.
Ketika di Universitas Budapest, ia banyak menekankan kajian
peradaban Arab, khususnya agama Islam. Pada tahun 1894, ia diangkat
menjadi profesor kajian bahasa Semit. Goldziher memang sangat
cerdas. Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah
kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca
buku-buku tebal dan memberikan ulasannya. Buku klasik pertama
yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa
Tarikhuhum. Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih.
Pada tahun 1889 ia menulis karangan tentang hadits berjudul
Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya Al Aqidah was Syariah fil
Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang
kepada Muhammad saw. Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik
keras karyanya ini. Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher
melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan
dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad..
hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya
dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya. Ignaz
Goldziher meninggal pada tahun 1921.12
b. Josepht Schahct
Sementara Josepht Schahct adalah seorang profesor yang lahir
di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902. Ia mulai studi di perguruan tinggi
dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di
Universitas Prusia dan Leipzig. Tahun 1923, ia memperoleh gelar
sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929.
Schacht menjadi dosen di Universitas Frayburg, Jerman. Pada tahun
1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir.
Di Mesir,ia mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di
jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas
Mesir hingga 1939. Ketika terjadi Perang Dunia II pada September
1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC,
London. Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi
Jerman.
Di Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas
Oxford dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar
Doktor pada tahun 1952. Ia diangkat sebagau guru besar di seluruh
universitas yang ada di kerajaan Inggris. Pada tahun 1954, ia pakar
fikih Islam ini, menjadi guru besar di Universitas Leiden sampai 1959.
Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan kedua Dairat al Ma’arif
al Islamiyah. Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di
Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.
Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL
Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al
Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan
lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya
12 Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford,1950). Karya
Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.13
c. Jyunboll
Adapun G.H.A Jyunboll adalah pendukung setia kedua
orientalis di atas. Karya-karyanya antara lain : The Authenticity of The
Tradition Literature; Discussion in Modern Egypt, juga tentang On
The Origin of Arabic Prose Reflection on Authenticity, termasuk juga
Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship
of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna.
Sejak di bangku S1 di Leiden, Belanda, Juynboll sudah begitu
gigih mencurahkan segenap upayanya melakukan penelitian terhadap
otentifikasi hadits. Tak ayal, setelah tiga puluh tahun lebih, sejarah dan
perkembangan hadits dapat dia kuasai dengan baik. Mulai dari hadits
klasik hingga yang kontemporer. The Authenticity of the Tradition
Literature, adalah salah satu bukti karya original, hasil penelitiannya
terhadap pandangan para teolog Mesir tentang keshahihan sebuah
hadits.14
2. Pemikiran dan kritik ketiga orientalis tentang otentisitas hadits Nabi.
a. Ignaz Goldziher
Untuk memahami pemikiran dan kritik Goldziher tentang
hadits adalah hal yang tidak mungkin kita lakukan, jika kita lewatkan
begitu saja apa yang ia uraikan dalam Mohammedanische Studien yang
terbit pada tahun 1890 dalam bahasa Jerman dan kemudian
diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern ke dalam bahasa
Inggris yaitu Muslim Studies. Dalam karya terbesar itu seluruh
pemikirannya tentang hadits tertuang secara sempurna.15
Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan
kajian tentang hadis adalah ignaz goldziher dalam bukunya : 13 Ibid., 14 .....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll,
Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
15 Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht..., hal. 88.
Muhammadanische Studies, dia mengatakan:”bagian terbesar dari
hadis tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan
kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah
benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen
Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan
ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.16
Karena buku itu (Muhammadanische Studies), dianggaplah
”kitab suci” tentang hadits di kalangan orientalis. Mustafa Yaqub
mengatakan bahwa buku tersebut mempunyai posisi tersendiri dan
cukup berpengaruh di kalangan orientalis dan para sarjana khususnya
dalam masalah hadits di mana ia merupakan satu-satunya rujukan di
kalangan mereka. Karena buku ini juga, Goldziher dipandang sebagai
orang pertama yang meletakkan dasar kajian skeptik terhadap hadits
yang telah diterima oleh banyak kalangan sarjana Barat. Berbeda
dengan keyakinan yang telah diterima secara umum tadi, menarik juga
untuk disimak, A.J. Wensick dalam The Importance of Tradition for
Studies of Islam, menegaskan bahwa yang pertama kali mengkaji
otentisitas hadits adalah Snouck Hurgronjee.17
Terlepas dari kontroversi tersebut, hal yang terpenting adalah
bahwa ternyata Goldziher telah berhasil meragukan otentisitas hadist
dengan dilengkapi studi-studi ilmiah yang dia lakukan. Hadits yang
dalam konsep Islam merupakan Corpus yang berisikan perkataan,
perbuatan ataupun taqrir yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad
Saw. menurut Goldziher tidak lebih sekedar catatan atas kemajuan
yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah dan sosial pada abad
pertama dan kedua Hijriyah, hampir tidak mungkin untuk meyakinkan
bahwa hadits dapat dinyatakan sebagai asli dari Muhammad atau
generasi Sahabat Rasul.
Nampak dari ungkapan Ignaz ini adanya keraguan untuk
meyakini otentisitas hadis sudah ada pada masa Nabi, Shahabat
16 Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2009.
17 Wahyudin,.....hal. 88.
ataupun masa tabi’in. Hadis tidak lain adalah karya-karya ulama masa
sesudah wafat Nabi yang diedarkan pada fenomena-fenomena sosial
dan kasus-kasus aktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan
keaslian hadis Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang
berkenaan dengan kasus penulisan hadis yang dilakukan oleh Ibn
Syihab al-Zuhri. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan:
(Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz/Hisyam bin
Abdul Malik) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa “hadis”)
Kata-kata “ahadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang
dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif
(ma’rifah) sementara dalam teks yang aslli seperti terdapat pada kitab
Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadis-hadis
yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadis-hdis yang berasal
dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para
pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang
pada saat itu sudah ada , akan tetapi belum terhimpun dalma satu buku.
sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para
pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadis yang belum pernah
ada pada saat itu.18
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang
dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih
banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan
metode kritik matan, karenanya Goldziher kemudian menawarkan
metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan
hadis itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural
dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat
kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani
diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat
ditemukan pada sebuah hadis yang artinya berbunyi : “Tidak
18 Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist...
diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram,
Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha” Menurut Goldziher Abdul Malik
Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa
khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah)
mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (syria
dan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk
berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha
agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup
hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat
itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.19
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini,
Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadis
dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat
Islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al
Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya
hadis tersebut tidak shahih karena ia merupakan bikinan ibn Shihab al-
Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum
dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh ummat
Islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al-
qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa
tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat
Islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selam ini telah terbina
kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang. 20
Pemikiran Barat yang “ilmiah” ini ternyata berdampak sangat
luas terhadap sleuruh kajian-kajian tentnag Islam. Pengaruhnya bukan
saja di kalangan orientalis saja melainkan juga di kalanagan pemikir
muslim, misalnya Ahmad Amin, dalam bukunya “Fajrul Islam” juga
terkecoh dengan meragukan beberapa hadis akibat teorinya Ignaz
tersebut. Begitu pula dengan Mahmud Abu Rayyah dalam bukunya
“Adhwa ‘Ala as Sunnah al Muhammadiyah” ia juga banyak mengikuti
metode-metode kritik hadis versi goldziher. Demikian juga Dr. Thoha
19 Ibid., 20 Ibid.,
Husein, Syaikh Muhammad al Ghazaliy, Fazlurrahman dan lain-lain
meski dalam batas dan kualitas yang berbeda-beda.
b. Joseph Schacht
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadis adalah
Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran
Josepht Schahct atas hadis banyak bertumpu pada teori-teori yang
digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya
adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadis, Josepht Schahct
sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.21
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem
isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama
abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang
sampai kepada Nabi Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya
dapat diringkas dalam enam poin:22
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir
abad pertama.
2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-
wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang”
doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-
isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan
dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk
menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits
yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad
keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang
disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu
merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat
itu.
21 Ibid., 22 M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004),
hal. 232-233.
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang
kepalsuan hadis Nabi SAW, Josepht Schahct menyusun beberapa teori
berikut ini:
1. Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadis bisa
direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara
hukum islam dengan apa yang disebut hadis Nabi. Menurutnya
hukum islam belum eksis pada masa al Sya’bi (110 H). Oleh
karena itu jika ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum
islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al Sya’bi.
Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah
mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila
seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat
terhadap adanya sebuah hadis dan gagal menyebutkannya/ jika satu
hadis oleh sarjana (ulama/perawi) yang datang kemudian yang
mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadis tersebut, maka
berarti hadis tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadis ditemukan
pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis
dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan.
Dengan kata lain untuk membuktikan hadis itu eksis/ tidak cukup
dengan menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak pernah
dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab
seandainya hadis itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai
refrensi.
3. Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah
susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu
untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang
terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah
palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai
sebagai alat untuk membuat sebuah hadis kelihatan tanpa cacat.
Sehingga isnad atas dasar famili adalah isnad buatan yang
digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi
dengan perawi lainnya.
Paling tidak ada tiga tesis besar seperti uraian diatas yang
diajukan Schacht yang menarik perhatian para sarjana, diantaranya
tesis tentang hadits Nabi dilihat dari materinya, atau tentang otentisitas
sanad hadits yang terakumulasi dalam teori Projecting back, yang
berkaitan juga dengan lahirnya hukum Islam. Pikiran-pikiran tersebut,
kalau kita lihat secara keseluruhan, ternyata saling berkaitan, hanya
saja karena dia seorang ahli hukum, pembahasan otentisitas hadits di
bawah ini nampaknya tidak dapat dihindari dari pembahasan lainnya
tentang hukum.23
c. Jyunboll
Adapaun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A.
Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies
in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The
Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang
sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau
mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of
Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru
dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi
pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunbolll menolak anggapan ini
dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad
baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin
Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada
banyaknya hadis-hadis palsu. Seperti hadis “man kadzaba...…”
Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya 5 jalur sanad yang
disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadis itu disusun
pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat
23 Wahyudin, Hadits di mata Orientalis.......hal. 108-109.
rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering
mengenyampingkan hadis. 24
Oleh karena itu jika ada koleksi hadis yang menggunakan
namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu
usaha dari para pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan
perbedaan antara madrasah ahl al-ra’y dengan madrasah ahl al-hadits.
Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari
menambahkan bahwa kolektor hadis (mukharrij) yang koleksi
hadisnya berbeda atau tidak menemukan hadis yang dikoleksi oleh
kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadis itu terkenal, dapat
dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian
juga dengan teori Common Linknya Schacht dia menyebutnya sebagai
teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan
bahwa pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran
riel bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak
pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat
untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadis.25
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang
periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari)
seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid
yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya (lagi)
kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link
adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang
meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian,
ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya,
di sanalah ditemukan common link-nya.26
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa
semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi
(periwayat hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut 24 Khoirul Asfiyak, Otentisitas hadits di mata Orientalist…25 Ibid., 26 .....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll,
Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang
dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang
bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke
(hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak
kebenarannya dha’if.
Sebelum Juynboll, fenomena common link ini sesungguhnya
sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph
Schacht (1902-1969) yang mengklaim dirinya sebagai generasi
penerus Goldziher dalam teori common link ini. The Origins of
Muhammadan Jurisprudence, terbitan Oxford adalah salah katu
karyanya. Nah, dari kedua tokoh besar inilah, Juynboll (pakar sejarah
Islam klasik dan hadits) melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap
teori common link.
Terlepas dari pro dan kontra yang meliputinya, teori ini telah
menghadirkan nuansa baru dalam wacana intelektualitas kita. Sebab,
dengan menggunakan metode common link Juynboll ini, kita dapat
melacak dan menemukan asal-usul hadits, kapan dan oleh siapa hadits
tersebut disebarkan pertama kalinya. Di samping itu, teori common
link juga menjadi wacana yang cukup menghangat. Sebuah wacana
yang sangat radikal, fenomenal, sekaligus memancing perdebatan bagi
setiap orang yang membacanya.
D. Bantahan Ulama terhadap kritik Orientalis
1. Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah
yang muncul pada masa-masa awal peertumbuhan Islam disanggah oleh
bebrapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy
(as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as
Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in
Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah
baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.27
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang
percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot,
justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan
hadits pada awal-awal periode Islam, dalam bukunya Studies in Arabic
Literary Papyri: Qur’anic Commentary and Tradition (1957). Abbot
menyimpulkan bahwa penulisan hadits bisa direkonstruksikan dalam 4 fase:
pertama, masa Nabi hidup, kedua, masa wafat Nabi sampai masa Ummayah,
ketiga, pada masa Ummayah dengan titik sentral bahasan pada peran ibn
Syihab al-Zuhri dan keempat adalah periode kodifikasi hadits kedalam buku-
buku fiqh.28
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah bahwa kesalahan orientalis
yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang
berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah
hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadis ritual. Sebagai contoh dari 47
hadis yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi,
dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan
dengan topik yang didiskusikan.29
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan
bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan
justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi
al-hadis, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadis saja. Demikian juga ternyata
tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwan
(yang bermusuhan dengan ibn Zubair) untuk membuat hadis, adalah palsu
belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu
dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada
saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda
seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi
27 Khoirul Asfiyak,……28 Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits
Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2009.
29 Ibid.,
masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang abdul Qadir
profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al Zuhri. Pada akhirnya
terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen
yang tidak ilmiah.30
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah
teks hadis itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari,
hadis tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan
bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya
isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al Aqsha, dan hal ini wajar
mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi ummat islam.
Sementara itu tawaran Goldziher agar hadis tidak semata-mata didekati lewat
perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati.
Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah
mempraktekkan metode kritik matan. Penjelasan argumentatif telah disajikan
oleh Subkhi as Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadis juga bertumpu pada
matan.31
2. Bantahan untuk Josep Schacht
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht
sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami
kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab
sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat /asumsi penyusunan
teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya
Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau
embrio kelahiran hadis Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik
yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadis Nabi sebaiknya
menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadis.32
Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan
penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu
30 Ibid.,31 Ibid.,32 Ibid.,
shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis
bisa dipalsukan begitu saja.
Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht dikritk oleh Ja’far
Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of
Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam
sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya
Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi
dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu
terhadap referensi yang berasal dari 2 generasi di belakang syafi’i,
kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan
Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid
menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher
sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadis dengan alasan (1) belum mencakup
seluruh hadis yang ada (2) lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus
pada penyelidikan penghimpunann hadis (3) campuran qaul Nabi, Shahabat
dan tabi’in.33
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori
Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi
hadis : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya
abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadis
dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis
belakangan. Misalnya, sejumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya
Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-
Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadis yang
terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani,
walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadis ini paling tidak
mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga
menyadarkan para pengkaji hadis untuk mempertimbangkan adanya faktor-
faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli
33 Ibid.,
hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa
mencantumkan hadis-hadis yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli
hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadis, melainkan untuk
menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima
secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering
kali penyebutan sebuah hadis utuk mendukung berbagai doktrin fiqih
dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan
hadis-hadis yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun
meskipun dalam faktanya hadis-hadis tersebut ada.34
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis
pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh
perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut,
sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan
Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu,
ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika
diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para
orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah,
maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian
sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang
Hadis-Hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya
adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah
Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah suhail ini
berisi 49 Hadis. Sementara Azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada
generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk
jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga,
jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka
terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki
sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya
sama.
34 Ibid.,
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan
teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru
terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi
dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya,
hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu
memang muttashil sampai kepada rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang
telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang
berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi
merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai
seorang Nabi dan panutan umat Islam.
3. Bantahan untuk Jyunboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim
adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya
adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan
namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung
manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang
dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan.
Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti
al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada
muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis
maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan
hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara
infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung
pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.35
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak
melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam
mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya
agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang
35 Ibid.,
dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming
atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya
sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih
akurat.
KESIMPULAN
Bagaimanapun kritik hadis merupakan usaha yang sebenarnya lebih dulu
dilakukan oleh kaum muslim sendiri. Tradisi lisan atau verbal dalam transmisi
hadis tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis. Adanya fenomena pemalsuan
hadis adalah akibat adanya intervensi pendapat-pendapat pribadi dan adanya kasus
iltibas. Namun dari fenomena tersebut, melahirkan tradisi kritik hadis untuk
mengecek validitas hadis. Di samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan
hadis pada abad ke-2 H, telah mengubah orientasi pemeliharaan hadis. Dan tradisi
penulisan menghadirkan beberapa karya monumental yang memuat kumpulan
hadis sebagai upaya selektif dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya.
Dalam perkembangnya kritik inipun menjadi bahan yang menarik bagi
orang non islam yang disebut sebagai The Outsiders maupun Orientalis. Kajian
mereka ini tidaklah harus ditanggapi dengan emosi yang menghilangkan nilai
ilmiah bagi sebuah penelitian. Bahkan secara eksplisit karena merekalah saat ini
umat muslim mencoba bangkit dan berani mengkoreksi nash-nash yang telah
dianggap sakral dan tidak bisa tersentuh dari kritik. Pengkoreksian ini bukanlah
berarti menggap bahwa tesis yang dihasilkan para orientalis ini merupakan sebuah
hasil yang harus diterima secara mentah-mentah, namun harus juga ditanggapi
denga objektif, data yang valid serta metodologi yang juga bisa diterima oleh
kalangan akademis.
Sehingga sebenarnya para sarjana muslim sendiri bersikap berbeda dalam
memandang kegiatan para orientalis. Diantaranya ada yang memandang sebagai
murni kajian keilmuan namun disisi lain lebih banyak yang menganggap sebagai
sebuah propaganda melawan Islam. Dari keseluruhan gerakan orientalisme
tersebut dalam berbagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said
menyimpulkan dalam 3 poin yaitu: 1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan
gambaran tentang pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur
(orient). 2) Bahwa Orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang salah
tentang kebudayaan Arab dan Islam. 3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak
obyektif dan tanpa interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan politik.
Namun harus diakui bahwa selain dari bidang-bidang pemahaman dan
penafsiran Islam, para oritentalis banyak yang berjasa dalam kerja-kerja ilmiah
lainnya dan cukup dirasakan manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan
lexicon, kamus-kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh
karena itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang
berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta. Umat Islam perlu
bersikap kritis dan profesional dalam mengkaji dan menanggapi karya-karya
orientalis itu.
REFERENSI
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. 1992.
Tim Lintas Media, Kamus Indonesia-Arab dan Arab Indonesia. Jombang: Lintas Media, tt..
Wahyudin Darmalaksana, Hadits di mata Orientalis Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht. Bandung: Benang Merah Press, 2004.
M. dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer . Surabaya: Arkola, 2001.
Rifqie, ”Kritik orientalis Terhadap Hadis”, dalam internet website: http://rifqiemaulana.wordpress.com/ diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2009.
.....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata-orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2009.
M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004.
.....” Saat Orientalis Mengkritisi Hadits Teori Common Link G.H.A. Juynboll, Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, lihat di website: http://www.compasiana.com/sunangunungdjati.
Labib Syauqi Akifahadi, “Tanggapan sarjana Muslim Terhadap Kajian Hadits Orientalist”, dalam internet website:http://lenterahadits.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=36&Itemid=57, diakses tanggal 27 Desember 2009.
KRITIK ORIENTALIS TERHADAP HADITS
(Telaah Atas Kritik Ignaz Goldziher, Joseph Schacht dan Jyunboll)
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah:
Studi al-Qur’an dan Hadits
Disusun Oleh:
IMROATUL MUNFARIDAHNim: 095112097
Dosen Pengampu:Dr. H. Zuhad, MA.
MAGISTER ILMU FALAK
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
S E M A R A N G
2010