KONSEP LEMBAGA NEGARA ISLAM (STUDI KOMPARATIF HIZBUT TAHRIR DAN
NEGARA ISLAM INDONESIA)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANGGA ANJAYA NIM: 11140450000010
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1439 H/2018 M
ABSTRAK
Angga Anjaya. NIM 11140450000010. KONSEP LEMBAGA NEGARA ISLAM: STUDI KOMPARATIF HIZBUT TAHRIR DAN NEGARA ISLAM INDONESIA. Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta. 1439 H/2018 M. 70 Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan susunan lembaga negara yang dirancang oleh Hizbut Tahrir dan Negara Islam Indonesia. Sehingga nantinya akan didapati kesamaan dan perbedaan mengenai konsep lembaga negara yang dirancang oleh keduanya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan perbandingan (comparative approach) dan dilakukan dengan menggunakan penelitian studi pustaka. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam. Pertama, data primer dalam penelitian ini adalah masyrû’uddustûr Hizbut Tahrir dan Qanun Asasi Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Kartosoewirjo. Kedua, data sekunder, segala jenis publikasi Hizbut Tahrir dan Negara Islam Indonesia baik itu buku-buku, artikel-artikel, maupun jurnal-jurnal. Analisis data menggunakan analisis isi (content analysis) dengan mengkategorisasikan data-data, dideskripsikan untuk selanjutnya didapatkan hasil perbandingannya.
Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep lembaga negara Hizbut Tahrir ada 8 lembaga, yakni: Khalifah, Mu’awin Tafwiḏ, Mu’awin Tanfidz, Amirul Jihad, Al-Qaḏa, Keamanan dalam Negeri dan Majelis Umat. Sedangkan konsep lembaga Negara Islam Indonesia ada 6 lembaga, yakni: Majelis Syuro, Dewan Syuro, Imam, Dewan Fatwa, Dewan Imamah dan Mahkamah Agung. Hasil analisis perbandingan atas lembaga negara menurut Hizbut Tahrir dan Negara Islam Indonesia: Secara umum, keduanya sama-sama mengajukan konsep ketatanegaraan modern dengan model adanya pembagian kekuasaan negara ke dalam lembaga-lembaga negara untuk kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Menurut Hizbut Tahrir: Khalifah (eksekutif), Majelis Umat (legislatif) dan Al-Qaḏa (yudikatif). Sedangkan menurut Negara Islam Indonesia: Imam (eksekutif), Majelis Syuro (legislatif) dan Mahkamah Agung (yudikatif). Sementara itu, perbedaan antara keduanya ketika membahas tentang lembaga tertinggi negara, menurut Hizbut Tahrir lembaga tertinggi negara adalah Khalifah, sedangkan menurut Negara Islam Indonesia lembaga tertinggi negara adalah Majelis Syuro.
Kata Kunci: Hizbut Tahrir, Negara Islam Indonesia, Lembaga Negara.
Pembimbing : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, SH. MA
Daftar Pustaka : 1995 s.d. 2015.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas segala
nikmat, rahmat, hidayah, berkah dan keridhaan-Nyalah penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “KONSEP LEMBAGA NEGARA ISLAM: STUDI KOMPARATIF HIZBUT TAHRIR DAN NEGARA ISLAM INDONESIA.” Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Rasulullah Saw., keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Dalam penulisan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, penulis telah mendapatkan banyak motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Karena itu, sudah sepantasnya, jika Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta staf dan para pembantu Dekan.
2. Ibu Dr. Maskufa, M. Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) dan Ibu Sri Hidayati, M. Ag., Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah).
3. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, SH, MA., yang telah membimbing penulis dengan kesabaran. Sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Seluruh dosen dan Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum. 5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Orang tua saya, Ayahanda Hariansyah dan Ibunda Susiana yang sangat
saya cintai dengan segenap hati ini. Atas kasih sayang dan pengorbanannya baik berupa materiil maupun moril untuk keberhasilan saya.
7. Adik-adik Saya, Iwan Winarta dan Hermawan, yang selalu memberikan dorongan kepada Saya untuk segera menuntaskan penulisan skripsi.
8. Saudara Falah, mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora jurusan Sastra Arab, yang telah memberikan kepada penulis literatur seputar Hizbut Tahrir.
9. Rekan-rekan mahasiswa Hukum Tata Negara (Siyasah) angkatan 2014. Terima kasih banyak atas waktu dan kebersamaannya.
Semoga segala amal baik dan jasa-jasa yang telah diberikan oleh berbagai
pihak tersebut mendapatkan ganjaran dari Allah Swt. Tak banyak kata yang bisa vi
penulis sampaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis khususnya dan pembaca umumnya. Semoga kita semua selalu berada dalam naungan kasih sayang Allah Swt, dan selalu ber-fastabiqul khairat.
Jakarta, 04 Mei 2018
Angga Anjaya
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................................ 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 7
E. Studi Terdahulu ......................................................................................... 8
F. Metode Penelitian...................................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan................................................................................ 12
BAB II KERANGKA TEORI
A. Definisi Lembaga Negara ......................................................................... 13
B. Sejarah Lembaga Negara dalam Politik Islam .......................................... 14
C. Pembagian Kekuasaan .............................................................................. 19
BAB III POTRET HIZBUT TAHRIR DAN NEGARA ISLAM
INDONESIA
A. Potret Hizbut Tahrir .................................................................................. 25
B. Potret Negara Islam Indonesia .................................................................. 35
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP LEMBAGA
NEGARA HIZBUT TAHRIR DENGAN LEMBAGA
NEGARA ISLAM INDONESIA
A. Konsep Lembaga Negara Hizbut Tahrir ................................................... 45
B. Konsep Lembaga Negara Islam Indonesia ................................................ 53
C. Analisis Perbandingan Konsep Lembaga Negara antara Hizbut
Tahrir dengan Negara Islam Indonesia ..................................................... 57
viii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 65
B. Saran .......................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penjajahan yang dilakukan bangsa kolonial atas dunia Islam, membuat umat
Islam benar-benar menyadari akan kekurangannya. Pada masa kolonialisme
muncullah berbagai macam pergerakan-pergerakan politik untuk menuntut
kemerdekaan dan pemberlakuan syari’at Islam secara total. Terutama di tahun 1920-
an, perbincangan akan pentingnya negara Islam merupakan topik hangat.
Tahun 1920-an benar-benar peristiwa pergerakan politik yang luar biasa di
dunia Islam, oleh Haedar Nashir disebut sebagai pembentukan kesadaran tentang
negara Islam dan pemberlakuan syariat Islam.1 Di belahan dunia Timur-Tengah,
kegoncangan politik besar terjadi setelah Khilafah Utsmani dihapus oleh Kemal At-
Taturk pada tanggal 3 Maret 1924.2 Penghapusan Khilafah menimbulkan
kegoncangan besar bagi sebagian kaum muslim, sebab keberadaan Khilafah Utsmani
bagi mereka adalah sebagai identitas persatuan politik kaum muslim.3 Setelahnya
terjadilah perjuangan-perjuangan hebat akan pentingnya negara Islam, ada yang
berjuang untuk menegakkan negara Islam dalam lingkup nasionalisme dan ada juga
yang ingin menegakkan negara Islam global dengan nama Khilafah.
Pembahasan tentang negara oleh yuris Islam seakan tiada habisnya. Negara
menjadi objek kajian yang sangat vital dalam pemerintahan, mengatur masalah
1 Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 2013), h. 261
2 Mulhendri, “Perbandingan Sistem Khilafah Antara Taqiyuddin An-Nabhani dan Abu A’la Al-Maududi” (Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2009) h. 14
3 Mulhendri, “Perbandingan Sistem Khilafah Antara Taqiyuddin An-Nabhani dan Abu A’la Al-Maududi.” h. 14
1
2
kewenangan dan batas-batas kewenangan pemerintah kepada rakyat yang
dipimpinnya. Maka dari itu jika membahas negara tidak akan lepas dari membahas
persoalan lembaga eksekutif negara yang dikepalai oleh seorang imam/khalifah.
Bagi Rahman negara dapat dibentuk apabila ada sekelompok orang yang telah
menyatakan bersedia melaksanakan kehendak Allah Swt sebagaimana tercantum
dalam wahyu-Nya, sebagaimana negara yang pernah dibentuk Rasulullah bersama
pengikutnya. Dengan adanya komitmen seperti itu, kelompok orang semacam itu
berarti telah membentuk suatu masyarakat Muslim dalam arti formal, sebagai cikal
bakal terbentuknya sebuah negara yang utuh.4
Kewajiban atas seorang penguasa dan pemerintahannya, dalam negara Islam,
ialah menegakkan sistem kehidupan Islami dengan sempurna tanpa mengurangi atau
mengganti. Dan wajib atasnya memerintahkan segala yang ma’ruf, menebarkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran serta bertindak membasmi kejahatan dan
kerusakan sesuai dengan ukuran nilai-nilai akhlak Islam.5 Hukum Allah dan
RasulNya, menurut Alquran, adalah undang-undang tertinggi yang bagi orang-orang
mukmin tidak ada pilihan lain kecuali patuh dan taat kepadanya.6
Bentuk pemerintahan manusia yang benar, menurut pandangan Alquran, ialah
adanya pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah dan RasulNya di
bidang perundang-undangan, menyerahkan kekuasaan legislatif dan kedaulatan
hukum tertinggi kepada keduanya dan meyakini bahwa Khilafahnya itu mewakili
Sang Hakim yang sebenarnya, yaitu Allah Swt.7
4 Ma’mun Mu’min, Pemikiran Hukum Tata Negara Fazlur Rahman, Yudisia, V, 2, (Desember, 2014), h. 248-249
5 Abul A’la al-Maududi, al-Khilafah Wal Mulk, Penerjemah Muhammad al-Baqir, Khilafah Dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Karisma, 2007), h. 96
6 Ibid., h. 56
7 Ibid., h. 57-58
3
Penelitian ini ingin menggambarkan secara jelas tentang konsep negara Islam
yang berhaluan Nasionalisme dan Khilafatisme Global, terkhusus pada konsep
lembaga-lembaga negaranya. Hal itu tercermin pada dua tokoh yang mendirikan dua
gerakan politik Islam yang berbeda dan konsep-konsepnya menjadi perjuangan
politik oleh organisasi pergerakan politik Islam yang didirikannya. Dalam hal ini
Hizbut Tahrir dan Negara Islam Indonesia (DI/TII).
Hizbut Tahrir adalah organisasi yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani di
Al-Quds tahun 1953. Hizbut Tahrir merupakan organisasi politik yang berideologi
Islam dengan aktivitasnya difokuskan pada intelektual dan politik.8 Nama lengkapnya
Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani,
lahir di Ijzim, wilayah Haifa pada tahun 1909. Al-Nabhani telah menghafal seluruh
ayat Al-Quran pada usia belum baligh yang diajarkan oleh ayah dan kakeknya, Yusuf
al-Nabhani.9
Kakeknya, Yusuf al-Nabhani adalah seorang hakim (Qadhi), penyair,
sastrawan, dan ulama besar. Yusuf al-Nabhani adalah pelaku sejarah masa akhir
Khilafah Utsmani, yang berpandangan bahwa Khilafah Utsmani merupakan penjaga
agama dan aqidah, simbol kesatuan kaum muslim.10 Taqiyuddin al-Nabhani sendiri
percaya bahwa dengan ideologi Islam dan Khilafah sebagai institusinya sajalah kaum
muslim bisa bangkit kembali menjadi rujukan dunia seperti pada masa lalu. Baginya,
mengembalikan sistem Khilafah juga sesuatu yang wajib bagi kaum muslim.11
Sebelum mendirikan Hizbut Tahrir, al-Nabhani juga pernah merancang
rencana untuk pergolakan revolusioner bersama Syaikh Izzuddin Al-Qassam untuk
8 Nur Widianto, “Sistem Khilafah menurut Taqiyuddin An-Nabhani (1909 M- 1977 M),.” (Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 1
9 Mulhendri, “Perbandingan Sistem Khilafah Antara Taqiyuddin An-Nabhani dan Abu A’la Al-Maududi.” h. 19
10 Ibid., h. 19-20
11 Nur Widianto, “Sistem Khilafah menurut Taqiyuddin An-Nabhani (1909 M- 1977 M).” h. 1
4
menentang Inggris dan Yahudi, tetapi gagal terlaksana karena kurangnya persiapan.12
Gagasan untuk mendirikan partai politik terwujud pada tahun 1953, dimana al-
Nabhani dengan para politisi lain yang sepaham dengan ide-idenya mendirikan partai
politik yang diberi nama Hizbut Tahrir (HT). Tujuan didirikannya HT adalah untuk
membentuk gerakan Islam ideologis yang terorganisir dan militan, dengan misi
mengembalikan negara khilafah.13
Tidak hanya di Timur-Tengah saja, bahkan peristiwa kegoncangan politik ini
juga merambah ke bumi Nusantara yang kala itu masih dijajah oleh kolonial Belanda.
Hadirnya Serikat Islam pimpinan Tjokroaminoto menunjukkan hegemoni akan
negara Islam dalam perpolitikan terasa hidup. Gagasan akan negara Islam menjadi
cita-cita perjuangan politiknya. Kemudian menjadi awal dari tumbuhnya sebuah
pergerakan untuk mendirikan negara Islam dalam lingkup Indonesia yang diinisiasi
oleh murid Tjokroaminoto sendiri yang bernama Kartosoewirjo.
Dalam catatan Holk H. Dengel dituliskan bahwa, “Tjokroaminoto dan juga
muridnya Kartosoewirjo sudah sejak tahun 20-an memperjuangkan ide sebuah negara
Islam dan pengertian mereka atas sebuah negara yang demikian itu adalah sebuah
negara yang benar-benar menjalankan syari’at dan hukum Islam sesuai dengan ajaran
Alquran dan sunnah Nabi secara konsekuen dan menyeluruh.”14
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkapnya. Ia dilahirkan
pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro
yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Pendidikan
formalnya dalam sistem pendidikan Belanda, karena itu dia tidak punya latar
belakang pendidikan agama. Saat aktif di Partai Serikat Islam (PSI), Kartosoewirjo
mulai aktif mempelajari Islam melalui buku-buku Islam berbahasa Belanda. Pada
12 Mulhendri, “Perbandingan Sistem Khilafah Antara Taqiyuddin An-Nabhani dan Abu A’la Al-Maududi.” h. 21
13 Ibid., h. 23 14 Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat
Indonesien. Penerjemah Tim Pustaka Sinar Harapan, Darul Islam-NII dan Kartosoewirjo Langkah Perwujudan Angan-Angan Yang Gagal, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 111
5
1930 di Malangbong, Garut, dia menimba ilmu agama dari para Kiai yang juga
aktivis PSI, yaitu Kiai Ardiwisastera (kelak jadi mertuanya), Kiai Yusuf Tauziri, Kiai
Mustofa Kamil dan Kiai Ramli. Keterlibatannya dalam PSI dan interaksinya dengan
Tjokroaminoto juga ikut membentuk pemahamannya tentang gagasan negara Islam
yang diperjuangkan oleh PSI.15
Oleh karena itu, setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
Kartosoewirjo menahan diri selama lebih dari setahun untuk secara terang-terangan
menolak dan menentang kekuasaan Republik dengan secara resmi
memproklamasikan Negara Islam Indonesia.16 Jadi, menurut Hiroko Horikoshi,
secara tak resmi Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII) sudah berdiri sejak Mei
1948, namun baru diproklamasikan oleh Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di
Cisampak, Kecamatan Cilugagar, Kabupaten Tasikmalaya.17
Kedua tokoh sejarah yang berpengaruh dalam kedua organisasi yang dibahas
ini memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep, bentuk hingga lembaga-
lembaga negaranya. Hizbut Tahrir dengan konsep utama bentuk negara Khilafah
sedangkan Negara Islam Indonesia dengan bentuk negara Republik.
Dari segi konsep negara modern, jelas sekali bahwa Hizbut Tahrir benar-benar
tidak mengikut pada sistem-sistem pemerintahan yang ada sekarang. Hizbut Tahrir
dengan konsep Khilafahnya mengkhususkan diri dari konsep dan sistem negara yang
berkembang pada zaman modern. Konsep-konsep kenegaraan dari kedua organisasi
tersebut akan ditinjau dari perspektif kelembagaan negara. Kelembagaan negara yang
dikenal adalah lembaga eksekutif (al-Sultah Tanfdziah), lembaga legislatif (al-Sultah
Tasyri’iyah) dan lembaga yudikatif (al-Sultah Qadha’iyah).
15 Solahudin, NII sampai JI Salafy Jihadisme Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), h. 57-58
16 Cornelis van Dijk, Rebellion under The Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia, Penerjemah Pustaka Utama Grafiti, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 79
17 Solahudin, NII sampai JI Salafy Jihadisme Indonesia, h. 65
6
Maka dari paparan di atas jelaslah bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
mengenai konsep kenegaraan terutama mengenai lembag-lembaga negara yang
dikonsepkan baik oleh Hizbut Tahrir maupun Negara Islam Indonesia. Penyebab
perbedaan konsep itu bisa datang dari berbagai macam faktor, baik itu faktor
pemahaman akan Alquran dan Sunnah ataupun latar belakang sejarah.
Bila diamati secara latar belakang, kedua organisasi ini didirikan di dua
negara yang berbeda, Hizbut Tahrir didirikan di Palestina yang masih kental dengan
pengaruh kekuasaan Turki Utsmani yang dianggap khilafah. Sementara Negara Islam
Indonesia berdiri di Indonesia yang dalam masa kolonialisme, meskipun saat itu
sudah di proklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pemahaman keislaman yang
berkaitan dengan kenegaraan juga memiliki faktor tersendiri yang menyebabkan
perbedaan itu. Namun memiliki kesamaan tujuan yakni sama-sama ingin menerapkan
syariat Islam secara total.
Jika dari konsep kenegaraan sudah berbeda, bentuk lembaga-lembaga
negaranya juga berbeda. Maka patut kiranya untuk digali secara mendalam mengenai
kelembagaan negara yang dikonsepkan oleh Hizbut Tahrir maupun Negara Islam
Indonesia. Sebab dari perbedaan konsep itu akan didapati bahwa lembaga-lembaga
negara yang ada mempunyai tugas, fungsi dan wewenang yang berbeda pula. Bila
pun terdapat kesamaan maka patut pula dicermati sejauh mana kesamaan dalam
tugas, fungsi dan wewenang dari lembaga-lembaga negara yang dikonsepkan oleh
kedua organisasi tadi.
B. Identifikasi Masalah
Adapun masalah-masalah yang mungkin akan ada dalam penelitian ini di antaranya:
1. Apa esensi dari sejarah pergerakan politik Hizbut Tahrir Indonesia dan
Negara Islam Indonesia?
2. Bagaimana bentuk Negara Islam ideal yang dikehendaki oleh ajaran Islam itu
sendiri dari perbandingan antara ajaran yang dipahami oleh Hizbut Tahrir dan
Negara Islam Indonesia?
7
3. Bagaimana konsep lembaga negara menurut Hizbut Tahrir Indonesia dan
Negara Islam Indonesia?
4. Bagaimana pola pergerakan politik Hizbut Tahrir dan Negara Islam
Indonesia?
5. Bagaimana pandangan kenegaraan Taqiyudin al-Nabhani dan Kartosoewirjo
tentang Negara Islam yang ideal?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Supaya pembahasan ini tidak melebar dan meluas, maka penelitian
difokuskan pada format dan susunan lembaga negara menurut Hizbut Tahrir dan
Negara Islam Indonesia.
2. Perumusan Masalah
Melihat kepada penelitian yang akan dilakukan dan telah diuraikan
penjelasannya di atas. Maka penulis menyusun beberapa rumusan masalah yang
menurut penulis penting dan perlu mendapatkan jawabannya melalui penelitian ini:
1. Bagaimana susunan lembaga negara menurut Hizbut Tahrir dan Negara Islam
Indonesia?
2. Bagaimana analisis perbandingan lembaga negara menurut Hizbut Tahrir dan
Negara Islam Indonesia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ada dua tujuan utama penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan dan memahami susunan lembaga negara menurut Hizbut
Tahrir dan Negara Islam Indonesia.
2. Membandingkan konsep lembaga negara menurut Hizbut Tahrir dan Negara
Islam Indonesia
Berikut adalah manfaat-manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini:
8
1. Bagi Pemerintah
Penelitian ini bermanfaat sebagai masukan kepada pemerintah dalam
mengambil kebijakan ketika menangani isu-isu yang berkaitan dengan paham
Negara Islam.
2. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah ilmu dan wawasan peneliti mengenai politik
Islam dan Hukum Tata Negara Islam (Siyasah).
3. Bagi Akademisi
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan di perguruan-
perguruan tinggi khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dan dapat menjadi rujukan penelitian bagi peneliti-
peneliti yang lain.
E. Studi Terdahulu
1. “Konsep Struktur Khilafah Menurut Taqiyuddin An-Nabhani” Tesis,
Setyabudi Daryono.
Tesis ini membahas kepada pemahaman bahwa ajaran agama Islam adalah
agama yang sempurna, mengatur perkara mu’amalah yang di antara
cakupannya adalah negara dan pemerintahannya. Konsep struktur negara
Islam yang diambil dari kitab “Nizham al-Hukmi fi al-Islam” karya
Taqiyuddin al-Nabhani dianggap sebagai struktur negara yang
berdasarkan Islam. Sedangkan semua sistem pemerintahan kontemporer
sangat jauh dari sistem pemerintahan Islam baik dari segi bentuk maupun
isinya.
2. “Darul Islam Aceh: 1953-1962” Telaah Terhadap Akar Masalah
Pemberontakan” Skripsi, Ahmad Fahri.
Skripsi ini menguraikan perihal sejarah pemberontakan Darul Islam Aceh
yang disebabkan karena kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah
pusat yang melakukan pembubaran provinsi Aceh pada 14 Agustus 1950.
9
Pembubaran provinsi Aceh ini dipandang sebagai kebijakan diskriminatif
yang menyebabkan mengalami banyak kerugian dalam ekonomi, sosial,
budaya dan politik. Pemberontakan Darul Islam Aceh dimotori oleh Daud
Beureuh sepanjang 1953-1962.
3. “Analisis Wacana Konferensi Khilafah Internasional 2007 dalam
Majalah Al-Wa’ie No. 85, Tahun VII, 1-30 September 2007” Skripsi,
Ernawati.
Pembahasan dalam skripsi ini adalah rubrik liputan khusus Konferensi
Khilafah Internasional tahun 2007 yang diselenggarakan oleh Hizbut
Tahrir Indonesia. Peristiwa Konferensi Khilafah yang dihelat pada 12
Agustus 2007 itu mendapatkan berbagai macam respon baik negatif
maupun positif menurut berbagai pendapat masyarakat. Kesimpulan dari
skripsi ini adalah respon dari berbagai kalangan masyarakat terkait
Konferensi Khilafah Internasional, sehingga melihat rubrik teks liputan
khusus itu harus melihat konstruksi sosial di balik informasi yang
disampaikan.
4. “Kampanye Konsep Kenegaraan Hizbut Tahrir Indonesia” Skripsi,
Zakaria al-Anshori.
Kajian dalam skripsi ini lebih kepada dakwah Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) dalam menyampaikan konsepnya tentang ketatanegaraan Islam.
Konsep yang berhubungan dengan negara dan kewarganegaraan,
hubungan internasional, politik, hingga ekonomi Islam. Membahas juga
semua faktor yang mengarah pada berdirinya negara Islam (Daulah
Khilafah). Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan membentuk
sebuah partai bawah tanah yang memperjuangkan penyeruan berdirinya
Khilafah.
5. “Perbandingan Sikap Antara Kelompok Hizbut Tahrir Indonesia Dengan
Kelompok Jaringan Islam Liberal Terhadap Penerapan Syariat Islam Di
Indonesia” Skripsi, Iwan Satibi.
10
Fokus skripsi ini adalah pada pandangan antara Hizbut Tahrir Indonesia
dan Jaringan Islam Liberal terkait ide penerapan syariat Islam di
Indonesia. Secara psikologi sosial isu penerapan syariat Islam merupakan
objek yang hangat untuk dibicarakan sehingga menghasilkan sikap
kecenderungan yang positif atau negatif terhadap objek psikologi yang
meliputi: simbol-simbol, kata-kata, slogan, orang, ide, lembaga dan
sebagainya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya sikap yang
berbeda antara Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal terkait
isu penerapan syariat Islam.
6. “Pandangan Nahdhatul Ulama terhadap Wawasan Kebangsaan dan
Khilafah Islamiyah” Skripsi, Abdul Rohman.
Skripsi ini membahas mengenai sikap organisasi besar Nahdhatul Ulama
(NU) yang tidak menghadiri undangan Hizbut Tahrir Indonesia dalam
Konferensi Khilafah Internasional yang diselenggarakan pada tanggal 12
Agustus 2007. Konsep wawasan kebangsaan Nahdhatul Ulama justru
untuk melawan paham-paham yang di antaranya dapat memecah NKRI.
Dalam pandangan NU konsep khilafah dalam Islam tidak ada
hubungannya dengan politik. Khilafah merupakan hasil ijtihad karena
tidak dijelaskan secara nash. NU memandang bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia sudah final.
Penelitian-penelitian yang dilakukan di atas umumnya membahas tentang
pergulatan organisasi Hizbut Tahrir dan Negara Islam Indonesia dalam kerangka
sejarah dan kerangka politik dengan memantau aktivitas-aktivitas kedua organisasi
tersebut dalam lingkungan kemasyarakatan.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Sebab
penelitian-penelitian sebelumnya tidak fokus pada permasalahan konsep lembaga
negara yang diusung oleh Hizbut Tahrir dan Negara Islam Indonesia. Penelitian ini
menampilkan konsep lembaga negara menurut Hizbut Tahrir dan Negara Islam
Indonesia untuk kemudian didapati analisis perbandingannya.
11
F. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data di dalam penelitian ini penulis menggunakan metode
kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan
memahami makna yang, oleh sejumlah individu atau sekelompok orang, dianggap
berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.18
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perbandingan (comparative approach). Perbandingan hukum, yaitu membangun
pengetahuan umum mengenai hukum positif dengan membandingkan sistem hukum
di suatu negara dengan sistem hukum di negara lain.19 Pendekatan perbandingan
hukum diperlukan untuk mendeskripsikan perbedaan dan persamaan dari objek
hukum yang diteliti. Maka dari itu penelitian ini menggunakan studi pustaka.
1. Sumber Data
Sumber-sumber penelitian dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi data
primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah dokumen
masyrû’uddustûr Hizbut Tahrir dan dokumen Qanun Asasi Negara Islam Indonesia.
Adapun data sekunder adalah buku-buku yang ditulis oleh pendiri Hizbut Tahrir
Syaikh Taqiyudin al-Nabhani tentang lembaga negara dan buku-buku tentang Negara
Islam Indonesia yang didirikan oleh Kartosoewirjo yang bisa dijadikan rujukan untuk
meneliti dua organisasi ini, ataupun segala jenis publikasi baik itu buku-buku, artikel-
artikel maupun jurnal-jurnal yang masih berkaitan.
2. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menganalisis isi (content analisis) lalu
mengkategorisasikan data-data yang sudah diperoleh. Kemudian data-datanya
dideskripsikan, untuk selanjutnya dibandingkan dengan data-data lain secara
18 John W. Cresswell. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, Penerjemah Achmad Fawaid, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). h. 4
19 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 32
12
sistematis dan menyeluruh. Dari analisis data ini dapat diperoleh penjelasan tentang
konsep lembaga negara yang diusung oleh Hizbut Tahrir maupun Negara Islam
Indonesia untuk didapatkan hasil perbandingannya.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pokok permasalahan yang
akan dikaji dalam penulisan penelitian ini dan untuk memudahkan para pembaca
menyerap intisari dari penulisan penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisannya sebagai berikut:
Bab pertama, Pendahuluan yang mencakup latar belakang, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, studi terdahulu dan sistematika penulisan.
Bab kedua, Kerangka Teori, dalam bab ini membahas mengenai definisi lembaga
negara, sejarah lembaga negara dalam politik Islam, dan pembagian kekuasaan.
Bab ketiga, Potret Hizbut Tahrir dan Negara Islam Indonesia, bab ini membahas
tentang sejarah berdirinya Hizbut Tahrir dan Negara Islam Indonesia, visi, misi dan
tujuan daripada Hizbut Tahrir dan Negara Islam Indonesia
Bab keempat, analisis perbandingan konsep lembaga negara Hizbut Tahrir dengan
lembaga Negara Islam Indonesia, dalam bab ini membahas tentang definisi lembaga
negara, konsep lembaga negara Hizbut Tahrir, konsep lembaga Negara Islam
Indonesia, dan analisis perbandingan konsep lembaga negara antara Hizbut Tahrir
dengan lembaga Negara Islam Indonesia.
Bab kelima, penutup, bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dan
saran.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Definisi Lembaga Negara
Lembaga negara menurut bahasa sering dirujuk kepada bahasa Belanda
“Staatsorgaan” atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan lembaga negara,
badan negara, atau disebut juga dengan organ negara.1 Lembaga negara termasuk
dalam alat perlengkapan negara yang dalam istilah lain disebut dengan: organ,
lembaga, badan, forum, instansi, institusi, komisi-komisi negara, atau juga badan-
badan independen.2 Dalam bahasa Arab disebut dengan منظمة (Munaẕẕamatun)
yang berarti organisasi atau jamaknya منظمات (Munaẕẕamaatun). P2F
3P
Secara istilah ada dua pengertian lembaga negara, yakni dalam arti luas
dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, pada prinsipnya siapa saja yang
menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order)
adalah organ negara (pen. lembaga negara).4 Memiliki makna di samping lembaga
negara yang berbentuk organik, lebih luas lagi, Janedjri menyebut bahwa setiap
jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat disebut organ negara sehingga identik
juga dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan dalam konteks
kegiatan bernegara. Sedangkan lembaga negara dalam arti sempit adalah apabila
memiliki kedudukan hukum tertentu yang ditentukan oleh UUD.5 Lembaga
1 Luthfi Widagdo Eddyono, “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, VII, 3, (Juni, 2010), h. 17
2 Hendra Nurtjahyo, “Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, XXXV, 3, (Juli-September 2005), h. 276
3 A. Thoha Husein Almujahid & A. Atho’illah Fathoni Alkhalil, Kamus Akbar Bahasa Arab: Indonesia-Arab, (Depok: Gema Insani, 2013), h. 1017
4 Janedjri M. Gaffar, Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008) h. 4
5 Ibid.
13
14
negara inilah yang disebut dengan lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan
non-departemen atau lembaga negara saja.
Secara lebih general alat perlengkapan negara (pen. Lembaga negara) ini
dapat diklasifikasikan menjadi:6
1. Lembaga (organ) yang bersumber langsung dari konstitusi.
2. Lembaga (organ) yang tidak bersumber langsung dari konstitusi
(derivatif).
Menurut George Jellinek, menurut kedudukannya lembaga negara dapat
dibedakan menjadi lembaga negara utama dan lembaga negara penunjang.7
Lembaga negara utama, yaitu lembaga negara yang menjalankan cabang
kekuasaan negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan lembaga negara
penunjang yaitu lembaga negara yang dibentuk untuk memperkuat lembaga
negara utama.
B. Sejarah Lembaga Negara dalam Politik Islam
Catatan sejarah menunjukkan bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw di tanah Arab tidak hanya berisi tentang ajaran ritual ibadah
yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah Swt atau sering disebut oleh
umat Islam dengan nama Ibadah Mahḏah. Akan tetapi, ajaran Islam juga
mencakup berbagai aspek. Salah satu aspek yang menjadi objek yang patut dikaji
di dalam ajaran Islam itu sendiri adalah aspek politik.
Menurut Inu Kencana, masa awal keislaman pada periode Mekkah belum
banyak catatan mengenai kenegaraan (pemerintahan), ikhwal kenegaraan baru
dilaksanakan pada periode Madinah.8 Dalam pandangannya, pada periode
Mekkah umat Islam difokuskan pada mengagungkan Allah, penyucian jiwa dan
pikiran dari kebiasaan-kebiasaan buruk di zaman jahiliah.
6 Hendra Nurtjahyo, “Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara”, h. 276
7 Luthfi Widagdo Eddyono, “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi”, h. 17
8 Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 173
15
Semasa Nabi Muhammad Saw., semenanjung Arabia telah dikuasai.9
Ekspansi ke daerah-daerah luar dimulai pada zaman Abu Bakar, ekspansi lebih
besar pada masa Umar, hingga pada masa dinasti Umayyah dan puncak keemasan
peradaban Islam pada masa dinasti Abbasiyah. Para yuris Islam banyak sekali
mencatat masalah-masalah kenegaraan pada masa akhir Umayyah hingga di
zaman dinasti Abbasiyah.
Pada masa awal Islam sosok Nabi selain sebagai utusan Allah tetapi juga
sebagai kepala negara dan hakim. Beliau dianggap sebagai kepala negara setelah
mendirikan negara di Madinah dengan konstitusi tertulis yang disebut Piagam
Madinah bersama dengan orang-orang pribumi (Ansar) dan masyarakat pendatang
(Muhajirin), bahkan beliau juga mengirim dan menerima duta-duta.10 Pada masa
awal ini sistem pemerintahan masih sederhana, segala permasalahan bisa diajukan
dan diselesaikan oleh Nabi sebab beliau dituntun oleh wahyu, di sinilah posisi
beliau sebagai hakim. Setelah wilayah Islam meluas barulah para sahabat yang
menjadi kepala daerah dan posisinya sangat jauh dari Madinah diizinkan menjadi
hakim dengan berpedoman pada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad.11
Pada perkembangan berikutnya barulah terjadi proses perlembagaan dalam
sistem pemerintahan Islam. Sepeninggal Nabi Muhammad Saw., wilayah
kekuasaan Islam semakin meluas sehingga permasalahan kenegaraan pun semakin
kompleks sehingga menghendaki adanya sistem pemerintahan yang kompleks
pula. Bahkan di zaman Khulafa al-Rasyidun sudah melaksanakan konsep
pemisahan/pembagian kekuasaan:12a) Ulil Amri (Pelaksana Undang-undang
Syariah); b) Qadhi Syuraih (Pelaksana peradilan); c) Majelis Syura (Parlemen);
dan d) Ahlul Halli Wal Aqdi (Dewan Pertimbangan)
9 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 28-29
10 Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, h. 167
11 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 38
12 Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, h. 133
16
Pendirian lembaga-lembaga pemerintahan terus mengalami perkembangan
hingga masa dinasti-dinasti. Pada masa dinasti Umayyah misalnya pendirian
lembaga, pengembangan lembaga yang sudah ada sebelumnya dan perangkat baru
pemerintahan dilakukan setelah melihat atau mendengar pengalaman negara-
negara lain yang sudah lebih mapan dalam tata laksana pemerintahan semisal
pola-pola pemerintahan dari kerajaan Byzantin yang banyak diadopsi oleh
Mu’awiyah.13 Khalifah-khalifah Umawiyah misalnya telah membentuk lima
macam kepaniteraan: urusan korespondensi, urusan pajak, urusan angkatan
bersenjata, urusan kepolisian dan urusan peradilan.14
Meskipun sistem pemerintahannya berganti dari masa Khulafa al-
Rasyidun ke masa dinasti. Kepala negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
masih disebut Khalifah. Gelar Khalifah seolah identik dengan sistem
pemerintahan kekhilafahan, sehingga dalam sejarah modern, telah menjadi
kebiasaan untuk memandang masyarakat politik kaum muslim abad pertengahan
secara keseluruhan sebagai kekhalifahan (Chalipate).15
Istilah khalifah berasal dari kata Arab Khalafa, yang berarti datang setelah
atau menggantikan. Menurut catatan Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada,
istilah Khalifah pertama kali muncul di Arab pra-Islam berdasarkan riwayat
prasasti Arab abad ke-6 M, yang maknanya mengarah kepada semacam raja.16
Lebih lanjut dijelaskan bahwa orang yang pertama kali mendapat gelar Khalifah
adalah Abu Bakar, dan gelar itu muncul karena spontanitas setelah dia terpilih
sebagai pengganti Nabi di Tsaqifah Bani Sa’idah. Namun gelar Khalifah ini hanya
identik di kalangan umat Islam Sunni.
Umat Islam Syi’ah menggunakan istilah lain lagi untuk menyebut
pemegang kekuasaan eksekutifnya, mereka menggunakan gelar Imam. Sehingga
13 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2011), h. 37
14 Ibid., h. 38
15 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 227
16 Ibid., h. 227-228
17
sebutan untuk sistem pemerintahan Syi’ah sering kali digunakan kata Imamah.
Kata Imam dalam kosakata Arab berasal dari kata Amma yang memiliki beberapa
arti, yaitu maju ke depan, menuju arah tertentu, memberi petunjuk dan bimbingan,
menjadi pemimpin, dan menjadi suri teladan.17 Pada awalnya, imamah dan
khalifah adalah suatu istilah yang netral untuk menyebut sebuah negara.18
Dalam ketatanegaraan Islam juga dikenal dengan istilah Wazir sebagai
pembantu Khalifah. Wazir atau juga dikenal dengan jabatan Wizarah merupakan
suatu lembaga negara yang memiliki peran penting dalam ketatanegaraan Islam.
Pada masa Rasulullah, Abu Bakar dan Umar merupakan wazir beliau. Pada masa
Abu Bakar, Umar juga mendapat sebutan wazir Abu Bakar. Baru pada masa
dinasti Umayyah sebutan Wazir diberikan untuk pembantu dan penasihat
Khalifah, bahkan Wizarah merupakan pangkat paling tinggi yang memiliki
wewenang dalam pengawasan umum, pengawasan departemen kemiliteran hingga
membagi gaji militer.19 Wazir baru dilembagakan sebagai lembaga negara pada
masa Abbasiyah.20 Di masa Abbasiyah juga jabatan wizarah terbagi menjadi
wizarah tanfidz (Wazir melaksanakan keputusan-keputusan Khalifah) dan
wizarah tafwiḏ (Wazir diutus untuk melaksanakan tugas-tugas Khalifah).21
Persoalan pengangkatan Khalifah, banyak dari yuris Islam yang menunjuk
ke peristiwa Tsaqifa Bani Sa’idah untuk dijadikan pedoman. Kejadian
diangkatnya Abu Bakar sebagai Khalifah itu dirumuskan tentang adanya lembaga
perwakilan (parlemen) di dalam pemerintahan Islam. Lembaga perwakilan ini
memiliki beberapa sebutan di antaranya, Ahl al-‘aqd wa al-hall,22 Ahl al-Hall wa
17 Ibid., h. 233
18 Ibid., h. 211
19 Ibid., h. 310
20 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 37-38
21 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 311
22 Al Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Penerjemah Khalifurrahman Fath & Fathurrahman, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Qisthi Press, 2015), h. 12
18
al-‘aqd, dan Ahl-Syuro.23 Selain itu, ketika Umar membentuk dewan formatur
untuk menentukan khalifah setelahnya juga dirujuk sebagai adanya pelaksanaan
lembaga perwakilan di situ. Lembaga Perwakilan inilah yang dalam ilmu modern
disebut dengan lembaga legislatif.
Sementara itu di lembaga yudikatif (peradilan) jabatan hakim merupakan
tugas dari Khalifah, dan secara umum berada di wilayahnya.24 Menurut catatan
Munawir Sjadzali, tata laksana laksana peradilan baru diatur pada masa Umar bin
Khattab, antara lain dengan mengadakan penjara dan pengangkatan sejumlah
hakim, dan atas nama Khalifah menyelesaikan sengketa antara anggota
masyarakat, bersendikan Alquran, Sunnah dan Qiyas, tetapi sampai pada akhir
masa Al-Khulafa Al-Rasyidun para hakim bekerja sendiri tanpa panitera dan
pembukuan, bahkan peradilan dilangsungkan di rumah mereka dan baru
dipindahkan ke masjid.25 Ketatalaksanaan peradilan semakin disempurnakan pada
masa dinasti Umayyah dan dikembangkan lagi pada masa Abbasiyah. Lebih lanjut
Munawir Sjadzali menjelaskan:26 Semasa kekuasaan Umawiyah ketatalaksanaan peradilan makin disempurnakan. Badan peradilan mulai
berkembang menjadi lembaga yang mandiri. Dalam menangani perkara, para hakim tidak terpengaruh oleh sikap atau
kebijaksanaan politik penguasa negara. Mereka bebas dalam mengambil keputusan, dan keputusan mereka juga
berlaku terhadap para pejabat tinggi negara. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kepala negara yang kedelapan dari dinasti
Umawiyah, menentukan lima keharusan bagi para hakim: harus tahu apa yang terjadi sebelum dia, harus tidak
mempunyai kepentingan pribadi, harus tidak menyimpan rasa dendam, harus mengikuti jejak para imam, dan harus
mengikutsertakan para ahli dan cerdik pandai. Pada waktu itu keputusan hakim mulai dibukukan. Selain itu, di
samping badan peradilan dibentuk pula badan peradilan mazhalim yang menangani pengaduan masyarakat terhadap
tindakan-tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara, termasuk hakim. Peradilan mazhalim ini biasanya
diketuai oleh khalifah sendiri. Kemudian semasa Abbasyiah perubahan yang telah dimulai oleh penguasa-penguasa
Umawiyah dikembangkan lebih lanjut.
Dalam sejarahnya, kelembagaan negara dalam pemerintahan Islam terus
mengalami perkembangan. Meskipun gelar khalifah untuk kepala negara tidak
lagi digunakan oleh penguasa-penguasa muslim, terutama penguasa muslim yang
23 H. A Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, (Jakarta: Kencana, cet 5, 2013), h. 76
24 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 315-316
25 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 38-39
26 Ibid., h. 39
19
non-Arab, mereka memilih menggunakan gelar Amir dan Sulthan. Sebab mereka
tidak berminat dengan gelar Khalifah dan merasa hina dengan gelar yang sama
dengan Wazir.27 Peristiwa ini terjadi pada masa-masa akhir hingga runtuhnya
dinasti Abbasiyah.
Secara praksis di negara-negara Islam, pasca runtuhnya Dinasti
Abbasiyah, hampir seluruh kepala negaranya menggunakan sebutan Sultan.
Sehingga para yuris Islam terkadang menyebut negara-negara yang lahir pasca
runtuhnya Abbasiyah dengan sebutan Kekhilafahan dan terkadang menyebutnya
dengan Kesultanan. Oleh karena itu, ketika menjelaskan tentang Turki Utsmani
misalnya, terkadang disebut dengan Kekhilafahan dan terkadang disebut dengan
Kesultanan.
C. Pembagian Kekuasaan
Sebelum adanya ide pemisahan kekuasaan (Trias Politika) yang dicetuskan
oleh Montesquieu. Negara-negara di Eropa semisal di Perancis, kekuasaan
terpusat pada satu tangan raja. Kekuasaan besar yang dimiliki raja memungkinkan
baginya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh karena itu, kritik keras datang
dari para sarjana hingga munculnya gagasan untuk adanya pemisahan kekuasaan
dalam menjalankan pemerintahan. Gagasan ini berguna agar kekuasaan yang ada
itu tidak cenderung mengarah kepada sistem yang otoriter.28
Kekuasaan tersebut dapat dibagi dalam dua cara,29 yaitu: Pertama, secara
vertikal, yakni pembagian kekuasaan dalam beberapa tingkat pemerintahan.
Memiliki pengertian pembagian kekuasaan secara territorial yang dapat dilihat
dalam bentuk negara kesatuan, negara federal, ataupun negara konfederasi.
Kedua, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara horizontal yang
27 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 313
28 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde-Baru, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 19
29 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015), h. 267
20
menunjukkan adanya pembedaan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pembagian kekuasaan secara horizontal lebih dikenal konsep Trias
Politika yang merupakan ide dari Montesquieu. Dalam Trias Politika kekuasaan
negara terdiri atas tiga macam, yakni: kekuasaan legislatif atau kekuasaan
membentuk undang-undang; kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan
undang-undang; dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang.30 Trias Politika merupakan prinsip normatif agar
kekuasaan-kekuasaan pemerintahan tersebut tidak berada dalam satu orang yang
sama guna menghindari kesewenang-wenangan.31
Konsep pembagian kekuasaan ini kemudian diterapkan dalam
kelembagaan negara. Setiap lembaga negara mewakili salah satu dari cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif. Dalam rancangan kelembagaan
negara itu adalah melakukan pembagian dan pemisahan terhadap lembaga-
lembaga yang memiliki kekuasaan.32 Rancangan kelembagaan negara ini
memungkinkan agar masing-masing lembaga negara bertindak berdasarkan
fungsinya masing-masing.
Doktrin Trias Politika pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1631-
1704) baru kemudian seorang filsuf Perancis, Charles Louis de Secondat Baron de
la Brede Et la Montesquieu (1689-1755),33 pada tahun 1748 dalam bukunya
L’Esprit des Lois mengemukakan hal yang hampir mirip dengan yang
dikemukakan oleh John Locke namun terdapat perbedaan dalam kekuasaan
yudikatif. Menurut John Locke kekuasaan yudikatif termasuk ke dalam kekuasaan
eksekutif, oleh karena itu konsep pemisahan kekuasaan John Locke hanya
membagi kekuasaan dalam ketiga hal berikut, yaitu: kekuasaan legislatif,
30 Ibid., h. 281
31 Ibid., h. 281-282
32 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde-Baru, h. 19
33 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Tokoh-tokoh Ahli Pikir tentang Negara dan Hukum dari Zaman Yunani Kuno sampai Abad 20, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2010), h. 186
21
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif (kekuasaan menjaga keamanan
negara dalam hubungan dengan negara lain). Namun menurut Montesquieu,
kekuasaan yudikatif lebih penting karena kebebasan lembaga peradilan dapat
menjamin ataupun mempertaruhkan kemerdekaan dan hak asasi manusia.
Doktrin yang dikemukakan oleh John Locke maupun oleh Montesquieu
pada masanya hanya ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separations of
powers).34 Konsep pemisahan kekuasaan ini kemudian berkembang menjadi
pembagian kekuasaan (division of powers). Seiring dengan berkembangnya
konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) yakni pemerintah bertanggung
jawab atas kesejahteraan rakyatnya, mengakibatkan fungsi kekuasaan negara pun
berkembang melebihi dari tiga cabang kekuasaan dalam Trias Politika. Oleh
karena keadaan tersebut ada kecenderungan untuk menafsirkan konsep pemisahan
kekuasaan (separations of powers) Trias Politika menjadi pembagian kekuasaan
(divison of powers) yang diartikan bahwa hanya fungsi pokoklah yang dibedakan
menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands),
tetapi untuk selebihnya kerja sama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap
diperlukan untuk kelancaran organisasi.35
Tidak ada bedanya ketika menyebut pemisahan kekuasaan (separations of
powers) atau pembagian kekuasaan (division of powers) dua penyebutan itu sama-
sama merujuk kepada Trias Politika, hanya saja mengalami sedikit perbedaan
makna, yakni untuk masa awal doktrin Trias Politika dikemukakan dan ketika
konsep kenegaraan mengalami perkembangan sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. G. Marshall, sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie,36
menggunakan sebutan pemisahan kekuasaan (separations of powers) dengan
membedakan ciri-cirinya dalam lima aspek, yaitu: differentiation; legal
incompatibility of office holding; isolation, immunity, independence; checks and
34 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 282
35 Ibid., h. 286
36 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 289-290.
22
balances; coordinate status and lack of accountability. Jimly Asshiddiqie
menjelaskan lebih lanjut mengenai kelima aspek tersebut, menurutnya, pertama,
doktrin pemisahan kekuasaan (separatios of powers) itu bersifat membedakan
fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial. Kedua, menghendaki
orang yang menduduki jabatan di lembaga legislatif tidak boleh merangkap pada
jabatan di luar cabang legislatif. Ketiga, masing-masing organ tidak boleh turut
campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain. Keempat,
adanya prinsip checks and balances, setiap cabang mengendalikan dan
mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Kelima, prinsip
koordinasi dan kesederajatan.
Konsep Trias Politika dalam ketatanegaraan modern tetap menjadi rujukan
hingga saat ini di berbagai negara. Terori ini sangat relevan untuk konsep
kenegaraan modern. Negara yang paling memuji teori dari Montesquieu semisal
Amerika Serikat yang menerapkannya dalam konsep ketatanegaraannya. Namun
tidak sepenuhnya berbentuk pemisahan kekuasaan. Mekanisme checks and
balances sangat berperan dalam menjaga keseimbangan dan pengawasan
berjalannya organisasi ketatanegaraan dalam setiap lembaga negara yang
mewakili cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatf. Contoh
penerapan mekanisme checks and balances ini di Amerika Serikat misalnya
dengan adanya hak veto presiden.
Konsep Trias Politika tidak hanya dikemukakan di dunia Barat. Namun di
dunia muslim juga telah mengenal konsep Trias Politika ini secara intisari ajaran,
hanya saja belum berbentuk suatu teori. Pelaksanaan Trias Politika sudah ada
sejak awal-awal berdirinya peradaban Islam itu sendiri. Cabang-cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif ini terdapat juga dalam praktik Rasulullah SAW
dan Alquran.
Seorang cendekiawan muslim, Masykuri Abdillah, menjelaskan bahwa
ketiga kekuasaan dalam prinsip Trias Politika ada dalam prkatik Rasulullah SAW
dan Alquran, antara lain dalam QS. An-nisā’: 57-59:37
37 Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 4-5
23
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan
yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang Suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dalam penjelasannya, Masykuri Abdillah menerangkan bahwa ayat-ayat
tersebut mengandung pengertian adanya tiga kekuasaan dalam negara, yakni
24
eksekutif (sulthah tanfîdziyyah), yudikatif (sulthah qadhâiyyah) dan legislatif
(sulthah tasyrî’iyyah). Menurutnya, kekuasaan yudikatif diterangka di ayat 57,
kekuasaan legislative, diterangkan dalam ayat 58 dan eksekutif pada ayat 59 dari
Alquran surah An-nisā’ tersebut.
Ini mempertegas bahwa konsep Trias Politika juga sesuai dengan
peradaban umat Islam dalam mengemban kehidupan kenegaraannya. Sehingga
konsep ini menjadi rujukan bagi umat Islam juga. Tidak heran jika konsep Trias
Politika ini dipakai hampir di setiap negara di dunia.
BAB III
POTRET HIZBUT TAHRIR DAN NEGARA ISLAM INDONESIA
A. Potret Hizbut Tahrir
1. Sejarah Berdirinya Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir adalah partai politik internasional yang berideologi Islam.1
Selaku partai politik yang mengatasnamakan dirinya partai Islam, Hizbut Tahrir
bergerak di lapangan politik dengan melakukan pembinaan tsaqofah Islam yang
sangat menonjolkan aspek politik pada para aktivisnya.2 Landasan pemikiran
Hizbut Tahrir dalam melakukan aktivitas politiknya adalah Kitabullah (Alquran
al-Karim) dan Sunnah Rasulullah, serta ijma’ dan qiyas dengan prinsip bahwa
semua ide, pendapat, dan hukum hanya bersumber dari Islam dan tidak satu pun
berasal ataupun dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam.
Kelahiran Hizbut Tahrir secara substantif dilatari dari segi ajaran Islam
dalam Alquran surah Ali Imran ayat 1043 dan secara historis sebagai respon
terhadap keterpurukan umat Islam dalam waktu yang panjang oleh dominasi
penjajahan Barat.4 Kelahiran Hizbut Tahrir secara normatif berdasarkan QS. Ali
Imran (3): 104 dapat disimak sebagai berikut:
Artinya: “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”
1 Taqiyuddin al-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, Penerjemah Abdullah, Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, Cet 3, 2007), h. 127
2 Ibid., h. 120
3 Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 2013), h. 404
4 Mohamad Rafiuddin, “Mengenal Hizbut Tahrir: Studi Analisis Ideologi Hizbut Tahrir vis a vis NU”, Islamuna, II, 1 (Juni, 2015), h. 33
25
26
Dari ayat di atas dapat diambil makna bahwa secara substantif berdirinya
Hizbut Tahrir adalah refleksi dari seruan Allah kepada umat Islam untuk
membentuk suatu kelompok (jama’ah) yang mengajak kepada kebaikan, menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Secara historis, kegoncangan
besar dalam dunia politik terjadi setelah Kekhilafahan Turki Utsmani dihapuskan
oleh Mustafa Kemal At-Taturk pada tanggal 3 Maret 1924. Setelah itu
bermunculan berbagai organisasi untuk menyatukan kembali kaum Muslim yang
sudah terpecah belah ke dalam negara-negara bangsa. Sementara negara-negara
bangsa itu berada dalam cengkeraman ideologi penjajahan Barat yang oleh aktivis
Hizbut Tahrir dianggap sebagai kemerosotan kaum Muslim. Oleh karena itu,
Taqiyuddin al-Nabhani dan para aktivis Hizbut Tahrir yang lain hendak
mengembalikan kejayaan umat Islam dengan menyerukan kepada umat Islam
untuk mendirikan kembali Khilafah.
Hizbut Tahrir didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani (1909-1979 M) di
Palestina.5 Ia kelahiran Ijzim, Haifa, Palestina. Ia juga lulusan Universitas Al-
Azhar dan Dar al-‘Ulum, Kairo, Mesir. Sementara itu dia pernah berprofesi
sebagai guru Madrasah, Kepala Juru Tulis6 dan Qadhi pada Mahkamah Isti’naf
(Mahkamah Agung) di Bait al-Maqdis.7 Selain itu, dia juga pernah dianggap
sebagai simpatisan (bahkan anggota) Ikhwanul Muslimun atau kemungkinan yang
lain, yakni dia pernah berinteraksi dengan Ikhwanul Muslimun.8 Secara sosio-
historis, al-Nabhani hidup di tengah lingkungan masyarakat yang telah didominasi
ideologi Barat (Inggris), hal ini secara tidak langsung membentuk karakter al-
Nabhani muda yang tegas, keras dan progressif. Sehingga mengarahkan
5 Sudarno Shobron, “Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia”, Profetika, Jurnal Studi Islam, XV, 1 (Juni, 2014), h. 47
6 Erni Sari Dwi Devi Lubis dan Ma’arif Jamuin, “Infiltrasi Pemikiran dan Gerakan HTI di Indonesia” Suhuf, XXVII, 2 (November, 2015), h. 161-162
7 Khamami Zada dan Arief R Arofah, Diskursus Politik Islam, (Ciputat: LSIP, 2004), h. 82
8 Erni Sari Dwi Devi Lubis dan Ma’arif Jamuin, “Infiltrasi Pemikiran dan Gerakan HTI di Indonesia”, h. 162
27
pemahaman Islamnya kepada perlawanan terhadap pengaruh dan dominasi Barat.9
Ketika berbicara tentang Hizbut Tahrir tidak akan lepas dari Taqiyuddin al-
Nabhani, sebab gagasan-gagasan, ide-ide atau pemikiran-pemikiran beliau
menjadi rujukan utama aktivis Hizbut Tahrir dalam menjalankan aktivitas
politiknya.
Hizbut Tahrir sendiri secara pergerakan sudah lahir sejak awal tahun 1952
M (1431 H) ketika Taqiyuddin al-Nabhani dan teman-temannya (Syaikh As’ad,
Rajab Bayudli al-Tamimi dan Abdul Qadim Zallum) melakukan perekrutan
anggota baru dan proses penyebaran pemikiran di Al-Khalil, Palestina.10 Hizbut
Tahrir sebagai partai politik pernah diajukan secara resmi kepada kementerian
dalam negeri Yordania pada bulan November 1952 oleh Taqiyuddin al-Nabhani,
Dawud Hamdan, Munir Syakil, Adil al-Nablusi, dan Ghanim Abduh. Namun
permohonan itu ditolak pada bulan Maret 1953 dengan alasan aktivitas organisasi
yang dianggap berbahaya dan bertentangan dengan Undang-Undang Yordania.11
Hizbut Tahrir dipimpin oleh Taqiyuddin al-Nabhani sampai tahun 1979,
ketika Taqiyuddin al-Nabhani wafat di Beirut. Setelah itu estafet kepemimpinan
dilanjutkan oleh Abdul Qadim Zallum hingga belaiu wafat di awal 2003.
Sepeninggal Abdul Qadim Zallum Hizbut Tahrir dipimpin oleh Ata Ibn Khaleel
Abu Rastha.12 Gerakan Hizbut Tahrir kini menyebar ke berbagai negara dengan
menyerukan ajakan untuk mendirikan Khilafah global. Namun banyak pula
negara yang menolak keberadaannya sebab Hizbut Tahrir sering menolak
pemerintahan yang ada dengan ajakan kepada membenci pemerintahan yang
berkuasa, serta menyuarakan haramnya demokrasi dan nasionalisme.
Meskipun Hizbut Tahrir menganggap demokrasi sebagai sistem kufur,
dalam sejarah tercatat tokoh teras Hizbut Tahrir, Syaikh Ahmad al-Daur, pernah
9 Mohamad Topan, “Kekuasaan Menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam Tinjauan Etika Politik,” Jurnal Filsafat, XXIII, 2, (Agustus, 2013), h. 149
10 Erni Sari Dwi Devi Lubis dan Ma’arif Jamuin, “Infiltrasi Pemikiran dan Gerakan HTI di Indonesia”, h. 82-83
11 Ibid.
12 Ibid., h. 161-172
28
terpilih sebagai anggota parlemen di pemilu tahun 1954 yang sekaligus
memberikan kesempatan kepada Hizbut Tahrir untuk mensosialisasikan
pemikiran-pemikirannya di depan publik secara bebas.13 Bahkan sampai saat ini
pun mereka masih lantang menyuarakan penolakan terhadap demokrasi dan
nasionalisme. Sebagai sebuah kritikan bahwa sampai saat ini mereka bisa hidup
dan bebas menyuarakan ide dan gagasannya dalam suatu negara demokrasi yang
juga merupakan negara bangsa (nation-state).
Gerakan ini berkembang pesat ke berbagai negara di dunia, tidak hanya di
negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, pergerakan Hizbut Tahrir
juga ada di Eropa dan Amerika. Di negara-negara Barat seperti di benua Eropa
dan Amerika yang penduduknya mayoritas non-muslim organisasi ini tetap eksis
dan keberadaannya diakui oleh negara-negara tersebut. Namun Hizbut Tahrir
mendapatkan pertentangan dari negara-negara yang penduduknya mayoritas
muslim. Bahkan organisasi ini pun dibubarkan oleh penguasa karena memiliki
potensi untuk melakukan ancaman bagi kedaulatan negara tersebut.
Bahkan di Indonesia, Hizbut Tahrir dibubarkan oleh pemerintah karena
secara gerakan dapat menimbulkan ancaman bagi kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Alasan lain dari pembubaran organisasi ini pun
dikarenakan ideologi yang mereka serukan bertentangan dengan ideologi
Indonesia, Pancasila.
2. Visi Hizbut Tahrir
Sebagaimana dari pembahasan sebelumnya telah diketahui bahwa secara
historis yang melatarbelakangi berdirinya Hizbut Tahrir adalah dihapuskannya
Kekhilafahan Turki Utsmani oleh Mustafa Kemal At-Taturk pada tahun 1924 dan
merosotnya kehidupan umat Islam karena didominasi oleh penjajahan Barat
secara ideologi, sehingga umat Islam hidup dalam sistem yang bukan Islam yakni
sekuler dan sistem kufur.
13 Ibid., h. 83
29
Oleh karena itu, Hizbut Tahrir bercita-cita untuk melanjutkan kembali
kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Islam, yang akan menerapkan sistem
Islam serta mengemban dakwah ke seluruh dunia.14 Daulah Islam yang
dikehendaki oleh Hizbut Tahrir adalah Khilafah Islamiyah yang transnasional.
Dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam bagi Taqiyuddin al-Nabhani
dilakukan dalam rangka mendirikan Daulah Islam:15 Dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam ditujukan pada masyarakat yang individu-individunya
mayoritas muslim, tetapi menerapkan hukum selain Islam. Masyarakat yang demikian ini digolongkan dalam
masyarakat yang tidak Islami, sehingga layak disebut sebagai Darul Kufur. Dakwah di tengah-tengah masyarakat
seperti ini dilakukan dalam rangka mendirikan Daulah Islam yang akan menerapkan Islam di tengah-tengah
masyarakat tersebut, serta mengemban dakwah kepada masyarakat lainnya (non-Islam).
Bagi Taqiyuddin al-Nabhani, negeri yang menerapkan sistem Islam dan
memberlakukan hukum Islam dinamakan Darul Islam, walaupun mayoritas
penduduknya bukan muslim. Sedangkan Darul Kufr adalah negeri yang tidak
memberlakukan hukum Islam, walaupun mayoritas penduduknya muslim.16
Taqiyuddin melanjutkan paparannya dengan penekanan bahwa seorang muslim
tidak diperbolehkan hidup di Darul Kufur, bahkan wajib baginya bila negara
tempat dia tinggal, yang semula Darul Islam telah menjadi Darul Kufur, berjuang
untuk mengubahnya menjadi Darul Islam, atau berhijrah ke Darul Islam.
Ide tentang Khilafah sebagai sistem Islam ini tersebar hampir di semua
karangan Taqiyuddin al-Nabhani. Bagi Taqiyuddin al-Nabhani, menegakkan
khilafah adalah kewajiban kaum Muslim.17 Karena itu wajib bagi kaum muslim
untuk membai’at seorang Khalifah. Bila kaum muslim tidak mengangkat seorang
Khalifah selama tiga hari maka seluruhnya berdosa hingga bisa membai’at
seorang khalifah.
14 Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, h. 127
15 Ibid., h. 112-113
16 Ibid., h. 54
17 Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Daulah Al-Islamiyah, Penerjemah Umar Faruq dkk, Daulah Islam, (Jakarta: HTI-Press, Cet 4, 2009), h. 273
30
Mohamad Rafiuddin18 menuliskan bahwa dalam pandangan Hizbut Tahrir
ketiadaan Khilafah menyebabkan umat Islam kehilangan kepemimpinan umum
sehingga kaum Muslim terpecah menjadi beberapa negara bangsa yang tidak
berdaya; menyebabkan umat Islam lalai dalam menegakkan hukum-hukum Islam
secara kaffah sebab tidak adanya institusi Khilafah; dan menyebabkan umat Islam
lalai dalam perkara penting yang seharusnya dilaksanakan oleh negara, yaitu
mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Mendirikan Khilafah memiliki tujuan supaya kaum muslim kembali taat
ke hukum Islam, memperbaiki perundang-undangan dan hukum negara yang
dinilai kufur agar sesuai syari’at, dan membebaskan kaum muslim dari gaya hidup
dan pengaruh Negara Barat19 sehingga hukum Islam dapat ditegakkan.
3. Misi Hizbut Tahrir
Sebagaimana gerakan-gerakan Islam yang lain, Hizbut Tahrir juga
memiliki maksud yang sama di dalam menjaga dan mengimplementasikan syariat.
Hanya saja Hizbut Tahrir lebih meyakini bahwa syariat akan terjaga dan
terimpelemntasi dengan sempurna jika: (1) terwujudnya Khilafah Islamiyah, (2)
penerapan sistem hukum, dan (3) revolusi dan mengawal Khilafah Islamiyah.20
Meskipun sejak awal abad XIX Masehi telah berdiri gerakan-gerakan
untuk membangkitkan umat Islam, namun gerakan-gerakan tersebut belum meraih
keberhasilan hingga kini. Oleh karena itu, Taqiyuddin al-Nabhani (pendiri Hizbut
Tahrir) mengkritik gerakan-gerakan tersebut.21
Sejak abad XIII atau XIX Masehi, telah berdiri berbagai gerakan yang
bertujuan untuk membangkitkan umat Islam. Upaya-upaya tersebut sejauh ini
18 Mohamad Rafiuddin, “Mengenal Hizbut Tahrir: Studi Analisis Ideologi Hizbut Tahrir vis a vis NU”, h. 34
19 Erni Sari Dwi Devi Lubis & Ma’arif Jamuin, “Infiltrasi Pemikiran dan Gerakan HTI di Indonesia”, h. 162
20 Khamami Zada dan Arief R Arofah, Diskursus Politik Islam, h. 87
21 Taqiyuddin an-Nabhani, At-Takatul al-Hizbiy, Penerjemah Zakaria dkk, Pembentukan Partai Politik Islam, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, Cet. 6, 2013), h. 5-6
31
belum meraih keberhasilan, sekalipun meninggalkan pengaruh yang cukup
berarti bagi generasi yang datang sesudahnya untuk mengulangi upayanya
sekali lagi. Mereka yang mengkaji gerakan-gerakan yang berupaya
mewujudkan kebangkitan akan mendapati bahwa penyebab utama kegagalan
seluruh upaya itu ditinjau dari aspek keorganisasian dapat dikembalikan
kepada empat hal, yaitu:22
1) Gerakan-gerakan tersebut berdiri di atas dasar fikrah (pemikiran) yang
masih umum tanpa batasan yang jelas, sehingga muncul kekaburan atau
pembiasan. Lebih dari itu, fikrah tersebut tidak cemerlang, tidak jernih,
dan tidak murni.
2) Gerakan-gerakan tersebut tidak mengetahui thariqah (metode) bagi
penerapan fikrahnya. Bahkan, fikrahnya diterapkan dengan cara-cara
yang menunjukkan ketidaksiapan gerakan tersebut dan penuh dengan
kesimpangsiuran. Lebih dari itu, thariqah gerakan-gerakan tersebut
telah diliputi kekaburan dan ketidakjelasan.
3) Gerakan-gerakan tersebut bertumpu kepada orang-orang yang belum
sepenuhnya mempunyai kesadaran yang benar. Mereka pun belum
mempunyai niat yang benar. Bahkan mereka hanyalah orang-orang
yang berbekal keinginan dan semangat belaka.
Orang-orang yang menjalankan tugas gerakan-gerakan tersebut tidak
mempunyai ikatan yang benar. Ikatan yang ada hanya struktur organisasi itu
sendiri, disertai dengan sejumlah deskripsi mengenai tugas-tugas organisasi,
dan sejumlah slogan-slogan organisasi.
Dalam pandangan Hizbut Tahrir, metode yang berkaitan dengan
penyebarluaskan Islam adalah: (1) dakwah; (2) jihad di jalan Allah Swt.; (3)
wujudnya partai politik Islam; dan (4) wujudnya Khilafah Islamiyah yang
memikul tanggung jawab dakwah dan jihad.23
22 Ibid.
23 Khamami Zada dan Arief R Arofah, Diskursus Politik Islam, h. 89-90
32
Setiap aktivitas yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir adalah mendakwahkan
Islam dan Khilafah. Karena aktivitasnya bersifat politik, meskipun tidak masuk ke
dalam sistem politik suatu negara, yang berupaya meyakinkan umat akan
pentingnya penerapan sistem Islam secara kaffah dan tegaknya negara Khilafah.
Oleh karena Islam adalah sistem yang berbeda dengan sistem-sistem lain seperti
demokrasi yang disebut kufur menjadi alasan utama Hizbut Tahrir untuk tidak
turut dalam sistem perpolitikan suatu negara. Kegiatan itu juga untuk
menyadarkan umat mengenai sistem politik yang di luar Islam bukanlah solusi di
dalam mengatasi problema masyarakat Islam yang sedang terbelakang. Dengan
demikian masyarakat akan sadar dan mau menerima sistem Islam.
Khamami Zada dan Arif R Arofah menuliskan bahwa penerimaan atas
segala aturan Islam dapat dilakukan jika berpijak pada tiga asas yakni:24 (1) rasa
ketaqwaan yang tertanam dan terbina pada setiap individu di masyarakat; (2)
sikap saling mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta
mengoreksi tingkah laku penguasa pada masyarakat, dan (3) keberadaan
negara/pemerintahan sebagai pelaksana hukum Syara’.
Demi mewujudkan cita-cita utamanya mendirikan Khilafah Islamiyah.
Aktivis Hizbut Tahrir melakukan pengkaderan yang sangat intensif kepada kader-
kadernya. Pembinaan kader merupakan salah satu langkah Hizbut Tahrir dalam
membentuk kader yang militan dan memiliki ideologi Islam, terutama terhadap
keyakinan betapa perlu dan pentingnya Khilafah. Untuk memperjuangkan
tegaknya Khilafah, Hizbut Tahrir menempuh 3 tahapan:25 Pertama, pembinaan
dan pengkaderan; kedua, interaksi dengan masyarakat untuk menyebarluaskan dan
mensosialisasikan ide-idenya; dan ketiga mengambil alih kekuasaan.
24 Ibid., h. 88
25 Erni Sari Dwi Devi Lubis dan Ma’arif Jamuin, “Infiltrasi Pemikiran dan Gerakan HTI di Indonesia”, h. 163-164
33
Khamami Zada dan Arief R Arofah menjelaskan lebih lanjut mengenai
ketiga tahapan Hizbut Tahrir dalam langkah-langkah operasionalnya tersebut,
yakni sebagai berikut:26
1) Tahap pembinaan dan pengkaderan (tatsqif) untuk melahirkan orang-orang
yang meyakini fikrah Hizbut Tahrir dan untuk membentuk kerangka
sebuah partai.
2) Tahap interaksi (tafa’ul) dengan umat agar mampu mengemban dakwah
Islam sehingga umat akan menjadikannya sebagai perkara utama dalam
kehidupan serta berusaha menerapkan dalam realitas kehidupan.
3) Tahap penerimaan kekuasaan (istila al-hukm), untuk menerapkan Islam
secara praktis dan menyeluruh, sekaligus menyebarluaskan risalah Islam
ke seluruh dunia.
Untuk tahap pertama, aktivis Hizbut Tahrir membuat sebuah diskusi kecil
atau yang disebut dengan Halqah Umum. Halqah Umum ini diadakan rutin setiap
seminggu sekali. Yang menjadi peserta dalam Halqah ini adalah masyarakat
umum yang mulai tertarik dengan ide-ide yang telah disosialisasikan oleh Hizbut
Tahrir. Rentang waktu dari Halqah Umum ke kajian khusus yang intensif
ditentukan oleh seorang Musyrif (Pembina Halqah). Bila seseorang sudah layak
masuk ke kajian khusus yang diawali dengan mengkaji doktrin dari pemikiran
Taqiyuddin al-Nabhani, untuk kitab pertama yang dibahas adalah kitab Nizham
al-Islam, maka dia sudah bisa dianggap sebagai kader/aktivis Hizbut Tahrir.
Dalam tahap kedua, para simpatisan dan kader/aktivis Hizbut Tahrir melakukan
kegiatan sosialisasi (seminar, demonstrasi, selebaran, dan lain-lain) ke masyarakat
mengenai betapa pentingnya sistem Islam secara kaffah dalam mengatasi berbagai
problema kehidupan atau dalam bahasa yang lain disebut sebagai kegiatan
penyadaran kepada Umat Islam akan pentingnya Khilafah untuk menuntaskan
permasalahan sosial, politik, hukum, budaya dan lain-lain. Ketika umat sudah
sadar akan pentingnya kehidupan Islam dalam bingkai Khilafah dan dakwah Islam
kepada penjuru dunia, maka tahap berikutnya (tahap ketiga) adalah menerima
26 Khamami Zada dan Arief R Arofah, Diskursus Politik Islam, h. 93-94
34
kekuasaan (istila al-hukm). Ketika semua tahapan tersebut berjalan dengan baik
dan lancar maka visi untuk menegakkan Khilafah akan terwujudkan.
4. Tujuan Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir berdiri dengan tujuan27 “untuk membebaskan umat dari
kepemimpinan ideologi penjajah serta mencabut dari akar-akarnya, baik dari
aspek budaya, politik, militer, ekonomi, dan sebagainya dari tanah negeri kaum
Muslimin, serta merubah ide-ide yang telah tercemari oleh penjajah yang
membatasi Islam hanya pada aspek ibadah dan akhlak semata.”
Penegakkan kembali sistem Khilafah adalah upaya untuk mencapai tujuan
tersebut. Oleh karena itu, keberadaan partai politik adalah suatu keharusan. Dalam
hal ini, Hizbut Tahrir berdiri sebagai partai politik Islam merupakan suatu
keharusan menurut syara’.28 Partai politik mempunyai peran dalam mengajak
masyarakat kepada Islam dan dalam amar ma’ruf nahi munkar.
Sesuai dengan namanya, partai politik Islam, partai itu hendaknya
berideologikan Islam, sebab Islam pada hakikatnya adalah sebuah akidah yang
melahirkan peraturan untuk mengatur seluruh urusan negara dan umat, serta
merupakan pemecahan untuk seluruh masalah kehidupan.29
Sebagai partai politik Islam, Hizbut Tahrir menghendaki Islam sebagai
dasar negara dalam bingkai Khilafah dan menolak segala sistem yang
bertentangan dengan Islam seperti: sistem monarki dan nasionalisme, karena
nasionalisme merupakan ikatan yang rusak, ikatan yang lemah dan rendah
nilainya.30
27 Ibid., h. 86
28 Ibid.
29 Mohamad Topan, “Kekuasaan Menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam Tinjauan Etika Politik”, h. 150
30 Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam, Penerjemah Abu Amin dkk, Peraturan Hidup dalam Islam, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2006), h. 39-41
35
B. Potret Negara Islam Indonesia
1. Sejarah Berdirinya Negara Islam Indonesia
Negara Islam Indonesia (NII) atau sering juga disebut dengan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merupakan salah satu gerakan politik dan
militer umat Islam untuk membentuk suatu Negara Islam di Indonesia di era-era
penjajahan yang dipimpin oleh Kartosoewirjo sebagai Imam negara. Dikemudian
hari gerakan ini dinyatakan sebagai gerakan pemberontak oleh pemerintah
Republik Indonesia.
Kepanjangan DI sebagai Darul Islam memiliki banyak sekali penafsiran.
Namun bebarapa sumber menyebut merupakan hasil dari konferensi
Cijoho/Cipendeuy tanggal 1-5 Mei yang salah satu keputusan terpentingnya
adalah menguasai DI (Daerah kesatu) yakni daerah yang hukum Islam dan
kekuasaan Islam terlaksana”, D.II (Daerah kedua) yang di dominasi sebagian oleh
masyarakat Islam dan D.III (Daerah ketiga) yang belum dikuasai oleh masyarakat
Islam.31
Imam Negara Islam Indonesia adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
demikian nama lengkapnya. Ia dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu,
sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan
Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Pendidikan formalnya dalam sistem pendidikan
Belanda, karena itu dia tidak punya latar belakang pendidikan agama. Saat aktif di
Partai Serikat Islam (PSI), Kartosoewirjo mulai aktif mempelajari Islam melalui
buku-buku Islam berbahasa Belanda. Pada 1930 di Malangbong, Garut, dia
menimba ilmu agama dari para Kiai yang juga aktivis PSI, yaitu Kiai
Ardiwisastera (kelak jadi mertuanya), Kiai Yusuf Tauziri, Kiai Mustofa Kamil
dan Kiai Ramli. Keterlibatannya dalam PSI dan interaksinya dengan
Tjokroaminoto juga ikut membentuk pemahamannya tentang gagasan negara
Islam yang diperjuangkan oleh PSI.32
31 Cornelis van Dijk, Rebellion under The Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia, Penerjemah Pustaka Utama Grafiti, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993), h. 79
32 Solahudin, NII sampai JI Salafy Jihadisme Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), h. 57-58
36
Dalam catatan Holk H. Dengel dituliskan bahwa, “Tjokroaminoto dan juga
muridnya Kartosoewirjo sudah sejak tahun 20-an memperjuangkan ide sebuah
negara Islam dan pengertian mereka atas sebuah negara yang demikian itu adalah
sebuah negara yang benar-benar menjalankan syari’at dan hukum Islam sesuai
dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi secara konsekuen dan menyeluruh.”33
Tahun 1920-an memang benar-benar peristiwa pergerakan politik yang
luar biasa di dunia Islam, oleh Haedar Nashir disebut sebagai pembentukan
kesadaran tentang negara Islam dan pemberlakuan syariat Islam.34
Dalam perpolitikan sebelum kemerdekaan pun terjadi perdebatan sengit
tentang dasar negara. Oleh banyak sumber disebut sebagai perdebatan antara
kaum nasionalis dan Islam. Perdebatan-perdebatan itu muncul dalam sidang-
sidang BPUPKI hingga PPKI. Bahkan setelah kemerdekaan pun, perdebatan
sengit tentang dasar negara kembali mencuat antara kaum nasionalis dan Islam.
Kelahiran akan negara Islam yang dikehendaki oleh Kartosoewirjo
sebenarnya oleh beberapa sumber lebih dahulu hadir ketimbang kelahiran
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum hari-hari menjelang
Proklamasi RI, Kartosoewirjo telah lebih dulu menebar aroma deklarasi
kemerdekaan Islam.35 Tepatnya tanggal 14 Agustus 1945,36 ia telah
memproklamasikan Negara Islam Indonesia namun karena Soekarno-Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus, maka
Kartosoewirjo menarik kembali proklamasinya.
Kenyataan ini diperkuat oleh argumentasi Al-Chaidar berikut ini:37
33Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien. Penerjemah Tim Pustaka Sinar Harapan, Darul Islam-NII dan Kartosoewirjo Langkah Perwujudan Angan-Angan Yang Gagal, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 111
34 Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 2013), h. 261
35 Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 65
36 M.H. Budi Santoso, Darul Islam Pemberontakan di Jawa Barat, (Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2013), h. 28
37 Ibid.
37
Ia datang ke Jakarta bersama dengan beberapa orang pasukan Laskar Hizbullah, dan segera bertemu dengan
beberapa elit pergerakan atau kaum nasionalis untuk memperbincangkan peluang yang mesti diambil guna mengakhiri
sekaligus mengubah determinisme sejarah rakyat Indonesia. Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 Agustus pagi
Hatta dan Soekarno tidak dapat ditemukan di Jakarta, kiranya historical enquiry berikut ini perlu diajukan: Mengapa
Soekarno dan Hatta meski menghindar begitu jauh ke Rengasdengklok padahal Jepang memang sangat menyetujui
persiapan kemerdekaan Indonesia? Mengapa ketika Soebardjo ditanya Soekarno, apakah kamu ingat pembukaan
Piagam Jakarta? Mengapa jawaban yang diberikan dimulai dengan kami bangsa Indonesia....? Bukankah ini
sesungguhnya adalah rancangan proklamasi yang sudah dipersiapkan Kartosoewirjo pada tanggal 13 dan 14 Agustus
1945 kepada mereka?
Sumber lain yang menyatakan kelahiran Negara Islam Indonesia
sebenarnya sudah lebih dulu ketimbang RI juga diungkap oleh Cornelis Van Dijk,
“Sesungguhnya dia telah melaksanakannya pada Agustus 1945, tetapi
proklamasinya ditariknya kembali sesudah adanya pernyataan kemerdekaan oleh
Soekarno dan Moh. Hatta.”38
Namun Holk. H. Dengel justru berpendapat lain, dalam penelitiannya ia
menuliskan, “Pada bulan Agustus 1945 Kartosoewirjo berada di Jakarta.
Sebenarnya dia tidak pernah merencanakan untuk memproklamasikan sebuah
Negara Islam di Jakarta.”39 Holk H. Dengel menguatkan argumennya dengan
menyebut bahwa ketika TKR membutuhkan seorang panglima nama
Kartosoewirjo sempat disebut dan sebagai bekas anggota Masyumi, dia selalu
mendapatkan informasi akan rencana-rencana Masyumi yang akan datang.
Pernyataan keaktifan Kartosoewirjo sebagai anggota Masyumi ini ditulis
oleh Holk. H. Dengel sebagai berikut:
“Awal bulan Oktober Kartosoewirjo turut dalam pembicaraan antara
anggota-anggota Masjumi di Surabaya, tentang rencana untuk mengubah Masjumi
menjadi sebuah Partai Politik. Yang hadir dalam pembicaraan ini selain
Kartosoewirjo juga Wahid Hasjim dan Moh. Natsir. Ketika tidak dapat dicapai
kata sepakat tentang nama yang baru untuk partai itu, maka partai Masjumi
38 Cornelis van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, h. 75
39 Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien, h. 54
38
didirikan sebagai sebuah partai politik yang baru pada tanggal 7-11-1945 di
Yogyakarta dengan nama yang lama”.40
Salah satu tokoh yang turut andil dalam perubahan Masyumi menjadi
partai politik adalah Kartosoewirjo. Ia bahkan terlibat aktif di dunia politik dengan
Masyumi setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah
sebelumnya dia juga sempat aktif berpolitik di PSII.
Kongres pertama Masyumi di Yogyakarta, bisa dikatakan sebagai cikal
bakal pembentukan akan suatu negara Islam, sebab dalam kongres itu ditetapkan:
pembentukan Laskar Sabilillah di samping Laskar Hizbullah yang sudah berdiri;
umat Islam dipersiapkan untuk menjalankan jihad; dan menciptakan suatu negara
hukum yang berdasarkan ajaran Islam.41 Laskar Hizbullah dan Sabilillah inilah
yang kelak menjadi penopang Tentara Islam Indonesia (TII) dalam perjuangannya
menegakkan Negara Islam Indonesia, khususnya laskar Hizbullah dan Sabilillah
di daerah Jawa Barat.
Kartosoewirjo tinggal di Jawa Barat sampai akhir tahun 1946, namun
ketika ada reorganisasi Masyumi tahun 1947 di Yogyakarta. Ia mondar-mandir
antara Malangbong-Yogyakarta dan ia tinggal di asrama PSII.42 Kartosoewirjo
bisa dikatakan sangat aktif dalam perkembangan partai Masyumi.
Pada kongres Masyumi bulan Juni 1946 di Garut, Kartosoewirjo diminta
membentuk pengurus yang baru, kemudian dia menunjuk KH. Moechtar sebagai
ketua umum dan dia sendiri sebagai wakil ketua.43 Ia juga menyampaikan pidato
tentang haluan politik Islam:44 “Dan oleh karena Repoeblik Indonesia berdasarkan Kedaulatan Rakyat, maka suara rakyat yang terbanyak
itulah yang akan memegang kekuasaan negara, jika Kommunisme yang diikuti oleh sebagian besar dari pada rakyat,
maka pemerintah negara akan mengikuti haluan politik, sepanjang ajaran kommunisme. Dan bila sosialisme dan
Nasionalismelah yang “menang suara”, maka sosialisme atau nasionalismelah jang akan menentukan haluan politik
negara. Demikian pula jika Islam yang mendapat kurnia Tuhan “menang dalam perjuangan politik” itu, maka Islam
40 Ibid., h. 54-55
41 Ibid.
42 Ibid., h. 58
43 Ibid., h. 57
44 S.M. Kartosoewirjo, Haluan Politik Islam, (Bandung: Sega Arsy, 2015), h. 74-75
39
pulalah yang akan memegang tampuk pemerintah Negara. Sehingga pada waktu itu terbangunlah Dunia Islam atau
Dar-ul-Islam, yang tidak menyimpang serambut dibelah tujuh sekalipun daripada ajaran-ajaran Kitabullah dan
Sunnatun-Nabi Moehammad SAW.”
Dari pidato Kartosoewirjo di atas dapat dilihat sebuah argumentasi yang
sangat demokratis. Karena waktu itu Masyumi sebagai partai politik Islam hidup
di dalam perjuangan pemerintahan Republik Indonesia yang memang demokratis,
meskipun saat itu masih masa-masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam masa-masa perjuangan itu, Kartosoewirjo kerap kali menyuarakan kepada
pemerintahan Soekarno-Hatta untuk menolak berunding dengan Belanda. Sebab
Belanda sering sekali mengingkari hasil perundingan. Misalnya saja: tanggal 21
Juni 1947, Belanda mengkhianati perundingan Linggarjati yang mengakibatkan
Kartosoewirjo memindahkan kegiatan partai di Malangbong dan juga
mengkoordinasi Laskar Hizbullah dan Sabilillah dalam melawan Belanda.45
Pemerintah Republik kemudian hari juga menandatangani perjanjian
Renville pada tanggal 17 Januari 1948 yang berisi tentang gencatan senjata,
pengakuan garis van Mook, dan pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia
sampai terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
Adanya perjanjian Renville ini membuat umat Islam Jawa Barat
mengadakan konferensi pada tanggal 10-11 Februari 1948 di
Pangwedusan/Cisayong, Kartosoewirjo hadir sebagai wakil pengurus besar
Masyumi Jawa Barat46. Dalam konferensi ini kembali mencuat argumentasi untuk
mendirikan Negara Islam dan membubarkan pemerintah RI yang dikemukakan
oleh Kamran (kelak menjadi anggota Dewan Imamah).47
“...kalau pemerintah RI tidak sanggup membatalkan Renville, lebih baik
pemerintah kita ini kita boebarkan saja dan membentuk lagi pemerintah baroe
dengan tjorak baroe. Di Eropa doea aliran sedang berdjoang dan besar
45 Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien, h. 60-61
46 Ibid., h. 65
47 Abdul Munir Mulkhan & Bilveer Singh, Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-11: Dileme Politik Islam dalam Peradaban Modern, (Jakarta: Kompas, 2011), h. 322
40
kemungkinan akan terjadi perang dunia III, ja’ni aliran Roesia lawan Amerika”.
Kamran selanjutnya menerangkan “Kalau kita di sini mengikoeti Roesia, kita
akan digempoer Amerika, begitu poela sebaliknja. Dari itoe, kita haroes
mendirikan negara baroe, ja’ni negara Islam. Timboelnja Negara Islam ini, jang
akan dapat menjelamatkan negara.”48
Keputusan terpenting yang diambil dalam konferensi Cisayong adalah
membekukan Masyumi di Jawa Barat; membentuk pemerintah daerah dasar di
Jawa Barat;49 mendirikan Tentara Islam Indonesia (gabungan Sabilillah,
Hizbullah dan organisasi Islam lainnya); membentuk Madjlis Islam Pusat yang
dipimpin oleh Kartosoewirjo sebagai Imam; dan pembentukan Pahlawan Darul
Islam.50
Ketika Belanda membentuk “Negara Pasundan” tanggal 24 April 1948.
Kartosoewirjo mengadakan konferensi di Cijoho pada tanggal 1-5 Mei, salah satu
hasilnya adalah perubahan nama dari Madjlis Imam Pusat menjadi Madjlis
Imamah di bawah pimpinan Kartosoewirjo sebagai Imam. Lalu tanggal 9-10 Mei
di Cijoho, Madjlis Imamah bersidang di bawah pimpinan Kartosoewirjo dengan
keputusan perubahan nama Madjlis Imamah menjadi Dewan Imamah, dan
keputusan tentang bendera Negara Islam ditunggu pada sidang Dewan Imamah
sebelum proklamasi Negara Islam. Tanggal 25 Agustus 1948 keluar maklumat
yang pertama dari pemerintah Islam Indonesia yang memerintahkan mobilisasi
dan militerisasi rakyat. Tanggal 27 Agustus penyusunan “Qanun Asasi” yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Islam Indonesia.51 Dari serentetan peristiwa ini
dapat dilihat bahwa persiapan akan negara Islam sudah nampak. Menurut Hiroko
Horikoshi, secara tak resmi Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII) sudah
48 Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien, h. 66
49 Cornelis van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, h. 77
50 Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien, h. 67
51 Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien, h. 74-81
41
berdiri sejak Mei 1948, namun baru diproklamasikan oleh Kartosoewirjo pada 7
Agustus 1949 di Cisampak, Kecamatan Cilugagar, Kabupaten Tasikmalaya.52
Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia tanggal 7
Agustus 1949 sebab melihat adanya kekosongan kekuasaan dengan ditandai
berangkatnya Moh. Hatta ke Den Haag pada tanggal 6 Agustus untuk mengikuti
Konferensi Meja Bundar.53 Oleh karena itu, setelah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia, Kartosoewirjo menahan diri selama lebih dari setahun untuk
secara terang-terangan menolak menentang kekuasaan Republik dengan secara
resmi memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII).54
Gerakan Negara Islam Indonesia tidak hanya ada di Jawa Barat. Dalam
perkembangannya kemudian kehendak mendirikan NII mendapat sambutan pula
di Aceh (Dipimpin oleh Daud Beureuh), Sulawesi Selatan (Dipimpin oleh Let.
Kol. Abdul Qahhar Mudzakkar), Kalimantan Selatan (Dipimpin oleh Ibnu
Hadjar), dan Jawa Tengah (Dipimpin oleh Amir Fatah).55 Gerakan-gerakan ini
dianggap pemberontakan oleh pemerintah RI dan perlahan dapat ditumpas setelah
Kartosoewirjo ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada 5 September 1962.
2. Visi Negara Islam Indonesia
Visi dari berdirinya Negara Islam Indonesia itu sendiri dapat dilihat pada
Qanun Asasi NII berikut:
“Mencari dan mendapatkan mardhotillah, yang merupakan hidup di dalam
suatu ikatan dunia baru, yakni Negara Islam Indonesia yang merdeka.”
Maka setiap pergerakan yang dilakukan oleh Negara Islam Indonesia baik
itu secara politik maupun militer adalah untuk mendirikan suatu negara Islam
dalam suatu nation-state yang bernama Indonesia. Kewajiban untuk mendirikan
52 Solahudin, NII sampai JI Salafy Jihadisme Indonesia, h. 65
53 Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien, h. 93
54 Cornelis van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, h. 79
55 Ruslan, dkk, Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara Islam Indonesia, (Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008), h. xvi
42
suatu negara Islam ini juga semakin dipertegas dengan kalimat, “maka umat Islam
tidak lupa pula kepada wajibnya membangun dan menggalang suatu Negara Islam
yang merdeka, suatu kerajaan Allah yang dilahirkan di atas dunia, ialah syarat dan
tempat untuk mencapai keselamatan tiap-tiap manusia dan seluruh umat Islam, di
lahir maupun di batin, di dunia hingga di akhirat kelak.” Kalimat tersebut tegas
dinyatakan dalam alinea ke V muqaddimah Qanun Asasi NII.
3. Misi Negara Islam Indonesia
Misi dalam mewujudkan berdirinya Negara Islam Indonesia itu
berdasarkan sejarahnya dapat dibagi dua, yakni misi politik dan misi militer. Misi
lewat politik bisa dibagi dalam dua pendapat, yakni pendapat pertama yang
menyatakan Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia lebih
dahulu dibanding proklamasi RI dan pendapat kedua yang menyatakan
Kartosoewirjo terlibat aktif kembali dalam politik bersama Masyumi. Dan misi
militer terlihat aktif saat terbentuknya Tentara Islam Indonesia (TII) saat
konferensi Cisayong pada bulan Februari 1948.
Awal mula langkah politik untuk mewujudkan suatu gagasan akan negara
Islam ketika Kartosoewirjo memasuki PSIHT (Partai Serikat Islam Hindia Timur)
pada tahun 1927. Saat itu sedang terjadi perpecahan di tubuh partai mengenai
sikap terhadap pemerintahan kolonial, yakni antara Dewan Eksekutif dengan
Dewan Partai. Dewan Eksekutif di bawah pimpinan Abikusno Tjokrosujoso dan
Kartosoewirjo sebagai sekretaris memilih untuk bersikap Non-Kooperasi
sedangkan Dewan Partai di bawah pimpinan Agus Salim menghendaki kerjasama
dengan pemerintah kolonial. Kemudian juga, Kartosoewirjo berbeda pendapat
dengan Abikusno terkait GAPI (Gabungan Politik Indonesia), Kartosoewirjo
memilih tanpa kompromi, tetap pada politik hijrah yang ia yakini. Lalu ia pun
membentuk KPK-PSII (Komite Penyelamat Kebenaran Partai Serikat Islam
Indonesia) pada tahun 1939 dan tetap aktif hingga tahun 1942 ketika Jepang
menduduki Indonesia.56 Pada sidang KPK-PSII inilah Kartosoewirjo mengambil
56 Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien, h. 16-22
43
keputusan untuk mendirikan negara Islam pada bulan Maret 1940 di
Malangbong.57
Ketika KPK-PSII dibubarkan, Kartosoewirjo aktif di organisasi-organisasi
seperti MIAI (Majlis Islam A’laa Indonesia), Masyumi (Majlis Syuro Muslimin
Indonesia) yang merupakan perubahan dari MIAI, dan aktif di Jawa Hokokai.
Meskipun dia tidak pernah mendapatkan kedudukan yang tinggi di organisasi-
organisasi itu.58
Pasca Proklamasi kemerdekaan RI, saat terjadi perubahan Masyumi dari
organisasi ke partai politik, Kartosoewirjo terlihat semakin radikal dalam
gagasannya akan negara Islam, terlihat begitu jelas ketika memasuki tahun 1948.
Pada konferensi Cisayong Februari 1948, Masyumi Jawa Barat dibekukan
olehnya. Dari konferensi ini pulalah terbentuk Tentara Islam Indonesia (TII) yang
nantinya sangat setia kepada Negara Islam Indonesia.
Ketika pemerintahan Republik di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda
kesatuan Divisi Siliwangi mengadakan “Long March” ke Jawa Barat, namun
ketika memasuki wilayah Jawa Barat, senjata-senjata TNI dilucuti oleh pihak TII.
Pada tanggal 25 Januari 1949 ditandai sebagai awal dari permusuhan antara TNI
dan TII. Kejadian ini bermula ketika TII menawan staf Brigade XIV TNI dan
keluarganya. Meskipun nanti TNI dengan Batalyon Nasuhi berhasil membebaskan
staf Brigade XIV, namun permusuhan dengan TII tetap berlanjut. Oleh
Kartosoewirjo kejadian ini disebut sebagai “Perang Segi Tiga Pertama” yakni
antara TNI, TII dan Belanda.59 Inilah kejadian awal untuk gerakan DI/TII
dianggap sebagai pemberontak, sebab awalnya gerakan ini mendapat dukungan
pemerintah Republik untuk perlawanan Kartosoewirjo melawan Belanda bukan
untuk mendirikan Negara Islam di Jawa Barat.60
57 Ibid., h. 3
58 Ibid., h. 39-40
59 Ibid., h. 85-86
60 Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, h. 260
44
4. Tujuan Negara Islam Indonesia
Negara Islam Indonesia yang merdeka itu memiliki tujuan “mewujudkan
amal perbuatan yang nyata, dari tiap-tiap warga negara di daerah-daerah, di mana
mulai dilaksanakan hukum-hukum Islam, ialah hukum Allah dan Sunnah Nabi.”
Tujuan itu tertera jelas dalam alinea ke VI Qanun Asasi NII, redaksi lengkapnya
sebagai berikut:
“Kiranya dengan tolong dan Kurnia Ilahi, Qanun Asasi yang sementara ini
menjadi pedoman kita, melakukan bakti suci kepada ‘Azza wa Jalla, dapatlah
mewujudkan amal perbuatan yang nyata, dari tiap-tiap warga negara di daerah-
daerah, di mana mulai dilaksanakan hukum-hukum Islam, ialah hukum Allah dan
Sunnah Nabi.”
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP LEMBAGA NEGARA HIZBUT
TAHRIR DENGAN LEMBAGA NEGARA ISLAM INDONESIA
A. Konsep Lembaga Negara Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir sebagai sebuah organisasi massa dengan agenda kegiatan-
kegiatannya yang mengusung seruan-seruan politis untuk berdirinya Khilafah.
Oleh karena itu, secara konsep kenegaraan pun mereka tetap mengusung suatu
negara dengan bingkai Khilafah. Menurut Hizbut Tahrir, Khilafah merupakan
suatu bentuk negara ideal yang lahir dari ajaran Islam itu sendiri. Maka dari itu
konsep lembaga negara yang mereka usung pun juga tidak lepas dari bingkai
kekhilafahan ‘ala Hizbut Tahrir.
Dalam Rancangan Undang-Undang Dasar di dalam kitab Hizbut Tahrir
yang berjudul “Daulah Islam” bahwa struktur negara adalah sebagai berikut:
“Pasal 23: Struktur negara terdiri atas delapan bagian:
a. Khalifah; b. Mu’awin Tafwiḏ; c. Mu’awin Tanfidz; d. Amirul Jihad; e. Al-Wulat; f. Al-Qaḏa;
45
46
g. Keamanan dalam Negeri; h. Majelis Umat.”
Sebagaimana bentuk negara kekhilafahan, pemegang kekuasaan eksekutif
adalah seorang Khalifah. Lembaga eksekutif menurut Hizbut Tahrir adalah
dipegang oleh seorang Khalifah yang telah mendapatkan bai’at. Menurut mereka,
pengambilan bai’at bermacam-macam: Kadang dari ahlul hall wa al ‘aqd; kadang
dari seluruh masyarakat dan kadang dari Syaikhul Islam.1 Namun catatan bagi
non-muslim tidak memiliki hak pilih sebagai Khalifah. Khalifah memiliki
kewenangan mengangkat para mu’awin/wazir (para menteri), mengangkat para
wali, Qadhi al-Qudhah, komandan-komandan pasukan dan para kepala biro.2
Dalam pandangan Hizbut Tahrir Khalifah adalah aqad atas dasar sukarela,
hal ini termaktub di dalam pasal 25. Setiap muslim berhak untuk menjadi
Khalifah, kecuali perempuan. Dalam rancangan konstitusinya, secara jelas Hizbut
Tahrir menyebutkan kalau seorang Khalifah haruslah seorang laki-laki muslim
yang sudah baligh, aturan ini tertera jelas dalam pasal 31 aturan-aturan tersebut
berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 25: Khalifah adalah aqad atas dasar sukarela dan pilihan. Tidak ada
paksaan bagi seseorang untuk menerima jabatan Khalifah, dan tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memilihi Khalifah.”
“Pasal 31: Pengangkatan Khalifah sebagai kepala negara, dianggap sah
jika memenuhi tujuh syarat, yaitu laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil dan memiliki kemampuan.
1 Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Daulah Al-Islamiyah, Penerjemah Umar Faruq dkk, Daulah Islam, (Jakarta: HTI-Press, Cet 4, 2009), h. 165
2 Ibid., h. 166
47
Dalam hal regulasi jabatan, Hizbut Tahrir tidak mengemukakan secara
jelas sirkulasi pengisian jabatan tersebut. Rancangan konstitusi tersebut tidak
memberikan batasan masa jabatan kepada seorang Khalifah. Sehingga seorang
Khalifah dapat menjabat seumur hidup. Aturan ini secara jelas dicantumkan pada
pasal 38. Dalam aturan tersebut dijelaskan, “Tidak ada batas waktu bagi jabatan
Khalifah. Selama mampu mempertahankan dan melaksanakan hukum syara’, serta
mampu menjalankan tugas-tugas negara, ia tetap menjabat sebagai Khalifah,
kecuali terdapat perubahan keadaan yang menyebabkannya tidak layak lagi
menjabat sebagai Khalifah sehingga wajib segera diberhentikan.”
Tidak adanya aturan tentang sirkulasi pengisian jabatan jelas tidak
membutuhkan adanya pemilu. Sebab jika ada batasan masa jabatan, maka akan
ada pelaksanaan pemilu jika di sistem demokrasi. Namun secara ideologi Hizbut
Tahrir jelas-jelas menolak ideologi demokrasi. Oleh karena itu, mereka tidak
mengikuti sistem ketatanegaraan modern yang mengadakan pemilu setiap kali
masa jabatan berakhir. Bagi Hizbut Tahrir, seorang Khalifah dipilih secara aqad
bai’at melalui musyawarah. Inilah yang menjadi solusi terbaik pemilihan seorang
kepala negara.
Hizbut Tahrir hanya mengatur masalah pengisian jabatan sang Khalifah
jika terjadi kekosongan kekuasaan. Dalam aturannya disebutkan bahwa wajib
hukumnya mengangkat seorang Khalifah apabila terjadi kekosongan kekuasaan
selama tiga hari dua malam. Aturan itu berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 32: Apabila jabatan Khilafah kosong, karena meninggal atau
mengundurkan diri atau diberhentikan, maka wajib hukumnya mengangkat seorang pengganti Khalifah, dalam tempo tiga hari dengan dua malamnya sejak kosongnya jabatan Khilafah.”
Dalam hal mengangkat Mu’awin, Khalifah mengangkat Mu’awin Tafwiḏ
dan Mu’awin Tanfidz. Khalifah dapat mengangkat seorang Mu’awin Tafwiḏ atau
lebih. Adapun wewenang Mu’awin Tafwiḏ adalah mengatur berbagai urusan
48
berdasarkan pendapat dan ijtihadnya, serta bertanggung jawab terhadap jalannya
pemerintahan. Sedangkan Mu’awin Tanfidz merupakan pembantu kesekretariatan
dan bertugas dalam bidang administratif.
Mu’awin Tafwiḏ maupun Mu’awin Tanfidz, keduanya merupakan
lembaga yang menjadi pembantu Khalifah dalam pelaksanaan instruksi Khalifah.
Baik Mu’awin Tafwiḏ maupun Mu’awin Tanfidz keduanya berhubungan
langsung dengan Khalifah. Dalam rancangan konstitusi Hizbut Tahrir Mu’awin
Tafwiḏ dapat berjumlah lebih dari satu orang, namun hal serupa tidak dijelaskan
dalam aturan pengangkatan Mu’awin Tanfidz, aturan ini dapat dilihat dalam pasal
41:
“Pasal 41: Khalifah mengangkat seorang Mu’awin Tafwiḏ atau lebih. Ia
bertanggungjawab terhadap jalannya pemerintahan. Mu’awin Tafwiḏ diberi wewenang untuk mengatur berbagai urusan berdasarkan pendapat dan ijtihadnya.”
Selain itu Khalifah juga memiliki kewenangan untuk melegislasi hukum-
hukum syara’ sebagai Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Negara yang
lainnya, hal ini tertera dalam rancangan Undang-Undang Dasar mereka:
“Pasal 3: Khalifah melegislasi hukum-hukum syara’ tertentu yang
dijadikan sebagai undang-undang dasar dan undang-undang negara. Undang-undang dasar dan undang-undang negara yang telah disahkan oleh khalifah menjadi hukum syara’ yang wajib dilaksanakan dan menjadi perundang-undangan resmi yang wajib ditaati oleh setiap individu rakyat, secara lahir maupun batin.”
Rancangan konstitusi Hizbut Tahrir juga mengatur masalah pembagian
kekuasaan secara vertikal, yakni hubungan dalam tingkatan pemerintahan.
49
Seluruh daerah yang ada dalam kekuasaan Kekhalifahan dibagi dalam wilayah-
wilayah (provinsi-provinsi), setiap wilayah terbagi menjadi ‘imalat-‘imalat
(kabupaten-kabupaten). Rancangan konstitusi ini tidak menyebutkan
pemerintahan tingkat kota, yang dalam ketatanegaraan modern dijabat oleh
seorang walikota.
Setiap pejabat wilayah dan ‘imalat mempunyai gelar tersendiri. Untuk
pejabat wilayah disebu Wali atau Amir sedangkan untuk pejabat ‘imalat disebut
‘Amil atau Hakim. Masing-masing gelar itu disandang oleh pejabat daerah
masing-masing apabila sudah terjadi pengangkatan kepala daerah. Dan setiap
kepala daerah bertanggung jawab dalam memimpin daerahnya. Aturan ini
dijelaskan dalam pasal 82, “Seluruh daerah yang dikuasai oleh negara dibagi ke
dalam beberapa bagian. Setiap bagian dinamakan wilayah. Setiap wilayah terbagi
menjadi beberapa ‘imala. Yang memerintah wilayah disebut Wali atau Amir dan
yang memerintah ‘imalat disebut ‘Amil atau Hakim.”
Setiap kepala daerah semuanya diangkat Khalifah. Khalifah mempunyai
wewenang untuk mengangkat para Wali dan ‘Amil. Khalifah mengangkat Wali
untuk suatu wilayah, sedangkan Wali bisa mengangkat pejabat setingkat ‘Amil
apabila sudah mendapatkan mandat dari Khalifah. Dalam pengisian jabatan kepala
daerah, semuanya wewenang dari Khalifah.
Dalam ketatanegaraan yang dirancang Hizbut Tahrir orang “kafir” atau
non-muslim dan wanita tidak memiliki hak dalam jabatan tinggi eksekutif, hal ini
tertera dalam pasal 37 rancangan konstitusi yang disusun. Secara tegas disebutkan
dalam rancangan konstitusi tersebut bahwa seorang khalifah tidak boleh
mengangkat orang kafir atau perempuan sebagai Wali, yakni kedudukan
setingkat kepala daerah provinsi (Gubernur). Naskah asli pasal tersebut ialah
sebagai berikut:
50
“Pasal 37: Khalifah memiliki hak mutlak untuk mengatur urusan-urusan
rakyat sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya. Khalifah berhak melegislasi hal-hal mubah yang diperlukan untuk memudahkan pengaturan negara dan pengaturan urusan rakyat. Khalifah tidak boleh menyalahi hukum syara’ dengan alasan maslahat. Khalifah tidak boleh melarang sebuah keluarga untuk memiliki lebih dari seorang anak dengan alasan minimnya bahan makanan, misalnya, Khalifah tidak boleh menetapkan harga kepada rakyat dengan dalih mencegah eksploitasi. Khalifah tidak boleh mengangkat orang kafir atau seorang perempuan sebagai Wali dengan alasan (memudahkan) pengaturan urusan rakyat atau terdapat kemaslahatan, atau tindakan-tindakan lain yang bertentangan dengan hukum syara’. Khalifah tidak boleh mengharamkan sesuatu yang mubah atau membolehkan sesuatu yang haram.”
Pengisian jabatan baik itu pejabat Mu’awin maupun kepala daerah.
Semuanya hanya boleh diisi oleh laki-laki muslim. Perempuan tidak
diperbolehkan menduduki jabatan-jabatan tinggi eksekutif dalam negara. Hal
serupa juga berlaku untuk non-muslim. Perempuan dan non-muslim memang
secara tegas tidak boleh menduduki jabatan-jabatan tinggi tersebut sebagaimana
yang tertera dalam rancangan konstitusi Hizbut Tahrir.
Dalam lembaga ‘Amirul Jihad, yang memiliki wewenang dalam angkatan
bersenjata, pengisian jabatan dalam lembaga ini juga berdasarkan wewenang dari
Khalifah. Khalifah jugalah yang mengangkat komandan-komandan pasukan
militer. Adapun tugas dari lembaga ‘Amirul Jihad ini adalah semua hal yang
berhubungan dengan peperangan dan persiapannya. Aturan lembaga ‘Amirul
Jihad ini diatur dalam pasal 51:
51
“Pasal 51: Direktorat peperangan menangani seluruh urusan yang
berkaitan dengan kekuatan bersenjata baik pasukan, polisi, persenjataan, peralatan, logistik, dan sebagainya. Juga semua akademi militer, semua misi militer dan segala hal yang menjadi tuntutan baik tsaqafah Islamiyah, maupun tsaqafah umum bagi pasukan. Dan semua hal yang berhubungan dengan peperangan dan penyiapannya. Direktorat ini disebut Amirul Jihad.”
Sementara itu untuk wilayah kekuasaan yudikatif, rancangan konstitusi
Hizbut Tahrir menyebutkan adanya lembaga Al-Qaḏa. Tugas dari lembaga Al-
Qaḏa ini adalah menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara masyarakat atau
antara masyarakat dengan aparat pemerintah atau antara masyarakat dengan
Khalifah. Aturan mengenai hal ini termaktub dalam pasal 66:
“Pasal 66: Al-Qaḏa adalah pemberitahuan keputusan hukum yang bersifat
mengikat. Al-Qaḏa menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara masyarakat, atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak jama’ah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara masyarakat, atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak jama’ah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan aparat pemerintah; penguasa atau pegawainya; Khalifah atau lainnya.”
Pemegang jabatan lembaga Al-Qaḏa bernama Qaḏi Quḏat yang diangkat
langsung oleh Khalifah. Semua lembaga peradilan berada di bawah lembaga Al-
Qaḏa. Qaḏi Quḏat membawahi tiga golongan Qaḏi, yakni: Qaḏi, Al-Muhtasib dan
Qaḏi Maẕalim. Pemegang jabatan hakim dalam rancangan konstitusi Hizbut
Tahrir hanya boleh diisi oleh laki-laki muslim. Hal yang mengatur tentang hal
tersebut termaktub dalam pasal 67-68:
52
“Pasal 67: Khalifah mengangkat Qaḏi Quḏat yang berasal dari kalangan
laki-laki, baligh, merdeka, muslim, berakal, adil dan faqih. Jika Khalifah memberinya wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Qaḏi Maẕalim, maka Qaḏi Quḏat wajib seorang mujtahid. Qaḏi Quḏat memiliki wewenang mengangkat para Qaḏi, memberi peringatan dan memberhentikan mereka dari jabatannya, sesuai dengan peraturan administratif yang berlaku. Pegawai-pegawai peradilan terikat dengan kepala kantor peradilan, yang mengatur urusan administrasi untuk lembaga peradilan.”
“Pasal 68: Para Qaḏi terbagi dalam tiga golongan:
1. Qaḏi (biasa), yaitu Qaḏi yang berwenang menyelesaikan perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalat dan uqubat.
2. Al-Muhtasib, Qaḏi yang berwenang menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan hak-hak jama’ah/masyarakat.
3. Qaḏi Maẕalim, berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan negara.”
Meskipun wewenang Khalifah sangat dominan di dalam wilayah
kehakiman. Tetapi Khalifah juga dapat diberhentikan dari jabatannya juga oleh
lembaga kehakiman. Lembaga tersebut bernama Mahkamah Maẕalim. Lembaga
ini merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan
pengawasan terhadap Khalifah, dan apabila seorang Khalifah dianggap tidak
layak lagi menduduki jabatannya karena suatu hal yang berkaitan dengan diri
Khalifah itu sendiri. Lembaga Mahkamah Maẕalim ini pulalah yang bisa menegur
seorang Khalifah. Kewenangan tersebut tertuang di dalam pasal 40:
53
“Pasal 40: Mahkamah Maẕalim adalah satu-satunya lembaga yang
menentukan ada dan tidaknya perubahan keadaan pada diri Khalifah yang menjadikannya tidak layak menjabat sebagai Khalifah. Mahkamah ini merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang memberhentikan atau menegur Khalifah.”
Selain lembaga-lembaga yang dijelaskan di atas, masih ada lagi suatu
lembaga yang bernama Majelis Umat. Ketentuan yang mengatur tentang lembaga
ini ada di pasal 101. Lembaga Majelis Umat memiliki wewenang untuk
menyampaikan pendapat yang bisa dijadikan pertimbangan bagi Khalifah. Dalam
ketentuan rancangan konstitusi lembaga ini merupakan suatu lembaga perwakilan.
Lembaga ini juga merupakan satu-satunya lembaga yang boleh diisi oleh non-
muslim. Bunyi lengkap peraturan tersebu, ialah:
“Pasal 101: Majelis umat adalah orang-orang yang mewakili kaum
Muslim dalam menyampaikan pendapat, sebagai bahan pertimbangan bagi Khalifah. Orang non-Muslim dibolehkan menjadi anggota majelis umat untuk menyampaikan pengaduan tentang kedzaliman para penguasa atau penyimpangan dalam pelaksanaan hukum-hukum Islam.”
B. Konsep Lembaga Negara Islam Indonesia
Negara Islam Indonesia telah dipaparkan dalam BAB III, organisasi ini
merupakan gerakan untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia. Gerakan ini
dipimpin oleh Kartosoewirjo yang menjabat sebagai Imam Negara. Konsep
lembaga negara menurut Negara Islam Indonesia termaktub di dalam Qanun Asasi
Negara Islam Indonesia. Qanun Asasi Negara Islam Indonesia setidaknya
mengatur enam lembaga negara, yaitu: Majelis Syuro, Dewan Syuro, Imam,
Dewan Fatwa, Dewan Imamah, dan Mahkamah Agung.
54
Dalam Qanun Asasi ini lembaga tertinggi Negara dipegang oleh lembaga
Majelis Syuro. Perihal yang mengatur tentang Majelis Syuro ini diatur dalam
BAB I pasal 3, pasal 4, pasal 5 dan pasal 34. Majelis Syuro mempunyai
wewenang yang besar dalam membuat hukum. Lembaga ini pulalah yang
memiliki wewenang untuk mengubah Qanun Asasi, memilih Imam negara, dan
membuat garis-garis besar haluan negara.
Lembaga Majelis Syuro diisi oleh wakil-wakil rakyat dan juga utusan
golongan. Anggota-anggota pengisi jabatan Majelis Syuro inilah yang nantinya
melakukan sidang-sidang. Majelis Syuro bersidang paling sedikit sekali dalam
setahun. Keputusan dalam Majelis Syuro diambil dengan suara terbanyak. Sidang
dianggap sah jika memenuhi quorum 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Jika
kurang dari itu harus diadakan sidang berikutnya dalam tempo empat belas hari.
Bila tidak memenuhi quorum juga, maka harus diadakan sidang berikutnya dalam
tempo empat belas hari. Bila sidang yang ketiga kalinya juga tidak memenuhi
quorum, maka sidang dianggap sah. Sidang untuk mengubah Qanun Asasi harus
dihadiri oleh 2/3 dari jumlah anggota dan keputusan harus diambil dengan
sekurang-kurangnya setengah dari jumlah anggota yang hadir.
Jika terjadi keadaan memaksa, hak Majelis Syuro dapat beralih kepada
Imam dan Dewan Imamah. Qanun Asasi tidak menyebutkan perihal keadaan
memaksa tersebut. Qanun Asasi hanya menyebutkan “Jika keadaan memaksa…”
hal ini diatur dalam pasal 3 ayat 2.
Majelis Syuro mempunyai badan pekerja yang bernama Dewan Syuro.
Peraturan tentang Dewan Syuro tertera dalam BAB III pasal 6 Qanun Asasi.
Dewan Syuro ini memiliki tugas: menyelesaikan segala keputusan Majelis Syuro;
dan melakukan segala sesuatu sebagai Wakil Majelis Syuro menghadapi
pemerintah, selainnya yang berkenaan dengan prinsip. Dewan Syuro bersidang
sedikitnya sekali dalam tiga bulan. Setiap undang-undang menghendaki
persetujuan Dewan Syuro. Jika undang-undang tersebut tidak mendapatkan
persetujuan Dewan Syuro, undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
siding Dewan Syuro masa itu. Adapun aturan mengenai pengisian jabatan Dewan
Syuro tidak diatur dalam Qanun Asasi. Qanun Asasi dalam pasal 6 ayat 1 hanya
55
menyebutkan, “Susunan Dewan Syuro ditetapkan dengan undang-undang.”
Anggota Dewan Syuro sebagaimana termaktub dalam pasal 8 ayat 1 mempunyai
hak mengajukan rancangan undang-undang. Jika rancangan undang-undang
tersebut disetujui oleh Dewan Syuro namun tidak disahkan oleh Imam, rancangan
undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam sidang Dewan Syuro masa itu.
Secara kelembagaan di dalam Qanun Asasi, Majelis Syuro dan Dewan
Syuro merupakan lembaga legislatif. Lembaga tersebut secara tegas juga
dinyatakan oleh Qanun Asasi sebagai lembaga perwakilan yang diisi oleh wakil
rakyat dan juga utusan-utusan golongan.
Sementara itu untuk cabang kekuasaan eksekutif dipegang oleh Imam,
sebagaimana diatur oleh Qanun Asasi BAB IV pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal
12, pasal 13, pasal 15, pasal 16, pasal 17, pasal 18, pasal 19 dan pasal 20. Seorang
Imam harus orang Indonesia asli dan beragam Islam yang taat (pasal 12 ayat 1).
Seorang Imam dipilih Majelis Syuro dengan suara paling sedikit 2/3 daripada
seluruh anggota. Jika hingga dua kali berturut-turut dilakukan pemilihan, dengan
tidak mencukupi ketentuan suara paling sedikit 2/3 dari seluruh anggota, maka
keputusan diambil menurut suara yang terbanyak dalam pemilihan yang
ketiganya.
Imam memiliki beberapa wewenang yang dituliskan di dalam Qanun
Asasi, seperti: memegang kekuasaan tertinggi atas seluruh angkatan perang;
menyatakan keadaan bahaya; mengangkat duta dan konsul; menerima duta negara
lain; memberi amnesti, abolisi, grasi dan rehabilitasi; memberi gelar, tanda jasa,
tanda kehormatan, dan lain-lainnya. Imam juga mempunyai wewenang yang
beririsan dengan wewenang lembaga legislatif seperti: menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang (dalam ikhwal kegentingan yang
memaksa); membentuk undang-undang dengan persetujuan Majelis Syuro;
menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang; serta
dengan persetujuan Majelis Syuro menyatakan perang, membuat
perjanjian/perdamaian dengan negara lain.
Negara Islam Indonesia juga mengatur tentang suatu lembaga yang
memiliki fungsi sebagai lembaga yang memberikan masukan kepada Imam untuk
56
dijadikan pertimbangan oleh Imam sebelum mengambil suatu keputusan.
Lembaga tersebut bernama Dewan Fatwa. Dewan Fatwa terdiri dari seorang Mufti
besar dan beberapa mufti yang lain. Pengangkatan dan pemberhentian anggota-
anggota Dewan Fatwa dilakukan oleh Imam. Dewan ini berkewajiban
memberikan jawaban atas pertanyaan Imam dan berhak mengajukan usul kepada
pemerintah.
Selain itu, ada suatu lembaga kabinet yang berada di bawah Imam,
lembaga ini bernama Dewan Imamah yang diatur dalam BAB VI Qanun Asasi
pasal 22. Imam menetapkan peraturan pemerintah setelah berunding dengan
Dewan Imamah ini. Dewan Imamah ini terdiri dari Imam dan kepala-kepala
majelis. Anggota-anggota Dewan Imamah diangkat dan diberhentikan oleh Imam.
Lembaga Dewan Imamah ini bertanggung jawab kepada Imam dan Majelis Syuro.
Jika terjadi sesuatu hal yang menyebabkan Imam berhalangan melakukan
kewajiban-kewajibannya, Imam akan menunjuk dari salah seorang Dewan
Imamah untuk dijadikan sebagai wakil sementara. Namun dalam keadaan-keadaan
yang amat memaksa, Dewan Imamah harus selekas mungkin bersidang untuk
memutuskan siapa wakil Imam sementara.
Dalam hal kekuasaan yudikatif, Qanun Asasi mengaturnya dalam pasal 25
dan pasal 26, lembaga tersebut adalah Mahkamah Agung. Mengenai fungsi, tugas,
maupun pengisian jabatan lembaga Mahkamah Agung ini tidak disebutkan secara
jelas di dalam Qanun Asasi. Qanun Asasi hanya menyebutkan, “fungsi kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan hakim lainnya
menurut undang-undang.” Kalimat tersebut dapat dijumpai dalam pasal 25 ayat 1.
Begitu juga dengan susunan dan kekuasaan badan kehakiman diatur dengan
undang-undang (pasal 25 ayat 2). Serta di dalam pasal 26 juga hanya
mencantumkan, “Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhatikan sebagai
hakim diatur dengan undang-undang.”
Namun karena pemerintahan Negara Islam Indonesia menyatakan dirinya
berada dalam keadaan perang. Maka tidak ada undang-undang yang dilahirkan
untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai tugas-tugas lembaga Negara secara
57
detail. Oleh karena itu, tidak ada aturan yang jelas juga untuk memaparkan secara
lebih rinci tentang lembaga kehakiman.
C. Analisis Perbandingan Konsep Lembaga Negara Antara Hizbut
Tahrir Dengan Lembaga Negara Islam Indonesia
1. Fungsi dan Kedudukan
Dari analisa di atas akan didapati beberapa perbedaan mengenai konsep
lembaga negara yang diatur di dalam rancangan undang-undang Hizbut Tahrir dan
Qanun Asasi Negara Islam Indonesia semisal membahas tentang instansi tertinggi,
pemegang kekuasaan eksekutif dan mengenai lembaga peradilan. Juga ada
beberapa hal yang belum diatur dengan jelas mengenai sirkulasi elit3 dan
kekuasaan legislatif.
Sebelum melangkah ke pembahasan lebih jauh. Di bawah ini akan
ditampilkan struktur lembaga negara, yaitu sebagai berikut:
1) Susunan lembaga negara Hizbut Tahrir:
a. Khalifah;
b. Mu’awin Tafwiḏ;
c. Mu’awin Tanfidz;
d. Amirul Jihad;
e. Al-Wulat;
f. Al-Qaḏa;
g. Keamanan dalam Negeri;
h. Majelis Umat.
2) Susunan lembaga negara NII:
a. Majelis Syuro;
b. Dewan Syuro;
c. Imam;
3 Robitul Firdaus, “Pemisahan Kekuasaan dan Organisasi Negara Dalam Sistem Pemerintahan Islam: Studi Komparatif terhadap Dustur al-Islamiy Hizbut Tahrir dan Qanun Asasi NII” (Yogyakarta: Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2010), h. 222
58
d. Dewan Fatwa;
e. Dewan Imamah;
f. Mahkamah Agung.
Dalam NII instansi tertinggi negara ditempati oleh Majelis Syuro, hanya
dalam keadaan genting hak tersebut dialihkan kepada Imam dan Dewan Imamah.4
Bila sudah beralih ke tangan Imam maka kekuasaan kemudian terpusat di tangan
Imam yang harus orang Indonesia asli dan beragama Islam. Secara jelas
pemerintahan yang hendak diusung oleh NII adalah sistem pemerintahan
parlementer dan bisa juga seperti yang diterapkan pada masa orde baru di
Indonesia dengan meletakkan posisi parlemen pada kekuasaan tertinggi. Hasil
analisis ini mengacu dengan adanya Dewan Imamah yang dalam sistem
parlementer ialah Dewan Kabinet. Di dalam Qanun Asasi NII pada pasal 22 ayat 4
jelas menerangkan bahwa Dewan Imamah bertanggung jawab kepada Imam dan
Majelis Syuro.
Menurut Holk H. Dengel konstitusi yang dirancang oleh Negara Islam
Indonesia sangat mirip dengan Undang-Undang Dasar 1945.5 Dari pandangan
Holk H. Dengel ini dapat diambil suatu gambaran ketika Republik Indonesia
menggunakan UUD 1945 sebelum amandemen meletakkan kekuasaan tertinggi di
tangan Majlis Permusyawaratan Rakyat. Bagian lain yang juga menurut Holk H.
Dengel juga sama dengan yang diatur dengan Undang-Undang Dasar 1945
dengan melihat fungsi Dewan Fatwa yang mirip dengan Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) di UUD 1945, dengan komposisi Dewan Fatwa yang terdiri dari
seorang Mufti Besar dan beberapa Mufti yang lain sebanyak 7 orang.6
Pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota itu dilakukan oleh Imam.
Sebagaimana yang diatur oleh “Qanun Asasi” Dewan Fatwa berkewajiban
memberikan jawaban atas pertanyaan Imam dan berhak mengajukan usul kepada
4 Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien. Penerjemah Tim Pustaka Sinar Harapan, Darul Islam-NII dan Kartosoewirjo Langkah Perwujudan Angan-Angan Yang Gagal, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 112
5 Ibid., h. 112-113
6 Ibid.
59
pemerintah (Pasal 21 Qanun Asasi). Selain itu, Dewan Syuro juga memiliki fungsi
yang hampir mirip dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Meskipun dalam kebanyakan peraturan memiliki banyak kemiripan
dengan Undang-Undang Dasar 1945, namun ada sedikit perbedaan terlihat pada
aturan mengenai pengangkatan wakil Imam sementara jika Imam berhalangan
melaksanakan kewajibannya. Dalam Qanun Asasi, menjelaskan mesti adanya
sidang di Dewan Imamah jika amat memaksa untuk mengangkat wakil Imam
sementara (Pasal 13 ayat 3).
Hanya saja dari sekian banyak pengaturan mengenai hak dan wewenang
lembaga-lembaga negara, tidak ada satupun peraturan yang mengatur sirkulasi
elit. Yakni pengaturan mengenai batas masa jabatan dalam suatu lembaga negara
ataupun cara-cara mengisi suatu jabatan dalam suatu lembaga negara. Peraturan
yang ada hanyalah mengenai susunan Majelis Syuro dan Mahkamah Agung yang
di dalam peraturan itu dinyatakan diatur dengan undang-undang. Juga mengatur
masalah susunan Dewan Fatwa dan Dewan Imamah yang anggotanya diangkat
dan diberhentikan oleh Imam. Namun tidak ada satupun aturan yang mengatur
masa jabatan.
Aspek lain yang juga perlu dicermati adalah pemilihan gelar untuk seorang
seorang kepala negara. Dalam hal ini Negara Islam Indonesia berbeda dengan
Hizbut Tahrir yang menggunakan gelar Khalifah. Negara Islam Indonesia
menggunakan gelar Imam untuk kepala negara. Padahal gelar Imam lebih
dominan penggunaannya di kalangan Syi’ah. Sementara di kalangan Sunni lebih
banyak digunakan istilah Khalifah.7
Namun secara praktis lembaga-lembaga negara NII nyaris tidak pernah
berfungsi karena negara itu menyatakan darurat perang sehingga semua peraturan
Negara Islam Indonesia dikeluarkan oleh Komandemen Tertinggi dalam bentuk
maklumat yang ditandatangani oleh Imam dan kemudian dibagikan.8
7 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 234
8 Holk H. Dengel, Darul—Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien. h. 113-114
60
Berhubung tidak ada Parlemen, semua peraturan Negara Islam Indonesia dikeluarkan oleh Komandemen
Tertinggi, yaitu Dewan Imamah yang dulu, dalam bentuk Maklumat yang ditandatangani oleh Imam dan kemudian
dibagi-bagikan. Menurut keterangan Kartosoewirjo, Komandemen Tertinggi setelah proklamasi NII pada bulan
Agustus 1949, terdiri dari anggota-anggota sebagai berikut:
Imam dan Panglima Tertinggi-S. M. Kartosoewirjo
Wakil Imam dan Komandan Divisi-Kamran
Madjelis Keuangan-Oedin Kartasasmita, setelah meninggal diganti oleh Soelaiman Purnama
Madjelis Penerangan-Toha Arsjad, setelah meninggal tahun 1952/1953 tidak ada gantinya.
Madjelis Pertahanan-R. Oni setelah meninggal tahun 1952/1953 tidak ada gantinya.
Madjelis Kehakiman –Gozali Tusi, setelah tertawan tidak ada gantinya.
Madjelis Luar Negeri-Sanusi Partawidjaja, setelah dihukum mati, tugas ini diambil alih oleh Kartosoewirjo.
Madjelis Dalam Negeri-Dirangkap oleh Sanusi Partawidjaja, setelah dihukum mati diambil alih oleh
Kartosoewirjo.
Oleh karena itu lembaga negara seperti Dewan Fatwa dan Majelis Syuro
tidak pernah berfungsi, karena selama masa Negara Islam Indonesia memegang
pimpinan politik, begitu juga pimpinan militer, tak mempunyai seorang penasihat
pun atau membolehkan adanya penasihat.9 Bahkan Kartosoewirjo memerintahkan
supaya, “Ahli politik harus dipermiliterkan. Sebaliknya ahli militer harus
diperpolitikkan.”10 Karena keadaan kala itu tidak memungkinkan untuk
berjalannya suatu pemerintahan yang ideal sebab berada dalam keadaan perang.
Karenanya dalam Qanun Asasi dijelaskan cara berputarnya roda pemerintahan
selama masa perang. Cara Berputarnya Roda Pemerintahan:
1. Pada umumnya roda pemerintahan NII berjalan menurut dasar yang ditetapkan Qanun Asasi dan sesuai
dengan Pasal 3 Qanun Asasi tadi, sementara belum ada parlemen (Majlis Syuro), segala Undang-Undang
dalam bentuk maklumat-maklumat yang ditandatangani oleh Imam.
2. Berdasarkan maklumat-maklumat Imam tadi, Majlis-majlis (kementerian-kementerian) menurut pembagian
tugas kewajiban masing-masing, membuat peraturan atau penjelasan untuk memudahkan pelaksanaannya.
3. Juga dasar politik Pemerintah NII ditentukan oleh Dewan Imamah
4. Anggota-anggota dewan imamah pada waktu pembentukannya ialah:
9 Ibid., h. 113
10 Ibid., h. 113-114
61
S.M. Kartosoewirjo selaku Imam merangkap kepala Majlis Pertahanan
Sanoesi Partawidjaja selaku Kepala Majlis Dalam Negeri dan Keuangan
K.H. Gozali Thusi selaku Kepala Majlis Kehakiman
Thoha Arsyad selaku Kepala Majlis Penerangan
Kamran selaku anggota
R. Oni selaku Anggota
Lain halnya dengan Hizbut Tahrir yang sangat lengkap menjelaskan
wewenang dan fungsi dari lembaga-lembaga negara yang diatur. Wewenang yang
lebih besar diletakkan di tangan kepala negara yakni kekuasaan tertinggi berada di
tangan Khalifah. Khalifah bahkan juga memiliki wewenang yang sangat besar
dalam melegislasi undang-undang. Sedangkan fungsi dari lembaga Majelis Umat
yang oleh Robitul Firdaus menyatakan sebagai lembaga yang memegang
kekuasaan legislatif. Namun pada peraturannya Majelis Umat hanya
menyampaikan pengaduan tentang kedzaliman para penguasa atau penyimpangan
dalam pelaksanaan hukum.
Adapun fungsi Majelis Umat dalam hal legislasi dapat dilihat dalam
“Daulah Islam” yang diterjemahkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, yang di
dalamnya memuat kewenangan Majelis Umat yang di antaranya, “Khalifah boleh
menyampaikan hukum dan perundang-undangan yang ingin dilegislasi kepada
Majelis Umat”.11 Selain itu juga dimuat mengenai aturan jika Khalifah dan
Majelis Umat berselisih dalam hal legislasi, penyelesaiannya diserahkan kepada
Mahkamah Maẕalim. Ini menunjukkan fungsi Majelis Umat yang mirip dengan
fungsi parlemen atau DPR (Indonesia) saat ini. Juga mirip dengan mekanisme
penyelesaian ke Mahkamah Konstitusi terkait undang-undang yang berselisih
paham antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Secara konsep ketatanegaraan, kedua organisasi di atas, yakni, Hizbut
Tahrir dan Negara Islam Indonesia, terlihat adanya usaha untuk menyesuaikan diri
dengan konsep ketatanegaraan yang berlaku di berbagai negara saat ini. Tidak
11 Taqiyuddin al-Nabhani, Al-Daulah Al-Islamiyah, h. 321
62
nampak adanya suatu ciri khas tertentu yang ditampilkan dalam konsep
ketatanegaraan yang diajukan. Yang menjadi ciri khas untuk membedakannya
hanyalah pada nama-nama lembaga negaranya. Baik Hizbut Tahrir maupun
Negara Islam Indonesia memberikan nama-nama yang berbeda untuk setiap
lembaga negaranya.
2. Pembagian Kekuasaan
Dari paparan di atas mengenai konsep lembaga negara baik itu dari Hizbut
Tahrir maupun dari Negara Islam Indonesia dapatlah kiranya dipetakan mengenai
susunan lembaga-lembaga negara utama, yakni lembaga negara yang memegang
cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang sudah dirancang oleh
kedua organisasi tersebut.
Setelah ditelaah mengenai konsep lembaga negara berdasarkan undang-
undang yang dirancang baik oleh Hizbut Tahrir maupun Qanun Asasi Negara
Islam Indonesia akan didapati beberapa hal yang berbeda. Namun secara umum,
keduanya mengusung konsep ketatanegaraan modern dengan model adanya
pembagian kekuasaan negara ke dalam lembaga-lembaga negara untuk kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif.12 Hal demikian bisa dilihat misalnya Negara
Islam Indonesia meletakkan kekuasaan eksekutif pada Imam, kekuasaan legislatif
dipegang oleh Majelis Syuro dan kekuasaan yudikatif dipegang oleh Mahkamah
Agung, sedangkan Hizbut Tahrir meletakkan peran Khalifah untuk kekuasaan
eksekutif, Majelis Umat memegang kekuasaan legislatif dan Qaḏa memegang
kekuasaan yudikatif.
Aspek lain yang juga perlu dicermati adalah tiadanya sirkulasi pengisian
jabatan. Baik Hizbut Tahrir maupun NII tidak mencantumkan masa jabatan di
dalam undang-undang dasarnya. Sehingga tidak dijumpai batasan masa jabatan
seorang pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ini memungkinkan suatu
jabatan bisa diduduki seumur hidup. Atau baru bisa diberhentikan apabila
12 Robitul Firdaus, “Pemisahan Kekuasaan dan Organisasi Negara Dalam Sistem Pemerintahan Islam: Studi Komparatif terhadap Dustur al-Islamiy Hizbut Tahrir dan Qanun Asasi NII,” h. 221
63
melakukan penyimpangan yang dianggap sangat parah oleh peraturan perundang-
undangan.
Di sisi yang lain juga tidak didapati kejelasan mengenai proses pengisian
jabatan dalam lembaga legislatif. Tidak dibahas mengenai apakah seseorang yang
hendak memasuki kursi legislatif melalui suatu partai atau melalui utusan
golongan. Ketiadaan aturan mengenai mekanisme pemilihan umum, membuat
pengisian jabatan legislatif bisa dilakukan dengan berbagai cara, atau bahkan
semuanya ditentukan oleh seorang kepala negara. Sebab multitafsirnya mengenai
mekanisme pengisian kursi legislatif. Baik di Negara Islam Indonesia maupun
Hizbut Tahrir hal ini tidak diatur. Hanya saja dalam “Qanun Asasi” NII sedikit
disinggung mengenai utusan golongan yang juga mengisi jabatan di Majelis
Syuro.
Dalam konsep lembaga negara yang diusungnya, Hizbut Tahrir hendak
menekankan bahwa adanya checks and balance antar lembaga negara. Meskipun
wewenang yang sangat besar berada di tangan Khalifah, namun itu bisa
diseimbangkan dengan adanya sebuah lembaga yudikatif yang bernama
Mahkamah Maẕalim. Lembaga yudikatif ini bahkan memiliki wewenang yang
amat strategis, yakni mampu memberhentikan Khalifah.
Hizbut Tahrir secara tidak langsung ingin menyatakan bahwa negara yang
diusungnya nanti adalah negara yang berdasarkan hukum. Sehingga mereka
hendak menyatakan bahwa hukum Islam berada di atas semua lembaga negara.
Namun pada pernyataan aturannya, Khalifah memiliki wewenang yang sangat
besar di bidang legislatif dan yudikatif. Di bidang legislatif, Khalifahlah yang
memiliki wewenang besar dalam melegislasi hukum-hukum dan di bidang
Yudikatif justru Khalifah juga yang memiliki wewenang penuh dalam
mengangkat seorang Qaḏi Quḏat yang membawahi hakim-hakim yang berada di
bawahnya termasuk hakim Maẕalim. Sedikit keanehan sebuah lembaga yang
dibawahi lagi oleh lembaga lain mampu memberhentikan kekuasaan jabatan yang
ada di lembaga di atasnya, yakni hakim Maẕalim bisa memberhentikan seorang
Khalifah yang apabila dilihat secara struktur berada di atasnya. Sebagaimana yang
diketahui dalam konteks ketatanegaraan modern, sebuah jabatan dalam suatu
64
lembaga negara hanya bisa diberhentikan oleh pejabat yang lembaganya berada
pada posisi setara atau berada di atasnya.
Secara ideal suatu lembaga peradilan hendaknya diberikan kekuasaan yang
besar untuk memutuskan suatu perkara, termasuk di dalam diri Khalifah itu
sendiri. Karena memang sejarah dalam ketatanegaraan Islam, Khalifah tidak lepas
juga dari jeratan hukum. Ini juga yang dijelaskan oleh Inu Kencana dengan
mengutip pendapat Imam Abu Hanifah dan kisah Umar bin Khattab, berikut ini:
“Tentang soal lembaga peradilan (yudikatif) dan kekuasaannya, Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa demi melaksanakan keadilan dengan seksama,
maka lembaga peradilan, tidak saja harus memiliki kebebasan dari segala tekanan
dan ikut campur kekuasaan eksekutif saja, tetapi juga harus diberikan kekuasaan
bagi hakim untuk menjatuhkan putusannya atas diri khalifah sendiri, bilamana ia
melanggar sesuatu di antara hak-hak rakyat. Ini sering kita lihat pada masa
pemerintahan Khulafa al Rasyidun, bagaimana Umar bin Khattab ra. Dituntut oleh
seorang pedagang kuda”.13
Lembaga peradilan setidaknya ditempatkan pada posisi yang sejajar
dengan lambaga negara yang lain. Selain itu, wewenang Khalifah hendaknya
dibatasi sehingga proses check and balance bisa terlaksana. Bila salah satu
lembaga negara memiliki wewenang yang amat besar, terutama melingkupi
wewenang di bidang legislatif dan yudikatif, justru akan membuat mekanisme
check and balance tidak berjalan dengan sempurna. Wewenang yang terlalu luas
yang diberikan oleh undang-undang kepada lembaga eksekutif dikhawatirkan
akan membuat suatu lembaga bertindak sewenang-wenang terhadap lembaga
negara yang lainnya. Ini akan meniadakan mekanisme check and balance.
13 Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 134
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dipaparkan,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Susunan lembaga negara Hizbut Tahrir adalah sebagai berikut:
Khalifah, Mu’awin Tafwiḏ, Mu’awin Tanfidz, Amirul Jihad, Al-
Wulat, Al-Qaḏa, Keamanan dalam Negeri dan Majelis Umat.
Sedangkan susunan lembaga Negara Islam Indonesia adalah sebagai
berikut: Majelis Syuro, Dewan Syuro, Imam, Dewan Fatwa, Dewan
Imamah dan Mahkamah Agung.
2. Hasil analisis perbandingan atas lembaga negara menurut Hizbut
Tahrir dan Negara Islam Indonesia menunjukkan, secara umum,
keduanya sama-sama mengusung konsep ketatanegaraan modern
dengan model adanya pembagian kekuasaan negara ke dalam lembaga-
lembaga negara untuk kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Menurut Hizbut Tahrir: Khalifah (eksekutif), Majelis Umat (legislatif)
dan Al-Qaḏa (yudikatif). Sedangkan menurut Negara Islam Indonesia:
Imam (eksekutif), Majelis Syuro (legislatif) dan Mahkamah Agung
(yudikatif). Sementara itu, perbedaan antara keduanya ketika
membahas tentang lembaga tertinggi negara, menurut Hizbut Tahrir
lembaga tertinggi negara adalah Khalifah, sedangkan menurut Negara
Islam Indonesia lembaga tertinggi negara adalah Majelis Syuro.
B. Saran
Menurut pembahasan yang sudah dilakukan, penulis bisa memberikan
beberapa saran sebagai berikut:
65
66
1. Kepada pemerintah diharapkan agar melakukan kajian mengenai
lembaga negara Islam, terutama untuk mengcounter gerakan-gerakan
yang mengusung berdirinya negara Islam atau Khilafah dengan cara-
cara yang bertentangan dengan kemanusiaan. Selain itu, kajian itu juga
dapat dijadikan sebagai solusi yang bisa membantu dalam menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan kelembagaan negara.
2. Kepada kampus-kampus untuk memperbanyak literatur-literatur yang
membahas konsep lembaga negara Islam, terutama untuk kampus
Universitas Islam Negeri (UIN).
3. Kepada para mahasiswa yang hendak melakukan penelitian, agar bisa
meneliti tentang kelembagaan negara Islam untuk memperkaya
literatur mengenai lembaga negara Islam.
4. Pembaca atau yang ingin meneliti mengenai konsep negara Islam
terutama tentang lembaga negara Islam yang dirancang oleh
organisasi-organisasi keislaman yang hendak mengusung negara Islam
atau negara Khilafah agar melakukan penelitian yang lebih mendalam
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri. Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum, Ciputat: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Al-Anshori, Zakaria. “Kampanye Konsep Kenegaraan Hizbut Tahrir Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, Jakarta: Darul Falah, 1999
Almujahid, A. Thoha Husein dan A. Atho’illah Fathoni Alkhalil. Kamus Akbar Bahasa Arab: Indonesia-Arab. Depok: Gema Insani, 2013
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2015.
Cresswell, John W. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Penerjemah Achmad Fawaid. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Daryono, Setyabudi. “Konsep Struktur Khilafah Menurut Taqiyuddin Al-Nabhani.” Tesis S2 Program Pasca Sarjana. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. 2011
Dengel, Holk H. Darul—Islam: Kartosuwirjo Kampf um einen islamischen Staat Indonesien. Penerjemah Tim Pustaka Sinar Harapan. Darul Islam-NII dan Kartosuwirjo Langkah Perwujudan Angan-Angan Yang Gagal. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995
Djazuli, H. A. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2013, Cet 5.
Eddyono, Luthfi Widagdo. “Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, 3, (2010), h., 1-47
67
68
Ernawati. “Analisis Wacana Konferensi Khilafah Internasional 2007 dalam Majalah Al-Wa’ie No. 85, Tahun VII, 1-30 September 2007.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Fahri, Ahmad. “Darul Islam Aceh: 1953-1962: Telaah Terhadap Akar Masalah Pemberontakan.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005
Firdaus, Robitul. “Pemisahan Kekuasaan dan Organisasi Negara Dalam Sistem Pemerintahan Islam: Studi Komparatif terhadap Dustur al-Islamiy Hizbut Tahrir dan Qanun Asasi NII.” Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010
Gaffar, Janedjri M. “Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” Makalah disampaikan pada acara Diklat Kepemimpinan Tk. II Angkatan XXII Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta, 22 April Indonesia
Kartosoewirjo, S.M. Haluan Politik Islam. Bandung: Sega Arsy, 2015
Lubis, Erni Sari Dwi Devi dan Ma’arif Jamuin, “Infiltrasi Pemikiran dan Gerakan HTI di Indonesia” Suhuf, Vol. 27, 2 (2015), h., 158-168
Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Kencana, 2011
Maududi, Abul A’la Al. al-Khilafah Wal Mulk. Penerjemah Muhammad al-Baqir. Khilafah Dan Kerajaan. Bandung: Penerbit Karisma, 2007
Mawardi, Al. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Penerjemah Khalifurrahman Fath dan Fathurrahman, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, Jakarta: Qisthi Press, 2015)
Mulkhan, Abdul Munir dan Bilveer Singh. Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-11: Dilema Politik Islam dalam Peradaban Modern. Jakarta: Kompas, 2011
Mulhendri, “Perbandingan Sistem Khilafah Antara Taqiyuddin An-Nabhani dan Abu A’la Al-Maududi.” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Seni Budaya. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009
Mu’min, Ma’mun. “Pemikiran Hukum Tata Negara Fazlur Rahman.” Yudisia, Vol. 5, 2, (2014), h., 236-257
Nabhani, Taqiyuddin Al. At-Takatul al-Hizbiy, Penerjemah Zakaria dkk, Pembentukan Partai Politik Islam, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2013, Cet. 6.
69
--------------. Mafahim Hizbut Tahrir, Penerjemah Abdullah, Mafahim Hizbut Tahrir, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007, Cet 3.
--------------. Nizham al-Islam, Penerjemah Abu Amin dkk, Peraturan Hidup Dalam Islam, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2006
--------------. Ad-Daulah Al-Islamiyah. Penerjemah Umar Faruq dkk. Daulah Islam. Jakarta: HTI-Press, 2009, Cet 4.
Nashir, Haedar. Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 2013
Nurtjahyo, Hendra. “Lembaga, Badan, dan Komisi Negara Independen (State Auxiliary Agencies) di Indonesia: Tinjauan Hukum Tata Negara”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 35, 3, (2005), h., 275-287
Rafiuddin, Mohamad “Mengenal Hizbut Tahrir: Studi Analisis Ideologi Hizbut Tahrir vis a vis NU”, Islamuna, Vol. 2, 1 (2015), h., 29-55
Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik, Tokoh-tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum dari Zaman Yunani Kuno sampai Abad 20, Bandung: Penerbit Nuansa, 2010
Rohman, Abdul. “Pandangan Nahdhatul Ulama terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyyah.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
Ruslan, dkk. Mengapa Mereka Memberontak? Dedengkot Negara Islam Indonesia. Yogyakarta: Bio Pustaka, 2008
Santoso, M.H. Budi. Darul Islam Pemberontakan di Jawa Barat. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2013
Satibi, Iwan. “Perbandingan Sikap Antara Kelompok Hizbut Tahrir Indonesia dengan Kelompok Jaringan Islam Liberal Terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia.” Skripsi S1 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004
Shobron, Sudarno. “Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia”, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 15, 1 (2014), h., 44-62
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2011
Solahudin. NII sampai JI Salafy Jihadisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011
Syafi’ie, Inu Kencana. Ilmu Pemerintahan dan Al-Qur’an. Jakarta: Bumi Aksara, 1995
70
Syarif, Mujar Ibnu dan Khamami Zada. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Erlangga, 2008
Topan, Muhammad. “Kekuasaan Menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam Tinjauan Etika Politik”, Jurnal Filsafat, Vol. 23, 2 (2013), h., 147-157
van Dijk, Cornelis. Rebellion Under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia. Penerjemah Pustaka Utama Grafiti. Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993
Widianto, Nur. “Sistem Khilafah menurut Taqiyuddin An-Nabhani (1909 M- 1977 M).” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Ilmu Budaya. Universitas Islama Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015
Zada, Khamami dan Arief R Arofah. Diskursus Politik Islam. Ciputat: LSIP, 2004