Download - KNF
Karsinoma Nasofaring
KARSINOMA NASOFARING
1. Pendahuluan
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas (kanker) yang berasal dari sel
epitel nasofaring, bagian atas tenggorokan belakang hidung dan dekat dengan dasar
tengkorak. Kejadian KNF masih jarang di temukan di dunia, sekitar 1% dari seluruh
keganasan pada anak. Namun di Indonesia, karsinoma nasofaring (KNF) merupakan
kanker daerah kepala leher dengan prevalensi terbanyak. Hampir 60% tumor ganas kepala
dan leher di Indonesia merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor
ganas hidung dan paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil dan hipofaring
dalam persentase yang sedikit.
Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang mempunyai struktur berbentuk
kuboid. Banyak terdapat struktur anatomis penting di sekitarnya. Banyak syaraf kranial
yang berada di dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai
darah. Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari kanker
tersebut.
Universitas kristen indonesia 1
Karsinoma Nasofaring
2. Epidemiologi
Di Indonesia, 60% tumor ganas kepala leher adalah KNF dan menduduki urutan kelima
dari seluruh keganasan setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, kelenjar getah bening,
dan kulit. Di Amerika dan Eropa, prevalensi KNF sangat sedikit yaitu 0,5 per 100.000
penduduk per tahun dan hanya 1–2% dari seluruh tumor ganas kepala dan leher.
Sebaliknya China Selatan dan Hongkong memiliki prevalensi KNF yang tinggi yaitu 50
per 100.000 penduduk per tahun.
3. Etiologi
Penyebab karsinoma nasoaring (KNF) secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu genetik,
lingkungan dan virus Ebstein Barr.
1. Genetik
Universitas kristen indonesia 2
Gambar 1. anatomi sistem resprasi bagian atas
Karsinoma Nasofaring
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol.
Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan
kehilangan sel-sel somatik. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa HLA (Human
Leucocyteantigen) berperan penting dalam kejadian KNF. Teori tersebut didukung dengan
adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker
nasofaring banyak ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa. Tumor ini lebih sering
ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan apa sebabnya belum dapat
diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan
hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada
daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF
meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF
meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun
setelahnya.
2. Virus
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker
nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi
sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab
beberapa penyakit. Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF
telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang
peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi
IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan
tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit
keganasan lainnya yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan
kanker nasofaring, bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa
menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak
Universitas kristen indonesia 3
Karsinoma Nasofaring
cukup untuk menimbulkan proses keganasan. Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap
tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk
mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu
lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.
3. Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya kanker
nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi pada nelayan
tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton (ikan asin yang dimasak dengan
gaya Kanton/Cantonese-style salted fish) dalam jumlah yang besar serta waktu yang lama dan
kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar. Di dalam ikan yang diawetkan
dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan
percobaan. Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah debu,
asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu hinese, dan obat-obatan
tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring
belum dapat dijelaskan.
Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (hinese herbal
medicine atau CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya
kanker nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB Bebebrapa
tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yg laten. Seperti pada
TPA ( Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan tumbuhan jika
dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupakan produk dari bakteri anaerob yang
ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya
transformasi cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF.
Universitas kristen indonesia 4
Karsinoma Nasofaring
Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko yang tinggi
menderita kanker nasofaring.
Universitas kristen indonesia 5
Karsinoma Nasofaring
4. Patogenesis
Secara umum patogenesis KNF pada awalnya ditandai oleh lesi displastik
akibat dari karsinogen lingkungan dan pada ras Cina lebih mudah terkena karena ada
faktor genetik tertentu. Kemudian karena adanya infeksi laten EBV, lesi tersebut
berkembang ke arah keganasan. Keganasan ini akhirnya menyebabkan KNF yang
bersifat invasif dan ditandai dengan adanya metastasis atau penyebaran sel kanker ke
organ yang jauh.
Gambar 1. Pathogenesis karsinoma nasofaring (KNF)
Selain itu perjalanan patogenesis karsinoma nasofaring tergantung banyak faktor yang
diduga yaitu adanya infeksi EBV, faktor lingkungan, dan genetik.
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Virus Epstein-Barr bereplikasi
dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi
pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai
Universitas kristen indonesia 6
Karsinoma Nasofaring
infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen
komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV
berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan
selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini
mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan
dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya
EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin
Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus
mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan
kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel
yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat
sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan
virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada
ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada
ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF
(tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel
B dan menghambat respon imun lokal.
Universitas kristen indonesia 7
Karsinoma Nasofaring
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol
dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human
leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan
adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung
jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai
daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan
lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-
nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor
karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena
paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui
faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
5. Diagnosis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita kanker nasofaring.
Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering
yang menyebabkan penderita kanker nasofaring berobat. Gejala hidung, telinga,
gangguan neurologi juga sering dikeluhkan penderita kanker nasofaring. Untuk
menegakkan diagnosis, selain keluhan tersebut, juga perlu dilakukan pemeriksaan klinis
dengan melihat secara langsung dinding nasofaring dengan alat endoskopi, CT scan, atau
Universitas kristen indonesia 8
Karsinoma Nasofaring
MRI nasofaring dan sekitarnya. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi
nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.
Pemeriksaan lain seperti foto paru, USG hati, pemindaian tulang dengan radioisotop
dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya metastasis di organ-organ tersebut.
A. Stadium
Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium kanker nasofaring. Di Amerika
dan Eropa lebih disukai penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
AJCC / UICC (American Joint Committe on Cancer / International Union Against
Cancer). Cara penentuan stadium kanker nasofaring yang terbaru adalah menurut
AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu:
Tumor di nasofaring (T)
Tx
To
Tis
T1
T2
T2a
T2b
T3
T4
Tumor primer tidak dapat ditentukan
Tidak ditemukan adanya tumor primer
Carcinoma in situ
Tumor terbatas di nasofaring
Tumor meluas ke jaringan lunak
Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa perluasan
ke depan parafaring
Dengan perluasan ke parafaring
Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang mastikator
Kelenjar limfe regional (N)
Universitas kristen indonesia 9
Karsinoma Nasofaring
Nx
No
N1
N2
N3
Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan
Tidak ada pembesaran KGB regional
Metastasis ke KGB unilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
Metastasis ke KGB bilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa
supraklavikula
Metastasis ke KGB:
N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3b : Terletak pada fossa supraklavikula
Metastasis jauh (M)
Mx
Mo
M1
Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
Tidak ada metastasis jauh
Ada metastasis jauh
Stadium kanker nasofaring menurun sistem TNM:
0 : Tis No Mo
I : T1 No Mo
IIa : T2a No Mo
IIb : T1-2a N1 Mo, T2b No-1 Mo
III : T1-2b N2 Mo, T3 No-2 Mo
Iva T4 No-2 Mo
IVb : Semua T N3 Mo
IVc : Semua T No-3 M1
Universitas kristen indonesia 10
Karsinoma Nasofaring
B. Gejala
Pada awalnya pasien mengeluh pilek biasa, kadang-kadang disertai dengan
rasa tidak nyaman di telinga, pendengaran sedikit menurun serta mendesing. Gejala
karsinoma nasofaring ini dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring
sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher.
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan pada hidung. Pada
keadaan lanjut hidung akan menjadi mampet sebelah atau keduanya. Penjalaran tumor
ke selaput lendir hidung dapat mencederai dinding pembuluh darah pada daerah ini
dan tentunya akan terjadi pendarahan pada hidung (mimisan).
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba eustachius (fossa Rosenmuller). Keluhan ini dapat berupa
tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Nasofaring
berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka
gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma nasofaring
ini. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf penggerak bola mata, sehingga tidak
jarang pasien mengeluhkan adanya gejala diplopia (penglihatan ganda).
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher biasanya yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
Manakala pasien merasa bahwa kelenjar leher menjadi semakin besar, maka dapat
dipastikan bahwa penyakitnya telah menjadi kian lanjut. Pembesaran kelenjar leher
merupakan pertanda penyebaran kanker nasofaring ke daerah ini yang tidak jarang
didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar.
Universitas kristen indonesia 11
Karsinoma Nasofaring
6. TERAPI
Radioterapi merupakan terapi standar dari kanker nasofaring. Radioterapi juga dapat
dilakukan bersamaan dengan kemoterapi dan atau pembedahan, ataupun dilakukan
ketiga-tiganya. Radioterapi mencegah pertumbuhan dan pembelahan sel dengan sangat
cepat. Radioterapi berbeda dengan radiologi, dimana radiologi hanya sebagai alat bantu
untuk menegakkan diagnosa sedangkan radioterapi sebagai metode pengobatan.
Pengobatan tambahan yang dapat diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian
tetrasiklin, kemoterapi, seroterapi, vaksin, dan anti virus.
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitocmycin C dan 5-fluorourcil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radiosenstizer” memperlihatkan hasil yang
memberi harapan akan kesembuhan total asien karsinoma nasofaring. Pengobatan
pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan leher yang tidak
menghilang dengan penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai,
tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan
radiologic dan serologi, serta tidak ditemukan adanya memtastasis jauh. Operasi tuor
induk sisa atau kambuh diindikasikan ,tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat
operasi.
Perawatan paliatif
Pada pasien dengan pengibatan radiasi sering ditemukan keluhan rasa kering di mulut.
Hal ini disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang
dapat dilakukan selain measihati pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa
minuman kemana pun pergi, dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa
asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah leher, karena fibrosis
Universitas kristen indonesia 12
Karsinoma Nasofaring
jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, dan kadang-kadang
muntah atau rasa mual.
Kesulitan yang muncul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap di mana
tumor tetap ada (residu) atau kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh
pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut di atas
tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawatan paliatif diindikasikan langsung terhadap
pengurangan rasa nyeri, mengontrol gejala dan memperpanjang usia. Radiasi sangat
efektif untuk mengurangi nyeri akibat metastasis tulang. Pasien akhirnya meninggal
akibat keadaan umum yang buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak
dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.
PENCEGAHAN
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah risiko tinggi ke tempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk
mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan berbahaya, penyuluhan mengenai lingkungan
hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan social-ekonomi dan berbagai hal yang
berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Universitas kristen indonesia 13
Karsinoma Nasofaring
PENUTUP
Penyakit karsinoma merupakan penyakit yang relatif jarang muncul, namun
merupakan penyakit kegaasan yang memiliki prognosis yang cukup buruk, sehingga perlu
dilakukan beberapa upaya pencegahan diantaranya dengan meakukan vaksinasi. Terapi
yag dilakukan pada pasien KNF juga harusdi follow up untuk mengevaluasi keberhasilan
terapi yang dilakukan.
Universitas kristen indonesia 14
Karsinoma Nasofaring
DAFTAR PUSTAKA
1. National Comprehensive Cancer Network (NCCN). NCCN Clinical Practice
Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines) : Head and Neck Cancers Version
2.2013. NCCN; 2013. Diakses tanggal 08 Juni 2014
<http://oralcancerfoundation.org/treatment/pdf/head-and-neck.pdf>
2. American cancer society. Nasopharyngeal cancer. American Cancer Society; 2013.
Diakses tanggal 08 Juni 2014
<http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf>
3. Soepardi EA, Iskandar N, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
4. Titcomb C P. High incidence of nasopharyngeal carcinoma in Asia. J Insur Med.
2001; 33: 235-8.
5. Cottrill CP, Nutting CM. Tumors at The Nasopharynx. In: Principles and Practice of
Head and Neck Oncology. London: Martin Dunitz; 2003. p. 193–214.
6. Susworo R. Kanker nasofaring epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Cermin Dunia
Kedokteran. 2004; 144: 16-9.
7. Satyanarayana, K [Editor]. Epidemiological and etiological factors associated with
nasopharyngeal carcinoma. ICMR bulletin, Vol.33 no.9; 2003.
8. Thompson M P, Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer. Clinical Cancer
Research. 2004; 10: 803-21.
9. Roezin A dan Adham M. Karsinoma nasofaring, pada telinga hidung tenggorok pada
kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007: 182-7.
Universitas kristen indonesia 15
Karsinoma Nasofaring
10. Chan A T C, Teo P M L, Johnson P J. Nasopharyngeal carcinoma. Annals of
oncology. 2002; 13: 1007-15
11. Lee A W M, Ko W M, dkk. Nasopharyngeal carcinoma-time lapse before diagnosis
and treatment. HKMJ. 1998; 4: 132-6.
12. Volpato L E R, Silva T C, Oliveira T M, Sakai V T, Machado M A. Radiation therapy
and chemotherapi-induced oral mucositis. Rev Bras Otorrinolaringol. 2007; 73(4):
562-68.
Universitas kristen indonesia 16