i
KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Farhan Bestyardi
NIM: 109048000055
Pembimbing
NIP. 196911211994031001
KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435H/2014M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP
PEMBATALAN PERATURAN DAERAH telah diujikan dalam Sidang Munaqosah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 23 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 23 Januari 2014
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Januari 2014
iv
ABSTRAK
FARHAN BESTYARDI. NIM 109048000055. KEWENANGAN PEMERINTAH
PUSAT TERHADAP PEMBATALAN PERATURAN DAERAH. Program Studi
Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434H/2013M.
penelitian ini menganalisis kewenangan pemerintah pusat dalam pembatalan
peraturan daerah dan menganalisis produk hukum atau lembaga yang memiliki
wewenang terhadap pembatalan peraturan daerah. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat baik secara ilmiah yakni dalam studi ilmu hukum dan secara
praktis maupun akademis yakni sebagai masukan bagi penulis maupun pihak-pihak
yang memiliki keinginan untuk menganalisis kasus kewenangan yang dimiliki
pemerintah pusat dalam pembatalan peraturan daerah. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan (library
research) yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-
norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan, literatur, pendapat
ahli, makalah-makalah dan lainnya. Dalam studi kepustakaan, penulis menganalisis
permasalahan dalam pengujian perda oleh pemerintah. Dalam Pasal 145 ayat (3)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan
pembatalan peraturan daerah hanya dengan peraturan presiden. Namun dalam pasal
185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 menyatakan bahwa perda dapat dibatalkan oleh
Menteri Dalam Negeri.
Kata Kunci : Peraturan Daerah, Pembatalan, Pengawasan, Mendagri,
Peraturan Presiden
Pembimbing : Drs. H. Asep Syarifuddin, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d Tahun 2013
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, dengan berkah rahmat, nikmat
serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH.”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada suri
tauladan umat, Nabi besar kita Muhammad SAW, yang telah memberikan pengaruh
besar terhadap umat manusia, beliaulah yang telah merubah umat manusia dari zaman
kelam menuju zaman yang berakhlak dan beradab.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3. Drs. H. Asep Syarifuddin, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing yang telah
bersedia memberikan saran, kritik, bantuan, dan arahan selama saya menyusun
dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas waktu dan pikiran yang telah
diberikan untuk membimbing saya.
4. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Fajri Hidayat dan Ibunda Titin Nuraeni, yang
selalu mengirimkan doa dan mencurahkan kasih sayangnya, serta memberikan
bantuan baik moril juga materiil dalam penyusunan skripsi ini.
5. Kakak-kakak dan adik saya yang memberikan semangat dan kebersamaan ketika
di rumah untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu
yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
7. Sahabat-sahabat penulis seperjuangan semasa kuliah di Ilmu Hukum Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yaitu Abiyudin, Arif, Roma,
Maulana, Muchtar, Saddam, Zaki, Gagat, Ihsan, Imam Machdi, Zakim, Agung,
Syamsul, Daus, Aldo dan seluruh mahasiswa UIN Jakarta Khususnya prodi Ilmu
Hukum 2009, PSM dan HMI terima kasih atas bantuan, motivasi, dan saran-
sarannya selama penulis menimba ilmu.
vii
8. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amin).
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-besarnya
apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang kurang berkenan bagi
pihak-pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Sekian dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Jakarta, Januari 2014
Farhan Bestyardi
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
LAMPIRAN ............................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ................................................................. 9
E. Kerangka Konseptual ........................................................................ 10
F. Metode Penelitian ............................................................................. 11
G. Sistematika Penelitian ....................................................................... 14
BAB II PEMBENTUKAN, FUNGSI DAN MUATAN PERATURAN
DAERAH .............................................................................................. 16
A. Pengertian Peraturan Daerah ............................................................ 16
B. Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Daerah ................................... 23
ix
C. Pembentukan Peraturan Daerah dan Kedudukannya ........................ 25
BAB III KEWENANGAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH ....... 31
A. Tinjauan Umum Keputusan Menteri ................................................ 31
B. Tinjauan Umum Peraturan Presiden ................................................. 36
C. Bentuk Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah ............................. 40
D. Pengawasan Peraturan Daerah di Indonesia ..................................... 47
E. Pengujian Peraturan Daerah Oleh Mahkamah Agung ...................... 52
BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DALAM
PENGAWASAN DAN PEMBATALAN PERATURAN
DAERAH .............................................................................................. 55
A. Kewenangan Menteri Dalam Negeri Dalam Pengawasan dan
Pembatalan Peraturan Daerah.. ......................................................... 55
B. Analisis Hubungan Kewenangan Menteri Dalam Negeri Dengan
Peraturan Presiden Dalam Pembatalan Peraturan Daerah.. .............. 59
C. Analisis Peraturan Presiden dalam Pembatalan Peraturan Daerah .. 67
D. Produk Hukum/Lembaga Yang Berwenang Dalam Pembatalan
Peraturan Daerah ............................................................................. 70
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 75
A. Kesimpulan ....................................................................................... 75
B. Saran ................................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) disebutkan “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Dan pada ayat 6
disebutkan bahwa “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
Penjelasan Pasal 18 UUD NRI 1945 menerangkan bahwa karena Negara
Indonesia itu adalah suatu negara kesatuan, Indonesia tidak akan mempunyai daerah
didalam lingkungannya yang juga berbentuk negara. Wilayah Indonesia dibagi
menjadi daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi pula menjadi
kabupaten/kota. Daerah-daerah itu bersifat otonom, semuanya menurut aturan yang
akan ditetapkan dengan undang-undang.1
Keberhasilan otonomi daerah bergantung pada pemerintahan daerah yang
didalamnya terdapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD)
dan Kepala Daerah dan perangkat daerah serta masyarakatnya, juga ketentuan-
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan sarana dan
prasarana serta dana/pembiayaan yang terbatas secara efisien, efektif dan
professional. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu
1 C.S.T Kansil, Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Hukum Administratif Daerah, Cet-12,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 3
1
2
ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan
pemerintahan dan atau pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah,
peluang dan tantangan persaingan global,2 dengan memberikan kewenangan yang
seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Sebagai daerah otonom, pemerintah daerah berwenang untuk membuat
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, guna menyelenggarakan urusan
otonomi daerah dan tugas pembantuan. Peraturan daerah (selanjutnya disebut perda)
ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Subtansi
atau materi muatan perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah
dan subtansi materi tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.3
Perda ini jika dilihat dari muatannya memiliki fleksibilitas yang sangat sempit
karena dilarang bertentangan dengan peraturan diatasnya yang bersifat nasional yang
sangat banyak jumlahnya. Dalam hal pembentukan perda, DPRD dan Gubernur atau
2 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Cet-2, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008) h. 37
3 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006) h. 37
3
Bupati/Walikota berhak memberikan rancangan peraturan daerah. Rancangan
peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau Bupati/Walikota.
Program penyusunan perda dilakukan dalam satu Program Legislasi Daerah
(selanjutnya disebut Prolegda), sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih
dalam penyiapan satu materi perda. Ada berbagai jenis perda yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota antara lain:
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Tata Ruang Wilayah Daerah;
d. APBD;
e. Rencana Program Jangka Menengah Daerah;
f. Perangkat Daerah;
g. Pemerintahan Desa;
h. Pengaturan umum lainnya 4
Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah pemerintah pusat berwenang
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan pengawasan dimaksudkan agar
kewenangan daerah otonom dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah
kepada kedaulatan. Disamping pemerintahan daerah merupakan subsistem dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit pembinaan dan pengawasan
terhadap pemerintah daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan
negara, maka harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan
4 S. Bambang Setyadi, Pembentukan Peraturan Daerah, (Yogyakarta: Buletin Hukum
Perbankan dan Kebanksentralan Vol, 5 Nomor 2, 2007) h. 2
4
perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sejak otonomi daerah digulirkan, sudah ribuan perda dibuat oleh pemerintah
daerah baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, dan sudah banyak pula perda
yang telah dibatalkan, karena perda-perda tersebut dianggap bermasalah dan
berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah-daerah serta juga
membebani masyarakat dan lingkungan.5
Terkait dengan banyaknya perda yang dianggap bermasalah baik karena
menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan
berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya, sebagai
instrumen hukum negara, dalam logika deduktif tertutup perangkat hukum sudah
dibuat mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang
ditimbulkan dari suatu peraturan.
Mekanisme penyelesaian konflik peraturan ini dilakukan lewat pengujian
peraturan perundang-undangan tersebut. Perda yang dianggap bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dikenal dua model kewenangan pengawasan, yaitu judicial review
oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah.6
5 Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter
Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Cet-1, (Jakarta: HuMa, Seri
Pengembangan Wacana, Nomor 1, 2002) h. 16
6 Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD
1945, Cet-1 (Malang: Universitas Negeri Malang, UM Press, 2007) h.76-77
5
Disini penulis akan membahas lebih banyak tentang model pengujian yang
kedua yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau yang lebih dikenal dengan istilah
executive review. Dalam hal pengawasan terhadap daerah, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberi perintah bahwa perda yang
dibuat oleh DPRD bersama kepala daerah agar disampaikan kepada pemerintah
paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Terkait dengan pembatalan perda, Pasal
136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan bahwa :
“Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.” Kemudian Pasal 145 ayat (2)
menyebutkan “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
pemerintah.” Ayat (3) menyebutkan “Keputusan pembatalan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden
paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”.
Dalam hal ini, terdapat permasalahan dalam pengujian perda oleh pemerintah
adalah masalah bentuk hukum pembatalan perda. Bentuk hukum pembatalan perda
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah dengan Peraturan Presiden. Namun
banyak dalam pembatalan perda sepanjang ini dilakukan dengan menggunakan
Keputusan/Peraturan Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut
Kepmendagri/Permendagri). Dengan demikian, pembatalan perda melalui
Kepmendagri/Permendagri merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu
6
terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan perda harus dalam bentuk
Peraturan Presiden bukan Kepmendagri sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal
145 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Selanjutnya terdapat masalah lain dalam hal pembatalan perda ini yakni,
dalam pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 yang menyatakan bahwa perda
tentang APBD, Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang daerah dibatalkan
oleh Menteri Dalam Negeri (selanjutnya disebut Mendagri) yang sekarang banyak
menggunakan Kepmendagri/Permendagri. Tentu saja hal ini bertentangan dengan
pasal sebelumnya, yakni pasal 145 ayat (3) yang memberikan wewenang pembatalan
perda hanyalah dengan menggunakan Peraturan Presiden. Karena permasalahan yang
terdapat pada saat ini, penulis serius untuk mengkaji dan menganalisis terkait
permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya.
Dalam permasalahan ini penulis lebih fokus meneliti pada kewenangan
pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden dan Kepmendagri/Permendagri dalam
pengawasan dan pembatalan peraturan-peraturan daerah tingkat provinsi dan
kabupaten/kota di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang
telah dipaparkan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam
skripsi ini dengan judul “KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP
PEMBATALAN PERATURAN DAERAH”
7
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian skripsi ini, penulis membatasi penelitian hanya
membahas mengenai kewenangan pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden
dan Kepmendagri/Permendagri dalam memutuskan pembatalan peraturan-
peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan didalam kewenangan
pemerintah pusat terhadap pembatalan peraturan daerah, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam memutuskan keputusan
terhadap pembatalan peraturan-peraturan daerah di Indonesia?
b. Bagaimanakah penerapan pasal 145 ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembatalan Perda Ditetapkan
dengan Peraturan Presiden?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan diatas penelitian ini
bertujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis kewenangan pemerintah pusat
dalam pembatalan perda. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan:
8
a. Untuk menganalisa bagaimana kewenangan yang dimiliki Menteri Dalam
Negeri untuk memutuskan keputusan terhadap pembatalan perda.
b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan pasal 145 ayat 3 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah bahwa pembatalan Perda
Ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
2. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
analisis yang dilakukan terhadap pemerintah pusat dalam pembatalan
peraturan daerah yang ditinjau dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2) Memperkaya khazanah penelitian ilmiah dan ilmu hukum Kelembagaan
Negara.
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini, yaitu :
1) Bagi Akademis
Dapat menambah pengalaman dan pengetahuan yang kelak dapat
diterapkan dalam dunia nyata sebagai bentuk partisipasi dalam
pembangunan negara dan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila
9
dan UUD 1945 serta dalam kehidupan bangsa sebagai bagian dari
masyarakat internasional.
2) Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat untuk
mengetahui tata cara pembatalan peraturan daerah sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3) Bagi Pemerintah
Dapat memberikan masukan kepada pemerintah pusat agar memahami
sejauh mana kewenangan-kewenangannya dalam pembatalan perda.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam penelitian atau pembuatan skripsi terkadang ada tema yang berkaitan
dengan penelitian yang kita jalankan sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda.
Dari penelitian ini, penulis menemukan penelitian lain, Yaitu: Skripsi yang dibuat
oleh Yance Arizona yang berjudul Disparitas Pengujian Peraturan Daerah oleh
Pemerintah Pusat dan Mahkamah Agung, Fakultas Hukum Andalas 2007. Skripsi ini
menganalisis perbandingan pengujian dan pembatalan peraturan daerah oleh
pemerintah pusat dan Mahkamah Agung, perbedaan penelitian Yance Arizona
dengan penulis terletak pada materi yang dikaji, dimana penulis lebih fokus
menganalisis tentang kewenangan pemerintah pusat dalam membatalkan peraturan
daerah.
10
E. Kerangka Konseptual
Kerangka konsepsional adalah kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan
gejala yang akan diteliti tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala
biasanya dinamakan fakta sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubungan-
hubungan dalam fakta tersebut.7 Penulisan skripsi ini mengunakan definisi
operasional dan teori sebagai berikut :
1. Peraturan Daerah
Peraturan daerah adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah
kabupaten/kota yang dibentuk oleh DPRD dengan Kepala Daerah Provinsi
dan/atau Kabupaten/Kota.
2. Keputusan Menteri Dalam Negeri
Keputusan Menteri Dalam Negeri merupakan putusan yang dikeluarkan oleh
Menteri Dalam Negeri sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
3. Peraturan Presiden
Peraturan presiden merupakan sebuah pengaturan yang dilakukan presiden tanpa
memerlukan persetujuan DPR, yang merupakan bagian dari tugas dan fungsi
pemerintahan
7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 132
11
4. Teori Hans Kelsen
Norma-norma hukum berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki
(tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis
dan fiktif yaitu norma dasar (Grundnorm). 8
5. Teori Hans Nawiasky
Norma hukum suatu Negara berkelompok-kelompok dan pengelompokan hukum
dalam suatu Negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu:
a) Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
b) Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara)
c) Formell Gesetz (Undang-undang „formal‟)
d) Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom)9
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kepustakaan (library research), yang bersifat yuridis normatif,
yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang ada dalam
8
Hans Kelsen, lihat Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan
(Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2011) h. 41
9 Hans Nawiasky, lihat Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan
(Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet-5, (Yogyakarta: Kanisius, 2011) h. 44-45
12
peraturan perundang-udangan, literatur, pendapat ahli, makalah-makalah dan hasil
penelitian yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat dalam
memberikan putusan pembatalan peraturan daerah. Sumber data yang
dikumpulkan berupa data sekunder yaitu data yang telah dalam keadaan siap
pakai bentuknya dan isinya telah disusun oleh penulis terlebih dahulu dan dapat
diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.10
Contohnya seperti artikel ilmiah dan
bahan-bahan dari internet.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam skripsi ini dengan tipe penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah
Pendekatan Perundang-Undangan (Statute approach) dan Pendekatan Kasus
(Case approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach), diterapkan
guna memahami bagaimana pembatalan peraturan daerah sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pendekatan Kasus
(Case approach) diterapkan dalam mengamati telaah beberapa kasus pembatalan
perda yang dibatalkan dengan peraturan perundangan yang sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Serta beberapa kasus yang relevan dengan
isu hukum yang telah di pecahkan.
10
Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT . Raja Grafindo, 1994) h. 37
13
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mencakup ketentuan-
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai kekuasaan
hukum yang mengikat.11
Bahan hukum yang digunakan penulis merupakan
bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran
buku-buku dan artikel-artikel12
yang berkaitan dengan penelitian ini, yang
memberikan penjelasan mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah buku-
buku, skripsi, tesis, dan disertasi serta artikel ilmiah dan tulisan di internet
mengenai pembatalan peraturan daerah.
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 52
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 52
14
c. Bahan non-hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna
terhadap bahan hukum primer dan sekunder,13
seperti Kamus Hukum, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan lain-lain.
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga
ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah,
dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui
bagaimana kewenangan pemerintah pusat terhadap pembatalan peraturan daerah.
G. Sistematika Penelitian
Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-
masing bab terdiri dari atas beberapa sub bab guna lebih memperjelaskan ruang
lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Penulisan skripsi ini mengacu pada
buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan
Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2012. Adapun urutan dan
tata letak masing masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut.
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet-3, (Jakarta : UI Press, 1986) h. 52
15
BAB I : Pendahuluan, memuat: Latar Belakang, dilanjutkan dengan Batasan
dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
Kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : Tinjauan Umum Peraturan Daerah. Bab ini membahas Pengertian,
Fungsi, Materi Muatan, Pembentukan dan Kedudukan Perda Dalam
Hierarki Peraturan Perundang-undangan.
BAB III : Tinjauan Umum tentang Fungsi, Muatan, dan Kedudukan
Keputusan Menteri dan Peraturan Presiden, dan Membahas Bentuk
Pengawasan Peraturan Daerah.
BAB IV : Analisa Yuridis Terhadap Kepmendagri dan Peraturan Presiden
terhadap Pembatalan Perda. Juga Membahas Produk Hukum yang
Berwenang Pembatalan Peraturan Daerah di Indonesia.
BAB V : Penutup. Dalam bab penulis menarik beberapa kesimpulan dari
hasil penelitian, disamping itu penulis menengahkan beberapa saran
yang dianggap perlu.
16
16
BAB II
PEMBENTUKAN, FUNGSI DAN MUATAN PERATURAN DAERAH
A. Pengertian Peraturan Daerah
1. Pengertian Peraturan Daerah
Perda merupakan peraturan yang ditetapkan oleh kepala daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD. Dibentuknya perda merupakan salah satu
rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas
pembantuan dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.14
Perda yang dibuat oleh satu daerah, tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, dan baru mempunyai kekuatan mengikat setelah diundangkan
dengan dimuat dalam lembaran daerah.15
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama
antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat dua pengertian tentang
perda, yakni peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota.
14 B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita, Cet-2 (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2010) h. 156
15
Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, Cet-1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005) h. 131
17
Peraturan daerah provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh DPRD provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan
daerah kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
DPRD kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Dari segi pembentukan, perda ini menyerupai pembentukan undang-
undang, yaitu suatu produk hukum yang dibuat oleh presiden bersama-sama
Dewan Perwakilan Rakyat (Selanjutnya disebut DPR). Dari segi materi dan
wilayah berlakunya, undang-undang itu mengatur semua urusan publik baik
bersifat kenegaraan maupun pemerintahan dan berlaku secara nasional,
sedangkan materi perda hanya berkenaan dengan administrasi atau pemerintahan
dan hanya berlaku pada wilayah tertentu atau bersifat lokal.
Materi muatan perda mencakup semua urusan rumah tangga daerah baik
dalam rangka otonomi maupun atas dasar pembantuan, baik yang bersifat wajib
maupun pilihan sebagaimana ditentukan dalam pasal 13 dan 14 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Materi muatan perda itu
sangat banyak dan setiap saat dapat berkembang seiring dengan perkembangan
zaman. 16
16 Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet-1 (Jakarta: PT Pustaka
Mandiri, 2010) h. 103
18
2. Landasan Filosofis, Sosilogis, Yuridis dan Politis Peraturan Daerah
Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan di Indosesia,
perda dalam pembentukannya tunduk pada asas maupun teknik dalam
penyusunan perundang-undangan yang telah ditentukan. Hal yang sangat penting
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diantaranya adalah
menyangkut tentang landasannya. Landasan yang dimaksud disini adalah
pijakan, alasan atau latar belakang mengapa perundangan-undangan itu harus
dibuat. Menurut Bagir Manan ada 4 Landasan yang digunakan dalam menyusun
perundang-undangan agar menghasilkan perundang-undangan yang tangguh dan
berkualitas.17
a. Landasan Filosofis
Yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar suatu
rencana atau draft peraturan negara. Suatu rumusan perundang-undangan
harus mendapat pembenaran (recthvaardiging) yang dapat diterima dan dikaji
secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan
hidup maysarakat yaitu cita-cita kebenaran (idée der waarheid), cita-cita
keadilan (idée der grerecthsigheid) dan cita-cita kesusilaan (idée der
eedelijkheid).18
17 W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono, Legal Drafting Teori dan Teknik
Pembuatan Peraturan Daerah, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press, 2009) h. 13
18
Budiman N.P.D, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Cet-1, (Yogyakarta: UII Press,
2005) h. 33
19
Setiap negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar atau nilai-nilai
filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari segala sumber nilai
dalam kehidupan kenegaraan. Menurut Sooly Lubis, landasan filosofis dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu dasar filsafat atau
pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat
dan kebijaksanaan (pemerintah) ke dalam suatu rancangan atau draft
peraturan negara.19
Peraturan hukum (peraturan perundang-undangan) merupakan
pembadanan dari norma hukum/kaidah hukum dan merupakan sarana yang
paling lengkap untuk mengutarakan apa yang dikehendaki oleh norma hukum.
Peraturan hukum menggunakan sarana untuk menampilkan norrma hukum
sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat, dengan menggunakan konsep-
konsep/pengertian-pengertian untuk menyampaikan kehendaknya.20
Dengan demikian perundang-undangan dikatakan mempunyai
landasan filosofis (filosofis grondflag) apabila rumusannya mendapat
pembenaran yang dikaji secara filosofis. Dalam konteks negara Indonesia
yang menjadi induk dari landasan filosofis ini adalah Pancasila sebagai suatu
sistem nilai nasional bagi sistem kehidupan bernegara.
19 M. Sooly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Cet-1, (Bandung: Mandar
Maju, 1989) h. 7
20
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan
Merancang Peraturan Daerah, Cet-1, (Jakarta: Kencana, 2010) h. 17
20
b. Landasan Sosiologis
Yakni satu peraturan perundang-undangan yang dibuat harus dapat
dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kenyataan hidup. Ini berarti bahwa
hukum yang dibentuk harus sesuai dengan hukum yang hidup (the living law)
dalam masyarakat.21
Landasan sosiologis merupakan landasan yang terdiri
atas fakta-fakta yang merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat yang
mendorong perlunya pembuatan perundang-undangan (peraturan daerah),
yaitu bahwa ada sesuatu yang pada dasarnya dibutuhkan oleh masyarakat
sehingga perlu pengaturan.22
Sebagai contoh dibidang perikanan, salah satu instrument pengaturan
adalah perizinan perikanan. Dalam hubungan ini dibuatlah perda untuk
menghindari terjadinya penangkapan ikan yang melebihi penangkapan
semestinya, demikian pula penggunaan alat tangkap ikan yang tidak sesuai
dapat merusak sumber daya perikanan, sedangkan hal ini tidak dikehendaki
oleh masyarakat. Karenanya perlu dihindari dengan membuat peraturan
daerah tentang izin usaha perikanan.
Peraturan daerah tersebut mengatur berbagai hal agar sumber daya
perikanan tetap dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, dan bahkan
melalui pengaturan tersebut diharapkan dapat lebih menguntungkan
21 Rosyidi Ranggawidjaja, Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2010) h. 21
22
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan
Merancang Peraturan Daerah, Cet-1,(Jakarta: Kencana, 2010) h.25
21
masyarakat dan negara melalui usaha perikanan yang dalam ketentuannya
juga mengatur mengenai pungutan retribusi izin usaha perikanan.
Dalam kondisi demikian inilah maka perundang-undangan tidak
mungkin lepas dari gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. Dengan
melihat kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka
penyusunan suatu perundang-undangan maka tidak begitu banyak lagi
pengarahan institusi kekuasaan dalam melaksanakannya.
c. Landasan yuridis
Landasan yuridis atau landasan hukum yang menjadi landasan dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan, adalah peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan menjadi dasar kewenangan. Dari sini akan
diketahui, apakah seorang pejabat atau badan mempunyai kewenangan
membentuk peraturan itu atau apakah urusan yang diatur itu berada dibawah
kewenangan mengatur badan itu, serta apakah materi muatan yang akan diatur
menjadi kompetensi mengatur dari jenis peraturan yang akan dirancang.23
Landasan yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi sumber
hukum/dasar hukum untuk pembentukan suatu perundang-undangan.
Landasan yuridis pada pembentukan perda yakni mengacu pada pasal 18
UUD NRI 1945 yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah
23 Supardan Modoeng, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, (Jakarta: Perca, 2005) h. 64
22
untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lainnya demi
menjalankan otonomi dan tugas pembatuan.
d. Landasan Politis
Landasan politis adalah garis kebijakan politik yang menjadi dasar
selanjutnya bagi sebuah kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan
pemerintahan negara.24
Landasan merupakan “ruh” yang mengarahkan
kebijakan untuk memberi proteksi struktural dan kemasyarakatan guna
mencegah kemungkinan kekacauan sistem pada kebijakan publik dan
kegelisahan dalam masyarakat, baik dalam lingkup daerah maupun dalm
lingkup nasional.25
Hukum sebagai produk politik merupakan anggapan yang benar.
Norma peraturan perundang-undangan harus berlandaskan pada haluan politik
pemerintahan yang termuat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Hal ini
dapat diungkapkan pada garis politik seperti pada saat ini tertuang pada
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Program Legislasi Daerah
(Prolegda), dan juga kebijakan Program Pembangunan Nasioal (Propenas)
sebagai arah kebijakan pemerintah yang akan di laksanakan selama
pemerintahannya ke depan. Ini berarti memberi pengarahan dalam pembuatan
24 Jimly Asshiddiqie & M Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jederal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2012) h. 172
25
Supardan Modoeng, Teknik Perundang-undangan di Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Perca,
2005) h. 69-70
23
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh badan atau pejabat yang
berwenang.
B. Fungsi dan Materi Muatan Peraturan Daerah
1. Fungsi Peraturan Daerah
Fungsi perda merupakan fungsi yang bersifat atribusi yang diatur
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, terutama pasal 136, dan juga merupakan fungsi delegasian dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Fungsi perda adalah untuk
menyelenggarakan pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan dalam
rangka penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Adapun fungsi peraturan daerah ini, sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan.
b. Menyelenggarakan pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah.
c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan
kepentingan umum.
d. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Menurut Maria Farida Indrati S yang dimaksud tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi disini adalah
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di tingkat
pusat.26
26 Maria Farida Indrati Soeprapto Buku I. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 232
24
2. Materi Muatan Peraturan Daerah
Materi muatan perda merupakan materi muatan yang bersifat atribusian
maupun delegasian dari materi muatan undang-undang, atau keputusan presiden,
karena perda merupakan peraturan pelaksana undang-undang dan keputusan
presiden.27
Dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan bahwa materi muatan
peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan, juga menampung kondisi khusus daerah
serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kemudian dalam pasal 138 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa materi muatan perda itu
mengandung beberapa asas sebagai berikut:
a. Pengayoman
b. Kemanusiaan
c. Kebangsaan
d. Kekeluargaan
e. Kenusantaraan
f. Bineka tunggal ika
g. Keadilan
h. Kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i. Ketertiban dan kepastian hukum dan atau
j. Keseimbangan, keselarasan dan keserasian
27 HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Cet-1, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 132
25
Selanjutnya dalam ayat (2) menjelaskan bahwa selain asas yang
disebutkan di atas, perda dapat memuat asas yang lain asalkan sesuai dengan
substansi perda yang bersangkutan.
C. Pembentukan Peraturan Daerah dan Kedudukannya
1. Pembentukan Peraturan Daerah
Pembentukan perda sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa perencanaan
penyusunan perda dilakukan dalam Prolegda dengan judul Rancangan Peraturan
Daerah (Selanjutnya disebut raperda), dan tahapan sebagai berikut:
1) Penyusunan Prolegda
a. Penyusunan prolegda dilaksanakan oleh DPRD dan pemerintah daerah
untuk jangka waktu 1 (satu) tahun (prolegda dilakukan setiap tahun
sebelum penetapan raperda tentang APBD)
b. Penyusunan prolegda antara DPRD dan pemerintah daerah
dikoordinasikan oleh DPRD melalui alat kelengkapan DPRD yang khusus
menangani bidang legislasi.
c. Penyusunan prolegda di lingkungan DPRD dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi yang lebih
lanjut diatur dengan peraturan DPRD, begitu pula penyusunan di
lingkungan pemerintah daerah dikoordinasikan oleh biro hukum yang
lebih lanjut diatur dengan peraturan kepala daerah.
26
d. Hasil penyusunan disepakati menjadi Prolegda dan ditetapkan dalam rapat
paripurna DPRD dan ditetapkan dengan keputusan DPRD.
2) Penyusunan raperda
a. Raperda berasal dari DPRD atau kepala daerah dimana raperda tersebut
disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
b. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi raperda yang
berasal dari DPRD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang
khusus menangani bidang legislasi, dan yang berasal dari kepala daerah
dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi
vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum.
c. Penyusunan raperda yang berasal dari kepala daerah lebih lanjut diatur
dengan peraturan presiden dan raperda dapat juga diajukan oleh anggota
komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus
menangani bidang legislasi28
yang ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam
Peraturan DPRD.
d. Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan dengan surat pimpinan
DPRD kepada kepala daerah, dan yang disiapkan oleh kepala daerah
disampaikan dengan surat pengantar kepala daerah kepada pimpinan
DPRD.
28 Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Pada Pemerintahan Daerah,
Cet-1, (Yogyakarta: Pusat Studi FH UII, 2005) h. 71
27
e. Apabila dalam satu masa sidang DPRD dan kepala daerah menyampaikan
raperda dengan materi yang sama, maka yang dibahas adalah raperda dari
DPRD sedangkan raperda dari kepala daerah dijadikan untuk
dipersandingkan.
3) Pembahasan dan penetapan raperda
a. Pembahasan raperda dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah
dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan yang dilaksanakan dalam
rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD.
b. Raperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas oleh DPRD dan kepala
daerah sedangkan raperda yang sedang dibahas dapat ditarik hanya
dengan persetujuan bersama DPRD dan kepala daerah.
c. Raperda yang telah disetujui bersama, disampaikan oleh pimpinan DPRD
kepada kepala daerah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama untuk ditetapkan menjadi
peraturan daerah.
d. Raperda ditetapkan oleh kepala daerah dengan membubuhkan tanda
tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak raperda
tersebut disetujui oleh DPRD dan kepala daerah, jika tidak ditandatangani
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak disetujui bersama,
maka raperda tersebut sah menjadi peraturan daerah.
28
Lalu dalam hal penetapan perda H.A.W. Wijaya menambahkan bahwa
peraturan daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 29
Selanjutnya menurut Nomensen
Sinamo menjelaskan peraturan daerah dibentuk berdasarkan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
c. Kesesuaian antara jenis
d. Dapat dilaksanakan
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. Kejelasan rumusan dan
g. Keterbukaan30
2. Kedudukan Peraturan Daerah dalam Peraturan Perundang-undangan
Secara materiil, kedudukan perda dalam peraturan perundang-undangan
nasional selalu menempati kedudukan yang strategis dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, tetapi secara formal kedudukan perda belum diakui dalam
hierarki peraturan perundang-undangan baik pada masa awal kemerdekaan
maupun pada era demokrasi terpimpin. Hierarki peraturan perundang-undangan
mulai dikenal sejak dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1950 tentang
Peraturan Tentang Jenis dan Bentuk Peraturan.
29 HAW Wijaya, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU 32
2004, Cet-2, (Jakarta: PT Raja Grrafindo Persada, 2005) h. 244
30
Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan daerah di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Pustaka
Mandiri, 2010) h. 102
29
Dalam undang-undang ini belum dikenal perda dalam hierarki, justru
peraturan menteri merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan
yang berada dibawah peraturan pemerintah. Hal ini dapat dimengerti, mengingat
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 menganut sistem parlementer,
sehingga presiden hanya bertindak sebagai kepala negara dan tidak mempunyai
wewenang untuk membentuk keputusan yang bersifat mengatur.31
Dalam sistem hukum nasional, tata urutan perundang-undangan secara
positiefrechttelijk lebih lanjut diatur dalam Tap MPRS Nomor X/MPRS/1996
tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia.32
Tetapi didalamnya perda tidak termasuk dalam jenis peraturan
perundang-undangan.
Kedudukan perda dalam jenis dan hierarki perundang-undangan mulai
dikenal/diakui setelah ditetapkan Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.33
Dalam pasal 2
dirumuskan bahwa peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam
pembuatan hukum dibawahnya, yang meliputi: (1) UUD 1945, (2) Tap MPR, (3)
Undang-undang, (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, (5)
Peraturan Pemerintah, (6) Keputusan Presiden, (7) Peraturan Daerah. Dalam pasal
31 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I. Ilmu Perundang-undangan (Proses dan Teknik
Pembentukannya),Cet-1, (Yogyakarta: Kansius, 2007) h. 71
32
Engelbrecht. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-
van Hoeve, 2006) h. 54
33
Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-
van Hoeve, 2006) h. 24
30
3 butir 7 dirumuskan bahwa perda merupakan peraturan untuk melaksanakan
aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang
bersangkutan yang dibentuk oleh DPRD bersama kepala daerah.
Pasca perubahan UUD NRI 1945 dan setelah Tap MPR No I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR
Sementara dan Ketetapan MPR Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan
tahun 2002, kedudukan perda secara formal dalam peraturan perundang-undangan
nasional menempati posisi kuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selanjutnya setelah dirubahnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, disini perda menjadi dua bentuk pertama, perda provinsi
dan kedua perda kabupaten/kota. Dalam pasal 7 ayat (1), perda merupakan jenis
peraturan perundang-undangan yang kedudukannya dibawah Peraturan Presiden.
Perda merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang
pembentukannya melibatkan lembaga perwakilan. Itu sebabnya jenis perda
tersebut mempunyai keistimewaan dalam hal materi muatannya. Perda
mempunyai keistimewaan karena dapat memuat ketentuan pidana dalam materi
muatannya. Perda juga merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang
jenis dan kedudukannya diatur dalam UUD NRI 1945.34
34 Ahmad Yani, Pembentukan Undang-undang Dan Perda, Cet-1, ( Jakarta: Rajawali Pers,
2011) h. 13
31
31
BAB III
KEWENANGAN PENGAWASAN PERATURAN DAERAH
A. Tinjauan Umum Keputusan Menteri
1. Dasar Hukum dan Fungsi Keputusan Menteri
Jabatan Menteri Negara menurut ketentuan Pasal 17 UUD NRI 1945 itu
haruslah diisi berdasarkan merit sistem. Itulah konsekuensi dari pilihan sistem
pemerintahan presidensil yang dianut dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian
kekuasaan para Menteri Negara bersifat meritokratis (meritocracy), sehingga
dalam memimpin kementerian yang menjadi tugasnya, para menteri itu pula
diharapkan bekerja menurut standar yang bersifat meritokratis.35
Berkenaan dengan tugas menteri dibidangnya, salah satunya dapat
menerbitkan keputusan/peraturan menteri guna memberikan payung hukum
dalam melaksanakan pemerintahan. Oleh karena itu, menurut Maria Farida S, ada
empat fungsi dan dasar diterbitkannya keputusan menteri adalah sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan peraturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan
kekuasaan pemerintah dibidangnya.
b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan
presiden.
Fungsi ini merupakan delegasian berdasarkan ketentuan pasal 17 UUD NRI
1945 perubahan yang menentukan bahwa:
1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden
3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
35 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Cet-2, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) h.176
32
c. Menyelenggarakan peraturan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang
yang secara tegas menyebutkannya.
d. Menyelengarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan
pemerintah yang tegas-tegas menyebutkannya.36
Keputusan menteri ini merupakan salah satu instrument hukum, sehingga
keberadaan Keputusan Menteri masih sangat diperlukan dalam rangka
melaksanakan peraturan perundang-undangan diatasnya yang secara tegas
mendelegasikan.37
2. Materi Muatan Keputusan Menteri
Materi muatan berkaitan erat dengan jenis peraturan perundang-undangan
dan terkait dengan pendelegasian pengaturan. Selain terkait dengan jenis dan
pendelegasian, materi muatan terkait dengan cara merumuskan norma. Perumusan
norma peraturan menteri harus ditujukan langsung kepada pengaturan lingkup
bidang tugasnya menteri atau kementeriannya yang berasal dari pendelegasian
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.38
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
materi muatan yang akan dituangkan dalam peraturan tersebut. A.Hamid S.
Attamimi membagi sepuluh materi muatan peraturan perundang-undangan, yakni:
36 Maria Farida Indirati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 225-227
37
Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi Indonesia, Cet-
1, (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Volume 1, Nomor 2,
2004) h. 120
38
Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi Indonesia, Cet-
1, (Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Volume 1, Nomor 2,
2004) h.124
33
a. Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD dan Tap MPR
b. Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD
c. Yang mengatur hak-hak asasi manusia
d. Yang mengatur hak dan kewajiban warga Negara
e. Yang mengatur pembagian kekuasaan Negara
f. Yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tinggi negara
g. Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara
h. Yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan
kewarganegaraan
i. Yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-
undang. 39
Dalam konteks ini, A. Hamid S. Attamimi mempertegas bahwa perincian
butir-butir diatas menunjukkan pena-pena penguji (testpennen) untuk menguji
apakah suatu materi peraturan perundang-undangan negara termasuk materi
muatan atau tidak. Berkenaan dengan materi muatan keputusan menteri, dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan tidak ditegaskan secara implisit mengenai materi
muatannya.
Akan tetapi menurut Maria Farida Indrati Soeprapti, materi muatan
peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk Keputusan Menteri yakni
merupakan materi muatan yang bersifat atribusian maupun delegasian dari materi
muatan undang-undang atau Keputusan Presiden, karena peraturan perundang-
39 A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Cet-1, (Jakarta: Disertasi Doktor UI,
1990) h. 218-219
34
undangan lainnya merupakan peraturan pelaksanaan undang-undang dan
Keputusan Presiden.40
Telah dijelaskan diatas, bahwa fungsi Keputusan Menteri adalah dalam
rangka menyelenggaarakan ketentuan Pasal 17 ayat 1 UUD NRI 1945, Undang-
undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden sehingga materi muatan
Keputusan Menteri harus bersumber dan berlandaskan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada diatasnya, baik bersumber dari delegasi maupun
atribusi.
3. Kedudukan Keputusan Menteri Dalam Hierarki Perundang-undangan
Jika dilihat eksistensi atau kedudukan Keputusan/Peraturan Menteri dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini, tentunya ada sedikit
penegasan dan pengakuan Keputusan/Peraturan menteri. Dalam rumusan Pasal 7
ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, hierarki terdiri dari UUD NRI 1945, Tap MPR, Undang-
undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden dan Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota. Artinya bila hanya
menelaah pasal tersebut, maka akan menimbulkan beberapa penafsiran yang salah
satunya menyatakan bahwa Keputusan/Peraturan Menteri itu tidak diakui dan
tidak masuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
40 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 243
35
Oleh karenanya harus ditelaah dan dikaji lebih mendalam rumusan yang
terkandung dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) dikatakan bahwa:
1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.
Kemudian sebagai pendukung argumentasi dalam pasal di atas, maka jenis
peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan pasal 7 ayat 1 yakni salah
satunya peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri sebagaimana tertera pada Pasal
8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dari penjelasan pasal 8 di atas, dapat
disimpulkan bahwa, Menteri dapat membentuk suatu peraturan perundang-
undangan yang disebut Keputusan Menteri/Peraturan Menteri, sepanjang
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan adanya rumusan “sepanjang diperintah oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi” dalam pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut, maka
Menteri hanya dapat membentuk Keputusan/Peraturan Menteri apabila undang-
36
undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden secara tegas
memerintahkan (menetapkan).
Dari kajian teori dan ilmu perundang-undangan ketentuan tersebut telah
membatasi kewenangan menteri dalam melaksanakan fungsi pemerintahan yang
diembannya, sebagai penyelenggara sebagian bidang pemerintahan yang
diberikan oleh Presiden, serta menerapkan kembali kebiasaan pembentukan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam sistem parlementer.41
B. Tinjauan Umum Peraturan Presiden
1. Fungsi dan Dasar Hukum Pembentukan Peraturan/Keputusan Presiden
Pembentukan Peraturan Presiden yang berfungsi pengaturan yang
dilakukan presiden tanpa memerlukan persetujuan DPR, yang merupakan bagian
dari tugas dan fungsi pemerintahan. Peraturan Presiden tersebut dapat berupa (i)
pengaturan lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan
pemerintah dan (ii) pengaturan hal-hal lain yang tidak termasuk salah satu jenis
peraturan perundang-undangan negara tersebut di atas.42
Menurut Maria Farida
Indrati S, fungsi Peraturan Presiden yang berisi pengaturan adalah:
a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan.
41 Maria Farida Indrati Soeprapto, Jenis Hierarki dan Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundangan, (Jakarta: Makalah Biro Hukum dan Organisasi Dept. Kehutanan RI, 2005) h. 9
42
A. Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Cet-1, (Jakarta: Disertasi Doktor UI,
1990) h. 235
37
Fungsi ini merupakan suatu kewenangan atribusi dari UUD NRI 1945
kepada Presiden, dan sesuai dengan pendapat dari G. Jellinek bahwa di dalam
kekuasaan pemerintahan itu termasuk pula fungsi mengatur dan memutus.
Fungsi ini dapat dilaksanakan dengan membentuk suatu peraturan perundang-
undangan, di dalam hal ini adalah pembentukan suatu Keputusan Presiden
(baik bersifat mengatur atau menetapkan).
Keputusan Presiden dalam melaksanakan fungsi yang pertama ini
merupakan Keputusan Presiden yang mandiri, yaitu Keputusan Presiden yang
merupakan sisa dari peraturan perundang-undangan yang tertentu batas
lingkupnya yaitu undang-undang, peraturan pemerintah dan keputusan
presiden yang merupakan pengaturan delegasian.
b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan
pemerintah yang tegas-tegas menyebutkannya.
c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam peraturan
pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutkannya.
Kedua fungsi tersebut (a dan b) merupakan fungsi Peraturan Presiden
yang merupakan fungsi delegasian dari peraturan pemerintah dan sekaligus
undang-undang yang dilaksanakannya. Fungsi Peraturan Presiden disini
merupakan fungsi yang berdasarkan stufentheorie, dimana suatu peraturan
yang di bawah itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang
lebih tinggi di atasnya.
Peraturan Presiden disini merupakan peraturan yang bersifat
delegasian/limpahan yang kewenanganya terletak/diatur dalam undang-
undang dan peraturan pemerintah, sehingga Keputusan Presiden di sini hanya
mengatur lebih lanjut saja, tidak membentuk suatu kebijakan baru.43
2. Materi Muatan Keputusan/Peraturan Presiden
Materi muatan dari Keputusan/Peraturan Presiden ini harus dilihat dari
dua segi sesuai dengan fungsi Keputusan/Peraturan Presiden tersebut.
Keputusan/Peraturan Presiden adalah pengaturan yang dibuat oleh Presiden
sebagai penyelenggaraan fungsi pemerintahan sesuai dengan ketentuan dalam
43 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 223-225
38
pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945, dimana fungsi ini merupakan atribusi dari UUD
NRI 1945, sedangkan fungsi dari keputusan presiden lainnya adalah
menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dari peraturan pemerintah baik yang
secara tegas-tegas memintanya ataupun yang secara tidak tegas-tegas, dimana
fungsi disini merupakan delegasi dari peraturan pemerintah yang melaksanakan
suatu undang-undang.
Berdasarkan kedua fungsi tersebut maka materi muatan suatu keputusan
presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan undang-undang dan
peraturan pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian, serta materi muatan
yang merupakan delegasian dari undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
Dalam hal luas dan batas lingkupnya, kewenangann yang bersifat atribusi, yaitu
dalam membentuk keputusan presiden yang mandiri, merupakan kewenangan
yang sangat luas dibandingkan dengan kewenangan yang berasal dari delegasi
undang-undang atau peraturan pemerintahnya.44
Materi muatan Keputusan/Peraturan Presiden menurut pasal 13 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, dijelaskan bahwa materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang
diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan pemerintah.
44 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku 1, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kansius, 2007) h. 224
39
3. Kedudukan Peraturan Presiden
Dalam rangka melaksanakan undang-undang, Presiden sebagai kepala
pemerintahan tentu haruslah diberikan ruang gerak yang cukup untuk
berkreatifitas. Presiden harus memiliki keleluasaan untuk mengatur sendiri
kebijakan yang akan ditetapkan dalam rangka melaksanakan undang-undang itu.
Prinsip yang berkenaan dengan ruang gerak inilah yang dalam konsep hukum
administrasi Negara disebut sebagai freies ermessen. Presiden dianggap sudah
seyogyanya dapat menetukan sendiri norma-norma aturan kebijakan atau policy
rules (beleidsregels) yang diperlukan untuk menjalankan undang-undang.45
Oleh karena itu, Presiden sebaiknya tetap dimungkinkan untuk
menetapkan Peraturan Pemerintah dalam rangka menjalankan undang-undang,
dan sekaligus menetapkan peraturan kebijakan atau beleidsregels (policy rules)
yang disebut dengan nomeklatur Peraturan Presiden.46
Maka dari pengertian
Peraturan Presiden yang telah dijelaskan, Peraturan Presiden dalam pasal 7 ayat 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dimana Peraturan Presiden berada di atas perda dan di
bawah Peraturan Pemerintah. Artinya, Peraturan Presiden di sini terikat oleh
hierarki dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
45 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003) h. 275
46
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003) h. 176
40
C. Bentuk Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah
Secara umum pengertian pengawasan dapat diartikan sebagai proses
menentukan apa yang harus dikerjakan, kemudian dilakukan koreksi atau
pembenahan dengan maksud hasil yang ingin dicapai tadi sesuai dengan apa yang
telah direncanakan terdahulu. George R. Ferry menitikberatkan pengawasan pada
tingkat evaluasi serta koreksi terhadap hasil yang telah dicapai, dengan maksud agar
hasil tersebut sesuai dengan rencana, maka dilkukan pada akhir suatu kegiatan setelah
kegiatan tersebut menghasilkan sesuatu. 47
Sedangkan definisi yang diberikan oleh Henry Farol dapat diketahui hakekat
pengawasan adalah suatu tindakan menilai (menguji) apakah sesuatu telah berjalan
dengan rencana yang telah ditentukan. Dengan pengawasan itu akan dapat ditemukan
kesalahan-kesalahan yang kemudian dapat diperbaiki dan yang lebih penting lagi
jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali. 48
Berkaitan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah khususnya pembentukan peraturan daerah yang dibuat oleh Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, selama ini dikenal adanya pengawasan preventif
dan represif, adapun penjelasan kedua pengawasan tersebut adalah:
47 Moh Hasyim, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif Dalam Negara Hukum Pancasila,
(Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Iustum” Nomor 6 Vol. 3, 1996) h.65
48
Moh Hasyim, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif Dalam Negara Hukum Pancasila,
(Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Iustum” Nomor 6 Vol. 3, 1996) h.65
41
1. Pengawasan Preventif
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum
keputusan atau peraturan efektif berlaku (voordat een besluit of regeling in
werking kan treden).49
Pengawasan preventif ini berbentuk memberi pengesahan
atau tidak memberi pengesahan. Sesuai dengan sifatnya, pengawasan preventif
dilakukan sesudah keputusan daerah ditetapkan, tetapi sebelum keputusan itu
mulai berlaku.
Irawan Soejito menegaskan bahwa pengawasan preventif ini hanya
dilakukan terhadap keputusan kepala daerah dan peraturan daerah, yang berisi
atau mengatur materi-materi tertentu. Ada beberapa bentuk pengawasan preventif
ini yaitu pengesahan (goedkeuring), persetujuan (toestemming vooraf),
pembebasan/dispensasi (ontheffing), pemberian kuasa (machtiging) dan
pernyataan tidak keberatan (verklaring van geen bezwaar).50
Berdasarkan pemahaman tentang pengawasan preventif di atas, dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Darah, telah
dijabarkan mengenai pengawasan preventif rancangan peraturan daerah propinsi
dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota antara lain:
49 Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-
1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h.78
50
Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-
1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 85
42
a. Pengawasan Preventif Rancangan Peraturan Daerah Propinsi
Dalam rumusan pasal 185 ayat 1-4, dikatakan:
1. Raperda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan
rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sebelum
ditetapkan oleh gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
2. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
Menteri Dalam Negeri kepada gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari
terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.
3. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi raperda tentang
APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD sudah
sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi
perda dan peraturan gubernur.
4. Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi raperda tentang
APBD dan rancangan peraturan gubernur tentang penjabaran APBD
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, gubernur bersarna DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya
hasil evaluasi.
b. Pengawasan Preventif Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Ketentuan mengenai pengawasan preventif raperda kabupaten/kota,
diatur dalam beberapa rumusan pasal yang termuat dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, yakni pasal 186, 187, 188 dan 189, adapun jelasnya
rumusan pasal-pasal di atas adalah:
Pasal 186 ayat 1-4 menyatakan:
1. Rancangan perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui
bersama dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran
APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari
disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.
43
2. Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling
lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan perda
kabupaten/kota dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang
penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang
APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran
APBD sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, bupati/walikota menetapkan rancangan
dimaksud menjadi perda dan peraturan Bupati/Walikota.
4. Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan perda tentang
APBD dan rancangan peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran
APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi, bupati/walikota bersama DPRD
melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
hasil evaluasi.
Kemudian pasal 187 ayat 1-4 menyatakan:
1. Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal
181 ayat (3) tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah
terhadap rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah
melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun
anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan yang
disusun dalam rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD.
2. Rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam
Negeri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota.
3. Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD beserta lampirannya
disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak DPRD
tidak rnengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap
rancangan perda tentang APBD.
4. Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri
atau gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala daerah menetapkan
rancangan peraturan kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala
daerah.
44
Dari pelaksanaan pengawasan preventif rancangan peraturan daerah
propinsi dan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota di atas juga berlaku
pasal 188 yang menyatakan proses penetapan raperda tentang perubahan
APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran perubahan
APBD menjadi perda dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, Pasal 186, dan pasal. 187.
Kemudian pasal 189 menjelaskan juga proses penetapan raperda
tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang daerah menjadi
perda, berlaku pasal 185 dan pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak dan
retribusi daerah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata
ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata
ruang.
2. Pengawasan Represif
Pengawasan represif dilakukan setelah keputusan atau peraturan
perundang-undangan diberlakukan atau berkenaan dengan keputusan-keputusan
organ lebih rendah yang telah mempunyai kekuatan hukum.51
Pengawasan
represif adalah pembatalan atau penangguhan terhadap pelaksanaan suatu
peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah tingkat atasnya.52
Pengawasan represif ini berwujud: a) Mempertangguhkan berlakunya suatu
51 Ridwan. Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-
1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 79
52
Misdayanti dan Kartasapoetra, Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Pembuatan Peraturan
Daerah, Cet-2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993) h. 29
45
peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah, b) Membatalkan suatu
peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah.53
Pembatalan dilakukan jika peraturan daerah dan keputusan kepala daerah
tertentu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi.54
Dengan demikian, menurut Irawan Soejito
pengawasan represif dapat dijalankan terhadap:
a. Semua peraturan daerah, baik yang tidak/belum disahkan maupun
peraturan daerah yang tidak memerlukan pengesahan.
b. Semua keputusan kepala daerah, termasuk keputusan kepala daerah yang
berisi:
1. Keputusan pemberian pengesahan
2. Keputusan penolakan pengesahan
3. Keputusan pembatalan
4. Keputusan yang telah disahkan
5. Keputusan untuk melakukan suatu tindak hukum
6. Dan lain-lain.55
a. Pengawasan Represif Peraturan Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota:
Salah satu kewenangan pemerintah terhadap pembatalan peraturan
daerah, telah diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, mekanismenya diatur dalam Pasal 145, yaitu
sebagai berikut:
53 Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,
Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 51
54
Ridwan. Dimensi Hukum Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-1,
(Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h. 79
55
Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,
Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 52
46
1. Perda disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari
setelah ditetapkan.
2. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.
3. Keputusan pembatalan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak diterimanya perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan
pelaksanaan perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah
mencabut perda dimaksud.
5. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala
daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
6. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan
;sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
7. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), perda
dimaksud dinyatakan berlaku.
Proses pembatalan perda sesuai dengan Pasal 145 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini, penulis
mengambarkannya dengan sebuah skema yang penulis lampirkan pada lembar
lampiran halaman x.
47
D. Pengawasan Peraturan Daerah di Indonesia
1. Sejarah Pengawasan Peraturan Daerah Sebelum Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia
Daerah
Pada awal kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18. Lalu dibentuklah Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Indonesia Daerah. Di
masa ini belum ada pemerintah daerah, yang ada adalah Badan Perwakilan
Rakyat Daerah. Demikian pula belum ada daerah otonom, karena suasananya
adalah permulaan kemerdekaan.56
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-aturan
Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah Yang Berhak
Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
Dalam undang-undang ini pengaturan mengenai pengawasan perda
hanya dijelaskan bahwa perda tidak boleh mengatur yang sudah diatur oleh
undang-undang, peraturan pemerintah dan perda yang lebih tinggi
tingkatannya, dan perda juga tidak boleh bertentangan dengannya, hal ini
diatur pada pasal 28. Pengawasan perda dalam undang-undang ini tidak
56 Bayu Surianingrat, Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia Suatu
Analisa, Jilid I, Cet-1, (Jakarta: Dewaruci Press, 1980) h. 30
48
didukung dengan pengawasan dari pemerintah, perda dilarang bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi tetapi tidak ada lembaga yang mengujinya.
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah
Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia 1945 terbentuklah undang-undang ini. Pada undang-undang ini
pelaksanaan pengawasan suatu perda tidak dijelaskan secara eksplisit, yang
disebutkan didalamnya adalah Keputusan DPRD dan Dewan Pemerintah
Daerah apabila bertentangan dengan kepentingan umum, undang-undang,
peraturan pemerintah atau peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya,
dibatalkan oleh Mendagri atau penguasa lain yang ditunjuk dan bagi lain-lain
daerah Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, ketentuan ini tertera
pada pasal 64.
d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Negara Kesatuan Republik
Indonesia kembali pada dasar Hukum Undang-Undang Dasar 1945. Lalu
dibentuklah undang-undang ini, dipicu lemahnya posisi kepala daerah dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
49
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dalam undang-undang ini pengawasan
perda tidak dijelaskan secara eksplisit, pada pasal 80 disebutkan:
Keputusan-keputusan Pemerintah Daerah jikalau bertentangan dengan
kepentingan umum, undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Perda
yang lebih tinggi tingkatannya, dipertangguhkan atau dibatalkan oleh
Mendagri bagi Daerah tingkat I dan oleh Kepala Daerah setingkat lebih
atas bagi lain-lain daerah.
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah
Pada undang-undang ini disebutkan dengan jelas bahwa pengawasan
represif perda atau Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau perda tingkat atasnya
ditangguhkan keberlakuannya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang
(Kepala Daerah). Apabila Gubernur Kepala Daerah tidak menangguhkan atau
membatalkan perda atau Keputusan Kepala Daerah, maka penangguhannya
dan atau pembatalannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
f. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Pengaturan mengenai pembentukan dan pengawasan peraturan daerah
menjelang perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan setelah perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 menghasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengawasan preventif terhadap perda
tidak lagi dimasukkan pada undang-undang ini, akibatnya perda tidak perlu
50
pengesahan oleh pemerintah pusat. Dan pengawasan represif dicantumkan
pada pasal 113 dan pasal 114.
Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa perda disampaikan kepada
pemerintah, apabila perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum
dan peraturan yang lebih tinggi ataupun peraturan perundangan yang lain
maka pemerintah membatalkan perda tersebut.
2. Peraturan-peraturan Daerah Yang Dibatalkan Setelah Berlakunya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pengawasan terhadap perda dilakukan oleh pemerintah
pusat melalui Mendagri. Dalam undang-undang ini memberikan Mendagri
kewenangan membatalkan perda, sesuai pada pasal 185, pasal 186, pasal 188 dan
pasal 189. Berikut contoh Kepmendagri/Permendagri membatalkan perda:
a. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 277 Tahun 2009 tentang
Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 14 Tahun
2002 tentang Penerimaan Daerah Bukan Pajak atas Perusahaan Pengguna
Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Mendagri membatalkan perda Kabupaten Lampung Selatan tersebut
karena perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Didalam perda ini mengatur pungutan terhadap
perpanjangan izin Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang di dalamnya
51
mengatur setiap Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
diwajibkan membayar Pungutan sebesar US$ 100 (seratus dolar Amerika) per
orang per bulan, ketentuan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Perpanjangan izin Penggunaan Tenaga Kerja Asing merupakan
pungutan pusat berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi.
b. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 214 Tahun 2008 tentang
Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2002 tentang
Retribusi Izin Usaha Jasa Pariwisata
Pembatalan perda yang ditetapkan pada tanggal 6 Agustus 2008 ini
diputuskan oleh Mendagri. Di dalam perda ini mengatur izin usaha pariwisata
berlaku selama kegiatan usaha dan setelah kegiatan usaha berakhir. Tentu
ketetapan ini bertentangan dengan Pasal 103 Peraturan Pemerintah Nomor 67
Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Bahwa pasal 103
menjelaskan izin usaha pariwisata berlaku selama kegiatan usaha masih
dijalankan, ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
52
c. Keputusan Menteri Dalam Nomor 194 Tahun 2009 tentang Pembatalan
Peraturan Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Nomor 53 Tahun 2007
tentang Retribusi Izin Perfilman dan Penggunaan Sistem Distribusi Antena
Parabola (TV Kabel)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan, Mendagri
membatalkan perda ini karena bertentangan dengan undang-undang tersebut.
Perda ini mengatur ketentuan retribusi dikenakan berkala untuk masa
berlakunya izin, lalu izin usaha penjualan dan penyewaan rekaman video,
usaha penayangan rekaman video, pertunjukan film, penayangan pemutaran
film anak-anak dalam perda ini tidak dimasukan dalam kategori izin usaha
perfilman.
Perda ini bertentangan dengan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor
52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran
Berlangganan bahwa pemberian izin usaha sistem distribusi dengan
menggunakan antena parabola merupakan kewenangan Pemerintah Pusat
bukanlah Pemerintah Daerah.
E. Pengujian Peraturan Daerah Oleh Mahkamah Agung
Selain dari pelaksanaan dua bentuk peraturan perundangan yang mengawasi
perda tersebut (Peraturan Presiden dan Kepmendagri/Permendagri) terdapat pula
pengawasan oleh Mahkamah Agung (judicial review). Pengujian peraturan
53
perundang-undangan dibawah undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung. 57
Berkaitan dengan hierarki peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji:
a) Peraturan Pemerintah
b) Peraturan Presiden
c) Peraturan Daerah Provinsi
d) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap tiga jenis
peraturan di atas terkandung dalam Pasal 24A Ayat (1) Perubahan Ketiga UUD NRI
1945, Pasal 11 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung menjelaskan suatu peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang dapat dibatalkan, jika:
a) Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek
materil)
b) Pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil)
Maka dalam hal ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil yang sudah
diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2004. Dalam menjalankan kewenangannya ini,
57 Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Konpres, 2005) h. 6
54
Mahkamah Agung bersifat pasif. Permohonan keberatan dapat diajukan sekelompok
masyarakat atau perorangan atas berlakunya suatu perda yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ke Mahkamah Agung baik
secara langsung ataupun melalui Pengadilan Negeri sesuai wilayah hukum tempat
pemohon untuk mendapatkan putusan.
Dengan demikian, menurut jimly, produk legislatif di daerah provinsi atau
kabupaten/kota yang berupa peraturan daaerah sebagai hasil kerja dua lembaga, yaitu
Kepala Daerah dan DPRD yang keduanya dipilih melalui Pemilihan Umum dan
Pemilihan Umum Kepala Daerah, tidak dapat dibatalkan secara sepihak dari
pemerintah pusat begitu saja.58
Maka harus ada pihak ketiga sebagai lembaga
yudikatif yang membatalkan perda tersebut.
58 Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Konpres, 2005) h. 37
55
55
BAB IV
KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DALAM PENGAWASAN DAN
PEMBATALAN PERDA
A. Kewenangan Mendagri Dalam Pengawasan dan Pembatalan Perda
Dalam hal pengawasan perda, Mendagri memiliki kewenangan untuk
mengawasi perda, seperti yang tertera pada Pasal 185 ayat (1-5) Undang-Undang 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa:
1) Raperda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan
Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur
paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk
dievaluasi.
2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri
Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak
diterimanya rancangan dimaksud.
3) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan perda
tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD
sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan
Peraturan Gubernur.
4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, Gubernur bersarna DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7
(tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.
5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan
Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan
Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan
Gubernur, Menteri Dalam Negeri rnembatalkan Perda dan Peraturan Gubernur
dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
56
Dari pasal di atas dapat dilihat bahwa ada 2 (dua) macam peraturan yang
dibahas dalam pasal tersebut yakni, raperda provinsi tentang APBD dan rancangan
peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD. Dalam hal ini penulis akan membahas
raperda tentang APBD sesuai dengan pembatasan masalah skripsi ini, bahwa hanya
membahas tentang perda saja, dan tidak membahas peraturan kepala daerah. Proses
raperda tentang APBD untuk provinsi ini diawasi oleh Mendagri.
Dalam ayat (1-2) dijelaskan bahwa Mendagri berwenang untuk melakukan
pengawasan terhadap raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur
tetapi belum ditetapkan oleh Gubernur, dimana Gubernur sebelum menetapkan
raperda ini untuk disampaikan kepada mendagri untuk di evaluasi. Ini adalah bentuk
pengawasan preventif yang dimiliki oleh Mendagri.
Pengawasan preventif lainnya dalam pasal ini terdapat pada ayat (3-4) yakni,
Mendagri mengevaluasi raperda apakah perda tersebut bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Lalu
apabila hasil evaluasi raperda ini sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, maka selanjutnya Gubernur berwenang untuk
menetapkan raperda tersebut menjadi perda. Pengawasan preventif ini dilakukan
sebelum keputusan atau peraturan efektif berlaku (voordat een besluit of regeling in
werking kan treden).59
59 Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Cet-
1, (Yogyakarta: FH UII, Jurnal Hukum “Ius Quia Tustum” Nomor 18, Vol.8, 2001) h.78
57
Akan tetapi apabila hasil evaluasi menyatakan raperda ini bertentangan
dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
maka Gubernur diperintahkan untuk melakukan penyempurnaan dari hasil evaluasi
tersebut. Sampai pada ayat (4) ini pengawasan yang dilakukan Mendagri adalah
pengawasan preventif. Selanjutnya pada ayat (5) dijelaskan bahwa apabila Gubernur
tidak melakukan penyempurnaan dari hasil evaluasi yang diberikan oleh Mendagri,
namun Gubernur tetap menetapkan raperda tersebut menjadi sebuah perda, maka
dalam pasal ini memberikan wewenang kepada Mendagri untuk membatalkan perda
tersebut.
Dari sini dapat diketahui bahwa Pasal 185 ayat (5) ini sangat jelas
memberikan kepada Mendagri wewenang untuk melakukan pengawasan represif,
dimana Mendagri berwenang untuk membatalkan perda yang sudah ditetapkan oleh
Gubernur. Pengawasan represif ini sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Irawan
Soejito sebelumnya bahwa pengawasan represif ini berwujud: a) Mempertangguhkan
berlakunya suatu peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah, b)
Membatalkan suatu peraturan daerah dan/atau keputusan kepala daerah.60
Pengawasan preventif dan pengawasan represif yang dimiliki oleh Mendagri
menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini
berlanjut pada pasal selanjutnya yakni, pasal 188 dan 189 disebutkan bahwa:
60 Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah,
Cet-1, (Jakarta: Bina Aksara, 1983) h. 51
58
Pasal 188
Proses penetapan rancangan Perda tentang Perubahan APBD dan rancangan
peraturan kepala daerah tentang Penjabaran Perubahan, APBD menjadi Perda
dan peraturan kepala daerah berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 185, Pasal 186, dan Pasal. 187.
Pasal 189
Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah,
retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda, berlaku Pasal 185 dan
Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah
dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata
ruang daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata
ruang.
Dari kedua pasal tersebut dijelaskan perda tentang perubahan APBD, Pajak
Daerah, Retribusi Daerah dan Tata Ruang daerah menjelaskan bahwa Mendagripun
mempunyai kewenangan pengawasan dan pembatalan terhadap peraturan daerah
tersebut, dimana prosesnya sesuai dengan pasal 185, pasal 186 dan pasal 187 untuk
perda tentang perubahan APBD, dan pasal 185 dan pasal 186 untuk perda tentang
pajak, retribusi dan tata ruang daerah. Dari penjelasan yang telah dijelaskan di atas,
penulis menyimpulkan bahwa kewenangan mendagri terhadap pengawasan dan
pembatalan perda menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Pengawasan sebelum penetapan (preventif)
1. Pengawasan terhadap Raperda tentang APBD yang tertuang dalam pasal
185 ayat (1-4)
59
2. Pengawasan terhadap Raperda tentang Perubahan APBD yang tertuang
dalam pasal 188
3. Pengawasan terhadap Raperda tentang Pajak, Retribusi dan Tata Ruang
daerah yang tertuang pada pasal 189
Pembatalan perda (represif)
1. Pembatalan perda tentang APBD yang tertuang dalam pasal 185 ayat (5)
2. Pembatalan perda tentang Perubahan APBD yang tertuang dalam pasal
188
3. Pembatalan perda tentang Pajak, Retribusi dan Tata Ruang daerah yang
tertuang pada pasal 189
B. Analisis Hubungan Kewenangan Mendagri dengan Peraturan Presiden Dalam
Pembatalan Perda
Untuk pernyataan pembatalan perda menurut Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki pernyataan yang sama dengan
pasal 145 yang sebelumnya telah dibahas, yaitu “bertentangan dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Namun alasan
menggunakan ukuran tersebut adalah dalam rangka preventif. Namun kemudian bila
mencermati ayat selanjutnya, pengawasan preventif memiliki kemampuan untuk
berubah menjadi pengawasan represif, sehingga pasal tersebut memberikan dua
bentuk kewenangan pengawasan sekaligus kepada Mendagri, yaitu pengawasan
preventif dan pengawasan represif. Selanjutnya yang menjadi persoalan adalah
60
ketentuan pada pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 itu bertentangan dengan
ketentuan pada pasal 145 ayat (3 dan 7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang
menyebutkan sebagai berikut:
Ayat 3
Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat 7
Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud
dinyatakan berlaku.
Ketentuan pada pasal 145 tersebut menjelaskan bahwa perda yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi keputusan pembatalannya melalui Peraturan Presiden. Lalu
ditegaskan kembali pada ayat 7, bahwa pembatalan perda yang tidak diputuskan
melalui Peraturan Presiden perda tersebut dinyatakan berlaku dan sah mejadi perda.
Sesuai dengan penjelasan di atas bahwa pembatalan perda pada pasal 145 tersebut
karena bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Ketentuan ini sama halnya dengan ketentuan pada pasal 185 ayat (5), pasal
188 dan pasal 189 dimana pembatalan perda tersebut karena bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari
persamaan ketentuan ini jelas pembatalan suatu perda adalah karena bertentangan
61
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.61
Akan tetapi pada pasal 185 ayat (5), pasal 188 dan pasal 189 menjelaskan
bahwa pembatalan perda dilakukan oleh Mendagri yang pada saat ini sering
dilaksanakan melalui Kepmendagri/Permendagri. Ini sangatlah bertentangan dengan
pasal 145 ayat (7) yang seharusnya pembatalan perda tersebut dilakukan melalui
Peraturan Presiden. Ditambah lagi bahwa pembatalan perda yang tanpa menggunakan
Peraturan Presiden, maka perda tersebut dinyatakan berlaku.
Permasalahan mengenai pembatalan perda ini membuktikan bahwa pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini terdapat
perbedaan dalam hal wewenang pembatalan perda. Menurut Nomensen Sinamo
sebuah peraturan perundang-undangan haruslah mengandung asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
c. Kesesuaian antara jenis
d. Dapat dilaksanakan
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. Kejelasan rumusan dan
g. Keterbukaan62
Dalam undang-undang ini, menurut penulis terjadi ketidaktaatan asas antara
unsur yang satu dengan yang lainnya. Dimana kejelasan bentuk produk hukum
61 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006) h. 37
62
Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan daerah di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Pustaka
Mandiri, 2010) h. 102
62
mengenai pembatalan perda ini terjadi pertentangan antara Peraturan Presiden
ataukah Kepmendagri/Permendagri yang memiliki kewenangan terhadap pembatalan
tersebut. Kemudian perihal perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah ini telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Mengenai pengawasan perda tentang pajak dan retribusi daerah inipun
dijelaskan pada pasal 157 sebagai berikut:
1) Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah
disetujui bersama oleh Gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan
disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling
lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.
2) Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi
yang telah disetujui bersama oleh Bupati/Walikota dan DPRD kabupaten/kota
sebelum ditetapkan disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Keuangan
paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud.
3) Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian
Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-undang ini,
kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih
tinggi.
4) Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menguji kesesuaian Rancangan
Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.
5) Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
6) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa persetujuan atau
penolakan.
7) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan oleh Menteri
Dalam Negeri kepada Gubernur untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi
dan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota untuk Rancangan Peraturan
Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari
kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.
63
8) Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
disampaikan dengan disertai alasan penolakan.
9) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan.
10) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat diperbaiki oleh Gubernur,
bupati/walikota bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian
disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan
untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan kepada gubernur dan
Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
Dari pasal 157 ayat (1-10) ini menjelaskan kewenangan pengawasan perda
dilakukan oleh Mendagri dan Gubernur yang berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan. Pengawasan ini merupakan pengawasan terhadap raperda tentang pajak
daerah dan retribusi daerah sebelum ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota
dengan kata lain pengawasan ini merupakan pengawasan preventif.
Pengawasan preventif ini sesuai dengan pengawasan preventif perda tentang
pajak dan retribusi daerah yang ada pada pasal 189 Undang-Undang 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam pasal 189 menjelaskan bahwa proses
pengawasan pajak dan retribusi daerah sama dengan proses pada pasal sebelumnya
yaitu 185 dan 186. Akan tetapi, apabila diteliti kembali, disini terdapat kejanggalan
pada pasal selanjutnya, yaitu pada pasal 158 ayat (1-9) bahwa:
1) Peraturan daerah yang telah ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota
disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling
lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.
2) Dalam hal peraturan daerah bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri
64
Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
3) Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada
Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4) Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri
Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan
Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden.
5) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam
puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
6) Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD
bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.
7) Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-
alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala
Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
8) Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan
Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
9) Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk
membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.
Jika dilihat pada pasal 158 di atas menjelaskan bahwa pembatalan perda
tentang Pajak dan Retribusi Daerah diputuskan dengan menggunakan Peraturan
Presiden. Berkaitan dengan ketentuan pada pasal 189 Undang-Undang 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang proses pengawasannya sesuai dengan pasal
185 dan pasal 186 yang menjelaskan bahwa pembatalan perda tersebut dilakukan
65
oleh Mendagri yang pada saat ini sering dilaksanakan melalui Kepmendagri. Tentu
hal ini bertentangan dengan pasal 158 ayat (5) dan ayat (9) Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang pembatalan perda
haruslah diputuskan dengan Peraturan Presiden bukan Kepmendagri/Permendagri,
ditambah lagi apabila pembatalan perda dilakukan tanpa Peraturan Presiden, maka
perda tersebut dinyatakan berlaku.
Perbedaan wewenang dalam pembatalan perda tentang Pajak Daerah dan
Retribusi ini terjadi kembali. Dimana pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah pasal 189 yang menyatakan pembatalan perda
dilakukan oleh Mendagri bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 158 yang menyatakan
pembatalan perda menggunakan Peraturan Presiden.
Ini berarti terjadi ketidakselarasan antar undang-undang yang berbeda namun
membahas muatan materi yang sama. Keberadaan pengawasan perda di atas serasa
kurang lengkap bila tidak menyertakan ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor
79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah yakni pada pasal 37 ayat (4) menyebutkan bahwa:
Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan
Menteri.
Pasal 37 ayat (4) di atas ditulis bahwa pembatalan perda dilakukan dengan
menggunakan Peraturan Presiden berdasarkan usulan menteri. Artinya, ketentuan
66
pada pasal ini selaras dengan ketentuan pada pasal 145 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 158 ayat (5) Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
menjelaskan bahwa pembatalan perda menggunakan Peraturan Presiden.
Kemudian Jimly Asshiddiqie berpendapat dalam hal Keputusan/Peraturan
Menteri sebagai pertimbangan bahwa untuk hadirnya sebuah Keputusan/Peraturan
Menteri adalah apabila materi yang dianggap terlalu teknis dan bersifat sektoral,
Presiden dapat pula memerintahkan Menteri yang terkait untuk mengaturnya atas
nama pemerintah dalam bentuk Peraturan Menteri.63
Sedangkan pengujian terhadap
perda bukanlah materi yang dianggap terlalu teknis, karena subtansi atau materi
muatan perda adalah penjabaran dari peraturan perundang-undangan yang
tingkatannya lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah64
demi menjalankan otonomi seluas-luasnya.
Kemudian yang menjadi pertimbangan adalah tidak dimungkinkannya apabila
jenis perundang-undangan yang tegas disebutkan dalam hierarki peraturan
perundang-undangan melalui pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut dibatalkan melalui
peraturan perundang-undangan jenis lainnya yang tidak disebutkan dalam hierarki
perundangan tersebut. Dimana keberadaan Keputusan/Peraturan Menteri tidak ada
63 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang di Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 221 64
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006) h. 37
67
dalam hierarki pasal tersebut, Keputusan Menteri hanya ada pada pasal selanjutnya
yaitu pasal 8 ayat (1) yang tidak termasuk dalam hierarki.
Dalam pertimbangan yang harus diingat bahwa Locale Wet atau perda dibuat
guna melaksanakan undang-undang, wet atau gesetz.65
Apalagi dari segi
pembuatannya, sudah semestinya kedudukan perda ini, baik tingkat provinsi ataupun
kabupaten/kota, dapat dilihat setara dengan undang-undang dalam arti sama-sama
merupakan produk hukum lembaga legislatif.66
Maka dari itu, pembatalannya
haruslah dengan peraturan perundangan yang kedudukannya lebih tinggi.
C. Analisis Peraturan Presiden Dalam Pembatalan Perda
Peraturan Presiden yang dibuat oleh presiden mengandung dua makna.
pertama, Peraturan Presiden dibuat oleh presiden atas inisiatif dan prakarsa sendiri
untuk melaksanakan undang-undang sehingga kedudukannya sederajat dengan
Peraturan Pemerintah. Kedua, maksud pembuatan Peraturan Presiden ditujukan untuk
mengatur materi muatan yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah sehingga
kedudukannya menjadi jelas berada di bawah Peraturan Pemerintah.67
Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Presiden berlaku secara nasional di seluruh wilayah
65 Laica Marzuki, Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (Jakarta: Jurnal
Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, 2007) h.
66
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet-1, (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 356-357
67
B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik,
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008) h. 114
68
Indonesia.68
Sedangkan perda pemberlakuannya terbatas pada daerah tertentu yang
mengeluarkannya sebagai bagian dari kewenangan daerah untuk mengatur dan
mengurus sendiri daerahnya dalam rangka otonomi daerah seluas-luasnya sesuai
dengan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka dari itu posisi hierarki perda
dibawah Peraturan Presiden. Peraturan Presiden dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan pembatalan perda
(represif) seperti yang disebutkan dalam pasal 145 ayat (3) bahwa:
Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada pasal ini membuktikan
bahwa pembatalan perda adalah menggunakan Peraturan Presiden. Dan selanjutnya
diperkuat kembali dengan ayat (7) yang menyatakan bahwa perda yang dibatalkan
tanpa melalui peraturan presiden dinyatakan menjadi perda yang sah berlaku. Hal ini
selaras dengan pendapat Maria Farida yang menyatakan bahwa materi muatan suatu
Keputusan/Peraturan Presiden merupakan materi muatan sisa dari materi muatan
undang-undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu materi yang bersifat atribusian, serta
materi muatan yang merupakan delegasian dari undang-undang dan Peraturan
Pemerintah.69
68 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik,
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008) h. 118
69 Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 224
69
Lalu dalam hal luas dan batas lingkupnya, kewenangann yang bersifat
atribusi, yaitu dalam membentuk keputusan presiden yang mandiri, merupakan
kewenangan yang sangat luas dibandingkan dengan kewenangan yang berasal dari
delegasi undang-undang atau Peraturan Pemerintahnya.70
Pendapat yang telah
disampaikan oleh Maria Farida itu memberikan pengertian bahwa materi yang ada
pada Peraturan Presiden bersifat atribusi dari undang-undang ini kembali menguatkan
bahwa bentuk produk hukum yang lebih pantas untuk membatalkan suatu perda
adalah Peraturan Presiden.
Kewenangan pembatalan perda melalui Peraturan Presiden terdapat pula
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yakni pada pasal 37 ayat (4)
menjelaskan bahwa perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dibatalkan dengan Peraturan
Presiden berdasarkan usulan menteri terkait.
Selanjutnya dalam ketentuan pajak dan atribusi daerah yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Atribusi Daerah,
yakni pada pasal 158 ayat (1-9) juga disebutkan bahwa pembatalan perda hanya
dengan menggunakan Peraturan Presiden. Maka dalam undang-undang menegaskan
kembali bahwa bentuk peraturan presidenlah yang mempunyai kekuatan hukum
untuk membatalkan perda tentang pajak daerah dan atribusi daerah tersebut.
70Maria Farida Indrati Soeprapto, Buku I, Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan), Cet-1, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) h. 224
70
Dari penjelasan yang telah penulis paparkan, dapat diambil kesimpulan
bahwa, Peraturan Presiden mempunyai wewenang dalam hal pengawasan represif
atau pembatalan terhadap perda sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,
yakni sebagai berikut:
1. Wewenang membatalkan perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
yang tertuang pada pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Pembatalan semua perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang tertuang pada pasal
145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
juga tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
pasal 37.
D. Produk Hukum/Lembaga Yang Berwenang Dalam Pengujan dan Pembatalan
Perda
Dari penjelasan yang sudah dipaparkan sebelumnya dapat diklasifikasikan
pengawasan (preventif) dan pembatalan (represif) yang dimiliki pemerintah pusat
terhadap perda berdasarkan dasar hukumnya adalah sebagai berikut:
71
1. Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri/Permendagri)
Pengawasan preventif:
a. Pengawasan dalam evaluasi raperda APBD Provinsi sebelum ditetapkan
Gubernur, pasal 185 ayat 1-4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
b. Pengawasan raperda tentang Perubahan APBD yang ada dalam pasal 188
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
c. Pengawasan terhadap raperda tentang Perencanaan Tata Ruang Daerah yang
tertuang pada pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
d. Pengawasan raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam
pengawasan raperda ini terdapat dua ketentuan yang mengatur pengawasan
perda tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Pasal 189 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 157
Pembatalan (pengawasan represif)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kewenangan
pembatalan perda dengan Kepmendagri bertentangan dengan ketentuan pasal
145 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang menyatakan dengan jelas bahwa pembatalan perda hanyalah
dengan Peraturan Presiden, dan jika pembatalan perda tanpa menggunakan
72
Peraturan Presiden maka perda tersebut dapat berlaku. Dan perda tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah inipun
memperkuat Peraturan Presidenlah sebagai bentuk hukum yang sah dalam
pembatalan daerah.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 ini terjadi ketidaktaatan asas pada pasal-pasalnya,
yakni pada pasal 145 terhadap pasal 185, pasal 188 dan pasal 189. Apa yang
disebutkan dalam pasal tersebut sangatlah berbeda. Menurut penulis, apabila
Mendagri ingin membatalkan perda melalui Kepmendagri, maka pasal yang
terjadi ketidaktaatan asas tersebut haruslah dirubah/direvisi. Hal ini agar
keputusan-keputusan yang dikeluarkan Mendagri nantinya mempunyai
kepastian dan kekuatan hukum.
2. Peraturan Presiden
Pembatalan (pengawasan represif):
a. Pembatalan perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang tertuang
dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
b. Pembatalan semua bentuk perda yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang di atur
dalam Pasal 145 ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
73
tentang Pemerintahan Daerah dan di atur juga dalam pasal 37 ayat (4)
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
3. Gubernur
Pengawasan yang dimiliki Gubernur ini merupakan pengawasan preventif dan
represif dan hanya kepada perda yang dibentuk oleh kabupaten/kota. Pengawasan
preventif Gubernur sebagai berikut:
a. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang APBD yang diatur dalam Pasal
186 ayat (1-4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
b. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang tata ruang daerah yang diatur
dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
c. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah diatur dalam pasal 157 ayat (2 dan 4-10) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
d. Pengawasan raperda kabupaten/kota tentang Perubahan APBD yang tertuang
dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Pengawasan represif (pembatalan) yang dimiliki gubernur menurut Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ada pada pasal 189,
74
pasal 186 ayat (5), pasal 188 ini pun bertentangan dengan pasal 145 ayat (3) dan
ayat (7), termasuk juga bertentangan dengan Pasal 158 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4. Menteri Keuangan
Dalam Pengawasan preventif, Mendagri berkoordinasi dengan Menteri Keuangan
dalam mengawasi raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota, pengawasan preventif sebagai berikut:
a. Pengawasan raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur
dalam pasal 157 dan pasal 158 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
75
75
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pengawasan represif yang dimiliki Mendagri terdapat pada pasal 185 ayat (5),
pasal 188 dan pasal 189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menjelaskan bahwa pembatalan perda dilakukan oleh
Mendagri ini bertentangan dengan pasal 145 ayat (7) yang menyebutkan
pembatalan perda tersebut dilakukan melalui Peraturan Presiden. Dalam Undang-
undang ini terjadi ketidaktaatan asas antara pasal yang satu dengan yang lainnya,
yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam hal kewenangan pembatalan
perda. Permasalahan perbedaan wewenang pembatalan perda terjadi juga pada
pasal 189 yang menjelaskan pajak dan retribusi daerah dibatalkan oleh Mendagri
ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah yakni pada pasal 158 ayat (5) dan ayat (9) yang
pembatalan perda tentang pajak dan retribusi daerah haruslah diputuskan dengan
Peraturan Presiden.
2. Keputusan/Peraturan Menteri yang bersifat teknis dan sektoral tidak bisa
membatalkan perda yang subtansi atau materi muatannya penjabaran dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri
khas masing-masing daerah demi menjalankan otonomi seluas-luasnya. Dan
76
posisi Kepmen/Permen tidak disebutkan dalam hierarki perundang-undangan,
sedang perda disebutkan di dalamnya.
3. Produk hukum/Lembaga yang berwenang mengawasi (preventif) dan
membatalkan (represif) terhadap perda, sebagai berikut:
e. Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri/Permendagri): Pengawasan preventif
Raperda APBD Provinsi dalam pasal 185 ayat (1-4), Raperda Perubahan
APBD dalam pasal 188, Raperda Tata Ruang daerah pada pasal 189, Raperda
Pajak dan Retribusi Daerah dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerntahan Daerah dan Pasal 157 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
f. Peraturan Presiden: Pembatalan (represif) perda pajak dan retribusi daerah
pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, pembatalan semua bentuk perda dalam pasal 145 ayat (3)
dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan di atur juga dalam pasal 37 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor
79 Tahun 2005.
g. Gubernur: Pengawasan preventif raperda APBD kabupaten/kota pasal 186
ayat (1-4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, raperda tata ruang kabupaten/kota dalam pasal 189, raperda pajak dan
retribusi daerah kabupaten/kota dalam pasal 157 ayat (2 dan 4-10) Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
77
raperda perubahan APBD kabupaten/kota pasal 188 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
h. Menteri Keuangan (preventif): berkoordinasi dengan Mendagri mengawasi
raperda pajak dan retribusi daerah pasal 157 dan pasal 158 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
B. Saran-saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis merasa perlu untuk
menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. Keputusan Menteri Dalam Negeri dalam pembatalan perda haruslah dirubah
kedalam Peraturan Presiden yang mempunyai kedudukan hukum lebih tinggi agar
pemerintah daerah dapat menerima pembatalan tersebut dimana pembatalan
selain dengan Peraturan Presiden adalah tidak sah.
2. Pertentangan pada pasal 145 dengan pasal 185, pasal 186, pasal 188 dan pasal
189 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah agar
direvisi/diubah demi memperjelas bentuk hukum yang berwenang dalam
pembatalan perda.
3. Disarankan kepada pemerintah setelah merevisi/merubah pasal 145 dengan pasal
185, pasal 186, pasal 188 dan pasal 189 agar membuat peraturan pelaksana terkait
pembatalan perda, demi memperkuat bentuk hukum yang memiliki kewenangan
pembatalan tersebut.
78
78
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Asshidiqie Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Cet-1. (Jakarta:
Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI. 2003)
, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Cet-2. (Jakarta: Konstitusi Press. 2006)
, Perihal Undang-undang di Indonesia. (Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006)
, Hukum Acara Pengujian Undang-undang. (Jakarta: Konpres, 2005)
Budiman N.P.D, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Cet-1, (Yogyakarta: UII
Press, 2005)
Engelbrecht. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia. (Jakarta: Ichtiar
Baru-van Hoeve. 2006)
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera. Cara Praktis Menyusun dan
Merancang Peraturan Daerah. Cet-1. (Jakarta: Kencana, 2010)
Handoyo B. Hestu Cipto. Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah
Akademik. (Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2008)
Jimly Asshiddiqie & M Ali Safaat. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. (Jakarta:
Sekretariat Jederal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2012)
Kansil C.S.T. Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Hukum Administratif Daerah.
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
Latief Abdul. Hukum dan Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Pada Pemerintahan
Daerah. Cet-1. (Yogyakarta: Pusat Studi FH UII. 2005)
Lubis M. Sooly. Landasan dan Teknik Perundang-undangan. Cet-1. (Bandung:
Mandar Maju, 1989)
79
Marbun B.N. Otonomi Daerah 1945-2010 Proses dan Realita. Cet-2. (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2010)
Misdayanti dan Kartasapoetra. Fungsi Pemerintah Daerah Dalam Pembuatan
Peraturan Daerah. Cet-2. (Jakarta: Bumi Aksara. 1993)
Modoeng Supardan. Teknik Perundang-undangan di Indonesia. (Jakarta: Perca.
2005)
Natabaya HAS. Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Cet-1. (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. 2006)
Ranggawidjaja Rosyidi. Pembentukan Peraturan Negara Di Indonesia. (Jakarta: Raja
Grafindo. 2010)
Rozali Abdullah. Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Langsung. Cet-1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005)
Sinamo Nomensen. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Cet-1. (Jakarta: PT
Pustaka Mandiri, 2010)
Soejito Irawan. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah. Cet-1. (Jakarta: Bina Aksara. 1983)
Soekanto Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet-3. (Jakarta : UI Press, 1986)
Soeprapto Maria Farida Indirati. Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi
dan Materi Muatan). Cet-1. (Yogyakarta: Kanisius, 2007)
, Buku 1. Ilmu Perundang-undangan (Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan). Cet-5. (Yogyakarta: Kanisius, 2011)
Soerjono Soekanto dan Sri mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. (Jakarta: PT . Raja Grafindo, 1994)
Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie, Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan
UUD 1945. Cet-1. (Malang: Universitas Negeri Malang, UM Press, 2007)
80
Sunarno Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Cet-1. (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006)
Surianingrat Bayu. Desentralisasi dan Dekonsentrasi Pemerintahan di Indonesia
Suatu Analisa, Jilid I. Cet-1. (Jakarta: Dewaruci Press. 1980)
W. Riawan Tjandra dan Kresno Budi Harsono. Legal Drafting Teori dan Teknik
Pembuatan Peraturan Daerah. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya Press,
2009)
Widjaja HAW. Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Dalam Rangka Sosialisasi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Cet-
2. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
Yani Ahmad. Pembentukan Undang-undang Dan Perda. Cet-1. ( Jakarta: Rajawali
Pers. 2011)
B. Majalah Ilmiah
Hasyim, Mohamad, Pengawasan Kekuasaan Eksekutif dalam Negara Hukum
Pancasila, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII. Jurnal hukum “Ius Quia
Iustum”Nomor 6, Volume 3, 1996
Laica Marzuki, Hakikat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta:
Jurnal Konstitusi, Volume 4, Nomor 1, 2007
Ridwan, Dimensi Hukum Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Fakultas Hukum UII. Jurnal hukum “Ius Quia Tustum” Nomor
18, Volume 8, 2001
Rikardo Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan
Karakter Perda dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat,
Seri Pengembangan Wacana HuMa, Nomor 1, 2002
Setyadi, S. Bambang, Pembentukan Peraturan Daerah, Buletin Hukum Perbankan
dan Kebanksentralan Volume 5, Nomor 2, 2007
81
Suhariyono Ar, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Jurnal legislasi
Indonesia, Dirjen Peraturan peraturan Perundang-undangan Departemen
Kehakiman dan HAM RI, Volume 1, Nomor 2, 2004
C. Karya Ilmiah
Attamimi, A. Hamid S, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi AnalisisMengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I
PelitaIV),Jakarta: Disertasi Doktor UI, 1990
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Jenis Hierarki dan Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
Tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, Jakarta: Makalah Biro
Hukum dan Organisasi Dept. Kehutanan RI, 2005
D. Website
I made Suwandi, Direktur urusan pemerintahan daerah, dirjen otonomi daerah
Depdagri, (http://anggaran.wordpress.com/2006/06/07/problem-hukum-
pengujian-perda/) diakses pada tanggal 7 November 2013
http://khafidsociality.blogspot.com/2011/09/mekanisme-pembatalan-peraturan
daerah.html diakses pada tanggal 5 September 2013
http://www.kemendagri.go.id/produk-hukum/category/keputusan-menteri diakses
pada tanggal 17 Juli 2013
E. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
82
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan Bentuk
Peraturan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
Tap MPRS Nomor X/MPRS/1996 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber
Tertib Hukum Republik Indonesia
Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan
Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status
Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960
sampai dengan tahun 2002
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Berlangganan
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
83
Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan
Kepariwisataan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 277 Tahun 2009 tentang Pembatalan
Peraturan Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Penerimaan Daerah Bukan Pajak atas Perusahaan Pengguna Tenaga Kerja
Warga Negara Asing
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 214 Tahun 2008 tentang Pembatalan
Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2002 tentang Retribusi
Izin Usaha Jasa Pariwisata
Keputusan Menteri Dalam Nomor 194 Tahun 2009 tentang Pembatalan Peraturan
Daerah Kabupaten Seram Bagian Barat Nomor 53 Tahun 2007 tentang
Retribusi Izin Perfilman dan Penggunaan Sistem Distribusi Antena Parabola
(TV Kabel)
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil
x
Presiden
DPRD
Kepala
Daerah
PERDA Mendagri
Disampaikan paling
lama 7 hari
PERPRES
Ditetapkan paling lama
60 hari sejak Perda
diterima Presiden
Apabila Perda
bertentangan dengan
peraturan lebih tinggi
dan kepentingan umum
Perda disampaikan
kepada Presiden
Perda disetujui bersama dan
ditetapkan
Kepala Daerah
Menghentikan
pelaksanaan Perda
DPRD dan
Kepala Daerah
mencabut Perda
tersebut
Penghentian dan pencabutan Perda paling lama 7 hari
LAMPIRAN
Skema pembatalan perda oleh pemerintah pusat sesuai Pasal 145 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.