Download - Kemiskinan definisi
II. Tinjauan Pustaka
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Definisi-definisi Kemiskinan.
Kemiskinan memiliki berbagai macam definisi, namun menurut Hartwell (1972) belum
ada definisi yang jelas. Dalam pendefinisian awal dan juga yang sederhana, kemiskinan
dijelaskan sebagai keadaan dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya
(Hartwell, 1972; Murdoch, 2005; Hung dan Makdissi, 2004; Nayyar, 2005; Cohen dan Sullivan,
2010). Pendefinisian ini membuat kemiskinan hanya dipandang sebagai masalah
ketidaksesuaian pendapatan. Hal ini dikarenakan kebutuhan dasar yang dimaksud, merupakan
kebutuhan dasar secara fisik (Nayyar, 2005).
Hal ini kemudian diperbaiki oleh Sen (1998; 1999) yang menjelaskan bahwa walaupun
ketidaksesuaian pendapatan merupakan faktor yang penting, tetapi terdapat masalah lain yang
juga harus diperhatikan dalam kemiskinan. Kurangnya kesempatan, dan belum terbentuk
kemampuan dari seseorang merupakan masalah lain yang juga penting dalam mengatasi
kemiskinan (Sen dalam Nayyar, 2005). Sen dalam Donaldson dan Duflo (2009) selanjutnya
mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan dari seseorang untuk mencapai keadaan yang
paling minimum diterima oleh masyarakat sekitar. Williamson (2001) , Duflo (2009), dan WHO
(2001) juga berpendapat bahwa kemiskinan tidak dapat lagi didefinisikan hanya sebagai masalah
pendapatan. Williamson (2001) menambahkan masalah kerentanan, voicelessness, dan tidak
adanya kekuasaan sebagai masalah yang menyertai kemiskinan. Duflo (2009) selain
menekankan pada masalah kekuasaan, juga menambahkan bahwa kemiskinan membuat
seseorang tidak dapat berpotensi secara penuh.
Haughton dan Khandker (2009) berdasarkan pemikiran dari Sen, menjelaskan
kemiskinan sebagai masalah deprivasi dari kebutuhan dasar yang bersifat multidimensi. Dengan
melihat kemiskinan tidak hanya dari sisi pendapatan, kemiskinan lebih lanjut didefinisikan
sebagai permasalahan yang multidimensional (Stern, 2001; WHO, 2001; Cheung, 2005; dan
Tridico, 2009). WHO (2001) menyebutkan adanya dimensi ekonomi, politik, sosial dan budaya
dalam kemiskinan. Tridico (2009) menyebutkan bahwa selain ekonomi, kemiskinan memiliki
dimensi sosial dan politik. Hal yang berbeda diungkapkan Stern (2001) dan Cheung (2005) yang
melihat dimensi yang ada dari berbagai jenis deprivasi yang membatasi kehidupan dari orang-
orang miskin.
Pendefinisian yang berbeda diungkapkan oleh Chambers (2005) dan Yunus (2006).
Chambers (2005) melihat kemiskinan sebagai sebuah pengalaman buruk dimana berbagai
masalah yang ada di dalamnya saling berinteraksi dan saling menguatkan. Yunus (2006) sendiri
memandang kemiskinan dari sisi pemenuhan hak asasi seseorang. Yunus (2006) juga
menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan masalah yang terjadi karena tidak adanya
kesempatan yang diberikan kepada yang miskin.
Berdasarkan pada beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa kemiskinan saat
ini dipandang sebagai masalah multidimensional yang tidak hanya berasal dari ketidaksesuaian
pendapatan. Beberapa penulis seperti Williamson (2001), Tridico (2009), Duflo (2009), dan
Yunus (2006) menjelaskan adanya faktor lain yang menyebabkan kemiskinan itu terjadi selain
masalah pendapatan. Penjelasan mengenai apa yang menyebabkan munculnya kemiskinan tentu
tidak dapat ditunjukkan oleh definisi namun harus diketahui teori-teori mengenai kemiskinan.
2.12 Teori Kemiskinan
Bradshaw (2005) menjelaskan bahwa terdapat lima teori yang dapat dipakai untuk
menjelaskan kemiskinan: Individu, Budaya, Struktur Politik-Ekonomi, Geografis, serta Siklus
dan kumulatif. Sementara Schiller (2000) menjelaskan tiga pandangan terhadap apa yang
menjadi penyebab dari kemiskinan, yaitu : Kesalahan pada Karakter, Kesempatan Terbatas, dan
‘Big Brother’. Nurkse (1953) sebelumnya memberikan satu teori yang menjelaskan mengenai
kemiskinan yang disebut ‘the vicious circle of poverty’.
Teori Individu sebagaimana disebutkan oleh Bradshaw (2005) menjelaskan bahwa
seseorang menjadi miskin karena kemalasan dan pilihan buruk dari individu sendiri. Hal yang
sama diungkapkan Schiller (2000) pada teori kecacatan karakter yang menyebutkan bahwa
kemiskinan terjadi karena individu yang membatasi dirinya. Berdasarkan pada kedua teori
tersebut, upaya untuk mengatasi kemiskinan harus ditujukan pada upaya untuk mendorong
individu membuat pilihan yang lebih baik.
Teori selanjutnya yang dipakai untuk menjelaskan kemiskinan adalah teori budaya
(Bradshaw, 2005). Berdasarkan pandangan dari teori ini, kemiskinan terjadi karena adanya nilai-
nilai dalam masyarakat yang membuat seseorang membatasi dirinya dari kesuksesan. Nilai-nilai
kebudayaan yang ada di sini disebutkan menjadi alasan dari individu membuat pilihan yang
buruk. Berdasarkan pada teori budaya, kemiskinan dapat diatasi dengan pembentukan
masyarakat serta pengembangan kepemimpinan. Dengan solusi tersebut diharapkan individu
dapat terlepas dari nilai-nilai yang membatasi dirinya.
Teori ketiga yang dipakai dalam Bradshaw (2005) adalah teori struktur politik-ekonomi.
Dalam teori ini kemiskinan terjadi karena adanya pembatasan secara sistematis terhdap
kelompok tertentu untuk mengakses sumber daya yang ada. Teori ini lebih menyalahkan
kurangnya kesempatan yang diberikan kepada individu sebagai penyebab dari kemiskinan. Teori
yang hampir sama diungkapkan dalam Schiller (2000) yaitu ‘kesempatan yang terbatas’ yang
menjelaskan adanya diskriminasi terhadap kelompok tertentu dalam masyarakat yang
memunculkan adanya kemiskinan. Dengan melihat penyebabnya, kemiskinan berdasarkan teori
ini dapat diatasi dengan dibukanya kesempatan bagi penduduk miskin terhadap akses sumber
daya yang sebelumnya dibatasi.
Teori kemiskinan yang selanjutnya dipakai dalam Bradshaw (2005) adalah teori
geografis. Teori ini mengungkapkan adanya unsur geografis yang menyebabkan suatu wilayah
menjadi miskin. Solusi yang dapat diberikan berdasarkan teori ini adalah dengan pembangunan
jaringan yang lebih baik, serta peningkatan kualitas pembangunan di wilayah tersebut.
Teori terakhir yang diungkapkan oleh Bradshaw (2005) adalah teori siklus dan kumulatif.
Dalam teori ini, kemiskinan terjadi karena berbagai masalah dari individu yang saling terkait dan
berhubungan dengan defisiensi pada masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan
menurut teori ini bersifat kompleks karean satu dengan yang lain saling mempengaruhi. Solusi
yang diusulkan dari teori ini adalah dengan pembentukan program untuk membangun self-
sufficiency yang menghubungkan antara individu dan organisasi masyarakat.
Satu teori dari Schiller (2000) memiliki pandangan yang berbeda terhadap kemiskinan.
Teori ‘big brother’ menjelaskan bahwa kemiskinan terjadi karena pemerintah merusak insentif
untuk self-sufficiency. Solusi yang diusulkan berdasarkan teori ini sebenarnya mirip dengan
solusi dari teori siklus pada Bradshaw (2005) hal yang membedakan pada ‘big brother’
disarankan pemerintah mengurangi peranannya dalam mengatasi masalah kemiskinan.
Teori ‘the vicious circle of poverty’ sendiri yang berasal dari Nurkse (1953) bukan teori
yang menjelaskan mengenai penyebab dari kemiskinan. Pada teori ini dijelaskan bahwa masalah
kemiskinan seperti sebuah lingkaran setan dimana apa yang menyebabkan kemiskinan dari
seseorang juga terjadi karena kondisi orang ataupun kelompok tersebut yang miskin. Hal ini
memunculkan proposisi “a country is poor because it is poor”.
Dengan melihat teori-teori yang ada dapat diketahui bahwa kemiskinan memiliki
berbagai dimensi permasalahan. Dimensi-dimensi tersebut sebagaimana dijelaskan dalam teori
siklus (Bradshaw, 2005) maupun ‘the vicious circle of poverty’ dari Nurkse saling berkaitan satu
sama lain. Dimensi-dimensi apa yang menjadi permasalahan dalam kemiskinan selanjutnya akan
dijelaskan pada bagian selanjutnya.
2.13 Dimensi Kemiskinan
Sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa definisi, kemiskinan memiliki banyak dimensi.
Selanjutnya dalam teori siklus ditunjukkan bahwa dimensi-dimensi tersebut saling berkaitan.
Dimensi - dimensi apa saja yang menjadi permasalahan dalam kemiskinan dijelaskan oleh
Narayan et al (2000) pada sepuluh dimensi dari deprivasi. Kesepuluh dimensi tersebut adalah:
capabilities : kekurangan dalam informasi, pendidikan, keterampilan, dan
kepercayaandiri;
aset dan livelihood : kepemilikan aset yang terbatas,kesulitan dalam pekerjaan,dan
pekerjaan yang bersifat musiman;
tempat tinggal : Terisolasi, kuarang pelayananan, rentan terhadap penyakit
fisik : kelaparan,sakit, dan penampilan yang miskin
hubungan gender : Hubungan gender yang bermasalah dan tidak setara
hubungan sosial : pengisolasian, dan diskriminasi
keamanan : kurang perlindungan, dan rasa perdamaian
perilaku : penindasan oleh kelompok yang berkedudukan lebih tinggi
kelembagaan : kelembagaan yang tidak memperhatikan orang-orang miskin; dan
pengorganisasian : orang-orang miskin memiliki pengorganisasian yang lemah dan tidak
terhubung.
World Bank (2000) dalam Attacking the Poverty juga menyebutkan tiga dimensi dalam
kemiskinan sebagai penyebab. Ketiga dimensi tersebut adalah: pendapatan dan aset,
pemberdayaan, dan kerentanan terhadap shock. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi
dan menimbulkan masalah kemiskinan.
Dengan berbagai dimensi yang ada, kemiskinan sebagaimana disebutkan oleh WHO
(2001) merupakan masalah yang kompleks. Hal ini berimplikasi pada kebijakan yang harus
diterapkan untuk mengatasinya. Sebagai pendekatan, pemerintah tentunya memerlukan data
maupun profil kemiskinan di wilayahnya. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengukuran
kemiskinan.
2.1.4 Pengukuran Kemiskinan
Todaro dan Smith (2003) mengungkapkan empat kriteria yang perlu dipenuhi dalam
pengukuran kemiskinan. Keempat kriteria tersebut adalah: anonymity; population
independence; monotonicity; dan prinsip sensitivitas distribusi. Dua kriteria pertama, anonymity
dan population independence menunjukkan bahwa pengukuran kemiskinan tidaak bergantung
pada siapa yang miskin dan pada populasi apa kemiskinan terjadi. Sementara kriteria
monotonicity didasarkan pada aksioma dari Sen (1976): Dengan keadaan lain tetap, penurunan
pendapatan dari seseorang yang berada di bawah garis kemiskinan pasti meningkatkan tingkat
kemiskinan. Pada kriteria keempat: prinsip sensitivitas distribusi dijelaskan bahwa transfer yang
terjadi dalam perekonomian dapat menyebabkan kondisi seseorang menjadi lebih miskin atau
kurang miskin.
Terdapat beberapa cara pengukuran kemiskinan (Todaro dan Smith, 2003). Metode
pengukuran yang paling sederhana adalah dengan menggunakan garis kemiskinan absolut atau
Head-count ratio. Pada metode ini kemiskinan diukur berdasarkan proporsi orang yang berada
di bawah garis kemiskinan. Kelebihan dari cara pengukuran ini adalah kemudahan dalam
penginterpretasian (Ravallion,1994). Namun penggunaan metode ini menurut Todaro memiliki
kelemahan karena menganggap semua yang berada di bawah garis kemiskinan memiliki beban
yang sama.
Permasalahan pada metode pengukuran head-count, kemudian diperbaiki dengan
menggunakan ukuran poverty gap. Pada metode ini diukur seberapa besar pendapatan yang
dibutuhkan untuk untuk meningkatkan pendapatan sampai pada garis kemiskinan. Pada cara
pengukuran ini dapat diukur potensi untuk menghilangkan kemiskinan melalui transfer. Namun
poverty gap menurut Sen (1976) juga memiliki kelemahan karena tidak memperhitungkan efek
transfer antar penduduk miskin.
Metode pengukuran yang lain adalah metode yang diperkenalkan Foster, Greer, dan
Thorbecke (1984) atau biasa disingkat menjadi FGT. Pada metode ini selain memasukkan
pengukuran dari dua metode sebelumnya juga memberikan perbaikan pada kelemahan yang ada.
Pada metode FGT diukur derajat ketimpangan antar penduduk miskin, serta memperhitungkan
efek dari shock dalam perekonomian terhadap tingkat distribusi pendapatan diantara penduduk
miskin. Metode FGT juga memiliki kelemahan, tidak dapat memperhitungkan derajat
ketidaksetaraan antar sub-grup di masyarakat (Ravallion, 1994)
Pengukuran terhadap kemiskinan ini dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana kebijakan
yang akan diterapkan. Pelaksanaan dari kebijakan sendiri tidak lepas dari masalah
penganggaran. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diketahui bagaimana struktur anggaran
pemerintah, terutama APBD di Indonesia.
2.1.5 Alokasi Anggaran
Dalam pengalokasian anggaran selama ini dikenal dua jenis pengalokasian: pro-poor dan
pro-growth. Pada pengalokasian anggaran yang bersifat pro-poor, anggaran yang dipakai untuk
mengurangi tingkat kemiskinan pada umumnya berasal dari pengeluaran pembangunan (Sen,dan
Thorat 2000). pada anggaran pro-poor Pengeluaran tersebut lebih ditujukan kepada
pembangunan di sektor-sektor sosial. Hal ini dikarenakan menurut Agrawal (2007) sektor sosial
memiliki peranan penting dalam mengurangi tingkat kemiskinan.
Jenis pengalokasian anggaran yang lain adalah pro-growth, yang lebih menekankan pada
pencapaian pertumbuhan ekonomi. Pengalokasian anggaran yang bersifat pro-growth menurut
Dollar dan Kray (2000) tidak bisa disebut merugikan golongan miskin. Pada penelitian yang
berjudul ‘Growth is Good for the Poor’ bahkan ditemukan bahwa pengeluaran yang ditujukan
kepada golongan miskin cenderung tidak efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan.
Adanya dua jenis alokasi anggaran tidak selalu menunjukkan bahwa keduanya tidak
dapat disatukan. Berdasarkan penelitian dari Ravallion dan Datt (1999) kebijakan untuk
pertumbuhan ekonomi dapat bersifat pro-poor. Setelah mengetahui jenis pengalokasian anggaran
yang dimungkinkan, maka selanjutnya perlu diketahui bagaimana struktur anggaran yang ada.
Di Indonesia, anggaran pemerintah daerah diatur melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah)
2.1.6 Struktur APBD
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, APBD memiliki
struktur sebagai satu kesatuan yang terdiri dari: 1. Pendapatan Daerah ; 2. Belanja Daerah; dan 3.
Pembiayaan Daerah. Struktur dari APBD kemudian diklasifikasikan berdasarkan urusan
pemerintahan dan organisasi yang bertanggung jawab terhadap urusan tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan setiap struktur yang ada
dalam APBD.
2.1.6.1. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah adalah hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah yang
menambah ekuitas dana. Pendapatan daerah meliputi: Pendapatan Asli Daerah; Dana
Perimbangan; dan Pendapatan Lain-lain yang sah.
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD):
PAD adalah bagian dari pendapatan daerah yang bersumber dari potensi daerah itu
sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kewenangan daerah dalam memungut PAD dimaksudkan agar daerah
dapat mendanai pelaksanaan otonomi daerah yang bersumber dari potensi daerahnya sendiri.
b. Dana Perimbangan, yang terdiri atas: Dana Alokasi Umum; Dana Alokasi Khusus; dan Dana
Bagi Hasil, yang meliputi bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak.
c. Pendapatan Lain-Lain yang Sah, yang meliputi: Pendapatan Hibah; Pendapatan Dana
Darurat; Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi kepada Kabupaten/Kota; Bantuan Keuangan
dari Provinsi atau dari Pemerintah Daerah lainnya; Dana Penyesuaian; dan Dana Otonomi
Khusus.
2.1.6.2. Belanja Daerah
Belanja daerah meliputi semua pengeluaran uang dari Rekening Kas Umum Daerah yang
mengurangi ekuitas dana, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang
tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah digunakan untuk
mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan. Sesuai Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal
31 ayat (1), belanja daerah diklasifikasikan berdasarkan urusan wajib, urusan pilihan atau
klasifikasi menurut organisasi, fungsi, program kegiatan, serta jenis belanja.
Klasifikasi belanja menurut urusan wajib dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
merupakan belanja pemerintah yang diproritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat. Sementara belanja urusan pilihan berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005
berkaitan dengan kondisi, kekhasan, dan keunggulan daerah yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sementara pada pengklasifikasian yang terakhir, belanja daerah terbagi menjadi belanja
langsung dan tidak langsung. Belanja langsung merupakan belanja yang penganggarannya
dikaitkan langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sementara pada belanja tidak
langsung, penganggaran tidak dikaitkan secara langsung terhadap pelaksanaan suatu program.
2.1.6.3. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran
yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-
tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah adalah transaksi keuangan pemerintah daerah
yang dimaksudkan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus APBD. Pembiayaan
Daerah menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 59 terdiri dari Penerimaan
Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan Daerah.
a. Penerimaan Pembiayaan
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 60 menyebutkan bahwa Penerimaan
Pembiayaan Daerah, meliputi: Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Tahun Lalu; Pencairan
Dana Cadangan; Penerimaan pinjaman daerah; Hasil penjualan kekayaan daerah yang
dipisahkan; Penerimaan kembali pemberian pinjaman; dan Penerimaan piutang daerah.
b. Pengeluaran Pembiayaan
Pengeluaran Pembiayaan Daerah, meliputi: Pembentukan dana cadangan; Penyertaan
modal (investasi) pemerintah daerah; Pembayaran utang pokok yang jatuh tempo; dan Pemberian
pinjaman daerah.
Dari keseluruhan struktur anggaran dalam APBD hal yang harus diperhatikan adalah
bagian pengeluaran. Hal ini dikarenakan masalah kebijakan pemerintah yang perhitungannya
dapat didekati dengan menggunakan proporsi pengeluaran pemerintah. Berdasarkan hal tersebut
maka selanjutnya akan dibahas mengenai konsep pengeluaran pemerintah.
2.1.7 Konsep Pengeluaran Pemerintah
Salah satu konsep dalam pengeluaran pemerintah adalah sesuai usulan dari Musgrave dan
Rostow (Bain, 2010). Secara terpisah keduanya menunjukkan bhawa perkembangan
pengeluaran pemerintah berkaitan dengan pola pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di
masyrakat. Berdasarkan pada pandangan ini perkembangan dari pengeluaran pemerintah
dikaitkan dengan tingkat output masyarakat.
Konsep pengeluaran pemerintah yang lain, diusulkan oleh Adolph Wagner tahun 1883
(Bain, 2010). Pada Wagner Hypothesis dijelaskan mengenai pengeluaran pemerintah yang
semakin besar persentasenya terhadap PDB (Produk Domestik Bruto. Wagner dalam
hipotesisnya menjelaskan bahwa keharusan untuk mengatur: hubungan yang timbul dalam
masyarakat, hukum, pendidikan, dan kebudayaan menjadikan peranan pemerintah menjadi
semakin besar. Hal ini didasarkan pada teori organis mengenai pemerintah sebagai individu
yang bebas bertindak.
Teori yang lain mengenai pengeluaran pemerintah adalah teori Peacock dan Wiseman.
Pada teori ini dijelaskan bahwa perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang
semakin meningkat, dan peningkatan PDB mengakibatkan penerimaan pemerintah menjadi
semakin besar. Ketika terdapat gangguan yang menyebabkan pengeluaran pemerintah
meningkat maka pemerintah akan berusaha meningkatkan penerimaannya dengan cara
menaikkan tarif pajak. Gangguan yang ada juga dapat menyebabkan pergeseran konsentrasi
kegiatan ekonomi dari swasta ke publik. Pada intinya teori ini didasarkan pada analisis bahwa
pemerintah berusaha meningkatkan pengeluaran sementara sebagai sumber biaya pembayaran
pajak yang semakin besar adalah sesuatu yang tidak disukai oleh masyarakat.
Pemerintah sendiri menurut Hyman (2008) memiliki tiga peranan besar dalam
perekonomian yaitu peranan alokasi, peranan distribusi,dan peranan stabilisasi. Peranan alokasi
merupakan peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi untuk mengoptimalkan
pemanfaatannya dan mendukung efisiensi produksi. Peranan yang kedua, merupakan peranan
pemerintah untuk mendistribusikan pendapatan secara langsung dan tidak langsung berdasarkan
kepemilikan faktor-faktor produksi, permintaan dan penawaran, sistem warisan, dan kemampuan
memperoleh pendapatan. Pendistribusian secara langsung dilakukan melalui pajak progresif
yang memberikan beban pajak yang lebih besar pada kelompok berpendapatan tinggi. Sementara
pendistribusian secara tidak langsung dilakukan dengan pengalokasian pengeluaran pemerintah
misalkan untuk subsidi, perumahan mewah untuk kelompok dengan pendapatan tertentu,dan
sebagainya. Sedangkan peranan yang ketiga, peranan stabilisasi berkaitan dengan kewajiban
pemerintah untuk menstabilkan perekonomian. Hal ini dikarenakan perekonomian yang
sepenuhnya dikuasai oleh swasta akan sangat peka terhadap goncangan.
2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Ravallion dan Datt (1999)
Ravallion dan Datt (1999) menggunakan survey 20 rumahtangga pada 15 provinsi di
India, menganalisis pada kondisi apa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi tingkat
kemiskinan. Variabel pengeluaran pemerintah yang dipakai adalah pengeluaran untuk
pembangunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pembangunan, rata-rata hasil
pertanian,dan hasil non-pertanian yang tinggi , serta tingkat inflasi yang rendah berpengaruh
terhadap pengurangan tingkat kemiskinan, namun hasil non-pertanian menjadi kondisi dasar
untuk pertumbuhan ekonomi yang pro-poor.
Fan, Hazell, dan Thorat (2000)
Fan, Hazell, dan Thorat (2000) mengestimasi dampak langsung dan tidak langsung dari
pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan desa di India menggunakan metode regresi FIML
(Fully Informated Maximum Likelihood). Data yang digunakan pada penelitian ini berasal dari
14 Provinsi di India dengan periode waktu 1970-1993. Pada penelitian tersebut Fan, Hazell, dan
Thorat (2000) menggunakan tujuh variabel pengeluaran pemerintah: Irigasi, penelitian
agrikultur, pendidikan, jalan, kekuasaan, kesehatan dan kesejahteraan, serta pembangunan desa.
Hasil penelitian menemukan bahwa tiga jenis pengeluaran pemerintah memiliki dampak paling
besar terhadap pengurangan tingkat kemiskinan: penelitian agrikultur, pendidikan, serta
kesehatan dan kesejahteraan. Pengeluaran yang memiliki dampak paling besar dari ketiganya
adalah pengeluaran pemerintah pada penelitian agrikultur.
Jha, Biswal, dan Biswal (2001)
Jha, Biswal, dan Biswal (2001) menguji keefektifan dari pengeluaran publik terhadap
pengurangan tingkat kemiskinan pada 14 provinsi di India untuk periode 1957/1958-1997. Pada
penelitian ini digunakan tiga variabel pengeluaran pemerintah: pembangunan, kesehatan, dan
pendidikan. Pengeluaran untuk pendidikan dalam penelitian dibagi menjadi dua yaitu
pengeluaran untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu pendidikan untuk universitas,dan
pengeluran untuk pendidikan informal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran
pemerintah untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi lebih efektif dalam mengurangi tingkat
kemiskinan.
Fan, Huong, dan Long (2004)
Fan, Huong, dan Long (2004) mengestimasi dampak langsung dan tidak langsung dari
pengeluaran pemerintah terhadap kemiskinan desa di Vietnam menggunakan metode regresi
FIML (Fully Informated Maximum Likelihood). Data yang digunakan berasal dari 7 wilayah
pertanian di Vietnam dengan periode waktu 1993-2002. Variabel pengeluaran pemerintah yang
digunakan pada penelitian ini sama dengan penelitian Fan, Hazell, dan Thorat (2000) untuk
kemiskinan desa di India. Hasil yang ditemukan juga sesuai dengan penelitian di India.
Laabas dan Limamm (2004)
Laabas dan Limamm (2004) menggunakan data cross-section 77 negara, menganalisis
dampak dari kebijakan publik terhadap tingkat kemiskinan. Variabel kebijakan publik diukur
dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB, dan tingkat kemiskinan diukur
menggunakan model FGT. Dengan metode OLS ditemukan bahwa distribusi pendapatan
memiliki dampak paling besar terhadap pengurangan tingkat kemiskinan. Hal ini menunjukkan
bahwa kebijakan publik yang ditujukan untuk distribusi pendapatan lebih efektif dalam
mengurangi tingkat kemiskinan.
Agrawal (2007)
Agrawal (2007) menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan
kemiskinan. Pada penelitian ini dianalisis juga hubungan antara perubahan pengeluaran
pemerintah pada sektor sosial terhadap pengurangan tingkat kemiskinan. Agrawal (2007)
dengan data tingkat provinsi di Kazakhstan untuk tahun 1998-2003 menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah pada sektor sosial sangat dibutuhkan untuk pengurangan tingkat
kemiskinan.
Jung, Cho, dan Roberts (2009)
Jung, Cho, dan Roberts (2009) menganalisis efek dari pengeluaran pemerintah terhadap
kemiskinan di Amerika serikat bagian selatan. Pada penelitian ini digunakan data tingkat
counties sebanyak 1195 counties dari 12 states di wilayah selatan selatan Amerika Serikat.
Penelitian menggunakan metode GWR (Geographically weighted regression), di mana data
pengeluaran pemerintah yang dipakai dalam penelitian berasal dari data tiga tahun sebelum dari
data kemiskinan yang dipakai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah
untuk fasilitas rekreasi merupakan pengeluaran yang paling efektif dalam mengurangi tingkat
kemiskinan.
Mehmood dan Sadiq (2010)
Mehmood dan Sadiq (2010) menganalisis hubungan antara pengeluran pemerintah dan
tingkat kemiskinan, dengan menggunakan data dari tahun 1976-2010 di Pakistan. Pada
penelitian ini pengeluaran pemerintah diukur dengan persentase terhadap PDB,dan menggunakan
metode ECM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah mengurangi tingkat
kemiskinan, namun hal ini ditentukan oleh komposisi dari pengeluaran.
Tridico (2010)
Tridico (2010) dengan data cross-section 50 ETE (Emerging Transition Economies) pada
tahun 2004 menganalisis kualitas dari pertumbuhan ekonomi di ETE. Hasil penelitian
menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi tingkat kemiskinan. Dalam
penelitian ini, Tridico menyarankan untuk mengurangi tingkat kemiskinan, suatu negara
membutuhkan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan dan pendidikan yang tinggi, serta tingkat
stabilitas politik yang tinggi. Pada sisi pengeluaran pemerintah, pengeluaran untuk kesehatan
memiliki pengaruh yang lebih besar, namun tingkat stabilitas politik ditemukan sangat
mempengaruhi pengurangan tingkat kemiskinan.
Penelitian yang akan dilakukan penulis sendiri rencananya akan menguji hubungan antara
pengalokasian anggaran pemerintah pada tingkat Kabupaten/Kota terhadap pengurangan tinghkat
kemiskinan. Metode yang akan digunakan dimodifikasi dari model pada penelitian Ravallion
dan Datt (1999). Variabel pengeluaran yang akan diuji sebagaimana disarankan dari penelitian-
penelitian terdahulu adalah menggunakan pengeluaran pembangunan pada sektor pertanian,
kesehatan,dan pendidikan serta belanja untuk bantuan sosial.