Keindahan Kebahasaan Geguritan Karya Triman Laksana
dalam Buku Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta
Arip Purwanto
1, Widhyasmaramurti
2
1,2 Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok,
Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini membahas aspek-aspek keindahan geguritan karya Triman Laksana yang terdiri atas lima judul,
yaitu Kaca Pengilon, Babahan Sanga, Laut, Kayon, dan Asbak , yang diambil dari antologi Pesta Emas Sastra
Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Teori yang digunakan adalah kajian stilistika menurut Ali Imron Al-Ma‟ruf.
Stilistika merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk mengkaji suatu karya sastra dengan cara menganalisis
bahasa yang digunakan. Kajian Stilistika yang digunakan meliputi lima aspek, yaitu gaya bunyi, gaya kata, gaya
kalimat, bahasa figuratif dan citraan.. Pada akhir penelitian, dapat diketahui bahwa keindahan kebahasaan
geguritan karya Triman Laksana muncul melalui pemilihan kata-kata yang khas. Hal ini terlihat dari penggunaan
judul yang bermakna denotatif, akan tetapi makna geguritan yang mendalam muncul setelah dikaitkan dengan isi
geguritan yang menggunakan kata-kata konotatif.
The Language Aesthetics of Triman Laksana’s Poetries in Pesta Emas Sastra Jawa
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Abstract
The topic of this research discusses about the aesthetics aspects of Triman Laksana‟s poetries. Five poetries
which were analyzed by stylistic theory in this research were taken from antology book with a title Pesta Emas
Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. The aanalysis is based on Ali Imron Al-Ma‟ruf stylistic theory which
analyzes literature from five aspects: the style of sounds, words, sentences, figurative language used and
imageries that occur in each of the poetry. The result of this research shows significant characteristics of the
unique words that were chosen All of the words that were used dan written for the title are having denotative
meaning while, the words that are used in the poetries‟ contents are mostly having connotative meaning.
Keyword: The language aesthetics of poetry, Triman Laksana.
Pendahuluan
Geguritan merupakan jenis puisi Jawa
modern yang muncul pada “akhir dasawarsa
duapuluhan abad ke-20” (Karsono, 2001: 42).
Berbeda dengan puisi-puisi Jawa tradisional yang
masih terikat kuat dengan aturan-aturan metrum,
geguritan merupakan puisi Jawa yang lebih bebas
dan sudah tidak terikat oleh aturan-aturan metrum
seperti pada puisi-puisi Jawa tradisional
sebelumnya. Hal tersebut merupakan bagian dari
aspek keindahan yang ingin dimunculkan oleh
pengarang geguritan. Penjelasan di atas senada
dengan pernyataan bahwa sebagai bentuk karya
sastra, dalam hal ini puisi Jawa, geguritan tentu
mempunyai keindahan yang muncul, misalnya
melalui pemilihan kata yang digunakan.
Geguritan banyak dimuat di dalam
majalah-majalah berbahasa Jawa, seperti Kejawen,
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
Djoko Lodhang, Jaya Baya, Pagagan, dan
Panjebar Semangat. Majalah-majalah tersebut
menyediakan ruang khusus bagi penulis-penulis
puisi, khususnya geguritan, untuk dapat menulis
dan menyebarkan karya-karyanya yang pada
akhirnya karya-karya yang dihasilkan dapat
dikenal dan dinikmati oleh masyarakat luas. Seiring
dengan perkembangan puisi, khususnya geguritan,
banyak buku yang menjadi ruang ekspresi bagi
penulis geguritan yang telah diterbitkan, sebagai
contoh, buku antologi1 puisi yang berjudul
Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak
disusun oleh Danu Priyo Prabowo dan diterbitkan
pada tahun 1997 oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Dalam Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak
terdapat sepuluh penulis geguritan dan sepuluh
pengarang cerkak2 dengan gaya penulisan yang
berbeda-beda, tetapi hanya memuat dua jenis karya
sastra, yaitu geguritan dan cerkak. Selain itu,
penulis juga menemukan buku antologi lain yang
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Buku
ini berjudul Pesta Emas Sastra Jawa Daerah
Istimewa Yogyakarta disusun oleh Linus Suryadi
AG serta Danu Priyo Prabowo, dan diterbitkan pada
tahun 1995 atau dua tahun sebelum buku antologi
Pisungsung: Antologi Geguritan lan Cerkak
diterbitkan.
Penelitian ini menggunakan buku Pesta
Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagai sumber geguritan yang akan diteliti. Ada
dua pertimbangan mengapa antologi Pesta Emas
Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih
sebagai acuan data utama. Pertama, antologi Pesta
Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta
merupakan antologi yang cukup lengkap, dengan
berisi setidaknya empat genre karya sastra, yaitu
geguritan, cerita cekak, macapat dan siteran.
Kedua, pengarang geguritan dalam buku ini lebih
banyak dari buku Pisungsung: Antologi Geguritan
lan Cerkak. Dibandingkan buku Pisungsung:
Antologi Geguritan lan Cerkak yang hanya memuat
sepuluh pengarang geguritan, dalam buku antologi
Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa
Yogyakarta, tercatat ada sebelas pengarang
geguritan, sepuluh penulis cerita cekak, sepuluh
penulis macapat dan lima grup penulis siteran.
Jumlah pengarang geguritan yang lebih banyak
dalam buku antologi Pesta Emas Sastra Jawa
Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi
pertimbangan penulis untuk memilih antologi ini
1 Antologi adalah kumpulan karya sastra pilihan
(baik puisi maupun prosa) dari seorang atau
beberapa pengarang (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1990: 43). 2Cerkak merupakan singkatan dari cerita cekak.
Cerkak adalah cerita pendek (cerpen) yang
mengisahkan sebuah cerita atau suatu peristiwa
tertentu.
karena lebih leluasa untuk menentukan salah satu
penyair yang akan digunakan sebagai sumber data.
Dari sekian banyak penyair dan pengarang yang
ada di dalam buku antologi Pesta Emas Sastra
Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta, penulis akan
mengambil karya dari salah satu penyairnya, yaitu
Triman Laksana.
Triman Laksana merupakan seorang
penyair dengan latar belakang budaya Jawa dan
merupakan lulusan SMA. Triman Laksana secara
aktif menulis dan menghasilkan karya sastra berupa
geguritan dan banyak menghasilkan puisi
berbahasa Indonesia. Banyak karya Triman
Laksana yang berbahasa Jawa dan Indonesia dimuat
dalam antologi Momentum (kumpulan puisi 30
penyair Yogyakarta), Langit Biru Langit Merah,
Satu, Alif Lam Mim, Rembulan Padhang ing
Ngayogyakarta (FKY IV, 1992), Pangilon (FKY
VI, 1994). Dari berbagai antologi yang disebutkan,
dapat dikatakan bahwa Triman Laksana merupakan
penyair yang secara produktif menghasilkan karya
sastra, baik berbentuk puisi berbahasa Indonesia
maupun geguritan. Hal inilah yang menjadi
pertimbangan penulis untuk meneliti dan
menganalisis karya-karya yang dihasilkan oleh
Triman Laksana.
Akan tetapi, dalam menganalisis karya
sastra --seperti menganalisis geguritan Triman
Laksana-- hal utama yang perlu diperhatikan
adalah unsur-unsur pembangun sastra. Kata,
kalimat, bait, dan sebagainya merupakan struktur
yang membangun sastra. Untuk dapat menemukan
struktur-struktur yang membangun sastra, perlu
digunakan kajian yang tepat sebagai acuan untuk
analisis. Kajian stilistika merupakan acuan yang
dipilih untuk menganalisis geguritan-geguritan
karya Triman Laksana karena stilistika meneliti ciri
khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, yang
membedakan atau mempertentangkannya dengan
wacana nonsastra, meneliti deviasi terhadap tata
bahasa (Sudjiman, 1993: 3).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa stilistika
merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk
mengkaji suatu karya sastra dengan cara
menganalisis bahasa yang digunakan, mengingat
bahasa merupakan medium utama dalam karya
sastra. Hal ini senada dengan yang dikemukakan
oleh Al-Ma‟ruf (2009: 12), bahwa stilistika
merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian
bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh
pemberdayaan potensi dan keunikan bahasa.
Pendapat Al-Ma‟ruf inilah yang akan digunakan
penulis sebagai acuan teori dalam menganalisis
geguritan karya Triman Laksana. Hal ini karena
Triman Laksana memiliki kekhasan dalam
keindahan kebahasaan yang muncul dalam
geguritan-geguritannya. Oleh sebab itu, penelitian
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
ini mengkaji keindahan kebahasaan pada geguritan-
geguritan karya Triman Laksana.
Permasalahan
Permasalahan penelitian ini adalah
bagaimana keindahan kebahasaan membangun
geguritan Triman Laksana dalam buku Pesta Emas
Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta?
Tujuan Penelitian
Sebagaimana yang tercermin dalam
permasalahan, penelitian ini bertujuan untuk
menemukan keindahan kebahasaan yang
membangun geguritan Triman Laksana dalam buku
Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa
Yogyakarta. Melalui keindahan kebahasaan
diharapkan dapat dilihat ciri khas dari geguritan-
geguritan karya Triman Laksana.
Sumber Data
Penulis menggunakan geguritan karya
Triman Laksana yang berasal dari buku Pesta Emas
Sastra Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Buku
Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa
Yogyakarta disunting oleh Linus Suryadi AG dan
Danu Priyo Prabowo, kemudian diterbitkan oleh
Pustaka Pelajar pada tahun 1995. Buku antologi ini
berisi beberapa bentuk karya sastra beserta
beberapa penyair dan pengarang. Penulis memilih
geguritan sebagai bahan penelitiannya, khususnya
geguritan karya Triman Laksana. Geguritan karya
Triman Laksana dalam buku antologi tersebut
terdapat sepuluh judul yaitu: (1) kaca pengilon; (2)
mutiara putih; (3) babahan sanga; (4) laut; (5)
kayon; (6) kamar isolasi; (7) kidunge Arjuna ing
Bharatayuda kanggo Adipati Karna; (8) merapi
November 22; (9) ana ngisor gendera; dan (10)
asbak. Akan tetapi, penulis akan mempersempit
penelitian menjadi lima judul saja yang akan
dijadikan sebagai objek penelitian, yaitu (1) kaca
pengilon; (2) babahan sanga; (3) laut; (4) kayon;
dan (5) asbak. Pemilihan lima judul tersebut
didasarkan atas asumsi penulis bahwa kelima judul
geguritan karya Triman Laksana yang dipilih,
menggunakan ragam kata denotatif dan konotatif
yang kental antara judul dengan isi geguritan,
sehingga menimbulkan multiinterpretasi mengenai
makna geguritan. Kemudian, untuk lima judul lain
yang tidak diteliti atau tidak digunakan sebagai
objek penelitian, karena kata-kata yang
dimunculkan lebih dominan menggunakan kata-
kata yang secara leksikal sudah diketahui
maknanya, sehingga makna puisi secara
keseluruhan dapat diketahui dengan jelas.
Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif-analitik, yaitu
menganalisis data melalui teori yang digunakan
dalam penelitian ini. Langkah kerja yang dilakukan
diawali dengan pengumpulan data yaitu penentuan
geguritan yang akan diteliti yang berasal dari buku
Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa
Yogyakarta. Langkah kedua yaitu melakukan
pengklasifikasian data, dan langkah ketiga
melakukan analisis terhadap data yang
dikumpulkan menggunakan teori yang telah
ditentukan, yaitu teori stilistika. Langkah kerja yang
terakhir adalah kesimpulan yang menjawab
pertanyaan yang telah diajukan pada permasalahan
yaitu untuk menemukan aspek keindahan bahasa
pada geguritan Triman Laksana.
Kerangka Teoritis
Aspek keindahan karya sastra dapat
ditinjau melalui dua segi, yaitu segi bahasa dan segi
keindahan itu sendiri (Ratna, 2007: 112). Pada
karya sastra, khususnya puisi atau geguritan, segi
bahasa menjadi perhatian khusus yang dibahas.
Melalui analisis terhadap kebahasan inilah akan
tampak aspek keindahan pada puisi atau geguritan
yang difokuskan sebagai objek kajian dalam skripsi
ini. Bahasa merupakan medium utama karya sastra
yang bersifat diskursif, artinya tidak bersambungan
(Ratna, 2007: 144). Dengan kata lain, bahasa harus
dibaca huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat
demi kalimat, demikian seterusnya, sehingga akan
ditemukan makna secara keseluruhan. Pada sisi
lain, pada huruf, kata, dan kalimat sudah
terkandung aspek keindahan, akan tetapi keindahan
tersebut tentu belum mewakili makna keseluruhan
yang dimaksudkan. Oleh karena itu, makna secara
keseluruhan dari sebuah puisi atau geguritan dapat
diketahui setelah dilakukan analisis yang tepat dan
jelas pula.
Penelitian ini membahas analisis
keindahan kebahasaan yang dilakukan terhadap
geguritan karya Triman Laksana dalam buku
antologi Pesta Emas Sastra Jawa Daerah Istimewa
Yogyakarta. Untuk menemukan aspek keindahan
kebahasaan dan makna secara keseluruhan dari
geguritan karya Triman Laksana tersebut, maka
akan dilakukan analisis dengan menggunakan teori
stilistika menurut Ali Imron Al-Ma‟ruf yang
meliputi lima aspek yaitu (1) Gaya Bunyi (Fonem);
(2) Gaya Kata (Diksi); (3) Gaya Kalimat
(Sintaksis); (4) Bahasa Figuratif (Figurative
Language); dan (5) Citraan.
Gaya Bunyi dapat berkait erat dengan rima
atau guru lagu yang muncul dalam puisi. Peran
bunyi dalam suatu puisi sangat penting karena
menimbulkan efek dan kesan tertentu. Gaya Kata
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
dalam suatu puisi dapat dilihat dari penggunaan
kata-kata dalam puisi. Penggunaan kata-kata
konotatif dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda
dari makna yang seharusnya dari penggunaan kata
konotatif tersebut, sehingga dapat ditemukan aspek
keindahan yang muncul. Gaya Kalimat berkaitan
dengan penggunaan kalimat dalam puisi. Kalimat-
kalimat dalam baris puisi umumnya menggunakan
kalimat yang singkat dan padat, tetapi masih dapat
menggambarkan apa yang dimaksudkan oleh
penyair. Bahasa Figuratif (Figurative Language)
berkaitan dengan bahasa kias yang dimunculkan
dalam puisi. Bahasa figuratif digunakan oleh
penyair untuk menyampaikan gagasan secara tidak
langsung atau melalui kata-kata yang sebenarnya
berbeda makna secara leksikalnya. Dengan kata
lain, dengan pemunculan bahasa kias pembaca
diajak menginterpretasikan puisi secara lebih
mendalam, tidak terbatas pada makna leksikal dari
kata-kata yang dimunculkan. Citraan atau imaji
dalam karya sastra khususnya puisi berperan
penting untuk menimbulkan pembayangan
imajinatif. Citraan merupakan penggambaran yang
dilakukan oleh penyair untuk mempengaruhi
pembaca agar terbawa dan ikut merasakan serta
menghayati maksud dari apa yang ingin
disampaikan penyair melalui puisi yang
diciptakannya. Oleh sebab itu, fungsi citraan dalam
puisi lebih untuk menghidupkan imaji-imaji yang
ada dalam pikiran pembaca. Kelima aspek inilah
yang juga merupakan unsur pembangun keindahan
kebahasaan pada geguritan karya Triman Laksana
seperti yang dapat dilihat pada bagian analisis
penelitian.
Analisis Penelitian
1. Judul geguritan: Kaca Pengilon
Pada geguritan ini, gaya bunyi tampak
pada penggunaan guru lagu yang dominan,
misalnya penggunaan akhiran bunyi /u/ dan /a/.
Akan tetapi, keindahan kebahasaan pada geguritan
Kaca Pengilon yang tampak signifikan, muncul
melalui gaya kata yang dimunculkan. Pada gaya
kata, terlihat bahwa judul Kaca Pengilon yang
memiliki makna leksikal „cermin‟ merupakan kata
dengan makna denotatif yang mengacu kepada
benda berupa kaca satu arah yang umumnya
dipergunakan untuk melihat diri sendiri. Akan
tetapi, jika dikaitkan dengan isi geguritan, judul
tersebut bermakna konotatif karena penggunaan
kosakata tokoh-tokoh pewayangan yang sebenarnya
bukan mengacu pada nama tokoh pewayangan,
melainkan sifat tokoh-tokoh pewayangan yang
dimunculkan. Hal inilah yang dapat dilihat bahwa
aspek keindahan muncul melalui penggunaan gaya
kata.
Kemudian, melalui gaya kalimatnya,
geguritan Kaca Pengilon menggunakan kalimat
singkat dan pendek, tetapi dapat menyampaikan
pesan yang diinginkan oleh penyair. Walaupun
gaya kalimat geguritan ini sama seperti gaya
kalimat puisi pada umumnya, tetapi unsur
keindahan bahasa juga muncul melalui bahasa
figuratif yang dominan dalam bentuk pemunculan
majas metonimia. Majas metonimia, majas yang
menggunakan sebuah objek yang berdekatan
dengan objek yang dimaksudkan. Majas ini
digunakan oleh Triman Laksana, melalui
penggunaan kosakata tokoh pewayangan yaitu
tokoh Bethara Kala, Dasamuka, Dursasana, dan
Bisma. Kosakata Bethara Kala, Dasamuka dan
Dursasana dalam geguritan ini memiliki makna
konotatif karena mengacu kepada sifat dari tokoh
pewayangan tersebut yang menggambarkan sifat
buruk manusia, sedangkan kosakata Bisma
digunakan untuk menggambarkan sifat yang baik.
Maka dapat dilihat bahwa latar belakang penyair
dengan pengetahuan budaya Jawanya tidak bisa
lepas dari dimunculkan melalui penggunaan majas
metonimia, aspek keindahan muncul secara
asosiatif yang karena tidak secara langsung
disampaikan, melainkan melalui gambaran karakter
tokoh pewayangan Jawa. Pada bagian citraan,
Dalam geguritan Kaca Pengilon ini, muncul pada
penggunaan majas-majas metonimia. Penyair
memanfaatkan citraan visual pada pada pertama
hingga keempat melalui penggunaan majas
metonimia. Penggambaran diri penyair dilukiskan
dengan menghidupkan imaji visual dalam diri
pembaca melalui pemilihan kata-kata maupun
kalimat yang dimunculkan dalam geguritan,
misalnya pemunculan kata kaca pengilon,
penggambaran melalui sosok Bethara Kala,
Dursasana, Dasamuka, dan Bisma yang semuanya
mengacu pada makna konotatif, tidak hanya
terbatas pada makna leksikal semata.
2. Judul geguritan: Babahan Sanga
Geguritan ini tidak memiliki unsur pembangun
yang dominan dari segi gaya bunyi, dan gaya
kalimat. Hal ini karena gaya bunyi hanya
menampilkan purwakanthi seperti pada marang
tlatah kasoran jangkah (gatra 4 pada 3),
sedangkan untuk gaya kalimat, kekhasan hanya
dimunculkan melalui penggunaan tanda baca titik
(.) sebagai pemotong kalimat. Keindahan
kebahasaan geguritan Babahan Sanga muncul
melalui gaya kata, bahasa figuratif dan citraan.
Pada gaya kata, keindahan kembali muncul melalui
hubungan antara judul Babahan Sanga yang
bermakna denotatif, dan hubungannya dengan
pilihan kata-kata bermakna konotatif yang memiliki
makna tambahan yang muncul secara tersirat
sebagai „sembilan lubang‟ yang merepresentasikan
sembilan nafsu dalam hidup manusia. Keindahan
pilihan kata yang muncul dalam isi geguritan dapat
lebih dipahami melalui unsur bahasa figuratif, di
mana aspek keindahan tampak melalui penggunaan
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
majas majas metonimia seperti pada contoh (a)
berikut.
(a) kumandhang swara-swara angin
(gatra 1 pada 1)
tansah milut kabeh ukara
(gatra 2 pada 1)
kanggo ganda-ganda bacin
(gatra 3 pada 1)
marani endi titisane kebak lelimengan
(gatra 5 pada 1)
reresik sakabehing rereged
(gatra 3 pada 4)
Lima gatra geguritan di atas merupakan majas
metonimia karena sebenarnya yang ingin
digambarkan melalui kalimat tersebut adalah indera
yang ada pada manusia. Kata yang dicetak tebal
menjadi tanda yang dapat digunakan sebagai kata
kunci bahwa kalimat-kalimat tersebut merupakan
majas metonimia. Kata kumandhang swara-swara
„gaung suara-suara‟ berkaitan dengan indera
telinga, kata milut kabeh ukara „merangkai semua
kata‟ berkaitan dengan indera mulut, ganda-ganda
bacin „bau-bau yang tidak sedap‟ berkaitan dengan
indera penciuman atau hidung, lelimengan „sangat
gelap‟ berhubungan dengan indera penglihatan atau
mata, dan rereged „kotoran‟ berkaitan dengan
lubang pembuangan atau dubur. Hal tersebut
menunjukkan karakter Triman Laksana sebagai tipe
seorang penyair yang ingin menyampaikan pesan
melalui sesuatu perumpamaan. Melalui geguritan
ini, Triman Laksana berusaha bermain kata-kata
untuk menarik perhatian dan kekritisan pembaca
dalam memahami karyanya.
Kemudian untuk citraan, sesuai dengan
arti Babahan Sanga, yaitu „sembilan lubang‟,
Triman Laksana berusaha untuk menggambarkan
sembilan lubang nafsu dalam diri manusia yang
harus dijaga dan dimanfaatkan sesuai dengan yang
seharusnya. Kesembilan lubang tersebut adalah
mata (2 buah), telinga (2 buah), lubang hidung (2
buah), mulut, kemaluan, dan dubur atau anus.
Geguritan Babahan Sanga juga merupakan bentuk
realisasi Triman Laksana untuk menyampaikan
konsep budaya Jawa yang dia mengerti dan pahami
dalam bentuk puisi modern. Konsep budaya Jawa
tersebut mengacu pada pesan bahwa masyarakat
Jawa mempercayai bahwa dalam tubuh manusia
terdapat sembilan lubang. Sembilan lubang tersebut
mempunyai peranan masing-masing bagi manusia
sehingga manusia tidak boleh menyalahgunakan
peranan sembilan lubang tersebut bagi
kehidupannya, agar manusia terhindar dari segala
macam musibah. Sembilan lubang pada tubuh
manusia tersebut oleh masyarakat Jawa kemudian
dikenal dengan istilah Babahan Sanga yang dapat
diartikan sembilan jalan atau sembilan lubang.
3. Judul Geguritan: Laut
Pada geguritan Laut, keindahan
kebahasaan yang membangun geguritan secara
umum sama dengan 2 geguritan sebelumnya.
Dalam hal ini, gaya bunyi, dan gaya kalimat
bukanlah unsur yang dominan karena dalam gaya
bunyi tidak tampak adanya pemanfaatan guru lagu
dan purwakanthi yang dominan, sedangkan pada
gaya kalimat terlihat bahwa kalimat dalam
geguritan Laut hanya menampilkan bentuk satu
kalimat dalam beberapa baris. Akan tetapi gaya
kata, bahasa figuratif dan citraan merupakan unsur
pembangun yang dominan menunjukkan keindahan
kebahasaan.
Pada gaya kata, geguritan Laut
menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan
keadaan di laut, namun makna geguritan secara
keseluruhan tidak sekedar menceritakan kehidupan
laut, melainkan menggambarkan mengenai
kehidupan manusia di dari hidup hingga wafatnya,
yaitu kehidupan manusia selama hidup di dunia
maupun nanti setelah manusia tersebut meninggal
dunia. Pada dasarnya pemilihan kata yang
dilakukan oleh Triman Laksana berhubungan
dengan laut, sesuai dengan judulnya. Akan tetapi
makna secara keseluruhan dari geguritan tersebut
tentu berbeda dengan yang sekedar diketahui dari
makna kata satu persatu. Hal ini menunjukkan
bahwa kata-kata yang digunakan dalam geguritan
Laut bersifat konotatif secara makna, yang tentu
saja kembali menunjukkan aspek keindahan
geguritan melalui kekuatan permainan kata-kata
konotatif yang membuat pembaca harus memiliki
kekritisan dan pemahaman yang dalam agar dapat
memahami geguritan ini.
Selanjutnya, pada bagian bahasa figuratif,
Triman Laksana kembali memunculkan majas
untuk membangun geguritannya. Majas yang
dimunculkan adalah majas personifikasi, yaitu
majas yang menyamakan benda mati seolah-olah
dapat hidup layaknya manusia. Penulis
menggunakan majas personifikasi untuk
menghubungkan antara konsep budaya Jawa
dengan pemahaman religi. Terlebih karena
geguritan ini memiliki pengaruh religi yang kuat
yang tergambar dalam bagian citraan. Pada citraan,
Triman Laksana menggunakan tema religi sangat
kuat di mana Triman Laksana mempercayai bahwa
kehidupan setelah di dunia pasti ada, yaitu
kehidupan akhirat dan Triman juga mempercayai
bahwa segala hal yang dilakukan manusia di dalam
dunia baik maupun buruk pasti akan
dipertanggungjawabkan oleh manusia tersebut dan
akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang
telah diperbuat. Akan tetapi, kesempatan untuk
memperbaiki kesalahan pasti masih tetap ada bagi
yang ingin mengubah kehidupan yang lebih baik
lagi. Makna yang muncul pada citraan
menunjukkan bahwa geguritan Laut membutuhkan
pemahaman dari para pembaca sehingga mereka
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
dapat memahami makna dari kata-kata konotatif
maupun majas yang dimunculkan pada setiap pada-
pada geguritan ini.
4. Judul Geguritan: Kayon
Pada geguritan Kayon, gaya bunyi,
dikatakan tidak mendominasi keindahan
kebahasaan karena tidak tampak pemanfaatan guru
lagu yang dominan. Keindahan kebahasaan
geguritan Kayon muncul melalui gaya kata, gaya
kalimat, bahasa figuratif dan citraan. Pada gaya
kata, keindahan kebahasaan dimunculkan melalui
hubungan antara judul, Kayon yang bermakna
denotatif dengan arti leksikal „pepohonan‟; dengan
kata-kata pada bagian isi yang memiliki makna
yang lebih luas. Geguritan ini menunjukkan bahwa
kata-kata yang digunakan bukan mengacu kepada
pepohonan, melainkan memiliki makna yang lebih
luas sebagai ajaran/noma yan patut dilaksanakan di
tengah kehidupan manusia. Oleh sebab itu,
geguritan ini kental dengan kata-kata bemakna
konotatif. Pada gaya kalimat, geguritan Kayon
menggunakan tanda baca untuk memenggal sebuah
kalimat, baik berupa titik (.), maupun koma (,),
seperti pada contoh (b).
(b) dadi winih suci. nyuburake tetanduran
yekti
(gatra 4 pada 1)
budi kang nggantung ana angkasa. dudu
ngayawara
(gatra 5 pada 1)
ilang tanpa enggok. diedohake laku tama
(gatra 6 pada 2)
kandheg patrem, ing telenging bumi
(gatra 1 pada 2)
wektu terus lumaku, ngebaki lemah-lemah
(gatra 2 pada 1)
ringkih, ana tetese waspa tanpa krana
(gatra 4 pada 2)
Melalui penggunaan kalimat manasuka yang
memanfaatkan tanda baca titik dan koma sebagai
pemenggal kalimat. Dapat dikatakan bahwa
keindahan kebahasaan muncul karena kalimat yang
digunakan bersifat manasuka, yaitu tanda baca titik
(.) yang biasanya diletakkan pada akhir kalimat,
tetapi pada geguritan Kayon, penggunaan tanda
baca titik atau koma (,) diletakkan sebagai
pemenggal kalimat. Selain aspek gaya kalimat,
keindahan dalam geguritan Kayon juga tampak
pada aspek bahasa figuratif. Seperti halnya pada 3
geguritan sebelumnya Triman Laksana
menggunakan penggunaan majas, kali ini Triman
Laksana juga menggunakan majas metafora, yaitu
majas yang menyatakan suatu hal dengan
menggunakan suatu perumpamaan tertentu (Becker
dalam Pradopo, 2009: 61). Majas metafora tampak
pada kalimat wong wadon gampang udhar tapihe,
yang menggambarkan bahwa perempuan zaman
sekarang sangat susah atau tidak mau untuk
menjaga kehormatannya sendiri.
Terakhir, unsur pembangun geguritan
Kayon yang menunjukkan keindahan kebahasaan
muncul melalui citraan. Pada geguritan Kayon,
citraan digunakan oleh Triman Laksana untuk
memperkenalkan dan menanamkan konsep berpikir
orang Jawa mengenai ajaran tingkah laku. Manusia
pada dasarnya telah ditanamkan norma-norma
kepatutan, kesopanan dan tingkah laku yang baik
melalui pengajaran-pengajaran orang tua maupun
pengalaman pribadi. Akan tetapi, norma-norma
yang baik tersebut akan berkurang atau hilang jika
manusia tidak dapat menjaga dengan baik.
Meskipun pengaruh-pengaruh zaman sangat besar,
manusia perlu menjaga norma-norma yang ada di
dalam hatinya dengan baik agar tidak ada
penyimpangan-penyimpangan yang dapat
merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kata-
kata konotatif yang muncul dalam geguritan Kayon
menimbulkan pembayangan imajinatif (citraan)
terhadap makna geguritan. Kayon, jika dikaitkan
dengan budaya Jawa, merupakan gunungan yang
digunakan pada pementasan wayang. Pada akhir
pementasan wayang selalu ditandai dengan istilah
tancep kayon „menancapkan gunungan‟, yang
mempunyai arti bahwa pertunjukan telah selesai.
Hal ini juga berhubungan dengan kehidupan
manusia bahwa pada akhirnya kehidupan manusia
di dunia akan ada batas akhirnya, yaitu manusia
pasti akan meninggal. Keadaan seperti itulah yang
ingin disampaikan oleh Triman Laksana dalam
geguritan Kayon ini.
Seperti halnya geguritan-geguritan yang
lain, geguritan Kayon juga memiliki kedalaman
makna yang membutuhkan kekritisan dan
pemahaman dari pembaca. Melalui geguritan ini,
Triman Laksana ingin menyampaikan bahwa
zaman sangat berpengaruh terhadap perubahan budi
pekerti manusia. Akan tetapi, manusia sudah
selayaknya untuk menjaga budi pekerti dengan
baik.
5. Judul Geguritan: Asbak
Keindahan kebahasaan geguritan Asbak
tampak pada hampir semua aspek kajian stilistika
yang digunakan sebagai acuan analisis, khususnya
pada aspek gaya kata, gaya kalimat, bahasa
figuratif, dan citraan, kecuali gaya bunyi yang
hanya memanfaatkan beberapa purwakanthi dan
guru lagu yang beragam. Pada gaya kata, terlihat
bahwa judul merupakan kata yang bermakna
denotatif atau sebenarnya yaitu berkaitan dengan
asbak atau tempat pembuangan abu dan puntung
rokok. Akan tetapi, setelah dikaitkan dengan isi
geguritan, maka judul kemudian beralih makna
menjadi konotatif karena kosakata asbak digunakan
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
Triman Laksana untuk menggambarkan kehidupan
manusia di dunia yang hanya sementara, akan ada
akhirnya dan akan kembali kepada Sang Pencipta,
seperti keadaan rokok yang pada akhirnya akan
habis dan menjadi abu. Penggunaan kata yang erat
antara makna denotatif dan konotatif ini merupakan
unsur pembangun geguritan yang khas yang
menunjukkan keindahan geguritan karya Triman
Laksana.
Pada bagian gaya kalimat, aspek
keindahan muncul melalui penggunaan struktur
kalimat yang tidak wajar, yaitu lebih bersifat
manasuka karena menggunakan tanda baca koma
sebagai pemotong kalimat, yang tampak pada
contoh (c) di bawah ini.
(c) tetep madhep mantep, tanpa swala
mbuktekake sasawangan kang nuspra,
anak pandelengan
(gatra 3 dan 7 pada 1)
ngebaki bunderane Gusti, meneri badan
sapata
kepara isih tekan jumedhule, kebak
sanepa.
(gatra 2 dan 6 pada 2)
Hal ini menunjukkan bahwa Triman
Laksana sebagai seorang penyair memanfaatkan
licentia peotica3 dalam menciptakan karya
geguritan.
Aspek keindahan berikutnya muncul
melalui bahasa figuratif. Keindahan muncul melalui
penggunaan kata majemuk yang dominan, yaitu
terdapat tiga kata majemuk:
madhep mantep
(gatra 3 pada 1)
Kata madhep mantep berasal dari kata madhep
yang berarti menghadap dan mantep yang berarti
serius. Akan tetapi, kata tersebut tidak bisa
diartikan satu persatu karena merupakan satu
kesatuan makna yang berarti tegar.
badan sapata
(gatra 2 pada 2)
kata badan sapata tersebut berasal dari kata badan
yang berarti tubuh dan kata sapata yang berarti
sumpah. Kata badan sapata juga merupakan satu
kesatuan makna yang berarti garis hidup manusia.
3 Licentia poetica merupakan kebebasan seorang
sastrawan untuk menyimpang dari bentuk atau
aturan konvensional, tidak mengikuti aturan
ketatabahasaan baku, untuk mencapai efek yang
dikehendaki oleh sastrawan (Sudjiman, 1993: 18).
jantra baya
(gatra 4 pada 2)
kata jantra baya berasal dari kata jantra yang
berarti roda dan kata baya yang berarti bahaya.
Seperti dua kata sebelumnya, kata jantra baya juga
tidak dapat diartikan satu persatu melainkan
merupakan satu kesatuan arti yaitu cobaan atau
halangan. Kesimpulan dari pembahasan bahasa
figuratif di atas adalah bahwa beberapa kata
majemuk yang muncul pada geguritan Asbak selain
digunakan sebagai pilihan kata konotatif juga
digunakan untuk menambah efek estetis geguritan
karena kata-kata madhep mantep, badan sapata,
dan jantra baya tidak harus diartikan satu persatu
makna kata leksikalnya.
Aspek keindahan yang terakhir muncul
melalui citraan. Pada bagian citraan, geguritan
Asbak menggambarkan tentang manusia yang pada
nantinya akan berakhir dan akan ada kehidupan
akhirat. Pada kehidupan akhirat inilah nantinya
manusia akan menanggung segala perbuatan yang
baik dan buruk yang telah dilakukan di dalam
kehidupan sebelumnya, yaitu kehidupan dunia.
Pada dasarnya kehidupan di dalam dunia penuh
dengan rahasia dan manusia harus mencari jawaban
atas rahasia-rahasia tersebut. Hal itu dilakukan agar
manusia tidak tersesat ke dalam keburukan. Selain
itu, dapat mempertanggungjawabkan segala
perbuatan yang telah dilakukan di dunia nanti di
dalam kehidupan akhirat.
Geguritan Asbak karya Triman Laksana
ini mempunyai tema religi tentang kehidupan
manusia di dunia dan akhirat, serta hubungannya
dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Pembayangan
imajinatif tersebut muncul setelah pembaca dapat
menganalisis dan memahami pemilihan kata
maupun makna konotatif kata yang ada secara
keseluruhan di dalam geguritan.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat
dilihat bahwa Triman Laksana memiliki keindahan
kebahasaan yang khas, yang dominan pada unsur
gaya kata, bahasa figuratif, dan citraan. Untuk gaya
kalimat, tidak terlalu dominan, dan pada unsur gaya
bunyi, sangat tidak dominan. Secara ringkas, hasil
analisis ini akan ditampilkan dalam Tabel 1 berikut
ini.
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
Tabel 1. Analisis Lima Geguritan karya Triman Laksana.
Kaca Pengilon
Babahan Sanga Laut Kayon Asbak
Gaya
Bunyi
Pemanfaatan
guru lagu
Pemanfaatan
purwakanthi
Pemanfaatan
purwakanthi
Pemanfaatan
purwakanthi
Pemanfaatan
purwakanthi
Gaya Kata Menggunakan
kosakata
tokoh wayang
Muncul
reduplikasi
yang
merupakan
bentuk jamak
Menggunakan
kosakata
bermakna
denotatif dan
konotatif yang
kuat
Muncul
reduplikasi
yang
merupakan
bentuk jamak
Menggunakan
kosakata
bermakna
denotatif dan
konotatif yang
kuat
Muncul
reduplikasi
yang
merupakan
bentuk jamak
Menggunakan
kosakata
bermakna
denotatif dan
konotatif yang
kuat
Muncul
reduplikasi yang
merupakan
bentuk jamak
Menggunakan
kosakata
bermakna
denotatif dan
konotatif yang
kuat
Muncul
reduplikasi
yang
merupakan
bentuk jamak
Gaya
Kalimat
Satu kalimat
terdiri atas lebih
dari satu baris
Satu kalimat
terdiri atas
lebih dari
satu baris.
Menggunakan
tanda baca
titik (.)
sebagai
pemotong
kalimat
Satu kalimat
terdiri atas lebih
dari satu baris
Satu kalimat
terdiri atas lebih
dari satu
baris.Mengguna
kan tanda baca
titik (.) dan
koma (,) sebagai
pemotong
kalimat
Satu kalimat
terdiri atas
lebih dari
satu baris.
Menggunaka
n tanda baca
koma (,)
sebagai
pemotong
kalimat
Bahasa
Figuratif
Muncul majas
metonimia
Muncul majas
metonimia
Muncul majas
personifikasi
Muncul majas
metafora
Muncul
penggunaan kata
majemuk
Citraan Pengaruh budaya
Jawa melalui
pemunculan
kosakata tokoh-
tokoh wayang
Pengaruh
budaya Jawa
melalui
penggambaran
konsep sembilan
lubang pada
tubuh manusia
Pengaruh religi
dalam
hubungannya
dengan
kehidupan
manusia dari
hidup hingga
meninggal
Pengaruh ajaran
budaya Jawa
dalam
hubungannya
dengan norma-
norma kehidupan
(kesopanan dan
kepatutan) yang
harus dijaga
Pengaruh religi
dalam
hubungannya
antara manusia
dengan Tuhan
Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa geguritan
karya Triman Laksana:
1. Dalam gaya bunyi, tidak dominan karena
gaya bunyi hanya muncul melalui
penggunaan purwakanthi-purwakanthi.
Hal ini disebabkan Triman Laksana tidak
menyukai penggunaan permainan bunyi
dalam rangka menciptakan keindahan
geguritan.
2. Dalam gaya kata (diksi), walaupun tidak
disebutkan dalam analisis, namun tampak
dalam geguritan bahwa Triman Laksana
kerap menggunakan gaya kata yang
bersifat reduplikasi, dengan memunculkan
beberapa kata yang mengalami
pengulangan dalam bentuk jamak. Hal
tersebut disebabkan Triman Laksana ingin
menampilkan efek estetis melalui
penekanan kata-kata tersebut. Selain itu,
geguritan karya Triman Laksana dominan
menggunakan kata denotatif untuk judul
geguritan, tetapi akan memunculkan kata-
kata konotatif yang kental bila dikaitkan
dengan isi geguritan.
3. Dalam gaya kalimat, geguritan Triman
Laksana cenderung memiliki gaya kalimat
seperti geguritan pada umumnya, yaitu
satu kalimat terdiri atas beberapa baris
atau gatra. Penggunaan gaya kalimat yang
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
lain adalah dengan memanfaatkan tanda
baca titik (.) dan koma (,) sebagai
pemotong kalimat. Hal ini tentu
mempunyai tujuan untuk menampilkan
kesan keindahan pada geguritan tersebut.
4. Dalam bahasa figuratif, geguritan Triman
Laksana dominan menggunakan majas-
majas yang dapat menunjukkan pemakaian
bahasa kias dalam geguritan. Majas-majas
tersebut digunakan Triman Laksana untuk
menambah efek keindahan dalam
geguritan, karena melalui penggunaan
majas, Triman Laksana bebas
mengungkapkan pesan yang ingin
disampaikan.
5. Dalam citraan, geguritan Triman Laksana
banyak dipengaruhi oleh budaya Jawa.
Selain itu, religi dan hubungan manusia
dengan Tuhan juga sangat kental dalam
geguritan-geguritan karya Triman
Laksana. Hal tersebut dimanfaatkan oleh
Triman Laksana untuk menampilkan aspek
keindahan melalui pesan makna yang
mendalam dari setiap geguritan karya
Triman Laksana.
Kesimpulan
Keindahan kebahasaan yang membangun
geguritan karya Triman Laksana dapat ditemukan
melalui analisis stilistika yang telah dilakukan.
Keindahan kebahasaan dapat diketahui melalui
analisis terhadap 5 aspek yaitu (1) bunyi yang
dimunculkan, (2) pemilihan kata-kata yang
digunakan, (3) kalimat yang muncul, (4) bahasa
figuratif/kias yang muncul, serta (5) citraan; di
mana kelima aspek tersebut merupakan unsur-unsur
stilistika yang dianalisis dalam penelitian skripsi
ini. Pada lima geguritan karya Triman Laksana
yang telah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa
keindahan kebahasaan yang membangun geguritan-
geguritan tersebut sangat kuat pada penggunaan
kata-kata yang khas dan berkarakter, bahasa
figuratif dan citraan yang memancing kekritisan
dan pemahaman pembaca. Penggunaan kata-kata
yang khas dan berkarakter, misalnya pada
geguritan karya Triman Laksana terlihat bahwa
secara umum judul geguritan merupakan kata yang
bersifat leksikal dan mempunyai makna denotatif,
akan tetapi setelah dikaitkan dengan isi dari
geguritan, maka akan muncul kata-kata bermakna
konotatif. Kemudian, pada bagian bahasa figuratif,
Triman Laksana merupakan penyair yang menyukai
penggunaan majas-majas karena Triman Laksana
merupakan tipe penyair yang senang bermain kata-
kata, sehingga bisa lebih bebas mengekspresikan
apa yang ingin disampaikan. Selain itu, pada
citraan, keindahan geguritan muncul karena
menggunakan kata-kata bermakna konotatif yang
tidak dapat secara langsung ditemukan maknanya
oleh pembaca, sehingga menuntut imajinatif
pembaca geguritan tersebut.
Aspek keindahan pada geguritan Triman
Laksana juga dipengaruhi budaya Jawa yang kuat
karena Triman Laksana sebagai penyair ternyata
menggunakan pengaruh konsep-konsep berpikir
orang Jawa dalam menciptakan geguritannya.
Selain pengaruh budaya Jawa tersebut beberapa
geguritan juga menggunakan tema religi sebagai
pendukung atas pengaruh konsep budaya Jawa
tersebut. Dengan mengetahui keindahan
kebahasaan geguritan yang telah disebutkan,
diharapkan penelitian ini dapat menambah
khasanah pengetahuan mengenai geguritan,
khususnya geguritan karya Triman Laksana.
Daftar Referensi
Al-Ma‟ruf, Ali Imron. (2009). Stilistika Teori,
Metode, dan Aplikasi Pengkajian
Estetika Bahasa. Solo: Cakra Books
Solo.
Aminuddin. (1995). Stilistika: Pengantar
Memahami Bahasa dalam Karya
Sastra. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Darnawi, Soesatyo. (1964). Pengantar Puisi Jawa.
Jakarta: Balai Pustaka.
Keraf, Gorys. (1985). Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: PT. Gramedia.
Kushartanti, dkk. (2005). Pesona Bahasa: Langkah
Awal Memahami Linguistik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Luxemburg, Jan Van, dkk. (1989). Pengantar Ilmu
Sastra. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. (2009). Pengkajian
Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Prabowo, Danu Priyo. (1995). Pesta Emas Sastra
Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. (2007). Estetika Sastra dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Saputra, Karsono H. (2001). Puisi Jawa: Struktur
dan Estetika. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra.
Sudaryanto. (1992). Tata Bahasa Baku Bahasa
Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
Sudjiman, Panuti. (1993). Bunga Rampai Stilistika.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Teeuw, A. (1991). Membaca dan Menilai Sastra.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Tim Senawangi. (1999). Ensiklopedi Wayang
Indonesia. Jakarta: Senawangi.
Kamus
Poerwadarminta, W. J. S. (1939). Baoesastra
Djawa. Batavia: J. B. Wolters‟
Uitgevers-Maatschappij N.V.
Prawiroatmodjo, S. (1994). Bausastra Jawa
Indonesia. Jakarta: CV. Masagung.
Lampiran
1. Geguritan Kaca Pengilon
KACA PENGILON CERMIN
Kuwi dudu ragaku Itu bukan ragaku
nanging iku, ragane bethara kala tapi itu, raga Bethara kala
kuwi dudu raiku itu bukan wajahku
nanging iku, raine dasamuka tapi itu, wajah Dasamuka
kuwi dudu jiwaku itu bukan jiwaku
nanging jiwane dursasana tapi jiwa Dursasana
kuwi dudu aku, dudu aku itu bukan aku, bukan aku
kang kepengin dadi bisma yang ingin menjadi Bisma
2. Geguritan Babahan Sanga
BABAHAN SANGA “BABAHAN SANGA”4
kumandhang swara-swara angin gaung suara-suara angin
tansah milut kabeh ukara merangkai semua ucapan
kanggo ganda-ganda bacin. marang kahanan untuk semerbak bau tak sedap. kepada keadaan
diemplok ana pinggiring jagad dimangsa di ujung dunia
marani endi kang didama. iki tandha menuju kepada yang dikehendaki. ini simbol
lingga, yoni padha tetembangan ana m,buri lingga, yoni bersahutan di belakang
4Babahan sanga berasal dari kata babahan yang berarti lubang dan sanga yang berarti sembilan. Dalam konsep
budaya Jawa, babahan sanga mengacu pada sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia (Poerwadarminta,
1939: 23 dan 544).
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
wus ora maclu kudu ditata ana tatanan sudah tak pelak harus ditata pada tatanan
mung mbujung nepsu-nepsu angkasa hanya memburu nafsu-nafsu angkasa
marang tlatah kasoran jangkah kepada tempat jalan yang salah
apa iki kang arane donyaning kuwalik ? apa ini yang dinamakan dunia terbalik ?
3. Geguritan Laut
LAUT LAUT
obahing warna-warna biru gerakan warna-warna biru
padha nyawiji ana jagad netra menyatu dalam satu pandangan
ngebaki rancage tatanan wektu memenuhi akhir tatanan waktu
diluru kanthi nlesih-nlesih laku dicari dengan mencermati perjalanan hidup
kang saya suwe nyedhaki paturon yang semakin lama mendekati peristirahatan
bakal dietungi mbaka siji akan dihitung satu demi satu
endi kang perlu dicathet mana yang perlu dicatat
lembaran-lembaran, ing plataran amba lembaran-lembaran, di tempat luas
bareng ambruke napas-napas pungkasan bersama rubuhnya nafas-nafas terakhir
ombak-ombak wis obah ombak-ombak telah bergerak
nututi playune angin-angin gisik mengikuti lari angin-angin pesisir
menehi pratandha, menawa dalan isih ana memberi tanda, akan jalan masih ada
pangkonan iki tansah dawa pangkuan ini sangat panjang
mapagage laku-laku kang kebak salah menjemput langkah-langkah yang salah
diaras kanthi setiti bareng wengi dijamah dengan cermat bersama malam
banyu-banyu panguripan isih dipepetri air-air penghidupan masih terawat
kari dina-dina kang kebak wewadi menyisakan hari-hari yang penuh misteri
laut-laut manungsa lautan manusia
mbujung raga kang ilang memburu raga yang hilang
ana anggane dhewe-dhewe pada tubuh masing-masing
ing sajroning nepsu kadonyan dalam nafsu duniawi
dina iki, dina isih padha hari ini, hari masih sama
mlayoni dina-dina kang kalah lari dari hari-hari yang kalah
padha karo laku-laku kebak gegambaran janji tak ubahnya langkah-langkah yang penuh janji-janji
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
ngrungkebi dalan siji: ana laut pangapura merangkul satu jalan: pada laut pengampunan
4. Geguritan Kayon
KAYON PEPOHONAN
landhep banget gunting iku nugel sungguh tajam gunting itu memotong
wektu terus lumaku, ngebaki lemah-lemah waktu terus berlalu, memenuhi tanah-tanah
kang kudu dijangkah ana tengah-tengahe yang harus dilalui di tengah-tengah
dadi winih suci. nyuburake tetanduran yekti menjadi benih suci. menyuburkan tanaman kebenaran
budi kang nggantung ana angkasa. dudu ngayawara akal yang menggantung di angkasa. bukan kebohongan
bakal tuwuh ukara-ukara pungkasan, ditanem kenceng akan tumbuh ucapan-ucapan terakhir, ditanam kuat
bareng lakune jaman. isih tetep kudu ana seiring berlalunya zaman. masih tetap ada
kandheg patrem, ing telenging bumi terhenti sejenak, pada dasar bumi
bareng pekerti kang wis lingsir bersama perangai yang telah menepi
wong wadon gampang udhar tapihe wanita mudah terlepas busananya
ringkih, ana tetese waspa tanpa krana rapuh, ada tetes air mata tanpa sebab
ditulisi anane kagliwang jaman diukir adanya perubahan zaman
ilang tanpa enggok. diedohake laku tama musnah tanpa jejak. dijauhkan dari langkah utama
yaitu kayon-kayon ing ati. apa kudu mangkono? yaitu pepohonan dalam hati. apa harus demikian?
5. Geguritan Asbak
ASBAK ASBAK
ana pojok-pojok dalan kekarepan pada sudut-sudut jalan keinginan
pasrah marang pepethene Gusti pasrah kepada takdir Illahi
tetep madhep mantep, tanpa swala tetap tegar, tanpa kesombongan
njaga raga kanggo tetenger iki menjaga raga untuk pertanda ini
manawa urip bakal ana pungkasane bahwa hidup akan ada akhir
jagad kang amba disangga ana bunderan siji dunia luas disangga dalam satu lubang
mbuktekake sasawangan kang nuspra, anak pandelengan membuktikan pemandangan tanpa guna, anak
penglihatan
sunar-sunar bakal bali antarane wektu cahaya terang akan kembali seiring waktu
awu wus jumedhul bareng enteking mawa abu telah muncul seiring habisnya bara
ngebaki bunderane Gusti, meneri badan sapata memenuhi lingkaran Tuhan, seperti garis hidup
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013
dikanthi-kanthi kenceng ana epek-epek urip nasib ditemani kuat pada telapak kehidupan nasib
ngenteni tekane jantra baya dadi barang tetenger menanti datangnya cobaan menjadi barang
penanda
disangga ijenan marang pundhak loro disangga sendirian dengan dua pundak
kepara isih tekan jumedhule, kebak sanepa terbagi masih sampai munculnya, penuh perumpamaan
apa arep entek? akankah habis?
Keindahan kebahasaan..., Arip Purwanto, FIB UI, 2013