Download - Kegiatan Pemberian Kredit Bank
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 1Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
A. PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR KREDIT (BANK) DAN
PEMBIAYAAN
Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh barang
dengan membayar cicilan atau angsuran di kemudian hari atau memperoleh
pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan di kemudian hari dengan
cara membayar angsuran atau cicilan sesuai dengan perjanjian. Artinya
kredit dapat berbentuk uang atau barang. Baik kredit berbentuk uang
maupun barang dalam hal pembayarannya dengan menggunakan metode
angsuran atau cicilan tertentu (Kasmir, 200: 72).
Kata “kredit” berasal dara bahasa Latin creditus yang merupakan
bentuk past participle dari kata credere (lihat pula credo dan creditum,
yang berarti to trust atau faith. Kata trust itu sendiri berarti “kepercayaan”
(Munir Fuady, 1996: 5 dan D. Gandaprawira, 1992: 1).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiam kata kredit kata kredit antara
lain diartikan:
1) Pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian mengangsur,
2) Pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang disizinkan oleh
bank atau badan lain.
Secara yuridis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan
dua istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk
pengertian kredit. Kedua istilah itu, yaitu pertama, kata “kredit”, istilah
yang digunakan pada bank konvensional dalam menjalankan kegiatan
usahanya, dan kedua, kata “pembiayaan” berdasarkan Prinsip Syariah,
istilah yang digunakan pada bank syariah.
Pengertian kredit disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 2Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
pinjam-meminjam atara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.
Sementara itu pengertian pembiayaan disebutkan dalam ketentuan
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu:
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Kemudian pengertian pembiayaan tersebut lebih diperjelas lagi dalam
ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007
yang menyatakan sebagai berikut:
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan/piutang yang
dapat dipersamakan denga itu dalam:
a. transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas Akad
Mudharabah dan/atau Musyarakah;
b. transaksi sewa yang didasarkan antara lain atas Akad Ijarah
atau Akad Ijaah dengan opsi perpindahan hak milik (Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik);
c. transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas Akad
Murabahah, Salam, dan Istishna;
d. transaksi pinjaman yang didasarkan antara lain atas Akad
Qardh; dan
e. transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas Akad
Ijarah atau Kafalah.
Pengertian yang sama kembali juga dirumuskan dalam ketentuan
Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 3Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah atau
musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli
dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang Muraba, Salam, dan
Istishna;
d. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk Qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk
transaksi multijasa.
Apabila ditelusuri pengertian kredit itu lebih lanjut, maka dapat
ditemukan unsur-unsur yang terkandung dalam makna kredit tersebut, yaitu:
1. kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi
yang diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang akan
dilunasinya sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu;
2. waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentu antara pemberian dan
pelunasan kreditnya, jangka waktu tersebut sebelumnya terlebih
dahulu disetujui atau disepakati bersama antara pihak bank dan
nasabah peminjam dana;
3. prestasi dan kontraprestasi, yaitu adanya objek tertentu berupa prestasi
dan kontraprestasi pada saat persetujuan atau kesepakatan pemberian
kredit yang dituangkan dalam perjanjian kredit antara bank dan
nasabah peminjam dana, yaitu berupa uang atau tagihan yang diukur
dengan uang dan buanga atau imbalan, atau bahkan tanpa imbalan
bagi bank syariah;
4. resiko, yaitu adanya resiko yang mungkin akan terjadi selama jangka
waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk
mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 4Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
wanprestasi dari nasabah peminjam dana, diadakanlah pengikatan
jaminan (agunan).
B. PRINSIP-PRINSIP DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK
Pemberian kredit oleh bank tersebut merupakan unsur yang terbesar dari
aktiva bank, yang sebagai asset utama serta sekaligus menentukan maju
mundurnya bank yang bersangkutan dalam menjalankan fungsi dan
usahanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Disamping
menjalankan fungsi pengerahan dana masyarakat, bank juga menjalankan
fungsi sebagai lembaga kredit sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 huruf
b dan Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam
kenyataanya, kredit yang diberikan bank tadi sebagian besar tidak dapat
dikembalikan secara utuh oleh nasabah debiturnya, yang membawa resiko
usaha bagi bank yang bersangkutan, akhirnya menimbulkan kredit-kredit
macet (dubious).
Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan
oleh bank mengandung suatu resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank
harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mencegah,
mengurangi dan menetralisir terjadinya resiko tersebut, maka dunia
perbankan diharuskan untuk melaksanakan prinsip prudential banking atau
prinsip kehati-hatian bagi bank.
Berdasarkan prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam memberikan
kredit tersebut harus memperhatikan jaminan pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dalam arti keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan yang duperjanjikan. Dengan adanya keyakinan
tersebut, bank berharap banyak agar kredit yang diberikannya kepada
nasabah debitur tidak menjadi kredit bermasalah, atau bahkan menjadi
kredit macet dikemudian hari.
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 5Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, dalam
melakukan pemberian kredit, bank diwajibkan untuk memperhatikan asas-
asas perkreditan yang sehat dan nprinsip kehati-hatian. Ketentuan dalam
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan, bahwa:
(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan
kemampuan serta kesanggupa Nasabah Debitur untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan.
(2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman
perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Oleh karena itu, sebelum menentukan kredit, bank harus melakukan
penilaian yang saksama terhadap unsur-unsur pokok yang menjadi tolak
ukur dalam pemberian kredit, yang lazim disebut dengan the five C of credit
analysis atau prisnsip 5 C’s, meliputi:
1. Penilaian watak/kepribadian (character)
Penilaian ini dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan iktikad
baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya,
sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari.
2. Penilaian kemampuan (capacity)
Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang
usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa
usaha yang akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat,
sehingga calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu
melunasi atau mengembalikan pinjamannya.
3. Penilaian terhadap modal (capital)
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 6Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara
menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan dating, sehingga dapat
diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang
pembiayaan proyek atau usaha calon debitur yang bersangkutan.
4. Penilaian terhadap agunan (collateral)
Bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon
debitur tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tambahan
tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian
kredit atau pembiayaan yang tersisa.
5. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of
economy)
Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luarnegeri,
baik masa lalu maupun yang akan dating, sehingga masa depan
pemasaran dari hasilo proyek atau usaha calon debitur yang
dibiayainya dapat pula diketahui.
Bank dalam memberikan kredit, selain menerapkan prinsip 5 C, juga
hendaknya menerapkan prinsip lainnya yang dinamakan dengan prinsip 5P
yang terdiri atas:
1. Party (Para Pihak)
Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap
pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh
suatu “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur.
Bagaimana karakter, kemampuan, dan sebagainya
2. Purpose (Tujuan)
Harus apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal positif yang benar-
benar dapat menaikan income perusahaan dan harus pula diawasi agar
kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan seperti
diperjanjikan dalam suatu perjanjian kredit.
3. Payment (Pembayaran)
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 7Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
Harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit nanti,
debitur punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut
mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.
4. Prifitability (Perolehan Laba)
Kreditor harus beratisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh
perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah
pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kredit, cash flow,
dan sebagainya.
5. Protection (Perlindungan)
Perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan dari holding,
atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting diperhatikan.
Terutama untuk berjaga-jaga sekiranya hal-hal di luar scenario atau di
luar prediksi semula (Munir Fuady, 1996: 24-26).
Selain menggunakan prinsip pemberian kredit di atas, bank dalam
memberikan kredit juga menggunakan prinsip 3 R, yaitu:
1. Returns (Hasil yang Diperoleh)
Hasil yang diperoleh debitur, dalam hal ini ketika kredit telah
dimanfaatkan dan dapat diantisipasi oleh calon kreditor. Artinya
perolehan tersebut mencukupi untuk membayar kembali kredit beserta
bunga, ongkos-ongkos, di samping membayar keperluan perusahaan
yang lain sepertu untuk cash flow, kredit lain jika ada, dan sebagainya.
2. Repayment (Pembayaran Kembali)
Harus dipertimbangkan apakah kemampuan bayar debitur bisa matchdengan schedule pembayaran kembali dari kredit yang akan diberikanbank. Ini juga merupakan hal yang tidak boleh diabaikan.
3. Risk Bearing Ability (Kemampuan Menanggung Resiko)
Hal lain yang perlu diperhatikan juga sejauh mana terdapatnya
kemampuan debitur untuk menanggung resiko. Misalnya dalam hal
terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jika
dapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu, harus
diperhitungkan apakah misalnya jaminan dan/atau asuransi barang
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 8Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
atau kredit sudah cukup aman untuk menutupi resiko tersebut (Munir
Fuady, 1996: 25-27).
Disamping prinsip-prinsip di atas, beberapa prinsip lain dalam hal
pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur yang mesti diperhatikan
oleh suatu bank, yaitu:
1. Prinsip Matching
Dalam hal ini harus match antara pinjaman dengan asset perseroan,
jangan sekali-kali memberikan suatu pinjaman berjangka waktu
pendek untuk kepentingan pembiayaan/investasi yang berjangka
panjang. Karena hal tersebut mengakibatkan terjadi mismatch.
2. Prinsip Kesamaan Valuta
Penggunaan dana yang di dapatkan dari suatu kredit sedapat-dapatnya
haruslah digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang
yang sama, sehingga resiko nilai valuta dapat dihindari.
3. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Modal
Harus ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dan
besarnya modal. Jika pinjaman terlalu besar disebut high gearing,
sebaliknya jika pinjaman kecil disebut low gearing. Post permodalan
earning yang akan didapat oleh perusahaan tidak fixed, sedangkan
cost terhadap suatu pinjaman relative tetap. Oleh karena itu,
kelangsungan suatu perusahaan akan terancam jika antara jumlah
pinjaman dengan besarnya modal tidak reasonable.
4. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dan Aset
Alternative lain untuk menekan resiko adalah dengan
memperbandingkan antara besarnya pinjaman dengan aset, yang juga
dikenal dengan gearing ratio.
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 9Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
Ada pula prinsip penilaian kredit yang disebut dengan istilah studi
kelayakan. Studi kelayakan digunakan terutama untuk kredit dalam jumlah
relative besar. Penilaian ini meliputi:
1. Aspek Hukum
Menilai keabsahan dan keaslian dokumen-dokumen atau surat-surat
yang dimiliki oleh calon debitur, seperti akta notaris, izin usaha atau
sertifikat tanah dan dokumen atau surat lainnya.
2. Aspek Pasar dan Pemasaran
Menilai prospek usaha nasabah sekarang dan yang akan dating.
3. Aspek Keuangan
Menilai kemampuan calon nasabahnya dalam membiayai dan
mengelola usahanya.
4. Aspek Operasi/Teknis
Menilai tata letak ruangan, lokasi usaha dan kapasitas produksi usaha
yang tercermin dari sarana dan prasarana yang dimilikinya.
5. Aspek Manajemen
Menilai sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan, baik
dari segi kuantitas maupun segi kualitas.
6. Aspek Ekonomi/Sosial
Menilai dampak ekonomi dan social yang ditimbulkan dengan adanya
usaha terutama terhadap masyarakat, apakah lebih benefit atau cost
atau sebaliknya.
7. Aspek AMDAL
Menilai dampak lingkungan yang akan timbul dengan adanya suatu
usaha, kemudian cara-cara pencegahan terhadap dampak tersebut
(Kasmir, 2000: 94-95).
C. PENGERTIAN, KEGUNAAN, DAN FUNGSI JAMINAN KREDIT
(BANK) DALAM PEMBERIAN KREDIT BANK
1. Pengertian Jaminan Kredit (Bank) dan Perbedaan dengan
Agunan (Bank)
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 10Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
Pengertian kata “jaminan (kredit)” dalam perspektif Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimanan telah diubah dengan undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 berbeda dengan makna kata “jaminan
(kredit)” dalam perpektif Hukum Jaminan. Makna “jaminan” dalam
perpektif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 lebih luas
dibandingkan dengan makna “jaminan” yang selama ini keta kenal.
Disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, bahwa:
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan
berdasrkan analisis yang mendalam atas iktikad dan
kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk
melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud
sesuai dengan yang diperjanjikan.
Sementara itu dalam penjelasan atas Pasal 8 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain dinyatakan:
Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian
kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah
diperoleh keuakinan, agunan dapat hanya berupa barang,
proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang
bersangkutan.
Dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 dihubungkan dengan Penjelasannya, diketahui bahwa
makna kata “jaminan” tidak sama dengan makna kata “agunan”,
karena agunan hanyalah salah satu unsur dari pemberian kredit. Dalam
hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan istilah
“jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 11Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
Syariah”, yang dimaknai atau berwujud “keyakinan atas kemampuan
dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya
sesuai dengan yang diperjanjikan”. Padahal selama ini yang dimaksud
dengan “jaminan (pemberian) kredit atau pembiayaan dengan Prinsip
Syariah adalah agunan”, yang dalam hal ini umumnya “berwujud
benda tertentu” yang bernilai ekonomis duna dipakai sebagai
pelunasan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah jika
nasabah debiturnya wanprestasi (badingkan Rachmadi Usaman, 2001:
281-282).
Sutan Remy Sjahdeini tidak sependapat dengan dipakainay
istilah “jaminan pemberian kredit” tersebut oleh Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998). Dengan diberikannya pengertian
“jaminan (pemberian) kredit” sama dengan “keyakinan bank
kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan
diperjanjikan”, maka arti dari “jaminan (pemberian) kredit” itu telah
bergeser, sehingga tidak sesuai lagi dengan pengertiannya yang lazim
dikenal selama ini (Sutan Remy Sjahdeini, 1993a: 20).
Demikian pula dari Penjelasa atas Pasal 8 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah membedakan antara
pengertian “agunan” dan “jaminan”. Dalam Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1967 tidak dikenal istilah “agunan”, yang ada istilah
“jaminan”.
Ini berarti, bahwa “jaminan (pemberian) kredit” yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) bukanlah
jaminan kredit yang selama ini dikenal dengan sebutan collateral
sebagai bagian daripada 5 C’s. Istilah colletereal oleh Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) diartikan dengan “agunan”
(bandingkan Sutan Remy Sjahdeini, 1993a: 20).
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 12Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
2. Kegunaan dan Fungsi Jaminan Kredit (Bank) dalam Pemberian
Kredit (Bank)
Adapun kegunaan jaminan kredit tersebut, yaitu:
a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat
pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji,
yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah
ditetapkan dalam perjanjian;
b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk
membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk
meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri
sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-
kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat
diperkecil.
c. Memberikan dorangan kepada debitur untuk memenuhi janjinya,
khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-
syarat yang telah disetujui agar debitur dan/atau pihak ketiga
yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan ayng telah
dijaminkan kepada bank (Bank Indonesia, 1994: 3 dan Thomas
Suyatno, et.al, 1995: 88).
D. PEMBATASAN DAN LARANGAN DALAM PEMBERIAN KREDIT
BANK
Pemberian yang hanya terkonsentrasikan pada hanya beberaba nasabah
mengandung resiko tinggi, karena kehidupan bank hanya akan bergantung
pada beberapa nasabah tersebut. Resiko ini lebih besar lagi kalau kredit
tersebut diberikan pada perusahaan-perusahaan orang dalam, karena pada
umumnya kredit yang demikian ini diberikan secara kurang wajar, artinya
penilaian kreditnya dilakukan kurang objektif, persyaratan biasanya lebih
longgar dibandingkan kredit lainnya, dan pada saat perusahaan grup orang
dalam tersebut mengalami kesulitan, bank tidak mampu bertindak secara
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 13Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
tegas. Untuk mencegah pemberian kredit yang berlebihan tersebut di
beberapa negara diatur secara tegas, bahkan dalam undang-undang.
Mengingat terdapat hubungan yang signifikan antara kegagalan usha
bank dengan konsentrasi penyediaan dana, maka bank dilarang untuk
memberikan penyediaan dana yang mengakibatkan pelanggaran batas
maksimum pemberian kredit (BMPK).
BMPK ini merupakan sarana pengawasan penyaluran kredit bank.
BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan
oleh modal bank, yang diberikan kepada peminjam atau sekelompok
peminjam tertentu.
Bank Indonesia (BI) diberikan wewenang untuk menetapkan BMPK
untuk masing-masing peminjam atau sekelompok peminjam, termasuk
perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
maka ketentuan BMPK dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu:
1. Jenis BMPK 30% (tiga puluh oersen)
BI dapat menetapkan BMPK yang lebih rendah dari 30% dari modal
bank, tetapi tidak boleh melebihi 30% dari modal bank yang
bersangkutan. BMPK ini ditujukan kepad apeminjam, sekelompok
peminjam, termasuk perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang
sama dengan bank yang bersangkutan.
2. Jenis BMPK 10% (sepuluh persen)
BI dapat menetapkan BMPK yang lebih rendah dari 10% dari modal
bank, tetapi tidak boleh melebihi 10% dari modal bank yang
bersangkutan. BMPK ini ditujukan kepada:
a. Pemegang saham yang bersangkutan;
b. Anggota dewan Komisaris;
c. Anggota Direksi;
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 14Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
d. Keluarga dari pihak pemegang saham yang bersangkutan.
Anggota dewan Komisaris, dan anggota dewan Direksi;
e. Pejabat bank lainnya; dan
f. Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan
dari pihak-pihak pemegang saham yang bersangkutan, anggota
dewan Komisaris, anggota Direksi, keluarga pemegang saham
yang bersangkutan, dan pejabat bank lainnya.
Disebutkan dalam ketentuan pasal 11 ayat (4A) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum
pemberian kredit (BMPK) atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
Bang dinyatakan melakukan pelanggaran larangan terhadap ketentuan
BMPK apabila pada saatnya pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah tersebut melampaui batas maksimum yang
telah ditetapkan Bank Indonesia (BI). Pelanggaran terhadak ketentuan
BMPK tersebut selain dapat dikenakan sanksi, juga dapat diperhitungkan
dalam penilaian tingkat kesehatan bank.
Ketentuan mengenai BMPK ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/13/PBI/2006.
1. Ketentuan BMPK bagi Bank Umum
Ketentuan BMPK bagi Bank Umum diatur lebih lanjut:
a. BMPK kepada Pihak Terkait
Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan
bank ditetapkan paling tinggi 10% dari modal bank.
b. BMPK kepada Pihak Tidak Terkait
BMPK ditetapkan paling tinggi 20% dari modal bank.
Sedangkan penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam
yang bukan merupakan pihak terkait ditetapkan paling tinggi
25% dari modal bank.
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 15Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
c. Penyediaan dana oleh bank dikategorikan seabgai Pelampauan
BMPK apabila disebabkan oleh hal-hal dikarenakan penurunan
modal bank, penurunan nilai tukar, perubahan nilai wajar,
penggabungan usaha dan/atau perubahan struktur kepengurusan
yang menyebabkan perubahan pihak terkait dan/atau kelompok
peminjam; dan perubahan ketentuan.
d. Terhadap Pelampauan BMPK dan Pelanggaram BMPK, bank
diwajibkan menyusun dan menyampaikan rencana tindak
(action plan) kepada BI. Action plan dimaksud wajib memuat
paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian pelanggaran
BMPK dan/atau pelampauan BMPK serta target waktu
penyelesaian.
2. Ketentuan BMPK bagi BPR
Ketentuan BMPK bagi BPR diatur lebih lanjut:
a. BMPK kepada Pihak Terkait
BMPK ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10% dari modal
bank.
b. BMPK kepada Pihak Tidak Terkait
BMPK ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 20% dari modal
bank.
c. Terhadap pelampuan BMPK,bank diwajibkan untuk menyusun
dan menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia, dan
selain itu juga dikenakan sangsi dalam penilaian tingkat
kesehatan.
d. Terhadap pelanggaran BMPK, dapat dikenakan sanksi dalam
penilaian tingkat kesehatan dan diancam dengan sanksi pidana.
Selain pembatasan dalam BMPK, diatur pula pembatasan dalam
pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian kredit. Dalam Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/70/KEP/DIR dan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 23/3/UKU masing-masing tanggal 28
Pebruari 1991 telah mengatur pembatasan pemberian kredit untuk
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 16Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
pembelian dan pemilikan saham oleh bank. Disebutkan, bahwa bank tidak
diperkenankan atau dilarang:
a. Memberikan kredit untuk membiayai pembelian saham atau modal
kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, kecuali untuk pembelian
kredit investasi, untuk pembiayaan barang modal (aktiva
tetap/bergerak) yang diperlukan oleh perusahaan yang melakukan
kegiatan jual beli saham atau pembelian obligasi yang diperdagangkan
di pasar modal;
b. Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan
Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi dalam rangka
pengawasa dan pembinaan bank oleh Bank Indonesai (BI).
Ketentuan tersebut disempurnakan lagi dengan SK Direksi BI Nomor
24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran BI Nomor 24/1/UKU masing-masing
tanggal 12 Agustus 1991 tentang kredit pada perusahaan sekuritas dan
kredit dengan agunan saham. Disebutkan beberapa hal yang berkaitan
dengan pembatasan dalam pemberian kredit Bank untuk jual beli saham,
yaitu:
a. Bank dilarang memberikan kredit dengan agunan pokok dan agunan
tambahan berupa saham perusahaan lain;
b. Bank dilarang memberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan
yang bukan perusahaan sekuritas untuk jual beli saham, kecuali
pemberian kredit kepada koperasi dalam rangka pemberian saham
bank yang bersangkutan.
E. PEMBERIAN KREDIT BANK BERDASARKAN PEDOMAN
PERKREDITAN BANK
Dalam kaitan dengan kegiatan usaha memberikan kredit, nak diwajibkan
untuk memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan
berdasarkan Prisnsip Syariah. Kewajiban ini disebutkan dalam ketentuan
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa bnk umum
wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 17Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia (BI).
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 dihubungkan dengan Penjelasannya, maka hal-hal lainnya yang
perlu diperhatikan oleh bank dalam pemberian kredit, yaitu:
a. Pemberian kredit atau pembiayaan syariah harus dibuat dalam bentuk
perjanjian tertulis;
b. Bank harus mempunyai keyakinan atas kemampuan serta
kesanggupan nasabh debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian
yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan
prospek usaha dari nasabah debitur;
c. Bank wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang telah disusunya sendiri;
d. Bank wajib memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan
persyaratan pemberian kredit atau pembiayaan syariah;
e. Bank dilarang memberikan kredit atau pembiayaan syariah dengan
persyaratan berbeda kepada nasabah debitur dan/atau pihak-pihak
terafiliasi.
Selain itu bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prisnsip Syariah juga harus pula memperhatikan hasil AMDAL
bagi perusahaan berskala besar dan/atau beresiko tinggi agar proyek yang
dibiayai tetap menjaga kelesterian lingkungan.
Sebelumnya Bank Indonesia pernah mengeluarkan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 27/127/KEP/DIR tangal 31 Maret 1995
perihal Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan
Bank bagi Bank Umum. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa bank umum
wajib memiliki Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KPB) secara tertulis dan
wajib disetujui oleh dewan Komisaris bank, yang minimal harus memuat
semua aspek yang telah ditetapkan dalam Pedoman Penyusunan
Kebijaksanaan Perkreditan Bank.
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 18Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
KPB dimaksud minimal meuat dan mengatur hal-hal pokok
sebagaimana ditetaokan dalam PPKPB, sebagai berikut:
a. Prinsip kehati-hatian dalam pekreditan;
b. Organisasi dan manajemen perkreditan;
c. Kebijaksanaan persetujuan kredit;
d. Dokumentasi dan administrasi kredit;
e. Pengawasan kredit;
f. Penyelesaian kredit bermasalah.
Adapun tujuan dari KPB ini untuk mengoptimalkanpendapatan dan
mengendalikan risiko bank dengan cara menerapkan asas-asas perkredtian
yang sehat. Selain itu, dengan penerapan dan pelaksanaan KPB secara
konsekuen dan konsisten, diharapkan bank dapat terhindar dari
kemungkinan penyalahgunaan wewenang oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab dalam pemberian kredit.
F. PENGGOLONGAN KREDIT BANK BERDASARKAN KUALITAS
AKTIVA PRODUKTIF BANK
Dalam rangka mengelola resiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian,
bank wajib menjaga kualitas aktiva dan wajib membentuk penyisihan dan
penghapusan aktiva. Oleh karena itu, aset yang dinilai kualitasnya
mencakup aktiva produktif dan aktiva nonproduktif.
Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan sejumlah Peraturan Bank
Indonesia berkenaan dengan penilaian kualitas aktiva produktif perbankan,
yaitu:
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana telah diubah berturut-turut
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 dan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 9/6/PBI/2007;
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas
Aktiva Produktif dan Penyisihan Penghapusan Aktifa Produktif Bank
Perkreditan Rakyat.
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 19Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007.
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
Dalam penetapan kualitas kredit, Bank Umum wajib memperhatikan
factor-faktor penilaian sebagai berikut:
1. Prospek usaha, yang meliputi penilaian terhadap komponen-
komponen:
a. Potensi pertumbuhan usaha;
b. Kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan;
c. Kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. Dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. Upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara
lingkungan hidup.
2. Kinerja (Performance) debitur, meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen
a. Perolehan laba;
b. Struktur permodalan;
c. Arus kas; dan
d. Sensitivitas terhadap risiko pasar.
3. Kemampuan membayar debitur, meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen:
a. Ketetapan pembayaran pokok dan bunga;
b. Ketersediaan keakuratan informasi keuangan debitur;
c. Kelengkapan dokumentasi kredit;
d. Kepatuhan terhadap perjanjian kredit;
e. Kesesuaian penggunaan dana; dan
f. Kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis
terhadap factor-faktor penilaian sebagaimana dimaksud di atas dengan
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 20Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
mempertimbangkan komponen-komponen yang terdapat dalam masing-
masing faktor penilaian dan mempertimbangkan pula:
1. Signifikansi dan materialitas dari setiap faktor penilaian dan
komponen, serta
2. Relevansi dari faktor penilaian dan komponen terhadap debitur yang
bersangkutan.
Berdasarkan penilaian sebagaimana di sebutkan di atas, maka kualitas
kredit dapat ditetapkan menjadi:
1. Lancar,
2. Dalam Perhatian Khusus,
3. Kurang Lancar,
4. Diragukan, atau
5. Macet.
Menurut ketentuan Bank Indonesia di atas, bahwa kualitas suatu surat
berharga yang diakui berdasarkan nilai pasar ditetapkan memiliki kualitas
lancar sepanjang memenuhi persyaratan:
1. Aktif diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia;
2. Terdapat informasi nilai pasar secara transparan;
3. Kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan
waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan
4. Belum jatuh tempo.
Terhadap surat berharga yang tidak memenuhi persyaratan sebagai
surat berharga yang aktif diperdagangkan di Bursa Efek di Indonesia
dan/atau terdapat informasi nilai pasar surat berharga yang bersangkutan
secara transparan atau surat berharga yang diakui berdasarkan harga
perolehan ditetapkan sebagai berikut:
1. Lancar, apabila:
a. Memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi;
b. Kupon atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah
dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan
c. Belum jatuh tempo.
________________________________________________________________________KEGIATAN PEMBERIAN KREDIT – HUKUM PERBANKAN 21Grieth C.B. Rompis | Rinolia G.N. Mongkau
2. Kurang Lancar, apabila:
a. Memiliki peringkat investasi atau lebih tinggi;
b. Terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain
yang sejenis; dan
c. Belum jatuh tempo.
atau
a. Memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah
peringkat investasi.
b. Tidak terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban
lain yang sejenis; dan
c. Belum jatuh tempo.
3. Macet, apabila surat berharga tidak memenuhi kriteria di atas.