-
KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN
THINK PAIR SHARE DENGAN PENDEKATAN
PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI
KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DAN SELF-EFFICACY
SISWA KELAS X MIPA MAN SALATIGA
TAHUN PELAJARAN 2018/2019 PADA MATERI VEKTOR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
Ahmad Mukhibin
23070150011
PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
-
i
KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN
THINK PAIR SHARE DENGAN PENDEKATAN
PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI
KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS DAN SELF-EFFICACY
SISWA KELAS X MIPA MAN SALATIGA
TAHUN PELAJARAN 2018/2019 PADA MATERI VEKTOR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
Ahmad Mukhibin
23070150011
PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2019
-
ii
p
-
iii
-
iv
-
v
-
vi
MOTTO
“Apabila kamu sudah memutuskan menekuni suatu bidang, jadilah orang yang
konsisten. Itu adalah kunci keberhasilan yang sebenarnya”, (B.J. Habibie)
-
vii
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Ayahanda Masrokan dan Ibunda Muawanah tercinta yang senantiasa
mencurahkan kasih sayang, mendo’akan, membimbing, memberikan nasihat,
dan memberikan motivasi dalam kehidupan penulis.
2. Adik Bashirotun Nafidhoh yang selalu medo’akan dan memberi dukungan.
3. Para kiai dan guru-guru penulis yang selalu memberikan dukungan dan do’a
restunya kepada penulis.
4. Bapak Kyai Sukron Ma’mun, M.Si. dan Bapak Kyai Mohamad Nuryansah,
M. Hum, beserta keluarga yang telah meluangkan waktunya untuk senantiasa
membimbing penulis selama di Ma’had Al-Jami’ah IAIN Salatiga.
5. Bapak Tugiman Cokrohusodo beserta jamaah masjid yang telah mengizinkan
penulis untuk tinggal di Masjid Nurul Iman Tegalrejo Salatiga.
6. Bapak Tarman dan keluarga yang telah menjadi orang tua angkat selama
penulis tinggal di Masjid Nurul Iman Tegalrejo Salatiga.
7. Keluarga besar Ma’had Al-Jami’ah IAIN Salatiga yang selalu memberikan
dukungan kepada penulis.
8. Sahabat dan teman penulis di kamar Kholid bin Walid, Chakim, Kholil, Dian,
Khuzainul, Tio, Alvin, dan Handi.
9. Teman-teman kelas A Tadris Matematika yang selalu memberikan motivasi
kepada penulis dan membantu menyelesaikan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat seperjuangan angkatan 2015 khususnya jurusan Tadris
Matematika.
11. Keluarga PPL MAN Salatiga dan KKN Tawangsari Grogolan yang selalu
memberikan semangat kepada penulis.
-
viii
KATA PENGANTAR
الرحيم الّرحمن هللا بسم
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan nikmat, karunia, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul Keefektifan Model Pembelajaran
Think Pair Share dengan Pendekatan Problem Based Learning Ditinjau dari
Kemampuan Berfikir Kritis dan Self-Efficacy Siswa Kelas X MIPA MAN Salatiga
Tahun Pelajaran 2018/2019 Pada Materi Vektor. Shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW, semoga kita
semua mendapatkan syafa’atnya di yaumil qiyamah kelak. Amin.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa motivasi, dukungan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Prof. Dr. Mansur, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan IAIN Salatiga.
3. Bapak Dr. Winarno, S. Si., M. Pd., selaku Ketua Program Studi Tadris
Matematika.
4. Ibu Wulan Izzatul Himmah, M.Pd. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah mengarahkan, membimbing, memberikan petunjuk dan meluangkan
waktunya dalam mengoreksi skripsi ini.
5. Dosen Pembimbing Akademik, Bapak Saiful Marom, M.Sc. yang telah
memberikan banyak pengarahan dan motivasi selama 4 tahun menjadi
mahasiswa Program Studi Tadris Matematika IAIN Salatiga.
6. Seluruh dosen di lingkungan IAIN Salatiga, khususnya dosen Program Studi
Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga.
7. Ayahanda Masrokan dan Ibunda Muawanah tercinta yang tidak henti-
hentinya mendo’akan, membimbing, menasehati dan memberikan motivasi
kepada penulis.
-
ix
-
x
ABSTRAK
Mukhibin, Ahmad. (2019). Keefektifan Model Pembelajaran Think Pair Share
dengan Pendekatan Problem Based Learning Ditinjau dari Kemampuan
Berfikir Kritis dan Self-Efficacy Siswa Kelas X MIPA MAN Salatiga
Tahun Pelajaran 2018/2019 Pada Materi Vektor.
Kata Kunci: Think Pair Share, Problem Based Learning, Kemampuan Berfikir
Kritis, dan Self-Efficacy
Memasuki abad ke- 21, keterampilan yang dibutuhkan begitu kompleks,
salah satunya adalah kemampuan berfikir kritis. Dengan kemampuan ini
memungkinan individu untuk selalu berfikir berdasarkan data dan fakta yang ada.
Selain menekankan pada aspek kognitif, abad 21 juga menekankan pada aspek
afektif, salah satunya adalah keyakinan diri individu terhadap kemampuan yang
dimilikinya atau yang disebut self-efficacy. Seseorang dengan self-efficacy rendah
cenderung akan mempersepsikan sesuatu lebih sulit dari kenyataannya. Hal ini
menyebabkan individu mudah mengalami stress dan depresi. Untuk itu,
diperlukan model pembelajaran dengan pendekatan yang berbeda agar siswa
memiliki bekal berupa kompetensi untuk menghadapi abad 21.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat eksperimen
semu dengan desain penelitian berupa Pretest – Posttest Control Group Desain.
Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X MIPA 2 dan X MIPA 3 MAN
Salatiga. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal kemampuan
berfikir kritis dan angket self-efficacy. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
apakah model pembelajaran think pair share dengan pendekatan problem based
learning efektif ditinjau dari kemampuan berfikir kritis dan self-efficacy siswa
kelas X MIPA MAN Salatiga tahun pelajaran 2018/2019 pada materi vektor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) hasil uji One Sample t Test rata-
rata siswa yang mendapat pembelajaran model think pair share dengan
pendekatan problem based learning telah mencapai nilai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM), yaitu sebesar 76,06 untuk kemampuan berfikir kritis dan 62,08
untuk self-efficacy, (2) hasil uji Independent Sample t Test diperoleh nilai
signifikansi 0,006 untuk kemampuan berfikir kritis dan 0,035 untuk self-efficacy,
(3) rata-rata skor N-Gain kemampuan berfikir kritis siswa kelas eksperimen
sebesar 0,63 lebih dari rata-rata siswa kelas kontrol sebesar 0,50 dan pada rata-
rata skor N-Gain self-efficacy siswa kelas eksperimen sebesar 0,36 lebih dari
siswa kelas kontrol sebesar 0,23. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran think pair share dengan pendekatan problem based learning
efektif ditinjau dari kemampuan berfikir kritis dan self-efficacy siswa kelas X
MIPA MAN Salatiga tahun pelajaran 2018/2019 pada materi vektor.
-
xi
DAFTAR ISI
COVER JUDUL .................................................................................... i
NOTA PEMBIMBING ........................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................. iv
PENGESAHAN ..................................................................................... v
MOTTO ................................................................................................. vi
PERSEMBAHAN .................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... viii
ABSTRAK ............................................................................................. x
DAFTAR ISI .......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xvi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 11
E. Definisi Operasional ................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 16
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori ............................................................................ 17
1. Belajar .................................................................................. 17
2. Pembelajaran ........................................................................ 20
3. Keefektifan Pembelajaran .................................................... 21
4. Think Pair Share .................................................................. 23
5. Problem Based Learning ..................................................... 26
6. Langkah-langkah Model TPS dengan Pendekatan TPS ....... 32
7. Kemampuan Berfikir Kritis .................................................. 33
8. Self-Efficacy ......................................................................... 35
-
xii
9. Materi Pembelajaran ............................................................. 44
B. Kajian Pustaka ............................................................................ 47
C. Hipotesis Penelitian .................................................................... 51
BAB III: METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ........................................................................... 53
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 55
C. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................. 56
D. Variabel Penelitian ..................................................................... 57
E. Instrumen Penelitian ................................................................... 59
F. Uji Coba Instrumen Penelitian ................................................... 63
G. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 68
H. Teknik Analisis Data .................................................................. 70
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ............................................................................ 83
B. Analisis Data .............................................................................. 88
1. Uji Tahap Awal .................................................................... 88
2. Uji Prasyarat Analisis ........................................................... 91
3. Pengujian Hipotesis ............................................................... 93
C. Pembahasan ................................................................................ 108
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 120
B. Saran ........................................................................................... 122
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 123
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Langkah-langkah Think Pair Share ........................................ 24
Tabel 2.2 Tahapan pembelajaran dengan strategi Problem Based
Learning ................................................................................. 30
Tabel 2.3 Langkah-langkah model TPS denngan pendekatan PBL ........ 32
Tabel 3.1 Pretest posttest control grup desain ....................................... 53
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian..................................................................... 55
Tabel 3.3 Data siswa kelas X MIPA ....................................................... 56
Tabel 3.4 Kisi-kisi Soal Tes Kemampuan Berfikir Kritis ....................... 60
Tabel 3.5 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berfikir Kritis ............ 60
Tabel 3.6 Indikator Self-Efficacy ............................................................ 62
Tabel 3.7 Hasil perhitungan validitas soal tes kemampuan berfikir
kritis ........................................................................................ 65
Tabel 3.8 Hasil perhitungan validitas angket self-efficacy siswa ............ 66
Tabel 3.9 Hasil perhitungan uji reliabilitas instrumen ............................ 68
Tabel 3.10 Kriteria kemampuan berfikir kritis ....................................... 71
Tabel 3.11 Kriteria self-efficacy .............................................................. 71
Tabel 3.12 Kategori skor N-Gain ............................................................ 81
Tabel 4.1 Deskripsi hasil tes kemampuan berfikir kritis ........................ 84
Tabel 4.2 Deskripsi hasil angket self-efficacy ......................................... 86
Tabel 4.3 Hasil uji normalitas populasi................................................... 88
Tabel 4.4 Hasil uji homogenitas populasi ............................................... 89
Tabel 4.5 Hasil uji independent sample t test tahap awal ....................... 90
Tabel 4.6 Hasil uji normalitas tes kemampuan berfikir kritis ................. 91
Tabel 4.7 Hasil uji normalitas angket self-efficacy siswa ....................... 92
-
xiv
Tabel 4.8 Hasil uji homogenitas tes kemampuan berfikir kritis ............. 92
Tabel 4.9 Hasil uji homogenitas angket self-efficacy.............................. 93
Tabel 4.10 Hasil perhitungan one sample t test kemampuan berfikir
kritis kelas eksperimen ......................................................... 94
Tabel 4.11 Hasil perhitungan one sample t test kemampuan berfikir
kritis kelas kontrol ................................................................ 95
Tabel 4.12 Hasil perhitungan one sample t test self-efficacy kelas
eksperimen ........................................................................... 96
Tabel 4.13 Hasil perhitungan one sample t test self-efficacy kelas
kontrol .................................................................................. 97
Tabel 4.14 Hasil uji-t kemampuan berfikir kritis .................................... 99
Tabel 4.15 Hasil uji-t self-efficacy .......................................................... 101
Tabel 4.16 Hasil N-Gain kemampuan berfikir kritis .............................. 102
Tabel 4.17 Hasil uji normalitas skor N-Gain kemampuan berfikir kritis 103
Tabel 4.18 Hasil uji Mann Whitney U N-Gain kemampuan berfikir
kritis ...................................................................................... 104
Tabel 4.19 Hasil N-Gain self-efficacy .................................................... 105
Tabel 4.20 Hasil uji normalitas skor N-Gain self-efficacy ...................... 106
Tabel 4.21 Hasil uji Mann Whitney U N-Gain self-efficacy ................... 107
-
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Rancangan penelitian .......................................................... 55
Gambar 3.2 Hubungan antar variabel ..................................................... 58
Gambar 4.1 Histogram hasil tes kemampuan berfikir kritis ................... 84
Gambar 4.2 Skor N-Gain Kemampuan Berfikir Kritis ........................... 85
Gambar 4.3 Histogram hasil angket self-efficacy ................................... 86
Gambar 4.4 Skor N-Gain Self Efficacy ................................................... 87
-
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar nama siswa kelas X MIPA ..................................... 126
Lampiran 2. Daftar nilai PTS genap ...................................................... 130
Lampiran 3. Uji normalitas tahap awal .................................................. 131
Lampiran 4. Uji homogenitas tahap awal .............................................. 132
Lampiran 5. Uji independent sample t test tahap awal .......................... 133
Lampiran 6. Kisi-kisi soal uji coba kemampuan berfikir kritis ............. 134
Lampiran 7. Soal uji coba kemampuan berfikir kritis ............................ 135
Lampiran 8. Lembar jawab yang diisi siswa .......................................... 137
Lampiran 9. Kunci jawaban soal uji coba .............................................. 139
Lampiran 10. Pedoman penskoran uji coba ........................................... 144
Lampiran 11. Kisi-kisi angket uji coba .................................................. 145
Lampiran 12. Uji coba angket self-efficacy ............................................ 146
Lampiran 13. Angket yang diisi siswa ................................................... 148
Lampiran 14. Pedoman penskoran ......................................................... 150
Lampiran 15. Uji validitas butir uji coba soal ........................................ 151
Lampiran 16. Uji reliabilitas uji coba soal ............................................. 153
Lampiran 17. Uji validitas uji coba angket ............................................ 154
Lampiran 18. Uji reliabilitas uji coba angket ......................................... 160
Lampiran 19. RPP kelas eksperimen ..................................................... 161
Lampiran 20. RPP kelas kontrol ............................................................ 179
Lampiran 21. Kisi-kisi soal kemampuan berfikir kritis ......................... 195
Lampiran 22. Soal kemampuan berfikir kritis ....................................... 196
Lampiran 23. Lembar jawab yang diisi siswa ........................................ 198
-
xvii
Lampiran 24. Kunci jawaban soal kemampuan berfikir kritis ............... 200
Lampiran 25. Pedoman penskoran kemampuan berfikir kritis .............. 203
Lampiran 26. Kisi-kisi angket self-efficacy ........................................... 204
Lampiran 27. Angket self-efficacy ......................................................... 205
Lampiran 28. Angket yang diisi siswa ................................................... 207
Lampiran 29. Pedoman penskoran angket self-efficacy ......................... 211
Lampiran 30. Daftar nilai kemampuan berfikir kritis ............................ 212
Lampiran 31. Daftar nilai self-efficacy ................................................... 213
Lampiran 32. Analisis deskriptif kemampuan berfikir kritis ................ 214
Lampiran 33. Analisis deskriptif self-efficacy ...................................... 215
Lampiran 34. Uji normalitas kemampuan berfikir kritis ....................... 216
Lampiran 35. Uji homogenitas kemampuan berfikir kritis ................... 217
Lampiran 36. Uji One Sample t test kemampuan berfikir kritis ............ 218
Lampiran 37. Uji perbedaan dua rata-rata kemampuan berfikir kritis ... 219
Lampiran 38. Uji normalitas skor N-Gain kemampuan berfikir kritis ... 220
Lampiran 39. Uji Mann Whitney U skor N-Gain kemampuan berfikir
kritis .................................................................................. 221
Lampiran 40. Uji normalitas angket self-efficacy .................................. 222
Lampiran 41. Uji homogenitas angket self-efficacy ............................... 223
Lampiran 42. Uji One Sample t test self-efficacy ................................... 224
Lampiran 43. Uji perbedaan dua rata-rata self-efficacy ......................... 225
Lampiran 44. Uji normalitas skor N-Gain self-efficacy ......................... 226
Lampiran 45. Uji Mann Whitney U skor N-Gain self-efficacy ............... 227
Lampiran 46. Surat keputusan penetapan dosen pembimbing ............... 228
Lampiran 47. Surat izin penelitian ......................................................... 229
-
xviii
Lampiran 48. Surat keterangan telah melaksanakan penelitian ............. 230
Lampiran 49. Lembar konsultasi ........................................................... 231
Lampiran 50. Dokumentasi .................................................................... 232
Lampiran 51. Satuan kredit kegiatan ..................................................... 234
Lampiran 52. Daftar riwayat hidup ........................................................ 240
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika adalah ilmu seni kreatif, karena matematika terbentuk dari
unsur-unsur tertentu yang disebut bilangan. Lebih dari itu, matematika juga
memuat tentang bentuk, lambang serta aturan tertentu yang berlaku di
dalamnya. Sementara menurut para ahli matematika menyebutkan bahwa
matematika adalah ilmu yang membahas pola atau keteraturan (pattern) dan
tingkatan (order) (Shadiq, 2014:xii).
Matematika merupakan objek yang abstrak yang hanya ada dalam alam
fikiran, sehingga banyak orang yang beranggapan bahwa matematika adalah
mata pelajaran yang sulit. Senada dengan pernyataan tersebut, Shadiq
(2014:1) mengatakan bahwa memformulasikan definisi matematika tidaklah
semudah yang dibayangkan, alasannya definisi dan tujuan pembelajaran
matematika di kelas akan selalu menyesuaikan dengan tuntutan perubahan
zaman.
Matematika akan berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
perubahan zaman. Materi matematika pada abad 20 tentu akan jelas berbeda
dengan materi matematika pada abad 21. De Lange (dalam Shadiq, 2014:2)
mencatat setidaknya ada sekitar 60 sampai 70 cabang matematika yang
berbeda pada rentang waktu 1990 hingga 2007.
Pada abad 21, salah satu kunci yang bisa digunakan untuk turut serta
mengambil bagian dalam kehidupan abad ini adalah kompetensi. Finegold &
-
2
Notabartolo mengklasifikasikan kompetensi abad 21 menjadi beberapa
macam, meliputi: kompetensi analitik, interpersonal, bertindak, memproses
informasi, dan kemampuan untuk mengelola perubahan (Retnawati, 2018:9).
Kompetensi analitik merupakan salah satu kompetensi yang harus
dimiliki dan dikuasai siswa pada pembelajaran matematika. Kompetensi
analitik terdiri dari kemampuan berfikir kritis (critical thinking), kemampuan
untuk memecahkan masalah (problem solving), merumuskan suatu keputusan
(decision making) serta penelitian dan penemuan (research and inquiry). Hal
ini sejalan dengan pendapat De Lange (dalam Shadiq, 2014:3) yang
menyebutkan kompetensi dan kemampuan yang harus dipelajari dan dikuasai
siswa selama proses pembelajaran matematika di kelas setidaknya ada
delapan kompentensi, yaitu: (1) berfikir dan bernalar secara matematis, (2)
berargumentasi secara matematis, (3) berkomunikasi secara matematis, (4)
pemodelan, (5) penyusunan dan pemecahan masalah, (6) representasi, (7)
simbol, serta (8) alat dan teknologi.
Kemampuan berfikir kritis merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat modern, karena dapat menjadi lebih fleksibel
secara mental, terbuka dan mudah menyesuaikan dengan berbagai situasi dan
permasalahan (Hardianto & Santoso, 2018:117). Kemampuan berfikir kritis
memungkinkan seseorang untuk selalu berada di jalur yang benar. Ennis
(dalam As’ari, 2016:5-6) menyatakan, berfikir kritis sebagai kemampuan
untuk berfikir reflektif yang masuk akal dan difokuskan kepada upaya untuk
memutuskan apakah yang bersangkutan harus mempercayai klaim atau
-
3
informasi yang dihadapi, dan melakukan apa yang diminta atau diperintahkan
atau tidak.
Berfikir kritis merupakan hal yang sangat penting di saat mempelajari
matematika karena merupakan salah satu tujuan mempelajarinya; disamping
tujuan lain yang terkait dengan pemahaman konsep yang sudah dikenal guru
(Shadiq, 2014:23). Akan tetapi, harapan ini tidak sesuai dengan kenyataan
yang ada di lapangan di mana masih banyak guru yang tidak memulai
pembelajaran dengan sebuah permasalahan dan cenderung langsung menuju
kepada konsep abstrak dan sulit dipahami oleh siswa (Nurhikmayati,
2017:43). Salah satu akibatnya adalah siswa cenderung lebih suka menghafal
rumus dan langkah-langkah sebagaimana yang diajarkan oleh guru. Hal ini
menyebabkan siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang berupa
gambar dan soal-soal yang berupa cerita atau naratif (Retnawati, dkk, 2017).
Selain itu, observasi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di MAN
Salatiga juga menunjukkan bahwa siswa lebih cenderung menghafal dan
meniru contoh soal yang diberikan daripada berfikir kritis untuk
menyelesaikan setiap soal. Kecenderungan tersebut tentu membawa dampak
negatif untuk siswa, dimana siswa merasa kesulitan apabila disuguhkan soal
yang berbeda. Dampak negatif lainnya juga dapat dilihat pada pencapaian
hasil Ujian Nasional (UN) mata pelajaran matematika, misalnya hasil UN
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Salatiga tahun 2017 yang menyebutkan
bahwa rata-rata nilai matematika untuk program IPA hanya sebesar 38,89.
-
4
Selain menekankan pada aspek kognitif, kompetensi abad 21 juga
mencakup ranaf afektif, salah satunya adalah keyakinan diri individu terhadap
kemampuan dan potensi yang dimiliki, yang selanjutnya disebut self-efficacy.
Self-efficacy sedikit banyak dapat mempengaruhi kesuksesan belajar siswa.
Selain itu, self-efficacy juga dapat mempengaruhi pola fikir dan reaksi
emosional siswa. Sebagaimana Sutanto (2018:285) berpendapat bahwa
individu dengan self-efficacy rendah cenderung mempersepsikan suatu
kondisi lebih sulit dari kenyataan sebenarnya, sehingga akan mudah
mengalami stress, depresi, dan tidak mampu menemukan cara untuk
menyelesaikan suatu permasalahan. Sebaliknya, individu dengan self-efficacy
yang tinggi akan merasa tenang dalam menghadapi permasalahan.
Hasil observasi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di kelas X
MIPA MAN Salatiga mengindikasikan bahwa mayoritas siswa merasa kurang
percaya diri. Hal ini bisa dilihat ketika guru meminta siswa untuk
mengerjakan sebuah latihan soal, siswa cenderung mudah menyerah dan
memilih untuk bekerja sama dengan teman sebangku untuk mempermudah
proses penyelesaian masalah. Selain itu, dalam proses penyampaian pendapat,
siswa juga tidak antusias ketika diminta guru untuk mengerjakan latihan soal
di depan kelas dan terpaksa guru harus menunjuk salah seorang siswa untuk
berpendapat. Lebih lanjut, siswa juga terlihat kurang memperhatikan
penjelasan guru. Hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa mayoritas siswa
masih meliliki self-efficacy yang rendah.
-
5
Tran Vui (dalam Shadiq, 2014:98) mengindikasikan bahwa guru
matematika, termasuk guru-guru matematika di Asia Tenggara sering
menggunakan strategi mengajar yang dikenal sebagai pendekatan berpusat
pada guru (teacher-centered approaches), pembelajaran langsung (direct
instruction), ataupun pengajaran deduktif (deductive teaching). Pendekatan-
pendekatan tersebut dikenal kurang efektif untuk meningkatkan kemampuan
berfikir kritis dan tidak menggugah siswa untuk berfikir dan berperan aktif
selama proses pembelajaran. Konsekuensi dari penerapan strategi
pembelajaran tersebut adalah siswa belum mampu menerapkan pemahaman
dan kemampuannya dalam situasi yang baru. Oleh karena itu, diperlukan
alternatif model pembelajaran yang berkaitan dengan cara memecahkan
masalah (problem solving). Dalam banyak literatur disebutkan bahwa
pembelajaran berdasarkan masalah, yang selanjutnya dinamakan Problem
Based Learning (PBL), merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran
proses berfikir tingkat tinggi (Trianto, 2009:92), aktif, dan kolaboratif
(Suyadi, 2013:130), serta mengembangkan kompetensi siswa dalam ranah
afektif seperti mandiri (Trianto, 2009:96).
PBL didasari oleh teori kolaborativisme, yaitu suatu perspektif yang
berpendapat bahwa siswa akan menyusun pengetahuan dengan cara
membangun penalaran dari semua pengetahuan yang dimilikinya, dan dari
semuanya itu akan memperoleh hasil dari kegiatan berinteraksi dengan
sesama individu (Suyadi, 2013:130). Suasana kooperatif dalam PBL
merupakan salah satu faktor yang dapat melatih kemampuan berfikir kritis
-
6
siswa (Hardianto & Santoso, 2018:118). Oleh karena itu, guru dapat
menerapkan pendekatan PBL dipadu dengan pembelajaran kooperatif untuk
melatih kemampuan berfikir kritis.
Dalam banyak sumber disebutkan bahwa pembelajaran kooperatif
dapat meningkatkan prestasi belajar maupun kemampuan hubungan sosial.
Hal ini sejalan dengan pendapat Suyadi (2013:62) yang menuturkan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran kelompok yang
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, sekaligus dapat meningkatkan
kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri
dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri.
Louisell & Descamps (dalam Trianto, 2009:57) menyebutkan bahwa
dalam pembelajaran kooperatif siswa bekerja dalam suatu tim, maka dengan
sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai
latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-
keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah. Dari definisi
tersebut, jelas bahwa siswa sangat diuntungkan karena siswa yang
mempunyai kemampuan tinggi maupun rendah akan bersama-sama
mengerjakan tugas akademik dan siswa yang kemampuan akademiknya
tinggi mengajari temannya yang berkemampuan rendah. Lebih jauh lagi,
dalam pembelajaran kooperatif siswa dilatih untuk memiliki self-efficacy
yang tinggi yang tertuang dalam proses diskusi kelompok dan penyampaian
pendapat.
-
7
Pendekatan Problem Based Learning merupakan proses pembelajaran
yang berdasarkan pada masalah dan masalah tersebut belum ada jawabannya
sehingga harus diselesaikan siswa dalam proses diskusi kelompok. Oleh
karena itu dibutuhkan model yang mendukung kegiatan tersebut, yaitu siswa
dihadapkan masalah nyata atau masalah yang disimulasikan, siswa saling
bekerja sama dalam satu kelompok untuk mengembangkan keterampilan
pemecahan masalah dan kemudian bernegosiasi untuk mendapatkan jawaban
dari masalah yang diberikan (Hardiyanto & Santoso, 2018:118).
Model pembelajaran kooperatif yang cocok untuk pendekatan PBL
salah satunya adalah Think Pair Share (TPS). TPS akan cocok diterapkan
pada pendekatan PBL karena terdapat langkah di mana siswa bersama-sama
menyelesaikan masalah dan mendiskusikan masalah secara berkelompok
sehingga dinilai efektif untuk meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan
juga meningkatkan self-efficacy siswa.
Shoimin (2014:209) berpendapat bahwa TPS memiliki prosedur yang
secara eksplisit memberikan siswa waktu untuk berfikir, menjawab, dan
saling membantu satu sama lain. Dengan demikian, siswa diharapkan mampu
bekerja sama, saling membutuhkan, dan saling bergantung pada kelompok
kecil secara kooperatif.
MAN Salatiga merupakan sekolah yang berasal dari Pendidikan Guru
Agama, kemudian pada tahun 1990 berdasarkan keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia No. 64/1990 berubah status menjadi MAN Salatiga.
Seiring perkembangan zaman, MAN Salatiga selalu berupaya meningkatkan
-
8
kualitas program pendidikan, diantaranya melalui penerapan kurikulum 2013.
Meskipun penerapan kurikulum 2013 sudah merata ke semua kelas tetapi
penerapan di mata pelajaran matematika dinilai masih kurang berjalan dengan
maksimal. Hal ini dikarenakan kebanyakan guru matematika, terutama guru
matematika kelas X yang masih menerapkan pembelajaran yang berpusat
pada guru, sehingga kemampuan berfikir kritis dan self-efficacy siswa dinilai
masih perlu untuk ditingkatkan.
Melihat fenomena yang terjadi sangatlah penting menerapkan
pembelajaran dengan menggunakan model think pair share dengan
pendekatan problem based learning yang nantinya akan diterapkan pada
pembelajaran matematika materi vektor, karena vektor tergolong materi yang
sukar dan memerlukan perhatian khusus serta konsentrasi yang tinggi
sehingga dapat terlihat keefektifannya ditinjau dari kemampuan berfikir kritis
dan self-efficacy siswa.
Berdasarkan pemaparan permasalahan di atas, maka peneliti ingin
melakukan penelitian dengan judul “Keefektifan Model Pembelajaran Think
Pair Share dengan Pendekatan Problem Based Learning Ditinjau dari
Kemampuan Berfikir Kritis dan Self-Efficacy Siswa Kelas X MIPA MAN
Salatiga Tahun Pelajaran 2018/2019 Pada Materi Vektor”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
-
9
1. Apakah rata-rata kemampuan berfikir kritis siswa kelas yang mendapat
pembelajaran model think pair share dengan pendekatan problem based
learning dan rata-rata kemampuan berfikir kritis siswa kelas konvensional
telah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)?
2. Apakah rata-rata self-efficacy siswa kelas yang mendapat pembelajaran
model think pair share dengan pendekatan problem based learning dan
rata-rata self-efficacy siswa kelas konvensional telah mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM)?
3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berfikir kritis antara
pembelajaran matematika dengan menggunakan model think pair share
dengan pendekatan problem based learning dan model konvensional di
kelas X MIPA MAN Salatiga tahun pelajaran 2018/2019 pada materi
vektor?
4. Apakah terdapat perbedaan self-efficacy antara pembelajaran matematika
dengan menggunakan model think pair share dengan pendekatan problem
based learning dan model konvensional di kelas X MIPA MAN Salatiga
tahun pelajaran 2018/2019 pada materi vektor?
5. Apakah terdapat perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan berfikir
kritis antara pembelajaran matematika dengan menggunakan model think
pair share dengan pendekatan problem based learning dan model
konvensional di kelas X MIPA MAN Salatiga tahun pelajaran 2018/2019
pada materi vektor?
-
10
6. Apakah terdapat perbedaan rata-rata peningkatan self-efficacy antara
pembelajaran matematika dengan menggunakan model think pair share
dengan pendekatan problem based learning dan model konvensional di
kelas X MIPA MAN Salatiga tahun pelajaran 2018/2019 pada materi
vektor?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mengetahui apakah rata-rata kemampuan berfikir kritis siswa kelas yang
mendapat pembelajaran model think pair share dengan pendekatan
problem based learning dan rata-rata kemampuan berfikir kritis siswa
kelas konvensional telah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
yang ditetapkan.
2. Mengetahui apakah rata-rata self-efficacy siswa kelas yang mendapat
pembelajaran model think pair share dengan pendekatan problem based
learning dan rata-rata self-efficacy siswa kelas konvensional telah
mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan.
3. Mengetahui apakah terdapat perbedaan kemampuan berfikir kritis siswa
antara pembelajaran matematika dengan menggunakan model think pair
share dengan pendekatan problem based learning dan model
konvensional di kelas X MIPA MAN Salatiga tahun pelajaran 2018/2019
pada materi vektor.
-
11
4. Mengetahui apakah terdapat perbedaan self-efficacy siswa antara
pembelajaran matematika dengan menggunakan model think pair share
dengan pendekatan problem based learning dan model konvensional di
kelas X MIPA MAN Salatiga tahun pelajaran 2018/2019 pada materi
vektor.
5. Mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata peningkatan
kemampuan berfikir kritis antara pembelajaran matematika dengan
menggunakan model think pair share dengan pendekatan problem based
learning dan model konvensional di kelas X MIPA MAN Salatiga tahun
pelajaran 2018/2019 pada materi vektor.
6. Mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata peningkatan self-efficacy
antara pembelajaran matematika dengan menggunakan model think pair
share dengan pendekatan problem based learning dan model
konvensional di kelas X MIPA MAN Salatiga tahun pelajaran 2018/2019
pada materi vektor.
D. Manfaat Penelitian
Melalui hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangsih yang berupa manfaat bagi dunia pendidikan, baik yang berupa
informasi maupun kontribusi di dalam pembelajaran matematika yang
ditinjau dari berbagai aspek, diantaranya:
-
12
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
terhadap khazanah keilmuan dan pengembangan pendidikan matematika,
khususnya mengenai efektifitas model pembelajaran think pair share
dengan pendekatan problem based learning ditinjau dari kemampuan
berfikir kritis dan self-efficacy siswa. Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan dapat memperkaya hasil-hasil penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya dan dapat menjadi rujukan untuk penelitian-
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Diharapkan dapat menjadi sarana pengembangan diri dan
menambah pengetahuan terkait dengan penelitian yang
menggunakan model pembelajaran think pair share dengan
pendekatan problem based learning.
b. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
dan evaluasi bagi sekolah mengenai penerapan pembelajaran
kooperatif yang dapat dijadikan alternatif baru untuk meningkatkan
mutu pembelajaran matematika yang bersifat abstrak.
c. Bagi Guru
Sebagai solusi alternatif menyajikan materi matematika untuk
meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan self-efficacy.
-
13
d. Bagi Siswa
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
think pair share dengan pendekatan problem based learning
memberikan pengalaman belajar yang berbeda kepada siswa untuk
dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan self-efficacy
siswa.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional dimaksudkan untuk menghindari kekurangjelasan
atau pemahaman yang berbeda antara pembaca dan peneliti mengenai istilah-
istilah yang terdapat dalam judul penelitian. Adapun definisi operasional
dalam judul penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Efektifitas
Efektifitas pembelajaran model think pair share dengan
pendekatan problem based learning yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah jika memenuhi kriteria berikut:
a. Rata-rata kemampuan berfikir kritis siswa yang mendapat
pembelajaran dengan menggunakan model think pair share dengan
pendekatan problem based learning mencapai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM).
b. Rata-rata self-efficacy siswa yang mendapat pembelajaran dengan
menggunakan model think pair share dengan pendekatan problem
based learning mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
-
14
c. Rata-rata kemampuan berfikir kritis siswa yang mendapat
pembelajaran dengan menggunakan model think pair share dengan
pendekatan problem based learning lebih dari rata-rata kemampuan
berfikir kritis siswa kelas yang mendapat pembelajaran model
konvensional.
d. Rata-rata self-efficacy siswa yang mendapat pembelajaran dengan
menggunakan model think pair share dengan pendekatan problem
based learning lebih dari rata-rata self-efficacy siswa kelas yang
mendapat pembelajaran model konvensional.
e. Rata-rata peningkatan hasil tes kemampuan berfikir kritis siswa yang
mendapat pembelajaran dengan menggunakan model think pair
share dengan pendekatan problem based learning lebih dari rata-rata
peningkatan hasil tes kemampuan berfikir kritis siswa kelas yang
mendapat pembelajaran model konvensional.
f. Rata-rata peningkatan hasil self-efficacy siswa yang mendapat
pembelajaran dengan menggunakan model think pair share dengan
pendekatan problem based learning lebih dari rata-rata peningkatan
hasil self-efficacy siswa kelas yang mendapat pembelajaran model
konvensional.
2. Think pair share
Think pair share adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang
memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa
banyak waktu untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama
-
15
lain (Fathurrohman, 2015: 86). Think yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah siswa diberi waktu untuk berfikir secara individu. Pair, siswa
diberi kesempatan untuk berfikir secara berkelompok, dan Share, siswa
diberi kesempatan untuk saling membagikan hasil dari kegiatan berfikir
secara individu maupun kelompok kepada semua siswa, sehingga dalam
pembelajaran dengan model think pair share ini semua siswa terlibat
aktif selama proses pembelajaran berlangsung.
3. Problem based learning
Problem based learning merupakan suatu pendekatan
pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah, akan
tetapi untuk menyelesaikan masalah itu siswa memerlukan pengetahuan
baru untuk dapat menyelesaikannya serta belum diketahui jawabannya
(Hamruni, dalam Suyadi, 2013:129).
4. Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kemampuan siswa dalam: (1) mengidentifikasi fakta dengan jelas
dan logis, (2) merumuskan masalah utama, (3) mengaplikasikan metode
yang telah dipelajari dengan akurat, (4) menunjukkan data dengan tepat,
(5) menentukan jawaban dengan benar, dan (6) menyimpulkan, yang
ditunjukkan dengan skor hasil tes berfikir kritis.
5. Self-efficacy
Pada penelitian ini self-efficacy yang dimaksud adalah kepercayaan
siswa terhadap kemampuan yang dimilikinya untuk menghasilkan tingkat
-
16
kemampuan yang dituju dalam belajar matematika yang mempengaruhi
setiap kejadian yang terjadi dalam hidupnya, yang ditunjukkan dengan
skor angket self-efficacy.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian dengan judul “Keefektifan Model Pembelajaran Think
Pair Share dengan Pendekatan Problem Based Learning Ditinjau dari
Kemampuan Berfikir Kritis dan Self-Efficacy Siswa Kelas X MIPA MAN
Salatiga Tahun Pelajaran 2018/2019 pada Materi Vektor” terdiri dari lima
bab yang masing-masing saling berkaitan yaitu sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional,
dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI. Bab ini terdiri dari landasan teori,
kajian pustaka, dan hipotesis penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN. Bab ini terdiri dari jenis
penelitian, lokasi dan waktu penelitian, populasi dan sampel, variabel
penelitian, instrumen penelitian, uji coba instrumen penelitian, metode
pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Bab ini terdiri dari deskripsi
data, analisis data, dan pembahasan.
BAB V PENUTUP. Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran.
-
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Belajar
a. Pengertian
Menurut Gagne (2005:1) belajar adalah “A natural process
that leads to changes in what we know, what we can do, and how we
behave”, yang artinya belajar adalah proses yang dapat membawa
perubahan pengetahuan, tindakan, dan perilaku seseorang. Sementara
Saefuddin dan Ika (2014:8) mendefinisikan belajar sebagai proses
kegiatan yang berkelanjutan dalam rangka untuk menciptakan
perubahan yang berupa tingkah laku siswa secara konstruktif yang
mencakup aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik.
Lebih lanjut, Suardi (2018:10-11) mengemukakan bahwa
belajar setidaknya memiliki dua unsur utama, yaitu mengalami dan
perubahan. Mengalami diartikan sebagai serangkaian aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang melalui interaksi dengan lingkungan sekitar,
sementara perubahan diartikan sebagai adanya sesuatu yang baru dari
orang yang melakukan aktivitas belajar. Dengan demikian belajar
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh suatu
perubahan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
belajar adalah aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh suatu
-
18
perubahan yang berupa perubahan afektif, kognitif, maupun
psikomotorik.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Purwanto (dalam Thobroni, 2015:28) mengatakan bahwa
berhasil atau tidaknya perubahan yang ingin dicapai dalam aktivitas
belajar dipengaruhi oleh dua macam faktor yang digolongkan sebagai
berikut:
1) Faktor individual
Faktor individual merupakan faktor yang berasal dari diri sendiri.
Faktor individual meliputi: pertumbuhan, kecerdasan, latihan,
motivasi, dan pribadi.
2) Faktor sosial
Faktor sosial merupakan faktor yang berasal dari luar individu.
Faktor sosial meliputi: keluarga, suasana dan keadaan keluarga,
guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang digunakan, lingkungan,
dan motivasi sosial.
c. Hasil Belajar
Menurut Suprijono (2009:5-6) hasil belajar adalah pola-pola
perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi,
dan keterampilan. Sementara Ngalimun (2017:45) menyatakan bahwa
hasil belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai macam bentuk, seperti
kecakapan, kebiasaan, sikap, penerimaan atau penghargaan. Hasil
belajar tersebut dapat meliputi keadaan dirinya (afektif), pengetahuan
-
19
(kognitif), atau perbuatannya (psikomotorik). Gagne (dalam Subur,
2015:11-12) menyebutkan hasil belajar sebagai berikut:
1) Informasil verbal, yaitu hasil belajar yang berupa kemampuan
merespon secara spesifik terhadap rangsangan spesifik.
2) Keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian
gerak jasmani.
3) Sikap atau attitude, yaitu kemampuan menerima atau menolak
objek berdasarkan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Sikap
bisa berupa keyakinan dan pilihan yang mempengaruhi cara
seseorang bertindak dalam menghadapi situasi atau kondisi
tertentu. Kaitannya dengan pembelajaran matematika, siswa
dituntut untuk memiliki sikap percaya diri yang baik untuk
menghadapi tuntutan masa depan. Oleh karena itu, self-efficacy
sangat diperlukan untuk membangun keyakinan siswa terhadap
dirinya sendiri.
4) Keterampilan intelektual, yaitu kemampuan dalam melakukan
analisis dan modifikasi simbol-simbol kognitif. Kemampuan
intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan
analisis-sintesis fakta-konsep, dan mengembangkan prinsip-
prinsip keilmuan (Thobroni, 2015:20-21). Terlebih dalam
pembelajaran matematika, kemampuan analisis sangat penting
karena untuk memahami simbol-simbol matematika yang
-
20
dipandang rumit oleh mayoritas siswa, sehingga kemampuan
berfikir kritis sangat diperlukan dalam pembelajaran matematika.
5) Strategi kognitif, kemampuan metakognitif yang ditunjukkan
dalam bentuk kemampuan berfikir tentang proses berfikir (think
how to think) dan belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
2. Pembelajaran
Menurut Subur (2015:7) pembelajaran adalah aktivitas yang
dilakukan secara sistematis untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara
Thobroni (2015:19) mendefinisikan pembelajaran adalah suatu proses
belajar yang dilakukan berulang-ulang yang menyebabkan adanya
perubahan perilaku yang disadari dan bersifat tetap. Lebih lanjut
Saefuddin dan Ika (2014:8) menjelaskan bahwa secara harfiah
pembelajaran diartikan sebagai proses belajar. Mereka juga memaknai
pembelajaran sebagai proses penambahan pengetahuan dan wawasan
melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh siswa secara sadar dan
berimbas pada perubahan yang terjadi pada dirinya.
Lebih jauh lagi Sanjaya (2008:79) menyatakan bahwa
pembelajaran harus berorientasi pada pencapaian tujuan, artinya tujuan
pembelajaran bukan hanya mencakup penguasaan materi ajar, akan tetapi
proses untuk mengubah tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai. Oleh karena itu, penguasaan materi ajar bukanlah akhir
dari proses pembelajaran, melainkan bagaimana penguasaan materi ajar
merubah pola perilaku siswa dalam bertindak. Untuk mencapai tujuan
-
21
tersebut, tentu model pembelajaran yang digunakan guru tidak hanya
model pembelajaran konvensional, tetapi menggunakan berbagai macam
model pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif, inovatif, dan
kreatif dalam proses pembelajaran. Lebih dari itu, model pembelajaran
yang diterapkan juga harus efektif dan menyenangkan bagi guru maupun
siswa.
3. Keefektifan Pembelajaran
Menurut Mulyasa (2011: 82) efektifitas adalah kesesuaian antara
orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju, artinya
efektifitas itu merupakan pengaruh yang ditimbulkan dengan tujuan yang
ditentukan. Sehingga pembelajaran dikatakan efektif jika apa yang
dilakukan oleh siswa mampu menunjukkan hasil yang sesuai dengan
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Sementara Soemosasmito
(dalam Trianto, 2009:20) menyatakan bahwa suatu pembelajaran
dikatakan efektif jika:
a. Presentasi waktu belajar yang tinggi dicurahkan terhadap KBM.
b. Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi diantara siswa.
c. Ketepatan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa
(orientasi keberhasilan belajar) diutamakan, dan
d. Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif.
Dalam penelitian ini, penggunaan model pembelajaraan think pair
share dengan pendekatan problem based learning dikatakan efektif
apabila:
-
22
a. Rata-rata kemampuan berfikir kritis siswa yang mendapat
pembelajaran dengan menggunakan model think pair share dengan
pendekatan problem based learning telah mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan.
b. Rata-rata self-efficacy siswa yang mendapat pembelajaran dengan
menggunakan model think pair share dengan pendekatan problem
based learning telah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
yang ditentukan.
c. Rata-rata kemampuan berfikir kritis siswa yang mendapat
pembelajaran dengan menggunakan model think pair share dengan
pendekatan problem based learning lebih dari rata-rata kemampuan
berfikir kritis siswa kelas yang mendapat pembelajaran model
konvensional.
d. Rata-rata self-efficacy siswa yang mendapat pembelajaran dengan
menggunakan model think pair share dengan pendekatan problem
based learning lebih dari rata-rata self-efficacy siswa kelas yang
mendapat pembelajaran model konvensional.
e. Rata-rata peningkatan hasil tes kemampuan berfikir kritis siswa yang
mendapat pembelajaran dengan menggunakan model think pair share
dengan pendekatan problem based learning lebih dari rata-rata
peningkatan hasil tes kemampuan berfikir kritis siswa kelas yang
mendapat model konvensional.
-
23
f. Rata-rata peningkatan hasil self-efficacy siswa yang mendapat
pembelajaran dengan menggunakan model think pair share dengan
pendekatan problem based learning lebih dari rata-rata peningkatan
hasil self-efficacy siswa kelas yang mendapat model konvensional.
4. Think Pair Share
a. Pengertian Think Pair Share
Think Pair Share (TPS) atau berfikir berpasangan berbagi,
menurut Arends (dalam Trianto, 2009:132) pertama kali
dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di Universitas
Maryland. Think pair share merupakan variasi suasana pola diskusi
kelas.
Shoimin (2014:208) menyatakan bahwa think pair share
adalah suatu model pembelajaran kooperatif yang memberi siswa
waktu untuk berfikir dan merespon serta saling bantu satu sama lain.
Model ini memperkenalkan ide “waktu berfikir atau waktu tunggu”
yang menjadi faktor kuat dalam meningkatkan kemampuan siswa
dalam merespons pertanyaan. Senada dengan itu, Suprihatiningrum
(2013:208-209) mengemukakan bahwa strategi think pair share
memiliki prosedur yang secara eksplisit memberikan siswa lebih
banyak waktu untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu
sama lain. Selanjutnya Trianto (2009:81) juga mengemukakan bahwa
think pair share adalah jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang
untuk memengaruhi pola interaksi siswa. Kemudian Trianto juga
-
24
memberikan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan
pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan
prosedur yang digunakan dalam think pair share dapat memberi siswa
lebih banyak waktu berfikir, untuk merespon dan saling membantu.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa think
pair share adalah model pembelajaran yang memberikan kesempatan
bagi siswa untuk saling berfikir, saling bekerja sama, saling
membutuhkan, dan saling bergantung pada kelompok kecil secara
kooperatif, serta pada ujungnya adalah saling berbagi ilmu
pengetahuan yang dimiliki.
b. Langkah-langkah Think Pair Share
Pada pembelajaran think pair share setidaknya terdapat tiga
komponen penting yang menjadi ciri utama dalam pembelajaran think
pair share. Menurut Trianto (2009:133), Suprihatiningrum (2013:208-
209), dan Shoimin (2014:211) menyebutkan langkah-langkah dalam
pembelajaran think pair share meliputi beberapa tahap sebagaimana
dijelaskan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Langkah-langkah Think Pair Share
Tahap
Pembelajaran Perilaku Guru
Tahap 1:
Think
(berfikir)
Guru mengajukan pertanyaan atau menyajikan
sebuah permasalahan yang berkaitan dengan
pelajaran dan meminta siswa menggunakan waktu
beberapa menit untuk memikirkan jawaban.
Tahap 2:
Pair
(berpasangan)
Guru meminta siswa secara berpasangan untuk
mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya.
Dengan interaksi ini, siswa diharapkan dapat berbagi
jawaban atau ide mengenai sebuah permasalahan.
Tahap 3: Guru meminta siswa secara bergiliran untuk berbagi
-
25
Share
(berbagi)
kepada seluruh kelas tentang apa yang telah mereka
bicarakan. Hal ini efektif dilakukan dengan cara
bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan
sampai sekitar seperempat pasangan telah
mendapatkan kesempatan untuk melaporkan.
c. Kelebihan dan Kekurangan Think Pair Share
Shoimin (2014:211-212) menyebutkan terdapat beberapa
kelebihan dan kekurangan dalam model pembelajaran think pair
share. Adapun kelebihan dari model pembelajaran think pair share
adalah sebagai berikut:
1) TPS mudah diterapkan di berbagai jenjang pendidikan dan dalam
setiap kesempatan.
2) Menyediakan waktu berfikir untuk meningkatkan kualitas respon
siswa.
3) Siswa menjadi lebih aktif dalam berfikir mengenai konsep dalam
mata pelajaran.
4) Siswa lebih memahami tentang konsep topik pelajaran selama
diskusi.
5) Siswa dapat belajar dari siswa lain.
6) Setiap siswa dalam kelompoknya mempunyai kesempatan untuk
berbagi atau menyampaikan idenya.
Adapun kekurangan dari model pembelajaran think pair share
sebagai berikut:
1) Banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor.
2) Lebih sedikit ide yang muncul.
-
26
3) Jika ada perselisihan, tidak ada penengah.
5. Problem Based Learning
a. Pengertian Problem Based Learning
Kehidupan identik dengan adanya masalah. Oleh karena itu,
setiap individu dipaksa untuk menghadapi dan mengatasi masalah
tersebut. Pun demikian halnya dengan dunia pendidikan, berbagai
masalah yang berkaitan dengan mata pelajaran di sekolah sering kali
terjadi di kehidupan nyata.
Problem Based Learning (PBL) pertama kali dipopulerkan
oleh Barrows dan Tamblyn pada akhir abad ke-20 (Wina Sanjaya
dalam Suyadi, 2013:129). Awal mulanya, problem based learning
dikembangkan dalam dunia pendidikan kedokteran. Akan tetapi, saat
ini problem based learning telah dipakai secara luas pada semua
jenjang pendidikan (Suyadi, 2013:129).
Duch (dalam Shoimin, 2014:130) mendefinisikan bahwa
problem based learning adalah model pengajaran yang bercirikan
adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para siswa belajar
berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta
memperoleh pengetahuan. Sedangkan Arends (dalam Trianto,
2009:92) menyebutkan PBL merupakan suatu pendekatan
pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik
dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri,
-
27
mengembangkan inkuiri dan keterampilan berfikir tingkat lebih tinggi,
mengembangkan kemandirian, dan percaya diri.
Senada dengan pernyataan di atas, Ratunaman (dalam Trianto,
2009:92) juga mendefinisikan bahwa problem based learning
merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berfikir
tingkat tinggi. Sementara itu, Hamruni (dalam Suyadi, 2013:129)
menyebutkan problem based learning adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang dimulai dengan menyelesaikan suatu masalah,
tetapi untuk menyelesaikan masalah itu siswa memerlukan
pengetahuan baru untuk menyelesaikannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pendekatan problem based learning secara umum adalah suatu
pembelajaran yang melatih siswa untuk berfikir lebih kritis yang
ditujukan agar siswa dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi
di kehidupan nyata.
b. Karakteristik Problem Based Learning
Menurut Wina Sanjaya (dalam Suyadi, 2013:131), problem
based learning mempunyai tiga ciri utama yang sekaligus
membedakan strategi problem based learning dengan strategi
pembelajaran yang lain. Ketiga ciri tersebut sebagai berikut:
1) Strategi problem based learning merupakan rangkaian aktivitas.
Artinya strategi problem based learning ini memiliki beberapa
rangkaian kata yang harus dilaksanakan oleh siswa. Siswa tidak
-
28
hanya diam mendengarkan guru, melainkan siswa juga harus
berfikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah informasi, serta
menyimpulkannya.
2) Aktivitas pembelajaran diorientasikan pada penyelesaian masalah.
Artinya problem based learning ini menempatkan masalah
sebagai kata kunci dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain,
tanpa adanya masalah maka pembelajaran tidak akan
berlangsung.
3) Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan
berfikir secara ilmiah. Berfikir secara ilmiah yaitu proses berfikir
deduktif dan induktif. Proses berfikir ini dilakukan dengan
sistematis dan empiris.
Sementara itu, Arends (dalam Trianto, 2009:93-94)
menyebutkan bahwa karakteristik problem based learning ada lima
macam, yaitu:
1) Pengajuan pertanyaan atau masalah,
2) Berfokus pada kegiatan antar disiplin,
3) Penyelidikan autentik,
4) Menghasilkan produk dan memamerkannya,
5) Kolaborasi.
Lebih lanjut, berdasarkan teori yang dikembangkan oleh
Barrow, Min Liu (dalam Shoimin, 2014:130) menjelaskan
karakteristik problem based learning adalah sebagai berikut:
-
29
1) Learning is student-centered, artinya problem based learning
lebih menitikberatkan pada pembelajaran yang berpusat pada
siswa.
2) Authentic problem form the organizing focus for learning, artinya
masalah yang dihadapkan pada siswa adalah masalah yang
autentik atau masalah dalam kehidupan sehari-hari sehingga
setelah selesai pembelajaran siswa diharapkan mampu untuk
menerapkannya dalam kehidupan nyata.
3) New information is acquired through self-directed learning,
pemecahan masalah belum ditemukan sehingga mewajibkan
siswa untuk mencari sendiri melalui sumber yang ada.
4) Learning occurs in small groups, untuk mencapai tujuan
maksimal, problem based learning menerapkan prinsip kolaborasi
dalam kelompok kecil sehingga peran dari masing-masing
anggota kelompok dapat terlihat jelas dan tidak ada siswa yang
pasif.
5) Teacher act as facilitators. Guru hanya berperan sebagai
fasilitator, meskipun begitu guru harus selalu memantau
perkembangan aktivitas siswa dan mendorong siswa agar
mencapai target yang ingin dicapai.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
dalam problem based learning proses siswa lebih diutamakan
-
30
daripada hasil karena apabila prosesnya baik, maka diharapkan hasil
yang dicapai oleh siswa juga dapat maksimal.
c. Langkah-langkah Problem Based Learning
Pada pendekatan problem based learning setidaknya terdapat
lima langkah utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan
masalah kepada siswa dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil
kerja siswa. Kelima langkah tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam
Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Tahapan Pembelajaran dengan Strategi Problem Based
Learning
Tahap Pembelajaran Perilaku Guru
Tahap 1:
Mengorganisasikan siswa
kepada masalah
Guru menginformasikan tujuan-tujuan
pembelajaran, mendeskripsikan
kebutuhan-kebutuhan logistik penting,
dan memotivasi siswa agar terlibat
dalam kegiatan pemecahan masalah
yang mereka pilih sendiri
Tahap 2:
Mengorganisasikan siswa
untuk belajar
Guru membantu siswa menentukan dan
mengatur tugas-tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah itu
Tahap 3:
Membantu penyelidikan
mandiri dan kelompok
Guru mendorong siswa mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen, mencari penjelasan, dan
solusi
Tahap 4:
Mengembangkan dan
mempresentasikan hasil
karya serta pameran
Guru membantu siswa dalam
merencanakan dan menyiapkan hasil
karya yang sesuai seperti laporan,
rekaman video, dan model, serta
membantu mereka berbagi karya
mereka
Tahap 5:
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Guru membantu siswa melakukan
refleksi atas penyelidikan dan proses-
proses yang mereka gunakan
Diadaptasi dari Mohamad Nur (dalam Rusmono, 2014:81)
-
31
d. Kelebihan dan Kekurangan Problem Based Learning
Shoimin (2014:132) menyebutkan beberapa kelebihan dan
kekurangan dalam pembelajaran problem based learning. Adapun
kelebihan dari pendekatan problem based learning sebagai berikut:
1) Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan
masalah dalam situasi nyata.
2) Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri
melalui aktivitas belajar.
3) Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak
ada hubungannya tidak perlu dipelajari oleh siswa.
4) Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok.
5) Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan, baik
dari perpustakaan, internet, wawancara, maupun observasi.
6) Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri.
7) Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah
dalam kegiatan diskusi atau presentasi pekerjaan mereka.
8) Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui
kerja kelompok dalam bentuk peer teaching.
Adapun kekurangan pendekatan problem based learning adalah
sebagai berikut:
1) Problem based learning tidak dapat diterapkan untuk setiap
materi pelajaran, ada bagian guru berperan aktif dalam
menyajikan materi. Problem based learning lebih cocok untuk
-
32
pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya
dengan pemecahan masalah.
2) Dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang
tinggi akan terjadi kesulitan dalam pembagian tugas.
6. Langkah-langkah Model TPS dengan Pendekatan PBL
Penggunaan model pembelajaran TPS dengan pendekatan PBL
dimaksudkan untuk bisa meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan
self-efficacy siswa. Adapun langkah-langkah dalam model pembelajaran
TPS dengan pendekatan PBL ditunjukkan pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran TPS dengan
Pendekatan PBL
Fase Pembelajaran Kegiatan
Fase 1:
orientasi siswa
terhadap masalah
- Guru menyampaikan beberapa masalah aktual
- Guru mengajukan pertanyaan mengenai masalah aktual
- Siswa diminta untuk memikirkan sendiri mengenai jawaban dari pertanyaan atau
permasalahan tersebut. (think/berfikir)
Fase 2:
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
- Guru membentuk kelompok, di mana setiap kelompok terdiri dari 4 orang
- Guru meminta siswa berpasangan dengan anggota kelompok lain yang mempunyai
nomor yang sama. Misalkan kelompok 1
berpasangan dengan anggota kelompok 3
yang mempunyai nomor yang sama.
(pair/berpasangan)
- Siswa mendiskusikan pertanyaan atau permasalahan tadi. Interaksi selama periode
ini berupa saling berbagi jawaban terhadap
pertanyaan atau permasalahan yang diberikan
guru
Fase 3:
Mengembangkan
dan menyajikan hasil
- Guru membimbing siswa untuk membuat laporan
- Siswa mempresentasikan hasil kerjanya di
-
33
Fase Pembelajaran Kegiatan
karya depan kelas dan membimbing jalannya
diskusi. (share/berbagi)
Fase 4:
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
- Melakukan refleksi dan memberikan review - Melakukan klarifikasi atas beberapa
kekeliruan atau kekurangan prosedur dan
miskonsepsi selama melakukan berbagai
kegiatan belajar.
Diadaptasi dari Rizkiwati & Jailani (2015:254-255).
7. Kemampuan Berfikir Kritis
a. Pengertian Berfikir Kritis
Berfikir kritis merupakan realisasi dari kemampuan berfikir
tingkat tinggi. Kemampuan berfikir kritis sangat penting bagi setiap
individu mengingat setiap individu memiliki berbagai permasalahan
dan pilihan, sehingga berfikir kritis sangat diperlukan untuk
memecahkan berbagai macam permasalahan tersebut.
Berfikir kritis sendiri telah banyak didefinisikan oleh para ahli,
diantaranya adalah Paul Ernest (dalam Rasiman, 2015:310) yang
mendefinisikan, “Critical thinking as an ability to make conclusion
based on observation and information”. Paul menjelaskan bahwa
berfikir kritis sebagai suatu kemampuan untuk membuat kesimpulan
berdasarkan observasi dan informasi. Sedangkan Splitter (dalam
Maulana, 2017:5-6) mengemukakan bahwa orang yang berfikir kritis
adalah individu yang berfikir, bertindak secara normatif, dan siap
bernalar tentang kualitas dari apa yang mereka lihat, dengar, atau yang
mereka pikirkan.
-
34
Lebih lanjut, Beyer (dalam Zubaidah, 2010:2) juga
menawarkan definisi yang sederhana, “Berfikir kritis berarti membuat
penilaian-penilaian yang masuk akal”. Dari definisi tersebut, Beyer
memandang bahwa berfikir kritis adalah berfikir dengan berdasarkan
fakta dan data yang ada, sehingga kesimpulan yang dihasilkan tidak
manipulatif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa kemampuan berfikir kritis adalah kemampuan berfikir secara
rasional, berdasarkan fakta, dan reflektif yang bertujuan untuk
membuat sebuah kesimpulan yang dapat dipercaya.
b. Karakteristik/Indikator Berfikir Kritis
Inch (dalam Rasiman, 2015:310) menyatakan bahwa berfikir
kritis setidaknya memiliki delapan komponen utama terkait: (1)
pertanyaan terhadap masalah, (2) tujuan, (3) informasi, (4) konsep, (5)
asumsi, (6) pendapat, (7) interpretasi dan inferensi, dan (8)
implementasi dan konsekuensi.
Lebih lanjut, Ennis (dalam Maulana, 2017:7) menyebutkan
terdapat 12 indikator keterampilan berfikir kritis yang kemudian
dikelompokkan menjadi lima kemampuan berfikir kritis, diantaranya
adalah:
1) Memberikan penjelasan sederhana, yang meliputi: memfokuskan
pertanyaan, menganalisis argumen, bertanya, dan menjawab
pertanyaan tentang sesuatu penjelasan atau tantangan.
-
35
2) Membangun keterampilan dasar, yang meliputi:
mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, mengobservasi dan
mempertimbangkan hasil observasi.
3) Menyimpulkan, yang meliputi: membuat deduksi dan
mempertimbangkan deduksi, membuat induksi dan
mempertimbangkan induksi, membuat keputusan dan
mempertimbangkan hasilnya.
4) Memberikan penjelasan lebih lanjut, yang meliputi:
mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi,
mengidentifikasi asumsi.
5) Mengatur strategi dan taktik, yang meliputi: memutuskan suatu
tindakan, berinteraksi dengan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, kemampuan berfikir kritis yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam: (1)
mengidentifikasi fakta dengan jelas dan logis, (2) merumuskan masalah
utama, (3) mengaplikasikan metode yang telah dipelajari dengan akurat,
(4) menunjukkan data dengan tepat, (5) menentukan jawaban dengan
benar, dan (6) menyimpulkan, yang ditunjukkan dengan skor hasil tes
berfikir kritis.
8. Self-efficacy
a. Pengertian Self-Efficacy
Konsep self-efficacy pertama kali diperkenalkan oleh Albert
Bandura pada tahun 1982. Konsep self-efficacy dikembangkan dari
-
36
teori kognitif yang mengungkap tentang perilaku dan aspek-aspek
mekanistik organisme perspektif individu. Model kognitif sosial
mengungkap mengenai hubungan antara faktor pribadi, yaitu:
kognitif, afektif, dan proses biologis. Selain itu, model kognitif sosial
ini mengungkapkan mengenai perilaku individu dan kondisi
lingkungan secara terus-menerus saling berinteraksi dan memberikan
pengaruh satu sama lain yang sering disebut hubungan segitiga timbal
balik (Sutanto, 2018:284).
Bandura (1997:2) mendefinisikan self-efficacy, “perceived
self-efficacy refers to beliefs in one’s capabilities to organize and
execute the courses of action required to manage prospective
situations. Efficacy beliefs influence how people think, feel, motivate
themselves, and act”. Senada dengan pendapat tersebut, Sutanto
(2018:284) mengatakan “self-efficacy merupakan suatu keadaan di
mana individu yakin dan percaya dirinya dapat berhasil melakukan
sesuatu secara efektif”. Sementara itu, Ghufron & Rini (2010:77)
mendefinisikan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu
mengenai kemampuan-kemampuannya dalam mengatasi beraneka
ragam situasi yang muncul. Self-efficacy tidak berkaitan dengan
kecakapan yang dimiliki, tetapi berkaitan dengan keyakinan individu
mengenai hal yang dapat dilakukan dengan kecakapan yang ia miliki
seberapa pun besarnya.
-
37
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan suatu kepercayaan
diri yang dimiliki oleh individu untuk dapat menyelesaikan
permasalahan tertentu.
b. Dimensi-dimensi Self-Efficacy
Sutanto (2018:285) menyebutkan setidaknya terdapat tiga
dimensi yang membedakan self-efficacy individu, yaitu: magnitude
atau level, generality, dan strength.
Pertama, dimensi magnitude. Dimensi ini merujuk pada
tingkat kesulitan tugas atau masalah yang diyakini oleh individu dapat
diselesaikan sebagai persepsi tentang kompetensi diri. Ghufron & Rini
(2010:80) menambahkan, “Apabila individu dihadapkan pada tugas-
tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka efikasi diri
individu mungkin akan terbatas pada tugas-tugas yang mudah, sedang,
atau bahkan meliputi tugas-tugas yang paling sulit, sesuai dengan
batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku
yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat”. Dengan kata lain,
individu dengan self-efficacy tinggi cenderung akan memilih tugas
yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya dan
individu dengan self-efficacy rendah lebih memilih untuk menghindari
tugas yang dirasa melampaui batas kemampuannya.
Kedua, dimensi generality. Dimensi ini berkaitan dengan
keluasan tingkat penguasaan atau pencapaian individu terhadap tugas
-
38
atau masalah dalam kondisi tertentu. Individu dapat merasa yakin
terhadap kemampuan dirinya. Hal ini menyebabkan individu dengan
self-efficacy tinggi akan merasa yakin mampu menguasai berbagai
materi sekaligus dalam menyelesaikan tugas. Sementara individu
dengan self-efficacy rendah hanya menguasai sedikit bidang
pengetahuan dalam menyelesaikan suatu tugas.
Ketiga, dimensi strength. Dimensi ini merujuk pada tingkat
kekuatan atau kelemahan keyakinan individu terhadap kompetensi
yang dipersepsinya. Keyakinan yang lemah mudah digoyahkan oleh
pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya,
keyakinan yang kuat akan mendorong individu untuk tetap bertahan
dalam usahanya menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya.
Dimensi ini biasanya berkaitan dengan dimensi magnitude, yaitu
semakin tinggi taraf kesulitan tugas, maka keyakinan untuk
menyelesaikan tugas akan semakin melemah.
c. Sumber-sumber Self-Efficacy
Self-efficacy berkembang melalui berbagai macam
pengamatan-pengamatan terhadap akibat-akibat suatu tindakan dalam
kondisi tententu. Self-efficacy individu dibentuk berdasarkan
pengalaman orang-orang di sekitarnya, baik itu berupa reward
maupun berupa punishment.
-
39
Menurut Bandura (dalam Sutanto, 2018:286) self-efficacy
dapat ditumbuhkan dan dikembangkan berdasarkaan empat faktor
utama. Empat faktor utama yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Pengalaman penguasaan (mastery experience)
Faktor utama yang mempengaruhi self-efficacy individu
adalah melalui pengalaman pribadinya sendiri. Kesuksesan dan
kegagalan di sini akan menjadi peran utama dalam membentuk
self-efficacy. Individu yang mengalami banyak keberhasilan
dalam hidupnya tentu self-efficacy pada dirinya juga akan
meningkat. Namun sebaliknya, individu yang sering mengalami
kegagalan, maka self-efficacynya akan semakin berkurang dan
cenderung rendah.
Pada pembelajaran, self-efficacy terbentuk melalui
keberhasilan dan kegagalan siswa dalam menyelesaikan soal-soal
yang diberikan. Apabila siswa berhasil menyelesaikan soal-soal
dengan benar, maka self-efficacy siswa cenderung akan
meningkat.
2) Pengalaman perumpamaan (vicarious experience)
Faktor kedua yang dapat mempengaruhi self-efficacy
individu adalah melalui pengamatan. Pengamatan terhadap orang-
orang disekitar memberi sumbangsih yang sangat penting dalam
meningkatkan self-efficacy. Individu yang mengamati
keberhasilan orang lain akan memperkuat self-efficacy untuk
-
40
mencapai setidaknya sama dengan yang diamati. Namun individu
yang mengamati kegagalan orang lain akan merasa bahwa dirinya
tidak mampu untuk melakukan sesuatu yang sama dan self-
efficacy cenderung rendah.
Dalam konteks pembelajaran matematika, siswa yang
mengamati pekerjaan soal temannya yang benar akan
meningkatkan self-efficacy dirinya. Sedangkan siswa yang
mengamati pekerjaan soal temannya yang salah justru akan
menurunkan self-efficacy dirinya. Oleh karena itu, siswa yang
sering mengamati pekerjaan temannya dengan benar, maka self-
efficacy siswa tersebut cenderung lebih baik.
3) Persuasi verbal (verbal persuasion)
Nasihat, saran, dan bimbingan dari orang lain akan sangat
mempengaruhi self-efficacy individu. Pendapat orang lain yang
menganggap individu mampu menyelesaikan tugas dengan baik
dan akan memperkuat self-efficacy individu dalam menghadapi
masalah. Sebaliknya, pendapat orang lain yang menyatakan
individu tidak mampu menyelesaikan tugas dengan baik dan
benar akan melemahkan self-efficacy individu dalam menghadapi
masalah.
Pada konteks pembelajaran matematika, individu yang
mendapatkan dukungan dari orang-orang disekitarnya, baik guru
maupun siswa lainnya untuk menyelesaikan tugas matematika
-
41
akan dapat meningkatkan dan memperkuat tingkat self-efficacy
siswa.
4) Kondisi psikologis dan emosional (physicological and emotional
state)
Sutanto (2018:288) mengatakan, “Pengembangan self-
efficacy tidak hanya tergantung pada keadaan fisiologis dan
emosional individu, tetapi pada bagaimana individu menafsirkan
kondisi fisiologis dan emosional yang dialami”. Individu yang
merasa kurang yakin dengan kemampuan dirinya sendiri akan
merasa cemas dan merasa tidak mampu menyelesaikan masalah.
Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap self-efficacy siswa.
d. Proses-Proses Self-Efficacy
Menurut Bandura (dalam Sutanto, 2018:288) self-efficacy
mengatur individu melalui empat proses, yaitu proses kognitif, proses
motivasi, proses afektif, dan proses seleksi.
Pertama, proses kognitif merupakan suatu proses berfikir.
Individu dengan self-efficacy diri yang tinggi cenderung mampu
berfikir secara analitis, lebih sering mengungkapkan ide-ide atau
gagasan pribadi dan cenderung bertindak tepat sesuai dengan tujuan
yang diharapkan. Sebaliknya individu dengan self-efficacy rendah
cenderung tidak mampu berfikir secara analitis, merasa kesulitan
dalam mengungkapkan ide-ide atau gagasan pribadinya serta
bertindak tidak berdasarkan tujuan.
-
42
Kedua, proses motivasi. Individu untuk berusaha memotivasi
dirinya sendiri dan mengarahkan tindakannya berdasarkan pada
pemikiran-pemikiran yang dilakukan sebelumnya. Self-efficacy juga
dapat mempengaruhi motivasi untuk menentukan tujuan, melakukan
berbagai macam usaha, dan mengetahui seberapa tahan individu
tersebut dalam menghadapi berbagai kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya.
Ketiga, proses afektif. Sutanto (2018:289) menyebutkan,
“keyakinan individu terhadap kemampuan yang dimilikinya
berpengaruh terhadap tingkat stres dan depresi yang dialami dalam
situasi mengancam”. Sehingga dapat dikatakan bahwa individu yang
memiliki keyakinan rendah cenderung akan selalu beranggapan bahwa
lingkungan di sekitarnya sangat berbahaya dan dapat mengancam
dirinya sendiri. Sementara individu yang mempunyai keyakinan tinggi
cenderung akan selalu waspada dan cenderung mampu menghadapi
masalah yang dihadapi.
Keempat, proses seleksi. Sejatinya kepribadian individu
merupakan hasil produk dari lingkungan tempat tinggalnya. Individu
yang merasa yakin menangani suatu kondisi akan cenderung tidak
menghindari kondisi tersebut. Sebaliknya, individu yang merasa tidak
yakin bisa menangani suatu kondisi, maka akan lebih cenderung untuk
menghindari kondisi tersebut.
-
43
e. Indikator Academic Self-Efficacy
Sutanto (2018:293) menyebutkan bahwa penilaian mengenai
academic self-efficacy harus memenuhi indikator academic self-
efficacy. Adapun indikator pengungkap academic self-efficacy adalah
sebagai berikut:
1) Peningkatan minat terhadap penyelesian tugas sulit;
2) Kemampuan perencanaan tindakan dalam menghadapi persaingan
akademik;
3) Kemampuan memandang tingkat kesulitan tugas sebagai
tantangan bukan sebagai beban;
4) Kemampuan berwawasan optimis terhadap potensi diri;
5) Peningkatan keyakinan penguasaan berbagai mata pelajaran pada
penyelesaian tugas sekolah;
6) Kemampuan belajar dari pengalaman untuk mencapai
keberhasilan akademik;
7) Kemampuan menyelesaikan seluruh tugas sekolah;
8) Kemampuan menampilkan sikap yang menunjukkan keyakinan
diri;
9) Peningkatan kekuatan keyakinan;
10) Peningkatan semangat juang dalam menghadapi hambatan;
11) Peningkatan ketekunan mengerjakan tugas sekolah;
12) Pembentukan komitmen untuk menyelesaikan tugas sekolah
dengan baik.
-
44
9. Materi Pembelajaran
a. Sudut antara Dua Vektor
Sarwini, dkk (2018:53) mendefinisikan bahwa besar sudut
antara dua vektor dapat diturunkan dari rumus hasil kali skalar dua
vektor.
1) Besar sudut antara dua vektor pada 2R
. cosa b a b .
cosa b
a b
1 2 1 2
2 2 2 2
1 1 2 2
cos.
x x y y
x y x y
2) Besar sudut antara dua vektor pada 3R
. cosa b a b
.cos
a b
a b
1 2 1 2 1 2
2 2 2 2 2 2
1 1 1 2 2 2
cos.
x x y y z z
x y z x y z
a dan b adalah vektor-vektor bukan nol dan adalah sudut
di antara kedua vektor maka:
1. Untuk lancip jika dan hanya jika . 0a b
2. Untuk tumpul jika dan hanya jika . 0a b
3. Untuk 90 jika dan hanya jika . 0a b
-
45
Teorema Ortogonalitas: vektor a tegak lurus atau ortogonal
terhadap vektor b jika dan hanya jika . 0a b .
1) Untuk 0 jika dan hanya jika . .a b a b . Dalam hal ini
vektor a berimpit dengan vektor b atau vektor a searah dengan
vektor b .
2) Untuk 180 jika dan hanya jika . .a b a b . Dalam hal ini,
vektor a berlawanan arah dengan vektor b .
b. Proyeksi Vektor a pada Vektor b
OA adalah wakil dari a dan OB wakil dari b . Titik C
merupakan proyeksi titik A pada garis OB .
cos cos ( )OC OA a skalar
1) Proyeksi skalar ortogonal vektor a pada vektor b ditentukan
oleh: cosc a .
Dengan subtitusi .
cos.
a b
a b , maka diperoleh:
.a bc
b
-
46
2) Proyeksi vektor ortogonal vektor a pada vektor b ditentukan
oleh: c c e dengan e adalah vektor satuan vektor c . Karena
vektor c searah dengan vektor b , maka vektor satuan dari vektor
c sama dengan vektor satuan dari vektor b .
Dengan mensubtitusikan .a b
cb
dan b
eb
ke persamaan
c c e , diperoleh:
.a bc
b .
b
b2
..
| |
a bc b
b
c. Proyeksi Vektor b pada Vektor a
cos cosOD OB b
a. Proyeksi skalar ortogonal vektor b pada vektor a ditentukan
oleh: .a b
da
.
b. Proyeksi vektor ortogonal vektor b pada vektor a ditentukan
oleh: 2
..
| |
a bd a
a
-
47
B. Kajian Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis terlebih dahulu mencari
penelitian-penelitian terdahulu yang arah temanya hampir sama dengan
penelitian yang sekarang ini. Adapun hasil penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan penelitian sekarang ini, antara lain yaitu:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Hardiyanto dan
Rusgianto