Kecenderungan Hujan Ekstrim Berdasarkan Metode Site Specific Threshold Di Jabodetabek Tahun 1980-2011
Gunawan Wibisono1, Sobirin2, Adi Wibowo3
1Mahasiswa Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424
2Dosen Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 3Dosen Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424
Email : [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Hujan ekstrim merupakan salah satu fenomena cuaca ekstrim yang kejadiannya sering memicu bencana alam seperti tanah longsor, banjir bandang, dan erosi tanah. Di Wilayah Jabodetabek khususnya Kota Jakarta sering dilanda banjir akibat adanya curah hujan yang berlebih. Melalui perhitungan stastistik dan analisis spasial serta temporal, penelitian ini mengungkapkan bahwa terjadi kecenderungan kejadian hujan ekstrim di Jabodetabek dari tahun 1980 - 2011. Dengan menggunakan metode site specific threshold dan analisis spasial, ditemukan bahwa kejadian hujan ekstrim cenderung terjadi di wilayah dataran rendah dan dekat jaraknya dari garis pantai. Kejadian hujan ekstrim di Jabodetabek tahun 1980 - 2011 akan lebih sering terjadi dalam siklus 5 tahunan, dan cenderung meningkat kejadiannya meskipun tidak selalu fluktuatif dan tidak terlalu signifikan.
The Trend Of Extreme Rainfall Based On Site Specific Threshold Method in Jabodetabek Over Period 1980 – 2011
Abstract
Extreme rainfall is one of the occurrence of extreme weather phenomena are often triggered by natural disasters such as landslides, floods, and erosion. In Jabodetabek region especially the city of Jakarta is often flooded due to excessive rainfall. Through a statistical calculation and analysis of spatial and temporal, this study reveals that there is a trend of extreme rainfall events in Jabodetabek from 1980 - 2011. By using site specific threshold method and spatial analysis, it was found that the incidence of extreme rainfall tends to occur in low lying areas and near distance from the sea. Extreme rainfall events in Jabodetabek from 1980 - 2011 will be more likely to occur in cycles of 5 years, and is likely to increase occurrence though not always fluctuate and are not too significant. Keywords : extreme rainfall ; Jabodetabek ; site specific threshold ; spatio-temporal ; trend Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Hujan ekstrim adalah kondisi curah hujan kumulatif 24 jam di suatu wilayah yang telah
melebihi ambang batas tertentu. Kejadiannya merupakan bagian dari siklus hidrologi, dimana
proses presipitasi terjadi dalam intensitas lebat sampai dengan sangat lebat (BMKG, 2010).
Kejadian hujan ekstrim sering kali memicu bencana alam seperti tanah longsor, banjir
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
bandang, dan erosi tanah (Maeda et al., 2012). Sifatnya yang merusak sangat membahayakan
kehidupan manusia dan dapat menimbulkan kerugian yang signifikan (Sun et al, 2007).
Di Indonesia, hujan ekstrim seringkali menjadi suatu kejadian luar biasa yang
menyebabkan bencana dan kerugian dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah satu
wilayah di Indonesia yang terkena dampak dari hujan ekstrim adalah Jabodetabek dimana
sering terjadi banjir di wilayah tersebut. Beberapa kasus banjir terburuk yang pernah terjadi
yaitu kejadian banjir di DKI Jakarta pada tahun 2002 dan 2007. Selain itu, berdasarkan
catatan sejarah kejadian banjir BPBD Jakarta, banjir besar juga pernah terjadi pada tahun
1621, 1654, 1918, 1976, 1996, dan 2013.
Jabodetabek memiliki kondisi topografi beragam mulai dari utara dengan karakteristik
wilayah dataran rendah sampai ke selatan dengan karakteristik wilayah pegunungan. Selain
itu, lokasi masing-masing wilayah Jabodetabek ditinjau jarak dari laut juga memiliki
keberagaman. Hal tersebut membuat wilayah Jabodetabek memiliki perbedaan dalam hal
intensitas curah hujan yang turun di masing-masing wilayahnya.
Dengan jumlah penduduk yang sangat padat di wilayah Jabodetabek, penelitian
mengenai kecenderungan hujan ekstrim tentu perlu dilakukan dalam usaha untuk mengurangi
dampak terjadinya bencana. Selain itu, dapat pula dijadikan sebagai dasar kebijakan
pengelolaan sumber daya air sebagaimana Kouchak dan Nasrollahi (2010) yang menyatakan
bahwa analisis kejadian hujan ekstrim akan meningkatkan penilaian dalam prediksi bencana
banjir di waktu akan datang yang tentunya sangat berpengaruh dalam rencana pengelolaan
sumber daya air.
1.2 Pertanyaan Masalah
§ Bagaimana kecenderungan hujan ekstrim berdasarkan metode site specific threshold
di wilayah Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011?
§ Bagaimana variasi keruangan dari kecenderungan hujan ekstrim berdasarkan metode
site specific threshold di wilayah Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kecenderungan dan variasi
keruangan terjadinya hujan ekstrim berdasarkan metode site specific threshold di
wilayah Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011.
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
Tinjauan Teoritis 2.1 Cuaca Ekstrim
Cuaca ekstrim menurut IPCC / Intergovermental Panel on Climate Change (2007)
adalah suatu fenomena meteorologi yang luar biasa dalam hal sejarah distribusi,
khususnya fenomena cuaca yang berpotensi menimbulkan korban jiwa, menghancurkan
tatanan kehidupan sosial, dan menyebabkan bencana. Penentuan cuaca ekstrim pada
umumnya dilakukan dengan menganalisis distribusi klimatologi, yaitu kejadian cuaca
dengan nilai ≤ 5% dari keseluruhan distribusi. Tipe cuaca ekstrim sangat bergantung pada
kondisi atmosfer, ketinggian wilayah, posisi lintang, dan kondisi topografi.
Di Indonesia sendiri, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG,
2010) telah menetapkan beberapa standar dalam menentukan kejadian cuaca ekstrim.
Beberapa standar yang ditetapkan tersebut yaitu curah hujan kumulatif dalam satu hari
lebih dari 50 mm, kecepatan angin lebih dari 25 knots, kelembaban udara berada di
bawah 40%, dan suhu udara permukaan tanah lebih dari 35⁰ C atau di bawah 15⁰ C untuk
wilayah dataran rendah/pantai.
2.2 Hujan Ekstrim
Hujan ekstrim merupakan salah satu jenis fenomena dari cuaca ekstrim. Kejadiannya
merupakan bagian dari siklus hidrologi, dimana proses presipitasi terjadi dalam intensitas
lebat sampai dengan sangat lebat (BMKG, 2010). Kejadian hujan ekstrim sering kali
memicu bencana alam seperti tanah longsor, banjir bandang, dan erosi tanah (Maeda et al.,
2012). Sifatnya yang merusak sangat membahayakan kehidupan manusia dan dapat
menimbulkan kerugian yang signifikan (Sun et al, 2007).
Pada umumnya hujan ekstrim adalah suatu kejadian hujan dengan curah hujan
kumulatif 24 jam yang melebihi batasan tertentu. Dalam menentukan batas tersebut,
terdapat beberapa cara yang digunakan oleh para ilmuwan. Bodini dan Cossu (2010)
menggunakan kumulatif curah hujan harian di atas persentil 95 pada periode tertentu
untuk mengukur kerentanan Center-East Sardinia terhadap kejadian hujan ekstrim.
Sedangkan Goswami dan Ramesh (2007) menggunakan nilai curah hujan harian 250 mm
sebagai threshold (ambang batas) dalam menganalisis kerentanan wilayah Indian terhadap
kejadian hujan ekstrim. Metode pertama disebut sebagai sebagai batas spesifik lokasi (site
specific threshold), sedangkan metode kedua disebut sebagai batas tetap (fix threshold).
Supari, et al. (2012) menggunakan 2 metode yang sama untuk menganalisis karaketeristik
spasiotemporal hujan ekstrim di Jawa Timur. Fu et al.(2010) mengadopsi metode Kunkel
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
et al. (2003) menggunakan site specific threshold yang didefinisikan dengan interval
pengulangan dalam menganalisis variasi temporal jangka panjang dari kejadian hujan
ekstrem di Australia. Hernandez et al. (2009) menemukan bahwa minimal terdapat 23 cara
berbeda yang digunakan literatur profesional dalam mendefinisikan threshold yang dapat
menjelaskan kejadian hujan ekstrim. WMO (World Meteorological Organization) juga
telah mengeluarkan sejumlah standar dalam menentukan kejadian hujan ekstrem (WMO,
2009) dan prosedur tentang bagaimana cara untuk menginvestigasinya yang meliputi
aspek rata-rata, intensitas, persistensi, dan frekuensi.
2.3 Metodologi Perhitungan Hujan Ekstrim
Dalam menentukan terjadinya suatu kejadian hujan ekstrim di suatu wilayah, terdapat
beberapa metodologi yang dapat dilakukan, di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Distribusi Generalized Extreme Value (GEV)
Digunakan untuk memodelkan suatu hujan ekstrim dan disebut pula sebagai
“blok maksima” karena menggunakan pemodelan distribusi berupa blok untuk data
maksimum pada setiap interval waktu. Ukuran blok dibentuk dengan panjang interval
waktu yang sama, misalnya curah hujan maksimum tahunan menggunakan ukuran
blok satu tahun pengamatan. Pendekatan ini mempunyai keuntungan, yakni
membutuhkan data lebih sederhana dan blok maksima dapat diasumsikan sebagai
variabel random yang independen. Namun, kekurangan utama pendekatan ini ialah
tidak menggunakan seluruh informasi yang terdapat pada bagian ujung atas dari
distribusi, padahal sangat memungkinkan adanya informasi ekstrim di bagian tersebut.
2) Peak Over Threshold (POT)
Menggunakan suatu nilai threshold untuk mendefinisikan curah hujan dengan
nilai yang melebihi threshold dianggap sebagai hujan ekstrim. Berbeda dengan GEV,
POT menggunakan keseluruhan data pengamatan dalam memodelkan hujan ekstrim.
3) Fix Threshold
Fix Threshold menggunakan ambang batas curah hujan harian 50 mm yang
dipilih sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BMKG. Fix threshold dinilai
dengan cara menemukan hubungan antara ambang batas yang ditetapkan dengan
bencana yang terjadi akibat hujan ekstrim. Fix threshold dapat dikatakan bisa
digunakan jika curah hujan harian yang diamati saat terjadi bencana lebih besar
daripada ambang batas fix threshold.
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
4) Site Specific Threshold
Merupakan metode yang digunakan untuk mengukur kerentanan suatu wilayah
terhadap kejadian hujan ekstrim. Dalam menentukan ambang batas hujan ekstrim di
suatu wilayah, metode ini menggunakan kedalaman curah hujan harian di atas
persentil 95 pada periode waktu tertentu. Adapun curah hujan harian tersebut akan
dihitung dan diproses menggunakan tiga ambang batas waktu perulangan dari 1, 5, dan
25 tahun. Ambang batas akan ditentukan untuk setiap stasiun hujan.
Untuk periode 1 tahun, ambang batas ditentukan dengan cara mengurutkan curah
hujan dari yang terbesar ke yang terkecil. Hasil observasi 30 curah hujan harian
terbesar selanjutnya akan diekstrasi dan 30 curah hujan harian yang terkecil akan
dijadikan sebagai ambang batas. Sedangkan untuk periode ulang 5 dan 25 tahun nilai
ambang batas dihitung dengan menggunakan teori nilai ekstrem. Teori ini merupakan
suatu metode statistik yang berhubungan dengan peristiwa ekstrim dengan probabilitas
kejadian yang rendah.
Terdapat tiga model yang sering digunakan dalam menganalisis nilai ektrim
yaitu model Gumbel, Frechet, dan distribusi Weibull. Ketiga model ini berasal dari
teorema Fisher-Tippett. Model distribusi Gumbel dikenal sebagai nilai ekstrim tipe I
dengan nilai tak terbatas. Model Frechet merupakan batas bawah sedangkan Weibull
merupakan batas atas dan biasanya digunakan untuk distribusi minima. Dalam
menentukan model distribusi mana yang akan digunakan untuk data yang ada,
pengecekan probabilitas perlu dilakukan. Plotting data akan dibandingkan dengan nilai
yang dihitung berdasarkan distribusi yang dipilih.
Dari metode – metode yang digunakan untuk menghitung curah hujan ekstrim di atas,
penelitian ini akan menggunakan metode site specific threshold karena cukup banyak
digunakan oleh para peneliti terdahulu seperti Bodini dan Cossu (2010) yang mengukur
kerentanan Center-East Sardinia terhadap hujan ekstrim, dan Fu dkk (2010) mengadopsi
metode Kunkel dkk (1999, 2003) menggunakan site specific threshold untuk kejadian
hujan ekstrim di Australia.
Metode site specific threshold ini juga lebih detail dalam menganalisis kejadian hujan
ekstrim karena menggunakan 3 ambang batas (threshold) dari periode pengulangan hujan
ekstrim, yaitu periode pengulangan 1 tahun, 5 tahun, dan 25 tahun. Ditambah lagi,
penentuan masing-masing threshold dilakukan pada masing-masing stasiun penakar
curah hujan.
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
Metode Penelitian 3.1 Alur Pikir Penelitian
Data curah hujan di Wilayah Jabodetabek akan diambil dari tahun 1980 sampai 2011.
Selanjutnya, data curah hujan tersebut diolah dengan metode site specific threshold untuk
mendapatkan frekuensi hujan ekstrim di Jabodetabek. Frekuensi hujan ekstrim di Jabodetabek
ini kemudian akan di-overlay-kan dengan wilayah ketinggian di Jabodetabek dan juga jarak
dari garis pantai di tiap-tiap stasiun penelitian. Dari hasil proses overlay ini kemudian akan
didapatkan kecenderungan Hujan Ekstrim di Jabodetabek pada tahun 1980 – 2011. Skema
alur pikir dapat dilihat pada gambar 3.1.
Gambar 3.1 Alur Pikir Penelitian
3.2 Data dan Variabel
Data dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
• Data persebaran stasiun curah hujan
Data persebaran stasiun curah hujan digunakan sebagai dasar analisis wilayah yang
mengalami kecenderungan hujan ekstrim di Jabodetabek tahun 1980 – 2011. • Variabel curah hujan
Variabel curah hujan digunakan sebagai variabel utama untuk melihat kecenderungan
terjadinya hujan ekstrim yang terjadi di Jabodetabek periode tahun 1980 – 2011.
Adapun data yang digunakan dari variabel ini adalah data curah hujan harian dari tahun
1980 sampai dengan tahun 2011.
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
• Variabel wilayah ketinggian dan jarak dari garis pantai
Variabel wilayah ketinggian dan jarak dari garis pantai digunakan untuk membantu
dalam menganalisis kecenderungan hujan ekstrim di Jabodetabek.
3.3 Pengumpulan Data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data
primer didapat dari kegiatan survey lapang untuk mengetahui lokasi – lokasi dari masing-
masing stasiun penakar curah hujan. Sedangkan data sekunder didapatkan dari beberapa
instansi pemerintahan berupa data curah hujan tahun 1980 – 2011 dan data hasil pengolahan
citra DEM dan RBI. Tabel 3.1 Tabel Kebutuhan Data
No. Jenis Data Sumber Data
1. Curah hujan dan stasiun penakar curah hujan
Data curah hujan harian tahun 1980 – 2011 dan persebaran stasiun penakar curah hujan akan didapatkan dari instansi BMKG
2. Dokumentasi penelitian Survei lapang 3. Ketinggian Wilayah Hasil pengolahan DEM 4. Jarak dari garis pantai Hasil pengolahan data Peta RBI
3.4 Pengolahan Data
Dalam penelitian ini, pengolahan data yang telah dikumpulkan akan dilakukan
dengan bantuan beberapa software, di antaranya yaitu software Microsoft Excel, ArcGIS,
dan EasyFIt. Data – data tersebut diolah sedemikian rupa sehingga akan didapatkan
kecenderungan hujan ekstrim tahun 1980 - 2011. Skema alur kerja yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada gambar 3.2.
Gambar 3.2 Skema Alur Kerja
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
Adapun langkah – langkah pengolahan data berdasarkan gambar 3.2 yang akan
dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Mengolah citra DEM menjadi data ketinggian menggunakan software ArcGIS yang
kemudian data ketinggian tersebut akan dibuat wilayah ketinggian berdasarkan
klasifikasi I Made Sandy.
2. Jarak dari garis pantai didapatkan dari penarikan garis tegak lurus dari lokasi masing-
masing stasiun penelitian ke garis pantai terdekat dengan menggunakan software
ArcGIS.
3. Menghitung curah hujan rata-rata harian di Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011
menggunakan software Microsoft Excel 2010.
4. Hasil perhitungan curah hujan rata-rata harian selanjutnya akan dipilih 30 nilai curah
hujan terbesar yang kemudian akan dijadikan sebagai threshold 1. Proses ini
menggunakan software Microsoft Excel 2010.
5. Seluruh hasil perhitungan curah hujan rata-rata harian akan diolah dengan software
EasyFIt untuk mendapatkan nilai bentuk (k), skala (σ), dan lokasi (µ) dari masing-
masing stasin penakar curah hujan
6. Nilai k, σ, dan µ dari pengolahan software EasyFit tadi selanjutnya dimasukkan ke
dalam rumus untuk menentukan ambang batas dari masing-masing periode
pengulangan hujan ekstrim (Coles, 2001) :
X : Nilai threshold
T : Periode pengulangan hujan ekstrim
k, σ, µ : nilai bentuk, skala, dan lokasi masing-masing parameter
7. Hasil perhitungan dari rumus sebelumnya akan dijadikan sebagai nilai threshold 2 dan
threshold 3. Perhitungan ini menggunakan pendekatan site specific threshold.
8. Setelah didapatkan nilai threshold 1, threshold 2, dan threshold 3 di masing-masing
stasiun curah hujan, selanjutnya menentukan frekuensi terjadinya hujan ekstrim
dengan cara menghitung jumlah kejadian hujan harian di masing-masing stasiun
selama 32 tahun yang nilainya melebihi nilai threshold 1, threshold 2, dan threshold
3 dari hasil perhitungan sebelumnya.
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
9. Frekuensi hujan ekstrim dari masing-masing threshold 1, threshold 2, dan threshold 3
kemudian akan di-overlay dengan wilayah ketinggian dan jarak dari laut untuk
mendapatkan kecenderungan hujan ekstrim Jabodetabek tahun 1980 – 2011.
3.5 Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan akan diolah secara spasial dan kuantitatif,
selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah
dibuat. Adapun untuk mendapat jawaban dari masing-masing pertanyaan penelitian
dilakukan dengan tahapan berikut.
1. Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan pertama, “Bagaimana kecenderungan hujan
ekstrim berdasarkan metode site specific threshold di wilayah Jabodetabek dari tahun
1980 – 2011?” Analisis yang digunakan adalah analisis temporal dengan bantuan
grafik frekuensi curah hujan ekstrim tahunan untuk melihat trend terjadinya hujan
ekstrim dari masing-masing stasiun penakar curah hujan selama periode tahun 1980-
2011 di Jabodetabek.
2. Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan kedua, “Bagaimana variasi keruangan dari
kecenderungan hujan ekstrim berdasarkan metode site specific threshold di wilayah
Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011?” Analisis yang digunakan adalah analisis spasial
dengan cara menganalisis frekuensi kejadian hujan ekstrim di masing-masing stasiun
penakar curah hujan selama periode tahun 1980-2011 yang akan dihubungkan dengan
kondisi fisik lokasi masing-masing stasiun. Dalam penelitian ini, kondisi fisik lokasi
stasiun penakar curah hujan yang digunakan meliputi wilayah ketinggian dan jarak
dari garis pantai.
Hasil dan Pembahasan 4.1 Nilai Site Specific Threshold
4.1.1 Threshold 1
Untuk periode 1 tahun, penentuan ambang batas nilai ekstrim hujan dilakukan dengan cara
mengurutkan curah hujan harian dari nilai yang terbesar ke yang terkecil pada masing-
masing stasiun curah hujan. Hasil observasi 30 curah hujan harian terbesar dari masing-
masing stasiun curah hujan selanjutnya akan dipilih, dan dari data tersebut curah hujan
harian yang terkecil akan dijadikan sebagai ambang batas di masing-masing stasiun curah
hujan.
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
Tabel 4.1.1 Nilai Ambang Batas (Threshold 1) No Nama Stasiun Ketinggian Jarak Dari Threshold 1
(mdpl) Garis Pantai (km) (mm)
1 Tanjung Priuk 2 0,5 106,00 2 Kemayoran 4 4,5 101,50 3 Tangerang 14 15,9 85,00 4 Halim 26 16,8 102,00 5 Pondok Betung 26,2 16,8 101,90 6 Curug 46 23 89,00 7 Darmaga 250 43,8 98,50 8 Ciriung Cibinong 261 40,4 76,00 9 Empang 266 49,8 112,00
10 Katulampa 361 56,4 112,00 11 Citeko 920 66,6 99,20 12 Gunung Mas 1.109 67,6 109,00
4.1.2 Threshold 2 dan 3
Nilai threshold 2 dan 3 merupakan nilai ambang batas hujan ekstrim dengan periode
pengulangan hujan ekstrim selama 5 dan 25 tahun. Untuk periode ini, nilai ambang batas
dihitung dengan menggunakan teori nilai ekstrem. Teori ini merupakan suatu metode
statistik yang berhubungan dengan peristiwa ekstrim dengan probabilitas kejadian yang
rendah.
Nilai ambang batas dari masing-masing periode pengulangan hujan ekstrim dapat
ditentukan dengan menggunakan rumus :
X : Nilai threshold
T : Periode pengulangan hujan ekstrim
k, σ, µ : nilai bentuk, skala, dan lokasi masing-masing parameter
Dalam menentukan nilai k, σ, µ dari masing-masing stasiun curah hujan, dilakukan
dengan menggunakan Software EasyFIt. Dari pengolahan menggunakan software
tersebut, didapatkan nilai k, σ, µ dari masing-masing stasiun curah hujan pada tabel
berikut.
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
Tabel 4.1.2 Tabel nilai k, σ, µ Stasiun Hujan Jabodetabek
No
Nama Stasiun
1 Tanjung Priuk 4.174 6.417 0.47601 2 Kemayoran 4.3601 6.4378 0.44482 3 Tangerang 3.5453 5.4507 0.46819 4 Halim 6.6545 8.5399 0.37409 5 Pondok Betung 5.0081 7.2204 0.4099 6 Curug 5.5933 7.3061 0.3709 7 Darmaga 6.4027 9.2695 0.37116 8 Ciriung Cibinong 10.231 9.3429 0.23174 9 Empang 11.297 11.872 0.26046
10 Katulampa 13.787 12.845 0.21813 11 Citeko 5.9211 7.7818 0.34808 12 Gunung Mas 10.267 10.388 0.27099
Tahap selanjutnya adalah menginput data nilai k, σ, µ masing-masing stasiun curah hujan
ke dalam rumus nilai ambang batas dengan menggunakan software microsoft excel. Pada
tahap akhir maka didapatkan nilai ambang batas periode pengulangan hujan ekstrim 5
tahun dan 25 tahun.
4.1.2.1 Threshold 2
Threshold 2 merupakan nilai ambang batas periode pengulangan hujan ekstrim
selama 5 tahun. Adapun nilai threshold 2 masing-masing stasiun curah hujan di
Jabodetabek dapat dilihat pada tabel 5.2.2.1. Tabel 4.1.2.1. Tabel Threshold 2 Hujan Ekstrim Jabodetabek
No Nama Stasiun Ketinggian Jarak Dari Threshold 2 (mdpl) Garis Pantai (km) (mm)
1 Tanjung Priuk 2 0,5 31,64 2 Kemayoran 4 4,5 30,76 3 Tangerang 14 15,9 26,63 4 Halim 26 16,8 38,49 5 Pondok Betung 26,2 16,8 33,25 6 Curug 46 23 32,71 7 Darmaga 250 43,8 40,82 8 Ciriung Cibinong 261 40,4 39,16 9 Empang 266 49,8 49,43
10 Katulampa 361 56,4 52,88 11 Citeko 920 66,6 33,94 12 Gunung Mas 1.109 67,6 44,09
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
4.1.2.2 Threshold 3
Threshold 3 merupakan nilai ambang batas periode pengulangan hujan ekstrim
selama 25 tahun. Adapun nilai threshold 3 masing-masing stasiun curah hujan
di Jabodetabek adalah sebagai berikut. Tabel 4.1.2.2. Tabel Threshold 3 Hujan Ekstrim Jabodetabek
No Nama Stasiun Ketinggian Jarak Dari Threshold 3 (mdpl) Garis Pantai (km) (mm)
1 Tanjung Priuk 2 0,5 82,60 2 Kemayoran 4 4,5 76,90 3 Tangerang 14 15,9 68,81 4 Halim 26 16,8 87,01 5 Pondok Betung 26,2 16,8 79,39 6 Curug 46 23 73,80 7 Darmaga 250 43,8 92,99 8 Ciriung Cibinong 261 40,4 72,56 9 Empang 266 49,8 96,01
10 Katulampa 361 56,4 96,82 11 Citeko 920 66,6 74,56 12 Gunung Mas 1.109 67,6 86,27
4.2 Frekuensi Hujan Ekstrim
Setelah mendapatkan nilai masing-masing threshold di stasiun penakar curah hujan,
tahap selanjutnya adalah menghitung frekuensi kejadian hujan ekstrim dimana nilai curah
hujan yang melebihi nilai masing-masing threshold akan dianggap sebagai hujan ekstrim
di masing-masing stasiun curah hujan pada periode tahun 1980 sampai dengan tahun
2011.
Gambar 4.1 Grafik Frekuensi T1 dan T3 Hujan Ekstrim Tahunan Stasiun Hujan Jabodetabek
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
4.3 Frekuensi Hujan Ekstrim Jabodetabek dari Tahun 1980-2011 Tabel 4.3. Frekuensi Hujan Ekstrim Jabodetabek Tahun 1980-2011
No Nama Stasiun Elevasi (m)
Jarak Dari Garis Pantai (km)
Frekuensi Hujan Ekstrim
Threshold 1 Threshold 2 Threshold 3
1 Tanjung Priuk 2 0,5 28 505 73
2 Kemayoran 4 4,5 29 563 63
3 Tangerang 14 15,9 29 588 75
4 Halim 26 16,8 29 514 64
5 Pondok Betung 26,2 16,8 29 619 75
6 Curug 46 23 29 592 73
7 Darmaga 250 43,8 29 401 42
8 Ciriung Cibinong 261 40,4 29 513 44
9 Empang 266 49,8 28 554 56
10 Katulampa 361 56,4 29 532 59
11 Citeko 920 66,6 29 553 68
12 Gunung Mas 1.109 67,6 28 488 75
Dapat dilihat dari tabel 4.3, frekuensi kejadian hujan ekstrim di Jabodetabek periode tahun
1980-2011 pada tiap stasiun curah hujan memiliki variasi yang cukup tinggi untuk threshold 2
dan threshold 3. Sedangkan untuk threshold 1, hanya terdapat 2 jumlah kejadian di semua
stasiun curah hujan.
Gambar 4.2 Grafik Frekuensi T2 Hujan Ekstrim Tahunan Stasiun Hujan Jabodetabek
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
4.4 Hubungan Wilayah Ketinggian dengan Frekuensi Curah Hujan Ekstrim
Seperti yang sudah dijelaskan di bagian pendahuluan dalam penelitian ini, analisis
yang digunakan adalah analisis spasial dan temporal untuk melihat kecenderungan hujan
ekstrim yang terjadi di wilayah Jabodetabek dari tahun 1980 – 2011. Faktor ketinggian
wilayah menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk menjelaskan kejadian
tersebut. Berikut adalah tabel hubungan wilayah ketinggian dari lokasi tiap-tiap stasiun
curah hujan dengan frekuensi curah hujan ekstrim yang terjadi di Jabodetabek. Tabel 4.4. Hubungan Wilayah Ketinggian dengan Frekuensi Hujan Ekstrim
No Nama Stasiun Wilayah Ketinggian Frekuensi Rata-Rata Hujan Ekstrim
Total Threshold 1 Threshold 2 Threshold 3
1 Tanjung Priuk < 100 mdpl 28 505 73 606 2 Kemayoran < 100 mdpl 29 563 63 655 3 Tangerang < 100 mdpl 29 588 75 692 4 Halim < 100 mdpl 29 514 64 607 5 Pondok Betung < 100 mdpl 29 619 75 723 6 Curug < 100 mdpl 29 592 73 694 7 Darmaga 100 - 500 mdpl 29 401 42 472 8 Ciriung Cibinong 100 - 500 mdpl 29 513 44 586 9 Empang 100 - 500 mdpl 28 554 56 638
10 Katulampa 100 - 500 mdpl 29 532 59 620 11 Citeko 500 - 1000 mdpl 29 553 68 650 12 Gunung Mas > 1000 mdpl 28 488 75 591
Dari tabel 4.4, dapat dilihat bahwa dari 12 stasiun curah hujan yang digunakan
terdapat 6 stasiun atau sekitar 50% dari jumlah keseluruhan stasiun berada di wilayah
Gambar 4.3. Peta Frekuensi Hujan Ekstrim T1, T2, dan T3 Jabodetabek Tahun 1980 – 2011
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
ketinggian kurang dari 100 mdpl, kemudian 4 stasiun berada di wilayah ketinggian 100 –
500 mdpl, dan masing-masing Stasiun Citeko dan Gunung Mas berada di wilayah
ketinggian 500 – 1000 mdpl, dan lebih dari 1000 mdpl.
Seluruh jumlah kejadian hujan ekstrim yang terjadi di masing-masing stasiun curah
hujan ditentukan dari 3 threshold yang digunakan, Stasiun Pondok Betung yang berada di
wilayah ketinggian kurang dari 100 mdpl memiliki total kejadian hujan ekstrim paling
banyak, yaitu sebanyak 723 kejadian hujan ekstrim dari tahun 1980 – 2011. Jumlah
kejadian ekstrim yang paling sedikit dari 3 threshold yang digunakan berada di wilayah
ketinggian 100 – 500 mdpl lebih tepatnya di Stasiun Darmaga.
4.5 Hubungan Jarak dari Garis Pantai dengan Frekuensi Curah Hujan Ekstrim
Faktor jarak stasiun curah hujan dengan garis pantai menjadi salah satu indikator
yang digunakan di samping wilayah ketinggian untuk menjelaskan variasi frekuensi
kejadian hujan ekstrim di Jabodetabek dari tahun 1980 hingga 2011. Hubungan jarak
stasiun curah hujan dari garis pantai dengan frekuensi hujan ekstrim di Jabodetabek
terdapat pada tabel 4.5.
Dari tabel 4.5, dapat dilihat bahwa dari 12 stasiun curah hujan yang digunakan
terdapat 5 stasiun atau 41% dari jumlah stasiun berada pada jarak kurang dari 17 km dari
garis pantai. Kemudian terdapat 1 stasiun yang berada pada jarak antara 17,1 – 34 km
dari garis pantai yaitu Stasiun Curug. Pada jarak antara 34,1 – 51 km dari garis pantai
Gambar 4.4 Peta Frekuensi Hujan Ekstrim Threshold 1,2, dan 3 dengan Wilayah Ketinggian
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
terdapat 3 stasiun yaitu Stasiun Darmaga, Cibinong, dan Empang. Sedangkan pada jarak
lebih dari 51 km dari garis pantai terdapat Stasiun Katulampa, Citeko, dan Gunung Mas. Tabel 4.5. Hubungan Jarak dari Garis Pantai dengan Frekuensi Hujan Ekstrim
No Nama Stasiun Jarak Dari Garis Pantai (km)
Frekuensi Rata-Rata Hujan Ekstrim Total
Threshold 1 Threshold 2 Threshold 3 1 Tanjung Priuk < 17 28 505 73 606 2 Kemayoran < 17 29 563 63 655 3 Tangerang < 17 29 588 75 692 4 Halim < 17 29 514 64 607 5 Pondok Betung <17 29 619 75 723 6 Curug 17,1 – 34 29 592 73 694 7 Darmaga 34,1 – 51 29 401 42 472
8 Ciriung Cibinong 34,1 – 51 29 513 44 586
9 Empang 34,1 – 51 28 554 56 638 10 Katulampa > 51 29 532 59 620 11 Citeko > 51 29 553 68 650 12 Gunung Mas > 51 28 488 75 591
Stasiun Pondok Betung yang berada pada jarak kurang dari 17 km dari garis pantai memiliki
total kejadian hujan ekstrim paling banyak sebesar 723 kejadian dari seluruh jumlah kejadian
hujan ekstrim yang terjadi di masing-masing stasiun curah hujan dari 3 threshold selama
periode tahun 1980 – 2011. Jumlah kejadian ekstrim yang paling sedikit dari 3 threshold yang
digunakan berada di Stasiun Darmaga yang berada pada jarak antara 34,1 – 51 km dari garis
pantai.
Gambar 5.6.3. Peta Frekuensi Hujan Ekstrim Threshold 1,2, dan 3 dengan Jarak Dari Garis Pantai
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
Kesimpulan
Kejadian hujan ekstrim berdasarkan metode site specific threshold di Jabodetabek dari
tahun 1980 sampai tahun 2011 cenderung meningkat kejadiannya meskipun tidak selalu
fluktuatif dan tidak terlalu signifikan. Kejadian hujan ekstrim yang terjadi tiap 1 tahun tidak
menunjukkan variasi kejadian hujan ekstrim di tiap stasiun penelitian, sedangkan kejadian
hujan ekstrim dalam 5 tahun menunjukkan variasi yang sangat besar untuk kejadian hujan
ekstrim di masing-masing stasiun penelitian, dan periode hujan ekstrim dalam 25 tahun tidak
terlalu menunjukkan variasi walaupun terdapat perbedaan nilai frekuensi kejadian hujan
ekstrim yang cukup beragam di masing - masing stasiun. Hal ini mengindikasikan
kecenderungan hujan ekstrim yang ada di Wilayah Jabodetabek akan lebih sering terjadi
dalam siklus 5 tahun sedangkan untuk kejadian hujan ekstrim tiap tahun tidak akan terlalu
sering terjadi.
Kecenderungan kejadian hujan ekstrim berdasarkan metode site specific threshold di
Wilayah Jabodetabek akan lebih terkonsentrasi di wilayah yang memiliki ketinggian kurang
dari 100 mdpl serta memiliki jarak kurang dari 17 km dari garis Pantai Utara Pulau Jawa.
Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa kecenderungan hujan ekstrim di
Jabodetabek berdasarkan metode site specific threshold akan lebih terpusat di Provinsi DKI
Jakarta dan Kota Tangerang serta Kabupaten/Kota Bekasi, sedangkan Kabupaten/Kota Bogor
dan Kota Depok tidak terlalu sering terkena hujan ekstrim walaupun ada kemungkinan terjadi
dan dapat menimbulkan dampak yang sama dengan wilayah lainnya. Daftar Referensi
BMKG – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. (2010). Kondisi Cuaca dan Iklim
Ekstrem, 2010-2011: Siaran Pers. Jakarta.
Bodini, A., Cossu, Q.A. 2010. Vulnerability Assessment Of Central-East Sardinia (Italy)
To Extreme Rainfall Events. Journal of Natural Hazards and Earth System Sience 10,
hal.61-72 Coles S. 2001. An Introduction to Statistical Modeling of Extreme Values. Springer series
in statistics. London.
Fu, G., Viney, N.R., Charles, S.p., Liu, J. 2010. Long-Term Temporal Variation of Extreme
Rainfall Events in Australia : 1910-2006. Journal of Hydrometeorology, 11, hal 950-
965.Maeda, E. E., Utsumi, N., & Oki, T. (2012). Decreasing precipitation extremes
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015
at higher temperatures in tropical regions. Natural Hazards, 64(1), 935- 941.
10.1007/s11069-012-0222-5.
Goswami, P., Ramesh, K. V. (2007). Extreme Rainfall Events: Vulnerability Analysis for
Disaster Management and Observation System Design. Research Report. CSIR. Hernandez, A.R.P., Balling Jr., R.C., Barbar-Martinez, L.R. 2009. Comparative Analysis
of Indicides Of Extreme Rainfall Events : Variation And Trend From Southern
Mexico. Journal De Atmosfera, 2, hal.219-228
IPCC. (2007). Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change. In: Solomon, S., Qin, D., Manning, M., Chen, Z., Marquis, M. C., Averyt,
K. B., Tignor, M., Miller, H. L. (eds) Climate Change 2007: The Physical Science
Basis. Cambridge University Press, Cambridge, hal. 129-234.
Kouchak, Amir A., Nasrollahi, Nasrin. 2010. Semi-parametric and Parametric Inference of
Extreme Value Models for Rainfall Data. Water Resource Management, 24,
hal.1229-1249
Sandy, I Made. 1985. Republik Indonesia : Geografi Regional, Jurusan Geografi. FMIPA
Universitas Indonesia, Jakarta.
Sasmito A., Haryoko U. dan Widiatmoko H. (2007). Weather Phenomena during Flood
Event Over JABODETABEK Area. Workshop Harimau, BPPT, Jakarta
Sun, F. H., Yang, S. Y., Ren, G. Y. (2007). Decade Variations of Precipitation
Event Frequency, Intensity and Duration in North East China. J. Appl.
Meteor. Sci., 18, hal. 610-618. Supari, Sudibyakto, Ettema, Janneke, Aldrian, Edvin. 2012. Spatiotemporal Characteristic
Of Extreme Rainfall Events Over Java Island, Indonesia. Indonesian Journal of
geography, vol 44, no.1, hal. 62-86
WMO – World Meteorological Organization. (2009). Guidelines on Analysis of Extremes
in a Changing Climate in Support of Informed Decisions for Adaptation. WCDMP –
No. 72. WMO – TD No. 1500.
Zulkaidi D. (2005): Pengembangan Kawasan Banjir Kanal Timur, Sistim Manajemen Air
Untuk Menata Kehidupan, Penerbit ITB
Kecenderungan hujan..., Gunawan Wibisono, FMIPA UI, 2015