Menjadikan Keaksaraan sebagai
Fondasi Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana
diundangkan memiliki tiga jalur sebagai
wahana pencapaian tujuan. Secara ideal,
ketiga jalur tersebut mendapat perhatian
sepadan, bahkan pemerintah tidak
memilah dan membedakan ketiga jalur
pendidikan tersebut. Namun beragam
keterbatasan dimiliki pemerintah dalam
menghantarkan ketiga jalur tersebut
sebagai inti layanan pendidikan bagi
seluruh rakyat. Diiringi persepsi dan
kebiasaan masyarakat terhadap layanan
pendidikan, tidak mengherankan apabila diantara ketiga jalur layanan tersebut, pendidikan sekolah lebih
menyita perhatian termasuk kebijakan pengembangan dan penetapan program. Kondisi tersebut selain
menciptakan ketimpangan juga menyemai ketidakadilan perlakuan baik terhadap penyelenggara, sasaran
dan program pendidikan.
Kalau pun ketiga jalur memiliki keunggulan masing-masing, seyogyanya karakteristik masing-masing
mendapat porsi perhatian seperti paket kebijakan yang sesuai. Paparan karakteristik jalur pendidikan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai dasar memahami tulisan ini adalah a) Jalur
Pendidikan Formal (PF) b) Jalur Pendidikan Non Formal (PNF) dan c) Jalur Pendidikan In Formal (PIF)
Hingga pergantian kabinet menyusul keruntuhan orde baru, PF masih memegang kunci dalam
menetapkan arah dan acuan pendidikan nasional. Bahkan sumber daya yang digunakan untuk
menjalankan kebijakan berkiblat pada pendidikan formal menjadi porsi terbesar anggaran belanja
pendidikan. Selain itu, ketimpangan dapat dilihat dari jumlah bidang yang menangani pendidikan formal,
dibanding dua jalur pendidikan yang lain.
Sebut saja tingkatan direktorat jenderal membidangi setiap jenjang pendidikan formal; direktorat jenderal
pendidikan dasar, direktorat jenderal menengah dan lanjutan, dan direktorat jenderal pendidikan tinggi.
Berbeda dengan jenjang urusan jalur pendidikan non formal yang hanya ditangani cukup direktorat
Keaksaraan bukan hanya sekedar baca, tulis dan hitung namun juga mencakup pemanfaatan budaya dan sumber daya setempat (Photo: Dokumen Pribadi)
jenderal Pendidikan luar sekolah (sekarang PAUDNI) membawahi direktorat pendidikan usia dini,
pendidikan masyarakat, dan direktorat kursus. Direktorat Pendidikan Masyarakat yang menangani
pemberantasan buta aksara, kejar Paket A, kejar Paket B, dan kemudian Paket C jelas tidak seimbang
dibandingkan dengan porsi ketiga direktorat jenderal pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
lanjutan pada jalur pendidikan formal. Pengelompokkan urusan dan pembagian bidang kerja yang tidak
seimbang diantara dua jalur layanan pendidikan, telah menyebabkan upaya pendidikan di luar sekolah
tidak menempatkan lebih dari sekedar ‘menambal’ pendidikan sekolah. Manakala pendidikan sekolah
dianggap gagal, pendidikan di luar sekolah tetap tidak dapat memberikan sumbangan sebagai aktor yang
berperan dalam mencerdaskan bangsa dan masyarakat.
Dalam perkembangan berikutnya, meskipun dilakukan pembenahan di jalur direktorat jenderal
‘pendidikan formal’, perubahan ini belum memberikan dampak terhadap kiprah pendidikan non formal
sejalan dengan pandangan sebelah mata yang diberikan terhadap pendidikan non formal.
Penyelenggaraan pendidikan nasional seperti ini tidak lepas dari pandangan politik yang berlaku.
Penanganan krisis multi dimensi yang tidak kunjung berkesudahan berujung pada permasalahan kapasitas
dan karakteristik tingkat pendidikan milik masyarakat. Sehingga pangkal masalah berujung pada
bagaimana penyelenggaraan pendidikan mampu meningkatkan ketahanan dan ketangguhan masyarakat.
Suatu bangsa akan berhasil dalam pembangunannya secara ‘self propelling’ dan tumbuh maju apabila
telah berhasil memenuhi minimum jumlah dan mutu (termasuk relevansi dengan pembangunan) dalam
pendidikan penduduknya (Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja, 1984:79).
Kegagalan dunia pendidikan yang dikuasai kebijakan jalur formal, dengan mengabaikan potensi
pendidikan non formal dan informal telah meniadakan kemampuan masyarakat dalam meningkatkan
kapasitas dan kecerdasan diri mereka sendiri. Pendidikan sebagai syarat penting dan komponen utama
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak semata dikendalikan oleh pelaku tunggal seperti
pendidikan formal, namun juga harus didukung pelaku lain yaitu pendidikan non formal dan in formal.
Kebijakan pendidikan bagi William R. Ewald Jr. (1968:38) An education system is a political
phenomenon ... taken serious everywhere. Individuals are conviced that they need it, or at least the formal
indicia of it ... means of attaining power and prosperity.
Kiprah pendidikan terhadap pembangunan dan peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat semakin
mengemuka dan menyadarkan banyak praktisi pendidikan. Hal ini sejalan dengan kegagalan pendidikan
formal yakni sekolah untuk bertindak menjadi pelaku utama, sekolah makin lama makin tidak mampu
melaksanakan fungsi mereka sekarang (Shane,1984:20)
Dalam konteks pembangunan secara umum, kesertaan masyarakat dalam proses membangun diri sendiri
menjadi kriteria keberhasilan proses pembangunan. Kemandirian dan kematangan masyarakat suatu
bangsa yang berakumulasi berperan penting dalam mendukung arah dan keberhasilan penyelenggaraan
pembangunan.
Pendidikan dasar sembilan tahun dengan titik berat pada penguasaan ketermpilan dasar (baca-tulis-
hitung) dan pengetahuan dasar meliputi pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan
lingkungan alam – sosial – budaya, pengetahuan tentang gizi dan pendidikan agama (Moegiadi,1992:6)
masih belum memenuhi kebutuhan untuk menjadikan bangsa yang besar dan beraneka ragam suku serta
budaya seperti Indonesia untuk bertahan di tengah hempasan krisis moneter disusul dampak globalisasi.
Hasil proses pendidikan tidak saja sekedar mensyaratkan keterampilan, pengetahuan dan sikap minimal,
bahkan mencakup the behavior and achievements as they function as citizen (Kaufman,1972:10). Dengan
demikian, proses pendidikan yang mengutamakan keaksaraan dasar (baca-tulis-hitung) dapat
ditransformasikan menjadi keaksaraan lanjutan dengan berbagai muatan sebagaimana isu yang menjadi
perhatikan masyarakat seperti lingkungan.
1. Pendidikan Keaksaraan (Literacy) sebagai Arus Utama
Hal ini secara implisit menjadi hak mendapatkan pendidikan yang secara eksplisit melekat pada anak dan
orang dewasa, sebagaimana dicantumkan konvensi internasional, termasuk deklarasi PBB. Deklarasi Hak
Asasi Manusia tahun 1948 yang memuat hak untuk mendapatkan pendidikan misalnya. Serta beberapa
konvensi internasional lainnya, antara lain konvensi untuk melakukan tindakan sipil dan menyatakan hak
politik, begitu pula dengan konvensi bidang ekonomi, sosial dan hak budaya yang disepakati tahun 1966.
Semuanya menjadi sumber Deklrasi Hak Asasi PBB, termasuk di dalamnya konvensi 1979 mengenai
pencegahan tindakan dikriminasi bagi wanita dan konvensi hak hidup anak 1989.
Tahun 1975 menjelang deklarasi inti diterima, keaksaraan menjadi sorotan utama dibandingkan dengan
hak untuk mendapatkan pendidikan itu sendiri. Tahun 1960 ditetapkan konvensi terhadap dikriminasi
dalam pendidikan khususnya bagi tiap orang yang tidak dapat menyelesaikan dan mengikuti jenjang
pendidikan dasar. Deklarasi Persepolis menuliskan: Keaksaraan bukan berakhir pada penguasaan, tetapi
merupakan hak dasar manusia (UNESCO, 1975a). Baik Konvensi Hak Anak (CRC) dan Anti Perlakuan
Dikriminasi terhadap Wanita (CEDAW), keduanya mengisyaratkan promosi keaksaraan dan
pemberantasan ke-niraksara-an. Misalnya Ayat 10(e) CEDAW yang diterapkan 1981 menegaskan hak
orang dewasa untuk melek huruf, dengan melibatkan berbagai elemen untuk memberikan kesempatan
yang sama dalam pendidikan berkelanjutan, seperti program keaksaraan fungsional dan pendidikan orang
dewasa. Sedangkan CRC menenggarai keaksaraan sebagai keterampilan pokok dimana setiap anak harus
dilibatkan dan ditekankan pada kebutuhan untuk dapat mengatasi persoalan kehidupan melalui
keaksaraan (UNHCR, 1989). Tujuan strategis deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing 1995 adalah
memberantas buta aksara perempuan.
Deklarasi Anti Dikriminasi Pendidikan (CDE) menggarisbawahi dukungan dan peningkatan metode
pendidikan yang sesuai bagi setiap orang yang belum mendapat layanan pendidikan dasar bahkan mereka
yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasar secara lengkap serta kelangsungan pendidikan mereka
sesuai kapasitas pribadi (UNESCO, 2005). CDE selanjutnya menuntut peningkatan kesempatan
keaksaraan melalui pendidikan berkelanjutan.
Banyak tuntutan yang mensyaratkan pembaruan hak atas keaksaraan. Resolusi 11 deklarasi Hamburg
menyatakan: ‘keaksaraan, secara umum dimaknai sebagai pengetahuan dan keterampilan dasar yang
dibutuhkan dalam menyikapi perubahan dunia, dan karenanya menjadi hak fundamental seseorang’
(UNESCO, 1977) Laporan konferensi meja bundar UNESCO Keaksaraan sebagai bentuk Kebebasan
merekomendasikan bahwa keaksaraan merupakan kerangka dasar pendekatan dan prinsip pengembangan
masyarakat (UNESCO, 2005).
Berbeda dari hak keaksaraan yang diusung berbagai pertemuan dan deklarasi, pengertian hak dalam
batasan pemberatasan niraksara, sebagaimana CEDAW dan deklarasi Beijing, menyatakan persamaan
keaksaraan dengan pengetahuan dan ke-niraksara-an sebagai kebodohan. Keaksaraan pun sebagai bentuk
hak mendapat pendidikan dipandang sebagai seperangkat keterampilan pokok pendidikan dasar atau
fundamental, sebagaimana disyaratkan CDE.
Sebagaimana dirintis UNESCO, pengertian ‘pendidikan fundamental’ menyiratkan kemampuan
membaca, menulis dan menghitung dengan penekanan pada membaca dan menulis (UNESCO, 2005).
Sementara menghitung biasanya hanya dijadikan bagian pelengkap formal saja, kata ‘keaksaraan’ sendiri
umumnya membatasi diri pada keterampilan membaca dan menulis.
Bagian 1 pendahuluan CRC (ayat 29), misalnya, mengemukakan bahwa ‘keterampilan dasar mencakup
tidak hanya keaksaraan dan berhitung tetapi juga life skills [Keterampilan Hidup, pen.]. Dalam kaitan ini,
‘keaksaraan; masih diartikan membaca dan menulis semata.
Deklarasi global pendidikan untuk semua (Jomtien, Thailand, 1990) butir 1.1. merumuskan ‘keaksaraan,
komunikasi lisan, berhitung, dan pemecahan masalah menjadi bagian penting pendidikan yang
memperkaya pemenuhan kebutuhan belajar mendasar setiap orang. Gagasan pokok yang menyatakan
keaksaraan sebagai kemampuan membaca dan menulis bersumber pada materi pelajaran bahasa yang
memungkinkan seseorang belajar menulis dan membaca. Hak mendapat kesempatan belajar bahasa sama
sekali berbeda dengan kesempatan belajar yang ditawarkan melalui bahasa. Butir 27 ICCPR menyatakan
lebih lanjut hak warga minoritas untuk menggunakan bahasa mereka; hal ini termasuk pengertian
menggunakan bahasa minoritas mereka dalam pergaulan sehari-hari yang terbatas. Peraturan internasional
mengijinkan setiap negara menggunakan bahasa resmi kenegaraan masing-masing. Begitu pula sekolah
umum dapat menggunakan bahasa resmi tersebut di samping bahasa daerah setempat.
Di Namibia misalnya, program keaksaraan ditempuh dalam tiga tingkatan, kelas pertama dan dua
menggunakan bahasa ibu, dan kelas tiga memakai bahasa Inggris bagi pemula, sehinga warga belajar
dengan kemampuan keaksaraan berbeda dapat mengikuti seluruh proses pendidikan. Kenyataan
pendidikan umum hanya menggunakan bahasa resmi sebagai pengantar, hal ini bisa dikaitan dengan
hakekat asasi yakni keragaman dalam pendidikan, termasuk bahasa dalam menyampaikan bahan
pelajaran, termasuk jaminan kesempatan mengembangkan sekolah khusus. Perkembangan tuntutan
pendidikan formal dwi-bahasa telah memberikan dampak terhadap program pemuda dan orang dewasa
dalam pendidikan non formal.
Banyak tulisan, termasuk persepolis dan deklarasi hamburg, mensyaratkan wawasan keaksaraan secara
lebih luas dari sekedar kemampuan baca dan tulis saja. Keaksaraan juga melingkupi akses terhadap ilmu
pengetahuan dan tehnik, penguasaan informasi termasuk menikmati manfaat budaya dan penggunaan
media, baik itu untuk meningkatkan kemampuan diri dalam bekerja atau tidak sama sekali. Keaksaraan
juga mencakup batasan pendidikan fundamental, kemajemukan life skill untuk beragam situasi; sebagai
contoh, butir 22 konvensi berkenaan dengan pengungsi yang menjamin setiap pengungsi memperoleh
perlakukan sama di tiap negara yang ditinggali setingkat pendidikan dasar. Selain itu, keaksaraan menjadi
alat pemenuhan kebutuhan hidup sekaligus meningkatkan peran serta dalam bidang sosial, budaya, politik
dan ekonomi, khususnya bagi anggota masyarakat di daerah tertinggal. Perhatian pada pengembangan
pendidikan seumur hidup secara inklusif menunjukkan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan hidup
universal dan hak keaksaraan.
Sebagai tambahan, peningkatan keaksaraan pun ditopang kegiatan bidang teknologi, keterlibatan
masyarakat sipil dan belajar sepanjang hayat. UNESCO senantiasa menciptakan dukungan untuk
penyebaran informasi, menumbuhkembangkan teknologi komunikasi untuk menjembatani dan
mendayagunakan keragaman budaya dan bahasa. Program bantuan PBB (UNDP) menyatakan bahwa
penguasaan pengetahuan, kesempatan mendayagunakan potensi untuk meningkatkan standar kehidupan
serta berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat merupakan prasyarat mutlak pembangunan umat
manusia. Pemanfaatan wahana ini, kemampuan dan beragam potensi sumber daya akan menjamin
perkembangan keaksaraan.
Keaksaraan dengan sendirinya sangat erat berkaitan dengan upaya pendidikan berkelanjutan atau belajar
sepanjang hayat. Akhirnya, keaksaraan dapat dipandang bukan hanya sebagai suatu hal mutlak melainkan
sebagai mekanisme untuk mencapai hak asasi, hanya hak asasi mendapatkan pendidikan sebagai satu-
satunya alat memerangi keniraksaraan. Oleh karena itu keaksaraan harus didukung sebagai mainstream
pendidikan melengkapi kecakapan hidup dan gender yang telah ditetapak lebih awal.
2. Keaksaraan (keaksaraan) sebagai energi pemberdayaan
Latar belakang keaksaraan dipandang sebagai hak digambarkan oleh manfaat yang bisa dirasakan oleh
pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Apalagi, jelas dalam kehidupan masyarakat modern,
‘kemampuan keaksaraan sangat dibutuhkan untuk menentukan pengambilan keputusan, pengembangan
pribadi, keterlibatan aktif dan pasif baik di tingkat lokal maupun masyarakat global. Manfaat keaksaraan
dapat dirasakan sejalan dengan perluasan hak dan pengembangan di berbagai tempat dan pelaksanaan
secara efektif. Manfaat pribadi, misalnya, diujudkan melalui media tertulis yang dapat ditemukan di
kelompok masyarakat modern, dan manfaat ekonomi secara luas dapat diujudkan melalui kerangka
makroekonomi, investasi bidang prasarana dan berbagai kebijakan pembangunan yang relevan.
Dengan kata lain, berbagai keuntungan, seperti halnya pemberdayaan perempuan, dan penanggulangan
masalah lingkungan akan menampakkan hasilnya jika disertai dukungan lingkungan sosial budaya yang
kondusif. Di lain pihak, pengaruh buruk keaksaraan dapat berkembang bergantung pada pemanfaatan
keaksaraan dibanding hakikat keaksaraan itu sendiri – manfaat positif pun sepenuhnya bergantung pada
media bagaimana keaksaraan dibutuhkan dan dilakukan. Beberapa diantaranya dapat cukup
mengesankan. Misalnya, tuntutan keaksaraan dalam bahasa tulisan menyebabkan dibatasinya bahasa
lisan. Program keaksaraan dan media tertulis lainnya dapat menjadi wahana agar setiap orang terlibat
tanpa ragu dalam percaturan sistem pandangan politik tertentu.
Beberapa pertimbangan tersendiri diperlukan dalam mengkaji beberapa butir laporan di bawah ini. Secara
sistematis, bukti manfaat keaksaraan untuk alasan tertentu tidak dapat dengan gampang ditampilkan.
• Kebanyakan penelitian keaksaraan menyatukannya dengan kegiatan belajar di sekolah dan kegiatan
keaksaraan orang dewasa. Pada umumnya, ditemukan ‘kecenderungan untuk menyama-ratakan
pengertian sekolah, pendidikan, keaksaraan dan pengetahuan.
• Kurang sekali penelitian yang ditujukan kepada program keaksaraan orang dewasa (sebagai padanan
pendidikan formal) termasuk kajian yang memperhatikan masalah wanita. Sehingga muncul kesan
keaksaraan orang dewasa dianggap tidak penting dibandingkan dengan hal yang sama bagi anak-anak
di pendidikan formal.
• Penelitian juga banyak dilakukan terhadap pengaruh keaksaraan secara perorangan: jarang dijumpai
penelitian yang mengkaji dampak keaksaraan untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan kancah
international.
• Beberapa kasus manfaat keaksaraan, misalnya bagi kebudayaan, masih sulit untuk dilakukan
pengukurannya.
• Keaksaraan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan masih belum konsisten dan data yang
dianggap berkaitan masih dirasakan mengambang.
Manfaat pendidikan secara umum yang pada saat sama menggarisbawahi manfaat keaksaraan bagi orang
dewasa. Keterbatasan bukti pendukung hasil belajar pengetahuan program keaksaraan orang dewasa
menjadikan hasil belajar pendidikan ‘sekolah’ kerap dijadikan acuan. Kemampuan kognisi yang dapat
diukur memang telah digunakan atau setidaknya dilakukan pengukuran berapa lama suatu pengaruh
program masih bisa dirasakan. Hasil dari kedua pengukuran tersebut merupakan prioritas utama
penelitian keaksaraan selama ini.
Perlu dijadikan catatan pula, program keaksaraan dewasa kini dapat menciptakan lebih banyak hasil
bermuatan khusus, katakan saja penumbuhan kesadaran politik, pemberdayaan, refleksi kritis dan gerakan
massa yang tidak bisa dikelompokkan sebagai proses pendidikan ‘sekolah’ formal. Dalam hal ini, jelas
keuntungan dalam mengikuti program keaksaraan orang dewasa meliputi proses menimba pengalaman
positif dan keterlibatan dalam ruang kelompok masyarakat keaksaraan5. Hal yang kurang mendapat porsi
perhatian adalah manfaat pada dimensi pengembangan kapasitas diri, termasuk keterlibatan sosial,
kesertaan sosial dan manfaat sosial lainnya.
Sehingga tanpa diragukan lagi dapat diakui seandainya manfaat keaksaraan mencakup diri pribadi,
politik, budaya, sosial dan ekonomi, termasuk lingkungan.
Dua penelitian menyatakan bahwa manfaat keaksaraan terhadap pertumbuhan ekonomi bergantung pada
tahapan pencapaian derajat keaksaraan. Azariadis dan Drazen (IBRD,2000) menemukan pengaruh
‘berangkai’: negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang menyakinkan sebagai dampak
kebijakan alih teknologi, berhasil mencapai angka keaksaraan lebih awal sekurang-kurangnya 40 %,
sebagai temuan umum penelitian modernisasi perekonomian era tahun 60-an. Sachs dan Warner
(IBRD,2000) memperlihatkan secara statistik hubungan kurva S pengaruh maksimum dimana derajat
keaksaraan mencapai tingkat tertinggi maupun sebaliknya. Hasilnya, perubahan di tingkat tertinggi dan
terendah sama sekali tidak memberikan dampak pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada tingkat rata-rata
memberikan dampak berarti di sejumlah negara berkembang.
Sekalipun terdapat bukti keterkaitan keaksaraan dan pertumbuhan ekonomi, mekanisme keduanya belum
bisa dijelaskan lebih lanjut. Belakangan sumbangan pendidikan terhadap efisiensi ekonomi justeru
terletak pada hal mendasar selama proses pertumbuhan itu berlangsung, dimana teknologi baru dan
tenaga ahli yang dihasilkan proses pendidikan saling bersinggungan. Mereka yang memiliki kesempatan
banyak memperoleh pengetahuan, adalah mereka yang dapat menimba keuntungan ekonomi lebih
banyak.
Dengan demikian, derajat rerata keaksaraan suatu populasi merupakan indikator sesungguhnya
pertumbuhan bukan dengan melihat persentase populasi dengan derajat keaksaraan paling tinggi. Dengan
kata lain, sebuah negara yang menonjolkan upaya penguatan kemampuan keaksaraan masyarakatnya akan
berhasil guna dalam menumbuhkan ekonomi dan kesejahteraan dibanding dengan mengatasi kesenjangan
antara kelompok berkemampuan aksara tinggi dengan kelompok yang memiliki kemampuan rendah.
3. Nilai Tambah Investasi Keaksaraan (Literacy)
Sampai hari ini masih jadi bahan perdebatan, berapa besar keuntungan bisa diperoleh dari pembiayaan
pendidikan dasar bagi orang dewasa dibandingkan dengan pembiayaan sekolah formal. Di beberapa
negara, biaya pendidikan dasar bagi orang dewasa setahun dianggarkan sebesar pengeluaran pendidikan
dasar kelas 3 dan 4 (UNESCO, 2006) Dengan begitu, melihat biaya relatif yang dikeluarkan, pendidikan
dasar bagi dewasa sangat efektif. Hal ini, jika dibandingkan dengan tingkat pencapaian pengetahuan
program keaksaraan dibandingkan dengan hasil pengetahuan yang diperoleh murid kelas 4 (UNESCO,
2000)
Telaah terhadap empat proyek keaksaraan di tiga negara (Bangladesh, Ghana dan Senegal) antara 1997
dan 2002 menyebutkan biaya per warga belajar hingga menyelesaikan program mencapai kisaran 13 %
sampai 33 % biaya yang dikeluarkan seorang murid kelas empat sekolah dasar. Dalam kenyataan, masih
dijumpai murid sekolah yang menyelesaikan pendidikan dasar keaksaraan lebih dari empat tahun,
sehingga anggaran bisa bertambah. Hal yang patut dicatat, kenyataan tersebut hampir sama dibandingkan
dengan biaya relatif yang diusulkan tiga puluh tahun lalu selama dicanangkan ‘Experimental World
Literacy Programme’ (UNESCO, 2000) di tujuh dari delapan negara yang diujicoba, keaksaraan lebih
ringan di ongkos dilihat dari warga belajar dewasa yang berhasil menyelesaikan program dengan
penghematan berkisar 85 % hingga 2 %; sedangkan di satu negara yang diujicoba pendidikan dasar
sekolah justeru lebih murah.
Perbandingan keuntungan relatif biaya pendidikan dasar dengan pendidikan lain sering menjadi topik
hangat belakangan ini. Bahkan sering keuntungan atas biaya pendidikan sering dimunculkan lebih besar.
Tidak sedikit pula, kajian yang menunjukkan pendidikan terhadap tingkat penghasilan seseorang tidak
diragukan berdampak positif dan berpengaruh besar dibandingkan dengan komponen lain. Satu proyek
yang jarang dilakukan untuk mengukur hasil program keaksaraan dewasa telah didanai Bank Dunia di
tiga negara. Program keaksaraan fungsional di Ghana tahun 1999 menemukan besaran manfaat 43 % bagi
wanita, 24% dirasakan laki-laki, manfaat sosial masing-masing mencapai 18% dan 14%; keuntungan
diukur dari pencaharian yang berbeda. Sedangkan progam serupa di Indonesia, memberi keuntungan
sekitar 25% dibandingkan pendidikan dasar di sekolah 22%, kasusnya diukur berdasarkan tingkat
pendapatan perorangan dibandingkan dengan ongkos pendidikan yang dikeluarkan. Program di
Bangladesh menyebutkan rata-rata keuntungan mencapai 37%.
Meski demikian, perkiraan semua ini memerlukan konfirmasi lanjutan, pertama, investasi selamanya
bersifat produktif, kedua, materi apa yang diperoleh msayarakat tidak mampu dari program keaksaraan
yang membantu mereka memperoleh penghasilan dan beranjak dari kemiskinan. Kajian lebih dalam
dimunculkan dari kajian mengenai dampak kesertaan program keaksaraan dewasa terhadap pengeluaran
rumah tangga di Ghana. Tidak ada perbedaan bagi keluarga yang salah seorang anggotanya ikut kegiatan
keaksaraan maupun pendidikan formal. Justeru, keluarga yang tidak satu pun berpendidikan formal,
perbedaan sangat dirasakan mencolok: mereka yang memiliki anggota keluarga mengikuti program
keaksaraan membelanjakan 57% dibanding mereka yang tidak memiliki anggota sebgai peserta program,
dengan memperhatikan semua variabel yang berkaitan (IBRD,2000).
Di Ghana secara umum, hanya keluarga yang berpendidikan yang memerlukan peningkatan pendapatan
(UNESCO,2006) Bukti yang ditemukan lebih lanjut memperlihatkan, bahwa manfaat pengeluaran
program keaksaraan dewasa umumnya dapat dibandingkan satu sama lain, termasuk diantaranya dengan
pengeluaran dalam pendidikan dasar. Dalam kenyataan sehari-hari, ‘opportunity cost’ seorang anak
belajar di sekolah lebih rendah dibandingkan dengan seorang dewasa mengikuti program keaksaraan.
Yang pasti, keuntungan belajar keaksaraan akan sangat dirasakan oleh orang dewasa yang masih dan
terus bekerja.
*) ditulis ulang berdasarkan tulisan yang sama di: http://www.facebook.com/notes/hardy-numulus-
yangyatao/keaksaraan-sebagai-falsafah-pendidikan/125370195617