Transcript

KATARAKA. DEFINISI Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya jernih dan bening menjadi keruh.Katarak berasal dari bahasa Yunani cataracta yang berarti air terjun. Asalkata ini mungkin sekali karena pasien katarak seakan-akan melihat sesuatu seperti tertutupoleh air terjun di depan matanya akibat. Seorang dengan katarak akan melihat benda seperti ditutupikabut. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau keduanya (Ilyas, 2009). B. KLASIFIKASI KATARAK Berdasarkan waktu perkembangannya katarak diklasifikasikan menjadi katarak kongenital, katarak juvenil dan katarak senilis. 1. Katarak kongenital dapat berkembang dari genetik, trauma atau infeksi prenatal dimana kelainan utama terjadi di nukleus lensa. Kekeruhan sebagian pada lensa yang sudah didapatkan pada waktu lahir dan umumnya tidak meluas dan jarang sekali mengakibatkan keruhnya seluruh lensa 2. Katarak juvenil merupakan katarak yang terjadi pada anak-anak sesudah lahir.Kekeruhan lensa terjadi pada saat masih terjadi perkembangan serat-serat lensa.Biasanya konsistensinya lembek seperti bubur dan disebut sebagai soft cataract. Katarak juvenil biasanya merupakan bagian dari satu sediaan penyakit keturunan lain. 3. Katarak senilis adalah jenis katarak yang paling sering dijumpai. Telah diketahui bahwa katarak senilis berhubungan dengan bertambahnya usia dan berkaitan dengan proses penuaan lensa. Berdasarkan stadiumnya, katarak dibagi menjadi stadium insipien, stadium imatur,stadium matur, dan stadium hipermatur.1.

Stadium insipien. Stadium yang paling dini, yang belum menimbulkan gangguan visus. Kekeruhan terutama terdapat pada bagian perifer berupa bercak-bercak seperti baji (jari-jari roda),terutama mengenai korteks anterior, sedangkan aksis relatif masih jernih. Gambaran ini disebut spokes of a wheel yang nyata bila pupil dilebarkan.

1

2.

Stadium imatur. Kekeruhan belum mengenai seluruh lapisan lensa. Kekeruhan terutama terdapat di bagian posterior dan bagian belakang nukleus lensa. Kalau tidak ada kekeruhan di lensa, maka inar dapat masuk ke dalam mata tanpa ada yang dipantulkan. Oleh karena kekeruhan dibagian posterior lensa, maka sinar oblik yang mengenai bagian yang keruh ini akan dipantulkan lagi, sehingga pada pemeriksaan, terlihat di pupil ada daerah yang terang sebagai refleks pemantulan cahaya pada daerah lensa yang keruh dan daerah yang gelap,akibat bayangan iris pada lensa yang keruh. Keadaan ini disebut shadow test (+)

3.

Stadium matur . Pada stadium ini lensa telah menjadi keruh seluruhnya, sehingga semua sinar yangmelalui pupil dipantulkan kembali di permukaan anterior lensa. Tak ada bayangan iris. Shadow test (-). Di pupil tampak lensa yang seperti mutiara. Shadow test membedakan stadium matur dari imatur, dengan syarat harus diperiksa lebih lanjut dengan midriatika,oleh karena pada katarak polaris anterior juga terdapat shadow test (-), karena kekeruhan terletak di daerah pupil. Dengan melebarkan pupil, akan tampak bahwa kekeruhan hanya terdapat pada daerah pupil saja. Kadang-kadang, walaupun masih stadium imatur, dengankoreksi, visus tetap buruk, hanya dapat menghitung jari, bahkan dapat lebih buruk lagi1/300 atau satu per tak hingga, hanya ada persepsi cahaya, walaupun lensanya belumkeruh seluruhnya. Keadaan ini disebut vera matur.

2

4.

Stadium hipermatur. Korteks lensa yang konsistensinya seperti bubur telah mencair, sehingga nukleus lensa turun oleh karena daya beratnya ke bawah. Melalui pupil, pada daerah yang keruh, nukleus ini terbayang sebagai setengah lingkaran di bagian bawah, dengan warna yang lain daripada bagian yang diatasnya, yaitu kecoklatan. Pada stadium ini juga terjadikerusakan kapsul lensa, yang menjadi lebih permeabel, sehingga isi korteks yang cair dapat keluar dan lensa menjadi kempis, yang di bawahnya terdapat nukleus lensa. Keadaan ini disebut katarak Morgagni. Pada perjalanan dari stadium I ke stadium IV, dapat timbul suatu keadaan yang disebut intumesensi yaitu penyerapan cairan bilik mata depan oleh lensa sehingga lensamenjadi cembung dan iris terdorong ke depan, bilik mata depan menjadi dangkal. Hal ini tidak selalu terjadi.Pada umumnya terjadi pada stadium II. Selain itu terdapat jenis katarak lain : Katarak rubella : Ditularkan melalui Rubella pada ibu hamil Katarak yang berwarna coklat sampai hitam, terutama pada nucleus lensa Dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus dan myopia tinggi. Katarak akibat penyakit mata lain seperti radang dan proses degenerasi. Mempunyai tanda khusus yaitu selamanya dimulai di korteks atau dibawah kapsul menuju ke korteks atau dibawah kapsul menuju sentral Pada lensa terlihat kekeruhan titik subkapsular ayng sewaktu-waktu menjadi katarak lamelar. Katarak Brunesen

Katarak Komplikata :

3

Katarak Diabetik : Akibat adanya penyakit Diabetes Mellitus. Meningkatkan insidens maturasi katarak >> Pada lensa terlihat kekeruhan tebaran salju subkapsularyang sebagian jernih dengan pengobatan. Katarak Sekunder Adanya cincin Soemmering (akibat kapsul pesterior yang pecah) dan Mutiara Elsching (epitel subkapsular yang berproliferasi) Katarak Traumatika Dapat terjadi akibat trauma mekanik, agen-agen fisik (radiasi, aruslistrik, panas dan dingin) (Ilyas, 2009) C. PATOFISIOLOGI Lensa mengandung tiga komponen anatomis yaitu :

Nukleus zone sentral Korteks perifer Kapsul anterior dan posterior

Sebagian besar katarak terjadi karena suatu perubahan fisik dan perubahan kimia pada protein lensa mata yang mengakibatkan lensa mata menjadi keruh.Perubahan fisik (perubahan pada serabut halus multiple (zonula) yang memanjang dari badan silier ke sekitar lensa) menyebabkan hilangnya transparansi lensa. Perubahan kimia pada protein inti lensa mengakibatkan pigmentasi progresif sehingga nukleus menjadi kuning atau kecokelatan juga terjadi penurunan konsentrasi glutation dan kalium, peningkatan konsentrasi natrium dan kalsium serta peningkatan hidrasi lensa. Perubahan ini dapat terjadi karena meningkatnya usia sehingga terjadi penurunan enzim yang menyebabkan proses degenerasi pada lensa. Penyebab pada katarak senilis belum diketahui pasti, namun diduga terjadi karena:a. Proses pada nukleus

Oleh karena serabut-serabut yang terbentuk lebih dahulu selalu terdorong ke arah tengah, maka serabut-serabut lensa bagian tengah menjadi lebih padat (nukleus), mengalami dehidrasi, penimbunan ion kalsium dan sklerosis. Pada nukleus ini kemudian terjadi penimbunan pigmen. Pada keadaan ini lensa 4

menjadi lebih hipermetrop. Lama kelamaan nukleus lensa yang pada mulanya berwarna putih menjadi kekuning-kuningan, lalu menjadi coklat dan kemudian menjadi kehitam-hitaman. Karena itulah dinamakan katarak brunesen atau katarak nigra.b. Proses pada korteks

Timbulnya celah-celah di antara serabut-serabut lensa, yang berisi air dan penimbunan kalsium sehingga lensa menjadi lebih tebal, lebih cembung dan membengkak, menjadi lebih miop. Berhubung adanya perubahan refraksi ke arah miopia pada katarak kortikal, penderita seolah-olah mendapatkan kekuatan baru untuk melihat dekat pada usia yang bertambah (Wijana, 1983).D. GEJALA DAN TANDA 1. Pengurangan ketajaman penglihatan secara bertahap 2. Pandangan seperti ada kabut atau air terjun 3. Silau, sehingga penglihatan di malam hari lebih nyaman dibandingkan siang

hari4. Miopia 5. Kesulitan membaca bila tidak cukup cahaya 6. Sering berganti kacamata

(Ilyas, 2009)E. DIAGNOSIS

ANAMNESIS :

Penurunan ketajaman penglihatan secara bertahap (gejala utama katarak) Mata tidak merasa sakit, gatal , atau merah Gambaran umum gejala katarak yang lain seperti :1. Berkabut, berasap, penglihatan tertutup film 2. Perubahan daya lihat warna 3. Gangguan mengendarai kendaraan malam hari, lampu besar sangat

menyilaukan mata4. Lampu dan matahari sangat mengganggu 5. Sering meminta resep ganti kacamata 6. Penglihatan ganda (diplopia)

PEMERIKSAAN FISIK MATA 5

1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan 2. Melihat lensa dengan penlight dan loop

Dengan penyinaran miring (45 derajat dari poros mata) dapat dinilai kekeruhan lensa dengan mengamati lebar pinggir iris pada lensa yang keruh (iris shadow).Bila letak bayangan jauh dan besar berarti kataraknya imatur, sedangkan bayangan dekat dan kecil dengan pupil terjadi katarak matur.3. Slit lamp 4. Pemeriksaan opthalmoskop (sebaiknya pupil dilatasi)

(Wijana, 1983) F. DIAGNOSA BANDING 1. Leukokoria 2. Oklusi pupil 3. Ablasi retina4. Retinoblastoma

(Wijana, 1983)G. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan untuk katarak adalah pembedahan (operasi).Medikamentosa diberikan dengan tujuan mengatasi gejala yang ditimbulkan oleh penyulit misalnya, silau maka pasien dapat menggunakan kacamata.Untuk mengurangi inflamasi dapat diberikan steroid ringan. Dapat pula dianjurkan diet dengan gizi yang seimbang, suplementasi vitamin A,C,E, serta antioksidan lainnya dengan dosis yang tepat dapat membantu memperlambat progresifitas katarak. Ekstraksi katarak adalah cara pembedahan dengan mengangkat lensa yang katarak. Dapat dilakukan dengan intrakapsular yaitu mengeluarkan lensa dengan isi kapsul lensa atau ekstrakapsular yaitu mengeluarkan isi lensa (korteks dan nucleus) melalui kapsul anterior yang dirobek dengan meninggalkan kapsul posterior.a. Operasi katarak ekstrakapsular atau ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK)

Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan tersebut. Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa intra okular, kemungkinan akan dilakukan bedah gloukoma, mata 6

dengan presdiposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya mata mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid makular edema, pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat terjadi katarak sekunder. Tindakan ekstraksi katarak ekstrakapsuler yang terencana dilakukan apabila:1. Kita ragu apakah nukleus lentis sudah terbentuk atau belum. 2. Kita mengira badan kaca mencair, misalnya pada miopia tinggi, setelah

menderita uveitis.3. Telah terjadi perlengketan luas antara iris dan lensa. 4. Pada operasi mata yang lainnya, telah terjadi ablasi atau prolaps badan kaca. 5. Setelah operasi mata yang lainnya, timbul penempelan badan kaca pada

kornea yang menyebabkan distrofi kornea.6. Terkandung maksud untuk memasang lensa intraokuler buatan. b. Operasi katarak intrakapsular atau ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK)

Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul.Dapat dilakukan pada zonula zinn telah rapuh atau berdegenerasi da mudah diputus. Pada tindakan ini tidak akan terjadi katarak sekunder (Ilyas, 2009). Indikasi ekstraksi katarak:1. Pada bayi: kurang dari 1 tahun

Bila fundus tak terlihat. Bila masih dapat dilihat, katarak dibiarkan saja.2. Pada umur lanjut a. Indikasi klinis

: kalau katarak menimbulkan penyulit uveitis atau

glaukoma, meskipun visus masih baik untuk bekerja, dilakukan operasi juga, setelah keadaan menjadi tenang.b. Indikasi visuil 3. Katarak monokuler a. Bila sudah masuk dalam stadium matur b. Bila visus pasca bedah sebelum dikoreksi, lebih baik daripada sebelum

: tergantung dari katarak monokuler atau binokuler

operasi4. Katarak binokuler a. Bila sudah masuk dalam stadium matur

7

b. Bila visus meskipun telah dikoreksi tidak cukup untuk melakukan

pekerjaan sehari-hari. Macam-macam ekstraksi katarak sesuai konsistensi dari kataraknya:1. Katarak cair

: umur kurang dari 1 tahun, dilakukan disisi lensa

2. Katarak lembek : umur 1-35 tahun, dilakukan ekstraksi linier/ekstraksi katarak

ekstrakapsuler3. Katarak keras

: umur lebih dari 35 tahun, dilakukan ekstraksi katarak

ekstrakapsulerH. KOMPLIKASI -

Dislokasi lensa dan subluksasi sering ditemukan bersamaan dengan Komplikasi lain yang dapat berhubungan, seperti blok pupil,glaukoma sudut uveitis,retinal detachment , rupture koroid, hifema,perdarahan

katarak traumatic.-

tertutup,

retrobulbar, neuropati optik traumaticI. PROGNOSIS

Prognosis penglihatan untuk pasien anak-anak yang memerlukan pembedahan tidak sebaik prognosis untuk pasien katarak senilis, karena adanya ambliopia dan kadang-kadang anomali saraf optikus atau retina.Prognosis untuk perbaikan ketajaman pengelihatan setelah operasi paling buruk pada katarak kongenital unilateral dan paling baik pada katarak kongenital bilateral inkomplit yang proresif lambat.Prognosis penglihatan pasien dikatakan baik apabila: Fungsi media refrakta baik Dilakukan dengan melihat kejernihan serta keadaan media refrakta mulai dari kornea, iris, pupil dan lensa melalui lampu sentolop maupun slit lamp. Fungsi makula atau retina baik Dilakukan dengan pemeriksaan retpersepsi warna, dengan cara menyorotkan cahaya merah dan hijau di depan mata yang kemudian dengan sentolop cahaya diarahkan ke mata. Fungsi N. Opticus (N.II) baik Fungsi serebral baik 8

PTERYGIUM A. DEFINISI Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. Pterygium dapat mengenai kedua mata (Ilyas, 2009). Pterygium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang menuju ke arah puncak Pterygium. Kebanyakan Pterygium ditemukan di bagian nasal, dan bilateral. Pada kornea penjalaran Pterygium mengakibatkan kerusakan epitel kornea dan membran Bowman (Perdami, 2002).

B. EPIDEMIOLOGI Umumnya terjadi pada usia 20-30 tahun pada daerah yang beriklim tropis. Di seluruh dunia, terdapat penurunan insidensi pada daerah bagian atas lintang utara dan relatif terjadi peningkatan di bawah garis lintang utara. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat yaitu daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini (Juliansyah, 2009). C. ETIOLOGI Pterygium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi (Ilyas, 2009). 9

D. FAKTOR RISIKO Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain : Usia Prevalensi Pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa, tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak (Hamurwono et al., 1984). Tan berpendapat Pterygium terbanyak pada usia 2 dekade dua dan tiga (Tan, 2002). Di RSUD AA tahun 2003-2005 didapatkan usia terbanyak 31 40 tahun, yaitu 27,20%. 2. Pekerjaan Pertumbuhan Pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV (Raihana, 2007). 3. Tempat tinggal Gambaran yang paling mencolok dari Pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian Pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 30 memiliki risiko penderita Pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan (Tan, 2002). Jenis kelamin Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan (Hamurwono et al., 1984). Herediter Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan (Tan, 2002). 6. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab Pterygium(Tan, 2002). 7. Faktor risiko lainnya Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Pterygium(Tan, 2002).

.

.

.

10

E. PATOFISIOLOGI Patofisiologi Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi jaringan fibrovaskular pada stroma subepitel yang tervaskularisasi, dengan permukaan yang menutupi epitelium. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila diberi pewarnaan dengan hematoksilin dan eosin. Jaringan ini juga dapat diwarnai dengan pewarna jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase (Juliansyah, 2009). F. KLASIFIKASI DAN GRADE Klasfikasi Pterygium:1. Pterygium simpleks

: jika terjadi hanya di bagian nasal atau temporal : jika terjadi pada nasal dan temporal.

saja.2. Pterygium dupleks

Grade pada Pterygium: 1. Grade 1 Meluas kurang dari 2 mm di atas kornea. Timbunan lesi (ditunjukkan dengan Stocker line) dapat terlihat di epitel kornea bagian anterior/depan Pterygium. Lesi/jejas ini asimptomatis, meskipun sebentar-sebentar dapat meradang (intermitenly inflamed). Jika memakai soft contact lens, gejala dapat timbul lebih awal karena diameter lensa yang luas bersandar pada ujung kepala Pterygium yang sedikit naik/terangkat dan hal ini dapat menyebabkan iritasi. 2. Grade 2 Melebar hingga 4 mm dari kornea, dapat kambuh (recunrrent) sehingga diperlukan tindakan pembedahan. Dapat mengganggu precorneal tear film dan menyebabkan astigmatisme. 3. Grade 3 Meluas hingga lebih dari 4 mm dan melibatkan daerah penglihatan (visual axis). Lesi/jejas yang luas (extensive), jika kambuh, dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva dan meluas hingga ke fornix yang 11

terkadang dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan mata (Juliansyah, 2009). Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia derajat pertumbuhan Pterygium dibagi menjadi : a. Derajat I : hanya terbatas pada limbusb. Derajat II : sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm

melewati kornea. c. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata dalamkeadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)d. Derajat IV : Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan (Perdami, 2006). G. TANDA KLINIK Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan stasioner. Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan menggantinkan epitel, juga membran Bowman, dengan jaringan elastis dan hialin. Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama pelaut dan petani. Kelainan ini merupakan kelainan degenerasi yang berlangsung lama. Bila mengenai kornea, dapat menurunkan visus karena menimbulkan astigmat dan juga dapat menutupi pupil, sehingga cahaya terganggu perjalanannya. Pterygium juga dapat meradang dan berwarna merah, terasa mengganjal disertai mata yang berair (Wijana, 1983). H. DIAGNOSIS Pterygium dapat berupa berbagai macam perubahan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan pada kornea. Penyakit ini lebih sering menyerang konjungtiva nasal dan akan meluas ke kornea bagian nasal. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik sering didapatkan berbagai macam keluhan, mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi sangat merah, mata gatal, iritasi, berair, dan pandangan kabur, disertai jejas pada konjungtiva yang membesar. Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 kategori umum, sebagai berikut : 12

1. Kelompok pasien yang mengalami Pterygium berupa ploriferasi minimal dan

penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah dilakukan eksisi.2. Pada kelompok kedua,Pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat

dan terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygium dalam grup ini mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi (Juliansyah, 2009). I. DIAGNOSIS BANDING a. Pseudopterygium Apabila terjadi ulkus kornea atau kerusakan permukaan kornea, dapat terjadi bahwa dalam proses penyembuhan, konjungtiva menutupi luka kornea tersebut, sehingga terlihat seolah-olah konjungtiva menjalar ke kornea. Pada pseudopterygium dapat dimasukkan sonde di bawahnya, dan tidak bersifat progresif. Pseudopterygium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan kecuali sangat mengganggu visus atau alasan kosmetik. b. Pannus Merupakan pertumbuhan pembuluh darah ke dalam sekeliling kornea. Pada individu normal, kornea seharusnya avaskuler, hipoksia lokal kronis (seperti pada penggunaan contact lens berlebihan) atau inflamasi dapat menyebabkan vaskularisasi di sekeliling kornea. Pannus juga dapat terjadi pada penyakit stem cell kornea seperti aniridia. c. Pinguekula Kelainan ini juga terdapat pada konjungtiva bulbi, baik bagian nasal maupun bagian temporal, di daerah celah kelopak mata. Pinguekula terlihat sebagai penonjolan berwarna putih kuning keabuan berupa hipertrofi, yaitu penebalan selaput lendir.

13

Pada umumnya pinguekula tidak memerlukan pengobatan. Pinguekula yang menunjukkan adanya peradangan, diobati dengan steroid untuk mempercepat redanya peradangan. d. Kista Dermoid Merupakan tumor kongenital berasal dari lapisan mesodermal dan ektodermal, jaringan tumor terdiri dari jaringan ikat, jaringan lemak, folikel rambut, kelenjar keringat, dan jaringan kulit. Lokasinya dapat pada limbus konjungtiva bulbi atau tumbuh jauh ke orbita posterior dan dapat menyebabkan ptosis. Kista dermoid diterapi dengan eksisi tumor atau kista (Ilyas, 2009). J. PENATALAKSANAAN Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila Pterygium dekongestan. Pengobatan Pterygium adalah dengan sikap konservatif. Dapat juga dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau bila Pterygium telah menutupi media penglihatan. Halhal ini merupakan indikasi dari operasi pengangkatan Pterygium. Prinsip penanganan Pterygium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika Pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada Pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada Pterygium gangguan penglihatan (Ilyas, 2009). Lindungilah mata dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat dellen (lekukan kornea) dapat diberikan air mata buatan dalam bentuk salep. Tindakan bedah yang dapat dilakukan dalam kasus Pterygium antara lain adalah: a. Bare Sklera Pterygium diangkat, lalu dibiarkan saja. Tindakan ini tidak dilakukan untuk Pterygium progresif karena dapat menimbulkan terjadinya granuloma. 14 derajat 1 atau 2 yang telah mengalami meradang, dapat diberikan steroid atau tetes mata

b. Mc Reynold Opperation Puncak Pterygium yang terdapat pada kornea dilepaskan dari dasarnya, sementara bagian yang lai dilepaskan dari konjungtiva bulbi. Bekasnya di kornea dan sklera dibersihkan dan dilakukan elektrokauterisasi untuk menghindari perdarahan. Bila membran tersebut terlalu tebal atau panjang, dapat digunting sebagian untuk kemudian disisipkan di bawah konjungtiva bulbi. Maksudnya agar bila terjadi kekambuhan, tidak masuk ke dalam kornea. Tetapi menurut pengalaman, meskipun telah dioperasi, masih dapat kambuh kembali dengan cepat. Bila sering residif, dapat diberi penyinaran sinar , atau dilakukan eksterpasi dan transplantasi mukosa mulut atau konjungtiva forniks. c. Amnion Graft / Konjungtiva Graft Setelah Pterygium diambil lalu digraft dari amnion atau selaput mukosa mulut atau konjungtiva bulbi pars superior. Dengan teknik amnion graft ini tingkat rekurensi kasus Pterygium dapat ditekan sebesar sekitar 5%.

d. Fibrin Tissue Adhesive (GLUE) Metode pembuatan fibrin menggunakan teknik dari Hratman dengan modifikasi minor. Sehari sebelum dioperasi, ambil dengan spuit yang diberi heparin 10 l darah vena pasien untuk setiap 100 cm2 kulit yang akan digraft/dibuat flap. Lalu dilakukan sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Lalu plasma yang terpisah diambil dengan jarum 15

spinal. Seluruh prosedur dilakukan dengan kondisi yang sangat steril. Plasma inilah yang akan menjadi bahan dari fibrinogen dan disimpan di dalam syringe dengan suhu -200oC. konsentrasi dari fibrinogen dalam plasma ini adalah 350-450 mg/100 ml. Selain tindakan operatif pengangkatan Pterygium, penatalaksanaan Pterygium dengan pemberian obat atau dengan medikamentosa, yaitu dengan pemberian: a. Air mata artifisial untuk membasahi permukaan okuler dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata.b. Obat tetes anti inflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan

mata dan jaringan okuler lainnya, bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaan Pterygium yang mengalami inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okuler di dekat jejasnya, namun penggunaannya harus sangat diperhatikan karena kortikosteroid dapat menyebabkan terjadinya katarak, glaukoma hingga terjadi kebutaan (Hyun, 2008). K. KOMPLIKASI a. Sebelum operasi i. Penurunan penglihatan ii. Kemerahan pada mata iii. Iritasi iv. Diplopia b. Setelah operasi i. Sikatrik pada kornea ii. Pengeringan fokal kornea mata (hal ini sangat jarang terjadi) iii. Infeksi iv. Reaksi material jahitan v. Diplopia vi. Conjungtival graft dehiscence vii. Corneal scaringviii. Komplikasi yang jarang terjadi, meliputi: perforasi bola mata,

perdarahan vitreus atau retinal detachment.

16

Komplikasi juga dapat terjadi karena terlambatnya dilakukan operasi dengan radiasi beta pada pterygium yaitu terjadinya pengenceran sklera dan kornea (Juliansyah, 2009). L. PENCEGAHAN Secara teoritis adalah dengan memperkecil terpaparnya radiasi UV untuk mengurangi risiko berkembangnya Pterygium, pada individu yang mempunyai risiko lebih tinggi. Pasien disarankan untuk menggunakan kacamata atau topi pelindung dari cahaya matahari. Pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah tropis dan subtropik atau pada pasien yang memiliki aktivitas di luar dengan suatu risiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet, misalnya memancing, berkebun, atau pekerja bangunan. Jadi sebaiknya untuk para pekerja lapangan dianjurkan untuk menggunakan kacamata dan topi pelindung. Rekurensi pterygium dipengaruhi oleh riwayat keluarga, paparan sinar matahari yang lama, serta teknik operasi yang dilakukan. Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinta berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia maupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan recurrent pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograf atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi (Juliansyah, 2009).

17

DRY EYE SYNDROME Definisi Keadaan pada mata yang tidak bisa menghasilkan air mata yang baik untuk membasahi mata. Etiologi dan Faktor Resiko Faktor Resiko: 1. Malnutrisi dengan defisiensi vitamin A 2. Pada orang tua 3. Autoimun 4. Suhu yang panas Tanda dan Gejala 1. Pandangan kabur 2. Kornea yang menebal Pemeriksaan1. Schirmer's test untuk memeriksa jumlah produksi air mata 2. Flourescent test

Terapi1. Kompres hangat 2. Diberi airmata butan 3. Pemebrian antibiotic dan kortikosteroid topikal

Prognosis Pasien dengan Dry Eye Syndrome hanya menyebabkan ketidaknyamanan dan tidak menyebabkan penurunan penglihatan. Pada kasus yang kronis bias menyebabkan kerusakan kornea. Komplikasi Infeksi atau Ulkus kornea

18

STATUS PASIEN I. IDENTITAS PASIEN Nama lengkap Umur Agama Pekerjaan No. RM Pemeriksa Moderator : Tn.A : 70 tahun : Islam : Tidak bekerja : 603.865 : Fany Dyah Rahmawati. : dr. Djoko Heru S., Sp.M

Tanggal Pemeriksaan : 18 Oktober 2011

II. ANAMNESIS Anamnesis secara Keluhan Utama : Autoanamnesis tanggal 18 Oktober 2011 pukul 10.30 WIB :

Kedua mata terasa kering Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke poliklinik mata pada tanggal 18 Oktober 2011. Pasien datang dengan keluhan kedua mata terasa kering. Keluhan ini dirasakan 3 bulan yang lalu, pernah diobati diberi obat tetes tetapi gatal tidak berkurang. Gatal dirasakan sepanjang hari, tidak mengganggu aktivitas hanya menimbulkan rasa tidak nyaman. tidak nerocos, dan tidak ada belek. Pada mata kiri dirasakan mengganjal. Pada kedua mata pasien juga mengeluh penglihatan berkurang. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien belum pernah mengalami keluhan ini sebelumnya.-

Riwayat Hipertensi (+) Riwayat Diabetes melitus (-) Riwayat Bronkitis (-) Riwayat asma (-) Riwayat gigi berlubang (-) Riwayat Alergi (-) 19

-

-

Riwayat memakai kacamata (+) :

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keadaan serupa. Riwayat sosial ekonomi kurang. III. PEMERIKSAAN FISIK A. VITAL SIGN Tensi (T) Nadi (N) Suhu (T) Keadaan Umum Kesadaran Status Gizi : : : : : : 140/90 mmHg 88x/ menit tidak diukur 21 x / menit Baik Compos mentis Cukup :

Pasien bekerja sebagai supir. Berobat menggunakan jamkesmas. Kesan ekonomi

Respiration Rate (RR) :

B. STATUS OFTALMOLOGI Gambar: OD OS

1

2

1

Keterangan:1. Lensa keruh tidak merata

2. Jaringan fibrovaskuler

20

OCULI DEXTRA(OD) 6/9 f2 Tidak dikoreksi Gerak bola mata normal, enoftalmus (-), eksoftalmus (-), strabismus (-) Edema (-), hiperemis(-), nyeri tekan(-), blefarospasme (-), lagoftalmus (-), ektropion (-), entropion (-) Edema (-), injeksi konjungtiva (-), injeksi siliar (-), infiltrat (-), hiperemis (-) Putih Bulat, edema (-), keratik presipitat(-),infiltrat (-), sikatriks (-) keruh, kedalaman cukup Arkus senilis (+), hipopion (-), hifema (-), Kripta(+),warnacoklat,(-), edema(-), synekia (-) bulat, diameter : 3mm, letak sentral, refleks pupil langsung (+), refleks pupil tak langsung (-) Keruh tidak merata di bagian posterior lensa, Intumesensi (+) Sulit dinilai Sulit dinilai

PEMERIKSAAN Visus Koreksi

OCULI SINISTRA(OS) 6/12 f1 Tidak dikoresi Gerak bola mata normal, enoftalmus (-), eksoftalmus (-), strabismus (-) Edema (-), hiperemis(-), nyeri tekan (-), blefarospasme (-), lagoftalmus (-) ektropion (-), entropion (-) Edema (-), injeksi konjungtiva (-),

Bulbus okuli

Palpebra

Konjungtiva

injeksi siliar (-), infiltrat (-), hiperemis (-) putih Bulat, edema (-), keratik presipitat(-),infiltrat (-), sikatriks (-), jaringan fibrovaskuler(+) Jerih, kedalaman cukup,

Sklera Kornea

Camera Oculi Anterior (COA)

Arkus senilis (+) hipopion (-), hifema (-), Kripta(+),warnacoklat,(-),

Iris Pupil

edema(-), synekia (-) bulat, diameter 3 mm, letak sentral, refleks pupil langsung (+), refleks pupil tak langsung (+) Keruh tidak merata di bagian posterior lensa, Intumesensi (+) Sulit dinilai Sulit dinilai 21

Lensa

Vitreus Retina

(+) (+) suram Tono digitalis (n) Epifora (-), lakrimasi (-) IV. RESUME Subjektif:

Persepsi Warna Light Projection Fundus Refleks TIO Sistem Lakrimasi

(+) (+) Suram Tonometri digitalis (n) Epifora (-), lakrimasi(-)

Pasien datang ke poliklinik mata pada tanggal 18 Oktober 2011. Pasien datang dengan keluhan kedua mata terasa kering. Keluhan ini dirasakan 3 bulan yang lalu, pernah diobati diberi obat tetes tetapi gatal tidak berkurang. Gatal dirasakan sepanjang hari, tidak mengganggu aktivitas hanya menimbulkan rasa tidak nyaman. tidak nerocos, dan tidak ada belek. Pada mata kiri dirasakan mengganjal. Pada kedua mata pasien juga mengeluh penglihatan berkurang-

Riwayat Hipertensi (+) Riwayat memakai kacamata (+) PEMERIKSAAN Visus Koreksi Camera Oculi Anterior (COA) Lensa OCULI SINISTRA(OS) 6/12 f1 Tidak dikoresi Jerih, kedalaman cukup, Arkus senilis (+) hipopion (-), hifema (-), Keruh tidak merata di bagian posterior lensa, Intumesensi Vitreus Retina Persepsi Warna Light Projection Fundus Refleks (+) Sulit dinilai Sulit dinilai (+) (+) Suram

-

Objektif: OCULI DEXTRA(OD) 6/9 f2 Tidak dikoreksi keruh, kedalaman cukup Arkus senilis (+), hipopion (-), hifema (-), Keruh tidak merata di bagian posterior lensa, Intumesensi (+) Sulit dinilai Sulit dinilai (+) (+) suram V. DIAGNOSA BANDING OS1. OS Pterygium 2. OS pingekula

ODS 22

1. ODS Dry eye dengan katarak senilis immature 2. ODS katarak senilis mature 3. ODS katarak senilis hipermature VI. DIAGNOSA KERJA OS Pterygium ODS dry eye dengan katarak senilis immature Dasar diagnosis: Pada mata kiri terdapat rasa mengganjal Keluhan kering pada kedua mata Penglihatan kabur Pada pemeriksaan ditemukan: o Jaringan fibrovaskuler pada mata kiri o Lensa keruh sebagian VII. TERAPI 1. Medikamentosa: a. Cendo-lyters 3 tetes 5 kali sehari b. Midriatil 2 tetes per hari c. Chlorampenikol topikal

2. Operatif: Ektraksi katarak, baik secara EKEK maupun EKIK disertai dengan pemberian IOL (Intra Okuler Lensa). Pada pasien ini juga dilakukan pengangkatan pterygium. VIII. PROGNOSIS OKULI DEKSTRA (OD) Quo Ad Visam Quo Ad Sanam Quo Ad Vitam : : : Ad bonam Ad bonam Ad bonam Ad bonam OKULISINISTRA(OS) ad bonam ad bonam ad bonam ad bonam 23

Quo Ad Kosmetikam :

IX. USUL DAN SARAN Usul :-

Lakukan operasi EKEK + IOL OS Lakukan operasi pengangkatan pterygium Gunakan tetes mata secara teratur Konsumsi obat secara teratur Kontrol 1 minggu setelah pengobatan maupun jika ada keluhan-keluhan pada mata sebelum 1 minggu pasca operasi. Lindungi mata dari debu ataupun benda asing

Saran: -

-

24

Daftar PustakaIlyas, H.S. 2009.Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3.Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Ilyas, H.S. 2009.Ilmu Penyakit Mata. Edisi 2.Sagung seto. Jakarta Wijana, N., 1983, Ilmu Penyakit Mata, Jakartahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001462/

25


Top Related