i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Seraya mengucapkan syukur alhamdulillah, atas ijin Allah SWT, buku
yang berjudul “Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia” sudah
rampung ditulis. Buku ini merupakan replikasi dari hasil riset penulis dengan
judul Darurat Perceraian: Menakar Ketahanan Keluarga dalam Keluarga Muslim
Indonesia Menghadapi Ancaman Perceraian yang dibiayai dari dana DIPA UIN
SGD Bandung pada tahun anggaran 2017.
Buku ini lahir atas keprihatinan melonjaknya angka perceraian dalam
keluarga muslim Indonesia, terutama selama 5 tahun terakhir yaitu tahun 2012-
2016. Merujuk pula pada data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama bahwa angka perceraian selama lima tahun terakhir ini
meningkat. Sepanjang tahun 2012 jumlah perceraian sebanyak 304.395, perkara,
pada tahun 2013 sebanyak 324.040 perkara, pada tahun 2014 sebanyak 345.531
perkara, pada tahun 2015 sebanyak 353.843 perkara dan pada tahun 2016
sebanyak 365.654 perkara. Setiap tahun angka perceraian meningkat. Pada
tahun 2013, jumlah perceraian meningkat sebanyak 19.645 perkara dari tahun
2012, pada tahun 2014 jumlah perceraian meningkat sebanyak 21.491 perkara
dari tahun 2013, pada tahun 2015 jumlah perceraian meningkat sebanyak 8.312
perkara dari tahun 2014 dan pada tahun 2016 meningkat menjadi 11.811 perkara
dari tahun 2015. Dengan data ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah
perceraian dalam keluarga muslim Indonesia pertahun rata-rata 5% atau setara
dengan 12.000 perkara perceraian.
Peningkatan jumlah angka perceraian ini menyiratkan banyak hal, yaitu
bahwa keluarga muslim Indonesia demikian rapuh dalam ikatan perkawinan
mereka. Hal ini dapat dibaca pada beberapa gugatan/permohonan yang diajukan
suami/isteri ke pengadilan agama dengan latar belakang masalah yang sangat
sepele, misalnya isteri/suami tidak mau diajak ke rumah mertua, isteri tidak suka
membereskan rumah, isteri/suami kurang rapih dalam penampilan dan kasus
sepele lainnya yang berakibat pada perselisihan terus menerus sehingga begitu
sampai di meja pengadilan agama mereka dinyatakan berpisah.
Jika penghitungan jumlah angka perceraian berdasarkan jam, misalnya
pada tahun 2016 jumlah pasangan suami isteri bercerai sebanyak 365.654
perkara, maka akan ditemukan pasangan suami isteri berceraian per 1 jam
sebanyak 42 pasangan dan selama satu hari sebanyak 1015 pasangan suami
isteri bercerai di pengadilan agama. Jelaslah bahwa jumlah ini sangat
memprihatinkan.
ii
Peningkatan jumlah perceraian selama lima tahun (2012-2016) dapat
dihitung rata-rata secara nasional sebanyak 6%. Artinya, terdapat pasangan
suami isteri pada tahun berjalan sebanyak 6 % berakhir dengan perceraian. Data
ini jika dihitung berdasarkan kategori provinsi, maka dapat dinyatakan bahwa
provinsi yang tertinggi jumlah perceraian secara nasional dibanding dengan
angka pernikahannya yaitu kota Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Samarinda,
Banjarmasin dan Bangka Belitung.
Penghitungan jumlah angka perceraian ini dapat dilihat juga dari profil
pasangan suami isteri yang bercerai dilihat dari tingkat pendidikan dan usia
perkawinan. Secara nasional, pasangan suami isteri yang bercerai berada pada
tingkat pendidikan Sekolah Dasar dan usia pasangan yang bercerai sebanyak
60% berada pada usia produktif yaitu 30-40 tahun. Usia-usia muda seperti ini
diyakini masih memiliki anak-anak dalam masa pengasuhan. Jika ini yang
terjadi, berapa ratus ribu anak-anak di Indonesia ini yang diasuh dalam keadaan
single parent karena orang tuanya bercerai.
Oleh karena itu, penulis memandang bahwa keluarga muslim Indonesia
sudah memasuki masa darurat perceraian. Narkoba dan terorisme sering
dipandang sebagai ancaman nyata bagi keutuhan bangsa sehingga Indonesia
juga memasuki darurat narkoba dan terorisme. Hal ini sama daruratnya dengan
perceraian karena ratusan ribu anak Indonesia sebagai penerus kader-kader
bangsa hidup dalam keluarga tanpa kehadiran salah satu orang tua akibat
perceraian. Bukankah bisa juga diasumsikan jika narkoba dan terorisme lahir
dari keluarga-keluarga yang tidak utuh ?
Oleh karena itu, penulis berterimakasih yang sedalam-dalamnya kepada
berbagai pihak, yaitu :
1. Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang telah memberikan
kesempatan melakukan riset ini sehingga hasil riset tersebut dapat
dikompulasi menjadi buku;
2. Ketua Lembaga Penelitaan dan Pengabdian kepada Mayarakat serta Kepala
Pusat Penelitian dan Penerbitan yang sama-sama telah memberikan
kepercayaan kepada tim peneliti melakukan riset ini sehingga hasil riset ini
dapat dijadikan buku;
3. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Ketua Pengadilan Agama
Banjar, Ketua Pengadilan Agama Indramayu, Ketua Pengadilan Agama
Ciamis, Ketua Pengadilan Agama Majalengka, Ketua Pengadilan Agama
Sumedang, Ketua Pengadilan Agama Cianjur, Ketua Pengadilan Agama
Martapura dan Ketua Pengadilan Agama Denpasar serta beberapa orang
hakim pada pengadilan agama tersebut sebagai informan yang telah
bersedia berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai alur perceraain yang
selama ini berjalan di pengadilan agama dan peluang mencari jalan lebih
mempersukar perceraian;
4. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN SGD Bandung pada prodi hukum
keluarga yaitu Harry Yuniardi, M.Ag yang telah mempersilakan penulis
sabagai salah satu timnya mereflikasi hasil penelitian sebelumnya untuk
iii
dijadikan buku. Demikian pula kepada Sdr Deni Maulani Hidayat
(mahasiswa prodi hukum keluarga angkatan 2014) yang telah membantu
mengolahkan data penelitian ini sehingga data tersebut menjadi bermakna;
5. Konsultas pada BP4 Pusat Jakarta beserta beberapa pengurus BP4 yang
telah bersedia diwawancara oleh penulis sebagai bahan-bahan dari
penelitian sebelumnya yang sekarang menjadi buku;
6. Wijayanti selaku staf seksi statistik pada subdit statistik dan dokumentasi
pada direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang telah memberian
data-data kepada penulis sehingga data-data tersebut sangat membantu
untuk memetakan jumlah angka perceraian;
7. Staff Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah
memberikan data pernikahan selama 2012-2016;
8. Taupik Maulani, staff pada kesekretariatan Pengadilan Tinggi Agama
Bandung yang telah memberikan data mediasi di PTA Bandung selama
lima tahun (2012-2016);
9. Para advokat dalam Biro Kosultasi dan Bantuan Hukum Mitra Keluarga dan
para petugas Posbakum di Pengadilan Agama Bandung dan Cimahi yang
telah memberikan banyak masukan mengenai praktik perceraian yang
selama ini mereka tangani di pengadilan agama;
10. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungannya
sehingga buku ini layak untuk dibaca.
Semoga segenap bantuan mereka kepada penulis mendapat pahala yang
berlipat ganda di dunia dan akhirat.
Akhirnya, atas selesainya buku ini, penulis mengharapkan saran-saran
dari pembaca yang budiman atas segenap kelemahan yang ada pada buku ini.
Selamat membaca. Tidak ada gading yang tak retak.
Bandung, 20 November 2017
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Tingginya Angka Perceraian dalam Keluarga Muslim In-
donesia ..................................................................................... 1
B. Membangun Ketahanan Keluarga ............................................ 4
C. Penggunaan Teori Ishlah, Kepastian Hukum dan Ketaha-
nan Keluarga dalam Mengkaji Perceraian ............................... 10
BAB II PENYELESAIAN KONFLIK DAN PERCERAIAN DA-
LAM SYARIAT ISLAM ............................................................ 25
A. Hakikat Perkawinan dan Perceraian dalam Syariat Islam ..... 25
B. Perceraian di Negara-negara Muslim ....................................... 28
C. Upaya Penyelesaian Konflik Rumah Tangga .......................... 34
BAB III PERKAWINAN DAN PERCERAIAN DALAM MA-
SYARAKAT ................................................................................... 41
A. Sistem Pelamaran dan Perkawinan ........................................ 41
B. Sistem Perceraian .................................................................... 47
C. Hubungan Suami Isteri Pasca Perceraian .............................. 51
D. Kehidupan Keluarga Single Parent ......................................... 53
BAB IV KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MENYELE-
SAIKAN SENGKETE PERCERAIAN ....................................... 57
A. Konsep Peradilan Agama di Indonesia ................................. 57
B. Kewenangan Pengadilan Agama ............................................. 59
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Perkara Perceraian dalam
Peraturan Perundang-undangan ............................................... 64
BAB V FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA ANGKA PERCE-
RAIAN ............................................................................................ 71
A. Profil Perceraian Keluarga Muslim Indonesia ........................ 71
B. Faktor Penyebab Perceraian dalam Keluarga Muslim ........... 89
C. Penerapan Prinsip Mempersulit Perceraian di Pengadilan
Agama ..................................................................................... 120
BAB VI STRATEGI MENGATASI PERCERAIAN............................... 129
A. Pembenahan dari dalam Keluarga ........................................... 129 1. Menanamkan Nilai-nilai Agama dalam Keluarga .................... 130
v
2. Melatih Anak Menyelesaikan Masalahnya Sendiri .................. 132
3. Melatih anak laki-laki menjadi kepala keluarga
yangbertanggungjawab ...................................................... 133
4. Melatih anak perempuan menjadi pendamping kepala
keluarga ............................................................................. 134
5. Melatih Anak Menyelesaikan Tugas Rumah Tangga ..... 134
6. Melatih Anak Mensyukuri Rezeki .................................... 136
7. Melatih Anak Mengelola Keuangan Keluarga ................ 136
8. Memberikan Pendidikan Seks .......................................... 138
B. Saat Memasuki Jenjang Pernikahan ....................................... 139 1. Mengikuti Pendidikan Pra Nikah ........................................... 139
2. Memeriksakan Kesehatan Fisik ............................................. 140
3. Memilih Pasangan Menjelang Perkawinan ...................... 141
C. Saat Berada dalam Pernikahan ............................................... 145
1. Cinta Kasih dalam Membina keharmonisan keluarga 145
2. Membina Keserasian Hubungan Suami Isteri ................ 146
3. Pola Hubungan Suami dan Isteri ..................................... 148
4. Pembagian Peran Suami Isteri dalam Pendidikan
Anak .................................................................................. 151
D. Saat Terjadi Konflik antara Suami Isteri ................................ 153
1. Lembaga Penyelesaian Konflik Keluarga ........................ 153
2. Metode Penyelesaian Konfik antara Suami dan Isteri 154
E. Pembenahan di Pengadilan Agama ......................................... 157
1. Memberikan Reward para Hakim yang Berhasil Me-
Mediasi ............................................................................. 157
2. Keterlibatan Lembaga Mediasi di Luar Pengadilan ........ 157
3. Keberanian Hakim Menolak Permohonan Cerai ............ 163
4. Memperbaiki Pemeriksaan Perkara Cerai dengan
Verstek .............................................................................. 167
5. Peran Aktif Negara ........................................................... 170
BAB VII PENUTUP ..................................................................................... 173 A. Ketahanan Perkawinan dan Masa Depan Keluarga ....................... 173
B. Rekomendasi ................................................................................. 178
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 183
BAB I
PENDAHULUAN
A. Tingginya Angka Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Setiap pasangan suami isteri mendambakan kehidupan rumah tangganya
dalam keadaan harmonis. Alquran Surat Ar-rum ayat 21 menyebutnya dengan
keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Demikian pula dinyatakan
dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa tujuan
perkawinan ialah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Kekal dalam berumah tangga
merupakan inti, hakikat dan tujuan dari perkawinan yang sesugguhnya.
Namun kenyataan seringkali berbeda dengan harapan. Ditengah harapan
membangun keluarga yang samawa, gangguan datang silih berganti, baik datang
dari internal pasangan suami isteri maupun datang dari pihak luar yang
menggoyahkan ikatan perkawinan. Akibatnya, ikatan perkawinan antara suami
isteri secara perlahan dan pasti mulai goyah. Ada pasangan yang berusaha
mengatasi gangguan ikatan perkawinannya dengan baik namun banyak pula
pasangan suami isteri yang tidak mampu menyelesaikan perselisihan yang
muncul diantara mereka sehingga pintu keluar penyelesaian itu ditempuhnya
melalui jalan perceraian.
Kini, perceraian seperti menjadi gaya hidup baru, new life style keluarga
Indonesia, khususnya dalam keluarga muslim. Rapuhnya ikatan perkawinan
yang ditandai dengan meningkatnya angka perceraian di pengadilan agama
seluruh Indonesia menjadi jawabannya, khususnya dalam lima tahun terakhir.
Hal ini dapat ditelusuri dari berbagai hasil penelitian para akademisi dan para
peneliti serta diperoleh dari laporan tahunan Direktorat Jenderal Peradilan
Agama (Badilag) mengenai jumlah perceraian yang semakin meningkat. Selain
itu, rapuhnya ikatan perkawinan yang berakhir dengan perceraian dapat juga
dilihat dari latar belakang permohonan gugatan pasangan suami isteri yang
mengajukan cerai dengan alasan-alasan yang nampaknya sepele tetapi berakibat
pada perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami dan isteri.
Beberapa studi terkait dengan meningkatnya angka perceraian dapat dikaji
misalnya dalam Budi Prayitno dkk yang mengemukakan bahwa tingginya
perceraian disebabkan oleh sebagian besar informan dalam hal ini pasangan
suami dan isteri kurang memahami makna dan tujuan perkawinan. Berbagai hal
yang dikemukakan sebagai penyebab perceraian, seperti ekonomi, kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, dan sebagainya, sejatinya hanya
merupakan pemicu, namun yang paling mendasar sebagai penyebab perceraian
2 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
adalah tidak adanya komitmen antar masing-masing pasangan dalam mencapai
tujuan perkawinan. 1
Fakta yang sama diperoleh di Pengadilan Agama Padang. Angka gugat
cerai (perceraian berdasarkan kehendak isteri) jauh lebih banyak dibandingkan
dengan cerai talak (perceraian atas kehendak suami). Sepanjang tahun 2008-
2012, rata-rata perkara permohonan gugatan cerai yang diajukan dan
diselesaikan oleh Pengadilan Agama Padang adalah 65% dari perkara
perceraian. Sedangkan permohonan talak hanya 35 %. Studi ini menyimpulkan
bahwa persepsi perempuan terhadap perceraian adalah cerai bukan merupakan
hal yang tabu dan memalukan. Ini bereda dengan pandangan perempuan 25
tahun lalu yang merasa risi ketika mereka bercerai. Cerai merupakan solusi
untuk menyelesaikan permasalahan atau konflik berkepanjangan yang terjadi di
dalam keluarganya. Cerai bukan sesuatu yang menakutkan, dan mengajukan
gugatan cerai adalah hak perempuan yang diberikan oleh undang-undang.
Terjadinya perubahan persepsi perempuan terhadap perceraian disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu: meningkatnya tingkat pendidikan perempuan, perempuan
semakin sadar hukum, adanya peluang berkarir bagi perempuan, dan perubahan
stigma masyarakat terhadap perempuan yang bercerai. Perubahan persepsi
perempuan terhadap perceraian pada peningkatan angka gugatan cerai
dipengaruhi oleh teknologi informasi seperti media massa, baik media cetak
maupun media ekektronik, melemahnya lembaga perkawinan dan lunturnya
pandangan perempuan terhadap perkawinan dan melemahnya pemahaman nilai-
nilai agama di kalangan perempuan. 2
Meningkatnya angka perceraian dapat merujuk pula pada data yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Sebagai data
pendahuluan dalam penelitian ini bahwa laporan dari Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama mennyebutkan bahwa angka perceraian selama lima tahun
terakhir ini meningkat. Sepanjang tahun 2012 jumlah perceraian sebanyak
304.395, perkara, pada tahun 2013 sebanyak 324.040 perkara, pada tahun 2014
sebanyak 345.531 perkara, pada tahun 2015 sebanyak 353.843 perkara dan pada
tahun 2016 sebanyak 365.654 perkara. 3
Jumlah angka perceraian dalam lima tahun terakhir berdasarkan data di
atas jelas meningkat. Data ini bisa disandingkan dengan jumlah pasangan suami
isteri pada tahun yang sama yang melaksanakan pernikahan. Hal ini bisa
memberikan gambaran tingkat perceraian keluarga muslim dibandingkan
dengan tingkat perkawinan selama tahun berjalan. Berdasarkan studi
1 Budhy prianto, dkk., Rendahnya Komitmen dalam Perkawinan sebagai Sebab
Perceraian, dalam Jurnal Komunitas : Research & Learning in Sociology and Anthropology
(Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2013), hlm 208. 2 Nurhasanah dan Rozalinda. “Persepsi Perempuan terhadap Perceraian: Studi Analisis
terhadap Meningkatnya Angka Gugatan Cerai di Pengadiilan Agama Padang, ” dalam Kafa’ah:
Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. 4 No. 2 Tahun 2014. (Padang: IAIN Imam Bonjol Padang,
2014), hlm 181. 3 Diolah dari Data Statistik dan Dokumentasi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
tahun 2012 sd. 2016.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 3
pendahuluan dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyaraat Islam (Bimas
Islam) bahwa angka pernikahan selama 2012-2016 mengalami penurunan.
Dengan demikian dapat dikemukakan perbandingan jumlah yang menikah
dengan jumlah yang bercerai selama lima tahun, yaitu pada tahun 2013
persentase pasangan suami isteri yang bercerai sebanyak 6%, pada tahun 2014
persentase pasangan suami isteri yang bercerai sebanyak 6,6%, pada tahun 2015
persentase pasangan suami isteri yang bercerai sebanyak 2% dan pada tahun
2016 persentase pasangan suami isteri yang bercerai sebanyak 3%. 4
Berdasarkan data di atas, jumlah perceraian meningkat setiap tahun namun
data pernikahan menurun selama lima tahun terakhir. Oleh karena itu persentase
pasangan suami isteri yang bercerai dengan pernikahan meningkat. Namun
peningkatan jumlah perceraian selama lima tahun sangat fluktuatif, demikan
pula dengan jumlah peningkatan persentasenya. Satu hal yang pasti bahwa
perceraian di Indonesia jelas meningkat sekalipun jumlah peningkatannya tidak
konstan setiap tahunnya.
Berdasarkan gambaran jumlah persentase angka perceraian atas
pernikahan selama lima tahun terakhir (2012-2016) ditemukan bahwa keluarga
muslim Indonesia menghadapi ancaman perceraian yang serius. Hal ini ditandai
dengan angka perceraian yang meningkat setiap tahun padahal angka pernikahan
jumlahnya menurun. Jika pada tahun 2016 jumlah perceraian sebanyak 365.654
perkara, maka setiap hari telah terjadi peristiwa perceraian sebanyak 1.015
kasus, setiap jam terjadi peristiwa perceraian sebanyak 42 kasus. Dengan
demikian, cukup beralasan jika keluarga muslim Indonesia sedang menghadapi
darurat perceraian. Belakang bahkan muncul bahwa rapuhnya ketahanan
keluarga akibat terjadinya perceraian sudah menimpa kalangan yang amat
terpelajar.5
Sejalan dengan data di atas, dilihat dari usia pasangan suami isteri yang
bercerai, rata-rata sebanyak 70% berada pada usia 30-40 tahun. Hal ini akan
berdampak sangat serius pada pengasuhan anak, sebab secara umum pada usia
tersebut diasumsikan mereka memiliki anak pada usia 0-15 tahun yang masih
memerlukan keluarga utuh dan kehadiran ayah dan ibunya. Data mengenai usia
pasangan suami isteri yang bercerai tersebut dapat dilihat dengan mudah pada
masing-masing web pengadilan agama di seluruh Indonesia.
Tingginya angka perceraian sangat memperihatinkan karena memiliki
dampak yang signifikan bagi pertumbuhan anak, keadilan hukum untuk masing-
masing pihak dan tekanan psikologis. Angka perceraian yang tinggi ini
menyebabkan rapuhnya ikatan perkawinan dalam keluarga padahal kekokohan
4 Diolah dari data pernikahan dan perceraian dari Direktorat Bimas Islam Kementerian
Agama dan Direktorat Jenderal Peradilan Agama 5 Perceraian juga menimpa kelangan berpendidikan tinggi dan jumlahnya semakin
meningkat. Lihat dalam Nunung Rodliyah, “Perceraian Pasangan Muslim Berpendidikan Tinggi
(Studi Kasus di Kota Bandar Lampung”), Disertasi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011).
4 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
sebuah bangsa ditentukan oleh ketahanan keluarga. 6
Keluarga yang kokoh
merupakan modal pembangunan suatu bangsa. Salah satu bentuk ketahanan
keluarga itu adalah ketangguhan di dalam menghadapi problem keluarga yang
dihadapi oleh suami isteri sehingga tidak merusak ikatan perkawinan diantara
keduanya. Sejak lima tahun terakhir ini, terjadi penurunan ketahanan ikatan
perkawinan di kalangan keluarga muslim di Indonesia dengan cara perceraian
yang cukup drastis. Perceraian seperti jalan pintas yang menuntaskan semua
masalah. Kerukunan dan keharmonisan rumah tangga yang menjadi pilar
ketahanan keluarga dengan sangat mudah digoyahkan oleh yang namanya
perselisihan dan percekcokan diantara suami isteri.
Sekarang keluarga muslim Indonesia menghadapi ancaman rapuhnya
ketahanan keluarga akibat perceraian.
Ancaman perceraian sama beratnya
dengan ancaman-ancaman lainnya di luar perceraian. Jika terorisme dan narkoba
telah menjadi bagian dari darurat nasional, maka penulis meyakini tingginya
angka perceraian dalam lima tahun terakhir dan lima tahun ke depan sama
seriusnya dengan terorisme dan narkoba. Keluarga muslim Indonesia
menghadapi darurat perceraian.
B. Membangun Ketahanan Keluarga
Setelah disadari bahwa kenyataan angka perceraian semakin meningkat
tajam barulah sama-sama diperlukan adanya gerakan nasional membangun
ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga merupakan pilar pembangunan suatu
bangsa. Jika sebuah keluarga ketahanannya demikian rapuh dengan sejumlah
masalah yang mengitarinya, seperti perceraian, kdrt, kemiskinan, dan masalah
sosial lain yang berdampak pada keluarga, maka pembangunan dalam sebuah
negara hanyalah utopia. Oleh karena itu, ketahananan keluarga menjadi kunci
pembangunan yang berkelanjutan.
Ketahanan keluarga didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 52
Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependuduan dan Pembanguna Keluarga
sebagai Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang
memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materil
guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup
harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
Berdasarkan pasal di atas, terkait dengan rapuhnya ketahanan keluarga
karena perceraian dapat dikemukakan bahwa ketahanan keluarga dibangun
dengan dasar hubungan yang harmonis antara anggota keluarga. Ketahanan
keluarga tidak dapat mewujud apabila pasangan suami isteri khususnya dan
anggota keluargga lainnya tidak harmonis sehingga menyebabkan rentan atau
6 Ketahanan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan
serta mengandung kemampuan fisik materiil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir
dan batin. lihat Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
Dan Pembangunan Keluarga.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 5
lemah kemandirian dan pengembangan dirinya guna meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.
Ketahanan keluarga (family strength atau family resilience) merupakan
kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumber
daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar antara lain: pangan, air bersih,
pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk
berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial. 7. Pandangan lain mendefinisi-
kan ketahanan keluarga sebagai suatu kondisi dinamik keluarga yang memiliki
keuletan, ketangguhan, dan kemampuan fisik, materil, dan mental untuk hidup
secara mandiri (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
1994). Ketahanan keluarga juga mengandung maksud sebagai kemampuan
keluarga untuk mengembangkan dirinya untuk hidup secara harmonis, sejahtera
dan bahagia lahir dan batin. Dalam pandangan yang lain, ketahanan keluarga
mencakup kemampuan keluarga untuk mengelola sumber daya dan masalah
untuk mencapai kesejahteraan, kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi
terhadap berbagai kondisi yang senantiasa berubah secara dinamis serta
memiliki sikap positif terhadap berbagai tantangan kehidupan keluarga.
Ketahanan keluarga dapat diukur menggunakan pendekatan sistem yang
meliputi komponen input (sumber daya fisik dan nonfisik), proses manajemen
keluarga (permasalahan keluarga dan mekanisme penanggulangannya), dan
output (terpenuhinya kebutuhan fisik dan psiko-sosial). Atas dasar pendekatan
ini, maka ketahanan keluarga merupakan ukuran kemampuan keluarga dalam
mengelola masalah yang dihadapinya berdasarkan sumber daya yang dimiliki
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. 8 Dengan demikian, keluarga
dikatakan memiliki tingkat ketahanan keluarga yang tinggi apabila memenuhi
beberapa aspek yaitu: (1) ketahanan fisik yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan; (2) ketahanan sosial yaitu
berorientasi pada nilai agama, komunikasi yang efektif, dan komitmen keluarga
tinggi; (3) ketahanan psikologis meliputi kemampuan penanggulangan masalah
nonfisik, pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif, dan kepedulian
suami terhadap istri.
Studi ini menggunakan teori ketahanan keluarga dalam menghadapi
ancaman perceraian berdasarkan atas kajian yang dilakukan oleh Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) yang
sudah dituangkan dalam Peraturan Menteri PPPA Nomor 6 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Pembangunan Keluarga. Dalam peraturan terssebut dinyatakan
bahwa konsep ketahanan dan kesejahteraan keluarga mencakup: (1) Landasan
7 Frankenberger, T.R., dan M.K.McCaston. (1998). The Household Livelihood Security
Concept. Food, Nutrition, and Agriculture Journal. 22: 30-33. 8 Euis Sunarti. (2001). Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus
Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan. [Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
6 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Legalitas dan Keutuhan Keluarga, (2) Ketahanan Fisik, (3) Ketahanan Ekonomi,
(4) Ketahanan Sosial Psikologi, dan (5) Ketahanan Sosial Budaya. 9
Khusus terkait dengan darurat perceraian, studi ini mengambil tiga
dimensi ketahanan keluarga yang satu sama lain saling terkait dengan perceraian
yaitu dimensi keutuhan keluarga, dimensi ketahanan ekonomi dan dimensi
ketahanan sosial psiologi. Dimensi ketuhan keuluarga terdiri atas 2 variabel
yaitu keutuhan keluarga dan kemitraan gender. Dimensi ketahanan ekonomi
terdiri atas empat variabel yaitu Tempat tinggal keluarga, Pendapatan keluarga,
Pembiayaan pendidikan anak, Jaminan keuangan keluarga. Sedangkan dimensi
ketahanan sosial psikologi terdiri atas variabel Keharmonisan keluarga dan
variabel Kepatuhan terhadap hukum. Penjelasan variabel dan indikator
ketahanan keluarga sebagai berikut:
a. Keutuhan Keluarga.
Keluarga utuh maknannya keluarga yang anggota-anggotanya berperan
dan berfungsi sesuai dengan perannya serta hidup dan tinggal bersama dalam
satu tempat tinggal. Keluarga yang tidak utuh akan berpotensi mempunyai
ketahanan yang rendah. Keluarga yang tidak utuh akan mempunyai kemampuan
lebih rendah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan psikologis anggota
keluarganya, khususnya bagi anak-anak dan orang tua. Salah satu indikasi
ketidakutuhan keluarga terjadi pada keluarga yang suami dan istrinya tidak
tinggal menetap dalam satu rumah sehingga pembinaan keluarga dan
pengasuhan anak cenderung mengalami masalah dan berpengaruh terhadap
kondisi psikologis semua anggota keluarganya.
Salah satu penyebab ketidakutuhan keluarga adalah terpisahnya tempat
tinggal antara suami dan istri atau orang tua dan anak dalam waktu yang relatif
lama yang pada umumnya diakibatkan oleh terpisahnya rumah dengan tempat
kerja dengan jarak yang sangat jauh. Jika hal tersebut terjadi, maka hampir
dipastikan komunikasi dan interaksi antara sesama anggota keluarga menjadi
kurang intens yang pada akhirnya berakibat pada terganggunya proses tumbuh
kembang anak. Oleh karena itu, untuk menjamin keutuhan keluarga tersebut
maka setiap anggota keluarga harus tinggal dan menetap dalam satu rumah
sehingga terbina ikatan emosional dalam menyeimbangkan hak dan kewajiban
antar anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari.
Perceraian yang terjadi dikalangan keluarga muslim antara suami isteri
bisa terjadi karena ketidakutuhan anggota keluarga dalam hal ini suami atau
isteri untuk tingggal bersama. Ketika ini terjadi, maka peluang konflik diantara
mereka cukup tinggi sehingga salah satu pihak mudah cemburu dan salah
pengertian. Apabila ini terjadi, maka ketahanan keluarga untuk mengikat
perkawinan bisa terancam.
b. Kemitraan gender
9 Uraian berikutnya mengenai ketahanan keluarga yang dijadikan sebagai applied theory
dalam penelitian ini didasarkan atas hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian PPPA,
yaitu Kementerian PPPA, Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016. (Jakarta: Lintas
Katulistiwa, 2016), hlm. 14-20
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 7
Suami isteri merupakan partner di dalam melaksanakan tugas-tugas di
dalam keluarga. Sebagai partner, maka relasi suami isteri di dalam menjalankan
tugas domestik hendaknya seimbang dan serasi. Tidak lagi secara sepihak
memperlakukan pihak lain dengan ketidakadilan gende sebab hal ini berpotensi
bagi keberlangsuangan hubungan suami isteri.
Adanya kemitraan gender yang baik dalam keluarga dapat meningkatkan
ketahanan keluarga tersebut. Kemitraan gender dalam keluarga tidak hanya
mencakup kemitraan suami-istri dalam melakukan domestik (pekerjaan
membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian dan sejenisnya), namun
termasuk pula meluangkan waktu bersama dengan keluarga, agar kebersamaan
dalam keluarga selalu terjalin sehingga ketahanan keluarga dapat tercipta. Selain
itu, kemitraan gender dalam keluarga juga diterapkan dalam pengelolaan
keuangan keluarga. Dimana dalam pengelolaan keuangan keluarga ditentukan
pasangan suami dan istri secara bersama-sama, meskipun istri memegang
kendali keuangan keluarga, namun ia harus selalu mengkomunikasikan
pemanfaatan uang yang dikelolanya sehingga akan menguatkan ketahanan suatu
keluarga. Selain keterbukaan pengelolaan keuangan, pengambilan keputusan
dalam keluarga juga menjadi salah satu indikator ketahanan keluarga. Meskipun
suami yang berperan sebagai kepala keluarga, namun dalam menjalankan
tugasnya tidak boleh otoriter. Tetapi, harus dijalankan secara bijaksana dan
mengakomodasi saran dan pendapat dari pasangannya, sehingga dapat
menguatkan ketahanan keluarga tersebut. Misalnya, apabila pengambilan
keputusan untuk penentuan jumlah anak dilakukan bersama-sama antara suami
dan istri maka ketahanan keluarga tersebut cukup kuat.
Acapkali konflik diantara suami isteri bisa berawal dari adanya relasi
ketimpangan gender diantara mereka. Hal ini kerapkali ditemukan bahhwa
gugatan yang dilayangkan ke pengadilan agama didasari atas adanya
ketimpangan di dalam menjalankan tugas domestik yang otoriter sehinggga
sering berujung dengan perselisihan dan kekerasan.
c. Kepemilikan rumah
Ketahanan keluarga dapat diukur dengan kemampuan suami dan isteri
memiliki rumah tinggal sebagai hak miliknya. Hal ini sekaligus menandai
bahwa keluarga tersebut dikategorikan sejahtera. Dengan adanya kepemilikan
rumah berarti keluarga terlindungi dari beragam ancaman dan sekalilgus
memberikan kenyamanan bagi para anggota keluarga.
Keluarga yang telah memiliki rumah sendiri berarti telah mampu
memenuhi salah satu kebutuhan primernya sehingga berpotensi untuk mampu
membangun keluarganya dengan tingkat ketahanan keluarga yang lebih baik.
Dengan kata lain, keluarga yang telah menempati bangunan tempat tinggal milik
sendiri diharapkanmemiliki ketahanan ekonomi yang relatif lebih baik
dibandingkan keluarga yang menempati bangunan tempat tinggal bukan milik
sendiri.
8 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Perselisihan suami isteri yang terjadi di pengadilan agama dilatarbelakangi
pula oleh pasangan suami isteri yang tidak memiiki tempat tinggal milik sendiri
sehingga mengakibatkan perasaan isteri tidak puas dan menimbulkan konflik.
d. Pendapatan keluarga
Keluarga yang memiliki pendapatan yang cukup akan mampu mem-
perkokoh ketahanan keluarga. Pendapatan keluarga dalam hal ketahanan
keluarga ini lebih ditekankan pada kecukupan penghasilan keluarga. Dimana
kecukupan penghasilan sebagai salah satu aspek ketahanan ekonomi keluarga
tidak hanya dinilai secara objektif saja namun juga secara subjektif. Penilaian
pendapatan secara objektif beranggapan bahwa keluarga yang memiliki
pendapatan perkapita yang lebih tinggi akan memiliki ketahanan ekonomi yang
lebih baik. Sedangkan, penilaian pendapatan secara subjektif ini lebih
menekankan pada kepuasan keluarga atas pendapatan yang telah didapat.
Artinya keluarga yang mempunyai persepsi penghasilannya cukup atau lebih
dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari diharapkan memiliki
ketahanan ekonomi yang lebih baik.
Sebagai variabel ketahanan ekonomi, faktor pendapatan keluarga sering
menjadi penyebab terjadinya perceraian dikalangan suami isteri. Hal ini
didorong oleh adanya ketidakpuasan isteri yang tidak lagi mampu bertahan
ditengah jeratan ekonomi yang semakin sulit. Ketika keluarga-keluarag muslim
mengahadapi kenyataan tidak tercukupinya pendapatan keluarga, maka mereka
acapkali menyelesaikannya di pengadilan agama.
e. Kemampuan pembiayaan anak
Peran keluarga dalam membiayai pendidikan anak sampai tuntas wajib
belajar merupakan faktor penentu ketahanan keluarga. Keluarga yang mampu
menyekolahkan anak, bukan saja kesanggupan membiayai, karena biaya
pendidikan wajib belajar relatif terjangkau dan bahkan gratis, tetapi juga
motivasi orang tua menyekolahkan anak menjadi penting.
Keluarga yang mampu membiayai pendidikan anak hingga dapat
menyelesaikan wajib belajar 12 tahun dinilai lebih tahan secara ekonomi
sehingga akan berpotensi memiliki ketahanan keluarga yang kuat. Sebaliknya,
keberadaan anggota keluarga yang putus sekolah merupakan salah satu indikasi
adanya masalah ekonomi dalam keluarga tersebut, walaupun penyebab putus
sekolah tidak selalu karena alasan ekonomi, hal Ini akan mempengaruhi daya
tahan keluarga yang rendah. Sehingga, dengan kata lain keluarga yang tidak ada
anak yang putus sekolah berpotensi memiliki ketahanan keluarga yang kuat.
Selain tidak ada anak yang putus sekolah, keluarga yang mempunyai ketahanan
ekonomi yang baik juga harus dapat menjamin anggota keluarganya untuk
memperoleh pendidikan sehingga tidak ada anak yang tidak pernah sekolah.
Keluarga yang tidak mampu membiayai anak berpotensi menjadi ajang
perselisihan dan pertengkaran suami isteri. Suami dipandang tidak mampu
membiayai anaknya sehingga isteri tidak tahan dengan keadaan tersebut. Ketika
hal ini berlangsung dalam jangka waktu lama, bukan tidak mungkin mengajukan
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 9
gugatan perceraian merupakan salah satu penyelesaian bagi pasangan suami
isteri.
f. Jaminan keuangan
Ketersediaan jaminan keuangan keluarga guna mengahadapi segala resiko
yang mungkin terjadi merupakan faktor pendukung ketahanan keluarga.
Ketahanan ekonomi keluarga juga perlu mempertimbangkan kesiapan keluarga
dalam menghadapi kejadian tak terduga di masa yang akan datang. Sehingga
kepemilikan jaminan terhadap resiko-resiko yang mungkin akan dihadapi di
masa depan menjadi salah satu variabel pembangun ketahanan ekonomi
keluarga. Jaminan tersebut salah satunya yaitu dengan memiliki tabungan
keluarga, dalam bentuk apapun. Selanjutnya, jaminan terhadap resiko juga dapat
berupa jaminan kesehatan keluarga. Dimana suatu keluarga dikatakan memiliki
ketahanan keluarga secara ekonomi bila memiliki asuransi keluarga, yang dalam
hal ini digambarkan melalui kepemilikan BPJS kesehatan, BPJS
ketenagakerjaan, askes/asabri/jamsostek, jamkesmas/PBI, jamkesda, asuransi
swasta, serta jaminan kesehatan dari perusahaan/kantor.
Ketika pasangan suami isteri tidak lagi mampu menjadi peserta jaminan
kesehatan, ketenagakerjaan dan sebagainya maka hal ini menunjukkan bahwa
pasangan tersebut dalam keadaan miskin atau tidak mampu. Ketika hal ini
terjadi, maka sangat potensiap bagi salah satu pangan merasakan ketidakpuasan
menjalankan rumah tangga dalam ketidakpastian. Oleh karena itu, suami isteri
yang tidak tahan dengan keadaan ini akan mengajukan perceraian.
g. Keharmonisan keluarga
Keharmonisan mesti dibangun dengan basis kesadaran dari annggota
keluarga. Ia tidak datang tiba-tiba dari langit melainkan harus diusahakan
bersama-sama. Salah satu sikap keharmonisan itu tercermin dalam sikap anti
kekerasan terhadap pasangan atau juga anak-anak.
Keluarga yang memiliki sikap anti kekerasan baik terhadap perempuan
maupun terhadap anak maka keluarga tersebut cenderung akan memiliki
ketahanan keluarga yang relatif tinggi, begitu pula sebaliknya. Dimana sikap
anti kekerasan terhadap perempuan tercermin pada sikap dimana kepala rumah
tangga/pasangannya yang tidak membenarkan tindakan suami memukul istri
dengan alasan apapun. Sementara itu, perilaku anti kekerasan terhadap anak
tercermin dalam cara mendidik dan mengasuh anaknya yang tidak menggunakan
kekerasan dalam jenis apapun.
Kasus-kasus perceraian di pengadilan agama yang menjadi alasan per-
ceraian disebabkan karena ketidakharmonisan pasangan suami isteri. Pemicunya
sangat beragam, bisa karena perbedaan sikap, perbedaam cata pandang, salah
satu pihak melakukan kekerasan dan sebagainya.
h. Kepatuhan terhadap hukum
Kepatuhan terhadap hukum lahir dari adanya kesadaran hukum dikalangan
anggota keluarga. Tanpa adanya kesadaran hukum, maka kepatuhan terhadap
hukum tidak akan bisa diwujudkan. Keluarga yang patuh pada hukum hingga
tidak pernah melakukan tindakan kriminalitas atau pelanggaran hukum maka
10 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
dapat dikatakan keluarga tersebut memiliki ketahanan yang baik, begitu pula
sebaliknya. Karena keterbatasan data maka di proxy dengan rumah tangga yang
pernah mengalami tindak kejahatan (korban tindak pidana). Pendekatan korban
tindak pidana ini dianggap dapat mewakili variabel kepatuhan terhadap hukum
karena bila keluarga tersebut tidak pernah menjadi korban tidak pidana, maka
dapat diasumsikan keluarga tersebut memiliki ketahanan yang baik.
Dalam keluarga, relasi suami isteri dan juga anggota keluarga hendaknya
berdasarkan hukum. Ketika hubungan-hubungan mereka ttidak dibangun atas
dasar hukum maka satu sama lain bisa melanggar hak-haknya, misalnya suami
tidak memberi nafkah, melakukan kekerasan dan sebagainya. Pada saat ini
terjadi, maka hilanglah kepatuhan terhadap hukum. Pemicu perceraian dalam
keluarga salah satunya dilatarbelakangi oleh kasus-kasus hukum yang menimpa
salah satu pihak, baik dipidana penjara maupun melangggar hak keperdataan
dalam hubugan suami isteri.
C. Penggunaan Teori Ishlah dan Kepastian Hukum dalam Mengkaji Per-
ceraian
Studi tentang Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia bisa
memanfaatkan teori ishlah dan teori kepastian hukum. Pengngunaan kerangka
teori tersebut dijelaskan sebagaimana di bawah ini.
1. Teori Ishlah
Secara bahasa, akar kata ishlah berasal dari lafazh صال حا- يصلح - صلح yang
berarti “baik”, yang mengalami perubahan bentuk. Kata ishlah merupakan
bentuk mashdar dari wazan إفعال yaitu dari lafazh إصالحا – يصلح – اصلح, yang
berarti memperbaiki, memperbagus, dan mendamaikan, (penyelesaian
pertikaian). Kata صالح merupakan lawan kata dari فساد / سيئة (rusak). Sementara
kata اصلح biasanya secara khusus digunakan untuk menghilangkan
persengketaan yang terjadi di kalangan manusia. 10
Ibn Manzhur berpendapat bahwa kata ishlahan sebagai antonim dari kata
fasad biasanya mengindikasikan rehabilitasi setelah terjadi kerusakan, sehingga
terkadang dapat dimaknai dengan iqamah.11
Sementara Ibrahim Madkur dalam
mu‟jamnya berpendapat bahwa ishlah yang berasal dari kata ishlah
mengandung dua makna, yaitu manfaat dan keserasian serta terhindar dari
kerusakan, sehingga jika kata tersebut mendapat imbuhan menjadi seperti frase
maka berarti menghilangkan segala sifat permusuhan dan pertikaian إصالحا بينهما
10 Akan tetapi, jika ishlãh dilakukan oleh Allah pada manusia, maka إصالح Allah
mengandung beberapa pengertian, kadang-kadang dilakukan dengan melalui proses penciptaan
yang sempurna, kadang-kadang dengan menghilangkan suatu kejelekan/kerusakan setelah
keberadaannya, dan kadang-kadang pula dengan menetapkan kebaikan kepada manusia itu
sendiri melalui penegakan hukum (aturan) terhadapnya. Al-Rãghib al-Ashfahani, al-Mufradãt fĩ
Gharĩb al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, t.t), h.284-285 11 Ibn Manzhũr, Lisãn al-'Arab, (Mesir: al-Dãr al-Mishriyyah Lita‟lĩf wa al-Tarjamah,
t.th), Jil. 3-4, h. 348-349
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 11
antara kedua belah pihak. Dengan demikian, إصالحا berarti menghilangkan dan
menghentikan segala bentuk permusuhan dan pertikaian. 12
Secara istilah, term ishlah dapat diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam
kaitannya dengan perilaku manusia.13
Karena itu, dalam terminologi Islam
secara umum, ishlah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin
membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik.
Dengan kata lain, perbuatan baik lawan dari perbuatan jelek. „Abd Salam
menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua amal
perbuatannya dan segala urusannya.14
Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya
berpendapat, bahwa kata ishlah mempunyai arti mengkondisikan sesuatu pada
keadaan yang lurus dan mengembalikan fungsinya untuk dimanfaatkan. 15
Kata ishlah juga memiliki beberapa sinonim, di antaranya adalah tajdĩd
(pembaruan) dan taghyir (perubahan), yang keduanya mengarah pada kemajuan
dan perbaikan keadaan.16
Sementara menurut ulama fikih, kata ishlah diartikan sebagai perdamaian,
yakni suatu perjanjian yang ditetapkan untuk menghilangkan persengketaan di
antara manusia yang bertikai, baik individu maupun kelompok. 17
Sejalan
dengan definisi di atas, Hasan Sadily menyatakan bahwa ishlah merupakan
bentuk persoalan di antara para pihak yang bersangkutan untuk melakukan
penyelesaian pertikaian dengan jalan baik-baik dan damai, yang dapat berguna
dalam keluarga, pengadilan, peperangan dan lain-lain.18
Sayid Sabiq menerangkan bahwa ishlah merupakan suatu jenis akad untuk
mengakhiri permusuhan antara dua orang yang sedang bermusuhan. Selanjutnya
ia menyebut pihak yang bersengketa dan sedang mengadakan ishlah tersebut
dengan Mushalih, adapun hal yang diperselisihkan disebut dengan Mushalih
'anh, dan hal yang dilakukan oleh masing-masing pihak terhadap pihak lain
untuk memutus perselisihan disebut dengan Mushalih 'alaih atau badal al-
shulh.19
12 Ibrãhĩm Madkũr, al-Mu’jam al-Wajiz, (tp., t.th), h. 368. Lihat juga Ahmad
„Athiyyatullah, al-Qãmũs al-Islãmi, (Mesir: Makhtabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1076), Jilid
4, h. 321 13 E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed), Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill, 1990),
Jil. IV, h. 141 14 Abd Salam, Mu’jam al-Wasĩth, (Teheran: Maktabat al-Ilmiyah, t.th), Jil. I, h. 522 15 Abu „Ali al-Fadl ibn al-Hasan at-Thabarsi, Majma’ al-Bayãn fĩ tafsĩr al-qur’an,
(Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1986), cet I, Jil. I, II, h. 137. Lihat juga Abu al-Qasim Jarullãhi
Mahmũd ibn Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyãf, (Beirut: Dar al-Kutub
al-ilmiyah, 1995), cet. I, Jil. I, h. 70. 16 John O. Voll, Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh dalam John
L. Esposito, Voices of Resurgent, (New York: Oxford University Press, 1983), h. 32-42 17
Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni, al-Bidãyah fi Syarh al-hidãyah,
(Beirut: Dar al-Fikr, t,th), Jil. 9, h. 3. 18 Hassan Sadyli dkk, Ensikolopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar baru – Van Hoeve,
1982), h. 1496 19 Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, (Beirut:Dar el-Fikr, 1988), jil. Ke-3, h. 189
12 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Keterangan di atas dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa, meskipun kata
ishlah dan kata shulh merupakan sinonim, namun kata ishlah lebih menekankan
arti suatu proses perdamaian antara dua pihak. Sedangkan kata shulh lebih
menekankan arti hasil dari proses ishlah tersebut yaitu berupa shulh
(perdamaian/kedamaian). Dapat juga dinyatakan bahwa ishlah mengisyaratkan
diperlukannya pihak ketiga sebagai perantara atau mediator dalam penyelesaian
konflik tersebut. Sementara dalam shulh tidak mengisyaratkan diperlukannya
mediator.
Berdasarkan penjelasan terminologi di atas, studi ini memilih
menggunakan kata ishlah untuk menjelaskan darurat perceraian dalam keluarga
muslim. Dari kata ishlah ini kemudian dikembangkan menjadi teori ishlah.
Teori Ishlah bersumber dari al-Quran. Ishlah disebut dalam beberapa ayat di
dalam al-quran sebagai berikut:
1. Ishlah antar sesama muslim yang bertikai dan antara pemberontak (muslim)
dan pemerintah (muslim) yang adil; Q.S. al-Hujurat:9-10,
2. Ishlah antara suami-isteri yang di ambang perceraian; dengan mengutus al-
hakam (juru runding) dari kedua belah pihak; Q.S. al-Nisa:35. dan lain-lain.
3. Ishlah memiliki nilai yang sangat luhur dalam pandangan Allah, yaitu
pelakunya memperoleh pahala yang besar (al-Nisa 114)
4. Ishlah itu baik, terutama ishlah dalam sengketa rumah tangga (an-nisa ayat
128)
Teori ishlah dalam penelitian ini berangkat dari ishlah antara sesama
muslim yang bersumber dari al-Quran surat al-Hujurat ayat 9 dan 10 serta hadis
Rasulullah SAW.
9. Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
10. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap
Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Hadis rasulullah
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 13
الاللن لل اال ح بن ببن ح سح امل ر االعح حدل ي . حددنا االحح ا بن ح نح دح مل ل . حدال دل هللا ببل ح بل دلي ن ببن ح ا كح دنح حدالسن لح هللا الح دد ل بال ح نل ي بل بلييل بل ح يبح » : اببل ح ل ر اامن ل للمل بح اامنسل يل ائل ز بح للحن ح . ااصي
اماا لال حح ح الحإا ل حح للحاا حح ال ح حح الحإا . إإال صن طاا حح ال ح حح هل ل إإال شح ل لحى شن ن طل للمن بح ح اامنسللال اماا ل حح ا حدييز حسبز صحيحز حح ح . ال ب يسى ح ح
“al-Hasan bin Ali al-Hilal meriwayatkan hadits kepada kami, dari Abu Amir
al-Aqdi, dari Katsir bin Abdullah bin „Amr bin Auf al-Muzni, dari ayahnya,
dari ayah-ayahnya (kakeknya), dari Rasulullah SAW bersabda: al-Sulh itu
jaiz (boleh) antara (bagi) umat Islam, kecuali sulh yang mengharamkan yang
halal atau sebaliknya (menghalalkan yang haram). Dan umat Islam boleh
berdamai (dengan orang kafir) dengan syarat yang mereka ajukan, kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau sebaliknya.” Abu Isa
berpendapat bahwa Hadits ini tergolong Hasan-Shoheh.20
Dua ayat di dalam surat al-Hujurat dan hadis di atas merupakan landasan
di dalam penyelesaian pertikaian dan perselisihan secara umum termasuk
perselisihan yang dihadapi oleh suami iseri dalam keluarga. Dalam hadis
tersebut dinyatakan bahwa menyelesaikan sengketa dengan perdamaian adalah
boleh dan sangat dianjurkan untuk kebaikan dan keutuhan persaudaraan sesama
muslim asalkan tidak untuk menghalalkan yang haram dan sebaliknya tidak
mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan rasul-Nya.
Penjelasan surat al-hujurat di atas, dapat dilihat beberapa penafsiran
mufassir tentang ayat tersebut. Menurut Al-Qurthubi, sesama orang mu‟min
adalah saudara. Ikatan saudara diantara orang-orang yang beriman dilandasi
oleh adanya ikatan agama (saudara seiman), bukan semata-mata karena ikatan
keturunan sebab ikatan seketurunan dapat putus jika seseorang pindah agama
yang menyebabkan ia tidak mendapatkan warisan. Sedangkan persaudaraan
seagama lebih kuat dan kokoh sehingga dasar hubungan sesama muslim diikat
oleh persaudaraan seiman. Persaudaraan seiman (seagama) tidak dapat
menggantikan status keimanan seorang mu‟min sekalipun mereka terlibat
sengketa satu sama lain. Dalam penjelasannya lebih lanjut, al-Qurtubi
menyatakan dengan mengutip pendapat Harits al-A‟wari bahwa Ali ibn Abi
Thalib ditanya tentang orang-orang yang terlibat perang Siffin dan Jamal,
apakah mereka itu musyrik ? Ali menjawab tidak, melainkan mereka keluar dari
barisan mu‟min. Kemudian Ali ditanya lagi, apakah mereka itu munafiq ? Ali
menjawab, bukan, sebab munafiq tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit.
Oleh karena itu, Ali ditanya lagi, kalau begitu orang yang bersengketa itu
20 Muhammad Abd ar Rahman Tuhfah al Ahwazi (Bi Syarh Jami At Tirmizi) (t.t.p; Dar
al Fikr, t.t.) IV : 486 Hadits nomor 1352 “Kitab Al Ahkam.” Bab Ma Zukira an Rasulullah
Salallahu Alaih wa Salam fi Sulh Bain an Nas Hadits ini hasan sahih diriwayatkan dari Katsir
bin Abdillah bin umar bin auf Al muzniy dari ayahnya dari kakeknya.
14 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
statusnya bagaimana ? Ali menjawab, mereka itu saudara kita, tetapi mereka
menyerang satu sama lain. 21
Dengan demikian, ketika seorang mu‟min bersengketa satu sama lain,
maka sengketa itu harus didamaikan, dalam ayat tersebut keharusan damai itu
ditunjukkan dengan menggunakan kata faaslihu yang menunjukkan adanya
perintah damai terhadap orang-orang yang beriman yang berselisih. Kata
faaslihu adalah perintah Allah kepada orang yang beriman, atas keimanannya
seorang mu‟min diperintah Allah untuk patuh atas perintahn-Nya. Di sisi lain,
faaslihu adalah perintah Allah bagi ulil amri untuk mendamaikan orang beriman
ketika mereka bersengketa.
Dalam tafsir ruhul ma’ani 22
dinyatakan bahwa teknik mendamaikan itu
dilakukan dengan nasehat dan menghilangkan keraguan atau rasa curiga, dan
mengajak kepada hukum Allah. Kalau dua pihak yang bersengketa itu tidak
bisa dipengaruhi oleh nasihat, maka perangilah orang yang membangkang itu
sehingga mereka kembali kepada hukum Allah. Jika mereka telah kembali
kepada agama Allah dan menghentikan untuk berperang, maka damaikanlah
diantara keduanya itu dengan adil agar tidak ditemukan dikemudian hari
peperangan lagi.23
Kata ishlah dalam ayat di atas disandingkan dengan kata adil, sebab adil
itu merupakan tujuan dari pada upaya ishlah. Kemudian diperkuat juga dengan
kata aqsitu. Dengan kata lain, aslihu adalah menyambungkan tali persaudaraan
diantara sesama saudara kalian dengan damai. Oleh karenanya, hendaklah
kalian takut kepada Allah dari upaya saling menghina agar kalian mendapat
rahmat.
Berkata Sahl r.a.: dua kelompok (thaifatani) dalam ayat di atas adalah ruh,
hati, akal, dan tabiat serta hawa nafsu dan syahwat. Jika hawa nafsu, tabiat dan
syahwat membelot dari akal, hati dan ruh maka seorang hamba harus
membunuhnya dengan pedang kataqwaan dan cahaya ilahi agar ruh dan akal
menang dan hawanafsu kalah.
21 Muhammad al-Qurtubhi, al-Jami’ li ahkam al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 2003). Juz
16, hlm. 323 22 Syihabuddin al-Alusi. Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Quran al-‘adhim wa sab’u almatsani.
Juz 15 hlm. 231 23 Terdapat sejumlah riwayat dalam beberapa kitab tafsir yang menjelaskan asbab nuzul
ayat 9 surat al-Hujurat. Dari albaraqi, : Rasulullah duduk di sebuah majelis, didalamnya ada Abdullah bin rawahah dan Abdullah bin ubay bin sulul, ketika rasul pergi, Abdullah bin sulul
berkata, kencing unta kamu telah mengganggu kami, kami emosi. Dan antara Abdullah bin
rawahah dan Abdullah bin ubay terdapat perselisihan sehingga mereka mengangkat senjata,
maka rasul mendatangi mereka, rasul mendudukan mereka, Abdullah bin ubay berkata: mengapa
kalian melakukan ini, kemudian turun ayat wa in thaifatani ….. dalam riwayat lain disebutkan
bahwa seroang wanita dari suku ansor, bernama ummu zaid berselisih dengan suaminya. Berita
ini tersebar kepada masing-masing kelompoknya, kemudian mereka saling baku hantam dan
melempar dengan sandal. Sampailah berita itu kepada nabi, kemudian nabi mendamaikan
mereka dan turunlah ayat wa in thaifatani …(lihat Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-
bayan fi ta’wil al-Quran. (Beirut: Dar Elfikr, t.t.). juz XV hlm 124.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 15
Sedangkan kata ikhwah merupakan jama dari akh, asal kata ini berarti
menyatu dengan yang lain (al-musyarik al-akhar) akibat dari kelahiran yang
sama atau satu susuan. Kata ikhwah juga bisa digunakan unutk menunjukkan
saudara di dalam kelompok dengan saudara seagama. Makna ayat ini adalah
orang-orang yang beriman itu pada hakikatnya adalah saudara seketurunan yang
berasal dari sumber yang satu yang diikat oleh keimanan untuk hidup
berdampingan selama-lamanya. Hal ini dapat diserupakan dengan saudara
sekandung yang berasal dari ayah yang sama dimana antara saudara sekandung
diajarkan hidup berdampingan.24
Ali al-Sayis menjelaskan bahwa kewajiban ishlah itu bukan hanya
ditujukan kepada kelompok yang bertikai tetapi juga diwajibkan kepada setiap
individu yang sedang mengalami sengketa. Menurutnya, cara ishlah dilakukan
dengan memberi nasehat dan irsyad (memberi bimbingan). Kata ikhwah
merupakan bentuk jamak dari akh yang berarti saudara seketurunan (nasab).
Sedangkan kata akh bermakna sahabat yang bentuk jamaknya ikhwan. Allah
menjadikan saudara (ikhwah) antara orang yang beriman di dalam Islam yang
berarti saudara seketurunan. Hal ini diberlakukan sebagai penguat dan pelindung
orang-orang beriman (mu’min) bahwa kedudukan mereka di dalam Islam adalah
saudara, seperti saudara kandung yang memiliki ayah yang sama. Jadikanlah
ishlah ini sebagai bentuk ketaqwaan dan sebagai rasa takut kepada Allah dan
tidak boleh salah seorang berpihak pada salah satu saudara yang lain karena satu
sama lain antara orang beriman adalah saudara, tidak boleh antara orang
beriman merasa lebih baik dan yang lain direndahkan.
Kata innama dalam surat al-hujurat ayat 10 bermakna pembatasan
perintah ishlah dan kewajiban melaksanakannya. Kewajiban melaksanakan
ishlah ini ketika yang bertikan memiliki hubungan iman yang sama. Sedangkan
jika orang mukmin itu bertikai dengan saudarantya yang kafir, maka tidak ada
ishlah. 25
Berdasarkan kajian tafsir di atas bahwa damai merupakan dasar di dalam
penyelesaian sengketa yang terjadi antara sesama mu‟min. Perceraian yang
terjadi di pengadilan agama antara suami dan isteri yang beragama Islam pada
dasarnya terjadi antara orang-orang mu‟min yang wajib diselesaikan lewat cara
damai. Orang mu‟min yang bersengketa, baik terjadi antara suami isteri (dalam
perkara perceraian), seorang mukmin dengan mukmin lainnya (dalam perkara
selain perceraian; waris, sengketa ekonomi syariah dan wasiat serta hibah) harus
diselesaikan terlebih dahulu dengan cara damai. Kewajiban menyelesaikan
sengketa dengan damai, merupakan salah satu bentuk ketaqwaan yang
pelakunya akan mendapat rahmat. Sebagai salah satu bentuk komitmen
keimanan seorang mu‟min, di dalam surat al-hujurat ayat 15 dinyatakan bahwa
tanda keimanan seseorang adalah berani menunjukkan perbuatan keimanannya
dalam kehidupan nyata. Allah berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
24 Isma‟il al-Haqqi al-hanafi, Ruhul Bayah. (Saudi: Dar al-Nasyr, t.t.) juz 9 hlm 62. 25 Ali al-Sayis, tafsir ayat al-ahkam. (Beirut: Dar al-fikr, 2002), hlm 705 juz I.
16 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya,
Kemudian mereka tidak ragu-ragu …”.
Dalam al-Quran, khusus mengenai sengketa suami isteri juga ditekankan
keharusan adanya ishlah diantara mereka jika mereka bersengketa. Allah
berfirman di dalam surat al-Nisa ayat 35:
35. “Jika kamu mengkhawatirkan percekcokan antara keduanya (suami-ister),
maka angkatlah seorang hakam dari keluarga suami dan seorang hakam
dari keluarga isteri”.
Ayat ini sesungguhnya merupakan kelanjutan ayat sebelumnya, yaitu ayat
34. Ayat tersebut berbicata tentang nusyuz.26
Nusyuz bisa terjadi dari pihak istri
dan bisa pula dari pihak suami ataupun dari kedua belah pihak. Nusyuz ini bisa
berupa ucapan ataupun perbuatan dan bisa kedua-duanya, ucapan sekaligus
perbuatan.27
Pada ayat 35, nusyuz dapat terjadi disebabkan oleh kedua belah pihak
yang berakibat pada syiqaq (percekcokan yang terus menerus). Menurut para
fuqaha, jika terjadi syiqaq antara suami isteri, maka seorang hakim yang sangat
terpercaya dapat mendamaikan kedua belah pihak dengan melihat secara jelas
masalah keduanya, dan mencegah terjadinya penganiayaan dari satu pihak
kepada pihak lainnya. Jika perselisihan antara keduanya itu rumit dan panjang,
maka hakim mengutus/mengangkat seorang hakam yang terpercaya dari
kalangan keluarga isteri dan keluarga suami untuk berkumpul dan melihat
masalahnya secara jernih. Dan melakukan sesuatu yang maslahah apakah
26 Menurut Ibnu Katsir, nuszyuz adalah tinggi diri, wanita nusyuz adalah seoarang isteri
yang bersikap sombong kepada suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling
darinya dan membenci suaminya. Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adhim. (Beirut: dar El-Fikr,
1999), juz II hlm. 296-297 27 Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “nusyuz-nya istri adalah ia tidak
mentaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau ia keluar rumah tanpa
minta izin kepada suami dan semisalnya dari perkara yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud
ketaatan kepada suaminya.” (Majmu` Fatawa, 32/277). Termasuk nusyuz-nya istri adalah
enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Dan juga ia meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji dan sebagainya. Penyebutan nusyuz
dari istri ini datang dalam firman-Nya: “Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui
dan yakini ) nusyuznya maka hendaklah kalian menasehati mereka, dan meninggalkan mereka
di tempat tidur dan memukul mereka.” (An Nisa‟: 34). nusyuz-nya suami dengan sikapnya yang
melampaui batas kepada istrinya, menyakitinya dengan mendiamkannya atau memukulnya tanpa
alasan syar„i, tidak menafkahinya dan mempergaulinya dengan akhlak yang buruk. Al Qur‟an
menyebutkan nusyuz-nya suami ini dalam firman-Nya: “Dan apabila seorang istri khawatir
akan nusyuz suaminya atau khawatir suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada
keberatan atas keduanya untuk mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.”
(An Nisa‟:128)
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 17
mengarah kepada perceraian atau bersatu rukun kembali. Jika keduanya baik
suami dan isteri maupun dua hakam tersebut ingin mencari titik temu dengan
cara mendamaikan, maka Allah akan memberinya taufiq. 28
Dengan surat an-nisa ayat 35 ini menunjukkan bahwa perselisihan tajam
dan terus menerus yang terjadi antara suami dengan isteri diperintahkan
mengangkat hakam untuk melakukan ishlah (mendamaikan) suami isteri
tersebut. Perselisihan suami isteri diselesaikan melalui ishlah walaupun akhirnya
suami isteri tersebut berpisah. Namun, menurut ayat 35 surat an-nisa ini,
menempuh jalan damai (ishlah) dengan tetap bersatu sebagai suami isteri akan
diberi oleh Allah taufiq. Penegasan melakukan ishlah ini juga berlaku jika
nusyuz dilakukan oleh suami kepada isterinya sebagaimana dijelaskan di dalam
surat al-nisa ayat 128.
Dengan demikian, ishlah merupakan cara yang ditetapkan oleh al-Quran
untuk mencari penyelesaian konflik, ketegangan, sengketa dan perselisihan.
Penegasan ini dijelaskan oleh al-Quran surat al-hujurat ayat 9 dan 10 yang
berlau secara umum. Sedangkan perselisihan, konflik dan sengketa yang terjadi
antara suami isteri secara khusus, penyelesaiannya dilakukan melalui perantara
seorang hakam dengan tetap bertujuan untuk menegakan perdamaian (ishlah).
Ishlah dalam Islam merupakan prinsip dalam pergaulan, sebagaimana
ditegaskan al-Qur‟an dalam surat al-Nisa: 114; “Tidak ada kebaikan pada
kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat makruf, atau mengadakan
perdamaian (ishlah) di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian
karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala
yang besar.”
Ishlah merupakan sebab untuk mencegah suatu perselisihan dan
memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila
berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka ishlah
mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal
yang membangkitkan fitnah dan pertentangan dan yang menimbulkan sebab-
sebab serta menguatkannya dengan persatuan dan persetujuan, hal itu
merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara.29
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa tujuan sebuah perdamaian adalah untuk mengakhiri
suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara
Mengupayakan perdamaian bagi semua muslim yang sedang mengalami
perselisihan dan pertengkaran dinilai ibadah oleh Allah. Namun tidak dianjurkan
perdamaian dilakukan dengan paksaan, perdamaian harus karena kesepakatan
para pihak. Dalam hal ini Imam Malik pernah berkata bahwa dia tidak
sependapat jika hakim memaksa salah satu pihak yang berperkara atau
28 Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adhim. (Beirut: dar El-Fikr, 1999), juz II hlm. 296-
297. 29 Alauddin at Tharablisi, Muin Al Hukkam: Fi ma yataraddadu baina al khasamaini min
al Ahkami,(Beirut : Dar al Fikr, t.t.), hal 123
18 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
mengenyampingkan permusuhan salah satu pihak, karena semata-mata hanya
menginginkan perdamaian.30
Teori ishlah ini jika diterapkan untuk memahami perceraian dalam
keluarga muslim antara suami isteri di pengadilan agama berbunyi sebagai
berikut:
1. Suami isteri yang bersengketa di pengadilan agama adalah orang mukmin.
Setiap orang mukmin dengan sesama mukmin lainnya adalah bersaudara.
Persaudaraan antara orang mu‟min merupakan persaudaraan seagama yang
memiliki konsekuensi hukum yaitu antara orang mukmin dilarang saling
mendhalimi dan membiarkannya didhalimi, perumpamaan seorang mu‟min
dengan mu‟min lainnya laksana seperti tubuh. Jika salah satu bagian merasa
sakit, maka seluruh anggota badan akan merasa demam dan susah tidur,
janganlah antar orang mu‟min bersaing dengan tidak baik, saling dengki,
saling benci, dan saling membelakang tetapi jadilah hamba-hamba Allah
yang bersaudara (wa kunu ‘ibadallahi ikhwana). 31
2. Akibat persaudaraan antara orang mu‟min, jika mereka bersengketa
termasuk sengketa perkawinan dalam hal ini perceraian di pengadilan
agama, maka mereka harus mencari penyelesaian sengketa tersebut dengan
ishlah karena ishlah merupakan perintah al-Quran yang ditujukan bagi
orang yang beriman (fa ashlihu baina akhawaikum);.
3. Pasangan suami isteri yang bersengketa di pengadilan agama adalah orang
mu‟min. Jika mereka mengangkat seorang hakam untuk mengishlahkan
mereka di dalam menghadapi kemelut dalam rumah tangganya Allah akan
memberi taufiq kepada suami isteri itu (an-nisa ayat 35)
4. Suami isteri yang bersengketa di pengadilan agama dan menyelesaikan
sengketa dengan ishlah memiliki nilai yang sangat luhur dalam pandangan
Allah, yaitu pelakunya memperoleh pahala yang besar (al-Nisa 114)
5. Jika salah satu pihak dari suami dan isteri yang bersengketa di pengadilan
agama berkeinginan untuk melakukan ishlah, maka pihak lain ikut juga
berdamai sambil bertawakkal kepada Allah atas apa yang akan dan telah
diputuskan dalam perdamaian itu (al-Anfal 61);
Teori ishlah ini akan penulis gunakan di dalam memahami darurat
perceraian dalam keluara muslim, sebab perceraian yang menjadi fokus dalam
penelitian ini tidak lain merupakan mekanisme penyelesaian konflik yang
dilegitimasi peraturan perundang-undangan, dengan bertujuan untuk ishlah.
2. Teori Kepastian Hukum
Istilah kepastian hukum dalam tataran teori hukum tidak memiliki
pengertian yang tunggal. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah pendapat
30 Salam Mazkur, Peradilan dalam Islam, Alih Bahasa Drs Imron AM. Cet ke 4
(Surabaya: Bina Ilmu, 1993 hal. 19-20 31 Lihat ibnu Katsir, Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adhim. (Beirut: dar El-Fikr, 1999),
juz II hlm. 296-297
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 19
yang berusaha menjelaskan arti dari istilah tersebut dengan argumen dan
perspektif tertentu, baik dalam pengertian yang sempit maupun luas.
Yance Arizona 32
berpendapat bahwa kepastian hukum merupakan
pertanyaan yang hanya dapat dijawab secara normatif, bukan sosiologis.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas, dalam
artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia
menjadi suatu sistem norma, dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari
ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau
distorsi norma.
Pendapat ini dapat dikategorikan sebagai pendapat yang berperspektif
legal positivism (hukum positif), karena lebih melihat kepastian hukum dari sisi
kepastian perundang-undangan. Kepastian hukum harus diindikasikan oleh
adanya ketentuan peraturan yang tidak menimbulkan multitafsir terhadap
formulasi gramatikal dan antinomi antarperaturan, sehingga menciptakan
keadaan hukum yang tidak membawa kebingungan ketika hendak diterapkan
atau ditegakkan oleh aparat penegak hukum.
Ahmad Ali 33
mengemukakan bahwa kepastian hukum itu berkaitan
dengan putusan hakim yang didasarkan pada prinsip the binding for precedent
(stare decisis) dalam sistem common law dan the persuasive for precedent
(yurisprudensi) dalam civil law. Putusan hakim yang mengandung kepastian
hukum adalah putusan yang mengandung prediktabilitas dan otoritas. Kepastian
hukum akan terjamin oleh sifat prediktabilitas dan otoritas pada putusan-putusan
terdahulu.
Leden Marpaung34
menjelaskan makna kepastian hukum dengan
mencermati ketentuan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Leden berpendapat bahwa kepastian hukum di dalam Pasal 1 KUHP
mengandung asas legalitas atau nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenali (Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang
dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih
dahulu).
Asas ini terkonkretisasi di dalam rumusan: “Tiada suatu perbuatan dapat
dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-
undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Hal itu berarti
kepastian hukum mengharuskan adanya suatu norma pidana tertentu, norma itu
harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan bersifat non retroaktif.
32 Yance Arizona (http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/ apa-itu-kepastian-
hukum/) diakses tanggl 7 Agutus 2017 33
Achmad Ali. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence). (Jakarta: Kencana,
2009).h.. 294. 34 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan; Pengertian dan
Penerapannya, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997) h.. 2.
20 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Kepastian hukum di dalam Pasal 1 KUHP ini disebut dengan asas legalitas.
Konsep tentang asas legalitas atau kepastian hukum juga dikemukakan oleh L. J.
van Apeldoorn di dalam bukunya Inleiding tot de studie van het Nederlandse
Recht. Apeldorrn sebagaimana dikutip Ermansah Djaja 35
(2008: 37),
mengatakan bahwa kepastian hukum itu memiliki dua sisi yakni adanya hukum
yang pasti bagi suatu peristiwa yang konkret dan adanya perlindungan terhadap
kesewenang-wenangan.
Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A. Hart36
ditempatkan sebagai kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau
berpendapat bahwa kadang-kadang kata-kata dalam sebuah undang-undang dan
apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa
jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan
penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi
atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah menurut H.L.A Hart salah satu contoh
ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.
Kepastian hukum pada negara hukum (rechtstaat) dalam sistem eropa
kontinental (civil law) positivistik hukum merupakan prioritas utama meskipun
dirasakan sangat tidak adil, namun setidaknya menimbulkan kepastian hukum
dalam arti law in the books. Apakah kepastian hukum dalam arti law in the
books tersebut akan pasti dilaksanakan secara substantif, maka dalam hal ini
bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri. Walaupun law in the
books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun jika aparatur penegak
hukum itu sendiri tidak menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku, tetap saja dikatakan tidak ada kepastian hukum.
Misalnya dalam hal memutus suatu perkara perdata, hakim harus
memperhatikan asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-ketentuan hukum
perdata maupun asas-asas hukum dalam hukum acara perdata sehingga tidak
mengeluarkan putusan yang tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Kadang-kadang dalam suatu perkara tertentu hakim menjatuhkan putusan yang
berbeda dasar pertimbangannya dengan perkara yang lain padahal kualifikasi
perkara hampir menyerupai.
Disparitas pendapat (disenting opinion) salah satu contohnya, misalnya
pertimbangan antara majelis hakim pengadilan tingkat pertama tidak sama
dengan pertimbangan majelis hakim pada pengadilan tinggi, maupun Mahkamah
Agung. Bahkan dalam satu forum majelis hakim sekalipun perbedaan pendapat
itu pasti terjadi dalam menafsirkan hukum dan peristiwa hukum. Ketika
perbedaan pendapat ini terjadi, maka perbedaan ini juga termasuk sebagai suatu
ketidakpastian hukum dalam persidangan.
35 Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK , (Jakarta: Sinar Grafika,
2008). h. 37. 36 H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997)
diterjemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, (Bandung: Nusamedia, 2010), h.. 230.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 21
Menurut Mahmul Siregar 37
kepastian hukum itu harus meliputi seluruh
bidang hukum. Kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum secara
substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara)
dalam putusan-putusan badan peradilan. Antara kepastian substansi hukum dan
kepastian penegakan hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya
kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang
sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat
dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-
norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum.
Cicut Sutiarso 38
menyarankan kepastian hukum yang berdasarkan
keadilan harus selalu ditanamkan untuk menciptakan budaya hukum yang tepat
waktu. Mungkin dari pendapat ini kepastian hukum akan lebih ampuh bila para
penegak hukum membiasakan diri untuk membudidayakan penegakan hukum
(rule of law) secara pasti, tidak pandang bulu, sesuai dengan prinisp equality
before the law terhadap semua orang. Inilah gambaran suatu kepastian hukum.
Bila kepastian hukum menjadi primadona dalam penegakan hukum, di lain sisi
tidak pula mampu menimbulkan keadilan, maka kepastian hukum dapat
menimbulkan seolah-olah hukum tidak berpihak kepada orang yang butuh
perlindungan hukum. Munculnya hukum moral (morality law) sebagai bukti
bahwa kepastian hukum harus diubah dengan paradigma baru bilamana harus
dipertimbangkan secara naluri dan hati nurani hakim-hakim pengadilan. Para
hakim akan dikatakan tidak adil bila hanya bersandar pada apa yang dituliskan
di dalam undang-undang belaka, tanpa mampu menggali nilai-nilai keadilan di
dalam undang-undang. Hakim dalam melihat undang-undang bukan lah seperti
kuda pakai kaca mata yang hanya boleh melihat ke depan tanpa boleh melihat ke
lain sisi untuk mempertimbangkan hukum berdasarkan hati nurani.
Rabruch 39
memberi pendapat yang cukup mendasar mengenai kepastian
hukum. Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum,
pertama bahwa hukum itu positif yakni berbentuk peraturan perudang-
undangan. Kedua bahwa hukum itu didasarkan pada fakta hukum atau hukum
yang ditetapkan itu pasti, Ketiga bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan
dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan
disamping mudah dilaksanakan. Keempat hukum positif tidak boleh mudah
berubah.
Lebih lanjut Radbruch dalam Huijber 40
menyatakan bahwa hukum yang
berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum
37 Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan
Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, (Medan: Fakultas Hukum USU, tanpa
tahun), h.. 4. 38
Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h.. 160. 39 Radbruch, Gustav. Einfuehrung In Die Rechtswissenschaft Koehler Verlag. (Stutgart,
tanpa penerbit, 1961). h.. 36. 40 Theo Huijber. Pengantar Filsafat Hukum. (Yogyakarta: Kanisisus, 1992) h.. 23
22 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
yang berguna. Kepastian hukum itu ada oleh karena hukum memberi tugas
hukum lainnya, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna.
Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut
terdapat pada sebanyak-banyaknya undang-undang. Dalam undang-undang
tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang
berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat
berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan
dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat
ditafsirkan secara berlain-lainan.
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.
Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum
positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat
harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil. Pendapat mengenai
kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh
Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan
sebagai berikut :
a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
b. Bahwa instansi-instansi penguasa ( pemerintahan) menerapkan aturan-
aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat
kepadanya;
c. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena
itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
d. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum; dan,
e. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.41
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan
bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian
hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat.
Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum
yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya
keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami
sistem hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo 42
kepastian hukum adalah jaminan
bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menuntut hukum dapat
memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun
41 Shidarta. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Akar filosofi. (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2013 Cet-1.) h.. 44 42 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar. (Yogyakarta: Liberty,
2008). h. 160.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 23
kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik
dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menya-
maratakan, sedangkan keadilan bersifat subyektif, individual- listis, dan tidak
menyamaratakan.
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya
sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam
memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai
itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan
peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.
Nurhasan Ismail 43
berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum dalam
peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan
struktur internal dari norma hukum itu sendiri.
Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, kejelasan
konsep yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi mengenai perilaku
tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula. Kedua,
kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan perundang-
undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena menyangkut sah atau tidak dan
mengikat atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang dibuatnya.
Kejelasan hirarki akan memberi arahan pembentuk hukum yang mempunyai
kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan tertentu.
Ketiga, adanya konsistensi norma hukum perundang-undangan. Artinya
ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan satu subyek tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang
lain.
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya
kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law (1971 : 54-58)
mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila
tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau
dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan
putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
c. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
g. Tidak boleh sering diubah-ubah;
43 Nurhasan Ismail. “Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan
Ekonomi Politik,” Ringkasan Disertasi. UGM, (Yogyakarta: Tanpa Penerbit, 2006) h. 3.
24 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian
antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah
aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif
dijalankan.
Uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas menunjukkan bahwa
kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak
menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat
dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung
keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan
hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga
tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum
suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak
menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin
hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang
ada.
Teori kepastian hukum tersebut jika dihubungkan dengan darurat
perceraian dalam penelitian ini maka berbunyi :
a. Sistem hukum yang mengatur tentang perceraian harus jelas hukumnya,
artinya dapat mudah dimengerti oleh masyarakat;
b. Aturan mengenai perceraian tidak bertentangan dengan aturan perceraian
yang sejenis atau aturan perceraian yang ada di atasnya;
c. Perkara perceraian yang diperiksa, diadili dan diselesaikan di Pengadilan
Agama harus menentukan dengan jelas mana alasan perceraian yang boleh
diterima dan mana yang tidak disertai dengan pertimbangan hukum yang
memadai;
d. Perkara perceraian yang yang diperiksa, diadili dan diselesaikan di
Pengadilan Agama tidak boleh bertentangan dengan kewenangan
Pengadilan Agama.
BAB II
PENYELESAIAN KONFLIK
DAN PERCERAIAN DALAM SYARIAT
ISLAM
A. Hakikat Perkawinan dan Perceraian dalam Syariat Islam
Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami
oleh hampir semua manusia di muka bumi ini walaupun ada beberapa di
antaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput. Semua
agama resmi memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus
dihormati, dan harus dijaga kelangsungannya. Oleh karena itu, beragam
ketentuan dibuat untuk mengatur supaya perkawinan yang telah dilangsungkan
dapat berjalan sesuai dengan yang semestinya. Fikih memberi definisi
perkawinan sebagai akad yang menghalalkan hubungan seksual melalui
ungkapan nikah, atau kawin.1 Lebih jauh, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, mendefinisikan perkawinan dengan ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2, dinyatakan
bahwasanya Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitsâqan Ghalîzhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Al-Ghazali memandang bahwa perkawinan memiliki 5 faedah utama, yaitu:
Pertama, memelihara keturunan; Kedua, membentengi syahwat; Ketiga,
menenangkan jiwa; Keempat, memfokuskan ibadah; Kelima, melipatgandakan
pahala.2 Selanjutnya Nuruddin Abu Lihyah menimbang pendapat Al-Ghazali dan
Al-Sarkhasi, menyimpulkan bahwa maqâshid al-syar`iyah dari adanya
perkawinan adalah Pertama, memelihara manusia dari terjerumus ke dalam
kemaksiatan; Kedua, penghargaan terhadap perempuan; Ketiga, membentuk
1 Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syarbiniy, Mughniy al-Muhtâj ilâ
Ma`rifah Ma`âniy Alfâzh al-Muhtâj, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Alamiyah, 1994), j. IV, h. 200. 2 Abu Hâmid Muhammad al-Ghazâliy, Ihya’ `Ulûm al-Dîn, (Beirut: Dâr al-Ma`rifah,
T.Th), h. 24-31.
26 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
keluarga.3 Tidak terlalu berbeda, Prof. Hasan al-Sayid Hamid Khithab, Guru
Besar Universitas Taibah Madinah, saat membagi maqâshid al-syar`iyah
perkawinan ke dalam dua kategori, yaitu maqâshid ashliyah dan Maqâshid
tab`iyah, menilai bahwa menjaga syahwat dan memelihara keturunan merupakan
maqâshid ashliyah yang paling utama.4
Ketika sepasang manusia hendak melakukan perkawinan, sudah barang
tentu sedikitpun tidak terlintas dalam pikiran mereka untuk mengakhiri
perkawinan tersebut begitu saja. Apa yang ada dalam rencana mereka adalah
kesepakatan untuk hidup bersama membangun keluarga bahagia yang
menenteramkan sampai akhir hayatnya. Oleh karenanya Undang-undang
Perkawinan Pasal 1, seolah menegaskan bahwa tujuan membentuk keluarga
bahagia itu bersifat kekal, untuk selamanya.
Namun dalam tataran realita, apa yang sudah menjadi rencana manusia,
terkadang mendapatkan beragam kendala, dari mulai yang bersifat ringan sampai
yang memiliki kompleksitas tinggi, hingga sudah tidak dapat ditanggulangi lagi.
Untuk mengakomodir persoalan tersebut, Allah Swt., memberikan ketentuan
sebagai policy dalam Alquran maupun dalam hadis Nabi. Sebelum sampai ke
pilihan terakhir, di mana sudah tidak ditemukan lagi jalan untuk mempertahankan
rumah tangga, langkah mediasi menjadi upaya awalnya. Perselisihan yang sudah
memuncak (syiqâq), yang tidak dapat diselesaikan secara sendiri, maka
disarankan menggunakan mediator (hakam) yang diharapkan mampu mencarikan
jalan tengah (win-win solution) bagi kedua belah pihak, suami dan istri. Hanya
ketika upaya mediasi tersebut tidak dapat memberikan jalan tengah, perceraian
menjadi pilihan akhir sebagai satu-satunya policy.
Ketika Perceraian sudah menjadi satu-satunya jalan, tidak berarti menjadi
akhir dari segalanya. Secara metaforis, perceraian ibarat satu fase metamorfosis
untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ibarat sebuah akademi, perceraian
adalah fase masa untuk belajar memahami kehidupan. Oleh karenanya,
perceraian dibuat bertahap, agar jika di kemudian hari selepas berpikir jernih
menimbang maslahat-mafsadat dari perceraian, seandainya dipandang dengan
cerai lebih banyak mafsadatnya dari pada maslahat dan manfaat, maka pintu
untuk kembali melalui rujuk masih terbuka lebar. Bahkan mantan suami
mendapat prioritas utama untuk menikahi kembali mantan istrinya meskipun
perceraian tersebut bersifat bain, kecuali bain kubra.
Perceraian dapat terjadi dengan penjatuhan talak atau pun pembatalan
perkawinan (fasakh), baik atas kehendak salah satu pihak dari suami istri atau
pun atas putusan pengadilan.5 Adapun talak dari segi bahasa berarti melepaskan
ikatan. Sedangkan dalam istilah syarak didefinisikan sebagai pelepasan ikatan
3 Nuruddin Abu Lihyah, al-Muqaddimât al-Syar iyah li al-Jawâz bi Ru’ya Maqâshidiyah,
(T.T: Dâr al-Anwâr li al-Nasyr wa al-Tawzi`, 2010), h. 31-65 4 Hasan al-Sayid Hamid Khithab, Maqâshid al-Nikâh wa Atsâruhâ, Dirâsah Fiqhiyah
Muqâranah, (T.T: T.P, 2009), h. 10. 5 Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), j. IX, h.
6864.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 27
perkawinan dengan menggunakan lafaz thalaq atau seumpamanya. Dengan kata
lain talak merupakan pemutusan ikatan perkawinan.6 Menurut KHI Pasal 117,
Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam
pasal 129, 130, dan 131. Di antara dalil tentang talak yaitu Alquran surat Al-
Baqarah, ayat 229:
م ال م ن يق ن ن م ال اف ال ق ال ط ال ان ال ن م ال اق ن ال م ق وف ال
الط“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
Serta hadis sahih riwayat `Umar bin Khaththab Ra:7
ام ق ال ال ، »: ال ةال فمصال لط ال ال لطمال لال هن ال ال لال م لطى للاق ال ن صال الاط ال ق لال للاطهال «ثقمط ال جال ال
Dari Umar Ra.: “Bahwasanya Rasulullah Saw., telah menceraikan Hafsah
namun kemudian merujuknya”.
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: Manusia sepakat tentang bolehnya
talak, dengan alasan-alasan yang menunjukan akan kebolehannya, di antaranya
ketika relasi suami-istri telah rusak, yang pada akhirnya banyak menimbulkan
mafsadat ketika dipertahankan, terabaikannya hak nafkah dan tempat tinggal,
terpenjaranya istri disertai perlakuan kasar, pertengkaran yang terus-menerus,
maka hukum syarak membolehkan melepaskan perkawinan, demi lepasnya
segala mafsadat yang timbul dari perkawinan tersebut”.8
Lebih jauh lagi, ketika perceraian itu merupakan satu-satunya pilihan
terakhir yang dengannya dapat menghilangkan mafsadat yang lebih besar, selain
karena memang kaidah fiqhiyah juga menyatakan bahwa menolak kemafsadatan
lebih didahulukan dari menarik kemanfaatan yang belum jelas, Allah Swt., pun
memberikan kompensasi atas pengorbanan hati dan perasaan kepada mereka
yang tidak menemukan jalan lain selain perceraian, di dalam surat al-Nisa, ayat
130 dinyatakan:
كن ا ق ال ن ا ال كال اال للاط ام ال ال نهن ال ن ا ق كق ان للاط قال قغم فال ط إنام ال ال ال
Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada
masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan Adalah Allah maha
luas (karunia-Nya) lagi maha bijaksana.
6 Ibid, j. IX. h. 6873. 7 Abu Dawud Sulayman bin al-Asy`ats, Sunan Abiy Dâwud, (Beirut: Al-Maktabah
al`Asyriyah, T.Th), j. II, h. 285. Ibn Majah Abu `Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn
Majah, (Beirut: Dâr Ihyâ` al-Kutub al-`Arabiyah, T.Th), j. I, h. 650. Al-Nasâ`iy Abu
`Abdurrahman Ahmad bin Sya`ayb, Al-Mujtabâ min al-Sunan, (Halab: Maktabah al-Mathbû`ât al-
Islâmiyah, 1986), j. VI, h. 213. 8 Abu Muhammad Muwaffiquddin bin Qudamah, Al-Mughniy li Ibn Qudâmah, (Kairo:
Maktabah al-Qahirah, 1968), j. VII, h. 363.
28 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
B. Perceraian di Negara-negara Muslim
1. Perceraian di Malaysia
Berikut ini diuraikan hukum keluarga Islam di Malaysia:
a. Undang-undang Hukum Keluarga Islam di Malaysia
Undang-undang perkawinan di Malaysia mengalami perkembangan yang
dibagi kedalam tiga Periode, diantaranya:
Periode Pertama Sebelum Penjajahan Inggris. Sebelum masuknya Inggris
hukum yang berlaku adalah hukum Islam yang masih bercampur dengan hukum
adat, menurut Abdul Munir Yacob mengatakan bahwa undang-undang yang
berlaku dinegara-negara bagian sebelum campur tangan inggris adalah adat
pepatuh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di Negara sembilan dan beberapa
kawasan di Malaka, dan adat Temenggung dibagian semenanjung. Sedangkan
orang Melayu di Serawak mengikuti Undang-undang Mahkamah Melayu
Serawak. Undang-undang tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum Islam dan
utamanya dalam masalah perkawinan, perceraian dan jual beli.9
Periode Kedua Masa Penjajahan Inggris. Pada tahun 1880 Inggris
mengakui keberadaan hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan
memperkenalkan Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk
diberlakukan di Negara-negara selat (Pulau Pinang, Malaka, dan Singapur) yang
isinya :
BAB I : Pendaftaran Perkawinan dan Perceraian ( Pasal 1 sd 23)
BAB II : Pelantikan Qadi ( pasal 24 s.d 26)
BAB III : Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 27)
BAB IV : Ketentuan Umum ( Pasal 28 s,d 33)
Sementara untuk Negara-negara Melayu bersekutu (Perak, Selangor, Negeri
Sembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of Muhammadan Marriages
and Divorces Enactment 1885. dan untuk Negara-negara Melayu tidak bersekutu
atau Negara-negara bernaung (Kelantan, Terengganu, Perils, Kedah dan Johor)
diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907.10
Periode Ketiga Setelah Merdeka. Setelah Malaysia merdeka upaya
pembaharuan hukum keluarga sudah mencakup seluruh aspek yang berhubungan
dengan perkawinan dan perceraian, bukan hanya pendaftaran perkawinan dan
perceraian seperti pada undang-undang sebelumnya. Usaha tersebut dimulai pada
tahun 1982 oleh Melaka, Kelantan dan Negeri Sembilan yang kemudian diikuti
oleh negara-negara bagian lain. Undang-undang perkawinan Islam yang berlaku
sekarang di Malaysia adalah undang-undang perkawinan yang sesuai dengan
ketetapan undang-undang masing-masing negeri. Undang-undang tersebut
diantaranya:
a. UU Administrasi Pengadilan Syariah Kelantan, 1982
9 Abdul Munir Yacob, Pelaksanaan Undang-Undang dalam Mahkamah Syariyah dan
Mahkamah Sipil di Malaysia, (Kuala Lumpur: Institut Kefahaman Malaysia, 1995), h. 8. 10 Khoiruddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan
dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqih. (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 20.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 29
b. UU Mahkamah Syari’ah Kedah, 1983
c. UU Administrasi Hukum Islam Wilayah Federal, 1985
d. Undang-undang Keluarga Islam, Kelantan, 1983
e. Undang-undang Keluarga Islam, Malaka, 1983
f. Undang-undang Keluarga Islam, Negeri Sembilan, 1983
g. Undang-undang Keluarga Islam, Slangor, 1984
h. Undang-undang Keluarga Islam, Perak, 1984
i. Undang-undang Keluarga Islam, Kedah, 1979/1984
j. Undang-undang Keluarga Islam Wilayah federal 1984
k. Undang-undang Keluarga Islam, Penang, 1985
l. Undang-undang Keluarga Islam Trengganu, 198511
b. Hukum Keluarga Islam di Malaysia
1) Pertunangan dan pemecahan janji Perkawinan
Sebelum perkawinan dilangsungkan biasanya di dahului oleh pertunangan
atau perjanjian untuk kawin. Di Malaysia tidak tedapat peruntukan yang
mengatur hal ini. Mungkin juga karena pertunangan atau perjanjian untuk kawin
itu adalah masalah pribadi antara para pihak dan dianggap sebagai sesuatu yang
tidak wajib untuk berlangsungnya perkawinan, maka hal ini tidak mendapat
perhatian pembuat undang-undang di Malaysia untuk mengaturnya. Di kalangan
masyarakat Islam di Malaysia, walau agama Islam itu sendiri tidak
mewajibkannya, sering terjadi perkawinan yang didahului oleh ikatan semacam
pertunangan. Kehendak untuk mengadakan ikatan untuk kawin ini biasanya
datang dari pihak laki-laki. Jika lamaran pihak laki-laki diterima oleh pihak
keluarga perempuan, lalu dilakukan upacara pertunangan dan penetapan waktu
untuk perkawinan. Kadang-kadang pada waktu upacara ini diserahkan juga biaya
untuk kawin dengan maskawinnya sekaligus. Seperti diketahui, janji kawin
serupa ini hanya mungkin dilakukan dengan seorang perempuan yang belum
terikat oleh lamaran seorang laki-laki lain. Sebab, bila terikat oleh lamaran yang
lain, terlarang bagi perempuan itu untuk menerima lamaran kecuali bila laki-laki
yang pertama melamar mengundurkan diri. Terlarang juga bagi seorang laki-laki
untuk melamar seorang perempuan, sementara dia mengetahui bahwa perempuan
itu sudah terikat untuk kawin dengan laki-laki lain.12
Bagi masyarakat Timur, khususnya orang-orang Melayu di Malaysia, suatu
perkawinan atau pertunangan adalah suatu ikatan antara keluarga. Dengan
demikian, tidak sama halnya dengan yang terjadi dikalangan orang-orang Barat,
persoalan perkawinan dan pertunangan itu merupakan persoalan seluruh
keluarga. Karena sifatnya yang demikian, di beberapa bagian negeri Sembilan
dan Malaka, misalnya upacara pertunangan selalu dihadiri oleh ketua suku-suku
pihak yang bertungan itu. Kehadiran ketua suku ini dianggap sebagai suatu
11 Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus
Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), h. 104-105. 12 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya,1991), h. 33.
30 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
lambang adanya ikatan keluarga yang akan lebih dikuatkan jika kemudian terjadi
perkawinan diantara yang bertunangan itu. Bagaimana halnya jika terjadi
pemecahan janji untuk kawin oleh salah satu pihak?. Tentang hal ini tedapat
berbagai kebiasaan dan ketentuan di masing-masing negeri. Di Selangor, Negeri
Sembilan, Pulau Pinang, Malaka, Kedah, dan Perak gugatan ganti rugi akibat
pemecahan janji untuk kawin tidak jelas diatur dalam bentuk apa ganti rugi itu
dapat dilakukan. Hanya diketahui jika pihak perempuan yang mungkir janji, di
Negeri Sembilan, Malaka, Kedah, dan Perak pihak perempuan ini wajib untuk
mengembalikan maskawin dan segala bantuan yang telah diterimanya pada waktu
lamaran terhadapnya dilakukan. Namun, hal ini tidak menghilangkan
kemungkinan bagi pihak laki-laki juga untuk menuntut ganti kerugian yang
ditimbulkan oleh pemecahan janji tersebut. sebaliknya, jika pihak laki-laki yang
mungkir, dia diwajibkan pula membayar sejumlah uang yang sama besarnya
dengan maskawin sekiranya maskawin itu belum diserahkan pada pihak
perempuan ditambah sejumlah uang yang seharusnya diberikannya sebagai biaya
persiapan untuk melangsungkan perkawinan.13
2) Syarat-syarat Perkawinan
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak tertentu
sebekum dilangsungkannya perkawinan. Syarat-sayarat tersebut adalah
a) Batas umur calon mempelai
Di dalam hukum Islam tidak terdapat penetapan tertentu yang mengatur
secara pasti tentang batas umur seorang boleh melangsungkan perkawinan.
Namun Hukum Keluarga Islam di wilayah Federal dalam Undang-undang tahun
1984 Nomor 304 menyebutkan tentang batasan umur perkawinan yang terdapat
dalam Pasal 8, yang berbunyi :
“Tidak boleh melangsungkan pernikahan atau melakukan pencatatan
pernikahan dimana usia perkawinan masing-masing di bawah umur 18 tahun
bagi laki-laki dan di bawah 16 tahun bagi perempuan, kecuali hakim Syari’ah
mengizinkannya secara tercatat dalam kondisi tertentu.”
Pasal 37 menyebutkan :“Kecuali diizinkan menurut hukum syar’i setiap
orang yang menggunakan kekerasan atauancaman apapun (a) memaksa
seseorang untuk menikah yang bertentangan dengan keinginannya, atau (b)
mencegah seorang laki-laki yang telah mencapai umur delapan belas tahun atau
wanita yang sudah mencapai 16 tahun untuk melakukan perjanjian
perkawinan yang sah adalah merupakan suatu kejahatan dan harus dihukum
dengan denda paling banyak seribu ringgit atau penjara tidak melebihi enam
bulan atau dihukum dengan hukuman kedua-duanya yaitu denda dan penjara”.
b) Persetujuan kedua Belah Pihak
Hukum Islam mensyaratkan adanya persetujuan kedua calon disamping
persetujuan dari ayah atau wali calon mempelai perempuan. Dalam peraktiknya,
untuk memperoleh persetujuan dari mempelai perempuan, biasanya kadi dengan
13 Ibid. hal 36-37
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 31
dihadiri oleh saksi-saksi menanyakannya sebelum akad nikah dilangsungkan.
Persetujuan itu dianggap mencukupi jika perempuan menganggukan kepalanya.
c) Larangan Perkawinan karena Hubungan Keluarga
Larangan perkawinan karena hubungan kekeluargaan diatur dalam Civil
Marriage Ordinance, 1952, yang melarang dilangsungkannya perkawinan di
bawah ordinan tersebut bilamana pihak beragama Islam.
d) Mengikuti Tata Cara Perkawinan
Di Malaysia terdapat berbagai ketentuan yang mengatur pengupacaraan
perkawinan ini. Tiap-tiap kerajaan negeri mempunyai enakmen pentadbiran
sendiri. Di dalam enakmen-enakmen itu dapat dilihat dengan cara bagaimana
pengupacaraan perkawinan dapat dilangsungkan serta syarat-syarat pentadbiran
apakah yang perlu dipatuhi oleh tiap-tiap calon mempelai sebelum akad nikah
dilangsungkan. Boleh dikatakan ada titik persamaan diantara enakmen-enakmen
tersebut dalam hal persyaratan yang harus dipatuhi, yakni sebagai berikut:
(i) Mengajukan permohonan dengan mengisi formulir yang disediakan oleh
penjabat Pendaftaran Perkawinan. Permohonan ini biasanya dilakukan
oleh wali dari pihak mempelai perempuan sekurang-kurangnya dua
minggu sebelum perkawinan dilangsungkan
(ii) Pegawai yang berkenaan akan meneliti permohonan tersebut, apakah
semua persyaratan telah dipatuhi atau tidak, apakah sudah cukup usia,
tidak ada halangan untuk kawin, dan sebagainya
(iii) Perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai yang ditugaskan oleh
Sultan atau dihadapan wali dengan izin dari imam (Selangor) atau dari
Pendaftaran (di negeri-negeri lainnya seperti Kelantan, Trengganu, dan
Pahang)
(iv) Suatu perkawinan yang dilangsungkan tanpa persyaratan ada administrasi
seperti diatas, tetapi sah menurut agama Islam, akan tetapi dianggap sah
walaupun kepada pihak-pihak yang melakukannya akan dikenakan
hukuman berdasarkan ketentuan yang berlaku.14
3) Upacara Perkawinan15
Upacara perkawinan di setiap negeri di Malaysia berbeda-beda, misanya di
Selangor, menurut Enekmen Pentadbiran Undang-Undang Islam, 1952
perkawinan hanya dapat diupacarakan oleh orang-orang yang memperoleh restu
dari Sultan. Seorang wali boleh mengupacarakan perkawinan dengan dihadiri dan
memperoleh kebenaran dari imam sebuah masjid, sedangkan pendaftar
perkawinan bagi orang-orang muslim dapat mengupacarakan perkawinan atas
permintaan wali dari calon mempelai setelah dia merasa yakin bahwa setelah
menelitinya dengan seksama, tidak terdapat hal-hal ang menghalalngi
dilangsungkannya perkawinan itu. Dalam hal tidak terdapat persetujuan atau wali
menolak ubtuk memberikan persetujuan tanpa sebab yang patut, pendaftar dapat
mengupacarakan perkawinan setelah dia memperoleh kebenaran dari Sultan.
14 Ibid, h. 38-40. 15 Ibid, h. 59.
32 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Di Pahang, menurut Undang-undang Agama Islam 1956 ditentukan bahwa
pengupacaraan perkawinan hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang
memperoleh surat pelantikan dari Sultan yang memberi wewenang kepada yang
bersangkutan untuk mengupacarakan perkawinan menurut hukum Islam.
Di Trengganu, menurut ketentuan yang dimuat di dalam enakmen
Pentadbiran Undang-undang Islam, 1955 disebutkan bahwa pengupacaraan
perkawinan dapat dilakukan oleh orang yang diberi wewenang dan restu oleh
Sultan. Wali calon mempelai perempuan yang dibenarkan oleh hukum Islam
boleh mengupacarakan perkawinan dengan lebih dahulu diketahui oleh Pendaftar
Perkawinan bagi orang Muslim.
Di Sarawak, menurut Ordinan Perkawinan Muslim, ditetntukan bahwa tiap-
tiap ketua kampung dimana terleta sebuah masjid akan memegang sebuah buku
daftar perkawinan dan perceraian yang diupacarakan di kampung itu. Buku daftar
ini harus dikirimkan kepada residen atau kepala daerah dan salinannya kepada
pendaftar perkawinan.
Dalam suatu ketentuan lain, yaitu Undang-undang Mahkamah Melayu
Sarawak, antara lain ditentukan bahwa jika seorang perempuan yang hendak
kawin tidak memiliki wali, maka hakim akan bertindak selaku wali baginya.
4) Putusnya Perkawinan
Hukum Islam mengatur perceraian antara suami isteri dengan jalan
a) Thalak
b) Cerai taklik
c) Fasakh
d) Kholo’
Putusnya perkawinan dapat juga terjadi bukan karena kehendak kedua
pihak, misalnya salah satu pihak meninggal dunia.
Perceraian karena talak
Mazhab Syafi’I yang berpengaruh di Malaysia membagi talak ini kedalam
(i) talak radji (revocble divorce), yaitu talak yang diucapkan oleh
suami dengan satu atau dua talak yang dapat dirujuk dalam arti
suami dapat kembali dengan syarat harus dilakukan waktu masa
iddah wanita itu masih berlangsung.
(ii) talak bain (irrevocable divorce). Talak ini dibagi pula atas:
- perceraian dengan talak tiga sekaligus
- perceraian dengan kholo’
Terdapat beberapa peruntukan, terutama di Semenanjung Malaya, yang
mengharuskan dilakukannya pendaftaran talak dan rujuk. Di Selangor, misalnya
Selangor Rules relating to Marriage, Divorce and Revocation 1962 menentukan
bahwa dengan pemberitahuan dari jawatan hal-ihwal agama, perceraian
hendaklah dilakukan dihadapan seorang kadi dengan terlebih dulu kedua pihak
mengisi formulir yang disediakan. Pada perceraian dengan talak disyaratkan
adanya persetujuan istri dan dibenarkan oleh kadi. Sebelum memberikan
kebenarannya, kadi akan berusaha mendamaikan kedua pihak.
Cerai taklik
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 33
Tidak semua negeri di Semenanjung Malaysia mengharuskan mempelai
laki-laki menandatangani surat taklik pada waktu perkawinan diupacarakan. Di
Selangor, Melaka dan Negeri Sembilan surat taklik itu hanya dianjurkan tidak
merupakan keharusan.
Dalam hal ini, seorang kadi boleh menerima permohonan cerai talik dari
seorang perempuan bersuami. Seberapa boleh permohonan ini diberitahukan
kepada suami, dan kadi hendaklah meneliti bukti-bukti yang diajukan dengan
dikuatkan oleh dua orang saksi. Jika kadi yakin bahwa segala sesuatunya tidak
bertentangan dengan hukum Islam, ia akan mengeluarkan keputusannya.
Fasakh
Ciri utama perceraian dengan fasakh ialah pemutusannya harus dilakukan
oleh mahkamah atau kadi dan selam belum ada keputusan, perkawinan mereka
masih terus berlangsung sebagaimana mestinya. Bentuk perceraian ini
diperbolehkan di negeri-negeri Malaysia.16
5) Poligami
Berdasarkan UU perkawinan Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang
laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal yang perlu dibicarakan, yakni: (i)
syarat-syarat, (ii) alasan-alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami, dan ( iii )
prosedur. Dalam perundang-undangan Malaysia tidak ada penegasan tentang
prinsip perkawinan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, pertama, poligami tanpa izin
lebih dahulu dari pengadilan tidak boleh didaftarkan; kedua, poligami tanpa izin
lebih dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu
membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan.
Alasan-alasan pertimbangan bagi pengadilan untuk memberi izin atau tidak
ada tiga pihak (1) pihak isteri, (2) pihak suami, dan (3) pihak orang-orang yang
terkait. Adapun yang bersumber dari pihak isteri adalah: karena kemandulan;
keudzuran jasmani; karena kondisi fisik yang tidak layak atau tidak mungkin
melakukan hubungan seksual; sengaja tidak mau memulihkan hak-hak
persetubuhan, atau isteri gila.
Sedang pertimbangan dari pihak suami, yang sekaligus menjadi syarat
boleh berpoligami, adalah:
a) suami mempunyai kemampuan untuk menanggung semua biaya isteri-isteri
dan orang-orang yang akan menjadi tanaggungannya kelak dengan
perkawinannya tersebut;
b) suami berusaha berbuat adil di antara para isterinya.17
Sedangkan prosedur untuk berpoligami ada tiga langkah:
a) Suami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari hakim,
bersama persetujuan atau izin dari pihak isteri/isteri-isterinya.
b) Pemanggilan pemohon dan isteri atau isteri-isteri, sekaligus pemeriksaan
oleh pengadilan terhadap kebenaran pemohon.
16 Ibid, h. 152 17 http://berbagilmublog.blogspot.co.id/2014/01/hukum-keluarga-di-negara-muslim.html
diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 pukul 13.00
34 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
c) Putusan pengadilan berupa penerimaan atau penolakkan terhadap
permohonan pemohon. Suami yang melakukan poligami yang tidak sesuai
dengan aturan perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat
dikenai hukuman berupa hukuman denda maksimal seribu ringgit atau
kurungan maksimal enam bulan atau keduanya.18
C. Upaya Penyelesaian Konflik Rumah Tangga
Relasi suami-istri dalam sebuah rumah tangga, siapa pun pelakunya, tidak
akan berjalan mulus selamanya. Terkadang masalah datang dan kemudian
mengganggu keharmonisan hubungan suami dan istri. Salah satu masalah yang
sering datang adalah adanya perbedaan pendapat dalam memandang suatu
permasalahan. Perbedaan pendapat ini, jika tidak dihadapi dengan dewasa, akan
menimbulkan konflik di rumah tangga. Hal ini bisa menjadi penyebab suami istri
tidak harmonis.
Konflik rumah tangga bisa terjadi karena adanya ketegangan atau kesulitan
di antara dua orang atau lebih akibat adanya perselisihan atau perbedaan
pandangan di antara anggota keluarga, misalnya antara suami dan istri. Konflik
rumah tangga yang berkelanjutan, sebagai penyebab keluarga tidak
harmonis, akan menimbulkan banyak permasalahan rumah tangga, seperti
pertengkaran antara suami istri, atau bahkan perceraian. Untuk itu, dibutuhkan
cara mengatasi konflik tersebut sebagai antisipasi munculnya permasalahan lain
yang lebih rumit. Berikut beberapa cara dalam mengatasi konflik rumah tangga
antar pasangan suami istri:
1. Menyamakan visi
Konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan pendapat atau tujuan
dari masing-masing individu. Perbedaan ini jika tidak ditangani dengan baik bisa
menimbulkan perselisihan antara suami dan istri. Oleh karena itu, sebaiknya
pasangan suami istri mencoba untuk menyamakan visi terlebih dahulu.
Pada dasarnya, setiap hubungan pernikahan pasti akan mengalami masalah,
salah satunya adalah perbedaan pendapat. Namun, pasangan suami istri harus bisa
menghadapi permasalahan dalam rumah tangga seperti itu. Dengan berusaha
menyamakan visi, pasangan suami istri bisa mengetahui apa tujuan di balik sikap
pasangan. Dengan begitu, mereka bisa saling memahami dan mendukung sikap
satu sama lain, selama tujuan yang dimaksud memang untuk kebaikan bersama.
2. Bernegosiasi
Seperti yang dilakukan dalam organisasi atau hubungan kerja sama,
pasangan suami istri juga bisa melakukan negosiasi untuk meraih kesepakatan.
Sejatinya hubungan suami istri itu juga merupakan hubungan kerja sama dalam
rumah tangga. Jika diibaratkan, suami adalah pemimpin dalam rumah tangga,
sedangkan istri adalah manajernya. Oleh karena itu, pasangan suami istri harus
18 http://jilbabkujiwaku.blogspot.co.id/2011/02/perbandingan-hukum-perkawinan-di.html
(diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 pukul 13.00)
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 35
bisa bekerja sama dan menghindari konflik untuk bisa memimpin rumah tangga
ke arah yang diinginkan bersama.
Negosiasi akan berguna untuk mencari jalan tengah dari perselisihan yang
dialami. Dengan negosiasi, diharapkan akan ditemukan win-win solution yang
bisa cukup memuaskan kedua belah pihak mengatasi masalahnya. Hal ini bisa
jadi merupakan cara mengatasi masalah keluarga yang bisa dicoba.
3. Terbuka dan Melepaskan Egoisme
Keterbukaan sepasang suami istri dengan bersikap jujur sama lain, dapat
membantu mengurai permasalahan yang sedang dihadapi. Mengungkapkan apa
yang ada di pikiran dan pendapat-pendapat terhadap konflik yang muncul
merupakan tahapan untuk saling memahami perspektif masing-masing.
Memendam pikiran dan membiarkan pasangan mengatasi konflik sendiri hanya
akan menjadi bom waktu yang tidak baik bagi kesehatan hubungan rumah tangga.
Salah satu penyebab utama konflik keluarga adalah sifat egois dan ingin
menang sendiri yang dipertahankan oleh para pasangan. Sifat seperti ini jika
dibiarkan justru akan memperburuk konflik yang sedang timbul. Jika salah satu
dari pasangan suami istri memiliki sifat egois, maka tidak akan bisa tercapai
kesepakatan untuk menyelesaikan konflik dan konflik akan semakin menjadi
berlarut-larut.
Oleh karena itu, menghilangkan ego di dalam diri masing-masing
merupakan solusi paling efektif. Saat seseorang memutuskan untuk menikah
sejak awal, seharusnya sudah mulai menyimpan ego dan mengutamakan upaya
memahami pasangan demi memelihara keharmonisan rumah tangga.
Namun berbicara upaya penyelesaian konflik antar suami-istri dalam
sebuah rumah tangga, bukanlah sesuatu yang sederhana. Ini terjadi karena banyak
hal yang menjadi penyebab terjadinya konflik tersebut, serta banyak pihak yang
terlibat di dalamnya. Terutama ketika konflik sudah sangat meruncing, sehingga
pihak suami-istri pun sudah tidak mampu menyelesaikannya, maka peran
keluarga dari kedua belah pihak besar sekali pengaruhnya terhadap berhasil dan
tidaknya upaya menyelesaikan konflik antar suami-istri tersebut.
Alquran sebenarnya sudah memberi arahan pada saat situasi konflik suami-
istri sudah sampai pada titik puncak. Biasanya dalam situasi seperti ini antara
suami dan istri sudah berpisah tempat tinggal, oleh karena itu peran keluarga
masing-masing pihak. Sebagaimana dituturkan dalam QS. Al-Nisa, ayat 35:
لنهال ام الهم كال ا ن لنهن ال ال ام الهم كال ا ن ثق ال ننهن ال ال م ال قال ال ال م فم قمم شن إنام خن اللن ا خال ن ا ال كال اال ال
هق ال إناط للاط نال ق ال م إنام ق ن دال إنصم ال ا ق ال ن للاط
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
36 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Setelah sebelumnya berbicara tentang ketentuan dalam menyikapi istri yang
membangkan, kemudian dalam ayat selanjutnya,19
Allah Swt., memberikan
tuntunan ketika konflik yang terjadi antara suami isteri hampir sampai pada
kategori syiqaq yang dimaknai sebagai konflik tajam yang berujung kedua belah
pihak saling berjauhan sehingga tidak lagi ada komunikasi untuk menyelesaikan
permasalahan di dalamnya. Dalam kondisi seperti itu, diperlukan komunikator
dari kedua belah pihak, yang dalam bahasa Alquran diistilahkan dengan terma
“hakam”. Menurut Ben Atsur, hakam disyaratkan harus merupakan bagian dari
keluarga kedua belah pihak,20
supaya ia memahami betul perihal persoalan utama
dari konflik yang terjadi. Sehingga penyelesaian konflik diharapkan dapat
berjalan dengan baik dalam kerangka memprioritaskan bersatunya kembali
pasangan tersebut.
Upaya menjembatani komunikasi antar suami-istri yang sedang
menghadapi konflik, dikenal pula dengan istilah mediasi. Hanya saja istilah
mediasi sudah mengalami penyempitan makna menjadi sebatas upaya
mendamaikan pada saat para pihak sudah mengambil keputusan untuk
memproses status hubungannya di Pengadilan Agama. Dalam kondisi seperti itu,
mediasi merupakan satu-satunya upaya yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan
konflik keluarga. Mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan, merupakan
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan dengan perantara mediator, di
mana mediator tersebut dapat dipilih dari jajaran hakim bukan pemeriksa pokok
perkara, akademis, advokat atau pihak lain yang telah tersertifikasi.21
Namun
karena umumnya para pihak yang sedang berperkara tidak memiliki rencana
untuk berdamai saat mengajukan gugatan perceraian, maka mereka cenderung
menyerahkan pemilihan mediator kepada Pengadilan Agama.
Sedangkan menurut Syahizal Abbas, mediasi merupakan suatu upaya
mempercepat, mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta
memberikan akses yang lebih besar kepada pencari keadilan.22
Selain itu mediasi
merupakan instrument efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di
Pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga Pengadilan dalam
menyelesaikan sengketa, disamping proses Pengadilan yang bersifat memutus.
Adapun mediator sebagai penengah adalah pihak yang bersifat netral dan
tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai
kemungkinan penyelesaian sengketa.23
Prosedur ini pun diterapkan Mahkamah
19 Menurut Ben Atsur, kedua ayat tersebut sangat berkaitan erat, dan ayat ke 35 itu masih
merupakan kelanjutan dari ayat ke 24 yang sedang membicarakan hukum perihal beberapa
persoalan terkait hubungan suami istri. Muhammad Thâhir bin Muhammad bin `Atsur, Al-Tahrîr
wa al-Tanwîr, (Tunisia: al-Dar al-Tûnisiyah li al-Nasyr, 1984), j. V, h. 44. 20 Ibid, j. V, h. 46. 21 Sinaga V. Harlen, Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman hukum Materil, (Jakarta:
Gelora Aksara Pratama, 2015), h. 119. 22 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencan Prenada Media Group, 2011), h. 310. 23 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: RajaGrafindo, 2001), h.
17.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 37
Agung di dalam 4 badan peradilan yang berada dibawahnya yang salah satunya
adalah di Peradilan Agama.
Perkara yang masuk di Pengadilan Agama selain terdapat perkara yang
dicabut karena mediasi berhasil, juga terdapat perkara yang dicabut karena
perdamaian setelah menjalani beberapa kali sidang pemeriksaan lanjutan setelah
sidang mediasi dinyatakan tidak berhasil. Dalam usaha mendamaikan para pihak,
masing-masing hakim telah melakukan cara-cara pendekatan tersendiri dengan
melihat keadaan perkara dan kondisi maupun budaya para pihak, misalnya dalam
mendamaikan para pihak yang mau bercerai karena keadaan ekonomi dengan
karena salah satu pihak memiliki WIL/PIL atau dalam mendamaikan para pihak
yang mau bercerai dan sudah punya anak dengan orang yang belum punya anak.
Sseorang hakim termasuk hakim mediator dalam mendamaikanpara pihak harus
mempunyai dan mengetahui beberapa pendekatan dalam memediasikan para
pihak, seperti pendekatan psikologis, pendekatan sosial. Selain pendekatan
tersebut, juga yang terpenting adalah pendekatan agama, sebagai petunjuk bagi
muslim dalam kehidupan, termasuk kehidupan berumah tangga. Syariah menjadi
jalan lurus yang harus ditempuh seorang muslim, sehingga tidak ada jalan lain
bagi muslim kecuali menggunakan syariah Islam sebagai hukum yang mengatur
hidupnya.
Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman untuk
pencari keadilan yang beragama Islam, telah mempraktikkan mediasi dalam
proses penyelesaian perkara. Namun kenyataannya angka perceraian di
Pengadilan Agama setelah keluarnya PERMA Nomor 1 Tahun 2016 justru
menunjukkan angka perceraian yang lebih tinggi dibanding angka perceraian
sebelum PERMA Nomor 1 Tahun 2008 direvisi, dengan kata lain mediasi yang
dilakukan masih lebih banyak menunjukkan angka ketidakberhasilan, meskipun
terdapat beberapa kasus yang berhasil di mediasi. Hal tersebut karena mediasi
mengandung beberapa kelemahan, antara lain keberhasilan mediasi sangat
digantungkan dari iktikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya
sampai selesai. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa Hakim Pengadilan
Agama, di antaranya: Hirmawan Susilo,24
Usep Gunawan,25
berdasarkan
pengalaman mereka selama bertugas menangani perkara perceraian yang
dominan masuk ke Pengadilan Agama, mediasi hanya dapat diselenggarakan
secara efektif jika para pihak memiliki kemauan atau keinginan untuk
menyelesaikan sengketa secara bersama-sama, terutama ketika keluarga masing-
masing mendukung penuh terhadap upaya perdamaian tersebut. Oleh karena itu,
karena faktor para pihak adalah faktor yang paling menentukan keberhasilan
mediasi, maka sebaiknya dalam sidang mediasi dihadiri oleh para pihak secara
langsung tanpa diwakili oleh kuasa hukum.
Usep Gunawan, secara khusus menyoroti tentang fenomena maraknya
putusan verstek yang mendorong tingginya angka perceraian. Menurutnya
24 Hakim PA Denpasar, wawancara dilakukan tanggal 3 Oktober 2017. 25 Hakim PA Majalengka, wawancara dilakukan tanggal 7 September 2017.
38 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
dengan hadirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2016, kondisi tersebut dapat
diminimalisir. Terutama Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan "Para Pihak wajib
menghadiri secara langsung pertemuan Mediasi dengan atau tanpa didampingi
oleh kuasa hukum." Ketentuan ini tegas mewajibkan para pihak atau prinsipal,
baik penggugat maupun tergugat untuk menghadiri langsung pertemuan mediasi,
tidak mempermasalahkan apakah kuasa hukum ikut mendampingi atau tidak ikut
menadampingi prinsipal dalam pertemuan mediasi.
Berbeda dengan Perma Mediasi sebelumnya yaitu Perma No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan yang tidak kita dapati kewajiban bagi
Para Pihak atau Prinsipal untuk menghadiri secara langsung pertemuan mediasi.
Pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 "Hakim, Mediator, dan Para pihak
wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur
dalam peraturan ini." Jadi kewajiban untuk mengikuti prosedur mediasi yang
diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 bukan untuk menghadiri secara langsung
pertemuan mediasi.
Pasal 7 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2008 "Pada hari sidang yang telah
ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk
menempuh mediasi." Pasal 7 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 "Hakim, melalui
kuasa hukum atau langsung kepada para pihak mendorong para pihak, untuk
berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi." Di pasal ini juga tidak
terdapat redaksional yang tegas bagi para pihak untuk hadir secara langsung
dalam pertemuan mediasi, hanya berupa dorongan dari hakim, itu pun
mendorongnya bisa hanya melalui perantara kuasa hukum untuk berperan
langsung atau aktif dalam proses mediasi, jadi titik tekannya pada peran dan
keaktifan bukan pada kehadiran pada pertemuan mediasi.
Begitu pula bunyi Pasal 7 ayat (3) yang kurang lebih sama, mewajibkan
kuasa hukum untuk mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif
dalam proses mediasi. Pada Perma Mediasi diatur bahwa ketidakhadiran
merupakan salah satu sebab yang dapat mengakibatkan pihak yang tidak hadir
dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses mediasi oleh mediator.
Dalam hal penggugat dinyatakan tidak beritikad baik dalam menempuh proses
mediasi maka oleh hakim pemeriksa perkara gugatan penggugat dinyatakan tidak
dapat diterima dan biaya mediasi dibebankan kepada penggugat (vide pasal 22
Perma 1/2016). Dalam hal tergugat yang dinyatakan tidak beritikad baik dalam
menempuh proses mediasi maka dalam hal gugatan dimenangkan oleh penggugat
maka biaya mediasi dibebankan kepada tergugat. Apabila gugatan dimenangkan
oleh Tergugat maka biaya mediasi juga dibebankan kepada tergugat sedangkan
biaya perkara dibebankan kepada penggugat. (vide Pasal 23 Perma 1/2016).
Dalam hal Para Pihak secara bersama-sama (penggugat dan tergugat) dinyatakan
tidak beritikad baik oleh Mediator, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh
Hakim Pemeriksa Perkara tanpa penghukuman Biaya Mediasi.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 39
Menurut Hakim senior. J. Thanthowie Ghanie,26
upaya mediasi yang
difasilitasi oleh Pengadilan, bagaimanapun juga keberhasilannya banyak
dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan (trust) dari para pihak yang berperkara
(klien) kepada Mediator. Sedangkan realitanya antara klien dengan mediator baru
bertemu saat itu, sehingga kepercayaan satu sama lain benar-benar belum
terbangun. Di sisi lain, mediator juga belum memiliki pengetahuan mendalam
tentang peta konflik antara suami-istri dengan keterbatasan waktu mediasi. Tentu
saja hal demikian jauh panggang dari api ketika merujuk alasan kenapa mediator
(hakam) disyaratkan harus dari pihak keluarga, sebagaimana dijelaskan oleh Ben
Atsur.
26 Hakim PTA Jawa Barat, wawancara dilakukan pada tanggal 26 September 2017.
40 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
BAB III
SISTEM PERKAWINAN DAN
PERCERAIAN DALAM MASYARAKAT
A. Sistem Pelamaran dan Perkawinan
Perkawinan merupakan perjanjian antara suami dan isteri untuk membentuk
keluarga. Perjanjian disini mencakup segala sesuatu yang meliputi perwujudan
hak-hak suami dan isteri untuk melahirkan dan membesarkan anak. Lebih dari
itu, perkawinan sesungguhnya adalah perubahan status baru bagi seseorang dan
pengakuan status tersebut bagi orang lain. Perayaan dan upacara-upacara ritual
tidak lain merupakan pengumuman status baru tersebut. Oleh karena seseorang
menikah memperoleh status baru, maka perkawinan yang sah melegalkan hak
dan kewajiban suami isteri yang diakui secara hukum.
Dalam proses perkawian, keterlibatan anggota keluarga bukan saja dalam
dua pihak keluarga, melainkan banyak ke-lompok orang yang terlibat di
dalamnya. Pertentangan dalam proses perkawinan itu mulai terjadi apabila orang
tua ikut campur dalam menentukan pasangan bagi anaknya. Bagaimana mereka
tahu bahwa apakah anaknya akan saling mencintai, mengapa keinginan orang tua
tidak dikonsultasikan terhadap anaknya, demikian dalam pikiran anak yang sudah
dewasa yang dipilihkan calon suami atau isteri oleh orang tuanya.
Sebelum menentukan seseorang itu untuk diambil menjadi calon menantu
terlebih dahulu diadakan penyelidikan dari kedua belah pihak. Penyelidikan itu
dilakukan serapih mungkin dan sering dilakukan secara tertutup agar mendapat
menantu yang baik. Menantu yang baik di sini tentunya mempunyai makna yang
relatif. Untuk mengatahui makna baik, maka diperlukan pengetahuan mengenai
sistem nilai pada daerah-daerah yang bersangkutan. Pada daerah-daerah pede-
saan yang kuat kehidupan agamanya, faktor agama memainkan peranan penting
dalam menentukan standar baik seseorang.
Di beberapa daerah, terdapat suatu moralias per-kawinan bagi mereka yang
hendak menikah, misalnya di daerah Pasun-dan terdengar istilah, lamun nyiar
jodo kudu ka kupuna, artinya kalau mencari jodoh harus mencari orang yang
sesuai dalam segala aspeknya 1.
Bagi sebagian masyarakat, cinta tidak dianggap penting dalam persoalam
mencari jodoh. Cinta itu dianggapnya sebagai ancaman terhadap pengawasan
para orang tua yang memiliki status sosial tertentu dengan keinginan
menjodohkan orang tuanya dalam hal siapa kawin dengan apa, dan bukan siapa
1 Harsojo, “Kebudayaan Sunda”, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
Djambatan, 1990, hlm. 319.
42 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
kawin dengan siapa. Oleh karena itu, banyak ditemulam aturan sosial yang
menghalangi cinta sebagai dasar utama pemilihan jodoh.
Proses pemilihan jodoh ini berlangsung seperti sistem pasar dalam
ekonomi. Prosesnya berbeda-beda, tergantung pada siapa yang mengatur
transaksinya dan bagaimana peraturan pertukarannya. Dikalangan orang Jepang
dan China pada masa lampau, transaksi itu diatur oleh para orang tua secara resmi
dan yang membuat keputusan akhir adalah wanita itu sendiri. Bagi kebanyakan
orang China, mereka menyambut perkawinan dengan senang hati bagi orang
yang belum dikenalnya. Perkawinan seperti ini bagi kebanyakan gadis-gadis di
China merupakan persatuan dengan laki-laki yang dipilih orang tuanya Di sini
terlihat bahwa kenikmatan suatu perkawinan apabila orang tua ikut memberi izin
bagi anaknya, walaupun anaknya sendiri kurang begitu menyukainya.
Tidak demikian bagi kebanyakan orang Amerika. Cara perkawinan seperti
orang China yang mengabaikan cinta dianggapnya sebagai suatu perbuatan
“kasihan” karena kurang begitu bebas. Tetapi bagi orang China sendiri
menganggap perkawinan orang muda Amerika sebagai rasa “tidak hormat”
karena orang tua tidak memberinya izin 2.
Menurut masyarakat Arab, dalam transaksi perkawinan itu keluarga pihak
laki-laki yang memberi mas kawin bagi sang wanita, sedangkan bagi Kasta
Brahmana di India, keluarga wanitalah yang membayar mas kawin bagi calon
suami. Besar jumlahnya mas kawin bukan hanya ditentukan oleh karakter
pasangan suami isteri, melainkan juga pada status keluarga calon suami/isteri
atau kecantikan seorang gadis yang nilainya sama dengan sebuah kekayaan.
Proses pemberian mas kawin ini dapat ditempatkan pada hukum pemberian
imbalan bagi salah satu pihak.
Tentu saja dalam proses tawar menawar dalam perka-winan tersebut
peranan orang tua dalam memuluskan perbedaan penentuan jumlah mas kawin
sangat penting. Malah dalam beberapa kasus, banyak yang tidak memikirkan
faktor yang jelas mempengaruhi pilihan terakhirnya.
Dilain pihak, orang tua berhak mengatur perkawinan dengan atau tanpa
mempertimbangkan keinginan pasangannya. Pola semacam itu juga berlaku pada
situasi sebaliknya dimana seorang pria di beberapa daerah dibolehkan mengambil
isterinya dengan cara dibawa lari. Dalam masyarakat Tasmania, praktek merebut
seorang calon isteri dari orang tuanya dianggap lazim. Namun bagi sebagian
masyarakat lain, cara seperti itu tidaklah lazim. Inilah yang kemudian dalam
konsep sosiologis dianggap sebagai relativisme kebudayaan 3. Di negara lain,
2 William J. Goode, Sosiologi Keluarga. Terj. Laila Hanoum, Bumi Aksara, Jakarta, 1995,
hal 65. 3 Relativisme kebudayaan berarti fungsi dan arti suatu unsur berhubung-an dengan
kebudayaannya. Unsur itu memiliki nilai baik atau buruk dikaitkan dengan kebudayaan dimana
ia berfungsi. Pakaian bulu adalah baik di Antartika, tetapi tidak di daerah tropis. Hamil sebelum
menikah adalah buruk menurut masyarakat kita karena tata kelakuan tidak menye-tujuinya,
sedangkan pada masyarakat suku Bontoc di Filifina kehamilan sebelum menikah adalah baik,
karena menganggap seorang wanita lebih mungkin untuk menikah apabila kesuburuannya telah
terbukti dan kebiasaan setempat memiliki serangkaian adat kebiasan untuk memberi-kan tempat
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 43
seperti di suku Shirishana Brazil pertunangan anak yang berumur tiga tahun
dengan seorang anak belasan tahun yang dilakuan atas prakarsa orang tua sebagai
suatu kebiasaan yang wajar.
1. Monogami, Poligami dan Poliandri
Bagi sebagian orang hanya ada satu bentuk perkawinan yang pantas dan
beradab, yaitu monogami yang menghendaki perkawinan satu pria dengan satu
wanita. Namun pada sebagi-an masyarakat lainnya mengabsahkan praktek
poligami, yang memperbolehkan seorang pria kawin dengan lebih dari satu
wanita.
Secara teoritis, ada tiga bentuk perkawinan poligami. Bentuk yang pertama
ialah group marriage (perkawinan kelompok) yakni perkawinan beberapa pria
dengan beberapa wanita. Walaupun bentuk ini merupakan suatu kemungkinan
ada, namun pada sebagian masyarakat tidak ditemukan suatu contoh otentik
tentang masyarakat yang benar-benar melembagakan perkawinan seperti ini.
Sebagian masyarakat Timur dan masyarakat kuno, praktek poligini bukan
saja di larang, bahkan dianjurkan untuk dijadikan pola-pola dalam perkawinan.
Pada suku bangsa In-dian di Amerika, wanita malah menyarankan suami mereka
untuk mengawini keluarga dekatnya.
Bagi laki-laki di Afrika, perkawian bukan hanya ber-fungsi pemenuhan
kebutuhan seksual, tetapi juga kebutuhan melahirkan suatu generasi. Bila anak
tidak hadir dalam per-kawinan maka lelaki itu akan menambah jumlah isterinya
tanpa menceraikan isterinya yang dahulu. Memiliki banyak isteri dan anak
dianggap sebagai suatu tanda kesejahteraan dan kemuliaan. Mungkin belum
diketahui bahwa ada seorang laki-laki yang bahkan memiliki anak sebanyak 200
orang.
Pertimbangan-pertimbangan ekonomis merupakan sa-lah satu alasan para
suami melakukan poligami. Dalam masyarakat agraris, dimana matapencaharian
masih sangat tergantung pada alam, memiliki banyak isteri merupakan satu-
satunya pilihan. Suami sebagai bekerja di ladang, usaha membuka lahan baru
dan berburu di hutan, membutuhkan banyak tenaga. Tenaga kerja seperti itu,
tidak bisa di ambil oleh orang lain, karena hubungan ketenaga kerjaan hanya
bersifat sementara. Oleh karena itu, suami-suami pada masa itu memilih kawin
dengan beberapa wanita untuk dijadikan tenaga kerja yang dapat membantu
suami. Dan hasilnya di bagikan untuk isteri dan anak-anaknya. Maka tidak heran,
apabila beberapa waktu lalu, seorang suami memiliki banyak isteri dan anak
dengan tanah dan kekayaannya yang luas.
yang aman bagi anak-anaknya. Konsep relativisme kebudayaan tidak berarti bahwa semua adat
mempunyai nilai yang sama. Dibeberapa tempat pola prilaku mungkin merugikan, tetapi ditempat
lain mempunyai tujuan dalam kebudayaannya, dan masyarakat akan mende-rita tanpa pola
semaam itu, kecuali dicarikan penggantinya. Oleh karena itulah dalam konsep relativisme
kebudayaan sering dituduh mengabaikan moralitas (Lihat Horton and Hurt, Sosiologi, hal. 76-
78).
44 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Pada masyarakat yang berpoligami isteri tambahan tidak selalu diartikan
sebagai beban tanggungan keuangan. Pada banyak suku di Afrika misalnya,
wanita bekerja pada sektor-sektor pertanian dan memiliki penghasilan di atas
rata-rata untuk menghidupi isterinya.
Seorang laki-laki yang sanak saudaranya tidak dapat menyediakan mas
kawin yang cukup tidak dapat memperoleh isteri kedua meskipun wanita itu tidak
akan menjadi beban ekonomis baginya.
Tetapi sebaliknya, seorang laki-laki dianggap bertindak gegabah jika ia
mengawini seorang wanita lagi padahal kedudukannya status sosial ekonominya
sangat rendah. Sedangkan seseorang yang memiliki kemampuan ekonomi dan
politik bo-leh memperbanyak isteri sebagai pengesahan akan kedudu-kannya atau
untuk memperkuat gabungan dengan keluarga lain atau tokoh politik lainnya.
Bagi orang-orang eskimo yang mata pencahariannya berburu, perkawinan dengan
isteri kedua me-nunjukkan kemahiran dalam berburu. Hal ini sering ditandai,
isteri yang dinikahinya difungsikan untuk mengurus kulit-kulit binatang hasil
buruannya.
Di China, praktek poligami memperkenankan laki-laki untuk mengambil
gundik ke dalam rumah tangganya. Wanita-wanita itu kedudukannya sebagai
isteri kedua. Pengambilan seorang gundik hampir menyerupai sebuah pembelian,
dan hanya orang kaya saja yang mampu melakukannya. Demikian juga di Jepang,
orang kaya diperkenankan mengambil wanita sebagai gundik. Tetapi di India,
pengaturan poligami sangat terbatas, sebab hukum agama Hindu tidak
mendukung perbuatan itu dan sedikit sekali orang yang mempunyai lebih dari
satu isteri. Namun dalam agama Islam, laki-laki diper-kenankan untuk
mengambil isteri lebih dari satu. Maksimal isteri yang dinikahinya berjumlah
empat orang. Proses perkawinan poligami dalam Islam dikakukan dengan syarat-
syarat tertentu, antara lain kemampuan berlaku adil terhadap isteri-isterinya 4.
Dewasa ini, polemik di sekitar perkawinan poligami bagi wanita belum
akan berakhir. Namun secara sosiologis, praktik poligami yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat me-rupakan keabsahan maksimal untuk melakukan suatu
perluasan hubungan seksual yang pernah dipraktekan oleh sejarah manusia, baik
poligami itu disetujui oleh wanita atau tidak.
Bentuk yang sangat jarang di temukan adalah poliandri, dimana satu isteri
memiliki beberapa suami. Poliandri berasal dari bahasa Yunani polus yang
artinya banyak, aner yang berarti negatif dan andros yang berarti laki-laki 5.
Poliandri digunakan untuk para isteri yang mengambil beberapa laki-laki
sebagai suaminya. Dengan kata lain, poliandri adalah kebalikan dari poligini yang
kedua-duannya termasuk bentuk perkawinan poligami 6.
4 Op.Cit, hlm. 94-95
5 Anonimous, Ensiklopedi Indonesia jilid 5 Ictiar Baru Van Hooeve & Elsevier Publishing
Project, Jakarta 1984 hal. 2736 6 “Poligamy is a type of marriage wihich a person may legally have several spouse
concurrently, as opposed to monogamy, marriage to only one spouse at a time. It may take form
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 45
Bentuk perkawinan semacam poliandri sangat jarang ditemukan dalam
masyarakat. Namun tipe perkawinan yang lebih umum dilakukan adalah
perkawinan poligini yang memiliki legalitas yang sangat mengakar dalam
masyarakat dan secara spiritual ditegaskan oleh agama dengan beberapa pem-
batasan.
Poliandri hanya bisa ditelusuri pada masyarakat Toda dan Nayar di India,
Ceylon, Tibet, Marquesan dan beberapa suku Eskimo. Pada berbagai masyarakat
dunia, poliandri sangat dikecam. Dalam ajaran Islam, pengecaman itu
dimaksudkan untuk menetralisir seseorang dalam keturunannya.
Toda merupakan sebuah suku pedalaman Gunung Nilgiri, India Selatan.
Jumlah anggota sukunya pada tahun 1960-an sekitar 600 orang. Setelah adanya
perbaikan fasilitas kesehatan, populasi mereka tercatat sangat meningkat.
Masyarakat Toda terbagi ke dalam dua kelompok ma-syarakat endogami
sebagai kelompok terbesar yang menjadi penguasa atas kelompok lainnya.
Beberapa anggota dari ma-sing-masing kelompok tersebut menyatukan diri pada
beberapa patrilineal clans yang eksogami, namun di antara mereka ada juga yang
termasuk keturunan matrilineal yang merupakan basis dari eksogami.
Dengan demikian, setiap orang Toda mesti kawin dengan sesama
kelompoknya, tetapi mereka juga tidak boleh mengambil seseorang atau beberapa
orang isteri dari anggota sukunya yang patrilineal atau kelompok yang
matrilineal.
Poliandri dilakukan dengan sejumlah laki-laki yang biasanya terdiri dari
beberapa saudara sekandung (fraternal) untuk memiliki isteri secara bersama-
sama. Apabila seseorang menikah dengan seorang wanita, maka saudara-saudara
laki-laki itu boleh memiliki wanita yang dinikahinya. Mereka hidup bersama-
sama tanpa ada rasa cemburu atau percekcokan 7
Faktor yang menyebabkan terjadinya poliandri pada masyarakat Toda ialah
karena tidak seimbangnya antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan.
Di Toda, jumlah penduduk laki-laki jauh lebih banyak daripada jumlah pen-
duduk wanita. Selain itu, mereka hidup di tengah-tengah sua-sana yang keras, di
mana makanan sangat langka dan pem-bunuhan bayi perempuan dilakukan untuk
membatasi jum-lahnya. Oleh karena itulah, keseimbangan jumlah laki-laki dan
perempuan sengaja diciptakan untuk mempertahankan po-liandri 8.
Di daerah Nayar India Selatan, seorang anak yang mendapat pengakuan
ayahnya harus diberi nama dengan nama marga ibunya. Seorang suami yang
of poliandry or poligyny”. Lexci-con Universal Encyclopedia 15/P by Lexcicon Publications,
Inc., USA., Copyright 1990, p. 419 7 William Benton, Encyclopedia Britannica, Vol 22 by Enclopedia Britanica, Inc.,
U.S.A., 1970, p. 50. 8 Lihat, Lexicon Encyclopedia, Ibid., “Poliandri is associated with societies in which men
outnumber women, as among the Toda of India who practice female Infanticide.
46 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
melakukan poliandri tidak memiliki kedudukan yang eklusif dalam berhubungan
seks dengan isterinya 9.
Pada masyarakat Nayar, jika seorang wanita dikawinkan semasa kanak-
kanak, maka kewenangan untuk menjadi suaminya dicadangkan pula untuk
semua saudara suaminya yang belum lahir.
Kalau seorang isteri itu kemudian hamil, saudara laki-laki tertua dalam
upacara adat menyerahkan sebuah busur panah kepada perempuan itu untuk
menentukan status sosial ayah dari anak yang dikandungnya 10
.
Dengan demikian, keturunan wanita tersebut menjadi warga suku laki-laki.
Poliandri yang dilakukan adakalanya para suami itu terdiri dari berlainan suku.
Dalam situasi demikian, laki-laki tertua itu akan terus menjadi ayahnya dari
semua anak yang dilahirkan dari isteri bersamanya, sampai ada lelaki lain yang
diresmikan pada upacara adat dengan menyerahkan anak panah untuk diakui
sebagai ayah sosialnya. Demikian pula apabila suami tertua meningal, maka
anaknya akan menganggap itu sebagai ayahnya, jika tidak ada laki-laki lain yang
melakukan upacara itu.
Namun apabila suami itu terdiri dari suami-suami yang bersaudara, maka
mereka semua diangap sebagai ayahnya si anak, walaupun yang disebutnya
hanya seorang. Jika ditanyakan kepada mereka siapa ayahnya, maka cukuplah
laki-laki yang paling besar pengaruhnya yang dapat dijadikan ayah.
Inilah potret poliandri di Toda India Selatan yang men-jadi pola kehidupan
keluarga di sana.
2. Eksogami dan Endogami
Pada sebagian masyarakat, pemilihan jodoh hanya boleh dilakukan dengan
orang di luar kelompoknya. Pemilihan seperti ini dinamakan eksogami. Sifat
pemilihan jodoh dari luar kelompoknya itu mungkin saja sebuah larangan.
Namun, la-rangan perkawinan yang tidak dikehendaki masyarakat, juga meliputi
hubungan sedarah yang sangat dekat. Orang tidak boleh mengawini saudara
sekandung atau juga saudara sedarah dekat lainnya. Selain itu, larangan
perkawinan eksogami dilakukan terhadap larangan perkawinan dalam klan,
kampung bahkan dalam sukunya sendiri.
Perkawinan juga hanya boleh dilakukan pada kelompoknya sendiri. Model
perkawinan seperti ini dinamakan en-dogami. Praktek yang biasa terjadi dalam
endogami adalah perkawinan dalam satu suku, kampung dan mungkin juga klas
dalam masyarakat primitif. Di negara bagian Amerika Serikat, praktek
9 Pada daerah Ceylon (Sinhales) suami pertama lebih diprioritaskan. Suami-suami
berikutnya harus mendapat ijin terlebih dahulu dari suami pertama untuk berhubungan seksual
dengan isteri bersamanya. Anak keturunan mereka mendapat bagian yang sama dari kekayaan ibu
dan bapaknya. Lihat, Lexicon Universal Encyclopedia, Ibid. 10 Benton William, Loc.Cit. Di sana dijelaskan, “When a Toda Women becomes Pregnant
one of her husband ceremonially present her with a toy bow and arrow, thus proclaiming himself
the social father of her children”.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 47
perkawinan endogami rasial dilegalkan oleh peraturan setempat, sehingga
Mahkamah Agung Amerika pada tahun 1967 menghapuskan perkawinan rasial
semacam itu.
Suku Aranda di Australia bagian tengah mempunyai pola perkawinan yang
rumit, dimana pria hanya dapat mengawini seorang wanita dari suatu kelompok
tertentu. Dalam sejumlah masyarakat, peraturan semacam itu menyebabkan
pemilihan jodoh menjadi kurang penting, karena seseorang hanya diizinkan
menikah dengan orang luar kelompoknya saja. Jika jodoh yang diluar
kelompoknya itu tidak cocok, maka suami isteri yang seharusnya menjadi mertua
biasanya akan mengangkat seorang anak yang dapat dikawinkan dari keluarga
lainnya.
Setiap masyarakat, memiliki praktek eksogami dan endogami berdasarkan
batas-batas kedekatan kelompok eksogaminya dan batas-batas kejauhan
endogaminya dalam pemilihan jodoh. Kadangkala hanya terdapat sedikit peluang
untuk memilih di antara dua batas tersebut.
Dengan demikian, lembaga perkawinan dengan segala sistemnya adalah
suatu lembaga bagi suatu masyarakat yang berguna untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Sistem perkawinan itu dilakukan secara berbeda-beda dengan tingkat
modifikasi penggunaannya yang berlainan pada masing-masing masyarakat.
B. Sistem Perceraian
Apakah sebuah perceraian merupakan krisis atau kegagalan dalam
berumah tangga ? adalah tergantung dari kebudayaan setempat. Konsep
relativisme kebudayaan berlaku di sini. Menempatkan perceraian sebagai
kegagalan dalam berumah tangga adalah bias 11
. Berbagai studi mengenai hal ini
menyebutkan pada setiap masyarakat terdapat institusi mengenai penyelesaian
perkawinan yang disebut dengan perceraian yang sama halnya dengan
mempersiapkan perkawinan.
Perceraian mungkin juga dianggap sebagai suatu kesialan dalam rumah
tangga di manapun. Tetapi pandangan demikian harus juga diikuti dengan
keyakinan bahwa perceraian merupakan suatu penemuan sosial, suatu macam
11 Bias ialah kecenderungan yang tidak disadari untuk melihat kenyataan dengan cara
tertentu yang dipengaruhi oleh keinginan, kepentingan atau nilai-nilai seseorang. Hasil penelitian
penulis di Desa Sukamelang Kec. Kroya. Kab. Indramayu ditemukan bahwa perceraian merupakan pilihan yang membahagiakan dalam berumah tangga. Dalam masyarakat setem-pat
dikenal konsep cerai tamba, yaitu perceraian sebagai suatui obat. Beberapa alasan pasangan
suami isteri melakukan cerai tamba ialah agar kehidupan rumah tangga lebih meningkat secara
ekonomis, agar terhin-dar dari berbagai penyakit yang menimpa keluarga dan untuk memper-oleh
keturunan. Carai tamba dilakukan tanpa adanya konflik dalam keluarga. Yang pasti, masalah
yang dihadapi berkisar pada kesejahteraan keluarga. Praktik cerai tamba dilakukan dihadapan
seorang dukun (paranormal). Pasangan suami isteri menjelaskan situasi rumah tangga, setelah itu
paranormal tersebut menghitung berdasarkan perhitungan Ja-wa bahwa pasangan suami isteri
harus bercerai agar terhindar dari him-pitan beban keluarga. Oleh karena itu, perceraian adalah
pilihan yang membahagiakan.
48 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
pengamanan bagi ketegangan yang ditimbulkan oleh perkawinan sendiri. Namun
demikian, kendatipun angka perceraian dalam suatu daerah sangat tinggi, tetapi
tidak satupun masyarakat yang memiliki persetujuan yang kuat terhadap
perceraian.
Alasan terjadinya perceraian bagi sebagian masyarakat sangatlah berbeda-
beda. Di wilayah China misalnya, kekurang ajaran seorang wanita terhadap sanak
suaminya yang lebih tua dipandang sebagai alasan yang cukup kuat untuk
bercerai. Tetapi di Barat, meskipun menghormati mertua merupakan suatu
kesopanan yang dianjurkan, tetapi tidak ada keharusan bagi suami istri untuk
menghormati mertua secara berlebihan.
Bagi keluarga luas, perseteruan antara suami isteri mungkin sangat
menjengkelkan. Hal ini bagi sebagian masyarakat dianggap pertimbangan
mengajukan rencana perceraian. Tetapi tidak demikian pada jaringan keluarga
luas. Sebuah perceraian hanya bisa diajukan apabila menyinggung norma-norma
yang berlaku pada keluarga luas, meskipun antara isteri dan suaminya terjadi
ketegangan.
Dalam perspektif sosiologis, perkawinan merupakan suatu proses
pertukaran hak dan kewajiban yang terjadi di antara sepasang suami isteri. Oleh
karena perkawinan merupakan proses integrasi dua individu, maka proses
pertukaran ini senantiasa harus dirundingkan dan dinegosiasikan. Perceraian
terjadi dalam keluarga diawali dari suatu kegagalan dalam me-negosiasikan hak
dan kewajiban. Lebih dari itu, awal dari sebuah percekcokan dalam keluarga juga
disebabkan karena munculnya suatu dugaan terhadap masing-masing pasangan
tanpa melakukan beberapa interpretasi peristiwanya.
Misalnya, apabila suami terlambat pulang ke rumah dari pekerjaannya,
kemudian dalam pikiran isreri terbayang bahwa suaminya melakukan serong dan
penyelewengan seksual. Tentu saja, apabila penafsiran terhadap peristiwa
keterlambatan suami dilakukan berdasarkan atas satu interpretasi saja, maka yang
muncul ialah kecurigaan yang berakhir dengan pertentangan. Tetapi apabila
keterlambatan suami itu diinterpretasikan melalui banyak penafsiran, seperti
macet di jalan, atau dompetnya hilang sehinga tidak punya ongkos dan
sebagainya, maka yang lahir adalah proses negosiasi-negosiasi yang
argumentatif.
Bisa juga terjadi, suatu perceraian di awali oleh hilangnya pemberian pujian
dan penghargaan terhadap pasangan. Pujian dan penghargaan dalam suatu
perkawinan merupakan dukungan emosional yang sangat penting artinya bagi
kelang-sungan sebuah keluarga. Dampak yang sering muncul dari hilangnya
pemberian pujian dan penghargaan ialah semakin sulitnya untuk berbicara dan
berdiskusi mengenai masalah-masalah yang perlu dicari jalan keluarnya. Setelah
itu, masing-masing pasangan akan menganggap pasangannya sebagai orang lain.
Kegiatan-kegiatan di luar rumah merupakan pilihan yang menentramkan bagi
mereka yang sedang mengalami krisis keluarga. Oleh karena itulah, dalam situasi
dan kondisi seperti ini merupaan “peringatan” akan kemungkinan terjadinya per-
ceraian.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 49
Perceraian berkaitan pula dengan tingkat kebudayaan dimana masyarakat
tinggal. Di Jepang, sampai tahun 1920 tingkat perceraian lebih tinggi daripada
Amerika Serikat. Tingginya tingkat perceraian di Jepang ini berkaitan dengan
berla-kunya sistem keluarga luas yang menganut garis keturunan patrilineal.
Perceraian di Jepang pada masa ini lebih merupakan refleksi para isteri atas
ketidapuasannya terhadap keluarga mer-tua. Namun seiring dengan perubahan
industrialisasi, keluarga Jepang berubah menjadi keluarga konjugal dan akhirnya
tingkat perceraian semakin menurun.
Akan tetapi menurut Goode, di negara-negara Islam tinggi rendahnya
tingkat perceraian dikaitkan dengan pemahaman seseorang terhadap agama yang
dianutnya. Disisi lain, pada negara-negara Islam, suami memiliki hak untuk
menja-tuhkan thalak kepada isterinya. Dari perspektif ini, di negara muslim
seperti Algeria, pada tahun 1900 tingkat perceraiannya lebih tinggi di banding
dengan Amerika.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat perceraian. Sebagian
sosiolog melihat, perceraian merupakan produk dari industrialisasi dan urbanisasi 12
. Meskipun tingginya perceraian diakibatkan oleh industrialisasi, namun bagi
Goode tidaklah demikian. Ia melihat tingginya tingkat perceraian ditentukan oleh
sistem keluarga yang di anut. Pada ma-syarakat yang menggunakan sistem
keluarga luas seperti di Jepang, tingkat perceraiannya sangat tinggi akan tetapi
pada saat modernisasi di jalankan di Jepang, maka sistem keluarga beralih
menjadi keluaga konjugal dan perceraian menjadi menurun.
Pola kehidupan keluarga konjugal membawa konsekuensi tersendiri dalam
kehidupan keluarga. Dalam keluarga konjugal, jumlah anggota keluarga sangat
terbatas pada ayah, ibu dan 1 atau 2 orang anak. Peran dominan dalam keluarga
ditangani oleh suami dan isteri. Oleh karena itu, kerabat lainnya tidak lagi
menjadi penyangga keluarga konjugal, sebagaimana yang biasa terjadi dalam
keluarga luas. Tentu saja tingkat ketergantungan terhadap kerabat menjadi
berkurang. Hubungan keluarga tidak lagi dibangun berdasarkan kebutuhan finan-
sial, karena kebutuhan semacam itu sudah disediakan di luar lembaga keluarga.
Dalam keluarga konjugal, hubungan dengan kerabat didasarkan semata-mata
pada adanya ikatan emosional belaka dan ikatan seketurunan. Konsekuensi
logisnya keluarga konjugal menerima beban yang cukup berat dalam menghidupi
keluarga. Kerabat-kerabat lain tidak lagi bisa memberikan bantuan dan kontrol
terhadap kehidupan antar keluarga menjadi sangat berkurang. Oleh karena itu,
pola keluarga konjugal dimungkinkan lebih mudah pecah apabila terjadi konflik
antar suami isteri karena hubungan dengan kerabat semakin jauh dan bahkan
kurang penting. Tekanan kerabat yang mengharuskan mereka bersatu dan
mempertahankan perkawinan sangat sedikit.
Berbeda dengan keluarga kojugal, dalam keluarga luas, ketahanan
perkawinan, sebagaimana disinyalir oleh Goode banyak juga ditentukan oleh
12 Scanzoni, Letha Dawson dan John Scanzoni, Men, Women and Change: A Sociology of
Marriage and Family, New York: McGraw. Hill Book Company, 1981
50 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
kepedulian keluarga luas. Fokus ketahanan perkawinan tidak diletakan atas dasar
kokohnya ikatan hubungan suami isteri belaka, melainkan pada pan-dangan
keluarga luas dan ikut sertanya keluarga luas dalam mempertahankan
perkawinan. Oleh karena itu, meskipun pasangan suami isteri sudah tidak serasi,
hal itu tidaklah cukup sebagai alasan untuk bercerai. Selama tingkah laku suami
atau isteri dianggap serasi dengan kehidupan keluarga luas, alasan perceraian
yang didasarkan atas ketidakcocokan dianggap tidak penting.
Hal-hal seperti inilah yang disinyalir oleh Goode sebagai peluang
terbukanya tingkat perceraian yang lebih tinggi pada keluarga konjugal, tetapi
tidak pada keluarga luas. Dan oleh karena itu, dia tidak melihat tingginya tingkat
perceraian secara signifikan dengan industrialisasi.
Industrialisasi yang telah mengubah wajah keluarga dari keluarga luas ke
keluarga konjugal, pada beberapa kawasan memberi dampak yang berbeda
terhadap tingkat perceraian. Untuk kasus Jepang dan beberapa negara Arab, pola
kehidupan keluarga konjugal masih memberi harapan bagi ketahanan keluarga.
Hal itu dikarenakan oleh karena masih berlakunya norma menghormati yang tua
di Jepang serta menggantungkan kehidupan keluarga pada suami (laki-laki) di
negara Arab sebagai faktor ketahanan keluarga konjugal 13
.
Lebih dari itu, adanya perubahan pada tingkat perceraian dalam suatu
daerah menunjukkan telah terjadinya perubahan sosial lainnya di tengah-tengah
masyarakat. Namun tidak berlaku sebaliknya bahwa masyarakat tersebut telah
mengalami disorganisasi.
Diantara indikasi perubahan sosial yang cukup berpe-ngaruh terhadap
perceraian ialah:
a. Perubahan pada makna yang terkandung dalam perceraian. Beberapa waktu
lalu, boleh dikatakan bahwa hampir setiap orang yang bercerai kehilangan
kehormatan dalam ling-kungan sosialnya atau terkucilkan dari kehidupan
sosial. Pada masa itu, perceraian dianggap sebagai kegagalan dalam rumah
tangga karena di dalam masyarakat diajarkan untuk hidup rukun dan damai.
Maka begitu suatu konflik di tengah-tengah keluarga berlangsung yang
berujung pada perceraian dianggap sebagai kegagalan dalam membina
kerukunan keluarga. Status sebagai janda yang diakibatkan oleh perceraian
dianggap memalukan dan menimbulkan kecurigaan masyarakat. Namun
seiring berubahnya waktu, status seseorang dewasa ini tidak lagi
dipersoalkan, apalagi di kota-kota besar status janda atau duda merupakan hal
yang biasa bahkan bukan lagi menghambat suatu aktifitas, karena tekanan
13 Adanya rasa ketergantungan, baik finansial maupun emosional seorang isteri terhadap
suami nampaknya merupakan indikasi terbangunnya ketahanan sebuah keluarga. Dewasa ini,
tingkat ketergantungan isteri terhadap suami cenderung melemah, karena isteri diberi kesempatan
untuk berperan pada sektor publik yang selama ini di kuasai oleh laki-laki. Lahirnya tuntutan
persamaan hak laki-laki dan perempuan telah menempatkan perempuan menjadi subjek dalam
membangun dunia ini, juga diklaim sebagai indikasi dari melemahnya ikatan suami isteri dalam
keluarga. Padahal, apabila suatu hubungan antar suami isteri menem-patkan peranannya secara
kompeten, yaitu suami di sektor publik dan pe-rempuan pada sektoir domestik nampaknya secara
serius perlu diper-timbangkan secara aktual.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 51
yang ditonjolkan pada masyarakat kota adalah peran, bukan status
individunya.
b. Perubahan pada longgarnnya pengawasan kerabat, teman dan lingkungan
tetangga terhadap keutuhan keluarga. Kepedulian terhadap keutuhan sebuah
keluarga barangkali hanya bisa dirasakan pada masa-masa dulu. Pada masa
itu, keutuhan sebuah keluarga menjadi tanggungjawab bersama. Apalagi
dalam keluarga luas, krisis yang dihadapi oleh sebuah keluarga dianggap
sebagai krisis seluruh keluarga. Semua bagian dalam keluarga melibatkan
diri untuk mempertahan-kan perkawinan bagi keluarga yang sedang
mengalami krisis. Kini, semuanya telah bergeser, sebuah perkawinan
dipandang sebagai milik seseorang sehingga idealisme in-divual melihat
bahwa perkawinan merupakan sebuah ke-giatan praktis yang harus dilalui
seseorang. Seseorang dapat memilih untuk melanjutkan kegiatan yang praktis
tersebut atau mencari kegiatan yang lebih dianggap praktis. Oleh kerena
itulah dukungan dan pengawasan dari kerabat, te-man dan tetangga terhadap
keutuhan keluarga menjadi berkurang;
c. Tersedianya berbagai pilihan di luar keluarga. Saling tergantung antara
suami isteri merupakan indikasi keutuhan keluarga. Namun dewasa ini
kebutuhan-kebutuhan yang biasanya dapat dipenuhi keluarga telah
menyebabkan ketergan-tungan suami isteri menjadi berkurang. Misalnya
untuk memenuhi kebutuhan biologis bagi seseorang yang bia-sanya dipenuhi
dalam keluarga kini dapat dicari di luar keluarga. Rumah makan, panti pijat,
hotel, tempat hiburan dan sebagainya memungkinkan hilangnya
ketergantungan antara suami dan isteri. Kebutuhan yang bisa dipenuhi di luar
keluarga dapat memberikan kesempatan bagi pasangan suami isteri yang
sedang mengalami krisis untuk lebih ter-tarik berada di luar rumah;
d. Lahirnya tuntutan persamaan hak laki-laki dan wanita. Dalam masyarakat
modern perbedaan jenis kelamin tidak lagi menjadi kecenderungan bagi
seseorang untuk memperoleh jabatan tertentu. Seseorang bisa menempati
posisi tertentu bukan didasarkan atas gender, melainkan pada keahlian yang
dimilikinya. Oleh karena itulah, kesempatan untuk merebut peluang karir bagi
wanita semakin terbuka. Di sinilah letak masalahnya dimana hubungan
antara suami dan isteri mengalami gangguan. Orientasi membangun ke-
luargapun bergeser dari orientasi untuk memperoleh ke-turunan menjadi
orientasi meningkatkan karir. Disamping itu perubahan orientasi ini juga
mempengaruhi pasangan suami isteri untuk mempertahankan perkawinan.
C. Hubungan Suami Isteri Pasca Perceraian
Ketika terjadi perceriaan, hubungan suami isteri mungkin berakhir dengan
suatu permusuhan. Hubungan semacam ini sebagai sebuah penderitaan berat.
Sekalipun kesalahan bersumber dari kedua belah pihak. Tak ada seorangpun yang
mengharapkan semua ini terjadi.
Karena adanya unsur-unsur yang merusak dalam perceraian, para sosiolog
menyatakan bahwa penyesuaian perceraian sama dengan kematian dalam arti
52 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
sosial, bukan kematian dalam arti biologis. Kematian itu sangat menyakitkan dan
tidak ada seorangpun yang dapat menggantikan orang yang telah mati. Demikian
juga dengan perceraian.
Perceraian dan kematian memiliki segi-segi kesamaan, antara lain:
1. Penghentian kepuasan seksual;
2. Hilangnya persahabatan, kasih dan rasa aman;
3. Peran orang dewasa menjadi hilang untuk diikuti oleh anak-ananknya;
4. Beban rumah tangga bertambah berat, bagi pasangan yang ditingalkan dalam
mengurusi anak-anak;
5. Beban ekonomi menjadi tanggungan sendiri;
6. Pembagian tugas dan tanggungjawab baru dalam mengu-rusi rumah tangga 14
.
Menurut Scanzoni and Scanzoni (1981), setelah perceraian seseorang tidak
perlu bersedih dan tidak perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Ini
dikarenakan bahwa perceraian itu sendiri menandakan adanya rasa benci
dikalangan suami isteri. Padangan lain Scanzoni and Scanzoni didasarkan pada
tulisan Krantzler (1973) yang berjudul “Creative Divorce” Menurut Krantzler,
perceraian telah memberikan peluang yang cukup luas kepada seseorang untuk
memperoleh pengalaman dan kreatifitas baru guna menempuh hidup yang lebih
baik dan menyenangkan dari sebelumnya.
Hasil penelitian yang menggunakan 41 sampel orang tua yang bercerai
terlihat adanya suatu hubungan-hubungan yang berkesinambungan yang
berlangsung setelah perceraian. Hubungan ini bergerak dari rasa yang paling
benci terhadap pasangan dan hubungan yang menganggap pasangan sebagai
teman. Para responden banyak menjawab pilihan bahwa pasangan itu dianggap
sebagai bukan teman dan bukan pula musuh 15
.
Hubungan yang berlangsung antara mantan pasangan suami dan isteri
sebagai sahabat ditandai oleh adanya rasa kebersamaan dalam mendidik anak-
anaknya. Mereka hidup rukun dengan tempat tinggal yang tidak berjauha. Kontak
dengan anak dilakukan dengan cara memberikan nasehat dan bahkan tidak jarang
dari mereka yang melakukan hubungan bisnis.
Sedangkan hubungan antara mantan pasangan suami isteri bukan sebagai
teman dan sebagai musuh ditandai dengan hubungan “seperlunya”. Komunikasi
dengan anak dilakukan hanya pada saat-saat tertentu, seperti dalam merayakan
ulang tahun atau pada waktu libur. Hubungan keduanya terlihat sangat kaku dan
bahkan tidak menyenangkan bagi kedua belah pihak. Mantan pasangan yang
menganggap musuh terhadap mantan pasangannya berusaha untuk tidak
melakukan komunikasi satu sama lain. Dalam forum-forum resmi, apabila
mereka hadir dalam persepsi perkawinan anak, diupayakan untuk tidak saling
menyapa satu sama lain.
14 Willliam J. Goode, Sosiologi Keluarga Terj. Lailahanoum, Bumi Aksara, 1995, hlm. 198 15 Constante, Ahrons. “The binuclear family,” Alternative Life Styles 2 Nov 1979, hlm.
499-501
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 53
Oleh karena itulah, dalam masa perceraian posisi masing-masing suami dan
isteri berada dalam situasi penyesuaian kembali terhadap peran masing-masing
serta hubungan dengan lingkungan sosial.
Para sosiolog lainnya, melihat dampak perceraian terhadap anak sangat
tergantung dengan kondisi tertentu, yakni kondisi perkawinan orang tuanya. Bagi
seorang anak yang berasal dari keluarga tidak bahagia dalam perkawinan orang
tuanya menganggap perceraian sebagai pilihan terbaik, sedang-kan bagi anak
yang hidup di tengah-tengah lingkungan keluarga yang harmonis, perceraian
seperti mimpi buruk yang menakut-kan, trauma dan bingung menghadapinya.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak perceraian terhadap anak
selalu buruk. Anak yang orang tuanya bercerai akan hidup menderita. Secara
mental, dia kehilangan rasa aman. Perasaan iri dan sedih selalu menyelimuti
jiwanya apabila menghadapi teman sebaya disekolah bersama orang tua mereka.
Lebih sedih lagi, anak yang hidup ditengah-tengah keluarga bercerai
menjadi pendiam, tidak bergairah dan kehi-langan masa depan. Selain itu anak
yang tinggal bukan bersama orang tuanya, dengan paman atau bibinya akan
berpikir bahwa orang tuanya tidak lagi menyayanginya, bahkan mereka sering
berkhayal agar orangtuanya rujuk lagi 16
.
D. Kehidupan Keluarga Single Parent
Setelah pasangan suami isteri bercerai, masing-masing pasangan akan
menjadi seorang orang tua tunggal atau single parent. Single berarti satu atau
sendiri dan parent berarti orang tua. Singele parent adalah keluarga yang terdiri
dari orang tua tunggal baik ayah atau ibu sebagai akibat perceraian, dan kematian
yang bertanggungjawab dalam mengurusi anak-anak. Demikian pula single
parent itu dapat terjadi pada lahirnya seorang anak tanpa ikatan perkawinan yang
syah dan peme-liharaannya menjadi tanggungjawab ibu 17
.
Keluarga single parent dapat diakibatkan oleh percerai-an, kematian, orang
tua angkat dan orang tua yang berpisah tempat tinggal (belum bercerai).
Single parent yang diakibatkan oleh kematian salah satu orang tua akan
menimbulkan suatu krisis yang dihadapi ang-gota keluarga. Namun menurut
Polak krisis yang ditimbulkan oleh kematian seorang bapak atau ibu tidaklah
begitu besar pengaruhnya sebagai krisis yang muncul dalam keluarga dari pada
diakibatkan oleh perceraian 18
.
Kehilangan seorang ayah akibat kematian sangat meng-gangu terhadap
ekonomi sebuah keluarga karena peranan ekonomi yang dijalankan ayah dalam
16 Gerald R. Leslie. The Family in Social Context. New York: Oxford Univerity Press,
1967. 17 Bandingkan dengan Hurlock yang mengatakan “in a single-parent family, the parent
may be either the mother and the father who assumes the responsibility for the children after death
or divorce or the birth of a illegitimate child” Lihat; Child Development, London: Mc Grow Hill
Book Company, 1978, hlm. 386 18 Polak, J.B. Af Mayor, Sosiologi suatu Buku Pengantar Ringkas. PT Ictiar Baru, Jakarta,
1979, hlm. 363,
54 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
keluarga telah tiada. Akan tetapi walaupun keadaannya seperti itu janda-janda
jarang sekali untuk mengambil bapak tiri. Peran ayah secara wajar dapar
digantikan oleh ibu daripada mengambil ayah tiri, karena diang-gap peran ayah
tiri tidak mendukung bagi pendidikan anak.
Keluarga single parent akan mendapat tugas ganda. Apabila yang terjadi
adalah ketiadaan ayah, maka peran ibu menjadi bertambah sebagai pencari rezeki
dan pengasuhan anak. Demikian pula apabila ketiadaan ibu yang terjadi, maka
peran ayah menggantikan ibu dalam mendidik anak dan men-cari nafkah 19
.
Dalam keluarga single parent biasanya anak-anak ikut dengan kakek dan
neneknya dalam beberapa waktu. Tentu saja dampak kejadian seperti ini anak
akan aman secara emosional dan menuruti apa yang dikehendaki dan diinginkan
oleh kakek dan neneknya. Suatu keadaan yang tidak kondusif bagi hubung-an
anak dengan orang tuanya.
Dampak dari kehidupan keluarga single parent ter-hadap pendidikan anak-
anak sangat signifikan. Rendahnya pen-didikan akibat dari tidak lengkapnya
orang tua mereka dapat dibuktikan. Dampak tersebut bukan hanya diakibatkan
oleh hilangnya salah satu orang tua melainkan ditentukan pula oleh faktor
lainnya, seperti status sosial ekonomi orang tuanya dan kebiasaan-kebiasaan
dalam keluarga. Bahkan di Amerika, se-buah studi longitudinal terhadap wanita
bercerai dan tidak kawin lagi bahwa mereka mengalami penurunan pendapatan
sebesar 50%.
Akan tetapi status sosial ekonomi orang tua single parent terhadap
pendidikan anak tidaklah mutlak, sebab hal ini juga sangat tergantung dari sikap-
sikap orang tua bagaimana mendidik anaknya.
Oleh karena itulah, untuk membangun komunikasi an-tara anak dan orang
tua single parent dibutuhkan suatu cara tententu dalam meyakinkan anaknya
mengenai status mereka dalam keluarga. Misalnya bersikap jujur tentang situasi
yang dihadapi oleh ayah dan ibunya yang bisa dikomunikasikan dengan anak
pada saat-saat khusus dengan sedapat mungkin menghadirkan mantan pasangan
suami isteri. Selain itu juga perlu diyakinkan terhadap anak bahwa status
perceraian mereka tidak sekali-kali status anak membebani mereka dan menya-
lahkan anaknya akan putusnya hubungan perkawinan antara suami dan isteri.
Keluarga single parent yang disebabkan oleh berpi-sahnya tempat tingal
harus diyakinkan kepada anak-anaknya agar tidak memberikan harapan tentang
kemungkinannya untuk rujuk kembali.
Selain itu, orang tua juga perlu mengatasi persoalan yang dihadapi anak
akibat terjadinya single parent, antara lain:
19 Sejumlah bukti yang dikemukakan mengenai keluarga single parent dijelaskan oleh
Horton and Hurt (1996: 280-281). Para suami yang hidup dengan anak-anaknya tanpa kehadiran
seorang ibu mampu membesarkan anak mereka sendiri walaupun banyak mendatangkan masalah.
Di Ame-rika keluarga dengan satu orang tua meningkat menjadi 11 % pada tahun 1970 dan 21 %
pada tahun 1981. Namun dewasa ini kecenderungannya menunjukkan adanya kesempatan bagi
anak untuk memilih dengan salah satu orang tuanya menjadi 50 : 50 sebelum mereka berusia 18
tahun.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 55
1. Mengajarkan anak dalam menghadapi peristiwa yang mung-kin terjadi;
2. Mengenalkan kepada anak emosi yang timbul, seperti marah, rasa takut dan
rasa bersalah;
3. Menekankan hidup untuk masa depan dari pada masa lampau;
4. Membantu hubungan anak dengan orang lain agar lebih aktif daripada upaya
mengendalikan hubungan tersebut;
5. Menghindarkan anak dari pemberian kasih sayang yang emosional yang
sifatnya merusak;
6. Mengajarkan kesempatan kepada anak untuk memikul suatu tanggung jawab
dalam menghadapi kehidupan yang diakibatkan oleh suatu hubungan antar
orang;
7. Mengajarkan kepada anak agar menghormati bapak/ibu yang bercerai.
56 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
BAB IV
KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA
MENYELESAIKAN SENGKETA
PERCERAIAN
A. Konsep Peradilan Agama di Indonesia
Pengadilan Agama adalah Pengadilan tingkat pertama di lingkungan
Peradilan Agama, dan untuk tingkat banding disebut Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara-perkara perdata antara orang
Islam dengan orang Islam, sepanjang perkara-perkara terebut bukan wewenang
Pengadilan di lingkungan Peradilan umum.
Pada masa penjajahan pemerintahan Belanda hal ini diatur dalam staatsblad
1940 Nomor 3, disebutkan Peraturan Peradilan Agama Islam Jawa dan Madura,
Peradilan tersebut berasal dari istilah “Priesterraad” atau “Raad-agama”.
Raad berarti Majelis Hakim atau Mahkamah. Oleh karena itu Pengadilan
Agama di luar Jawa dan Madura serta Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan
disebut Mahkamah Syar‟iyah. Pengaruh Agama yang menonjol adalah hukum
perkawinan dan hukum keluarga. Dalam masalah mengenai perkawinan ini
biasanya ditangani oleh kantor pencatatan sipil bagi yang beragama di luar Islam
dan bagi yang beragama Islam ditangani oleh Pengadilan Agama. Selain itu,
Pengadilan Agama telah ada baik dalam konstitusi RIS pada pasal 144 maupun
dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, yakni tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana dinyatakan sebagai
berikut:
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:1
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Kemudian dalam pasal 63 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 kembali
ditegaskan tentang kedudukan dan fungsi Pengadilan Agama dalam memeriksa
mengadili sengketa perkara yang timbul dalam hukum kekeluargaan. Begitu pula
dalam pasal 44 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung memberi penegasan bahwa putusan dari semua Peradilan termasuk
lingkungan Peradilan Agama dapat mengajukan permohonan kasasi ke
1 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 10.
58 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Mahkamah Agung. Dengan berbagai ketentuan yang tersebar dalam berbagai
pasal peraturan perundang-undangan, sudah cukup tegas menempatkan posisi
lingkungan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana Kekuasaan
Kehakiman. Adapun peraturan tersebut yaitu terdapat dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, lalu perubahan kedua yakni Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubhana kedua atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Agama merupakan Peradilan khusus karena mengadili perkara-
perkara tertentu khususnya bagi yang beragama Islam. Sedangkan Peradilan
umum adalah Peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara-
perkara perdata maupun pidana.
Posisi Pengadilan Agama dalam Peradilan di Indonesia telah jelas terlihat
dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yaitu yang salah satu di antara empat Peradilan yang disebut dalam
Undang-undang yang mempunyai kewewenangan mengadili dalam Pengadilan
ditingkat pertama dan ditingkat banding dalam melaksanakan salah satu tugas
kekuasaan Kehakiman. Selain itu, ketentuan dalam pasal ini berkaitan dengan
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu dalam
pasal 63 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan
Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah:
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
Ketentuan dalam pasal 63 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
ini menyangkut pelaksanaan dalam Undang-undang Perkawinan, yang
merupakan salah satu kewenangan Pengadilan Agama. Dalam pasal 18 Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan
bahwa Peradilan Agama secara formil sederajat dengan Peradilan Umum oleh
karena itu dalam melaksanakan tugas Peradilan Agama harus didasarkan
ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 sehingga
Peradilan Agama harus dilaksanakan sesuai dengan pasal 4 ayat (1) yang
berbunyi: “Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama telah mengatur kedudukan Pengadilan
Agama, di mana Peradilan Agama dan Peradilan Umum adalah sederajat
kewenangannya di bidang hukum Perkawinan. Peradilan Agama berwenang di
bidang hukum perkawinan Islam sedangkan Peradilan Umum berwenang di
bidang hukum perkawinan selain Islam.
Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan tingkat banding untuk
perkara yang diputus oleh Pengdilan Agama dan merupakan Pengadilan tingkat
pertama dan terakhir mengenai sengketa mengadili antara Pengadilan Agama di
daerah hukumnya, sedangkan dasar hukum dari Pengadilan Agama yaitu seperti
yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 59
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang berbunyi: “Peradilan Agama adalah untuk orang-orang yang
beragama Islam”.
B. Kewenangan Pengadilan Agama.
Pada masa zaman orde baru dan beberapa tahun setelah berjalannya orde
reformasi Pengadilan Agama mempunyai tugas dan wewenang yang lebih sempit
apabila dibandingkan dengan tugas dan wewenang Peradilan umum. Lembaga
Peradilan Agama di seluruh Indonesia berada dalam naungan Departemen Agama
dalam hubungan admistrasi, organisasi dan finansial, sedangkan secara yudisial
ada di bawah naungan Mahkamah Agung sebagai badan Peradilan tertinggi dan
terakhir. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Namun pada tanggal 31 Maret 2004 Pemerintah memberlakukan sistem
satu atap (One Roof System) ke Mahkamah Agung, sehingga pembinaan teknis
Peradilan, Organisasi, Administrasi dan Finansial Pengadilan dilakukan oleh
Mahkamah Agung sebagaimana ditegaskan dalam pasal 5 Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
Adapun tugas dan kewenangan Peradilan Agama diatur dalam pasal 49
Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang bergama Islam di bidang: Perkawinan, Waris,
Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah dan Ekonomi Syari‟ah.
Adapun penjelasan yang lebih rinci mengenai kewenangan diatas dapat
dilihat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
berlaku secara efektif menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang
diberlakukan terhitung sejak tanggal 1 Oktober 1975 kepada Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, Adapun tugas dan kewenangan
tersebut antara lain:2
1. Ijin poligami (pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974).
2. Ijin kawin (pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
3. Dispensasi kawin (pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974).
4. Pencegahan perkawinan (pasal 13 juncto pasal 17 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974).
5. Penolakan perkawinan (pasal 22 sampai pasal 26 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974).
2 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
h. 130.
60 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
6. Pembatalan perkawinan (pasal 22 sapami pasal 26 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974).
7. Perjanjian perkawinan (pasal 29 Undang-Undang nomor 1 Tahun
1974).
8. Kedudukan harta benda dalam perkawinan (pasal 25, pasal 36, pasal 37
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
9. Perceraian (pasal 37 sampai pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974).
10. Biaya pemeliharaan anak (pasal 41 sub b Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974).
11. Pemeliharaan anak apabila terjadi perceraian (pasal 41 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974).
12. Nafkah iddah (pasal 41 sub c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)
13. Biaya bekas penghidupan istri (pasal 41 sub c Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974).
14. Kedudukan anak (pasal 42 dan pasal 43 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974)
15. Penentuan kehidupan anak sah atau tidak sah atas dasar tuduhan zina
(pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974).
16. Pencabutan kekuasaan orang tua atau wali (pasal 49 sampai dengan
pasal 51 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974).
17. Penolakan perkawinan campuran (pasal 60 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974).
Sebagaimana diketahui, bahwa Peradilan Islam, tugas dan wewenangnya
mencakup hal-hal Perdata, bahkan lebih menyempit pada hal-hal tentang
keluarga. Oleh karena itu, sempat muncul gagasan untuk menjadikan Pengadilan
Agama sebagai Pengadilan Keluarga (Family Courts). Dalam bukunya, Cik
Hasan Bisri3 menyatakan bahwa pandangan itu antara lain dikemukakan oleh
Bustanul Arifin dan Satjipto Rahardjo. Prospek Pengadilan Agama ke depannya
akan terus berkembang. Seteleh berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006, maka wewenang Pengadilan Agama semakin bertambah banyak. Tetapi
dalam kenyataanya perkara yang paling dominan adalah perceraian. Walaupun
begitu dengan pertumbuhan penduduk dan banyaknya yang melaksanakan
pernikahan, maka peluang dalam perceraian tetap besar.
Mengenai kewenangan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara
Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “kewenangan relatif” dan
“kewenangan absolut”.4 Kewenangan relatif diartikan sebagai kekuasaan
pengadilan yang satu jenis dan tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan
pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, missal antara Pengadilan
Agama Bandung dengan Pengadilan Agama Cimahi satu jenis, yaitu sama-sama
lingkungan Peradilan Agama dan satu tingkatan, yaitu sama-sama tingkat
3 Ibid, h. 35. 4 Ibid, h. 242.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 61
pertama.5 Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undangNomor 7 Tahun 1989
disebutkan bahwa “Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di
ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten”
Kewenangan Relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara
pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 H.I.R
menyangkut kekuasaan relatif dalam bahasa Belanda disebut distributive van
rechtsmacht. Asasnya adalah “yang berwenang adalah pengadilan negeri tempat
tinggal tergugat”. Asas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan “Actor
Sequitur Forum Rei”.6
Kewenangan absolut artinya kewenangan pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.
Selain itu Kewenangan Mutlak menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-
badan peradilan, dilihat dari macam-macam pengadilan menyangkut pemberian
kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa Belanda disebut attributie van
rechtsmacht. Berikut dipaparkan kedua kewenangan tersebut secara lebih rinci:
1. Kewenangan Absolut
Kewenangan absolut menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Dengan kata lain yang
dimaksud dengan kompetensi absolut adalah kekuasaan pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan lainnya. 7
Kompetensi Absolut Dari Peradilan Agama adalah memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah,
dan ekonomi syari‟ah. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 49 Undang-undang
Nomor 50 Tahun 2009.
Adapun jenis-jenis Perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama:
1) Perkawinan
Bidang hukum Perkawinan atau hukum keluarga meliputi perkara-perkara:
a) Ijin poligami beserta penetapan harta dalam perkawinan poligami.
b) Ijin kawin apabila orang tua calon suami/ isteri tidak mengijinkan
sementara calon suami/ isteri di bawah usia 21 tahun.
c) Dispensasi kawin bagi calon suami/ isteri yang beragama Islam
dan belum mencapai usia 19 dan 16 tahun.
d) Penetapan wali adlol jika wali calon isteri menolak
menikahkannya.
e) Permohonan pencabutan penolakan perkawinan oleh KUA.
5 Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1995), h. 25. 6 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori
dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1997), h. 11. 7 Roihan A Rasyid, Op. Cit., h. 27.
62 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
f) Permohonan pencegahan perkawinan.
g) Pembatalan perkawinan.
h) Permohonan pengesahan nikah/ istibat nikah.
i) Pembatalan penolakan perkawinan campuran (perkawinan antar
warga negara yang berbeda).
j) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri.
k) Cerai talak (perceraian yang diajukan suami).
l) Cerai gugat (perceraian yang diajukan isteri).
m) Talak khuluk (perceraian yang diajukan oleh isteri dengan
membayar tebusan kepada suami).
n) Li’an yaitu cerai talak atas dasar alasan isteri berzina dengan
pembuktian beradu sumpah antara suami isteri.
o) Syiqaq yaitu cerai gugat atas dasar alasan perselisihan suami isteri
dengan penunjukan hakam (juru damai) dari keluarga kedua belah
pihak.
p) Kewajiban nafkah dan mut‟ah bagi bekas isteri.
q) Gugatan harta bersama termasuk hutang untuk kepentingan
keluarga.
r) Gugatan penyangkalan anak.
s) Permohonan/ gugatan pengakuan anak.
t) Gugatan hak pemeliharaan anak.
u) Gugatan nafkah anak.
v) Permohonan pencabutan kekuasaan orang tua terhadap
pemeliharaan anak.
w) Permohonan perwalian.
x) Gugatan pencabutan kekuasaan wali.
y) Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang
ada dibawah kekuasannya.
z) Pengangkatan anak oleh WNI yang beragama Islam terhadap anak
WNI yang beragama Islam.
2) Kewarisan
a) Permohonan penetapan ahli waris dan bagiannya masing-masing.
b) Gugatan waris.
c) Akta dibawah tangan mengenai keahliwarisan.
d) Akta komparasi tentang pembagian harta waris di luar sengketa.
3) Wasiat
a) Gugatan pengesahan wasiat.
b) Gugatan pelaksanaan wasiat.
c) Gugatan pembatalan wasiat.
4) Hibah
a) Gugatan pengesahan hibah.
b) Gugatan pembatalan hibah.
5) Wakaf
a) Sengketa sah tidaknya wakaf.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 63
b) Sengketa pengelolaan harta wakaf.
c) Sengketa keabsahan dan kewenangan nadlir wakaf.
d) Gugatan sengketa wakaf oleh kelompok (class action).
6) Zakat, Infaq, dan Shadaqah
a) Sengketa antara Muzakki dengan BAZIZ.
b) Sengketa antara Pejabat pengawas dengan BAZIZ.
c) Sengketa antara Mustahik dengan BAZIZ.
d) Sengketa antara pihak-pihak yang berkepentingan baik sendiri
maupun class action dengan BAZIZ.
7) Ekonomi Syariah
Yang dimaksud “Ekonomi Syari‟ah” adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syaria‟ah, antara
lain meliputi:
a) Bank Syaria‟ah.
b) Lembaga Keuangan Makro Syari‟ah.
c) Asuransi Syari‟ah.
d) Reasuransi Syari‟ah.
e) Reksadana Syari‟ah.
f) Obligasi Syari‟ah.
g) Sekuritas Syari‟ah.
h) Pembiayaan Syari‟ah.
i) Pegadaian Syari‟ah.
j) Dana pensiun Syari‟ah.
k) Bisnis Syari‟ah.
Perkara-perkara dibidang Ekonomi Syari‟ah tersebut di atas
meliputi sengketa-sengketa sebagai berikut:
a) Sengketa akibat beda menafsiri akad perjanjian.
b) Sengketa sah tidaknya akan perjanjian.
c) Sengketa berakhirnya suatu akad perjanjian.
d) Gugatan ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum.
e) Gugatan atas pelanggaran akad perjanjian.
Selain kewenangan tersebut, pasal 52 A Undang-undang Nomor 3 tahun
2006 menyebutkan bahwa “Pengadilan Agama memberikan istbat kesaksian
rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Penjelasan
lengkap pasal 52A ini berbunyi: “Selama ini pengadilan agama diminta oleh
Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang
yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan
Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama
mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 Ramadhan dan 1
Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai
perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat. Selain itu, dalam
penjelasan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 diberikan pula kewenangan
kepada PA untuk Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam.
64 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
2. Kewenangan Relatif
Kewenangan Relatif Pengadilan merupakan kewenangan lingkungan
Peradilan tertentu berdasarkan yurisdiksi wilayahnya. Dalam Pasal 118 ayat (1)
HIR menganut asas bahwa yang berwenang adalah Pengadilan di tempat
kediaman tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut “actor sequitur forum
rei”. Namun ada beberapa pengecualian, yaitu yang tercantum dalam Pasal 118
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), yaitu:
a) Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah
seorang dari tergugat;
b) Apabila tempat tinggal Tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan
kepada pengadilan di tempat tinggal penggugat;
c) Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan
kepada peradilan di wilayah hukum di mana barang tersebut terletak; dan
d) Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan
dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta
tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
ditegaskan bahwa kompetensi relative dalam bentuk cerai talak, pada prinsipnya
ditentukan oleh faktor tempat kediaman termohon. Hal ini dikecualikan dalam hal
termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama, tanpa izin
pemohon. Demikian pula apabila termohon bertempat tinggal di luar negeri,
maka kompetensi relatif jatuh kepada Peradilan Agama di daerah hukum tempat
kediaman pemohon.
Dalam hal cerai gugat kompetensi relatif ditentukan faktor tempat
kediaman penggugat ketentuan ini tercantum dalam Pasal 73 ayat (1) Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989. Namun hal ini pun dikecualikan bila penggugat
sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat, maka
kompetnsi relative beralih pada tempat kediaman tergugat (suami). Selain itu,
dalam Pasal 73 ayat (2) ditntukan bahwa kompetensi relatif berada pada tempat
kediaman tergugat, apabila penggugat bertempat kediaman di luar negeri.
Disamping itu, ditentukan pula pada Pasal 73 ayat (3) dalam hal suami istri
bertempat kediaman di laur negeri, yaitu kompetensi relatif ditentukan tempat
perkawinan dilangsungkan atau dapat pula diajukan ke Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Perkara Perceraian dalam Peraturan
Perundang-undangan
Terdapat beberapa Asas Umum dalam penyelanggaraan Pengadilan Agama
yang merupakan pedoman umum Pengadilan Agama dalam beracara, asas
tersebut yaitu seperti asas sederhana, cepat dan biaya ringan (fleksibilitas), asas
kebebasan, asas tidak boleh menolak perkara, asas sebagai pelaksana kekuasaan
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 65
kehakiman, asas ketuhanan, asas non ekstra yudisial, asas legalitas, asas legittima
persona standi in yudicio, asas ultra partium partem, asas audi et alteram partem
(obyektivitas), asas unus testis nullus testis, asas actor squitur forum rei, asas
wajib mendamaikan, asas aktif memberikan bantuan, asas mengadili menurut
hukum dan persamaan hak, asas persidangan tertutup untuk umum, dan asas tidak
ada keharusan mewakilkan.8
1. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Seluruh lingkungan peradilan harus mengutamakan asas sederhana, cepat
dan biaya ringan. Asas tersebut menjadi dambaan setiap masyarakat, jika dapat
dilaksanakan dengan baik akan menjadikan Pengadilan sebagai pilihan dari para
pencari keadilan. Sederhana dalam prosedur memasukan gugatan, cepat dalam
proses persidangan, pembuktian hingga putusan dan tidak mengeluarkan biaya
besar (sesuai dengan ketentuan biaya perkara).
2. Asas Personalitas Keislaman
Penerapan asas Personalitas Keislaman merupakan kesatuan hubungan
yang tidak terpisah dengan dasar hubungan hukum. Kesempurnaan dan
kemutlakan Asas Personalitas Keislaman harus didukung unsur hubungan hukum
berdasar hukum Islam. Apabila asas personalitas didukung oleh hubungan hukum
berdasar hukum Islam, barulah sengketanya “mutlak” atau “absolut” tunduk
menjadi kewenangan Peradilan Agama, serta hukum yang mesti diterapkan
menyelesaikan perkara, harus berdasar hukum Islam.9
3. Asas Kebebasan
Kebebasan disini adalah tidak boleh ada pihak lain yang dapat
mempengaruhi putusan yang akan diputuskan Majelis Hakim. Dalam menangani
suatu kasus yang diperiksanya, Hakim bebas dalam menerapkan hukum yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan secara tepat dan juga melakukan
penemuan-penemuan hukum. Sehingga putusannya diharapakan benar dan para
pihak mendapat keadilan.
4. Asas Tidak Boleh Menolak Perkara
Dikenal dengan asas „ius curia novit’, Hakim dianggap tahu akan hukum.
Sehingga setiap permasalahan yang diajukan kepadanya maka ia wajib
mencarikan hukumnya. Ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat. Dengan kata lain, “Hakim berperan sebagai pembentuk hukum dan
padanya tidak diperkenankan hanya sebagai corong undang-undang (la bouche de
la lot). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 Jo. Pasal 10 Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Hakim harus menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di
masyarakat. Selain itu Pengadilan pun tidak boleh menolak perkara dengan
alasan tidak ada hukumnya.
5. Asas Hakim Wajib Mendamaikan
8 M. Yahya Harahap, Op. Cit., h. 37. 9 M. Yahya Harahap, Op. Cit., h. 57.
66 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Asas Hakim wajib mendamaikan antara pihak-pihak yang berperkara ini
sejalan dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam. Islam selalu menyuruh setiap
perselisihan diselesaikan melalui perdamaian atau islah. Perdamaian dapat
dilakukan saat sebelum perkara mulai disidangkan maupun setelah perkara
disidangkan sepanjang perkara tersebut belum diputusankan. Apabila dicapai
perdamaian, maka dapat dibuatkan akta yang mengikat para pihak. Hal ini diatur
secara tegas dalam Pasal 130 HIR, Pasal 154 Rbg dan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
6. Asas Mengadili Menurut Hukum dan Persamaan Hak
Mengadili menurut hukum dan persamaan hak artinya, tidak membeda-
bedakan siapapun yang berhadapan dengan permasalahan hukum, baik pejabat
maupun rakyat jelata. Dalam sistem „anglo-saxon’ dikenal dengan „equality
before the law’ yang artinya bahwa dalam persidangan setiap orang mempunyai
persamaan kedudukan di mata hukum. Sedangkan lawan dari asas tersebut adalah
diskriminasi yang berarti membeda-bedakan hak dan kedudukan dalam sidang di
Pengadilan.
Sehubungan dengan asas equality ini, maka dalam praktik Pengadilan,
terdapat tiga patokan yang menjadi fundamental, yaitu:
a. Persamaan hak atau derajat dalam proses persidangan atau “equal before
the law.
b. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the
law”.
c. Mendapatkan hak perlakuan di bawah hukum atau “equal justice under the
law”.10
7. Asas Persidangan Tertutup Untuk Umum
Asas ini berkaitan dengan asas persidangan terbuka untuk umum
sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat 1, 2, dan 3 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan pasal 13 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Asas hukum ini bermakna bahwa sidang pemeriksaan Pengadilan Agama
terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau
Hakim Pengadilan Agama mempunyai alasan-alasan penting yang dicatat dalam
berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau
sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup. Adapun pemeriksaan perkara di
Pengadilan Agama yang dilakukan dalam sidang tertutup adalah berkenaan
dengan pemeriksaan permohonan cerai talak dan cerai gugat.
8. Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan kehakiman
Dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.11
Badan Peradilan yang berada di bawah
10 M. Yahya Harahap, Op. Cit., h. 73. 11 M. Yahya Harahap, Op. Cit., h. 10.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 67
Mahkamah Agung meliputi badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.
9. Asas Ketuhanan
Peradilan Agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada
sumber Hukum Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus
dimulai dengan kalimat “Basmalah” yang diikuti dengan kalimat “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
jo. Pasal 57 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
10. Asas non ekstra yudisial
Segala campur tangan dalam urusan Peradilan oleh pihak lain diluar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam
UUD RI tahun 1945. Hal ini diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
11. Asas Legalitas
Asas ini diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009, Pengadilan Agama mengadili menurut Hukum Islam dengan tidak
membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan
hak derajat setiap orang dimuka persidangan Pengadilan Agama tidak terabaikan.
12. Asas Legitima Persona Standi in Yudicio
Semua orang yang terkait langsung dalam perkara yang diajukan di muka
persidangan harus masuk atau dimasukkan sebagai pihak-pihak dalam perkara,
apakah pihak-pihak itu sebagai penggugat atau pihak-pihak itu sebagai tergugat.
13. Asas Ultra Pertium Partem
Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak diminta
atau hakim mengabulkan lebih dari yang dituntut. Hal ini berdasarkan pada pasal
178 ayat (2) dan (3) HIR.
14. Asas Audi et Alteram Partem (Obyektivitas)
Hakim wajib menyamakan kedudukan para pihak yang berperkara dimuka
persidangan. Dalam arti pengadilan dalam mengadili para pihak harus ada unsur-
unsur kesamaan derajat, kesamaan hak di persidangan, dan para pihak
mempunyai kedudukan yang sama dimuka persidangan. Hal ini berdasarkan pada
pasal 132 a dan pasal 121 ayat (2) HIR. Selain itu ketentuan ini diatur pula dalam
pasal 5 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dimana dalam memeriksa perkara hakim harus obyektif, adil dan professional
serta tidak boleh memihak.
15. Asas Unus Testis Nulus Testis
Bahwa seorang saksi tanpa ada alat bukti lain dianggap belum mencapai
batas minimal pembuktian. Agar pembuktian mencapai nilai batas minimal,
pembuktian harus ada alat bukti lain. Hal ini berdasarkan pada pasal 169 HIR.
Sehingga di dalam persidangan bila hanya mengajukan alat bukti saksi, maka
harus mendatangkan minimal dua orang saksi, jika tidak maka saksinya tertolak
atau harus dikuatkan dengan akat bukti lain.
16. Asas Actor Squitur Forum Rei
68 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Kewenangan Relatif di Pegadilan Agama mengatur pembagian kekuasaan
mengadili antara pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat.
hal ini diatur dalam Pasal 118 HIR mengenai kekuasaan relatif yang dalam
bahasa Belanda disebut distributive van rechtsmacht. Asasnya adalah “yang
berwenang adalah pengadilan tempat tinggal tergugat”. Asas ini dalam bahasa
Latin dikenal dengan sebutan Actor Sequitur Forum Rei.12
Pengadilan berwenang memeriksa gugatan hak tergugat bertempat tinggal,
kecuali Undang-undang menentukan lain sebagaimana terhadap perkara
perceraian yang berlaku di muka Pengadilan Agama. Selain itu asas ini juga
mengatur dalam hal sengketa harta benda bahwa gugatan diajukan di Pengadilan
dimana benda tersebut itu berada, sebagaimana dijelaskan pasal 118 ayat 3 HIR.
17. Asas Aktif Memberikan Bantuan
Rumusan pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal
4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi: Pengadilan
membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya Peradilan yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan.
Berdasarkan pasal tersebut, dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan
hakim aktif dalam memberikan bantuan kepada para pihak yang berperkara.
Pemberian bantuan tersebut terbatas pada bantuan atau memberi nasehat
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah formil atau mengenai tata cara
beracara di Pengadilan. Hakim tidak dapat memberikan bantuan atau nasehat
kepada para pihak sepanjang mengenai masalah materil atau pokok perkara.
Tujuan asas ini adalah supaya pemeriksaan perkara dipersidangan berjalan
lancar, terarah dan tidak menyimpang dari tata tertib beracara dipersidangan yang
telah diatur dalam undang-undang. Sangat disayangkan apabila karena ada
kesalahan dalam masalah formil akhirnya perkara yang diperiksa akhirnya
tertunda.13
18. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Ketentuan peraturan dalam HIR tidak mewajibkan orang untuk mewakilkan
kepada orang lain apabila hendak beperkara di muka pengadilan, baik sebagai
penggugat maupun sebagai tergugat, sehingga pemeriksaan di persidangan dapat
terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan. Namun
demikian, para pihak dapat juga dibantu atau diwakili oleh kuasanya apabila
dikehendaki sesuai ketentuan dalam Pasal 123 HIR/ Pasal 147 RBg. Dengan
demikian, hakim tetap wajib memeriksa perkara yang diajukan kepadanya
meskipun para pihak tidak mewakilkannya kepada seorang kuasa.
Ketentuan dalam HIR/RBg yang demikian itu ada keuntungan dan
kekurangannya. Dengan memeriksa secara langsung para pihak yang
berkepentingan, hakim akan dapat mengetahui dengan jelas dan cepat duduk
persoalannya karena bukankah yang mengetahui seluk-beluk peristiwa yang
12 Retnowulan Sutantio, Op. Cit., h. 11. 13 Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), 32-33.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 69
terjadi adalah para pihak sendiri. Kalau para pihak menunjuk kuasa dalam
beperkara di pengadilan, sering kali seorang kuasa tidak mengetahui dengan tepat
peristiwa yang menjadi sengketa. Mereka hanya mengetahui sebatas apa yang
diceritakan/dikemukakan oleh pemberi kuasa sehingga apabila ada pertanyaan
dari hakim yang memeriksa perkaranya, kuasa ini harus berkonsultasi dengan
pihak yang diwakilinya. Selain itu, beperkara di pengadilan tanpa seorang kuasa
akan lebih menghemat biaya daripada menunjuk seorang kuasa.
Meskipun Pasal 123 HIR menentukan bahwa seseorang dapat dibantu oleh
seorang wakil, HIR tidak menentukan siapa yang dapat ditunjuk sebagai wakil
sehingga setiap orang yang buta hukum pun dapat diminta/ditunjuk sebagai wakil
di persidangan oleh mereka yang sama sekali buta hukum, lebih-lebih juga buta
huruf. Kalau hal ini terjadi, dapatlah dibayangkan bahwasanya jalannya Peradilan
tidak akan berjalan selancar apabila para pihak beperkara diwakili oleh seorang
kuasa yang sarjana hukum, setidak-tidaknya orang yang tahu hukum (ahli
hukum).
Berbeda dari ketentuan dalam HIR maupun RBg mengenai kuasa/wakil
dalam persidangan, Rv mewajibkan setiap orang yang hendak beperkara di muka
pengadilan mewakilkan kepada orang lain (procureur). Penunjukan seorang
wakil dalam beperkara di muka pengadilan ini merupakan suatu keharusan
dengan akibat batalnya gugatan (Pasal 106 ayat (1) Rv) atau diputusnya perkara
di luar hadir tergugat (Pasal 109 Rv) apabila pihak ternyata tidak diwakili.
Pada hakikatnya, tujuan adanya perwakilan dari sarjana hukum (verplichte
procureur stelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan perkara yang
objektif, melancarkan jalannya Peradilan, dan memperoleh putusan yang adil.
70 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
BAB V
FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA
ANGKA PERCERAIAN DAN STRATEGI
PENANGGULANGANNYA
A. Profil Perceraian Keluarga Muslim Indonesia
Tingkat perceraian dalam keluarga muslim Indonesia berdasarkan data
resmi yang ada pada Direktorat Jenderal Pengadilan Agama cukup tinggi dilihat
dari jumlah pertahun. Selama lima tahun terakhir yaitu dari tahun 2012-2016
angka perceraian demikian tinggi. Berdasarkan data yang diputus Pengadilan
Agama/ Mahkamah Syar‟iyah (PA/MS) untuk semua jenis perkara secara
nasional selama periode 2001-2015, ada kenaikan sebesar 180%, yaitu dari
159.299 perkara pada tahun 2001 menjadi 445.568 perkara pada tahun 2015.
Kenaikan tajam terjadi sejak tahun 2006, yaitu sejak jumlah perkara yang diputus
sebanyak 167.807 perkara. Ini berarti selama periode 2006-2015 ada kenaikan
166%. Sedangkan periode 2001-2006 kenaikannya hanya 5%, itupun terjadi
fluktuasi, tidak flat. Yang menarik adalah dari jumlah semua jenis perkara itu
sekitar 90%nya merupakan perkara perceraian. 1
Jelaslah bahwa selama 10 tahun kebelakang sampai saat ini angka percerian
demikian meningkat. Peningkatan ini, di satu sisi merupakan membaiknya
kepercayaan publik atau masyarakat terhadap eksistensi Pengadilan Agama
dalam menyelesaikan dan memutus perkara perdata tertentu antar orang Islam
dan adanya kesadaran hukum masyarakat yang cukup membaik, namun disisi
lainnya menunjukkan bahwa peningkatan angka perceraian itu sekaligus
menandai rapuhnya ikatan perkawinan keluarga muslim Indonesia.
Klasifikasi tingkat perceraian itu, didominasi oleh cerai gugat dari pada
cerai thalak. 2 Angka perceraian dalam lima tahun ini mengalami dinamika yang
cukup memprihatinkan. Dari 2 juta pasangan yang mencatatkan perkawinannya
dalam setiap tahunnya, ditemukan angka hampir 300.000 atau sekitar 15% yang
mengakhiri perkawinan mereka di meja sidang perceraian. Bahkan di beberapa
1 Kustini dan Ida Rosidah, Ketika Perempuan Bersikap : Tren Cerai Gugat Keluarga
Muslim. (Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2016
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016).
Hlm ix 2 Tren data perceraian periode 2001- 2015 mengalami kenaikan, baik data cerai gugat
maupun cerai talak. Dari tahun 2001 sampai 2006, ada kenaikan sedikit dan dibarengi dengan
fluktuasi, sementara setelah 2006 sampai 2014 ada kenaikan tajam perkara cerai gugat.
Sedangkan dari 2014 ke 2015 mengalami penurunan.
72 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
daerah seperti Indramayu dan Banyuwangi, angkanya melebihi rerata nasional
tersebut.3
Secara nasional, jumlah angka perceraian selama tahun 2012-2016 dapat
dilihat sebagai berikut :
Tabel 5.1.
Rekapitulasi Jumlah Perceraian Tahun 2012
Nomor MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH/PENGADILAN TINGGI
AGAMA Cerai Talak Cerai Gugat
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 969 2336
2 Medan 1890 5109
3 Padang 1742 3684
4 Pekanbaru 2293 5729
5 Jambi 731 2087
6 Palembang 1596 4152
7 Bangka Belitung 509 1409
8 Bengkulu 615 1208
9 Bandar Lampung 1308 3363
10 Jakarta 2467 6162
11 Banten 1658 4415
12 Bandung 16676 40246
13 Semarang 19835 45268
14 Yogyakarta 1540 3377
15 Surabaya 27425 54246
16 Pontianak 734 2597
17 Palangkaraya 465 1364
18 Banjarmasin 1461 4709
19 Samarinda 1796 4336
20 Manado 228 738
21 Gorontalo 252 738
22 P a l u 606 1442
23 Kendari 412 1102
24 Makassar 2397 7557
25 Mataram 1410 3689
26 Kupang 100 180
27 Ambon 81 192
28 Maluku Utara 230 317
29 Jayapura 374 843
Jumlah 91800 212595
304395
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2012
3 Syafaat Muhammad, “Fenomena Cerai Gugat di Kabupaten Kuningan : Sebuah Kajian
Perubahan Sosial dalam Masyarakat dan Keluarga”, dalam Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.IV
2016. hlm. 603.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 73
Selama tahun 2012, angka perceraian secara nasional sebanyak 304.395
(tiga ratus empat ribu tiga ratus sembilan puluh lima) perkara. Perkara perceraian
didominasi oleh cerai gugat dari pada cerai thalak. Sedangkan jumlah angka
perceraian pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebagaimana tabel di bawah.
Tabel 5.2
Rekapitulasi Jumlah Perceraian Tahun 2013
Nomor MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH/PENGADILAN TINGGI
AGAMA Cerai Talak Cerai Gugat
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1.063 2.712
2 Medan 2.079 5.727
3 Padang 1.666 3.898
4 Pekanbaru 2.372 5.934
5 Jambi 705 2.200
6 Palembang 1.603 4.362
7 Bangka Belitung 547 1.501
8 Bengkulu 637 1.454
9 Bandar Lampung 1.262 3.632
10 Jakarta 2.737 6.551
11 Banten 1.857 5.161
12 Bandung 17.809 42.137
13 Semarang 21.771 48.998
14 Yogyakarta 1.619 3.432
15 Surabaya 28.929 56.555
16 Pontianak 845 2.598
17 Palangkaraya 511 1.441
18 Banjarmasin 1.606 5.053
19 Samarinda 1.906 4.459
20 Manado 287 799
21 Gorontalo 306 863
22 P a l u 561 1.506
23 Kendari 510 1.226
24 Makassar 2.539 8.151
25 Mataram 1.421 3.952
26 Kupang 122 179
27 Ambon 117 229
28 Maluku Utara 276 407
29 Jayapura 411 849
Jumlah 98.074 225.966
324.040
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2013
74 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Selama tahun 2013, angka perceraian secara nasional sebanyak 324.040
(tiga ratus dua puluh empat ribu empat puluh) perkara. Perkara perceraian
didominasi oleh cerai gugat dari pada cerai thalak. Peningkatan jumlah perkara
pada tahun 2013 sebanyak 19.645 perkara dari perkara perceraian pada tahun
2012. Sedangkan jumlah angka perceraian pada tahun 2014 juga mengalami
peningkatan sebagaimana tabel di bawah.
Tabel 5.3.
Rekapitulasi Jumlah Perceraian Tahun 2014
Nomor MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH/PENGADILAN TINGGI
AGAMA Cerai Talak Cerai Gugat
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1.146 2.978
2 Medan 2.062 6.695
3 Padang 1.776 4.267
4 Pekanbaru 2.402 6.470
5 Jambi 788 2.456
6 Palembang 1.575 4.574
7 Bangka Belitung 526 1.470
8 Bengkulu 688 1.638
9 Bandar Lampung 1.651 4.517
10 Jakarta 2.943 7.488
11 Banten 1.983 5.848
12 Bandung 18.219 47.629
13 Semarang 21.707 50.853
14 Yogyakarta 1.673 3.925
15 Surabaya 30.325 59.081
16 Pontianak 895 2.883
17 Palangkaraya 536 1.650
18 Banjarmasin 1.434 5.347
19 Samarinda 1.888 4.889
20 Manado 310 861
21 Gorontalo 336 958
22 P a l u 651 1.752
23 Kendari 477 1.413
24 Makassar 2.575 8.815
25 Mataram 1.475 4.233
26 Kupang 114 176
27 Ambon 134 294
28 Maluku Utara 226 430
29 Jayapura 454 972
Jumlah 100.969 244.562
345.531
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2014
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 75
Selama tahun 2014, angka perceraian secara nasional sebanyak 345.531
(tiga ratus empat puluh lima ribu lima ratus tiga puluh satu). Perkara perceraian
didominasi oleh cerai gugat dari pada cerai thalak. Peningkatan jumlah perkara
pada tahun 2014 sebanyak 21.491 perkara dari perkara perceraian pada tahun
2013. Sedangkan jumlah angka perceraian pada tahun 2015 juga mengalami
peningkatan sebagaimana tabel di bawah.
Tabel 5.4.
Rekapitulasi Jumlah Perceraian Tahun 2015
Nomor MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH/PENGADILAN TINGGI
AGAMA Cerai Talak Cerai Gugat
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1213 3396
2 Medan 2123 7522
3 Padang 1755 4463
4 Pekanbaru 2402 6499
5 Jambi 809 2740
6 Palembang 1667 5101
7 Bangka Belitung 554 1467
8 Bengkulu 723 1718
9 Bandar Lampung 1504 5170
10 Jakarta 2693 7609
11 Banten 2077 6856
12 Bandung 19485 50808
13 Semarang 20990 50911
14 Yogyakarta 1489 3731
15 Surabaya 28631 58844
16 Pontianak 860 3094
17 Palangkaraya 580 1856
18 Banjarmasin 1482 5310
19 Samarinda 1803 4966
20 Manado 331 1021
21 Gorontalo 311 989
22 P a l u 728 1824
23 Kendari 537 1522
24 Makassar 2647 9564
25 Mataram 1592 4713
26 Kupang 158 229
27 Ambon 134 369
28 Maluku Utara 250 485
29 Jayapura 453 1085
Jumlah 99981 253862
353.843
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2015
76 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Selama tahun 2015, angka perceraian secara nasional sebanyak 353.843
(tiga ratus lima puluh tiga ribu delapan ratus empat puluh tiga) perkara. Perkara
perceraian didominasi oleh cerai gugat dari pada cerai thalak. Peningkatan jumlah
perkara pada tahun 2015 sebanyak 8.312 perkara dari perkara perceraian pada
tahun 2014. Sedangkan jumlah angka perceraian pada tahun 2016 juga
mengalami peningkatan sebagaimana tabel di bawah.
Tabel 5.5.
Rekapitulasi Jumlah Perceraian Tahun 2016
Nomor MAHKAMAH SYAR'IYAH ACEH/PENGADILAN
TINGGI AGAMA Cerai Talak Cerai Gugat
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1326 3643
2 Medan 2282 8130
3 Padang 1842 4761
4 Pekanbaru 2401 6774
5 Jambi 795 2718
6 Palembang 1822 5693
7 Bangka Belitung 503 1504
8 Bengkulu 702 1819
9 Bandar Lampung 1724 5857
10 Jakarta 3081 8240
11 Banten 2281 7859
12 Bandung 20626 54375
13 Semarang 20690 50683
14 Yogyakarta 1489 3672
15 Surabaya 27728 58763
16 Pontianak 930 3264
17 Palangkaraya 587 1884
18 Banjarmasin 1471 5466
19 Samarinda 1826 5199
20 Manado 361 1078
21 Gorontalo 444 1295
22 P a l u 826 2004
23 Kendari 590 1822
24 Makassar 2785 9883
25 Mataram 1731 5011
26 Kupang 139 236
27 Ambon 132 352
28 Maluku Utara 341 607
29 Jayapura 473 1134
Jumlah 101928 263726
365.654
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2016
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 77
Selama tahun 2016, angka perceraian secara nasional sebanyak 365.654
(tiga ratus enam puluh lima ribu enam ratus lima puluh empat) perkara. Perkara
perceraian didominasi oleh cerai gugat dari pada cerai thalak. Peningkatan jumlah
perkara pada tahun 2016 sebanyak 20.123 perkara dari perkara perceraian pada
tahun 2015.
Berdasarkan tabel-tabel rekapitulasi selama lima tahun (2012-2016) angka
perceraian dalam keluarga muslim di Indonesia mengalami peningkatan.
Peningkatan itu terjadi rata-rata sekitar 7% pertahun sebagaimana dalam tabel di
bawah ini.
Tabel 5.6
Rekapitulasi Jumlah Perceraian 2012-2016 se Indonesia
No Tahun Cerai
Talak
Cerai
Gugat Jumlah
Peningkatan Jumlah Angka
Cerai Per Tahun %
1 2012 91800 212595 304.395 - -
2 2013 98.074 225.966 324.040 19.645 6
3 2014 100.969 244.562 345.531 21.491 6,6
4 2015 99981 253862 353.843 8.312 2
5 2016 101928 263726 365.654 11.811 3
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2012-2016
Data tersebut bisa dibuat panjang dengan menguraikan sejumlah angka
perceraian secara nasional disandingkan dengan angka perkawinan setiap
provinsi. Dari sana kemudian dapat dilihat pada masing-masing provinsi
perbandingan jumlah pernikahan dan perceraian selama 5 tahun yaitu 2012-2016.
Perbandingan ini menjadi penting guna membaca persentase tingkat perceraian
dengan pernikahan yang berada pada wilayah provinsi di Indonesia. Tabel-tabel
di bawah ini menjelaskan mengenai perbandingan angka perceraian dengan
pernikahan di Indonesia.
Tabel 5.7
Persentase Jumlah Perceraian dengan Perkawinan Tahun 2012
No. MS/PTA Cerai
Talak
Cerai
Gugat Total
Data
Nikah
%
Cerai dg
Nikah
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 969 2.336 3.305 42.049 8%
2 Medan 1.890 5.109 6.999 108.371 6%
3 Padang 1.742 3.684 5.426 48.017 11%
4 Pekanbaru 2.293 5.729 8.022 62.867 13%
5 Jambi 731 2.087 2.818 33.166 8%
6 Palembang 1.596 4.152 5.748 88.628 6%
7 Bangka Belitung 509 1.409 1.918 12.240 16%
8 Bengkulu 615 1.208 1.823 18.874 10%
9 Bandar Lampung 1.308 3.363 4.671 90.714 5%
10 Jakarta 2.467 6.162 8.629 62.254 14%
11 Banten 1.658 4.415 6.073 110.355 6%
12 Bandung 16.676 40.246 56.922 490.956 12%
13 Semarang 19.835 45.268 65.103 338.427 19%
14 Yogyakarta 1.540 3.377 4.917 26.543 19%
78 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
15 Surabaya 27.425 54.246 81.671 393.731 21%
16 Pontianak 734 2.597 3.331 30.618 11%
17 Palangkaraya 465 1.364 1.829 20.803 9%
18 Banjarmasin 1.461 4.709 6.170 39.455 16%
19 Samarinda 1.796 4.336 6.132 32.209 19%
20 Manado 228 738 966 8.353 12%
21 Gorontalo 252 738 990 11.263 9%
22 P a l u 606 1.442 2.048 22.799 9%
23 Kendari 412 1.102 1.514 21.276 7%
24 Makassar 2.397 7.557 9.954 92.958 11%
25 Mataram 1.410 3.689 5.099 58.009 9%
26 Kupang 100 180 280 3.668 8%
27 Ambon 81 192 273 7.195 4%
28 Maluku Utara 230 317 547 7.447 7%
29 Jayapura 374 843 1.217 8.020 15%
JUMLAH 91.800 212.595 304.395 2.291.265 13%
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2012
Rata-rata jumlah perceraian atas pernikahan selama tahun 2012 secara
nasional adalah 13%. Artinya, setiap peristiwa perkawinan sebanyak 100 orang
berakhir dengan perceraian sebanyak 13 orang pada tahun yang sama, setiap
peristiwa perkawinan sebanyak 1000 orang berakhir dengan perceraian sebanyak
130 orang pada tahun yang sama, setiap peristiwa perkawinan sebanyak 10000
orang berakhir dengan perceraian sebanyak 1300 orang pada tahun yang sama.
Demikian seterusnya. Namun, jika dilihat dari 3 provinsi terbanyak peristiwa
perceraian atas pernikahan pada tahun 2012, persentasenya jatuh pada wilayah
PTA Surabaya sebanyak 21%, Yogyakarta, Semarang dan Samarinda masing-
masing 19%.
Tabel 5.8
Persentase Jumlah Perceraian dengan Perkawinan Tahun 2013
No. MS/PTA Cerai Talak
Cerai Gugat
Total Nikah
Persentase
Perceraian
dg Nikah
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1.063 2.712 3.775 40.478 9%
2 Medan 2.079 5.727 7.806 100.988 8%
3 Padang 1.666 3.898 5.564 44.568 12%
4 Pekanbaru 2.372 5.934 8.306 58.234 14%
5 Jambi 705 2.200 2.905 31.036 9%
6 Palembang 1.603 4.362 5.965 78.469 8%
7 Bangka Belitung 547 1.501 2.048 11.096 18%
8 Bengkulu 637 1.454 2.091 16.935 12%
9 Bandar Lampung 1.262 3.632 4.894 80.531 6%
10 Jakarta 2.737 6.551 9.288 59.935 15%
11 Banten 1.857 5.161 7.018 107.263 7%
12 Bandung 17.809 42.137 59.946 490.177 12%
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 79
13 Semarang 21.771 48.998 70.769 355.665 20%
14 Yogyakarta 1.619 3.432 5.051 25.921 19%
15 Surabaya 28.929 56.555 85.484 360.521 24%
16 Pontianak 845 2.598 3.443 27.805 12%
17 Palangkaraya 511 1.441 1.952 19.475 10%
18 Banjarmasin 1.606 5.053 6.659 37.422 18%
19 Samarinda 1.906 4.459 6.365 30.500 21%
20 Manado 287 799 1.086 8.717 12%
21 Gorontalo 306 863 1.169 10.116 12%
22 P a l u 561 1.506 2.067 21.416 10%
23 Kendari 510 1.226 1.736 20.222 9%
24 Makassar 2.539 8.151 10.690 85.756 12%
25 Mataram 1.421 3.952 5.373 57.622 9%
26 Kupang 122 179 301 3.707 8%
27 Ambon 117 229 346 7.767 4%
28 Maluku Utara 276 407 683 9.725 7%
29 Jayapura 411 849 1.260 7.983 16%
JUMLAH 98.074 225.966 324.040 2.210.050 15%
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2013
Rata-rata jumlah perceraian atas pernikahan selama tahun 2013 secara
nasional adalah 15%. Ini meningkat 2% dari tahun 2012. Artinya, setiap peristiwa
perkawinan sebanyak 100 orang berakhir dengan perceraian sebanyak 15 orang
pada tahun yang sama, setiap peristiwa perkawinan sebanyak 1000 orang
berakhir dengan perceraian sebanyak 150 orang pada tahun yang sama, setiap
peristiwa perkawinan sebanyak 10000 orang berakhir dengan perceraian
sebanyak 1500 orang pada tahun yang sama. Demikian seterusnya. Namun, jika
dilihat dari 3 provinsi terbanyak peristiwa perceraian atas pernikahan pada tahun
2013, persentasenya jatuh pada wilayah PTA Surabaya sebanyak 24%,
Samarinda 21%, dan Semarang sebanyak 20%.
Tabel 5.9
Persentase Jumlah Perceraian dengan Perkawinan Tahun 2014
No MS/PTA Cerai
Talak
Cerai
Gugat Total
Data
Nikah
Persentase
Perceraian
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1.146 2.978 4.124 40.565 10%
2 Medan 2.062 6.695 8.757 92.935 9%
3 Padang 1.776 4.267 6.043 59.515 10%
4 Pekanbaru 2.402 6.470 8.872 58.687 15%
5 Jambi 788 2.456 3.244 28.265 11%
6 Palembang 1.575 4.574 6.149 71.799 9%
7 Bangka Belitung 526 1.470 1.996 10.100 20%
8 Bengkulu 688 1.638 2.326 15.542 15%
9 Bandar Lampung 1.651 4.517 6.168 74.815 8%
80 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
10 Jakarta 2.943 7.488 10.431 57.652 18%
11 Banten 1.983 5.848 7.831 98.312 8%
12 Bandung 18.219 47.629 65.848 451.749 15%
13 Semarang 21.707 50.853 72.560 328.829 22%
14 Yogyakarta 1.673 3.925 5.598 24.161 23%
15 Surabaya 30.325 59.081 89.406 348.653 26%
16 Pontianak 895 2.883 3.778 24.474 15%
17 Palangkaraya 536 1.650 2.186 17.883 12%
18 Banjarmasin 1.434 5.347 6.781 30.003 23%
19 Samarinda 1.888 4.889 6.777 29.729 23%
20 Manado 310 861 1.171 7.412 16%
21 Gorontalo 336 958 1.294 9.799 13%
22 P a l u 651 1.752 2.403 21.089 11%
23 Kendari 477 1.413 1.890 20.616 9%
24 Makassar 2.575 8.815 11.390 83.658 14%
25 Mataram 1.475 4.233 5.708 59.700 10%
26 Kupang 114 176 290 3.775 8%
27 Ambon 134 294 428 7.870 5%
28 Maluku Utara 226 430 656 8.974 7%
29 Jayapura 454 972 1.426 7.455 19%
JUMLAH 100.969 244.562 345.531 2.094.016 17%
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2014
Rata-rata jumlah perceraian atas pernikahan selama tahun 2014 secara
nasional adalah 17%. Ini meningkat 2% dari tahun 2013. Artinya, setiap peristiwa
perkawinan sebanyak 100 orang berakhir dengan perceraian sebanyak 17 orang
pada tahun yang sama, setiap peristiwa perkawinan sebanyak 1000 orang
berakhir dengan perceraian sebanyak 170 orang pada tahun yang sama, setiap
peristiwa perkawinan sebanyak 10000 orang berakhir dengan perceraian
sebanyak 1700 orang pada tahun yang sama. Demikian seterusnya. Namun, jika
dilihat dari 3 provinsi terbanyak peristiwa perceraian atas pernikahan pada tahun
2014, persentasenya jatuh pada wilayah PTA Surabaya sebanyak 26%,
Yogyakarta, Banjarmasin dan Samarinda masing-masing sebanyak 23%.
Tabel 5.10
Persentase Jumlah Perceraian dengan Perkawinan Tahun 2015
No. MS/PTA Cerai
Talak
Cerai
Gugat Total
Data
Nikah
Persentase
Perceraian
dg Nikah
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1.213 3.396 4.609 42.969 11%
2 Medan 2.123 7.522 9.645 86.896 11%
3 Padang 1.755 4.463 6.218 42.736 15%
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 81
4 Pekanbaru 2.402 6.499 8.901 55.561 16%
5 Jambi 809 2.740 3.549 24.752 14%
6 Palembang 1.667 5.101 6.768 62.599 11%
7 Bangka Belitung 554 1.467 2.021 7.952 25%
8 Bengkulu 723 1.718 2.441 14.725 17%
9 Bandar Lampung 1.504 5.170 6.674 67.453 10%
10 Jakarta 2.693 7.609 10.302 55.969 18%
11 Banten 2.077 6.856 8.933 91.018 10%
12 Bandung 19.485 50.808 70.293 441.813 16%
13 Semarang 20.990 50.911 71.901 327.521 22%
14 Yogyakarta 1.489 3.731 5.220 23.734 22%
15 Surabaya 28.631 58.844 87.475 313.150 28%
16 Pontianak 860 3.094 3.954 23.407 17%
17 Palangkaraya 580 1.856 2.436 16.790 15%
18 Banjarmasin 1.482 5.310 6.792 27.490 25%
19 Samarinda 1.803 4.966 6.769 26.073 26%
20 Manado 331 1.021 1.352 6.805 20%
21 Gorontalo 311 989 1.300 9.301 14%
22 P a l u 728 1.824 2.552 19.936 13%
23 Kendari 537 1.522 2.059 17.440 12%
24 Makassar 2.647 9.564 12.211 75.169 16%
25 Mataram 1.592 4.713 6.305 52.076 12%
26 Kupang 158 229 387 3.506 11%
27 Ambon 134 369 503 6.234 8%
28 Maluku Utara 250 485 735 7.825 9%
29 Jayapura 453 1.085 1.538 7.494 21%
JUMLAH 99.981 253.862 353.843 1.958.394 18%
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2015
Rata-rata jumlah perceraian atas pernikahan selama tahun 2015 secara
nasional adalah 18%. Ini meningkat 1% dari tahun 2014. Artinya, setiap peristiwa
perkawinan sebanyak 100 orang berakhir dengan perceraian sebanyak 18 orang
pada tahun yang sama, setiap peristiwa perkawinan sebanyak 1000 orang
berakhir dengan perceraian sebanyak 180 orang pada tahun yang sama, setiap
peristiwa perkawinan sebanyak 10000 orang berakhir dengan perceraian
sebanyak 1800 orang pada tahun yang sama. Demikian seterusnya. Namun, jika
dilihat dari 3 provinsi terbanyak peristiwa perceraian atas pernikahan pada tahun
2015, persentasenya jatuh pada wilayah PTA Surabaya sebanyak 28%,
Samarinda 26%, Banjarmasin dan Bangka Belitung masing-masing sebanyak
25%.
82 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Tabel 5.11
Persentase Jumlah Perceraian dengan Perkawinan Tahun 2016
No. MS/PTA Cerai
Talak
Cerai
Gugat Total
Data
Nikah
Persentase
Perceraian
dg Nikah
1 Mahkamah Syar'iyah Aceh 1326 3643 4969 42.482 12%
2 Medan 2282 8130 10412 81.946 13%
3 Padang 1842 4761 6603 42.026 16%
4 Pekanbaru 2401 6774 9175 52.460 17%
5 Jambi 795 2718 3513 24.961 14%
6 Palembang 1822 5693 7515 59.606 13%
7 Bangka Belitung 503 1504 2007 7.948 25%
8 Bengkulu 702 1819 2521 14.826 17%
9 Bandar Lampung 1724 5857 7581 63.228 12%
10 Jakarta 3081 8240 11321 54.696 21%
11 Banten 2281 7859 10140 83.543 12%
12 Bandung 20626 54375 75001 386.242 19%
13 Semarang 20690 50683 71373 300.911 24%
14 Yogyakarta 1489 3672 5161 22.053 23%
15 Surabaya 27728 58763 86491 306.963 28%
16 Pontianak 930 3264 4194 23.340 18%
17 Palangkaraya 587 1884 2471 14.609 17%
18 Banjarmasin 1471 5466 6937 25.178 28%
19 Samarinda 1826 5199 7025 26.160 27%
20 Manado 361 1078 1439 6.881 21%
21 Gorontalo 444 1295 1739 9.148 19%
22 P a l u 826 2004 2830 18.549 15%
23 Kendari 590 1822 2412 17.151 14%
24 Makassar 2785 9883 12668 83.279 15%
25 Mataram 1731 5011 6742 45.906 15%
26 Kupang 139 236 375 3.499 11%
27 Ambon 132 352 484 6.185 8%
28 Maluku Utara 341 607 948 7.127 13%
29 Jayapura 473 1134 1607 6.568 24%
JUMLAH 101928 263726 365654 1.837.471 20%
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2016
Rata-rata jumlah perceraian atas pernikahan selama tahun 2016 secara
nasional adalah 20%. Ini meningkat 2% dari tahun 2015. Artinya, setiap peristiwa
perkawinan sebanyak 100 orang berakhir dengan perceraian sebanyak 20 orang
pada tahun yang sama, setiap peristiwa perkawinan sebanyak 1000 orang
berakhir dengan perceraian sebanyak 200 orang pada tahun yang sama, setiap
peristiwa perkawinan sebanyak 10000 orang berakhir dengan perceraian
sebanyak 2000 orang pada tahun yang sama. Demikian seterusnya. Namun, jika
dilihat dari 3 provinsi terbanyak peristiwa perceraian atas pernikahan pada tahun
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 83
2016, persentasenya jatuh pada wilayah PTA Surabaya dan Banjarmasin masing-
masing sebanyak 28%, Samarinda 27%, dan Semarang 24%.
Data persentase jumlah perceraian atas pernikahan dilihat per provinsi
sangat menarik. Tiga provinsi tertinggi persentase jumlah perceraian atas
pernikahan dimiliki oleh wilayah PTA Surabaya. Yang cukup menarik disini
ialah persentase jumlah perceraian atas pernikahan di wilayah PTA DKI. Selama
lima tahun tidak banyak perubahan dan peningkatan persentase sehingga bisa
dikatakan bahwa jumlah perceraian dalam keluarga muslim Jakarta masih rendah
dibanding dengan provinsi lainnya. Tabel 4.12 di bawah ini menjelaskan jumlah
persentase perceraian atas pernikahan tertinggi di 3 provinsi di Indonesia.
Tabel 5.12
Provinsi dengan Persentase Tertinggi
Jumlah Perceraian atas Pernikahan Tahun 2012-2016
No Tahun MS/PTA Cerai
Thalak
Cerai
Gugat Total
Data
Nikah %
1 2012 Surabaya 27.425 54.246 81.671 393.731 21%
Semarang 19.835 45.268 65.103 338.427 19%
Yogyakarta 1.540 3.377 4.917 26.543 19%
Samarinda 1.796 4.336 6.132 32.209 19%
2 2013 Surabaya 28.929 56.555 85.484 360.521 24%
Samarinda 1.906 4.459 6.365 30.500 21%
Semarang 21.771 48.998 70.769 355.665 20%
3 2014 Surabaya 30.325 59.081 89.406 348.653 26%
Yogyakarta 1.673 3.925 5.598 24.161 23%
Banjarmasin 1.434 5.347 6.781 30.003 23%
Samarinda 1.888 4.889 6.777 29.729 23%
4 2015 Surabaya 28.631 58.844 87.475 313.150 28%
Samarinda 1.803 4.966 6.769 26.073 26%
Banjarmasin 1.482 5.310 6.792 27.490 25%
Bangka Belitung 554 1.467 2.021 7.952 25%
5 2016 Surabaya 27728 58763 86491 306.963 28%
Banjarmasin 1471 5466 6937 25.178 28%
Samarinda 1826 5199 7025 26.160 27%
Semarang 20690 50683 71373 300.911 24%
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2016
Secara nasional, jumlah persentase perceraian atas pernikahan terendah
dimiliki oleh wilayah Ambon, Maluku Utara dan Bandar Lampung selama tahun
2012, wilayah PTA Ambon, Kupang dan Maluku Utara selama tahun 2014, dan
wilayah PTA Ambon, Kupang dan Bandar Lampung selama tahun 2013, 2015
dan 2016.
Berdasarkan gambaran jumlah persentase angka perceraian atas pernikahan
selama lima tahun terakhir (2012-2016) ditemukan bahwa keluarga muslim
Indonesia menghadapi ancaman percerian yang serius. Hal ini ditandai dengan
angka perceraian yang meningkat setiap tahun padahal angka pernikahan
jumlahnya menurun. Jika pada tahun 2016 jumlah perceraian sebanyak 365.654,
maka setiap hari telah terjadi peristiwa perceraian sebanyak 1.015 kasus, setiap
jam terjadi peristiwa perceraian sebanyak 42 kasus. Dengan demikian, cukup
84 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
beralasan jika keluarga muslim Indonesia menghadapi darurat perceraian. Tabel
di bawah ini menjelaskan jumlah angka perceraian selama lima tahun yang
meningkat sedangkan jumlah pernikahan selama lima tahun menurun.
Tabel 5.13
Jumlah Peceraian dan Pernikahan 2012-2016
Tahun Cerai Talak
Cerai Gugat
Total Cerai
Nikah Persentase Perceraian dg Nikah
Peningkatan Angka
Perceraian
Persentase Peningkatan
Cerai
2012 91.800 212.595 304.395 2.291.265 13% - -
2013 98.074 225.966 324.040 2.210.050 15% 19.645 6%
2014 100.969 244.562 345.531 2.094.064 17% 21.491 6,6%
2015 99.981 253.862 353.843 1.958.400 18% 8.312 2%
2016 101.928 263.726 365.654 1.837.471 20% 11.811 3%
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2012-2016
Berdasarkan tabel di atas, jumlah perceraian meningkat setiap tahun dan
pernikahan menurun selama lima tahun terakhir. Oleh karena itu persentase orang
yang bercerai dengan pernikahan meningkat. Namun peningkatan jumlah
perceraian selama lima tahun sangat fluktuatif, demikan pula dengan jumlah
peningkatan persentasenya. Satu hal yang pasti bahwa perceraian di Indonesia
jelas meningkat sekalipun jumlah peningkatannya tidak konstan setiap tahunnya.
Jika melihat ke belakang, sebelum tahun 1990-an perceraian di Indonesia
didominasi oleh cerai talak atau suami sebagai penginisiatif terjadinya perceraian.
Namun mulai tahun 1990-an, perceraian di Indonesia berubah haluan, cerai gugat
lebih mendominasi angka perceraian di Indonesia dibandingkan cerai talak.
Pergeseran ini terus berlanjut bahkan angka cerai gugat terus mengalami
peningkatan tiap tahunnya hingga sekarang.4
Data jumlah perceraian secara nasional di atas dapat dibandingkan dengan
data perceraian per provinsi yang ada di Indonesia. Misalnya, untuk provinsi
Jawa Barat jumlah angka perceraian, persentasenya, peningkatan dan penurunan
jumlahnya bisa dibandingkan dengan jumlah angka perceraian secara nasional
sebagaimana tergambar dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5.14
Perbandingan Jumlah Perceraian 2012-2016 se Indonesia
Dengan Provinsi Jawa Barat Thn Wilayah Cerai
Talak Cerai Gugat
Total Cerai
Nikah Persentase Perceraian dg Nikah
Peningkatan Angka
Perceraian
% Peningkatan Cerai
2012
Nasional 91.800 212.595 304.395 2.291.265 13% - 0%
PTA Bandung
16.676 40.246 56.922 490.956 12%
2013
Nasional 98.074 225.966 324.040 2.210.050 15% 19.645 6%
PTA Bandung
17.809 42.137 59.946 490.177 12% 3.024 19%
4 Mark E. Cammack, Islamic Law In Contemporary Indonesia Ideal And Institution, editor
R. Michael Feener, (Cambridge: harvard university Press, 2007), hlm. 105.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 85
2014
Nasional 100.969 244.562 345.531 2.094.064 17% 21.491 6,6%
PTA
Bandung 18219 47629 65.848 451.802 15% 5.900 11%
2015
Nasional 99.981 253.862 353.843 1.958.400 18% 8.312 2%
PTA Bandung
19.485 50.808 70.293 441.813 16% 4.445 15,6%
2016
Nasional 101.928 263.726 365.654 1.837.471 20% 11.811 3%
PTA Bandung
20.626 54.375 75.001 386.242 19% 4.708 16%
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2012-2016
Berdasarkan tabel di atas, angka perceraian di wilayah PTA Bandung dalam
lima tahun meningkat. Hal ini setara dengan peningkatan jumlah angka
perceraian secara nasional. Namun, persentase peningkatan jumlah angka
perceraian di wilayah PTA Bandung melampaui angka nasional. Misalnya untuk
tahun 2013, angka perceraian naik sebanyak 3.024 (19%) dari tahun 2012.
Padahal persentase angka perceraian secara nasional sebanyak 6%. Pada tahun
2014 peningkatan angka perceraian di Jawa Barat sebanyak 11% alias menurun
dari tahun 2013. Namun jumlah yang bercerai meningkat dari tahun 2013, yaitu
sebanyak 5.900 pada tahun 2014. Pada tahun 2015 angka perceraian di Jawa
Barat meningkat sebantak 4.445 dari tahun 2014 atau setara dengan 15.6 %. Dan
pada tahun 2016 angka perceraian di Jawa Barat meningkat sebanyak 4.708 dari
tahun 2015 yang kenaikannya setara dengan 16%.
Dengan demikian, pada level nasional maupun regional di Jawa Barat
terjadi peningkatan angka perceraian sepanjang tahun 2012-2016. Persentasenya
memang fluktuatif baik secara nasional maupun regional di Jawa Barat namun
satu hal yang pasti jumlahnya setiap tahun meningkat.
Lalu kelompok mana yang paling banyak mengalami perceraian?
Penelusuran dilakukan terhadap data-data yang bersumber dari Pengadilan Tinggi
Agama yang berada di Indonesia. Berdasarkan pekerjaan, data Pengadilan Agama
tahun 2014 mencatat perceraian di Padang banyak terjadi pada buruh dan swasta
(633 kasus), disusul mereka yang tidak ada pekerjaan (355 kasus) dan
PNS/POLRI/TNI/ Pensiunan (131 kasus). Sedangkan berdasarkan pendidikan,
kasus perceraian banyak terjadi pada mereka dengan pendidikan SLTA (625
kasus), disusul S1 (196 kasus), dan SLTP (134 kasus). Selain itu terdapat 62
kasus pada mereka dengan tingkat pendidikan SD dan yang paling sedikit pada
mereka dengan tingkat pendidikan D1 (9 kasus) serta S3 (3 kasus). 5
Di wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung para pihak yang
mengajukan perceraian dillihat dari segi umur pemohon/penggugat didominasi
oleh usia 31-40 tahun. Tabel di bawah ini menyajikan tingkat perceraian di
Pengadilan Agama Se Jawa Barat ditinjau dari segi umur pemohon. Dapat
diperoleh data bahwa permohonan/gugatan ke Pengadilan Agama oleh para
pemohon didominasi oleh usia 31-40 tahun, 21-30 Tahun, 41-50 tahun dan usia di
5 Wahidah R.. Bulan, dan Lastriyah, “Fenomena Peningkatan Cerai Gugat Di Padang:
Indikasi Kebangkitan Peempuan”? dalam Ketika Perempuan Bersikap : Tren Cerai Gugat
Keluarga Muslim. (Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun,
2016). Hlm 90
86 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
bawah 20 tahun. Dominasi umur para pemohon pada usia 30an tahun menempati
urutan pertama, kemudian urutan kedua pada umur 20an tahun dan 40an tahun.
Dengan gambaran data ini, usia rentan pada masa perkawinan bagi pemohon
berada di usia 31-40 tahun yang sangat mungkin pasangan suami isteri memiliki
anak-anak yang berada dalam pengasuhan.
Tabel 5.15
Perceraian di Wilayah PTA Bandung ditinjau dari Segi Umur
Pemohon/Penggugat
No TAHUN
UMUR
>20
21-30
31-40
41-50
51-60
>60
1 2015 1 68 111 101 23 -
2 2016 905 14695 17666 10972 4448
3 2017 2973 31264 34127 19162 6973 -
Sumber : Diolah dari Statitistik PA Se Jawa Barat pada PTA Bandung
Sekalipun angka-angka penyajian jumlah perceraian di atas masih sangat
“terbatas” terutama data yang diperoleh tahun 2015, namun berdasarkan
gambaran data pada 2 tahun berikutnya yakni tahun 2016 dan tahun 2017
menunjukkan bahwa umur pasangan suami isteri sebagai pemohon didominasi
oleh pasangan yang berusia 31-40 tahun. Dengan gambaran ini maka usia
perkawinan di usia pasangan yang berada pada usia 31-40 tahun sangat rentan
dan rapuh menghadapi ancaman perceraian. 6
Di Pengadilan Agama Padang, usia para pihak yang mengajukan perkara
perceraian terjadi pada berbagai usia. Usia terbanyak yang mengajukan
perceraian adalah suami isteri yang berusia di antara 21-40 tahun. Selanjutnya
angka perceraian juga banyak terjadi pada usia 41- 60 tahun. Sedangkan pada
usia 16 – 20 tahun dan usia 61 tahun ke atas tidak banyak terjadi. 7
Sejalan dengan data perceraian dari segi umur di atas, pasangan yang
menikah di bawah umur memang tidak sebanyak yang di atas usia 20 tahunan.
Namun demikian, data-data usia perkawinan yang berada di bawah 20 tahun
khususnya di Jawa Barat cukup banyak, yaitu sebanyak 2973. Hal ini sejalan
dengan temuan yang dilakukan Riskesdas 2010, perempuan muda di Indonesia
dengan usia 10-14 tahun menikah sebanyak 0,2 persen atau lebih dari 22.000
wanita muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah. Jumlah dari
perempuan muda berusia 15-19 tahun yang menikah lebih besar jika
6 Untuk menunjukkan rapuhnya ikatan perkarawinan, di Pengadilan Agama Cimahi
misalnya, ada banyak perkara yang sudah di proses, ketika di tengah persidangan kedua pihak
mencabut perkaranya kembali dan tidak lama berselang datang lagi minta bantuan untuk diurus
kembali perceraianya. Asep Arif Ridwanullah (Advokat), Hasil Wawancara, Bandung, 10
September 2017 7 Nurhasanah dan Rozalinda. “Persepsi Perempuan terhadap Perceraian: Studi Analisis
Terhadap Meningkatnya Angka Gugatan Cerai di Pengadilan Agama Padang” dalam Kafa‟ah:
Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. 4 No. 2 Tahun 2014, Padang.. Hlm. 184
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 87
dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun (11,7 % perempuan dan
1,6 % laki-laki usia 15-19 tahun). Selain itu jumlah aborsi di Indonesia
diperkirakan mencapai 2,3 juta per-tahun. Sekitar 750.000 diantaranya dilakukan
oleh remaja. 8
Kasus pernikahan anak bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Mahkamah
Konstitusi (MK) belum lama ini menolak meningkatkan usia minimum
pernikahan bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Hal ini mendapat
penolakan bagi sebagian kalangan, diantaranya aktivis yang fokus pada hak anak
dalam organisasi koalisi 18+ dan Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Selaku
pemohon, berteriak menolak putusan ini, mengingat Indonesia sedang darurat
kasus pernikahan anak. Mereka berdalih pernikahan pada anak di bawah umur
merugikan perempuan, baik dari segi sosial, ekonomi, dan psikologis. Suatu
fenomena yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengingat masih menjadi
pertentangan tentang usia perkawinan yang sesuai. 9
Dari segi tingkat pendidikan di Provinsi Jawa Barat, pasangan suami isteri
yang bercerai juga beragam, yaitu mulai dari tingkat SD, SMP, SMA dan
perguruan Tinggi. Masing-masing tingkat pendidikan tersebut sebagian besar
sepanjang 3 tahun, yaitu tahun 2015 s.d. 2017 didominasi oleh
pemohon/penggugat yang berasal dari jenjang SMA. Penjelasan mengenai hal ini
dapat dilihat pada sajian tabel di bawah ini.
Tabel 5.16
Perceraian di Wilayah PTA Bandung ditinjau
dari Segi Pendidikan Pemohon/Penggugat
No TAHUN
TINGKAT PENDIDIKAN
SD SMP SMA D1 D3 S1 S2 S3
1 2015 8261
2 2016 20446 11384 57585 1555 1971 9773 1971 -
3 2017 27462 21112 35850 649 2737 6830 571 -
Sumber : Diolah dari Statitistik PA Se Jawa Barat pada PTA Bandung
Data perceraian dari segi pendidikan di Provinsi Jawa Barat terjadi pada
pasangan yang tingkat pendidikannya berada pada jenjang SMA, SMP, SD dan
kemudian Sarjana. Pada jenjang pendidikan SMA, selama tiga tahun di Jawa
Barat jumlah pasangan suami isteri sebagai pemohon/penggugat sanngat
mendominasi dari jenjang pendidikan lainnya.
Jumlah perceraian ditinjau dari segi pendidikan pada tingkat sarjana di
Jawa Barat tidak sebanyak pada jenjang SMA. Namun demikian, angka
perceraian pada tingkat sarjana di beberapa tempat memiliki kecenderungan naik
jumlahnya. Misalnya studi yang dilakukan oleh Nunung Rodhiyah dengan judul
8 BKKBN, Profil Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2011, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional, Direktorat Pelaporan dan Statistik tahun 2011, Jakarta. 9 Hasan Bastomi, “Pernikahan Dini dan Dampaknya (Tinjauan Batas Umur Perkawinan
Menurut Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia) dalam Yudisia, Vol. 7, No. 2,
Desember 2016.. Hlm 356.
88 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
“Perceraian Pasangan Muslim Berpendidikan Tinggi (Studi Kasus di Kota
Bandar Lampung)” yang melakukan penelitian di Provinsi Lampung
menyimpulkan bahwa Kesadaran gender kaum wanita muslim telah
menimbulkan fenomena baru di era modern saat ini. Yakni Fenomena tingkat
perceraian pasangan Muslim berpendidikan tinggi terus meningkat. Perceraian
dengan kecenderungan gugat juga lebih banyak dibanding cerai talak. Biasanya
tingkat perceraian yang tinggi dialami oleh negara atau wilayah yang tingkat
pendidikan masyarakatnya relatif rendah. Fenomena yang berbalik ini tentunya
telah menimbulkan masalah yang harus dihadapi, baik pasangan yang bercerai
dan berbagai pihak. 10
Penelitian yang dilakukan oleh Nunung Rodiyah ini sekaligus membantah
teori Murdock yang mengatakan bahwa perceraian banyak terjadi di Negara-
negara yang tingkat pendidikannya masih rendah. Teori ini kemudian tidak
terbukti dengan apa yang terjadi di Kota Bandar Lampung yang menurut hasil
penelitiannya perceraian banyak terjadi pada pasangan yang berpendidikan
tinggi.
Tingkat perceraian dari segi pendidikan, telah menggeser teori yang selama
ini mapan bahwa tingkat pendidikan rendah berpengaruh terhadap perceraian dan
tidak sebaliknnya bahwa tingkat pendidikan tinggi kurang berpengaruh terhadap
perceraian. Namun demikian, asumsi yang mapan tersebut semakin terbantahkan
dengan hasil penelitian yang dilakukan Nunung Radhiyah sebagaimana
dikemukakan di atas dan yang telah dilakukan oleh Sun Choirul Ummah dengan
judul Kasus Cerai Gugat Suami Istri Berpendidikan Tinggi di Kecamatan Depok
Sleman Yogyakarta Tahun 2007-2009.11
Latar belakang penelitian ini berkaitan dengan adanya pasangan suami-istri
berpendidikan tinggi yang masih rentan dengan kasus perceraian. Penelitian yang
dilakukan di kecamatan Depok Sleman ini menemukan kasus cerai gugat lebih
banyak daripada cerai talak. Dalam penelitiannya, penulis menggunakan
pendekatan sosiologis fenomenologis untuk mengetahui latar belakang,
pengalaman, dan latar sosial budaya yang melingkupi subjek penelitian serta
menafsirkan pandangan pribadi terhadap kasus cerai gugat yang terjadi.
Penelitian ini menggunakan teori Sofyan S. Willis yang mengemukakan bahwa
jika pendidikan cukup baik, maka wawasan tentang keluarga dapat dipahami
dengan baik. Teori ini kemudian terbantahkan oleh hasil penelitiannya bahwa
banyak pasangan berpendidikan tinggi yang justru melakukan perceraian. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa alasan cerai gugat yang terjadi disebabkan
oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dialami istri antara lain
adalah beban psikologi isteri, percekcokan hingga berimbas pada KDRT,
hilangnya kasih sayang, komunikasi yang tidak lancar, ketidaksabaran
10
http://pps.uin-suka.ac.id/id/2-berita-terkini/250-tingkat-perceraian-pasangan-muslim-
berpendidikan-tinggi-makin-meningkat.html# 11 Sun Choirul Ummah, “Kasus Cerai Gugat Suami Istri Berpendidikan Tinggi Di
Kecamatan Depok Sleman Yogyakarta Tahun 2007-2009,” Tesis Tidak Diterbitkan, (Yogyakarta:
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010).
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 89
menghadapi konflik, persepsi terhadap kesetaraan gender dan kurangnya
pemahaman agama istri. Sementara problem internal pada suami adalah adanya
ketidakmatangan cara berpikir suami seperti gangguan fisik dan psikis serta
kurangnya pemahaman agama suami. Faktor eksternalnya adalah campur tangan
pihak ketiga baik orang tua maupun kerabat dekat atau orang lain.
Dilihat dari segi pekerjaan, di PA Padang misalnya Pekerjaan para pihak
yang mengajukan perkara perceraian di Pengadilan Agama Padang beragam,
yaitu: Pertama, PNS/ TNI/ POLRI. Kelompok ini paling sedikit bercerai. Kedua,
swasta dan buruh. Kelompok ini paling banyak bercerai. Ketiga, kelompok yang
tidak mempunyai pekerjaan. Kelompok ini lebih sedikit mengajukan perceraian
dibandingkan Kelompok swasta dan buruh. Menurut penulis, hal ini karena para
pihak yang benar-benar tidak memiliki pekerjaan sama sekali tidak banyak di
dalam masyarakat.12
Profil keluarga muslim Indonesia yang bercerai sebagaimana dipaparkan di
atas menunjukan bahwa keluarga muslim Indonesia sedang menghadapi ancaman
rapuhnya ikatan perkawinan. Dengan memperhatikan data selama 2012-2016,
dimana angka perceraian meningkat setiap tahun, maka diperlukan langkah-
langkah konkrit mencegah perceraian sejak dari hulu, yaitu setiap pasangan
suami isteri yang akan melaksanakan pernikahan perlu disiapkan secara matang
fisik, mental dan pengetahuan mengenai hukum-hukum pernikahan. Jika di dalam
peraturan perundang-undangan perkawinan dikenal asas mempersulit perceraian,
maka bisa saja dalam memasuki jenjang pernikahan dikenal pula asas
mempersulit pernikahan.
B. Faktor Penyebab Perceraian dalam Keluarga Muslim
Perceraian yang dilakukan dalam keluarga muslim dilatarbelakangi oleh
beragam faktor penyebab. Data yang dihimpun oleh Badilag sepanjang tahun
2012-2016 menunjukkan bahwa faktor penyebab perceraian dalam keluarga
muslim dikelompokkan sebagaimana dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5.17
Faktor Penyebab Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia Tahun 2012
Kete rangan
Moral Meninggalkan kewajiban
Kawin dibawah
umur
Menyakiti Jasmani/Rohani
Poligami Tidak sehat
Krisis Akhlak
Cemburu Kawin Paksa
Ekonomi Tidak ada Tanggung
Jawab
Menyakiti Jasmani
Menyakiti Mental
Jml 1.876 8.537 10.524 2.071 70.427 81.227
3.697 1.108
Persen 0.63% 2.87% 3.53% 0.70% 23.65% 27.27% 1.24 % 0.37%
Total 20.937 153.725 432 4.805
Persen 7.03 % 51.61 % 0.15 % 1.61%
12 Nurhasanah dan Rozalinda. “Persepsi Perempuan terhadap Perceraian: Studi Analisis
Terhadap Meningkatnya Angka Gugatan Cerai di Pengadilan Agama Padang” dalam Kafa‟ah:
Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. 4 No. 2 Tahun 2014, Padang.. Hlm. 184
90 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Kete rangan
Di Hukum Cacat
Biologis
Terus menerus berselisih Lainnya
Politis Gangguan Pihak Ketiga Tidak ada
keharmonisan
Jml
423 23.690 91.388
Persen 0.14% 7.95% 30.68%
Total 392 737 115.501 1.312
Persen 0.13% 0.25% 38.78% 0.44%
Sumber : Diolah dari stadok Badilag Tahun 2012
Tabel di atas menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2012 faktor penyebab
perceraian dalam keluarga muslim Indonesia didominasi oleh tiga faktor yang
paling dominan, yaitu tidak ada keharmonisan sebanyak 91.388 (30.68%), tidak
bertanggung jawab sebanyak 81.227 (27.27%), dan alasan ekonomi sebanyak
70.427 (23.65%). Faktor penyebab tidak ada keharmonisan dalam data tersebut
menempati urutan pertama keluarga muslim mengajukan perceraian. Disusul
kemudian dengan faktor penyebab perceraian tidak ada tanggung jawab dan
terakhir karena ekonomi. Pada tahun 2013 faktor penyebab mengajukan
perceraian terutama dalam tiga faktor tadi meningkat sebagaimana dilihat dalam
tabel di bawah ini.
Tabel 5.18
Faktor Penyebab Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia Tahun 2013
Kete rangan
Moral Meninggalkan kewajiban
Kawin dibawah
umur
Menyakiti Jasmani/Rohani
Poligami Tidak
sehat
Krisis Akhlak
Cemburu Kawin Paksa
Ekonomi Tidak ada Tanggung
Jawab
Menyakiti Jasmani
Menyakiti Mental
Jml 1.951 10.649 9.338 3.380 74.559 81.266
4.439 1.491
Persen 24.41% 131.36% 101.36% 9.97% 334.01% 671.94% 49.81% 15.52%
Total 21.938 159.205 600 5.930
Persen 257.40% 1025.92 % 2.20 % 65.33%
Kete rangan
Di Hukum
Cacat Biologis
Terus menerus berselisih
Lainnya Politis
Gangguan Pihak Ketiga
Tidak ada keharmonisan
Jml
2.094 25.310 97.615
Persen 4.36% 286.11% 1194.95%
Total 714 1.247 125.019 4.413
Persen 5.75% 10.20% 1485.42% 47.79%
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 91
Sumber: Diolah dari stadok Badilag Tahun 2013
Tabel di atas menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2013 faktor penyebab
perceraian dalam keluarga muslim Indonesia didominasi oleh tiga faktor yang
paling dominan, yaitu tidak ada keharmonisan sebanyak 97.615, tidak
bertanggung jawab sebanyak 81.266 dan ekonomi sebanyak 74.559.
Pada tahun 2013 faktor penyebab para pihak mengajukan perceraian
meningkat dari tahun 2012. Hal ini sesuai dengan jumlah peningkatan angka
perceraian secara nasional yang juga meningkat setiap tahun. Faktor penyebab
utama para pihak mengajukan perceraianpun tidak berubah dari tahun
sebelumnya, yang didominasi oleh tiga faktor yaitu tidak ada keharmonisan, tidak
tanggungjawab dan ekonomi.
Tabel 5.19
Faktor Penyebab Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia Tahun 2014
Kete rangan
Moral Meninggalkan kewajiban Kawin
dibawah umur
Menyakiti Jasmani/Rohani
Poligami Tidak sehat
Krisis Akhlak
Cemburu Kawin Paksa
Ekonomi Tidak ada Tanggung
Jawab
Menyakiti Jasmani
Menyakiti Mental
Jumlah 2.058 10.361 8.939 2.291 78.035 86.025
366 5.517 972
21.358 166.351 6.489
Kete
rangan Di Hukum
Cacat Biologis
Terus menerus berselisih
Lainnya Politis
Gangguan Pihak Ketiga
Tidak ada keharmonisan
Jumlah 546 790 592 27.684 109.920 3.400
138.196
Sumber : Diolah dari Data Perceraian pada Direktorat Jenderal Badilag
Tabel di atas menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2014 faktor penyebab
perceraian dalam keluarga muslim Indonesia didominasi oleh tiga faktor yang
paling dominan, yaitu tidak ada keharmonisan sebanyak 109.920, tidak
bertanggung jawab sebanyak 86.025 dan alasan ekonomi sebanyak 78.035.
Pada tahun 2014 faktor penyebab para pihak mengajukan perceraian
meningkat dari tahun 2013. Hal ini sesuai dengan jumlah peningkatan angka
perceraian secara nasional yang juga meningkat setiap tahun. Faktor penyebab
utama para pihak mengajukan perceraianpun tidak berubah dari tahun
sebelumnya, yang didominasi oleh tiga faktor yaitu tidak ada keharmonisan, tidak
tanggungjawab dan alasan ekonomi.
Tabel 5.20
Faktor Penyebab Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia Tahun 2015
Kete
rangan
Moral Meninggalkan kewajiban
Kawin dibawah
umur
Menyakiti Jasmani/Rohani
Poligami
Tidak sehat
Krisis Akhlak
Cemburu Kawin Paksa
Ekonomi Tidak ada Tanggung
Jawab
Menyakiti Jasmani
Menyakiti Mental
92 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Jml 4.856 10.139 8.068 46.031 52.286 74.140
6.879 1.224
Persen 21.06% 43.96% 34.98% 26.96% 30.32% 42.99% 84.89% 15.11%
Total 23.063 172.457 503 8.103
Persen 100% 100% 100%
Kete rangan
Di Hukum Cacat
Biologis
Terus menerus berselisih
Lainnya Politis
Gangguan Pihak Ketiga
Tidak ada keharmonisan
Jml
21.574 24.866 92.954
Persen 15.48% 17.84% 66.68%
Total 498 739 139.394 4.163
Persen 100%
Sumber : Diolah dari Data Perceraian pada Direktorat Jenderal Badilag
Tabel di atas menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2015 faktor penyebab
perceraian dalam keluarga muslim Indonesia didominasi oleh tiga faktor yang
paling dominan, yaitu yaitu tidak ada keharmonisan sebanyak 92.954, tidak
bertanggung jawab sebanyak 74.140 dan alasan ekonomi sebanyak 52.286.
Pada tahun 2015 faktor penyebab para pihak mengajukan perceraian
menurun dari tahun 2014. Penurunan faktor penyebab perceraian pada tahun
2015 rata-rata sebanyak 12.000 perkara untuk tiga faktor penyebab perceriian
yang diajukan dari tahun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan jumlah penurunan
angka perceraian secara nasional. Namun faktor penyebab utama para pihak
mengajukan perceraian tidaklah berubah dari tahun sebelumnya, yang didominasi
oleh tiga faktor penyebab yaitu tidak ada keharmonisan, tidak tanggungjawab dan
ekonomi.
Tabel 5.21
Faktor Penyebab Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia Tahun 2016
Keterangan Zina Mabuk Judi Madat Meninggalkan
Salah satu Pihak Dihukum Penjara
Poligami KDRT
Jumlah 317 10.194 5.874 1.575 82.563 1.474 1.850 11.700
Keterangan Cacat Badan
Perselisihan dan Pertengkaran Kawin Paksa Murtad Ekonomi Lain-lain
Jumlah 1.327 141.761 2.431 229 92.193 356.775
Sumber : Diolah dari Data Perceraian pada Direktorat Jenderal Badilag
Tabel di atas menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2016 faktor penyebab
perceraian dalam keluarga muslim Indonesia didominasi oleh tiga faktor yang
paling dominan, yaitu perselisihan dan pertengkaran sebanyak 141.761, alasan
ekonomi sebanyak 92.193 dan meningalkan salah satu pihak sebanyak 82.563.
Pada tahun 2016, terjadi peningkatan kembali jumlah faktor penyebab
perceraian dari pada tahun 2015. Peningkatan faktor penyebab perceraian
meningkat untuk faktor penyebab ketidak harmonisan atau perselisihan sebanyak
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 93
40.000 an perkaara, faktor penyebab ekonomi juga melonjak sebanyak 40.000an
dan faktor penyebab meninggalkan salah satu pihak sebanyak 8.000an perkara.
Tabel-tabel tersebut jika dibreakdown berdasarkan wilayah kekuasaaan
Pengadilan Tinggi Agama akan tampak perbedaan satu dengan lainnya. Misalnya
faktor penyebab perceraian di wilayah PTA Bandung dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini.
Tabel 5.22
Faktor Penyebab Perceraian di Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandung
No Tahun Faktor Penyebab Perceraian Jumlah
Kenaikan dan
Penurunan
dari Sebelumnya
1 2012 Ekonomi 26.073 -
Tidak ada keharmonisan 14.878 -
Tidak ada Tanggungjawab 8.761 -
2 2013 Ekonomi 25.192 -881
Tidak ada keharmonisan 12.391 -2.487
Tidak ada Tanggungjawab 8.446 -315
3 2014 Ekonomi 28.864 +3672
Tidak ada keharmonisan 16.878 +4487
Tidak ada Tanggungjawab 12.744 +4298
4 2015 Ekonomi 27.203 -1661
Tidak ada keharmonisan 15.677 -1201
Tidak ada Tanggungjawab 13.303 -559
5 2016 Ekonomi 29.145 +1942
Tidak ada keharmonisan 22.177 +6500
Tidak ada Tanggungjawab 13.626 -323
Sumber : Diolah dari data Faktor Penyebab Perceraian di PTA Bandung (Jawa
Barat)
Berdasarkan tabel di atas, faktor terjadinya perceraian di Jawa Barat
didominasi oleh faktor penyebab ekonomi, tidak harmonis dan tidak
tanggungjawab. Hal ini sedikit berbeda dengan data nasional faktor penyebab
perceraian yaitu tidak ada keharmonisan, tidak ada tanggungjawab dan ekonomi.
Di Jawa Barat faktor penyebab utama terjadinya perceraian adalah ekonomi. Hal
ini selaras dengan temuan di lapangan ke setiap Pengadilan Agama yang
dijadikan objek penelitian bahwa faktor penyebab terjadinya perceraian adalah
masalah ekonomi.
94 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Sekalipun pada lima tahun terakhir faktor penyebab terjadinya perceraian di
Jawa Barat sangat fluktuatif, peningkatan dan penurunannya, namun faktor
dominan penyabab terjadi perceraian tidak berubah urutannya, yaitu faktor
ekonomi, tidak ada keharmonisan dan tidak ada tanggungjawab. Penyebab
terjadinya perceraian di Jawa Barat dengan sebab ekonomi sangat tinggi dan
mengungguli dua sebab lainnya, yakni ketidakharmonisan dan tidak ada
tanggungjawab. Ini berarti konflik keluarga dalam bidang ekonomi demikian
berat, sehingga seorang informan mengatakan bahwa di Jawa Barat ini kurang
sedikit saja ekonomi bisa berakhir ke pengadilan. 13
Dengan demikian, secara nasional tiga faktor penyebab paling dominan
terjadi perceraian dalam keluarga muslim sepanjang tahun 2012-2016 terdiri atas
tidak ada keharmonisan sebanyak 533.638 perkara, tidak ada tanggungjawab
sebanyak 405.221 dan alasan ekonomi sebanyak 367.500. Tiga faktor penyebab
perceraian secara nasional ini urutannya bisa saja berbeda ketika ditelaah per
wilayah PTA se Indonesia dan apalagi jika dilihat per wilayah Pengadilan Agama
sebagaimana telah dibandingkan dengan salah satunya PTA Bandung. Penjelasan
tiga faktor penyabab paling banyak diajukan oleh pasangan suami isteri secara
nasional tersebut diuraiakan di bawah ini.
1. Faktor Penyebab Perceraian Tidak ada keharmonisan
Tidak ada keharmonisan dalam berumah tangga artinya pasangan suami
isteri kena akibat dari berbagai sebab, misalnya dari sebab sepele seperti isteri
tidak menyediakan masakan di rumah, tidak membereskan rumah, suami pulang
kerja telat kemudian menjadi perselisihan yang berujung pada tidak adanya
keharmonisan. Alasan-alasan lain yang mendorong lahirnya perceraian karena
tidak ada keharmoninsa dalam beberapa putusan Pengadilan Agama disebabbkan
oleh karena adanya kurang terbuka jumlah penghasilan, masing-masing pihak
egois, melakukan kekerasan, faktor fisik masing-masiing pasangan yang sudah
tua, faktor kurangnya komunikasi, kurangnya perhatian kepada salah satu pihak,
lebih mementingkan pekerjaan, jenuh, faktor psikologis dan sering mrendahkan
pasangan.
Meski faktor tidak ada keharmonis selalu menempati urutan teratas, tetap
saja oleh para informan data ini dianggap bias. Tidak ada keharmonisan menjadi
istilah yang terlalu generik karena bagi mereka tidak harmonis adalah akumulasi
dari seluruh masalah yang dihadapi.
Keluarga harmonis adalah suatu keluarga yang penuh kerukunan,
keserasian dan hubungan yang mesra antara suami, istri dan anak-anak yang
dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang serta rasa saling pengertian dan
toleransi. Selain itu, masing-masing pihak juga dapat melaksanakan tugas dan
kewajibannya sesuai dengan fungsinya, di samping juga diperoleh adanya
bimbingan dan pembinaan ke arah itu.
Islam mengenal keluarga harmonis dengan istilah keluarga sakinah, yaitu
keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat hidup
13 Thantowie Ghanie (Hakim Tinggi PTA Bandung), Hasil Wawancara, 27 September
2017
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 95
spiritual dan material secara layak dan seimbang, yang diliputi suasana kasih
sayang antara keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi serta mampu
mengamalkan, menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketakwaan
dan akhlak mulia.14
Sebuah keluarga disebut keluarga yang harmonis adalah apabila antara
suami istri hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih yang didasari kerelaan dan
keselarasan hidup bersama. Dalam arti lain suami istri itu hidup di dalam
ketenangan lahir dan batin, karena merasa cukup dan puas atas segala sesuatu
yang ada yang telah dicapai dalam melaksanakan tugas kerumah-tanggaan, baik
tugas ke luar maupun tugas ke dalam dan pergaulan dengan masyarakat.
Kebalikan dari keluarga harmonis adalah disharmonis. Secara etimologis,
kata disharmonis berakar dari kata dis dan harmonic : selaras, harmony :
persetujuan, sehingga membentuk kata disharmony yang artinya kepincangan,
ketidaksesuaian atau kejanggalan. Oleh karenanya, jika dalam keluarga tidak ada
unsur-unsur sebagaimana yang di atas, maka keluarga tersebut patut
dipertanyakan, dan inilah dalam bahasa rumah tangga dikenal dengan istilah
keluarga disharmoni, karena dalam rumah tangga tersebut atau keluarga tersebut
tidak ada lagi keselarasan arah dan tujuan oleh masing-masing anggota keluarga
(terutama adalah pemegang pilar keluarga, yaitu suami dan istri).
Faktor yang menyebabkan timbulnya ketidakbahagiaan dalam kehidupan
rumah tangga merupakan salah satu masalah sosial yang apabila tidak
diselesaikan sebaik-baiknya maka akan menimbulkan masalah sosial baru yang
lebih berat dan luas, terutama akan berpengaruh terhadap anak. Apalagi
diperparah dengan timbulnya penyelewengan suami/istri (perselingkuhan),
kenakalan anak-anak dan lain sebagainya.
Di Pengadilan Agama Surakarta, terus menerus berselisih dikarenakan tidak
adanya keharmonisan sebanyak 21,2% sepanjang Tahun 2013. Selain tidak
adanya keharmonisan. Seperti hal kasus perceraian seorang informan
melayangkan gugatan perceraian kepada isterinya dengan alasan sudah tidak
adanya keharmonisan dalam rumah tangganya, hal ini dimulai saat mereka mulai
menempati rumah kontrakan sendiri di Perumahan Mojosongo Surakarta, sikap
istri informan 1 tidak begitu suka menempati tempat tinggal baru yang mereka
kontrak. Sang istri lebih senang bila tinggal bersama orang tua sang istri. Hal ini
yang menyebabkan kenapa informan 2 tidak merasa nyaman karena sang istri
tidak senang tinggal di rumah kontrakan. Ketidakharmonisan ditunjukkan dengan
sikap istri yang mulai tidak menghargai sang suami. Usia pernikahan keduanya 2
tahun dan belum dikarunia anak.15
Dalam putusan pengadilan mengenai faktor penyebab perceraian karena
ketidakharmonisan, misalnya dalam putusan Nomor : 138/Pdt.G/2012/PTA.Bdg
14
Sonhaji, Pedoman Rumah Tangga Bahagia, (Jawa Timur: BP-4 Prop. Jawa Timur,
1988), hlm. 3 15 Muh Saidan, Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Di Pemkot
Surakarta Tahun 2011-2012 (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta). FKIP UMS, 2015
tanpa penerbit, hlm 8.
96 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
diantara sebab-sebab terjadinya ketidakharmonisan yaitu antara suami isteri
sering terjadi perbedaan pendapat dalam membina rumah tangga, sering terjadi
perselisihan yang berekepanjangan, tidak memberikan nafkah, tidak mengayomi
dan melindungi keluarga sebagaimana layaknya seorang keluarga yang baik dan
sering pergi meninggalkan rumah tanpa alasan yang jelas apabila sedang marah-
marah.
Di Pengadilan Agama Makassar rata-rata kasus perceraian adalah karena
tidak adanya keharmonisan. Hal ini disebabkan karena di dalam rumah tangga
selalu berselisih (cekcok) dan tidak ada rasa saling percaya diantara suami istri,
bahkan sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Oleh karena itu
pihak yang menderita biasanya sudah tidak sanggup untuk menghadapinva
sehingga ia yang menggugat perceraian tersebut dan meminta bantuan hukum
kepada advokat.
Dari sejumlah 30 informan terdapat 13 orang (43,33%) di Pengadilan Agam
Makassar menyatakan bahwa faktor tidak ada keharmonisan di dalam rumah
tangga disebabkan karena sering cekcok; 1 orang (3,34%) menyatakan bahwa
disebabkan karena adanya kekerasan; dan 16 orang (53,33%) menyatakan bahwa
faktor tidak ada keharmonisan di dalam rumah tangga adalah disebabkan karena
sering cekcok disertai kekerasan berupa pemukulan dan penganiayaan di dalam
rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan oleh pihak suami berupa
pemukulan bahkan penganiayaan yang menyebakan pihak istri menderita. Oleh
karena pihak istri tidak sanggup untuk selalu cekcok dan selalu dianiaya oleh
pihak suami, maka sang istri menggugat cerai suaminya untuk mengakhiri
penderitaannya. 16
Di Mahkamah Syar‟iyyah Meulaboh, tidak ada keharmonisan merupakan salah
satu penyebab bagi seorang istri mengajukan perceraian, disebabkan karena
terjadinya percekcokan, perlakuan suami kepada istri dengan seenaknya saja tanpa
memperdulikan perasaan seorang istri,dan perselisihan pendapat. Faktor tidak ada
keharmonisan merupakan faktor yang memiliki persentase yang sangat tinggi,
sekitar 89% dari 100%, karena setiap perkara yang masuk ke register Mahkamah
Syar‟iyah mengaku kalau rumah tangganya mengalami perselisihan yang terus-
menerus sehingga tidak pantas untuk dipertahankan lagi. Di Mahkamah Syar‟iyyah
Meulaboh, dari jumlah 174 faktor penyebab perceraian selama tahun 2013
persentasinya sebanyak 89% untuk penyebab tidak ada keharmonisan dalam rumah
tangga. 17
Di pengadilan Agama Palangka Raya, tidak ada keharmonisan dan
tanggung jawab dalam rumah tangga, merupakan faktor penyebab tertinggi
membuat para istri melakukan gugatan cerai. Terbukti, selama bulan Januari 2015
saja sudah tercatat 34 orang yang menyandang sebagai isteri di Palangka Raya
16
Liani Sari, “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Studi Kasus Pada
Pengadilan Agama Makasar”, dalam Jurnal Uniyap, (Papua, Tahun 2001), hlm 61. 17 Cut Wan Nurlaili, “ Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Cerai Gugat Pada Mahkamah
Syar‟iyah Meulaboh”, pada Jurnal Deliberatif Jurnal Ilmu Hukum Vol 1, No 1, Juni 2017, hlm
11
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 97
menggugat cerai suami di Pengadilan Agama Palangka Raya. Lebih detil,
ketidakharmonisan itu bisa disebabkan pertengkaran/percekcokan bahkan juga
disebabkan adanya pihak ketiga dalam rumah tangga mereka. Nah, dari jumlah
itu, ditambah sisa perkara bulan sebelumya sebanyak 57 perkara, dan Januari
telah diputus sebanyak 14 perkara dengan rincian 12 perkara dikabulkan dan 2
perkara digugurkan, Digugurkan, karena panjar biaya perkara telah habis,
anmaning telah disampaikan, akan tetapi pihak berperkara, belum juga
membayar. 18
Faktor penyebab perceraian karena ketidakharmonisan di Pengadilan
Agama Kebumen nampaknya sangat sepele, misalnya dalam putusan Nomor
0474/Pdt.G/ 2011/ PA.Kbm, dalam perkara cerai thalak di mana suami isteri
berada dalam rumah tangga yang tidak harmonis. Ketidakharmonis terjadi
disebabkan Termohon tidak bisa diatur dan semaunya sendiri, dan Termohon
tidak bisa menghormati orang tua Pemohon sebagai mertua, seperti contoh
Termohon susah untuk diajak bersilaturahmi ke rumah orang tua Pemohon,
apabila ada hajatan di rumah.
Kata-kata hajatan menjadi masalah sepele bagi sebagian orang, namun
dalam perkara ini rupanya menjadi masalah serius bagi keharmonisan dalam
rumah tangga. Pengadilan Agama Kebumen mengabulkan permohnan pemohon
atas sebab ketidakharmonisan ini.
Berdasarkan pada uraian di atas dan data-data yang tersaji di pengadilan
agama bahwa cerai dengan sebab ketidak harmonisan dalam keluarga
dilatarbelakangi oleh banyak faktor sehingga berujung pada ketidakharmonisan.
Namun satu hal yang pasti bahwa istilah ketidakharmonisan sering tumpang
tindih dengan perselisihan dan pertengkatan yang terus menerus. Misalnya dalam
putusan Nomor: 1332/Pdt. G/2012/PA.Pas, dalam putusan ini, tergugat digugat
karena impotensi, majelis hakim langsung memeriksanya dengan cara
pemeriksaan penggunaan pasal 19 huruf f karena akibat dari impotensi tersebut
menyebabkan ketidak harmonisan yang bentuknya perselisihan.
Dalam pandangan lain, keharmonisan keluarga merupakan salah satu pilar
ketahanan keluarga. Dalam studi yang dilakukan oleh Kementerian PPPA bahwa
salah satu dimensi ketahanan keluarga adalah landasan legalitas dan keutuhan
keluarga dan kemitraan gender. Khusus mengenai keutuhan keluarga studi
tersebut memilah keberadaan pasangan suami-istri yang tinggal bersama dalam
satu rumah sebagai indikatornya. Selain itu, variabel kemitraan gender diukur
berdasarkan 4 (empat) indikator, kebersamaan dalam keluarga; kemitraan suami-
istri; keterbukaan pengelolaan keuangan; dan pengambilan keputusan keluarga.
Penjelasan berikutnya memaparkan hasil studi yang dilakjukan oleh Kementerian
PPPA tentang ketahanan kkeluata dihungkan dengan faktor penyebab perceraian
dalam hal ini adanya ketidakharmonisan.
a. Keutuhan Keluarga
18 Lihat dalam http://pa-palangkaraya.go.id/januari-2015-34-isteri-di-palangka-raya-gugat-
suami/
98 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Fusngsi-fungsi dalam keluarga bergitu penting dijalankan oleh setiap aktor
yang ada di dalam keluarga. Apabila fungsi-fungsi tersebut tidak bisa dijalankan
maka akan berakibat pada rentannya keutuhan keluarga. Peluang terjadinya
kegagalan fungsi keluarga akan semakin besar ketika salah satu anggota keluarga,
terutama suami atau istri tidak tinggal bersama dalam satu rumah. Namun sering
kali terdapat suatu kondisi yang memaksa pasangan suami-istri untuk tinggal
terpisah. Contohnya, suami-istri yang harus tinggal terpisah karena tuntutan
pekerjaan dalam jangka waktu yang cukup lama. Suami-istri yang tinggal
terpisah dalam waktu cukup lama beresiko tinggi untuk mengalami rasa curiga
dan pertengkaran yang lebih sering dan berujung pada kehidupan keluarga yang
tidak harmonis.
Terjadinya perceraian dengan sebab ketidakharmonisan bisa saja dipicu
oleh jarak antara pasangan suami dan isteri. Rasa cemburu dan curiga kerapkalli
membayangi kehidupan suami isteri yang jaraknya terpisah. Berdasarkan data
yang dirilis oleh Kementerian PPA, pada tahun 2015, tercatat 81,45 persen rumah
tangga dengan kepala rumah tangga yang berstatus kawin dan hampir semua
kepala rumah tangga yang berstatus kawin tersebut tinggal bersama dalam satu
rumah dengan pasangannya. Pasangan suami-istri yang tinggal bersama dalam
satu rumah memiliki waktu kebersamaan yang lebih banyak daripada mereka
yang tidak tinggal serumah. Sehingga, pasangan suami-istri yang tinggal serumah
memiliki ketahanan keluarga yang lebih kuat daripada mereka yang tidak tinggal
serumah. Oleh karena 95 persen rumah tangga di Indonesia kepala rumah tangga
dan pasangannya tinggal bersama dalam satu rumah, maka dapat dikatakan
bahwa sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki ketahanan keluarga
yang kuat. Apabila dilihat menurut klasifikasi wilayahnya, ternyata di perkotaan
persentase rumah tangga yang kepala rumah tangganya tinggal bersama dalam
satu atap lebih tinggi daripada di perdesaan. Meskipun demikian, perbedaan
persentase antara perdesaan dan perkotaan ini tidak besar. Pada tahun 2015,
persentase rumah tangga yang kepala rumah tangganya tinggal bersama dalam
satu atap di perkotaan sebesar 95,5%. Sedangkan, di perdesaan persentase rumah
tangga yang kepala rumah tangganya tinggal bersama dalam satu atap sebesar
95,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa baik di wilayah perkotaan maupun di
perdesaan, sebagian besar rumah tangganya memiliki ketahanan keluarga yang
kuat. 19
Jika dibandingkan antar provinsi, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi
provinsi yang memiliki persentase terendah untuk kepala rumah tangga yang
tinggal serumah dengan pasangannya, yaitu sebesar 88,64 persen (Gambar 4.7).
Seperti diketahui, sekitar 96 persen desa di NTB menjadi daerah asal Tenaga
Kerja Indonesia (Pendataan Potensi Desa Indonesia, 2014). Di Pulau Jawa,
Provinsi Jawa Tengah memiliki persentase terendah untuk kepala rumah tangga
yang tinggal serumah dengan pasangannya, yaitu sebesar 92,15 %. Persentase ini
19 Kementerian PPPA dalam Herin Puspitawati. . Gender dan Keluarga: Konsep dan
Realita di Indonesia. (Bogor: PT IPB Press, 2012), hlm 47-48
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 99
juga sejalan dengan banyaknya desa di Jawa Tengah yang menjadi daerah asal
Tenaga Kerja Indonesia, dimana sekitar 84,74 persen desa terdapat warga yang
menjadi Tenaga Kerja Indonesia (Pendataan Potensi Desa Indonesia, 2014).20
Berdasarkan data-data tersebut menunjukkan bahwa perceraian yang
disebabkan oleh ketidakharmonisan dengan latar belakang jarak sesungguhnya
relatif sediriit terjadi. Karena data-data di atas menyimpulkan bahwa keluarga
Indonesia tinggal dalam satu rumah dengan peresentasi yang cukup tinggi yaitu
90%. Ini berararti gugatan perceraian dengan sebab ketidakharmonisan yang
pemicunya soal jarak antara suami isteri mestinya minim terjadi.
b. Kemitraan Gender
Suami isteri menjalankan peran yang seimbang di antara keduanya di dalam
mengerjakan tugas domestik dan pubik. Peran seimbang ini akan menunjukkan
bahwa suami isteri merupakan mitra gender yang baik. Pembagian peran gender
dalam keluarga bisa mengurangi kesalahfahaman yang berujung pada ketidak
harmonisan. Kemitraan suami isteri (kemitraan gender) dalam menjalankan peran
di dalam ranah domestik mampu mengurangi ketidak harmonisan. Kemitraan
gender merupakan kerjasama secara setara dan berkeadilan antara suami dan istri
serta anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, dalam melakukan
semua fungsi keluarga melalui pembagian pekerjaan dan peran, baik peran
publik, domestik maupun sosial kemasyarakatan. Kemitraan dalam pembagian
peran suami dan istri untuk mengerjakan aktivitas kehidupan keluarga
menunjukkan adanya transparansi penggunaan sumberdaya, rasa saling
ketergantungan berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati sehingga
terselenggaranya kehidupan keluarga yang harmonis.
Dalam pembahasan selanjutnya kemitraan gender dalam keluarga
dijelaskan melalui kemitraan suami-istri, keterbukaan pengelolaan keuangan,
serta pengambilan keputusan keluarga.
Herien Puspitawati dalam Kementerian PPPA menyatakan pembagian
peran suami-istri dalam menjalankan fungsi keluarga berkaitan dengan komponen
perilaku mulai dari perhatian, bantuan moril dan material, sampai dengan bantuan
tenaga dan waktu. Sehingga kemitraan gender dalam mengurus rumah tangga
tidak hanya mencakup pekerjaan membersihkan rumah, memasak, mencuci
pakaian dan sejenisnya, namun termasuk pula pengasuhan anak, seperti
menemani anak belajar, dan bermain. Perhatian, kasih sayang dan pola asuh yang
diterapkan orang tua pada anak-anak akan sangat berpengaruh terhadap tumbuh
kembang anak-anak di masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan
kerjasama antara suami dan istri dalam meluangkan waktu bersama dengan anak,
agar kebersamaan dengan anak selalu terjalin dan pengasuhan anak tidak
terhambat sehingga ketahanan keluarga dapat tercipta. 21
Waktu luang bersama keluarga dikelompoknya kedalam 3 kategori, yaitu
lebih dari cukup (lebih dari 28 jam dalam seminggu), cukup (14 sampai 28 jam
20 Ibid. h. 48 21 Ibid. h. 52
100 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
dalam seminggu), dan kurang (kurang dari 14 jam dalam seminggu). Waktu
luang sebanyak 14 jam selama seminggu dianggap mencukupi untuk mengasuh
anak. Selanjutnya, data yang spesifik memberikan informasi jumlah waktu yang
dihabiskan orang tua untuk bercengkrama dengan anak, menemani anak belajar
dan sejenisnya tidak tersedia. Satu-satunya informasi yang cukup relevan tersedia
dari data Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2014 adalah waktu
luang yang digunakan bersama keluarga, dimana keluarga yang dimaksud tidak
hanya anak namun termasuk pula pasangan atau lainnya yang dianggap
keluarga.22
Berdasarkan studi tersebut bahwa keluarga-keluarga di Indonesia sesung-
guhnya memiliki tingkat keharmonisan yang cukup sebagaimana dikemukakan di
atas. Hal ini ditandai dengan sejumlah hasil survey yang menyebutkan bahwa
keluarga Indonesia memiliki waktu luang yang cukup dalam keluarga sehingga
penopang keharmonisan dalam keluarga itu dapat ditunjukkan dengan adanya
waktu luang.
Mayoritas rumah tangga di Indonesia mempunyai waktu kebersamaan
dengan keluarga yang cukup, ini berarti bahwa mayoritas rumah tangga di
Indonesia tersebut berpotensi memiliki ketahanan keluarga yang kuat. Apabila
waktu luang ini tersedia, berarti komunikasi yang baik dalam keluarga dapat
dibangun. Hal ini sekaliguus juga menandai tingkat keharmonisan keluarga. Data
SPTK 2014 menunjukkan lebih dari 75 persen rumah tangga mempunyai waktu
luang bersama keluarga minimal 14 jam seminggu atau rata-rata minimal 2 jam
per hari. Ini berarti dari 100 rumah tangga terdapat 75 rumah tangga yang
memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan bersama keluarga lebih dari 14
jam seminggu. Bahkan terdapat sebanyak 27,14 persen rumah tangga yang
mempunyai waktu luang bersama keluarga lebih dari 28 jam seminggu.
Meskipun demikian, masih terdapat 23,12 persen rumah tangga yang hanya
memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan bersama keluarga kurang dari
14 jam seminggu.
Apabila dibandingkan menurut klasifikasi wilayah, ternyata persentase
rumah tangga yang memiliki waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam
seminggu lebih besar di perkotaan (77,36%) daripada perdesaan (76,41%). Hal
ini terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Jika dibandingkan antar
provinsi, Papua menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki
waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam dalam seminggu terendah yakni
sebesar 56,92%. 23
Faktor lainnya yang menjadikan keharmonisan dalam keluarga adalah
pembagian peran gender antara suami dan isteri di dalam mengelola keluarga
secara proporsional. Acapkali pembagian ini dirasakan sangat timpang dalam
kenyataannya sehingga ada sejumlah isteri yang terbebani dengan tugas-tugas
22 Kementerian PPPA, Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016. (Jakarta: Lintas
Katulistiwa, 2016), hlm. 8-9 23 Lihat selengkapnya dalam, Kementerian PPPA, Pembangunan Ketahanan Keluarga
2016. (Jakarta: Lintas Katulistiwa, 2016), hlm. 52
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 101
domestik sementara dia juga mengerjakan tugas-tuugas publik. Ketika beban dan
tanggungjawab peran gender ada di tangan isteri maka secara otomatis terjadi
ketimpangan peran gender. Ketimpangan peran gender ini sering kali berakibat
pada buruknya hubungan suami isteri yang mengakibatkan adanya
ketidakharmonisan dalam keluarga. Ketidakharmonisan ini menjadi pemicu
perceraian.
Melalui kemitraan dan relasi gender yang harmonis, mereka dapat
merencanakan dan melaksanakan manajemen sumberdaya keluarga sehingga
anggota keluarga mempunyai pembagian peran dalam berbagai aktivitas
(domestik, publik, dan kemasyarakatan) dalam rangka menjembatani
permasalahan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga (sosial, ekonomi,
psikologi, spiritual) yang berkeadilan dan berkesetaran gender. Apalagi saat ini
terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah istri yang berperan ganda, sebagai
ibu rumah tangga yang membantu mencari nafkah. Hasil Survei Angkatan Kerja
Nasional dalam publikasi Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia menunjukkan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita meningkat dari 48,08 persen
pada 2006 menjadi 52,71 persen pada 2016.
Data Susenas 2015 menunjukkan terdapat 81,45 persen rumah tangga
mempunyai kepala rumah tangga berstatus kawin, dimana 68,95 persen rumah
tangga masih mempercayakan urusan pekerjaan rumah tangga kepada
pasangannya, yang umumnya adalah perempuan. Kegiatan yang dimaksud
mencakup berbagai kegiatan sehari-hari untuk mengurus rumah tangga, seperti
mencuci, memasak, mengasuh anak, mengantar anak ke sekolah dan sebagainya.
Lebih jauh, hanya 23,48 persen rumah tangga yang KRT dan pasangannya
menyatakan mengurus rumah tangga bersama selama seminggu terakhir. Angka
ini diperoleh berdasarkan kegiatan mengurus rumah tangga selama seminggu
terakhir yang dilakukan KRT berstatus kawin atau pasangannya. Hasil tersebut
menunjukkan kemitraan gender dalam keluarga Indonesia masih rendah dan
berpotensi memicu konflik peran suami-istri yang akhirnya mengganggu
ketahanan keluarga. Apalagi diantara rumah tangga dengan KRT berstatus kawin
terdapat 52,11 persen istri yang bekerja. Seorang istri yang bekerja akan memiliki
waktu yang lebih sedikit untuk mengurus rumah tangga. Oleh karena itu,
dibutuhkan kemitraan gender dalam rumah tangga untuk mencapai keharmonisan
dan kesejahteraan keluarg sehingga tercipta ketahanan keluarga yang kuat.
Berdasarkan data di atas, nampaknya pemicu konfik keluarga terjadi
disebabkan adanya ketimpangan pembagian peran gender yang kerapkali
berujuang pada ketidakharmonisan di dalam keluarga.
Apabila dibandingkan menurut klasifikasi wilayah, persentase rumah
tangga yang masih menyerahkan urusan rumah tangga hanya kepada
pasangannya lebih tinggi di perdesaan (70,45%) daripada perkotaan (67,40%).
Sebaliknya persentase rumah tangga yang KRT dan pasangan mengurus rumah
tangga bersama-sama ternyata lebih tinggi di perkotaan (24,83%) daripada di
perdesaan (22,17%). Hal ini menunjukkan bahwa kemitraan gender di perkotaan
lebih tinggi daripada di perdesaan.
102 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Jika dilihat pola per provinsi terdapat 2 (dua) provinsi yang mempunyai
persentase lebih dari 50 persen untuk rumah tangga yang KRT dan pasangannya
mengurus rumah tangga secara bersama-sama. Kedua provinsi tersebut adalah
Bali, dengan persentase sebesar 70,45 persen, dan Daerah Istimewa Yogyakarta,
dengan persentase sebesar 55,32 persen. Persentase rumah tangga dengan kepala
rumah tangga bersama pasangan yang mengurus rumah tangga dari kedua
provinsi ini jauh melebihi persentase rata-rata nasional (23,48%). Sebaliknya,
terdapat pula provinsi yang mempunyai persentase jauh di bawah rata-rata
nasional, yaitu Provinsi Kalimantan Barat. Dimana hanya sekitar 9,81 persen
rumah tangga yang kepala rumah tangga dan pasangannya melakukan kegiatan
mengurus rumah tangga dalam seminggu terakhir.24
Berdasarkan data-data pendukung ini nampaknya problem kelurga muslim
Indonesia yang mengajukan perceraian dengan alasan ketidakharmonisan
faktornya sangat komplek. Secara akademik telah dipaparkan bahwa salah satu
penyebab ketidakhamonisan ini yaitu kurangnya kebersamaan dalam keluarga
dan pembagian peran gender yang timpang. Sekalipun data mengenai waktu
luang untuk keluarga Indonesia terbilang cukup luang namun kenyataannya
konflik keluarga muslim yang berakibat pada ketidakharmonisan – sekalipun
waktu luang tersedia – tidak bisa dibendung, demikian pula data mengenai
ketimpangan peran gender yang belum seimbang sudah pasti berakibat pada
ketidakharmonisan.
2. Faktor Penyebab Perceraian karena Tidak Ada Tanggung Jawab
Faktor penyebab perceraian karena tidak adanya tanggungjawab juga me-
nempati urutan kedua. Faktor penyebab perceraian dengan tidak ada rasa
tanggung jawab, mendominasi banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan
Agama, salah satunya Pengadilan Agama Padang. Penyebab perceraian dengan
alasan tidak harmonis dalam rumah tangga dan tidak ada rasa tanggung jawab
dari suami menjadi trend. Misalnya di Padang, cecara geografis, Padang memang
terletak di pantai Barat Sumatera Utara yang mayoritas penduduknya adalah
nelayan dan petani.
Perceraian dengan alasan tidak ada tanggung jawab dari pihak suami,
sebenarnya bukan rahasia umum lagi, karena faktor pekerjaan dan penghasilan
penduduk, seperti di Kabupaten Tapanuli Tengah sendiri menjadi resiko
terjadinya perceraian. Selain itu, kurangnya rasa tanggung jawab dari suami
kepada istri dan anak-anaknya karena dipengaruhi oleh beberapa faktor lain,
seperti rendahnya pendidikan suami-istri, masih kurang memahami dan
mengamalkan ajaran agama masing-masing, dan gangguan pihak ketiga.
Tidak ada tanggungjawab merupakan bagian dari perbuatan nuzyuz baik
dilakukan oleh suami maupun isteri. Namun demikian, tidak ada tanggungjawab
lebih didominasi suami daripada isteri. 25
Dalam pergaulan antara suami istri ada
24 Ibid, hlm 54 25 Norzulaili Mohid Ghazali dan Wan Abdul Fattah Wan Ismail, Nusyuz, Shiqaq dan
Ahkam Menurut Al-Quran, Sunah dan Undang-undang Keluarga Islam, (Malaysia: Kolej
Universiti Islam Malaysia (KUIM),2007), xi
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 103
kalanya terjadi hubungan yang tidak harmonis. Akibatnya terjadi apa yang ada
pada Al-Quran dengan istilah Nusyuz (pembangkangan). Pembangkangan dalam
arti salah satu pihak melanggar atau tidak melaksanakan kewajiban mereka
masing-masing sebagaimana mestinya. Perbuatan Nusyuz bisa terjadi, baik dari
pihak istri maupun dari pihak perempuan. 26
Tidak ada tanggung jawab di Pengadilan Agama Mojokerto misalnya telah
mencapai 9% dari jumlah perceraian dari tahun 2012-2014. Tidak ada tanggung
jawab bisa jadi disebabkan oleh salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajibannya sebagai suami atau istri. Sehingga terjadi disfungsi peran sebagai
suami istri. Ketika suami tidak melaksanakan tanggung jawabnya untuk
memberikan nafkah baik lahir maupun batin, sudah dapat dipastikan percekcokan
dan pertengkaranlah yang akan terjadi. Bahkan ketika salah satu pihak tidak
dapat mengontrol emosi, terjadilah tindak kekerasan dan kekejaman. Sehingga
istri dapat mengajukan cerai gugat dengan dasar Undang-Undang Nomor. 1 tahun
1974 pasal 39 ayat 2 jo PP No. 9 tahun 1975 pasal 19 butir d jo pasal 116 butir d
Kompilasi Hukum Islam.27
Alasan tidak adanya tanggung jawab dalam putusan pengadilan agama
disebabkan salah satu pihak utamanya pihak suami meninggalkan isteri tanpa
alasan yang jelas. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam beberapa putusan
pengadilan agama di mana pasangan suami isteri yang mengajukan cerai gugat
disebabkan suami meniggalkan pihak lain tanpa alasan yang jelas.
Perceraian dengan alasan tidak ada tanggungjawab diajukan oleh isteri
sebagai penggugat. Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan misalnya, sepanjang
tahun 2012 yang menyebabkan para isteri menggugat cerai suaminya adalah
karena suami melalaikan kewajibannya sebanyak 25 (72%), 5 (14%) responden
menyatakan bahwa suami menjalankan perannya dalam rumah tangga, namun
tidak maksimal dalam menjalankannya. Sedangkan 5 (14%) responden
menyatakan bahwa suami tidak melaksanakan perannya sama sekali. Hal ini
menjadi penyebab diajukan gugatan.
Dalam berumah tangga, suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban.
Kewajiban suami terhadap isterinya antara lain menggauli dengan cara yang baik,
memberi nafkah, dan lain-lain. Bila suami tidak menunaikan kewajiban, maka
ada hak isteri untuk menggugat cerai suaminya. Responden juga menyebutkan
bahwa ada pula suami responden yang pergi lama tanpa ada kabar. Dengan
sendirinya, kewajibannya sebagai suami selama kepergiannya itu tidak terlaksana
sama sekali. Akibatnya isteri dan anak-anaknya tidak mendapatkan segala hal
yang seharusnya diberikan oleh suami atau ayahnya. Karena tidak kuat, akhirnya
responden menggugat cerai. Dalam KHI pasal 116 poin (b) dijelaskan bahwa
“salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
26 Hasanuddin, Perkawinan dalam Perspektif Al-Quran, (Nikah, Talak, Cerai, Rujuk).
(Jakarta: Nusantara Damai Press, 2011), hlm.29 27 http://digilib.uinsby.ac.id/3067/5/Bab%204.pdf
104 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.”28
Sementara di Pengadilan Agama Palopo, berdasarkan data yang diperoleh,
berbagai faktor penyebab perceraian (cerai talak maupun cerai gugat) dalam 1465
perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama Palopo dari tahun 2011
sampai dengan 2015, tidak ada tanggung jawab sebesar 16,31 %, atau 239
perkara. Meskipun demikian di antara faktor tersebut seringkali dipengaruhi oleh
faktor-faktor selainnya, misalnya faktor ketidakharmonisan dapat dipengaruhi
oleh faktor ekonomi, kecemburuan, gangguan pihak ketiga, dan lainnya.
Di Pengadilan Agama Palopo, penyebab perceraian dalam perkara cerai
thalak terjadi karena adanya kekerasan dalam rumah tangga antara pihak suami
dan isteri, dan kurangnya bertanggung jawab suami atau istri terhadap
keluarganya. 29
Bila dilihat dari faktor penyebab perceraian, di pengadilan Agama muara
Bungo, berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh penulis lain ada beberapa
hal Pendorong terjadinya pereraiaian. Dari 13 alasan bercerai, Pengadilan Agama
Muarabungo mencatat tujuh klasifikasi penyebab. Faktor dominan yang
menyebabkan perceraian adalah faktor perselisihan (380 perkara) dan
meninggalkan kewajiban (842 perkara). Adapun persentase penyebab perceraian
yang terjadi di Pengadilan Agama Muarabungo dalam sepuluh tahun terakhir
adalah tidak ada keharmonisan (31,04%), tidak ada tanggung jawab (68,46%),
faktor ekonomi (0,32%), penganiayaan (0,08%), dan suami dihukum (0,08%).
Besarnya persentase kedua faktor utama tersebut juga menunjukkan
semakin besarnya tingkat kesadaran, terutama istri, dalam memahami hak dan
kewajiban berupa interpretasi dan prinsip tentang perkawinan yang kemudian
lahir dalam perilaku sehari-hari. Dan ketika salah satu pasangan melanggar apa
yang menurut pasangan lain merupakan bagian dari hak dan kewajiban rumah
tangga, ia akan menggugatnya. Bahkan ketika kedua belah pihak punya satu
pandangan tersendiri atau berseberangan dalam mengejawantahkan hak dan
kewajiban itu, terjadi benturanbenturan pendapat, termasuk prinsip hidup, yang
justru bisa meretakkan rumah tangga jika tidak ada dialog dan kompromi di
antara keduanya. Hal itu juga menunjukkan bahwa perceraian yang terjadi di
Pengadilan Agama Muarabungo sepanjang sepuluh tahun terakhir lebih
disebabkan faktor eksternal, yaitu perubahan perilaku (hukum) suami-istri yang
dipengaruhi perubahan sosial.
Menurut data yang ada, kasus perceraian merupakan kasus yang
mendominasi di Pengadilan Agama Muarabungo dibandingkan kasus-kasus yang
lainnya dalam sepuluh tahun terakhir. Data yang tercatat, perkara perceraian
28 Isnawati Rais, “Tingginya Angka Cerai Gugat (Khulu‟) Di Indonesia; Analisis Kritis
Terhadap Penyebab dan Alternatif Solusi Mengatasinya” dalam Al-„Adalah Vol. XII, No. 1 Juni
2014, hlm 199 29 Muhammad Tamhid Nur, Cerai Talak di Kota Palopo (Faktor Penyebab Dan Solusinya
Dalam Studi Kasus Di Pengadilan Agama), dalam PALITA: Journal of Social-Religi Research
Oktober 2016, Vol.1, No.2. Hlm. 119.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 105
mencapai 94,600 , sedangkan perkara lain 5,400. Hal ini terjadi disebabkan
karena perkawinan lebih merupakan persoalan yang sering dihadapi pasangan
suami-istri dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan persoalan-persoalan
lainnya. Perkawinan merupakan persoalan yang sensitif karena menyangkut
aspek kebutuhan lahiriah dan batiniah. Di samping itu, faktor sosial dan
psikologis juga mernengaruhi suasana batin dari tingkah laku seseorang dalam
menjaga keharmonisan keluarga, sehingga wajar bila kasus perceraian menjadi
perkara yang banyak diselesaikan Pengadilan Agama Muarabungo dibandingkan
perkara lain di luar masalah perceraian. 30
3. Faktor Penyebab Perceraian Karena Ekonomi
Faktor penymebab perceraian dengan sebab ekonomi menempati urutan
tertinggi ketiga secara nasional. Beragamm alasan ekonomi yang diajukan oleh
para pihak, baik suami maupun isteri menunjukkan adanya kelemahan pada diri
suami memberikan nafkah yang mencukupi bagi keluarga sehingga pihak isteri
merasa tidak nyaman berada dalam keadaan kekurangan. Atas keadaan itu maka
isteri mengajukan gugat cerai ke pengadilan.
Tabel-tabel di atas mengenai alasan-alasan perceraian yang disebabkan
karena ekonomi merupakan data statistik yang dihimpun dari seluruh pengadilan.
Data-data tersebut dapat dikomparasikan juga dengan data hasil-hasil wawancara
yang dilakukan di beberapa Pengadilan Agama, khususnya yang dilakukan di
wilayah PTA Bandung. Hasil wawancara ini merupakan pengamatan para hakim
selama di persidangan mengenai alasan perceraian yang diperiksa dan diputus
dipengadilan. Misalnya menurut Syarif Hidayat, di wilayah Pengadilan Agama
Indramayu rapuhnya ikatan perkawinan didominasi oleh lemahnya pemahaman
agama terutama dasar-dasar hukum perkawinan yang dimiliki oleh masyarakat.
Pemahaman agama masih minim sehingga ketika dalam persidangan ditanyakan
mengenai seberapa sering shalat atau tidak, rata-rata para pihak menjawab tidak
melakukan shalat. Oleh karena itu, ketika hakim melakukan perdamaian dengan
pendekatan agama pada proses pemeriksaan, baik dalam mediasi maupun dalam
persidangan kurang begitu menyentuh hati pasangan suami isteri yang minim
pemahaman agamanya. Selain itu, bicara tentang hak dan kewajiban pasutri juga
tidak begitu bisa dicerna. Sedangkan bagi yang tingkat pemahaman agamanya
baik, dapat tersentuh ketika bicara mengenai hak dan kewajiban pasutri dan
esensi perkawinan. Para pihak akhirnya juga bisa didamaikan. Dalam hal ini
dapat dikatakan pasangan suami isteri yang rumahnya berdekatan dengan masjid
relatif baik pemahaman agama sehingga ketika berperkara di pengadilan sangat
mudah bagi mereka untuk disentuh hatinya dengan pendekatan agama. Selain itu,
30 Bakhtiar Arsa Muhammad, “Perceraian Dan Perubahan Sosial di Kabupaten Bungo
(Studi terhadap Tren Pola Perceraian dari Talak Cerai ke Gugat Cerai)” dalam Kontekstualita
Vol. 26 No. 2. Desember 2O09, hlm. 73
106 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
tingkat pendidikan ikut juga memmpengaruhi rapuhnya perkawinan di
Indramayu 31
Data yang lain menyebutkan bahwa alasan ekonomi merupakan alasan yang
paling banyak diajukan sebagai alasan perceraian di Kabupaten Indramayu pada
Tahun 2013. Profesi seorang perempuan di Kabupaten Indramayu pada tahun
2013 dapat mempengaruhi terjadinya peristiwa perceraian di Kabupaten
Indramayu. Dengan model regresi Status Pernikahan terdapat hubungan yang
positif antara profesi tenaga kerja wanita dengan peristiwa perceraian di
Kabupaten Indramayu pada tahun 2013. Seorang istri yang mempunyai profesi
tenaga kerja wanita memiliki kecenderungan untuk bercerai semakin tinggi.32
Di kalangan pasangan suami isteri yang berpendidikan tinggi alasan
perceraian di kota lampung yakni poligami yang tidak sehat, krisis akhlak,
cemburu, ekonomi, tidak ada tanggung jawab, gangguang pihak ketiga dan tidak
adanya keharmonisan dalam keluarga. Prosentsae terbesar dari alasan perceraian
tersebut adalah perceraian dengan alasan kurangnya keharmonisan sebanyak 34%
dari 27 kasus perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami isteri
berpendidikan tinggi. 33
Alasan perceraian sebagai pemicu ketidakharmonisan keluarga di kota
mataram berbeda dengan beberapa kota lainnya. Pemicu perceraian di kota
Mataram yakni faktor ekonomi (40%), faktor akhlak (25%), faktor kekerasan
dalam rumah tangga (10%), faktor pendidikan (10%) dan faktor intervensi pihak
ketiga (5%). 34
Alasan-alasan pasangan bercerai juga dipengaruhi oleh budaya setempat. Di
lampung misalnya, bercerai itu tabu. Namun di lombok, bercerai merupakan life
style dan ketika menjadi janda, “pasaran” menjadi naik. Sementara di wilayah
Kalimantan Barat, rumah tangga pasangan suami isteri relatif kokoh karena isteri-
isteri mereka menerima keadaan rumah tangga sekalipun serba kekurangan yang
penting mereka masih bisa makan. 35
Sementara di Kabupaten Cianjur alasan perceraian yang marak terjadi
karena alasan isteri bekerja di parbrik.36
Karena isteri bekerja, dan suami tidak
bekerja maka secara otomatis isteri menjadi pencari nafkah serta memiliki
31 Syarif Hidayat (Hakim PA Indramayu), Hasil wawancara : Indramayu, 26 Agutus 2017 32 Abdul Jamil dan Fakhrudin, “Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka Cerai-Gugat di
Indramayu”, dalam HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius. Mei - Agustus 2015. Vol 14
No. 2, hlm. 144 33 Nunung Rodliyah, “Perceraian pasangan Muslim Berpendidikan Tinggi: Studi Kasus di
Kota Bandar Lampung, “Disertasi tidak diterbitkan. (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2011). Hlm 30 34 Diolah dari data statistik perceraian di Pengadilan Agama Kota Mataram tahun 2016. 35 Kutipan ini diperoleh dari wawancara secara terpisah yang diperoleh dari informan,
yaitu : Tantowi (Hakim Tinggi PTA Bandung), Hasil Wawancara: Bandung, 2 Oktober 2017,
Amri dan Mukhlis Budiman (Hakim PA Sumedang), Hasil Wawancara: 19 September 2017. Data
juga diperoleh saat informan bertugas di luar Jawa. 36 Hamzah (Hakim Pengadilan Agama Cianjur), Hasil Wawancara: Cianjur, 12 September
2017
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 107
bargaining position yang kuat terhadap suami sedangkan suami tidak memiliki
bargaining position yang kuat secara ekonomi sebagaimana isterinya. Selain itu,
relasi suami isteri dimana isteri yang berkerja di pabrik dengan jam kerja shift
siang dan malam ternyata rentan dengan gangguan pihak ketiga. Ketika suami di
rumah tidak bekerja atau penghasilan terbatas sedangkan isteri pendapatannya
melebihi suami, maka ketika ada masalah isteri lebih memiliki “kuasa” untuk
menentukan pilihan di dalam mempertahankan atau memutuskan perkawinan.
Alasan perceraian di Kabupaten Cianjur Jawa Barat juga dilatar belakangi
oleh penggunaan medsos. Penggunaan medsos berpotensi masuknya pihak ketiga
secara pribadi melalui jaringan telepon yang memicu terjadinya salah sangka
diantara suami isteri yang berujung pada perselisihan yang terus menerus. 37
Di kabupaten Sumedang Jawa Barat, alasan perceraian pada umumnya
disebabkan oleh persoalan ekonomi dan tempat tingggal. Di Sumedang, pasangan
suami isteri begitu rentan menghadapai problem ekonomi. Hal ini berbeda
dengan pasangan suami isteri di luar Jawa, misalnya di wilayah Batu Sibau
Kalimantan Barat, para isteri lebih banyak “nerima” keadaan ekonomi sehingga
mereka mampu bertahan. Hal ini berbeda dengan di Sumedang. Perbedaan juga
terjadi disebabkan gaya hidup yang beda antara Jawa (baca: Sumedang) dan
Kalimantan yang menuntut gaya hidup lebih layak 38
Lain di Sumedang lain lagi di Bekasi Jawa Barat. Alasan perceraian di
Bekasi didominasi oleh adanya pihak ke tiga yang berakibat pada perselisihan
dan tidak ada keharmonisan. Sebagai kota yang berdeakata dengan ibu kota,
alasan percerian di Bekasi karena pihak ketiga (PIL dan WIL) sangat mudah
dimaklumi karena sebagai daerah industri dengan irama dan tingkat pekerjaan
yang tinggi mengharuskan pasangan suami isteri berada di luar rumah lebih
banyak daripada di rumah sehingga hadirnya pihak ke tiga dalam rumah tangga
semakin lebar. Demikian pula di Aceh alasan cerai lebih banyak dilakukan karena
pasangan suami isteri karena terjadi perbedaan pendapat yang berakibat pada
salah satu pasangan melakukan kekerasan dengan cara memukul. 39
Adanya perbedaan pengajuan perceraian dengan alasan-alasan tertentu di
masing-masing daerah menunjukkan adanya kesadaran hukum yang baik di
kalangan suami isteri khususnya di Jawa Barat. Di Jawa Barat, permohonan cerai
mudah dilakukan ke pengadilan. Menurut informan, hal ini tidak terjadi di luar
Jawa sana. Mereka tidak banyak mengajukan perkara-perkara yang mereka
hadapi dalam rumah tangga sehingga atas dasar ini kesadaran hukum mereka
rendah. Namun, fakta ini tidak perlu dengan tergesa-gesa disimpulkan karena
37 Hamzah (Hakim Pengadilan Agama Cianjur), Hasil Wawancara: Cianjur, 14 September
2017 38
Mukhlish Budiman dan Amri (Hakim Pengadilan Agama Sumedang), Hasil
Wawancarra: Sumedang, 19 September 2017. 39 Amri (Hakim Pengadilan Agama Sumedang), Hasil Wawancarra: Sumedang, 19
September 2017. Data alasan perceraian di Bekasi diperoleh saat informan bertugas di Bekasi dan
Aceh.
108 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
perlu juga dihitung dengan tingkat kepadatan penduduk pada masing-masing
daerah yang menjadi wilayah hukum pengadilan.
Di Pengadilan Agama Ciamis, alasan-alasan mengajukan cerai didominasi
oleh alasan ekonomi. Daya tarik kemewahan dunia banyak menyeret pasangan
suami isteri tidak puas dengan keterbatasan ekonomi suami. Hidup pas-pasan
yang dihadapi pasangan suami isteri merupakan keadaan yang dipandang
menghimpit kesenangan dunia. Keadaan inilah yang mendorong isteri mengajuan
gugat cerai ke pengadilan. Para suami khususnya di Kabupaten Ciamis menjadi
“pesakitan” karena tidak mampu meraih kesenangan dunia dengan harta dan
kekayaan yang bisa membuat isteri senang. Pengadilan Agama Ciamis menjadi
tempat terakhir pertaruhan ikatan perkawinan mereka untuk segera diselesaikan. 40
Tingginya alasan perceraian dengan alasan ekonomi secara nasional dan
potretnya di beberapa wilayah hukum pengadilan agama, khususnya di Jawa
Barat menunjukkan bahwa pasangan suami isteri belum siap secara mental
menghadapi kondisi keterbatasan ekonomi yang semakin berat. Penelitian ini
belum menemukan data konkrit mengenai berapa besar jumlah nafkah yang
digugat para isteri kepada suami sehingga harus berakhir di pengadilan agama.
Jika misalnya para suami digugat cerai oleh isteri dengan dalih kebutuhan
ekonomi yang tidak bisa dipenuhi padahal suami sudah bekerja namun tidak
mencukupi maka nampaknya - jika hal ini benar terjadi - diperlukan upaya
pertimbangan dari hakim untuk menolak dengan dasar suami sudah memenuhi
kewajibannya. Pemeriksaan dan pertimbangan hukum tidak digeser ke alasan
perselisihan, sebab jika yang dipertimbangkan alasan ini maka cukup mudah bagi
para isteri mengajukan cerai gugat.
Dilihat dari segi arus utama gender, sebenarnya laki-laki dan perempuan itu
seimbang, sederajat. Ketika alasan ekonomi dibebankan kepada suami dengan
kata „tidak bertanggung jawab‟ itu muncul, maka fenomena ini menjadi menarik
untuk mengkritisi kembali arus utama gender. Mengapa makna „tanggung jawab‟
menafkahi secara ekonomi itu menjadi hal yang ditimpakan laki-laki.
Alasan mengajukan perceraian mestinya dilakukan berdasar alasan hukum,
bukan karena alasan yang tidak dibenarkan hukum. Hal ini diingatkan oleh
sebuah hadis, jika istri yang meminta cerai kepada suami tanpa alasan yang tepat,
maka di dalam sebuah al-Hadits disebutkan ia akan rugi, dan tidak akan mencium
bau surga. Dalam sebuah al-Hadits yang diriwayatkan oleh Ash-Habus Sunan dan
dihasankan oleh Turmudzi, Rasulallah bersabda: Artinya: “Siapa saja wanita
meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab (yang dibenarkan), maka haram
atasnya bau surga” 41
Di Jakarta, berdasarkan hasil wawancara dengan informan di BP4,
pasangan suami isteri yang datang ke BP4 ketika melakukan konseling
disebabkan oleh alasan isteri kurang puas dengan keadaan ekonomi suami karena
40 Ahmad Sanusi (Hakim Pengadilan Agama Ciamis), Hasil Wawancara, Ciamis, 5
September 2017. 41 Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah. Beirut: Dar el-Fikr Juz II, hal 207.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 109
kesuksesan diukur dari melimpahnya materi bukan dari akhlak. Perasaan hampa
alias ruang emosional yang kosong mendorong pasangan suami isteri curhat
kepada pihak lain yang bisa memicu munculnya pihak ke tiga. Selain itu
problema rumah tangga juga didasari oleh alasan ketiadaan perhatian dan pujian
terhadap pasangan, padahal mereka hidup dalam ekonomi yang mapan. Alasan-
alasan ini esensinya dilatarbelakangi oleh tanggung jawab ilahiyah yang kurang
pada masing-masing pasangan sehingga ikatan perkawinan suami isteri demikian
rapuh.42
Di wilayah Pengadilan Agama Majalengka Jawa Barat, alasan diajukan
perceraian didominasi oleh alasan ekonomi pada tahun 2014-2016 sebanyak
2400-an perkara pertahun melebihi alasan perceraian lainnya seperti perselisihan
dan tidak ada tanggungjawab. Alasan ekonomi ini lagi-lagi menunjukkan bahwa
suami dipandang tidak mampu memenuhi nafkah yang layak menurut isteri.
Kelemahan suami dalam memenuhi nafkah telah memposisikan suami dalam
keadaan lemah. 43
Di pengadilan agama, perceraian dengan alasan ekonomi terjadi dalam
beberapa bentuk, yaitu :
1. Suami bekerja akan tetapi mempunyai penghasilan kecil yang tidak
seimbang dengan kebutuhan yang diperlukan isteri dan anaknya.
2. Suami tidak bekerja sehingga tidak dapat menafkahi isteri dan anaknya.
3. Suami bekerja dan mempunyai penghasilan tinggi tetapi nafkah yang
diberikan kecil dan tidak memenuhi kebutuhan isteri dan anaknya.
4. Suami bekerja akan tetapi tidak mau memberi nafkah isteri dan anaknya.
5. Suami isteri sama-sama bekerja akan tetapi penghasilan keduanya tidak
mencukupi untuk antara menuhi kebutuhan sehari-hari.
6. Isteri banyak menuntut nafkah yang lebih akan tetapi suami tidak mampu
memenuhi permitaan isteri.
7. Faktor lingkungan, seperti hidup di lingkungan orang kaya yang berbeda
profesi, isteri terpengaruh gaya hidup teman-temanya atau tetangganya yang
hidup serba kemewahan.
Di Pengadilan Agama Cimahi, gugatan nafkah pernah diajukan seorang
istri yang bersuamikan seorang pengusaha. Sang istri menilai, suaminya tak
menafkahinya secara layak, padahal dari segi finansial sang suami sangat mapan.
Kedua pihak, melalui pengacaranya masing-masing, bersidang di Pengadilan
Agama (PA) Cimahi. Majelis hakim, setelah babak adu bukti, menyimpulkan
bahwa sang suami sebenarnya mampu menafkahi istrinya secara layak. Karena
42 Nurhayati Djamas (Mediator/konselor BP4), Hasil Wawancara, Jakarta, 18 September
2017 43 Usep Gunawan (Hakim Pengadilan Agama Majalengka), Hasil Wawancara, 8
September 2017
110 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
itu hakim memutuskan mengabulkan gugatan nafkah itu. Sang suami harus
membayar nafkah yang dilalaikannya. 44
Sekalipun data tentang pengajuan cerai dengan alasan ekonomi tidak
mendalami seberapa sulit kehidupan ekonomi pasangan suami iateri, utamanya
mengenai seberapa kritis kehidupan ekonomi dalam keluarga muslim, namun
secara hukum kewajiban memberi nafkah yang mesti bisa dituntut kepada suami
bukanlah nafkah yang memenuhi rasa kepuasan isteri, tetapi atas dasar
kemampuan suami. Apabila alasan perceraian dengan alasan ekonomi yang
didasari atas ketidakpuasan isteri atas keadaan ekonomi, kemudian mereka
bercerai, maka mesti berhati-hati dengan tindakan yang tergesa-gesa ini.
Disebutkan dalam hadis sahih dari Jabir bin Abdillah radhiallahu „anhu, Nabi
„alaihish shalatu was salam bersabda,
إن إبلط ضع عسش على المبء ثم بعث ظسابي فأدوبم مى مىصلة أعظمم فتىة جىء
ئب قبل ثم جىء أحدم فقل مب تسكت كرا فقل مب صىعت ش أحدم فقل فعلت كرا
ه امسأت ب ى قت ب قل وعم أوت – قبل – حتى فس مى فدو
“Sesungguhnya, singgasana iblis berada di atas laut. Dia mengutus para
pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar
godaannya. Di antara mereka, ada yang melapor, „Saya telah melakukan godaan
ini.‟ Iblis berkomentar, „Kamu belum melakukan apa-apa.‟ Datang yang lain
melaporkan, „Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya,
dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.‟ Kemudian, iblis mengajaknya untuk
duduk di dekatnya dan berkata, „Sebaik-baik setan adalah kamu.‟” (H.R.
Muslim, no. 2813)
Pada dasarnya, talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi,
perbuatan ini disenangi iblis karena perceraian memberikan dampak buruk yang
besar bagi kehidupan manusia. Betapa banyak anak yang terlantar, tidak
merasakan pendidikan yang layak, gara-gara broken home. Bisa jadi, dia akan
disiapkan iblis untuk menjadi bala tentaranya. Bahkan, salah satu dampak negatif
sihir yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran adalah memisahkan antara suami
dan istri. Allah berfirman,
ج ش ه المسء ب قن ب فتعلمن مىمب مب فس
“Mereka belajar dari keduanya (Harut dan Marut) ilmu sihir yang bisa
digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya.” (Q.S. Al-Baqarah:102)
Secara khusus, bagi pihak istri, jangan bermudah-mudah minta cerai gara-
gara percikan api kecil yang meletup di tengah-tengah keluarga. Selama itu masih
44 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17429/kejarlah-nafkah-sampai-ke-
pengadilan#, diakses 8 Oktober 2017
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 111
bisa dipadamkan, berupayalah agar jangan dinyalakan. Renungkan hadis berikut
akan sedikit mengurangi rasa ingin mengajukan gugat cerai kepada suami. Dari
Tsauban radhiallahu „anhu, bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda
ب زاا ة الجىة أ س مب بأضة ف ساام عل ب الل فى ج يمب امسأ ة ظألت ش
“Wanita mana pun yang meminta suaminya untuk menceraikannya, tanpa ada
alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mencium bau surga.” (H.R.
Ahmad dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Syu‟aib Al-Arnauth)
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
للم تلعبا ه اللمىبفقبا ا
“Wanita yang suka meminta cerai (tanpa alasan yang benar), merekalah para
wanita munafik.” (H.R. Ahmad dan Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Akan tetapi, hadis-hadis di atas bukanlah melegalkan sikap suami untuk
tidak memenuhi hak istrinya. Bagi para istri yang tidak mendapat hak nafkah dari
suami, maka seorang isteri berhak menuntut suami untuk menunaikan
kewajibannya.
Karena pernikahanlah pasangan suami isteri akan memperoleh karunia dari
Allah, berupa rezeki, Disebutkan dalam hadis sahih dari Abu Hurairah
radhiallahu „anhu, Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
الىبكح الري سد العفبف د ف ظبل للا و المجب جل ع عص م حق على للا ث ثةم كلي
الم بت الري سد ااداء
“Ada tiga orang; telah menjadi kewajiban Allah untuk menolongnya: Orang yang
berjihad di jalan Allah, orang yang menikah karena ingin menjaga
kehormatannya, dan budak yang ingin menebus dirinya.” (H.R. Nasa‟i dan
Turmudzi; dinilai hasan oleh Al-Albani)
Barangkali, janji dalam hadis di atas belum kunjung turun pada keluarga-
kelulaga yang sedang menghadapi krisis ekonomi. Namun, seorang isteri tidak
boleh keburu berontak. Yakinlah untuk selalu berbaik sangka kepada Allah, dan
sabar menahan gejolak nafsu. Seorang isteri jangan keburu protes kepada suami
ketika posisi keluarga “kelihatannya belum semapan tetangga”; uang belanja
masih kurang, belum sempat beli baju baru, enggak bisa jalan-jalan ke shopping
center, tidak ada rekreasi, belum dapat perawatan kulit, belum mampu memberi
kiriman ke orang tua, dan seabrek keinginan untuk menuju bahagia. Hal ini
karena, gaji suami sebulan belum cukup untuk memenuhi hal itu. Allah
berfirman,
112 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
وفعب إل مب ل لف للا ب آتبي للا زشق فلىفق مم مه قدز عل لىفق ذ ظعةة مه ظعت
بعد ععسة عسا ب ظجعل للا آتب
“Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan
orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekadar kemampuan yang Allah berikan kepadanya. Allah, kelak,
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Q.S. Ath-Thalaq:7)
Sebenarnya, permasalahan tidak cukupnya kebutuhan ekonomi di dalam
keluarga bisa dipaksa untuk disederhanakan. Ketika menyadari bahwa
penghasilan suami belum cukup untuk mewujudkan konsep “hidup bahagia”
yang ideal menurut isteri, maka dapat segera ambil tindakan skala prioritas. Tidak
semua keinginan bisa terpenuhi dengan gaji Suami. Dahulukan yang paling
penting, kemudian yang penting. Kebutuhan yang sekiranya bisa ditahan,
mungkin belum saatnya diwujudkan saat ini.
Studi lain menyebutkan bahwa faktor meningkatknya angka perceraian
disebabkan putusan pennyelesaian perceraian dengan cara verstek. Di balik
ketidakhadiran pihak lawan diduga kuat terdapat kesepakatan kedua belah pihak
untuk bercerai. Perspektif hukum hakim terhadap perkara perceraian tidak
berdasarkan kesalahan salah satu pihak (no fault divorce) tetapi berdasarkan fakta
rumah tangga yang sudah pecah. Tidak semua perkara perceraian dapat dilakukan
dengan mediasi karena tingkat keberhasilan mediasi sangat rendah. 45
Data pendukung lainnya mengungapkan bahwa alasan perceraian dengan
sebab ekonomi terjadi akibat kurang keterbukaan di dalam pengelolaan keuangan
antara suami dan isteri. Penggunaan dan perencanaan keuangan keluarga harus
dikomunikasikan dengan baik secara terbuka dengan semua anggota keluarga,
terutama antara suami dan istri. Dalam hal ini, keterbukaan pengelolaan keuangan
dinilai dari kerja sama antara suami dan istri dalam mengambil keputusan yang
menyangkut pengelolaan keuangan keluarga. Umumnya, jika suami yang bekerja
maka ia harus melaporkan seluruh pendapatannya kepada istri dan menyerahkan
sebagian besar pendapatannya kepada istri. Sebaliknya, meskipun istri memegang
kendali keuangan keluarga, namun ia harus selalu mengkomunikasikan
pemanfaatan uang yang dikelolanya. Itulah salah satu contoh keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan keluarga.
Tidak banyak survei yang mengumpulkan indikator mengenai keterbukaan
dalam pengelolaan keuangan keluarga secara langsung. Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan salah satu survei yang mengumpulkan
informasi terkait penentu penggunaan penghasilan yang diperoleh suami atau istri
yang bekerja. Pertanyaan terkait penentu penggunaan penghasilan istri diajukan
45 M. Isna Wahyudi, Perceraian dalam Perspektif Praktisi Hukum: Pengalaman
Pengadilan Agama Badung. Dalam http://www.academia.edu/ 21109766/Percerain
Dalam_Perspektif_Praktisi_ Hukum_Pengalaman_Pengadilan_Agama_Badung
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 113
kepada istri atau pasangan wanita berumur 15-49 tahun yang pernah bekerja
dalam 12 bulan terakhir dengan penghasilan berupa uang. Sementara pertanyaan
terkait penentu penggunaan penghasilan suami diajukan kepada istri atau
pasangan wanita berumur 15-49 tahun yang suaminya memiliki pendapatan.
Mayoritas kendali penggunaan penghasilan suami ditentukan secara bersama oleh
suami dan istri (46,3%). Meskipun demikian, masih terdapat 41,4 persen istri
yang menjadi penentu tunggal penggunaan penghasilan suami. Sementara kendali
penggunaan penghasilan dari istri yang bekerja mayoritas ditentukan sendiri oleh
sang istri (65,3%).
Kemudian, jika dibandingkan menurut klasifikasi wilayah maka persentase
penggunaan penghasilan suami ataupun istri yang ditentukan secara bersama oleh
suami dan istri cenderung lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Angka
ini memperkuat dugaan bahwa mayoritas keluarga di Indonesia masih cenderung
menerapkan pembagian peran konvensional dalam keluarga, dimana suami
sebagai pencari nafkah utama sementara pengelolaan keuangan dan urusan rumah
tangga lainnya mayoritas dilakukan oleh istri.
Secara nasional, penghasilan suami yang dikelola secara bersama oleh
suami dan istri (46,30%) mempunyai persentase yang lebih tinggi daripada
penghasilan istri yang dikelola secara bersama (28,50%). Hal tersebut juga
berlaku di seluruh provinsi Meskipun secara nasional pengelolaan penghasilan
istri yang dilakukan secara bersama antara suami-istri masih tergolong rendah,
namun di Aceh, lebih dari 50 persen istri menyatakan bahwa pengelolaan
keuangan (penghasilan istri maupun penghasilan suami) ditentukan secara
bersama oleh suami dan istri. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar rumah
tangga di Aceh telah memiliki keterbukaan dalam pengelolaan keuangan
sehingga berpotensi meningkatkan ketahanan keluarga.46
Penopang ketahan keluarga seungguhnya terletak pada faktor ekonomi
keluarga. Jika alasan perceraian disebabkan oleh faktor ekonomi, maka
sesungguhunya mudah dimengerti dengan menggunakan cara pandang bahwa
ketahanan keluarga salah satunya adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini
secara akademik berdasarkan hasil-hasil studi mengenai ketahanan keluarga pada
dimensi ekonomi ini menempatkan 4 variabbel, yaitu (a) tempat tinggal keluarga,
(b) pendapatan keluarga, (c) pembiayaan pendidikan anak, dan (d) jaminan
keuangan keluarga.
a. Tempat Tinggal Keluarga
Keluarga memerlukan tempat tinggal yang layak bagi keberlangsungan
hidupnya. Variabel tempat tinggal keluarga memiliki indikator dengan status
kepemilikan rumah. Dalam keluarga-keluarga muslim yang bercerai, keberadaan
kepemilikan rumah bisa jadi merupakan salah satu alasan mengajukan perceraian
dengan alasan ekonomi. Dengan adanya kemepmilikan rumah, maka indikator
ketahaanan keluarga dalam dimensi ekonomi bisa dipenuhi.
46 Kementerian PPPA, op.cit, h 57
114 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Menurutu data susenas yang dikutif dari Kementerian PPPA, bahwa
Mayoritas rumah tangga di Indonesia telah menempati bangunan tempat tinggal
milik sendiri (82,63%), sedangkan sisanya menempati bangunan tempat tinggal
dengan membayar kontrak atau sewa, menumpang (bebas sewa), rumah dinas,
dan lainnya (17,37%). Persentase rumah tangga yang menempati bangunan
tempat tinggal bukan milik sendiri lebih tinggi di perkotaan daripada di
perdesaan. Salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya ketersediaan lahan
untuk tempat tinggal di wilayah perkotaan. Berdasarkan klasifikasi wilayah,
dalam data BPS 2015 menunjukkan bahwa secara nasional persentase penduduk
di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan di wilayah perdesaan (53,3%). Hal
inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa ketersediaan lahan untuk
bangunan tempat tinggal di wilayah perkotaan lebih sedikit dibandingkan di
perdesaan.
Jika dibandingkan antar provinsi, persentase rumah tangga yang menempati
bangunan tempat tinggal milik sendiri cenderung lebih tinggi daripada bukan
milik sendiri. Namun untuk DKI Jakarta, persentase rumah tangga yang
menempati bangunan milik sendiri (51,09%) hampir berimbang dengan rumah
tangga yang menempati bangunan bukan milik sendiri (48,91%). Seperti
diketahui, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan kepadatan penduduk tertinggi
di Indonesia, dimana pada tahun 2015, kepadatan penduduk di DKI Jakarta
mencapai 15.328 jiwa/Km2 (BPS, 2016). Hal ini menyebabkan tingginya
permintaan akan bangunan tempat tinggal yang kemudian berimbas pada
mahalnya harga rumah. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian penduduk
DKI Jakarta tidak mampu untuk memiliki rumah sendiri. Selain DKI Jakarta,
masih terdapat 18 provinsi lain yang mempunyai persentase rumah tangga dengan
status kepemilikan bangunan tempat tinggal milik sendiri masih berada di bawah
angka nasional, antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,
Kepulauan Riau, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Banten, Bali, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,
Gorontalo, Maluku, Papua Barat, dan Papua.47
Berdasarkan data di atas nampaknya alasan perceraian dengan sebab
ekonomi di beberapa kota besar jika dilihat dari status kepemilikan rumah sangat
relevan karena data-data tersebut secara nasional yang memiliki rumah sendiri
jumlahnya masih lebih sedikit dengan yang memiliki rumah tinggal sendiri.
Dalam keluarga, kepemilikan rumah sendiri menjadi salah satu penopang
kekokohan ekonomi keluarga tersebut.
b. Pendapatan keluarga
Ketahanan keluarga ditopangn oleh pendapatan keluarga yang sehat.
Kesehatan pendapatan keluarga ditentukan oleh seberapa besar jumlah
pendapatan yang diperoleh di dalam keluarga secara proporsional. Studi yang
dilakukan KPPPA bersama LPPM-IPB terkait ketahanan keluarga, menyebutkan
47 Kementerian PPPA, op.cit, h. 81-82
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 115
batas minimal pendapatan perkapita per bulan adalah sebesar Rp 250.000,00.
Artinya bahwa rumah tangga dengan pendapatan perkapita per bulan lebih dari
Rp 250.000,00 lebih tahan secara ekonomi dibandingkan dengan rumah tangga
dengan pendapatan perkapita per bulan kurang dari Rp 250.000,00. Dalam sub-
bab ini, pendapatan rumah tangga perkapita per bulan akan diproksi dengan
pengeluaran rumah tangga perkapita per bulan yang dibagi dalam empat
kelompok, yaitu Kelompok I merupakan rumah tangga dengan pengeluaran
perkapita per bulan kurang dari Rp 250.000,00; Kelompok II Rp 250.000,00
sampai Rp 499.999,00; Kelompok III Rp 500.000,00 sampai Rp 749.999,00; dan
Kelompok IV lebih dari Rp 750.000,00. Informasi pengeluaran perkapita per
bulan diperoleh dari hasil Susenas Modul Konsumsi Maret 2015 yang sudah
mencakup pengeluaran makanan dan non makanan.
Menurut studi tersebut Persentase Rumah Tangga Menurut Kelompok
Rata-Rata Pengeluaran Perkapita Per Bulan, 2015 ialah : Kelompok I (<
250.000/3,5%), Kelompok II (250.000 - 499.999/29,78%/24,64%), Kelompok III
(500.000 - 749.999/24,64%), Kelompok IV (≥750.000/42,04%).
Memperlihatkan besarnya persentase rumah tangga berdasarkan empat
kelompok pengeluaran perkapita per bulan. Sekitar 42,04 persen rumah tangga
termasuk dalam Kelompok IV (pengeluaran perkapita lebih dari Rp 750.000,00)
dan hanya sekitar 3,54 persen rumah tangga yang termasuk dalam kelompok I
(pengeluaran perkapita kurang dari Rp 250.000,00), sementara mayoritas rumah
tangga lainnya termasuk dalam kelompok II dan III. Sedangkan jika dilihat per
provinsi terlihat bahwa mayoritas pengeluaran perkapita per bulan rumah tangga
di Indonesia telah lebih dari Rp 250.000,00 di seluruh provinsi. Bahkan di
provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Utara persentase rumah tangga yang
mempunyai pengeluaran perkapita per bulannya kurang dari Rp 250.000,00 boleh
dikatakan sudah tidak ada. Selain itu, data kemiskinan BPS juga telah
menetapkan bahwa garis kemiskinan nasional di Indonesia pada tahun 2015
semester 2 untuk daerah perkotaan adalah sebesar Rp 356.378,00 dan daerah
perdesaan adalah sebesar Rp 333.034,00. Garis kemiskinan merupakan batas
minimum besarnya pengeluaran perkapita per bulan sebelum seseorang
dikategorikan miskin. Untuk DKI Jakarta garis kemiskinan tahun 2015 ditetapkan
sebesar Rp. 503.038,00, selain itu DKI Jakarta juga merupakan provinsi dengan
persentase penduduk miskin paling kecil, yaitu 3,61 persen (BPS, 2015).
Sehingga sangat wajar jika persentase rumah tangga yang pengeluaran perkapita
per bulannya di bawah Rp 250.000,00 mencapai nol persen. 48
Data-data ini jika dihubungkan dengan perceraian dengan sebab ekonomi
nampaknya tidak sinkoron. Dengan kecukupan tingkt pendapatan masyarakat
Indonesia berarti keluarga-keluarga muslim Indonesia memasuki taraf
pendapatan keluarga yang layak. Kategori kecukupan pendapatan dengan hasil
yang dicapai bisa dilihat berdasarkan keualifikasi miskin, hampir miskin, rentan
miskin dan tidak miskin. Secara nasional tingkat keluarga yang masuk kategori
48 Kementerian PPPA, loc.cit. h. 83
116 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
tidak miskin mencapai 71,77 % di perkotaan dan sebanyak 57,47 di pedesaan. Ini
artinya mayoritas keluarga Indonesia sudah memasuki taraf kehidupan yang
layak. 49
c. Pembiayaan Pendidikan Anak
Tingkat perceraian yang dilatarbelakangi oleh kemampuan pasangan suami
isteri membiayai pendidikan dibeberapa tempat di Indoensia masih terjadi.
Sekalipun demikian, angka kemampuan pasangan suami isteri yang
menyekolahkan anak secara nasional sudah membaik. Hal ini dapat dibandingkan
berdasrkan studi yang dilakukan oleh Kementerian PPPA menunjukkan bahwa
angka rumah tangga (ART) usia sekolah 7-18 tahun (usia sekolah) di Indonesia
tersebar pada 54,52 persen rumah tangga. Selanjutnya, pada rumah tangga yang
memiliki ART sekolah pada usia 7-18 tahun tersebut terdapat 88,54 persen rumah
tangga yang seluruh ART usia 7-18 tahun masih bersekolah. Sisanya 6,42 persen
rumah tangga hanya sebagian ART usia 7-18 tahun yang bersekolah dan 5,04
persen rumah tangga seluruh ART usia 7-18 tahun ternyata tidak/belum pernah
bersekolah atau tidak bersekolah lagi. Jika dibandingkan menurut klasifikasi
wilayah maka rumah tangga di perkotaan cenderung memiliki ART sekolah pada
usia 7-18 tahun yang seluruhnya bersekolah (90,66%) lebih tinggi dibandingkan
di perdesaan (86,52%). Lebih jauh, jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan
KRT maka semakin tinggi pendidikan KRT semakin cenderung pula untuk
memiliki ART sekolah pada usia 7-18 tahun yang seluruhnya masih bersekolah.50
Dengan data-data tersebut jelaslah bahwa perceraian dengan alasan
ekonomi dengan latarbelakang pasangan suami isteri tidak mampu membiayai
sekolah mestinya sudah tidak ada lagi atau sudah tidak perlu terjadi karena rerata
keluarga Indonesia menyekolahkah anak sudah pada angka kisaran 80% lebih.
Data-data di atas juga relevan dengan data keberlangsungan pendidikan
anak. Keberadaan anak usia 7-18 tahun yang putus sekolah atau bahkan tidak
pernah bersekolah merupakan salah satu indikasi adanya masalah ekonomi dalam
rumah tangga tersebut. Dari 54,52 persen rumah tangga yang memiliki ART usia
7-18 tahun, sekitar 2,67 persen rumah tangga di antaranya terdapat ART yang
putus sekolah atau tidak pernah bersekolah. Jika dibandingkan menurut
klasifikasi wilayah maka persentase rumah tangga yang terdapat ART putus
sekolah atau tidak pernah bersekolah di perdesaan (3,41%) lebih tinggi daripada
di perkotaan (1,92%). Ini menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan
cenderung mempunyai ketahanan ekonomi yang lebih rendah sehingga berpotensi
untuk mempunyai ketahanan keluarga yang lebih rendah pula.
d. Jaminan keuangan keluarga
Ketahanan keluarga ditinjau dari dimensi ekonomi menempatkan jaminan
kekuangan keluarga sebagai salah satu variabel.Jaminan kekuangan keluarga
berarti bahwa setiap keluarga sangat layak jika keluarga-keluarga tersebut
menyimpan dana cadangan sebagai jaminan terjadinya resiko. Inilah yang
49 Kementerian PPPA, loc.cit. h. 84 50 Kementerian PPPA, loc.cit. h. 90.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 117
barangkali mengapa ketahanan keluarga dalam dimensi ekonomi demikian
penting karena berkaitan dengan kepastian masa depan keluarga tersebut.
Dalam hal terjadinya perceraian dengan sebab ekonomi yang
dilatarbelakangi adanya faktor ketidak mampuan memiliki jaminan keuangan,
mungkin saja terjadi dalam setiap gugatan yang diajukan oleh para pihak.
Namun, yang ideal dalam hal kepemilikan jaminan keuangan bisa dilihat dari
keluarga tersebut berdasarkan kemampuan akses memiliki tabungan dan jenis
tabunganya.
Studi yang dilakukan oleh Kementerian PPPA menyebutkan bahwa secara
nasional, sebanyak 62,97% rumah tangga di Indonesia telah memiliki tabungan,
dimana setiap rumah tangga bisa memiliki lebih dari satu jenis tabungan.
Kemudian, jika dilihat dari jenis tabungan yang dimiliki maka rumah tangga yang
mempunyai tabungan, lebih senang menyimpan tabungannya di rumah, seperti di
lemari, dompet, celengan dan sebagainya (89,58%). Sedangkan rumah tangga
yang memiliki tabungan dalam bentuk produk non-bank hanya sekitar 11,75
persen dan rumah tangga memiliki tabungan dalam bentuk produk bank sekitar
56,74 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga di perdesaan lebih
cenderung untuk menyimpan tabungannya di rumah, sementara rumah tangga di
perkotaan lebih cenderung untuk menyimpan tabungannya dalam bentuk produk
bank dan non bank.
Jika dilihat menurut provinsi, persentase rumah tangga berdasarkan
kepemilikan tabungan menunjukkan bahwa Bali menjadi provinsi dengan
persentase rumah tangga yang memiliki tabungan tertinggi yakni 87,82%.
Sebaliknya, Aceh, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Papua merupakan
provinsi-provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki tabungan lebih
kecil dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak memiliki tabungan dengan
masing-masing persentase rumah tangga yang memiliki tabungan sebesar 47,32
%, 42,84%, 49,83%, dan 42,91 persen. Sedangkan jika dilihat dari jenis tabungan
yang dimiliki, seluruh provinsi di Indonesia memiliki pola yang sama dengan
pola nasional yakni persentase terbesarnya ada di jenis tabungan lainnya.51
Jelaslah bahwa jaminan keuangan merupakan salah satu faktor ketahanan
keluarga dalam dimensi ekonomi. Dalam kaitannya dengan alasan perceraian
dengan sebab ekonomi sangat mungkin terjadi dalam setiap gugatan pasangan
suami isteri mempertanyakan mengenai jaminan keuangan keluarga yang tidak
tersedia, namun tentu saja bukan secara ekplisit dalam gugatan, melainkan dalam
proses-proses persidangan. Angka-angka kepemilikan rekening di perbankan
mestinya telah menjadikan pasangan suami isteri yang berceraian dengan sebab
ekonomi lebih selektif lagi untuk dikabulkan karena data pendukung dari susenan
ini membuktikan bahwa keluarga-keluarga Indonesia sudah cukup mapan.
Beberapa hasil studi pada masa lalu juga bisa dijadikan bahan perbandingan
mengenai penyebab perceraian. Secara singkat dapat dikatakan ketidak bahagiaan
perkawinan mungkin atau tidak mungkin telah berkembang. Oleh karena itu
51 Kementerian PPPA, loc.cit. h. 95
118 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
kesediaan untuk menggunakan perceraian sebagai salah satu jalan keluar
meningkat pesat 52
.
Mengapa perceraian meningkat pesat? Tidak diiketahui apakah faktornya
terletak dari ketidak bahagiaan perkawinan atau pada adanya anggapan bahwa
perkawinan hanya sebuah formalitas kebersamaan antara suami isteri. Yang
sungguh diketahui adalah:
1. Perubahan pada citarasa dan tata nilai yang sama antara suami isteri.
Kehidupan yang mendorong seseorang memiliki keahlian dan mobilitas
modern yang makin meningkat, telah menjadikan tatanilai dalam keluarga
antara suami dan isteri menjadi berubah;
2. Tingkat ketergantungan secara ekonomis bagi isteri terhadap suami semakin
menurun. Para isteri tempo dulu yang tidak merasa bahagia dalam
perkawinannya tidak mempunyai pilihan lain untuk menyelesaikan kemelut
ru-mah tangga kecuali tetap hidup bersama dengan suaminya. Pada masa
sekarang, para isteri yang tidak bahagia bisa melakukan banyak pilihan,
antara lain mencari pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Apalagi dalam
keluarga yang isterinya bekerja di luar rumah. Tingkat ketergantung-an
dengan suami menjadi kurang yang memungkinkan rumah tangga menjadi
rapuh;
3. Perceraian berkembang dengan sendirinya, karena meningkatnya seseorang
yang mempunyai orang tua, kakak dan kerabat lainnya yang bercerai.
Seseorang yang sedang mengalami krisis sering melakukan komunikasi dan
kontak sosial baik langsung atau tidak langsung dengan orang yang pernah
bercerai. Hal itu sering diikuti oleh keyakinan seseorang yang hendak
bercerai sebagai pola yang akan wajar diterimanya kelak dari sebuah mimpi
buruk yang mena-kutkan menjadi pilihan yang rasional.
Sebuah survey yang dilakukan oleh George Levinger 53
pada tahun 1966
menyebutkan 12 alasan keluarga yang mengajukan permohonan cerai, yaitu:
1. Pasangan senantiasa mengabaikan tugas-tugasnya terhadap rumah tangga dan
anak-anak;
2. Minimnya pendapatan dalam keluarga yang berwujud pada masalah
keuangan;
3. Terjadinya penyiksaan fisik terhadap pasangannya;
4. Tidak menghargai pasangannya dengan cara berteriak dan berkata kasar yang
menyebabkan sakit hati bagi yang lainya;
52 Sebagaimana dijelaskan oleh Horton dan Hurt (1996: 290) meng-gunakan penyelesaian
kemelut rumah tangga pada keluarga di Amerika dengan jalan perceraian telah merajalela. Kira-
kira 38 % perkawinan pertama bagi wanita yang berusia antar 25 sampai 29 tahun berakhir
dengan perceraian. 75 % dari wanita yang bercerai itu akan menikah lagi dan 45 % dari yang
menikah lagi akan bercerai pula. 53 George Levinger, “Phisical abuse among aplicants for divorce,”, dikutif dari “Source of
Marital Satisfication among Aplicants for Divorce,” American Journal of Orthopsychiatry 36,
1966.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 119
5. Tidak memiliki kesetiaan terhadap pasangannya, seperti memiliki pacar gelap
dan serong dengan orang lain;
6. Tidak puas dalam hubungan seksual dengan pasangannya disebabkan oleh
keengganan melakukan hubungan suami isteri dan tidak memberinya
kepuasan;
7. Meminum minuman yang memabukan;
8. Sering cemburu dan curiga terhadap pasangannya;
9. Kurang berkomunikasi dengan pasangan karena ketiadaan cinta dan perhatian
satu sama lain;
10. Muncul intervensi dari pihak luar (kerabat) masing-masing pasangan;
11. Tuntutan yang berlebihan yang mengakibatkan masing-masing tidak sabar;
12. Perbuatan-perbuatan lain di luar 11 jenis perbuatan di atas.
Berbagai studi yang dilakukan terhadap sebab-sebab terjadinya perceraian
menunjukkan adanya korelasi sebab terjadinya perceraian dengan status
pasangan suami isteri. Menurut Hilman (1962) 54
tingkat perceraian tertinggi
berada pada katagori pekerja kasar, seperti buruh, pembantu rumah tanga dan
pelayan di sektor jasa. Tingkat perceraian ini semakin menurun pada pasangan
suami isteri yang bekerja sebagai pekerja kerah putih yang berada pada lapisan
menengah. Sedangkan pada tingkat orang-orang profesional, direktur dan
menager sebuah perusahaan menunjukkan tingkat yang sangat rendah.
Selain itu, Goode melihat tingkat perceraian juga terjadi pada tingkat
pendidikan dan penghasilan. Hal ini menunjukkan adanya konsistensi antara
status pekerjaan dengan tingkat pendidikan yang menjadi pemicu perceraian.
Lamanya usia perkawinan dapat dijadikan indikator penyebab terjadinya
perceraian. Studi yang dilakukan Kephart 55
(1954) menunjukan bahwa
perceraian banyak terjadi pa-da usia perkawinan di bawah lima tahun. Dalam
kelompok ini, tingkat tertinggi perceraian di alami oleh kelompok usia
perkawinan tiga tahun. Godaan pada pasangan suami isteri yang mengakibatkan
pisah ranjang lebih banyak terjadi pada tahun pertama perkawinan, sedangkan
tingkat perceraian turun secara signifikan pada masa usia perkawinan memasuki
tujuh tahun.
Tingginya tingkat perceraian juga bisa diakibatkan oleh status dalam
perkawinannya apakah pasangan suami isteri memiliki anak atau tidak. Bagi
pasangan yang tidak memiliki anak perceraian lebih banyak terjadi. Di antara
pasangan suami isteri yang tidak mempunyai anak 71 % berakhir dengan
perceraian dan 8 % pasangan suami isteri yang memiliki anak berakhir dengan
perceraian 56
.
54 K.G. Hilman, “Marital instability and its relation to education, income and accupation:
an analysis based on cencus data”, dalam R.F. Winch, R. McGinnis and the Family edisi revisi
Holt Rinehart and Wilson, 1962 55 Kephart,. William M. “The Duration of Marriage”, American Socio-logical Review, 19
Juni 1954. 56 Alfred Cahen, Statistical Analysis of American Divorce. New York: Columbia
University Press, 1932. Namun demikian, gambaran ini perlu juga ditafsirkan secara lebih luas
120 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
C. Penerapan Prinsip Mempersulit Perceraian di Pengadilan Agama
Pengadilan agama pada dasarnya merupakan benteng terakhir yang
disiapkan oleh negara di dalam menyelesaikan konflik perkawinan. Negara
mengatur konflik perkawinan sedemikiat rupa, yaitu menyiapkan perangkat
peraturan perundang-undangan, institusi penyelenggara kekuasaan kehakiman
dalam hal ini pengadilan dan penegak hukum yang terdiri dari seluruh pegawai
pengadilan agama serta advokat.
Keterlibatan negara mengatur konflik perkawinan hakikatnya agar tercipta
kepastian hukum dan terhindar dari kesewenang-wenangan salah satu pasangan
suami isteri di dalam menjalankan hak dan kewajibannya serta melindungi hak-
hak perseorangan sebagai suami dan isteri. Namun demikian, benteng terakhir
negara ini nampaknya sudah tidak mampu membendung arus konflik perkawinan
dalam keluarga muslim Indonesia yang semakin hari semakin meningkat tajam.
Pengadilan agama menjadi tumpuan terakhir keluarga muslim menyelesaikan
konflik perkawinan.
Di tengah melonjaknya jumlah angka perceraian di Indonesia, pengadilan
agama tetap berposisi sebagai lembaga pemutus sengketa yang telah disenjatai
oleh hukum acara di dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara
perceraian. Tetapi disisi lain, pengadilan agama juga cermat dan berpijak pada rel
hukum acara yang menjadikan proses pemeriksaan perkara perceraian dilakukan
dengan prinsip mempersulit. Prinsip mempersulit perceraian ditegaskan di dalam Undang-Undang Perkawinan. 57 Hal ini termaktub dalam penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan angka 4 huruf e, yaitu: “Karena
tujuan perkawinan adalah utuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan
sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya
perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta
harus dilakukan di depan pengadilan.
Secara normatif, undang-undang perkawinan dan segenap turunannya
mempersulit perceraian. Asas mempersulit perceraian merupakan suatu asas
hukum yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan Angka 4 Huruf e yang mengatakan bahwa pada
prinsipnya Undang-Undang Perkawinan ini menganut asas mempersulit
perceraian yang memungkinkan terjadinya perceraian jika perceraian itu
dilakukan di hadapan Pengadilan dan berdasarkan alasan-alasan tertentu. Jika
dikaitkan dengan perceraian yang harus dilakukan di Pengadilan maka, secara
tidak langsung asas ini juga terdapat dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan
dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
bahwa data tersebut tidak boleh diar-tikan ada hubungan langsung antara perceraian dengan
ketidak-beradaan anak. Dengan kata lain, adanya anak dalam suatu keluarga bukan merupakan
pencegah efektif untuk terjadinya perceraian. Demikian Mohanan mencatat dalam bukunya, Is
Childness Related to Family Stability. 57 Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indah, 1981), hlm.
12.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 121
Kedua pasal tersebut mengatakan bahwa perceraian itu harus dilakukan di
hadapan persidangan.
Penerapan pasal tersebut mengenai prinsip mempersulit perceraian
dijelaskan di dalam Pasal 31 PP. No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Pasal tersebut
disebutkan bahwa hakim dalam sidang perceraian diharuskan untuk
mendamaikan kedua belah pihak selama pemeriksaan belum diputuskan. Selain
itu dalam pasal 115 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam juga disebutkan bahwa perceraian harus dilakukan di depan
persidangan dalam Pengadilan Agama, dan putusan perceraian dapat dilakukan
setelah Pengadilan Agama tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Bagaimana implementasi asas mempersulit perceraian itu di pengadilan
agama. Inilah yang perlu dikaji dan dijelaskan. Penerapan prinsip mempersulit
perceraian di pengadilan agama merupakan kesimpulan dari hasil studi yang
dilakukan oleh A. Muliany Hasyim58
bahwa di PTA Semarang prinsip
mempersulit perceraian dilakukan dengan beragam pintu, yakni memaksimalkan
mediasi, keterlibatan hakam, mengabulkan permohonan cerai jika didukung
dengan alat bukti yang sah, dan kalau berhasil didamaikan dalam persidangan
maka perkaranya dicabut.
Hampir di seluruh pengadilan agama di Indoensia proses pemeriksaan
perkara perceraian sejalan dengan yang dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan. Proses pemeriksaan perkara sudah melalui tahapan-tahapan
mempersulit perceraian. Yang menarik adalah perbedaan dari segi waktu dan
kualitas pemeriksaan, apakah pengadilan agama di Jawa dan luar Jawa
memeriksa perkara perceraiannya sama atau tidak. Beberapa informan
mengatakan bahwa waktu yang tersedia di dalam melakukan pemeriksaan
perceraian di pengadilan agama luar Jawa lebih leluasa dan maksimal melakukan
upaya perdamaian dan pemeriksaan. Hal ini disebabkan karena perkara-perkara di
Pengadilan Agama luar Jawa sangat sedikit sehingga para hakim memiliki
kesempatan memaksimalkan pemeriksaan perkaranya. Namun demikian, hal ini
tidak berdampak pada hasil akhir putusan pengadilan agama yang dicabut
melainkan tetap dikabulkan. Dengan demikian, tidak ada korelasi positif antara
pemeriksaan perkara perceraian di luar Jawa yang memiliki alokasi waktu yang
leluasa karena jumlah perkara sedikit dengan pemeriksaan perkara di Jawa yang
perkaranya banyak. Hasilnya di Jawa dan luar Jawa putusan pengadilan agama
sama-sama mengabulkan gugatan/permohonan para pihak.
Asas mempersulit perceraian ini dinyatakan dalam peraturan perundang-
undangan dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Perceraian harus dilakukan di hadapan sidang pengadilan
Pertimbangan mengenai asas mempersulit perceraian ini sebenarnya telah
ada dalam prosedur penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan Agama, yakni
58 A. Muliany Hasyim, “The Principles of Tightening Divorce In Semarang High Religious
Court In Maqasid Al-Shari‟ah Perspective” dalam Al-Mawarid Journal of Islamic Law, Vol. XV,
No. 1, August 2015, hlm 70
122 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
mulai dari Perceraian harus dilakukan di hadapan pengadilan. Undang-undang
Perkawinan Pasal 39 menyebutkan bahwa perceraian harus dilakukan di hadapan
pengadilan melalui putusan hakim. Hal ini untuk menghindari perceraian yang
dilakukan secara sewenang-wenang, seperti yang disebutkan dalam Pasal 208
KUHPerdata bahwa “Perceraian perkawinan sekali-kali tidak dapat terjadi hanya
dengan persetujuan bersama”,59
2. Perceraian Harus Didasarkan Alasan-Alasan Tertentu
Perceraian yang dilakukan di Pengadilan juga harus didasarkan atas alasan
alasan tertentu yang telah dijelaskan dalam KHI dan Undang-Undang
Perkawinan. Sehubungan dengan hal diatas, maka para pihak yang akan
mengajukan gugatan ke Pengadilan harus memiliki dasar hukum atau alasan
yang dibenarkan oleh hukum. gugatan yang tidak didasari oleh dasar hukum
sudah pasti akan ditolak oleh 3. pengadilan, karena dasar hukum inilah yang akan
menjadi pertimbangan hakim dalam membuat putusan.60
3. Telah Dilakukan Upaya Pendamaian
Upaya mendamaikan ini wajib karena hukum acara menghendaki adanya
suatu perdamaian, seperti yang terdapat dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154
Rbg.61
4. Mediasi
Pada dasarnya, mediasi merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan
peradilan yang sederhana, cepat dan dengan biaya yang ringan. Adanya mediasi
juga diharapkan mampu menekan penumpukan perkara di pengadilan. 62
Namun,
dalam hal perceraian dan asas mempersulit perceraian, dengan bantuan pihak
ketiga imparsial, maka mediasi seharusnya mampu mempengaruhi pemikiran
para pihak yang akan bercerai agar benar-benar matang mengenai langkah
bercerai yang akan diambil. Oleh karenanya, sudah menjadi suatu keharusan
dalam ketentuan Pasal 130 HIR menegaskan agar mediasi selalu diusahakan
sebelum pemeriksaan perkara perdata dijalankan.63
5. Tujuan Asas Mempersulit Perceraian
Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.,
sehingga adanya asas mempersulit perceraian ini dilakukan atau diterapkan
dengan maksud untuk melindungi isteri dan anak berkaitan dengan hak dan
kewajiban, juga untuk mewujudkan tujuan utama perkawinan yakni mewujudkan
keluarga yang bahagia dan kekal.
59 Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011), h. 49 60 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 17 61 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata , (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 238 62
Nurnaningsih, Mediasi. Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan,
(Jakarta:PT.
Raja Grafindo persada, 2012), h. 141 63 Edi As‟adi, Hukum Acara Perdata dalam Prespektif Mediasi(ADR) di Indonesia,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 69
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 123
Implementasi asas mempersulit perceraian di pengadilan agama perlu
ditelusuri lebih lanjut. Berdasarkan data yang telah dipaparkan, angka perceraian
demikian tinggi, namun pengadilan dalam putusannya senantiasa mengabulkan
apa yang dimohonkan atau digugat oleh para pihak. Sangat langka putusan
pengadilan agama yang menolak perkara perceraian dari pemohonan dan
penggugat. Dari sini saja, nampaknya asumsi bahwa setiap sengketa perkawinan
yang diajukan pasti dikabulkan tidak bisa dihindari. Sekaitan dengan itu,
dimanakah letak mempersulitnya proses perceraian ?
Asas mempersukar perceraian di dalam praktinya telah diterapkan berdasar
ketentuan hukum yang berlaku. Pengadilan agama akan tidak berani
menyimpangi ketentuan hukum acara yang telah ditetapkan dalam undang-
undang mengenai asas mempersukar perceraian. Berbagai tahap telah dilakukan
oleh pengadiilan agama di dalam menghambat laju perceraian di dalam
pemeriksaan perkara, misalnya:
1) Dalam proses persidangan, hakim-hakim di PA/MS diwajibkan melakukan
upaya perdamaian terlebih dahulu kepada pasangan berperkara yang ingin
bercerai. Hal ini sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Agama yang antara
lain bersumberkan Hukum Acara Perdata Umum (Herzien Inlandsch
Reglement/ Rechtreglement voor de Buitengewesten atau kerap disingkat
HIR/RBg). Disebutkan dalam Pasal 130 HIR dan pasal 154 RBg, bahwa
pada permulaan persidangan, sebelum pemeriksaan perkara, hakim wajib
mendamaikan antara para pihak berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh
hakim dibuat Akta Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai putusan.
Namun jika tidak berhasil maka dilanjutkan pada tahapan sidang berikutnya;
2) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016 mewajibkan
untuk perkara-perkara tertentu, termasuk untuk perceraian, agar melalui
proses mediasi setelah dilakukan sidang pertama. Mediasi dilakukan pada
pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali
sepanjang perkara tersebut belum diputus (Pasal 21). Selain itu, dalam Perma
2016 disebutkan bahwa mediator dapat dari dalam maupun luar pengadilan
(Pasal 4 ayat 1), hakim dan non hakim. Secara umum, Perma 2016 memberi
penekanan pada peranan mediator yang lebih luas dalam proses mediasi.
Bahkan disebutkan bahwa tidak menempuh prosedur mediasi mengakibatkan
putusan batal demi hukum (Pasal 2 Ayat 3).
Peraturan Mahkamah Agung tersebut belum berhasil meningkatkan keber-
hasilan mediasi di pengadilan agama. Oleh karenanya ada beberapa langkah yang
sudah dan akan diambil dalam rangka meningkatkan keberhasilan mediasi dapat
dijelaskan sebagai berikut64
:
1. Pilot Project Mediasi di Pengadilan Agama
Mahkamah Agung akan memilih pengadilan-pengadilan yang layak
dijadikan percontohan untuk mediasi. Dari lingkungan peradilan agama, akan
64 Lihat dalam Ramdani Wahyu Sururie, “Implementasi Mediasi dalam Sistem Peradilan
Agama”. Disertasi Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 2011. Hlm 267
124 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
dipilih satu Peradilan Agama atau Mahkamah Syar‟iyah yang dinilai memenuhi
kriteria yang ditentukan. Ada beberapa kriteria yang dipatok. Di antaranya, ruang
mediasi yang memadai, kualitas mediator, kesesuaian dengan hukum acara dan
tentu saja tingkat keberhasilan mediasi. Para Pansek PTA diminta menuliskan
pengadilan yang mereka jagokan di selembar kertas dan menyerahkannya ke
Ditjen Badilag. Peradilan Agama yang dijagokan ini akan dinilai oleh sebuah tim
dari Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Agama.
Dengan demikian, pemilihan Peradilan Agama percontohan mediasi ini
adalah sebentuk ihtiar untuk meningkatkan kualitas mediasi, sehingga semakin
banyak sengketa yang berujung dengan perdamaian.
Jika satu Peradilan Agama banyak berhasil dalam melakukan mediasi, itu
merupakan catatan tersendiri. Untuk melakukan upaya peningkatan kualitas
mediasi, kini sudah ada 17 Peradilan Agama yang diusulkan sebagai pilot project.
Diharapkan dengan keberhasilan peradilan agama itu, peradilan agama lain dapat
mencontohnya.
2. Pelatihan Mediator Bersertifikat
Dalam upaya meningkatkan skill mediator, Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama telah dan akan terus mengadakan pelatihan mediator
bersertifikat dari kalangan hakim peradilan agama. Dari data yang tersedia di
Badilag, pelatihan sertifikasi mediator.
Secara teknis administratif, panggilan menjadi peserta sertifikasi mediator
berada di direktorat pembinaan tenaga teknis peradilan agama. Teknis pelaksana
kegiatan sertifikasi mediator dilakukan oleh Pusdiklat Tenaga Teknis Mahkamah
Agung yang berada di Megamendung Bogor. Lama pelatihan sekitar 14 hari
kerja.
Adanya pelatihan sertifikasi mediasi yang terencana setiap tahun dalam
anggaran Badilag, keberhasilan mediasi di setiap pengadilan agama diharapkan
dapat tercapai. Namun demikian, melihat kekuatan anggaran dan jumlah peserta
sertifikasi mediasi hanya satu orang untuk setiap pengadilan agama,
dimungkinkan jika siklus pemanggilan peserta setiap tahun seperti saat ini,
pengadilan agama baru akan memiliki hakim mediator antara 8 sampai dengan 10
tahun ke depan.
3. Studi Banding ke Negara-negara Maju
Kebijakan untuk memperkuat keberhasilan mediasi dilakukan dengan studi
banding ke negara maju. Pernah dilakukan Februari 2009, melakukan studi
banding mediasi ke Superior Court Washington DC Amerika Serikat. Demikian
bagusnya sistem pelatihan dan proses mediasi di pengadilan-pengadilan negara
maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Cina dan Jepang.
Mediasi yang dilakukan di Family Court yang berada di bawah Superior
Court Washington DC, sebagaimana di negara-negara maju lainnya, sangat
memuaskan para pihak yang bersengketa. Ada dua jenis mediasi, yaitu “Family
Mediation” dan “Child Protection Mediation”. Kedua-duanya ditangani oleh
Bagian Penanganan Sengketa (Dispute Resolution Division). Hasil survey
terhadap para pihak yang menggunakan jenis “Family Mediation”: 90%
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 125
pengguna menyatakan puas dengan solusi yang dihasilkan, 94% menyatakan
puas dengan proses mediasi, dan 97% menyatakan puas dengan kinerja para
mediator.
Sedangkan 95% dari pengguna “Child Protection Mediation” menyatakan
bahwa mediasi itu sangat membantu, 57% menghasilkan kesepakatan penuh dan
38% lainnya “hanya” menghasilkan kesepakatan sebagian dari persoalan mereka.
Mediasi, di peradilan keluarga bersifat “voluntary” dan sama sekali terpisah
dari proses peradilan, ditunjang oleh fasilitas yang memadai. Sebut saja para
mediatornya. Peradilan mempunyai 3 mediator dari lingkungan peradilan –bukan
hakim- dan 36 mediator dari para profesional masyarakat.
Sebagai perbandingan, di Pengadilan Distrik Maryland yang berlokasi di
Greenbelt, mediator itu hanya terdiri dari hakim magistrat yang tidak menangani
perkara. Pengadilan ini tidak menangani perkara keluarga, sebab ini adalah
pengadilan federal. Perkara keluarga ditangani oleh pengadilan negara bagian.
Di Superior Court Washington DC, para mediator harus sudah mengikuti
pelatihan khusus minimum 65 jam dan kinerjanya dievaluasi serta harus
mengikuti latihan tambahan setiap tahun. Pada umumnya mereka adalah para
sarjana di bidang pekerja sosial, pendidikan, hukum, psychology, SDM dan
bidang-bidang lainnya yang terkait.
Mereka sangat profesional dalam menghadapi para pihak, netral, menye-
nangkan dan tidak boleh memberikan nasehat, apalagi menentukan putusan.
Mereka “hanya” memfasilitasi para pihak untuk menyampaikan kepentingan dan
keinginannya secara bebas dan menciptakan suasana yang mengarah kepada
pertimbangan yang terbaik untuk kepentingan keluarga dan anak.
Studi banding ini akan terus dilanjutkan ke beberapa Negara di Eropa yang
telah menerapkan mediasi dalam sistem peradilannya.
4. Kerjasama dengan BP4
Seiring dengan kewajiban melakukan mediasi peradilan agama
menggandeng BP4 (Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan)
untuk menyediakan juru damai. Sebanyak 17 mediator yang berpraktik di PA se-
DKI Jakarta mulai diperkenalkan sebagai mediator. Sebagian besar mereka
adalah pensiunan pejabat Departemen Agama dan hakim PA/PTA.
Para mediator tersebut telah menjalani pelatihan khusus dan mendapat
sertifikat dari IICT (Indonesian Institute for Conflict Transformation). Dengan
bekal itu, diharapkan mereka dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagai
juru damai dalam perkara-perkara perdata agama.
Dalam masalah perkawinan, posisi BP4 memang cukup sentral. Awalnya,
BP4 merupakan lembaga semi otonom di bawah Kemenag Depag yang bertugas
memberi penasihatan di bidang perkawinan. Kini, BP4 merupakan lembaga
mandiri yang terpisah dari Kementerian Agama. Lembaga ini dikelola secara
profesional, meski tetap menjadi lembaga nirlaba. 65
65 Sejak tahun 2009, beredar gagasan untuk melakukan restrukturisasi terhadap BP4.
Dalam proses restrukturisasi BP4 diarahkan untuk dipindahkan dari nomenklatur Departemen
Agama menjadi di bawah naungan Ditjen Peradilan Agama Mahkamah Agung. Dalam
126 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Dalam hal mediasi di peradilan agama, para personil BP4 Jakarta dipilih
menjadi percontohan. Fakta menunjukkan, tingkat perceraian di Jakarta
melampaui tingkat perceraian secara nasional. Kehadiran BP4 sebagai mediator
yang direncanakan ada pada setiap peradilan agama, akan member potensi dan
peluang mediasi berhasil semakin tinggi.
5. Pemberian Pelatihan Mediator bagi Calon Hakim
Pelatihan sertifikasi mediator khusus Calon Hakim untuk pertama kalinya
diselenggarakan atas kerjasama Pusdiklat Teknis MA bersama dengan Pusat
Mediasi Nasional (PNM) dan Indonesian Institute For Conflict Transformation
(IICT). Tim trainer dari lembaga tersebut merupakan trainer yang berpengalaman
dan sudah berkualitas dalam memberikan pelatihan sertifikasi mediator
khususnya calon Hakim dan tenaga teknis peradilan di Indonesia.
Program mediasi di lingkungan peradilan umum dan agama adalah tidak
main-main, tetapi mediasi merupakan upaya Mahkamah Agung dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan. Mahkamah Agung
sendiri akan menjadikan mediasi di pengadilan sebagai program prioritas dalam
rangka upaya penyelesaian sengketa di peradilan, hal itu dibuktikan dengan
keluarnya Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan masuknya program mediasi dalam
rencana cetak biru (blue print) MA tahun 2010-2035 mendatang.
Secara eksternal, penyelesaian mediasi di pengadilan agama mutlak
dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Misalnya, mediasi tidak lagi
diintegrasikan dengan pengadilan melainkan dilakukan secara terpisah melalui
BP4 atau lembaga mediasi lainnya yang memahami dan fokus terhadap sengketa
perkawinan. Pertimbangan langkah ini diakukan dengan beberapa hal, yaitu
alokasi waktu mediasi yang dimiliki hakim selaku mediator masih sangat minim
terutama di pengadilan agama yang padat perkara, hakim mediator tidak
diperkenankan diberi tarif melaksanakan mediasi sehingga sedikit banyak
berpengaruh pada kualitas penyelenggaraaan mediasi dan mediasi sengketa
perkawinan yang selama ini dilaksanakan di pengadilan agama lebih berorientasi
sejarahnya, Ditjen Peradilan Agama Mahkamah adalah bagian dari Departemen Agama. Namun
dengan tujuan restrukturisasi menuju optimalisasi peran peradilan agama, nomenklatur peradilan
agama dipindahkan ke MA. Dirjen Bimas Islam memberikan empat opsi terkait proses
restrukturisasi. Pertama, BP4 dilepaskan dan di bawah Peradilan Agama MA. Kedua, BP4
dialihkan fungsinya kepada Ditjen Peradilan Agama, tanpa mengalihkan institusinya, Ketiga,
Direktorat Peradilan Agama membentuk lembaga baru yang menjalankan fungsi BP4. Keempat, masa transisi dengan memberikan ksempatan kepada Peradilan Agama untuk membentuk
nomenklatur mediasi perkara perkawinan, sambil menunggu selesainya proses kajian dan analisa
terhadap restrukturisasi BP4. Dirjen Badilag Wahyu Widiyana menegaskan komitmennya untuk
memajukan peran BP4 dalam kedudukannya dalam ranah mediasi dan konseling perkawinan.
Menurutnya, Ditjen Badilag Mahkamah Agung sangat membutuhkan keterlibatan BP4 dalam
proses mediasi perkara perkawinan, mengingat BP4 memiliki SDM dan jaringan yang luas hingga
pelosok desa. Dengan demikian, maka tugas Ditjen Badilag dalam hal mediasi akan semakin
ringan. Mengingat masih perlunya kajian yang mendalam dari berbagai aspek, proses
restrukturisasi ini telah dibahas oleh sebuah tim dan diputuskan dalam munas BP4 pada Juli 2009.
(Lihat dalam http:// bimasislam. depag.go.id, “Diskursus Restrukturisasi BP4 Mengemuka”
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 127
pada keterliibatan pihak ke tiga yang netral (mediator) yang acapkali “terlarang”
memberikan nasehat dan konseling perkawinan.66
Studi lain menyebutkan bahwa untuk memaksimalkan keberhasilan mediasi
diperlukan keterlibatan berbagai pihak dan mengubah mekanisme mediasi yang
selama ini dipraktikkan di pengadilan agama. Mediasi bukan hanya dilakukan
secara integral di peradilan agama. Mahkamah Agung dapat segera membuka
pintu mediasi di luar peradilan agama melalui optimalisasi peran BP4 dan
mendirikan lembaga-lembaga mediasi yang terakreditasi oleh Mahkamah Agung.
Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya Fakultas Syari‟ah dan Hukum dapat
ditunjuk sebagai lembaga yang kompeten menangani mediasi, baik sebagai
mediator maupun lembaga penyelenggara pelatihan. Lembaga mediasi dapat pula
berdiri di pesantren-pesantren. Para ulama dan kiyai dapat berperan sebagai
mediator bagi para pihak yang memiliki sengketa keperdataan. Keterlibatan para
ulama dan kiyai menjadi mediator didasarkan atas pendapat para ulama tafsir
yang mensyaratkan bahwa seorang juru damai (mushlih, hakam dan mediator)
memiliki syarat khauf, taqwa, faqih dan faham masalah yang sedang
disengketakan. Para kiyai dan ulama dipandang sebagai sosok yang memiliki
kwalifikasi tersebut dan kharisma yang mampu mempengaruhi para pihak yang
bertikai.
Secara teknis, pelaksanaan mediasi dilakukan oleh BP4, perguruan tinggi
dan ulama/kiyai. Jaringan BP4 sejauh ini menjangkau sampai kecamatan.
Perguruan tinggi berada di kabupaten dan ulama/kiyai berada hampir di setiap
desa. Para pihak yang bersengketa mendaftarkan dulu perkaranya ke pengadilan
agama. Setelah perkara di daftar, kemudian mereka menyelesaikan sengketanya
melalui salah satu pintu yang disediakan, yaitu melalui BP4, perguruan tinggi dan
ulama/kiyai. Jika para pihak yang bersengkata itu sudah didamaikan tetapi tidak
berhasil, maka mereka melanjutkan perkaranya ke pengadilan agama dengan
perkara yang sudah didaftar terlebih dahulu. Tetapi jika mediasi berhasil, maka
diadakan perdamaian dengan membuat akta perdamaian dan perkaranya dicabut.
Keterlibatan mediator di luar peradilan agama sebagaimana disebutkan di
atas, sehubungan dengan beban kerja hakim di pengadilan agama yang cukup
berat. Dengan rata-rata perkara yang diajukan ke pengadilan agama di atas tiga
ribu perkara, memungkinkan hakim tidak dapat bekerja secara optimal. Selain
beban kerja hakim, waktu yang tersedia untuk mediasi perkara sangat minim. Hal
ini terjadi karena hakim tugas pokoknya -sebagaimana diamanatkan oleh undang-
undang – adalah memutus sengketa yang terjadi antara para pihak. Sedangkan
66 Pengalaman Amerika melaksanakan mediasi diawali dengan ketidakpuasan publik
terhadap system pengadilan. Profesor Harvord Frank Sander menawarkan pendekatan inovatif
yang diberinama dengan multi-door court house. Gagasan ini intinya mengendaki agar suatu
pengadilan yang besar dapat menyediakan program penyelesaian sengketa dengan banyak pintu
(multi doors) atau program di mana perkara-perkara dapat didiagnosa dan dirujuk melalui pintu
yang tepat untuk penyelesaian perkara. Program ini dapat dilakukan di dalam atau di luar gedung
pengadilan yang meliputi litigasi, konsiliasi, mediasi, arbitrasi dan pelayanan social pemerintahan.
Lilhat dalam American Arbitration Association: www.adr.org
128 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
menjadi mediator merupakan tugas tambahan yang sejauh ini honornya belum
jelas.
Pemberian honor bagi mediator di luar hakim untuk mediator dari BP4,
perguruan tinggi dan ulama/kiyai dapat dibebankan kepada para pihak yang
bersengketa. Oleh karena itu, untuk mengawasi betul-betul telah terjadi
perdamaian atas sengketa yang dihadapi para pihak, terlebih dahulu para pihak
mendaftarkan perkaranya ke pengadilan. Jika sengketa yang didamaikan berhasil,
perkaranya dicabut ke pengadilan, yang menunjukkan mediator di luar hakim
telah bekerja dan layak mendapat insentif. Dengan dicabutnya berbagai perkara
yang sudah didaftar, pengadilan agama telah mendokumentasikan seberapa
banyak perkara yang berhasil dimediasi melalui mediator di luar hakim. Gagasan
perubahan mekanisme mediasi sebagaimana diuraikan di atas, hanya dapat terjadi
dengan mengubah Peraturan Mahkamah Agung tentang mediasi.67
Sunguhpun telah diatur agar pemeriksaan perceraian dilakukan dengan
mekanisme mendamaikan dalam tahap pra pemeriksaan perkara dalam
persidangan melalui mediasi dan setiap tahapan pemeriksaan di ruang sidang,
namun upaya-upaya mendamaikan ini dikatakan gagal karena rata-rata pihak
yang datang ke pengadilian agama hanya satu pihak sehingga sulit didamaikan.
Oleh karena itu, penerapan asas mempersukar perceraian itu dilakukan
dengan kegigihan para hakim mendamaikan dalam proses mediasi dan kegigihan
di dalam persidangan. Kelebihan seorang hakim terletak pada kemampuan
ilmunya meredam konflik suami isteri yang pada masa sekarang ini belum
dimiliki oleh seorang konsultas pernikahan sekalipun. Hakim lah yang
diharapkan sebagai organ negara dan benteng terakhir menjaga kokohnya ikatan
perkawinan dengan memaksimalkan upaya perdamaian.
67 Ramdani Wahyu Sururie, loc.cit. h. 287
BAB VI
STRATEGI MEMPERKOKOH
KETAHANAN IKATAN PERKAWINAN
Ketahanan keluarga merupakan pilar pembangunan suatu bangsa. Jika
dalam sebuah keluarga ketahanan keluarga demikian rapuh dengan sejumlah
masalah yang mengitarinya, seperti perceraian, kdrt, kemiskinan, dan masalah
sosial lain yang berdampak pada keluarga, maka pembangunan dalam sebuah
negara hanyalah utopia. Oleh karena itu, ketahananan keluarga menjadi kunci
pembangunan yang berkelanjutan.
Ketahanan keluarga didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 52
Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependuduan dan Pembanguna Keluarga
sebagai Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang
memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materil
guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup
harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
Berdasarkan pasal di atas, terkait dengan rapuhnya ketahanan keluarga
karena perceraian dapat dikemukakan bahwa ketahanan keluarga dibangun
dengan dasar hubungan yang harmonis antara anggota keluarga. Ketahanan
keluarga tidak dapat mewujud apabila pasangan suami isteri khususnya dan
anggota keluarga lainnya tidak harmonis sehingga menyebabkan rentan atau
lemah kemandirian dan pengembangan dirinya guna meningkatkan kesejah-
teraan dan kebahagiaan lahir dan batin.
Ketahanan keluarga (family strength atau family resilience) merupakan
kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumber
daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar antara lain: pangan, air bersih,
pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk
berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial. 1. Pandangan lain mendefinisi-
kan ketahanan keluarga sebagai suatu kondisi dinamik keluarga yang memiliki
keuletan, ketangguhan, dan kemampuan fisik, materil, dan mental untuk hidup
secara mandiri (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
1994). Ketahanan keluarga juga mengandung maksud sebagai kemampuan
keluarga untuk mengembangkan dirinya untuk hidup secara harmonis, sejahtera
dan bahagia lahir dan batin. Dalam pandangan yang lain, ketahanan keluarga
1 Frankenberger, T.R., dan M.K.McCaston. (1998). The Household Livelihood Security
Concept. Food, Nutrition, and Agriculture Journal. 22: 30-33.
130 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
mencakup kemampuan keluarga untuk mengelola sumber daya dan masalah
untuk mencapai kesejahteraan, kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi
terhadap berbagai kondisi yang senantiasa berubah secara dinamis serta
memiliki sikap positif terhadap berbagai tantangan kehidupan keluarga.
Ketahanan keluarga dapat diukur menggunakan pendekatan sistem yang
meliputi komponen input (sumber daya fisik dan nonfisik), proses manajemen
keluarga (permasalahan keluarga dan mekanisme penanggulangannya), dan
output (terpenuhinya kebutuhan fisik dan psiko-sosial). Atas dasar pendekatan
ini, maka ketahanan keluarga merupakan ukuran kemampuan keluarga dalam
mengelola masalah yang dihadapinya berdasarkan sumber daya yang dimiliki
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. 2 Dengan demikian, keluarga
dikatakan memiliki tingkat ketahanan keluarga yang tinggi apabila memenuhi
beberapa aspek yaitu: (1) ketahanan fisik yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan; (2) ketahanan sosial yaitu
berorientasi pada nilai agama, komunikasi yang efektif, dan komitmen keluarga
tinggi; (3) ketahanan psikologis meliputi kemampuan penanggulangan masalah
nonfisik, pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif, dan kepedulian
suami terhadap istri.
Peraturan Menteri PPPA Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pem-
bangunan Keluarga menyebutkan bahwa konsep ketahanan dan kesejahteraan
keluarga mencakup: (1) Landasan Legalitas dan Keutuhan Keluarga, (2)
Ketahanan Fisik, (3) Ketahanan Ekonomi, (4) Ketahanan Sosial Psikologi, dan
(5) Ketahanan Sosial Budaya. Oleh karena itu, pengukuran tingkat ketahanan
keluarga mencakup kelima hal tersebut di atas, yang selanjutnya disebut sebagai
dimensi pengukur ketahanan keluarga.
Mengacu pada variabel ketahanan keluarga di atas sebagaimana dijelaskan
dalam Peraturan Menteri PPPA, rentannya ikatan perkawinan yang berakibat
pada perceraian masuk pada variabel-variabel landasan keutuhan keluarga,
landasan ekonomi dan landasan sosial psikologi yang penjelasannya sudah
dipaparkan pada bagian terdahulu.
Selanjutnya, studi ini berpandangan bahwa mekanisme mengatasi
tingginya angka perceraian mesti dilakukan sejuta langah dari hulu ke hilir,
komprehensip dan sistemik. Penyelesaian angka perceraian dari hulu hendaknya
dimulai sejak persipan memasuki pernikahan atau pendidikan pra nikah dan
pembenahan dihilirnya dengan perbaikan di dalam proses pemeriksaan perkara
di Pengadilan Agama.
Pembenahan dari hulu dan hilir mengenai tata kelola keabadian
pelembagaan pernikahan dilakukan dengan beberapa langkah yang sangat
sistemik. A. Pembenahan dari Dalam Keluarga
1. Menanamkan nilai-nilai agama
2 Sunarti, Euis. (2001). Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus
Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan. [Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 131
Agama memiliki fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai norma-
norma yang mengatur kehidupan manusia agar hidup selamat di dunia dan
akhirat. Menjadikan agama sebagai pedoman hidup mestinya menjadi gerakan
nyata yang dijunjung tinggi, khususnya bagi keluarga-keluara muslim. Nilai
keberagamaan yang hidup dalam keluarga bukan simbol-simbol gerakan
formalitas, seperti shalat, zakat puasa dan haji serta ibadah lainnya tetapi lebih
dalam dari itu adalah mewujud dalam hubungan antara anggota keluarga berupa
sikap saling menghormati, menyayangi, penuh tanggungjawab dan jujur.
Terlebih-lebih nilai-nilai itu direalisasikan dalam area publik.
Bagi keluarga muslim, menjadikan agama sebagai norma kehidupan
mutlak adanya. Al-quran memberikan petunjuk di dalam surat al-Tahrim ayat 6:
6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.
Ayat ini memerintahkan kepada pemimpin keluarga untuk menjaga
anggota-anggota keluarganya dari panasnya api neraka disebabkan karena tidak
menjadikan agama sebagai panduan berperilaku. Secara logika, Allah dalam
ayat ini memerintahkan, yang memerintah akan lebih tahu dan manfaatnya
kenapa seluruh anggota keluarga menghindari diri dari api neraka.
Kenalkanlah Islam sebagai agama kepada anak sejak dini dengan berbagai
ritual yang diperintah Allah dan Rasul-Nya untuk dijalankan. Jadikan Islam
sebagai bagian dari kehidupan anak agar saat mereka dewasa sudah terbiasa
menjalankan perintah dan larangan-Nya. Sejak dini anak-anak sudah dilatih
terbiasa untuk : 1) Membaca alquran dengan baik ;
2) Berdoa saat menjalankan semua aktifitas; 3) Melaksanakan shalat berjamaah di Masjid bagi laki-laki dan bagi perempuan
diutamakan di rumah;
4) Memakai pakaian yang islami;
5) Membiasakan anak belajar dan bekerja karena mengharap ridha Allah; 6) Senantiasa mengaitkan segala yang terjadi baik menimpa seseroang maupun alam
raya atas kuasa Allah. Termasuk kejadian yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan yang menimpa sesrorang. Hal ini diajarkan agar anak tidak cepat frustasi atas kegagalan mereka dan tidak pula tinggi hati apabila mereka sukses;
7) Membiasakan bergaul dengan cara-cara yang diajarkan Islam. Dalam Al-Quran
surat al-Hujurat diajarkan tentang aturan bergaul, yaitu menjauhi segala prasangka,
132 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
jangan mencari-cari kesalahan, jangan mengolok-ngolok, jangan menggunjing,
jangan mencela, jangan memberi gelar buruk, mendamaikan orang yang berselisih,
bertabayyun atas segala informasi dan bersikap adil dalam memutus perkara.
2. Melatih anak menyelesaikan masalahnya sendiri
Setiap orang tua akan menyanyangi dan melindungi anak-anaknya dari
gangguan luar yang mengacam dirinya. Oleh karena itu, orangtua akan menjadi
perisai bagi anak. Namun ia juga mesti memberi arahan dan kepercayaan pada
anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Naluri orang tua melindungi
anaknya diteladankan oleh nabi Ibrahim ayat 35-37. M. Thalib menyimpulkan
bahwa kisah nabi Ibrahim ini merupakan wakil dari perasaan orang tua di
seluruh dunia. Orang tua akan bersaha agar anaknya mendapat tempat tinggal
yang aman dan nyaman. Pada saat nabi ibbrahim hijrah ke Mekkah, yang pada
waktu itu disebut lembah bakka, tanah di sana sangat tandus, airpun sulit
didapat. Tempat yang demikian tandus membuat nabi Ibrahim berdoa kepada
Allah agar tepmpat itu dijadikan sebagai tempat yang aman dan terhindari dari
berhala.3
Kalau orangtua ingin anaknya mandiri di dalam menyelesaikan persoalan,
hendaknya diberikan arahan dan kepercayaan untuk menyelesaikan masalahnya
sendiri. Orangtua bisa saja tidak intervensi langsung, tapi menjadi tempat
diskusi bagi anak untuk tahu bagaimana menyikapi masalahnya. Orangtua
senantiasa ada di belakang anak untuk mengarahkan dan memberi dukungan
agar anak belajar mengatasi masalahnya sendiri.
Urusan kemandirian ini tak bisa dipandang remeh sebab berkaitan dengan
masa depan si anak dan orangtua anak itu sendiri. Sikap orangtua yang over
protektif, memanjakan, atau melayani anak membuat anak tumbuh sebagai
individu yang terbiasa terpenuhi kebutuhannya tanpa melakukan usaha apa pun.
Akibat dari perilaku ini, anak selalu menganggap segala masalah akan
terselesaikan dengan sendirinya. Ketika dihadapkan dengan masalah atau
kesulitan yang menuntut kemandirian, anak tersebut akan mudah frustasi atau
lari menghindari masalah itu.
Oangtua boleh dan sah saja langsung mengambil alih masalah dari anak.
Dengan catatan, masalahnya sudah serius seperti mengancam keselamatan si
anak. Sikap orangtua yang langsung mengambil alih masalah anaknya
disebabkan oleh banyak hal. Misalnya, ketidakmampuan untuk mengendalikan
emosi sendiri, kurang percaya dengan kemampuan anak, kurang sabar
mendampingi anak menyelesaikan masalahnya sendiri, dan menjadikan masalah
anak sebagai masalah pribadinya sehingga orangtua kerap salah fokus.4
Membelajarkan anak mengurusi masalahnya sediri akan mampu
menjadikan anak sebagai seorang yang tangguh ketika kelak mereka berumah
3 M. Thalin, Memahami Sifat 20 Fitrah Orang Tua. (Bandung: Isryad Babus Salam,
1995). 16 4 http://lifestyle.kompas.com/read/ 2016/11/17/070600123/latih.anak.menyelesaikan
.masalahnya. sendiri. Diakses 10 Oktober 2017
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 133
tangga. Konflik dan keributan dalam rumah tangga akan diselesaikan oleh anak
tanpa menghadirkan orang tua untuk intervansi. Sebab, banyak terjadi kasus-
kasus perceraian disebabkan intervenasi orang tua yang terlalu berlebihan
melindungi anaknya dari ketidaknyamanan pihak lainnya.
3. Melatih anak laki-laki menjadi kepala keluarga yang bertanggungjawab
Memiliki seorang anak laki-laki bagi beberapa pasangan tertentu menjadi
kebanggaan. Anak laki-laki biasanya diharapkan menjadi tulang punggung
keluarga kelak. Namun kehadiran seorang anak laki-laki perlu dilatihkan agar
mereka siap menjadi bapak dan ayah bagi keluarga secara bertanggungajawab.
Banyak kasus perceraian yang disebaban suami tidak bertanggung jawab kepada
keluarganya dengan tidak memberi nafkah, tempat tingggal yang layak dan
pekerjaan yang tetap dalam kehidupannya.
Cara mengajarkan anak laki-laki bertanggung jawab misalnya dengan
belajar kepemimpinan. Sikap memimpin ini ditunjukkan dengan kemampuan
anak bisa mempengaruhi orang lain. Selain itu, sikap kepemimpinan juga
nampak saat anak laki-laki mampu mengayomi dan melayani teman-temannya
dengan baik. Ajarkan kepada anak laki-laki tata cara bersikap, melayani dan
memberikan penghormatan kepada teman-temannya. Hal ini penting guna
mengasah jiwa kepemimpinan dalam dirinya.
Kepemimpinan lekat dengan tanggung jawab. Oleh karena itu, anak laki-
laki juga harus dididik untuk memahami dan merasa memiliki tanggung jawab.
Contoh misalnya, anak laki-laki harus diajarkan bahwa saat ia memiliki saudara
perempuan maka menjadi tanggung jawab baginya untuk menjaganya saat
bermain atau dalam pergaulan. Selain itu, anak laki-laki bisa dilatih rasa
tanggung jawabnya terhadap apa yang ia miliki. Ajarkan bertanggung jawab
terhadap mainannya, meskipun itu hanya sebatas mainan. Katakan bahwa
mainan ini adalah milik mereka namun ia harus tetap menjaga mainan tersebut.
Dalam Islam diajarkan mengenai belajar kepemimpinan bagi laki-laki
misalnya: 1) Anak laki-laki dilatih untuk menjadi imam shalat;
2) Melibatkan anak laki merundingan masalah dan memberinya kesempatan
untuk memutuskannya.
3) Libatkan anak laki-laki untuk menngantar adiknya yang perempuan dan
ibunya suatu untuk keperluan, misalnya ke bank, megurus surat ke
kecamatan dan sebagainya.
Melalui latihan dan pemberlajaran tanggungjawab sejak kecil, akan
memberi pengaruh positif bagi kehidupannya kelak. Sikap dan perilaku yang
bertanggung jawab tidak terbentuk sendiri dengan instan, sikap ini terbentuk
sejak masih kecil dari didikan dan pengarahan orangtua sampai akhirnya anak
menjadi dewasa. Sikap seperti ini akan terus disempurnakan. Oleh karena itu,
sangat penting sekali peran orangtua untuk mendidik anak laki-laki belajar
bertanggung jawab. Mendidik dan mengarahkan anak sebenarnya tidak sulit,
tetapi juga tidak bisa dikatakan mudah, perlu berbagai trik dan cara-cara yang
tepat agar anak dapat menerima dan mengerti apa yang sedang diajarkan oleh
134 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
orangtua. Misalnya sebelum melakukan hal lain, penting sekali agar anak
memahami apa itu tanggung jawab. Untuk melakukan hal ini tidak perlu
memberikan mereka tanggung jawab yang terlalu besar, cukup dengan hal-hal
yang simpel yang mudah mereka mengerti dan lakukan. Misalnya setelah
bermain dengan mainannya minta dia untuk membereskannya. Lakukanlah
secara bertahap untuk mulai memberikan bobot yang lebih berat.
4. Melatih anak perempuan menjadi pendamping kepala keluarga
Keluarga memiliki peran penting bagi pendidikan angota-anggotanya
untuk menyiapkan calon-calon penerus keluarga barunya kelak. Seorang anak
perempuan dalam keluarga, mesti dilatih oleh orang tuanya agar menyiapan diri
menjadi ibu dan sekaligus pendamping suami dalam keluarga.
Suami mengasihi sepenuh hati istrinya dan memperlakukannya dengan
penuh rasa hormat, cara ini sangat ampuh untuk menyentuh ke dalam relung hati
terdalam anak perempuan. Ketika seorang anak perempuan melihat ayahnya
memperlakukan ibunya dengan penuh kasih, maka tak ada alasan lain bagi
dirinya untuk menolak saran-saran dari ayahnya, karena seorang anak
perempuan akan sangat menghargai dan menghormati ayahnya.
Bagi seorang pria tidak ada salahnya mengerjakan tugas-tugas seorang
wanita. Seorang pria yang bersedia mengerjakan tugas-tugas seorang wanita
bukan berarti pria tersebut bersikap feminim, tetapi lebih kepada perhatian serta
rasa respek kepada pasangan dan anak perempuan. Tidak banyak pria yang
mampu melakukan hal ini, maka jika ingin menjadi seorang “pahlawan” di mata
anak perempuan serta istri, tidak perlu sungkan atau ragu-ragu lagi mengerjakan
tugas-tugas mereka tersebut.
Pada saat anak mulai tumbuh dewasa berikan ia pengertian serta ajarkan
untuk menyadari bahwa sikap dan akhlak perempuan sangat berbeda
dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti mulai mengenalkan perbedaan pada
cara berpakaian. Beri pengertian kepada anak perempuan bahwa dilarang
mamakai pakaian yang biasa digunakan oleh anak laki-laki. Begitu juga dalam
bicara, bersikap serta berperilaku.
Sudah kewajiban orang tua untuk membekali seorang anak perempuan
untuk pintar dalam melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Ajarkan juga
kepada anak perempuan bagaimana cara yang baik bergaul dengan suami dan
cara mengurus rumah tangga.
Mempersiapkan anak perempuan memahami dan mengerti tentang
tugasnya kelak menjadi pendamping suami diharapan mampu mengikis kesalah
pahaman yang sejauh ini sering terjadi di pengadilan agama, dimana penyebab
perceraian dikarenakan isteri tidak melaksanakan tugas keruma tanggaan secara
baik, sehingga perkara sepele di rumah tangga seperti isteri tidak mau
membereskan rumah menjadi penyebab perceraian.
5. Melatih anak menyelesaikan tugas rumah tangga
Mengajari anak ikut serta membantu urusan di dalam rumah tangga
memerlukan waktu dan tidak bisa instan. Semua ada tahapan dan capaiannya.
Berbagai cara bisa dilakukan, misalnya mengajak mereka bersama-sama
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 135
mengerjakan pekerjaan rumah secara rutin setiap harinya sehingga mereka dapat
terbiasa dengan tugas-tugas tersebut.
Sebagai calon generasi kuat yang kelak akan membina rumah tangga,
melatih anak sejak diri membatu mengerjakan tugas rumah tangga banyak
manfaatnya.
Semakin dini usianya, tentu tingkat kesulitan tugas yang dapat dikerjakan juga
semakin rendah. Oleh sebab itu, orang tua tidak perlu mengajak mereka
langsung menyapu lantai di saat usianya yang masih dini. Melainkan cukup
hanya meminta bantuan mereka untuk mengambilkan sapu ataupun membuang
bekas kotoran di lantai usai dibersihkan.
Ketika mereka tidak terbiasa melakukannya, tentulah hasilnya pun belum
demikian bagus. Oleh karena itu diperlukan kesabaran dari para orang t ua. Jika
anak-anak belum terbiasa dengan tugas-tugas tersebut dan membutuhkan
bantuannya, sebaiknya para orang tua nda tidak memarahi ataupun meledeknya.
Sebab, mereka masih membutuhkan instruksi ketika melakukan suatu hal dan
dengan memarahinya hanya akan membuat mereka trauma serta ragu untuk
membantu orang tua.
Kalaupun anak-anak pada akhirnya sulit untuk membantu utusan rumah
tangga, para oran tua idak perlu putus asa, karena para orang tua dapat menegur
dan mengingatkan mereka secara perlahan-lahan. Jika mereka bersedia
memberikan bantuan, jangan lupa untuk mengucapkan terima kasih ataupun
pelukan dan ciuman.
Mengajari anak-anak usia dini tentu sangat berbeda dengan orang dewasa.
Para orang tua mesti memberikan instruksi bertahap dan terus menerus hingga
mereka memahaminya. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah
menjelaskan tiap-tiap tugas yang harus dikerjakan. Misalnya, mengenai cara
menata sepatu, meletakkan pakaian kotor, jadwal menyapu lantai, dan
sebagainya. Untuk membuat anak-anak memiliki rasa tanggungjawab, maka
mereka juga perlu diberikan konsekuensi. Misalnya ketika anak-anak tidak mau
meletakkan baju kotor pada tempatnya.
Selain itu, urutan kegiatan bagus juga jika tidak terjadwal dan berbeda-
beda. setiap harinya. Anak-anak akan lebih merasa senang dan tidak terbebani.
Sebab dengan rutinitas yang tetap setiap harinya hanya akan membuat anak-
anak bosan serta mulai malas untuk membantu pekerjaan rumah tangga
menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut. Misalnya pada hari pertama dapat
mengajak anak-anak mencuci baju terlebih dahulu baru menyapu lantai. Pada
hari berikutnya, dapat menukar rutinitas tersebut atau menyisipkannya dengan
kegiatan lain yang dapat memberikan kesenangan untuk anak.
Cara-cara melatihkan anak seperti di atas diperlukan kesabaran dari orang
tua dan ciptakanlah suasana yang menyenangkan bagi mereka.5 Cara-cara di
ataspun dapat mencegah perceraian, karena diantara sebab-sebab perceraian
5 http://www.websitependidikan.com/2016/06/cara-melatih-anak-agar-mau-mem-
bantu.html. Diakses 5 Oktober 2017
136 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
yang terjadi di pengadiilan agama salah satunya karena suami dan isteri lalai
melaksanakan tugas-tuggas kerumahtanggaan. Jika disiapkan sejak dini kepada
anak-anak, maka kelak ketika mereka memasuki masa berumahtangga sudah
mampu beradaptasi dengan tugas keseharian di keluarganya masing-masing.
6. Melatih anak mensyukuri rezeki
Setiap keluarga akan memperlakukan pemberian kepada anak-anak dari
orang tuanya berdasarkan status sosial ekonominya. Dalam keluarga sejahtera,
orang tua relatif memberikan kemudahan memberikan sesuatu kepada anak,
sebaliknya dalam keluarga pra sejahtera cara memperoleh sesuatu diraih dengan
kemandirian anak melalui usahanya sendiri.
Namun demikian, menggantungkan kebutuhan hanya kepada orang tua
tanpa melatiihnya untuk mandiri jelaslah tidak tepat. Rezeki yang salah satu
unsurnya adalah gaji dan uang perlu usaha dan kerja keras mendatangkannya.
Seorang anak perlu dilatih di dalam keluarga bagaimana memperoleh rezeki
yang halalan toyyiban, bukan hanya rezeki yang banyak melimpah tetapi juga
diperhatikan bagaimana cara memperolehnya. Mereka diajari tentang cara
menjemput rezeki, yaitu dengan doa dan ibadah serta usaha yang sungguh-
sungguh. Pastikan rezeki yang dicari adalah benda dan caranya halal dan setelah
diperoleh agar diajarkan pula bagaimana mendayagunakan rezeki itu.
Setelah anak-anak diberi pemahaman mengenai rezeki, dilanjutkan dengan
cara mensyukurinya. Manusia berusaha mencari rezeki namun kadar dan
ukurannya hanya Allah yang menentukan. Dari cara berfikir ini diharapkan
bahwa manusia tidak mengalalkan segala cara dan ketika mereka memperoleh
rezeki yang pas-pasan dapat menerimanya dengan sabar dan tawakkal.
Demikian pula ketika mereka menerima rezeki yang melimpah, mampu
menyikapinya dengan rasa syukur dan tawadhu.
Dalam keluarga-keluarga muslim Indonesia dewasa ini, penyebab
terjadinya perceraian dikarenakan masalah ekonomi. Masalah ekonomi
senantiasa terkait dengan persoalan rezeki. Pasangan suami isteri sering tidak
tahan dan tabah menghadapi kehidupan yang serba tidak cukup. Mungkin juga
cara pandang pasangan suami isteri tersebut terhadap rezeki yang mesti tersedia
dengan mudah ada di rumah, padahal setelah usaha dan ikhtiyar yang dilakukan
oleh suami untuk menjemput rezeki tetapi kemudian hasilnya tidak sesuai yang
diharapkan mestinya mereka menyadari dengan sabar. Tetapi faktanya tidak
seperti itu, pasangan suami iseri segera memutuskannya dengan bercerai ke
pengadilan agama. Dengan melatih anak-anak sejak dini mengenai rezeki, cara
memperolehnya dan hak manusia atasnya dapat membantu meredakan tensi
tingginya angka perceraian.
7. Melatih anak mengelola keuangan keluarga
Mengajarkan perihal pengelolaan keuangan pada anak sejak usia dini
merupakan salah satu tindakan tepat. Terlebih lagi bagi anak yang sudah
memasuki usia sekolah dasar. Pada usia tersebut adalah waktu yang paling pas
untuk mengajarkan pada anak tentang cara mengelola keuangan. Mengajarkan
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 137
cara mengelola keuangan pada anak sejak dini bertujuan untuk menumbuhkan
rasa tanggung jawab pada anak dalam hal mengelola dan menggunakan uang.
Para orang tua tidak mengharapkan seorang anak yang mempunyai
kebiasaan menggunakan uang secara berlebihan. Dengan mengajarkan
kebiasaan mengelola keuangan sejak dini diharapkan anak akan terhindar dari
sikap negatif seperti kebiasaan berutang atau pemborosan. Selain itu dengan
mengajarkan kebiasaan baik ini anak akan tumbuh lebih terorganisir dalam hal
menggunakan uang.
Walaupun tingkat pemahaman anak masih cukup rendah dalam hal
keuangan, akan tetapi orang tua mesti mulai mengajarkan hal tersebut secara
perlahan. Dalam hal ini kunci utama yang harus ditanamkan dalam diri anak
adalah konsep menghargai uang. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk
mengajari anak dalam hal mengelola keuangan. Mulai dari memperkenalkan
soal menata keuangan sampai cara berinvestasi atau menabung.
Langkah pertama yaitu mengenalkan konsep uang pada anak. Ketika anak
sudah memasuki usia sekolah dasar dan sudah bisa berhitung maka perkenalkan
pada mereka nilai uang mulai dari pecahan kecil. Berikan pengertian dan
informasi pada anak mengenai uang dan konsep uang. Mengenalkan uang pada
anak secara tidak langsung bisa menjadi media untuk belajar berhitung bagi
anak.
Cara selanjutnya untuk mengajarkan anak dalam hal mengelola keuangan
adalah memberikan uang saku. Langkah ini bermanfaat untuk mengajarkan pada
anak tentang cara mengelola keuangan yang baik. Beri pengertian pada anak
supaya menggunakan uang tersebut sesuai dengan kebutuhan dan tidak
menghamburkannya. Para orang tua juga perlu membatasi dan konsisiten dalam
memberikan sejumlah uang bagi anak. Dengan begitu anak akan lebih berhati-
hati dalam menggunakan keuangan karena mereka akan menyadari bahwa setiap
orang memiliki uang yang terbatas.
Langkah selanjutnya yaitu ajarkan kebiasaan menabung pada anak.
Berikan penjelasan pada anak mengenai tatacara mengatur keuangan dengan
cara menabung. Selain itu orang tua juga mesti memberi pengertian pada anak
tentang manfaat dari menabung. Ajarkan anak supaya menyisihkan sebagian
uang jajan yang dimilikinya untuk keperluan masa depan. Pada awal-awal
mungkin akan mengalami hambatan, akan tetapi hal tersebut jangan membuat
putus asa. Lakukan secara bertahap dan penuh kesabaran.
Ketika anak sudah diberi kepercayaan untuk memegang uang jajan sendiri,
orang tua harus mengajarkan pada anak tentang konsep mengutamakan
kebutuhan daripada keinginan. Beri pengertian pada anak supaya membeli
sesuatu sesuai dengan kebutuhan bukan untuk kepentingan semata. Konsep ini
akan berguna bagi anak sampai tumbuh dewasa. Anak akan tumbuh dengan
kemampuan mengatur setiap penghasilan yang diterimanya.
Langkah berikutnya untuk mengajarkan cara mengelola keuangan pada
anak yaitu dengan mengajaknya berbelanja. Cara seperti ini dinilai lebih efektif
dalam hal memberikan contoh tentang mengelola uang. Selain itu, mengajak
138 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
anak berbelanja merupakan salah satu cara dalam mengajarkan konsep
mengutamakan kebutuhan daripada keinginan. Praktik langsung seperti ini akan
membuat anak lebih mudah mempelajari dan merekam.
Kemudian lengkapi pelajaran mengenalkan cara mengelola keuangan
dengan mengajarkan anak untuk saling berbagi. Ajarkan pada anak supaya
menyisihkan sebagian uang jajan untuk mebantu orang yang tidak mampu dan
beri pengertian pada anak bahwa tidak semua orang memiliki uang. Dengan
begitu anak tidak akan menghamburkan uang dan akan menumbuhkan sifat
saling berbagi dengan sesama.6
Pengetahuan dan latihan kepada anak-anak sejak dini sangat berdampak
positif bagi keberlangsungan kehidupannya kelak ketika mereka berumah
tangga. Anak-anak sudah siap mengelola keuangannya di dalam rumah tangga
kelak karena orang tua sudah melatihnya dengan baik. Perselisihan suami dan
isteri karena tidak memiliki keuangan yang cukup yang dewasa ini sering
berkahir dengan perceraian akan terkikis karena anak-anak sudah latihan
memanage keuangan keluarga sedari dini.
8. Memberikan pendidikan seks
Pembahasan tentang seks bukan hanya seputar hubungan seksual pria
dengan wanita yang kerap dinilai tabu untuk dibicarakan sebelum anak berusia
dewasa. Jika dilakukan dengan tepat, diskusi ini justru akan memperluas
pemahaman dan menjadi dasar mereka untuk mengambil keputusan seputar
seksualitas di masa yang akan datang.
Orang tua dahulu mungkin tidak pernah mengajak berdiskusi tentang seks
dan dengan anak dan merasa semua baik-baik saja. Namun situasi yang dihadapi
anak sekarang jauh berbeda. Membahas seks secara terbuka dengan anak justru
memberi kesempatan untuk memberikan informasi yang sesuai dan akurat.
Dengan begitu, anak tidak akan mencari-cari sumber sendiri yang belum tentu
aman dan tepat. Selain itu, anak akan lebih percaya dan terbuka karena dia tahu
bahwa orang tua dapat diajak bicara tentang hal yang paling pribadi sekalipun.
Pengetahuan dasar yang dimiliki anak tentang seks akan berdampak
positif pada pergaulan laki-laki dan perempuan sebelum menikah. Agama Islam
tidak melarang seks dalam arti melakukan hubungan kelamin antara laki-laki
dan perempuan sepanjang dilakukan dengan cara yang halal. Kebebasan
pergaulan seksualitas antara pria dan wanita sekarang ini dengan alasan agar
perkawinannya kelak mampu bertahan adalah ajakan yang menyesatkan.
Pasangan suami isteri yang akan menikah, ketika pengetahuan dasarnya
tentang seks sudah baik, mereka akan melangsungkan perkawinan dalam
keadaan belum ternoda akibat hubungan kelamin sebelumnya. Pasangan suami
isteri yang pernah ternodai oleh kebebasan hubungan seksual sebelumnya
acapkali sering menjadi bahan perselisihan suami dan isteri dalam rumah tangga
karena salah satu pihak pernah menjadi korban atau pelaku kebebasan seksual.
6 http://www.solusisehatku.com/mengajarkan-cara-mengelola-keuangan-pada-anak-
sejak-usia-dini. Diakses 7 Oktober 2017
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 139
Di sinilah awal perselisisihan dan pertengakaran terjadi, dimana salah satu pihak
menuding perbuatan buruknya di masa lalu karena pernah berhubungan kelamin
menjadi pemicu konflik dan konflik-konflik lanjutannya yang sering kali
berujung pada perceraian. Dengan adanya pendidikan seks yang baik sejak dini
akan mampu mencegah calon pasangan suami dan isteri terjerumus ke pergaulan
bebas yang sering menjadi bahan perdebatan suami isteri ketika mereka
berumah tangga.
B. Saat Memasuki Jenjang Pernikahan
1. Mengikuti pendidikan pra nikah
Hampir kebanyakan calon-calon pengantin memasuki dunia perkawinan
tanpa persiapan ilmu berumah tangga yang memadai. Di pendidikan formal,
ilmu berkeluaga nyaris tidak pernah diberikan secara khusus kecuali pada
beberapa prodi di perguruan tinggi yang menekuni bidang keluarga. Keadaan ini
jelas akan menyebabkan banguna rumah tangga yang akan dibina kurang kokoh
dan mudah ambruk. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan angka
perceraian yang meningkat diharuskan bagi para calon pengantin mengikuti
pendidikan pra nikah.
Saat ini, pendidikan pra nikah belum menjadi prioritas bagi keluarga
maupun calon pengantin. Padahal dalam pendidikan pra nikah diajarkan banyak
hal yang dapat mendukung suksesnya kehidupan rumah tangga pengantin baru.
Bahan ajar yang diberikan pada pendidikan pranikah berupa informasi
pengetahuan dan pelatihan ketrampilan dasar terkait dengan aspek-aspek yang
diharapkan dapat memperkuat relasi pasangan agar mampu mempertahankan
hidup pernikahan mereka.7
Seperti diketahui bahwa perceraian yang kerap terjadi umumnya
dikarenakan pasangan suami isteri tidak siap menghadapi tantangan yang
muncul dalam hidup pernikahan.8 Ketidaksiapan suami isteri disebabkan
kurangnya pengetahuan mereka tentang hidup pernikahan, yang sebenarnya
memang belum mereka jalankan. Sehingga ketidaktahuan ataupun ketidaksiapan
mereka pada dasarnya dapat dipahami mengingat pengetahuan tentang peran
sebagai suami ataupun istri memang perlu dipelajari.
Pendidikan pra nikah dapat dikembangkan dalam berbagai bentuk, melalui
pelatihan yang terjadwal, misalnya dilakukan melalui Diklat Para Penghulu di
Balai Diklat Keagamaan yang berada di bawah Kementerian Agama yang
tersebar di beberapa provinsi. Kemudian dikembangkan oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat, Ormas Islam, Pesantren dan institusi pendidikan melalui
matapelajaran yang terintegrasi maupun matakuliah khusus tentang pendidikan
pra nikah.
7 J.S. Caroll dan W.J.E Doherty.”Evaluating the Effectivenenss of Premarital Education:
A Review of Outcome Family Relation”. Journal, 52.105-118. Diunduh dari
http://www.fullmarria geexperience.com. 8 D.H. Olson dan J. Defrain. Marriage & the family: intimacy, diversity and streght. (5rd
edition). Mountain View, CA: Mayfield, 2006.
140 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Bahan ajar pendidikan pra nikah mencakup aspek-aspek yang berkaitan
dengan
hukum keluarga/fiqh munakahat (termasuk hak dan kewajiban suami isteri),
manajemen ekonomi keluarga, managemen konflik keluarga, psikologi keluarga
dan kesehatan reproduksi. Karena ruanglingkup bahan ajarnya lintas disiplin,
maka tenaga ahli yang dilibatkan setidaknya pakar yang memahami hukum
perkawinan, psikolog, sosiolog dan tenaga kesehatan/dokter. 2. Memeriksakan kesehatan fisik
Masih banyak ditemukan para calon pengantin yang akan memasuki
jenjang perkawiinan mengabaikan tes ksehatan sebelum menikah dengan
berbagai alasan. Sedikitnya ada 10 tes kesehatan penting yang harus dilakukan
sebelum menikah. Hampir semua orang yang akan menikah pasti memiliki
tujuan untuk memiliki keturunan atau anak. Namun, banyak yang tidak
menyadari bahwa untuk bisa memiliki anak banyak faktor yang berpengaruh,
tidak hanya dari pihak perempuan saja tapi juga bisa disebabkan oleh pihak laki-
laki.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan utamanya untuk memeriksakan
kesehatan reproduksi, untuk mengetahui apakah ada masalah dalam organ
reproduksinya. Sehingga jika nanti terjadi sesuatu seperti susah memiliki anak
atau ada masalah pada kandungannya, pasangan tidak saling menyalahkan satu
sama lain. Hal ini seringkali menjadi alasan perselisihan dalam kelluarga yang
berujung pada perceraian.
Pemeriksaan sebelum menikah yang dilakukan untuk perempuan meliputi:
1) Pemeriksaan Torch (termasuk tokso dan rubella)
2) Melakukan vaksin TT (untuk tetanus)
3) Cek hormon (kadar estrogen, estradiol, tiroksin, FSH, LH) yang akan
mempengaruhi seseorang cepat atau tidak untuk hamil dan untuk
pematangan sel telur
4) Mengukur kadar panggul apakah sempit atau tidak yang akan
mempengaruhi proses melahirkan.
5) Pemeriksaan bentuk rahim.
6) Pemeriksaan ovarium untuk mengetahui sel telurnya.
7) Cek alergi sperma atau tidak dan pemeriksaan kesehatan secara
menyeluruh.
Sedangkan untuk laki-laki tes kesehatan meliputi:
1) Pemeriksaan kesehatan menyeluruh;
2) Pemeriksaan untuk mengetahui apakah memiliki penyakit menular seksual
atau tidak;
3) Pemeriksaan sperma apakah spermanya aktif dan jumlahnya banyak.
Tahapan pemeriksaan ini sering diabaikan oleh para pasangan calon
pengantin. Banyak faktor yang menyebabkan pasangan tidak mau melakukan
pemeriksaan sebelum menikah diantaranya merasa hidupnya normal-normal saja
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 141
dan tidak macam-macam. Bisa juga takut jika terjadi sesuatu dengan hasilnya
membuat pasangan tidak jadi menikah. 9
Idealnya pemeriksaan ini dilakukan satu bulan sebelum menikah, karena
hasilnya tidak membutuhkan waktu yang lama dan jika terjadi sesuatu bisa
dilakukan perawatan untuk memperbaikinya. Meskipun ada beberapa Kantor
Urusan Agama (KUA) yang mengharuskan pasangan untuk melakukan
pemeriksaan sebelum menikah, tapi nyatanya banyak yang tidak melakukannya.
Mungkin ini disebabkan oleh pemikiran masyarakat yang ingin segera
menyelesaikan urusan administrasi jadi banyak yang melakukan sistem 'tembak'.
3. Memilih pasangan Menjelang Pernikahan
Memasuki perkawinan, diawali dengan melakukan pemilihan pasangan.
Saat ini melangkah ke gerbang perkawinan, terutama bagi pria tampaknya
sebuah keputusan yang mahal. Disadari atau tidak, mereka seperti mengulur-
ngulur waktu. Padahal dulu tidak ada pertimbangan pria untuk menikah. Asal
dianggap sudah cukup dewasa dan mampu menghidupi keluarga, maka bisa
menikah. Namun, seiirng dengan perkembangan waktu yang berarti semakin
tinggi tuntutan ekonomi dan sosial, makin banyak hal yang menjadi
pertimbangan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, pria diizinkan menikah apabila sudah mencapai usia 19 tahun.
Kenyataannya, hingga usia kepala tigapun banyak pria yang merasa belum siap.
Barangkali, banyak pertimbangan inilah sebagai salah satu penyebab sulitnya
mencari pasangan.
Kata perkawinan seolah menghadirkan gambaran yang tidak
menyenangkan. Barangkali ini juga dipengaruhi oleh menurunnya nilai-nilai
yang terkandung dalam lembaga perkawinan. Selain tanggungjawab semakin
berat, mereka sering mengandaikan perkawinan seperti sebuah penjara.
Terbayang seorang isteri yang tiran dan selalu memantau kegiatan mereka,
belum lagi teriakan anak-anak yang sangat mengganggu.
Hal-hal inilah yang kemudian menyebabkan pria merasa harus
mempersipakan “sesuatu” yang dapat mendorong mereka mengambil keputusan.
Sesuatu itu bisa berarti macam-macam. Ada yang mengatakan masih belum siap
mental. Kalaupun mental sudah siap, materinya belum. Dan jika kedua hal itu
sudah diperoleh, masih juga ada alasan, menunggu wanita idaman.
Barangkali yang juga membuat langkah pria terasa berat adalah
kecenderungan masyarakat yang mengatakan bahwa orang tidak perduli dengan
siapa menikah, tetapi jika tidak suskes dalam studi dan pekerjaan, sebuah
pernikahan tidak ada artinya.
Keterlambatan pria menikah bukan saja disebabkan sulitnya mencari
pasangan, tetapi berkaitan erat dengan kultur di mana dia dibesarkan. Seperti di
Indonesia, pria dituntut tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga. Persepsi itu
tertanam dikepalanya sehingga ketika ia masuk dewasa dan menurut jarum
9 https://health.detik.com/read/2009/08/07/111024/1179134/766/10-tes-kesehatan-
sebelum-menikah, diakses 7 Oktober 2017
142 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
waktu sudah pantas menikah, dia mempertanyakan pada diri sendiri, mampukah
saya. Dalam hal ini mereka mengukur kemampuan dari segi finansial. Meskipun
kenyatannya sekarang sudah banyak wanita bekerja.
Yang kedua, mereka ragu apakah akan menemukan pasangan yang cocok.
Sebelumnya, dalam kehidupan perkawinan, pria membutuhkan tempat untuk
mengekpresikan diri sebagaimana adanya. Itu hanya bisa mereka lakukan jika
mendapat pasangan yang benar-benar mengerti tentang dirinya, sebab
lingkungan tak mengijinkan untuk itu. Misalnya, pria tidak boleh menangiskan ?
pokoknya segala yang emosional, dianggap tidak pantas. Alasan lain yang juga
membuat pria ragu-ragu menikah adalah karena merasa terancam kebeasannya.
Sebab mereka sadar bahwa perkawinan akan mengubah gaya hidup seseorang.
Seorang sosiolog dari New York Institute of Human Behaviour, Edward
Carter melakukan survei pada 365 pria lajang berusia 24 sampai 75 tahun.
Analisanya, pria yang tidak menikah akan lebih menderita secara emosional
daripada pria yang menikah. Kesepian adalah musuh utama bagi pria lajang
lanjut usia.
Manusia membutuhkan seseorang untuk membagi hidup mereka, ujar
Carter. Mungkin benar, pria muda sangat menikmati kebebasannya. Tetapi
dengan bertambahnya usia, semua itu akan memudar. Sebagai gantinya akan
timbul keputusasaan dan kesepian apabila mereka sampai separuh baya belum
juga mempunyai pasangan 10
.
Jodoh atau bisa disebut juga pasangan yang cocok untuk dijadikan suami
atau isteri, dalam usaha pencariannya terasa gampang-gampang usah. Sering
dalam usaha memilih pasangan hanya satu atau dua hal yang menarik, bukan
pada keseluruhan dari orang itu. Kunci menarik pasangan yang baik adalah
melihat seluruh karakternya, bukan hanya kepribadiannya saja. Kebanyakan,
pria atau wanita tertarik pada lawan jenis karena sesuatu dari kepribadiannya.
Wanita tertarik pada pria yang bisa membuatnya tertawa misalnya. Atau pada
kepintarannya. Pria tertarik pada wanita yang lembut, ramah, cantik, seksi,
mungil dan tinggi semampai. Hal-hal itu memang menyenangkan, tetapi tidak
menentukan apakah hubungan tersebut benar-benar akan membuat bahagia ?
Untuk menemukan pasangan atau jodoh yang tepat, yang harus dilihat
adalah karakternya. Karakter menentukan bagaimana seseorang memperlakukan
dirinya, memperlakukan pasangannya dan suatu hari nanti memperlakukan
anak-anak. Karakter merupakan dasar dari setiap hubungan yang sehat. Jika
hubungan diibaratkan sebuah cake, kepribadian adalah sebuah krim warna warni
10 Banyak pendapat yang beredar di seputar kesenangan hidup mem-bujang sampai tua,
misalnya orang yang lama membujang mudah ter-timpa kemalangan dan sering dicurigai
mudah melakukan penyimpang-an daripada yang hidup berkeluarga. Tetapi ada juga buku yang
memu-ji-muji gaya hidup membujang , misalnya, Adams, Single Blesedness, 1976. Berdasarkan
Biro Sensun Penduduk Amerika terlihat bahwa gaya hidup membujang dan tidak menikah
meningkat dari 4,7% pada tahun 1950 menjadi 23 % pada tahun 1981 dengan 50 % wanita dan
69% laki-laki.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 143
yang dibentuk indah menghiasi bagian luar cake itu. Sedangkan karakter
merupakan gabungan dari semuanya.
Mempelajari karakter pasangan, akan dapat membantu menentukan
kualitas keberhasilan hubungannya kelak, dengan melihat seberapa siap
pasangan melihat hubungan cintanya. Hal demikian juga akan menolong bagi
mereka yang lajang, akan menikah, sudah menikah atau cerai. Yang harus
dipertanyakan pada diri sendiri bukan, apakah pasangan saya mencintai saya ?,
tetapi sejauh mana pasangan saya sanggup memberikan cintanya.
Berbeda dengan hal di atas, dalam melakukan pemilihan jodoh, pria
Indonesia cenderung mencari figur ibu, padahal secara teoritik masih ada
pertimbangan-pertimbangan lainnya 11
. Pertimbangan mencari figur ibu itu
dikarenakan kultur di mana dia dibesarkan memberikan formulasi bahwa pria
harus lebih banyak keluar rumah, maka dia mencari jodohnya (calon isterinya)
yang dapat mengurus anak-anaknya. Jika dalam hal ini nantinya terbukti, dia
akan senang. Konsekuensi dari pemilihan jodoh dengan figur ibu ini, mem-
posisikan wanita bersikap meladeni. Si suami nantinya senang karena diman-
jakan, bahkan kadang-kadang minumpun harus sang isteri yang mengambilkan.
Tapi si isteri karena tokoh ibu, tentu akan senang saja, karena ia menjadikan
kemanjaan suami itu bukan suatu beban.
Pada sisi lain, dewasa ini memang sulit mencari jodoh yang ideal, oleh
karena itu carilah hubungan yang ideal saja. Artinya dalam menjaliln hubungan
dengan pasangan, milikilah tanggungjawab, setidaknya ada „itikad membina
hubungan yang serius. Kalau ini ada, berarti sudah dapat menjadi ukuran untuk
membangun hubungan sampai perkawinan.
Secara sosiolois, dalam masyarakat tertentu cinta tidak diangap penting
dalam proses pencarian jodoh, karena cinta dianggapnya sebagai ancaman
dalam membatasi kewenangan orang tua tempo dulu dalam menentukan jodoh
bagi anaknya. Oleh karena itu, terdapat aturan sosial yang menghalangi cinta
untuk menjadi bagian dalam memilih jodoh.
11
Dalam rangka mencari jodoh dalam perkawinan, mempertimbangan pasangan yang
akan dipilih merupakan alasan yang cukup masuk akal untuk meningkatkan hubungan ke
jenjang yang lebih serius lagi. Aspek yang dipertimbangkan, misalnya (1) Attitude (sikap).
Dalam hal ini, titik tekannya pada cara pandang pasangan dalam memahami realita. Oleh sebab
itu, pusat perhatiannya pada aspek pendirian, baik pendapat atau keyakinannya, tentu saja secara
spesifik cara pandang, pendapat dan keyakinan terhadap perkawinan dan keluarga, (2)
Behaviour (kelakuan), yaitu etika pasangan, (3) Cultur (kebudayaan), (4) Dollar (dalam hal ini; uang), dalam pemilihan jodoh adalah mempertimbangkan aspek ekonomi pasangan, (5)
Education (pen-didikan), (6) Family (keluarga). Selain itu, terdapat tiga hal lain yang diper-
lukan dalam menentukan pemilihan pasangan yang akan dipersiapkan ke jenjang perkawinan,
yaitu, (1) Aspek biologis/fisik. Yang termasuk ke dalam aspek ini adalah faktor usia masing-
masing, setidaknya laki-laki berusia 25-30 tahun dan wanita 20-25 tahun. Perbedaan usia relatif
sifatnya. Selain itu juga aspek kecantikan masing-masing pasangan, (2) Aspek mental
psikologis. Yang termasuk kedalam aspek ini antara lain, kepribadian masing-masing pasangan
dan aspek pendidikannya,, (3) Aspek psikososial dan spiritual. Antara lain, agama, latar
belakang sosial keluarga, latar belakang budaya, latar belakang pergaulan dan kondisi material
pasangan .
144 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Namun dewasa ini cinta memainkan peranan penting dalam proses
pemilihan jodoh. Kalau dulu otoritas pemilihan jodoh itu secara dominan
dimiliki orang tua, maka sekarang otoritas pemilihan jodoh itu beralih ke tangan
orang yang akan menjalankan perkawinan. Dengan demikian, perubahan itu
telah membuktikan bahwa cinta telah mengubah struktur masyarakat dalam
pemilihan jodoh.
Cinta memegang peranan penting dalam menentukan keberlangsungan
suatu hubungan ke jenjang perkawinan. Walaupun banyak orang yang enggan
mengatakan bahwa dalam hubungan percintaan terjadi proses pertukaran
imbalan, namun kenyataan menunjukkan bahwa suatu hubungan yang tidak di
bangun beradasarkan cinta sangat sulit dipertahakan. Oleh karena itulah, proses
pemilihan jodoh yang didasari atas cinta menurut teori pertukaran sosial
merupakan upaya seseorang dalam mengejar suatu imbalan. Imbalan itu berupa
kesediaan pasangan untuk terbuka dan berkorban. Keterbukaan ini dirasakan
oleh pasangannya sebagai imbalan sosial, yang membuktikan bahwa ia telah
dipercaya oleh orang yang mencintainya untuk mendengarkan isi hatinya yang
sifatnya sangat pribadi, dan sebaliknya darinya juga dituntut suatu sikap yang
sama.
Sebuah hasil penelitian melaporkan bahwa menentukan jodoh yang tidak
melibatkan cinta (emosional) yang mendalam berakibat pada rapuhnya ikatan
perkawinan yang berujung pada perceraian. Sedangkan pasangan suami isteri
yang mengambil keputusan perkawinan atas dasar cinta, lebih sulit melepaskan
diri dari belenggu cintanya karena pertimbangan romantisme menjadi salah satu
basis untuk mempertahankan keluarga 12
.
Di negara Amerika, proses pemilihan jodoh itu biasanya menggunakan
bahasa cinta, tetapi bagi sebagian yang lainnya digunakan bahasa saling tawar
menawar. Berkencan adalah istilah lain dalam proses pemilihan jodoh itu.
Sebagaimana yang dikemukakan Winch, kencan bagi orang Amerika dalam
menentukjan jodoh memiliki beberapa fungsi, dan akibat penting, yaitu
merupakan cara santai yang efektif yang memiliki tujuan tersendiri. Dalam hal
ini kedua belah pihak tidak memiliki komitmen untuk meneruskanya dalam
hubungan yang lebih erat setelah pengalaman pertamanya itu. Fungsi berikutnya
adalah sebagai bagian dari pengalaman sosialisasi dalam hidup yang berguna
untuk mengetahui rahasia-rahasia lawan jenisnya. Dalam hal ini masing-masing
individu mengukur kemampuan seseorang berdasarkan pengalaman kencannya
itu. Semua fungsi kencan itu kadang-kadang juga berujung pada penentuan
jodoh 13
.
12 Sri Tresnaningtias Gulardi, Perubahan Nilai di Kalangan Wanita yang Bercerai.
Makalah pada Lokakarya Forum Komunikasi Bidang Peranan Wanita, Depdikbud, Ditjen
Pendidikan Tinggi. 13 Robert F. Winch, “The Functions of Dating in Middle-Class America,” in Winch,
Robert Mc. Ginnis and Herbert R. Barringer (eds) Selected Studies in Marriage and the Family
(New York: Holt, Rinegart and Winston, 1962, p. 506-508.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 145
C. Saat Berada dalam Pernikahan
1. Cinta Kasih dalam Membina keharmonisan keluarga
Rasanya, sampai hari ini belum ada kamus khusus yang menjelaskan apa
itu cinta. Kendatipun ada, maknanya selalu berbeda-beda. Cinta bagi pasangan
yang belum menikah merupakan suatu anugerah. Ia dapat diibaratkan sebuah
kendaraan yang akan membawa keduanya pada suatu tempat. Pemberhentian
kendaraan cinta bagi setiap orang dapat berwujud macam-macam. Salah satu
pemberhentian cinta adalah per-kawinan. Selain perkawinan, wujud cinta itu
adalah tindakan yang dapat memberikan kebahagiaan pada orang lain, dalam hal
ini kepada anggota keluarga.
Setelah kendaraan cinta itu sampai pada satu tempat dan berwujud sebuah
perkawinan, kemudian iapun akan berwujud dalam bentuk lain. Keluarga
merupakan salah satu wadah aktualisasi cinta. Di dalamnya, anggota keluarga
dapat memberikan cintanya satu dengan yang lain. Cinta dalam keluarga dapat
berarti sikap dan prilaku yang memilki dimensi kasih sayang, perhatian dan
penghargaan. Tiga dimensi ini merupakan kata kunci dalam membina cinta
kasih dalam keluarga.
Dimensi kasih sayang dalam keluarga dapat berwujud macam-macam.
Salah satunya adalah menerima seorang isteri/suami apa adanya. Dengan cara
ini, betapapun kekurangan yang dihadapi antara suami isteri, akan tetap
ditunjukkan rasa kasih sayangnya. Perasaan suami yang jengkel sekalipun
terhadap isterinya, akan menyadarkan diri sang suami tentang kekurangan yang
dimiliki isterinya. Inilah yang disebut dengan menerima pasangan apa adanya
itu. Dengan begitu, kasih sayang akan diwujudkan.
Misalnya saja, pasangan yang dulunya menarik karena pendiam, tiba-tiba
berubah menjadi pasangan yang sulit diajak bertukar pikiran. Pasangan yang
tadinya tegas dan berwibawa, sekarang menjadi pasangan yang keras kepala dan
tidak berperasaan. Pasangan yang tadinya gesit dan lincah, sekarang menjadi
pasangan yang bertindak tanpa fikir dan ceroboh dan sebagainya.
Sekali lagi, langkah pertama mengatasi kekurangan itu adalah dengan
menerima pasangan apa adanya. Seperti kata pepatah, jika mencintai seseorang,
bukan hanya mencintai kelebihannya saja, tapi cintai pula kekurangannya.
Dengan demikian, dapat membiasakan diri dengan segala kebiasaan dan tindak
tanduknya, sambil kemudian menyerapnya sebagai bahagian dari kehidupan
bersama. Berani menerima pasangan tidak sekedar karena ia baik, patut
dibanggakan atau menyenangkan, namun karena ia sudah menjadi bagian dari
hidup sebagai suami isteri. Inilah yang disebut dengan kedewasaan cinta.
Dimensi perhatian dalam keluarga dapat berwujud dalam memberikan
pujian, memenuhi janji dan mengistimewakannya. Pujian bila dilontarkan secara
tepat dan tulus akan memberi efek yang jauh lebih baik daripoada kritik. Selain
merupakan penghargaan kepada orang yang dipuji, pujian juga dapat
menguatkan jalinan hubungan emosional suami isteri. Pujian juga dapat
dilakukan didepan anak-anak. Bila ini dilakukan secara wajar, akan
melipatgandakan efek positif dari pujian itu.
146 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Memenuhi janji merupakan bagian dari memberi perhatian. Biasanya,
kaum pria sangat mudah melupakan janjinya terhadap isteri, padahal dia sendiri
tidak pernah melupakan janji-janji bisnis atau janji-janji yang menyangkut
pekerjaannya. Hal ini jika menjadi kebiasaan, akan menyebabkan isteri merasa
dirinya tidak penting dan tidak dihargai.
Ada kalanya pula, jika membatalkan janji dengan keluarga karena
mendahulukan kepentingan orang lain atau pekerjaan. Hal ini sedikit banyak
bisa merusak hubungan dengan pasangan, apalagi bila pembatalan janji tersebut
terjadi pada saat-saat terakhir. Jika suami mampu menepati janji kepada
pasangannya, walaupun ada hal lain yang dirasa sangat penting untuk
dikerjakan, akan lebih besar kemungkinannya bahwa pasangan akan
memberikan penghargaan yang sama pasangan lainnya.
Mengistimewakan pasangan (suami/isteri) merupakan bukti lain dari
memberi perhatian. Ada banyak cara untuk membuat pasangan merasa
diistimewakan. Dibelikan oleh-oleh yang disenanginya pada suatu bepergian,
memberikan sesuatu pada hari-hari penting dan sebagainya.
Dimensi penghargaan terhadap pasangan merupakan strategi khusus
dalam membina cinta kasih. Tanpa disadari, seringkali kurang dihargai pasangan
di depan umum. Mengkritik, mencela atau bahkan memaki pasangan di depan
teman, kerabat atau anak. Kurangnya pernghargaan kepada pasangan seringkali
tercermin dari cara kita memperlakukan pasangan. Misalnya, memerintahkan
dia seenaknya atau mengawasinya secara ketat.
Umumnya, suami/isteri akan merasa dihargai apabila dipuji atau
dibanggakan dihadapan orang lain. Hal ini bisa lebih mudah dilakukan bila
lebih memusatkan perhatian pada hal-hal positif yang dimilikinya. Yang tidak
kurang pentingnya juga adalah menghindarkan diri dari merendahkan
isteri/suami dihadapan anak-anak. Merendahkan pasangan dihadapan anak-anak
akan menyebabkan anak-anak kurang menghargainya. Orang tua yang saling
menghormati dan saling melihat aspek positif pasangannya, akan lebih dihargai
oleh anak-anak.
2. Membina Keserasian Hubungan Suami Isteri
Tolok ukur keberhasilan sebuah perkawinan bukan terletak dari besarnya
cinta atau baiknya keuangan keluarga, tetapi terletak dari keterampilan pasangan
suami isteri dalam menyelesaikan konflik dari setiap perbedaan yang ada.
Kenya-taan menunjukkan bahwa sebagian pasangan memasuki gerbang
perkawinan dengan cinta yang bergelora dan sejumlah harapan besar. Namun
kenyataan membuktikan, perkawinan baru menemukan masalah yang
sebenarnya, pada saat masing-masing pasangan tidak bisa mengatasi perasaan
negatif yang timbul antara dua pribadi yang berbeda. Padahal, perbedaan itulah
yang justeru membuat masing-masing pasangan tertarik pada awalnya.
Oleh karena itu, dalam kondisi apapun sesungguhnya perkawinan itu tidak
perlu terapi. Yang diperlukan untuk menjalin hubungan yang baik adalah
keterampilan tegas Howard Harkman salah seorang guru besar psikologi asal
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 147
Amerika. Hal yang sama juga disampaikan oleh Diane Solle, seorang ahli terapi
masalah keluarga bahwa cinta masing-masing pasangan begitu sangat
istimewanya, sampai kemudian mereka memutuskannya untuk menikah, tetapi
mereka tidak menyadari karena masing-masing pasangan harus terampil dalam
menyelesaikan konflik di saat hubungan menghadapi masalah.
Menjalin keserasian hubungan suami isteri memang tidak mudah,
setidaknya hal itu didasari oleh pemikiran bahwa perkawinan itu dapat disebut
sesuatu yang aneh, karena ia menyatukan dua latar belakang yang berbeda. Jika
kemudian dalam bahtera perkawinan terdapat perbedaan-perbedaan, hal itu
sangatlah wajar, sebab perkawinan adalah media yang berupaya memperkecil
perbedaan untuk menggapai kebersamaan. Per-kawinan bukan media untuk
mencari-cari persamaan, sebab jika demikian, maka yang muncul kepermukaan
adalah perbe-daan dan konflik.
Oleh karena itu, perlu strategi dan langkah konkrit agar hubungan suami
isteri dapat berjalan lancar. Langkah berikut ini merupakan salah satu alternatif
saja dalam membina kese-rasian hubungan suami isteri.
1) Memulai dari diri sendiri. Dalam pergaulan antara suami isteri akan
ditemukan suatu masalah perbedaan. Agar masalah perbedaan yang terjadi
antara suami isteri tidak mengganggu keserasian hubungan antar keduanya,
ada cara lain untuk menyelesaikannya, yaitu memulainya dari diri sendiri. Di
mulai dari kesadaran diri yang tinggi, sayang pada diri, jujur pada diri
sendiri, tahu apa yang diinginkan serta dapat menyuarakannya secara jelas.
Sayang pada diri sendiri berarti mau mendengarkan suara hati, marasa
memiliki apa yang ada pada diri sendiri tidak merasa memiliki apa yang
memang tidak dimiliki. Lalu biarkan pasangan anda melakukan hal yang
sama. Dengan mengenal diri sendiri, akan dapat ditela‟ah kedalam
kehidupan mental kita. Dari pemikiran, perasaan, keinginan dan sejumlah
data yang mempengaruhi timbulnya masalah akan membuat masing-masing
individu memperbaiki dirinya;
2) Saling mengerti. Dalam pergaulan antara suami isteri, kadang-kadang
pertengkaran tidak dapat dihindari. Untuk meminimalisirnya, dianjurkan
untuk menyelesaikan masalah dengan tidak menyalahkan pasangan dan
mennggunakan rahasianya sebagai senjata yang mematikan. Bisanya, orang
yang sedang marah sudah cukup puas jika hanya didengarkan saja. Yang
diinginkan adalah pengertian, bukan penyelesaian masalah;
3) Saling mendengarkan. Belajarlah mendengarkan, lalu memberikan
tanggapan yang diperlukan, karena sebahagian kita belum mampu menjadi
pendengar yang baik, ini disebabkan karena kita begitu rapuh. Kita tidak
ingin mendengar karena kita adalah sumber yang menyebabkan pasangan
menderita;
4) Saling percaya. Kesulitan yang muncul dalam hubungan suami isteri akan
sulit diubah karena alasan yang spesifik. Perkawinan mempunyai kekuatan
buruk yang dapat menjebak masalah emosi yang berasal dari masa lalu.
Masa lalu biasanya menyatakan diri dalam bentuk terselubung dan asumsi-
148 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
asumsi. Perkawinan diharapkan sebagai jembatan terakhir untuk menghapus
kekecewaan dimasa lalu. Disarankan pasangan suami isteri mengasah
keterampilan berkomunikasi dan saling percaya;
5) Jangan menunda. Jika dalam perkawinan menemukan sesuatu telah keluar
dari relnya, segeralah bicarakan. Misalnya, suami/isteri kurang setuju
dengan situasi akhir-akhir ini, bisa nggak dibicarakan ? Penelitian
membuktikan, pasangan yang perkawinannya berakhir dengan bahagia tidak
membiarkan suatu masalah menjadi berlarut-larut. Mereka segera berbicara
dan mencari solusinya;
6) Jangan menyalahkan. Dalam berdiskusi, jangan menyalahkan pasangan,
katakan bahwa suami/isteri risau dengan keadaan ini. Apa yang bisa
dilakukan ? jangan kemudian memaki-maki;
7) Bersikap fleksibel. Pasangan yang cerdik akan mencari jalan untuk
meredakan ketegangan sebelum ketegangan itu berubah tak terkendali. Satu
perbuatan kecil bisa mendatangkan perubahan besar.
3. Pola Hubungan Suami dan Isteri
Hubungan suami dan isteri dalam keluarga dapat dibedakan ke dalam
empat macam, yaitu (1) hubungan kepemilikan (Ownership), di mana secara
finansial maupun emosional isteri dianggap sebagai milik suami, (2) hubungan
complementary (pelengkap) di mana peran isteri sebagai pelengkap dari ke-
giatan suami (3) hubungan hirarkial, di mana suami me-nempatkan diri sebagai
atasan dan tuan dirumahnya, sementara isteri menempatkan dirinya sebagai
bawahan dan kawula 14
. (4) hubungan kemitraan (partnersihip) di mana suami
melakukan peran publik dan domestik. Artinya, kendatipun suami berperan
utama sebagai pencari nafkah, namun dalam hal-hal urusan rumah tangga yang
menjadi pekerjaan isteri, suami mampu melakukannya. Semua jenis hubungan
itu membawa konsekuensi tersendiri dalam kehidupan keluarga 15
.
Dalam hubungan suami isteri yang ownership isteri memerankan
kepatuhan yang semestinya pada suami. Peran suami dalam keluarga tetap
sebagai pencari nafkah utama. Hubungan antara suami isteri lebih diperankan
oleh suami melalui hubungan pengaruh, baik itu pengaruh kekuasaan sebagai
pencari nafkah, maupun harisma suami terhadap isterinya karena suami sebagai
14 Suami berkewajiban memberikan perlindungan dan fasilitas kepada isterinya dan
kebutuhan hidup lainnya sedangkan isteri mengurusi atau ngawulaan suami. Dalam bahasa Sunda sering terdengar ucapan seorang isteri kepada suaminya dengan ungkapan pun lanceuk
(kakak saya). Demikian pula dikalangan orang Betawi, isteri memannggil abang kepa-da
suaminya. Lebih lanjut dapat dilihat Suwarsih Warnaen dkk., Pandangan Hidup Orang Sunda
Seperti tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda Penelitian Tahap II; Konsistensi dan
Dinamika). Bandung, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987, hal. 163-164. 15
Semua jenis hubungan-hubungan antar suami isteri diilhami oleh tulis-an Letha
Dawson Scanzoni dan John Scanzoni dalam Men, Women and Change: A Sociology of Marriage
and Family, New York: McGraw Hill Book Compani, 1981 hal 81. Mereka menyebutkan 4
macam pola perkawinan, yaitu owner property, head complement, senior junior part-ner and
Equal partner.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 149
tokoh agama. Kecenderuangan pola hubungan ownership ini terjadi dikalangan
keluarga yang keduanya betul-betul memahami agama, terutama bagi keluarga
yang suaminya berkedudukan sebagai tokoh agama. Dalam bahasa Sunda ada
sebutan salaki mah pangeran di dunya (suami adalah “pelindung” di dunia), sok
sanajan dibawa ka liang cocopet (walaupun isterinya dibawa kepada
kesempitan). Gaya bahasa seperti ini dikalangan orang Sunda menunjukan
adanya kepatuhan terhadap suami. Oleh sebab itu, kepatuhan isteri terha-dap
suami merupakan syarat dalam hubungan ownership.
Pola hubungan ownership seperti ini, cenderung menempatkan isteri
sebagai kepanjangan suaminya, sementara isteri tidak menjadi dirinya sendiri.
Suami bertindak atas kemauannya sendiri, sementara isteri adalah petugas yang
menjalankan kehendak suami. Suami sangat “otoriter” bagi isterinya. Keputusan
keluarga banyak ditentukan oleh suami. Bahkan, nama anak-pun senantiasa
mengikuti nama suaminya.
Dalam keluarga Jawa, terutama di kalangan kelompok priyayi, suami bisa
seenaknya menceraikan isterinya apabila mereka tidak lagi menyukainya. Dalam
hal ini, isteri tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi hak bertanya dan protes. Oleh
karena itu, dalam hubungan yang ownership seperti ini, menempatkan hak
kepemilikan suami terhadap isterinya diatas segalanya daripada menjalin kasih
sayang.
Dalam pola hubungan suami isteri sebagai complementary (pelengkap),
suami menganggap isterinya bagian dari hidupnya. Segala sesuatu yang
mengenai kebutuhan hidup, senantiasa melibatkan isterinya. Dalam hal tertentu,
isteri masih tergan-tung pada suami, terutama dalam pengambilan keputusan
da-lam rumah tangga. Namun, berbeda dengan pola hubungan ownership, dalam
hubungan complementary isteri diberi ruang bertanya oleh suami dan suami
isteri bisa membicarakannya secara terbuka. Misalnya, suami berkata, “tolong
agar ini di kerjakan”. Isteri bisa menolak dengan cara, “saya rasa ini tidak
perlu”.
Kelemahan-kelemahan yang ada pada suami oleh isteri ditutupi dengan
melengkapinya secara baik. Misalnya, suami seorang pemboros uang, kemudian
isteri melengkapinya dengan sikap hemat. Demikian pula kelemahan isteri,
suami mampu melengkapinya agar tidak kelihatan lemah. Misalnya, isteri
seorang yang tidak penyabar, keras kepala dan selalu terburu-buru mengambil
keputusan. Suami bertindak penyabar dan penuh pertimbangan objektik dalam
segala keputusan.
Dalam lingkungan sosial, isteri menempatkan dirinya sebagai panutan
bagi yang lain. Hal itu dilakukan untuk menyesuaikan dan melengkapi
kedudukan suami, karena suaminya seorang pejabat. Ada kebiasaan, isteri
seorang pejabat secara otomatis akan menjadi ketua Darma Wanita (tidak ada
ketua Darma Laki-laki). Ini mencerminkan bakti isteri kepada suami dalam
hubungan complementary.
Pola hubungan hirarkial dalam keluarga menempatkan suami sebagai
atasan dan isteri sebagai bawahan. Posisi demikian berjalan secara seimbang,
150 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
karena posisi atasan dan bawah-an dikelola melalui organisasi (keluarga)
modern. Atasan tidak berarti gila hormat, bahkan dalam hubungan hirarkial
antara suami isteri, posisi atasan sangat tergantung pada bawahannya. Apabila
bawahannya tidak memberikan dukungan, maka posisi atasan akan terancam.
Dalam kehidupan nyata, kedudukan suami di tempat kerja sangat
dipengaruhi dukungan dari isteri (bawahan) di rumah. Suami mendapat promosi
jabatan, isteri mendukungnya maka sukses karir suami (atasan). Suami
mendapat promosi jabatan, isteri tidak mendukung, maka kerja suami akan ter-
gangu. Dalam kondisi demikian, isteri mendukung kegiatan suami dan suami
berlaku adil terhadap bawahanya 16
.
Di dalam rumah, isteri memberikan pelayanan kepada suaminya sebagai
bagian dari peran bawahan. Dan suami memberikan perhatian dan kasih sayang
agar bawahan loyal memberikan pelayan kepada atasan. Hubungan hirarkial
antara suami isteri seperti ini, tidak dalam pengertian hubungan yang kaku,
otoriter dan sepihak. Tetapi hubungan yang harmonis, demokratis dan seimbang.
Dengan demikian, keberhasilan suami bukan semata-mata keberhasilan dirinya,
melainkan ke-berhasilan isteri juga.
Pola hubungan partnership dalam keluarga menempatkan hubungan suami
isteri secara wajar dan seimbang. Suami isteri mendapatkan hak yang sama
dalam mengelola rumah tangga. Dalam pola hubungan partnership dapat
diterapkan pada keluarga yang suami dan isterinya sama-sama mencari nafkah.
Pola hubungan partenership lebih ditekankan pada sikap dalam
pembagian peran mendidik anak. Sebab peran-peran domestik dalam rumah,
telah banyak bergeser kepada pembantu rumah tangga. Demikian pula dalam hal
pengambilan keputusan, suami dan isteri dapat berdiskusi secara argumentatif
me-ngenai masalahnya. Pada suatu saat, suami sebagai pengambil keputusan
dan pada saat yang lain isteri bergiliran mengambil keputusan. Keputusan yang
diambil dalam pola hubungan partnership ini saling mempertimbangkan
kebutuhan dan kepu-asan masing-masing. Dengan demikian, perkembangan
indivi-du dalam pola hubungan partnership sangat diperhatikan.
Di lain pihak, hubungan partnersip bisa dilakukan dengan sama-sama
melakukan inisiatif secara wajar dan seimbang antara suami dan isteri. Suami
dituntut bertanggung jawab atas inisiatif yang dikeluarkannya dan demikian pula
sebaliknya bagi isteri. Hal ini dilakukan karena suami dan isteri sebagai teman
yang baik yang satu sama lain saling mendukung dan membutuhkan.
16 Papanek (1979) sebagaimana di kutif oleh Thompson dan Walker (1989)
menggambarkan dukungan isteri itu dalam bentuk memper-hatikan pakaian, membantu
mengundang relasi, mengajarkan anak-anak nilai-nilai yang baik dan terlibat dalam politics of
status maintenance. Lindan Thompson dan Alexis Walker, “Gender in Families: Women and
Men in Marriage, Work and Parenthood”, dalam Journal of Marriage and Family 1989 hal. 845-
871.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 151
4. Pembagian Peran Suami Isteri dalam Pendidikan Anak
Mungkin tidak disadari bahwa dalam sistem patriarki, pembagian peran
dalam rumah tangga dibebankan secara timpang kepada perempuan, diantaranya
dengan pembenaran atas nama “naluri keibuan”. Beberapa akibatnya adalah
banyak anak yang kehilangan keakraban dengan ayahnya, karena si ayah
beranggapan bahwa mengurusi anak adalah “melawan kod-ratnya” sebagai laki-
laki.
Akibat yang lain, karena diyakini bahwa kualitas anak adalah tanggung-
jawab ibu, maka apabila sewaktu-waktu muncul masalah dengan anak, lalu
terburu-buru dan latah mengkambinghitamkan kaum wanita, isteri dan ibu
selaku penang-gungjawab utamanya. Padahal sesungguhnya, seperti halnya
wanita yang mempunyai naluri keibuan, pria pun diberi naluri kebapakan.
Naluri kebapakan inilah yang memungkinkan seorang pria peduli pada tugas-
tugas kerumah tanggaan. Seorang ayahpun bisa memandikan bayi, mengganti
popok bayi dan mencucinya, meyiapkan makan untuk isteri dan anaknya dan
sebagainya.
Dalam ajaran Islam, diteladankan oleh Nabi Muhammad bahwa pada
masanya ketika Khadijah (isterinya) menangani bisnis, sementara suaminya
berdakwah. Nabi dan para sahabatnya ternyata juga terbiasa menambal kasur,
berbelanja ke pasar dan mencuci pakaian hingga memasak jika perlu.
Dengan naluri kepabapakan inilah seorang suami dapat membantu
meningkatkan kualitas keluarganya. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan
emosional dan penerimaan atas kehamilan isterinya akan membantu sang isteri
mengatasi perubahan fisik dan emosionalnya. Begitu pentingnya peran aktif
ayah dalam keluarga, sampai-sampai di negara Skandinavia seorang ayah
bahkan berhak atas cuti melahirkan.
Kualitas tumbuh kembang anakpun meningkat dengan peran aktif ayah di
rumah. Anak membutuhkan orang tuanya sebagai objek ikatan batin
(Attachment object), agar ia bertumbuh kembang secara wajar. Jika selain ibu,
ayahpun menjadi teman yang menyenangkan bagi anak dan mempunyai
kedekatan batin dengannya, artinya anak mempunyai objek ikatan batin yang
lengkap.
Selanjutnya, partisipasi aktif ayah dalam rumah tangga pada gilirannya
akan meningkatkan kualitas keluarga itu secara keseluruhan. Partisipasi ayah
akan membantu memperkecil beban peran ganda isteri, sehingga isteri dapat
memperhatikan hal-hal lain, termasuk dirinya sendiri. Akibatnya, tingkat ke-
puasan isteri lebih tinggi yang pada gilirannya akan memperbaiki kualitas
hubungannya dengan suami dan anak.
Hubungan suami dengan isteri bisa dibedakan menjadi empat macam pola.
Pertama hubungan pemilik harta miliknya (owner-proverty), di mana secara
finansial maupun emosional isteri dianggap sebagai miliki suami. Kedua
hubungan atasan bawahan (head complement), di mana secara tegas dibedakan
bahwa peran suami di sektor publik, isteri di sektor domestik. Ketiga, hubungan
senior junior, dan keempat hubungan “mitra sejajar (equal partner). Masing-
152 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
masing hubungan ini membawa konsekuensi tertentu dalam membagi peran
dalam keluarga.
Ada kecenderungan, pola hubungan suami isteri sedang mengalami
transisi menuju pola hubungan mitra sejajar. Pola hubungan suami saat ini
masih senior-yunior dan belum sepenuhnya hubungan mitra sejajar. Manifestasi
dari pola hubungan senior-yunior menunjukkan bahwa suami masih menduduki
posisi sebagai pencari nafkah utama (meskipun penghasilan isteri lebih besar
daripada suami) dan pengambil keputusan. Walau isteri bekerja, bila ada
masalah dengan anak, wanita yang lebih dituntut untuk menyelesaikannya. Isteri
menerima peran ini, karena sudah ditanamkan kepadanya untuk mengutamakan
anak daripada pekerjaan, sedangkan suami merasa wajar saja bersikap demikian
karena telah tertanam dalam dirinya bahwa suami layak mengutamakan
pekerjaan daripada urusan rumah tangga.
Namun, kemitra sejajajarnpun bukan hanya sekedar membolak-balik peran
domestik-publik antara suami dan isteri. Membolak balik perilaku peran
sekarang ini lebih mudah, karena banyak fungsi keluarga yang bisa dijalankan
oleh pembantu rumah tangga, baby sitter, catering atau restoran, kelompok
bermain dan sebagainya. Teknologi saat inipun menawarkan peralatan
elektronik, bahan kimia sampai bahan makanan yang menyederhanakan tugas-
tugas rumah.
Karakteristik kemitrasejajajaran terletak pada sikap dalam memandang
pembagian peran diantara suami dan isteri dalam mendidik anak. Membicarakan
kemitrasejajajaran, berarti membicarakan bagaimana bisa terjadi perubahan
sikap pria dan wanita, baik terhadap pasangannya maupun terhadap dirinya
sendiri. Bersikap sebagai mitra sejajar, berarti memandang pembagian peran di
luar maupun di dalam rumah sebagai sesuatu yang terbuka untuk dinegosiasikan
dengan suami/isteri. Itulah artinya “sejajar”. Dalam kemitra-sejajaran, seorang
isteri bisa saja melayani suaminya dan sebaliknya, tetapi itu seyogiannya lebih
merupakan cara dalam memberikan perhatian, cara berkomunikasi dan bukan
karena kewajibannya.
Demi kelancaran pembagian peran dalam keluarga, terutama dalam
mendidik anak, diperlukan sebuah negosiasi terlebih dahulu. Negosiasi ini
seyogiannya mulai dilakukan sejak sebelum menikah. Sebelum menikah,
pasangan perlu menyepakati terlebih dahulu pola hubungan seperti apa yang
akan diterapkan dalam mengelola kehidupan keluarga dan pendidikan anaknya.
Sebab, perkawinan intinya adalah membuat komitmen. Untuk melakukan
negosiasi, calon pasangan perlu mengenal dirinya sendiri. Orang yang mengenal
dirinya sendiri akan lebih mudah mengetahui apa yang ia inginkan dan tidak ia
inginkan dari pasangannya.
Kelenturan dan keseimbangan pembagian peran suami isteri masa kini
tidak hanya menghadapi sikap pasangan di rumah, akan tetapi juga lingkungan
yang lebih luas di luar rumah, misalnya di tempat kerja. Sebagai contoh, jika
seorang anak sakit, kadang-kadang suami yang telah terbuka mengalami
benturan dalam masyarakat, apakah bos suami mengijinkan untuk membantu
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 153
atau bergantian dengan isteri menjaga anak yang sakit, ataupun mengasuhnya
ketika isteri harus bertugas ke luar kota. Masalah seperti ini tidak hanya terjadi
di Indonesia. Di negara maju seperti Amerikapun, peran ibu rumah tangga
dianggap usang dan tidak sophisticated. Anggapan semacam ini didukung
paham individualisme yang merebak di era modern ini, membuat banyak
pasangan yang mengabaikan keluarga semata-mata demi sukses kariernya di
luar rumah.
Akan tetapi di negara maju lainnya, seperti Jepang menjadi ibu rumah
tangga diakui sebagai peran yang amat penting dan sangat terhormat. Wanita
yang memilih berhenti bekerja untuk mendidik anaknya di rumah, mendapat hak
cuti selama 1 sampai 6 tahun. Dan oleh pemerintah, perusahaan yang memberi
cuti model begini bagi karyawatinya, akan diberikan keringanan kredit.
Pembagian peran dalam mendidik anak di keluarga antara suami isteri,
dalam kenyataannya banyak ditemukan kendala. Kendala itu muncul secara
kultural dari lingkungan kerja yang tidak mendukung. Oleh karena itu, dalam
pembagian peran mendidik anak, terlebih dahulu perlu adanya negosiasi antar
keduanya agar pembagian peran berjalan seimbang dan tidak pincang.
Pembagian peran dalam mendidik anak, hanya akan tercapai dalam pola
hubungan suami isteri yang sejajajr. Model pembagian peran pendidikan anak,
dapat dilakukan oleh suami isteri dengan cara proaktif dan tidak hanya reaktif
menunggu.
D. Saat Terjadi Konflik antara Suami Isteri 1. Lembaga Penyelesaian Konflik Keluarga
Hanya beberapa pasangan saja yang memahami apabila mereka
mengalami konflik di dalam keluarga menyelesaikannya melalui lembaga-
lembaga penyelesai konflik. Dalam keluarga muslim khususnya, konflik yang
dihadapi suami isteri relatif dibiarkan dan diselesaikan secara alami dengan
metode melupakan. Namun bagi kalangan tertentu yang komitmen dengan
ikatan perkawinan, menghadapi konflik keluarga mesti diselesaikan melalui
institusi yang kompeten, baik melalui konsultan pernikahan, mediator maupun
lembaga penyelesaian perceraian seperti BP4.
Minimnya pasangan suami isteri berkonsultasi ke institusi penyelesaian
konflik dikarenakan kurangnya pemahaman dan informasi terkait hal ini.
Setelah akad pernikahan, mestinya penghulu menyampaikan kepada pangantin
yang baru ijab kabul informasi mengenai lembaga penyelasaian konflik di luar
pengadilan agama yang bisa menangani konflik suami isteri. Atau bisa juga
dicantuman dalam buku akta pernikahan mengenai lembaga yang dimaksud.
Sebut saja yang sudah familier adalah BP4.
Umumnya, konfik suami isteri diselesaikan melalui musyawarah keluarga
atau langsung minta diselesaikan melalui pengadilan agama. Jika mindset seperti
ini yang terus dipakai, maka keluarga muslim akan ambil jalan pintas di dalam
menghadapi konflik keluarga, yaitu mendatangi pengadilan agama.
154 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Kehadiran lembaga penyelesaian konflik keluarga dimaksudkan agar
konflik-konflik suami isteri tidak mesti diselesaikan secara hukum, melainkan
bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan tetap mengobati akar persoalan
konflik yang terjadi diantara suami istri tersebut.
2. Metode penyelesaian konfik antara suami dan isteri
Setiap manusia pasti mengharapkan pernikahan dalam hidupnya. Ingin
memiliki pasangan dan anak-anak yang lucu. Hal ini sangat wajar, sebab sudah
fitrah manusia untuk diciptakan saling berpasangan. Selain itu menikah juga
merupakan ibadah yang dianjurkan oleh Allah Ta‟ala dan dicontohkan oleh
Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wasallam. Dalam Al-Quran dijelaskan:
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu Yang menciptakan kamu dari
satu jiwa dan darinya Dia menciptakan jodohnya, dan mengembang-biakan
dari keduanya banyak laki-laki dan perempuan; dan bertakwalah kepada Allah
swt. yang dengan nama-Nya kamu saling bertanya, terutama mengenai
hubungan tali kekerabatan. Sesungguhnya Allah swt. adalah pengawas atas
kamu”. (An Nisa: 1)
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam juga bersabda: “Menikah adalah
sunnahku, barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku berarti bukan dari
golonganku. Hendaklah kalian menikah, sungguh dengan jumlah kalian aku
akan berbanyak-banyakkan umat. Siapa memiliki kemampuan harta hendaklah
menikah, dan siapa yang tidak hendaknya berpuasa, karena puasa itu
merupakan tameng.”
Dalam pernikahan, konflik dalam keluarga khususnnya diantara suami
ister kerap terjadi, sekalipun terjadi pada keluarga harmonis. Walaupun menikah
itu menyenangkan, namun bukan berarti menjalani pernikahan itu mudah.
Konflik dalam rumah tangga wajar terjadi. Namun demikian, setiap konflik
yang datang harus segera diatasi. Apabila ada masalah kecil dan dibiarkan saja,
maka lama-kelamaan itu bisa menjadi pemicu keretakan rumah tangga.
Islam memberikan metode penyelesaian konflik dalam rumah tangga
dengan beberapa cara, yaitu:
1) Menyelesaian konflik dengan Kasih Sayang. Setiap masalah yang terjadi
dalam rumah tangga tidak harus diselesaikan lewat pertengkaran. Anda bisa
mencoba menyelesaikannya lewat kasih sayang. Misalnya mengajak
pasangan bercanda, memasakkan makanan lezat, atau jalan-jalan ke taman
dan sebagainya. Layaknya api yang dipadamkan dengan air, cara ini
terbilang sangat efektif. Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wasallam juga
selalu bersikap lembut dan penuh kasih sayang terhadap keluarganya. Ayat
di bawah ini merskipun berlaku umum, tetapi bisa digunakan dalam
hubungan suami istri yaitu fiirman Allah dalam Surat Ali Imran 159:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Qs. Ali Imran: 159)
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 155
2) Saling Memberikan Nasehat. Ketika ada masalah di rumah tangga, misalnya
istri marah karena sebab tertentu maka janganlah ikutan marah. Tindakan
tersebut akan membuat masalah semakin rumit dan panas. Sebaliknya,
kewajiban suami terhadap istri dalam Islam adalah memberikan nasehat
yang baik kepada istri tentang peran wanita dalam Islam, fungsi ibu rumah
tangga dalam Islam dan kewajiban wanita setelah menikah. Demikian pula
jika suami menghadapi kelalaian yang sama. Ajaklah bicara dan duduk
seraya memeluk. Kemudian ucapkanlah perkataan yang lembut, sebuah
nasehat yang bisa membimbingnya ke jalan yang benar. Allah Ta‟ala
Berfirman: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka
nasehatilah maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di termpat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dan jika kamu
khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang
hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (An Nisa‟
:34-35). Bagi pria yang melakukan kemarahan dan kesalahan, ia juga mesti
diperlakukan dengan baik melalui nasihat.
3) Fokus Pada Penyebab Masalah. Ada banyak pasangan suami isteri yang
gagal fokus ketika masalah diantara mereka terjadi sehingga komnikasi
untuk menyelesaikan masalah tidak tuntas. Untuk menyelesaikan suatu
masalah tentunya harus dicari tahu penyebabnya terlebih dahulu. Setelah
tahu sebabnya, maka fokuslah pada inti masalah. Kemudian bisa saling
bermusyawarah untuk menemukan jalan keluar yang adil.
4) Menghindari Sikap Egois. Egois merupakan sikap tidak mau mengaui
kesalahan pihak lain dan merasa dirinnya yang benar. Sikap egois pastinya
ada dalam diri setiap manusia. Namun sebagai seseorang yang beriman dan
bertakwa, hendaknya menjauhi sikap ini. Terlebih lagi jika sudah berumah
tangga. Sikap egois bisa menjadi pemicu pertengkaran secara terus-
menerus. Istri tidak mau mengalah, suami tidak mau mengalah. Dua-duanya
sama-sama keras kepala. Lalu bagaimana masalah tersebut bisa
diselesaikan?
5) Saling Terbuka. Membuat komitmen untuk saing terbuka merupaan poin
untuk menghindari adanya masalah dalam keluarga. Setelah menikah
sebaiknya jangan ada rahasia diantara pasangan. Segala masalah di hati
akan lebih untuk diceritakan. Jangan memendam masalah sendirian ataupun
menyembunyikan sesuatu. Itu akan menjadi pemicu kesalahpahaman dan
yang berimbas pada hancurnya rumah tangga.
6) Bersikap Dewasa. Masalah tidak akan terselesaikan bila diatasi dengan cara
kekanak-kanakan. Misalnya diam selama berhari-hari, mogok makan dan
sejenisnya. Sebagai orang tua sudah seharusnya bersikap dewasa. Setiap ada
156 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
masalah maka selesaikan dengan pikiran tenang dan dingin. Berdiskusi
secara baik-baik, tidak perlu saling membentak. Selain itu juga harus
menanamkan sikap tanggung jawab dalam diri sendiri.
7) Saling Memaafkan. Masalah tidak akan selesai jika salah satu pihak sama-
sama keras kepala dan tidak mau meminta maaf. Manusia tidak ada yang
lepas dari kesalahan. Memaafkan tidak berarti menjatuhkan harga diri.
Memaafkan itu lebih disenangi oleh Allah Ta‟ala. Dan orang-orang yang
mau memaafkan kesalahan orang lain maka baginya balasan yang indah di
sisi Allah Ta‟ala.“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari
sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si
penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah :
263)
Secara psikologis menurut Cahyadi Takariawan17
ada 5 model
penyelesaian konflik antara suami istri yaitu :
1) Model Menghindari Konflik Berlanjut. Suami istri memilih mengalihkan
perhatian saat tema pembicaraan mengarah kepada konflik. Tentu saja suatu
saat mereka harus menemukan kesepakatan agar konfliknya tuntas, namun
menghindar sebentar diyakini dapat memberi ruang keduanya untuk tenang,
sehingga saat memutuskan untuk mencari solusi keduanya jika sudah sama-
sama tenang.
2) Model mengalah. Metode ini dilakukan dengan jalan salah satu pihak atau
kedua belah pihak, tanpa harus berusaha mencari penyelesaian. Jadi
mengalah adalah metode yang sederhana dan simpel, dan tidak memerlukan
logika atau pembenaran yang rumit dalam penyelesaian konflik, yang
diperlukan hanyalah menundukkan ego.
3) Model Diskusi. Suami dan istri harus menyempatkan waktu berduaan,
dalam suasana yang tepat dan kondisi yang nyaman. Mereka berdua duduk
untuk membahas akar persoalan dan mencari jalan penyelesaian yang bisa
diterima oleh kedua belah pihak. Metode ini tepat untuk menyelesaikan
sesuatu yang bersifat strategis dan jangka panjang.
4) Model Kompetensi. Salah satu pihak dari suami atau istri mengerahkan
kompetensinya untuk mencari solusi, kemudian mengajak pasangannya
untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang telah ditemukannya. Model
seperti ini biasa terjadi pada pasangan suami istri dimana salah satunya
memiliki sifat dominan, dengan model seperti ini masalah bisa selesai
sesaat, namun bisa menimbulkan ketidaknyamanan pasangan dalam waktu
yang panjang.
5) Model Melupakan. Suami dan istri bersepakat untuk melupakan saja konflik
yang sedang mereka hadapi. Metode ini bisa efektif apabila telah terjadi
komunikasi dan hubungan yang hormonis dalam kehidupan sehari-hari,
apabila tidak ada kesepakatan maka metode ini tidak efektif.
17 Cahyadi Takariawan. Wonderful Couple. (Solo: P.T Era Adicitra Intermedia, 2015).
Hlm. 15
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 157
Dengan demikian konflik dalam hubungan suami isteri akan terjadi pada
seluruh pernikahan. Pada pasangan yang sudah menikah, konflik merupakan hal
biasa terjadi (Sears dkk, 1985). Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Gurin
menyimpulkan bahwa konflik mesti terjadi dalam kehidupan pernikahan.
Sebanyak 45 % responden menyatakan bahwa setelah menikah mereka selalu
dilanda konflik, sedangkan 32 % responden yang menyatakan bahwa kehidupan
pernikahan mereka harmonis, juga menyatakan sering mengalami konflik.18
Ditinjaui dari intensitas kecenderungan laki-laki dan perempuan untuk
terlibat dalam suatu lingkaran konflik rumah tangga, maka perempuan
cenderung lebih rentan mengalami konflik. Menurut Eva dan Basti (2008), hal
ini disebabkan perempuan ketika telah menikah sanggup untuk menyerahkan
diri secara total pada pasangannya. Inilah yang mendorong mereka untuk
mengorientasikan segenap perhatiannya dalam menjaga dan mempertahankan
kehidupan rumah tangga. Dampaknya, perempuan lebih mudah didominasi oleh
prasangka dan perasaan curiga dan pada akhirnya memicu munculnya konflik
dengan suami. 19
E. Pembenahan di Pengadilan Agama
1. Memberikan Reward para Hakim yang Berhasil Memediasi
Sekalipun angka keberhasilan mediasi mengenai perceraian belum meng-
gembirakan, namun semangat memotivasi keberhasilan mediasi perlu diting-
katkan. Misalnya memberikan reward kepada para hakim yang berhasil
memediasi. Harapannya, ada reward yang memadai bagi hakim-hakim yang
mampu mendamaikan pihak-pihak yang berperkara baik dalam proses mediasi
maupun upaya mendamaikan di dalam persidangan. Misalnya, bagi hakim yang
selama 1 tahun menjalankan sidang perceraian dan mampu mendamaikan pihak
dalam proses mediasi maupun di dalam persidangan sebanyak 25 perkara
diberikan kemudahan promosi jabatan dan mutasi dalam waktu yang singkat.
Keberhasilan memediasi dan upaya damai oleh para hakim mediator dan
hakim pemeriksa perkara merupakan cara mengurangi angka perceraian yang
selama ini meningkat. Dengan adanya reward ini diharapkan para hakim lebih
termotvasi untuk memaksimalkan mediasi di pengadilan agama dalam sengketa
perceraian.
2. Keterlibatan Lembaga Mediasi di Luar Pengadilan
Dalam rangka mempersulit perceraian, diperlukan keterlibatan lembaga
mediasi di luar pengadilan. Selama ini, para pihak yang mengajukan
permohonan dan gugatan ke pengadilan agama menganggap telah melakukan
upaya damai, sekalipun tidak pernah ditanyakan bukti formilnya apa tetapi
cukup berpegang pada pengakuan para pihak. Apabila lembaga mediasi
18 https://www.kompasiana.com/pakcah/lima-model-menyelesaikan-konflik-suami-
isteri_ 55118dbaa 33311064fba7dc3. Diakses, 5 Oktober 2017 19 Eva Meizara Puspita Dewi dan Basti, “Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian
Konflik pada Pasangan Suami Isteri”, Jurnal Psikologi, Vol 2, No 1, Desember 2008
158 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
dilibatkan, misalnya BP4 dan lembaga mediasi lainnya, proses melaksanakan
mediasi sudah tidak lagi perlu dilakukan di pengadilan. Hal ini dimaksudkan
untuk memaksimalkan fungsi mediasi sebab selama ini hasil yang dicapai dari
proses mediasi di pengadilan agama angkanya tidak menggembirakan. Mediasi
banyak yang gagal daripada yang berhasil. Tabel di bawah ini menjelaskan
keberhasilan dan kegagagalan mediasi secara nasional;
Tabel 6.1
Rekapitulasi Perkara Mediasi
Bulan Januari s/d September Tahun 2016
No.
Mahkamah
Syar'iyah/Pengadil
an Agama
Jumlah
Perkara Yang
Tidak Bisa Di
Mediasi
Jumlah
Perkara
Yang
Dimedias
i
Laporan Penyelesaian Mediasi Masih
Dalam
Proses
Mediasi Gagal
Berhasil Tidak
Layak Dicabut Sebagian
1 Mahkamah
Syar'iyah Aceh 4867 2186 1615 71 0 65 1637
2 PTA Medan 19365 2908 1886 80 0 659 210
3 PTA Padang 6151 1638 1517 57 0 0 341
4 PTA Pekan Baru 4364 3095 1850 242 0 4 600
5 PTA Jambi 3988 1521 625 61 14 0 300
6 PTA Pelembang 23532 1483 963 137 0 298 4756
7 PTA Bangka
Belitung 3964 505 326 15 9 87 228
8 PTA Bengkulu 2055 472 492 17 1 0 195
9 PTA Bandar
Lampung 8.472 1.052 966 21 - 7 77
10 PTA Jakarta 0 3435 2647 436 0 48 299
11 PTA Banten 7873 1832 1709 93 1 135 1009
12 PTA Bandung 102887 7631 6647 570 6 47 3217
13 PTA Semarang 91468 11398 9225 228 2 158 2147
14 PTA Yogyakarta 6090 1303 972 86 0 62 396
15 PTA Surabaya 124.782 20.158 12.666 859 88 1.380 1.533
16 PTA Pontianak 3632 1688 1402 65 0 1 671
17 PTA Palangkaraya 3063 496 390 23 19 10 83
18 PTA Banjarmasin 7316 1320 1138 55 0 0 712
19 PTA Samarinda 11732 1379 2286 45 2 406 48
20 PTA Manado 2727 426 289 15 0 86 24
21 PTA Gorontalo 4.034 305 221 10 0 0 71
22 PTA Palu 2890 797 533 15 15 49 315
23 PTA Kendari 2292 7908 2494 219 0 109 941
24 PTA Makassar 12859 2597 1867 75 0 0 582
25 PTA Mataram 9982 1840 1219 47 30 312 718
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 159
26 PTA Kupang 1148 307 121 34 5 50 70
27 PTA Ambon 2137 245 148 4 0 0 87
28 PTA Maluku Utara 834 261 260 1 0 0 104
29 PTA Jayapura 1.492 571 359 54 8 131 232
Jumlah 475.996 80.757 56.833 3.635 200 4.104 21.603
Sumber : Diolah dari data Laporan Mediasi Tahun 2016 Badilag
Data secara nasional itu, meskipun datanya hanya satu tahun menunjukkan
bahwa keberhasilan mediasi di pengadilan agama belum beranjak
menggembirakan. Jumlah perkara mediasi secara nasional sebanyak 80.757,
perkara yang gagal dimediasi sebanyak 56.833 atau setara dengan 95.5% dan
berhasil dimediasi sebanyak 3.635 atau setara dengan 4.5%. Jelas angka
keberhasilan mediasi sepanjang tahun 2016 masih relatif kecil. Data mediasi ini
tidak bisa dibanding dengan tahun sebelumnya karena tidak bisa diperoleh. 20
Sementara di pengadilan agama percontohan misalnya, untuk tahun 2015 rata-
rata keberhasilan mediasi mencapai 16,85%. 21
Guna memperoleh gambaran secara utuh keberhasilan dan kegagalan
mediasi selama lima tahun, dapat dilihat pada laporan mediasi di PTA Bandung
sebagai contoh perbandingan sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 6.2
Rekapitulasi Mediasi di Pengadilan Tinggi Agama Bandung Tahun 2013
No. Pengadilan Agama
Jumlah
Perkara
yang di
Mediasi
Laporan Penyelesaian Mediasi Masih dalam
Proses
Mediasi Gagal Berhasil Tidak Layak
1 BANDUNG 958 0 23 0 0
2 INDRAMAYU 302 0 0 0 0
3 MAJALENGKA 1083 1059 24 0 0
4 SUMBER 469 0 0 0 0
5 CIAMIS 163 163 0 0 0
6 TASIKMALAYA 0 0 0 0 0
7 KARAWANG 284 0 11 0 0
8 CIMAHI 712 0 0 0 0
9 SUBANG 188 0 3 0 0
10 SUMEDANG 214 192 1 0 0
11 PURWAKARTA 158 154 4 0 0
12 SUKABUMI 127 0 0 0 0
13 CIANJUR 268 255 5 0 8
14 KUNINGAN 75 0 0 0 0
15 CIBADAK 85 85 0 0 0
20 Data mediasi secara nasional ini hanya bisa diperoleh selama tahun 2016 sehubungan
data-data sebelumnya belum terkompilasi di Statistk dan Dokumentasi Badilag 21 http://mediasi.mahkamahagung.go.id/2017/09/27/data-keberhasilan-mediasi-2014-
2015/
160 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
16 CIREBON 160 0 0 0 0
17 GARUT 4 4 0 0 0
18 BOGOR 254 0 11 0 0
19 BEKASI 1050 0 25 0 0
20 CIBINONG 451 0 39 0 0
21 CIKARANG 300 0 0 0 0
22 DEPOK 416 0 14 0 0
23 KOTA TASIKMALAYA 197 190 1 0 6
24 KOTA BANJAR 11 10 3 75 2
JUMLAH 7929 2112 164 75 16
Sumber: Diolah dari Laporan Mediasi PTA Bandung Tahun 2013
Tabel 6.3
Rekapitulasi Mediasi di Pengadilan Tinggi Agama Bandung Tahun 2014
No. Pengadilan Tinggi Agama
Jumlah
Perkara
yang di
Mediasi
Laporan Penyelesaian Mediasi Masih dalam
Proses
Mediasi
Gagal Berhasil Tidak Layak
1 BANDUNG 872 388 20 0 0
2 INDRAMAYU 426 426 0 0 0
3 MAJALENGKA 244 240 4 0 0
4 SUMBER 525 525 0 0 0
5 CIAMIS 14 3 1 0 3
6 TASIKMALAYA 30 30 0 0 0
7 KARAWANG 285 249 9 0 0
8 CIMAHI 674 604 65 0 0
9 SUBANG 182 179 3 0 0
10 SUMEDANG 166 100 0 0 62
11 PURWAKARTA 134 126 3 0 2
12 SUKABUMI 101 99 2 0 0
13 CIANJUR 243 228 7 1 8
14 KUNINGAN 137 132 5 0 0
15 CIBADAK 140 139 0 0 0
16 CIREBON 138 76 62 0 0
17 GARUT 150 149 1 0 2
18 BOGOR 321 273 6 0 17
19 BEKASI 483 406 15 0 61
20 CIBINONG 594 546 48 0 329
21 CIKARANG 287 285 2 0 0
22 DEPOK 568 540 20 0 4
23 KOTA TASIKMALAYA 134 132 2 0 0
24 KOTA BANJAR 16 16 0 0 0
JUMLAH 6864 5891 275 1 488
Sumber: Diolah dari Laporan Mediasi PTA Bandung Tahun 2014
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 161
Tabel 6.4
Rekapitulasi Mediasi di Pengadilan Tinggi Agama Bandung Tahun 2015
No. Pengadilan Tinggi Agama
Jumlah
Perkara
yang di
Mediasi
Laporan Penyelesaian Mediasi Tidak
Layak
Masih
dalam
Proses
Mediasi Gagal Berhasil Dicabut
1 BANDUNG 726 616 13 0 0 97
2 INDRAMAYU 456 456 0 0 0 0
3 MAJALENGKA 240 240 0 0 0 0
4 SUMBER 489 489 0 0 0 0
5 CIAMIS 96 78 0 0 0 18
6 TASIKMALAYA 45 45 0 0 0 0
7 KARAWANG 289 284 5 0 0 0
8 CIMAHI 634 620 14 0 0 0
9 SUBANG 194 184 0 0 0 10
10 SUMEDANG 190 116 1 0 0 73
11 PURWAKARTA 782 155 2 254 0 371
12 SUKABUMI 115 115 0 0 0 0
13 CIANJUR 315 272 25 0 0 18
14 KUNINGAN 226 151 2 73 0 0
15 CIBADAK 206 205 1 0 0 0
16 CIREBON 173 126 47 0 0 0
17 GARUT 216 212 1 0 0 3
18 BOGOR 289 263 14 0 0 12
19 BEKASI 1272 507 41 0 0 724
20 CIBINONG 1368 596 67 682 0 23
21 CIKARANG 273 268 5 0 0 0
22 DEPOK 756 603 34 4 0 115
23 KOTA TASIKMALAYA 160 158 2 0 0 0
24 KOTA BANJAR 20 20 0 0 0 0
JUMLAH 9530 6779 274 1013 0 1464
Sumber: Diolah dari Laporan Mediasi PTA Bandung Tahun 2015
162 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Tabel 6.5
Rekapitulasi Mediasi di Pengadilan Tinggi Agama Bandung Tahun 2016
No. Pengadilan Tinggi
Agama
Jumlah
Perkara
yang di
Mediasi
Laporan Penyelesaian Mediasi Tidak
Layak
Masih
dalam
Proses
Mediasi Gagal Berhasil Dicabut
1 BANDUNG 999 852 45 3 8 82
2 INDRAMAYU 482 482 - - - -
3 MAJALENGKA 270 269 1 - - -
4 SUMBER 443 443 - - - -
5 CIAMIS 100 88 1 - - 5
6 TASIKMALAYA 73 54 - - - 15
7 KARAWANG 344 300 43 1 - -
8 CIMAHI 557 542 15 - - -
9 SUBANG 239 226 6 - - 9
10 SUMEDANG 190 127 1 1 - 56
11 PURWAKARTA 150 131 20 - - -
12 SUKABUMI 124 117 3 - 1 3
13 CIANJUR 304 213 35 - 1 59
14 KUNINGAN 164 160 - - - 4
15 CIBADAK 105 103 2 - - -
16 CIREBON 175 164 4 - - 1.160
17 GARUT 276 273 1 - - 5
18 BOGOR 285 255 19 - 5 12
19 BEKASI 534 445 80 - - 1.734
20 CIBINONG 683 486 171 - 32 48
21 CIKARANG 423 365 38 - - 20
22 DEPOK 513 424 82 2 1 -
23 KOTA TASIKMALAYA 183 180 3 - - -
24 KOTA BANJAR 37 31 1 - - 5
JUMLAH 7.653 6.730 571 7 48 3.217
Sumber: Diolah dari Laporan Mediasi PTA Bandung Tahun 2016
Berdasarkan tabel-tabel mediasi di atas, keberhasilan dan kegagalan
mediasi di wilayah hukum PTA Bandung dapat dibandingkan persentasenya
sebagaimana tabel di bawah ini.
Tabel 6.6
Rekapitulasi Mediasi di PTA Bandung
No Tahun Jumlah Perkara
di Mediasi Gagal (%)
Berhasil
(%) Keterangan
1 2013 7.929 2.112 (98%) 164 (2%) -
2 2014 6.864 5.891 (96%) 275 (4%) Naik
3 2015 9.530 6.779 (97%) 274 (3%) Turun
4 2016 7.653 6.730 (93.5) 571 (7.5%) Naik
Sumber : Diaolah dari data laporan mediasi PTA Bandung
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 163
Data keberhasilan dan kegagalan mediasi di PTA Bandung menunjukkan
bahwa selama 4 tahun terakhir keberhasilan mediasi belum meningkat secara
signifikan dari jumlah perkara yang dimediasi. Sekalipun setiap tahun jumlah
keberhasilan mediasi meningkat, tetapi peningkatannya belum menunjukkan
angka yang signifikan. Hal ini berarti mediasi dalam perkara perceraian sangat
sulit dan acapkali gagal.
3. Keberanian Hakim Menolak Permohonan Cerai
Guna mempersulit proses perceraian hendaknya putusan-putusan penga-
dilan agama berani menolak permohonan pemohon/penggugat yang didasari
oleh adanya alasan yang tidak memenuhi alasan hukum. Selama ini hampir
dipastikan putusan pengadilan agama langka yang menolak permohonan pe-
mohon/penggugat pada sengketa perceraian. Dalam pemeriksaan perkara
perceraian, hakim akan mempertimbangkan bahwa kondisi rumah tangga yang
sudah pecah, dengan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus-
menerus antara suami istri dan sulit untuk dapat rukun kembali, lebih
dipertimbangkan dalam memutuskan suatu perkawinan, terlepas dari siapa yang
menjadi penyebab rumah tangga tidak harmonis. Pertimbangan yang demikian
didasarkan pada prinsip menghindari kerusakan/bahaya lebih diutamakan dari
pada menarik kemaslahatan. Konflik yang terus-menerus justru akan
menimbulkan tekanan psikologis bagi diri seseorang sehingga seseorang tidak
akan mendapat ketenangan dan ketentraman sebagai tujuan perkawinan.
Putusan-putusan hakim dalam kasus perceraian yang mendasari fakta
hukum adanya peselesihan dan pertengkaran yang terus menerus dengan pasal
19 huruf f PP Nomor 9 Tahun 1975 dan KHI perlu diterapkan dengan sangat
hati-hati. Masih ditemukan putusan-putusan hakim dengan mudah menerapkan
pasal tersebut tanpa dielaborasi dengan memadai. 22
Pembuktian dalam perkara perceraian yang disebabkan oleh terjadinya
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus antara suami isteri dalam
lingkup kewenangan pengadilan agama, mengikuti ketentuan pembuktian secara
khusus dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 22 dan UU Nomor 7 Tahun 1989
pasal 76.
Pasa1 22 ayat 2 menyebutkan bahwa gugatan perceraian karena alasan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 huruf f PP Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 itu baru dapat diterima oleh Pengadilan, apabila telah cukup jelas
mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkarannya itu dan setelah
mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-istri yang
mengajukan perceraian itu.
Dalam Pasal 76 Undang Undang Nomor7 Tahun 1989 dinyatakan (1)
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang
22 Bahkan ada beberapa fakta di mana hakim memutus perkara di Pengadilan Agama
tertentu tidak bertanya dulu kepada pihak apa masalah perceraiannya. Wawancara dengan Zeni
Hamdadin, Advokat di Pengadilan Agama Cimahi, 10 September 2017
164 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami-istri. (2)
Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara
suami-istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
Berdasarkan pasal di atas, untuk dapat dikabulkannya suatu gugatan
perceraian yang menggunakan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus apabila majelis hakim telah:
a. Meneliti dan terbukti tentang ada tidaknya perselisihan dan pertengkaran, serta bagaimana bentuk perselisihan dan pertengkaran itu.
b. Meneliti dan terbukti sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran.
c. Mempertimbangkan sebab perselisihan dan pertengkaran itu, apakah benar-
benar berpengaruh dan prinsipil bagi keutuhan kehidupan suami istri.
d. Mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-
orang yang dekat dengan suami istri. Sebagai saksi, mereka harus
disumpah.
e. Mendengar keterangan saksi-saksi tentang sifat persengketaan antara suami
istri, dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing
ataupun orang lain untuk menjadi hakam. Hakam dapat ditunjuk oleh
masing- masing pihak atau oleh hakim.
f. Membuktikan tidak adanya harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Keyakinan hakim di atas harus pula didukung oleh keterangan para saksi.
Keterangan saksi yang ada dalam perkara pembuktian perceraian karena alasan
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus memang berbeda dengan
maksud Pasal 145 ayat (1) HIR dan Pasal 146 HIR, yang justru melarang
keluarga sedarah dan semenda untuk didengar sebagai saksi.
Saksi sebagai alat bukti dalam hukum perdata mempunyai jangkauan yang
sangat luas sekali hampir meliputi segala bidang dan segala macam sengketa
perdata, hanya dalam hal yang sangat terbatas sekali keterangan saksi tidak
diperbolehkan, seperti melarang pembuktian saksi terhadap isi suatu akta
otentik, rasio pelarangan adalah karena pada umumnya keterangan saksi
cenderung kurang dapat dipercaya, sering berbohong, sehingga bisa terjadi
pertentangan antara keterangan saksi dengan isi suatu akta dan jika dibiarkan
maka nilai kekuatan pembuktian akta otentik bisa kehilangan tempat berpijak
yang berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap akta otentik.
Kehati-hatian menerapkan pembuktian alasan perceraian dengan
perselisihan dan pertengkaran terus menerus sudah semestinya menjadi beban
moral tersendiri bagi hakim guna mencegah terjadinya perceraian yang alasan
hukumnya masih tidak jelas. Adakalanya, alasan gugatan itu sepele, misalnya
karena tergugat tidak mau lagi datang ke tempat mertua penggugat ditambah
lagi bahwa tergugat jarang membereskan rumah menjadi sebab terjadinya
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 165
perselisihan. Dalam kasus ini, hakim sering terbawa arus pada kebenaran formil
sehingga atas alasan itu saja perkawinan dapat berakhir dengan perceraian. 23
Penerapan prinsip mempersulit perceraian dalam perkara perceraian
dengan alasan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus hanya
sedikit saja dari ratusan ribu perkara perceraian yang ditolak. Undang-undang
sesunguhnya sudah memberikan rambu-rambu yang ketat guna mempersulit
perceraian itu. Menyatakan bahwa perkawinan dalam keadaan syiqaq, sudah
pecah mesti melewati proses pembuktian yang ketat. Dalam praktiknya, alasan
perceraian sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 huruf f Peraturan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 itu tidak selalu disebut syiqaq. Dikatakan
syiqaq kalau gugatan perceraian itu dengan alasan telah terjadi pertengkaran
yang mengandung unsur-unsur yang membahayakan kehidupan suami-istri dan
sudah terjadi pecahnya perkawinan (broken marriage) berakhirnya perkawinan
mereka dengan putusan pengadilan. Sedangkan alasan perceraian yang
didasarkan kepada perselisihan dan pertengkaran yang tidak mengandung unsur-
unsur membahayakan dan belum sampai kepada tingkat darurat, maka hal
tersebut belum bisa dikatakan syiqaq. Hal yang terakhir ini gugatan diajukan
oleh salah satu pihak dengan alasan perselisihan dan pertengkaran itu dengan
alasan perceraian yang lain, seperti salah satu pihak melakukan zina, mabuk,
dan main judi. Terhadap hal ini putusnya perkawinan bisa berupa perceraian dan
bisa dengan putusan pengadilan.
Semua itu dimaksudkan agar jangan sampai dalam perkara perceraian,
keterangan saksi-saksi bahwa suami isteri telah terjadi pertengkaran yang terjadi
secara terus menerus, diterima mentah-mentah begitu saja tanpa memper-
timbangkan alasan bagaimana saksi mengetahui peristiwa itu. Karena bagai-
manapun juga, dalam menilai keterangan saksi, Hakim tetap terikat dengan
Hukum Acara yang berlaku sebagaimana digariskan dalam Pasal 306 sampai
dengan Pasal 309 R.Bg. Sehingga dengan demikian, keterangan-keterangan
mengenai bagaimana saksi mengetahui segala peristiwa yang diterangkannya
(peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri oleh saksi), harus termuat dalam Berita
Acara Persidangan, karena bila tidak demikian, maka Hakim akan sulit untuk
menilai keterangan-keterangan saksi tersebut.
Hakim sering dihadapkan ketika menjatuhkanputusan pada kenyataan
antara menolak permohonan dengan konsekuensi perkawinan para pihak
dipertahankan dan mengabulkan permohonan dengan konsekuensi para pihak
bercerai dengan dalih kemadharatan. Mempertimbangkan apakah yang muncul
kemadratan dan keaslahatan dapat menggunakan metode maqashid al-syariah.
Penerapan maqashid al Syari‟ah dalam memutuskan perkara, maka yang
menjadi pertimbangan hakim adalah teori kemashlahatan hukum, dalam artian,
hakim sebagai penterjemah atau pemberi makna melalui penemuan hukum
(rechtschepping) dan menciptakan hukum baru melalui putusan-putusannya
23 Dwi Reiza Menianti, (Petugas Posbakum Pengadilan Agama Bandung), Hasil
Wawancara, Bandung, 20 September 2017)
166 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
(Judge made law), harus bisa mewujudkan kemashlahatan bagi masyarakat
(terutama pihak yang berpekara) dalam setiap putusannya. Sehingga tidak ada
pihak-pihak yang merasa menang dan yang merasa kalah, karena putusan hakim
sudah memberikan kemashlahatan dan menolak kemudharatan bagi pihak-pihak
yang berpekara. Adapun pertimbangan kemashlahatan yang perlu diperhatikan
adalah asas kulliyah al Khamsah, yaitu menjaga agama, 2) menjaga jiwa, 3)
menjaga akal, 4) menjaga keturunan dan 5) menjaga harta. Khusus untuk
Pengadilan Agama, maka pertimbangan kemashlahatan yang perlu dijaga adalah
1) menjaga agama, 2) menjaga keturunan, dan 3) menjaga harta, karena perkara
yang dihadapi Pengadilan Agama berkaitan dengan hukum keluarga Islam yang
lebih menekankan tiga aspek ini, yaitu agama, keturunan dan harta. 24
Jelaslah bahwa prinsip mempersulit perceraian dalam pemeriksaan perkara
perceraian dengan alasan terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus sesungguhnya sangat jelas dan pasti. Ada ukuran-ukuran yang konkrit
apakah suatu perkawinan sudah pecah atau belum dalam persidangan. Dengan
kriteria-kriteria pecahnya perkawinan sebagaimana dikemukakan di atas, para
hakim tidak perlu tergesa-gesa menyimpulkan perkawinan telah pecah, selagi
ada celah bahwa perkara yang oleh para pihak diajukan merupakan perkara
pertengkaran biasa yang bisa diselesaikan.
Pertimbangan hakim dalam memutus perceraian dengan alasan
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus itu seringkali dilandasi oleh
yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 38.K/AG/1990 Tanggal 5 Oktober
1991. Yurisprudensi ini melahirkan kaidah hukum bahwa dalam hal perceraian
didasarkan atas alasan adanya keretakan yang tidak dapat diperbaiki, bahwa
dengan terbuktinya adanya keadaan tersebut, maka tidak perlu lagi
dipertimbangkan siapa yang bersalah. Yurisprudnsi inilah yang banyak dipakai
sebagai rujukan para hakim dalam memutus perkara perceraian.
Penerapan yurisprudensi ini bisa mempermudah perceraian apabila di
dalam melihat fakta-fakta di persidangan para pihak tidak mau lagi berdamai
yang oleh hakim dipandangnya sebagai masalah yang rumit dan tidak lagi
melihat siapa yang salah. Memperhatikan penyebab perceraian sebagaimana
tertulis dalam hukum positif, tentunya ada pelaku (subject) yang bersalah
sebagai penyebab terjadinya perceraian, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
24 Doni Dermawan, “Pendekatan Maqashid Al Syari‟ah Dalam Memeriksa Dan
Memutuskan Perkara”, Artikel dalam www.badilag.net. Diakses 5 Oktober 2017
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 167
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam
rumah tangga.
i. Suami melanggar perjanjian perkawinan.
Berdasarkan alasan-alasan perceraian tersebut di atas jelas sekali bahwa
alasan itu ada penyebabnya dan setiap penyebab pasti ada pelakunya baik istri
ataupun suami. Maka hal itu perlu dipermasalahkan dan digali oleh hakim
karena kesalahan suami atau istri berakibat besar terhadap penerapan dan akibat
hukumnya.
Dengan demikian, dalam pemeriksanaan perkara perceraian perlu
mempertimbangkan siapa yang salah bukan hanya tidak mencari siapa yang
salah sebagaimana yang terjadi dalam pertimbangan hakim selama ini, sebab
secara hukum berdasarkan Pasal 22 PP Nomor: 9 Tahun 1975 dan Pasal 134
KHI dinyatakan bahwa gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal
19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat. Gugatan
tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan
mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar
pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.
Dalam penjelasan ayat (2) pasal tersebut dijelaskan sebab-sebab
perselisihan dan pertengkaran itu hendaknya dipertimbangkan oleh hakim
apakah benar-benar berpengaruh dan prinsipiil bagi keutuhan kehidupan suami-
isteri. Ruh dari pasal tersebut dalam pemeriksaan perkara perceraian hakim
dituntut untuk membuktikan, apakah ada perselisihan dan pertengkaran serta
bagaimana bentuknya, apa penyebab perselisihan dan pertengkara, siapa
penyebabnya dan apakah antara suami-isteri tersebut benar-benar tidak ada
harapan lagi akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga. 25
4. Memperbaiki Pemeriksaan Perkara Cerai dengan Verstek
Belakangan ini, kasus perceraian yang diputus oleh pengadilan agama
rata-rata dikisaran 70% merupakan perkara yang diputus dengan cara verstek.
Berdasarkan pasal 125 HIR dinyataan bahwa jika tergugat tidak hadir
menghadap ke persidangan dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya,
maka gugatan akan dikabulkan dengan putusan di luar hadirnya tergugat atau
yang disebut sebagai putusan verstek. Putusan verstek diputus dengan tanpa
membuktikan lebih dahulu dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat,
kecuali dalam perkara perceraian. Putusan verstek pada perkara perceraian
hanya dapat dijatuhkan apabila dalil-dalil atau alasan-alasan perceraian telah
dibuktikan dalam persidangan. Hal ini untuk menghindari adanya kebohongan
25 http://irfanhusaeni.blogspot.co.id/2012/01/no-fault-divorce.html, diakses 5 Okotber
2017
168 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
dalam perkara perceraian dan sekaligus menerapkan azas dalam Undang-
Undang Perkawinan, yaitu mempersulit perceraian. Pada umumnya acara ini
telah berjalan baik dalam praktik penyelesaian perkara perceraian di pengadilan
agama.26
Sungguhpun putusan verstek itu legal dan beralas hukum, namun
menyimpan beberapa kelemahan, khususnya dalam pemeriksaan perkara
perceraian. Yaitu, ketika tergugat/termohon tidak pernah hadir selama
persidangan, maka hakim tidak dapat mengupayakan perdamaian sebagaimana
yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Kemudian hakim hanya
mendasarkan pada pembuktian yang diajukan penggugat/ pemohon sehingga
tidak terdapat keseimbangan dalam pembuktian, upaya mediasi oleh mediator
kepada kedua pihak berperkara tidak mungkin dilakukan. Majelis hakim paling
hanya mampu menasehati Penggugat agar tidak bercerai dengan berbagai
pertimbangan, dan itupun tidak bisa dipaksakan, alias kembali kepada
Penggugat. 27
Selain itu, putusan verstek meskipun telah memenuhi ketentuan peundang-
undangan tetapi masih menyisakan rasa ketidak adilan dari sudut kebenaran
materiil, sebab tidak melalui jawab menjawab (replik-duplik) dan tidak berdasar
fakta kongkrit yang telah terbukti, pengambilan putusan secara sepihak karena
hakim memandang ada kelalaian tergugat memenuhi panggilan hakim, sehingga
hak-haknya untuk memberikan jawaban gugur dengan sendirinya, hingga
sekarang masih sering hakim mencantumkan qaedah fiqhiyah sebagai
penegasan/dasar memutus secara verstek dalam beracara pada peradilan agama
tersebut dalam Kitab Ahkamul Qur’an Juz II halaman 405 yang menyatakan ;
“man duiya min hukkamil muslimiyna palam yujib laa haqqa lahu”Artinya :
Barang siapa yang dipanggil oleh Hakim Islam di dalam persidangan sedang
orang tersebut tidak memenuhi panggilan itu, maka ia termsuk orang yang
dhalim dan gugurlah haknya.28
Berdasarkan kelemahan itulah, pemeriksaan perceraian menjadi mudah,
cepat dan memungkinkan terjadi putusan yang tidak adil dengan lahirnya
perlawanan atas putusan verstek melalui upaya hukum verzet. Oleh karennya
diperlukan kehati-hatian terutama jika pemeriksaan perceraian dengan tidak
hadirnya tergugat. Beberapa aspek yang perlu dipertahankan dan diperbaiki
diantaranya:
a. Pemangilan dilakukan dengan dua helai panggilan. Meskipun tidak wajib
melakukan dua panggilan, namun guna memastikan bahwa panggilan sah
secara hukum, yaitu patut dan resmi maka panggilan sidang dilakukan
26 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011, hlm. 87. 27 Muhammad Isna Wahyudi, “Mengapa Marak Terjadi Perceraian”, dalam badilag.net,
diakses 7 Oktober 2017 28 Ambo Asse, Putusan Verstek Mendominasi Putusan Perceraian Pengadilan Agama
(Analisis Khusus Pada Perkara Perceraian), dalam badilag.net. Diakses 3 Oktober 2017
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 169
dengan dua lembar panggilan, yaitu diserahkan melalui kantor desa dan
alamat prinsipalnya; b. Mewajibkan pihak-pihak yang berperkara dalam perkara perceraian hadir.
Di kabupaten Cianjur, berdasarkan wawancara dengan hakim Pengadilan
Agama Cianjur diketahui bahwa khusus PNS yang akan bercerai wajib
hadir keduanya di persidangan, hal ini dimaksudkan sebagai kebijakan
bupati dan kemenag agar kedua belah pihak bisa didamaikan sebelum
persidangan oleh pengadilan agama sebagai benteng negara yang paling
ahir dalam kemelut rumah tangga. Demikian pula, bagi perceraian yang
bukan non PNS bisa diterapkan setelah dilakukan perubahan dan perbaikan
hukum acara perdata di pengadilan agama; c. Mendisiplinkan juru sita. Masih ada Jurusita/Jurusita Pengganti, yang tidak
konsisten terhadap tugasnya yaitu ; menyampaikan panggilan kepada para
pihak khususnya kepada (T), terkadang justru memihak dan mengajari
(T/suami) dengan menyatakan “kalau mau menerima putusan cepat” agar
tidak usah menghadiri persidangan, cukup menandatangani relaas panggilan
ini, nanti putusannya akan dibawakan lagi”. Di sisi lain yang sering
merupakan kesengajaan terselubung dari Jurusita/Jurisita Pengganti adalah
tidak berupaya sedemikian rupa untuk menemui (T) dengan tujuan tertentu
dan masih ditemukan Jurusita/Jurusita Pengganti yang menggunakan kurir
non pegawai (tukang ojek) untuk melaksanakan pemanggilan (tidak resmi)
sehingga instrument panggilan berulang-ulang dengan maksud agar biaya
pemanggilan menguntungkan dirinya. Atas kenyataan ini, Jurusita/Jurusita
Pengganti sudah semestinya diberikan diberikan hukuman disiplin sesuai
ketentuan yang berlaku baik dengan cara menghentikan sementara, atau
menghentikan secara total atau paling kurang dengan memutasi
(memindahkan) ke Pengadilan Agama yang lain agar kebiasaan buruknya
itu diharapkan berubah.
d. Kehati-hatian hakim dalam pemeriksaan dengan putusan verstek. Meskipun
(T) telah dipanggil oleh jurusita/Jurusita Pengganti, tidaklah serta merta
putusan harus diverstek, perlu ada kehati-hatian hakim jangan sampai ada
pemaggilan yang tidak sah atau tidak patut dibawah (3 hari kerja)
berdasarkan hukum acara. Kemudian sering juga ditemukan panggilan yang
disampaikan kepada orang yang bukan pihak dalam perkara dan atau tidak
dibawa Lurah setempat bagi (T) yang tidak ditemukan pada alamatnya.
Semuanya berpotensi untuk menjadi alasan dijatuhkannya putusan verstek
tanpa hakim ketahui adanya penyimpangan jurusita/ jusrusita pengganti
dalam melaksanakan tugasnnya. Potensi tidak rasional dan tidak
professional juga sering terjadi dalam pemeriksaan dengan tidak hadirnya
tergugat, misalnya hakim yang menangani jumlah perkara yang banyak,
maka untuk memperkecil jumlah dan mempermudah untuk penyelesaian
perkara yang ditanganinya, pemanggilan para pihak yang semestinya masih
memungkinkan untuk memanggil sekali lagi dan sekali lagi (dua atau 3
kali) akan tetapi tidak lagi dilakukan dengan alasan panjar perkara
170 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
khususnya biaya panggilan telah habis padahal panjar memungkinkan untuk
ditambah demi kepentingan perkara, maka jatuhlah verstek, karena putusan
verstek bagi hakim juga lebih sederhana membuat konsep putusannya
dimana telah tersedia pada master SIADPA, apabila Panitera Pengganti
telah menjalankan tugasnya dengan membuat Berita Acara Sidang tepat
waktu, maka putusan verstek dapat seketika diprint out tanpa banyak
disentuh hakim. 29
Secara empirik, hukum perkawinan dan undang-undang pengadilan agama
juga memberi peluang mudahnya terjadi perceraian sehingga pasangan suami
isteri bisa melakukan banyak pilihan. Misalnya mekanisme verstek dalam proses
pemeriksaan perkara. Pihak yang tidak datang setelah dipanggil dengan patut
dan resmi akan dengan mudah perkaranya diperiksa dengan verstek yang lebih
mudah dilakukan. Selain itu, suami isteri ketika memutuskan bercerai pada
umumnya sudah sepakat terlebih dahulu sehingga jalan yang lebih cepat
memeriksa perkara akan ditempuhnya di pengadilan agama. Verstek digunakan
oleh pasangan suami isteri sebagai jalan mempercepat pemeriksaan perceraian.
Selain menggunakan pintu verstek, proses pemeriksaan melalui
permohonan cerai gugat lebih efekif dan efisien dilakukan oleh pasangan suami
isteri dibanding denga cerai talak. Cerai gugat dipilih olah pasangan suami isteri
baik para pihak hadir atau pihak tergugat tidak hadir ternyata lebih efektif dari
segi waktu pemeriksaan dan efisien dari segi biaya. Dari segi waktu cerai gugat
rata-rata menghabiskan waktu 2 bulan sedangkan cerai talak rata-rata
menghabiskan waktu 3 bulan. Demikian pula dengan hal biaya. Cerai gugat rata-
rata memerlukan biaya lebih murah dibanding cerai talak. 30
Adanya peraturan perundangan yang mengatur permohonan cerai bisa
diajukan oleh kedua belah pihak telah dimanfaatkan oleh pasangan suami isteri
guna menyelesaikan problem rumah tanggnya secara efektif dan efisien
sehingga secara empirik peraturan tersebut mendorong kemudahan menyele-
saikan sengketa perkawinan.
5. Peran Aktif Negara
Tingginya angka perceraian dalam keluarga muslim Indonesia tidak serta
merta menjadikan pengadilan agama sebagai lembaga yang “tersangka”
mempermudah proses perceraian. Ada logika hukum yang bisa memperkuat
bahwa tingginya angka cerai bukan melulu menjadi tanggungjawab pengadilan
agama. Seperti halnya, apabila banyak orang yang sakit, maka tidak perlu
menyalahkan rumah sakit, kementerian kesehatan atau produsen obat. Itu murni
ada pada diri para pihak.
Namun demikian, pada prinsipnya bahwa guna menekan tingginya angka
perceraian diperlukan sinergi dari semua pihak, dari hulu sampai hilir. Di sinilah
peran negara menjadi penting untuk mengintervensi kebijakan pembangunan
29 Ibid, h. 3 30 Wawancara dengan Zeni Hamdadin dan M Burhan, Advokat di Pengadilan Agama
Cimahi, 6 April 2017
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 171
keluarga yang tangguh dengan merevitalisasi peran pendidikan pra nikah bagi
calon pengantin. Melalui pendidikan pra nikah, para calon pengantin dapat
memperoleh bekal yang memadai guna melangsungkan dan menempuh
kehidupan berkeluarga. Sekarang ini kerap terjadi bahwa pasangan pengantin
demikian mudah dan terjun bebas memasuki perkawinan tanpa dibekali ilmu
tentang berumah tangga. Mereka pun kurang memahami apa filosofi
membangun keluarga, apa itu arti sakinah mawaddah warrahmah dan visi
berumah tangga. Karena itu, sangat penting dibutuhkan pendidikan pra nikah
bagi calon pengantin. Seringkali terdengar bahwa pendidikan anak itu penting,
padahal yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan orang tua, karena
menjadi orang tua itu tidak sederhana, butuh pengetahuan, dan harus
dipersiapkan.
Pemerintah mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan pendidikan
bagi calon pengantin. Selain itu, pemerintah juga punya andil di dalam memacu
beberapa pemerintah daerah guna menyelenggarakan apa yang disebut sebagai
program “Peduli Keluarga”. Dari program ini nantinya dirumuskan kota
predikat minim perceraian dan diberikan pernghargaan kepada mereka yang
mampu menekan angka perceraian yang terjadi sepanjang tahun. Penghargaan
ini bagian dari penilaian pemerintah pusat memberikan penghargaan adipura
atau penghargaan lainnya.31
Pemerintah sudah saatnya mewajibkan (bukan formalitas dilaksanakan)
agar seluruh calon pengantin untuk mengikuti pendidikan pra nikah. Prinsip
mempersulit atau mempersukar perkawinan perlu dilakukan sehubungan atas
rentannya ikatan perkawinan dalam keluarga muslim Indonesia. Mempersulit
perkawinan berarti setiap calon pengantin diwajibkan menempuh pendidikan pra
nikah yang dilaksanakan secara sungguh-sunggguh, terpenuhi usia perkawinan
yakni 20 dan 25 Tahun bagi wanita dan pria. Kebijakan tersebut akan
memberikan konsekwensi pada peraturan lainnya, antara lain berupa edaran
tentang kewajiban lembaga/instansi memberikan ijin bagi karyawan/pegawainya
untuk mengikuti pendidikan bagi calon pengantin secara intensif. Selama ini
Suscatin (kursus calon pengantin) terkendala pelaksanaannya karena tidak
adanya ijin dari perusahaan/instansi tempat bekerja. Pemerintah perlu menyusun
kurikulum Suscatin yang ideal dengan memberikan ruang bagi pengembangan
penyelenggara Suscatin. Walaupun selama ini sudah ada aturan akreditasi
lembaga penyelenggara Suscatin, akan tetapi belum berjalan. Kekokohan ikatan
perkawinan akan semakin kuat apabila pendidikan pra nikah dimasukan dalam
kurikulum pendidikan formal. Materi-materi pendidikan pra nikah meliputi
hukum keluarga/fiqh munakahat (termasuk hak dan kewajiban suami isteri),
31 Riyan Ramdani, (Advokat Pengadilan Agama Cimahi), Hasil Wawancara, Bandung, 18
September 2017)
172 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
manajemen ekonomi keluarga, managemen konflik keluarga, psikologi keluarga
dan kesehatan reproduksi. 32
Intervensi pemerintah menyiapkan generasi pasangan suami isteri yang
kokoh dalam sejumlah regulasi dan kebijakan merupakan bukti nyata atas sikap
tanggap darurat perceraian dalam keluarga muslim Indonesia. Negara, melalui
sejumlah kementerian terkait dapat memberikan reward kepada pemerintah
daerah yang mampu menekan jumlah angka perceraian setiap tahun setelah
keterlibatan negara terhadap keluarga melalui sejumlah regulasi dan kebijakan
dilakukan. 33
32 Bandingkan dengan tulisan Sururin dan Moh Muslim, Pendidikan bagi Calon
Pengantin, dalam http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/ 123456789/34573/1/ Sururin-
muslim.pdf, diakses 30 September 2017 33 Sejauh ini pemerintah melalui Kemenkumham misalnya telah memberikan
penghargaan terhadap pemerintah daerah yang dinilainya mampu meningkatkan berbagai
indikator sadar hukum, diantaranya minimnya perkawinan di bawah umur. Namun demikian,
indikator ini masih bisa diperluas dengan tambahan rendahnya angka perceraian. Lihat dalam
http://megapolitan. kompas. com/read/2017/10/09/16210811/wujudkan-kelurahan-sadar-hukum-
djarot-terima-penghargaan-ke-menkumham.
BAB VII
PENUTUP
A. Ketahanan Perkawinan dan Masa Depan Keluarga
Jelas sudah, apabila angka-angka perceraian diperhatikan di lembaga-
lembaga resmi, mudahlah untuk bertanya apakah keluarga masih mempunyai
masa depan? Apakah sebuah perkawinan itu hanya sebuah perangkap? Apakah
perkawinan membuat bahagia atau sangat menyedihkan, atau apakah kumpul
kebo merupakan masalah atau justeru merupakan jalan keluar dari kesulitan
dalam perkawinan yang lebih mendasar ?. Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja
tidak bisa diabaikan. Pertanyaan-pertanyaan itu membutuhkan suatu kajian
khusus dan mendalam.
Dari berbagai literatur sosiologi keluarga, terutama beberapa survey yang
dilakukan di Amerika, sebagaimana yang dilakukan oleh Paul B. Horton dan
Chester L. Hunt dapat dibuktikan bahwa sebuah keluarga tidak akan lenyap.
Angka perbandingan yang menyatakan bahwa satu dari dua perkawinan berakhir
dengan perceraian tidak bisa di benarkan, karena secara tidak langsung
mengatakan bahwa setengah dari orang yang kawin berakhir dengan perceraian.
Namun salah seorang ahli keluarga lainnya yakin bahwa keluarga batih akan
ambruk dan digantikan dengan pasangan “bebas” berganti-ganti, tidak terikat
anak, kawan dekat, dan tetangga sebagaimana ditemukan pada masa-masa lalu.
Sebaliknya, beberapa ahli keluarga meramalkan bahwa dalam dekade yang akan
datang keluarga akan menjadi semakin terstruktur dan tradisional. Oleh karena
itu, keluarga batih akan tetap bertahan karena belum pernah ada masyarakat yang
kompleks yang dapat bertahan tanpa keluarga batih.
Dengan demikian, tidak ada keraguraguan mengenai apakah sebuah
keluarga akan bertahan, namun arah perubahan keluarga tidak dapat diramalkan
secara pasti.
Sehubungan dengan itu, pada bagian ini penulis mencoba uraikan beberapa
perubahan dalam keluarga dari dulu hingga sekarang, yang sekaligus menjadi
tantangan bagi ketahanan keluarga pada masa yang akan datang.
1. Perubahan Struktur Keluarga
Gerakan kebebasan wanita mendorong kaum wanita untuk memandang
pemeliharaan anak sebagai suatu pilihan bukan suatu kewajiban. Proporsi
pasangan yang memilih untuk tetap tanpa anak sangat meningkat dan makin
banyak wanita yang menunda menjadi ibu.
Banyak faktor yang bisa dijelaskan mengapa keluarga jumlah anggotanya
semakin kecil. Motivasi untuk menginginkan keluarga yang semakin kecil
174 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
menuntun kita pada sejumlah aspek budaya lainnya. Pergeseran dari masyarakat
tani, buta huruf, melek huruf, terspesialisasi dan terindus-trialisasi telah
mengubah peran anak dari asset ekonomi menjadi beban ekonomi. Pendapat yang
mengatakan banyak anak banyak rezeki, telah berubah menjadi banyak anak
beban ekonomi. Oleh karena itu, perubahan nilai dan perubahan ekonomi,
semuanya terlibat dalam perubahan besarnya jumlah anggota keluarga.
2. Perubahan Fungsi Keluarga
Keluarga adalah lembaga sosial satu-satunya di tengah-tengah masyarakat.
Pada masyarakat tradisional, peran keluarga sangat besar, bahkan lembaga-
lembaga sosial lainya lahir pada mulanya dari keluarga. Dengan meningkatnya
jumlah anggota masyarakat dan suku di daerahnya, maka semakin kompleklah
kebudayaan suatu masyarakat. Para kepala keluarga kemudian bergabung dalam
“dewan suku” untuk mengatur dan menertibkan masyarakat. Dari sinilah kiranya
suatu birokrasi dalam urusan masyarakat mulai di adakan yang menuntut adanya
suatu organisasi yang lebih formal. Di bentuknya “dewan suku” ternyata
membawa suatu dampak “ekspansif:” terhadap daerah lainnya yang kemudian
mendorong lahirnya peperangan. Peperangan kemudian diangap sebagai
penyebab utama munculnya organisasi politik. Kemudian akhirnya peranan dan
fungsi keluarga lambat laun tapi pasti mengalami pergeseran. Perubahan fungsi
itu tidak lagi bisa di tangani oleh keluarga, tetapi oleh lembaga-lembaga di luar
keluarga.
Kebutuhan ekonomi (fungsi ekonomi) dapat dikerjakan dalam keluarga,
membuat ukiran dan memproduksi makanan dikerjakan dalam keluarga.
Sekarang fungsi ekonomi sudah beralih pada lembaga-lembaga ekonomi.
Hubungan dengan keluarga yang didasari atas kepentingan ekonomi, perlahan-
lahan mulai hilang. Bahkan mungkin juga hubungan itu semakin memudar.
Kebutuhan akan perlindungan pada masa lalu dilakukan oleh keluarga.
Ayah adalah pelindung yang sejati bagi keluarganya. Dia memberikan rasa aman
bagi anggota-anggota yang lainnya dari berbagai jenis serangan, baik musuh atau
hewan buas. Demikian sebaliknya, orang tua yang semakin tua kemudian
dilindungi oleh anak-anaknya dirumah. Hu-bungan berjalan seimbang antara
anggota keluarga. Sekarang, fungsi perlindungan itu telah beralih ke luar
keluarga. Polisi, tentara dan orang-orang bayaran dapat menjadi pelindung ba-gi
keluarga. Fungsi ayah sebagai pelindung, atau fungsi perlindungan keluarga
semakin memudar, bahkan orang tua yang sudah jompo, tidak lagi disediakan
tempat dalam ke-luarga melainkan dititipkan pada lembaga lain di luar keluarga
yang mampu melinduginya.
Fungsi pendidikan dalam keluarga sudah lama diambil alih oleh lembaga
pendidikan. Pada masyarakat tradisional dan tidak memiliki lembaga pendidikan,
anak-anak mempelajari segala sesuatu yang perlu mereka ketahui dengan cara
menyaksikan apa saja yang sedang berlangsung dan membantu suatu pekerjaan
apabila dianggap praktis.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 175
Untuk mengajar seorang anak berburu, tidaklah diperlukan sekolah. Ayah
anak itu akan memberinya cara bagaimana dia berburu. Cara semacam ini
merupakan bentuk pe-ngajaran yang mungkin mirip dengan pendidikan.
Pengajaran semacam itu merupakan salah satu bagian dari fungsi pen-didikan
dalam keluarga.
Sekolah mulai lahir pada saat kebudayaan sudah sangat kompleks, sehinga
pengetahuan yang dianggap perlu tidak mungkin lagi ditangani dalam lingkungan
keluarga. Seiring dengan perkembangan kerajaan-kerajaan, diperlukan suatu
petugas khusus dalam memungut pajak. Kita dapat membayangkan bagaimana
suatu sistem masyarakat pada saat itu berkembang dengan beberapa generasi
hingga akhirnya melahirkan seorang guru.
Pada masa inilah lembaga-lembaga pendidikan itu lahir 1. Perubahan
masyarakat yang membutuhkan semakin banyak keahlian dan pelbagai macam
pengetahuan telah menyebabkan keluarga bukan lagi sebagai tempat yang efisien
untuk memenuhi kebutuhan pendidikan. Dan pada saat yang sama keluarga sudah
tidak mampu dan memiliki kesempatan untuk mendidik anaknya dalam waktu
yang cukup lama 2.
Dalam fungsi biologis, pada umumnya masih banyak yang dilakukan secara
resmi dalam keluarga dalam ikatan perkawinan. Namun dewasa ini anak-anak
remaja telah merasakan untuk melakukan hubungan seksual sebelum me-nikah.
Kendatipun angka resmi mengenai hubungan seksual bagi kalangan remaja di
Indonesia masih sangat umum, namun sejumlah riset di Amerika
menggambarkan bahwa tidak banyak perubahan prilaku seksual pra nikah antara
tahun 1948 sampai tahun 1965, namun setelah tahun 1965 wanita mulai
melampaui angka pria dengan sekitar empat dari lima wanita telah mengalami
hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan sejumlah tulisan lainnya yang cukup
mengejutkan bahwa perkawinan perawan relatif sudah menjadi tidak umum dan
mungkin akan menghilang dalam waktu dekat.
Demikian pula terhadap fungsi reproduksi. Dewasa ini dalam kehidupan
keluarga, jumlah anak sangat terbatas sampai 3 orang. Mengecilnya jumlah
anggota keluarga, terle-pas dari implikasi ekologis, mungkin diharapkan sebagai
peningkatan keharmonisan keluarga. Sejumlah hasil penelitian melaporkan
bahwa keluarga yang lebih kecil kurang mengalami stress, lebih sejahtera dan
paling memuaskan bagi suami isteri, orang tua dan anak-anak. Bahkan anak-anak
dalam keluarga yang lebih kecil jauh lebih sehat dan kreeatif.
3. Perubahan Nilai Perceraian
1 Lahirnya lembaga pendidikan membawa fungsi manifes dan laten. Fungsi manifes
pendidikan ialah mengembangkan potensi seseorang untuk mengembangkan masyarakat,
mewariskan kebudayaan dalam berbagai generasi, mengembangkan kemampuan berfikir dan
mening-katkan kemampuan adaptasi melalui suatu bimbingan. Fungsi laten pendidikan ialah
menciptakan sikap tidak dewsa 2 Setelah revoilusi Rusia, Uni Soviet mencoba memisahikan anak-anak dari orang tuanya
dan membesarkannya di tempat khusus dengan harapan ibunya mampu bekerja diluar rumah
secara bebas dan anaknya dididik secara ilmiah. Kini di Soviet sekolah dan keluarga bekerjasama
untuk mensosialisasikan anak demi kepatuhan dan altruisme.
176 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Perceraian merupakan objek menyakitkan bagi yang tidak menerimanya
sebagai bagian integral dalam keluarga modern. Dalam keluarga Amerika,
beberapa petani di pelosok-pelosok menikah tiga kali dan biasanya masih
mempunyai beberapa kekasih gelap tanpa menyebutnya sebagai sesuatu yang
mengerikan. Peningkatan jumlah perceraian mungkin disebabkan oleh beberapa
hal, antara lain (a) menurunnya harapan peran berdasarkan seks memungkinkan
suami dan isteri tidak sepakat mengenai hak dan kewajibannya (b) indi-
vidualisme dalam kehidupan modern yang meningkat, menjadikan pasangan
suami isteri makin kurang memiliki cita rasa dan tata nilai yang sama (c)
ketergantungan ekonomis wanita terhadap pria semakin menurun. Oleh karena
itu, wanita bisa memiliki tanggung-jawab yang sama secara ekonomis (d) per-
ceraian sudah semakin umum diterima dan tidak lagi dianggap sebagai keaiban
(e) perceraian berkembang dengan sendirinya karena melihat saudaranya, orang
tua atau sahabat yang bercerai.
Perubahan-perubahan yang mempengaruhi tingkat perceraian dalam
masyarakat ialah 3;
1. Perubahan pada nilai dan norma tentang perceraian. Masyarakat menilai
bahwa perceraian bukan sesuatu yang memalukan dan harus dihindarkan;
2. Perubahan lingkungan sosial keluarga, teman dan tetangga terhadap
ketahanan perkawinan. Dahulu, keluarga, teman dan tetangga sangat
bertanggungjawab terhadap keber-langsungan kehidupan perkawinan yang
sedang goyah. Perceraian menyebabkan seseorang kehilangan lingkungan
sosialnya, namun kini semua telah berubah;
3. Adanya pilihan bagi suami isteri apabila bercerai. Ber-tambahnya banyak
kemudahan yang bisa diperoleh oleh suami dan isteri di masyarakat
menyebabkan ketergan-tungan suami dan isteri menjadi kurang. Tanpa
pelayanan isteri, seorang laki-laki dapat memenuhi kebutuhan bio-logisnya.
Rumah makan, kedai minum dan hotel, panti pijat serta rumah bordir
memungkinkan terjadinya hal itu;
4. Adanya tuntutan kesamaan hak antara laki-laki dan pe-rempuan. Dalam
masyarakat industri dewasa ini mem-berikan peluang kepada manusia untuk
bersaing bukan lagi berdasarkan jenis kelamin melainkan berdasarkan prestasi
individu. Perbedaan etos ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa
terhadap ketegangan hubungan suami-isteri;
Uraian di atas menggambarkan arah perubahan keluarga yang sedang
berlangsung. Bagi sebagian orang barangkali sangat mencemaskan, menerimanya
dengan pasrah dan sebagian lagi mencoba untuk mempertanahkan nilai-nilai
tradisional yang semala ini dianut. Oleh karena itulah pertanyaan yang paling
penting bukan apakah sebuah keluarga akan mampu bertahan dengan ikatan
perkawinan yang kokoh ? tetapi, bagaimana keluarga tetap menjadi sebuah
3 William J Goode, Family Disorganization sebagaimana dikutif dalam Erna Karim, dalam
Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor Indonesia, 1999 hal. 143.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 177
keluarga ? di tengah-tengah suami isteri harus bekerja di luar rumah, angka
perceraian yang semakin meningkat, modernisasi yang merubah hubungan antar
anggota keluarga, hilangnya keakraban dan kehangatan dengan lingkungan
tetangga dan dunia yang semakin acuh tak acuh yang sangat impersonal dan
keras.
4. Hidup Bersama Tanpa Menikah
Pasangan yang hidup bersama tanpa menikah tidak diakui sebagai keluarga
oleh Biro Sensus Amerika Serikat. Menurut Biro Sensus Amerika, yang
dinamakan keluarga ialah dua orang atau lebih yang memiliki hubungan darah,
perkawinan atau adopsi dan tinggal bersama dalam suatu rumah tangga.
Dalam kenyataannya, praktek umum keluarga mencakup semua kegiatan
hubungan antar manusia. Para sosiolog tidak merasa puas dengan definisi yang
dikemukakan oleh Biro Sensus Amerika tersebut karena definisi tersebut
mengabaikan pengertian keluarga luas yang merupakan lembaga sosial yang
paling mendasar dalam kehidupan manusia.
Definisi keluarga yang bersifat sosiologis ialah suatu kelompok
kekerabatan yang menyelenggarakan pemeliharaan anak dan kebutuhan
manusiawi tertentu lainnya. Pandangan keluarga secara sosiologis ini sangat luas
karena melihat ke-luarga dalam usaha mempertahankan cara-cara hidup yang bisa
diandalkan misalnya dengan menentukan pasangan, melahirkan dan
membesarkan anak, memenuhi kebutuhan ekonomi, memelihara orang jompo
dan menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Dari persfektif inilah, hidup bersama
tanpa menikah menemukan bentuknya yang penting untuk mendapatkan kajian
dalam sosiologi keluarga.
Pada beberapa negara maju, hidup bersama di luar nikah merupakan tahap
lain dari proses saling mengenal tanpa suatu komitmen yang tegas untuk
menikah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Macklin memperkirakan bahwa
seperempat dari para mahasiswa yang ada di Amerika telah mempraktikkan hidup
bersama, setengahnya lagi akan menerima hidup bersama di luar nikah jika
muncul partner yang bisa diterima dan seperempatnya lagi tidak mau
mempraktikannya 4.
Walaupun sebagian besar pasangan yang hidup bersama tidak membuat
suatu komitmen yang tegas untuk menikah, tetapi kebanyakan sungguh menikah
juga, atau kalau tidak mereka berpisah sementara untuk beberapa tahun. Hanya
sedikit saja dari mereka yang memilih untuk hidup bersama tanpa menikah
sebagai gaya hidup yang tetap 5.Pola hidup bersama tanpa menikah ini
dianggapnya sebagai persiapan untuk mereka kelak menikah.
Adanya percobaan untuk hidup bersama tanpa menikah yang dapat
mencegah terjadinya ketidak harmonisan dan ketidak bahagiaan dinyatakan
4 Eleanor D Macklin, “Review of Research on nonmarital Cohabition in United State,” in
Bernand I. Murstein (ed) Exploring Intimate Lifestyle, Springer Publishing Co., Inc., New York,
1978, hlm, 213. 5 Ibid, hlm. 234
178 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
sebagai ungkapan yang berlebihan, bahkan pada tingkat yang lebih kongkrit
belum ada bukti yang meyakinkan dalam hal ini. Bahkan sebaliknya, hasil survey
yang akurat menunjukkan bahwa hidup bersama tanpa menikah bukan
merupakan jaminan keberhasilan perkawinan bagi mereka yang akan menikah 6.
Dengan demikian, hidup bersama tanpa menikah telah diterima secara luas
sebagai masa persiapan untuk menikah namun sedikit sekali manfaatnya bagi
perkawinan dan keluarga.
Pada masyarakat Eskimo, adanya keluarga di luar ikatan perkawinan pada
batas tertentu ditolelir oleh masyarakat setempat, bahkan untuk menghormati
tamunya yang terpandang, para isteri disuruh tidur dengan tamunya tersebut
sebagai tanda penghormatan.
Praktek hidup bersama di luar pernikahan dapat pula ditemukan pada
masyarakat Indonesia, seperti di daerah pulau Kei, Flores dan Mentami. Sistem
perkawinannya mengijinkan anak-anak gadisnya mengadakan hubungan kelamin
dengan laki-laki sebelum menikah 7. Demikian pula pada masyarakat di daerah
banjarnegara, mengijinkan anak laki-lakinya melakukan relasi seks dengan
pelacur atau penari sebagai suatu peristiwa iniasi menuju kedewasaan yang
dinamakan gowokan 8.
Di Indonesia sendiri, tingkat orang yang hidup bersama tanpa menikah
masih cukup tinggi terutama terjadi pada kalangan keluarga pra sejahtera yang
berada di garis kemiskinan. Kasus-kasusnya dapat ditemukan pada keluarga
pemulung, gelandangan, pengemis dan sebagainya yang tempat tinggal mereka
berada di daerah pinggiran kota yang tidak layak huni. Tingkat keluarga tanpa
menikah ini sangat signifikan jumlahnya pada saat diselenggarakan suatu
perkawinan massal 2000 yang diselenggarakan mahasiswa UI. Jumlahnya
mencapai ratusan pasangan untuk wilayah DKI Jakarta. Mereka bukanlah
pasangan muda-mudi melainkan sudah cukup umur bahkan sudah memiliki
banyak anak. Oleh karena itu, tidak heran jika acara resepsi yang di adakan di
Istora Senayan Jakarta itu diramaikan oleh teriakan anak-anak mereka yang ikut
menyaksikan pernikahan orang tuanya 9.
B. Rekomendasi
Melihat perkembangan yang dinamis dalam kehidupan keluarga yang
meliputi perubahan pola hubungan suami isteri, anak, dan lingkungan sekitar,
tekanan industri yang demikian kencang terhadap sendi-sendi keluarga, serta
tingginya angka perceraian panaslak jika dikemukakan bahwa keluarga-keluarga
Indonesia darurat untuk dikokohkan kembali dan direvitalisasi kembali.
6 Ibid, hlm. 228 7 Sarinah Sukarno, Tanpa Judul. Panitia Penerbit Buku-buku Karangan Presiden
Soekarno, Jakarta, 1963, hlm. 39. 8 Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jilid I). Rajawali Press, Jakarta, 1997, hlm. 180-181 9 Yeny Magfiroh, “Nikah Massal 2000 Membawa Pesan Reformasi untuk KUA”, dalam
Republika Edisi Jum’at 24 Maret 2000
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 179
Penataan institusi keluarga wajib dilakukan mulai dari hulu dan hilir. Dari
hulu disiapkan beragam pendidikan keluarga bagi calon pasangan suami dan
isteri, di tengah kehidupan perkawinan mereka, tersedia ruang-ruang konseling
yang siap sedia memberi ruang bagi keluhan hubungan suami isteri secara masal
melalui kebijakan negara dan masyarakat serta keterlibatan pengadilan agama
memberikan kesukaran dalam proses perceraian.
Oleh karena itu, beberapa langkah yang bisa dilakukan guna mengatasi
konsolidasi keluarga muslim indonesia menjadi keluarga yang kokoh yaitu :
1. Mahkamah Aguang
a. Dalam proses persidangan, hakim-hakim di PA/MS diwajibkan melakukan
upaya perdamaian terlebih dahulu kepada pasangan berperkara yang ingin
bercerai. Hal ini sesuai dengan Hukum Acara Peradilan Agama yang antara
lain bersumberkan Hukum Acara Perdata Umum (Herzien Inlandsch
Reglement/ Rechtreglement voor de Buitengewesten atau kerap disingkat
HIR/RBg). Disebutkan dalam Pasal 130 HIR dan pasal 154 RBg, bahwa
pada permulaan persidangan, sebelum pemeriksaan perkara, hakim wajib
mendamaikan antara para pihak berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh
hakim dibuat Akta Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai putusan.
Namun jika tidak berhasil maka dilanjutkan pada tahapan sidang berikutnya.
Harapannya, ada reward yang memadai bagi hakim-hakim yang mampu
mendamaikan pihak-pihak yang berperkara baik dalam proses mediasi
maupun upaya mendamaikan di dalam persidangan. Misalnya, bagi hakim
yang selama 1 tahun menjalankan sidang perceraian dan mampu
mendamaikan pihak dalam proses mediasi maupun di dalam persidangan
sebanyak 25 perkara diberikan kemudahan promosi jabatan dan mutasi
dalam waktu yang singkat.
b. Memaksimalkan proses mediasi di pengadilan agama oleh para hakim dan
non hakim. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016
mewajibkan untuk perkara-perkara tertentu, termasuk untuk perceraian, agar
melalui proses mediasi setelah dilakukan sidang pertama. Mediasi dilakukan
pada pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali
sepanjang perkara tersebut belum diputus (Pasal 21). Selain itu, dalam Perma
2016 disebutkan bahwa mediator dapat dari dalam maupun luar pengadilan
(Pasal 4 ayat 1), hakim dan non hakim. Secara umum, Perma 2016 memberi
penekanan pada peranan mediator yang lebih luas dalam proses mediasi.
Bahkan disebutkan bahwa tidak menempuh prosedur mediasi mengakibatkan
putusan batal demi hukum (Pasal 2 Ayat 3). Selain itu juga, adanyaa
pengaturan pasal itikad baik dan itkad tidak baik.Bagi pihak yang bertikad
tidak baik dalam proses mediasi akan memperoleh sanksi, yaitu perkaranya
tidak diterima jika masuk dalam persidangan, membayar biaya perkara dan
membayar jasa mediator.
c. Memperbaiki Pemeriksaan dalam Putusan Verstek
180 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Belakangan ini, kasus perceraian yang diputus oleh pengadilan agama rata-
rata dikisaran 70% merupakan perkara yang diputus dengan cara verstek.
Sungguhpun putusan verstek itu legal dan beralas hukum, namun menyimpan
beberapa kelemahan, khususnya dalam pemeriksaan perkara perceraian.
Yaitu, ketika tergugat/termohon tidak pernah hadir selama persidangan,
maka hakim tidak dapat mengupayakan perdamaian sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-Undang. Kemudian hakim hanya mendasarkan
pada pembuktian yang diajukan penggugat/ pemohon sehingga tidak terdapat
keseimbangan dalam pembuktian, upaya mediasi oleh mediator kepada
kedua pihak berperkara tidak mungkin dilakukan. Majelis hakim paling
hanya mampu menasehati Penggugat agar tidak bercerai dengan berbagai
pertimbangan, dan itupun tidak bisa dipaksakan, alias kembali kepada
Penggugat.
Selain itu, putusan verstek meskipun telah memenuhi ketentuan peundang-
undangan tetapi masih menyisakan rasa ketidak adilan dari sudut kebenaran
materiil, sebab tidak melalui jawab menjawab (replik-duplik) dan tidak
berdasar fakta kongkrit yang telah terbukti, pengambilan putusan secara
sepihak karena hakim memandang ada kelalaian tergugat memenuhi
panggilan hakim, sehingga hak-haknya untuk memberikan jawaban gugur
dengan sendirinya. Berdasarkan kelemahan itulah, pemeriksaan perceraian
menjadi mudah, cepat dan memungkinkan terjadi putusan yang tidak adil
dengan lahirnya perlawanan atas putusan verstek melalui upaya hukukm
verzet. Oleh karennya diperlukan kehati-hatian terutama jika pemeriksaan
perceraian dengan tidak hadirnya tergugat. Beberapa aspek yang perlu
dipertahankan dan diperbaiki diantaranya:
1) Pemangilan dilakukan dengan dua helai panggilan. Meskipun tidak
wajib melakukan dua panggilan, namun guna memastikan bahwa
panggilan sah secara hukum, yaitu patut dan resmi maka panggilan
sidang dilakukan dengan dua lembar panggilan, yaitu diserahkan melalui
kantor desa dan alamat prinsipalnya;
2) Mewajibkan pihak-pihak yang berperkara dalam perkara perceraian
hadir. Di kabupaten Cianjur, berdasarkan wawancara dengan hakim
Pengadilan Agama Cianjur diketahui bahwa khusus PNS yang akan
bercerai wajib hadir keduanya di persidangan, hal ini dimaksudkan
sebagai kebijakan bupati dan kemenag agar kedua belah pihak bisa
didamaikan sebelum persidangan oleh pengadilan agama sebagai
benteng negara yang paling ahir dalam kemelut rumah tangga. Demikian
pula, bagi perceraian yang bukan non PNS bisa diterapkan setelah
dilakukan perubahan dan perbaikan hukum acara perdata di pengadilan
agama;
3) Mendisiplinkan juru sita. Masih ada Jurusita/Jurusita Pengganti, yang
tidak konsisten terhadap tugasnya yaitu ; menyampaikan panggilan
kepada para pihak khususnya kepada (T), terkadang justru memihak dan
mengajari (T/suami) dengan menyatakan “kalau mau menerima putusan
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 181
cepat” agar tidak usah menghadiri persidangan, cukup menandatangani
relaas panggilan ini, nanti putusannya akan dibawakan lagi”. Di sisi lain
yang sering merupakan kesengajaan terselubung dari Jurusita/Jurisita
Pengganti adalah tidak berupaya sedemikian rupa untuk menemui (T)
dengan tujuan tertentu dan masih ditemukan Jurusita/Jurusita Pengganti
yang menggunakan kurir non pegawai (tukang ojek) untuk
melaksanakan pemanggilan (tidak resmi) sehingga instrument panggilan
berulang-ulang dengan maksud agar biaya pemanggilan menguntungkan
dirinya. Atas kenyataan ini, Jurusita/Jurusita Pengganti sudah
semestinya diberikan diberikan hukuman disiplin sesuai ketentuan yang
berlaku baik dengan cara menghentikan sementara, atau menghentikan
secara total atau paling kurang dengan memutasi (memindahkan) ke
Pengadilan Agama yang lain agar kebiasaan buruknya itu diharapkan
berubah.
2. BP4
a. Pembentukan BP4 secara nasional tahun 1960 dan dikukuhkan oleh
Keputusan Menteri Agama No 85/1961 bertujuan untuk mempertinggi
kualitas perkawinan, mencegah perceraian sewenang-wenang dan
mewujudkan rumah tangga yang bahagia sejahtera menurut tuntunan
agama Islam. Keputusan Menteri itu menyebutkan bahwa BP4 adalah
sebagai satu-satunya badan yang bergerak dalam bidang penasihatan
perkawinan, talak dan rujuk dan upaya untuk mengurangi angka
perceraian yang terjadi di Indonesia. Sampai sekarang, dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya BP4 terus melaksanakan fungsinya sesuai
dengan tujuannya dan perkembangan, antara lain memberikan
penasihatan, advokasi, mediasi dan pelatihan. Selain itu, peran BP4 yang
menyejarah di Indonesia dalam hal keterlibatannya mengokohkan ikatan
perkawinan sudah selayaknya diberi kesempatan dalam bentuk kewajiban
menjalankan peran mediator di luar pengadilan bagi para pihak yang akan
atau sedang berperkara ke pengadilan. Keterlibatan BP4 sebagai lembaga
mediasi, konsultasi dan penasihatan dilakukan para pihak mendaftarkan
diri ke pengadilan agama;
b. Keteribatan BP4 ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 3
Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawai-pegawai Nikah dan Tata Kerja
Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundangan-
Undangan Perkawinan bagi yang Beragama Islam. Di dalam Pasal 28
Ayat (3) dan Pasal 30 Ayat (2) disebutkan bahwa Pengadilan Agama
setelah mendapat penjelasan tentang pengajuan perceraian, berusaha
mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan Badan
Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat agar
suami-isteri dapat hidup rukun lagi. Akibat adanya peraturan ini, bahkan
dalam prakteknya, terjadi bahwa sebelum ke PA, suami-isteri itu terlebih
dahulu datang ke BP4.
182 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
3. Pemerintah Pusat
Pemerintah sudah saatnya mewajibkan (bukan formalitas dilaksanakan)
agar seluruh calon pengantin untuk mengikuti pendidikan pra nikah.
Prinsip mempersulit atau mempersukar perkawinan perlu dilakukan
sehubungan atas rentannya ikatan perkawinan dalam keluarga muslim
Indonesia. Mempersulit perkawinan berarti setiap calon pengantin
diwajibkan menempuh pendidikan pra nikah yang dilaksanakan secara
sungguh-sunggguh, terpenuhi usia perkawinan yakni 20 dan 25 Tahun
bagi wanita dan pria. Kebijakan tersebut akan memberikan konsekwensi
pada peraturan lainnya, antara lain berupa edaran tentang kewajiban
lembaga/instansi memberikan ijin bagi karyawan/pegawainya untuk
mengikuti pendidikan bagi calon pengantin secara intensif.
Pemerintah pusat juga bisa memberikan reward atau penghargaan kepada
pemerintah daerah yang berhasil menekan jumlah angka perceraian dari
tahun sebelumnya.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 183
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Manan. (2012). Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama. Jakarta: Kencana.
Abdul Munir Yacob. (1995). Pelaksanaan Undang-Undang dalam Mahkamah
Syariyah dan Mahkamah Sipil di Malaysia. Kuala Lumpur: Institut
Kefahaman Malaysia.
Abdullah Tri Wahyudi. (2004). Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Abu Muhammad Mahmud Ibn Ahmad al-Aynayni. (t.t.). al-Bidãyah fi Syarh al-
hidãyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Abu Dawud Sulayman bin al-Asy`ats. (t.t.). Sunan Abiy Dâwud. Beirut: Al-
Maktabah al`Asyriyah
Abu Hâmid Muhammad al-Ghazâliy. (t.t.). Ihya’ `Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-
Ma`rifah.
Abu Muhammad Muwaffiquddin bin Qudamah. (1968). Al-Mughniy li Ibn
Qudâmah. Kairo: Maktabah al-Qahirah.
Achmad Ali. (2009). Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-undang
(Legisprudence). Jakarta: Kencana.
Ahrons Constante. (1979). “The binuclear family,” Alternative Life Styles
Alauddin at Tharablisi. (t.t.). Muin Al Hukkam: Fi ma yataraddadu baina al
khasamaini min al Ahkami.. Beirut : Dar al Fikr
Alfred Cahen. (1932). Statistical Analysis of American Divorce. New York:
Columbia University Press.
Ali al-Sayis. (2002). Tafsir ayat al-ahkam. (Beirut: Dar al-fikr, 2002), hlm 705
juz I.
Al-Nasâ`iy Abu `Abdurrahman Ahmad bin Sya`ayb. (1986). Al-Mujtabâ min al-
Sunan. Halab: Maktabah al-Mathbû`ât al-Islâmiyah.
Al-Rãghib al-Ashfahani. (t.t.) al-Mufradãt fĩ Gharĩb al-Qur’an. Beirut: Dar al-
Ma‟rifah.
BKKBN. (2011). Profil Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2011, Jakarta: Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Direktorat Pelaporan
dan Statistik.
Cahyadi Takariawan. Wonderful Couple. (Solo: P.T Era Adicitra Intermedia,
2015). Hlm. 15
Cicut Sutiarso. (2011). Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis,
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Cik Hasan Bisri. (2003). Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
184 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
D.H. Olson dan J. Defrain. Marriage & the family: intimacy, diversity and
streght. (5rd
edition). Mountain View, CA: Mayfield, 2006.
Djamil Latif. (1981). Aneka Hukum Perceraian di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indah.
Edi As‟adi. (2012). Hukum Acara Perdata dalam Prespektif Mediasi(ADR) di
Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Eleanor D Macklin. (1978). “Review of Research on nonmarital Cohabition in
United State,” in Bernand I. Murstein (ed) Exploring Intimate Lifestyle,
Springer Publishing Co., Inc., New York.
Ermansjah Djaja. (2008). Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar
Grafika.
George Levinger. (1966). “Phisical abuse among aplicants for divorce,”, dikutif
dari “Source of Marital Satisfication among Aplicants for Divorce,”
American Journal of Orthopsychiatry 36.
Gerald R. Leslie. (1967). The Family in Social Context. New York: Oxford
Univerity Press.
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani. (2001). Hukum Arbitrase. Jakarta:
RajaGrafindo.
Gustav Radbruch (1961). Einfuehrung In Die Rechtswissenschaft Koehler
Verlag. Stutgart, tanpa penerbit.
H.L.A Hart. (2010). The Concept of Law. New York: Clarendon Press-Oxford
diterjemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum. Bandung: Nusamedia.
Harsojo. (1990). “Kebudayaan Sunda”, dalam Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Jakarta: Djambatan
Hasan al-Sayid Hamid Khithab. (2009). Maqâshid al-Nikâh wa Atsâruhâ,
Dirâsah Fiqhiyah Muqâranah, Tanpa Penerbit.
Hasanuddin. (2011). Perkawinan dalam Perspektif Al-Quran, (Nikah, Talak,
Cerai, Rujuk). Jakarta: Nusantara Damai Press.
Ibn Majah Abu `Abdullah Muhammad bin Yazid. (t.t.). Sunan Ibn Majah, Beirut:
Dâr Ihyâ` al-Kutub al-`Arabiyah.
Ibnu Katsir. (1999). Tafsir al-Quran al-‘Adhim. Beirut: dar El-Fikr.
Isma‟il al-Haqqi al-hanafi, Ruhul Bayan. (t.t.). Saudi: Dar al-Nasyr.
Isnawati Rais. (2014). “Tingginya Angka Cerai Gugat (Khulu’) Di Indonesia;
J.B. Af Mayor Polak. (1979). Sosiologi suatu Buku Pengantar Ringkas. Jakarta:
PT Ictiar Baru.
John O. Voll. (1983). Renewal and Reform in Islamic History: Tajdid and Ishlãh
dalam John L. Esposito, Voices of Resurgent. New York: Oxford University
Press.
K.G. Hilman. (1962). “Marital instability and its relation to education, income
and accupation: an analysis based on cencus data”, dalam R.F. Winch, R.
McGinnis and the Family edisi revisi Holt Rinehart and Wilson, 1962
Kartini Kartono. (1997). Patologi Sosial (Jilid I). Jakarta: Rajawali Press.
Kementerian PPPA dalam Herin Puspitawati. (2012). Gender dan Keluarga:
Konsep dan Realita di Indonesia. Bogor: PT IPB Press.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 185
Kementerian PPPA. (2016). Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016. Jakarta:
Lintas Katulistiwa.
Kephart. (1954). William M. “The Duration of Marriage”, American Socio-
logical Review, 19 Juni 1954.
Khoiruddin Nasution. (2003). Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi
Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fiqih.
Jakarta: Ciputat Press.
Kustini dan Ida Rosidah. (2016). Ketika Perempuan Bersikap : Tren Cerai Gugat
Keluarga Muslim. Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Tahun 2016 Kementerian Agama RI Badan
Litbang dan Diklat.
Leden Marpaung. (1997). Tindak Pidana Terhadap Kehormatan; Pengertian
dan Penerapannya. Jakarta: Raja Grafindo
Letha Dawson Scanzoni dan John Scanzoni (1981). dalam Men, Women and
Change: A Sociology of Marriage and Family, New York: McGraw Hill
Book Compani, 1981 hal 81.
Letha Dawson Scazoni dan John Scanzoni. (1981). Men, Women and Change: A
Sociology of Marriage and Family. (New York: McGraw. Hill Book
Company).
Lili Rasjidi. (1991). Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan
Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
M. Thalin, Memahami Sifat 20 Fitrah Orang Tua. (Bandung: Isryad Babus
Salam, 1995). 16
M. Yahya Harahap. (2005). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Mahmul Siregar, (t.t.) “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional
dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, Medan:
Fakultas Hukum USU.
Mark E. Cammack. (2007). Islamic Law In Contemporary Indonesia Ideal And
Institution, editor R. Michael Feener. Cambridge: harvard university Press.
Muhammad Abd ar Rahman Tuhfah al Ahwazi (Bi Syarh Jami At Tirmizi) (t.t.p;
Dar al Fikr, t.t.) IV : 486 Hadits nomor 1352 “Kitab Al Ahkam.” Bab Ma
Zukira an Rasulullah Salallahu Alaih wa Salam fi Sulh Bain an Nas Hadits
ini hasan sahih diriwayatkan dari Katsir bin Abdillah bin umar bin auf Al
muzniy dari ayahnya dari kakeknya.
Muhammad al-Qurtubhi. (2003). al-Jami’ li ahkam al-Quran. Beirut: Dar el-
Fikr.
Muhammad Ibn Jarir al-Thabari. (t.t.). Jami’ al-bayan fi ta’wil al-Quran. Beirut:
Dar Elfikr.
Muhammad Thâhir bin Muhammad bin `Atsur. (1984) Al-Tahrîr wa al-Tanwîr,
Tunisia: al-Dar al-Tûnisiyah li al-Nasyr.
Mukti Arto. (2011). Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
186 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Norzulaili Mohid Ghazali dan Wan Abdul Fattah Wan Ismail. (2007). Nusyuz,
Shiqaq dan Ahkam Menurut Al-Quran, Sunah dan Undang-undang
Keluarga Islam, Malaysia: Kolej Universiti Islam Malaysia (KUIM).
Nurnaningsih. (2012). Mediasi. Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata Di
Pengadilan, Jakarta:PT. Raja Grafindo persada.
Nuruddin Abu Lihyah. (2010). al-Muqaddimât al-Syar`iyah li al-Jawâz bi Ru’ya
Maqâshidiyah. Dâr al-Anwâr li al-Nasyr wa al-Tawzi‟.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. (1997). Hukum Acara
Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
Robert F. Winch, “The Functions of Dating in Middle-Class America,” in Winch,
Robert Mc. Ginnis and Herbert R. Barringer (eds) Selected Studies in
Marriage and the Family (New York: Holt, Rinegart and Winston, 1962, p.
506-508.
Robert F. Winch. (1962). “The Functions of Dating in Middle-Class America,” in
Winch, Robert Mc. Ginnis and Herbert R. Barringer (eds) Selected Studies
in Marriage and the Family. New York: Holt, Rinegart and Winston.
Roihan A Rasyid. (1995). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Salam Mazkur. (1993). Peradilan dalam Islam, Alih Bahasa Drs Imron AM. Cet
ke 4. Surabaya: Bina Ilmu.
Sarinah Sukarno, (1963). Panitia Penerbit Buku-buku Karangan Presiden
Soekarno, Jakarta.
Sayid Sabiq. (1988). Fiqh al- Sunnah. Beirut:Dar el-Fikr
Shidarta. (2013). Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Akar filosofi.
Yogyakarta: Genta Publishing
Sinaga V. Harlen (2015). Hukum Acara Perdata dengan Pemahaman hukum
Materil., Jakarta: Gelora Aksara Pratama.
Soedharyo Soimin. (2011). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Sinar Grafika.
Sonhaji. (1988). Pedoman Rumah Tangga Bahagia, (Jawa Timur: BP-4 Prop.
Jawa Timur, 1988), hlm. 3
Sri Tresnaningtias Gulardi. (t.t.). Perubahan Nilai di Kalangan Wanita yang
Bercerai. Makalah pada Lokakarya Forum Komunikasi Bidang Peranan
Wanita, Depdikbud, Ditjen Pendidikan Tinggi.
Sudikno Mertokusumo. (2008). Mengenal Hukum, Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty.
Sudirman Tebba.(1993). Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia
Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya.
Bandung: Penerbit Mizan.
Suwarsih Warnaen dkk.,(1987). Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti
tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda Penelitian Tahap II;
Konsistensi dan Dinamika). Bandung: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 187
Syahrizal Abbas. (2011). Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional. Jakarta: Kencan Prenada Media Group.
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syarbiniy. (1994). Mughniy
al-Muhtâj ilâ Ma`rifah Ma`âniy Alfâzh al-Muhtâj. Beirut: Dâr al-Kutub al-
`Alamiyah)
Syihabuddin al-Alusi. (t.t.). Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Quran al-‘adhim wa sab’u
almatsani.
Theo Huijber. (1992). Pengantar Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisisus
Wahbah al-Zuhayli. (1997). al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr.
Wahidah R.. Bulan, dan Lastriyah. (2016). “Fenomena Peningkatan Cerai Gugat
Di Padang: Indikasi Kebangkitan Permpuan”? dalam Ketika Perempuan
Bersikap : Tren Cerai Gugat Keluarga Muslim. Jakarta : Badan Litbang
dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
William J Goode. (1999). Family Disorganization sebagaimana dikutif dalam
Erna Karim, dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor
Indonesia.
William J. Goode. (1995). Sosiologi Keluarga. Terj. Laila Hanoum, Bumi
Aksara, Jakarta
Yeny Magfiroh. (2000). “Nikah Massal 2000 Membawa Pesan Reformasi untuk
KUA”, dalam Republika Edisi Jum‟at 24 Maret 2000
B. Jurnal
A. Muliany Hasyim. (2015). “The Principles of Tightening Divorce In Semarang
High Religious Court In Maqasid Al-Shari‟ah Perspective” dalam Al-
Mawarid Journal of Islamic Law, Vol. XV, No. 1, August 2015.
Abdul Jamil dan Fakhrudin. (2015). “Isu dan Realitas di Balik Tingginya Angka
Cerai-Gugat di Indramayu”, dalam HARMONI Jurnal Multikultural &
Multireligius. Mei - Agustus 2015. Vol 14 No. 2.
Analisis Kritis Terhadap Penyebab dan Alternatif Solusi Mengatasinya” dalam
Al-‘Adalah Vol. XII, No. 1 Juni 2014.
Bakhtiar Arsa Muhammad. (2009). “Perceraian Dan Perubahan Sosial di
Kabupaten Bungo (Studi terhadap Tren Pola Perceraian dari Talak Cerai ke
Gugat Cerai)” dalam Kontekstualita Vol. 26 No. 2. Desember 2O09.
Budhy prianto, dkk.(2013). “Rendahnya Komitmen dalam Perkawinan sebagai
Sebab Perceraian”, dalam Jurnal Komunitas : Research & Learning in
Sociology and Anthropology. Semarang: Universitas Negeri Semarang).
Cut Wan Nurlaili (2017). “Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Cerai Gugat Pada
Mahkamah Syar‟iyah Meulaboh”, pada Jurnal Deliberatif Jurnal Ilmu
Hukum Vol 1, No 1, Juni 2017.
Eva Meizara Puspita Dewi dan Basti. (2008). “Konflik Perkawinan dan Model
Penyelesaian Konflik pada Pasangan Suami Isteri”, Jurnal Psikologi, Vol 2,
No 1, Desember 2008
188 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Frankenberger, T.R., dan M.K.McCaston. (1998). The Household Livelihood
Security Concept. Food, Nutrition, and Agriculture Journal. 22: 30-33.
Frankenberger, T.R., dan M.K.McCaston. (1998). The Household Livelihood
Security Concept. Food, Nutrition, and Agriculture Journal..
Hasan Bastomi. (2016). “Pernikahan Dini dan Dampaknya (Tinjauan Batas Umur
Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia)
dalam Yudisia, Vol. 7, No. 2, Desember 2016.
J.S. Caroll dan W.J.E Doherty.”Evaluating the Effectivenenss of Premarital
Education: A Review of Outcome Family Relation”. Journal, 52.105-118.
Diunduh dari Error! Hyperlink reference not valid..
Liani Sari, (2001). “Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Studi Kasus
Pada Pengadilan Agama Makasar”, dalam Jurnal Uniyap. Papua.
Lindan Thompson dan Alexis Walker. (1989). “Gender in Families: Women and
Men in Marriage, Work and Parenthood”, dalam Journal of Marriage and
Family.
Muhammad Tamhid Nur. (2016). Cerai Talak di Kota Palopo (Faktor Penyebab
Dan Solusinya Dalam Studi Kasus Di Pengadilan Agama), dalam PALITA:
Journal of Social-Religi Research Oktober 2016, Vol.1, No.2.
Nurhasanah dan Rozalinda. (2014). “Persepsi Perempuan terhadap Perceraian:
Studi Analisis Terhadap Meningkatnya Angka Gugatan Cerai di Pengadilan
Agama Padang” dalam Kafa’ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. 4 No. 2
Tahun 2014, Padang.
Syafaat Muhammad. (2016). “Fenomena Cerai Gugat di Kabupaten Kuningan :
Sebuah Kajian Perubahan Sosial dalam Masyarakat dan Keluarga”, dalam
Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.IV 2016.
C. Kamus dan Ensiklopedia
“Lexcicon Universal Encyclopedia. (1990). by Lexcicon Publications, Inc., USA:
Copyright.
Abd Salam. (t.t.) Mu’jam al-Wasĩth. Teheran: Maktabat al-Ilmiyah
Abu „Ali al-Fadl ibn al-Hasan at-Thabarsi. (t.t.). Majma’ al-Bayãn fĩ tafsĩr al-
qur’an, Beirut: Dar al-fikr.
Anonimous. (1984). Ensiklopedi Indonesia jilid 5. Jakarta : Ictiar Baru Van
Hooeve & Elsevier Publishing Project.
E. van Donzel, B. Lewis, dkk (ed). (1990). Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J.
Brill.
Hassan Sadyli dkk. (1982). Ensikolopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar baru – Van
Hoeve.
Ibn Manzhũr. (t.t.). Lisãn al-'Arab. Mesir: al-Dãr al-Mishriyyah Lita‟lĩf wa al-
Tarjamah.
Ibrãhĩm Madkũr. (t.t.) al-Mu’jam al-Wajiz. Tanpa Penerbit
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 189
William Benton. (1970). Encyclopedia Britannica, Vol 22 by Enclopedia
Britanica, Inc., U.S.A
D. Tesis dan Disertasi
Euis Sunarti. (2001). Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus
Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan. [Disertasi]. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
Muh Saidan. (2015). Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian
Di Pemkot Surakarta Tahun 2011-2012 (Studi Kasus di Pengadilan Agama
Surakarta). FKIP UMS.
Nunung Rodliyah. (2011) “Perceraian Pasangan Muslim Berpendidikan Tinggi
(Studi Kasus di Kota Bandar Lampung”), Disertasi. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga.
Nunung Rodliyah. (2011). “Perceraian pasangan Muslim Berpendidikan Tinggi:
Studi Kasus di Kota Bandar Lampung, “Disertasi tidak diterbitkan.
Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Nurhasan Ismail. (2006). “Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu
Pendekatan Ekonomi Politik,” Ringkasan Disertasi. UGM. Yogyakarta:
Tanpa Penerbit.
Ramdani Wahyu Sururie. (2011). “Teori dan Implementasi Mediasi dalam Sistem
Peradilan Agama”. Disertasi Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung
Djati Bandung.
Sun Choirul Ummah. (2010). “Kasus Cerai Gugat Suami Istri Berpendidikan
Tinggi Di Kecamatan Depok Sleman Yogyakarta Tahun 2007-2009,” Tesis
Tidak Diterbitkan, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010).
E. Peraturan Perundangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
Dan Pembangunan Keluarga.
F. Hasil Wawancara
Ahmad Sanusi (Hakim Pengadilan Agama Ciamis), Hasil Wawancara, Ciamis, 5
September 2017.
Amri (Hakim Pengadilan Agama Sumedang), Hasil Wawancarra: Sumedang, 19
September 2017. Data alasan perceraian di Bekasi diperoleh saat informan
bertugas di Bekasi dan Aceh.
Amri dan Mukhlis Budiman (Hakim PA Sumedang), Hasil Wawancara: 19
September 2017.
Asep Arif Ridwanullah (Advokat), Hasil Wawancara, Bandung, 10 September
2017
190 | Darurat Perceraian dalam Keluarga Muslim Indonesia
Dwi Reiza Menianti, (Petugas Posbakum Pengadilan Agama Bandung), Hasil
Wawancara, Bandung, 20 September 2017)
Hamzah (Hakim Pengadilan Agama Cianjur), Hasil Wawancara: Cianjur, 12
September 2017
Hirmwan Susilo. (Hakim PA Denpasar), hasil Wawancara. Denpasar 3 Oktober
2017.
M. Burhan (Advokat), Hasil Wawancara, Bandung, 10 September 2017
Mukhlish Budiman dan Amri (Hakim Pengadilan Agama Sumedang), Hasil
Wawancarra: Sumedang, 19 September 2017.
Nurhayati Djamas (Mediator/konselor BP4), Hasil Wawancara, Jakarta, 18
September 2017
Riyan Ramdani (Advokat), Hasil Wawancara, Bandung, 8 September 2017
Syarif Hidayat (Hakim PA Indramayu), Hasil wawancara : Indramayu, 26
Agutus 2017
Tantowi (Hakim Tinggi PTA Bandung), Hasil Wawancara: Bandung, 2 Oktober
2017,
Thantowie Ghanie (Hakim Tinggi PTA Bandung), Hasil Wawancara, 27
September 2017
Usep Gunawan (Hakim Pengadilan Agama Majalengka), Hasil Wawancara, 8
September 2017
Zeni Hamdadin (Advokat), Hasil Wawancara, Bandung, 8 September 2017
G. Internet
Ambo Asse, Putusan Verstek Mendominasi Putusan Perceraian Pengadilan
Agama (Analisis Khusus Pada Perkara Perceraian), dalam badilag.net.
Diakses 3 Oktober 2017
Doni Dermawan. (t.t.), “Pendekatan Maqashid Al Syari‟ah Dalam Memeriksa
Dan Memutuskan Perkara”, Artikel dalam www.badilag.net. Diakses 5
Oktober 2017
Error! Hyperlink reference not valid., “Diskursus Restrukturisasi BP4
Mengemuka”
Error! Hyperlink reference not valid..
http://berbagilmublog.blogspot.co.id/2014/01/hukum-keluarga-di-negara-
muslim.html diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 pukul 13.00
http://digilib.uinsby.ac.id/3067/5/Bab%204.pdf
http://irfanhusaeni.blogspot.co.id/2012/01/no-fault-divorce.html, diakses 5
Okotber 2017
http://jilbabkujiwaku.blogspot.co.id/2011/02/perbandingan-hukum-perkawinan-
di.html (diakses pada tanggal 10 Oktober 2016 pukul 13.00)
http://lifestyle.kompas.com/read/016/11/17/070600123/latih.anak.menyelesaikan
.masalahnya. sendiri. Diakses 10 Oktober 2017
Dr. H. Ramdani Wahyu Sururie, M.Ag., M.Si. | 191
http://mediasi.mahkamahagung.go.id/2017/09/27/data-keberhasilan-mediasi-
2014-2015/
http://pa-palangkaraya.go.id/januari-2015-34-isteri-di-palangka-raya-gugat-
suami/
http://pps.uin-suka.ac.id/id/2-berita-terkini/250-tingkat-perceraian-pasangan-
muslim-berpendidikan-tinggi-makin-meningkat.html#
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/ 123456789/34573/1/ Sururin-mus-
lim.pdf, diakses 30 September 2017
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17429/kejarlah-nafkah-sampai-ke-
pengadilan#, diakses 8 Oktober 2017
http://www.solusisehatku.com/mengajarkan-cara-mengelola-keuangan-pada-
anak-sejak-usia-dini. Diakses 7 Oktober 2017
http://www.websitependidikan.com/2016/06/cara-melatih-anak-agar-mau-mem-
bantu.html. Diakses 5 Oktober 2017
https://health.detik.com/read/2009/08/07/111024/1179134/766/10-tes-kesehatan-
sebelum-menikah, diakses 7 Oktober 2017
https://www.kompasiana.com/pakcah/lima-model-menyelesaikan-konflik-suami-
isteri_ 55118dbaa 33311064fba7dc3. Diakses, 5 Oktober 2017
M. Isna Wahyudi, Perceraian dalam Perspektif Praktisi Hukum: Pengalaman
Pengadilan Agama Badung. Dalam http://www.academia.edu/ 21109766/
Percerain Dalam_Perspektif_Praktisi_ Hukum_ Pengalaman_ Pengadilan
_Agama_Badung
Muhammad Isna Wahyudi, “Mengapa Marak Terjadi Perceraian”, dalam
badilag.net, diakses 7 Oktober 2017
www.adr.org
Yance Arizona. (2017). http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/ apa-itu-
kepastian-hukum. diakses tanggl 7 Agutus 2017
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakuka pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda aling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
=========================================================
=========
DARURAT PERCERAIAN DALAM KELUARGA MUSLIM
INDONESIA
ISBN : 978-602-552-702-9
Cet. 1. Januari 2018
Desain Sampul : Gilang dan Khairul Aziz
Diterbitkan Oleh :
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Telp (022) 7802844
Email : [email protected]
Copyy Right 2018
Dilarang Memperbanyak atau mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin penerbit
Hak Penulis dilindungi undang-undang
All Right Reserved