Transcript
Page 1: Kasus Ford&Firestone

Modul 10

Konsep Etika dalam Fungsi Produksi

Selain harus menjamin keamanan produk, bisnis mempunyai kewajiban

lain lagi terhadap konsumen. Disini kita akan menyoroti tiga kewajiban moral lain

yang masing-masing berkaitan dengan kualitas produk, harganya, dan

pemberian label serta pengemasan (labeling and packaging).

1. Kualitas produk

Dengan kualits produk di sini dimaksudkan bahwa produk sesuai dengan apa

yang dijanjikan oleh produsen (melalui iklan atau informasi lainnya) dan apa yang

secara wajar boleh diharapkan oleh konsumen. Konsumen berhak atas produk

yang berkualitas, karena ia membayar untuk itu. Dan bisnis berkewajiban untuk

menyampaikan produk yang berkualitas, misalnya produk yang tidak kadaluarsa

(bila ada batas waktu seperti obat-obatan atau makanan).

Salah satu cara yang biasanya ditempuh untuk menjamin kualitas produk

adalah memberikan garansi. Kita bisa membedakan dua macam garansi :

eksplisit dan implisit. Garansi bersifat eksplisit, kalau terjamin begitu saja dalam

keterangan yang menyertai produk. Contohnya adalah kasus “Pendinginan

bergaransi”. Garansi eksplisit menyangkut ciri-ciri produk, masa pemakaian,

kemampuannya, dan sebagainya. Bila produk rusak dalam jangka waktu tertentu,

si penjual melibatkan diri untuk memperbaikinya atau menggantikannya dengan

produk baru. Garansi bersifat implisit, kalau secara wajar bisa diandaikan,

sekalipun tidak dirumuskan dengan terang-terangan. Hal itu terjadi, bila dalam

iklan dikatakan bahwa pisau atau perabot rumah tangga lain bebas karat, saya

berhak mendapat pisau baru atau uang dikembalikan, kalau pisau yang saya beli

pada kenyataannya berkarat. Atau jika saya membeli sepeda, ciri itu termasuk

hakikat produk. Jika sepeda yang saya beli tidak mempunyai ciri itu, saya berhak

dapat menggantikannya dengan sepeda baru atau uang dikembalikan.

Sebuah contoh bagus tentang garansi implisit adalah instant camera dari

Kodak di Amerika Serikat. Karena Polaroid meraras memiliki paten atas sistem

kamera itu, mereka mengajukan Kodak ke pengadilan dan menang. Kodak

dihukum untuk menarik kamera itu dari pasaran. Tetapi serentak juga Kodak

dihukum untuk menarik kamera tersebut, sebab mereka tidak lagi dapat

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 1

Page 2: Kasus Ford&Firestone

memperoleh film. Pembeli-pembeli itu dulu secara implisit boleh mengandaikan

bahwa film akan tersedia untuk kameranya. Jika hal itu dengan mendadak tidak

mungkin lagi, mereka boleh mengharapkan kompensasi dalam bentuk kamera

tipe lain atau uang dikembalikan.

Akhirnya boleh dicatat lagi bahwa kualitas produk tidak saja merupakan suatu

tuntutan etis melainkan juga suatu syarat untuk mencapai sukses dalam bisnis.

Sebagaimana sering terjadi, disinipun etika sejalan dengan bisnis yang baik.

Salah satu contoh dapat diambil dari riwayat perusahaan Amerika, Xerox, perintis

dalam industri mesin fotokopi. Pada tahun 1980-an Xerox mendapat persaingan

keras dari beberapa merk mesin fotokopi Jepang, hingga pangsa pasar mereka

anjlok dari 86 persen pada tahun 1974 menjadi 16,6 persen pada tahun 1984.

Xerox mulai mawas diri dan melalui sebuah penelitian mendalam sampai pada

kesimpulan bahwa sebabnya ialah kekalahan dalam kualitas. Pimpinan Xerox

mulai melontarkan program ketat untuk meningkatkan kualitas. Dalam waktu

agak singkat mereka bisa mencapai angka 38 persen untuk kepuasan

pelanggan. Dan akhirnya xerox berhasil memimpin lagi pasaran mesin fotokopi

dengan harga terjangkau di Amerika Serikat. David Kerns, pimpinan Xerox,

menjelaskan:”Pada Xerox kami memahami harapan pelanggan. Itulah aksioma

yang seumur dengan bisnis itu sendiri. Namun demikian, di Amerika banyak

perusahaan melupakan hal itu. Xerox adalah salah satu di antara mereka. Tetapi

dengan memfokuskan lagi pada kualitas, kami telah mengubah keadaan itu”.

Pada tahun 1989 Presiden George Bush menyerahkan kepada divisi mesin

fotokopi dari Xerox satu dari dua penghargaan yang disebut Malcolm Baldrige

National Quality Award yang diadakan atas prakarsa Kongres Amerika untuk

menghargai perusahaan Amerika.

2. Harga

Harga yang adil merupakan sebuah topik etika yang sudah tua. Dalam

zaman Yunani kuno, masalah etis ini sudah dibicarakan dengan cukup

mendalam oleh Aristoteles dan pemikirannya dalam hal ini diteruskan selama

Abad Pertengahan. Dalam zaman modern, struktur ekonomi tentu menjadi jauh

lebih kompleks. Karena itu masalah harga pun menjadi suatu kenyataan

ekonomis sangat kompleks yang ditentukan oleh banyak faktor sekaligus, namun

masalah ini tetap diakui mempunyai implikasi etis yang penting. Karena

kompleksitasnya, tidak bisa diharapkan implikasi-implikasi etis itu disini akan

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 2

Page 3: Kasus Ford&Firestone

dibicarakan dengan tuntas. Kita harus membatasi diri pada beberapa catatan

saja.

Harga merupakan buah hasil perhitungan faktor-faktor seperti biaya produksi,

biaya investasi, promosi, pajak, ditambah tentu laba wajar. Dalam sistem

ekonomi pasar bebas, sepintas lalu rupanya harga yang adil adalah hasil akhir

dari perkembangan daya-daya pasar. Kesan spontan adalah bahwa harga yang

dihasilkan oleh tawar-menawar sebagaimana dilakukan di pasar tradisional, di

mana si pembeli sampai pada maksimum harga yang mau ia bayar dan si

penjual sampai pada minimum itu bertemu. Dalam hal ini mereka tentu

dipengaruhi oleh para pembeli dan penjual lain menawarkan barangnya dengan

harga lebih murah, tentu saja para pembeli akan pindah ke tempat itu. Harga

bisa dianggap adil karena disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam proses

pembentukannya. Pengaruh pasar memang merupakan prinsip etis yang penting

dalam menentukan harga.

Akan tetapi, tidak bisa diakatakan bahwa pasar merupakan satu-satunya

prinsip untuk menetapkan harga yang adil, sebagaimana dipikirkan oleh

liberalisme (Adam Smith dan pengikutnya). Agar menjadi adil, harga tidak boleh

merupakan buah hasil mekanisme pasar secara murni. Ada beberapa alasan

mengapa prinsip pasar tidak cukup. Pertama, pasar praktis tidak pernah

sempurna. Misalnya, dalam situasi modern di mana kuasa ekonomis sering

berkonsentrasi dalam tangan beberapa pengusaha, mudah terjadi produsen

memberi kesan menentukan harga sesuai dengan permintaan pasar, sedangkan

pada kenyataannya mereka berkolusi untuk secara sepihak menetapkan harga

yang menguntungkan bagi mereka. Kedua, disini juga para konsumen seringkali

dalam posisi lemah untuk membandingkan harga serta menganalisis semua

faktor yang turut mentukan harga. Misalnya, bisa terjadi si pembeli mengira

bahwa produk lebih mahal merupakan produk lebih berkualitas pula, sedangkan

pada kenyataannya kualitas kedua produk itu sama. Ketiga, alasan terpenting

adalah bahwa cara menentukan harga menurut mekanisme pasar saja bisa

mengakibatkan fluktuasi harga terlalu besar. Bisa terjadi, pada suatu saat si

konsumen dapat membeli produknya dengan harga murah, tatapi dalam waktu

singkat barangkali ia harus membeli produk yang sama dengan harga sangat

mahal. Fluktuasi harga terlalu besar akan merugikan baik konsumen maupun

produsen, karena bagi konsumen kebutuhan hidup terancam tidak terpenuhi dan

bagi produsen kesinambungan bisnis dibahayakan. Petani atau produsen dari

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 3

Page 4: Kasus Ford&Firestone

produk industri bisa bangkrut, karena tiba-tiba mengalami defisit akibat harga

terlalu rendah. Khusus untuk sektor seperti pertanian stabilitas harga sangat

terlalu rendah. Khusus untuk sektor seperti pertanian stabilitas harga sangat

mendesak, karena produk-produknya biasanya cepat busuk, sehingga tidak bisa

disimpan lama. Karena itu stabilitas harga perlu diakui juga sebagai prinsip untuk

menentukan adil tidaknya harga.

Dalam situasi modern, harga yang adil terutama merupakan hasil dari

penerapan dua prinsip tersebut : pengaruh pasar dan stabilitas harga. Secara

khusus menjadi tugas pemerintah untuk mencari keseimbangan antara harga

pasar bebas dan perlunya stabilitas. Yang jelas ialah bahwa kompetisi bebas

dalam hal harga dengan demikian cukup dibatasi. Tetapi sulit untuk ditentukan

bagaimana konkretnya harga yang adil. Untuk dapat menemukan sebuah

kompas moral di bidang ini, paling-paling dapat ditunjukkan kepada pikiran

fundamental dari etikawan Immanuel Kant bahwa manusia selalu harus dihormati

sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan sebagai sarana

belaka. Dalam konteks harga, hal itu berarti bahwa para pembeli harus dihormati

sebagai manusia dan tidak boleh diperlakukan sebagai sapi perah yang dapat

dipermainkan seenaknya. Tujuan ini lebih mudah tercapai, bila proses

pembentukan harga sedapat mungkin berlangsung dalam suasana terbuka.

Seperti sering terjadi dalam etika, di sini pun tuntutan etis lebih mudah

didekati dari segi negatif (apa yang tidak boleh dilakukan) daripada segi positif

(apa yang seharusnya dilakukan). Jika terasa sulit untuk dipastikan apa yang

harus dimengerti dengan harga yang adil, kita bisa berusaha untuk menentukan

dalam hal mana harga pasti dapat dianggap tidak adil. Bersama Garret dan

Klonoski kita dapat mengatakan bahwa harga menjadi tidak adil setidak-tidaknya

karena empat faktor berikut ini : penipuan, ketidaktahuan, penyalahgunaan

kuasa, manipulasi emosi. Mari kita memandang empat faktor ini dengan lebih

rinci.

Penipuan terjadi bila beberapa produsen atau distributor bekolusi untuk

menentukan harga (conspiratorial price fixing). Perilaku bisnis ini bertentangan

dengan etika pasar bebas (bagi kita prinsip pertama : pengaruh pasar). Biasanya

penipuan macam itu akan dilakukan dengan maksud mencari untung yang tidak

wajar. Tetapi, bahkan bila dilakukan dengan maksud baik (misalnya: melindungi

pengusaha kecil), praktek itu harus dianggap kurang etis. Sifat kurang etis ini

tidak disebabkan karena terjadi penentuan harga (yang sering kali memang perlu

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 4

Page 5: Kasus Ford&Firestone

dilakukan), melainkan karena penentuan harga itu berlangsung dengan

sembunyi-sembunyi. Si pembeli mempunyai kesan bahwa sebagai konsumen ia

bisa mempengaruhi harga, padahal mekanisme permintaan-penawaran sama

sekali tidak berpengaruh, karena harga telah ditetapkan sepihak. Dengan

demikian si pembeli sebenarnya diperdaya. Kalau ada alasan untuk menetapkan

harga dari atas, hal itu harus dilakukan secara terbuka, bekerja sama dengan

pemerintah. Dalam hal ini inisiatif biasanya malah diambil oleh pemerintah

(misalnya, harga barang kebutuhan pokok).

Ketidaktahuan pada pihak konsumen bisa mengakibatkan juga harga

menjadi kuran adil. Transaksi jual-beli merupakan suatu persetujuan yang

mengandaikan kebebasan pada kedua belah pihak yang terlibat di dalamnyua

dan kebebasan menuntut, agar orang bersangkutan tahu tentang unsur-unsur

relevan dalam keputusan yang mereka ambil. Pihak konsumen tidak bebas

dalam membeli barang tertentu, seandainya ia tidak tahu tentang faktor-faktor

yang menentukan harga. Perlu diakui, pengetahuan konsumen dalam hal ini

selalu terbatas. Terutama karena alasan itulah mudah terjadi praktek-praktek

yang mencurigakan. Di sini kami menyebut beberapa contoh dimana harga bisa

menjadi kurang adil karena faktor ketidaktahuan.

Pada kemasan sebuah produk si produsen mencetak harga lebih tinggi

dari kenyataan, supaya pengecer bisa menjual barangnya denga harga

lebih rendah. Si pembeli mendapat kesan mendapat produk dengan

harga murah, padahal ia hanya membayar harga biasa.

Toko menawarkan barangnya dengan harga obral (sales), padahal harga

obralan itu tidak lain adalah harga biasa.

Toko memberi discount sekian persen untuk barang tertentu, padahal

sebelumnya harga dinaikkan dulu.

Toko serba ada menjual produk dengan memakai selogan “bayar satu

bawa dua”, tetapi harganya sebenarnya sama dengan harga dua produk.

Produsen besar bisa menjual produk yang sama dengan menggunakan

dua merek, kemasan, dan harga yang berbeda, dengan pertimbangan :

konsumen akan berpendapat bahwa barang lebih mahal adalah barang

lebih berkualitas pula.

Restoran tidak mencetak harga pada daftar makanan, pura-pura karena

alasan banyak orang merasa tidak enak bila mengajak tamunya ke

restoran, lalu harus mengundang mereka memilih hidangan dari daftar

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 5

Page 6: Kasus Ford&Firestone

yang menyebut harganya, padahal harga tidak tertera dengan maksud,

agar bisa memasang harga dengan seenaknya.

Penyalahgunaan kuasa terjadi dengan banyak cara. Salah satu contoh

terkenal adalah pengusaha besar yang – justru karena ia merasa dirinya kuat –

memasang harga murah, sehingga saingannya (produsen kecil yang tidak bisa

bertahan lama dengan harga semurah itu) tergeser dari pasaran. Dengan

demikian ia memperoleh monopoli dengan bisa memasang harga dengan

seenaknya. Dengan alasan itu di Uni Eropa kini ada peraturan yang melarang

pengusaha besar menyalahgunakan posisinya yang dominan di pasaran. Mereka

yang melakukannya bisa dihukum.

Manipulasi emosi merupakan faktor lain yang bisa mengakibatkan harga

menjadi tidak adil. Memanipulasi keadaan emosional seseorang untuk

memperoleh untung besar melalui harga tinggitak lain tak bukan adalah

mempermainkan orang itu sendiri dan karena alasan itu harus dianggap kurang

etis. Beberapa buku etika bisnis dari Amerika yang menyebut contoh berikut ini.

Pimpinan perusahaan pemakaman (funeral director) memanfaatkan keadaan

dukacita suatu keluarga yang tertimpa musibah, guna memasang harga yang

tidak wajar. Dalam keadaan serupa itu keluarga yang berduka bersedia membuat

apa saja untuk menghormati orang tercinta yang telah meninggal, sehingga

perusahaan pemakaman dapat mudah memanfaatkan kesempatan itu. Hal

serupa bisa juga terjadi di kalangan kita, misalnya dengan adanya rumah sakit

komersial di kota besar Indonesia akhir-akhir ini. Karena keluarga bisa

membayar apa saja demi memperoleh perawatan baik bagi orang sakit yang

tercinta, rumah sakit bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk memeasang

harga yang tidak proforsional lagi. Perbuatan semacam itu tentu juga kurang etis,

walaupun keluarga itu barangkali tergolong kaya. Kualitas etis pasti tidak sejelek

itu, tetapi boleh dicurigakan dalam kasus berikut ini : salesmen berkeliling dari

rumah ke rumah , menjual ensiklopedi. Ia bisa berhasil menjual ensiklopedinya

kepada keluarga yang hanya membelinya demi gengsi, malah dengan merugikan

kebutuhan hidup yang lebih mendesak. Juga menjual barang yang barangkali

tidak berguna kepada anak-anak muda yang tidak bersikap kritis terhadap harga,

bisa menciptakan peluang untuk tingkah laku kurang etis. Namun demikian, tidak

selalu mudah untuk memastikan kualitas etisnya. Di satu pihak si penjual tidak

boleh menyalahgunakan keadaan psikologis si pembeli. Di lain pihak kita tidak

bisa berharap bahwa si penjual akan melindungi si pembeli terhadap perbuatan

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 6

Page 7: Kasus Ford&Firestone

yang secara objektif kurang bijaksana. Dalam kasus-kasus lain keadaan

psikologis si pembeli pasti dimanfaatkan, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa

perbuatannya dengan jelas tidak etis. Misalnya, harga Rp. 9.900 dengan sengaja

ditetapkan, karena lebih menarik ketimbang harga Rp. 10.000. Secara ekonomis

bedanya tidak berarti, tetapi secara psikologis si pembeli merasa enggan

melewati ambang dari 9.000-an ke 10.000-an. Si penjual dengan sengaja

mempergunakan kenyataan psikologis ini, tetapi siapa akan menilai cara menjual

ini sebagai tidak etis.

3. Pengemasan dan pemberian lebel

Pengemasan produk dan lebel yang ditempelkan pada produk merupakan

aspek bisnis yang semakin penting. Selain bertujuan melinsungi produk dan

memungkinkan mempergunakan produk dengan mudah, kemasan berfungsi juga

untuk mempromosikan produk, terutama di era toko swalayan sekarang.

Pengemasan dibuat sedapat mungik menarik, untuk meraih lebih banyak

pembeli. Disamping itu pengemasan dan lebel memberi informasi tentang

produk. Misalnya, pada kemasan makanan dan obat-obatan diberi informasi

tentang isinya, beratnya, berapa lama bisa disimpan, dan sebagainya. Di banyak

negara hal seperti itu malah diwajibkan berdasarkan peraturan hukum.

Pengemasan dan label dapat menimbulkan juga masalah etis. Dalam

konteks ini tuntutan etis yang pertama ialah bahwa informasi yang disebut pada

kemasan itu benar. Jika dikatakan “produk ini tidak mengandung kolesterol”,

“makanan halal untuk umat islam”, “minuman ini tidak mengandung bahan

pengawet”, “bahan ini tidak mencemari lingkungan”, dan sebagainya, maka

informasi serupa itu haruslah benar. Informasi kurang benar atau tidak pasti

bukan saja merugikan konsumen, melainkan juga pihak lain. Disini contoh yang

jelas ialah diskusi beberapa tahun lalu di Amerika Serikat tentang kemungkinan

minyak kelapa sawit bisa meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Kalau hal

itu disampaikan sebagai informasi yang benar, sedangkan pada kenyataannya

belum terbukti, negara penghasil minyak kelapa sawit sangat dirugikan dan

penyiaran infirmasi itu merupakan cara berbisnis yang tidak fair.

Pada produk yang berbahaya (obat-obatan, bahan kimia, mesin, dan

sebagainya) harus disebut informasi yang dapat melindungi si pembeli dan orang

lain. Informasi serupa itu harus jelas dan mudah dimengerti. Karena hal itu demi

kepentingan umum, sebaiknya instansi pemerintah yang terkait mengatur

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 7

Page 8: Kasus Ford&Firestone

kewajiban memberi informasi dan menentukan pedoman tentang caranya. Di

banyak negara modern kini produsen rokok, misalnya, diwajibkan menyebut

dengan cara tertentu resiko merokok untuk kesehatan.

Tuntutan etis lainnya adalah bahwa pengemasan tidak boleh menyesatkan

konsumen. Hal itu bisa terjadi dengan banyak cara. Misalnya kemasan bisa

dirancang tinggi besar (king size) untuk memberi kesan bahwa isinya banyak,

tetapi pada kenyataanya isinya tidak lebih banyak dari kemasan lain. Atau

dikatakan bahwa kemasan tertentu berukuran ekonomis (economy size) dalam

arti ekstra besar, padahal isinya sama atau malah kurang ketimbang ukuran

biasa. Tentu saja, di sini tidak selalu dapat dipastikan dengan eksak kapan cara

pengemasan bisa dianggap menyesatkan. Kerap kali cukup sulit untuk menarik

garis perbatasan antara yang masih bisa ditolelir dan yang harus ditolak.

Sebaiknya konsumen tetap kritis dalam memantau masalah etis ini dan instansi

pemerintah selalu mendukung pengembangan sikap kritis konsumen.

§ 4. Studi Kasus : Obat hewan yang membahayakan kesehatan konsumen

1. Pendahuluan

Industri perunggasan pun mendapat pukulan berat sejak krisis ekonomi mulai

terasa paro kedua 1997, antara lain karena harga pakan ayam dan obat-obatan

naik drastis. Studi kasus ini didasarkan atas data-data sebelum krisis. Tidak

mustahil, kini peternak ayam malah lebih mudah tergoda menempuh cara-cara

yang merugikan konsumen, karena terdesak oleh keadaan ekonomi yang kurang

ramah. Tentang itu tidak ada data. Yang pasti ialah bahwa peternakan ayam

akan mempunyai prospek baik lagi, bila ekonomi Indonesia berhasil merangkak

keluar tubir krisis yang dialami di penghujung abad ke-20 ini. Dalam bentuk telur

dan daging ayam, industri ini sanggup menyediakan protein hewani relatif murah,

yang sangat dibutuhkan masyarakat konsumen. Daging sapi adalah terlalu mahal

dan daging babi tidak merupakan alternatif untuk penduduk yang sebagian

terbesar beragama Islam.

Salah satu ciri khas peternakan ayam adalah bahwa industri ini rawan

penyakit. Karena itu industri obat hewan semakin merupakan sarana penunjang

yang hakiki untuk industri perunggasan. Pada umumnya pemakaian obat di

sektor perunggasan mempunyai tiga fungsi. Pertama, obat dipakai untuk

mengobati penyakit yang menyerang ayam (kuratif). Kedua, obat dipakai untuk

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 8

Page 9: Kasus Ford&Firestone

mencegah terjadinya penyakit (preventif); obat macam ini biasanya disebut

“vaksin”. Ketiga, obat bisa dipakai juga sebagai zat pemacu pertumbuhan

(growth promotor). Tentang penggunaan obat hewan dapat dicatat lagi bahwa

sebagian obat itu diberikan melalui suntukan dan sebagian lain dengan

mencampur dalam pakan ternak atau air minum. Obat yang oleh manusia

diminum secara oral dalam bentuk pil, kapsul, atau tablet untuk ayam tentu tidak

ada cara pemakaian lain dari pada dicampurkannya dalam pakan atau minuman.

Di Indonesia berlaku peraturan bahwa setiap obat hewan yang dibuat

ataupun dijual, harus melalui pengujian mutunya demi keamanan ternak dan

konsumen, sebelum diberikan nomor registrasi. Pengujian itu dilakukan oleh

Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) dan, kalau hasilnya

positif, nomor registasi diberikan oleh Direktur Jenderal Peternakan dari

Departemen Pertanian. Salah satu indikator yang menunjukkan pesatnya

perkembangan industri obat hewan antara 1993-1997 adalah ramainya para

perusaha yang memburu perolehan nomor registasi. Kalau pada tahun 1993

obat hewan yang mendapat nomor registasi berjumlah sekitar 1400 meker, pada

awal 1997 jumlah itu sudah melebihi 1600 merek, yang berasal dari produksi

dalam negeri maupun impor.

Sebagaimana hampir setiap sektor industri pangan menimbulkan masalah-

masalah etis yang tertentu, demikian pun peternakan ayam tidak luput dari

problem-promblem yang berkonotasi etika. Salah satunya menyangkut

lingkungan hidup. Peternakan ayam pada skala besar mengakibatkan bau

kurang sedap yang akan menyengat hidung masyarakat sekitarnya. Karena itu

sering sedap yang akan menyengat hidung masyarakat sekitarnya. Karena itu

sering timbul masalah etika, bila lokasi peternakan ayam terlalu dekat dengan

tempat hunian. Namun demikian, persoalan yang sebenarnya penting ini tidak

akan dipelajari di sini. Studi ini ingin memfokuskan pada masalah etika yang

tampak berhubungan dengan penjualan dan penggunaan obat hewan dalam

sektor industri pangan ini, karena masalah-masalah itu secara langsung

berkaitan dengan hak dan keselamatan konsumen.

2. Masalah etika mengenai obat ayam

Jika kita berusaha menginvestasikan masalah-masalah etika yang muncul

dalam konteks penjualan dan pemakaian obat ayam, rupanya kita terutama

harus mencatat tujuh kasus kejadian berikut ini ;

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 9

Page 10: Kasus Ford&Firestone

1) Ada perusahaan yang belum mempunyai izin di bidang usaha

obat hewan, tetapi sudah melakukan kegiatan penjualan obat hewan.

2) Produk obat hewan yang belum memiliki nomor registrasi dari

perusahaan yang sudah mempunyai izin ataupun belum, sudah

diperjualbelikan di pasaran.

3) Cara pemakaian dan dosis obat tidak sesuai dengan standar

yang berlaku untuk jenis obat bersangkutan.

4) Bahan baku obat hewan dijual secara bebas langsung kepada

peternak ayam, padahal seharusnya bahan baku hanya dijual kepada

pabrik obat hewan untuk selanjutnya diproses dalam bentuk obat jadi.

5) Peternak yang menggunakan obat-obatan manusia yang oleh

perusahaan farmasi langsung dijual kepada peternak ayam.

6) Produsen atau penyalur obat hewan tidak memberi

penyuluhan yang tepat kepada peternak ayam atau dengan cara lain

berperilaku kurang etis.

7) Obat yang sudah dilarang karena membahayakan kesehatan

manusia, masih dijual kepada peternak ayam dan masih dipakai sebagai

obat hewan.

3. Analisa etika

Kasus 1 dan 2 secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hukum,

karena menyalahi peraturan pemerintah bahwa semua perusahaan yang akan

beroperasi di bidang obet hewan harus memperoleh izin usaha terlebih dahulu

dari Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, dan produk obat

hewan yang akan dipasarkan di Indonesia harus melalui pengujian oleh

BPMSOH untuk mendapatkan nomor registrasi, baru sesudahnya boleh

diedarkan dan diperjualbelikan dengan sah. Secara tidak langsung pelanggaran

ini bertentangan dengan etika juga, karena (1) kewajiban mematuhi peraturan

hukum didasarkan atas etika dan (2) pelanggaran itu bisa menjadi biang keladi

untuk tindakan yang merugikan masyarakat konsumen. Pelanggaran dalam

kasus 3 sampai dengan 7 barangkali paling banyak dilakukan oleh perusahaan

yang belum memiliki izin atau dengan obat yang belum diregistrasi, walaupun

adanya izin atau registrasi tidak secara otomatis menjamin perusahaannya akan

berlaku dengan etis. BPMSOH merupakan lembaga yang mengadakan

perngujian mutu, keefektifan dan keamanan suatu produk obat hewan

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 10

Page 11: Kasus Ford&Firestone

berdasarkan Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik (CPOHB). Jadi dengan itu

ditetapkan dan diterapkan sebuah standar untuk obat hewan di Indonesia. Dalam

hal ini pengujiannya tidak hanya menyangkut keefektifan dan keamanan bagi

hewan, melainkan juga kesehatan manusia yang mengkonsumsi produk

peternakan dalam bentuk telur atau daging ayam.

Dalam kasus 3, cara dan dosis obat tidak sesuai dengan standar.

Memberikan obat melalui suntikan atau dicampur dalam air minum tentu tidak

sama. Kualitas air minum bisa mempengaruhi juga keefetivitas obat. Dan dosis

harus ditentukan dan dilaksanakan dengan akurat. Pemberian obat hewan

merupakan bidang yang menuntut ketelitian tinggi. Lamanya pemberian obat

khususnya antibiotika harus tepat. Obat tidak boleh diberikan lebih lama dari

semestinya. Di sisi lain, pengobatan juga tidak boleh dihentikan sebelum seluruh

“cure” selesai. Peternak yang tidak mengerti seluk beluk antibiotika bisa

menghentikan perngobatan, begitu ayam kelihatan sembuh, dengan alasan

penghematan biaya. Tetapi dengan itu bibit penyakit dalam badan ternak belum

musnah, sehingga penyakit akan kambuh, dengan seranga lebih hebat lagi,

karena telah terbentuk resistensi terhadap obat itu. Demikian juga dosis obat

sangat penting. Dosis tidak boleh terlalu rendah, tetapi juga tidak bleh terlalu

tinggi. Dalam rangka pemberian obat, sangat penting adalah waktu henti obat

(withdrawal time) yang tidak sama untuk tiap jenis obat. Dengan “waktu hentui

obat” dimaksudkan jangka waktu antara pemberhentian obat dan saat ayam

boleh dipotong untuk dikonsumsi. Waktu henti obat itu diperlukan supaya obat

dalam badan ayam hilang sama sekali atau sekurang-kurangnya tidak melebihi

ambang batas toleransi. Misalnya, waktu henti obat untuk antibiotika jenis

ampisilin yang diberikan melalui injeksi adalah lima hari. Memberikan obat

dengan overdosis atau tidak mematuhi waktu henti obat bisa berakibat besar

bagi keamanan konsumen. Pemakaian obat hewan dengan cara tidak tepat

seperti itu bisa menyebabkan residu obat dalam telur atau daging yang kemudian

termakan oleh manusia konsumen. Dengan ini kesehatan tentu terancam.

Karenanya masalah ini tidak boleh diremehkan. Penelitian yang dilakukan oleh

Badan Penelitian Veteriner (Balitvet) di Bogor pada tahun 1990 menunjukkan

“bahwa residu farmasetik berupa antibiotika ditemukan dalam daging dan hati

ayam dalam kadar yang tinggi berkisar antara 10 sampai 78,9 persen.

Sebagaimana diketahui, secara keseluruhan kadar residu pada hati jauh lebih

tinggi daripada residu yang sama pada dagingnya”.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 11

Page 12: Kasus Ford&Firestone

Yang patut disayangkan ialah sampai saat ini belum terdapat data yang

menunjukkan dengan jelas berapa batas toleransi kadar residu antibiotika dari

hasil peternakan unggas yang dapat diizinkan untuk konsumsi manusia. Apalagi,

di Indoensia belum ada lembaga khusus yang menangani pengawasan residu

obat hewan dengan tujuan melindungi konsumen terhadap bahaya bagi

kesehatannya. Direktorat Peternakan pernah mengusulkan terbentuknya komisi

residu untuk menetapkan ambang batas toleransi residu obat dalam makanan,

sebagai tindak lanjut dari hasil pertemuan joint FAO/WHO Expert Committee on

Feed additive yang diadakan di Jerman pada tahun 1991. Tetapi sampai

sekarang usulan itu tidakt terwujud.

Perlu dicatat lagi, sejauh dilakukan, kontrol terhadap residu obat hewan di

Indonesia terbatas pada produk yang akan diekspor, karena perusahaan sadar

akan konsekuensinya, bila tidak memenuhi syarat di negara yang mempunyai

standar ketat, seperti misalnya Jepang. Perhatian untuk produk peternakan

unggas yang dikonsumsi dalam negeri justru kurang. Lebih aneh lagi, menurut

pengamat di lapangan produk impor bisa bebas masuk tanpa diperiksa residu

obatnya. Padahal, di peternakan luar negeri pun sering terjadi pengobatan yang

tidak sesuai dengan standar, misalnya di Australia.

Kasus 4 melanggar juga peraturan hukum. Produsen bahan baku bagi obat

hewan tidak boleh menjual produknya langsung kepada peternak ayam dan

peternak ayam itu hanya boleh mempergunakan obat hewan dalam bentuk obat

jadi. Tetepi di Indonesia penjualan langsung dari bahan baku obat kepada

peternak ternyata banyak dilakukan, dengan obat antibiotika maupun obat lain.

Seorang dokter hewan menyebut praktek ini “penyimpangan fatal…yang sangat

merisaukan dan melanggar ketentuan”. Ia menambahkan :”Secara teknis,

penanganan bahan baku memerlukan ketelitian dalam takaran, lamanya

pemberian dan ketepatan indikasi penggunaan. Apabila tidak dilakukan dengan

baik akan terjadi overdosis, dan mengakibatkan keracunan, dan resistensi

mikroorganisme terhadap antibiotika”.

Sebagaimana lazimnya di bidang bisnis, pelanggaran ini terjadi karena

alasan mencari keuntungan. Walaupun pada skala besar praktek ini bisa

mengakibatkan pemborosan, karena diberikan dosis lebih besar daripada yang

semestinya, bagi pihak-pihak yang langsung terlibat praktek ini membawa

untung. Produsen bahan baku obat mendapat harga lebih baik untuk produknya,

ketimbang ia menjualnya kepada pabrik farmasi. Pada gilirannya peternak ayam

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 12

Page 13: Kasus Ford&Firestone

memperoleh obat-obatan dengan harga lebih murah, ketimbang ia harus

membeli obat jadi. “Permainan” ini bagi mereka saling menguntungkan. Tetapi

dengan demikian mereka merugikan masyarakat yang akan mengkosumsi

produk peternakan ayam (telur dan daging). Sebab, justru dengan langsung

menggunakan bahan baku, mudah terjadi pemakaian obat dengan dosis tidak

tepat yang akan menyebabkan residu obat, sebagaimana sudah dijelaskan

dalam analisis kasus sebelumnya. Dan disini tampak alasan etis yang kuat :

produsen bahan baku obat dan lebih khusus lagi peternak ayam mempunyai

tanggung jawab moral untuk tidak merugikan masyarakat konsumen. Mereka

harus menyediakan produk yang aman dan tidak membahayakan kesehatan

konsumen.

Dalam kasus 5 tersinyalir terjadinya penjualan obat manusia untuk dipakai

oleh peternakan ayam. Rupanya prektek ini pun sering berlangsung di Indonesia

dan bukan saja di bidang peternakan ayam. Seorang kandidat dokter hewan dari

Jerman yang sedang magang di salah satu Fakutlas Kedokteran Hewan di

Indonesia semapt heran menyaksikan kebiasaan ini, karena di negeri asalnya hal

itu tidak diperbolehkan. Praketek ini terjadi dengan obat yang masih merupakan

pilihan utama bagi manusia seperti ampisilin, amoksilin, tetrasiklin, dan

chloramphenicol. Jika obat manusia banyak dipakai untuk hewan yang

dikonsumsi manusia , mudah bisa terjadi bahwa manusia bersama dengan

daging hewan mengkonsumsi juga residu obat yang tertinggal dalam daging

hewan itu. Dengan demikian obat itu tidak mempan lagi, bila dibutuhkan oleh

manusia, karena sudah mengakibatkan resistensi. Hal itu sering terjadi dengan

beberapa jenis antibiotika, tetapi juga dengan obat lain. Misalnya, chlorampenicol

merupakan obat pilihan utama (drug of choice) untuk mengobati penyakit tifus

telah “terbiasakan” dengan obat itu atau, dengan kata lain, sudah menjadi

resisten. Dengan demikian konsumen dirugikan karena pengobatan yang normal

diberikan tidak akan berhasil, bila ia terkena penyakit tifus. Walaupun dengan

penyakit tifus tidak perlu menjadi fatal, pengobatannya akan berlangsung lebih

lama dan mengakibatkan penderitaan lebih banyak.

Menurut para pengamat ada beberapa alasan mengapa di Indonesia obat

manusia banyak dipakai untuk mengobati hewan. Alasan pertama adalah bahwa

harga obat manusia biasanya lebih murah dibanding obat hewan. Alasan kedua,

pilihan obat manusia lebih luas. Untuk keperluan manusia segala jenis obat

tersedia, sedangkan obat yang khusus untuk hewan sering kali agak terbatas.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 13

Page 14: Kasus Ford&Firestone

Alasan lain lagi adalah bahwa obat hewan sering tersedia hanya dalam kemasan

besar, serhingga kurang ekonomis bila dibutuhkan dalam kuantitas kecil saja.

Dan akhirnya, kualitas obat manusia kira-kira sama dengan kualitas obat hewan,

sehingga dari sudut itu pun tidak menjadi pertimbangan untuk memilih obat

hewan yang khusus.

Dalam kasus 6 bukan peternak melainkan produsen atau penyalur obat

hewan berperilaku kurang etis. Hal itu bisa terjadi denga banyak cara. Salah satu

cara ialah dengan memberikan penyuluhan yang kurang tepat kepada peternak.

Contohnya, tidak menyebutkan waktu henti pemakaian obat dalam broser yang

menjelaskan pemakaian obat. Perilaku ini harus dinilai kurang etis karena

merupakan kelalaian yang bisa berakibat negatif. Bisa terjadi juga pengusaha

obat dengan sengaja menyesatkan peternak, karena mengejar keuntungan.

Misalnya, suatu praktek yang disinyalir terjadi di Indonesia adalah bahwa penjual

obat hewan membantu mendiagnosis penyaki ayam, lalu menawarkan obat yang

kurang tepat. Ia tahu obat yang seharusnya diberikan untuk penyakit itu, tetapi

perusahaannya tidak memproduksi atau menyalurkan obat tersebut. Daripada

merujuk ke perusahaan yang mempunyai obat itu, ia menawarkan obatnya

sendiri yang kurang efektif, karena merasa keberatan bila perusahaan lain

mendapat keuntungan. Perilaku tidak etis lainnya terjadi, jika perusahaan

bermain dengan konsentrasi zat yang aktif dalam obat, dalam usaha untuk

menghadapi pesaing yeng menjual obat hewan dengan harga lebih murah.

Praktek seperti itu tentu tergolong konsekuensi yang tidak fair. Diluar konteks

persaingan, bisa terjadi juga bahwa produsen menaikkan konsentrasi dalam obat

dengan maksud supaya omzetnya lebih besar dan keuntungan yang diraih lebih

besar pula. Tetapi praktek seperti itu mengakibatkan bahwa lebih mudah terjadi

residu obat (terutama jika dilakukan dengan antibiotika) yang pasti merugikan

kesehatan konsumen.

Akhirnya kasus 7 mengandung masalah etis lain lagi. Obat yang masih

dilarang masih dijual kepada peternak ayam. Contohnya adalah pelarangan obat

hewan golongan notrofuran dan derivatnya seperti furaltadon dan furazolidon.

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan No. TH 260 / 634 / DKH /

0996 tertanggal 19 September 1996 dilarang untuk menyediakan, membuat,

mengedarkan dan memakai obat ini diwilayah Indonesia, karena diketahui

mempunyai efek karsinogenik yang dapay membahayakan masyarakat

konsumen.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 14

Page 15: Kasus Ford&Firestone

Obat golongan nitrofuran itu sudah sejak lama dipakan dalam bentuk

imbuhan pakan (fiid additive) untuk pengobatan dan sebagai pemacu

pertumbuhan, karena hasilnya cukup memuaskan dan harganya murah. Setelah

efek negatif diketahui, apalagi setelah larangan eksplisit dari Direktorat Jenderal

Peternakan keluar, seharusnya pengusaha obat hewan tidak lagi menjual obat

ini. Tetapi pada kenyataannya obat terlarang ini masih dijual kepada peternak

(untuk menghabiskan stok yang masih tersedia?). Tindakan ini jelas

bertentangan dengan etika, karena merugikan kepentingan konsumen.

4. Kesimpulan

Dalam etika, industri farmasi sering disoroti sebagai wilayah usaha yang

menimbulkan masalah berknotasi etika. Studi ini telah menimbulkan bahwa

dalam sektor obat hewanpun, khsusnys obat ayam, terdapat masalah etis yang

cukup berat. Inti permasalahanya adalah kerugian untuk masyarakat konsumen.

Motif utama untuk menyalah gunakan obat ayam adalah menempatkan

kepentingan eknomis si pengusaha di atas kepentingan lain, khususunya

kepentingan konsumen. Kesehatan mayarakat konsumen dikorbankan demi

meraih keuntungan yang labih besar. Demikian peternak ayam dan secara tidak

langsung pengusaha obat hewan lari dari tanggung jawab sosialnya.

Masalah etis menjadi lebih berat lagi, karena dalam hal ini konsumen

sendiri tidak berdaya. Pada umumnya boleh dikatakan, konsumen sendiri

mempunyai tanggung jawab. Seperti sudah kita lihat sebelumnya, dari konsumen

dapat diharapkan ia bersikap dalam menilai produk yang akan dibeli dan

dikonsumsinya. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pepatah kuno caveat

emptor (hendaklah si pembeli berhati-hati). Tetapi bila kita membeli telur atau

daging ayam, dengan mata telanjang kita tidak bisa memastikan apakah pproduk

peternakan ini mengandung residu obat atau tidak. Seankdainya kita tahu bahwa

bahan itu dapat merugikan kesehatan, tentu kita tidak akan membelinya.

Sebaliknya, kita akan mengajukan protes keras, sebagaimana kita lakukan bila

menemukan bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi karena sudah busuk

atau kadaluarsa. Tetapi tentang produk peternakan itu penilaian dengan indra

tidak mungkin. Bahan makanan sperti itu kita beli dan konsumsi berdasarkan

kepercayaan bahwa produk itu sehat. Lagi pula, efek buruk dari konsumsi residu

obat tidak tampak dengan segera. Bisa saja, efek buruk baru tampak sesudah

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 15

Page 16: Kasus Ford&Firestone

waktu lama atau malah sama sekali tidak tampak dengan jelas, namun menjadi

suatu faktor yang memperburuk kesehatan masyarakat disamping faktor-faktor

lain.

Karena itu semua pihak yang terlihbat dalam produksinya bertanggung

jawab untuk menyediakan produk peternakan yang tidak merugikan konsumen.

Tanggung jawab itu pertama-tama dipikul oleh peternak. Mereka secara

langsung terlibat dalam proses produksi telur dan daging ayam. Sebagaimana

halnya dalam industri pangan pada umumnya, mereka wajib menyediakan

produk yang tidak membahayakan kesehatan konsumen. Jika peternak dengan

sengaja tidak menjaga waktu henti obat sebelum memoton ayam dan

menjualnya dipasaran, ia sebenarnya menipu publik konsumen. Berikutnya,

produsen dan penyalur oabat ayam turut bertanggung jawabjuga. Khususnya

produsen mempunyai keahlian dan pengetahuan tentang seluk-beluk obat

hewan. Mereka mempunyai kewajiban berat unruk memberikan penyuluhan yang

semestinya kepada peternak sebagai pemakai obat ayam. Peternakan besar

mempunyai dokter hewan atau apoteker yang khusus mengawasi pemakaian

obat. Tetapi peternakan kecl tidak mempunyai seorang ahli dibidang itu. Maka

selurunya tergantung pada informasi yang di berikan dalam brosur atau secara

lisan oleh penyalur. Karena itu sangat penting terciptanya suasana kepercayaan

antara peternak kecil dan produsen serta penyalur obat hewan. Dari lapangan

kita dengar, peternak kecil kadang merasa curiga bila produsen memberi

petunjuk untuk menggunakan obat anti biotika sekian lama, sedangkan setelah

dua hari obat itu dipakai ayam sudah sembuh. Ia mengira, petunjuk itu semata-

mata bertujuan meningkatkan omzet si pengusaha. Kejadian seperti menunjukan

kurangnya kepeercayaan antara pemakai obat dan produsen. Tetapi yang bisa

menjadi korban adalah konsumen.

Masih ada pihak ketiga yang bertanggung jawab disini, yatu pemerintah.

Kesehatan masyarakat termasuk kepentingan umum yang menjadi tanggungan

khusus bagi pemerintah. Dalam hal ini perlindungan konsumen menjadi lebih

mendesak lagi, karena konsumen tidak dapat melindungi dirinya sendiri.

Sebagaimana telah kita lihat, di Indonesia pengawasan terhadap pemakaian

obat hewan msaih lemah sekali. Ini tidak merupakan hal yang mengherankan. Di

negaa masih berkembang pada umumnya peraturan hukum dan pengawasan

dalam banyak bentuk sering kali lemah. Ricahard De George menekankan

bahwa dinegara-negara berkembang “background institutions” bagi kegiatan

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 16

Page 17: Kasus Ford&Firestone

bisnis masih kurang dan perlu mendapat perhatian khusus. Kekurangan kontrol

atas penggunaan ojbat hewan ini barang kali dapat dilihat sebagai salah satu

contoh yang jelas tentang kenyataan ini. Masalah pengawasan ini tentu tidak

bisa diatur dengan tuntaas dalam waktu singkat. Pengaturan yang menyeluruh

membutuhkan waktu yang panjang. Yang penting ialah bahwa disini akan terjadi

perbaikan berangsur-angsur menurut garis kebijaksanaan yang jelas dan efektif.

Akhirnya masih boleh ditambahkan sebuah catatan tentang antara etika dan

profesionalisme. Dalam sektor bisnis seperti peternakan unggas terjadi cukup

banyak pelangaran etika, karena si peternak kurang profesional dibidangnya.

Hal itu terutama berlaku untuk peternak kecil yang tentu merasa tertarik untuk

menggunakan sarana-sarana modern seperti obat hewan. Anti biotika malah

tidak jarang dipandang sebagai obat ajaib karena menghasilkan perbaikan

kesehatan ayam dengan mencolok. Tetapi kerap kali ia kurang mengerti seluk

beluk penggunaan oabt dan pengaruhnya atas kesehatan konsumen. Jia

peternak kecil mempunyai keinginan untuk maju, ia akan bersedia juga untuk

belajar dan memperbaiki penanganan perusahaanya. Disisi lain pengusaha obat

secara khusus harus mengerti kesulitan peternak kecil dan mencari jalan untuk

membantunya. Akhirnya, instansi pemerintah yang terkait harus memprhatikan

memprhatikan secara khusus peternak kecil ini. Selain menjalankan kontroldan

mensinyalir kesalahan yang terjadi, ia harus secara positif menunjukan jalan

untuk memperbaiki kelemahanya.

§ 5. Beberapa kasus

1. Pinjaman bank

Untuk dapat membeli rumah, seorang karyawan muda mengambil pinjaman

dari bank. Setelah kresibilitas orang tu dipastikan, diadakan kontrak yang

dditandatangani oleh kedua belah pihak . Bank mengikat diri untuk membayar 80

persen dari harga rumah . Jumlah uang itu dipinjamkan kepada nasabah dengan

bunga tetap 8,5 persen per tahun. Nasabah akan membayar bunga setiap enam

bulan, ditambah sebagian dari pinjaman. Di samping itu nasabah mewajibkan diri

mengambil asuransi pada bank itu untuk menutup resiko ia akan meninggal atau

terkena penyakit, sebelum melunasi utangnya. Jika nasabah tidak dapat

melunasi utangnya karena alasan lain, bank menjadi pemilik rumah dan berhak

menjualnya agar memperoleh kembali modalnya. Dalam kontrak ini hak dan

kewajiban bank serta nasabah ditentukan dengan seksama.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 17

Page 18: Kasus Ford&Firestone

(Sumber : J. Verstaeten / J. Van Gerwen , Business en Ethiek, hlm. 100).

2. Pendingin bergaransi

Kepada pembeli alat pendingin udara (AC) pabrik menjamin garansi selama

dua belas bulan. Kuitansi pembayaran dianggap sebagai tanda bukti pemilikan.

Garansi meliputi suku cadang maupun biaya reparasi, tetapi tidak termasuk di

dalamnya transportasi atau pengiriman. Garansi tidak berlaku untuk kerusakan

yang disebabkan oleh pemakaian tidak tepat, kealpaan, atau pemakaian yang

tidak sesuai dengan petunjuk pemakaian. Garansi juga tidak meliputi kerusakan

yang dilaporkan setelah diadakan reparasi atau perubahan oleh dealer lain

daripada yang diakui oleh pabrik.

(Diolah dari : J. Vrstraeten / J. Van Gerwen, op. cit., hlm. 100).

3. Ford Pinto

Menurut tradisi yang cukup lama, industri mobil Amerika cenderung

membangun sedan panjang, berat dan mahal. Pada akhir tahun 1990-an mereka

merasa konkurensi semakin berat dari sedan impor luar negeri yang kecil, ringan

dan cukup murah. Yang paling menonjol di pasaran adalah VW Beetle dari

Jerman dan beberapa merk Jepang. Dalam situasi itu tahun 1968 produsen

mobil Ford memutuskan untuk memproduksi sedan sejenis yang diberi nama

Pinto, dengan berat sekitar 2000 pounds dan harganya sekitar 2000 dollar. Kalau

seluruh proses produksi dari desain sampai pada show-room untuk sedan

macam itu normal membutuhkan waktu tiga setengah tahun, Ford memutuskan

mempersingkat prosesnya sampai dua tahun, sehingga siap dipasarkan pada

tahun 1971.

Dalam menguji prototipe sebelum produksi dimulai, Ford antara lain

mendapatkan bahwa delapan dari sebelas sedan Ponto tidak memenuhi standar

yang diusulkan (tapi tidak diwajibkan) oleh National Highway Traffic Safety

Administration (NHTSA), yaitu bahwa mobil tidak kehilangan bahan bakar, jika

ditabrak dengan kecepatan dua puluh mil per jam. Tiga mobil yang tahan

pengujian itu mempunyai modifikasi tertentu pada tangki bensinnya, seperti lapis

baja antara tangki bensin dan bumper belakang. Pada delapan mobil yang

“rawan” tangki bensin dipasang persis di depan bumper belakang, sehingga

mudah pecah bila ditabrak dari belakang dan akibatnya mudah mengakibatkan

kebakaran.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 18

Page 19: Kasus Ford&Firestone

Dengan demikian para manajer Ford menghadapi dilema yang cukup sulit

untuk mempertahankan desain pertama atau mengubah letak tangki bensin,

pada saat assembling-line sudah disiapkan sesuai dengan desain pertama.

Perubahan bisa mengakibatkan bahwa tipe sedan baru ini tidak siap dipasarkan

menurut jadwal waktu. Mereka memutuskan untuk tetap memproduksi sedan

Pinto menurut rencana pertama. Dalam mengambil keputusan ini mereka antara

lain memperhitungkan dengan cost-benefit analysis bahwa dibayarnya ganti rugi

untuk korban kecelakaan akan lebih murah daripada mengubah letak tangki

bensin. Konon dalam perusahaan beredar memo intern yang pada dasarnya

mengatakan bahwa 180 orang tewas dan 180 orang luka bakar pertahun masih

dapat diterim, walaupun tersedia teknologi untuk menyelamatkan kehidupan

mereka dengan harga 11 dollar per mobil. Dengan lobbying intensif selama

delapan tahun lebih, Ford dapat menunda keputusan pemerintah untuk

menetapkan standar keamanan ketat (= tangki bensin masih utuh pada tabrakan

dengan kecepatan 20 mil per jam) yang memaksanya mengubah desain Pinto.

Menurut perkiraan, dari tahun 1971 sampaai 1978 jumlah korban mati

akkibat kebakaran Pinto harus dihitung antara 700 dan 2500 orang. Meenurut

pengakuan seorang insinyur dari Ford, 95 persen dari mereka bisa diselamatkan

seandainya tangki bensin Pinto ditempatkan diatas as roda belakang mobil,

seperti dilakukan pada sedan Capri. Setelah standar NHTSA diterima pada tahun

1977, Ford diwajibkan untuk membuat modifikasi pada tangki bensin semua

sedan Pinto angkatan 1971-1976.

(Sumber: W.H. Shaw/Vincent Barry, Moral Issues in Businnes, hlm. 84-87; W.

Michael Hoffman/Robert E. Frederick, businnes Ethics. Reading and Cases in

Corporate Morality, hlm. 552-559).

4. Traged obat thalidomide

Thalidomide adalah obat penenang (atau sedatif) yang untuk pertama kali

dikembangkan pada 1953. seperti sebuah obat baru yang lain, thalidomide pun

mengalami suatu periode uji klinis yang panjang. Pada 1958 thalidomide

mendapatkan izin di Inggris, sedangkan di negara-negara lain uji klinis

dilanjutkan. Dalam kalangan medis, obat ini diiklankan sebagai sangat aman,

karena hampir tidak mungkin dipakai untuk percobaan bunuh diri, sebagaimana

dimungkinkan dengan banyak obat penenang atau obat tidur lain, jika ditelan

dalam dosis besar. Tetapi pada 1962 sejumlah bayi lahir dengan cacat berat

yang – seperti baru saat itu diketahui – disebabkan kaarena ibunya meminum

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 19

Page 20: Kasus Ford&Firestone

thalidomide selama kehamilaannya. Bayi-bayi itu tidak mempunyai lengan atau

kaki, atau lahir dengan lengan atau kaki sangat kecil. Setelah diketahui bahwa

thalidomide mengakibatkan bayi cacat (istilah medisnya: teratogen), obat ini tentu

langsung ditarik dari peredaran.

(Sumber : W. Reich (ed.), Encyclopedia of Biothics, New York, 1995, hlm.1123;

The Lancet 18 April 1998, hlm.1197-1199).

5. Pembalut wanita merek Rely dari Procter & Gamble

Pada tahun 1974 pembalut wanita Relay dilontarkan ke pasaran oleh

perusahaan Amerika Procter & Gamble dan enam tahun kemudian produk ini

sudah menguasai pangsa pasar dalam negeri 25 persen.

Bulan Mei 1980, Centers for Disease Control (CDC), instansi kontrol

penyakit di Amerika, mensinyalir timbulnya penyakit baru yang diberi nama toxic

shock syndrome (TSS). Gejalanya adalah, demam tinggi mendadak, mual, diare,

dan tekanan darah sangat rendah. Walaupun tidak tersebar luas, penyakit ini

cukup berbahaya, karena sekitar 10 persen pasiennya meninggal dunia. TSS

ditemukan pada wanita yang sekitar 30 tahun usianya dalam masa menstruasi.

Bulan Juni 1980 seorang wartawan di Los Angeles sudah mengaitkan

penyakit ini dengan penggunaan pembalut wanita. Studi dari Centers for Disease

Control mengkonfirmasikan kaitan ini September 1980 dan ternyata banyaknya

korban diantara pemakai Rely cukup mencolok : 71 persen dari 42 kasus TSS

yang diselidiki memakai Rely. Dalam media massa Amerika masalah TSS ini

ramai dibicarakan.

Dalam situasi ini bagi para manajer dari Procter & Gamble timbul

pertanyaan : apa yang harus dilakukan? Studi CDC itu tentu tidak meyakinkan,

karena jumlah kasus yang diselidiki sangat terbatas dan ditemukan juga korban

diantara pemakai pembalut merek lain. Namun demikian, pada 23 September

1980 Procter & Gamble mengumumkan bahwa penjualan Rely dihentikan.

Beberapa hari kemudian mereka mencapai kesepakatan dengan Food and Drug

Administration untuk mengambil kembali kemasan Rely dari toko dan dari

pembeli perorangan. Bagi Procter & Gamble keputusan ini membawa rugi

puluhan juta dollar Amerika. Mereka mengkhususkan dua juta dollar lagi untuk

penelitian tentang penyakit TSS.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 20

Page 21: Kasus Ford&Firestone

Supaya tidak ditimbulkan kesan bahwa dengan berhentinya produksi Rely

masalahnya sudah selesai, Food and Drug Administration mengusulkan kepada

semua produsen pembalut wanita, agar pada produknya ditempelkan lebel

peringatan tentang kemunginan kaitan antara pemakaian pembalut dan penyakit

TSS. Semua perusahaan menerima usulan itu, kecuali Tampax yang dudah

mengadakan kampanye promosi sekitar keamanan produknya yang

mengakibatkan pangsa pasar mereka naik dari 43 persen menjadi 46 persen.

Dalam pada itu hubungan mutlak antara penyakit TSS dan pemakaian Rely tidak

terbukti. Sesudah penjualan Rely dihentikan jumlah kasus memang menuurun,

tetapi penyakit TSS tidak terbasmi. Penyakit ini malah ditemukan di negara

dimana Rely tidak pernah terjual.

(Sumber : J. Verstreaten / J. Van Gerwen, Business en Ethiek, hlm.105-106;

J.R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, hlm.18-19; W.H. Shaw / V.

Barry, Moral Issues in Business, hlm.474-475).

6. Obat Tylenol

Tylnol adalah obat analgesik (penghilang nyeri) yang diproduksi oleh

perusahaan Amerika Johnson & Johnson. Obat yang boleh dijual tanpa resep

dokter ini tersedia dalam bentuk tablet maupun kapsul. Bulan September 1982 di

wilayah Chicago tujuh orang meninggal duia setelah minum kapsul Tylenol,

karena isinya dicemarri dengan cyanide, racun yang sangat berbahaya. Sesudah

peristiwa tragis ini penjualan tylenol anjlok dengan mendadak, sedangkan

sebelumnya obat ini menguasai 37 persen dari pasaran. Itu berarti obat ini

dipakai oleh kira-kira satu juta orang Amerika.

Perusahaan sendiri tentu tidak bertanggung jawab atas tindakan kriminal

ini. Hanya perlu diakui, produk tidak seluruhnya aman, karena kapsulnya bisa

dibuika. Johnson & Johnson beraksi cepat dengan menarik kembali dari toko

semua kemasan Tylenol dalam kapsul. Kepada pelanggan yang sudah terlanjur

membeli kapsul Tylenol, ditawarkan digantikannya dengan tablet, sekaligus

diadakan kampanye iklan untuk menginformasikan bahwa Tylenol dalam tablet

tetap aman. Di samping itu dibuka nomor telepon khusus (hotline) untuk

menjawab pertanyaan dari masyarakat. Sementara itu Johnson & Johnson

mengambil keputusan untuk mengembangkan kapsul aman yang tidak bisa

dibuka. Pada akhir bulan Desember 1982 Tylenol dalam kapsul baru sudah bisa

diiklankan. Biaya untuk pembaharuan ini berjumlah 150 juta dollar Amerika.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 21

Page 22: Kasus Ford&Firestone

Penjualan Tylenol pulih kembali – di luar dugaan para ahli pemasaran – dan

sudah setahun malah melebihi pangsa pasar sebelumnya.

(sember : Ronald M. Green, The Ethical Manager, hlm. 208-219).

7. Ban mobil Firestone 500

Akhir tahun 1960-an di luar Amerika Serikat mulai diproduksi ban radial yang

dari dalam diperkuat dengan kerangka kawat baja. Perusahaan Amerika

Firestone memutuskan untuk mengembangkan ban mobil serupa itu juga. Pada

waktu itu ban mobil merupakan bisnis sangat kompetitif dengan mrjin laba yang

tipis (hanya sekitar 10 persen, belum dipotong pajak). Mungkin kompetisi ketat

itulah menjadi alasannya mengapa Firestone bertindak terlalu cepay dalam

mengembangkan tipe ban baru yang diberikan nama Firestone 500 ini. Tidak

lama sesudah ban ini dipasarkan, perusahaan mendapat keluhan tentang

kualitasnya. Ada laporan tentang ban yang meledak atau tampak ban terlepas

dari bannya, dan sebagainya. Pada akhir tahun 1973 Firestone berusaha untuk

memperbaiki sistem produksi dan pada tahun 1977 menyusul usaha lain lagi.

Tetapi dengan itu masalahnya belum teratasi. Firestone mendapat keluhan dari

General Motors dan Ford yang menggunakan ban ini untuk mobil baru dan juga

dari beberapa perusahaan pengecer yang memasarkan Firestone 500 dengan

merek mereka sendiri. Pada tahun 1976 salah satu perusahaan pengecer,

Montgomery Ward, menuntut pembayaran 500.000 dollar sebagai kompensasi

untuk perbaikan atau penggantian ban yang mereka lakukan. Jumlah uang ini

dibayar oleh Firestone dengan diam-diam.

Tahun 1977 Center for Auto Safety, sebuah lembaga swadaya masyarakat

yang didirikan oleh Ralph Neder, menulis surat kepada presiden direktur

Firestone karena mereka menerima banyak laporan tentang kerusakan ban yang

mengakibatkan kecelakaan dan bahkan menelan korban jiwa. Tetapi surat ini

tidak ditanggapi. Lalu Center for Auto Safety mendesak National Highway Traffic

Safety Administration (NHTSA) untuk meneliti masalah ini. Ketika survei ini

selesai, Firestone megajukan keberatan terhadap publikasinya dengan alasan

bahwa survei itu “secara statistik tidak baik” dan akan merugikan perusahaan.

Institusi kehakiman dalam hal ini membenarkan Firestone. Namun demikian, oleh

Center for Auto Safety hasil survei dibocorkan kepada media massa pada 2 April

1978. bulan Mei dan Juni 1978 sebuah subkomisi dari Kongres Amerika

mengadakan dengan pendapat umum tentang keamanan ban radial. Di hadapan

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 22

Page 23: Kasus Ford&Firestone

subkomisi ini Firestone mempertahankan pada bulan Mei 1978 bahwa hanya 7,4

persen dari nannya dikirim kembali untuk diperbaiki. Namun dua bulan kemudian

tampak bahwa persentase ini adalah 17,5 persen, tiga kali lipat dibandingkan

dengan ban Amerika lainnya. Diperkirakan pada tahun 1978 sudah terjadi lebih

dari 14.000 kali kerusakan ban Firestone 500, yang mengakibatkan 41 korban

jiwa dan sekurang-kurangnya 65 orang luka-luka. Pers Amerika ramai

membicarakan masalah ini. Puncaknya adalah dibocorkannya laporan intern dari

Firesone (1975) bahwa 26 dari 48 ban (56 persen lebih) tidak tahan tes

kecepatan tinggi (high-speed test). Firestone sendiri berusaha mempertahankan

bahwa Firedstone 500 mempunyi tingkat keamanan sama seperti ban dari merek

lainnya. Sesudah perundingan lama dengan NHTSA, akhirnya pada 20 Oktober

1978 para manajer Firestone sepakat untuk menganti ban Firestone 500 yang

masih dipakai dengan ban tipe lain yang baru. Mereka katakan sudah

menghentikan produksi Firestone 500 delapan belas bulan sebelumnya. Namun

penelitian dan Kongres menunjukkan bahwa produksinya berlangsung terus

sampai April 1978.

(Sumber : M. Velasquez, Business Ethics. Concept and Cases, hlm. 269-271;

J.R. Boatright, Ethics and the Conduct of Business, hlm. 317-319).

Pertanyaan untuk latuhan :

1. Bagaimana hak konsumen timbul sebagai sebuah topik dalam etika

bisnis? Hak apa saja yang dimiliki oleh konsumen?

2. Jelaskan tiga pandangan yang menjadi dasar teoritis untuk tanggung

jawab produsen terhadap konsumen? Berilah juga evaluasi atau kritik

tentag tiga pandangan ini.

3. Uraikanlah kasus mobil Ford Pito dari sudut pandang etika konsumen.

4. Apa yang menjadi kewajiban moral produsen terhadap kualitas produk?

5. Apa yang bias dikatakan tentang harga yang adil?

6. Dalam konteks etika konsumen, jelaskan beberapa aspek moral dari

pemakaian obat dalam peternakan ayam.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Dra. H. Popon Herawati, M.Si.

ETIKA BISNIS 23


Top Related