Download - KARYA TULIS ISLAMI

Transcript
  • OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI SARBINI CLUB (Sarana Bina Rohani) SEBAGAI UPAYA MENCEGAH

    KEKERASAN BERLATAR AGAMA

    Oleh LUGITO

    NPM. 1114121122

    Email : [email protected]

    UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

    2012

  • CHARACTER EDUCATION THROUGH OPTIMIZATION "Sarbini Club" (Spiritual Bina Sarana) AS EFFORTS TO PREVENT

    RELIGIOUS VIOLENCE BACKGROUND

    ABSTRACT

    By LUGITO

    Character education is an education that divides its focus on two things, science and the development of individual character which in this case is concerned with the attitude, behavior and thinking individuals. The emergence of various acts of violence, especially in the name of religion, and the group, causing a variety of views as if religious life in Indonesia had been in critical condition since the waning tolerance in diversity. Internal and inter-religious conflicts not stop coloring life of the nation, so the victims continued to fall. The method used in this paper is arranging library technique, this method mengidetifikasi some literature on education adopted in Lampung province in particular to increased character education based on spiritual coaching students both Muslims and non-Muslims. And search the literature and presentation of background problems of violence in the name of religion .. Methods Observations Conducted by seeing firsthand about the problems associated with the study variables and keep records of observations. Sarbini club merupakah a container based character education to teach and apply the various religious disciplines, establishment Sarbini In the club must have the solid foundation of the school so it can not be intimidated by any party. The selection board for each club to be done democratically. therefore the optimal character education through Sarbini club is expected to equip the students for the higher tolerance between religions. This is because in Sarbini club (see overview) were emphasized spiritual values and ethics to students that are expected to suppress the background especially violent religion. Key Words : Character Education, Sarbini Club, Religious Violence Background

  • I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang membagi fokusnya

    terhadap dua hal, yaitu ilmu pengetahuan dan pengembangan karakter

    individu yang dalam hal ini lebih ditekankan kepada sikap, perilaku dan

    cara berpikir individu. Pendidikan karakter sangat penting perannya dalam

    membatasi langkah dan perilaku individu agar tidak melanggar norma dan

    hal-hal lain yang bertentangan dengan budaya masyarakat timur.

    Pendidikan karakter sangat baik jika diterapkan sejak dini dengan sasaran

    anak-anak agar terbentuk pribadi yang memiliki pandangan dan ideologi

    sendiri.

    Semakin berkembangnya teknologi, setiap negara dituntut untuk terus

    meningkatkan kualitas pendidikan agar dapat bersaing dengan negara

    lain. Selain dari segi kualitas pendidikannya, negara juga dituntut

    menciptakan para generasi muda yang berkarakter. Oleh karena itu

    penting untuk diadakan pendidikan karakter, yaitu metode pendidikan

    yang juga mengajari berperilaku.

    Munculnya berbagai aksi kekerasan, khususnya yang mengatasnamakan

    agama dan kelompok, menimbulkan berbagai pandangan seakan-akan

    kehidupan beragama di Indonesia sudah berada dalam kondisi kritis

    karena memudarnya rasa toleransi dalam kemajemukan. Konflik internal

    dan lintas agama tidak henti-hentinya mewarnai kehidupan berbangsa dan

    bernegara, sehingga korban pun terus berjatuhan.

    Banyak pihak menyalahkan maraknya kekerasan berlatar agama ini

    karena ketidakmampuan negara memberikan perlindungan terhadap hak

    asasi warganya. Negara seperti membiarkan tindakan sekelompok orang

    atas nama agama melakukan teror, merusak, melukai, bahkan membunuh

  • warga yang berbeda pandangan. Negara yang memiliki monopoli

    kekerasan tidak menggunakan haknya untuk menegakkan hukum, tetapi

    hanya menjadi penonton kebrutalan.

    Bila semua agama memiliki landasan yang sama, yang saling menghargai

    dan memikirkan nilai kemanusiaan, maka ketika ada konflik kita tidak

    duduk di meja dan kemudian berdebat dan menuduh siapa yang benar,

    siapa yang salah, lalu bertanya siapa yang mesti dibunuh. Yang kita

    lakukan adalah berefleksi, mencari solusi dari setiap agama, bagaimana

    menyelesaikan konflik yang sedang terjadi dan kemudian mengambil

    langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan bersama-sama,

    Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

    Pendidikan Nasional. Dari Undang-undang tersebut yang menarik bagi

    penulis analisa adalah kata-kata yang berbunyi Pendidikan nasional

    berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

    peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

    kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

    agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

    Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

    menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.

    Inilah yang menjadi landasan hukum pendidikan karakter yang selama ini

    menjadi trend disemua jenjang satuan pendidikan.

    1.2 Batasan Masalah

    Beradasarkan latar belakang di atas, di peroleh batasan maslah sebagai

    berikut :

    1. Ruang lingkup Undang-Undang (UU) Pendidikan Karakter.

    2. Identifikasi input dan output Sarbini Club.

    3. Ruang lingkup pemahaman kekerasan berlatar agama.

  • 1.3 Rumusan masalah

    Adapun rumusan masalah yang ada dalam karya tulis ini adalah :

    1. Bagaimanakah implementasi pendidikan karakter berlandaskan

    pemahaman agama dan etika yang optimal?

    2. Bagaimanakah proses pembentukkan Sarbini Club yang mengajarkan

    pemahaman tentang agama?

    3. Apakah hasil yang di harapkan dari proses penerapan Sarbini Club?

    1.4 Tujuan Penulisan

    Adapun tujuan dalam penulisan karya tulis ini adalah :

    1. Untuk menegetahui implementasi pendidikan karakter berlandaskan

    pemahaman agama dan etika yang optimal.

    2. Untuk mengetahui pembentukkan Sarbini Club yang mengajarkan

    pemahaman tentang agama.

    3. Untuk mengetahui hasil yang dari proses penerapan Sarbini Club.

  • II. METODELOGI PENELITIAN

    2.1 PENDEKATAN PENELITIAN

    Penelitian ini menggunakan metode deskriptif di mana akan diuraikan dan

    dianalisis permasalahan penelitian. Pendekatan yang di pergunakan

    dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan pendalaman

    fakta melalui pendekatan kuantitatif yang merupakan suatu paradigma

    penelitian untuk mendeskripsikan peristiwa, perilaku orang atau suatu

    keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan mendalam dalam bentuk

    narasi.

    2.2 Teknik Pengumpulan Data

    a. Studi Pustaka

    Teknik ini mengidetifikasi sejumlah literature tentang pendidikan yang

    diterapkan di provinsi lampung ini khususnya terhadap peningkatan

    pendidikan karakter yang berbasis pada bina rohani para siswa baik

    muslim maupun non muslim. Serta mencari literature dan pemaparan

    permasalahan yang berlatar belakang kekerasan mengatasnamakan

    agama.

    b. Observasi:

    Dilakukan dengan cara melihat secara langsung tentang permasalahan

    yang berhubungan dengan variabel penelitian dan melakukan

    pencatatan atas hasil observasi.

  • 2.3 Kerangka Pelaksanaan

    Adapun kerangka konseptual penelitian ini yaitu sebagai berikut

    GAMBAR 1. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

    2.4 Teknik Analisis Data

    Di dalam penelitian ini, untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan

    dan diseleksi digunakan teknik analisis data deskriptif yaitu data-data yang

    telah dihimpun dan dikumpulkan baik primer maupun sekunder

    selanjutnya disusun, dianalisis, diinterpretasikan untuk kemudian dapat

    diambil kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang diteliti.

    Teknik ini menurut Miles dan Hubermen (1992), diterapkan melalui 3 (tiga)

    alur sebagai berikut :

    Keberhasilan Program

    Pelayanan

    Kualitas

    Pelayanan

    Kesesuaian Antara:

    1. Program dan

    Kebutuhan siswa

    2. Pelaksana dan

    Program

    Standar Pelayanan:

    Kesederhanaan; kejelasan; kepastian waktu; keamanan; tanggung jawab; kelengkapan sarana dan prasarana; kedisiplinan, kesopanan

    Implementasi Program bina

    rohani

  • 1) Reduksi data

    Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan pemerhatian pada

    penyederhanaan, pengabstrakan dan, transformasi data kasar yang

    diperoleh dari referensi yang didapatkan dari . Cara mereduksinya

    dengan meringkas, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-

    gugus, dan menulis memo.

    2) Penyajian data

    Penyajian data dicantumkan dalam bentuk studi kasus secara deskriptif

    tentang kondisi pendidikan karakter yang berbasis bina rohani dan

    etika. Data tersebut dicantumkan dalam bentuk data kualitatif mengenai

    kondisi yang umum terjadi di pendidikan Indonesia.

    3) Penarikan kesimpulan dan verifikasi

    Penarikan kesimpulan adalah kegiatan mencari arti, mencatat

    keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi, yang

    mungkin alur sebab akibat, dan proposisi.

  • III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    3.1 Hasil studi kasus (Sampling Problem)

    Berhadapan dengan konflik-konflik kekerasan berlatar belakang agama,

    agama-agama perlu terus memperkuat kesadaran untuk membangun

    landasan yang sama, yakni menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai titik

    tolak agar konflik tidak terus membara dan semakin banyak manusia yang

    menjadi korban hanya karena persoalan perbedaan agama, demikian kata

    Gunnar Stalsett, ketua Dewan Para Pemimpin Agama Eropa (European

    Council of Religious Leaders) di Jakarta kemarin.

    Stalsett yang berbicara dalam dialog bertajuk Hubungan Antara Dialog

    Antaragama dan Kebebasan Beragama di Centre for Dialog and

    Cooperation among Civilizations (CDCC) dan dihadiri sejumlah duta

    besar, pimpinan agama, aktivis dan akademisi mengatakan, konflik

    antaragama di seluruh dunia tidak akan berakhir selama agama-agama

    masih terus tidak menyadari landasan bersama tersebut, tetapi reaktif

    dalam menghadapi konflik dan kemudian membalas setiap bentuk

    kekerasan dengan kekerasan pula.

    Bila semua agama memiliki landasan yang sama, yang saling

    menghargai dan memikirkan nilai kemanusiaan, maka ketika ada konflik

    kita tidak duduk di meja dan kemudian berdebat dan menuduh siapa yang

    benar, siapa yang salah, lalu bertanya siapa yang mesti dibunuh. Yang

    kita lakukan adalah berefleksi, mencari solusi dari setiap agama,

    bagaimana menyelesaikan konflik yang sedang terjadi dan kemudian

    mengambil langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan bersama-sama,

    kata Stalsett yang juga Anggota Komite Penghargaan Nobel Perdamaian

    (Noble Peace Prize Committee).

  • Ia menilai, umumnya konflik antaragama tidak dipicu oleh persoalan

    ajaran setiap agama, tetapi lebih banyak karena persoalan lain dalam

    kehidupan bersama, namun agama kemudian dibawa-bawa dan seolah-

    olah menjadi faktor utama penyebab konflik. Hal ini tentu saja menjadi

    salah satu permasalahan yang serius, karena dengan kata lain seperti

    pepatah mengatakan menjadi kambing hitam, padahal belum ditel;usuri

    kebenaranya.

    Dimana-mana seringkali terjadi, penyebab konflik bersumber pada

    masalah ekonomi, sosial, politik, namun agama kemudian dibawa-bawa.

    Karena itu, misalnya ada istilah perang antara dunia Barat dan Islam,

    seolah-olah ada perang abadi antara Islam dengan Barat, yang

    diidentikkan dengan penganut agama Kristen. Padahal, penyebab

    sebenarnya adalah masalah politik dan ekonomi, katanya.

    Untuk meredam konflik, jelasnya, pemimpin agama di seluruh dunia perlu

    terus menjalin dialog dengan pengikut agama lain, dalam berbagai bentuk.

    Stalsett juga menilai, pendidikan selalu menjadi sarana efektif dalam

    menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang menunjang realisasi

    keharmonisan relasi antaragama.

    Pendidikan agama sangat berperan penting, baik yang formal maupun

    yang informal. Apa yang dipelajari seseorang dari pendidikan agamanya

    akan sangat mempengaruhi cara pandanganya terhadap agamanya

    sendiri, agama orang lain dan hal itu akan mempengaruhi praksisnya,

    jelas warga Norwegia ini. Din Syamsuddin, ketua Forum Perdamaian

    Dunia (World Peace Forum) mengatakan, selain relasi antaragama, hal

    yang juga sangat penting adalah relasi intra-agama.

    Sebagai contoh, dalam agama Islam sendiri, dengan begitu banyaknya

    organisasi, ada banyak hal yang berbeda dalam ajaran. Karena itu dialog

    intra-agama sendiri juga penting. Kalau relasi intra-agama belum ditata

  • dengan baik, maka berhadapan dengan agama lain pun pasti terjadi

    konflik, kata Syamsuddin, yang juga ketua umum PP Muhamadiyah,

    organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia. Syamsuddin yang juga

    ketua CDCC mengatakan, bila semua agama bisa menjalin relasi yang

    harmonis dan di dalam masing-masing agama juga tidak terjadi

    perpecahan, maka semua agama bisa bersama-sama menciptakan

    musuh bersama.

    Musuh kita bukan lagi agama lain, tetapi kemiskinan, diskriminasi,

    pelanggaran HAM dan semua bentuk kejahatan, kata Presiden Asia

    Committee on Religions for Peace ini. Sementara itu, Theophilus Bela,

    sekertaris jenderal Indonesian Committee Religion for Peace mengatakan,

    dalam relasi antaragama, hal yang juga perlu diberi perhatian serius

    adalah keberadaan kelompok-kelompok garis keras.

    Kita yang berada di ruang diskusi seperti ini tentu bisa dengan mudah

    menjalin relasi yang harmoni dan mungkin bisa dengan mudah juga

    mewujudkan kemanusiaan sebagai basis bersama. Namun, yang sering

    menjadi persoalan adalah kaum radikal yang memotori aksi kekerasan

    dimana-mana. Mereka ada di setiap agama, katanya. Karena itu,

    menurutnya, pemimpin agama-agama yang moderat perlu merangkul

    kelompok-kelompok garis keras.

    Tantangan setiap agama, bagaimana menghadapi mereka. Kelompok

    radikal jumlahnya kecil tapi mereka mampu menyebar kebencian sampai

    kemana-mana, bahkan bisa mempengauhi seluruh dunia. Lihat saja

    dengan fenomena film Innocence of Muslims beberapa waktu lalu dan

    juga aksi pembakaran Alquran oleh Pendeta Terry Jones di Amerika

    Serikat, tegasnya.

    (http://indonesia.ucanews.com, 2012)

    http://indonesia.ucanews.com/

  • 3.2 Pembahasan

    Berdasarkan hasil studi kasus beserta relevansi materi penelitian dan

    analisis, dapat di kelompokkan berdasarkan analisis materi sebagai

    berikut :

    1. Bina rohani sejak dini

    Sumber: Zubaidah Djohar. 25 November 2011.

    Disadari atau tidak, kita kini hidup dalam budaya kekerasan (the

    culture of violence). Dikatakan demikian, karena masyarakat kita di

    tingkat lokal, regional dan bahkan global, individu dan komunal telah

    secara turun temurun menggunakan cara hidup yang bernuansa

    kekerasan. Artinya, cara hidup dengan kekerasan dalam menjalani

    kehidupan terus tumbuh dan berkembang, berasimilasi dan

    membentuk perilaku kekerasan individu dan kelompok, sehingga

    menjadi tatanan kehidupan. Secara realitas, kita telah menjadi individu

    dan kelompok masyarakat yang terbiasa hidup dalam pola atau

    tatanan masyarakat yang setiap hari dihadapkan dengan aksi

    kekerasan. Kekerasan yang tumbuh dan berkembang tersebut hadir

    dalam semua bentuk verbal dan non verbal.

    Secara verbal, kekerasan terwujud dalam sebuah kata, kalimat atau

    ungkapan-ungkapan kasar yang keluar dari mulut seseorang, maupun

    kelompok orang yang menyebabkan timbulnya rasa sakit pada orang

    atau kelompok orang yang dikasari. Sementara kekerasan non verbal

    yang menyakitkan itu adalah tindakan seseorang yang dilakukan

    secara fisik seperti menampar, menendang, memukul, dan membunuh

    dengan senjata dan sebagainya. Nah, semua bentuk kekerasan

    tersebut, kini semakin marak terjadi di dalam kehidupan kita di

    Indonesia, baik di keluarga, sekolah, masyarakat dan juga di level

    Negara. Kekerasan itu bisa terjadi kapan saja dan dilakukan oleh siapa

  • saja. Kadangkala, kita tidak menyadari kalau kita sudah melakukan

    tindak kekerasan terhadap seseorang.

    Aksi-aksi kekerasan yang berlatar belakang agama, juga sering

    memilih tindak kekekarasan sebagai jalan penyelesaian masalah.

    Kelompok-kelompok pemeluk agama yang katanya fundamentalis,

    memilih aksi radikal lewat aksi kekerasan, melakukan penyerangan,

    pengrusakan dan bahkan pengeboman seperti apa yang terjadi

    terhadap hotel J.W Mariot di Jakarta, Pengoboman Bali, dan lain-lain.

    Ini adalah indicator yang membuktikan berkembangnya budaya

    kekerasan di tengah masyarakat kita dan masyarakat global saat ini.

    Pendek kata, kita kini semakin didorong masuk ke dalam budaya

    kekerasan yang lebih dalam dan semakin dalam.

    Yang menjadi pertanyaan besar bagi kita semua yaitu bagaimana

    menghentikan kekerasan yang sudah membudaya di tengah

    masyarakat kita? Hal ini memang sulit untuk dijawab . hal yang paling

    taktis dan ideal dilakukan yaitu mengubah paradigma sedini mungkin.

    Seperti kata pepatah bahwa belajar ketika kecil bagai mengukir

    diatas batu akan tetapi jika belajar di waktu tua bagaikan mengukir

    diatas air.

    Dengan menggali akar kekerasan tersebut, akan ditemukan faktor-

    faktor utama dan sekunder, internal dan eksternal dari berkembangnya

    budaya kekerasan di dalam masyarakat kita. Bukan hanya itu, dengan

    cara ini pula akan ditemukan strategi untuk meredam berkembangnya

    budaya kekerasan, serta menentukan dan membagi tanggung jawab

    masing-masing para pihak secara holistic dan terpadu dengan saling

    bersinergi. Tentu saja tidak mudah, karena untuk mewujudkan upaya

    yang sinergis, tripusat pendidikan, keluarga, sekolah dan masyarakat

    serta media harus segera direkat.

  • Seperti yang kita ketahui bersama bahwa paradigma itu dibentuk dari

    kecil melalui lingkungan baik tingkat keluarga maupun disekolah. Sesuai

    dengan pecanagan pendidikan yang mewajibkan 12 tahun atau setingkat

    dengan sekolah menengah atas. Pola pikir yang sehat haruslah

    ditanamkan sejak dini sehingga dikemudian hari resiko terjadi kekerasan

    terutama yang berlatar agama bisa di minimalisir.

    Masa remaja yang identik dengan pelajar adalah suatu masa transisi dari

    masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dimana remaja merasa bukan

    kanak kanak lagi, tetapi mereka belum mampu mengemban tugas

    sebagai orang dewasa. Karena itu, remaja berada di antara suasana

    ketergantungan (dependency) dan ketidaktergantungan (interdependency)

    sehingga tingkah lakunya cenderung labil serta tidak mampu

    menyesuaikan diri secara sempurna terhadap lingkungannya.

    Masa ini dikenal sebagai masa manusia mencari jati diri. Pencarian

    tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan

    keegoannya. Yang dinamakan kelompok tidak hanya lima atau sepuluh

    orang saja. Satu sekolah pun bisa dinamakan kelompok. Kalau kelompok

    sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam ikatan batin antara

    sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya. Maka tidak

    heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah

    berbicara.

    Pada fase ini, remaja termasuk kelompok yang rentan melakukan

    berbagai perilaku negatif secara kolektif ( group deviation ). Mereka patuh

    pada norma kelompoknya atau teman bergaulnya yang sangat kuat dan

    biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku.

    Penyimpangan yang dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat

    pengaruh pergaulan atau teman. Kesatuan dan persatuan kelompok dapat

    memaksa seseorang untuk ikut dalam kejahatan kelompok, supaya

    jangan disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah letak bahayanya bagi

    perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan dalam

    kelompok sebaya adalah nilai yang negatif. Berlatar belakang masalah ini

  • maka konsep Sarbini Club memang harus lebih ditingkatkan sehingga

    berdampak pada peningkatan nilai etika dan rohani masing masing

    siswa.

    Sarbini Club akan sangat efektif jika diterapkan di institusi pendidikan

    terutama tingkat pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas. .

    selama ini Sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan yang mapan

    disinyalir kurang memberikan pendidikan moral dan etika pada para

    siswanya. Selama ini, ajaran-ajaran yang ditekankan di sekolah melulu

    soal pelajaran akademis dalam satuan teori-soal, seperti matematika,

    fisika, sejarah, dan seterusnya. Kalau pun ada mata pelajaran moral atau

    agama, ia hanya direduksi sebatas pelajaran yang diajarkan sekadar teori.

    Didalam Penelitian Malik (2002) mengungkapkan bahwa salah satu faktor

    yang melatarbelakangi terjadinya tawuran pelajar adalah krisis moral yang

    tengah melanda remaja. Padahal moral adalah modal yang paling penting

    sebagai tameng bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya.

    Sehingga, pencegahan tawuran dapat dilakukan secara efektif dengan

    memberikan pendidikan moral kepada pelajar melalui pembinaan agama

    melalui metode yang tepat. Hal ini juga berpeluang menimbulkan

    kekerasan berlatar agama di kemudian hari.

    Mengapa kita mengarahkan solusi kepada perbaikan moral ? karena

    hanya dengan moral yang baik, seseorang tetap akan berperilaku baik

    secara konsisten, meskipun tanpa kehadiran pengawas, guru atau orang

    lain di sekitarnya. Maka dengan pendidikan moral secara intensif

    merupakan suatu upaya yang efektif untuk mendidik para pelajar secara

    sadar dan konsisten mau menghindari tawuran.

    Proses pendidikan yang seperti ini diharapkan bisa mencetak generasi

    muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus

    bisa membawa peserta didik ke arah kedewasaan, kemandirian dan

    tanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berakhlak mulia,

  • berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada

    keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.

    Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan sumber

    daya alam yang kita miliki dan dihargai di dunia internasional. Kalau perlu

    bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga

    negara lain tidak seenaknya mendikte bangsa ini dalam berbagai bidang

    kehidupan (http://www.rumahrohis.com, 2012)

    Didalam permasalahan kekerasan berlatar agama yang telah disebutkan

    diatas haruslah di carikan alternative penyelesaian. Disini untuk merubah

    pola piker haruslah sejak dini , salah satunya bisa diawali dari tingkat

    pendidikan dasar disekolah. Disini saya mengajukan konsep terapan yang

    ideal dan dapat diterapkan di dalam pendidikan karakter yang berbasis

    nilai dan etika yaitu dengan konsep yang saya beri nama sarbini club (

    sarana bina rohani) .

    Akan tetapi jika penanganan hanya bertumpu pada tenaga pengajar saja

    maka akan tidak optimal. Hal ini disebabkan oleh hubungan yang

    terkadang menjadi pembatas didalam penciptaan pelajaran yang ramah.

    Oleh karena itu didalam konsep Sarbini Club ini diberikan tutor yang

    lebih friendly. Pembinaan rohani ini akan di amanahkan oleh masing

    masing tutor untuk setiap agama . jikasiswa yang beragama islam bias

    membentuk halakoh ( lingkaran belajar Alquran ) dan pendalaman tentang

    toleransi keragaman agama. Begitu pula di dalam agama non islam

    diajarkan tentang kerohanian menurut agama mereka masing masing.

    .

    http://www.rumahrohis.com/

  • 2. Gambaran dari sarbini club

    Adapun gambaran sarbini clup yaitu sebagai berikut :

    Sarbini club merupakah sebuah wadah berlandaskan pendidikan karakter

    yang mengajarkan dan menerapkan berbagai macam disiplin ilmu

    mengenai keagamaan. Dalam wadah ini, setiap individu (umum) yang

    berpartisipasi dan berkontrisbusi akan di bina dan didik sesuai dengan

    ideology dan keyakinan masing-masing oleh tim pengajar yang di

    sesuaikan oleh sekolah / pendidikan formal (mulai dari SD-Sederajat

    sampai SMA Se-derajat). Adapun isi materi atau disiplin ilmu yang akan di

    tularkan adalah bagaimana kita sebagai manusia pada sejatinya harus

    saling memahami dan menghargai hubungan antar agama serta mengatur

    berbagai macam tingkah laku kita yang secara relevan akan berkaitan

    dengan persoalan keagamaan, dan hasil yang di harapkan adalah remaja

    atau anak bangsa akan cenderung menghindari atau meminimalisir

    tindakan ketidaksesuaian antar agama yang biasa di wujudkan oleh

    tindakan kekerasan yang banyak merugikan orang lain.

    3. Teknis pembentukan sarbini club

    Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Indonesia ini tidak akan

    berjalan jika tidak dipaksa . hal ini pertama memang harus dilakukan untuk

    mendorong agar sarbi club ini bias berjalan dengan baik dan dapat diikuti

    oleh semua siswa . hal yang harus dilakukan yaitu Dijadikan kegiatan

    wajib keagamaan untuk masing masing agama dengan dewan Pembina

    dan penasehat masing masing.

    Didalam pembentukan sarbini club haruslah mendapat landasan yang

    kuat dari pihak sekolah sehingga tidak dapat di intimidasi oleh pihak

    manapun juga. Pemilihan pengurus untuk masing masing club harus

    dilakukan secara demokrasi harapanya bias menekan tindakan KKN .

  • Gambar 2. Alur terbentuknya sarbini club

    Dari diagram alir diatas dapat kita lihat bahwa sekema yang

    dituangkan sudah menghendaki standar operasional program yang

    berbasis demokratis dan ditekankan pada nilai etika dan pengurangan

    praktek kkn dan penyimpangan yang lainya. Dengan terbentuknya

    sarbini club ini diharapkan bias menekan segala macam tindakan

    kekerasan terutama kekerasan yang berlatar agama. Hal ini juga

    diperkuat dengan visi misi dari sarbini club itu sendiri haruslah sesuai

    dengan undang undang yang berlaku.

    4. Sarbini Club Vs Kekerasan Berlatar Agama

    Pada dasarnya kekerasan berlatar agama bias timbul dari masalah yang

    cukup sederhana seperti dibawah ini.

    skriptualisme-ideologis.

    Salah satu kecenderungan Islam radikalis adalah skriptualis atau literalis

    dalam menafsirkan teks-teks agama. Mereka cenderung menolak studi

    kritis teks-teks agama seperti hermeunetika, yakni kajian yang berangkat

    dari tradisi filsafat bahasa yang mengasumsikan bahwa Alquran harus

    proposal sarbini club

    di acc kepala sekolah

    dibuat surat kerja

    peresmian pemilihan pengurus

  • dipahami, ditafsirkan, dikaji, dan didialogkan untuk menafsirkan realitas

    sosial. Akibat menolak penafsiran secara hermeunetika ini, mereka

    terjebak dalam penafsiran harfiah yang menjadikan teks kitab suci sebagai

    legitimasi atau justifikasi tindak kekerasan. Di satu sisi, teks agama

    (Alquran) bisa menjadi petunjuk berharga dan sumber kedamaian. Namun

    di sisi lain, teks agama bisa dijadikan dalih untuk melakukan tindak

    kekerasan atas nama jihad.

    Kedua, respons terhadap modernisasi.

    Bagi penganut Islam radikal, modernisasi sering disalahpahami. Mereka

    menganggap modernisasi sebagai sesuatu yang membahayakan ajaran

    dan identitas Islam karena berasal dari Barat. Mereka tidak memedulikan

    wacana modernisasi secara komprehensif (baik/buruk, benar/salah,

    manfaat/tidak manfaat). Mereka berpikir segala sesuatu yang datang dari

    Barat harus ditolak tanpa memilah dan memilih manfaat serta

    mudaratnya. Penulis prolifik, Karen Armstrong, pernah mengatakan

    gerakan fundamentalisme/radikalisme berhubungan erat dengan

    modernitas. Radikalisme tak bisa lepas dari pengaruh rasionalisme Barat,

    karena menguraikan tak satu hal pun, termasuk agama, yang tidak

    berubah. Agama tak pernah luput dari modernisasi.

    Ketiga, pengaruh kapitalisme global.

    Meski kapitalisme gobal telah menciptakan kesejahteraan dan

    kecanggihan teknologi, sistem ini juga menciptakan ancaman serius

    terhadap nilai-nilai sosial, budaya, tak terkecuali kepercayaan.

    Kelompok Islam radikal menganggap kapitalisme adalah agenda Barat

    nonislami yang dipaksakan pada masyarakat muslim. Mereka berasumsi

    sistem ekonomi kapitalisme adalah biang keladi dan penyebab krisis

    ekonomi dunia dan umat Islam. Oleh kerena itu, mereka berpikiran harus

    ada sistem ekonomi pengganti kapitalisme, yaitu sistem ekonomi Islam.

  • Tentu untuk menopang semua ini perlu penerapan syariat Islam oleh

    negara.

    Beranjak dari masalah tersebut diatas yang justru menitik beratkan pada

    radikalisme . oleh karena itu dengan optimalnya pendidikan karakter

    melalui sarbini club ini diharapkan mampu membekali para murid untuk

    semakin tinggi toleransi antar agama. Hal ini dikarenakan di sarbini club (

    lihat gambaran umum) di tekankan nilai rohani dan etika untuk murid

    sehingga diharapkan mampu menekan kekerasan khusunya yang

    berlatar agama. (Sumber : Lampost 07 Oktober 2011)

  • IV. KESIMPULAN

    Adapun kesimpulan dari karya tulis ini yaitu sebagai berikut :

    1. Implementasi pendidikan berkarakter mampu meningkatkan

    pemahaman murid tentang toleransi antar agama dan nilai etika murid

    sehingga berdampak pada minimalisir kekerasan berlatar agama.

    2. Mekanisme pembentukan sarbini club menekankan pembelajaran

    yang berbasis agama dan nilai etika sehingga dapat menambah nilai

    toleransi antar agama.

    3. Penerapan sarbini club sangat optimal dalam meningkatkan

    pemahaman toleransi agama dengan menekankan pada nilai etika dan

    bina rohani.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Anonim.(n.d).http://edukasi.kompasiana.com/ . Anonim. (n.d).2011.http://kabepiilampungcom.wordpress.com. Drs. H. Tayar Yusuf, dkk. (n.d) 1995. Metodologi Pengajaran Agama Dan Bahasa Arab. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Drs. H. Momon Herdiyanto, Mainstreaming. (n.d). 2001. Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum (artikel), Media Pembinaan No. 06/XXVIII Sepetember 2001.

    Ghazali, Ihya ulumuddiin, Beirut. (n.d) 2011.Membangun jati diri bangsa,

    Jurnal Yayasan jati diri bangsa, Gramedia, Jakarta.

    Kamus besar bahasa Indonesia 2010.

    Kekerasan berlatar agama, (n.d) .2011. http://www.rimanews.com/read/. Kemanusiann harus di utamakan.(n.d). http://indonesia.ucanews.com/2012/10/11/kemanusiaan-harus-diutamakan-dalam-menghadapi-konflik-antaragama/ . M. Athiyah Al Abrasyi .1970.Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Saleh, Abdul Rahman. (n.d). 2000. Pendidikan Agama Dan Keagamaan Visi, Misi dan Aksi, PT Gema Windu Pancaperkasa, Jakarta. Suriyana, Neti, (n.d).2011. membentuk Karakter bangsa, Uranus, Bekasi.

    http://edukasi.kompasiana.com/http://indonesia.ucanews.com/2012/10/11/kemanusiaan-harus-diutamakan-dalam-menghadapi-konflik-antaragama/http://indonesia.ucanews.com/2012/10/11/kemanusiaan-harus-diutamakan-dalam-menghadapi-konflik-antaragama/


Top Related