1Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
KARAKTERISTIK TANAMAN NILAM DI INDONESIA
Amalia
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
I. PENDAHULUAN
Nilam (Pogostemon cablin Benth) atau dilem wangi (Jawa),
merupakan tanaman yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat luas.
Tanaman nilam banyak ditanam untuk diambil minyaknya. Minyak nilam
banyak dibutuhkan untuk industri kosmetik, parfum, antiseptik, dan lain-lain.
Tanaman yang merupakan salah satu komoditas yang cukup penting
sebagai sumber devisa dan pendapatan petani. Areal pertanaman nilam di
Indonesia rata-rata 10.000-12.000 ha dan sampai saat ini telah mencapai
21.440 ha yang tersebar di daerah-daerah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Bengkulu, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dengan rata-rata
kepemilikan lahan 0,3 ha/keluarga dan melibatkan paling tidak 30.000-
72.545 keluarga untuk usahatani nilam dan petani penyuling. Masalah
utama yang dihadapi adalah rendahnya produktivitas dan mutu minyak.
Berdasarkan data Ditjenbun tahun 2009 (199 kg/ha/tahun) bahwa
rendahnya produktivitas dan mutu minyak nilam disebabkan oleh serangan
penyakit tanaman, terutama layu bakteri dan budok yang dapat
menurunkan kadar produksi 60-95% pertanaman nilam (Asman et al. 1993).
Minyak nilam termasuk salah satu dari minyak atsiri atau minyak
eteris/minyak terbang (essential oil, volatile) karena sifatnya yang mudah
menguap pada suhu kamar. Minyak nilam berbau wangi dan pada umumnya
larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Secara fisiologis,
minyak pada tanaman penghasil minyak atsiri berfungsi : (1) membantu
proses penyerbukan atau sebagai atraktan terhadap beberapa jenis
serangga atau hewan, (2) mencegah kerusakan tanaman oleh serangga,
dan (3) sebagai makanan cadangan bagi tanaman. Minyak atsiri sendiri
2 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
merupakan salah satu hasil proses metabolisme pada tanaman yang
terbentuk karena reaksi berbagai persenyawaan kimia dengan adanya air.
Tanaman penghasil minyak atsiri diperkirakan berjumlah 150-200
species, antara lain yang termasuk dalam famili Pinanceae, Labiate,
Compositoe, Lauraceae, Myrtaceae, dan Umbelliferaceae. Minyak atsiri dapat
ditemukan pada daun, bunga, buah, biji, batang, kulit, dan akar. Untuk
tanaman nilam, minyak atsirinya banyak tersimpan di dalam sel-sel kelenjar
minyak pada daun.
II. JENIS TANAMAN NILAM
Nilam (Pogostemon sp.) termasuk famili Labaiatae, ordo Lamiales,
klas Angiospermae dan divisi Spermatophyta. Di Indonesia terdapat tiga
jenis nilam yang dapat dibedakan menurut karakter morfologinya,
kandungan PA dan kualitas minyak serta ketahanan terhadap cekaman
biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut adalah 1). P cablin Benth. Syn.
P. pathcouli Pellet var. Suavis Hook disebut nilam aceh, 2). P. heyneanus
Benth disebut nilam jawa, dan 3). P. hortenis Becker disebut nilam sabun
(Guenther 1952). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam Aceh dan nilam
sabun yang tidak berbunga. Adapun yang paling luas daerah penyebarannya
dan banyak dibudidayakan adalah nilam aceh yang memiliki kadar minyak
dan kualitas minyak lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis nilam
lainnya. Ciri spesifik yang dapat membedakan antara nilam aceh dan nilam
jawa secara visual terdapat pada daunnya. Pada nilam aceh permukaan
daunnya halus, bergerigi tumpul, ujung daunnya runcing sedangkan pada
nilam jawa permukaan daunnya kasar, tepi daun bergerigi runcing dan
ujung daunnya meruncing. Menurut Nuryani et al. (1997), nilam jawa lebih
toleran terhadap nematoda dan penyakit layu bakteri dibanding dengan
nilam aceh, karena antara lain disebabkan kandungan fenol dan ligninnya
yang lebih tinggi daripada nilam aceh.
3Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.1. Pogostemon cablin
Nilam aceh merupakan tanaman introduksi diperkirakan berasal dari
Filipina atau semenanjung Malaysia, dan masuk ke Indonesia lebih dari
seabad yang lalu. Nama lainnya Pogostemon cablin adalah Pogostemon
metha. Nilam jenis ini jarang berbunga. Nilam aceh mengandung sekitar
2,5-5 % minyak, sehingga banyak diminati oleh petani maupun pasar. Tiga
varietas nilam unggul yang sudah dilepas dengan kadar dan mutu minyak
tinggi, yaitu Lhokseumawe, Tapak Tuan, dan Sidikalang (Nuryani 2006).
Hasil pengujian seleksi ketahanan nilam terhadap layu bakteri (Ralstonia
solanacearum) menunjukkan bahwa varietas Sidikalang lebih toleran
terhadap layu bakteri dibanding Lhokseumawe dan Tapak Tuan (Nasrun et
al. 2004). Varietas Sidikalang juga lebih toleran terhadap nematoda (Mustika
dan Nuryani 2006). Namun, ketiga varietas nilam itu tidak tahan terhadap
penyakit budok (Wahyuno dan Sukamto 2010).
2.2. Pogostemon heyneanus
Sering juga dinamakan nilam jawa atau nilam hutan berasal dari
India, disebut juga nilam kembang karena dapat berkembang. Kandungan
minyaknya lebih rendah 2-3 kali lipat dari nilam aceh, yaitu berkisar antara
0,5-1,5%. Oleh karena itu, nilam jenis ini kurang diminati oleh petani
meskipun bentuk tanamannya lebih besar dan rimbun dibanding nilam aceh.
Namun, nilam jawa (Girilaya) lebih tahan terhadap penyakit layu bakteri dan
nematoda dibanding nilam aceh. Wahyuno dan Sukamto (2010) juga
melaporkan bahwa nilam jawa tahan terhadap penyakit budok yang
disebabkan oleh jamur Synchytrium pogostemonis.
2.3. Pogostemon hortensis
Nilam jenis ini disebut juga sebagai nilam sabun. Jenis ini hanya
terdapat di Banten. Kandungan minyaknya juga rendah, berkisar antara
0,5-1,5%. Mutu minyaknya juga kurang baik sehingga kurang diminati oleh
pasar.
4 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
III. VARIETAS UNGGUL, AGROEKOLOGI DAN KERAGAMAN NILAM
3.1. Varietas unggul.
Balittro telah mengoleksi 28 nomor nilam. Hasil seleksi terhadap
nomor-nomor tersebut telah dilepas tiga varietas unggul nilam yaitu: Tapak
Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang. Penamaan ketiga varietas nilam
tersebut berdasarkan nama daerah asalnya. Ketiga varietas mempunyai
keunggulan masing-masing. Tapak Tuan unggul dalam produksi dan kadar
patchouli alkohol. Lhokseumawe kadar minyaknya tinggi sedangkan
Sidikalang toleran terhadap penyakit layu bakteri dan nematoda.
Tabel 1. Diskripsi tiga varietas nilam
Varietas Tapak Tuan Lhokseumawe Sidikalang
Asal Tapak Tuan (NAD) Lhokseumawe (NAD) Sidikalang (Sumut)Tinggi tan. (cm) 50,57-82,28 61,07-65,97 70,70-75,69Warna batang muda Ungu Ungu UnguWarna batang tua Hijau keunguan Ungu kehijauan Ungu kehijauanBentuk batang Persegi Persegi PersegiPercabangan Lateral Lateral LateralJumlah cab. primer 7,30-24,48 7,00-19,76 8,00-15,64Jumlah cab. sekunder 18,80-25,70 11,42-25,72 17,37-20,70Cabang primer (cm) 46,24-65,98 38,40-63,12 43,01-61,69Cabang sekunder (cm) 19,80-45,31 18,96-35,06 25,80-34,15Bentuk daun Delta, bulat telur Delta, bulat telur Delta, bulat telurPertulangan daun Menyirip Menyirip MenyiripWarna daun Hijau Hijau Hijau keunguanPanjang daun (cm) 6,47-7,52 6,23-6,75 6,30-6,45Lebar daun (cm) 5,22-6,39 5,16-6,36 4,88-6,26Tebal daun (mm) 0,31-0,78 0,31-0,81 0,30-4,25Tangkai daun (cm) 2,67-4,13 2,66-4,28 2,71-3,34Jumlah daun/cabangprimer
35,37-157,84 48,05-118,62 58,07-130,43
Ujung daun Runcing Runcing RuncingPangkal daun Rata, membulat Datar, membulat Rata, membulatTepi daun Bergerigi ganda Bergerigi ganda Bergerigi gandaBulu daun Banyak, lembut Banyak, lembut Banyak, lembutTerna segar (ton/ha) 41,51-103,05 42,59-64,67 31,19-80,37Minyak (kg/ha) 234,89-583,26 273,49-415,05 176,47-464,42Kadar minyak (%) 2,07-3,87 2,00-4,14 2,23-4,23Patchouli alkohol (%) 28,69-35,90 29,11-34,46 30,21-35,20KetahananMeloidogyne incognita Sangat rentan Rentan Agak rentanPratylenchus bracyurus Sangat rentan Agak rentan Agak rentanRadhopolus similis Rentan Rentan Agak rentanRalstonia
solanacearumRentan Rentan Toleran
Peneliti Y. Nuryani, Hobir, C. Syukur dan I. Mustika
Sumber: Nuryani (2005)
5Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Tanaman nilam merupakan jenis tanaman berakar serabut, bentuk
daun bervariasi dari bulat hingga lonjong dan batangnya berkayu dengan
diameter berkisar antara 10-20 mm. Sistem percabangan banyak dan
bertingkat mengelilingi batang antara (3-5 cabang per tingkat). Setelah
tanaman berumur 6 bulan, tingginya dapat mencapai 1 meter dengan radius
cabang selebar lebih kurang 60 cm. Karakteristik kualitatif yang dapat
membedakan ketiga varietas nilam aceh adalah warna pangkal batang.
Varietas Tapak Tuan, warna pangkal batangnya hijau dengan sedikit ungu,
varietas Lhokseumawe lebih ungu dan varietas Sidikalang paling ungu.
Sebagai tanaman yang diambil minyak atsirinya, produksi, kadar dan
mutu minyak nilam yang dihasilkan merupakan faktor penting yang dapat
dipergunakan untuk menentukan keunggulan suatu varietas. Disamping itu,
karakter lainnya seperti sifat ketahanan terhadap penyakit juga merupakan
salah satu indikator penentu. Banyak faktor yang mempengaruhi kadar dan
mutu minyak nilam, antara lain, genetik (jenis), budidaya, lingkungan,
panen dan pasca panen.
3.2. Agroekologi
Tanaman nilam termasuk tanaman yang mudah tumbuh seperti herba
lainnya. Untuk memperoleh produksi dan mutu yang tinggi, maka dalam
budidaya nilam perlu memperhatikan beberapa hal agar usahatani yang
dilakukan dapat menghasilkan produk dan mutu minyak nilam yang optimal.
Tanaman nilam dapat tumbuh di dataran rendah hingga di dataran
tinggi yang mempunyai ketinggian 2.200 meter di atas permukaan laut.
Ketinggian optimal agar nilam dapat berproduksi tinggi ada pada ketinggian
tempat 10-400 meter di atas permukaan laut. Curah hujan yang diperlukan
bagi pertumbuhan tanaman nilam berkisar antara 2.500-3.500 mm/tahun
dan merata sepanjang tahun. Suhu udara yang optimal untuk tanaman
nilam berkisar antara 240-28 0C dengan kelembaban udara lebih dari 75%.
Meskipun tanaman nilam tetap dapat tumbuh di bawah naungan, tetapi
tanaman nilam memerlukan sinar matahari yang cukup agar tumbuh
6 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
optimal. Penggunaan lahan dan iklim sangat berpengaruh pada
pertumbuhan dan kualitas minyak nilam yang dihasilkan. Nilam yang
tumbuh di dataran rendah-sedang (0-700 m dpl) dengan kadar minyak yang
(>2%) lebih tinggi dibanding dengan yang tumbuh di dataran tinggi (>700
m dpl) (Rosman et al. 1998). Intensitas matahari 75-100% akan sangat
mempengaruhi kadar Patchouli Alkoholnya, di daerah yang ternaungi akan
menghasilkan kadar minyak yang rendah. Nilam sangat peka terhadap
kekeringan, terutama pada musim kemarau yang sangat panjang, setelah
dipanen akan menyebabkan kematian.
Tanah yang subur dan gembur serta kaya akan humus sangat
diperlukan oleh tanaman nilam. Pada tanah yang kandungan airnya tinggi,
perlu dilakukan sistem drainase yang baik dan intensif.
3.3. Keragaman
Tanaman nilam yang memiliki keragaman genetik yang relatif rendah
merupakan kendala yang dihadapi oleh pemulia selama ini. Untuk mengatasi
tanaman nilam yang memiliki keragaman genetik yang relatif rendah, maka
sejak tahun 1985 telah dilakukan berbagai penelitian untuk mendapatkan
varietas nilam yang mempunyai kadar dan kualitas minyak yang tinggi
disamping tahan terhadap penyakit dan selanjutnya dikonservasi untuk
dipelajari lebih lanjut (Hobir 2002). Wu et al. (2011) mendapatkan adanya
polimorfisme dalam analisa RAPD, serta tingginya variasi morfologi dan
kimia pada populasi nilam di China, dan mereka menduga variasi tersebut
sangat terkait dengan daya adaptasi yang baik dari masing-masing populasi
nilam terhadap kondisi agroekologi setempat.
Dalam meningkatkan keragaman, arah karakteristik yang ingin dicapai
diusahakan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, misalnya,
pengembangan varietas nilam yang tahan layu bakteri merupakan salah satu
upaya yang efektif untuk mengatasi penyakit layu bakteri. Untuk
mendapatkan varietas yang toleran dan tahan penyakit layu bakteri perlu
7Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
dilakukan berbagai pendekatan untuk meningkatkan keragaman genetik,
antara lain dengan cara irradiasi yang memanfaatkan varietas somaklonal.
Induksi variasi somaklonal pada kultur jaringan dapat digunakan
untuk meningkatkan keragaman genetik dan memperbaiki sifat tanaman.
Variasi somaklonal dapat terjadi dengan penambahan zat pengatur tumbuh
dan sitokinin, perubahan komposisi media dan periode pengkulturan yang
panjang. Di samping itu keragaman genetik juga dapat ditingkatkan melalui
induksi mutasi pada jaringan somatik secara fisik dengan irradiasi sinar
gama (Handro 1981). Peristiwa mutasi secara umum dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu mutasi alam dan mutasi buatan. Mutasi buatan yang di
gunakan sebagai salah satu cara menimbulkan keragaman genetik adalah
salah satu cara cabang dari ilmu pemuliaan tanaman. Mutasi buatan dapat
terjadi bila digunakan mutagen dengan dosis dan waktu tertentu, salah satu
mutagen fisik yang sering dipakai untuk menimbulkan keragaman genetik
yaitu dengan radiasi sinar gamma. Hal ini dimengerti mengingat bahwa
pengaruh radiasi dapat menimbulkan perubahan struktur gen, stuktur
kromosom ataupun jumlah kromosom sehingga mengakibatkan peristiwa
mutasi yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan fenotip. Amalia et
al. (2008) menyatakan bahwa pada kultur in vitro irradiasi sinar gamma
dapat menghambat pembentukan kalus dan tunas sehingga menyebabkan
kematian sebesar 32,5 dan 51,5 %. Gangguan fisiologi yang diakibatkan
pengaruh irradiasi juga terlihat pada diameter kalus (2,62 cm) serta jumlah
tunas (14,1) dan tinggi tunas (1,31 cm) pada 2000 rad dibandingkan
dengan kontrol (3,34 cm; 28,5; 4,42 cm). Pertumbuhan tunas juga terlihat
lebih kerdil dengan warna kalus yang cenderung lebih cokelat dibanding
dengan kontrol yang berwarna putih.
8 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
DAFTAR PUSTAKA
Asman, A., Nasrun, A. Nurawan dan D. Sitepu. 1993. Penelitian PenyakitNilam. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI.Yogyakarta 2, 903-911.
Amalia, E. Hadipoentyanti dan Nursalam. 2008. Pengaruh irradiasi sinargamma terhadap pertumbuhan kalus dan tunas nilam varietassiikalang secara in vitro. Prosiding Seminar Nasional PengendalianTerpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam.
Handro, W. 1981. Mutagenesis and in vitro selection. Dalam T. A. Thrope(Ed). Plant Tissue Culture Methods and Application in Agriculture.Acad Press, New York. Halaman berapa
Hobir. 2002. Pengujian adaptibilitas klon-klon nilam hasil variasi somaklonal.Lap. Teknis Penelitian. Balittro Cimanggu. Bogor. hal. 1-2.
Guenther, E. 1952. The Essential Oil Vol III. D. Van Nostrand, New York.552-560 pp.
Mustika, I. dan Y. Nuryani, 2006. Strategi pengendalian nematoda parasitpada tanaman nilam. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian25:7-15.
Nasrun, Y. Nuryani, Hobir dan Repianyo. 2004. Seleksi ketahanan nilamterhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) secara inplanta. Journal Stigma 12: 421-473.
Nuryani, Y., C. Syukur dan D. Rukmana , 1997. Evaluasi dan dokumentasiklon-klon harapan nilam. Laporan Tahunan (unpublish).
Nuryani, 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian danPengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian danpengembangan Perkebunan. 11 : 1-3.
Nuryani, Y. 2006. Budidaya tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). BalaiPenelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 23 p.
Wahyuno, D. dan Sukamto. 2010. Ketahanan Pogostemon cablindan Pogostemon heyneanus terhadap Synchytrium pogostemonis.J. Penelitian Tan Industri. 16:91-97.
Wu, L., Y. Wu, Q. Guo, S. Li, K. Zhou dan J. Zhang. 2011. Comparison ofgenetic diversity in Pogostemon cablin from China revealed by RAPD,morphological and chemical analysis. J. of Medicinal Plant Research.5:4549-4569
9Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
PROSEDUR PERBANYAKAN NILAM SECARA KONVENSIONAL
Sukarman dan Melati
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
I. PENDAHULUAN
Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan penghasil minyak
atsiri terpenting, dan Indonesia memasok 90% kebutuhan dunia.
Berkembangnya industri kosmetik, parfum, dan farmasi memacu
meningkatnya kebutuhan minyak nilam baik di tingkat domestik maupun
internasional, dengan rata-rata 5% setiap tahunnya. Kebutuhan minyak
nilam dunia pada tahun 2010 mencapai 1500 ton. Indonesia memasok 700
ton, China dan India 350 ton, jadi masih kekurangan 450 ton. Seiring
dengan meningkatnya permintaan minyak nilam perlu diupayakan sistem
produksi berkelanjutan yang dapat menjamin permintaan dan kualitas
minyak nilam yang memenuhi standar ekspor. Untuk mendukung
pengembangan budidaya nilam yang berkelanjutan, diantaranya diperlukan
ketersediaan benih unggul bermutu.
Benih unggul bermutu harus berasal dari varietas unggul yang
diproduksi secara industrial dan telah melalui proses pemeriksaan di
lapangan dan di laboratorium serta proses pengawasan sejak benih di
pertanaman sampai ke konsumen/petani.
Tanaman nilam diperbanyak secara vegetatif dengan menggunakan
setek. Setek nilam dapat berasal dari bagian pangkal tengah dan pucuk
yang terstandar. Agar benih/setek tersebut dapat tumbuh dengan baik
(sehat, cepat dan seragam) benih/setek harus diproduksi dengan cara dan
prosedur yang terstandar. Dalam tulisan ini akan diuraikan prosedur
perbanyakan nilam secara konvensional, yang dimulai dari pemilihan
benih/bahan tanaman dan penyemaian
10 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
II. PEMILIHAN BENIH/BAHAN TANAMAN
Untuk meningkatkan dan menjamin produktivitas dan kualitas nilam,
benih/bahan tanaman harus dipilih secara benar dan baik, karena benih
merupakan salah satu unsur yang sangat menentukan keberhasilan sistem
budidaya setelah lahan. Hampir 40% keberhasilan budidaya tanaman
ditentukan oleh mutu benih. Benih yang benar adalah benih yang diambil
dari kebun induk yang jelas varietasnya. Karakter tanaman pada kebun
induk sama dengan deskripsi varietas tersebut, murni tidak tercampur
dengan jenis dan varietas lainnya. Baik artinya tanaman di kebun induk
tersebut tumbuh dengan baik, sehat tidak terserang OPT dan tidak ada
gejala kekurangan unsur hara.
2.1. Standard Mutu Genetik, Fisik, Fisiologis dan Mutu Patologiskebun induk nilam
Mutu benih meliputi mutu genetik, fisiologis, fisik dan patologis.
Keempat mutu tersebut akan menentukan produksi tanaman. Mutu genetik
adalah benih yang mempunyai identitas genetik yang murni dan mantap,
dan apabila ditanam mewujudkan kinerja pertanaman yang homogen sesuai
dengan yang dideskripsikan pemulianya (Sadjad 1994). Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat telah melepas beberapa varietas unggul nilam
yaitu Tapak Tuan, Lhokseumawe dan Sidikalang. Atribut kualitas yang paling
penting adalah viabilitas (mutu fisiologis), mutu fisiologis berkaitan dengan
daya tumbuh setek nilam di pesemaian. Setek nilam yang bermutu tinggi
secara fisiologis akan mempunyai kemampuan untuk hidup >80 %.
Klasifikasi mutu benih nilam berdasarkan pada kinerja fisik seperti
kebersihan setek (tidak ada daun yang cokelat), kesegaran setek (tidak
layu), daun setek sempurna (tidak berlubang, keriput atau menggulung).
Mutu patologis berhubungan kesehatan benih, setek nilam yang bermutu
tinggi merupakan setek yang bebas dari penyakit layu bakteri (daun dan
batang layu), bebas nematoda (daun berwarna cokelat, akar rusak), bebas
penyakit budok (daun keriput, batang membengkak), bebas hama (daun
berlubang, keriput, menggulung) dan tidak kahat hara.
11Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.2. Standar benih/setek yang digunakan bahan perbanyakan
Kebun induk yang memenuhi standar seperti tersebut di atas,
selanjutnya dapat dijadikan sumber benih dengan cara memanen seteknya.
Berdasarkan hasil penelitian setek dapat diambil dari bagian pangkal, tengah
dan pucuk. Tasma dan Darwati (1989) melaporkan bahwa semua bahan
setek dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan tanaman nilam. Hasil yang
sama dilaporkan oleh Sukarman dan Melati (2009) bahwa viabilitas
benih/daya tumbuh benih setek nilam tidak berbeda antara benih yang
berasal dari bagian pangkal, tengah dan pucuk, walaupun setek pucuk
menghasilkan pertumbuhan (tinggi dan jumlah ruas benih/bibit) yang lebih
cepat dibandingkan benih yang berasal dari setek bagian pangkal dan
tengah (Tabel 1.)
Tabel 1. Pengaruh bagian setek dan lama penyimpanan terhadap viabilitasbenih nilam. Balittro. Bogor, 2006.
Bagian SetekDaya
tumbuh(%)
Tinggibenih(cm)
Jumlahruas
Jumlahdaun
Pucuk 98,0 ns 26, 0 a 8,2 a 13,5 nsPangkal dan tengah 97,3 ns 14, 4 b 7,7 b 14,7 ns
Sumber: Sukarman dan Melati (2009)
Angka- angka dalam baris dan kolom yang sama diikuti oleh huruf sama tidak berbeda nyatamenurut uji berganda Duncan pada tingkat kepercayaan 5%.
Apabila bahan tanaman cukup tersedia dan jarak lokasi pembenihan
dengan kebun induk dekat (dapat dijangkau dalam waktu 24 jam), maka
lebih baik menggunakan setek pucuk, karena setek pucuk mempunyai
pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan setek pangkal atau setek
tengah (Suwandiyati 2009).
Setek nilam yang dipanen hendaknya dengan kriteria:
1. Umur tanaman induk ≥6 bulan.
2. Diameter setek: 0,3-0,5 cm
3. Ukuran setek: setek panjang:> 30 cm, setek pendek:± 15-20 cm
12 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
4. Fisik setek: segar, sehat, tanpa kahat hara, bebas dari serangan
hama dan penyakit dan, telah mengayu, tetapi tidak yang sudah tua
5. Kualifikasi setek dapat berasal dari batang, cabang primer, cabang
sekunder.
Gambar 1. Perbenihan nilam. (A) Setek pucuk (kiri), setek batang/cabang(kanan), (B) Persemaian nilam di polibag yang disungkupplastik, dan (C) Benih nilam yang siap ditanam.
13Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
III. PENYEMAIAN BENIH/SETEK
Penyemaian benih nilam dapat dilakukan di polibag atau bedengan.
3.1. Pesemaian di polibag
Untuk mengurangi tingkat kematian benih/setek perlu disemaikan
dengan menggunakan kantong polibag. Penyemaian dilakuan dengan cara
sebagai berikut:
a. Siapkan rumah atap dari paranet, alang-alang atau jerami (intensitas
sinar matahari 50-70%, di bagian timur tinggi 180 cm dan di bagian
barat tinggi 150 cm dan panjangnya disesuaikan dengan jumlah benih
yang disemai.
b. Siapkan media pesemaian (campuran tanah subur gembur dan
pupuk kandang dengan perbandingan 2:1) tambahkan fungisida dan
nematisida masing-masing 2 g/1 kg tanah dan aduk media sampai
rata.
c. Masukkan media tersebut ke dalam polibag ukuran 15 x 10 cm dan
diberi lubang pada bagian bawahnya, sebanyak ¾ bagian.
d. Susun polibag berisi media semai tersebut di bawah rumah atap,
kemudian siram sampai basah dan biarkan 4-5 hari kemudian
benih/setek baru ditanam.
e. Sebelum disemai di polibag benih/setek direndam dalam air kelapa
25% selama 15 menit atau dioleskan ZPT perangsang perakaran,
kemudian dicelupkan ke dalam fungisida sesuai anjuran.
f. Tanam benih/setek ke dalam polibag dengan cara membuat lubang
semai dan membenamkan dua buku ke dalam media polibag dan
padatkan tanah di sekitar setek, untuk menjaga kelembaban
pesemaian ditutup dengan sungkup plastik (ukuran = lebar 1 m dan
tinggi 0,5 m, panjang sesuai kebutuhan), sampai pesemaian berumur
2 minggu.
14 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
g. Lakukan pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit satu atau
dua minggu sekali dengan pupuk daun, fungisida dan insektisida
dengan dosis anjuran.
h. Setelah persemaian berumur empat minggun diberi perlakuan
”hardening”dengan membuka atap sehingga benih/pesemaian
mendapat sinar matahari penuh.
i. Pada umur 5-6 minggu benih sudah sudah mempunyai cukup akar,
tunas sudah tumbuh dan berdaun sehingga siap dipindahkan ke
kebun untuk ditanam.
Untuk menjamin mutu, benih di persemaian harus mempunyai
standar sebagai berikut:
1. Asal Benih Kebun induk (Balittro) atau petani penangkar varietas
2. Varietas: anjuran Balittro yaitu 3 varietas yang telah dilepas.
3. Naungan : sungkup plastik, atap, paranet, daun alang-alang, daun
kelapa dan sebagainya dengan intensitas cahaya 50-70 %.
4. Tempat semai yaitu polibag hitam ukuran 10 x 15 cm
5. Media semai yang digunakan campuran tanah dan pupuk kandang
dengan perbandingan yaitu: 2:1
6. Umur benih: 1,5 bulan setelah semai (5-7 ruas)
7. Tinggi benih: 20-25 cm
8. Jumlah daun: 5-7 lembar
9. Kesehatan bibit: Bebas OPT, tanpa gejala kekurangan hara.
3.2. Pesemaian di bedengan
Apabila dilokasi persemaian tidak tersedia polibag maka pesemaian
dapat dilakukan di bedengan, dengan cara sebagai berikut:
a. Pilih lokasi yang datar, dekat sumber air dan tidak tercemar patogen.
b. Gemburkan lahan/tanah dan bersihkan dari gulma untuk memper-
mudah pertumbuhan dan perkembangan akar.
c. Membuat bedeng persemaian dengan ukuran, lebar : 150 cm, tinggi:
30 cm dan panjang : tergantung kebutuhan dan kondisi lahan
15Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
d. Melakukan pengolahan tanah 3 minggu sebelum penanaman benih.
e. Membuat parit pembuangan air : lebar 30 cm-40 cm.
f. Siapkan media persemaian pada bedengan dengan menambahkan
pupuk kandang dan pasir dengan perbandingan tanah : pupuk
kandang:pasir (2 : 1).
g. Menambahkan fungisida dan nematisida pada media tanam
h. Menanam benih setek dengan jarak 10/10 cm dengan posisi miring
60 derajat.
i. Memberikan naungan dari atap daun kelapa atau alang-alang.
j. Melakukan penanaman setek pada pagi atau sore hari.
m. Lakukan pemindahan benih setelah berumur 4-5 minggu (tunas dan
akar sudah tumbuh merata) secara hati-hati.
IV. PENUTUP
Perbanyakan benih nilam secara konvensional dapat dilakukan dengan
menyemai benih/setek ke dalam polibag atau di bedengan.
Benih/setek harus diambil dari kebun induk yang benar dan baik
artinya kemurnian varietasnya terjamin, tanamannya sehat, tidak terserang
OPT dan tidak ada gejala kekurangan unsur hara.
Setek yang digunakan untuk benih sebaiknya memenuhi kriteria:
umur tanaman ± 6 bulan, setek dapat berasal dari batang, cabang primer,
cabang sekunder, diameter 0,3-0,5 cm, ukuran: setek panjang: lebih dari 30
cm, setek pendek ± 15-20 cm, fisik setek segar dan sehat.
Benih yang telah disemai dan siap dipindahkan ke lapang harus
memenuhi standard sebagai berikut: umur 1-1,5 bulan setelah semai, tinggi
20-25 cm (5-7 ruas), jumlah daun 5-7 lembar, akarnya lebat, sehat, bebas
OPT, dan tanpa gejala kekurangan hara.
16 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
DAFTAR PUSTAKA
Ditjenbun-Balittro. 2008. Standar Prosedure Operasional Budidaya TanamanNilam. Direktorat Budidaya Tanaman Semusim Kerjasama denganBalai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 41 hal.
Ditjenbun-Balittro. 2010. Pedoman Pembangunan Kebun Penangkar BenihNilam. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi. Kerjasama denganBalai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 24 hal.http://www.agromaret-agronilam.com/jual/1832/manfaat dan khasiatminyak nilam/1/5/2011.
Nuryani,Y., Emyzar dan A. Wahyudi, 2007. Teknologi Unggulan Nilam.Perbenihan dan Budidaya Pendukung Varietas Unggul. BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian danPengembangan Perkebunan.17 hal.
Sukarman. 2008. Penyediaan benih nilam sehat. Prosiding Seminar NasionalPengendalian Terpadu Organisme Penganggu Tanaman Jahe danNilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pusat PenelitianTanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 4 - November, hal 221-231.
Sukarman dan Melati, 2009. Pengaruh bagian setek dan lamapenyimpanan terhadap viabilitas dan pertumbuhan nilam(Pogostemon cablin Benth). Prosiding Simposium V. Penelitian danPengembangan Perkebunan, 4. Bogor 14- Agustus 2009, hal 468-474, Kerjasama P.T. Penerbit IPB Press dan Pusat Penelitian danPengembangan Perkebunan.
Suwandiyati, N.D. 2009. Pengaruh asal bahan setek dan dosis pupukkandang terhadap pertumbuhan bibit nilam (Pogostemon cablinBenth). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas MaretSurakarta (UNS) 34 hal.
17Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
BUDIDAYA NILAM ORGANIK
Muhamad Djazuli
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
I. PENDAHULUAN
Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan tanaman
penghasil minyak atsiri yang penting dalam menghasilkan devisa. Komponen
utama dari minyak nilam adalah Alpha Patchoulene, Beta Patchoulene, Alpha
Guaiene, Alpha Bulnesene, Caryophyllene, Norpatchoulenol, Patchouli
Alcohol, Seychellene dan Pogostol. Minyak nilam mempunyai manfaat
sebagai antara lain: Antidepresi, antiflogistik, antiseptik, afrodisiak,
astringen, antijerawat, regenerasi sel kulit baru, deodoran, menurunkan
berat badan, tekanan darah, kolesterol dan racun dalam darah, penurun
demam, dan sebagai insektisida/penolak serangga seperti nyamuk, semut,
dan lalat (http://www.organicfacts.net/health-benefit-of-essential-oil.html).
Indonesia memasok sekitar 70-90% minyak nilam dunia dengan total
ekspor minyak nilam pada tahun 2008 sebesar 2.496 ton dan luas areal
mencapai 21.716 ha yang tersebar di 11 propinsi (Biro Statistik 2004).
Volume ekspor minyak nilam terus meningkat, dan tahun 2006 mencapai
2.100 ton dengan nilai US $ 27.171 juta (Sukamto et al. 2008). Penambahan
luas areal dan produksi nilam yang tinggi tidak sebanding dengan
kemampuan penyerapan pasar menyebabkan penurunan dan fluktuasi harga
minyak nilam dunia. Di lapang, selain harga yang tidak menentu,
terbatasnya produk pupuk kimia bersubsidi di pasar, menyebabkan petani
sulit mendapatkan pupuk kimia terutama menjelang musim tanam.
Di Indonesia masih ada yang melakukan budidaya nilam secara
berpindah. Sistem ladang berpindah yang masih dilakukan petani nilam serta
penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan telah merusak dan
mengganggu kelestarian lingkungan.
18 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Meningkatnya kesadaran masyarakat dunia untuk mendapatkan
lingkungan yang lebih sehat dan berkualitas menyebabkan meningkatnya
permintaan produk pertanian organik. Tingginya permintaan dan
terbatasnya produksi minyak nilam organik menyebabkan harga minyak
nilam organik stabil dan lebih tinggi dibandingkan minyak nilam
konvensional. Dengan beralihnya ke sistem budidaya organik, para petani
organik tidak perlu lagi bergantung pada pupuk kimia yang terkadang langka
dijumpai.
Pemerintah Indonesia juga sudah mencanangkan Go Organik
Indonesia 2010 dan telah mengeluarkan SNI 6729:2010 tentang sistem
pangan organik yang mengacu pada beberapa badan standardisasi organik
yang ada di dunia (BSN 2010).
Semakin meningkatnya permintaan minyak nilam yang berasal dari
sistem pertanian organik yang ramah lingkungan dan harga yang cukup
tinggi, telah mendorong beberapa petani nilam di sentra produksi mencoba
untuk melaksanakan budidaya nilam organik. Salah satunya adalah
kelompok tani di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Adanya kelompok tani yang
mengembangkan nilam organik diharapkan dapat mendorong petani nilam
lainnya untuk mulai mengembangkan sistem pertanian nilam organik.
II. KENDALA DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN NILAM ORGANIK
Walaupun wacana pertanian organik sudah cukup lama dikenalkan di
Indonesia bahkan aturannyapun sudah lama dibuat, namun sosialisasi
informasi tentang sistem budidaya organik, harga, dan potensi pasar
khususnya bagi petani nilam masih sangat terbatas.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah mencanangkan
“Go Organik Indonesia” tahun 2010 dengan visi menjadikan Indonesia
sebagai salah produsen organik utama dunia termasuk minyak nilam
organik.
Salah satu tantangan bagi pengembangan nilam organik di Indonesia
adalah adanya negara pesaing yang lebih dulu menjadi pemasok minyak
19Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
nilam organik dunia. Walaupun volume ekspor minyak nilam organik masih
relatif kecil, namun India telah lebih dulu dikenal sebagai satu-satunya
negara penghasil produk minyak nilam organik dunia, sehingga baik
langsung maupun tidak India akan menjadi pesaing dalam produksi minyak
nilam organik Indonesia. Dalam situsnya salah satu perusahaan produk
minyak atsiri MUDAR di India pada tahun 2008 baru memproduksi 1,5 ton
minyak nilam, namun pada tahun 2009 telah merencanakan akan terus
mengembangkan pertanaman nilam organik di negara bagian Karnataka dan
mentargetkan produksi 10 ton minyak nilam organik yang bersertifikat
organik. Seperti halnya di Indonesia, India juga telah mencanangkan Go
Organik India pada tahun 2010 (http://www.mudarindia.net/organic-
patchouli-oil.htm)
III. BUDIDAYA NILAM ORGANIK HARUS MENGIKUTIPERSYARATAN POKOK DALAM SNI PANGAN
ORGANIK 6729:2010
3.1. Pemilihan lahan
Tanaman nilam mampu tumbuh pada hampir semua jenis tanah,
namun untuk lahan marginal perlu in put pupuk organik yang cukup tinggi
untuk mendapatkan pertumbuhan optimal. Oleh karena itu, sesuai dengan
SNI Sistem Pangan Organik maka bagi daerah yang tergolong
kesesuaiannya rendah tidak perlu memaksakan untuk ikut mengembangkan
pertanaman nilam organik. Proses pelaksanaan budidaya nilam organik bisa
langsung pada lahan bukaan hutan seperti yang terjadi di sentra
pengembangan nilam di luar Jawa, sedangkan pelaksanaan sistem budidaya
nilam organik pada lahan menetap bekas pertanaman nilam atau tanaman
non organik lainnya wajib melalui program konversi lahan konvensional
minimal 2 tahun (BSN 2010).
Untuk menimalkan penggunaan input, maka lahan yang digunakan
harus memiliki agroekosistem yang sesuai untuk pertumbuhan optimal
tanaman nilam diantaranya adalah lahan yang relatif subur, jumlah curah
20 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
hujan yang cukup tinggi, dan mempunyai elevasi rendah sampai sedang
(Rosman et al. 2004).
Tanaman nilam relatif peka terhadap cekaman kekeringan, oleh
karenanya faktor sumber air yang bebas kontaminasi menjadi sangat
penting dalam sistem pertanian organik. Sumber air yang bebas kontaminasi
pupuk kimia maupun pestisida kimia merupakan persyaratan mutlak bagi
budidaya organik. Oleh karenanya itu, pengembangan nilam organik yang
berada di sekitar pertanaman non organik memerlukan persyaratan yang
lebih berat dibandingkan budidaya organik pada lahan yang terisolir dan
elevasinya lebih tinggi dibanding tanaman konvensional yang ada.
Pemanfaatan lahan miring masih diperbolehkan dalam sistem
pertanian organik, namun harus menggunakan prinsip konservasi dan
meminimalisir erosi dengan menggunakan sistem terasiring atau rorak.
3.2. Penggunaan benih
Dalam budidaya organik, petani nilam dilarang mengggunakan benih
yang berasal dari hasil rekayasa genetik (GMO). Saat ini, benih nilam yang
banyak digunakan oleh petani adalah berasal dari setek batang nilam non
GMO dari varietas unggul yang telah dilepas oleh Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatik (Balittro). Sampai saat ini Balittro baru melepas tiga
varietas unggul nilam yang berproduktivitas dan bermutu tinggi dengan
kandungan Patchouli Alkohol (PA) di atas 30 % antara lain Sidikalang, Tapak
Tuan dan Lhokseumawe (Nuryani 2005). Diharapkan tidak lama lagi Balittro
juga akan melepas varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi dan
toleran terhadap penyakit utama nilam.
3.3. Pemupukan dan pembenah tanah
Salah satu sumber hara utama pada budidaya nilam organik adalah
pupuk organik baik berupa pupuk kandang maupun kompos. Sesuai SNI 01-
6729-2010 dipersyaratkan bahwa bahan baku pupuk kandang yang berasal
dari sapi, kambing atau ayam tidak mendapatkan asupan hormon atau
21Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
antibiotik yang dilarang. Dengan demikian, direkomendasikan untuk
menggunakan pupuk kandang yang berasal dari ternak milik petani sendiri
atau peternak kecil bukan berasal dari factory farming.
Penggunaan kompos yang berasal dari limbah penyulingan minyak
nilam sangat dianjurkan. Selain berwawasan lingkungan, kompos yang
berasal dari limbah hasil sulingan nilam mengandung hara N yang tinggi dan
tidak mengandung senyawa yang bersifat toksik bagi tanaman nilam (Djazuli
2002a). Hasil analisis hara beberapa jenis kompos, terlihat bahwa bahwa
kadar N, K, Ca, dan Mg kompos limbah nilam jauh lebih tinggi dibandingkan
kompos sampah maupun pupuk kandang sapi (Tabel 1). Dalam program
pemupukan organik diperlukan tambahan komponen lain yang dapat
meningkatkan kesuburan dan lingkungan tumbuh nilam yang optimal seperti
penggunaan pupuk hayati seperti mikoriza, pupuk alam seperti fosfat alam,
dan pembenah tanah yang dapat memperbaiki lingkungan fisik dan kimia
tanah. Dalam aplikasi pupuk organik perlu dipertimbangkan aspek
agroekologi dan sosial ekonominya, terutama ketersediaan bahan baku
pupuk organiknya.
Tabel 1. Perbandingan status hara kompos hasil limbah penyulingan nilamdengan kompos sampah pasar dan pukan
Hara Komposlimbah nilam *
Kompos sampahpasar (PGN1)**
Pupuk kandangsapi**
N (%) 3,59 1,71 1,64P2O5 (%) 0,28 0,25 0,36K2O (%) 1,26 0,87 0,77CaO (%) 1,70 0,61 0,21MgO (%) 0,95 0,49 0,21C-organik 35,7 18,9 31,00C/N 9,94 11,7 19,35
* Djazuli (2002b)** Tombe et al. (2001)
Selain pemberaan dan penggunaan pola tumpang gilir, aplikasi kapur
dan pupuk organik mampu menekan efek negatif dari senyawa toksik dari
proses alelopati, sehingga tanaman akan lebih sehat dan tahan terhadap
serangan OPT (Djazuli 2002b).
22 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Rusaknya lahan akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia jangka
panjang terhadap fisik (meningkatnya kekerasan tanah) maupun biologi
tanah (menurunnya jumlah dan jenis mikroba tanah yang bermanfaat)
menyebabkan respon pemupukan jadi rendah, sehingga pada awal budidaya
organik yang hanya mengandalkan pupuk organik menjadi penyebab
terjadinya penurunan produktivitas lahan dan tanaman. Dari beberapa hasil
kajian di lapangan menunjukkan bahwa dengan sistem budidaya organik
jangka panjang akan memperbaiki fisik dan mikroba tanah menyebabkan
produktivitas lahan dan tanaman meningkat setara dengan produk
konvensional (Ananto 2008)
3.4. Pengendalian OPTTingginya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT)
menyebabkan produktivitas nilam menurun dengan tajam. Bahkan sebagian
petani nilam di beberapa sentra produksi nilam pada tahun 2007 tidak bisa
memanen karena sebagian besar tanaman nilam mati terserang OPT
tersebut.
Salah satu penyakit yang banyak dijumpai dan spesifik pada
pertanaman nilam adalah budok. Walaupun tidak mematikan secara
langsung, namun keberadaan penyakit budok yang disebabkan oleh jamur
Synchytrium pogostemonis akan menurunkan produktivitas dan mutu
minyak secara nyata. Penyakit lain yang juga banyak dijumpai pada sentra
produksi nilam adalah layu bakteri, hawar daun, dan nematoda.
Hama utama yang sering menyerang tanaman nilam adalah ulat
daun, kumbang daun, belalang, penghisap daun, penghisap batang dan akar
serta tungau. Teknologi pengendalian OPT menggunakan bahan baku
organik masih relatif sedikit dibandingkan teknik pengendalian yang
menggunakan pestisida kimia. Selain penggunaan varietas unggul nilam
yang toleran terhadap serangan OPT, beberapa teknologi pengendalian OPT
menggunakan pestisida nabati, agensia hayati, dan bahan alam yang
dibolehkan dalam SN 6729-2010 telah menunjukkan prospek keberhasilan
yang menggembirakan.
23Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Dampak negatif serangan hama pada nilam terlihat jauh ringan
dibandingkan dengan serangan penyakit. Oleh karenanya, upaya
pengendalian OPT dengan pestisida organik yang efektif khususnya untuk
penyakit sangat diharapkan oleh petani nilam.
Salah satu penyebab berfluktuasinya produksi nilam saat ini adalah
munculnya serangan penyakit khususnya penyakit budok, layu bakteri, dan
nematoda. Sampai saat ini ketersediaan informasi pengendalian OPT secara
terpadu untuk sistem pertanian organik masih terbatas.
Pengendalian penyakit budok masih relatif susah. Namun demikian
sesuai dengan kaidah organik, maka metode eradikasi lahan dan rotasi atau
pergiliran tanaman non nilam cukup efektif untuk mengendalikan penyakit
budok. Sukamto dan Djazuli (2011) melaporkan bahwa penggunaan 1%
bubur bourdeux (100 g terusi + 100 g kapur tohor dalam 1 liter air) efektif
mengendalikan penyakit budok yang disebabkan oleh jamur Synchytrium.
Hasil penelitian Balittro menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik
dan mimba serta inokulasi bakteri endofit TT2, NJ16, MSK,NJ57, dan EH11
berpotensi untuk digunakan dalam pengendalian nematoda Pratylenchus
brachyurus (Mustika dan Nazarudin 1998; Harni 2008).
Penyiangan gulma secara mekanis perlu dilakukan secara terus
menerus. Selain untuk mengurangi terjadinya kompetisi dalam penyerapan
hara dan cahaya, beberapa jenis gulma seperti Ageratum dapat menjadi
inang penyakit pada nilam (Sukamto et al. 2008). Untuk pengendalian
OPT secara terpadu juga diperlukan aplikasi pemupukan dan pembenah
tanah yang tepat akan meningkatkan kesehatan dan ketahanan terhadap
serangan OPT.
3.5. Pasca Panen
Untuk pengangkutan terna hasil panen, sarana pengangkutan harus
bebas dari kontaminasi oleh bahan kimia yang dilarang dan tidak
diperkenankan pula menggunakan kemasan atau karung bekas pupuk kimia
atau produk lainnya yang dilarang dalam SNI organik.
24 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Apabila menggunakan alat penyulingan minyak nilam digunakan
bersama dengan produk non organik, maka perlu upaya pembersihan dan
pembilasan alat penyulingan sesuai dengan persyaratan SNI organik. Untuk
proses penyulingan direkomendasikan menggunakan alat suling yang
terbuat dari stainless steel sehingga diperoleh produk minyak nilam yang
memenuhi standar produk minyak nilam SNI 06-2385-2006.
3.6. Sertifikasi
Untuk mendapatkan jaminan bahwa produk minyak nilam organik
yang dihasilkan selama proses produksi terutama untuk ekspor, maka petani
nilam organik harus melakukan sertifikasi organik.
Salah satu kegiatan yang harus ada dalam sistem budidaya organik
adalah pencatatan pembuatan dokumen sistem mutu yang berisi organisasi,
sejarah lahan, SOP budidaya dan rekaman proses produksi mulai dari
penyediaan bahan tanaman, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan,
pemupukan, pengendalian OPT, panen, penyulingan, hingga pemasaran.
Selanjutnya petani nilam organik harus melaksanakan budidaya sesuai SOP
organik secara konsisten dan berkelanjutan.
Untuk menjamin konsumen minyak nilam organik baik di dalam dan
luar negeri perlu dilakukan sertifikasi organik yang mengacu pada institusi
Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) di dalam negeri dan di luar negeri yang
telah terakreditasi. Produk minyak nilam yang telah tersertifikasi di LSO
dalam negeri berhak diberi logo organik Indonesia sebagai jaminan
keorganik bagi konsumen baik di dalam maupun di luar negeri.
IV. PEMASARAN
Rendahnya biaya produksi dan tingginya nilai jual produk organik
yang tersertifikasi menyebabkan pendapatan petani organik meningkat
dengan nyata. Adanya permintaan dari beberapa eksportir minyak nilam
akan produk minyak nilam organik yang bermutu tinggi dan bersertifikat
25Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
untuk memenuhi permintaan konsumen di negara maju perlu ditindak lanjuti
secara nyata.
Dengan dicanangkannya program Indonesia Go Organik pada tahun
2010, maka sudah saatnya petani nilam Indonesia mengembangkan nilam
organik sekaligus sebagai eksportir utama minyak nilam organik dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ananto. E. 2008. Fasilitasi dan Bimbingan Inspektor Organik. 2-5 Juni 2008.Bogor. Direktorat Mutu dan Standarisasi, Departemen Pertanian.(unpublished)
Biro Statistik. 2004. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor.Biro Statistik, Jakarta.
BSN. 2010. Sistem Pangan Organik. SNI 6729:2010. Badan StandarisasiNasioanl Jakarta. 32 hal.
Djazuli, M. 2002a. Pengaruh aplikasi kompos limbah penyulingan minyaknilam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman nilam(Pogostemon cablin Benth). Prosiding Seminar Nasional dan PameranPertanian Organik. Jakarta, 2-3 Juli 2002. hal. 323-332.
Djazuli, M. 2002b. Alelopati pada tanaman nilam (Pogostemon cablinBenth.). Jurnal Ilmiah Pertanian. Gakuryoku. 8: 163-172.
Harni, R. 2008. Pengaruh beberapa isolat bakteri endopit untukmengendalikan nematoda peluka akar (Pratylenchus brachyurus) padatanaman nilam. Prosiding Seminar Nasional Pengendalian TerpaduOrganisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Balittro, Bogor Hal.137-146.
http://www.organicfacts.net/health-benefit-of-essential-oil. html
http://www.mudarindia.net/organic-patchouli-oil.htm
Mustika, I. dan S.B. Nazarudin 1998. Gangguan nematoda dan carapengendaliannya. Monograf Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempahdan Obat. Hal 89-95
Nuryani, Y. 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian danPengembangan Tanaman Industri. No. 11 : 1-3.
26 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Rosman, R., Emmyzar dan P. Wahid. 1998. Karakteristik lahan dan iklimuntuk perwilayahan pengembangan. Monograf Nilam. Balai PenelitianTanaman Rempah dan Obat. Hal 47-55.
Sukamto. M. Djazuli dan D. Wahyuno. 2008. Teknik pengelolaan budidayapada tanaman nilam. Laporan Teknis TA 2008. Balai PenelitianTanaman Obat dan Aromatik. (unpublish).
Sukamto dan M. Djazuli. 2011. Pengendalian penyakit budok pada tanamannilam (Pogostemon cablin Benth). Warta Badan Litbang Pertanian.33: 6-7
Tombe, M., K. Mulya, R. Zaubin. E.R, Pribadi, C. Indrawanto, O. Trisilawatidan A. Ruhnayat. 2001. Uji coba pemanfaatan dan peningkatan mutukompos produksi pilot plant klender, berikut pemasarannya. FinalReport. PT Gas Negara dan Balittro. (unpublish).
27Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
POLA TANAM NILAM
Rosihan Rosman
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
I. PENDAHULUAN
Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak atsiri yang penting dalam menghasilkan devisa negara.
Minyaknya bernilai ekonomi tinggi, dapat digunakan sebagai fiksatif dalam
industri parfum dan kosmetik. Ekspor nilam pada tahun 2009 mencapai 1079
ton ton dengan nilai 18.609.000 US$ (Ditjenbun 2011).
Luas areal penanaman nilam di Indonesia terus meningkat. Pada
tahun 1989 hanya 8.745 hektar dengan produksi 3.312 ton, meningkat
menjadi 22.150 hektar dengan produksi 2.546 ton pada tahun 2007 (Anon
2007) dan tahun 2009 adalah 19.963 ha dengan hasil minyaknya 1672 ton
(Ditjenbun 2011). Namun perkembangan areal pertanaman nilam, belum
diikuti oleh peningkatan produktivitas, mutu serta stabilitas harga. Pada
tahun 1989 produktivitas nilam 378,7 kg/ha turun menjadi 114,94 kg/ha
pada tahun 2007. Sedangkan mutu Patchouli Alkohol (PA) nya di bawah 31
% dan harga selalu berfluktuasi.
Rendahnya produksi sebagian besar nilam Indonesia salah satunya
disebabkan oleh penerapan teknologi yang tidak memperhatikan aspek
lingkungan. Selain itu pola penanamannya sangat beragam. Studi yang telah
dilakukan ke beberapa lokasi penanaman nilam menunjukkan, sebagian
penanaman nilam ditanam di lokasi dengan lahan yang kurang sesuai
berdasarkan persyaratan tumbuhnya. Selain itu ada lokasi penanaman nilam
yang sesuai namun tidak memperhatikan kaidah konservasi lahan sehingga
tanah menjadi tidak subur, terutama penanaman di lahan berlereng dengan
kemiringan lebih dari 3%. Sistem pola tanam berpindah disertai kondisi
lahan kurang sesuai terutama lokasi yang memiliki bulan kering lebih dari
dua bulan menyebabkan tanaman hanya mampu dipanen satu kali dalam
setahun.
28 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Rendahnya kandungan PA dapat disebabkan oleh banyak faktor,
selain pengembangan di lahan yang tidak sesuai, juga dapat dikarenakan
teknologi yang digunakan belum menyesuaikan dengan kondisi lahan,
terutama kebutuhan cahaya. Adanya fluktuasi harga yang tajam di pasar,
perlu diantisipasi dengan teknologi budidaya yang mampu memberikan
kekuatan bagi petani untuk bertahan dalam menghadapinya.
II. PERKEMBANGAN NILAM DI INDONESIA
Nilam merupakan salah satu tanaman perdu yang masuk ke Indonesia
melalui Singapura pada tahun 1895 (Burkill 1935) dan ditanam di
Cultuurtuin, Cimanggu-Bogor (Heyne 1927). Pada masa penjajahan
Belanda, nilam belum ditanam secara luas di Indonesia dan penelitian yang
dilakukan umumnya mengenai teknik penyulingan dan analisis mutu minyak.
Penyulingan daun nilam menjadi minyak nilam mulai dilakukan tahun 1920,
sehingga tahun 1921 Indonesia mulai mengekpor minyak nilam sebanyak
387 kg ke Singapura dan Malaysia (Heyne 1927).
Pada tahun 1960 an Indonesia merupakan negara pengekspor minyak
nilam terbesar di dunia yaitu sebesar 245 ton, sedangkan Malaysia 160 ton
(Allen 1969). Namun petani membudidayakan nilam masih secara tradisional
dengan sistim budidaya berpindah (Dhalimi et al. 1998). Penanaman nilam
terus meluas, namun belum memperhatikan aspek ekologi secara baik.
Selain itu petani membudidayakan nilam secara tradisional dan masih
banyak yang menggunakan sistem berpindah, teknologi yang digunakan
juga masih seadanya.
Bagian tanaman nilam yang bernilai ekonomi adalah bagian atasnya,
sehingga berpotensi menguras unsur hara yang ada dalam tanah akibatnya
tanah menjadi miskin hara. Untuk itu teknologi pemupukan diperlukan untuk
mengantisipasi agar tanah di lokasi penanaman nilam tetap dalam keadaan
subur. Pada tahun 1973, Adiwiganda et al. (1973) telah melakukan
penelitian mengenai pemupukan N, P dan K pada tanaman nilam. Begitu
juga Tasma dan Wahid (1988). Namun penerapan hasil penelitian ini
29Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
tampaknya masih mengalami kendala di tingkat petani. Penanaman nilam
di tingkat petani hingga saat ini masih banyak belum menggunakan pupuk
sesuai kebutuhan bahkan ada yang tidak dipupuk sama sekali.
Pada era globalisasi petani dituntut mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan produk yang mampu bersaing. Oleh karenanya, teknologi
budidaya maupun penanganan pasca panen yang efisien dalam
berusahatani sangat diperlukan. Efisiensi akan terjadi apabila teknologi yang
digunakan tidak banyak membutuhkan biaya. Selain itu dalam berusahatani
nilam juga sering mengalami kendala terutama dalam gejolak turunnya
harga, sehingga petani tidak mau lagi menanam nilam. Untuk
mengantisipasi hal itu diperlukan komoditas lain yang mampu berdampingan
bersama nilam sehingga ketika harga minyak nilam turun, petani tetap
mampu memanfaatkan hasil pertanian lainnya dan menyimpan minyak nilam
sambil menunggu harga nilam naik kembali. Teknologi pola tanam memiliki
berpeluang untuk itu, namun dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan
faktor-faktor yang akan mempengaruhi pertumbuhan nilam apabila akan
dilakukan pengaturan pola tanam.
III. FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG BERPENGARUH DALAMMENENTUKAN POLA TANAM NILAM
Selama pertumbuhannya tanaman nilam dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yaitu faktor tanah, iklim dan jenis tanaman. Tanah yaitu unsur
kimia meliputi terutama pH, N, P, dan K. Unsur fisik tanah adalah tekstur
tanah, drainase, dan kedalaman air tanah. Sedangkan unsur iklim yang
paling menentukan adalah curah hujan, bulan kering, dan intensitas cahaya.
Jenis tanaman yang cocok untuk digunakan dalam kegiatan pola tanam
adalah tanaman yang mampu bersinergi dengan nilam.
3.1. Tanah
Tanah dengan pH 5-7 adalah tanah yang terbaik untuk penananamn
nilam, dengan tingkat kandungan unsur hara N, P dan K yang optimal
30 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
sangat diharapkan. N-total sedang sampai tinggi adalah yang terbaik
(berkisar antara 0,21-0,75 %). Kandungan P2O5 sedang sampai tinggi (10-
25 ppm). K2O (lebih dari 0,3 me/100 g). Untuk daerah-daerah yang memiliki
pH rendah dibutuhkan kapur sedangkan N, P dan K rendah diperlukan
pupuk yang mengandung N, P dan K. Hasil penelitian Trisilawati et al.
(2004) menunjukkan bahwa penggunaan kapur pertanian (kaptan) dan
pupuk kandang sapi mampu meningkatkan rendemen minyak dari 3,6%
menjadi 4,8%. Pemberian kapur merupakan pula suatu upaya peningkatan
kemasaman tanah (pH) yang akan mempengaruhi keseimbangan unsur hara
tanah. Selain itu menurut Sufiani dan Hobir (1998) pH yang rendah akan
mengakibatkan timbulnya serangan nematoda.
Pada sistem pola tanam komoditas yang sesuai dengan kondisi yang
dikehendaki tanaman nilam sangat diperlukan. Tanaman yang memiliki daya
serap N, P dan K tinggi sebaiknya dianjurkan untuk dilakukan pemupukan
sesuai SOP (Standard Operational Procedure) yang telah tersedia. Pada
tanaman nilam pemupukan diperlukan apabila kondisi tanah memiliki
kandungan hara yang rendah. Pemberian pupuk yang berlebihan akan
menjadi budidaya nilam tidak efisien. Pupuk dapat meningkatkan
pertumbuhan dan hasil tanaman (Adiwiganda et al. 1973). Pupuk
di pembibitan dapat diberikan dalam bentuk organik maupun anorganik.
Tasma dan Wahid (1988), melaporkan pemupukan 280 kg Urea, 70 kg TSP,
dan 140 kg KCl per ha pada tanah Latosol Merah Kecokelatan yang
mempunyai pH rendah (4,9) dan kandungan hara rendah dapat
meningkatkan produksi terna basah nilam aceh sebesar 64% dan
kandungan minyak 77% apabila dibandingkan dengan kontrol. Pemberian
pupuk tersebut jika disetarakan dalam bentuk unsur N, P dan K adalah 126
N + 35 P + 70 K kg per hektar.
Selain unsur kimia, hal yang penting untuk diperhatikan adalah unsur
fisik tanah. Pada sistem pola tanam tanaman, tanaman yang akan dipola
tanamkan dengan nilam sebaiknya menghendaki kondisi fisik tanah yang
sama. Tekstur tanah sangat berpengaruh dalam menyerap unsur hara dan
31Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
meningkatkan sebaran akar nilam. Tanah dengan tekstur liat berpasir,
drainase baik dan kedalaman air tanah lebih dari 75 cm sangat baik bagi
tanaman nilam.
3.2. Iklim
Iklim dengan curah hujan 1.750-3.000 mm/tahun, bulan kering
kurang dari 2 bulan, intensitas cahaya 75-100 % adalah yang terbaik. Pada
sistim pola tanam sebaiknya kondisi juga cocok untuk tanaman yang akan
dipolakan dengan nilam. Namun untuk tanaman yang berupa pohon atau
yang mampu menutupi/menaungi tanaman nilam, intensitas cahaya
dipertahankan tidak kurang dari 75 %. Menurut Mansur dan Tasma (1987),
tanaman nilam respon terhadap naungan, nilam yang ditanam di bawah
naungan mempunyai rendemen minyak yang rendah, sebaliknya untuk
yang ditanam di lahan terbuka, rendemen minyaknya tinggi.
Cahaya berpengaruh terhadap tingkat evapotranspirasi yaitu
penguapan air baik pada tanah maupun tanaman, sehingga mempengaruhi
ketersediaan air dalam tanah. Tingkat pencahayaan yang tinggi disertai
adanya bulan kering dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
Untuk menekan penguapan pada lahan, penggunaan mulsa merupakan
salah satu alternatif konservasi lahan agar tanah tetap subur. Namun pada
kondisi curah hujan tinggi sebaiknya menghindari penggunaan mulsa,
karena akan berpengaruh terhadap kelembaban tanah. Kelembaban tanah
dan air hujan yang berlebihan udara yang lembab dan suhu yang tinggi (26-
300C) akan merangsang bakteri untuk menyerang nilam (Asman et al.
1990). Hasil penelitian penggunaan mulsa menunjukkan bahwa mulsa alang-
alang nyata meningkatkan produksi daun dan minyak nilam aceh sebesar
159,6% dan 181,7% dibandingkan kontrol, sedangkan mulsa semak belukar
sebesar 286,5% dan 344,1% (Tasma dan Wahid 1988).
3.3. Jenis tanaman
Penelitian pengaruh berbagai jenis tanaman terhadap pertumbuhan
dan produksi nilam sangat minim. Nilam dapat dipola tanamkan bersamaan
dengan tanaman lainnya. Namun pola penanamannya disesuaikan dengan
32 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
sifat dan morfologi tanaman. Tanaman yang memiliki sifat rakus akan hara
serta akan menjadi inang hama dan penyakit sebaiknya dihindari.
Tanaman yang berupa pohon dan kelak akan menanungi nilam
diupayakan dipangkas atau dicari tanaman yang masih mampu memberikan
intensitas cahaya tidak kurang dari 75 %. Sedangkan untuk tanaman yang
tingginya lebih rendah dari nilam atau sama tingginya dengan nilam tidak
terlalu bermasalah sejauh ia tidak rakus hara dan tidak merupakan inang
penyakit, karena intensitas cahaya yang diterima nilam masih dapat
mencapai 75 %, bahkan sampai 100 %.
IV. TEKNOLOGI BUDIDAYA POLA TANAM NILAM
Untuk mencapai hasil yang diharapkan, teknologi yang diperlukan
pada pola tanam nilam sebaiknya berdasar pada persyaratan yang
dibutuhkan oleh tanaman nilam. Faktor-faktor yang akan berpengaruh buruk
ditekan sekecil mungkin, sehingga pertumbuhan dan produksi nilam akan
tetap optimal. Pola tanam nilam dengan tanaman lain agar memiliki daya
hasil nilam yang tinggi mulai dari persiapan lahan hingga panen dan pasca
panen sebaiknya mengikuti persyaratan tersebut. Ada beberapa sistem pola
tanam yaitu pola tumpangsari, berurutan, rotasi dan sistem lorong.
4.1. Pola tumpang sari
Tanaman nilam dapat di pola tanam kan dengan tanaman berupa
pohon atau berupa perdu setahun atau tahunan. Di Pasaman, Sumatera
Barat nilam ditumpangsarikan dengan kacang-kacangan dan atau cabai.
Selain itu, nilam juga dapat ditanam dengan akar wangi. Pada prinsipnya
nilam dapat ditanam baik sebagai tanaman sela atau tanaman pokok
(Gambar 1). Sebagai tanaman pokok, tanaman nilam ditanam sesuai dengan
jarak tanam berdasarkan SOP monokultur, sedangkan tanaman lainnya
sebagai tanaman sela (Gambar 1). Sebaliknya apabila tanaman nilam
sebagai tanaman sela, produksinya akan tidak sebanyak sebagai tanaman
pokok, karena populasi tanaman nilam yang ditanam menjadi berkurang.
33Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Penanaman nilam (sebagai tanaman pokok) dengan sistem ini bisa
bersamaan dengan tanaman selanya atau sebaliknya. Apabila tanaman
tanaman nilam sebagai tanaman pokok dan tanaman selanya lebih tinggi
seperti jagung, maka sebaiknya jagung ditanam terlebih dahulu, terutama
untuk wilayah yang memiliki bulan kering. Hal ini dimaksudkan agar ketika
menanam nilam, lahan pada kondisi terlindungi, sehingga evapotranspirasi
yang terjadi dapat ditekan. Kondisi kering akan menghambat pertumbuhan
tanaman nilam (Kurniasari 2010). Hasil penelitian Rosman (2004), bahwa
tanaman nilam ketika masih muda sangat membutuhkan naungan dengan
intensitas cahaya 50 %. Pada kondisi ini nilam memiliki pertumbuhan lebih
baik dari pada terbuka (100 %).
Untuk lahan yang memiliki curah hujan merata sepanjang tahun dapat
ditentukan waktu tanam untuk setiap komoditas. Pada Gambar 2 diuraikan
bahwa tanaman sela dapat ditanam sebulan sebelum panen nilam atau
setelah panen nilam seperti jagung.
X J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J JX J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J JX J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J JX J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J JX J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J JX J X J X J X J X J X J J J X J J J X J J J X J J J
Gambar 1. Nilam sebagai tanaman pokok (kiri) dan nilam sebagai tanamansela (kanan)
Keterangan:X = Nilam jarak tanan 40 x 60 cm X = Nilam jarak tanan 40 x 120 cmJ = Tanaman sela berupa perdu J = Tanaman sela berupa perdu
34 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Jan Feb Maret Apr Mei Juni Juli Agst Sept Oktob Nov Des
Gambar 2. Waktu tanam nilam (di awal musim hujan Oktober) dan tanamansela setahun
Gambar 3. Pola tanam nilam. (A) nilam sebagai tanaman utama ditanamdengan kacang hijau, (B) dengan jagung sebagai tanaman sela,dan (C) tanaman nilam di antara pohon pala.
4.2. Pola tanam berurutan
Pada sistem pola tanam berurutan, tanaman nilam tidak selamanya
ditanam melainkan setelah panen lahan diberakan atau ditanami dengan
tanaman lainnya. Pada lahan yang diperlakukan dengan sistim rotasi,
produksi nilam dan penyulingan akan terhenti apabila tidak ada lahan lain
yang menanam nilam. Pada sistem ini, nilam tidak ditanam terus menerus,
melainkan setelah panen waktu tertentu, bila dianggap tidak lagi
menguntungkan karena kondisi lahan dan iklim yang tidak menguntungkan,
maka tanaman diganti dengan tanaman lainnya. Sistem ini memiliki
keuntungan karena hama atau penyakit tertentu yang tadinya akan
J J JJ
Nilam X
35Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
berkembang menjadi terputus siklus hidupnya. Selain itu bila yang ditanam
sebagai rotasi adalah tanaman penyubur tanah, maka tanah akan menjadi
subur kembali. Gambar 4 memperlihatkan urutan saat tanam nilam dengan
tanaman lainnya. Nilam dipanen pada menjelang akhir musim hujan yaitu
Februari atau awal Maret dan setelah itu ditanam tanaman lain sebagai
pengganti.
Jan Feb Maret Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
Gambar 4. Waktu tanam nilam pada sistim berurutan
4.3. Pola rotasi
Pada pola rotasi, tanaman nilam tidak ditanami di satu lahan terus
menerus. Setelah digunakan untuk menanam tanaman nilam beberapa kali,
jenis tanaman diganti dengan tanaman lain selain nilam. Sistem ini
dimungkinkan apabila lahan yang ditanami nilam sudah mengalami
penurunan tingkat kesuburan karena lahan memiliki unsur N, P, K, Ca, pH
dan C/N rasio yang rendah. Seandainya dipaksakan ditanami nilam akan
memerlukan biaya perbaikan lahan yang cukup besar. Oleh karenanya untuk
menghindari biaya tinggi dilakukan rotasi dengan menghentikan menanam
nilam. Lahan diberakan atau ditanami dengan tanaman lain yang mampu
meningkatkan kesuburan lahan. Selanjutnya penanaman nilam dilakukan di
lahan lain dalam jangka waktu tertentu baru kembali ke lahan yang telah
ditinggalkan tersebut.
4.4. Sistim lorong
Pada sistim lorong, tanaman ditanam diantara tanaman lain yang
biasanya berupa pohon (Gambar 3C). Pada sistem ini yang perlu
diperhatikan adalah intensitas cahaya yang masuk ke tanah. Tanaman nilam
yang ditanam tidak sebanyak sistem monokultur. Nilam ditanam di antara
J/Tanaman Sela NilamNilam
36 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
lorong pepohonan. Hasil pengamatan di lapang penanaman nilam di bawah
tegakan berupa pohon seperti jati dan mengkudu menyebabkan daun nilam
lebih lebar, tipis dan hijau daripada nilam yang ditanam di lahan terbuka.
Namun menurut Anon (1975), pada kondisi terlindung kadar minyaknya
lebih rendah dibanding terbuka. Hal ini dibuktikan oleh Supadyo dan Tan
(1978) yang menyatakan bahwa kandungan minyak atsiri pada pola tanam
monokultur tanpa naungan sebesar 5,1%, sedangkan di sela pohon karet
dan kelapa sawit lebih rendah yaitu 4,66 %.
V. UPAYA PENGEMBANGAN TANAMAN NILAM BERKELANJUTANMELALUI POLA TANAM
Dalam upaya mendukung pengembangan nilam diperlukan teknologi
yang tepat agar pengembangan nilam mampu berkelanjutan. Salah satu
upaya yang perlu mendapat perhatian adalah dukungan teknologi yang
mampu memperkuat posisi petani dalam menghadapi gejolak harga. Selain
itu, teknologi yang dimaksud juga mampu meningkatkan produktivitas
lahan. Pengembangan nilam dengan dukungan teknologi pola tanam perlu
menjadi bahan pertimbangan. Sistem ini akan membantu memecahkan
masalah akibat fluktuasi harga. Pemanfaatan lahan di antara nilam atau
nilam sebagai tanaman sela menjadikan usahatani nilam lebih kuat melawan
kemungkinan jatuhnya harga minyak nilam. Ketika harga minyak nilam
jatuh, hasil dari tanaman lain akan membantu kebutuhan petani dan minyak
nilam dapat disimpan sambil menunggu harga yang layak untuk dijual.
Untuk tercapainya pengembangan nilam melalui pola tanam,
sebaiknya ditekankan kepada teknologi yang mampu meningkatkan
produktivitas dan efisiensi yang bertitik tolak pada pendekatan ekologi yang
ramah lingkungan. Peta kesesuaian lahan dan iklim untuk nilam yang telah
dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menentukan teknologi yang diperlukan
di suatu lokasi, seperti pemupukan, pola tanam dan teknik konservasi
lainnya seperti pemulsaan dan drainase.
37Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Meskipun penelitian mengenai tanaman yang layak untuk dipola
tanamkan dengan nilam masih dirasakan kurang, namun petani telah
memulai menanam tanaman nilam dengan tanaman lain, baik secara
berurutan maupun bersamaan dengan tanaman nilam (Emmyzar dan Ferry
2004; Soepadyo dan Tan 1978). Teknologi pola tanam yang dilakukan oleh
petani tersebut dapat dijadikan acuan untuk menentukan pola tanam yang
lebih baik. Penanaman tanaman lain di antara nilam (pola tanam nilam),
selain dapat meningkatkan pendapatan petani juga menjaga kelestarian
lingkungan (Wahid dan Rosman 1998).
VI. PENUTUP
Pengembangan nilam sering terkendala oleh fluktuasi harga yang
berakibat menurunnya keinginan petani dalam berusahatani nilam. Ketika
harga jatuh tanaman dibiarkan tidak terpelihara sehingga tanaman menjadi
tidak produktif. Untuk mengantisipasi hal tersebut pola tanam merupakan
salah satu kunci yang dapat mempertahankan minat petani untuk tetap
memelihara tanamannya. Melalui pola tanam, berarti ada tanaman lain yang
ditanam sehingga petani tidak hanya mengandalkan kepada hasil nilam.
Minyak nilam yang diperoleh dapat disimpan sambil menunggu harga tinggi
siap untuk dijual. Adanya tanaman lain berarti juga secara tidak langsung
memelihara tanaman nilam juga. Pola tanam juga dapat meningkatkan atau
mempertahankan kesuburan tanah apabila ditanam dengan tanaman
penyubur tanah seperti kacang-kacangan atau limbah dari tanaman sela bila
dikembalikan ke tanah akan membantu memperbaiki kesuburan tanah.
Pola tanam nilam dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu pola
tumpang sari, berurutan, rotasi atau sistem lorong. Untuk menghindari gagal
panen sebaiknya dalam pola tanam perlu diperhatikan kesesuaian
persyaratan tumbuh tanamannya. Pola tanam yang digunakan seyogyanya
didasarkan juga kepada efisiensi usahatani, mudah dilaksanakan, dan
mampu meningkatkan produktivitas tanaman nilam.
38 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1975. Pedoman bercocok tanam nilam (Patchouli). Circular No16. LPTI Bogor. Cetakan ke-2. 8 p.
Anonimous. 2007. Statistik perkebunan Indonesia. 2006-2008. Nilam.Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 22 hal.
Adiwiganda, Y.T., O. Hutagalung dan P Wibowo. 1973. Percobaanpemupukan nilam pada podsolik cokelat kemerahan. Buletin BPPMedan 4 : 107-116.
Burkill, I. H. 1935. A Dictionary of the economic product of the MalayPeninsula. Univ. Press Oxford, Great Bretain, London.
Djazuli, M. 2002. Pengaruh aplikasi kompos limbah penyulingan minyaknilam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman nilam(Pogostemon cablin Benth.). Prosiding Seminar Nasional dan PameranPertanian Organik. 2-3 Juli 2002. hal 323-332.
Djazuli, M. dan O. Trisilawati. 2004. Pemupukan, pemulsaan danpemanfaatan limbah nilam untuk peningkatan produktivitas nilam.Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat.Puslitbangbun : 16: 29-37
Emmyzar dan Y. Ferry. 2004. Pola budidaya untuk peningkatan produktivitasdan mutu minyak nilam (Pogostemon cablin Benth). PerkembanganTeknologi Tanaman Rempah dan Obat, Puslitbangbun. 16: 52-61
Heyne, K. 1927. De Nutige Planten Van Nederlanddsch Indie. DepartementVan Lanbouw, Nijverheid en Handle, Buitenzorg. Deel II,2c druk,1329-1333.
Kurniasari, A.M, Adisyahputra dan R. Rosman. 2010. Pengaruh kekeringanpada tanah bergaram NaCl terhadap pertumbuhan tanman nilam. Bul.Littro 21: 18-27.
Mansur, M. dan I.M. Tasma. 1987. Plasma nutfah tanaman nilam. EdsusLittro Balittro, Bogor. 3:12-16.
Mustika, I., R.S. Djiwanti dan R. Harni. 2000. Pengaruh agensia hayati,bahan organik dan pestisida nabati terhadap nematoda pada tanamannilam. Laporan Penyelesaian DIP Bag. Proyek Penel. TanamanRempah dan Obat Tahun 1999/2000. hal. 85 - 92.
39Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Rosman, R., Emmyzar dan P Wahid. 1998. Karakteristik lahan dan iklimuntuk pewilayahan pengembangan. Monograf nilam. Balittro. 47-54
Rosman, R., Setyono dan H. Suhaeni. 2004. Pengaruh naungan dan pupukfosfor terhadap pertumbuhan dan produksi nilam (Pogostemon cablinBanth). Bul Littro. 15 : 43-49.
Rosman, R. 2010. Teknologi budidaya nilam berbasis ekologi ramahlingkungan. Makalah disampaikan pada konferensi nasional minyakatsiri 20-21 Oktober 2010, di Bandung
Soepadio dan H.T. Tan. 1978. Patchouly a profitable cash crops. WorldCrops. 20: 48-64.
Sufiani, S. dan Hobir. 1998. Teknik Produksi Bibit. Monograf nilam, Balittro:40-46
Tasma, I. dan P. Wahid, 1988. Pengaruh mulsa dan pemupukan terhadappertumbuhan dan hasil nilam. Pember. Penelitian Tanaman 15 : 34 -41.
Trisilawati, O., Hobir dan Emyzar. 2004. Respon dua nomor harapantanaman nilam terhadap pemupukan. Laporan Teknis PenelitianBalittro. 33-52.
Wahid, P. dan R. Rosman. 1998. Pola tanam panili. Monograf panili. No 4.Balittro, Bogor. 63-67.
40 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
GULMA DAN PENGENDALIANNYA PADA BUDIDAYA
TANAMAN NILAM
Agus Sudiman Tjokrowardojo dan Endjo Djauhariya
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
I. PENDAHULUAN
Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh di suatu tempat dalam
waktu tertentu tidak dikehendaki oleh manusia. Gulma tidak dikehendaki
karena bersaing dengan tanaman yang dibudidayakan dan dibutuhkan biaya
pengendalian yang cukup besar yaitu sekitar 25-30% dari biaya produksi
(Soerjani et al. 1996). Persaingan tersebut dalam hal kebutuhan unsur hara,
air, cahaya dan ruang tumbuh sehingga dapat: 1) Menurunkan hasil, 2)
Menurunkan kualitas hasil, 3) Menurunkan nilai dan produktivitas tanah, 4).
meningkatkan biaya pengerjaan tanah, 5) Meningkatkan biaya penyiangan,
6) Meningkatkan kebutuhan tenaga kerja, dan 7) Menjadi inang bagi hama
dan penyakit.
Gulma mampu bersaing efektif selama jangka waktu kira-kira 1/4 -
1/3 dari umur tanaman semusim (annual crops) sejak awal
pertumbuhannya. Pada lahan kering gulma tumbuh lebih awal dan
populasinya lebih padat dan menang bersaing dengan tanaman yang
dibudidayakan, sehingga gulma seringkali menjadi masalah utama setelah
faktor air dalam sistem produksi tanaman di lahan kering, terutama tanaman
semusim (pangan dan sayuran). Pada budidaya tanaman di lahan kering
beberapa spesies gulma seperti Imperata cylindrica (alang-alang), Cynodon
dactylon (grinting), Borreria alata, Ageratum conyzoides (babandotan),
Synedrella nodiflora (jontang kuda), Cyperus rotundus (teki berumbi)
mempunyai sifat pertumbuhan yang cepat, berkembang biak dengan biji
maupun stolon/rimpang, toleran terhadap kekeringan dan mampu
menghambat perkecambahan biji maupun pertumbuhan awal tanaman yang
dibudidayakan. Dalam kondisi terjadi kekeringan pada bulan pertama
41Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
tanaman dibudidayakan, gulma tersebut mampu tumbuh dengan baik, dan
dapat menghambat pertumbuhan tanaman tersebut. Agar dalam usahatani
tanaman semusim memberikan hasil optimal, maka gulma harus
dikendalikan tepat waktu.
Banyak spesies gulma yang tumbuh di lahan kering, sehingga untuk
mengenal dan menentukan cara pengendaliannya perlu diketahui sifat-sifat
dan biologi gulma terutama cara berkembang biak. Disamping itu juga
penggolongan yang mencirikan berbagai sifat karakteristiknya. Assosiasi
jenis gulma tertentu dengan tanaman pokok dan habitat, perannya terhadap
tanaman budidaya serta penggolongan yang dikaitkan dengan responnya
terhadap cara pengendalian adalah penting sebagai bahan pertimbangan
bagi petugas lapang.
Inventarisasi jenis-jenis gulma yang dominan di areal budidaya
tanaman nilam sangat membantu tindakan untuk pengendalian yang tepat.
Disamping itu pengetahuan mengenai gulma bagi para perencana dan
petugas lapang perlu ditingkatkan agar bisa menentukan metode
pengendalian yang tepat.
II. KLASIFIKASI GULMA
Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan gulma agar
memudahkan dalam upaya pengendalainnya. Klasifikasi berdasarkan atas
sifat atau karakter gulma secara umum.
2.1. Klasifikasi berdasarkan daur hidupnya atau umur:
2.1.1. Gulma semusim (annual weed).
Gulma ini berkembang biak secara generatif melalui biji, hanya
dapat hidup selama satu daur yang biasanya kurang dari satu
tahun, contoh Ageratum conyzoides (babandotan)
2.1.2. Gulma tahunan (perenial weed).
Gulma tahunan berkembang biak secara generatif melalui biji,
dan secara vegetatif elalui rimpang, stolon dan setek batang.
42 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Gulma ini hidup lebih dari satu tahun atau hidup sepanjang
tahun dan berbuah berulangkali. Untuk gulma yang membentuk
rimpang atau umbi dapat hidup sepanjang tahun, contoh
Imperata cylindrica (alang-alang)
2.2. Klasifikasi berdasarkan habitat:
2.2.1. Gulma fakultatif, tumbuh di habitat yang belum ada campur
tangan manusia. Gulma ini tumbuh pada lahan yang belum
dikelola untuk budidaya tanaman, seperti padang alang-alang.
2.2.2. Gulma obligat, tumbuh di habitat yang sudah ada campur
tangan manusia. Gulma ini biasanya tumbuh menyertai
tanaman budidaya, seperti sawah, ladang dan perkebunan.
2.3. Klasifikasi berdasarkan kerugian yang ditimbulkan:
2.3.1. Gulma lunak (soft weed).
Gulma lunak yaitu jenis gulma yang tidak begitu berbahaya
bagi tanaman yang dibudidayakan, namun dalam keadaan
populasi tinggi harus dikendalikan, contoh Ageratum conyzoides
2.3.2. Gulma keras atau gulma berbahaya (noxius weed).
Gulma berbahaya adalah jenis gulma yang berpotensi allelopati,
contoh (I. cylindrica), Mikania micrantha (sembung rambat),
Chromolaena odorata (kirinyuh), Cyperus rotundus (teki
berumbi).
2.4. Klasifikasi berdasarkan kesamaan relatif dalam sifat bersaingdan responnya terhadap herbisida:
2.4.1. Gulma golongan rumput (grasses).
Gulma golongan rumput sebagian besar termasuk dalam famili
Gramineae atau Poaceae, dengan ciri-ciri umum adalah:
Berbatang bulat memanjang, dengan ruas-ruas batang
berongga atau padat. Daun berbentuk pita, bertulang daun
sejajar, lidah-lidah daun berbulu, permukaan daun ada yang
berbulu kasar atau halus. Buah berbentuk butiran tersusun
dalam bentuk malai. Berakar serabut, berstolon atau
43Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
membentuk rimpang, contoh I. cylindrica, Digitaria ciliaris,
Eleusine indica
2.4.2. Gulma golongan berdaun lebar (broad leaved).
Gulma golongan berdaun lebar sebagian besar temasuk
tumbuhan berkeping dua (Dicotyledoneae) dari berbagai famili.
Ciri-ciri umum: Batang tubuh tegak dengan percabangannya,
ada pula yang tumbuh merambat. Daun tunggal maupun
majemuk, helaian daun bulat/bulat telur Bertulang daun
melengkung atau menjari dan tepi daun rata, bergerigi atau
bergelombang. Duduk daun berhadapan atau berselang-
seling. Bunga tunggal atau majemuk tersusun dalam suatu
karangan bunga. Contoh Borreria alata, Ageratum conyzoides,
Synedrella nodiflora
2.4.3. Gulma golongan teki (sedges).
Famili Cyperaceae mempunyai ciri-ciri umum: Daun berbentuk
pipih atau berlekuk segi tiga, memanjang yang tumbuh
langsung dari pangkal batang. Permukaan daun biasanya licin
tidak berbulu atau ada yang berbulu agak kasar, tangkai bunga
berbentuk seperti lidi, muncul dari tengah-tengah pangkal
batang dan ujungnya tersusun karangan bunga. Perakaran
biasanya membentuk stolon dan bercabang dimana setiap
cabang membentuk umbi, contoh Cyperus rotundus dan
Cyperus kyllingia
2.4.4. Gulma golongan pakis-pakisan (fern) contoh Cyclosorus aridus
(pakis kadal)
III. CARA PENGENDALIAN GULMA
3.1. Manual/Mekanis, menggunakan alat seperti kored ataucangkul.
Pengendalian mekanis merupakan cara yang paling tua dan masih
dilakukan hingga sekarang, dan dianggap cara yang terbaik karena bisa
dilakukan dengan cermat dan bersih. Disamping itu menggemburkan tanah
di sekitar tanaman budidaya.
44 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Keuntungan dengan cara mekanis antara lain gulma yang masih muda
dapat terbenam, dan gulma tua mengalami penghancuran dan terbenam ke
dalam tanah. Kelemahannya antara lain: 1). diperlukan penyiangan ulang
interval waktu 2-3 minggu, 2) perakaran tanaman nilam sering mengalami
kerusakan terutama apabila dilakukan secara ceroboh (borongan), 3) sekali
penyiangan memerlukan waktu lama sekitar 40-50 hari orang kerja (HOK)
3.2. Cara kimia menggunakan herbisida.
Untuk budidaya tanaman nilam skala luas dimana penyiangan
mekanis maupun cara lain sudah tidak memberikan keuntungan, maka
herbisida merupakan alternatif/pilihan untuk mengendalikan gulma. Dengan
memakai herbisida, akan diperoleh beberapa keuntungan yaitu: 1) jenis-
jenis gulma yang peka dapat diberantas sampai habis, 2) tenaga kerja dapat
dikurangi, dan 3) efisiensi waktu.
Beberapa jenis herbisida yang dapat dipergunakan pada tanaman
nilam tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Herbisida yang dapat dipergunakan pada tanaman nilam
Herbisida Dosiskg/ha ba
Waktu aplikasi(HST)
Gulma sasarangolongan
1. Alachlor2. Thiobencarb/prometryne3. Oxyfkuorfen4. Diuron5. Glifosat*6. Paraquat*
1.0 – 1.51.0 – 1.51.5 – 2.01.0 - 1.51.0 – 1.50.75 – 1.25
Pratumbuh (1 – 4)Pratumbuh (1 – 4)Pratumbuh (1 – 4)Pratumbuh (1 – 4)21 – 30**21 – 30**
RR, BL, TR, BL, TR, BL, TR, BL, TR, BL, T
* Biasa digunakan untuk penyiapan lahan tanpa olah tanah dengan dosis 4 – 6 l/ha ataupembukaan lahan (land clearing)
** Menggunakan sungkup agar tidak mengenai daun tanaman nilam apabila digunakan untukmenyiang.
3.3. Yang perlu diperhatikan saat menggunakan herbisida
1. Jenis herbisida, berkerja secara kontak atau sistemik
2. Sifat herbisida selektif atau non selektif
3. Waktu aplikasi herbsida: pra tanam, pra tumbuh atau pasca
tumbuh
4. Cara aplikasi herbisida, tergantung dari formulasi herbisida.
Formulasi butiran diberikan dengan ditabur merata ke seluruh
45Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
permukaan tanah dengan menambahkan serbuk tanah atau
pasir sebagai pembawa dengan perbandingan 1:1. Sedangkan
herbisida berbentuk tepung atau cairan dilarutkan dalam air
dan diaplikasikan dengan menggunakan sprayer.
IV. SPESIES GULMA PENTING DI LAHAN KERING
4.1. Ageratum conyzoides (Asteraceae), dikenal denganbabandotan
Batang bulat, tegak, hingga 90 cm, berbulu, bercabang, berumur
semusim. Ruas batang dan bagian yang berbulu. Daun berhadapan, bulat
telur, segi tiga hingga bulat telur atau belah ketupat hingga bulat telur,
ujung lancip, tepi daun bergerigi. Bunga berbentuk bongkol, mengelompok
berwarna putih sampai keunguan (Gambar 1A). Berkembang biak dengan
biji. Tumbuh di tempat terbuka atau agak terlindung
4.2. Synedrella nodiflora (Asteraceae)
Batang tegak,menggarpu ganda, hingga 90 cm, berumur semusim.
Daun berhadapan, jorong atau bulat telur, tepinya bergelombang bergerigi,
kedua permukaan berbulu halus (Gambar 1B). Bunga berwarna kuning.
Berkembang biak dengan biji. Tumbuh di tempat terbuka atau terlindung
hingga 1.200 m dpl.
4.3. Borreria alata (Rubiaceae)
Batang segi empat bersayap, menjalar atau tegak, hingga 75 cm,
bercabang mulai dari pangkal, berumur semusim. Daun berhadapan, jorong
hingga bulat telur, tepi rata, permukaan licin, seringkali berwarna
hijau\kekuningan. Bunga mengelompok di ketiak daun, berwarna ungu
mudaberbentuk kapsul dengan 2 butir bij (Gambar 1C). Berkembang biak
dengan biji dan ruas batang yang keluar akar. Tumbuh di tempat terbuka
atau agak terlindung hingga 1.700 m dpl.
46 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Gambar 1. Gulma pada pertanaman nilam. (A) Ageratum conyzoides(babandotan), (B) Synedrella nodiflora (glentangan), (C)Borreria allata (Goletak=kentangan), (D) Borreria laevis(katumpang lemah), (E) Axonopus compressus (rumputpait), (F) Cynodon dactylon (Rumput grinting), (G)Digitaria ciliaris (gejoran), (H) Eleusine indica (rumputbelulang), (I) Cyperus rotundus (Teki berumbi), dan (J)Cyperus kyllingia (Teki udelan).
4.4. Borreria laevis (Rubiaceae)
Batang tegak hingga 50 cm, bersegi empat berbulu pendek, berwarna
hijau sampai kekuningan berumur semusim. Daun berhadapan, bulat
panjang berbentuk lanset, ujung lancip, tepi kasar berwarna keunguan,
permukaan licin. Bunga mengelomok di ketiak daun, berwarna putih
keunguan (Gambar 1D). Berkembang biak dengan biji. Tumbuh di tempat
terbuka atau agak terlindung hingga 1.100 m dpl.
47Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
4.5 Axonopus compressus (Poaceae)
Tumbuh menjalar dan menanjak hinga 50 cm. Batang berbuku, padat,
tiap buku berakar, berumur tahunan. Daun berbentuk lanset, tepinya
berbulu halus, permukaan atas berbulu jarang, permukaan bawah gundul,
lidah daun pendek, berbulu pendek (Gambar 1E). Bunga berbentuk malai,
mirip bulir, bercabang dua hingga banyak, anak bulir jorong. Berkembang
biak dengan biji dan setek batang. Tumbuh di tempat terbuka/agak
terlindung hingga 1.400 m dpl.
4.6. Cynodon dactylon (Poaceae)
Batang tumbuh menjalar membentuk rimpang, buluh yang berbunga
tegak atau menanjak hingga 40 cm, buluh samping panjang, yang tua
berongga, berumur tahunan. Ruas buluh berseling antara yang panjang dan
yang pendek, daun dalam dua baris. Bunga berbentuk bulir ganda terdiri
dari dua sampai beberapa cabang, anak bulir berwarna putih lembayung
(Gambar 1F). Berkembang biak dengan biji dan setek batang. Tumbuh di
tempat terbuka/terlindung hingga 1.650 m dpl
4.7. Digitaria ciliaris (Poaceae)
Batang menjalar kemudian menanjak hingga 60 cm, berumur
semusim. Daun bebentuk pita, lunak, berambut pada permukaannya, lidah
daun rata (Gambar 1G). Bunga berbentuk bulir majemuk menjari. Anak bulir
berpasangan dua-dua, berbentuk lanset. Berkembang biak dengan biji,
dapat juga dari potongan buluh (ruas batang). Tumbuh di tempat terbuka
hingga 900 m dpl.
4.8. Eleusine indica (Poaceae)
Rumput berumpun, tegak atau menanjak hingga 50 cm, pangkalnya
membentuk roset, Berumur semusim atau tahunan namun tidak berumur
panjang. Daun berbentuk pita, lidah daun berbulu halus (Gambar 1H).
Bunga berbentuk bulir terdiri dari 2 hingga 12 cabang tersusun secara
menjari. Berkembang biak dengan biji dan tumbuh di mana-mana hinggá
2.000 m dpl.
48 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
4.9. Cyperus rotundus (Cyperaceae)
Batang tumbuh berumpun, tegak hingga 50 cm, berumbi batang,
banyak membentuk rangkaian umbi dengan stolon, tiap umbi mempunyai
beberapa mata tunas, berumur tahunan. Daun berbentuk pita bersegi tiga,
permukaan licin, mengelompok dekat pangkal batang. Bunga bulir tunggal
atau majemuk, mengelompok atau membuka, berwarna cokelat (Gambar
1I). Berkembang biak dengan umbi dan biji. Tumbuh di tempat terbuka atau
agak terlindung hingga 1.000 m dpl.
4.10. Cyperus kyllingia (Cyperaceae)
Teki-tekian tumbuh tegak hingga 55 cm, berimpang, tidak berumbi,
berumur tahunan. Daun berbentuk pita bersegi tiga permukaan licin dan
kaku, pada pangkalnya berwarna kemerahan. Bunga berbentuk bongkol,
terdapat di ujung tangkai bunga, berwarna putih (Gambar 1J). Berkembang
biak dengan biji. Tumbuh di tempat terbuka atau agak terlindung hingga
1.300 m dpl.
V. PENUTUP
Gulma pada lahan kering seringkali menjadi masalah utama setelah
faktor air dalam sistem produksi tanaman terutama tanaman semusim
termasuk nilam.
Umumnya gulma tumbuh lebih awal daripada tanaman nilam dan
populasinya lebih padat sehingga menang bersaing dalam hal kebutuhan
unsur hara, dan ruang tumbuh sehingga akan dapat menekan pertumbuhan
tanaman nilam apabila tidak dikendalikan tepat waktu. Hal demikian ini akan
dapat menurunkan produksi terna. Oleh karena itu, gulma harus
dikendalikan dengan baik dan tepat waktu.
Untuk mengendalikan gulma pada tanaman nilam secara tepat
menggunakan herbisida perlu mengetahui sifat dan karakter spesies gulma.
Disamping itu juga harus memperhatikan jenis bahan aktif, formulasi dan
mekanisme aksi herbisida yang digunakan. Tidak kalah penting adalah cara
49Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
aplikasi harus sesuai dengan perhitungan dosis anjuran dan menggunakan
sprayer dengan T-jet nozle (nosel tipe kipas) berbeda dengan nozle yang
biasa digunakan untuk aplikasi insektisida maupun fungisida.
DAFTAR PUSTAKA
Ampong-Nyarka, Kwesi and SK. De Dtta. 1991. A hand book for weedcontrol in rice IRRI. Manila Phillippine
Direktorat Jendral Perkebunan. 1995. Pedoman Pengenalan Berbagai JenisGulma Penting Pada Tanaman Perkebunan. N0.05.16.08.10.85
Hasanuddin, A. Anhar dan Nurhayati. 2000. Kajian hasil dan stadiaperkembangan tanaman jagung: Densitas tanaman dan tekanangulma. Agrista. 4: 181-189
Lamid, Z. dan R.E. Soenarjo. 2001. Weed flora and upland rice managementpractices in Indonesia. p.73-84. In upland rice: Current Status andFuture Direction, AARD-IRRI Collaboration Research. Bogor.
Mahmud, M. 2005. Gulma dan karakter ekofisiologi pada berbagai sistempenggunaan lahan di tanaman nasional Lore Lindu. Disertasi S.3Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor.
Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia Pustaka Utama.Jakarta
Soerjani, M., M. Soendaru dan C. Anwar. 1996. Present Status of WeedProblems and Their Control in Indonesia. Biotrop. Special Publication.No.24.
50 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
HAMA NILAM DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA
Tri Lestari Mardiningsih, Rohimatun, dan Molide Rizal
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
I. PENDAHULUAN
Salah satu kendala dalam budidaya tanaman nilam ialah serangan
hama. Serangan berat oleh hama dapat menyebabkan terganggunya
pertumbuhan tanaman dan menurunkan produksi. Serangga-serangga yang
menyerang tanaman nilam ialah kutudaun Aphis gossypii (Hemiptera:
Aphidoidea: Aphididae), ulat pemakan daun sub-famili Pyraustinae
(Lepidoptera: Pyralidae), belalang (Orthoptera: Acrididae), kumbang
pemakan daun Longitarsus sp. (Coleoptera: Chrysomelidae), Drepanococcus
chiton (Hemiptera: Coccoidea: Coccidae), ulat pemakan daun (Lepidoptera),
Planococcus minor (Hemiptera: Pseudococcidae), Margarodidae (Hemiptera),
wereng daun (Hemiptera: Cicadellidae), kumbang Curculionidae
(Coleoptera) dan Cyclopelta obscura (Hemiptera: Dinidoridae). (Mardiningsih
et al. 2010a). Selain itu juga ditemukan ulat penggulung daun sub-famili
Pyraustinae (Lepidoptera: Pyralidae) (Rohimatun, komunikasi pribadi).
Hama yang menyerang batang dan akar juga ditemukan yaitu rayap (Dra.
Endang Hadipoentyanti, komunikasi pribadi). Tulisan ini memaparkan jenis-
jenis hama yang sering ditemukan menyerang tanaman nilam dan strategi
pengendaliannya.
II. HAMA UTAMA YANG MENYERANG TANAMAN NILAM
2.1. Hama Daun
2.1.1. Aphis gossypii (Hemiptera: Aphidoidea: Aphididae)
a. Ciri morfologi
Kutudaun ini mempunyai ciri-ciri: kauda berbentuk lidah, lebih
panjang daripada lebar pangkalnya, pucat, lebih pucat daripada sifunkuli.
51Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Kauda dengan 5–6 rambut. Tidak ada mekanisme stridulatori. Sifunkuli
berimbrikasi, gelap merata, biasanya lebih gelap daripada warna tubuh
secara umum. Sifunkuli lebih panjang daripada kauda. Spirakel kecil dan
berbentuk seperti ginjal. Tuberkel antena tidak berkembang. Proses terminal
2–3,1 kali lebih panjang daripada pangkal ruas antena terakhir. Tuberkel
lateral ada paling tidak pada ruas abdomen 1 dan 7. Rambut-rambut pada
femur belakang lebih pendek daripada diameter pangkal femur (Blackman
dan Eastop 2000).
Serangga hidup berwarna kuning, hijau, atau hijau kekuningan
(Gambar 1a). Imago bersayap dan tidak bersayap. Selain merupakan hama,
A. gossypii juga merupakan vektor penyakit virus yang dapat menularkan
lebih dari 50 virus tanaman (Blackman dan Eastop 2000). A. gossypii juga
ditemukan pada tanaman nilam yang menunjukkan gejala virus mosaik
(Mardiningsih dan Deciyanto 1999a). Kutudaun ini merupakan hama utama
di pembibitan rumah kaca. Bibit nilam yang tidak dilindungi dengan
penyemprotan insektisida satu minggu saja pucuknya dapat terserang
kutudaun ini sehingga pertumbuhan pucuk dapat terhambat. Pucuk tanaman
yang terserang kutudaun akan mengeriting karena cairan tanaman diisap.
Di lapangpun tanaman nilam juga terserang kutu ini, namun karena
tanaman sudah besar, tidak terlalu mengganggu pertumbuhan tanaman
(Gambar 1b) (Mardiningsih et al. 2011).
b. Biologi
Pada tanaman nilam A. gossypii terdiri atas 4 instar nimfa. Rata-rata
lama nimfa instar I, II, III, dan IV berturut-turut adalah 1,8; 1,4; 1,2, dan
1,6 hari. Secara keseluruhan rata-rata lama masa nimfa ialah 6 hari. Rata-
rata masa prereproduksi, reproduksi, dan pasca reproduksi berturut-turut
adalah 0,7; 6,9; dan 0,3 hari. Rata-rata masa imago ialah 7,9 hari. Rata-
rata masa nimfa sampai imago mati ialah 13,9 hari. Rata-rata siklus hidup
dari nimfa sampai menghasilkan nimfa lagi 6,7 hari. Rata-rata banyaknya
keturunan yang dihasilkan oleh seekor imago ialah 22,8 hari dan rata-rata
banyaknya keturunan yang dilahirkan per hari rata-rata 3,9 ekor
(Mardiningsih dan Deciyanto 1999b).
52 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
c. Distribusi dan tanaman inang
Kutudaun ini tersebar di seluruh dunia, akan tetapi di daerah beriklim
sedang yang lebih dingin terbatas di rumah kaca (merupakan hama utama).
Hama ini banyak dan tersebar luas di daerah tropis, termasuk di banyak
pulau di Pasifik (Blackman dan Eastop 2000).
Kutudaun ini merupakan hama yang sangat polifag, menyerang
tanaman kapas, ketimun, jeruk, kopi, kakao, terung, kentang, okra, dan
banyak tanaman hias termasuk Hibiscus (Blackman dan Eastop 2000).
Hama ini juga menyerang katuk, lada, dan nilam (Mardiningsih dan
Deciyanto 1999a), Cataranthus roseus (Mardiningsih et al. 2007; Irsan
2010), dan lebih dari 20 spesies dari famili Annonaceae, Apocynaceae,
Araceae, Asteraceae/Compositae, Cucurbitaceae, Euphorbiaceae,
Malvaceae, Melastomaceae, Myrtaceae, Rubiaceae, Solanaceae, dan
Umbelliferae (Irsan 2010). A. gossypii juga menyerang Ocimum bacilicum,
O. gratissimum, dan Phaleria macrocarpa (Mardiningsih dan Sartiami 2011)
(Gambar 1A dan 1B).
2.1.2. Ulat pemakan daun (Lepidoptera: Pyralidae: Pyraustinae)
Ulat pemakan daun ini mempunyai tiga pasang tungkai pada toraks
dan empat pasang tungkai palsu pada abdomen. Pada toraks terdapat
bercak cokelat kehitam-hitaman di bagian kiri dan kanan. Pada bagian dorsal
terdapat dua lajur berwarna hijau keputih-putihan. Panjang maksimum
stadia larva/ulat mencapai 2 cm (Gambar 2). Sebelum memasuki masa
pupa, ulat berwarna merah. Pupa berwarna krem, makin lama berwarna
cokelat dengan panjang 9 mm dan lebarnya 2 mm, berlangsung 12 hari.
Imago/serangga dewasa berwarna krem dengan panjang 9,5 mm dan lebar
tubuh 3 mm. Di rumah kaca pada beberapa tanaman hampir menghabiskan
daun. Gejala serangannya menyebabkan daun menjadi tidak utuh.
2.1.3. Ulat penggulung daun (Lepidoptera: Pyralidae: Pyraustinae)
Ada dua jenis ulat penggulung daun nilam, yaitu Sylepta sp. dan
Pachyzancla stultalis.
53Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.1.3.1. Sylepta sp.Sylepta sp.
Telur diletakkan terpisah di atas permukaan daun, tidak berwarna/
bening, namun secara berangsur-angsur berubah menjadi keruh dan pada
saat menetas berubah menjadi cokelat muda. Panjang telur rata-rata 1,4
mm, dengan lebar rata-rata 0,8 mm. Panjang larva dari telur yang baru
menetas ± 1,7 mm dan pertumbuhan maksimum mencapai 17,0 mm.
Mulanya larva tidak berwarna tetapi sejak mulai makan daun warnanya
terlihat menjadi hijau. Sampai sekitar umur 14 hari, larva belum
menggulung daun, memakan bagian atas permukaan daun sehingga bagian
tersebut menjadi transparan. Pada periode berikutnya, ketika panjang larva
mencapai ± 9,0 mm larva mulai membuat sarang dengan cara menggulung
dan memakan daun sehingga daun berlubang. Apabila daun-daun habis
dimakan, larva melanjutkan serangannya dengan memakan batang yang
masih muda sehingga kerusakan tanaman semakin parah. Stadia ini diawali
dengan larva yang sudah tidak aktif makan. Tubuh larva berangsur-angsur
memendek diikuti oleh perubahan warna dari hijau menjadi putih keruh,
akhirnya larva berubah menjadi pupa. Pupa terdapat di dalam gulungan
daun tanaman nilam. Setiap gulungan daun hanya terdapat satu pupa. Pupa
mulanya berwarna putih, tetapi pada hari berikutnya berubah menjadi
kuning, kemudian cokelat-kuning, dan akhirnya menjadi cokelat tua
kehitam-hitaman. Panjang pupa rata-rata adalah 12,0 mm. Serangga
dewasa berupa kupu-kupu yang berwarna cokelat keemasan dengan garis-
garis yang berwarna abu-abu muda, melintang pada kedua sayapnya
(Gambar 1C). Panjang rentang sayap kupu jantan ± 22,0 mm dengan
panjang tubuh ± 9,0 mm. Ukuran tubuh kupu betina lebih besar daripada
jantan. Panjang rentangan sayap kupu betina ± 28,0 mm dengan panjang
tubuh ± 14,0 mm. Kopulasi terjadi saat imago berumur 2 hari, pada hari
berikutnya imago mulai bertelur. Siklus hidup hama ini berlangsung selama
30-36 hari, terdiri dari stadia telur, larva, prepupa, pupa, dan imago yang
masing-masing berturut-turut berlangsung antara 3-4, 19-22, 2-3, 3-4, dan
7-8 hari (Wiratno dan Deciyanto 1991).
54 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.1.3.2. Pachyzancla stultalis (syn Herpetogramma stultalis)
Serangga ini bertelur di malam hari, berkisar 200 telur tiap imago
betina (Kalshoven 1980). Larva hidup dalam gulungan daun yang ditutupi
oleh benang halus berwarna putih. Warna tubuh mulanya bening kemudian
lama-lama berubah menjadi hijau kekuningan. Kepala berwarna hitam
kecokelatan (Adria et al. 1990). Panjang tubuh mencapai 15-118 mm. Ulat
ini dikenal dengan ulat bungkus yang bersifat polifag. Pertama-tama larva
menyerang daun yang terbawah kemudian menuju bagian atas tanaman
(Kalshoven 1980). Semakin tua umur larva semakin aktif (Adria et al. 1990).
Hingga memasuki masa pre pupa, larva menjadi kurang aktif dan tubuh
terlihat mengkerut. Pupa terbungkus dalam cocon yang berwarna coklat.
Imago merupakan kupu-kupu dengan warna putih kecokelatan, pada sayap
terdapat garis berwarna hitam kecokelatan. Perkembangan dari telur sampai
dewasa berkisar 3-3,5 minggu.
2.1.4. Kumbang pemakan daun, Longitarsus sp. (Coleoptera:Chrysomelidae)
Kumbang ini berwarna cokelat (Gambar 4). Longitarsus sp. termasuk
subfamili Halticinae. Femur tungkai belakang membesar yang digunakan
untuk meloncat (Kalshoven 1981). Serangga ini disebut juga kumbang pijal,
merupakan hama yang polifag. Beberapa spesies larva/pradewasa hidup di
dalam tanah dan memakan akar sedangkan serangga dewasanya
menyerang pucuk dan daun (Mulyati 1985).
Selain sebagai serangga hama, kumbang ini juga dimanfaatkan
sebagai agen pengendali biologi gulma Lantana camara di Afrika Selatan
(Simelane 2005). Pada tanaman nilam, hanya stadia dewasa yang
ditemukan menyerang nilam. Perilaku serangga ini sering meloncat dan
menyerang pada bagian pucuk maupun daun. Gejala serangannya ialah
lubang-lubang kecil pada pucuk maupun daun. Menurut Britton (1970) dan
Kalshoven (1981), gejala serangannya tampak seperti bekas tembakan
peluru. Kerusakan terutama dilakukan oleh serangga dewasa.
55Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2.1.5. Walang sangit (Hemiptera: Heteroptera: Coreidae)
Pada tanaman nilam, walang sangit ini berwarna hijau dan cokelat,
panjang tubuh mencapai 1,5 cm dan lebarnya 2 mm. Pada tanaman nilam,
pada populasi banyak, gejala serangga ini tampak nyata kerusakan oleh
yaitu daun berwarna kekuningan.
Walang sangit merupakan hama pada tanaman padi. Serangga
bertubuh ramping dengan tungkai dan antena yang panjang dan meloncat
dengan baik. Imago tidak meletakkan telur kira-kira 21 hari, setelah itu
serangga meletakkan telur + 12 hari pada permukaan atas daun rumput dan
daun padi. Telur pipih, oval, berwarna merah sampai hitam dan meletakkan
telur dalam satu atau dua baris yang terdiri atas 12-16 butir. Seekor
serangga betina meletakkan telur total 100 butir pada interval 2-3 hari.
Telur menetas dalam + 7 hari. Nimfa yang baru menetas berwarna hijau
dan menjadi kecokelatan sejalan dengan perkembangannya. Nimfa terdiri
atas 5 instar yang berkembang dalam kira-kira 19 hari. Perkembangan dari
telur sampai menjadi imago berlangsung 25 hari. Satu generasi berlangsung
dalam waktu kira-kira 46 hari. Peletakan telur berlangsung pada petang hari
atau sore hari. Imago terbang pada jarak yang pendek pada siang hari dan
meliputi jarak yang jauh pada malam hari. Walang sangit kadang-kadang
muncul pada lampu. Serangga ini menghasilkan bau yang sangat tajam.
Populasi walang sangit sangat berfluktuasi sepanjang musim. Musuh
alaminya berupa parasit telur yaitu Gryon nixori Masner (Hadronotus
flavipes), Ooencyrtus malayensis Ferr. dan Telenomus rowani Gahan.
Gryllid, Tettigonid (Conocephalus), dan Reduviid dilaporkan sebagai predator
serangga ini (Kalshoven 1981).
2.1.6. Tungau merah (Tetranychus sp.) (Acarina: Tetranychidae))
Serangan hama tungau ini biasanya terjadi pada musim kemarau.
Tungau yang masih muda berwarna krem dan di pinggir kiri kanan tubuhnya
terdapat bercak berwarna gelap. Tungau dewasa berwarna merah hidup di
permukaan daun bawah dan atas. Gejala serangannya ialah daun berwarna
56 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
keputih-putihan, selanjutnya berwarna keperak-perakan, lama-kelamaan
daun menjadi kering.
Biologi hama ini pada tanaman nilam belum banyak diketahui. Biologi
tungau merah ini pada tanaman mentha ialah stadia telur berlangsung 3-4
hari. Stadia nimfa terdiri atas protonimfa dan deutonimfa. Stadium
protonimfa berkisar antara 22-28 hari dan deutonimfa antara 24-32 hari.
Stadium serangga dewasa (imago) berkisar antara 246-296 hari. Masa pra-
peneluran berlangsung antara 1-2 hari. Imago dapat menghasilkan telur
sebanyak 35,4-77 butir. Rata-rata siklus hidup Tetranychus sp. berkisar
antara 10,6-14,4 hari (Deciyanto et al. 1989).
2.1.7. Belalang (Orthoptera: Acrididae)
Belalang yang menyerang tanaman nilam bermacam-macam, antara
lain ialah Valanga nigricornis dan Tagasta marginella. Gejala serangan dari
belalang ialah daun menjadi sobek dan berlubang-lubang besar. Menurut
Kalshoven (1981), nimfa dan imago V. nigricornis memakan daun. Belalang
ini merupakan serangga yang polifag, menyerang berbagai jenis tanaman.
Siklus hidupnya terdiri atas telur, nimfa, dan imago. Warna tubuhnya adalah
abu-abu kecokelatan mempunyai bercak-bercak terang pada femur
belakang, tibia belakang berwarna kemerahan atau ungu, sedang
permukaan sayap bawah berwarna merah pada pangkalnya. Telur-telur
diletakkan di dalam tanah 2-3 kelompok pada kedalaman 5-8 cm yang diisi
dengan masa busa yang mengeras. Nimfa muda berwarna kuning kehijauan
dengan bercak-bercak hitam; nimfa-nimfa ini menghabiskan daun yang
sedang tumbuh dan mencapai puncak pohon dalam waktu 2 hari.
Selanjutnya, nimfa-nimfa bervariasi baik dalam warna maupun polanya,
kebanyakan abu-abu dan kuning, sering berwarna gelap sampai hitam
kecokelatan. Telur-telur yang dipelihara di laboratorium di dalam tanah
lembap menetas setelah 5-7,5 bulan. Perkembangan di lapang dari nimfa
yang baru menetas sampai imago bersayap berlangsung sekitar 80 hari.
57Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Warna tubuh T. marginella hijau atau berwarna jerami. Kepalanya
memanjang runcing. Tarsus belakang dan antena berwarna biru. Belalang
biasa ditemukan di rumput dan tanaman lainnya (Kalshoven 1981).
2.2. HAMA AKAR
2.2.1. Rayap (Isoptera: Rhinotermitidae)
Tanaman nilam juga diserang oleh hama rayap. Rayap ini menyerang
akar tanaman dan membuat saluran yang terdiri atas lumpur kering ke
bagian batang. Menurut Kalshoven (1981), rayap dari famili Rhinotermitidae
hidup sebagian di atas dan sebagian di bawah tanah, mempunyai arti
ekonomi yang tinggi. Rayap ini terutama spesifik karena perilaku kasta
prajurit, jika diganggu menghasilkan cairan putih dari lubang di kepala.
Kasta pekerja berbadan ramping. Laron atau stadia reproduksi agak kecil,
hitam-cokelat dengan sayap keperakan dan cepat bergerak. Coptotermes
spp. sangat efisien menyerang pohon hidup maupun yang sudah mati. C.
curvignathus hidup di dataran rendah dan di daerah-daerah dengan curah
hujan yang merata. Sarangnya dapat dtemukan pada batang yang mati di
bawah atau di atas tanah dan dihubungkan oleh saluran yang tingginya 6
mm sampai 90 m panjangnya, pada kedalaman 30-60 cm. Rayap membuat
tutup lumpur pada kayu atau ranting pohon sampai ketinggian 2-3 m.
III. PENGENDALIAN
3.1. Strategi Pengendalian A. gossypii
Pengendalian Biologi
Musuh alami A. gossypii berupa cendawan Verticillium lecanii.
Suspensi konidia pada konsentrasi 1010 konidia per ml (4 hari setelah
inokulasi menyebabkan mortalitas A. gossypii 100%) disemprotkan pada
tanaman yang terserang kutudaun ini (Karindah et al. 1996). Dari
pertanaman nilam yang terserang A. gossypii ditemukan predator yaitu
Syrphidae (Diptera), Coelophora maculata (Coleoptera: Coccinellidae),
58 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Cheilomenes maculata (Coleoptera: Coccinellidae), Scymnus sp.
(Coleoptera: Coccinellidae) (Mardiningsih et al. 2010b). Di Bogor ditemukan
parasitoid yang menyerang A. gossypii yaitu Aphelinus sp. (Hymenoptera:
Aphelinidae). Dari hasil koleksi A. gossypii, baik nimfa maupun imago
terserang Aphelinus sp. 20-76% (Mardiningsih dan Jakfar 2010).
Insektisida Nabati
Minyak dari Azadirachta indica, Melia azedarach, Cymbopogon nardus,
dan Geranium sp. yang diuji di laboratorium terhadap A. gossypii dan
Coccinella undecimpunctata menunjukkan bahwa minyak Geranium sp. dan
mimba lebih repelen (menolak) terhadap A. gossypii daripada minyak
lainnya. Minyak mimba mempunyai aktivitas residu sampai 6 hari, sedang
minyak lainnya tidak berpengaruh lebih dari 1-3 hari setelah penyemprotan.
Tidak satupun dari minyak-minyak tersebut berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup atau perilaku larva C. undecimpunctata, hanya
memperpanjang larva instar keempat (Matter et al. 1993). Insektisida nabati
mimba berbahan aktif azadirachtin 0,25-2% efektif mengendalikan
A. gossypii dengan nilai efikasi antara 61,1-89,9% dan rerak berbahan aktif
saponin 0,5-2% mengendalikan A. gossypii dengan nilai efikasi antara 64,1-
75,7% (Mardiningsih et al. 2010b).
3.2. Strategi Pengendalian ulat pemakan daun
Strategi pengendalian yang dapat dilakukan untuk ulat pemakan daun
ini ialah monitoring, menggunakan insektisida nabati dan insektisida sintetis
bila diperlukan. Monitoring perlu dilakukan, apabila masih ditemukan sedikit
ulat ini maka dapat dilakukan tindakan secara fisik yaitu dengan mengambil
ulat secara langsung. Namun apabila ditemukan dalam jumlah banyak dapat
dikendalikan dengan insektisida nabati, yaitu mimba dan cendawan
entomofagus yaitu Beauveria bassiana. Perlakuan ekstrak biji mimba dalam
pelarut etanol konsentrasi 6 dan 8 ml/l air cukup efektif menghambat
perkembangan penggerek polong Maruca testulalis (Lepidoptera: Pyralidae)
59Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
pada tanaman kacang hijau (Koswanudin et al. 2010). Bacillus thuringiensis
1 g/l juga dapat digunakan untuk mengendalikan ulat ini. Apabila terjadi
ledakan serangan secara eksplosif maka beberapa jenis insektisida sintetis
dapat digunakan untuk mengendalikan serangga famili Pyralidae diantaranya
yang berbahan aktif asefat, bisultap, deltametrin, profenofos, klorpirifos, dan
klorfluazuron (Pusat Perizinan dan Investasi 2008).
3.3. Strategi Pengendalian ulat penggulung daun
1. Pestisida kimia.
2. Pestisida nabati
3. Mekanis, dengan memotong bagian daun yang terkena ulat
penggulung dan memusnahkannya,
4. Hayati, dengan parasitoid ulat (Euagathis sp.) (Gambar 1D).
(Rohimatun et al. 2011)
3.3. Strategi Pengendalian Longitarsus sp.
Pengendalian juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan pestisida
nabati dan cendawan Beauveria bassiana (Siswanto et al. 2011). Insektisida
nabati berbahan aktif cengkeh, piretrum, dan jeringau dengan pelarut
xylene, toluen, dan tween 80 pada konsentrasi 1%. Cendawan Beauveria
bassiana pada 5 g/100 ml air dapat mematikan kumbang 90-92% pada hari
ke-10.
3.4. Strategi pengendalian walang sangit
Menurut BB Padi (2009) pengendalian walang sangit dapat dilakukan:
Kultur teknis. Tindakan ini bertujuan agar serangan walang sangit tidak
berlanjut terus-menerus. Apabila menanam tidak serentak maka tanaman
yang di belakangnya akan terserang lebih berat. Secara biologis. Dalam
skala rumah kaca dan rumah kasa, serangga ini dapat dikendalikan dengan
musuh alaminya berupa parasit telur yaitu Ooencyrtus malayensis. Selain
itu, cendawan entomopatogen juga dapat digunakan untuk mengendalikan
hama ini yaitu B. bassiana dan Metarrhizium sp.
60 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Gambar 1. Hama dan parasitoid hama nilam. (A) Kutudaun A. gossypii(B) Tanaman nilam terserang kutu daun, (C) Imago Syleptasp. (sumber http://www. boldsystems.org), dan (D)Euagathis sp. (Hymenoptera: Braconidae; Sumber:http://commons. wikimedia. org/wiki.
Mengamati perilaku serangga/perangkap. Cara ini dilakukan dengan
menanam tanaman yang menghasilkan bau tajam yaitu Lycopodium sp. dan
Ceratophylum sp. yang akan menarik walang sangit. Serangga yang
terkumpul pada tanaman tersebut selanjutnya dimusnahkan. Bangkai
kepiting juga dapat digunakan sebagai penghasil bau.
3.6. Strategi Pengendalian Tungau
Pengendalian tungau ini dapat dilakukan secara mekanis yaitu dengan
mengadakan sanitasi kebun dan eradikasi gulma yang menjadi inang dari
Tetranychus sp. ini. Pengendalian secara biologis dapat dilakukan dengan
memanfaatkan musuh alami yang juga tungau yaitu Phytoseiulus persimilis
61Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Ath Henr dan P. macrophilis Bank. Selain itu, beberapa coccinellid (Stethorus
spp.), Coccinella repanda dan C. transversalis juga memangsa tungau.
Apabila terjadi serangan berat, pestisida sintetis dapat digunakan yaitu
acetamiprid, dinobuton 300 g/l, propargit 570 g/l, karbosulfan 200,11 g/l,
dan amitraz 200 g/l (Surachman dan Widodo 2007).
Untuk serangan tungau yang masih ringan dapat dilakukan dengan
memetiki daun-daun yang terserang. Penggunaan tanaman perangkap yaitu
ubi kayu dapat dilakukan. Tetranychus sp. juga mempunyai musuh alami
berupa predator dari jenis tungau juga yaitu Phytoseiulus persimilis
(AthHenr) dan P. macropilis (Banks) yang telah berhasil mengendalikan
tungau merah di rumah kaca di Eropa. Di Jawa, beberapa Coccinellid
(Stethorus spp.) juga berfungsi sebagai predator tungau (Kalshoven 1981).
Penggunaan insektisida nabati yaitu ekstrak biji mimba (100g/l) dapat
menekan populasi tungau pada tanaman nilam (Trisawa dan Siswanto
1994).
3.7. Strategi Pengendalian Belalang
Untuk mencegah peletakan telur V. nigricornis, dianjurkan untuk
menanam tanaman penutup tanah di sekitar pertanaman. Pengendalian
mekanis terhadap telur-telur dan nimfa-nimfa muda pada tempat peletakan
telur juga sangat dianjurkan (Kalshoven 1981). Belalang mempunyai musuh
alami seperti Mylobris pustulata (Coleoptera: Meloidedae) yang larvanya
memakan kulit telur, Scolia javanica (Hymenoptera: Scolionidae), dan
cendawan Metarrhizium anisopliae (Anon 1985). Penyemprotan cendawan
entomopatogen dilakukan pagi hari atau sore hari.
3.8. Strategi Pengendalian Hama Akar (Rayap)
Untuk mencegah terjadinya serangan rayap dapat dilakukan dengan
membersihkan sisa-sisa kayu dan memusnahkannya sebelum lahan ditanami
(Kalshoven 1981). Dari penelitian di laboratorium, nematoda Steinernema
carpocapsae Weiser dapat mematikan rayap C. curvignathus 2 hari setelah
perlakuan sebesar 31,11- 60,80% (Bakti 2004).
62 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
DAFTAR PUSTAKA
Adria, J., Z. Hasan dan H. Idris. 1990. Beberapa jenis hama perusak dauntanaman nilam (Pogostemon cablin Benth). Pemb. Littri PusatPenelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor 16: 59- 64..
Anonymous. 1985. Pedoman pengendalian hama penyakit tanaman kelapa.Ditjenbun, Jakarta. 74 hlm.
Bakti, D. 2004. Pengendalian rayap Coptotermes curvignathus Holmgrenmenggunakan nematoda Steinernema carpocapsae Weiser dalamskala laboratorium. Jurnal Natur Indonesia 6: 81-83.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2009. Hama Walang sangit.http://www.bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/hama-padi/206--hama-walang-sangit-leptocorisa-oratorius.
Blackman, R. L. dan V.F. Eastop. 2000. Aphids on the World’s Crops, AnIdentification and Information Guide. 2nd ed. John Wiley & Sons,LTD. 466 pp.
Britton, E.B. 1970. Coleoptera. In The Insects of Australia, A Textbook forStudents and Research Workers. Div. Of Entomology CommonwealthScient & Industrial Research Organization. Melbourne University Press.
Deciyanto S., M Amir, I.M. Trisawa dan S. Harijanto. 1989. Studi biologi danperkembangan populasi hama tungau Tetranychus sp. pada tanamanmentha. Pemb. Littri 15: 9-14.
Hill, D.S. dan J.M. Waller. 1988. Pests and Diseases of Tropical Crops. Vol. 2.Field Handbook. Longman Group (FE) Ltd. Hongkong. 432 pp.
Irsan, C. 2010. Keanekaragaman spesies kutudaun (Homoptera: Aphidoidea)dan musuh alaminya di tanaman hortikultura dan tumbuhan liardi wilayah Pagaralam dan sekitarnya. Dalam Nawangsih A.A. et al.(Eds) Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi Perubahan IklimGlobal dan Sistem Perdagangan Bebas. Prosiding Seminar NasionalPerlindungan Tanaman, Bogor, 5-6 Agustus 2009. Pusat KajianPengendalian Hama Terpadu, Departemen Proteksi Tanaman,Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. p. 253-268.
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru Van-Hoeve. Jakarta. 701 pp.
63Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Karindah, S., B.S. Rahardjo, Sudakir dan S. Santosa. 1996. Virulensi jamurVerticillium lecanii Zimmerman terhadap hama kapas Aphis gossypiiGlover (Homoptera: Aphididae). Agrivita. 19: 30-34.
Koswanudin, D., I.M. Samudra dan Harnoto. 2010. Pengaruh ekstrak bijimimba (Azadirachta indica A Juss.) terhadap perkembanganpenggerek polong (Maruca testulalis Gejer) dan kutudaun Aphiscraccivora Koch.) pada tanaman kacang hijau. Dalam Nawangsih A.A.et al. (Eds) Strategi Perlindungan Tanaman Menghadapi PerubahanIklim Global dan Sistem Perdagangan Bebas. Prosiding SeminarNasional Perlindungan Tanaman, Bogor, 5 – 6 Agustus 2009. PusatKajian Pengendalian Hama Terpadu, Departemen Proteksi Tanaman,Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. p. 519-528.
Mardiningsih, T.L. dan D. Sartiami. 2011. Diversity of Aphidoidea andCoccoidea (Hemiptera) on some medicinal plants. In Widjaja et al.The 40th Meeting of National Working Group on Indonesian MedicinalPlant. Proceeding of the 2nd International Symposium on Temulawak,Biopharmaca Research Center Bogor, May, 26-27 2011. p 87-90
Mardiningsih, T.L. dan Deciyanto S. 1999a. Identifikasi kutudaun(Homoptera: Aphididae) pada beberapa jenis tanaman rempah danobat. Dalam Prasadja I et al. (Eds) “Peranan Entomologi dalamPengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis” di Bogor,PEI Bogor, 16 Febuari 1999. p. 595-604.
Mardiningsih, T.L. dan Deciyanto S. 1999b. Biologi Aphis gossypii padatanaman nilam dan preferensinya pada beberapa tanaman rempahdan obat. Dalam Hadisusanto S. et al. (Eds) Biologi Menuju MileniumIII. Fak Biologi UGM, Yogyakarta, 20 Novembar 1999. p. 29-38.
Mardiningsih, T.L. dan R. Jakfar. 2010a. Serangan parasitoid pada kutudaunnilam. Dalam Nawangsih A.A. et al. (Eds) Strategi PerlindunganTanaman Menghadapi Perubahan Iklim Global dan SistemPerdagangan Bebas. Prosiding Seminar Nasional PerlindunganTanaman, Bogor, 5 – 6 Agustus 2009. Pusat Kajian PengendalianHama Terpadu, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,Institut Pertanian Bogor. p. 289-292.
Mardiningsih, T.L., C. Sukmana, N. Tarigan dan S. Suriati. 2010b. Efektivitasinsektisida nabati berbahan aktif azadirachtin dan saponin terhadapmortalitas dan intensitas serangan Aphis gossypii Glover. Bul. Littro21: 171-183.
64 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Mardiningsih, T.L., D. Sartiami, S. Suriati, C. Sukmana dan N. Tarigan. 2011.Serangga-serangga yang berasosiasi dengan tanaman nilam(Pogostemon cablin Benth.). Dalam Harjaa et al. (Eds) Belajar DariMasa Lalu Dan Sekarang Untuk Membangun Masa Depan. ProsidingSeminar Peringatan Ulang Tahun Perhimpunan Entomologi Indonesia(PEI) ke-40, Yogyakarta, 1-2 Oktober 2010. p. 216-226.
Mardiningsih, T.L., R. Balfas dan F. Soesanthy. 2007. Serangga-seranggaperusak tanaman tapak dara dan strategi pengendaliannya. DalamRostiana O. et al. (Eds) Pengembangan Teknologi Tanaman Obat danAromatik. Prosiding Seminar Nasional dan Pameran, Bogor, 6September 2007. p. 203–208.
Matter, M.M., S.S. Marei, S.M. Moawad dan S. El-Gengaihi. 1993. Bull. ofFac. of Agriculture, University of Cairo 22: 417-432.
Mulyati, S. 1985. Inventarisasi Serangga Pengganggu Tanaman Nilam(Pogostemon cablin B.) di Perkebunan Cireundeu, PT Djasula Wangi,Sukabumi. Laporan Praktek Lapang, Jurusan Hama dan PenyakitTumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pusat Perizinan dan Investasi. 2008. Pestisida Pertanian dan Kehutanan.Sekretariat Jenderal. Departemen Pertanian. Koperasi Pegawai NegeriDitjen BSP. 682 hlm.
Rohimatun, I W. Laba, W.R. Atmadja dan E. Sugandi. 2011. SeleksiKetahanan Varietas Nilam terhadap OPT Kutu, Penggulung Daun, danPenyakit Budok. Laporan Akhir Program Riset Insentif Terapan. BalaiPenelitian Tanaman Obat dan Aromatik (unpublish).
Simelane, D.O. 2005. Biological Control of Lantana camara in South Africa:targetting a different niche with a root-feeding agent, Longitarsus sp.Biocontrol 50: 375 – 387. http://www. springerlink.com/index/KM2445PGOK7W2J65.pdf.
Siswanto, N. Chrystalia, Wiratno dan T.E. Wahyono. 2011. Pengendaliankumbang daun nilam (Longitarsus sp.) dengan pestisida nabati danpatogen serangga, B. bassiana. Makalah disajikan pada SeminarNasional Pestisida Nabati IV. Jakarta, 15 Oktober 2011.
Surachman, E. dan Widodo A.S. 2007. Hama Tanaman pangan, Hortikultura,dan Perkebunan, Masalah dan Solusinya. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. 111 p.
65Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Trisawa, I.M. dan Siswanto, 1994. Pengaruh ekstrak biji mimba terhadapulat penggulung daun dan tungau merah pada tanaman nilam.Balittro. 11 p. (unpublish)
Wiratno dan Deciyanto, S. 1991. Ciri-ciri dan siklus hidup seranggapenggulung daun nilam Sylepta sp. (Lepidoptera: Pyralidae). BuletinLittro.6: 15-19.
66 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN NILAM DAN USAHAPENGENDALIANNYA
Dono Wahyuno. S.Yuni Hartati, Setyowati Retno Djiwanti,
Rita Noveriza dan Sukamto
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
I. PENDAHULUAN
Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) adalah sumber minyak
nilam komersial, termasuk ke dalam famili Lamiaceae. Kata "nilam" diduga
dari kata Sanskerta "Pacholi", yang berarti herbal aromatik. Tanaman ini
berasal dari Filipina dan tumbuh liar di Malaysia, Indonesia, Singapura,
China dan India. Budidaya nilam dilaporkan telah dimulai di Jawa pada
tahun 1895 dengan bahan tanam dari Singapura, meskipun jenisnya tidak
diketahui dengan pasti dan pada tahun 1909 mulai ditanam di Aceh (Ahmed
2002).
Minyak nilam Indonesia sudah dikenal dunia sejak 65 tahun yang lalu,
bahkan Indonesia merupakan pemasok utama minyak nilam dunia (90%).
Ekspor nilam Inonesia berfluktuasi dengan laju peningkatan ekspor sekitar
12% per tahun atau berkisar antara 700-2.800 ton minyak nilam per tahun.
Sementara itu kebutuhan dunia berkisar 1.200-1.500 ton dengan
pertumbuhan sebesar 5% per tahun (Pusat Data dan Informasi Pertanian
2010).
Pada tahun 2004, produktivitas nilam Indonesia sebesar 103,42
kg/ha, namun tahun berikutnya mengalami penurunan menjadi 103,11
kg/ha. Tahun 2006 terjadi peningkatan produktivitas nilam yang cukup
signifikan hingga mencapai 107,23 kg/ha. Tingkat produktivitas yang cukup
tinggi tersebut tidak dapat dipertahankan hingga tahun 2007 kembali terjadi
penurunan menjadi 72,92 kg/ha. Tahun 2008, tingkat produktivitas minyak
nilam Indonesia adalah 83,05 kg/ha. Banyak faktor yang menyebabkan
rendahnya produktivitas dan mutu nilam Indonesia, selain masalah
teknologi, budidaya yang tidak intensif, serangan hama dan penyakit, benih
yang kurang baik, juga cara penanganan bahan baku dan penyulingan
67Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
minyak nilam yang masih jauh dari sempurna (Pusat Data dan Informasi
Pertanian 2010)
Ada empat kelompok mikroorganisme yang dilaporkan menjadi
kendala dalam budidaya nilam di Indonesia, yaitu; Ralstonia solanacearum,
dari kelompok bakteri, Pratylenchus, Meloidogyne dan Radhopolus dari
kelompok nematoda, Synchytrium pogostemonis serta Cercospora dari
kelompok jamur dan Potyvirus serta Fabavirus dari kelompok virus.
Keempat mikroorganisme di atas dapat ditemukan bersamaan di
lapang dan saling bersinergi untuk menurunkan produksi tanaman nilam,
khususnya terna. Apabila dikaitkan besarnya kerusakan yang ditimbulkan,
maka keempatnya dapat dikatakan relatif menimbulkan kerusakan yang
besar. Serangan R. solanacearum sering dijumpai berupa spot-spot dalam
satu lahan, tetapi tanaman yang terserang sudah pasti mati dan tidak akan
dapat menghasilkan terna. Nematoda secara tunggal akan menyebabkan
pertumbuhan tanaman nilam merana, dan akhirnya rentan terhadap
kekeringan. Adanya nematoda akan memperparah kejadian layu bakteri di
lapang, apabila R. solanacearum juga ditemukan bersamaan dalam satu
lahan. Tanaman yang terserang jamur Synchytrium masih dapat
mengahasilkan terna, meski lambat laun tanaman akan mati. Saat ini,
serangan S. pogostemonis sudah hampir ditemukan pada semua daerah
penghasil nilam tradisional di Indonesia. Cercospora juga merupakan jamur
yang banyak ditemukan pada pertanaman nilam, tetapi kerusakannya relatif
sedikit dan umumnya ditemukan pada pertanaman nilam yang tumbuh di
tempat lembab, di pembibitan misalnya. Serangan virus, menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat meski tanaman masih dapat
menghasilkan terna yang dapat disuling tetapi dalam jumlah yang terbatas.
Serangan virus umumnya dijumpai dalam hamparan yang luas, sehingga
virus juga menimbulkan penurunan hasil yang nyata.
Pada bagian ini, uraian akan ditekankan pada kemajuan dan informasi
terakhir mengenai penyebab hingga eko-biologi dari mikroorganisme utama
yang saat ini banyak menimbulkan kerugian pada pertanaman nilam
di Indonesia. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dan
68 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
konsep dalam pengelolaan dan pengembangan budidaya nilam di masing-
masing daerah di Indonesia.
II. PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA NILAM
Penyakit layu bakteri merupakan salah satu penyebab terjadinya
kerusakan pada tanaman nilam (Pogostemon cablin) dan menjadi salah satu
kendala utama dalam budidaya tanaman nilam di Indonesia. Penyakit
tersebut dapat menurunkan produksi yang cukup tinggi yaitu antara 60-95
% (Sitepu dan Asman 1991; Asman et al. 1998), sehingga petani nilam di
Indonesia sering dirugikan akibat adanya penyakit tersebut. Untuk
menghindari kerugian hasil akibat penyakit layu bakteri, maka petani
menanam nilam dengan sistem budidaya berpindah-pindah dengan
membuka hutan. Cara tersebut secara teori lebih aman untuk menghindari
kerugian akibat penyakit, namun cara tersebut akan merusak lingkungan,
karena areal hutan primer dan hutan sekunder menjadi berkurang dan
setelah ditanami nilam kemudian ditinggalkan dan dibiarkan menjadi ladang
alang-alang (Asman et al. 1998).
2.1. Gejala
Gejala awal dari penyakit layu adalah daun-daun pada cabang
tertentu menjadi layu dan selanjutnya diikuti oleh daun daun pada cabang-
cabang lainnya (Gambar 1A). Pada tanaman yang sama sering terjadi
kelayuan pada beberapa cabang tertentu, sementara ada beberapa cabang
lain yang masih kelihatan sehat. Pada serangan berat semua cabang dan
seluruh bagian tanaman menjadi layu dan mati. Penyakit layu dapat
menyebabkan kematian tanaman nilam dengan cepat. Tanaman muda yang
berumur 1-3 bulan akan mati dalam waktu 1-2 minggu setelah terinfeksi.
Jika tanaman terinfeksi pada umur 4-5 bulan, kematian akan terjadi dalam
waktu 1-2 bulan kemudian. Sebagian besar jaringan akar dan batang
tanaman yang sakit akan menjadi busuk dan berwarna cokelat hitam. Kulit
69Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
akar sekunder mengelupas (Sitepu dan Asman 1989; Asman et al. 1998;
Asman 2000).
2.2. Patogen dan Inang
Penyakit layu pada nilam disebabkan oleh bakteri Ralstonia
solanacearum (Asman et al. 1998). Bakteri jenis ini dapat menginfeksi
tanaman nilam melalui bulu-bulu akar dengan melarut dinding sel. Bakteri
juga dapat menginfeksi melalui luka karena tusukan nematoda atau masuk
melalui lubang alami seperti stomata. Setelah menginfeksi tanaman, bakteri
selanjutnya berkembang ke bagian atas tanaman dan menyumbat jaringan
pembuluh, sehingga menyebabkan tanaman bergejala layu dan mati .
R. solanacearum mempunyai keragaman genetik dan kisaran inang
yang sangat luas, sehingga di alam dikenal adanya beberapa strain atau ras
(Buddenhagen 1986; French 1986; Haywards 1986b, 1991). Bakteri R.
solanacearum dapat menginfeksi lebih dari 200 spesies tanaman seperti
terung, tomat, kacang tanah, dan tanaman jenis Solanaceae lain (Ras1),
abaca dan pisang (Ras 2), kentang (Ras 3), jahe (Ras 4), dan mulberry
(Ras 5) (Bradbury 1987; Haywards et al. 1991; Mahmud 1986).
R. solanacearum yang menyerang tanaman nilam di Indonesia oleh Nasrun
et al. (2004b) digolongkan ke dalam Ras 1 dan Biovar III. Menurut Asman
dan Sitepu (1998) tanaman kacang tanah yang ditanam secara tumpang sari
bersama dengan tanaman nilam di NAD dan Sumatera Barat juga terserang
penyakit layu. Hal ini mengindikasikan bahwa R solanacearum yang
menyerang tanaman nilam tergolong dalam Ras 1.
2.3. Diagnosa Penyakit
Di lapangan penyakit layu dapat didiagnosa berdasarkan gejalanya.
Diagnosa yang sederhana dapat dilakukan dengan memotong batang
tanaman yang terinfeksi selanjutnya penampang batangnya ditekan, maka
akan keluar eksudat bakteri yang berupa cairan yang berwarna putih susu
yang berbau khas sangat menyengat. Selain itu potongan batang tanaman
yang terinfeksi apabila dimasukkan ke dalam air di dalam gelas transparan,
70 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
akan terlihat adanya aliran eksudat bakteri yang keluar dari potongan
batang tersebut.
Di laboratorium penyakit layu bakteri dapat dideteksi dengan metode
konvensional yaitu dengan mengisolasi bakteri dari bahan tanaman sakit
yang selanjutnya ditumbuhkan pada media agar. Pengamatan di bawah
mikroskop terhadap irisan tipis penampang melintang akar atau batangnya
akan terlihat adanya masa bakteri yang menyumbat jaringan pembuluh
tanaman. Diagnosa juga dapat dilakukan secara serologi dengan teknik
ELISA dengan menggunakan antiserum khusus (Robinson 1993). Metode ini
dapat mendeteksi bakteri dalam ekstrak tanaman dan tanah. Populasi
bakteri terendah yang dapat dideteksi dengan metode ELISA yaitu 10 4 sel/
ml ekstrak tanaman atau tanah. Cara ini lebih praktis dibanding dengan cara
konvensional, karena metoda ELISA dapat menguji banyak sampel dalam
waktu yang lebih singkat. Deteksi patogen juga dapat dilakukan secara
molekuler. Cara tersebut lebih cepat dan akurat, namun biayanya sangat
mahal dan memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman.
2.4. Epidemiologi Penyakit
Penyakit layu pertamakali dilaporkan terjadi di pertanaman nilam di
Daerah Istimewa Aceh. (Sitepu dan Asman 1989). Selanjutnya penyakit
menyebar ke daerah lainnya di Sumatera Barat (Sitepu dan Asman 1998).
Pada saat ini penyakit telah ditemukan hampir di semua sentra produksi
nilam di NAD, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Timur,
Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Tengah dan kalimantan Selatan
(Syakir et al. 2008).
Penyakit layu pada nilam bersifat endemik dan cepat menular. Dalam
satu areal kebun, apabila satu tanaman sudah terinfeksi maka dalam waktu
cepat penyakit akan menular ke tanaman yang lain. Penyebaran penyakit
dipercepat oleh kondisi lingkungan yang lembab, curah hujan tinggi, dan
drainase yang kurang baik. Penyebaran penyakit di dalam kebun dapat
terjadi melalui tanah, akar, aliran air, alat-alat pertanian, hewan, dan
71Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
pekerja di lapangan. Sementara penyebaran jarak jauh dapat terjadi
terutama melalui bibit yang berupa setek batang yang telah terinfeksi.
R. solanacearum merupakan patogen tular tanah. Bakteri tersebut
dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang cukup lama di dalam tanah.
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan bertahan dari
R. solanacearum. Penyakit berkembang sangat cepat terutama pada kondisi
kebun yang lembab dan panas. Kelembaban tanah yang tinggi dapat
meningkatkan populasi bakteri. Sedang kandungan bahan organik tanah
yang tinggi dan kondisi temperatur yang tinggi akan mengurangi
populasinya. Selain itu adanya tanaman inang lain sangat berpengaruh
terhadap kemampuan bertahan hidup dari R. solanacearum (Akiew 1986).
2.5. Penanggulanan Penyakit
Seperti halnya penyakit layu bakteri pada tanaman lain, penyakit layu
pada tanaman nilam juga sulit dikendalikan secara tuntas. Walaupun
berbagai cara pengendalian telah dilakukan, namun hasilnya belum
memuaskan. Hal ini dikarenakan sifat-sifat ekobiologi patogennya yang
sangat komplek dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman petani
tentang teknis pengendalian penyakit serta kurangnya modal usahatani
(Asman 2000).
Pada umumnya petani menanam bibit yang berupa setek batang yang
berasal dari tanaman dari kebunnya sendiri yang mungkin sudah terinfeksi,
sehingga kurang adanya seleksi dan jaminan bahwa bibit yang digunakan
petani bebas dari patogen. Selain itu karena petani kurang memperhatikan
beberapa aspek lain seperti pengadaan bibit, pengolahan tanah, dan teknik
budidaya, dan pengendalian penyakit, maka penyakit layu bakteri tetap
berkembang dan menyebar (Asman 2000). Oleh karena itu perlu sekali
adanya pedoman dan penyuluhan tentang pengenalan penyakit, cara
pengamatan yang mudah dan akurat, serta rekomendasi cara pengendalian
yang efektif dan efisien (Barani 2008).
Pengendalian penyakit sebaiknya dilakukan secara terpadu.
Pengendalian terpadu harus dilakukan sesuai dengan jenis tanaman, jenis
72 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
patogen, dan pengetahuan mengenai cara bertahan hidup dan penyebaran
(ekobiologi) patogennya.
2.6. Pencegahan penyakit (preventif)
Cara yang paling bijaksana untuk mengendalikan penyakit layu adalah
dengan mencegah timbulnya penyakit di lapangan, mencegah agar penyakit
tidak menular dari satu tanaman ke tanaman lain dan dari daerah satu ke
daerah lainnya. Upaya pencegahan penyakit secara preventif dapat
dilakukan sejak awal yaitu dari waktu evaluasi untuk kesesuaian lahan
tempat penanaman, penentuan bahan tanaman, pemupukan, dan aspek-
aspek lain yang dapat mencegah berkembangnya penyakit layu. Observasi
kebun juga perlu dilakukan dan sebaiknya dilaksanakan secara rutin,
sehingga dapat dilakukan pengendalian secara dini terhadap penyakit –
penyakit yang mungkin berpotensi untuk berkembang (Barani 2008).
Pengendalian penyakit yang bersifat pencegahan dapat dilakukan dengan
memadukan beberapa komponen dengan menggunakan bibit sehat, varietas
tahan atau toleran, lahan bebas patogen, melakukan sanitasi dan eradikasi,
rotasi dan tumpangsari, serta memperbaiki teknik budidaya dan pengelolaan
lingkungan.
a. Bibit sehat
Tanaman nilam biasa diperbanyak dengan setek batang. Oleh karena
itu tanaman yang akan digunakan sebagai sumber bibit harus diseleksi dan
dipilih yang sehat. Harus dihindari pengambilan setek dari tanaman yang
terinfeksi dan tanaman di sekitarnya walaupun tanaman tersebut belum
menunjukkan gejala sakit. Pada umumnya petani menggunakan bibit yang
berasal dari tanaman dari kebunnya sendiri yang mungkin sudah terinfeksi
untuk penanaman baru, sehingga penyakit akan timbul dan berkembang.
Oleh karena itu perlu adanya pengadaan bibit yang dijamin bebas dari
patogen.
73Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Varietas tahan atau toleran
Penanaman varietas nilam tahan merupakan cara yang paling efektif
untuk mengendalikan penyakit layu. Nilam telah lama dibudidayakan di
Indonesia, namun sampai saat ini belum tersedia varietas yang benar-benar
tahan terhadap penyakit layu bakteri. Oleh karena itu penelitian dalam
rangka menghasilkan varietas nilam yang tahan sangat diperlukan.
Di Indonesia terdapat 3 jenis nilam yaitu nilam aceh (Pogostemon
cablin Benth.), nilam jawa (P. heyneanus Benth), dan nilam sabun
(P. Hortensis Becker). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam aceh paling
banyak dibudidayakan di Indonesia, karena mempunyai kadar minyak atsiri
yang tinggi. Namun jenis nilam aceh yang biasa dibudidayakan di Indonesia
sangat rentan terhadap R. solanacearum dan penyakit lainnya.
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor (Balittro) telah
melepas 3 varietas nilam aceh yang unggul yaitu varietas Sidikalang, Tapak
Tuan dan Lhoksemauwe (Nuryani 2005). Dari ketiga varietas unggul
tersebut, varietas Sidikalang dinyatakan lebih toleran terhadap penyakit layu
bakteri dibandingkan dengan varietas lainnya (Nasrun 2004a).
Tanaman nilam tidak manghasilkan bunga. Oleh karena itu nilam
biasa diperbanyak secara vegetatif, sehingga keragaman genetiknya sangat
sempit (Nuryani 2005). Dalam rangka untuk mendapatkan varietas nilam
yang mempunyai kadar dan kualitas minyak yang tinggi selain tahan
terhadap penyakit, telah dilakukan beberapa penelitian di Balittro yang pada
dasarnya diarahkan pada kegiatan peningkatan keragaman genetik tanaman
nilam. Hasilnya telah diperoleh 23 somaklon nilam yang 10 diantaranya
mempunyai produksi terna dan kadar minyak tinggi diatas 3% (Nuryani et
al. 2005). Uji ketahanan terhadap bakteri R. solanacearum yang dilakukan
oleh Hartati et al. (2007) di rumah kaca, menunjukkan bahwa dari 10
somaklon nilam yang diuji tersebut satu diantaranya lebih tahan, 8 somaklon
sama ketahanannya, dan satu somaklon lebih rentan terhadap penyakit layu
dibandingkan dengan varietas Sidikalang yang telah dinyatakan paling
toleran diantara varietas unggul lainnya yaitu Tapak Tuan, dan
74 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Lhoksemauwe. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usaha peningkatan
variasi genetik melalui variasi somaklonal memberi harapan untuk
memperoleh varian varian baru yang lebih tahan terhadap penyakit layu
bakteri.
Hadipoentiyanti et al. (2008) juga telah melakukan penelitian dalam
rangka untuk mendapatkan varietas nilam yang tahan terhadap penyakit
layu bakteri yang memanfaatkan variasi somaklonal dengan menginduksi
kalus dan tunas dengan teknik irradiasi untuk meningkatkan keragaman
genetiknya. Dari penelitian ini telah dihasilkan beberapa tunas nilam yang
dalam pengujian secara in vitro tahan terhadap substrat R. solanacearum.
Tunas-tunas yang tahan diaklimatisasi dan diuji ketahanannya terhadap
R. solanaacearum di rumah kaca. Somaklon yang tahan dalam pengujian
di rumah kaca selanjutnya diuji ketahanannya di daerah endemik penyakit
layu bakteri. Dari beberapa somaklon yang diuji tersebut diharapkan ada
somaklon yang tahan terhadap R. solanacearum.
b. Lahan bebas patogen
Tanaman nilam sebaiknya ditanam pada lahan yang masih bebas dari
patogen. Beberapa jenis lahan yang mungkin bebas dari patogen
diantaranya adalah lahan sawah beririgasi teknis, dimana R solanacearum
yang bersifat aerobik tidak mampu hidup pada kondisi an-aerob seperti pada
lahan-lahan sawah tersebut. Selain itu lahan yang mungkin bebas patogen
adalah lahan bekas hutan dan lahan yang belum pernah ditanami nilam atau
lahan yang ditanami tanaman bukan inang alternatif dari R. solanacearum.
Penyakit layu bersifat endemik sehingga untuk mencegah terjadinya
penyakit dan untuk menjaga kesuburan tanah dianjurkan untuk tidak
menanam nilam secara terus menerus pada lahan yang sama. Lahan yang
sudah terinfeksi sebaiknya diberakan selama 2-3 tahun atau ditanami
tanaman lain yang bukan inang dari R. solanacearum misalnya tanaman
padi dan jagung (Asman 2000). Penanaman nilam di daerah yang memenuhi
syarat misalnya lahan yang tidak tergenang akan mencegah dan
mengurangi serangan penyakit layu (Barani 2008).
75Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
c. Sanitasi dan eradikasi
Sanitasi harus dilakukan secara ketat dari awal, karena sanitasi tidak
efektif apabila dilakukan pada saat serangan sudah meluas dan parah.
Sanitasi sebaiknya dilakukan mulai dari pemilihan lahan dan pengadaan
bibit. Apabila ada tanaman nilam yang terserang di lapang harus segera
dicabut dan dibongkar. Tanaman yang sakit segera dimusnahkan dengan
cara dibakar. Selanjutnya lubang bekas tanaman yang sakit disiram dengan
antibiotik atau ditaburi dengan kapur.
Tanaman nilam telah dibudidayakan di Indonesia lebih dari satu abad
yang lalu terutama di NAD. Sebagian besar petani menanam nilam dengan
sistem budidaya yang berpindah-pindah. Hal ini dilakukan untuk mencegah
turunnya produktivitas tanaman dan menghindari serangan penyakit (Asman
2000). Sistem budidaya nilam secara berpindah secara teori baik sebagai
tindakan sanitasi lahan. Namun sistem budidaya tersebut akan merusak
lingkungan dan penggundulan hutan. Dengan sistem tanaman secara
berpindah banyak lahan hutan yang ditebang dan setelah ditanami nilam
lahan tersebut ditinggalkan dan dibiarkan menjadi ladang alang-alang. Pada
saat ini telah banyak diterapkan sistem budidaya nilam secara menetap,
namun sistem budidaya tersebut mempunyai resiko turunnya produksi
karena penyakit akan menjadi lebih endemik. Oleh karena itu pada budidaya
secara menetap sebaiknya diterapkan juga sistem rotasi dan tumpang sari.
d. Rotasi dan tumpangsari
Pada saat ini telah banyak dilakukan penanaman nilam pada lahan
secara menetap. Namun karena penyakit layu bersifat endemik, maka pada
sistem budidaya nilam secara menetap, penyakit layu terjadi lebih parah
setelah penanaman yang kedua pada kebun yang telah terkontaminasi. Oleh
karena itu penanaman nilam secara berturut-turut pada lahan yang sama
sebaiknya dihindari.
Pada sistem penanaman secara menetap sebaiknya diterapkan rotasi
tanaman atau tumpang sari. Rotasi tanaman dilakukukan untuk mengurangi
populasi patogen di dalam tanah. Cara ini juga berfungsi untuk memotong
siklus hidup patogen dan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
76 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
tanah. Rotasi tanaman sebaiknya dilakukan setiap selesai satu siklus tanam
nilam dan diganti dengan tanaman lain seperti jagung, padi, atau tanaman
lainnya yang bukan inang dari R. solanacearum.
e. Pengelolaan lahan dan lingkungan
Penyakit layu bakteri akan berkembang dengan baik pada kondisi
kebun yang lembab dan panas, sehingga penyakit sering terjadi di daerah-
daerah tropis humid dan sub tropis (Haywards 1986). Untuk mencegah
timbulnya penyakit, maka pengelolaan lahan dan lingkungan perlu dilakukan
untuk menjaga agar kondisi kebun tidak terlalu lembab, misalnya dengan
mengatur jarak tanam, menyiangi gulma di sekitar tanaman nilam dan
pemberian mulsa. Hasil penelitian Asman (2000) di Sumatera Barat dan
Jawa Barat membuktikan bahwa pemberian mulsa ampas nilam dapat
menekan perkembangan penyakit layu sampai 60 %. Pemberian mulsa dan
pupuk organik dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan awal dari tanaman
dan setelah nilam dipanen. Selain itu pemberian mulsa juga dapat menekan
serangan penyakit layu. Irigasi kebun juga harus diperhatikan agar lahan
mempunyai drainase yang baik. Apabila ada areal yang terinfeksi, sebaiknya
dibuat selokan yang membatasi antara areal tersebut dengan areal yang
masih sehat untuk mencegah penularan penyakit melalui akar, tanah,
dan air.
Untuk mencegah masuknya patogen ke daerah yang masih sehat,
maka semua pekerjaan di kebun yang dilakukan baik oleh manusia maupun
hewan dimulai dari daerah yang masih sehat selanjutnyta berjalan kearah
daerah yang sudah terinfeksi. Demikian juga alat-alat pertanian yang akan
digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
2.7. Pengendalian penyakit di lapang (kuratif)
Apabila penyakit telah ada di lapangan perlu dilakukan pengendalian
(kuratif). Pengendalian di lapangan dapat dilakukan dengan memadukan
beberapa komponen seperti pestisida kimia, pestisida botani, atau aplikasi
77Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
agensia hayati (Aspiras dan de Cruz 1986; Buddenhagen 1986; Haywards
1986).
Hasil penelitian Asman (2000) di Sumatera Barat dan Jawa Barat
membuktikan bahwa perlakuan pestisida campuran menekan penyakit layu
sampai 67 %. Hasil penelitian di Pasaman Sumatra Barat menunjukkan
bahwa perlakuan pestisida, bakterisida, dan pupuk kandang dapat menekan
perkembangan penyakit layu sampai 86 %. Sementara pemberian
bakterisida, insektisida, pupuk kandang, abu sekam, dan pupuk buatan
dapat menekan serangan penyakit sampai 86,5 %. Selain itu pemberian
Agrept pada bibit nilam dapat menekan penyakit layu sebesar 61 %. Hasil
penelitian di NAD dan Sumatra Barat juga menunjukkan bahwa penyakit
dapat ditekan perkembangannya sampai 60 % dengan cara merendam bibit
nilam dalam larutan bakterisida 0,1 % selama 6 jam (Asman dan Sitepu
1994).
Pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer dapat
digunakan sebagai cara alternatif untuk mengendalikan penyakit layu bakteri
pada tanaman nilam. Menurut Hartati et al. (2008), aplikasi mikroba
antagonis (Bacillus sp. dan Pseudomonas fluorescens) saja tidak dapat
menurunkan intensitras serangan penyakit layu pada nilam. Namun
pemberian pupuk hayati yang berupa pupuk kandang yang diperkaya
dengan mikroba dekomposer (Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma
lactae) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit dengan nilai efikasi
sebesar 59 %. Demikian juga pemberian pupuk hayati (pupuk kandang +
mikroba dekomposer Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma lactae) yang
dikombinasikan dengan mikroba antagonis (Bacillus sp dan Pseudomonas
fluorescens) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit dengan nilai
efikasi sebesar 61 %.
Aplikasi formula minyak cengkeh juga dapat mengurangi intensitas
serangan penyakit layu dengan nilai efikasi sebesar 17 % (Hartati et al.
2008). Hartati et al. (1993a dan 1993b) juga melaporkan bahwa eugenol,
minyak dan serbuk cengkeh, serta minyak serai wangi efektif dapat
78 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
mengendalikan pertumbuhan R. solanacearum pada percobaan secara
in vitro.
II. PENYAKIT NILAM OLEH NEMATODA PARASIT
Salah satu faktor penyebab merosotnya produksi minyak nilam
di Indonesia adalah kerusakan tanaman karena penyakit kuning (yellow
disease) atau penyakit merah (red disease) yang disebabkan oleh nematoda
parasit. Beberapa jenis nematoda parasit yang berasosiasi dengan perakaran
nilam adalah Pratylenchus brachyurus, Pratylenchus coffeae, Meloidogyne
incognita, Meloidogyne hapla, Radopholus similis, Scutellonema sp.,
Rotylenchulus sp., Helicotylenchus sp., Hemicriconemoide sp. dan Xiphinema
sp. (Djiwanti dan Momota 1991; Pupuk Iskandar Muda 1990; Mustika 1991).
Diantara jenis-jenis nematoda tersebut, nematoda parasit penting yang
menyebabkan kerusakan dan kerugian berarti adalah nematoda peluka akar
Pratylenchus spp. (P. coffeae dan P. brachyurus), nematoda buncak akar
Meloidogyne spp. (M. incognita dan M. hapla) dan nematoda pelubang akar
Radopholus similis. Di Jawa Barat, nematoda Pratylenchus brachyurus dan
Meloidogyne spp. diduga berasosiasi dengan timbulnya penyakit daun
kuning-merah pada nilam (Djiwanti dan Momota 1991). Di Aceh, nematoda
dilaporkan dapat menimbulkan penyakit lepra pada tanaman nilam dan
nematoda yang merusak tanaman nilam di Aceh adalah Pratylenchus coffeae
dan Meloidogyne spp. (Anonymous 1991).
Nematoda parasit menyerang dan merusak perakaran nilam, sehingga
menghambat pertumbuhan tanaman dan menurunkan kandungan minyak
bahkan kematian tanaman. Selain itu, terlihat indikasi bahwa serangan
nematoda parasit pada akar nilam dapat memperparah serangan bakteri
layu nilam Ralstonia solanacearum (ARMP 1993).
Nematoda parasit menyerang tanaman nilam di sentra-sentra
produksi terutama pada kebun nilam yang diusahakan secara menetap.
Serangan nematoda parasit tersebut secara signifikan dapat menurunkan
produksi, setelah 3-4 kali panen. Gejala umum serangan nematoda pada
tanaman nilam adalah pertumbuhan tanaman terhambat dan daun
79Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
berukuran lebih kecil dan berwarna kuning kemerahan sampai ungu tua;
sehingga penyakit yang disebabkan oleh serangan nematoda parasit nilam
disebut penyakit daun merah-kuning.
Serangan nematoda parasit pada tanaman nilam dapat merusak
perakaran nilam (72,24% - 84,42%), menghambat pertumbuhan tanaman
sampai 49,06 - 60,67%, dan kehilangan hasil sampai 84,42% serta
menurunkan kandungan/ kadar minyak nilam sampai 14%.
2.1. Gejala dan Kerusakan yang Diakibatkan Nematoda
Nematoda parasit penting yang menyerang perakaran nilam adalah
Pratylenchus spp. (P. coffeae dan P. brachyurus), Meloidogyne spp.
(M. incognita dan M. hapla) dan Radopholus similis. Nematoda-nematoda
tersebut menyerang perakaran nilam, sehingga perakaran membusuk/ habis
terutama bagian cabang-cabang/ rambut-rambut akar. Pada serangan
nematoda buncak akar (Meloidogyne spp.), disertai dengan gejala khas
berupa puru-puru akar berukuran kecil sampai besar (Djiwanti dan Momota
1991; Mustika 1993; Mustika dan Nuryani 1993). Tingkat kerusakan yang
disebabkan bervariasi tergantung dari jenis nematoda, tetapi pada dasarnya
menyebabkan kerugian secara ekonomis.
2.2. Nematoda pada Nilam
a. Nematoda Peluka Akar Pratylenchus spp.
Pratylenchus spp. adalah nematoda parasit yang berpindah-pindah
di dalam jaringan akar tanaman (“endoparasite migratory”). Tanaman
inangnya antara lain: tembakau, teh, kedelai, tebu, jagung, nenas, kentang,
kacang tanah, kelapa, jeruk, kapas, kopi, ketela pohon, dan alpukat
(Corbet 1976; Williams 1980).
Nematoda bergerak bebas di antara akar dan tanah. Kerusakan akar
yang parah menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan daun
berwarna kuning kemerahan (Gambar 1B). Gejala serangannya yang khas
ialah timbulnya luka nekrosis yang sempit dan memanjang pada permukaan
akar, sehingga akar berwarna kecokelatan dan akar-akar rambut berkurang
80 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
(Gambar 1D). Pada keadaan kekeringan, tanaman akan cepat layu dan akan
segar kembali jika disiram air.Dua jenis Pratylenchus yang menyerang tanaman nilam, yaitu
P. coffeae dan P. brachyurus. P. coffeae menyerang tanaman nilam
di Sumatra dan di Jawa. Sedangkan P. brachyurus dilaporkan menyerang
tanaman nilam di daerah Jawa Barat, Sumatra Barat dan Aceh (Djiwanti dan
Momota 1991; Sriwati et al. 1999). Di daerah Jawa Barat khususnya
di Bogor, Sukabumi, Cianjur dan Bandung. Mustika dan Rostiana (1992)
menemukan bahwa nilam kultivar aceh lebih rentan terhadap serangan
P. brachyurus dibandingkan dengan kultivar girilaya, jawa.
Serangan P. brachyurus menyebabkan kerusakan akar sampai
72,24%, mengurangi klorofil A dan klorofil B berturut-turut sebesar 6-26%
dan 12-45 %, serta kadar minyak sebesar 5-14%, (Mustika dan Rostiana
1992; Sriwati et al. 1999). Serangan nematoda parasit P. coffeae bahkan
dapat menyebabkan kematian tanaman. Serangan nematoda pada tanaman
nilam di lapang berumur 6 bulan, kira-kira 50% tanaman mati atau tumbuh
merana (layu) (Djiwanti 2009).
Daerah penyebaran Pratylenchus luas di daerah tropis. Tanaman
inangnya antara lain: tembakau, teh, kedelai, tebu, jagung, nenas, kentang,
kacang tanah, kelapa, jeruk, kapas, kopi, ketela pohon, dan alpukat (Corbet
1976; Williams 1980).
b. Nematoda Buncak Akar Meloidogyne spp.
Meloidogyne spp. merupakan nematoda buncak akar (“root-knot
nematodes”) yang bersifat polifag dan sangat luas daerah sebarannya.
Tanaman inangnya antara lain: lada, jahe, lempuyang, kencur, kunyit,
mentha, tomat, cabe, kapok, glirisida, adas, sambiloto, terong KB, touki,
kumis kucing, kisaat, kolesom dan som jawa (Bridge 1978; Djiwanti 1989;
Mustika 1995; Nazarudin et al. 1996). Serangan nematoda ini menyebabkan
gejala khas berupa puru-puru akar berukuran kecil sampai besar (Djiwanti
dan Momota 1991; Mustika 1993; Mustika dan Nuryani 1993). Tanaman
81Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
yang terserang, pertumbuhannya merana dan daun-daunnya menguning
(Gambar 1E dan 1F).
Meloidogyne spp. umumnya ditemukan di semua pertanaman nilam
di Indonesia dengan kepadatan populasi yang bervariasi. Dua jenis
Meloidogyne yang dapat merusak sistem perakaran nilam, yaitu Meloidogyne
incognita dan M. hapla. M. hapla ditemukan pada pertanaman nilam di IP.
Manoko (ketinggian tempat 1.200 m dpl.). M. hapla merupakan spesies
daerah subtropik dan di Indonesia ditemukan di dataran tinggi seperti
halnya di Manoko, Bandung (Jawa Barat).
Serangan M. hapla menghambat pertumbuhan pucuk sebesar 46%,
panjang daun sebesar 67% dan lebar daun sebesar 69% (Es dan Djiwanti,
1990). Di India, M. incognita menurunkan produksi berat basah bagian atas
tanaman sebesar 47% dan berat kering daun sebesar 86,7% (Prasad dan
Reddy 1984).
c. Nematoda Pelubang Akar Radopholus similis
Radopholus similis adalah nematoda parasit yang berpindah-pindah di
dalam jaringan tanaman (“endoparasite migratory”) dan dikenal sebagai
nematoda pelubang akar (“burrowing nematode”). Tanaman inangnya
antara lain: lada, jahe, pisang, kelapa, pinang, nangka, mangga, glirisidia
dan dadap (Koshy dan Bridge 1990).
Spesies ini hanya ditemukan menyerang tanaman nilam di Kebun
Koleksi IP Cimanggu, Bogor. Serangannya dapat menyebabkan akar busuk
hampir sama dengan gejala yang disebabkan oleh P. brachyurus, tetapi
gejala khas serangan nematoda ini, daun-daunnya berwarna merah
keunguan. Menurut Waard (1969) dan Mengel dan Kirby (1987) gejala
tersebut hampir sama dengan gejala defisiensi unsur hara P pada tanaman
lada dan tanaman tahunan lainnya. Nilam aceh lebih rentan terhadap
serangan R. similis dibandingkan dengan nilam jawa (Girilaya) dan Tapak
Tuan (Mustika dan Nuryani 1993).
Serangan nematoda menghambat pertumbuhan tanaman nilam aceh,
jawa, varietas Tapak Tuan dan Girilaya berturut-turut sebesar 49,06%,
38,48, 17,34 dan 13,55%.; menyebabkan kerusakan akar tanaman nilam
82 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
aceh, jawa, varietas Tapak Tuan dan Girilaya berturut-turut sebesar 82,00,
81,57, 80,24 dan 86,02%; serta mengurangi bobot basah bagian atas
tanaman kultivar aceh, jawa, varietas Tapak Tuan dan Girilaya berturut-turut
sebesar 84,42, 67,35, 57,34 dan 44,41% (Mustika dan Nuryani 1993).
2.3. Perkembangan dan Penyebaran Penyakit
Penyakit nilam oleh nematoda parasit menyebar melalui penyebaran
nematoda secara migrasi/perpindahan alami, pengolahan tanah, alat-alat
pertanian yang terkontaminasi nematoda serta aliran air hujan. Di lapang,
tidak semua tanaman nilam dalam satu kebun serentak menjadi sakit, tetapi
tanaman yang sakit bertambah banyak, dan menyebar dari satu tanaman ke
tanaman lain di sekitarnya, sehingga daerah penyebarannya nampak
membentuk jalur konsentris dan sekelompok-sekelompok.
Dalam penyebaran yang lebih luas lagi, penggunaan bahan
tanaman/bibit terinfeksi nematoda, mempercepat penyebaran penyakit;
sehingga penyebaran penyakit mengikuti penyebaran budidaya nilam,
terutama di sentra-sentra produksi seperti di Sumatra, Jawa dan daerah
pengembangan lainnya antara lain Kalimantan Timur (Djiwanti 2007).
PH tanah yang masam menunjang perkembangan populasi nematoda.
Pertanaman nilam di Jawa Barat dan Sumatra Barat pada umumnya tersebar
di lahan-lahan dengan kisaran pH 4,5 – 5,5. Pada kisaran kemasaman
tanah tersebut sangat sesuai bagi perkembangan nematoda parasit (Mustika
1998).
Sumber infeksi dapat berasal dari tanah kebun setempat. Ketiga jenis
nematoda yang menyerang tanaman nilam merupakan jenis nematoda yang
kosmopolit/ umum terdapat di tanah2 pertanian, perkebunan maupun
bukaan baru di Indonesia dan mempunyai kisaran inang luas (termasuk
gulma). Nematoda tersebut merupakan patogen tular tanah, dapat bertahan
di dalam tanah tanpa inang, serta tersebar luas di daerah tropik maupun
subtropik. Penanaman varietas nilam yang rentan/ peka nematoda dapat
meningkatkan keparahan serangan nematoda. Mustika dan Rostiana (1992)
83Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
menemukan bahwa nilam aceh lebih rentan terhadap serangan P.
brachyurus dibandingkan dengan nilam jawa, girilaya.
2.4. Teknologi Pengendalian Terpadu
Di Indonesia, pengendalian nematoda parasit nilam dilakukan secara
terpadu melalui penggunaan teknik budidaya, penggunaan pestisida
termasuk pestisida nabati dan pemanfaatan agensia hayati. Dosis
pemupukan yang tepat, penggunaan bahan organik, kapur pertanian dan
pemulsaan serta varietas nilam toleran merupakan salah satu cara
pengendalian nematoda nilam melalui teknik budidaya yang cukup efektif
(Mustika et al. 1995).
a. Varietas toleran
Tidak ada satupun varietas nilam yang tahan terhadap serangan
nematoda P. brachyurus dan R. similis, tetapi nilam jawa, Girilaya dan Tapak
Tuan cukup toleran terhadap kedua nematoda tersebut (Mustika dan
Rostiana 1992; Mustika dan Nuryani 1993).
b. Teknik budidaya
Pupuk organik (kotoran sapi) yang dikombinasikan dengan
pemupukan Urea+TSP 5 g/tan dan diberikan sebelum dan 3 bulan setelah
tanam, dapat menekan populasi nematoda P. brachyurus (Mustika et al.
1995).
Pemberian mulsa yang dikombinasikan dengan pemupukan Urea +
TSP 5 g/tan dan diberikan sebelum dan 3 bulan setelah tanam juga dapat
menekan populasi nematoda Meloidogyne spp (Mustika et al. 1995).
c. Penggunaan pestisida/pestisida nabati
Kombinasi penggunaan karbofuran (5 g/tan), bahan organik dan
dolomit dapat menekan populasi nematoda P. brachyurus dan Meloidogyne
spp., memberikan pH tanah yang cocok bagi pertumbuhan nilam, sehingga
84 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
mampu meningkatkan produksi daun basah sebesar 25% (Mustika dan
Rahmat 1993; Mustika et al. 1995).
Mimba yang dikombinasikan dengan bahan organik (kotoran ayam,
sapi, kambing, sekam dan serbuk gergaji), dapat mengurangi populasi
nematoda Meloidogyne spp. dan P. brachyurus pada nilam dan
efektivitasnya sama dengan nematisida karbofuran (Mustika et al. 1995).
Bungkil jarak 250 g/ tanaman/ 6 bulan, sangat efektif mengurangi
populasi nematoda P. brachyurus pada tanaman nilam (Mustika dan Harni
2001).
d. Pemanfaatan agensia hayati
Rizobakteri Pasteuria penetrans (2 kapsul/tanaman/6 bln) dengan
bahan organik (kotoran sapi, kotoran ayam, serbuk gergaji dan ampas
kedelai) (1 kg/tanaman/6 bulan) atau kombinasi rizobakteri Pasteuria
penetrans (2 kapsul/tanaman/6 bulan) dengan kapur pertanian
(50 g/tanaman/6 bulan), dapat menekan populasi nematoda P. brachyurus
sebesar 43-82% dan meningkatkan berat basah sebesar 57-71% (Mustika
et al. 2000).
Demikian pula Jamur Penjerat Nematoda (Arthrobotrys sp., Dactylaria
sp. dan Dactylella sp. yang diperbanyak pada media jagung) 125
g/tanaman/6 bulan yang dikombinasikan dengan bahan organik/ kapur
pertanian mengurangi/ menekan populasi nematoda nilam P. brachyurus
(Mustika et al. 2000).
85Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Gambar 1. Gejala dan OPT pada pertanaman nilam di Indonesia. (A)Gejala layu akibat R. solanacearum, (B) Nilam terserangPratylenchus, (C) Nematoda Pratylenchus betina dewasa,(D) Perakaran nilam terserang Pratylenchus., (E) Nilamterserang nematoda Meloidogyne, (F) Puru akar padanilam terserang Meloidogyne, (G) Larva Meloidogyneinstar dua, (H) Nilam terserang S. pogostemonis, (I)Spora bertahan S. pogostemonis dalam jaringan daun, (J)Gejala serangan Potyvirus, dan (K) serangan Fabaviruspada daun nilam
86 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
III. PENYAKIT NILAM (BUDOK) OLEH JAMUR SYNCHYTRIUM
Penyakit budok dilaporkan pertama kali berdasarkan tanaman nilam
yang terdapat di Aceh, demikian juga dengan istilah budok yang berarti
kudis menurut bahasa lokal setempat. Pada awalnya, organisme penyebab
penyakit ini diduga dari kelompok virus karena gejala yang nampak mirip
dengan tanaman yang terserang virus, yaitu tanaman tumbuh kerdil, daun
kecil atau keriting. Gejala roset dapat dijumpai pada tanaman yang telah
terinfeksi pada stadia lebih lanjut.
3.1. Organisme Penyebab
Hasil pengamatan contoh tanaman sakit yang diperoleh dari berbagai
tanaman nilam yang dilaporkan terserang budok, struktur bertahan jamur
Synchytrium berbentuk spora bulat, besar dan berdinding tebal konsisten
ditemukan permukaan dalam kutil yang terbentuk pada batang maupun
daun dari semua contoh tanaman nilam sakit yang diamati (Wahyuno et al.
2007). Hasil pengujian menggunakan penularan buatan memperkuat asumsi
di atas, bahwa jamur Synchytrium merupakan organisme penyebab penyakit
budok pada tanaman nilam di Indonesia (Wahyuno dan Sukamto 2010).
Synchytrium merupakan kelompok jamur yang bersifat obligat parasit, yang
hanya dapat tumbuh pada jaringan tanaman yang hidup. Tetapi struktur
bertahan yang dimiliki jamur ini diduga membuat Synchytrium mampu
bertahan di jaringan tanaman yang telah terserang untuk waktu yang lama
(Wahyuno 2010a). Pengamatan lebih detail terhadap siklus hidup jamur ini
juga memperkuat dugaan bahwa jamur yang ada di Indonesia termasuk
jenis S. pogostemonis jenis yang juga ditemukan pada pertanaman nilam di
India (Wahyuno 2010b).
3.2. Gejala
Gejala khas dari penyakit budok adalah adanya kutil berupa benjolan
berwarna putih yang banyak terbentuk di permukaan batang atau daun,
khususnya yang ada di dekat permukaan tanah. Pada stadia awal, kutil
87Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
terlihat berwarna putih, dan pada stadia lanjut struktur bertahan S.
pogostemonis berupa spora yang sebenarnya merupakan prosorus berwarna
kuning terlihat ada di dalam kutil. Jumlah spora istirahat yang terbentuk
bervariasi antara 1 - 11 tergantung pada besar ukuran kutil yang terjadi.
Serangan S. pogostemonis dapat terjadi pada semua bagian tanaman
yang masih muda, kecuali akar tanaman. Tanaman yang terserang pada
awalnya tidak menunjukkan gejala perubahan yang jelas, tetapi seiring
dengan waktu daun maupun tunas-tunas baru yang terbentuk pada
tanaman yang telah terinfeksi berukuran lebih kecil, tebal dan ruasnya
pendek sehingga tanaman terlihat kerdil atau menampakkan gejala roset.
Gejala tersebut menyebabkan adanya asumsi di awal pelaporan bahwa
penyakit budok disebabkan oleh virus (Sitepu dan Asman 1991; Mustika dan
Asman 2004).
Kutil yang ditimbulkan oleh S. pogostemonis memerlukan waktu lebih
kurang 1 bulan untuk dapat terlihat dipermukaan batang muda yang ada di
dekat permukaan tanah dan telah dibuktikan melalui penularan buatan
(Wahyuno dan Sukamto 2010). Nekrosa atau kematian jaringan tidak
terbentuk di bagian kutil terbentuk sehingga pengamatan secara seksama
perlu dilakukan untuk memastikan tanaman (benih) nilam telah terserang S.
pogostemonis.
3.3. Eko-Biologi
a. Stadia dan siklus hidup
Pada tanaman yang telah terserang S. pogostemonis struktur
bertahan berupa spora bulat, kuning dan berdinding tebal mudah ditemukan
karena jumlahnya yang banyak. Lensa lup sederhana dapat digunakan
untuk membantu menemukan struktur tersebut pada gejala yang telah
lanjut di lapang untuk mendeteksi keberadaannya. Pengamatan terhadap
jaringan tanaman nilam terserang S. pogostemonis pada berbagai stadia
gejala akan menunjukkan ada stadia yang lain selain spora istirahat.
Wahyuno (2010) mendiskripsikan adanya stadia aseksual dan seksual yang
88 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
terbentuk pada tanaman nilam terserang S. pogostemonis. Zoospora dapat
dihasilkan dari sporangium hasil reproduksi aseksual maupun reproduksi
seksual. Pada stadia reproduksi seksual, zoospora terbentuk pada
sporangium yang terbentuk di dalam sorus yang keluar dari spora istirahat
(Wahyuno 2010).
b. Penyebaran
Seperti halnya cendawan Synchytrium endobioticum maupun S.
psocharpii yang banyak mempunyai spora aktif (zoospora) sebagai
penularan utama dari tanaman sakit ke tanaman sehat (EPPO 1999, 2003;
Drinkall dan Price 1983). S. pogostemonis juga mempunyai zoospora yang
aktif berenang pada cairan air atau media tumbuh yang menggandung air.
Wahyuno dan Sukamto (2010) juga telah berhasil melakukan penularan
buatan dengan menggunakan media air sebagai media tumbuh nilam.
Zoospora mungkin sangat berperan dalam penyebaran jarak dekat
antar sel di dalam tanaman, antar tanaman dalam suatu petak atau dalam
luasan terbatas dimana ada air sebagai media perantara. Spora bertahan
yang terdapat di dalam jaringan tanaman diduga mempunyai peran yang
sangat penting dalam penyebaran S. pogostemonis yang lebih luas dan
jauh. Adanya spora bertahan memungkinkan S. pogostemonis terbawa
melalui bahan tanaman (benih) atau sisa-sisa tanaman terserang yang
tertinggal di tanah ke daerah penanaman nilam yang baru. Pada tanaman
kentang, struktur bertahan S. endobioticum mampu bertahan di dalam
jaringan tanaman untuk waktu yang lama (EPPO 2003).
c. Lingkungan
Sebagai jamur obligat parasit, S. pogostemonis sangat tergantung
pada kondisi tanaman inang untuk tumbuh dan berkembang. Pada tanaman
yang masih hidup, hampir semua stadia S. pogostemonis dapat ditemukan.
Pada jaringan tanaman yang sudah mati hanya sprora bertahan yang
ditemukan sangat dominan.
89Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Selain mempengaruhi siklus dan stadia S. pogostemonis yang ada,
lingkungan berperan penting di dalam penyebaran zoospore khususnya
ketersediaan air baik yang di lapisan partikel tanah maupun yang terdapat
pada permukaan tanaman yang berguna untuk menyebar ke bagian lain
yang masih sehat.
Lingkungan subur dan cukup air akan membuat tanaman nilam
mempunyai pertumbuhan yang baik, demikian juga dengan regenerasi
pembentukan tunas-tunas baru. Pada tanaman yang telah terinfeksi
S. pogostemonis pembentukan tunas-tunas baru khususnya yang keluar dari
permukaan tanah akan menjadikan peluang terjadinya infeksi dan peluang
terjadinya perbanyakan inokulum di dalam jaringan tanaman sangat besar.
Pengaruh jenis tanah dan kemasamannya belum pernah diteliti
terhadap kecepatan penyebaran zoospora pada tanaman nilam di lapang.
Hasil pengamatan dan laporan yang disampaikan mengindikasikan bahwa S.
pogostemonis telah tersebar luas di Indonesia sehingga diduga peran
ketersediaan air/kelengasan tanah dan kondisi tanaman lebih penting bagi
penyebaran zoospora dibanding kondisi tanah.
d. Sebaran inang ke tanaman nilam lain
Di Indonesia ada tiga spesies nilam yaitu, P. cablin, P. heyneanus dan
P. hortensis. P. cablin juga dikenal sebagai nilam aceh dan merupakan jenis
yang banyak dibudidayakan di Indonesia. P. heyneanus dikenal sebagi nilam
jawa. Meskipun nilam jawa mempunyai keragaan yang besar dan lebat
tetapi bukan jenis yang banyak dibudidayakan karena kandungan minyaknya
lebih rendah dibanding nilam aceh. Penyakit budok hanya dilaporkan terjadi
pada nilam aceh. Tiga varietas nilam aceh yang telah dilepas yaitu
Sidikalang, Tapak Tuan dan Lhokseumawe tidak satupun tahan terhadap S.
pogostemonis (Wahyuno dan Sukamto 2010). Nilam jawa merupakan jenis
yang tahan terhadap S. pogostemonis. Di India, beberapa jenis nilam yang
ada dilaporkan juga dapat terserang S. pogostemonis.
90 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
e. Penularan ke tanaman selain nilam
Sampai saat ini belum ada laporan mengenai S. pogostemonis yang
menyerang tanaman selain tanaman nilam. Pada dasarnya, S. pogostemonis
merupakan kelompok jamur yang mempunyai sebaran inang yang terbatas.
Dari 200 spesies Synchytrium yang pernah dilaporkan, hanya ada beberapa
spesies yang mempunyai kisaran inang lebih dari satu family tanaman, dan
sisanya merupakan kelompok yang sebaran inangnya terbatas, termasuk S.
endobioticum pada kentang (Agrios 1978) dan S. psocharpii pada kacang
(Drinkall dan Price 1986, Karami et al. 2009).
3.4. Saran Pengendalian
Beberapa usaha pengendalian telah dilakukan dan dicobakan di
tingkat rumah kaca maupun di lapang dalam skala yang terbatas.
Perbaikan SOP (standar operasional prosedur) budidaya nilam yang
ada, khususnya dalam seleksi dan penyiapan bahan tanaman untuk
perbanyakan (Wahyuno 2010). Harga fungisida sistemik yang relatif mahal,
adanya struktur bertahan dari S. pogostemonis yang sulit untuk dikenai
fungisida, belum tersedianya varietas nilam yang tahan terhadap S.
pogostemonis maupun pola budidaya nilam yang lazim dilakukan oleh petani
merupakan pertimbangan bahwa penyediaan bahan tanaman yang sehat
merupakan cara yang paling murah untuk mengurangi kerugian hasil akibat
serangan S. pogostemonis.
Melakukan rotasi tanaman, memusnahkan tanaman nilam di sekitar
yang menunjukkan gejala terkena penyakit budok, dan mengatur lahan
sehingga ideal bagi pertumbuhan nilam dan mengatur sistem drainase yang
dapat meminimalkan terjadinya penularan ke tanaman di sekitar. Syakir et
al. (2008) juga menyarankan melakukan pengolahan tanah, pemberian
mulsa untuk mengurangi penyebaran dan aplikasi fungisida serta abu sekam
(± 10 ton/ha)
Aplikasi fungisida dapat dilakukan untuk menekan perkembangan
Synchytrium di lapang. Fungisida yang efektif menekan serangan
91Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Synchytrium berbahan aktif Benomyl (Kusnanta 2005, Sukamto 2011); PCNB
dan bubur Bordeux juga efektif di India (NEDFI 2007). Aplikasi fungisida
menjadi alternatif apabila tanaman yang menunjukkan gejala dijumpai
dalam jumlah yang cukup banyak di kebun, selain dilakukan eradikasi di
tempat dengan membakar sekelompok tanaman yang telah terserang. Pada
dasarnya, fungisida efektif apabila S. pogostemonis belum masuk ke dalam
jaringan tanaman. Fungisida yang bekerja secara sistemik dilaporkan efektif
untuk menekan penyakit budok, tetapi biaya usahatani nilam menjadi
mahal. Penyemprotan dilakukan setiap dua minggu sekali, dan sebaiknya
pengendaliaan dilakukan seawal mungkin (saat kejadian penyakit budok
masih rendah).
Gambar 2. Penggunaan fungsida untuk menekan penyakit budok. (B1)Benomil (1 g l-1) , (B2) Benomil (2 g l-1), (K1) Cu-Oksida (1 g l-1),(K2) Cu-Oksida (2 g l-1), (KB) Campuran Benomil dan Cu-Oksida(1:1; masing-masing 0,5 g l-1).
Penggunaan 1% bubur bourdeaux (100 g terusi/copper sulphate +
100 g kapur tohor dalam 10 liter air), dapat digunakan untuk mengendalikan
penyakit budok. Bubur bourdeaux dan fungisida benomil dapat
mengendalikan serangan penyakit budok setelah dilakukan tiga kali
penyemprotan setiap dua minggu sekali (Gambar 2).
92 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Kombinasi pemakaian fungisida disertai aplikasi mikroorganisme juga
sedang pengujian di lapang. Penyiapan mikroorganisme yang berguna
tersebut dalam jumlah banyak menjadi kendala lain yang perlu
dipertimbangkan (Gambar 3).
Gambar 3. Penggunaan fungsida dan bubur bordeaux untuk menekanserangan penyakit budok.
IV. PENYAKIT VIRUS MOSAIK PADA NILAM
Salah satu penyakit utama tanaman nilam adalah penyakit virus
mosaik. Serangan virus mosaik tercatat sebagai salah satu faktor pembatas
dalam produksi nilam di Indonesia (Nurawan 2008; Sukamto et al. 2007),
karena infeksi virus mosaik dapat menurunkan hasil biomas, kadar minyak
dan kadar patchouli alkohol. Pengaruh penyakit ini berbeda-beda,
tergantung jenis atau varietas nilam yang ditanam serta perawatan yang
telah dilakukan selama budidaya. Selain itu, adanya variasi gejala di lapang
juga karena tanaman nilam tersebut terinfeksi oleh lebih dari satu jenis virus
dengan serangan awal yang bervariasi.
93Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
4.1. Gejala dan Patogen Penyebab Penyakit
Gejala khas pada tanaman nilam yang terserang penyakit mosaik
adalah daun-daunnya nampak mengalami klorosis berat (mosaik), berubah
bentuk (malformasi), dan berukuran sangat kecil (Gambar 1J dan 1K).
Pertumbuhan tanaman secara keseluruhan menjadi terhambat dan bahkan
serangan yang berat di awal pertumbuhan akan menyebabkan tanaman
sakit pertumbuhannya terhambat hingga tampak kerdil (Noveriza et al.
2009).
Survei di beberapa daerah sentra produksi nilam di Indonesia,
ditemukan variasi kejadian penyakit mosaik berdasarkan perkiraan
persentase tanaman nilam yang positif terinfeksi virus dengan sampel daun
yang bergejala di lapangan. Pertanaman nilam di Jawa Barat dan Sumatera
Barat terinfeksi oleh Potyvirus berkisar antara 30 – 50%, sedangkan di Jawa
Tengah oleh Fabavirus berkisar antara 40% (Tabel 1). Virus yang
menginduksi gejala mosaik pada pertanaman nilam di Indonesia di dominasi
oleh Potyvirus (Noveriza et al. 2010)
Tabel 1. Gejala penyakit dan perkiraan kejadian penyakit mosaik padatanaman yang di koleksi dari sentra produksi nilam di Indonesia.
Provinsi LokasiTanggal
pengambilansampel
Pengamatangejala
penyakit
PerkiraanKejad.
Penyakit*)(%)Jawa Barat Bogor, Kec. Bogor Barat Oktober 2008 mhk, lm >50
Garut , Kec. Pakenjeng April 2009 mhk, lm 35Ciamis, Kec. Cidolog April 2009 mhk 30Sukabumi,Kec. Cicurug
Juli 2010 nk 0
Lampung TanggamusKec. Klumbayan
September2009
nkk 0
TanggamusKec. Klumbayan Barat
September2009
nkk 0
SumateraBarat
Pasaman BaratKec. Talamau
September2009
mhk 40
Pasaman BaratKec. Kinali
September2009
mhk 50
JawaTengah
Brebes Kec. Salem Mei 2010 mhk 40
SumateraUtara
Pakpak BharatKec. Situ Jehe
Juli 2010 mhk 0
Keterangan : *) Perkiraan persentase tanaman nilam yang positif terinfeksi virus dengansampel daun yang bergejala di lapangan.mhk= mosaik hijau kekuningan; lm= malformation; nkk= nekrosis kuningkerdil; nk=nekrosis kuning
94 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Tanaman nilam di Jepang, telah dilaporkan terinfeksi oleh Patchouli
mild mosaic virus (PaMMV) genus Fabavirus, Patchouli mottle virus (PaMoV)
genus Potyvirus (Natsuaki et al. 1994.), sedangkan di Brazil terinfeksi oleh
Patchouli Virus X (PatVX) genus Potexvirus (Meissner Filho et al. 2002),
Patchouli mosaic virus (PaMV) dan Tobacco Necrosis Virus (TNV). Tapi,
tanaman nilam di India terinfeksi oleh Peanut Stripe Virus (PStV) (Sing et al.
2009.). Di Indonesia, virus yang menyebabkan penyakit mosaik termasuk
dalam kelompok Bean Common Mosaic Virus (BCMV) strain Peanut Stripe
Virus (PStV) (Hartono 2008). Penelitian terbaru menemukan bahwa tiga
varietas unggul nilam (Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan) di Bogor
dan beberapa lokasi sentra penanaman nilam di Indonesia (Garut, Ciamis,
Cicurug, Manoko dan Pasaman Barat) telah terinfeksi oleh Potyvirus yaitu
Telosma Mosaic Virus (TeMV), PStV dan Passionfruit Woodiness Virus
(Noveriza et al. 2009; 2010).
Sampai saat ini, informasi mengenai kejadian virus mosaik pada
pertanaman nilam di Indonesia masih terbatas. Begitu juga kerusakan yang
ditimbulkan dan bagaimana penularan dari penyakit tersebut belum
diketahui dengan pasti.
4.2. Kejadian penyakit virus mosaik, Kerusakan yang Ditimbulkandan Penularannya
Kejadian penyakit mosaik kuning yang pertama di laporkan
di Indonesia berkisar 53-73%. Penyakit ini tersebar baik pada pertanaman
nilam di dataran rendah maupun pegunungan. Kajian dengan mikroskop
elektron dari daun yang terinfeksi menunjukkan berassosiasi dengan virus
berbentuk benang (Sumardiyono et al. 1995). Di India, kejadian penyakit
di lapangan berkisar antara 43-76% (Sastry dan Vasanthakumar 1981).
Di Indonesia, Potyvirus (virus yang berbentuk benang) merupakan
virus yang dominan menyerang tanaman nilam di lapangan. Infeksi
Potyvirus pada tanaman nilam varietas Tapak Tuan dan Lhokseumawe dapat
menurunkan hasil produksi, kadar minyak dan kadar patchouli alkohol
(Tabel 2). Penurunan tertinggi berat terna basah, terna kering, kadar
95Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
minyak dan kadar PA berturut-turut mencapai 34,65, 40,42, 9,09 dan 5,06%
(Noveriza et al. 2011a). PaMMV yang menginfeksi tanaman nilam di
Jepang menyebabkan menurunnya biomassa (35 %) dan hasil minyak nilam
(2 %) (Sugimura et al. 1995; Kadotani dan Ikegami 2002).
Partikel Potyvirus merupakan molekul untai tunggal RNA yang unik
yang terdiri dari 8,5-10 kilobasa (kb) yaitu kode untuk sebuah poliprotein
dan berbentuk seperti benang. Potyvirus adalah kelompok virus yang secara
alami dapat ditularkan dan disebarkan oleh kutudaun (Irwin 1999). Namun
demikian, cara penyebaran utama yang terjadi di lapangan adalah melalui
bahan tanaman yang terinfeksi. Hal inilah tampaknya yang menjadi faktor
penting yang menentukan tingginya insiden penyakit mosaik pada tanaman
nilam di daerah-daerah sentra produksi nilam di Indonesia (Sastry dan
Vasanthakumar 1981; Hartono dan Subandiyah 2006; Noveriza et al. 2010),
mengingat petani nilam umumnya melakukan perbanyakan tanaman melalui
setek. Untuk menghindari penyebaran penyakit ini maka perlu dilakukan
teknik pengendalian yang tepat.
4.3. Strategi Pengendalian Penyakit
Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk menghindari
penyebaran virus ini di lapangan adalah dengan menggunakan benih yang
bebas dari infeksi virus. Apabila digunakan tanaman induk yang bebas
dari infeksi virus sebagai bahan perbanyakan, maka tanaman yang
dibudidayakan dari induk tersebut diharapkan dapat berproduksi sesuai atau
mendekati potensi genetiknya. Untuk mendapatkan tanaman induk bebas
virus perlu dilakukan usaha eliminasi virus dari tanaman terinfeksi. Pada
berbagai jenis tanaman dilaporkan telah berhasil dilakukan eliminasi virus
melalui beberapa metode, diantaranya kultur meristem (Golino et al. 1998),
terapi pemanasan (Leonhardt et al. 1998) dan penggunaan antiviral sintetik
(Budiarto et al. 2008).
96 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Tabel 2. Perbandingan berat terna basah (g/tanaman), berat terna kering (g/tanaman), kadar minyak (%) dan kadarPatchouli Alcohol (%) dari tiga varietas nilam terinfeksi virus mosaik dan yang sehat setelah 6 bulan tanam (Noverizaet al. 2012).
Varietas KondisiTanaman
BeratTernaBasah
(g/tan)
PenurunanBobotTernaBasah(%)
BeratTernaKering(g/tan)
PenurunanBobotTernaKering
(%)
Kadarminyak
(%)
PenurunanKadar
Minyak(%)
KadarPatchouliAlkohol
(%)
PenurunanKadar
PatchouliAlkohol
(%)
Sidikalang Sehat 206,73 34,65 80,60 37,10 2,64 9,09 35,65 -2,78
Sakit 135,10 50,70 2,40 36,64
Lhokseumawe Sehat 214,43 7,87 80,40 0,62 2,38 3,36 34,50 0,72
Sakit 197,57 79,90 2,30 34,25
Tapak Tuan Sehat 255,50 26,52 113,30 40,42 2,11 2,37 40,90 5,06
Sakit 187,73 67,50 2,06 38,83
**) Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DNMRT 5%.
97Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Pada metode kultur meristem dipilih bagian jaringan yang belum
terinvasi patogen yaitu bagian apikal dan ditumbuhkan menjadi tanaman
lengkap yang sehat dalam media buatan. Teknik tersebut sudah berhasil
diterapkan pada tanaman kentang untuk mengeliminasi virus (Quak 1972).
Selain untuk mengeliminasi virus, metode tersebut juga dipakai dalam
perbanyakan tanaman secara cepat (Goodwin et al. 1980). Meristem apikal
yang masih bebas patogen umumnya berukuran sangat kecil untuk
beberapa jenis tanaman sehingga teknik kultur meristem merupakan teknik
yang relatif sulit dilakukan (Brown et al. 1988). Berdasarkan penelitian
terbaru untuk mengeliminasi Potyvirus pada tiga varietas unggul nilam
(Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan) kultur jaringan meristem apikal
pada ketiga varietas nilam tersebut berhasil dilakukan pada media MS yang
ditambah BAP 0,5 mg/l. Varietas Tapak Tuan menunjukkan pertumbuhan
tunas yang berbeda nyata dengan ke dua varietas lainnya. Persentase
pertumbuhan tunas varietas Tapak Tuan mencapai 90% dengan periode
inisiasi lebih cepat yaitu 14 hari. Varietas Sidikalang dan Lhokseumawe
menghasilkan pertumbuhan tunas berturut-turut 71,43% dan 69,23%
dengan periode inisiasi berturut-turut 17 hari dan 21 hari (Noveriza et al.
2011).
Ukuran jaringan meristem apikal yang ditanam sebagai eksplan
tampaknya merupakan faktor penentu keberhasilan eliminasi virus (Noveriza
et al. 2011). Hasil kultur jaringan (planlet) yang diperoleh dari eksplan
meristem apikal yang berukuran 0,5-1 mm menunjukkan bahwa Potyvirus
belum dapat dieliminasi secara tuntas. Jumlah tanaman yang mengandung
Potyvirus berkisar antara 9% sampai 66,7 % (Tabel 3). Beberapa penelitian
telah mengemukakan pentingnya ukuran eksplan untuk menghasilkan
planlet bebas virus. Menurut Visessuwan et al. (1988), tanaman tebu yang
diperbanyak dari kultur meristem apikal menghasilkan 88 persen tanaman
bebas virus dengan ukuran meristem apikal 0,2-0,5 mm. Langhans et al.
(1977) melaporkan bahwa eksplan meristem apikal yang berukuran 0,3-0,5
mm merupakan ukuran optimal dalam menghasilkan eksplan bebas virus.
98 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Sugimura et al. (1995) mengemukakan bahwa ukuran meristem apikal yang
optimum pada tanaman nilam untuk menghasilkan eksplan bebas virus
PaMMV adalah 0,5 – 1 mm, sementara Singh et al. (2009) melaporkan
bahwa ukuran jaringan meristem 0,2 – 0,5 mm adalah ukuran yang
optimum untuk menghasilkan tanaman nilam bebas PStV.
Tabel 3. Hasil deteksi Potyvirus dari tanaman nilam hasil kultur jaringanmeristem apikal dan batang terminal (bukan meristem apikal)dengan metode ELISA (Noveriza et al. 2011).
Jenis Eksplan VarietasUkuranEksplan(mm)
JumlahSampel yangdiuji
Hasil ELISA
ReaksiPositif
ReaksiNegatif
Meristem Apikal Sidikalang 0,5-1 12 4 (33,3)* 8 (66,7)*Lhokseumawe 0,5-1 11 1 (9,0) 10 (99,9)Tapak Tuan 0,5-1 27 18 (66,7) 9 (33,3)
Batang terminal Sidikalang 5-8 7 7 (100,0) 0 (0,0)
*) Rasio antara jumlah sampel yang positif/negatif dan jumlah sampel tanaman yang diujidalam persen.
Planlet yang diperoleh dari eksplan batang terminal (bukan meristem
apikal) menunjukkan gejala mosaik dan berdasarkan hasil ELISA terbukti
bahwa tanaman tersebut 100% terinfeksi Potyvirus. Hasil tersebut
membuktikan bahwa infeksi Potyvirus pada tanaman nilam bersifat sistemik.
Penggunaan metode kultur meristem apikal sangat potensial sebagai upaya
untuk eliminasi virus yang menginfeksi secara sitemik karena proliferasi sel-
sel meristem apikal lebih cepat dibandingkan penyebaran virus (Noveriza
et al. 2011). Menurut Barahima (2003) regenerasi tunas meristem apikal
menghasilkan planlet bebas virus dapat terjadi karena proliferasi sel-sel
meristem tunas apikal lebih cepat dibandingkan dengan penyebaran partikel
virus, sehingga setiap saat terdapat sel-sel yang belum terinvasi virus.
Planlet yang dihasilkan dari sel-sel yang tidak terinvasi virus menghasilkan
planlet bebas virus.
Teknik eliminasi virus lain yang relatif lebih mudah dan murah
dilakukan dibandingkan dengan teknik kultur meristem apikal adalah dengan
perlakuan pemanasan. Metode pemanasan untuk tujuan eliminasi virus
99Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
dapat diterapkan berdasarkan fakta bahwa multiplikasi virus sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama suhu yang tinggi. Beberapa
hasil penelitian menemukan bahwa laju multiplikasi virus mengalami
penurunan pada kisaran suhu 35⁰-43o C (Converse dan Tanne 1984). Namun
demikian, toleransi jaringan tanaman terhadap suhu tinggi akan menjadi
faktor pembatas dalam aplikasi metode ini. Persentase tanaman hidup pasca
terapi umumnya semakin kecil seiring dengan meningkatnya suhu
pemanasan (Lozoya-Saldana dan Merlin-Lara 1984). Perlakuan perendaman
setek nilam varietas Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan dalam air
panas pada suhu 50⁰-60⁰C dan waktu perendaman 10-30 menit tidak dapat
mengeliminasi Potyvirus yang menginfeksi ketiga varietas nilam tersebut.
Varietas Tapak Tuan dan Lhokseumawe lebih toleran terhadap air panas
dibandingkan varietas Sidikalang, walaupun demikian daya tumbuh setek
nilam semakin menurun seiring semakin lama waktu perendaman (Noveriza
et al. 2011).
4.4. Perkembangan Penelitian
Selain Potyvirus, telah dideteksi juga adanya virus kelompok Fabavirus
pada pertanaman nilam di Kecamatan Salem Kabupaten Brebes Propinsi
Jawa Tengah (Noveriza et al. 2010). Hasil deteksi pada sampel tanaman
nilam yang terinfeksi virus mosaik asal Bogor dan Brebes dengan metode
ELISA, bereaksi positif dengan antiserum Broad Bean Mosaic Virus 2
(BBMV2) yang merupakan genus Fabavirus dan Potato virus X (PVX) genus
Potexvirus (Miftahurohmah, komunikasi pribadi). Ini menjelaskan juga
bahwa ada tiga kelompok virus yang menginfeksi tanaman nilam
di Indonesia yaitu Potyvirus, Fabavirus dan Potexvirus, walaupun demikian
Potyvirus adalah virus yang dominan menyerang tanaman nilam
di Indonesia.
Oleh sebab itu, saat ini sedang dilakukan juga penelitian untuk
mendapatkan tanaman nilam yang tahan Potyvirus dengan metode
pendekatan rekayasa genetik. Melalui ekspresi gen coat protein (CP) dari
100 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Potyvirus di dalam tanaman nilam diharapkan protein CP ini akan
mengganggu replikasi lebih lanjut dari Potyvirus yang menginfeksi tanaman
nilam tersebut sehingga terhindar dari penyakit mosaik. Fungsi utama dari
CP virus tanaman adalah untuk pembentukkan mantel protein yang
membungkus asam nukleat dari genom virus. Pada kebanyakan RNA virus
tanaman, CP berperan dalam penyebaran virus pada tanaman terinfeksi
virus. Selain itu juga berperanan dalam multiplikasi virus di dalam tanaman
(Callaway et al. 2001; Carrington et al. 1996).
Ekspresi gen CP dari beberapa Potyvirus seperti Soybean mosaic
virus, Papaya ringspot virus, Watermelon mosaic virus 2 dan Zucchini yellow
mosaic virus pada tanaman transgenik tembakau (Nicotiana tabacum dan N.
benthamiana) memberikan tingkatan proteksi yang bervariasi terhadap
infeksi berbagai Potyvirus (Stark dan Beachy 1989; Ling et al. 1991; Namba
et al. 1992). Tingkat proteksi yang dibuat oleh gen CP pada tanaman
transgenik bervariasi yang dimulai dari imun tanaman, melemahkan virus
dan memperlambat timbulnya gejala penyakit. Teknik ini efektif
diaplikasikan untuk mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh
virus (Lomonossoff 1995).
Di Jepang telah didapatkan tanaman tanaman transgenik nilam
menggunakan transformasi Agrobacterium yang tahan terhadap virus
PaMMV (Fabavirus) dengan ekspresi gen CP (Sugimura et al. 2005; Kadotani
dan Ikegami 2002). Hasil penelitian terbaru di Indonesia, telah berhasil
disisipkan gen coat protein (CP) dari Potyvirus ke dalam plasmid pembawa
pJET1.2 dan kemudian disusun dalam plasmid pCambia1301, hasil
ekspresinya diperbanyak dalam bakteri Escherichia coli dan Agrobacterium
untuk ditransformasikan kedalam daun tanaman nilam. Daun nilam yang
membawa gen CP dari Potyvirus tersebut diperbanyak dengan kultur
jaringan (Koerniati et al. 2011). Tanaman nilam yang membawa gen CP
akan diuji lagi untuk mendapatkan tanaman nilam yang tahan tahan
terhadap Potyvirus, kemudian tanaman ini dapat dijadikan sebagai pohon
induk untuk perbanyakan nilam tahan terhadap penyakit mosaik yang
disebabkan oleh Potyvirus.
101Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1978. Plant pathology. Second Ed. Acad. Press. Univ of Florida.Gainessfille. 703 pp.
Ahmed M.2002. Patchouli, an ideal aromatic crop of commercial importance.North Eastern Development Finance Corporation Ltd. Guwahati. p11
Akiew, E. B. 1985. Influence of soil moisture and temperature on thepersistence of Pseudomonas solanacearum. In G. J. Persley. (ed).Proceeding of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos,Philippines. 8-10 October 1985. p: 77-79.
ARMP. 1993. Efisiensi usahatani, tataniaga dan peningkatan mutu minyakatsiri (nilam, akarwangi, seraiwangi dan kenanga). Laporan PenelitianARMP 1992/1993. Balittro, Bogor.
Asman, A. 2000. Penyakit layu dan budok pada tanaman nilam dan carapengendaliannya. Prosiding Gelar Teknologi Pengolahan Gambir danNilam. Padang dan Solok, 24-25 Januari 2000. Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Perkebunan. Balai Penelitian TanamanRempah dan Obat. Hal: 173-178.
Asman, A. dan D. Sitepu. 1994. Penelitian penanggulangan penyakit nilam diD.I. Aceh. Laporan Kerjasama PT Pupuk Iskandar Muda dan BalaiPenelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor: 19 hal.
Asman, A., E.M. Adhi dan D. Sitepu. 1998. Penyakit layu, budok, danpenyakit lainnya serta strategi pengendaliannya. Monograf Nilam.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai PenelitianTanaman Rempah dan Obat. Hal: 84-88.
Aspiras, R. B. dan A. R. de la Cruz. 1985. Potential biological controlof bacterial wilt in tomato and potato with Bacillus polymyxa FU6 andPseudomonas fluorescens. Edited by G. J. Persley. Proceeding of anInternational Workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines. 8-10October 1985. P
Barahima W.P. 2003. Eliminasi Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV)pada empat kultivar Ubijalar unggul local asal Papua melalui teknikkultur meristem. Bul. Agron. 31:81-88.
Barani, A. M. 2008. Strategi pengembangan nilam di Indonesia. ProsidingSeminar Nasional. Pengendalian terpadu organisme penganggutanaman jahe dan nilam. Badan Penelitian dan PengembanganPertanian dan Pengembangan Perkebunan. Pusat Penelitian danPengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Obat danAromatik. Bogor, 4 November 2008. p: 7-14.
102 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Bradbury, J. F. 1987. Guide to plant pathogenic bacteria. CAB International,The Cambrian News Ltd, Aberystwyth, UK. 332 p
Bridge, J. 1978. Plant nematodes associated with cloves and black pepperin Sumatra and Bangka, Indonesia. ODM Technical Report on Visitto Indonesia, July 9-19th, 1978. UK Ministry of OverseasDevelopment. 19 pp.
Brown C.R., S. Kwiatkowski, M.W. Martin dan P.E. Thomas. 1988.Eradication of PVS from Potato Clones Through Excisions of Meristemsfrom In Vitro, Heat Treated Shoot Tips. Am. Potato J. 65: 633-638.
Brunt A.A. 1992. The general properties of potyviruses. Archives of Virology20:3-16.
Buddenhagen, I. W. 1986. Bacterial wilt revisited. In G. J. Persley (ed),Bacterial wilt disease in Asia and The South Pasific. Proceeding of AnInternational Workshop. Held at PCARRD, Los Banos. Philippines,October. ACIAR Proceeding No. 13: 26-143.
Budiarto, K., Y. Sulyo, I.B. Rahardjo dan S. Pramanik. 2008. PengaruhDurasi Pemanasan terhadap Keberadaan Chrysanthemum Virus-Bpada Tiga Varietas Hrisan Terinfeksi. J. Hort. 18: 185-192.
Callaway, A., D. Giesman-Cookmeyer, E.T. Gillock, T.L. Sit dan Lommel S.A.2001. The multifunctional capsid proteins of plant RNA viruses. AnnualReview Phytopathology 39:419-460.
Carrington J.C., K.D. Kasschau, S.K. Mahajan dan M.C. Schaad. 1996. Cell-to-cell and long-distance transport of viruses in plants. Plant Cell10:1669-1681.
Clark, M.F. dan A.N. Adams. 1977. Characteristics of the microplate methodof enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of plantviruses. Journal of General Virology 34:475-483.
Converse R.H. dan E. Tanne. 1984. Heat Therapy and Stolon Apex Cultureto Eliminate Mild Yellow-edge Virus from Hood Strawberry.Phytopathol. 74: 1315-1316.
Corbet, D.C.M. 1976. Pratylenchus brachyurus. C.I.H. Description of PlantParasitic Nematodes. Set 6, No. 89. CAB, London. 4 pp.
Dayal, M. 2007. Chytrids of India. MD Publication. PVT. Ltd..
Ditjenbun. 2007. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia 2003-2006. 1-19.
103Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Djiwanti, S.R. 1988. Identification of nematodes from spice and medicinalcrops. Technical Report of JICA Counterpart Training in Japan on Soil-borne Diseases and Plant-parasitic Nematodes, September 14, 1987 –March 14, 1988: 33-51.
Djiwanti, S.R. 2007. Kendala penyakit dalam budidaya nilam di Indonesia.Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pengembangan TeknologiTanaman Obat dan Aromatik. Bogor, 6 September 2007. Hal. 421-432
Djiwanti, S.R. 2009. Nematoda parasit dan teknologi pengendaliannya dalambudidaya nilam (Pogostemon cablin) di Indonesia. PerkembanganTeknologi Tanaman Rempah dan Obat 21: 40-47.
Djiwanti, S.R. dan Y. Momota. 1991. Parasitic nematodes associated withpatchouli disease in west Java. Indust Crops Res. J. 3: 31-34.
Drinkall, M.J. dan T.V. Price. 1983. Dispersal of Synchytrium psophocarpi inPapua New Guinea. Plant Pathology. 32:229-237
Drinkall, M.J. dan T.V. Price. 1986. Studies of the infection of the wingedbean by Synchytrium psophocarpi in Papua New Guinea. Ann. Appl.Biol. 109:87-94
EPPO, 1999. Synchytrium endobioticum. EPPO quarantine pest. Prepared byCABI and EPPO for the EU. 1-5 pp.
EPPO. 2003. Synchytrium endobioticum: soil tests and deschedulingof previously infested plots. Phytosanitary procedures. EPPO, PM3/59(2):1-3.
Es, C.C. van. dan S.R. Djiwanti. 1990. Report of Field study of parasiticnematodes associated with patchouli disease in West Java. ResearchInstitute for Spice and Medicinal Crops. Bogor.
French, E.R. 1986. Interaction between strains of Pseudomonassolanacearum its hosts and the environment. In G. J. Persley (ed).Proceeding of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos,Philippines. 8-10 October 1985. p:99-104.
Gilling, M., P. Broadbent, J. Indsto dan R. Lee. 1993. Characterization ofisolates and strains of Citrus tristeza closterovirus using restrictionanalysis of the coat protein gene amplified by the polymerase chainreaction. J. of Virology Methods 44:305-317.
104 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Golino, D.A., S.T. Sim, W. Grzegorezyk dan A Rowhani. 1998. Optimizingtissue culture protocols used for virus elimination in grapevines.American Journal of Ecology and Viticulture 49: 451-452.
Goodwin, P.B., Y.C. Kim dan T. Adisarwanto. 1980. Propagation of shoot tipculture and shoot multiplication. Potato Res. 23: 45-49.
Hadipoentyanti, E., Amalia, Nursalam, S.Y. Hartati dan S. Suhesti. 2008.Perakitan varietas untuk ketahanan nilam terhadap penyakit layubakteri. Prosiding Seminar Nasional. Pengendalian terpadu organismepenganggu tanaman jahe dan nilam. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian dan Pengembangan Perkebunan. PusatPenelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian TanamanObat dan Aromatik. Bogor, 4 November 2008. 163-176.
Harni, R. dan I. Mustika. 2000. Pengaruh bakteri Pasteuria penetransterhadap nematoda buncak akar (Meloidogyne spp.). ProsidingKongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI Purwokerto. Hal.420-427.
Hartati, S. Y., Supriadi, N. Karyani dan L. Udarno. 2008. Pengendalianpenyakit layu dengan biopestisida. Prosiding Seminar Nasional.Pengendalian terpadu organisme penganggu tanaman jahe dan nilam.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan PengembanganPerkebunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.Balittro. Bogor, 4 November 2008. p: 153-162.
Hartati, S.Y., E.M. Adhi, A. Asman dan N. Karyani. 1993a. Efikasieugenol, minyak, dan serbuk cengkeh terhadap bakteri Pseudomonassolanacearum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam RangkaPemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1-2 Desember. p: 43-48.
Hartati, S.Y., E.M. Adhi dan N. Karyani. 1993b. Efikasi minyak cengkeh danserai wangi terhadap Pseudomonas solanacearum. Prosiding SeminarHasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Bogor 1-2 Desember. p: 37-42.
Hartono, S. dan S. Subandiyah. 2006. Pemurnian dan deteksi serologiPatchouli mottle virus pada tanaman nilam. J. Perlindungan TanamanIndonesia 12:74-82.
Hartono, S. 2008. Karakterisasi virus mottle pada tanaman nilam diIndonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional Pengendalian TerpaduOrganisme Pengganggu Tanaman Jahe dan Nilam, Bogor-4 Nopember2008.
105Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Haywards, A.C. 1986a. Bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum:in Asia and Australia. An overview. In G. J. Persley (ed), Bacterial wiltdisease in Asia and The South Pasific. Proceeding of An InternationalWorkshop. Held at PCARRD, Los Banos. Philippines, October. ACIARProceeding No. 13: 15-24.
Haywards, A.C. 1986b. The hosts of Pseudomonas solanacearum. InBacterial wilt: The disease and its causative agent, Pseudomonassolanacearum. C. Hayward and G. L. Hartman (Ed), CAB International,Willingford, Oxon, UK. ACIAR Proceeding. pp: 25-34.
Haywards, A. C. 1991. Biology and Epidemiology of bacterial wilt caused byPseudomonas solanacearum. Ann. Rev. of Phytopathology. 29: 65-87.
Hewings, A.D. dan C.J. D’Arcy. 1984. Maximizing the detection capability ofa beet western yellows virus ELISA system. Journal of VirologicalMethods 9:131-142.
Irwin, M.E. 1999. Implication of movement in developing and deployingintegrated pest management strategies. Agricultural and ForestMeteorology 97:235-248
Kadotani, N. dan M. Ikegami. 2002. Production of patchouli mild mosaicvirus resistant patchouli plants by genetic engineering of coat proteinprecursor gene. Pest Management Science 58:1137-1142.
Karami, A., Z.A.M. Ahmad dan K. Sijam. 2009. Morphological characteristicsand pathogenicity of Synchytrium psophocarpi (Rac.) GäumannAssociated with false rust in winged bean. American Journal ofApplied Sciences. 6: 1876-1879.
Karling, J. 1964. Synchytrium. Academic Press. New York
Koerniati, S., G. Suastika, R. Noveriza and E. Hadipoentyanti. 2011.Construction and transformation a vector containing of Potyvirus CoatProtein to generating patchouli (Pogostemon cablin Benth.) resistanceto Potyvirus. It will be presented at ISSAAS International Congress2011 at Bogor Convention Center. Bogor. p11
Koshy, P.K. dan J. Bridge. 1990. Nematodes parasites of spices. In Luc,M.R.A., Sikora and J. Bridge (Ed.). Plant parasitic nematodes in SubTropical and Tropical Agricultures. C.A.B. International. p. 557-582.
Kusnanta, M.A. 2005. Identfikasi dan pengendalian penyakit karat palsupada nilam (Pogostemon cablin) dengan fungisida. Thesis S2 PascaSarjana. UGM.
106 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Langhans, R.W., R.K. Horst dan E.D. Earle. 1977. Diseases-free plants viatissue culture propogation. HortScince. 12:149-150.
Leonhardt, W., Ch. Wawrosch, A. Auer dan B. Kopp. 1998. Monitoring ofvirus diseases in Austrian grapevine varieties and virus eliminationusing in vitro thermotherapy. Plant Cell Tissue anfd Organ Culture52:71-74.
Ling, K., S. Namba, C. Gonsalves, J.L. Slightom dan D. Gonsalves D. 1991.Protection against detrimental effects of potyvirus infection intransgenic tobacco plants expressing the papaya ringspot virus coatprotein gene. Bio/Technology 9:752-758.
Lister, R.M. 1978. Application of the Enzyme-linked Immunosorbent Assayfor Detecting Viruses in Soybean Seed and Plant. Phytopathology68:1393-1400.
Lomonossoff, G.P. 1995. Pathogen-derived resistance to plant viruses.Annual Review Phytopathology 33:323-343.
Lozoya-Saldana, H. dan O. Merlin-Lara. 1984. Thermotherapy and TissueCulture for Elimination of Potato Virus X (PVX) in Mexican PotatoCultivars Resistant to Late Blight. Am. Potato J. 61: 735-739.
Mahmud, M. 1986. Bacterial wilt in Indonesia. In G. J. Persley (edtr),Bacterial wilt disease in Asia and The South Pasific. Proceeding ofAn International Workshop. Held at PCARRD, Los Banos. Philippines,8-10 October 1985. ACIAR Proceeding No. 13: 30-34.
Mauludi, L. dan A. Asman. 2005. Profil Investasi Pengusahaan Nilam. UnitKomersialisasi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro).Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. p42.
Meissner Filho, P.E., R de O. Resende, M.I. Lima dan E.W. Kitajima. 2002.Patchouli virus X, a new potexvirus from Pogostemon cablin. Ann.Appl. Biol. 141:267-274.
Mengel, K. dan E.A. Kirkby. 1987. Principles of plant nutrition. InternationalPotash Institute Bern, Switzerland. 4th edition. 686 pp.
Mustika, I dan A. Asman. 2004. Pengendalian hama dan penyakit utamapada tanaman nilam. Perkembangan Tek. Tan. Rempah dan Obat(Edsus) 16:38-46
107Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Mustika, I. 1998. Pemanfaatan bakteri Pasteuria penetrans untukmengendalikan nematoda Meloidogyne incognita dan Radopholussimilis. Laporan RUT. Dewan Riset Nasional. 82 hal.
Mustika, I. dan O. Rostiana. 1992. The growth of four patchouli cultivarsinfected with Pratylenchus brachyurus. J. of Spice and Medicinal Crops1: 5-9.
Mustika, I. dan R. Harni. 2001. Pengaruh ekstrak jarak (Ricinus communis)dan mimba (Azadirachta indica) terhadap Pratylenchus brachyuruspada tanaman nilam. Prosiding Kongres Nasional XVI dan SeminarIlmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor, 22-24 Agustus2001. Halaman: 433-437.
Mustika, I. dan S.B. Nazarudin. 1998. Gangguan nematoda dan carapengendaliannya. Monograf Nilam. Balittro, Bogor. Hal. 89-95.
Mustika, I. dan Y. Nuryani. 1993. Screening for resistance of four patchoulicultivar to Radopholus similis. J. of Spice and Medicinal Crops 1: 11-17.
Mustika, I., A. Rachmat dan Suyanto. 1995. Pengaruh pupuk, pestisida,bahan organik, terhadap pH tanah, populasi nematoda dan produksinilam. Media komunikasi Penelitian dan Pengembangan TanamanIndustri 15: 70-74.
Mustika, I., Y. Nuryani dan O. Rostiana. 1991. Nematoda parasit padabeberapa kultivar nilam di Jawa Barat. Buletin Penelitian TanamanRempah dan Obat Vol. 6: 9-14.
Mustika, I.; S. R. Djiwanti dan R. Harni. 2000. Pengaruh agensia hayati,bahan organik dan pestisida nabati terhadap nematoda pada tanamannilam. Laporan penyelesaian DIP Bag. Proyek Penel. TanamanRempah dan Obat Tahun 1999/2000. Balittro, Bogor. Hal.: 85-92.
Namba, S., K. Ling, C. Gonsalves, K.L. Slightom dan D. Gonsalves. 1992.Protection of transgenic plants expressing the coat protein gene ofwatermelon mosaic virus or zucchini yellow mosaic virus against sixpotyvirus. Phytopathology 82:940-946.
Nasrun, S. Christanti, T. Arwianto dan I. Mariska. 2004b. Identifikasi bakteripatogen penyakit layu nilam. Prosiding Seminar Ekpose TeknologiGambir, Kayumanis, dan Atsiri. Pusat Penelitian dan PengembanganPerkebunan. Hal: 100-108.
Nasrun, Y. Nuryani, Hobir dan Refianyo. 2004a. Seleksi ketahanan variannilam terhadap penyakit layu bakteri. Prosiding Seminar Ekpose
108 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Teknologi Gambir, Kayumanis, dan Atsiri. Pusat Penelitian danPengembangan Perkebunan. Hal: 115-120.
Natsuaki, K.T., K. Tomaru, S. Ushiku, Y. Ichikawa, Y. Sugimura, T. Natsuaki,S. Okuda dan M. Teranaka. 1994. Characteristic of two virusesisolated from patchouli in Japan. Plant Dis. 78:1094-1097.
Nazarudin, S.B., R. Harni dan I. Mustika. 1996. Nematoda buncak akar padatanaman rempah, atsiri dan obat di Indonesia serta upayapenganggulangannya. Makalah pada Kongres Nasional II dan SeminarIlmiah PERNEMI tgl. 23-24 Juli 1996. Jember.
NEDFI. 2007. Handbook of medicinal and aromatic plants. NEDFI.http://www.asamagribusiness. Akses Sept 2007.
Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2010.Potyvirus Associated with Mosaic Disease on Patchouli Plants inIndonesia. ISSAAS International Congress 2010 at Inna Grand BaliBeach Hotel, Denpasar. Bali. Unpublish. p12.
Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2012.Pengaruh infeksi virus terhadap produksi dan kadar minyak pada tigavarietas nilam (Pogostemon cablin Benth.). Buletin Balittro. Belumterbit.
Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2011.Eliminasi Potyvirus penyebab penyakit mosaik pada tanaman nilam(Pogostemon cablin Benth.) dengan kultur meristem apikal danperlakuan air panas. Jurnal Pen Tan Industri. Pusat Penelitian danPengembangan Tanaman Perkebunan. Belum terbit. p14
Noveriza, R., G. Suastika, S.H. Hidayat dan U. Kartosuwondo. 2009.Detection of a Potyvirus Causing Mosaic Disease on Patchouli Plants inWest Java. Seminar dan Kongres Perhimpunan Fitopatologi IndonesiaXX Makasar, 2009. Unpublish.
Nuryani, Y. 2005. Pelepasan varietas unggul nilam. Warta Penelitian danPengembangan Tanaman Industri. 11: 1-3.
Nuryani, Y., I. Mustika dan C. Syukur. 2001. Kandungan fenol dan lignintanaman nilam hibrida (Pogostemon sp.) hasil fusi protoplas. JurnalLittri 7 : 104 -107.
Prasad, P.R.K. and D.D.R. Reddy. 1984. Pathogenicity and analysis of croplosses in patchouli (Pogostemon cablin) due to Meloidogyne incognita.Indian Journal of Nematology 14: 36 – 38.
109Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Pupuk Iskandar Muda. 1990. Pengembangan dan pemasalahan usahataninilam dan atsiri lain di D.I. Aceh. Prosiding Komunikasi IlmiahPengembangan Atsiri di Sumatera. Diselenggarakan oleh Balittro.
Pusat Data Informasi Pertanian. 2010. Outlook Komoditas PertanianPerkebunan. Pusat Data dan Informasi Pertanian. KementrianPertanian. Jakarta. p151-168
Quak, F. 1972. The treatment and substances inhibity, virus multiplication inmeristem culture to obtain virus free plant. Ad. Hort. Sci. : 141-144.
Robinson., A. 1993. Serological detection of Pseudomonas solanacearum byELISA In G. L. Hartman and A. C. Hayward (ed). Bacterial wilt:Proceeding of International Conference, held at Kaohsiung, Taiwan,28-31 October 1992. ACIAR Proceeding. No. 45: 54-61.
Rusli, S., Hobir, A. Hamid, A. Asman, S. Sufiani, dan M Mansyur. 1993.Evaluasi Hasil Penelitian Minyak Atsiri, Balai Penelitian TanamanRempah dan Obat, Bogor. 15 hlm.
Sastry K.S. dan T. Vasanthakumar. 1981. Yellow mosaic of patchouli(Pogostemon patchouli) in India. Current Science 50: 767-768.
Singh, M.K, V. Chandel, V. Hallan, R. Ram dan A.A. Zaid. 2009. Occurrenceof Peanut stripe virus on patchouli and raising of virus-free patchouliplants by meristem tip culture. Journal of Plant Diseases andProtection 116: 2-6,
Sitepu, D dan A. Asman. 1991. Penelitian penyakit nilam Daerah IstimewaAceh. Lap Kerjasama Pupuk Iskandar Muda dan Balittro. 22 hal.
Sitepu, D. dan A. Asman. 1989. Observasi penyakit nilam di Sumatera Barat.Laporan Hasil Penelitian Balittro Bogor: 4 hal.
Sitepu, D. dan A. Asman. 1991. Penelitian penyakit nilam di D.I. Aceh.Laporan Kerjasama PT Pupuk Iskandar Muda dan Balai PenelitianTanaman Rempah dan Obat Bogor: 22 hal.
Sriwati, R. M.S. Sinaga, A.M. Adnan dan I. Mustika. 1999. Patogenisitas dansiklus hidup Pratylenchus brachyurus pada beberapa kultivar nilam(Pogostemon cablin Benth). Seminar Laporan Hasil Penelitian ProgramPasca Sarjana IPB. 12 hal.
Stark, D.M. dan R.N. Beachy. 1989. Protection against potyvirusinfection in transgenic plants:Evidencefor broad spectrum resistance.Bio/Technology 7:1257-1262.
110 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Sugimura, Y., B.F. Padayhag, M.S. Ceniza, N Kamata, S Eguchi, T Natsuakidan S Okuda. 1995. Essential oil production increased by using virusfree patchouli plants derived from meristem-tip culture. PlantPathology 44:510-515.
Sugimura, Y., N. Kadotani, Y. Ueda, K. Shima, S. Kitajima, T. Furusawa danM. Ikegami. 2005. Transgenic patchouli plants produced byAgrobacterium-mediated transformation. Plant Cell, Tissue and OrganCulture 82:251-257.
Sukamto, I.B. Rahardjo, dan Y. Sulyo. 2007. Detection of potyvirus onpatchouli plant (Pogostemon cablin Bent.) from Indonesia. ProceedingInternational Seminar on Essential Oil. Jakarta 7-9 November 2007. p72-77.
Sumardiyono, Y.B., S. Sulandari dan S. Hartono. 1995. Penyakit mosaikkuning pada nilam (Pogostemon cablin). Risalah Kongres Nasional XIIdan Seminar Ilmiah PFI Yogyakarta,6-8 September 1993.Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Yogyakarta. p 912-916.
Syakir, M. Supriadi dan D. Wahyuno. 2008. Perkembangan teknologipengendalian OPT pada tanaman jahe dan nilam. Prosiding SemnasPengendalian Terpadu Organisme Pengganggu Tanaman Jahe danNilam. Balittro, Puslitbangbun, Badan Litbang Pertanian. Bogor,4 Nopember 2008. 15-30 pp.
Thomson, K.G., R.G. Dietzgen, A.J. Gibbs, Y.C. Tang, W. Liesack, D.S.Teakle dan E. Stackebrandt. 1995. Identification of Zucchini yellowmosaic potyvirus by RT-PCR and analysis of sequence variability.Journal of Virology Methods 55:83-96.
Thrornton, H. 2002. Synchytrium Bio Geography. www.Synchytrium.biogeography-uga.edu
Visesuwan, R., W. Korpraditskul, S. Attathom dan S. Klinkong. 1988.Production of Virus-Free Sugarcane by Tissue Culture. Kasetsart J.(Nat. Sci. Suppl.) 22:30-60.
Waard, P.W.F. de. 1969. Foliar diagnosis, nutrient and yield stability of blackpepper (Piper nigrum L.) in Sarawak. Koninklijk Instituut voor deTropen. 149 pp.
Wahyuno, D., Sukamto, D. Manohara, A. Kusnanta, C. Sumardiyono dan S.Hartono. 2007. Synchytrium a potential threat of patchouli inIndonesia. Proceeding International Seminar on Essential Oil. Jakarta.DAI-IPB 92-99.
111Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Wahyuno, D. 2010a. Pengelolaan perbenihan nilam untuk mencegahpenyebaran penyakit budok (Synchytrium pogostemonis). Rev.Penelitian Tan Industri. Perspekstif. 9:1-11.
Wahyuno. D. 2010b. The Life cycle of Synchytrium pogostemonis onPogostemon cablin. Microbiology Indonesia J. 4:127-131.
Wahyuno, D. dan Sukamto. 2010. Ketahanan Pogostemon cablin danPogostemon heyneanus terhadap Synchytrium pogostemonis. J. Littri.16:91-97
William, K.J.O. 1980. Plant parasitic nematodes of the Pasific. UNPFAO-SPEC. Survey of Agriculture Pests and Diseases in the South Pasific.192 pp.
112 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
PASCA PANEN NILAM
Ma’mun
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
I. PEMANENAN
Panen nilam dilakukan pada saat umur tanaman 6-8 bulan (panen
pertama) dan umur 3-4 bulan panen berikutnya. Batang nilam dipotong,
sebaiknya menggunakan gunting setek, ukuran potongan 15-20 cm di atas
permukaan tanah dengan meninggalkan 1 batang utama. Terna nilam yang
sudah dipanen dibersihkan dari bahan lain seperti rumput dan tanah.
II. PENANGANAN BAHAN
2.1. Pengeringan
Tujuan pengeringan adalah mengurangi kandungan air di dalam
bahan. Pada proses pengeringan sebagian besar air dalam terna menguap
dan meninggalkan ruang kosong pada bahan. Akibat adanya ruang kosong
ini maka jaringan bahan mengkerut dan sel minyak pecah sehingga minyak
mudah keluar pada proses penyulingan. Penyulingan daun segar tidak
dianjurkan karena rendemen minyak yang dihasilkan rendah. Sel-sel yang
mengandung minyak sebagian terdapat di permukaan dan sebagian lagi di
bagian dalam dari daun. Pada penyulingan daun segar hanya didapat
minyak yang berada di permukaan saja. Pengeringan akan memberikan
rendemen minyak yang lebih besar karena dinding-dinding sel lebih mudah
ditembus uap.
Pengeringan dilakukan dengan cara menghamparkan terna nilam di
atas lantai jemur yang dibuat dari semen, atau alas tikar atau menggunakan
rak bambu. Hamparan/lapisan terna nilam tidak terlalu tebal (maksimum 20
cm). Selama penjemuran, terna nilam harus dibulak-balik agar
pengeringannya merata. Penjemuran dilakukan sampai kadar air dalam
113Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
terna nilam mencapai 12-15%, ditandai dengan warna daun nilam menjadi
abu-abu kehijaun dan timbulnya aroma minyak nilam yang lebih tajam.
Lama penjemuran yang memadai adalah 2 kali (hari) masing-masing
selama 5 jam. Hasil penelitian Balittro menunjukkan bahwa pengeringan
terna nilam selama 5 jam yang dilakukan selama 2 hari berturut-turut
menghasilkan kadar minyak terbesar dan kadar patchouli alkohol yang
cukup tinggi (Tabel 1). Penjemuran dapat pula dikombinasikan dengan
pengering-anginan (pelayuan). Penjemuran selama 2 jam yang diikuti
dengan pengering-anginan selama 9 hari menghasilkan minyak lebih tinggi,
hanya waktunya lebih lama (Tabel 2).
Tabel 1. Pengaruh cara pengeringan terhadap kadar dan mutu minyak nilam
Cara pengeringanKadar
minyak(%)
Kadar patchoulialcohol
(%)Dijemur 2 hari @ 5 jamDijemur 2 hari @ 7 jamDijemur 2 jam dan dilayukan 7 hari
3,752,652,52
31,5833,5232,93
Sumber : Hobir et al. (2003)
Tabel 2. Pengaruh cara pengeringan terna terhadap rendemen dan kadarpatchouli alkohol minyak nilam.
Cara pengeringan Rendemen minyak**)
(%, v/b)
Kadar patchoulialkohol
(%)Dijemur
(jam)Dilayukan
(hari)2 3
69
4,515,236,39
33,934,235,1
4 369
4,364,515,20
30,031,435,1
6 369
3,995,185,49
28,431,436,2
*) daun tanpa cabang dan batang. **) berdasarkan terna kering Sumber: Hernani danRisfaheri (1989)
114 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Pada tabel 2, rendemen minyak yang dihasilkan lebih tinggi, hal ini
disebabkan bahan yang digunakan hanya terdiri dari daun nilam, tanpa
cabang dan batang.
Selama pengeringan, sebagian daun nilam ada yang rontok, daun-
daun tersebut harus diikut sertakan dalam penyulingan. Pengeringan perlu
mendapat perhatian karena akan menentukan mutu minyaknya. Lama
pengeringan sangat ditentukan oleh intensitas sinar matahari, tempat
penjemuran dan tebal lapisan bahan yang dijemur.
a. Perajangan
Terna nilam terdiri dari batang, cabang, ranting dan daun nilam.
Seluruh bagian terna nilam harus dimasukkan ke dalam ketel suling. Tujuan
perajangan adalah untuk meratakan distribusi bahan dalam ketel suling
sehingga dapat dicegah terjadinya jalur uap dalam ketel suling sehingga
aliran uap dapat merata di dalamnya. Perajangan terna juga dapat
meningkatkan daya muat tangki suling. Untuk tangki suling kapasitas kecil
perajangan terna sangat dianjurkan, tetapi pengaruhnya relatif kecil dalam
usaha meningkatkan rendemen minyak. Perajangan bisa dilakukan dengan
menggunakan golok atau alat pemotong. Ukuran panjang rajangan sekitar
5 – 10 cm. Komposisi antara batang dan daun nilam akan berpengaruh
terhadap minyak yang dihasilkan. Pada Tabel 3 dapat dilihat pengaruh
perbandingan bobot batang dan daun dalam terna terhadap rendemen
minyak hasil penyulingan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa semakin besar
persentase bobot batang dan ranting dalam terna akan semakin rendah
rendemen minyak hasil penyulingan. Perbandingan yang baik antara batang
dan daun adalah 33% batang dan 66% daun atau 1 : 2.
Hal ini disebabkan kandungan minyak dalam batang, cabang atau
ranting jauh lebih kecil (0,4 - 0,5%) dibandingkan dalam daun (5 - 6%).
115Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Tabel 3. Pengaruh bobot batang dan ranting nilam dalam terna terhadaprendemen minyak
Bobot batang dan ranting(%)
Rendemen minyak *)(%, v/b)
33506067
3,032,562,051,85
Sumber: Rusli (2002)*) Berdasarkan terna kering. .
III. PENYULINGAN
a. Teori dasar penyulingan
Penyulingan minyak atsiri adalah suatu proses pengambilan
(pemisahan) minyak dari bahannya dengan bantuan uap air. Pemisahan
minyak tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan titik didih (tekanan
uap) di antara komponen-komponen bahan. Di dalam alat suling terdapat
minyak dan air, dimana keduanya bersifat tidak dapat bercampur.
Hubungan antara air dan minyak pada penyulingan dapat dinyatakan dalam
persamaan matematik sebagai berikut :
BB
A
B
AA Wx
M
Mx
P
PW
Dimana : A = minyak. B = airWA dan WB = berat komponen A dan B dalam kondensatMA dan MB = berat molekul zat/cairan A dan BPA dan PB = tekanan uap bagian A dan B
Dari persamaan di atas, akan dapat diperkirakan jumlah uap air yang
diperlakukan untuk menyuling suatu bahan jika tekanan dan berat molekul
masing-masing komponen/cairan diketahui pada suhu penyulingan. Dengan
mengetahui kadar minyak dalam bahan dan melalui persamaan di atas,
maka kebutuhan uap air yang diperlukan pada proses penyulingan dapat
diketahui.
116 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Minyak atsiri bersifat mudah menguap, yang terdiri dari campuran zat
atau senyawa kimia yang mudah menguap, dengan komposisi dan titik didih
yang berbeda-beda. Dengan demikian, berdasarkan persamaan matematik
di atas dapat dirancang kondisi penyulingan (lama penyulingan, suhu dan
tekanan) yang diperlukan.
b. Jenis-Jenis Penyulingan
Pada umumnya penyulingan minyak atsiri dapat dilakukan dengan
3 cara:
1. Penyulingan dengan cara direbus, bahan terendam di dalam air.
2. Penyulingan secara dikukus, pada sistem ini bahan berada pada jarak
tertentu di atas permukaan air.
3. Penyulingan dengan uap langsung dimana bahan berada dalam ketel
suling dan uap air dialirkan dari ketel uap ke bagian bawah ketel
suling.
Untuk minyak nilam, cara penyulingan yang dianjurkan adalah cara
(2) dan (3), tergantung pada kondisi (modal, areal pertanaman dan situasi
lapang). Kapasitas tangki suling umumnya dinyatakan dalam volume,
misalnya dalam liter. Kerapatan (bulk density) terna nilam kering berkisar
antara 90 - 120 g/liter, tergantung dari persentase daun dan kadar airnya.
c. Peralatan Penyulingan
c.1. Alat penyulingan cara dikukus
Bagian utama dari alat penyulingan ini adalah tungku pemanas, tangki
suling, pendingin dan pemisah/penampung minyak (Gambar 1). Kapasitas
ketel suling untuk cara ini sebaiknya hanya sampai 150 kg terna kering atau
sekitar 1.600 liter volume efektif. Hal ini disebabkan kecepatan penyulingan
umumnya rendah karena untuk menguapkan air hanya alas ketel suling saja
yang dapat dipanaskan. Seperti diketahui sampai batas tertentu makin besar
kecepatan penyulingan makin banyak minyak yang akan tersulingkan. Nilai
maksimum kadar minyak nilam dalam destilat adalah 0,12 - 0,13%. Untuk
meningkatkan kecepatan penyulingan, gas hasil pembakaran sebelum
117Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
dibuang melalui cerobong pembuangan, terlebih dahulu dialirkan melalui
pipa ke dalam air di bagian bawah ketel suling sehingga panasnya dapat
dipakai untuk menguapkan air lagi. Disamping itu kecepatan penyulingan
juga dipercepat, jika alat penyuling diperlengkapi dengan sistem kohobasi,
dimana kondensat sesudah dipisah dari minyak pada pemisah/ penampung
minyak dikembalikan lagi ke dalam ketel penyuling.
Pada penyulingan dengan sistem kohobasi jumlah air penyulingan
yang dipakai relatif sedikit karena kondensat sesudah dipisahkan minyaknya
dalam penampung minyak, air secara otomatis dikembalikan ke dalam ketel
suling. Jadi selama proses penyulingan boleh dikatakan tidak ada air
penyuling yang hilang. Hal ini berarti menghemat bahan bakar karena air
yang dipakai jumlahnya relatif sedikit tiap kali penyulingan. Air bekas
penyulingan bisa dipakai lagi untuk 2 - 3 kali penyulingan.
Gambar 1. Alat penyulingan secara dikukus
118 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
1. Tungku pemanas
Tungku untuk memanaskan air umumnya dibuat dari bata tahan api
atau dari plat besi yang di dalamnya diberi bahan tahan api (silika slag).
Tungku ini juga berfungsi sebagai penyangga ketel suling. Bahan bakar yang
digunakan dapat berupa kayu, tempurung kelapa, minyak residu, oli bekas
dan sebagainya. Tungku harus diperlengkapi cerobong asap, pintu api dan
lobang buangan abu sisa pembakaran, dan sebaiknya tungku dibangun
rendah dari permukaan tanah.
2. Ketel suling
Bahan konstruksi dapat berupa plat besi digalvanis, carbon steel dan
terbaik dari besi tahan karat (stainless steel). Bentuk dari ketel dapat berupa
silinder atau silinder konikal (besar ke atas). Bentuk silinder konikal
digunakan untuk memudahkan membongkar bahan sesudah penyulingan
dengan bantuan katrol. Untuk keperluan ini plat berlobang penahan
terna/daun nilam dilengkapi dengan rantai besi atau jaring.
Pada penyulingan dengan sistem kohobasi dimana air bekas
penyulingan dialirkan kembali ke ketel suling secara otomatis maka
penggunaan air untuk penyulingan akan sangat berkurang. Untuk
menghindari kehilangan panas sebaiknya ketel suling diberi isolator misalnya
tanah liat yang dijepit dengan bambu atau bahan lainnya yang mudah
didapatkan.
3. Pendingin
Pipa pendingin sebaiknya dari besi tahan karat, kalau tidak dari
carbon steel yang relatif tahan asam/karat, daya pakai panjang dan daya
hantar panas baik. Pemakaian pipa ledeng kurang baik karena mudah
berkarat. Tipe pendingin dapat berupa lingkaran (coil), segi empat dan
banyak pipa (multitubular) seperti terlihat pada Gambar 2. Pendingin tipe
coil dan segi empat umumnya direndam dalam bak air yang terbuat dari
beton atau besi plat (air selalu mengalir). Sedangkan tipe multitubular
menggunakan pipa silinder besar yang terbuat dari besi tahan karat sebagai
bak pendingin.
119Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Meskipun harga alat pendingin multitubular agak mahal, tetapi
mempunyai beberapa keunggulan antara lain daya mendinginkan sangat
baik, membutuhkan tempat sedikit/kompak, mudah dibersihkan,
memudahkan penggunaan sistem kohobasi dan dapat digunakan lebih dari
satu ketel penyuling. Disamping itu kalau ada kebocoran dapat segera
diketahui. Sistem ini sangat cocok untuk penyulingan berkapasitas besar.
Gambar 2. Bermacam-macam tipe pendingin
4. Penampung dan pemisah minyak
Sama halnya dengan pendingin, bahan untuk pemisah minyak
hendaknya dibuat dari besi tahan karat. Berbagai tipe alat pemisah minyak
telah dibuat sesuai dengan sifat minyak yang disuling. Salah satu yang telah
dibuat di Balittro adalah tipe pemisah minyak “serbaguna” (Gambar 3). Tipe
ini dapat digunakan untuk minyak yang bobot jenisnya lebih berat maupun
ringan dari air.
Pemisah minyak ini berbentuk segi empat dan terdiri 3 ruangan dan
diperlengkapi dengan kran pengambilan minyak pada tiap ruangan, kalau
pemisahan minyak pada ruangan pertama belum sempurna, maka
dipisahkan lagi pada ruangan kedua dan selanjutnya di ruang ketiga.
Pemisah minyak ini sangat cocok untuk penyulingan dengan kecepatan
tinggi karena biasanya minyak teremulsi di dalam air. Suhu destilat yang
ditampung pada pemisah minyak hendaknya tidak lebih dari 40o C.
120 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Gambar 3. Penampung/Pemisah minyak serbaguna
C.2. Alat suling dengan uap langsung
Bagian utama dari alat ini adalah ketel uap, ketel suling, pendingin
dan pemisah minyak (Gambar 4a dan 4b). Penyulingan biasanya dilakukan
dengan tekanan uap agak tinggi karena kapasitas ketel suling cukup besar,
yang bisa mencapai 6.000 liter, dimana tekanan dan jumlah uap air yang
diperlukan dapat diatur dan suhu penyulingan lebih tinggi (tergantung dari
tekanan uap). Berbagai tipe alat penyuling sistem ini sudah dikembangkan
sesuai dengan sifat bahan/minyak yang disuling.
1. Ketel uap
Tipe dan kapasitas ketel uap bermacam-macam dari yang sederhana
buatan lokal sampai yang besar/buatan pabrik. Tipe sederhana (buatan
bengkel kecil) umumnya berbentuk silinder gepeng, dibuat dari plat besi dan
diletakkan horizontal di atas tungku bata. Agar ketel uap bekerja efektif dan
bertekanan yang lebih besar dari 1 atm, sebaiknya di dalamnya dilengkapi
pipa api/gas, sehingga kecepatan penyulingan dapat ditingkatkan, yang
menyebabkan waktu penyulingan dapat dipersingkat. Untuk ini ketel uap
harus dilengkapi dengan pengukur tekanan (manometer), klep keselamatan
(safety valve) dan pipa penduga (pengukur air dalam ketel).
121Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Ketel buatan pabrik umumnya berkapasitas besar, dapat mencapai
5.000 kg uap/jam. Ketel uap ini biasanya untuk memproduksi minyak nilam
secara besar-besaran. Biasanya satu ketel uap dapat mensuplai uap untuk
beberapa ketel suling dalam waktu bersamaan.
Gambar 4a. Penyulingan dengan uap langsung (tanpa tekanan)
Gambar 4b. Penyulingan dengan uap langsung (skala besar)
122 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
2. Ketel suling
Bahan konstruksi untuk ketel suling sama dengan sistem dikukus dan
berhubung kapasitasnya lebih besar maka sebaiknya perbandingan diameter
ketel dan tinggi efektif maksimal 1 : 1,5 dan terna nilam tidak perlu difraksi
dalam tangki karena terna cukup banyak mengandung batang dan cabang
nilam. Untuk memudahkan membongkar bahan sebaiknya untuk ketel besar
bentuknya konikal dan diperlengkapi dengan katrol. Disamping itu pada
pipa keluar destilat dipasang klep pengaman dan manometer. Untuk
mendistribusikan uap air, di bawah plat berlobang penahan bahan dipasang
pipa baik dalam bentuk “+” atau lingkaran dan pipa ini diberi lobang-lobang
kecil bagian atasnya (dipakai kalau penyulingan menggunakan tekanan lebih
dari satu atm).
3. Pendingin
Alat pendingin yang digunakan pada prinsipnya sama dengan
penyulingan secara dikukus. Hanya saja kalau kapasitas ketel suling besar
maka air dalam bak pendingin harus mengalir. Sedangkan kalau
menggunakan alat pendingin tipe multitubular dan tekanan penyulingan
cukup tinggi maka dianjurkan alat pendingin diperlengkapi dengan pipa
(vent) untuk mengeluarkan uap air karena air pendingin cukup panas.
4. Pemisah/penampung minyak
Penampung minyak sama dengan yang digunakan pada penyulingan
cara dikukus. Hanya saja untuk penyulingan dengan tekanan relatif tinggi
dan kecepatan penyulingan besar, maka ruangan pemisah minyak minimum
tiga ruangan, agar pemisahan minyak sempurna. Pada kondisi ini biasanya
minyak teremulsi sehingga agak sukar terpisah dari air dalam waktu singkat
selama penyulingan.
Bahan konstruksi alat suling akan mempengaruhi mutu minyak
terutama dalam karakteristik warnanya. Alat penyuling dari bahan plat besi
(MS) tanpa digalvanis akan menghasilkan minyak yang berwarna gelap dan
keruh karena karat. Oleh sebab itu dianjurkan untuk menggunakan alat
123Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
suling yang dibuat dari besi tahan karat (stainless steel), plat besi yang
digalvanis atau carbon steel, setidaknya untuk pipa pendingin dan pemisah
minyak agar dihasilkan minyak yang lebih terang dan jernih.
IV. PELAKSANAAN PENYULINGAN
Setelah terna nilam dimasukkan ke dalam ketel suling, sebaiknya
dibasahi dengan air agar terna dapat dipadatkan (terna kering sulit
dipadatkan). Pembasahan dan pemadatan dilakukan secara bertahap selama
pengisian terna ke dalam ketel suling. Kepadatan terna nilam berkisar antara
90 - 120 gram/l, tergantung dari banyaknya batang/cabang nilam. Perlu
diingat bahwa pada penyulingan daun nilam kering akan menyerap air
sebanyak bobotnya. Oleh sebab itu pada penyulingan yang menggunakan
sistem kohobasi hal ini harus diperhatikan agar tidak terjadi kekurangan air
selama penyulingan.
Gambar 5. Bagan alir proses penyulingan minyak nilam
124 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Lama penyulingan tergantung dari cara, kapasitas ketel suling dan
kecepatan penyulingan. Untuk penyulingan secara dikukus lamanya antara
5-10 jam. Sedangkan untuk penyulingan dengan uap langsung lamanya
berkisar antara 4-6 jam.
Lama penyulingan dapat diperkirakan dengan dasar bahwa
kandungan minyak nilam maksimal dalam destilat adalah 0,12 %. Jadi
dengan mengamati kecepatan penyulingan maka perkiraan lama
penyulingan dapat dihitung. Untuk penyulingan secara dikukus kecepatan
penyulingan yang baik/ideal adalah 0,6 kg uap/kg daun nilam. Pada
penyulingan dengan uap langsung, tekanan uap mula-mula adalah 1,0
atmosfir, kemudian dinaikan secara bertahap dan akhir penyulingan 2,5-3
kg/cm2. Hal ini disebabkan fraksi berat antara lain patchouli alkohol sebagian
besar baru akan tersuling pada suhu tinggi atau kalau waktu penyulingan
cukup lama. Patchouli alkohol adalah fraksi yang menentukan mutu minyak
nilam, makin besar kandungannya dalam minyak akan makin tinggi mutu
minyak nilam.
Di daerah Aceh dengan penyulingan uap langsung tetapi pada
tekanan atmosfir (biasa) rendemen minyak yang dihasilkan 2,2-2,5%
dengan lama penyulingan 6-8 jam. Sedangkan penyulingan nilam pada
tekanan 1,5 kg/cm2 ketel suling menghasilkan rendemen 3% dengan lama
penyulingan 4 jam. Gambar 5 menunjukkan bagan alir proses penyulingan
minyak nilam.
V. PENANGANAN MINYAK HASIL PENYULINGAN
Minyak nilam yang baru disuling biasanya masih mengandung
sejumlah air yang teremulsi di dalam minyak dan menyebabkan minyak
menjadi keruh. Minyak tersebut harus disaring dengan kertas saring atau
dengan kain sablon. Di industri, penyaringan dalam jumlah besar biasanya
mengunakan filter press. Air dalam minyak dapat pula dihilangkan dengan
menambahkan Na2SO4 anhidris, diaduk beberapa lama, didiamkan dan
125Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
akhirnya disaring. Bila minyak dibiarkan lama bercampur dengan air dapat
terjadi proses hidrolisis dan merubah komponen tertentu di dalam minyak.
5.1. Pengemasan minyak
Kemasan sementara minyak nilam yang baik adalah botol gelas yang
berwarna atau jerigen plastik yang massive dan tidak tembus cahaya
misalnya terbuat dari campuran polipropilen dan polivinil khlorida atau PVC
resin dan sebagainya. Untuk ekspor dapat dipakai kemasan aluminium atau
drum besi yang dilapisi timah putih. Pengisian kemasan hendaknya dengan
ruang kosong di atasnya (head space) 5 - 10%.
5.2. Penyimpanan minyak
Minyak yang sudah dikemas, harus disimpan dalam ruangan yang
bersih, tidak lembab, tidak langsung kena sinar matahari dan terpisah dari
bahan-bahan yang beraroma, seperti lateks dan sebagainya. Minyak nilam
yang baru disuling aromamya masih kurang enak, semakin lama disimpan
aromanya makin enak/berkembang aromanya dan mutunya makin baik.
Sebelum digunakan biasanya minyak nilam disimpan paling sedikit selama
satu tahun.
VI. KARAKTERISTIK DAN MUTU MINYAK NILAM
Sebagaimana minyak atsiri lainnya, minyak nilam tersusun dari
berbagai senyawa kimia, antara lain patchouli alkohol, pogostol, bulnesol,
nor-patchoulenol, patchoulen, bulnesen, benzaldehid, terpen dan lain-lain.
Komposisi kimia tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam maupun
pengolahan. Oleh karena itu kualitas minyak atsiri sangat sensitif terhadap
perubahan, baik yang disebabkan faktor lingkungan, perbedaan cuaca,
kekurangan unsur hara tanaman ataupun proses pengolahan. Komposisi
kimia tersebut membentuk karakteristik yang berbeda pada setiap minyak.
Dalam perdagangan, standar mutu minyak atsiri dinyatakan dalam
sifat organoleptik dan sifat fisiko-kimia. Pemberlakuan standar mutu
merupakan faktor penting dalam menghadapi persaingan perdagangan,
terutama di dunia internasional. Disamping itu, penerapan standar mutu
126 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
minyak atsiri dapat mengurangi praktek-praktek pemalsuan minyak nilam
dengan bahan-bahan lain.
Standar Mutu Minyak Nilam (SNI 06-2385-2006) yang merupakan
pegangan dalam perdagangan minyak nilam baik di dalam negeri maupun
untuk ekspor (Tabel 4). Rendahnya produktivitas dan mutu minyak antara
lain disebabkan rendahnya mutu genetik tanaman, teknologi budidaya yang
sederhana, gangguan hama penyakit, serta teknik panen dan pasca panen
yang kurang tepat.
Dalam dunia flavour dan fragrance penilaian secara organoleptik
berperanan penting. dikarenakan banyak senyawa kimia yang menunjukan
adanya penyimpangan mutu tetapi secara analisis fisiko-kimia tidak
terdeteksi; tetapi dengan uji organoleptik oleh orang yang telah terlatih
dapat terdeteksi
Tabel 4. Standar mutu minyak nilam (SNI 06-2385-2006)
Karakteristik Syarat
Warna Kuning muda sampai cokelat tuaBobot jenis, 25o/25oC 9.943 - 0.983Indeks bias, 20oC 1.504 - 1.514Kelarutan dalam etanol 90% pada suhu
25oC + 3oCLarutan jernih dalam perbandingan
volume 1 s/d 10Bilangan asam, maks. 5.0
Bilangan ester, maks. 10.0
Kadar Patchouli alkohol, min. 30 %
Kadar Fe, maks. 25 ppm
VII. PEMALSUAN MINYAK NILAM
Dalam perdagangan, ada kalanya minyak nilam dicampur dengan
bahan-bahan asing untuk menambah jumlah minyak. Penambahan bahan-
bahan tersebut dapat merubah karakteristik minyak sehingga mutunya
menjadi lebih rendah. Bahan-bahan yang sering digunakan dalam
memalsukan minyak nilam adalah minyak lemak seperti minyak kelapa,
minyak tanah, minyak keruing dan pelarut organik. Pada konsentrasi
tertentu, adanya bahan asing tersebut dapat diidentifikasi secara
127Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
organoleptik. Tetapi pada konsentrasi yang lebih rendah, identifikasi harus
dilakukan dengan analisis fisiko kimia bahkan dengan metode kromatografi
gas. Hasil evaluasi yang dilakukan Laboratorium Balai Penelitian Tanaman
Obat dan Aromatik, dari jumlah sampel minyak nilam yang masuk dari
berbagai daerah di Indonesia hingga tahun 2003, teridentifikasi 40%
mengandung lemak, 40% mengandung keruing dan 20% mengandung
pelarut organik. Namun pada perkembangan berikutnya, pencampuran
minyak keruing ke dalam minyak nilam sudah berkurang.
VIII. PEMURNIAN MINYAK
Secara umum yang dimaksud pemurnian adalah menghilangkan
bahan/benda asing yang mengotori suatu zat/senyawa. Pada minyak atsiri
bahan yang mengotorinya antara lain adalah debu, oksida logam (karat),
resin dan sebagainya yang terlarut, terdispersi atau teremulsi di dalamnya.
Adakalanya minyak atsiri sengaja dicampur dengan bahan lain untuk
memperbesar volumenya tetapi mutunya rendah. Pengotoran minyak yang
terbanyak adalah karat besi (Fe2O3) yang menyebabkan minyak berwarna
gelap. Pengotoran minyak umumnya bersifat fisika-kimia dapat dikurangi
dengan cara penyulingan ulang (rektifikasi) dan cara pengendapan
(flokulasi). Rektifikasi dapat dilakukan dengan cara penyulingan kering pada
kondisi vakum atau dengan cara hidrodistilasi. Pada proses hidrodistilasi ini
minyak dicampur dengan air dan disuling kembali. Cara pemanasannya
sebaiknya menggunakan pipa pemanas uap air (sistem tertutup) untuk
menghindari kerusakan minyak. Bisa juga digunakan pemanasan dengan api
langsung, hanya saja pemakaian air pencampur harus cukup banyak.
Pemurnian minyak secara flokulasi khusus digunakan untuk
menghilangkan karat (Fe2O3) yang terkandung dalam minyak. Pemucatan
atau pemurnian minyak dengan cara hidrodistilasi/penyulingan ulang selain
untuk menghilangkan karat juga untuk minyak yang berubah warna karena
oksidasi/polimerisasi.
128 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
8.1. Penyulingan ulang (hidrodistilasi)
Prinsip pemurnian minyak dengan cara hidrodistilasi ini sama dengan
penyulingan biasa dimana minyak dicampur dengan air dalam perbandingan
tertentu sesuai dengan sifat minyak kemudian baru disuling. Untuk minyak
nilam perbandingannya adalah 1 bagian minyak nilam dan 3 bagian air.
Alat pemurnian minyak ini terdiri dari tungku/pemanas, ketel suling,
pendingin, pemisah minyak dan kohobasi (Gambar 6). Bahan konstruksi alat
ini hendaknya dari besi tahan karat dan sebaiknya diperlengkapi dengan
sistem kohobasi agar dapat bekerja secara terus menerus.
Gambar 6. Alat pemurnian minyak atsiri dengan cara hidrodistilasi
Cara penyulingan ulang/hidrodistilasi ini sesuai untuk minyak yang
tidak banyak mengandung ester/fraksi berat seperti minyak serai wangi,
serai dapur, lada, pala, jeruk purut dan sebagainya. Pada pemurnian minyak
nilam, daun cengkeh dan kenanga (warna gelap) dihasilkan minyak kembali
(recovery) berturut-turut 98,91 dan 98%, dengan warna minyak lebih cerah
dengan kadar Fe2O3 sekitar 55 ppm.
129Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
8.2. Alat flokulasi
Tujuan utama pemurnian minyak atsiri secara flokulasi ini adalah
untuk menghilangkan logam terutama karat (Fe2O3) yang terkandung di
dalamnya. Chelating agent (bahan penggumpal) yang banyak digunakan
adalah asam tartarat karena daya gumpalnya untuk membentuk garam
komplek dengan Fe2O3 cukup besar. Pada Gambar 7, disajikan susunan alat
pemurnian minyak atsiri dengan metode flokulasi. Bagian utama dari alat ini
adalah motor pengaduk, ketel reaksi dan ketel pengendapan dengan bahan
konstruksi dari besi tahan karat (stainless steel). Pada pemurnian minyak
nilam yang keruh (transmisi cahaya 16,2%) dihasilkan minyak bening
(transmisi cahaya 17,7%) dengan perolehan minyak (recovery) 97,2%.
Sedangkan kadar Fe dalam minyak turun dari 236 ppm menjadi 96 ppm.
Asam tartarat yang digunakan sebanyak 1% dan dalam bentuk larutan
dalam etanol. Untuk menghilangkan karat (Fe2O3) dalam minyak, proses
flokulasi lebih mudah dan ekonomis dibandingkan cara penyulingan ulang
(hidrodistilasi).
Gambar 7. Alat pemurnian minyak nilam secara flokulasi
130 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
IX. KEGUNAAN MINYAK NILAM
Pemakai terbesar minyak atsiri dan turunan minyak atsiri di dunia
adalah industri perasa dan pewangi (flavor dan fragrance). Produk-produk
flavor dan fragrance tersebut selanjutnya digunakan oleh industri-industri
produk konsumen seperti kosmetik, sabun, ditergent, sigaret, shampoo,
makanan/minuman dalam kemasan dan sebagainya. Konsumen terbesar
minyak atsiri dan turunan minyak atsiri tersebut terdapat di pusat-pusat
produksi di Amerika Serikat dan Eropa (Gunawan 2002 ; Paulus 2010).
Minyak nilam, menurut Lawless (2002) secara tradisional digunakan
untuk pewangi kertas linen dan pakaian. Dalam industri, secara ekstensif
minyak nilam digunakan dalam pembuatan kosmetik, dan digunakan sebagai
fiksatif dalam sabun dan parfum, terutama parfum tipe oriental. Minyak
nilam juga digunakan dalam industri makanan, minumam beralkohol dan
softdrink. Kandungan senyawa-senyawa kimia di dalam minyak nilam
bersifat antimikrobial, bactericidal, antiviral, fungicidal, antiseptik, antitoksik,
carminatif, diuretic, tonik, stimulan dan lain-lain. Dalam perawatan kulit,
minyak nilam juga digunakan untuk mengobati jerawat, kulit pecah-pecah,
ekseem, infeksi jamur, perawatan rambut, penolak serangga, dan
mengobati luka.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, W. 2002. Persyaratan Mutu Dan Kontribusi Minyak Atsiri danTurunannya Pada Industri Flavour Dan Fragrance. PT. Indesso Aroma.Workshop Nasional Minyak Atsiri.
Guenther, E. 1987. The Essential Oils (Terjemahan). Universitas IndonesiaPress.
Lawless, J. 2002. The Encyclopedia Of Essential Oils. Thorsons, London.
Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. P.N. Balai Pustaka.
Ma’mun. 2008. Pemurnian Minyak Nilam dan Minyak Daun Cengkeh SecaraKompleksometri. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. Pusat Penelitiandan Pengembangan Tanaman Perkebunan, Bogor.
131Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Ma’mun. 2003. Identifikasi Pemalsuan Minyak Nilam di Rantai Tataniaga.Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.
Ma’mun and Molide Rizal. 2007. Quality and Contamination of Essential Oilsfrom Several Production Areas of Indonesia. International Seminar OnEssential Oil.
Paulus, J. Rusli. 2010. Peluang Pemakaian Minyak Atsiri Baru Indonesiauntuk Perisa dan Pewangi. Asosiasi Flavor dan Fragran Indonesia.Konferensi Nasional Minyak Atsiri.
Rusli, S. 2002. Diversifikasi Ragam Dan Peningkatan Mutu Minyak Atsiri.Workshop Nasional Minyak Atsiri.
Rusli, S. 1989. Rekayasa Alat Penyuling Minyak Atsiri Hemat Energi. BalaiPenelitian Tanaman Rempah Dan Obat.
Rusli, S. 1999. Penanganan Bahan dan Penyulingan Minyak Nilam. BalaiPenelitian Tanaman Rempah Dan Obat.
Rusli, M. 2007. Cara Produksi yang Baik Minyak Nilam. Direktorat IndustriKecil dan Menengah.
Sait, S. 1990. Identifikasi Pemalsuan Minyak Atsiri Secara Kromatografi Gas.Balai Besar Indutri Hasil Pertanian.
Sastrohamidjojo, H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Gadjah Mada UniversityPress.
Standar Nasional Indonesia, 2006. Standar Mutu Minyak Nilam. BadanStandarisasi Nasional.
132 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
PENGGUNAAN MINYAK NILAM DAN PEMANFAATAN LIMBAHNYA
Shinta Suhirman
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
Nilam (Pogestemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak atsiri yang penting, baik sebagai sumber devisa negara
maupun sumber pendapatan petani. Dalam pengelolaan dan pengem-
bangannya, produksi nilam melibatkan banyak pengrajin serta menyerap
ribuan tenaga kerja.
Minyak nilam memiliki potensi strategis di pasar dunia sebagai bahan
pengikat aroma wangi pada parfum dan kosmetika. Minyak nilam dapat
berfungsi sebagai zat pengikat (fiksatif) dan tidak dapat digantikan dengan
zat sintetis lainnya (Rusli 1991).
Minyak nilam diperoleh dari hasil penyulingan daun, batang dan
cabang tanaman nilam. Kadar minyak tertinggi terdapat pada daun dengan
kandungan utamanya adalah patchouly alkohol yang berkisar antara
30 – 50 % dan merupakan senyawa yang menentukan bau minyak nilam
(Leung 1980). Waktu panen berpengaruh terhadap kandungan dan
komponen minyak nilam. Kandungan minyak dari bulan Juni sampai Agustus
masing-masing 0,8, 0,7 dan 0,6%, sedangkan kadar patchouli alkohol dalam
minyaknya pada panen bulan Juni dan Juli (40,84% dan 42,62%) lebih
tinggi dari pada panen pada bulan Agustus (31,40%) (Nurdjanah et al.
2010).
Kebutuhan minyak nilam akan terus meningkat sejalan dengan
kenaikan konsumsi terhadap produk parfum, kosmetika, sabun bahkan telah
berkembang untuk produk tembakau dan minyak rambut. Dengan adanya
kebutuhan tersebut, menyebabkan prospek ekspor minyak nilam di masa
datang masih cukup besar sejalan dengan semakin tingginya permintaan
terhadap parfum dan kosmetika, trend mode dan belum berkembangnya
materi subsitusi minyak nilam di dalam industri parfum maupun kosmetika.
133Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Selain itu minyak nilam dapat digunakan dalam industri sabun, obat-
obatan untuk anti jamur pada kulit, bahan pestisida nabati (repellent) dalam
penggunaannya dalam bentuk lotion sebagai anti nyamuk maupun pengusir
ngengat pada kain dan dapat dimanfaatkan sebagai aroma terapi.
Selain sebagai pengikat wangi pada parfum adapun manfaat dari
minyak nilam yaitu sebagai antibiotik dan anti radang karena dapat
menghambat pertumbuhan jamur dan mikroba. Minyak nilam merupakan
minyak eksotik yang dapat meningkatkan gairah dan semangat serta
mampunyai sifat meningkatkan sensualitas. Minyak nilam dapat memberikan
efek menenangkan dan membuat tidur lebih nyenyak sehingga minyak nilam
dapat digunakan untuk aroma terapi karena mempunyai efek sedatif.
Pemanfaatan Limbah Penyulingan Minyak Nilam
Limbah hasil prosesing minyak nilam banyak dijumpai di industri
penyulingan minyak nilam. Besarnya volume limbah nilam seringkali menjadi
masalah bagi pihak industri pengolahan itu sendiri maupun lingkungan.
Limbah hasil penyulingan daun masih mempunyai kadar hara yang
tinggi dan berpotensi sebagai bahan baku pupuk organik yang baik.
Teknologi pengomposan yang cepat dan efisien akan menghasilkan pupuk
organik kompos yang bermutu tinggi. Selain itu, senyawa alelopati di dalam
terna tersebut diharapkan akan berkurang dan hilang selama masa proses
pengomposan.
Selain sebagai sumber bahan pupuk organik, limbah nilam berpotensi
sebagai mulsa. Secara umum pemulsaan dapat memperbaiki kondisi
lingkungan tumbuh terutama dalam menurunkan suhu tanah yang tinggi
dan sebagai sumber hara. Namun demikian seberapa jauh dampak limbah
hasil penyulingan yang langsung diberikan ke tanaman nilam sebagai mulsa
perlu penelitian yang lebih seksama (Djazuli dan Trisilawati 2004)
Pengkomposan limbah nilam dengan cara menggunakan pupuk
kandang atau pupuk kandang + kapur + EM4 1% selama 3 minggu
menghasilkan kompos limbah nilam dengan status hara dan tingkat
134 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
dekomposisi yang baik (Djazuli 2002). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa
pemberian kompos mampu meningkatkan bobot segar terna nilam secara
nyata pada tiga taraf pemupukan NPK yang diberikan. Hal ini disebabkan
oleh kandungan hara pada kompos limbah nilam relatif tinggi, sehingga
mampu memperbaiki pertumbuhan dan produktivitas tanaman nilam secara
nyata.
Limbah dari hasil penyulingan minyak nilam jumlahnya berkisar
40-50% dari bahan baku, limbah penyulingan minyak selain dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk kompos dapat pula dimanfaatkan sebagai
bahan pembuatan dupa dan obat nyamuk bakar serta sisa air dari hasil
penyulingan setelah dipekatkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
untuk aroma terapi (http: // www petani Indo.com/2009). Dengan adanya
diversifikasi pemanfaatan limbah pengolahan minyak nilam, diharapkan akan
dapat meningkatkan nilai ekonomi usahatani nilam.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, M. 2002. Pengaruh aplikasi kompos limbah penyulinganminyak nilam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman nilam(Pogostemon cablin L.). Prosiding Seminar Nasional dan PameranPertanian Organik, Jakarta, 2-3 Juli 2002. hal. 323-332
Djazuli, M. dan O. Trisilawati, 2004. Pemupukan, pemulsaan danpemnfaatan limbah nilam untuk peningkatan produktivitas dan mutunilam. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. 16:29-37
http://www petani Indo.com/2009. Pemanfaatan limbah nilam.(13 September 2011).
Leung, A.Y. 1980. The Encyclopedia of Common Natural ProductIngredients. John Wiley dan Sons, New York.
Nurdjanah, N., T. Hidayat dan C. Winarti. 2010. Teknologi Pengolahanminyak Nilam. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan PascapanenPertanian. 39 halaman
Rusli, S. 1991. Pemurnian mutu minyak nilam dan daun cengkeh. ProsidingPengembangan Tanaman Atsiri di Sumatera, Bukit Tinggi. BalaiPenelitian Tanaman Rempah dan Obat. Hal. 89-96.
135Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
KELAYAKAN USAHATANI DAN AGROINDUSTRI NILAM
Ermiati1) dan Chandra Indrawanto2)
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika 1)
Balai Penelitian Tanaman Palma 2)
I. PENDAHULUAN
Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu
tanaman penghasil atsiri yang menyumbang devisa lebih dari 50% dari total
ekspor minyak atsiri Indonesia. Minyak nilam tidak dapat digantikan oleh
produk sintetis dan Indonesia merupakan pemasok minyak nilam utama
dalam perdagangan dunia dengan kontribusi sekitar 90%. Laju
perkembangan kebutuhan minyak nilam relatif tidak tinggi, tetapi secara
konsisten kebutuhan dunia menunjukkan peningkatan. Ekspor minyak nilam
Indonesia tahun 2002 tercatat sebesar 1.295 ton dengan nilai US 22,5 juta
dolar dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 4.984 ton dengan nilai 49, 5
juta dolar (Ditjenbun 2009). Hampir seluruh pertanaman nilam di Indonesia
merupakan perkebunan rakyat yang melibatkan lebih dari 65.651 kepala
keluarga petani (Ditjen Bina Produksi Peternakan 2007; Ditjebun 2011).
Harga minyak nilam di pasar lokal berkisar Rp 200.000-250 000,- per
kg. Importir minyak nilam terbesar di dunia adalah Amerika Serikat (lebih
dari 200 ton/tahun), disusul lima negara Eropa, masing Inggris (45-60
ton/tahun), Perancis, Swiss (40-50 ton/tahun), Jerman (35-40 ton/tahun)
dan Belanda (30 ton/tahun) (http://arsip.pontianakpost.com dalam Sagala
2009). Produk minyak nilam dipergunakan dalam industri parfum, kosmetik,
antiseptik dan insektisida, saat ini juga berkembang pemanfaatan nilam
sebagai bagian dari aromaterapi.
Sampai tahun 2009 sentra produksi nilam di Indonesia, terdapat
di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darusalam, Sumatera
Selatan, Jambi, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur dengan
total luas perkebunan 24.535 ha, luas panen 17.447 ha dengan produksi
136 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
sebanyak 2.779 ton. Pada tahun 2011 mencapai 24 718 ha dengan luas
panen 18.089 ha dan produksi 3,872 ton. Tetapi produktivitas nilam tersebut
masih tergolong rendah, hasilnya rata-rata hanya 214 kg per ha per tahun
dengan kadar minyak 1-2 % dari bahan kering (Ditjenbun 2009 dan 2011;
Ditjen Bina Produksi Peternakan 2007).
Rendahnya produktivitas dan mutu minyak atsiri antara lain
disebabkan rendahnya mutu genetik tanaman, teknologi budidaya yang
masih sederhana, gangguan hama penyakit serta pemanenan dan pasca
panen yang belum tepat. Ada tiga jenis nilam di Indonesia, yaitu nilam aceh
(Pogostemon cablin Benth), nilam jawa (Pogostemon heyneanus Benth) dan
nilam sabun (Pogostemon hortensis Backer). Akan tetapi yang umum
dibudidayakan adalah nilam aceh karena kadar minyaknya cukup tinggi,
yaitu lebih dari 2%, disamping itu kualitas minyaknya juga lebih baik
dibanding nilam lain (Ditjen Bina Produksi Peternakan 2007). Pada tahun
2005 Balittro telah melepas 3 varietas unggul nilam, yaitu varietas
Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan yang semuanya dari jenis nilam
aceh.
Penggunaan varietas unggul yang tepat, disertai dengan teknik
budidaya yang baik, penanganan pasca panen dan pengolahan bahan yang
sesuai, akan menghasilkan produksi minyak yang tinggi.
Teknologi budidaya dan pascapanen telah tersedia, namun teknologi
tersebut belum semuanya diadopsi oleh petani, mengingat proses alih
teknologi kepada petani memerlukan investasi yang tinggi, karena
keterbatasan modal, petani belum mampu mengadopsi seluruh teknologi
tersebut. Tulisan ini menyampaikan informasi tentang kelayakan usahatani
dan agro industri penyulingan nilam.
II. KELAYAKAN USAHATANI
Petani sebagai pelaksana mengharapkan produksi usahataninya besar
agar memperoleh pendapatan yang besar pula. Untuk itu petani
menggunakan tenaga, modal dan sarana produksinya sebagai umpan untuk
137Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
mendapatkan produksi yang diharapkan. Suatu usahatani dikatakan berhasil
apabila usahatani tersebut dapat memenuhi kewajiban membayar bunga
modal, alat-alat yang digunakan, upah tenaga kerja luar serta sarana
produksi yang lain dan dapat menjaga kelestarian usahanya (Suratiyah
2006)
A. Analisis kelayakan finansial usahatani 3 varietas unggulnilam (Lhoseumawea, Tapak Tuan dan Sidikalang).
Hasil penelitian Indrawanto dan Syakir (2008), kelayakan finansial
usahatani nilam varietas unggul Lhokseumawe, Tapak Tuan dan Sidikalang
dengan skala produksi 1 ha, periode analysis 2 tahun (4 kali panen),
discount factor 12% per tahun, harga terna kering Rp 3 000,-/kg
(perbandingan bobot kering dengan basah 1:4), produksi terna, kadar
minyak dan produksi minyak per kg per ha per tahun untuk masing-masing
varietas (Tabel 1 dan 2).
Tabel 1.Produksi terna, kadar dan produksi minyak per kg per per tahun tigavarietas nilam
Varietas Produksi terna(kg kering/ha/thn)
Kadarminyak
(%)
Produksi minyak(kg.ha/tahun)
Lhokseumawe 11,087 3,21 356Tapak Tuan 13,237 2.83 376Sudikalang 10,902 2,89 315
Sumber: Indrawanto dan Syakir (2008)
B. Analisa Data
Untuk mengetahui kelayakan usahatani masing-masing varietas
dianalisis melalui pendekatan analisis Benefit Cost Ratio (B/C), Net Present
Value (NPV) dan Internal Rate Of Return (IRR) (Gittinger 1986; Kadariah et
al. 1988; Soetrisno 1982) dengan persamaan sebagai berikut:
B.1. Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara benefit
(penerimaan) dengan cost (pengeluaran):
138 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
NPV =
n
iti
CtBt
1 )1(
Kriteria NPV, yaitu
(1). NPV > 0, berarti usahatani layak(2). NPV < 0, berarti usahatani tidak layak(3). NPV = 0, berarti tambahan manfaat yang diterima sama dengan
tambahan biaya yang dikeluarkan
B.2. Net Benefit/Cost Ratio (Net B/C rasio)
Merupakan perbandingan antara benefit bersih dengan biaya bersih.
Net B/C rasio =
n
tt
n
tt
i
Cti
Bt
1
1
)1(
)1(
Kriteria Net B/C Ratio, yaitu:
(1). Net B/C Rasio > 1, berarti usahatani menguntungkan(2). Net B/C Rasio < 1, berarti usahatani tidak menguntungkan(3). Net B/C Rasio = 1, berati usahatani pada kondisi impas
(penerimaan = pengeluaran), atau terjadinyaBreak Event Point (BEP)
B.3. Internal Rate of Return (IRR), yaitu:
Menunjukkan kemampuan suatu proyek untuk menghasilkan suatu
returns atau tingkat keuntungan yang akan dicapainya. IRR ini sebagai
pedoman tingkat bunga bank (i) yang berlaku, walaupun sebetulnya bukan
i, tetapi IRR akan selalu mendekati besarnya i tersebut:
IRR = )( '''
''', ii
NPVNPV
NPVi
Kriteria IRR, yaitu/Criteria of IRR, namely:
(1) IRR > Sosial Discount Rate, berarti usahatani layak(2) IRR < Sosial Discount Rate, berarti usahatani tidak layak
139Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Keterangan:
Bt = penerimaan tahun ke t
Ct = pengeluaran tahun ke tI’ = tingkat bunga yang menghasilkan NPV positif/I“ = tingkat bunga yang menghasilkan NPV negetif/NPV’ = NPV positifNPV“ = NPV negatifNPV’ + NPV“= merupakan penjumlahan mutlak
C. Analisis
Hasil analisis diketahui bahwa usahatani ke tiga varietas unggul
nilam tersebut menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. Hal ini
ditunjukkan oleh kriteria NPV masing-masing vatietas tersebut positif, IRR
diatas tingkat suku bunga bank yang berlaku (12%/ tahun) dan B/C Rasio
masing-masing > 1 (Tabel 2).
Dari ke tiga varietas unggul yang ada, ditinjau dari segi poduksi
varietas nilam Tapak Tuan memberikan keuntungan lebih tinggi karena
produksinya lebih tinggi dari dua varietas lainnya (Tabel 2).
Tabel 2. Kalayakan usahatani tiga varietas unggul nilam asal Balittro
ParameterVarietas
Lhokseumawe Tapak Tuan SidikalangProduksi terna kerning/ha/tahun (kg) 11.087 13.278 10.902Harga terna kering (Rp/kg) 3.000 3.000 3.000
NPV 28.593.027 40.269.140 27.607.139IRR (%) 9,46 11,84 9,24B/C Ratio 2,44 3,03 2,39
Harga BEP (Rp/kg) 1.550 1.300 1.575Produksi BEP (kg/ha) 5.740 kg terna kering per tahun
Sumber: Indrawanto danSyakir (2008)
C.1. Analisis Finansial Agroindustri Penyulingan Minyak Nilam
Dengan volume ketel 2.000 liter, kapasitas berjalan dua kali suling per
hari selama 25 hari kerja. Biaya investasi Rp 168 juta, modal kerja Rp 68
juta dan lama usaha 20 tahun, discount factor 12%/tahun dan harga terna
Rp 3.000/kg kering. Hasil analisis menunjukkan, agroindustri penyulingan
140 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
minyak nilam dari ke tiga varietas unggul yang ada, ke tiga-tiganya
menguntungkan dan layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh kriteria NPV
masing-masingnya positif, IRR lebih tinggi dari tingkat suku bunga bank
yang berlaku (12%/tahun) dan B/C Rasio > 1. Varietas unggul nilam yang
memberikan keuntungan paling tinggi, yaitu varietas Lhokseumawe karena
kadar minyaknya lebih tinggi dari ke dua varietas lainnya (Tabel 3).
Tabel 3. Kelayakan agroindustri penyulingan minyak nilam dari tiga varietasunggul nilam
ParameterVarietas
Lhokseumawe Tapak Tuan SidikalangHarga terna kering (Rp/kg) 3.000 3.000 3.000Luas pertanaman nilam (ha) 11 9 11Rendemen (%) 3.21 2,83 2,89Produksi minyak per tahun (kg) 3.915 3.419 3.466Harga minyak (Rp/kg) 200.000 200.000 200.000NPV 958.560.364 328.748.795 420.141.938IRR (%) 90 40 47B/C 6,71 2,96 3,50
Sumber: Indrawanto dan Syakir (2008)
C.2. Analisis Sensitifitas:
Hasil analisis sensitifitas harga menunjukkan bahwa jika produktifitas
minyak masing-masing varietas tetap (Tabel 4), maka kondisi BEP usaha
agroindustri penyulingan minyak nilam terjadi jika harga minyak nilam untuk
masing-masing varietas (Lhokseumawe, Tapak Tuan dan Sidikalang) turun
menjadi Rp 163.500,-, Rp 185.500,-, Rp 182.000,- per kg. Begitu juga
rendemen BEP masing-masing 2,63%. Jika harga minyak nilam yang
berlaku dan rendemen berada di bawah masing-masing angka tersebut,
maka usaha agroindustri penyulingan minyak masing-masing varietas akan
mengalami kerugian (Tabel 4)
141Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Tabel 4. Analisis sensitivitas tiga varietas unggul nilam
ParameterVarietas Unggul
Lhokseumawe Tapak Tuan SidikalangHarga minyak BEP (Rp/kg) 163.500 185.500 182.000Rendemen BEP (%) 2,63 2.63 2.63HPP (Rp/kg) 134.576 152.670 149,519
Nilam varietas Tapak Tuan dengan keunggulan produktivitas terna
yang tinggi memberikan keuntungan usahatani tertinggi. Nilam varietas
Lhokseumawe dengan tingkat rendemen minyak yang tinggi memberikan
keuntungan agroindustri penyulingan minyak yang tertinggi. Keunggulan
produktivitas terna varietas Tapak Tuan dan keunggulan tingkat rendemen
varietas Lhokseumawe tidak akan berarti jika ancaman penyakit layu bakteri
dan nematoda cukup tinggi. Nilam varietas Sidikalang merupakan pilihan
tepat untuk kondisi ini.
2.1. Kelayakan usahatani nilam teknologi introduksi dan polapetani di lahan kering Kalimantan Tengah
Pegembangan usahatani lahan kering di Kalimantan Tengah yang
bertumpu hanya pada tanaman pangan saja, agak sulit memenuhi
kebutuhan petani akan pangan sehingga perlu diusahakan tanaman
perkebunan antara lain nilam. Pengembangan tanaman nilam dapat ditanam
secara monokulktur atau multiple cropping. Sebagian besar petani di
Kalimantan Tengah membudidayakan nilam secara monokultur dan
intercropping dengan tanaman terong, kacang panjang, cabe, semangka
dan kelapa sawit untuk efisiensi lahan, diversivikasi komoditas, kesuburan
lahan maupun pengendalian hama dan penyakit (Krismawati et al. 2005).
Penanaman nilam pada umumnya diusahakan dengan budidaya
sederhana dan semi intensif yang pada lahan pekarangan dan lahan
usahatani seluas 0,25-1,0 ha. Lahan yang baru dibuka langsung ditanami
nilam dan hanya untuk selama satu tahun dengan panen 1-2 kali, karena
kadar Patchouli Alkohol (PA) yang merupakan salah satu kualifikasi mutu
untuk minyak nilam semakin menurun karena kekurangan air pada musim
142 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
kemarau dan tanah yang kurang subur. Produktivitas terna kering di tingkat
petani masih rendah, yaitu 1-1,5 ton/ha/tahun. Produktiviats ini masih bisa
ditingkatkan dengan menggunakan varietas unggul, penanaman nilam pada
daerah yang sesuai, pemberian pupuk serta pengendalian hama dan
penyakit (Krismawati et al. 2006).
Pembinaan terhadap petani nilam di Kabupaten Kotawaringin Timur
dilakukan mulai tahun 2001. Pada tahun 2003 Disbun Tk I Kalimantan
Tengah dan Disbun Tk II Kabupaten Kotawaringin Timur melaksanakan
program Pengembangan Komoditas Rintisan nilam seluas tujuh ha di lahan
transmigrasi Parenggean UPT J II di jalur 4 dan pada tahun 2003 dan 2004
memberikan bantuan alat penyuling minyak nilam dengan kapasitas 350 kg
dan 50 kg terna kering (Krismawati et al. 2005).
Pengadaan alat suling ini menambah semangat petani menanam
nilam dengan memanfaatkan lahan yang cukup luas, mengingat produksinya
dalam bentuk minyak, mempunyai harga cukup tinggi. Semakin
bertambahnya luas pertanaman nilam menunjukkan bahwa tanaman
tersebut diminati oleh petani di Kalimantan Tengah, karena mempunyai
prospek dan peluang pasar cukup tinggi. Perbedaan dan penerapan
teknologi usahatani nilam dengan teknologi introduksi dan pola petani, di
Kalimantan Tengah (Tabel 5).
Tabel 5. Perbedaan dan Penerapan Teknologi Introduksi dan Pola Petani,di Desa Tanah Putih Darat Kec. Kota Besi Kabupaten KotawaringinTimur, MT 2004-2005
KomponenTekonologi Pola Petani Teknologi Introduksi
Varietas Aceh SidikalangPembibitan Polibag berisi media tanam berupa
campuran tanah + pukan yang sudahmatang (1:1)
Polibag berisi media tanamcampuran tanah + pukanyang sudah matang (1:2)
Pengolahan tanah Dilakukan dengan system Tanpa OlahTanah (TOT) dengan menggunakanherbisida sebanyak 2l/ha
Dilakukan dengan sistemTanpa Olah Tanah (TOT)dengan menggunakanherbisida sebanyak 4 l/ha
Pola tanam Monokultur, Intercopping; nilam-cabe; nilam terong; nilam kacangpanjang; nilam semangka; nilam-ubikayu; nilam-kelapa sawit
Monokultur
143Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Tabel 5. Lanjutan
KomponenTekonologi Pola Petani Teknologi Introduksi
Pengapuran Tanpa kapur Kapur 3. 500 kg/ ha 2minggu sebelum tanam (350gram/lubang)
Jarak tanam 100 cm x 100 cm, 1 bibit/lubang (20cm x 20 cm x 20 cm)
100 cm x 100 cm, 1bibit/lubang (30 cm x 30 cm x30 cm)
Pupuk organik Kompos 100 gram/lubang Kompos 500 gram/lubangPupuk an organik Urea = 100 kg/ha
SP-36 = 50 kg/haKCL = 70 kg/ha
Urea = 280 kg/haSp-36 = 70 kg/haKCl = 140 kg/ha
Pengendalian OPT Sanitasi dan eradikasi kurangdiperhatikan
Sanitasi & eradikasi dilakukansejak di pembibitan hinggapanen. Memperbaiki drainasepada waktu curah hujantinggi. Mengunakan pestisidauntuk mencegah penularan.
Pascapanen/Prosesing
Dijemur 1 hari @ 6 jamDan penyulingan selama 5 jam
Dijemur 2 hari @ 7 jamLama penyulingan 7 jam
Sumber: Krismawati dan Bhermana (2006)
2.2. Analisa Data
Untuk mengetahui tingkat pendapatan petani dilakukan dengan
metode finansial:
- R/C yaitu imbangan penerimaan dan biaya,
- B/C yaitu imbangan keuntungan dan biaya serta
- MBCR yaitu ditujukan untuk melihat produksi dan pendapatan
yang diterima petani sebelum dan sesudah pengkajian (before
and after) (Kadariah 1988; Soekartawi 2002).
Cara perhitungan R/C, B/C dan MBCR adalah sebagai berikut :
total penerimaanR/C = --------------------
total biaya
keuntunganB/C = --------------
total biaya
penerimaan introduksi - pola petaniMBCR = ------------------------------------------
pengeluaran introduksi - pola petani
144 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Untuk mengetahui kelayakan dari usahatani nilam digunakan
beberapa indikator kelayakan
Yaitu (Soetrisno 1981; Gittinger 1986).
- Net Present Value (NPV), dan
- Net Benefit Cost Ratio (Net B/C rasio)
2.3. Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa bobot terna basah, bobot terna
kering dan poduksi minyak melalui penerapan teknologi introduksi relatif
lebih tinggi dibandingkan teknologi di tingkat petani (pola petani) (Tabel 6).
Produksi tanaman nilam tergantung sekali pada varietas yang ditanam,
keadaan tanah, dan pertumbuhan tanaman. Menurut Nuryani et al. (2004),
salah satu usaha untuk meningkatkan produksi dan mutu minyak nilam
adalah melalui perbaikan bahan genetik.
Tanaman nilam sangat responsif terhadap pemupukan yang
diperlukan untuk meningkatkan produksi terna, mutu minyak nilam, dan
untuk mempertahankan atau mengembalikan kesuburan tanah.
Pertumbuhan tanaman yang optimal dapat diperoleh melalui pemupukan,
guna memenuhi kebutuhan hara tanaman selama pertumbuhannya.
Pemupukan pada tanaman nilam selain menggunakan pupuk anorganik
(seperti pupuk Urea, SP- 36 dan KCl), juga menggunakan pupuk organic
(Mile et al. 1991).
Tabel 6. Bobot Terna Basah, Bobot Terna Kering, Produktivitas Minyak danKadar Patchouli Alkohol (PA) dengan Penerapan TeknologiIntroduksi dan Pola Petani Perlakuan
ParameterPerlakuan
TeknologiIntroduksi Pola Petani
Bobot terna basah (ton/ha) 15,50 8,50Bobot terna kering (ton.ha) 3,50 2,00Produktivitas minyak (kg/ha) 117,60 54,50Kadar Patchouli Alkohol (PA) 32,64 24,67
Sumber: Krismawati dan Bhermana (2006)
145Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Pemberian dosis NPK adalah 14 gram/tanaman atau 280 kg/ha
(Trisilawati 2002). Pemupukan sangat penting untuk diperhatikan, karena
hasil yang diharapkan dari tanaman nilam adalah terna terutama daun. Oleh
sebab itu faktor kesuburan merupakan suatu hal yang perlu diusahakan,
agar pertumbuhan vegetatif tanaman dapat semaksimal mungkin.
Pemberian pupuk anorganik mampu menyediakan unsur hara lebih cepat
dan dalam jumlah yang lebih besar.
Produksi yang baik dapat mencapai 15-20 ton daun basah atau 5 ton
daun kering per ha dengan rendemen minyak 2,5-4% sehingga produksi
minyak mencapai 100-200 kg/ha/tahun (Emmyzar dan Ferry 2004).
Budidaya yang sederhana dan kurang intensif serta bibit yang kurang baik
mutunya menyebabkan produktivitas nilam menjadi rendah, yaitu sekitar 2
ton terna nilam kering/ha/tahun (Sudaryani dan Sugiharti 1991).
Tabel 7. Analisis usahatani nilam seluas 1 hektar/1 kali panen di DesaTanah Putih Darat, Kec Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur,musim tanam 2004 - 2005
Sumber: Krismawati dan Bhermana (2006)
146 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Produk olahan dari terna nilam adalah minyak nilam, dengan
tersedianya beberapa unit penyulingan minyak nilam dilokasi penelitian
maka petani mengolah sendiri terna nilam menjadi minyak. Panen nilam
dilakukan pada umur 6 - 9 bulan, biasa dilakukan dua kali panen, akan
tetapi panen kedua jarang dilakukan karena kadar Patchouli Alkohol (PA)
pada panen kedua menurun. Hai ini disebabkan tanah yang kurang subur
dan kekurangan air pada musim kemarau dan hasilnya hanya ± 30% dari
hasil panen pertama. Oleh karena itu penerimaan yang diperhitungkan
dalam penerimaan tunai diasumsikan bahwa petani hanya satu kali panen.
Analisis finansial usahatani menunjukkan penerapan teknologi
introduksi memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pola petani. Bobot terna kering dengan penerapan teknologi introduksi
(petani kooperator) dapat mencapai 3,5 ton/ha/1 kali panen dengan
penerimaan sebesar Rp.21.168.000,-, sedang pola petani (petani non
kooperator) memperoleh 2,0 ton/ha/1 kali panen dengan penerimaan hanya
sebesar Rp.8.175.000,- (Tabel 7). Demikian pula produktivitas minyak nilam
petani kooperator dapat mencapai rata-rata 117,60 kg/ha/1 kali panen,
sedang petani non kooperator rata-rata hanya mencapai 54,50 kg/ha/1 kali
panen atau terjadi peningkatan sebesar 2,16 kali kali lipat dari produktivitas
pola petani (Tabel 7). Begitu juga dengan keuntungan yang diperoleh oleh
petani kooperartor (tekonologi introduksi) lebih tinggi (Rp. 11.043.875,-)
atau meningkat 326% dibanding pola petani yang hanya sebesar
Rp 3.500.000,-/ha/panen .
Pola usahatani, baik pola petani maupun penerapan teknologi
introduksi secara finansial sama-sama layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan
oleh kriteria kelayakan NPV positif dan B/C rasio >1. Namun usahatani
dengan teknologi introduksi lebih menguntungkan dengan NPV Rp
9.086.910,-, dan Net B/C rasio 1,95 serta MBCR 2,38. Sedangkan NPV pada
pola petani hanya sebesar Rp 2.487.450,- dengan B/C rasio 1,53 (Tabel 7).
147Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
III. PENUTUP
Aplikasi penerapan teknologi dengan penggunaan varietas unggul,
pupuk anorganik dan organik, akan meningkatkan produktivitas terna dan
mutu minyak nilam. Untuk meningkatkan produksi diperlukan budidaya
intensif, sejak dari pemilihan bibit sampai ke panen dan penanganan pasca
panen
Produktivitas minyak dengan penerapan teknologi introduksi mencapai
117,60 kg/ha dengan kadar Patchouli Alkohol (PA) 32,64, sedang pada pola
petani hanya sebesar 54,50kg/ha dengan kadar Patchouli Alkohol (PA)
24,67.
Penerapan paket teknologi usahatani nilam di lahan kering mampu
meningkatkan tambahan keuntungan usahatatani mencapai 326% dengan
NPV= Rp9.086.910,-R/C = 2,09, Net B/C = 1,95, MBCR = 2,38. Sedang
pada pola petani keuntungan usahatani R/C = 1,75, B/C = 0,75, Net B/C =
1,53 dan NPV Rp.2.487.450,-
Untuk kelancaran penerapan inovasi teknologi, diperlukan dukungan
sarana produksi di sekitar lokasi usahatani dengan harga yang terjangkau
disertai pendampingan dan monitoring secara berkala.
Kelembagaan tani dan kelembagaan usaha bersama perlu dibangun,
agar memperkuat dan memantapkan eksistensi petani nilam. Penguatan dan
pemberdayaan kelembagaan petani sangat diperlukan untuk pengembangan
nilam di Kalimantan Tengah
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen Bina Produksi Peternakan. 2007. KP-3, Penunjang PermodalanPertanian. Agribisnis Indonesia Vol. 36. Direktorat Jenderal BinaProduksi Peternakan. Departemen Pertanian: 51-52.
Ditjenbun. 2009. Statistik Perkebunan Indonesia 2007-2009. DirektoratJendral Perkebunan. Departemen Pertanian. 17 p
Ditjenbun. 2011. Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011. DirektoratJendral Perkebunan. Departemen Pertanian.
Suratiyah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Cetakan I. Penebar Swadaya. Jakarta.124 p.
148 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam
Gittingger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Edisi keDua. Universitas Indonesia (UI-Press), 1986. 579 p.
Kadariah, L.K. dan Gray. 1988. Pengantar Evaluasi Proyek. Analisa EkonomisEdisi Kedua. LPFE - UI. Jakarta. 122 p.
Soetrisno. 1982. Dasar-Dasar Evaluasi Proyek (Dasar-dasar PerhitunganTeori dan Studi Kasus). Fakultas Ekonomi UGM. Andi Offset.Yokyakarta, 1982: 231-24
Indrawanto, C. dan M. Syakir. 2008. Analisa usahatani nilam. Bahanseminar rutin Balittro, April 2008. 9 p (tidak dipublikasikan)
Sagala, F.C. 2009. Prospek Pengembangan Nilam di Desa Tanjung MeriahKecamatan Sitellu Tali Urang Jehe Kabupaten Pakpak Barat. 80 p.
Krismawati, A. 2005. Nilam dan potensi pengembangannya, Kalteng JadikanKomoditas Rintisan. Sinar Tani No 3083 Tahun XXXV.
Krismawati, A. dan A. Bherman, 2006. Kajian Penerapan TeknologiUsahatani Nilam (Pogostemon cablin Benth) di Lahan KeringKalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan TeknologiPertanian. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan TeknologiPertanian. Balitbang Pertanian. 9:160-171
Soekartawi. 2002. Analisis usahatani. Universitas Indonesia Press. Hal 85-87.
Nuryani, Y., Hobir dan D. Seswita. 2004. keragaan potensi produksi, kadardan mutu minyak empat nomor harapan nilam di berbagai lokasi.Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Perkembangan TeknologiTanaman Rempah dan Obat 16: 46 – 51.
Mile, Y., N. Mindawati dan S. Prajadinata. 1991. Kemungkinan peningkatanproduktivitas lahan dengan menggunakan kompos organik dalammenunjang keberhasilan HTI. Majalah Kehutanan Indonesia. No 5 :12-17.
Trisilawati, O. 2002. Peranan kapur dan pupuk organik terhadappertumbuhan dan produksi nilam pada tanah latosol. ProsidingSimposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik 13 Hal.
Sudaryani, T dan E. Sugiharti. 1991. Budidaya dan penyulingan nilam.Penebar Swadaya. Jakarta. 69 Hal.
Emmyzar dan Y. Ferry. 2004. Pola budidaya untuk peningkatan produktivitasdan mutu minyak nilam. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempahdan Obat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan.Hal 52-61.