Transcript

Karakter Orang Bertakwa (Tafsir QS ali Imran [3]: 134)

(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik pada waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(QS Ali Imran [3]: 134).

Kandungan makna ayat ini masih kelanjutan dari ayat sebelumnya. Dalam ayat sebelumnya Allah Swt. memerintahkan kaum Muslim agar segera bergegas menuju ampunan dan surga-Nya. Ditegaskan juga, surga yang luasnya seluas langit dan bumi itu disediakan untukal-muttaqn(orang-orang yang bertakwa). Selanjutnya dalam ayat ini, Allah Swt. menjelaskan ciri-ciri dan karakteristik orang-orang yang bertakwa. Dengan gambaran itu akan mudah bagi manusia untuk menjadi orang bertakwa yang disediakan surga baginya.

Tafsir AyatAllah Swt. berfirman:al-ladzna yunfiqna f al-sarr wa al-dharr([yaitu] orang-orang yang menafkahkan [hartanya], baik pada waktu lapang maupun sempit). Karakterpertamaorang-orang yang bertakwa adalah:gemar menginfakkan harta mereka. Selain dalam ayat ini, karakter itu juga dijelaskan dalam QS al-Baqarah [2]: 2-3 dan adz-Dzariyat [51]: 15-19.Dalam ayat tersebut,al-mafl bih(obyek) pada katayunfiqnatidak disebutkan. Tiadanyaal-mafl bihitu,menurut al-Alusi, menunjukkan bahwa infak yang mereka lakukan itu mencakup semua infak yang terpuji.1Dengan kata lain, mereka menginfakkan harta mereka di jalan Allah, baik diberikan kepada orang yang membutuhkan maupun digunakan untuk memperkuat jihadf sablillh. Demikian penjelasan ath-Thabari dalam tafsirnya.2Jika ditelusuri pada nash-nash lainnya, infakf sablillhmemang termasuk perbuatan yang diperintahkan (lihat QS al-Baqarah [2]: 195). Demikian pula memberikan sedekah kepada orang fakir, miskin, dan orang yang membutuhkan. Cukup banyak dalil yang memerintahkan perbuatan tersebut, seperti dalam QS adz-Dzariyat [51]: 19, al-Balad [90]: 16, al-Isra [17]: 26-30, dan al-Maarij [70]: 24-25. Perintah ini sekaligus mengisyaratkan, pihak yang diperintahkan untuk memberikan sedekah adalah orang-orang yang berkelebihan harta. Sebaliknya, orang-orang yang miskin dan kesulitan, bukan saja tidak diwajibkan berinfak, namun justru menerima infak.Orang yang bertakwa, menurut ayat ini, bukan hanya mengerjakan perbuatan yang diwajibkan atas mereka. Sekalipun mereka dalam keadaan sulit, mereka tidak berhenti menginfakkan harta mereka. Dalam ayat ini digambarkan, mereka senantiasa berinfak itu dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaanas-sarrmaupunadh-dharr.Menurut Ibnu Abbas, kataas-sarrberartial-yusr(mudah), sementaraal-dharrberartial-usr(sulit).3Penafsiran yang sama juga dikemukakan al-Kalbi dan Muqatil.4Al-Khazin menuturkan, mereka tidak meninggalkan berinfak dalam dua keadaan itu, baik dalam keadaan kaya maupun miskin; lapang maupun sempit; saat mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan maupun ketika tertimpa ujian dan bala.5Pendek kata, mereka senantiasa berinfak dalam semua keadaan, sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Baqarah [2]: 274.6Dikisahkan dari sebagian kaum salaf, bahwa mereka kadang bersedekah dengan sebutir bawang. Aisyah ra. juga pernah bersedekah dengan sebutir buah anggur.7Tindakan itu menggambarkan bahwa mereka tetap bersedekah sekalipun yang disedekahkan hanya sedikit lantaran mereka berada dalam keadaan yang sulit.Karakterkeduadisebutkan dalam firman Allah Swt. berikutnya:wa al-kzhimn al-ghayzh(dan orang-orang yang menahan amarahnya). Kalimat inimathf(bersambung) dengan kalimat sebelumnya. Adanya perubahanshghahdari yang sebelumnya berbentukal-filmenjadial-filmengandung maknali al-istimrr, yakni keadaan yang berlangsung terus-menerus.8Artinya, perilakunya yang dapat menahan marah itu tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali, namun telah menjadi bagian dari karakter yang melekat pada diri mereka.Menurut sebagian besar para mufassir, kataal-ghayzhberartial-ghadhab(marah).9Perasaan marah biasanya dilampiaskan dalam bentuk ucapan seperti umpatan, celaan, dan semacamnya; atau dalam bentuk perbuatan seperti memukul, menendang, dan semacamnya. Menahan marah berarti menahan diri dari ucapan atau perbuatan yang menjadi bentuk pelampiasan marah tersebut.Al-Khazin menjelaskan, kataal-kazhmberarti menahan sesuatu ketika sesuatu itu telah penuh. Dengan demikian, ungkapanal-kzhimn al-ghayzhmemberikan makna bahwa ketika seseorang dipenuhi oleh kemarahan, maka kemarahan itu hanya tertahan dalam rongga perutnya; tidak ditampakkan dalam ucapan dan perbuatan; tetap bersabar dan diam atasnya. Artinya, ayat ini mengandung makna, Mereka menahan diri untuk melampiaskan kemarahannya dan mampu menahan kemarahan hanya dalam rongga perutnya. Ini adalah salah satu jenis sifat sabar dan al-hilm (sabar, murah hati).10Sifat demikian juga digambarkan dalam QS al-Syura [42]: 37.Perasaan marah tentu amat manusiawi. Apalagi kepada orang yang berbuat salah dan jahat. Akan tetapi, Islam mengajarkan, tidak sepatutnya seorang Muslim melampiaskan kemarahannya. Apalagi, pelampiasan kemarahan itu dapat mengantarkan pelakunya menabrak ketentuan syariah. Menahan marah jauh lebih baik daripada melampiaskannya.Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa suatu saat ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta nasihat. Beliau pun bersabda,L taghdhab(Jangan marah)! Ketika pertanyaan itu diulangi, Beliau pun memberikan jawaban yang sama. Dengan demikian, menahan marah merupakan akhlak terpuji yang diperintahkan. Sebagai balasannya, pelakunya dijanjikan mendapat pahala yang amat besar. Sahal bin Muadz, dari Anas al-Jahni, dari bapaknya, menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

Siapa saja yang menahan marah, padahal dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya pada Hari Kiamat di atas kepala para makhluk hingga dipilihkan baginya bidadari yang dia sukai(HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Berkenaan dengan marah, Islam tak hanya memerintahkan umatnya untuk menahannya. Lebih dari itu, syariah juga mengajarkan metode untuk meredakan kemarahan. Rasulullah saw. bersabda:

Sesungguhnya marah itu dari setan dan sesungguhnya setan itu diciptakan dari api, sementara api bisa dipadamkan oleh air.

Karena itu, jika salah seorang di antara kalian sedang marah, hendaklah diaberwudhu(HR Abu Dawud dari Athiyah).Rasulullah saw. juga bersabda:

Apabila salah seorang di antara kalian sedang marah dalam keadaan berdiri, hendaklah dia duduk jika kemarahan itu dapat hilang. Apabila (kemarahan) itu tidak hilang, hendaklah dia berbaring(HR Abu Dawud dari Abu Dzar).

Karakterketigadinyatakan dalam firman Allah Swt. berikutnya:wa al-fna an al-ns(dan memaafkan [kesalahan] orang). Memberikan maaf berarti memberikan ampunan dari menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang sebenarnya berhak mendapatkan hukuman.11Di antara contoh pemberian maaf adalah yang disebutkan dalam QS al-Baqarah [2]: 178. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang pembunuh bisa mendapatkan maaf dari keluarga korban. Ketika dia mendapatkan pemaafan dari keluarga korban, dia tidak lagi dijatuhi hukumanqishshyang seharusnya dijatuhkan atasnya.Patut dicatat, membalas kejahatan yang dilakukan seseorang memang dibolehkan. Akan tetapi, syariah menetapkan bahwa memberikan maaf lebih diutamakan (lihat QS asy-Syura [42]: 40).Dalam QS al-Araf [7]: 199 Allah Swt. secara tegas memerintahkan hamba-Nya untuk memberikan maaf. Dalam QS al-Baqarah [2]: 237 dinyatakan bahwa memberikan maaf itu lebih dekat dengan ketakwaan. Adapun orang dimaafkan meliputi semua manusia. Sebab, dalam ayat itu disebutkanan-ns.Bentuk kata jamak yang disertai denganal-lm li al-jinsini memberikan makna umum sehingga mencakup seluruh manusia.Kemudian ayat ini ditutup dengan firman-Nya:Wallh yuhibb al-muhsinn(Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan). Sebagaimana hurufal-lmpada kataan-ns,kataal-muhsinnjuga menunjukkanli al-jinssehingga berlaku umum. Artinya, orangmuhsinyang dicintai Allah Swt. itu meliputi setiap orang yang terkatagorimuhsin, baik yang disebutkan dalam ayatini maupun yang lainnya.12Ungkapanwallh yuhibb al-muhsinnmenunjukkan diperintahkannya perbuatan tersebut. Selain ayat ini, ungkapan yang sama juga terdapat dalam QS Ali Imran [3]: 195, 148; al-Maidah [5]: 13, 93. Dalam QS al-Araf [7]: 56 disebutkan bahwa rahmat Allah Swt. dekat dengan orang-orang yang berbuatihsn.Tindakanihsnterhadap orang lain bisa dengan memberikan manfaat kepadanya, bisa pula dengan mencegahdhararatau bahaya yang akan menimpanya. Dalam ayat ini, kedua bentukihsnitu disebutkan. Tindakanihsnyang memberikan manfaat kepada orang lain termanifestasi dalam pemberian infak. Adapun mencegahdhararbagi orang lain tercermin dalam dua tindakan, yakni menahan diri dari amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.

Takwa danIhsnJika ayat ini dicermati, ada keterkaitan erat antara takwa denganihsn. Sebagaimana telah terpapar, ayat ini memberikan gambaran kongkret karakter orang-orang yang bertakwa. Mereka adalah orang yang menginfakkan hartanya, baik pada waktu lapang maupun sempit; yang menahan amarahnya; dan yang dapat memaafkan kesalahan orang lain. Pada akhir ayat ini, orang-orang yang memiliki karakter tersebut juga bisa disebut sebagaimuhsin(orang yang berbuatihsn). Ungkapan ini memberikan pengertian bahwa termasuk dalam jajaran orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang berbuatihsn. Pengertian senada juga terdapat dalam QS adz-Dzariyat [51]: 16. Dalam ayat itu diberitakan bahwa orang-orang bertakwa adalah orang yang semasa hidupnya berbuatihsn.Penjelasan yang sangat bagus mengenai maknaihsndiberikan oleh al-Asfahani. Menurutnya,ihsnlebih tinggi daripada adil. Jika adil adalah memberikan apa yang menjadi kewajibannya dan mengambil apa yang menjadi haknya, makaihsnadalah memberikan lebih banyak dari apa yang menjadi kewajibannya dan mengambil lebih sedikit dari apa yang menjadi haknya.13Sebagaimana dinyatakan Syakh Taqiyuddin an-Nabahani, jika hukum berbuat adil itu wajib, sementara hukum bersikap ihsan itu sunnah.14Jika dikaitkan dengan ayat ini, pengertian dan hukum tersebut amat relevan.Memberikan infak ketika berada dalam keadaan lapang adalah adil. Sebab, memang demikianlah yang wajib dilakukan. Namun, tetap mengeluarkan infak walaupun sedang dilanda kesulitan adalahihsn. Sebab, sikap itu berarti memberikan lebih dari apa yang diwajibkan.Demikian pula menahan diri dari marah. Dalam keadaan tertentu, seseorang berhak untuk marah. Akan tetapi, karena sikapihsn, hak untuk marah itu tidak diambilnya. Dia pun tidak melampiaskan kemarahannya meskipun sesungguhnya dia berhak atas itu. Demikian pula dengan memberikan maaf. Akibat kesalahan yang dilakukan orang lain, sesungguhnya seseorang berhak untuk menghukumnya. Namun, karena sikap ihsn, hak untuk menghukum itu diambilnya. Demikianlahihsn. Sikap itulah yang harus dimiliki setiap orang jika ingin meraih derajat takwa.Lebih jauhRasulullah saw. bersabda:

Tidaklahsampai seorang hamba pada derajat muttaqn hingga dia meninggalkan sesuatu yang sebenarnya tidak apa-apa baginya karena takut terjadi apa-apa baginya.(HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Wallhu alam bi ash-shawb.[Ust. Rokhmat S. Labib MEI]

Catatan kaki:1Al-Alusi,Rh al-Man, vol. 2 (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 272.2Ath-Thabari,Jmi al-Bayn f Tawl al-Qurn,vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 437.3As-Suyuthi,Ad-Durr al-Mantsr,vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 129; az-Zuhaili,Tafsr al-Munr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 82.4Al-Qurthubi,Jmi li Ahkm al-Qurn, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 132; Abu Hayyan al-Andalusi,Tafsr al-Bahr al-Muhth,vol. 3 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 62.5Al-Khazin,Lubb al-Tawl f Manal-Tanzl,vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), 297.6Az-Zuhaili,Tafsr al-Munr, vol. 3, 87.7Fakhruddin al-Razi,al-Tafsr al-Kabr,vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 78Al-Alusi,Rh al-Man, vol. 2, 272.9Abu Hayyan al-Andalusi,Tafsr al-Bahr al-Muhth,vol. 3, 63.10Al-Khazin,Lubb al-Tawl,vol. 1, 298.11Al-Alusi,Rhal-Man, vol. 2, 272.12Abu Hayyan al-Andalusi,Tafsr al-Bahr al-Muhth,vol. 3, 63;al-Khazin,Lubb al-Tawl,vol. 1, 298. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Qinuji,Fathal-Baynf Maqshid al-Qurn,2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 333; al-Qasimi,Mahsin al-Tawl,vol. 2 (Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 413.13Ar-Raghib al-Asfahani,Mujam Mufradt Alfzh al-Qurn(Beirut: Dar al-Fikr, tt), 11814Taqiyuddin al-Nabhani,Asy-Syakhsyiyyah al-Islmiyyah,vol. 3 (Beirut: Dar al-Ummah, 2005), 219.


Top Related