SIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL:
STUDI KOMPARASI AJARAN SELINGKAR HIDUP
KAHARINGAN DAN GAWE URIP-GAWE PATI ISLAM
WETU TELU
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S. Ag)
Oleh:
Nor Kholis Swandi
NIM: 11140321000073
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
LEMBAR PERSETUJUAN
SIKLUS HIDUP DALAM AGAMA LOKAL:Studi Komparasi Ajaran Setingkar Hidup Kaharingan
dan Guwe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu
Diajukan Unhrk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sa{ana Agama(s'Ae)
Oleh:
Nor Kholis SwandiNIM: 11140321000073
Di Bawah Bimbingan:
PRODI STI]DI AGAMA.AGAMA
FAKT]LTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
Nama
NIM
Fakultas
Jurusan
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nor Kholis Swandi
trt40321000073
Ushuluddin
Studi Agama-Agama
Judul Skripsi : Siklus Hidup Dalam Agama Lokal: Studi Komparasi Ajaran
Selingkar Hidup Kaharitgan dart Gawe Urip-Gawe pati Islam
WetuTelu
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu porsyaratan memperoleh gelar strata I di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
PENGESAIIAN PANITIA UJIAN MI]NAQASYAII
Skipsi ini berjudul Siklus Hidup Dalam Agama Lokal: Studi
Komparasi Ajaran Selingkar Hidup Kaharingan dan Gawe Urip'Gawe Pati
Islam Wetu Telu telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 8 November 2019' Skipsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada
Jurusan Studi Agama-Agama.
Jakarta, 12 Oktober 20 1 9
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
NrP. 197103r0 199703 t 005
Lisfa Sentosa Aisyah. M.A.
NrP. 19750506 200501 2 003
Penguji I,
-c\#(frDr. Hamid Nasuki. M.Ae
NrP. 19630908 199001 1001
Anggota,
Pembimbing,
Penguj i II,
-pQf7fny",----7::
Dra. Halimah SM. M.Ae
NIP. 19590413 199603 2 001
t
iv
ABSTRAK
Nor Kholis Swandi
Judul Skripsi: “Siklus Hidup dalam Agama Lokal: Studi Komparasi Ajaran
Selingkar Hidup Kaharingan dan Gawe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu”
Perjalanan hidup manusia terentang melalui beberapa taraf: orok-bayi,
remaja, dewasa, nikah, tua renta, dan mati. Bersama dengannya, sikap manusia
terhadap kenyataan hidup beralih juga. Di dalam tradisi agama lokal, terutama
yang berkembang di Kaharingan dan Islam Wetu Telu, setiap masa peralihan
kehidupan biasanya diikuti oleh ritual-ritual yang sudah mempunyai makna
tersendiri guna mempengaruhi kekuatan alam dan roh-roh yang hidup di
sekitarnya agar memberikan kekuatan positif kepada setiap masyarakatnya.
Penelitian ini mencoba untuk membandingkan serta menganalisa nilai-
nilai yang terkandung di dalam setiap ritual siklus hidup yang berkembang di
Kaharingan (selingkar hidup) dan Islam Wetu Telu (gawe urip-gawe pati), mulai
dari periode kelahiran sampai periode kematian. Salah satu contohnya adalah
upacara mamanggar janji dalam tradisi Kaharingan yang digunakan untuk
menyampaikan maksud pria untuk mempersunting wanita pujaannya. Sedangkan
dalam Islam Wetu Telu biasanya dengan melakukan merariq sebagai bentuk
komitmen sang pria jika benar-benar ingin menjadikan si wanita sebagai
pendamping hidupnya.
Jenis penelitian yang digunakan di dalam skripsi ini adalah kajian
kepustakaan (library research), dengan pendekatan historis, antropologi
fungsionalis Malinowski serta komparatif. Pendekatan historis digunakan untuk
memaparkan sejarah Kaharingan dan Islam Wetu Telu. Pendekatan Antropologi
fungsionalis Malinowski berguna untuk menjelaskan fungsi-fungsi dari berbagai
ritual yang dilakukan oleh kedua suku tersebut. Sedangkan pendekatan komparatif
digunakan untuk membandingkan ritual-ritual yang ada dalam siklus hidup
Kaharingan dan Islam Wetu Telu.
Meskipun Kaharingan dan Islam Wetu Telu merupakan dua entitas
yang berbeda, tapi secara substansial mempunyai nilai-nilai yang beririsan di
dalam ritus kehidupannya. Ritus-ritus yang dilakukan berkenaan dengan siklus
hidup manusia mempunyai kedudukan yang sangat tinggi karena mampu memberi
makna bagi setiap manusia dalam kehidupannya. Selain sebagai penghubung
dengan alam roh-roh nenek moyangnya, tujuan dari pada ritus peralihan ini adalah
sebagai sarana pembebasan diri dari kesalahan atau penebusan hutang dari taraf
hidup yang ditinggalkan, usaha memperkuat diri sambil memohon doa restu,
kekuatan batin, bekal rohani dan keberanian untuk berhasil baik dalam taraf
hidupnya yang baru atau pada jenjang masyarakat baru yang akan dinaikinya.
Kata Kunci: Siklus Hidup, Kaharingan, Islam Wetu Telu.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
memberikan kenikmatan berupa akal dan keinginan sehingga kami bisa
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan Salam semoga tetap
tercurahkan kepada sang penutup para Nabi, Muhammad SAW yang telah
membawa perubahan terhadap peradaban dunia dengan hadirnya ilmu
pengetahuan dan menjadi juru tauladan bagi para pengikutnya dengan akhlak al-
karimah-Nya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan
dari berbagai pihak baik berupa materiil maupun dorongan moril. Oleh karena itu,
sebagai tanda syukur dan penghargaan yang tulus, penulis menghaturkan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Alm. Bapak, Ach. Sya’eri yang baru saja meninggalkan kita semua
menghadap Tuhan pada Minggu (06/10/2019), semoga beliau mendapat
tempat yang indah di alam sana dan khusnul khatimah dengan dimasukkan ke
dalam syurga-Nya. Dan ibuku, Zayyinah yang tak pernah merasa lelah
mendidik anaknya hingga mencapai titik ini. Beliaulah semangatku, hudupku
hanya untuk kebahagiaan kalian.
2. Segenap Bapak dan ibu Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta atas wawasan serta pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama
belajar di kampus ini.
3. Ibu Siti Nadroh, M.A. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi, yang telah
memberikan arahan dengan segenap kesabaran dan ketelitian dalam
membimbing penulis. Beliau banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran, yang
vi
tak pernah mengenal waktu, selalu memberikan motivasi dan bimbingan
sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Syaiful Azmi, M.A. selaku Ketua Jurusan Studi Agama-Agama
merangkap penasehat akademik dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, M.A. selaku
Sekretaris Jurusan Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.
5. Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Dr. Yusuf
Rahman, M.A. beserta jajarannya.
6. Para staf perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, terima kasih atas pinjaman buku-bukunya.
7. Keluarga besar penulis, adik, paman, bibi, nenek, Bani Thoha dan lainnya.
Terima kasih atas do’a dan dukungannya beserta segala yang telah diberikan
kepada penulis.
8. Sahabat-sahabatku anggota “the djongkors” yang selalu menghadirkan
senyum dan tawa di setiap tongkrongannya. Irfan ‘Abah’ Maulana sebagai
tetua, Athoillah ‘jamet’ Tantowi, Muhammad ‘jamet’ Ibnu Sina, M. Rian
Sujud ‘jamet’ Taufik, Muhammad ‘busyboy’ Qoyyum, Ricky ‘pastel’
Setiawan, dan Ojan Fauzan Chair.
9. Teman-teman terbaik yang menjadi tempat keluh kesahku dikala galau
menghadapi penulisan skripsi yang begitu banyak drama, Mustika Diani Dewi
dan Abd. Rahman. Terima kasih atas bantuannya.
10. Keluarga besar Jurusan Studi Agama-Agama angkatan 2014 khususnya kelas
PE’A B yang sudah seperti saudara dan berjuang bersama-sama mulai dari
nol.
vii
11. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Bata-Bata (IMABA) yang sudah memberi
penulis akses untuk bisa melanjutkan studi di kampus tercinta ini dan
menampung penulis untuk tinggal di asrama selama 4 tahun. Terima kasih
banyak atas semua pengalaman dan arahannya.
12. Keluarga besar Kuliah Kerja Nyata (KKN) Archery 169 2017 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang sudah seperti keluarga meskipun hanya sebulan
dipertemukan di desa Tapos 1, Kec. Tenjolaya, Kab. Bogor. Dimas, Bagus,
Juniko, Bayhaqi, Rifqi, Tanu, Vina, Via, Sita, Alya, Fuaziyah, Bilah, Udoh,
Putri. Teruslah jaga ikatan dan persaudaraan.
Jakarta, 18 Oktober 2019
Nor Kholis Swandi
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH ...................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 10
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................... 10
D. Metodologi Penelitian ............................................................................... 11
E. Landasan Teori .......................................................................................... 16
F. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 17
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 21
BAB II AGAMA LOKAL DI INDONESIA ..................................................... 23
A. Definisi Agama Lokal ............................................................................... 23
B. Eksistensi Agama Lokal di Indonesia ....................................................... 26
C. Siklus Hidup Agama Lokal ....................................................................... 31
BAB III SIKLUS HIDUP DALAM KAHARINGAN DAN ISLAM WETU
TELU .................................................................................................................... 35
A. Sejarah Singkat Kaharingan ...................................................................... 35
B. Selingkar Hidup Dalam Kaharingan ......................................................... 38
C. Sejarah Singkat Islam Wetu Telu .............................................................. 54
D. Gawe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu ................................................... 60
E. Makna Hidup Perspektif Kaharingan dan Islam Wetu Telu ..................... 77
ix
BAB IV KOMPARASI & ANALISIS SIKLUS HIDUP KAHARINGAN DAN
ISLAM WETU TELU ........................................................................................ 81
A. Periode Kelahiran ...................................................................................... 81
B. Periode Kehidupan .................................................................................... 83
C. Periode Kematian ...................................................................................... 90
D. Menjaga Tradisi Nusantara, Merawat Budaya Bangsa ............................. 93
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 99
A. Kesimpulan ................................................................................................ 99
B. Saran ........................................................................................................ 102
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 104
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote mempunyai kekayaan yang
luar biasa, baik dari segi sumber daya alam, budaya, etnis, bahasa dan agama
sehingga meniscayakan akan adanya keberagaman dan perbedaan. Semua
anugerah ini tidak berangkat dari ruang kosong dan mesti mengalami pasang
surut serta perkembangan yang mengikuti perputaran waktu pada masanya.
Terkhusus lagi tentang budaya yang kemunculannya tidak lepas dari peran
manusia sebagai pelaku langsung dalam kehidupan, king maker yang
menentukan jalannya kehidupan. Koentjaraningrat mendefinisikan
kebudayaan sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia
yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa
dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.
Salah satu wujud dari kebudayaan adalah sistem sosial, yang
menyangkut kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri
dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul
satu dengan lain, yang dari detik ke detik, hari demi hari, tahun ke tahun selalu
mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat dan kelakuan. Sebagai
rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam masyarakat, maka sistem sosial
2
itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi,
difoto, didokumentasikan.1
Unsur agama dan keyakinan juga tak kalah penting dalam sejarah
manusia. Ada yang mengatakan bahwa umur agama setua umur manusia itu
sendiri, dalam artian bahwa agama menjadi bagian integral dari manusia yang
tak terpisahkan. Pernyataan ini bisa kita tarik kebelakang sampai pada zaman
Yunani Kuno, Mesir Kuno bahkan sampai Mesopotamia2. Di sana sudah
mengenal akan adanya zat atau kekuatan yang mengatasi, mengawasi dan
mengontrol mereka. Di sana juga sudah mengenal konsep dewa lokal maupun
dewa nasional yang pada kemudian hari bertransformasi menjadi konsep
Tuhan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa sudah banyak perubahan dan
revolusi yang terjadi seturut dengan perjalanan sejarahnya.
Secara sederhana, agama dapat didefinisikan sebagai ajaran, sistem
yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.3 Lebih lanjut, setelah perenungan
mendalam dan melihat berdasarkan ciri-ciri yang ditemukan di dalam agama
mana saja, Emile Durkheim dalam bukunya yang telah diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah
Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar menyimpulkan bahwa agama
adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktek-praktek yang berkaitan
1Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Kompas
Gramedia, Cet.XXI, 2015), h. 7. 2Mesopotamia berasal dari bahasa Yunani yang artinya between the rivers, yaitu antara
dua sungai (sungai Tigris dan Eufrat). Lih. M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di
Dunia dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 34. 3KBBI Online, “Agama,” https://kbbi.web.id/agama, diakses pada 13 November 2018.
3
dengan yang sakral, yaitu hal yang disisihkan dan terlarang -kepercayaan dan
praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan meyakini
hal-hal tersebut kedalam suatu komunitas moral yang disebut Gereja.4
Tidak satupun agama turun dari surga ke dalam ruang vakum sosial.
Tidak juga dalam lingkungan yang ideal atau sangat halus. Tapi tiap-tiap
agama muncul dalam masyarakat yang sarat dengan nilai, etos dan kebiasaan
dan tradisinya. Kerapkali agama datang dalam masyarakat yang menyimpang
atau rusak dari jalan kebenaran, untuk menjamin kebaikan bagi seluruh
masyarakat. Jadi, kita seharusnya memahani kemunculan agama dalam
masyarakat di mana agama tersebut dilahirkan. Demikian juga, tidak ada
agama yang dapat dijalankan dalam sosial yang hampa. Apapun ajaran dan
ideal agama, dikerjakan oleh pemeluknya dalam caranya sendiri sesuai dengan
tradisi dan kebiasaan mereka.5
Sebelum ada agama di Nusantara atau sebelum agama masuk ke
Indonesia, nenek moyang bangsa Indonesia telah mempunyai kepercayaan
akan adanya kekuatan di luar kekuasaan manusia, yaitu yang menciptakan
dunia dan seisinya. Masyarakat Indonesia mempunyai tradisi keberagamaan
yang sangat plural. Tidak hanya agama mainstream yang sudah terlembaga,
tetapi juga kepercayaan lokal. Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi,
pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat, bahkan jauh
sebelum negara Indonesia ada.6
4Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah Bentuk-Bentuk
Agama yang Paling Dasar, terj. IR Muzir dan M. Syukri (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), h. 80. 5Asghar Ali Engineer, Liberalisasi Teologi Islam; Membangun Teologi Damai dalam
Islam terj. Rizqon Khamami (Yogyakarta: Alenia, 2004), h. 170 6Kementerian Agama RI, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2014), h. 1.
4
Tetapi karena pada prinsipnya manusia waktu itu kurang mengerti
tentang cara-cara menyembah atau berbakti kepada sang pencipta sehingga
cara menyembahnya sangat sederhana. Kegiatan ini telah terkelompok
sedemikian rupa berbentuk organisasi. Dengan adanya Tap MPR No:
IV/MPR/1978 di mana pemerintah memberikan arah dan pembinaan, maka
seakan-akan organisasi itu tumbuh kembali, sehingga oleh masyarakat
dianggap hal yang baru.7
Sebagai representasi bahwa manusia mengakui adanya kekuatan lain di
alam semesta ini, mereka mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau
sesuatu Yang Kuasa untuk disembah. Mereka menyebutnya Tuhan, Allah,
God, Dewa, El, Ilah, El-Ilah, Lamatu’ak, Debata, Gusti Pangeran, Deo, Theos,
atau penyebutan lain sesuai dengan konteks dan bahasa masyarakat yang
menyembah-Nya. Penyebutan ini menunjukkan manusia percaya bahwa yang
disembah itu adalah dzat yang benar-benar ada; mereka pun memberi hormat
dan setia kepada-Nya.8
Kemendikbud melalui Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan Tradisi, mencatat ada 187 kelompok penghayat kepercayaan di
13 provinsi. Kelompok terbanyak berada di Jawa Tengah dengan 53
kelompok. Sementara itu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kementerian Dalam Negeri, mencatat jumlah penghayat kepercayaan
hingga juli 2017 ada 138.791 orang. Jumlah ini kemungkinan bertambah
pasca putusan MK terhadap UU 24/2013 tentang adminduk. Direktorat
7M. Jandra, Hasil Penelitin Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Daerah Istimewa Yogyakarta II (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990), h.
1. 8M. Ali Imron, Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia dari Masa Klasik hingga
Modern (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 12
5
Jenderal Dukcapil Zudah Arif Fakhrulloh mengatakan, jumlah penghayat
sebesar 3,14 persen dari total masyarakat Indonesia. Sebelumnya, penganut
kepercayaan juga mencatatkan diri sebagai pemeluk enam agama yang diakui
pemerintah.9
Dari sekian banyak aliran kepercayaan yang eksis di Indonesia,
nantinya hanya akan ada dua aliran kepercayaan yang dijadikan sorotan yakni
Kaharingan dan Islam Wetu Telu. Yang pertama, merupakan kepercayaan asli
orang Dayak yang berkembang di pulau Kalimantan. Pada mulanya orang
Dayak hidup di tepi-tepi sungai tapi seiring berjalannya waktu mereka
semakin terdesak ke daerah hulu. Sejak itulah mereka sering disebut sebagai
“orang Hulu” (penyebutan ini sering ditujukan pada orang Dayak). Dari hulu-
hulu sungai ini mereka menyebar ke pedalaman-pedalaman pulau
Kalimantan.10
Seperti yang terdapat pada suku-suku bangsa lain di Indonesia, suku
bangsa Dayak mempunyai banyak sekali tata aturan hidup yang harus
dipatuhi, misalnya adat berpakaian, adat dalam melakukan suatu upacara baik
yang berkaitan dengan daur hidup maupun dengan peristiwa alam, adat
menerima tamu, dan lain-lain. Kecenderungan mereka untuk tetap
menghormati dan menjunjung tinggi adat istiadatnya itu didorong oleh
9Lutfy Mairizal Putra, KOMPAS, “Sebetulnya, Berapa Jumlah Penghayat Kepercayaan di
Indonesia?.” Edisi 22 November 2017.
https://sains.kompas.com/read/2017/11/22/124500723/sebetulnya-berapa-jumlah-penghayat-
kepercayaan-di-indonesia-. 10Depdikbud, Sejarah Kebudayaan Kalimantan (Jakarta: CV, Dwi Jaya Karya, 1993), h.
32.
6
ketentuan akan hukum adat yang tetap diberlakukan bagi si pelanggar adat
sampai sekarang.11
Dalam hal keyakinan, mayoritas orang Dayak menganut Kaharingan,
bahkan sampai ada persepsi bahwa seorang Dayak di saat yang sama dia
menganut Kaharingan. Meskipun sebenarnya tidak semua orang Dayak
menamakan kepercayaan mereka sebagai Kaharingan, sebagian menyebutnya
sebagai agama helu yang berarti agama zaman dulu, sebagian lagi
menyebutnya dengan agama biasa yaitu agama yang bukan Islam. Tapi itu
semua hanya sebagai pilihan kata saja dengan Kaharingan tetap menjadi
sebutan yang familiar untuk mereka.
Sebagai kepercayaan yang kental dengan unsur adat, Kaharingan
memiliki konsep yang dikenal dengan selingkar hidup atau dengan bahasa
sehari-hari kita kenal dengan siklus hidup, yaitu perjalanan hidup manusia
dimulai dari masa kehamilan, kelahiran, masa baligh, perkawinan sampai
masa kematian. Masa-masa tersebut dianggap oleh masyarakat Dayak sebagai
masa-masa yang kritis yang sering mendapat gangguan dari makhluk-makhluk
halus ataupun roh-roh jahat sehingga pada masa-masa perubahan seperti ini,
mereka membutuhkan bantuan dari makhluk-makhluk halus ataupun roh-roh
jahat serta campur tangan orang lain melalui upacara inisiasi. Untuk
mendapatkan bantuan tersebut, mereka memerlukan adanya upacara-upacara
tertentu yang berbentuk sesembahan atau sesajen.12
Salah satu contoh dari proses selingkar hidup adalah kepercayaan akan
kehamilan pada suku Dayak Sanggau yang meliputi pantangan dan anjuran.
11Depdikbud, Sejarah Kebudayaan Kalimantan, h. 34. 12Syamsir Salam, Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 179.
7
Sebagai pantangan, wanita hamil dilarang memakan daging binatang yang
hidup di dalam lobang seperti trenggililng, ular dan labi-labi dengan alasan
takut proses kelahirannya akan susah. Anjuran yang diyakini baik bagi wanita
setelah melahirkan adalah duduk nyandar (kaki lurus badan nyandar di
dinding) selama satu bulan agar darah putih tidak naik ke kepala, takut jadi
gila bisa juga buta. Makanan yang dianjurkan nasi putih dengan garam dan
daun bungkal selama tiga hari.13
Kepercayaan selanjutnya adalah Islam Wetu Telu. Wetu Telu
merupakan salah satu varian Islam kultural yang ada di Indonesia setelah
terjadinya dialektika antara Islam dengan budaya Sasak Lombok. Proses
dialektika tersebut pada gilirannya menghasilkan Islam yang unik, khas
(distinctive), esoterik, dengan ragamnya tradisi-tradisi lokal yang telah disisipi
nilai-nilai Islam. Komunitas Islam Wetu Telu menganggap adat mereka
sebagai nilai-nilai distingtif dan ekspresi dari identitas mereka. Adat
memainkan peran yang signifikan dalam komunitas ini. Penganut Wetu Telu
diidentikkan dengan mereka yang dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat
kuat berpegang pada adat-istiadat nenek moyang mereka. Dalam ajaran Wetu
Telu, terdapat banyak nuansa Islam di dalamnya. Namun demikian
artikulasinya lebih dimaknakan dalam idiom adat. Disini warna agama
bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan
agama. Pencampuran praktek-praktek agama ke dalam adat ini menyebabkan
watak Wetu Telu sangat sinkretik.14
13 Suprabowo, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas”, KESMAS
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional vol.1, no.3 (Desember 2006): h. 115-116. 14Muhammad Harfin Zuhdi, “Parokialitas Adat Wetu Telu di Bayan: Wajah Akulturasi
Agama Lokal di Lombok” Istinbath vol. 13, no.1 (Desember 2014): h. 32.
8
Berdasarkan kepercayaan masyarakat Bayan, Wetu Telu
menyimbolkan pengungkapan bahwa semua makhluk hidup muncul (metu)
melalui tiga macam sistem reproduksi; melahirkan (menganak), bertelur
(menteluk) dan berkembang biak dari benih dan buah (mentiuk).15 Ketiganya
merepresentasikan makna harfiah wetu atau metu telu. Lebih lanjut,
berdasarkan keterangan yang didapat dari Pemangku Karangsalah bahwa
Wetu Telu sebagai sistem agama juga termanifestasikan dalam kepercayaan
bahwa semua makhluk harus melewati tiga tahap rangkaian siklus, dilahirkan
(manganak), hidup (urip) dan mati (mate).16 Kegiatan ritual, menurutnya,
sangat terfokus pada rangkaian siklus ini.
Dari keterangan tersebut, kita akan mendapatkan istilah Gawe Urip
dan Gawe Pati. Gawe Urip adalah serangkaian aktivitas ritual yang
dilangsungkan dalam kehidupan seseorang. Seperti Buang Au (upacara
kelahiran) dan Ngitanang (khitanan). Sedangkan Gawe Pati adalah
serangkaian upacara yang dilakukan bagi yang sudah meninggal. Mulai dari
penguburan (nusur tanah), hari ketujuh (mitu) hingga hari ke seribu (nyiu)
kematian seseorang.
Penelitian ini menjadi menarik jika kita mengaitkan kedekatan tradisi
dari kedua agama lokal di atas yang mana Kaharingan lebih dekat pada tradisi
Hindu bahkan ada yang mengkategorikan Kaharingan sebagai Hindu itu
sendiri sehingga disebut Hindu Kaharingan, sedangkan Islam Wetu Telu lebih
dekat pada tradisi Islam sesuai dengan kata pertama dari Islam Wetu Telu. Hal
15Arnis Rachmadani, “Local Wisdom: Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu sebagai
Perekat Hubungan Masyarakat Bayan,” Haromoni X, No.3 (Juli-September 2011)h, 667. 16Muhammad Harfin Zuhdi, “Wetu Telu in Bayan Lombok,” Kawalu, Journal of Local
Culture 3, no.2 (July-December 2016), h. 30.
9
tersebut merupakan dua hal yang berbeda sama sekali baik dari segi sejarah
maupun ajarannya. Meskipun begitu, dalam proses siklus hidup ini kita bisa
menemukan titik temu di antara keduanya terutama dalam hal tujuan
substansial dari upacara siklus hidupnya seperti yang tergambar dalam
upacara kehamilan di antara keduanya yang jika ditarik benang merahnya
maka sama-sama mengharapkan keturunan yang unggul dan sesuai harapan
keluarga.
Penulis menekankan bahwa dalam penelitian ini kita mengenalkan
budaya dan tradisi asli Nusantara yang sangat beragam (heterogen). Apa yang
ada dalamnya merupakan kekayaan (lokal wisdom) dari masing-masing suku
sehingga patut untuk dijadikan pertimbangan dalam melihat dunia (worlview).
Karena keakrabannya dengan alam, tiap suku yang ada mendasarkan semua
tindak tanduknya sebisa mungkin bersahabat dengan alam sehingga tidak ada
ekspoitasi baik terhadap alam ataupun lingkungan.
Tetapi, mengingat terbatasnya ruang, penulis hanya membatasi
pembahasan ritual yang menyangkut siklus hidup hanya pada periode
kelahiran, periode kehidupan yang terbatas hanya pada ritual tato dan khitanan
serta perkawinan dari masing-masing suku, dan seputar upacara kematian.
Upacara-upacara tersebut dipilih karena berdasarkan kesamaan periode waktu
dilaksanakannya upacara.
Berdasarkan pemaparan di atas, dengan beberapa keunikan dan local
wisdom tersebut, penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh bagaimana
konsep siklus hidup dalam agama lokal dengan judul “Siklus Hidup dalam
10
Agama Lokal: Studi Komparatif Ajaran Selingkar Hidup Kaharingan dan
Gawe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu.”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep ajaran siklus hidup dalam Kaharingan dan Islam Wetu
Telu?
2. Bagaimana komparasi antara siklus hidup Kaharingan dan Islam Wetu
Telu?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui konsep ajaran siklus hidup di dalam Kaharingan
dan Islam Wetu Telu.
b. Mengetahui komparasi antara siklus hidup Kaharingan dan Islam Wetu
Telu.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi tiga, yakni kegunaan teoritis,
praktis dan akademis.
a. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan data
ilmiah, serta mampu memperkaya khazanah keilmuan dalam
memahami dan mengintrepretasikan hasil karya para penulis di
Indonesia mengenai Siklus Hidup dalam Agama Lokal khususnya
dalam Kaharingan dan Islam Wetu Telu.
11
b. Kegunaan Praktis
1) Bagi Penulis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam studi agama-agama
khususnya yang berkaitan dengan masalah siklus hidup dalam
Kaharingan dan Islam Wetu Telu.
2) Bagi Lembaga Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi
para mahasiswa/I khususnya jurusan Studi Agama-Agama agar
lebih objektif lagi dalam mengintrepretasikan setiap hasil karya
orang lain, dan hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan para
peneliti lain dengan tema atau judul yang serupa.
c. Kegunaan Akademis
Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
persyaratan akhir perkuliahan guna mendapatkan gelar Sarjana Agama
(S.Ag) jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidaybatullah Jakarta.
D. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian digunakan dalam setiap kegiatan atau penulisan
skripsi. Hal ini bertujuan untuk menemukan data yang valid, dan analisa yang
logis rasional. Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain:
a. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (library research) yaitu suatu penelitian kualitatif yang objek
12
penelitiannya adalah kepustakaan. Ia memuat gagasan atau pikiran-pikiran
yang didukung oleh data kepustakaan di mana sumbernya dapat berupa
jurnal penelitian, skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian, buku teks,
makalah, laporan seminar, dokumentasi hasil diskusi ilmiah, dokumen
resmi dari pemerintah dan lembaga resmi lainnya.17
Lebih jauh Mustika Zed mengemukakan bahwa Riset kepustakaan atau
sering juga disebut studi pustaka ialah serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat serta mengolah bahan penelitian.18 Dengan metode ini penulis
menghimpun, membaca, meneliti, dan mengkaji beberapa literatur yang
berhubungan dengan masalah yang akan di bahas dan ada kaitannya
dengan skripsi ini.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan adalah antropologis, historis dan
komparasi. Dalam metode antropologis, yang menjadi objek kajiannya
adalah manusia dalam kaitannya dengan agama, yaitu bagaimana pikiran,
sikap dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan yang gaib.19
Antropologi mencoba mengungkapkan perilaku agama yang telah menjadi
kebiasaan pada diri seseorang, berdasarkan latar belakang keyakinan,
pengetahuan, norma serta nilai-nilai ajaran yang dianut. Dalam hal ini,
17Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan R&D
edisi iv cet. xix (Bandung: Alfabeta, 2014), h. 3. 18Mustika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
h. 3. 19Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h.
11.
13
antropologi memandang agama sebagai sistem budaya yang memberikan
kontrol terhadap perilaku seseorang.20
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori antropologi
fungsionalis yang dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski (1884-
1942). Teori ini beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan adalah
bagian-bagian yang berguna bagi masyarakat di mana unsur-unsur tersebut
berada. Pandangan fungsionalis menekankan bahwa setiap pola perilaku,
kepercayaan dan sikap yang menjadi bagian dari kebudayaan suatu
masyarakat, memiliki peran mendasar di dalam kebudayaan yang
bersangkutan.
Malinowski meyakini bahwa masyarakat harus dilihat dalam
keseluruhan fungsinya. Pandangan ini ingin memberikan penegasan bahwa
semua tradisi dan prakteknya harus dipahami dalam konteks utuhnya dan
dijelaskan berdasarkan fungsi-fungsi yang mereka penuhi manusia,
anggota masyarakat tersebut. Malinowski menegaskan, segala sesuatu
yang telah dilakukan manusia harus dijelaskan melalui peranannya pada
masa sekarang; bahkan tradisi-tradisi yang tampaknya seperti sekedar
sampah dari periode yang lebih awal pasti memiliki sebuah fungsi dan
fungsi tersebut adalah penjelasan sebenar-benarnya bagi eksistensi
mereka.21 Teori fungsional Malinowski cocok dengan penelitian ini karena
nantinya peneliti akan menjelaskan fungsi dari masing-masing dari
upacara siklus hidup yang dilaksanakan kedua suku yang mempunyai
makna yang sangat mendalam.
20Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h. 94. 21Yusron Razak, Erwan Nurtawaban, Antropologi Agama (Ciputat: UIN Jakarta Press,
2007), h. 20.
14
Adapun pendekatan historis ditempuh dengan cara menggunakan
penjajakan terhadap asal-usul sejarah lahirnya suatu agama, siapa tokoh
pembawa ajaran tersebut, sejarah pertumbuhan dan perkembangan
lembaga-lembaga keagamaannya serta ide-ide yang berkembang secara
periodik dalam kehidupan kemanusiaan.22 Karakter yang menonjol dalam
pendekatan ini adalah tentang signifikansi waktu dan prinsip-prinsip
kesejarahan tentang individualitas dan perkembangan. Melalui pendekatan
historis, peneliti dapat melakukan periodisasi atau derivasi sebuah fakta
dan melakukan rekonstruksi proses genesis: perubahan dan
perkembangan.23
Sedangkan pendekatan komparasi yaitu bersifat perbandingan;
menyatakan perbandingan.24 Marc Bloch, sejarawan Prancis, seperti
dikutip oleh Media Zainul Bahri, menggambarkan empat proyek studi
perbandingan, yaitu: (a) penyaringan (selection); bagaimana melakukan
seleksi terhadap beberapa fenomena atau lingkungan sosial yang berbeda,
(b) menggambarkan garis-garis evolusi fenomena atau keadaan sosial itu,
(c) melakukan pengamatan atas kesamaan dan perbedaan-perbedaan
diantara mereka, dan (d) sejauh kemungkinan yang dapat dicapai adalah
membeberkan penjelasan dan analisis kritis.25 Sehingga metode ini dalam
prosesnya mengkaji terlebih dahulu lalu menggambarkan keadaan objek
yang akan diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada –baik sumber
22Abdullah Ali, Agama dalam Ilmu Perbandingan,h. 83. 23Imam Suprayogo, Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001), h. 65. 24J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara, 2003), h. 186. 25Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 27-28.
15
primer atau sekunder- kemudian menganalisisnya secara komprehensif
serta membandingkan untuk mencari titik temu sehingga dengan demikian
akan ditemukan rincian jawaban atas persoalan yang terkait dengan pokok
permasalahan.
c. Sumber Data
Sumber data ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang dapat
memberikan data penelitian secara langsung. Sumber data primer ini
merupakan sumber utama, berupa karya yang ditulis langsung oleh
penganutnya sendiri maupun yang ahli dalam bidangnya atau hasil dari
wawancara. Beberapa tulisan yang menjadi sumber data primer adalah
Islam Wetu Telu Versus Waktu Lima karya Erni Budiwanti; Suku
Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat terbitan
Depdikbud dan Kaharingan; Akar-Akar Budaya Suku Dayak di
Kalimantan Tengah karya Syamsir Salam; Kaharingan Religi dan
Penghidupan di Penghulu Kalimantan karya Sarwoto Kertodipoero.
Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang materinya secara
tidak langsung berhubungan dengan masalah yang di ungkapkan. Sumber
data sekunder ini digunakan sebagai pelengkap dari sumber data primer.26
d. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dalam skripsi ini menggunakan buku Pedoman
Akademik Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh CeQDA (Centre for
26Suharsini Ari Kunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h.117.
16
Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2013.
E. Landasan Teori
1. Siklus Hidup
Di dalam KBBI dijelaskan, siklus merupakan putaran waktu yang di
dalamnya terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap
dan teratur; daru. Sedangkankan siklus hidup adalah putaran hidup dari
lahir sampai mati.27
Di dalam tradisi Kaharingan, siklus hidup dikenal dengan istilah
Selingkar Hidup, sementara tradisi Islam Wetu Telu menyebutnya dengan
istilah Gawe Urip-Gawe Pati. Gawe Urip adalah serangkaian aktivitas
ritual yang dilangsungkan dalam kehidupan seseorang. Sedangkan Gawe
Pati adalah serangkaian upacara yang dilakukan bagi yang sudah
meninggal.
2. Agama Lokal
Agama Lokal merupakan sistem keyakinan yang dianut, dihayati dan
dijalankan secara turun temurun oleh masyarakat nusantara jauh sebelum
masuk agama-agama yang datang kemudian.28 Agama/kepercayaan lokal
adalah agama yang berkembang dan dianut oleh komunitas di daerah
tertentu. Yang lahir dan tumbuh di nusantara, jauh sebelum adanya agama
Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Katolik dan Kristen. Ciri-ciri utamanya
27KBBI Online, diakses pada 9 September 2019 melalui https://kbbi.web.id/siklus. 28Sudarto, Kondisi Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2017), h. 10.
17
adalah keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, gotong royong dan
saling menghormati hubungan antar sesama manusia, alam dan Tuhan.29
3. Kaharingan
Kaharingan adalah kepercayaan tradisional Suku Dayak di
Kalimantan, ketika agama lain memasuki wilayah Kalimantan.30 Kata
Kaharingan berasal dari bahasa Sangiang (bahasa Dayak kuna). Akar kata
Haring yang artinya hidup atau kehidupan. Mendapat awalan ka dan
akhiran an. Jadi Kaharingan berarti sesuatu yang menjadi sumber
kehidupan atau sumber segala yang hidup.31
4. Islam Wetu Telu
IWT merupakan praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang
mendiami pulau Lombok di NTB. Mereka menjalankan Islam hanya 3
rukun saja yaitu membaca dua kalimat syahadat, shalat dan puasa.32 Wetu
Telu berarti waktu tiga. Penamaan ini diambil dari filosofi hidup yang
mereka –suku Sasak- anut, bahwa hidup itu ada 3 macam; melahirkan
(menganak), bertelur (menteluk) dan tumbuh (mentiuk).33
F. Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini penulis mencoba mengumpulkan beberapa karya dan
literatur terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian ini, di antaranya:
29Suhanah, Ed, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan KEMENAG, 2014), h. 5. 30Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses pada 9 September 2019 melalui
https://id.wikipedia.org/wiki/Kaharingan 31Buhol, dkk, Panaturan sebagai Pedoman Hidup Umat Hindu Kaharingan,
(Palangkaraya: STAHN-TP, 2016), h. 2-3. 32Wikipedia Bahasa Indonesia, diakses pada 9 September 2019 melalui
https://id.wikipedia.org/wiki/Wetu_Telu 33Zaki Yamani Athhar, “Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok”,
Ulumuna Vol. IX Edisi 15 no.1, Januari-Juni 2005, h. 75.
18
Pertama, skripsi yang ditulis oleh Annisa Rizky Amalia dengan judul
Tradisi Perkawinan Merariq Suku Sasak di Lombok (Studi Kasus Integrasi
Agama dengan Budaya Masyarakat Tradisional) yang menjelaskan
bagaimana terjadinya integrasi antara agama dan budaya dalam tradisi Merariq
Masyarakat Sasak. Dalam tradisi tersebut terlihat sekali akan kekentalan
budayanya, mulai dari perpaduan antara budaya Sasak, budaya Hindu Bali
serta beberapa unsur lainnya. Karena ada keterkaitan pembahasan, penulis
mengambil beberapa data yang diperlukan dari penelitian tersebut. Namun
perbedaan yang jelas adalah karya Rizky ini terfokus hanya pada merariq saja
sedangkan karya penulis hanya meletakkan merariq sebagai salah satu
rangkaian dalam upacara penikahan dalam tradisi IWT.
Kedua, karya Zaki Yamani Athhar dalam jurnal ULUMUNA dengan
judul Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok yang
membahas bagaimana sejarah perkembangan Wetu Telu bisa tersebar di pulau
Lombok yang di perkirakan sudah ada sejak abad XVI masehi, bagaimana
sebutan Wetu Telu diberikan pada masyarakat Bayan dan ritual
kemasyarakatan komunitas Wetu Telu yang terdiri dari 4 upacara; upacara
negara, upacara pertanian, upacara desa serta upacara menurut siklus
penanggalan agama. Kesemua seremonial itu semata untuk ngalap berkah dan
mengharap lindungan Tuhan serta wujud syukur akan nikmat-Nya. Yang
membedakan karya Zaki dengan karya penulis adalah penekanan penelitian
yang dilakukan oleh Zaki adalah terletak pada ritual kemasyarakatan.
Sedangkan penulis lebih condong pada siklus hidup berikut ritual yang
dilakukan oleh Kaharingan dan IWT. Penulis mengambil beberapa data dari
19
penelitian ini terutama dalam segi sejarahnya karena terdapat kesesuaian
diantara karya Zaki dengan penulis.
Ketiga, buku Erni Budiwanti yang berjudul Islam Wetu Telu versus
Waktu Lima yang berisi seluk beluk tentang Lombok, hubungan antara
Agama, Islam dan Adat yang erat kaitannya dengan ideal Islam dan idiom
adat, ideologi Pancasila dan Islam di bawah rezim Orde Baru dalam setting
sosial, kulturak dan politik, seluk beluk tentang Wetu Telu mulai dari
kepercayaan sampai praktek keagamaan dengan salah satu ritualnya adalah
ritus peralihan individual, otoritas kepemimpinan di Bayan yang terjadi
dikotomi antara pemangku adat dan agama, hubungan antara stratifikasi
masyarakat, perkawinan dan kedudukan wanita serta gerakan dakwah dan
dampak kulturalnya bagi masyarakat setempat.
Keempat, skripsi yang berjudul Agama dan Kebudayaan Kaharingan
di Kalimantan Menurut Para Penulis Indonesia (1990-2013) yang ditulis oleh
Mustika Diani Dewi membahas agama dan kebudayaan di Kalimantan
menurut 8 penulis di Indonesia. Secara garis besar, isi dari skripsi ini
dibedakan menjadi 2, yaitu masalah agama dan kebudayaan, yang di dalamnya
dijelaskan sedemikian rupa sehingga pada kesimpulan akhirnya ditemukan
suatu kesamaan dan perbedaan diantara penulis itu. Penulis mengambil
beberapa data yang salah satunya dalam hal pernikahan pada Suku Dayak
Kaharingan mengingat pemaparan Mustika bisa disesuaikan dengan penelitian
penulis yang salah satu bagian dari siklus hidupnya adalah pernikahan.
Perbedaan antara Karya penulis dengan mustika adalah penulis lebih
menekankan pada konteks siklus hidup sedangkan mustika lebih berbicara
20
pada tataran permukaan saja dan tidak mendalam yang kemudian antara
penulis satu dengan yang lain dibandingkan.
Kelima, sebuah karya yang ditulis oleh Martin Baier dalam Jurnal
Masyarakat dan Budaya dengan judul Perkembangan Sebuah Agama Baru di
Kalimantan Tengah yang berisi tentang sejarah perkembangan agama di suku
Dayak Ngaju dimulai sejak masa kolonial Belanda, asal mula “Kaharingan”
yang mendapat momentum bagus pada masa penjajahan Jepang karena untuk
pertama kalinya agama asli daerah dapat dianut dan diajar secara serius setaraf
dengan agama-agama lainnya, Kaharingan dan pengakuan negara, sebagai
akibat dari kebijakan Orde Baru yang mengharuskan setiap warga negara
memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah dengan bentuk konkretnya
adalah usaha perubahan oleh Tjilik Riwut pada 1953 sebagai usaha untuk
membuat Kaharingan dapat diterima.
Keenam, sebuah buku yang berjudul Kaharingan; Akar-Akar Budaya
Suku Dayak di Kalimantan Tengah karya Syamsir Salam yang berisi tentang
sejarah suku bangsa Dayak mulai dari asal usul suku Bangsa Dayak, macam-
macam suku Dayak serta susunan masyarakatnya, sendi-sendi kehidupan suku
Dayak dengan sistem sosial masyarakat dan mata pencahariannya, seputar
Kaharingan mulai dari sejarah dan dasar-dasar kepercayaannya, beberapa
upacara adat dan agama seperti upacara selingkar hidup, upacara adat
perkawinan adat kewarisan. Penulis banyak mengambil data dari buku
tersebut karena di dalamnya terdapat sejarah dan upacara selingkar hidup
Kaharingan tetapi yang membedakan diantara karya penulis dengan buku
tersebut adalah penelitan penulis diletakkan dalam konteks perbandingan
21
dengan suku lain, yakni IWT sedangakn karya Syamsir Salam hanya
membahas Kaharingan saja.
Dengan melihat karya-karya sebelumnya, penulis mendapatkan
beberapa data tambahan yang nantinya akan dimasukkan ke dalam penelitian
ini guna menunjang dan memperkuat argumen. Meskipun terdapat beberapa
titik persamaan, tetapi masih didapatkan beberapa isu yang belum dibahas
secara mendalam sehingga penulis menganggap perlu untuk dijadikan bahan
penelitian.
Adapaun perbedaan kajian yang akan penulis tulis dengan hasil
penelitian di atas, bahwa penulis akan memfokuskan diri pada analisa yang
mendalam mengenai komparasi antara siklus hidup yang ada pada agama
lokal Kaharingan dan Islam Wetu Telu menggunakan metode library research
dengan pendekatan deskriptif, analitis, komparatif.
Dengan demikian penelitian yang akan dilakukan oleh penulis
merupakan penelitian pertama yang membahas tentang ”Siklus Hidup Dalam
Agama Lokal; Studi Komparatif Ajaran Selingkar Hidup Kaharingan dan
Gawe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu”.
G. Sistematika Penulisan
Agar memudahkan penulisan skripsi ini maka dalam pembahasannya
telah dibagi kedalam beberapa bab dengan perincian sebagai berikut:
Bab Pertama :Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian
pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
22
Bab Kedua :Menguraikan seputar agama lokal di Indonesia dan
eksistensinya saat ini.
Bab Ketiga :Menguraikan sejarah singkat dan siklus hidup di dalam tradisi
Kaharingan dan Islam Wetu Telu.
Bab Keempat :Menganalisa dan membandingkan konsep selingkar hidup
Kaharingan dan gawe urip-gawe pati Wetu Telu.
Bab Kelima :Merupakan penutup dari skripsi ini yang terdiri dari
kesimpulan dan saran-saran dari penulis serta daftar pustaka
yang digunakan sebagai bahan rujukan.
23
BAB II
AGAMA LOKAL DI INDONESIA
A. Definisi Agama Lokal
Istilah Agama Lokal, dalam hal ini bisa disamakan dengan penggunaan
istilah agama asli atau agama pribumi. Yang dimaksud dengan agama asli
adalah sebuah agama yang bukan datang dari luar suku penganutnya.
Karenanya, agama asli kerap juga disebut agama suku atau kelompok
masyarakat. Agama ini lahir dan hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap
aspek kehidupan suku penganutnya. Agama ini telah dianut oleh suku
penganutnya jauh sebelum agama dunia diperkenalkan kepada suku itu.34
Terdapat tiga prinsip yang terus dipegang oleh penganut agama lokal di
Nusantara menurut Arkeolog Agus Widiatmoko: meyakini hubungan antara
manusia dengan Yang Kuasa, hubungan manusia dengan manusia serta
hubungan manusia dengan tumbuhan, hewan dan lingkungan.
Agama Lokal atau disebut juga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa merupakan sistem keyakinan yang dianut, dihayati dan dijalankan
secara turun temurun oleh masyarakat nusantara jauh sebelum masuk agama-
agama yang datang kemudian. Rahmat Subagya menyebutnya sebagai agama
asli. Dalam bukunya Agama Asli Indonesia, sebagaimana dikutip oleh
Sudarto, Subagya mendefinisikan agama lokal Nusantara sebagai sistem
34Kiki Muhammad Hakiki, “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran
Kebatinan)” Analisis, Vol. XI, No. 1, Juni 2011, h. 162.
24
spiritualitas asli yang tidak bercampur dengan agama-agama lain yang datang
ke Nusantara kemudian.35
Agama/kepercayaan lokal adalah agama yang berkembang dan dianut
oleh komunitas di daerah tertentu. Agama lokal nusantara, memiliki berbagai
nama, yang lazim digunakan di tempat mereka hidup sehari-hari. Agama asli
nusantara adalah agama lokal. Yang lahir dan tumbuh di nusantara, jauh
sebelum adanya agama Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Katolik dan
Kristen. Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi
mengetahui bahwa sebelum adanya agama-agama tersebut di atas, telah ada
agama lokal yang jauh lebih tua. Ciri-ciri utamanya adalah keyakinan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, gotong royong dan saling menghormati hubungan
antar sesama manusia, alam dan Tuhan. Masyarakat penganut
agama/kepercayaan lokal menyebut nama agama-agama mereka sesuai dengan
bahasa masing-masing.36
Menurut Engkus Ruswana, salah satu pimpinan Majelis Luhur
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) yang dikutip
dari SUARA menyatakan bahwa sebelum agama yang diakui negara seperti
Islam, Kristen, Hindu, dll masuk, Indonesia sudah mempunyai kepercayaan
lokal. Dan itulah yang disebutnya sebagai agama asli Nusantara. Dalam sistem
kepercayaan penghayat, mereka bukan hanya menghargai para leluhur, tapi
juga Tuhan. Mereka mempunyai Tuhan. Tapi bedanya dengan agama lain
yang berhubungan langsung dengan Tuhan, mereka tidak. Mereka mempunyai
35Sudarto, Kondisi Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan Terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2017), h. 10. 36Suhanah, Ed, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan KEMENAG, 2014), h. 5.
25
para leluhur untuk dihormati. Sebab karena leluhur mereka ini ada. Warisan
budaya, bercocok tanam, sampai sistem kehidupan, itu dibuat oleh para
leluhur. Sementara kelompok penghayat kepercayaan yang ingin tetap
memegang teguh kepercayaan mengasingkan diri ke tempat-tempat terpencil
agar nilai-nilai leluhur tetap terjaga. Mereka mengasingkan diri ke Tengger
atau juga Baduy. Mereka ingin pemurnian ajaran.37
David Barret dan Todd Johnsond dalam statistik agama-agama yang
setiap tahun diterbitkan oleh International Bulletin of Missionary Research
penganut agama lokal di dunia ini pada laporan tahun 2003 saja adalah sebesar
237.386.000 orang.38 Jumlah itu pada tahun 2003 diperkirakan hanya 3,78%
dari total penduduk dunia yang kini berjumlah hampir 6,3 miliar manusia.
Dibandingkan dengan kondisi Indonesia, maka penganut agama lokal hanya
sekitar 1% saja dari total penduduk Indonesia. Kebanyakan dari mereka
tinggal di Papua, Sumba, Pedalaman Sumatra, pedalaman Kalimantan dan
pedalaman Sulawesi serta beberapa daerah pulau Jawa.
Semasa penjajahan, penganut agama lokal banyak mengalami
perlakuan tidak mengenakkan dan diskrimatif. Orang-orangnya dimasukkan
ke kategori ‘kafir’ (heidenen) sebagai ‘a residual factor’ (barang yang tersisa).
Karena pemerintah kolonial tidak berkontak dengan rakyat jelata yang
mayoritasnya beragama asli tetapi hanya dengan pengusaha-pengusaha feodal
yang kurang lebih kehinduan dan keislaman, peraturan-peraturan kolonial
berpedoman pada agama monoritas lapisan atas. Peraturan tahun 1895, no.
37Pebriansyah Ariefana, “Engkus Ruswana: Jumlah Penghayat Kepercayaan Diprediksi
Bertambah”, SUARA, Senin 13 Oktober 2017. 38David Barret dan Todd Johnson, “Annual Statistical Table on Global Mission: 2003”
dalam International Bulletin of Missionary Research, vol. 27, No. 1, Th. 2003, h. 25.
26
198, misalnya mewajibkan agar semua perkawinan dari orang yang bukan
Kristen dan bukan Hindu dilakukan menurut hukum Islam demi
penyederhanaan administrasi perkawinan.39
Setelah Indonesia merdeka, kesadaran unuk mengembangkan
agama/kepercayaan lokal tumbuh berkembang sesuai UUD dan kebijakan
pemerintah terkait dengan agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa. Pada tahun 1965 muncul PNPS yang menyebutkan beberapa agama yang
hidup dan dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia. Disamping itu
terdapat kelompok-kelompok keagamaan/kepercayaan lokal yang pada masa
Orde Baru diintegrasikan kepada agama-agama induknya, kebijakan
pemerintah terhadap penganut agama lokal juga diarahkan kembali ke agama
asal. Namun bagi penganut kepercayaan yang tidak memiliki latar belakang
ajaran pada agama besar, pembinaannya ditangani oleh Kemendikbud.40
B. Eksistensi Agama Lokal di Indonesia
Eksistensi kelompok faham keagamaan lokal sedang bergelut
menghadapi tantangan yang tidak ringan, terutama dari pengaruh modernitas
dan peradaban global, di samping tekanan-tekanan dari kelompok umat
beragama (agama besar) disekitarnya yang menghendaki pola perilaku dan
faham keagamaan lokal mereka berubah. Lebih jauh kelompok faham
keagamaan lokal tersebut juga dihadapkan pada permasalahan internalnya
masing-masing, utamanya karena terbatasnya SDM yang berkualitas,
miskinnya dana pendukung aktivitas keagamaan dan terbatasnya kemampuan
disseminasi nilai-nilai ajaran pada generasi selanjutnya. Namun demikian,
39Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 240. 40Suhanah, Ed, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, h. 5.
27
secara umum mereka masih dapat mempertahankan eksistensi faham
keagamaan kelompok dan nilai-nilai ajaran yang diwariskan oleh generasi
terdahulu hingga saat ini. Ada beberapa faktor yang menjadi penyangga masih
eksisnya faham kelompok keagamaan yang bersifat lokal tersebut:
Pertama, dari aspek yuridis, kelompok faham keagamaan yang bersifat
lokal masuk dalam bingkai yang tetap dilindungi oleh Undang-Undang Dasar
1945, khususnya pasal 29 yang menyatakan:a; Negara berdasarkan pada
Ketuhanan yang Maha Esa. b; Negara menjamin kebebasan setiap warga
negara untuk memilih agamanya sendiri, dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Bahkan mereka juga memperoleh pembinaan dari
pemerintah meskipun bagi mereka pembinaan yang diterimanya masih
dirasakan sangat minim.
Kedua, dari aspek historis, pada umumnya kelompok faham
keagamaan lokal telah muncul sejak lama. Mereka mengakui bahwa
kepercayaan lokal yang dianut tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur
falsafah negara Pancasila, UUD’45 dan NKRI. Bahkan mereka mempercayai
faham keagamaan lokal yang dianut merupakan agama asli masyarakat
Indonesia, yang prinsip ajarannya sudah berurat berakar sejak sebelum agama
tradisi besar seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu
berkembang pesat di Indonesia.
Ketiga, kelompok faham keagamaan lokal tersebut tetap terpelihara
dan eksis karena nilai-nilai ajaran yang dikembangkan masih memiliki banyak
penganut dan tetap relevan dengan kebutuhan zaman dan tidak berbenturan
secara signifikan dengan lingkungan sekitarnya. Nilai-nilai ajaran penganut
28
faham keagamaan ini juga dipandang bersifat universal, adaptif dengan
suasana lingkungan, inklusif, toleran, sehingga tidak bertentangan dengan
norma yang berlaku dalam masyarakat sekitar. Memang dalam skala tertentu
sebagian dari faham dan perilaku keberagamaan mereka nampak unik,
eksklusif dan berbeda dengan faham keagamaan mainstream. Karena itulah
kadangkala mereka mengalami penentangan oleh sebagian kelompok-
kelompok penganut umat beragama tradisi besar lain di sekitarnya, khusunya
mereka yang penganut faham keagamaan relatif bersifat fanatik,
fundamentalis dan ekstim.41
Eksistensi kepercayaan lokal di Indonesia tergantung pada sikap
kepercayaan lokal sendiri terhadap kebijakan-kebijakan negara. Kepercayaan
lokal akan terus ada selama pengikutnya masih menjaga tradisi-tradisi leluhur
dan berkomitmen terhadap pemerintah. Penganut kepercayaan tetap
mendapatkan hak-hak sebagai warga negara dan pemerintah dapat melindungi
mereka melalui wewenang Depdikbud. Relasi ini akan berpengaruh terhadap
eksistensi mereka, sebab keberadaan kepercayaan lokal akan dilindungi dalam
peraturan negara, meskipun tidak diakui sebagai agama nasional. Membangun
hubungan yang baik adalah kunci utama bagi pluralitas di Indonesia sebagai
bagian dari kekayaan bangsa.
Relasi yang baik antara kepercayaan lokal dan negara bukan berarti
berlangsung tanpa tantangan. Modernitas merupakan ancaman bagi
kepercayaan lokal yang dapat mempengaruhi relasinya dengan pemerintah.
Perkembangan teknologi yang menguasai bidang pendidikan, ekonomi, dan
41Prolog Imam Tholkhah (Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan) dalam
buku Achmad Rosidi, Ed, Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia, (Jakarta:
KEMENAG, 2011), h. xvi-xvii.
29
sosial yang dibawa oleh orang luar kepercayaan lokal dapat menjadi faktor
yang mempengaruhi eksistensi kepercayaan lokal. Generasi muda yang mulai
mengenal dunia luar tentu menginginkan adanya inovasi dari kepercayaan
lokal tersebut, bahkan akulturasi budaya. SDM yang dibutuhkan untuk
mengolah SDA mengharuskan para penganutnya mencari pengetahuan-
pengetahuan yang mendukung eksplorasi SDA melalui lembaga-lembaga
pendidikan. Pendidikan dan faktor ekonomi akan mengubah tatanan sosial
baik dalam hubungan antar individu dalam komunitas tersebut maupun diluar
komunitasnya.
Tantangan-tantangan tersebut seharusnya dapat disikapi dengan bijak
oleh penganut kepercayaan lokal. Kunci eksistensi kepercayaan lokal berada
pada faktor internal kelompok itu sendiri. Faktor internal yang dimaksud
meliputi bagaimana penganut kepercayaan lokal menyikapi tantangan-
tantangan, bagaimana mereka menjaga nilai-nilai tradisi yang telah diwariskan
secara turun temurun, dan bagaimana menyeimbangkan pengaruh modernitas
dan tradisi lokal.42
Relasi antara Agama Lokal dengan Negara sudah tidak ada
permasalahan lagi terutama setelah dikabulkannya gugatan judicial review
yang diinisiasi oleh 4 orang perwakilan dari Komunitas Marapu, Parmalim,
Ugamo Bangsa Batak serta Sapta Dharma dengan pembatalan keputusan Pasal
61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU Adminduk sebagaimana telah diubah
dengan UU nomor 24 Pasal 61 dan 64 Tahun 2013 tentang Adminduk oleh
MK dengan mengeluarkan keputusan Nomor 97/PUU-XIV/2016. Para
42Arbi Mulya Sirait, dkk, “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia” Jurnal
Kuriositas Edisi VIII Vol. 1, Juni 2015, h. 34-35.
30
penganut agama lokal sudah tidak terlalu diresahkan lagi mengenai berbagai
macam diskriminasi yang sudah lama mereka alami terutama berkaitan
dengan karir dan hubungan sosio-kultural mereka. Kedepan, mereka sudah
bisa mencantumkan kolom kepercayaan di dalam KTP sehingga dengan ini
diharapkan bisa menunjang perkembangan karir dan mendapatkan layanan
pemerintah layaknya masyarakat pada umumnya.
Terkait langsung dengan Kaharingan, terlebih dengan terdapatnya
berbagai lembaga yang terkait dengan Kaharingan, seperti Majelis Besar
Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) dan Majelis Daerah Agama Hindu
Kaharingan (MDAHK) yang semua itu bisa menjadi wadah para penganutnya
untuk menyuarakan dan menyampaikan aspirasi serta hak dan tanggung jawab
sebagai warga negara, maka tentu kedepannya tidak akan banyak
permasalahan yang akan timbul dan justru mereka akan terbantu dengan
adanya lembaga tersebut di atas sehingga masa depan Kaharingan di Indonesia
akan cerah dan akan selalu eksis tak lekang oleh perubahan zaman.
Sementara para penganut IWT, Masalah administrasi kependudukan
yang tercantum dalam KTP, kolom agama dituliskan Islam. Ini merupakan
bukti bahwa mereka beragama Islam dan ini yang membedakan mereka
dengan kelompok-kelompok lainnya seperti kepercayaan Kaharingan, Madrais
atau penganut kebatinan atau kepercayaan yang mengosongkan kolom agama
dalam kartu identitas mereka (sebelum keputusan MK tentang UU Adminduk
tahun 2017). Dengan kata lain, orang Bayan mengidentifikasi diri mereka
31
sebagai Islam atau mengaku Muslim dalam administrasi kependudukan
mereka (KTP, ijazah, akta lahir, surat nikah, paspor, dll).43
C. Siklus Hidup Agama Lokal
Masyarakat Indonesia dari dulu telah dikenal luas sebagai masyarakat
yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi nenek moyangnya. Tradisi
yang sarat dengan nilai-nilai luhur kebudayaan tersebut diwariskan secara
turun temurun oleh tiap generasi ke generasi berikutnya. Di Keraton
Yogyakarta misalnya, berbagai macam hal tersebut diejawantahkan menjadi
sebuah acara-acara khusus yang seringkali dikenal banyak orang dengan
istilah upacara tradisi. Upacara tradisi sendiri adalah upacara yang penuh
dengan makna simbolik yang bisa mencerminkan nilai-nilai budaya yang
berlaku dalam masyarakat.44
Ada beberapa bentuk upacara tradisi yang saat ini diselenggarakan
oleh masyarakat. Namun, biasanya upacara tradisi yang paling sering dijumpai
adalah yang berkaitan dengan upacara siklus hidup (daur hidup) seseorang.
Upacara daur hidup adalah bentuk upacara adat sebagai wujud realisasi dari
penghayatan manusia terkait dengan fase penting kehidupannya. Upacara
siklus kehidupan dalam suatu masyarakat dibagi dalam beberapa tingkat yang
disebut stage along the life cycle, yaitu fase kehamilan, masa kanak-kanak,
remaja, dewasa dan kematian. Pada saat peralihan, waktu para individu beralih
dari satu tingkat hidup ke tingkat hidup yang lain, biasanya diadakan
43Arbi Mulya Sirait, dkk, “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia” Jurnal
Kuriositas Edisi VIII Vol. 1, Juni 2015, h. 33. 44Anonim, Upacara Daur Hidup Masyarakat Jawa, diakses dari
https://www.kratonjogja.id/hajad-dalem/10/upacara-daur-hidup-masyarakat-jawa, pada 09
November 2019.
32
selamatan-selamatan atau upacara sebagai perwujudan sikap tunduk dan takut
terhadap Tuhan atau sesuatu yang dianggap sakral maupun takut berdosa
apabila tidak melaksanakannya.45
Arnold Van Gennep46 secara sistematis membandingakan upacara-
upacara yang merayakan perubahan seorang individu dari satu status ke status
lain dalam suatu masyarakat tertentu berdasarkan data etnografi dari seluruh
dunia. Dia berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada
asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat
kehidupan sosial antar warga masyarakat. Dia menyatakan bahwa kehidupan
sosial dalam tiap masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval waktu
tertentu, memerlukan apa yang disebutnya “regenerasi” semangat kehidupan
sosial. Hal itu disebabkan karena selalu ada saat-saat di mana semangat
kehidupan sosial menurun dan sebagai akibatnya akan menimbulkan kelesuan
dalam masyarakat.47
Lebih lanjut, Van Gennep menyatakan bahwa dalam tahap-tahap
pertumbuhan sebagai individu (lahir, masa kanak-kanak, dewasa, menikah,
masa tua, dan meninggal) manusia mengalami perubahan-perubahan biologis
serta perubahan dalam lingkungan sosial dan kebudayaannya yang dapat
mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Untuk menghadapi
tahap pertumbuhan yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya, manusia juga
memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan. Dia menganggap rangkaian
45DEPDIKBUD, Arti dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup pada Masyarakat
Betawi, (Jakarta: Dirjen Kebudayaan, 1993), h. 2. 46Memiliki nama lengkap Arnold Kurr van Gennep (1873-1957) adalah seorang ahli
etnografi Prancis dan ahli cerita rakyat yang dikenal karena kajiannya pada bidang ritual di
berbagai kebudayaan. Karya utamanya adalah “The Rites of Passage”. 47Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987), h. 74.
33
ritus dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan atau siklus hidup (life
cycle rites) individu, sebagai rangkaian ritus dan upacara yang paling penting
karena menciptakan peristiwa publik yang merayakan proses transisi
seseorang dan meneguhkan kembali nilai-nilai luhur masyarakat tersebut
dalam menuntun tingkah laku masyarakatnya demi keberlangsungan
komunitasnya.48
Van Gennep membagi semua ritus dan upacara menjadi tiga bagian,
yaitu: (1) perpisahan atau separation phase. Manusia melepaskan
kedudukannya yang semula. Acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-
tindakan yang melambangkan perpisahan. Ritus ini tercermin dalam upacara
kematian. Upacara kematian diyakini sebagai suatu proses peralihan menuju
kehidupan yang baru di alam baka atau juga individu yang mati harus
diintegrasikan ke dalam kehidupan yang baru di antara makhluk halus yang
lain di alam baka. (2) peralihan atau marge/liminal phase. Upacara ini sebagai
inisiasi dan menandakan peralihan ke masa selanjutnya. Setiap individu perlu
dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang
baru nanti. Dalam tahapan ini, para anak muda yang sedang menjalani upacara
itu dipersiapkan untuk kehidupan sosialnya sebagai orang dewasa dalam
masyarakat. (3) integrasi kembali atau reincorporation phase, mereka
diresmikan ke dalam tahap kehidupan serta lingkungan sosial yang baru.
Individu yang bersangkutan secara pralambang seakan-akan dilahirkan
48David G. Blumenkrantz, Marc B. Goldstein, “Rites of Passage as a Framework for
Community Interventions with Youth”, Global Journal for Community Psychology Practice, Vol.
1, Issue 2 (September 2010), h. 42.
34
kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke dalam lingkungan sosial yang
baru.49
Upacara-upacara pada saat peralihan sepanjang life cycle itu sifatnya
universal yang biasanya terdapat pada kebudayaan yang berkembang di dalam
tradisi lokal. Hanya saja tidak semua saat-saat peralihan dianggap sama
pentingnya dalam semua tradisi. Demikian pula dengan adanya perkembangan
kebudayaan, tidak semua upacara siklus hidup masih dipertahankan dan
dilaksanakan oleh masyarakat.
Dalam perkembangan kehidupan saat ini, upacara tradisi ini mulai
ditinggalkan atau dikurangi kelengkapannya akibat faktor ekonomi ataupun
kepraktisan. Karena memang sebuah proses upacara tradisi selain sarat dengan
komitmen dan keteguhan hati untuk melaksanakannya, juga membutuhkan
biaya yang tidak sedikit dalam persiapan dan penyelenggaraan.
Tradisi Kaharingan menyebut upacara siklus hidup dengan Selingkar
Hidup, sementara tradisi Islam Wetu Telu membahasakannya sebagai ritual
Gawe Urip-Gawe Pati. Gawe Urip adalah serangkaian aktivitas ritual yang
dilangsungkan dalam kehidupan seseorang atau selama manusia itu hidup di
dunia. Sedangkan Gawe Pati adalah serangkaian upacara yang dilakukan bagi
yang sudah meninggal.
49Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, h. 75.
35
BAB III
SIKLUS HIDUP DALAM KAHARINGAN DAN ISLAM WETU TELU
A. Sejarah Singkat Kaharingan
Penduduk asli yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah, seperti
juga penduduk asli yang mendiami pulau Kalimantan umumnya dikenal
dengan sebutan orang Dayak. Penggunaan istilah Dayak pada mulanya
diperkenalkan oleh seorang misionaris dan ahli bahasa yang bernama August
Hardeland. Di daerah Kalimantan Tengah sistim kepercayaan lama yang
diperoleh secara turun temurun dikenal dengan istilah Kaharingan, sehingga
orang-orang banyak mengenal agama asli penduduk Kalimantan sebagai
Kaharingan.50
Kata Kaharingan berasal dari bahasa Sangiang (bahasa Dayak kuna).
Akar kata Haring yang artinya hidup atau kehidupan. Mendapat awalan ka
dan akhiran an. Jadi Kaharingan berarti sesuatu yang menjadi sumber
kehidupan atau sumber segala yang hidup. Sebelum perang dunia II,
Kaharingan dikenal dengan istilah “Agama Helu” (agama dulu) yang artinya
agama yang pertama. Jadi Kaharingan adalah agama yang pertama dikenal
pada kalangan masyarakat Kalimantan Tengah. Kemudian sejak
berintegrasinya umat Kaharingan dengan Agama Hindu pada tahun 1980,
maka sebutan Kaharingan digunakan sebagai sebutan bagi penganut agama
Hindu etnis Dayak Kalimantan.
Istilah Kaharingan baru digunakan setelah perang dunia II, ketika
penduduk pribumi di Kalimantan timbul suatu kesadaran akan kepribadian
50L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah, (Jakarta: Depdikbud, 1981), h. 20.
36
kebudayaan mereka sendiri, dan suatu keinginan kuat untuk menghidupkan
kembali kebudayaan Dayak yang asli.51 Istilah Kaharingan pada awal mulanya
muncul pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Nama Kaharingan
diusulkan oleh Damang Y. Salilah untuk memberi nama pada kepercayaan
yang berkembang di Kalimantan Tengah. Sebelum diperkenalkannya istilah
Kaharingan, semua kepercayaan yang berkembang di Kalimantan Tengah
dahulunya dikenal dengan berbagai nama misalnya agama Tempon, Telon,
agama Helo, Hiden, Kapir, dan sebagainya. Penggunaan istilah Kaharingan
yang pada awalnya direstui oleh pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia
tersebut kemudian terus berlanjut.52
Awal penyebutan Kaharingan secara kelembagaan dimulai ketika
berdirinya Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) pada tahun 1950.
Pembentukan SKDI ini juga menandai awal dari keinginan para pemeluk
Kaharingan untuk menjadi agama dan menyusun Panaturan53 sebagai sumber
dari berbagai ajarannya. Kaharingan adalah agama yang dipercaya diajarkan
(diwahyukan) oleh Bawi Ayah, malaikat yang telah diutus oleh Ranying
Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Kuasa) turun ke dunia dengan Balai
51Buhol, dkk, Panaturan sebagai Pedoman Hidup Umat Hindu Kaharingan,
(Palangkaraya: STAHN-TP, 2016), h. 2-3. 52L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah, h. 20. 53Kitab suci Panaturan diyakini dan sebagai pedoman hidup bagi umat Hindu Kaharingan
yang merupakan sumber ajaran, bimbingan, dan tauladan yang sangat diperlukan di dalam
menjalankan kehidupannya sehari-hari. Kitab suci Panaturan yang merupakan wahyu dari Ranying
Hatalla Langit yang mengandung ajaran atau pedoman hidup di dunia ini dan di akhirat nanti
merupakan penuntun tindakan umat Hindu Kaharingan sejak ia dilahirkan sampai ia kembali
kepada Ranying Hatalla Langit. Ajaran atau pedoman yang tertulis di dalam Kitab Suci Panatruan
tidak hanya terbatas sebagai tuntunan hidup individual melainkan juga sebagai tuntunan hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ajaran yang tertulis ini diwahyukan oleh Ranying
Hatalla Langit dan diterima oleh para Basir (Ulama Hindu Kaharingan) dan disampaikan secara
lisan di dalam segala kegiatan ritual keagamaan. Di dalam kitab suci Panaturan yang dikeluarkan
oleh Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MB-AHK) cetakan tahun 2001 memuat 63 pasal
yang terdiri dari 2951 ayat. (https://tampungpenyang.wordpress.com/2009/10/29/kitab-suci-hindu-
kaharingan/, diakses pada Senin, 08 April 2019).
37
Kaharingan atau Balai Basarah sebagai tempat ibadahnya.54 Mereka memiliki
waktu ibadah rutin yaitu setiap kamis atau malam jumat. Bentuk ibadah
(ritual) dalam Kaharingan ada dua, yaitu Manyanggar dan Basarah.
Manyanggar adalah ritual memberikan sesajen kepada makhluk-makhluk
halus agar tidak mengganggu (menghindari tempat tersebut). Sesajen itu
diletakkan di tempat yang diperkirakan ada makhluk halusnya. Basarah
artinya menyerahkan diri kepada Tuhan, yang dilakukan di Balai
Kaharingan.55
Sebenarnya tidaklah semua orang menamakan kepercayaan mereka itu
“Kaharingan”. Mereka sendiri lazim menyebutnya agama helu dan kadang-
kadang juga “agama biasa” yang kalau kita tanyakan apa maksud agama biasa
itu mereka menjawabnya “yang bukan Islam, Kristen, bukan....”. terkadang
mereka memakai nama suku untuk menyebut agama mereka; orang-orang
Dusun menyebut agama mereka agama Dusun, orang-orang Lawangan
mengaku beragama Lawangan, orang-orang Bahau beragama Bahau, selain
itu, dipakai juga istilah-istilah Agama Tantaulang, Agama Dayak, serta masih
banyak lagi. Namun diantara sebanyak itu, istilah Kaharingan lah yang paling
umum dipakai.56
Kaharingan mengajarkan kepada masyarakat penganutnya, dalam hal
ini suku Dayak, untuk menghormati arwah nenek moyang (ngaju laiu).
Mereka menganggap bahwa arwah nenek moyang itu selalu memperhatikan
54Neni Puji Nur Rahmawati, Moch Andre WP, Mengenal Kaharingan, (Pontianak: Top
Indonesia, 2015), h. 3-4. 55Wahid Sugiyarto, “Eksistensi Agama Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya
Kalimantan Tengah” Harmoni vol. 15 No. 3, September-Desember 2016, , h. 111. 56Sarwoto Kertodipoero, Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghulu Kalimantan,
(Muara Teweh: Sumur Bandung, 1963), h.13.
38
serta melindungi anak cucunya yang masih hidup di dunia. Selain itu, mereka
juga percaya bahwa jiwa (ngaju hambaruan) orang yang mati itu
meninggalkan tubuh kemudia menempati alam sekeliling tempat tinggal
manusia yang disebut sebagai liau (dalam bahasa Ot-Danum disebut rio).57
Menurut kepercayaan para pemeluknya, Kaharingan tidak dimulai sejak
zaman tertentu namun sejak awal penciptaan, sejak Ranying Hatalla
menciptakan manusia. Ranying berarti Maha Tunggal, Maha Agung, Maha
Mulia, Maha Jujur, Maha Lurus, Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Suci, Maha
Pengasih dan Penyayang, Maha Adil, Maha Kekal dan Maha Mendengar.
Hatalla berarti Maha Pencipta.58
B. Selingkar Hidup Dalam Kaharingan
1. Upacara Kelahiran
Jauh sebelum seorang bayi dilahirkan, terhadap si ibu sudah dikenakan
berbagai macam pantangan (pali,padi). Ia dilarang mengikat-ikat tali,
menganyam tikar, menganyam bakul. Semua perbuatan yang bersifat
mengikat termasuk kategori pantangan tersebut. Sang ibu pun dilarang
memakan beberapa jenis makanan misalnya tunggul pisang, kura-kura,
tombong nyiur, dsb. Termasuk pantangan juga membunuh binatang,
menancapkan tiang. Semakin dekat waktu kelahiran, makin keras pula
pali-pali tersebut. Semua itu dimaksudkan agar si bayi nanti lahir dengan
mudah dan gampang. Anjuran yang diyakini baik bagi wanita setelah
melahirkan adalah duduk nyandar (kaki lurus badan nyandar di dinding)
57DEPDIKBUD, Sejarah Kebudayaan Kalimantan, (Jakarta: CV. Dwi Jaya Karya, 1994),
h. 63. 58Neni Puji Nur Rahmawati, Nilai-Nilai Budaya dalam Upacara adat Manyanggar di
Kota Palangkaraya, h. 45.
39
selama satu bulan biar darah putih tidak naik ke kepala, takut jadi gila bisa
juga buta. Makanan yang dianjurkan nasi putih dengan garam dan daun
bungkal selama tiga hari.59Ketika sang ibu mau melahirkan, dipanggillah
seorang dukun beranak (bidan). Seringkali pada saat-saat bayi akan lahir,
sang ayah berlari-lari turun kebatang melepaskan tali-tali perahu ataupun
tali-tali yang lain. Pelepasan tali itu dimaksudkan agar kelahiran calon
bayi berjalan dengan mudah dan lancar. Di sini sang ayah mencoba
mempengaruhi daya-daya magi dalam alam semesta.60
Masa mengandung dianggap sebagai masa kritis baik terhadap janin
maupun kepada ibu yang mengandungnya. Masa tersebut penuh dengan
ketidakpastian, yaitu apakah bayi tersebut dapat lahir dengan selamat atau
tidak. Gangguan-gangguan yang bisa timbul pada saat seperti ini misalnya
perut mulas, perut yang sakit amat sangat dan dapat menyebabkan
keguguran atau anak yang dikandungan itu hilang demikian saja.
Gangguan itu diyakini oleh orang dayak berasal dari roh-roh gaib yang
merasa terganggu dan tersinggung akibat dari salah perbuatan dari pihak
keluarga ataupun sekitar. Untuk menangkal, memohon pertolongan atau
mengusir roh-roh jahat tersebut dapat dilakukan dengan suatu upacara
yang disebut dengan bagantung sahut dengan maksud untuk meminta
bantuan, mengadakan perjanjian dan pengakuan kesalahan dengan roh-roh
halus yang disebut dengan saudara empat. Bila permintaan dikabulkan
atau perjanjian dapat diterima, berarti roh halus saudara empat itu untuk
59 Suprabowo, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas”, KESMAS
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional vol.1, no.3 (Desember 2006): h. 115-116.
60Sarwoto Kertodipoero, Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghulu Kalimantan,
h. 54.
40
seterusnya akan bertindak sebagai penjaga atau akan melindungi hingga
bayi dilahirkan.61
Setelah lahir, segeralah digantungkan daun-daunan atau juga sehelai
tikar dimuka rumah sebagai tanda tabu bagi rumah itu. Para tetangga
hanya boleh memasuki rumah tersebut sesudah mereka masing-masing
menancapkan tanda ganti pali dimuka rumah berwujud sehelai daun atau
sebuah ranting berdaun. Tembuni (placenta) yang telah dipotong dengan
sekerat buluh tajam di atas sebuah pelantan-pelawai (tangkai belajung)
kemudian diselenggarakan sebaik-baiknya dengan ditaruh di dalam sebuah
bakul kecil (pansyuk). Sebelum dimasukkan, pada dasar bakul ditaruhkan
sedikit beras ketan (lekatan), di atas lekatan tersebut ditaburkan sedikit
garam dan barulah tembuni itu dimasukkan. Di atasnya diletakkan lagi
lekatan, masukkan garam lagi dan paling atas buluh alat pemotong serta
tangkai belajung tadi. Bakul kemudian digantungkan di atas pohon dan
ada pula yang ditanam di dalam tanah.
Upacara mampandoi (memandikan bayi) diadakan setelah tali pusar si
bayi putus. Oleh sang bidan –untuk pertama kalinya- dibawa turun ketepi
kali dimandikan. Pada upacara ini dibuat juga sebuah patung dari tepung
beras yang bersamaan dengan sajiang yang lain dilabuhkan kedalam air.
Patung tersebut sebagai ganti diri pribadi si bayi yang dipersembahkan
kepada roh-roh air. Lazimnya dalam upacara ini pula kepada si anak
dipilihkan sebuah nama baginya. Bilamana sebelum kelahiran bayi sang
orang tua mengucapkan suatu hajat, misalnya akan menyembelih babi bila
61Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan
Tengah, h. 179-180.
41
bayinya laki-laki, maka dalam upacara mampadoi itulah hajat tadi dibayar.
Seluruh isi kampung serta kampung disekitarnya diundang. Tak lupa
dalam upacara ini orang memanggil arwah para leluhur serta sangiang-
sangiang di langit agar ikut menyaksikan pesta serta memberikan berkah
keselamatan bagi si anak beserta orang tuanya. Malam harinya dilanjutkan
dengan makan-makan, minum tuak serta menari-nari sampai pagi.
Lazim pula digabungkan dengan mempandoi ini sebuah upacara yang
lain, yaitu memalas bidan. Upacara ini bermaksud untuk melepaskan
bidan dari segala mara bahaya, penyakit, berhubung beberapa waktu
lamanya ia telah bekerja terkena darah. Dalam kesempatan itu kepadanya
diucapkan rasa terimakasih karena telah mengurus kelahiran serta merawat
sang jabang bayi beserta orang tuanya dengan baik. Kepadanya diserahkan
sejumlah uang serta sehelai kain (bahalai) sebagai pembalas jasa
(tambai).62
Beberapa waktu kemudian akan dijumpai ritual Nahunan, yakni
upacara memandikan bayi secara ritual menurut kebiasaan suku Dayak
Kalimantan Tengah. Maksud utama dari pelaksanaan Nahunan adalah
prosesi pemberian nama sekaligus pembaptisan menurut Kaharingan
kepada anak yang telah lahir. Upacara Nahunan sendiri berasal dari kata
“Nahun” yang berarti tahun. Dengan demikian, ritual ini umumnya digelar
bagi bayi yang telah berusia setahun atau lebih. Prosesi pemberian nama
dianggap oleh masyarakat Dayak sebagai sebuah prosesi yang merupakan
hal sakral karena alasan tersebut digelarlah upacara ritual Nahunan.
62Sarwoto Kertodipoero, Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghulu Kalimantan,
h. 54-55.
42
Hasil pilihan nama anak tersebut lantas dikukuhkan manjadi nama
aslinya. Selain sebagai sarana pemberian nama kepada anak, Nahunan juga
dimaksudkan sebagai upacara membayar jasa bagi bidan yang membantu
proses persalinan hingga si anak dapat lahir dalam keadaan selamat.63
2. Tradisi Tato
Bagi sebagian orang, tato mempunyai nilai seni yang tinggi serta
sebagai bentuk ekspresi diri dari orang yang bersangkutan. Namun, bagi
suku Dayak di Kalimantan, khususnya Kaharingan, tato memiliki beragam
nilai termasuk nilai adat, agama serta status sosial bahkan sebagai bagian
cara hidup orang Dayak. Tato Dayak berperan sebagai tanda bahwa
pemakainya telah melakukan sesutu, sebagai identitas diri, menunjukkan
status sosial pemiliknya, sebagai simbol keberanian dan juga sebagai
penolak bala atau menjaga pemakainya dari roh-roh jahat.
Tato pada suku Dayak disebut “tutang”. Setiap motif tato memiliki arti
berbeda-beda. Pembuatan dan peletakan tato juga tidak boleh dilakukan
sembarangan. Misalnya, tato sekitar jari tangan menunjukkan pemiliknya
ahli pengobatan, tubuh lelaki yang dipenuhi tato berarti kuat mengembara.
Tato motif muka harimau yang biasa ada di bagian paha menunjukkan
status sosial yang tinggi. Tato bunga terong dengan gambar tali nyawa
(bentuk usus pada katak) dibagian tengahnya kebanyakan untuk laki-laki
sebagai tanda telah memasuki usia dewasa.64 Pada perempuan, tato
merupakan tanda bahwa dirinya telah masuk dalam fase kehidupan yang
63Neni Puji Nur Rahmawati, Nilai-Nilai Budaya dalam Upacara adat Manyanggar di
Kota Palangkaraya, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2013), h. 40-41. 64Aris Wardani, “Tutang, Seni Merajah Tubuh Suku Dayak yang Mendunia”, Okezone,
13 April 2019. Diakses dari https://lifestyle.okezone.com/read/2019/04/12/612/2042820/tutang-
seni-merajah-tubuh-suku-dayak-yang-mendunia, pada 23 Juli 2019.
43
baru. Para perempuan Dayak menerima tato setelah ia mengalami
menstruasi pertama sebagai simbol ia telah beranjak dewasa.65
Bagi mereka, tato merupakan sesuatu yang sakral berhubungan erat
dengan beberapa kejadian dan tujuan yang sudah menjadi budaya suku di
Kalimantan. Dalam kepercayaannya, tato berwarna hitam yang terdapat
pada suku Dayak akan berubah menjadi warna emas dan menjadi penerang
jalan menuju keabadian setelah mereka mati dan telah melalui Tiwah.66
3. Upacara Perkawinan
Upacara pekawinan dianggap religius oleh suku bangsa Dayak karena
berkaitan dengan memperoleh keturunan dan merupakan suatu
peningkatan nilai berdasarkan hukum agama yang sakral. Salah satu tujuan
perkawinan yang dipercayai oleh suku Dayak adalah untuk menjaga nama
baik keluarga, terutama bagi suatu keluarga yang mempunyai anak gadis.
Pada keluarga dari kalangan rakyat yang biasa berlaku anggapan bahwa
anak perempuan yang telah berusia lebih dari 15 tahun dan belum menikah
seakan-akan membawa malu terhadap keluarganya.
Oleh sebab itu apabila suatu keluarga terdapat anak gadis dan ada
orang yang berniat untuk meminang, meskipun pinangan ini merupakan
pinangan pertama bagi gadis itu, tak jarang pinangan tersebut diterima
oleh orang tuanya, walaupun gadis tersebut belum mencapai usia 18 tahun.
Ada kalanya anak perempuan yang berusia 9 tahun atau 10 tahun sudah
bisa dipinang, meskipun pernikahan akan ditunda sampai dia mencapai
65Anonim, “Tato Dayak, Tato Asli Indonesia yang dikenal Hingga Mancanegara”, 1001
Indonesia. Diakses dari https://1001indonesia.net/tato-suku-dayak/, pada 02 Juli 2019. 66Widi Hatmoko, “ Mengenal Tato Suku Mentawai dan Dayak Kalimantan”. Merah
Putih, 25 Maret 2017. Diakses dari https://merahputih.com/post/read/mengenal-tato-suku-
mentawai-dan-dayak-kalimantan, pada 02 Juli 2019.
44
usia yang dianggap sudah dapat melangsungkan pernikahan. Misalnya
ketika sudah menginajk 15 tahun.67
Syarat-syarat perkawinan bagi masyarakat suku Bangsa Dayak yakni:
pria dan wanita yang telah dewasa (biasanya wanita berumur 15 atau 16
tahun) dan dapat bertanggung jawab bila mereka telah melaksanakan
perkawinan menurut adat, tidak mempunyai hubungan kekerabatan atau
keluarga yang dekat, misalnya sepupu sekali sampai sepupu dua kali, tidak
mempunyai darah langsung misalnya antara paman dengan keponakan. Di
samping itu pihak keluarga pria harus menyerahkan tanda jujuran (ikatan)
sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku menurut kedudukannya di
dalam masyarakat. Dikehendaki pula bahwa pria telah mempunyai
pekerjaan atau mata pencaharian, tetapi terkadang terjadi bahwa pihak pria
masih ditanggung sepenuhnya oleh orang tuanya.68
Berikut tahap-tahap upacara perkawinan suku Dayak:
a. Hakumbang Auh (Uang Hantaran)
Ini merupakan tahap awal dalam upacara perkawinan suku Dayak,
yakni seorang laki-laki menyampaikan niat ingin mempersunting
seorang gadis melalui perantara yang disebut Uluh Helat atau Saruhan
agar niatnya sampai kepada keluarga gadis yang ingin dipesunting
tersebut. Sebagai bukti kesungguhan dan niat baik, dari pihak pria
memberikan mangkok berisi beras dan telur ayam yang dibungkus
kain kuning dan sejumlah uang sebagai Duit Pangumbang lalu
67 Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Kalimantan Timur, (Jakarta: PN Balai Pustaka, tt), h. 52. 68 Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Kalimantan Timur, h. 109.
45
diberikan kepada Uluh Helat tersebut dan diberika kepada pihak
wanita.
Jika lamaran tersebut diterima maka si Uluh Helat menyampaikan
waktu dan tanggal upacara mamunggul dilaksanakan. Apabila ditolak,
Uluh Helat tersebut membawa kembali mangkok berisi beras dan
ayam berikut uangnya.
b. Mamanggul
Tahap selanjutnya mamanggul, yakni cara meminta sigadis secara
resmi setelah pihak pria mengetahui bahwa keinginan hati mereka
diterima oleh pihak wanita. Antara lain membawa sebuah Balanga
(guci asli cina) atau sebuah gong. Pada acara ini kedua pihak
membicarakan waktu pelaksanaan peminangan, yaitu Maja Misek.
Dalam perkembangannya yang berlaku sekarang, bukti Mamanggul
tidak lagi berupa gong melainkan berupa Duit Panggul. Pada
kesempatan ini dibuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini dapat
berupa lisan maupun tertulis yang dibuat dalam bentuk sebuah surat
perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak keluarga si gadis
kemudian menolak maka barang bukti mamanggul tidak dikembalikan
kepada pihak si pemuda.
Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama
dengan Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang
lazim sekarang ini cenderung mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja
Misek dan seterusnya. Istilah Hakumbang Auh lebih sering digunakan,
sedangkan istilah Mamanggul mulai menghilang.
46
c. Maja Misek (peminangan)
Misek adalah suatu acara pertunangan/musyawarah antar keluarga pria
dan wanita sebelum upacara perkawinan. Acara ini terutama dalam
rangka menetapkan hari perkawinan, besarnya jujuran yang harus
dibawa oleh pria dan sebagainya.69
d. Mamanggar Janji
Mamanggar Janji berarti memastikan janji, di mana kedua belah pihak
bertemu lagi secara khusus untuk memastikan kapan waktu
pelaksanaan perkawinan. Pada saat Maja Misek hanya memperkirakan
bulannya saja sementara di tahap ini menentukan tanggalnya serta dari
pihak pria membawa dan memberikan biaya perkawinan kepada pihak
wanita.
e. Pelaksanaan Perkawinan
Pelaksanan perkawinan yang dimaksud ialah upacara dari rumah
pengantin pria sampai dengan peresmian perkawinan. Berikut upacara
yang dilaksanakan :
1) Penganten Haguet, pangantin pria berangkat menuju rumah
pengantin wanita dengan membawa rotan yang pada ujung rotan
dibentuk patung manusia, dan pada lehernya diikat seutas manik
bernama manas sembelum dengan tali tengang.
2) Penganten Mandai (pelaksanaan pernikahan), ketika pengantin
pria sampai dirumah pengantin wanita dan dilaksanakannya
membuka lawang sekepeng (pintu yang terbuat dari pelepah daun
69Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan
Tengah, h. 191.
47
kelapa dan diberi benang-benang), mamapas (upacara pembersih
dengan doa-doa, agar tempat upacara pernikahan dan pengantinya
dijauhkan dari marabahaya)), menginjak telor, dan terakhir
penganten pria masuk ke rumah.
3) Haluang Hapelek, biasanya terdapat dua kelompok, yaitu
kelompok mempelai wanita sebanyak 4 orang dan kelompok
mempelai pria 3 orang yang diwakili oleh luang (perantara). Kedua
kelompok ini dipisahkan oleh suatu tabir pemisah dan keduanya
mengadakan dialog secara berdiplomasi, baik dalam bentuk
sindirian, humor ataupun kelakar yang tujuan utama pembicaraan
adalah melakukan perundingan. Bila pembicaraan mereka telah
tuntas, maka ketujuh orang luang itu lalu bicara secara langsung
tanpa tabir. 5 orang di antaranya bertindak sebagai saksi dan dua
orang mewakili fihak wanita dan pria melaksanakan perjanjian
mengenai pengakuan, pembayaran, kesanggupan dan penyerahan
poin-poin isyarat perkawinan menurut adat, masing-masing adalah:
a) Pengakuan pelek sinde uju. Artinya penguan pihak pria tentang
kodrat, martabat, status dan harga diri wanita di depan umum.
b) Pembayaran pelek handue uju. Artinya pembayaran materi
simbolis yang menandakan sikap moral, kesopanan pria
terhadap keluarga isterinya, demi menjamin keutuhan rumah
tangga mereka untuk selama-lamanya.
48
c) Menyanggupi pelek hatelu uju. Artinya suatu pernyataan
kesanggupan pihak pria untuk membangun rumah tangga yang
bahagia dan sejahtera untuk selama-lamanya.
d) Penyerahan pelek tunggal. Artinya penyerahan diri mempelai
pria dan wanita untuk bersatu dalam rumah tangga yang
mandiri.70
4) Manyaki Penganten (penganten hasaki), yaitu mengoleskan darah
hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai, Adapun
istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles dengan
darah. Pada upacara ini kedua penganten duduk di atas gong71
dengan memegang pohon sawang yang diikat Bersama dengan
dereh uwei (sepotong rotan) dan rabayang (tombak bersayap
seperti trisula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai
tanda mereka berdua bersaksi pada Ranyiang Hatalla Langit. Kaki
menginjak batu asah sebagai tanda bahwa mereka bersaksi kepada
penguasa alam yakni Jatha Balawang Bulau. Setelah itu manyaki
mamalas dilaksanakan yakni mengoleskan darah hewan korban,
minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tapung tawar. Beras
diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Kemudian diikatkan
lamiang/lilis72 pada pergelangan tangan mempelai. Urutan dalam
memalas darah binatang pada kedua mempelai diawali terlebih
70Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan
Tengah, h. 192-193. 71Suku dayak percaya bahwa gong mempunyai kekuatan sakti dan kekuatan itu dapat
diharapkan untuk memberikan bantuan terhadap kedua penganten dalam kehidupan rumah tangga
kelak. 72 Lamiang/lilis dapat berbentuk kain warna kuning, merah ataupun hijau. Maksudnya
sebagai penangkal dari sakit atau bahaya-bahaya lainnya, sebagai akibat gangguan roh-roh jahat.
49
dahulu oleh kepala adat, orang tua, kerabat dekat serta hadirin.
Upacara itu bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga
dalam menjalani kehidupan berumahtangga mereka senantiasa
sehat, selamat dan memperoleh rejeki.73
Setelah menjalani upacara Hasaki atau Hapalas kedua mempelai
makan makanan yang disebut Pangian Putir Santang (7 gumpal
nasi), sebagai simbol penyatuan mereka bahwa sejak hari itu resmi
suami istri. Setelah acara ini selesai maka dilaksanakan penanaman
pohon sawang yang disebut sawang turus janji.74
4. Upacara Kematian
Pada orang Dayak Ngaju dan orang Dayak pada umumnya, peristiwa
di mana manusia mencapai ajalnya tidak berarti hidup itu akan berhenti
sampai disitu saja, melainkan jiwa kembali kedunia asal di mana keadaan
kekal abadi dan manusia sampai pada suatu titik kesempurnaan. Kematian
bukan berarti akhir dari hidup, tetapi kematian adalah proses peralihan
masuk kedalam dunia baru yakni dunia roh. Kehidupan akan terus
berlangsung sebagaimana hidup yang pernah dijalani di dunia nyata.75
Ada semacam kewajiban moral dan sosial untuk melaksanakan
upacara tiwah bagi masyarakat Kaharingan Dayak Ngaju. Kewajiban
secara moral artinya bahwa pihak keluarga dari orang yang meninggal itu
merasa wajib mengantarkan arwah ke dunia roh, dunia yang menurut alam
73Syamsir Salam, Agama Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan
Tengah, h. 191. 74 Diakses dari https://rid755.wordpress.com/2012/07/30/pelaksanaan-upacara-
perkawinan-agama-hindu-kaharingan/ pada tanggal 04 Mei 2019 pukul 16.04 WIB. 75L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah, h. 29.
50
pikiran mereka adalah serba sempurna. Keadaan yang serba sempurna
tersebut sebenarnya pernah manusia alami sebelum mereka melakukan
pelanggaran titah terhadap Yang Kuasa. Dan sebagai saran untuk
mencapai alam akhirat harus melalui upacara-upacara, yang
perwujudannya nampak pada upacara tiwah. Orang yang meninggal dan
belum menjalani upacara yang dimaksud menurut kepercayaan orang
Ngaju tidak dapat memasuki dunia arwah yang seba abadi, arwah akan
tetap berada di sekitar lingkungan manusia yang masuh hidup dan bahkan
akan mengganggu sanak keluarga yang masih hidup. Gangguan itu dapat
berupa kegagalan panen, penyakit serta bahaya-bahaya lain yang terus
mengancam. Sedangkan kewajiban sosial yang dimaksud yakni bila
keluarga-keluarga lain mampu melaksanakan upacara tiwah ketika ada
dari anggotanya yang meninggal, mengapa kita tidak. Nanti dianggap
kurang mampu dan tidak tahu terimakasih, lebih-lebih jika yang meniggal
itu adalah orang tua seperti ayah, ibu, kakek atau nenek. Upacara tiwah
mengandung arti penghormatan terakhir terhadap orang yang meninggal.
Semakin lama dan meriah suatu upacara tiwah memberikan pengaruh yang
besar kepada pihak penyelenggara, artinya menambah besar harga diri
mereka.76
Bagi orang Kaharingan, upacara kematian merupakan salah satu
bagian penting dalam perjalanan hidup manusia. Di situ dibedakan tiga
rangkaian:
76L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarkat Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah, h. 30.
51
a. Upacara pemakaman sementara, di mana mayat dibawa ke tempat
pembaringan di atas tanah, dibungkus dengan kain rangkap tujuh,
dimasukkan lungun kayu. Tujuh hari tujuh malam orang-orang
bergantian berjaga. Seorang balian melagukan mantra pengantar mayat
arwah orang mati dipersialahkan agar menyantap hidangan yang telah
disediakan, seolah-olah masih hidup. Kemudian lungun diantarkan ke
hutan. Diletakkan dalam lubang ataupun dalam rumah kecil (sandung)
yang dibangun di atas pohon ditengah-tengah daun-daun rimbun.
Tujuh hari lamanya pelita mayat kemudian dipadamkan. Perayaan
pada upacara itu bersifat meriah dan gembira. Katanya untuk
menghibur arwah orang mati.
b. Tiga, empat tahun kemudian, bila daging sudah terpisah dari tulang,
diadakan upacara wara, mengantarkan roh ke negeri arwah (lewulian,
louliau atau Batu Nindang Tarong) di langit ketujuh. Sekali lagi tujuh
hari tujuh malam lamanya diperpanjang dengan tiga hari tiga malam
khusus untuk mengormati para tamu. Tujuh orang Balian wara mengaji
cerita tentang hidup di Lewulian yang serba sejahtera. Patung arwah
orang yang mati didirikan, perjamuan disediakan baik bagi para
hadirin insani maupun bagi para sangiang, yaitu para dewa dan leluhur.
c. Upara siwah (tiwah, totok) bermaksud melepaskan diri dari segala
kedukaan dan mengakhiri masa berkabung, serupa pesta penutup
sesudah wara. Tulang-tulang dibongkar, dibersihkan, dibungkus
dengan daun dan dimasukkan keriring, peti kebesaran dengan hiasan
simbolis. Setelah keriring dibawa berkeliling rumah tujuh kali,
52
diletakkan dala hutan di atas tanah. Pesta besar dengan makan minum
tuak, tari menari mengungkapkan kegembiraan bahwa tertib alam
pulih kembali dan surga berdamai dengan dunia.77
Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi
masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah khususnya para penganut
Kaharingan. Upacara ini biasanya digelar atas seseorang yang telah
meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari
jenazahnya diperkirakan hanya tinggal tulangnya saja. Tujuannya
sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang
bersangkutan menuju Lewu Tatau (surga-dalam bahasa Sangiang)
sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Maksud
lainnya adalah untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga
almarhum yang ditinggal dari pengaruh-pengaruh buruk yang
menimpa serta bertujuan pula untuk melepas ikatan status janda atau
duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka
diperkenankan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun
tetap memilih untuk tidak menikah lagi.78
Pesta tiwah selain diselenggarakan oleh keluarga secara sendiri-sendiri
dapat pula dilakukan bersama-sama oleh sekelompok keluarga atau
bahkan oleh satu desa. Mereka bersama-sama mengumpulkan dana
kemudian menyelenggarakan upacara tiwah. Kadang-kadang terjadi
pula pihak yang satu hanya membantu pihak yang lain dan dikemudian
hari tentunya pihak yang pernah dibantu akan membalas bantuan
77Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, cet. 2, h. 198-199. 78Neni Puji Nur Rahmawati, Nilai-Nilai Budaya dalam Upacara adat Manyanggar di
Kota Palangkaraya, h. 38-39.
53
tersebut.79 Biaya atau benda yang sudah terkumpul (disebut laloh)
akan diberikan kepada pemimpin penyelenggara (bakas tiwah) untuk
mengkoordinir semua kegiatan yang berhubungan dengan upacara
nantinya. Pemimpin upacara ditunjuk berdasarkan musyawarah oleh
para tua-tua kampung dan para peserta lain yang turut bergabung
dalam pelaksanaan upacara. Pelaksanaan upacara tiwah biasanya
setelah musim panen karena pada waktu tersebut dianggap sebagai
masa tenggang sementara dari semua kegiatan pertanian serta
masyarakat masih mempunyai banyak persediaan bahan makanan yang
cukup setelah masa panen tersebut.
Inti dari upacara tiwah adalah membangunkan arwah dari tempat tidur
sementaranya (mapisik liaw), memandikan (mapandauy liaw),
memberikan pakaian (mampakayan liaw), menjamu (mampakanan
liaw), memberi nama baru (manenga aran/tandak taheta) dan
mengajak arwah mengunjungi kerabat-kerabatnya yang masih hidup
untuk memberikan kata perpisahan (liaw mangalino). Setelah itu
arwah diantar ke dunia baka untuk selamanya (magah liaw). Wujud
nyata dari tahap-tahap penyelenggaraan upacara tiwah adalah pertama,
penggalian kuburan atau pengambilan peti jenazah; kedua,
pembakarannya; ketiga, pengumpulan abu dan sisa-sisa tulang yang
tidak termakan api; keempat, memasukkan jenazah ke tempat yang
baru (sandong)80.
79L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah, h. 32. 80Sandong yaitu tempat menyimpan tulang-tulang manusia setelah upacara tiwah
berakhir. Sebelum dimasukkan ke dalam sandong tulang-tulang dibakar, tetapi tidak semua bagian
54
Perkembangan terkini cukup banyak perubahan yang telah mewarnai
upacara ini, misalnya bentuk peti mati yang lebih sederhana terbuat
dari papan kayu biasa dan tidak diukir, pada masa lalu peti jenazah
selalu dibuat dari sebatang pohon kayu yang cukup besar dan dibentuk
menyerupai perahu lesung dengan aneka warna lukisan menghiasi peti
jenazah tersebut. Dulu yang dikorbankan adalah manusia dan kerbau,
tapi dewasa ini dapat diganti dengan sapi, adat menganyaupun dapat
dikatakan sudah hilang. Sandong banyak yang terbuat dari semen, batu
dan pasir, yang pada masa lalu tidak pernah dijumpai. Dulu orang
mengguanakan bahan kayu lokal (kayu besi/ulin) untuk membuat
sandong. Dewasa ini sering beberapa keluarga bergabung untuk
melaksanakan upacara tiwah, dan dilakukan 5-10 tahun sekali, hal ini
berbeda dengan masa lampau yang hampir setiap selesai masa panen
akan dijumpai penyelenggaraan tiwah.81
C. Sejarah Singkat Islam Wetu Telu
Islam Wetu Telu berkembang di Lombok, Nusa Tenggara Barat,
terutama daerah Bayan yang mayoritas penduduknya merupakan suku Sasak.
Tidak seperti umumnya penganut ajaran Islam yang melakukan shalat lima
kali dalam sehari, para penganut ajaran ini mempraktikkan shalat wajib hanya
pada tiga waktu saja. Konon hal ini terjadi karena penyebar Islam saat itu
tulang tersebut ikut terbakar. Sisa-sisa yang tidak terbakar inilah yang disimpan dalam Sandong.
Tujuan dari pembakaran jenazah adalah untuk mensucikan jenazah tersebut agar arwahnya dapat
diterima di alam baka dengan tentram. 81L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah, h. 37.
55
mengajarkan Islam secara bertahap dan karena suatu hal tidak sempat
menyempurnakan dakwahnya.82
Islam Wetu Telu berbeda dengan Islam yang umum dikenal dikenal di
tempat lain. Oleh karena itu untuk membedakannya lahirlah istilah Islam
Waktu Lima. Islam Waktu Telu yang berarti Islam Waktu Tiga sedangkan
Islam Waktu Lima adalah Islam yang dikenal dengan Islam Sunni. Nama
Islam Waktu Telu mungkin desebabkan karena umumnya mereka tidak
melakukan sembahyang lima waktu, tetapi mereka hanya mengenal tiga (telu)
waktu sembahyang. Kalau Islam Sunni melakukan lima waktu sembahyang
sehari semalam maka penganut Islam Waktu Telu hanya mengenal tiga waktu
sembahyang yaitu sembahyang tarawih pada bulan Ramadhan, sembahyang
pada waktu lebaran Tinggi (bersamaan Idul Fitri Islam Sunni) dan
sembahyang pada waktu Lebaran Pendek (bersamaan dengan Idul Adha).83
Tetapi terdapat anggapan lain bahwa nama Islam Waktu Telu diambil
dari falsafah kepercayaan Islam Waktu Telu. Dalam sistem kepercayaannya
bahwa hidup ini ada tiga macam. Pertama kehidupan karena dilahirkan
(menganak) seperti manusia, dan binatang yang melahirkan anaknya. Kedua
kehidupan karena menetas lewat telur (menteluk) seperti burung dan binatang
yang bertelur lainnya. Ketiga, kehidupan karena tumbuh (mentiuk) seperti
pohon-pohon dan tanaman-tanaman lainnya.84 Tetapi fokus kepercayaan Wetu
Telu tidak terbatas hanya pada sistem teproduksi. Kata tersebut memiliki
82Muhammad Izzuddin el-Kasyafaniy, dkk, Wajah Islam Sasak dalam Lebaran Topat dan
Maulid, (Mataram: Insan Madani Institute, 2014), h. 18. 83DEPDIKBUD, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat,
(Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989), h. 88. 84Zaki Yamani Athhar, “Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok”,
Ulumuna Vol. IX Edisi 15 no.1, Januari-Juni 2005, h. 75.
56
makna yang lebih rumit. Pemangku menjelaskan: “Wetu Telu tidak hanya
menunjuk pada tiga macam sistem reproduksi, melainkan juga menunjuk pada
kemahakuasaan Tuhan yang memungkinkan makhluk hidup untuk hidup dan
mengembangbiakkan diri melalui mekanisme reproduksi tersebut.”
Ketiga jenis mekanisme reproduksi itu dipahat pada patung kayu yang
disebut Paksi Bayan yang menampilkan sosok seekor singa yang menjadi
bagian dari dan berada di puncak mimbar. Mimbar ini berada di masjid kuno
Wetu Telu Bayan. Seorang Kyai biasanya duduk di mimbar ini saat
memberikan khutbah dalam memperingati hari besar islam seperti Lebaran
Haji dan Lebaran Idul Fitri. Pada permukaan Paksi Bayan terdapat pahatan
yang merepresentasikan tiga sistem reproduksi: kijang melambangkan
kelahiran anak-anak, unggas merepresentasikan burung yang bertelur,
sedangkan kelapa, padi dan kapas melambangkan bermacam-macam
tumbuhan yang berkembang biak dari benih dan buah.85 Penghulu punya
penafsiran yang lain lagi. Ia menyatakan bahwa patung kayu Paksi Bayan
melambangkan persatuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Pahatan
mamalia, unggas, kelapa, padi dan kapas pada permukaan Paksi Bayan
melambangkan melimpahnya kekayaan alam Indonesia. Dari Sabang sampai
Mereuke, berbagai macam binatang dan hasil bumi bisa hidup bersama-sama
dan tumbuh dengan baik.86
Pemangku Karangsalah mendukung keterangan di atas, berpandangan
bahwa Wetu Telu sebagai sebuah sistem agama juga termanifestasikan dalam
kepercayaan bahwa semua makhluk harus melewati tiga tahap rangkaian
85Ahmad Amir Aziz, “Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam Lokal di
Lombok,” Jurnal Millah vol. VIII, no. 2, Februari 2009, h. 244. 86Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000), h.136-137.
57
siklus, dilahirkan (menganak), hidup (urip), mati (mate). Kegiatan ritual
menurutnya, sangat terfokus kepada rangkaian siklus ini. Setiap tahap yang
selalu diiringi upacara merepresentasikan transisi dan transformasi status
seseorang menuju status selanjutnya, juga mencerminkan kewajiban seseorang
terhadap dunia roh.87
Dalam hal syahadat, selain diucapkan dalam bahasa Arab, penganut
IWT juga mengucapkannya dalam bahasa Sasak. Berikut adalah bacaannya:
“Asyhadu Ingsun sinuru anak sinu. Anging stoken ngaraning pangeran.
Anging Allah Pangeran. Ka sebenere lan ingsun anguruhi. Setukhune nabi
Muhammad utusan demi Allah. Allahumma shali Allah sayidina Muhammad”.
Artinya: “Kami berjanji (bersaksi) bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah,
dan kami percaya bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Disebut
”berjanji” karena diakui sudah menerima agama Islam.88
Dalam pelaksaan kepercayaan kelihatannya bahwa Islam Waktu Telu,
yang selanjutnya disebut “IWT”, merupakan percampuran antara sistem
kepercayaan pra Islam dengan Islam (sinkretisme). Sistem kepercayaan pra
Islam adalah pemujaan arwah leluhur dan tempat-tempat keramat yang
dianggap mempunyai kekuatan gaib. Mereka tidak melakukan syariat Islam
sebagaimana yang dilakukan Islam Sunni seperti sembahyang lima kali sehari,
sembahyang Jum’at, puasa dan pergi haji ke Mekah. Kewajiban itu hanyalah
kewajiban kiyainya. Oleh karena itu maka kyai dianggap sebagai perantara
dalam berhubungan dengan Allah. Demikian pula bila mereka meninggal
maka dengan pertolongan kyainya akan mampu mengantarkan mereka untuk
87Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima, h. 137. 88Muhammad Harfin Zuhdi, “Islam Wetu Telu: Dialektika Hukum Islam dengan Tradisi
Lokal”, Istinbath, Jurnal Hukum Islam vol. 13, No. 2, Desember 2014, h. 164.
58
membuka pintu sorga lewat do’anya. Orang biasa, hanya mempunyai
kewajiban untuk berpartisipasi dalam setiap upacara seperti Mauludan, dengan
membawa makanan ke Mesjid Agung dan berbagai sajian lainnya untuk
dimakan bersama-sama89.
Di samping itu bagi orang Bayan mereka mempunyai tokoh adat yang
disebut pemangku, atau mangku. Pemangku ini tugas utamanya adalah
berhubungan dengan dunia roh dan makhluk halus yang menjaga tempat-
tempat tertentu. Dengan perantaraan mangku ini orang Bayan yang mendapat
gangguan dari makhluk halus yang jahat seperti anta boga tau selaq akan
menjadi sakit dan bisa ditangani oleh dukun yang disebut balian yang bisa
mengobatinya. Oleh mangku ia akan berhubungan dunia gaib dan bersama
balian akan mengobati orang yang terkena gangguan makhluk halus tersebut.
Dalam sejarahnya, Islam pertama kali masuk ke Lombok dibawa oleh
Sunan Prapen dan atau Pangeran Songopati. Beliau memiliki 2 putra yaitu
Nurcahya dan Nursada. Yang pertama ditugaskan untuk mengembangkan
agama Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW,
sedangkan Nursada diberi tugas dan kewajiban untuk mengembangkan dan
melestarikan adat-istiadat sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ajaran dan
ketentuan-ketentuan agama Islam. Dari pengikut Nursada inilah berkembang
ajaran Islam Wetu Telu.
Kedua putra pangeran itu mendapat pengikut yang banyak. Pada
perkembangan berikutnya, pengikut Nurcahya mengalami berbagai musibah
dan penyakit, sedangkan pengikut IWT hidup damai dan sejahtera. Melihat
89DEPDIKBUD, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat,
h. 89.
59
kondisi pengikutnya, Nurcahya datang kepada adiknya agar menolong
pengikutnya supaya terhindar dari malapetaka tersebut. Akhirnya disepakati,
Nursada sanggup menolong kakaknya dengan suatu syarat agar seluruh
pengikutnya berlih mengikuti ajaran Nursada. Sejak itulah, konon muncul
IWT.90
IWT memiliki kepercayaan yang kuat terhadap adat. Adat berasal dari
berbagai tradisi: animisme, Hindu-Buddha, Islam yang masuk ke dalam sistem
ajaran agama pada waktu penyebaran Islam berlangsung di Bayan. Akibatnya
adalah Islam dan adat menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Adat
dilestarikan lewat lembaga yang ada di masyarakat dan ditangani oleh
pemangku adat. Ada struktur yang hirarkis yang mengatur pembagian
wewenang (otoritas) di kalangan pemangku adat dan jajarannya ke bawah
menyangkut semua masalah yang ada di masyarakat. Perayaan ritual menjadi
realisasi dari pembagian wewenang ini sekaligus meneguhkan identitas
kolektif masyarakat Bayan.91
Belakangan, setelah terjadi Islamisasi secara lebih intensif, agama
diurus oleh tuan guru atau kyai. Dalam sejarah Bayan, adat dan agama
sebenarnya diurus oleh orang atau lembaga yang sama dan satu, karena adat
dan agama pada awalnya adalah satu. Adat berfungsi sebagai sistem nilai yang
menjadi rujukan masyarakat. Masyarakat yang melanggar ketentuan adat
mendapat sanksi atau hukuman yang telah ditentukan oleh adat. Nilai ini
diyakini dapat mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat
karena dianggap bersumber dari sesuatu yang supranatural dan sakral. Dalam
90Zaki Yamani Athhar, “Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di Lombok”, h.
75. 91Suhanah, Ed, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, h. 189-190.
60
konteks Bayan, agama dan adat berasal dari, dan diyakini sebagai, sumber
yang sama, yang hanya karena fungsinya saja kemudian keduanya dibedakan.
Pada prakteknya adat dan agama dapat dilihat dalam berbagai ritus peralihan
(kelahiran, perkawinan, kematian). Semua ada adatnya dan semua memiliki
nilai agamawi di dalamnya.92
Orang Bayan menggunakan kalender qamariyah Islam dan
memperingati peristiwa-peristiwa penting berdasarkan penanggalan tersebut.
Berikut ini adalah daftar penanggalan qamariyah Islam dalam versi Bayan
serta Arab. Nama-nama bulan dalam setahun adalah : 1. Muharam
(Muharram), 2. Sapar (Shafar), 3. Maulud (Maulud/Rabi’ul Awwal), 4.
Rabiulakir (Rabi’ul Akhir), 5. Jumadilawal (Jumad al-Awwal), 6. Jumadilakir
(Jumad al-Akhir), 7. Rejeb (Rajab), 8. Saban (Sya’ban), 9. Ramadhan
(Ramadhan), 10. Sawal (Syawal), 11. Julkaidah (Dzul-Qaidah), 12. Julhaji
(Dzul-Hijjah).93
D. Gawe Urip-Gawe Pati Islam Wetu Telu
1. Upacara Kelahiran (Buang Au)
Masyarakat Sasak masih menggunakan dukun beranak (balian) dalam
proses melahirkan anak-anaknya sebagaimana terdapat didaerah lain.
Apabila sang ibu mengalami kesulitan dalam proses melahirkan, balian
menafsirkan hal tersebut akibat tingkah laku sang ibu sebelum hamil. Bisa
dalam bentuk berlaku kasar terhadap ibu atau suaminya. Untuk itu
diadakan upacara, seperti menginjak ubun-ubun, meminum air bekas cuci
tangan suami dan ibunya. Hal tersebut dipercaya dapat mempercepat
92Suhanah, Ed, Dinamika Agama Lokal di Indonesia, h. 190. 93Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima, h. 152.
61
kelahiran sang bayi. Setelah bayi tersebut lahir, masyarakat menganggap
bahwa rambut yang dibawa lahir oleh bayi disebut bulu panas. Oleh
karena itu rambut tersebut dihilangkan dengan mengadakan selamatan,
do’a ataupun upacara sederhana yang disebut ngrusiang. Orang pertama
yang memotong rambut bayi tersebut adalah seorang kyai.94
Selesai persalinan, sang balian tersebut biasanya membakar arang dan
menempatkannya di bawah ranjang di mana bayi dibaringkan. Ini
dimaksudnya untuk menjaga agar si bayi merasa hangat dan dapat tidur
nyenyak. Sekitar seminggu kemudian, orang tua si bayi mengadakan
upacara buang au yang secara harfiah berarti membuang abu. Dalam
upacara ini, balian membuang seluruh abu yang dihasilkan arang,
sedangkan orangtua bayi mengumumkan nama bayi yang baru dilahirkan.
Nama yang tidak cocok bagi penyandangnya diyakini oleh orang
Bayan akan mengundang nasib buruk. Dengan alasan inilah para orang tua
biasanya berkonsultasi terlebih dahulu dengan para pemangku dan kyai
sebelum memilih nama yang tepat bagi anaknya. Dalam pemilihan nama,
pemangku dan kyai menggunakan perhitungan astrologi berdasarkan
waktu, tanggal, bulan dan tahun saat bayi dilahirkan. Meskipun begitu,
terdapat beberapa orang yang menggunakan nama kakek atau kakek
buyutnya yang sudah meninggal untuk bayi mereka demi mengenang asal
usulnya.
Orang Bayan mempercayai bahwa seorang bayi membawa dosa
orangtuanya di masa lalu. Oleh karena itu dalam upacara buang au bayi
94Suhupawati, “Upacara Adat Kelahiran sebagai Nilai Sosial Budaya pada Masyarakat
Suku Sasak Desa Pengadangan”, Fajar Historia, Vol. 1 No. 1, Juni 2017, h. 59.
62
disucikan dengan menyelenggarakan bedak keramas dan doa kyai. Bedak
keramas adalah campuran santan kelapa, darah ayam dan sembek yang
ditaruh di tempurung kelapa. Ramuan itu dioleskan di kening bayi dan
orang tuanya. Bedak keramas ini adalah upacara pembersihan oleh karena
dosa warisan yang dibawa orang tua bayi tersebut.95
2. Khitanan (Ngitanang)
Kalangan Wetu Telu Bayan mengkhitan anak laki-lakinya ketika sudah
berumur antara 3 sampai 7 tahun. Seorang anak dianggap masih tetap boda
–orang yang belum di Islamkan- sampai di khitan. Kedudukan Lokak
penyunat, tukang khitan, seperti jabatan adat lainnya, bersifat turun
temurun. Peralatan yang digunakan dalam proses khitan masih tradisional.
Dalam prosesnya, tukang sunat mencelupkan peralatannya, pisau dan
beberapa bilah bambu pendek kedalam tempurung kelapa berisi air kelapa.
Ia menjepit penis si bocah dengan dua bilah bambu, menarik penis itu
kemudian memotongnya. Penyunat kemudian membungkus kulit yang
terluka itu dengan ramuan daun-daunan (lanas) untuk menghentikan
pendarahan. Kemudian pembantunya mengusapkan air keramat (aik mel-
mel)96 di kening si bocah.
Belakangan seorang Mantri kesehatan yang ditugaskan Departemen
Kesehatan juga melakukan pengkhitanan. Tidak seperti Lokak Penyunat,
mereka sudah menggunakan cara medis modern, dengan memanfaatkan
95Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima, h. 184-185. 96Aik mel-mel dipersiapkan sehari sebelum pengkhitanan dilakukan yaitu pada saat Kyai,
Pemangku dan Toaq Lokaq membacakan lontar. Lontar itu memuat sejarah hidup Nabi
Muhammad sejak masa kecil hingga kenabiannya. Sesudah dibaca, lontar itu direndam dalam
sebuah waskom air semalaman. Oleh karena itu air itu dianggap bertuah dan diberikan kepada
anak-anak yang disunat untuk mengurangi rasa sakit mereka.
63
pembiusan lokal, memberikan suntikan antibiotik dan menjahit luka
sesudah semuanya selesai. Meskipun begitu, masyarakat setempat masih
lebih memilih menggunakan cara tradisional untuk menyunat anaknya
dengan jasa Lokak Penyunat. Di Bayan, Mantri Kesehatan diundang hanya
juka Lokak Penyunat tidak bisa memenuhi tugasnya, semisal karena ia
harus mengerjakan tugas serupa di beberapa tempat yang berbeda pada
waktu bersamaan.97
3. Upacara Perkawinan Islam Wetu Telu
Umumnya masyarakat Sasak, perkawinan tidak harus memenuhi syarat
agama dan peraturan/perundang-undangan negara saja, tetapi juga
pelaksanaan syarat-syarat adat. Jika tidak, akan kurang baik bagi anak-
anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Agar kedudukan hukum anak-
anak yang akan lahir dari suatu perkawinan jelas, maka perkawinan
tersebut dibebankan suatu upacara sorong-serah yang diikuti upacara
nyondol. Tetapi nyondol tidak merupakan kewajiban seperti upacara
sorong-serah. Walaupun nyondol merupakan rangkaian sorong-serah
tetapi dapat atau tidak dilakukan.98
Perkawinan di kalangan orang Bayan bukanlah soal mereka yang
kawin itu saja, tetapi juga menjadi soal keluarga bahkan persekutuan
(desa). Tetapi tidak berarti bahwa mereka yang hendak kawin itu tidak
mempunyai hak atas pemilihan jodoh. Kemungkinan pemilihan jodoh
dibatasi oleh peraturan-peraturan yang melarang perkawinan dengan
97Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima, h. 189-190. 98DEPDIKBUD, Upacara Tradisional Sorong-Serah dan Nyondol dalam Adat
Perkawinan Sasak di Lombok, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya,
1991), h. 13.
64
orang-orang tertentu. Apabila melanggar ketentuan pada hukum
perkawinan, maka akan mendapat hukuman (dedosan) berupa denda atau
sekaumang gubuk (dikucilkan). Pengucilan disini dalam artian bahwa
warga itu tidak diusir dari kampungnya akan tetapi ia tidak diajak apabila
ada kegiatan di kampung baik itu berupa pesta adat ataupun jika gotong
royong di desa, begitu pula jika warga itu akan mengadakan pesta maka
tidak akan ada yang mendatanginya.99
Secara umum, di Bayan ada tiga macam bentuk perkawinan, yaitu:100
1) Perkawinan Endogami/Homogami, adalah perkawinan dengan kerabat
dekat atau perkawinan dalam status sosial yang sama, seperti
perkawinan antara sepupu, baik paralel (dengan anak saudara laki-laki
ayah atau anak saudara perempuan ibu) maupun sepupu silang (dengan
anak saudara laki-laki ibu atau anak saudara perempuan ayah)
merupakan bentuk perkawinan yang dianjurkan.
2) Perkawinan Hipogami, adalah perkawinan antara wanita bangsawan
dengan laki-laki yang lebih rendah status sosialnya (jajar karang),
maka anak yang dilahirkan dari keturunan ini akan menyandang status
ayahnya.
3) Perkawinan Hepergami, adalah perkawinan antara laki-laki bangsawan
dengan wanita yang lebih rendah status sosialnya, maka anak yang
99DEPDIKBUD, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat,
h. 106. 100Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Islam Wetu Telu dalam Prosedur
Perkawinan Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam di Desa Bayan Beleq Kecamatan Bayan
Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, Tesis Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004,
h. 93.
65
dilahirkan dari keturunan ini tetap menyandang status kebangsawanan
ayahnya.
Bentuk perkawinan komunitas Wetu Telu di Bayan, pada umumnya
dilakukan secara endogami, karena menganggap perkawinan dalam
kerabat sendiri lebih baik jika dibandingkan dengan perkawinan dengan
orang diluar kerabat. Perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan
anak dari paman/bibi disebut nunggurin. Perkawinan model ini sangat
dianjurkan karena diibaratkan seperti bertemunya ruas dengan buku pada
pohon bambu, semakin ruas dan buku bertemu pertanda pohon itu akan
menjadi panjang.101
Selanjutnya prosesi dan prosedur perkawinan harus dilakukan dengan
mulang/merariq yaitu melarikan calon mempelai perempuan kemudian
menyembunyikan di salah satu rumah yang sudah ditentukan sebelumnya,
bisa rumah tetangga atau rumah kerabat mempelai laki-laki dan ada
pantangan disembunyikan di rumah mempelai laki-laki sendiri.
Seperti umumnya suku Sasak, masyarakat Bayan mengenal kawin lari
sebagai tradisi yang mengawali perkawinan, bukannya melamar seorang
gadis melalui orang tuanya. Merariq dipahami dan diyakini sebagai bentuk
kehormatan atas harkat dan martabat keluarga perempuan. Gadis yang
dibawa lari dianggap mempunyai keistimewaan tertentu sehingga menarik
hati lelaki dan mempunyai nilai tawar ekonomis yang tinggi.102 Kawin lari
101Sriyaningsih dan M. Rosidi, Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan
Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah NTB, (Jakarta: Depdikbud, 1996), h.
40. 102Ahmad Amir Aziz, “Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam Lokal di
Lombok,” Jurnal Millah vol. VIII, no. 2, Februari 2009, h. 250.
66
melibatkan pertemuan rahasia dengan si gadis dan membawanya kabur di
malam hari menuju suatu tempat persembunyian. Calon mempelai wanita
menyelinap keluar dari rumah orang tuanya seperti sudah direncanakan
sebelumnya dan si mempelai pria biasanya disertai oleh kerabat atau
kawan-kawannya. Pada beberapa kasus, mempelai pria tetap tinggal di
rumah dan menyuruh perantaranya yang terpercaya untuk menculikkan
wanita yang dimaksud untuknya. Penculikan ini dianggap berhasil bila
mempelai wanita dan pria menyembunyikan diri di suatu tempat rahasia
(penyeboan)103, biasanya di rumah salah seorang kerabat patrilateral calon
mempelai pria.
Menyadari bahwa anak gadis mereka tidak pulang hingga keesokan
paginya, orangtua gadis tersebut mengirim seorang pejati (kurir) untuk
melaporkan kasus tersebut pada kepala dusun (klian dusun) mereka yang
mengumumkan kasus lebih lanjut ke seluruh penjuru desa, klian dusun
juga meminta penduduk untuk memberitahu dirinya atau orang tua si gadis
jika mereka mengetahui di mana si gadis disembunyikan. Hari berikutnya,
beberapa orang mewakili mempelai pria mengirim pesan untuk
memberitahukan penculikan itu kepada klian dusun mereka yang
meneruskan informasi itu kepada klian dusun orangtua si gadis. Kedua
klian dusun ini disertai oleh kerabat laki-laki mempelai pria, bersama-
sama mendatangi orangtua si gadis dan memberitahukan mereka
(nyelabar) bahwa anaknya mulang/merari’ (dilarikan) dan berada di
103Penyeboan berasal dari kata sebo, artinya sembunyi yakni gadis yang sudah dilarikan
disembunyikan di sebuah rumah keluarga atau rumah sahabat mempelai pria. Dalam penyeboan,
baik gadis maupun calon suaminya terikat dengan aturan-aturan adat. Misalnya, tidak boleh dilihat
oleh keluarga mempelai wanita, dan jika hal itu terjadi menyebabkan adanya dedosan, sanksi adat
berupa denda.
67
tempat aman. Selanjutnya wakil-wakil mempelai pria mendatangi orangtua
mempelai wanita untuk membicarakan tanggal yang tepat bagi
perundingan jumlah denda kawin lari. Pada tanggal yang disepakati oleh
kedua belah pihak, ahli waris (kerabat patrilateral) mempelai wanita dan
pria, dengan disaksikan oleh klian dusun, pemangku, Toak Lokaq, dari
pihak mempelai perempuan, menetapkan perincian ajikrama. Pertemuan
ini dinamakan ngeraosang ajikrama (membicarakan ajikrama).104
Disaksikan dan diperantarai oleh para pemuka adat: Pemangku, Toak
Lokaq, dan Klian Dusun, wakil mempelai wanita mempersiapkan daftar
barang-barang ajikrama. Dalam pembicaraan itu para wakil mempelai pria
berusaha menurunkan ajikrama, sementara perwakilan mempelai wanita
berusah meningkatkannya. Sehingga terjadilah tawar menawar
berkepanjangan dan kadang-kadang kesepakatan baru bisa dicapai setelah
beberapa kali pertemuan.
Tiga hari setelah kawin lari (mulang), seorang Kyai diundang ke
tempat di mana pasangan bersembunyi untuk memberkati upacara
perkawinan. Dalam upacara ini, yang disebut metikah lekoq buaq105, Kyai
mengadakan ritual bedak keramas yang secara simbolis memandikan
pasangan tersebut dengan memerciki kepala mereka masing-masing
dengan santan kelapa. Upacara ini juga disebut tobat kakas (pertobatan)
bagi dosa-dosa masa lalu dan perbuatan tercela yang pernah dilakukan
104Muhammad Harfin Zuhdi, Parokialitas Adat Islam Wetu Telu dalam Prosedur
Perkawinan Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam di Desa Bayan Beleq Kecamatan Bayan
Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, h. 106. 105Metikah Lekoq Buaq, artinya perkawinan dengan buaq lekoq (buah sirih). Disebut
demikian karena Kyai menggunakan buah sirih untuk memberkati perkawinan di tempat
persembunyian.
68
oleh pasangan yang bersangkutan. Akan tetapi pada sistem ini kedua
mempelai belum diperbolehkan melakukan hubungan seksual hingga akad
nikah dilangsungkan.106
Setelah mengadakan tobat kakas maka dilanjutkan denga prosesi
penyerahan wali oleh paman mempelai wanita sebagai wali sah kepada
penghulu dengan diawali pembacaan dua kalimah syahadah. Setelah itu
baru dilanjutkan denga prosesi ijab kabul, dan diakhiri dengan pembacaan
do’a kepada dua mempelai oleh penghulu.107
Akhirnya sesudah ritual ini dilakukan, maka baru kemudian pasangan
tadi boleh melakukan hubungan seksual. Tetapi ritual ini Cuma
membebaskan pasangan itu saja. Mempelai pria tetap belum bisa bergaul
secara leluasa dengan keluarga mempelai wanita. Ia harus selalu menjaga
jarak dari kerabat istrinya hingga ia sanggup membayar ajikrama.
Perkawinan tersebut baru mendapat pengakuan sosial apabila ajikrama
sudah dibayar. Sorong Serah (upacara pembayaran ajikrama) kepada
keluarga mempelai wanita merupakan tahapan paling penting karena
dengan cara inilah dapat dicapai penerimaan sepenuhnya dan pemberian
status legal perkawinan yang lengkap.
Sebelum melaksanakan sorong-serah terlebih dahulu diadakan gundem
oleh para ahli waris dari pihak perempuan, guna membicarakan ajikrama
sorong-serah. Hasil gundem tersebut lalu disampaikan kepada pihak
106Arnis Rachmadani, “Local Wisdom: Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu sebagai
Perekat Kerukunan Masyarakat Bayan,” Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius, vol. X,
no. 3, Juli-September 2011, h. 672. 107Sriyaningsih dan M. Rosidi, Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan
Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah NTB, h. 43.
69
keluarga laki-laki. Jumlah ajikrama ditentukan sesuai dengan tingkatan
menurut tradisi adat masing-masing gubug.108
Dalam upacara sorong-serah, dilaksanakan pembayaran Ajikrama
yang berupa uang dan barang yang telah ditetapkan berdasarkan derajat
menurut adat. Sesuai dengan prinsip kekerabatan suku bangsa Sasak yang
patrilineal, besarnya ajikrama yang diserahkan didasarkan pada martabat
laki-laki. Hal ini sesuai dengan tujuan penyerahan ajikrama itu yakni
untuk menetapkan status mempelai wanita dalam keluarga suaminya dan
status anak-anak yang akan dilahirkan dari perkawinan itu.109 Sorong serah
artinya menyodorkan dan menyerahkan. Barang yang diserahkan tersebut
dinamakan Ajikrama yang mempunyai arti adat yang mulia atau benda
adat yang mulia.
Menurut adat Sasak seorang isteri yang tidak diupacarakan sorong
serah tidak sah menjadi anggota keluarga suaminya. Anak-anak yang lahir
dari perkawinannya itu menjadi anak-anak tapi bukan anak suaminya.
Anak-anak itupun tidak berhak mewarisi pusaka seperti tanah, terak, keris
pusaka dan mantra kalau punya, dari ayahnya, anak-anaknya hanya dapat
menerima warisan dari ibu mereka.
Upacara sorong-serah dan nyondol dilaksanakan oleh orang sebanyak-
banyaknya diiringi dengan bunyi-bunyian seperti tawaq-tawaq, rebana
atau rudat. Rombongan penyoron (yang menyerahkan ajikrama) dipimpin
oleh seorang pembayun (utusan pihak keluarga mempelai pria). Selain
108Arnis Rachmadani, “Local Wisdom: Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu sebagai
Perekat Kerukunan Masyarakat Bayan,” h. 674. 109DEPDIKBUD, Upacara Tradisional Sorong-Serah dan Nyondol dalam Adat
Perkawinan Sasak di Lombok, h. 10.
70
rencang (peserta) terdapat seorang pemuka adat dan seorang pemuka
agama yang menjadi pendamping pembayun.
Adapun contoh kewajiban yang harus dipenuhi antara lain lima ribu
kepeng bolong sebagai ulum dedosan, satak kepeng bolong (bakul kecil
yang berisi dua ratus uang bolong), due lembar kereng putek (dua lembar
kain putih) telu bilah tombak, dan seekor kerbau. Semua barang tersebut
disebut “ajikrama” artinya sejumlah pembayaran yang telah ditentukan
oleh adat. Namun ada kebijaksanaan lain apabila perkawinan dilakukan
oleh pemuda dan si gadis yang kampungnya satu dengan yang lain sangat
jauh maka bisa ditempuh dengan menukar ajikrama dengan nominal uang
tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Kebijaksanaan ini
disebut ”cocol”.110
Benda-benda yang akan diserahkan diatur dalam wadah-wadah sesuai
dengan jenis benda. Sisirah atau otak bebeli ditaruh dalam leweng. Uang
tapak lemah ditaruh dalam amplop. Tapak lembah yang berbentuk uang
emas atau perhiasan dibungkus dengan selembar sapu tangan dan
dikantongi oleh pembayun atau pendamping dari pemuka masyarakat.
Oleh-oleh yang berbentuk kain-kain dikemas dalam sebuah kotak terbuat
dari daun lontar. Kotak dihiasi dengan manik-manik dengan pola hias
daun, sulur, geometris, bintang dan bulan sabit. Yang pemegat
ditempatkan dalam beberapa buah piring dan tiap-tiap piring dibawa ileh
seorang anggota rombongan. Uang denda kalau ada, disiapkan dalam
110Arnis Rachmadani, “Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara,”
Analisa vol. XVIII no. 1, Januari-Juni 2011, h. 68.
71
amplop yang dikantongi oleh salah seorang anggota keluarga mempelai
laki-laki yang ikut dalam anggota rombongan penyorong.
Selain dede yang berfungsi sebagai lambang pengganti air susu ibu
ditempatkan dalam sebuah pasu kecil atau rombongan atau gadang artinya
tempat nasi. Maksud salin dede sebagai peralihan tanggung jawab dari
orang tua mempelai wanita pindah ke pundak mempelai laki-laki. Benda-
benda lain kalau ada serta pelengkak dan kao tindoq111 dibawa langsung
oleh anggota rombongan penyorong. Aji pisuka, penyauman yang
biasanya diwujudkan dalam uang ditaruh dalam pring. Dengan berbaris
teratur dan tertib, rombongan penyorong, diikuti oleh rombongan
pengantin yang diiringi bunyi-bunyian, keluar dari rumah orang tua
mempelai pria. Sepanjang jalan benda-benda ajikrama dan pelengkapnya
itu dibawa dan dijaga dengan baik oleh anggota rombongan.
Setibanya di pintu kampung (jebak) orang tua mempelai wanita,
mereka duduk tertib sesuai urutan seperti sewaktu mulai berangkat.
Sementara petugas yang membawa sesirah memukul leweng bertalu-talu.
Bila pihak penampi (wakil keluarga mempelai wanita yang menerima
ajikrama) sudah siap dikirimlah dua orang penyolo mempersilahkan
rombongan penyorong masuk.
Rombongan penyorong yang telah diperkenankan masuk sampai batas
tikar yang terbentang di bawah terop mereka duduk. Setelah mengucapkan
salam, mereka dipersilahkan maju. Mereka tidak boleh langsuung duduk
di atas tikar sebelum dipersilahkan maju. Mereka kemudian duduk di atas
111Kao tindoq artinya kerbau tidur. Melambangkan permintaan keamanan dan kedamaian.
72
tanah tanpa alas. Sekalipun begitu mereka tabu memilih-milih tempat yang
lebih baik atau lebih bersih. Ketahanan mental dan kesetiaan mereka
kepada adat diuji.
Setelah kedua belah pihak duduk berhadapan yang dibatasi sebuah alu
melinyang di tengah-tangah jarak keduanya, pembayun penyorong mulau
berdialog dengan pembayun penampi. Pembicaraan berawal dari saling
puji memuji diikuti ileh perkenalan. Mereka tidak lain adalah pembayun
atau utusan yang ditunjuk oleh Kepala Desa, Keliang (kepala dusun) dan
orang yang punya hajat atau keluarga mempelai, menjelaskan maksud
kedatangannya, yaitu menyerahkan ajikrama dengan menyebut jumlahnya.
Benda-benda lain seperti sesirah,112 tapak lemah113 dan olen-olen114
dikembalikan utuh kepada keluarga mempelai pria. Salin dede115 diberikan
kepada orang tua mempelai wanita. Kalu ada denda-denda, diperuntukkan
yang berhak. Denda pelengkak diberikan kepada kakak lelaki mempelai
perempuan yang didahului kawin. Denda-denda, pembabas kota, kor jiwa
menjadi bagian desa dan pamong desa. Setelah acara sorong-serah selesai,
pembayun beserta anggota rombongan minta diri.
Sementara itu rombongan pengantin disongsong di luar kampung
diarak masuk kampung. Kedua pengantin disambut dan didudukkan di
pelaminan sejenak dan anggota rombongan dijamu. Terakhir memberikan
112Sesirah atau otak bebeli terdiri dari kain putih dan kain hitam bergaris putih vertikal
dan horizontal sejajar berpotongan diikat dengan benang dalam wadah leweng atau gong kecil,
melambangkan persatuan wanita dengan pria yang terikat dalam perkawinan. 113Tapak lemah artinya menginjak tanah, melambangkan manusia (Adam) diciptakan dari
tanah. 114Olen-olen berwujud kain-kain, melambangkan manusia tidak dapat hidup tanpa benda-
benda, seperti makanan, pakaian dan rumah tinggal. Kesemuanya itu harus didapat dengan kerja
keras. 115Salin dede artinya ganti mengasuh. Melambangkan perpindahan tanggungjawab dari
orang tua mempelai wanita kepada pegantin pria.
73
ucapan selamat kepada kedua mempelai dan kedua orang tuanya.
Sementara itu anggota rombongan dijamu dengan rokok sirih, minuman
dan juadah. Waktu mereka hanya sebentar kemudian balik membawa
pengantin pulang dan selesailah upacara sorong-serah dan nyondol dalam
adat perkawinan suku bangsa Sasak di Lombok.116
Sebagai tambahan, bahwasanya terdapat beberapa pantangan yang
perlu ditaati dalam proses sorong-serah ini. Seperti pelaku-pelaku sorong-
serah harus laki-laki dewasa, dipantangkan bagi wanita dan anak-anak.
Pakaian orang yang sorong-serah harus lengkap menurut adat yang terdiri
dari keris, baju, sabuk, ikat kepala, dan leang (dodot). Harus memakai
daster dan leang. Ketika sampai di tempat upacara sorong-serah, mereka
pantang berbicara sebelum anggota rombongan duduk bersila dengan baik
di tanah. Bagi anggota rombongan pantang mengangkat leang ketika
hendak duduk, sekalipun berlumpur atau berdebu. Sikap duduk harus baik,
pantang kain tersingkap sampai lutut kelihatan. Pantang pembayun dan
pendamping duduk di tikar sebelum dipersilahkan. Pantang pembayun
berbicara tanpa mengatas namakan segenap rombongan, pamit tanpa
memamitkan segenap anggota rombongan, menepuk kotoran atau debu
yang melekat pada pakaiannya ketika baru bangun hendak kembali pulang.
Bila pangtangan-pantangan tersebut dilanggar dapat didenda oleh pihak
keluarga mempelai wanita. Denda ditanggung oleh pihak laki-laki.
Juga mempelai wanita dilarang menginap di rumah orang tuanya
ketika datang nyondol. Apapun alasannya dia harus kembali hari itu juga,
116DEPDIKBUD, Upacara Tradisional Sorong-Serah dan Nyondol dalam Adat
Perkawinan Sasak di Lombok, h. 31-32.
74
bila dilanggar dapat mendatangkan bala. Untuk melepaskan rindu kepada
kedua orang tua dan saudara-saudaranya, tradisi menyediakan bagianya
acara bejango atau “balik tampak” . bejango artinya menjenguk, balik
tampak artinya napak tilas. Acara bejango diadakan untuk merapahkan
antara kedua kelompok keluaga. Merapahkan artinya memperkenalkan dan
mengakrabkan perhubungan kedua belah pihak. Pada kesempatan ini
kedua mempelai dan kedua orang tua mempelai laki-laki bermalam di
rumah orang tua mempelai wanita selama semalam.117
Dalam perkembangan mutakhir, timbul kesadaran dari orang-orang
Bayan untuk mencatatkan pernikahannya ke KUA, tapi prosesi adat juga
masih dilaksanakan. Pernikahan tetap dilakukan setelah pernikahan resmi
di KUA. Kenyataan ini penting untuk membuktikan pengakuan mereka tas
negara dan adat. Untuk melaksanakan pernikahan dualisme ini, ada
pembagian peran antara ayah atau kakek dan paman. Jika di KUA orang
tua (ayah atau kakek) berperan sebagai wali, sedang dalam pernikahan
adat wewenang diberikan kepada paman. Dengan demikian baik negara
maupun adat tetap menjalankan tugas dan wewenangnya di tengah
masyarakat. Disatu sisi masyarakat Bayan ingin mempertahankan adat
istiadatnya yang diwariskan dari para leluhurnya. Di sisi lain, mereka
berupaya menjadi masyarakat modern, menjadi bagian masyarakat
Indonesia.118
117DEPDIKBUD, Upacara Tradisional Sorong-Serah dan Nyondol dalam Adat
Perkawinan Sasak di Lombok, h. 32-33. 118Arbi Mulya Sirait, dkk, “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia”, h. 32.
75
4. Upacara Kematian
Setiap orang yang ingin mengikuti prosesi pelaksanaan gawe pati
dianjurkan memakai pakaian adat, minimal dodot (kain pelapis pinggang,
terkadang dapat diganti dengan sarung), dan sapu’ (ikat kepala) untuk
laki-laki serta kain hitam untuk wanita. Sebelum memandikan mayat, alat
yang harus disiapkan meliputi: kain warna putih (mori) untuk membungus
mayat, kain batik (jarik) untuk menutupi mayat, keranda dari bambu untuk
menggotong mayat serta air untuk memandikan mayat. Adapun alat
pelengkap upacara Gawe Pati antara lain: sesajen, kemenyan, brem, sirih
dan pinang, tembakau dan bunga-bunga untuk nyekar (ditabur di kuburan).
Bagi yang meninggal waktu lingsiran (waktu setelah dzuhur)
dimakamkan keesokan harinya tetapi diberikan boreh (seperti lulur
tradisional) lalu mandi kambalkan (mandi biasa) oleh keluarga terdekat
baru kemudian oleh para kyai termasuk penghulu dilanjutkan dengan
pembacaan Lontar Chandra Kirana untuk menghibur keluarga yang
meninggal. Keesokan harinya dilanjutkan dengan Trek Ules (memotong
kain kafan) berjumlah ganjil sesuai kemampuan keluarga yang dilakukan
oleh Penghulu atau Kyai.
Pelaksanaan gawe pati dimulai dengan tahapan memandikan,
mengkafani, menyalatkan serta penguburan(nyusur tanah), kemudian
dilanjutkan dengan nelung pada hari ketiga, mituq pada hari ketujuh,
nyiwak yaitu perayaan hari kesembilan, matang puluh pada hari keempat
76
puluh, nyatus pada hari keseratus dan nyiu sebagai penutup prosesi ritus
gawe pati pada hari keseribu.119
Masyarakat Dusun Bayan Beleq membedakan perlakuan bagi mereka
yang meninggal di luar batas kuta (wilayah) dusun. Mereka percaya bahwa
yang meninggal diluar kuta akan membawa penyakit atau malapetaka. Hal
ini menjadi alasan untuk diadakannya selamatan mengasuh. Mangasuh
adalah ritual pembersihan guna mencegah malapetaka dan penyakit
memasuki perbatasan desa.120 Sebelum dibawa kedalam kuta, anggota
keluarga harus melakukan ritual pembersihan yaitu dengan mengorbankan
hewan seperti sapi atau kerbau untuk acara periapan mengsuh saat para
kyai berdo’a untuk keselamatan kuta.121
Bagi orang Islam Wetu Telu, seseorang yang mati tidak dapat
langsung mencapai keluhuran. Oleh karena itu, upacara kematian atau
Gawe Pati dilakukan untuk menjamin arwah orang yang sudah meninggal
mencapai keluhuran. Dengan adanya upacara kematian ini, Islam Wetu
Telu memiliki anggapan bahwa keluhuran seseorang yang telah meninggal
akan mencapai keluhuran pada hari keseribu.122 Tujuan lain dari ritual nyiu
ini adalah untuk menggabungkan arwah si mati dengan dunia leluhur.
Melalui doa kyai yang memimpin upacara ini, arwah si mati dipertemukan
dengan para leluhur. Bagi mereka, kematian merupakan suatu rangkaian
119Rasmianto, “Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam Wetu
Telu di Lombok,” Jurnal el-Harakah, vol.XI, no. 2, Tahun 2009, h. 146. 120Fitria Yusfira, dkk, “Meneropong Strategi Kebudayaan melalui Kesadaran Historis
‘Pantang Melupakan Leluhur’ Islam Wetu Telu”, Jurnal Filsafat, vol. 26, no. 2, Agustus 2016, h.
261. 121Eka Trisma Hidayanti, “Eksistensi Ritus Gawe Pati pada Masyarakat Wetu Telu di
Dusun Bayan Beleq, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara”, Jurnal
Humanis, Fakultas Ilmu Budaya UNUD Vol. 22.1, Februari 2018, h. 60. 122Muh. Amin Arqi, “Kematian Menurut Islam Wetu Telu Ditinjau dari Perspektif
Psikologi Islam”, Jurnal Psikologi Islam, Vol.5 No.1, (2018), h. 41.
77
untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi, yakni keluhuran dan ritual-
ritual untuk menjamin tercapainya tahapan ini.123
E. Makna Hidup Perspektif Kaharingan dan Islam Wetu Telu
1. Makna Hidup Perspektif Kaharingan
Ketulusan hati, kejujuran, kelurusan, kemurnian jiwa adalah ciri khas
dari hidup rakyat dipehuluan yang sangat terpencil ini. Menipu atau
berbohong adalah suatu hal yang sangat mereka jauhi. Sedangkan
pencurian sama sekali tak pernah terjadi dikalangan mereka. Tolong
menolong, bantu membantu, beri memberi pekerjaan gotong royong
adalah adat utama masyarakat setempat yang masih terus ditradisikan.
Mengerjakan ladang seseorang, dari menebas ke menugal sampai
mengetam adalah tangguangan bersama. Tanpa diberitahu datang orang-
orang membantu. Begitupun dalam hal pendirian rumah.
Berkenaan dengan kesehariannya, masyarakat menghendaki agar
mereka selalu menaati segala tradisi serta adat-kebiasaan yang berlaku.
Dan itulah –penaatan itu- yang disebut sikap atau perbuatan yang baik.
Menyimpang dari sesuatu tradisi leluhur adalah hal yang buruk. Malahan
kadang-kadang dianggap sebagai suatu dosa.124 Pecahnya sebuah guci,
pelanggaran tabu, pelanggaran syarat-syarat suatu upacara, tidak
membayar hajat, menebang sebuah pohon berganan tanpa upacara adalah
termasuk sebagai perbuatan dosa. Dalam Kaharingan, dosa adalah setiap
pelanggaran terhadap tata tertib yang berlaku dalam seluruh kosmos. Oleh
123Erni Budiwanti, Islam Wetu Telu vs Waktu Lima, h. 191-193. 124Sarwoto Kertodipoero, Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghulu Kalimantan,
h. 42.
78
karena itu penyimpangan terhadap syarat-syarat upacara atau terhadap tata
tertib masyarakat adalah suatu dosa karena keduanya adalah penjelmaan
tata tertib kosmos.
Yang aneh pula adalah bahwa dosa itu dapat menular. Berzina
misalnya, walaupun yang melakukan perbuatan dosa ini 2 orang, namun
siksaannya akan menimpa seluruh isi kampung karena dosa tersebut telah
menular keseluruh anggota masyarakat. Karena itu, bila ada orang
kedapatan berzinah dan si perempuan kedapatan hamil, tidak saja dosa ini
dibetulkan menurut hukum adat misalnya keduanya harus kawin atau salah
satu pihak harus membayar denda kepada yang lain, melainkan seluruh
kampung yang dalam hal ini biasanya diwakili oleh balian125 harus
mengadakan upacara, memberi persembahan kepada para dewa agar
kampung yang telah kena noda dosa itu tidak terkena bencana dengan
melaksanakan upacara Mudja Sumbang126.
2. Makna Hidup Perspektif Islam Wetu Telu
Mengenai hakekat dari hidup ini orang Sasak pada umumnya
berpendapat bahwa hidup di dunia ini adalah kehidupan sementara dan
kehidupan yang abadi adalah kehidipan sesudah mati. Untuk itu maka
125Balian adalah orang yang tahu secara mendalam mengenai soal-soal alam ghaib, yang
mempunyai keahlian dalam hal keagamaan. Dia bertugas sebagai mediator dan komunikator antara
manusia dengan makhluk lain yang keberadaanya tidak terlihat oleh kasat mata jasmani manusia.
Balian menyampaikan permohonan-permohonan manusia kepada Ranying Hatalla (Tuhan) dengan
perantara roh baik yang telah menerima tugas khusus dari Ranying Hatalla untuk mengayomi
manusia. Tidak setiap orang sekalipun berusaha keras mampu melakukan tugas dan kewajiban
sebagai Balian. Biasanya hanya orang-orang terpilih saja. Biasanya masyarakat menggunakan
Balian ini dalam upacara peristiwa-peristiwa penting semisal kematian, penyakit menular,
perkawinan, pembayaran hajat, dll. 126Upacara perkawinan darurat dilaksanakan selama sehari yang dipimpin oleh 2 orang
balian dengan iringan bunyi ketambung mengucapkan mantra-mantra bersahut-sahutan dirumah
keluarga wanita. Mereka meminta maaf kepada para sangiang, para dewa serta leluhur atas
peristiwa yang telah terjadi. Memohon penghapusan dosa serta diselamatkan kampung mereka
dari segala bencana.
79
hidup di dunia ini harus selalu berbuat baik dan benar. Manusia harus
mengikuti adat istiadat yang berlaku, manusia harus selalu memberikan
sajian kepada arwah leluhur yang menjaga desa dan tempat-tempat
tertentu. Untuk itu mereka harus taat kepada pemangku adat dan
mengikuti ajaran-ajaran yang diajarkan oleh kyai mereka. Mereka tidak
terlalu mengejar kehidupan yang lebih baik di dunia ini. Mereka
menganggap bahwa hidup yang telah dialami sekarang ini telah cukup.
Oleh karena itu sikap hidup yang mewarnai mereka adalah serba nrimo,
pasrah terhadap nasib.
Berkaitan dengan hajat hidup manusia, mereka sekedar untuk dapat
memenuhi kebutuhannya di dunia ini. Anggapan mereka bahwa kerja itu
adalah sekedar untuk memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik secara biologis maupun dalam rangkan menunaikan tugas-
tugas sosialnya atau kewajiban-kewajiban ritualnya. Dengan demikian
rezeki yang diperoleh sebagai hasil kerja mereka harus sebagian
dikorbankan untuk tujuan-tujuan memenuhi adat istiadat mereka, serta
keperluan-keperluan pemujaan pada arwah leluhur. Karena rezeki itu
diperoleh menurut anggapan mereka bukan semata-mata karena prestasi
mereka tetapi berkat sifat Maha Pengasih dan Penyayang Tuhan serta
pertolongan para arwah leluhur yang memelihara tempat-tempat tertentu
sehingga memungkinkan mereka memperoleh hasil. Karena itu, dalam
bekerja mereka diliputi berbagai pantangan dan ketentuan-ketentuan yang
didasarkan atas kepercayaan yang harus selalu diperhatikan.
80
Perihal hakekat hubungan manusia dengan alam, masyarakat Bayan
dapat dianggap masyarakat yang masih tunduk kepada alam. Bahkan
karena mereka itu termasuk mempunyai kepercayaan yang memuja alam
berupa upacara buka hutan, upacara memuja sumber air, upacara
menghormati pohon-pohon tertentu maka gejala alam ini dianggap
mempunyai kekuatan sakti yang harus dipuja sehingga tidak menimbulkan
malapetaka bagi mereka. Dengan demikian pandangan terhadap alam
sebagai kekuatan yang dapat menimbulkan bencana lebih besar dari pada
memandang alam ini sebagai sumber hidup yang harus diolah demi
kebutuhan mereka.
Oleh karena itu mereka berusaha hidup sesuai dengan kodrat alam.
Berusaha merubah dan menguasai alam dapat dianggap merusak sistem
kepercayaan mereka. Salah satu contohnya adalah pandangan yang melatar
belakangi pengolahan sawah bahwa tanah pertanian itu harus dianggap
sakral oleh karena itu alat pertanian yang dipergunakan harus yang telah
ditentukan oleh sistem kepercayaan mereka. Seperti sawah hanya boleh
diinjak-injak oleh kerbau dalam waktu-waktu tertentu sampai matang
untuk ditanami. Dengan demikian pembaharuan teknologi akan menemui
hambatan karena adanya kepercayaan tersebut.127
127DEPDIKBUD, Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat,
h. 104.
81
BAB IV
KOMPARASI & ANALISIS SIKLUS HIDUP KAHARINGAN DAN ISLAM
WETU TELU
A. Periode Kelahiran
Tahapan pertama dari siklus hidup manusia adalah periode kelahiran.
Sebelum lahir ke duniapun si jabang bayi sudah diharapkan menjadi anak
yang baik, unggul, bertanggung jawab serta disematkan banyak harapan baik
lainnya untuk kehidupan dia kelak. Maka dari itu banyak hal yang dilakukan
semasa sang ibu hamil demi tercapainya harapan tersebut. Baik dari
Kaharingan maupun IWT sepakat bahwa kelak anaknya diharapkan menjadi
generasi unggul untuk menggantikan orangtuanya di masa mendatang.
Masyarakat Dayak Sanggau mengetahui tanda-tanda kehamilan seperti
pembesaran perut, ngeraah atau ngidam, tidak datang bulan dan lemas.
Sementara tanda-tanda kehamilan yang dapat terlihat atau dirasakan yakni
keluar lendir darah/calak, perut mulas,sakit pinggang, pecah air ketuban
(piying nutup).128 Dalam masa kehamilan, tradisi Kaharingan mengenal
berbagai macam anjuran dan beberapa pantangan yang harus dilakukan oleh si
ibu, seperti dilarang mengikat tali dan membunuh binatang. Sang ibu
dianjurkan makan nasi putih bercampur garam dan daun bungkal selama tiga
hari berturut-turut setelah melahirkan. Semua itu dimaksudkan agar si bayi
nanti lahir dengan mudah dan gampang serta demi kebaikan sang bayi kelak.
Bagi seorang perempuan yang baru hamil pertama kali, biasanya
dilaksanakan upacara Nyaki Tihi yang dalam arti literalnya sebagai kegiatan
128Edy Suprabowo, “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada Suku
Dayak Sanggau”, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, vol. 1, No. 3, (Desember 2006), h. 114.
82
atau tindakan memoles ibu hamil. Nyaki Tihi adalah memoleskan darah
kepada seorang perempuan yang sedang mengandung anak pertama dalam
masyarakat Dayak. Ritual ini biasa dilaksanakan ketika usia kandungan
memasuki tujuh bulan. Tujuannya untuk upaya perlindungan atau keselamatan
ibu hamil tersebut. Terhadap kandungan bayi kedua dan seterusnya, upacara
ini tidak berlaku lagi.129 Sedangkan dalam tradisi IWT jika proses kelahiran
sang bayi susah maka itu ditafsirkan sebagai akibat dari perbuatan yang telah
dilakukan sang ibu sebelumnya. Oleh karena itu, maka diadakanlah upacara
seperti menginjak ubun-ubun, meminum air bekas cuci tangan suami dan
ibunya agar kelahiran bayinya lancar.
Untuk proses melahirkan, masyarakat Kaharingan dan IWT masih
sama-sama menggunakan jasa dukun beranak. Setelah lahiran, placenta dari
bayi Kaharingan di taruh didalam sebuah bakul kecil yang berisi sedikit beras
ketan yang ditaburi sedikit garam di atasnya serta buluh alat pemotong dan
tangkai belajung ditaruh paling atas. Upacara mampandoi (memandikan bayi)
diadakan sesudah tali pusar bayi putus dengan dimandikan ke tepi kali oleh
sang dukun. Lazim juga dilaksanakan upacara mamalas bidan sebagai bentuk
terima kasih kepada bidan atas jasanya yang telah membantu proses kelahiran
serta merawat si bayi dan orang tuanya. Kepadanya diserahkan sejumlah uang
serta sehelai kain (bahalai) sebagai pembalas jasa (tambai).
Sementara dalam tradisi IWT, rambut bayi yang lahir dianggap oleh
masyarakat sebagai bulu panas. Oleh karena itu harus dihilangkan dengan
mengadakan selamatan, do’a ataupun upacara sederhana yang disebut
129Wilson, “Makna Upacara Nyaki Tihi Adat Dayak Ngaju di Desa Samba Danum
Katingan, Kalimantan Tengah”, Kontekstualita, vol. 26, No. 2, (Desember 2009), h. 43-44.
83
ngurisang. Selain itu, dipercayai pula bahwa seorang bayi membawa dosa
orang tuanya dimasa lalu. Oleh karena itu dalam upacara buang au bayi
disucikan dengan menyelenggarakan bedak keramas dan doa kyai. Bedak
keramas adalah campuran santan kelapa, darah ayam dan sembek yang ditaruh
di tempurung kelapa. Ramuan itu dioleskan di kening bayi dan orang tuanya.
Selesai persalinan, sang balian tersebut biasanya membakar arang dan
menempatkannya di bawah ranjang di mana bayi dibaringkan. Ini
dimaksudnya untuk menjaga agar si bayi merasa hangat dan dapat tidur
nyenyak. Sekitar seminggu kemudian, orang tua si bayi mengadakan upacara
buang au (buang abu) yaitu membuang seluruh abu yang dihasilkan arang
oleh balian, sedangkan orangtua bayi mengumumkan nama bayi yang baru
dilahirkan setelah sebelumnya berkonsultasi dengan para pemangku dan kyai
mengenai nama yang tepat untuk si bayi dengan menggunakan perhitungan
astrologi berdasarkan waktu, tanggal, bulan dan tahun saat bayi dilahirkan.
Sementara dalam tradisi Kaharingan, prosesi pemberian nama pada si
bayi biasanya dilaksanakan dalam upacara Nahunan, di mana sang bayi
dimandikan secara ritual sebagai maksud pemberian nama sekaligus
pembaptisan menurut Kaharingan kepada anak yang telah lahir. Umunya ritual
ini digelar bagi bayi yang telah berusia setahun atau lebih.
B. Periode Kehidupan
Dalam periode kehidupan ini saya mengambil masing-masing dua
tahapan kehidupan dari setiap kepercayaan, yakni tradisi tato dan tradisi
perkawinan dalam Kaharingan serta Ngitanang (Khitanan) dan tradisi
perkawinan Islam Wetu Telu. Tradisi tato dan ngitanang dipilih karena
84
keduanya sama-sama berada pada masa pertumbuhan (remaja) baik di pihak
Kaharingan maupun IWT.
Tato bagi orang Kaharingan tidak hanya sebagai seni melainkan
banyak nilai yang mereka sematkan seperti nilai adat, agama dan pribadi.
Beda motif tato, beda juga nilai yang terkandung didalamnya. Mulai dari
identitas diri, menunjukkan status sosialnya, simbol keberanian, bentuk
penghargaan atas suatu kemampuan sampai pada simbol penolak bala dan
juga penjaga pemakainya dari roh-roh jahat.
Perempuan yang bertato biasanya merupakan tanda bahwa dia sudah
memasuki fase kehidupan baru setelah mangalami menstruasi pertama
sebagai tanda telah beranjak dewasa. Sedangkan untuk lelaki yang tubuhnya
dipenuhi tato itu menandakan bahwa dia seorang yang perkasa dan kuat
mengembara. Dipercayai bahwa tato berwarna hitam yang terdapat pada suku
Dayak akan berubah menjadi warna emas dan menjadi penerang jalan menuju
keabadian setelah mereka mati dan telah melalui tiwah.
Dibagian dunia lain, yakni tradisi IWT, fase peralihan pertama ditandai
dengan dilaksanakannya khitanan (ngitanang). Anak yang belum dikhitan
akan selamanya dianggap boda (belum di Islamkan). Oleh karenanya setiap
anak laki-laki yang sudah berumur 3-7 tahun akan dikhitan terlebih dahulu
agar dianggap Muslim.
Dalam prosesnya, orang Bayan biasa menggunakan jasa Lokak
penyunat (tukang khitan) maupun mantri kesehatan meskipun mereka lebih
sering memakai jasa lokak penyunat. Lokak penyunat ini menggunakan cara
85
tradisional untuk proses khitan yang biasanya keahlian ini bersifat turun
temurun.
Dalam hal ini, tradisi tato tidak ditemukan dalam IWT meskipun
mereka sangat kental akan tradisi lokal mengingat IWT merupakan tradisi
yang ajarannya dekat dengan Islam yang notabennya melarang tato. Begitupun
sebaliknya dengan khitan yang tidak dijumpai dalam tradisi Kaharingan
karena khitan hanya ditemukan dalam tradisi Islam dan Yahudi.
Memasuki masa peralihan selanjutnya, kita akan disuguhi bagaimana
tradisi perkawinan di antara kedua suku. Dikarenakan perbedaan jarak dan
waktu, berbeda pula tradisi yang berkembang. Meskipun begitu, hal
substansial yang dapat diambil dari keduanya adalah tujuan dari perkawinan
itu untuk membina rumah tangga yang haromonis serta melahirkan turunan
yang bisa melanjutnya tradisi nenek moyangnya.
Suku bangsa Dayak menganggap perkawinan sebagai yang bernilai
religius karena berkaitan dengan memperoleh keturunan. Orang yang mau
menikah hendaknya sudah siap secara lahir maupun batin terutama si pria
yang akan menjadi tulang punggung keluarga karena mereka akan memasuki
dunia baru yang diemban berdua.
Dalam proses pelamaran (Hakumbang Auh-Maja Misek), tidak ada
yang istimewa dalam tradisi Kaharingan karena hanya diisi dengan
musyawaroh antar keluarga berkaitan dengan kapan pelaksanaan perkawinan
yang dilanjutkan dengan pemberian biaya perkawinan kepada pihak wanita
dalam Mamanggar Janji. Biasanya lazim ditugaskan seorang laki-laki (uluh
helat) untuk mendatangi pihak perempuan guna menegosiasikan hal tersebut.
86
Melalui seorang ulu helat inilah nantinya akan disampaikan keputusan pihak
perempuan apakah mau menerima pinangan tersebut atau menolaknya.
Memasuki pelaksanaan perkawinan, penganten pria berangkat menuju
rumah calon istrinya (penganten haguet). Sesampainya disana mereka
disambut oleh tuan rumah dilanjutkan dengan mamapas agar pernikahan
beserta pengantennya dijauhi dari marabahaya. Dalam haluang hapelek
dilakukan perundingan mengenai pengakuan, pemayaran, kesanggupan dan
penyerahan poin-poin isyarat perkawinan menurut adat.
Yang menarik disini adalah Manyaki Penganten karena mempelai pria
dan wanita diolesi darah hewan kurban ke beberapa bagian tubuhnya. Hal itu
dimaknai sebagai pensucian terhadap mempelai, sehingga dalam menjalani
kehidupan berumah tangga mereka senantiasa sehat, selamat dan memperoleh
rejeki. Hari itu ditutup dengan pangian putir santang yakni memakan 7
gumpal nasi sebagai simbol penyatuan mereka bahwa sejak hari itu sudah sah
sebagai pasangan suami istri.
Selang beberapa waktu setelah upacara perkawinan berlangsung di
rumah wanita, dari pihak pria mengadakan pesta pakaja manantu di
rumahnya. Hal ini dimaksudkan untuk memperkenalkan penganten wanita
kepada para kerabat dan handai tolan serta masyarakat tetangga sekitar. Ketika
mempelai wanita sudah sampai di rumah mertuanya, sang mertua
menyambutnya dengan 7 butir isyarat adat, yaitu130:
1. Garantung Tanggul, berarti menanti berpayung gong. Hal ini
menggambarkan bahwa menantu harus diberi mahkota kehormatan,
130Syamsir Salam, Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan Tengah,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 193-194.
87
perlingungan hukum, daya tahan dan daya tangkal sehingga merasa aman
dan lega di bawah naungan keluarga sang suami.
2. Pinggan tapak penyau pai, yaitu tersedianya tempat pembasuhan. Sebelum
menantu masuk ke rumah, dipersilahkan terlebih dahulu membasuh diri
agar bersih dari pengaruh rasa sial, mimpi buruk serta gangguan roh-roh
jahat.
3. Bulau singah pakang, mertua memberikan emas/perhiasan, hal ini
dimaksudkan sebagai penyuluh dan penerang bagi menantu untuk turun
naik tangga di rumah mertua.
4. Lamiang tukang sapau, pemberian rumah kepada menantu sebagai
lambang kelonggaran atau keleluasaan bagi menantu hidup di rumah
mertua.
5. Benang kampuh benang sandurung ringgit epat nambatu puting, mertua
memberikan seperangkat pakaian dan uang ala kadarnya. Hal ini
dimaksudkan agar menantu mau bekerja keras, tidak jadi orang pemalas
dan rajin bekerja serta selalu kelihatan anggun dalam berpenampilan.
6. Batu kaja, sang mertua memberikan sesuatu harta yang paling berharga.
Ini dimaksudkan untuk jadi perhatian bagi menantu dan juga sebagai bekal
kelak jika akan melahirkan anak-anaknya.
7. Bawai saki, lilis manas peteng, pinggan mise lampat hejan. Tahap ini
memperlihatkan citra ikatan kekeluargaan antara mertua dan menantu
serta segenap kerabatnya yang utuh dan berkesinambungan.
88
Setelah rangkaian acara tadi terlaksana, acara ditutup dengan do’a bagi
kesehatan, kekayaan materi serta untuk menguatkan iman kepada para dewa
ataupun kepada roh-roh nenek moyang.
Untuk perkawinan IWT, semenjak dari tahapan awal pernikahan sudah
disuguhi dengan keunikan tersendiri, terutama tradisi merariq. Dalam hal ini
calon mempelai wanita “diculik” terlebih dahulu oleh pihak lelaki. Term
diculik ini bukanlah bermakna negatif karna berdasarkan adat disana, laki-laki
yang berniat untuk mempersunting gadis incarannya biasanya diawali dengan
penculikan terlebih dahulu sebagai bukti keseriusan dan juga menunjukkan
kelelakiannya. Tentunya kasus ini diawali dengan perjanjian terlebih dahulu
antara si pria dengan si gadis mengenai kapan waktu yang tepat untuk
melakukan merariq. Biasanya si gadis dititipkan ditempat yang aman baik itu
tempat saudara ataupun keluarga (bale penyeboqan). Selama proses
persembunyian ini, antara si pria dan si gadis terdapat ketentuan yang tidak
boleh didobrak menurut hukum adat sebelum pernikahan mereka sah secara
adat maupun agama seperti tinggal berdua didalam satu ruangan ataupun
melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan denda maupun hukuman menurut
adat yang berlaku sehingga mereka harus menjaga jarak terlebih dahulu.
Adat Sasak menyediakan waktu tersendiri bagi si pemuda
(teruna/bajangan) dengan gadis (dedare) untuk saling mengenal lebih jauh
(PDKT) melalui lembaga adat yang disebut midang atau ngayo atau menyojag.
Kesempatan ini biasanya digunakan untuk suatu percakapan yang intim agar
keduanya dapat saling mengenal dengan baik dan menapat kesempatan
membicarakan rencana perkawinan mereka. Waktu dan tempat midang serta
89
tingkah lakunya telah diatur dengan ketentuan adat yang disebut awing-awing
desa.131
Nur Yasin mencatat setidaknya ada 4 prinsip dasar yang terkandung
dalam praktik merariq ini, yakni; 1) prestige keluarga perempuan yang
dianggap punya kelebihan dan keistimewaan tersendiri yang menarik hati laki-
laki. 2) superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan 3) egalitarianisme
atau rasa kebersamaan di kalangan seluruh keluarga perempuan. 4) komersial;
memiliki nilai tawar. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial
anak dan orang tua, semakin tinggi pula nilai tawar sang gadis. Begitu pula
berlaku sebaliknya. Komersialisasi kawin ini tampak kuat hanya apabila
antara si pria dan wanita sama-sama berasal dari suku Sasak. Namun apabila
salah satunya berasal dari luar, maka tuntutan komersialisasi tersebut agak
lemah.132
Tiga hari kemudian biasanya diadakan tobat kakas yang disusul
dengan penyerahan wali oleh paman mempelai wanita untuk prosesi ijab kabul
dengan diawali pembacaan dua kalimat Syahadat dan diakhiri dengan do’a
kepada dua mempelai. Setelah itu, akan diadakan upacara sorong serah di
mana penganten laki-laki akan menyerahkan ajikrama yang sudah disepakati
kepada pihak perempuan. Tujuannya untuk menetapkan status mempelai
wanita dalam keluarga suaminya dan status anak-anak yang akan dilahirkan
dari perkawinan itu.
Rangkaian terakhir dari upacara pernikahan IWT adalah nyongkol,
kegiatan ini dilakukan secara bersamaan seluruh anggota keluarga mempelai
131M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.
152-153. 132M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak, h. 157-160.
90
laki-laki bersama masyarakat berkunjung ke rumah mempelai perempuan.
Tujuannya ialah untuk menampakkan dirinya secara resmi di hadapan orang
tua dan keluarganya bahkan kepada seluruh masyarakat sembari meminta
maaf serta memberi hormat kepada kedua orang tua pengantin perempuan.133
C. Periode Kematian
Bagi sebagian orang kematian merupakan sesuatu yang sangat
menakutkan karena mereka menganggap bahwa itu adalah akhir dari
kehidupan dan kenikmatan yang selama ini dirasakan akan terputus. Para
filsuf memiliki dua pandangan yang bertolak belakang tentang hidup. Ada
yang pesimistis sehingga memandang hidup ini sebagai sesuatu yang berat,
penuh kesedihan, dan kesulitan lalu berakhir dengan maut yang berarti
kepunahan. Ada juga yang optimis menilai hidup sebagai penghormatan dan
tanggung jawab yang dapat berakhir dengan kebahagiaan dan kekekalan yang
baru diperoleh melalui maut.134
Tapi tidak untuk masyarakat Dayak yang justru menganggap kematian
sebagai awal dari kehidupan baru, yakni kehidupan roh (akhirat) yang didalam
impian mereka sebagai kehidupan yang sempurna. Meskipun begitu, tidak
gampang untuk mencapai kehidupan tersebut. Mereka harus melalui upacara
terlebih dahulu yang disebut dengan upacara Tiwah. Jika tidak begitu, maka
arwah orang yang sudah meninggal akan tetap berada disekitar lingkungan
manusia dan bahkan akan mengganggu sanak keluarga yang masih hidup.
Gangguan-gangguan itu seperti gagal panen, penyakit, kecelakaan, atau
133Sudirman Bahrie, Lalu Ratmaja, Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi Sasak, (NTB:
KSU Primaguna, 2012), h. 126. 134Kata pengantar M. Quraish Shihab dalam buku Komarudin Hidayat, Psikologi
Kematian, Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, (Jakarta: Penerbit Noura Books, 2011), h. X.
91
bahaya lainnya. Bagi orang Kaharingan, kematian perlu disempurnakan
dengan ritual lanjutan agar roh dapat hidup tentram bersama Ranying
Hatalla.Upacara Tiwah mengandung arti penghormatan terakhir terhadap
orang yang meninggal.
Ada tiga tingkatan dalam upacara kematian menurut kepercayaan
Dayak Ngaju. Tingkatan pertama yaitu kematian manusia di dunia, yang akan
diupacarakan oleh keluarga dan jenazahnya dikuburkan di tempat pemakaman
sementara. Tingkatan kedua yaitu upacara memberi makan arwah. Karena roh
manusia dianggap masih berada di sekitar manusia lainnya. Tingkatan kedua
bisa berlangsung selama satu sampai lima tahun. Sedangkan tingkatan akhir
yaitu Tiwah, adalah upacara ketika tulang belulang manusia digali,
dikumpulkan, dibakar dan kemudian disimpan pada pemakaman tetap yang
tidak menyentuh tanah. Sisa abu pembakaran tulang akan dibungkus dalam
kain merah dan kemudian diletakkan kedalam gong, sebelum akhirnya akan
diangkat dan disimpan dalam sandong.
Upacara Tiwah merupakan ritual yang ditujukan untuk meluruskan
perjalanan roh atau arwah orang yang sudah meninggal menuju Lewu Tatau
(surga) sehingga bisa hidup tentram dan damai dialam sana. Selain itu juga
dimaksudkan sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas rutas atau kesialan
bagi keluarga yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang
menimpa.
Masyarakat Dayak Tomun Lamandau sangat memperhatikan prosesi
penyelenggaraan upacara Tiwah karena upacara ini mempunyai makna yang
sangat sakral dan penting. Mereka percaya apabila mereka belum meniwahkan
92
keluarganya, arwah akan tetap berada di bumi dan tidak bisa menuju ke surga.
Oleh karena itu, mengadakan upacara Tiwah hukumnya wajib bagi
Masyarakat Dayak, terutama apabila yang meninggal masih menganut
Kaharingan. Bagi sanak keluarga yang masih hidup, penyelenggaraan upacara
Tiwah merupakan penghormatan terakhir bagi yang meninggal dunia.
Sebelum si mati di tiwahkan, keluarga merasa masih berutang dan memiliki
beban moral kepada orang yang mati tersebut.135
Sementara untuk upacara kematian IWT cenderung lebih dekat pada
tradisi Islam, sesuai dengan kata pertama yang melekat pada IWT itu sendiri.
Meskipun dalam beberapa segi masih bisa ditemukan unsur kelekatan dari
adat setempat mengingat proses dialektik antara adat lokal dan Islam yang
berkembang Lombok. Hal ini terlihat pada orang yang meninggal pada waktu
lingsiran (setelah dzuhur) yang harus dimakamkan keesokan harinya
sedangkan mayatnya harus di berikan boreh atau semacam lulur tradisional
lalu dimandikan oleh pihak keluarga terlebih dahulu.
Seperti halnya dalam tradisi Islam (baca: aswaja) yang berkembang di
Nusantara, upacara kematian dalam IWT juga mengenal hari ketiga (nelung),
hari ketujuh (mituq), hari kesembilan (nyiwaq), hari keempat puluh (matang
puluh), hari keseratus (nyatus) dan hari ke seribu (nyiu) sebagai penutup dari
gawe pati.
Patut menjadi catatan disini bahwa masyarakat Bayan Beleq
membedakan perlakuan bagi mereka yang meninggal di luar batas kuta
(wilayah) dusun. Terlebih dahulu harus diadakan selamatan mengasuh guna
135Nina Putri Hayam Dey, dkk, “Aspek Budaya, Sosial dan Ekonomi dari Tiwah (Upacara
Masyarakat Dayak Tomun Lamandau), Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, vol. XXI, No. 2
(2012), h. 175.
93
mencegah malapetaka dan penyakit masuk kedalam desa. Hal ini tidak
terlepas dari kepercayaan masyarakat yang melekat bahwa mereka yang
meninggal di luar wilayah permukiman akan membawa penyakit atau
malapetaka. Sedangkan anggota keluarga mengorbankan hewan seperti sapi
atau kerbau sebelum mayatnya dibawa kedalam kuta.
Bagi orang IWT, seseorang yang mati tidak langsung dapat mencapai
keluhuran. Oleh karena itu, upacara kematian atau gawe pati dilakukan untuk
menjamin arwah orang yang sudah meninggal mencapai keluhuran. Mereka
beranggapan bahwa keluhuran seseorang yang telah meninggal akan tercapai
pada hari keseribu.
D. Menjaga Tradisi Nusantara, Merawat Budaya Bangsa
Ibn Khaldun, seorang sosiolog Muslim sebagaimana yang dikutip oleh
Ridwan lubis dalam bukunya, berpendapat bahwa pada dasarnya manusia
merupakan makhluk berperadaban (al insan madaniyyun bi al thaba’).
Peradaban yang dirasakan sekarang ini muncul akibat saling percaya antar
manusia sehingga bisa bekerjasama satu dengan yang lain sekalipun hidup
dalam keragaman.136 Bahrul Hayat membagi nilai atau norma dalam
kehidupan sosial menjadi empat (catur norma): kesepakatan sosial, nilai
budaya137, nilai agama138, dan hukum formal139. Dari catur norma ini
kemudian menghasilkan modal sosial. Dalam kesepakatan sosial nantinya
akan mendorong lahirnya berbagai kearifan lokal karena sekalipun di antara
136Ridwan Lubis, Agama dalam Konstitusi RI; Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai
Profetik di Tengah Masyarakat Heterogen, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2018), h. 23. 137Nilai budaya yang asasi adalah keyakinan setiap warga masyarakat terhadap adanya zat
yang Maha SEMPURNA yang mengatasi berbagai nilai yang ada dalam masyarakat. 138Nilai agama adalah wujud keyakinan manusia terhadap perlunya pedoman hidup. 139Adanya hukum formal adalah merupakan hasil kreasi masyarakat untuk memagari
kehidupan masyarakat agar tidak ada yang menyimpang dari batas-batas kepatutan dan kewajaran.
94
mereka sesungguhnya terdapat berbagai perbedaan akan tetapi di atas
perbedaan itu mereka menghasilkan kesepakatan.140
Modal sosial yang dimiliki Indonesia berupa kemajemukan seharusnya
menjadi kebanggaan tersendiri bagi segenap warganya. Terlebih lagi dengan
segenap keragamannya, Indonesia minim konflik dan perpecahan yang
membuat negara lain iri hati dan bahkan dengan sikap rendah hati mau
berkaca terhadap negeri pertiwi ini bagaimana merawat keragaman.
Suatu kebudayaan tidaklah bersifat immortal di mana pada suatu saat
akan mengalamai perubahan karena berbagai macam sebab. Perubahan bisa
terjadi secara kebetulan, direncanakan atau karena adanya kontak dengan
unsur kebudayaan lain. Apapun sebabnya, perubahan kebudayaan dapat
berasal dalam diri masyarakat atau dari luar masyarakat. Akibat dari setiap
perubahan kebudayaan di antaranya, hilangnya unsur-unsur kebudayaan yang
pernah ada, dipertahankannya unsur-unsur kebudayaan dan terjadinya adaptasi
dengan unsur kebudayaan yang baru.141 Namun, faktor intern yang dapat amat
menentukan dalam adopsi unsur-unsur budaya luar itu adalah disposisi atau
kecenderungan dasar suatu bangsa atau suku bangsa yang sifatnya dapat
cenderung terbuka atau cenderung lebih tertutup.142
Salah satu ciri dari dunia kontemporer menurut Robert W. Hefner
adalah munculnya gerakan populis yang menolak keberagaman sosial dan
agama. Di negara-negara Barat, misalnya muncul gerakan Islamophobia, di
140Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama, (Jakarta: PT. Saadah Pustaka
Mandiri, 2013), h. 204. 141Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi; Memahami Realitas Sosial Budaya,
(Malang: Instrans Publishing, 2015), h. 245. 142Edi Sedyawati, Kebudayaan di Nusantara; dari Keris, Tor-Tor sampai Industri
Budaya,(Depok: Komunitas Bambu, 2014), h. 15.
95
India –negara demokratis terbesar di dunia- muncul gerakan Hindutva yang
memarginalisir warga India yang beragama Islam dan Kristen, di Syiria, Irak
dan sebagian besar negara-negara Muslim Timur Tengah dalam sepuluh tahun
terakhir mencoba memobilisir kaum mayoritas terhadap minoritas baik yang
Muslim maupun non-Muslim. Pendek kata, dunia kita kini secara umum
mengalami sebuah krisis keberagaman/pluralitas yang serius dan umum.143
Kita tentu tidak ingin kejadian serupa menerpa Indonesia. Polarisasi
yang terjadi akibat kontestasi pemilihan presiden 2019 cukuplah menjadi
pengalaman pahit dan dikubur sedalam-dalamnya. Saatnya kita
mengedepankan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bangsa seperti yang
tercantum dalam sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi merupakan sesuatu yang
positif, tetapi seharusnya disikapi dengan bijaksana dengan mengambil yang
baik serta mengabaikan yang buruk. Perubahan sosial tidak hanya menatap
masa depan dengan baik akan tetapi juga harus melakukan refleksi ke masa
lalu karena pada masa lalu terdapat sejumlah kebijakan produk dari
pengalaman baik kegagalan dan keberhasilan. Semuanya harus diperiksa
faktor-faktor yang melatar belakanginya sehingga apabila menghadapi
kegagalan maka tidak akan terperosok dua kali ke dalam kesalahan yang
sama. Jangan serta merta mengadopsi apa yang masuk tanpa menyaring
terlebih dahulu sehingga mengakibatkan kehampaan kehidupan dan hilangnya
jadi diri bangsa.
143Sambutan Robert W. Hefner didalam buku Ahmad Najib Burhani, Menemani
Minoritas; Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan kepada yang Lemah, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2019), h. xix.
96
Jati diri bangsa tertanam kuat dalam tradisi yang berkembang di
berbagai suku Indonesia. Disana terdapat nilai-nilai luhur yang bisa dijadikan
pedoman baik sebagai norma maupun dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai
luhur yang sudah diwariskan secara turun temurun ini bisa diaplikasikan juga
terhadap kehidupan sekarang selama itu baik bagi kita. Suku-suku pedalaman
terkenal dengan keramahannya terhadap lingkungan karena dari lingkungan
pula mereka bisa bertahan hidup.
Ekploitasi alam yang semakin gencar mengakibatkan lahan pertanian
dan hutan kita semakin menyusut. Bumi semakin menjerit dan mengeluarkan
protesnya dengan berbagai macam bencana yang tak kunjung berhenti. Itu
merupakan akibat langsung dari ketidak-ramahan kita terhadap alam sekitar.
Satu sisi tekhnologi membawa kita pada kemajuan luar biasa pada bidang
industri dan korporasi. Tapi disisi lain, lingkungan sekitar kita menjadi korban
dari ‘magic’ tekhnologi ini.
Dengan kembali pada nilai dasar kita, nilai luhur bangsa Indonesia,
nilai yang sudah lama kita abaikan, kita berharap masa depan Indonesia akan
lebih baik. Nilai luhur itu bukan datang dari ruang hampa melainkan melalui
perenungan yang mendalam nenek moyang kita. Nilai-nilai itu berupa gotong-
royong antar sesama yang sudah lama dipraktekkan oleh pendahulu kita. Jiwa,
atau semangat gotong-royong (lawan dari sikap individualis) timbul akibat
adanya pengertian akan kebutuhan sesama warga masyarakat. Dalam
masyarakat yang memiliki jiwa gotong-royong, kebutuhan umum dinilai lebih
97
tinggi daripada kebutuhan pribadi, dan kerja bakti merupakan hal yang
terpuji.144
Nilai luhur selanjutnya adalah hubungan solidaritas yang tinggi antar
sesama. Jarang sekali kita dapatkan nenek moyang kita hanya hidup sendiri
dengan lingkungannya karena ikatan batin antar sesama yang sangat kuat
sehingga ketika ada suatu kebutuhan atau keperluan, mereka akan saling bahu
membahu membantu antara yang satu dengan yang lain. Hubungan
kekeluargaan dan ketetanggaan sangat kental yang mereka praktekka tidak
kita temukan pada masyarakat perkotaan terutama daerah metropolitan.
Dalam memutuskan suatu masalah, sistim musyawarah selalu
dikedepankan. Musyawarah adalah unsur sosial yang dalam banyak
masyarakat pedesaan. Keputusan diambil dalam suatu rapat tidak berdasarkan
pendapat mayoritas (voting), tetapi merupakan keputusan yang dicapai secara
bulat. Dengan demikian, baik mayoritas maupun minoritas masing-masing
mengurangi pendiriannya agar dapat dicapai kesepakatan bersama.145
Hubungan manusia dengan lingkungan juga tak luput dari sorotan,
mereka hidup di alam dan bekerja sama dengan alam sehingga alam
lingkungan senantiasa mereka jaga dan minim ekspolitasi lingkungan.
Hubungan yang seperti itu membuat alam terus dalam keadaan yang natural
dan hijau, mata pencaharian mereka tidak pernah berkurang serta alam merasa
tenang.
Dengan kemajuan zaman dan berbagai domain kehidupan, respon yang
paling bijaksana adalah dengan tidak meninggalkan apa-apa yang menjadi
144Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi II; Pokok-Pokok Etnografi, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2005), h, 155. 145Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi II; Pokok-Pokok Etnografi, h, 157.
98
nilai luhur bangsa kita yang dipraktekkan semenjak nenek moyang terdahulu.
Tanpa mengabaikan kemajuan tekhnologi, kolaborasi antara keduanya akan
menjadi sesuatu yang menakjubkan dimasa mendatang karena menjaga tradisi
Nusantara adalah merawat budaya bangsa.
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam setiap masa transisi kehidupannya, Kaharingan -kepercayaan
lokal suku Dayak- dan Islam Wetu Telu yang berkembang di daerah Lombok
melaksanakan ritual. Dalam periode kelahiran, masyarakat Kaharingan
melaksanakan beberapa upacara seperti nyaki tihi bagi perempuan yang baru
hamil pertama kali, mampandoi untuk memandikan bayi serta nahunan untuk
prosesi pemberian nama bayi serta rasa terima kasih keluarga bagi dukun
beranak yang telah membantu. Sementara dalam IWT, terdapat beberapa
rangkaian upacara seperti ngurisang yang merupakan upacara cukur rambut
bayi yang baru lahir, bedak keramas sebagai sarana penyucian bayi dari dosa-
dosa serta buang au yang diikuti pemberian nama bagi bayi lahir tersebut.
Memasuki periode kedua, orang Dayak mulai memakai tato sebagai
penegasan identitas diri dalam sukunya. Beda motif tato, beda pula makna
yang terkandug di dalamnya. Bagi perempuan, tato menandakan bahwa dia
sudah masuk pada fase kedua kehidupan, yakni masa remaja ke dewasa
dengan dimulainya menstruasi pertama. Bagi laki-laki, semakin banyak tato
yang tersemat di badannya, semakin memperlihatkan pula bahwa dia seorang
yang perkasa. Dalam tradisi IWT, laki-laki yang sudah memasuki fase kedua
kehidupan ditandai dengan dilaksanakannya upacara ngitanang. Selama belum
berkhitan, maka dia akan disebut boda, karena pada dasarnya ngitanang ini
sebagai pertanda bahwa dia seorang Muslim.
100
Umat Kaharingan pada Suku bangsa Dayak menganggap perkawinan
sebagai yang bernilai religius karena berkaitan dengan memperoleh keturunan.
Oleh karenanya, terdapat beberapa tahapan dalam tradisi perkawinannya.
Untuk melamar sang gadis, pihak pria biasanya mengutus seorang untuk
menyampaikan maksudnya pada pihak wanita (mamanggar janji). Ketika
jawaban pasti sudah didapatkan, langkah selanjutnya merencanakan
bagaimana jalannya pernikahan akan dilangsungkan. Berbagai upacara yang
tercantum dalam hukum adat dilaksanakan secara bergantian hingga tiba pada
akhirnya acara ditutup dengan do’a bagi kesehatan, kekayaan materi serta
untuk menguatkan iman kepada para dewa ataupun kepada roh-roh nenek
moyang.
Dalam tradisi IWT, merariq patut menjadi sorotan karena upacara ini
terbilang unik. Sebagai lembaga adat yang cenderung dekat dengan tradisi
Islam, di sana terdapat aturan melarikan calon mempelai perempuan terlebih
dahulu apabila ingin meminangnya. Hal ini akan menandakan keprestisiusan
gadis dan keperjakan si pria meskipun dalam pelaksanaannya tetap memakai
hukum adat yang ketat. Sorong-serah dan nyongkol akan menjadi tahapan
berikutnya jika kedua pihak sudah sepakat menuju jenjang pernikahan. Jadilah
kedua insan ini menjadi sepasang suami istri yang sudah diakui baik oleh
lembaga adat maupun oleh pemerintah.
Orang Dayak yang sudah meninggal harus melalui beberapa upacara
adat terlebih dahulu agar arwahnya tidak gentayangan di lingkungan sekitar
dan justru akan mengganggu penghuninya. Salah satu upacara yang wajib
dilaksanakan adalah Tiwah. Upacara Tiwah merupakan ritual yang ditujukan
101
untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah orang yang sudah meninggal
menuju Lewu Tatau (surga) sehingga bisa hidup tentram dan damai dialam
sana. Selain itu juga dimaksudkan sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas
rutas atau kesialan bagi keluarga yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh
buruk yang menimpa.
Di dalam tradisi kematian IWT, kita bisa temukan ritual hari ketiga
(nelung), hari ketujuh (mituq), hari kesembilan (nyiwaq), hari keempat puluh
(matang puluh), hari keseratus (nyatus) dan hari ke seribu (nyiu) sebagai
penutup dari gawe pati. Rangkaian ritual tersebut bisa kita temukan juga
dalam tradisi Islam ASWAJA yang berkembang di Indonesia. Yang
membedakan di antara keduanya mungkin hanya perlakuan bagi orang yang
meninggal di luar daerah hukum adat (batas kota) karena harus diadakan
upacara selamatan mengasuh terlebih dahulu untuk mencegah malapetaka dan
penyakit masuk kedalam desa. Hal ini tak telepas dari kepercayaan setempat
yang menganggap mereka yang meninggal diluar wilayah permukiman akan
membawa penyakit atau malapetaka.
Tapi di atas semua itu, penulis ingin mengenalkan tradisi Indonesia
yang di dalamnya mengandung banyak nilai-nilai luhur yang bisa
diaplikasikan dan masih relevan terhadap kehidupan sekarang. Kita bisa
belajar bagaimana bergotong-royong dalam menjalankan suatu pekerjaan,
bermusyawarah dalam pengambilan keputusan, serta cara merawat alam dan
lingkungan. Bukan tidak mungkin cita-cita undang-undang dasar kita untuk
mewujudkan suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur
akan tercapai di kemudian hari.
102
Tujuan dari pada ritus peralihan ini adalah sebagai sarana pembebasan
diri dari kesalahan atau penebusan hutang dari taraf hidup yang ditinggalkan,
usaha memperkuat diri sambil memohon do’a restu, kekuatan batin, bekal
rohani dan keberanian untuk berhasil baik dalam taraf hidupnya yang baru
atau pada jenjang masyarakat baru yang akan dinaikinya dan akhirnya
perayaan secara gembira bersama teman-teman baru inkorporasi dan lulusnya
dalam komunitas hidup baru. Dengan demikian bahaya yang mengancam
manusia pada saat peralihan ditransformasikan menjadi daya yang
membantunya dan dijadikan jimat keselamatan.
Berdasarkan dari hasil penelitian diatas, ternyata upacara siklus hidup
(rite of passage) di dalam tradisi Kaharingan lebih rumit dan kompleks dari
pada yang di praktekkan di dalam tradisi Islam Wetu Telu. Hal itu terlihat
mulai dari fase kehamilan yang sudah dihadapkan dengan beberapa kewajiban
dan ritual yang harus dilakukan oleh setiap ibu hamil. Begitupun pada periode
kehidupan dan kematian yang tidak hanya lebih banyak dari segi bilangan
ritusnya, melainkan tingkat kerumitan dari masing-masing upacara juga
mempunyai intensitas yang berbeda-beda.
B. Saran
1. Pemerintah hendaknya memberi jaminan akses pendidikan terhadap
seluruh generasi muda penganut agama lokal terutama yang tinggal di
daerah terpencil supaya bisa mengikuti perkembangan zaman.
2. Pemerintah dan swasta membuka seluas-luasnya lowongan kerja bagi
segenap penganut agama lokal tanpa memandang asal-usulnya.
103
3. Pihak kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menambah koleksi buku-
buku yang berkaitan dengan agama lokal karena terbatasnya literatur yang
menyangkut tema tersebut.
4. Ada peneliti lain yang dapat melanjutkan penelitian ini agar mendapatkan
temuan-temuan baru seputar Kaharingan dan Islam Wetu Telu.
104
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU/ARTIKEL
Ali, Abdullah. Agama dalam Ilmu Perbandingan (Bandung: Nuansa Aulia, 2007).
Arqi, Muh. Amin. “Kematian Menurut Islam Wetu Telu Ditinjau dari Perspektif
Psikologi Islam”, Jurnal Psikologi Islam, Vol.5 No.1, (2018).
Athhar, Zaki Yamani. “Kearifan Lokal dalam Ajaran Islam Wetu Telu di
Lombok”, Ulumuna Vol. IX Edisi 15 no.1, (Januari-Juni 2005).
Aziz, Ahmad Amir. “Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam Lokal di
Lombok,” Jurnal Millah vol. VIII, no. 2, (Februari 2009).
Badudu, J.S. Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara, 2003).
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015).
Bahrie, Sudirman. Ratmaja, Lalu. Prosesi Perkawinan Masyarakat Gumi Sasak.
(NTB: KSU Primaguna, 2012).
Barret, David dan Johnson, Todd. “Annual Statistical Table on Global Mission:
2003” dalam International Bulletin of Missionary Research, vol. 27,
No. 1, (Th. 2003).
Blumenkrantz, David G., Goldstein, Marc B. “Rites of Passage as a Framework
for Community Interventions with Youth”. Global Journal for
Community Psychology Practice, Vol. 1, Issue 2 (September 2010)
Budiwanti, Erni. Islam Wetu Telu vs Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000).
Buhol, dkk. Panaturan sebagai Pedoman Hidup Umat Hindu Kaharingan.
(Palangkaraya: STAHN-TP, 2016).
DEPDIKBUD. Upacara Tradisional Sorong-Serah dan Nyondol dalam Adat
Perkawinan Sasak di Lombok. (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1991).
-------. Sejarah Kebudayaan Kalimantan. (Jakarta: CV. Dwi Jaya Karya, 1994).
105
-------. Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat.
(Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1989).
Dey, Nina Putri Hayam. Dkk. “Aspek Budaya, Sosial dan Ekonomi dari Tiwah
(Upacara Masyarakat Dayak Tomun Lamandau), Jurnal Studi
Pembangunan Interdisiplin, vol. XXI, No. 2 (2012).
Durkheim, Emile. The Elementary Forms of The Religious Life; Sejarah Bentuk-
Bentuk Agama yang Paling Dasar, terj. IR Muzir dan M. Syukri
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2011).
El-Kasyafaniy, Muhammad Izzuddin. Dkk. Wajah Islam Sasak dalam Lebaran
Topat dan Maulid. (Mataram: Insan Madani Institute, 2014).
Engineer, Asghar Ali. Liberalisasi Teologi Islam; Membangun Teologi Damai
dalam Islam terj. Rizqon Khamami (Yogyakarta: Alenia, 2004).
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1993).
Hakiki, Kiki Muhammad. “Politik Identitas Agama Lokal (Studi Kasus Aliran
Kebatinan)”. Analisis, Vol. XI, No. 1, (Juni 2011).
Hayat, Bahrul. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. (Jakarta: PT. Saadah
Pustaka Mandiri, 2013).
Hidayanti, Eka Trisma. “Eksistensi Ritus Gawe Pati pada Masyarakat Wetu Telu
di Dusun Bayan Beleq, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten
Lombok Utara”, Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu Budaya UNUD Vol.
22.1, (Februari 2018).
Imron, M. Ali. Sejarah Terlengkap Agama-Agama di Dunia dari Masa Klasik
hingga Modern (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015).
Jandra, M. Hasil Penelitin Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa Daerah Istimewa Yogyakarta II (Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1990).
Kata pengantar M. Quraish Shihab dalam buku Komarudin Hidayat, Psikologi
Kematian, Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, (Jakarta:
Penerbit Noura Books, 2011).
Kementerian Agama RI, Dinamika Agama Lokal di Indonesia (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2014).
106
Kertodipoero, Sarwoto. Kaharingan Religi dan Penghidupan di Penghulu
Kalimantan. (Muara Teweh: Sumur Bandung, 1963).
Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi II; Pokok-Pokok Etnografi. (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2005).
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Kompas
Gramedia, Cet.XXI, 2015)
-------, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI Press, 1987)
Kumbara, AA Anom. Dkk. Roah Adat Ruwatan Cara Sasak di Loang Baloq Kota
Mataram. (Bali: Balai Pelestarian Nilai Budaya Badung, 2012).
Kunto, Suharsini Ari. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002).
L Dyson dan Asharini M, Tiwah Upacara Kematian pada Masyarakat Dayak
Ngaju di Kalimantan Tengah. (Jakarta: Depdikbud, 1981).
Lubis, Ridwan. Agama dalam Konstitusi RI; Menghidupkan Kembali Nilai-Nilai
Profetik di Tengah Masyarakat Heterogen, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu,
2018).
Prolog Imam Tholkhah (Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan)
dalam buku Achmad Rosidi, Ed, Perkembangan Paham Keagamaan
Lokal di Indonesia. (Jakarta: KEMENAG, 2011).
Pujileksono, Sugeng. Pengantar Antropologi; Memahami Realitas Sosial Budaya,
(Malang: Instrans Publishing, 2015).
Rachmadani, Arnis. “Local Wisdom: Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu
sebagai Perekat Hubungan Masyarakat Bayan.” Haromoni X, No.3
(Juli-September 2011).
------- “Local Wisdom: Tradisi Perkawinan Islam Wetu Telu sebagai Perekat
Kerukunan Masyarakat Bayan,” Harmoni, Jurnal Multikultural &
Multireligius, vol. X, no. 3, (Juli-September 2011).
------- “Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara,” Analisa
vol. XVIII no. 1, (Januari-Juni 2011).
Rahmawati, Neni Puji Nur. Nilai-Nilai Budaya dalam Upacara adat Manyanggar
di Kota Palangkaraya, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2013).
107
Rahmawati, Neni Puji Nur. WP, Moch Andre. Mengenal Kaharingan. (Pontianak:
Top Indonesia, 2015).
Rasmianto. “Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam
Wetu Telu di Lombok,” Jurnal el-Harakah, vol.XI, no. 2, (Tahun
2009).
Razak, Yusron. Nurtawaban, Erwan. Antropologi Agama (Ciputat: UIN Jakarta
Press, 2007)
Salam, Syamsir. Kaharingan Akar-Akar Budaya Suku Dayak di Kalimantan
Tengah (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009).
Sambutan Robert W. Hefner di dalam buku Ahmad Najib Burhani, Menemani
Minoritas; Paradigma Islam tentang Keberpihakan dan Pembelaan
kepada yang Lemah. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2019).
Sedyawati, Edi. Kebudayaan di Nusantara; dari Keris, Tor-Tor sampai Industri
Budaya.(Depok: Komunitas Bambu, 2014).
Sirait, Arbi Mulya, dkk, “Posisi dan Reposisi Kepercayaan Lokal di Indonesia”
Jurnal Kuriositas Edisi VIII Vol. 1, Juni 2015.
Sriyaningsih dan M. Rosidi. Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan
Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya di Daerah NTB.
(Jakarta: Depdikbud, 1996).
Sudarto. Kondisi Pemenuhan Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara,
2017).
Sugiyarto, Wahid. “Eksistensi Agama Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya
Kalimantan Tengah” Harmoni vol. 15 No. 3, September-Desember
2016.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
R&D edisi iv cet. xix (Bandung: Alfabeta, 2014).
Suhanah, Ed. Dinamika Agama Lokal di Indonesia. (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan KEMENAG, 2014).
Suhupawati. “Upacara Adat Kelahiran sebagai Nilai Sosial Budaya pada
Masyarakat Suku Sasak Desa Pengadangan”, Fajar Historia, Vol. 1
No. 1, (Juni 2017).
108
Suprabowo, Edy. “Praktik Budaya dalam Kehamilan, Persalinan dan Nifas pada
Suku Dayak Sanggau”, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, vol. 1,
No. 3, (Desember 2006).
Suprayogo, Imam. Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2001)
Tim Penulis Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara
Perkawinan Daerah Kalimantan Timur, (Jakarta: PN Balai Pustaka,
tt).
Wilson. “Makna Upacara Nyaki Tihi Adat Dayak Ngaju di Desa Samba Danum
Katingan, Kalimantan Tengah”, Kontekstualita, vol. 26, No. 2,
(Desember 2009).
Yasin, M. Nur. Hukum Perkawinan Islam Sasak. (Malang: UIN Malang Press,
2008)
Yusfira, Fitria. Dkk. “Meneropong Strategi Kebudayaan melalui Kesadaran
Historis ‘Pantang Melupakan Leluhur’ Islam Wetu Telu”, Jurnal
Filsafat, vol. 26, no. 2, (Agustus 2016).
Zed, Mustika. Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004).
Zuhdi, Muhammad Harfin. “Islam Wetu Telu: Dialektika Hukum Islam dengan
Tradisi Lokal”, Istinbath, Jurnal Hukum Islam vol. 13, No. 2,
(Desember 2014).
------- “Parokialitas Adat Wetu Telu di Bayan: Wajah Akulturasi Agama Lokal di
Lombok.” Istinbath 13, no.1 (Desember 2014).
-------“Wetu Telu in Bayan Lombok.” Kawalu, Journal of Local Culture 3, no.2
(July-December 2016).
------- Parokialitas Adat Islam Wetu Telu dalam Prosedur Perkawinan Ditinjau
dari Perspektif Hukum Islam di Desa Bayan Beleq Kecamatan Bayan
Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, Tesis Pasca Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2004.
SUMBER INTERNET
Ariefana, Pebriansyah. “Engkus Ruswana: Jumlah Penghayat Kepercayaan
Diprediksi Bertambah”, SUARA, Senin 13 Oktober 2017.
109
Anonim. “Tato Dayak, Tato Asli Indonesia yang dikenal Hingga Mancanegara”,
1001 Indonesia. Diakses dari https://1001indonesia.net/tato-suku-
dayak/, pada 02 Juli 2019.
Anonim, Upacara Daur Hidup Masyarakat Jawa, diakses dari
https://www.kratonjogja.id/hajad-dalem/10/upacara-daur-hidup-
masyarakat-jawa, pada 09 November 2019.
Wardani, Aris, “Tutang, Seni Merajah Tubuh Suku Dayak yang Mendunia”,
Okezone, 13 April 2019. Diakses dari
https://lifestyle.okezone.com/read/2019/04/12/612/2042820/tutang-
seni-merajah-tubuh-suku-dayak-yang-mendunia, pada 23 Juli 2019.
Diakses dari https://rid755.wordpress.com/2012/07/30/pelaksanaan-upacara-
perkawinan-agama-hindu-kaharingan/ pada tanggal 04 Mei 2019 pukul
16.04 WIB.
KBBI Online, “Agama,” https://kbbi.web.id/agama, diakses pada 13 November
2018.
Hatmoko, Widi. “ Mengenal Tato Suku Mentawai dan Dayak Kalimantan”.
Merah Putih, 25 Maret 2017. Diakses dari
https://merahputih.com/post/read/mengenal-tato-suku-mentawai-dan-
dayak-kalimantan, pada 02 Juli 2019.