Download - Jurnal Tedi LPR
ABSTRAK
Pendahuluan
Laryngopharyngeal reflux (LPR) merupakan penyakit yang cukup sering dan umum ditemui
di bagian THT.
Tujuan
Untuk meninjau literatur terkait diagnosis dan pengobatan dari LPR
Sintesa Data
LPR dikaitkan dengan gejala berupa iritasi laring seperti nyeri tenggorokan, batuk, dan rasa
tidak nyaman di tenggorokan. Metode diagnosis utama yang saat ini digunakan adalah
laryngoscopy dan monitoring pH. Tanda yang sering dijumpai dari pemeriksaan
laryngoscopy berupa tenggorokan yang membengkak dan kemerahan. Namun, temuan ini
tidak spesifik untuk LPR dan dapat dihubungkan dengan penyebab lain dan bahkan bisa
ditemukan juga pada orang yang sehat. Selain itu, peran dari monitoring pH untuk diagnosis
LPR masih diperdebatkan. Uji terapeutik dengan menggunakan proton pump inhibitors (PPI)
yang sudah dianjurkan terbukti hemat biaya dan berguna untuk pasien dengan kecurigaan
mengalami LPR berdasarkan dari penelitian tanpa kontrol, dan tingkat respon placebo yang
tinggi menunjukkan patofisiologi yang lebih kompleks dan multifaktorial terkait LPR
dibandingkan refluks asam yang biasanya. Penelitian molekukar yang mencoba untuk
mengidentifikasi biomarker dari refluks seperti interleukin, carbonic anhydrase, E-cadherin,
dan mucin.
Kesimpulan
Laryngoscopy dan pH monitoring dianggap gagal sebagai pemeriksaan untuk diagnosis LPR.
Terapi empiris dengan menggunakan PPI saat ini banyak diterima untuk uji diagnosis dan
pengobatan LPR. Namun, penelitian lebih lajut masih dibutuhkan untuk mengembangkan uji
diangosis definitif terhadap LPR.
Pendahuluan
Laryngopharyngeal reflux (LPR) didefinisikan sebagai aliran retrograde dari cairan lambung
ke bagian laring dan faring dimana cairan ii mengalami kontak dengan tractus aerodigestif.
Sebaliknya, gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan aliran asam lambung yang
kembali ke bagian esofagus. Acid reflux disease sering terjadi dan GERD serta LPR
merupakan peny it epidemik. Berdasarkan El-Serag, tingkat kejadian dari reflux disease
(GERD dan LPR) meningkat sektiar 4% setiap tahunnya sejak 1976, dan data dari National
Cancer Institute di Amerika Serikat menunjukkan adanya peningkatan prevalensi kanker
esofagus hingga 600% dibandingkan tahun 1975. Altman et al melaporkan tedapat 500%
peningkatan kunjungan ke bagian THT akibat LPR antara tahun 1990 dan 2—1. Selain itu,
diperkirakan bahwa LPR lebih sering terjadi pada 50% pasien yang mengalami dysphonia
LPR sering dikaitkan dengan etiologi dari berbagai penyakit laring seperti reflux laringitis,
subglotic stenosis laryngeal carcinoma, granuloma, contact ulcers, dan vocal enodules. Pasien
dengan LPR dapat mengalami gejala berkepanjangan jika dokter tidak dapat menegakkan
diagnosis karena tanda dan gejala dari penyakit ini bersifat nonspesifik dan dapat dikaitkan
dengan etiologi lainnya seperti infeksi, gangguan suara, alergi, merokok, inhalasi iritan,
peminum berat, atau penyebab nonpatologis lainnya. Namun, jika dihubungkan bersama,
tanda dan gejala penyakit ini dapat dijadikan indikator kuat untuk penyakit refluks
Tinjauan Pustaka
Efek yang membahayakan
Barrier Fisilogis (Pelindung fisiologis)
Pelindung fisiologis terhadap LPR termasuk sfingter esofageal bawa, fungsi pembersihan
esofagus yang melibatkan gerakan peristaltik esofagus, saliva dan gravitasi, dan sfingter
esofageal atas. Ketika pelindung ini gagal mengatasinya, maka isi perut akan mengalami
kontak langsung dengan jaringan laryngopharyngeeal, dan menyebabkan kerusakan pada
epitel, disfungsi slia, inflammasi, dan menurunkan sensitifitas. Anhydrase carbonic tipe III
dipercaya berperan dalam fungsi protektif pada epitel di laring dengan mengaktifkan sekresi
dari bicarbonat, mengatur pH terhadap respon dari refluks asam. Hipotesis ini juga ddukung
dimana enzim ini tidak ditemukan pada 64% biopsi jaringan laring dari pasien dengan LPR.
Asam
pH dari faring bersifat netral (pH 7), dimana pH asam lambung berkisar dari 1.5-2.
Kerusakan pada faring terjadi akibat penurunan dari kadar pH dan paparan dari kompoen
refluks seperti pepsin, garam empedu, dan enzim pankreas. Di esofagus, 50 episode refluks
setiap harinya asih dipertimbangkan sebagai normal, dimana laring dapat rusak setelah tiga
episode refluks. Namun, efek dari asam terhadap laring masih belum jelas dan beberapa
penelitian masih dibutuhkan terkait kombinasi dari asam dan pepsin yang dapat
menyebabkan kerusakan laring.
Pepsin
Refluks nonacid dikaitkan dengan inflammasi akibat LPR dan GERD. Pemantauan pH
mendeteksi bahwa serangan dari refluks asam lambung lemah atau nonacid pada pasien
dengan gejala ini, ditemukan adanya kompenen seperti pepsin dan garam empedu dapat
menyebabkan kerusakan mukosa. Bukti menunjukkan bahwa pepsin ditrasport secara aktif ke
sel epitel laringeal dan tetap stabil pada pH 7.4, namun menjadi tidak aktif pada pH 8. Setelah
pepsin diaktifkan kembali dengan penurunan pH dari 7.4 ke 3, 72% peptin tetap aktif.
Aktifitas pepsin yang optimal terjadi pada pH 2. Penelitian sebelumny menunjukkan bahwa
agen penyebab dari kerusakan laring adalah refluks nonacid. Pada sekitar pH 6..8, laring
dapat mengandung pepsin stabil yang akan direaktifasi saat episode refluks atau dengan ion
hidrogen yang berasal dari sumber manapun, termasuk sumber makanan. Selain itu, terdapat
bukti yang menunjukkan bahwa pepsin dapat menyebabkan kerusakan intrasel karena
komponen sel seperti kompleks Golgi dan Lysosom mempunyai pH yang rendah (5.0 dan
4,0). Pada penelitian Johnston et al, pepsin intrasel terdeteksi dengan analisis Western bolt
terhadap biopsi laring pada 19 dari 20 pasien kontrol. Adanya pepsin pada jaringan dikaitkan
dengan penurunan dari protein protektif seperti anhydrase carbonic, E-cadherin, dan Sep 70
(protein stressor epitel). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkata pepsin diatas
genetic marker level dikaitkan dengan kanker.
Garam Empedu
Refluks dari cairan duodenal-gastric mengandug garam empedu dan hasil sekresi pankreas
dan bisa mencapai laring. Empedu terkonjugasi dapat menyebabkan kerusakan mukosa pada
pH rendah (1.2 hingga 1.5). Asam empedu chenodeoxycholic dapat diaktivasi pada pH 7 dan
tidak aktif pada pH 2. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa asam empedu
terkonjugasi dapat menyebabkan kerusakan mukosa yang lebih pada pH asam sementara
asam chenodeoxycholic aktif pada pH 5-8. Pada penelitian ini, mukosa laring dari tikus yang
dipaparkan dengan asam taurocholic dan chenodexycholic pada pH 1.57.4 dan hasilnya
dibandingkan dengan tikus kontrol yang dipaparkan dengan saline. Asam Taurocholic lebih
banyak menyebabkan kerusakan mukosa pada pH 1.5, sementara asam chenodeoxycholic
dapat menyebabkan inflammasi maksimum pada pH 7.4. Penelitian ini menunjukkan bahwa
empedu dapat menyebabkan inflammasi laringeal pada kondisi pH asam atau non-asam.
Namun, tidak ada bukti yang sama terkait mekanisme yang terjadi di laring manusia.
Gejala
Koufman menyatakan bahwa sangat penting untuk mengenali LPR dan GERD sebagai
penyakit yang berbeda. Dalam penelitian Kaufman yang memasukkan 899 pasien,
tenggorokan yang licin (throat clearing) tedapat pada 87% pasien dengan LPR vs 3% pasien
dengan GERD. Di lain sisi, hanya 20% pasien dengan LPR yang dilaporkan mengalami
heartburn (nyeri seperti rasa terbakar di dada) dan sensasi terbakar dibandingkan dengan 83%
pada kelompok pasien GERD.
Gejala yang paling sering dari LPR adalah mukosa yang licin (thorat clearing) pada
tenggorokan, batuk, rasa tidak nyaman, dan globus pharyngeus (“rasa mengganjal di
tenggorokan”). Suara serak biasanya dijadikan gejala berulang yang terjadi pada pagi hari
dan membaik pada saat siang hari. Belafsky et al mengembangkan 9 buah
pertanyaaan(Reflux Symptom Index [RSI]) untuk penilaian dari gejala pada pasien dengan
penyakit refluks yang dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 1 menit. Skala dari setiap
pertanyaan individual berkisar dari 0 (tidak ada masalah) hingga 5 (masalah berat), dengan
skor maksimum 45 (Tabel 1). Penulis menyimpulkan bahwa questionare ini menunjukkan
reproduktibilitas dan validitas untuk diagnosis dari Refluks jika Skor RSI > 13 yang
dinyatakan abnormal. Nilai RSI lebih tinggi pada pasien LPR yang tidak diobati
dibandingkan dengan pasien kontrol (p < 0.001). Penulis juga menyimpulkan bahwa
questionare ini menunjukkan reproduksibilitas dan validitas karena akurasinya dalam
mencatat perbaikan gejala dari pasien dengan LPR. Salah satu tantangan dari diagnosis LPR
dimana gejala dari penyakit LPR masih kurang spesifik untuk memastikan LPR dan untuk
menyingkirkan etiologi lainnya Faktanya, beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang
buruk antara gejala LPR terhadap temuan laringeal dan pencatatan pH hyprofaringeal.
Metode Diagnosis
Laryngoscopy
Pemeriksaan Laryngoscopy dapat digunakan untuk mendaignosis refluks dengan gejala
nonspesifik seperti iritasi dan inflammasi laring. Pemeriksaan laring dapat mengidentifikasi
edema dan eritema, terutama pada daerah posterior. Gejala ini merupakan temuan utama yang
digunakan leh barbagai pemeriksa untuk mendiagnosis LPR. Granuloma, contacnt ulcers, dan
pseduosulcus (infraglottic edema) juga sering ditemukan, dan terpantau pada 90% kasus
LPR. Laryngoscopy sangat penting adanya hubungan terhadap LPR dan Kanker. Refluks
juga menunjukkan adanya hubungan dengan stenosis subglotic, laryngospasme, obstruktif
sleep apneu, bronkiektasis, dan rhinitis dan rhinosinusitis kronik. Selain itu, berdasarkan
beberapa peneliti, temuan ini juga dapat ditemukan pada pasien sehat, dan dengan tipe
endoskop yang dikaitkan dengan warna dari eritema. Selain itu, karena pemeriksaan ini
tergantung dari pemeriksanya, kemungkinan terdapat variasi yang membuat diagnosis LPR
bersifat subjektif.
Dalam rangka mengidentifikasi tanda spesifik pada laryngoscopi terhadap LPR, Belafsku et
al mengembangkan Reflux Finding Score(RFS) berdasrkn temuan dari laryngoscopy
fiberoptic. Saka ini mengevaluasi delapan item yang mengandung temuan laryngoskopy
kebanyakan pada pasien dengan LPR yaitu subglottic edema, ventricular obiliterasi, eritema
atau hiperemis, vical fold edema, generalized larungeal edema, commissure hypertrophy,
jaringan granuloma atau granulasi dan peningkatan mukus pada laring. Setiap item dinilai
berdasarkan tingkat keparahan, lokasi, ada atau tidaknya gejala, dimana total skor adalah 26.
Pasien yang mempunyai skor 7 atau lebih diklassifikasikan mengalami LPR. Pada penelitian
ini, skala ini menunjukkan reproduktibilitas yang baik dan walaupun setiap item masih belum
bisa digunakan untuk memprediksi ada atau tidaknya LPR, total skor RFS dapat
memperlihatkan pasien dengan LPR jika pasien memupnyai skor lebih tinggi dari 7. Selain
itu, skala ini berguna untuk mengevaluasi efsiensi terhadap pengobatan pada pasien dengan
LPR (Tabel 2)
Hubungan antara temuan laringeal, gejala, dan pemantauan pH masih dinyatakan lemah. Hal
ini sudah dilaporkan dimana temuan ini biasanya dikaitkan dengan LPR dan juga dapat
ditemukan pada 86% pasien kontrol yang sehat, seperti yang ditunjukkan laporan dari Hicks
et al.
Karena hal, tanda laringeal tidak terlalu spesifik terhadap LPR, yang dapat menjleaskan
mengapa pasien pada awalnya didiangosis dengan reflux-related laryngitis sering tidak
menunjukkan respon terhadap pengoatan. Terkait LPR, penelitian lebih lanjut masih
dibutuhkan untuk menunjukkan tanda yang spesifik. Pada satu penelitian, lesi vocal lebih
sering menjadi tanda spesifik untuk LPR, dengan spesifissitas 91% dan 88% mengalami
respon terahadap terapi proton pump inhibior (PPI)
Hal ini harus diperhatikan, namun, anamnesis lengkap dan laryngoscopy juga penting untuk
pemeriksaan standar pada kasus LPR, terutama karena tidak ada gold standar untuk diagnosis
penyakit ini.
Pemantauan pH
Kejadian refluks dapat diperagakan dengan menggunakan multichannel intraluminal pH
monitoring. Metode ini dapat mendeteksi cairan asam atau nonasam atau gas. Terdapat
kontroversi, dimana LPR lebih sering terjadi ketika pH berkisar <4 saat atau sesegera
mungkin setelah pemaparan asam distal (di dekat sfingter esogafeal bawah) dan LPR
dipastikan ketika total paparan asam (persentase paparan dalam 24 am pemantauan ketika
sensor mendteksi pH <4) adalah >1%. Multichanncel intralumnal impendance pH monitoring
berguna untuk diagnosis LPR namun metode ini sangat bervariasi dan tidak ada konsensus
yang mengaitkan definisi dari pH abnormal itu sendiri. Sataloff et al mendefinisikan variasi
biologis pada setiap individual. Sensitifitas daingosis dari hypophyaringel pH monitoring
hanya 40%. Selain itu, pemantauan pH juga menunjukkan indikator lemah terhadap tanda
keparaha dan gejala pada pasien yang terkena penyakit ini. Analis Meta dari 16 penelitian
menunjukkan bahwa jumlah faring dengan refluks positif yang diadakan pemantauan pH 24
jam menunjukkan hasil yang berbeda diantara pasien LPR dan kontrol. Ketika menggunakan
kombinasi dari laryngoscopy dan RFS, pemantauan pH dapat berperan untuk
mengidentifikasi respon potensial terhadap pemberian PPI. Namun meta analysis lainnya
yang memasukkan 11 penelitian menemukan tidak ada perbedaan antara prevalensi dari
refluk faringeal yang diukur dengan pemantauan pH antara pasien LPR dan kontrol, dan
hanya ada sejumlah kecil pasien yang didiagnosis mengalami refluks secara klinis yang
mengalami refluks faringeal.
Pengobatan empiris
Karena terdapat perdebatan dari kriteria diagnosis dari LPR, pengoabtan empiris dengan
menggunakan PPI sudah digunakan sebagai modal diagnostik alnternatif dimana respon
terhadap pengobatan ini didefinisikan sebagai konfirmasi dari diagnosis LPR. Pengobatan
LPR memasukkan pemberian PPI 2x/hari selama 2-3 bulan. Kebanyakan penelitian
mempertimbangkan respon perbaikan terhadap PPI ketika pasien melaporkan adanya
pengurangan gejala LPR
Pengobatan
Pengobatan LPR termasuk perubahan pola makan dan perilaku seperti menurunkan berat
badan, berhenti merokok, menghindari alkohol, dan tidak makan sebelum tidur. Pemabatasan
makanan seperti kafein, coklat, sayuran yang mengandung gas, lemak, saus tomat, dan red
wine. Modifikasi ini menunjukkan adanya respon independet terhadap pengobatan
medikamentosa.
Selain itu, kebanyakan obat yang digunakan untuk LPR adalah PPI, yang dapat mengurangi
produksi asam dengan bereaksi langsung pada H-K ATPase di sel parietal. PPI mungkin tidak
hanya mencegah pemparan asam terhadap tractus aerodigestif atas, namun juga mengurangi
kerusakan yang disebabkan oleh aktifitas enzim pepsin, yang membuduhkan medium asam
untuk aktivasinya.
Bukti klinis menunjukkan bahwa intervensi farmakologis harus dipertahankan setidaknya 3
bulan pengobatan dengan pemberian PPI 2x/hari (40 mg omeprazole atau PPI dengan dosis
yang sama), 30-60 menit sebelum makan. Periode ini sangat penting karena dapat
menyediakan kosentrasi tertinggi obat saat periode stimulasi dari pompa proton akibat
konsumsi makanan.
Berkebalikan dengna GERD, respon terapeutk dari pasien dengan LPR terhadap PPI masih
bervariasi, karena LPR membutuhkan terapi yang lebih agresif dan berkepanjangan
dibandingkan GERD. Walaupun kebanyakan pasien menunjukkan adanya perbaikan gejala
dalam 3 bulan, perbaikan gejala dan temuan laringeal biasnaya membutuhkan waktu 6 bulan.
Keragaman respon ini juga terjadi akibat kegagalan penelitia untuk menetapkan kriteria
inklusi dan untuk membagi kelompok berdasarkan tingkat keparahan, kurangnya kontrol
yang adekuat, dan perbedaan dari durasi dan dosis terapi.
Penelitian sudah pernah mencoba untuk menetapkan beberapa standar. Tingkat kegagalan
yang bermakna sudah dilaporkan ketika penggunaan terapi Ppi dengan dosis tunggal
diterapkan, dan kebanyakan penelitian mengambil pola pemberian 2x/hari. Pada penelitian
Park et al, respon terhadap pengobatan PPI 2x/hari dipantau pada 50% pasien setelah 2 bulan
pengobatan, dimana hanya 28% pasien yang menerima dosis tunggal yang menunjukkan
respon terhadap pengobatan. Pada kelompok dosis tunggal, 54% pasien tidak mnunjukkan
perbaikan dari gejala setelah peambahan periode pengobatan selama 2 bulan. Setelah 4 bulan
pengobatan dengan dosis 2x/hari, 22% pasien lagi mengalami perbaikan, dan menghasilkan
tingkat respon terapi mencapai 70% setelah 4 bulan pengobatan dengan dosis 2x/hari
Pengobatan maksimal antirefluks mengandung pemberian kombinasi dari PPI 2x/hari
(sebelum sarapan dan makan malam) dan H2 receptor antagonist sebelum tidur.Walaupun
regimen ini dapat menyebabkan penekanan asam lambung yang lebih hebat dibandingkan
dengan pengobatan sebelumnya, tingkat kegagalannya masih juga bermakna (10-17%)
Penelitian yang menganalisa efisiensi dari terapi PPI ada pasien dengan LPR menunjukkan
pola yang berbeda terkait respon, dan kemungkinan disebabkan oleh variasi dari kriteria
inklusi dan prevalensi nyata dari LPR. Kebanyakan penelitian tanpa kontrol menunjukkan
tingkat respon PPI mencapai 70%. Sebaliknya, kebanyakan penelitian dengan kontrol
menemukan tidak ada keuntungan dari penggunaan PPI bila dibandingkan dengan placebo.
Hasil yang berbeda dilaporkan pada tiga penelitian kontrol terbaru. Fass et al menyatakan
tidak ada perbedaan antara parameter acoustic atau persepsi suara antara pasien dengan LPR
yang diobati dengan esomeprazole dan placebo. Serupa dengan Fass, Shaheen et al
menemukan tidak ada perbedaan antara batuk kronik pad apasien tanpa sensasi terbakar yang
menggunakan esomeprazole dan placebo. Sebaliknya, pada penelitian Lam et al yang
melibatkan 24 pasien dengan LPR, rabeprazole lebih baik dibandingkan placebo dalam hal
perbaikan gejala setelah 12 minggu pengobatan. Pada penelitian kontrol randomisasi yang
memasukkan pasien dengan postnasal drip sebagai gejala utama, Pengobatan PPI lebih baik
dibandingkan penggunakan placebo.
Dalam pandangan beberapa hasil yang berbeda dan keragaman pasien, banyak pasien yang
tidak mengalami LPR, namun menunjukkan respon tinggi terhadap penggunaan placebo
sebagaimana yang terpantau pada penyakit inflammasi lainnya atau gangguan fungsional
gastrointestinal. Namun, kosensus umum menunjukkan bahwa pengobatan empiris awal
dengan penggunakan Ppi 2x/hari selama 2-3 bulan. PPI dapat mengurangi volume dari
refluks asam, namun relfuks non-asam masih dapat terjadi. Cairan alginate yang diminum
secaa oral dapat bereaksi terhadap asam di lambung dan menghasilkan “penghubung” yang
bekerja sebagai pelindung terhadap refluks itu sendiri. Hal ini dapat menjadi pengobatan non-
bedah yang dapat mengurangi penyakit refluks acid dan non-acid. Alginates bekerja secara
cepat, bekerja jangka panjang dan tidak mahal, serta tidak mempunyai efek samping yang
bermakna
Pembedahan
Laparaskopi atau Nissen fundoplication dapat dijadikan pengobatan bedah terhadap GERD
dan merupakan prosedur yang berguna dan menunjukkan hasul baik. Namun peran dari
penaganan ini terhadap LPR masih belum pasti. Penelitian terberu yang merevisi serial dari
pasien yang akan melakukan fundoplication dan menunjukkan adanya perbaikan yang serupa
pada pasien degnan temuan laringeal dan gejala dari GERD dan pada pasien dengan gejala
tipikal. Sebaliknya, hasil yang tidak memuaskan didapatkan pada pasien dengan gejala
laringeal ekslusi, namun pemantauan pH untuk refluks, menunjukkan adanya kemungkinan
terjadinya gejala yang tidak diakitkan dengan refluks pada kebanyakan dari pasien ini. Hal ini
menunjukkan bahwa Nissen fundoplication tidak boleh dilakukan ada pasien yang resisten
terhadap PPI. Selain itu, salah satu penelitian menunjukkan bahwa hanya 10% dari pasien
yang menunjukkanrespon terhadap Nissen fundoplication setelah kegagalan dari terapi PPI,
dan tingkat respon ini tidak berbeda dari kelompok yang tetap menggunakan PPI (7%).
Sataloff et al melaporkan hasil positif setelah pembedah pada pasien yang sudah menjalani
operasi akibat reflux noncaid.
Penelitian Terbaru
Diet Nonacid dan Air Alkaline
Koufman menyatakan bahwa pepsin, yang berlokasi di jaringan laryngeal, dapat diaktifasi
dengan derivat ion hyndogren eksogen dari berbagai sumber, termasuk makanan.
Berdasrakan hal ini, penulis melakukan penelitian yang memasukkan pasien dengan LPR dan
resisten terhadap pengobatan PPI. Pasien menerima diet pembatasan non-acid selama 2
minggu dan gejala membaik pada 95% pasien. Penulis juga mendemonstrasikan bahwa
pepsin dapat diinaktifiasi irreversibel dengan menggunakan air alkaline dengan pH 8.8, dan
menunjukkan keuntungan terapeutik terhadap penggunaan air alkaline pada pasien dengan
penyakit refluks.
Biomarker Reflux
Sitokin Inflammasi
Marker multipel dikaitkan dalam inflammasi dari mukosa esofagus yan menyebabkan
refluks. GERD dapat menyebabkan pengeluaran dari interluekin (IL)-6, sitokin yang terlibat
dalam inflammasi mukosa dan dapat menyebabkan refluks. IL- juga diketahui memainkan
peran dalam inflammasi akut dan respon immune tubuh. Kadar IL-6 esifagus meningkat
berdasarkan tingkat refluks dan menurun setelah pengobatan GERD. IL-6 tampaknya dapat
dijadikan indikator untuk inflammasi mukosa yang dikaitkan dengan refluks. Peningkatan
dari IL-8 juga dikaitkan dengan refluks, terutama pada mukosa esofagus dengan dysplasia
Barretts dan adenocarcinoma. Penurunan dari kadar IL-8 dipantau setelah pembedahan
antirefluks. Penelitian in vitro menunjukkan adanya peningkatan ekspresi dari IL-8 dan
marker inflammasi lainnya ketika terpapar dengan pepsin.
Carbonic Anhydrase
Carbonic anhydrase merupakan komponen pelindung mukosa yang merupakan katalis dari
hydrasi karbon dioksida, dan menghasilkan bikarbonat yang dapat menetralisir refluks asam
di rongga ekstraseluler. Pada esofagus, carbonic anhydrase menetralisir relfuks asam hingga
netral. Peningkatan dari carbonic anhydrase III dapat terjadi akibat huperplasia epitel, yang
merupakan tanda histopatologis dari esophagitis. Pada pasien dengan LPR, perbedaan dari
tingkat carbonic anhydrase III yang dipantau antara lokasi biopsi yang berbeda. Dengan
adanya LPR dan pepsin, penurunan pempaaran carbonic anhydrase III terjadi di voal folds,
dan dapat memperburuk kerusakan akiabt asam, dan peningkatan komisura posterior pada
laring, yang diobservasi mempunyai hubungan antara tingkat keparahan gejala dan tingkat
dari enzim ini sendiri.
E Cadherin
E-Cadherin memainkan peran penting dalam memelihara integritas dan fungsi pelindung
epitel. Pepsin dapat mencerna struktur intrasel yang bertanggung jawab terhadap kohesi
intraseluler. Kadar E-cadherin jua menunjukkan pengurangan respon terhadap LPR, namun
asih belum jelas apakah penurunan ini diakibatkan komponen refuks (asam atau pepsin) atau
dikarenakan respon inflammasi akibat refluks. Terdapat bukti yang kuat bahwa E-caderin
merupakan tumor supresor dan bahwa pengurangan dari protein ini dapat menyebabkan
invasi tumor
Mucin
Mucin merupakan glucoprotein yang terdapat di berbagai tipe sel epitel untuk mengatur
perubahan pH, kosentrasi ion, hidrasi, dan oksigenasi. Fungsi dari musin termasuk
perlindungan, lubrikasi, transport, pembaharuan, dan diferensiasi dari epitel, modulasi siklus
sel, adhesi, dan mengirimkan sinyal sen transduksi. LPR dapat mengurangi sekresi dari
mucin, dan menyebabkan gangguan proteksi epitel. Pengurangan sekresi esofageal mucin
diamati pada pasien dengan refluks esophagitis
Pembahasan
LPR menjadi penyakit yang sering ditemukan di bagian THT. Sejumlah penelitian sudah
dipublikasikan berdasarkan literatur medis dalam beberapa tahun terakhir, namun masih
terdapat perdebatan terkait LPR. Walauupun tidak spesifik, gejala kombinasi dan temuan
karakteristik laringoscope dapat menjadi gejala LPR. Namun, peneliti masih menemukan
keragaman dari temuan laringoskop terhadap refluks diantara pemeriksa.
Pemantauan pH 24-jam sedang dipertanyakan, dan tidak terdapat kosensus yang adekuat
untuk pemeriksaan dan intepretasi dari hasil nya. Kombinasi dari gejala, temuan laringoskop,
dan terapi empiris PPI menimbulkan perbaikan gejala dan digunakan untuk diagnosis LPR.
Namun, jika uji terapi gagal, penyakit lain harus diperiksa atau dipertimbangka bahwa
komponen refluks selain asam merupakan penyebab dari tanda dan gejala pasien ini.
Penelitian menunjukkan bhwa tidak hanya refluks asam yang menyebabkan kerusakan pada
LPR, naun pepsin dan asam empedu juga dapat menjadi agen penyebab inflammasi.
Terutama pepsin yang meningkatkan kerusakan akibat penyakit refluks, dimana penelitian
menunjukkan bahwa adanya pepsin intrasel dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
laringeal, jika diaktifkan dengan ion hydrogen (refluks asam) atau hydrogen eksogen dari
berbagai sumber termasuk diet.
Penelitian molekuar sudah dicoba untuk mengidentifikasi biomarker dari refluks seperti IL,
carbonic anhydrase, E-cadherin, dan mucin. Data yang ada dari penelitian ini menjelaskan
peran dari biomarker tidak hanya berasal dari mekanisme pertahan mukosa namun juga
progresi tumor. Data yang diambil dari penelitian kontrol menunjukkan hasil dari terapi PPI
dbandingkan pengobatan placebo, Selain itu, pengobatan empiris dengan PPI selama 2-3
bulan masih disarankan dalam literatur medis karena hemat dan merupakant erapi yang
ebrguna untuk pasien yang terdaignosis LPR. Selain itu, kesulitan dalam menilai efisiensi
PPI, Penegakkan diagnosis LPR masih tetap menjadi tantangan berdasarkan tanda dan gejala
non-spesifik terhadap kondisi dan peran kontroversial dari penggunaan pemantauan pH. Hasil
ini dapat menignkat pada pasien dengan LPR yang tidak menunjukkan respont erhadap terapi
supresan asam.
Penelitian kontrol menunjukkan tingkat respon yang rendah dan tidak ada perbedaan
bermakna antara PPI dan pengobatan placebo, sebuah fakta menunjukkan bahwa pasien tanpa
gejala tipikal GERD (heartburn dan sensasi terbakar) tidak akan mendapatkan keuntungan
denga menggunakan PPI. Sebaliknya, pada GERD, respon pengobatan PPI beragam diantara
pasien LPR. Beberapa penulis mempercayai bahwa pengobatan LPR membutuhkan dosis dan
periode pengobatan yang lebih lama ketika dibandingkan dengan GERD. Rekomedasi dari
terapi empiris adalah penggunaan dosis penuh PPI selama periode 2-3 bulan.
Hasil dari penelitian kontrol dan meta-analysis menunjukkan kurangnya respon terhadap
pengobatan empiris dan tidak menyebabkan peningkatan dosis dan durasi pengobatan.
Rekomendasi dari pengoabtan PPI pada pasien dengan LPR berdasarkan hasil dari penelitian
kontrol menunjukkan tingkat respon rendah and tidak ada perbedaan bermakna antara PPI
dan pengobatan placebo, faktanya menyatakan bahwa pasien dengan gejala tipikal GERD
(heartburn dan sensasi terbakar) tidak menunjukkan keuntungan dari pengobatan dengan PPI.
Sebaliknya, pada GERD, respon pengobatan dengan PPI bervariasi diantara pasien dengan
LPR.
Kesimpulan
LPR merupakan penyakit yang biasanya didiangosa oleh dokter THT dengan adanya
serangkaian tanda dan gejala larigneal nonspesifik. Penyebab dari kerusakan laring masih
belum pasti naun kemungkinan disebabkan oleh kombinasi dari refluks kompoonen dan
asam. Pepsis dikaitkan dengan refluks nonacid atau refluks asam lemah. Enzim ini tetap
stabil pada jaringan laring dan dapat direaktifasi dengan refluks atau asam yang dikonsumsi.
Tidak ada uji spesifik untuk LPR. Laryngoscopy dan pemantauan pH gagal terbukti untuk
menjadi pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis penyakit ini. Terapi empiris dengan PPI
saat ini diterima sebagai uji diagnostik dan pengoabtan LPR. Pilihan pengobatan lainnya
termasuk perubahan gaya hidup dan diet (berhenti merokok dan minum alkohol, menurunkan
berat badan, menghindari kafein, dll)
Penelitian moleculer yang dilakukan untuk mengidentifikasi biomarker refluks, seperti IL,
carbonic anhudrase, E-cadherin, dan mucin. Namun, pemeriksaan lebih lanjut masih
dibutuhkan untuk memastikan uji diagnostik definitis terhadap LPR dan untuk menentukan
mekanisme penyebab dari kerusakan mukosa yang berepran dalam perkembangan
pengoabtan terbaru dan pemahaman fisiologis dari LPR.