Download - Isi Tugas Bup
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004) terbesar di dunia, dengan
perairan laut teritorial (3,2 juta km2). terluas di dunia (belum termasuk 2,9 juta km2 perairan
zona ekonomi eksklusif, terluas ke-12 di dunia), dan 95.108 km garis pantai yang terpanjang
kelima di dunia. Perairan laut Indonesia memiliki posisi geografis strategis sebagai jalur
komersial dan militer dan merupakan lintasan jalur pelayaran penghubung Samudra Pasifik
dengan Samudra Hindia dan Benua Asia dengan Benua Australia. Potensi sumber daya alam
hayati dan nonhayati maritim Indonesia sangat besar dan beragam, cakupan teritori yang luas
dan posisi geografis yang terletak di lintasan khatulistiwa di antara dua samudra menyediakan
kekayaan sumber daya alam sekaligus peran global yang sangat besar di seluruh dimensi
kemaritimannya. Selain itu, Indonesia memiliki batas-batas wilayah laut dengan 10 negara,
yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, PNG, Australia, Timor Timur,
dan Palau. Sementara wilayah darat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga hanya
dua, yakni Malaysia di Kalimantan dan PNG di Papua.
Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki wilayah laut yang jauh lebih besar dari
wilayah daratannya yaitu provinsi Kepulauan Riau. 94% daerah Kepulauan Riau merupakan
daerah perairan. Bisa dibayangkan betapa ruginya pemerintah bila tidak mengembangkan
potensi perairan yang ada di provinsi ini. Didukung dengan letak yang strategis, Kepulauan
Riau merupakan perbatasan antara Indonesia dengan negara Singapura. Dan tidak hanya itu,
perairan Kepri juga termasuk dalam jalur perdagangan internasional. Hal ini dibuktikan oleh
banyaknya kapal-kapal asing yang berlabuh di pelabuhan Kepri.
Dengan fakta-fakta diatas, sudah seharusnya pemerintah daerah mengoptimalkan
peluang usaha pelabuhan. Dengan pengoptimalan Badan Usaha Pelabuhan oleh pihak
pemerintah, sudah selayaknya daerah menikmati hasil dari BUP ini sekaligus menunjang
APBN/APBD ke arah yang lebih baik tentunya.
Kurangnya pengoptimalan BUP oleh pemerintah inilah yang melatarbelakangi penulis
untuk membuat makalah ini, agar dapat mempelajari BUP yang ada di Indonesia, khususnya
di provinsi Kepulauan Riau.
1
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka diperoleh
permasalahan sebagai berikut :
- Bagaimana eksistensi Badan Usaha Pelabuhan(BUP) dalam tinjauan hukum?
- Apa peran strategi BUP yang diberikan oleh pemerintah daerah?
3. Batasan Masalah
Menuju makalah yang terstruktur, maka disusun ruang lingkup permasalahan agar
penulisan menjadi lebih sistematis dan terstruktur. Berikut batasan masalah yang ada :
- Eksistensi Badan Usaha Pelabuhan dalam Tinjauan Hukum.
- Peran Pemerintah Daerah, khususnya Kepulauan Riau yang diberikan kepada Badan
Usaha Pelabuhan.
4. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka
dapat disusun tujuan penulisan makalah sebagai berikut :
- Membuat makalah yang sistematis tentang Badan Usaha Pelabuhan
- Memaparkan tinjauan Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan tinjauan hukum yang ada
di Indonesia.
- Memaparkan tentang peran pemerintah daerah dalam berjalannya Badan Usaha
Pemerintah
5. Manfaat
Dengan adanya penulisan makalah ini, diharapkan pembaca memperoleh manfaat :
- Mengetahui pengertian Badan Usaha Pelabuhan
- Memahami pentingnya Badan Usaha Pelabuhan
- Memahami peran pemerintah daerah dalam kebijakan yang diberikan kepada Badan
Usaha Pelabuhan.
- Mengetahui tinjauan hukum dalam eksistensi dan mengatur berjalannya Badan Usaha
Pelabuhan.
2
BAB II
BADAN USAHA PELABUHAN DALAM TINJAUAN HUKUM
2.1 Pengertian
2.1.1 Pelayaran
Menurut UU No.17 tahun 2008 pasal 1, pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang
terdiri atas perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan
lingkungan maritim.
2.1.2 Pelabuhan dan Kepelabuhan
Menurut UU No.17 tahun 2008 pasal 1, pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas
daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal
bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan
tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan
pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra- dan
antarmoda transportasi. Hal yang sama juga dijabarkan pada Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor, yaitu PM 51 Tahun 2011 Pasal 1 Ayat 1.
Sementara kepelabuhan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan
fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas
kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat
perpindahan intra- dan dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan
daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.
2.1.3 Badan Usaha
Badan usaha sering diartikan sebagai perusahaan. Pada kenyataannya terdapat
perbedaan Badan Usaha dan perusahaan. Perbedaannya adalah Badan Usaha adalah
lembaga sementara sedangkan perusahaan adalah tempat dimana Badan Usaha itu
mengelola produksi atau sumber daya yang ada.
Berikut beberapa jenis Badan Usaha :
- Badan Usaha Milik Negara(BUMN)
BUMN adalah badan usaha yang permodalan baik itu seluruh atau sebagian dimiliki
oleh pemerintah pusat. Pendapatan dalam BUMN ini mempengaruhi Anggaran
Pendapatan Negara.
- Badan Usaha Milik Daerah(BUMD)
3
BUMD memiliki persamaan dengan BUMN. Perbedaannya hanya di status
kepemilikan dan modal yang ada, kepemilikan dan penanaman modalnya dimiliki
oleh pemerintah daerah.
- Badan Usaha Milik Swasta(BUMS)
BUMS adalah badan usaha yang pemodalannya dimiliki oleh seseorang atau
sekelompok orang. Berdasarkan UUD 1945 pasal 33, bidang-bidang usaha yang
diberikan kepada pihak swasta adalah mengelola sumber daya ekonomi yang bersifat
tidak vital dan strategis atau yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak.
Menurut UU No.17 tahun 2008 pasal 1, Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, atau badan Hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk
pelayaran.
2.1.4 Badan Usaha Pelabuhan(BUP)
Menurut UU No.17 tahun 2008 pasal 1, Badan Usaha Pelabuhan(BUP) adalah badan
usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan terminal dan fasilitas
pelabuhan lainnya. Pernyataan ini didukung oleh keputusan Peraturan Menteri
Perhubungan No PM 51 Tahun 2011 Pasal 1 Ayat 15
Sementara menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2001,
BUP adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang khusus
didirikan untuk mengusahakan jasa kepelabuhanan di pelabuhan umum.
Badan Usaha Pelabuhan memiliki beberapa jenis sesuai dengan kepemilikan Badan
Usaha Pelabuhan tersebut. Jenis – jenis Badan Usaha Pelabuhan yaitu :
- Badan Usaha Pelabuhan Negara.
- Badan Usaha Pelabuhan Swasta.
2.2 Badan Usaha Pelabuhan dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
Berdasarkan pasal 1 diketahui bahwa pemerintah pusat, selanjutnya disebut
pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
4
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pemerintah daerah adalah
Gubernur, Bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
Bisa dikatakan bahwa terjadinya desentralisasi pemerintahan, yaitu pelimpahan tugas
pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah berdasarkan pembagian urusan pembagian
pemerintahan. Menurut pasal 10, diketahui bahwa urusan pemerintahan yang menjadi
urusan Pemerintah meliputi : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal nasional, dan agama. Dan dalam menjalankan urusan pemerintahan,
pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan kepada perangkat
Pemerintah adatau wakil Pemerintah, dalam hal ini yaitu pemerintah daerah ataupun
pemerintahan desa.
Pasal 13 menjabarkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
provinsi, salah satunya perencanaan dan pengendalian pembangunan, penyediaan sarana
dan prasarana umum
Dalam pasal 20 dijabarkan bahwa dalam penyelenggaran pemerintahan, Pemerintah
menggunakan asas :
- desentralisasi, yaitu pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI
- tugas pembantuan, yaitu penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten kota kepada desa untuk melakukan tugas tertentu.
- dekosentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.
Sementara penyelenggaraan pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan
pembantuan.
Dengan adanya otonomi daerah tersebut seharusnya kebebasan yang dimiliki
pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan
mengoptimalkan sumber daya yang ada di daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif
merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi
daerah adalah dapat berbuat sesuai kebutuhan setempat. Kebebasan yang terbatas atau
kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi
5
daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk
melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas.
Otomomi daerah juga merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik
maupun administrasi dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan.
Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi
kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan
kepentingan nasional, diterapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Sesuai dengan Undang-Undang no 34 pasal 1 ayat 5 dikatakan bahwa otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjabaran diatas seharusnya dapat disimpulkan bahwa Pemerintah
Daerah memiliki kewenangan dalam perencanaan dan pembangunan BUP yang
merupakan sarana umum bagi masyarakat. Pemerintah daerah seharusnya berhak
memperoleh nilai manfaat dari adanya BUP yang dibangun. Namun karena pelimpahan
tugas yang dimaksudkan seperti penjabaran undang-undang diatas diabaikan oleh
pemerintah, maka pembangunan BUP diambil alih pelaksanaannya oleh Pemerintah
Pusat.Tidak dapat dipungkiri BUP yang ada saat ini khususnya untuk kawasan provinsi
Kepulauan Riau, pengelolaan yang memang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah,
namun hasilnya tidak dinikmati oleh daerah Kepulauan Riau itu sendiri, melainkan oleh
Pemerintah Pusat.
2.3 Badan Usaha Pelabuhan dalam Tinjauan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 69 Tahun 2001 Tentang Kepelabuhanan
Dalam pasal (1) ayat (1) berbunyi :
“ Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan
batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang
dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau
bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan
kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar roda
transportasi”
Secara umum, pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayanan
memiliki peranan yang sangat penting dan strategis sehingga penyelenggaraannya
dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka
6
menunjang, menggerakkan dan mendorong pencapaian tujuan nasional, menetapkan
wawasan Nusantara serta memperkukuh ketahanan nasional.
Pembinaan pelabuhan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi aspek pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan. Aspek pengendalian dan pengaturan mencakup
perumusan dan penentuan kebijakan umum maupun teknis operasional. Aspek
pengendalian mencakup pemberian pengarahan bimbingan dalam pembangunan dan
pengoperasian pelabuhan. Sedangkan aspek pengawasan dilakukan terhadap
penyelenggaraan kepelabuhanan.
Pembinaan kepelabuhanan dilakukan dalam satu kesatuan Tatanan Kepelabuhanan
Nasional yang ditujukan untuk mewujudkan kelancaran, ketertiban, keamanan dan
keselamatan pelayaran dalam pelayanan jasa kepelabuhanan, menjamin kepastian hukum
dan kepastian usaha, mendorong profesionalisme pelaku ekonomi di pelabuhan,
mengakomodasi teknologi angkutan serta meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing
dengan tetap mengutamakan pelayanan kepentingan umum.
2.4 Badan Usaha Pelabuhan dalam Tinjauan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
Tentang Pelayaran
Badan Usaha Pelabuhan (BUP) didirikan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku.
Salah satu Undang-Undang yang membahas BUP yaitu UU No.17 Tahun 2008. Undang-
Undang ini digunakan untuk mengontrol pelabuhan dan kemaritiman yang ada di
Indonesia.
Undang – Undang No. 17 tahun 2008 memberikan batasan dan peluang dalam
mendirikan Badan Usaha Pelabuhan dalam berkerja sama dengan pihak swasta. Hal ini
dilakukan untuk mengontrol upaya monopoli di sektor pelabuhan. Dalam hal ini UU No
17 Tahun 2008 menjelaskan bahwa yang mengatur tentang kepelabuhan adalah
pemerintah. Hal ini berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 Pasal 1ayat 26 yang berbunyi
“Otoritas Pelabuhan (Port Authority) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai
otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan
kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial.”
2.5 Kelemahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 disusun dalam upaya menyesuaikan diri
dengan perkembangan yang terjadi dalam lingkungan strategis nasional dan internasional
sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan
7
usaha serta otonomi daerah maupun akuntabilitas penyelenggara negara. Namun dalam
batang tubuh UU ini justru memiliki pasal-pasal multitafsir sehingga dapat ditafsirkan
sesuai kepentingan masing-masing pihak, yang akan menimbulkan masalah yang krusial,
yaitu terjadi konflik kewenangan antara Otorita Pelabuhan dan Badan Usaha Pelabuhan
dalam hal ini Pelabuhan Indonesia.
Di indonesia Undang – Undang yang membahas Tentang pelayaran dan Kemaritiman
hanya Undang – Undang No 17 Tahun 2008. Tetapi pada Undang – Undang ini terdapat
beberapa Kelemahan. Menurut Nuryanto kelemahannya tersebut adalah :
a. Timbulnya Monopoli Baru.
Sebelum adanya Undang Undang ini, PT Pelabuhan Indonesia dapat bermitra
dengan swasta untuk mengembangkan pelabuhan, tapi sekarang PT Pelabuhan
Indonesia harus sendiri tak perlu mengajak swasta karena dia dianggap Operator
biasa yang statusnya sama dengan swasta, dengan kondisi ini, maka akan tercipta
monopoli baru. Undang Undang Pelayaran menyebutkan fungsi regulator
dilakukan oleh Port Authority atau Otoritas Pelabuhan. seharusnya yang memiliki
fungsi itu adalah PT Pelabuhan Indonesia I-IV, dia pula yang kemudian
melakukan tender atas proyek-proyek pembangunan dan pengembangan di
pelabuhan yang dikelolanya. Seharusnya fungsi port authority itu tetap di PT
Pelabuhan Indonesia, bukan oleh Otorita Pelabuhan yang terdiri para pegawai
negeri di Kementrian Perhubungan yang sudah 25-30 tahun tidak pernah
mengurusi pelabuhan, karena untuk jadi port authority harusnya yang tahu betul
soal bisnis dan komersial.
b. Inkonsistensi Pemerintah
Keberadaan Undang Undang Pelayaran juga tidak sejalan dengan sikap
pemerintah sebelumnya. Pada awal 2008 ketika Undang Undang Pelayaran belum
disahkan, Kementrian Perhubungan telah melayangkan surat kepada Presiden
yang menjamin bahwa aset-aset yang selama ini telah dikelola PT Pelabuhan
Indonesia I-IV tidak akan diambil oleh pemerintah, namun kenyataannya saat ini
sejumlah aset.
c. Terjadinya konflik kewenangan
Di dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2008, kewenangan BUP sebagai operator
dan Badan Otorita Pelabuhan sebagai Regulator sudah jelas, karena BUP dalam
8
hal ini PT Pelabuhan Indonesia dan dan Otorita Pelabuhan adalah bentukan
pemerintah juga. Perbedaan persepsi terhadap Undang-Undang No.17 Tahun 2008
telah menyulut konflik kewenangan antara Otorita Pelabuhan dan Badan Usaha
Pelabuhan dalam hal ini Pelabuhan Indonesia.
9
BAB III
PERAN STRATEGIS BADAN USAHA PELABUHAN
Peranan Strategis Pemerintah Daerah Untuk Pelabuhan. Setelah beberapa uraian
tentang pengertian hal-hal yang berkaitan dengan kepelabuhanan, maka perlu diuraikan
peranan pelabuhan yaitu :
1. Untuk melayani kebutuhan perdagangan internasional dari daerah penyangga
(hinterland) tempat pelabuhan tersebut berada.
2. Membantu berputarnya roda perdagangan dan pengembangan industri regional.
3. Menampung pangsa yang semakin meningkat arus lalu lintas internasional baik
transhipment maupun barang masuk (inland routing).
4. Menyediakan fasilitas transit untuk daerah penyangga (hinterland) atau daerah/Negara
tetangga.
Pelabuhan yang dikelola dengan efisien dan dilengkapi dengan fasilitas yang memadai
akan membawa keuntungan dan dampak positif bagi perdagangan dan perindustrian dari
daerah penyangga tempat pelabuhan tersebut berada. Sebaliknya, perdagangan yang lancar
dan perindustrian yang tumbuh dan berkembang membutuhkan jasa pelabuhan yang semakin
meningkat yang akan mengakibatkan perkembangan pelabuhan. Bagi negara-negara yang
sedang berkembang.
Peranan pelabuhan dijelaskan oleh J.A Raven bahwa: pelabuhan memainkan peranan
penting dalam perkembangan ekonomi, jelas terlihat bahwa banyak negara berkembang di
mana pelabuhan dapat berfungsi secara bebas dan efisien telah mencapai kemajuan yang
pesat. Seperti Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Pengembangan dan
Perencanaan Pelabuhan
3.1 Pengembangan Pelabuhan
Pelabuhan merupakan salah satu mata rantai transportasi yang menunjang roda
perekonomian negara atau suatu daerah di mana pelabuhan tersebut berada.
Perindustrian, pertambangan, pertanian dan perdagangan pada umumnya membutuhkan
jasa transportasi termasuk jasa pelabuhan. Oleh karenanya pengembangan suatu
pelabuhan bukan saja untuk kepentingan pelabuhan, tetapi juga akan mempengaruhi
berbagai sektor yang ditunjang. Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian serta
pertimbangan dalam pengembangan pelabuhan adalah :
10
a. Pertumbuhan/perkembangan ekonomi daerah penyangga (hinterland) dari pelabuhan
yang bersangkutan.
b. Perkembangan industri yang terkait dengan pelabuhan
c. Data arus (cargo flow) sekarang dan perkiraan yang akan datang serta jenis dan
macam komoditi yang akan keluar masuk.
d. Tipe dan ukuran kapal yang diperkirakan akan memasuki pelabuhan.
e. Jaringan jalan (prasarana dan sarana angkutan dari/ke daerah penyangga.
f. Alur masuk/keluar menuju laut.
g. Dampak keselamatan dan lingkungan hidup
h. Analisa ekonomi dan keuangan
i. Koordinasi antara lembaga penyelenggara yang seimbang.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa betapa kompleksnya perencanaan suatu
pelabuhan, sehingga memerlukan koordinasi berbagai aspek kegiatan serta melibatkan
instansi yang terkait. Suatu pelabuhan tidak bisa direncanakan dan direkayasa begitu
saja, baik sebagai terminal maupun untuk pelabuhan secara utuh, tanpa memperhatikan
dan mempertimbangkan prasarana yang menghubungkan dari/ke daerah penyangga
untuk mana pelabuhan tersebut dibangun.
3.2 Perencanaan Pelabuhan
Tinjauan pokok dari perencanaan pelabuhan harus didasarkan pada kepentingan
nasional. Perencanaan harus mengetahui/mempertimbangan faktor tersebut di bawah ini
sebelum mulai dengan pengembangan pelabuhan yaitu :
a. Kondisi fisik (survey, investigation, design) dan konstruksi
b. Pengguna jasa (port user)
c. Perkembangan masyarakat
d. Perkembangan ekonomi.
e. Kondisi fisik (survey, investigation, design) dan konstruksi
f. Pengguna jasa (port user)
g. Perkembangan masyarakat
h. Perkembangan ekonomi.
11
3.3 Pengelolaan Pelabuhan
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah
pengelolaan pelabuhan, di antaranya UU No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota, PP No.69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, serta
UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Di antara peraturan perundang-undangan tersebut di atas, yang mengatur masalah
pengelolaan pelabuhan secara khusus adalah PP No.69 Tahun 2001. sedangkan peraturan
perundang-undangan yang lain tidak mengatur baik secara eksplisit. Dalam Pasal 11 PP
no.69 Tahun 2001 disebutkan bahwa pengelolaan pelabuhan nasional, internasional dan
hub port (pengumpul) diserahkan kepada BUMN. Namun demikian, di sisi lain, UU
No.32 Tahun 2004 dan UU No.34 Tahun 1999 mengisyaratkan adanya pelimpahan
wewenang dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah.
Sementara, pemerintah pusat, dalam hal ini Depertemen Perhubungan dan PT. Pelindo
berpijak pada asas lex specilais derogat legi generalis. Alasannya, bahwa baik UU No.32
Tahun 2004 maupun UU No.34 Tahun 1999 tidak mengatur baik secara eksplisit maupun
implisit mengenai pengelolaan pelabuhan. Sehingga persoalan ini harus tunduk pada PP
No.69 tahun 2001, selama PP ini belum diubah. Pasal 21 ayat (4) UU No.21 Tahun 1992
menyebutkan bahwa pengelolaan pelabuhan yang dilaksanakan secara terkoordinir antara
kegiatan pemerintahan dan kegiatan pelayaran jasa di pelabuhan diatur lebih lanjut
dengan PP.
Sedangkan PP No.69 Tahun 2001 dalam pasal 1 ayat (7) dan (10) serta Pasal 33 ayat
(3) memberikan hak ”monopoli” kepada BUMN yang bergerak di bidang pelabuhan,
yaitu PT. Pelindo.
Pasal 9 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintahan dapat
menetapkan kewenangan khusus dalam wilayah provinsi dan atau kabupaten/kota. Pada
ayat (2) disebutkan bahwa kewenangan khusus ini meliputi perdagangan bebas dan
pelabuhan bebas ditetapkan dengan Undang-undang.
Artinya, pasal ini mengamanatkan adanya UU khusus yang mengatur masalah
perdagangan bebas dan atau pelabuhan bebas. Pasal 227 secara implisit juga memberikan
wewenang pengelolaan pelabuhan oleh Pemda. Pasal 1 angka (23) UU No.31 Tahun
2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa pelabuhan perikanan adalah tempat yang
terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat
12
kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai
tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan atau bongkar muat ikan yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
Kemudian dalam Pasal 7 huruf (j) UU No.31 Tahun 2004 ini disebutkan bahwa dalam
rangka kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri dapat menetapkan system
pemantauan kapal perikanan. Artinya bahwa dalam hal pelabuhan perikanan (di mana
tempat kapal perikanan bersandar), ada kewenangan menteri yang bersangkutan untuk
memantau kapal perikanan, dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Undang-
undang 5.
Diskursus masalah pengelolaan pelabuhan oleh pemda mengemuka ketika
dikeluarkannya putusan MA terhadap judicial review PP No.69 Tahun 2001 No.
MA/DIT.TUN/90/VI/2004 pada 17 Juni 2004, yang diajukan oleh Forum Deklarasi
Balikpapan. Dalam putusan ekstra (extra vonis) ini dinyatakan bahwa MA mengabulkan
sebagian uji materiil terhadap PP tersebut. Kemudian, diresmikannya pembangunan
Pelabuhan Jakarta New Port (JNP) oleh Gubernur Sutiyoso pada tanggal 26 Juli 2004,
semakin mempertajam diskursus ini. Analisis mengenai hal ini akan dibahas lebih lanjut.
13
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Dari penulisan makalah diatas maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Otonomi daerah sebagai buah dari reformasi belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan
oleh daerah secara optimal untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat lokal yang
diharapkan akan menyumbang kepada pembentukan masyarakat madani dan
kesejahteraan bangsa.
2. Desentralisasi urusan pemerintahan bukan berati pusat lepas tangan terhadap urusan
yang diotonomikan kepada daerah. Dalam realitanya, kesalahan persepsi terhadap
desentralisasi menyebabkan daerah akan melaksanakan urusannya berdasarkan
keinginannya. Hal ini menyebabkan mal-administrasi di tengah lemahnya civil
society dan hal tersebut dijadikan argumen oleh Pusat untuk menarik kewenangan
tersebut dengan alasan daerah belum mampu melaksanakannya.
4.2 Saran
Berdasarkan penulisan makalah ini penulis memiliki saran sebagai berikut :
1. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah selayaknya konsisten dan memahami
peranan masing-masing dalam penyelenggaraan BUP sehingga dalam pengelolaanya
tidak terjadi multi tafsir atas kewenangan yang ada pada BUP
2. Pemerintah daerah, khususnya daerah Kepri diharapkan mampu mengoptimalkan
fungsi BUP demi mencapai nilai manfaat yang optimal dari adanya BUP.
3. Perlu terealisasi Undang-Undang yang mengatur tentang Kepelabuhanan, yang wajib
menjawab persoalan tumpang tindih pengelolaan BUP.
14
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 Tentang Kepelabuhanan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Nuryanto, “Implementasi Undang Undang Pelayaran”.Semarang
PERMENHUB No. KM. 63 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Otoritas
Pelabuhan.
15
Lampiran 1.
Bagan Organisasi BUP berdasarkan Undang-Undang
16
Lampiran 2.
Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam UU No.32 Tahun 2004
Setelah hampir satu dekade otonomi daerah pasca reformasi berbagi kemajuan dan
kelemahan telah mewarnai jalannya otonomi daerah di Indonesia. Ada 2 undang-undang
otonomi daerah yang diberlakukan dalam kurun waktu satu dekade tersebut yaitu Undang-
Undang No.22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No.32 Tahun
2004.
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 mengatur hubungan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang dirangkai untuk mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan
pemerintahan daerah Indonesia, dan secara khusus mengatur hubungan kewenangan diantara
organisasi dan otoritas pelakasana pemerintahan yang ada di tingkat pusat dan lokal. Dengan
demikian, hubungan antara kedua undang-undang tersebut dapat disimpulkan sebagai
hubungan hukum yang saling terkait, melengkapi dan terpisahkan antara satu Undang-
Undang dengan Undang-Undang lainnya.
Undang-Undang ini membahas sistem desentralisasi, dimana Pemerintah Pusat
menyerahkan kekuasaan pemerintahan daeri pusat kepada daerah-daerah . Konsekuensi dari
adanya sistem ini adalah perlunya pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah sehingga otonomi daerah di satu sisi dapat dijalankan, dan di sisi lain
prinsip negara kesatuan tidak dilanggar.
Undang-undang ini menjadi dasar pelaksanaan hubungan kewenangan pusat dan daerah
dengan berfokus pada organisasi pemerintahan daerah. Undang-undang ini mengatur
berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas dari Pemerintah Daerah dalam melaksanakan
tugas pokoknya sebagai suatu organisasi pemerintahan di tingkat lokal dan mempunyai
hubungan yang dekat dengan masyarakat sebagai konstituennya.
Sebagai contoh, hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah kewenangan daerah
sebagai daerah otonom, urusan wajib dan urusan pilihan yang merupakan kewenangan
pemerintah daerah dan juga mengatur tentang perangkat organisasi pemerintahan daerah.
Oleh karena itu, UU 32/2004 merupakan undang-undang yang mengatur tentang organisasi
pemerintahan daerah sebagai bagian dari organisasi pemerintahan negara kesatuan secara
keseluruhan.
Undang-undang ini menegaskan kedudukan daerah otonom sebagai bagian integral dari
NKRI. Walaupun daerah otonom merupakan badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban
mandiri, sebagaimana negara sebagai badan hukum, akan tetapi kedudukan (pemerintahan)
17
daerah otonom adalah melaksanakan berbagai kewenangan pemerintahan yang telah
didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat, dan kepemilikan kewenangan tersebut tetap
berada di Pemerintah Pusat
Secara teoritis yuridis, pemerintahan daerah merupakan sub-sistem dari sistem
pemerintahan negara secara keseluruhan. Oleh karena itu Undang-Undang ini megatur
bagaimana suatu organisasi pemerintahan dijalankan berdasarkan prinsip lokalitas dan
kekhasan di daerah masing-masing.
18