Transcript
Page 1: intoksikasi organofosfat

REFERAT

Intoksikasi Organofosfat

Pembimbing:

dr. Zaenuri Syamsu, Sp.KF

Disusun oleh :

Novia Mantari (G1A212102)

Dera Fakhrunnisa (G1A212103)

Sylviana Kuswandi (G1A212104)

Maharani Raesa (G1A212105)

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDICO LEGAL

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

PURWOKERTO

2013

Page 2: intoksikasi organofosfat

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

Intoksikasi Organofosfat

Diajukan untuk memenuhi syarat

Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

di bagian Ilmu Kedokteran Forensik

RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan

pada tanggal: Agustus 2013

Disusun oleh :

Novia Mantari (G1A212102)

Dera Fakhrunnisa (G1A212103)

Sylviana Kuswandi (G1A212104)

Maharani Raesa (G1A212105)

Purwokerto, Agustus 2013

Pembimbing,

dr. Zaenuri Syamsu, Sp.KF

Page 3: intoksikasi organofosfat

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan kemajuan di bidang pertanian, berbagai upaya

diterapkan untuk meningkatkan hasil pertanian yang optimal. Dalam paket

intensifikasi pertanian diterapkan berbagai teknologi, antara lain penggunan

agrokimia (bahan kimia sintetik). Penggunaan agrokimia, diperkenalkan

secara besar-besaran menggantikan kebiasan atau teknologi lama, baik dalam

hal pengendalian hama maupun pemupukan tanaman.

Agrokimia yang digunakan yaitu pestisida. Pestisida mencakup

bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang

mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia

untuk kesejahteraan hidupnnya.

Penggunaan bahan-bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida

dapat membahayakan kehidupan manusia dan hewan dimana residu pestisida

terakumulasi pada produk-produk pertanian dan perairan.

Penyemprotan pestisida yang tidak memenuhi aturan akan

mengakibatkan banyak dampak, diantaranya dampak kesehatan bagi manusia

yaitu timbulnya keracunan pada petani yang dapat dilakukan dengan jalan

memeriksa aktifitas kholinesterase darah. Faktor yang berpengaruh dengan

terjadinya keracunan pestisida adalah faktor dari dalam tubuh (internal) dan

dari luar tubuh (eksternal).

Faktor dari dalam tubuh antara lain umur, jenis kelamin, genetik,

status gizi, kadar hemoglobin, tingkat pengetahuan dan status kesehatan.

Sedangkan faktor dari luar tubuh mempunyai peranan yang besar. Faktor

tersebut antara lain banyaknya jenis pestisida yang digunakan, jenis pestisida,

dosis pestisida, frekuensi penyemprotan, masa kerja menjadi penyemprot,

lama menyemprot, pemakaian alat pelindung diri, cara penanganan pestisida,

kontak terakhir dengan pestisida, ketinggian tanaman, suhu lingkungan,

waktu menyemprot dan tindakan terhadap arah angin.

Page 4: intoksikasi organofosfat

Pestisida golongan sintetik yang banyak digunakan petani di

Indonesia adalah golongan organofosfat. Dampak penggunaan pestisida

sering ditemui keluhan antara lain muntah-muntah, ludah terasa lebih banyak,

mencret, gejala ini dianggap oleh petani sebagai sakit biasa. Beberapa efek

kronis akibat dari keracunan pestisida adalah berat badan menurun, anorexia,

anemia, tremor, sakit kepala, pusing, gelisah, gangguan psikologis, sakit dada

dan lekas marah. Pestisida organofosfat yang masuk ke dalam tubuh manusia

mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan menghambat kerja enzim

kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam menghantarkan impuls

sepanjang serabut syaraf.

Golongan organofosfat mempengaruhi fungsi syaraf dengan jalan

menghambat kerja enzim kholinesterase, suatu bahan kimia esensial dalam

mengantarkan impuls sepanjang serabut syaraf. Pengukuran tingkat

keracunan berdasarkan aktifitas enzim kholinesterase dalam darah dengan

menggunakan metode Tintometer Kit, tingkat keracunan adalah sebagai

berikut : 75% - 100 % kategori normal, 50% - 75% kategori keracunan

ringan, 25% - 50 kategori keracunan sedang dan 0% - 25% kategori

keracunan berat.

Menurut laporan kegiatan pemeriksaan aktifitas kholinesterase darah

petani Propinsi Jawa Tengah Tahun 2005 dari 240 orang yang diperiksa

menunjukkan bahwa keracunan pestisida 67,5% dengan rincian keracunan

berat 2,5%, keracunan sedang 8,75%, keracunan ringan 55,26% dan normal

32,5%, jenis pestisida yang digunakan sebagian besar golongan

organophospat. Berdasarkan keadaan tersebut diatas, diperlukan upaya untuk

mencegah dan mengendalikan faktor-faktor risiko terjadinya keracuan pada

petani.

Page 5: intoksikasi organofosfat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat.

Organofosfat adalah kelompok senyawa yang memiliki potensi dan bersifat

toksik dalam menghambat cholinesterase yang mengakibatkan akumulasi

asetilkolin pada reseptor muskarinik, nikotinik, SSP sehingga dapat

menyebabkan kematian

Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara

lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari

organofosfat termasuklah insektisida (malathion, parathion, diazinon,

fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik (trichlorfon).

Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau

parenteral, per oral, inhalasi dan juga injeksi (Tina & Metka, 2011).

Gambar 2.1. Struktur umum organofosfat

Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang

tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini

paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah

golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau OC2H5. Organofosfat dapat

digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat,

fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya (Tina & Metka, 2011).

B. Faktor Resiko

Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida

adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal),

faktor-faktor tersebut adalah

1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain :

Page 6: intoksikasi organofosfat

a. Umur

Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang

hidup maka usia pun akan bertambah. Seiring dengan pertambahan

umur maka fungsi metabolisme tubuh juga menurun. Semakin tua

umur maka rata-rata aktivitas kolinesterase darah semakin rendah,

sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida (Tina &

Metka, 2011).

b. Status gizi

Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya

daya tahan tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi.

Kondisi gizi yang buruk, protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas

dan enzim kolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan

enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang

memiliki tingkat gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata

kolinesterase lebih besar (Tina & Metka, 2011).

c. Jenis kelamin

Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-

rata 4,4μg/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan

menunjukkan bahwa tiap-tiap individu mempertahankan kadarnya

dalam plasma hingga relatif konstan dan kadar ini tidak meningkat

setelah makan atau pemberian oral sejumlah besar kholin. Ini

menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan

kholin dalam plasma pada kadar yang konstan. Jenis kelamin sangat

mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase, jenis kelamin laki-laki

lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada

perempuan lebih banyak kandungan enzim kolinesterase, meskipun

demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot dengan menggunakan

pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata kolinesterase

cenderung turun (Tina & Metka, 2011).

d. Tingkat pendidikan

Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan

tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat

Page 7: intoksikasi organofosfat

pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang

pestisida dan bahayanya juga lebih baik jika dibandingkan dengan

tingkat pendidikan yang rendah, sehingga dalam pengelolaan

pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih baik (Tina & Metka,

2011).

2. Faktor di luar tubuh (eksternal)

a. Dosis

Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar

semakin mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna

pestisida. Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya

keracunan pestisida, hal ini ditentukan dengan lama pajanan. Untuk

dosis penyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat,

dosis yang dianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha (Kamanyire & Karalliedde,

2004).

b. Lama kerja

Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering

kontak dengan pestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida

semakin tinggi. Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma darah

karena keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar

hingga 2 minggu setelah melakukan penyemprotan (Kamanyire &

Karalliedde, 2004).

c. Tindakan penyemprotan pada arah angin

Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan

penyemprotan. Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angin

dengan kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada

saat menyemprot melawan arah angin akan mempunyai resiko lebih

besar dibanding dengan petani yang saat menyemprot searah dengan

arah angin (Kamanyire & Karalliedde, 2004).

d. Frekuensi penyemprotan

Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi

pula resiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai

Page 8: intoksikasi organofosfat

dengan ketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dengan

pestisida maksimal 5 jam perhari (Kamanyire & Karalliedde, 2004).

e. Jumlah jenis pestisida

Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam

waktu penyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar

bila dibanding dengan penggunaan satu jenis pestisida karena daya

racun atau konsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga

memberikan efek samping yang semakin besar (Kamanyire &

Karalliedde, 2004).

f. Toksisitas

Merupakan kesanggupan pestisida untuk membunuh sasarannya.

Pestisida yang mempunyai daya bunuh tinggi dalam penggunaan

dengan kadar yang rendah menimbulkan gangguan lebih sedikit bila

dibandingkan dengan pestisida dengan daya bunuh rendah tetapi

dengan kadar tinggi. Toksisitas pestisida dapat diketahui dari LD 50

oral dan dermal yaitu dosis yang diberikan dalam makanan hewan-

hewan percobaan yang menyebabkan 50% dari hewan-hewan tersebut

mati. Klasifikasi Toksisitas senyawa pestisida pada tikus percobaan

dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Page 9: intoksikasi organofosfat

Tabel 2.1. Klasifikasi Toksisitas Pestisida pada Tikus

C. Patofisiologi

1. Organofosfat

Organofosfat berasal dari H3PO4 (asam fosfat). Pestisida

golongan organofosfat merupakan golongan insektisida yang cukup

besar, menggantikan kelompok chlorinated hydrocarbon yang

mempunyai sifat:

a. Efektif terhadap serangga yang resisten terhadap

b. chorinatet hydrocarbon.

c. Tidak menimbulkan kontaminasi terhadap lingkungan untuk

jangka waktu yang lama

d. Kurang mempunyai efek yang lama terhadap non target organisme

e. Lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang,

jika dibandingkan dengan organoklorine.

f. Mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzym cholinesterase.

Lebih dari 50.000 komponen organofosfat telah disynthesis dan

diuji untuk aktivitas insektisidanya. Tetapi yang telah digunakan tidak

lebih dari 500 jenis saja dewasa ini. Semua produk organofosfat

tersebut berefek toksik bila tertelan, dimana hal ini sama dengan tujuan

penggunaannya untuk membunuh serangga. Beberapa jenis insektisida

digunakan untuk keperluan medis misalnya fisostigmin, edroprium dan

Page 10: intoksikasi organofosfat

neostigmin yang digunakan utuk aktivitas kholinomimetik (efek seperti

asetyl kholin). Obat tersebut digunakan untuk pengobatan gangguan

neuromuskuler seperti myastinea gravis. Fisostigmin juga digunakan

untuk antidotum pengobatan toksisitas ingesti dari substansi

antikholinergik (mis: trisyklik anti depressant, atrophin dan

sebagainya). Fisostigmin, ekotiopat iodide dan organophosphorus juga

berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada mata yaitu untuk

mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata.

Organophosphat disintesis pertama di Jerman pada awal

perang dunia ke II. Bahan tersebut digunakan untuk gas saraf sesuai

dengan tujuannya sebagai insektisida. Pada awal synthesisnya

diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan

schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga cukup

toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan

komponen yang poten terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap

orang (mis: malathion), tetapi masih sangat toksik terhadap insekta.

Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara

jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang.

Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan

kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa miligram untuk dapat

menyebabkan kematian pada orang dewasa. Organofosfat menghambat

aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel

darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal

menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim

dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan

dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan

perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang

berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.

Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophospat

melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang

stabil.

Tabel 1. Nilai LD50 insektisida organofosfat

Page 11: intoksikasi organofosfat

Seseorang yang keracunan pestisida organophospat akan

mengalami gangguan fungsi dari saraf-saraf tertentu. Sebagai bagian

vital dalam tubuh, susunan saraf dilindungi dari toksikan dalam

darah oleh suatu mekanisme protektif yang unik, yaitu sawar darah

otak dan sawar darah saraf. Meskipun demikian, susunan saraf

masih sangat rentan terhadap berbagai toksikan. Hal ini dapat

dikaitkan dengan kenyataan bahwa neuron mempunyai suatu laju

metabolisme yang tinggi dengan sedikit kapasitas untuk metabolisme

anaerobik. Selain itu, karena dapat dirangsang oleh listrik, neuron

cenderung lebih mudah kehilangan integritas membran sel.

Panjangnya akson juga memungkinkan susunan saraf menjadi lebih

rentan terhadap efek toksik, karena badan sel harus memasok

aksonnya secara struktur maupun secara metabolisme.

Susunan saraf terdiri atas dua bagian utama, yaitu susunan

saraf pusat (CNS) dan susunan saraf tepi (PNS). CNS terdiri atas otak

dan sumsum tulang belakang, dan PNS mencakup saraf tengkorakdan

saraf spinal, yang berupa saraf sensorik dan motorik. Neuron saraf

spinal sensorik terletak pada ganglia dalam radiks dorsal. PNS juga

terdiri atas susunan saraf simpatis, yang muncul dari neuron sumsum

tulang belakang di daerah thoraks dan lumbal, dan susunan saraf

parasimpatis yang berasal dari serat saraf yang meninggalkan SSP

melalui saraf tengkorak dan radiks spinal sakral.

Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap

gejala yang timbul sangat bergantung pada adanya stimilasi asetilkholin

persisten atau depresi yang diikuti oleh stimulasi.saraf pusat maupun

perifer. Efek muskarinik, nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas

organofosfat.

a. Muskarinik

- Salivasi, lacrimasi, urinasi dan diare (SLUD)

- Kejang perut

- Nausea dan vomitus

- Bradicardia

Page 12: intoksikasi organofosfat

- Miosis

- Berkeringat

b. Nikotinik

- Pegal-pegal, lemah

- Tremor

- Paralysis

- Dyspnea

- Tachicardia

c. Sistem saraf pusat

- Bingung, gelisah, insomnia, neurosis

- Sakit kepala

- Emosi tidak stabil

- Bicara terbata-bata

- Kelemahan umum

- Convulsi

- Depresi respirasi dan gangguan jantung

- Koma

Gejala awal seperti SLUD terjadi pada keracunan

organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor

muskarinik sehingga kandungan asetil kholin dalam darah

meningkat pada mata dan otot polos.

2. Mekanisme Kerja Pestisida Organofosfat Dalam Tubuh

Pestisida golongan organofosfat dan karbamat adalah

persenyawaan yang tergolong antikholinesterase seperti physostigmin,

prostigmin, diisopropyl fluoropphosphat dan karbamat. Dampak

pestisida terhadap kesehatan bervariasi, antara lain tergantung dari

golongan, intensitas pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Dalam

tubuh manusia diproduksi asetikolin dan enzim kholinesterase. Enzim

kholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan asam

asetat. Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung

syaraf berikutnya, kemudian diolah dalam Central nervous system

Page 13: intoksikasi organofosfat

(CNS), akhirnya terjadi gerakan-gerakan tertentu yang

dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh terpapar secara berulang

pada jangka waktu yang lama, maka mekanisme kerja enzim

kholinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem

syaraf.

Di seluruh sistem persyarafan (the nervous system), terdapat

pusat-pusat pengalihan elektro kemikel yang dinamakan synapses,

getaran-getaran impuls syaraf elektrokemis (electrochemical nerve

impulse), dibawa menyeberangi kesenjangan antara sebuah syaraf

(neuron) dan sebuah otot atau sari neuron ke neuron. Karena getaran

syaraf (sinyal) mencapai suatu sypapse, sinyal itu merangang

pembebasan asetilkolin.

Asetikholinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada

banyak jaringan yang menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan

asam asetat. Sel darah merah dapat mensintesis asetilkholin dan bahwa

kholin asetilase dan asetilkholinesterase keduanya terdapat dalam sel

darah merah. Kholin asetilase juga ditemukan tidak hanya di dalam

otak tetapi juga di dalam otot rangka, limpa dan jaringan plasenta.

Adanya enzim ini dalam jaringan seperti plasenta atau eritrosit yang

tidak mempunyai persyaratan menunjukkan fungsi yang lebih umum

bagi asetilkholin dari pada funsi dalam syaraf saja. Pembentukan dan

pemecahan asetilkholin dapat dihubungkan dengan permeabilitas sel.

Perhatian lebih diarahkan pada sel darah merah, telah dicatat bahwa

enzim kholin asetilase tidak aktif baik karena pengahambatan oleh

obat-obatan maupun karena kekurangan subtrat, sel akan

kehilangan permeabilitas selektifnya dan mengalami hemolisis.

Asetilkholin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi

mengalirnya getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ

di dalam tubuh menerima informasi untuk mempergiat atau

mengurangi efektifitas sel. Pada sistem syaraf, stimulas yang diterima

dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam betuk impuls.

Setelah impuls syaraf oleh asetikholin dipindahkan (diseberangkan)

Page 14: intoksikasi organofosfat

melalui serabut, enzim kholinesterase memecahkan asetilkholin

dengan cara meghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan sebuah

ion asetat, impuls syaraf kemudian berhenti. Reaksi-reaksi kimia ini

terjadi sangat cepat.

Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau

hewan, pestisida menempel pada enzim kholinesterase. Karena

kholinesterase tidak dapat memecahkan asetilkholin, impuls syaraf

mengalir terus (konstan) menyebabkan suatu twiching yang cepat dari

otot-otot dan akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Pada saat otot-otot

pada sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah kematian.

Hadirnya pestisida golongan organofosfat di dalam tubuh

akan menghambat aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga

terjadi akumulasi substrat (asetilkholin) pada sel efektor. Keadaan

tersebut diatas akan menyebabkan gangguan sistem syaraf yang berupa

aktifitas kolinergik secara terus menerus akibat asetilkholin yang

tidak dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya akan dikenal sebagai

tanda-tanda atau gejala keracunan. Sintesis dan pemecahan hidrolitik

asetilkholin dilukiskan sebagai berikut:

Gambar. 2.4. Pembentukan dan pemecahan

asetilkholin

Asetilkholin mudah dihidrolisis menjadi kholin dan asam

asetat oleh kerja enzim asetilkholinesterase, ditemukan tidak hanya

pada ujung syaraf tetapi juga dalam serabut syaraf, kerja asetilkholin

dalam tubuh diatur oleh efek penginaktifan asetilkholinesterase.

Pemecahan asetilkholin adalah suatu reaksi eksenergik karena

diperlukan energi untuk sintesisnya kembali. Asetat aktif (Asetil KoA)

bertindak sebagai donor untuk asetilasi kholin. Enzim kholinesterase

yang diaktifkan oleh ion- ion kalium dan magnesium mengatalisis

transfer asetil dari asetil KoA ke kholin. Antikholinesterase,

pengambat asetilkholinesterase dengan akibat pemanjangan aktifitas

parasimpatis dipengaruhi oleh fisostigmin (eserin), kerja ini adalah

reversibel.

Page 15: intoksikasi organofosfat

Neostigmin (prostigmin) adalah suatu alkaloid yang diduga

berfungsi juga sebagai inhibitor kholinesterase dan dengan demikian

memanjangkan kerja asetilkholin atau kerja parasimpatis. Ini telah

dipakai dalam pengobatan myasthenia gravis, suatu kelemahan otot

dengan atrofi yang kronik dan prodresif. Senyawa sintetik,

diisopropilflurofosfat pada gambar berikut ini, juga menghambat

aktifitas esterase tetapi dengan cara ireversibel.

3. Efek Pestisida Pada Sistem Tubuh

Bahan kimia dari kandungan pestisida dapat meracuni sel-

sel tubuh atau mempengaruhi organ tertentu yang mungkin berkaitan

dengan sifat bahan kimia atau berhubungan dengan tempat bahan kimia

memasuki tubuh atau disebut juga organ sasaran. Efek racun bahan

kimia atas organ-organ tertentu dan sistem tubuh:

a. Paru-paru dan sistem pernafasan

Efek jangka panjang terutama disebabkan iritasi (menyebabkan

bronkhitis atau pneumonitis). Pada kejadian luka bakar, bahan

kimia dalam paru-paru yang dapat menyebabkan udema pulmoner

(paru-paru berisi air), dan dapat berakibat fatal. Sebagian bahan

kimia dapat mensensitisasi atau menimbulkan reaksi alergik dalam

saluran nafas yang selanjutnya dapat menimbulkan bunyi sewaktu

menarik nafas, dan nafas pendek. Kondisi jangka panjang (kronis)

akan terjadi penimbunan debu bahan kimia pada jaringan paru-paru

sehingga akan terjadi fibrosis atau pneumokoniosis.

b. Hati

Bahan kimia yang dapat mempengaruhi hati disebut hipotoksik.

Kebanyakan bahan kimia menggalami metabolisme dalam hati

dan oleh karenanya maka banyak bahan kimia yang berpotensi

merusak sel-sel hati. Efek bahan kimia jangka pendek terhadap

hati dapat menyebabkan inflamasi sel-sel (hepatitis kimia),

nekrosis (kematian sel), dan penyakit kuning. Sedangkan efek

jangka panjang berupa sirosis hati dari kanker hati.

Page 16: intoksikasi organofosfat

c. Ginjal dan saluran kencing

Bahan kimia yang dapat merusak ginjal disebut nefrotoksin. Efek

bahan kimia terhadap ginjal meliputi gagal ginjal sekonyong-

konyong (gagal ginjal akut), gagal ginjal kronik dan kanker

ginjal atau kanker kandung kemih.

d. Sistem syaraf

Bahan kimia yang dapat menyerang syaraf disebut neurotoksin.

Pemaparan terhadap bahan kimia tertentu dapat memperlambat

fungsi otak. Gejala-gejala yang diperoleh adalah mengantuk dari

hilangnya kewaspadaan yang akhirnya diikuti oleh hilangnya

kesadaran karena bahan kimia tersebut menekan sistem syaraf

pusat. Bahan kimia yang dapat meracuni sistem enzim yang

menuju ke syaraf adalah pestisida. Akibat dari efek toksik pestisida

ini dapat menimbulkan kejang otot dan paralisis (lurnpuh). Di

samping itu ada bahan kimia lain yang dapat secara perlahan

meracuni syaraf yang menuju tangan dan kaki serta

mengakibatkan mati rasa dan kelelahan.

e. Darah dan sumsum tulang

Sejumlah bahan kimia seperti arsin, benzen dapat merusak sel-sel

darah merah yang menyebabkan anemia hemolitik. Bahan kimia lain

dapat merusak sumsum tulang dan organ lain tempat pembuatan

sel-sel darah atau dapat menimbulkan kanker darah.

f. Jantung dan pembuluh darah (sistem kardiovaskuler)

Sejumlah pelarut seperti trikloroetilena dan gas yang dapat

menyebabkan gangguan fatal terhadap ritme jantung. Bahan

kimia lain seperti karbon disulfida dapat menyebabkan

peningkatan penyakit pembuluh darah yang dapat menimbulkan

serangan jantung.

g. Kulit

Banyak bahan kimia bersifat iritan yang dapat menyebabkan

dermatitis atau dapat menyebabkan sensitisasi kulit dan alergi.

Bahan kimia lain dapat menimbulkan jerawat, hilangnya pigmen

Page 17: intoksikasi organofosfat

(vitiligo), mengakibatkan kepekaan terhadap sinar matahari atau

kanker kulit.

h. Sistem reproduksi

Banyak bahan kimia bersifat teratogenik dan mutagenik terhadap

sel kuman dalam percobaan. Disamping itu ada beberapa bahan

kimia yang secara langsung dapat mempengaruhi ovarium dan testis

yang mengakibatkan gangguan menstruasi dan fungsi seksual.

i. Sistem yang lain

Bahan kimia dapat pula menyerang sistem kekebalan, tulang, otot

dan kelenjar tertentu seperti kelenjar tiroid.

Petani yang terpapar pestisida akan mengakibatkan peningkatan

fungsi hati sebagai salah satu tanda toksisitas, terjadinya kelainan

hematologik, meningkatkan kadar SGOT dan SGPT dalam darah juga

dapat meningkatkan kadar ureum dalam darah.

D. Tanda dan gejala

Gejala keracunan organofosfat sangat bervariasi. Setiap gejala yang timbul

sangat bergantung pada adanya stimulasi asetilkholin persisten atau depresi

yang diikuti oleh stimulasi saraf pusat maupun perifer. Gejala awal seperti

salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare (SLUD) terjadi pada keracunan

organofosfat secara akut karena terjadinya stimulasi reseptor muskarinik

sehingga kandungan asetil kholin dalam darah meningkat pada mata dan otot

polos (Waluyadi, 2007; Katz, 2012).

Tabel 1. Efek Muskarinik, nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas

organofosfat (Waluyadi, 2007; Katz, 2012).

Efek Gejala

Muskarinik Salivasi, lakrimasi, urinasi dan diare

Kejang perut

Naussea dan vomitus

Bradicardia

Miosis

Page 18: intoksikasi organofosfat

Berkeringat

Nikotinik Pegal, lemah

Tremor

Paralysis

Dipsnue

Takikardi

Sistem saraf pusat Bingung, gelisah, insomnia, neurosis

Sakit kepala

Emosi tidak stabil

Bicara terbata-bata

Kelemahan umum

Konvulsi

Depresi respirasi dan gangguan jantung

Koma

Gejala keracunan organofosfat akan berkembang selama pemaparan atau 12

jam kontak. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami perubahan

secara hidrolisa di dalam hati dan jaringan-jaringan lain. Hasil dari

perubahan/pembentukan ini mempunyai toksisitas rendah dan akan keluar melalui

urine. Adapun gejala keracunan pestisida golongan organofosfat adalah

(Waluyadi, 2007; Katz, 2012):

1. Gejala awal

Gejala awal akan timbul mual/rasa penuh di perut, muntah, rasa lemas, sakit

kepala dan gangguan penglihatan.

2. Gejala lanjutan

Gejala lanjutan yang ditimbulkan adalah keluar ludah yang berlebihan,

pengeluaran lendir dari hidung (terutama pada keracunan melalui hidung),

kejang usus dan diare, keringat berlebihan, air mata yang berlebihan,

kelemahan yang disertai sesak nafas, akhirnya kelumpuhan otot rangka.

3. Gejala sentral

Gelaja sentral yan ditimbulkan adalah, sukar bicara, kebingungan, hilangnya

reflek, kejang dan koma.

Page 19: intoksikasi organofosfat

4. Kematian

Apabila tidak segera di beri pertolongan berakibat kematian dikarenakan

kelumpuhan otot pernafasan.

E. Penegakan Diagnosis

Kriteria diagnosis pada keracunan adalah (Budiawan, 2008) :

1. Anamnesa kontak antara korban dengan racun.

2. Adanya tanda – tanda serta gejala yang sesuai dengan tanda dan gejala dari

keracunan racun yang diduga.

3. Dari sisa benda bukti harus dapat dibuktikan bahwa na benda bukti tersebut

memang racun yang dimaksud.

4. Dari bedah mayat dapat ditemukan adanya perubahan atau kelainan yang

sesuai dengan keracunan dari racun yang diduga serta dari bedah mayat tidak

ditemukan adanya penyebab kematian lain.

5. Analisa kimia atau pemeriksaan toksikologik , harus dapat dibuktikan adanya

racun serta metabolitnya dalam tubuh atau cairan tubuh korban , secara

sistemik.

Dalam menentukan jenis zat toksis yang menyebabkan keracunan,

seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi di

tubuh manusia. Salah satu hal yang dapaat digunakan untuk mengindentifikasi

adalah dengan pemeriksaan biomarker zat toksik. Biomarker dari suatu paparan

zat toksik dapat berupa zat toksik itu sendiri, metabolit dari suatu bahan yang

mengalami perubahan (metabolism) dalam tubuh (dalam darah, urin, udara, dan

udara pernafasan) contohnya aktifitas asetilkolinesterase dalam darah untuk

investigasi kasus keracunan organofosfat (Budiawan, 2008).

Untuk pemeriksaan toksikologik insektisida perlu diambil darah, jaringan

hati, limpa, paru-paru dan lemak badan. Penentuan kadar AchE dalam darah dan

plasma dapat dilakukan dengan cara tintimeter (Edson) dan cara paper-strip

(Acholest) (Budiyanto, 1997)

Page 20: intoksikasi organofosfat

1. Cara Edson (Budiyanto, 1997).

Cara ini dilakukan berdasarkan perubahan pH darah;

AChE

ACh kolin + asam asetat

Ambil darah korban dan tambahkan indicator brom-timol-biru, diamkan

beberapa saat maka akan terjadi perubahan warna. Bandingkan warna yang

timbul dengan warna standar pada comparator disc (cakram pembanding),

maka dapat ditentukan kadar AChE dalam darah.

% aktifitas AChE darah Interpretasi

75% - 100% dari normal tidak ada keracunan

50% - 75% dari normal keracunan ringan

25% - 50% dari normal Keracunan

0 % - 25 % dari normal keracunan berat

2. Cara Acholest (Katz, 2012)

Ambil serum darah korban dan teteskan pasa kertas Acholest bersamaan

dengan control serum darah normal. Pada kertas Acholest sudah terdapat Ach

dan indikator. Waktu perubahan warna pada kertas tersebut dicatat. Perubahan

warna harus sama dengan perubahan warna pembanding (serum normal) yaitu

warna kuning telur.

Interpretasi: kurang dari 18 menit tidak ada keracunan, 20-35 menit

keracunan ringan, 35-150 menit keracunan berat.

Penemuan Autopsi

Untuk melakukan pemeriksaan pada korban yang sudah meninggal, perlu

dilakukan pemeriksaan khusus. Hal ini disebabkan bahwa racun yang telah

masuk ke dalam tubuh korban tidak ada meninggalkan bukti yang konkrit di

sekitar tempat kejadian. Adapun hal-hal yang dilakukan adalah berupa

pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam tubuh korban, dan pemeriksaan toksikologi

(Waluyadi, 2007).

Pemeriksaan Luar

Page 21: intoksikasi organofosfat

1. Bau

Membaui korban dengan kasus keracunan dapat memberikan petunjuk

mengenai racun apa yang telah ditelan oleh korban. Pada kasus keracunan

organofosfat mungkin akan tercium bau zat pelarut misalnya bau minyak

tanah. Sumber bau yang menjadi petunjuk penyebab keracunan dapat berasal

dari pakaian, lubang hidung, dan mulut serta rongga badan (Waluyadi, 2007).

2. Pakaian

Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak zat racun yang disebabkan

tercecernya racun yang ditelan atau oleh karena muntahan.Penyebaran bercak

perlu diperhatikan, karena dari penyebaran itu kadang-kadang dapat diperoleh

petunjuk tentang intensi atau kemauan korban, yaitu apakah racun itu ditelan

atas kemauannya sendiri atau dipaksa. Dalam hal korban dipegangi dan

dicekoki racun secara paksa, maka bercak-bercak akan tersebar pada daerah

yang luas. Selain itu pada pakaian mungkin melekat bau racun (Waluyadi,

2007).

3. Lebam mayat dan perubahan warna kulit

Warna lebam mayat yang tampak pada pemeriksaan luar merupakan cerminan

manifestasi warna darah yang tampak pada kulit.Warna lebam mayat yang

tidak biasa dapat menjadi petunjuk dari zat racun yang tertelan atau ditelan.

Pada kasus keracunan organofosfat tidak ditemukan lebam mayat yang khas.

Begitu juga dengan perubahan warna kulit. Pada keracunan organofosfat tidak

ditemukan tanda-tanda perubahan warna kulit yang khas (Waluyadi, 2007).

4. Pada kasus keracunan akut hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia

Pemeriksaan dalam

1. Pada kasus keracunan organofosfat yang akut, pada pemeriksaan dalam dapat

ditemukan edema paru-paru, dan perbendungan organ-organ tubuh, mukosa

lambung mengalami inflamasi disertai perdarahan petekie (Waluyadi, 2007).

2. Pada kasus keracunan organofosfat yang dicobakan pada binatang dengan

keracunan kronik dapat ditemukan nekrosis sentral dan degenerasi bengkak

keruh pada hati ; vakuolisasi, girolisis dan retikulasi basofilik yang jelas pada

Page 22: intoksikasi organofosfat

otak dan medula spinalis ; perlemakan pada miokardium ; degenerasi sel

tubuli ginjal (Waluyadi, 2007).

3. Pada kasus keracunan organofosfat dapat ditemukan penurunan aktifitas

enzim asetilkolinesterase dalam jaringan otak pada pemeriksaan laboratorium

lanjutan (Waluyadi, 2007).

Pemeriksaan Toksikologi

Dari pemeriksaan pada kasus-kasus yang mati akibat racun umumnya tidak

akan di jumpai kelainan-kelainan yang khas yang dapat dijadikan pegangan untuk

menegakan diagnosa atau menentukan sebab kematian karena racun suatu zat.

Jadi pemeriksaan toksikologi mutlak harus dilakukan untuk menentukan adanya

racun pada setiap kasus keracunan atau yang diduga mati akibat racun.

Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh

merupakan bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa

ditemukan dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan

ginjal. Pada keracunan organofosfat bahan pemeriksaan toksikologi dapat diambil

dari : Darah, Jaringan hati, Jaringan otak, Limpa, Paru-paru, Lemak badan

(Waluyadi, 2007).

F. Penatalaksanaan

1. Stabilisasi Pasien

Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan

evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda

dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan

terhadap saluran pernafasan dan intubasi endotrakeal harus

dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan

kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien

harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung.

Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan

oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini

harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum (Katz et al.,

2011).

Page 23: intoksikasi organofosfat

2. Dekontaminasi

Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami

keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harus segera

dibersihkan dengan sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada

ruangan yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari

kontaminasi sekunder dari udara (Katz et al., 2011).

Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi

toksikan yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa

digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran

pencernaan. Dekontaminasi pada saluran cerna harus dilakukan setelah

kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui

pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan diharapkan masih

berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika organofosfat

dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang

mengalami muntah (Katz et al., 2011).

Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap

toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan

setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami

pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat

berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik (Katz et al.,

2011).

3. Pemberian Antidotum

a. Agen Antimuskarinik

Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat,

dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena

keracunan organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah

Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin

melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat

pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan

bronkorea (Gunawan, 2000).

Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan

setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis

Page 24: intoksikasi organofosfat

awalnya 0,05mg/kg BB yang digandakan setiap 2-3 menit sampai

teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi penanganan keracunan

organofosfat dengan Atropin (Gunawan, 2000).

b. Oxime

Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan

untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat.

Terapi ini diperlukan karena Atropine tidak berpengaruh pada efek

nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat

mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang fosforil

organofosfat dari sisi aktif enzim (Gunawan, 2000).

Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada

regimen dosis tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam),

Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine total dan

mengurangi jumlah penggunaan ventilator (Gunawan, 2000).

Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian

Pralidoxime meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness,

nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi,

penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping

tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan

Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat (Gunawan,

2000).

c. Pemberian anti-kejang

Dazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas,

gelisah (dosis: 5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk

mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20 mg IV) (Gunawan, 2000).

G. Komplikasi

1. Gagal nafas

2. Kejang

3. Pneumonia aspirasi

4. Kematian

Page 25: intoksikasi organofosfat

BAB III

KESIMPULAN

Page 26: intoksikasi organofosfat

DAFTAR PUSTAKA

Katz, K.D., Sakamoto, K.M., Pinsky, M.R. 2011. Organophosphate Toxicity.

Available on: http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview.

Diakses pada tanggal 1 Agustus 2013.

Tina, E., Metka, F. 2011. Organophosphorous Pesticides-Mechanisms of Their

Toxicity. Available on: http://www.intwchopen.com/books/pesticides-the-

impacts-of-pesticides-exposure/organophosphorous-pesticides-

mechanisms-of-their-toxicity. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2013.

Kamanyire, R., Karalliedde, L. 2004. Organophosphate Toxicity and

Occupational Exposure. Occupational medicine. 54: 69-75

Gunawan, S.G. 2000. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FK-UI: Jakarta. Hal 836.

Budiawan. 2008. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus

Keracunan dan Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and

Forensik Sciences. Jakarta: 35-9.

Budiyanto A, Widiatmo W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A Sidhi, Hertian S, et

al. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. 1st ed. Jakarta: Bagian Kedokteran

Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Katz, KD. Organophosphates Toxicity. [online]. 2012 Jan 23. Available from

URL: http://emedicine.medscape.com/article/167726-overview#showalll

Waluyadi. Peranan Toksikologi dalam Pembuatan Visum et Repertum Terhadap

Pembuktian Tindak Pidana Pembunuhan dengan Menggunakan Racun.

[online]. 2007. Available from URL:

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20996


Top Related