INKULTURASI MISA SYUKUR TAHUN BARU
IMLEK GEREJA KATOLIK SANTO BARNABAS
PAMULANG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh
ANNISA FACHRADDIENA
1111032100036
JURUSAN STUDI AGAMA - AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1438 H
iv
ABSTRAK
Annisa Fachraddiena
Inkulturasi Misa Syukur Tahun Baru Imlek Gereja Katolik Santo Barnabas
Pamulang
Suatu agama beserta kebudayaannya tidak mungkin hidup sendiri. Mau
tidak mau agama yang eksis di dunia bersinggungan dengan agama serta
kebudayaan yang lain. Persinggungan iniakan memunculkan reaksi penolakan
ataupun penerimaan. Reaksi penolakan sudah barang tentu akan menimbulkan
ketegangan dianta kedua agama. Reaksi penerimaan pun tidak semua kebudayaan
dari agama lain dapat diterima. Tradisi atau kebudayaan yang dapat diterima
paling tidak tradisi yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Oleh karena itu
terjadilah akulturasi dan inkulturasi suatu agama terhadap tradisi-tradisi setempat.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Pada hakekatnya penelitian
lapangan bertujuan untuk menemukan secara spesifik dan realitas apa saja yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pendekatan yang penulis gunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan antripologi budaya dan agama, dengan teori yang
digunakan adalah inkulturasi budaya. Adapun teknik pengumpulan data yang
penulis gunakan adalah observasi, wawancara dan dokumentasi.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa inkulturasi
dalam Perayaan Ekaristi seperti Misa Syukur tahun Baru Imlek yang diikuti oleh
Umat Paroki Santo Barnabas Pamulang tidak serta merta mengadaptasi seluruh
unsur-unsur budaya yang ada. Namun, ada beberapa tahapan yang harus
dilakukan dengan memperhatikan hal-hal yang pokok dan tidak pokok. Dengan
demikin diharapkan umat mampu memahami makna nilai-nilai Perayaan Ekaristi
tersebut.
v
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Alhamdulillahi Rabbil alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah Swt. atas karunia dan kasih sayang yang diberikan sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “INKULTURASI MISA
SYUKUR TAHUN BARU IMLEK GEREJA KATOLIK SANTO
BARNABAS PAMULANG”. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada baginda agung Muhammad Saw., begitu juga kepada para
keluarga dan sahabat.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari tidak sedikit tentunga
kendala, hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi baik yang menyangkut
pengaturan waktu, pengumpulan bahan-bahan ataupun kondisi onjektif di
lapangan dan sebagainya. Namun dengan pertolongan Allah SWT. serta berkat
kesungguhan hati dan kerja keras penulis dapat melewati kesulitan yang dihadapi
dan semua ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan serta bantuan dari berbagai
pihak yang selalu menyertai penulis. Maka izinkankah melalui serangkaian kata-
kata, penulis mendedikasikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak yang
membuat perjalanan penulis menjadi bermakna dan tak terlupakan.
1. Terima kasih untuk Drs. Nuh Hasan, MA. Selaku dosen pembimbimg yang
telah banyak meluangkan waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan
kepada penulis dengan kesabaran yang luar biasa. Beliau juga yang selalu
memberi semangat dan motivasi penulis untuk segera menyelesaikan kuliah
vi
dan mengharapkan muridnya lulus dengan baik serta menjadi manusia yang
bermanfaat di kemudian hari. Penulis haturkan, terima kasih tak terhingga dari
hati yang terdalam.
2. Untuk Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Untuk Dr. Media Zainul Bahri, MA dan Dra. Halimah Mahmudy, MA., selaku
Ketua dan Sekretaris Jurusan Studi Agama-agama yang selalu terbuka, gesit
dan ramah menyambut kami para mahasiswa/i yang memiliki keperluan
macam-macam dengan jurusan tercinta.
4. Untuk seluruh jajaran guru besar dan dosen Fakultas Ushuluddin yang telah
memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Pimpinan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin beserta staf-stafnya yang telah berkenan meminjamkan
buku-buku kepada penulis.
6. Untuk kedua orang tua, Yulianingsih dan Suratno yang senantiasa
memberikan cinta, do’a, motivasi dan semangat tak terbatas. Terima kasih
untuk semua hal yang kalian beri meski tak mengharapkan apapun. Semoga
Allah SWT. selalu melindungi Mamah dan Apa.
7. Untuk keluarga kecilku; suami dan anakku tersayang, Juheri dan Arkan
Dzakiandra Ramadhan terimakasih sudah menjadi teman hidup penulis dan
memberikan motivasi serta perhatian yang tulus kepada penulis. Terimakasih
atas kesabaran dalam memberikan dukungan dan semangat untuk penulis.
vii
8. Untuk kakakku Muthia Anggun Cahyani dan adik-adikku Ratih Septia Giri,
Risyad Miftahul Falah dan Camila Zahra terima kasih atas dukungan dan
motivasi yang tak pernah putus.
9. Terimakasih kepada seluruh Staff Pimpinan Paroki Santo Barnabas Pamulang
atas bantuan, bimbingan dan dukungannya terhadap penelitian ini, khususnya
kepada Romo Amir, Romo Puryanto, Ibu Sisilia dan Bapak Denny.
10. Untuk Kanda Toto Tohari yang telah membantu memberikan inspirasi dalam
penulisan skripsi ini.
11. Untuk teman-teman Perbandingan Agama angkata 2011 yang telah menjalani
waktu bersama selama di bangku perkuliahan, Noviah, Ati puspita, Fatimah
al-Batul, Innani Musyarofah, Khairunnisa Musakkir Aladin, enis khaerunnisa
dan yang lainnya.
12. Untuk teman-teman IMM Cabang Ciputat, terkhusus Elvin Ferayanti,
terimakasih atas dukungan dan kebersamaan semasa menjalankan roda
organisasi.
Penulis menyadari akan keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan
kemampuan bahwa hasil skripsi ini masih jauh dari kata kesempurnaan. Karena di
dalam hidup menyiratkan tidak ada manusia yang sempurna. Namun, dalam hal
ini penulis menyadari akan tanggung jawab terkait semua tulisan yang ada dalam
skripsi ini. Untuk semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi
ini penulis ucapkan terimakasih. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri dan para pembaca pada umumnya.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA SIDANG ............................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI .............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 7
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 8
E. Kerangka Teori ...................................................................................... 9
F. Metode Penelitian ................................................................................ 12
G. Sistematika Pembahasan ..........................................................................
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG GEREJA KATOLIK SANTO
BARNABAS PAMULANG .................................................................. 14
A. Letak Geografis .................................................................................... 14
B. Sejarah Pendirian ................................................................................. 14
C. Pokok-pokok Ajaran ............................................................................ 19
D. Struktur Kepengurusan ........................................................................ 21
x
E. Kegiatan .............................................................................................. 21
BAB III INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI ...................... 24
A. Inkulturasi ............................................................................................ 24
1. Pengertian dan Hakikat Inkulturasi ............................................... 24
2. Dasar Inkulturasi ........................................................................... 29
3. Tujuan Inkulturasi ......................................................................... 30
B. Perayaan Ekaristi .................................................................................. 31
1. Makna Perayaan Ekaristi ............................................................... 32
2. Tata Perayaan Ekaristi ................................................................... 34
C. Tahapan-tahapan Inkulturasi ............................................................... 35
BAB VI ANALISIS MISA SYUKUR TAHUN BARU IMLEK GEREJA
KATOLIK SANTO BARNABAS PAMULANG ........................... 45
A. Analisis terhadap Inkulturasi Budaya dalam Misa Syukur Tahun Baru
Imlek ................................................................................................... 45
B. Makna Misa Syukur Tahun Baru Imlek Bagi Gereja Santo Barnabas
Pamulang .............................................................................................. 52
BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 59
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan globalisasi dewasa ini ternyata membawa pengaruh yang
cukup besar bagi peradaban manusia pada umumnya. Dampak dari perkembangan
ini juga begitu terasa di Indonesia. Dalam hal kebudayaan, kita tidak bisa
menyangkal lagi bahwa sedikit banyak kita sudah terpengaruh oleh kebudayaan
barat. Bahkan kebudayaan asli yang telah lama tumbuh dan berkembang negeri ini
semakin lama semakin menyusut. Kebudayaan asli ini sering dipandang sebagai
kebudayaan yang primitif atau tidak relevan lagi dengan zaman yang sudah maju
ini. Hal ini dapat dilihat denga semakin sedikitnya orang yang mau belajar atau
mempertahankan kebudayaan daerahnya. Untuk sekarang ini, sepertinya bukan
hal yang aneh jika seseorang tidak menguasai dan memahami bahasa daerahnya
sendiri. Fenomena semacam ini terjadi di berbagai pelosok di Indonesia yang
terkenal dengan kekayaan kebudayaan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat pesat
seperti media interaksi yaitu handphone, internet, dan segala media sosial yang
berkembang sangat canggih di masyarakat dunia membuka semua pengetahuan
yang awalnya sulit diperoleh menjadi sangat mudah untuk mengakses segala
informasi yang dibutuhkan. Seperti inkulturasi yang merupakan elemen-elemen
yang membangkitkan sisi-sisi baru pada kebudayaan yang telah tersusun dan
hidup selama ratusan tahun dapat diketahui dengan adanya media interaksi,
dimana ikulturasi mendorong kebudayaan berkembang menjadi lebih kaya dari
2
yang sebelumnya. Budaya-budaya asing yang datang ke Indonesia meninggalkan
jejak berupa hasil budaya manusia seperti nilai-nilai, agama, ideologi, seni dan
lain sebagainya.
Inkulturasi budaya di Indonesia berawal dari masuknya bangsa-bangsa
asing ke Indonesia yang awalnya memiliki tujuan untuk berdagang. Dengan
masuknya budaya-budaya asing ke Indonesia, secara tidak langsung bangsa-
bangsa tersebut membawa kebudayaan yang dimiliki masuk dan berkembang di
Indonesia. Oleh karena itu Indonesia memiliki berbagai suku bangsa dengan
berbagai kebudayaan yang beraneka ragam yang berkembang selama berabad-
abad dan dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa-bangsa asing yang datang ke
Indonesia.
Begitu pula dengan Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II yang semakin
membuka diri terhadap dunia, atau dengan kata lain memberikan peluang besar
bagi inkulturasi. Dalam hal ini, Gereja Katolik melakuan pendekatan lewat
kebudayaan jemaat setempat dengan tujuan agar Gereja Katolik semakin diterima
oleh dunia. Dengan demikian kebudayaan menjadi salah satu jalam bagi Gereja
untuk menginkulturasikan tradisi dan ajaran-ajarannya agar semakin diterima dan
dipahami oleh umat. Sebagai contoh, para misionaris yang dahulu datang di
Indonesia untuk mewartakan Injil, pada awalnya mereka mempelajari budaya
umat Indonesia, termasuk di dalamnya, bahasa, tradisi ataupun unggah-ungguh.
Lewat pendekatan tersebut, ternyata membuat sebagian besar orang di Indonesia
dan juga orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia memahami dan tertarik pada
ajaran Kristiani, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk menjadi Katolik.
3
Maka dari itu, Gereja menerima semua budaya, baik itu berasal dari Sunda, Jawa,
Batak, Medan, Padang, Makassar, Flores atau pun Papua, termasuk juga
Tionghoa. Meski orang-orang tersebut memiliki budaya beragam, namun tetap
sebagai anak-anak Allah, yang diciptakan satu dan sama.
Dalam Gereja Santo Barnabas yang termasuk Gereja berhaluan Katolik di
Pamulang, Tangerang Selatan terdapat bukti hasil dari inkultuturasi yaitu dalam
Perayaan Ekaristi atau Misa Inkulturasi. Pada mulanya misa inkulturasi ini hanya
melibatkan budaya jawa yang dilakukan dengan iringan gending Jawa. Manun,
ditambah dengan misa perayaan imlek, Batak serta Flombamora. Namun, dalam
skripsi ini penulis hanya akan membahas tentang Misa Perayaan Imlek.
Tradisi tahun baru imlek merupakan salah satu kekayaan multikultural
bangsa Indonesia. Hari tahun baru imlek merupakan perayaan terpenting yang
dibawa oleh nenek moyang masyarakat Tionghoa dari daratan cina ke Indonesia.
Tahun baru imlek dirayakan selama 15 hari yang didasarkan pada penanggalan
cina (kalender bulan) dan disebut juga sebagai festival musim semi karena bagi
masyarakat cina dahulu yang mayoritas petani, hari tersebut merupakan hari
pertama musim semi.
Mengamati perayaan tahun baru imlek sekarang ini, secara kasat mata
telah menjangkau di berbagai tempat dan telah membahana gaungnya di berbagai
sudut, terutama di wilayah yang bersinggungan langsung dengan orang Tionghoa.
Perubahan jelas sekali terasa, paling tidak setelah era reformasi bergulir.
Perubahan itu juga telah mendorong perayaan tahun baru imlek dirayakan secara
publik.
4
Selama 1965 – 1968 dibawah kendali rezim otoriter, perayaan tahun baru
imlek dilarang dirayakan di depan umum. Instruksi presiden nomor 14 tahun
1967, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk perayaan Tahun Baru
Imlek. Tahun baru imlek kembali boleh dirayakan secara bebas pada tahun 2000
ketika presiden Abdurrahman wahid mencabut Inpres 14/1967 tersebut melalui
Keppres 6/2000. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri
menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keppres No. 10/2002 tertanggal 9
April 2002 yang meresmikan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Maka
dari itu, mulai 2003, Tahun Baru Imlek dinyatakan sebagai salah satu hari libur
nasional.
Perayaan tahun baru imlek merupakan suatu kegiatan yang penuh dengan
simbol dan makna. Perayaan tersebut merupakan wujud dari harapan-harapan
masyarakat Tionghoa seperti keselamatan, kemakmuran dan kesejahteraan. Etnis
Tionghoa di Indonesia merayakan Imlek dengan upacara syukur atas rejeki yang
telah dilimpahkan selama setahun sebelumnya dan berharap agar tahun ini
menjadi tahun yang berkah dan lebih baik dari tahun sebelumnya.
Istilah inkulturasi berasal dari diskusi teologis pada bidang misiologi.
Sebagai istilah, inkulturasi ini digunakan dalam Kongregasi Jendral Yesuit pada
tahun 1974/1975 dan secara resmi digunakan pertama kalinya dalam dokumen
resmi pada tahun 1977 ketika ada sinode para uskup. Paus Yohanes Paulus II
menunjuk makna inkulturasi secara mendalam dengan berkata: “Inkulturasi
berarti suatu transformasi nilai-nilai kebudayaan otentik secara mendalam melalui
5
proses integrasi mereka ke dalam kekristenan dan meresapnya kekristenan
kedalam kebudayaan umat manusia.”1
Misa adalah Perayaan Ekaristi dalam Ritus Liturgi Barat dari Gereja
Katolik Roma, Gereja Ortodoks Ritus Barat, tradisi Anglo-Katolik dalam Greja
Anglikan, dan beberapa Gereja Lutheran. Di Negara-negara Baltik dan
Skandinavia, ibadah ekaristi Gereja Lutheran juga disebut Misa.2
Perayaan misa umumnya dilakukan pada hari Minggu maupun pada
harihari lain yang merupakan perayaan besar dalam Gereja. Berhimpun pada hari
Minggu untuk merayakan Perayaan Ekarist / Misa Kudus merupakan sebuah
kebiasaan orang Kristen yang mengikuti tradisi para rasul yang berpangkal pada
hari kebangkitan Kristus sendiri. Tradisi ini menjadi suatu kebiasaan bagi umat
Katolik sampai sekarang.
Misa Syukur Tahun Baru Imlek atau Misa imlek adalah misa yang
diwarnai dengan suasana imlek dan merupakan salah satu bentuk misa inkulturasi.
Dewasa ini sudah banyak Gereja katolik yang membolehkan perayaan Imlek
dilakukan di dalam Gereja. Salah satunya Gereja Santo Barnabas, Pamulang.
Inkulturasi dapat diartikan sebagai proses yang mengintegrasikan unsur-
unsur yang relevan dari budaya lokal ke dalam liturgi Gereja lokal. Proses
pengintegrasian tentu tidak begitu saja langsung memasukkan unsur-unsur
berbagai budaya yang beraneka ragam, tetapu harus melihat adanya suatu yang
relevan antara unsur budaya tersebut dengan liturgi Gereja.
1 Martasudjita, “Inkulturasi Ekaristi dan Devosi Ekaristi” dalam Prasetyantha, Ed., Ekaristi
dalam Hidup Kita (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 109. 2 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Misa. diakses pada 1 agustus 2017.
6
Dalam hal ini, seringkali terdapat kesalahpahaman mengenai inkultirasi
karena begitu mendengar kata “inkulturasi”, yang terbayang dan terlintas
dipikiran umat seringkali adalah memasukkah berbagai unsur budaya kedalam
liturgi Gereja tanpa melihat kerelevanan hubungan dan keterkaitan antara dua hal
tersebut, diantaranya adalah melihat secara cermat dan bijaksana serta
mempertimbangkan unsur budaya manakan dari adat/budaya tertentu yang dapat
dimasukkan dan diterima dalam liturgi. Selain itu, inkulturasi hendaknya dituntut
adanya kesadaran bahwa kebudayaan bersifat plural dan iman tidak pernah diikat
oleh satu macam kebudayaan saja. Inkulturasi bukan upaya untuk saling
mengalahkan satu sama lain, tetapi terjadi integrasi yang saling memperkaya.3
Dari pemaparan diatas penulis tertarik untuk meneliti fenomena tersebut
lebih dalam dengan memfokuskan peneliti ini pada fenomena misa imlek agama
katolik. Sehingga saya memberi judul skripsi ini dengan judul:
“INKULTURALISASI MISA SYUKUR TAHUN BARU IMLEK GEREJA
KATILOK SANTO BARNABAS PAMULANG”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, agar sebuah
penelitian berfokus pada satu tujuan maka penulis hanya membatasi pada praktik
Misa Imlek saja. Yang kemudian, batasan masalah tersebut dirumuskan dalam
beberapa pertanyaan, sebagai berikut: Unsur-unsur kebudayaaan Tionghoa macam
3 Bdk. Jacobus Tarigan, Pr. Dan Johan Suban Tukan, Inkulturasi Budaya Tionghoa dalam
Gereja Katolik (Jakarta, 2007), h. 121.
7
apa saja yang dapat diinkulturasikan dalam perayaan Ekaristi? Dan bagaimana
seharusnya Misa Inkultirasi itu dilaksanakan?
C. Manfaat dan Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang pada umumnya pasti
mempunyai tujuan tertentu. Tanpa adanya suatu tujuan yang jelas makakegiatan
tersebut tidak akan dapat terarah karena tidak tahu apa yang ingin dicapai dari
kegiatan tersebut.
Berhasi tidaknya kegiatan penelitian yang dilaksanakan terlihat pada
tercapainya tujuan yang ditetapkan. Sesuai dengan batasan dan rumusan masalah,
penelitian yang diberi judul INKULTURASI MISA SYUKUR TAHUN BARU
IMLEK GEREJA KATOLIK SANTO BARNABAS PAMULANG, tujuan yang
hendak dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gambaran mengenai Inkulturasi dalam Gereja Katolik
berikut maksud dan tujuannya.
2. Untuk memaparkan unsur budaya Tionghoa apa saja yang dapat
diinkulturasikan dalam Perayaan Ekaristi.
Sedangkan manfaat dari hasil penelitian ini adalah:
1. Manfaat Praktis
a. Skripsi ini diharapkan dapat memberi pemahaman Inkulturasi yang terjadi
dalam Perayaan Ekaristi Misa Syukur Tahun Baru Imlek.
b. Sebagai sumber pengetahuan dan informasi bagi mahasiswa yang berminat
dalam kajian Misa Imlek.
8
c. Memperluas cakrawala tentang wacana Misa Inkulturasi.
2. Manfaat Akademis
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
pada jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UI Syarif Hidayatullah
Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian tidak lupa penulis mencari informasi terkait
tema diatas yakni dengan membaca buku, literatur, catatan, dan judul laporan
yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Untung mendukung
penelitian yang sedang dilakukan, juga untuk menghindaru adanya penjilakan
dalam sebuah karya tulis ilmiah. Penulis mendapatkan beberapa tulisan ilmiah
yang dapat menjadi acuan dalam penulisan skripsi ini, diantaranya:
1. Skripsi dengan judul Integrasi Agama dan Budaya dalam Perspektif
Kuntowijoyo oleh Rahman Taufik mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Perbandingan Agama Tahun 2016.
Fokus dari skripsi ini membahas tentang pemikiran Kuntowijoyo integrasi
agama dan budaya dan transformasinya ditengan modernisasi.
2. Skripsi dengan judul Inkulturiasi sebagai Jalan bagi Umat Paroki Kristus
Raja Cigugur dalam Memahami Makna Perayaan Ekaristi oleh Danial Dodi
Mahasiswa Universitas Santa Dharma Yogyakarta Tahun 2009. Sripsi ini
memfokuskan pembahasan pada inkulturasi kebudayaan sunda dalam
9
perayaan Ekaristi dan pemahan umat akan makna Perayaan Ekaristi di
Paroki Kristus Raja Cigugur.
Kajian atau penelitian yang secara khusus mengkaji tentang Misa Syukur
Tahun Baru Imlek belum banyak ditemui.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bersifat kualitatif,
seperti yang dikemukakan oleh Big dan Taylor metode kualitatif merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari perilaku seseorang yang dapat diamati.4
2. Sumber Data
Untuk melakukan penelitian ini maka penulis mengumpulkan data primer
dan sekunder yang sesuai dengan tema penelitian. Sumber primer artinya data
yang didapat dari sumber pertama, berarti wawancara kepada seseorang atau
pengamatan peneliti langsung pada objek penelitian. Sumber sekunder artinya
data-data yang diperoleh dari hasil penelitian orang lain yang sudah diolah
menjadi dokumen, buku-buku, Koran, majalah, dan lain-lain.
4 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990),
h. 3.
10
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan observasi,
wawancara, kemudian menganalisis data yang diperoleh.5
a. Observasi
Observasi merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mengadakan penelitian secara teliti, serta pencatatan secara sistematis
(Arikunto, 2002). Tujuan observasi adalah mengerti cirri-ciri dan luasnya
signifikasi dan interelasinya elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena
sosial serba komlpleks dalam pola-pola kultur tertentu.6
b. Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan dua orang atau bertukar informasi dan
ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksi makna dalam satu topik
tertentu.7
c. Dokumentasi
Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu
otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, kliping,
dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di
website, dan lain-lain.8
5 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta:
Salemba Humanika, 2012), h. 11. 6 Iman Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), h. 143. 7 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2009), h.
227. 8 Iman Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), h. 175.
11
4. Metode Pendekatan
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
antropologi budaya dan antropologi agama. Pendekatan antropologi budaya
merupaka pendekatan yag menpelajari kelimpok-kelompok etnik yakni
mempelajari bagaimana mereka dewasa ini, berbagai macam segi yang
menyangkut kehidupan mereka dilihat dari sudut perkembangan sembagaimana
tercermin dalam segi-segi kebudayaan mereka. Dan juga mempelajari hubungan-
hubungan antara kelompok-kelompok etnik itu sepanjang sejarah mereka.9
Adapun antropologi agama merupakan pendekatan yang mempelajari
kelompok-kelompok agama. Pendekatan ini lebih untuk melihat pengaruh agama
dalam kehidupan sosial masyarakat selain itu juga mempelajari hubungan antara
agama dan kebudayaan yang ada.
5. Metode Analisis Data
Analisis data yang penulis gunakan adalah deskriptif analitik, yaitu metode
yang dilakukan dengan cara menguraikan sekaligus menganalisis data-data yang
menjadi hasil pengkajian dan pendalaman atas bahan-bahan penelitian. Metode
deskriptif lebih banyak berkaitan dengan kata-kata, dimana semua data-data hasil
penelitian diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Kemudian, data-data yang berbentuk bahasa ini dianalisis sesuai denga tujuan
penelitian sehingga menghasilkan kesimpulan.10
9 Mahjunir, Antropologi Kebudayaan (Jakarta: T.p. , 1965), h. 40.
10 Nyoman, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada
Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 337.
12
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center
of Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika dalam penulisan karangan ilmiah ini terdiri dari lima
bab yang tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub-bab pembahasan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Batasan dan Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
D. Tinjauan Pustaka
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG GEREJA KATOLIK
SANTO BARNABAS PAMULANG
A. Letak Geografis
B. Sejarah Pendirian
C. Pokok-pokok Ajaran
D. Struktur Kepengurusan
13
E. Kegiatan-kegiatan
BAB III INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI
A. Inkulturasi
1. Pengertian dan hakikat inkulturasi
2. Dasar Inkulturasi
3. Tujuan Inkulturasi
B. Perayaan Ekaristi
1. Makna Perayaan Ekaristi
2. Tata Perayaan Ekaristi
C. Tahapan-tahapan Inkulturasi Liturgi dalam perayaan Ekaristi
BAB IV MISA SYUKUR TAHUN BARU IMLEK SEBAGAI BENTUK
INKULTURASI BUDAYA ETNIK TIONGHOA KE DALAM
AJARAN KATOLIK
A. Analisis terhadap Inkulturasi Budaya dalam Misa Tahun Baru
Imlek
B. Makna Misa Syukur Tahun Baru Imlek Bagi Gereja Santo
Barnabas Pamulang
BAB V KESIMPULAN
14
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG GEREJA SANTO BARNABAS
PAMULANG
A. Letak Geografis
Secara geografis Gereja Santo Barnabas saat ini terletak di Jl. Mohammad
Toha No. 3 RT. 002 / RW 005, Pondok Cabe Udik, Pamulang, Kota Tangerang
Selatan. Paroki Santo Barnabas mencakup 7 Kelurahan, Kecamatan Pamulang
dengan batas-batas sebagai berikut, sebelah utara: Stasi Ciputat, sebelah timur:
Paroki St. Mateas Cinere dan sungai Pesanggerahan, sebelah selatan: Paroki
Herculanus Depok, Kecamatan Sawangan dan Parung Kab. Bogor, sebelah barat:
Paroki St. Monika, Serpong. 1
Paroki Santo Barnabas merupakan paroki ke-46 di Keuskupan Agung
Jakarta.Secara sosial, anggota jemaat Gereja Santo Barnabas pamulang datang
dari berbagai suku dan etnis seperti Batak, Jawa, Flobamora dan Tionghoa.
B. Sejarah Pendirian
Paroki Santo Barnabas bermula dari dua retret yang dipimpin oleh Rm.
Pranoto Seputro, Pr pada tahun 1987 di Rumah Retret Puri Asih Gadog,
Puncakdan retret yang dipimpin oleh Rm. Martosudjito, SJ di Wisma
Kompas.Dari kedua retret itu, tokoh-tokoh wilayah IX dari paroki Santo Stefanus
Cilandak mulai terpanggil untuk membentuk paroki baru agar pelayanan terhadap
umat Katolik di kawasan Pamulang-Ciputat semakin maksimal.Umat yang tinggal
11
Wawancara Pribadi dengan Romo Yoseph Sutrisno Amirullah, SCJ.
15
dikawasan tersebut telah mencapai lebih dari 4000 orang, sementara itu Gereja
Santo Stefanus terletak cukup jauh dari Ciputat dan Pamulang.
Setelah retret tersebut, ketua wilayah IX bersama para ketua lingkungan
yang ada menghadap kepala paroki Santo Stefanus Cilandak untuk mengusulkan
adanya pemekaran di paroki tersebut sehingga umah Katolik di kawasan Ciputat-
Pamulang mendapatkan pelayanan yang lebih baik daru gereja.
Usulan tentang pemekaran Wilayah IX menjadi paroki baru ini kemudian
mendapatkan tanggapan pada tahun 1988. Keuskupan Agung Jakarta mengutus
seorang Pastor dari Angkatan Udara Thomas Ebbo, Pr. Pastor Kepala Paroki
Santo Stefanus Cilandak, Rm. FX Harimurtono, SCJ memanggil tokoh-tokoh
wilayah IX untuk membentuk satuan tugas (satgas), yang bertugas untuk
merumuskan langkah-langkah pembentukan Paroki baru dan sekaligus
mewujudkannya.
Satgas ini langsung bekerja dalam tiga agenda utama, yaitu pemekaran
wilayah untuk Capar (wilayah IX dibagi menjadi beberapa wilayah, pemekaran
lingkungan), pencarian rumah untuk tempat tinggal pastor, dan mencari tempat
untuk Misa pada hari Minggu.
Pimpinan dan pengelola Wisma Kompas memberikan izin
penyelenggaraan misa bulanan di Wisma Kompas Ciputat.Hal ini dilakukan
setelah ada Misa Perayaan Paskah Perdana di Capar Pamulang-Ciputat.Misa ini
berlangsung pada tanggal 16 April 1989, yang dipimpin oleh Rm.
JB.Martosudjito, SJ Rm. FX.Harimurtono, SJ dan Fr. Andreas Suparman, SCJ.
16
Selanjutnya, setelah beberapa kali misa dilakukan Wisma Kompas,
muncul satu persoalan pada Oktober 1990 hingga mengakibatkan umat Capar
Pamulan-Ciputat tidak lagi diizinkan untuk menggunakan Wisma Kompas sebagai
tempat beribadah.Setelah peristiwa tersebut tidak ada lagi tempat yang digunakan
untuk beribadat.Bahkan saat itu umat diliputi suasana takut.
Satgas Capar melakukan pendekatan kepada berbagai pihak yang memiliki
fasilitas-fasilitas gedung yang memungkinkan untuk peribadatan umat
Katolik.namun, tidak ada yang memberikan jawaban yang posotif. akhirnya
datanglah Sr. Lusia Dipoyudho, SPM dan para Suster Santa Perawan Maria yang
memberikan izin untuk menggunakan fasilitas gedung SDK Strada Sanjaya (yang
selanjutnya menjadi SDK Mater Dei) Witanahardja, Pamulang. beliaumenyetujui
permohonan Satgas Capar Santo Barnabas melalui Mgr. Leo Soekoto, SJ. Sejak
itulah umat beribadat di SDK Mater Dei hingga tahun 2009.
Pada misa-misa besar, panitia selalu mendirikan tenda sementara di
halaman SDK Mater Dei sehingga dapat menampung lebih banyak umat.Altar dan
meja Altar juga ditempatkan di bawah tenda tersebut. Semua umat yang duduk di
tenda tersebut dapat melihat pastor yang memimpin misa. Selain harus
mempersiapkan tenda, panitia juga harus menyiapkan kursi dan dekorasi altar.
Pada masa peribadatan di SDK Mater Dei, pendirian paroki mengalami
banyak kemajuan.Salah satu yang terbesar adalah diresmikannya Capar Ciputat-
Pamulang menjadi sebuah paroki baru. Persiapan panjang yang dilakukan oleh
para perintis berbuah manis dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Uskup
Agung Jakarta, Mgr. Leo Sukoto, SJ No: 966/3.25.2/93 tanggal 17 Juli 1993, yang
17
menetapkan pembentukan Paroki Rasul Barnabas sekaligus mendirikan Badan
Pengurus Gereja Katholik dengan nama “Pengurus Gereja dan Dana Papa Roma
Katholik Rasul Barnabas” yang berkedudukan di Pamulang.
Peresmian paroki Santo Barnabas ini ditandai dengan misa konselebrasi
pada tanggal 17 juli 1993 dengan selebran utama Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo
Sukoto, SJ bersama denag Romo Hendra Aswardani, SCJ dari Paroki St. Stefanus
Cilandak Jakarta Selatan, dan Rm. FX. Harimurtono, SCJ. Pada saat itu setelah
misa peresmian Paroki Rasul Barnabas dinyatakan sebagai paroki yang ke-46 di
Keuskupan Agung Jakarta dan penggembala umat Paroki Rasul Barnabas
pamulang diserahkan kepada kongres Iman-iman Hati Kudus Yesus (SCJ).
Lebih dari 15 tahun keinginan untuk membangun gereja, segala cara dan
upaya telah dicoba dan ditempuh, namun umat Santo Barnabas tidak tahu harus
memulainya dari mana. Pindah lokasi sampai lima kali pun telah dijalani, bahkan
keinginan untuk hanya membangun gedung serbaguna atau ruko yang nantinya
secara diam-diam dapat digunakan untuk misa pun ternyata tidak kesampaian.
Namun seiring berjalannya waktu, melaliu seorang Romo J. Puryanto SCJ,
dengan modal kurang dari 5 milyar Dewan paroki dan tim perijinan setra panitia
pembangunan gereja mampu merealisasikan rencana pembangunan Gereja. Bagi
PPG Santo Barnabas, kegembiraan atas diperolehnya IMB Gereja pada tanggal 13
Mei 2008, sepertinya hanya kegembiraan sesaat, dan berikutnya adalah rasa
kebingungan, sebab setelah IMB diperoleh, maka PPG harus segera
nmelaksanakan pembangunan gereja, sementara gambar rencana dan gambar kerja
masih belum siap. Gambar rencana gereja yang dimiliki PPG adalah hanya berupa
18
gambar preliminary, yang dipersiapkan oleh Ir. Jeffry budiman secara kejar
tayang, hanya sekedar untuk bagan expose dalam proses pengajuan IMB pada
tanggal 5 Maret 2008. Disainnya sama sekali sungguh berbeda dengan disain
gereja yang akhirnya dibangun saat ini.
Tanggal 13 Agustus 2008 yang semula diagendakan untuk upacara
peletakan batu pertama yang bertepatan dengan hari peringatan Santa Maria naik
ke Surga, manun harus ditunda karena situasi keamana yang kurang kondusif.
Romo Puyanto, Dewan Paroki dan Panitia Penyelenggara menerima kenyataan ini
dengan lapang dada. Pada akhirnya peletakan batu pertama dapat dilanjutkan pada
tanggal 21 Oktober 2008.Dalam suasana hening dan penuh kesederhanaan, jauh
dari hingar-bingar dan suasana ceremonial.Diawali dengan misa pagi pemberkatan
batu pertama oleh Romo Puryanto, dilanjutkan dengan peletakan batu pertama.
Seiring dengan berjalannya waktu, hambatan dan tantangan telah dilewati
oleh para Panitia Pembangunan. Pembangunan gedung Gereja dengan seluruh
kelengkapannya semakin berkobar dengan adanya aliran Dana Solidaritas Paroki
(DSP) – KAJ yang telah memberikan suntikan dana segar kepaga PPG untuk
melanjutkan penyelesaian seluruh rencana pembangunan. Pada waktu yang
hamper bersamaan, KAJ juga membantu pembelian sebidang tanah seluas 3260
M² di belakang tanah Gereja untuk dijadikan tempat parkir. Lengkaplah sudah
kebutuhan umat Santo Barnabas untuk memiliki sebuah gedung Gererja dan
gedung Pelayanan Pastoal, dilengkapi dengan lahan parkir yang cukup memadai.
Selain sumbangan yang cukup besar dalam sejarah DSP – KAJ, memasuki
bulan Juli – Agustus 2009 sumbangan dari para donator, baik dari dalam maupun
19
luar Paroki, bahkan beberapa dari Luar Negeri, semakin deras mengalir. Selain
sumbangan dalam wujud uang, sumbangan material bangunan dan perlengkapan
Gereja pun mulai berdatangan.
Akhirnya pembangunan pun dapat diselesaikan. Sabtu, 21 Nobember 2009
pada masa Pastor J. Puryanto, SCJ, gedung Gereja Paroki Santo Barnabas
diresmikan dan diberkti oleh Mgr. Julius Kardinal Darmaatmaja, SJ. Gedung
Pastoral diberkati oleh Uskup Coajutor, Mgr. Ignatius Suharyo, Pr. Dan Kapel
Maria de Fatima diberkati oleh Rm. Julianus Puryanto, SCJ.
Gedung Gereja maupun Gedung Pelayanan Paroki terlihat sangat
megahmeski dalam rancangan bangunan yang cukup sederhana tetapi ramah
lingkungan.Ruang utama Gereja mampu menampung 800 umat, ditambah 300 di
balkon atas, dafl 250 pada lobby.Sedangkan untuk perayaan hari-hari besar
paskah dan natal, lantai dasar Gereja dapat dipersiapkan dan dipergunakan untuk
menampung 1000 umat.Area parkir mobil dan motor yang cukup luas dengan
kapasitas ±150 mobil dan 300 motor. Sebuah kebahagiaan dan suka cita, bahwa
setelah 15 tahun pada akhirnya umat Santi Barnabas dapat beribadah di Gereja
yang sesungguhnya.
C. Pokok-pokok Ajaran
Sejak tahun 1995 di Indonesia beredar Katekismus Gereja Katolik (KGK)
yang cukup tebal yaitu 783 halam.Pada tahun 2005 di Vatikan di terbitkan
Kompedium Katekismus Gereja Katolik (KKGK), semacam ringkasan katekismus
KGK.Namun, jauh sebelum terbitnya kedua buku tersebut, ajaran pokok Gereja
20
Katolik diringkas dalam rumusan-rumusan singkat yang sampai sekarang dirasa
lebih mudah diingat.2
Iman adalah dasar segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala
sesuatu yang tidak kita lihat.Gereja Katolik merumuskan pokok-pokok iman yang
tertuang dalam syahadat. Pokok-pokok iman dan pedoman hidup katolik meliputi
antara lain:
Pengakuan Iman
Syahadat para Rasul adalah rumusan singkat yang memuat pokok-
pokok iman kepercayaan umat katolik sahadat itu tidak disabdakan langsung
oleh Yesus kepada kedua belas Rasul-Nya.Syahadat itu tidak secara langsung
ditemukan dalam Kitab Suci.Tetapi syahadat itu adalah rumusan gereja yang
didasarkan pada iman para Rasul.Syahadat para Rasul sering juga disebut
Credo yang berarti Aku percaya. Berikut
Aku percaya akan Allah, Bapak yang Mahakuasa, pencipta langit dan
bumi, dan akan Yesusu Kristus, Putra-Nya yang tunggal, Tuhan kita, yang
dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria, yang menderita
sengsara dalam pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, wafat dan
dimakamkan, yang turun ke tempat penantian pada hari ketiga bangkit dari
antara orang mati; yang naik ke syurga, duduk di sebelah kanan Allah Bapak
yang Mahakuasa; dari situ ia akan datang mengadili orang yang hidup dan
yang mati.
2https://yesusandalanku.wordpress.com/iman/pokok-pokok-ajaran-katolik-1/ diskses pada
tanggal 26 Juli 2018
21
Aku percaya akan Roh Kudus,Gereja Katolik yang Kudus, persekutuan
para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan kekal. Amin.
Hukum Kasih
Amal Kasih
Sabda Bahagia
Sepuluh perintah Allah
Lima perintah gereja
D. Struktur Kepengurusan
Dalam melayani umat, Paroki Santo Barnabas mempunyai kepengurusan
dan perangkat sebagai berikut: Pengurus Gereja dan Dana Papa (PGDP), dan
Pengurus Dewan Paroki Harian, secara keseluruhan tergabung dalam Dewan
Paroki Pleno yang terdiri dari Dewan Harian / PGDP, Ketua-ketua Wilayah,
Ketua-ketua Lingkungan, Seksi-seksi, Bagian, Kelompok Kategorial, Komunitas,
Yayasan, Organisasi dan lain-lain. Mereka semua adalah para pelayan umat yang
secara bersama-sama bekerja untuk melayani seluruh warga Paroki sesuai Arahan
Dasar Pastoral Keuskupan Agung Jakarta.
E. Kegiatan-kegiatan
Mempunyai agenda kegiatan yang cukup banyak dalam kesehariannya,
bukan hanya melayani peribadatan per-minggu dan hari-hari besar saja tetapi juga
menyediakan kegiatan sosial, hiburan, musik, bahkan konsultasi hukum, segala
bentuk jadwal kebaktian, kegiatan atau pengumuman akan dikabarkan melalui
22
warta jemaat yang diterbitkan setiap bulannya, kegiatan tambahan tersebut
menyesuaikan dengan kebutuhan anggota gereja per-minggunya, berikut contoh
agenda dalam sepekan di awal bulan Juni 2018 ini:
Jadwal Perayaan Ekaristi:
Misa Harian: Pk. 05.45 WIB
Misa Jum’at Pertama: Pk. 09.00 WIB
Misa Migguan : Sabtu: Pk. 1700 WIB
Miggu: Pk. 06.00, 09.00 dan 18.00 WIB
Jadwal Kegiatan lainnya:
TGL WAKTU ACARA KEGIATAN
1
07.00 s.d. 19.00
Seminar Perkawinan dan Keluarga
Katholik
07.00 - 16.00 Kids For Christ
08.00 - 10.00 Latihan koor MA (wilayah 2)
11.00 - 14.00 Latihan koor IMK
15.00 - 17.00 Latihan koor Wilayah 4
17.00 - 19.00 Latihan koor wilayah 12
19.00 – selesai Misa Jumat Pertama dan Adorasi
20.00 - 22.00 Latihan koor Anima Christi
20.00 - 22.00 Latihan Among Laras
setelah Misa - 22.00 Latihan koor wilayah 3
2
09.00 - 10.00 Latihan koor Adiyuswo
10.00 - 14.00 Latihan koor Wilayah 4
10.00 – Selesai Pengarahan Baptisan + GR
12.00 - 17.00 Latihan Flashmob
15.00 - 17.00 Rapat WKRI dengan Pengurus Cabang
19.30 - 22.00 Latihan koor wilayah 2
setelah Misa - 22.00 Latihan koor wilayah 3
3
07.30 - Selesai Penerimaan Komuni Pertama
08.00 - 09.00 Pembelajaran Katekumen
11.30 - 13.30 Latihan koor wilayah 3
12.00 - 13.30 Latihan koor wilayah 4
14.00 – selesai Lomba Koor antar wilayah
4 - -
23
5
18.00 - 22.00 Rapat Panitia KEP XI
19.00 - 22.00 Persekutuan Doa Karismatik
19.30 - 22.00
Pertemuan Panitia Penguatan dengan Sie
Katekese
6 19.00 - 21.30
Penyegaran Iman Katolik- 7 Sabda
Terakhir
19.00 - 21.30 Latihan rutin koor Anima Christi
7 16.00 - 22.00 Rapat JP Cup dan kepengurusan
20.00 - 22.00 Latihan koor Laudate Domino
24
BAB III
PELAKSANAAN MISA SYUKUR TAHUN BARU IMLEK GEREJA
KATOLIK SANTO BARNABAS PAMULANG
A. Inkultrurasi
1. Pengertian dan hakikat
Inkulturasi berasal dari bahasa latin, in dan cultur-cultura. Kata depan
in mengandung pengertian “(masuk) ke dalam, sedangkan kata cultur atau
cultura berasal daru kata kerja colore yang berarti “mengolah tanah”.
Pengertian kultur adalah segala karya yang membantu kehidupan manusia.
Sinonimnya dengan kata lain ialah “kebudayaan”, dari “budi-daya” dan
“peradaban” dari kata Arab adaba yang berarti mendidik.1 Dengan demikian,
istilah inkulturasi, secara umum dipahami sebagai suatu usaha Gereja untuk
membudaya.
Istilah inkulturasi ini muncul pertamakali dalam literatur misiologi
tahun 1960, yang diperkenalkan oleh seorang dosen di Universitas
Gregoriana, Masson, dalam artikelnya “L’eglise ouverte sur Le Monde”.
Dengan istilah ini Masson mau mengungkapkan fakta integrasinya warta
keselamatan Kristen atau Gereja ke dalam kebudayaan kelompok tertentu.
Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan dalam dokumen resmi Gereja
pada tahun 1977, yaitu oleh sinode para Uskup di Roma mengenai katekese,
yang mengeliarkan naskah terakhir “pesan kepada Umat Allah”.2
1 Komisi Liturgi MAWI, Bina Liturgia I: Inkulturasi (Jakarta: Obor, 1985), h. 9.
2 MAWI, Bina Liturgia I: Inkulturasi, h. 19.
25
Dokun De Liturgia Romana et Inculturatione (art. 4) merumuskan
inkulturasi merupakan inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang
otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke
dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain, inkulturasi merupakan usaha suatu
agama untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Dalam
penyesuaian tersebut muncul transformasi yang mendalam dari nilai-nilai
budaya asli yang diintegrasikan kedalam tradisi Kristiani.
Selain itu, beberapa ahli jugatelah berusaha merumuskan istilah
inkulturasi ini, salah satunya Giancarlo Collete:3
Inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung terus dimana Injil
diungkapkan di dalam situasi sosio-politik dan religius-budaya
sedemekian rupa sehingga ia tidak hanya ditawarkan melalui unsur-
unsur situasi tersebut, tetapi menjasi suatu daya yang menjiwai dan
mengolah budaya tersebut sekaligus budaya tersebut memperkaya
Gereja Universal.
Dalam pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
inkulturasi, Injil Yesus Kristus diwujudnyatakan melalui budaya umat
setempat secara terus menerus, sehingga mengakar didalam kehidupan umat.
Melalui inkulturasi, unsur-unsur budaya setempat dirangkul, dimaknai dan
dijiwai oleh Injil Yesus Kristus. Inkulturasi bukanlah suatu proses yang
singkat karena inkulturasi berlangsung terus-menerus dan senantiasa
mengikuti perkembangan umat sesuai dengan konteks jamannya. Proses yang
terjadi terus-menerus ini akan membuat umat semakin mengimani Injil Yesus
3 Karl-Edmund Prier, Inkulturasi Musik Liturgi (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi,
1999), h. 8.
26
Kristus dalam kebudayaannya bahkan mampu menjadi indentitas bagi umat di
suatu wilayah tertentu karena telah menjadi satu dengan hidup umat.
Selain Collet, ada juga Crollius4 yang merumuskan inkulturasi
sebagai berikut:
Inkulturasi Gereja adalah integrasi pengalaman Kristen sebuah Gereja
Lokal kedalam kebudayaan bangsa tertentu sedemikian rupa sehingga
pengalaman itu tidak hanya mengungkapkan dirinya dalam elemen-
elemen kebudayaan bangsa itu, melainkan menjadi kekuatan atau
daya yang menjiwai, mengerahkan dan memperbaharui kebudayaan
itu, dengan itu menciptakan satu persekutuan baru bukan saja dalam
kebudayaan tertentu itu melainkan juga sebagai sumbangan untuk
Gereja Universal.
Maksudnya adalah bahwa adanya integrasi antara Injil dengan
kebudayaan setempat akan mampu memaknai atau menjiwai kebudayaan
setempat tersebut. Dalam inkulturasi, pengakalam Kristen tidak semata-mata
diekspresikan dalam bentuk kebudayaan setempat saja, tetapi lebih dimaknai
dan dijiwai oleh semangat Injil Yesus Kristus.
Mantan Jenderal Yesuit, Arrupe5 merumuskan inkulturasi sebagai
berikut:
Inkulturasi adalah inkarnasi kehidupan dan warta keselamatan Kristen
ke dalam kebudayaan tertentu sehingga pengalaman ini tidak hanya
menemui ungkapannya atau ekspresinya lewat unsur-unsur
kebudayaan tertentu tersebut, melainkan menjadi dasar atau prinsip
yang menjiwai, mengarahkan, menyatukan dan mengubahnya kepada
satu ciptaan baru.
Dalam misteri inkarnasi, Yesus Kristus turun kedunia dan mengambil
rupa manusia, sehingga Ia pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan
situasi konkret di sekitarnya. Begitu pula dalam inkulturasi, ketika Injil
4Hubertus Muda, Inkulturasi (Ende – Flores: Pustaka Misionalia Candraditya, 1992),
h. 23. 5 Muda, Inkulturasi, h. 24.
27
diinkulturasikan ke dalam kebudayaan umat setempat, maka keduanya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya saling merangkul dan memperkaya.
Dala suatu usaha inkulturasi, biasanya tidak bangak dimunculkan bentu-
bentuk yang baru dalampengungkapannya, melainkan bentuk yang sudah ada
sebelumnya semakin dimaknai dengan Injil Yesus Kristus. Atau dengan kata
lain penbaharuan terjadi dalam makna kebudayaan yang terinkulturasi oleh
Injil Yesus Kristus, sehingga suatu kebudayaan akan memiliki makna Injili.
Dari beberapa rumusan inkulturasi tersebut, dapat diambil suatu
intisari bahwa dengan inkulturasi ada pemaknaan baru dalam pengungkapan
kebudayaan setempat. Niali-nilai dari suatu kebudayaan yang sudah ada
semakin kuat karena dijiwai oleh semangatInjil. Selain itu, usaha Gereja untuk
berinkulturasi dengan kebudayaan setempat jiga semakin mengarahkan dan
memperbarui kebudayaan tersebut sehingga menghasilkan siatu ciptaan atau
kebudayaan baru yang lebih memampuka umatuntuk menghayati dan
mewujudkan iman mereka dengan citarasa umat sendiri. Hal ini sejalan
dengan pendapat Binawiratma, dalam artikelnya “Menjernihkan Inkulturasi”,6
bahwa:
Inkulturasi bukanlah penerapan kebenaran-kebenaran abstrak dalam
situasi konkret. Inkulturasi adalah pergulatan kreatif umat setempat
untuk menghayati hidup sebagai ciptaan baru. Ciptaan baru itu bukan
hanya pakaian baru, melainkan hubungan kita dengan Yesus Kristus
yang hidup.
Namun, tentu saja perlu diingat bahwa inkulturasi bukanlah satu-
satunya yang paling penting karena menurut Koendjono, inkulturasi ada demi
6 MAWI, Bina Liturgia I: Inkulturasi, h. 28.
28
penghayatan Kerajaan Allah.7 Jadi Kerajaan Allah tetap menjadi yang
terpenting. Karena inkulturasi hanyalah jalan yang menjembatani antara nilai-
nilai bidaya dengan nilai-nilai Injil untuk mencapai penghayatan Kerajaan
Allah. Atau dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa umat akan mampu
menghayati Injil dan Kerajaan Allah melalui dan di dalam kebudayaan mereka
masing-masing. Maka, apakah suatu unsur kebudayaan kita dapat dimasukkan
dalam penghayatan agama, tergantung apakah membantu penghayatan agama
atau tidak. Suatu unsur kebudayaan bagaimanapun tinggi nilainya kalau tidak
membantu tidak baik dimasukkan sebagai sarana penghayatan agama.
Inkulturasi juga merupakan relasi dinamis antara warta keselamatan
Kristen dengan pelbagai kebudayaan, integrasi kehidupan Kristen dalam
timbal balik serta asimilasi antara kebudayaan.8 Oleh karena, itu dalam
inkulturasi selalu ada kerjasama atau hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan baik bagi kebudayaan setempat maupun bagi tradisi-tradisi
Kristiani. Keduanya tentu saja tidak dapat dipisahkan ataupun berjalan sendiri-
sendiri. Karena kedua hal tersebut merupakan inti dari inkulturasi dalam
Gereja. Inkulturasi hanya akan terjadi apabila ada dialog timbal balik antara
tradisi-tradisi Kristiani dengan kebudayaan setempat.
Pada hakikatnya inkulturasi merupakan perjumpaan yang bersifat
berkelanjutan antara iman Kristiani dengan kebudayaan, dan Yesus Kristus
sebagai pusatnya. Dengan demikian dalam proses inkulturasi harus manpak
bagaimana jemaat di dalam pergulatan hidupnya sehari-hari mengimani
7 Mawi, Bina Liturgia I: Inkulturasi, h. 11.
8 Muda, Inkulturasi, h. 34.
29
Kristus dan menemukan kehadiranNyadalam segala aspek kehidupannya.
Pernyataan tersebut juga didukung dengan penegasan dari Lane9 bahwa pada
intinya inkulturasi merupakan perjumpaan antara kebudayaan dan Injil yang
saling mengisi, mempengaruhi dan membentuk. Oleh karena itu, budaya dan
Injil tidak dapat dipisahkan.
Hal ini tentu saja akan menghasilkan dampak yang begitu positif bagi
umat Kristiani. Mereka akan semakin mampu membangun hidup berimannya
maupun komunitasnya. Selain itu, mereka juga semakin memilikiiman Katolik
yang menyatu dan mengakar pada kebudayaan dan nilai-nilai setempat yang
mereka yakini bersifat positif, karena telah terbukti berharga bagi perjuangan
kehidupan mereka. Dengan demikian dapat ditegaskan kembali inkulturasi
sungguh berkaitan dengan praksis atau keterlibatan jemaah di dalam
menghayati Injil Yesus Kristus menurut kebudayaan mereka sendiri.
Dalam sebuak artikel mengenai “Katekese sebagai Salah Satu Momen
Penting dalam Inkulturasi” menyatakan bahwa inkulturasi merupakan
kenyataan yang bersifat kompleks yang hakikatnya tidak akan dimengerti
dengan baik apabila dengan hanya digali berdasarkan konsep yang semata-
mata bersifat teoritis.
2. Dasar inkulturasi
Dasar inkulturasi yang pertama kali dipikirkan ialah miateri
inkarnasi sendiri: Putera Allah mengenakan kodrat manusia, sebagaimana
9 F.X. Heryatno Wono Wulung, Katekese sebagai Momen Penting Inkulturasi dalam
Katekese pada Milenium III: Quo Vadis? (Yogyakarta: Universitas Santa Dharma, 2000), h.
124.
30
Nampak dalam permulaan Injil Yohanes.10
Dalam misteri inkarnasi ini, Yesus
mengenakan kodrat manusia atau dengan kata lain hidup Allah sendiri
menginkulturasi dalam adat kebudayaan manusia. Namun, hal ini tentu saja
belum begitu mencukupi, pendasaran inkulturasi tidak boleh berhenti pada
misteri inkarnasi saja. Pusat pengalaman Kristiani tidak boleh dilupakan,
yakni Dia yang telah disalibkan bangkit kembali. Hal ini juga diungkapkan
oleh Martasudjita bahwa dasar teologi inkulturasi ialah:11
Misteri kasih trinitas yang diwahyukan dalam rangka sejarah dan
mengalami puncak dan kepadatannya dalam peristiwa Yesus
Kristus, dimana Sang Putera menjadi manusia (inkarnasi) dan
menerima konsekuaensi terakhirnya sebagai manusia: wafat,
namun kemudian dibangkitkan oleh Bapak dalam Roh Kudus
(misteri paskah).
Dengan dasar tersebut, unsur budaya setempat diangkat dan
diterima oleh Injil sebagai media dialog keselamata Allah dan manusia. Dan
dengan dasar misteri paskah (inkarnasi), unsur budaya setempat ditebus dan
diperbarui oleh Injil Yesus Kristus. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
inkulturasi mengungkapkan betapa berharga dan bernilainya budaya dan
tradisi umat setempat dalam Imam Kristiani.12
3. Tujuan inkulturasi
Adapun yang menjadi tujuan dari inkulturasi adalah agar umat
semakin mengenali, mencintai dan mengikuti Yesus Kristus dengan sepenuh
jiwa, hati, dan tenaga menurut kebudayaan dan nilai-nilai pokok hidup umat
10
Mawi, Bina Liturgia I: Inkulturasi, h. 39. 11
Martasudjita, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teoligi Liturgi (Yogyakarta:
Kanisius, 1999), h. 81. 12
Martasudjita, Liturgi: Makna, Sejarah dan Teoligi Liturgi, h. 84.
31
sendiri. Dalam konteks liturgi, inkulturasi merupakan pengungkapan /
perayaan liturgi Gereja dalam tatacara dan susunan yang serba selaras dengan
citarasa budaya umat yang beribadat. Dengan demikian “umat yang
mengikuti ibadat terpesona oleh lagu doa, lambing / hiasan, upacara, karena
semuanya langsung dapat dimengerti; karena semuanya bagus menurut
penilaian yang dipakai dalam hidup kebudayaan setempat”.13
Di dalam inkulturasi, tidak hanya iman Kristiani yang
dipribumikan, tetapi juga sebaliknya kebudayaan pribumi pun dikristenkan.
Dengan artian bahwa iman Kristiani dapat diterima sebagai milik umat
pribumi dan kebudayaan pribumi pun menjadi bagian dalam Iman Kristiani.
Karena inkulturasi merupakan dialog timbal balik antara iman Kristen dan
kebudayaan setempat.
B. Perayaan Ekaristi
Istilah “Ekaristi” berasal dari bahasa Yunani eucharistia yang berarti puji
syukur. Kata eucharistia adalah sebuah kata benda yang berasal dari kata kerja
bahasa Yunani eucharitein yang berarti memuji, mengucapkan syukur.14
Pada
intinya, istilah ekaristi menunjuk dengan bagus isi dari apa yang dirayakan dalam
seluruh perayaan Ekaristi, yaitu pujian dan syukur atas karya penyelamatan Allah
yang terlaksana melalui Yesus Kristus, sebagaimana berpuncak dalam peristiwa
13
Prier,Inkulturasi Musik Liturgi, h. 13. 14
Martasudjita,Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), h. 28.
32
wafat dan kebangkitan Kristus. Dengan puji syukur itu, Gereja mengenangkan dan
menghadirkan misteri penebusan Kristus pada masa sekarang.15
1. Makna Perayaan Ekaristi
Gereja adalah paguyuban orang beriman yang percaya kepada Yesus
Kristus. Umat beriman dipersatukan dalam gereja karena imannya akan Yesus
Kristus. Umat kemudian menanggapinya dengan merayakan dan mengenangkan
misteri kelahiran, kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus dalam
suatu perayaan Liturgi yang disebut Ekaristi.
Martasudjita dalam bukunya yang berjudul :Ekaristi: Tinjauan Teologis,
Liturgis dan Pastoral”, menyebutkan bahwa Ekaristi merupakan sebuah perayaan.
Kata perayaan menerjemahkan kata Latin celebratio yang kata kerjanya
celebrare. Kata celebrare ini mempunyai banyak kemungkinan arti, antara lain;
merayakan, mengunjungi atau menghadiri dalam jumlah banyak, meramaikan,
memenuhi, kerap kali melakukan, memasyhurkan, memuji atau memuja.16
Oleh
karena itu, maka dasar celebration atau perayaan selalu berunsur plural. Dalam
perayaan Ekaristi, umat merayakan warta penyelamatan Yesus Kristus yangtelah
diterima dan diimani, kemudian dikenangkan lagi dalam ungkapan syukur atas
tindakan penyelamatan Allah melalui Yesusu Kristus.17
Merayakan di sini berarti
umat satu sama lain menciptakan kehadiran Kristus dan membuat hidup misteri
yang dirayakan tersebut. Dan itu terasa menyentuh mereka yang merayakan atau
sering kali disebut dengan istilah memoria lesu.
15
Martasudjita, Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, h: 29. 16
Martasudjita, Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral,2005: 105. 17
MAWI, Bina Liturgia I: Inkulturasi, h. 25.
33
Apabila Ekaristi dipandang sebagai sebuah perayaan, maka banyak
peluang yang dapat dijadikan sarana merinkulturasi. Dalam pengertian teologis –
liturgis, kata perayaan mengandung arti pokok, yaitu segi kebersamaan, segi
partisipasi, dan segi konteks.
a. Segi kebersamaan
Sebuah perayaan selalu merupakan suatu kegiatan bersama atau
sekurang-kurangnya melibatkan lebih dari satu orang. Ekaristi sebagai
sebuah perayaan pertama-tama adalah perayaan seluruh Tubuh Mistik
Yesus Kristus, yakni Kepala dan para anggotanya. Dengan kata lain,
subyek perayaan Ekaristi adalah Tuhan Yesus Kristus dan Gereja-Nya.
Subyek menunjuk siapa yang merayakan Ekaristi, yaitu Kristus dan
bersama seluruh Gereja. Hal ini berarti seluruh Gereja juga menjadi
subyek atau pelaku perayaan Ekaristi yang sungguh-sungguh, tetapi
selalu karena Kristus, di dalam Kristus dan bersama Kristus. Itulah
sebabnya, Konsili Vatikan II menegaskan makna eklesial Ekaristi dan
semua kegiatan liturgis lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam SC 26
bahwa “Upacara-upacara liturgi bukanlah tindakan perorangan
melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan”. Dan sebagai
satu perayaan seluruh Gereja, Ekaristi selalu bersifat resmi, umum,
eklesial, artinya menghadirkan seluruh Gereja. Oleh karena itu
konsekuensi pastoralnya adalah Ekaristi tidak pernah boleh dirayakan
menurut selera sendiri.
b. Segi partisipan
34
Suatu perayaan juga selalu menunjuk makna keterlibatan atau
partisipasi dari seluruh hadirin. Demikian pula Ekaristi sebagai liturgi
resmi menuntut partisipasi sadar dan aktif dari semua yang hadir. Kata
sadar menunjuk segi pemahaman atau dengan kata lain tahu dengan
apa yang ia lakukan. Oleh karena itu, umat beriman perlu memahami
seluruh makmna perayaan Ekaristi, termasuk arti semua simbolnya.
Sedangkan kata aktif menunjuk keterlibatan yang sepenuhnya dan
seutuhnya. Itulah sebabnya para Bapa Konsili Vatikan II mendesak
umat beriman agar mereka mereyakan Ekaristi bukan sebagai penonto
yang bisu, melainkan bisa memahami misteri yang dirayakan dengan
baik dan ikut serta secara penuh, khidmat, dan aktif (SC 48).
Partisipasi sadar dan aktif ini mencakup pemahaman akan seluruh
misteri yang dirayaka sekaligus keterlibatan yang penuh, utuh dan aktif
sejak persiapan, pelaksanaan, hingga sesudah perayaan, yakni dengan
ikut menghasilkan buah-buah perwujudan iman.
c. Segi konteks
Sebuah perayaan selalu diselenggarakan menurut situasi dan kondisi
setempat. Dalam hal ini, unsur kebutuhan setempat, situasi, tantangan
zaman, dan unsur-unsur budaya lokalikut mempengaruhi sebuah
perayaan. Demikian halnya dengan perayaan Ekaristi, yang merupakan
perayaan seluruh Gereja, juga dirayakan menurut gaya dan model
penghayatan setempat. Segi konteks ini menunjuk makna Ekristi yang
dirayakan menurut situasi dan kondisi actual menurut konteks umat
35
setempat. Untuk itu para Bapa Konsili Vatikan II sangan mendorong
berbagai penyesuaian liturgi, termasuk di dalamnya inkulturasi liturgi,
tentu saja “asalkan selaras dengan hakikat dan semangat liturgi yang
sejati dan asli” (SC 37). Demikianlah perayaan Ekaristi mesti
menjawab kebutuhan dan kerinduan aktual dan kontekstual dari umat
beriman setempat. Itulah sebabnya doa-doa terutama doa umat,
misalnya, hendaknya disusun menurut situasi dan kondisi actual
Gereja setempat pada waktu itu.
2. Tata Perayaan Ekaristi
Dalam bukunya mengenai “Ekaristi: Tinjauan Teologis Liturgis, Liturgis
dan Pastoral”, Martasudjita mengemukanan bahwa selama kurang lebih 35 tahun
lamanya, yakni sejak buku Missale Romanum Paulus IV dipromulgasikan pada
tanggal 26 Maret 1970, umat Katolik di Indonesia merayakan Ekaristi dengan
menggunakan TPE (Tata Perayaan Ekaristi) yang masih belum bersifat tetap.18
Dengan turunnya Textus Recognitus Tata perayaan Ekaristi 2005 dari Kongregasi
Ibadat, Gerja Katolik di Indonesia telah memiliki TPE dalam bahasa Indonesia,
menurut Ritus Romawi, yang definitif. TPE 2005 ini ini merupakan teks yang
telah disahkan oleh Sidang Para Uskup KWI pada bulan November 2003,dan
selama tahun 2004 diproses ke Roma untuk memperoleh recognitio, dari Takhta
Suci, berdasarkan Surat Kongregasi Suci untuk Ibadat dan Tata Tertib Sakramen:
Prot. No. 935/04/L, tanggal 7 Oktober 2004, dan ditandatangani oleh Kardinal
18
Martasudjita, Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, h: 92-93.
36
Francis Arinze sebagai Prefek dan Mgr. Dominicus Sorrentino sebagai
Sekretaris.19
Sejarah perjalanan Gereja Katolik di Indonesia untuk memiliki TPE yang
definit amat sangat lama. TPE 1979, yang semula diberlakukan secara ad
experimentum, ternyata digunakan hamper lebih dari 25 tahun. Kendati demikian,
teologi TPE 2005 tidak berbeda dengan teologi TPE 1979 karena semuanya
mengacu pada teologi Ekaristi Konsili Vatikan II. Selain itu, baik struktur pokok
maupun unsur-unsur lain dari bagian-bagian Perayaan Ekaristi yang ada dalam
TPE 2005, juga tidak berbeda dengan TPE 1979. Yang berbeda adalah istilah dan
variasi pilihannya. Misalnya saja, TPE1979 menyebut bagian pembukaan dengan
istilah “Pembukaan” dan “Penutup”, sedangkan dalam TPE 2005 menggunakan
dengan istilah yang sama dengan PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) yakni
“Ritus Pembuka” dan “Ritus Penutup”.
Perayaan Ekaristi terdiri atas dua bagian pokok, Liturgi Sabda dan Liturgi
Ekaristi, dan kedua bagian pokok itu diapit oleh Ritus Pembuka sebagai bagian
yang mempersiapkan dan Ritus Penutup sebagai bagian yang menutup.20
Keempat
bagian tersebut begitu erat sehingga seluruhnya menjadi satu tindakan ibadat
(bdk. SC 56). Keseluruhan tindakan ibadat ini kemudian disebut sebagai perayaan
Ekaristi.
Berikut ini disajikan struktur dasar yang ada dalam Tata Perayaan Ekaristi
beserta rincian per bagiannya:21
19
Martasudjuta, Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, h: 93. 20
Martasudjita, Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, h: 116. 21
Martasudjita, Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, h: 116-118
37
Ritus Pembuka memiliki makna dasar kehadiran Tuhan di tengah umat
beriman yang sedang berdoa. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam Ritus
Pembuka ini adalah menyatukan dan mempersiapkan umat melalui tobat dan doa-
doa. Cirri khas bagian ini adalah sebagai pembuka, pengantar dan persiapan
menuju Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Dalam bagian Ritus Pembuka, dapat
dirinci sebagai berikut: perarakan masuk (dengan lagu pembuka), Tanda Salib,
salam pengantar, tobat, kyrie, gloria, dan doa pembuka.
Setelah Rutus Pembuka, dilanjutkan dengan Liturgi Sabda yang memiliki
makna dasar kehadiran Tuhan dan karya penebusan-Nya bagi Gereja melalui
Sabda-Nya. Peranan bagian ini dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi adalah
pewartaan Sabda Allah sekaligus sebagai perenungan dan tanggapan umat
beriman atas Sabda Allah itu. Liturgi Sabda terdiri dari beberapa bagian, yaitu
Bacaan I, mazmur tanggapan, Bacaan II, bait pengantar Injil / Alleluya, Bacaan
Injil dan Aklamasi sesudah Injil, homoli / khotbah, syahadat para rasul dan doa
umat.
Struktur yang mendasari keseluruhan perayaan Ekaristi selanjutnya adalah
Liturgi Ekaristi. Liturgi Ekaristi merupakan bagian yang paling penting dalam
keseluruhan Perayaan Ekaristi. Makna yang dapat dipetik dalam Liturgi Ekaristi
ini adalah Kehadiran Tuhan dan karya penebusan-Nya bagi Gereja secara
sakramental yaitu dan rupa roti dan anggu. Liturgi Ekaristi dibagi menjadi tuga
bagian pokok yaitu Persiapan Persembahan, Doa Syukur Agung, dan Komuni
yang memiliki peran masing-masing. Peranan Persiapan Persembahan adalah
mempersiapkan bahan-bahan persembahan, terutama roti dan anggur. Karena
38
bahan-bahan tersebut juga yang digunakan oleh Yesus Kristus dalam Perjamuan
Malam Terakhir hidup-Nya. Dalam persiapan persembahan biasanya diawali
denga kolekte dan mempersiapkan Altar, peraraka persembahan, mengunjukkan
roti, mengunjukkan piala, pendupaan, pembasuhan tangan, dan doa persiapan
persembahan. Setelah itu masuk kedalam Doa Syukur Agung yang terbagi
kedalam beberapa bagian kecil, yaitu prefasi, kudus, postsanctus, epiklese
konsekratis, kisah dan kata-kata Institusi, aklamasis anamnesis, anamneses,
persembahan, epiklese komuni, permohonan dan doxologi. Bagian Doa Syukur
Agung ini berperan sebagai ucapan puji syukur kepada Allah Bapa atas seluruh
karya penyelamatan-Nya melalui Yesus Kristus yang wafat dan bangkit, kepada-
Nya dipersembahkan roti dan anggur yang menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Setelah Doa Syukur Agung dilanjutkan dengan Komuni, yakni kesatuan umat
beriman dengan Tuhan dan sesama. Meskipun banyak, ummat disatuka oleh
Tubuh Kristus yang satu dan sama. Adapun rincian dari bagian ini adalah Bapa
kami, embolisme, aklamasi, doa damai, salam damai, Agnus Dei, ajakan
menyambut komuni, penerimaan komuni, hening, madah syukur, dan doa sesudah
komuni.
Setelah Liturgi Ekaristi berakhir, maka Perayaan Ekaristi diakhiri dengan
Ritus Penutup. Ritus Penutup dimaknai dengan kehadiran Tuhan yang mengutus
Gereja dan yang menyertai dengan berkat-Nya. Tujuannya adalah menyampaikan
berkat Tuhan kepada seluruh umat beriman sebagai kekuatan atau bekal dalam
menjalankan perutusan Gereja di tengah dunia. Ritus Penutup terbagi lagi menjadi
39
beberapa rincian kecil, yaitu pengumuman, berkat Tuhan, pengutusan, kemudian
diakhiri dengan perarakan meninggalkan altar (diiringi lagu penutup).
C. Tahapan-tahapan Inkulturasi
Menurut pandangan P. schineller, yang dikutip oleh Martasudjita dalam
bukunya yang berjudul “Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah, dan Teologi Liturgi”,
inkulturasi dalam liturgi dibagi ke dalam 4 tahapan, yaitu: pengambilalihan,
penerjemahan, pengesuaian, dan yang terakhir inkulturasi.22
1. Tahap pertama: pengambilalihan
Pengambilalihan (imposition) sebenarnya belum termasuk dalam
tahap inkulturasi liturgi. Manum dengan hal tersebut dimaksudkan bahwa
teologi dan liturgi asing dipakai dan digunakan begitu saja secara utuh di
daerah lain. Misalnya saja liturgi Eropa dirayaka persis dan lengkap menurut
tatacara dan bahasa aslinya tanpadisesuaikan dan diubah sama sekali.
2. Tahapan kedua: penerjemahan
Dengan penerjemahan sebuah tahap inkulturasi sudah dimulai
walaupun menurut tahapnya yang paling tipis dan sederhana. Dalam tahap ini
terjadi penerjemahan teks liturgi dan bahasa asli (Latin) ke bahasa pribumi.
Dengan pemakaian bahasa pribumi ini, biasanya liturgi secara otomatis juga
mengalami beberapa penyesuaian, karena bahasa merupakan bagian dalam
kebudayaan manusia sehingga bahasa juga mengungkapkan aneka aspek
pemahaman akan kehidupan bangsa itu. Di Indonesia, ada beberapa teks
22
Martasudjuta, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, h: 85-89.
40
liturgi, baik itu doa maupun nyanyian, yang secara praktis diterjemahkan
begitu saja tanpa penyesuaian sedikitpun. Hal ini baik dilakukan, namun tentu
saja belum memadai bagi suatu usaha inkulturasi yang benar-benar hidup.
3. Tahapan ketiga: penyesuaian
Pada umumnya, tahap penyesuaian (adaptation atau accomodatoi)
dipandang sebagai suatu langkah yang jauh lebih maju dibandingkan dengan
tahap penerjemahan. Dalam Konsili Vatikan II, tahap penyesuaian ini
biasnaya disebut dengan istilah aptatio, namun kiranya istilah aptatio tersebut
digunakan dalam arti yang sama dengan adaption (ad-aptatio) atau
accomodatio. Tahap penyesuaian ini diatur dalam Sacrosanctum Concilium
art. 37 – 39.
Pada tahap ini suatu perubahan dan penyesuaian tertentu dengan
kondisi dan budaya setempat diizinkan, namun ada batasnya. Sebagai contoh
dapat dilihat dalam SC 39:
Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan autentik
buku-buku liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang,
seperti disebut dalam art. 22 (2), berhak untuk merinci
penyesuaian-penyesuaian, terutama mengenai pelayanan
Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa liturgi, nusik
Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar
yang terdapat dalam Konstitusi ini.
Dalam tahap ini sudah sangat dimungkinkan masuknya unsur-
unsur budaya setempat kedalam liturgi, dengan catatan: asal selaras dengan
hakikat semangat liturgi yang sejatu dan asli (SC 37). Unsur-unsur budaya
setempat ini bisa digunakan untuk mengganti atau menjelaskan unsur-unsur
upacara atau doa Ritus Romawi. Contoh tahap penyesuaian liturgi di
41
Indonesia adalah tari-tarian pada prosesi awal dan persembahan, sungkeman
dalam liturgi perkawinan dan tahbisan, penggunaan gong dalam konsekrasi,
pengembangan lagu-lagu liturgis yang diwarnai dan dijiwai budaya setempat,
penggunaan alat musik daerah dalam liturgi, penggunaan pakaian adat dalam
liturgi, dan lain-lain.
4. Tahap keempat: inkulturasi
Tahap keempat ini merupakan tahap yang paling puncak. Dalam
tahap ini, penyesuaian liturgy tidah hanya sekedar penyeuaian fisik terhadap
budaya setempat dalam beberapa bagian saja. Inkulturasi sejati justru bertolak
dari budaya setempat. Apabila dilihat dari bentunya, budaya tersebut tidak
berubah, namun menurut isinya, budaya tersebut kemudian diterangi atau
dimaknai oleh iman Kristiani. Oleh karena itu, liturgy yang baru tersebut
memiliki struktur dan budaya yang khas menurut budaya setempat sekaligus
bermakna Kristiani. Kaidah-kaidah inkulturasi tesebut diatur dalam SC 40.
Dalam SC 40, istilah yang digunakan bukanlah inkulturasi melainkan
penyesuaian liturgy secara lebih mendalam, ada tiga keuntungan yang
dikemukakan dalam SC 40 ini, yaitu:
(1) Hehdaknya pemimpin gerejawi setempat yang berwenang,
seperti disebut dalam art. 22 (2), dengan tekun dan bijaksana
mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi dan cirri
khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu
sebaiknyaditampung dalam ibadat ilahi. Penyesuaian-penyesuaian
yang dianggap berfaedah atau memang perlu, hendaknya diajukan
kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan
dalam Liturgi.
(2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan
seperlunya, maka Takhta Apostolik akan member wewenang
kepada pimpinan gereja setempat, untuk – bila perlu – dalam
beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang
42
terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen
pendahuluan yang diperlukan.
(3) Ketetapan-ketetapan tentang Liturgi biasanya menimbulkan
kesulitan-kesulitan khas mengenai penyesuain, terutama di daerah-
daerah Misi. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan itu
hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan.
Dalam hal ini, berbagai bentuk inkulturasi dalam liturgy sama
sekali tidak dilarang, namun tentu saja harus mengikutu kaidah-kaidah yang
telah ditetapkan oleh Takhta Suci dan diawasi oleh para pemimpin Gereja
setempat. Atau jika diperlukan, Gereja setempat dapat menyediakan ahli-ahli
dalam bidang inkulturasi liturgy tersebut.
Dari keseluruhan bagian dalam Perayaan Ekaristi, ada beberapa
bagian yang memberikan peluang untuk masuknya kebudayaan umat setempat
dalam Perayaan Ekaristi. Misalnya saja dalam ritus pembuka maupun ritus
penutup. Dalam perarakan dapat menggunakan unsur kebudayaan daerah
berupa tarian, nyanyian maupun iringan musik. Kendati demikian, ada kaidah-
kaidah umum yang memang harus dipenuhi sehubungan dengan jalannya
inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi. Kaidah-kaidah umum tersebut
diungkapkan secara jelas dalam Sacrosanctum Concilium. Salah satunya
mengenai wewenang untuk mengatur liturgy yang semata-mata ada pada
pimpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada
Uskup (SC art. 22). Selain itu diungkapkan juga mengenai tradisi dan
perkembangan yang ada dalam Gereja:
Supaya tradisi yang sehat dipertahankan, namun dibuka jalan juga
bagi perkembangan yang wajar, hendaknya selalu diadakan lebih
dahulu penyelidikan teologis, historis dan pastoral yang cermat
tentang setiap bagian Liturgi yang perlu ditinjau kembali. Kecuali
itu hendaklah dipertimbangkan baik patokan-patokan umum tentang
43
susunan dan makna Liturgi, maupun pengalaman yang diperoleh
dari pembaharuan Liturgi belakangan ini serta dari izin-izin yang
diberikan di sana-sini. Sedapat mungkin hendaknya dicegah juga,
jangan sampai ada perbedaan- perbedaan yang mencolok dalam
upacara-upacara di daerah-daerah yang berdekatan.
Dalam suatu bingkai aggiornamento, Konsili Vatikan II member
tempat pada kaidah-kaidah perihal penyesuaian dengan tabiat peranyai dan
tradisi bangsa-bangsa (bdk. SC 37-40). SC 37 memberi penegasa prinsip
Gereja berhadapan dengan pluralitas, termasuk dalam liturgy. Dengan kata
lain, Gereja mengambil sikap hormat dan menyokong kekayaan cultural dari
segenap masyarakat.
“Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan
segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak mengharuskan suatu
keseragaman yang kaku. Sebaliknya, Gereja memelihara dan memajukan
kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat
dan kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terkait pada takhyul atau
ajaran sesat, oleh Gerja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin
dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja
menampung dalam Liturgi sendiri, asal saja selaras dengan hakikat semangat
Liturgi yang sejati dan asli” (SC 37). Kutipan tersbut dilengkapi dalam SC 40
yang mengafirmasi kriteria penting dan mendesaknya pembaruan Liturgi
secara mendalam. Dengan demikian terkait dengan kaidah cultural, gereja
menempatkan aspek kesadaran dan partisipan aktif umat beriman sebagai
kriteria awal dalam usaha member penghargaan pada budaya masing-masing
jemaat.
44
Dalam SC 38-39, seraya mempertahankan prinsip kesatuan hakiki
dengan ritus Romawi, konsili member tempat kepada kemajemukan bentuk
dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa,
terutama di daerah-daerah Misi. Terkait dengan kebijakan ini, Konsili pun
memberikan tempat pada dimungkinkannya penyesuaian-penyesuaian,
terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan,
bahasa Liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-
kaidah dasar yang terdapat dalam SC.
Pada kenyataanya, contoh-contoh inkulturasi liturgi yang terjadi
menurut tahap ini tidah banyak, misalnya saja: liturgi Ekaristi ritus Zaire dan
ritus India. Selain itu contoh inkulturasi liturgy yang sangat jelas dapat dilihat
pada zaman Gereja Perdana, menggunakan unsur dan struktur upacara agama
Yahudi tersebut mendapat arti dan nilai baru, karena dipandang menurut
terang misteri Kristus.
45
BAB IV
ANALISIS INKULTURASI MISA SYUKUR TAHUN BARU IMLEK GEREJA
KATOLIK SANTO BARNABAS PAMULANG
A. Analisis terhadap Inkulturasi Budaya dalam Misa Tahun Baru Imlek
Perayaan Ekaristi adalah perayaan kehadiran Tuhan Yesus dan seluruh karya
penebusan-Nya secara sakramental dalam Gerejanya.Istilah Ekaristi berasal dari kata
Yunani eucharistia, yang merupakan terjemahan untuk kata Yahudi berakah, yakni
puji syukur dan permohonan atas karya penyelamatan Allah.1
Misa adalah perayaan ekaristi dalam ritus liturgi Barat dari Gereja Katolik
Roma, Gereja Ortodoks Ritus Barat, tradisi Anglo-Katolik dalam Greja Anglikan,
dan beberapa Gereja Lutheran. Di Negara-negara Baltik dan Skandinavia,
ibadahekaristi Gereja Lutheran juga disebut Misa.2
Perayaan misa umumnya dilakukan pada hari Minggu maupun pada hari-
harilain yang merupakan perayaan besar dalam Gereja. Berhimpun pada hariMinggu
untuk merayakan perayaan ekaristi/misa kudusmerupakan sebuahkebiasaan orang
Kristen yang mengikuti tradisi para rasul yang berpangkal padahari kebangkitan
Kristus sendiri. Tradisi ini menjadi suatu kebiasaan bagi umatKatolik sampai
sekarang.
1 Martasudjita, “Inkulturasi Ekaristi dan Devosi Ekaristi” dalam Prasetyantha, Ed., Ekaristi
dalam Hidup Kita (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 12. 2https://id.m.wikipedia.org/wiki/Misa. diakses pada 1 agustus 2017.
46
Dalam pelaksanaan Misa Inkulturasi, Hal-hal yang pokok dan tidak pokok
perlu diperhatikan.Untuk yang pokok Gereja selalu berusaha untuk
mempertahankannya sedapat mungkin. ((LRI no. 36: “Penyesuaian liturgi itu
haruslah „mempertahankan kesatuan hakiki ritus romawi.‟ Kesatuan hakiki ini biasa
diungkapkan dalam buku-buku editio typica, yang diterbitkan dengan kewibawaan
Bapa Suci, dan dalam buku-buku liturgi yang disahkan oleh Konferensi Waligereja
untuk wilayah yang bersangkutan dan dikukuhkan oleh Takhta Suci. Karya
inkulturasi tidak berarti menuntut diciptakannya rumpun liturgi baru; inkulturasi
menanggapi kebutuhan-kebutuhan budaya setempat dan mengarah ke penyesuaian-
penyesuaian yang masih tetap berada dalam kesatuan dengan Ritus Romawi.”Lihat
juga amanat yang diberikan oleh Yohanes Paulus II kepada para peserta Sidang Pleno
Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen, 26 Januari 1991, no. 3.))Sedangkan
untuk hal-hal yang tidak pokok terdapat kemungkinan-kemungkinan penyesuaian
yang lebih besar.Yang disebut pokok adalah hal-hal penting dan sekaligus inti dalam
setiap perayaan liturgis.Hal-hal itu tidak dapat dihilangkan karena merupakan
“materia dan forma sacramenti” yang menjamin sahnya perayaan liturgis dan juga
menjamin keutuhan iman yang diakui oleh Gereja universal. ((Presidium KWI dalam
rapatnya tgl 14-16 Januari 2003 merumuskan sikapnya mengenai Ekaristi sebagai
berikut: “Dalam hal-hal pokok kita perlu mengikuti ketentuan Gereja universal, tetapi
dalam hal-hal yang tidak pokok kita tidak usah bersikap kaku mengingat adanya
aneka perbedaan budaya dan bangsa. Bahkan di Indonesia sendiri ada kebhinekaan
yang amat besar”. Ketika mendiskusikan pengertian dari “hal pokok” dan “tidak
47
pokok”, para anggota Dewan Inti Komisi Liturgi KWI akhirnya menyepakati
beberapa unsur yang menjadi ciri dari hal yang pokok dan tidak pokok.
Arti Yang Pokok:
a. Unsur yang harus ada dan tidak dapat dihilangkan atau digantikan.
b. Unsur yang mampu menjaga persatuan gereja. Mempertahankan atau memelihara
unsur itu akan menjamin atau menjadi suatu tanda persatuan Gereja, sebaliknya
mengabaikan unsur itu akan merongrong kesatuan iman.
c. Unsur yang menjamin kontak hidup dengan Kristus Tuhan dan Pengantara,
berarti unsur tersebut menjamin relasi dan komunikasi dengan Allah Tritunggal
dan para kudus.
d. Sakralitas yaitu keseluruhan suasana perayaan yang memungkinkan para peraya
mengalami kehadiran Allah yang kudus dan karya-karya-Nya yang menguduskan.
e. Partisipasi atau keterlibatan dalam perayaan.
f. Forma dan materia sakramen yang menjamin syahnya suatu perayaan liturgi.
g. Unsur yang langsung berkaitan dengan ajaran resmi Gereja (magisterium)
universal.
Hal-hal pokok yang dimaksudkan oleh dokumen-dokumen Gereja adalah:
a. Dalam hal isi perayaan: Misteri Paskah.
b. Dalam hal siapa yang bertindak: Allah Tritunggal (Bapa, Putera, Roh Kudus) dan
Gereja: Imam dan umat.
48
c. Dalam hal tindakan: yang menjadi tindakan Allah paling pokok adalah
menguduskan, menyelamatkan (forma sacramenti). Sedangkan tindakan umat
paling pokok adalah bersyukur.
d. Dalam hal peralatan atau bahan atau benda (materia sacramenti): yang paling
penting untuk dapat melaksanakan tindakan pokok (teks Kitab Suci, teks Doa
Syukur Agung, roti dan anggur, atau air untuk pembaptisan).
e. Dalam hal bagian-bagian perayaan (khususnya Ekaristi): Liturgi Sabda dan
Liturgi Ekristi. Liturgi Sabda sebagai “bagian” pokok tidak dapat dihilangkan
atau diganti (misalnya dengan kegiatan devosional: doa rosario, jalan salib).
Demikian pula Liturgi Ekaristi tidak dapat dihilangkan atau diganti dengan
kegiatan lain karena merupakan bagian pokok.
f. Dalam hal unsur: misalnya pemakluman Sabda Tuhan dari Kitab Suci tidak dapat
diganti dengan bacaan non biblis. Unsur Doa Syukur Agung juga tidak dapat
dihilangkan karena merupakan unsur pokok.
Di samping hal-hal pokok terdapat hal-hal yang tidak pokok yaitu:
a. Dalam hubungan dengan isi perayaan: aspek-aspek tambahan dari kehidupan
orang kudus/mati maupun orang yang masih hidup (misalnya hari ulang tahun
kelahiran).
b. Dalam hubungan dengan siapa yang bertindak dalam perayaan: petugas-petugas
khusus yang lain, misalnya penyanyi solo, pembawa bahan persembahan.
49
c. Dalam hubungan dengan tindakan: ada kegiatan yang bersifat fakultatip misalnya
perarakan dengan pedupaan atau pernyataan damai. Tergantung pada tingkat
perayaan.
d. Dalam hal peralatan atau bahan: misalnya dalam perayaan Ekaristi ada bahan-
bahan tambahan seperti buah-buahan yang dibawa waktu perarakan persembahan.
e. Dalam hal bagian-bagian perayaan Ekaristi: Ritus Pembuka dan Ritus Penutup.
Pada kesempatan tertentu Ritus Pembuka dapat diganti dengan kegiatan liturgis
lain seperti pada Hari Minggu Palma atau pada Hari Jumad Agung. Demikian
pula Ritus Penutup seperti pada Hari Kamis Putih ketika merayakan kenangan
akan Perjamuan Tuhan. Dalam perayaan Ekaristi Pemakaman, setelah komuni,
Ritus Penutup dihilangkan dan diganti dengan pemberkatan jenasah dan
perarakan menuju tempat pemakaman.
f. Dalam hubungan dengan unsur perayaan. Perlu dibedakan “bagian” dan “unsur”
perayaan. Sebagai bagian, Liturgi Sabda tidak dapat diganti. Tetapi unsur tertentu
dari Liturgi Sabda dapat dihilangkan misalnya “Syahadat” atau “Doa Umat” pada
hari biasa.
Selain itu, ada juga yang harus diperhatikan terkait pelaksanaan Misa Syukur
Tahun Baru Imlek. Sebab, tahun baru imlek yang biasa jatuh pada bulan Februari
berdekatan dengan Hari Paskah yang merupakan hari besar bagi umat Kristiani. Maka
dari itu ada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Keuskupan oleh umat Paroki
yang ingin mengikuti Misa Imlek: berikut kebijakan yang dikeluarkan oleh
Keuskupan Agung Jakarta tahun 2015terkait perayaan imlek:
52
B. Makna Misa Syukur Tahun Baru Imlek Bagi Gereja Santo Barnabas
Pamulang
Pada hari Jumat 16 Januari 2018 lalu, warga keturunan Tionghoa merayakan
hari raya tahun baru Imlek 2569. Kata “Imlek” berasal dari dialek Hokkian yang
berarti kalender bulan. Perayaan Imlek berlangsung selama 15 hari sampai dengan
hari raya cap go meh, yang tahun ini akan jatuh pada tanggal 2 Maret 2018.
Hari raya Imlek dikenal juga dengan sebutan chunjie yang artinya pesta
musim semi.Hari raya Imlek merupakan pesta rakyat untuk menyambut musim
semi.Hari raya ini lekat dengan berbagai tradisi seperti bersih-bersih rumah, dekorasi
rumah dengan berbagai pernak-pernik Imlek, serba merah, santapan malam Imlek,
pagelaran barongsai dan tentu saja bagi-bagi angpao.Yang pasti hari raya Imlek
merupakan saat di mana seluruh anggota keluarga bertemu, bersilaturahmi, dan saling
berbagi.Mereka saling memberi ucapan selamat dengan pengharapan agar di tahun
yang baru segala hal dapat berjalan dengan sukses.
Pada tahun 1946 Presiden Soekarno menetapkan hari raya Imlek sebagai hari
libur di samping Ceng Beng serta hari lahir dan wafatnya Khonghucu. Namun
kondisi berbalik setelah Orde Baru.Pada tahun 1967 Presiden Soeharto melarang
perayaan kebudayaan Tionghoa termasuk Imlek dengan Inpres Nomor 14.Selama 33
tahun warga keturuan Tionghoa tidak bisa merayakan Imlek secara terbuka sampai
saat Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 tahun
1967 tersebut.Pada bulan Februari 2002 Presiden Megawati Soekarnoputri
53
mengumumkan bahwa mulai tahun 2003 Imlek menjadi hari libur nasional hingga
saat ini.
Angin segar yang dihembuskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid ternyata
juga merambah ke gereja-gereja Katolik. Meskipun secara liturgi masih menimbulkan
pro dan kontra, Misa Syukur Imlek dirayakan di banyak paroki di Keuskupan Agung
Jakarta.Tentu saja keputusan menerima Yesus Kristus sebagai Sang Juruselamat tidak
serta-merta menghilangkan hak untuk merayakan Imlek, terutama karena tradisi
Imlek juga menawarkan nilai-nilai luhur yang tidak bertentangan dengan iman
Katolik.Tidak ada salahnya apabila dengan merayakan Misa Syukur Imlek umat
beriman menjadi semakin dekat dengan Kristus.Oleh sebab itu, umat beriman perlu
mempertimbangkan berbagai aspek ketika merayakan Misa Syukur Imlek, agar
jangan sampai perayaan yang luhur ini hanya semacam euforia belaka dengan
permenungan dan pemahaman yang sempit.
Pada Sabtu, 24 Februari 2018 lalu Umat Katolik di Paroki Santo Barnabas
Pamulang mengikuti Misa Syukur Tahun Baru Imlek yang dipimpin empat orang
pastor dan dihadiri lebih dari 1.000 umat. Nuansa Tahun Baru Imlek semakin terasa
dengan berbagai hiasan lampion.Misa syukur berlangsung sekitar dua jam.Usai misa
syukur, umat mendapat kue keranjang dan jeruk sebagai simbol berkat Tuhan.Acara
pun dilanjutkan dengan makan bersama.
Terkait mengapa gereja merayakan Imlek bahwa Gerja adalah rumah
bersama. Bukan hanya rumah orang Flores, Jawa, Batak, Medan, Padang, Makassar
atau Papua. Meski orang-orang tersebut memiliki budaya beragam, namun tetap
54
sebagai anak-anak Allah, yang diciptakan satu dan sama. Untuk itu Gereja menerima
semua budaya apapun termasuk Tionghoa.
Sejak tahun 2005 Paroki Santo barnabas telah mengikuti Misa Inkulturasi
yang pada mulanya hanya melibatkan budaya Jawa yang dilakukan dengan iringan
gending Jawa. Namun kemudian ditambah dengan Misa Perayaan Imlek bersama
umat Tionghoa, dan ditambah dengan budaya Batak serta Flobamora (Flores, Sumba
dan Timur).
Misa Inkulturasi di Paroki Santo Barnabas diwujudkan dalam berbagai cara,
seperti: pemilihan lagu-lagu yang digunakan, bahasa, alat musik pengiring, arak-
arakan pada awal misa, arak-arakan persembahan dan sebagainya. Misa ini
sebetulnya lebih mengarah pada perayaan simbois partisipatif untuk menyapa dan
saling menghargai.Misa Inkulturasi ini tidak termasuk pada nilai-nilai suatu budaya,
misa ini tetap menggunakan liturgi dan bacaan pada hari itu.
Jika kita membaca teks liturgi Misa Syukur Imlek yang telah disetujui oleh
Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia, ada pilihan bacaan pertama
terutama dalam Masa Prapaskah yang diambil dari Kitab Keluaran (Kel 12:1-5,14).
Teks ini berbicara tentang ketetapan perayaan Paskah bagi bangsa Yahudi. Ada tiga
hal dalam ketetapan Paskah Yahudi yang mirip dengan tradisi Imlek, meskipun
secara teologis tentu saja kedua pesta ini berbeda:3
Lewat – TUHAN bersabda apabila Dia melihat darah anak domba pada tiang
pintu dan ambang atas rumah orang-orang Yahudi, Dia akan “lewat”. Dari sinilah
3
55
asal kata Paskah yang berasal dari kata Ibrani “pesach” yang berarti lewat. Allah akan
melewati bangsa Mesir dan membebaskan bangsa Yahudi dari perbudakan untuk
dibawa ke Tanah Terjanji sebagai bangsa yang merdeka. Ucapan selamat yang umum
dalam merayakan Imlek adalah guonian, yang berarti melewati tahun.Maka
merayakan Misa Syukur Imlek adalah saat dimana umat beriman berkumpul bersama
dan bersyukur kepada Tuhan karena telah melewati satu tahun penuh dengan suka
dan duka, dan sekaligus juga mempersiapkan diri menyambut tahun yang baru.
Makan – Perayaan Paskah Yahudi pada dasarnya adalah sebuah
perjamuan.Apabila sebuah keluarga Yahudi tidak dapat menyantap habis seekor anak
domba, mereka dapat mengajak tetangga terdekat.Pada saat itulah terjadi komunikasi
yang intim antara manusia dengan sesamanya.Imlek juga adalah momentum di mana
seluruh anggota keluarga berkumpul untuk santap bersama.Di zaman modern ini
santap bersama keluarga merupakan kesempatan langka, maka alangkah indahnya
memanfaatkan santap Imlek untuk meningkatkan cinta kasih dan saling berbagi di
antara sesama anggota keluarga.Rasa cinta kasih dan saling berbagi ini juga ditandai
dengan pemberian angpao.
Merah – Warna merah dari darah anak domba menjadi pertanda agar TUHAN
tidak mendatangkan bencana dan melewati rumah-rumah orang Yahudi.Warna merah
mendominasi perayaan Imlek.Bagi orang Tionghoa warna merah melambangkan
kekuatan, kesejahteraan, dan keberuntungan.Menurut tradisi, warna merah ini dapat
mengusir makhluk buas bernama Nian yang keluar pada saat musim semi dan
56
mengganggu manusia.Tidak heran mengapa orang-orang Tionghoa menghiasi rumah
dan menggunakan pakaian serta aksesoris berwarna merah pada hari raya Imlek.
Hal lain yang tidak dapat diabaikan adalah tradisi bersih-bersih rumah
menjelang hari raya Imlek. Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, membersihkan
rumah berarti membuang segala yang “sial” yang dapat menghalangi datangnya
keberuntungan.Maka, merayakan hari raya Imlek terutama dipersiapkan dengan
memeriksa batin dan bertobat. Kerap terjadi hari raya Imlek jatuh pada Masa
Prapaskah atau bahkan bertepatan dengan hari raya Rabu Abu. Maka, penghayatan
akan tradisi bersih-bersih ini justru semakin mendalam dengan penghayatan akan
makna Prapaskah dan Rabu Abu.
Selayaknya misa syukur Imlek dirayakan dengan kesederhanaan.Boleh saja
gereja dihiasi dengan pernak-pernik Imlek, namun jangan sampai berlebihan sehingga
menimbulkan kesan bahwa “gereja disulap menjadi kelenteng”.Hiasan-hiasan
tersebut jangan sampai mengalihkan perhatian umat dari Kristus yang menjadi pusat
perayaan misa syukur Imlek.
57
BAB V
KESIMPULAN
Perayaan Ekaristi merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari Gereja. Bahkan
lebih dari itu, Perayaan Ekaristi dipahami sebagai sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani.
Selain itu, iman Gereja terungkap secara tampak dalam Perayaan Ekaristi. Dengan demikian
dapat ditegaskan bahwa Gereja menandang Perayaan Ekaristi sebagai sesuatu yang penting dan
harus sungguh-sungguh dapat diterima dan dipahami, untuk kemudian dihayati oleh umat. Oleh
karena itu, Gereja telah mengusahakan suatu cara agar Perayaan Ekaristi mampu menyentuh inti
hidup umat yang paling dalam, yaitu dengan adanya inkulturasi.
Setiap usaha inkulturasi selalu merangkul unsur budaya setempat. Selain itu, Injil Yesus
Kristus diwujudnyatakan melalui budaya umat setempat secara terus menerus, sehingga
mengakar di dalam kehidupan umat. Melalui inkulturasi, unsur-unsur budaya umat setempat
dirangkul, dimaknai dan dijiwai oleh Injil Yesus Kristus. Inkulturasi bukanlah suatu proses yang
singkat karena inkulturasi berlangsung terus meneris dan senantiasa mengikuti perkembangan
umat sesuai dengan konteks zamannya. Proses yang terjadi terus menerus ini akan membuat
umat semakin mengimani Injil Yesus Kristus dalam kebudayaan bahkan mampu menjadi
identitas bagi umat di satu wilayah tertentu karena telah menjadi satu dengan hidup umat.
Dengan demikian, Perayaan Ekaristi yang inkulturatif akan semakin mampu untuk memahami
dan menghayati makna Perayaan Ekaristi dalam aspek kehidupannya.
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Paroki Santo Barnabas Pamulang, penulis
menemukan beberapa hal yang kiranya dapat dijadikan jawaban dari pertanyaan yang terdapat
dalam perumusan masalah dalam skripsi ini. Tata Perayaan Ekaristi misa dalam misa syukur
tahun baru imlek tetap mengacu pada TPE yang telah dirumuskan dengan memperhatikan hal-hal
58
yang pokok dan tidah pokok dalam Ekaristi. Salah satu makna yang terkandung dalam peryaan
misa syukur tahun baru imlek yaitu tradisi bersih-bersih rumah menjelang hari raya Imlek.
Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, membersihkan rumah berarti membuang segala yang
“sial” yang dapat menghalangi datangnya keberuntungan.Maka, merayakan hari raya Imlek
terutama dipersiapkan dengan memeriksa batin dan bertobat. Kerap terjadi hari raya Imlek jatuh
pada Masa Prapaskah atau bahkan bertepatan dengan hari raya Rabu Abu. Maka, penghayatan
akan tradisi bersih-bersih ini justru semakin mendalam dengan penghayatan akan makna
Prapaskah dan Rabu Abu.
59
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Iman. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta: Bumi
Aksara, 2013.
Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika, 2012.
Komisi Liturgi MAWI. Bina Liturgia I: Inkulturasi. Jakarta: Obor, 1985.
Komisi Liturgi KAWI. Tata Perayaan Ekaristi, Jakarta 2015.
Mahjunir. Antropologi Kebudayaan. Jakarta: T.p. , 1965.
Martasudjita.“Inkulturasi Ekaristi dan Devosi Ekaristi” dalam Prasetyantha, Ed.,
Ekaristi dalam Hidup Kita.Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Martasudjita.Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Martasudjita. Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teoligi Liturgi.
Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999.
Muda, Hubertus. Inkulturasi. Ende – Flores: Pustaka Misionalia Candraditya,
1992.
Nyoman. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora
Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Paroki Santo Barnabas Pamulang. Oleh-oleh Napak Tilas: Meneladani
Spiritualitas Gembalayag Maha Baik Melalui Pelayaan S3Hati.
Tangerang: T.p., 2013.
Pier, Karl-Edmund. Inkulturasi Musik Liturgi. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi,
1999.
Pr, F.X. Sugiyana. Credo Syahadat Iman. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
S.J., Yustinus Rumanto. Aeka Ibadat Kristiani. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2009.
60
Tarigan, Pr. J. dan Johan Suban Tukan, Inkulturasi Budaya Tionghoa dalam
Gereja Katolik. Jakarta, 2007.
Wulung, F.X. Heryatno Wono. Katekese sebagai Momen Penting Inkulturasi
dalam Katekese pada Milenium III: Quo Vadis?.Yogyakarta: Universitas
Santa Dharma, 2000.
WEBSITE
http://www.katolisitas.org/penyesuaian-dan-inkulturasi-liturgi/diaksespadatangga
4 Mei 2018
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Misa. diaksespada 1 agustus 2017.
https://yesusandalanku.wordpress.com/iman/pokok-pokok-ajaran-katolik-
1/disksespadatanggal 26 Juli 2018