8
II.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lahan
Istilah lahan dapat didefinisikan sebagai bagian daratan atau suatu wilayah yang
terdapat di permukaan bumi, meliputi semua bagian biosfer yang dapat dianggap tetap
ataupun bersifat siklis yang terdapat di atas dan di bawah wilayah tersebut, yaitu tanah,
batuan induk, relief, hidrologi, hewan dan tumbuhan, atmosfer, , dan segala akibat yang bisa
muncul oleh aktivitas manusia baik di masa yang lalu maupun sekarang; yang
keseluruhannya dapat berpengaruh terhadap penggunaan lahan yang dilakukan oleh
manusia baik pada saat sekarang maupun di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973;
dan FAO, 1976).
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa lahan mempunyai cakupan yang lebih luas dari
pada tanah (soil), atau dengan kata lain tanah merupakan bagian dari lahan. Sedangkan
tanah sendiri bermakna sebagai benda alami yang mempunyai tiga dimensi (yaitu panjang,
lebar, dan tinggi) yang terdapat di permukaan kulit bumi di bagian atas dan memiliki sifat
yang berbeda dari lapisan yang ada di bawahnya sebagai hasil kerja interaksi antara iklim,
bahan induk, relief dan kegiatan organisme selama masa tertentu (Arsyad, 1989).
2.2 Lahan sebagai Sumberdaya
Rees (1990) diacu oleh Fauzi (2004), menyampaikan bahwa sesuatu untuk dapat
disebut sebagai sumberdaya harus: 1. ada pengetahuan, keterampilan untuk
memanfaatkannya atau teknologi dan 2. pada sumberdaya tersebut harus ada permintaan
(demand). Definisi sumberdaya terkait dengan kegunaaan atau usefulness, baik untuk masa
sekarang maupun masa mendatang bagi umat manusia.
Sumberdaya dalam pengertian umum adalah sesuatu yang dapat dipandang
mempunyai nilai ekonomi. Dapat pula disebut bahwa sumberdaya merupakan komponen
9
dari ekosistem yang menyediakan baik barang maupun jasa yang berguna bagi kebutuhan
manusia. Sumber daya alam digolongkan menjadi dua golongan. Yang pertama adalah
sumberdaya alam yang terbarukan sedangkan golongan kedua adalah sumberdaya alam
yang tidak terbarukan. umberdaya yang terbarukan (renewable) disebut juga kelompok stok.
Sumberdaya alam yang tidak dapat terbarukan atau juga sering disebut dengan sumber
daya yang dapat habis (depletable) adalah sumberdaya alam yang tidak mempunyai
kemampuan untuk regenerasi secara biologis. Sumberdaya alam semacam ini dibentuk
dengan melewati proses geologi, sehingga memerlukan waktu sangat lama agar dapat
dijadikan sebagai sumberdaya alam yang siap pakai atau siap diolah. Eksploitasi terhadap
sumberdaya ini akan menghabiskan cadangan sumberdaya. Apa yang kita manfaatkan
sekarang tidak mungkin lagi tersedia di masa mendatang. Kelompok sumberdaya yang ke
dua adalah sumberdaya yang terbarukan (renewable). Sumberdaya ini juga disebut dengan
“flows”. Pada jenis sumberdaya ini jumlah kuantitas fisik berubah sepanjang waktu. Berapa
banyak jumlah sumberdaya yang dimanfaatkan sekarang, bisa berpengaruh ataupun tidak
pada ketersediaaan sumberdaya di masa mendatang. Pada kelompok sumberdaya ini ada
yang regenerasinya bergantung pada proses biologi ada yang tidak.
Lahan mempunyai produktifitas untuk dapat menghasilkan bahan nabati, dan dari
hasil bahan nabati selanjutnya dihasilkan bahan hewani. Lahan mempunyai daya tumpu,
sebagai bahan mentah pembuatan aneka barang, mempunyai daya serap terhadap cairan.
Disamping itu lahan merupakan penyalur sebagian air hujan untuk mengisi air lahan
sehingga lahan merupakan sumber daya serba guna yang dapat memenuhi kebutuhan
kebendaan serta kejiwaan dan juga menjadi penyangga sumber daya lain. Oleh karena itu
lahan memenuhi kriteria sebagai sumberdaya, maka istilah sumberdaya lahan (land
resource) dapat digunakan.
Daya dukung lahan semakin menurun dengan meningkatnya penduduk yang cepat.
Dalam upaya memuaskan kebutuhan ataupun keinginan manusia yang senantiasa
10
berkembang juga untuk memacu pertumbuhan ekonomi, pengelolaan terhadap sumberdaya
lahan seringkali menjadi kurang bijaksana dan tidak lagi mempertimbangkan aspek
keberlanjutannya (hanya untuk jangka pendek) sehingga kelestarian daya dukung lahan
menjadi terancam. Tanah sebagai sumberdaya alam sebenarnya mempunyai sifat tidak
dapat diperbaharui. Oleh karena itu sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi akan
berkurang dan manusia menjadi semakin bergantung pada sumberdaya lahan marginal
(kualitas lahan rendah). Ini berimplikasi pada semakin menjadi berkurangnya ketahanan
pangan, intensitas dan tingkat pencemaran yang berat juga kerusakan lingkungan lainnya.
Sebagai akibatnya, secara keseluruhan aktifitas kehidupan menjadi cenderung mengarah
pada sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung lahan yang
menurun. Di sisi lain, permintaan terhadap sumberdaya lahan senantiasa meningkat
sebagai akibat tekanan pertambahan penduduk dan juga peningkatan konsumsi per kapita.
2.3 Kondisi Biofisik Dataran Tinggi.
Dataran tinggi memiliki tanah dalam pengaruh aktivitas gunung berapi, baik yang
masih aktif maupun tidak. Daerah ini biasa ditanam tanaman sayuran oleh petani dan
merupakan bagian hulu suatu daerah aliran sungai atau disingkat dengan istilah DAS.
Secara umum jenis tanah yang ada yaitu Andisol dan Entisol, biasa ditemui pada ketinggian
1.000 m dpl, serta Inceptisol pada ketinggian 700-1.000 m dpl. Tanah yang terbentuk dari
bahan vulkan ini mempunyai bahan organik dan kandungan fosfor yang tinggi. Pada
umumnya jenis tanah Andisol mempunyai kapasitas tukar kation atau KTK yang tergolong
tinggi. Sifat-sifat fisik tanah Andisol umumnya baik dengan struktur remah atau gembur
(friable) sampai lepas (loose), mempunyai kedalaman tanah (solum) dalam, porositas tinggi
dan drainase baik, kesuburan tanah pada wilayah ini tergolong tinggi.
Dataran tinggi memiliki topografi dengan relief wilayah bergelombang, berbukit sampai
bergunung. Curah hujan pada daerah ini termasuk tinggi yaitu kurang lebih 2000 mm
11
pertahun. Dengan kondisi alami seperti ini daerah dataran tinggi berpotensi terjadi erosi.
Kondisi dataran tinggi dengan curah hujan yang tinggi, temperatur yang cukup sejuk (< 22oC)
merupakan kondisi ideal untuk pertumbuhan tanaman sayuran dataran tinggi. Oleh karena
itu pada umumnya daerah dataran tinggi merupakan sentra produksi tanaman sayuran.
Tabel 2. 1. Sifat fisik dan kimia tanah beberapa daerah hulu (dataran tinggi)
Sifat Tanah
Hydric
Dystrandepts
Segunung-Jabar
Ultric Hapludands
Batulawang-Jabar
Typic Melanudands
Pengalengan-Jabar
Sifat fisik tanah
Berat vol (g cm-3) 0,85 0,80 0.70
Porositas tanah (%
vol)
- 62,1 68,5
Pasir (%) 44 23 27
Debu (%) 37 48 54
Liat (%) 19 29 19
Sifat Kimia tanah
C-organik (%) 5,72 4,2 8,2
N-total (%) 0,68 0,4 0,5
P2O5 (mg 100 g-1) 242 173 -
KTK (me 100 g-1) - - -
Sumber: Undang Kurnia et al. 2000
Pengelolaan lahan pada budidaya tanaman sayuran di dataran tinggi pada umumnya
sederhana dan masih bersifat tradisional, yang dicirikan oleh penggunaan benih ataupun bibit
yang kurang bermutu, sehingga menyebabkan produktivitasnya terus menurun. Dalam
budidaya sayuran, baik yang dilakukan di dataran rendah maupun di dataran tinggi, petani
mengerjakan usahataninya dalam guludan atau bedengan selebar 0,7-1,2 m. Bedengan atau
guludan (raised bed) dibuat agar pelaksanaan penanaman, pemeliharaan, dan panen lebih
mudah. Disamping itu, agar menjaga kondisi aerasi tanah agar tetap baik, di antara guludan
atau bedengan biasanya dibuat saluran drainase atau parit. Pada lahan kering berlereng di
dataran tinggi, bedengan atau guludan umumnya dibuat tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
konservasi tanah yang semestinya. Bedengan atau guludan dibuat memanjang mengikuti
arah lereng, sehingga tanah di dalam bedengan atau guludan mudah tererosi (Gambar 2.1).
12
Gambar 2. 1. Pembuatan bedengan yang searah lereng di dataran tinggi (foto : Lestari, 2010)
2.4 Sistem Bertanam dan Erosi di daerah hulu
DAS Bagian hulu pada umumnya merupakan sentra produksi sayuran, dan budidaya
tanaman sayuran pada lahan yang berlereng curam di DAS bagian hulu seringkali dilakukan
tidak sesuai dengan kaidah konservasi. Petani menanam sayuran dengan bedengan atau
guludan searah dengan kemiringan lahan (kelerengan). Hal tersebut dilakukan karena
petani tidak ingin populasi tanaman berkurang, mudah dalam pemeliharaan, panen dan tidak
menambah tenaga kerja. Penanaman sayuran searah kontur akan mengurangi jumlah
tanaman yang ditanam, lebih sulit dalam pemeliharaan, panen dan memerlukan lebih
banyak tenaga kerja. Sifat tanah dataran tinggi yang remah atau gembur sangat rentan
terhadap terjadinya erosi pada saat musim hujan.
Erosi tanah merupakan peristiwa terangkutnya partikel tanah dari satu tempat
menuju ke tempat lain oleh air maupun angin (Arsyad, 1976). Pada prinsipnya ada tiga
bagian proses yang penyebab erosi yakni 1) pelepasan (detachment) dari partikel tanah, 2)
13
pengangkutan (transportation), dan 3) pengendapan (sedimentation). Erosi mengakibatkan
hilangnya tanah lapisan bagian atas atau top soil dan unsur hara yang sangat berperanan
bagi pertumbuhan tanaman. Erosi oleh air hujan menjadi penyebab utama terjadinya
degradasi lahan di Indonesia.dan daerah tropis lainnya.
Lahan di daerah berlereng (dataran tinggi) mempunyai risiko terkena rerosi lebih
besar daripada lahan di daerah datar (dataran rendah). Ini disebabkan daerah berlereng itu
tidak stabil akibat pengaruh kemiringan, dan air hujan yang jatuh memukul permukaan
tanah. Sedangkan di dataran rendah, massa tanah dalam posisi yang stabil, tetesan air
hujan yang jatuh tidak terus menerus memukul permukaan tanah karena dengan terlindungi
oleh genangan air. Butiran-butiran tanah yang lepas sebagai akibat proses erosi tersebut
akan terangkut oleh air dan dapat menyebabkan pendangkalan saluran drainase baik itu
parit, sungai, maupun danau. Erosi yang telah berlanjut dapat menyebabkan rusaknya
ekosistem. Penanganan ekosistem yang sudah rusak akan memakan waktu yang lama dan
biaya yang mahal
Tabel 2. 2. Jumlah erosi pada lahan pertanaman sayuran berlereng 20% pada berbagai sistem bertanam pada tanah Andisol Batulawang, Cipanas
Perlakuan konservasi tanah Jumlah tanah tererosi (t ha-1)
Buncis Kubis Jumlah
Bedengan searah lereng, panjang 10 m 76,95 23,60 100,55
Bedengan searah lereng, setiap 4,5 m dibuat
teras gulud memotong lereng, ditanami katuk 23,90 16,30 40,20
Bedengan searah lereng, setiap 4,5 m dibuat
teras gulud memotong lereng, ditanami cabai 27,70 18,90 46,60
Bedengan searah kontur 28,60 11,90 40,50
Sumber: Suganda et al. (1997)
Erosi yang terjadi pada lahan sayuran dengan kelerengan 20% pada berbagai sistem
bertanam di Cipanas disajikan pada tabel 2.2. Bedengan searah lereng menyebabkan
kejadian erosi terbesar. Sedangkan bedengan searah lereng disertai pembuatan teras gulud
dan ditanami tanaman penguat teras mampu menurunkan erosi.
14
Penurunan kesuburan lahan karena erosi dalam waktu cukup lama telah berakibat
pada penurunan produktivitas lahan seperti terjadi pada penanaman beberapa tanaman
sayuran di dataran tinggi yang disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2. 3. Penurunan produktivitas sayuran yang ditanam tanpa konservasi
Komoditi Hasil pada tahun (t ha-1) Persen turun
(%) 1998 2002
Kentang 16,6 14,9 10,24
Kubis 22,1 20,9 5,43
Wortel 15,9 15,5 2,52
Sumber : Kurnia dkk. (2002).
Pada umumnya Petani di dataran tinggi tidak menerapkan konservasi lahan dalam
menjalankan usahataninya, oleh karena itu tanah yang hilang dari lahannya cukup besar, dan
berakibat pada menurunnya produktivitas sayuran seperti tertera pada Tabel 2.3. Tanah yang
peka erosi dan aktivitas pertanian yang tidak disertai dengan upaya pengendalian erosi juga
turut mempengaruhi tingkat kehilangan tanah lahan-lahan pertanian terhadap erosi. Tingkat
erosi menjadi semakin tinggi dengan meningkatnya aktifitas penduduk yang membuka lahan-
lahan pertanian tanpa disertai dengan pengelolaan yang benar (Gambar 2.2).
Gambar 2. 2. Erosi yang terjadi di dataran tinggi (foto : Lestari, 2010)
15
Gambar 2. 3. Tanah longsor yang terjadi di dataran tinggi (foto : Lestari, 2010)
2.5 Degradasi Lahan Dataran tinggi
Kekritisan suatu dataran tinggi ditandai dengan terjadinya degradasi lahan.
Degradasi lahan merupakan kemunduran dalam kualitas tanah yang meliputi kemunduran
dalam sifat fisik, kimia dan biologi dari suatu tanah. Degradasi lahan merupakan proses
penurunan produktivitas lahan, baik itu bersifat sementara maupun bersifat tetap. Akibat
selanjutnya dari proses degradasi lahan adalah munculnya daerah - daerah yang tidak
produktif atau sering dikenal sebagai lahan kritis.
Degradasi lahan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain konversi hutan
menjadi lahan pertanian, intensifikasi pertanian, pengusahaan tanaman yang kurang tepat,
pengelolaan lahan yang tidak tepat. Degradasi lahan ditandai dengan tingkat limpasan
permukaan dan erosi yang tinggi, tingkat kesuburan yang menurun dan diikuti juga
penurunan produktivitas.
16
Seperti yang terjadi pada konversi hutan menjadi perkebunan kopi monokultur yang
masih berumur satu tahun diikuti juga perubahan tingkat limpasan dari 27 mm menjadi 75
mm dari total curah hujan selama percobaan sebesar 458 mm. Peningkatan limpasan
permukaan ini diikuti dengan perubahan tingkat erosi dari 0,3 Mgha-1 pada hutan menjadi
33,6 Mgha-1 pada kebun kopi berumur 1 tahun (Widianto, 2004). Perubahan tingkat limpasan
dan erosi ini disebabkan perubahan tingkat penutupan tanah oleh kanopi tanaman dari hutan
(tingkat penutupan 100%).
Degradasi lahan yang umum terjadi di Indonesia disebabkan oleh erosi air hujan. Ini
berkaitan dengan tingginya intensitas dan jumlah curah hujan, terutama di Bagian Barat
Indonesia. Bahkan di bagian timur Indonesia pun yang termasuk daerah beriklim kering,
proses erosi yang cukup tinggi juga masih banyak terjadi, yaitu di daerah-daerah yang
mempunyai curah hujan dengan intensitas tinggi, meskipun curah hujan tahunan besarnya
relatif rendah (Abdurachman dan Sutono,2002; Kurnia et al., 2002).
Hal utama yang menjadi masalah pada dataran tinggi adalah tata guna lahan yang
kurang sesuai, tingkat konversi hutan menjadi pertanian monokultur sayuran yang cukup
tinggi, pengelolaan lahan yang tidak konservatif. Gambar 2.3 berikut menunjukkan peta tata
guna lahan dataran tinggi pada DAS Brantas Hulu. Dataran tinggi di Sub DAS
Sumberbrantas adalah salah satu contoh bagian DAS Brantas yang bagian hulu yang juga
mengalami degradasi. Kondisi di lapangan menunjukkan masih ada banyak daerah-daerah
yang berdasarkan kemiringan seharusnya berfungsi sebagai hutan, digunakan untuk
budidaya tanaman sayuran. Keadaan seperti ini berpotensi dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan seperti banjir, tanah longsor, meningkatnya sedimentasi di sepanjang daerah hilir
sungai Brantas serta memperkecil debit sumber mata air yang ada. Sedimen dari Sumber
Brantas yang berasal dari erosi rata-rata sebesar 108.20 ton ha-1 tahun-1. Besarnya erosi
tersebut sebagai dampak alih fungsi kawasan hutan menjadi tanaman semusim, kondisi
lereng yang curam, sifat tanah yang mudah tererosi (Jasatirta,2002).
17
Gambar 2.3 menunjukkan peta tata guna lahan dataran tinggi di DAS Brantas Hulu
pada tahun 1996. Tata guna lahan dataran tinggi di DAS Sungai Brantas di bagian hulu
sangat bervariasi dan tersebar di seluruh daerah tersebut. Tata guna lahan dataran tinggi di
Brantas bagian hulu terdiri dari lahan yang berfungsi sebagai hutan adalah 42,41 km2 atau
23%, semak 29,67 km2 atau 16% , lahan rumput 1,66 atau 1% ,perkebunan 9,10 atau 5%,
lahan keing52,23 atau29%, lahan kering1,62 km2 atau 1%, sawah 24,72 km2atau 14% dan
pemukiman adalah 20,95 km2 atau 12 %. Kondisi hutan di dataran tinggi DAS Brantas bagian
hulu sudah sangat memprihatinkan. Ini disebabkan maraknya kegiatan illegall logging yang
terjadi di daerah tersebut. Di bagian hulu Das Brantas ini, sejak tahun 1980 an luasan area
hutan sudah berkurang sebesar 33%.
Gambar 2. 4 bawah menurut studi BRLKT 2003, perubahan hutan menjadi fungsi
lain di dataran tinggi di sub DAS Amprong, Bango maupun di Brantas bagian hulu
menunjukkan bahwa erosi tertinggi terjadi di DAS Amprong yaitu sebesar 2.268 tonha-1 tahun-
1. Kalau dilihat pada kondisi tahun 1980 an, daerah sub DAS Amprong, Brantas
Gambar 2. 4. Tataguna lahan di DAS Brantas Hulu (Jasatirta, 2002)
18
Bagian Hulu dan Bango menunjukkan tingkat erosinya meningkat dan besarnya menjadi
hampir 300%. Ini membuktikan bahwa daerah tersebut sangat signifikan telah mengalami
degradasi . Besarnya tingkat erosi yang terjadi di wilayah DAS Sungai Brantas bagian hulu
secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2. 4. Tingkat erosi di daerah DAS Brantas Hulu (Jasatirta, 2005)
No Wilayah Sub
DAS
Luas
(km2)
Tingkat Erosi
A=RKLSCP
ton/ha/tahun M3/km2/tahun Mm/tahun M3/tahun
1 Brantas Hulu 182 108,20 6.009,20 6,00 1.094.679
2 Bango-Sari 262 60,10 4.337,60 3,30 874.454
3 Amprong 348 172,50 9.585,60 9,60 4.335.779
4 Manten 217 61,70 4.430,20 3,40 744.359
5 Lesti Hulu 258 195,80 10.879,20 10,90 2.806.825
6 Genteng 131 152,50 8.472,00 8,50 1.109.827
7 Lesti Hilir 219 69,70 4.874,70 3,90 848.553
Keterangan: A adalah besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan, R = erosivitas curah hujan dan air, K = erodibilitas tanah, L = panjang lereng, S = slope atau kemiringan, C = pengelolaan cara bercocok tanam, P = praktek konservasi tanah dengan cara mekanik
Sumber: Water Resources Existing Facilities Rehabilitation and Capacity Improvement Project, Pebruari 2005
Dataran tinggi Sub-sub DAS Sumber Brantas secara administratif merupakan
wilayah kotamadya Batu termasuk dalam wilayah sub DAS Ambang.Sub DAS Ambang
merupakan salah satu sub DAS Brantas hulu yang memiliki luas 101.675 ha, yang meliputi
: Sub-sub DAS Sumber Brantas seluas : 44.529,23 ha (42,81 %) ; Sub-sub DAS Bango
seluas : 34.893,85 ha (34,32 %) dan Sub-sub DAS Amprong seluas : 24.251,95 ha
(22,87%). Sedang sub DAS Brantas bagian hulu lainnya adalah sub DAS Melamon yang
terdiri dari sub-sub DAS Metro, sub-sub DAS Lahor dan sub-sub DAS Lemon dan sub-sub
DAS Lesti Hulu (Perum Perhutani, 2006). Berikut disajikan peta sub DAS Brantas Hulu
(Gambar 2.4).
19
Gambar 2. 5. Perubahan Hutan di Sub DAS Brantas Hulu (Jasatirta, 2002)
Gambar 2. 6. Peta dataran tinggi Sub DAS Brantas Hulu (Perum Perhutani, 2006)
20
Dataran tinggi Sub-sub DAS Sumber Brantas terletak di wilayah dengan topografi
yang bergelombang, berbukit hingga bergunung. Pada daerah ini banyak yang
mengusahakan tanaman sayuran. Dalam meng-usahakan tanaman sayuran dilakukan
dengan pengolahan tanah dan pembuatan bedengan atau guludan yang seringkali
dilakukan searah kemiringan lahan. Setiap bedengan atau guludan dbuatkan parit sehingga
aerasi tanah cukup baik. Selain menjaga aerasi agar tetap baik pembuatan guludan dan
parit ditujukan untuk memudahkan penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman
sayuran. Sistem pertanian semacam ini tidak memperhatikan kaidah teknik konservasi untuk
mengendalikan erosi. Penanaman tanaman sayuran dilakukan sepanjang tahun mengingat
jumlah dan penyebaran curah hujan yang cukup merata.
Pengelolan sumberdaya akan menjadi keharusan ketika sumberdaya tersebut tidak
mencukupi lagi untuk kebutuhan manusia dan ketersediaannya pun tidak lagi melimpah. Jika
keadaan dimana sumberdaya tidak mencukupi untuk kebutuhan manusia,maka pengelolaan
DAS ditujukan untuk memperokeh manfaat sebaik-baiknya ditinjau dari sisi ukuran fisik,
teknik, sosial budaya, ekonomi, dan juga keamanan-kemantapan nasional. Sedangkan pada
keadaan dimana sumberdaya DAS berlimpah, pengelolaan ditujukan untuk mencegah
pemborosan.
Curah hujan yang tinggi (2400-3400 mm tahun-1), sifat fisik tanah yang mudah
tererosi, intensifikasi budidaya sayuran pada lahan yang berlereng curam di dataran tinggi
DAS Hulu Brantas, membuat daerah ini rentan terhadap erosi. Berdasarkan data Perum
Jasatirta (2005) erosi sub DAS Brantas Hulu pada tahun 2003 mencapai angka 108,20tonha-
1tahun-1, angka ini meningkat hampir 300 % dari tingkat tingkat erosi pada tahun 1980. Hal
ini menunjukkan bahwa daerah ini telah mengalami degradasi yang sangat nyata. Kekritisan
di DAS Sumberbrantas ini ternyata juga menyebabkan banjir dan sedimentasi waduk.
Berdasarkan data dari BP DAS Brantas pada tahun 2006, ternyata DAS Sumber Brantas
merupakan penyumbang tertinggi sedimentasi di Karangkates, sesudah DAS Amprong.
21
Tingkat sedimentasi DAS Sumber Brantas mencapai sebesar 86,7 meter3 setiap tahunnya.
Sedimen dari Sumber Brantas berasal dari erosi yang terjadi yaitu rata-rata sebesar 143
tonha-1tahun-1.Erosi tersebut terjadi sebagai akibat dari alih fungsi menjadi usahatani dan
kawasan hutan perhutani yang digunakan untuk penamaman tanaman sayuran, kelerengan
yang curam dan erodibilitas tanah yang tinggi
Meskipun banyak petani sudah ada yang mengerti pentingnya upaya pengendalian
erosi, namun kebanyakan petani tidak mudah menerima teknologi hasil penelitian yang
sebenarnya diketahui dapat melestarikan lahan usahataninya. Beberapa alasan tidak
dijumpainya teknik konservasi tanah pada lahan usahatani sayuran dataran tinggi berkaitan
erat dengan permasalahan teknis ataupun sosial pada masyarakat petani sayuran. Selain
karena jenis-jenis tanaman sayuran pada umumnya bisa segera dipanen, penerapan teknik
konservasi tanah dipandang membutuhkan waktu yang cukup lama sampai cara tersebut
dapat bekerja efektif. Keengganan para petani sayuran dalam menerapkan teknik konservasi
tanah umumnya karena usahatani dengan konservasi tidak segera memberikan keuntungan
langsung bagi mereka. Mereka cukup membuat bedengan-bedengan selebar 0,7-1,2 m yang
dibuat searah lereng. Oleh sebab itu, penerapan konservasi tanah pada lahan usahatani
sayuran dataran tinggi sebaiknya memadukan faktor biofisik dan faktor sosial ekonomi.
Berdasarkan kenyataan ini, maka dipandang penting untuk dilakukan penelitian tentang
dampak erosi terhadap produktivitas tanaman, pendapatan petani, dan faktor-faktor sosial
ekonomi yang mem-pengaruhi adopsi usahatani konservasi pada DAS Brantas bagian hulu.
2.6 Konservasi Tanah
Asal kata konservasi, adalah Conservation yang berasal dari kata con dan servare.
Kata Con atau together dan servare atau keep atau save memiliki arti mengenai upaya
pemeliharaan apa yang kita miliki (keep atau save what you have), tetapi dengan cara
bijaksana atau wise use. Gagasan ini disampaikan oleh Roosevelt (1902) yaitu merupakan
22
orang Amerika yang pertama menggagas tentang konsep konservasi. Sedangkan menurut
Rijksen (1981), konservasi adalah suatu bentuk evolusi kultural yang mana pada saat dulu,
upaya konservasi masih tidak lebih baik daripada yang ada saat sekarang. Konservasi
dapat dipandang juga dari sisi ekonomi dan ekologi. Konservasi dari sisi ekonomi yaitu
mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk masa sekarang, sementara dari sisi
ekologi, konservasi merupakan pengalokasian sumberdaya alam baik untuk sekarang
maupun masa yang akan datang.
Tujuan dari adanya konservasi lahan adalah supaya dapat terwujud sumberdaya
alam hayati dan ekosistem yang lestari dan berkelanjutan sehingga menjadi lebih
mendukung upaya peningkatan mutu kehidupan manusia serta kesejahteraan masyarakat
yang lebih baik. Agar tujuan tersebut terwujud, maka perlu diusahakan strategi dan demikian
juga pelaksanaannya. Di Indonesia, program konservasi seharusnya dijalankan secara
bersama baik oleh pemerintah maupun masyarakat, yang meliputi masyarakat umum,
perguruan tinggi, swasta, lembaga swadaya masyarakat, ataupun pihak-pihak lain.
Konservasi tanah merupakan penempatan tiap bidang tanah berdasarkan pada
kesesuaian antara penggunaan dengan kemampuan tanah serta memperlakukannya
menurut syarat-syarat yang dibutuhkan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Pemakaian
istilah konservasi tanah acap kali diikuti dengan istilah konservasi air. Walaupun keduanya
berbeda tetapi konservasi tanah dan konservasi air saling terkait. Ketika mempelajari
masalah konservasi, kedua sudut pandang yaitu ilmu konservasi tanah dan konservasi air
sering digunakan. Ditinjau secara umum, konservasi tanah bertujuan meningkatkan
produktivitas lahan dengan cara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/ atau kritis, dan
melakukan upaya untuk mencegah kerusakan tanah sebagai akibat erosi. Konservasi tanah
mempunyai sasaran mencakup keseluruhan sumber daya lahan, yang meliputi kelestarian
produktivitas tanah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mendukung
keseimbangan ekosistem.
23
Mengacu pada pengertiannya, konservasi dapat didefinisikan dalam beberapa batasan,
seperti berikut ini :
1. Konservasi diartikan sebagai menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi
kebutuhan manusia dalam jumlah yang besar dan dalam periode yang lama (American
Dictionary).
2. Konservasi adalah pengalokasian sumberdaya alam antar waktu (generasi) secara
optimal dan sosial (Randall, 1982).
3. Konservasi adalah manajemen air, udara, tanah, mineral ke organisme hidup meliputi
juga manusia dengan demikian dapat meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Yang
termasuk di dalam kegiatan manajemen adalah survai, administrasi, penelitian,
preservasi, pendidikan, latihan dan pemanfaatan (IUCN, 1968).
4. Konservasi adalah pengelolaan penggunaan biosfer oleh manusia agar bisa
memberikan ataupun memenuhi keuntungan yang besar tetapi juga bisa diperbaharui
untuk generasi-generasi mendatang (WCS, 1980).
Strategi konservasi nasional telah dirumuskan menjadi tiga hal berikut taktik
pelaksanaannya, yakni :
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan (PSPK)
a) Penetapan wilayah PSPK.
b) Penetapan pola Dasar pembinaan program PSPK.
c) Pengaturan cara pemanfaatan wilayah PSPK.
d) Penertiban pengelolaan dan penggunaan tanah dalam wilayah PSPK.
e) Penertiban pengusahaan di perairan dalam wilayah PSPK secara maksimal
2. Pengawetan keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa termasuk ekosistemnya
a. Pengawetan keanekaragaman vegetasi dan satwa termasuk ekosistemnya
b. Pengawetan jenis vegetasi dan satwa (konservasi in-situ dan konservasi eks-situ).
3. Pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya alam hayati secara lestari.
24
a. Pemanfaatan keadaan lingkungan wilayah pelestarian alam.
b. Pemanfaatan jenis vegetasi dan juga satwa liar (untuk: pengkajian, penelitian dan
pengembangan, perdagangan, penangkaran, perburuan, peragaan, budidaya,
pertukaran,).
Model The conservation bertumpu pada usaha tanam campuran atau disebut crop
livestock yang merupakan hasil dari revolusi pertanian Inggris. Disamping itu juga bertumpu
pada konsep kelaparan lahan yang diinspirasi oleh ahli tanah Jerman yang bernama
Ricardo, Mill. Yang tergolong dalam konservasi adalah sebagian lahan subur digunakan
untuk tanaman dan sebagian lagi digunakan untuk penggembalaan, tersedia cukup untuk
pakan ternak, pupuk hijau yang berfungsi mempertahankan kesuburan tanah serta adanya
masukan atau input dari sektor pertaniannya.
2.7 Teknik Konservasi Tanah
Salah satu masalah pokok yang kita hadapi dalam pengelolaan sumber daya alam
agar taraf hidup masyarakat khususnya petani meningkat, adalah bagaimana sumber daya
alam dapat dimanfaatkan secara lestari dan juga efisien baik bagi generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang (Munandar, 1995). Usaha tani dapat dilakukan secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, bila penerapan teknik konservasi tanah
senantiasa menjadi prioritas. Agar teknik konservasi tanah dapat diterapkan secara tepat,
efektif, dan efisien, diperlukan perencanaan yang baik dan terarah.
Untuk perencanaan konservasi tanah diperlukan data erosi, yang dapat diperoleh
dengan cara melakukan pengukuran langsung di lapangan. Namun, pengukuran di lapangan
memerlukan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit. Salah satu cara yang cepat dan murah
yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan penaksiran atau prediksi. Data erodibilitas
tanah merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan, baik dalam hubungannya
dengan prediksi erosi maupun perencanaan konservasi tanah.
25
Pembentukan tanah di daerah beriklim tropika basah termasuk Indonesia
diperkirakan dua kali lebih besar kalau dibandingkan dengan daerah beriklim sedang,
dengan demikian penetapan erosi yang dapat diabaikan (soil of tolerable loss) juga akan
lain. Apabila besarnya erosi pada tanah dengan ciri tersebut lebih besar dibandingkan
dengan angka erosi yang dapat diabaikan, maka perlakuan konservasi sangat diperlukan.
Teknik konservasi tanah baik secara vegetatif, mekanis (sipil teknis) maupun kimia pada
dasarnya bertujuan sama yaitu pengendalian laju erosi, tetapi efektifitas, persyaratan dan
kelayakan agar diterapkan sangat berbeda. Dengan demikian pemilihan teknik konservasi
yang tepat tentu diperlukan.
1) Metode Vegetatif
Metoda vegetatif merupakan metoda konservasi dengan cara menanam berbagai
jenis tanaman, sebagai contoh tanaman penutup tanah, penanaman dalam strip, tanaman
penguat teras, pergiliran tanaman serta penggunaan mulsa dan pupuk organik. Pengelolaan
tanah dengan cara vegetatif dapat menjamin keberlanjutan keberadaan tanah dan air karena
mempunyai sifat:
a) memelihara kestabilan struktur tanah dengan memperbesar granulasi tanah
melalui sistem perakaran,
b) mengurangi evaporasi dengan penutupan lahan oleh seresah dan tajuk,
c) meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang berakibat pada peningkatan porositas
tanah, sehingga dapat memperbesar jumlah infiltrasi selanjutnya mencegah
terjadinya erosi.
d) Peranan vegetasi berupa tanaman kehutanan juga tidak kalah pentingnya yaitu
mempunyai nilai ekonomi dengan demikian dapat menambah penghasilan petani.
Macam-macam teknik konservasi tanah dengan metode Vegetatif
a) Sistem Pertanaman Lorong
26
Koservasi metode vegetatif sistem pertanaman lorong merupakan suatu sistem pola
tanam di mana tanaman pangan diletakkan pada lorong atau di antara barisan tanaman
pagar. Metode ini bermanfaat dalam mengurangi laju aliran permukaan dan erosi, juga
sebagai sumber hara dan bahan organik terutama N untuk tanaman lorong. Sistem
pertanaman lorong telah lama diperkenalkan dan dikembangkan sebagai salah satu tipe
teknik konservasi tanah dan air untuk mengembangkan sistem pertanian berkesinambungan
pada lahan kering di daerah beriklim tropika basah, tetapi sistem ini belum dipraktekkan
secara meluas oleh petani.
b) Sistem Pertanaman Strip Rumput
Metode vegetatif sistem pertanaman strip rumput adalah sistem pertanaman yang
hampir mirip dengan pertanaman lorong, tetapi yang digunakan sebagai tanaman pagarnya
adalah rumput. Rumput ditanam sebagai strip, dibuat searah kontur dengan lebar strip 0,5m
bisa lebih. Semakin lebarstrip semakin efektif dalam mengendalikan erosi. Sistem ini dapat
juga diintegrasikan denganternak. Penanaman rumput sebagai makanan ternak
ditempatkan didalam jalur/strip. Penanaman dilakukan mengikuti garis kontur dengan tata
letak penanaman dibuat berselang-seling agar rumput dapat tumbuh dengan baik,
penanaman dilakukan pada awal musim penghujan. Selain itu jalur rumput sebaiknya
ditempatkan ditengah yaitu di antara barisan tanaman pokok.
c) Konservasi dengan Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang ditanam tersendiri atau secara
bersamaan dengan tanaman pokok. Tanaman penutup tanah berfungsi sebagai: 1)
menahan atau menurunkan daya perusak tetesan hujan yang menerpa permukaan tanah
dan aliran air di bagian atas permukaan tanah, 2) memberi bahan organik tanah melalui
cabang, ranting-ranting dan juga daun mati yang jatuh, dan 3) menjalankan transpirasi,
sehingga mengurangi kandungan air tanah. Peranan dari tanaman penutup tanah tersebut
adalah mengurangi kekuatan dispersi dari air hujan, menurunkan jumlah dan kecepatan
27
aliran permukaan serta meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah, dengan demikian dapat
mengurangi erosi.
Gambar 2. 7. Penanaman strip rumput sebagai tanaman pagar pada lahansayuran dataran
tinggi (foto Lestari, 2010)
d) Mulsa
Mulsa adalah bahan-bahan plastik, sisa-sisa panen, dan lain sebagainya yang
disebar dan difungsikan untuk menutupi permukaan tanah. Mulsa bermanfaat untuk
mengurangi penguapan atau evaporasi serta melindungi tanah terhadap pukulan langsung
butir-butir hujan, sehingga ng akan mengurangi tingkat kepadatan tanah. Mulsa bisa berupa,
dan mulsa batu, mulsa sisa tanaman, ataupun lembaran plastik. Mulsa sisa tanaman ini
merupakan bahan organik sisa tanaman seperti batang jagung, jerami padi, daun-daun dan
ranting tanaman pangkasan dari tanaman pagar. Bahan tersebut ditebarkan dengan merata
di atas permukaan tanah dengan ketebalan 2-5 cm dengan demikian permukaan tanah
tertutup sempurna.
28
Peneltian tentang pengaruh mulsa terhadap tanah di lahan kering, telah dilakukan
oleh Thamrin dan Hanafi (1992) dengan menggunakan seresah tanaman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian mulsa dapat menjaga lengas tanah dari proses penguapan,
dengan demikian kebutuhan tanaman akan kelengasan tanah terutama pada musim kering
dapat terjamin. Disamping itu, dengan pemberian mulsa, pertumbuhan gulma yang
mengganggu tanaman dapat dihambat, sehingga konsumsi air lebih rendah.
Tabel 2. 5. Jumlah erosi pada pertanaman kentang dengan perlakuan arah bedengan dan
pola tanam + jenis mulsa
Perlakuan Konservasi tanah Jumlah erosi
kg 24 m-1 t ha-1
Arah bedengan 32,06
sejajar kontur 76,95 68,63
diaognal terhadap kontur 164,72
Poal tanam dan mulsa
monokultur kentang + mulsa jerami 128,44 53,52
monokultur kentang + mulsa plastik 133,85 55,77
tumpang sari kentang dan bawan daun 118,75 49,48
Sumber: Sutapraja dan Asandhi (1998)
Pemberian mulsa baik organik maupun plastik perak pada lahan pertanaman
kentang mampu menekan erosi sebesar 13 - 15 ton ha-1 dibanding arah bedengan yang
diagonal kontur. Hal tersebut memberikan pengaruh pada peningkatan hasil tanaman
kentang seperti yang disajikan pada Tabel 8.
Tabel 2. 6. Hasil Tanaman kentang pada perlakuan konservasi tanah
Perlakuan Konservasi tanah Hasil umbi kentang
t ha-1
Arah bedengan
searah kontur 14,88
diaognal terhadap kontur 15,55
Poal tanam dan mulsa
monokultur kentang + mulsa jerami 20,71
monokultur kentang + mulsa plastik 21,64
monokultur kentang, tanpa mulsa 14,12
Sumber: Sutapraja dan Asandhi (1998)
29
Penggunaan mulsa organik maupun plastik perak hitam mampu meningkatkan hasil
umbi kentang sebesar 5,2 – 6,1 ton ha-1 dibandingkan arah bedengan diagonal terhadap
kontur.
e) Pengelompokan tanaman dalam suatu bentang alam
Teknik ini dilakukan dengan mengelompokkan tanaman yang mempunyai kebutuhan air
yang sama dalam suatu landscape. Pengelompokkan tanaman ini bertujuan memberikan
kemudahan dalam pengaturan air. Penggolongan tanaman dalam suatu bentang alam
mengikuti kebutuhan air yang sama, dengan demikian irigasi dapat dikelompokkan menurut
kebutuhan tanaman. Pemberian air irigasi yang dialirkan hanya menurut kebutuhan
tanaman, dengan demikian air dapat dihemat.
f) Penyesuaian antara jenis tanaman dan karakteristik wilayah.
Teknik konservasi ini merupakan teknik konservasi air untuk menyesuaikan kemampuan
antara tanaman alternatif dengan tingkat kekeringan yang terjadi di suatu daerah. Sebagai
contoh dalam hal ini adalah tanaman jagung dengan kebutuhan akan air 0,8 kali dari
kebutuhan air padi sawah akan tepat kalau ditanam sebagai tanaman sebagai ganti padi
sawah untuk antisipasi kekeringan. Pada dataran tinggi yang merupakan area yang
mempunyai kemiringan curam, tanaman kehutanan menjadi pilihan komoditas utama.
f) Penentuan pola tanam dengan tepat.
Penentuan pola tanam dengan tepat adalah baik untuk areal yang mendatar maupun
berlereng. Pola tanam didasarkan pada kondisi curah hujan setempat agar mengurangi
deficit air pada musim kemarau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lahan yang
mempunyai kelerengan 5% dengan pola tanam campuran antara ketela pohon dan jagung
dapat menekan limpasan permukaan atau run off dari 43% menurun menjadi 33% dari curah
hujan, jika dibandingkan dengan jagung monokultur. Ini terjadi karena adanya perbedaan
yang besar kebutuhan air tiap jenis tanaman. Besarnya kebutuhan air pada berbagai jenis
tanaman dapat dijadikan dasar dalam membuat pola tanam yang optimal.
30
2) Metode Sipil Teknis
Metode sipil teknis merupakan suatu metoda konservasi yang mengatur aliran
permukaan, supaya lapisan olah tanah atau top soil tidak rusak . Metode sipil teknis
merupakan upaya konservasi dengan cara membuat bangunan-bangunan koservasi seperti
pembuatan guludan, teras, pengolahan tanah sesuai kontur, dan saluran air (rorak, terjunan
dan saluran pembuangan air)
Penerapan Metode konservasi dengan Sipil Teknis
a) Pembuatan teras pada lahan yang mempunyai kemiringan yang curam.
Pembuatan teras dilakukan pada lahan yang mempunyai kemiringan lebih besar dari
8%. Jenis-jenis teras yang digunakan untuk konservasi tanah sama dengan jenis-jenis teras
yang digunakan untuk konservasi air. Jenis-jenis teras antar lain : hillside ditches, saluran
pembuangan air, teras bangku, teras batu, teras datar, teras individu, teras kredit, teras
buntu atau rorak, dan. teras gulud .Usahatani tanaman semusim sebaiknya menghindari
daerah yang mempunyai kelerengan curam.
Teras gulud pada umumnya dibuat pada lahan dengan kemiringan kemiringan 10 – 15%
dan biasanya dilengkapi dengan pembuatan saluran pembuangan air yang bertujuan untuk
mengurangi kecepatan aliran air pada waktu hujan, dengan demikian erosi dapat dicegah
serta penyerapan air oleh tanah dapat diperbesar. Teras bangku merupakan pembuata teras
dengan cara memotong lereng dan menjadikannya rata dengan di bidang olah dengan
demikian terjadi deretan menyerupai tangga. Teras ini bermanfaat sebagai pengendali air
yang mengalir permukaan dan juga pengendali erosi. Jenis konservasi ini diterapkan pada
lahan yang mempunyai kemiringan 10-40%, tanah yang bersolum dalam yaitu lebih besar
dari 60cm, tanah yang relatif tidak mudah terjadi longsor, dan tanah yang tidak mempunyai
kandungan unsur yang bersifat racun bagi tanaman seperti unsur aluminium dan unsur besi.
Guludan merupakan suatu sistem yang merupakan tempat tanaman pangan ditanam pada
lorong atau di antara barisan tanaman pagar. Jenis teras ini sangat bermanfaat dalam
31
menekan laju limpasan permukaan dan erosi, juga merupakan sumber hara terutama N
untuk tanaman lorong dan bahan organik.
b) Wind break
Pembuatan Wind break bertujuan untuk mengurangi kecepatan angin sehingga dapat
menurunkan kehilangan air lewat permukaan tanah dan dari tanaman (evapotranspirasi).
c) Pemanenan Air hujan
Teknik konservasi air ini merupakan salah satu pilihan untuk menyimpan air hujan
pada waktu musim penghujan. Air hujan dipanen dan kemudian dapat digunakan lagi waktu
musim kemarau. Di Indonesia teknik pemanenan air hujan yang biasa dilakukan, antara lain
dengan pembuatan embung dan channel reservoir. Embung adalah sarana konservasi air
berupa suatu bangunan yang berbentuk kolam yang digunakan untuk menampung air hujan
, air limpahan atau rembesan di sawah dengan tadah hujan yang berdrainase baik. Embung
merupakan teknik konservasi air yang banyak diaplikasikan di lahan tadah hujan di daerah
yang bercurah hujan rendah.
Konservasi air sangat cocok dalam meningkatkan produktivitas lahan kering, serta
mencegah bahaya banjir, tanah longsor dan kekeringan. Pada dasarnya prinsip konservasi
air adalah menyimpan air pada musim hujan sebanyak-banyaknya dan memanfaatkannya
kembali pada musim kemarau. Meskipun teknik konservasi air semacam ini sudah cukup
banyak dipraktekkan di lahan kering, namun keberhasilannya sangat ditentukan oleh sosial
ekonomi, keinginan petani dan kondisi biofisik.
d) Dam Parit
Dam Parit adalah suatu cara membendung atau mengumpulkan aliran air pada suatu
parit yang bertujuan untuk menampung aliran air permukaan, dengan demikian dapat
digunakan untuk mengairi lahan yang ada di sekitarnya. Dam parit dapat menekan tingkat
aliran permukaan, erosi, dan juga sedimentasi.
Keunggulan dari Dam Parit:
32
a. Menampung air dalam jumlah volume yang besar akibat terbendungnya air yang
mengalir di saluran atau parit.
b. Tidak menggunakan wilayah atau lahan pertanian yang produktif.
c. Mengairi lahan yang cukup luas, sebab dibangun berseri di seluruh DAS
d. Menurunkan kecepatan aliran permukaan,sehingga dapat mengurangi erosi, tingkat
kehilangan lapisan olah yang terdapat di bagian tanah atas yang biasanya subur
serta sedimentasi.
e. Memberikan kesempatan supaya terjadi peresapan air ke dalam tanah di wilayah
seluruh DAS dengan demikian dapat menurunkan risiko kekeringan pada waktu
musim kemarau.
f. Biaya pembuatan konservasi ini lebih murah, relatif terjangkau oleh petani
3) Metode kimia
Teknik konservasi tanah kimiawi merupakan penggunaan senyawa-senyawa kimia
baik itu senyawa anorganik maupun organik yang ditujukan untuk memperbaiki sifat tanah
dan juga menekan laju erosi. Teknik ini merupakan teknik yang mahal sehingga jarang
digunakan oleh petani yang mempunyai keterbatasan modal. Selain itu, teknik ini sulit
pengadaannya dan hasilnya tidak berbeda jauh dengan penggunaan senyawa-senyawa
alami. Bahan kimiawi yang masuk dalam golongan ini adalah pembenah tanah atau soil
conditioner seperti urethanised (PVAu), polyvinil alcohol (PVA), polyacrilamide (PAM),
sodium polyacrylate (SPA), vinylacetat maleic acid yang disingkat menjadi VAMA copolymer,
polybutadiene (BUT), natural rubber latex, polyurethane dan asphalt atau bitumen.
Senyawa-senyawa tersebut diaplikasikan ke tanah dengan tujuan memperbaiki sifat fisik
yaitu struktur tanah melalui peningkatan stabilitas dari agregat tanah, dengan demikian
tanah tahan terhadap erosi
33
2.8 Inovasi dan adopsi konservasi lahan.
2.8.1 Konservasi lahan sebagai Inovasi
Inovasi merupakan suatu gagasan, metode, informasi, atau obyek yang dianggap
baru oleh kebanyakan masyarakat dalam suatu daerah yang dapat dimanfaatkan agar
terjadi perubahan-perubahan di seluruh aspek kehidupan masyarakat demi selalu
terciptanya perbaikan-perbaikan baik mutu hidup setiap individu maupun seluruh warga
masyarakat yang bersangkutan (Rogers dan Shoemaker, 1971; Mosher,1978; Mardikanto,
1993; Van den Ban dan H.S. Hawkins, 1999 ). Inovasi tidak harus merupakan hasil dari
penelitian mutakhir, tetapi bisa juga berkembang dari gagasan petani berdasarkan
pengalamannya (Van den Ban dan H.S. Hawkins, 1999). Konservasi lahan Pertanian
merupakan inovasi lahan pertanian dataran tinggi agar terwujud ekosistem sumberdaya
alam hayati yang berkesinambungan, sehingga mendukung upaya peningkatan mutu
kehidupan manusia dan kesejahteraan masyarakat lebih baik.
Adopsi merupakan proses mental, dalam pengambianl keputusan apakah menerima
atau menolak ide baru dan kemudian menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan maupun
penolakan ide baru tersebut. Adopsi dapat juga diberi batasan sebagai proses mental
seseorang mulai mendengar, mengetahui inovasi sampai kemudian mengadopsi. Adopsi
merupakan suatu proses dimulainya ide-ide dan munculnya ide-ide dari satu pihak,
kemudian disampaikan kepada pihak kedua, sampai selanjutnya ide tersebut diterima oleh
pihak kedua yaitu masyarakat. Adopsi dalam penyuluhan pada dasarnya dapat diartikan
sebagai proses penerimaan inovasi ataupun perubahan perilaku baik itu berupa
pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah inovasi yang
disampaikan penyuluh diterima oleh petani atau masyarakat sasarannya (Rogers, 1983).
34
2.8.2 Faktor-faktor yang menentukan tingkat adopsi konservasi lahan.
Konservasi lahan pertanian mempunyai peranan yang penting dalam menentukan
kualitas lahan dan juga produktivitas lahan dalam jangka panjang. Pengabaian penerapan
konservasi lahan pertanian akan berakibat pada penurunan produktivitas lahan, hasil
pertanian dan selanjutnya berpengaruh pada keberlanjutan sektor pertanian. Di sisi lain
petani cenderung lebih menekankan kepentingan jangka pendek dalam melakukan usaha
taninya, yaitu berusaha memaksimalkan perolehan usaha taninya dengan tidak
mengkonservasi lahannya. Kepentingan jangka panjang yang merupakan fungsi ekologis
menjadi terkalahkan dengan fungsi ekonomi.
Untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi dapat dilakukan dengan memilih
tanaman yang berproduktivitas tinggi dan atau dengan intensifikasi. Carson dan Utomo
(1986) mencoba menghubungkan tingkat keuntungan dan resiko erosi berbagai pola tanam
yang banyak dilakukan di Jawa (Gambar 2.7). Dari Gambar 2.7 pertimbangan pemilihan
tanaman hendaknya tidak hanya berdasarkan keuntungan yang dapat dihasilkan saja, tetapi
juga perlu dipertimbangkan resiko erosi yang terjadi. Dalam hal ini hendaknya tetap
dipikirkan agar tingkat erosi yang terjadi serendah mungkin sehingga produktivitas yang
tinggi dapat dipertahankan lama dan bahkan jika mungkin ditingkatkan dalam jangka yang
panjang.
35
Gambar 2. 8. Diagram hubungan antara keuntungan relatif dan resikoerosi berbagai
tanaman di Jawa (Carson dan Utomo, 1994)
Faktor-faktor sosial ekonomi yang menjadi penyebab bagi petani untuk menerapkan
atau tidak sistem usaha tani konservasi perlu dikaji. Temuan dan perbaikan terhadap faktor-
faktor tersebut diharapkan dapat menghilangkan kendala bagi petani untuk mengkonservasi
lahannya. Sebab dengan menerapkan konservasi pada lahan pertanian degradasi lahan
dapat ditekan.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada dukungan masyarakat terhadap upaya
penerapan konservasi lahan di dataran tinggi DAS Hulu Citarum adalah umur petani, jumlah
anggota keluarga, tingkat pendapatan, pekerjaan sampingan, dan luas lahan (Sarmingsih
2007).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2006) yang melakukan survey pada
111 petani lahan sawah, 15 petani melakukan konservasi dengan pembuatan teras
sederhana. Sekitar 80% mengusahan pertaniannya pada luasan lahan 50 are atau kurang
(Tabel 5). Petani yang tidak melakukan konservasi 58,3% mengusahakan pertaniannya
pada luasan lahan 50 are atau kurang, sedangkan 13,5 % mengusahakan pertaniannya
High
High Low Moderat
Low
Low
A M O U N T
OF
E
RELATIVE PROVITABILITY
Maize-cassava terraced
Natural forrest
Grassland
Triple rice cropping
Fruit orchard terraced grass covered
Sugercane
Closed teak plantation 100 slope
Fruit orchard intercropped
Maize-cassava upper volcanic
Potatoes sloping land
Tobacco sloping, upper
36
pada luasan lahan lebih dari 100,1 are. Petani yang tidak melakukan konservasi 44,8%
menghasilkan hasil 500 kg atau kurang , 31,3 % hasilnya 501 hingga 1000 kg, bahkan 24
% petani mendapatkan hasil lebih dari 1000 kg.
Tabel 2. 7. Jumlah petani dengan luas lahan yang melakukan konservasi dan yang tidak
melakukan konservasi
≤ 50 are 50,1 – 100
are
≥100,1 are Total
Tanpa
konservasi
Konservasi
56
(58,3)
12
(80,0)
27
(28,1)
2
(13,3)
13
(13,5)
1
(6,7)
96
(100,0)
15
(100,0)
Total 68
(61,3)
29
(26,1)
14
(12,6)
111
(100,0)
Keterangan : Angka dalam tanda kurung adalah persentase
Sumber: Siregar (2006)
Tidak satupun petani yang melakukan konservasi memperoleh hasil pertaniannya
lebih dari 1 ton, 66,7 % petani lainnya mendapatkan hasil kurang atau sama dengan 500 kg
dan sisanya menghasilkan antara 501–1000 kg. Data ini menunnjukkan bahwa tanpa
konservasi lahan petani memungkinkan mendapatkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan
petani yang tidak mengkonservasi. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa dengan penerapan
konservasi luasan lahan yang dapat ditanami berkurang, dengan demikian mengakibatkan
penurunan hasil.
Tabel 2. 8. Jumlah petani dengan hasil pertanian yang melakukan konservasi dan tidak
melakukan konservasi
≤ 500 kg
500,1 –
1000 kg ≥1000 kg Total
Tanpa
konservasi
Dengan
Konservasi
43
(44,8)
10
(66,7)
30
(31,3)
5
(33,3)
23
(24,0)
0
(0,0)
96
(100,0)
15
(100,0)
Total 68
(47,7)
29
(31,5)
14
(20,7)
111
(100,0)
Keterangan : Angka dalam tanda kurung adalah persentase
37
Sumber: Siregar (2006)
Data diatas diperoleh dari penelitian pada petani dalam upaya konservasi lahan
sawah. Namun demikian, kondisi ini tidak akan berbeda dengan petani yang mengusahakan
lahan kering di dataran tinggi DAS hulu. Petani lahan kering juga ingin memaksimalkan
keuntungan dalam mengusahakan pertaniannya. Seringkali keuntungan usaha tani yang
dicapainya adalah keuntungan jangka pendek. Oleh karena itu petani lebih memilih
menanam tanaman semusim, tidak melakukan konservasi bahkan malah membuat guludan
yang searah dengan kemiringan lahan.
Karena yang dipandang adalah keuntungan jangka pendek, maka penanaman
tanaman pohon yang memungkinkan dapat menekan tingkat erosi tidak dilakukan.
Penanaman pohon dipandang kurang menguntungkan karena pendapatan diterima dalam
jangka yang panjang. Meskipun pada tiga tahun pertama petani masih bisa melakukan
tumpangsari pohon dan tanaman sayuran, tetapi petani akan memperoleh pendapatan yang
lebih kecil dibandingkan dengan jika mereka menanam tanaman semusim dengan cara
monokultur karena ruangan berkurang untuk penanaman pohon. Pada tahun berikutnya
pendapatan akan lebih berkurang karena kanopi pohon lebih berkembang sehingga
menghalangi tanaman semusim dalam menangkap sinar matahari.
Dari data ini menunjukkan bahwa petani akan memaksimalkan penggunaan lahan
dan mengintesifkan pengusahaannya untuk memperoleh pendapatan dengan tidak
mengkonservasi lahannya. Selanjutkan keadaan ini akan mengakibatkan kenaikan tingkat
erosi. Fakta ini dikuatkan oleh hasil penelitian Astuti (2008) bahwa semakin rendah tingkat
pendapatan rumahtangga semakin tinggi tingkat tekanan penduduk terhadap sumber daya
alamnya dan berakibat semakin tinggi tingkat erosi dan sedimentasi. Data ini bisa juga
mengungkapkan hal yang sebaliknya yaitu semakin tinggi tingkat erosi dan sedimentasi
menyebabkan tingkat kesuburan tanah semakin rendah dan berakibat penurunan
38
produktivitas lahan pertaniannya yang akhirnya akan menurunkan tingkat pendapatan dari
hasil pertanian. Dijelaskan juga tekanan penduduk yang tinggi di Desa Sindangherang tetapi
ditunjang dengan pengairan yang baik pada lahan sawahnya tetap dapat menghasilkan
pendapatan yang tinggi.
Tabel 2. 9. Pedoman pemilihan teknologi konservasi tanah secara mekanisdan vegetatif berdasarkan tingkat kemiringan lahan, erodibilitas tanah, dan kedalaman solum (P3HTA dengan modifikasi)
Kemiringan (%)
erodibilitas /Kedalaman solum (cm) Rekomendasi
proporsi tanaman (%)
>90 cm 40 – 90 cm < 40 cm
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Semusim
Tahunan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
15 - 25
TB, BL, TB, BL,
TB, BL, TG, BL,
TG, BL, TG, BL,
Maks 50 Min 50 PH, SP,
PH, SP,
PH, SP,
PH, SP,
PH, SP,
PH, SP,
PT, RR,
PT, RR,
PT, RR,
PT, RR,
PT, RR,
PT, RR,
ST ST ST ST ST ST
25 - 40
TB, BL, TG, BL,
TG, BL, TG, BL,
TG, BL, TI, RR, TB, BL,
Maks 25 Min 75
PH, PT PH, PT
PH, PT PH, PT
PH, PT PH, PT
> 40 TI, TK TI, TK
TI, TK TI, TK
TI, TK TI, TK
0 100
Keterangan : * Untuk tanah peka erosi (Ultisol, Entisol, Vertisol, Alfisol) dibatasi sampai lereng 65%, sedangkan
untuk tanah yang kurang peka sampai lereng 100%.TB = Teras bangku; BL = Budidaya lorong, TG = Teras gulud; TI = Teras Individu; RR = Rorak; TK = Teras kebun; PH = Pagar hidup; ST = Strip rumput atau strip tanaman alami; SP = Silvipastura; PT = Tanaman penutup tanah
Semakin tinggi ketergantungan penduduk terhadap lahan pertaniannya maka
tekanan penduduk pada lahan semakin tinggi dan menyebabkan semakin rendah daya
dukung lahan, yang artinya semakin sedikit jumlah orang yang bisa dicukupi dari lahan
pertaniannya.