-
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Apel
Tanaman apel yang buahnya saat ini dikonsumsi secara luas oleh
masyarakat dunia diduga merupakan hasil dari hibrid interspesies dengan nama
ilmiahnya adalah Malus domestica Borkh. Apel adalah buah-buahan hasil dari
domestikasi moyangnya yang berasal dari Asia Tengah, yaitu Malus sieversii.
Spesies ini. adalah tumbuhan asli Asia Tengah, meliputi Kazakhstan, Kyrgyzstan,
Tajikistan, dan Uzbekistan (Luby.2003). Malus sieversii juga didapatkan di Cina
dimana populasi alamiahnya terdapat di lembah sungai Ili yang terletak pada bagian
barat pegunungan Tianshan dan perbukitan sisi barat Junggar. Secara alamiah,
tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 1.100 sampai 1600 m dpl (Gaibel et al.2000).
Linnaeus pertama kali memasukkan apel dalam genus Pyrus, namun Philip Miller
memperbaiki sistem klasifikasinya dan meletakkan apel dalam genus Malus.
Tanaman apel bisa jadi adalah tanaman buah yang pertama kali secara intensif
dibudidayakan. Tanaman apel tersebar ke Benua Eropa karena peran dari Alexander
Agung, sementara di wilayah Amerika Utara introduksi apel dimulai tahun 1600
(IUCN.2009). Adapun taksonomi dari buah apel adalah sebagai berikut :
Divisio : Spermatopyta
Sub Divisio : Angiosperma
Klass : Dicotyledone
Ordo : Rosales
Famili : Mallus
Speesies : Malus domestica ( Untung,1996 )
4
-
5
Apel pada dasarnya dapat beradaptasi pada bermacam-macam iklim, tetapi
pertumbuhan yang baik adalah pada daerah temperate yang dingin pada latitude 35-
50°. Pada kawasan dengan empat musim, pembungaan serentak (blossom) secara
simultan terjadi pada terjadi pada musim semi. Pertumbuhan apel diketahui sangat
dipengaruhi musim. Saat musim dingin, apel akan dorman dan baru melakukan
pembungaan besar-besaran (blossom) pada musim semi. Apel mencapai
kematangan buah sekitar 120-150 hari setelah pembungaan, dan beberapa jenis apel
baru mencapai kematangan pada umur 180 hari (Luby.2003). Temperatur diketahui
sangat berperan dalam produksi apel. Menurut Warrick et al.(2001), temperatur
mempengaruhi penampakan buah (ukuran, warna), tekstur, dan ketahanan
penyimpanan pasca panen. Kondisi iklim, meliputi panjang hari dan temperatur,
serta kesediaan air adalah signal penting dalam siklus hidup apel. Dengan demikian,
budidaya apel sangat tergantung dengan kondisi lingkungan tempat budidaya.
Luby (2003) telah memberikan bahasan menyeluruh tentang sejarah apel
dan distribusinya saat ini, namun keberadaan apel di Indonesia tidak disinggung di
dalamnya. Penelusuran literatur tentang apel di Indonesia menunjukkan bahwa apel
dapat tumbuh di Jawa Timur, tepatnya di kawasan Malang dan sekitarnya. Menurut
Notodimedjo (1996), apel dapat tumbuh di Malang karena wilayah ini mempunyai
kemiripan dengan kawasan temperate. Kawasan Batu pertama kali dipilih sebagai
uji coba penanaman apel karena wilayah ini mempunyai karakter yang hampir mirip
dengan habitat asli tumbuhan apel. Batu memiliki suhu udara tahunan berkisar
antara 18-30˚ C, curah hujan rata-rata 875 - 3000 mm per tahun dan kelembaban
udara berkisar antara 75 - 98% (Kominfo Batu.2009).
-
6
Apel selanjutnya menyebar ke daerah Malang timur dan sekitarnya,
meliputi Nongkojajar dan Poncokusumo. Apel cepat tersebar di kawasan Malang
karena selain iklim yang sesuai, perbanyakannya dapat dilakukan dengan mudah
dan cepat. Selain dibudidayakan di kebun-kebun secara intensif, tumbuhan apel
juga dimanfaatkan sebagai tanaman ornamental. Sebagai tanaman ornamental, apel
ditanaman di pekarangan rumah di Gubukklakah, Poncokusumo dan di desa-desa
lereng pegunungan Tengger barat (Hakim dan Nakagoshi.2007). Pemukiman di
desa-desa Tenger banyak terletak pada lahan dengan kemiringan curam (Whitten et
al.1996 dalam Hakim et al. 2007), dan dengan demikian pemanfaatan apel dalam
konservasi lahan miring dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan. Di Eropa,
pemakaian tanaman apel bagi reklamasi lahan bekas kerusakan pertambangan telah
dilaporkan oleh Brown et al.(1983).
2.2 Mikoriza Vesicular Arbuskular
2.2.1 Definisi Mikoriza
Kata mikoriza berasal dari bahasa Yunani yaitu myces (cendawan) dan rhiza
(akar) (Sieverding, 1991 dalam Husna dkk, 2007). Mikoriza adalah suatu bentuk
hubungan simbiosis mutualisme antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat
tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, cendawan memperoleh
karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya cendawan
memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman
dalam menyerap unsur hara terutama unsur P (Husna dkk, 2007). Fungi mikoriza
arbuskular banyak ditemukan pada jenis tanah Ultisols karena mikoriza memiliki
daya adaptasi pada lahan tersebut. Potensi mikoriza pada lahan Ultisols yaitu dapat
-
7
memperbaiki ketersediaan hara bagi tanaman (Prihastuti,2007). Jamur mikoriza
menginfeksi dan mengkoloni perkaran tanaman khususnya jaringan korteks akar
tanpa menimbulkan kerusakan atau kematian jaringan akar sebagaimana jamur
patogenik. Jamur mikoriza membantu penyerapan unsur-unsur hara yang
diperlukan tanaman, khususnya unsur P dan N, sedangkan tanaman menyediakan
unsur karbon yang dibutuhkan jamur mikoriza untuk kelangsungan hidupnya
(Moses, 2000).
2.2.2 Jenis Jenis Mikoriza
Menurut Prabaningrum (2017), mikoriza secara umum dapat dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu :
1. Ektomikoriza
Ektomikoriza adalah asosiasi simbiosa antara jamur dan akar tumbuhan,
dimana jamur membentuk suatu sarung yang menyelubungi semua atau beberapa
cabang-cabang akar dan adakalanya masuk ke dalam sel tetapi tidak pernah
menembus melewati korteks dan hifa intraseluler tidak menyebabkan kerusakan sel
inang. Contoh ektomikoriza disajikan pada Gambar 1.
-
8
Gambar 1. Ektomikoriza (Russulales, 2010)
Keterangan : a. ektendomikoriza menyelimuti cabang – cabang akar
2. Endomikoriza
Endomikoriza adalah asosiasi simbiosis mutualisme antara jamur tertentu
dengan akar tanaman, dimana jamur tumbuh sebagian besar di dalam korteks akar
dan menembus akar tanaman inang. Endomikoriza dibedakan atas tiga grup yaitu
erikoid mikoriza, orchidaceous mikoriza dan mikoriza vesikular arbuskular. Contoh
endomikoriza disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Endomikoriza (INVAM, 2019)
Keterangan :
a. hifa menembus korteks akar. b. terbentuknya vesikel di dalam korteks akar
a
b
a
-
9
3. Ektendomikoriza
Ektendomikoriza merupakan bentuk antara (intermediet) kedua mikoriza
yang lain. Ciri-cirinya antara lain adanya selubung akar yang tipis berupa jaringan
hartiq, hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteknya.
Penyebarannya terbatas dalam tanah-tanah hutan sehingga pengetahuan tentang
mikoriza tipe ini sangat terbatas. Contoh Ektendomikoriza disajikan pada Gambar
3.
Gambar 3. Ektendomikoriza (Simanungkalit, 2004)
Keterangan :
a. hifa menginfeksi dinding sel korteks akar, b. jaringan hartiq menyelubungi akar
2.2.3 Struktur Mikoriza Vesikular Arbuskular
Struktur mikoriza arbuskular, yaitu :
1. Arbuskular
Arbuskular merupakan struktur hifa yang berasal dari percabangan hifa di
dalam sel korteks akar tanaman inang. Bentuk arbuskular menyerupai pohon kecil
yang berfungsi sebagai tempat pertukaran zat-zat metabolit primer antara fungi dan
akar tanaman (Brundrett, 2008). Semakin bertambahnya umur, arbuskular berubah
b
a
-
10
menjadi suatu struktur yang menggumpal dan tidak dapat dibedakan lagi
(Pattimahu, 2004).
2. Vesikel
Vesikel merupakan hifa fungi endomikoriza yang mengalami
penggembungan (melebar). Penggembungan hifa bisa terjadi secara internal di
dalam sel atau di luar sel akar tanaman inang yang terbentuk pada hifa terminus dan
interkalar. Vesikel berbentuk bulat atau oval/lonjong yang berisi senyawa lemak.
Vesikel merupakan organ penyimpanan cadangan makanan bagi fungi
endomikoriza (Brundrett, 2008).
3. Hifa Eksternal
Hifa eksternal merupakan struktur lain dari cendawan mikoriza yang
berkembang di luar akar. Hifa ini berfungsi menyerap hara dan air di dalam tanah.
Terbentuknya hifa eksternal yang berasosiasi dengan tanaman berperan penting
dalam perluasan bidang adsorpsi akar sehingga memungkinkan akar menyerap hara
dan air dalam jangkauan yang lebih luas (Mosse, 1981 dalam (Widiarti, 2007)
4. Hifa Internal
Hifa internal adalah hifa yang menembus ke dalam sel korteks dari satu sel
ke sel yang lain. Hifa internal sangat penting untuk mengetahui adanya kolonisasi
mikoriza dalam akar tanaman (Pujianto, 2001)
5. Spora
Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara
tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis cendawannya.
Perkecambahan spora sangat sensitif terhadap kandungan logam berat di dalam
-
11
tanah dan begitu juga dengan kandungan Al. Kandungan Mn juga mempengaruhi
pertumbuhan miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai
beberapa tahun. Namun, untuk berkembang mikoriza memerlukan tanaman inang.
Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum digunakan lagi (Mosse,
1981 dalam (Widiarti, 2007).
2.2.4 Klasifikasi dan Genus Mikoriza
Fungi mikoriza vesicular arbuskular termasuk dalam golongan
endomikoriza dengan klasifikasi termasuk ke dalam filum Glomeromycota.
mikoriza mempunyai 4 ordo, secara singkat terpapar dalam table berikut : yaitu
ordo Archaeosporales, Glomerales, Paraglomerales dan Diversisporales. . Ordo
Archaeosporales mempunyai 2 famili yaitu famili Archaeosporaceae dengan genus
Archaeospora dan famili Geosiphonaceae dengan genus Geosiphon. Ordo
Glomales mempunyai satu famili yaitu Glomaceae dengan genus Glomus. Ordo
Paraglomerales mempunyai satu famili yaitu Paraglomaceae dengan genus
Paraglomus. Ordo Diversisporales mempunyai 4 famili yaitu famili
Acaulosporaceae dengan genus Acaulospora dan Entrophospora, famili
Gigasporacea dengan genus Gigaspora dan Scutellospora, famili Diversisporaceae
dengan genus Diversispora (Glomus), dan famili Pacisporaceae dengan genus
Pacispora. (Rini dan Rosalinda 2010).
Fungi mikoriza dikelompokkan berdasarkan cara terbentuknya spora pada
setiap genus. Karakteristik yang khas untuk masing-masing genus ialah sebagai
berikut:
1. Glomus sp.
-
12
Pada genus Glomus, proses perkembangan spora adalah dari ujung hifa
yang membesar sampai mencapai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Spora
Glomus sp. berbentuk bulat dan jumlahnya banyak. Warna spora genus Glomus sp.
bervariasi mulai dari, kuning, kuning kemerahan, kuning kecoklatan, coklat
kekuningan, coklat muda, coklat tua kehitaman, ungu hingga hitam. Dinding spora
berjumlah satu, seluruh lapisan yang ada pada dinding spora berasal dari dinding
hifa pembawa. Permukaan dinding spora halus tidak memiliki ornamen dan ada
dudukan hifa (subtending hyphae) lurus berbentuk silinder.
Gambar 4. Spora Glomus sp. (INVAM, 2019)
Menurut Desi, dkk (2012) Glomus sp. merupakan hasil dari perkembangan
hifa, dimana ujung dari hifa akan mengalami pembengkakan hingga terbentuklah
spora. Ciri Glomus sp. yaitu pora bulat, berwarna kuning hingga jingga, permukaan
agak kasar, dan mempunyai hifa (Desi dkk., 2012). Genus Glomus mencakup
spesies sporokarp dan non-sporokarp. Perkembangan sporanya disebut
Chlamydospora, karena sporanya berasal dari perkembangan hifa, yaitu dari ujung
hifa yang membesar sampai ukuran maksimal. Dinding sporanya memiliki satu atau
lebih lapisan tanpa ornamentasi. Vesikel dan arbuskular ditemukan pada Glomus
(Parkash, 2008: 14). Banyak spesies Glomus membentuk spora dalam akar dan juga
dalam tanah. Spora Glomus yang belum dewasa memiliki reaksi warna Melzer yang
-
13
lemah, dan tidak terjadi pada spora yang lebih tua. Spora Glomus yang muda
mempunyai lapisan dinding luar yang rapuh, dan hilang ketika spora menjadi tua
(Brundett, et al, 1996: 146-147).
2. Acaulospora sp.
Genus Acaulospora memiliki bentuk bulat, iregular dan elips dengan dua
lapis dinding spora. Warna spora bervariasi mulai kuning, oranye kecoklatan,
merah tua, hingga merah kecoklatan. Proses perkembangan spora Acaulospora sp.
seolah-olah dari ujung hifa tapi sebenarnya tidak. Pertama-tama ada hifa yang
ujungnya membesar yang strukturnya seperti spora disebut saccule. Kemudian
saccule berkembang disertai muncul bulatan kecil diantara hifa terminus dan
subtending hifa. Bulatan kecil tersebut akan berkembang dari sisi subtending hifa
menjadi spora. Saccule yang berbentuk bulat hingga iregular dengan warna
bervariasi dari transparan, kuning, merah muda transparan, hingga putih. Menurut
pendapat Desi, dkk. (2012) Acaulospora. sp memiliki Ukuran spora 100–200 μm.
Spora berbentuk bulat, warna dominan merah, permukaan halus, menyerap larutan
dan ada perbedaan lapisan. Memiliki beraneka ornamen bergantung kepada
spesiesnya, misalnya berbentuk duri pada Acaulospora spinosa dan berbentuk
tabung pada A. tuberculata Memiliki satu cycatrix sebagai tanda.
Gambar 5. Spora Acaulospora sp. (INVAM, 2019)
-
14
3.Entrophospora sp.
Proses perkembangan spora Entrophospora hampir sama dengan proses
perkembangan spora Acaulospora sp, yaitu di antara hifa terminus dengan
subtending hifa. Perbedaan keduanya adalah pada proses perkembangan
azygospora berada di dalam blastik atau ditengah hifa terminus, sehingga akan
terbentuk dua lubang yang simetris pada spora yang telah matang. Warna sporanya
kuning coklat, tetapi jika spora belum matang warnanya tampak jauh lebih buram.
Gambar 6. Spora Entrophospora sp. (INVAM, 2019)
4. Archaespora sp.
Perkembangan spora pada genus Archaespora merupakan perpaduan antara
perkembangan spora genus Glomus dan Entrophospora atau Acaulospora. Pada
awalnya, di ujung hifa akan terbentuk Sporiferous saccule. Selanjutnya pada leher
saccule atau subtending hifa akan berkembang pedicel atau percabangan hifa dari
leher saccule.
Gambar 7. Spora Archaespora sp. (INVAM, 2019)
-
15
5. Paraglomus sp.
Proses pembentukan spora paraglomus hampir sama dengan proses
pembentukan spora Glomus. Spora tersebut berasal dari ekspansi blastic dari ujung
hifa. Spora berbentuk bulat dengan warna kuning, semi transparan dan bening.
Jumlah dinding spora terdiri atas lapisan transparan. Dudukan hifa berbentuk
silinder. Ukuran spora rata-rata 85 𝜇m.
Gambar 8. Spora Paraglomus sp. (INVAM, 2019)
6. Gigaspora sp.
Spora berkembang secara blastik dari ujung hifa yang membengkak dan
menjadi "sel sporogenous". Setelah sel sporogenous mencapai ukuran penuh
(biasanya sekitar 25─50 μm di sebagian besar spesies), spora mulai berkembang di
ujung sel sporogenous. Lapisan luar dan lapisan laminasi berkembang secara
bersamaan, dan sering tidak dapat dibedakan dalam spora muda tanpa bantuan
pewarnaan Melzer.
Gambar 9. Spora Gigaspora sp. (INVAM, 2019)
-
16
Spora pada genus Gigaspora ini terbentuk pada mulanya berasal dari ujung
hifa (subtending hifa) yang membulat yang disebut suspensor, kemudian di atas
bulbour suspensor tersebut terbentuk bulatan kecil yang terus-menerus membesar
dan akhirnya terbentuklah struktur yang dinamakan spora. Memiliki bentuk bulat
dan permukaan dinding spora relatif kasar. Spora yang ditemukan memiliki dinding
spora berwarna hitam, namun tidak terdapat hifa yang menempel pada dinding
spora sehingga bulbous suspensor tidak terlihat (Desi dkk., 2012). Spora dari
spesies Gigaspora berkembang dari hifa subtending bulbous. Gigaspora tidak
memiliki dinding perkecembahan fleksibel yang dibentuk (inner wall) dan
suspensor melekat pada permukaan terluar dinding spora. Karakteristik khas
Gigaspora adalah adanya bulbous suspensor. Spora Gigaspora dihasilkan secara
tunggal di dalam tanah, ukurannya besar dan berbentuk globos atau subglobos
(Nurhalimah, dkk, 2014: 33).
7. Scutellospora sp.
Proses perkembangan spora Scutellospora sp. sama dengan Gigaspora sp. ,
untuk membedakan dengan genus Gigaspora, pada Scutellospora terdapat lapisan
kecambah. Bila berkecambah, hifa ke luar dari lapisan kecambah (germination
shield) tadi. Spora bereaksi dengan larutan Melzer secara menyeluruh. Warna
sporanya merah coklat ketika bereaksi dengan larutan Melzer (INVAM, 2008).
-
17
Gambar 10. Spora Scutellospora sp. (INVAM, 2019)
Scutellospora sp. adalah genus mikoriza yang termasuk dalam family
Gigasporaceae. Genus ini memiliki beberapa ciri khas antara lain yaitu spora
dengan atau tanpa hiasan, spora terdiri dari dinding spora yang fleksibel, struktur
spora berbentuk ovoid, obovoid, pyriformis, atau irregular. Proses terbentuknya
spora pada Scutellospora sp. sama dengan pembentukan spora pada genus
Gigaspora sp.. Pembeda genus Gigaspora sp. dengan Scutellospora sp. adalah pada
Scutellospora sp. terdapat germination shield, dan pada saat berkecambah hifa akan
keluar dari germination shield tersebut (Walker & Sanders 1986; INVAM 2013).
2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikoriza
Pertumbuhan mikoriza sangat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu :
1. Suhu
Schenk dan Schroder (1974) menyatakan suhu berpengaruh terhadap
perkembangan spora, penetrasi hifa serta perkembanganya pada bagian korteks
akar. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan ketahanan enzim masing-
masing spesies mikoriza terhadap suhu tertentu. Menurut Mosse (1981) Suhu yang
relatif tinggi akan meningkatkan aktivitas fungi. Suhu yang tinggi pada siang hari
(35°C) tidak menghambat perkembangan akar dan aktivitas fisiologi mikoriza.
-
18
Akan tetapi peran mikoriza akan menurun pada suhu diatas 40°C. Suhu bukan
faktor pembatas utama bagi aktivitas mikoriza. Suhu yang sangat tinggi justru
dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman inang.
2. Intensitas Cahaya
Intensitas cahaya memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan mikoriza.
Intensitas cahaya berpengaruh terhadap suplai fotosintat yang dibutuhkan oleh
fungi mikoriza. Tumbuhan dengan laju fotosintesis tinggi juga cenderung
memperbaiki suplai fotosintat bagi mikoriza, sehingga berakhibat pada
meningkatnya konsentrasi karbohidrat di dalam akar (Daniel and Trappe, 1980).
3. pH Tanah
Powell dan Bagyaraj (1984) menyatakan terdapat hubungan antara pH
dengan perkecambahan spora fungi mikoriza yaitu pH berpengaruh pada aktivitas
enzim, aktivitas enzim berpengaruh pada perkecambahan. Selain itu pH rendah atau
asam juga berpengaruh menjadi tidak tersedianya unsur fosfat sebagai unsur
penting dalam pembelahan sel pada proses perkecambahan spora mikoriza. Fungi
pada umumnya lebih dapat tahan terhadap perubahan pH tanah. Meskipun
demikian, daya adaptasi masing-masing genus Mikoriza terhadap pH tanah
berbeda-beda. Hal ini karena pH tanah mempengaruhi perkecambahan,
perkembangan dan peran mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman. pH optimum
untuk perkecambahan tergantung kepada adaptasi dari mikoriza terhadap
lingkungan (Suhardi, 1989).
4. Kadar Air Tanah
-
19
Mikoriza dapat meningkatkan kemampuan tanaman untuk tumbuh dan
bertahan pada kondisi kering hal ini karena mikoriza dapat memperbaiki dan
meningkatkan kapasitas serapan air tanaman inang (Pujianto, 2001).
5. Bahan Organik
Tanah yang mengandung bahan organic lebih banyak (1-2 %) cenderung
mengandung jumlah spora mikoriza yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah
yang mengandung sedikit bahan organic (kurang dari 0,5 %) jumlah spora yang ada
sangat sedikit (Pujianto, 2001).
6. Tanaman Inang
Kondisi fisik tanaman inang akan mempengaruhi perkembangan cendawan
mikoriza, sehingga apabila kondisi tanaman terganggu akibat kekeringan maupun
serangan penyakit maka kondisi cendawan mikoriza pun akan terganggu (Shi dkk,
2007)
7. Mikroorganisme Lain
Mikroorganisme di dalam tanah ada yang bersifat antagonis terhadap
tanaman dan ada juga yang bersifat non antagonis terhadap tanaman.
Mikroorganisme yang bersifat antagonis jika menyerang tanaman inang dan
menimbulkan gangguan fisik, dapat menghambat pertumbuhan tanaman inang serta
memicu proses sporulasi cendawan mikoriza (Paulitz dan Linderman, 1991).
8. Logam Berat dan Unsur Lain
Logam berat dalam larutan tanah dengan jumlah yang berlebih dapat
mempengaruhi perkembangan mikoriza. Beberapa spesies mikoriza arbuskular
-
20
diketahui mampu beradaptasi dengan tanah yang tercemar seng (Zn) (Janouskova
dkk, 2006).
9. Fungisida
Fungisida merupakan racun kimia yang dirakit untuk membunuh fungi
penyebab penyakit pada tanaman. Di samping mampu memberantas fungi
penyebab penyakit, fungisida Agrosan, Benlate, Plantavax meskipun dalam
konsentrasi yang sangat rendah (2.5 𝜇g per gram tanah) juga dapat membunuh
kolonisasi mikoriza yang apabila terjadi akan mengakibatkan menurunnya jumlah
koloni mikoriza didalam tanah (Manjunath dan Bagyaraj, 1984).
10. Ketersediaan Hara
Tanaman yang tumbuh subur karena kebutuhan unsur haranya tercukupi
cenderung mengandung sedikit kolonisasi mikoriza dikarenakan perakarannya
tumbuh secara intensif. Berbeda dengan tanaman yang kurang subur atau keadaan
lahan miskin hara mineral ditanah dengan intensitas pertumbuhan cabang akar yang
rendah menunjukkan peningkatan kolonisasi endomikoriza pada akar – akar
serabutnya. Hal ini membuktikan bahwa endomikoriza sangat bermanfaat pada
tanaman yang tumbuh pada daerah kurang subur atau miskin hara (Oehl dkk, 2004).
11. Pengolahan Tanah
Tanah yang mengalami pengolahan berupa penggemburan atau pembalikan
akan menghasilkan jumlah spora yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah
yang tidak pernah dilakukan pengolahan. Hal ini disebabkan karena tanah yang
mengalami pengolahan terjadi pergantian tanaman,keadaan kekeringan, perubahan
air tanah dan suhu, sedangan tanah yang tidak diolah cenderung tidak mengalami
-
21
hal tersebut, sehingga tanah yang diolah cenderung mengandung lebih banyak spora
mikoriza daripada yang tidak diolah. (Suhardi, 1989).
12. Residu akar
Residu akar mempengaruhi ekologi fungi mikroza, karena serasah akar
yang terinfeksi oleh mikoriza merupakan sarana penting untuk mempertahankan
generasi mikoriza dari satu tanaman ke tanaman berikutnya. Serasah tersebut
mengandung hifa, vesikular dan spora yang dapat menginfeksi akar. Disamping itu
juga berfungsi sebagai inokulan untuk generasi tanaman berikutnya (Anas, 1997).
13. Kolonisasi akar
Kolonisasi akar oleh mikoriza akan dicapai maksimal pada tanah yang
kurang subur kondisinya. Hal ini dikarenakan nitrogen dan fosfor dalam tingkat
ketersediaan yang tinggi mampu mengurangi kolonisasi mikoriza terhadap akar.
Kolonisasi akar akan meningkat bila nitrogen meningkat pada kondisi fosfor yang
sedang, akan tetapi apabila kondisi fosfor tinggi dan ada penambahan nitrogen
justru hal tersebut menyebabkan penghambatan kolonisasi dari akar dan
penghambatan produksi spora mikoriza (Suhardi, 1989).
2.2.6 Manfaat Mikoriza
Menurut (Iskandar, 2002) prinsip kerja dari mikoriza ini adalah menginfeksi
sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga
tanaman yang mengandung mikoriza tersebut akan mampu meningkatkan kapasitas
dalam penyerapan unsur hara. Secara umum manfaat yang diberikan dengan
penggunaan pupuk hayati mikoriza adalah :
1. Meningkatkan Penyerapan Unsur Hara. (Unsur P)
-
22
Tanaman yang bermikoriza (endo-mikoriza) dapat menyerap pupuk P lebih
tinggi (10-27%) dibandingkan dengan tanaman yang tidak bermikoriza (0.4-13 %).
Penelitian terakhir pada beberapa tanaman pertanian dapat menghemat penggunaan
pupuk Nitrogen 50 %, pupuk phosfat 27 % dan pupuk Kalium 20%. Pengaruh
penggunaan mikoriza pada pertumbuhan tanaman adanya perbedaan pertambahan
tinggi tanaman dibanding kontrol.
2. Menahan Serangan Patogen Akar
Akar yang bermikoriza lebih tahan terhadap patogen akar karena lapisan
mantel (jaringan hifa) menyelimuti akar dapat melindungi akar. Di samping itu
beberapa mikoriza menghasilkan antibiotik yang dapat menyerang bakteri, virus,
jamur yang bersifat patogen.
3. Memperbaiki Struktur Tanah
Mikoriza dapat meningkatkan struktur tanah dengan menyelimuti butir-
butir tanah. Stabilitas agregat meningkat dengan adanya gel polysakarida yang
dihasilkan cendawan pembentuk mikoriza.
4. Pemupukan Sekali Seumur Tanaman
Karena mikoriza merupakan mahluk hidup maka sejak berasosiasi dengan
akar tanaman akan terus berkembang dan selama itu pula berfungsi membantu
tanaman dalam peningkatan penyerapan unsur hara yang diperlukan untuk
pertumbuhan tanaman. Menurut Sutarman (2016) Mikoriza memiliki peranan bagi
pertumbuhan dan produksi tanaman, peranan Mikoriza bagi tanaman sebagai
berikut :
a) Mikoriza meningkatkan penyerapan unsur hara.
-
23
b) Mikoriza melindungi tanaman inang dari pengaruh yang merusak yang
disebabkan oleh stres kekeringan.
c) Mikoriza dapat beradaptasi dengan cepat pada tanah yang terkontaminasi.
d) Mikoriza dapat melindungi tanaman dari patogen akar.
e) Mikoriza dapat memperbaiki produktivitas tanah dan memantapkan struktur
tanah. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan cendawan Mikoriza mampu
meningkatkan serapan hara, baik hara makro maupun hara mikro, sehingga
penggunaan Mikoriza dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk mengurangi dan
mengefisienkan penggunaan pupuk buatan.
f) Mikoriza berpotensi besar sebagai pupuk hayati karena salah satu
mikroorganisme yang memiliki peranan yang sangat penting bagi tanaman seperti
dapat memfasilitasi penyerapan hara dalam tanah sehingga dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman, sebagai penghalang biologis terhadap infeksi patogen akar,
meningkatkan ketersediaan air bagi tanaman dan meningkatkan hormon pemacu
tumbuh (Prihastuti, 2007).
g) Mikoriza juga berperan dalam menjaga kelestarian tanah baik secara fisik, kimia
maupun biologi sehingga keseimbangan biologis selalu terjaga (Hartoyo dkk.,
2011)
2.3 Identifikasi, Karakterisasi dan Perbanyakan Spora Mikoriza
2.3.1 Identifikasi dan Karakterisasi
Teknik identifikasi dan karakterisasi mikoriza secara umum ada dua , yaitu :
1. Teknik Pendekatan Morfologi
-
24
Teknik Identifikasi menggunakan pendekatan morfologi merupakan cara
identifikasi yang umum digunakan. Identifikasi jenis ini merupakan dasar
identifikasi mikoriza dikarenakan hifa dan organ-organ lainnya seperti arbuskular
dan vesikular tidak spesifik untuk setiap spesies. Beberapa genus seperti
Archaeospora tidak hanya membutuhkan karakteristik morfologi tapi juga
membutuhkan data sekuens. Karakteristik dengan pendekatan morfologi yang
diperoleh selanjutnya dicocokkan dengan deskripsi spesies yang ada dalam dalam
rujukan asli yang terpercaya. Rujukan yang umum digunakan yaitu INVAM dan
Morton (FNCA, 2012). Kelemahan identifikasi berdasarkan morfologi adalah
identifikasi tanpa keahlian yang cukup dapat menyebabkan kesalahan pendugaan
spesies. Oleh karena itu, identifikasi spesies sebaiknya di bawah bimbingan ahli
fungi mikoriza (Hidayat, 2002).
2. Teknik Pendekatan Molekuler
Teknik pendekatan menggunakan Penanda molekuler telah dikembangkan
untuk keperluan deteksi dan identifikasi mikoriza. Teknik pendekatan molekular
dilakukan menggunakan prinsip mengeksploitasi variasi genetik. Studi tentang
genus mikoriza telah menjadi tren, karena disadari bahwa fungi ini memiliki banyak
genom dibandingkan dengan zygomycetes lain, yaitu berkisar 0.13 sampai 1.0 pg
DNA per nukleus. Analisis terhadap komposisi basa DNA Sembilan spesies
glomelian memperlihatkan kandungan GC rendah dengan level tinggi
methylcytisine. dan genom memiliki sekuens DNA ulangan yang banyak. Metode
molekular telah berhasil dilakukan untuk mempelajari sekuens rDNA dari mikoriza
(Hidayat, 2015).
-
25
Kurangnya konsep spesies yang jelas dan polimorfisme gen penanda yang
digunakan membuat kesulitan dalam identifikasi mikoriza secara molekuler. Satu
lokus genetik tunggal (misalnya rDNA) juga tidak bisa memberikan perbedaan
yang jelas antara variasi genetik intra-spesies dan antar spesies. Masalah yang
ditemui dalam identifikasi ini adalah kesulitan dalam ekstraksi DNA. Dalam
identifikasi secara molekuler, primer spesifik sangat dibutuhkan. Merancang satu
primer pada semua jamur glomalean dan lainnya terbukti sangat sulit. Masalah
tersebut bisa dipecahkan dengan menggunakan primer kelompok tertentu. Namun,
penggunaan primer ini membutuhkan perencanaan yang sangat teliti (Reddy dkk,
2005)
2.3.2 Perbanyakan Spora Mikoriza
Cendawan Mikoriza tidak dapat ditumbuhkan pada media buatan karena
cendawan ini merupakan simbion obligat, sehingga untuk perkembangannya
cendawan ini harus bersimbiosis dengan suatu tanaman. Spora-spora yang
dikumpulkan dari lapang dapat terdiri atas berbagai spesies. Upaya pemurnian
harus dilakukan dengan menginokulasikan satu spora dengan tanaman inang
tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan satu isolat yang kemungkinan
merupakan satu spesies tertentu (Simanungkalit, 2004). Bahan yang biasa
digunakan dalam upaya perbanyakan spora mikoriza adalah media zeolite,arang
sekam dan tanah yang terlebih dahulu sudah di sterilisasi. Selain itu karena sifat
simbion obligat tersebut mikoriza hanya akan berkembang biak jika menemukan
tanaman inang, untuk proses perbanyakan biasanya menggunakan bibit jagung
yang sudah mulai muncul 2-3 helai daun. Spora dapat hidup di dalam tanah
-
26
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Namun, untuk berkembang mikoriza
memerlukan tanaman inang. Spora dapat disimpan dalam waktu yang lama sebelum
digunakan lagi (Mosse, 1981 dalam (Widiarti, 2007).