6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemasan Pangan
Dalam kehidupan sehari-hari, pangan merupakan salah satu kebutuhan primer
manusia. Seiring dengan perkembangan teknologi, produk pangan pun mengalami
perkembangan, antara lain dari segi teknik pengolahan, pengawetan, pengemasan dan
distribusinya. Hal tersebut memungkinkan suatu produk pangan yang dihasilkan di
suatu tempat dapat diperoleh di tempat lain.
Pengemasan bahan pangan sudah lama dikenal dan dipergunakan untuk
keperluan manusia. Pada zaman prasejarah, orang masih menggunakan bahan
kemasan dari bahan-bahan alami seperti daun-daun, kulit buah, kulit kayu, pelepah,
batu-batuan, kerang dan kulit binatang. Bentuk dan fungsi kemasan pada masa
lampau masih sangat sederhana, yakni hanya untuk keperluan membawa makanan
yang tidak habis terkonsumsi ke daerah lain (Iskandar, 1987).
Kebanyakan produk pangan yang ada di pasaran telah dikemas sedemikian
rupa sehingga mempermudah konsumen untuk mengenali serta membawanya. Secara
umum, kemasan pangan merupakan bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau
membungkus pangan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan
pangan (Sacharow dan Griffin, 1970).
Menurut Sutardi dan Tranggono (1990), selain untuk mewadahi/membungkus
pangan, kemasan pangan juga mempunyai berbagai fungsi lain, diantaranya untuk
menjaga pangan tetap bersih serta mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme;
menjaga produk dari kerusakan fisik; menjaga produk dari kerusakan kimiawi;
7
mempermudah pengangkutan dan distrisbusi; mempermudah penyimpanan;
memberikan informasi mengenai produk pangan dan instruksi lain pada label;
menyeragamkan volume atau berat produk dan membuat tampilan produk lebih
menarik sekaligus menjadi media promosi.
Pada saat ini, jenis-jenis kemasan yang sering digunakan tidak terlalu berbeda
dengan jenis-jenis kemasan pada masa lampau. Perkembangan pengemasan memang
dirasakan tidak terlalu pesat walaupun kegunaannya semakin terasa dan diperlukan.
Bentuk kemasan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan produk-
produk hasil olahan yang bervariasi (Herudiyanto, 2008).
Menurut Sacharow dan Griffin (1970), jenis bahan pengemasan yang paling
umum digunakan untuk pengemasan bahan pangan dapat dibedakan berdasarkan
bahannya, yaitu: kemasan kaca/gelas, kemasan logam, kemasan plastik, kemasan
kertas dan kemasan logam. Pemilihan jenis kemasan yang akan digunakan sangat
tergantung pada karakteristik dan jenis bahan pangan yang akan dikemas.
Jenis kemasan kaca merupakan salah satu kemasan yang paling umum dan
banyak digunakan untuk mengemas produk hasil olahan. Bahan dasar pembuatan
kemasan kaca adalah pasir, silika, batu, kapur, soda abu (Na2CO3) dan remukan kaca.
Bahan-bahan ini dilebur pada suhu ± 1500oC, kemudian dicetak menjadi bentuk-
bentuk yang dikehendaki. Perkembangan yang penting dari teknologi pembuatan
kaca, yakni dengan ditemukannya cara pembuatan kaca yang tipis dan berkekuatan
cukup besar serta tahan panas, telah membantu memperkuat daya saing kaca terhadap
bahan kemasan yang lain (Herudiyanto, 2008).
Kemasan logam merupakan penghantar panas yang baik sehingga sangat
cocok sebagai wadah untuk bahan yang mengalami proses sterilisasi, selain itu
mempunyai sifat kilap dan tidak tembus pandang (Iskandar, 1987). Kemasan logam
yang paling dikenal adalah dalam bentuk wadah kaleng. Jenis logam yang dibuat
untuk kemasan pangan antara lain adalah baja (steel), kaleng (tin plate) dan tin free
steel, aluminium dan aluminium foil (alufo).
Menurut Herudiyanto (2008), terdapat dua jenis kertas yang utama digunakan
sekarang, yaitu kertas kasar dan halus. Semua kertas yang digunakan sebagai
kemasan adalah jenis kertas kasar. Kertas halus digunakan sebagai kertas surat
obligasi, buku besar, buku dan kertas sampul. Kertas digunakan untuk mengemas
bahan pangan disebabkan oleh alasan-alasan kemudahan pemakaian dan pemberian
label (tulisan perikalanan).
Plastik merupakan senyawa polimer tinggi yang dicetak dalam lembaran-
lembaran yang mempunyai ketebalan tertentu. Penggunaan plastik dapat dalam
bentuk film atau lembaran dan wadah yang dapat dicetak. Penggunaan plastik sebagai
pengemas pangan terutama karena keunggulannya dalam hal bentuknya yang
fleksibel sehingga mudah mengikuti bentuk pangan yang dikemas, berbobot ringan,
tidak mudah pecah, bersifat transparan/tembus pandang, mudah diberi label dan
dibuat dalam aneka warna, dapat diproduksi secara massal, harga relatif murah dan
terdapat berbagai jenis pilihan bahan dasar plastik (Sacharow dan Griffin, 1970).
Perlu diakui bahwa ketersedian berbagai jenis bahan kemasan telah banyak
membantu kehidupan manusia, namun tidak sedikit pula masalah yang ditimbulkan
dari berbagai jenis bahan kemasan tersebut. Contohnya adalah penggunaan plastik
9
sebagai bahan pengemas. Plastik jenis tertentu (misalnya PE, PP, PVC) tidak tahan
panas, berpotensi melepaskan bahan berbahaya yang berasal dari sisa monomer dari
polimer ke dalam bahan pangan yang dikemasnya dan plastik merupakan bahan yang
sulit terbiodegradasi sehingga dapat mencemari lingkungan (Cristopher, 1981), oleh
karena itu perlu dikembangkan bahan kemasan yang ramah lingkungan dan dapat
diproduksi secara massal dalam jumlah yang banyak.
2.2. Edible Film
2.2.1. Definisi dan Fungsi Edible Film
Kemasan edible, termasuk di dalamnya edible film dan edible coating,
didefinisikan sebagai lapisan tipis dari bahan dapat dimakan yang dibentuk sebagai
pelapis atau ditempatkan (dibentuk dahulu) di antara bahan pangan. Tujuannya adalah
untuk menghambat transfer massa dari uap air, oksigen, karbon dioksida, aroma dan
lipid; dapat digunakan untuk mengenkapsulasi komponen aroma, antioksidan, agen
antimikroba, pigmen, ion yang mencegah reaksi pencoklatan atau komponen nutrisi
seperti vitamin (Donhowe dan Fenemma, 1994).
Edible film berkontribusi terhadap perlindungan lingkungan karena
mengandung bahan alami dan dapat didaur ulang sehingga merupakan produk non-
polusi. Edible film sebagai kemasan dan komponen makanan memiliki beberapa
kriteria yang perlu dipenuhi, yaitu kualitas sensori yang baik, efisiensi mekanis dan
perlindungan yang baik, stabilitas fisika-kimia dan mikrobial, bebas komponen racun
dan aman untuk kesehatan, menggunakan teknologi sederhana dan memiliki ongkos
bahan baku dan proses yang rendah (Bourtoom, 2007).
Penggunaan edible film pada industri pangan sudah semakin meningkat.
Edible film ini disiapkan dari berbagai komponen, seperti polisakarida, protein dan
lipid serta memiliki potensi untuk meningkatkan umur simpan makanan (Garcıa,
Martino dan Zaritzky, 2000).
Edible film pertama kali diproduksi oleh Mc. Hugh dan Krochta (1994) yang
dihasilkan dari puree apel dan berbagai jenis asam lemak, alkohol, beeswax dan
minyak sayur untuk mengemas buah apel potong. Bahan-bahan yang digunakan
bertindak sebagai penghalang yang baik untuk kehilangan oksigen terutama pada
kelembaban yang rendah atau sedang, juga dapat mengurangi reaksi pencoklatan,
kehilangan kelembaban dan mempertahankan flavor dari apel potong. Edible film ini
juga dapat digunakan untuk coating walnut, almond dan produk bakery.
Di antara berbagai jenis polisakarida, pati paling umum digunakan sebagai
bahan baku edible film, yang dikarakterisasi berdasarkan sifat hidrofilik dan
kemampuannya sebagai penghalang oksigen. Tetapi, untuk memperbaiki sifat
mekaniknya, edible film berbasis pati perlu ditambahkan plasticizer, seperti gliserol
(Forsell et. al., 2002). Aksi sinergis dari air, gliserol dan polilol lain dengan pati dapat
mengurangi interaksi intermolekuler antara rantai polimer sehingga mengurangi
ikatan hidrogen internal dan menghasilkan area yang tidak stabil karena penyerapan
kelembaban. Sebagai akibatnya, fleksibilitas edible film meningkat dan kuat tariknya
berkurang (Careda et. al., 2000).
Edible film dan coating berbasis pati telah digunakan untuk berbagai makanan
dan aplikasi farmasi. Edible film dipersiapkan dari pati yang isotropik, tidak berbau,
tidak berasa, tidak berwarna, tidak beracun dan dapat didegradasi. Edible film dan
11
coating dapat dipersiapkan dari pati alami maupun modifikasi. Edible film berbasis
pati memiliki permeabilitas terhadap oksigen yang rendah (Krochta, Elisabeth dan
Myrna 1997).
2.2.2. Bahan Baku Edible Film
Komponen bahan dasar edible film dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu
hidrokoloid, lipid dan komposit. Komponen hidrokoloid dapat dijadikan edible film
diantaranya adalah protein, derivat selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakaridanya.
Lipid yang cocok adalah lilin, asilgliserol dan asam lemak. Edible film dari bahan
campuran hidrokoloid dan lipid (komposit) dapat berbentuk bilayer, dimana lapisan
yang satu hidrokoloid bercampur dalam lapisan hidrofobik (Skurtys et. al., 2010).
A. Hidrokoloid
Hidrokoloid yang digunakan sebagai bahan baku edible film adalah protein
atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum (seperti
alginat, pektin dan gum arab) serta pati yang dimodifikasi secara kimia. Pembentukan
edible film berbahan dasar protein antara lain dapat menggunakan gelatin, kasein,
protein kedelai, protein whey, gluten gandum dan protein jagung. Edible film yang
terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai penghambat perpindahan oksigen,
memiliki karakteristik mekanik yang baik sehingga cocok digunakan untuk
memperbaiki struktur film agar tidak mudah hancur (Donhowe dan Fenemma, 1994).
Polisakarida sebagai bahan dasar edible film dapat dimanfaatkan untuk
mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan
edible film. Pemanfaatan dari senyawa yang berantai panjang ini sangat penting
karena tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat non-toksik
(Krochta, Elisabeth dan Myrna, 1994).
Beberapa jenis protein yang berasal dari protein tanaman dan hewan dapat
membentuk film seperti gluten gandum, protein kedelai, protein kacang, keratin,
kolagen, gelatin, kasein dan protein dari whey susu. Albumin telur dapat digunakan
sebagai bahan pembetuk film yang baik yang dikombinasikan dengan gluten gandum,
dan protein kedelai.
B. Lipid
Edible film yang berasal dari lipid sering digunakan sebagai penghambat uap
air atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk-produk kembang gula.
Edible film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan menghasilkan
kekuatan struktur film yang kurang baik (Donhowe dan Fenemma, 1994).
Karakteristik edible film yang dibentuk oleh lemak tergantung pada berat
molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai cabang dan polaritas. Lipid
yang sering digunakan sebagai edible film antara lain lilin (wax) seperti parafin,
carnauba, asam lemak, monogliserida dan resin (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui,
2006). Jenis lilin yang banyak digunakan adalah carnauba. Penggunaan lipid dalam
edible film bertujuan untuk memberi sifat hidrofobik.
C. Komposit
Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari
komposit film dapat dalam lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan
merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida atau dapat berupa
gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari hidrokolid
13
dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen lipida dan
hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap penguapan air dan
hidrokoloid dapat memberikan daya tahan terhadap uap air. Edible film gabungan
antara lipida dan hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan
sayuran yang telah diolah minimal (Donhowe dan Fenemma, 1994)
2.2.3. Pemanfaatan Edible Film
Edible film sebagai bahan pengemas bahan pangan telah banyak dimanfaatkan
karena sifat permeabilitasnya yang baik untuk mengemas bahan pangan dan
mencegah kerusakan bahan pangan akibat keadaan lingkungannya. Edible film
berfungsi sebagai barrier terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen,
lipid dan zat terlarut) dan sebagai carrier bahan makanan atau aditif untuk
meningkatkan sifat fungsional makanan. Pemanfaatan edible film dan jenis bahan
yang digunakan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pemanfaatan Edible Film dan Jenis Edible Film yang Digunakan
Penggunaan Jenis Edible Film yang Sesuai
Menghambat penyerapan uap air
Menghambat penyerapan gas
Menghambat penyerapan minyak dan lemak
Menghambat penyerapan zat-zat larut
Meningkatkan kekuatan struktur atau
memberi kemudahan penanganan
Menahan zat-zat volatil
Pembawa bahan tambahan makanan
Lipida, komposit
Hidrokoloid, lipida, atau komposit
Hidrokoloid
Hidrokoloid, lipida, atau komposit
Hidrokoloid, lipida, atau komposit
Hidrokoloid, lipida, atau komposit
Hidrokoloid, lipida, atau komposit
Sumber : Donhowe dan Fenemma (1994)
2.3. Pembuatan Edible Film
Menurut Donhowe dan Fenemma (1994), pembuatan edible film maupun
coating dapat dilakukan dengan cara koaservasi (coaservation), pemisahan pelarut
(solvent removal) dan pemadatan larutan (solidification of melt).
1. Koaservasi
Cara koaservasi telah digunakan secara ekstensif di industri farmasi, terutama
untuk enkapsulasi. Koaservasi dapat digunakan dengan pemanasan larutan,
pengaturan pH larutan, penambahan pelarut atau mengubah jumlah polimer yang
terlibat dalam pembentukan edible film sehingga akan mempengaruhi kekuatan
polimer tersebut. Menurut Glisksman (1982) dikutip Donhowe dan Fenemma (1994),
koaservasi dibedakan menjadi koaservasi sederhana dan kompleks berdasarkan
penggunaan jumlah polimer yang digunakan dalam pembuatan edible film.
Koaservasi sederhana hanya menggunakan satu jenis polimer, sedangkan koaservasi
kompleks menggunakan campuran dua jenis polimer atau lebih. Menurut Dziezak
(1988) dikutip Donhowe dan Fenemma (1994), penggolongan cara koaservasi
berdasarkan tipe fase pemisahan, yaitu aquaeous dan non-aquaeous. Fase aquaeous
membutuhkan material yang bersifat hidrofilik, sedangkan fase non-aquaeous
biasanya melibatkan material bersifat hidrofobik.
2. Pemisahan Pelarut
Pembuatan edible film melalui pemisahan pelarut dilakukan dengan cara
mendispersikan material pembentuk edible film dalam larutan aquaeous dan
kemudian dilakukan penguapan pelarut hingga terbentuk lapisan film. Pembuatan
edible film dengan cara pemisahan pelarut ini harus memperhatikan pengaturan
15
kecepatan dan suhu penguapan dengan baik karena akan berpengaruh pada sifat
kristalinitas dan sifat mekanis edible film yang dihasilkan
3. Pemadatan Larutan
Cara pemadatan larutan digunakan untuk pembuatan edible film berbahan
lipida melalui proses pendinginan. Sama seperti cara pemisahan pelarut, dengan cara
ini kecepatan dan suhu pendinginan memegang peranan penting dalam menghasilkan
karakteristik dari edible film yang dihasilkan.
Cara lain pembuatan edible film yang paling banyak digunakan adalah metode
casting. Cara ini banyak digunakan dalam penelitian karena mudah dalam
pembuatannya. Pada metode ini, mula-mula protein atau polisakarida didispersikan
pada campuran air dan plasticizer kemudian diaduk. Setelah pengadukan, campuran
dipanaskan lalu dituangkan pada casting plate dan dibiarkan mengering pada kondisi
dan waktu tertentu. Edible film yang telah mengering kemudian dilepaskan dari
cetakan (casting plate). Setelah film lepas dari cetakan, selanjutnya dapat langsung
diaplikasikan sebagai bahan pengemas atau dilakukan berbagai pengujian untuk
mengetahui karakteristiknya. Ketebalan edible film yang diaplikasikan menggunakan
metode casting dapat diatur dengan cara mengatur penyebaran larutan edible film
yang dituangkan pada cetakan (Donhowe dan Fenemma, 1994).
2.4. Plasticizer Sorbitol
Pada pembuatan edible film dan coating sangat diperlukan plasticizer,
terutama untuk yang berbasis polisakarida dan protein karena struktur film ini
cenderung mudah pecah dan kaku akibat interaksi yang ekstensif antara molekul
polimer (Krochta, Elisabeth dan Myrna, 1994). Plasticizer merupakan agen dengan
berat molekul yang rendah dan bergabung dengan material polimer pembentuk edible
film. Plasticizer akan terdispersi di antara molekul polimer dan akan mempengaruhi
interaksi antar polimer untuk meningkatkan fleksibilitas. (Gontard et. al., 1994).
Penambahan plasticizer tidak hanya mempengaruhi modulus elastisitas dan
karakteristik mekanik lainnya, tetapi juga meningkatkan permeabilitas film terhadap
uap dan gas (Krochta, Elisabeth dan Myrna, 1994). Hampir semua plasticizer bersifat
sangat hidrofilik dan higroskopis sehingga dapat menarik molekul air dan membentuk
kompleks hidrodinamik plasticizer-air yang besar. Sebenarnya air merupakan
plasticizer yang sangat baik, namun dapat menguap dengan cepat pada proses
pengeringan pada RH rendah (Gontard et. al., 1994).
Sorbitol yang dikenal juga sebagai glusitol, adalah suatu gula alkohol yang
dimetabolisme lambat di dalam tubuh. Sorbitol diperoleh dari reduksi glukosa,
mengubah gugus aldehid menjadi gugus hidroksil, sehingga dinamakan gula alkohol.
Struktur sorbitol disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Kimia Sorbitol
(Anonima, 2012)
Sorbitol digunakan sebagai pemanis buatan pada produk permen bebas gula
dan sirup obat batuk. Zat ini juga dikenal sebagai pemanis yang memiliki nilai gizi
karena mengandung energi sebanyak 2,6 kkal per gram.
17
Selain berperan sebagai pemanis, sorbitol juga dikenal luas dapat digunakan
sebagai plasticizer dalam pembentukan edible film. Berdasarkan hasil penelitian
Krochta, Elisabeth dan Myrna (1994), sorbitol lebih efektif daripada gliserol dalam
pembentukan film terutama dalam menghasilkan kekuatan mekanik yang lebih baik,
seperti kuat tarik, elongasi dan modulus elastisitas serta menghasilkan edible film
dengan permeabilitas O2 yang lebih rendah dibandingkan dengan gliserol.
2.5. Tanaman Ganyong
Ganyong adalah tanaman umbi-umbian yang dikenal dengan nama lain laos
jambe dan laos mekah (Melayu), ganyol (Sunda), limbong, nyindra, senitra dan
mindro (Jawa) serta banyur dan manyong (Madura). Ganyong berasal dari Amerika
Selatan dan merupakan salah satu tanaman yang dapat tumbuh di hampir setiap
tempat. Jenis tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 0-2550 meter di atas
permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1120 mm (Sastrapadja et. al., 1980).
Ganyong termasuk dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae,
kelas Monocotylodenae, ordo Zingiberales, family Cannaceae, genus Canna dan
spesies edulis, sehingga nama latinnya dikenal sebagai Canna edulis Kerr (Lingga et.
al., 1992). Warna batang, daun dan pelepahnya tergantung pada varietasnya, begitu
pula warna sisik umbinya.
Bentuk tanaman ganyong adalah berumpun dan merupakan tanaman herba,
semua bagian vegetatif, yaitu batang, daun serta kelopak bunganya sedikit berlilin.
Tanaman ini tetap hijau di sepanjang hidupnya, di akhir hidupnya, dimana umbi telah
cukup dewasa, daun dan batang mulai mengering. Keadaan seperti ini seakan-akan
menunjukkan bahwa tanaman mati, padahal tidak karena bila hujan tiba maka
rimpang atau umbi akan bertunas dan membentuk tanaman lagi.
Tanaman ganyong mempunyai daun yang lebar dengan bentuk elips
memanjang, bagian pangkal dan ujungnya agak runcing. Panjang daun 15 sampai 60
cm, sedangkan lebarnya 7 sampai 20 cm. Bagian tengah daun terdapat tulang daun
yang tebal. Warna daun beragam dari hijau muda sampai hijau tua. Kadang-kadang
bergaris ungu atau keseluruhannya ungu (Lingga et. al., 1992).
Umbi tanaman ganyong mempunyai diameter antara 5 sampai 8,75 cm dan
panjangnya 10 sampai 15 cm, bahkan bisa mencapai 60 cm. Bagian tengah umbi
biasanya tebal dan dikelilingi berkas-berkas sisik dengan akar serabut yang tebal.
Warna sisik umbi ada yang ungu dan ada yang coklat. Bentuk umbi beraneka ragam,
begitu juga dengan komposisi kimia dan kandungan gizinya. Perbedaan komposisi ini
dipengaruhi oleh umur, varietas dan tempat tumbuh tanaman. Gambar umbi ganyong
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Umbi Ganyong
(Dokumentasi Pribadi, 2012)
Di Indonesia dikenal dua varietas ganyong, yaitu ganyong merah dan ganyong
putih. Ganyong merah ditandai dengan batang, daun dan pelepahnya yang berwarna
merah atau ungu, sedangkan ganyong putih ditandai dengan warna batang, daun dan
batang umbi
ganyong
umbi
ganyong
19
pelepahnya hijau serta sisik umbinya kecoklatan. Kedua varietas tersebut memiliki
beberapa perbedaan sifat. Ganyong merah mempunyai batang yang lebih besar dan
tinggi, agak tahan terhadap sinar, tidak tahan terhadap kekeringan, selalu
menghasilkan biji dan umbinya hanya lazim diambil patinya (Lingga et. al., 1992).
Umbi ganyong sangat baik untuk sumber karbohidrat, sebagai bahan utama
dalam penyediaan energi, karena kandungan karbohidrat umbi ganyong cukup tinggi,
setara dengan umbi-umbian yang lain. Kadar protein dan karbohidrat umbi ganyong
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kesuburan tanah, iklim, umur panen dan
varietas tanaman. Selain itu umbi ganyong termasuk umbi yang mengandung
kalsium, fosfor dan besi walaupun dalam jumlah yang sedikit (Lingga et. al., 1992).
Komposisi kimia umbi ganyong disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Umbi Ganyong
Komposisi Jumlah
Energi (kalori)
Protein (gram)
Lemak (gram)
Karbohidrat (gram)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (gram)
Berat dapat dimakan (%)
95,0
1,0
0,1
22,6
21,0
70,0
20,0
0,1
10,0
75,0
65,0
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)
Umbi ganyong merupakan jenis umbi-umbian yang belum dibudidayakan
secara luas, meskipun demikian umbi ganyong mempunyai manfaat yang cukup besar
dan merupakan tanaman pekarangan sumber pati yang potensial. Umbi ganyong
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun non pangan. Sebagai bahan
pangan, umbi ganyong dapat dimafaatkan sebagai sayuran atau makanan selingan
dengan cara direbus atau dibakar. Di daerah pegunungan Jawa Tengah, umbi ganyong
digunakan sebagai makanan campuran nasi jagung, selain itu sering juga diekstraksi
patinya untuk dijadikan produk olahan lebih lanjut, misalnya sebagai campuran dalam
pembuatan bihun, sebagai bahan utama dalam pembuatan bubur dan sebagai
pengganti tepung hunkwe atau produk olahan lainnya. Sebagai bahan non pangan,
pati ganyong dapat digunakan sebagai bahan dasar lem dan makanan ternak. Selain
pati ganyong, pucuk daun ganyong yang masih muda dan tangkai daun yang masih
muda dapat digunakan sebagai makanan ternak.
Menurut Kay (1973), tidak ada batas bagi tanaman ganyong untuk dikatakan
matang. Tetapi pada umur 6 sampai 8 bulan setelah penanaman, umbi biasanya sudah
cukup dewasa. Pada dataran tinggi yang umumnya tertimpa hujan sepanjang tahun,
pendewasaan umbi lebih lama daripada di daerah dataran rendah. Hal ini karena
pembentukan pati terhambat. Dengan demikian umbi baru bisa dipanen setelah
berumur satu tahun atau umumnya 15 sampai 18 bulan (Lingga et. al., 1992).
Cara pemanenan bisa dilakukan dengan cara pencabutan apabila tanaman
ganyong telah rapuh. Bila belum rapuh, dapat dilakukan dengan cara mencongkelnya
dengan tongkat besi, kayu atau sejenisnya (Lingga et. al., 1992). Umbi yang telah
diambil kemudian dibersihkan dari tanah dan kotoran, dan dapat disimpan selama
beberapa minggu tanpa mengalami kerusakan dengan menjaganya dalam keadaan
sejuk dan kering (Kay, 1973).
21
2.6. Pati Ganyong
2.6.1. Komposisi Kimia Pati Ganyong
Pati atau amilum adalah karbohidrat yang terdiri dari glukosa dalam jumlah
besar dan digabungkan oleh ikatan glikosidik. Pati ditemukan dalam sejumlah sumber
nabati. Pati terdapat dalam bentuk granula, bervariasi dalam bentuk dan ukuran serta
memiliki karakteristik psiko-kimia dan fungsional yang berbeda (Swinkels, 1985).
Pati terdiri dari dua jenis polisakarida, yaitu amilosa dan amilopektin. Fraksi
amilosa memiliki rantai panjang yang lurus dan amilopektin memiliki struktur yang
sangat bercabang serta terdiri dari rantai-rantai yang lebih pendek. Beberapa pati juga
mengandung komponen ketiga yang dikenal sebagai komponen intermediet. Sebagian
besar pati mengandung 20-30% amilosa dan 70-80% amilopektin, tetapi rasionya
bervariasi tergantung sumber pati tersebut (Winarno, 1984). Struktur amilosa dan
amilopektin disajikan pada Gambar 2.
Gambar 3. Struktur (a) amilosa dan (b) amilopektin
(Hasibuan, 2009)
Pati merupakan kompleks polisakarida dari D-glukosa yang digabungkan oleh
ikatan α-D-(1,4)-glukosidik yang memberikan struktur rantai linier atau heliks. Ini
dikenal sebagai fraksi amilosa. Ikatan α-D-(1,6)-glukosidik yang lebih jarang
ditemukan, membentuk percabangan antara rantai sehingga menciptakan domain
yang sangat bercabang dan disebut amilopektin. Berat molekul amilosa 10.000
sampai 50.000 terdiri dari 60 sampai 300 unit glukosa, sedangkan amilopektin
mempunyai berat molekul 50.000 sampai 1.000.000 terdiri dari 300 sampai 6.000 unit
glukosa dengan panjang rantai hanya terdiri dari 24 sampai 30 unit glukosa (Hart dan
Achmitz, 1972).
Mesikipun amilosa dan amilopektin adalah polimer yang berhubungan erat,
keduanya menunjukkan struktur yang berbeda. Rasio amilosa dan amilopektin dalam
pati bukan hanya dikendalikan genetik, tetapi juga tergantung pada kondisi
pertumbuhan dan waktu panen. Pati dapat secara luas digunakan dalam industri
farmasi dan makanan untuk agen pengisi, pengikat dan juga pengental.
Amilosa dan amilopektin dalam pati dapat dipisahkan secara kimia. Dalam
granula pati, molekul amilosa dan amilopektin berorientasi secara radial dengan
mengurangi kelompok akhir tunggal terhadap pusat atau hilis dan sintesis dengan
oposisi di ujung luar non-reduksi (Winarno, 1984).
Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi mengembang atau
membengkak dalam air panas. Pembengkakan pati bersifat reversible sampai pada
saat pati dipanaskan hingga mencapai suhu gelatinisasinya. Saat mecapai suhu
gelatinisasi, pati akan pecah dan perubahan ini bersifat irreversible. Gelatinisasi
merupakan suatu karakteristik terpenting pati untuk industri pangan (Winarno, 1986).
Berlainan dengan pati-pati lainnya yang umumnya berwarna putih, pati
ganyong berwarna kekuningan. Struktur pati ganyong berbentuk oval dengan letak
hilum tidak terpusat. Ukuran granula pati sangat besar, berkisar antara 10-130
23
mikron. Pati ini sangat larut dalam air panas dan mudah dicerna. Setelah dimasak pati
menjadi mengkilat dan transparan (Mulyandari, 1992). Pati ganyong mengandung 34-
37% amilosa dan 52-53% amilopektin (Puspawati, 2000). Gambar struktur pati
ganyong disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Pati Ganyong
(Dokumentasi Pribadi, 2012)
Pati ganyong sangat baik dijadikan sebagai bahan pangan alternatif sumber
karbohidrat. Pati ganyong mengandung karbohidrat sebesar 85,2 g, kalsium sebesar 8
mg dan fosfor sebesar 22 mg. Komposisi kimia ganyong disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kimia Pati Ganyong
Komponen Jumlah
Karbohidrat (gram)
Protein (gram)
Lemak (gram)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)
Air (gram)
85,2
0,7
0,2
8,0
22,0
1,5
0,09
0
14,0
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1979)
2.6.2. Proses Ekstraksi Pati Ganyong
Dasar pembuatan semua jenis pati hampir sama, yaitu penghancuran sel untuk
memisahkan butir pati dari komponen lain dengan pertolongan air untuk ekstraksi.
Proses pembuatan berbagai jenis pati dipengaruhi oleh jenis dan sifat bahan dasarnya.
Mula-mula umbi ganyong dikupas, dicuci dan kemudian diparut. Pemarutan
berfungsi untuk merusak jaringan umbi dan sel-sel umbi agar pati dapat keluar.
Dalam pemarutan ini tidak semua sel terpecahkan, sehingga untuk memperbanyak
jumlah sel pecah perlu dilakukan peremasan (pemberian tekanan).
Tahap berikutnya adalah mengekstraksi pati dari umbi yang telah dihancurkan
dengan pertolongan air yang disertai penyaringan dan dilanjutkan dengan
pengendapan. Setelah semua pati terendapkan, air di atas endapan pati dibuang, pati
dicuci kembali untuk membersihkannya dari bahan-bahan terlarut lainnya.
Tahap akhir, pati dikeringkan di bawah sinar matahari atau dengan
menggunakan oven pada suhu kurang lebih 50oC selama 8 jam sampai kadar air
sekitar 12 persen. Kemudian pati dihaluskan dan diayak sehingga diperoleh tepung
pati. Diagram alir pembuatan pati ganyong disajikan pada Gambar 5.
Masalah utama yang sering terjadi dalam ekstraksi pati ganyong adalah
adanya reaksi pencoklatan. Akibat reaksi pencoklatan timbul warna yang tidak
menarik pada pati ganyong atau warna pati yang semula putih menjadi coklat dan
mutunya menjadi rendah. Perubahan warna tersebut terjadi setelah pemotongan atau
pengupasan kulit luar umbi ganyong, yaitu setelah umbi ganyong tersebut dilukai dan
kontak dengan udara, sampai umbi ganyong diparut, disaring dan dikeringkan
menjadi pati ganyong kering (Puspawati, 2000).
25
Menurut Winarno (1984), reaksi pencoklatan dalam bahan pangan terdiri dari
dua jenis, yaitu reaksi pencokaltan enzimatis dan non enzimatis. Enzim-enzim yang
dapat mengkatalisis oksidasi dalam reaksi pencoklatan dikenal dengan berbagai
nama, yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase, fenolase atau polifenolase. Reaksi
antara oksigen dengan senyawa fenolik yang dikatalisis oleh enzim fenolase disebut
reaksi pencoklatan enzimatis. Umbi ganyong mengalami reaksi pencoklatan
enzimatis karena mengandung senyawa fenolik yang bertindak sebagai substrat dalam
reaksi pencokaltan. Mekanisme reaksi pencoklatan enzimatis dapat dibagi menjadi
beberapa tahap, yaitu perubahan pertama pada oksidasi substrat fenolik membentuk
o-benzoquinon yang kemudian diubah menjadi trihidroksi benzene. Trihidroksi
benzene bereaksi dengan o-quinon membentuk hidroksiquinon.
Reaksi pencokaltan non enzimatis umumnya dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu reaksi Maillard, karamelisasi dan reaksi oksidasi vitamin C. Menurut Desroiser
(1984), reaksi pencokaltan non enzimatis terjadi pada saat pemanasan dalam keadaan
lembab. Kecepatan reaksi pencoklatan non enzimatis tergantung pada suhu dan waktu
pengeringan. Umumnya dengan meningkatnya suhu pengeringan akan mempercepat
terjadinya reaksi pencokalatan non enzimatis.
Menurut Winarno (1984), beberapa cara yang dapat digunakan untuk
mencegah reaksi pencoklatan adalah menghindari adanya oksigen, inaktivasi enzim
dengan cara pemanasan (blansing), penambahan sulfur dioksida serta penambahan
asam sitrat atau asam malat. Walaupun demikian, tidak semua cara pencegahan reaksi
pencoklatan tersebut dapat digunakan dalam setiap pengolahan pangan (Eskin, 1990).
Gambar 5. Proses Ekstraksi Pati Ganyong
(Puspawati, 2000)
Kulit
Ampas
Pati Ganyong
Pengayakan (ayakan 100 mesh)
Penggilingan sampai Halus
Pengeringan pada suhu ± 50o C (8jam)
Pencucian dengan Air dan Pengendapan (2x)
Pengendapan (± 1jam)
Ekstraksi dan Penyaringan
Pencucian dan Peremasan
Perendaman dalam larutan
CaCO3 1000 ppm (15 menit)
Ganyong Parut
Pemarutan
Pengupasan
Pencucian
Umbi Ganyong
Suspensi Pati Ganyong
Pati Ganyong Basah
Pati Ganyong Kering Kasar
Tidak Lolos Ayakan
100 mesh
27
Kalsium karbonat (CaCO3) atau kapur dapat mencegah pencoklatan enzimatis
karena kalsium bersifat sinergis terhadap vitamin C dalam mencegah pencoklatan.
Berdasarkan hasil penelitian Puspawati (2000), perlakuan perendaman dalam kalsium
karbonat 1000 ppm menghasilkan pati ganyong dengan karakteristik yang lebih baik
dibandingkan perlakuan lainnya dengan hasil sebagai berikut : karakteristik fisik
(rendemen 19,74%, derajat putih 99,66%, dan suhu gelatinisasi 65,33oC),
karakteristik kimia (kadar air 12,82%, kadar pati 83,42%, kadar abu 0,28%, derajat
asam 0,93 ml NaOH/100 g) dan karakteristik organoleptik yang disukai.
2.7. Karakteristik Mekanik Edible Film
Penggunaan pati sebagai bahan edible film bergantung pada sifat mekanisnya,
yaitu gabungan antara kekuatan yang tinggi dan elastisitas yang baik. Sifat mekanis
yang khas ini disebabkan oleh adanya dua macam ikatan dalam bahan polimer, yakni
ikatan kimia yang kuat antara atom dan interaksi antara rantai polimer yang lemah.
Karakteristik mekanik dari edible film dapat dipelajari berdasarkan dari tiga
parameter yaitu: kuat tarik (tensile strength), modulus Young dan persentase
pemanjangan (elongasi) (Skurtys et. al., 2010). Parameter-parameter tersebut dapat
menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan edible film yang berkaitan
dengan struktur kimianya dan juga mengindikasikan integrasi edible film pada
kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan edible film tersebut.
Kuat tarik (tensile strength) didefinisikan sebagai kekuatan maksimum bahan
yang diberikan gaya tarik/tegangan (stress) hingga bahan tersebut mengalami
perubahan bentuk (deformasi). Selama di bawah pengaruh tegangan, spesimen
mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka secara praktis kuat tarik diartikan
sebagai besarnya beban maksimum yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen
bahan dibagi dengan luas penampang semula (Anonimb, 2010).
Tegangan didefinisikan sebagai perbandingan antara gaya yang diberikan
pada polimer hingga terjadi perubahan bentuk dengan luas area dimana gaya tersebut
diberikan. Tegangan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
Dimana :
σ = Tegangan (MPa, psi)
F = Gaya yang diberikan pada bahan (N, lb)
A = Luas area (cm2, in
2)
Kuat tarik selain dipengaruhi oleh tegangan (stress) juga dipengaruhi oleh
regangan/pemanjangan (strain). Regangan didefinisikan sebagai rasio antara
perubahan pemanjangan dengan panjang awal dari bahan yang mengalami perubahan
bentuk. Pemanjangan dirumuskan sebagai berikut :
Dimana :
ε = Regangan/pemanjangan (%)
Δl = Perubahan pemanjangan (cm)
l = Panjang awal (cm)
Jika suatu bahan dikenakan gaya tarikan dengan kecepatan tetap, semula
kenaikan tegangan yang diterima bahan berbanding lurus dengan perpanjangan
29
spesimen sampai dengan titik elastis bilamana tegangan dilepaskan maka hanya
sebagian yang akan kembali ke keadaan aslinya dan menjadi bentuk permanen, tetapi
jika tegangan dinaikan sedikit saja akan terjadi perpanjangan yang besar. Grafik
hubungan antara tegangan dan regangan disajikan pada Gambar 3.
Gambar 6. Kurva Tegangan-Regangan Bahan Polimer
(Anonimb, 2010)
Tingkat kekakuan dari suatu material dapat diketahui dengan pengukuran
terhadap modulus elastisitas (modulus Young) dari material tersebut. Modulus
elastisitas diperoleh dari rasio antara tegangan dan regangan. Modulus elastisistas
secara matematik dituliskan sebagai berikut :
Dimana :
E = Modulus elastisitas (MPa, psi)
σ = Tegangan (MPa, psi)
ε = Regangan (%)
Karakteristik mekanis suatu bahan mengikuti grafik stress-strain (Gambar 6).
Hukum Hooke tentang modulus elastisitas diterapkan pada daerah linier elastis.
Kemiringan kurva pada keadaan ini disebut modulus atau kekakuan, sedang besarnya
tegangan dan perpanjangan mencapai titik elastis ini masing-masing disebut tegangan
yield. Di atas titik elastis ini molekul-molekul polimer berorientasi searah dengan
tarikan dan hanya memerlukan sedikit tegangan untuk menaikkan perpanjangan.
Bila semua rantai polimer telah tersusun teratur membentuk struktur kristalin
dan menjadi lebih liat maka diperlukan tegangan yang lebih besar untuk menaikkan
perpanjangan. Akhirnya bahan akan terputus bila tegangan telah melampaui gaya
interaksi total antar segmen. Perpanjangan dan tegangan pada saat bahan terputus ini
masing-masing disebut dengan kemuluran dan kuat tarik.
2.8. Laju Transmisi Uap Air/Water Vapor Transmission Rate (WVTR)
Transmisi uap air merupakan suatu pengukuran kemudahan suatu bahan untuk
dilalui uap air tanpa memperhitungkan ketebalan bahan dan perbedaan tekanan udara
di dalam dan luar bahan. Transmisi uap air juga didefinisikan sebagai uap air yang
dapat melalui setiap satuan luas bahan pada jangka waktu tertentu. Nilai transmisi uap
air disajikan dalam satuan g/100 in2/24 jam atau g/m
2/24 jam yang merupakan
pengukuran standar edible film untuk mengetahui ketahanan menahan uap air. Nilai-
nilai yang lebih rendah menunjukkan kelembaban yang lebih baik. Secara matematis,
laju transmisi uap air dituliskan sebagai berikut (Donhowe dan Fenemma, 1994) :
31
Dimana :
m = massa uap air yang melewai bahan (g)
A = luas area bahan yang dilewati uap air (cm2)
t = waktu (jam)
Beberapa penelitian mengenai laju transmisi uap air, terkadang
mengikutsertakan ketebalan bahan perhitungannya. Persamaan matematik dari laju
transmisi yang mengikutsertakan ketebalan adalah (Donhowe dan Fenemma, 1994) :
Dimana Δx merupakan ketebalan bahan.
Nilai laju transmisi uap air (WVTR) suatu edible film berkisar antara 2,369
(g/mm2/jam). Secara teoritis, semakin banyak penambahan komponen lemak dan
terdistribusi merata pada seluruh bagian edible film maka hidrofobisitasnya akan
meningkat sehingga transmisi uap air melalui edible film dapat diperkecil atau
dihambat (Layuk, Djagal dan Hariyadi, 2001). Formula edible film yang memberikan
nilai laju transmisi uap air (WVTR) kecil selanjutnya digunakan untuk
mempertahankan susut berat dan menghambat reaksi pencoklatan pada bahan pangan
dengan cara melapisi (coating) atau pembungkusan (wrapping).
2.9. Kelarutan Edible Film
Tingkat kelarutan merupakan faktor yang menentukan kemungkinan suatu
edible film dapat diaplikasikan (Garcia, Martino dan Zaritzky, 2009). Kelarutan
edible film dapat diukur dengan menghitung rasio perubahan berat dengan berat awal
dari edible film yang dinyatakan dengan persentase. Secara matematik, kelarutan
edible film adalah sebagai berikut (Bourtoom, 2007) :
Dimana :
FS = kelarutan edible film (%)
ΔW = perubahan berat (gram)
= berat edible film sebelum dilarutkan (gram)
Tingkat kelarutan ini dipengaruhi oleh konsentrasi dan jenis pati dan
plasticizer yang digunakan dalam pembuatan edible film (Bourtoom, 2007). Jenis
edible film yang dibuat dari bahan yang bersifat hidrofilik akan lebih cepat larut
dibandingkan dengan bahan yang bersifat hidrofobik.