I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Padanglawas adalah daerah di pedalaman Sumatera yang mempunyai
sumberdaya budaya dan alam. Sumberdaya budaya yang dimiliki berupa tinggalan
budaya berupa bangunan candi, prasasti, relief dan arca. Di daerah Sumatera juga
ditemukan tinggalan budaya, misalnya di daerah Provinsi Jambi dan Provinsi Riau.
Begitu pula dengan sumberdaya alam di Padanglawas dijumpai dengan adanya flora
dan fauna yang beragam.
Padanglawas adalah daerah di pedalaman Sumatera yang dahulu merupakan
bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan.1 Sejak tahun 2007 Kabupaten Tapanuli
Selatan telah dimekarkan menjadi tiga, yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten
Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Padanglawas diketahui
mempunyai Sumberdaya budaya berupa bangunan-bangunan dan peninggalan lain
dari masa pengaruh Hindu-Budha di Indonesia. Wilayah Kabupaten Padang Lawas
terbagi atas Wilayah Kecamatan Barumun, Barumun Tengah, Batang Lobu Sutam,
Huristak, Huta Raja Tinggi, Lubuk Barumun, Sosa, Sosopan dan Ulu Barumun dan
Wilayah Kecamatan dengan luas keseluruhan 3.892,74 km². Wilayah Kabupaten
Padang Lawas Utara terbagi atas Wilayah Kecamatan Batang Onang, Dolok, Dolok
Sigompulon, Halongonan, Padang Bolak, Padang Bolak Julu, Portibi dan Wilayah
Kecamatan Simangambat dengan luas keseluruhan 3.918,05 km².
Universitas Sumatera Utara
Tinggalan budaya di Padanglawas disebut oleh penduduk dengan sebutan
’biaro’. Hal ini berbeda dengan kebiasaan di tempat lain di Indonesia yang menyebut
candi bagi berbagai peninggalan dari masa pengaruh Hindu-Buddha. Penamaan
candi, menurut Soekmono (1974), didasarkan atas sebutan yang ada di prasasti, yang
menyebutkan kata cinandiken yang artinya dicandikan. Istilah candi diberikan bagi
bangunan berupa pemandian kuna, gapura atau gerbang kuna, maupun bangunan suci
untuk keperluan pemujaan. Adapun di Padanglawas, penamaan biaro bagi tinggalan
budaya tinggalan budaya masyarakat setempat berasal dari kata biara yang
disebutkan dalam prasasti Sitopayan. Isi prasasti tersebut berkenaan dengan
pembuatan bangunan sebuah biara (...barbwat tapah nanggang byara sang rāja...). 2
Nama Padanglawas sendiri telah dikenal setidaknya sejak daerah Padanglawas
pertama kali disebutkan dalam lontar Negarakertagama (nāgarakŗtagama atau
desawarnana) yang ditulis pada tahun 1365. Dalam pupuh XIII (1) disebutkan nama
Padanglawas sebagai sebuah negara bawahan dari kerajaan Majapahit. 3
Bahan yang digunakan untuk membangun biara di Kawasan Padanglawas
adalah bata, yang tidak jauh berbeda dengan bahan bangunan pada sebagian
bangunan candi-candi di Jawa. Adapun bentuk bangunannya terlihat ada perbedaan
dengan yang terdapat di Jawa. Di Kawasan Padanglawas biara yang dijumpai tidak
dalam bentuk bangunan tunggal.
Jumlah bangunan biara di Kawasan Padanglawas dijumpai cukup banyak dan
tersebar di seluruh kawasan. Sampai saat ini tercatat sebanyak 25 buah, baik yang
Universitas Sumatera Utara
sudah dipugar maupun dalam kondisi runtuh. Keseluruhan biaro itulah yang menjadi
obyek penelitian disertasi.
Kawasan Padanglawas dikenal kembali pada tahun 1854, sejak seorang bangsa
Belanda bernama H. von Rosenberg melakukan perjalanan ke Padanglawas. Ia
menguraikan dan menggambar biara Tandihat I dan relief yang ada di bangunan biara
tersebut. Lingkungan biara digambarkan dengan rumput yang tinggi dan seekor
gajah yang sedang makan daun dari pohon dengan menggunakan belalainya. Biara
digambarkan dalam kondisi utuh, hanya bagian puncaknya yang dipenuhi rumput dan
perdu. 4
Penjelajahan von Rosenberg ke wilayah ini dilakukan sebelum berdirinya
Jawatan Purbakala atau Oudheidkundige Dienst in Nederlansch-Indie. Institusi ini
dibentuk berdasarkan Keputusan Pemerintah Nomor 62 tanggal 14 Juni 1913, dan
untuk pertama kali dipimpin oleh N.J. Krom (1913-1915). Lembaga ini mengurusi
segala hal yang menyangkut keberadaan dan keselamatan benda budaya yang ada di
Indonesia. Terkait program pengaturan keselamatan benda budaya, pemerintah
Belanda menerbitkan Monumenten Ordonnantie Statblad 238 tahun 1931.
Kemudian pada tahun 1920, van Stein Callenfels melakukan perjalanan di
Sumatera, dan saat di Padanglawas, bersama dengan pengawas/kontrolir (controleur)
Padang Lawas bernama Van der Beek, melihat bangunan biara, relief dan arca-arca
yang ada di sana. Kunjungan itu dilakukan berdasarkan adanya laporan inventarisasi
benda-benda kuna dalam buku Kwaartaalverslag Oudheidkundige Dienst 1914,
Universitas Sumatera Utara
halaman 108. Dalam laporan tersebut diutarakan bahwa di daerah Gunung Tua
ditemukan makara, dan arca singa kecil, semuanya dibawa ke kantor kontrolir. 5
Van Stein Callenfels juga mengunjungi biara Sitopayan serta membuat gambar
denah biara tersebut. Pada bagian dari bangunan biara terdapat lapik arca yang tidak
mempunyai cerat, dan pada bagian sisi lapik terdapat prasasti Sitopayan.6 Kelak dua
prasasti dari Sitopayan dibaca oleh van Stein Callenfels, dan dibuatkan terjemahan
serta uraiannya.7
Di sisi selatan biara Sitopayan terdapat sebuah arca yang hanya tinggal bagian
pinggang ke bawah dalam posisi berdiri menghadap ke utara. Arca dipahatkan
berkain panjang dengan rempel (plooi) di bagian depan, dan van Stein Callenfels
mengibaratkankan boneka dari Bali.8 Van Stein Callenfels juga meninjau biara Bahal
I, II dan III, biara Tandihat I, II dan III, biara Aek Sangkilon serta Batu Gana.
Pada tahun 1930, F.D.K. Bosch yang belakangan menjadi pimpinan Jawatan
Purbakala (1936-1938), melakukan perjalanan ke Sumatera dan memuat laporannya
dalam Oudheidkundig Verslag 1930. Ia berkesempatan meninjau biara Sitopayan dan
biara Bahal I dan pada saat itu menjumpai arca dari batu yang menggambarkan
bodhisatwa (wajrasattwa) berukuran 15 cm. Bagian sudut kanan kaki arca berhiaskan
dua susun bunga teratai. Sisi kiri arca berhiaskan relief ular, dan pada sisi kanan arca
perempuan kecil dalam sikap añjalimudra dalam posisi lalitāsana. Tangan kiri arca
itu digambarkan memegang ghanta, dan tangan kanan di depan dada sudah pecah. 9
Universitas Sumatera Utara
Bosch juga menemukan arca perunggu wanita setinggi 19,5 cm sisi barat
dinding keliling di sisi kanan biara induk Bahal I. Arca digambarkan berdiri di atas
benda bulat, memakai kain hingga tumit yang memperlihatkan garis melintang,
tubuh bagian atas telanjang, dan memakai gelang di mata kaki, di pergelangan tangan,
di siku dan di tangan. Tokoh digambarkan mengenakan kalung dua susun, tangan
kanan arca dalam sikap witarkamudrā, memegang daun palma dalam posisi ke atas.
Telinga memakai anting panjang, rambut disusun ke atas, hidung panjang, mulut
kecil dan di dahi ada ūrņā. 10 Kedua temuan tersebut oleh Bosch diperlihatkan
kepada A.H. Longhurst, seorang opsir Archaeological Survey of India. Bosch
menafsirkan bahwa temuan itu merupakan arca Bodhisattwa. Adapun arca wanita
perunggu memperlihatkan kemiripan dengan seni arca India Selatan dari masa abad
V-VI, yang banyak dijumpai terutama di daerah utara Madras. Hal itu sama dengan
temuan yang ada di daerah Salihundam, sebuah daerah Ganjam tidak jauh dari
pelabuhan Kalingapatam. Diperkirakan bahwa figur perempuan tersebut merupakan
gambaran seorang perempuan yang sedang memberikan hadiah kepada vihāra. 11
Di biara Bahal I Bosch juga menemukan fragmen genteng dengan model sirap
yang bagian atasnya berbentuk ekor, berukuran antara 36 sampai 15 cm. Fragmen ini
ditemukan di sisi dalam dinding sisi selatan, yang diperkirakan merupakan tempat
tinggal para biksu.12 Ditemukan pula sebuah pipisan dengan panjang 31 cm. Di
bagian selasar biara induk ditemukan sebuah botol; serta sebuah bintang bersegi
empat (vajra) terbuat dari perunggu. Keberadaan temuan seperti ini membuktikan
bahwa di Biara Bahal I terdapat pemukiman para bhiksu.13
Universitas Sumatera Utara
Bosch juga mencatat temuan lain dalam bilik Biara Bahal I berupa lima belas
fragmen bagian dari sebuah arca batu. Arca itu digambarkan berdiri di atas tubuh
manusia, tangan kanan memegang wajra, tangan kiri memegang pinggan berupa
tengkorak manusia dan mengepit sebuah tongkat (khatwangga). Kelak oleh beberapa
ahli, arca tersebut diperkirakan sebagai arca Heruka. 14
Kemudian pada tahun 1937, F.M. Schnitger, dalam perjalanannya di Sumatera
tahun 1937 juga berkunjung ke Padanglawas. Di Biara Si Pamutung ia menemukan
arca Vairocana dari perunggu dan sebuah lempengan prasasti emas di sekitar
bangunan tersebut.
Selanjutnya penelitian di Kawasan Padanglawas diteliti oleh arkeolog
Indonesia, yakni Satyawati Sulaiman pada tahun 1953, dan hasil penelitiannya
memunculkan istilah ’Hindu – Batak’ untuk tinggalan budaya di Kawasan
Padanglawas (Suleiman, 1985). Penelitian itu dilanjutkan oleh Rumbi Mulia pada
tahun 1980 (Mulia, 1980).
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional juga melakukan penelitian di Padanglawas
dan kegiatan pada tahun 1993 menghasilkan asumsi bahwa Sungai Barumun dan
Pane telah mengalami perubahan, karena tingkat erosi yang cukup tinggi. Biara-biara
di Padanglawas sebagian besar berlokasi dekat aliran sungai, pada jarak sekitar 200
sampai 500 meter. Kemudian pada tahun 1994 dilakukan pendataan dan inventarisasi
tinggalan budaya di Kawasan Padanglawas oleh Kantor Kebudayaan Provinsi
Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara bekerja
Universitas Sumatera Utara
sama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Sumatera Utara.
Masih di tahun 1994, dilakukan survei di daerah aliran Sungai Barumun dan
Batang Pane serta ekskavasi di Tandihat II. Ekskavasi di Tandihat II berhasil
menampakkan bentuk dan ukuran denah bangunan. Bangunannya menghadap ke arah
timur dengan tangga naik yang dihiasi dengan sepasang makara. Sebuah arca singa
terbuat dari batu pasir (sandstone) ditemukan di antara reruntuhan bangunan.
Pada tahun 1995 juga dilakukan penelitian berfokus pada pemukiman kuna di
luar Tandihat II. Hasilnya memperlihatkan indikasi keberadaan pemukiman kuna di
sisi timur laut di luar 'tembok' keliling bangunan.
Pada tahun 2001 Tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional meneliti pemukiman
kuna di sekitar biara Si Pamutung. Diperkirakan bahwa sisa pemukiman berada
dalam areal benteng tanah yang mengelilingi kompleks (Susilowati, 2001).
Daniel Perret dan Heddy Surachman melakukan penelitian di kompleks biaro Si
Pamutung pada tahun 2007 dan hasil penelitian menunjukan keberadaan sebuah situs
pemukiman seluas minimal 30 hektar di situs Si Pamutung yang terletak di pertemuan
Sungai Barumun dan Sungai Pane. Dalam kegiatan tersebut juga banyak dijumpai
pecahan keramik Cina dari abad X hingga awal abad XIV (Perret, et all, 2007).
Tahun 2009 dilakukan survei di Kawasan Padanglawas dalam kerangka
penulisan disertasi, dijumpai keberadaan biara Tandihat III terancam longsor.
Dinding biara sangat dekat sekitar 30 cm dari Sungai Barumun dan jika tidak
dibuatkan talud penahan bangunan keberadaan biara Tandihat III makin terancam.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 2010 Vita melakukan penelitian atas tumbuh-tumbuhan (flora) yang
pernah hidup pada masa kerajaan Pannai dan pada masa kini. Penelitian dilakukan
dengan metode analisis palinologi yang hasilnya menyimpulkan bahwa lingkungan
tumbuhan pada saat ini merupakan tipe ekosistem belukar dengan bioma hutan hujan.
Pada masa kerajaan Pannai daerah ini merupakan ekosistem hutan hujan tropik tanah
rendah dengan berbagai jenis tumbuhan yang beranekaragam (Vita, 2010).
Tahun 2010 dilakukan juga penelitian bahan pembentuk biara Si Pamutung oleh
Fadhlan Intan. Hasil analisis petrologis menunjukan bahwa lokasi sumber bahan baku
batupasir (sandstone) untuk pembuatan bangunan berasal dari sekitar biara Si
Pamutung, artinya masih dalam wilayah Kawasan Padanglawas. Begitu pula dengan
hasil analisis mineralalogi terhadap sampel bata, lempung, dan pasir, disimpulkan
bahwa bahan bakunya berasal dari sekitar Sungai Barumun yang mengalir di sekitar
biara Si Pamutung (Fadhlan, 2010).
Penelitian di Padanglawas dilakukan Sukawati Susetyo berkenaan dengan
komponen bangunan biaro berupa stupa dan stambha. Stambha adalah tiang monolit
setinggi sekitar 10 meter. Di India stambha dibuat oleh raja Asoka untuk
menyebarkan agama Budha dan dimaksudkan untuk mempersatukan kerajaan-
kerajaan. Menurut Sukawati pada bagian luar tengah stambha di Padanglawas
terdapat relief, dan hasil analisanya menyebutkan bahwa stambha merupakan bentuk
variasi dari stupa, perbedaan hiasan relief atau tulisan terletak pada ada tidaknya pada
bagian luar tengah. Menurut sukawati Susetyo stambha di daerah Si Pamutung
mempunyai relief, sedangkan stupanya polos. Ini dapat ditemukan di Biara Tandihat
Universitas Sumatera Utara
III yang pada bagian atas stambha dipahatkan relief empat tokoh Dhyanibuddha di
keempat sisinya (Susetyo, 2010).
Peninggalan kepurbakalaan berupa bairo yang tersebar di Padanglawas
umumnya terletak jauh dari rumah penduduk. Hal ini dapat dimengerti dengan
mengenali latar belakang agama yang dianut pada masa penggunaan biaro-biaro itu.
Agama yang dianut masyarakat pendiri biara adalah Tantrayana, yang di dalam ritual
keagamaannya menghendaki tempat yang sunyi, jauh dari keramaian, dan melakukan
ritual di ksetrayajña.15 Selain pendirian di tempat yang jauh dari penduduk, biaro juga
didirikan di dekat sungai-sungai besar dan lebar yang ada di kawasan Padanglawas.
Di daerah Padanglawas mengalir beberapa sungai besar dan lebar yakni, Sungai
Barumun, Sungai Pane (Batang Pane), Sungai Sirumambe, mengalir dari daerah
Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara menuju ke pesisir
Sumatera Timur. Keberadaan biara-biara Padanglawas di sepanjang aliran sungai
sesuai dengan aturan dalam agama Hindu dan Budha, yang menyatakan bahwa
pendirian bangunan suci harus dekat dengan air (tirtha) karena air mempunyai
potensi untuk membersihkan, menyucikan dan menyuburkan (Mundardjito: 2002).
Keberadaan biara di sepanjang aliran sungai juga disebabkan belum adanya sarana
transportasi darat yang memadai pada abad XIII- XIV. Saat itu masyarakat masih
menggunakan sungai sebagai sarana transportasi. Hal ini diketahui berdasarkan
informasi yang tertera dalam prasasti Batu Gana I yang menyebutkan kata ’mahilir’
yang artinya pergi ke hilir dengan menggunakan perahu atau moda transportasi
lainnya.16
Universitas Sumatera Utara
Saat ini, tidak kurang dari hasil survei ditemukan 25 biara yang tersebar di
Padanglawas dikelola oleh Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala Banda Aceh
(dahulu Suaka Purbakala Banda Aceh), yang berkantor di Banda Aceh. Instansi ini
adalah Unit Pelaksana Tehnis (UPT) bidang kebudayaan dari Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata. Wilayah kerja instansi ini meliputi Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara. Adapun tugas pokok dan fungsi
instansi tersebut adalah pemeliharaan, perlindungan, pemugaran dan
pendokumentasian peninggalan purbakala.
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh telah melakukan
pemugaran biara di Padanglawas, masing-masing adalah Biara Bahal I, Biara Bahal
II, Biara Bahal III, Biara Si Pamutung, dan Biara Tandihat I. Di dalam upaya
pemeliharaan sebagai bagian dari pengelolaan telah ditempatkan tidak kurang dari 32
orang juru pelihara (PNS atau honorer) yang bertugas memelihara bangunan biara
dan lingkungannya terdekatnya. Upaya pemeliharaan dilakukan dengan dua cara,
yang pertama secara tradisional, artinya tanpa bahan kimia, dan yang kedua
pemeliharaan dengan menggunakan bahan kimia.
Padanglawas mempunyai nilai penting seperti yang dicantumkan dalam amanah
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran
dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan
pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola
Universitas Sumatera Utara
secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam
rangka memajukan kebudayaan nasional untuk kemakmuran rakyat.
Selama ini pengelolaan terhadap obyek kepurbakalaan hanya terbatas pada
artefak atau benda cagar budaya (artifact oriented) dan lingkungan situs (site
oriented) saja. Paradigma demikian tentu lama harus diubah, pengelolaannya harus
mencakup regional oriented, pengelolaan yang mencakup cagar budaya; pelestarian
lingkungan alam, dan juga masyarakat. Cagar budaya yang ada di sebuah kawasan
bukan milik instansi pengelola saja, namun masyarakat juga berhak atasnya. Untuk
itu masyarakat juga diharapkan dapat memanfaatkannya, sehingga menambah
kesejahteraan hidupnya.
Hingga saat ini Padanglawas belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Padahal
ada tekanan lingkungan dan pembangunan yang tampak mengancam keberadaan
bangunan biara. Masyarakat sekitar cenderung memanfaatkan dan mengolah lahan di
sekitar peninggalan-peninggalan itu. Aktivitas itu juga mengubah muka lahan, karena
pengolahan lahan telah mengusik keberadaan tinggalan budayanya. Saat ini biara
keberadaannya mulai terusik dengan adanya aktivitas penanaman kelapa sawit.
Penggalian tanah yang dalam akan mengakibatkan atau mengorbankan sisa
peninggalan masa lalu, baik yang berupa temuan relik, 17 atau struktur bangunan.
Kebutuhan lahan yang cukup luas, antara lain bagi penanaman kelapa sawit sebagai
pengembangan pembangunan, mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan. Dahulu
sebagian lahan di sekitar peninggalan cagar budaya digunakan sebagai sawah dan
Universitas Sumatera Utara
tegalan. Dewasa ini aktivitas perkebunan lebih membuat bangunan biara
Padanglawas terancam keberadaannya.
Adanya penanaman kelapa sawit dan diikuti pula dengan peningkatan aktivitas
industri, jelas akan membuat turunnya kualitas lingkungan di Padanglawas. Terlebih
lagi bagi bangunan biara di sana yang terbuat dari bata, yang sangat peka terhadap
polusi udara dan polusi air. Hal ini merupakan ancaman bagi kelestarian cagar budaya
kawasan tersebut. Ancaman lain bagi tinggalan budaya adalah pemanfaatan bagi
kepariwisataan. Pemanfaatan bagi kepariwisataan kadang dianggap mampu
memberikan dampak positif, antara lain sebagai penghasil kesejahteraan, membuka
lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Ada pula yang memberikan dampak
negatif, baik terhadap nilai-nilai sosial budaya maupun pencemaran terhadap
lingkungan fisik dan biotis. Isu dampak negatif pariwisata mengakibatkan perubahan
paradigma pembangunan pariwisata, dari model pariwisata massal (mass tourism -
pariwisata konvensional) ke model pariwisata alternatif (alternative tourism).
Pariwisata cenderung melakukan pengembangan dengan skala besar-besaran
(massive) yang akhirnya menimbulkan degradasi lingkungan, baik lingkungan fisik,
biotis maupun sosial budaya (Nuryanti, 1997).
Oleh karena hal-hal tersebut di atas, maka upaya pelestarian bagi tinggalan
budaya sangat diperlukan, meliputi upaya perlindungan fisik dan lingkungan, maupun
legalitasnya. Dahulu pelestarian dalam bentuk pelindungan hanya diupayakan pada
situs dan temuan-temuan moveable yang disimpan di museum. Kemudian
pelestarian diupayakan bagi sebuah situs cagar budaya.
Universitas Sumatera Utara
Upaya pelestarian terhadap biara tersebut diharapkan dikembangkan menjadi
upaya pelestarian pada sebuah kawasan yang juga mencakup masyarakat yang
bertempat tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu bagi daerah Padanglawas diupayakan
untuk pelestarian sebuah kawasan, yang juga mencakup lingkungan budaya dan
alamnya. Salah satunya dilakukan melalui zonasi,18 sehingga akan tercapai sebuah
penetapan Padanglawas sebagai Kawasan Cagar Budaya Padanglawas19 dan
mempunyai sertifikat sebagai Kawasan Cagar Budaya Padanglawas yang perlu
dilestarikan.
Upaya melestarikan (to conserve) dan mengelola (to manage) merupakan suatu
kebutuhan yang mendesak, karena tinggalan budaya yang merupakan sumberdaya
arkeologi bersifat tak-terperbaharui (non-renewable), terbatas (finite), tak-
terperbalikan (irreversible) dan khas (contextual) untuk penggal waktu tertentu.
Adapun maksud dari melestarikan adalah upaya melalui pendekatan arkeologi
berdasarkan filosofi yang menekankan pada perlindungan, pengembangan dan
pemanfaatan yang dikelola terhadap sumberdaya untuk kepentingan generasi
mendatang, serta terjamin pemanfaatannya selama mungkin. 20
Pementingan pelestarian yang mencakup upaya perlindungan, pengembangan
dan pemanfaaatan bagi masyarakat luas menuntut pengelolaan tinggalan arkeologis
yang menganut misi dan visi pengelolaan cagar budaya untuk masyarakat.
Pengelolaan manajemem sumberdaya budaya pengelolaan cagar budaya bagi
masyarakat dikenal dengan Cultural Resource Management (CRM). 21
Universitas Sumatera Utara
Untuk hal tersebut di atas, Daud Aris Tanudirjo menyebutkan bahwa filosofi
CRM yang lebih mementingkan pelestarian dan pemanfaatan bagi masyarakat luas
juga menuntut perubahan sikap dan orientasi bagi para pengelola tinggalan arkeologis
terutama di Indonesia. Kalau karena latar belakang sejarahnya, para praktisi dan
pengelola tinggalan arkeologis lebih menganut misi, visi, cara pandang dan sikap
’pengelolaan warisan budaya untuk negara’ (archaeology in the state), mulai saat ini
hendaknya mulai dituntun oleh misi dan visi baru ’pengelolaan warisan budaya untuk
masyarakat’ (public archaeology). Serta sebagai konsekuensinya, dalam kebijakan
pelestarian yang baru, para pengelola warisan budaya yang terlibat hendaknya
menjadi ’abdi masyarakat’, dan menjadi fasillitator dalam proses pemaknaan atau
pemanfaatan sumberdaya (Tanudirjo, tanpa tahun).
Upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan perlindungan, pengembangan dan pemanfataatan yang melibatkan
masyarakat dan juga mengupayakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
lokal dalam pemanfaatan budaya dan lingkungannya. Konsep CRM dalam upaya
melibatkan masyarakat lokal sama dengan konsep ekomuseum yang juga melibatkan
masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya budaya.
Pengelolaan dan pemberdayaan keragaman budaya masyarakat di Kawasan
Padanglawas, meliputi pula aktivitas pertanian di lahan yang subur, menenun,
berladang, dan berburu. Keberadaan arsitektur rumah tradisional dan budaya yang
unik dapat diupayakan pengelolaannya melalui pendekatan ekomuseum. Hal ini
sesuai dengan apa yang menjadi indikator dari ekomuseum yang dapat dikelola dan
Universitas Sumatera Utara
diberdayakan oleh masyarakat. Ekomuseum-pun dapat melibatkan pengrajin,
seniman, penulis dan pemain musik. 22 Semua sesuai dengan pendapat Corsane
bahwa karakteristik ekomuseum mencakup area yang luas, lanskapnya in situ,
melibatkan kegiatan bagi wisatawan, mempromosikan pariwisata budaya, dan
membantu menjelaskan hubungan antara masa lalu dan masa sekarang. 23
Konsep ekomuseum tidak lagi terbatas pada keberadaan bangunan museum
dan koleksinya, melainkan berlaku juga bagi semua bentuk cagar budaya. Dalam
pemahaman itulah, muncul konsep ekomuseum, yang kelahirannya dibidani oleh dua
tokoh museologi asal Perancis, Georges Henri-Rivie`re dan Hugo de Varine pada
tahun 1973. Konsep ekomuseum menurut Rivie’re diberlakukan dengan melihat
hubungan antara ekologi dan lingkungan. Kemudian pada tahun 1978, ia menekankan
konsep ekomuseum pada daerah regional dan persoalan/keterlibatan masyarakatnya.
Akhirnya pada tahun 1980, ia menetapkan bahwa konsep yang dapat diterapkan pada
ekomuseum, diakui sebagai suatu proses budaya yang dipahami bersama dengan
komunitas (masyarakat) pada suatu wilayah dan menggunakan warisan budaya
bersama sebagai sumberdaya untuk pembangunan.
Konsep ini tentu saja berbeda dengan konsep tentang museum pada umumnya
yang selalu dikaitkan dengan koleksi dalam bangunan untuk kepentingan
pengunjung. Butir-butir utama dalam konsep ekomuseum yang dikemukakan oleh
Georges Henri-Rivie`re, yakni :
Universitas Sumatera Utara
1. Ekomuseum harus dikonsep dan dirancang oleh lembaga yang
bertanggungjawab bersama dengan penduduk setempat untuk memelihara
warisan budaya dan menjadi alat untuk memenuhi minat bersama;
2. Pengunjung maupun penduduk setempat akan dapat berkaca tentang hubungan
penduduk setempat dengan lingkungannya;
3. Ada hubungan yang alami dengan alam;
4. Ekomuseum mampu mencerminkan masa sejarah yang panjang, dari sejak masa
prasejarah hingga kini;
5. Ekomuseum menawarkan tempat khusus istimewa untuk mereka yang ingin
berkunjung sejenak maupun beberapa lama;
6. Ekomuseum menjadi laboratorium, tempat penelitian yang dapat
menyumbangkan pengetahuan tentang lingkungan masa kini dan masa lampau;
7. Menjadi pusat perlindungan sumberdaya alam dan pelestarian jatidiri budaya
atau kemanusiaan, maupun warisan alam; dan
8. Menjadi sekolah, tempat penelitian lebih lanjut, upaya pelestarian, dan mampu
mendorong penduduk setempat untuk menentukan nasib masa depan mereka
sendiri. 24
Hugo de Varine dalam artikel di tahun 1971 dan 1974 tentang tipe baru sebuah
museum hidup di tambang batu bara di Creusot-Montceau-les-Mines, sudah
menggunakan istilah ’ecomuseum’. Ia memikirkan konsep ekomuseum dan
pencapaian keseimbangan manusia, dan alam serta hubungannya dengan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam disertasi de Varine (2006) berjudul Ecomuseums and their Possibole
Sustainable Development disebutkan bahwa yang menjadi ide penting dalam proses
pembelajaran warisan budaya yang menyangkut eko-sosial dari museum adalah
masyarakat sekarang ini yang diharapkan mengerti akan kewajibannya untuk
melindungi dan membuat keseimbangan penggunaan lingkungan dan sumberdaya
alam (Donghai, 2008). 25
Adapun Boylan (1992) mengatakan bahwa ada lima kunci konsep bagi
ekomuseum, masing-masing adalah :
1. Teritori/wilayah/kawasan;
2. Koleksi ecomuseum alam dan budaya;
3. Pendekatan interdisiplin untuk menginterpretasikan/mengartikan;
4. Konsumen dari ecomuseum alam; dan budaya
5. Demokrasi lokal; dan
6. Pemberdayaan masyarakat 26
Pada tahun 1996, pengertian akan konsep museum sangat berbeda dengan
pengertian konsep ekomuseum, di bawah ini adalah perbedaan dari keduanya, yakni :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1. Perbedaan Pengertian Konsep Museum dan Konsep Ekomuseum
MUSEUM
Objects Building Visitors
EKOMUSEUM
Heritage Place/Museum
Community/Participation Objects artinya benda-benda koleksi yang dipamerkan menjadi koleksi museum yang dilihat pengunjung.
Heritage merupakan benda warisan budaya tangible dan intangble di kawasan.
Building merupakan bangunan atau tempat dimana semua koleksi museum dipamerkan.
Place/museum merupakan tempat/kawasan atau situs warisan budaya dan alam berada
Visitors merupakan pengunjung museum
Community/participation masyarakat berada di warisan budaya dan alam perlu diberdayakan
Sumber : Ohara, K. 1998
Kemudian pada tahun 1998, konsep ekomuseum dikembangkan oleh Kazuoki
Ohara. Ada tiga unsur yang berkaitan dalam ekomuseum, yakni petama pelestarian
warisan budaya, termasuk alam, budaya dan tradisional industri. Dua, manajemen dan
pelaksanaan melibatkan masyarakat setempat untuk masa depan mereka. Ketiga
adalah fungsi dan pelestarian alam dan tradisi sebagai sebuah museum (Ohara, 1998).
Lebih lanjut Davis (1999) mengemukakan beberapa falsafah dasar dalam
penyelenggaraan ekomuseum. Itu meliputi hal-hal berikut,
1. Ekomuseum hadir untuk melindungi kawasan dan menjelaskan warisan budaya;
2. Wilayah administratif seringkali tidak dapat dijadikan pedoman untuk
menentukan batas-batas ekomuseum;
3. Tanah (kawasan) tempat ekomuseum merupakan warisan yang diatur sesuai
dengan hak-hak tradisional masyarakat;
Universitas Sumatera Utara
4. Penduduk setempat harus ikut berperan serta dalam kegiatan museum yang
didasarkan pada ciri budaya masyarakat itu sendiri; dan
5. Segala usaha diupayakan untuk memanfaatkan sebaik-baiknya potensi-potensi
yang dihasilkan oleh penelitian ilmiah bagi pelestarian warisan budaya yang
harus tetap berada di tempatnya (Corsane, 2007).
Di dalam unsur pemberdayaan masyarakat, masyarakat di sekitar Kawasan
Padanglawas dapat ikut terlibat dalam pengelolaannya, misalnya dengan menjadi
pemandu wisata, pemilik rumah inap (homestay), pengusaha boga, pengrajin
cinderamata, yang semuanya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat juga dapat diposisikan sebagai ”kurator” kehidupan dan warisan budaya
Kawasan Padanglawas. Inti dari ide ekomuseum adalah pelestarian budaya
masyarakat, dan masyarakat sendiri harus ikut memelihara dan melestarikan segala
aspek kehidupan dan budaya (Donghai, 2008).
Padanglawas yang mempunyai nilai penting seperti yang diamanahkan oleh
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
maka perlu dilestarikan. Upaya pelestarian dimaksud adalah dengan menggunakan
pendekatan ekomuseum. Namun sampai saat ini Padanglawas belum ditetapkan
sebagai sebuah cagar budaya/Kawasan Cagar Budaya Padanglawas.
Pengelolaan ekomuseum di Kawasan Padanglawas dapat dilakukan bagi
pemanfaatan tinggalan budaya, maka untuk itu diupayakan untuk membentuk model
yang layak dan dapat diaplikasikan. Hal ini juga sesuai dengan Undang Undang
Universitas Sumatera Utara
Republik Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Hidup (Bab I, Pasal 1) yang menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah
pengawasan, pemanfaatan, perlindungan, pemulihan, dan pengendalian lingkungan
hidup.
1.2. Perumusan Masalah
Tinggalan budaya di Kawasan Padanglawas dapat dimasukan ke dalam kriteria
cagar budaya, yang menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2010 Tentang Cagar Budaya Bab III Pasal 5 adalah berusia 50 (lima puluh) tahun
atau lebih; (b) mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; (c)
memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan; dan (d) memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Cagar budaya tersebut dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan setiap orang untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu
pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Ini sesuai dengan yang
dicantumkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Cagar Budaya Pasal 85 ayat (1).
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya tersebut memperlihatkan adanya upaya pemanfaatan sebagai hal yang utama
dan harus diperhatikan. Kegiatan pemanfaatan di Kawasan Padanglawas
berhubungan dengan kepariwisataan mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Dalam pemanfaatan Kawasan Padanglawas masyarakat yang bertempat tinggal di
Universitas Sumatera Utara
sekitar Kawasan Padanglawas belum dilibatkan secara aktif. Kondisi ini dapat
mengakibatkan munculnya berbagai dampak negatif bagi masyarakat setempat, akibat
ketidaksiapan masyarakat menerima arus wisatawan dan kegiatan - kegiatan yang
berkaitan dengan pariwisata.
Pelibatan masyarakat dalam pemanfaatan cagar budaya di Kawasan
Padanglawas dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan, misalnya dengan menjadi
pemandu yang dapat langsung memberikan informasi kepada pengunjung;
meminjamkan kendaraan sepeda atau sepeda motor; berjualan aneka makanan dan
minuman; berjualan cinderamata; dan juga melakukan atraksi wisata berupa tontonan
tarian dari budaya setempat. Ini akan meningkatkan ekonomi masyarakat dan
masyarakat makin sejahtera.
Pendekatan ekomuseum dalam kerangka pemanfaatan Kawasan Padanglawas
yang berhubungan erat dengan upaya pelestarian, dapat dikaji melalui penelitian yang
dirumuskan sebagai berikut.
1. Identifikasi sumberdaya apa saja yang ada di Kawasan Padanglawas yang dapat
mendukung terlaksananya model pendekatan ekomuseum;
2. Apa nilai penting dan hambatan di sekitar Kawasan Padanglawas yang berkaitan
dengan rancangan pengelolaan
3. Apa model pengelolaan ekomuseum dalam kerangka pemanfaatan Cagar Budaya
Kawasan Padanglawas.
Universitas Sumatera Utara
Untuk pertanyaan pertama di atas dapat dijawab melalui tahapan awal untuk
mengenali sumberdaya budaya dan alam. Sumberdaya budaya dapat dilihat dari sudut
pandang arkeologi, baik itu bentuk, sifat, ciri, kualitas, jenjang satuan analisis, dan
jumlah. Sumberdaya alam dapat dilihat dari flora dan fauna yang ada. Informasi ini
dapat diperoleh melalui pengumpulan data melalui berbagai sumber pustaka maupun
pengamatan langsung ke lokasi. Bagi pertanyaan kedua, diupayakan untuk melihat
potensi penting sumberdaya yang ada di Kawasan Padanglawas bagi pelestarian dan
peningkatan nilai-nilai pentingnya, tidak saja bagi pengetahuan sejarah, tetapi juga
sebagai identitas atau jati diri bangsa. Begitu pula dengan potensi ancaman dan
hambatan yang timbul akibat pengelolaan lahan di Kawasan Padanglawas yang
terkait dengan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan Kawasan Padanglawas.
Nilai penting yang intrinsik dari sumberdaya budaya berupa keaslian bentuk
(authenticity in form), bahan (authenticity in materail), pengerjaan (authenticity in
workmanship), dan tata letak (authenticity in setting). Untuk pertanyaan ketiga
jawabannya didapat dengan memanfaatkan hasil kajian dalam menjawab pertanyaan
kedua, yaitu melihat nilai-nilai apa atau bangunan biara mana yang akan dilestarikan,
dikembangkan, dan dimanfaatkan, sehingga didapatkan model yang dapat digunakan
dalam upaya pelestarian.
1.3. Kerangka Pikir
Menurut Ohara, ekomuseum merupakan aktivitas ekologi yang bertujuan
mengembangkan sebuah daerah menjadi sebuah museum hidup. Konsep ekomuseum
Universitas Sumatera Utara
memiliki tiga unsur yang berkaitan, yakni petama pelestarian warisan budaya,
termasuk alam, budaya dan tradisional industri. Dua, manajemen dan pelaksanaan
melibatkan masyarakat setempat untuk masa depan mereka. Ketiga adalah fungsi dan
pelestarian alam dan tradisi sebagai sebuah museum (Ohara, 1998).
Untuk lebih sesuai dengan penelitian di Kawasan Padanglawas, pengertian
museum/tempat sebagaimana disampaikan oleh Ohara disamakan dengan sebutan
cagar budaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Corsane bahwa tanah tempat
ekomuseum merupakan warisan budaya yang diatur sesuai dengan hak-hak
tradisional masyarakat. Adapun pengertian konservasi budaya lokal diganti dengan
pengertian lingkungan alam. Sedangkan komuniti adalah masyarakat setempat yang
tinggal tidak jauh dari cagar budaya di Kawasan Padanglawas (Corsane, 2007).
CAGARBUDAYA
LINGKUNGAN ALAM
KOMUNITI
KAWASANPELESTARIAN
EKO MUSEUM
Gambar 1.1 Konsep Ekomuseum Kawasan Cagar Budaya Padanglawas
Universitas Sumatera Utara
Penggabungan (interseksi/korelasi) antara cagar budaya dan lingkungan alam
akan menghasilkan pelestarian lingkungan alam dan budaya serta museum terbuka.
Interseksi antara cagar budaya dan komuniti akan menghasilkan pelestarian sejarah
desa/dusun. Begitu pula interseksi/korelasi antara komuniti dan lingkungan alam
akan menghasilkan pelestarian lanskap pedusunan/pedesaan dan ecological park,
natural park, dan national trust.
Oleh karena itu ada tiga hal pokok dalam konsep ekomuseum yakni, (1) cagar
budaya, sebagai kriteria dasar dimana di dalamnya terdapat aktivitas, ada koleksi
benda cagar budaya, ada pelestarian, ada studi penelitian, ada pameran, ada proses
pembelajaran, dan ada pengunjung; (2) lingkungan alam dengan adanya flora dan
fauna; (3) dan keterlibatan masyarakat dan pengembangan masyarakat dengan
pengelolaan dalam bidang budaya, sosial dan lingkungan alam.
a. Cagar Budaya
Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar
Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar
Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Universitas Sumatera Utara
b. Lingkungan Alam
Pengertian lingkungan alam di sini adalah flora dan fauna yang terdapat di
Kawasan Padanglawas, yang perlu pula untuk dilestarikan mengingat adanya
aktivitas ancaman pembangunan yang mengancam pelestariannya.
c. Komuniti
Pengertiannya adalah kelompok masyarakat yang tinggal di Padanglawas yang
terlibat langsung dengan perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan benda
cagar budaya yang ada di Padanglawas.
Sebagai tertera dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2010 Tentang Cagar Budaya Bab I, Pasal 1 Butir 6, Kawasan Cagar Budaya adalah
satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang
letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Kemudian
dalam Bab III Pasal 10 disebutkan bahwa satuan ruang geografis dapat ditetapkan
sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila (a) mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya
atau lebih yang letaknya berdekatan; (b) berupa lanskap budaya hasil bentukan
manusia berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun; (c) memiliki pola yang
memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh)
tahun; (d) memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan
ruang berskala luas; (e) memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan (d)
memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau
endapan fosil. Demikianlah pengertian kawasan yang akan dikaji dalam disertasi ini.
Universitas Sumatera Utara
Diharapkan dengan keberadaan ekomuseum, budaya masyarakat setempat dan
jati diri yang dimiliki tetap lestari, dan perkampungan tempat masyarakat tinggal
tidak tertelan dalam arus masuknya modernisasi. Melalui adanya ekomuseum,
diharapkan masyarakat melihat sisi baik bagi upaya peningkatkan taraf hidup,
sumberdaya yang dimiliki dan upaya memberdayakannya. Diharapkan semua itu
dapat diwujudkan jika konsep ekomuseum diterapkan di Kawasan Padanglawas.
1.4. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui identifikasi sumberdaya budaya, alam, dan sosial di Kawasan
Padanglawas yang dapat mendukung terlaksananya model pengelolaan,
b. Mengetahui dan mengenali tanggapan masyarakat Kawasan Padanglawas
menyangkut pemberdayaan sumberdaya yang dimiliki,
c. Menetapkan model pengelolaan ekomuseum dalam kerangka pemanfaatan
Kawasan Cagar Budaya Padanglawas.
Adapun tujuan utama adalah memaksimisasi upaya perlindungan, dan
pengembangan dan pemanfaatan sebaik-baiknya bagi kepentingan ideologis (jatidiri
bangsa), akademis (penelitian), dan sosial-ekonomis (pariwisata), serta meminisasi
dampak negatif yang diakibatkan oleh kegiatan alam dan manusia. Diharapkan
masyarakat di dalam atau di sekitar kawasan memperoleh manfaat atau keuntungan
sosial ekonomis (community friendly) di samping perolehan bagi pemerintah daerah.
Universitas Sumatera Utara
1.5. Manfaat Penelitian
1. Dapat menghasilkan bentuk pengelolaan ekomuseum yang berkelanjutan yang
didukung oleh peran masyarakat lokal;
2. Memperkaya konsep mengenai bentuk model pengelolaan kawasan
cagar budaya yang sesuai dengan potensi dan karakter suatu daerah;
3. Memperkaya wacana dan referensi akademik dalam pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan model pengelolaan budaya yang
didasarkan pada potensi sumber daya lingkungan;
4. Bagi Pemerintah Daerah dapat memberikan masukan tentang model pengelolaan
yang dapat diterapkan terhadap pengelolaan obyek dan daya tarik wisata; dan
5. Bagi masyarakat setempat dapat meningkatkan pendapatan, dan membaiknya
kehidupan sosial budaya dengan memanfaatkan warisan budaya.
1.6. Novelty
Model ekomuseum dari hasil penelitian ini merupakan model konseptual baru
yang mengetengahkan suatu pengelolaan sebuah kawasan pelestarian yang mencakup
cagar budaya, lingkungan alam dan komuniti. Penelitian ini juga mengutarakan ide
bahwa ekomuseum harus dikelola dengan basis filosofi ekomuseum dan konsep
ekomuseum keberlanjutan.
Universitas Sumatera Utara
Catatan : 1. Sesuai Undang Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 Tentang
Pemekaran Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, maka Kabupaten Tapanuli Selatan, dimekarkan menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Kabupaten Tapanuli Selatan.
2. Byara atau vihara dalam bahasa Sansekerta artinya tempat rekreasi atau tempat senang-senang Sang Budha, juga berarti monastery or temple (Mac Donell, 1954, hal 293). Menurut R. Poerbatjaraka, kata Borobudur juga mengambil kata byara yang artinya vihara sebagai tempat tinggal pendeta agama Budha.
3. ...de afhangende plooien der kain panjang en trouwens het geheele voorkomen doen sterk denken aan de bekende Balineesche poppen.... Ibid Nagarakertagama pupuh XIII (1) dengan terjemahan dari Slamet Mulyana .……terperinci dari pulau negara bawahan, paling awal adalah m’layu, jambi, palembang, toba dan damasraya. Daerah kandis, kahwas, minangkabau, siak, rokan, kampar, pane, kampe, haru, serta mandailing, tamiang, negara perlak, p’danglwas….(Slamet Mulyana, 1979 : 279).
4. ............lihat gambar Tempelruined a Batang Barumun (Sumatra’s Westkust)…… dalam H. von Rosenberg. 1854. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Jaar 1930, hlm 62.
5. ….. het leeuwtje, het overgebleven exemplaar van de twee stuks volgens de bovendedoelde inventaris vroeger van Goenoeng Toewa tonga (moet zijn biara Sitokpajan) naar het controleurs-erf overgebracht, bevindt zich nu voor het Controleurskantoor…. Lihat P.V. van Stein Callenfels dalam Oudheidkundige Verslag tahun 1920, Bijlage G, hlm 65.
6. Temuan prasasti tersebut dikenal dengan nama prasasti Sitopayan I dan II dan sekarang disimpan di Museum Negeri Sumatera Utara).
7. Van Stein Callenfels, hlm 66. 8. hlm 66. 9. …het bedoelde beeldje pl. 37 a (Museum Bat. No. 5881), is 15 c.M. hoog, het
rechthoekig voetstuk met dubbel rechthoeking lotuskussen rust aan de voorzijde op twee kolonnetten, aan de achterzijde is het verbonden met het achterstuk; de ruimte tusschen de kolonnetten wordt door een uit den grond opkomenden lotus, waarop de lingkervoet van den Bodhisattwa rust, in tweeën gedeeld; links en relief een gekronkeld voorwerp, waarschijnlijk een slang, die iets van den grond schijnt op te likken; rechts een knielende vrouwelijke adorant met de handen in añjali; het achterstuk van den troonzetel heeft onversierde posten en een met eenvoudig lijstwerk versierden dwarsbalk, waarop een boog in juweelvorm van boven in spitsvlamornament uitloopend rust; in den top een gaatje voor de bevestiging van een zonnescherm. De godheid is hoofdeloos en zit in lalitāsana-houding; de linkerhand steunt met den rug op de heup en houdt een ghanta; de rechterhand voor de borst is afgebroken.....Lihat F.D.K. Bosch dalam Oudheidkundige Verslag tahun 1930, Bijlage C, halaman 136. Arca dimaksud
Universitas Sumatera Utara
sekarang disimpan di Museum Nasional dengan nomor koleksi 5881. 10. ......de figuur staat op een onversierde cirkeronde plaat; het beenkleed vertoont
dwarse strepen, waartusschen een onregelmatig patroon, gevormd door kleine in het metaal gedrukte kringetjes en spijkervormige putjes; het bovenlijf naakt; gladde ringen om enkels, polsen, ellebogen en armen; kralensnoer twee maal om den hals gewonen en tusschen de borsten afhangen in een lus; de linkerhand (op de foto verteekend en niet grooter dan normaal) in een soort witarkamudrā; de rechterhand geopend met de palm naar boven, waarin een klein rond voorwerp (lotusknop?); ooren met lange, doorboorde lellen; het haar glad over het hoofd weggetrokken; zware, ingesnoerde wrong; lange neus, kleine mond; op voorhoofd kleine ūrņā....... Ibid. Hal. 137. Arca kini disimpan di Museum Nasional nomor koleksi 5887.
11. ……......I agree with you that the stone image of a Bodhisattva and the bronze statuette of a female figure appear to be South India works of art. The Buddhist image is in much the same style as that which flourished in Southern India in the fifth and sixth centuries A.D., particularly in the northern part of the Madras Presidency. I enclose a photograph of a somewhat similar image that I found at Salihundam in the Ganjam district, not far from the old port of Kalingapatam. The Buddhist remains at Salihundam appear to belong to about the six century A.D. I should imagine that the female figure represents a portrait statuette of a lady who made a gift to the Vihara. The style of the image suggests the 15th century, as its probable age. Ibid. hlm 137.
12. Nama bhiksu dan bukan pendeta lebih cocok digunakan sebagai penduduk atau orang yang tinggal di biara.
13. …......de andere bij Bahal I gedane vondsten zijn: het bronzen achterstuk van een beeld, hoog 10 cm, afkomnstig van de Westzijde van de toegangspoort; fragmenten van dakpannen, in den vorm van sirappen, met een queue voor oplegging, afm. 36 bij 15c.M., gevonden aan binnenzijde van den Zuiddelijken ringmuur, waarschinjlijk de plaats waar zich de monniken-verblijven bevonden; een pipisan lang 31 c.M., en een schoteltje, gevonden op het bordes van den ingang van den hoofdtempel; verder nog eenige plaquetten van een glasachtige en een bronzen voorwerp in den vorm van een vierpuntige ster, gevonden bij den hoofdingang....... Ibid. hlm. 138-139.
14. .........zoo moet de Buddhistische god Heruka door de primitieve Batasche bevolking wel zijn opgevat als het zuivere tegenbeeld van den datoek, die als medium van den in den toenggal huizenden geest (pangoeloebalang) fungeerde en die ” door bijzondere geschinktheid in het dansen uitmuntte en zich tot grooste, aan razernij grezende wildheid wist op te winden, o.a. door het eten van pinadar (rauw vleesch met zout en veel Spaannsche peper), en door het hoofdhaar woest uit elkaar te rafelen.... Ibid. hlm 141.
15. Ksetrayajña berarti pemujaan atau melalukan upacara pengorbanan di tempat terbuka atau di sebuah lapangan.
16. Pendirian biara dekat dengan sungai sesuai dengan ajaran agama Hindu Budha
Universitas Sumatera Utara
bahwa tirtha atau air adalah sumber penghidupan. Bukti bahwa sungai-sungai besar yang ada di Kawasan Padanglawas digunakan sebagai sarana transportasi dapat diketahui dari kata ’parahu’; ’mahilir’ dan ’pahilir’ yang dituliskan di prasasti Batu Gana I yang menyebutkan .... parahu dan pahilira..... Artinya berperahu dan menuju ke hilir.
17. Relik merujuk pada benda-benda tinggalan yang mudah dipindahkan (moveable artifacts and ecofacts), dan mudah terlepas dari konteksnya.
18. Zoning atau zonasi seperti yang dicantumkan dalam Pasal 72 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa perlindungan Cagar Budaya dilakukan dengan menetapkan batas-batas keluasaannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan hasil kajian.
19. Kawasan Budaya merujuk pada suatu wilayah yang relatif luas dan di dalamnya terdapat budaya masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.
20. Pendapat ini diambil dari Mc Gimsey dan Davis (1977) yang menulis : ”....karena sumberdaya arkeologi bersifat tak terperbaharui untuk penggal waktu tertentu, maka ada suatu kebutuhan yang mendesak untuk melestarikan (to conserve) dan mengelola (to manage) sumberdaya yang terbatas itu agar terjamin pemanfaatannya selama mungkin.” Diambil dari Daud Aris Tanudirjo dalam Paper Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi : Sebuah Pengantar. Tanpa Tahun.
21. Cultural Resource Manajement dikenal luas pada pertengahan dasawarsa 1970-an di Amerika Serikat, dan dirujuk ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Pengelolaan Sumberdaya Budaya atau Manajemen Sumberdaya Budaya. Ada pula sekelompok pakar arkeologi dari Amerika yang menggunakan nama Conservation Archaeology atau Arkeologi Konservasi. Ada pula yang menyepadankan dengan Public Archaeology atau Arkeologi Publik yang dipopulerkan oleh C.R. MC Gimsey III di tahun 1972. Di Inggris, istilah yang lebih dipakai adalah Arhaeological Heritage Management atau manajemen Warisan Budaya Arkeologi. Lihat dalam Daud Aris Tanudirjo dalam Paper Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi : Sebuah Pengantar. Tanpa Tahun.
22. .......and actively collaborate with artists, craftsmen, writes, actors and musicians……dalam Corsane, G, et.al 2007. Ecomuseum Evaluation: Experiences in Piemonte and Liguria, Italy diakses
http://www.informaworld.com/smpp/title~content=t713685629. 23. …and aim to illustrate the connections between technology and individual,
between nature and culture, and between past and present…… Ibid. 24. Su Donghai, 2008. The Concept of the Ecomuseum and its Practice in China.
Journal Museum International Vol. 60 no. 1-2. page 30-32 yang menyatakan bahwa …..over the years, Reviere produced three definitions of the ecomuseum concept. According to the first, issued in 1973, the structure of an ecomuseum should be used to emphasize both ecology and the environment. His second definition in 1978 stressed regional and societal issues. Finally, following the development ecomuseums and new museological theorems, he issued an third and final revision of his definitions in 1980. He qualified this definition as an
Universitas Sumatera Utara
‘evolution’, thus stressing that the ecomuseum concept was still in its developmental stages. This definition it self being extremely lengthy the main point may be summarized as follows : a. ecomuseums are to be conceived and designed by publicly accountable
institutions and by local inhabitants, they should be jointly maintained and be an instrument for share interest;
b. Ecomuseums are a mirror in which are local inhabitants and visitors may see them selves in relations to their environment;
c. Ecomuseums demonstrate the nature of the periods of history, from prehistoric era, to the present day;
d. Ecomuseums offer privileged spaces for those who wish to stay for a while or for those just visiting;
e. Ecomuseums are laboratories which contribute to research on region’s past on present environment;
f. Ecomuseums constitute centers for the protection for natural resources and further to conservation and development of natural heritage and humanity’s cultural identities;
g. Ecomuseums may also be describe as schools, furthering research and conservation efforts and encouraging the population to take control of its own future;
h. There are vast differences between ecomuseums; one type may display completely different characteristics from another. Nevertheless, there are not closed environment, with ideas and practices flowing back and forth between them.
25. Donghai, 2008. The Concept of the Ecomuseum and its Practice in China. Journal Museum International Vol. 60 no. 1-2. halaman 33 yang menyatakan bahwa …..I am convinced that the most idea behind the educational of heritage of the eco- societal museum is that people today understand their own responsibilities – protecting and making balanced use of their environment and natural resources; and protecting, transmitting and conserving, while also enriching, the individuals and creative aspects of their cultural heritage. Such sustainable development can be ensured only in this type of ecomuseums environment
26. …. Boylan has produced a similar list of characteristics. His five key concepts are : territory; fragmentation and the nature of ecomuseum ‘collections; interdisciplinary approaches to interpretation; the nature of the ecomuseum ‘customer’; and local democracy and community empowerment…. dalam Corsane, G, dkk 2007. Ecomuseum Evaluation: Experiences in Piemonte and Liguria, Italy juga Boylan, P (1992). Ecomuseums and the New Museology. Museums Journal 92:4. hal 29-30.
Universitas Sumatera Utara