Transcript
Page 1: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Padanglawas adalah daerah di pedalaman Sumatera yang mempunyai

sumberdaya budaya dan alam. Sumberdaya budaya yang dimiliki berupa tinggalan

budaya berupa bangunan candi, prasasti, relief dan arca. Di daerah Sumatera juga

ditemukan tinggalan budaya, misalnya di daerah Provinsi Jambi dan Provinsi Riau.

Begitu pula dengan sumberdaya alam di Padanglawas dijumpai dengan adanya flora

dan fauna yang beragam.

Padanglawas adalah daerah di pedalaman Sumatera yang dahulu merupakan

bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan.1 Sejak tahun 2007 Kabupaten Tapanuli

Selatan telah dimekarkan menjadi tiga, yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten

Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara. Padanglawas diketahui

mempunyai Sumberdaya budaya berupa bangunan-bangunan dan peninggalan lain

dari masa pengaruh Hindu-Budha di Indonesia. Wilayah Kabupaten Padang Lawas

terbagi atas Wilayah Kecamatan Barumun, Barumun Tengah, Batang Lobu Sutam,

Huristak, Huta Raja Tinggi, Lubuk Barumun, Sosa, Sosopan dan Ulu Barumun dan

Wilayah Kecamatan dengan luas keseluruhan 3.892,74 km². Wilayah Kabupaten

Padang Lawas Utara terbagi atas Wilayah Kecamatan Batang Onang, Dolok, Dolok

Sigompulon, Halongonan, Padang Bolak, Padang Bolak Julu, Portibi dan Wilayah

Kecamatan Simangambat dengan luas keseluruhan 3.918,05 km².

Universitas Sumatera Utara

Page 2: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Tinggalan budaya di Padanglawas disebut oleh penduduk dengan sebutan

’biaro’. Hal ini berbeda dengan kebiasaan di tempat lain di Indonesia yang menyebut

candi bagi berbagai peninggalan dari masa pengaruh Hindu-Buddha. Penamaan

candi, menurut Soekmono (1974), didasarkan atas sebutan yang ada di prasasti, yang

menyebutkan kata cinandiken yang artinya dicandikan. Istilah candi diberikan bagi

bangunan berupa pemandian kuna, gapura atau gerbang kuna, maupun bangunan suci

untuk keperluan pemujaan. Adapun di Padanglawas, penamaan biaro bagi tinggalan

budaya tinggalan budaya masyarakat setempat berasal dari kata biara yang

disebutkan dalam prasasti Sitopayan. Isi prasasti tersebut berkenaan dengan

pembuatan bangunan sebuah biara (...barbwat tapah nanggang byara sang rāja...). 2

Nama Padanglawas sendiri telah dikenal setidaknya sejak daerah Padanglawas

pertama kali disebutkan dalam lontar Negarakertagama (nāgarakŗtagama atau

desawarnana) yang ditulis pada tahun 1365. Dalam pupuh XIII (1) disebutkan nama

Padanglawas sebagai sebuah negara bawahan dari kerajaan Majapahit. 3

Bahan yang digunakan untuk membangun biara di Kawasan Padanglawas

adalah bata, yang tidak jauh berbeda dengan bahan bangunan pada sebagian

bangunan candi-candi di Jawa. Adapun bentuk bangunannya terlihat ada perbedaan

dengan yang terdapat di Jawa. Di Kawasan Padanglawas biara yang dijumpai tidak

dalam bentuk bangunan tunggal.

Jumlah bangunan biara di Kawasan Padanglawas dijumpai cukup banyak dan

tersebar di seluruh kawasan. Sampai saat ini tercatat sebanyak 25 buah, baik yang

Universitas Sumatera Utara

Page 3: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

sudah dipugar maupun dalam kondisi runtuh. Keseluruhan biaro itulah yang menjadi

obyek penelitian disertasi.

Kawasan Padanglawas dikenal kembali pada tahun 1854, sejak seorang bangsa

Belanda bernama H. von Rosenberg melakukan perjalanan ke Padanglawas. Ia

menguraikan dan menggambar biara Tandihat I dan relief yang ada di bangunan biara

tersebut. Lingkungan biara digambarkan dengan rumput yang tinggi dan seekor

gajah yang sedang makan daun dari pohon dengan menggunakan belalainya. Biara

digambarkan dalam kondisi utuh, hanya bagian puncaknya yang dipenuhi rumput dan

perdu. 4

Penjelajahan von Rosenberg ke wilayah ini dilakukan sebelum berdirinya

Jawatan Purbakala atau Oudheidkundige Dienst in Nederlansch-Indie. Institusi ini

dibentuk berdasarkan Keputusan Pemerintah Nomor 62 tanggal 14 Juni 1913, dan

untuk pertama kali dipimpin oleh N.J. Krom (1913-1915). Lembaga ini mengurusi

segala hal yang menyangkut keberadaan dan keselamatan benda budaya yang ada di

Indonesia. Terkait program pengaturan keselamatan benda budaya, pemerintah

Belanda menerbitkan Monumenten Ordonnantie Statblad 238 tahun 1931.

Kemudian pada tahun 1920, van Stein Callenfels melakukan perjalanan di

Sumatera, dan saat di Padanglawas, bersama dengan pengawas/kontrolir (controleur)

Padang Lawas bernama Van der Beek, melihat bangunan biara, relief dan arca-arca

yang ada di sana. Kunjungan itu dilakukan berdasarkan adanya laporan inventarisasi

benda-benda kuna dalam buku Kwaartaalverslag Oudheidkundige Dienst 1914,

Universitas Sumatera Utara

Page 4: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

halaman 108. Dalam laporan tersebut diutarakan bahwa di daerah Gunung Tua

ditemukan makara, dan arca singa kecil, semuanya dibawa ke kantor kontrolir. 5

Van Stein Callenfels juga mengunjungi biara Sitopayan serta membuat gambar

denah biara tersebut. Pada bagian dari bangunan biara terdapat lapik arca yang tidak

mempunyai cerat, dan pada bagian sisi lapik terdapat prasasti Sitopayan.6 Kelak dua

prasasti dari Sitopayan dibaca oleh van Stein Callenfels, dan dibuatkan terjemahan

serta uraiannya.7

Di sisi selatan biara Sitopayan terdapat sebuah arca yang hanya tinggal bagian

pinggang ke bawah dalam posisi berdiri menghadap ke utara. Arca dipahatkan

berkain panjang dengan rempel (plooi) di bagian depan, dan van Stein Callenfels

mengibaratkankan boneka dari Bali.8 Van Stein Callenfels juga meninjau biara Bahal

I, II dan III, biara Tandihat I, II dan III, biara Aek Sangkilon serta Batu Gana.

Pada tahun 1930, F.D.K. Bosch yang belakangan menjadi pimpinan Jawatan

Purbakala (1936-1938), melakukan perjalanan ke Sumatera dan memuat laporannya

dalam Oudheidkundig Verslag 1930. Ia berkesempatan meninjau biara Sitopayan dan

biara Bahal I dan pada saat itu menjumpai arca dari batu yang menggambarkan

bodhisatwa (wajrasattwa) berukuran 15 cm. Bagian sudut kanan kaki arca berhiaskan

dua susun bunga teratai. Sisi kiri arca berhiaskan relief ular, dan pada sisi kanan arca

perempuan kecil dalam sikap añjalimudra dalam posisi lalitāsana. Tangan kiri arca

itu digambarkan memegang ghanta, dan tangan kanan di depan dada sudah pecah. 9

Universitas Sumatera Utara

Page 5: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Bosch juga menemukan arca perunggu wanita setinggi 19,5 cm sisi barat

dinding keliling di sisi kanan biara induk Bahal I. Arca digambarkan berdiri di atas

benda bulat, memakai kain hingga tumit yang memperlihatkan garis melintang,

tubuh bagian atas telanjang, dan memakai gelang di mata kaki, di pergelangan tangan,

di siku dan di tangan. Tokoh digambarkan mengenakan kalung dua susun, tangan

kanan arca dalam sikap witarkamudrā, memegang daun palma dalam posisi ke atas.

Telinga memakai anting panjang, rambut disusun ke atas, hidung panjang, mulut

kecil dan di dahi ada ūrņā. 10 Kedua temuan tersebut oleh Bosch diperlihatkan

kepada A.H. Longhurst, seorang opsir Archaeological Survey of India. Bosch

menafsirkan bahwa temuan itu merupakan arca Bodhisattwa. Adapun arca wanita

perunggu memperlihatkan kemiripan dengan seni arca India Selatan dari masa abad

V-VI, yang banyak dijumpai terutama di daerah utara Madras. Hal itu sama dengan

temuan yang ada di daerah Salihundam, sebuah daerah Ganjam tidak jauh dari

pelabuhan Kalingapatam. Diperkirakan bahwa figur perempuan tersebut merupakan

gambaran seorang perempuan yang sedang memberikan hadiah kepada vihāra. 11

Di biara Bahal I Bosch juga menemukan fragmen genteng dengan model sirap

yang bagian atasnya berbentuk ekor, berukuran antara 36 sampai 15 cm. Fragmen ini

ditemukan di sisi dalam dinding sisi selatan, yang diperkirakan merupakan tempat

tinggal para biksu.12 Ditemukan pula sebuah pipisan dengan panjang 31 cm. Di

bagian selasar biara induk ditemukan sebuah botol; serta sebuah bintang bersegi

empat (vajra) terbuat dari perunggu. Keberadaan temuan seperti ini membuktikan

bahwa di Biara Bahal I terdapat pemukiman para bhiksu.13

Universitas Sumatera Utara

Page 6: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Bosch juga mencatat temuan lain dalam bilik Biara Bahal I berupa lima belas

fragmen bagian dari sebuah arca batu. Arca itu digambarkan berdiri di atas tubuh

manusia, tangan kanan memegang wajra, tangan kiri memegang pinggan berupa

tengkorak manusia dan mengepit sebuah tongkat (khatwangga). Kelak oleh beberapa

ahli, arca tersebut diperkirakan sebagai arca Heruka. 14

Kemudian pada tahun 1937, F.M. Schnitger, dalam perjalanannya di Sumatera

tahun 1937 juga berkunjung ke Padanglawas. Di Biara Si Pamutung ia menemukan

arca Vairocana dari perunggu dan sebuah lempengan prasasti emas di sekitar

bangunan tersebut.

Selanjutnya penelitian di Kawasan Padanglawas diteliti oleh arkeolog

Indonesia, yakni Satyawati Sulaiman pada tahun 1953, dan hasil penelitiannya

memunculkan istilah ’Hindu – Batak’ untuk tinggalan budaya di Kawasan

Padanglawas (Suleiman, 1985). Penelitian itu dilanjutkan oleh Rumbi Mulia pada

tahun 1980 (Mulia, 1980).

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional juga melakukan penelitian di Padanglawas

dan kegiatan pada tahun 1993 menghasilkan asumsi bahwa Sungai Barumun dan

Pane telah mengalami perubahan, karena tingkat erosi yang cukup tinggi. Biara-biara

di Padanglawas sebagian besar berlokasi dekat aliran sungai, pada jarak sekitar 200

sampai 500 meter. Kemudian pada tahun 1994 dilakukan pendataan dan inventarisasi

tinggalan budaya di Kawasan Padanglawas oleh Kantor Kebudayaan Provinsi

Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara bekerja

Universitas Sumatera Utara

Page 7: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

sama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi

Sumatera Utara.

Masih di tahun 1994, dilakukan survei di daerah aliran Sungai Barumun dan

Batang Pane serta ekskavasi di Tandihat II. Ekskavasi di Tandihat II berhasil

menampakkan bentuk dan ukuran denah bangunan. Bangunannya menghadap ke arah

timur dengan tangga naik yang dihiasi dengan sepasang makara. Sebuah arca singa

terbuat dari batu pasir (sandstone) ditemukan di antara reruntuhan bangunan.

Pada tahun 1995 juga dilakukan penelitian berfokus pada pemukiman kuna di

luar Tandihat II. Hasilnya memperlihatkan indikasi keberadaan pemukiman kuna di

sisi timur laut di luar 'tembok' keliling bangunan.

Pada tahun 2001 Tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional meneliti pemukiman

kuna di sekitar biara Si Pamutung. Diperkirakan bahwa sisa pemukiman berada

dalam areal benteng tanah yang mengelilingi kompleks (Susilowati, 2001).

Daniel Perret dan Heddy Surachman melakukan penelitian di kompleks biaro Si

Pamutung pada tahun 2007 dan hasil penelitian menunjukan keberadaan sebuah situs

pemukiman seluas minimal 30 hektar di situs Si Pamutung yang terletak di pertemuan

Sungai Barumun dan Sungai Pane. Dalam kegiatan tersebut juga banyak dijumpai

pecahan keramik Cina dari abad X hingga awal abad XIV (Perret, et all, 2007).

Tahun 2009 dilakukan survei di Kawasan Padanglawas dalam kerangka

penulisan disertasi, dijumpai keberadaan biara Tandihat III terancam longsor.

Dinding biara sangat dekat sekitar 30 cm dari Sungai Barumun dan jika tidak

dibuatkan talud penahan bangunan keberadaan biara Tandihat III makin terancam.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Pada tahun 2010 Vita melakukan penelitian atas tumbuh-tumbuhan (flora) yang

pernah hidup pada masa kerajaan Pannai dan pada masa kini. Penelitian dilakukan

dengan metode analisis palinologi yang hasilnya menyimpulkan bahwa lingkungan

tumbuhan pada saat ini merupakan tipe ekosistem belukar dengan bioma hutan hujan.

Pada masa kerajaan Pannai daerah ini merupakan ekosistem hutan hujan tropik tanah

rendah dengan berbagai jenis tumbuhan yang beranekaragam (Vita, 2010).

Tahun 2010 dilakukan juga penelitian bahan pembentuk biara Si Pamutung oleh

Fadhlan Intan. Hasil analisis petrologis menunjukan bahwa lokasi sumber bahan baku

batupasir (sandstone) untuk pembuatan bangunan berasal dari sekitar biara Si

Pamutung, artinya masih dalam wilayah Kawasan Padanglawas. Begitu pula dengan

hasil analisis mineralalogi terhadap sampel bata, lempung, dan pasir, disimpulkan

bahwa bahan bakunya berasal dari sekitar Sungai Barumun yang mengalir di sekitar

biara Si Pamutung (Fadhlan, 2010).

Penelitian di Padanglawas dilakukan Sukawati Susetyo berkenaan dengan

komponen bangunan biaro berupa stupa dan stambha. Stambha adalah tiang monolit

setinggi sekitar 10 meter. Di India stambha dibuat oleh raja Asoka untuk

menyebarkan agama Budha dan dimaksudkan untuk mempersatukan kerajaan-

kerajaan. Menurut Sukawati pada bagian luar tengah stambha di Padanglawas

terdapat relief, dan hasil analisanya menyebutkan bahwa stambha merupakan bentuk

variasi dari stupa, perbedaan hiasan relief atau tulisan terletak pada ada tidaknya pada

bagian luar tengah. Menurut sukawati Susetyo stambha di daerah Si Pamutung

mempunyai relief, sedangkan stupanya polos. Ini dapat ditemukan di Biara Tandihat

Universitas Sumatera Utara

Page 9: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

III yang pada bagian atas stambha dipahatkan relief empat tokoh Dhyanibuddha di

keempat sisinya (Susetyo, 2010).

Peninggalan kepurbakalaan berupa bairo yang tersebar di Padanglawas

umumnya terletak jauh dari rumah penduduk. Hal ini dapat dimengerti dengan

mengenali latar belakang agama yang dianut pada masa penggunaan biaro-biaro itu.

Agama yang dianut masyarakat pendiri biara adalah Tantrayana, yang di dalam ritual

keagamaannya menghendaki tempat yang sunyi, jauh dari keramaian, dan melakukan

ritual di ksetrayajña.15 Selain pendirian di tempat yang jauh dari penduduk, biaro juga

didirikan di dekat sungai-sungai besar dan lebar yang ada di kawasan Padanglawas.

Di daerah Padanglawas mengalir beberapa sungai besar dan lebar yakni, Sungai

Barumun, Sungai Pane (Batang Pane), Sungai Sirumambe, mengalir dari daerah

Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara menuju ke pesisir

Sumatera Timur. Keberadaan biara-biara Padanglawas di sepanjang aliran sungai

sesuai dengan aturan dalam agama Hindu dan Budha, yang menyatakan bahwa

pendirian bangunan suci harus dekat dengan air (tirtha) karena air mempunyai

potensi untuk membersihkan, menyucikan dan menyuburkan (Mundardjito: 2002).

Keberadaan biara di sepanjang aliran sungai juga disebabkan belum adanya sarana

transportasi darat yang memadai pada abad XIII- XIV. Saat itu masyarakat masih

menggunakan sungai sebagai sarana transportasi. Hal ini diketahui berdasarkan

informasi yang tertera dalam prasasti Batu Gana I yang menyebutkan kata ’mahilir’

yang artinya pergi ke hilir dengan menggunakan perahu atau moda transportasi

lainnya.16

Universitas Sumatera Utara

Page 10: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Saat ini, tidak kurang dari hasil survei ditemukan 25 biara yang tersebar di

Padanglawas dikelola oleh Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala Banda Aceh

(dahulu Suaka Purbakala Banda Aceh), yang berkantor di Banda Aceh. Instansi ini

adalah Unit Pelaksana Tehnis (UPT) bidang kebudayaan dari Kementerian

Kebudayaan dan Pariwisata. Wilayah kerja instansi ini meliputi Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara. Adapun tugas pokok dan fungsi

instansi tersebut adalah pemeliharaan, perlindungan, pemugaran dan

pendokumentasian peninggalan purbakala.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh telah melakukan

pemugaran biara di Padanglawas, masing-masing adalah Biara Bahal I, Biara Bahal

II, Biara Bahal III, Biara Si Pamutung, dan Biara Tandihat I. Di dalam upaya

pemeliharaan sebagai bagian dari pengelolaan telah ditempatkan tidak kurang dari 32

orang juru pelihara (PNS atau honorer) yang bertugas memelihara bangunan biara

dan lingkungannya terdekatnya. Upaya pemeliharaan dilakukan dengan dua cara,

yang pertama secara tradisional, artinya tanpa bahan kimia, dan yang kedua

pemeliharaan dengan menggunakan bahan kimia.

Padanglawas mempunyai nilai penting seperti yang dicantumkan dalam amanah

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran

dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan

pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola

Universitas Sumatera Utara

Page 11: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam

rangka memajukan kebudayaan nasional untuk kemakmuran rakyat.

Selama ini pengelolaan terhadap obyek kepurbakalaan hanya terbatas pada

artefak atau benda cagar budaya (artifact oriented) dan lingkungan situs (site

oriented) saja. Paradigma demikian tentu lama harus diubah, pengelolaannya harus

mencakup regional oriented, pengelolaan yang mencakup cagar budaya; pelestarian

lingkungan alam, dan juga masyarakat. Cagar budaya yang ada di sebuah kawasan

bukan milik instansi pengelola saja, namun masyarakat juga berhak atasnya. Untuk

itu masyarakat juga diharapkan dapat memanfaatkannya, sehingga menambah

kesejahteraan hidupnya.

Hingga saat ini Padanglawas belum ditetapkan sebagai cagar budaya. Padahal

ada tekanan lingkungan dan pembangunan yang tampak mengancam keberadaan

bangunan biara. Masyarakat sekitar cenderung memanfaatkan dan mengolah lahan di

sekitar peninggalan-peninggalan itu. Aktivitas itu juga mengubah muka lahan, karena

pengolahan lahan telah mengusik keberadaan tinggalan budayanya. Saat ini biara

keberadaannya mulai terusik dengan adanya aktivitas penanaman kelapa sawit.

Penggalian tanah yang dalam akan mengakibatkan atau mengorbankan sisa

peninggalan masa lalu, baik yang berupa temuan relik, 17 atau struktur bangunan.

Kebutuhan lahan yang cukup luas, antara lain bagi penanaman kelapa sawit sebagai

pengembangan pembangunan, mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan. Dahulu

sebagian lahan di sekitar peninggalan cagar budaya digunakan sebagai sawah dan

Universitas Sumatera Utara

Page 12: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

tegalan. Dewasa ini aktivitas perkebunan lebih membuat bangunan biara

Padanglawas terancam keberadaannya.

Adanya penanaman kelapa sawit dan diikuti pula dengan peningkatan aktivitas

industri, jelas akan membuat turunnya kualitas lingkungan di Padanglawas. Terlebih

lagi bagi bangunan biara di sana yang terbuat dari bata, yang sangat peka terhadap

polusi udara dan polusi air. Hal ini merupakan ancaman bagi kelestarian cagar budaya

kawasan tersebut. Ancaman lain bagi tinggalan budaya adalah pemanfaatan bagi

kepariwisataan. Pemanfaatan bagi kepariwisataan kadang dianggap mampu

memberikan dampak positif, antara lain sebagai penghasil kesejahteraan, membuka

lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Ada pula yang memberikan dampak

negatif, baik terhadap nilai-nilai sosial budaya maupun pencemaran terhadap

lingkungan fisik dan biotis. Isu dampak negatif pariwisata mengakibatkan perubahan

paradigma pembangunan pariwisata, dari model pariwisata massal (mass tourism -

pariwisata konvensional) ke model pariwisata alternatif (alternative tourism).

Pariwisata cenderung melakukan pengembangan dengan skala besar-besaran

(massive) yang akhirnya menimbulkan degradasi lingkungan, baik lingkungan fisik,

biotis maupun sosial budaya (Nuryanti, 1997).

Oleh karena hal-hal tersebut di atas, maka upaya pelestarian bagi tinggalan

budaya sangat diperlukan, meliputi upaya perlindungan fisik dan lingkungan, maupun

legalitasnya. Dahulu pelestarian dalam bentuk pelindungan hanya diupayakan pada

situs dan temuan-temuan moveable yang disimpan di museum. Kemudian

pelestarian diupayakan bagi sebuah situs cagar budaya.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Upaya pelestarian terhadap biara tersebut diharapkan dikembangkan menjadi

upaya pelestarian pada sebuah kawasan yang juga mencakup masyarakat yang

bertempat tinggal di sekitarnya. Oleh karena itu bagi daerah Padanglawas diupayakan

untuk pelestarian sebuah kawasan, yang juga mencakup lingkungan budaya dan

alamnya. Salah satunya dilakukan melalui zonasi,18 sehingga akan tercapai sebuah

penetapan Padanglawas sebagai Kawasan Cagar Budaya Padanglawas19 dan

mempunyai sertifikat sebagai Kawasan Cagar Budaya Padanglawas yang perlu

dilestarikan.

Upaya melestarikan (to conserve) dan mengelola (to manage) merupakan suatu

kebutuhan yang mendesak, karena tinggalan budaya yang merupakan sumberdaya

arkeologi bersifat tak-terperbaharui (non-renewable), terbatas (finite), tak-

terperbalikan (irreversible) dan khas (contextual) untuk penggal waktu tertentu.

Adapun maksud dari melestarikan adalah upaya melalui pendekatan arkeologi

berdasarkan filosofi yang menekankan pada perlindungan, pengembangan dan

pemanfaatan yang dikelola terhadap sumberdaya untuk kepentingan generasi

mendatang, serta terjamin pemanfaatannya selama mungkin. 20

Pementingan pelestarian yang mencakup upaya perlindungan, pengembangan

dan pemanfaaatan bagi masyarakat luas menuntut pengelolaan tinggalan arkeologis

yang menganut misi dan visi pengelolaan cagar budaya untuk masyarakat.

Pengelolaan manajemem sumberdaya budaya pengelolaan cagar budaya bagi

masyarakat dikenal dengan Cultural Resource Management (CRM). 21

Universitas Sumatera Utara

Page 14: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Untuk hal tersebut di atas, Daud Aris Tanudirjo menyebutkan bahwa filosofi

CRM yang lebih mementingkan pelestarian dan pemanfaatan bagi masyarakat luas

juga menuntut perubahan sikap dan orientasi bagi para pengelola tinggalan arkeologis

terutama di Indonesia. Kalau karena latar belakang sejarahnya, para praktisi dan

pengelola tinggalan arkeologis lebih menganut misi, visi, cara pandang dan sikap

’pengelolaan warisan budaya untuk negara’ (archaeology in the state), mulai saat ini

hendaknya mulai dituntun oleh misi dan visi baru ’pengelolaan warisan budaya untuk

masyarakat’ (public archaeology). Serta sebagai konsekuensinya, dalam kebijakan

pelestarian yang baru, para pengelola warisan budaya yang terlibat hendaknya

menjadi ’abdi masyarakat’, dan menjadi fasillitator dalam proses pemaknaan atau

pemanfaatan sumberdaya (Tanudirjo, tanpa tahun).

Upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi

kebijaksanaan perlindungan, pengembangan dan pemanfataatan yang melibatkan

masyarakat dan juga mengupayakan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

lokal dalam pemanfaatan budaya dan lingkungannya. Konsep CRM dalam upaya

melibatkan masyarakat lokal sama dengan konsep ekomuseum yang juga melibatkan

masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya budaya.

Pengelolaan dan pemberdayaan keragaman budaya masyarakat di Kawasan

Padanglawas, meliputi pula aktivitas pertanian di lahan yang subur, menenun,

berladang, dan berburu. Keberadaan arsitektur rumah tradisional dan budaya yang

unik dapat diupayakan pengelolaannya melalui pendekatan ekomuseum. Hal ini

sesuai dengan apa yang menjadi indikator dari ekomuseum yang dapat dikelola dan

Universitas Sumatera Utara

Page 15: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

diberdayakan oleh masyarakat. Ekomuseum-pun dapat melibatkan pengrajin,

seniman, penulis dan pemain musik. 22 Semua sesuai dengan pendapat Corsane

bahwa karakteristik ekomuseum mencakup area yang luas, lanskapnya in situ,

melibatkan kegiatan bagi wisatawan, mempromosikan pariwisata budaya, dan

membantu menjelaskan hubungan antara masa lalu dan masa sekarang. 23

Konsep ekomuseum tidak lagi terbatas pada keberadaan bangunan museum

dan koleksinya, melainkan berlaku juga bagi semua bentuk cagar budaya. Dalam

pemahaman itulah, muncul konsep ekomuseum, yang kelahirannya dibidani oleh dua

tokoh museologi asal Perancis, Georges Henri-Rivie`re dan Hugo de Varine pada

tahun 1973. Konsep ekomuseum menurut Rivie’re diberlakukan dengan melihat

hubungan antara ekologi dan lingkungan. Kemudian pada tahun 1978, ia menekankan

konsep ekomuseum pada daerah regional dan persoalan/keterlibatan masyarakatnya.

Akhirnya pada tahun 1980, ia menetapkan bahwa konsep yang dapat diterapkan pada

ekomuseum, diakui sebagai suatu proses budaya yang dipahami bersama dengan

komunitas (masyarakat) pada suatu wilayah dan menggunakan warisan budaya

bersama sebagai sumberdaya untuk pembangunan.

Konsep ini tentu saja berbeda dengan konsep tentang museum pada umumnya

yang selalu dikaitkan dengan koleksi dalam bangunan untuk kepentingan

pengunjung. Butir-butir utama dalam konsep ekomuseum yang dikemukakan oleh

Georges Henri-Rivie`re, yakni :

Universitas Sumatera Utara

Page 16: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

1. Ekomuseum harus dikonsep dan dirancang oleh lembaga yang

bertanggungjawab bersama dengan penduduk setempat untuk memelihara

warisan budaya dan menjadi alat untuk memenuhi minat bersama;

2. Pengunjung maupun penduduk setempat akan dapat berkaca tentang hubungan

penduduk setempat dengan lingkungannya;

3. Ada hubungan yang alami dengan alam;

4. Ekomuseum mampu mencerminkan masa sejarah yang panjang, dari sejak masa

prasejarah hingga kini;

5. Ekomuseum menawarkan tempat khusus istimewa untuk mereka yang ingin

berkunjung sejenak maupun beberapa lama;

6. Ekomuseum menjadi laboratorium, tempat penelitian yang dapat

menyumbangkan pengetahuan tentang lingkungan masa kini dan masa lampau;

7. Menjadi pusat perlindungan sumberdaya alam dan pelestarian jatidiri budaya

atau kemanusiaan, maupun warisan alam; dan

8. Menjadi sekolah, tempat penelitian lebih lanjut, upaya pelestarian, dan mampu

mendorong penduduk setempat untuk menentukan nasib masa depan mereka

sendiri. 24

Hugo de Varine dalam artikel di tahun 1971 dan 1974 tentang tipe baru sebuah

museum hidup di tambang batu bara di Creusot-Montceau-les-Mines, sudah

menggunakan istilah ’ecomuseum’. Ia memikirkan konsep ekomuseum dan

pencapaian keseimbangan manusia, dan alam serta hubungannya dengan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Dalam disertasi de Varine (2006) berjudul Ecomuseums and their Possibole

Sustainable Development disebutkan bahwa yang menjadi ide penting dalam proses

pembelajaran warisan budaya yang menyangkut eko-sosial dari museum adalah

masyarakat sekarang ini yang diharapkan mengerti akan kewajibannya untuk

melindungi dan membuat keseimbangan penggunaan lingkungan dan sumberdaya

alam (Donghai, 2008). 25

Adapun Boylan (1992) mengatakan bahwa ada lima kunci konsep bagi

ekomuseum, masing-masing adalah :

1. Teritori/wilayah/kawasan;

2. Koleksi ecomuseum alam dan budaya;

3. Pendekatan interdisiplin untuk menginterpretasikan/mengartikan;

4. Konsumen dari ecomuseum alam; dan budaya

5. Demokrasi lokal; dan

6. Pemberdayaan masyarakat 26

Pada tahun 1996, pengertian akan konsep museum sangat berbeda dengan

pengertian konsep ekomuseum, di bawah ini adalah perbedaan dari keduanya, yakni :

Universitas Sumatera Utara

Page 18: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Tabel 1.1. Perbedaan Pengertian Konsep Museum dan Konsep Ekomuseum

MUSEUM

Objects Building Visitors

EKOMUSEUM

Heritage Place/Museum

Community/Participation Objects artinya benda-benda koleksi yang dipamerkan menjadi koleksi museum yang dilihat pengunjung.

Heritage merupakan benda warisan budaya tangible dan intangble di kawasan.

Building merupakan bangunan atau tempat dimana semua koleksi museum dipamerkan.

Place/museum merupakan tempat/kawasan atau situs warisan budaya dan alam berada

Visitors merupakan pengunjung museum

Community/participation masyarakat berada di warisan budaya dan alam perlu diberdayakan

Sumber : Ohara, K. 1998

Kemudian pada tahun 1998, konsep ekomuseum dikembangkan oleh Kazuoki

Ohara. Ada tiga unsur yang berkaitan dalam ekomuseum, yakni petama pelestarian

warisan budaya, termasuk alam, budaya dan tradisional industri. Dua, manajemen dan

pelaksanaan melibatkan masyarakat setempat untuk masa depan mereka. Ketiga

adalah fungsi dan pelestarian alam dan tradisi sebagai sebuah museum (Ohara, 1998).

Lebih lanjut Davis (1999) mengemukakan beberapa falsafah dasar dalam

penyelenggaraan ekomuseum. Itu meliputi hal-hal berikut,

1. Ekomuseum hadir untuk melindungi kawasan dan menjelaskan warisan budaya;

2. Wilayah administratif seringkali tidak dapat dijadikan pedoman untuk

menentukan batas-batas ekomuseum;

3. Tanah (kawasan) tempat ekomuseum merupakan warisan yang diatur sesuai

dengan hak-hak tradisional masyarakat;

Universitas Sumatera Utara

Page 19: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

4. Penduduk setempat harus ikut berperan serta dalam kegiatan museum yang

didasarkan pada ciri budaya masyarakat itu sendiri; dan

5. Segala usaha diupayakan untuk memanfaatkan sebaik-baiknya potensi-potensi

yang dihasilkan oleh penelitian ilmiah bagi pelestarian warisan budaya yang

harus tetap berada di tempatnya (Corsane, 2007).

Di dalam unsur pemberdayaan masyarakat, masyarakat di sekitar Kawasan

Padanglawas dapat ikut terlibat dalam pengelolaannya, misalnya dengan menjadi

pemandu wisata, pemilik rumah inap (homestay), pengusaha boga, pengrajin

cinderamata, yang semuanya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat juga dapat diposisikan sebagai ”kurator” kehidupan dan warisan budaya

Kawasan Padanglawas. Inti dari ide ekomuseum adalah pelestarian budaya

masyarakat, dan masyarakat sendiri harus ikut memelihara dan melestarikan segala

aspek kehidupan dan budaya (Donghai, 2008).

Padanglawas yang mempunyai nilai penting seperti yang diamanahkan oleh

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

maka perlu dilestarikan. Upaya pelestarian dimaksud adalah dengan menggunakan

pendekatan ekomuseum. Namun sampai saat ini Padanglawas belum ditetapkan

sebagai sebuah cagar budaya/Kawasan Cagar Budaya Padanglawas.

Pengelolaan ekomuseum di Kawasan Padanglawas dapat dilakukan bagi

pemanfaatan tinggalan budaya, maka untuk itu diupayakan untuk membentuk model

yang layak dan dapat diaplikasikan. Hal ini juga sesuai dengan Undang Undang

Universitas Sumatera Utara

Page 20: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Republik Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan

Hidup (Bab I, Pasal 1) yang menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup adalah

pengawasan, pemanfaatan, perlindungan, pemulihan, dan pengendalian lingkungan

hidup.

1.2. Perumusan Masalah

Tinggalan budaya di Kawasan Padanglawas dapat dimasukan ke dalam kriteria

cagar budaya, yang menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2010 Tentang Cagar Budaya Bab III Pasal 5 adalah berusia 50 (lima puluh) tahun

atau lebih; (b) mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; (c)

memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau

kebudayaan; dan (d) memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Cagar budaya tersebut dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah, Pemerintah

Daerah, dan setiap orang untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu

pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Ini sesuai dengan yang

dicantumkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang

Cagar Budaya Pasal 85 ayat (1).

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar

Budaya tersebut memperlihatkan adanya upaya pemanfaatan sebagai hal yang utama

dan harus diperhatikan. Kegiatan pemanfaatan di Kawasan Padanglawas

berhubungan dengan kepariwisataan mengutamakan kepentingan masyarakat luas.

Dalam pemanfaatan Kawasan Padanglawas masyarakat yang bertempat tinggal di

Universitas Sumatera Utara

Page 21: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

sekitar Kawasan Padanglawas belum dilibatkan secara aktif. Kondisi ini dapat

mengakibatkan munculnya berbagai dampak negatif bagi masyarakat setempat, akibat

ketidaksiapan masyarakat menerima arus wisatawan dan kegiatan - kegiatan yang

berkaitan dengan pariwisata.

Pelibatan masyarakat dalam pemanfaatan cagar budaya di Kawasan

Padanglawas dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan, misalnya dengan menjadi

pemandu yang dapat langsung memberikan informasi kepada pengunjung;

meminjamkan kendaraan sepeda atau sepeda motor; berjualan aneka makanan dan

minuman; berjualan cinderamata; dan juga melakukan atraksi wisata berupa tontonan

tarian dari budaya setempat. Ini akan meningkatkan ekonomi masyarakat dan

masyarakat makin sejahtera.

Pendekatan ekomuseum dalam kerangka pemanfaatan Kawasan Padanglawas

yang berhubungan erat dengan upaya pelestarian, dapat dikaji melalui penelitian yang

dirumuskan sebagai berikut.

1. Identifikasi sumberdaya apa saja yang ada di Kawasan Padanglawas yang dapat

mendukung terlaksananya model pendekatan ekomuseum;

2. Apa nilai penting dan hambatan di sekitar Kawasan Padanglawas yang berkaitan

dengan rancangan pengelolaan

3. Apa model pengelolaan ekomuseum dalam kerangka pemanfaatan Cagar Budaya

Kawasan Padanglawas.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Untuk pertanyaan pertama di atas dapat dijawab melalui tahapan awal untuk

mengenali sumberdaya budaya dan alam. Sumberdaya budaya dapat dilihat dari sudut

pandang arkeologi, baik itu bentuk, sifat, ciri, kualitas, jenjang satuan analisis, dan

jumlah. Sumberdaya alam dapat dilihat dari flora dan fauna yang ada. Informasi ini

dapat diperoleh melalui pengumpulan data melalui berbagai sumber pustaka maupun

pengamatan langsung ke lokasi. Bagi pertanyaan kedua, diupayakan untuk melihat

potensi penting sumberdaya yang ada di Kawasan Padanglawas bagi pelestarian dan

peningkatan nilai-nilai pentingnya, tidak saja bagi pengetahuan sejarah, tetapi juga

sebagai identitas atau jati diri bangsa. Begitu pula dengan potensi ancaman dan

hambatan yang timbul akibat pengelolaan lahan di Kawasan Padanglawas yang

terkait dengan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan Kawasan Padanglawas.

Nilai penting yang intrinsik dari sumberdaya budaya berupa keaslian bentuk

(authenticity in form), bahan (authenticity in materail), pengerjaan (authenticity in

workmanship), dan tata letak (authenticity in setting). Untuk pertanyaan ketiga

jawabannya didapat dengan memanfaatkan hasil kajian dalam menjawab pertanyaan

kedua, yaitu melihat nilai-nilai apa atau bangunan biara mana yang akan dilestarikan,

dikembangkan, dan dimanfaatkan, sehingga didapatkan model yang dapat digunakan

dalam upaya pelestarian.

1.3. Kerangka Pikir

Menurut Ohara, ekomuseum merupakan aktivitas ekologi yang bertujuan

mengembangkan sebuah daerah menjadi sebuah museum hidup. Konsep ekomuseum

Universitas Sumatera Utara

Page 23: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

memiliki tiga unsur yang berkaitan, yakni petama pelestarian warisan budaya,

termasuk alam, budaya dan tradisional industri. Dua, manajemen dan pelaksanaan

melibatkan masyarakat setempat untuk masa depan mereka. Ketiga adalah fungsi dan

pelestarian alam dan tradisi sebagai sebuah museum (Ohara, 1998).

Untuk lebih sesuai dengan penelitian di Kawasan Padanglawas, pengertian

museum/tempat sebagaimana disampaikan oleh Ohara disamakan dengan sebutan

cagar budaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Corsane bahwa tanah tempat

ekomuseum merupakan warisan budaya yang diatur sesuai dengan hak-hak

tradisional masyarakat. Adapun pengertian konservasi budaya lokal diganti dengan

pengertian lingkungan alam. Sedangkan komuniti adalah masyarakat setempat yang

tinggal tidak jauh dari cagar budaya di Kawasan Padanglawas (Corsane, 2007).

CAGARBUDAYA

LINGKUNGAN ALAM

KOMUNITI

KAWASANPELESTARIAN

EKO MUSEUM

Gambar 1.1 Konsep Ekomuseum Kawasan Cagar Budaya Padanglawas

Universitas Sumatera Utara

Page 24: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Penggabungan (interseksi/korelasi) antara cagar budaya dan lingkungan alam

akan menghasilkan pelestarian lingkungan alam dan budaya serta museum terbuka.

Interseksi antara cagar budaya dan komuniti akan menghasilkan pelestarian sejarah

desa/dusun. Begitu pula interseksi/korelasi antara komuniti dan lingkungan alam

akan menghasilkan pelestarian lanskap pedusunan/pedesaan dan ecological park,

natural park, dan national trust.

Oleh karena itu ada tiga hal pokok dalam konsep ekomuseum yakni, (1) cagar

budaya, sebagai kriteria dasar dimana di dalamnya terdapat aktivitas, ada koleksi

benda cagar budaya, ada pelestarian, ada studi penelitian, ada pameran, ada proses

pembelajaran, dan ada pengunjung; (2) lingkungan alam dengan adanya flora dan

fauna; (3) dan keterlibatan masyarakat dan pengembangan masyarakat dengan

pengelolaan dalam bidang budaya, sosial dan lingkungan alam.

a. Cagar Budaya

Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar

Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar

Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena

memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,

dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

b. Lingkungan Alam

Pengertian lingkungan alam di sini adalah flora dan fauna yang terdapat di

Kawasan Padanglawas, yang perlu pula untuk dilestarikan mengingat adanya

aktivitas ancaman pembangunan yang mengancam pelestariannya.

c. Komuniti

Pengertiannya adalah kelompok masyarakat yang tinggal di Padanglawas yang

terlibat langsung dengan perlindungan, pemanfaatan dan pengembangan benda

cagar budaya yang ada di Padanglawas.

Sebagai tertera dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2010 Tentang Cagar Budaya Bab I, Pasal 1 Butir 6, Kawasan Cagar Budaya adalah

satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang

letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Kemudian

dalam Bab III Pasal 10 disebutkan bahwa satuan ruang geografis dapat ditetapkan

sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila (a) mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya

atau lebih yang letaknya berdekatan; (b) berupa lanskap budaya hasil bentukan

manusia berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun; (c) memiliki pola yang

memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh)

tahun; (d) memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan

ruang berskala luas; (e) memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan (d)

memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau

endapan fosil. Demikianlah pengertian kawasan yang akan dikaji dalam disertasi ini.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Diharapkan dengan keberadaan ekomuseum, budaya masyarakat setempat dan

jati diri yang dimiliki tetap lestari, dan perkampungan tempat masyarakat tinggal

tidak tertelan dalam arus masuknya modernisasi. Melalui adanya ekomuseum,

diharapkan masyarakat melihat sisi baik bagi upaya peningkatkan taraf hidup,

sumberdaya yang dimiliki dan upaya memberdayakannya. Diharapkan semua itu

dapat diwujudkan jika konsep ekomuseum diterapkan di Kawasan Padanglawas.

1.4. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui identifikasi sumberdaya budaya, alam, dan sosial di Kawasan

Padanglawas yang dapat mendukung terlaksananya model pengelolaan,

b. Mengetahui dan mengenali tanggapan masyarakat Kawasan Padanglawas

menyangkut pemberdayaan sumberdaya yang dimiliki,

c. Menetapkan model pengelolaan ekomuseum dalam kerangka pemanfaatan

Kawasan Cagar Budaya Padanglawas.

Adapun tujuan utama adalah memaksimisasi upaya perlindungan, dan

pengembangan dan pemanfaatan sebaik-baiknya bagi kepentingan ideologis (jatidiri

bangsa), akademis (penelitian), dan sosial-ekonomis (pariwisata), serta meminisasi

dampak negatif yang diakibatkan oleh kegiatan alam dan manusia. Diharapkan

masyarakat di dalam atau di sekitar kawasan memperoleh manfaat atau keuntungan

sosial ekonomis (community friendly) di samping perolehan bagi pemerintah daerah.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

1.5. Manfaat Penelitian

1. Dapat menghasilkan bentuk pengelolaan ekomuseum yang berkelanjutan yang

didukung oleh peran masyarakat lokal;

2. Memperkaya konsep mengenai bentuk model pengelolaan kawasan

cagar budaya yang sesuai dengan potensi dan karakter suatu daerah;

3. Memperkaya wacana dan referensi akademik dalam pengembangan ilmu

pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan model pengelolaan budaya yang

didasarkan pada potensi sumber daya lingkungan;

4. Bagi Pemerintah Daerah dapat memberikan masukan tentang model pengelolaan

yang dapat diterapkan terhadap pengelolaan obyek dan daya tarik wisata; dan

5. Bagi masyarakat setempat dapat meningkatkan pendapatan, dan membaiknya

kehidupan sosial budaya dengan memanfaatkan warisan budaya.

1.6. Novelty

Model ekomuseum dari hasil penelitian ini merupakan model konseptual baru

yang mengetengahkan suatu pengelolaan sebuah kawasan pelestarian yang mencakup

cagar budaya, lingkungan alam dan komuniti. Penelitian ini juga mengutarakan ide

bahwa ekomuseum harus dikelola dengan basis filosofi ekomuseum dan konsep

ekomuseum keberlanjutan.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

Catatan : 1. Sesuai Undang Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 Tentang

Pemekaran Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, maka Kabupaten Tapanuli Selatan, dimekarkan menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Kabupaten Tapanuli Selatan.

2. Byara atau vihara dalam bahasa Sansekerta artinya tempat rekreasi atau tempat senang-senang Sang Budha, juga berarti monastery or temple (Mac Donell, 1954, hal 293). Menurut R. Poerbatjaraka, kata Borobudur juga mengambil kata byara yang artinya vihara sebagai tempat tinggal pendeta agama Budha.

3. ...de afhangende plooien der kain panjang en trouwens het geheele voorkomen doen sterk denken aan de bekende Balineesche poppen.... Ibid Nagarakertagama pupuh XIII (1) dengan terjemahan dari Slamet Mulyana .……terperinci dari pulau negara bawahan, paling awal adalah m’layu, jambi, palembang, toba dan damasraya. Daerah kandis, kahwas, minangkabau, siak, rokan, kampar, pane, kampe, haru, serta mandailing, tamiang, negara perlak, p’danglwas….(Slamet Mulyana, 1979 : 279).

4. ............lihat gambar Tempelruined a Batang Barumun (Sumatra’s Westkust)…… dalam H. von Rosenberg. 1854. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Jaar 1930, hlm 62.

5. ….. het leeuwtje, het overgebleven exemplaar van de twee stuks volgens de bovendedoelde inventaris vroeger van Goenoeng Toewa tonga (moet zijn biara Sitokpajan) naar het controleurs-erf overgebracht, bevindt zich nu voor het Controleurskantoor…. Lihat P.V. van Stein Callenfels dalam Oudheidkundige Verslag tahun 1920, Bijlage G, hlm 65.

6. Temuan prasasti tersebut dikenal dengan nama prasasti Sitopayan I dan II dan sekarang disimpan di Museum Negeri Sumatera Utara).

7. Van Stein Callenfels, hlm 66. 8. hlm 66. 9. …het bedoelde beeldje pl. 37 a (Museum Bat. No. 5881), is 15 c.M. hoog, het

rechthoekig voetstuk met dubbel rechthoeking lotuskussen rust aan de voorzijde op twee kolonnetten, aan de achterzijde is het verbonden met het achterstuk; de ruimte tusschen de kolonnetten wordt door een uit den grond opkomenden lotus, waarop de lingkervoet van den Bodhisattwa rust, in tweeën gedeeld; links en relief een gekronkeld voorwerp, waarschijnlijk een slang, die iets van den grond schijnt op te likken; rechts een knielende vrouwelijke adorant met de handen in añjali; het achterstuk van den troonzetel heeft onversierde posten en een met eenvoudig lijstwerk versierden dwarsbalk, waarop een boog in juweelvorm van boven in spitsvlamornament uitloopend rust; in den top een gaatje voor de bevestiging van een zonnescherm. De godheid is hoofdeloos en zit in lalitāsana-houding; de linkerhand steunt met den rug op de heup en houdt een ghanta; de rechterhand voor de borst is afgebroken.....Lihat F.D.K. Bosch dalam Oudheidkundige Verslag tahun 1930, Bijlage C, halaman 136. Arca dimaksud

Universitas Sumatera Utara

Page 29: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

sekarang disimpan di Museum Nasional dengan nomor koleksi 5881. 10. ......de figuur staat op een onversierde cirkeronde plaat; het beenkleed vertoont

dwarse strepen, waartusschen een onregelmatig patroon, gevormd door kleine in het metaal gedrukte kringetjes en spijkervormige putjes; het bovenlijf naakt; gladde ringen om enkels, polsen, ellebogen en armen; kralensnoer twee maal om den hals gewonen en tusschen de borsten afhangen in een lus; de linkerhand (op de foto verteekend en niet grooter dan normaal) in een soort witarkamudrā; de rechterhand geopend met de palm naar boven, waarin een klein rond voorwerp (lotusknop?); ooren met lange, doorboorde lellen; het haar glad over het hoofd weggetrokken; zware, ingesnoerde wrong; lange neus, kleine mond; op voorhoofd kleine ūrņā....... Ibid. Hal. 137. Arca kini disimpan di Museum Nasional nomor koleksi 5887.

11. ……......I agree with you that the stone image of a Bodhisattva and the bronze statuette of a female figure appear to be South India works of art. The Buddhist image is in much the same style as that which flourished in Southern India in the fifth and sixth centuries A.D., particularly in the northern part of the Madras Presidency. I enclose a photograph of a somewhat similar image that I found at Salihundam in the Ganjam district, not far from the old port of Kalingapatam. The Buddhist remains at Salihundam appear to belong to about the six century A.D. I should imagine that the female figure represents a portrait statuette of a lady who made a gift to the Vihara. The style of the image suggests the 15th century, as its probable age. Ibid. hlm 137.

12. Nama bhiksu dan bukan pendeta lebih cocok digunakan sebagai penduduk atau orang yang tinggal di biara.

13. …......de andere bij Bahal I gedane vondsten zijn: het bronzen achterstuk van een beeld, hoog 10 cm, afkomnstig van de Westzijde van de toegangspoort; fragmenten van dakpannen, in den vorm van sirappen, met een queue voor oplegging, afm. 36 bij 15c.M., gevonden aan binnenzijde van den Zuiddelijken ringmuur, waarschinjlijk de plaats waar zich de monniken-verblijven bevonden; een pipisan lang 31 c.M., en een schoteltje, gevonden op het bordes van den ingang van den hoofdtempel; verder nog eenige plaquetten van een glasachtige en een bronzen voorwerp in den vorm van een vierpuntige ster, gevonden bij den hoofdingang....... Ibid. hlm. 138-139.

14. .........zoo moet de Buddhistische god Heruka door de primitieve Batasche bevolking wel zijn opgevat als het zuivere tegenbeeld van den datoek, die als medium van den in den toenggal huizenden geest (pangoeloebalang) fungeerde en die ” door bijzondere geschinktheid in het dansen uitmuntte en zich tot grooste, aan razernij grezende wildheid wist op te winden, o.a. door het eten van pinadar (rauw vleesch met zout en veel Spaannsche peper), en door het hoofdhaar woest uit elkaar te rafelen.... Ibid. hlm 141.

15. Ksetrayajña berarti pemujaan atau melalukan upacara pengorbanan di tempat terbuka atau di sebuah lapangan.

16. Pendirian biara dekat dengan sungai sesuai dengan ajaran agama Hindu Budha

Universitas Sumatera Utara

Page 30: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

bahwa tirtha atau air adalah sumber penghidupan. Bukti bahwa sungai-sungai besar yang ada di Kawasan Padanglawas digunakan sebagai sarana transportasi dapat diketahui dari kata ’parahu’; ’mahilir’ dan ’pahilir’ yang dituliskan di prasasti Batu Gana I yang menyebutkan .... parahu dan pahilira..... Artinya berperahu dan menuju ke hilir.

17. Relik merujuk pada benda-benda tinggalan yang mudah dipindahkan (moveable artifacts and ecofacts), dan mudah terlepas dari konteksnya.

18. Zoning atau zonasi seperti yang dicantumkan dalam Pasal 72 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa perlindungan Cagar Budaya dilakukan dengan menetapkan batas-batas keluasaannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan hasil kajian.

19. Kawasan Budaya merujuk pada suatu wilayah yang relatif luas dan di dalamnya terdapat budaya masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.

20. Pendapat ini diambil dari Mc Gimsey dan Davis (1977) yang menulis : ”....karena sumberdaya arkeologi bersifat tak terperbaharui untuk penggal waktu tertentu, maka ada suatu kebutuhan yang mendesak untuk melestarikan (to conserve) dan mengelola (to manage) sumberdaya yang terbatas itu agar terjamin pemanfaatannya selama mungkin.” Diambil dari Daud Aris Tanudirjo dalam Paper Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi : Sebuah Pengantar. Tanpa Tahun.

21. Cultural Resource Manajement dikenal luas pada pertengahan dasawarsa 1970-an di Amerika Serikat, dan dirujuk ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Pengelolaan Sumberdaya Budaya atau Manajemen Sumberdaya Budaya. Ada pula sekelompok pakar arkeologi dari Amerika yang menggunakan nama Conservation Archaeology atau Arkeologi Konservasi. Ada pula yang menyepadankan dengan Public Archaeology atau Arkeologi Publik yang dipopulerkan oleh C.R. MC Gimsey III di tahun 1972. Di Inggris, istilah yang lebih dipakai adalah Arhaeological Heritage Management atau manajemen Warisan Budaya Arkeologi. Lihat dalam Daud Aris Tanudirjo dalam Paper Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi : Sebuah Pengantar. Tanpa Tahun.

22. .......and actively collaborate with artists, craftsmen, writes, actors and musicians……dalam Corsane, G, et.al 2007. Ecomuseum Evaluation: Experiences in Piemonte and Liguria, Italy diakses

http://www.informaworld.com/smpp/title~content=t713685629. 23. …and aim to illustrate the connections between technology and individual,

between nature and culture, and between past and present…… Ibid. 24. Su Donghai, 2008. The Concept of the Ecomuseum and its Practice in China.

Journal Museum International Vol. 60 no. 1-2. page 30-32 yang menyatakan bahwa …..over the years, Reviere produced three definitions of the ecomuseum concept. According to the first, issued in 1973, the structure of an ecomuseum should be used to emphasize both ecology and the environment. His second definition in 1978 stressed regional and societal issues. Finally, following the development ecomuseums and new museological theorems, he issued an third and final revision of his definitions in 1980. He qualified this definition as an

Universitas Sumatera Utara

Page 31: I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padanglawas adalah

‘evolution’, thus stressing that the ecomuseum concept was still in its developmental stages. This definition it self being extremely lengthy the main point may be summarized as follows : a. ecomuseums are to be conceived and designed by publicly accountable

institutions and by local inhabitants, they should be jointly maintained and be an instrument for share interest;

b. Ecomuseums are a mirror in which are local inhabitants and visitors may see them selves in relations to their environment;

c. Ecomuseums demonstrate the nature of the periods of history, from prehistoric era, to the present day;

d. Ecomuseums offer privileged spaces for those who wish to stay for a while or for those just visiting;

e. Ecomuseums are laboratories which contribute to research on region’s past on present environment;

f. Ecomuseums constitute centers for the protection for natural resources and further to conservation and development of natural heritage and humanity’s cultural identities;

g. Ecomuseums may also be describe as schools, furthering research and conservation efforts and encouraging the population to take control of its own future;

h. There are vast differences between ecomuseums; one type may display completely different characteristics from another. Nevertheless, there are not closed environment, with ideas and practices flowing back and forth between them.

25. Donghai, 2008. The Concept of the Ecomuseum and its Practice in China. Journal Museum International Vol. 60 no. 1-2. halaman 33 yang menyatakan bahwa …..I am convinced that the most idea behind the educational of heritage of the eco- societal museum is that people today understand their own responsibilities – protecting and making balanced use of their environment and natural resources; and protecting, transmitting and conserving, while also enriching, the individuals and creative aspects of their cultural heritage. Such sustainable development can be ensured only in this type of ecomuseums environment

26. …. Boylan has produced a similar list of characteristics. His five key concepts are : territory; fragmentation and the nature of ecomuseum ‘collections; interdisciplinary approaches to interpretation; the nature of the ecomuseum ‘customer’; and local democracy and community empowerment…. dalam Corsane, G, dkk 2007. Ecomuseum Evaluation: Experiences in Piemonte and Liguria, Italy juga Boylan, P (1992). Ecomuseums and the New Museology. Museums Journal 92:4. hal 29-30.

Universitas Sumatera Utara


Top Related